You are on page 1of 313

Satu..........................................................................................................

2
Dua.........................................................................................................10
Tiga.........................................................................................................16
Empat......................................................................................................36
Lima........................................................................................................51
Enam.......................................................................................................67
Tujuh.......................................................................................................80
Delapan....................................................................................................98
Sembilan.................................................................................................127
Sepuluh...................................................................................................167
Sebelas...................................................................................................186
Dua Belas.................................................................................................196
Tiga Belas................................................................................................207
Empat belas..............................................................................................229
Lima Belas...............................................................................................239
Enam Belas...............................................................................................259
Tujuh Belas...............................................................................................281
Delapan Belas...........................................................................................299
Sembilan Belas..........................................................................................304
Dua Puluh................................................................................................311

Rabu, 14 Februari 2007


Kebenaran Sederhana
Jodi Piccult

Aku harus menjadi anak Kristiani


Lembut, sabar, penurut, dan tulus;
Harus jujur, sederhana dan ikhlas
Juga dalam kata-kata dan tindakan...
Harus ingat, bahwa Tuhan bisa mengetahui
Semua yang kupikirkan, dan semua yang kulakukan
―Lagu sekolah Amish

Satu
Ia sering memimpikan adik perempuannya mati mengambang di bawah permukaan es, tapi
malam ini, untuk pertama kali ia melihat Hannah mencakar-cakar, mencoba keluar. Ia bisa
melihat mata Hannah, putih membelalak; merasakan kuku-kuku jarinya yang mencakar-
cakar. Lalu ia bangun dalam keadaan terkejut. Sekarang bukan musim dingin―sudah bulan
Juli. Tidak ada es di bawah telapak tangannya, hanya seprai ranjangnya yang kusut. Tapi
sekali lagi ia merasa ada seseorang di sisi lain, berjuang untuk keluar.
Ketika cengkaraman dalam perutnya menguat, ia menggigit bibir bawahnya. Mengabaikan
rasa sakit yang bergelombang dan surut, ia mengendap-endap bertelanjang kaki menuju
kegelapan malam.
Kucing di gudang mengeong saat ia masuk ke dalam. Sekarang ia terengah-engah, kakinya
gemetaran seperti ranting pohon willow. Duduk di atas jerami di pojok dekat kandang sapi-
sapi yang sedang bunting, ia menekuk lututnya. Sapi-sapi berperut gendut itu memutar bola
mata bulat mereka ke arahnya, lalu berpaling cepat, seakan-akan tak mau menyaksikan apa
yang akan terjadi.
Ia memfokuskan pandangannya pada badan sapi-sapi Holstein itu sampai titik-titik hitam di
badan mereka mengabur. Ia menggigit lipatan baju tidurnya yang tergulung ke atas. Ia
merasakan dorongan kuat, seakan-akan semua isi perutnya diaduk-aduk; dan ia ingat
bagaimana ia dan Hannah sering bermain merangkak melewati terowongan di pagar kawat
berduri dekat sungai, mendorong dan beringsut, dengan lutut, erangan, dan siku, hingga
akhirnya secara ajaib mereka berhasil keluar.
Semua berakhir secepat dimulainya. Dan di atas jerami yang lembap dan bernoda hitam di
antara kakinya, terbaring seorang bayi.

Aaron Fisher berguling ke samping di bawah selimut berwarna cerah untuk melihat jam
meja di sisi ranjangnya. Sebenarnya tak ada apa pun, tak ada suara apa pun yang
membangunkannya, namun setelah empat puluh tahun bertani dan memerah susu, hal
terkecil pun bisa membangunkannya, suara langkah kaki di ladang jagung, perubahan pola
angin, jilatan induk sapi di badan anaknya yang baru lahir.
Aaron merasakan kasur bergerak ketika Sarah bangun bertelekan siku di belakangnya,
kepangan rambutnya yang panjang melingkar di bahu seperti tali pelaut. “Was ist letz?”
Ada apa?
Itu bukan suara ternak; baru satu bulan lagi sapi pertama akan melahirkan. Juga bukan
pencuri, karena suaranya terlalu lemah. Ia merasakan lengan istrinya melingkar di
pinggangnya, menempelkan badan ke punggungnya. “Nix,” gumamnya. Tak ada suara apa-
apa. Tapi Aaron tidak tahu apakah ia berusaha meyakinkan Sarah atau dirinya sendiri.

Setidaknya ia tahu harus memotong tali pusar yang menjulur melingkar keunguan dari perut
si bayi. Dengan tangan gemetar ia berhasil meraih gunting tua yang tergantung di pasak
dekat pintu kadang. Gunting itu berkarat dan ada berkas-berkas jerami menempel di sana.
Tali pusat itu terputus dalam dua kali guntingan, lalu mulai memancurkan darah. Dengan
perasaan ngeri, ia menekankan jempol dan telunjuknya di ujung guntingan, menutup aliran
darahnya, sementara dengan gugup mencari-cari apa yang bisa digunakan untuk mengikat
tali pusar itu.
Ia meraba-raba di jerami dan mengambil secarik pengikat jerami, yang segera ia ikatkan di
tali pusar si bayi. Pendarahan melambat, lalu berhenti. Lega, ia terbaring tertelekan siku –
lalu bayi itu mulai menangis.
Dengan sigap ia meraih bayi itu dan memeluknya erat-erat. Dengan kakinya ia menendang-
nendang jerami, mencoba menutupi noda darah dengan jerami. Mulut bayi membuka dan
menutup baju tidurnya, ingin disusui.
Ia tahu apa yang diinginkan bayi itu, yang dibutuhkannya, tapi ia tak bisa melakukannya.
Sebab kalau ia melakukannya, semua ini akan terasa nyata.
Jadi, ia memberikan jari kelingkingnya pada bayi itu. Ia membiarkan rahang kecil dan kuat
itu mengisap, sementara ia melakukan apa yang telah diajarkan padanya untuk dilakukan di
saat-saat sulit; apa yang telah ia lakukan selama beberapa bulan terakhir. “Tuhan,” doanya,
“tolong hilangkan semua ini.”
02
Suara gemerisik rantai membangunkannya. Hari masih gelap, tapi jadwal internal sapi
perah telah membuat sapi-sapi itu terbangun di kandang masing-masing, ambing mereka
tergantung dengan pembuluh membiru dan penuh susu, seperti bulan purnama di antara
kaki-kaki mereka. Ia kesakitan dan kelelahan, tapi ia tahu ia harus keluar dari gudang
sebelum para pria datang untuk memerah susu. Saat melihat ke bawah, ia sadar telah
terjadi keajaiban: jerami yang basah ternoda darah terlihat bersih sekarang, kecuali noda
kecil di bawah tempat duduknya tadi. Dan dua hal yang ia pegang saat ia tertidur―gunting
dan bayi yang baru lahir―sudah tak ada.
Ia berdiri dan memandang ke atap, terpesona dan takzim.
“Denke,” bisiknya, lalu ia lari ke luar gudang, menuju kegelapan.
Seperti anak laki-laki Amish usia enam belas tahun lainnya, Levi Esch tak lagi bersekolah. Ia
sudah lulus kelas delapan dan sekarang berada dalam situasi terombang-ambing antara
masa anak-anak hingga usianya cukup tua untuk dibaptis dalam keyakinan Amish. Untuk
sementara ia bekerja pada Aaron Fisher, yang kini tak lagi punya putra untuk membantunya
di peternakan susu. Levi mendapatkan pekerjaan itu atas rekomendasi sepupunya yang
lebih tua, Samuel, yang sudah magang di pertanian Fisher selama lima tahun sekarang. Dan
karena semua orang tahu Samuel mungkin akan segera menikahi anak gadis Fisher lalu
membangun pertanian sendiri, itu artinya Levi akan mendapatkan promosi tak lama lagi.
Hari kerjanya dimulai sejak jam 04.00 pagi, seperti di peternakan susu lainnya. Saat itu
masih gelap gulita, dan Levi tak bisa melihat kereta kuda Samuel mendekat, tapi ia bisa
mendengar samar suara derak rodanya. Ia meraih topi jeraminya yang berpinggiran lebar
dan lari keluar, lalu melompat naik ke tempat duduk di samping Samuel.
“Hai,” katanya terengah.
Samuel mengangguk tapi tak berpaling, tak membalas sapaannya.
“Ada apa?” goda Levi. “Katie tak mau memberimu ciuman selamat tinggal semalam?”
Samuel cemberut dan memukul kepala Levi hingga topi jeraminya jatuh ke bagian belakang
kereta.
“Kenapa kau tidak diam saja?”
Angin berbisik di pinggir ladang jagung ketika mereka meneruskan perjalanan tanpa
berbicara. Setelah beberapa saat, Samuel menghentikan keretanya di halaman depan
rumah Fisher. Levi menggeser-geserkan ujung sepatu botnya ke tanah yang lembek, dan
menunggu Samuel melepaskan kuda di padang rumput sebelum mereka menuju gudang.
Lampu yang digunakan untuk memerah susu dinyalakan dengan generator, seperti juga
pompa vakum yang disambungkan ke putting susu sapi-sapi. Aaron Fisher berlutut di sebelah
salah seekor sapi, menyemprot ambing sapi dengan larutan iodine lalu mengeringkannya
dengan robekan halaman buku telepon lama, “Samuel, Levi,” sapanya.
Ia tidak mengatakan apa yang harus mereka lakukan, karena mereka berdua sudah tahu apa
yang harus dilakukan. Samuel mendorong gerobak ke bawah penyimpanan makanan ternak.
Levi menyekop kotoran sapi dari belakang masing-masing sapi, sambil sesekali melihat ke
arah Samuel dan berharap ia sudah menjadi pembantu senior peternakan.
Pintu gudang terbuka, dan ayah Aaron masuk. Elam Fisher tinggal di grossdawdi haus,
apartemen kecil yang menempel pada rumah utama. Meskipun Elam membantu memerah
sapi, Levi tahu aturan tak tertulisnya: pastikan kakek itu tidak membawa barang-barang
berat; jaga agar kakek itu tidak terlalu memaksakan diri; dan buat dia percaya bahwa Aaron
tak bisa bekerja tanpa bantuannya, meskipun sebenarnya Aaron bisa mengatasi semuanya
sendiri.
“Anak-anak,” kata Elam dengan suara keras, lalu berhenti, hidungnya berkerut di atas
janggut putihnya yang panjang. “Wah kita punya anak sapi baru.”
Aaron berdiri kebingungan. “Tidak. Aku sudah mengecek kandang.”
Elam menggeleng. “Tapi baunya ada, sama saja.”
“Mungkin Levi butuh mandi,” gurau Samuel, menuangkan satu sekop makanan segar di
depan sapi pertama.
Saat Samuel berkeliling dengan makanan di gerobak, Levi mengayunkan tangan hendak
memukulnya, tapi terpeleset kotoran. Ia terjatuh di dasar selokan yang dibuat untuk
menampung kotoran, dan merengut memandang Samuel yang tertawa terbahak.
“Sudahlah,” Aaron menengahi, meskipun senyum tampak di sudut mulutnya. “Samuel,
jangan ganggu dia. Levi, kurasa Sarah meletakkan baju ganti untukmu di ruang peralatan.”
03
Levi berdiri, pipinya memerah. Ia berjalan melewati Aaron, melewati papan tulis
bertuliskan statistik tentang sapi-sapi yang bunting, dan berjalan ke ruang sempit tempat
menyimpan selimut dan kekang yang digunakan untuk kuda dan kedelai peternakan. Seperti
ruang gudang lainnya, ruang itu rapi sekali. Kekang tali kulit tergantung di dinding seperti
jaring labah-labah, dan di rak tertata sepatu kuda cadangan serta stoples-stoples berisi
ramuan salep.

Levi memandang sekeliling, tapi tak melihat ada baju. Lalu ia melihat warna cerah di
tumpukan selimut kuda. Yah, itu masuk akal. Kalau Sarah Fischer mencuci bajunya, ia pasti
mencucinya dengan cucian gudang lainnya. Ia mengangkat selimut bergaris yang berat itu
dan melihat celana dan kemeja hijau gantinya tergulung. Levi maju, berusaha mengibas
gulungan bajunya, dan menemukan dirinya melihat ke wajah mungil kaku bayi yang baru
lahir.
“Aaron!” Levi berhenti dari larinya, terengah-engah. “Aaron, kau harus ikut aku.” Ia lari ke
ruang penyimpanan. Aaron berpandangan dengan ayahnya, dan mereka berdua lari
mengikuti anak itu, dengan Samuel membuntuti di belakang.
Levi berdiri di depan tumpukan selimut kuda, yang di atasnya terbaring bayi yang kelihatan
tertidur terbungkus kemeja anak laki-laki. “Aku... Kurasa dia tak bernapas.”
Aaron mendekat. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia berada di dekat bayi sekecil ini.
Kulit wajahnya yang lembut terasa dingin. Ia berlutut dan menundukkan kepala, berharap
napas bayi itu berembus di telinganya. Ia menyentuhkan telapak tangannya ke dada bayi
itu.
Lalu ia berpaling ke Levi. “Larilah ke rumah Schuylres dan bilang pinjam telepon.” katanya.
“Telepon polisi.”

“Yang benar saja,” kata Lizzie Munro pada atasannya. “Aku tak mau mengecek bayi yang
tak bergerak. Kirim saja ambulans.”
“Mereka sudah di sana. Mereka minta dikirimi detektif.”
Lizzie memutar bola matanya. Setiap tahun sejak ia menjadi sersan detektif di kepolisian
kota East Paradise, paramedis yang bertugas sepertinya semakin muda. Dan semakin
bodoh. “Itu panggilan medis, Frank.”
“Yah, ada yang tidak beres di sana.” Letnan itu mengulurkan selembar kertas bertuliskan
alamat padanya.
“Fisher?” baca Lizzie, mengerutkan kening saat membaca nama dan alamatnya. “Mereka
Amish?”
“Kurasa begitu.”
Lizzie menghela napas dan meraih tas hitam besarnya serta lencananya. “Kau tahu ini
hanya buang-buang waktu.” Lizzie sudah beberapa kali berurusan dengan remaja Amish,
yang berkumpul di gudang seseorang untuk minum dan berdansa dan baisanya mengganggu
ketertiban. Satu-dua kali ia dipanggil untuk mencatat pernyataan dari beberapa pengusaha
Amish yang kecurian. Namun umumnya klan Amish jarang berhubungan dengan polisi.
Komunitas mereka hidup tanpa gangguan, seperti gelembung udara yang tak tertembus air
di sekelilingnya.
“Catat saja pernyataan mereka, dan aku akan membalasmu nanti.” Frank membuka pintu
untuknya saat Lizzie keluar dari kantor. “Aku akan menemukan penjahat gemuk dan manis
yang bisa kau gigit sepuasnya.”
“Jangan memberiku balasan apa pun,” kata Lizzie, tapi ia tersenyum saat masuk ke mobil
dan menuju pertanian Fisher.

Halaman depan rumah Fisher dipenuhi mobil polisi, ambulans, dan sebuah kereta kuda.
Lizzie berjalan ke rumah dan mengetuk pintunya.
Tak seorang pun membukakan pintu, tapi terdengar suara sapaan dari belakang Lizzie,
irama dialek wanita itu membuat aksen konsonannya terdengar lebih halus. Seorang wanita
Amish setengah baya mengenakan baju warna lavender dan celemek hitam bergegas
mendekati Lizzie. “Aku Sarah Fisher. Ada yang bisa kubantu?”
“Saya Sersan Detektif Lizzie Munro.”
Sarah mengangguk takzim dan membawa Lizzie ke ruang penyimpanan di gudang, di sana
dua petugas paramedis berlutut di samping seorang bayi. Lizzie membungkuk di samping
salah seorang paramedis. “Apa yang kaudapat?”
“Baru lahir, masih sangat baru. Tidak ada detak jantung ataupun napas ketika kami sampai
di sini dan kami belum berhasil memulihkannya. Salah satu pekerja peternakan
menemukannya terbungkus kemeja hijau itu, di bawah selimut kuda. Aku tak bisa bilang
apa bayi ini lahir meninggal atau tidak, tapi seseorang jelas berusaha menyembunyikan
mayatnya. Kurasa salah satu anggotamu ada di dekat pemerahan susu, mungkin dia bisa
memberitahumu lebih banyak.”
04
“Tunggu sebentar―seseorang melahirkan bayi ini lalu berusaha menyembunyikannya?”
“Yeah. Sekitar tiga jam lalu,” gumam petugas paramedis.
Tiba-tiba telepon permintaan respons medis sederhana mejadi lebih rumit daripada yang
diperkirakan Lizzie, dan tersangka yang paling mungkin melakukan ini berdiri tak jauh
darinya. Lizzie memandang Sarah Fisher yang bersedekap dan gemetaran. “Bayi itu... apa
dia mati?”
“Kurasa demikian, Mrs. Fisher.”
Lizzie membuka mulut untuk bertanya lagi, tapi perhatiannya teralih oleh suara samar
peralatan yang dipindah-pindahkan, “Apa itu?”
“Para pria, menyelesaikan memerah.”
Alis mata Lizzie naik. “Memerah?”
“Hal-hal seperti ini...,” kata wanita itu pelan. “Masih perlu dilakukan.”
Tiba-tiba Lizzie merasa sangat kasihan padanya. Hidup tak pernah berhenti untuk mereka
yang mati; ia seharusnya lebih tahu itu daripada orang-orang lain. Lizzie melembutkan
suaranya dan meletakkan tangannya di bahu Mrs. Fisher, tak begitu yakin apa yang
dirasakan wanita itu sekarang. “Saya tahu, ini pasti sangat sulit bagi Anda, tapi saya harus
menanyakan beberapa hal pada Anda tentang bayi itu.”
Sarah Fisher mengangkat matanya memandang Lizzie. “Itu bukan bayiku,” katanya. “Aku
tidak tahu dari mana asalnya.”

Setengah jam kemudian, Lizzie membungkuk di samping fotografer TKP. “Tetap di gudang.
Kaum Amixh tak suka difoto.” Pria itu mengangguk, menghabiskan satu rol film di sekitar
ruang penyimpanan, dengan mengambil beberapa foto close-up mayat bayi itu.
Setidaknya sekarang ia mengerti kenapa ia diminta datang. Bayi tak dikenal ditemukan
tewas, ibunya yang belum diketahui siapa meninggalkannya. Dan semua ini terjadi di
tengah pertanian Amish.
Lizzie telah mewawancarai tetangga terdekat, pasangan Lutheran yang bersumpah mereka
belum pernah mendengar keluarga Fisher mengucapkan kata-kata keras, dan tak bisa
membayangkan dari mana asal bayi itu. Mereka punya dua putri remaja, salah satunya
ditindik di hidung dan pusar. Keduanya punya alibi tadi malam. Tapi mereka berdua setuju
menjalani pemeriksaan ginekologis untuk menghilangkan kecurigaan terhadap mereka.
Tapi Sarah Fisher tak mau.
Lizzie memikirkan ini sambil berdiri di ruang pemerahan, memandang Aaron menuangkan
seember kecil susu ke ember susu yang lebih besar. Ia tinggi dan berkulit gelap, lengannya
dipenuhi jalur-jalur otot yang muncul akibat bertahun-tahun bekerja di pertanian.
Janggutnya panjang hingga ke kancing kedua di kemejanya. Ketika selesai, Aaron
meletakkan ember itu dan berpaling ke Lizzie.
“Istriku tidak hamil, Detektif,” kata Aaron.
“Anda yakin?”
“Sarah tak bisa punya anak lagi. Dokter yang membuatnya demikian, setelah dia hampir
mati melahirkan anak kami yang bungsu.”
“Anak Anda yang lain, Mr. Fisher... di mana mereka saat bayi itu ditemukan?”
Wajah pria itu sekejap terlihat murung, namun segera menghilang secepat Lizzie
melihatnya. “Putriku tidur, di atas. Anakku yang lain... pergi.”
“Pergi, maksudnya ke rumahnya sendiri?”
“Mati.”
“Putri Anda yang tidur, berapa usianya?”
“Delapan belas.”
Lizzie terkesiap. Sarah Fisher maupun petugas paramedis tidak menyebutkan ada wanita
lain yang berada dalam usia subur juga tinggal di sini. “Apakah mungkin putri Anda hamil,
Mr. Fisher?”
Wajah pria itu menjadi sangat merah, sehingga Lizzie khawatir. “Dia bahkan belum
menikah.”
“Itu bukan keharusan, Sir.”
Aaron Fisher memandang dingin dan tajam ke detektif tersebut. “Bagi kami, iya.”

Sepertinya perlu waktu lama sekali memerah empat puluh sapi, dan itu tak ada
hubungannya dengan kedatangan pasukan polisi kedua. Samuel menutup gerbang kandang
di padang rumput, setelah mengeluarkan sapi-sapi betina untuk merumput, dan berjalan
menuju rumah utama. Ia seharusnya membantu Levi menyapu gudang untuk terakhir
kalinya pagi itu, tapi kali ini tugas itu harus menunggu.
Ia tak perlu mengetuk. Langsung membuka pintu, seakan-akan rumah ini sudah menjadi
rumahnya dan wanita muda yang berdiri di depan kompor itu juga sudah menjadi miliknya.
Samuel berhenti sesaat, memandang sinar matahari menyinari tubuh dan rambut gadis itu
yang berwarna madu, gerakan wanita itu cepat dan efisien saat menyiapkan sarapan.
05
“Katie,” kata Samuel, melangkah masuk.
Gadis itu berpaling cepat, sendoknya terjatuh di adukan adonan saat ia terkejut. “Oh,
Samuel. Aku tak mengira kau sudah datang.” Ia mengintip di balik bahu Samuel, seakan-
akan mengira di belakang Samuel ada sepasukan polisi. “Mam bilang aku harus menyiapkan
makanan untuk semua orang.”
Samuel melangkah maju, mengambil mangkuk adonan, dan meletakkannya di meja dapur.
Ia lalu menggenggam tangan Katie. “Kau kelihatannya kurang sehat.”
Katie meringis. “Terima kasih atas pujiannya.”
Samuel merengkuhnya lebih dekat. “Apa kau baik-baik saja?”
Mata Katie, saat memandang mata Samuel, sebiru laut yang pernah dilihat Samuel di
sampul majalah perjalanan, dan―ia membayangkan―mata itu juga sedalam lautan. Kedua
mata itulah yang pertama-tama menyebabkan ia tertarik pada Katie, di misa gereja yang
penuh sesak. Kedua mata itu membuatnya yakin bahwa bertahun-tahun yang akan datang ia
rela melakukan apa saja untuk gadis ini.
Katie mengelak pelukannya dan mulai membalik pancake. “Kau tahu aku,” katanya
tersengal. “Aku gugup di sekitar orang-orang Englischer.”
“Tak banyak. Hanya beberapa polisi.” Samuel mengerutkan keningnya, khawatir. “Tapi
mungkin mereka ingin bicara denganmu. Mereka sepertinya ingin bicara dengan semua
orang.”
Katie meletakkan sendoknya dan berbalik pelan. “Apa yang mereka temukan di sana?”
“Ibumu tidak bilang?”
Katie mengeleng pelan, dan Samuel ragu, terpecah antara kepercayaan Katie padanya
untuk bicara jujur dan keinginannya untuk membuat Katie tak tahu hal ini selama mungkin.
Samuel mengusapkan tangan ke rambutnya yang berwarna jerami, mengacaknya. “Ehm,
mereka menemukan bayi. Mati.”
Samuel melihat mata Katie melebar, mata yang luar biasa indah itu, lalu gadis itu terduduk
di salah satu kursi dapur. “Oh,” bisiknya, terpaku.
Dalam sekejap, Samuel sudah berada di sisinya, memeluknya erat dan berbisik bahwa ia
akan membawa Katie pergi dari sini, dan persetan dengan para polisi itu. Samuel
merasakan ketegangan Katie mengendur di pelukannya, dan untuk sesaat Samuel merasa
senang―setelah berhari-hari ditolak, akhirnya ia bisa meraih Katie lagi. Tapi tiba-tiba Katie
menegang dan menjauh. “Kurasa ini bukan saatnya,” ia menegur. Ia berdiri dan mematikan
kompor gas, lalu melipat kedua tangannya di depan perut. “Samuel, aku ingin kau
membawaku ke suatu tempat.”
“Kemana saja,” janji Samuel.
“Aku mau kau membawaku melihat bayi ini.”

“Ini darah,” tegas pemeriksa medis, berlutut di kandang sapi di depan noda gelap kecil.
“Dan plasenta. Bukan plasenta sapi, kalau dilihat ukurannya. Seseorang baru saja
melahirkan bayi.”
“Meninggal saat lahir?”
Petugas itu ragu. “Aku tak bisa memastikan tanpa autopsi―tapi firasatku bilang tidak.”
“Jadi bayi itu mati begitu saja?”
Lizzie bertumpu di tumitnya. “Maksudmu seseorang dengan sengaja membunuh bayi ini?”
Petugas itu angkat bahu. “Kukira tugasmulah untuk mengetahuinya.”
Lizzie berpikir cepat. Mengingat sempitnya jarak waktu antara kelahiran dan kematian bayi
itu, kemungkinan pelakunya adalah ibu si bayi. “Apa sebabnya? Cekikan?”
“Lebih mungkin dibekap. Aku akan memberikan laporan autopsi awalnya besok.”
Lizzie mengucapkan terima kasih dan menjauh dari TKP yang sekarang diamankan oleh
polisi patroli. Tiba-tiba ini bukan hanya kasus anak yang ditelantarkan orangtuanya, tapi
kemungkinan besar kasus pembunuhan. Ada dugaan cukup kuat untuk mendapatkan surat
perintah dari hakim distrik untuk pengambilan sampel darah, bukti yang mungkin
menunjukkan wanita mana yang telah melakukan ini.
Lizzie berhenti ketika pintu gudang terbuka. Seorang pria pirang tinggi―salah satu pekerja
peternakan―melangkah ke gudang yang agak gelap dengan seorang wanita muda. Ia
mengangguk ke arah Lizzie. “Ini Katie Fisher.”
06
Wanita muda itu cantik, dengan postur khas Jerman yang selalu mengingatkan Lizzie pada
krim segar dan musim semi. Ia mengenakan pakaian tradisional Amish: gaun lengan
panjang, ditutup celemek hitam hingga selutut. Kakinya telanjang dan kapalan―Lizzie
selalu terheran-heran melihat anak-anak Amish berlarian di jalan berbatu tanpa sepatu,
tapi begitulah cara mereka di musim panas. Gadis itu sangat gugup, sehingga Lizzie hampir
bisa merasakan ketakutannya. “Aku senang kau di sini, Katie,” kata Lizzie lembut. “Aku
mencarimu dari tadi, agar aku dapat menanyakan beberapa pertanyaan.”
Mendengar itu, Katie mendekat ke raksasa pirang di sebelahnya. “Katie tidur tadi malam,”
kata pria itu. “Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi hingga aku bilang padanya.”
Lizzie mencoba mendapatkan respons dari gadis itu, tetapi sesuatu mengalihkan perhatian
gadis itu. Ia melihat melewati belakang bahu Lizzie ke ruang penyimpanan, di sana
pemeriksa medis mengawasi pemindahan mayat bayi itu.
Tiba-tiba gadis itu melepaskan diri dari Samuel dan lari ke luar pintu gudang. Lizzie
mengejarnya hingga beranda rumah.
Dibanding reaksi yang lain terhadap kematian bayi ini, rekasi gadis itu sangat keras. Lizzie
memandangi Katie yang berusaha menenangkan diri, dan bertanya-tanya apa yang
menyebabkan gadis itu bereaksi seperti tadi. Kalau saja ia remaja biasa, Lizzie pasti
menganggap perilaku itu sebagai indikasi perasaan bersalah -tapi Katie Fisher seorang
Amish, dan itu membuat Lizzie harus menyaring dugaannya. Kalau kau seorang Amish, kau
bisa saja tumbuh di Lancaster County tanpa siaran TV dan film dengan rating R, tanpa
perkosaan, peristiwa pemukulan istri, dan pembunuhan. Kau mungkin saja melihat bayi
mati dan sangat terkejut dan shock.
Namun akhir-akhir ini banyak kasus seperti itu; ibu-ibu remaja yang menyembunyikan
kehamilan mereka, dan setelah melahirkan berusaha menghindar dengan menyingkirkan
bayinya. Ibu-ibu remaja yang sama sekali tak sadar apa yang telah mereka lakukan. Ibu-ibu
remaja dari berbagai bentuk, ukuran, dan agama.
Katie bersandar di salah satu tiang beranda dan menangis tersedu, menutupi mukanya
dengan tangan. “Maafkan aku,” kata gadis itu. “Melihatnya―mayat itu―membuatku
teringat adikku.”
“Yang meninggal?”
Katie menangguk. “Dia tenggelam saat usia tujuh tahun.”
Lizzie melihat ke ladang, lautan hijau yang mengombak tertiup angin. Di kejauhan
terdengar suara kuda meringkik, dijawab ringkikan kuda lainnya “Apa kau tahu apa yang
terjadi kalau kau punya bayi?” tanya Lizzie pelan.
Katie menyipitkan mata. “Aku tinggal di peternakan.”
“Aku tahu. Tapi binatang beda dengan wanita. Jika wanita melahirkan, dan tidak
mendapatkan perawatan medis setelahnya, mereka menempatkan diri mereka sendiri
dalam bahaya besar.” Lizzie berkata ragu-ragu, “Katie, ada yang ingin kau katakan
padaku?”
“Aku tak punya bayi,” jawab Katie, menatap langsung pada detektif itu. “Aku tak punya.”
Tapi Lizzie memandang ke lantai beranda. Ada tetesan noda darah di papan beranda yang
dicat putih. Dan darah mengalir pelan menuruni kaki Katie yang telanjang.

Dua
Ellie

MIMPI-MIMPI burukku penuh dengan anak-anak. Terutama enam gadis kecil―dua berambut
gelap, empat beramput terang, lutut mereka terlihat di bawah seragam kota-kotak St.
Ambrose School, tangan mereka terkatup di pangkuan. Aku melihat mereka tumbuh dewasa
dalam sekejap; tepat ketika ketua juri membebaskan klienku, kepala sekolah dasar yang
telah melecehkan mereka.
Itu kemenangan terbesarku sebagai pengacara pembela di Philadelphia; vonis yang
menempatkanku di peta pengacara ternama dan membuat teleponku berdering tanpa henti
dari ikon-ikon komunitas atas lainnya yang berharap bisa lolos dari jerat hukum dan rahasia
mereka tetap tersimpan rapi. Malam hari setelah vonis turun, Stephen membawaku ke
Victor's Cafe untuk makan malam yang harga makanannya setara dengan harga satu mobil
bekas. Ia mengenalkanku pada kepala pelayan sebagai “Jeannie Cochran.” Lalu ia
mengatakan padaku bahwa dua partner senior di firmanya, yang paling bergengsi di kota,
mengundangku mengobrol bersama mereka.
“Stephen,” kataku terkagum-kagum, “lima tahun lalu, ketika aku diwawancarai di sana,
kaubilang kau tak bisa punya hubungan dengan wanita yang bekerja di firmamu.”
07
Stephen angkat bahu. “Lima tahun lalu, Ellie,” katanya, “tak sama dengan sekarang.”
Ia benar. Lima tahun lalu, aku masih membangun karierku. Lima tahun lalu, aku masih
percaya hanya klienku yang mendapatkan keuntungan dari vonis bebas, bukan diriku. Lima
tahun lalu, aku hanya bisa memimpikan kesempatan seperti yang ditawarkan Stephen di
firmanya.
Aku tersenyum padanya. “Jadi, jam berapa pertemuannya?”
Lalu aku permisi sebentar untuk ke kamar mandi. Seorang pelayan berjaga di sana,
menunggu dengan sabar di samping nampan berisi makeup, parfum, dan hairspray gratis.
Aku masuk ke salah satu toilet dan mulai menangis―menangisi enam gadis kecil itu,
menangisi bukti yang telah berhasil kutekan, dan untuk cita-cita idealku sebagai pengacara
bertahun-tahun lalu saat aku lulus dari sekolah hukum―pengacara yang teguh pada prinsip,
yang takkan mau mengambil kasus seperti ini, apalagi berusaha keras memenangkannya.
Aku keluar dan membuka keran wastafel untuk mencuci tangan. Aku menaikkan lengan
jaket sutraku dan mulai membasuh, mengusapkan busa sabun di antara jari-jariku, ke kuku-
kuku. Kurasakan tepukan di bahu , dan saat berpaling aku melihat pelayan yang berjaga di
kamar mandi mengulurkan handuk linen padaku. Matanya keras dan gelap seperti chesnut.
“Sayang,” katanya, “ada beberapa noda yang memang takkan bisa dibersihkan.”

Sehari setelah kepala sekolah dasar St. Ambrose dibebaskan, ia mengirimkan dua lusin
mawar merah padaku. Stephen masuk dapur saat aku membuang mawar-mawar itu ke tong
sampah.
“Untuk apa kaulakukan itu?”
Aku pelan-pelan berbalik memandangnya. “Apa kau tak pernah merasa terganggu? Bahwa
sekali kau melangkahi garis, kau tak bisa mundur lagi?”
“Ya Tuhan, kau bicara seperti Konfusius lagi. Katakan saja apa maksudmu, Ellie.”
“Itulah maksudku. Aku cuma ingin tahu apa itu juga melukaimu. Di sini.” Aku menunjuk ke
arah jantungku, yang masih sakit. “Apa kau pernah melihat mereka yang duduk di ruang
sidang, mereka yang hidupnya dirusak oleh orang yang kau tahu bersalah?”
Stephen mengambil cangkir kopinya. “Harus ada yang membela mereka. Itulah cara kerja
sistem hukum kita. Kalau perasaanmu terlalu halus, bekerja saja pada Jaksa Wilayah.” Ia
mengambil setangkai mawar dari tempat sampah, mematahkan tangkainya, dan
menyelipkannya di telingaku. “Aku harus melupakan hal ini. Bagaimana kalau kita pergi ke
Pantai Rehoboth dan berselancar?” Mendekat padaku, ia menambahkan, “Telanjang.”
“Seks bukan plester pengobat luka, Stephen.”
Stephen mundur selangkah. “Maaf kalau aku lupa. Soalnya sudah lama sekali.”
“Aku tak mau membicarakan ini sekarang.”
“Kita tak harus bicara, El. Aku sudah punya anak perempuan berusia dua puluh tahun.”
“Tapi aku tidak.” Kata-kataku menggantung di udara, rapuh namun menekan seperti
gelembung sabun sesaat sebelum meletus. “Dengar, aku mengerti mengapa kau tak mau
menjalani proses pembalikan vasektomi. Tapi ada cara lain...”
“Tidak ada cara lain. Aku tak mau melihatmu menekuri katalog donor sperma pada malam
hari. Dan aku tak mau ada petugas dinas sosial memeriksa semuanya, mulai dari catatan
pajakku hingga laci pakaian dalamku, mencoba memutuskan apa aku pantas membesarkan
anak Cina yang ditinggalkan di puncak gunung agar mati kedinginan...”
“Stephen, hentikan! Kau kehilangan kontrol!”
Aku heran ketika ia langsung berhenti. Ia duduk, merengut dan marah. “Kau tak perlu
begitu,” kata Stephen akhirnya. “Maksudku, Ellie, itu tadi menyakitkan sekali.
“Apa?”
“Yang baru saja kau katakan. Ya Tuhan... kau mengataiku seperti troll!”
Aku memandangnya. “Aku bilang kau kehilangan kontrol.”
Stephen berkedip, lalu mulai tertawa. “Kehilangan kontrol —-ya Tuhan! Aku tak
mendengarmu.”
Kapan terakhir kali kau mendengarkanku? Kataku dalam hati, tapi berhasil menahan diri
sebelum kata-kata itu terucap.
08
Biro hukum Pfister, Crown dan DuPres terletak di pusat kota Philadelphia, menempati tiga
lantai gedung pencakar langit modern berdinding kaca dan baja. Aku menghabiskan waktu
berjam-jam berdandan untuk bertemu para partner senior di biru hukum Stephen,
melemparkan empat setelan sebelum aku menemukan satu tetelan yang kurasa bisa
membuatku merasa paling percaya diri. Aku menggunakan lebih banyak antiperspiran. Aku
minum secangkir kopi tanpa kafein, takut kopi berkafein membuat tanganku gementar.
Dalam hati aku menentukan rute jalan ke gedung itu, dan pergi sejam lebih awal, meskipun
jarak gedung itu dari rumahku hanya sekitar 25 kilometer.
Tepat jam sebelas, aku masuk ke mobil Honda-ku. “Partner senior,” gumamku ke kaca
spion. “Dan kalau kurang dari $300.000 setahun tak bisa diterima.” Memakai kaca hitamku,
aku lalu menuju jalan tol.
Stephen meninggalkan sebuah kaset di mobilku, campuran lagu-lagu yang disebutnya musik
“tendang pantat”, yang didengarkannya sebagai penyemangat setiap kali ia pergi ke
pengadilan. Tersenyum kecil, aku memasukkan kaset dan memutarnya, membiarkan suara
drum dan gitar memenuhi mobil. Aku menaikkan volume keras-keras, sangat keras sehingga
saat aku mendadak pindah jalur, aku hampir tak mendengar klakson marah dari sopir pickup
yang kupotong jalannya.
“Ups,” gumamku, mempererat peganganku ke kemudi. Tapi setir mobil itu berontak dari
peganganku. Aku memegangnya lebih erat, tapi sepertinya hanya membuat mobilku
berontak seperti kuda liar. Rasa takut mengalir dari tenggorokan ke perutku, rasa panik
yang muncul saat kau menyadari ada yang salah, sesuatu yang sudah terlambat untuk
diperbaiki. Di kaca spion aku melihat truk di belakangku mendekat, menekan klakson
berkali-kali, sementara mobilku bergetar hebat dan berhenti di tengah-tengah lalu lintas
berkecepatan seratus kilometer per jam.
Aku memejamkan mata, menyiapkan diri untuk benturan yang tak pernah terjadi.

Setengah jam kemudian aku masih gemetaran saat berdiri di samping Bob, pemilik Bob's
Auto Service, sementara ia mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada mobilku. “Pada
dasarnya mobil ini meleleh,” katanya, mengusapkan tangannya ke baju kerjanya. “Tangki
bensinnya retak, mesinnya mengerut, dan bagian dalamnya saling menempel.”
“Menempel,” ulangku pelan. “Jadi, bagaimana memperbaikinya?”
“Tak bisa. Kau harus membeli mesin baru. Sekitar lima atau enam ribu dolar.”
“Lima atau enam―“ Montir mobil itu berjalan pergi. “Hei! Apa yang harus kulakukan kalau
begitu?”
Bob memandang setelanku, tas kerja, dan sepatu hak tinggiku. “Beli saja sepatu Reebok.”
Telepon mulai berdering. “Bukankah sebaiknya kau mengangkatnya?” tanya Bob, dan aku
baru sadar kalau dering telepon itu berasal dari dalam tas kerjaku. Aku mengerang
mengingat janji pertemuanku di biro hukum.
“Kau di mana sih?” bentak Stephen ketika aku menjawab telepon.
“Mobilku mati. Di tengah-tengah jalan tol. Di depan truk yang melaju.”
“Ya ampun, Ellie, kan ada taksi!”
Aku terdiam. Tidak ada. “Ya Tuhan, kau baik-baik saja?” Tidak. “Kau mau aku darang
menjemputmu?” Aku melihat Bob menggeleng mengamati bagian yang pernah menjadi
mesin mobilku, dan kedamaian yang aneh meresap dalam diriku. “Aku tak bisa datang hari
ini,” kataku.
Stephen menghela napas panjang. “Yah, kurasa aku bisa meyakinkan John dan Stanley
untuk menjadwal ulang pertemuannya. Aku akan meneleponmu lagi.”
Stephen mematikan telepon begitu saja. Tak sadar aku mematikan ponselku, dan
menghampiri mobilku lagi. “Berita bagusnya,” kata Bob, “setelah kau mengganti mesinnya,
bisa dibilang kau akan punya mobil baru.”
“Aku suka mobil lamaku.”
Ia angkat bahu. “Kalau begitu, anggap saja ini mobil lamamu. Dengan jantung baru.”
09
Aku tiba-tiba teringat truk yang melaju di belakangku di jalan tol, menghindar dan
mengklakson; mobil-mobil linnya yang mencoba menghindariku, batu yang menghalangi
aliran air. Aku mencium bau aspal yang panas dan emleleh, yang melesak di bawah tumit
sepatu tinggiku saat aku berjalan pelan-pelan, gemetaran, menyeberang jalan tol. Aku
bukanlah orang yang percaya pada nasib, tapi kejadian ini hampir saja merengut nyawaku,
sebuah pertanda; seakan-akan aku harus dihentikan mendadak sebelum aku sadar bahwa
selama ini aku lari ke arah yang salah. Setelah mobilku mogok, aku menelepon polisi dan
beberapa layanan servis, tapi aku tak pernah terpikir untuk menelepon Stephen. Entah
bagaimana, aku tahu kalau aku ingin menyelamatkan diri, aku harus melakukannya sendiri.
Telepon mulai berbunyi lagi. “Berita bagus,” Stephen bicara sebelum aku sempat bilang
halo. “Para bos itu mau menemuimu lagi hari ini jam enam nanti.”
Saat itulah aku tahu aku akan pergi.

Stephen membantuku memasukkan barang-barang ke bagasi mobilku. “Aku benar-benar


paham,” katanya meskipun sebenarnya ia tak mengerti. “Kau mau libur sebentar sebelum
memutuskan untuk mengambil kasus baru.”
Justru aku ingin berlibur sebelum memutuskan apakah aku mau mengambil kasus baru lagi,
titik, tapi Stephen tak balak bisa memercayai hal itu. Kau tidak bisa begitu saja sekolah
hukum, masuk Law Review, dan bekerja keras untuk mendapatkan persidangan besar sekali
seumur hidup, dan kemudian mempertanyakan pilihan kariermu. Tapi di sisi lain, Stephen
tak bisa menerima bahwa aku mungkin akan pergi selamanya. Aku tahu ini karena aku juga
merasakan hal yang sama. Selama delapan tahun hidup bersama, kami memang tidak
menikah, tapi kami juga tidak berpisah.
“Kau akan meneleponku sesampainya di sana?” tanya Stephen, tapi sebelum aku bisa
menjawab ia menciumku. Bibir kami berpisah seperti jahitan yang robek, lalu aku masuk
mobil dan melaju pergi.

Kurasa wanita lain dalam posisiku―maksudku adalah patah hati, sendirian, dan baru saja
mendapatkan uang banyak―mungkin akan memilih tujuan yang agak berbeda. Grand
Cayman, Paris, atau mungkin perjalanan pencarian jiwa mendaki Pegunungan Rocky. Bagiku,
kalau aku ingin pergi menyembuhkan luka, aku selalu menuju Paradise Pennsylvania. Ketika
masih kanak-kanak, setiap musim panas aku selalu tinggal di sana selama seminggu. Paman
buyutku dulu punya pertanian di sana dan lambat laun menjual kavling-kavling tanah hingga
ia meninggal, lalu putranya Frank pindah ke rumah utama, menanam rumput di tempat
yang dulunya ladang jagung, dan membuka toko mebel. Frank seusia ayahku, dan sudah
menikah dengan Leda jauh sebelum aku lahir.
Aku tak bisa bilang padamu apa yang kulakukan pada musim-musim panas saat aku tinggal
di Paradise, tapi yang tertinggal dalam kenanganku dari tahun-tahun itu adalah kedamaian
yang ada di rumah mereka, dan betapa semua hal dilakukan dengan lancar dan efisien.
Awalnya kukira itu karena Leda dan Frank tak pernah punya anak. Tapi kemudian aku
mengerti bahwa kedamaian itu datang dari dalam diri Leda, terkait dengan fakta bahwa ia
terlahir dan besar sebagai seorang Amish.
Kau tak bisa menghabiskan musim panas di Paradise tanpa berhubungan dengan Klan Amish,
yang sudah menjadi bagian intrinsik di wilayah Lancaster. Orang-orang Sederhana, begitu
mereka menyebut diri mereka sendiri, berkendara dengan kereta kuda di tengah lalu lintas
mobil yang padat; mereka ikut antre di toko kelontong dengan baju gaya kuno mereka;
mereka tersenyum malu-malu dari belakang meja kios yang menjajakan hasil pertanian
mereka saat kami membeli sayuran segar. Bahkan dari situlah aku tahu mengenai masa lalu
Leda. Kami saat itu sedang antre membeli jagung manis, ketika Leda tiba-tiba
mengobrol―dalam bahasa Belanda Pennsylvania―dengan wanita penjualnya. Saat itu
umurku sebelas tahun, dan mendengar Leda―yang sangat Amerika sepertiku―berbicara
dalam dialek Jerman sudah cukup mengejutkanku. Namun kemudian Leda mengulurkan
lembaran sepuluh dolar padaku. “Berikan ini pada nyonya itu, Ellie,” katanya, meskipun ia
berdiri di sebelahku dan bisa memberikannya sendiri.
10
Dalam perjalanan pulang, Leda menjelaskan bahwa ia dulu termasuk orang Sederhana
hingga ia menikahi Frank―yang bukan orang Sederhana. Menurut aturan agamanya, ia harus
menjalani bann―dilarang melakukan kontak sosial tertentu dengan orang-orang Amish. Ia
boleh bicara dengan teman dan keluarga Amish-nya, tapi tak boleh makan di meja yang
sama dengan mereka. Ia boleh duduk di sebelah mereka di bus, tapi tak boleh menawarkan
tumpangan di mobilnya pada mereka. Ia boleh membeli barang dari mereka, tapi
memerlukan pihak ketiga―aku―untuk melakukan transaksi.
Orangtuanya, adik dan kakaknya—tinggal tak lebih dari lima kilometer jauhnya.
“Apa kau boleh mengunjungi mereka?” tanyaku.
“Ya, tapi aku hampir tak pernah melakukannya,” kata Leda padaku. “Kau akan mengerti
suatu hari nanti, Ellie. Aku menjaga jarak bukan karena itu tak nyaman bagiku. Aku
menjaga jarak karena itu tak nyaman bagi mereka.”

Leda sudah menunggu saat keretaku berhenti di stasiun kereta api Strasburg. Saat aku
turun, membawa dua tasku, ia mengulurkan tangannya. “Ellie, Ellie,” senandungnya. Dari
dirinya tercium bau jeruk dan Windex; bahunya yang lebar adalah tempat yang sempurna
untuk menyandarkan kepalaku. Aku sudah tiga puluh sembilan tahun, tapi dalam pelukan
Leda aku kembali menjadi anak sebelas tahun.
Leda menggandengku ke tempat parkir stasiun. “Kau akan mengatakan padaku ada masalah
apa sekarang?”
“Tidak ada masalah apa-apa. Aku hanya ingin mengunjungimu.”
Leda mendengus. “Kau hanya mengunjungiku ketika kau hampir mengalami ketegangan
mental. Apa terjadi sesuatu dengan Stephen?” Ketika aku tak menjawab, ia menyipitkan
matanya. “Atau mungkin tak ada apa pun yang terjadi dengan Stephen—dan itulah
masalahnya?”
Aku menghela napas, “Bukan karena Stephen. Aku baru saja menyelesaikan kasus sulit
dan... yah, aku perlu bersantai.”
“Tapi kau menang. Aku melihatnya di berita.”
“Yeah, menang kan bukan segalanya.”
Aku terkejut Leda tidak mengatakan apa pun. Aku tertidur begitu Leda masuk ke jalan raya,
dan terbangun kaget ketika ia masuk ke jalan mobil di depan rumahnya. “Maafkan aku,”
kataku malu. “Aku tidak bermaksud tertidur seperti itu.”
Leda tersenyum dan menepuk tanganku. “Kau bisa menghabiskan sepanjang waktumu
bersantai di sini.”
“Oh, aku tak akan lama.” Aku mengambil tasku dari kursi belakang dan bergegas menaiki
tangga beranda, mengikuti Leda.
“Yah, kami senang kau datang, untuk dua malam atau dua belas malam.” Leda memiringkan
kepalanya. “Telepon berbunyi,” katanya, membuka pintu dan bergegas masuk untuk
mengangkat telepon. “Halo?”
Aku meletakkan koper-koperku dan merenggangkan tubuhku untuk riles. Dapur Leda rapi
sekali, seperti biasanya, dan terlihat persis seperti yang kuingat; hiasan sulaman di dinding,
stoples kue berbentuk babi, lantai linoleum kotak-kotak hitam putih. Sambil memejamkan
mata aku bisa dengan mudah membayangkan diriku tak pernah pergi dari sini, percaya
bahwa pilihan tersulit yang harus kuambil hari itu hanyalah apakah aku harus bermalas-
malasan di kursi malas Adirondack di halaman belakang atau ayunan di beranda. Di
seberang dapur, Leda terlihat terkejut mendengar suara siapa pun yang menelepon itu.
“Sarah, Sarah, sst,” hiburnya, “Was ist letz?” Aku hanya bisa mendengar potongan-potongan
kata yang asing: as Kind... er hat an Kind gfuna... es Kind va dodt. Aku duduk di kursi dapur
menunggu Leda selesai menelepon.
Saat selesai, tangan Leda memegang gagang telepon cukup lama. Lalu ia berpaling padaku,
pucat dan gemetar. “Ellie, aku harus minta maaf tapi aku harus pergi.”
“Kau mau aku...”
“Kau tinggal saja di sini,” kata Leda. “Kau di sini untuk istirahat.”
Aku melihatnya pergi dengan mobil. Apa pun masalahnya, Leda akan menyelesaikannya. Ia
selalu bisa. Kuangkat kakiku ke kursi sebelah, dan tersenyum. Aku baru di Paradise lima
belas menit dan aku sudah merasa lebih baik.

Tiga
“NEH!” Katie berteriak, menendang petugas paramedis yang berusaha menaikkannya ke
ambulans. “Ich will net gay!”
Lizzie memandang gadis itu berontak. Bagian belakang gaunnya yang berwarna hijau tua,
sekarang bernoda hitam terkena darah. Suami-istri Fisher, Samuel dan Levi berdiri
berdekatan setengah lingkaran dengan ekspresi shock. Pria pirang besar itu maju ke depan,
rahangnya mengeras. “Turunkan dia,” katanya dalam bahasa Inggris yang jelas.
Petugas paramedis itu berpaling. “Sobat, aku hanya mencoba menolongnya.” Ia berhasil
menaikkan Katie ke ruang belakang ambulans. “Mr. dan Mrs. Fisher, Anda boleh ikut naik.”
Sarah Fisher tersedu, memegangi kemeja suaminya dan memohon padanya dalam bahasa
yang tidak dimengerti Lizzie. Suaminya itu menggeleng, lalu berpaling dan berjalan pergi,
mengajak kedua pria lain untuk mengikutinya. Sarah pelan-pelan naik ke ambulans dan
memegangi tangan putrinya, berbisik hingga Katie tenang. Petugas paramedis menutup
pintu ambulans; dan ambulans mulai bergerak pergi, meninggalkan percikan kerikil dan
debu.
Lizzie tahu ia harus segera ke rumah sakit dan berbicara dengan dokter yang akan
memeriksa Katie, tapi ia tak bergerak. Ia malah mengamati Samuel—yang tidak mengikuti
Aaron Fisher, tapi tetap berdiri diam, melihat ambulans hingga hilang dari pandangan.

Dunia bergerak cepat di sekelilingnya. Di atas, lampu-lampu neon terlihat seperti garis-garis
putih di trotar, terlihat berlarian seperti ketika dilewati oleh roda kereta. Brankar yang
membawanya tiba-tiba berhenti dan suara di atas kepalanya memberi komando, “Pada
hitungan ketiga—satu, dua, tiga!” Lalu Katie merasa badannya terangkat ke udara dan
mendarat di meja dingin mengilap.
Petugas paramedis memberitahukan namanya pada semua orang, dan demi Tuhan, ia juga
bilang kalau ia berdarah di bawah sana. Wajah seorang wanita muncul di depan matanya,
mengamati. “Katie? Kau bisa bicara Bahasa Inggris?”
“Ja,” gumamnya.
“Katie, apa kau hamil?”
“Tidak!”
“Bisa kau beritahu kami kapan menstruasimu yang terakhir?”
Pipi Katie memerah dan ia berpaling diam.
Ia merasakan betapa cahaya dan suara-suara di rumah sakit asing ini sangat aneh baginya.
Layar-layar terang yang dipenuhi gelombang naik-turun; bunyi bip-bip dan derum samar di
semua sisinya; suara-suara acak keluar dalam sinkronitas aneh yang mengingatkannya pada
himne gereja yang dinyanyikan bergantian. “Tekanan darah delapan puluh per empat
puluh,” kata seorang perawat.
“Detak jantung satu tiga puluh.”
“Pernapasan?”
“Dua puluh delapan.”
Dokter berpaling pada ibu Katie. “Mrs. Fisher? Apakah putri Anda hamil?” Terpaku oleh
semua keributan itu, Sarah memandang diam ke pria itu. “Ya Tuhan,” gumam sang dokter.
“Lepaskan roknya.”
Katie merasakan tangan-tangan mereka menarik-narik bajunya, merambah ke bagian
pribadinya. “Rok ini bagian dari gaun dan aku tidak bisa menemukan kancingnya,” keluh
seorang perawat.
“Memang tidak ada. Roknya dipeniti. Apa—“
“Potong saja kalau terpaksa. Lakukan tes BSU, Hcg urine, CBC, kirimkan sampel dan hasil
screening-nya ke bank darah, segera.” Wajah dokter itu mengapung di depan mata Katie
lagi. “Katie, aku akan memeriksa rahimnya sekarang. Kau mengerti? Santai saja, aku akan
menyentuh di antara kakimu—“
Ketika dokter mulai menyentuhnya pelan, Katie menendang. “Pegangi dia,” perintah
dokter, dan dua perawat segera mengikat pergelangan kakinya dengan tali. “Santai saja.
Aku tak akan melukaimu.” Air mata mengalir di pipi Katie, saat dokter mendiktekan pada
perawat yang memegang papan catatan. “Selain Iochia rubia, rahimnya mengembang dan
tidak berkontraksi, dengan ukuran sekitar dua puluh empat minggu. Sepertinya mulut
rahimnya terbuka. Periksa dengan ultrasound untuk mengetahui apa yang terjadi.
Bagaimana pendarahannya?”
12
“Masih mengalir.”
“Panggil dokter kandungan ke sini sekarang.”
Seorang perawat membungkus es dalam lapisan kapas dan meletakkannya di antara kaki
Katie. “Ini akan membuatmu merasa lebih baik, Sayang,” bisiknya.
Katie mencoba memfokuskan pandangan ke wajah perawat itu, tapi pandangannya
berkunang-kunang dan tangan serta kakinya lemas. Si perawat, melihat kondisi Katie,
menyelimutinya dengan satu selimut lagi. Katie berharap ia bisa mengucapkan terima kasih
padanya, berharap bisa menemukan kata-kata untuk mengatakan bahwa yang benar-benar
ia perlukan adalah seseorang yang mau memeluknya dan mendukungnya sebelum ia hancur
dan menangis di atas meja periksa, namun pikiran-pikirannya keluar dalam bahasa ibunya.
“Kau akan baik-baik saja,” hibur sang perawat.
Setelah melirik ke arah ibunya, Katie menutup matanya dan pingsan, menganggap
mimpinya benar-benar nyata.

Di peron stasiun, ibunya menyelipkan lima lembar dua puluhan dolar ke tangannya. “Kau
ingat di stasiun mana kau harus turun?” Katie mengangguk. “Dan kalau dia tak ada di sana
untuk menjemputmu, kau telepon dia.” Ibunya menyentuh pipi Katie. “Kali ini, tidak apa-
apa memakai telepon kalau kau harus.”
Ibunya mengatakan itu tanpa mengucapkan bahwa menggunakan telepon hanyalah yang
terkecil dari deretan dosa yang akan dilakukannya. Untuk pertama kali sejak kakaknya
Jacob pergi, Katie—baru dua belas tahun—akan mengunjunginya. Ia akan menempuh
perjalanan ke State College, tempat Jacob kuliah.
Ibunya memandang gugup ke arah penumpang lain yang menunggu untuk naik kereta,
berharap tidak dipergoki orang Sederhana lainnya, yang bisa saja melaporkan ke Aaron
bahwa istri dan putrinya telah membohonginya.
Rangkaian kereta Amtrak yang panjang dan ramping masuk ke stasiun, dan Katie memeluk
ibunya erat-erat. “Ibu pergi saja bersamaku,” bisiknya penuh emosi.
“Kau tak membutuhkanku. Kau sudah besar.”
Bukan itu yang dimaksud Katie, dan mereka berdua tahu itu. Kalau Sarah pergi dengan
putrinya ke State College, itu artinya ia tidak patuh pada suaminya, dan itu tak baik.
Karena itu, mengirim Katie sebagai duta cintanya pada putranya belum bisa dikatakan
sebagai pelanggaran. Terlebih lagi, Katie belum dibaptis di gereja. Menurut aturan
Ordnung, Sarah tak boleh bermobil bersama putranya yang diasingkan; tak boleh makan
satu meja. “Kau pergi,” katanya, memaksakan tersenyum pada putrinya. “Kalau kembali
nanti ceritakan semuanya tentang dia.”
Di kereta, Katie duduk sendirian, menutup mata menghindari pandangan ingin tahu dan
orang-orang yang menunjuk ke pakaian dan penutup kepalanya. Ia melipat tangannya di
pangkuan dan mengingat terakhir kali ia melihat Jacob, sinar matahari berkilauan di atas
rambutnya yang tembaga, saat ia keluar dari rumah mereka untuk selamanya.
Begitu kereta masuk ke stasiun State College, Katie menempelkan wajah ke jendela,
mencari wajah kakaknya di antara lautan wajah orang Inggris. Ia sudah terbiasa melihat
orang yang bukan dari kaum Amish, tentu saja, tapi meskipun demikian di pusat kota East
Paradise yang paling ramai sekalipun ia setidaknya melihat satu atau dua orang yang
berpakaian sama dengannya, berbicara bahasanya. Orang-orang yang menunggu di peron
berpakaian dalam warna-warni cerah yang memusingkan. Beberapa dari wanitanya
memakai atasan tanpa lengan dan celana pendek, yang mempertunjukkan hampir sebagian
besar badan mereka. Dengan terkejut dan ngeri, Katie melihat seorang pria muda dengan
cincin di hidungnya dan satu di telinganya dan rantai yang menghubungkan kedua cincin
itu.
Ia tak melihat Jacob.
Setelah turun dari kereta, Katie memutar pelan-pelan, takut ditelan oleh gerakan dan
kesibukan di sekitarnya. Tiba-tiba ia merasa seseorang menepuk bahunya. “Katie?”
13
Ia berpaling untuk melihat kakaknya dan wajahnya memerah karena terkejut. Tentu saja ia
tak mengenalinya. Ia mengira akan melihat Jacob dengan topi jeraminya yang berpinggiran
lebar, celana hitam dan bretel. Jacob yang ini bercukur bersih, mengenakan kemeja kotak-
kotak lengan pendek dan celana khaki.
Tiba-tiba ia sudah dalam pelukanan kakaknya, memeluknya sangat erat sehingga ia baru
menyadari betapa selama ini ia kesepian di rumah tanpa Jacob. “Mam kangen kamu,” kata
Katie terengah. “Dia bilang aku harus menceritakan semua tentangmu padanya.”
“Aku juga kangen Mam.” Jacob melingkarkan satu lengan di bahunya dan membimbing
Katie berjalan di antara penumpang di peron. “Kurasa kau tambah tinggi tiga puluh
sentimeter.” Ia menggandeng adiknya ke tempat parkir, ke mobil biru kecil. Katie berhenti
di belakang mobil dan memandangnya lekat-lekat. “Ini punyaku,” kata Jacob pelan.
“Katie, apa yang kauharapkan?”
Kenyataannya, Katie tak mengharapkan apa pun. Kecuali bahwa kakak yang ia cintai, yang
berpaling dari agama mereka agar ia bisa belajar di universitas, masih hidup seperti
dulu... hanya saja di tempat yang bukan East Paradise. Semua ini—pakaian yang aneh,
mobil mungil—membuatnya bertanya-tanya apakah ayahnya selama ini salah dengan
menganggap Jacob tak akan bisa meneruskan sekolahnya dan dalam hatinya masih tetap
Amish.
Jacob membukakan pintu untuknya kemudian masuk ke mobil. “Dat mengira kau pergi ke
mana?”
Hari ketika Jacob diasingkan oleh gereja Amish bisa dianggap juga sebagai hari
kematiannya bagi ayah mereka yang tak mau memaafkannya. Aaron Fisher takkan
menyetujui Katei mengunjungi Jacob seperti ia tak pernah menyetujui surat-surat yang
dikirim ibunya untuk Jacob yang diposkan secara rahasia oleh Katie. “Di Bibi Leda.”
“Pintar sekali. Tak mungkin ayah mau bicara dengannya untuk mengecek apakah kau benar
di sana.” Jacob tersenyum getir. “Kami orang-orang yang diasingkan harus kompak,
kurasa.”
Katie melipat tangannya di pangkuan. “Apakah memang layak?” Katie bertanya pelan.
“Apakah universitas memang semua yang kauinginkan?”
Jacob memandang Katie lama. “Tidak semuanya, karena kau tidak di sana.”
“Kau bisa saja kembali. Kau bisa pulang kapan saja dan membuat pengakuan.”
“Memang, tapi aku takkan melakukannya.” Melihat wajah Katie cemberut, Jacob
mengulurkan tangan dan menarik tali kapp-nya. “Hei, aku masih orang yang sama yang
mendorongmu ke kolam saat kita memancing. Yang menaruh kodok di tempat tidurmu.”
Katie tersenyum. “Kurasa, kalau dipikir-pikir aku tak keberatan kau berubah.”
“Itu baru gadisku,” kata Jacob tertawa. “Aku punya sesuatu untukmu.” Ia mengulurkan
tangan ke kursi belakang dan mengambil bungkusan yang terbungkus kertas cokelat dan
diikat pita merah. “Aku tak mau kau salah sangka, tapi saat kau berkunjung ke sini, aku
ingin kau berlibur. Tempat pelarian. Jadi kau tak harus melakukan pilihan semua atau
tidak sama sekali seperti yang kulakukan.” Jacob memandang jemari Katie membuka pita
dan membuka bungkusan yang berisi sepasang celana, T-shirt kunng terang dan sweter
kardigan katun berbordir bunga.
“Oh,” kata Katie, terpesona. Jemarinya mengelus bordiran halus di kerah sweter itu. “Tapi
aku―“
“Selama kau di sini. Berjalan-jalan dengna bajumu yang biasa hanya akan mempersulit
dirimu. Mengenakan baju itu—yah, tak ada seorang pun yang akan tahu, Katie. Kurasa kau
bisa berpura-pura sementara kau berkunjung. Menjadi seperti aku. Nih.” Jacob
menurunkan cermin di depan tempat duduk Katie, lalu mengangkat sweter itu ke depan
Katie sehingga gadis itu bisa melihatnya.
Wajah Katie memerah. “Jacob, ini cantik sekali.”
Bahkan Jacob pun terpesona melihat pengakuan penuh kekaguman itu sepertinya membuat
adiknya terlihat seperti orang lain, seperti orang yang selama ini ia tunggu-tunggu untuk
tumbuh besar. “Ya,” katanya. “Kau cantik.”
14
Lizzie menelepon kantor jaksa wilayah denga telepon mobilnya, dalam perjalanan ke rumah
sakit. “George Callahan,” kata suara di ujung lain kasar.
“Wah, siapa mengira, aku langsung dijawab oleh sang bos sendiri. Di mana sekretarismu?”
George tertawa begitu tahu siapa yang menelepon. “Aku tak tahu, Lizzie. Lagi berdandan,
kurasa. Kau mau mengambil alih pekerjaannya?”
“Tidak bisa. Aku terlalu sibuk menangkapi orang-orang agar bisa dituntut kejaksaan.”
“Ah, aku berterima kasih untuk itu. Penjamin kelangsungan pekerjaanku.”
“Yah, anggap saja pekerjaanmu aman: kami menemukan mayat bayi di gudang Amish di
sini, dan ada hal yang ganjil. Aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk mengecek
kemungkinan tersangkanya—aku cuma memberitahumu bahwa mungkin akan ada dakwaan
tak lama lagi.”
“Berapa usianya dan ditemukan di mana?” tanya George, langsung serius.
“Baru beberapa jam, baru lahir. Di bawah tumpukan selimut,” kata Lizzie. “Dan menurut
semua orang yang kami wawancarai di TKP, tak ada seorang pun yang baru-baru ini
melahirkan.”
“Apakah bayinya terlahir mati?”
“Menurut petugas medis tidak begitu.”
“Kalau begitu aku mengasumsikan bahwa sang ibu meletakkan bayinya dan pergi,” George
menyimpulkan. “Kau bilang kau punya petunjuk?”
Lizzie ragu. “Ini mungkin terdengar agak gila, George, tapi seorang gadis Amish berusia
delapan belas tahun yang tinggal di pertanian itu, yang bersumpah mati tidak hamil, saat
ini sedang di rumah sakit mengalami pendarahan vagina.”
George terdiam kaget. “Lizzie, kapan terakhir kali kau menangkap seorang Amish karena
melakukan kejahatan?”
“Aku tahu maksudmu, tapi bukti-bukti fisik mengarah padanya.”
“Jadi kau punya bukti?”
“Yah, aku belum—“
“Cari,” kata George datar. “Lalu telepon aku lagi.”

Sang dokter berdiri di depan meja jaga, menjelaskan pada dokter spesialis kandungan yang
baru datang tentang apa yang akan ditemuinya di Unit Gawat Darurat.
“Sepertinya pengembangan rahim, dan sisa-sisa pembuahan,” kata dokter spesialis
kandungan, melihat ke catatan media pasien. “Aku akan melakukan pemeriksaan dan kita
akan membawanya ke ruang operasi untuk pembersihan. Bagaimana status bayinya?”
Dokter jaga memelankan suaranya. “Menurut petugas paramedis yang membawanya,
bayinya meninggal.”
Dokter spesialis kandungan itu mengangguk, lalu menghilang di balik tirai tempat Katie
terbaring.
Dari tempatnya mengamati di deretan kursi plastik, Lizzie berdiri. Kalau George
menginginkan bukti, ia akan mendapatkannya. Ia bersyukur atas fakta bahwa detektif tak
diharuskan memakai seragam—polisi berseragam tak mungkin punya kesempatan
mendapatkan informasi rahasia dari dokter tanpa surat perintah pengadilan—dan mendekati
sang dokter jaga. “Permisi,” katanya, berpura-pura gugup dan tangannya meremas-remas
bagian depan kemejanya. “Apa Anda tahu bagaimana kondisi Katie Fisher?”
Dokter jaga itu memandangnya. “Anda siapa?”
“Saya ada di rumahnya ketika dia mulai berdarah.” Itu memang benar. “Saya cuma ingin
tahu apakah dia akan baik-baik saja.”
Dokter itu mengangguk, mengerutkan kening. “Kurasa dia akan baik-baik saja—tapi akan
lebih aman baginya kalau ia mau melahirkan di rumah sakit.”
“Dokter,” kata Lizzie, tersenyum, “Saya tak bisa mengatakan betapa berartinya perkataan
Anda tadi.”
Leda membuka pintu kamar tempat keponakannya dirawat. Katie terbaring diam dan
tertidur di atas ranjang rumah sakit yang dinaikkan. Di pojok kamar, Sarah duduk diam dan
terpaku. Begitu melihat kakaknya masuk, Sarah lari ke pelukan Leda. “Syukurlah kau
datang,” tangisnya, memeluk Leda erat-erat.
15
Leda memandang ke puncak kepala Sarah. Bertahun-tahun menyisir rambut belah tengah,
mengikatnya erat, dan menjepit kapp-nya dengan jepitan lurus membuat bagian botak di
puncak kepala Sarah semakin melebar seiring berjalannya tahun, membentuk jalur
berwarna pink dan rapuh seperti kulit kepala bayi yang baru lahir. Leda mencium jalur
botak adiknya itu, lalu menjauhkan tubuhnya dari Sarah.
Sarah berbicara cepat, seakan-akan sejak tadi, kata-kata itu sudah menjadi uap yang naik
dalam tubuhnya menanti untuk dilepaskan. “Dokter-dokter itu mengira Katie punya bayi. Ia
perlu obat untuk menghentikan pendarahan. Mereka membawanya untuk dioperasi.”
Leda menutupi mulutnya dengan tangan. “Seperti kau saat melahirkan Hannah.”
“Ja, tapi Katie sangat beruntung. Ia masih bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.”
“Apa kau mengatakan bahwa kau pernah menjalani pengangkatan rahim?”
Sarah menggeleng. “Aku tidak suka dokter ini. Dia tidak percaya saat Katie bilang dia tidak
punya bayi.”
“Sarah, dokter-dokter Inggris ini... mereka punya tes ilmiah untuk kehamilan. Tes ilmiah tak
mungkin berbohong—tapi Katie bisa saja bohong.” Leda berhenti, meneruskan hati-hati.
“Kau tak pernah mengamati ada perubahan di tubuhnya?”
“Tidak!”
Tapi, Leda tahu, itu tak berarti banyak. Beberapa wanita, terutama yang berbadan tinggi
seperti Katie, bisa hamil sedemikian rupa sehingga bisa berbulan-bulan berlalu sebenlum
kehamilannya kelihatan. Katie biasa berganti baju sendirian, dan di bawah celemek
lebarnya, perut yang menggembung akan susah dilihat. Garis pinggang yang melebar akibat
hamil akan susah dideteksi karena wanita Amish memakai baju yang dijepit dengan peniti,
yang dengan mudah bisa disesuaikan dengan ukuran tubuh.
“Kalau dia ada masalah, dia pasti bilang padaku,” Sarah ngotot.
“Dan menurutmu apa yang akan terjadi begitu ia bilang padamu?”
Sarah memalingkan pandangannya. “Itu akan membunuh Aaron.”
“Percayalah padaku, Aaron tak akan tumbang terkena angin keras. Dan lebih baik ia mulai
menerimanya karena ini baru permulaannya.”
Sarah mengeluh. “Begitu Katie sampai di rumah, ia pasti akan dikunjungi uskup.”
Memandang Leda, Sarah menambahkan. “Mungkin kau bisa bicara padanya. Tentang
Meidung.”
Ternganga, Leda terduduk di kursi di sebelah ranjang Katie. “Pengasingan? Sarah, aku tidak
bicara tentang hukuman di gereja. Polisi menemukan mayat bayi pagi ini, mayat bayi yang
tak mau diakui Katie telah dilahirkannya. Mereka akan berpikir bahwa ia bohong tentang
hal ini juga.”
“Apakah kejahatan bagi orang-orang Inggris ini, kalau punya bayi di luar nikah?” tanya
Sarah jengkel.
“Ya, kalau kau meninggalkannya agar meninggal. Kalau polisi bisa membuktikan bahwa bayi
itu terlahir hidup, Katie akan mendapat masalah besar.”
Sarah menegakkan tubuhnya. “Tuhan akan menyelesaikan ini. Dan kalau tidak, maka kami
akan merima kehendak-Nya.”
“Kau bicara tentang kehendak Tuhan atau Aaron? Kalau Katie ditahan, kalau kau
mendengarkan Aaron dan menyerahkan pipimu yang sebelah untuk ditampar, dan tidak
mencari seseorang untuk membela putrimu di pengadilan, mereka akan memasukkannya ke
penjara. Selama bertahun-tahun. Mungkin selamanya.” Leda menyentuh lengan adiknya.
“Berapa banyak anak yang kaubiarkan dirampas oleh dunia dari tanganmu?”
Sarah duduk di pinggir ranjang. Ia menyelipkan jari-jarinya di antara jemari Katie dan
meremasnya. Dengan memakai gaun rumah sakit dan rambut terurai di bahunya, Katie tak
terlihat seperti gadis Amish. Seperti ini, ia terlihat seperti gadis muda lainnya.
“Leda,” bisik Sarah. “Aku tak tahu bagaimana bersikap di dunia seperti ini.”
Leda meletakkan tangan di bahu adiknya. “Aku tahu.”
16
“Detektif Munro, Anda punya waktu?”
Ia sebenarnya tak punya waktu, tapi ia mengangguk ke arah polisi dari Unit Kejahatan Berat
kepolisian negara bagian, yang telah menyelidiki pertanian Aaron sepanjang siang. Begitu
Lizzie tahu bahwa Katie Fisher harus dirawat di rumah sakit setidaknya selama satu malam,
ia pergi ke hakim distrik untuk mendapatkan surat perintah penggeledahan rumah dan
pertanian itu, juga mendapatkan sampel darah Katie untuk tes DNA. Di dalam otaknya
berdengung jutaan hal yang harus ia kerjakan, Lizzie berusaha mengalihkan perhatiannya
ke petugas polisi itu. “Apa yang kau dapat?”
“Sebenarnya, TKP ini lumayan bersih,” katanya.
“Jangan terlihat terkejut,” kata Lizzie tak acuh. “Kami mungkin polisi desa tapi kami
semua lulus SMA.” Ia sebenarnya tak senang minta bantuan Unit Kejahatan Berat
kepolisisan negara bagian, karena mereka cenderung meremehkan petugas hukum logal dan
punya kebiasaan buruk mengambil alih penyelidikan dari detektif yang bertugas. Tetapi,
keahlian penyelidikan kepolisian negara bagian jauh lebih baik daripada kepolisian East
Paradise karena mereka lebih sering melakukannya. “Apakah ayahnya menyulitkannya?”
Petugas polisi itu mengangkat bahu. “Sebenarnya, aku bahkan tak bertemu dengannya. Ia
membawa keledainya ke ladang sekitar dua jam lalu.” Kepada Lizzie, petugas itu
menyerahkan gaun malam katun putih yang bernoda darah di bagian bawah, yang dibungkus
dalam kantong plastik tempat menyimpan barang bukti. “Ini ada di bawah ranjang gadis itu,
digulung. Kami juga menemukan jejak darah di pinggir kolam di belakang rumah.”
“Dia melahirkan bayi itu, membersihkan tubuh di kolam, menyembunyikan gaun malamnya
dan kembali ke ranjang.”
“Hei, kalian memang pintar. Kemarilah, aku ingin kau melihat ini.” Petugas itu mengajak
Lizzie ke ruang penyimpanan tempat mayat bayi itu ditemukan. Ia membungkuk rendah,
menunjuk sesuatu yang kelihatannya seperti retakan di lantai, tapi pengamatan lebih jeli
menunjukkan bahwa itu adalah jejak kaki. “Ini kotoran sapi yang masih baru, yang artinya
jejak kaki ini belum lama.”
“Apakah kita bisa mengetahui siapa pemiliknya, seperti sidik jari?”
Petugas polisi itu menggeleng. “Tidak, tapi kita bisa menentukan ukuran kakinya. Itu adalah
kaki wanita ukuran tujuh, dengan lebar E dobel.” Ia memberi isyarat pada seorang
rekannya, yang mengulurkan kantong bukti lainnya seperti sepasang sepatu tenis tua.
Setelah memakai sarung tangan, petugas itu mengambil sepatu sebelah kiri. Ia mengangkat
lidah sepatunya sehingga Lizzie bisa melihat labelnya. “Sepatu kets wanita ukuran tujuh
ekstra lebar,” katanya. “Ditemukan di lemari Katie Fisher.”

