You are on page 1of 121

METODE PENELITIAN SASTRA

Disusun oleh: Asep Yusup Hudayat

Fakultas Satra Universitas Padjadjaran Bandung 2007

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ..

i iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian, Hakikat Metodologi, Metode, dan Teknik 1.2 Relevansi Metode dalam Kegiatan Penelitian ..

1 1 2

BAB II PENELITIAN ILMIAH 2.1 Penelitian dan Ilmu 2.2 Metode dan Nilai Keilmiahan 2.3 Asas-asas Dasar Penelitian 2.4 Penggolongan Penelitian 2.5 Metode Kualitatif 2.6 Metode Deskriptif .

10 10 16 19 20 22 23

BAB III SASTRA DALAM PENELITIAN ILMIAH 3.1 Sastra sebagai Sistem 3.2 Sastra sebagai Objek Penelitian 3.3. Pemanfaatan Teori bagi Penelitian Sastra

29 29 31 33 iii

3.4 Pendekatan Sastra: Pengertian 3.4.1 Pengertian Pendekatan .. 3.4.2 Jenis-jenis Pendekatan 3.4.2.1 Pendekatan Ekspresif 3.4.2.2 Pendekatan Mimeis 3.4.2.3 Pendekatan Pragmatik 3.4.2.4 Pendekatan Objektif

37 37 38 39 40 43 48

BAB IV STRUKTURALISME 51 4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan 51 4.2 Teori Formalis 4.3 Teori Strukturalisme Dinamik 4.4 Semiotik 4.5 Struktualisme Genetik 4.5.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan 4.5.2 Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif .. 4.5.3 Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia 4.5.4 Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial 4.5.5 Metode Dialektik .. 54 55 58 62 65 66 67 69 71

4.6 Naratologi 72 4.6.1 Naratologi dalam Tinjauan Umum dan Perkembangannya 72 4.6.2 Pelopor Naratilogi Periode Strukturalisme dan Pahamnya 4.6.2.1 Vladimir Propp 76 76

iv

4.6.2.2 LeviStrauss 4.6.2.3 Tvzetan Todorov 4.6.2.4 Greimas ..

78 79 80

BAB V RANCANGAN USULAN PENELITIAN: TINJAUAN KRITIS .. 83 5.1 Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian .......... 5.1.1 Latar belakang Masalah 5.1.2 Identifikasi Masalah .. 5.1.3 Tujuan Penelitian .. 5.1.4 Landasan Teori 5.1.5 Metodologi 5.2 Kemampuan Menguraikan Latar Belakang Masalah dan Identifikasi Masalah.. ......................................................................................... 5.3 Kemampuan Menjabarkan Tujuan Penelitian 5.4 Kemampuan Menyajikan Landasan Teoretis 5.5 Kemampuan Menyajikan Metode 95 100 103 105 83 83 86 88 89 91

DAFTAR PUSTAKA 112

KATA PENGANTAR

Metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan sebuah penelitian sastra yang memadai. Selain itu, upaya mendeskripsikan masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam modul ini. Pertimbangan

utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan secara memadai mengenai penelitian sastra yang menuntut sebuah metode penelitian yang khusus di samping tetap berada dalam jangkauan asas-asas penelitian ilmiah secara

universal. Adapun uraian mengenai tinjauan kritis atas rancangan sejumlah usulan penelitian sastra dimaksudkan untuk melengkapi uraian empiris dari rentang pembahasan metode penelitian sastra menyangkut pengertian, hakikat, relevansi metode dan penelitian, sastra dalam penelitian ilmiah, sampai ke uaraian beberapa pendekatan sastra dalam wilayah strukturalisme. Materi yang disajikan dalam modul ini bersumber dari beberapa buku dan karangan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan metode penelitian. Sasaran utama penulisan modul ini adalah para mahasiswa yang akan menghadapi penyusunan Usulan Penelitian Skripsi atau sedang menempuh masa bimbingan skripsi yang menggunakan pendekatan struktural sebagai objek formalnya.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah ikut serta mewujudkan penyusunan modul ini. Perbaikan di kemudian hari tentunya perlu penyusun lakukan untuk menjadikan modul ini cukup memadai sesuai kebutuhan para mahasiswa di program strata satu dengan bidang kajian utamanya adalah sastra.. Tentunya modul ini akan menempati fungsinya yang optimal sebagai materi pengetahuan bila dapat menumbuhkan kesadaran para mahasiswa akan filsafat ilmu, teori, dan metode dalam ruang lingkup penelitian sastra. Dengan demikian, penyusun berhadap modul ini dapat membuka jalan bagi tercapainya kegiatan memadai. penelitian yang baik dengan bekal kemampuan metode yang

Bandung, Agustus 2007

Penyusun

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Pengertian, Hakikat Metodologi, Metode, dan Teknik Adakalanya pengertian-pengertian metodologi, metode, dan teknik

sering tertukar atau bahkan dicampuradukkan. Pengertian mendasar dari masing-masing istilah adalah: 1. Metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat ilmu mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah. 2. Metode berasal dari kata methods yang akar katanya adalah meta yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas; langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. 3. Teknik berasal dari kata teknikos, yang berarti alat, atau seni menggunakan alat. Perbedaan mendasarnya antara metodologi dan metode adalah metodologi membahas konsep teoritik berbagai metode sedangkan metode mengemukakan secara teknis tentang metode yang digunakan dalam kegiatan penelitian. Upaya memilah dua pengetian tersebut berpangkal dari penyadaran

filsafat keilmuan yang kita anut yang berkorelasi dengan metodologi penelitian itu sendiri. Adakalanya para penganut filsafat ilmu yang berbeda memberi cap bohong, munafik pada langkah-langkah kerja penelitian yang memulai tulisannya dengan alasan pemilihan judul, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran penelitian. Yang memberi cap tersebut lupa atau tidak tahu bahwa ada metodologi penelitian yang berbeda yang menggunakan dasar filsafat ilmu yang berbeda dan menuntut langkah kerja yang berbeda pula. Muhazir (2002: 4) menegaskan bahwa para ilmuwan peneliti perlu menggunakan landasan filsafat ilmu. Landasan tersebut digunakan untuk metodologi penelitian. Dengan demikian yang bersangutan sadar dalam beberapa hal: (1) sadar filsafati, artinya dia sadar menggunakan pendekatan filsafat ilmu yang mana; (2) sadar teoritik, artinya dia sadar teori penelitian atau model mana yang digunakan; dan (3) sadar teknis, artinya dia mampu memilih teknik penelitian yang tepat.

1.2 Relevansi Metode dalam Kegiatan Penelitian Lebih jauh Muhazir (2002: 55) menyebutkan bahwa metodologi penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran. Prosedur kerja mencari kebenaran sebagai filsafat dikenal sebagai filsafat epistemologis. Kualitas kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan kualitas prosedur kerjanya.

Dengan prosedur kerja yang baik, kualitas kebenaran yang diperoleh pun sejauh kebenaran epistemologik; dan ilmu pengetahuan hanya akan mampu menjangkau kebenaran epistemologik. Kebenaran epistemologik tampil dalam wujud kebenaran tesis dan lebih jauh berupa kebenaran teori yang pada gilirannya akan disanggah oleh tesis lain atau teori lain. Gerak dari tesis dan teori yang satu ke tesis dan teori yang lain merupakan proses berkelanjutan ilmu pengetahuan memperoleh kebenaran objekif universal yang bukti kebenarannya hanya dapat diuji pada beragam kasus. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk

menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi dan deduksi, eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif, dan sebaginya adalah sejumlah metode yang sudah sangat umum penggunaannya, baik dalam ilmu kealaman maupun ilmu sosial, termasuk ilmu humaniora. Prosedur yang dimaksud dalam bahasan metodologi terjadi sejak peneliti menaruh minat terhadap objek tertentu, menyusun proposal, membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis dan permasalahan, mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik kesimpulan. Metodologi jelas mengimplikasikan metode. Tetapi metodologi bukanlah kumpulan metode, juga bukan deskripsi mengenai metode tersebut. Perbedaan antara ilmu kealaman dengan ilmu kemanusiaan, misalnya, bukanlah karena perbedaan metode, melainkan karena perbedaan paradigma dan perbedaan metodologi.

Berbeda dengan metode, metodologi tidak berkaitan dengan teknikteknik penelitian, melainkan dengan konsep-konsep dasar logika secara keseluruhan. Metode deskripsi, komparasi, struktural, dan sebagainya digunakan dalam kedua bidang ilmu, tetapi dasar dan cara pemahamannya, bagaimana prosedur pemahaman tersebut dibangun, jelas berbeda. Secara definit metode dengan teknik tidak memiliki batas-batas yang jelas. Metode sering disebutkan sebagai teknik. Ratna (2004: 37)

mengemukakan tiga cara yang dapat membedakan antara metode dengan teknik, bahkan juga dengan teori, melalui cara: 1. membedakan tingkat abstraksinya Abstraksi tertinggi dimiliki teori kemudian diikuti oleh metode dan teknik. Artinya, meskipun secara teoretis metode masih bersifat abstrak, tetapi sebagian ciri-cirinya dapat diidentifikasi secara kongkret. Sebagai alat, teknik bersifat paling kongkret. Sebagai instrumen penelitian, teknik dapat dideteksi secara inderawi. Dengan demikian, teknik berhubungan dengan data primer. Sejumlah teknik yang sering dimanfaatkan, misalnya: wawancara, kuesieoner, rekaman, statistik, dokumen, angket, teknik kartu data, dan sebagainya. Sampling dapat dianggap sebagai teknik pada saat keseluruhan sampel sudah dimasukkan ke dalam sistem kartu sehingga bersifat kongkret. Demikian juga statistik dapat dianggap sebagai metode pada saat data sedang dikuantifikasikan sehingga sifatnya masih abstrak

Pada pembicaraan yang berbeda,

metode dapat menjadi teori.

Struktur adalah teori sebab sudah menghasilkan sejumlah konsep dasar dan sudah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tetapi sebelumnya, struktur disebut sebagai metode. Jadi, struktur bisa menjadi metode atau teori tergantung dari tujuan dan cara pandang peneliti.

2. memperhatikan faktor mana yang lebih luas ruang lingkup pemakaiannya Secara berurutan tingkat keluasan ruang lingkup pemakaian: paradigma, metodologi, teori, metode, dan teknik; luasnya paradigma dan metodologi disebabkan oleh penelusurannya ke masa lampau. Luasnya teori disebabkan oleh adanya perkembangan secara terus menerus. Teknik memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dibandingkan metode walaupun keduanya memiliki

pengertian yang sama. Metode yang baik adalah metode yang selalu bersifat teknik.

3. memperhatikan hubungannya dengan objek Makin dekat dan jelas hubungannya dengan objek maka disebut teknik, sebaliknya makin jauh dan kurang jelas disebut metode.

Dalam penelitian sastra terdapat dua macam penelitian, yaitu penelitian lapangan dan perpustakaan. Prosedur penelitian lapangan ilmu sastra hampir sama dengan ilmu sosial. Keduanya memanfaatkan instrumen yang sama, dengan metode dan teknik yang sama. Prosedur penelitian pustaka dalam bidang sastra agak berbeda. Pada umumnya penelitian pustaka secara khusus meneliti teks. Teknik yang digunakan adalah kartu data primer maupun sekunder dengan metode yang paling sering digunakan adalah hermeneutik yang disamakan dengan verstehen, interpretasi, dan pemahaman. Dalam bidang ilmu lain, interpretasi disejajarkan dengan metode kualitatif, analisis isi, dan etnografi. Metode lain yang sering digunakan adalah deskriptif analitik, yaitu dengan jalan menguraikan sekaligus menganalisis. Metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra adalah: metode intuitif, hermeneutik, metode formal, analisis isi, dialektika, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskripsif induktif. Sehubungan dengan jangkauan utama pembicaraan ke arah pendekatan struktural, maka metode yang penting untuk dikemukakan pada uraian ini menyangkut: metode hermeneutik, metode formal, metode dialektik, dan metode deskriptif analisis. Perbedaan masing-masing metode (Ratna, 2004: 44-46) tampak pada uraian di bawah ini: a. metode hermeneutik Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah ada sejak zama Plato dan Aristoteles. Mula-mula metode ini

berfungsi untuk menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru berkembang sejak abad ke-19 melalui gagasan Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan sebagainya. Dalam sastra dan filsafat, hermeneutik disejajarkan dengan interpretasi, pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmuilmu sosial juga disebut metode kualitatif, analisis isi, alamiah, naturalistik, fenomenologi. Metode ini ini tidak mencari makna yang benar melainkan makna yang paling optimal. Untuk menghindarkan keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas. Penafsiran terjadi karena setiap subjek memandang objek melalui horison dan paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada gilirannya menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan

menambah kualitas estetika, etika, dan logika.

b. metode formal Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspekaspek formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra kemudian mempertalikan hubungan antarunsur tersebut

dengan totalitasnya.. Metode ini sama dengan metode struktural yang berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode formal memandang bahwa keseluruhan aktivitas kultural memiliki dan terdiri atas unsur-unsur.

c. metode dialektika Mekanisme kerja metode ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis.. Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur lainnya. Individualitas Kontradiksi dipertahankan tidak di samping untuk

interdependensinya.

dimaksudkan

menguntungkan secara sepihak. Sintesis bukanlah hasil yang pasti tetapi justru merupakan awal penelusuran gejala berikutnya. Prinsip-prinsip dialektika hampir sama dengan hermeneutik, yaitu gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah kepada penelusuran unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya. Pada metode ini, kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis tetapi diteruskan pada jaringan kategori sosial sebagai penjaringan makna secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektika dianggap sebagai energi pemahaman objek. Metode dialektika digunakan dengan sangat berhasil oleh Goldmann dalam struktural genetik. Secara teoretis, setiap fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis kemudian diadakan negasi. Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis seolah-olah hilang

atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya sehingga proses pemahaman terjadi secara terus- menerus.

d. metode deskriptif analisis Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode ini tidak sematamata hanya menguraikan tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Metode ini dapat diaplikasikan ke dalam beberapa jenis lainnya, misalnya metode deskriptif komparatif atau metode deskriptif induktif. Metode ini dapat diperoleh melalui gabungan dua metode dengan menitikberatkan kepada metode yang lebih khas yang sesuai dengan tujuan penelitian.

BAB II PENELITIAN ILMIAH

2.1 Penelitian dan Ilmu Penelitian merupakan bentuk nomina dari kata kerja: meneliti. Pengertian meneliti dimaksudkan sebagai tindakan melakukan kerja

penyelidikan secara cermat terhadap suatu sasaran untuk memperoleh hasil tertentu. Kata penelitian yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja meneliti mengandung makna sebagaimana yang terdapat pada kata meneliti. Penelitian dipandang sebagai sinonim riset (reseach) yang menunjukkan arti kegiatan yang diarahkan pada kerja pencarian ulang, atau pencarian kembali atas suatu objek, yaitu kegiatan yang memerlukan ketelitian, kecermatan, dan kecerdasan yang memadai. Hubungannya dengan ilmu, kegiatan penelitian erat kaitannya dengan keberadaan kehidupan ilmu yang bersifat kumulatif. Ilmu tidak selalu dalam keadaan mantap dan stabil tetapi sebaliknya bersifat dinamis. Kedinamisan ilmu ditopang secara kuat oleh kegiatan penelitian. Sebagai akibatnya, penelitian mempunyai peran penting bagi keberadaan dan kehidupan ilmu, yaitu mengembangkan dan mempertajamnya. Jadi, ilmu dapat hidup,

10

berkembang, dan menjadi tajam berkat penelitian yang dilakukan secara terus menerus. Ilmu adalah pengetahuan yang bersistem dan terorganisasi. Oleh karena itu, upaya penelitian yang dilakukan dalam rangka pengembangan ilmu memerlukan metode yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu pula, kegiatan penelitian yang dikaitkan dengan pengembangan ilmu merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tertata, sistematis, dan terorganisasi untuk mendapatkan jawaban secara ilmiah atas suatu masalah (Nazir, 1985: 9-15). Dalam kaiatannya dengan sifat ilmu pula, penelitian mempunyai tujuan untuk mengungkapkan gejala-gejala yang bersifat umum, yang selanjutnya melahirkan prinsip-prinsip yang berlaku secara umum. Gejala yang bersifat umum menjadi indikasi akan suatu kebenaran ilmiah. Dalam rangka pengembangan ilmu dan eksistensi sosial, kebenaran ilmiah menyimpan kegunaan ganda. Pertama, scientific objective, yaitu mengembangkan ilmu dengan teori-teori yang sesuai dan relevan. Kedua, practicial objective, yaitu memecahkan dan menjawab persoalan-persoalan praktis yang mendesak.Situasi itu memperlihatkan pentingnya peran penelitian bagi pengembangan ilmu. Chamamah (2001:7) mengemukakan bahwa kata penelitian dapat diinterpretasi dua macam, yaitu kegiatan yang dilakukan secara ilmiah dan kegiatan yang dilakukan secara nonilmiah. Dalam menghadapi masalah, penelitian yang ilmiah tidak sama dengan penelitian nonilmiah. Perbedaan keduanya berhubungan dengan persoalan metodologis, terutama yang berkaitan

