You are on page 1of 5

Manajer Sukses vs Manajer Efektif

15 Aug 2002 00:00

Ir. Bambang Adi Subagio, M.M.

Mana yang lebih penting, menjadi manajer sukses atau menjadi manajer efektif?
Jika dihadapkan pada pertanyaan ini mungkin Anda sedikit bingung. Apakah manajer
efektif tidak otomatis menjadi manajer sukses? Bukankah seseorang manajer disebut
sukses karena dia efektif? Nah sebelum ngelantur lebih jauh sebaiknya kita menyamakan
bahasa terlebih dulu. Manajer sukses adalah manajer yang mempunyai indeks sukses di
atas rata-rata manajer lainnya, di mana indeks sukses merupakan rasio antara tingkat
manajerial yang berhasil dicapai dan masa kerja. Manajer efektif, di lain pihak, adalah
manajer yang berhasil mencapai prestasi kerja tinggi dibanding dengan standar yang telah
ditentukan, serta mampu melakukan pekerjaan melalui orang lain dengan tingkat
kepuasan dan komitmen yang tinggi. Dalam kenyataan memang tidak tertutup
kemungkinan bahwa seorang manajer sukses sekaligus juga menjadi manajer efektif.
Namun karakteristik kedua jenis manajer ini tetap dapat dibedakan.

Tahukah Anda tugas atau pekerjaan manajer pada umumnya? Jawaban yang paling
populer mungkin adalah POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling).
Maka tidak heran apabila Anda juga menjawab demikian. Hal ini dapat dimengerti karena
dalam kurun waktu yang cukup lama - sejak Henri Fayol mengemukakan pemikirannya
yang sangat terkenal ‘The five Fayolian functions of management’ (Planning, Organizing,
Commanding, Coordinating, dan Controlling) - para manajer sejagad meyakini (atau
diyakinkan) bahwa tugas atau pekerjaan manajer hanya melakukan kelima fungsi
manajemen tersebut. Namun berdasarkan penelitian beberapa pakar manajemen, di
antaranya Henry Mintzberg, John Kotter dan Fred Luthans diperoleh gambaran yang
lebih komprehensif bahwa tugas manajer sebenarnya tidak hanya melakukan kelima
fungsi manajemen seperti yang dikemukakan oleh Fayol tersebut.

Mintzberg mengatakan bahwa pekerjaan manajer terdiri dari banyak pekerjaan pendek
(brief) yang tidak selalu berkesinambungan (disconnected) dan mereka sering terlibat
dalam hubungan dengan banyak orang, baik di dalam maupun di luar organisasi. Lebih
jauh dikatakan pula bahwa manajer mempunyai banyak peran dan mereka melakukan
pekerjaan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Dalam hal hubungan interpersonal,
manajer berperan sebagai figur kepala, pemimpin dan penghubung. Dalam hal
informasional mereka berperan sebagai pengawas, penyebar informasi dan juru bicara.
Kemudian sebagai pengambil keputusan mereka berperan sebagai wirausaha, pemecah
masalah, pengalokasi sumber daya, dan negosiator.

John Kotter dari Harvard Business School menambahkan bahwa pekerjaan manajer tidak
hanya melulu melakukan ‘Fayolian functions’. Lebih dari itu para manajer menggunakan
sebagian besar waktu mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, melalui pertemuan-
pertemuan guna mendapatkan dan/atau memberi informasi, yang oleh Kotter disebut
sebagai ‘membangun jejaring (networking)’. Melalui cara ini manajer dapat membuat
‘agenda’ sebagai hasil kompromi, serta sedikit melonggarkan kekakuan di antara mereka
yang kadang-kadang terjadi karena masing-masing mempunyai sasaran berbeda.

Manajer Sukses vs Efektif : Empat Aktivitas Manajerial

Yang terakhir adalah penelitian oleh Fred Luthans dari University of Nebraska, Lincoln.
Luthans mengelompokkan pekerjaan manajer dalam empat aktivitas manajerial sebagai
berikut:

• Komunikasi, yaitu aktivitas yang meliputi pertukaran informasi secara rutin dan
pemrosesan pekerjaan tulis-menulis.
• Manajemen tradisional, yaitu aktivitas yang terdiri dari perencanaan,
pengambilan keputusan dan pengendalian.
• Manajemen sumber daya manusia, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan aspek
perilaku, misalnya motivasi/pemberian dukungan, pendisiplinan/penghukuman,
manajemen konflik, staffing, dan pelatihan/pengembangan.
• Jejaring (networking), yaitu aktivitas yang meliputi sosialisasi/berpolitik,
berinteraksi de-ngan pihak luar, serta hal-hal ‘chit chat’ lainnya yang tidak
berkaitan dengan pekerjaan.