Levi diam saja selama perjalanan pulang berkereta ke rumahnya,—yang menurut Samuel—
itu mungkin karena usaha keras anak itu menahan diri. Akhirnya, karena tak bisa menahan
diri lebih lama, Levi berpaling padanya saat ia menarik kekang menghentikan kuda.
“Menurutmu apa yang akan terjadi?”
Samuel mengangkat bahu. “Aku tak tahu.”
“Kuharap ia baik-baik saja,” kata Levi sungguh-sungguh.
“Kuharap juga begitu.” Ia merasakan tenggorokannya tersumbat dan pura-pura batuk
sehingga Levi tak mengetahuinya. Selama sesaat anak itu memandangi sepupunya yang
lebih tua lalu melompat turun dari kereta dan lari masuk rumah.
Samuel terus menjalankan keretanya, tapi ia tidak berbelok ke jalan menuju rumah
orangtuanya. Saat ini, mereka pasti telah mendengar tentang Katie, dan pasti akan
bertanya-tanya padanya. Samuel terus melewati kota dan menambatkan kudanya di depan
Zimmermann's Hardware. Tetapi, bukannya masuk ke toko, ia berjalan ke belakang menuju
ladang jagung yang terbentang ke utara. Ia melepas topi dan memeganginya sementara ia
mulai berlari menembus ladang jagung, pokok-pokok jagung menampar wajah dan
tubuhnya. Ia lari hingga ia bisa mendengar dentuman jantungnya sendiri; hingga mustahil
baginya menahan napas, apalagi emosinya.
Lalu ia tenggelam di kerimbunan ladang jagung, berbaring telentang tersengal-sengal.
Memandang ke biru langit malam di sela-sela pokok jagung dan membiarkan air matanya
mengalir.
17
Ellie sedang membuka-buka majalah Good Housekeeping ketika bibinya pulang. “Apa semua
baik-baik saja? Kau tadi pergi tergesa-gesa sekali.” Lalu Ellie mengangkat matanya melihat
Leda—yang kaget, pucat dan bingung. “Kurasa semuanya tidak baik-baik saja.”
Leda tersuruk di kursi, tasnya merosot dari bahu dan jatuh ke lantai. Ia menutup mata,
diam.
“Kau membuatku takut,” kata Ellie tertawa gugup. “Ada apa?”
Dengan susah payah Leda menegakkan punggungnya dan mulai mencari-cari dalam lemari
es. Ia mengeluarkan mentimun, selada, dan wortel, kemudian meletakkan semuanya di
meja dapur. Ia mencuci tangan, mengambil pisau, lalu mulai memotong sayur-sayuran itu
menjadi potongan yang berukuran sama. “Kita akan makan salad untuk makan malam
nanti,” katanya. “Bagaimana menurutmu?”
“Menurutku ini baru jam tiga sore.” Ellie melangkah maju, mengambil pisau dari tangan
Leda, dan menunggu hingga wanita yang lebih tua itu membalas tatapannya. “Bicara.”
“Keponakanku di rumah sakit.”
“Kau tak punya keponakan yang lain—oh!” Pemahaman mulai masuk ke kepalanya saat Ellie
menyadari yang dimaksud Leda adalah kerabat yang tak pernah ia ceritakan: keluarga yang
ia tinggalkan. “Apa dia...sakit?”
“Ia hampir meninggal karena melahirkan.”
Ellie tak tahu harus berkata apa. Ia tak bisa membayangkan hal yang lebih tragis daripada
melahirkan bayi, dan lalu tak bisa menikmati keajaiban itu.
“Dia baru delapan belas tahun, Ellie.” Leda terdiam membentangkan jemarinya di talenan.
“Dia belum mneikah.”
Di benak Ellie tergambar seorang gadis muda, belum menikah, yang berusaha
menghilangkan bayinya. “Kalau begitu karena aborsi?”
“Bukan, bayinya lahir.”
“Yah, tentu saja,” Ellie cepat-cepat menambahkan, berpikir bahwa latar belakang keluarga
Leda pasti membuatnya tak menyetujui aborsi. “Berapa bulan kehamilannya?”
“Hampir delapan bulan,” kata Leda.
Ellie berkedip,” Delapan bulan?”
“Tetapi mayat bayi itu ditemukan sebelum ada orang yang tahu bahwa Katie hamil.”
Rasa panas berdenyar di bulu kuduk Ellie, tapi ia berusaha mengabaikannya. Lagi pula di
sini bukan Philadephia; dan dia juga gadis Amish, bukan seorang ibu yang kecanduan
narkoba. “Meninggal saat lahir kalau begitu,” kata Ellie bersimpat. “Sayang sekali.”
Leda berpaling dari Ellie, terdiam beberapa saat. “Aku mengatakan pada diriku sendiri
dalam perjalanan pulang bahwa aku tak akan melakukan ini, tapi aku menyayangi Katie
seperti aku menyayangimu.” Ia menarik napas panjang. “Ada kemungkinan kalau bayi itu
tidak meninggal saat lahir, Ellie.”
“Tidak.” Kata itu langsung menyembur dari mulut Ellie. “Aku tak bisa. Jangan minta aku
melakukan ini, Leda.”
“Tak ada orang lain. Kita tidak membicarakan orang-orang yang biasa berurusan dengan
hukum. Kalau ini terserah adikku, Katie akan masuk penjara tak peduli ia bersalah atau
tidak, karena bukan sifat alaminya untuk melawan.” Leda memandang langsung ke mata
Ellie, tajam. “Mereka percaya padaku, dan aku percaya padamu.”
“Pertama-tama, ia belum didakwa secara resmi. Kedua, bahkan kalaupun dia didakwa
secara resmi, aku tak bisa membelanya. Aku sama sekali tak tahu cara hidupnya.”
“Apa kau juga tinggal di jalan seperti pengedar narkoba yang kaubela? Atau di rumah besar
Main Line, seperti kepala sekoalh yang berhasil kaubebaskan?”
“Itu berbeda, dan kau tahu itu.” Tidak masalah kalau keponakan Leda berhak mendapat
pertimbangan hukum. Tidak masalah bahwa Ellie pernah membela orang lain yang didakwa
melakukan kejahatan tak menyenangkan. Tapi narkoba, pedofilia dan perampokan
bersenjata tidak terlalu berkait dengan emosinya seperti kasus ini.
18
“Tapi dia tak bersalah, Ellie!”
Itulah alasan kenapa Ellie jadi pengacara pembela—untuk jiwa-jiwa tak bersalah yang akan
ia selamatkan, tapi itu sudah lama sekali. Namun, faktanya dari semua kliennya yang
berhasil ia bebaskan, Ellie hanya dapat menghitung dengan satu tangan jumlah kliennya
yang benar-benar tak bersalah. Ia sekarang tahu bahwa sebagian besar kliennya memang
bersalah sesuai dakwaan—meskipun masing-masing dari mereka punya alasan yang akan
terus mereka kemukakan hingga mati nanti. Ia mungkin saja tak setuju dengan tindakan
kriminal kliennya, tapi dalam level tertentu, ia selalu mengerti apa yang membuat mereka
melakukannya. Namun, dalam momen kehidupannya saat ini, tak ada hal yang bisa
membuatnya mengerti mengapa seorang wanita tega membunuh anaknya sendiri.
Apalagi banyak wanita di luar sana yang nyaris putus asa karena menginginkan anak.
“Aku tak bisa membela keponakanmu,” kata Ellie pelan. “Aku hanya akan merugikannya.”
“Berjanjilah kalau kau akan memikirkannya.”
“Aku tak mau memikirkannya. Dan aku akan melupakan kalau kau pernah memintaku.” Ellie
berjalan keluar dari dapur, berusaha mengabaikan pandangan kecewa Leda.

Tubuh besar Samuel memenuhi ambang pintu kamar rumah sakit, mengingatkan Katie
bagaimana ia kadang berdiri di sebelah pria itu di ladang yang terbuka dan masih merasa
sempit. Katie tersenyum ragu. “Masuklah.”
Samuel mendekati ranjang, tangannya gugup menarik-narik tepi topi jeraminya. Lalu ia
menundukkan kepala, pipinya memerah. “Kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja,” kata Katie. Ia menggigit bibirnya saat Samuel menarik kursi dan
duduk di sampingnya.
“Di mana ibumu?”
“Dia pulang. Bibi Leda memanggilkan taksi untuknya, karena Mam merasa tidak enak kalau
pulang menumpang mobilnya.”
Samuel mengangguk mengerti. Layanan taksi Amish, yang dijalankan oleh orang Mennonite
lokal, mengantarkan orang Amish yang hendak bepergian jauh, atau ke jalan raya yang tak
bisa dilalui oleh kereta kuda. Ia juga mengerti menumpang di mobil Leda pasti terasa tak
enak karena Leda sedang menjalani pengasingan—bann, dan ia sendiri tak nyaman kalau
harus menumpang mobilnya juga.
“Bagaimana .... bagaimana kabar rumah?”
“Sibuk,” kata Samuel, memilih kata-katnya dengan hati-hati. “Kami menyelesaikan
pemotongan jerami ketiga hari ini.” Dengan ragu ia menambahkan, “Polisi, mereka masih di
sana.” Ia memandang tangan Katie, kecil dan pink di atas selimut polyster. Dengan lembut
Samuel menggenggam tangan itu, dan mengeluskan tangan itu Katie ke rahangnya.
Tangan Katie yang tergenggam membeli pipi Samuel; Samuel memandangnya. Dengan mata
bersinar, Katie membuka mulut untuk bicara, tapi Samuel menghentikannya dengan
meletakkan jari di atas bibir Katie. “Ssst,” katanya. “Jangan sekarang.”
“Tapi kau pasti sudah mendengar berita,” bisik Katie. “Aku ingin—“
“Aku tak mau mendengarkan apa yang telah kudengar. Aku hanya akan mendengarkan apa
katamu.”
Katie menelan ludah. “Samuel, aku tak punya bayi.”
Samuel memandangnya lama sekali, lalu meremas tangannya. “Baiklah, kalau begitu.”
Mata Katie memandang Samuel. “Kau percaya padaku?”
Samuel merapikan selimut yang menutupi kaki Katie, menyelimutinya seperti Katie adalah
anak kecil. Ia memandang rambut Katie yang terurai di bantal dan menyadari bahwa ia
belum pernah melihat rambut Katie diurai dan bersinar seperti ini, sejak mereka masih
kanak-kanak. “Aku harus percaya,” katanya.
19
Uskup di gereja distrik Elam Fisher kebetulan adalah sepupunya sendiri. Ephram Stoltzfus
tua sudah menjadi bagian kehidupan kaum Amish sehari-hari sehingga meskipun menjabat
sebagai pemimpin jemaat, ia sangat mudah ditemui—ia sering menghentikan kereta
kudanya di pinggir jalan untuk ngobrol, atau turun dari bajaknya di tengah ladang untuk
memberi saran. Ketika Elam menemuinya pagi hari itu, menceritakan apa yang terjadi di
pertaniannya, uskup itu mendengarkan dengan hati-hati lalu mengatakan bahwa ia perlu
bicara dengan beberapa orang. Elam mengira ia akan bicara dengan pembantu gereja
distrik, atau kedua pendetanya, tapi uskup itu menggeleng. “Para pebisnis,” katanya.
“Mereka orang yang tahu bagaimana cara kerja kepolisian orang Inggris.”
Tepat setelah makan malam, saat Sarah membersihkan meja, kereta kuda uskup Ephram
masuk ke halaman. Elam dan Aaron berpandangan, lalu berdiri dan berjalan keluar
menyambutnya.
“Ephram,” sapa Aaron, menjabat tangan pria itu setelah menambatkan kudanya.
“Aaron. Bagaimana keadaan Katie?”
Meski sedikit, terlihat tubuh Aaron mengeras. “Kudengar dia akan baik-baik saja.”
“Kau tidak pergi ke rumah sakit?” tanya Ephram.
Aaron melengos. “Neh.”
Uskup menyentuh ujung kepalanya, janggutnya yang putih bersinar terkena sinar matahari
yang hendak terbenam. “Marilah kita jalan-jalan sebentar.”
Ketiga pria itu berjalan menuju kebun sayur Sarah. Elam duduk di bangku batu dan
memberi isyarat-isyarat pada Ephram untuk duduk juga. Tapi uskup itu menggeleng dan
memandang jauh melewati tanaman tomat dan kacang, yang di atasnya beterbangan
kunang-kunang. Serangga-serangga itu berpijar dan beterbangan seperti bintang-bintang
jatuh.
“Aku ingat datang ke sini, bertahun-tahun lalu, melihat Jacob dan Ellie mengejar serangga
bercahaya itu,” kata Ephram. “Memasukkan mereka ke dalam stoples.” Ia tertawa. “Jacob
bilang ia membuat senter Amish. Kau sering mendapat kabar dari Jacob akhir-akhir ini?”
“Tidak, dan itu memang yang kuinginkan,” kata Aaron pelan.
Ephram menggeleng. “Dia diasingkan dari gereja, Aaron. Bukan dari hidupmu.”
“Sama saja bagiku.”
“Kau tahu, itulah yang tak kumengerti. Apalagi pengampunan adalah perintah pertama dari
Tuhan.”
Aaron memandang uskup itu lekat-lekat. “Apa kau datang ke sini untuk bicara tentang
Jacob?”
“Sebenarnya, tidak,” Ephram mengakui. “Setelah kau mampir pagi ini, Elam, aku pergi
menemui John Zimmerman dan Martin Lapp. Menurut mereka kalau polisi ada di sini
seharian, mereka pasti berpikir Katie adalah tersangkanya. Memang semuanya tergantung
pada bukti apakah bayinya lahir hidup. Kalau iya, ia akan dipersalahkan atas kematiannya.”
Ia mengerutkan kening ke arah Aaron. “Mereka menganjurkan sebaiknya bicara pada
pengacara sehingga kau bisa siap-siap.”
“Katie-ku tak butuh pengacara.”
“Kuharap juga begitu,” kata sang uskup. “Tapi kalau ya, komunitas ini akan mendukung di
belakangnya.” Sejenak ia ragu, kemudian menambahkan. “Ia harus menahan diri dulu untuk
sementara ini, kau mengerti.”
Elam mengangkat kepala. “Tidak ikut komuni? Apa dia tidak akan diasingkan?”
“Tentu saja aku harus bicara dengan Samuel, lalu memikirkannya.” Ephram meletakkan
tangannya di bahu Aaron. “Ini bukanlah pertama kalinya pasangan muda mendahului malam
pernikahan mereka. Memang ini tragedi, karena bayi itu meninggal. Tapi sakit hati bisa
mengikat dua orang dalam perkawinan sama seperti kebahagiaan. Sedangkan mengenai
masalah Katie yang dipersalahkan tentang hal lainnya—kami tak percaya itu.”
20
Aaron berpaling, mengangkat bahu untuk menyingkirkan tangan sang uskup. “Terima kasih.
Tapi kami tak akan menyewa pengacara untuk Katie, dan menjalani proses di pengadilan
orang Inggris. Itu bukan cara kami.”
“Kenapa kau selalu menarik garis dan menantang orang untuk melanggar, Aaron?” Ephram
menarik napas. “Itu bukan cara kita.”
“Permisi, aku masih punya pekerjaan.” Aaron mengangguk ke Uskup dan ayahnya lalu
berjalan ke arah gudang.
Kedua pria yang lebih tua itu memandanginya dalam keheningan. “Kau sudah melakukan
pembicaraan seperti ini dengannya,” kata Elam Fisher.
Sang uskup tersenyum sedih. “Ja. Dan saat itu aku juga seperti bicara pada tembok batu.”

Katie bermimpi ia terjatuh. Dari langit, seperti burung yang sayapnya terluka, semakin
lama semakin dekat ke bumi. Jantungnya terasa naik ke tenggorokan, membuatnya tak bisa
menjerit, dan pada detik-detik terakhir ia sadar kalau ia akan terjatuh di gudang, ladang,
dan rumahnya. Ia memejamkan mata dan terjatuh, pemandangan di sekitarnya pecah
berantakan seperti cangkang telur yang terbanting sehingga saat melihat ke sekeliling ia tak
mengenali apa pun.
Katie mengedipkan mata dalam kegelapan, lalu berusaha duduk di ranjang. Kabel dan pipa
plastik bergelantungan di badannya seperti akar. Perutnya terasa lunak; tangan dan kakinya
berat.
Bulan sabit seiris membelah langit, dan beberapa gelintir bintang. Katie membiarkan
tangannya turun ke balik selimut ke arah perutnya. “Ich hab ken Kind kaht,” bisiknya. Aku
tak punya bayi.
Air mata menetes ke selimutnya. “Ich hab ken Kind kaht. Ich hab ken Kind kaht,”
gumamnya berulang-ulang, hingga kata-kata itu mengalir dalam pembuluh darahnya,
seperti lagu ninabobo malaikat.

Mesin faks di rumah Lizzie berbunyi, tepat setelah tengah malam, saat ia lari di atas
treadmill. Adrenalin telah membuatnya tetap terjaga dan cocok baginya untuk melakukan
olahraga yang akan membuatnya cukup lelah sehingga bisa tidur beberapa jam. Ia
mematikan treadmill dan berjalan ke arah mesin faks, basah kuyup berkeringat saat
menunggu kertas faks keluar. Melihat bahwa faks berasal dari kantor pemeriksa medis,
detak jantungnya naik satu tingkat.
Kata-kata di kertas itu mulai merasuk ke kepalanya, menarik-narik pikirannya.
Laki-laki, 32 minggu. Lingkar tumit 39,2 cm, lingkar pinggul 26 m.
Tes hydrostatic ... saluran alveolar mengembang ... terdapat bekas merah muda hingga
merah tua ... paru-paru kiri dan kanan mengembang bukan karena pernapasan buatan. Ada
udara di bagian tengah telinga. Memar di bibir atas; serat katun di gusi.
“Ya Tuhan,” bisik Lizzie, tubuhnya gemetar. Ia beberapa kali pernah bertemu dengan
pembunuh—pria yang menikam pemilik toko kelontong hanya karena sebungkus rokok,
seorang pemuda yang memerkosa mahasiswi dan membiarkannya kehabisan darah di lantai
asrama; sekali bahkan seorang wanita yang menembak suaminya yang suka menyiksa tepat
di wajah saat suaminya itu tidur. Orang-orang itu semuanya mempunyai sesuatu, sesuatu
yang selalu membuat Lizzie merasa kalau kau membuka tubuh mereka seperti boneka
Rusia, kau akan menemukan bara yang panas membara di dalam tubuh mereka.
Ada sesuatu yang tidak cocok dengan gadis Amish ini.
Lizzie melepaskan baju olahraganya, kemudian pergi ke kamar mandi. Sebelum gadis itu
bisa pergi, sebelum ia membacakan hak-haknya dan didakwa secara resmi, Lizzie ingin
melihat mata Katie Fisher dan melihat apa yang ada di dalam hatinya.
21
Jam menunjukkan pukul empat pagi ketika Lizzie masuk ke kamar tempat Katie dirawat,
tapi Katie belum tidur dan sendirian. Ia menoleh dan memandang Lizzie dengan mata
birunya yang besar, terkejut melihat Lizzie. “Hallo.”
Lizzie tersenyum dan duduk di samping ranjang. “Bagaimana perasaanmu?”
“Lebih baik,” kata Katie pelan. “Lebih kuat.”
Lizzie melirik ke pangkuan Katie dan melihat Alkitab yang tadi dibaca gadis itu. “Samuel
yang membawakannya untukku,” kata gadis itu, bingung melihat wajah tamunya yang
berkerut. “Apa tidak diizinkan di sini?”
“Oh, yeah, diizinkan kok,” kata Lizzie. Tiba-tiba ia merasa tumpukan bukti yang telah ia
kumpulkan selama hampir dua puluh empat jam mulai goyah. Dia Amish. Apakah alasan
satu itu, inkonsistensi yang begitu kentara ini bisa menghancurkan semua bukti yang telah
ia kumpulkan? “Katie, apakah Dokter memberitahumu apa yang terjadi padamu?”
Katie mengangkat pandangannya. Ia meletakkan salah satu jarinya ke Alkitab dan
menutupnya, dan mengangguk.
“Saat aku bertemu denganmu kemarin, kau bilang padaku kau tak punya bayi,” kata Lizzie
menarik napas panjang. “Aku bertanya-tanya mengapa kau berkata seperti itu.”
“Karena aku memang tak punya bayi.”
Lizzie menggelengkan kepala tak percaya. “Kalau begitu mengapa kau berdarah?”
warna merah merambat naik dari leher Katie. “Aku datang bulan,” katana pelan. Ia
melengos, menata diri. “Aku mungkin Amish, Detektif, tapi aku tidak bodoh. Apa kau kira
aku tak tahu kalau aku punya bayi?”
Jawaban itu sangat terbuka, bersungguh-sungguh sehingga dalam hati Lizzie mundur satu
langkah. Apa yang telah salah kulakukan? Ia sudah menanyai ratusan orang, ratusan
pendusta—tapi Katie Fisher adalah satu-satunya orang yang berhasil memengaruhinya.
Lizzie memandang ke luar jenela, di ufuk timur yang kemerahan, dan menyadari apa
perbedaannya: Ini bukan akting. Katie Fisher benar-benar yakin dengan apa yang ia
katakan.
Lizzie berdehem, mencoba cara lain. “Aku akan menanyakan padamu sesuatu yang agak
canggung, Katie.... Apa kau pernah berhubungan seksual?”
Sekilas terlihat pipi Katie memerah. “Tidak.”
“Apakah teman priamu yang pirang itu akan mengatakan hal yang sama padaku?”
“Tanya saja dia,” tantang gadis itu.
“Kau melihat bayi itu kemarin pagi,” kata Lizzie, suaranya bernada frustasi. “Bagaimana
dia bisa ada di sana?”
“Aku tak tahu.”
“Baiklah,” Lizzie mengusap-usap pelipisnya. “Itu bukan bayimu.”
Senyum lebar muncul di wajah Katie. “Itulah yang sejak tadi kukatakan padamu.”

“Dia satu-satunya tersangka,” kata Lizzie, memandang George menyuapkan daging dan
kentang goreng ke mulutnya. Mereka bertemu di rumah makan antara kantor kejaksaan
wilayah dan East Paradise, yang hidangan andalannya menurut pengamatan Lizzie adalah
makanan yang dijamin akan meningkatkan kadar kolesterolmu. “Kau akan kena serangan
jantung kalau terus makan seperti itu,” kata Lizzie dengan kening berkerut.
George mengabaikannya. “Begitu ada gejala awal arrhythmia aku akan berdoa semoga
diberi umur panjang.”
Mencuil muffin-nya, Lizzie melihat catatannya. “Kita punya gaun malam berdarah, jejak
kaki sesuai ukurannya, pernyataan dokter bahwa dia baru saja melahirkan, petugas medis
yang menyatakan bahwa bayinya sempat bernapas—plus darahnya yang cocok dengan darah
yang ditemukan di kulit bayi.” Ia memasukkan cuilan muffin itu ke mulutnya. “Aku berani
bertaruh lima ratus dolar bahwa saat hasil tes DNA keluar, hasilnya juga akan mengaitkan
dia dengan bayi itu.”
22
George mengelap mulutnya dengan tisu. “Itu semua bukti-bukti tidak langsung, Lizzie, tapi
aku tak tahu apakah itu bisa digunakan untuk tuduhan pembunuhan.”
“Aku belum membacakan hal yang menentukan,” kata Lizzie. “Petugas medis menemukan
memar di bibir bayi dan serat di gusi dan tenggorokan.”
“Serat dari apa?”
“Serat itu cocok dengan kemeja yang membungkusnya. Menurut petugas medis kedua fakta
itu mengindikasikan bahwa bayi itu tewas karena dibekap.”
“Dibekap? Ini bukan remaja putri dari Jersey yang melahirkan di toilet di Paramus Mall dan
lalu pergi keluar dengan tenang untuk meneruskan shopping-nya, Lizzie. Aku berani
bertaruh kaum Amish bahkan tak tega membunuh lalat.”
“Tahun kemarin kita berhasil masuk berita utama karena menangkap dua remaja Amish
mengedarkan kokain,” bantah Lizzie. “Apa yang akan dikatakan di 60 Minutes kalau ini
benar kasus pembunuhan?” Ia melihat mata George bersinar saat ia mempertimbangkan
mendakwa seorang gadis Amish yang kemungkinan telah melakukan pembunuhan dan akan
menjadi berita besar. “Ada mayat bayi di gudang Amish, dan seorang gadis Amish yang baru
melahirkan,” kata Lizzie pelan. “Coba pikirkan, George. Aku tidak mengharapkan ini
terjadi, tapi bahkan aku pun bisa melihat bahwa kita akan menuntut dia, dan kita harus
melakukannya segera. Dia akan dipulangkan dari rumah sakit hari ini.”
Dengan cermat, George memotong-motong telur ceploknya hingga ukuran yang pas untuk
dimakan, lalu menempatkan pisau dan garpunya di pinggir piring tanpa memakan satu pun.
“Kalau kita bisa membuktikan bayi itu dibekap, kita mungkin bisa menuntut Pembunuhan
Tingkat Satu. Pembunuhan itu diniatkan, dipikirkan, dan disengaja. Ia menyembunyikan
kehamilannya, melahirkan bayinya dan menyingkirkannya.” George mengangkat
pandangannya. “Apa kau sudah menanyainya?”
“Yeah.”
“Dan?”
Lizzie meringis. “Dia masih menganggap dia tak punya bayi.”
“Apa maksudnya itu?”
“Dia tetap kukuh pada ceritanya.”
George mengerutkan kening. “Apa dia kelihatan gila?”
Ada perbedaan besar antara gila secara hukum dan gila secara literal, tapi dalam kasus ini,
Lizzie menganggap George tidak memedulikan perbedaan itu. “Dia terlihat seperti gadis
remaja baik-baik. Yang membaca Alkitab dan bukannya novel roman picisan.”
“Oh yeah,” keluh George. “Gadis yang ini akan ke pengadilan.”

Sarah Fisher menjepitkan kapp putrinya. “Nah. Sekarang kau siap?”


Katie duduk di ranjang menunggu petugas sukarelawan datang dengan kursi roda dan
membawanya ke lobi. Dokter telah memperbolehkannya pulan beberapa saat lalu dan
memberikan beberapa pil pada ibunya untuk jaga-jaga kalau Katie merasa sakit lagi. Katie
bergerak gelisah, melipat tangannya di atas perut.
Bibi Leda merangkul bahunya. “Kau bisa tinggal denganku kalau kau belum siap untuk
pulang.”
Katie menggeleng. “Denke. Tapi aku harus pulang. Aku ingin pulang.” Ia tersenyum lembut.
“Aku tahu itu tak masuk akal.”
Leda meremas bahunya. “Itu mungkin sangat masuk akal bagiku dibandingkan orang lain.”
Begitu pintu terbuka, Katie melompat berdiri, tak sabar untuk segera pergi. Tapi bukannya
sukarelawan yang masuk malah dua polisi berseragam. Sarah melangkah mundur, ke
samping Leda dan Katie; membentuk barisan perlawanan yang ketakutan. “Katie Fisher?”
Katie bisa merasakan lututnya gemetar di balik roknya. “Itu aku.”
Salah seorang polisi menggandengnya lembut. “Kami punya surat perintah penahananmu.
Kau didakwa membunuh bayi yang ditemukan di gudang ayahmu.”
23
Polisi kedua berdiri di sampingnya. Dengan gugup Katie menoleh ke belakang, berusaha
mencari ibunya. “Kau berhak untuk tetap diam,” kata polisi kedua. “Semua hal yang
kaukatakan dapat dan akan digunakan untuk mendakwamu di pengadilan. Kau berhak
diwakili oleh pengacara—“
“Tidak!” Sarah menjerit, berusaha meraih putrinya saat kedua polisi itu membawa Katie
keluar kamar. Sarah mengejar mereka, mengabaikan pandangan ingin tahu dari para
pegawai rumah sakit dan teriakan kakaknya.
Leda akhirnya berhasil mengejar Sarah di pintu masuk rumah sakit. Katie menangis,
lengannya terulur ke arah ibunya saat seorang polisi meletakkan tangan di atas kapp-nya
dan mendorong kepalanya ke dalam mobil polisi. “Anda bisa menemui kami di pengadilan
distrik, Ma'am,” katanya sopan pada Sarah, lalu masuk ke kursi depan.
Saat mobil polisi berjalan pergi, Leda merangkul adiknya. “Mereka mengambil anakku,”
isak Sarah. “Mereka mengambil anakku.”

Leda tahu betapa Sarah merasa tak nyaman menumpang di mobilnya, tapi kondisi yang
mendesak menuntut kompromi. Bermobil dengan seseorang yang diasingkan jelas
merupakan dosa lebih ringan dibandingkan berdiri di sidang sementara anaknya dituduh
membunuh. Dan itu yang akan dihadapi Sarah selanjutnya.
“Kau tunggu di sini,” kata Leda, memarkir mobilnya di depan rumah. “Biar aku panggil
Frank.” Ia meninggalkan Sarah duduk di kursi penumpang dan lari masuk rumah.
Frank sedang duduk di ruang keluarga, menonton tayangan ulang serial komedi situasi.
Begitu melihat istrinya, ia langsung bangkit dari kursi dan mengelus lengannya. “Kau baik-
baik saja?”
“Katie. Dia dibawa ke pengadilan distrik. Mereka menuduhnya melakukan pembunuhan.”
Begitu selesai berbicara Leda langsung jatuh ke pelukan suaminya dan menangis,
melepaskan semua yang ditahannya di hadapan Sarah sejak tadi. “Ephram Stolztfus
mengumpulkan dua puluh ribu dolar dari para pengusaha Amish untuk membantu Katie, tapi
Aaron tak mau menerima sepeser pun.”
“Dia akan mendapatkan pembela atas biaya negara, Sayang.”
“Tidak—Aaron mengharapkan ia menyerahkan pipinya yang sebelah. Dan setelah apa yang ia
lakukan terhadap Jacob, Katie tidak akan melawannya.” Ia menyurukkan wajahnya di
kemeja suaminya. “Katie tidak bisa memenangkan ini. Katie tidak melakukannya, dan tetap
saja dia akan masuk penjara.”
“Pikirkan tentang David dan Goliath,” kata Frank. Jempolnya pelan mengusap air mata
Leda. “Di mana Sarah?”
“Di mobil. Menunggu.”
Frank merangkulkan lengannya di pinggang istrinya. “Ayo kalau begitu.”
Begitu mereka berdua pergi, Ellie masuk ke ruang keluarga, mengenakan celana jogging dan
atasan tanpa lengan. Ia tadi berada di ruang sebelah, sedang mengikat sepatu ketsnya
bersiap pergi jogging, ketika Leda masuk rumah—dan ia sudah mendengar semuanya.
Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ellie melangkah ke dekat jendela, dan mengamati mobil
Leda hingga hilang dari pandangan.

Katie harus menyembunyikan tangannya di bawah meja sehingga tak seorang pun bisa
melihat betapa tangannya gemetaran. Entah bagaimana ia kehilangan jepit kapp-nya di
mobil polisi, dan sekarang penutup kepalanya itu miring di atas kepalanya, bergerak turun
setiap kali ia bergeser. Tapi ia takkan melepasnya—apalagi sekarang—karena ia harus selalu
menutupi kepalanya setiap kali ia berdoa, dan ia terus berdoa sejak mobil polisi
membawanya dari rumah sakit.
24
Seorang pria duduk di meja seperti dia, agak jauh darinya. Pria itu memandangnya,
mengerutkan kening, meskipun Katie tak bisa membayangkan apa yang telah dilakukannya
sehingga membuat pria itu kesal. Pria lain duduk di depannya di belakang meja tinggi. Pria
itu mengenakan jubah hitam dan memegang palu kayu di tangannya, yang diketukkannya ke
meja begitu Katie melihat ibunya, bibinya, dan pamannya masuk ke ruang sidang.
Pria yang memegang palu itu menyipitkan matanya ke Katie. “Kau bisa bicara bahasa
Inggris?”
“Ja,” kata Katie, lalu wajahnya memerah malu. “Ya.”
“Oleh pemerintah negara bagian Pennsylvania kau didakwa melakukan pembunuhan tingkat
satu, di mana kau, Katie Fisher, pada tanggal sebelas Juli 1998, melanggar undang-undang
negara bagian Pennsylvania dengan secara sadar dan sengaja menyebabkan kematian Bayi
Fisher di lahan pertanian Fisher di wilayah kota East Paradise Lancaster County. Kau juga
didakwa melakukan kejahatan lain termasuk pembunuhan tingkat tiga, di mana kau, ...”
Kata-kata itu menyerbunya seperti hujan, terlalu banyak bahasa Inggris dalam satu
kesempatan, semua suku katanya bercampur baur tak bisa dipahaminya. Katie
memejamkan mata dan sedikit terhuyung.
“Kau mengerti semua dakwaan ini?”
Ia bahkan tidak mengerti maksudnya sejak kalimat pertama. Tapi pria itu sepertinya
menunggu jawaban darinya, dan sejak kecil ia sudah belajar bahwa orang Inggris senang
kalau kau mengiyakan mereka. “Ya.”
“Kau punya pengacara?”
Katie tahu bahwa orangtuanya, seperti orang Amish lainnya, tidak percaya pada sidang
pengadilan. Kadang-kadang memang ada orang Amsih yang dipanggil pengadilan dan
bersaksi di persidangan.... tapi tak pernah karena kehendaknya sendiri. Katie menoleh ke
belakang, ke arah ibunya, membuat kapp-nya miring. “Aku tak mau pengacara,” katanya
pelan.
“Kau tahu apa artinya itu, Miss Fisher? Apakah ini atas nasihat orangtuamu?” Katie
menunduk melihat pangkuannya. “Ini dakwaan yang sangat serius, Nona, dan menurutku
kau seharunya punya pengacara. Kalau kau memenuhi syarat untuk mendapatkan pembela
publik—“
“Itu tidak perlu.”
Seperti semua orang di ruang sidang itu, Katie berpaling ke arah suara penuh percaya diri
dari ambang pintu itu. Seorang wanita dengan rambut pendek seperti laki-laki, mengenakan
setelen biru mahal dan sepatu hak tinggi, berjalan cepat ke mejanya. Tanpa melihat ke
Katie, wanita itu meletakkan tas kerjanya dan mengangguk ke arah hakim. “Saya Eleanor
Hathaway, pengacara terdakwa Ms. Fisher tak perlu pembela publik. Saya minta maaf
karena terlambat, Hakim Gorman. Bolehkan saya minta izin sebentar dengan klien saya?”
Hakim melambaikan tangan menyetujui, dan sebelum Katie paham apa yang terjadi, si
Eleanor Hathaway menyeretnya berdiri. Memegang kapp-nya, Katie berjalan terburu-buru
di sisi pengacara itu melewati gang di antara kursi pengunjung sidang. Ia melihat bibi Leda
menangis dan melambai padanya, dan ia mengangkat tangan membalas sebelum menyadari
bahwa salam hangat bibi Leda itu dimaksudkan bagi Eleanor Hathaway, bukan Katie sendiri.
Pengacara itu membawa Katie ke ruang kecil yang dipenuhi persediaan peralatan kantor. Ia
menutup pintu, bersandar, dan bersedekap. “Maaf atas perkenalan yang mendadak, tapi
aku Ellie Hathaway, dan aku berharap kaulah Katie. Kita akan punya banyak waktu untuk
berbincang nanti, tapi sekarang aku ingin tahu mengapa kau menolak mendapatkan
pengacara.”
Mulut Katie membuka dan menutup beberapa kali sebelum ia berhasil menemukan suaranya
kembali. “Ayahku tak memperbolehkanku.”
25
Ellie memutar matanya, jelas tidak terkesan. “Kau mengaku tidak bersalah sekarang dan
nanti kita bicara. Sekarang, kalau melihat semua dakwaan ini, kau tidak mungkin keluar
dengan jaminan kecuali kita bisa mengakali klausa bukti dan asumsi di perundangan.”
“Aku...Aku tak mengerti.”
Tanpa mengalihkan pandangan dari tumpukan kertas yang sedang dilihat-lihatnya, Ellie
menjawab. “Itu artinya kau didakwa dengan tuduhan pembunuhan, dan buktinya kuat atau
asumsinya jelas, kau tidak bisa keluar dengan jaminan. Kau hraus diam dipenjara selama
setahun hingga jadwal persidanganmu. Mengerti?” Katie menelan ludah, mengangguk. “Jadi
kita harus menemukan jalan keluar.”
Katie memandang wanita itu, yang datang dengan kata-kata tajam seperti mata pedang,
berencana menyelamatkannya. “Aku tak punya bayi.”
“Aku mengerti. Meskipun dua dokter dan seluruh rumah sakit, belum lagi polisi lokal
mengatakan sebaliknya?”
“Aku tak punya bayi.”
Pelan Ellie mengangkat pandangannya. “Baiklah,” katanya. “Sepertinya aku harus
menemukan jalan keluar itu sendiri.”

Hakim Gorman sedang memotong kukunya ketika Ellie dan Katie kembali masuk ke ruang
sidang. Ia lalu menyapu potongan kukunya dari meja ke lantai. “Kurasa kita baru akan
sampai ke bagian 'bagaimana pernyataanmu'?”
Ellie berdiri. “Klien saya menyatakan diri tidak bersalah, Yang Mulia.”
Hakim beralih ke jaksa. “Mr. Callahan, bagaimana menurut negara?”
George berdiri dengan yakin. “Yang Mulia, undang-undang negara bagian Pennsylvania
menyatakan terdakwa dengan tuduhan pembunuhan tidak bisa bebas dengan jaminan.
Dalam kasus ini negara akan merekomendasikan demikian juga.”
“Yang Mulia,” sanggah Ellie, “Tanpa bermaksud tidak hormat, kalau Anda membaca secara
mendetail aturan perundangan itu menuntut bahwa jaminan tidak diberikan hanya dalam
kasus-kasus dengan 'bukti kuat atau asumsinya jelas'. Itu bukan pernyataan yang ambigu.
Dalam kasus ini buktinya belum kuat, dan asumsinya juga belum jelas bahwa ini memang
pembunuhan tingkat satu. Memang ada beberapa bukti tak langsung yang telah
dikumpulkan penuntut umum—secara spesifik, kesaksian medis bahwa Mr. Fisher telah
melahirkan, dan fakta adanya mayat bayi yang ditemukan di lahan pertanian tempat ia
tinggal—tapi tak ada saksi langsung yang menyaksikan apa yang terjadi antara selang waktu
kelahiran dan kematian bayi itu. Hingga klienku mendapatkan pengadilan yang adil, kita tak
akan tahu bagaimana atau mengapa kematian itu terjadi.”
Ellie tersenyum tipis pada hakim. “Bahkan ada empat alasan utama mengapa terdakwa
harus bebas dengan jaminan dalam kasus ini. Pertama, gadis ini adalah Amish yang didakwa
melakukan kejahatan besar, meskipun dalam sejarah tak pernah terjadi kejahatan seperti
ini di komunitas Amish. Kedua, karena dia Amish, maka gadis ini lebih kuat dengan
komunitasnya dibandingkan terdakwa lain. Agama dan cara hidupnya membuatnya tidak
akan lari. Ketiga, ia baru delapan belas tahun, dan tidak punya sumber finansial sendiri
untuk bisa melarikan diri. Dan terakhir, ia tak punya catatan kriminal—ini bukan hanya
dakwaan pertamanya tapi juga pertama kalinya ia berhubungan dengan sistem hukum. Yang
Mulia, saya mengajukan agar ia dibebaskan dengan syarat-syarat jaminan yang ketat.”
Hakim Gorman mengangguk serius. “Apakah kau mau menyebutkan syarat yang
kauusulkan?”
26
Ellie menarik napas panjang. Ia ingin menyebutkannya; hanya saja ia belum memikirkan apa
syarat-syarat itu. Ia melirik cepat ke arah Leda dan Frank serta wanita Amish yang duduk di
belakang mereka berdua, dan tiba-tiba ia mendapat gagasan. “Kami meminta agar
terdakwa dibebaskan dengan jaminan, Pak Hakim, dengan ketentuan sebagai berikut:
bahwa Katie Fisher tidak boleh meninggalkan East Paradise, tapi ia diizinkan tinggal di
rumah pertanian orangtuanya. Sebagai syaratnya, ia harus brada dalam pengawasan seorang
anggota keluarganya sepanjang waktu. Sedangkan untuk jaminannya—dua puluh ribu dolar
saya rasa cukup.”
Penuntut umum tertawa. “Yang Mulia, itu menggelikan. Aturan jaminan adalah aturan
jaminan; dan Pembunuhan tingkat satu tetaplah Pembunuhan tingkat satu. Ini seperti kasus
kejahatan berat yang menghebohkan di Philadelphia juga, sehingga Ms. Hathaway tak
mungkin tidak tahu. Kalau buktinya tidak kuat kami tak mungkin menuntut seperti ini. Jelas
Katie Fisher tak boleh dibebaskan dengan jaminan.”
Hakim memandang penuntut umum, pembela lalu Katie. “Kalian tahu, datang ke sini pagi
tadi aku sama sekali tak berniat melakukan apa yang akan kulakukan. Tapi kalaupun aku
mau mempertimbangkan syarat-syaratmu, Ms. Hathaway, aku harus tahu apakah ada yang
setuju untuk bertanggungjawab terhadap Katie Fisher. Aku ingin pernyataan dari ayahnya
bahwa dia akan terus diawasi selama dua puluh empat jam penuh.” Sang Hakim
memandang ke bagian pengunjung sidang. “Mr. Fisher, di mana Anda?”
Leda berdiri dan berdehem. “Dia tidak ada di sini, Yang Mulia.” Ia menarik lengan adiknya,
menyeretnya agar berdiri juga. “Ini Ibu Katie.”
“Baiklah, Mrs. Fisher. Apakah Anda mau menerima tanggung jawab legal total bagi putri
Anda.”
Sarah menunduk memandang kakinya, suaranya sangat pelan sehingga sang hakim harus
menelengkan kepala untuk bisa mendengarnya. “Tidak,” kata Sarah.
Hakim Norman berkedip. “Maaf?”
Sarah mengangkat muka, air mata menggenang di matanya. “Saya tidak bisa.”
“Saya bisa, Yang Mulia,” kata Leda.
“Kau tinggal dengan keluarga Fisher?”
Leda terdiam. “Saya bisa pindah.”
Sarah menggelengkan kepalanya lagi, berbisik marah. “Aaron tak akan mengizinkanmu!”
Sang hakim dengan tak sabar mengetukkan jarinya ke meja. “Apakah ada kerabat Mr. Fisher
di sini hari ini yang mau bertanggungjawab menjaganya sepanjang waktu, yang tidak
bermasalah dengan gereja atau ayahnya?”
“Saya akan melakukannya.”
Hakim Gorman memandang Ellie, yang kelihatannya sama terkejutnya menyadari dirinya
mengatakan itu seperti hakim Gorman yang mendengarnya. “Anda sangat baik hati,
pembela, tapi kami mencari anggota keluarga.”
“Saya tahu,” Ellie menelan ludah. “Saya sepupunya.”

Empat
Ellie
SAAT George Callahan berdiri dan menyatakan keberatannya, aku harus menahan diri untuk
tidak membalasnya. Ya Tuhan, apa yang kupikirkan? Aku datang ke East Paradise dalam
kondisi lelah lahir batin; mengambil kasus gadis ini adalah hal terakhir yang ingin kulakukan
dan sekarang aku dengan sukarela mengajukan diri menjadi penjaga Katie. Samar-sama aku
mendengar hakim menolak keberatan penuntut umum; menetapkan jaminan sebesar
$20.000 dengan syarat-syarat tertentu, kemudian menjebloskanku ke penjara yang
kuciptakan untuk diriku sendiri.
Tiba-tiba Frank dan Leda sudah berdiri di depanku. Leda tersenyum di antara air matanya
dan Frank memandangku dengna mata hitamnya yang serius. “Kau yakin kau tidak apa-apa
melakukan ini, Ellie?” tanyanya.
Leda yang menjawab untukku. “Tentu saja dia baik-baik saja. Dia menyelamatkan Katie
demi kita.”
27
Aku memandang ke gadis yang duduk di sampingku, masih terpuruk di kursinya. Sejak
pertemuan singkat kami di ruang persediaan tadi, ia belum mengatakan sepatah kata pun.
Ia memandang padaku sebentar—dan aku melihat ekspresi jengkel. Tiba-tiba aku merasa
panas. Apa ia kira aku melakukan ini untuk kebaikanku sendiri?
Aku menyipitkan mata, bersiap-siap mengomelinya, tapi dihentikan oleh sentuhan lembut
di lenganku. Versi Katie yang lebih tua dan lelah memakai kostum Amish lengkap berdiri di
sisiku. “Putriku berterima kasih padamu,” katanya tergagap. “Aku berterima kasih padamu.
Tapi suamiku tak mau ada orang Inggris yang tinggal bersama kami.”
Leda berpaling padanya. “Kalau Uskup Ephram bilang tak apa-apa bicara dengan pengacara
Inggris, dia akan bilang tak apa-apa bila pengacara itu memenuhi ketentuan jaminan. Dan
kalau seluruh komunitas mau melonggarkan aturannya demi Katie, Sarah, untuk sekali ini
cobalah berpihak pada mereka daripada suamimu yang keras kepala itu.”
Sepanjang hidupku, aku belum pernah mendengar Leda menaikkan nada suaranya. Tapi
sekarang bisa dibilang dia berteriak pada adiknya, sehingga adiknya menunduk menghadapi
kata-katanya. Leda menggandeng lenganku. “Ayo, Ellie,” katanya. “Kau harus siap-siap.” ia
mengajakku keluar dari ruang sidang, berhenti sekali untuk melihat ke belakang ke arah
Sarah dan putrinya. “Kau dengar apa kata Hakim. Katie harus berada dalam pengawasan
Ellie sepanjang waktu. Ayo.”
Aku membiarkan Leda menyeretku keluar dari ruang sidang, dan merasakan panasnya
pandangan jengkel Katie Fisher di punggungku.

Jalan menuju lahan pertanian Fisher sejajar dengan sungai yang alirannya memotong bagian
belakang tanah mereka menjadi batas akhir dari lahan pertanian mereka yang mencapai
ratusan ekar. Dunia ini dipenuhi warna-warni: ladang jagung yang menghijau, menara kincir
berwarna merah, dan di atas semuanya, langit luas dan biru seperti telur burung robin. Tapi
yang paling berkesan bagiku adalah aromanya, campuran aroma yang sangat khas: keringat
kuda, wangi semak honeysuckle, aroma segar tanah yang baru dibajak. Kalau aku
memejamkan mata dan menarik napas panjang, terjadi keajaiban: seakan umurku sebelas
tahun lagi dan berkunjung untuk menghabiskan liburan musim panas.
Kami tadi menurunkan Frank di rumah dan mengambil koper-koperku, dan sekarang, sejam
kemudian, Leda berbelok ke jalan masuk rumah Fisher. Memandang ke luar jendela, aku
melihat dua pria mengarahkan rangkaian keledai menyebrangi ladang. Keledai-keledai itu
menarik peralatan gaya kuno yang sangat besar—hanya Tuhan yang tahu apa itu. Sepertinya
alat itu melempar-lemparkan tumpukan jerami yang bertebaran di tanah. Mendengar suara
mobil di jalan tanah, pria yang lebih besar mengangkat kepalanya, menarik tali kekang, lalu
melepaskan topinya untuk mengusap keringat di dahi. Ia menangkupkan tangan di atas
matanya dan mengamati mobil Leda, lalu menyerahkan tali kekang ke pria yang lebih kecil
di sebelahnya dan berlari cepat menuju rumah.
Ia sampai di sana sepuluh detik setelah mobil berhenti. Aku dan Leda keluar lebih dulu, lalu
membukakan pintu untuk Katie dan Sarah di kursi belakang. Pria itu, bertubuh besar dan
berambut pirang, mulai berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti—ini pertama kalinya
aku menyadari bahwa bahasa Inggris yang digunakan Katie di depan hakim bukanlah bahasa
ibunya, dan juga bukan bahasa orang-orang di tempat yang akan kutinggali ini. Sarah
menjawab pria itu, sama-sama dalam bahasa yang tak kupahami.
28
Sepatu hak tinggiku membuatku terhuyung saat menginjak tanah berkerikil. Aku
melepaskan jaket setelanku, karena terasa panas, dan mengamati pria yang datang
menyambut kami.
Ia terlalu muda untuk menjadi Ayah Dari Neraka yang telah diperkenalkan secara in-
absentia di ruang sidang. Seorang kakak mungkin. Namun aku kemudian memergokinya
memandang ke Katie dengan pandangan yang sama sekali tak mencerminkan kasih sayang
seorang kakak. Aku melirik Katie, dan melihat bahwa Katie juga memandang lelaki itu
dengan ekspresi sama.
Tiba-tiba di tengah-tengah bahasa yang tak kumengerti itu, muncul kata yang kukenal—
namaku. Sarah menggerakan tangannya ke arahku, tersenyum canggung, lalu mengangguk
ke pria pirang itu. Pria itu mengambil koperku dari bagasi dan meletakkannya di
sampingnya, lalu menjabat tanganku. “Aku Sameul Stoltzfus,” katanya. “Terima kasih telah
menjaga Katieku.”
Apakah ia melihat bagaimana tubuh Katie menegang mendengar pernyataannya yang
posesif itu? Apakah ada orang yang memerhatikan hal itu selain aku?
Terdengar suara ladam dan kekang kuda di belakangku. Aku berbalik dan melihat seseorang
sedang memasukkan kuda ke kandang. Kuat dan berotot, pria itu berjanggut merah yang
mulai dihiasi warna abu-abu. Di bawah jaket hitamnya ia mengenakan kemeja biru muda,
dengan lengan kemeja terlipat hingga ke siku. Ia memandang ke arah kami, sekilas
mengerutkan kening melihat mobil Leda. Lalu ia terus masuk ke kandang, dan muncul tidak
lama kemudian.
Mengabaikan semua orang, pria itu langsung ke depan Sarah dan mulai bicara pelan tapi
tegas padanya dalam bahasa mereka. Sarah menundukkan kepala, seperti ranting pohon
willow tertiup angin. Tapi Leda melangkah ke depan dan mulai bicara padanya. Leda
menunjuk ke arah Katie, dan ke arahku, lalu menggoyangkan tinjunya. Matanya bersinar
marah dan frustasi, ia meletakkan tangan di bahuku dan mendorongku ke depan, untuk
diamati Aaron Fisher.
Aku pernah melihat pria menutup diri mereka saat mereka dihukum penjara seumur hidup;
aku pernah melihat kekosongan di mata saksi ketika ia mengingat malam saat ia diperkosa;
tapi aku belum pernah melihat pengisolasian diri seperti yang kulihat di wajah pria itu. Ia
berdiri tegak dan waspada, seakan-akan mengakui sakit hatinya akan membuat dirinya
pecah menjadi ribuan keping; seakan-akan kami musuh bebuyutan; seakan-akan di dalam
hatinya ia tahu bahwa ia telah kalah.
Aku mengulurkan tangan. “Senang bertemu Anda.”
Aaron berpaling dariku tanpa menyentuhku. Ia mendekati putrinya, dan dunia sekitarnya
menjadi terlupakan, sehingga ketika ia menempelkan dahinya ke dahi Katie dan berbisik
padanya, tanpa sadar aku menunduk untuk memberikan sedikit privasi bagi mereka. Katie
mengangguk, dan masuk rumah dengan lengan ayahnya merangkul bahunya.
Berurutan, Samuel, Sarah, dan Leda mengikuti, berbicara dalam dialek mereka. Aku berdiri
sendiri di halaman, angin sepoi-sepoi meniup punggung kemeja sutraku, matahari menyinari
bintik-bintik baru di bahuku. Dari arah kandang terdengar langkah dan ringkik kuda.
Aku duduk di salah satu koperku dan memandang ke arah rumah. “Yeah,” kataku pelan.
“Senang bertemu denganmu juga.”
29
Aku terheran-heran, rumah Fisher ternyata tak jauh berbeda dengan rumah tempatku
tumbuh besar. Karpet perca melapisi lantai kayu, selimut perca warna cerah terlipat
melapisi sandaran kursi goyang, rak kayu berukir tempat menyimpan mangkuk-mangkuk
porselen dan cangkir teh. Kurasa, aku mulainya mengira akan melangkah mundur ke rumah
ala Little House on the Praire—lagi pula mereka adalah orang-orang yang rela menghindari
kenyamanan-kenyamanan dunia modern. Tapi di rumah ini ada oven, lemari es, bahkan
mesin cuci yang terlihat seperti milik nenekku pada tahun 1950-an. Ekspresi bingungku pasti
terlihat jelas, karena Leda tiba-tiba saja sudah muncul di sampingku. “Ini semua dijalankan
dengan tenaga gas. Bukan peralatannya yang tidak mereka inginkan, tapi listriknya.
Mendapatkan listrik dari jaringan listrik publik—yah itu berarti kau terhubung dengan dunia
luar.” Leda menunjuk bola lampu, menunjukkan padaku pipa kecil yang menghubungkannya
dengan tangki propana yang tersembunyi di bagian dasar. “Aaron akan mengizinkanmu
tinggal di sini. Dia tak suka, tapi dia akan melakukannya.”
Aku meringis. “Hebat sekali.”
“Ya,” kata Leda, tersenyum. “Kurasa kau akan terkejut.”
Yang lain berada di dapur, membiarkanku berdua dengan Leda di ruang duduk. Rak buku
dipenuhi dengan judul-judul yang tak kupahami—bahasa Jerman, kukira, kalau dilihat dari
hurufnya. Di dinding terpasang cetakan pohon keluarga, nama Leda tertulis tepat di atas
Sarah.
Tidak ada TV, tidak ada telepon, tidak ada VCR. Tidak ada Wall Street Journal terbentang di
atas sofa, tidak ada CD lagu jazz di latar belakang. Rumah itu berbau jeruk dan terasa
hangat hingga membuatku sesak napas. Jantungku mulai berdetak cepat. Apa yang telah
kulakukan?
“Leda,” kataku. “Aku tak bisa melakukan ini.”
Tanpa menjawab, ia duduk di sofa beledu cokelat dengan renda penutup di sandarannya.
“Kapan terakhir kali aku melihat sofa seperti itu?”
“Kau harus membawaku pulang. Kita akan memikirkan sesuatu. Aku bisa datang kemari dari
rumahmu tiap pagi. Atau aku bisa bertemu dengan Hakim untuk mencari alternatifnya.”
Leda melipat kedua tangannya di pangkuan. “Apa kau benar-benar takut dengan mereka?”
tanyanya, “atau yang kau takuti sebenarnya adalah dirimu sendiri?”
“Jangan mengejekku.”
“Apa aku mengejekmu? Ellie kau seorang perfesionis. Kau biasa mengambil alih dan
mengubah situasi untuk keuntunganmu. Tapi tiba-tiba kau terjebak di suatu tempat asing
yang sama asingnya bagimu seperti pasar di Calcutta.”
Aku terduduk di sampingnya dan menangkupkan tangan ke wajahku. “Setidaknya aku
pernah membaca tentang Calcutta.”
Leda menepuk punggungku. “Sayang, kau pernah berurusan dengan bos mafia, meskipun
kau bukan bagian dari mafia.”
“Aku tidak tingal dengan Jimmy 'Baby Hutan' Pisano saat aku membelanya, Leda.”
Nah, ia tak bisa membalas perkataanku. Setelah beberapa saat, Leda menarik napas
panjang. “Ini cuma sebuah kasus, Ellie. Dan sejak dulu kau mau melakukan apa pun untuk
memenangkan kasus.”
Kami berdua memandang ke dapur, di sana Katie dan Sarah—keluargaku, dari pernikahan—
berdiri berdampingan di depan bak cuci piring. “Kalau ini cuma sebuah kasus, aku tak akan
ada di sini.”
Leda mengangguk, mengakui bahwa aku sudah melakukan lebih dari yang seharusnya
kulakukan—dan menyadari bahwa ia harus melakukan hal yang sama. “Baiklah. Aku akan
memberikan beberapa aturan dasar untukmu. Membantu tanpa diminta; orang-orang Amish
lebih memerhatikan apa yang kaulakukan daripada apa yang kaukatakan. Tak masalah bagi
mereka kalau kau tak tahu apa pun tentang bertani atau beternak—yang penting adalah aku
mencoba membantu.”
30
“Lupakan saja bertani—aku sama sekali tak tahu bagaimana menjadi orang Amish.”
“Mereka tak berharap kau tahu. Dan tak ada yang perlu kauketahui lebih dulu. Mereka
orang biasa seperti kau dan aku. Yang baik dan jahat, yang santai dan pemarah, beberapa
orang akan segera mau membantumu dan ada orang lain yang akan berpaling pergi kalau
melihatmu datang. Itu karena turis cenderung menganggap kaum Amish sebagai orang suci
atau tontonan. Kalau kau ingin keluarga ini menerimamu, perlakukan saja mereka seperti
orang-orang biasa.
Seakan-akan segala kenangan itu menyakitinya, tiba-tiba Leda berdiri. “Aku harus pergi,”
katanya. “Meskipun Aaron Fisher tak suka kau di sini, dia lebih tak suka melihatku di sini.”
“Kau tak boleh pergi begitu cepat!”
“Ellie,” kata Leda lembut, “kau akan baik-baik saja. Aku bisa bertahan, bukan?”
Aku menyipitkan mata. “Kau pergi.”
“Yah, satu hari nanti kau juga. Ingat saja itu, dan hari itu akan tiba lebih cepat daripada
yang kaukira.” Ia menggandengku ke dapur, percakapan di sana mendadak terhenti. Setiap
orang mengangkat kepala, kelihatannya sedikit bingung melihat aku masih di sini. “Aku
akan pergi sekarang,” kata Leda. “Katie mungkin kau bisa mengantar Ellie ke kamarmu?”
Perkataan Leda itu langsung menyadarkanku; itulah yang bisa dilakukan anak-anak. Saat
kerabat datang berkunjung, saat teman mereka datang, mereka membawanya ke daerah
khusus mereka. Memamerkan rumah boneka, koleksi kartu bisbol. Dengan enggan, Katie
memaksa diri tersenyum. “Lewat sini,” katanya, mulai menaiki tangga.
Aku memeluk Leda erat dan cepat, lalu berpaling ke arah Katie. Aku menegakkan bahu dan
mengikutinya. Dan tak peduli betapapun inginnya aku, aku tak membiarkan diriku berpaling
ke belakang.
Saat berjalan di belakang Katie, aku memerhatikan gadis itu bejalan dengan berpegangan
di susuran tangga. Bagaimanapun juga, ia baru saja melahirkan—kebanyakan wanita pasti
masih di rumah sakit sekarang, namun Katie malah bersikap sebagai tuan rumah yang baik.
Di atas tangga, aku menyentuh bahunya. “Kau... baik-baik saja?”
Ia memandang kosong padaku. “Aku baik-baik saja, terima kasih.” Kemudian ia membawaku
ke kamarnya. Kamar itu bersih dan rapi, tapi sama sekali tak menunjukkan kamar seorang
remaja. Tidak ada poster Leonardo, tidak ada boneka Beanie Babies beserakan, tidak ada
koleksi lipgloss di meja rias. Dindingnya kosong; satu-satunya ciri individualitas di kamar itu
adalah selimut berpola pelangi yang menutupi dua ranjangnya.
“Kau bisa tidur di sana,” kata Katie, dan aku duduk di atas ranjang yang ditunjuknya
sebelum sepenuhnya mengerti kata-katanya. Rupanya, ia mengasumsikan aku akan tinggal
di kamar ini, kamarnya, saat aku tinggal di sini.
Tidak mungkin. Sudah cukup buruk aku harus tinggal di sini; sekarang aku bahkan tak punya
privasi di malam hari. Aku menarik napas panjang, mencari-cari cara yang sopan untuk
mengatakan pada Katie kalau aku takkan—dalam kondisi apa pun—berbagi kamar
dengannya. Tapi Katie sibuk berkeliling kamar, menyentuh sandaran kursinya dan mengelus
selimutnya, lalu merangkak untuk melihat di bawah ranjang. Akhirnya, ia berdiri lagi.
“Mereka mengambil barang-barangku,” katanya, suaranya pelan sekali.
“Siapa?”
“Aku tak tahu. Ada yang masuk kemari dan mengambil barang-barangku. Gaun tidurku.
Sepatuku.”
“Aku yakin bahwa—“
Ia langsung berpaling padaku. “Kau tak yakin akan apa pun,” tantangnya.
31
Tiba-tiba aku sadar kalau aku tinggal di kamar ini, tidur di sebelah Katie, aku bukanlah
satu-satunya orang yang tak bisa menyimpan rahasia. “Aku tadi mau bilang, aku yakin polisi
telah menggeledah kamarmu. Mereka pasti menemukan sesuatu yang membuat mereka
yakin untuk mendakwamu.” Katie duduk di ranjangnya, bahunya merosot. “Dengar.
Bagaimana kalau kita mulai dengan kau mengatakan padaku apa yang terjadi padamu
kemarin pagi?”
“Aku tidak membunuh bayi. Aku bahkan tak punya bayi.”
“Jadi begitu menurutmu,” keluhku. “Oke. Kau mungkin tak suka aku ada di sini dan aku
jelas bisa menyebutkan ribuan hal lain yang lebih ingin kulakukan, tapi berkat Hakim
Gorman, kau dan aku terpaksa bersama untuk sementara. Aku punya perjanjian dengan
klienku; aku takkan bertanya apakah kau melakukan kejahatan itu, tak pernah. Dan sebagai
imbalannya, katakan yang sebenarnya padaku setiap kali aku menanyakan hal lain
padamu.” Kucondongkan tubuhku ke depan, kutatap matanya. “Kau mau bilang padaku kau
tidak membunuh bayi itu? Silahkan saja. Aku tak peduli apakah kau melakukannya atau
tidak, karena aku tetap akan membelamu di pengadilan dan tidak menghakimimu. Tapi
berdusta tentang melahirkan—sesuatu yang sudah dibuktikan secara faktual—Katie, itu
membuatku marah.”
“Aku tidak berdusta.”
“Aku setidaknya bisa menyebut tiga ahli medis yang menyatakan secara tertulis bahwa
tubuhmu menunjukkan tanda-tanda habis melahirkan. Aku bisa menunjukkan tes darahmu
yang membuktikan hal yang sama. Jadi bagaimana kau bisa duduk di sini dan mengatakan
padaku kau tidak punya bayi?”
Sebagai pengacara pembela, aku sudah tahu jawabannya—ia bisa duduk di sana dan
mengatakan padaku kalau ia seratus persen yakin apa yang dikatakannya. Tapi sebelum aku
mempertimbangkan pembelaan atas dasar kegilaan, aku harus yakin bahwa Katie Fisher
tidak mempermainkanku. Katie tidak terlihat gila, dan ia berfungsi secara normal. Kalau
anak ini gila, maka aku pasti Marcia Clark (Jaksa Penuntut dalam Persidangan Kasus
Pembunuhan O.J. Simpson, red).
“Bagaimana kau bisa duduk di sana,” kata Katie. “Dan mengatakan padaku kau tidak
menghakimiku?”
Kata-katanya mengejutkanku. Aku, pengacara pembela ternama dengan rekor kemenangan
dan daftar surat kepercayaan sepanjang lenganku, telah membuat kesalahan besar dengan
secara mental memvonis klien sebelum ia menjalani pengadilan yang adil. Pengadilan yang
adil di mana aku harus membelanya. Ia berbohong tentang melahirkan, dan aku tak bisa
mengabaikan itu tanpa bertanya-tanya kebohongan apa lagi yang dikatakannya—cara
berpikir yang meletakkanku lebih sebagai penuntut umum dibandingkan pembela.
Dengan dingin aku membela hak para pemerkosa, pembunuh, dan pedofilia. Namun karena
gadis ini sudah membunuh bayinya sendiri, tindakan yang tidak bisa kupahami, aku ingin dia
dipenjara.
Aku memejamkan mataku. Diduga membunuh, aku mengingatkan diriku sendiri.
“Apa karena kau tak mengingatnya?” tanyaku, sengaja melembutkan suaraku.
Mata Katie menatapku, bola matanya besar dan berwarna biru laut. “Kamis malam itu aku
pergi tidur. Aku terbangun Jumat pagi dan turun untuk menyiapkan sarapan. Itu saja.”
“Kau tak ingat melahirkan. Kau tak ingat ke gudang.”
“Tidak.”
“Apakah ada orang lain yang melihatmu tidur sepanjang malam?”
“Aku tak tahu. Aku kan tidak bangun.”
Menarik napas panjang, aku mengetuk-ketukkan jariku di ranjang tempatku duduk.
“Bagaimana dengan orang yang tidur di sini?”
32
Wajah Katie memucat; ia kelihatannya lebih jengkel mendengarku menanyakan itu daripada
hal-hal lain yang kutanyakan padanya tadi. “Tak seorang pun tidur di sana.”
“Kau tak ingat bagaimana bayi itu keluar dari tubuhmu,” kataku, suaraku semakin kesal
karena frustasi. “Kau tak ingat memeluknya, dan membungkusnya dalam baju itu.” Kami
berdua memandang ke arah bawah, ke tanganku yang seakan menggendong bayi.
Untuk waktu yang lama Katie memandangku. “Apakah kau pernah punya bayi?”
“Ini bukan tentang aku,” kataku. Tapi melihat wajahnya, aku tahu bahwa dia tahu aku juga
tak mengatakan yang sebenarnya.
Ada paku gantungan di dinding, tapi tak ada lemari. Gaun-gaun Katie digantung di tiga
gantungan, tiga gantungan lain kosong di dinding seberang. Koperku tergeletak di ranjang
penuh dengan jins, blus, dan gaun santai. Setelah berpikir sesaat, aku mengeluarkan satu
gaun, menggantungnya di gantungan, lalu menutup risleting koperku lagi.
Terdengar ketukan di pintu saat aku mengangkat koerku ke pojok kamar, di belakang kursi
goyang. “Masuk.”
Sarah Fisher masuk, membawa setumpuk handuk yang hampir menutupi wajahnya. Ia
meletakkan handuk-handuk itu di atas meja. “Kau sudah mendapat semua yang
kaubutuhkan?”
“Ya, terima kasih. Katie sudah menunjukkannya padaku.”
Sarah menangguk kaku. “Makan malam jam enam,” katanya, lalu ia berbalik
memunggungiku.
“Mrs. Fisher,” panggilku sebelum bisa menahan diriku sendiri. “Aku tahu ini tak mudah
bagimu.”
Wanita itu berhenti di ambang pintu, tangannya memegang kusen pintu. “Namaku Sarah.”
“Sarah, kalau begitu,” kataku tersenyum, terpaksa, tapi setidaknya salah satu dari kami
berusaha. “Kalau ada hal yang ingin kautanyakan padaku tentang kasus putrimu, silakan
saja.”
“Aku memang punya pertanyaan.” Ia bersedekap dan memandangku. “Apakah keyakinanmu
kuat?”
“Aku apa?”
“Apa kau penganut Episcopal? Katolik?”
Terdiam, aku menggelengkan kepala. “Apa hubungannya agamaku dengan fakta aku
mewakili Katie?”
“Kami sering kedatangan orang yang datang ke sini, yang berpikir mereka ingin hidup
sederhana. Seakan-akan itu adalah jawaban dari semua masalah dalam hidup mereka,” kata
Sarah kesal.
Terkagum-kagum melihat keberaniannya, aku berkata, “Aku tidak ke sini untuk menjadi
orang Amish. Bahkan, aku tidak akan berada di sini, kalau tidak untuk menghindarkan putri
Anda supaya tidak dipenjara.”
Kami berpandangan, saling menantang. Akhirnya, Sarah berpaling, mengambil selimut di
ujung salah satu ranjang dan melipatnya lagi. “Kalau kau bukan penganut Episcopal maupun
Katolik, apa yang kauyakini?”
Aku mengangkat bahu. “Tak ada.”
Sarah memeluk selimut itu ke dadanya, terkejut mendengar jawabanku. Ia tak mengatakan
apa pun, tapi ia tak harus mengatakannya; ia pasti berpikir bagaimana aku mungkin bisa
berpikir bahwa Katie-lah yang butuh pertolongan.
Setelah perbincanganku dengan Sarah, aku ganti pakaian memakai celana pendek dan T-
shirt, lalu Katie naik untuk istirahat—sesuatu yang bisa kulihat belum pernah terjadi
sebelumnya di rumah ini. Untuk memberikan kesempatan pada Katie menikmati privasi, aku
memutuskan untuk berjalan-jalan sekeliling pertanian. Aku masuk ke dapur, di sana Sarah
sudah mulai memasak makan malam, dan aku memberitahukan rencanaku padanya.
Wanita itu pasti tak mendengar sepatah kata pun yang kuucapkan. Ia terpana memandang
lengan dan kakiku seakan-akan aku berjalan-jalan telanjang. Mungkin baginya, kurasa aku
memang telanjang. Dengan wajah memerah, ia berbalik ke meja dapur. “Ya,” katanya.
“Kau pergilah.”
33
Aku berjalan melewati kebun raspberry, ke belakang menara kincir, dan ke ladang. Aku
masuk ke gudang, melihat sapi-sapi perah bermata malas yang diikat di kandang. Pelan-
pelan aku menyentuh garis batas polisi yang berwarna kuning terang yang menandai TKP.
Lalu aku berjalan-jalan hingga menemukan sungai, yang sering kudatangi setiap kunjungan
musim panasku di kota ini.
Ketika aku mengunjungi Leda dan Frank semasa kanak-kanak dulu, aku sering menghabiskan
waktu berbaring tengkurap di pinggir sungai ini, memandangi serangga berlarian di atas
permukaan air, sementara sepasang capung saling bergosip. Aku memasukkan jariku ke air
dan melihat air memecah di sekitar jariku dan bertemu setelahnya. Waktu berputar tanpa
terasa, sehingga saat aku berpikir aku baru saja datang dalam sekejap matahari sudah akan
tenggelam.
Sungai di lahan pertanian Fisher lebih sempit daripada sungai yang kukunjungi dulu. Di
ujungnya ada air terjun kecil, di bagian dasarnya penuh dengan spora dan potongan jerami
yang membuatku tahu bahwa air terjun ini sering menjadi tempat bermain anak-anak
Fisher. Di ujung lain, sungai itu melebar menjadi kolam kecil, diteduhi pohon willow dan
oak.
Aku menggantungkan ranting bercabang dua di atas air, seakan-akan aku bisa mengail
strategi pembelaan untuk Katie di dasar sungai. Selalu ada kemungkinan Katie berjalan
dalam tidur—gadis itu mengaku tak tahu apa yang terjadi di antara saat ia pergi tidur
hingga saat ia terbangun. Itu memang pembelaan yang terlalu dibuat-buat, tapi pernah
sukses belakangan ini—dan dalam kasus sensasional seperti ini, mungkin itu adalah
kesempatan terbaik.
Selain itu, ada dua pilihan, Katie melakukannya atau tidak. Meskipun aku belum melihat
apa yang ditemukan penuntut umum, aku tahu mereka tak mungkin mendakwanya tanpa
bukti-bukti. Itu artinya aku harus menentukan apakah Katie sadar saat ia membunuh
bayinya. Kalau tidak, aku harus mengajukan pembelaan berdasarkan kegilaan—hanya sedikit
terdakwa yang berhasil bebas dengan pembelaan itu di negara bagian Pennyslvania.
Aku menghela napas. Aku harus punya kesempatan lebih baik untuk membuktikan bahwa
bayi itu tewas dengan sendirinya.
Sembari menjatuhkan ranting, aku mempertimbangkan pilihan itu. Bagi setiap saksi medis
yang diajukan negara yang bersaksi bahwa bayi itu dibunuh, aku mungkin bisa menemukan
ahli medis yang menyatakan bayi itu mati karena paparan udara dingin, atau prematur, atau
alasan medis lainnya yang mungkin ada. Itu adalah tragedi yang terjadi akibat
ketidakmengertian dan ketidaktahuan Katie, bukannya ia sengaja membunuhnya.
Keterlibatan pasif dalam kematian seorang bayi—yah, bahkan aku pun bisa memaafkan hal
itu.
Aku menepuk-nepuk celana pendekku, diam-diam mengutuk diriku sendiri yang lupa
membawa kertas dan bolpoin. Pertama-tama, aku harus menghubungi ahli patologi dan
melihat sejauh mana reliabilitas laporan petugas medis dalam kasus ini. Mungkin aku bisa
mengajukan ahli kandungan terkenal di bangku saksi—ada spesialis kandungan yang pernah
menjadi saksi untuk klienku di persidangan lalu. Akhirnya aku harus mengajukan Katie
sebagai saksi, buat dia terlihat sedih terhadap kejadian yang terjadi secara tidak sengaja
itu.
Namun, tentu saja, hal itu menuntut pengakuan dari Katie bahwa bayi itu dilahirkan
olehnya.
Aku mengerang lalu berguling telentang dan memejamkan mataku di bawah sinar matahari.
Mungkin, sebaiknya aku menunggu temuan dari penuntut umum, dan melihat apa yang bisa
kulakukan.
34
Terdengar suara gemerisik dari kejauhan, dan senandung yang terbawa angin. Mengerutkan
kening, aku berdiri dan mulai berjalan menyusuri sungai. Suara itu datang dari kolam, atau
di sekitar kolam. “Hei,” panggilku, memutari pinggir kolam. “Siapa di sana?”
Sekilas terlihat bayangan hitam, yang menghilang di ladang jagung di belakang kolam
sebelum aku bisa melihat siapa dia. Aku berlari di tepi ladang jagung, membukanya dengan
tanganku, berharap bisa menemukan pelakunya. Tapi yang berhasil kukejutkan hanyalah
segerombolan tikus, yang lari melewati sepatu ketsku ke arah semak cattail di pinggir
kolam.
Aku mengangkat bahu. Lagi pula aku tak sedang ingin ditemani. Aku mulai berjalan ke arah
rumah, tapi berhenti melihat seikat bunga liar diletakkan di ujung kolam paling utara.
Disandarkan pada ujung akar pohon willow, bunga-bunga liar itu diikat membantuk buket.
Aku berlutut dan menyentuh bunga Queen Anne, lady's slippers, dan black-eyed Susan. Lalu
aku memandang ke ladang jagung, bertanya-tanya untuk siapa bunga itu ditinggalkan.