11

dengan pemanfaatan teori dan metode. Penelitian ilmiah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan metode bersistem, nalar, dan sesuai dengan objeknya, yaitu sifat-sifat yang ada pada ilmu. Penelitian yang dikaitkan dengan ilmu yang disebut penelitian ilmiah- inilah yang menjadi sasaran dalam mata kuliah ini. Kaitannya dengan kehidupan ilmu, kegiatan penelitian dituntut untuk memakai metode yang ilmiah pula, di antaranya adalah penggunaan sikap perpikir yang kritis dari si peneliti. Sesuai dengan sasaran kerja penelitian yang dibahas dalam mata kuiah ini, yaitu penelitian sastra, dapatlah diketahui bahwa melakukan kajian terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang penting dalam perkembangan ilmu sastra. Ilmu sastra sebagai satu disiplin akan berkembang berkat penajaman konsep-konsep, teori-teori, dan metodologi yang dihasilkan melalui penelitian sastra. Dapat juga dilihat perlunya ilmu sastra dan penelitian sastra untuk perkembangan dan kesempurnaan ilmu sastra. Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah dengan dukungan data sebagai landasan dalam mengambil keputusan. Penelitian bukan saja merupakan proses sistematis akan tetapi juga dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (scientific methods). Wuradji (2001: 1-2) menyebutkan bahawa penelitian merupakan proses sistematis. Proses yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dengan

prosedur yang ditetapkan secara tertata (tersistem). Prosedurnya berarti menggunakan urutan tertentu. Tersistem berarti menunjukkan adanya hubungan fungsional antara kegiatan yang dilakukan. Urutan umum dari proses

12

sistematis penelitian adalah: perumusan masalah, penelaahan informasi, pengumpulan data, analisis data, dan penyajian kesimpulan. Banyak hal yang dapat membedakan manusia dengan makhluk hewan. Perbedaan yang paling menonjol adalah manusia selalu mengalami pertumbuhan intelektual, emosional, social, dan spiritual. Manusia mempunyai kemampuan bernalar dan menggunakan simbol-simbol untuk mengekspresikan pikirannya. Di samping itu, manusia senantiasa mencari kesempurnaan dan kebenaran. Oleh karena itu, manusia mencari tahu dan mencari makna. Usaha mencari tahu dan menemukan makna tidak pernah padam karena manusia senantiasa menghadapi masalah-masalah yang bergantian. Di samping masalah yang dihadapi, ia ingin tahu pula tentang masalah yang dihadapi orang lain. Semua itu merupakan rangkaian rangsangan, baik yang muncul dari dalam dirinya maupun muncul dari luar dirinya. Rasa ingin tahu itulah yang menyebabkan manusia secara sengaja menghimbun keterangan yang berupa data, fakta, dan pengetahuan yang tersusun berupa konsep atau gagasan yang saling berkaitan yang akhirnya memberikan keterangan atau penjelasan mengenai segala sesuatu yang dialaminya. Nazir (1985: 9) mengemukakan bahwa ilmu lahir karena manusia diberkahi sifat ingin tahu oleh Tuhan. Keingintahuan manusia tentang permasalahan yang terjadi di sekelilingnya dapat menjurus kepada

keingintahuan ilmiah. Dengan adanya keingintahuan

manusia yang terus-

menerus, maka ilmu akan terus berkembang dan membantu kemampuan persepsi serta kemampuan berpikir manusia secara logis yang sering disebut

13

penalaran yang mengarah kepada keilmuan tertentu. Ilmu mencakup lapangan yang sangat luas, menjangkau semua aspek tentang kemajuan manusia secara menyeluruh, termasuk ke dalamnya pengetahuan yang telah dirumuskan secara sistematis melalui pengamatan dan percobaan yang terus menerus yang telah menghasilkan penemuan kebenaran yang bersifat umum. Merujuk kepada pendapat di atas perihal sumber pengetahuan, kegiatan penelitian dengan menggunakan metode tertentu sangat terikat dengan bidang ilmu (sains) tertentu. Proses memperoleh pengetahuan melalui ilmu berbeda dengan cara-cara memperoleh pengetahuan melalui relevasi (pengelaman secara kebetulan), otoritas, intuasi, atau pendapat umum. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu itu adalah pengetahuan yang telah teruji dengan metodemetode ilmiah. Sifat ingin tahu yang diperoleh melalui ilmu ini dimulai dengan mengkonseptualisasi gambaran tentang masalah, kemudian melakukan proses penemuan, penciptaan atau penyusunan cara-cara yang baik untuk membatasi, menggambarkan, dan menafsirkan apa yang diamati. Semua pengetahuan yang telah diperoleh itu rupanya senantiasa pula dipertanyakan keabsahannya. Terjadilah usaha mencari tahu atau menemukan kebenaran yang lebih sahih dan lebih diyakini. Untuk memverifikasi keabsahan ilmu yang sudah ada atau menjajaki teori baru, atau memperkaya teori yang sudah ada, orang melakukan berbagai usaha seperti perenungan kembali, melakukan kegiatan penemuan, penyelidikan, atau penelitian. Inilah awal dari rangkaian terjadinya kegiatan yang dinamakan penelitian.

14

Di dalam melakukan kegiatan penelitian itu terdapat dua kemungkinan bentuk kegiatan. Pertama, penelitian yang dilakukan dengan berpegang atau bertolak dari teori yang telah ada sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan teori itu mungkin bersifat memperkaya teori itu dengan contoh-contoh atau menunjukkan dalam kondisi apa teori tersebut kurang tepat dan perlu dimodifikasi. Kedua, adalah penelitian yang sifatnya memperkaya ilmu itu sendiri dengan jalan mencari dan menemukan teori-teori baru yang sesuai atau relevan dengan kondisi dan situasi. Untuk sampai kepada kegiatan penelitian jenis kedua, memerlukan sikap tanggap yang tinggi sebagai ilmuwan. Yang bersangkutan harus mengkaji latar belakang dan proses lahirnya suatu teori. Ia harus memperlajari dan mendalami perkembangan ilmu yang bersangkutan terutama yang berkenaan dengan pengetahuan mengenai gejala-gejala yang berkait dengan penemuan teori itu sendiri. Dalam hal ini, para ilmuwan tentunya berupaya untuk mengurangi subjektivitas dan mempertinggi objektivitas. Kesimpulan apapun yang dibuat mestilah dinilai sebagai kesimpulan sementara. Para ilmuwan akan selalu tidak puas dengan setiap kesimpulan sementara. Oleh karena itu, para ilmuwan selalu berusaha menemukan kesimpulan baru yang barangkali merevisi kesimpulan-kesimpulan terdahulu. Begitulah terjadinya penelitian yang tidak pernah henti-hentinya. Penelitian bertujuan untuk menemukan atau menggali (explore), mengembangkan (develop atau extention) dan menguji (testing) teori. Adapun yang dimaksud teori adalah seperangkat construct (konsep yang saling

15

berhubungan), rumusan-rumusan dan preposisi yang menyajikan suatu pandangan yang sistematis suatu fenomena dengan menspesifikasikan hubungan-hubungan antarvariable dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala. Penelitian akan menghasilkan teori, sebaliknya teori dalam

hubungannya dengan kegiatan penelitian dapat memberikan kerangka kerja bagi pelaksanaan penelitian. Teori dapat membantu merumuskan problem, pengajuan hipotesis, penyusunan design, pengembangan instrumen,

pengumpulan dan analisis data, serta membantu dalam menginterpretasi data. Hubungan teori dan penelitian digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan data Analisis data Penyajian hasil penelitian Kesimpulan dan implikasi

Identifikasi masalah Formulasi hipotesis Review informasi yang terkait

Teori-teori yang terkait Ilmu pengetahuan yang Eksis body of knowledge

Pengembangan/ Perluasan revisi dan teori baru

2.2 Metode Dan Nilai Keilmiahan Peneliti ilmuwan yang memanfaatkan nalarnya di dalam bekerja mendasarkan kerjanya atas sifat ideal ilmu, yaitu interrelasi yang sistematis dan terorganisasi antara fakta-fakta. Dengan demikian metodenya pun bersifat

16

ilmiah. Metode ilmiah bertolak dari kesangsian yang sistematis. Suatu kerja yang didasarkan pada metode ilmiah memiliki empat nilai dasar: universalitas, komunikasi, terorganisir. Dalam kerja penelitian, ilmu-ilmu humaniora, nilai-nilai dasar tersebut dapat dijabarkan dalam kriteria: (1) berdasarkan fakta, (2) bebas prasangka, (3) menggunakan prinsip analisis, (4) menggunakan hipoteisis apabila ada, dan (5) menggunakan ukuran objektif (jarak metodologis). Penelitian ilmiah ketanpapamrihan, dan skeptisisme yang sistematis dan

memerlukan landasan kerja yang ilmiah pula. Landasan kerja yang dimaksud oleh Chamamah (2001: 14) yang sejalan dengan pemahaman Muhajir (2002: 4) dirumuskan dalam tiga hal, yaitu: 1. landasan teori: landasan yang berupa hasil perenungan terdahulu yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari jawaban secara ilmiah; 2. landasan metodologis: landasan yang berupa tata aturan kerja dalam penelitian dan bertujuan untuk membuktikan jawaban yang dihasilkan; 3. landasan kecendikiaan: bekal kemampuan membaca, menganalisis, menginterpretasi, dan menyimpulkan; bertujuan mempertajam

penelitian guna meningkatkan kedekatan hasil penelitian. Dalam penelitian ilmiah, dituntut langkah-langkah berturut-turut, yaitu: (1) menetapkan persoalan pokok, (2) merumuskan dan mendefinisikan masalah, (3) mengadakan studi pustaka, (4) merumuskan hipotesis, (5) mengumpulkan data, (6) mengolah data, (7) menganalisis dan

17

menginterpretasi, (8) membuat generalisasi sesuai sifatnya, (9) menarik kesimpulan, (10) merumuskan dan melaporkan hasil penelitian, dan (11) mengemukakan implikasi-implikasi penelitian. Dalam kaitannya dengan keberadaan kondisi produk sastra yang menjadi sasaran kajian, perlu diperhatikan persoalan yang muncul serta jawaban-jawaban yang diperlukan. Karya-karya tercipta pada masa kini dari latar penciptaan sosial dan word view yang berbeda-beda melahirkan persoalan pembacaan dari peneliti yang berlainan latar pembacaannya. Demikian pula, produk yang tercipta dari proses transformasi karya asing menimbulkan pula latar pembacaan yang berbeda dengan latar penciptaannya; juga persoalan bentuk-bentuk resepsi dalam mentransformasi. Karya-karya yang tercipta dari latar waktu yang berlainan akan menimbulkan persoalan yang berhubungan dengan pergeseran makna. Dalam hal inilah pemilihan teori dan metode yang memadai menempati peran yang penting untuk menghasilkan penelitian yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Pelaksanaan kegiatan yang didasarkan pada metode di atas akan memberikan citra keilmiahan penelitian sastra sesuai dengan karakteristik kesastraannya.

18

2.3 Asas-asas Dasar Penelitian Wiersma dalam (Wuradji, (2001: 3-4) menjelaskan bahwa secara

umum asas-asas dasar penelitian meliputi: 1. sistematis 2. menghasilkan pengetahuan yang: a. valid : berhubungan dengan sebarapa jauh hasil penelitian dapat diinterpretasi (dimaknai) secara akurat dan seberapa jauh hasilnya dapat digeneralisasi dan diimplemetasikan pada populasi dan situasi yang lain b. validitas internal mengarah kepada ketepatan pemahaman hasil penelitian dan validitas eksternal mengarah kepada

penggeneralisasian hasil penelitian c. realibel internal menunjukkan seberapa jauh pengumpulan data, analisis data dan pemahaman yang dilakukan penelitian konsisten dalam pemaknaan; realibel eksternal menunjukkan seberapa jauh peneliti lain yang independen dapat mengulang penelitian dan menunjukkan hasil yang sama dalam setting yang serupa. d. Objektif mengarah kepada penelitian yang terbebas dari campur tangan atau unsur-unsur subjektif 3. didukung data empiris

19

2.4 Penggolongan Penelitian Merujuk kepada pendapat Hogben, Charters, dan Whitney, Nazir ( 1985: 29-31) menggolongkan penelitian berdasarkan tujuannya ke dalam dua bagian besar, yaitu : 1. penelitian dasar (basic Reasearch) bertujuan untuk mengembangkan ilmu pegetahuan. Jenis penelitian in tidak berorientasi pada hasil yang dapat dimanfaatkan dengan segera untuk memecahkan problem yang mendesak. 2. penelitian terapan (applied Reasearch) bertujuan untuk memecahkan problem mendesak dan hasilnya dapat dimanfaatkan dengan segera dalam kehidupan praktis. Salah satu tipe dari penelitian terapan adalah penelitian tindakan (action research). Penelitian ini dilakukan oleh guru atau manager atau administrator bertujuan untuk bahan pengambilan keputusan dalam ruang lingkup lokal. Penelitian ini tidak banyak menuntut untuk melakukan generalisasi.

Berdasarkan desain metodologinya,

(bandingkan Nazir, 1885; Ratna,

2004; dan Muhadjir, 2003) penelitian digolongkan menjadi: 1. penelitian experiment: mengandaikan situasi penelitian di mana peneliti setidaknya memanipulasi satu variabel penelitian untuk mengetahui apakah terdapat hasil yang berbeda dari pengaturan atau perubahan variabel independen tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk

20

membandingkan dan mencari hubungan sebab akibat. Karena itu penelitian ini juga dikenal dengan istilah penelitian kausal-komparatif. 2. penelitian ex-post facto: peneliti tidak berusaha mengendalikan atau mengatur/mengontrol/memanipulasi variabel independen karena

variabel penelitiannya sudah terjadi. Variabel independen tersebut biasanya muncul atau terjadi dalam setting alami. Dari variabel-variabel yang telah muncul secara alami tersebut, peneliti berusaha menemukan hubungan antar variabel. 3. penelitian survey: mengendalikan variabel penelitian yang dilakukan saat penelitian dilaksanakan. Ciri yang membedakan penelitian survey ini dengan penelitian lainnya adalah data pada penelitian survey merupakan current status (present conditions). 4. penelitian historis: merupakan kegiatan penelitian untuk memecahkan masalah di mana peneliti menggali data yang telah terjadi pada masa lampau. Tujuannya untuk mendeskripsikan fakta-fakta pada masa lampau. 5. penelitian ethnography: pada umumnya dihubungkan dengan

penelitian-penelitian pada antropologi. Untuk penelitian-penelitian kemasuyarakatan, ethnography merupakan pendekatan penelitian. Penelitian ini merupakan pendeskripsian secara analitik dan mendalam tentang situasi cultural yang spesifik. 6. content analysis; berusaha menganalisis dokumen untuk diketahui isi dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Macam-macam

21

dokumen yang dijadikan data penelitian di antaranya: karangan tertulis, gambar, grafik, lukisan, biografi, fotografi, laporan, buku teks, surat kabar, film, buku harian, dan majalah.

2.5 Metode Kualitatif Motode kualitatif memberikan perhatian kepada data alamiah yang berada dalam hubungan konteks keberadaanya. Landasan berpikir metode kualitatif adalah paradigma positivisme Max Weber, Immanuel kant, dan Wilhlem Dilthey (Ratna, 2004: 47-49). Objek sosial bukan gejala sosial

sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung di balik tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan inilah metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode

pemahaman atau verstehen. Penelitian kualitatif mempertahankan nilai-nilai. Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data penelitiannya adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya sedangkan data penelitiannya teks. Sejalan dengan uraian di atas, Ratna menguraikan ciri-ciri terpenting metode kualitatif . Ciri-ciri yang dimaksud adalah: 1. memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural; 2. lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah;

22

3. tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya; 4. desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka; 5. penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.

