You are on page 1of 8

TUGAS TAKE HOME MATA KULIAH EKONOMI SYARIAH

Disusun Oleh : Nofridy Widya Eswaratika H0809088 Agribisnis B

PRODI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

PEGADAIAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Diambil dari http://ekisonline.com pada hari Sabtu tanggal 24 September 2011 pukul 10.39 A. Pendahuluan Bank Muamalat Indonesia (BMI) kian gencar meningkat aliansi dan kerjasama dengan para mitra usahanya. salah satunya dengan memantapkan kerjasama pembiayaan gadai syariah (rahn) dengan Perum pegadaian, yang ditanda tangani awal september lalu. Kerja sama ini mencakup tambahan pembiayaan modal kerja tiga Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) yang telah beroperasi dan pendirian 13 Cabang Layanan Gadai Syariah (Majalah Modal, 2003: 64). Pegadaian syariah sebagai suatu solusi yang muncul di tengah kegelisahan masyarakat terhadap praktek-praktek penipuan yang berkedok jasa, dan juga dilatarbelakangi atas berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga yang berorientasi pada penawaran jasa ini, mencoba tampil dengan kepercayaan penuh dan patut untuk mendapatkan kepercayaan. secara konsep pegadaian syariah terfokus pada mekanisme kepengelolaannya yang sesuai dengan kaedah fiqih, dan seperti yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah SAW. Secara umum ciri dari pegadaian adalah transaksi dari pemilik dana (modal) dengan pemilik barang. Transaksi yang dimaksud adalah peminjaman sejumlah dana dengan jaminan barang yang sesuai dengan nilai uang yang dipinjam. Pada dasarnya konsep pegadaian syariah yang dimaksud dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, kebutuhan konsumtif Kedua, kebutuhan produktif. Adapun latar belakang munculnya sistem syariah secara umum tidak terlepas dari mekanisme sistem konvensional yang menggunakan konsep bunga, sebab dengan konsep bunga yang diterapkan dalam pegadaian konvensional dapat dikatagorikan sebagai riba dan hal ini dilarang oleh Islam, sedangkan dalam sistem syariah yang dikembangkan bukanlah sistem tambahan (bunga). (Buletin KOMPAS, Edisi 29/IX/2003).

B.

Tinjauan Umum Pegadaian dalam Perspektif Islam 1. Pengertian Gadai (rahn) Ar-Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh. Ulama Mazhab Maliki

mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Sedangkan ulama Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu. Rahn di tangan murtahin (pemberi utang kreditur) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin (orang yang berutang debitur). Barang jaminan itu baru dapat dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak utang tidak dapat dilunasi oleh debitur. Oleh sebab itu, hak kreditur terhadap barang jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi utangnya (Sjahdeini, 1999: 76). Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti tetap, berlangsung dan menahan. Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pendangan syara sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagaian utang dapat diterima (Basyir, 1983: 50). Dalam buku lain juga didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syariah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu

(Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, 2001: 73). Menurut tarif yang lain dalam bukunya Muhammad Syafii Antonio (1999: 213) dikemukakan sebagai berikut: menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang

diterimannya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshori (Syafii dalam Chuzaimah, 1997: 60) dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut: Menjadikan barang yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari harga benda itu bila utang tidak dibayar. Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil uang.

Gadai untuk menanggung semua hutang. Kalau orang yang berhutang mengembalikan sebagian hutangnya, ia tidak boleh mengambil barang yang digadaikan sebelum melunasi semua hutangnya. Boleh menggadaian barang milik serikat untuk tanggungan hutang seseorang asal mendapat izin dari serikat. Juga boleh menggadaikan barang pinjaman, sebab barang itu sudah menjadi hak sementara (Rifai. 1978: 197-198). 2. Dasar Hukum Gadai Gadai hukumnya jaiz (boleh) menurut al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijma (Sabiq, 1996: 139). a. Dalil dari al-Quran Surat al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut:

Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. al-Baqarah: 283) b. Dalil dari as-Sunnah Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi berkata: Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku. Rasulullah kemudian menjawab: bohong! sesungguhnya aku orang yang jujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku

pasti aku tunaikan Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya. (H.R. Bukhari). c. Ijma dan Qiyas Ulama Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para Ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur Ulama berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian. Berdasarkan al-Quran dan Hadist diatas

menunjukan bahwa transaksi atau perjanjian gadai dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi pernah melakukannya. Namun demikian perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dengan melakukan Ijtihad. Bagaimanakah perbandingan konsep pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional ditinjau dari aspek hukumnya? (Muhammad dan hadi, 2003: 41).

Pendapat

Gadai adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang . Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu. Gadai secara hukumnya dibolehkan asalkan tidak terkandung unsur-unsur ribawi. Bahkan beberapa kali Rasulullah SAW mengadaikan harta bendanya. Hal ini dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,

Sesungguhnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya. (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603) Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya, (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasai, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn). Dari kedua hadits di atas, bisa kita simpulkan bahwa Rasullulah mengizinkan kita melakukan praktek gadai, bahkan dibolehkan juga buat kita untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan. Namun pegadaian yang sering kita saksikan di negeri kita ini banyak yang melanggar aturan syariah. Sehingga hukumnya haram. Sebab prakteknya justru sekedar pembungaan uang atau hutang yang nyata-nyata diharamkan di dalam semua agama. Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana saat anaknya

sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya. Misalnya seseorang menggadaikan mobilnya dan mendapat uang pinjaman 50 juta. Ini adalah hutang yang harus dibayarkan pokok dan bunganya. Dan selama pokok pinjaman itu belum dikembalikan, bunganya tetap terus berkembang. Boleh jadi ke depannya jumlah hutangnya sudah membengkak menjadi 100 juta. Beda gadai ini dengan pinjaman uang biasa adalah pada masalah jaminan, di mana dengan digadaikannya mobil itu, pihak yang memberi pinjaman akan lebih mudah mengeluarkan uang pinjaman. Sebab harga mobil itu sudah pasti lebih mahal dari jumlah pinjaman yang diberikan. Dalam gadai secara syariah, tidak ada pembungaan uang pinjaman, melainkan biaya penitipan barang. Ketika seseorang menggadaikan mobilnya, maka dia berkewajiban untuk membayar biaya penitipan mobil itu. Dan biaya seperti itu wajar terjadi. Bukankah ketika kita memarkir mobil di sebuah mal, kita diwajibkan untuk membayar ongkos parkir untuk tiap jamnya? Maka ketika seseorang menggadaikan mobil, dia pun pada hakikatnya harus membayar biaya penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah yang jadi keuntungan bagi pihak yang memberi pinjaman hutang. Perbedaan utama antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah bebas dari bunga, yang ada adalah biaya penitipan barang. Dalam perkembangannya, gadai yang sesuai syariah ternyata memilki potensi pasar yang besar sehingga di negeri kita pun sekarang sudah mulai banyak pegadaian yang menggunakan sistem syariah, atau dikenal dengan nama Pegadaian Syariah. Saya setuju dengan artikel tersebut karena konsep pegadaian syariah adalah peminjaman sejumlah dana dengan jaminan barang yang sesuai dengan nilai uang yang dipinjam sehingga konsep yang dikembangkan bukanlah sistem tambahan (bunga) atau riba yang diharamkan oleh syariat islam.

You might also like