Luthans dapat dikatakan menampilkan uraian tentang pekerjaan manajer yang paling
lengkap dibanding Fayol, Mintzberg dan Kotter. Diskripsinya mencakup pendapat klasik
dari Fayol (aktivitas manajemen tradisional), aktivitas komunikasi dari Mintzberg dan
aktivitas jejaring dari Kotter. Tambahan dari Luthans yang cukup penting dan melengkapi
adalah aktivitas manajer pada manajemen sumber daya manusia.

Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para manajer sukses dan
manajer efektif, Luthans melakukan penelitian terhadap 248 manajer. Hasilnya
menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu dan tenaga mereka digunakan pada aktivitas
komunikasi, sekitar sepertiga pada aktivitas manajemen tradisional, seperlima pada
manajemen sumber daya manusia dan kurang-lebih seperlima pada aktivitas jejaring.

Selain melakukan penelitian secara umum tentang aktivitas manajer, Luthans juga
melakukan penelitian secara khusus untuk mengamati apa yang dilakukan oleh kelompok
manajer sukses dan juga apa yang dilakukan oleh kelompok manajer efektif. Hasilnya
menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut mempunyai pola aktivitas manajerial yang
berbeda.

Pada kelompok manajer sukses, terlihat nyata bahwa mereka mengalokasikan


waktu dan tenaga paling banyak pada aktivitas jejaring (48%). Selanjutnya
aktivitas komunikasi berada di urutan kedua (28%), manajemen tradisional di
urutan ketiga (13%) dan sumber daya manusia adalah aktivitas yang alokasi
waktunya paling sedikit (11%). Hal ini menunjukkan bahwa - dengan menggunakan
kecepatan promosi sebagai ukuran sukses - manajer sukses lebih banyak menggunakan
sebagian besar waktu dan tenaga mereka untuk bersosialisasi, berpolitik, dan berinteraksi
dengan pihak luar dibandingkan dengan rekannya yang kurang sukses. Lebih jauh lagi
dapat dikatakan bahwa manajer sukses tidak banyak menggunakan waktu dan tenaganya
pada aktivitas manajemen tradisional atau pada manajemen sumber daya manusia.

Pada kelompok manajer efektif, aktivitas yang mendapat perhatian paling besar
adalah komunikasi (44%), kemudian manajemen sumber daya manusia (26%),
selanjutnya manajemen tradisional (19%), dan yang terakhir jejaring (11%). Dari
hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa kontribusi relatif terbesar bagi
manajer efektif berasal dari aktivitas yang berorientasi pada aspek manusia, yaitu
komunikasi dan manajemen sumber daya manusia. Dengan sendirinya berarti pula bahwa
bagi manajer efektif, aktivitas yang berkaitan dengan pembinaan jejaring kurang
diprioritaskan, sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manajer sukses.

Uraian di atas barangkali dapat Anda gunakanan sebagai acuan, atau setidak-tidaknya
inspirasi, untuk mengembangkan karir Anda di masa depan - mau menjadi manajer
sukses atau manajer efektif. Kalau mau menjadi manajer sukses, perluaslah jejaring
dan keterampilan berkomunikasi, sedangkan bila ingin menjadi manajer yang
efektif, asahlah kemampuan komunikasi dan penguasaan akan manajemen sumber
daya manusia.

Melalui tulisan ini mudah-mudahan Anda mendapat inspirasi dan dapat menarik manfaat
untuk memilih apakah Anda akan menjadi manajer sukses atau efektif, atau bahkan
keduanya - sukses sekaligus efektif.

Teknologi, Perilaku Berorganisasi, dan Citra Perusahaan


15 Aug 2002 00:00

Oleh: Ir. Bambang Adi Subagiyo MM, staf pengajar Lembaga Manajemen PPM

Bayangkan! Sudah satu minggu Anda ditinggal istri yang pergi ke luar kota. Malam ini,
pukul 23.00, Anda bermaksud melepas kangen dengan menghubunginya melalui
handphone. Setelah nada `tut-tut` panjang terdengar tiga kali berturut turut, di seberang
terdengar suara seorang laki laki: "Halo, ......" Cerita ini sebaiknya dipotong di sini,
karena saya tidak mampu melukiskan bagaimana galaunya perasaan Anda, mendapati
kenyataan seperti itu. Padahal, ternyata sang istri sedang tidur nyenyak, tentu saja di
ruang yang berlainan dengan laki laki penerima telepon tadi. Handphone sang istri
ternyata tertinggal di ruang rapat. Rekan kerjanya menemukan handphone dan
membawanya ke penginapan. Rekan kerja itu lupa mematikan handphone itu. Sehingga,
pada saat Anda menghubungi handphone tersebut, ialah yang mengangkat.