2.6 Metode Deskriptif Metode dskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sakarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat dekripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Menurut Whitney (dalam Nazir, 1985: 63-65) metode dekriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian dskriptif

mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam metode deskripsi peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti

23

mengadakan klasifikasi serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu sehingga banyak ahli menamakan metode deskriptif ini dengan nama survei normatif (normative survey). Dengan metode deskriptif ini juga diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor lain. Metode ini dinamakan juga studi status . Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standarstandar. Dalam metode ini dapat diteliti masalah-masalah normatif bersamasama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandinganperbandingan antarfenomena. Perspektif waktu yang dijangkau dalam penelitian ini adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan responden. Nazir (1985: 72-73) mengurutkan kriteria pokok metode deskriptif adalah: A. kriteria umum: 1. masalah yang dirumuskan harus patut, ada nilai ilmiah serta tidak terlalu luas 2. tujuan penelitian harus dinyatakan dengan tegas dan tidak terlalu umum 3. data yang digunakan harus fakta-fakta yang terpercaya dan bukan merupakan opini 4. standar yang digunakan untuk membuat perbandingan harus

mempunyai validitas

24

5. harus ada deskripsi yang terang tentang tempat serta waktu penelitian dilakukan 6. hasil penelitian harus berisi secara detil yang digunakan baik dalam mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data serta studi kepustakan yang dilakukan. Deduksi logis harus jelas hubungannya dengan kerangka teoretis yang digunakan, jika kerangka teoretis untuk itu telah dikembangkan.

B. kriteria khusus 1. prinsip-prinsip ataupun data yang digunakan dinyatakan dalam nilai (value) 2. fakta-fakta ataupun prinsip-prinsip yang digunakan adalah mengenai masalah status. 3. sifat penelitian adalah ex post facto, karena itu tidak ada kontrol terhadap variabel dan peneliti tidak mengadakan pengaturan atau manipulasi terhadap variabel; variabel dilihat sebagaimana adanya.

Adapun langkah-langkah umum dalam metode deskrptif adalah: 1. memilih dan merumuskan masalah yang menghendaki konsepsi ada kegunaan masalah tersebut serta dapat diselidiki dengan sumber yang ada 2. menentukan tujuan dari penelitian yang akan dikerjakan; tujuan ini harus konsisten dengan rumusan dan definisi dari masalah

25

3.

memberi limitasi dari area atau scope atau sejauh mana penelitian deskriptif tersebut akan dilaksanakan; seberapa jauh wilayah penelitian akan dijangkau

4. merumuskan kerangka teori atau kerangka konseptual 5. menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan 6. merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji, baik secara eksplisit maupun secara implisit 7. melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data; gunakan teknik pengumpulan data yang cocok untuk penelitian 8. membuat tabulasi serta analisis (statistik); dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan 9. memberikan interpretasi dari hasil dalam hubungannya dengan kondisi yang ingin diselidiki dan data yang diperoleh serta referensi khas terhadap masalah yang ingin dipecahkan 10. mengadakan generalisasi serta deduksi dari penemuan-penemuan serta hipotesis-hipotesis yang ingin diuji

Jenis-jenis penelitian deskriptif

(Nazir, 1985: 65-68) yang perlu dikenal

sehubungan dengan praktik analisis terhadap karya sastra adalah: 1. metode survei: penyelidikan untuk memperoleh fakta-fakta dari

gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual; dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap

26

hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah yang serupa 2. metode deskriptif berkesinambungan: kerja meneliti secara deskriptif yang dilakukan secara terus menerus atas suatu objek penelitian; penelitian dengan menggunakan metode ini bertujuan menjangkau informasi faktual yang mendetail 3. Studi kasus: penelitian tentang status subjek penelitian yang

berhubungan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas; subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umun 4. Studi komparatif: sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebab akibat dengan jalan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu. Dalam studi komparatif ini, sulit diketahui faktor-faktor penyebab yang dijadikan dasar pembanding sebab penelitian komparatif tidak mempunyai kontrol; metode yang digunakan di dalamnya adalah ex post facto, yaitu data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dikumpulkan telah selesai berlangsung;

27

Peneliti dapat melihat akibat dari suatu fenomena dan menguji hubungan sebab akibat dari data-data yang tersedia.

28

BAB III SASTRA DALAM PENELITIAN ILMIAH

3.1 Sastra sebagai Sistem Chamamah ( 2001: 9-14) yang merujuk beberapa pendapat dari Idema, Plark, Eliis, Eagelton, Lotman, Riffaterre, dan Teeuw, menguraikan

pemahaman sastra sebagai sistem. Ia mengawali pembicaraanya dari perspektif bahasa sebagai sistem semiotik primer. Selanjutnya sastra dihubungkan dengan konvensi budaya dan konvensi sastra. Secara cermat Teeuw masalah sistem sastra yangbersifat umum sekaligus khusus. Menurutnya, menjabarkan Istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan, keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra meupakan gejala yang universal. Akan tetapi suatu fenomena pula bahwa gejala yang universal itu tidak mendapat konsep yang universal pula. Kriteria kesastraaan yang ada dalam suatu masyarakat tidak selalu cocok dengan kriteria kesastraan yang ada pada masyarakat lain. Sastra mengandung sifat umum dan khusus. Pengertian umum dan khusus di sini dapat diperjelas dengan memahami terlebih dahulu konsep tentang sastra. Upaya mengungkap konsep tentang sastra pada umumnya dipandang tidak mudah. Hal ini disadari juga oleh para kitikus dan teoretis sastra.

29

Pertanyaan yang berhubungan dengan penjelasan tentang konsep sastra selalu muncul tetapi selalu pula berakhir dengan kesimpulan yang menunjukkan kegagalannya. Melalui sistem sastralah, upaya mengenali konsep sastra dapat dilakukan. Fenomena yang terlihat universal dan sekaligus individual itu memperlihatkan sifat-sifat yang dapat ditarik dari berbagai sisinya. Wujud ciptaan yang dipandang sebagai hasil kegiatan bersastra pertama-tama dilihat dari sisi bahannya, yaitu berupa bahasa. Pemakaian bahasa pada kegiatan bersastra berbeda dengan pemakaian bahasa pada kegiatan yang lainnya, seperti pada pemakaian sehari-hari (natural atau ordinary language).

Perbedaan ini memberi kesan akan adanya sifat yang spesial yang dalam banyak hal tidak mengikuti tata aturan bahasa sehingga sering disebut menyimpang atau yang sering menimbulkan interpretasi ganda. Dalam rangka fungsi inilah bahasa sastra mempunyai susunan yang kompleks. Sifat-sifat yang diangkat dari corak bahasanya mewujudkan sastra sebagai satu sistem. Apabila bahasa dalam kehidupan sehari-hari merupakan sistem pembentuk yang pertama maka sastra merupakan sistem yang kedua, secondary modelling system. Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi, di antaranya dari sisi bahan. Sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam macam cara tertentu oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang dipakai mengandung fungsi yang lebih umum.

30

Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra pada hakikatnya untuk menyampaikan informasi. Pemanipulasian bahasa pada hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang maksimal. Dengan demikian, visi dan fungsi sastra terwujud sebagai sarana komunikasi, yaitu komunikasi dengan penikmatnya atau pembacanya. Pekerjaan meneliti sastra pada hakikatnya merupakan proses pertemuan antara ciptaan sastra dengan penelitinya, yaitu pembacanya. Dalam hal ini, perlu pula diperhatikan situasi pembaca dan pembacaan pada waktu berhadapan dengan karya sastra. Pembaca yang dibekali sejumlah

pengetahuan, disadari atau tidak akan menjadi bekal dalam pembacaannya. Terjadilah pembacaan teks yang berstruktur yang menghasilkan dua kutub. Keduanya bergerak dalam irama yang dinamis. Dengan demikian, membaca bukanlah proses yang berjalan satu arah, dari pembaca saja, tetapi satu bentuk interaksi dinamis antara teks dan pembacanya. Sastra dipahami sebagai satu sistem yang terbaca pada ciptaan-ciptaan yang oleh masyarakatnya dikategorikan sebagai produk sastra.

3.2 Sastra sebagai Objek Penelitian Sebagai ilmu, ilmu sastra mempunyai karakteristik keilmiahan sendiri. Dalam hal ini penelitian harus memilih metode dan langkah-langkah kerja yang tepat dan sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Salah satu yang menarik dalam menggunakan metode penelitian sastra adalah perihal keharusan adanya distansi, kerja yang objektif, dan terhindar dari unsur prasangka dari

31

perspektif. Gejala dengan situasi kesastraan inilah yang sering menuntut perhatian tersendiri. Penerapan metode ilmiah seperti yang dikemukakan di atas perlu mempertimbangkan sifat sastra yang memperlihatkan gejala yang universal sekaligus khusus atau unik. Gejala universal pada sastra membuat sastra memiliki sifat-sifat yang umum. Karya sastra adalah wujud kreativitas manusia yang tergolong konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya menjadi kaidah. Namun, keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat, bahkan keunikan suatu ciptaan sastra, membuat sastra memiliki sifat-sifat yang khusus. Dalam hal ini, generalisasi sebagaimana yang dianjurkan oleh suatu metode penelitian (positivistik) tentu saja tidak dapat dilakukan. Langkah yang bisa dilakukan adalah transferabilitas. Karya sastra terbentuk untuk mengetahui segala sesuatu yang organik. Tugas pembaca untuk mengetahui segala kekaburan elemen-elemen yang berfungsi membentuk kesatuan itu. Pembaca bertugas menghubungkan berbagai strata yang berbeda-beda pada tempatnya yang betul. Karena karya sastra pada mulanya mengandung unsur yang kabur, pembacalah yang mewujudkannya menjadi tidak kabur. Dalam mengungkapkan dan menyibak kekaburan itulah, sejumlah peralatan diperlukan, di antranya hasil renungan orang terdahulu tentang masalah atau berbagai hal yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian, seperti berbagai teori dan pandangan-pandangan yang pernah ada.

32

3.3 Pemanfaatan Teori bagi Penelitian Sastra Pembicaraan paradigma menjadi penting dalam menempatkan teori pada sebuah penelitian (Ratna, 2004: 21). Paradigma berasal dari bahasa Latin: paradigma berarti contoh, model, pola. Secara luas paradigma didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun penelitian ilmiah. Bagi ilmuwan, paradigma dianggap sebagai konsep-konsep kunci dalam melaksanakan suatu penelitian tertentu. Paradigmalah yang menentukan jenis-jenis ekspermen yang harus dilakukan oleh para ilmuwan, jenis-jenis pertanyan yang harus diajukan, dan jenis-jenis permasalahan yang harus dipecahkan. Tanpa paradigma, ilmuwan tidak bisa mengumpulkan data. Terdapat tiga hal yang mempengaruhi perbedaan paradigma seorang ilmuwan, sebagai berikut: 1. unsur dalam diri sendiri 2. unsur luar berupa lingkungan fisik 3. unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.

Dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai objek penelitian, paradigma di sini dibicarakan dalam kaitannya dengan teori dan metode di satu pihak, dan di pihak lain berhubungan dengan sifat-sifat dasar karya sastra sebagai objek. Kaitan paradigma dengan teori dan metode tidak banyak menimbulkan masalah sebab komponen-komponen tersebut memiliki ciri-ciri

33

yang relatif sama, konsep-konsep dasar yang memungkinkan subjek untuk menganalisis objek penelitian. Permasalahan yang agak kompleks akan timbul apabila paradigma dikaitkan dengan objek karya sastra. Di satu pihak, sebagai cara pandang, paradigma secara keseluruhan didasarkan atas asumsi-asumsi ilmiah yang memungkinkan subjek untuk menghadapi masalah secara objektif. Di pihak lain, sebagai hakikat kreatif karya sastra didominasi oleh subjektivitas, imajinasi, bahkan khayalan. Sebagai bentuk kegiatan ilmiah, penelitian sastra memerlukan landasan kerja yang berupa teori. Teori sebagai hasil perenungan yang mendalam, tersistem, dan terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan penelitian. Teori memperlihatkan hubunganhubungan antarfakta yang tampaknya berbeda dan terpisah ke dalam satu persoalan dan menginformasikan proses pertalian yang terjadi di dalam kesatuan tersebut. Selanjutnya, hasil penelitian dalam arah balik akan memberikan sumbangannya bagi teori. Jadi, antara teori dan penelitian pun terdapat hubungan saling mengembangkan. Sesuai dengan beraneka ragam ilmu, maka teori pun juga beraneka ragam. Dalam penelitian sastra, pemilihan macam teori diarahkan oleh masalah yang akan dijawab oleh penelitian dan oleh tujuan yang akan dicapai oleh penelitian. Contohnya, penelitian yang memasalahkan construct suatu wacana akan memanfaatkan teori struktural, dan sebagainya.

34

Ritzer (dalam Ratna: 2004:26) mengemukakan empat faktor yang berkaitan dengan metode kualitatif secara filosofis. Keempat faktor tersebut adalah: 1. faktor ontologis, keberadaan objek yang sendirinya berada di antara masing-masing ilmu; dalam ilmu humaniora, khususnya sastra, objek dikonstruksikan oleh individu sebagai peneliti 2. faktor epistemologis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan; secara kualitatif, jarak antara subjek dengan objek dipersempit bahkan seolah-olah tidak ada jarak 3. faktor aksiologis, penelitian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bebas nilai 4. faktor metodologis, keseluruhan proses penelitian, termasuk metode, teori, dan teknik. Paradigma ilmu sastra dengan demikian mencoba menjelaskan konsepkonsep yang mendasari pandangan dunia ilmuwan sastra, baik dalam kaitannya dengan individu maupun kelompok; baik dalam kaitannya dengan kaidahkaidah sastra secara keseluruhan maupun sastra sebagai genre, termasuk model-model pendekatan dalam kaitannya dengan kecenderungan

multidisiplin. Paradigma dengan demikian mendahului, mengkondisikan ilmuwan sastra, ke arah mana penelitian sastra diarahkan, jawaban-jawaban apa yang akan diberikan. Pada gilirannya, baik secara eksplisit maupun implisit paradigma mengkondisikan teori, metode, teknik dan proses selanjutnya. Perbedaan dan perkembangan paradigma melahirkan angkatan, periode,

35

generasi, aliran, dan berbagai paham yang lain. Dengan kalimat lain, teori dan metode tidak berarti apa-apa apabila dibandingkan dengan peranan paradigma. Relevansi pengalaman paradigmatis terhadap hakikat karya secara keseluruhan jelas berkaitan dengan hakikat karya, gejala kultural sebagai kualitas imajinasi dan kreativitas. Para ilmuwan sastra sejak semula telah memahami bahwa karya sastra bukan kenyataan sesungguhnya. Keseluruhan unsur, termasuk tokoh-tokoh, latar tempat dan waktu, bahkan juga nama dan tahun yang sama dengan sejarah umum adalah unsur yang diciptakan. Karya sastra tidak menyediakan referensi apa pun yang dapat dijadikan pedoman untuk menjelaskan fakta sejarah, kecuali referensi estetisnya. Unsur-unsur karya sastra hanya berfungsi dalam totalitas karya, bukan totalitas alam semesta yang melatarbelakanginya. Novel sejarah, novel psikologis, demikian juga novel ilmu pengetahuan tidak dimaksudkan untuk melegitimasikan aspekaspek sejarah, psikologis, demikian juga novel ilmu pengetahuan tidak dimaksudkan untuk melegitimasikan aspek-aspek sejarah, psikologis dan ilmu pengetahuan, melainkan semata-mata sebagai alternatif terhadap bidang ilmu yang ditunjuknya dengan pertimbangan bahwa ada dunia lain yang seolah-olah sama dengan dunia yang ditunjuknya. Pengalaman paradigmatis terhadap genre-genre sastra sama dengan hakikat tersebut. Perbedaannya, subjek dalam hubungan ini telah memiliki referensi yang digunakan sebagai dasar untuk memahami dan mengembangkan hakikat imajinasi. Puisi, novel, dan drama, puisi, drama bersajak, dll memperoleh pengertian melalui pengalaman paradigmatis tersebut.

36

Penjelajahan terhadap konsep-konsep paradigma sama pentingnya dengan teori, tetapi dalam penelitian konsep paradigma tidak muncul secara eksplisit. Demikian juga konsep-konsep yang berkaitan dengan metodologi yang tidak pernah dipertimbangkan sebagai butir-butir penelitian. Paradigma dan metodologi dianggap sebagai komponen-komponen yang secara inklusif mempengaruhi dan mengarahkan peneliti pada suatu kesadaran tertentu, sehingga berbeda dengan peneliti lain dengan paradigma dan metodologi yang berbeda. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa paradigma dan metodologi merupakan jiwa dan semangat penelitian yang kemudian diarahkan oleh teori dengan mempertimbangkan cara yang sudah disepakati, yaitu metode dan teknik.

3.4 Pendekatan Sastra 3.4.1. Pengertian Pendekatan Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode (Ratna, 2004: 5355). Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis, pendekatan berasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Dengan dasar pertimbangan bahwa sebuah penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dan metodis, maka perlu dibedakan antara metode dengan pendekatan.

37

Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan dimungkinkan untuk mengoperasikan sejumlah teori dan metode. Dalam hubungan inilah, pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti pendekatan sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan ekstrinsik, pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, pragmatik,dan sebagainya. Definisi tersebut bersifat relatif sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan yang hendak dicapai sehingga sebuah pendekatan pada tahap tertentu bisa menjadi metode. Pendekatan adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri. Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan penelitian. dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, Pada

pendekatan

mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan penentuan masalah, teori, metode, dan tekniknya.