“Kalau kau tinggal di sini,” kata Sarah sembari mengulurkan semangkuk kacang polong,
“kau harus membantu.”
Aku mengangkat pandangan dari meja dapur dan menahan lidahku yang nyaris mengatakan
bahwa aku sudah membantu dengan berada di sini. Atau pengorbananku, Katie bisa berada
di sini dengan semangkuk kacang polong yang sedang dikupasnya dengan cepat. Aku
memandanginya selama beberapa saat, lalu menggeserkan kuku jempolku di kulit kacang
dan mengamatinya memecah terbuka seperti yang dilakukan Katie.
“Nah... Englische Leit... Lus mich gay!”
Suara Aaron, tenang tapi tegas, menyeruak masuk lewat jendela dapur yang terbuka. Sarah
mengusapkan tangan ke celemeknya, lalu memandang ke luar. Sembari menarik napas
panjang, ia terburu-buru keluar.
Lalu aku mendengar orang bicara bahasa Inggris.
Aku langsung berpaling ke Katie. “Kau di sini saja,” kataku, dan berjalan keluar. Aaron dan
Sarah menutupi wajah mereka dengan tangan, berusaha menghindari sekelompok kecil juru
kamera dan reporter yang datang ke rumah pertanian. Salah satu mobil berita malah berani
parkir di sebelah kereta kuda Aaron. Mereka meneriakkan rentetan pertanyaan, mulai dari
pertanyaan tentang kehamilan Katie hingga jenis kelamin bayi yang meninggal.
Terlena oleh ketenangan dan kedamaian rumah pertanian itu, aku lupa betapa cepat media
mengetahui catatan sidang tentang seorang gadis Amish yang didakwa dengan tuduhan
pembunuhan tingkat satu.
Tiba-tiba aku teringat satu musim panas saat aku bergaya sebagai fotografer dan bagaimana
aku mengarahkan kamera Kodak-ku pada seorang pria Amish yang duduk di kereta kuda.
Leda saat itu langsung menutup lensa kameraku, menjelaskan bahwa kaum Amish percaya
bahwa Injil melarang menggambar manusia, dan tak suka difoto. “Aku tetap saja bisa
memfotonya,” kataku waktu itu, tersinggung, dan betapa terkejutnya aku melihat Leda
mengangguk—dengan sangat sedihnya sehingga aku memasukkan kembali kamera ke
kotaknya.
Aaron sudah berhenti mencoba meminta para reporter itu pergi. Bukan sifatnya untuk
membuat keributan, dan dengan bijak mengasumsikan kalau ia menawarkan dirinya sendiri
sebagai target, maka itu akan menghindarkan Katie dari kejaran para reporter dan juru
kamera. Berdeham keras, aku berjalan ke depan gerombolan itu. “Permisi, kalian di lahan
milik pribadi.”
Salah satu reporter mengamati celana pendek dan atasan tanpa lenganku, yang kontras
dengan pakaian Aaron dan Sarah. “Siapa kau?”
35
“Sekretaris pers mereka,” kataku datar. “Aku rasa kalian semua melanggar hukum dengan
masuk tanpa izin, yang merupakan tindak pidana ringan, hukumannya bisa mencapai satu
tahun di penjara dan denda dua puluh lima ribu dolar.”
Seorang wanita memakai setelan pink mengerutkan kening. “Kau si pengacara! Yang dari
Philly!” Aku memandang ke tulisan di mikrofonnya; rupanya dia dari cabang jaringan berita
antarkota.
“Saat ini, klien saya maupun orangtuanya tak punya komentar apa-apa,” kataku.
“Sedangkan tentang dakwaan yang bombastis itu, yah”—aku tersenyum, menunjuk ke
gudang, rumah pertanian, dan ladang yang tenang—“yang ingin saya katakan hanyalah
bahwa pertanian Amish bukanlah sebuah rumah pengedar narkoba di Philadelphia, dan
seorang gadis Amish bukanlah kriminal. Sisanya, kurasa kalian harus mendengarkan dari
tangga luar pengadilan nanti.” Aku mengamati gerombolan reporter itu. “Sekarang—satu
nasihat legal gratis. Aku menganjurkan agar kalian semua segera pergi.”
Dengan enggan, mereka pergi bergerombol seperti serigala, mirip dengan bayanganku
selama ini. Aku berjalan hingga ujung jalan, memastikan hingga mobil terakhir mereka
pergi. Lalu aku berjalan menyusuri jalan berkerikil ke arah rumah, dan menemui Aaron dan
Sarah berdiri berdampingan, menungguku.
Aaron memandang ke bawah saat ia bicara dengan nada rendah. “Mungkin kapan-kapan kau
mau melihat proses pemerahan.”
Itulah kata-kata yang paling mengungkapkan rasa terima kasihnya. “Ya,” kataku. “Aku
mau.”

Sarah memasak makanan yang bisa memberi makan seluruh komunitas Amish, bukan hanya
anggota keluarganya yang sedikit ditambah satu tamu. Ia membawa mangkuk demi
mangkuk makanan ke meja, ayam isi dan sayuran dengan saus, dan daging dimasak cukup
lama hingga lunak dan langsung terbelah saat disentuh garpu. Ada makanan pembuka, roti
dan kacang polong rebus bumbu rempah. Di tengah meja ada pitcher biru berisi susu segar.
Melihat semua pilihan makanan berlemak itu, aku heran bagaimana orang-orang ini bisa
makan tiga kali sehari dan tidak kegemukan.
Selain tiga anggota keluarga Fisher yang sudah kutemui, ada lagi pria yang lebih tua, yang
tak mau repot-repot mengenalkan dirinya tapi sepertinya tahu siapa aku. Dari ciri-cirinya,
aku menebak ia adalah ayah Aaron, dan ia mungkin tinggal di apartemen kecil yang
menempel di belakang rumah pertanian. Pria itu menundukkan kepalanya, yang
menyebabkan ketiga orang lainnya juga menundukkan kepala, reaksi kinetik yang aneh, dan
mulai berdoa sebelum makan. Aku langsung gelisah—kapan terakhir kali aku berdoa sebelum
makan?—aku menunggu hingga mereka mengangkat kepala dan mulai menaruh makanan ke
piring-piring mereka. Katie mengangkat pitcher berisi susu segar dan menuangkannya ke
gelasnya; lalu mengulurkan pitcher itu ke kanannya, padaku.
Aku bukan penggemar susu, tapi kurasa itu kurang tepat kalau kukatakan di peternakan
susu seperti ini. Aku menuangkan susu ke gelasku dan mengulurkan pitcher-nya ke Aaron
Fisher.
Keluarga Fisher tertawa dan bicara dalam dialek mereka, menaruh lagi makanan ke piring
mereka apabila sudah kosong. Akhirnya, Aaron bersandar ke kursinya dan bersendawa keras
sekali. Mataku membelalak melihat tindakan yang melanggar etiket itu, tapi istrinya
tersenyum lebar pada Aaron seakan-akan itu adalah pujian terbaik untuknya.
Aku tiba-tiba membayangkan rangkaian acara makan seperti ini, selama berbulan-bulan
dengan aku sebagai orang luar. Hingga perlu beberapa saat bagiku untuk sadar bahwa Aaron
menanyakan sesuatu padaku. Dalam bahasa Belanda Pennsylvania.
36
“Acarnya,” kataku dalam bahasa Inggris pelan dan hati-hati mengikuti pandangannya ke
salah satu mangkuk di meja. “Itu yang kauinginkan?”
Dagunya terangkat sedikit. “Ja,” jawabnya.
Aku meletakkan kedua tanganku di meja. “Lain kali, aku lebih suka kalau kau bertanya
padaku dalam bahasaku sendiri, Mr. Fisher.”
“Kami tidak bicara bahasa Inggris saat makan malam,” jawab Katie.
Pandanganku tetap terarah ke Aaron. “Sekarang iya,” kataku.

Jam sembilan malam, aku sudah hampir mati karena bosan. Aku tak bisa pergi ke tempat
penyewaan video, dan kalaupun aku bisa, di rumah ini tak ada TV maupun VCR untuk
menontonnya. Seluruh buku di rak ternyata ditulis dalam bahasa Jerman—buku anak-anak
yang berjudul Martyr's Mirror dan judul-judul lain yang sulit kuucapkan. Akhirnya aku
menemukan koran yang tertulis dalam bahasa Inggris—Die Boschaft—dan duduk untuk
membaca tentang pelelangan kuda dan penebah gandum.
Keluarga Fisher masuk ke ruangan satu demi satu, seakan-akan dipanggil suara bel yang
tidak kelihatan. Mereka duduk dan menundukkan kepala. Aaron memandang ke arahku,
bertanya-tanya. Saat aku tidak menjawab, ia mulai membaca keras-keras Alkitab bahasa
Jerman.
Sejak dulu aku bukanlah orang relijius; dan tanpa persiapan apa-apa aku terdampar di
rumah yang bisa dikatakan berdiri berdasarkan ajaran Kristiani. Aku menahan napas, pura-
pura terus membaca koran walaupun huruf-hurufnya mulai kabur di mataku, berusaha agar
tidak merasa seperti orang kafir.
Kurang dari dua menit kemudian, Katie berdiri dan berjalan ke arahku. “Aku akan tidur
sekarang,” katanya.
Aku meletakkan koranku. “Kalau begitu aku juga.”

Setelah keluar dari kamar mandi mengenakan piama sutraku, aku memandang Katie yang
duduk di ranjangnya memakai gaun malam putihnya yang panjang dan menyikat rambutnya.
Tak dijepit, rambutnya terurai hingga ke pinggang dan bergelombang di setiap usapan
sisirnya. Aku duduk bersila di ranjangku sendiri, bertopang dagu. “Ibuku dulu sering
melakukan itu untukku.”
“Benarkah?” kata Katie, memandangku.
“Yeah. Setiap malam, menguraikan kepangan rambutku. Aku membencinya. Kurasa itu
adalah salah satu bentuk siksaan.” Aku menyentuh rambutku yang pendek. “Seperti yang
kaulihat, aku membalas dendam.”
Katie tersenyum. “Kami tak punya pilihan. Kami tak pernah memotong rambut.”
“Tak pernah?”
“Tak pernah.”
Memang, rambutnya indah—tapi bagaimana kalau, seperti aku, ia harus menghadapi
bentakan setiap hari sepanjang hidupnya? “Bagaimana kalau kau ingin potong rambut?”
“Untuk apa? Kalau begitu aku akan jadi berbeda dari yang lain.” Katie meletakkan sisirnya,
menghentikan percakapan dan naik ke ranjang. Mencondongkan tubuh ke samping, ia
mematikan lampu gas, membuat kamar menjadi gelap gulita.
“Ellie?”
“Hmm?”
“Bagaimana rasanya di tempat kau tinggal?”
Aku berpikir sebentar. “Ribut. Lebih banyak mobil, dan mereka sepertinya ada di luar
jendela kita sepanjang malam, membunyikan klakson dan mendecit. Orangnya juga lebih
banyak—dan sulit sekali melihat sapi atau ayum, apalagi jagung manis, kecuali yang sudah
dibekukan dan dijual di supermarket. Tapi aku benar-benar tinggal di Philadelphia lagi. Saat
ini aku bisa dibilang masih belum menentukan tempat tinggal.”
Katie diam sangat lama sehingga kukira dia sudah tertidur. “Tidak, kau tidak begitu,”
katanya. “Sekarang kau bersama kami.”
37
Aku terbangun dalam keadaan terkejut, kukira aku baru saja mimpi buruk lagi, mimpi buruk
tentang anak-anak perempuan dari kasusku yang terakhir, tapi seprai ranjangku masih rapi,
detak jantungku juga pelan dan stabil. Aku menengok ranjang Katie, selimutnya terbuka
menunjukkan dia tak ada, dan aku langsung bangun. Turun bertelanjang kaki, aku mengecek
di dapur dan ruang duduk, sebelum aku mendengar suara pintu ditutup dan langkah kaki di
beranda.
Katie berjalan ke arah kolam yang kudatangi tadi sore. Aku tetap di belakang, bersembunyi,
namun cukup dekat untuk bisa melihat dan mendengarnya. Ia duduk di bangku tembaga
yang diletakkan di bawah pohon ek besar dan memejamkan matanya.
Apakah ia berjalan dalam tidur lagi? Atau ia mau bertemu orang di sini.
Apakah di sini tempat Katie dan Samuel bertemu diam-diam? Apakah di sini bayi itu dibuat?
“Di mana kau?” bisikan Katie terdengar di telingaku, dan aku langsung menyadari dua hal
sekaligus: perkataannya terlalu jelas untuk dibilang mengigau; dan aku memahami kata-
katanya. “Kenapa kau sembunyi?”
Jelas, ia sadar aku mengikutinya. Siapa lagi yang dia ajak bicara dalam bahasa Inggris kalau
bukan aku?
Aku keluar dari balik pohon willow dan berdiri di depannya. “Akan aku katakan mengapa
aku sembunyi, kalau kau bilang kenapa kau ke sini.”
Katie berdiri kaget, pipinya merona. Ia terlihat begitu kaget sehingga tanpa sadar aku
mundur selangkah—tepat ke tepi kolam, membuat bagian bawah celana piamaku basah.
“Kejutan,” kataku datar.
“Ellie! Apa yang kaulakukan di sini?”
“Kupikir itu lebih tepat jadi pertanyaanku. Ditambah pertanyaan berikut: Siapa yang akan
kautemui di sini? Samuel, mungkin? Kalian berdua mau menyamakan cerita, sebelum aku
memojokkannya untuk menanyainya?”
“Tidak ada cerita—“
“Demi Tuhan, Katie, menyerahlah! Kau melahirkan bayi. Kau didakwa membunuh. Aku
menjadi pembelamu, dan kau masih sembunyi-sembunyi di belakangku, pada tengah malam
lagi. Kau tahu, aku sudah lama jadi pengacara, dan orang biasanya tidak sembunyi-
sembunyi kecuali mereka punya sesuatu yang dirahasiakan. Dan juga, mereka tidak
berbohong kecuali ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Tebak, siapa dari kita berdua
yang memenuhi kondisi itu?” Air mata mengalir di pipi Katie. Mengeraskan hati, aku
menyilangkan lengan di dada. “Kau sebaiknya mulai bicara.”
Ia menggeleng. “Bukan Samuel. Aku tak bertemu dengannya.”
“Untuk apa aku percaya padamu?”
“Karena aku mengatakan yang sebenarnya.”
Aku mendengus. “Benar. Kau tidak mau menemui Samuel; kau cuma butuh sedikit udara
segar. Atau ini satu kebiasaan tengah malam Amish yang harus kuketahui?”
“Aku tidak ke sini karena Samuel.” Katie memandangku. “Aku tak bisa tidur.”
“Kau tadi bicara dengan seseorang. Kau bilang dia sembunyi.”
Katie menundukkan kepala. “Perempuan.”
“Apa?”
“Perempuan. Orang yang ingin kutemui itu seorang anak perempuan.”
“Usaha yang bagus, Katie, tapi keberuntunganmu sudah habis. Aku tidak melihat anak
perempuan. Dan aku tidak melihat laki-laki juga, tapi menurutku kalau aku menunggu lima
menit lebih lama, seorang pria besar pirang akan muncul.”
“Aku mencari adikku, Hannah.” Ia terdiam. “Kau tidur di ranjangnya.”
Dalam hati, aku menghitung semua orang yang kutemui hari itu. Tak ada anak perempuan
lain; dan aku tak percaya Leda tidak menceritakan tentang saudara Katie padaku. “Kalau
begitu mengapa Hannah tak ikut makan malam? Atau berdoa denganmu malam ini?”
“Karena....ia sudah mati.”
Kali ini saat aku melangkah mundur karena kaget, kedua kakiku sudah masuk ke air. “Dia
sudah mati.”
“Ja,” Katie mengangkat wajahnya dan menatapku. “Dia tenggelam di sini saat berumur
tujuh tahun. Saat itu umurku sebelas tahun, dan seharusnya menjaga dia saat kami main
skating, tapi dia jatuh ke dalam es.” Ia mengusap matanya dan hidungnya dengan lengan
gaun malamnya. “Kau... kau ingin aku mengatakan semuanya, mengatakan yang sebenarnya
padamu. Aku keluar ke sini untuk bicara dengan Hannah. Kadang aku bahkan bisa
melihatnya. Aku tidak mengatakan apa pun pada orang lain tentang dia, karena kalau aku
bilang melihat hantu, Mam dan Dat akan berpikir aku sudah ferhoodled. Tapi dia di sini,
Ellie. Benar, aku berani sumpah.”
“Seperti kau bersumpah tak pernah punya bayi?” gumamku.
Katie melengos dariku. “Aku tahu kau takkan mengerti. Satu-satunya orang yang mengerti
hanyalah—“
“Siapa?”
“Tak seorang pun,” katanya keras kepala.
Aku merentangkan lenganku. “Kalau begitu, panggil dia. Hei, Hannah!” teriakku. “Ayo ke
sini dan bermain.” Aku menunggu cukup lama lalu mengangkat bahu. “Heran, aku tak
melihat apa pun. Bayangkan itu.”
“Dia tidak mau datang karena kau di sini.”
“Baik sekali dia,” kataku.
Mata Katie gelap dan menantang, yakin. “Aku mengatakan padamu bahwa aku sering
melihat Hannah sejak dia meninggal. Aku mendengarnya bicara, saat angin bertiup. Dan aku
melihatnya bermain skating, tepat di atas permukaan kolam. Dia nyata.”
“Kau berharap aku percaya ini? Berpikir bahwa kau ke sini karena kau percaya hantu?”
“Aku percaya pada Hannah,” jelas Katie.
Aku menghela napas. “Menurut kau percaya banyak hal yang mungkin tak benar. Kembalilah
tidur, Katie,” kataku ke balik bahu, dan pergi tanpa menunggu apakah ia mengikutiku.
38
Begitu Katie tertidur, aku mengendap-endap ke luar kamar membawa tasku. Di luar, di
beranda, aku mengeluarkan ponselku. Ironisnya, kau bisa mendapatkan sinyal di Lancaster
County—karena beberapa petani Amish yang lebih progresif telah mengizinkan pendirian
menara seluler di tanah mereka, dengan bayaran yang membuat mereka tak perlu
menanam pada musim dingin. Menekan beberapa nomor, aku menunggu hingga terdengar
suara mengantuk yang akrab menjawab.
“Yeah?”
“Coop, ini aku.”
Aku hampir bisa membayangkan dia duduk di ranjang, selimut jatuh ke lantai. “Ellie? Yesus!
Setelah—berapa? Dua tahun? Kau meneleponku jam.. ya Tuhan, jam tiga pagi?”
“Setengah tiga.” Aku sudah mengenal John Joseph Cooper IV selama hampir dua puluh
tahun, sejak kami kuliah di Penn bersama. Tak peduli jam berapa, ia akan menggerutu—tapi
pasti memaafkanku. “Dengar, aku butuh bantuanmu.”
“Oh, jadi ini bukan sekadar telepon menanyakan kabar pada jam tiga pagi?”
“Kau takkan percaya ini, tapi sekarang aku tinggal di rumah keluarga Amish.”
“Ah, aku tahu. Kau tak pernah bisa melupakanku, dan kau membuang semuanya demi hidup
sederhana.”
Aku tertawa. “Coop, aku melupakanmu sejak sepuluh tahun lalu. Tepat saat kau menikah,
sebenarnya. Aku di sini karena sebagai bagian dari ketentuan jaminan klienku, yang
didakwa membunuh bayinya yang baru lahir. Aku ingin kau mengevaluasinya.”
Ia menarik napas pelan. “Aku bukan psikiater forensik, Ellie. Hanya psikiater biasa.”
“Aku tahu, tapi... aku percaya padamu. Dan aku ingin ini off the record, mencari firasat
yang tepat, sebelum aku memutuskan bagaimana aku bisa membelanya.”
“Kau percaya padaku?”
Aku menarik napas, mengingat-ingat. “Yah. Kurang-lebih. Lebih, karena masalahnya tak
berkaitan denganku.”
Coop terdiam sebentar. “Apakah kau bisa membawanya ke sini hari Senin?”
“Eh, tidak. Dia tak boleh meninggalkan pertanian.”
“Jadi aku melakukan kunjungan rumah?”
“Kau melakukan kunjungan pertanian, kalau itu membuatmu merasa lebih baik.”
Aku bisa membayangkan dia memejamkan mata, menjatuhkan diri ke bantal. Katakan ya,
desakku dalam hati. “Aku tak bisa menjadwalkannya hingga setidaknya hari Rabu,” kata
Coop.
“Itu cukup bagus.”
“Menurutmu mereka akan mengizinkanku memerah sapi?”
“Kita lihat nanti.”
Aku bisa merasakan dia tersenyum, meskipun jarak kami bermil-mil jauhnya. “Ellie,”
katanya, “aku bersedia.”

Lima
AARON terburu-buru masuk ke dapur dan duduk di meja. Sarah dengan cekatan langsung
berbalik dan menaruh secangkir kopi di depan suaminya. “Di mana Katie?” Aaron bertanya,
mengerutkan kening.
“Dia masih tidur,” kata Sarah. “Kurasa sebaiknya jangan membangunkan dia dulu.”
“Jangan? Sekarang Gemeesunddaag. Kita harus berangkat, kalau tidak kita terlambat.
Sarah menekankan kedua tangannya di meja dapur, seakan ingin membuat meja formikanya
lebih licin lagi. Ia menegakkan bahunya dan bersiap-siap membantah Aaron, sesuatu yang
jarang sekali ia lakukan sepanjang pernikahan mereka. Sarah bahkan bisa menghitung
dengan satu tangan berapa kali ia membantah suaminya. “Kurasa sebaiknya Katie tidak
usah pergi ke gereja.”
Aaron meletakkan cangkirnya. “Tentu saja dia akan pergi.”
“Dia merasa grenklich, Aaron. Kau lihat bagaimana wajahnya kemarin.”
“Dia tidak sakit.”
Sarah duduk di kursi di depan suaminya. “Orang-orang pasti sudah mendengar tentang bayi
itu. Dan orang Inggris itu.”
“Uskup tahu apa yang dikatakan Katie dan dia percaya padanya. Kalau Ephram memutuskan
bahwa Katie perlu membuat pengakuan, dia pasti datang ke sini dulu dan bicara.”
Sarah menggigit bibirnya. “Ephram percaya Katie saat dia bilang dia tidak membunuh bayi
itu. Tapi apakah dia percaya saat Katie bilang bayi itu bukan bayinya?” Melihat Aaron tidak
menjawab, Sarah mengulurkan tangan di atas meja dan menyentuh tangan suaminya. “Apa
kau percaya?”
Aaron terdiam beberapa saat. “Aku melihatnya, Sarah, dan aku menyentuhnya. Aku tak
tahu bagaimana bayi itu bisa di sana.” Dengan pedih, ia mengakui, “Aku juga tahu Katie
dan Samuel bukan yang pertama mendahului sumpah perkawinan mereka.”
Menahan air mata, Sarah menggeleng. “Itu berarti Meidung,” katanya. “Bahkan kalaupun ia
mengaku dan mengatakan ia menyesalinya, dia akan menjalani bann, diasingkan selama
beberapa waktu.”
“Ya, tapi ia kemudian akan dimaafkan dan diperbolehkan kembali.”
“Kadang,” kata Sarah, mulutnya mengeras, “bukan begitu yang terjadi.” Kenangan tentang
putra tertua mereka, Jacob, tiba-tiba berkelebat di antara mereka, membuat meja terasa
sesak, sehingga Aaron mendorong kursinya ke belakang. Sarah memang tak menyebut nama
Jacob, tapi ia telah menghidupkan hantu di rumah di mana ia seharusnya sudah dianggap
mati sejak lama. Takut akan reaksi Aaron, Sarah melengos, dan terkejut ketika mendengar
suara suaminya lembut dan kalah.
“Kalau Katie tinggal di rumah hari ini,” katanya, “kalau dia pura-pura sakit dan tidak
menunjukkan wajahnya, orang akan bicara. Orang akan berpikir dia tidak datang karena ia
punya sesuatu yang disembunyikan. Akan lebih baik baginya, kalau dia menganggap hari ini
seperti hari Minggu biasanya.”
39
Merasa lega, Sarah mengangguk, namun tubuhnya menegang lagi saat ia mendengar Aaron
berkata tenang lagi. “Tapi kalau dia harus diasingkan, aku akan berpihak pada gerejaku
dibandingkan pada anakku.”
Beberapa saat sebelum jam delapan, Aaron memasang kuda ke kereta. Katie naik ke bak
belakang, dan istrinya duduk di bangku lebar di sampingnya. Aaron baru saja akan menarik
kekang ketika orang Inggris itu lari ke luar rumah, ke halaman.
Ia terlihat lucu. Rambutnya berdiri berantakan, dan di pipinya masih ada garis-garis bekas
bantal. Setidaknya sekarang ia mengenakan gaun katun panjang, pikir Aaron, bukannya
pakaian terbuka seperti kemarin siang.
“Hei,” teriaknya, dengan bingung melambai-lambaikan tangan agar Aaron tidak pergi. “Mau
ke mana kalian?”
“Ke gereja,” kata Aaron datar.
Ellie menyilangkan tangannya. “Kau tak bisa. Yah, maksudnya, kau bisa. Tapi putrimu tak
bisa.”
“Putriku akan pergi, seperti yang selalu dia lakukan sepanjang hidupnya.”
“Menurut perintah pemerintah negara bagian Pennsylvania, Katie diserahkan pada
pengawasanku. Dan dia tak boleh pergi ke mana pun tanpa aku.”
Aaron memandang istrinya dan mengangkat bahu.

Ellie selama ini punya banyak anggapan yang salah terhadap kereta kuda Amish, tapi yang
paling utama adalah ia menganggap kereta kuda Amish tak nyaman dinaiki. Itu ternyata
tidak benar sama sekali. Naik kereta kuda sangat nyaman, gerakan kuda yang stabil
melenakan seluruh indranya, dan panas matahari bulan Juli terusir oleh angin sepoi-sepoi
yang berembus dari jendela depan dan belakang. Turis-turis bermobil menyalip dari
belakang dan melewati kereta kuda dengan kecepatan tinggi dan berisik.
Seekor kuda bergerak hanya dengan kecepatan sekitar dua puluh kilometer per jam—cukup
pelan sehingga Ellie bisa menghitung jumlah anak sapi yang merumput di ladang,
mengamati semak Queen Anne berbunga di sisi jalan. Dunia yang ini tidak bergerak cepat;
tapi membuka pelan-pelan. Ellie yang menghabiskan sebagian besar hidupnya bergerak
terburu-buru, menemukan dirinya sendiri mengamati sekeliling penuh kekaguman.
Ellie mengira mereka akan pergi ke bangunan gereja. Tapi ia terkejut, ketika Aaron
membelokkan kereta kudanya ke jalan masuk rumah seseorang. Tiba-tiba mereka menjadi
bagian rangkaian panajng kereta kuda, parade yang muram. Tidak ada kapel, tidak ada
menara bel, tidak ada puncak menara gereja—hanyalah gudang dan rumah pertanian. Aaron
berhenti, dan Sarah turun. Katie menyenggol bahunya. “Ayo,” bisiknya. Ellie keluar dari
kereta dan menyiapkan diri.
Ia benar-benar dikelilingi kaum Amish. Berjumlah lebih dari seratus orang, mereka semua
keluar dari kereta masing-masing, menyebrangi halaman dan berkumpul untuk ngobrol dan
berjabat tangan. Anak-anak berlarian di belakang rok ibu mereka dan memutari kaki ayah
mereka; sebuah bak kereta yang penuh berisi jerami menjadi tempat makan sementara
kuda-kuda yang mengantarkan para keluarga itu ke gereja. Begitu Ellie terlihat, pandangan
ingin tahu langsung tertuju ke arahnya. Mereka berbisik-bisik, menunjuk dan terkikik.
Ellie ingat merasa seperti ini hanya sekali seumur hidupnya—bertahun-tahun lalu, ketika ia
menghabiskan musim panas di sebuah desa Afrika sebagai bagian dari proyek kemanusiaan
universitas. Saat itu ia baru menyadari betapa dirinya sangat berbeda dengan yang lainnya.
Ia kaget ketika seseorang menggandeng lengannya. “Ayo,” kata Katie, menggandengnya
menyebrangi halaman seakan-akan tidak ada yang aneh, seakan-akan ia sudah biasa
berjalan dengan orang Inggris di sisinya.
Langkah Ellie dihentikan oleh pria dengan janggut putih tebal dan mata setajam elang.
“Katie,” kata pria itu, menggenggam tangan Katie.
“Uskup Ephram.” Eliie yang berdiri dekat di samping Katie menyadari betapa gadis itu
gemetaran.
“Anda pasti pengacaranya,” kata pria itu dalam bahasa Inggris, dengan suara yang cukup
keras sehingga terdengar oleh semua orang yang ingin tahu. “Orang yang memulangkan
Katie kepada kami.” Ia mengulurkan tangan ke Ellie. “Wilkom,” Lalu ia berjalan ke arah
gudang tempat para pria berkumpul.
“Baik sekali dia mau melakukan itu,” bisik Katie. “Sekarang semua orang tidak akan
bertanya-tanya tentangmu saat berdoa nanti.”
“Di mana kalian berdoa?” tanya Ellie, bingung. “Di luar?”
“Di dalam ruah. Misa dilaksanakan di rumah yang berbeda-beda tiap minggu.”
Dengan ragu Ellie mengamati rumah pertanian kecil dari kayu itu. “Tak mungkin semua
orang di sini muat dalam bangunan kecil itu.”
Sebelum Katie bisa menjawab, ia didekati dua gadis yang memegang tangannya dan bicara
dengan serius, mencemaskan kabar burung yang telah mereka dengar. Katie menggeleng
dan menenangkan mereka, lalu memerhatikan Ellie yang berdiri agak menjauh darinya,
terlihat sendirian. “Aku ingin mengenalkan kalian pada seseorang,” kata Katie. “Mary Esch,
Rebecca Lapp, ini Ellie Hathaway,...”
Ellie tersenyum masam melihat keraguan Katie. “Pengacara,” katanya. “Senang bertemu
kalian.”
40
“Pengacara?” Rebecca kaget mendengar kata itu, seakan-akan Ellie baru saja memaki-
makinya dan bukan sekadar mengatakan profesinya. “Kenapa kau butuh pengacara?”
Saat itu, para wanita sudah mulai berbaris dan masuk ke rumah. Wanita muda yang masih
lajang berjalan di bagian depan, tapi dengan adanya Ellie di sana jadi muncul masalah.
“Mereka tak tahu harus menempatkanmu di mana,” jelas Katie. “Kau seorang pengunjung,
jadi kau harusnya di belakang orang yang terdepan. Tapi kau tidak dibaptis.”
“Biarkan aku memecahkannya buat semua orang.” Ellie dengan tegas menempatkan dirinya
di antara Katie dan Rebecca. “Nah.” Seorang wanita yang lebih tua mengerutkan kening
dan menggoyangkan telunjuknya ke arah Ellie, kesal melihat orang yang bukan anggota
gereja mereka ada di barisan depan. “Tenang,” gumam Ellie. “Aturan dibuat untuk
dilanggar.”
Ia mengangkat kepala dan melihat Katie memandangnya serius. “Tidak di sini.”

Baru setelah Katie mulai mengunjungi Jacob secara berkala ia mengerti bagaimana
manusia digoda setan. Betapa mudahnya Lucifer menggunakan benda seperti CD player dan
Levi's 501 untuk menggoda manusia. Bukan berarti ia menganggap kakaknya sudah terjerat
dalam godaan setan—ia tiba-tiba membayangkan bagaimana satu malaikat yang terjatuh
dari surga dengan mudah mengulurkan tangan dan menarik jatuh satu malaikat lagi, dan
satu lagi, dan satu lagi.
Suatu hari, saat Katie berusia lima belas tahun, Jacob mengatakan ia punya kejutan untuk
Katie. Jacob membawakan pakaian ganti di stasiun kereta dan menunggu Katie berganti
pakaian di toilet wanita, lalu menggandengnya ke tempat parkir. Tetapi bukannya
mendekati mobilnya sendiri, Jacob membawanya ke mobil station wagon besar yang penuh
berisi mahasiswa. “Hei, Jake,” salah satu anak lelaki di dalam mobil itu berteriak,
menurunkan kaca jendela. “Kau tak bilang adikmu hot!”
Secara otomatis, Katie memegang sweaternya. Mungkin maksudnya hangat... tapi Jacob
membuyarkan pikirannya. “Dia baru lima belas,” katanya tegas.
“Awas, bisa-bisa kau dipenjara,” kata seorang gadis. Lalu ia menarik anak lelaki tadi ke
belakang dan mencium mulutnya.
Katie belum pernah sedekat ini melihat orang yang berciuman di depan umum; ia
ternganga melihatnya hingga Jacob menarik tangannya. Kakaknya masuk ke mobil dan
menyuruh temannya bergeser sehingga ada tempat untuk adiknya. Ia lalu memperkenalkan
teman-temannya pada Katie dengan cepat sehingga Katie tak bisa mengingat mereka satu
per satu. Kemudian mereka berangkat, mobil bergoyang dengan suara kaset Rolling Stone
yang menggema dan orang-orang yang berpacaran di belakang.
Beberapa lama, mobil berhenti di tempat parkir, dan Katie melihat gunung dan pondok ski
di dasarnya. “Terkejut?” kata Jacob. “Bagaimana menurutmu?”
Katie menelan ludah. “Aku pasti akan kesulitan menjelaskan kaki patah pada Mam dan
Dat.”
“Kau akan baik-baik saja. Aku akan mengajarimua.”
Dan Jacob memang mengajarinya—sekitar sepuluh menit. Lalu ia meninggalkan Katie di
jalur pemula dengan segerombolan anak usia tujuh tahun yang sedang belajar ski,
sementara ia balapan dengan teman-temannya. Katie membentuk papan skinya menjadi
segitiga dan pelan-pelan menuruni lereng, lalu membiarkan J-Bar menariknya ke atas dan
mulai lagi. Setiap kali sampai ke dasar, ia menaungi matanya dan mencari Jacob, yang tak
pernah muncul. Seluruh dunia terlihat asing—licin dan putih, dengan titik-titik orang main
ski yang menyamping untuk melintasinya. Katie berpikir, beginilah rasanya diasingkan
selamanya. Kau kehilangan semua orang yang penting bagimu; kau sendirian.
Ia memandang ke kursi gantung. Kecuali tentu saja kalau kau bisa melakukan apa yang
telah dilakukan Jacob: berubah menjadi orang lain. Katie tidak tahu bagaimana Jacob bisa
melakukannya dengan mudah, seakan-akan ia tak pernah pnya kehidupan lain di tempat
lain.
Seakan-akan kehidupannya yang baru sekarang adalah satu-satunya yang penting.
Tiba-tiba Katie merasa marah, saat ia dan ibunya berusaha keras untuk selalu mengingat
dan menyayangi Jacob, Jacob malah minum-minum dan bersenang-senang main ski. Katie
melepaskan papan ski sewaannya dan meninggalkan papan itu di salju, sementara ia
kembali ke pondok.
Katie tak tahu berapa lama ia duduk di dalam pondok, melihat ke luar jendela. Matahari
mulai bergeser turun ke ufuk barat ketika Jacob masuk, membawa papan ski Katie.
“Himmel, Katie!” teriaknya, kembali memakai dialek Dietsch. “Kau tidak boleh
meninggalkan papan skimu sembarangan. Kau tahu berapa dendanya kalau kau
menghilangkannya?”
Perlahan-lahan Katie berpaling memandangnya. “Tidak, Jacob. Dan aku tidak tahu berapa
harganya kalau kau hanya menyewanya sehari. Dipikir-pikir, aku juga tak tahu berapa
harga satu kotak bir. Dan yang pasti aku tak tahu kenapa aku jauh-jauh ke sini naik kereta
untuk menengokmu!”
Katie berusaha melewati Jacob, tapi sepatu bot yang dipakainya terlalu besar dan berat
untuk dipakai berjalan jauh sebelum akhirnya Jacob berhasil mengejarnya. “Kau benar,”
kata Jacob pelan. “Aku bersama mereka tiap hari, dan kau adalah orang yang jarang
kutemui.”
41
Katie duduk di bangku piknik dan bertopang dagu. “Kenapa kau mengajakku kemari hari
ini?”
“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Saat Katie berpaling, Jacob mengulurkan
tangan padanya. “Cobalah sekali lagi. Denganku. Naik kursi gantung.”
“Oh, tidak.”
“Aku akan terus bersamamu. Aku janji.”
Ia membiarkan Jacob membawanya ke luar, memasangkan papan skinya, lalu
membimbingnya ke jalur lift. Jacob bergurau dan menggodanya, bersikap seperti kakak
yang ia ingat dulu sehingga Katie bertanya-tanya mana karakter Jacob yang nyata dan
mana yang hanya akting. Lalu lift itu naik sangat tinggi sehingga Katie bisa melihat
puncak-puncak pohon, jalan yang berkelok dari bukit ski, bahkan universitas. “Indah
sekali,” bisiknya.
“Inilah yang ingin kuperlihatkan padamu,” kata Jacob pelan. “Bahwa Paradise hanyalah
setitik kecil di peta.”
Katie tidak menjawab. Ia membiarkan Jacob membantunya turun dari kursi gantung dan
mengikuti petunjuknya untuk pelan-pelan menuruni bukit, tapi ia tak bisa menyingkirkan
gambaran dunia dari puncak gunung itu dari pikirannya, ia juga tak bisa menghilangkan
perasaan bahwa ia akan merasa lebih aman saat ia kembali lagi berdiri di dasar gunung.

Kalau ini hari minggu seperti biasanya, pikir Ellie, ia dan Stephen masih membaca New York
Times di ranjang, makan bagel dan membiarkan remah-remah roti berjatuhan di selimut,
atau mungkin mereka akan memutar CD jazz dan bercinta. Tapi sekarang, ia diapit dua
gadis Amish, dan untuk pertama kalinya mengikuti misa gereja Amish.
Katie benar: mereka semua berhasil masuk. Perabotan telah dipindahkan untuk
memberikan tempat bagi bangku-bangku panjang tak bersandaran milik gereja, yang
diangkut oleh kereta dan bisa dibawa dari rumah ke rumah. Pintu ganda yang lebar dan
pemisah ruangan yang bisa dilipat membuat hampir semua orang bisa melihat pusat rumah
dari tempat duduknya—pusat itu menjadi tempat para pendeta akan berdiri. Wanita dan
pria duduk di ruangan yang sama namun dikelompokkan sendiri-sendiri, orangtua dan
mereka yang sudah menikah duduk di depan. Di dapur, para ibu menggendong bayi-bayi
bahkan yang masih berumur beberapa minggu; anak-anak yang masih kecil duduk dengan
ayah atau ibunya sesuai jenis kelamin mereka. Ellie menjengit ketika Rebecca bergeser,
mendorongnya semakin menempel ke Katie. Ia bisa mencium bau keringat, sabun, dan
samar-samar bau ternak.
Akhirnya, sepertinya rumah ini tak mampu menampung tambahan satu orang lagi. Ellie
menunggu acara misa dimulai dengan tak sabar. Dan ia terus menunggu. Rupanya, mereka
tak terburu-buru untuk memulai, bahkan tampaknya satu-satunya orang yang merasa
terganggu karena acara tak segera dimulai hanyalah Ellie. Ia memandang berkeliling saat
terdengar bisik-bisik; “Kau saja.” “Kau.. tidak, kau.” Akhirnya, seorang pria tua berdiri dan
mengumumkan sebuah lagu himne. Berbarengan, seratus buku membuka. Katie yang
memegang Ausband di pangkuannya, menggesernya sedikit ke samping sehingga Ellie bisa
melihat syair himnenya.
Ellie menghela napas. Berusaha beradaptasi—atau begitulah yang dia kira. Tak bermaksud
mengejek, tapi Ellie tak bisa menyanyikan lagu doa yang nadanya tidak tertulis di buku.
Yang tertulis hanyalah liriknya dan ia tak tahu nada himne Amish. Sebenarnya, ia tak tahu
nada untuk himne apa pun. Seorang pria tua mulai menyanyi dengan nada falsetto pelan
dan terukur, dan yang lain mengikutinya. Ellie melihat para pemimpin gereja—uskup
Ephram dan dua pendeta, dan seorang lagi yang belum pernah ia lihat—meninggalkan kursi
mereka dan pergi ke lantai atas. Keparat-keparat yang beruntung, pikir Ellie.
Ellie mash berpikir demikian, tiga puluh menit kemudian ketika mereka menyelesaikan
himne pertama, duduk diam selama beberapa menit, lalu mulai menyanyikan himne kedua,
the Loblied. Ellie memejamkan mata, mengagumi stamina orang-orang yang tahan duduk di
bangku tanpa sandaran. Ia tak bisa ingat kapan terakhir kali ia mengikuti misa gereja, tapi
yang jelas misa yang dia ikuti itu sudah selesai jauh sebelum para pengkhotbah Amish dan
uskupnya turun kembali untuk menyampaikan kotbah awal.
“Leibe Bruder und Schwestern...” Para saudaraku terkasih.
“Gelobei sei Gott und der Vater unserr Herrn Jesu Christi...” Berkah atas nama Allah dan
Bapa Tuhan Kita Yesus Kristus.
Ellie sedang mengantuk ketika mendengar bisikan Katie memberi penjelasan di telinganya.
“Dia minta maaf atas kelemahannya sebagai pengkotbah. Dia tak ingin menghabiskan waktu
dari Saudara kita yang akan menyampaikan misa utama.”
“Kalau dia merasa pidatonya jelek,” bisik Ellie, “kenapa dia jadi pengkotbah?”
“Dia tak benar-benar buruk. Dia hanya menunjukkan bahwa dia tidak sombong.”
Ellie mengangguk, mengamati pria tua itu dengan anggapan baru. “Und wann dir einig sin
lasset uns bede,” kata pria itu, dan sebagai satu kesatuan, setiap orang di ruangan itu—
kecuali Ellie—berlutut.
Ellie memandang ke kepala Katie yang tertunduk, ke kepala-kepala para pemimpin gereja
yang menunduk, lautan kapp dan rambut yang terpotong rapi, dan perlahan-lahan Ellie
turun ke lantai.

42
Pada tengah malam, kamar Katie tiba-tiba terang benderang. Dengan perasaan tegang
namun senang, ia terbangun, lalu memakai baju dengan cepat. Kebanyakan anak laki-laki
menyimpan senter bertenaga besar di kereta kuda mereka, sehingga mereka bisa
menyinari jendela kamar gadisnya setiap kali mereka ingin diam-diam bertemu dengan
gadisnya di malam minggu. Katie melingkarkan syal di bahunya—saat itu bulan Februari,
dan di luar sangat dingin—kemudian dia mengendap-endap menuruni tangga
membayangkan mata John Beiler, yang berwarna cokelat keemasan seperti daun pohon
beech pada musim gugur.
Aku akan memarahinya, pikir Katie, karena telah membuatku keluar di malam sedingin ini,
tapi kemudian ia akan berjalan-jalan dengannya dan mungkin membiarkan bahunya
menabrak bahu John sesekali untuk memberitahunya bahwa ia tak benar-benar marah.
Sahabatnya Mary Esch, sudah membiarkan Curly Joe Yoder menciumnya di pipi. Katie
membuka pintu samping dan menuruni tangga. Matanya bersinar, telapak tangannya
lembap. Ia berpaling, senyum tersungging di bibirnya, dan berhadapan dengan kakaknya.
“Jacob!” seru Katie kaget. “Apa yang kaulakukan di sini?” Katie langsung melihat ke arah
jendela kamar orangtuanya. Dipergoki sedang bertemu dengan pacar memang buruk, tapi
kalau ayah mereka tahu Jacob kembali ke rumahnya, takkan ada yang tahu apa yang bisa
terjadi. Jacob menempelkan telunjuknya ke bibir Katie, lalu menarik tangan adiknya dan
menggandengnya dari beranda, diam-diam lari menuju sungai.
Jacob berhenti di pinggir kolam dan menggunakan lengan jaketnya untuk membersihkan
salju dari bangku kecil yang ada di sana. Lalu, melihat Katie gemetar, ia membuka
jaketnya dan melingkarkannya di bahu Katie. Mereka berdua memandang lapisan es hitam
sehalus sutra yang sangat jernih sehingga bayangan alang-alang di sungai bisa terlihat di
bawah air yang membeku. “Apakah kau sudah ke sini hari ini?” tanya Jacob.
“Menurutmu bagaimana?” Katie datang ke sini tadi pagi untuk menandai bahwa lima tahun
telah berlalu. Katie memegang pipinya dengan kedua tangan, wajahnya memerah kalau
ingat tadi ia sangat egois hanya memikirkan John Beiler, saat ia seharusnya hanya
memikirkan Hannah. “Aku tak percaya kau datang ke sini.”
Jacob merengut padanya. “Aku datang setiap tahun. Aku hanya tak pernah
membangunkanmu sebelumnya.”
Katie berpaling padanya. “Kau kembali? Setiap tahun?”
“Pada hari kematiannya” Mereka berdua memandang ke kolam lagi, memandang ranting
pohon willow menggores permukaan kolam setiap kali angin bertium. “Mam? Bagaimana
dia?”
“Setiap tahun sama. Dia merasa tak enak badan dan pergi tidur awal pada hari seperti
ini.”
Jacob bersandar dan memandang langit, yang terbuka dan penuh bintang. “Aku dulu sering
mendengarnya menangis di ayunan beranda, di bawah jendela kamarku. Dan aku berpikir
kalau saja aku tidak terlalu kutu buku, itu tak akan terjadi.”
“Mam bilang, itu kehendak Tuhan. Itu akan terjadi tak peduli apakah saat itu kau sedang
asyik membaca buku atau pergi skating dengan kami.”
“Kau tahu itu satu-satunya saat aku berpikir ulang apakah aku benar-benar ingin
meneruskan sekolah. Seakan-akan tenggelamnya Hannah adalah hukuman untuk
keinginanku itu.”
“Kenapa kau yang harus dihukum?” Katie menelan ludah. “Akulah yang disuruh Mam
menjaganya hari itu.”
“Kau masih sebelas tahun. Kau tak tahu apa yang harus kaulakukan.”
Katie memejamkan matanya dan telinganya kembali mendengar erangan yang datang dari
lapisan es bertahun-tahun lalu, suara lempeng tektonik bergeser dan monster di
kedalaman melenguh di retakan. Ia melihat Hannah, sangat bangga karena bisa mengikat
sepatu skatingnya sendiri untuk pertama kalinya meluncur cepat menyebrangi kolam, bilah
sepatu skatingnya yang berwarna perak berkerlip di bawah rok hijaunya. Lihat aku! Lihat
aku! Teriak Hannah, tapi Katie terlalu sibuk melamunkan kostum indah dan bersinar atlet
skating Olimpiade yang ia lihat di kios koran di pasar. Terdengar teriakan dan suara
tabrakan. Saat Katie menengok, Hannah sudah mulai merosot ke bawah es.
“Dia mencoba berpengangan,” kata Katie pelan. “Aku terus berteriak padanya untuk
berpegangan sementara aku mencari ranting panjang seperti yang diajarkan Dat. Tapi aku
tak bisa menggapai ranting dan mematahkannya, dan dia terus menangis, dan setiap kali
aku berpaling sarung tangannya semakin merosot. Lalu dia hilang. Begitu saja.” Katie
mengangkat wajahnya, menatap Jacob, terlalu malu untuk mengakui pada kakaknya bahwa
pikirannya pada hari itu terpusat pada hal duniawi, dan pantas disesali seperti yang
dilakukan Jacob. “Hari ini dia lebih tua dari umurku saat dia meninggal.”
“Aku juga merindukannya, Katie.”
“Itu tak sama.” Katie menunduk, menahan air mata. “Pertama Hannah, lalu kau. Mengapa
orang-orang yang paling kusayangi meninggalkanku?”
43
Tangan Jacob bergerak di bangku menggenggam tangan Katie, dan untuk pertama kalinya
selama berbulan-bulan Katie berpikir bahwa ia mengenal kakaknya. Dalam sosoknya yang
memakai mantel merah, wajah bersih bercukur dan rambut tembaganya yang dipotong
pendek, ia bisa melihat Jacob memakai kemeja dan bretel, topinya miring ke samping,
kepalanya menunduk, serius membaca buku teks Bahasa Inggris di loteng jerami, berusaha
menyembunyikan mimpi terliarnya. Lalu Katie merasa dadanya berdebar, dan bulu
romanya merinding. Mengangkat kepala melihat ke kolam, ia melihat sesosok tubuh kecil
berputar di atas permukaan, berkelebat di atas es dan meninggalkan precikan salju. Ada
yang sedang main skating dan itu biasa saja, kecuali Katie bisa melihat ladang jagung dan
ranting pohon willow yang menembus syal, rok, dan wajah sosok anak perempuan itu.
Katie tak percaya hantu. Ia seperti kaum Amish lainnya, percaya bahwa di dunia kita harus
bekerja keras untuk mendapatkan imbalan nanti—semacam pemikiran untuk menunggu dan
semoga yang terbaik datang, tidak memberikan ruang bagi roh-roh gentayangan dan jiwa
yang tersiksa. Dengan jantung berdegup keras, Katie berdiri dan bejalan di atas es ke
tempat Hannah sedang main skating. Jacob berteriak padanya, tapi ia hampir-hampir tak
mendengar. Ia,yang selama ini diajar untuk percaya bahwa Tuhan akan menjawab doamu,
menyadari bahwa hal itu benar: saat ini, kakak dan adiknya akhirnya kembali padanya.
Ia mengulurkan tangan dan berbisik: “Hannah?” Tapi tangannya menyentuh udara kosong,
bergetar ketika rok Hannah yang transparan berputar di kakinya yang memakai sepatu bot.
Lengan yang kuat menariknya dari es ke pinggir kolam yang aman. “Apa yang kaulakukan?”
desis Jacob. “Apa kau gila?”
“Apa kau tidak melihatnya?” Katie berdoa Jacob juga melihatnya, berdoa semoga dia tidak
gila.
“Aku tidak melihat apa pun,” kata Jacob menyipitkan mata. “Apa?”
Di kolam, Hannah mengangkat kedua lengannya ke langit. “Tidak ada,” kata Katie,
matanya berbinar. “Bukan apa-apa.”

Bukan berlebihan kalau dikatakan bahwa misa itu seakan berlangsung selamanya. Ellie
terpukau melihat tingkah anak-anak, yang—setelah mendengarka pembacaan Alkitab dan
dua jam misa—sama sekali tak ribut. Semangkuk kecil biskuit dan segelas air diulurkan dari
ruang ke ruang untuk orangtua yang membawa anak kecil. Ellie menyibukkan diri dengan
menghitung berapa kali pendeta mengangkat sapu tangan putihnya dan mengusap alisnya.
Di gang di depan Ellie, sapu tangan lainnya menjadi alat yang menghibur gadis kecil, saat
kakaknya melipatnya menjadi bentuk tikus dan boneka.
Ellie tahu misa akan segera selesai karena secara umum energi di ruangan itu mulai naik
kembali. Jemaat berdiri untuk berdoa, dan ketika uskup menyebut nama Yesus, mereka
semua berlutut lagi, membiarkan Ellie berdiri sendiri dan malu. Ketika duduk kembali di
samping Katie, Ellie merasa tubuh gadis itu tiba-tiba menjadi kaku. “Ada apa” bisiknya,
tapi Katie menggeleng, menutup bibirnya rapat-rapat.
Pengurus gereja sedang berbicara, Katie mencondongkan tubuh ke depan, menyimak, lalu
menutup matanya lega. Beberapa bangku di depan, tempat Sarah duduk, Ellie melihat dagu
wanita itu menempel ke dadanya. Ellie meletakkan tangannya ke lutut Katie dan
menggambar tanda tanya. “Tidak akan ada pertemuan anggota,” gumam Katie, kata-
katanya berselimut kegembiraan. “Tidak ada hukuman yang akan dijatuhkan.”
Ellie memandang Katie dengan serius. Gadis ini pasti punya sembilan nyawa, karena bisa
lolos dari sistem hukum Inggris dan jalur hukum orang-orangnya. Setelah satu himne, misa
berakhir, tiga setengah jam setelah misa dimulai. Katie lari ke dapur untuk menyiapkan
meja makanan kecil, Ellie berusaha mengikuti namun terjebak di antara orang-orang lain
yang menyapanya. Seseorang mendorongnya ke meja tempat para pemimpin gereja sedang
makan, mengundangnya duduk di sana. “Tidak,” kata Ellie, menggeleng. Sudah jelas,
bahkan baginya bahwa ada urutan yang ketat, dan seharusnya ia tidak makan duluan.
“Kau tamu,” kata uskup Ephram, mengisyaratkan agar dia duduk.
“Aku harus mencari Katie.”
Ellie merasakan sepasang tangan yang kuat menekan bahunya. Ketika berpaling, ia melihat
Aaron Fisher mendorongnya kembali ke meja. “Ini suatu kehormatan,” katanya menatap
matanya, dan tanpa suara Ellie duduk.

Hari kelulusan di Penn State benar-benar baru bagi Katie—parade warna-warni, di sela
kilatan lampu kamera yang secara naluriah membuatnya terkejut. Ketika Jacob maju
untuk menerima ijazahnya memakai toga hitam, ia bertepuk tangan lebih keras dari
orang-orang di sekitarnya. Katie bangga padanya—sebuah perasaan yang non-Amish, tapi
pas di dunia perguruan tinggi Inggris. Yang mengesankan, semua itu diraih Jacob hanya
dalam waktu lima tahun—termasuk satu tahun yang ia habiskan mempelajari mata
pelajaran SMU yang belum pernah ia pelajari.
44
Meskipun Katie sendiri tidak melihat tujuan sekolah melebihi tingkat delapan saat kau
nantinya tetap harus dewasa dan mengurus rumah tangga, ia tak bisa menyangkal kalau
Jacob perlu ini. Sering ia berbaring di lantai apartemen Jacob dan mendengarkannya
membaca keras-keras dari bukunya, dan tanpa sadar ia terbawa oleh keraguan Hamlet;
oleh Holden Caufield yang melihat roh adik perempuannya di komidi putar; oleh lampu
hijau Mr. Gatsby yang sendirian.
Tiba-tiba para wisudawan melemparkan topi toga mereka ke udara, seperti burung jalak
yang beterbangan dari pohon ketika tukang mengetukkan palu saat membangun gudang.
Katie tersenyum saat Jacob berjalan tergesa ke arahnya. “Kau berhasil, gut,” katanya, dan
memeluk kakaknya itu.
“Terima kasih telah datang.” Mengangkat kepalanya, Jacob tiba-tiba memanggil seseorang
di seberang lapangan. “Ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu.”
Jacob menggandengnya mendekati seorang pria yang bahkan lebih jangkung daripada
Jacob, mengenakan toga hitam yang sama, tapi dengan pita biru di sekeliling bahunya.
“Adam!”
Pria itu berpaling dan menyeringai. “Hei, sekarang kau harus memanggilku Dr. Sinclair.”
Ia sedikit lebih tua dari Jacob, Katie bisa menduganya dari kerutan di ujung mata pria itu,
yang membuat Katie berpikir orang ini pasti sering tertawa. Rambutnya berwarna madu,
dan matanya juga berwarna hampir sama. Tapi yang membuat Katie tak bisa mengalihkan
pandangan adalah perasaan damai yang menjalari seluruh tubuhnya saat ia bertemu
pandang dengannya, seakan-akan orang Inggris ini punya jiwa sederhana orang Amish.
“Adam baru saja mendapat gelar Ph.D,” kata Jacob menjelaskan. “Dia pemilik rumah yang
aku sewa.”
Katie mengangguk. Ia tahu Jacob sudah pindah dari asrama mahasiswa ke rumah kecil di
kota, karena ia sekarang akan menjadi asisten dosen di Penn State. Ia juga tahu pria
pemilik rumah itu akan pergi untuk melakukan penelitian. Ia tahu Jacob akan tinggal
dengan pria itu selama dua minggu, sebelum pria itu pergi. Tapi ia belum tahu namanya.
Ia juga tak tahu bahwa kau bisa berdiri jauh dari orang itu dan merasa seakan-akan kau
menempel erat padanya, hingga terasa seperti kehabisan napas.
“Wist bist du heit,” katanya, lalu wajahnya memerah, malu karena sadar ia menyapa pria
itu dengan dialek Dietsch.
“Kau pasti Katie,” jawabnya. “Jacob sudah bercerita tentangmu.” Lalu ia mengulurkan
tangan, mengundang.
Katie tiba-tiba teringat tentang cerita Jacob tentang Hamlet, Holden Caufield, dan Mr.
Gatsby, dan kali ini ia benar-benar mengerti bagaimana kajian tentang misteri emosi
dalam kehidupan nyata sama bergunanya dengan belajar bagaimana menanam kebun sayur,
atau menjemur cucian. Katie bertanya-tanya apa yang telah dipelajari pria ini untuk
mendapatkan gelar Ph.D-nya. Dengan susah payah, Katie menjabat tangan Adam Sinclair
dan membalas senyumnya.

Setelah sampai di rumah dan makan siang, Aaron dan Sarah pergi untuk melakukan apa yang
dilakukan kebanyakan kaum Amsih pada hari Minggu siang: mengunjungi kerabat dan
tetangga. Ellie, setelah mengambil satu set cerita Little House ini the Praire karangan
Laura Ingalls, duduk di sofa dan mulai membaca. Ia capek dan jadi mudah tersinggung
setelah mengikuti misa pagi yang panjang, dan derap ritmik kuda yang menarik kereta di
jalan utama membuatnya migrain.
Katie, sehabis mencuci piring, masuk ke ruang keluarga dan duduk di kursi sebelah Ellie.
Dengan mata terpejam, ia mulai bersenandung pelan.
Ellie memandangnya marah. “Tolonglah.”
“Apa?”
“Jangan menyanyi. Aku sedang membaca.”
Katie cemberut. “Aku tidak menyanyi. Kalau ini mengganggumu, pergi saja ke tempat lain.”
“Aku yang di sini duluan,” kata Ellie, merasa seperti anak kecil. Tapi ia berdiri dan berjalan
ke arah pintu. Ternyata Katie mengikutinya. “Demi Tuhan, kau mendapat ruang keluarga
sendirian sekarang!”
“Bolehkah aku bertanya padamu? Mam bilang kau dulu sering datang ke Paradise saat musim
panas, untuk tinggal di pertanian seperti rumah kami. Bibi Leda yang bilang pada Mam. Itu
benar?”
“Ya,” kata Ellie pelan, bertanya dalam hati apa maksud Katie. “Kenapa?”
Katie mengangkat bahu. “Menurutku kau kelihatannya tak begitu suka. Tinggal di pertanian,
maksudku.”
“Aku suka pertanian. Aku cuma tidak terbiasa harus mengasuh klienku.” Melihat pandangan
terluka yang melintas di mata Katie, Ellie mengeluh dalam hati. “Maafkan aku. Itu tadi
tidak sengaja.”
Katie mengangkat matanya. “Kau tidak menyukaiku?”
Ellie tak tahu harus menjawab apa. “Aku tak mengenalmu.”
“Aku juga tak mengenalmu.” Katie menggeserkan ujung sepatu botnya di lantai kayu. “Pada
hari Minggu, kami melakukan hal-hal berbeda di sini.”
“Aku tahu. Tidak ada pekerjaan rumah tangga.”
“Yah, pekerjaan rumah tangga masih ada. Tapi kami juga punya waktu untuk bersantai.”
Katie memandangnya. “Aku berpikir, mumpung ini hari Minggu, mungkin kau dan aku bisa
melakukan hal yang berbeda.”
45
Ellie merasakand adanya menjadi sesak. Apakah Katie akan mengusulkan mereka pergi ke
luar kota? Pergi dan membeli rokok? Meluangkan waktu beberapa jam untuk saling
membuka diri?
“Aku berpikir mungkin kita bisa berteman. Hanya siang ini saja. Kau bisa berpura-pura
sedang menemuiku saat berkunjung ke pertanian yang kau datangi saat kau masih kecil,
bukannya terus mengingat apa yang membuatmu ada di sini.”
Ellie meletakkan bukunya. Kalau ia bisa mendekati Katie dan membuat gadis itu membuka
diri hingga mau mengatakan yang sebenarnya, ia mungkin tak memerlukan Coop untuk
datang dan mengevaluasinya. “Saat aku maish kecil,” kata Ellie pelan, “aku bisa melempar
batu lebih jauh dari para sepupuku.”
Senyum merekah di wajah Katie. “Menurutmu kau masih bisa melakukannya?”
Mereka berebutan keluar pintu dan berlari menyeberangi ladang. Di pinggir kolam, Ellie
mengambil batu datar yang halus dan melemparkannya, batu itu memantul lima kali di atas
air. Ia lalu menggoyang-goyangkan kelima jarinya. “Aku masih ahli.”
Katie mengambil batu. Empat, lima, enam, tujuh pantulan. Dengan senyum lebar, ia
menoleh ke Ellie. “Yang benar saja,” godanya.
Ellie berkonsentrasi menyipitkan mata dan mencoba lagi. Sesaat kemudian Katie juga
mencoba lagi. “Ha!” teriak Ellie. “Aku menang!”
“Tidak!”
“Aku satu meter lebih jauh darimu, adil dan jelas!”
“Menurut yang kulihat tidak begitu,” protes Katie.
“Oh ya benar. Dan kesaksian penglihatanmu akhir-akhir ini sangat akurat.” Ketika tubuh
Katie menegang di sebelahnya, Katie menghela napas. “Maafkan aku. Susah bagiku untuk
menghilangkan pikiran mengapa aku di sini.”
“Kau seharusnya ada di sini karena kau percaya padaku.”
“Tidak harus begitu. Seorang pengacara pembela dibayar untuk membuat juri percaya pada
apa pun yang ia katakan. Mungkin saja yang dikatakannya adalah apa yang dikatakan
kliennya tapi bisa juga tidak.”
Melihat ekspresi Katie yang bingung, Ellie tersenyum. “Mungkin itu terdengar aneh
bagimu.”
“Aku tak mengerti mengapa hakim tidak langsung memilih orang yang mengatakan yang
sebenarnya.”
Ellie mencabut sebatang rumput dan mulai mengunyahnya. “Tidak sesederhana itu. Ini
tentang membela hak orang. Dan terkadang bahkan untuk hakim, tidak semua hal itu hitam
putih.”
“Hitam dan putih kalau kau orang Amish,” kata Katie. “Kalau kau menaati Ordnung, kau
benar. Kalau kau melanggar aturan, kau diasingkan.”
“Kalau di dunia orang Inggris, itu disebut komunisme.” Ellie berkata ragu. “bagaimana
kalau kau tidak melakukannya. Bagaimana kalau kau dituduh melanggar aturan padahal kau
tidak bersalah?”
Wajah Katie memerah. “Kalau ada pertemuan anggota untuk menegakkan disiplin, anggota
yang dituduh punya kesempatan untuk menceritakan kisah dari sisinya juga.”
“Yeah, tapi apa ada yang percaya padanya?” Ellie mengangkat bahu. “Di situlah peran
pengacara—kami meyakinkan juri bahwa klien kami mungkin saja tidak melakukan
kejahatan itu.”
“Dan kalau ia ternyata melakukannya?”
“Dia tetap dibebaskan. Kadang itu juga terjadi.”
Katie ternganga. “Itu sama saja berbohong.”
“Tidak itu namanya bertindak sebagai dukun. Banyak sekali cara untuk melihat apa yang
terjadi agar bisa membawa seseorang ke pengadilan. Baru dikatakan berbohong kalau sang
klien tidak jujur. Kalau pengacara—yah, kita bisa saja mengatakan semua hal yang kita
inginkan sebagai penjelasan.”
“Jadi... apa kau mau berbohong demi aku?”
Ellie menatap Katie. “Apa aku harus?”
“Semua hal yang kukatakan padamu adalah benar.”
Ellie duduk menyilangkan kakinya. “Nah, kalau begitu. Apa yang belum kaukatakan
padaku?”
Seekor burung layang-layang terbang, bayangannya melintas di wajah Katie. “Bukan cara
kami untuk berbohong,” katanya kaku. “Karena itu seorang Amish bisa membela dirinya
sendiri di depan jemaat. Karena itulah pengacara tidak ada dalam dunia kami.”
Katie terkejut karena Ellie tertawa. “Tepat sekali kau mengatakannya. Seumur hidup aku
tidak pernah merasa berbeda dan tak enak seperti ini.”
Katie mengamati sepatu lari Ellie ke gaun musim panasnya, hingga ke anting kecil di kedua
telinganya. Bahkan juga cara Ellie duduk—seakan-akan rumput terlalu kasar bagi kakinya
yang telanjang—sehingga duduknya terlihat tak nyaman. Tidak seperti rombongan orang
asing yang datang ke Lancaster County untuk melihat orang Amish. Ellie tak pernah
meminta ini. Ia menolong Bibi Leda dan pertolongan itu kini berkembang jadi kewajiban.
Dari seringnya dia dulu mengunjungi Jacob, Katie tahu perasaan Ellie. Memakai baju remaja
modern tak membuatnya merasa menjadi salah satu dari mereka. Ellie mungkin berpikir ia
mendukung individualitas, tapi menjadi dirimu sendiri di budaya di mana orang Inggris lain
sibuk menjadi diri mereka sendiri jauh berbeda dengan menjadi dirimu sendiri di budaya di
mana semua orang berusaha menjadi sama—tapi berbeda darimu.
46
Sebuah dunia yang dipenuhi orang bisa saja menjadi tempat yang sepi.
“Aku bisa memperbaiki itu,” kata Katie keras-keras. Dengan senyum lebar ia meraih ke
kolam, mengambil segenggam air dan menyiramkannya ke Ellie.
Terkaget-kaget, Ellie melompat berdiri. “Kenapa kau melakukan itu?”
“Wasser,” kata Katie, menyiramkan air ke Ellie lagi.
Ellie mengangkat kedua tangannya untuk melindungi wajahnya. “Apa?”
“Tidak, wasser. Itu air dalam dialek Dietsch.”
Setelah beberapa saat, Ellie mengerti. Ia menerima hadiah kecil ini dan membiarkannya
mengendap. “Wasser,” ulangnya. Lalu ia menunjuk ke arah ladang. “Tembakau?”
“Duvach.”
Katie tersenyum senang ketika Ellie mencoba mengucapkan kata itu. “Gut! Die Koo,”
katanya menunjuk ke sapi Holstein yang sedang merumput.”
“Die Koo.”
Katie mengulurkan tangan. “Wie bist du heit. Senang bertemu denganmu.”
Ellie pelan mengulurkan tangannya. Ia memandang dalam-dalam ke mata Katie untuk
pertama kalinya sejak ia masuk ke ruang sidang pengadilan distrik kemarin. Cerahnya siang,
pelajaran bahasa Dietsch, semua menghilang hingga yang mereka berdua rasakan hanyalah
telapak tangan mereka yang saling menekan, dengung suara jangkrik, dan pemahaman
bahwa mereka berdua memulai lagi dari awal. “Ich bin die Katie Fisher,” kata Katie pelan.
“Ich bin di Ellie Hathaway,” jawab Ellie. “Wie bist du heit.”