Kalau kasus seperti di atas terjadi pada telepon di rumah, di kantor atau pun di tempat
lain, saya yakin penelepon pasti tidak akan mempunyai dugaan yang macam-macam.
Kenapa kita bereaksi seperti itu? Karena secara umum orang akan berpendapat bahwa
handphone (dalam persepsi kita) selalu dikaitkan dengan privacy seseorang. Ini berarti
bahwa teknologi cenderung membawa serta atribut perilaku, atau paling sedikit sopan-
santun. Atribut dan sopan-santun ini harus dipatuhi setiap orang, agar tidak terjadi konflik
atau kesalahan persepsi dalam menanggapi kenyataan yang ditimbulkan oleh penggunaan
teknologi tersebut. Itu sebabnya, sebagian orang menyarankan: kalau handphone teman
kencan Anda tertinggal, cepat matikan sebelum Anda membawanya.

Pada level individu, teknologi menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku individu
penggunanya. Pada level organisasi bagaimana dampak penggunaan teknologi pada
perilaku manusia?

Teknologi dan Perilaku Berorganisasi Ketika PT Rindu Order memutuskan penggunaan


jaringan komputer sebagai peralatan komunikasi internal kantor, maka istilah e-mail
(surat elektronik) menjadi populer di kantor. Ketika masa perkenalan terhadap teknologi
baru tersebut dianggap cukup, pihak direksi memutuskan agar semua surat internal
menggunakan e-mail, termasuk di dalamnya undangan rapat.

Konsekuensi keputusan di atas adalah setiap karyawan di PT Rindu Order harus


membuka e-mail paling sedikit dua kali dalam satu hari: pagi hari pada saat mulai
bekerja, dan sore hari ketika akan meninggalkan kantor. Dengan demikian tidak akan
terjadi undangan rapat untuk esok hari baru diketahui beberapa hari kemudian.
Konsekuensi berikutnya, penerima undangan rapat melalui e-mail tidak dapat berdalih
belum membaca atau memperoleh surat undangan. Dulu, pada saat surat undangan rapat
dibuat secara tertulis di atas kertas, sering kali orang berdalih bahwa surat undangan
terselip atau tidak dterima. Pada surat elektronik, begitu Anda membuka loket e-mail
yang berisi surat tersebut maka pengirim surat undangan rapat akan mendapat
pemberitahuan bahwa suratnya telah dibaca. Oleh sebab itu, kebiasaan pura-pura tidak
tahu adanya undangan rapat secara otomatis akan ditinggalkan.

Uraian di atas, melukiskan dengan cukup jelas bahwa penggunaan teknologi akan
berdampak pada perubahan perilaku berorganisasi karyawan. Padahal, mengubah
perilaku organisasi itu selain membutuhkan waktu lama, juga memerlukan usaha yang
besar. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, mengapa banyak perusahaan masih nekad
mengintroduksi teknologi baru di perusahaannya?

Teknologi dan Citra Perusahaan Sebuah bank pemerintah yang cukup besar,
menggunakan fasilitas online (meskipun belum sepenuhnya) dengan tujuan agar para
nasabah dapat memperoleh lebih banyak kemudahan dibanding sebelumnya. Suatu hari,
saya harus mengisi tabungan orang-tua di bank yang sama, tetapi dari cabang yang
berbeda. Karena tidak tahu adanya fasilitas tersebut, saya memilih instrumen pengiriman
uang lewat bank. Teller memproses transaksi tersebut seperti biasanya dan saya
membayar sekitar sepuluh ribu rupiah untuk itu. Kejadian ini, akan terasa berbeda bila
teller mengambil sikap begini: "Kita sudah memiliki fasilitas online, dan bapak dapat
mengirim uang ini melalui fasilitas transfer antarcabang secara gratis." Tentu saja, saya
akan merasa sangat beruntung, tidak harus mengeluarkan uang Rp 10 000.- Lebih untung
lagi karena transfer uang memerlukan waktu yang lebih pendek.

Fasilitas online (teknologi) dapat dipandang sebagai physical evidence (bukti fisik) dari
pihak bank (perusahaan) bahwa jasa yang diberikan saat ini sudah jauh lebih maju dari
sebelumnya. Ini berdampak pada citra perusahaan. Jadi, seringkali teknologi baru dipakai
untuk keperluan menaikkan citra perusahaan di mata pelanggan. Namun, dari kejadian di
atas, terlihat bahwa tanpa adanya perubahan sikap dari pelaku organisasi (teller), nasabah
(pelanggan) tidak akan tahu adanya fasilitas baru tersebut maupun manfaatnya bagi
mereka. Ini berarti, penggunaan teknologi baru tersebut tidak mampu mengangkat citra
perusahaan.

Penutup Dengan demikian, pada level organisasi, terdapat kaitan erat antara teknologi
dengan perilaku organisasi dan citra perusahaan. Citra perusahaan yang hendak
didongkrak diwujudkan dalam pilihannya atas pengunaan teknologi baru. Ini
menunjukkan adanya integrasi antara citra yang hendak dibangun dengan jenis teknologi
yang dipilih. Teknologi menuntut serangkaian perilaku yang akan menjadi identitas
perusahaan tersebut. Sebaliknya, perilaku pelaku organisasi yang terbentuk akibat
penggunaan teknologi baru akan memperjelas citra perusahaan.

You might also like