3.4.2 Jenis-jenis Pendekatan Sastra Empat komponen utama pendekatan sastra yang dikemukakan Abrams menjadi bagian penting dalam teori strukturalisme. Empat pendekatan yang dimaksud adalah (1) pendekatan ekspresif, (2) pendekatan mimesis, (3) pendekatan pragmatik, dan (4) pendekatan objektif.

38

3.4.2.1 Pendekatan Ekspresif Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diri pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan ini dapat dimanfaatkan untuk menggali ciiri-ciri individualisme, nasionalisme, komunisme, feminisme, dan sebagainya dalam karya baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi. Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan

pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang

dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur genetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari faktafakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang secara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut. Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsipersepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan dunia pengarang. Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan melalui pendekatan ini adalah: (1) memerikan sejumalah pikiran, persepsi, dan

39

perasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam karyanya, (2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang ditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori faktual teks berupa watak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data yang

diperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkut watak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (data sekunder berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh, sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun sosial dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasil ciptaannya dengan data biografisnya.

3.4.2.2 Pendekatan Mimesis Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams, 1958:8). Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya Luxemberg, 1989:15). Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan. Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.

40

Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000, 91-94) mengungkapkan konsep yang dipakai kaum Maxist. Menurut konsep ini konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist menyatakan bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan realitas sosial. Lebih jauh Segers mempertimbangkan fiksionalisasi dalam telaah teks sastra yang berhubungan dengan pendekatan mimesis. Menurutnya, norma

fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda linguistik yang berfungsi dalam teks sastra tidak merujuk secara langsung pada dunia kita, tetapi pada dunia fiksional teks karya sastra. Adapun John Baxter (dalam Makaryk,1993: 591-593) menguraikan bahwa mimesis adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni karya yang baik dengan alam semesta moral yang nyata atau masuk akal. Mimesis sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis, mimesis menandakan suatu seni penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu copy, suatu produk akhir; mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan aktif dengan suatu kenyataan hidup. Menurut Baxter, metode terbaik mimesis adalah dengan jalan memperkuat dan memperdalam pemahaman moral, menyelidiki dan

menafsirkan semesta yang diterima secara riil. Proses tidak berhenti hanya dengan apa pembaca atau penulis mencoba untuk mengetahuinya. Mungkin rentang batas yang riil dengan yang dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun hanya sesaat dalam kondisi riil, atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang

41

tidak bisa dijangkau jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang digambarkan berbeda karena tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh. Oleh karena itu, kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan yang ideal. Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut sebagai 'imajinasi yang utama, ' yang oleh Whalley disebut sebagai hasil dari kesadaran tertinggi. Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan

metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai: (1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2)

representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal, dan (4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan. Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan mendeskripsikan data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual, (2)

menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk dirujukkan ke dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya

menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis, dsb., (3) membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang terkandung dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang direpresentasikan dalam karya sastra.

42

3.4.2.3 Pendekatan Pragmatik Pendekatan pragmatis menurut Abram (1958: 14-21) memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai

kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik, mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi.

Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra. Estetika resepsi yang termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions und wirkungsasthetik tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang

menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam

43

kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya. Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi Jauss, yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) nilai estetik, (4) semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif sinkronik dan diakronik, dan (7) sejarah umum. Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan

44

informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapanharapan atas karya yang dibacanya. Horison harapan atas sebuah karya membuka peluang untuk menentukan karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya pada syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horison

harapan yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan potensi-potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan

horison sampai pada penghilangan pengalaman yang umum dikenal atau sampai pada peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan. Kondisi yang mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif menurut sejarah sejalan dengan spektrum reaksi pembaca dan pertimbangan kritiknya. Perihal semangat zaman, rekonstruksi horison harapan pada permukaan suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan pembaca mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan diarahkan kepada bagaimana pembaca jaman sekarang bisa memandang dan memahami karya tersebut. Pendekatan ini mengoreksi norma-norma klasikal yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan menghindari kesulitan yang menyelimutinya. Teori estetik resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut

45

bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru. Keberhasilan linguistik melalui perbedaan dan hubungan metodologis yang menyeluruh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan satusatunya perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra. Pembenahan tersebut membuka perubahan dalam perilaku estetik. Perspektif sejarah sastra selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga diperoleh sistem hubungan yang umum dalam karya sastra pada waktu tertentu. Tugas sejarah sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat seperti ' sejarah khusus' dalam hubungan uniknya terhadap 'sejarah umum'. Hubungan ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan, satirik, atau

gambaran berupa kayalan tentang keberadaan sosial, tetapi hubungannya dapat ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi sosial sastra

46

memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya jika pengalaman kesastraan pembaca masuk ke dalam horison harapannya dari kehidupan praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman atas dunianya. Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku sosialnya. Konsep yang dikemukakan Iser (1987: ix-xii; 54) adalah terdapat hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser menyebutnya sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melakukan

penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori ini melihat bahwa karya sastra sebagai suatu yang diformukasikan kembali dari sesuatu yang telah diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini melahirkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Konsekuansinya, teori respon estetik dihadapkan pada permasalahan bagaimana suatu situasi yang tidak diformukasikan dapat

diproses dan dipahami. Asumsi dasar dari teori ini adalah teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca. Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1987: 20 dan 54), interaksinya dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan

literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint yang membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah familiar dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih dahulu. Strategi digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk mengkomunikasikan teks dengan

47

pembacanya tanpa mendeterminasikannya. Melalui strategi ini disajikan primary code kepada pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri sehingga lahir makna yang bervariasi. Masing-masing toeri di atas (Jauss dan Iser) mengarahkan praktik metodisnya. Pandangan Jauss dengan tujuh tesisnya memetakan analisis pada aspek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebut merupakan pemodelan yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun pandangan Iser yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses pembacaan. Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari pengalaman pembaca yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang perlu diikuti

sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan jalan langkah (1) menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang mencirikan adanya perbedaan dengan teks lainnya dan (2) memerikan dan meneliti unsur-unsur dasar penyebab tanggapan terhadap karya sastra.

3.4.2.4 Pendekatan Objektif Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29) memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspekhistoris, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi.

48

Pemahaman

dipusatkan

pada

analisis

terhadap

unsur-unsur

dengan

mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak lain. Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat (koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang terlibat dalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya. Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada jenis sastranya. Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis yang digunakan terhadap saja misalnya penelusuran lapis norma, mulai dari lapir bunyi sampai ke lapis metafisik. Teknik analisisnya pun bisa diarahkan pada pembacaan heuristik sampai ke tingkat pembacaan hermeneutik. Adapun terhadap prosa, sesuai dengan sifat fiksi yang merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada struktur ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki melalui unsur-unsur pembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar), dan sarana cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dll.).

49

Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan menjadi satu oleh sarana sastra. Di dalam analisisnya, unsur-unsur tersebut ditelusuri dan dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsur. Tema berjalin erat dengan fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana sastra.

50

BAB IV STRUKTURALISME

4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan Strukturalisme adalah sebuah paham atau kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai struktur (Pieget, 1995: 4-12; Hawkes, 1978: 17-18; dan Faruk: 1994: 17-18; Faruk, 1999: 1-9; dan Teeuw, 1984: 120139). Sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia membentuk suatu

kesatuan yang utuh, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian semata. Hubungan antarbagian di dalam struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Artinya, apabila suatu bagian dihilangkan, keutuhan sesuatu itu tidak sekedar berkurang, melainkan rusak sama sekali. Selain itu, strukturalisme juga percaya bahwa suatu struktur mempunyai daya transformasi dan regulasi diri. Semua dikatakan berstruktur apabila ia dapat melakukan perubahan, tanpa harus kehilangan keutuhan dirinya, fungsi utama yang menjadi tujuan atau pusat strukturasinya. Sesuatu dikatakan berstruktur apabila ia mempunyai kemampuan untuk mengatakan kemungkinan gangguan dan pengaruh dari luar dengan caranya sendiri. Keseluruhan pengertian tersebut menunjukkan bahwa bagi

strukturalisme segala sesuatu di dalam dunia membangun dunianya sendiri, mekanisme sendiri, untuk menjalankan fungsi-fungsinya sendiri, terlepas dari 51

berbagai kemungkinan pengaruh dari luar. Sesuatu dipahami sebagai kekuatan yang mampu membangun, mengembangkan, dan mempertahankan dirinya sendiri dengan caranya sendiri pula. Dengan kata lain, strukturalisme cenderung memahami segala sesuatu sebagai sebuah sistem tertutup, otonom. Karena itu, strukturalisme dalam ilmu sastra akan memperlakukan karya sastra atau kesastraan sebagai sesuatu yang mandiri pula, sesuatu yang berstruktur, sesuatu yang utuh, transformatif, dan self-regulatif. Aliran Kritik Baru di Amerika, Formalisme di Rusia, percaya bahwa teks sastra dapat dipahami dan dijelaskan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di dalam teks itu sendiri. Strukturalisme percaya bahwa sastra dapat dipahami dan dijelaskan atas dasar sistm sastra sendiri yang membentuk semacam kaidah-kaidah bagi penciptaan karya sastra. Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka

menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri. Unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam integritasnya terhadap totalitasnya. Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala baru, mekanisme yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti. Mekanisme

antarhubungan tersebut dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya

52

sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui ergon yang terisolasi melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan realita sosial. Karya tidak dapat diisolasi. Karya harus dikondisikan sebagai fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya. Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus menerus memperhatikan setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain. Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja memiliki arti yang sesungguhnya.

Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti hanya meneliti salah satu unsur tertentu yang pada gilirannya berarti memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya, tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsur-unsur yang lain. Dengan kata lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya. Sejalan dengan uraian di atas, prinsip antarhubungan secara esensial dipertahankan pada setiap teori dibawah naungan strukturalisme. Namun demikian, perubahan menuju pada perkembangan teoretik telah terjadi yang sekaligus mengarahkan pembahasan metodologis secara berbeda pula.

53

4.2 Teori Formalisme Tujuan pokok formalisme (bandingkan Teeuw, 1985: 128-13; Ratna: 2004: 80-87) adalah studi ilmiah tentang sastra dengan cara meneliti unsurunsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan metode formal. Metode formal menjalankan fungsinya dengan cara merekonstruksi teks melalui pemaksimalan konsep fungsi. Dengan jalan demikian, teks menjadi suatu kesatuan yang terorganisasikan. Prinsip dan sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke konsep struktur. Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, yaitu: 1. formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas; reaksi terhadap studi biografis 2. kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis 3. penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi. Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra dengan cara mengeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaknya. Meskipun demikian, penemuannya mengarahkan pada paradigma baru bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara terisolir

54

semata-mata melalui akumulasi perangkat-perangkat intrinsiknya, tetapi juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya. Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya

sebagaimana digemari oleh kelompok formalisme awal ke arah pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme.

4.3 Teori Strukturalisme Dinamik Scholes (dalam Ratna, 2004: 89) menjelaskan keberadaan

strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu (1) sebagai pergeseran paradigma berpikir, (2) sebagai metode, dan (3) sebagai teori. Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan formalisme. Strukturalisme dinamika (lihat Teeuw, 1985: 185-192; Muhadjir, 2002: 304); Pradopo 2002: 46; dan Ratna, 2003: 88-96;) mencermati bahwa

strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik yang Strukturalisme

dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky

dan Felik Vodicka.

Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.

55

Perbedaan unsur-unsur karya sastra untuk jenis yang berbeda-beda terjadi akibat proses resepsi pembaca. Setiap penilaian akan memberikan hasil yang berbeda. Unsur-unsur yang terdapat pada ketiga jenis sastra (prosa, puisi, dan drama) akan membutuhkan pemusatan analisis yang berbeda pula. Unsurunsur prosa, misalnya mengarah pada tema, peristiwa atau kejadian, latar atau setting, penokohan, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi, di antaranya tema, stilistika, imajinasi, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur (teks) drama di antaranya tema, dialog, peristiwa, latar, penokohan, alur, dan gaya bahasa. Atas dasar hakikat otonom karya sastra, maka tidak ada aturan yang baku terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsur-unsur yang dibicarakan tergantung dari dominasi unsur-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis di lain pihak. Dalam analisis akan selalu terjadi tarik menarik antara struktur global, yaitu totalitas karya itu sendiri dengan unsur-unsur yang diadopsi ke dalam wilayah penelitian. Kondisi tersebut menunjukkan dinamika karya sastra sebagai totalitas sebab proses adopsi mengandaikan terjadinya ciri-ciri transformasi dan regulasi diri sehingga terjadi keseimbangan antara struktur global dengan unsur-unsur yang dianalisis. Karya sastra tidak mungkin dan tidak perlu dianalisis secara menyeluruh sebab struktur global bersifat tidak terbatas. Akan tetapi analisis tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial kultural yang menghasilkannya. Prosa, puisi, dan drama dan sastra jenis klasiknya tidak semata-mata dianalisis

56

sebagai teks tetapi juga dimungkinkan dalam kaitannya dengan pementasan langsung sebagai performing art. Dalam hubungan ini, analisis struktur akan melibatkan paling sedikit tiga komponen utama, yaitu pencerita, karya sastra, dan pendengar. Metodologi penelitian pun menjadi bertambah kompleks, tidak bertambah dalam penelitian pustaka, melainkan harus dilengkapi dengan penelitian lapangan yang dengan sendirinya juga melibatkan instrumen penelitian lapangan. Dengan demikian strukturalisme dinamik adalah pendekatan atas karya sastra dengan menerapkan kerja strukturalisme atas dasar konsep semiotik. Analisis struktural murni mengasingkan karya sastra dari kerangka

kesejarahan dan relevansi eksistensialnya. Strukturalisme dinamik yang dikembangkan Ian Mukarovsky dan Felix Vodicka mencoba memahami karya sastra berdasarkan kesadaran bahwa karya sastra sebagagi struktur pada hakikatnya memiliki ciri khas yaitu sebagai tanda (sign). Tanda baru mendapat makna sepenuhnya bila sudah melalui tanggapan pembaca. Dengan demikian ada pengaruh timbal balik antara tanda dan pembacanya. Pembaca dalam memberi makna terikat pada konvensi tanda, tidak semau-maunya. Jadi, dengan kerangka semiotik itu dapat diproduksi makna dalam karya sastra yang merupakan struktur sistem tanda-tanda itu.

57

4.4 Semiotik Secara padat Dolezel, Stout (dalam Makaryk, 1993: 183-189), dan ratna (2004: 96-120) menjelaskan pendekatan semiotik dimulai dari

pengertian, latar belakang sejarah pertumbuhannya, aliran semiotik, dan hubungan semitoik dengan pendekatan lainnya. Menurutnya, strukturalisme berhubungan erat atau bahkan tidak terpisahkan dengan semiotik sebagai sarana untuk memahami karya sastra, untuk menangkap makna unsur-unsur struktur karya sastra dalam jalinan dengan keseluruhan karya yang harus memperhatikan sistem tanpa yang dipergunakan dalam karya sastra. Karya sastra itu merupakan struktur sistem tanda-tanda yang bermakna. Dalam lapangan semiotik, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu (1) penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan (2) pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti tanda. Ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah, yaitu persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan petanda. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan almiah antara keduanya, hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol ditentukan oleh konvensi masyarakat. Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan tingkat kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti bahasa dalam

58

sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance) yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam kaya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping konvensi bahasa sendiri. Oleh karena itu yang dimaksud makna (bahasa) sastra itu bukan semata-mata arti bahasanya. Jadi, yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra. Menurut Pradopo (2002: 272) studi sastra bersifat semiotik itu adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antarunsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra, maka menganalisis karya sastra itu adalah memburu tanda-tanda. Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna, yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik dikenal metode hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah

59

karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara struktural murni. Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya. Menurut pandangan intertektualitas, sebuah karya sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas ituperlu diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang memungkinkan diproduksinya makna karya sastra. Sejalan dengan paham triadik peircean, diketahui bahwa konsep-konsep triadik tersebut bersifat dinamisme internal. Dilihat dari segi cara kerjanya, terdapat (1) sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain, (2) semantik semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dan acuannya, dan (3) pragmatik semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan natara pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut:

60

1. representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum: a. b. qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau, sinsigns, tokens, terbentuk melalui realisasi fisik: rambu lalu lintas, c. legisigns, type, berupa hukum: suara wasir dalam pelanggaran,

2. object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu: a. b. ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa: foto indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat: asap dan api, c. simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan: bendera

3. interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima: a. b. rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif, c. argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.

Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut Aart van Zoet (Ratna, 2004: 102) di antara ikon,

61

indeks, dan simbol, yang terpenting adalah ikon. Alasannya, di satu pihak segala sesuatu merupakan ikon karena segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain; di lain pihak, sebagai tanda agar dapat mengacu pada sesuatu yang lain di luar dirinya agar ada hubungan yang representatif, maka syarat yang diperlukan adalah adanya kemiripan. Ikonisitas selalu melibatkan indeksikalitas dan simbolisasi. Teks sastra kaya dengan ikon. Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotik. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya melalui dua tahapan sebagai mana ditawarkan oleh Wellek dan Warren (1993) yaitu (a) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur, dan (b) analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur). Cara yang lain seperti yang dikemukakan Abrams (1958: 6-29) dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu (a) pengarang (ekspresif), (b) semestaan (mimetik), (c) pembaca (pragmatik), dan (d) objektif (otonom).

4.5. Strukturalisme Genetik Struktur genetik (lihat Leenhardt dalam Makaryk, 1993: 340-341; Kellner dalam makaryk, 1993: 95-99; dan Faruk, 1994: 1-21) merupakan gabungan antara strukturalisme dengan Marxisme. Sebagai strukturalisme, strukturalisme genetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra, sebagai struktur. Karena itu, usaha strukturalisme genetik untuk memahami karya sastra secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan struktur karya itu.

62

Marxisme tidak pernah percaya bahwa teks maupun sistem sastra merupakan sesuatu yang otonom. Bagi paham ini sastra merupakan suatu sistem ideologi yang tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuatankekuatan sosial di dalam masyarakat dalam memperebutkan penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi yang terdapat di dalam lingkungan sekitar mereka. Kepercayaan yang demikian didasarkan pada anggapan bahwa dorongan-dorongan kebutuhan material manusia mendahului dan menentukan kesadaran manusia. Perkembangan sejarah manusia digerakkan oleh

pertarungan manusia dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan materialnya. Oleh karena itu, marxisme disebut juga sebagai materialisme historis. Menurut Marxis, untuk memenuhi kebutuhan materialnya manusia harus bekerja, yaitu melakukan transformasi atas alam. Untuk melakukan transformasi atas alam, manusia membutuhkan alat-alat produksi dan bekerja sama dengan manusia lain. Dalam proses produksi yang demikian terbangunlah pengelompokan sosial, pembagian kerja yang didasarkan pada tingkat penguasaan seseorang atau sekelompok orang atas alat-alat dan sumber-sumber produksi. Pengelompokan sosial atas dasar seperti itulah yang disebut sebagai kelas sosial. Hubungan antarkelas sosial di dalam lingkungan produksi tersebut adalah hubungan dominasi. Suatu kelompok menguasai kelompok yang lain untuk kepentingan pemuasan kebutuhan materialnya. Marxisme beranggapan bahwa manusia pada dasarnya serakah, mempunyai kebutuhan tidak terbatas. Karena sumber-sumber bagi pemenuhan kebutuhan itu terbatas, terjadi persaingan dalam usaha pemenuhan kebutuhan

63

itu. Persaingan itu menjadikan hubungan antarkelompok sosial yang telah dikemukakan menjadi antagonistik. Di satu pihak, suatu kelompok berusaha menguasai alat-alat dan sumber-sumber produksi yang ada, di lain pihak kelompok yang lain berusaha merebut alat-alat dan sumber-sumber produksi itu dari kelompok lain yang menguasainya. Dalam konteks pertalian yang demikian menjadi penting bagi kelompok yang sedang melakukan reproduksi atas hubungan sosial yang berlaku, yang menempatkan dirinya dalam posisi kekuasaan dan kelompok lain dalam posisi sub-ordinat. Reproduksi sosial itu dilakukan tidak hanya dalam lingkungan produksi, melainkan dalam berbagai situs sosial yang lainnya, dalam berbagai institusi sosial, seperti lingkungan kehidupan keluarga, pendidikan, hukum, politik, agama, dan kesenian. Berbagai lingkungan atau institusi sosial yang menjadi situs reproduksi sosial yang ada di luar lingkungan produksi itu disebut super-struktur atau struktur permukaan, sedangkan hubungan sosial yang berlangsung dalam lingkungan produksi disebut disebut infra-struktur atau struktur dasar. Struktur dasar bersifat material, sedangkan struktur permukaan bersifat ideologis. Namun bagi paham tersebut, segala aktivitas dan hasil aktivitas manusia tidak hanya mempunyai struktur, melainkan juga mempunyai arti. Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berhenti pada perolehan pengetahuan mengenai strukturnya, melainkan harus dilanjutkan hingga mencapai pengetahuan mengenai artinya. Usaha pemahaman terhadap arti dari struktur itu berarti usaha menemukan alasan, faktor-faktor yang

64

menjadi penyebab dari struktur yang besangkutan. Pertanyaan seperti kenapa suatu karya mempunyai struktur yang begini, tidak begitu, tidak lagi dapat dijawab hanya dengan mendasarkan diri pada karya sastra itu sendiri, melainkan harus dengan menemukan informasi-informasi yang berada di luar karya sastra itu. Untuk memahami hal demikianlah strukturalisme genetik menggunakan marxisme yang diperkaya dan diperdalam oleh teori psikologi struktural dari Piaget.

4.5.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupakan fakta kemanusiaan bukan fakta alamiah. Bila fakta alamiah cukup dipahami hanya sampai pada batas strukturnya, fakta kemanusiaan harus sampai pada batas artinya. Sebuah karya sastra tidak diciptakan begitu saja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia yang menciptakannya. Kebutuhan yang mendorong diciptakannya karya sastra itu, seperti halnya segala ciptaan manusia yang lain, adalah untuk membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan manusiawinya. Secara psikologis, ada dua proses dasar yang terarah pada pembangunan keseimbangan tersebut, yaitu proses asimilisi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyesuaian lingkungan eksternal ke dalam skema pikiran manusia, sedangkan akomodasi adalah penyesuaian skema pikiran manusia dengan lingkungan sekitarnya. Menurut strukturalisme genetik, manusia akan

65

selalu cenderung menyesuaikan lingkungan sekitar dengan skema pikirannya. Akan tetapi, apabila lingkungan itu menolak atau tidak dapat disesuaikan dengan skema pikiran itu, manusia menempuh jalan yang sebaliknya, yaitu menyesuaikan skema pikirannya dengan lingkungan sekitarnya tersebut. Kedua proses tersebut menegaskan bahwa manusia memang selalu berusaha membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya.

4.5.2 Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif Semua manusia berusaha membangun kseimbangan dengan lingkungan sekitarnya dengan melakukan berbagai tindakan. Namun, strukturalisme genetik membedakan tindakan individual dengan tindakan kolektif. Tindakan individual dimaksudkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan individual yang cenderung libidinal, sedangkan tindakan kolektif diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kolektif yang bersifat sosial. Subjek tindakan libidinal adalah individu, sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial. Lebih jauh, strukturalisme genetik cenderung membedakan tindakan kolektif yang besar dengan tindakan kolektif yang mungkin tidak setara dengan tindakan pertama itu. Tindakan kolektif yang besar tidak hanya terarah untuk memenuhi kebutuhan kolektif tertentu, melainkan dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam sejarah sosial secara keseluruhan. Bahkan, tindakan kolektif yang besar itu dapat pula berpengaruh luas, melampaui batas sosial yang darinya tindakan tersebut berasal. Menurut strukturalisme genetik, subjek dan tindakan kolektif yang besar tersebut adalah kelas sosial dalam

66

pengertian marxis yang sudah dikemukakan, bukan kelompok sosial lain dalam pengertian yang lain. Atas dasar perbedaan tipe-tipe tindakan di atas, strukturalisme genetik membedakan karya-karya kultural yang besar dari yang minor. Karya-karya kultural yang besar, yang di dalamnya termasuk karya-karya filsafat dan karyakarya sastra yang besar, merupakan hasil tindakan tidak hanya subjek kolektif, melainkan kelas sosial. Karena itu, karya-karya itu ikut pula berperan dalam perubahan sejarah sosial bahkan dapat melampaui batas sejarah sosialnya sendiri. Karya yang demikian oleh strukturalisme genetik disifatkan sebagai sebuah karya yang sekaligus bersifat filosofis dan sosiologis.

4.5.3 Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia Sebagai produk dari tindakan kolektif yang berupa kelas sosial di atas, karya sastra mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan kelas sosial yang bersangkutan, kebutuhan-kebutuhan yang terbangun dari hubungan antara klas sosial dengan lingkungan sekitarnya, kebutuhan-kebutuhan yang sekaligus menyangkut usaha-usaha kelas sosial itu untuk membangun hubungan yang seimbang antara dirinya dengan lingkungan yang terkait. Sebagai sekelompok manusia yang mempunyai latar belakang yang sama, anggota-anggota dari suatu kelas sosial mempunyai pengalaman dan cara pemahaman yang sama mengenai lingkungan sekitarnya dan sekaligus caracara pembangunan keseimbangan dalam hubungan dengan lingkungan itu. Cara pemahaman dan pengalaman yang sama itu pada gilirannya menjadi

67

pengikat yang mempersatukan para anggota itu menjadi suatu kelas yang sama dan sekaligus membedakan mereka dari kelas sosial yang lain. Cara pemahaman dan pengalaman yang demikian, oleh struktural genetik disebut sebagai pandangan dunia. Pandangan dunia merupakan kecenderungan mental kolektif yang implisit yang tidak semua individu anggota kelas sosial pemiliknya dapat menyadarinya. Hal itu terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat yang kompleks setiap individu terjaring ke dalam berbagai bentuk pengelompokan sosial, seperti kelompok profesi, kelompok etnis, ras, pendidikan, dan sebagainya. Berbagai pengelompokan itu dapat mengaburkan pemahaman individu mengenai kelompok sosial dirinya yang sebenarnya. Hanya individu yang istimewa yang mampu menerobos batas-batas aneka pengelompokan sosial tersebut dan masuk ke dalam kesadaran kelas sosialnya sendiri. Para pemikir dan sastrawan yang besar termasuk individu yang demikian. Karena itu, karya-karya mereka menjadi karya-karya besar, karyakarya yang berhasil menangkap dan mengekspresikan pandangan dunia kelas sosialnya sehinga sekaligus dapat berfungsi menjadi alat yang membangkitkan kesadaran kelas pada para individu yang menjadi anggota kelas sosialnya itu. Dalam pengertian strukturalisme genetik, pandangan dunia merupakan skema ideologi yang menentukan struktur atau menstrukturasikan bangunan dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang mengekspresikannya. Karena itu, pandangan dunia itu menjadi konsep kunci yang tidak hanya diperlukan untuk menjadi model struktur bagi pemahaman

68

terhadap struktur karya sastra atau karya filsafat yang diteliti, melainkan juga menjadi mediator yang mempertalikan karya sastra sebagai superstruktur dengan struktur sosial ekonomi yang menjadi struktur dasarnya. Dalam pandangan strukturalisme genetik, hubungan antara karya sastra dengan struktur dasarnya tidaklah langsung, bersifat mimetik, melainkan secara tidak langsung melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis. Karya sastra tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai perjuangan kelas, melainkan mengekspresikan suatu pandangan dunia yang strukturnya homolog dengan struktur sosial ekonomi yangmenjadi dasarnya.

4.5.4 Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial Seperti sudah dikemukakan, strukturalisme genetik merupakan

gabungan antara strukturalisme dengan marxisme. Dengan demikian, seperti strukturalisme, strukturalisme genetik mengakui eksistensi karya sastra sebagai suatu struktur sehingga perlu dipahami secara struktural. Namun, ada banyak konsep mengenai struktur karya sastra seperti berasal dari Propp, Greimas, Todorov, dan sebagainya. Kebanyakan konsep mengenai struktur karya sastra itu mengikuti konsep linguistik mengenai struktur formal bahasa. Hanya beberapa di antaranya, terutama Barthes dan Greimas yang mencoba membangun pula struktur semantiknya dengan mendasarkan diri pada konsep-konsep struktur semantik bahasa. Konsep strukturalisme genetik mengenai struktur karya sastra cenderung bersifat

69

semantik pula, dekat dengan konsep struktur semantik Barthes ataupun Greimas meskipun tidak persis sama. Yang tampak amat dekat dengan konsep struktur karya sastra dari strukturalisme genetik adalah strukturalisme LeviStrauss. Dengan

menggunakan fonologi sebagai dasarnya, konsep strukturalisme LeviStrauss ini berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi berpasangan. LeviStrauss melihat bangunan dunia sosial dan kultural manusia sebagai sesuatu yang distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara pasangan yang beroposisi itu dimungkinkan pula adanya satuan antara yang berbeda di antara keduanya. Telaah strukturalisme gnetik terhadap karya-karya filsafat Pascal dan drama Racine memperlihatkan kecenderungan demikian. Ada oposisi antara dunia ilmiah dengan dunia sekuler. Manusia berada di antara keduanya sehingga ia berada sekaligus dalam posisi menerima dan menolak dunia. Struktur yang demikian, menurut strukturalisme genetik, mengekspresikan pandangan dunia tragis yang berpikir secara dialektik, yang tidak memutlakkan bagian atas nama keseluruhan atau sebaliknya. Konsep struktur sosial strukturalisme genetik didasarkan pada teori marxis. Atas dasar teori sosial ini jelas bahwa dunia sosial dipahami sebagai struktur yang terbangun atas dasar dua kelas sosial yang saling bertentangan. Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya dominasi dari satu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu dipelihara dan dipertahankan serta bahkan diperkuat dengan menggunakan berbagai kekuatan ideologis yang

70

beroperasi dalam lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat termasuk karya sastra. Namun, dominasi itu tidak sepenuhnya menutup peluang bagi terjadinya perubahan sosial. Kelas-kelas yang dikuasai berusaha terus-menerus pula untuk mengambil alih kekuasaan dari kelas yang berkuasa untuk kemudian membangun suatu struktur sosial yang baru yang sesuai dengan lingkungannya yang baru pula.

4.5.5 Metode Dialektik Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupakan struktur yang terbangun atas dasar bagian-bagian yang saling bertalian dan mebentuk struktur keseluruhan karya sastra itu. Struktur karya sastra itu hanya dapat dipahami dengan baik dengan cara dialektik, yaitu dengan bergerak secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan kembali ke bagian. Gerakan bolak-balik itu dianggap selesai jika koherensi antara keseluruhan dengan bagian-bagiannya telah terbangun, yaitu ketika bagianbagian telah membentuk suatu keseluruhan dan keseluruhan telah dapat digunakan untuk memberikan arti pada bagian-bagian. Selesainya pekerjaan pemahaman yang demikian bukan berarti telah selesai pula kerja pemahaman strukturalisme genetik. Menurut paham tersebut, karya sastra sendiri sebenarnya hanya merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar, yang juga berstruktur, yaitu dunia sosial tempat karya sastra itu berasal. Seperti pemahaman terhadap struktur karya sastra, pemahaman terhadap struktur dunia sosial itu pun dapat dilakukan secara

71

dialektik, dari karya sastra sebagai bagian dunia sosial, atau sebaliknya. Gerakan bolak-balik itu pun baru dianggap selesai jika telah dibangun koherensi antara struktur karya sastra dengan struktur sosialnya. Struktur genetik menyebut usaha menemukan struktur bagian di atas sebagai pemahaman, sedangkan penempatan bagian itu ke dalam struktur yang lebih besar yang menjadi sumber maknanya sebagai penjelas. Dengan

demikian, metode strukturalisme genetik dapat disebut pula sebagai dialektika atas pemahaman dengan penjelasan.

4.6 Naratologi 4.6.1 Naratologi dalam Tinjauan Umum dan Perkembangannya Naratologi bersal dari kata narratio dan logos (bahasa Latin). Narratio berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat; logos berarti ilmu. Naratologi juga disebut teori wacan (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita. Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian juga dengan wacana dan teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya. Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna, 2004: 128)

didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan

72

person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan yang memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan bahwa pembaca membaca wacana dan teks yang berbeda dari cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang, misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut melalui teks yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa; diceritakan oleh narator, bukan pengarang. Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah pascastruktural, analisis naratif merupakan bagian ideologi. Cerita dan penceritaan

dimanfaatkan untuk melegitimasikan kekuatan dan kekuasaan bagi mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap kelompok tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik, politik, dan ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan wacana. Pada pahan pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra saja melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia, sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Aktivitas kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks. Visi sastra kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan

73

bahwa di satu pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya; cerita sebagai tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan kebudayaan yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi

berikutnya. Tanpa cerita, tanpa adanya kekuatan wacana dan teks, kebudayaan pun tidak ada. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu sendiri dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui paradigma sebuah teks. Hampir keseluruhan genre sastra, khususnya genre yang dikategorikan ke dalam fiksi memanfaatkan unsur cerita dan penceritaan. Dalam karya sastra, unsur penceritaanlah yang lebih utama dalam wujud plot. Tanpa plot, wacana, dan teks, karya sastra hanya berfungsi sebagai fakta mengingat dunia faktual semata-mata merupakan sistem model pertama untuk mengantarkan manusia pada dunia sistem model kedua, yaitu dunia fiksional. Dalam pembicaraan mengenai naratif, novel dianggap sebagai genre utama karena pemanfaatan struktur cerita dan penceritaan yang sangat kompleks dengan peralatan yang menyertainya seperti: kejadian, tokoh-tokoh, latar, tema, sudut pandang, dan gaya bahasa. Dilihat dari media yang tersedia, novel juga merupakan objek yang paling memadai, paling luas, sehingga segala unsur penceritaan dapat dikemukakan. Novel adalah representasi dunia itu sendiri di mana manusia, baik sebagai penulis, pembaca, dan peneliti dapat melukiskan kualitas emosionalitas dan intelektualitasnya; suatu media yang sangat tepat dalam kaitannya dengan hakikat manusia sebagai homo faber.