“Aku akan membeli popcorn sebelum filmnya mulai,” kata Jacob, berdiri. Ketika Katie
mulai mencari-cari uang yang diberikan Mamnya di kantong, Jacob menggeleng. “Aku yang
traktir. Hei, Adam, jaga dia.”
Katie duduk cemberut di kursinya, tersinggung karena kakaknya masih berpikir seakan-
akan ia masih kecil. “Aku sudah tujuh belas. Apa dia pikir aku akan keluyuran?”
Di sampingnya, Adam tersenyum. “Dia mungkin khawatir ada orang yang akan mencuri
adiknya yang cantik.”
Wajah Katie memerah hingga ke ujung rambutnya. “Aku tak percaya itu,” katanya. Ia tak
terbiasa menerima pujian yang dimaksudkan untuk memuji kecantikannya, dibandingkan
pujian atas kerja kerasnya. Dan ia juga merasa tak nyaman ditinggal sendirian dengan
Adam, yang diajak Jacob untuk bergabung bersama mereka.
Katie tidak memakai jam, dan ia bertanya-tanya berapa lama lagi film akan dimulai. Ini
akan menjadi filmnya yang keempat. Filmnya adalah film cinta—sebuah konsep yang lucu,
untuk film yang panjangnya sampai dua jam. Cinta bukanlah sebuah momen saat kau
melihat ke mata seorang pemuda dan merasakan dunia berputar di bawah kakimu; ketika
kau menemukan semua hal yang hilang darimu dalam jiwanya. Cinta datang dengan
perlahan dan pasti, dan dibangun dari kenyaman dan saling menghormati. Seorang gadis
dari kaum Sederhana tak akan jatuh cinta, ia akan melihat ke bawah dan tahu kalau ia tak
akan terperosok ke dalam cinta. Seorang gadis Amsih tahu ia mencintai seseorang saat
sepuluh tahun dari sekarang ia melihat pemuda yang sama berdiri di sampingnya, dengan
tangan merangkul di pinggangnya.
Katie disadarkan dari pikirannya oleh Adam. “Jadi,” katanya sopan, “kau tinggal di
Lancaster?”
“Di Paradise. Di pinggiran.”
Mata Adam bersinar. “Di pinggir Paradise (surga),” katanya tersenyum. “Kedengarannya
seperti kau akan jatuh.”
Katie menggigit bibir bawahnya. Ia tak mengerti gurauan Adam. Berusaha mengganti
topik, ia bertanya apakah Adam mendapat gelarnya di bidang bahasa Inggris seperti
diploma Jacob.
“Sebenarnya, tidak,” kata Adam. Mungkinkah wajahnya memerah? “Aku bekerja dalam
bidang ilmu paranormal.”
“Para—”
“Hantu. Aku mempelajari hantu.”
Kalau saja Adam melepas semua bajunya saat itu, Katie tak mungkin lebih terkejut lagi.
“Kau mempelajari mereka?”
“Aku mengamati mereka. Aku menulis tentang mereka.” Adam menggeleng. “Kau tak perlu
mengatakannya. Aku yakin kau tidak percaya hantu, seperti di dunia bebas lainnya. Setiap
kali aku bilang pada orang tentang bidang yang kugeluti untuk mendapatkan gelar doktor,
mereka pikir aku mendapatkannya dari kursus koresponden TV, dengan bidang pilihan
perbaikan AC. Tapi aku melakukannya dengan susah payah. Aku mulai dengan mempelajari
fisika, menggeluti teori tentang energi. Pikirkan saja—energi tak bisa dihilangkan, hanya
diubah ke sesuatu yang berbeda. Jadi saat seseorang meninggal, ke mana energi itu
pergi?”
Katie berkedip padanya. “Aku tak tahu.”
“Tepat sekali. Energi itu pasti pergi ke suatu tempat. Dan energi residu itu, sesekali
muncul, sebagai hantu.”
Katie harus menundukkan pandangannya, kalau tidak ia pasti akan mengaku pada pria yang
sama sekali belum ia kenal sesuatu yang tak pernah ia ceritakan pada orang lain. “Ah,”
kata Adam lembut. “Sekarang kau menganggapku gila.”
“Tidak,” kata Katie spontan. “Aku benar-benar tidak berpikir demikian.”
47
“Masuk akal juga kalau dipikir,” kata Adam membela diri. “Energi emosional yang muncul
dari tragedi yang menempelkan diri pada benda—batu, rumah, pohon—seakan-akan
meninggalkan kenangan. Pada level atom, semua itu bergerak, jadi mereka bisa
menyimpan energi. Dan saat orang yang masih hidup melihat hantu, mereka sebenarnya
melihat residu energi yang masih terperangkap.” Ia mengangkat bahu. “Itulah tesisku,
ringkasnya.”
Tiba-tiba Jacob muncul membawa sekotak besar popcorn. Ia meletakkannya di atas
pangkuan Katie. “Kau menceritakan padanya tentang pengajaran pseudo akademikmu?”
“Hei,” Adam meringis senang. “Adikmu ini seorang yang percaya.”
“Adikku ini naif,” kata Jacob membenarkan.
“Itu masalah lain,” kata Adam, mengabaikannya dan menoleh ke Katie. “Kita tak usah
repot meyakinkan mereka yang tidak percaya, karena mereka tak akan pernah mengerti.
Di lain pihak, kalau seseorang pernah mengalami peristiwa paranormal—yah, bisa dibilang
mereka mencari seseorang seperti aku, yang mau mendengar.” Ia memandang mata Katie.
“Kita semua punya hal yang kembali menghantui kita. Beberapa dari kita memang
melihatnya lebih jelas daripada orang lain.”

Pada tengah malam, Ellie terbangun karena mendengar erangan pelan. Mendorong rasa
mengantuk jauh-jauh, ia duduk dan menoleh ke Katie, yang sedang gelisah di bawah
selimut. Ellie mendekat ke ranjangnya dan menyentuh dahi gadis itu.

“Est dut weh,” gumam Katie. Ia tiba-tiba melempar selimutnya, memperlihatkan dua noda
melingkar yang semakin membesar di bagian depan gaun malamnya. “Sakit,” tangisnya,
mengusapkan tangan di noda lembap gaun malamnya dan seprai. “Ada yang salah
denganku!”
Teman-teman Ellie—akhir-akhir ini semakin banyak—yang pernah melahirkan. Mereka selalu
bergurau tentang hari ketika air susu mereka keluar, dan membuat mereka sakan-akan
menjadi tokoh komik dengan payudara torpedo. “Tidak ada yang salah. Ini wajar, setelah
punya bayi.”
“Aku tak punya bayi!” Katie menjerit. “Neh!” Ia mendorong Ellie sehingga terjatuh ke
lantai. “Ich hab ken Kind Kaht... mein hatz ist fol.”
“Aku tak mengerti kata-katamu,” tukas Ellie.
“Mein hatz ist fol!”
Ellie sadar bahwa Katie belum benar-benar terbangun, ia ketakutan. Memutuskan tak bisa
mengurus ini sendirian, Ellie menghambur ke luar kamar dan hampir bertabrakan dengan
Sarah di pintu kamar.
Ellie sangat terkejut melihat ibu Katie memakai gaun malam, rambutnya yang halus
berwarna jagung terurai hingga ke pinggul. “Ada apa?” tanya Sarah, berlutut di sebelah
ranjang putrinya. Tangan Katie menekan payudaranya, pelan-pelan Sarah menariknya dan
membuka kancing gaun malamnya.
Ellie mengernyit. Payudara Katie membengkak, sangat keras sehingga pembuluh kebiruan
membuat jalur menonjol di keduanya, sementara air susu menetes keluar dari putingnya.
Dengan bujukan Sarah, Katie dengan patuh mengikuti ibunya ke kamar mandi. Ellie melihat
saat Sarah dengan tenang memijat payudara putrinya yang bengkak, memeras air susu dan
membuangnya ke wastafel.
“Ini adalah bukti,” kata Ellie datar, akhirnya. “Katie, lihatlah tubuhmu. Kau memang punya
bayi. Ini adalah susu, untuk bayi itu.”
“Neh, lus mich gay,” jerit Katie, yang sekarang tersedu di dudukan toilet.
Ellie mengeraskan rahangnya dan membungkuk di hadapannya. “Demi Tuhan, kau tinggal di
peternakan susu. Kau tahu apa yang terjadi padamu sekarang. Kau... punya... bayi.”
Katie menggeleng. “Mein hatz ist fol.”
Ellie berpaling ke Sarah. “Apa yang dia katakan?”
Wanita itu mengelus rambut putrinya. “Katanya, tidak ada air susu, dan tidak ada bayi.
Katie bilang ini terjadi karena hatinya terlalu penuh.”

Enam
Ellie

Biar kujelaskan: aku tak bisa menjahit. Kalau kau memberiku jarum, benang, dan celana
lalu menyuruhku menisiknya, aku pasti akan menjahit celana itu ke jempolku sendiri. Aku
membuang kaus kaki yang berlubang. Aku lebih suka berdiet daripada menisik bajuku yang
robek karena tak muat lagi, dan itu serius.
Itu semua adalah pembukaan ceritaku ketika Sarah mengundangku ikut sesi menjahit
selimut perca yang dia adakan di ruang keluarga. Aku tidak bisa dibilang senang. Sejak
malam kemarin, kami berdua sama-sama menahan diri. Pagi ini tanpa mengatakan apa pun,
ia mengulurkan kain muslin putih panjang pada Katie untuk mengikat payudaranya.
Undangan untuk ikut menjahit selimut perca adalah semacam konsesi, ucapan selamat
datang dalam dunianya yang sebelumnya tidak ia buka. Itu juga sebuah permohonan agar
aku tidak memperpanjang masalah kemarin malam.
“Kau tak harus ikut menjahit,” kata Katie padaku, menarik pergelangan tanganku ke ruang
sebelah. “Kau melihat kami saja.”
48
Selain dua wanita keluarga Fisher ada empat wanita lagi: ibu Levi, Anna Esch; ibu Samuel,
Martha Stoltzfus; dan dua sepupu Sarah, Rachel dan louise Lapp. Kedua wanita ini lebih
muda dan membawa anak bungsu mereka—seorang masih bayi yang dibedong, dan satunya
lagi balita yang duduk di lantai di bawah kaki Rachel dan bermain dengan perca.
Selimut perca itu dihamparkan di atas meja dengan gulungan benang putih tersebar di
atasnya. Para wanita itu mengangkat kepalanya saat aku masuk ruangan. “Ini Ellie
Hathaway,” kata Katie mengumumkan.
“Sie schelt an shook mit uns whone,” Sarah menambahkan.
Mempertimbangkan keberadaanku, Anna menjawab dalam bahasa Inggris. “Berapa lama dia
akan tinggal di sini?”
“Hingga kasus Katie disidangkan,” kataku. Saat aku duduk, anak perempuan Louise Lapp
terhuyung-huyung berdiri dan mencoba mengambil salah satu kancing berwarna cerah di
blusku. Aku menangkapnya dan menaikkannya ke pangkuanku, agar dia tak terjatuh,
menggelitiki perutknya agar dia tersenyum, dan menikmati manis dan lembapnya berat
anak kecil. Tangannya yang berkeringat memegang pergelanganku, dan kepalanya
mendongak ke belakang saat ia tertawa, memperlihatkan lipatan lehernya yang putih dan
lembut. Terlambat, aku sadar aku terlalu ramah pada anak wanita yang mungkin tidak
memercayaiku untuk bermain dengan anaknya. Aku mengangkat kepala, hendak minta
maaf, dan melihat semua wanita itu melihat dan sepertinya menghargai apa yang
kulakukan.
Yah, aku tidak akan menjadi besar kepala. Ketika para wanita itu meneruskan sulaman
mereka, aku bermain dengan gadis kecil itu. “Kau mau menyulam?” tanya Sarah sopan, dan
aku tertawa.
“Percayalah, kau lebih suka kalau aku diam saja.”
Mata Anna bersinar. “Ceritakan padanya saat kau menjahit selimut Martha ke celemekmu,
Rachel.”
“Kenapa harus repot?” kata Rachel gusar. “Kau lebih pintar menceritakannya sendiri.”
Katie memasukkan benang ke jarum dan menundukkan kepala di atas kain perca putih,
membuat tisikan kecil dan rata tanpa menggunakan penggaris atau mesin. “Menakjubkan,”
kataku benar-benar terkesan. “Jahitanmu sangat kecil, sehingga hampir tidak kelihatan.”
“Tak lebih baik dari yang lainnya,” kata Katie, pipinya memerah menerima pujian.
Acara menyulam itu berlanjut dengan tenang selama beberapa saat, para wanita itu dengan
anggun memasukkan dan menarik jarum dari selimut seperti rusa yang datang ke kolam
untuk minum. “Jadi, Ellie,” tanya Rachel. “Kau dari Philadelphia?”
“Ya. Baru-baru ini.”
Martha memutuskan ujung benang dengan giginya. “Aku pernah ke sana sekali. Pakai kereta
api. Menurutku di sana banyak sekali orang tergesa-gesa padahal mereka tak pergi ke mana-
mana.”
Aku tertawa. “Itu benar sekali.”
Tiba-tiba segulung benang jatuh dari meja dan jatuh pas di kepala bayi yang sedang tidur di
keranjang kecil. Ia terkejut dan mulai menangis, tersedu-sedu. Katie, yang berada paling
dekat dengannya, mengulurkan tangan untuk menenangkannya.
“Jangan sentuh dia.”
Kata-kata Rachel terasa seperti batu yang jatuh di ruangan itu, membuat tangan para
wanita yang sedang menyulam itu terhenti kaget sehingga telapak tangan mereka
mengapung di atas selimut seperti tangan dukun yang sedang mengobati pasien. Rachel
mengaitkan jarumnya di kain dan mendekap putranya.
“Rachel Lapp!” Martha memarahinya. “Kenapa kau ini?”
Rachel tak mau memandang Sarah ataupun Katie. “Kurasa aku tak ingin Katie dekat-dekat
dengan Joseph kecil sekarang ini, itu saja. Meskipun aku sayang Katie, ini adalah putraku.”
“Dan Katie adalah putriku,” kata Sarah pelan.
Martha meletakkan tangan di kursi Katie. “Ia juga hampir seperti putriku sendiri.”
Dagu Rachel terangkat. “Kalau aku tidak disambut di sini—“
“Kau disambut, Rachel,” jawab Sarah tenang. “Tapi kau tak boleh membuat Katie-ku
merasa tidak disambut di rumahnya sendiri.”
Aku duduk tegang di pinggiran kursi, merasakan berat lembap gadis kecil Louise yang
tertidur di dadaku, menunggu siapa yang akan menang. “Kau tahu apa yang kupikirkan,
Sarah Fisher,” kata Rachel, matanya berkilat, dan sebelum ia bisa menyelesaikan
kalimatnya, ia diganggu suara dering yang keras.
Wanita-wanita itu terkejut sembari mulai mencari-cari di sekeliling mereka. Dengan
perasaan tertekan aku menggeser anak yang tidur di pangkuanku dan menarik ponselku
keluar dari kantong dengan satu tanganku yang bebas. Para wanita itu memandang,
membelalak, saat aku memencet tombol dan menempelkan ponsel ke telingaku. “Halo?”
“Ya Tuhan, Ellie, aku sudah berusaha menghubungi selama berhari-hari. Apa kau tidak
menyalakan benda ini?”
49
Aku kagum ternyata batereinya masih bekerja meski sudah begitu lama. Dan juga berharap
semoga baterinya habis, sehingga aku tak harus bicara dengan Stephen. Para wanita Amish
itu memandangku, pertengkaran mereka sementara terlupakan. “Aku harus menerima
telepon ini,” kataku minta maaf, dan menyerahkan anak yang tertidur itu ke pelukan
ibunya.
“Telepon?” kata Louise kaget, saat aku keluar ruangan. “Di rumah?”
Aku tak mendengar penjelasan Sarah. Tapi saat aku bicara dengan Stephen di dapur aku
mendengar kereta kuda Lapp bersaudara berderap pergi.
“Stephen, ini bukan saat yang tepat.”
“Baiklah, aku tak akan lama. Aku hanya perlu tahu sesuatu, Ellie. Ada gosip aneh di sini
bahwa kau bertindak sebagai pembela umum seorang anak Amish. Dan hakimnya telah
menyuruhmu tinggal di pertanian.”
Aku terdiam. Stephen pasti tak akan membiarkan dirinya berada di posisi seperti aku. “Aku
tak menyebut diriku pembela umum,” kataku. “Kami cuma belum bicara masalah harga
saja.”
“Tapi yang lainnya? Ya Tuhan, kau di mana sih?”
“Lancaster. Yah, sedikit di luar Lancaster, di kota Paradise.”
Aku bisa membayangkan pembuluh di dahi Stephen membengkak tegang sekarang. “Jadi ini
yang kausebut udara segar?”
“Ini benar-benar tak terduga, Stephen—kewajiban keluarga yang perlu kulakukan.”
Ia tertawa. “Kewajiban keluarga? Apakah anak Amish itu sepupu jauhmu, atau aku bingung
dengan Hare Krisna yang ada di keluarga pihak ibumu? Ayolah, Ellie. Kau bisa jujur padaku.”
“Aku sudah jujur,” kataku geram. “Ini bukan cara untuk mendapat perhatian; bahkan jauh
dari itu. Meskipun agak rumit, aku memang pembela kerabatku. Aku ada di pertanian
karena ini bagian dari perjanjian jaminan. Itu saja.”
Hening sebentar. “Terus terang aku tersinggung, Ellie, karena kau merahasiakan kasus ini,
dan bukannya mengatakan padaku apa maksudmu. Maksudku, kalau kau mencoba
membangun reputasimu sebagai pengacara dengan kasus sensasional—dan maksudku
sensasional dalam semua definisi—aku bisa saja menawarkan nasihat, saran untukmu.
Mungkin bantuan untuk masuk firmaku.”
“Aku tak ingin bantuan masuk firmamu,” kataku. “Aku tak mau kasus sensasional. Dan terus
terang, aku tak percaya kau mengubah semua ini menjadi serangan pribadi terhadapmu.”
Aku menunduk dan baru sadar bahwa tanganku yang satu lagi sudah menggenggam erat.
Pelan-pelan aku melonggarkannya.
“Kalau ini adalah kasus seperti yang kukira, kau akan butuh bantuan. Aku bisa datang ke
sana sebagai pengacara tambahan dengan membawa nama firma.”
“Terima kasih, Stephen, tapi tidak usah. Orangtua klienku hampir saja tak mau menerima
satu pengacara apalagi satu gedung penuh pengacara.”
“Tetap saja aku bisa datang agar kau bisa diskusi. Atau kita bisa duduk-duduk di ayunan
beranda dan minum limun.”
Untuk sesaat, aku tergoda. Aku bisa membayangkan bintik-bintik di tengkuk Stephen, dan
bagaimana ia memutar pergelangan tangannya saat menyikat gigi. Bahkan aku hampir bisa
mencium aroma tubuhnya, yang menguar dari lemari, meja rias, dan seprai. Dalam semua
itu ada sesuatu yang sangat akrab dan familier—sementara dunia yang kumasuki sekarang
sangat asing dari sisi mana pun. Berhenti di akhir hari dan melihat sesuatu yang kukenal,
seseorang yang kucintai, akan menempatkan urusanku dengan Katie sesuai tempatnya:
pekerjaanku, bukan hidupku.
Aku mempererat genggaman di ponselku dan memejamkan mata. “Mungkin,” kataku
berbisik,” sebaiknya ktia menunggu dan melihat apa yang terjadi.”
Aku menemukan Sarah duduk sendirian di ruang keluarga, kepalanya tertunduk di atas
hamparan selimut. “Maafkan aku. Karena teleponnya.”
Ia mengabaikan permintaan maafku. “Tak masalah. Suami Marhta Stolztfus punya satu di
gudangnya, untuk bisnis. Rachel sedang emosi saja.” Sambil menghela napas panjang Sarah
berdiri dan mulai mengumpulkan gulungan benang. “Sebaiknya dirapikan saja.”
Aku memegang dua ujung selimut yang lain untuk membantunya melipat. “Sesi menjahit
selimut perca hari ini sepertinya sangat singkat. Kuharap aku bukan penyebabnya.”
“Kurasa tetap saja akan singkat hari ini tak peduli apa yang terjadi,” jawab Sarah singkat.
“Aku menyuruh Katie menjemur cucian, kalau kau mencarinya.”
Aku tahu ia menyuruhku pergi. Aku berjalan keluar, tapi berhenti di pintu dapur. “Mengapa
Rachel Lapp meragukan Katie?”
“Kurasa kau bisa mengira sendiri kenapa.”
“Yah, maksudku selain dari yang sudah jelas,. Apalagi uskup kalian sudah membelanya...”
Sarah meletakkan selimut itu di rak dan berpaling padaku. Meskipun ia bisa
menyembunyikan perasaannya dengan baik, matanya bersinar penuh rasa malu karena
temannya sendiri telah menikam putrinya dari belakang. “Kami memang terlihat sama.
Cara berdoa kami juga sama. Cara hidup sama,” katanya. “Tapi semua itu tak berarti
pikiran kami juga sama.”
50
Kain putih yang terjepit di jemuran melambai-lambai tertiup angin. Kain seprai
membungkus Katie saat ia berusaha menjemurnya, celemeknya tertiup angin hingga ke
belakang ketika ia menggerutu dengan mulut penuh jepitan jemuran dan berhasil
mengalahkan seprai yang tak mau dijemur itu. Saat melihatku, ia mundur dari jemuran,
melemparkan jepitan dari mulutnya ke ember. “Kau baru sampai di sini saat aku sudah
selesai,” keluhnya, duduk di pagar batu di sebelahku.
“Kau bisa melakukannya dengan baik tanpa aku.” Di jemuran tergantung kemeja dan gaun
berwarna-warni: hijau tua, merah anggur, ungu lavender, hijau jeruk. Di sampingnya,
melambai-lambai celana hitam pria. Seprai dijemur di tali jemuran ketiga, menggelembung
tertiup angin. “Ibuku dulu yang menjemur cucian kami,” kataku tersenyum. “Aku ingat
menusuk jemuran seprei dengan tongkat, berpura-pura jadi kesatria.”
“Bukan putri?”
“Tak pernah. Mereka tak pernah bisa bersenang-senang,” dengusku. “Aku tak mau
menunggu datangnya seorang penageran, kalau aku bisa menyelamatkan diriku sendiri.”
“Aku dan Hannah sering bermain petak umpet di balik jemuran seprai. Tapi kami membuat
tanah berdebu, sehingga seprai dan pakaian yang dijemur terkena noda, dan kami harus
mencucinya lagi.”
Aku mendongak, membiarkan angin menerpa wajahku. “Aku dulu percaya kau bisa mencium
bau matahari di seprai saat kau membawanya masuk dan memasangnya di ranjang.”
“Oh, memang bisa!” seru Katie. “Kain itu menyerap bau matahari, di tempat-tempat yang
basah. Semua aksi pasti mendapatkan reaksi berlawanan yang seimbang.”
Hukum fisika Newton sepertinya akan terlalu tinggi bagi anak lulusan kelas delapan di mana
Katie, seperti kebanyakan anak Amish lain, berhenti sekolah setelah kelas itu. “Aku tak
tahu fisika diajarkan di kurikulum di sini.”
“Memang tidak. Itu cuma sesuatu yang kudengar.”
Dengar? Dari siapa? Ilmuwan Amish lokal? Sebelum aku bisa bertanya, Katie bilang. “Aku
harus mengurus kebun.”
Aku mengikutinya, lalu duduk sambil memandanginya memetik buncis yang ia masukkan ke
dalam celemeknya. Katie sepertinya sangat terpaku dalam pekerjaannya, sehingga ia
terlompat saat aku bicara. “Katie, apa kau dan Rachel biasanya akur?”
“Ja. Aku selalu menjaga Joseph kecil untuknya. Kadang saat mengerjakan selimut, bahkan
saat di gereja.”
“Tapi dia sepertinya tidak memperlakukanmu sebagai babysitter favorit,” kataku.
“Tidak, tapi Rachel memang selalu gampang terpengaruh omongan orang, dan bukannya
mencari tahu sendiri.” Katie berhenti, jarinya melingkari tangkai buncis yang hendak ia
petik. “Aku tak peduli apa yagn dikatakan Rachel, karena kebenaran akan muncul suatu
saat. Tapi aku merasa sedih karena aku menyebabkan ibuku menangis.”
“Apa maksudmu?”
“Kata-kata Rachel lebih melukai Mam daripada aku. Aku satu-satunya yang dipunyai Mam
sekarang. Aku harus jadi anak yang sempurna.”
Katie berdiri, celemeknya menggelembung penuh buncis. Ia berjalan ke arah rumah, dan
melihat Samuel berjalan tergesa ke arahnya.
Samuel membuka topinya, rambut pirangnya basah oleh keringat. “Katie. Bagaimana
kabarmu hari ini?”
“Bagus, gut, Samuel,” katanya. “Aku baru memetik buncis untuk makan siang.”
“Panenmu bagus sekali.”
Aku mendengarkan, berdiri agak jauh. Di mana pembicaraan yang intim? Atau bahkan
sentuhan ringan di siku atau punggung? Pastinya Samuel sudah mendengar pertengkaran
kecil di sesi menyulam selimut dan ia datang ke sini untuk menghibur Katie. Aku tak tahu
apakah begini cara berpacaran di dunia mereka; apakah Samuel menahan diri ketika
melihat ada aku; atau karena dua orang muda ini benar-benar tak punya bahan
pembicaraan—sesuatu yang aneh, kalau faktanya mereka telah membuat bayi bersama.
“Ada kiriman untukmu,” kata Samuel. “Kalau kau mau lihat.”
Ah, ini dia—sebuah perjanjian pribadi. Aku mengangkat pandanganku, menunggu apa yang
akan dikatakan Katie, dan baru sadar kalau Samuel tadi bicara padaku, bukan padanya.
“Ada kiriman untukku? Tak ada orang yang tahu aku di sini.”
Samuel mengangkat bahu. “Ada di halaman depan.”
“Oke. Baiklah.” Aku tersenyum pada Katie. “Ayo kita lihat apa yang dikirimkan pengagum
rahasiaku kali ini.” Samuel berbalik, menggandeng lengan Katie ke depan rumah. Berjalan
di belakang mereka, aku melihat Katie dengan sangat lembut, sangat pelan, menarik
tangannya dari gandengan Samuel.
Sebuah kardus karton pendek dan sudah penyok berada di halaman tanah di depan gudang.
“Polisi yang membawanya,” kata Samuel, memandang ke kardus itu seakan-akan isinya ular
derik.
Aku mengangkat kotak itu. Penemuan dari jaksa kali ini tidak sebesar volume penemuan
dari kasus-kasus lain yang pernah aku tangani dulu—kotak kardus kecil ini berisi semua yang
telah dikumpulkan polisi, hingga saat ini. Tapi sekali lagi, kau tak butuh banyak bukti untuk
kasus yang sudah jelas.
51
“Apa itu?” tanya Katie.
Ia berdiri di samping Samuel, dengan ekspresi wajah manis kebingungan di wajahnya. “Ini
penuntut umum,” kataku padanya. “Ini semua bukti yang menyatakan kau membunuh
bayimu.”

Dua jam kemudian, aku dikelilingi berbagai pernyataan dan dokumen, juga laporan, yang
semuanya tidak menguntungkan klienku. Memang ada lubang dalam kasus ini—misalnya
masih perlu bukti dari tes DNA bahwa Katie memang ibu dari bayi itu, dan janin yang lahir
prematur memunculkan keraguan akan kemampuan bayi bertahan di luar rahim—tapi
sebagian besar bukti menunjuk pada Katie. Ia ada di TKP; ia terbukti baru melahirkan;
darahnya bahkan ditemukan di mayat bayi itu. Usahanya untuk merahasiakan proses
kelahiran bayi itu membuat pikiran bahwa ada orang lain yang datang dan membunuh
bayinya terdengar menggelikan. Di lain pihak, hal itu justru memberkan motif bagi jaksa:
kalau kau berusaha untuk menyembunyikan proses kelahiran, kau mungkin juga akan
bertindak nekat dengan menghilangkan hasil dari proses kelahiran itu. Yang tertinggal
adalah pertanyaan apakah Katie dalam kondisi mental yang baik dan sadar saat melakukan
pembunuhan.
Hal pertama yang perlu aku lakukan adalah mengajukan mosi untuk layanan lebih dari
sekadar pengacara. Pengadilan bisa membayar psikiater profesional, seseorang yang tidak
seperti aku dan mau memberi jasa pada Katie dengan gratis; semakin cepat aku menulis
mosi itu, maka semakin cepat aku mendapatkan ceknya.
Setelah turun dari ranjang, aku berlutut untuk meraih laptopku yang ada di kolong ranjang.
Tas laptop itu bergeser di lantai kayu berpernis, berat dari teknologi dan bahan kain sintetik
terasa menyenangkan sehingga membuatku ingin menangis. Aku meletakannya di atas
ranjang dan membuka risletingnya, mengangkat laptop dan menekan tombol untuk
menyalakannya.
Tak muncul apa pun.
Mengumpat pelan, aku mencari-cari baterai di tas dan memasangkannya ke laptop.
Komputer itu menyala, berbunyi untuk memberitahuku bahwa baterainya harus diisi, lalu
mati lagi.
Yah, tapi ini kan bukan akhir dunia. Aku bisa bekerja di dekat colokan listrik hingga
baterainya bisa diisi. Colokan listrik...yang tidak ada di mana pun di rumah Katie.
Tiba-tiba aku sadar apa artinya ini bagiku, seorang pengacara, untuk bekerja di pertanian
Amish. Aku harus menyiapkan pembelaan untuk klienku tanpa kenyamanan normal sehari-
hari yang biasanya mudah diakses oleh pengacara. Marah pada diri sendiri, pada Hakim
Gorman—aku meraih ponselku untuk meneleponnya. Aku hanya berhasil menekan tiga
nomor pertama, lalu ponselku mati.
“Sialan!” Aku melempar ponsel itu hingga terjatuh dari ranjang. Aku bahkan tak punya
baterai untuk ponselku; aku harus mengisinya lewat pemantik api di mobil. Tentu saja,
mobil terdekat adalah mobil Leda, yang jauhnya dua puluh mil.
Leda. Yah, itu solusinya; aku bisa mengerjakan urusan hukum di sana. Tapi itu solusi yang
sulit, karena Katie tidak boleh meninggalkan pertanian. Mungkin kalau aku menulis mosinya
dengan tulisan tangan...
Tiba-tiba aku terdiam. Kalau aku menulis mosi itu dengan tangan, atau bisa membuat
teleponku bekerja dan menelepon hakim, ia akan mengatakan padaku bahwa kondisi untuk
syarat jaminan tidak dipenhui, dan Katie harus masuk penjara hingga persidangan
berlangsung. Aku harus mencari jalan keluar dari masalah ini.
Dengan penuh tekad, aku berdiri dan turun, menuju gudang.

Dari Katie, aku tahu bahwa sapi-sapi tidak dilepas keluar tiap hari pada musim panas karena
udara terlalu panas. Jadi saat aku masuk ke gudang, sapi-sapi Holstein yang diikat di
kandang mereka melenguh padaku. Seekor sapi berdiri, ambingnya besar dan merah jambu,
mengingatkanku pada Katie malam sebelumnya. Memalingkan pandanganku, aku berjalan di
antara dua baris sapi, mengabaikan suara desis air kencing sapi yang mengenai pintu
kandang di belakang mereka, berharap bisa menemukan cara agar komputerku bisa
menyala lagi.
Aku sudah mengamati ada aturan yang dilonggarkan di pertanian Amish, itu karena
kebutuhan ekonomi. Misalnya, di ruang susu yang bebas hama, sebuah dinamo berkekuatan
dua belas volt mengaduk susu di tangki pendingin besar; dan mesin pemerah memakai
tenaga disel yang digunakan dua kali sehari. “Peralatan modern” ini tidak dianggap duniawi
ataupun praktis; mereka membantu agar kaum Amish tetap bisa bersaing dengan pemasok
susu lainnya. Aku tak banyak mengerti tentang mesin ataupun bahan bakar diesel, tapi
siapa tahu? Mungkin mesin itu bisa diadaptasi untuk menjalankan Thinkpad.
“Apa yang kaulakukan?”
Mendengar suara Aaron, aku terlompat kaget, kepalaku hampir membentur salah satu pipa
tangki pendingin. “Oh! Kau mengejutkanku.”
52
“Kau kehilangan sesuatu?” tanyanya, melihat ke arah pojok gudang yang kuamati tadi.
“Tidak, sebenarnya, aku berusaha menemukan sesuatu. Aku harus mengisi baterai.”
Aaron melepas topinya dan mengusapkan lengan bajunya ke keningnya. “Baterai?”
“Ya, untuk komputerku. Kalau kau mau aku mewakili putrimu dengan layak di pengadilan,
aku harus bersiap-siap untuk sidangnya. Dan aku harus menulis beberapa mosi
sebelumnya.”
“Aku menulis tanpa komputer,” kata Aaron, berjalan pergi.
Aku menjajari langkahnya. “Boleh saja sih, tapi hakim pasti tak mengharapkan itu.” Sedikit
ragu, aku menambahkan, “aku tidak meminta colokan listrik di rumah, atau bahkan akses
internet atau faks—yang keduanya biasanya sering aku gunakan sebelum persidangan. Tapi
kau harus mengerti tidak adil bagiku harus mempersiapkan semuanya dengan cara Amish,
kalau persiapan itu untuk sebuah sidang pengadilan Inggris.”
Aaron memandangku lama sekali, matanya gelap dan dalamnya tak terukur. “Kita akan
menanyakannya pada uskup tentang itu. Hari ini dia akan datang kemari.”
Mataku melebar. “Benarkah? Untuk ini?”
Aaron berpaling. “Untuk hal lain,” katanya.

Tanpa kata, Aaron menggiringku ke kereta kuda. Katie sudah menunggu di belakang,
ekspresi wajahnya menandakan ia juga tak mengerti apa yang sedang terjadi. Aaron duduk
di sebelah kanan Sarah, dan mengambil tali kekang, menyuruh kuda menderap.
Satu kereta kuda lain muncul di belakang kami—kereta bak terbuka yang digunakan Samuel
dan Levi pergi kerja. Beriringan kami berbelok ke jalan yang belum pernah kulewati
sebelumnya. Kami melewati ladang dan pertanian di sana para pria masih bekerja, dan
akhirnya berhenti di perempatan kecil tempat beberapa kereta kuda sudah diparkir.
Pemakaman itu kecil dan bersih, setiap nisan berukuran sama, sehingga nisan yang sudah
lama dan yang baru hanya dibedakan dengan tanggal yang tertera. Sekelompok orang Amish
berdiri di salah satu pojok pemakaman dengan gaun dan celana hitam menyapu tanah
seperti sayap gagak. Ketika Sarah dan Aaron turun dari kereta kuda, mereka bergerak
bersama, menyambut.
Terlambat, aku baru sadar mereka tak hanya menyambut suami-istri Fisher. Mereka
mengerumini aku dan Katie, menyentuh pipi, lengan dan bahu Katie. Mereka
menggumamkan kata-kata kehilangan dan kesedihan yang suaranya sama dalam bahasa apa
pun. Di kejauhan, Samuel dan Levi membawa sesuatu dari kereta mereka; kotak kecil yang
jelas merupakan peti mati.
Terpaku, aku keluar dari kerumunan kecil para kerabat itu dan berdiri di samping Samuel.
Berdiri di pinggir makam, ia berdiri melihat ke peti kayu kecil itu. Aku berdeham, dan ia
berpaling memandangku. Mengapa tak ada orang yang bersimpati padamu? Aku ingin
bertanya padany, tapi kata-kata itu tak mau keluar.
Sebuah mobil berhenti di belakang deretan kereta, Leda dan Frank keluar, memakai
pakaian hitam. Aku memandang ke arah jins dan T-shirt-ku. Kalau saja seseorang
mengatakan padaku kalau kita akan ke pemakaman, aku pasti ganti pakaian. Tapi
kelihatannya, Katie juta tak diberitahu tentang hal ini.
Ia menerima ucapan simpati dari kerabatnya, sedikit berjengit setiap kali seseorang bicara
padanya, seakan-akan orang itu memukulnya. Uskup dan pengurus gereja, yang aku kenal
saat misa, berdiri di pinggir makam yang terbuka, dan kelompok kecil orang Amish itu
berkumpul di sekeliling makam.
Aku bertanya-tanya rasa tanggung jawab seperti apa yang membuat Sarah dan Aaron
mengambil mayat bayi yang tidak mau mereka akui sebagai cucu mereka. Aku bertanya-
tanya, apa yang dipikirkan Katie melihat semua ini, apalagi dia menyangkal dirinya pernah
hamil.
Dengan ibunya memegang tangannya erat-erat, Katie melangkah maju. Uskup mulai berdoa,
dan semua orang menunduk—semua orang kecuali Katie. Ia memandang lurus ke depan, lalu
ke deretan kereta—ke mana pun kecuali ke makam itu. Akhirnya, ia mendongakkan
wajahnya ke langit seperti bunga, dan tersenyum lembut, meskipun tak pantas, sementara
matahari membasuh kulitnya.
Tapi ketika Uskup meminta semua orang dalam hati mengucapkan Doa Bapa Kami, Katie
tiba-tiba mengibaskan pegangan ibunya dan berlari ke kereta, naik dan masuk ke kereta.
Aku hendak mengejarnya. Tak peduli apa pun yang dikatakan Katie hingga saat ini, sesuatu
tentang prosesi pemakaman ini akhirnya menggugah dirinya. Aku baru saja akan melangkah
ke arahnya ketika Leda memegang tanganku dan menghentikanku dengan gelengan pelan.
53
Yang membuatku terkejut, aku menurut dan tetap berdiri di sampingnya. Dalam hati aku
mengikuti kata-kata doa yang diucapkan; kata-kata yang sudah tak pernah kuucapkan
selama bertahun-tahun; kata-kata yang bahkan aku sendiri lupa kalau aku masih
mengingatnya. Lalu sebelum Leda bisa menghentikanku, aku buru-buru berjalan ke kereta
dan masuk. Katie duduk terpuruk di bangku kereta, tangannya menutupi wajah. Ragu, aku
mengelus punggungnya. “Ini pasti berat bagimu.”
Pelan-pelan, Katie berdiri, punggungnya tegak. Matanya kering; pinggir mulutnya sedikit
melengkung. “Bayi laki-laki itu bukan milikku, kalau itu yang kaupikirkan.” Ia mengulangi.
“Bayi laki-laki itu bukan bayiku.”
“Baiklah,” aku menyerah. “Dia bukan bayimu.” Aku merasakan Aaron dan Sarah naik ke
kereta, dan mengarahkan kuda kembali ke rumah. Dan dengan setiap derap kaki kuda, aku
bertanya pada diriku sendiri bagaimana Katie, yang tak mengakui kalau pernah hamil dan
melahirkan, tahu bahwa bayi itu adalah laki-laki.

Sarah telah menyiapkan hidangan untuk para kerabat yang datang ke pemakaman. Dia
meletakkan piring-piring makanan dan keranjang roti di meja panjang yang telah
dipindahkan ke beranda. Wanita-wanita yang tak kukenal keluar-masuk dapur, tersenyum
malu-malu setiap kali mereka berpapasan denganku.
Katie tak terlihat di mana-mana, dan lebih aneh lagi, tak seorangpun menganggap ini aneh.
Aku duduk sendirian di bangku dengan sepiring makanan, makan tanpa merasakan apa pun.
Aku sedang berpikir tentang Coop, dan berapa lama lagi ia bisa datang ke sini. Pertama
susunya keluar, dan sekarang pemakaman bayi mungil—berapa lama lagi Katie bisa
menyangkal telah melahirkan bayi sebelum kehilangan kendali?
Bangku yang kududuki berderak saat seorang wanita tua bertubuh besar duduk di
sebelahku. Wajahnya berkeriput seperti garis-garis yang ada di sebatang phon kayu tua,
tangannya berat dan ruas-ruas kukunya menonjol. Ia mengenakan kacamata tanduk seperti
yang dipakai kakekku pada tahun 1950-an. “Jadi,” katanya. “Kau gadis pengacara yang baik
itu?”
Aku bisa menghitung dengan jari di satu tanganku berapa kali sepanjang karirku aku
mendengar kata-kata baik dan pengacara di kalimat yang sama, apalagi sebutan gadis untuk
diriku yang sudah tiga puluh sembilan tahun ini. Aku tersenyum. “Itu aku.”
Ia mengulurkan tangan dan menepuk tanganku. “Kau tahu, kau sangat istimewa bagi kami.
Membela Katie kami seperti ini.”
“Yah, terima kasih. Tapi itu memang pekerjaanku.”
“Tidak, tidak.” Wanita itu menggeleng. “Itu karena hatimu.”
Nah, aku tak tahu harus mengatakan apa. Yang penting di sini adalah membebaskan Katie,
yang sama sekali tak berhubungan dengan apa pendapatku tentang dia. “Permisi,” kataku,
berdiri, berencana untuk pergi. Tapi baru saja aku berjalan menjauh aku bertemu Aaron.
“Kalau kau mau berjalan bersama kami,” katanya, menunjuk ke uskup di sebelahnya. “Kita
bisa membicarakan tentang masalah tadi.”
Kami bertiga berjalan ke tempat tenang di sebelah gudang. “Aaron bilang padaku kau punya
masalah dengan kasus hukummu,” kata Ephram memulai.
“Aku tak menyebutnya masalah dengan kasus. Ini lebih pada kesulitan logistik. Begini,
bagian dari pekerjaanku menuntutku untuk berhubungan dengan teknologi. Aku
membutuhkan peralatan untuk menyiapkan mosi yang akan kukirimakn pada hakim, juga
surta pernyataan saksi yang akan datang kemudian. Kalau aku menyerahkan teks hukum
dengan tulisan tangan pada hakim, ia akan tertawa dan mengusirku dari ruang sidang—
setelah memasukkan Katie ke penjara dengan alasan persyaratan jaminan tak terpenuhi.”
“Kau bicara tentang menggunakan komputer?”
“Ya, khususnya. Komputerku bisa bekerja dengan beterai, tapi baterainya mati.”
“Kau tak bisa membeli lagi baterainya?”
“Tidak di pertokoan Turkey Hill lokal,” kataku. “Baterainya mahal. Aku bisa mengisinya,
tapi itu membutuhkan aliran listrik.”
“Aku tak mau ada colokan listrik di tanahku,” potong Aaron.
“Aku juga tak bisa pergi ke kota dan mengisi baterai selama delapan jam dan meninggalkan
Katie sendirian.”
Uskup mengelus janggut abu-abunya yang panjang. “Aaron, kau ingat saat putera Polly dan
Joseph Zook menderita asma? Kau ingat bahwa lebih penting anak itu mendapatkan oksigen
daripada memenuhi aturan Ordnung yang keras? Kurasa ini juga sama saja.”
“Ini sama sekali tak sama,” tukas Aaron. “Ini bukan masalah hidup atau mati.”
“Tanya pada putrimu tentang itu,” aku membalasnya.
Uskup mengangkat kedua tangannya. Pada saat itu, ia terlihat mirip dengan semua hakim
yang pernah kulihat di ruang sidang.
54
“Komputernya bukan milikmu, Aaron, dan aku tidak meragukan komitmenmu terhadap cara
hidp kita. Tapi seperti yang kubilang pada pasangan Zook, dalam kasus tertentu tujuan
menghalalkan cara. Karena itu selama pengacara membutuhkan, aku akan mengizinkan
adanya inverter di pertanian ini, hanya untuk digunakan oleh Miss Hathaway untuk aliran
listrik.”
“Inverter?”
Uskup menoleh padaku. “Inverter mengubah arus listrik dua belas volt menjadi seratus
sepuluh volt. Para pengusaha kami menggunakannya untuk mesin kasir. Kami tak bisa
menggunakan arus listrik langsung dari generator, tapi inverter dijalankan dengan baterai,
itu diperbolehkan Ordnung. Sebagian besar keluarga Amish tak boleh memiliki inverter,
karena godaannya terlalu besar. Begini, arus listrik keluar dari mesin diesel ke generator
dan ke baterai dua belas volt lalu ke inverter yang bisa dihubungkan ke peralatan listrik apa
pun—seperti komputermu.”
Aaron terlihat kaget. “Komputer dilarang oleh Ordnung. Dan inverter—masih dalam kajian,”
katanya. “Alat itu bisa menyalakan bola lampu!”
Ephram tersenyum. “Memang bisa... tapi Aaron, aku tahu kau takkan melakukannya. Aku
akan meminta seseorang membawakan inverter untuk Miss Hathaway hari ini.”
Aaron tampak jengkel dan tak mau memandang Uskup. Aku benar-benar bingung dengan
keputusan yang diambil Uskup, tapi bersyukur. “Itu akan sangat membantu.”
Tangan hangat Uskup menjabat tanganku, dan untuk sesaat, aku merasakan ketenangan
merasuki seluruh tubuhku. “Kau sudah membuat penyesuaian bagi kami,” kata Ephram.
“Apa kaupikir kami tak mau melakukan kompromi untukmu?”
Aku tak tahu mengapa izin pengadaan arus listrik di pertanian Fisher membuatku merasa
sedikit tak enak, seakan-akan aku dalah Hawa yang memegang apel dengan pandangan
menggoda. Bukan berarti dengan adanya listrik itu akan menemukan Katie di gudang
bermain Nintendo. Inverter itu mungkin akan ditutupi debu dan tak digunakan ketika aku
tak menggunakan Thinkpad-ku untuk bekerja. Tapi tetap saja, aku masih sedikit bingung
ketika berjalan menjauh dari gudang dan rumah setelah mendengar keputusan uskup itu.
Aku mendengar suara Katie sebelum menyadri aku berjalan ke arah kolam. Ia duduk di
antara semak cattail, hampir tersembunyi, kakinya yang telanjang tercelup di air. “Aku
melihatmu,” katanya, matanya terpaku pada satu titik di tengah kolam yang tak terlihat
apa pun. Ia tersenyum, bertepuk tangan, seorang penonton tunggal dalam pertunjukan yang
dia buat sendiri.
Oke, jadi mungkin dia memang gila.
“Katie,” kataku pelan, mengejutkannya. Ia melompat berdiri, menyipratkan air padaku.
“Oh, maafkan aku!”
“Hari ini memang panas. Disiram enak juga.” Aku duduk di pinggiran kolam. “Kau bicara
dengan siapa?”
Pipinya memerah. “Bukan siapa-siapa. Diriku sendiri.”
“Adikmu lagi?”
Katie menghela napas, lalu mengangguk. “Dia main skating.”
“Ia main skating,” ulangku, datar.
“Ja, sekitar tiga sentimeter di atas permukaan air.”
“Begitu. Apa tidak kesulitan bermain skating tanpa ada lapisan es?”
“Tidak. Dia tidak tahu sekarang musim panas; dia hanya melakukan apa yang dia lakukan
sebelum meninggal.” Suaranya berbisik. “Dia sepertinya juga tak mendengarku.”
Aku memandang Katie lama. Kapp-nya sedikit miring, beberapa untai rambut terlepas di
dekat telinganya. Ia duduk memeluk lutut. Ia tak terlihat gelisah ataupun bingung. Ia hanya
terus memandang ke kolam, ke sosok yang tak terlihat.
Aku mencabut semak cattail dan memilin-milinnya. “Yang tidak kumengerti adalah
bagaimana kau percaya pada sesuatu yang bahkan tak bisa kaulihat, tapi dengan keras
kepala menolak memercayai sesuatu yang diketahui orang lain—dokter, koroner, dan, demi
Tuhan, bahkan orangtuamu—sebagai sebuah fakta yang benar-benar terjadi.”
Katie mengangkat wajahnya. “Tapi aku memang melihat Hannah, jelas sekali, emmakai
syal, gaun hijau, dan sepatu skating yang dulunya milikku. Dan aku belum pernah melihat
bayi itu, hingga dia ada di gudang, terbungkus dan mati.” Alisnya berkerut. “Mana yang
akan kaupercayai?”
Sebelum aku bisa menjawab, Ephram muncul dengan pengurus gereja. “Miss Hathaway,”
kata uskup. “Aku dan Lucas harus berbicara dengan saudari muda kami ini, sebentar saja.”
Meski kami tak berdekatan, aku bsia merasakan Katie gemeteran, dan rasa takut yang
tajam menguar dari tubuhnya. Ia bahkan lebih gemetaran dibandingkan saat ia didakwa
membunuh di pengadilan. Tangnnya meraba-raba rumput menari tanganku dan
menggenggamnya. “Aku ingin pengacaraku ada di sini,” katanya, suaranya hanya sebuah
bisikan.
Uskup kelihatan terkejut. “Wah, Katie, untuk apa?”
55
Katie bahkan tak bisa mengangkat matanya untuk memandang pria tua itu. “Kumohon,”
bisiknya, lalu menelan ludah.
Pengurus gereja dan uskup saling pandang, tapi Ephram mengangguk. Makhluk yang
gemetaran dan pasrah di sebelahku sekarang sama sekali tak mirip dengan gadis yang
menatap mataku dengan tegas mengatakan tidak pernah ada bayi. Ia sama sekali tak mirip
dengan gadis yang bicara padaku beberapa menit sebelumnya bahwa apa yang terlihat jelas
bagi seseorang tidak selalu terlihat di mata orang lainnya. Tapi ia memang mirip dengan
anak yang kulihat di ruang sidang tidak lama setelah aku datang, anak yang sudah pasrah
membiarkan sistem hukum melindasnya daripada membela diri.
“Begini,” kata Ephram tak enak. “Kami tahu bagaimana sulitnya masalah yang kau hadapi
sekarang dan sepertinya akan menjadi semakin rumit. Tapi memang ada bayi, Katie, dan
mengingat kau belum menikah...yah, kau harus datang ke gereja, dan meluruskan
semuanya.”
Meskipun samar, Katie mengangguk.
Setelah mengangguk padaku, kedua pria itu pergi. Perlu tiga puluh detik bagi Katie untuk
menenangkan diri, dan ketika ia berhasil tenang, wajahnya pucat sekali. “Apa maksudnya
itu?” tanyaku.
“Mereka ingin aku mengakui dosaku.”
“Dosa apa?”
“Punya bayi di luar nikah.” Ia mulai berjalan pergi, dan aku tergesa-gesa menyamakan
langkahku.
“Apa yang akan kaulakukan?”
“Mengaku,” kata Katie pelan. “Apa lagi yang bisa kulakukan?”
Terkejut, aku berbalik dan menghadangnya. “Kau bisa mulai dengan mengatakan pada
mereka apa yang telah kaukatakan padaku. Bahwa kau tak pernah punya bayi.”
Matanya penuh airmata. “Aku tak bisa mengatakan itu pada mereka; aku tak bisa.”
“Kenapa tidak?”
Katie menggeleng, pipinya merona. Ia lari menembus ladang jagung.
“Kenapa tidak?” aku berteriak padanya, frustasi yang kurasakan membuatku terpaku.

Orang yang membawa inverter menyiapkan alat itu untukku di gudang. Disambungkan ke
generator di dekat kandang sapi, posisi itu membuatku mendapatkan pemandangan indah
berupa garis batas polisi yang masih mengamankan TKP. Siapa tahu aku butuh inspirasi
untuk pembelaan Katie. Tak lama setelah pukul empat aku membawa berkas-berkas dan
laptop-ku ke gudang dan mulai bekerja sebagai pengacara.
Levi, Samuel dan Aaron, sedang memerah susu. Levi sepertinya mendapatkan bagian
pekerjaan terendah di pertanian Amish—menyekop kotoran sapi, mengambil makanan—
sementara dua pria yang lebih tua membersihkan ambing sapi dengan robekan halaman
buku telepon, lalu menyambungkannya dengan sepasang pompa isap yang dijalankan
dengan generator yang secara tidak langsung juga menjalankan komputerku. Dari waktu ke
waktu, Aaron akan membawa ember susu ke ruang penyimpanan susu dan menuangkan susu
ke tangki penyimpanan dengan suara deburan yang keras.
Aku mengamati mereka selama beberapa saat, terpesona melihat rutinitas mereka dan
kehalusan gerakan tangan mereka saat mengusap sisi perut sapi atau menggaruk telinganya.
Sambil tersenyum, aku pelan-pelan menyambungkan laptop-ku dengan inverter, berdoa
semoga tidak terajdi korsleting arus listrik yang akan merusak hard drive-ku, lalu
menyalakannya.
Layar membuka dengan penuh warna, lengkap dengan icon dan toolbars. Kemudian muncul
screen saver-ku, gambar ikan hiu di dasar laut. Aku meraih salah satu berkas dalam map
manila yang kuterima dari jaksa dan membukanya di atas jerami. Sembari membuka-buka
isinya, aku mencoba memikirkan mosi layanan selain dari pengacara.
Saat aku mengangkat kepala, Levi terlihat menganga memandang ke arah laptop-ku dari
seberang gudang, sekopnya dipegang di sisinya, terlupakan, hingga Samuel mendekat dan
memukul kepalanya. Tapi kemudian Samuel memandang ke arahku, matanya membelalak
melihat warna-warna di laptop-ku dan gambar ikan hiu di screen saver. Tangannya bergetar,
seakan-akan ia berusaha keras untuk tidak mengulurkan teangan dan menyentuh apa yang
ia lihat.
Aaron Fisher tak pernah berpaling.
Seekor sapi melenguh di ujung kandang. Bau amis jerami dan makanan sapi mengusik
hidungku. Suara isapan dari pompa susu menjadi latar belakang. Menutup diri dari dunia,
aku berkonsentrasi dan mulai mengetik.

Tujuh
SEBERKAS sinar menyapu kakinya, lalu naik ke dinding dan plafon, sebelum bergerak lagi
dari awal. Katie mengangkat tubuhnya dan menahannya dengan siku, jantungnya berdegup.
Ellie masih tidur; itu bagus. Katie merangkak keluar dari ranjang dan berlutut di ambang
jendela. Awalnya ia tak bisa melihat apa pun; lalu Samuel membuka topinya dan bulan
menyinari rambutnya yang pirang. Menarik napas panjang, Katie memakai pakaian dan
tergesa keluar menemuinya.
56
Samuel menunggu dengan menyalakan senter, yang segera ia matikan begitu melihat siluet
Katie di ambang pintu. Saat Katie berada di luar, Samuel memeluknya dan mencium bibir
gadis itu keras-keras. Itu membuat tubuh Katie menegang—Samuel tak pernah bertindak
secepat ini sebelumnya—dan ia mengangkat tangan di antara tubuh mereka lalu bergerak
menjauh. “Samuel!” kata Katie, dan cepat-cepat melangkah mundur.
“Maafkan aku,” gumam Samuel. “Aku benar-benar menyesal. Hanya saja aku merasa
sepertinya kau semakin menjauh dariku.”
Katie mengangkat pandangannya. Ia mengenal wajah Samuel sebaik ia mengenal wajahnya
sendiri, mereka berdua tumbuh sebagai keluarga, sebagai teman. Samuel pernah
mengejarnya memutari pohon saat Katie masih sebelas tahun. Samuel menciumnya untuk
pertama kali saat Katie masih enam belas tahun, di belakang kandang sapi Joseph Yoder.
Katie bisa merasakan tangan Samuel bergerak-gerak gelisah.
Kadang saat membayangkan hidupnya, Katie merasa hidupnya seperti tiang telepon yang
berbaris sepanjang Route 340—tahun demi tahun berderet hingga ke cakrawala. Dan saat ia
membayangkan dirinya seperti itu, Katie selalu melihat Samuel berdiri di sebelahnya. Lelaki
itu semua hal yang benar bagi Katie; semua hal yang diharapkan darinya. Samuel adalah
jaring pengamannya. Masalahnya, kebanyakan orang Amish tak pernah mengangkat muka
dari tanah yang datar dan sempit, untuk mengetahui bahwa di atas sana terdapat tali
panjang yang menakjubkan yang bisa kaujalani.
Samuel menempelkan dahinya di kening Katie. Katie bisa merasakan napas Samuel, kata-
kata lelaki itu, menyelimuti dirinya, dan ia membuka bibirnya untuk menerima. “Bayi itu
bukan bayimu,” desak Samuel.
“Bukan,” bisik Katie.
Samuel mendekatkan wajahnya sehingga mulut mereka bersentuhan, luas dan manis seperti
laut. Ciuman mereka terasa asin, dan Katie tahu ada air mata di kedua pipi mereka, tapi ia
tak ingat siapa yang lebih dulu menyampaikan kesedihannya pada yang lain. Katie membuka
dirinya pada Samuel seperti yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, mengerti bahwa ini
adalah utang yang sekarang ditagih oleh Samuel.
Lalu Samuel merenggangkan tubuhnya dan mencium kelopak mata Katie. Ia memegang
wajah Katie dan bergumam. “Aku sudah berdosa.”
Katie mengangkat telapak tangannya ke atas tangan Samuel yang memegang pipinya. “Kau
tidak berdosa,” katanya.
“Ya. Biar kuselesaikan.” Samuel menelan ludah. “Bayi itu. Bayi itu, bukan bayi kita.” Ia
memeluk Katie erat, menenggelamkan wajahnya ke rambut gadis itu. “Bayi itu bukan bayi
kita, Katie. Tapi aku berharap itu bayi kita.”

“Apa kau pernah memegang hantu?”


Adam mengangkat pandangannya dari meja, tersenyum melihat Katie menunduk di atas
salah atu buku jurnalnya. “Yeah,” katanya. “Yah, bisa dibilang begitu. Kau tak bisa
memegang mereka, kau hanya bisa merasa mereka mendekatimu.”
“Seperti embusan angin?”
Adam meletakkan bolpoinnya. “Lebih mirip getaran.”
Katie mengangguk, dan dengan serius mulai membaca lagi. Ini adalah kedua kalinya ia
mengunjungi Jacob dalam seminggu—sebuah kedatangan yang tak terduga—dan ia sengaja
berkunjung pada hari saat ia tahu Jacob bekerja di universitas hingga sore. Saat Adam
duduk disampingnya, Katie tersenyum. “Ceritakan padaku bagaimana rasanya.”
“Aku sedang menginap di hotel tua di Nantucket. Aku terbangun pada tengah malam dan
melihat seorang wanita sedang melihat ke luar jendela. Ia memakai baju model lama, dan
udara dipenuhi harum parfumnya—aroma yang belum pernah kucium sebelumnya, dan
sejak itu juga tak pernah kucium lagi aromanya. Aku duduk dan bertanya siapa dia, tapi ia
tak menjawab. Lalu aku menyadari kalau aku bisa melihat ambang dan teralis jendela
melewati tubuhnya. Ia sama sekali tak memperdulikanku, lalu berjalan melewati jendela,
menembusku. Rasanya...dingin. Membuat bulu kudukku berdiri.”
“Apa kau takut?”
“Tidak juga. Dia sepertinya tak sadar aku di sana. Keesokan paginya, aku bertanya pada
pemilik hotel, yang menceritakan padaku bahwa hotel itu dulunya rumah kapten pelaut
yang tenggelam. Konon rumah itu dihantui oleh jandanya yang masih menunggu
kepulangan suaminya.”
“Itu menyedihkan sekali,” kata Katie.
“Kebanyakan cerita hantu memang sedih.”
Untuk sesaat, Adam mengira Katie akan menangis. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh
kepala Katie. “Rambutnya seperti rambutmu. Tebal dan lurus dan panjang sekali.” Saat
wajah Katie merona, Adam duduk bersandar dan melingkarkan lengannya di lutut.
“Bolehkah aku bertanya padamu?”
“Baiklah.”
“Bukannya aku tidak merasa sangat tersanjung kau sangat terpukau dengan penelitianku...
tapi kau adalah orang terakhir yang kukira akan tertarik pada masalah ini.”
57
“Maksudmu karena aku orang Amish?”
“Hmm, ya.”
Katie menyentuh kata-kata yang telah diketik Adam. “Aku kenal hantu-hantu ini,”
katanya. “Aku tahu bagaimana rasanya berjalan di dunia tapi tak menjadi bagian darinya.
Dan aku tahu bagaimana rasanya melihat orang memandang melewatimu, dan tidak
percaya apa yang mereka lihat.” Meletakkan buku penelitian yang dibacanya, Katie
memandang Adam. “Kalau aku ada, mengapa mereka tak ada?”
Adam pernah mewawancarai sebuah bus penuh turis yang melihat medan tempur
Gettysburg meledak dengan sebatalion serdadu hantu. Ia telah merekam dengan kamera
inframerah kantong-kantong energi dingin yang melingkupi hantu. Ia telah mendengar
hantu memindahkan peti-peti di loteng, membanting pintu. Tapi meskipun sudah
bertahun-tahun meneliti ia tetap harus berjuang untuk mendapatkan kredibilitas.
Merasa tersanjung, Adam meraih tangan Katie. Ia meremasnya lembut, lalu
mendekatkannya ke bibir dan mencium bagian dalam pergelangannya. “Kau bukan hantu,”
katanya.

George Callahan mengerutkan kening ke arah piring Lizzie. “Kau tak pernah makan ya? Kau
pasti melayang kalau ditiup angin.”
Detektif itu menggigit bagel di depannya. “Mengapa kau baru bahagia kalau setiap orang di
sekitarmu makan dengan rakus?”
“Mungkin ada hubungannya dengan pekerjaanku sebagai pengacara.” George mengusap
mulutnya dengan tisu, lalu bersandar di punggung kursinya. “Kau akan membutuhkan energi
hari ini. Apa kau pernah mencoba mendapatkan informasi dari orang Amish?”
Lizzie mengingat-ingat. “Sekali,” katanya. “Kasus Crazy Charlie Lapp.”
“Oh yeah—anak penderita skizofrenia yang berhenti minum obatnya dan menyetir mobil
curian ke Georgia. Yah, pikirkan kasus itu dan kalikan level kesulitannya seratus kali lipat.”
“George, biarkan aku melakukan pekerjaanku, oke? Aku tak pernah mengajarimu bagaimana
menyidangkan sebuah kasus.”
“Tentu saja kau pernah. Cuma aku tak pernah mendengar.” Callahan mencondongkan tubuh
ke depan, menekankan sikunya ke meja. “Kebanyakan kasus pembunuhan bayi baru lahir
bahkan tak masuk sidang—kasus-kasus itu biasanya diselesaikan dengan pengakuan bersalah
dan tawar-menawar. Kalau sang ibu dipenjara, biasanya dengan hukuman minimal. Kau tahu
mengapa?”
“Karena tak satu pun juri mau percaya seorang ibu tega membunuh bayinya?”
“Sebagian memang ya. Tapi lebih sering karena jaksa tak bisa menentukan motif
kejahatannya, yang membuatnya kurang mirip seperti pembunuhan.”
Lizzie mengaduk kopinya. “Ellie Hathaway mungkin mengajukan pembelaan berdasarkan
kegilaan.”
“Dia belum melakukannya,” George mengangkat bahu. “Dengar. Kurasa kasus ini akan jadi
besar, karena keterlibatan kaum Amish. Ini adalah kesempatan untuk membuat kantor jaksa
wilayah terkenal.”
“Tentu saja, itu tak masalah, apalagi tahun depan kau mencalonkan diri dalam pemilihan,”
kata Lizzie.
George menyipitkan matanya. “Ini tak ada hubungannya denganku. Ini bukan kasus di mana
Maria pergi ke palungan dan melahirkan bayi Yesus. Katie Fisher ke sana bermaksud
melahirkan, membunuh bayinya, dan menyembunyikannya.” Ia tersenyum pada Lizzie sang
detektif. “Buktikan kalau aku benar.”

Ellie, Sarah, dan Katie sedang berada di dapur membuat acar mentimun, ketika terdengar
suara mobil di halaman depan. “Oh,” kata Sarah, membuka gorden sedikit untuk melihat.
“Detektif itu datang lagi.”
Tangan Ellie yang sedang mengupas mentimun terhenti. “Dia ke sini untuk menanyai kalian
semua. Katie, pergi ke kamarmu dan jangan kembali kecuali kalau sudah kusuruh.”
“Kenapa?”
“Karena dia adalah musuh, oke?” Saat Katie terburu-buru naik, Ellie berpaling ke Sarah.
“Kau harus bicacar dengannya. Katakan saja apa yang menurutmu pas untuk dikatakan.”
“Kau tidak akan di sini?”
“Aku akan menjaganya agar menjauh dari Katie. Itu yang lebih penting.”
Sarah mengangguk, dan serta merta terdengar ketukan di pintu. Setelah menunggu Ellie
keluar dari dapur, ia menyeberangi dapur dan membuka pintu.
“Halo, Mrs. Fisher. Saya tak tahu apakah Anda masih ingat. Saya—“
“Aku ingat Anda,” kata Sarah. “Silahkan masuk.”
Lizzie mengangguk. “Terima kasih. Saya juga ingin bertanya sedikit pada Anda.” Lizzie
melihat sekeliling dapur, dengan tutup-tutup botol di atas kompor dan tumpukan mentimun
di atas meja. “Apakah tak apa-apa?” Saat Sarah mengangguk kaku, Lizzie mengeluarkan
buku catatannya dari kantong mantelnya. “Apakah Anda bisa sedikit menceritakan pada
saya tentang putri Anda?”
“Katie anak yang baik. Dia rendah hati, murah hati, ramah, dan beriman pada Tuhan.”
Lizzie mengetuk-ngetukkan pensilnya ke kertas, tak menulis apa pun. “Kedengarannya dia
seorang malaikat, Mrs. Fisher”
58
”Tidak, hanya anak Amish yang baik.”
“Apakah dia punya pacar?”
Sarah meremas tangannya di balik celemek. “Ada beberapa, sejak Katie beranjak remaja.
Tapi yang paling serius adalah Samuel. Dia bekerja di pertanian dengan suamiku.”
“Ya, kami sudah bertemu. Serius seperti apa?”
“Aku tidak tahu,” kata Sarah, tersenyum malu. “Itu urusan pribadi Katie. Dan kalau mereka
berpikir untuk menikah, maka itu terserah Samuel untuk pergi ke Schtecklimann, perantara
yang akan datang dan menanyakan apa keinginan Katie.”
Lizzie mencondongkan tubuh ke depan. “Jadi Katie tidak mengatakan semua hal tentang
kehidupan pribadinya pada Anda.”
“Tentu saja tidak.”
“Apa dia mengatakan pada Anda kalau dia hamil?”
Sarah menunduk ke lantai. “Aku tak tahu.”
“Tak bermaksud kasar, Mrs. Fisher, dia memberitahu Anda atau tidak.”
“Dia tidak mengatakan secara langsung padaku, tapi dia pasti juta tak mungkin dengan
sukarela mengatakannya padaku. Itu sangat pribadi.”
Lizzie menahan komentarnya. “Apa Anda pernah melihat pakaiannya jadi lebih besar? Dan
dia tidak menstruasi?”
“Aku pernah punya bayi, Detektif. Aku tahu tanda-tanda kehamilan.”
“Tapi apakah Anda bisa mengenalinya kalau dengan sengaja berusaha disembunyikan?”
“Kukira jawabannya adalah tidak,” Sarah mengakui pelan. “Namun, mungkin saja Katie
sendiri juga tak tahu apa yang terjadi.”
“Dia besar di peternakan. Dan dia pernah melihat Anda hamil, benar bukan?” Saat Sarah
menunduk, mengangguk, sesuatu melintas di pikiran Lizzie. “Apakah Katie pernah
berperilaku kasar?”
“Tidak. Katie adalah kebalikannya—selalu membawa tupai dan burung yang tersesat, dan
memberi makan anak sapi yang ditinggal induknya. Menjaga siapa pun yang perlu dijaga.”
“Apakah dia sering menjaga adiknya?”
“Ya, Hannah selalu ikut dia ke mana pun.”
“Bagaimana anak bungsu Anda meninggal?”
Mata Sarah berkedip-kedip saat ia berusaha menenangkan diri. “Dia tenggelam dalam
kecelakaan main skating saat berumur tujuh tahun.”
“Saya ikut prihatin. Apakah Anda di sana waktu itu?”
“Tidak, dia dan Katie bermain di kolam sendiri.” Saat Lizzie tidak bertanya lagi, Sarah
mengangkat pandangannya ke detektif itu, melihat kesimpulan yang tertera di ekspresinya.
“Kau tak mungkin berpikir kalau Katie ada hubungannya dengan kematian adiknya sendiri!”
Alis Lizzie terangkat. “Mrs. Fisher,” gumamnya, “saya tak pernah bilang begitu.”

Di dunia yang sempurna, pikir Lizzie, Samuel Stolzfus pasti terpampang di majalah hanya
dengan memakai pakaian dalam Calvin Klein. Tinggi, kuat, dan pirang, ketampanannya
sangat klasik sehingga wanita dari keyakinan apa pun pasti sulit menolaknya—tapi Lizzie
telah menanyai pria muda itu selama dua puluh menit, dan tahu meskipun ia terlihat
seperti dewa Yunani, ia tidak secerdas Socrates. Sejauh ini, meskipun secara terus terang
Lizzie telah menyatakan semua bukti medis tentang kehamilan pacarnya, Samuel tidak
pernah berhenti mengatakan bahwa Katie tak pernah punya bayi.
Mungkin penyangkalan Katie menular, seperti flu.
Menghela napas dalam-dalam, Lizzie mundur selangkah. “Ayo kita coba cara lain. Ceritakan
tentang bosmu.”
“Aaron?” Samuel terlihat terkejut, dan wajar saja; karena semua pertanyaan lain tentang
hubungannya dengan Katie. “Dia pria yang baik. Seorang pria sederhana.”
“Dia kelihatannya keras kepala.”
Samuel mengangkat bahu. “Dia terbiasa melakukan semua hal menurut caranya,” katanya
lalu buru-buru menambahkan, “tapi tentu saja itu wajar, karena ini pertaniannya.”
“Dan setelah kau menjadi anggota keluarga? Bukankah nantinya ini juga jadi pertanianmu?”
Samuel menundukkan kepalanya, jelas merasa tak enak. “Itu terserah dia nanti.”
“Siapa lagi yang akan mengambil alih pertanian, apalagi setelah Katie menikah? Kecuali dia
punya putra lain yang belum disebutkan.”
Tanpa memandang Lizzie, Samuel berkata, “Dia tak punya putra lagi.”
Lizzie menoleh. “Apakah ada lagi anak yang mati? Kukira yang meninggal itu gadis kecil.”
“Ya, Hannah.” Samuel menelan ludah. “Tak ada lagi yang meninggal. Maksudku dia tak
punya putra. Kadang, dengan bahasa Inggris, aku lupa bagaimana mengatakannya.”
Lizzie mengamati pria pirang itu. Samuel mungkin akan mewarisi pertanian itu—selama ia
bisa menikahi Katie Fisher. Lahirnya cucu Aaron Fisher akan menjamin perjanjian itu.
Apakah Katie membunuh bayi itu karena tak ingin terikat pada Samuel? Karena ia tak ingin
Samuel mewarisi pertanian?
“Sebelum bayi itu ditemukan,” tanya Lizzie, “apakah kau dan Katie bertengkar?”
Samuel ragu. “Kurasa aku tak harus mengatakan ini padamu.”
“Sebenarnya, Samuel, kau harus. Karena pacarmu diadili atas tuduhan membunuh, dan
kalau kau terlibat kau bisa didakwa sebagai kaki tangan. Jadi—pertengkarannya?”
59
Wajah Samuel merona. Membuat Lizzie terpukau; ia belum pernah melihat rasa malu
terpancar begitu jelas di wajah pria sebesar itu. “Hanya hal-hal kecil.”
“Seperti?”
“Kadang ia tak mau memberiku ciuman selamat malam.”
Lizzie meringis. “Itu seperti mengunci pintu kandang setelah kudanya lari keluar.”
Samuel berkedip padanya. “Aku tak mengerti.”
Sekarang wajah Lizzie yang merona. “Maksudku sebuah ciuman kelihatannya sama sekali
tak penting setelah kau menghamilinya.”
Pipi Samuel semakin memerah. “Katie tak punya bayi.”
Kembali lagi ke awal. “Samuel, kita sudah membahas ini. Katie memang punya bayi. Ada
bukti medisnya.”
“Aku tak kenal dokter-dokter Inggris itu, tapi aku kenal Katie-ku,” katanya. “Dia bilang bayi
itu bukan bayinya, dan itu benar; dia tak mungkin punya bayi.”
“Mengapa tidak?”
“Karena.” Samuel melengos.
“Karena saja tak cukup bagus, Samuel,” kata Lizzie.
Samuel berpaling padanya, suaranya meninggi. “Karena kami belum pernah bercinta!”
Lizzie terdiam beberapa saat. “Hanya karena ia tak pernah tidur denganmu,” jelas detektif
itu lembut, “bukan berarti ia belum pernah tidur dengan orang lain.”
Lizzie menunggu kata-katanya mengendap, pukulan terakhir yang meluluhlantakkan
pertahanan Samuel. Pria besar itu membungkuk, tepian topinya menyentuh lututnya,
lengannya memeluk pinggangnya erat-erat.
Lizzie teringat kasus yang pernah ia pecahkan bertahun-tahun lalu, di mana pacar manajer
sebuah toko perhiasan selingkuh dan hamil. Bukannya mengaku, gadis itu mencoba
menyelamatkan mukanya dengan mengklaim kalau pria selingkuhannya itu memerkosanya
dan maju ke pengadilan. Pembunuhan bayi ini mungkin bukan berawal dari pertengkaran
antara Katie dan Samuel, tapi kebalikannya. Bukannya mengakui bahwa ia telah tidur
dengan pria lain, melanggar prinsip-prinsip agamanya, melukai keluarganya, dan
menghancurkan masa depannya dengan Samuel, Katie menyingkirkan bukti pelanggaran
yang telah dilakukannya. Secara harafiah.
Lizzie mengamati bahu Samuel bergetar penuh emosi. Setelah menepuk punggungnya,
bersimpati, Lizzie meninggalkan Samuel untuk menyadari kebenarannya: Ia bukannya tak
percaya Katie tak punya bayi, ia tak ingin percaya.