74

Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas terhadap eksistensi naratif. Wilayah tersebut selain menjangkau novel, juga roman, cerpen, puisi naratif, gongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juga setiap bentuk cerita dalam media massa. Secara historis, Marie-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk, 1993: 110- 114) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: 1. periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an) 2. periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an) 3. periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang). Awal prkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles (cerita dan teks); Henry James (tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar dan datar); Percy Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp (peran dan fungsi). Pada umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita dan plot). Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov (historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text). Greimas (tata bahasa naratif dan struktur actans). Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration). Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi parole dan langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer, interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara), Gerald

75

Prince (struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif), Jonathan Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes (Kernels dan satellits), Mikhail Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Marry Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques Derrida (dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-Francois Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas, pastiche). Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, LeviStrauss, Todorov, dan Greimas sebagai pelopor naratologi periode strukturalis.

4.6.2 Pelopor Naratologi Periode Struktutralisme dan Pahamnya 4.6.2.1 Vladimir Propp Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzhet. Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan secara luas tahun 1958. Propp (1987: 93-98) menyimpulkan bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran-perannya sama. Oleh karena itu, penelitian Propp disebut sebagai usaha untuk menemukan pola umum plot dongeng Rusia bukan dongeng pada umumnya. Menurutnya, dalam struktur naratif yang penting bukanlah tokoh-tokoh, melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya disebut fungsi. Unsur yang dianalisis adalah motif (elemen), unit terkecil yang membentuk tema. Propp

76

memandang sjuzhet sebagai tema bukan plot seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur yang penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet dengan demikian hanyalah produk dari serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan pendeita yang kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur tetap (perbuatan) dan unsur yang berubah (pelaku dan penderita). Dalam hubungan ini yang penting adalah unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu sendiri. Propp mengemukakan bahwa fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak tergantung dari siapa yang melakukan. Di sini, persona bertindak sebagai variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi yang dikelompokkan ke dalam tujuh ruang tindakan atau peranan, yaitu: (1) penjahat, (2) donor, (3) penolong, (4) putri dan ayahnya, (5) orang yang menyuruh, (6) pahlawan, dan (7) pahlawan palsu. Menurut Propp (1987: 93-94) dan Teeuw (1985: 290-294), tujuan Propp bukan tipologi struktur tetapi melalui struktur dasar dapat ditemukan bentuk-bentuk purba. Dengan kalimat lain, dengan menggabungkan antara struktur dan genetiknya (struktur mendahului sejarah), maka akan ditemukan proses penyebarannya kemudian. Model Propp mendasari penelitian dari Greimas, Bremond, dan Todorov.

77

4.6.2.2 Levi-Strauss Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya pada mitos. Levi-Strauss menilai cerita sebagai kualitas logis bukan estetis. Ia mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui jangkauan perhatiannya terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat maupun fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu. Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat. Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Mytheme yang mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali sehingga dikemukakan makna karya yang sesungguhnya. Pendekatan antropologi sastra, melalui struktural, khususnya konsep-konsep oposisi biner, tabu, dan incest, misalnya, dilakukan terhadap mitos Oedipus. Di satu pihak, oposisi biner didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati memiliki

kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis, seperti laki-laki perempuan, bumi langit, dan sebagainya. Pelarangan perkawinan di antara keluarga secara logis memaksa manusia untuk mencari pasangan di luar keluarga yang pada gilirannya akan membentuk ikatan-ikatan baru, sekaligus menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat yang lain.

78

Berhubungan

dengan

pembicaraan

strukturalisme,

Levi-Strauss

menyatakan bahwa struktur bukanlah representasi atau subtitusi realitas. Struktur dipahaminya sebagai realitas empiris itu sendiri yang tampil sebagai organisasi logis yang disebut sebagai isi. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa isi tidak bisa terlepas dari bentuk tersebut, dan sebaliknya.

4.6.2.3 Tzvetan Todorov Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan tsuzhet, Todorov (1985: 11-53) mengembangkan konsep historie dan discours yang sejajar dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak, komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan tiga aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis, (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya. Konsep Todorov yang lain adalah in presentia dan in absentia. Konsep pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir bersama, secara

berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi. Konsep kedua menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai hubungan makna dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

79

antarhubungan adalah kausalitas. Tokoh menunjukkan tokoh lain sebagai antitesis (in praesentia). Sebaliknya tokoh juga dapat menunjuk sesuatu yang lain di luar struktur naratif (in absentia). Todorov membedakan antara sastra sebagai ilmu mengenai sastra (puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan disiplin yang lain, sastra sebagai proyeksi, seperti: psikologi sastra, sosiologi sastra, studi biografi, kritik fenomenologis, dll.

4.6.2.4 Greimas Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13; Ratna: 2004: 137140) memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam dengan tujuan yang lebih universal, yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di balik wacana. Yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut actans dan acteurs. Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur naratif, acteurs merupakan kategori umum. Dia mencontohkan: John dan Paul

memberikan apel kepada Mary. John dan Paul adalah dua acteurs tetapi satu actans. John dan Paul juga merupakan pengirim. Mary sebagai penerima. Apel adalah sebagai objek. Dalam kalimat John membelikan dirinya sendiri sebuah baju, John adalah satu acteu yang berfungsi sebagai dua actans, baik sebagai pengirim maupun penerima.

80

Kemampuan Greimas dalam mengungkap struktur actas dan acteurs menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata bermanfaat dalam menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu sosial lainnya. Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp disederhanakan menjadi dua puluh fungsi yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur, yaitu struktur berdasarkan perjanjian, struktur yang bersifat penyelenggaraan, dan struktur yang bersifat pemutusan. Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan menjadi enam actans (peran, pelaku, para pembuat) yang dikelompokkan menjadi tig pasangan oposisi biner, yaitu subjek dengan objek, kekuasaan dengan orang yang dianugerahi atau pengirim dan penerima, dan penolong dengan penentang. Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimankan oleh seorang atau sejumlah pelaku. Actans merupakan struktur dalam, sedangkan acteurs merupakan struktur luar. Acteurs merupakan manifestasi kongkret actans. Oleh karena itu, artikulasi acteurs menentukan dongeng tertentu, sedangkan struktur actans menentukan genre tententu. Acteurs yang sama pada saat yang berbeda-beda dapat merepresentasikan actans yang berbeda-beda. Sebaliknya, actans yang sama terbentuk oleh acteur yang berbeda-beda. Untuk menyederhanakan konsep-konsep tersebut di atas, maka dalam kritik sastra Indonesia istilah fabula dan sjuzet sebagai konsep dasar dari naratologi ditafsirkan dengan istilah cerita dan penceritaan. Dalam penceritaanlah terkandung wacana dan atau teks. Penceritaan memiliki

identitas yan hampir sama dengan wacana, tek, dan plot. Cerita adalah bahan

81

kasar, perangkat peristiwa, seperti ringkasan cerita atau sinopsis. Wacana adalah cerita yang telah disusun kembali tetapi lebih banyak berkaitan dengan unsur bahasa , sebagai model pertama. Adapun teks adalah susunan peristiwa yang sesungguhnya; susunan kejadian yang didominasi oleh kualitas literer, sebagai model kedua.

82

BAB V RANCANGAN USULAN PENELITIAN SASTRA: TINJAUAN KRITIS

5.1 Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian Kerja penelitian seorang ilmuwan yang didominasi oleh sikap yang kritis memperlihatkan fase-fase berpikir sebagaimana yang dikemukakan oleh Dewey (dalam Nazir, 1983:73), yaitu: (1) mengetahui adanya masalah, (2) mengidentifikasi masalah, (3) memperkirakan alat untuk memecahkan masalah, seperti teori, (4) inventarisasi dari pengolahan data sebagai bukti, dan penyimpulan.

5.1.1 Latar Belakang Masalah Bagian latar belakang pada dasarnya mengemukakan: (1) alasan mengapa penelitian itu perlu dilaksanakan, (2) relevansi penelitian itu dengan penelitian-penelitian lain, (3) apa perbedaan penelitian itu dengan penelitian serupa yang telah dilaksanakan, dan (4) informasi lain apa yang berkaitan dengan penelitian itu.

83

Hal pertama di atas yang menyangkut alasan mengapa penelitian itu perlu dilaksanakan, mengimplikasikan adanya: 1. ketertarikan peneliti atas objek material (karya sastra) dengan menyebutkan secara spesifik sejumlah fakta dan fenomena teks yang mengarah pada ditemukan dan terhimpunnya sejumlah masalah yang penting untuk diteliti; 2. masalah-masalah penting yang perlu diteliti itu serta

menghubungkannya dengan teori dan metodologi yang dapat digunakan sebagai alat pemecahannya; Hal yang menyangkut relevansi penelitian itu dengan penelitianpenelitian lainnya adalah: 1. kedudukan penelitian itu di antara penelitian-penelitian yang lain dengan jalan menyebutkan apakah penelitian itu dimaksudkan sebagai dasar, terapan, atau pengembangan dari penelitian lainnya yang perlu ditindaklanjuti atau dengan menyebutkan pertimbangan-pertimbangan lain yang berhubungan erat dengan masalah dan tujuan penelitian itu,

2. kesamaan objek material (karya sastra) dengan kajian yang berbeda


atau perbedaan objek material (karya sastra) dengan kajian yang sama, perlu diuraikan secara jelas sehingga kepentingan penelitian itu dapat diketahui secara jelas pula.

84

Hal yang menyangkut penelitian sebelumnya, diarahkan kepada pembicaraan: 1. uraian singkat mengenai penelitian-penelitian sebelumnya yang penting dan berhubungan di dengan dalamnya penelitian yang akan dilaksanakan; yang

pembicaraan

menyangkut

fokus

penelitian

berhubungan dengan objek penelitian (karya sastra, masalah yang diangkat, teori dan metode yang digunakan) 2. uraian dengan sejumlah alasan sehingga penelitian itu jelas berbeda secara esensial dengan penelitian lainnya; uraian alasan yang dimaksud diarahkan pada penjelasan kekhasan penelitian, fokus penelitian, dan pengemasan metode yang mengarah pada kekhasan fenomena objek material (karya sastra), pemanfaatan teori yang terpilih sebagai alat, dan metode kajian yang digunakan.

Adapun hal yang menyangkut informasi lain yang berkaitan dengan penelitian, biasanya berhubungan dengan: 1. referensi umum menyangkut objek material (karya sastra);

berhubungan dengan pembicaraan umum tentang objek tersebut yang bersumber dari berbagai sumber informasi: media cetak, elektronik, atau multimedia 2. referensi khusus (jika ada) yang bersumber dari laporan-laporan penelitian, buku-buku bacaan atau buku-buku acuan yang menguraikan secara khusus tentang objek tersebut; pembicaraan khusus yang

85

dimaksud adalah uraian yang relevan dengan kepentingan penelitian yang akan dilaksanakan.

5.1.2 Identifikasi Masalah Perumusan masalah atau identifikasi masalah adalah pangkal dari penelitian dan merupakan langkah penting yang cukup sulit dalam penelitian ilmiah. Kesulitan yang dimaksud menyangkut kemampuan mengorganisasikan masalah secara logis, sistematis, dan fungsional. Masalah timbul karena adanya: (1) kesangsian ataupun kebingungan peneliti terhadap satu hal atau fenomena, (2) kemenduaan arti (ambiguity), dan (3) dan adanya halangan dan rintangan yang menunjukkan terdapatnya celah antarfenomena. Pemecahan masalah yang dirumuskan dalam penelitian sangat berguna untuk membersihkan kebingungan kita akan sesuatu, untuk memisahkan kemenduaan, untuk mengatasi rintangan ataupun untuk menutup celah antarkegiatan atau fenomena. Karenanya, peneliti harus dapat memilih suatu masalah bagi penelitiannya dan merumuskannya untuk memperoleh jawaban terhadap masalah tersebut. Tujuan dari identifikasi masalah (pemilihan dan perumusan) dalam kegiatan penelitian sastra adalah untuk: (a) mengorganisasikan secara logis, sistematis sejumlah masalah yang akan diangkat dalam penelitian sastra untuk dijabarkan dalam tujuan penelitian secara tepat, (b) pemusatan penelitian atas sejumlah masalah yang dapat dijangkau sesuai dengan kemampuan peneliti yang terimplementasi di dalam tujuan penelitiannya, dan (c) peletak dasar

86

untuk memecahkan beberapa penemuan penelitian sebelumnya atau dasar untuk penelitian selanjutnya. Menurut Nazir (1985: 134-135), ciri-ciri masalah yang baik adalah: (1) masalah yang dipilih harus mempunyai nilai penelitian, (2) masalah yang dipilih harus mempunyai fisible, dan (3) masalah yang dipilih harus sesuai dengan kualifikasi si peneliti. Ciri pertama yang menyangkut nilai penelitian maksudnya adalah penelitian harus mempunyai kegunaan tertentu serta dapat digunakan untuk suatu keperluan. Pertimbangan dari ciri pertama yang harus diperhatikan adalah: (1) masalah harus mempunyai keaslian, (2) masalah harus menyatakan suatu hubungan antara dua atau lebih variabel (hubungan antarfenomena), (3) masalah harus merupakan hal penting, (4) masalah harus dapat duji, hubungan di dalamnya harus dapat diukur berdasarkan pendekatan yang sesuai, dan (5) masalah harus dinyatakan dalam bentuk pertanyaan yang mengimplikasikan ke dalam kegiatan pengujian atau pengukuran variabel. Ciri kedua yang menyangkut fisible, maksudnya masalah tersebut dapat dipecahkan. Arinya: (1) data serta metode harus tersedia untuk memecahkan masalah, (2) masalah yang akan dipecahkan harus sesuai dengan batas-batas kemampuan peneliti dalam hal tenaga, pikiran, waktu, serta dana, dan (3) pemecahan masalah tidak bertentangan dengan norma hukum. Ciri ketiga yang menyangkut kesesuaian dengan kualifikasi peneliti maksudnya adalah masalah yang diangkat merupakan masalah yang menarik bagi peneliti serta sesuai dengan derajat ilmiah yang dimiliki peneliti.

87

Setelah masalah diidentifikasi dan dipilih, maka kegiatan selanjutnya dalah merumuskan masalah. Perumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis, topik penelitian atau judul penelitian. Umumnya rumusan masalah harus dilakukan dengan kondisi berikut: 1. masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan 2. rumusan hendaklah jelas dan padat 3. rumusan masalah harus berisi implikasi adanya data untuk memecahkan masalah 4. rumusan masalah harus menjadi dasar dalam membuat hipotesis 5. masalah harus menjadi dasar bagi judul penelitian

5.1.3 Tujuan Penelitian Tujuan pokok penelitian adalah untuk menemukan atau menggali (explore), mengembangkan (develop atau extention), dan menguji (testing) teori atas sejumlah data yang digunakan dalam penelitian. Berhubungan

dengan penelitian sastra, misalnya penelitian yang menggunakan pendekatan strukturalisme objektif, tentunya tujuan di dalamnya mengarah kepada upaya pemecahan masalah menyangkut sejumlah fenomena unsur-unsur karya sastra, hubungan antarunsur, dan totalitas di dalamnya. Dengan demikian, tujuan di dalamnya mengimplikasikan juga pilihan metodenya. Metode deskriptif merupakan salah satu sebuah metode yang tepat digunakan untuk mengungkap sedetail mungkin sejumlah fenomena yang dimaksud.