“Apakah dia tega melakukannya?” bisik Samuel, bergantung pada tangan Ellie seperti tali
penyelamat hidupnya. “Apakah dia tega melakukan itu padaku?”
Ellie tak pernah percaya kalau kau bisa melihat hati patah, namun sekarang ia melihatnya.
Dan itu sama rasanya saat ia melihat pencakar langit dihancurkan di Philadelphia, lantai
demi lantai runtuh, hingga yang tinggal hanyalah kenangan mengapung di udara. “Samuel,
maafkan aku. Aku belum mengenal dia dengan baik untuk membuat penilaian.”
“Tapi apakah dia mengatakan sesuatu padamu? Apakah dia menyebutkan nama pria itu”
“Kami belum tahu kalau ada 'pria' lain,” kata Ellie. “Detektif itu ingin kau menyimpulkan
terlalu cepat, dengan harapan kau salah bicara dan mengatakan sesuatu yang bisa
digunakan oleh jaksa.”
“Aku tak mengatakan apa pun,” Samuel ngotot.
“Tentu saja tidak,” kata Ellie getir. “Aku yakin mereka punya banyak bahan yang bisa
digunakan sekarang.” Bahkan, memikirkan itu saja membuat kepala Ellie pusing: ia bisa
menduga, inilah motif yang dipikirkan penuntut—Katie membunuh untuk menutupi akibat
dari kesembronoannya.
Samuel menatap Ellie dengan serius. “Aku akan melakukan apa pun untuk Katie.”
“Aku tahu.” Dan Ellie mengerti itu. Pertanyaannya adalah sejauh mana janji Samuel itu bisa
dipegang? Apakah ia memang aktor yang baik, dan sejak dulu tahu tentang kehamilan
pacarnya? Bahkan kalaupun Sarah tidak tahu, Samuel pasti dengan mudah mengetahui
perubahan fisik Katie saat mereka berpelukan—dan pasti akan tahu kalau ia bukan ayahnya.
Tanpa adanya putra pasangan Fisher, Samuel akan mewarisi pertanian itu—selama ia bisa
menikahi Katie. Pertanian di Lancaster County adalah harta yang sangat berharga, nilai real
estat dari beberapa properti ini bisa mencapai jutaan dolar. Kalau Katie melahirkan lalu
menikahi ayah bayi itu, Samuel tidak akan mendapat apa-apa. Itu motif yang jelas untuk
membunuh—tapi ditujukan pada tersangka yang sama sekali berbeda.
“Kurasa kau harus bicara dengan Katie,” kata Ellie lembut. “Aku bukan orang yang bisa
memberitahu jawaban yang kauinginkan.”
“Kami akan bersama. Dia bilang begitu.” Suara Samuel bergetar: meskipun ia tidak
meneteskan air mata, air mata menggenang dan berkilau di matanya. Itu hal lain tentang
patah hati—kau tak bisa melihat orang yang patah hati tanpa merasakan hatimu ikut retak.
Samuel berbalik, bahunya terbungkuk lesu. “Aku tahu Tuhan pasti mengampuninya, tapi aku
tak bisa melakukan itu sekarang. Sekarang, yang ingin kuketahui adalah siapa pria yang
bersamanya.”
Ellie mengangguk, dan dalam hati berkata, kau bukan satu-satunya yang ingin tahu.
60
Tanaman rambat melingkari pondasi jembatan rel kereta api, menjalar ke penanda
kedalaman air dan pancang yang menyambungkan baja ke beton. Katie melipat celana
jinsnya ke atas dan melepas sepatu serta kaus kakinya, mengikuti Adam masuk ke air
dangkal. Kerikil menggit telapak kakinya; di batu yang licin dan halus, tumitnya
terpeleset. Saat ia berusaha meraih tiang jembatan untuk menegakkan diri, ia merasakan
tangan Adam merangkul bahunya. “Bulan Desember, 1878,” bisiknya. “Terjadi badai es.
Kereta api Pennsylvania Line membawa dua ratus tiga penumpang menuju New York City
untuk merayakan Natal. Kereta itu terguling di sana, di ujung jembatan, dan gerbongnya
terjatuh ke air sungai yang membeku. Seratus delapan puluh enam orang tewas.”
Napas Adam meniup lehernya, dan sama mendadaknya seperti saat ia tiba-tiba
merangkulnya, Adam tiba-tiba menjauh dari Katie. “Kalau begitu mengapa tidak ada
seratus delapan puluh enam hantu?”
“Sejauh yang kita tahu, memang jumlahnya sebanyak itu. Tapi satu-satunya hantu yang
pernah dilihat oleh orang-orang adalah Edye Fitzgerald.” Adam berjalan ke tepi sungai dan
duduk membuka kotak kayu mahoni panjang dan datar. “Edye dan John Fitzgerald adalah
pengantin baru yang menuju New York untuk berbulan madu. John selamat dari kecelakaan
itu, dan dikisahkan terus mencari-cari di reruntuhan dengan para penyelamat, memanggil-
manggil istrinya. Setelah mengidentifikasi mayat istrinya, ia pergi ke New York City
sendiri, menyewa kamar honeyroom suite di hotel mahal, lalu bunuh diri.”
“Itu dosa,” kata Katie datar.
“Benarkah? Mungkin ia hanya mencoba kembali ke Edye lagi.” Adam tersenyum lemah.
“Tapi aku ingin mengecek kamar hotel itu, dan mencari tahu apakah John
menghantuinya.” Adam membuka tutup kotak kayu itu. “Ngomong-ngomong, ada lebih dari
dua puluh kesaksian orang yang telah melihat Edye berjalan-jalan di perairan sini, orang-
orang yang mendengarnya memanggil-manggil nama John.”
Adam mengeluarkan dua kawat panjang berbentuk L dari kotak itu dan memutar kedua
kawat itu di tangannya seperti senapan. Katie memandang terbelalak. “Apa yang bisa
kaulakukan dengan itu?”
“Menangkap hantu.” Melihat ekspresi Katie yang terkejut, Adam meringis. “Kau pernah
menggunakan kawat untuk mencari air? Kurasa tidak. Orang-orang biasa menggunakan ini
untuk mencari air, bahkan juga emas. Tapi alat ini juga bisa menangkap energi. Kalau
mendeteksi energi, alat ini akan bergetar tidak menunjuk ke bawah seperti kalau mencari
air.”
Adam mulai berjalan memutari pilar semen itu dengan sangat pelan sehingga air bahkan
tak beriak di sekitar kakinya. Tangannya memegang dua kawat itu, kepalanya menunduk
penuh konsentrasi.
Katie tak bisa membayangkan orangtuanya melakukan apa yang dilakukan John dan Edye
saat merasakan diri mereka dipenuhi cinta. Tidak, kalau pasangannya meninggal, itu
adalah sesuatu yang wajar, dan janda atau duda yang ditinggalkan meneruskan hidupnya.
Kalau dipikir-pikir, Katie tak pernah melihat Dat memberikan ciuman pada Mam. Tapi Katie
ingat bagaimana ayahnya selalu merangkul Mam sepanjang hari di hari pemakaman
Hannah: kadang-kadang ayahnya menghabiskan makanan dan tersenyum pada Mam seakan-
akan ibunya baru saja memberikan bulan pada ayahnya. Sejak dulu Katie diajari bahwa
nilai-nilai yang sama dan kehidupan sederhanalah yang menyatukan suami-istri—dan
setelah itu, cinta dan gairah ditunjukkan secara pribadi. Tapi siapa bilang kalau gairah itu
tidak muncul sebelumnya? Desahan napas tertahan di dada; bola api di dasar perutmu saat
ia mengelus lenganmu; suaranya terngiang di hatimu—apakah hal-hal itu tak bisa mengikat
pria dan wanita untuk selamanya juga?
Tiba-tiba Adam terdiam. Tangannya sedikit bergetar saat kawat yang dipegangnya
melonjak-lonjak naik-turun. “Ada sesuatu... di sini.”
Katie tersenyum. “Pilar beton.”
Bayangan kekecewaan melintas di wajah Adam begitu cepat sehingga Katie bertanya-tanya
apakah benar ia tadi melihat kekecewaan di wajah pria itu. Kawat itu mulai melonjak-
lonjak lebih kuat. Adam menarik dirinya dari tempat itu. “Kaupikir ini dibuat-buat?”
“Aku tidak—”
“Kau tak perlu berbohong padaku. Aku bisa melihatnya di wajahmu.”
Adam menyorongkan kawat itu padanya. “Pegang ini,” tantangnya. “Rasakan.”
Katie melingkarkan tangannya di pegangan yang hangat bekas tangan Adam. Ia pelan-pelan
melangkah ke tempat Adam tadi berdiri.
Awalnya hanya sebuah getaran yang menjalar di punggungnya. Lalu ia merasakan
kesedihan tak terhingga, menyelimutinya seperti jala.
61
Katie merasakan kawat itu ditarik-tarik, seakan-akan seseorang berdiri di ujung lain dan
memegangnya erat-erat seperti tali penyelamat. Katie menggigit bibir bawahnya,
berusaha bertahan, mengerti bahwa kegelisahan ini, energi yang tak terlihat ini, rasa sakit
ini—adalah hantu.
Adam menyentuh bahunya, dan Katie menangis. Ini terlalu berat—kesadaran bahwa
mereka yang mati mungkin masih ada di dunia; bahwa selama bertahun-tahun, saat ia
melihat Hannah, Katie ternyata tidak gila. Ia merasakan lengan Adam merangkulnya, dan
ia berusaha menjaga jarak, malu mengetahui dirinya menangis di dada pria itu dan
membasahi kemejanya. “Ssst,” kata Adam, seakan-akan sedang menenangkan binatang
yang ketakutan. “Semua baik-baik saja.”
Tapi semua tak baik-baik saja. Apakah Hannah membawa putus asa seperti yang dirasakan
Katie di Edye Fitzgerald? Apakah ia masih memanggil-manggil Katie untuk
menyelamatkannya?
Bibir Adam terasa hangat di telinga Katie. “Kau merasakannya,” bisiknya terpesona, dan
Katie mengangguk di telapak tangan Adam yang memegang pipinya.
Katie merasakan getaran itu lagi, tapi kali ini getaran itu datang dari dalam dirinya. Mata
Adam bersinar, warna biru yang kau lihat saat kau berputar-putar di ladang jagung sampai
kau pusing dan jatuh terlentang memandang langit. Dengan jantung berdegup kencang dan
kepala berputar, Katie memikirkan Edye dan John Fitzgerald. Ia membayangkan seseorang
yang begitu mencintainya, sehingga mau menghabiskan keabadian memanggil-manggil
namanya. “Katie,” bisik Adam, dan menundukkan kepala.
Katie sudah pernah dicium sebelumnya; ciuman kering dan keras yang rasanya membuat
bibirnya memar. Adam mengusapkan mulutnya dengan lembut ke mulut Katie, sehingga
bibir Katie terasa menggelenyar dan lehernya mendamba. Tanpa sadar Katie mendekatkan
tubuhnya ke Adam. Bibir Adam terasa seperti kopi dan permen karet; ia memeluknya
dengan lembut seakan-akan Katie adalah barang berharga yang mudah pecah.
Tiba-tiba Adam menarik dirinya. “Ya Tuhan,” katanya, mundur satu langkah. “Oh, Tuhan.”
Katie menyelipkan seuntai rambutnya ke belakang telinga dan wajahnya merona,
menunduk malu. Apa yang telah merasukinya? Ini bukan tingkah laku yang pantas untuk
gadis Amish seperti dirinya. Tapi, bukankah sekarang ia bukan gadis Amish lagi?
Mengenakan baju yang dibelikan Jacob untuknya; dengan rambutnya terurai bebas gaya
orang Inggris, ia merasa seperti orang yang berbeda. Seseorang yang mungkin percaya pada
hantu. Seseorang yang mungkin percaya pada cinta pada pandangan pertama, pada cinta
yang kekal hingga selamanya.
Akhirnya, setelah mengumpulkan keberaniannya, Katie mendongak. “Maafkan aku.”
Pelan-pelan, Adam menggeleng. Mulutnya, mulutnya yang indah, sudut-sudutnya
melengkung ke atas. Ia mengangkat telapak tangan Katie dan mencium bagian tengah
telapaknya, sebuah tanda mata untuk dipegang erat dan dimasukkan ke kantong.
“Jangan,” katanya, dan memeluk Katie lagi.

Dengan marah Ellie masuk ke kamar yang dia tempati bersama Katie, membanting pintu di
belakangnya.
“Apa dia sudah pergi?”
Pertanyaan itu menghentikan langkah Ellie. “Siapa?”
“Detektif itu. Wanita yang datang dengan mobil tadi.”
Ya Tuhan, Ellie benar-benar lupa tentang Lizzie Munro yang saat ini sedang berkeliling di
pertanian. “Sejauh yang kutahu dia sedang di luar menanyai kawan ternak,” tukas Ellie.
“Duduk, Katie Fisher, kau dan aku akan bicara.”
Terkejut, Katie bangun dari ranjangnya dan duduk. “Ada apa?”
“Ini yang kenapa: penyelidik untuk kejaksaan itu sedang ada di bawah mencari komoditas
berharga—berupa fakta—dari teman-teman dan keluargamu. Dan aku, yang sudah di sini
selama seminggu, bahkan tak bisa mendapatkan jawaban jujur darimu.” Katie membuka
mulutnya, tapi Ellie mengangkat tangan menyuruhnya diam. “Jangan. Jangan pernah
berpikir kau sudah mengatakan yang sebenarnya padaku. Kau tahu bayi yang tidak
kaulahirkan itu? Pacarmu Samuel baru saja bilang padaku, kau tidak tidur degnannya saat
membuatnya.”
Mata Katie membelalak, sangat lebar, sehingga pupil birunya dilingkari cincin putih. “Yah,
jelas tidak. Aku tak akan melakukan itu sebelum mengucapkan sumpah pernikahan.”
“Tentu saja tidak,” kata Ellie sarkastik. “Jadi kau melahirkan anak saat masih perawan.”
“Aku tidak—”
“Kau tidak punya bayi! Kau tidak berhubungan seks!” Suara Ellie meninggi, bergetar. “Demi
Tuhan, Katie, bagaimana kau berharap aku bisa membelamu?” Ellie berdiri di depan Katie,
kemarahannya tumpah ke gadis itu seperti hawa panas menyengat.
62
“Pacarmu di luar sana patah hati dan putus asa karena mengetahui bahwa ia bukan satu-
satunya yang ada di hatimu. Kau menundukkan kepala dan bilang ya, ya, saat uskup
menyatakan bahwa kau mungkin sudah melakukan hubungan seksual. Tapi kau duduk di sini
seperti sebongkah semen, tak mau menyerah sedikit pun untuk memberikan sedikit saja
informasi yang bisa kugunakan untuk membelamu.”
Katie mundur menerima semburan kemarahan Ellie. Ia menyilangkan lengannya di depan
perut dan berpaling dari Ellie. “Aku mencintai Samuel, aku benar-benar mencintainya.”
“Dan siapa lagi, Katie? Siapa lagi?”
“Aku tak tahu.” Sekarang Katie tersedu-sedu. Tangannya naik menutupi wajahnya; kapp-nya
lepas dan jatuh ke lantai. “Aku tak tahu. Aku tak tahu siapa dia!”
“Demi Tuhan, kita sedang bicara tentang partner seksual—bukan sereal macam apa yang
kau makan saat sarapan seminggu lalu. Itu bukan sesuatu yang mudah dilupakan!”
Katie meringkuk seperti bayi di ranjang, menangis dan menggoyang-goyangkan tubuhnya ke
depan dan ke belakang. “Apa yang tidak kaukatakan padaku?” tanya Ellie. “Apa kau mabuk
saat itu?”
“Tidak.”
“Narkoba?”
“Tidak!” Katie membenamkan wajahnya di bantal. “Aku tak ingat siapa yang
menyentuhku!”
Tangis Katie menekan dada Ellie, sangat menyesakkan sehingga ia hampir-hampir tak bisa
bernapas. Ellie mengerang, menyerah, lalu duduk di ranjang dan merangkul gadis itu,
mengelus rambutnya dan menghiburnya.
Dalam rangkulannya Katie terasa seperti anak-anak. Seorang bayi besar yang telah
menjatuhkan vas bunga dengan bolanya, tak pernah tahu bahwa ia telah melalukan sesuatu
yang bisa membuat dunia mengamuk. Seorang anak besar, tapi tetap saja bingung,
membutuhkan, dan sangat menginginkan pengampunan.
Kecurigaan mulai merambat naik dalam diri Ellie, memenuhi hati, paru-paru, dan
pikirannya dengan kemarahan yang kuat dan tiba-tiba. Ia berusaha mengendapkan rasa itu,
menenangkan dirinya sendiri sebelum ia mengangkat dagu Katie. “Apa kau diperkosa?”
Katie memandang Ellie, matanya yang bengkak menutup. “Aku tak ingat,” bisiknya.
Untuk pertama kalinya sejak bertemu Katie, Ellie percaya apa yang dikatakan gadis itu.

“Oh, sialan,” Lizzie mengangkat sepatu pantofelnya dan memandang ke lumpur dan pupuk
kandang yang menempel di solnya. Pemerintah membayarnya terlalu murah untuk
melakukan interograsi ini, dan ia tak peduli kalau Aaron Fisher pergi ke neraka. Lizzie
mengangkat kepalanya dan menghela napas, lalu mulai menyeberangi ladang lagi.
Melihatnya mendekat, Aaron, menghentikan keledainya.
“Kalau kau mencari jalan pulang,” kata Aaron dengan bahasa Inggris beraksen, “ke arah
sana.” Ia menunjuk ke jalan utama.
Lizzie menyeringai marah padanya. Beruntung sekali ia bertemu dengan pria Amish yang
menganggap dirinya pelawak. “Terima kasih, tapi aku sudah menemukan apa yang kucari.”
Perkataan Lizzie itu menghentikan Aaron. Lizzie membiarkannya diam sesaat,
membayangkan semua bukti mengerikan yang mungkin muncul dalam investigasi kasus
pembunuhan. “Apa itu, detektif?”
“Anda.” Lizzie menaungi matanya. “Apa Anda punya waktu sebentar?”
“Aku punya banyak waktu, semuanya digunakan untuk tujuan yang benar.” Aaron
menggerakkan kekang keledainya, dan Lizzie berlari kecil di sampingnya hingga petani itu
berhenti lagi.
“Mau membagi waktumu denganku?”
“Waktuku untuk menjalankan pertanian,” kata Aaron. “Sekarang permisi—”
“Kurasa Anda mungkin bisa menyisihkan beberapa detik yang berharga itu agar putri Anda
tidak masuk penjara, Mr. Fisher.”
“Putriku tak akan masuk penjara,” kata Aaron keras kepala.
“Bukan wewenangmu memutuskan itu.”
Petani itu melepaskan topinya. Tiba-tiba ia terlihat lelah, dan jauh lebih tua daripada yang
diperkirakan Lizzie sebelumnya. “Bukan wewenang Anda untuk memutuskannya juga, tapi
semua itu keputusan Tuhan. Aku percaya pada keputusanNya, sebagaimana juga putriku.
Sekarang, selamat siang.” Ia menggerakan kekang, dan keledai-keledainya melonjak maju
bersamaan, bajak membelah tanah.
Lizzie memandanginya pergi. “Sayang sekali Tuhan tidak akan duduk di bangku juri,”
gumamnya, dan lalu mulai berjalan kembali ke arah rumah pertanian.

Ellie selesai mengelap rempah-rempah bumbu acar yang mengotori meja dapur. Udara di
dapur terasa sangat panas—Ya Tuhan, ia akan memberikan apa saja untuk mendapatkan AC
atau kipas angin—tapi ia sudah berjanji pada Sarah ia akan bersih-bersih, karena ia
melewatkan sebagian besar pekerjaan mengalengkan acar saat menghibur Katie tadi.
63
Dan apa yang dia dapat dari konfrontasinya tadi? Misteri mulai terkuak dalam pikirannya,
setiap potongan teka-teki mulai jatuh ke tempatnya masing-masing—amnesia selektif Katie,
penyangkalannya akan kehamilannya dan kelahiran bayi itu, ekspresi terpana Samuel saat
mereka bicara tadi. Untuk pertama kalinya sejak datang ke pertanian ini, Ellie tidak merasa
jijik bila teringat dugaan pembunuhan bayi yang dilakukan Katie, sekarang ia merasa iba.
Sebagai pengacara pembela, ia pernah membela klien yang melakukan kejahatan
mengerikan, tapi secara instingtif ia bekerja lebih keras saat ia bisa membuat dirinya
mengerti apa yang mendorong kliennya itu melakukan kejahatan. Wanita yang membunuh
suaminya saat tidur, tidak terlilhat seburuk monster saat kau mempertimbangkan fakta
bahwa suaminya telah memukulinya selama tiga puluh tahun. Pemerkosa dengan tato
swastika di pangkal hidungnya tidak terlihat terlalu mengerikan saat kau memikirkan bahwa
ketika anak-anak dia menjadi korban pelecehan seksual ayah tirinya. Dan gadis Amish yang
membunuh bayinya memang tak bisa diampuni, tapi jelas bisa dipahami, jika ayah bayi itu
telah memerkosanya.
Di lain pihak, itu juga bumerang bagi Katie. Terkait dengan masalah motif, sangata masuk
akal bagi seorang wanita muda untuk membunuh bayi yang diperolehnya dari hasil
pemerkosaan. Itu artinya—tak peduli seberapa besar Ellie bersimpati pada Katie, tak peduli
betapa ia ingin Katie diperiksa psikiater—ia tak ingin menyebutkan bahwa Katie diperkosa
sebagai dasar pembelaannya.
Ellie memeras spons cuci di atas bak cuci. Ia berpikir apakah Katie sekarang akan mau
memercayainya. Ia berpikir apa tidak sebaiknya ia pergi ke atas lagi, sehingga Katie tidak
terbangun sendirian.
Mendengar suara pintu dibuka di belakangnya, Ellie mematikan kran dan mengelap
tangannya ke celemek lebar yang ia pinjam dari Sarah. “Aku senang kau kembali,” kata
Ellie, membelakangi pintu.
“Wah, aku tidak menyangka.”
Ellie berbalik cepat dan melihat Lizzie Munro berdiri di pintu, bukannya Sarah. Mata
penyelidik itu mengamati rambut Ellie yang basah oleh keringat hingga ke keliman
celemeknya.
Berkacak pinggang, Ellie menegakkan tubuh, berusaha terlihat berwibawa, meskipun
kostumnya tidak tepat. “Kau seharusnya melepaskan garis pembatas polisi itu. Ada orang-
orang di sini yang berusaha melanjutkan hidup.”
“Itu bukan pembatasku. Telepon saja polisi negara bagian.”
“Ayoalh, Detektif.”
Lizzie mengangkat bahu. “Sejauh yang kutahu, mereka seharusnya menurunkannya sejak
dulu. Kami sudah punya semua yang kami perlukan.”
“Kau pikir begitu.”
“Kasus ini akan dimenangkan berdasarkan bukti forensik, Ms. Hathaway. Bersihkan asap dan
cermin yang menyesatkan, maka terlihat ada mayat bayi yang tertinggal.”
Ellie tersenyum manis. “Kau terdengar seperti jaksa.”
“Risiko pekerjaan.”
“Kalau begitu menarik sekali, hanya untuk kasus semudah ini kau merasa perlu
mewawancarai keluarga Fisher.”
“Bahkan di sini di bawah bayangan Philadelphia, kami tahu bagaimana berjaga-jaga dalam
sebuah investigasi.”
Ellie melangkah ke depan. “Dengar, kalau kau pikir ini tentang mengadu operasi hukum kota
besar melawan penuntu umum kota kecil, kau bisa bilang pada George sekarang.”
“Katakan saja sendiri pada George. Aku bukan kurir.” Lizzie melirik ke atas. “Aku mau
bicara pada Katie.”
Ellie terbahak. “Tentu saja kau mau bicara dengannya. Kalau aku, aku ingin margarita dan
AC.” Ia mengangkat bahu. “Kau sudah tahu saat kau datang ke sini kalau aku tak akan
membiarkanmu mendekati Klienku. Dan aku yakin George akan mengerti saat kau bilang
padanya kau tak bisa mendapatkan pernyataan dari terdakwa atau ayahnya.”
Mata Lizzie melebar. “Bagaimana kau—”
“Keuntungan orang dalam,” kata Ellie sok.
Detektif itu mulai berjalan ke pintu. “Aku bisa melihat bagaimana tempat ini mulai
memengaruhimu,” katanya menunjuk ke celemek Ellie. “Maaf mengganggu... uh, operasi
kota besarmu.”
Ellie memandang ke pintu saat menutup di belakang Lizzie. Lalu ia melepas celemeknya,
melipatnya rapi dan meletakkannya di sandaran kursi dan pergi melihat kliennya.

Levi menjulurkan leher sekali lagi untuk meyakinkan bahwa Aaron dan Samuel masih sibuk
di ladang, lalu mengusapkan tangannya ke sepanjang kap mobil Lizzie Munro. Mobil itu
semerah apel yang tumbuh di sebelah rumah Bibi Frieda, dan semulus air terjun kecil di
dam sungai yang mengalir di tanah pertanian Fisher. Logamnya terasa hangat disentuh. Levi
memejamkan mata dan membayangkan duduk di belakang kemudi, menekan gas dalam-
dalam, terbang menyusuri jalan raya.
“Pernah lihat yang seperti ini sebelumnya?”
64
Suara itu hampir membuat Levi terlompat saking kagetnya. Levi berbalik, mulutnya
gemetaran henda minta maaf, dan ternyata dirinya berhadapan dengan detektif wanita
yang datang pada hari mereka menemukan mayat bayi itu. “Mustang convertible tahun '66,
salah satu yang tersisa dari jenis yang hampir musnah.” Detektif itu meletakkan tangannya
di bekas tangan Samuel, menepuknya seakan-akan mobil itu punya perasaan, seakan-akan
mobil itu seperti salah seekor kuda di pertanian. “Mau lihat mesinnya?”
Detektif itu mengulurkan tangan ke dalam mobil dan memutar kunci, lalu tiba-tiba kap
mobil terbuka. Ia lalu membuka kap dn memasang penopangnya, memperlihatkan bagian
dalamnya yang berputar dan bekerja. “Mesin V8, dengan transmisi kecepatan manual. Si
manis ini bisa terbang.” Ia tersenyum pada Levi. “Kau pernah bepergian lebih dari seratus
mil per jam?”
Sambil terbelalak, Levi menggeleng.
“Yah, kalau kau ketemu polisi—bilang aku juga belum pernah.” Ia mengedipkan sebelah
mata ke Levi, lalu mengulurkan tangan ke dalam lagi. Mobil langsung diam, meninggalkan
jejak asap tipis di belakang.
Detektif itu nyengir ke Levi. “Aku tahu kau bukan sopirnya—jadi apa yang kaulakukan di
sini?”
Levi mengangguk ke arah ladang. “Aku bekerja dengan Samuel.”
“Oh, yeah?”
“Dia sepupuku.”
Alis detektif itu naik. “Kalau begitu kau juga pasti kenal Katie cukup baik.”
“Ja. Setiap orang tahu mereka akan menikah tak lama lagi. Mereka sudah pacaran selama
setahun.”
“Apa yang membuat Samuel tak segera meminangnya?”
Levi mengangkat bahu. “Pertama, sekarang belum musim menikah. Nanti November,
setelah panen. Tapi itu juga baru bisa terjadi kalau Samuel bisa menjaga agar Katie tidak
membuat masalah dengan bertengkar dengannya.”
“Katie?”
“Dia kadang membuat Samuel sangat gusar.” Perlahan-lahan Levi menggerakkan jempolnya,
berharap detektif itu tak melihat, dan menyentuh sisi mobil itu lagi.
“Mungkin seharusnya mereka cari oang lain untuk dijadikan pacar,” saran sang detektif.
“Itu akan semakin buruk bagi Samuel. Dia sudah mengejar Katie sejak lama.”
Detektif itu mengangguk serius. “Kurasa orangtua Katie juga mengharapkan Samuel jadi
menantu mereka.”
“Tentu.”
“Bukankah mereka akan kecewa kalau Samuel dan Katie putus/”
Levi menyipitkan mata. “Putus?”
“Berpisah. Mulai menemui orang lain.” Detektif itu menghela napas. “Berpacaran dengan
orang lain.”
“Yah. Sarah berharap pernikahan akan terjadi musim gugur nanti. Dan, Aaron dia pasti
menyesal.”
“Sepertinya Aaron mungkin akan marah dan bukannya menyesal. Sepertinya dia ayah yang
keras.”
“Kau tak kenal dia,” kata Levi. “Bahkan kalau Katie tak mau menikahi Samuel, Aaron tak
akan memutuskan hubungan dengannya seperti yang ia lakukan pada Jacob.”
“Jacob,” ulang detektif itu.
“Ja. Kau tahu. Kakak Katie.”
“Jacob. Tentu saja.” Detektif itu tersenyum pada Levi dan membuka pintu mobil, masuk
dan menyalakan mesin. Levi terkejut, ketika dektetif itu mengulurkan tangan padanya.
“Anak muda, pertemuan denganmu ternyata menyenangkan.” Mereka berjabat tangan, lalu
Levi mengamatinya pergi dengan Mustang V8-nya, yang semakin cepat dan menjauh.

Pada tengah malam, Katie merasakan ada tangan yang membekap hidung dan mulutnya. Ia
meronta-ronta, untuk sesaat lupa akan keberadaannya, Katie memegang lengan yang
membekapnya dan menggigit jari tangan itu. Ia mendengar makian pelan, lalu tangan itu
menghilang—dan langsung digantikan tekanan lembut dan mendesak dari mulut seseorang
di atas mulutnya.
Saat itu, rasa mengantuk yang menyelimutinya menghilang dan ia sadar sedang berada di
apartemen Jacob, di sofanya. Tubuh Adam menutupi tubuhnya seperti selimut. Pria itu
menarik diri, menempelkan dahinya ke Katie. “Aku tak percaya kau menggigitku seperti
itu.”
Di kegelapan, Katie tersenyum. “Aku tak percaya kau menakutiku seperti itu.” Katie
mengusapkan tangannya ke pipi Adam, kasar karena jenggotnya mulai tumbuh. “Aku
senang kau memutuskan untuk tinggal.”
Katie bisa melihat kilatan gigi Adam yang tersenyum. “Aku juga,” katanya.
Adam menunda kepergiannya ke New Orleans selama seminggu. Dan Katie telah mengarang
cerita tentang menginap di rumah Mary Esch, padahal ia berencana datang ke State
College. Bahkan ibunya tak tahu kalau kali ini ia menginap di rumah Jacob.
Jari Adam mengelus leher Katie hingga ke tulang selangka. “Seharian aku ingin melakukan
ini. Apa kau tahu kakakmu bahkan tak pergi ke kamar mandi sejak jam empat sore hingga
sembilan malam tadi?”
Katie terkikik. “Aku yakin, dia pergi.”
“Tidak. Aku tahu, karena terakhir kalinya aku menyentuhmu, saat itu setelah makan
siang.” Adam berbaring di sisinya, berbagi bantalnya, sangat dekat sehingga napasnya
menyentuh mulut Katie.
65
Katie mencondongkan tubuh ke depan, agar bisa mencium Adam. Ini baru baginya,
memulai lebih dulu. Ia masih merasa malu setiap kali mencium Adam, dan bukannya
membiarkan pria itu menciumnya. Tapi sekali, saat ia mencium Adam, pria itu meletakkan
tangan Katie ke dadanya, dan Katie merasakan jantung Adam yang berdegup keras. Aneh
sekali, bahwa dia bisa mempunyai kekuatan atas diri Adam seperti itu.
Adam menindih tubuh Katie dan membungkuk di atasnya, rambutnya terurai berjalin
dengan rambut Katie. Katie membiarkan pikirannya mengalir seperti sungai, membiarkan
lengannya menggapai dan meraih. Ia merasakan tangan Adam bergerak di bahunya, turun
ke sisi tubuhnya.
Lalu kedua tangan itu sudah berada di bawah kausnya. Telapak tangan Adam panas
membakar seperti bara di kulit payudaranya. Mata Katie membuka, dan ia mulai
menggelengkan kepala. “Adam,” bisiknya, menjambak rambut pria itu. “Adam! Tak
boleh!”
Sekarang jantung Katie memukul-mukul dadanya, dan perutnya sakit karena rasa takut.
Pemuda Amish tak melakukan ini, setidaknya tak satu pun dari mereka yang pernah ia
kenal. Katie teringat Samuel Stolzfus, dengan matanya yang serius dan senyumnya yang
lamban—Samuel, yang mengantarnya pulang dari menyanyi himne Minggu lalu dan
wajahnya memerah saat ia memegang tangan Katie untuk membantunya turun dari kereta
kuda.
Adam bicara, gemetaran di lekuk lehernya. “Kumohon, Katie. Biarkan aku melihatmu, aku
akan melakukan apa pun yang kauinginkan.”
Terlalu takut untuk bergerak, Katie ragu, tapi akhirnya menyerah. Adam menaikkan
kausnya, memperlihatkan pusarnya, tulang iganya, dan putingnya yang merah jambu. “Kau
lihat, kan,” bisik Adam, “tidak ada yang sederhana pada dirimu.”
Ia menurunkan kembali kaus Katie dan memeluknya. “Kau gemetaran.”
Katie membenamkan wajahnya di leher Adam. “Aku... Aku belum pernah melakukan ini.”
Adam mencium tangan Katie yang kapalan. Itu membuat Katie merasa dihargai, seakan-
akan ia adalah seorang putri bukan gadis petani. Lalu Adam duduk, melepaskan diri dari
pelukan Katie.
Katie mengerutkan kening, mengira ia telah melalukan kesalahan: berpikir kalau ia belum
cukup baik. “Kau mau ke mana?”
“Aku sudah berjanji. Aku bilang aku akan melakukan apa pun yang kauinginkan kalau kau
membiarkanku melihatmu. Kurasa sekarang kau ingin aku pergi.”
Katie duduk, bersila, dan merengkuh Adam. “Bukan itu yang kuinginkan,” katanya.

Hari ini adalah hari yang panjang dan melelahkan bagi Samuel, yang bekerja bersama Aaron
di ladang. Sepanjang perjalanan pulang, ia memandangi Silver, kudanya berderap pelan dan
ia tidak mendengarkan ocehan Levi. Ia tak bisa berhenti memikirkan Katie, tentang apa
yang mungkin sudah dilakukan gadis itu. Yang ia inginkan saat ini adalah makanan panas,
mandi air panas, dan melupakan semuanya dengan tidur.
Sesampai di rumah orangtuanya, Samuel melepaskan kuda dari kereta dan menggiring Silver
ke kandang. Ada kereta kuda lain di parkir di halaman; mungkin seseorang mengunjungi
ibunya. Menggertakkan gigi karena membayangkan bahwa ia masih harus bersikap sopan
pada tamu ibunya, Samuel melangkah berat ke beranda depan, di sana ia berdiri sesaat
menjernihkan pikiran sebelum masuk ke rumah.
Ia sedang memandang ke jalan raya, melihat mobil melintas dengan lampu yang terang dan
mesin yang berisik, ketika pintu depan terbuka di belakangnya. Ibunya berdiri di ambang
pintu, diselimuti sinar kuning lembut yang terpancar dari dalam rumah. “Samuel! Apa yang
kaulakukan di luar?” Ibunya meraih lengannya dan menyeret Samuel ke dapur, di sana Uskup
Ephram dan Lucas sang pengurus gereja duduk dengan cangkir kopi mengepul di depan
mereka. “Kami menunggumu sejak tadi,” omel ibu Samuel. “Kadang aku mengira kau ini
pulang lewat Philadelphia dulu.”
Samuel tersenyum, pelan. “Ja, susah sekali mengalihkan keinginan Silver untuk masuk ke
gerbang jalan tol.”
Ia duduk mengangguk menyapa dua pria itu yang sepertinya tak sanggup menatap matanya.
Ibunya permisi dan sesaat kemudian samuel mendengar langkah berat kakinya menaiki
tangga. Menangkupkan jarinya di depan tubuh, Samuel berusaha bersikap tenang, tapi
perutnya bergejolak seperti tanah yang dibajak. Ia telah mendengar tentang bagaimana
rasanya ditanyai tentang dosamu, tapi belum pernah mengalaminya sendiri. Kalau dilihat,
Uskup dan pengurus gereja sama tak sukanya melakukan ini seperti Samuel.
Uskup berdeham. “Kami tahu bagaimana rasanya jadi muda,” Ephram mulai bicara. “Ada
beberapa godaan...” Lalu suaranya menghilang, terurai di pinggirnya seperti salah satu
gulungan benang ibu Samuel.
66
Samuel memandang Lucas dan Ephram bergantian. Ia bertanya-tanya apa yang telah
dikatakan Katie pada mereka. Ia bertanya-tanya apakah Katie menceritakan apa pun pada
mereka.
Katie, yang untuknya Samuel bersedia mengorbankan nyawa; yang untuknya Samuel rela
diasingkan selama enam minggu; orang yang ingin dipilih Samuel untuk menghabiskan sisa
hidupnya, memenuhi rumah mereka dengan anak-anak dan melayani Tuhan. Katie, yang
telah melahirkan seorang bayi.
Samuel menunduk. Tak lama lagi, mereka pasti akan memintanya ke gereja untuk
meluruskan semua hal, dan kalau mereka bertanya padanya, ia akan melakukan sesuai yang
diharapkan. Kau tidak boleh mendebat apabila Uskup telah menetapkan dosa atas dirimu;
itu tak pantas. Tapi tiba-tiba Samuel sadar bahwa keragu-raguan dalam sikap Ephram yang
canggung ini adalah karunia. Kalau Samuel bicara lebih dulu, kalau Samuel bicara sekarang
—dosa itu tidak akan ditimpakan padanya.
“Lucas, Ephram,” katanya, dengan suara mantap yang rasanya seperti bukan keluar dari
mulutnya. “Aku ingin menikahi Katie Fisher. Aku akan mengatakan padamu, dan para
pendeta, serta semua saudara-saudara kita kalau ini yang kauinginkan di Gemeesundaag
mendatang.”
Senyum lebar membelah janggut putih tebal Ephram. Ia berpaling ke pengurus gereja,
mengangguk dan puas.
Samuel mengeratkan genggaman jarinya ke lutut, hingga terasa sakit. “Aku ingin menikahi
Katie Fisher,” ulangnya. “Dan aku akan menikahinya. Tapi kalian harus tahu sesuatu
sekarang—aku bukanlah ayah bayi itu.”

Delapan
ELLIE
TEMPAT favoritku di pertanian ini adalah ruang susu. Karena adanya tangki penyimpanan
susu, tempat ini teatp dingin, meskipun pada siang hari yang terik. Baunya seperti es krim
dan musim dingin, dinding putih dan lantainya yang mengkilat membuat tempat ini menjadi
tempat yang bagus untuk duduk dan berpikir. Begitu inverter telah mengisi baterai untuk
laptopku, aku membawa komputerku kemari untuk bekerja.
Di situlah Leda menemukanku saat ia memutuskan untuk menjengukku setelah sepuluh hari
aku resmi menjadi penghuni rumah Fisher. Saat aku duduk mengetik dengan kepala
tertunduk, benda pertama yang terlihat olehku adalah sandal merek Clark-nya—benda yang
sudah tak kulihat selama beberapa waktu. Wanita Amish yang tidak mengenakan sepatu
bot, mengenakan sepatu kets terjelek yang pernah kulihat selama hidupku, sepatu yang aku
yakin bahkan tak dijual di toko kelontong. “Sudah waktunya,” kataku, tak mengangkat
kepala.
“Jangan begitu, aku tak bisa datang cepat dan kau tahu sebabnya,” kata Leda.
“Aaron akan terbiasa.”
“Bukan karena Aaron. Tapi kau. Kalau aku tak memberi kesempatan padamu untuk
membiasakan diri, kau pasti merangkak naik bagasi mobilku dan kabur seperti pelarian.”
Aku mendengus. “Yah, kau sekarang pasti senang karena aku sekarang tidak hanya terbiasa,
aku sudah terjebak lumpur, hampir ditabrak kereta kuda, dan nyaris dikencingi sapi.”
Leda tertawa lalu bersandar di wastafel stainless steel. “Aku berani bertaruh Marcia Clark
pun tak punya detail seperti itu dalam bukunya.”
“Hebat. Buku bestseller yang akhirnya kutulis akan dibungkus dengan Farmer Almanac.”
Leda tersenyum. “Aku dengar Katie sudah sehat?”
Aku mengangguk. Kami sudah pergi ke dokter untuk pemeriksaan kemarin, dan dokter
kandungan menyatakan Katie sembuh dengan baik. Secara fisik, dia akan baik-baik saja.
Secara mental—yah itu belum jelas.
Aku menutup file yang sedang kukerjakan dan mengeluarkan disket dari drive-nya. “Kau tak
bisa datang di waktu yang lebih tepat lagi. Tebak siapa yang bakal jadi paralegalku?”
Leda mengangkat tangan untuk menolakku. “Jangan berpikir tentang itu, Sayang. Yang aku
tahu tentang hukum adalah kepemilikan merupakan sembilan sepersepuluhnya.”
“Tapi kau tahu bagaimana menggunakan komputer. Kau biasa mengirim e-mail padaku.” Aku
menghela napas, memikirkan berapa lama lagi sebelum aku bisa mengakses emailku. “Aku
membutuhkanmu untuk mengirimkannya ke pengadilan tinggi. Aku tak perlu mengatakan
kalau printer laserku tidak bekerja.”
“Aku terkejut kau bisa menggunakan komputermu di sini. Aaron pasti kesal sekali ya?”
“Uskup mengambil alih keputusan itu. Dia sangat supportif terhadap Katie.”
“Ephram orang yang baik,” kata Leda pelan, pikirannya melayang. “Dia sangat baik padaku
saat aku diasingkan. Sangat berarti bagi Aaron dan Sarah saat dia datang ke pemakaman.”
Aku mematikan komputer, melepaskannya dari inverter, dan berdiri. “Mengapa mereka
melakukannya? Memakamkan bayi itu, maksudku?”
67
Leda mengangkat bahu. “Kaena bayi itu tanggung jawab mereka.”
“Itu memang bayi Katie.”
“Kebanyakan orang Amish pasti akan menyelenggarakan upacara pemakaman untuk bayi
yang meninggal saat lahir.” Leda terdiam, lalu memandangku. “Itulah yang tertulis di nisan
—Meninggal saat lahir. Kurasa itulah satu-satu cara Aaron dan Sarah bisa menerima apa yang
terjadi.”
Aku memikirkan tentang gadis yang mungkin telah diperkosa, lalu memblokir kejadian itu
dan efeknya—termasuk kehamilan—dari pikirannya. “Menurut petugas medis, bayi itu tidak
meninggal saat lahir, Leda.”
“Menurut jaksa, Katie membunuh bayi itu. Aku juga tak percaya itu.”
Akku melangkahkan sepatu ketsku sepanjang lantai semen ruang susu, merenungkan
seberapa besar aku bisa memercayai Leda. “Dia mungkin saja melakukannya,” kataku hati-
hati. “Aku meminta psikiater untuk datang dan bicara dengannya.”
Leda berkedip. “Psikiater?”
“Katie tidak hanya menyangkal kehamilan dan kelahiran bayi itu—tapi juga terjadinya
pembuahan bayi itu. Aku mulai bertanya-tanya apakah dia telah diperkosa.”
“Samuel pemuda yang sangat baik, dia—“
“Bayi itu bukan bayi Samuel. Dia belum pernah berhubungan seks dengan Katie.” Aku
melangkah maju. “Dengar, ini tidak ada hubungannya dengan pembelaan. Bahkan, kalau
faktanya Katie diperkosa, itu memberinya motif emosional untuk menyingkirkan bayinya.
Aku cuma berpikir Katie mungkin butuh seseorang yang bisa diajak bicara—seseorang yang
lebih berkualifikasi dibandingkan aku. Bisa saja, Katie masih bertemu dengan pria itu tiap
hari, dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana hal itu memengaruhinya.”
Leda terdiam sesaat. “Mungkin pria itu bukan Amish,” kata Leda akhirnya.
Aku memutar pandanganku. “Mengapa tidak? Samuel mungkin baik, tapi itu tidak berarti
tidak ada pemuda Amish di luar sana yang terbawa nafsu dan memaksa Katie melakukan
sesuatu yang tidak ia inginkan. Selain itu, aku bisa menghitung dengan satu tanganku,
jumlah orang Inggris yang berbicara pada Katie sejak aku di sini.”
“Sejak kau di sini,” ulang Leda.
Leda bergerak gelisah di duduknya, pipinya memerah karena gugup. Sudah jelas tinggal di
pertanian membuat pikiranku beku, atau aku pasti sudah menyadari bahwa dengan seorang
bibi yang diasingkan, Katie mungkin punya lebih banyak akses ke orang dan tempat-tempat
lain dibandingkan kebanyakan gadis Amish. “Apa yang belum kauceritakan padaku?” kataku
pelan.
“Sekali sebulan dia pergi ke State College naik kereta api. Ke universitas. Sarah tahu
tentang itu, tapi mereka berdua bilang pada Aaron bahwa Katie datang mengunjungiku. Aku
samaran mereka, dan karena Aaron tak mungkin datang ke rumahku untuk mengecek
putrinya, aku samaran yang bagus.”
“Ada apa di univeritas?”
Leda menghela napas pelan. “Kakaknya.”
“Bagaimana mungkin kau mengharapkanku membela Katie kalau tak seorang pun mau
bekerja sama?” Aku meledak marah. “Demi Tuhan, Leda, aku sudah di sini hampir dua
minggu, dan tak seorang pun memberitahu Katie punya kakak yang ia kunjungi sebulan
sekali?”
“Aku yakin itu tak disengaja,” Leda terburu-buru menjelaskan. “Jacob diasingkan, seperti
aku, karena dia ingin meneruskan sekolahnya. Aaron marah, dan berkata kalau Jacob
meninggalkan gereja, maka ia bukan putranya lagi. Namanya tidak boleh disebutkan di
rumah itu.”
“Bagaimana dengan Sarah?”
“Sarah seorang istri Amish. Dia tunduk pada kemauan suaminya. Dia tak pernah lagi
bertemu dengan Jacob sejak putranya pergi enam tahun lalu—tapi dia diam-diam
mengirimkan Katie sebagai utusannya sekali sebulan.” Leda terlompat ketika mesin
pengaduk susu otomatis menyala, mengaduk susu di tangki. Ia mengeraskan suaranya untuk
mengatasi deruman baterai yang menyalakan pengaduk itu. “Setelah Hannah, Sarah tak
bisa lagi punya anak. Lagi pula ia sempat mengalami beberapa kali keguguran di antara
kelahiran Katie dan Jacob. Dan ia tak bisa membayangkan akan kehilangan Jacob seperti ia
telah kehilangan Hannah. Dan secara tidak langsung, ia memang tak kehilangan putranya
itu.”
Aku membayangkan Katie naik kereta api ke State Collage sendirian, mengenakan kapp-
nya, bajunya berpeniti dan celemek, menarik pandangan orang-orang. Aku membayangkan
wajahnya yang polos tak berdosa menonjol di pesta mahasiswa. Aku membayangkan dia
berjuang melepaskan diri dari tangan mahasiswa yang berusaha meraba-raba, mahasiswa
yang di usia sembilan belas tahun tahu lebih banyak tentang dunia dibandingkan Katie. Aku
bertanya-tanya apakah Jacob tahu Katie hamil: apakah ia bisa memberitahuku siapa ayah
bayi itu. “Aku harus bicara dengannya,” kataku, memikirkan mana yang lebih cepat, naik
kereta atau menyetir sendiri.
68
Lalu aku mengerang. Aku tak bisa pergi; aku sudah menyuruh Coop datang kemari sore ini
untuk mewawancarai Katie.
Selama sepuluh hari ini yang kupelajari adalah bahwa cara hidup Amish sangat lamban.
Pekerjaan melelahkan, bepergian ke mana-mana membutuhkan waktu yang sama lamanya,
bahkan himne gereja pun panjang dan murung. Orang Amish tidak mengecek arlojinya dua
puluh kali sehari. Mereka tak terburu-buru; mereka mengambil semaksimal mungkin waktu
yang diperlukan untuk melakukan sesuatu.
Jacob Fisher terpaksa harus menunggu.

“Mengapa kau tak bilang padaku kalau kau punya kakak?”


Tangan Katie membeku seraya memegang slang yang ia sambungkan ke kran di luar rumah.
Ia melengos, dan kalau aku tidak tahu kebiasaannya, aku pasti berpikir ia sedang memilih
apakah harus berbohong atau bicara jujur. “Aku pernah punya kakak.”
“Gosipnya dia masih hidup dan sehat, dan tinggal di State College.” Aku mengikatkan ujung
celemek yang aku pinjam dari Sarah, melepaskan sepatu ketsku dan memakai sepatu bot
karet yang dia pinjamkan padaku. Aku jelas tak akan memenangkan penghargaan mode,
tapi, lagi pula aku akan ikut menyirami sapi. “Gosipnya kau sering mengunjungi dia.”
Katie membuka kran air dan mengecek ujung slang. “Kami tak bicara tentang Jacob di sini.
Ayahku tak suka.”
“Aku bukan ayahmu.” Katie mulai berjalan ke arah ladang dengan slang dan aku
mengikutinya, mengibaskan gerombolan nyamuk yang terbang di depan wajahku. “Apakah
sulit mengunjungi Jacob diam-diam?”
“Dia membawaku ke bioskop. Dan dia membelikanku celana jins untuk dipakai. Tidak sulit,
karena saat aku bersama dia, aku bukan Katie Fisher.”
Aku berhenti melangkah. “Siapa kau?”
Ia mengangkat bahu. “Siapa saja. Seperti gadis-gadis lain di dunia.”
“Pasti sangat menyedihkan ketika ayahmu mengusirnya dari rumah.”
Katie menarik slang. “Bahkan sudah menyedihkan sebelum itu, saat Jacob berbohong
tentang sekolahnya. Dia seharusnya mengaku saja di gereja.”
“Ah,” kataku. “Seperti yang akan kaulakukan. Meskipun kau tidak bersalah.”
Nyamuk berdengung di atas kepala Katie, membentuk lingkaran halo. “Kau tidak mengerti
kami,” tuduhnya. “Hanya karena kau tinggal di sini selama sepuluh hari, tidak berarti kau
tahu bagaimana rasanya menjadi orang Amish seperti kami.”
“Kalau begitu jelaskan padaku,” kataku, berpaling sehingga ia harus berhenti, atau berjalan
memutariku.
“Bagimu, semuanya tentang bagaimana kau menonjol. Siapa yang paling pandai, paling
kaya, paling baik. Bagi kami, ini tentang bergabung. Seperti kain-kain perca yang
membentuk selimut. Satu demi satu, kami tak menarik untuk dilihat. Tapi gabungkan
bersama dan kau mendapatkan sesuatu yang indah.”
“Dan Jacob?”
Katie tersenyum sedih. “Jacob seperti benang hitam di latar belakang putih. Dia
memutuskan untuk pergi.”
“Apa kau merindukannya?”
Katie mengangguk. “Sangat. Aku sudah lama tak bertemu dengannya.”
Mendengar itu, aku menoleh. “Kenapa?”
“Musim panas di sini sibuk. Aku dibutuhkan di rumah.”
Yang lebih mungkin, kataku dalam hati, ia tak mungkin menyembunyikan kehamilannya
dengan celana jins. “Apakah Jacob tahu tentang bayi itu?”
Katie terus berjalan, menarik slang.
“Apakah ayahnya seseorang yang kautemui di sana, Katie? Seorang mahasiswa, teman
Jacob?”
Katie dengan keras kepala menutup mulutnya, dan akhirnya kami sampai ke kandang
terbuka tempat sapi-sapi berumur satu tahun dikandangkan. Di hari sepanas ini, mereka
disiram air agar mereka merasa lebih nyaman. Katie memutar ujung slang, membiarkan air
menyiram kakinya yang telanjang. “Bolehkah aku bertanya padamu, Ellie?”
“Tentu.”
“Mengapa kau tidak bicara tentang keluargamu? Bagaimana kau bisa pindah ke sini dan
tidak menelepon mereka dan memberitahu mereka ke mana kau akan pergi?”
Aku memandang sapi-sapi berkeliaran di ladang, memakan rumput segar. “Ibuku sudah
meninggal, dan aku sudah tak pernah bicara lagi dengan ayahku selama beberapa tahun.”
Tidak lagi sejak aku jadi pengacara pembela, dan dia menuduhku menjual moralitasku demi
uang. “Aku tak pernah menikah, aku dan pacarku baru mengakhiri hubungan kami.”
“Kenapa?”
“Bisa dibilang kami bosan satu sama lain,” kataku menebak-nebak jawabannya. “Tak
mengherankan, setelah delapan tahun.”
“Bagaimana bisa kalian berpacaran selama delapan tahun dan tidak menikah?”
Bagaimana menjelaskan kerumitan kencan di tahun 1990-an pada seorang gadis Amish?
“Yah, kami memulai dengan anggapan kami cocok satu sama lain. Butuh waktu selama itu
untuk menyadari bahwa ternyata kami tidak cocok.”
“Delapan tahun,” Katie mencela. “Harusnya kalian sudah punya beberapa anak.”
69
Memikirkan tahun-tahun yang telah kusia-siakan itu, aku merasakan tenggorokanku
tercekat. Katie mencelupkan jari kakinya di genangan lumpur yang tergenang di bawah
slang, terlihat malu karena telah membuatku sedih. “Kau pasti merindukannya.”
“Bukan terhadap Stephen, tidak,” kataku pelan. “Hanya terhadap 'beberapa anak' itu.”
Aku menunggu Katie untuk menyadari hubungannya, mengatakan sesuatu tentang
kondisinya sendiri yang berhubungan dengan kondisiku—tapi ia kembali mengejutkanku.
“Kau tahu apa yang kuperhatikan saat aku mengunjungi Jacob? Di duniamu, orang-orang
bisa saling menghubungi dengan cepat. Ada telepon, faks—dan di komputer kalian bisa
bicara dengan orang di seberang dunia lain. Orang-orang membicarakan rahasia mereka di
talk show TV, dan ada majalah yang menerbitkan foto bintang film yang berusaha sembunyi
di rumah mereka. Kalian bisa dengan mudah saling berhubungan, tapi semua orang
kelihatannya sangat kesepian.”
Saat aku akan membuka mulut untuk protes, Katie mengulurkan slang padaku dan
melompati pagar. Setelah mengambil slang dariku, ia menyalakan air dan menyiramkannya
ke sapi-sapi, yang melenguh dan mencoba menghindari air. Lalu, seraya menyeringai lebar,
ia menyiramkan air padaku.
“Hei, dasar—!” Basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku melompati pagar dan
mulai mengejarnya. Tapi sapi-sapi menghalangi kami. Katie menjerit ketika akhirnya aku
berhasil merebut slang dan menyiramnya. “Rasakan,” kataku tertawa, lalu terpeleset di
rumput basah dan jatuh terduduk di genangan lumpur.
“Permisi? Aku mencari Elle Hathaway.”
Mendengar suara dalam itu, aku dan Katie berpaling, slang yang kupegang sempat
menyiramkan air ke sepatu orang itu sebelum ia melompat mundur. Aku berdiri,
membersihkan lumpur dari tanganku, dan meringis malu ke pria yang berdiri di luar pagar
kandang. Pria yang sedang memandang ke sepatu bot, celemek dan lumuran lumpur di
wajahku. “Coop,” kataku. “Sudah lama tidak bertemu denganmu.”

Sepuluh menit kemudian, saat aku turun setelah mandi, aku melihat Coop duduk di beranda
bersama Katie dan Sarah. Sepiring kue di meja rotan, dan Coop memegang segelas air es. Ia
berdiri begitu melihatku.
“Masih gentleman seperti dulu,” kataku tersenyum.
Ia mencondongkan tubuh ke depan dan mencium pipiku dan aku sangat terkejut ketika
ratusan kenangan menyerbu kepalaku—bagaimana rambutnya selalu berbau asap kayu dan
apel, lekukan rahangnya, jejak jarinya di punggungku. Aku merasa pening hingga melangkah
mundur dan berusaha keras untuk tidak terlihat gugup.
“Para wanita yang baik ini menemaniku,” sahutnya, sementara Katie dan Sarah menunduk,
berbisik-bisik seperti anak SMU.
Sarah berdiri. “Kami akan meninggalkanmu dengan tamumu,” katanya, mengangguk ke arah
Coop saat ia berjalan masuk ke rumah. Katie berjalan ke kebun, dan aku duduk. Setelah
dua puluh tahun, Coop terlihat semakin menarik. Roman mukanya—yang sedikit tirus saat
kuliah—terlihat mengeras seiring waktu, ada jejak luka dan garis tawa di sana. Rambut
hitamnya yang dulu panjang hingga sebahu, sekarang dipangkas rapi dan mulai berwarna
abu-abu. Matanya masih berwarna hijau pucat jernih, warna yang hanya kulihat dua kali
selama hidupku: di mata Coop dan di luar jendela pesawat saat aku pergi ke Karibia dengan
Stephen.
“Aku menua dengan baik,” kataku.
Ia tertawa. “Kau mengatakannya seakan-akan aku ini sebotol anggur.” Sambil bersandar di
kursinya, ia meringis padaku. “Kau sendiri juga terlihat baik. Terutama dibandingkan lima
belas menit lalu. Aku dengar pekerjaan pengacara adalah pekerjaan kotor, tapi aku tak
pernah percaya hingga melihatmu tadi.”
“Yah, itu bisa dibilang cara bertindak. Orang Amish tidak mudah percaya pada orang luar.
Kalau aku terlihat seprti mereka, bekerja bersama mereka, mereka mau membuka diri.
“Pasti sulit, terjebak di sini jauh dari rumah.”
“Apakah yang bicara itu Joseph Cooper sang psikiater?”
Ia hendak mengatakan sesuatu, lalu menggeleng. “Bukan. Cuma Coop, sang teman.”
Aku mengangkat bahu, memalingkan pandangan dari matanya yang penuh perhatian. “Ada
hal-hal yang kurindukan—mesin pembuat kopiku, misalnya. Naik mobilku. The X-files, dan
ER.”
“Bukan Stephen?”
Aku lupa terakhir kali aku bertemu Coop, kami bersama pasangan masing-masing. Kami
bertemu di lobi saat jeda pertunjukan konser Philadelphia Symphony. Meskipun kami kadang
berhubungan dalam hal bisnis, aku belum pernah bertemu istrinya sebelum itu. Wanita
bertubuh indah, pirang, dan cocok di sampingnya seperti potongan teka-teki yang pas.
Bahkan setelah bertahun-tahun, melihat istrinya membuat perutku seperti habis dipukul.
70
"Stephen memang tak ada dalam bayanganku," aku mengaku.
Coop memandangku lekat-lekat selama sesaat sebelum berkata, "Aku menyesal
mendengarnya."
Aku sudah dewasa; aku bisa melewati ini. Aku menarik napas panjang, memaksa diri
tersenyum dan menepukkan tangan ke lutut. "Yah, kau tidak jauh-jauh datang kemari untuk
bicara denganku—"
"Tapi aku mau bicara, Ellie," kata Coop, suaranya lembut. "Aku sudah memaafkanmu sejak
lama."
Mudah bagiku untuk pura-pura tidak mendengarnya; langsung masuk ke diskusi tentang
Katie. Tapi kau tak bisa bicara dengan seseorang yang bisa dibilang bertanggung jawab
membuatmu menjadi seperti sekarang tanpa sedikit mengungkit sejarahnya. Mungkin Coop
telah memaafkan aku, tapi aku belum.
Coop berdehem. "Biar kujelaskan padamu tentang apa yang sudah kutemukan mengenai
Katie." Tangannya merogoh tas kerjanya dan mengambil notes yang penuh dengan tulisan
cakar ayamnya. "Ada dua kelompok penjelasan psikiater tentang pembunuhan bayi.
Penjelasan yang kurang populer adalah wanita yang membunuh bayinya berada dalam
kondisi disosiatif yang berlangsung selama kehamilan."
"Kondisi disosiatif?"
"Kondisi fokus yang sangat terkonsentrasi, di mana seseorang memblokir semua hal kecuali
satu hal yang sedang mereka lakukan. Dalam hal ini, wanita-wanita itu mematahkan sedikit
kesadaran mereka, sehingga mereka tinggal di dunia fantasi di mana mereka tidak hamil.
Saat akhirnya bayinya lahir, wanita-wanita itu sama sekali tidak siap. Mereka memisahkan
diri dari realitas peristiwa itu, mengalami kehilangan memori. Beberapa wanita bahkan
menderita kegilaan sementara, saat syok dari proses kelahiran itu menghantam
penyangkalan mereka selama ini. Dalam kedua kasus itu, alasannya adalah mereka secara
mental tidak berada di tempat saat tindak kriminal terjadi, sehingga mereka tak bisa
dianggap bertanggung jawab atas aksi mereka."
"Kedengarannya sangat Sybill bagiku."
Coop menyeringai dan mengulurkan daftar nama padaku. "Ini adalah nama beberapa
psikiater yang bersaksi beberapa tahun terakhir menggunakan pendekatan lunak. Mereka
psikiater klinis, bukan forensik. Itu karena sebagian besar psikiater forensik yang berurusan
dengan kasus pembunuhan bayi mengatakan para wanita itu tidak dalam kondisi disosiatif—
hanya terasing dari kehamilannya. Menurut mereka disosiasi terjadi saat kelahiran.
Tambahan lagi, aku akan mengatakan padamu kalau kondisi disosiasi itu normal, mengingat
rasa sakit yang terjadi saat kelahiran. Itu seperti saat kau terkena pisau waktu memotong
sayuran dan kau berdiri diam selama sedetik dan berpikir, 'Wow, lukanya dalam sekali.' Tapi
setelah itu kau tidak memotong tanganmu sampai putus untuk menghilangkan masalahnya."
Aku mengangguk. "Kalau begitu mengapa mereka membunuh bayinya?"
"Karena mereka tak punya koneksi emosi dengannya—seakan-akan mereka baru saja
mengeluarkan batu ginjal. Saat pembunuhan, mereka tidak terpisah dari realitas—hanya
takut, malu, dan tak bisa menerima kelahiran haram itu."
"Dengan kata lain," kataku datar, "mereka jelas bersalah."
Coop mengangkat bahu. "Aku tak perlu mengatakan padamu bagaimana pembelaan
berdasarkan kegilaan ditanggapi para juri." Ia mengulurkan satu daftar nama lagi padaku,
yang kali ini panjangnya tiga kali lipat dari yang pertama. "Para psikiater ini mendukung
pandangna mayoritas. Tapi setiap kasus memang berbeda. Kalau Katie masih menolak
mengakui apa yang terjadi meskipun ia menghadapi dakwaan pembunuhan dan bukti-bukti
medis kehamilannya, mungkin ada hal lain yang bisa digunakan untuk merancang
mekanisme pembelaan."
"Aku ingin bicara tentang ini denganmu. Apakah ada cara untuk mengetahui apakah ia
pernah diperkosa?"
Coop bersiul. "Itu bisa jadi alasan kuat untuk menyingkirkan bayinya."
"Yeah. Aku ingin menjadi orang yang pertama kali tahu, dan bukan penuntut umum."
"Akan sulit, apalagi sudah lewat berbulan-bulan, tapi aku akan mengingat itu kalau aku
bicara dengannya." Coop mengerutkan keningnya. "Ada pilihan lain juga—bahwa selama ini
ia berbohong."
"Coop, aku ini pengacara. Tingkat kebohonganku diukur tiap hari. Aku akan tahu kalau dia
bohong."
"Mungkin saja tidak, El. Kau harus mengakui, dengan tinggal di sini kau lebih dekat dengan
situasinya."
"Berbohong bukanlah salah satu ciri utama Amish."
"Pembunuhan bayi juga bukan."
Aku teringat bagaimana wajah Katie memerah dan ia akan tergagap saat dikonfrontasikan
dengan sesuatu yang tak ingin ia bicarakan. Lalu aku teringat bagaimana ia terlihat setiap
kali menyangkal ia pernah punya bayi: dagunya terangkat, matanya tegas, dan langsung
memandangku. "Dalam pikirannya, bayi itu tak pernah ada," kataku pelan.
71
Coop mempertimbangkan ucapanku. “Mungkin dalam pikirannya memang tidak,” jawabnya.
“Tapi bayi itu ada.”

Katie mengepalkan tangannya di pangkuan, terlihat seakan-akan ia baru menerima


hukuman eksekusi. “Dr. Cooper hanya ingin menanyakan beberapa hal padamu,” jelasku.
“Kau santai saja.”
Coop tersenyum padanya. Kami bertiga duduk di tepi sungai, cukup jauh dari rumah untuk
mendapatkan privasi. Coop mengeluarkan tape recorder kecil dari kantongnya, dan aku
cepat-cepat memandangnya sambil menggeleng. Dengan tenang, Coop mengganti tape
recorder dengan buku catatannya. “Katie, aku cuma ingin memulai dengan mengatakan
bahwa apa pun yang akan kaukatakan akan menjadi rahasia kita bertiga. Aku tidak ke sini
untuk mengadukanmu; aku di sini untuk membantumu memahami beberapa perasaan yang
pasti kaurasakan saat ini.”
Katie memandang ke Ellie, lalu kembali ke Coop.
Pria itu meringis. “Jadi bagaimana perasaanmu?”
“Baik-baik saja,” kata Katie hati-hati. “Cukup baik sehingga aku tak perlu bicara padamu.”
“Aku bisa mengerti mengapa kau merasa seperti itu,” kata Coop riang. “Banyak orang yang
belum pernah bicara dengan psikiater merasa seperti itu. Kemudian mereka tahu bahwa
kadang lebih mudah bicara pada orang asing tentang hal-hal pribadi dibandingkan pada
keluarga.”
Aku tahu Coop juga mengamati yang kuamati sekarang—bagaimana punggung Katie menjadi
sedikit rileks, tangannya membuka di pangkuannya. Saat suara Coop terus
menenangkannya, matanya tetap menatap Katie. Ada kebaikan dari diri Coop, sebuah
pesona dari dalam, yang langsung membuatmu merasa kau punya hubungan dekat
dengannya.
Dan kalau dipikir lagi, aku memang pernah punya hubungan dekat dengannya.
Aku mengalihkan perhatianku kembali ke klienku, mendengarkan pertanyaan Coop.
“Bisakah kauceritakan padaku tentang hubunganmu dengan orangtuamu?”
Katie memandang ke arahku seakan-akan ia tidak mengerti. Apa yang biasanya berupa
sebuah pertanyaan normal pada klien dalam wawancara klinis, menjadi terasa aneh karena
ditanyakan pada seorang gadis Amish. “Mereka orangtuaku,” jawab Katie ragu.
“Apa kau banyak menghabiskan waktu dengan mereka?”
“Ja, di ladang atau di dapur, saat makan, berdoa.” Ia berkedip ke arah Coop. “Aku bersama
mereka setiap saat.”
“Apa kau dekat dengan ibumu?”
Katie mengangguk. “Aku satu-satunya yang dia miliki.”
“Apa kau pernah mengalami kejang-kejang, Katie, atau luka di kepala?”
“Tidak.”
“Bagaimana kalau sakit perut yang parah?”
“Sekali,” Katie tersenyum. “Setelah kakakku menantangku makan sepuluh apel yang belum
matang.”
“Tapi tidak... akhir-akhir ini?” Katie menggeleng. “Apakah kau pernah merasa kehilangan
waktu yang cukup lama... kau tiba-tiba sadar berjam-jam sudah berlalu dan kau tak bisa
mengingat kau baru dari mana atau apa yang telah kaulakukan?”
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba saja wajah Katie memerah lagi dan bilang tidak.
“Apakah kau pernah mengalami halusinasi—melihat hal-hal yang tidak benar-benar ada?”
“Kadang aku melihat adikku—“
“Yang sudah meninggal,” potongku.
“Dia tenggelam di kolam,” jelas Katie. “Saat aku ke sana, dia muncul.”
Coop bahkan tidak berkedip, seakan-akan melihat hantu adalah kejadian wajar sehari-hari.
“Apakah dia bicara padamu? Mengatakan padamu untuk melakukan sesuatu?”
“Tidak. Dia cuma main skating.”
“Apakah kau merasa terganggu melihatnya?”
“Oh, tidak.”
“Apakah kau pernah merasa sangat sakit? Harus pergi ke rumah sakit?”
“Tidak. Kecuali yang baru lalu.”
“Ayo kita bicara tentang itu,” kata Coop. “Kau tahu mengapa kau dirawat di rumah sakit?”
Pipi Katie merona dan ia menunduk memandang pangkuannya. “Karena masalah
kewanitaan.”
“Dokter bilang kau punya bayi.”
“Mereka salah,” kata Katie. “Aku tak punya bayi.”
Coop membiarkan saja penyangkalan itu. “Berapa usiamu saat mau mulai menstruasi
Katie?”
“Dua belas.”
“Apakah ibumu menjelaskan apa yang terjadi?”
“Yah, sedikit. Tapi aku tahu. Aku pernah melihat binatang dan semacamnya.”
“Apakah kau dan orangtuamu bicara tentang seks?”
Mata Katie terbelalak, jelas terlihat sangat kaget. “Tentu saja tidak. Itu tidak pantas, tidak
boleh hingga seorang gadis menikah.”
“Siapa bilang itu tidak boleh?”
“Tuhan,” jawabnya tegas. “Gereja. Orangtuaku.”
“Apakah orangtuamu akan marah kalau mereka tahu kau sudah aktif secara seksual?”
“Tapi aku tidak.”
“Aku mengerti. Tapi kalau misalnya iya, menurutmu apa yang akan terjadi?”
“Mereka akan sangat kecewa,” Katie menjawab pelan. “Dan aku akan dikenai bann.”
“Apa itu?”
“Itu saat kau melanggar aturan, dan Uskup tahu. Kau harus mengaku, lalu, setidaknya untuk
sementara, kau diasingkan.” Suara Katie memelan hingga berbisik. “Kau diisolasi, dari
semuanya.”
72
Untuk pertama kalinya aku melihatnya lewat mata Katie―bagaimana rasanya menjadi orang
buangan di komunitas yang mengagungkan kesamaan.
“Kalau kau dalam masalah, Katie, apakah kau akan minta bantuan ibumu atau ayahmu?”
“Aku akan berdoa,” katanya. “Dan apa pun yang akan terjadi sudah menjadi kehendak
Tuhan.”
“Apakah kau pernah minum alkohol, atau memakai narkoba?”
Aku sangat terkejut saat Katie mengangguk. “Aku pernah minum dua kaleng bir, dan
peppermint schnapps, saat aku masih dengan gangku.”
“Gangmu?”
“Anak-anak muda lain yang juga temanku. Gang kami namanya Sparkies. Kebanyakan anak
Amish seusiaku masuk gang ketika mereka mencapai usia Rumspringa.”
“Rumspringa?”
“Tahun-tahun nakal. Saat kami empat belas atau lima belas.”
Coop memandangku, tapi aku mengangkat alisku. Aku juga baru mendengarnya pertama
kali. “Jadi—apa yang membuatmu bergabung dengan Sparkies?”
“Mereka cocok denganku. Tidak terlalu gila, tapi masih menyenangkan. Ada beberapa anak
lelaki yang membeli bir di Turkey Hill dan balapan kereta mereka di Route 34 saat tengah
malam, tapi kebanyakan anak yang lebih nakal suka bergabung dengan Shotguns atau Happy
Jacks—mereka mengadakan pesta dansa, dan berkeliling dengan terlihat jelas, dan benar-
benar menjadi Sod—duniawi. Kami seringnya berkumpul tiap malam minggu dan
menyanyikan himne. Tapi kadang,” Katie mengakui dengan malu. “Kami melakukan hal-hal
lain.”
“Seperti?”
“Minum. Berdansa mengikuti musik. Yah, aku dulu sering melakukan itu, tapi sekarang aku
pergi setelah himne selesai dan semuanya menjadi sedikit gila.”
“Kenapa?”
Katie mengepalkan tangannya di rumput. “Sekarang aku sudah dibaptis.”
Alis Coop terangkat. “Bukankah kau sudah dibaptis sejak bayi?”
“Tidak, kami dibaptis saat kami sudah agak besar. Aku dibaptis tahun lalu. Kami memilih
untuk berdiri di hadapan Tuhan dan setuju hidup menurut Ordnung—aturan yang tadi
kubicarakan.”
“Saat kau pergi ke acara nyanyi-nyanyi itu, dan minum dan berdansa, apakah orangtuamu
tahu?”
Katie memandang ke arah rumah. “Semua orangtua tahu kalau anak-anaknya melakukan
kenakalan: mereka cuma pura-pura tidak tahu dan berharap itu tidak terlalu berbahaya.”
“Mengapa mereka mau menerima perilaku seperti ini, tapi kecewa kalau anaknya
melakukan aktivitas seksual?”
“Karena itu adalah dosa. Kalau menyanyi—yah, bisa dibilang itu main-main menjadi orang
Inggris. Orang-orang percaya kalau anak-anak mereka punya kesempatan mencobanya sekali
atau dua kali, mereka masih akan meninggalkan keduniawian dan mau mengambil tanggung
jawab untuk hidup Sederhana.”
“Apakah kebanyakan anak begitu?”
“Ja.”
“Mengapa?”
“Semua teman-teman mereka orang Amish. Dan keluarga mereka juga. Kalau mereka tak
bergabung dengan gereja, mereka tidak akan seperti orang lain. Selain itu, mereka harus
dibaptis, kalau mereka ingin menikah.”
“Apakau kau juga? Ingin menikah?”
“Siapa yang tidak?” kata Katie.
Coop menyeringai. “Contohnya Ellie,” ia bergurau pelan, hingga hanya aku yang bisa
mendengarnya. Akibatnya aku sibuk memikirkan kata-katanya itu, dan apa maksudnya,
sehingga aku hampir ketinggalan pertanyaan berikutnya.
“Apakah kau pernah mencium anak lelaki, Katie?”
“Ja,” katanya, wajahnya kembali merona. “Samuel. Dan sebelumnya, John Beller.”
“Samuel ini pacarmu?”
Dulu, pikirku.
“Apakah kau dan pacarmu pernah berhubungan seks?”
“Tidak!”
Coop ragu. “Apakah dia pernah menciummu di tempat lain selain bibir?”
“Di leher,” gumam Katie. “Di dahi.”
“Bagaimana dengan payudaramu, Katie? Perutmu?”
Katie menjulurkan kakinya yang telanjang dari bawah roknya dan mencelupkannya satu
persatu ke sungai. “Samuel tak akan melakukan itu.”
“Apakah kau pernah membiarkan orang lain mencium atau menyentuhmu?” desak Coop
lembut. Saat Katie tidak menjawab, ia bahkan lebih memelankan suaranya. “Apa kau ingin
punya bayi suatu hari nanti, Katie?”
Katie mendongak, matahari menyinari pipi dan matanya. “Oh, ya,” bisiknya. “Lebih dari
apa pun.”