88

Tujuan penelitian merupakan penjabaran rill dari rumusan masalah yang akan dipecahkan melalui kegiatan analisis data. Secara ideal, tujuan penelitian harus mewadahi seluruh masalah yang telah dipilih dan dirumuskan. Deskripsi tujuan penelitian diuraikan dalam bentuk pernyataan yang masingmasing mengeksplisitkan tujuan pemecahan masalahnya. Jika rumusan masalah yang dihasilkan, misalnya, berjumlah tertentu, maka tujuan penelitian harus mewakili sejumlah masalah tersebut berdasarkan bagian-bagiannya. Bagian-bagian rumusan masalah diurutkan berdasarkan tipikal, lingkup masalah, jangkauan ke arah teknik kajian yang ideal (runut). Demikian pula dengan penyusunan tujuan penelitian, di dalamnya harus secara runut

menunjukkan adanya tahapan yang logis, sistematis, dan fungsional sesuai dengan penerapan teori dan metodologinya sehingga antara tujuan yang satu dengan tujuan yang lainnya memiliki hubungan yang erat dan bersifat fungsonal. Sebaiknya dalam tujuan penelitian, disebutkan secara jelas hal-hal pokok yang menyangkut fenomena data yang di dalamnya mengimplikasikan pilihan teori dan metodologi yang digunakan.

5.1.4 Landasan Teori Teori adalah seperangkat construct (konsep yang saling berhubungan), rumusan-rumusan dan preposisi yang menyajikan suatu pandangan yang sistematis suatu fenomena dengan menspesifikasikan hubungan-hubungan antarvariabel dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala (Kerlinger dalam Pradopo, 2001:2).

89

Dengan demikian, tahapan penyusunan landasan teori dalam rancangan usulan penelitian menjadi penting. Karena teori berfungsi sebagai alat untuk memecahkan masalah, maka teori harus dipilih sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam uraian landasan teori, teori harus dijelaskan secara konseptual dengan jalan memberikan deskripsi yang jelas secara operasional bagaimana teori tersebut dapat dijalankan sesuai kebutuhan penelitian. Adapun Ratna ( 2004: 94-95) menyatakan, sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan tidak mungkin diterapkan secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para penemunya. Teori pun dapat ditafsirkan sesuai kemampuan peneliti. Teori adalah alat. Kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsepkonsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berubah secara terus menerus, sehingga penelitian yang satu berbeda dengan penelitian yang lain. Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, circiri yang cukup menonjol dari strukturalisme adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, diperlukan penerimaan positif. Penerimaan yang dimaksud

90

mengarah kepada keteraturan, pusat yang akan melahirkan saluran-saluran komunikasi, kerangka-kerangka dan mode-model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra.. Sebaliknya, dalam analisis sastra kontemporer jelas model analisis yang dimaksud tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsipprinsip poststrukturalisme mempersaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.

5.1.5 Metodologi Yang dimaksud metolodologi dalam kepentingan penyusunan

penelitian dan menjadi bagian dari tahap penyusunan tersebut terbagi ke dalam dua wilayah pengertian, yaitu (1) metode yang digunakan sebagai alat,

prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian guna mengumpulkan data, dan (2) metode kajian yang mengindikasikan adanya kerja bersistem sekaligus memerikan bagaimana data dipilih dan ditentukan serta dianalisis berdasarkan pendekatan tertentu. Pengertian kedua ini lebih mengarah kepada teknik analisis yang dipergunakan untuk menganalisis data sesuai dengan pendekatan tertentu. Pemilihan metode kajian tertentu akan mengarahkan sekaligus teknik pupuan datanya. Atau dengan kalimat lain, teknik pupuan data tertentu dipilih berdasarkan tujuan penelitian yang mengimplikasikan metode kajian tertentu. Djajasudarma (1993: 57-58) dalam pespektif linguistik menyebutkan bahwa metode kajian adalah cara kerja yang bersistem di dalam bahasa dengan bertolak dari data yang dikumpulkan (secara deskriptif) berdasarkan teori

91

(pendekatan) linguistik. Metode kajian memerikan bagaimana data dipilah dan diklasifikasi berdasarkan pendekatan yang dianut. Dengan kata lain, kajian dalam penelitian bahasa mengandung pemahaman penentuan data berdasarkan pendekatan tertentu melalui tes atau pengujian teknik-teknik tertentu. Penentuan data berdasarkan perilaku, ciri, dan hubungan antarunsur, dsb. demi pemahaman identitas data penelitian. Metode yang bersistem di dalam kajian data bahasa selalu dengan upaya teori tertentu. Sejalan dengan uraian di atas, maka metode dalam kajian sastra pun mengarahkan pada penjelasan teknis bagaimana tujuan penelitian dapat ditempuh berdasarkan pembahasan yang teroganisir, sistematik, padu, dan menyeluruh melalui teknik pemupuan data, pemilihan, dan pengolahan data secara tepat dan memadai. Nazir (1985: 419-422) menyebutkan beberapa ciri dalam membuat kategori secara metodis yang memadai, yaitu: (1) kategori harus dibuat sesuai dengan masalah dan tujuan masalah, (2) kategori harus lengkap, (3) kategori harus bebas dan terpisah, (4) kategori harus berasal dari satu kaidah klasifikasi; tiap variabel harus dipisahkan dalam desain analisis, dan (5) tiap kategori harus berada dalam satu level dengan mempertimbangkan mana variabel utama dan mana varabel penunjangnya. Hubungan antar variabel dalam penelitian juga harus diperhatikan. Nazir (1985: 422-440) menyebutkan beberapa jenis hubungan yang perlu diketahui dari variabel penelitian. Hubungan variabel yang dimaksud adalah: 1. hubungan simetris

92

Hubungan ini adalah hubungan antarvariabel yang tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh variabel yang lain. Hubungan ini dapat terjadi karena (1) kedua variabel merupakan akibat dari suatu faktor yang sama, (2) kedua variabel merupakan indikator dari sebuah konsep yang sama, atau (3) hubungan yang terjadi bersifat kebetulan saja. Hubungan ini dapat berpangkal dari indikator sebuah konsep, kehadiran dua variabel atau lebih secara beriringan yang disebabkan faktor fungsional, dan faktor kebetulan.

2. hubungan asimetris Hubungan asimestris yang dimaksud adalah hubungan antara variabel yang satu variabel mempengaruhi variabel lainnya, tetapi hubungannya tidak bersifat timbal balik; dapat terjadi dari hubungan antarkonsep.

3. hubungan timbal balik Hubungan yang dimaksud adalah hubungan dua arah secara timbal balik antarvariabel; hubungan saling mempengaruhi.

Sejalan dengan uraian di atas, maka langkah penyusunan metodologi dalam rancangan usulan penelitian (skripsi) yang memadai adalah: (1) mendeskripsikan secara jelas perihal metode sebagai teknik pupuan data dan metode sebagai teknik kajian, (2) menjabarkan secara tepat dan jelas masing masing metode sesuai dengan esensi dan fungsinya yang dibatasi oleh tujuan

93

penelitiannya, (3) mengurutkan langkah-langkah pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan data secara sistematis, dan (5) bila perlu gunakan pula skema dan atau tabel organisasi pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan data secara runut untuk memberikan gambaran yang jelas bahwa penelitian dapat dijangkau berdasarkan derajat kemampuan peneliti dari segi penguasaan teori dan metodologi. Dalam penyusunanya secara keseluruhan akan tergambar sejumlah kemampuan peneliti. Kemampuan yang dimaksud mengarah kepada: 1. kemampuan menentukan dan merumuskan masalah 2. kemampuan menjabarkan tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah 3. kemampuan memilih landasan teori yang tepat sesuai dengan tujuan penelitian yang telah disusun 4. Kemampuan menentukan metode penelitian (teknik pupuan data) dan metode kajian yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian yang telah disusun 5. kemampuan menyusun dan menyajikan metode berdasarkan landasar teori yang dipilihnya sebagai wujud kemampuan pemahaman peneliti perihal fungsi landasan teori dalam sebuah penelitian, penguasaan teoretis atas teori sastra yang aplicable dalam penelitiannya, pemahaman pemetaan uraian yang berkesinambungan antarsubbagian rancangan usulan penelitian terutama menyangkut identifikasi masalah

94

dan tujuan penelitian, dan mampu menggunakan teori tersebut untuk merancang instrumen penelitian secara metodis.

5.2 Kemampuan Menguraikan Latar Belakang Masalah dan Identifikasi Masalah Pangkal dasar sekaligus kesulitan mendasar yang ditemui peneliti dalam sebuah rancangan usulan penelitian sastra adalah menemukan masalah yang layak diangkat dalam sebuah penelitian sesungguhnya. Dalam menyusun rancangan usulan penelitian, idealnya penelitian diawali dari sejumlah masalah yang ditemukan setelah proses membaca dan memahami objek material (karya sastra). Masalah-masalah yang dimaksud tentunya berpangkal dari kepekaan literer dan teoritik peneliti saat menghadapi objek penelitian. Tidak mudah bagi peneliti yang kurang peka secara literer dan teoretis untuk menemukan masalah ketika Adakalanya berhadapan dengan objek karya sastra.

peneliti menentukan begitu saja sebuah kajian yang akan

digunakan dalam penelitiannya untuk kemudian menyusun tujuan penelitian dan landasan teoretisnya. Kondisi demikian mengakibatkan peneliti begitu sulit secara esensial menguraikan latar belakang masalah penelitiannya, padahal di dalamnya peneliti diberi hak penuh untuk menguraikan sejumlah pandangan dan temuan selama berhadapan dengan objek penelitian (karya sastra) menyangkut ketertarikan atas objek sehingga dipilih sebagai objek penelitian, masalah-masalah yang ditemukan untuk dipecahkan, serta pembicaraan

singkat landasan teoretis dan metode yang dimungkinkan dapat dijadikan alat

95

yang mendasari pengolahan dan penganalisisan data. Tentunya pembicaraan di dalamnya ditempatkan secara fungsional untuk memberi gambaran umum tentang latar belakang masalah, di antaranya: (1) apa saja yang menjadi masalah dasar dan penting untuk ditemukan pemecahannya, (2) bagaimana masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sehingga tujuan penelitian dapat dijabarkan, (3) mengapa pilihan alat pemecahannya jatuh pada landasan teori dan metode tertentu. Akan tetapi bagi peneliti yang memanfaatkan kepekaan literer dan kemampuan teoretiknya secara baik, dimungkinkan dari hasil pengamatan dan pemahamannya terhadap objek berbentuk karya sastra akan menghasilkan banyak masalah. Idealnya, proses pemahaman dan penemuan masalah diawali dengan proses pembacaan secara cermat dan utuh. Langkah ini dimaksudkan untuk memberi peluang kepada mahasiswa guna menemukan permasalahanpermasalahan yang akan diangkat dalam penelitian secara Permasalah-permasalahan yang akan diangkat dalam optimal. penelitian

mengindikasikan kepekaan penelitian

terhadap potensi teks karya sastra,

pemahamannya terhadap teori dan metode penelitian sastra, dan kemampuan praktis menjabarkan permasalahannya dalam wujud penyusunan rancangan usulan penelitiannya. Dengan bekal kemampuan menemukan dan menghimpun

permasalahan, peneliti akan mampu mengidentifikasi masalah secara logis dan sistematis yang pada akhirnya dapat dijabarkan dalam tujuan penelitin secara jelas. Identifikasi masalah yang dimaksud adalah penetapan pilihan beberapa

96

masalah dari seluruh masalah yang telah dihimpun untuk dijadikan dasar penelitiannya. Penetapan pilihan masalah berpangkal pada kebutuhan utama untuk dapat dijangkau dalam penelitian berdasarkan kemampuan peneliti dalam hal penguasaan teoretik, waktu pelaksanaan, dana yang tersedia, referensi yang memadai, pengembangan penelitian sejenis, dsb. Berikut ini contoh uraian subbab latar belakang masalah dan identifikasi masalah format usulan penelitian skripsi bidang kajian sastra: 1.1. Latar Belakang .... Dalam cerita anak MHG dan GKLP secara gamblang berusaha menyampaikan pada pembaca bahwa anak tidak polos dan tidak asal, melainkan suatu duania yang penuh dengan imajinasi, keinginan, keberanian, kepahlawanan dan petualangan. Itu sebabnya kenapa kedua cerita ini akan diteliti karena menurut saya cerita itu sangat menarik, apalagi jika dilihat dari tokoh anak dalam kedua cerita ini begitu berani menerobos hal-hal yang ditabukan dalam masyarakat, mereka senang membaca cerita misteri sehingga pola pikir mereka berkembang cukup baik. ... Merujuk pada potensi teks tersebut, penulis tergerak untuk melakukan penelitian secara struktural objektif bertalian dengan pengungkapan sifat, ciri, fenomena yang ada dalam kedua novel MHG dan GKLP. Contoh uraian subbab di atas belum menunjukkan dasar permasalahan yang sesuai dengan penjabaran identifikasi masalah dan tujuan penelitian. Potensi teks yang dikatakan menjadi dasar dipilihnya pendekatan struktural objektif, samasekali tidak mewakili secara menyeluruh atas kepentingan penelitian yang dieksplisitkan dalam pembatasan masalah dan tujuan penelitian. Permasalahan yang ditemukan tidak langsung merujuk kepada

97

fungsi pendekatan struktural objektif yang tepat guna. Logika masalah yang dijabarkan peneliti sebagai berikut: 1. tokoh anak ditafsirkan berani menerobos hal-hal yang ditabukan dalam masyarakat karena mereka senang membaca cerita misteri sehingga pola pikir mereka berkembang cukup baik, 2. tokoh anak yang berasal dari kota ditafsirkan perkembangannya sangat cepat karena kemudahan sarana dan prasarana, termasuk mendapatkan buku-buku cerita misteri 3. kesamaan (dari dua cerita) perwatakan tokoh yang berani, berpikir logis, tidak percaya akan hal-hal mstis akibat pengaruh bacaan 4. kedua novel begitu lekat berbicara mengenai masyarakat yang masih menjungjung tinggi adat dan kebudayaan yang memiliki nilai mitos dalam suatu daerah tertentu

Adapun pembatasan masalah yang disusun oleh peneliti sebagai berikut: 1. Masalah apa saja yang menjadi dasar penceritaan kedua novel tersebut? 2. Bagaimana struktur yang terbentuk dalam kedua novel tersebut? 3. Bagaimana keterjalinan unsur dalam kedua novel tersebut? 4. Tema dan amanat yang ada dalam kedua novel tersebut?

Hal yang tampak menonjol dan mudah dicermati dari latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas adalah nuansa penelitian deskriptif. Namun demikian, jika dijajaki uraian pembatasan masalah secara rinci, tampak

98

penyusunan identifikasi masalah bukan lagi berdasarkan pemanfaatan latar belakang masalah. Diakui bahwa pada penjabaran pembatasan masalah,

peneliti sudah mampu menyusun identifikasi masalah secara logis dan sistematis, mulai dari masalah (bahan tematik) yang menjadi dasar penceritaan, struktur cerita yang terbentuk, keterjalinan antarunsur cerita, dan penelusuran tema dan amanat. Akan tetapi esensi latar belakang yang seharusnya

mengawali atau menjadi rujukan identifikasi masalah seolah terlepas satu dengan lainnnya. Upaya yang seharusnya ditempuh dalam uraian latar belakang masalah sehubungan dengan kepentingan penelitian tersebut adalah: 1. menguraikan sejumlah besar problematika teks (singkat dan jelas) secara struktural obektif jika penelitian akan difokuskan pada kajian struktural objektif 2. menguraikan bagian-bagian permasalahan struktural dalam karya beserta hubungannya yang dianggap penting untuk diteliti (tokohpenokohan, alur, latar) 3. membicarakan secara singkat kemungkinan pemilihan teori dan metode yang dapat memberi jalan bagi pemecahannya secara deskrpitif. 4. mengemukakan kepentingan ditelusurinya tema dan amanat kedua novel tersebut dalam hubungannya denga masalah yang ditemukan dalam teks.

99

Berdasarkan upaya tersebut, seyogyanya latar belakang masalah dan identifikasi masalah menjadi pijakan utama dalam menentukan tujuan penelitian.

5.3 Kemampuan Menjabarkan Tujuan Penelitian Seperti telah disinggung pada uraian sebelumnya, penjabaran tujuan penelitian erat kaitannya dengan identifikasi masalah. Penjabaran tujuan penelitian harus berpangkal pada identifikasi masalah yang telah disusun. Contoh usulan penelitian subbab tujuan penelitian berikut belum memadai jika ditinjau dari kepentingan penelitian sesungguhnya. Cermati contoh berikut:

1.1 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah: 1. mendeskripsikan masalah apa saja yang ada dalam kedua novel MHG dan GKLP 2. mendeskripsikan struktur yang terbentuk dari kedua novel MHG dan GKLP 3. mendeskripsikan keterjalinan antarunsur 4. mengetahui tema dan amanat

Penjabaran tujuan penelitian di atas tampak terlalu umum dan belum mengarah kepada kepentingan pendeskripsian secara cermat dan mendetail. Kepentingan yang dimaksud adalah mengeksplisitkan sejumlah tujuan berdasarkan pembatasan masalah. Dalam hal ini , hal-hal yang harus dicermati: (1) Tujuan pertama yang menyangkut pendeskripsian masalah-masalah yang ada dalam kedua novel harus dieksplisitkan secara spesifik, misalnya 100

menyebutkan masalah-masalah yang bersumber dari peristiwa-peristiwa penting pada seluruh untaian cerita. Dengan demikian dapat tergambar bahwa penelitian dengan tujuan pertama ini diarahkan pada penelusuran masalah (bahan tematik) yang bersumber pada penelusuran peristiwaperistiwa penting saja, bukan peristiwa yang tidak menjiwai sebagian atau seluruh cerita. Hal ini secara tidak langsung telah mengarahkan pemilihan teoretis dan penyusunan langkah analisisnya secara metodis. (2) Tujuan kedua yang menyangkut pendeskripsian struktur yang terbentuk dari kedua novel perlu dieksplisitkan secara spesifik. Penjabarannya menjadi, misalnya: mendeskripsikan unsur tokoh-penokohan, alur, dan latar dari kedua novel (jika kajian diarahkan pada struktural objektif). Penjabaran spesifik ini menjadi penting untuk menghindarkan

kesalahpahaman atas beragam teori yang kajiannya berbeda walaupun berada dalam satu naungan pendekatan yang sama yaitu strukturalisme. Paham struktural objektif, menempatkan teks secara otonom. Oleh karena itu, unsur-unsur di dalamnya pun diperlakukan secara otonom pula. Struktur dinamik, menempatkan teks dengan konsep dasar unsur-unsur, antar hubungan, dan totalitas harus dihubungkan dengan luar teks (aspek ekstrinsik). Struktural genetik menelaah struktur teks sastra sampai ke struktur sosial dan pembicaraan hubungan antarunsur teks sastra dan struktur sosial. Struktur naratif mengarahkan pembicaraan mengenai cerita dan penceritaan; antara struktur naratif karya sastra dan naratornya.

101

(3)

Tujuan ketiga yang menyangkut pengungkapan keterjalinan antarunsur hendaknya dispesifikasikan ke dalam penjabaran, misalnya (a)

penokohan dengan latar (waktu, tempat, sosial), (2) tokoh dalam perjalanan alur cerita, (3) pemetaan latar dalam perjalanan alur cerita, dll. Penjabaran secara spesifik menjadi penting guna mengontrol penerapan teori yang tepat guna beserta penyusunan langkah kerja, pemilihan data, pengolahan data, dan analisis data.

(4)

Tujuan keempat yang menyangkut penelusuran tema dan amanat hendaknya dijabarkan pada kepentingan pembicaraan menyeluruh, misalnya (a) pembicaraan pengklasifikasian masalah yang telah ditemukan berdasarkan pencapaian analisis pada tujuan pertama, (b) penafsiran tema berdasarkan kategori mayor dan minor, (c) pembicaraan hubungan tema dan unsur-unsur pembentuk cerita, (d) penelusuran amanat berdasarkan perolehan penafsiran tema. Hal ini diperlukan dalam rangka mengikat secara fungsional pencapaian analisis yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Dengan demikian, tiap pencapaian tujuan berhubungan dengan pencapaian tujuan yang lainnya sehingga menghasilkan uraian yang utuh, padu, dan menyeluruh.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kendala terbesar peneliti dalam menjabarkan gagasannya pada tiap subbab latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan tujuan penelitian berpangkal pada

102

tingkat kepekaan literer, teoretis, dan metodologis. Keterbatasan tersebut selanjutnya akan membatasi kemampuan peneliti dalam menyusun rancangan usulan penelitiannya. Keterbatasan kemampuan yang dimaksud dapat dicermati dari ketidakmampuan menjalin in uraian tiap subbab secara logis, sistematis, dan fungsional.

5.4 Kemampuan Menyajikan Landasan Teoretis Sejalan dengan tanggapan pada tingkat keberhasilan penyusunan rancangan usulan penelitian pada materi sebelumnya, pada langkah penyusunan Landasan Teori, ketersediaan objek formal (kajian

struktural) mengarahkan peneliti untuk secara tepat memilih landasan teori yang akan digunakan. Ketersediaan yang dimaksud adalah: a. kajian struktural objektif b. kajian struktural genetik c. kajian struktural naratif d. kajian struktural dinamik Terdapat hubungan timbal balik antara tujuan penelitian, teori, dan metode kajian. Penentuan tujuan penelitian dihasilkan oleh kemampuan pemahaman penelitian dalam menentukan teori yang diminati dan dikuasai serta praktik metodologisnya. Adakalanya peneliti dengan mudah menentukan tujuan penelitian berdasarkan identifikasi masalah yang disusunnya (cermati kasus yang telah dibahas). Peneliti mampu memilih dan menyajikan landasan teorinya. Akan tetapi kemampuan menguraikan secara tepat berdasarkan

103

identifikasi masalah dan tujuan penelitian, kurang memadai. Cermati uraian utuh subbab landasan teori (contoh Usulan Penelitian ): 1.6 Landasan Teori Teori struktural objektif merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian karya sastra. Pendekatan struktural objektif adalah pendekatan yang menitikberatkan karya sastra sebagai struktur yang otonom yang lebih kurang terlepas dari hal-hal yang berada di luar karya sasatra itu sendiri (Teeuw, 2003:132) Bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterikatan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan kemenyeluruhan (Teeuw, 2003:112). Contoh utuh di atas jelas tampak berdiri sendiri dengan atau tanpa subbab lainnya yang seharusnya berhubungan fungsional dalam pembicaraan yang padu. Uraian di atas tidak mewakili identitas penelitian secara

menyeluruh yang dimiliki oleh sebuah usulan penelitian dengan judul tertentu, latar belakang masalah dan identifikasi masalah tertentu, dan tujuan penelitian tertentu. Uraian subbab di atas tidak menunjukkan korelasi antara latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan tujuan penelitian karena di dalamnya tidak dihimpun pembicaraan yang menghubungkan subbab tersebut dengan subbab lainnya secara fungsional. Berdasarkan contoh di atas, penyusun UP kurang mengetahui secara pasti fungsi landasan teori struktural objektif dalam sebuah penelitian dengan menggunakan pendekatan struktural. Penguasaan teoretis pun belum cukup tergambarkan dalam uraian subbab landasan teori secara aplikatif. Begitu juga dengan pemahaman pemetaan uraian yang seharusnya berkesinambungan antarsubbagian rancangan usulan penelitian. Uraian landasan teori tampak 104

terpisah dan tidak fungsional karena tidak

dihubungkan langsung dengan

kepentingan menyeluruh penelitian, terutama menyangkut batasan masalah dan tujuan penelitian. Kelemahan lain, penyusun UP tersebut kurang mampu memahami konsep atau asumsi dasar (premis) dari teori yang digunakannya. Bagian-bagian utama teori tidak diaplikasikan langsung pada pembicaraan bagaimana teori tersebut menjadi bagian penting untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan penelitian.

5.5 Kemampuan Menyajikan Metode Kemampuan menguraikan secara tepat di dalam subbab metodologi pun kurang memadai. Kekurangan yang dimaksud adalah keterbatasan uraian yang tidak menjangkau ilustrasi metodis menyangkut:

a. metode deskriptif Walaupun secara jelas peneliti mendeskripsikan definisi metode tersebut, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan uraian yang mengarah kepada bagaimana metode ini akan dijalankan dalam penelitian dan pencapaian yang dimungkinkan bisa secara nyata menunjukkan hubungan fungsional dengan tujuan penelitian. Cermati uraian pada subbab metode penelitian (contoh UP skripsi) berikut ini:

105

1.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu cara untuk memecahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan , menganalisis, dan menginterpretasikan data (Winarno, 1980: 139). Melalui metode deskriptif ini tujuan peneliti dapat tercapai secara memadai karena sejumlah fenomena, sifat, dan ciri-ciri data yang menyangkut masalah dasar penciptaan novel, unsurunsur karya, keterjalinan unsur, tema, dan amanat dapat terungkap secara tepat.

Mengacu kepada definisi metode deskriptif, sejumlah data, sifat, fakta, fenomena, dan ciri-ciri unsur-unsur pembangun karya sastra (dalam

pengutamaan kajian struktural), dalam uraian subbab di atas tidak dipetakan dan belum diarahkan secara memadai pada pembicaraan bahwa metode tersebut adalah tepat untuk memecahkan masalah seperti yang dieksplisitkan dalam tujuan penelitian. Pembicaraan tersebut seharusnya diikuti dengan deskripsi singkat tentang teknik pengumpulan dan pemilihan data (sampel), dan teknik pengklasifikasian data sehingga kerja metode deskriptif dapat tergambarkan dengan jelas. Dengan demikian, contoh uraian UP dalam subbab metode deskriptif di atas cenderung bersifat kutipan tanpa konteks.

106

b. metode kajian Dalam uraian subbab metode kajian, penyusun UP kurang mampu menyusun redaksi yang memadai untuk memberi gambaran metodis secara lengkap perihal kajian yang digunakan dalam penelitiannya. Cermati contoh uraian yang dimaksud:

1.2 Metode Kajian Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode struktural dengan pendekatan objektif. Struktural adalah sebuah karya atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi keseluruhan karena ada timbal balik antarunsur. Bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan kemenyeluruhan (Teeuw, 2003:112) Adapun data yang dikaji berpusat kepada: (1) masalah (bahan tematik) menjadi dasar penceritaan novel, (2) struktur cerita, (3) keterjalinan antarunsur dalam novel, dan (4) tema dan amanat. Langkah kerja metode kajian ini secara sistematis dilakukan melalui tahapan: (a) penelusuran masalah-masalah yang menjadi dasar penceritaan untuk diarahkan pada penelusuran tematik cerita, (b) mendeskripsikan unsur-unsur cerita secara struktural yang tokoh dan penokohan, plot/alur, dan latar, (c) mengungkap atau menelusuri keterjalinan antarunsur sebagai proses untuk mengetahui keutuhan novel secara struktural, dan (d) mengetahui tema dan amanat dengan didukung oleh hasil penelusuran a, b dan c.

Metode kajian menyangkut bagaimana sebuah teori secara teknik dapat mengarahkan peneliti kepada cara-cara dan langkah-langkah mengolah dan menganalisis data ke dalam beberapa tahap pengerjaan sesuai dengan pendekatan yang dipilihnya. Dalam hal ini, penyusun UP tersebut cukup

107

mampu mengejawantahkan tujuan penelitiannya ke dalam pembahasan yang kemungkinan pemecahan masalahnya dapat dicapai melalui penerapan metode kajian yang tepat. Namun demikian, kekuarangannya adalah penyusun tidak memberi gambaran secara jelas perihal masing-masing langkah kerjanya yang tentunya dibatasi dan diarahkan secara metodis oleh teori yang digunakan. Kekuarang yang dimaksud adalah:

a. penelusuran masalah-masalah yang menjadi dasar penceritaan Pada langkah ini penyusun tidak memberikan langkah nyata yang akan dilakukan dalam penelusuran masalah. Instrumen apa yang digunakan sehingga data tertentu dipilih dan ditetapkan sebagai data yang mengandung masalah.? Apakah instrumen yang dimaksud akan diarahkan ke pencermatan peristiwaperistiwa penting dari keseluruhan jalan cerita yang memiliki hubungan sebab akibat? Bagimana halnya dengan pelekatan konflik pada tiap-tiap peristiwa? Apakah setiap konflik mengindikasikan adanya masalah yang dapat dijadikan dasar penelusuran tema?

b. mendeskripsikan unsur-unsur cerita secara struktural Pada tahap ini, penyusun tidak memerikan tiap unsur cerita (tokoh dan penokohan, plot/alur, dan latar) secara jelas berdasarkan tipikal masing-masing unsur. Pencermatan tokoh dan penokohan akan terejawantahkan melalui teori yang dipilih sehingga sekaligus akan menggiring pada model analisisnya. Misalnya saja, penyusun yang memilih teori teknik pelukisan dramatik tokoh

108

menurut Altenbernd & Lewis tentunya akan berbeda dengan pemilihan teori mengenai teknik pelukisan ragaan (showing) tokoh menurut Abrams. Pada unsur-unsur cerita lainnya, seperti pengeplotan, apakah akan dijajaki melalui pemanfaatan kaidah pengeplotan (plausibilitas, suspense, surrise, kesatupaduan) sebagai instrumen; atau pengeplotan berdasarkan kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, atau isi? Pemilihan di dalamnya akan menentukan cara kerja yang relevan untuk dilakukan dalam kerja analisis. Demikian pula pada pembicaraan latar, langkah apa yang dapat ditempuh secara teknis dalam uraian subbab metode kajian? Langkah apa yang secara tepat dapat mengarahkan penelusuran latar waktu, tempat, dan sosial?

c. mengungkap keterjalinan antarunsur untuk mengetahui keutuhan novel secara struktural Berkaitan dengan hal ini, penyusun tidak memberikan gambaran atau bentuk keterjalinan yang dimaksud. Bagaimana teknik menentukan jalinan unsur yang dimaksud? Jalinan apa saja atau bentuk jalinan yang bagaimana sehingga jalinan tersebut ditafsirkan sebagai dasar keutuhan novel ? dsb.

d. mengetahui tema dan amanat Walaupun pada bagian akhir uraian pada subbab metode kajian penyusun menyebutkan bahwa hasil penelusuran a, b, dan c digunakan untuk mengetahui tema dan amanat, tetapi teknik penjabaran riil pemanfaatan hasil penelusuran tesebut tidak disertakan. Bagaimana relevansi tiap-tiap

109

penelusuran tersebut dengan kepentingan pencarian tema dan amanat? Model pemilihan analisis apakah yang menjadikan sejumlah kriteria sebagai variabel penelusuran tema? Metode penelitian yang menyangkut teknik pupuan data dan metode kajian, seharusnya sudah cukup jelas digambarkan di bagian-bagian

sebelumnya. Uraian metode yang menyangkut bagian-bagian penelusuran masalah-masalah yang menjadi dasar penceritaan seharusnya menjadi bagian yang sangat potensial untuk menentukan tema. Masalah-masalah tersebut dihimpun dan selanjutnya dipilah berdasarkan kriteri tertentu yang

mengarahkan sebuah interpretasi guna menjangkau tema, baik tema mayon maupun minor dan sebagainya sesuai dengan batasan teori yang digunakan dalam penelitian. Adapun dalam penentuan amanat, hasil analisis atas tema hendaknya diramu kembali untuk menghasilkan sebuah penyataan yang mengarah kepada nuansa amat cerita untuk kemudian ditentukan secara memadai amanat yang paling relevan dengan kandungan cerita dari seluruh analisis yang telah dikerjakan. Kelemahan-kelemahan di atas tentunya perlu dibenahi sebelum proposal penelitian diajukan atau bahkan diseminarkan untuk mendapatkan persetujuan dari tim penguji. Jalan terbaik untuk mencapai hasil rancangan usulan penelitian yang memadai adalah secara bertahap melakukan konsultasi kepada pihak yang berwenang melakukan bimbingan sambil terus

mengemukakan masalah-masalah teknis dan non teknis yang dihadapi selama

110

penyusunan rancangan penelitian yang dimaksud. Dengan demikian, selalu terbuka solusi selama kedua belah pihak (peneliti dan pembimbing) sama-sama aktif dan bekerja keras untuk mendapatkan hasil terbaiknya.

*******

111

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Imran T. 1999. Sastra Lisan, Makalah. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Abrams, M.H. The Mirror and lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: The Norton Library; W.W. Norton & Company Inc. Chamamah. S. 2001. Penelitian sastra Tinjauan Teori dan Metode Sebuah Pengantar, Metodologi Penelitian Sastra (Jabrohim, ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Faruk, 1999. Strukturalisme-Genetik, Makalah. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah mada. Iser, Wlfgang. 1987. The Act of Reading. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of reseption. Minneapolis: University of Minnesotta Press. Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia. Makaryk, Irena R. (ed.) 1993. Enclyclopedia of Contemporary Literary

Theory. Toronto-Buffalo-London: University of Toronto Press

112

Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin Nazir, Moh. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pradopo, Rachmat Djoko, 1999. Strukturalisme, Makalah. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. ------------------------------. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media Propp, V. 1987. Morfologi Cerita Rakyat. Diterjemahkan oleh Noriah Taslim. Selangor: Sain Baru Sdn.Bhd. Rien T. Segers. Evaluasi Teks Sastra. 2000. Diterjemahkan oleh Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: AdiCita Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya T. Fatimah Djajasudarma. 19. Metode Penelitian Linguistik. Bandung: Eresco. Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Diterjemahkan oleh Okke K.S. Zaimar, dkk. Jakarta: Djambatan. Wellek, Rene & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Wuradji, 2001. Pengantar Penelitian, Metodologi Penelitian Sastra

(Jabrohim, ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya

113

114

115

You might also like