Begitu Katie sudah jauh, aku langsung menekan Coop. “Bagaimana menurutmu?”
Coop berbaring di rumput. “Bahwa aku sudah tidak di Kansas lagi. Aku butuh kursus singkat
tentang kehidupan Amish sebelum aku bisa mengevaluasinya lebih lanjut.”
“Kalau kau menemukan universitas yang menawarkan kelas malam dalam bidang itu,
daftarkan aku ya?” keluhku. “Dia bilang dia ingin anak.”
“Kebanyakan wanita yang melakukan pembunuhan bayi ingin punya anak. Cuma bukan
sekarang.” Coop terdiam. “Namun, mungkin juga bagi dia bayi ini tak pernah ada.”
“Jadi kau tidak merasa dia berbohong. Menurutmu dia benar-benar memblokir ingatan
tentang melahirkan bayi itu.”
73
Coop terdiam sesaat. “Kuharap aku bisa lebih yakin. Publik sepertinya percaya bahwa
psikiater bisa mengetahui lebih baik daripada orang biasa apakah seseorang berbohong atau
tidak, tapi kau tahu, El? Itu mitos. Terlalu awal untuk membuat penilaian. Kalau dia
berbohong, dia pembohong yang sangat hebat, dan aku tak bisa membayangkan itu bagian
dari pendidikannya dalam keluarga.”
“Nah, apakah kau bisa menyimpulkan sesuatu?”
Coop mengangkat bahu. “Kurasa aman untuk mengatakan bahwa dia tidak gila sekarang.”
“Meskipun dia bilang melihat hantu?”
“Ada perbedaan besar antara khayalan seseorang dan delusi orang gila. Kalau adiknya
muncul dan mengatakan padanya untuk membunuh bayinya, atau mengatakan bahwa setan
tinggal di gudang bawah tanah, ceritanya akan lain.”
“Aku tak peduli apakah dia gila sekarang. Bagaimana saat dia melahirkan bayinya?”
Coop memijit puncak hidunya. “Jelas dia memblokir ingatan tentang kehamilan, dan
tindakan yang menyebabkan kehamilan itu, tapi kau tak perlu aku untuk tahu itu.”
“Bagaimana dengan perkosaan?” tanya Ellie.
“Itu juga belum jelas. Dia sangat gugup mengenai seks dan aku tak tahu apakah itu karena
latar belakangnya yang religius atau karena pemerkosaan. Bahkan berhubungan seks suka
sama suka dengan orang yang bukan Amish bisa memunculkan dinding penghambat di
pikiran Katie. Kau dengar sendiri betapa takutnya dia diasingkan. Kalau dia berhubungan
dengan orang lain, bisa dibilang dia akan kehilangan gaya hidup Amishnya.”
Aku sudah berada di lingkungan ini cukup lama untuk tahu bahwa itu tak sepenuhnya benar.
Kau akan selalu diterima kembali—kau hanya perlu mengakui dosamu. “Sebenarnya, dia
bisa mengaku dan kembali ke gereja.”
“Sayangnya, hanya karena orang lain memaafkannya tidak berarti dia bisa lupa. Dia akan
membawa ingatan itu sepanjang sisa hidupnya.” Coop menoleh padaku. “Kalau mengingat
bagaimana dia dibesarkan, tak mengherankan kalau pikirannya bekerja ekstrakeras untuk
memblokir apa yang telah terjadi.”
Aku berbaring telentang di sebelahnya. “Dia bilang padaku dia tidak membunuh bayi itu.
Dia bilang dia tidak punya bayi. Tapi ada bukti kalau dia memang pernah melahirkan―”
“Dan kalau dia berbohong tentang satu hal,” Coop menyelesaikan perkataanku,”mungkin
dia juga berbohong membutuhkan pengetahuan kesadaran. Kalau dia berada dalam kondisi
disosiasi, dia tak bisa disalahkan karena tidak . mengetahui yang sebenarnya."
Bertelekan siku, aku tersenyum sedih. "Tapi bisakah dia dipersalahkan karena melakukan
pembunuhan?"
"Itu," kata Coop, "tergantung pada juri." Ia menarikku berdiri. "Aku ingin terus bicara
padanya. Membawanya mengingat apa yang terjadi pada malam saat dia melahirkan."
"Oh, kau tak perlu melakukan itu. Maksudku, kau sangat baik menawarkan diri meski itu
sudah bukan tugasmu lagi, tapi kau pasti punya hal penting lain untuk dikerjakan."
"Sudah kubilang aku akan membantumu, El, dan aku belum melakukan pekerjaanku untuk
membuka dirinya. Aku akan datang tiap sore dan bicara padanya setelah pulang kantor."
"Dan sementara itu, istrimu duduk di rumah makan malam sendiri. Bukankah kau yang
mengatakan padaku bahwa psikiater adalah orang yang tak bisa mempertahankan hubungan
pribadinya?"
Coop mengangguk. "Yeah. Dan mungkin itu sebabnya aku bercerai setahun lalu."
Aku berpaling padanya, mulutku kering. "Benarkah?" Coop menunduk melihat sepatunya, ke
aliran sungai; dan aku bertanya-tanya mengapa sangat mudah bagi kami bicara tentang
Katie, namun sangat sulit bicara tentang diri kami sendiri. "Coop, aku ikut menyesal."
Coop mengulurkan tangan ke sebatang pohon dan mengambil ulat pohon, yang melingkar di
telapak tangannya. "Kita semua melakukan kesalahan," katanya lembut. la meraih tanganku
dan memegangnya di sebelah tangannya, dan ulat itu mulai bergerak; meregangkan
badannya, membentuk jembatan di antara kedua tangan kami.
Perlu setengah jam untuk meyakinkan Sarah bahwa kalau aku menitipkan penjagaan Katie
padanya pagi itu, aku tak melanggar hukum, dan sangat tidak mungkin utusan pengadilan
akan datang dan memergoki bahwa aku tak ada. "Dengar," kataku akhirnya, "kalau kau ingin
aku merancang strategi pembelaan untuk Katie, aku membutuhkan fleksibilitas."
"Dr. Cooper datang ke sini," gerutu Sarah.
"Dr. Cooper tak perlu membawa peralatan laboratorium senilai setengah juta dolar,"
jelasku. Kenyataannya, aku sudah berusaha keras untuk mendapatkan janji temu selama
dua jam dengan Dr. Owen Zeigler dan aku sedikit kecewa menyadari bahwa sebenarnya aku
tak ingin pergi ke laboratorium patologi neonatal di Pusat Medis Universitas Pennsylvania.
74
Aku terus membayangkan bayi-bayi yang sakit, bayi-bayi yang mati, bayi yang lahir cacat
dari ibu usia empat puluh tahun ke atas, dan yang kuinginkan sebenarnya adalah tetap di
pertanian Fisher.
Owen, pria yang dulu pernah bekerja denganku, mempunyai wajah seperti bulan, kepala
botak berkilau, dan perut buncit yang menempel di kedua lututnya setiap kali ia naik ke
salah satu kursi tinggi di depan mikroskop. "Sampel plasenta menunjukkan adanya berbagai
biakan, termasuk diphtheroid," katanya. "Ringkasnya, itu berarti banyak bakteri dan kuman
di sana."
"Apakah maksudmu mungkin saja itu mempengaruhi basil?"
"Tidak. Itu normal, mengingat plasentanya tergeletak di lantai gudang."
Aku menyipitkan mataku. "Kalau begitu katakan sesuatu yang tak normal padaku."
"Yah, kematian bayinya. Menurutku sepertinya ia lahir hidup," katanya, dan harapanku
langsung terhempas. "Berdasarkan tes hidrostatik, udara sempat masuk ke alveoli."
"Bicara yang jelas, Owen."
Ahli patologi itu menghela napas. "Bayi itu sempat bernapas."
"Sudah pasti, kalau begitu?"
"Kau bisa mengetahui apakah bayi, bahkan yang prematur, sempat bernapas atau hanya
menghirup cairan kalau kau melihat alveoli di paru-paru. Alveolinya menggembung. Itu
lebih pasti daripada tes hidrostatik, karena paru-paru mungkin mengembang kalau sempat
dilakukan usaha pemberian napas buatan."
"Yeah, benar," gerutuku. "la memberinya pernapasan bantuan dari mulut ke mulut, lalu
membunuhnya."
"Siapa tahu," kata Owen.
"Jadi apa yang membuat bayi itu berhenti bernapas?"
"Menurut pemeriksaan medis karena mati lemas. Tapi itu tak bisa dipastikan."
Aku duduk di kursi di sebelahnya. "Ceritakan padaku."
"Ada petechiae di paru-paru, yang mengindikasikan terjadinya asphyxia atau sesak napas,
tapi mungkin saja petechiae itu muncul sebelum atau sesudah kematian. Sedangkan
tentang memar di mulut bayi, itu artinya mulutnya sempat ditekan keras dengan sesuatu.
Sesuatu itu bisa saja tulang selangka ibunya. Bahkan, kalaupun bayi itu dibekap dengan
sesuatu yang lembut, seperti kemeja yang membungkusnya atau tangan ibunya, basil tesnya
tak bisa dibedakan dengan kematian bayi akibat SIDS-Sindrom Kematian Bayi Mendadak."
Dr. Owen mengulurkan tangan dan mengambil slide kaca yang dari tadi kupermainkan di
tanganku. "Ringkasnya, bayi itu bisa saja mati tanpa campur tangan orang lain. Dalam usia
tiga puluh dua minggu, dia memang bisa disebut bayi, tapi masih terlalu kecil."
Aku mengerutkan kening. "Apakah ibunya tahu bayi itu sekarat di depannya?"
"Tergantung, kalau bayi itu tersedak cairan ketuban, dia pasti mendengarnya. Kalau bayi itu
sesak napas, dia pasti melihatnya tersengal, dan wajahnya membiru." Dr.Owen mematikan
mikroskop dan memasukkan slide-yang ditandai tulisan BAYI FISHER dengan jelas-ke kotak
kecil yang berisi slide-slide lainnya.
Aku mencoba membayangkan Katie terpaku ketakutan, akibat kesadaran melihat bayi
prematur mungil yang berjuang untuk bernapas. Aku membayangkannya memandang
terbelalak, terlalu takut untuk turun tangan; lalu terlambat menyadari apa yang telah
terjadi. Aku membayangkannya membungkus bayi itu dengan kemeja dan mencoba
menyembunyikannya, sebelum orang lain mengetahui apa yang terjadi.
Aku membayangkan Katie berdiri di depan sidang, menjalani pengadilan karena gagal
mencari bantuan medis yang sesuai setelah melahirkan bayi. Pembunuhan karena
ketidaktahuan-bukan pembunuhan tingkat pertama. Tapi tetap saja seorang kriminal; yang
harus menjalani hukuman penjara.
Aku mengulurkan tangan kepada Dr. Owen dan tersenyum. "Terima kasih," kataku.
Sabtu malam, aku naik pada sekitar jam sepuluh malam dan menutup Borden hijau di sisi
timur kamar. Aku mandi dan memikirkan Coop, bertanya-tanya apa yang sedang ia lakukan-
menonton film? Makan di restoran bintang lima? Aku bertanya-tanya apakah ia masih
mengenakan T-shirt dan celana boxer saat tidur ketika Katie masuk kamar. "Kau kenapa?"
tanyanya menyelidiki wajahku.
"Tidak apa-apa."
Katie mengangkat bahu, lalu menguap. "Ya ampun, aku lelah sekali," katanya, tapi matanya
yang masih cerah dan langkahnya yang ringan berlawanan dengan kata-katanya. Saat ia
masuk ke kamar mandi, aku mematikan lampu kamar dan naik ke ranjang, membiarkan
mataku menyesuaikan diri dengan gelap. Katie kembali, duduk di pinggir ranjang, dan
melepaskan sepatu botnya. Lalu ia masuk ke dalam selimut, masih berpakaian lengkap.
Aku bangun bertelekan siku, merasa geli. "Apa kau tak lupa sesuatu?"
"Aku kedinginan."
"Ada selimut lain di lemari, paling atas." Aku memikirkan bagaimana ia berguling saat tidur
di malam hari dan salah satu peniti yang menjepit bajunya menusuk dadanya.
"Begini saja."
75
"Terserah." Aku berguling, memandang dinding, dan tiba-tiba teringat saat aku masih
berusia enam belas tahun dan tidur dengan pakaian lengkap sehingga aku bisa mengendap-
endap keluar rumah saat aku melihat cahaya lampu mobil sahabatku dan pergi ke pesta
yang diadakan seorang anggota klub futbol saat orangtuanya ke luar kota. Aku duduk,
memandang marah ke tubuh Katie yang meringkuk. "Kau mau ke mana?"
Katie ternganga—terbukti bersalah.
"Koreksi," kataku. "Ke mana kita akan pergi?"
Katie duduk di ranjangnya. "Sabtu malam, Samuel datang." Katie mengaku. "Kami duduk di
beranda atau di ruang tamu. Kadang kami duduk sampai pagi:"
Yah, apa pun arti "datang", aku tahu itu tak termasuk bercinta. Rasa malu Katie muncul dari
prinsip Amish tentang berkencan—itu adalah urusan pribadi dan untuk alasan yang tidak
kumengerti, remaja Amish berpura-pura bahwa mereka melakukan hal lain kecuali bertemu
pacar mereka.
Mata Katie bersinar di kegelapan,pandangannya terfokus ke jendela. Untuk sesaat, ia
sangat mirip dengan remaja yang sedang jatuh cinta sehingga aku ingin menyentuhnya,
menangkupkan tanganku di pipinya dan mengatakan padanya untuk mempertahankan
momen ini, karena sebelum ia tahu ia bisa menjadi sepertiku, hanya bisa menyaksikan
momen orang lain. Aku tak tahu bagaimana cara mengatakannya, bahwa mengingat situasi
yang terjadi, Samuel mungkin tak akan datang. Bahwa bayi yang tak pernah diakui Katie
telah mengubah segalanya.
"Apakah ia melempar kerikil? Atau menggunakan tangga?" ', tanyaku lembut.
Sadar bahwa aku tak akan membocorkan rahasianya, Katie tersenyum pelan. "Lampu sen
ter."
"Yah," aku merasa berkewajiban untuk menyampaikan nasihat untuk kencan ini, tapi apa
yang bisa kukatakan pada gadis yang sudah pernah melahirkan bayi dan dituduh
membunuhnya? "Hati-hati," kataku akhirnya, kembali menarik selimut.
Aku tidur tak nyenyak, menunggu cahaya lampu senter itu. Tengah malam, Katie masih
belum tidur terbaring di ranjangnya. Jam dua lima belas, ia berdiri dan duduk di kursi
goyang di dekat jendela. Pada jam tiga tiga puluh, aku berlutut di sebelahnya. "Dia tak
akan datang untukmu, Sayang," bisikku. "Kurang dari satu jam lagi dia harus mulai memerah
susu."
"Tapi dia selalu—"
Aku menolehkkan wajahnya sehingga Katie memandangku, dan menggeleng.
Dengan kaku, Katie berdiri dan berjalan ke ranjang. la duduk dan menelusuri pola selimut,
terlena dalam pikirannya sendiri.
Aku pernah melihatnya di ekspresi wajah para klienku saat mereka dihukum lima tahun,
sepuluh, seumur hidup. Dalam sebagian besar kasus, bahkan saat mereka tahu bahwa
hukuman itu akan datang, kebenaran itu menghantam mereka seperti bola besar. Hukuman
di penjara bukan masalah bagi Katie, dibandingkan dengan kesadaran bahwa hidupnya
takkan lagi sama seperti dulu.
Katie diam cukup lama, jari-jarinya menyusuri jahitan selimut buatan tangannya. Lalu ia
bicara, suaranya pelan dan naik seperti asap yang kian menghilang."Saat kau menyulam
membuat selimut, satu jahitan yang salah merusak semuanya." Terdengur desiran suara
selimut ketika ia menoleh padaku. "Kau menarik jahitan salah itu," bisiknya, "dan semuanya
terlepas."

Aaron dan Sarah menghabiskan minggu siang sepulang dari gereja untuk mengunjungi teman
dan kerabat, tapi Katie dan aku menolak ajakan mereka untuk ikut. Setelah menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga, kami pergi ke sungai untuk memancing. Aku menemukan joran
dan tali pancing tepat di tempat yang dikatakan Katie dan menemuinya di ladang. Di sana
dia sedang membalik sebongkah tanah dan mengambil cacing untuk umpan. "Aku berpikir
ulang."
Katie memasukkan beberapa ekor cacing ke stoples kecil. "Kau bilang kau suka memancing
waktu kecil, di sini di pertanian."
"Yeah," kataku. "Tapi itu seribu tahun lalu."
la tersenyum padaku. "Kau selalu begitu. Menganggap dirimu sudah tua."
"Datanglah lagi padaku saat kau berusia tiga puluh sembilan tahun, dan katakan padaku
bagaimana rasanya." Aku berjalan di sisinya, membawa joran pancing di bahuku.
Aliran sungai cukup deras, akibat hujan beberapa hari. Airnya memercik di bebatuan, dan
memecah di rerantingan. Katie duduk di pinggir sungai, mengambil seekor cacing dari
stoples, lalu meraih satu tangkai pancing. "Ketika aku dan Jacob sering berlomba
memancing, aku selalu menangkap ikan terbesar—Aduh!" Katie menarik tangannya,
memasukkan jempolnya ke mulut dan mengisap darahnya karena terkena kait. "Aku bodoh
sekali," katanya sesaat kemudian.
"Kau capek." Katie menunduk. "Kita semua melakukan hal-hal gila saat kita sayang pada
seseorang," kataku hati-hati. "Jadi kau menunggu semalaman, terus kenapa?" Aku
mengambil seekor cacing, menguatkan hati dan memasang umpan.
76
"Saat aku seusiamu, aku ditinggalkan saat pesta dansa senior di SMU. Aku membeli gaun
tanpa lengan seharga seratus lima puluh dolar yang tidak berwarna krem atau beige, tapi
kuning gading, dan aku duduk di kamarku menunggu Eddie Bernstein menjemputku.
Ternyata iamengajak dua gadis ke pesta dansa itu dan memutuskan bahwa Mary Sue LeClare
lebih mungkin diajak."
"Diajak?"
Aku berdeham. "Mmm, itu ungkapan. Untuk berhubungan seks."
Alis Katie naik. "Oh, aku mengerti."
Merasa tak enak, aku melempar kailku. "Mungkin kita seharusnya bicara tentang hal lain."
"Apa kau mencintainya? Eddie Bernstein?"
"Tidak. Kami berdua selalu bersaing siapa yang mendapat nilai rata-rata terbaik, jadi kami
kenal lumayan baik. Aku tidak pernah jatuh cinta hingga kuliah."
"Mengapa kau tidak menikah waktu itu?"
"Dua puluh satu tahun masih terlalu muda untuk menikah. Kebanyakan wanita punya waktu
beberapa tahun untuk mengenali dirinya'sendiri, sebelum mengenal pernikahan dan anak-
anak."
"Tapi begitu kau punya keluarga, banyak sekali yang bisa kaupelajari tentang dirimu
sendiri," Katie menjelaskan.
"Sayangnya, saat aku menganut pemikiran itu, prospekku sudah memudar."
"Bagaimana dengan Dr. Cooper?"
Pancingku terjatuh, dan aku segera mengambilnya kembali. "Memangnya kenapa dengan
dia?"
"Dia menyukaimu dan kau menyukainya."
"Tentu saja. Kami kolega."
Katie mendengus. "Ayahku juga punya kolega, tapi dia tidak duduk terlalu dekat dengan
mereka di ayunan beranda, atau tersenyum terlalu lama pada sesuatu yang mereka
katakan."
Aku bersungut padanya. "Aku mengira, dari semua orang lain, kau yang paling menghormati
privasi mengenai affair pribadiku." Affair, pikirku. Kata yang salah.
"Apa dia akan datang hari ini?"
Aku terkejut. "Bagaimana kau tahu itu?"
"Karena kau terus melihat ke arah jalan, seperti aku tadi malam."
Aku menghela napas, memutuskan untuk berterus terang. Siapa tahu itu juga akan
mendorong Katie untuk jujur padaku. "Coop adalah pacarku saat kuliah. Yang tidak aku
nikahi saat umurku dua puluh satu."
Katie tiba-tiba meregangkan pancingnya dan menarik ikan emas yang berkelejat di kailnya.
Sisiknya berkilau ditimpa matahari; ekornya bergedebuk di antara Katie dan aku. Katie
mengangkat ikan itu dengan memasukkan jempolnya ke mulut ikan, dan melepaskannya ke
air lagi.
"Siapa di antara kalian yang memutuskan?" tanyanya.
Aku tidak berpura-pura salah mengerti pertanyaannya. "Yang memutuskan," kataku pelan,
"adalah aku."

"Aku merasa tak enak badan saat makan malam," kata Katie pada kami, matanya terpaku di
kejauhan di belakang bahu Coop. "Mam menyuruhku ke atas dan berbaring, dan dia yang
akan mencuci piringnya."
Coop mengangguk, memberi semangat. la sudah di sini selama dua jam, mewawancarai
Katie tentang malam saat pembunuhan terjadi. Aku sangat heran melihat Katie saat
kooperatif, bahkan bersemangat.
"Kau merasa tak enak badan," panting Coop. "Apakah pusing? Sakit perut?"
"Rasanya seluruh tubuhku demam, dan pusing. Seperti flu."
Aku belum pernah punya anak, tapi gejala-gejala itu lebih mirip gejala infeksi virus
daripada melahirkan. "Apa kau tertidur?" tanya Coop.
"Ja, setelah beberapa saat. Dan lalu aku terbangun pagi harinya."
"Kau tak ingat apa pun di antara waktu saat kau pergi tidur merasa tak enak badan, dan
waktu kau terbangun pagi hari?"
"Tidak," kata Katie."Tapi apanya yang aneh tentang itu? Aku biasanya tak ingat apa pun saat
aku tertidur hingga bangun, kecuali kalau aku bermimpi."
"Apa kau merasa sakit saat bangun?"
Wajah Katie merona merah. "Sedikit."
"Pusing dan demam yang lama?"
Ia menundukkan kepala. "Tidak. Aku menstruasi."
"Katie, apakah aliran darahnya lebih deras dari biasanya?" tanyaku, dan ia mengangguk.
"Apa kau merasa kram?'
"Sedikit," akunya. "Tidak terlalu sakit sehingga membuatku tak bisa melakukan pekerjaan
sehari-hari:"
"Apa kau merasa sakit?"
"Maksudmu otot-ototku?"
"Tidak. Di antara kakimu?"
Setelah melirik ke Coop, Katie menggumam padaku. "Rasanya sedikit panas. Tapi kukira itu
mungkin karena flu."
"Jadi," kata Coop, berdeham, "kau bangun dan melakukan pekerjaanmu?"
"Aku mulai memasak sarapan," jawab Katie. "Ada keributan di gudang, lalu polisi Inggris
datang, dan Mam melongokkan kepala ke dapur cukup lama untuk menyuruhku memasak
lebih banyak bagi mereka." Katie berdiri, mondar-mandir di beranda. "Aku tak pergi ke
gudang hingga Samuel mengatakan padaku apa yang terjadi:"
"Apa yang kaulihat?"
Air mata menggenang di matanya. "Bayi yang sangat mungil," bisiknya. "Oh, bayi laki-laki
paling mungil yang pernah kulihat "
"Katie," kata Coop lembut, "apakah kau pernah melihat bayi itu sebelumnya?"
77
Katie menggeleng cepat, seakan-akan ia ingin menghilangan ingatan itu.
"Apa kau memegang bayi itu?"
"Tidak."
"Apakah bayi itu dibungkus?"
"Dengan kemeja," bisiknya. "Sehingga hanya wajahnya yang terlihat, dan sepertinya ia
sedang tertidur, seperti Hannah dulu saat ia masih bayi di boksnya."
"Kalau bayi itu dibungkus, kalau kau tak pernah menyentuhnya... bagaimana kau tahu dia
laki-laki?"
Katie berkedip ke arah Coop. "Aku tak tahu."
"Cobalah lebih keras, Katie. Coba ingat saat kau tahu bayi itu laki-laki."
Katie menggeleng, menangis lebih keras sekarang. "Kau tak bisa melakukan ini padaku,"
isaknya, lalu berbalik dan lari.
"Dia akan kembali," kataku, memandang ke arah Katie lari. "Tapi baik sekali kau
mengkhawatirkannya."
Coop menghela napas dan bersandar ke ayunan beranda. "Aku memaksanya hingga akhir
pertahanannya," katanya. "Langsung mendobrak ke dunia tempat ia tinggal selama ini di
pikirannya. la harus memblokirnya, atau kalau tidak mengakui bahwa logikanya selama ini
tidak cocok." Ia berpaling padaku. "Kau yakin dia bersalah, bukan?"
Baru pertama kali ini sejak aku tinggal di sini ada orang yang langsung menanyakan
pertanyaan itu padaku. Keluarga Fisher, teman-teman dan kerabat Amish mereka—semua
orang di komunitas ini sepertinya menganggap dakwaan pembunuhan terhadap Katie seperti
tuduhan aneh yang harus mereka terima, tapi tak perlu dipercaya. Tetapi, aku tidak
melihat gadis yang sudah kukenal selama hidupku—hanya segunung bukti yang sepertinya
merugikan. Dari laporan polisi hingga ke diskusiku dengan ahli patologi neonatal, semua
yang kulihat sejauh ini mengindikasikan bahwa Katie baik secara aktif maupun pasif telah
menyebabkan kematian bayinya. Tindakannya menyembunyikan kehamilan—itu adalah
perencanaan. Ancaman akan kehilangan Samuel, juga penghargaan dari orangtuanya;
ketakutannya akan diasingkan itu adalah motif. Penyangkalan terus-menerus terhadap fakta
yang sudah jelas, yah, firasatku adalah mengingat bagaimana cara Katie dibesarkan, itu
adalah satu-satunya cara Katie untuk menyelesaikan akibat dari tindakannya yang ia tahu
salah.
"Aku punya tiga pilihan pembelaan, Coop," kataku. "Nomor satu: ia melakukannya dan ia
menyesal, lalu aku menyerahkannya pada kebijaksanaan pengadilan. Tapi itu artinya aku
harus menjadikannya saksi, dan dengan begitu, mereka akan tahu dia sama sekali tak
menyesal—dia bahkan menyangkal telah melakukan kejahatan itu. Nomor dua: dia tidak
melakukannya, orang lain yang melakukannya. Pembelaan yang bagus, tapi sangat tidak
mungkin, mengingat itu adalah kelahiran prematur yang terjadi diam-diam pada jam dua
pagi. Dan nomor tiga: dia melakukannya, tapi dia sedang dalam kondisi disosiasi saat itu,
dan dia tak bisa dihukum karena kejahatan itu kalau secara mental dia tak di sana."
"Kau yakin dia bersalah," ulang Coop.
Aku tak bisa memandang matanya. "Aku yakin itu satu-satunya kesempatanku untuk
membebaskannya."

Aku dan Aaron berjalan masuk ke gudang petang harinya—ku menuju komputerku, dan
Aaron hendak memberi makan sapi-sapi. Tiba-tiba ia berhenti di sampingku. Di gudang ada
firasat seakan-akan bakal terjadi sesuatu. Salah satu sapi yang bunting di kandang
melenguh keras hendak melahirkan, kaki kecil keluar di antara kedua kaki belakangnya.
Dengan cepat, Aaron meraih sepasang sarung tangan karet panjang dan masuk ke kandang,
menarik kaki kecil itu, hingga wajah putih kecil muncul di samping kaki kedua. Aaron terus
menarik dan menarik, dan aku memandang terpukau saat sapi kecil itu terlahir berlepotan
darah, diiringi suara ketuban pecah.
Anak sapi itu jatuh, telentang di tumpukan jerami. Aaron berlutut di sampingnya dan
mengusapkan jerami ke wajah sapi itu. Hidung kecilnya berkerut, dan bersin, lalu bayi sapi
itu bernapas, berdiri, dan mengendus-endus sisi perut induknya. Setelah mengintip di
bawah perut bayi sapi itu, Aaron menyeringai. "Sapi betina," katanya mengumumkan.
Yah, tentu saja. Memangnya apa yang dia harapkan—ikan paus?
Seakan-akan bisa membaca pikiranku, Aaron tertawa. "Anak sapi betina," ulangnya. "Bukan
jantan."
la berdiri sambil melepaskan sarung tangannya. "Keajaiban, bukan?"
Induk sapi itu menjilat-jilatnya lidahnya menghilangkan sisa lendir di tubuh anaknya.
Terpesona, aku memandang terpukau. "Bagus sekali," gumamku.

Saat mendengar bahwa Mary Esch mengadakan acara menyanyi, Katie berlutut dan
memohon agar diizinkan pergi. "Kau bisa ikut," katanya, siapa tahu itu bisa membuatku
tertarik. "Tolonglah, Ellie."
Dari apa yang ia ceritakan padaku dan Coop, aku tahu ini adalah acara sosial. Itu akan
memberiku kesempatan untuk melihat reaksi Katie di antara anak laki-laki Amish lainnya,
anak laki-laki yang mungkin menjadi ayah bayinya.
78
Jadi, lima jam kemudian, aku duduk di sebelah Katie di bangku depan kereta kuda, menuju
acara menyanyi himne. Aku pernah naik kereta keluarga Fisher sebelumnya, tapi di bangku
belakang rasanya tidak seberbahaya di bangku depan. Mencengkeram pinggirannya erat-
erat, aku bertanya pada Katie, "Berapa lama kau sudah mengendarai kereta?"
"Sejak aku tiga belas tahun." Katie memandangku dan meringis. "Kenapa? Mau memegang
tali kekang?"
Ada sesuatu pada diri Katie malam ini—ada pijar, harapan—yang membuat mataku selalu
kembali padanya. Sesampainya di sana, Katie mengikat kereta kudanya di samping deretan
kereta lainnya dan kami masuk ke gudang. Mary mencium pipi Katie dan membisikkan
sesuatu yang membuat Katie menutup mulutnya dan tertawa. Aku mencoba berbaur di latar
belakang dan memandang gadis-gadis dengan wajah bersinar dan gaun berwarna pelangi,
para pemuda dengan rambut disisir rapi dan lirikan sembunyi-sembunyi. Aku merasa seperti
pengawas di pesta dansa SMA-berwibawa, kritis, dan tua. Lalu aku melihat wajah yang
familier.
Samuel berdiri di antara, sekelompok pemuda yang agak lebih dewasa; para pemuda; yang
kurasa sudah dibaptis seperti dia tapi tetap melajang. la memunggungi Katie, dan
mendengarkan percakapan anak lain—kelihatannya mereka sedang bercerita jorok tentang
wanita gemuk atau kuda. Saat sekelompok pemuda itu tertawa, Samuel tersenyum tipis,
lalu berjalan pergi.
Para remaja itu mulai menuju ke dua meja piknik panjang. Meja pertama untuk para gadis
yang duduk berhadapan dengan para pemuda. Meja kedua untuk pasangan: gadis dan
pemuda duduk berdampingan, tangan mereka saling bertaut ditutupi lipatan rok sang gadis.
Seorang wanita muda yang belum pernah kutemui mendekatiku. "Ms. Hathaway, aku akan
mengantarkan Anda ke tempat duduk Anda."
Aku mengira akan dihujani pertanyaan tentang identitasku,tapi aku seharusnya lebih tahu.
Kekuatan kata dari mulut ke mulut sangat hebat di komunitas Amish; anak-anak ini sudah
mendengar tentangku selama hampir dua minggu. "Sebenarnya," kataku, "aku mau berdiri di
sini dulu dan melihat"
Gadis itu tersenyum dan duduk di meja untuk mereka yang lajang, berbisik pada temannya,
yang melirikku malu-malu. Katie duduk di ujung meja untuk pasangan, menyisakan satu
tempat di sebelahnya. Seakan-akan tak ada apa pun yang terjadi malam sebelumnya, ia
tersenyum pada Samuel, saat pemuda itu berjalan ke meja.
Samuel terus berjalan.
Dengan Katie yang memandang setiap langkahnya, Samuel duduk di tempat para lajang.
Hampir semua mata memandang apa yang dilakukan Samuel, lalu beralih memandang
Katie, tapi tak seorang pun bicara. Katie menundukkan kepala, lehernya menunduk sangat
rendah seperti leher angsa, pipinya merona.
Ketika nada tinggi himne naik ke langit-langit, ketika mulut para gadis membulat penuh
suara dan suara para pemuda menjadi lebih dalam, aku maju perlahan ke meja pasangan.
Aku melangkahi bangku dan duduk di samping Katie, yang tidak memandangku. Aku
meletakkan tanganku, terbuka ke atas di lututnya dan menghitung: seperempat nada,
setengah, dan satu nada penuh sebelum ia menerima tawaran tanganku.
Kalau tidak membelakangi mereka, aku pasti tidak bisa mengenali para remaja itu sebagai
Amish. Percakapan dan obrolan, tawa terkikik, suara denting gelas dan piring saat makanan
kecil disajikan, semuanya terasa akrab dan bersuasana Inggris. Bahkan bayangan-bayangan
yang bergerak di pojok—pasangan yang mencari tempat agar bisa lebih dekat—dan pasangan
yang mencari tempat di luar, wajah-wajah mereka merona karena panas gairah, lebih cocok
di duniaku daripada dunia Katie.
Katie duduk seperti ratu lebah di kursi tinggi, dikelilingi teman-teman wanitanya yang
setia, berspekulasi tentang apa yang menyebabkan Samuel meninggalkan Katie. Kalaupun
mereka berusaha menghibur Katie, itu tak berhasil. Katie terlihat shock, seakan penolakan
dua malam berturut-turut terlalu berat baginya.
Tapi kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini ia sulit menerima lebih dari satu kenyataan hidup.
Tiba-tiba kelompok gadis-gadis itu terbelah. Dengan topi di tangan, Samuel maju ke arah
Katie. "Halo," katanya.
"Halo."
"Bolehkah aku mengantarmu pulang?"
Beberapa gadis menepuk punggung Katie, seakan-akan mengatakan bahwa mereka tahu
semua akan baik-baik saja. Katie tetap menunduk. "Aku bawa kereta sendiri. Dan Ellie
bersamaku."
"Mungkin Ellie bisa pulang sendiri."
Itu adalah petunjuk bagiku untuk bicara. Aku maju ke depan dari tempatku menguping dan
tersenyum. "Maaf, anak-anak. Katie kau boleh mempunyai waktu pribadi, tapi asalkan itu
tidak melibatkanku dengan kuda yang liar dan tali kekang."
79
Samuel memandangku. "Sepupuku Susie bilang dia akan mengantarkanmu ke rumah Fisher
kalau kau mau. Dan nanti aku akan mengantar Katie pulang."
Katie menunggu, pasrah pada keputusanku. "Baiklah," kataku menghela napas. Aku
bertanya-tanya apakah Susie sudah cukup besar untuk mendapatkan SIM di duniaku.
Aku memandang Katie naik ke kereta terbuka yang dibawa Samuel. Aku naik ke kereta kuda
keluarga yang kami bawa, di samping gadis kurus dengan kacamata pantat botol yang akan
menjadi sopirku. Sebelum mereka pergi, Katie melambai padaku dan tersenyum gugup.
Perjalanan pulang ke rumah selama lima belas menit terasa lama dan sunyi. Susie bukanlah
teman ngobrol yang baik: ia kelihatannya sangat kaget karena berada begitu dekat dengan
seseorang yang bukan Amish. Saat ia minta permisi untuk ke kamar mandi ketika kami
sampai di rumah Fisher, aku terlompat kaget mendengar suaranya. "Tentu," kataku. "Silakan
masuk saja."
Itu bukan cara tuan rumah yang baik, tapi aku tak akan pergi sebelum Katie datang. Untuk
berjaga-jaga.
Aku tetap duduk di kereta, karena aku tak tahu bagaimana melepaskan kekangnya. Sesaat
kemudian, terdengar suara derap kuda di tanah, mengumumkan kedatangan kereta Samuel.
Aku seharusnya memberitahu mereka bahwa aku ada di sana. Tapi aku malah bersembunyi
di dalam kereta, menunggu apa yang akan dikatakan Katie dan Samuel.
"Katakan saja padaku," suara Samuel sangat lembut dan aku pasti tak bisa mendengarnya
kalau angin tak berembus ke arahku. "Katakan siapa dia." Karena Katie diam saja, Samuel
mulai frustrasi. "Apakah John Lapp? Aku pernah melihatnya memandangimu. Atau Karl
Mueller?"
"Tak seorang pun," Katie ngotot. "Hentikan."
"Ada seseorang! Seseorang menyentuhmu. Seseorang memelukmu. Seseorang membuat bayi
itu!"
"Tidak ada bayi! Tidak ada bayi!" Suara Katie meninggi dan berteriak, lalu aku mendengar
dia melompat dari kereta dan lari masuk rumah.
Aku melongok dari tempat persembunyianku dan malu-malu melihat ke arah Samuel, dan
Susie, yang bertabrakan dengan Katie di pintu depan.
"Memang ada bayi," bisik Samuel padaku.
Aku mengangguk. "Aku turut menyesal."

E. Trumbull Tewksbury datang tak lama setelah makan siang, mengenakan kacamata G-man
aviatornya, rambut pendek dan bersetelan hitam. la melihat sekeliling pertanian seakan-
akan mencari pembunuh atau teroris, lalu bertanya di mana ia bisa bersiap-siap. "Di dapur,"
kataku mengantarnya ke dalam, ke tempat Katie sudah menunggu.
Bull mantan agen FBI dan sekarang menjadi penguji tes kebohongan swasta. Pada dasarnya,
ia bisa disewa. Sebelumnya ia pernah datang atas permintaanku ke rumah klienku dengan
peralatan portabelnya, dan mempunyai bekal cukup dari latihan di masa lalu sehingga ia
memancarkan keseriusan dalam pekerjaan dan ancaman samar bahwa—penjahat atau bukan
—kliennya sebaiknya berkata jujur.
Tentu saja, ini pertama kalinya ia harus mendapatkan izin dari uskup Amish untuk
melaksanakan tes, mengingat peralatan detektor kebohongan mencakup tape recorder,
mikro ton, dan baterai. Tapi karena gereja mengizinkan, bahkan Aaron pun dengan kesal
terpaksa membiarkan kami sendiri. Hanya ada aku, Katie, dan untuk dukungan moral,
Sarah, yang memegang tangan putrinya erat-erat.
"Bernapas dalam-dalam," kataku mencondongkan tubuh ke Katie. la sangat ketakutan,
seperti beberapa klienku sebelumnya. Tentu saja; aku tak tahu apakah ketakutan itu karena
rasa bersalah, atau karena ia belum pernah melihat begitu banyak peralatan aneh ini di
depannya. Namun karena mesin detektor ini bereaksi pada syaraf, rasa takut Katie harus
dihilangkan, tak peduli apa penyebabnya.
"Aku hanya akan menanyakan beberapa pertanyaan," kata Bull. "Kau lihat ini? Ini cuma tape
recorder kecil. Dan ini adalah mikrofon." la menyentuhnya dengan ujung jari. "Dan ini, ini
tak ada bedanya dengan alat seismograf pengukur gempa bumi."
Jari-jari Katie pucat memegang erat tangan Sarah. Pelan sekali ia berbisik dalam dialek
Amish, kata-kata yang menjadi akrab denganku setelah tinggal bermalam-malam dengan
keluarga Fisher. "Unser Vater, in dem Himmel. Dein Name werde geheiliget. Dein Reich
komme. Dein Wille geschehe auf Erden wieim Himmel."
Selama bertahun-tahun menjadi pengacara aku belum pernah punya klien yang
mengucapkan doa Bapa Kami sebelum menjalani tes detektor kebohongan.
"Santai saja," kataku menepuk lengannya."Kau hanya perlu menjawab ya atau tidak."
Akhirnya, bukan aku yang berhasil menenangkan Katie. Tapi Bull sendiri yang mengalihkan
obrolan tentang sapi Jersey dan kandungan krim dalam susu mereka. Melihat ibunya ngobrol
dengan pria asing itu tentang topik yang familier, bahu Katie mengendur, lalu punggungnya,
dan akhirnya ketakutannya berkurang.
80
Tape recorder mulai berputar. “Siapa namamu?” tanya Bull.
“Katie Fisher.”
“Apakah umurmu delapan belas tahun?”
“Ya.”
“Apakah kau tinggal di Lancaster?”
“Ya.”
“Apakah kau sudah dibaptis sebagai Amish?”
“Ya.”
Aku mendengarkan pertanyaan pembuka yang kutulis dari tempat dudukku di sebelah Bull,
tempat aku bisa melihat gerak jarum di detektor kebohongan dan printout jawabannya.
Sejauh ini, tak ada yang aneh. Tapi tak ada satu pun yang pertanyaan yang telah diajukan
bisa dianggap pertanyaan provokatif. Ini berjalan selama beberapa menit, untuk membuat
Katie lebih santai, lalu kami masuk ke alasan sebenarnya mengapa kami melakukan ini.
“Kau kenal Samuel Stolzfus?”
“Ya,” kata Katie, suaranya lebih bergetar.
“Apakah kau berhubungan seks dengan Samuel Stolzfus?”
“Tidak.”
“Apakah kau pernah hamil?”
Katie memandang ibunya. “Tidak,” katanya.
“Apakah kau membunuh bayimu?”
“Tidak,” kata Katie.
Trumbull mematikan mesin detektor dan merobek printoutnya. Ia menandai dua tempat
saat jarum bergerak sedikit, tapi aku dan dia tahu bahwa tak satu pun dari jawaban itu
mengindikasikan kebohongan. “Kau lulus,” katanya.
Mata Katie membelalak senang, lalu ia berteriak kecil dan memeluk Sarah erat-erat.
Kemudian ia menoleh padaku, tersenyum. “Ini bagus bukan? Kau bisa mengatakan ini pada
juri?”
Aku mengangguk. “Ini jelas satu langkah ke arah yang benar. Tapi biasanya kami melakukan
dua kali tes. Untuk bukti lebih lanjut.” Aku mengangguk ke arah Bull, memintanya bersiap-
siap lagi. “Selain itu, kau sudah melewati bagian yang sulit.”
Jauh lebih santai, Katie duduk di kursinya dan dengan sabar menunggu Bull menyiapkan
mikrofon. Aku mendengarkannya memberikan jawaban yang sama dari rangkaian
pertanyaan yang sama.
Katie selesai, pipinya merona merah muda, dan tersenyum pada ibunya. Bull menarik
printout dari mesin detektor dan melingkari beberapa tempat di saat jarumnya telah
membuat coretan panjang dan tinggi—bahkan salah satunya hampir mencapai pinggir
kertas. Kali ini Katie berbohong saat menjawab tiga pertanyaan: tentang kehamilan,
tentang melahirkan, dan tentang membunuhnya.
“Mengejutkan,” gumam Bull padaku, “karena dia lebih santai kali ini.” Ia mengangkat bahu
dna mulai melepaskan kabel-kabel. “Tapi mungkin justru karena itu.”
Itu artinya aku tak bisa menggunakan tes sebelumnya sebagai bukti—tanpa menyerahkan
hasil tes kedua ketika Katie gagal total pada penuntut umum. Artinya hasil dari detektor
kebohongan tak konklusif.
Dengan mata bersinar dan tak mengerti, Katie memandangku. “Kita sudah selesai?”
Tugas Katie adalah memberi makan anak-anak sapi. Setelah dua hari mereka diambil dari
induknya dan ditempatkan di kubah plastik kecil yang dijajarkan di luar gudang seperti
barisan rumah anjing. Kami masing-masing membawa satu botol susu—anak-anak sapi itu
diberi susu formula, sehingga mereka tidak mengambil susu dari induknya yang bisa
memberikan pendapatan. “Kau beri makan Sadie,” kata Katie, menunjuk anak sapi yang
terlahir di hadapanku beberapa hari lalu. “Aku beri makan Gideon.”
Sadie tumbuh menjadi anak sapi yang manis. Tak lagi berlepotan darah seperti sesaat
setelah lahir, ia mengingatkanku pada peta hitam dan putih, dengan benua hitam besar di
pinggul dan punggungnya. Hidungnya yang kasar bergerak-gerak mencium bau susu formula.
“Hai, gadis kecil,” kataku menepuk kepalanya. “Kau lapar?”
Tapi Sadie sudah menemukan dot botol dan sekarang berusaha menariknya dari tanganku.
Aku memiringkan botol susu itu agar susu mengalir, mengerutkan kening melihat rantai yang
mengikat ke penjara gubuk plastik kecilnya. Aku tahu bahwa sapi perah tak keberatan
diikat di tiang, tapi ini baru bayi. Apa dia bisa membuat masalah?
Saat Katie memunggungiku, aku melepaskan kaitan kerah anak sapi itu dari rantainya.
Seperti yang kukira sebelumnya, Sadie bahkan tak merasakannya. Lehernya naik turun saat
ia berusaha menghabiskan setiap tetes susu dalam botol, lalu menyurukkan kepalanya ke
bawah lenganku.
“Maaf,” kataku. “Susunya sudah habis.”
Katie tersenyum dari balik bahunya, di sana Gideon—yang sudah lebih tua dan tidak
seserakah Sadie, masih mengisap botolnya. Dan saat itulah Sadie melompat ke arahku,
menendang perutku keras sekali saat ia berlari.
“Ellie,” jerit Katie. “Apa yang telah kaulakukan?”
Katie mengejar anak sapi itu, yang sepertinya mempunyai per di keempat kakinya. Sadie
lari setengah lingkaran lalu berbelok ke arahku.
81
"Tangkap kaki depannya," teriak Katie, dan aku melompat menangkap lutut Sadie,
meruntuhkan badannya dalam satu tackle sempurna.
Terengah-engah, Katie menarik rantai ke tempat aku menahan Sadie dan mengikat rantai
kerahnya lagi. Lalu ia duduk di sampingku untuk menata napas. "Maaf," sengalku. "Aku tidak
tahu." Aku memandang Sadie masuk kembali ke tendanya. "Tackle yang hebat lho. Aku
mungkin harus mencoba masuk ke Eagles."
"Eagles?"
"Futbol."
Katie memandang kosong ke arahku. "Apa itu?"
"Itu, permainan di TV." Rupanya penjelasanku tak bisa membuatnya mengerti. "Itu seperti
bisbol," kataku akhirnya, mengingat anak-anak usia sekolah yang Bering bermain dengan
wrung tangan dan bola bisbol. "Tapi berbeda. The Eagles adalah tim profesional, yang
artinya pemainnya mendapatkan banyak uang untuk bermain."
"Mereka dapat uang dari bermain bola?'
Dikatakan dengan cara itu, memang kelihatannya sangat bodoh. "Well, ya."
"Lalu apa pekerjaan mereka?"
"Itu pekerjaan mereka," jelasku. Tapi itu sekarang terlihat aneh bagiku—dibandingkan
dengan keberadaan hari demi hari seseorang seperti Aaron Fisher, yang pekerjaannya
langsung melibatkan memberi makan pada keluarganya, apa artinya melempar bola ke
gawang? Dan terkait dengan itu, apa arti karierku sendiri, yang mencari nafkah dengan
kata-kata dan bukan tanganku?
"Aku tidak mengerti," kata Katie jujur.
Dan duduk di pertanian Fisher, saat itu, aku juga tidak mengerti.

Aku menoleh ke Coop. "Kau bercerai karena percekcokan masalah bank?"


"Yah, tidak tepat seperti itu."
Giginya berkilau di cahaya bulan. "Mungkin itu adalah pemicu yang meledakkan semuanya."
Kami duduk di atas alat yang pernah kulihat ditarik Elam, Samuel dan Aaron di belakang
keledai-keledai, dan berusaha agar kaki kami tak terluka. Gigi garpu tajam mencuat seperti
taring dari tiga roda jeruji di bagian bawah, dan bagiku kelihatannya ini seperti alat
penyiksaan, meskipun Katie mengatakan padaku bahwa benda ini adalah pengaduk, untuk
mengaduk jerami sehingga lebih kering sebelum dipak. "Biar kutebak. Utang kartu kredit.
Dia punya kelemahan terhadap Neiman Marcus."
Coop menggeleng. "Password ATM-nya."
Aku tertawa. "Mengapa? Apakah password-nya ternyata nama julukan memalukan yang ia
tujukan padamu?"
"Aku bahkan tak tahu apa password-nya. Itulah inti pertikaiannya." Ia mengeluh. "Kami
pergi makan malam dan dompetku ketinggalan di rumah. Kami perlu mengambil uang dari
ATM, jadi aku mengambil kartunya dari dompetnya dan bilang aku yang akan pergi. Tapi
saat aku menanyakan password-nya, ia tak mau menjawab."
"Aturannya," kataku, "kau seharusnya tidak memberitahu password-mu pada siapa pun."
"Kau mungkin pernah punya klien yang suaminya melarikan semua uangnya lalu kabur ke
Meksiko, ya? Masalahnya, Ellie, aku bukan pria seperti itu. Aku tak pernah begitu. Dan dia
tak mau menyerah. Tak mau memercayaiku dan mengatakan password-nya. Itu membuatku
berpikir berapa banyak lagi yang ia rahasiakan dariku."
Aku memainkan kancing sweter cardiganku, tak tahu harus berkata apa: "Suatu kali, saat
aku dan Stephen sudah bersama selama, aku tak ingat—enam tahun?—Aku kena flu. la
membawakan sarapan untukku—telur, roti bakar, kopi. Dia baik sekali, tapi dia
membawakan kopi dengan krim dan gula. Padahal selama enam tahun, setiap hari, aku
duduk di seberang meja darinya dan minum kopi hitam."
"Apa yang kaulakukan?"
Aku tersenyum lemah. "Berterima kasih padanya, dan mengencaninya selama dua tahun
lagi," gurauku. "Pilihan apa lagi yang aku punya?'
"Selalu ada pilihan, Ellie. Kau cuma tak mau melihatnya."
Aku berpura-pura tak mendengar Coop. Memandang ke ladang tembakau, aku mengamati
kunang-kunang menghiasi nuansa hijau seperti lampu Natal di bulan Juli. "Itu duvach,"
kataku, teringat kata Dietsch yang diajarkan Katie.
"Mengubah topik," kata Coop. "Masih Ellie yang dulu."
"Apa maksudmu?"
"Kau dengar aku." la mengangkat bahu. "Kau sudah melakukannya selama bertahun-tahun."
Aku menyipitkan mata, menoleh padanya. "Kau tak tahu apa yang telah kukerjakan selama
ini—"
"Itu," potongnya, "bukan pilihanku."
Aku menyilangkan lengan di dada, jengkel. "Aku mengerti ini risiko pekerjaan bagimu, tapi
ada orang yang memilih tidak mengungkit masa lalu."
"Masih tersinggung atas apa yang terjadi?"
"Aku?" aku tertawa. "Buat seseorang yang mengatakan bahwa dia telah memaafkanku, kau
sangat suka mengungkit sejarah kita."
"Memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang berbeda."
"Yah, kau punya dua puluh tahun untuk melupakannya. Mungkin kau bisa melakukan itu
selama kau memeriksa klienku."
"Kaupikir aku jauh-jauh datang ke sini dua kali seminggu gratis untuk bertemu dengan gadis
Amish?" Coop mengulurkan tangan dan menangkupkan kedua tangannya di pipiku,
amarahnya langsung menghilang begitu aku menarik napas terkejut.
82
"Aku ingin menemuimu, Ellie. Aku ingin tahu apakah kau sudah mendapatkan apa yang
kauinginkan bertahun-tahun lalu."
la sangat dekat sekarang sehingga aku bisa melihat pijar emas di mata hijaunya. Merasakan
kata-katanya di kulitku. "Kau minum kopi hitam," bisiknya. "Kau menyisir rambutmu seratus
kali sebelum tidur. Kau gatal-gatal kalau makan raspberry. Kau suka mandi setelah
bercinta. Kau hafal lirik lagu Paradise By The Dashboard Light dan kau menyimpan koin di
kantongmu saat Natal untuk disedekahkan pada Santa di Salvation Army." Tangan Coop
merengkuh belakang leherku. "Apa yang kulupakan?"
"A-T-T-Y," bisikku. "Password ATM-ku."
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, merasakannya. Jari jemari Coop menekan leherku,
mengelusnya, dan saat aku memejamkan mata aku memikirkan berapa banyak bintang di
sini, betapa biru langit malam, dan di tempat ini kau bisa kehilangan kendali diri.
Bibir kami baru hendak bertemu ketika kami tersentak, dikagetkan suara kaki berlari di
halaman.

Kami sudah mengikuti Katie berjalan sejauh satu setengah kilometer, terhuyung-huyung
dalam diam, sehingga Katie tak melihat kami. Tapi Katie-lah yang membawa senter, jadi
kami jelas dalam posisi kurang beruntung. Coop menggandeng tanganku, menekannya
sesekali untuk memperingatkan saat ia melihat ranting, batu, atau lubang di jalan di depan
kami.
Kami tak bicara, tapi aku yakin Coop berpikir sama denganku: Katie pergi untuk menemui
seseorang dan ia tak ingin aku ada. Itu artinya bukan Samuel, dan kemungkinan yang akan
ditemuinya adalah ayah si bayi yang belum dikenal.
Aku bisa melihat rumah pertanian di lereng pegunungan di depan kami, dan bertanya-tanya
apakah itu rumah kekasih Katie. Tapi sebelum aku bisa menebak-nebak lagi, Coop
menarikku ke kiri, ke lapangan terbuka berpagar pendek yang baru saja dimasuki Katie.
Butuh waktu sesaat sebelum aku menyadari bahwa batu putih yang kukira pagar itu adalah
nisan—kami ada di makam tempat Sarah dan Aaron memakamkan mayat bayi itu.
"Ya Tuhan," desahku dan tangan Coop langsung menutup mulutku.
"Perhatikan saja dia," bisiknya di telingaku. "Ini mungkin awal dari keruntuhan dinding
pembatas dalam pikirannya."
Kami merunduk di kejauhan, tapi Katie sepertinya tak sadar. Matanya membuka lebar dan
terlihat kosong. la meletakkan senter di nisan lainnya, sehingga memberikan cahaya di
makam dan nisan baru di depannya.
LAHIR MATI, persis seperti yang dikatakan Leda. Aku mengamati jari Katie mengelus setiap
hurufnya. Ia membungkuk—apakah dia menangis? Aku hendak mendekatinya, tapi Coop
menahanku.
Katie mengambil palu kecil dan pahat dan menempelkannya ke nisan. la menghantamkan
palunya, sekali, dua kali.
Coop tak bisa menghentikanku kali ini. "Katie!" panggilku, berlari ke arahnya, tapi Katie tak
menoleh. Aku berjongkok di sebelahnya dan mencengkeram bahunya, lalu mengambil pahat
dan palu itu dari tangannya. Air mata membasahi wajahnya, tapi ekspresinya kosong. "Apa
yang kaulakukan?"
la memandangku dengan pandangan kosong, dan tiba-tiba tersadar. "Oh," bisiknya,
menutupi wajah dengan kedua tangan. Tubuhnya mulai gemetaran tak terkendali.
Coop merengkuh Katie. "Ayo kita bawa pulang dia," katanya. la mulai berjalan keluar
pemakaman, Katie tersedu di dadanya.
Aku berlutut di makam, mengambil pahat dan palu. Katie berhasil merusak beberapa huruf
di nisan. Sayang sekali, padahal Aaron dan Sarah sudah membayar mahal untuk nisan itu.
Aku mengelus huruf-huruf yang tersisa: MATI.

"Mungkin dia berjalan dalam tidur," kata Coop. "Aku pernah punya pasien yang mengalami
gangguan tidur dan mengacaukan hidupnya."
"Aku sudah tidur di kamar yang sama dengannya selama dua minggu, dan aku belum pernah
melihatnya bangun, bahkan untuk ke kamar mandi." Aku gemetar, dan Coop merangkulkan
lengannya di bahuku. Di bangku kecil di pinggir kolam pertanian Fisher, aku bergerak
mendekat.
"Tapi," katanya, "mungkin dia mulai menyadari apa yang telah terjadi."
"Aku tak mengerti. Mengapa mengaku hamil membuatnya merusak nisan?"
"Aku tak bilang dia mengakui pada dirinya sendiri. Aku bilang dia mulai menyadari beberapa
bukti yang telah kita sodorkan padanya, dan entah bagaimana, dia mulai menerimanya. Di
bawah sadar.”
"Ah. Kalau nisan bayi itu tak ada, bayi itu juga tak pernah ada."
"Tepat sekali." Coop menghela napas pelan, lalu berkata hati-hati. "Sudah cukup sekarang,
Ellie. Kau pasti bisa menemukan psikiater forensik yang akan mendukungmu untuk
pembelaan berdasarkan kegilaan."
Aku mengangguk, bertanya dalam hati mengapa dukungan Coop tidak membuatku merasa
lebih baik. "Kau akan terus bicara dengannya, kan?"
"Yeah. Aku akan melakukan apa pun yang aku bisa untuk membantunya saat kesadarannya
kembali. Dan itu tak lama lagi."
83
la tersenyum lembut, menambahkan. "Sebagai psikiatermu, aku harus mengatakan bahwa
kau menjadi terlibat terlalu dalam di kasus ini."
Perkataannya membuatku tersenyum. "Psikiaterku?"
"Dengan senang hati, Ma'am. Tak ada orang lain lagi yang lebih kusuka untuk kubantu."
“Maaf. Aku tidak gila."
Coop mencium belakang telingaku. "Tapi," gumamnya. la merengkuhku, membiarkan
mulutnya mencium rahangku dan pipiku sebelum menempel ringan di bibirku. Dengan
sedikit terkejut, aku menyadari bahwa setelah bertahun-tahun, aku masih mengenalnya—
pola kode morse ciuman kami, tempat tangannya menyentuh punggungku dan pinggangku,
rambutnya saat jari-jariku menyusup.
Sentuhan Coop mengembalikan kenangan dan menimbulkan sensasi baru. Jantungku
berdegup kencang menekan dadanya; kakiku melingkar di kakinya. Di pelukannya, aku
merasa seakan masih berumur dua puluh tahun lagi, dunia terbentang bentang di depanku
seperti sebuah pesta.
Aku mengerjapkan mata, tiba-tiba kolam dan Coop kembali terlihat jelas. "Matamu
terbuka," buka," bisikku ke mulutnya.
Coop mengelus punggungku. "Terakhir kali aku menutup mata, kau menghilang." Jadi aku
juga membuka mataku dan terkejut oleh dua hal. Aku tak pernah mengira akan
mengalaminya sendiri: merasakan diriku kembali bergairah; dan melihat hantu gadis kecil
yang berjalan di atas air..
Aku menarik diri dari pelukan Coop. Hantu Hannah? Tak mungkin.
"Ada apa?" gumam Coop.
Aku mendekatkan diri padanya lagi. "Kau," kataku. "Hanya kau."

Sembilan
KADANG-KADANG, saat Jacob Fisher duduk di kantor sempit yang dibaginya dengan seorang
mahasiswa S2 lainnya di jurusan Bahasa Inggris, ia mencubit dirinya sendiri tak percaya.
Sepertinya belum begitu lama sejak ia menyembunyikan drama Shakespeare di bawah
karung-karung makanan sapi di gudang; sejak ia begadang semalaman membaca dengan
bantuan lampu senter, terhuyung-huyung mengerjakan pekerjaan paginya, terpesona dan
mabuk dengan apa yang baru saja ia pelajari. Dan sekarang ia ada di sini, dikelilingi buku,
dibayar untuk menganalisis dan mengajari anak-anak muda dengan binar mata
bersemangat, sama seperti Jacob dulu.
Jacob tersenyum dan duduk, senang karena bisa bekerja kembali setelah dua minggu ke
luar kota, membantu seorang guru besar memberikan kuliah keliling musim panas.
Mendengar ketukan di pintu, Jacob mengangkat kepala dari buku antologi yang sedang
dibacanya. "Masuk."
Wajah seorang wanita yang belum ia kenal melongok di pintu. "Aku mencari Jacob Fisher."
"Kau sudah menemukannya."
Terlalu tua untuk menjadi mahasiswanya; selain itu, mahasiswa biasanya tidak mengenakan
setelan kerja. Wanita itu memperlihatkan dompet kecil, yang menunjukkan identitasnya.
"Aku Sersan Detektif Lizzie Munro, dari kepolisian kota East Paradise Township."
Jacob mencengkeram lengan kursinya, membayangkan kecelakaan kereta kuda yang sering
ia lihat saat masih di Lancaster County, semua mesin peralatan pertanian yang bisa
menyebabkan kecelakaan dan kematian. "Keluargaku," akhirnya ia berkata, mulutnya kering
seperti gurun pasir. "Apa terjadi sesuatu?"
Detektif itu menatapnya tajam. "Keluargamu sehat," katanya setelah sesaat diam. "Kau
tidak keberatan kalau aku menanyakan beberapa hal?"
Jacob mengangguk ke arah kursi temannya sesama S2 yang berbagi kantor dengannya,
menyuruh Lizzie duduk. Ia tidak mendengar kabar tentang keluarganya selama hampir tiga ,
bulan, mengingat musim panas adalah musim yang sibuk dan Katie tak bisa datang. Ia sudah
berniat untuk menelepon Bibi Leda, untuk menyapa apa kabar, tapi ia terlalu sibuk bekerja
dan mengikuti kuliah keliling. "Kalau tak salah Anda besar sebagai orang Amish, di East
Paradise?" tanya detektif itu.
Jacob mendapat firasat tak enak. Menjadi orang Inggris sekian lama telah membuatnya
selalu waspada. "Apa Anda tidak keberatan kalau aku bertanya apa hubungan aku terlahir
Amish dengan maksud Anda?"
"Diduga terjadi kejahatan di kampung halaman Anda dulu."
Jacob menutup buku antologi yang tadi dibacanya. "Dengar, kalian juga menanyaiku setelah
insiden kokain itu. Aku mungkin bukan Amish lagi, tapi itu tidak berarti aku mensuplai
narkoba ke teman-teman lamaku."
"Sebenarnya, ini tak ada hubungannya dengan kasus narkotik. Adik Anda didakwa melakukan
pembunuhan tingkat satu."
"Apa?"Jacob berusaha mengendalikan diri, dan menambahkan. "Jelas sudah terjadi
kesalahan."
Lizzie Munro mengangkat bahu. "Jangan marah pada pembawa pesan. Apakah kau tahu
adikmu hamil?”
Jacob tak bisa menahan keterkejutannya. "Dia... punya bayi?"
"Sepertinya begitu. Lalu dia membunuhnya."
Jacob menggelengkan kepala. "Itu hal tergila yang pernah kudengar."
84
"Yeah? Coba saja kau kerja seperti aku. Kapan terakhir kali kau bertemu adikmu?"
Menghitung cepat dalam hati, Jacob berkata. "Tiga, empat bulan."
"Sebelum itu apakah dia mengunjungimu secara berkala?"
"Aku tak bisa bilang berkala," Jacob menghindar.
"Baiklah. Mr. Fisher, apa adik Anda mempunyai hubungan akrab atau romantis dengan
seseorang saat dia mengunjungimu?"
"Dia tak bertemu orang-orang di sini," kata Jacob.
"Ayolah." Detektif itu menyeringai. "Kau tidak mengenalkannya pada pacarmu? Pada orang
yang kursinya kududuki sekarang?"
"Dia sangat pemalu, dan dia selalu menghabiskan waktu denganku."
"Kau tak pernah berpisah darinya? Tak pernah membiarkannya pergi ke perpustakaan,
belanja, atau ke toko video sendiri?"
Jacob berpikir keras. Ia memikirkan waktu-waktu saat musim gugur lalu, saat ia
meninggalkan Katie di rumah ketika ia pergi kuliah. Meninggalkannya di rumah yang ia
sewa dari seorang pria yang menunda ekspedisi penelitiannya tidak hanya sekali, tapi tiga
kali. la memandang detektif itu tanpa ekspresi. "Anda harus mengerti, adikku dan aku
adalah dua orang yang berbeda. Dia Amish luardalam—dia hidup, tidur, dan bernapas
sebagai Amish. Datang ke sini baginya—adalah sebuah cobaan. Bahkan saat ia tidak
berhubungan dengan orang luar di sini, pengaruh mereka padanya seperti minyak pada air."
Detektif itu membalik lembar catatannya. "Mengapa kau bukan orang Amish lagi?"
Ini, setidaknya topik yang, aman. "Aku ingin meneruskan, pendidikanku. Itu bertentangan
dengan cara Amish. Aku sedang ' magang pada seorang tukang kayu ketika bertemu guru
Bahasa Inggris SMU yang memberiku setumpuk buku yang bisa saja dikatakan nilainya
seperti emas, karena aku merasa mereka sangat berharga. Dan ketika aku memutuskan
untuk kuliah, aku tahu aku akan diasingkan oleh gereja."
"Kudengar ini mengganggu hubungan Anda dengan orangtua Anda."
"Bisa dibilang begitu," Jacob membenarkan.
"Aku diberitahu bahwa bagi ayah Anda, Anda dianggap sudah mati."
Dengan kaku, Jacob menjawab. "Kami tak pernah bertemu."
"Kalau Ayah Anda mengusir Anda dari rumah karena ingin kuliah, menurut Anda apa yang
akan dia lakukan kalau mengetahui bahwa adik Anda hamil di luar nikah?"
Jacob sudah hidup di bagian dunia ini cukup lama untuk memahami cara kerja sistem
hukumnya. Mencondongkan tubuh ke depan, ia bertanya pelan, "Anggota keluargaku yang
mana yang Anda tuduh?"
"Katie," kata Munro datar. "Kalau dia memang Amish luardalam seperti katamu, ada
kemungkinan dia rela melakukan apa pun—termasuk melakukan pembunuhan—agar tetap
menjadi orang Amish dan agar ayahmu tidak mengetahui tentang bayi itu. Dan itu termasuk
menyembunyikan kehamilan, lalu menyingkirkan bayinya saat lahir."
"Kalau dia memang Amish seperti yang kukatakan, hal itu takkan terjadi." Jacob berdiri dan
membuka pintu. "Maafkan aku, Detektif. Aku sibuk."
Jacob menutup pintu dan berdiri di belakangnya, mendengarkan langkah detektif itu menjauh.
Lalu ia duduk di mejanya dan mengangkat telepon. "Bibi Leda," katanya sejenak kemudian
"Apa yang telah terjadi?"

Ketika misa gereja berakhir hari Minggu itu, kepala Katie pening, bukan hanya karena hawa
panas musim panas, yang semakin gerah karena begitu banyak orang berkumpul di ruang
sempit. Uskup meminta pertemuan anggota gereja, dan mereka yang belum dibaptis keluar
untuk bermain di gudang. Ellie mendekat padanya. "Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka harus pergi. Kau juga." Melihat Ellie memandang tangannya yang gemetar, Katie
menyembunyikan tangannya di bawah pahanya.
"Aku tak akan pergi."
"Kau harus," desak Katie. "Akan lebih mudah begitu."
Ellie memandangnya dengan mata burung hantunya yang lebar yang kadang membuat Katie
tersenyum, dan menggeleng. "Biar. Katakan, mereka harus mau menerimaku."
Tapi, akhirnya, Uskup Ephram sepertinya menerima jika Ellie tetap ikut di pertemuan
anggota. "Katie Fisher," salah satu pendeta memanggilnya ke depan.
Katie merasa tak sanggup berdiri, lututnya berkelutukan sangat keras. la bisa merasakan
semua mata memandangnya: Ellie, Mary Esch, ibunya, bahkan juga Samuel. Orang-orang
ini, yang akan menyaksikan hinaan yang diterimanya.
Tak peduli apakah ia punya bayi atau tidak, kau sudah kepalang basah. Katie tidak punya niat
untuk membicarakan urusan pribadinya dengan jemaat, tak peduli apa yang Ellie jelaskan
padanya tentang Undang-Undang Hak Asasi dan pengadilan amatir ini. Katie dibesarkan
untuk percaya bahwa daripada membela diri, kau lebih baik maju ke depan dan
menghadapinya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Katie maju ke tempat para pendeta
duduk.
Saat ia berlutut di lantai, Katie bisa merasakan lantai dari papan oak menekan kulitnya dan
ia bersyukur atas rasa sakit ini, karena itu mengalihkan pikirannya dari apa yang akan
terjadi.
85
Ketika ia menundukkan kepalanya, Uskup Ephram mulai bicara. "Kami mendengar bahwa
saudari muda kami ini telah melakukan dosa karena nafsu."
Setiap badan Katie terasa terbakar, dari wajah, dada hingga ke telapak tangannya. Mata
Uskup memandangnya. "Apakah berita ini benar?"
"Ya," bisik Katie, mungkin ia hanya membayangkannya, tapi Katie bersumpah mendengar
helaan napas kalah Ellie di tengah kesunyian.
Uskup berpaling ke jemaat. "Apa kalian setuju memberlakukan bann bagi Katie untuk
sementara waktu saat dia merenungkan dosanya dan bertobat?"
Setiap orang di ruangan itu berdiri untuk memberikan suara, tangan yang memberikan
hukuman padanya. Dalam kasus seperti ini jarang ada orang yang memberikan suara tak
setuju-lagi pula, melegakan melihat seorang pendosa mengaku dan memulai proses
bertobat. "Ich bin einig," Katie mendengar: aku setuju; setiap anggota mengulang kata-
kata itu secara berurutan.
Malam ini, ia akan diasingkan. Ia harus makan di meja yang terpisah dari keluarganya.
Selama enam minggu ia akan menjalani bann; masih boleh diajak bicara dan dicintai, tapi
selain itu, terpisah dan sendirian. Dengan kepala tertunduk, Katie mendengarkan suara
pelan dari teman-teman wanitanya, persetujuan tertahan dari ibunya, ucapan kaku
ayahnya. Lalu ia mendengar suara yang paling dikenalnya, suara dalam dan berat milik
Samuel. "Ich bin...," katanya, terbata. "Ich bin... " Apakah Samuel akan tidak setuju? Apakah
ia akan tetap membelanya, setelah semua yang terjadi?
"Ich bin einig,"kata Samuel, dan Katie membiarkan matanya terpejam.

Misa gereja tadi dilangsungkan di pertanian tetangga, jadi Ellie dan Katie memilih berjalan
pulang ke rumah. Ellie merangkulkan lengannya di bahu gadis itu, mencoba menghiburnya.
"Tidak ada huruf A merah di dadamu, kan':"' guraunya.
“Apa?”
“Tidak.” Merapatkan bibirnya, Ellie berkata lembut. "Aku akan makan denganmu."
Katie memandangnya selintas, penuh terima kasih. "Aku tahu."
Mereka berjalan tanpa bicara selama beberapa saat, Ellie menendang batu kerikil di
jalan. Akhirnya ia menoleh ke Katie. "Aku ingin bertanya sesuatu padamu, dan mungkin
ini akan membuatmu marah. Mengapa kau mau mengakui di depan seluruh jemaat bahwa
kau punya bayi, tapi kau tak mau melakukannya di depanku?"
"Karena itulah yang diharapkan dariku," kata Katie lugas.
"Aku juga mengharapkan itu darimu."
Katie menggeleng. "Kalau pengurus gereja datang padaku dan bilang dia ingin membuatku
bertobat karena aku telah berenang di kolam telanjang bulat, meskipun aku tidak
melakukannya, aku akan bilang ya."
"Mengapa?" Ellie meledak marah. "Mengapa kau membiarkan mereka menindasmu seperti
itu?"
"Mereka tidak menindasku. Aku bisa berdiri dan mengatakan bahwa bukan aku yang
berenang telanjang bulat. Aku punya tanda lahir di pinggang yang tak kaulihat—tapi aku
takkan pernah menyangkal. Kau tahu bagaimana rasanya tadi lebih memalukan bicara
tentang dosanya dibandingkan mengaku dan semuanya selesai."
"Tapi itu sama saja membiarkan sistem menindasmu."
"Tidak," jelas Katie. "Itu artinya membiarkan sistem bekerja. Aku tak ingin benar, kuat, atau
jadi yang pertama. Aku hanya ingin menjadi bagian dari mereka lagi, secepat yang
kubisa." Ia tersenyum lembut. "Aku tahu itu sulit dimengerti." Ellie menguatkan diri
untuk mengingat bahwa sistem peradilan Amish bukanlah sistem peradilan Amerika, tapi
keduanya berfungsi baik selama ratusan tahun. "Aku mengerti," katanya. "Cuma ini bukan
dunia nyata."
"Mungkin bukan." Katie minggir menghindari mobil, seorang turis mencondongkan
setengah tubuhnya ke luar jendela berusaha memotretnya dari belakang. "Tapi di sinilah
tempatku hidup."

Katie berdiri penuh harap di pinggir jalan, memegang senter. la sebelumnya telah
mengambil risiko, terutama bila melibatkan Adam, tapi ini adalah pertaruhan sekali
seumur hidup. Kalau ada orang yang memergokinya dengan orang Inggris ini, ia pasti dalam
masalah—tapi Adam sebentar lagi pergi, dan ia tak bisa membiarkannya pergi tanpa
mengambil kesempatan ini.
Akhirnya, Adam tidak pergi ke New Orleans untuk mencari hantu. Ia mentransfer uangbea
siswanya ke wilayah lain—Skotlandia—dan mengatur rencana lagi sehingga ia bisa pergi
pada bulan November. Kalau Jacob melihat ada yang aneh dalam rencana itu, adalah
tawaran murah hati dari Adam untuk tinggal sebagai teman serumah meskipun situasinya
sudah berbeda. Jacob sangat bersyukur tak harus pindah sehingga ia tak melihat yang lain
lagi—seperti betapa akrabnya adik dan temannya berbincang-bincang, atau bagaimana
Adam kadang meletakkan tangan di punggung Katie saat mereka berjalan di kampus, atau
fakta bahwa selama berbulan-bulan ini Adam tidak mengencani seorang gadis pun.
86
Sebuah mobil mendekat, memelan di ujung jalan. Katie ingin melambai, berteriak,
membuat Adam melihatnya, tapi ia memilih menunggu di bayangan semak, dan
mendekat ke depan saat mobil Adam mendekat. Adam mematikan mesin mobil dan
keluar, diam-diam mengamati pakaian Katie. Berjalan ke arahnya, Adam menyentuh
kapp-nya yang kaku karena kanji, lain dengan lembut ibujarinya mengelus peniti yang
menjepit baju Katie di leher. Katie tiba-tiba merasa bodoh, memakai baju Amish.
Adam terbiasa melihatnya dalam jins dan sweater. "Kau pasti dingin,"bisik pria itu.
Katie menggeleng. "Tidak terlalu."
Adam mulai melepaskan mantelnya, untuk diberikan ke Katie, tapi Katie menghindar.
Untuk sesaat mereka berdua diam. Adam memandang melewati atas kepala Katie ke
arah kincir berwarna keperakan yang menjulangke langit tak berawan. "Aku bisa
pergi," katanya lembut. “Aku bisa pergi dan kita bisa berpura-pura aku tak pernah ke
sini sama sekali."
Sebagai jawaban, Katie meraih tangan Adam. Ia mengangkat tangan itu, memandang
jari jarinya yang panjang dan terawat, mengelus telapaknya yang halus. Ini bukanlah
tangan yang biasa menarik kekang dan mengangkat makanan ternak.Ia mengangkat
tangan itu dan mencium ruas-ruasnya. "Tidak. Aku sudah menunggumu selama
bertahun-tahun."
Katie tak bermaksud mengatakan itu seperti apa yang biasa dikatakan gadis Inggris
dalam upaya membesar-besarkan, yang diikuti dengan cibiran dan entakan kaki. Kata-
kata Katie polos, terukur, dan jujur. Adam meremas tangannya, dan membiarkan Katie
membawanya ke dunia tempatnya tumbuh besar.

Sarah memandang putrinya memotong sayuran untuk makan malam, lalu mengalihkan
perhatiannya ke meja makan. Malam ini, dan malam-malam selanjutnya, Katie tak bisa
makan di meja itu—itu adalah bagian dari aturan pengasingan. Selama enam minggu ke
depan, Sarah harus hidup terpisah dengan putrinya di rumah yang sama: berpura-pura
bahwa Katie bukan lagi bagian besar dari hidupnya, tidak berdoa lagi dengannya,
membatasi percakapan mereka. Itu seperti kehilangan anak. Lagi.
Sarah mengerutkan kening ke arah meja makan: meja yang panjang, dengan dua bangku
panjang di kedua sisinya—dan karena ia tak bisa lagi punya anak tak perlu lagi membikin
meja yang lebih besar. la memandang punggung Katie yang kaku, seakan-akan ia berusaha
agar Sarah tidak tahu betapa ini menyakitkan baginya.
Sarah pergi ke ruang duduk dan memindahkan lampu gas dari meja kartu, meja yang kadang
ia gunakan saat sepupunya datang untuk main kartu gin. Sarah menyeret meja kecil itu ke
dapur, dan mengatur kedua meja itu sehingga jarak antara keduanya tak lebih dari dua
setengah centimeter. la lalu mengeluarkan taplak meja putih panjang dari laci lemari
tempatnya menyimpan porselen dan menghamparkannya di atas dua meja itu, sehingga
kalau tak diamati dengan cermat, kedua meja itu sepertinya menyambung. "Nah," katanya,
meluruskan taplak, memindahkan peralatan makan dari tempat Katie yang biasa ke meja
kartu. Ia ragu sejenak, lalu memindahkan piring dan sendoknya sedikit ke ujung, mendekat
ke tempat Katie makan nanti. "Nah," ulangnya, lalu kembali lagi bekerja menyiapkan makan
malam di samping putrinya.

Salah satu pekerjaan yang ditugaskan pada Ellie adalah memberi makan dan air pada
Nugget. la awalnya takut pada kuda besar itu, tapi sekarang di antara mereka berdua
sepertinya telah saling memahami. "Hei, kuda," katanya, pelan-pelan masuk ke kandang
membawa satu sekop makanan kuda. Nugget meringkik dan mendompak, menunggu Ellie
minggir sehingga ias bisa mulai makan. "Aku tak menyalahkanmu," gumam Ellie,
memandangi kepala besar kuda itu membungkuk ke gandum manis itu. "Hal terbaik di
tempat ini adalah makanannya."
Sekarang Ellie tahu bahwa orang Amish memperlakukan kuda penarik kereta mereka
dengan sangat baik, lagi pula kalau seekor kuda sakit kau tak bisa membawanya ke bengkel
Ford terdekat untuk tune-up. Bahkan Aaron, yang sikap kakunya masih sering membuat
Ellie salah tingkah, sangat lembut dan sabar terhadap Nugget. Dan dianggap sebagai
penilai kuda yang baik, ia kadang-kadang diminta untuk menemani tetangga ke pelelangan
kuda yang diadakan setiap Senin sore, untuk memberikan pendapatnya.
Dengan ragu-ragu Ellie mengulurkan tangannya—ia masih sedikit takut gigi kuning besar—
besar milik Nugget akan menggigit pergelangannya dan tak mau lepas—lalu mengelus
badan kuda itu. Baunya campuran antara debu dan rumput, aroma yang bersih dan seperti
tepung. Nugget menaikkan telinganya dan mendengus, lalu berusaha menyurukkan
hidungnya ke bawah lengan Ellie. la terkejut lalu tertawa, dan menepuk kepalanya
seakan-akan kuda itu adalah anjing peliharaan yang jinak. "Hentikan," katanya, tapi ia
tersenyum, sembari membuka kaitan ember karet yang airnya hampir kosong dari dinding
dan membawanya keluar untuk diisi.
87
Ellie baru saja berbelok di pojok gudang ketika seorang menyelinap dan menangkapnya,
satu tangan membungkam mulutnya. Ember yang dipegangnya terjatuh. Berusaha
mengendalikan rasa paniknya, Ellie menggigit jari yang membungkam mulutnya dan sesaat
kemudian menghujamkan sikunya ke perut penyerangnya, sembari bersyukur pada Tuhan
bahwa Stephen telah menghadiahinya tiket untuk kursus bela diri saat Natal dua tahun lalu.
Ellie berbalik cepat, tangannya memasang kuda-kuda, dan melotot ke pria penyerangnya
yang sedang terbungkuk kesakitan. Ada sesuatu yang terlihat akrab pada diri pria itu—
rambutnya yang berwarna terang, dan tubuhnya yang langsing tinggi—dan Ellie sebal karena
ia tak tahu kenapa wajah itu rasanya ia kenal. “Siapa kau?”
Dengan satu tangan memegang perutnya, pria itu mengangkat kepala. “Jacob Fisher.”

“Seharusnya kau tidak mengejutkanku seperti itu,” kata Ellie beberapa menit kemudian,
berdiri di hadapan kakak Katie di tumpukan jerami di gudang. “Kau mau bunuh diri ya?”
“Aku sudah agak lama pergi, tapi kau jarang menemukan karateka ban hitam berkeliaran di
pertanian Amish.” Senyum Jacob memudar. “Tapi kau juga jarang menemukan bayi yang
terbunuh.”
Ellie duduk di setumpuk jerami, mencoba membaca ekspresi Jacob. “Aku mencoba
menghubungimu.”
“Aku ke luar kota.”
“Begitu ya? Kurasa sekarang kau sudah tahu dakwaan apa yang ditimpakan pada adikmu?”
Jacob mengangguk. “Apakah detektif polisi sudah menemukanmu?”
“Kemarin.”
“Apa yang kaukatakan padanya?”
Jacob mengangkat bahu. Melihat kediaman dan keengganannya, Ellie memeluk lututnya.
“Ayo kita luruskan sesuatu sekarang,” katanya. “Aku tak minta kasus ini; aku tak sengaja
terlibat. Aku tak tahu apa pendapatmu tentang pengacara secara umum, tapi karena kau
sudah tinggal di masyarakat Inggris untuk beberapa lama, kau mengasumsikan kami semua
hiu pembunuh, seperti yang lainnya. Terus terang Jacob, aku tak peduli kalau kau
menganggapku Attila The Hun—aku masih jadi kesempatan terbaik yang dipunyai adikmu
untuk bebas. Kau seharusnya lebih mengerti dari keluarga Amish-mu tentang betapa serius
dakwaan yang ditimpakan pada adikmu ini. Apa pun yang bisa kudapatkan darimu yang bisa
membantu kasus adikmu akan dijaga kerahasiaannya, dan akan membantuku memutuskan
apa yang harus kulakukan untuk membelanya, tapi—apa pun yang kaukatakan padaku—aku
masih akan membelanya. Bahkan jika kau membuka mulut sekarang dan mengatakan
padaku bahwa adikmu membunuh bayi itu dengan darah dingin, aku masih akan mencoba
membebaskan Katie semampunya, dan lalu membantunya mendapatkan bantuan psikiater.
Tetapi, aku ingin kau memberiku informasi yang bisa memberikan skenario lain.”
Jacob berjalan ke jendela. “Indah sekali di sini. Apa kau tahu sudah enam tahun berlalu
sejak aku pergi?”
“Aku tahu itu pasti sulit,” kata Ellie. “Tapi Katie tak mungkin didakwa kalau tak ada bukti
cukup bagi polisi untuk percaya dia membunuh bayi itu.”
“Katie tak bilang padaku dia hamil,” Jacob mengakui.
“Kurasa dia bahkan tak mengakuinya pada dirinya sendiri. Apakah ada orang lain yang
kukenal yang mungkin berhubungan akrab dengan Katie?”
“Yah, Samuel Stolzfus—“
“Bukan di sini,” potong Ellie. “Di State Collage.”
Jacob menggeleng.
“Apakah dia pernah menunjukkan keinginan untuk meninggalkan gereja Amish seperti
dirimu?”
“Tidak. Katie pasti tak akan tahan, putus hubungan dari Mam dan Dat. Dari semua orang.
Katie bukan... bagaimana aku mengatakannya? Dia memang biasa mengunjungiku, pergi ke
peta, makan makanan China, dan mengenakan jins. Kau mungkin bisa mengambil ikan dari
kolam dan mengenakan bulu domba padanya, tapi itu tak akan membuatnya menjadi
domba. Dan cepat atau lambat, tanpa air, ikan itu akan mati.”
“Kau tidak,” kata Ellie.
“Aku bukan Katie. Aku memutuskan untuk meninggalkan gereja, dan begitu aku mengambil
keputusan itu, maka muncul pilihan-pilihan lain yang harus kuambil. Aku tumbuh besar
sebagai orang Amish, Ms. Hathaway, tapi aku sudah membuangnya. Aku mengambil kuliah
teologi yang mempertanyakan Alkitab. Aku punya mobil. Semua hal yang dulu tak
kupercayai kini bisa kulakukan.”
“Bukankah hal yang sama bisa berlaku untuk Katie? Mungkin dia membuat keputusan untuk
tetap menjadi Amish—dan karena itu dia berada dalam kondisi yang memaksa dia
melakukan hal yang kauyakini takkan pernah dilakukannya.”
“Tidak, karena satu fakta fundamental. Kalau kau orang Inggris, kau membuat keputusan.
Kalau kau orang Amish, kau patuh pada keputusan yang sudah dibuat. Itu disebut
gelassenheit—patuh pada otoritas yang lebih tinggi. Kau patuh pada kehendak Tuhan. Kau
patuh pada orangtuamu, pada komunitasmu, pada cara hidup yang telah ditetapkan.
88
“Itu menarik, tapi tak bisa digunakan untuk melawan bukti autopsi bayi yang sudah mati.”
“Bisa,” kata Jacob tegas. “Melakukan pembunuhan adalah tindakan yang paling arogan!
Menganggap bahwa kau punya kekuasaan seperti Tuhan, untuk mencabut nyawa orang lain.”
Jacob memandang Ellie, matanya bersinar seperti lampu suar. “Orang-orang menanggap
orang Amish bodoh, bahwa mereka membiarkan dunia menindasnya. Tapi orang Amish
sebenarnya pintar; mereka cuma tidak tahu bagaimana caranya memikirkan diri sendiri di
atas kepentingan komunitas. Mereka tidak cukup egois untuk menjadi serakah, memaksa,
atau sombong. Dan mereka jelas tidak begitu egois untuk membunuh orang lain dengan
sengaja.”
“Yang disidang di sini bukanlah keyakinan Amish.”
“Tapi seharusnya begitu,” balas Jacob. “Adikku tak mungkin membunuh Ms. Hathaway,
karena dia orang Amish luar-dalam.”

Lizzie Munro menyipitkan mata di balik kacamata pengamannya, mengangkat lengan, dan
menembakkan sepuluh peluru pistol Glock 9 milimeter ke jantung target seukuran manusia
di ujung lapangan tembak. Saat ia menarik tali untuk mendekatkan target dan hendak
memeriksa hasilnya, George Callahan bersiul dan melepaskan penyumbat telinganya. “Aku
senang kau ada di pihak kami Lizzie. Kau benar-benar berbakat.”
Lizzie mengeluskan jarinya di lubang bekas tembakannya di dada target. “Yeah. Padahal
nenekku dulu hanya ingin mengajariku menyulam.” Ia menyarungkan kembali pistolnya dan
menggerakkan bahunya untuk menghilangkan pegal.
“Harus kuakui, aku agak terkejut melihat kau di sini.”
Lizzie menaikkan alisnya. “Mengapa?”
“Yah, berapa banyak orang Amish yang menurutmu bersenjata dan berbahaya?”
“Kuharap tak satu pun,” jawab Lizzie, sembari memakai blazernya. “Aku melakukan ini
untuk relaksasi, George. Daripada mendekorasi rumah.”
George tertawa. “Sidang praperadilannya minggu depan.”
“Lima minggu terasa cepat kalau kau sedang senang, ya?”
“Aku tak menyebutnya senang,” kata George. Mereka keluar dari lapangan tembak dan
menyusuri lapangan akademi polisi yang menghijau. “Sebenarnya, karena itulah aku di sini.
Aku hanya ingin meyakinkan kita telah mempunyai bukti yang cukup.”
Lizzie mengangkat bahu. “Aku tak dapat apa-apa dari kakaknya, tapi aku bisa kembali dan
melihat apa dia mau bicara lagi. Bukti-buktinya lumayan jelas. Satu-satunya hal yang masih
hilang adalah donor spermanya, tapi itu pun tak begitu penting, motifnya sudah jelas. Kalau
ayahnya pemuda Amish, dia membunuh bayinya supaya kesempatannya dengan kekasihnya
yang bertubuh besar dan pirang tidak rusak. Kalau ayahnya orang biasa dari luar komunitas,
dia membunuh bayinya agar tak perlu mengakui hubungannya dengan orang luar.”
“Kita mendakwa Katie Fisher dengan cepat,” George berpikir-pikir. “Aku berpikir apa kita
tak melewatkan sesuatu.”
“Dia berdarah seperti babi disembelih: karena itulah kita mendakwanya,” kata Lizzie. “Dia
melahirkan bayi itu, dan dua bulan prematur—jadi siapa lagi yang tahu kalau saat itu dia
akan melahirkan? Kita sudah tahu dia menyembunyikan kehamilannya dari orangtuanya, jadi
orangtuanya tak terlibat. Dia tak memberitahu Samuel, karena itu bukan bayinya. Bahkan
seandainya dia mau mengatakan pada kakaknya atau bibinya bahwa dia mulai merasakan
kontraksi, dia tak mungkin menggunakan ponselnya jam dua pagi.”
“Kita bisa mengaitkannya secara pasti dengan kelahiran bayi itu, tapi tidak pada
pembunuhannya.”
“Motif dan logika di pihak kita. Kau tahu sembilan puluh persen pembunuhan dilakukan oleh
orang yang mempunyai hubungan personal dengan korban. Apa kau sadar angka itu naik
hampir seratus persen bila terkait dengan pembunuhan bayi?”
George berhenti dan tertawa pada Lizzie. “Kau rupanya ingin jadi penuntut umum juga,
Lizzie?”
“Konflik kepentingan. Aku sudah bersaksi untuk negara.”
“Yah, sayang sekali, karena kupikir kau sendiri bisa meyakinkan juri bahwa Katie Fisher
bersalah.”
Lizzie menyeringai padanya. “Kau benar,” katanya. “Tapi semua hal yang kuketahui
kupelajari darimu.”

Di pagi buta, salah satu sapi di kandang melahirkan. Aaron terjaga hampir semalaman
karena anak sapi itu tidak lahir normal. Lengannya sakit karena masuk ke rahim sapi yang
kontraksinya menekan dan membuatnya memar. Tapi lihat hasilnya: keajaiban kecil, hitam
dan putih, berdiri gemetaran di atas kaki-kaki kecilnya di samping tubuh induknya yang
melindungi.
Aaron mulai menebarkan jerami segar di kandang saat anak sapi itu mulai menyusu ke
induknya. Sehari lagi, anak sapi itu akan dipisahkan dari induknya dan disusui dengan botol.
Kau lihat kan, suara kecil berkata di kepalanya. Bayi di pisahkan dari ibunya setiap saat.
89
Aaron berhasil mengusir pikiran itu tepat saat Katie masuk ke gudang. Uap harum menguar
dari secangkir kopi yang ia ulurkan padanya. “Oh, jantan lagi,” katanya, matanya berbibar.
“Bukankah dia manis?”
Aaron bisa mengingat betapa putrinya selalu terlibat dalam merawat setiap anak sapi yang
terlahir di tanah pertanian, dan jumlahnya lumayan. Ia sudah memberi botol ke mereka
sejak ia masih semungil bayi-bayi sapi itu. Aaron ingat pertama kali ia mengajarkan pada
Katie bagaimana kau bisa memasukkan jarimu ke mulut anak sapi, saat mereka belum
punya gigi atas untuk menggigit. Ia ingat bagaimana ia menjelaskan pada Katie bahwa lidah
anak sapi itu akan melilit jarimu dan mengisapnya, rasanya kasar dan kuat. Dan ia ingat
bagaimana mata Katie terbelalak kagum, ketika pertama kali memasukkan jari ke mulut
anak sapi, persis seperti yang diajarkan Aaron.
Sebagai kepala keluarga, sudah menjadi tanggung jawabnya mengajari anak-anaknya cara
hidup Amish—bagaimana menyerahkan diri pada Tuhan, bagaimana memilih antara yang
benar dan yang salah. Ia memandang Katie yang berlutut ti atas jeramis segar, mengelus
bulu-bulu kasar yang lembab di punggung bayi sapi yang baru lahir itu. Itu terlalu
mengingatkan dia akan apa yang terjadi beberapa minggu lalu. Aaron memejamkan mata
dan berpaling.
Katie berdiri pelan dan bicara, suaranya gemetaran seperti kaki bayi sapi itu. “Sudah lima
hari sejak pengakuanku. Apakah kau tidak akan bicara lagi paduataku, Dat?”
Aaron mencintai putrinya; tak ada yang lebih ia inginkan selain merengkuh putrinya ke
pangkuannya seperti saat ia masih kecil, dan dunia tak lebih besar dari rentangan
tangannya. Tapi dirinyalah yang patut disalahkan atas dosa Katie dan hinaan yang dialami
Katie, hanya karena ia tak bisa mencegahnya. Dan sudah menjadi tugasnya pula untuk
menanggung konsekuensinya—tak peduli seberapa menyakitkan.
“Dat?” bisik Katie.
Aaron mengangkat tangan, seakan-akan memperingatkannya jangan mendekat. Lalu ia
mengambil cangkir kopi itu dan berpaling, keluar gudang dengan bahu terbungkuk dan
langkah berat, pria yang jauh lebih tua, lebih bijak.

“Kau sudah kenyang?”


Coop bicara melewati jajaran piring dan gelas di atas meja yang memisahkan mereka
berdua, dan Ellie awalnya tak bisa menjawab. Ia tak bisa makan lagi, tapi ia belum merasa
kenyang. Ia berpikir ia tak akan pernah merasa sesenang ini mendengar dengung obrolan
tamu lainnya, aroma parfum, suara mobil di jalan di bawah restoran di tingkat atas ini.
Ellie melihat sinar lampu gantung membiaskan warna pelangi di gelas chardonnay-nya dan
ia meringis.
“Apanya yang lucu?” tanya Coop.
“Aku,” kata Ellie, tawa merambat naik dari perutnya. “Aku merasa aku harus mengecek
sepatuku apakah ada kotoran sapinya.”
“Lima minggu di pertanian tak membuatmu menjadi gadis desa yang lugu. Selain itu,
gaunmu lebih jelas mengundang daripada celana monyet.”
Ellie mengusapkan tangan di pinggang dan pinggulnya, menikmati halusnya sutra shantung
di kulitnya. Ia tak bisa percaya Leda bisa memilih sesuatu sesederhana ini namun seksi dari
Macy's, tapi, banyak hal yang mengejutkannya akhir-akhir ini. Termasuk tukar pandang
antara Sarah dan Katie saat makan siang tadi, jelas mereka menyimpan rahasia yang tak
mau mereka bagi dengan Ellie. Termasuk juga, kedatangan Coop yang tak terduga,
membuatnya terpesona dengan setelah jas hitam, dasi sutra dan karangan bunga; dan juga
penuh pertimbangan dengan membawa Leda sebagai sekongkolnya yang datang
mengenakan pakaian formal dan sepatu hak tinggi, dan mau menjaga Katie sementara Coop
mengajak Ellie makan malam di Philadelphia.
Anggur—membuat tubuh Ellie terasa ringan, membuatnya seperti burung penyanyi telah
mengambil alih jantungnya. “Aku tak percaya kita bermobil selama dua jam ke restoran,”
gumam Ellie. Restorannya yang indah, dengan iringan orkestra Malam Minggu, dan cahaya
kota terpantul di jendela besar setinggi atap—tapi membayangkan bahwa Coop datang
jauh-jauh ke pertanian Fisher, lalu kembali lagi ke Philly, membuat Ellie merasakan
perasaan yang belum siap ia rasakan.
“Satu setengah jam, tepatnya,” Coop membenarkan. “Dah hei, butuh waktu untuk
menemukan tempat makan yang bagus dan enak.”
Ellie mengerang. “Tolong jangan sebut makanan itu.”
“Mungkin beberapa potong acar bisa menjadi puncaknya?”
“Tidak,” Ellie tertawa. “Dan kalau kau mengatakan “ayam isi” aku tidak akan bertanggung
jawab atas tindakanku.”
Coop memandang piring Ellie yang kosong, yang sebelumnya berisi sepotong daging ikan
marlin. “Kurasa hasil laut tidak populer di rumah Fisher?”
“Kalau Sarah tak bisa memasaknya dalam kuah yang kental dan berempah, maka itu tak
akan terhidang di meja. Berat badanku akan naik pesat di sana, sehingga baju kerjaku tak
akan muat lagi saat sidang nanti.”
90
“Ah, tapi itulah maksudnya. Kau harus cukup gemuk sehingga hakim yakin kau tak pernah
menyelinap pergi dari pertanian iut, bahkan juga untuk janji makan siang.”
Ellie merenggangkan tubuhnya di kursi seperti kucing. “Aku suka menyelinap pergi dari
pertanian,” katanya. “Aku butuh itu. Terima kasih.”
“Aku justru berterima kasih padamu,” kata Coop. “Teman makam malamku tak pernah
semenghibur ini. Kau jelas orang pertama yang menyebutkan kotoran sapi.”
“Benar, kan? Aku sudah mulai kehilangan sentuhanku. Mungkin aku seharusnya melalukan
apa yang disarankan Katie.”
“Apa yang disarankan Katie?”
“Dia bilang—biar kukatakan dengan benar—kalau aku ingin ciuman selamat malam, aku
harus menyenggolkan bahuku ke bahumu saat berbelok, dan memuji kudamu.”
Coop terbahak. “Ini yang kalian berdua bicarakan tadi?”
“Kami cuma gadis-gadis yang mengadakan pesta piama,” kata Ellie tersenyum lebar.
“Apakah aku sudah mengatakan kudamu bagus sekali?”
“Kau tahu, kurasa kau belum mengatakannya.”
Ellie mencondongkan tubuh ke depan. “Pejantan yang hebat.”
“Aku harus mengajakmu minum lebih sering.” Coop berdiri dan menarik tangan Elli. “Aku
ingin berdansa denganmu.”
Ellie membiarkan dirinya ditarik berdiri. “Tapi itu artinya pesat akan usai,” erangnya. “Aku
akan kembali jadi labu.”
“Hanya kalau kau terus makan ayam isi buatan Sarah.” Coop menariknya mendekat dan
mulai mengajaknya berdansa.
Ellie menempelkan kepalanya di bawah dagu Coop. Tangan mereka saling bertaut seperti
semak ivy, tumbuh di antara dua hati mereka; ibu jari Coop mengelus kulit bahunya yang
terbuka. Ellie memjamkan mata saat bibir Coop mengelus pelipisnya dan membiarkan
dirinya dipimpin Coop berdansa dengan lembut. Untuk sesaat ia lupa akan Katie, sidang,
pembelaannya, tentang semuanya kecuali panas tangan Coop di punggungnya. Lagu
berhenti, dan saat para musisi meletakkan instrumen mereka untuk istirahat dan pasangan
lain meninggalkan lantai dansa, Elllie dan Coop masih berpelukan, berpandangan.
“Kurasa aku ingin melihat di mana kaukandangkan kudamu,” gumam Ellie.
Coop memandang Ellie serius. “Kalau dibilang kandang, ini bukan kandang yang mewah.”
Dan Coop tersenyum sangat bahagia sehingga Ellie merasa kehangatannya bahkan ia tidak
menyadari bahwa suhu udara turun drastis setelah mereka ada di luar dan menuju
apartemen Coop dengan jendela mobil terbuka. Ellie duduk sedekat yang ia bisa dengan
Coop, tangan mereka saling terkait di tongkat persneling. Sesampai di apartemen, Coop
memutar kunci dan mendorong pintu terbuka, minta maaf sejak saat pertama. “Agak
berantakan. Aku tak tahu—“
“Tidak apa-apa,” Ellie masuk dengan hati-hati, seakan-akan langkah kakinya yang terlalu
keras akan menghancurkan keajaiban saat ini. Ia melihat segelas soda, yang meninggalkan
noda cincin di meja kopi; jurnal psikiatri bertebaran di lantai; sepatu lari yang diikat
bersama di talinya dan tergantung di sandaran kursi. Tak satu pun perabotan tampak
senada.
“Kelly mendapat lebih banyak,” kata Coop pelan, membaca pikiran Ellie. “Ini adalah
barang-barang yang tidak dia inginkan.”
“Kurasa aku ingat meja kopi itu saat kita masih kuliah.”
Ellie berjalan ke rak buku, mendekati stereo system terbaru. “Orang bilang kau bisa menilai
seseorang dari koleksi CD-nya,” kata Coop. “Apa kau sedang menilaiku?”
“Sebenarnya, aku sedang melihat ke kabelnya. Sudah cukup lama aku tak melihat begitu
banyak kabel berseliweran.” Ellie menyentuh foto tergantung terbalik di dahan pohon apel,
dahan yang berada tepat di atas Coop berdiri untuk mengambil foto itu. “Aku juga ingat ini
dari masa kuliah,” katanya pelan. “Kau masih punya?”
“Aku mencarinya, baru-baru saja.”
“Waktu itu kau terus mengatakan padaku agar berhenti tertawa,” gumam Ellie. “Dan aku
terus mengatakan padamu untuk segera memotret sebelum kausku turun dan auratku
terlihat.”
Coop menyeringai. “Dan aku bilang...”
“Ada apa saat itu?” potong Ellie. “Apa yang salah, Coop?”
“Aku sudah memikirkannya,” kata Coop merangkul bahu Ellie ringan. “Dan sumpah mati
Ellie, aku tak ingat.” Coop merangkulkan kedua lengannya di bawah lengan Ellie.
Ciumannya, dengan mulut terbuka menyalurkan api ke dada Ellie. Ellie menarik kemeja
Coop ke atas dan tangannya mengelus otot punggung pria itu, menariknya mendekat dan
mendekat sehingga ia merasakan jantung Coop tepat di atas jantungnya.
Mereka berdua terjatuh ke sofa, menjatuhkan setumpuk kertas. Tangan Coop menarik
lembut rambutnya,menarik Ellie turun, sementara Ellie membuka ikat pinggang dan celana
pria itu. Cocop mengeratkan pelukannya. “Apa kau merasakan itu?” bisiknya. “Tubuhku
mengingatmu.”
91
Dan dalam sekejap, Ellie merasa dirinya delapan belas tahun lagi, terjepit seperti kupu-
kupu di bawah kepercayaan diri Coop. Saat itu, ia sangat mencintai Coop sehingga butuh
waktu berbulan-bulan untuk menyadari bahwa apa yang dirasakannya terhadap pria itu
belum tentu yang ia inginkan. Saat itu, Ellie berbohong pada Coop agar ia bisa
memutuskannya dengan mudah, kebohongan yang kian menyakitkan karena itu jauh dari
kebenaran; ia bilang ia tak cukup dalam mencintai Coop. "Aku tak bisa melakukan ini," kata
Ellie keras-keras, kata-kata yang tak kuasa ia ucapkan saat ia masih kuliah. la mendorong
dada dan kaki Coop menjauh, dan duduk di ujung sofa, memegang erat gaunnya yang
terbuka.
Pelan-pelan Coop kembali sadar. "Ada apa?"
"Aku tak bisa." Ellie bahkan tak bisa memandangnya. "Aku sangat menyesal. Aku harus...
harus pergi."
Rahang Coop mengeras. "Apa alasanmu kali ini?"
"Aku harus kembali pada Katie."
"Kau tidak harus menjaga jarak dariku, Ellie, tapi kau harus menjaga jarak dari klien
kecilmu itu. Kau pengacaranya. Bukan ibunya." Coop mendengus. "Kau tidak takut pada
hakim atau persyaratan jaminan. Kau ketakutan karena untuk sekali dalam hidupmu kau
memulai sesuatu dan tidak melakukannya dengan benar."
"Kau tak tahu apa pun tentang—"
"Demi Tuhan, Ellie, aku tahu lebih banyak tentang dirimu daripada kau sendiri. Selalu
mendapat nilai A, mahasiswa terbaik, anggota Phi Beta Kappa. Kau sudah berusaha keras
mendapatkan kasus-kasus sulit, dan hampir memenangkan semuanya—bahkan kasus yang
membuatmu muak bila memikirkannya. Kau tak pernah menikah, hanya bertahan dalam
hubungan yang harusnya kauhentikan bertahun-tahun lalu, karena kau tidak begitu peduli
pada hubungan itu, bahkan bila berakhir buruk. Kau dengan rela mau meninggalkanku di
tengah jalan asalkan kau tidak mengalami risiko terpengaruh, karena kau menginginkan
sesualu pada akhirnya, dan terus terang, kita tak punya catatan yang bagus. Kau
perfeksionis tipe A klasik, dan kau tak mau mengambil risiko karena kau takut
konsekuensinya."
Saat Coop selesai bicara, tak sadar ia berteriak. Ellie berdiri dan terhuyung-huyung
berusaha mencari sepatunya. Kepalanya sakit, seperti hatinya. "Jangan menganalisisku."
"Kau tahu apa masalahmu? Kalau kau tak pernah mengambil risiko, kau kehilangan
kesempatan besar."
Ellie berhasil menemukan sepatu dan tasnya. "Kau menyanjung dirimu sendiri," katanya
tenang.
"Apakah hanya aku, Ellie, atau kau merayu semua pria lalu berbalik seratus delapan puluh
derajat? Kekuatan seperti apa yang dimiliki Stephen terhadap dirimu sehingga kau tahan
dengannya selama bertahun-tahun?"
"Dia tidak mencintaiku!" Saat kata-kata itu bergaung di ruangan yang kini sunyi, Ellie
memunggungi Coop. la sudah menjadi banyak hal bagi Stephen—teman serumah, teman
diskusi masalah hukum, partner seksual—tapi Stephen tidak membagi hidupnya dengan
Ellie. Dan karena itu, Ellie tak merasa sesak napas. la tak pernah merasakan apa yang
pernah ia rasakan dua puluh tahun sebelumnya bersama Coop. "Nah," katanya dengan suara
gemetar. "Apakah itu yang ingin kaudengar?” Terguncang, Ellie berjalan ke pintu. "Tak usah
berdiri. Aku akan pulang sendiri."
Coop memandangnya, pada rasa sakit yang sepertinya menyembur keluar dari sumber yang
tak berujung, rasa sakit yang bergaung di apartemennya yang kecil lama setelah Ellie pergi.

Dulu, sebelum Samuel dibaptis di gereja, ia pernah mengendarai mobil. Salah satu
temannya, Lefty King, membeli mobil bekas dan menyembunyikannya di belakang gudang
tembakau ayahnya, dan ayahnya pura-pura tak melihat setiap kali lewat tempat itu. Samuel
sangat menikmati perjalanan yang cepat itu, fakta bahwa kau bisa menyalakan mesinnya
dengan persneling netral dan mobil itu tak akan lari ke pinggir jalan untuk merumput.
Samuel memikirkan mobil itu malam ini, saat ia mengantar Mary Esch pulang dengan kereta
kudanya. Malam hanya diterangi bulan sabit, yang kata ibunya mirip biskuit yang hampir
habis dimakan, sehingga Samuel bisa menyembunyikan apa yang sedang ia pikirkan.
Sayangnya, Mary adalah gadis yang cerewet dan tak pernah berhenti bicara. la adalah
sepupu jauhnya, sehingga tak terlihat terlalu aneh saat Samuel datang dan mengajaknya
makan es krim. Dan menurut Samuel, Mary cukup manis, dengan rambut hitam dan tebal
seperti tanah yang baru dibajak dan mulut yang mungil.Tapi alasan utama Samuel
mengajaknya adalah karena ia sahabat Katie, dan itu adalah hal terburuk yang bisa ia
lakukan untuk membalas Katie.
Himmel, gadis ini sekarang mengoceh tentang adik kecilnya Seth, yang jatuh ke kubangan
babi sore tadi saat mencoba berjalan di pagar yang memutari kandang babi. Samuel
mendecak dan menarik kekang dengan lembut, sehingga keretanya berhenti di tikungan
kecil di atas bukit.
92
Mary bicara sangat cepat dan bersemangat sehingga perlu sesaat sebelum ia sadar bahwa
mereka tidak bergerak. "Mengapa kau berhenti?" tanyanya.
Samuel mengangkat bahu. "Kurasa ini malam yang indah."
Mary memandangnya sedikit aneh, dan untuk alasan yang kuat. Langit mendung, dengan
awan hitam berarak, satu-satunya cahaya datang dari bulan sabit seiris kecil. "Samuel,"
katanya,pandangannya tenang dan dalam seperti yang kadang terjadi pada mata gadis-
gadis, "apakah kau butuh teman bicara?"
Samuel merasakan jantungnya membengkak seperti pompa tukang besi, hampir meledak.
Lakukan sekarang, katanya dalam hati, atau kau tak akan bisa. "Mary," katanya, lalu
merengkuh gadis itu dalam pelukannya, menciumnya keras-keras.
la bukan Katie, dan itulah yang terlintas dalam pikiran Samuel. la tak terasa seperti Katie,
seperti vanila, dan tubuhnya terasa tidak pas di lengan Samuel, dan saat ia mendorong
bibirnya lebih keras, gigi mereka bertabrakan. Samuel meraba payudaranya, sadar bahwa
Mary berusaha mendorongnya dan mulai ketakutan, tapi ia juga sadar, bahwa paling tidak
satu kali seseorang telah melakukan ini pada Katie-nya.
"Samuel!" Mary melepaskan diri dengan usaha keras dan menghindar ke ujung kereta. "Apa
yang telah merasukimu?"
Wajahnya memerah lebam, matanya membelalak ketakutan. Ya Tuhan, apakah ia telah
melakukan itu pada Mary? Apakah ini akibat perbuatannya?
"Aku... Maafkan aku...” Samuel terbungkuk malu, lengannya merangkul dadanya. "Aku tak
bermaksud..." Samuel menutupi wajahnya dengan kemejanya dan mencoba menahan air
mata. Ia bukan Kristiani yang baik. la tidak hanya telah menyerang Mary Esch yang malang,
ia juga tak bisa menerima pengakuan Katie. Memaafkannya? la bahkan tak bisa menerima
fakta apa yang telah terjadi.
Tangan lembut Mary menyentuh bahunya. "Samuel, ayo kita pulang." Samuel merasakan
kereta kudanya bergerak saat Mary melompat turun untuk bertukar tempat dengannya dan
memegang kekang.
Samuel buru-buru mengusap matanya. "Aku tidak merasa begitu baik," akunya.
"Yang benar saja," kata Mary tersenyum kecil. la mengulurkan tangan dan menepuk tangan
Samuel. "Lihat saja," katanya bersimpati. "Semua akan baik-baik saja."

Hakim pengadilan tinggi Phil Ledbetter ternyata seorang wanita.


Butuh waktu hampir tiga puluh detik penuh bagi Ellie untuk menerima kenyataan itu, saat
ia duduk di kantor hakim bersama George Callahan untuk pertemuan prasidang. Phil—atau
Philomena, sesuai nama di plakatnya—adalah wanita mungil berambut merah pendek, mulut
tegas, dan suara yang sedikit mirip burung berkicau. Mejanya yang besar dipenuhi foto
anak-anaknya, yang keempatnya berambut merah. Secara keseluruhan, ini tidak baik bagi
Katie. Ellie mengharapkan hakim laki-laki, hakim yang sama sekali tak tahu bagaimana
rasanya melahirkan, hakim yang merasa sedikit tak nyaman melihat seorang gadis di sidang
karena dituduh membunuh bayinya. Hakim wanita, yang tahu bagaimana rasanya hamil dan
memeluk bayimu di saat pertama kelahirannya ke dunia, akan lebih mungkin membenci
Katie pada pandangan pertama.
"Ms. Hathaway, Mr. Callahan, ayo kita mulai saja." Hakim membuka file di depannya.
"Apakah temuan ini sudah lengkap?"
"Ya, Yang Mulia," sahut George.
"Apakah kalian berdua punya mosi yang hendak diajukan? Ah, ini satu darimu, Ms.
Hathaway, tentang melarang pers masuk ruang sidang. Ayo kita selesaikan ini sekarang."
Ellie berdeham. "Mengikuti sidang sudah bertentangan, dengan agama klien saya, Yang
Mulia. Tapi bahkan di luar ruang sidang pun, orang Amish tak suka difoto. Sudah menjadi
cara mereka untuk mengikuti Alkitab secara literal," jelasnya. "Jangan membuat bagimu
patung yang menyerupai apa pun ... (Keluaran 20:4)."
George memotong. "Yang Mulia, bukankah kita sudah memisahkan antara gereja dan negara
sejak dua abad lalu?"
"Ini lebih dari itu," lanjut Ellie. "Kaum Amish menganggap kalau kau difoto, kau mungkin
akan jadi terlalu egois dan menonjolkan diri sendiri, dan itu bertentangan dengan semangat
kerendahan hati." Ellie memandang tegas pada hakim. "Klienku sudah mau berkompromi
dengan prinsip-prinsip religiusnya untuk datang ke sidang, Yang Mulia. Kalau kita akan
melalui proses ini, setidaknya kita harus membuatnya sedikit lebih nyaman."
Hakim menoleh. "Mr. Callahan?"
George mengangkat bahu. "Baiklah. Ayo kita membuat terdakwa nyaman. Dan saat kita
melakukan itu, mengapa tidak sekalian memberikan ranjang bulu dan masakan mewah pada
narapidana di State Penn? Tanpa bermaksud menghina Ms. Hathaway dan agama kliennya,
ini adalah sidang publik, dan pembunuhan publik. Pers mempunyai landasan hak dari
amandemen pertama untuk melaporkannya. Dan Katie Fisher menyerahkan beberapa hak
konstitusional tertentu saat dia melakukan pelanggaran besar."
93
la menoleh ke Ellie.. "Lupakan tentang membuat patung—bagaimana dengan perintah
'Jangan membunuh'? Kalau dia tak mau dipublikasikan karena kejahatannya, dia seharusnya
tak melakukan pembunuhan."
"Belum ada bukti kalau dia membunuh," tukas Ellie. "Terus terang, Yang Mulia, ini adalah
masalah religius, dan Mr. Callahan cenderung menjadikannya ejekan dan fitnahan. Saya rasa
—"
"Aku tahu apa maksudmu, pengacara: kau sudah menjelaskan dengan sangat baik. Pers
boleh masuk ke ruang sidang tapi kamera dan peralatan video dilarang." Hakim membuka
halaman di file-nya. "Ada hal lain yang menjadi perhatianku, Ms. Hathaway. Mengingat
situasi kriminalnya, ada kemungkinan kau mungkin mengajukan pembelaan atas dasar
gangguan mental. Dan aku yakin kau sudah tahu bahwa batas waktu untuk mengajukan
pembelaan sudah lewat. "
"Yang Mulia, batas waktu tersebut bisa diperpanjang untuk alasan yang kuat, dan saya
membutuhkan psikiater forensik untuk memeriksa klien saya sebelum saya bisa
mempertimbangkan strategi pembelaan. Tetapi Anda belum memberi keputusan atas mosi
tentang pelayanan selain pengacara."
"Oh, ya." Hakim mengangkat selembar kertas yang pinggirnya dihiasi kuntum-kuntum mawar
—kertas pilihan Leda untuk mencetak file dari disket Ellie. "Aku harus bilang kalau ini
adalah mosi tercantik yang pernah kuterima."
Ellie mengerang dalam hati. "Saya minta maaf untuk itu, Yang Mulia. Kondisi kerja saya saat
ini kurang ideal." Mendengar tawa terkekeh George, Ellie menahan diri dan menoleh ke
hakim dengan wajah serius. "Saya ingin negara membiayai evaluasi klien saya sebelum saya
bisa mengajukan pembelaan."
"Hei," kata George, "kalau kau mendapat psikiater forensik, aku juga akan memanggil satu.
Aku ingin gadis itu dievaluasi untuk negara."
"Mengapa? Aku hanya minta uang untuk membayar psikiater, sehingga aku bisa
menyimpulkan bagaimana cara membela klienku. Aku tidak bilang aku akan mengajukan
pembelaan berdasarkan gangguan mental. Aku mengakui bahwa aku seorang pengacara,
bukan psikiater. Kalau aku akan mengajukan pembelaan berdasar gangguan mental, aku
akan memasukkan laporannya dan kau bisa memanggil psikiatermu sendiri untuk melihat
klienku, tapi saat ini, aku takkan membiarkannya ditemui psikiater negara hingga aku
mengajukan pembelaan itu."
"Kau boleh memanggil psikiater," kata hakim. "Berapa yang kaubutuhkan?"
Ellie berpikir keras mengingat biaya yang lazim. "Seribu dua ratus hingga dua ribu dolar."
"Baiklah. Anggap saja kau mendapat dana dengan plafon dua ribu dolar; kecuali kalau aku
mendengar ada biaya lebih dari itu. Kalau ada mosi yang ingin diajukan lagi, kalian punya
waktu tiga puluh hari. Pertemuan praperadilan terakhir akan diadakan enam minggu lagi.
Apakah waktunya cukup?"
Ellie dan George menggumamkan persetujuan mereka, dan Hakim Ledbetter berdiri dari
kursinya. "Permisi, aku ditunggu di ruang sidang." la pergi, meninggalkan Ellie dan George.
Ellie memasukkan berkas-berkasnya sementara George memasukkan bolpoinnya ke saku jas.
"Jadi," katanya, tersenyum mengejek. "Bagaimana susu perahannya?"
"Kau harusnya lebih tahu, bocah petani."
"Aku mungkin pengacara desa, Ellie, tapi aku mendapatkan gelarku di Philly, sama
sepertimu."
Ellie berdiri. "George, tolong aku dan pergilah ke tempat lain. Aku sudah terlalu hanyak
melihat pantat kuda dalam beberapa minggu terakhir."
George tertawa dan mengambil portofolionya, lalu membukakan pintu untuk Ellie. "Kalau
aku mendapatkan kasus menyebalkan sepertimu, kukira mood-ku juga akan jelek."
Ellie berjalan melewatinya. "Jangan suka mengira-ngira," kata Ellie. "Kau bakalan salah."

Coop telah meminta Katie untuk membimbingnya menjalani kembali hari-hari sebelum
kelahiran bayinya, berharap bisa mengembalikan ingatannya, meski selama satu jam belum
ada terobosan baru. Coop mencondongkan tubuh ke depan. "Jadi kau sedang mencuci.
Katakan padaku bagaimana rasanya saat kau membungkuk untuk mengambil pakaian basah
di keranjang."
Katie memejamkan mata. "Enak. Dingin. Aku mengambil salah satu kemeja ayahku dan
mengusapkannya ke wajahku, karena aku merasa sangat panas."
"Apakah kau susah membungkuk?"
Katie mengerutkan kening. "Punggungku sakit. Rasanya seperti ditusuk, seperti kalau aku
akan menstruasi."
"Sudah berapa lama waktu itu sejak menstruasimu yang terakhir?"
"Lama sekali," aku Katie. "Aku memikirkan itu saat aku menggantungkan baju dalamku di
jemuran."
"Kau tahu bukan kalau tidak menstruasi adalah tanda-tanda kehamilan," kata Coop lembut.
"Ja, tapi aku sering telat sebelumnya." Katie menarik-narik pinggir celemeknya. "Aku terus
mengatakan seperti itu pada diriku sendiri."
Mata Coop menyipit. "Kenapa?"
"Karena ... karena aku..." Wajah Katie berubah, memerah.
94
"Katakan padaku," bujuk Coop.
"Ketika pertama kali aku terlambat bulan," kata Katie, air mata mengalir di pipinya.
"Kukatakan pada diriku sendiri tak usah khawatir. Lalu aku berhenti khawatir untuk
sementara. Tapi aku sangat lelah, aku bahkan susah untuk tetap terbangun setelah makan
malam. Dan ketika aku mengenakan celemekku, aku harus berusaha keras untuk membuat
peniti masuk ke lubang biasanya." Katie menarik napas gemetar. "Kupikir-kupikir mungkin
saja—tapi perutku tidak besar seperti saat Mam hamil Hannah." Tangannya menyentuh
perutnya. "Ini bukan apa-apa."
"Apa kau pernah merasakan sesuatu bergerak dalam perutmu? Menendang?"
Katie terdiam sangat lama sehingga Coop hendak mengajukan pertanyaan lain. Lalu, tiba-
tiba Katie bersuara, pelan dan sedih. "Kadang," akunya, "dan membuatku terbangun tengah
malam."
Coop mengangkat dagu Katie, memaksa Katie memandangnya. "Katie, pada hari kau
menggantung jemuran, saat punggungmu sangat sakit, apa yang kauketahui?"
Katie memandang pangkuannya. "Kalau aku hamil," bisiknya.
Coop mengendapkan pengakuan itu. "Apa kau mengatakannya pada ibumu?"
"Aku tak bisa."
"Apa kau mengatakannya pada seseorang?"
Katie menggeleng. "Tuhan. Aku memintaNya menolongku."
"Jam berapa malam itu saat kau terbangun dan merasa kram?"
"Aku tidak terbangun."
"Baiklah," kata Coop. "Kalau begitu jam berapa kau pergi ke gudang?"
"Aku tidak ke sana."
Coop mengusap-usap hidungnya. "Katie, kau tahu kau hamil saat kau pergi tidur malam itu."
“Ya.”
"Apa kau masih hamil keesokan paginya?"
"Tidak," jawab Katie. "Sudah hilang. Aku langsung tadur."
"Kalau begitu pasti telah terjadi sesuatu di antara malam itu dan keesokan paginya. Apa
yang terjadi?'
Katie mengerjap, air matanya menetes. "Tuhan menjawab doaku."

Tahu sama tahu, Ellie dan Coop sama-sama tidak menyinggung pertengkaran mereka di
apartemen Coop beberapa malam sebelumnya. Mereka kolega, sopan dan profesional, dan
saat Ellie mendengarkan penjelasan Coop tentang sesi pemeriksaannya dengan Katie, ia
mencoba tidak merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang.
Di gudang yang sepi, Coop memandang Ellie berpikir keras saat ia menganalisis pengakuan
kehamilan Katie. "Dia menangis?"
"Yeah," jawab Coop.
"Itu bukti dia menyesal."
"Dia memang menangis, tapi bukan karena bayi itu—tapi karena masalah yang dia hadapi.
Selain itu, dia masih tak ingat bagaimana ia bisa hamil. Dan bukannya melahirkan, dia
merasa Tuhan yang mengambil bayinya."
Ellie tersenyum kecil. "Yah, itu akan menjadi strategi pembelaan yang belum pernah ada
sebelumnya."
"Maksudku di sini, Ellie, kau jangan mempersiapkan pesta kemenangan dulu. Dia
menyembunyikan kehamilannya dan hari ini dia mengakuinya. Itu belum bisa dipastikan.
Penderita amnesia biasanya memunculkan ingatan palsu—kisah yang mereka dengar dari
pers dan dari keluarga, dan lebih buruk lagi, begitu mereka mengisahkan hal itu mereka
menganggap itu benar-benar dari ingatannya, walau mungkin tidak akurat. Tapi, coba kita
anggap bahwa Katie jujur di sini, dan memang benar-benar ingat bahwa dia hamil. Mungkin
akan menyusul pengakuan lain, seiring mekanisme pertahanan dirinya runtuh pelan-pelan.
Tapi mungkin juga tak ada. Apa yang baru saja terjadi sangat menyembuhkan bagi Katie,
tapi tidak bagimu dan pembelaanmu—tak seorang pun meragukan Katie pernah melahirkan,
kecuali Katie sendiri. Dan menyembunyikan kehamilan memang tak normal, tapi bukan
berarti melanggar hukum."
"Aku tahu untuk apa dia disidang," tukas Ellie.
"Aku yakin kau tahu," kata Coop. "Tapi apa dia tahu?"

Adam berdiri di belakangnya, tangannya menggenggam tangan Katie yang memegang


kawat bercabang. "Kau siap?" bisiknya, berbarengan dengan teriakan burung hantu. Mereka
bergerak maju, berjalan ke tepi kolam, sepatu mereka bergemeresik menginjak rumput
kering. Katie bisa merasakan jantungAdam berdegup, dan ia heran mengapa Adam juga
terlihat gugup: bertanya-tanya apa yang dipertaruhkan Adam di sini.
Kawat itu mulai bergoyang dan melonjak-lonjak, dan Katie secara instingtif mundur ke
Adam. Pria itu menggumamkan sesuatu yang tak bisa ia dengar, dan berdua mereka
berusaha memegang kawat itu. “Bawaaku kembali ke sana," katanya, dan Katie
memejamkan mata.
Ia membayangkan dinginnya hari itu, bagaimana kau bisa menjepit hidungmu hingga
lubangnya saling menempel, bagaimana saat kau membuka sarung tanganmu untuk
mengikat sepatu skatingmu, jarimu jadi kaku dan terasa tebal. Ia membayangkan teriakan
gembira Hannah saat ia berskatingke tengah kolam, syalnya melambai di belakangnya.
95
Katie membayangkan rambut pirang adiknya bersinar di balik kapp-nya. Yang paling
utama, Katie mengingat tangan Hannah di genggamannya saat mereka berjalan
bergandengan menuruni bukit yang licin ke kolam, kecil dan hangat, benar-benar percaya
pada kemampuan Katie untuk menjaganya agar tidak terjatuh.
Tekanan di kawat berhenti, dan Katie membuka matanya saat Adam menghela napas. "Dia
mirip sepertimu, " bisiknya.
Hannah sedang bermain skating di depan mereka, tubuhnya berada sekitar sepuluh sampai
lima belas sentimeter di atas air. “Saat itu air kolam pasti lebih tinggi,"kata Adam.
"Karena itu kelihatannya dia seperti mengambang."
"Kau melihatnya,"gumam Katie, jantungnya terasa terbang. Ia menjatuhkan kawat yang
dipegangnya dan memeluk Adam. "Kau melihat adikku!" Katie merasa agak curiga, dan
menjauh untuk menanyainya.
"Apa warna sepatu skatingnya?'
"Hitam. Dan sepertinya bukan baru."
"Dan bajunya?"
"Seperti hijau. Muda, seperti serbat."
Adam menggandeng Katie ke bangku di pinggir kolam. "Ceritakan padaku apa yang terjadi
malam itu."
Katie melukis dengan kata-kata: Jacob bersembunyi di gudang, manik-manik berkilau di
baju atlet juara skating yang ia impikan, suara goresan sepatu skating Hannah di lapisan es
yang tipis. "Aku seharusnya menjaganya, tapi yang kupikirkan malah diriku sendiri," kata
Katie akhirnya dengan sedih. "Itu salahku."
"Kau tak boleh berpikir begitu. Itu hanyalah kecelakaan tragis." Adam menyentuh pipi
Katie. "Lihat dia. Dia bahagia. Kau bisa merasakannya."
Katie mengangkat wajahnya memandang Adam. "Kau mengatakan padaku kalau mereka
yang kembali, yang menjadi hantu, mempunyai rasa sakit yang belum terobati. Kalau dia
bahagia, Adam, mengapa dia masih di sini?"
"Yang kukatakan padamu adalah,"kata Adam lembut membenarkanya, "mereka yang
kembali mempunyai hubungan emosional dengan dunia. Kadang itu berupa rasa sakit,
kadang kemarahan... tapi Katie, kadang juga berupa cinta." Kata-kata Adam meninggi
sedikit. "Kadang mereka tinggal karena mereka tak mau meninggalkan seseorang."
Katie terdiam saat Adam mencondongkan tubuh ke arahnya. Ia menunggu Adam
menciumnya, tapi pria itu tidak menciumnya. Ia berhenti tepat di depan bibirnya,
berjuang melawan keinginan untuk terus menyentuh Katie.
Katie tahu Adam akan pergi besok, tahu bahwa ia akan pindah ke dunia yang tak akan
menjadi miliknya. la menangkupkan kedua tangan di pipi Adam. "Maukah kau
menghantuiku," bisiknya, dan menyentuhkan bibirnya ke bibirAdam.

Katie sedang membersihkan kekang yang digunakan untuk keledai dan Nugget ketika ada
suara mengejutkannya.
"Mereka menyuruhmu menggantikan tugasku," kata Jacob sedih. "Aku tak pernah berpikir
untuk bertanya tentang itu padamu."
Dengan tangan mendekap leher, Katie berbalik cepat. "Jacob!"
Jacob mengembangkan tangannya dan Katie jatuh dalam pelukan kakaknya. "Apa Mam
tahu?"
"Tidak," kata Jacob, memotongnya. "Dan biarkan saja begitu." Ia memeluk adiknya erat-erat
lalu menjauhkannya sepanjang lengan dan memandangnya penuh perhatian. "Katie, apa
yang telah terjadi?"
Katie membenamkan wajahnya di dada Jacob. Dari tubuh kakaknya tercium aroma pinus
dan tinta, sangat nyata dan kuat untuknya. "Aku tak tahu," gumam Katie. "Kukira aku tahu,
tapi sekarang aku tak yakin."
Katie merasakan Jacob merenggangkan tubuhnya lagi, lalu memandang ke celemeknya.
"Kau... punya bayi," kata Jacob ragu, lalu menelan ludah. "Kau sedang hamil saat terakhir
kali mengunjungiku."
Katie mengangguk dan menggigit bibir bawahnya. "Apakah kau marah padaku?"
Jacob memegang tangan adiknya dan meremasnya. "Aku tidak marah," katanya, duduk di
pinggir kereta. "Aku menyesal."
Katie duduk di sampingnya dan menyandarkan kepala ke bahu Jacob. "Aku juga," bisiknya.

Mary Esch datang berkunjung di hari Minggu, mengenakan rollerbladp dan membawa
frisbee. Ellie sangat senang melihat gadis itu datang. Kedatangannya sangat dibutuhkan
Katie yang baru saja menyadari bahwa ia memang punya bayi. Katie butuh waktu untuk
menjadi remaja lagi, tanpa ada tanggung jawab. Saat Ellie mencuci piring makan siang,
Mary dan Katie berlarian di halaman depan, rok mereka menggembung saat mereka
melompat ke udara menangkap papan frisbee yang berwarna terang.
Panas dan keringatan, kedua gadis itu terjatuh di rumput tepat di depan jendela dapur,
yang dibuka Ellie untuk mendapatkan angin sepoi-sepoi. Ellie bisa mendengar potongan
percakapan mereka di sela suara air keran: "...melihat lalat yang hinggap di hidung Uskup
Ephram," "...menanyakan kau," "...tidak terlalu kesepian, tidak terlalu."
Mary memejamkan matanya dan mengusapkan botol berisi root beer dingin di keningnya.
"Kurasa ini lebih panas dari semua musim panas yang pernah kuingat," katanya.
96
"Tidak," Katie tersenyum. "Kau hanya melupakan sesuatu bila sesuatu itu tak ada di
hadapanmu."
"Tetap saja, hari ini sangat panas." Mary meletakkan botol dan mengipas-ngipaskan roknya
di atas kakinya yang telanjang tak tahu harus berkata apa lagi.
"Mary, apakah di antara kita sudah sangat buruk sehingga kita harus bicara tentang cuaca?"
tanya Katie pelan. "Mengapa kau tidak mengatakan padaku apa yang benar-benar terjadi?"
Mary menunduk. "Apakah mengerikan, diasingkan?"
Katie mengangkat bahu. "Tidak terlalu buruk. Saat makan bersama yang paling sulit, tapi
aku punya Ellie yang menemaniku, dan ibuku berusaha membuat semuanya berjalan baik."
"Dan ayahmu?"
"Dat tidak bisa mencoba membuat semuanya berjalan baik," aku Katie. "Tapi memang
begitulah dia." Ia memegang tangan sahabatnya itu. "Dalam enam minggu, semuanya
kembali seperti semula.'
Kata-kata Katie itu malah membuat Mary semakin gelisah. "Aku tak tahu tentang itu Katie."
"Yah, tentu saja kau tahu. Aku sudah meluruskan masalahku. Bahkan kalau Uskup Ephram
memintaku untuk tidak ikut komuni, aku sudah tidak dikenai bann lagi."
"Bukan itu maksudku," gumam Mary. "Tapi bagaimana sikap orang lain."
Katie pelan menoleh padanya. "Kalau mereka tak bisa memaafkan dosaku, mereka bukan
temanku."
"Untuk beberapa orang, akan lebih sulit berpura-pura tak ada yang terjadi."
"Itu adalah hal baik yang harus dilakukan oleh seorang Kristiani."
“Ya, tapi susah menjadi Kristiani saat yang terlibat adalah gadismu," Mary Esch menjawab
pelan. la memainkan tali kapp-nya. "Katie, kurasa Samuel mungkin ingin menemui orang
lain."
Katie merasakan dadanya sesak, seperti baru saja dipukul keras. "Siapa yang bilang
padamu?"
Mary tak menjawab. Tapi rona merah di pipi temannya dan kegelisahannya saat mengatakan
tentang keinginan Samuel membuat Katie menyadari apa yang telah terjadi. "Mary Esch,"
bisiknya. "Kau tak akan."
"Aku juga tak mau! Aku mendorongnya saat dia mencoba menciumku!"
Katie berdiri, sangat marah sehingga tubuhnya gemetaran. "Teman macam apa kau ini!"
"Aku memang temanmu, Katie. Aku datang ke sini sehingga kau tak akan mendengarnya dari
orang lain."
"Kuharap kau tak pernah datang."
Mary mengangguk pelan, sedih. Ia mengenakan kaus kakinya dan roller blade-nya. Meluncur
pergi, ia tak berpaling.
Katie memegang kedua sikunya erat-erat. la merasa seakan-akan bila ia bergerak ia akan
pecah berkeping-keping. Ia mendengar suara pintu terbuka dan terbanting menutup, tapi ia
tetap berdiri memandang ke ladang, di mana Samuel sedang bekerja dengan ayahnya.
"Aku dengar apa yang terjadi," kata Ellie, menyentuh bahunya dari belakang. "Aku turut
prihatin."
Katie berusaha membuka matanya lebar-lebar, sehingga air mata yang menggenang tak
akan mengalir keluar. Tapi kemudian ia berbalik dan menjatuhkan diri ke pelukan Ellie.
"Seharusnya tidak begini," tangisnya. "Ini seharusnya tidak terjadi."
"Ssstt. Aku tahu."
"Kau tak tahu," isak Katie.
Tangan Ellie mengelus lehernya. "Kau akan terkejut melihat yang kutahu."

Katie sangat ingin Dr. Polacci menyukainya, Ellie bilang psikiater itu dibayar mahal untuk
datang ke pertanian dan bertemu dengannya. Ia tahu Ellie percaya bahwa apa yang
dikatakan Dr. Polacci akan sangat berguna saat sidang nanti. la juga tahu bahwa sejak ia
mengatakan tentang kehamilannya pada Dr. Cooper, dokter itu dan Ellie saling bersikap
kaku satu sama lain, dan Katie mengira itu ada hubungannya dengan dirinya.
Psikiater itu berambut hitam tebal mengembang, dengan wajah bulat seperti bulan dan
tubuh yang lebar. Semua hal tentang dirinya mendorong Katie untuk terjun, tahu bahwa di
mana pun ia mendarat, ia akan aman.
Katie tersenyum gugup ke Dr. Polacci. Mereka berdua di ruang duduk sendirian. Ellie tadinya
ingin ikut hadir, tapi Dr. Polacci mengatakan keberadaan Ellie mungkin akan membuat Katie
diam. "Aku orang yang dia percayai," debat Ellie.
"Kau adalah orang yang bisa menambah beban untuk pengakuannya," kata psikiater itu.
Mereka berdua bicara di depan Katie, seakan-akan ia bodoh atau anjing peliharaan seakan-
akan ia tak punya pendapat apa pun tentang apa yang terjadi padanya. Akhirnya, Ellie
pergi. Dr. Polacci menjelaskan bahwa ia di sini untuk membantu Katie agar bisa bebas. la
bilang Katie seharusnya mengatakan yang sebenarnya, karena tentunya Katie pasti tak ingin
masuk penjara. Yah, Dr. Polacci setidaknya benar tentang itu. Jadi selama sejam terakhir
ini, Katie mengatakan semua hal yang telah ia katakan pada Dr. Cooper. Ia berhati-hati
dalam memilih kata-katanya—ia ingin memastikan ceritanya sama persis. la ingin Dr. Polacci
nanti menemui Ellie dan berkata, "Katie tidak gila; hakim boleh membebaskan dia."
97
"Katie," tanya Dr. Polacci meminta perhatiannya, "apa yang kaupikirkan saat kau pergi
tidur?"
"Aku merasa tak enak badan. Dan aku ingin pergi tidur sehingga nanti saat bangun aku
merasa lebih baik."
Psikiater itu menulis sesuatu di catatannya. "Lalu apa yang terjadi?"
Katie sudah menunggu pertanyaan ini, ketika kilasan-kilasan cahaya yang menyakitkan
pikirannya selama beberapa hari terakhir ini akan mengalir keluar dari mulutnya seperti
kawanan burung jalak. Katie hampir bisa merasakan rasa sakit itu lagi, seperti sabit yang
menebas punggung hingga perutnya dengan tarikan kuat dan tajam dari dalam sehingga
tubuhnya meringkuk seperti bola. "Aku kesakitan," bisiknya. "Aku terbangun dan merasakan
kram, sakit sekali."
Dr. Polacci mengerutkan kening. "Dr. Cooper mengatakan padaku kau tak bisa mengingat
sakit melahirkan, atau kelahiran bayi itu."
"Memang tidak," aku Katie. "Hal pertama yang kuingat adalah aku hamil—aku mengatakan
pada Dr. Cooper bagaimana aku ingat ketika aku berusaha menunduk dan merasakan ada
sesuatu yang terjepit di tengah perutku sehingga aku harus bergerak agak miring. Dan sejak
itu, aku terus mengingat hal-hal lain."
"Seperti apa?"
"Seperti bagaimana lampu di gudang sudah menyala, padahal masih terlalu pagi untuk
memerah susu." Katie gemetar. "Dan bagaimana aku mencoba menahannya tapi tak bisa."
"Apa kau sadar kau sedang melahirkan?"
"Aku tak tahu. Aku sangat ketakutan, karena rasanya sangat sakit. Aku hanya tahu aku `
harus diam, karena kalau aku berteriak mungkin ada orang yang mendengar."
"Apa air ketubanmu pecah?"
“Tidak sekaligus, seperti sepupuku Freda saat ia mengandung Joshua kecil, pecah di
tengah-tengah acara makan siang pembangunan gudang. Para wanita yang duduk di kedua
sisinya ikut basah kuyup. Ini lebih seperti tetesan, setiap kali aku duduk."
"Apa ada darah?"
"Sedikit, di antara kedua kakiku. Karena itulah aku keluar—aku tak ingin darahnya
mengotori seprai."
"Mengapa tidak?"
"Karena aku memang mencucinya, tapi Mam yang melepasnya dari ranjang. Dan aku tak
ingin dia tahu apa yang terjadi."
"Apa kau tahu kau berniat pergi ke gudang?"
"Aku sebenarnya tak merencanakannya. Aku tak pernah berpikir tentang apa yang akan
terjadi... ketika saatnya tiba. Aku hanya tahu bahwa aku harus keluar rumah."
"Apakah orang lain di rumah ada yang bangun saat kau keluar?"
"Tidak. Dan juga tak ada orang di luar, ataupun di gudang. Aku pergi ke kandang sapi yang
hendak melahirkan, karena aku tahu di situ ada jerami paling bersih yang disiapkan untuk
sapi yang bunting. Dan lalu... yah, seakan-akan aku tidak ada di sana selama beberapa
saat. Seperti aku ada di tempat lain, melihat apa yang terjadi. Lalu aku melihat ke bawah
dan itu keluar."
"Maksudmu bayinya."
Katie mengangkat wajahnya, sedikit bingung memikirkan apa yang terjadi malam itu dalam
istilah Dr. Polacci. "Ya," bisiknya.

"Diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar dua ratus hingga dua ratus lima puluh
pembunuhan bayi, Ms. Hathaway. Dan itu baru yang dilaporkan." Teresa Polacci berjalan di
sisi Ellie di sepanjang sungai yang membatasi pertanian. "Dalam kebudayaan kita, tindakan
itu tak bisa diterima. Tapi di beberapa kebudayaan tertentu, seperti di Timur Jauh,
pembunuhan bayi masih diterima."
Ellie menghela napas. "Wanita seperti apa yang tega membunuh bayinya sendiri?" keluhnya.
"Wanita singel, tidak menikah, hamil di luar nikah pertama kali dengan bayi yang tidak
diinginkan. Mereka biasanya masih muda, di antara enam belas hingga sembilan belas
tahun. Mereka tidak memakai alkohol atau obat-obatan, ataupun sering melanggar hukum.
Tidak, mereka adalah gadis-gadis yang biasa menolong tetangga mengajak anjing mereka
jalan-jalan; gadis-gadis yang belajar keras untuk mendapatkan nilai bagus. Sering prestasi
mereka lebih dari yang diharapkan, berorientasi untuk menyenangkan orangtua. Mereka
pasif dan naif, takut mendapat malu dan penolakan, dan biasanya berasal keluarga religius
di mana seks tak pernah didiskusikan."
"Dari komentar Anda kurasa Katie sangat cocok dengan kategori itu."
"Dalam hal profil, dan latar belakang religiusnya. Aku jarang melihat kasus yang semirip
ini," kata Dr. Polacci. "Dia jelas punya lebih banyak alasan dibandingkan gadis-gadis lain di
usia dan zaman sekarang untuk mengalami rasa malu dan penolakan baik dalam keluarga
maupun di masyarakatnya kalau ia mengakui telah melakukan seks pranikah dan hamil.
Karena itu menyembunyikan kehamilannya merupakan jalan teraman."
Ellie menoleh padanya. "Menyembunyikannya mengindikasikan keputusan sadar untuk
menyembunyikannya."
"Ya. Dan di suatu titik dia sadar dirinya hamil—dan dia sengaja menyangkalnya.
98
Tapi, dia bukanlah satu-satunya. Ada persekongkolan dalam diam-orang-orang di sekitar
gadis itu biasanya tak ingin dia hamil, jadi mereka mengabaikan perubahan fisiknya atau
berpura-pura mengabaikannya, yang juga merupakan penyangkalan."
"Jadi kau tak percaya Katie mengalami kondisi disosiasi?"
"Aku tak pernah bilang begitu. Maksudku, tidak mungkin dia mengalami kondisi disosiasi
selama masa kehamilan. Katie—seperti banyak wanita pelaku pembunuhan bayi yang telah
kuwawancarai—secara sadar menyangkal kehamilan mereka, tapi secara tak sadar
mengalami disosiasi pada saat kelahiran."
"Apa maksudnya?" tanya Ellie.
"Saat itulah kebenaran muncul. Para wanita ini sangat tertekan. Mekanisme pertahanan
yang mereka bentuk—penyangkalan—berantakan karena kemunculan bayinya. Mereka harus
menjauhkan diri dari apa yang terjadi, dan sebagian besar wanita itu—termasuk Katie—akan
mengatakan padamu bahwa hal itu sepertinya tidak terjadi pada mereka, atau mereka
melihat diri mereka sendiri tapi tak bisa menghentikannya—seperti pengalaman berada di
luar tubuh sendiri. Kadang kelahiran bayi itu bahwa memicu kegilaan sementara. Dan
semakin jauh wanita tersebut dari realitas pada saat itu, semakin mungkin mereka melukai
bayi mereka sendiri.
"Coba sekarang kita lihat Katie. Karena apa yang terjadi pada kakaknya, dia hidup dengan
pikiran untuk bertahan hidup yang sangat primitif, dia percaya kalau ibu dan ayahnya
mengetahui rahasianya, dia akan diasingkan dan diusir dari rumah. Maka muncul ide samar
di kepalanya bahwa tidak apa-apa menyingkirkan bayinya. Lalu dia melahirkan. Dia tak bisa
lagi menyangkal keberadaan bayinya—jadi dia melakukan pada bayinya sesuatu hal yang dia
takutkan akan terjadi padanya—dia menyingkirkannya. Kondisi disosiasi bertahan cukup
lama saat proses kelahiran dan pembunuhan, lalu dia kembali menggunakan penyangkalan
sebagai mekanisme pertahanan, jadi saat dikonfrontasi oleh polisi, dia langsung bilang
bahwa dia tak punya bayi."
"Bagaimana kau bisa menentukan kalau ia mengalami kondisi disosiasi?"
"Saat bercerita tentang proses melahirkan, dia agak sedikit menutup diri. Dia tak
bergantung pada mekanisme pertahanan lain—misalnya, penyangkalan, atau sesuatu yang
lebih primitif."
"Tunggu dulu," kata Ellie, berhenti. "Katie mengakui dia melahirkan?"
"Ya, tercatat di rekaman."
Ellie menggeleng, merasa sedikit dikhianati. "Dia tidak menyerah saat Coop menekannya."
"Bukan hal yang aneh bagi seorang klien untuk mengakui sesuatu yang penting pada
psikiater forensik sesuatu yang tidak dia akui pada psikiater klinis. Lagi pula, aku tidak
bicara padanya untuk membuatnya merasa nyaman, tapi agar dia tak masuk penjara. Kalau
dia berbohong padaku, dia merugikan dirinya sendiri. Sudah jadi tugasku untuk membuka
kaleng cacing; tugas psikiater klinis adalah membantu memasukkan cacing-cacing itu lagi."
Ellie mendongakkan kepala. "Dia juga mengatakan padamu bahwa dia membunuh bayinya?"
Psikiater itu agak ragu. "Sebenarnya, tidak. Dia bilang dia masih tak ingat dua poin penting:
pembuahan bayi itu, dan pembunuhannya."
"Apakah mungkin dia dalam kondisi disosiasi pada dua kejadian itu?"
"Sangat mungkin dia mengalami disosiasi saat kelahiran bayinya dan saat pembunuhan.
Bahkan karena ingatannya sama sekali tak cocok dengan catatan forensik yang kauberikan
padaku, maka kesenjangan itu menunjukkan adanya kecenderungan disosiasi. Tapi tentang
masalah pembuahannya... yah itu bukan sesuatu yang mudah dilupakan seorang wanita."
"Bagaimana kalau itu pengalaman traumatik baginya?" tanya Ellie.
"Maksudmu dia diperkosa? Mungkin saja, tapi biasanya wanita mengakui kalau dia pernah
diperkosa, kecuali mereka melindungi seseorang. Firasatku ada yang belum diceritakan
Katie tentang masalah ini."
Ellie mengangguk. "Dan pembunuhannya?"
"Katie mengingat banyak hal di malam sebelum melahirkan, proses kelahirannya, dan
tertidur dengan bayi itu dalam pelukannya. Dia bilang bayi itu sudah hilang saat dia
terbangun, juga gunting yang dia gunakan untuk memotong tali pusar."
"Apakah dia mencari bayinya?"
"Tidak. Dia langsung kembali ke kamarnya untuk tidur, sangat konsisten dengan wanita yang
melakukan pembunuhan bayi—masalahnya sudah tidak terlihat, tak perlu dipikirkan lagi."
Ellie merasakan kepalanya pusing. "Berapa lama dia pingsan di gudang?"
"Dia bilang dia tak tahu."
"Tak mungkin lama, berdasarkan laporan polisi," kata Ellie keras-keras. "Bagaimana kalau—"
"Ms. Hathaway, aku tahu apa yang kaupikirkan. Tapi ingat—sebelumnya Katie tak ingat
kelahiran bayinya. Besok, siapa tahu? la mungkin mengingat secara mendetail bagaimana
dia membekap bayinya.
99
Walaupun kita tak ingin berpikir bahwa Katie-lah pembunuhnya, kita harus bersabar
menunggu kembalinya ingatannya. Menurut definisi disosiasi, berarti ada kesenjangan
antara waktu dan logika bagi Katie. Kemungkinan besar dia memang membunuh bayi itu,
bahkan meskipun dia takkan pernah bisa mengakuinya secara terus terang."
"Jadi kau percaya dia bersalah," kata Ellie.
"Menurutku profilnya cocok dengan profil kebanyakan wanita lain yang pernah
kuwawancarai, yang membunuh bayinya saat mengalami kondisi disosiasi," psikiater itu
membenarkan. "Menurutku pola perilakunya konsisten dengan apa yang kita ketahui tentang
fenomena pembunuhan bayi."
Ellie berhenti berjalan di pinggir sungai. "Apakah klienku waras, Dr. Polacci?"
Psikiater itu menghela napas panjang. "Itu pertanyaan yang sulit. Apakah kau bicara tentang
waras secara medis atau waras secara hukum? Kegilaan medis mengindikasikan seseorang
harus tidak terhubung dengan realitas—tapi seseorang yang mengalami kondisi disosiasi
masih terhubung dengan realitas. Dia terlihat normal dalam kondisi yang abnormal. Tetapi,
kegilaan secara hukum sama sekali tak ada hubungannya dengan realitas—itu tergantung
pada tes kognitif. Dan jika seorang wanita melakukan pembunuhan dalam kondisi disosiasi,
kemungkinan dia takkan memahami sifat dan kualitas tindakannya, atau mengetahui bahwa
yang dia lakukan adalah salah."
"Jadi aku bisa menggunakan pembelaan berdasarkan kegilaan."
"Kau bisa menggunakan apa pun yang kauinginkan," kata Dr. Polacci datar. "Yang
kautanyakan apakah pembelaan berdasarkan kegilaan bisa membebaskan klienmu. Terus
terang, Ms. Hathaway, aku tak tahu. Kukatakan padamu bahwa juri biasanya ingin tahu
masalah-masalah praktis: bahwa wanita itu aman, dan ini tak akan terjadi lagi—yang
keduanya memang biasa terjadi pada wanita yang membunuh bayinya sendiri. Skenario
terbaik? Kesaksianku bisa memberikan sesuatu untuk dipikirkan juri—kalau mereka akan
membebaskan Katie, mereka pasti melakukannya, selama ada sesuatu yang dapat mereka
jadikan acuan untuk merasionalisasi tindakan mereka."
"Skenario terburuk?"
Dr. Polacci mengangkat bahu. "Juri tahu lebih banyak tentang pembunuhan bayi lebih dari
yang mereka inginkan."
"Dan Katie?"
Psikiater itu memandang Ellie lurus-lurus. "Dan Katie masuk penjara."

Katie merasakan dirinya seperti ranting hijau kecil yang sedang ia permainkan di
tangannya, tertekuk ke belakang, hampir patah. la menekan keinginan untuk berdiri dan
mondar-mandir, melihat ke luar ke jendela gudang, melakukan apa pun kecuali berbicara
dengan pengacaranya sekarang.
Katie mengerti tujuan latihan ini—Ellie menyiapkannya untuk menjalani cecaran pertanyaan
dari psikiater forensik yang disewa oleh penuntut umum. Ellie mengatakan bahwa menurut
Dr. Polacci, Katie merahasiakan proses pembuahan bayi itu. "Dan" kata Ellie, "aku akan
sangat marah kalau kau mengakui informasi itu di depan psikiater penuntut umum."
Jadi sekarang mereka berdua di tempat penyimpanan jerami di gudang—dia dan Ellie, yang
tiba-tiba menjadi kasar dan tanpa ampun, sehingga Katie harus menoleh dan meyakinkan
kalau ia memang bicara dengan Ellie.
"Kau tak ingat berhubungan seks," kata Ellie.
"Tidak."
"Aku tidak percaya padamu. Kau bilang kau tak ingat tentang kehamilanmu dan kelahiran
bayimu, dan tiba-tiba, tiga hari kemudian, kau jadi sumber informasi."
"Tapi itu memang benar!" Katie merasakan tangannya basah karena keringat; ia
mengusapkan tangannya ke celemek.
"Kau punya bayi. Jelaskan itu."
Aku sudah jelaskan, ke Dr.—"
"Jelaskan bagaimana bayi itu dibuahi." Melihat Katie terdiam, Ellie dengan lelah menopang
kepalanya dengan kedua tangan. "Dengar," katanya. "Kau berbohong. Psikiater tahu itu dan
aku tahu, dan Katie, kau juga tahu. Kita semua di pihak yang sama di sini, tapi kau
mempersulit kami untuk membelamu. Aku tahu memang ada Bayi yang Dikandung Tanpa
Noda, tapi kau bukan orangnya."
Dengan pasrah, Katie menunduk. Apa artinya, jujur? Mengaku, seperti yang ia lakukan untuk
Uskup dan seluruh jemaat? "Oke," kata Katie akhirnya, pelan. Ia menelah ludah gugup. "Aku
sedang mengunjungi kakakku, dan kami pergi ke pesta kelulusan di salah satu asrama. Aku
tak mau pergi, tapi Jacob ingin pergi dan aku tak ingin dia merasa terbebani karena ada
aku... seperti? Apa yang biasa kau bilang... ban serep. Kami pergi ke pesta, dan di sana
sangat penuh, panas. Jacob pergi untuk mengambil makanan, lalu dia pergi lumayan lama.
Sementara itu, seorang pemuda mendekatiku. Dia memberiku segelas punch dan bilang
sepertinya aku perlu minum. Kukatakan padanya aku sedang menunggu seseorang, dan dia
tertawa lalu berkata, "Yang menemukan boleh memiliki." Lalu ia mulai ngobrol denganku.
100
Katie berjalan di bagian belakang penyimpanan jerami, mengusap-usap ujung penggaruk
yang disandarkan ke dinding. "Aku mungkin telah minum punch-nya sedikit saat dia bicara,
tanpa memikirkannya. Dan itu membuatku merasa tak enak—perutku mual dan kepalaku
berputar. Aku berdiri mencoba mencari Jacob di antara orang-orang, dan seluruh ruangan
berputar." Katie menggigit bibirnya. "Yang kutahu selanjutnya, aku berbaring di ranjang
yang tak kukenal, dengan bajuku... dan dia sedang...,” Katie memejamkan mata. "Aku ...
aku bahkan tak tahu namanya."
la menempelkan kepalanya di dinding batu, merasakan kasarnya papan kayu di keningnya.
Seluruh tubuhnya gemetar, takut untuk berpaling dan melihat ekspresi Ellie.
Tapi Katie tak perlu berpaling. Ellie memeluknya dari belakang. "Oh, Katie," hiburnya. "Aku
sangat menyesal."
Katie berpaling ke pelukan Ellie, tempat yang aman dan menangis.

Kali ini, saat Katie selesai menceritakan kisah itu, ia memegang tangan Ellie erat-erat untuk
dukungan. Ia seakan-akan tidak sadar air mata membanjir di pipinya. Ellie mencondongkan
tubuh untuk menghapus air mata itu, memandang mata Katie dan tersenyum, mengatakan
padanya bahwa ia sudah berhasil melakukan tugas dengan baik.
Dr. Polacci, yang diminta datang kembali untuk mendengarkan pengakuan Katie,
memandang Katie lalu Ellie, lalu kembali lagi. Kemudian ia mengangkat tangan dan mulai
bertepuk tangan, tak terkesan. "Cerita yang bagus," katanya. "Coba lagi."

"Dia bohong," kata Dr. Polacci. "Dia tahu benar di mana dan kapan dia membuat bayi itu,
dan cerita mengesankan tentang perkosaan itu bukan yang sebenarnya."
Ellie merasakan kuduknya meremang mendengar Katie berbohong; bahwa Katie dengan
sengaja telah berbohong padanya. "Kita tidak bicara tentang seorang remaja biasa yang
mengarang alasan pada orangtuanya dan menghabiskan malam ditiduri pacarnya di mobil."
"Justru itu. Cerita ini terlalu bagus. Terlalu bagus, terlalu diperhitungkan. Dia mengatakan
padamu apa yang ingin kaudengar. Kalau dia diperkosa, dia pasti sudah mengakuinya saat
sesi evaluasi dengan psikiater klinisnya, kecuali kalau dia melindungi pemerkosanya, yang
tidak sesuai dengan ceritanya. Lalu ada masalah tentang pesta perpisahan yang
dilaksanakan tiga bulan setelah kelulusan di bulan Juni—menurut perkiraanku, berdasarkan
laporan medis, pembuahan terjadi bulan Oktober."
Ketidakkonsistenan yang terlihat jelas itulah yang akhirnya menyadarkan Ellie. "Sialan,”
gumamnya. Tiba-tiba sesuatu melintas di pikirannya dan Ellie mengangkat kepala. "Kalau
dia berbohong tentang tidak ingat berhubungan seks, apakah dia berbohong juga tentang
melakukan pembunuhan?"
Psikiater itu menghela napas. "Firasatku masih bilang tidak. Saat aku mendesaknya tentang
pembuahan bayi itu, dia kelihatan bingung—mengatakan hal-hal yang kelihatannya tidak
diingatnya. Tapi saat aku mendesaknya tentang pembunuhan, penyangkalannya terhadap
kejahatan itu tegas, dan sudah jelas—dia bilang dia tertidur menggendong bayinya; dia
bangun dan bayinya sudah hilang. Dua episode amnesia itu berbeda—yang membuatku
berpikir secara sadar dia menyangkal kejadian yang pertama, dan secara tidak sadar
mengalami disosiasi tentang kejadian kedua."
Dr. Polacci menepuk bahu Ellie. "Jangan terlalu kecewa. Sebenarnya, ini bisa dibilang
sebuah pujian. Katie merasa terlalu dekat denganmu sehingga dia ingin bersikap sesuai yang
kauinginkan, bahkan walaupun artinya dia harus berbohong. Bisa dibilang kau sudah
menjadi figur orangtua baginya."
"Bersikap sesuai harapan orangtua," gumam Ellie gusar. "Bukankah itu yang membuatnya
terlibat dalam masalah ini?"
Dr. Polacci tertawa kecil. "Sebagian. Itu, dan seorang pria. Seorang pria yang mempengaruhi
dirinya, seperti yang belum pernah kulihat sebelumnya."

Malam itu sangat panas, sehingga Ellie keluar dari selimut dan berbaring di atasnya dengan
gaun tidurnya terangkat hingga ke paha. la berbaring diam, mencoba mendengarkan napas
Katie, bertanya-tanya berapa lama lagi mereka berdua bisa tertidur.
Ellie tidak mengerti mengapa ia sangat terobsesi dengan kebenaran kali ini. Sebagai
pengacara pembela, ia biasanya menutup telinga dan tak mau mendengar pengakuan yang
secara hukum tak mau ia dengar. Tapi sekarang ia bahkan mau jika harus menukar inverter
dua belas voltnya untuk kesempatan sepuluh menit berada di kepala Katie Fisher dan
mencari tahu apa yang ada dalam pikirannya.
Lalu ia mendengar, keluhan yang sangat pelan. "Maafkan aku," kata Katie pelan.
Ellie bahkan tak berpaling memandangnya. "Untuk apa sebenarnya permintaan maafmu itu?
Pembunuhan bayimu? Atau kejahatan yang lebih ringan karena membuatku terlihat seperti
orang idiot di depan saksiku sendiri?"
101
"Kau tahu aku minta maaf untuk apa."
Mereka terdiam lama. "Mengapa kau melakukannya?" kata Ellie akhirnya.
Ia bisa mendengar Katie berguling ke sisi. "Karena kau sangat ingin mendengarnya."
"Yang kuinginkan adalah kau berhenti berbohong padaku, Katie. Tentang ini, dan tentang
apa yang terj adi setelah bayi itu lahir." Ellie mengusap wajahnya. "Yang kuinginkan adalah
memutar waktu kembali, sehingga kali ini aku bisa menolak mengambil kasusmu."
"Aku berbohong karena kau dan Dr. Polacci sangat yakin aku tahu sesuatu," suara Katie
tercekik, penuh air mata. "Aku tidak tahu, Ellie. Sumpah, aku tak tahu. Aku tidak gila,
seperti yang kaupikir... Aku hanya tak bisa mengingatnya. Tentang bagaimana bayi itu
dibuat, atau bagaimana bayi itu mati."
Ellie tak berkata apa-apa. la mendengar derit pelan ranjang saat Katie meringkuk dan
menangis. Ia mengepalkan tangannya untuk menahan dorongan mendekati gadis itu, lalu
menarik selimut dan menghitung waktu hingga Katie tertidur.

Samuel menghapus keringat di alisnya dan menjatuhkan satu anak sapi lagi. Setelah
bertahun-tahun membantu Aaron, ia sudah ahli mengebiri sapi. la menunggu hingga sapi itu
tenang, lalu memasukkan cincin karet elastratordi sekeliling kantong buah zakar sapi dan
membiarkannya mengerut. Hanya dalam beberapa detik, anak sapi jantan berusia dua
bulan itu sudah berdiri lagi, dan memandang marah pada Samuel sebelum merumput lagi.
"Dia pejantan yang kuat," sebuah suara mengagetkannya.
Samuel menoleh dan melihat Uskup Ephram berdiri di balik pagar. "Ja, dia akan
memberikan daging yang cukup untuk Aaron." Sambil tersenyum pada pria yang lebih tua
itu, Samuel keluar dari gerbang kandang. "Kalau kau mencari Aaron, kurasa dia di gudang."
"Sebenarnya, aku mencarimu."
Samuel terdiam, bertanya-tanya apa yang akan dituduhkan Uskup padanya kali ini, lalu
diam-diam memarahi dirinya sendiri karena bisa-bisanya memikirkan hal itu. la sebelumnya
sering dikunjungi oleh Uskup, dan sekali pun pernah terkait dengan rasa malu atau
kesalahan. Hingga Katie mendapat masalah.
"Komm,"kata Ephram. "Ayo jalan-jalan." Samuel berjalan di sampingnya. "Aku ingat ketika
ayahmu pertama kali menghadiahimu seekor sapi."
Itu bukanlah hadiah aneh yang diberikan seorang pria Amish pada putranya: hasil dari
penjualan dagingnya dimasukkan ke bank untuk simpanan putranya nanti, saat ia ingin
membeli rumah atau pertanian sendiri. Samuel tersenyum, mengingat anak sapi pejantan
yang berat badannya jadi lima ratus kilogram dalam setahun.
la masih menyimpan uang hasil penjualan dagingnya, juga uang hasil penjualan daging sapi-
sapi berikutnya. Dulu, ia menabung uang itu untuk hidupnya nanti bersama Katie.
"Teknikmu menjadi semakin bagus akhir-akhir ini," kata Ephram. "Seingatku, sapi pertama
itu menendangmu keras-keras, di tempat yang tak tahan ditentang." la menyeringai geli di
balik jenggot putihnya. "Saat itu tak jelas siapa sebenarnya yang akan dikebiri." '
Wajah Samuel merona mengingatnya, tapi ia tertawa. "Aku masih sembilan tahun,"
debatnya. "Sapi itu lebih berat daripada aku."
Ephram berhenti berjalan. "Salah siapa itu?"
"Salah?"
"Tendangan itu. Fakta bahwa kau terluka."
Mengerutkan kening, Samuel mengangkat bahu. "Anak sapi itu, kurasa. Aku yakin aku tidak
menendang diriku sendiri."
"Memang tidak. Tapi seandainya kau memegangnya lebih erat, menurutmu apa yang akan
terjadi?"
"Dia takkan bisa menendangku, kau tahu itu. Jelas aku sudah mendapat pelajaran berharga.
Aku tak pernah kena tendang lagi." Samuel menghela napas. Pekerjaannya masih banyak. la
tak punya kesabaran untuk mendengarkan ocehan Ephram yang tak jelas juntrungnya.
"Uskup," katanya, "kau tidak datang ke sini untuk bicara padaku tentang sapi itu."
"Benarkah?'
Samuel mengenakan topinya. "Aaron pasti mencariku sekarang."
Uskup Ephram meletakkan tangan di lengan Samuel. "Kau benar, Saudara. Untuk apa kita
membicarakan masa lalu? Begitu sapi itu menendangmu, kalau langsung menyingkirkannya."
"Tidak. Aku tidak menyingkirkannya. Kau ingat bukan bagaimana dia menjadi sangat besar.
Dia sapi jantan yang bagus." Samuel cemberut. "Ketika aku memasukkan uang ke bank, aku
bahkan hampir tak ingat kalau dia pernah menendangku."
Uskup tua itu memandangnya serius. "Memang tidak. Tapi saat kau telentang di padang
rumput hari itu, menangis dan memegang kemaluanmu, aku yakin kau tak akan mengira
bahwa semua hal akan berubah menjadi begitu baik pada akhirnya."
Samuel pelan menolehkan kepalanya ke Uskup. "Kau tidak datang ke sini untuk bicara
tentang sapi itu," ulangnya pelan.
Uskup Ephram mengangkat alisnya. "Benarkah?"

102
Dr. Brian Riordan bepergian dengan pesawat jet pribadi, ditemani dua pria yang terlihat
seperti pensiunan pemain bola dan seorang gadis sekecil tikus yang terlompat setiap kali
Riordan menyuruhnya melakukan sesuatu. la terkenal di kalangan psikiater forensik sebagai
salah satu kritikus utama : pembelaan berdasarkan kegilaan, terutama saat digunakan
untuk membebaskan pembunuh. la menyatakan pendapatnya yang kuat itu di setiap
persidangan di seluruh penjuru Amerika Serikat, bahkan di kantornya ia menyimpan peta
yang dihiasi dengan jarum pentul warna-warni, menunjukkan sistem pengadilan di mana ia
berperan memenjarakan pelaku kriminal yang mungkin bisa bebas karena simpati juri.
Ia juga terlihat sangat tidak cocok di pertanian.
Dibandingkan dengan Dr. Polacci, Dr. Riordan terlihat hebat. Bahkan dari ambang pintu
dapur, tempat Ellie mengamati wawancara, ia bisa melihat Katie gemetaran.
"Ms. Fisher," kata Riordan setelah mengenalkan diri. "Aku disewa oleh jaksa. Itu artinya apa
saja yang kau katakan padaku akan dibawa ke sidang. Kau tak bisa mengatakan sesuatu
yang off the record; tidak ada kerahasiaan di sini. Apa kau mengerti?'
Ellie mendengarkan saat Riordan menanyai Katie tentang kelahiran bayinya, memintanya
menceritakan kembali peristiwa itu seakan-akan sedang terjadi.
"Itu tergeletak di sana," kata Katie pelan, "di antara kakiku."
"Apa itu laki-laki atau ; perempuan?"
"Laki-laki. Bayi laki-laki yang sangat, sangat mungil." Katie terdiam. "Bergerak-gerak."
Ellie merasakan wajahnya memanas. la melengos mengipasi pasi wajahnya dengan satu
tangan.
"Apa dia menangis?" tanya Riordan.
"Tidak. Hingga aku memotong tali pusarnya."
"Bagaimana kau memotongnya?"
"Ayahku menyimpan gunting tergantung di pasak di luar kandang sapi. Itu yang aku pakai.
Lalu ada darah, di mana-mana, dan aku berpikir bahwa aku takkan bisa membersihkan ini,
selamanya. Aku menekan ujung tali pusar, dan mengikatnya... dengan ikatan jerami kurasa.
Lalu dia mulai menangis."
"Bayinya?"
"Ja. Mulai menangis keras, sangat keras, dan aku mencoba memeluknya agar ia tenang, tapi
itu tidak membantu. Aku menggendongnya erat dan memberinya jariku untuk diisap."
Ellie bersandar ke dinding. Ia membayangkan bayi rapuh itu, menggeliat-geliat di gaun
malam Katie. la membayangkan wajah yang mungil, kelopak mata yang transparan, dan
tiba-tiba lengannya terasa berat, seberat kesempatan yang telah hilang. Bagaimana
tindakan seseorang dalam kasus ini bisa dibela? "Permisi," kata Ellie tiba-tiba masuk ke
dapur. "Aku butuh minum. Ada yang mau?"
Riordan memandangnya jengkel karena mengganggu. Ellie berkonsentrasi mengisi gelasnya
tanpa memperlihatkan tangannya yang gemetaran, dan minum sedikit sebelum kembali
mendengarkan kliennya menceritakan kematian bayinya.
"Apa yang terjadi kemudian, Katie?" tanya Riordan.
Katie memicingkan mata, menggeleng, lalu menghela napas. "Aku tak tahu. Kuharap aku
tahu, aku sangat berharap untuk tahu, kau tidak bisa membayangkan betapa inginnya aku
untuk tahu. Tapi satu saat aku sedang berdoa pada Tuhan untuk membantuku, dan saat
berikutnya aku terbangun. Bayinya sudah hilang." Ellie menunduk di atas tempat cuci
piring. "Sebuah keajaiban," kata Katie.
Riordan memandangnya. "Kau bercanda, bukan?"
"Tidak."
"Berapa lama kau pingsan di gudang?"
"Aku tak tahu. Sekitar sepuluh hingga lima belas menit kurasa."
Psikiater itu melipat tangannya di pangkuan. "Apa kau membunuh bayimu saat itu?"
"Tidak!"
"Kau yakin?" Katie mengangguk tegas. "Kalau begitu apa yang terjadi padanya?'
Tak seorang pun menanyakan hal itu pada Katie sebelumnya; dan saat Ellie mengamati
bagaimana Katie berjuang mencari jawaban, ia menyadari bahwa ini tak diramalkan
sebelumnya. "Aku... tak tahu."
"Kau pasti punya gagasan. Karena seseorang membunuh bayi itu, dan orang itu bukan kau."
"M-m-mungkin dia mati begitu saja," Katie tergagap. "Dan seseorang menyembunyikannya."
Ellie mengerang dalam hati. Dan mungkin itu tadi adalah alam bawah sadar Katie
melakukan pengakuan.
"Kaupikir itu yang terjadi?" tanya Riordan.
"Seseorang mungkin saja datang dan membunuhnya."
Apakah itu kelihatannya mungkin bagimu?"
"Aku-aku tak yakin. Saat itu masih pagi..."
"Tengah malam, kukira," potong Riordan. "Siapa yang tahu kau ada di sana melahirkan?" la
memandang Katie berusaha mencari jawaban pertanyaan itu. "Katie," katanya tegas, "apa
yang terjadi pada bayi itu?"
Ellie melihat gadis hancur: bibir bawahnya gemetaran, matanya bengkak, punggungnya
bergetar, saat Katie menggeleng dan berulang-ulang menyangkal ia telah melakukan
tindakan kriminal itu. la menunggu Riordan melakukan sesuatu untuk menenangkan Katie,
tapi lalu sadar bahwa pria itu sudah menempatkan simpatinya ke pihak lain.
103
la disewa oleh jaksa; tak etis baginya untuk memberikan penghiburan kalau ia diminta
datang untuk tujuan membantu memasukkan Katie ke penjara.
Ellie mendekati kliennya dan berlutut di sisinya. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar?"
la tak menunggu jawaban Riordan.Ia merangkulkan lengannya ke bahu Katie, mencoba
mengabaikan bagaimana gadis itu melipat-lipat celemeknya dan sekarang membungkuk di
atasnya, menggendongnya seakan-akan celemek itu adalah bayi.
Riordan menegaskan pandangannya dan memberikan uraian dengan nada tinggi dan pasif.
"Katie Fisher tidak berada di sana saat kematian bayinya. Tubuhnya mungkin di sana, tapi
tidak pikirannya. Ketika bayi itu mati, dia terkungkung di pembatas mental yang terbuat
dari rasa bersalahnya sendiri." Ia menurunkan suaranya ke nada normal dan menyeringai ke
penuntut umum. "Atau seperti itulah."
George tertawa. "Apakah omong kosong psikoanalis seperti itu benar-benar berguna di
persidangan?"
Riordan mengambil permen mint dari stoples di meja. "Tidak kalau aku bisa mencegahnya."
"Kau yakin, kalau Hathaway mengajukan pembelaan karena gangguan mental, yang dia
maksudkan adalah disosiasi?'
"Percayalah padaku, itu adalah rancangan pembelaan yang paling sering untuk kasus
pembunuhan bayi oleh ibunya. Secara psikologis, kesenjangan antara cerita Katie dan bukti
forensik bisa dijelaskan oleh kondisi disosiasi atau kebohongan—dan kaupikir saja dari kedua
pilihan itu mana yang akan dipilih pembela. Tapi episode disosiasi singkat tak bisa disebut
kegilaan."
Riordan mengangkat bahu, memasukkan permen mint ke mulutnya. "Hal lain tentang
kondisi disosiasi adalah kalau kauberi tali yang cukup pada Ms. Hathaway, dia akan
menggantung dirinya sendiri. Tak mungkin psikiaternya bisa membuktikan bahwa disosiasi
itu disebabkan oleh tekanan mental saat melahirkan, dan bukannya tekanan mental karena
melakukan pembunuhan. Mana yang lebih dulu, sama seperti ayam dan telur."
"Aku bisa menggunakan itu." George menyeringai dan bersandar di kursinya.
"Langsung ke penjara."
George mengangguk. "Apa kita perlu mempertimbangkan fakta psikologinya sebagai seorang
Amish?"
Riordan berdiri, mengancingkan jasnya. "Untuk apa?" tanyanya. "Pembunuhan tetap
pembunuhan."

Saat Adam menciumnya, dedaunan berguguran di atas mereka, menghiasi punggung Adam
dengan warna merah daun maple dan warna keemasan daun oak. Syal Katie dihamparkan
di rumput seperti bentangan sayap elang hitam besar, menjadi alas pengganti selimut. Ia
membayangkan menyerahkan tubuhnya sepenuhnya ke Adam, penyerahan yang paling
indah. Lalu ia merasakan tangan Adam di antara mereka dan menyentuhnya. "Ayo
bersamaku, " bisiknya.
Katie mengira yang dimaksud Adam adalah besok, saat ia berangkat ke Skotlandia. Ia
mengira maksud Adam adalah selamanya. Tapi lalu Katie merasakan tubuhnya berpilin
semakin erat dan erat, lalu meledak berkeping seperti putik putih bunga rumput yang
bertebaran. Saat ia kembali menarik napas, dedaunan gugur di atas mereka, sebuah
ucapan syukur. Adam berbaring di sisinya, tersenyum dan mengelus pinggulnya. "Kaubaik-
baik saja?"
Katie mengangguk. Kalau ia bicara, ia pasti akan mengatakan yang sebenarnya; ia sama
sekali tak baik-baik saja, tapi merasa kosong, sekarang setelah ia tahu bagaimana rasanya.
Adam menyelimutkan syal ke tubuh Katie, dan itu membuat tubuhnya terasa sakit. "Tidak"
Ia mendorong tangan Adam, menghindar dari halusnya syal itu. “Aku tidak mau.”
Merasakan adanya perubahan dalam diri Katie, Adam merengkuhnya. "Dengar," katanya
tegas. "Kita tidak melakukan hal yangsalah."
Tapi Katie tahu perbuatan mereka adalah dosa, ia tahu itu sejak saat ia memutuskan untuk
tidur bersama Adam. Tapi, dosanya bukanlah bercinta sebelum menikah. Tapi karena untuk
pertama kali dalam hidupnya, Katie mementingkan dirinya sendiri. Mementingkan
keinginan dan kebutuhannya sendiri di atas semua orang dan segalanya.
“Katie,"kata Adam, suaranya serak, "bicaralah padaku."
Tapi Katie ingin Adam yang bicara. Ia ingin Adam membawa-nya jauh dari sini; dan
memeluknya erat-erat lagi, dan mengatakan padanya bahwa dua dunia bisa dijembatani
dengan satu pandangan, satu sentuhan. Ia ingin Adam mengatakan bahwa Katie adalah
miliknya, dan Adam adalah milik Katie, dan dari semuanya itulah yang paling penting.
Ia ingin Adam mengatakan kalau kau sangat mencintai seseorang, maka tak apa-apa
melakukan hal-hal yang kau tahu itu salah.
Adam tetap diam, mencari-cari wajahnya. Katie merasakan panas tubuh pria itu, panas
tubuh mereka berdua, merembes keluar di antara kedua pahanya. Mereka tak akan pergi
ke Skotlandia bersama. Mereka tak akan pergi ke mana-mana. Katie meraih syalnya dan
menyelubungi bahunya, mengikatnya tepat di bawah titik di mana hatinya patah.
“Kurasa," katanya pelan, "kau sebaiknya pergi."

104
Katie merasa semakin sulit tidur. Di saat-saat sebelum terlelap, ia kini merasakan gesekan
jerami di bawah pahanya, atau merasa ketakutan, atau melihat cahaya bulan menyinari
kulit perutnya. la akan memikirkan hal-hal yang telah ia katakan pada Dr. Polacci dan Dr.
Riordan, dan merasa gugup. Lalu ia berguling ke sisi, memandang Ellie yang tertidur, dan
merasa semakin buruk.
Katie tidak berharap akan menyukai Ellie. Awalnya Katie sangat marah melihat dirinya
terjebak dengan penjaga yang tak memercayainya. Tapi meskipun Katie merasa tak nyaman
menghadapi situasi ini, Ellie pasti lebih tak nyaman lagi. Ini bukan rumahnya; bukan orang-
orangnya—dan seperti yang dikatakan Ellie dalam beberapa kesempatan, biasanya dalam
keadaan marah, ini bukanlah situasi yang ia rencanakan.
Yah, itu juga bukan salahku, pikir Katie. Tapi ia sudah melihat bayi yang dibungkus selimut
untuk kuda itu. la melihat peti matinya diturunkan ke tanah. Pasti itu salah seseorang.
Katie tidak membunuh bayi itu, ia tahu pasti itu sepasti pengetahuannya bahwa matahari
akan terbit di pagi hari. Tapi kalau begitu siapa pelakunya?
Pernah ada seorang gelandangan yang berteduh di gudang tembakau Isaiah King. Tapi
kalaupun gelandangan itu ada di gudang pagi itu, ia tak punya motif untuk mengambil bayi
itu dari pelukan Katie, membunuhnya dan menyembunyikanya. Kecuali jika ia gila, seperti
Ellie yang sekarang berusaha menganggapnya gila.
Katie tahu ia pasti akan merasa kalau ada orang lain di gudang pagi itu. Dan kalaupun ia tak
merasa, binatang ternak yang di sana pasti tahu. Nugget pasti akan meringkik meminta
makanan, seperti yang ia lakukan setiap kali seseorang masuk gudang; sapi-sapi pasti
melenguh mengharapkan diperah. Dari pecahan dan kilasan ingatan Katie, pagi itu sangat
tenang di gudang.
Artinya ada seseorang masuk setelah dia.
Katie telah memutar otaknya lagi dan lagi, berharap bisa memberikan informasi yang
berharga bagi Ellie, sebuah bukti kuat yang akan membuat semuanya menjadi jelas. Tapi
siapa yang punya alasan untuk bangun di pagi buta?
Ayahnya. Pikiran itu membuat Katie malu. Ayahnya kadang datang untuk memeriksa sapi
yang hendak melahirkan—tapi ia datang untuk memberikan hidup, bukan mengambilnya.
Kalaupun ia telah menemukan Katie berbaring bersama bayinya, ia pasti akan sangat shock
dan bahkan marah. Tapi ia pasti mencari keadilan di gereja, dan tidak main hakim sendiri.
Samuel. Kalau ia datang lebih awal untuk memerah susu, ia mungkin menemukan Katie
yang tertidur di gudang dengan bayinya. Tentunya, ia berhak untuk marah. Apakah mungkin
ia mencelakai bayi itu sebelum sadar apa yang telah dilakukannya. Mustahil, pikir Katie,
bukan Samuel. Samuel bukan orang yang terbiasa mengambil kesimpulan terburu-buru; ia
orang yang berpikir secara pelan. Dan ia terlalu jujur untuk berbohong pada polisi. Tiba-
tiba Katie merasa sedikit lega, ia ingat ada alibi lain untuk Samuel. la selalu membawa
Levi. la tak mungkin sendirian di gudang dan melakukan pembunuhan itu.
Tapi itu artinya tak ada orang lain lagi—kecuali dirinya sendiri. Dan sekarang, pada tengah
malam, ia menarik selimutnya lebih erat, dan membiarkan pikirannya bertanya-tanya
apakah mungkin Dr. Polacci dan Ellie benar. Kalau kau tak ingat sesuatu terjadi, apakah
karena hal itu memang tak pernah terjadi? Atau karena kau berharap hal itu tidak terjadi?
Katie mengusap pelipisnya. la terlelap, membawa kenangan tangisan lirih seorang bayi.

Cahaya lampu senter yang menyinari matanya membangunkan Ellie. "Ya ampun,"
gumamnya, dan melirik Katie, yang tidur nyenyak, lalu berdiri mendekati jendela. Kalau
Samuel datang untuk minta maaf, mengapa ia tak melakukannya besok pagi saja. Ellie
mengintip ke luar jendela, siap mengomelinya, lalu sadar bahwa pria yang berdiri di luar
rumah adalah Coop.
Setelah cepat-cepat memakai kaus dan celana pendek yang ia pakai siang harinya, Ellie
tergesa-gesa turun menemuinya. la meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya saat keluar
ke beranda, dan berjalan agak jauh dari rumah. Dengan tangan bersedekap di dada, ia
mengangguk ke arah senter yang dipegang Coop. "Samuel membocorkan trik itu padamu?"
"Levi," kata Coop. "Anak itu pintar sekali."
"Apa kau datang untuk menunjukkan padaku bahwa kau mengerti ritual kencan Amish?" Ellie
langsung menyesal setelah mengatakan itu. Seakan-akan, setelah apa yang terjadi beberapa
malam lalu; Coop masih mau mengajaknya kencan.
Coop menghela napas. "Aku datang untuk minta maaf."
"Tengah malam begini?"
"Aku sebenarnya mau menelepon, tapi aku tak bisa menemukan nomor telepon Fisher di
buku telepon. Jadi aku harus mencari lampu senterku dan datang sendiri."
Ellie merasa geli. "Begitu ya? Aku mengerti"
105
"Tidak. Kau tak mengerti." Coop menarik tangannya dan menggandengnya ke jalan menujµ
kolam. "Aku benar-benar menyesal bahwa antara kau dan Stephen tidak berjalan baik. Aku
tak bermaksud menghinamu."
"Kau hampir saja membohongiku."
"Kau pernah melukaiku, El. Sangat parah. Kurasa bisa dibilang aku ingin kau merasa seburuk
yang kurasakan dulu." Ia meringis. "Tidak dewasa sekali."
Ellie menatapnya. "Aku tak akan memintamu membantuku dalam kasus Katie kalau aku tahu
kau masih mendendam, Coop. Kukira setelah dua puluh tahun kau sudah melupakan itu."
"Tapi kalau aku melupakan itu," kata Coop beralasan, "itu artinya aku melupakanmu."
Ellie merasakan malam mendekat melingkupi dirinya. Gila, pikirnya, nadinya berdetak
cepat. Ini gila. "Aku mengajukan pembelaan berdasarkan gangguan mental," katanya tiba-
tiba.
Coop mengangguk, menerima pergantian topik itu, dan tahu kalau Ellie membutuhkannya.
"Apa artinya itu?"
Coop menjepit senter di ketiaknya dan memasukkan tangan ke kantong, berjalan lagi diikuti
Ellie. "Kau tahu apa artinya itu karena kau mungkin sudah memikirkannya. Katie tidak gila.
Tapi mungkin sebagai pengacaranya kau bisa bilang ke juri kalau dia Ratu Elizabeth, kalau
itu bisa membebaskan dia, walaupun kita tahu dia tak punya setetes pun darah biru di
tubuhnya.”
"Yang mana yang lebih susah diterima, Coop: seorang gadis yang ketakutan menjadi gila dan
membunuh bayinya tanpa menyadari apa yang sedang dilakukannya—atau orang asing
masuk ke gudang jam dua pagi, setelah gadis itu melahirkan dua bulan sebelum masanya,
dan membunuh bayinya saat gadis itu tertidur?"
"Pembelaan berdasarkan kegilaan jarang menang, El."
"Demikian juga keraguan yang beralasan, saat itu terlihat sama sekali tak beralasan."
Mereka sampai di kolam, dan Ellie duduk di bangku besi dan memeluk lututnya. "Bahkan
kalaupun dia tidak membunuh bayi itu, cara terbaik membebaskannya adalah meyakinkan
juri bahwa dia memang membunuhnya tanpa sadar apa yang dia lakukan. Itu adalah
pembelaan paling simpatik yang kudapatkan."
"Persetan, pengacara memang selalu berbohong," kata Coop.
Ellie mendengus. "Kau tak harus mengatakannya padaku. Aku sudah melakukannya.... Ya
Tuhan, aku bahkan tak bisa menghitungnya lagi."
"Dan kau juga pintar melakukannya."
"Yeah," kata Ellie. "Memang."
Coop meraih tangannya. "Lalu mengapa kebohongan itu memakanmu dari dalam?"
Ellie membiarkan topengnya terlepas, topeng yang ia pertahankan sejak ia menjelaskan
pada Katie bahwa mereka akan menggunakan pembelaan berdasarkan kegilaan untuk
membebaskannya, meskipun Katie tidak gila.
"Kau mau kukatakan padamu mengapa itu membunuhmu pelan-pelan?" kata Coop ringan.
"Karena mengajukan pembelaan berdasarkan kegilaan artinya Katie melakukannya meskipun
saat itu kesadarannya tidak di sana. Dan jauh di dalam hati, kau terlalu menyukai Katie
untuk mengakui itu."
Ellie terisak. "Kau berlebihan. Kau tahu bagaimana seharusnya hubungan dengan klien,
emosi pribadi tak boleh masuk. Aku berhasil memasang ekspresi datar saat aku mengatakan
pada juri bahwa pelaku pelecehan terhadap anak-anak adalah tokoh panutan komunitas.
Aku membuat pemerkosa berantai seperti anak altar. Itulah pekerjaanku. Apa yang secara
pribadi kurasakan pada klienku tidak berhubungan dengan apa yang kukatakan untuk
membela mereka.
"Kau benar."
Itu membuat Ellie terhenti. "Benarkah?"
"Yeah. Masalahnya di sini adalah, sejak lama, Katie sudah berhenti menjadi klienmu.
Bahkan mungkin sejak awal. Dia kerabatmu, walaupun jauh. Dia ramah, muda dan bingung
—dan kau terjebak dalam peran sebagai ibu pengganti. Tapi perasaanmu padanya adalah
sebuah misteri, karena dia telah menyingkirkan sesuatu yang sangat ingin kaumiliki—
seorang anak."
Ellie menegakkan bahunya, hendak menertawakan pengamatan Coop, tapi tak menemukan
komentar yang cukup pedas untuk menukasnya. "Apakah aku begitu mudahnya ditebak?"
"Tak perlu," gumam Coop. "Aku sudah mengenalmu sebegitu dalam."
"Jadi bagaimana aku bisa memperbaikinya? Kalau aku tidak memisahkan hubungan
personalku dengan hubungan profesionalku terhadap Katie, aku tak akan pernah
memenangkan kasusnya."
Coop tersenyum. "Kapan kau akan belajar bahwa banyak cara untuk menang?"
"Apa maksudmu?" tanya Ellie, waspada.
"Kadang saat kau mengira kau telah kalah, kau sebenarnya sudah melangkah lebih jauh."
Coop meraih dagu Ellie dan menciumnya ringan. "Lihat saja aku."
Ellie memandangnya. Ia melihat hijau laut Karibia di mata Coop, tapi lebih penting lagi, ia
melihat sejarah di mata itu. la melihat bekas luka kecil di bawah rahangnya akibat terjatuh
dari sepeda saat usia enam tahun. Lalu garis di pipinya akan melekuk jadi lesung pipi saat
ia tersenyum.
106
"Maafkan atas apa yang kukatakan beberapa malam lalu," kata Coop. "Dan kukira aku akan
sekalian minta maaf atas apa yang baru saja kukatakan padamu tadi."
"Aku mungkin memang butuh mendengar itu. Dan ditampar sesekali."
"Aku harus memberitahumu, aku bukan pria ringan tangan macam itu."
Ellie mendekatkan tubuhnya. "Aku tahu."
Ciuman mereka obsesif dan dekat, seakan-akan mereka tak sabar untuk menjadi satu.
Tangan Coop mengelus punggungnya dan payudaranya. "Ya Tuhan, aku merindukanmu,"
erangnya.
"Baru lima hari."
Coop tiba-tiba berhenti dan menyentuh wajah Ellie. "Rasanya seperti selamanya," katanya.
Dengan mata terpejam, Ellie memercayainya. Ia bisa membayangkan musik Grateful Dead
terdengar dari luar, masuk melewati jendela kamar asramanya, di sana ia dan Coop
terbaring berpelukan di ranjang kecil. Ia masih bisa melihat rangkaian manik-manik yang
tergantung di depan pintu kamar mandi, pelangi kristal, dan tupai bermata lebar di ambang
jendela yang mengamati mereka.
Ellie merasakan Coop melepaskan kausnya dan membuka celana pendeknya. "Coop,"
katanya, tiba-tiba merasa gugup. "Umurku bukan dua puluh tahun lagi."
"Sialan." Coop terus menarik turun celana pendek Ellie. "Kurasa itu artinya aku juga bukan:"
"Tidak. Ini serius." la meraih tangan Coop yang memegang celana pendeknya dan
menciumnya. "Aku tak terlihat seperti dulu."
Coop mengangguk penuh perhatian. "Itu pasti karena bekas luka itu bukan—akibat
pembedahan jantungmu?"
"Aku tidak pernah menjalani pembedahan jantung."
"Lalu apa yang kaukhawatirkan?" Coop mencium bibir Ellie ringan. "El, kalaupun beratmu
seratus kilogram dan ada rambut tumbuh di dadamu, aku tak peduli. Saat aku melihatmu,
tak peduli apa yang seharusnya kulihat, aku melihat gadis di masa kuliah dulu—karena saat
aku jatuh cinta padamu, waktu berhenti."
"Berat badanku tidak sampai seratus kilogram."
"Paling tak lebih dari delapan puluh lima kilogram," kata Coop, dan Ellie memukul
lengannya. "Apa kau akan terus mengalihkan perhatianku, atau kau akan membiarkanku
bercinta denganmu?"
Ellie tersenyum. "Aku tak tahu. Biar kupikirkan dulu."
Menyeringai, Coop menciumnya. Lengan Ellie merangkul lehernya, dan menarik Coop
mendekat. "Kau tahu," kata Coop, napasnya terasa panas di kulit Ellie, "umurmu juga sudah
bukan dua puluh tahun lagi saat aku melepaskan pakaianmu beberapa malam lalu."
"Memang tidak, tapi aku mabuk."
Coop tertawa. "Mungkin aku harus mencobanya. Karena bangku ini terlalu keras sehingga
membuatku merasa jompo." Dengan cepat, ia menarik Ellie dari bangku, berguling sehingga
Coop berada di bawah saat mereka terjatuh ke rumput.
Ellie terjatuh di atasnya, kakinya terentang, wajahnya satu sentimeter dari wajah Coop.
"Apakah kau akan terus mengalihkan perhatianku," gumamnya, "atau kau akan
membiarkanku bercinta denganmu?"
Lengan Coop memeluk punggungnya erat. "Kukira kau tak akan pernah minta," katanya, dan
menyentuhkan bibirnya ke bibir Ellie.

Katie sedang duduk di meja, minum segelas susu segar dari teko yang disimpan di lemari es,
saat Ellie mengendap-endap masuk rumah seperti remaja. Melihat lampu menyala, ia
melongokkan kepala ke dapur. "Oh," katanya, terkejut melihat Katie. "Mengapa kau
bangun?"
"Tak bisa tidur," kata Katie. "Bagaimana denganmu?" Tapi Katie tahu, sejak saat ia melihat
Ellie, dari mana dia dan apa yang dilakukannya. Rumput di rambutnya; rona di pipinya. Dari
tubuh Ellie tercium bau seks.
Sesaat Katie merasakan kecemburuan menjalar di tubuhnya seperti air pasang, dan ia tak
bisa memalingkan mata dari Ellie karena yang ia inginkan adalah merasakan apa yang
dirasakan Ellie sekarang. Itu terlihat jelas padanya, seakan-akan sentuhan Coop masih
menyisakan binar fosfor di kulit Ellie.
"Aku jalan-jalan," kata Ellie pelan.
"Dan kau jatuh."
"Tidak... kenapa?"
Katie mengangkat bahu. "Kalau begitu kenapa ada daun di rambutmu?"
Merasa malu, Ellie membersihkan rambutnya. "Memang kau siapa," katanya tersenyum,
"ibuku?"
Katie membayangkan Ellie, disentuh, dipeluk dan dicium. Ia teringat pada Adam, dan
bukannya merasakan tonjolan lunak yang biasa ia rasakan di perut bawahnya, sekarang ia
merasakan bola kegetiran. "Bukan. Dan kau juga bukan ibuku."
Tubuh Ellie mengejang. "Itu benar."
"Kaupikir kau ibuku. Kau ingin aku merangkak ke pangkuanmu dan menangis sehingga kau
bisa membuat semuanya lebih baik. Tapi kau tahu, Ellie? Ibu tak punya kekuatan untuk
membuat semuanya lebih baik, tak peduli apa yang kaupikirkan."
Tersinggung, Ellie menyipitkan mata. "Dan kata-kata ini rupanya datang dari seorang ahli
dalam hal menjadi ibu."
"Aku tahu lebih banyak dari kau," tukas Katie.
"Perbedaan antara kau dan aku," kata Ellie tenang, "adalah aku akan mengorbankan apa pun
agar bisa punya bayi, dan kau tak sabar untuk menyingkirkan bayimu."
107
Mata Katie terbelalak, seakan-akan Ellie baru saja menamparnya. Lalu, dalam sekejap,
kedua mata itu dipenuhi air mata yang segera dihapusnya dengan punggung tangan. "Ya,
Tuhan," katanya, meratap, tangannya memeluk perutnya. "Ya Tuhan, kau benar."
Ellie memandangnya. "Apa kau membunuh bayi itu, Katie?"
Katie menggeleng. "Aku tertidur. Aku tertidur saat menggendongnya, aku bersumpah
padamu dan Tuhan." Wajahnya berkerut kesakitan. "Tapi sama saja aku membunuhnya,
Ellie. Aku berharap dia tak ada. Aku—berharap selama berbulan-bulan semoga dia hilang."
Saat ini Katie membungkuk, terisak-isak keras sehingga napasnya tersengal-sengal. Ellie
mengumpat pelan dan memeluk Katie erat-erat. "Itu cuma berharap," hiburnya, mengelus
rambut pirang gadis itu. "Berharap tak sama dengan membunuhnya."
Katie menempelkan pipinya yang panas ke dada Ellie. "Kau bukan ibuku... tapi kadang aku
berharap kau ibuku." Ia merasakan apa yang ia inginkan: lengan Ellie merengkuhnya lebih
erat. Katie memejamkan mata dan membayangkan dipeluk bukan oleh Ellie tapi oleh Adam
—senyumnya di mata Adam, namanya di bibir Adam, hatinya penuh dengan pengetahuan
bahwa ia tetap dicintai, tak peduli apa yang terjadi.

Sepuluh
Ellie
OKTOBER

SETELAH tiga bulan tinggal bersama keluarga Fisher, aku kadang hampir tak percaya bahwa
tidak lama sebelum ini aku mengira catok itu cuma ada hubungannya dengan rambut, dan
diguncang cuma berkaitan dengan manusia dan bukannya seikal gandum. Sayangnya,
persiapan untuk persidangan Katie, terjadi di tengah-tengah musim panen, dan harapanku
untuk mendapatkan dukungan dari keluarganya untuk menciptakan strategi berdasarkan
gangguan mental terpaksa sia-sia. MenurutAaron Fisher, memanen tembakau tepat waktu
dan mengisi lumbung adalah prioritas rumah tangga.
Dan suka atau tidak, aku adalah bagian dari rumah tangga itu.
Aku berjalan di belakang Katie di ladang tembakau, tanaman menghijau seluas tiga ekar
yang mungkin saja keliru dianggap sebagai tanaman padi. "Yang ini," kata Katie,
menunjukkan padaku daun mana yang siap dipetik.
"Semuanya terlihat sama," keluhku. "Mereka semua hijau. Bukankah kita seharusnya
menunggu hingga warnanya cokelat sebelum dipetik?"
"Tdak kalau tembakau. Lihat ukurannya, nih." Katie memetik sehelai daun dan
memasukkannya dengan hati-hati ke keranjang.
"Bayangkan tentang kanker paru-paru, di sini di ladang tembakau ini," gumamku.
Tapi itu tidak mengganggu Katie. "Ini panen uang," katanya singkat. "Kalau hanya
mengandalkan peternakan susu, susah mendapatkan untung."
Aku membungkuk, siap memetik daunku yang pertama. "Tidak!" teriak Katie. "Itu terlalu
kecil." la menunjukkan padaku, daun lain yang lebih besar.
"Mungkin aku sebaiknya langsung meloncat ke tahap selanjutnya. Mengisinya ke pipa, atau
menempelkan stiker peringatan ke kemasannya."
Katie memutar bola matanya. "Langkah selanjutnya adalah mengeringkannya, dan kalau tak
bisa memetik, aku tak akan membiarkanmu mendekati tongkat sepanjang satu setengah
meter yang sudah ditajamkan."
Aku tertawa dan membungkuk untuk memetik. Meski tak begitu senang, harus kuakui
kondisiku saat ini jauh lebih baik daripada kondisiku sebelumnya. Pekerjaanku sebagai
pengacara selalu menuntutku untuk melatih otak tetapi tidak melatih tubuh; tetapi, hidup
dengan keluarga Fisher, membuatku mengerahkan seluruh kemampuan fisik maupun
pikiranku. Orang Amish percaya bahwa kerja keras adalah prinsip dasar hidup, dan mereka
tak pernah menyewa orang lain sebagai pembantu dari luar di pertanian karena tenaga
sewaan dari luar itu biasanya tak tahan dengan target kerja standar orang Amish. Meskipun
Aaron tak pernah bicara banyak padaku, aku tahu ia mengharapkanku menyerah, menangis,
atau menyelinap dari ladang untuk minum segelas limun sebelum panen selesai—hal-hal
yang menunjukkan fakta nyata bahwa aku bukanlah salah seorang dari mereka. Semua itu
justru membuatku lebih bertekad melakukan pekerjaanku, hanya untuk membuktikan kalau
dia salah. Akhirnya, aku menghabiskan seminggu di awal Agustus mendirikan ikatan-ikatan
gandum untuk dimasukkan ke pemotong, hingga punggungku pegal dan rambutku penuh
sekam. Aku berusaha menyamai pekerjaan setiap anggota keluarga lain di ladang itu, menit
demi menit. Pikiranku hanyalah, kalau aku bisa mendapatkan penghargaan dari Aaron di
bidangnya, maka aku mungkin bisa mendapatkan penghargaan darinya di bidangku.
"Ellie, kau ikut tidak?"
Katie berdiri berkacak pinggang, keranjangnya yang sudah penuh diletakkan di antara
kedua kakinya. Aku rupanya tadi memetik daun tembakau dan membiarkan pikiranku
melayang, karena keranjangku sendiri juga hampir penuh.

108
Hanya Tuhan yang tahu apakah daun tembakau yang kupilih sudah siap dipanen—aku
mengambil beberapa daun yang besar dan meletakkannya di atas, sehingga Katie tak
memerhatikan keranjangku. Lalu aku mengikutinya ke arah gudang panjang yang kosong
Selama beberapa bulan aku tinggal di sana.
Ada celah di sepanjang dinding kayu di gudang, sehingga udara masuk berupa angin sepoi-
sepoi. Aku duduk di atas ikatan jerami di samping Katie dan melihatnya mengambil tusukan
setinggi tubuhnya. "Tembakaunya ditusukkan ke sini di tangkainya," katanya. "Seperti
rangkaian cranberries, untuk pohon Natal."
Nah, kalau ini aku bisa. Menyeimbangkan tongkat tusukan di atas jerami aku mulai
menjajarkan daun tembakau dengan jarak beberapa sentimeter, sehingga daun-daun itu
bisa mengering. Aku tahu, bahwa saat kami selesai nanti, semua daun tembakau di ladang
akan berjajar tergantung di tongkat yang digantungkan di gantungan gudang. Pada musim
dingin, saat aku sudah pergi, keluarga Fisher akan melepaskan semua daun tembakau ini
dan menjualnya ke Selatan.
Apakah Katie masih di sini untuk membantu saat itu?
"Mungkin setelah kita menyelesaikan ini, kita bisa bicara tentang sidangnya."
"Mengapa?" kata Katie, perhatiannya terpusat pada menusukkan tangkai tembakau ke
tongkat. "Lagi pula kau akan mengatakan apa pun yang ingin kaukatakan."
Aku tidak membalas komentar itu. Berbulan-bulan sejak Katie diwawancarai psikiater
forensik, aku tetap mengajukan pembelaan berdasarkan gangguan mental, meskipun aku
tahu itu membuatnya kesal. Dalam pikirannya, ia tidak membunuh bayi itu, jadi
ketidakmampuannya mengingat pembunuhan itu tidak ada hubungannya dengan gangguan
mental. Setiap kali aku meminta bantuannya dengan pertanyaan, dengan memintanya
mengurutkan kejadian di malam mengerikan itu—ia berpaling. Kegugupannya tentang
pembelaan itu membuatnya tak bisa diduga, dan itu membuatku bersyukur karena tidak
mengajukan pembelaan berdasarkan keraguan yang berasalan. Untuk pembelaan
berdasarkan gangguan mental, Katie tak perlu bersaksi.
"Katie," kataku sabar. "Aku sudah mengikuti lebih banyak sidang daripada kau. Kau harus
percaya padaku."
Katie menusukkan sehelai daun ke ujung tongkat. "Kau tak percaya padaku."
Tapi bagaimana aku bisa memercayainya? Sejak awal kasus ini, ceritanya telah berubah
beberapa kali. Yang bisa kulakukan adalah berusaha membuat juri percaya itu karena ia
mengalami disosiasi, atau mereka akan berasumsi ia berbohong. Dengan sengaja, aku
menusukkan bagian tengah daun ke tongkat, bukan tangkainya. "Tidak," kata Katie,
mengulurkan tangan. "Kau salah. Lihat."
Dengan lega, aku mundur dan membiarkannya jadi sang ahli. Dengan sedikit
keberuntungan, bahkan tanpa bantuan Katie, aku akan mendapatkan kesaksian yang cukup
dari Dr. Polacci untuk membebaskannya. Kami berdua bekerja dalam diam, debu naik dalam
sorotan sinar matahari yang merembes di celah-celah dinding. Saat keranjang kami hampir
kosong, aku mengangkat kepala. "Kau mau memetik lagi?"
"Hanya kalau kau mau," jawab Katie, menghargai pendapat orang lain—seperti yang selalu
dilakukan orang Amish.
Pintu gudang tiba-tiba terbuka, matahari menyinari siluet seorang pria jangkung memakai
setelan jas. Itu pasti Coop, meskipun biasanya ia berbusana kasual saat mengunjungi Katie,
kadang ia langsung datang dari kantor—dan setidaknya, ia adalah satu-satunya pria yang
kurasa mungkin memakai baju lain selain celana dengan bretel. Aku berdiri, tersenyum saat
pria itu masuk.
"Kau," kata Stephen, menyeringai, "adalah wanita yang sangat sulit ditemukan."
Untuk sesaat, aku tak bisa bergerak. Lalu aku meletakkan tongkatku dan berhasil
mengeluarkan suara. "Apa yang kaulakukan di sini?"
Stephen tertawa. "Hmm, itu bukan kata sambutan yang kubayangkan akan kudapatkan saat
menyetir kemari, tapi aku bisa mengerti kalau kau sedang rapat dengan klienmu." la
mengulurkan tangan ke Katie. "Halo," sapanya, "Stephen Chatham." Sambil melihat ke
sekeliling gudang, ia memasukkan tangan ke kantong. "Apa ini semacam terapi kerja?"
Aku hampir tak bisa percaya bahwa Stephen ada di sini. "Ini panen uang," kataku akhirnya.
Selama itu, Katie melirik padaku, tetap diam. Aku tak bisa melihat Stephen tanpa
membayangkan Coop berdiri di sampingnya. Stephen tak punya mata hijau pucat milik
Coop. Stephen terlihat terlalu terpoles. Senyum Stephen kelihatannya sudah dilatih, tidak
spontan.
"Kau tahu, aku sebenarnya agak sibuk," kataku.
"Satu-satunya kesibukanmu yang kulihat adalah terlibat dalam produksi sepuluh pak
Marlboro Lights. Dan kau harusnya berterima kasih padaku. Aku sudah mengira akses ke
perpustakaan hukum di wilayah Amish sangat terbatas, jadi aku mengambilkan beberapa
contoh vonis yang bisa kaubaca."
109
Ia meraih ke dalam mapnya dan mengambil satu berkas tebal. “Tiga kasus pembunuhan bayi
yang terjadi di wilayah hukum Pennsylvania. Salah satunya, percaya atau tidak,
menggunakan pembelaan berdasarkan gangguan mental.”
“Dari mana kau tahu aku mengajukan pembelaan berdasarkan kegilaan?”
Stephen mengangkat bahu. “Kasus ini heboh, Ellie. Berita cepat menyebar.”
Aku baru saja hendak menjawab, ketika Katie tiba-tiba menyeruak di antara kami, berlari
ke luar dari gudang tanpa berbalik.
Sarah mengundang Stephen untuk makan malam, tapi ia tak mau menerima undangan itu.
“Ayo kita keluar saja,” sarannya. “Kita bisa pergi ke restoran Amish, kalau kau mau.”
Seakan-akan, saat meninggalkan rumah ini, hal pertama yang ingin kulakukan adalah makan
makanan yang sama lagi. “Mereka bukan Amish,” kataku, menjelaskan. “Orang Amish tak
akan mengiklankan agama mereka di papan restoran.”
“Yah, kalau begitu kan selalu ada McDonald's”
Aku memandang ke dapur, tempat Sarah dan Katie sedang menyiapkan makan malam—
biasanya aku turut membantu tugas itu, kalau saja Stephen tidak datang. Sarah melirik dari
belakang bahunya ke arah kami, pandangannya bersirobok denganku dan segera berpaling
malu.
Aku menyilangkan lengan di depan dada, berkata, “Mengapa kau tak bisa makan di sini?”
“Kukira kau ingin—”
“Perkiraanmu salah, Stephen. Aku lebih memilih makan malam dengan keluarga Fisher.”
Aku tak bisa bilang mengapa, tapi penting bagiku agar Sarah dan Katie tahu kalau aku lebih
suka bersama mereka daripada bersama Stephen. Agar mereka mengerti bahwa aku tak
bermaksud segera pergi.
Bagaimanapun, selama beberapa bulan terakhir, orang-orang ini telah menjadi temanku.
Stephen mengangkat kedua tangannya, ajakan damai. “Apa pun maumu, Ellie. Makan
malam dengan Ma dan Pa Kettle juga tak masalah.”
“Demi Tuhan, Stephen. Mungkin mereka berpakaian berbeda dan berdoa lebih sering
daripadamu, tapi itu tak berarti mereka tak bisa mendengarmu menjadi orang idiot.”
Stephen langsung mengubah sikap. “Aku tak bermaksud menyinggung siapa pun. Aku hanya
mengira setelah—empat bulan di sini? Kau mungkin sedikit mendambakan percakapan
cerdas.” Ia meraih tanganku, menarikku keluar pintu, sehingga Sarah dan Katie tak bisa
melihat kami. “Aku merindukanmu,” katanya. “Sebenarnya, aku menginginkan dirimu
untukku sendiri.”
Aku melihatnya mendekat untuk menciumku dan merasakan tubuhku kaku—seperti rusa
yang silau terkena sinar lampu, tak bisa menghentikan apa yang akan terjadi. Mulut
Stephen terasa hangat, tangannya mengelus punggungku, tapi otakku berputar. Setelah
delapan tahun, bagaimana mungkin dipeluk Stephen terasa lebih tidak nyaman
dibandingkan dipeluk Coop?
Dengan senyum terpaksa, aku meletakkan tangan di dada Stephen dan mendorongnya.
“Jangan sekarang,” bisikku. “Mengapa kau tidak berjalan-jalan sementara aku membantu
menyiapkan makan malam?”
Sejam kemudian, saat seluruh keluarga berkumpul di meja makan, semua keraguanku
tentang sikap Stephen tak terbukti. Ia menundukkan kepalanya serius saat berdoa; ia
memikat Sarah sehingga wanita itu tak bisa menawarkan makanan padanya tanpa wajahnya
merona merah; ia bicara tentang makanan ternak seakan-akan itu subyek yang lebih
menarik daripada hukum. Aku seharusnya tahu kalau semua kana baik-baik saja: keluarga
Fisher murah hati dan ramah, dan Stephen adalah aktor yang baik. Saat Sarah menyajikan
makanan utama—daging panggang, pai ayam, dan turkey stroganoff—aku sudah cukup
santai untuk mulai makan.
Katie menceritakan kisah lucu saat sapi-sapi keluar dari kandang di tengah badai salju,
ketika terdengar ketukan di pintu. Elam beranjak hendak membukanya, tapi sebelum pria
tua itu mencapai pintu, tamu itu masuk sendiri. “Hei,” kata Coop, melepaskan mantelnya.
“Apa aku sudah terlambat untuk makanan pencuci mulut?”
Seperti aku, ia sudah menjadi salah satu anggota angkat keluarga Fisher. Setelah bulan
pertama, bahkan Aaron berhenti menolak dengan diam dan cemberut, saat Sarah
menawarkan agar Coop ikut makan malam ketika ia menemui Katie atau mengunjungiku.
Mata Coop memandangku dan berbinar hangat—itu adalah kontak yang boleh kami lakukan
di depan orang lain. Lalu ia melihat Stephen duduk di sebelahku.
Stephen sudah berdiri, satu tangan memegang bahuku dan satu tangan lagi terulur ke
depan. “Stephen Chatham,” katanya tersenyum. “Apa kita pernah bertemu?”
“John Cooper. Dan ya, kurasa kita pernah bertemu,” kata Coop dengan sangat luwes
sehingga membuatku ingin menciumnya. “Di opera.”
“Simfoni,” gumamku.
Mereka berdua memandangku.
“Katie adalah pasien Coop,” jelasku.
110
“Coop,” ulang Stephen pelan, dan aku bisa melihatnya memikirkan hubungannya: nama
panggilan yang disingkat, foto-foto yang diselipkan di buku kenanganku semasa kuliha,
perbincangan kami malam-malam tentang kekasih masa lalu, saat kami masih merasa aman
dan nyaman di pelukan masing-masing. “Benar. Kau kenal Ellie dari Penn.”
Coop memandangku enggan, seakan-akan ia tak yakin bisa mengontrol emosi yang tampak
di wajahnya. “Yeah. Sudah lama.”
Aku sangat berterima kasih pada pandangan orang Amish bahwa hubungan intim adalah
urusan masing-masing pihak yang terlibat. Katie menyibukkan diri memotong-motong
daging di piringnya; Sarah menyibukkan diri di dapur; sedangkan pria lain mulai
mendiskusikan kapan mereka akan mengisi lumbung. Setelah menarik napas panjang, aku
duduk. “Nah,” kataku, suaraku terlalu tinggi dan riang. “Siapa yang lapar?”
Di luar, angin sepoi-sepoi berembus di antara pepohonan, memainkan dahan-dahannya
hingga menimbulkan suara. Aku dan Stephen berjalan di bawah kubah langit, cukup dekat
untuk saling merasakan panas tubuh masing-masing, tapi tak bersentuhan. “Kasus ini
tergantung pada kesaksian psikiater forensik,” kataku padanya. “Kalau juri tak percaya
padanya, nasib Katie buruk.”
“Kalau begitu mari kita berharap semoga juri percaya padanya,” kata Stephen sopan, saat
aku tahu sebenarnya ia sedang berpikir bahwa kami sedang punya masalah.
“Mungkin tak perlu sampai seperti itu. Mungkin aku akan mendapatkan pembatalan
persidangan.”
Stephen menaikkan kerah mantelnya. “Kenapa?”
“Aku mengajukan mosi dengan dasar bahwa Katie tak bisa mendapatkan juri yang setara
dengannya.”
Stephen tersenyum. “Artinya tidak akan ada satu pun orang Amish di antara dua belas juri
itu?”
“Yup.”
“Kukira partisipasi dalam sistem hukum bertentangan dengan agama mereka.”
“Mungkin saja. Seperti yang kubilang; dia tak akan mendapatkan juri yang setara
dengannya.”
Stephen terbahak. “Ya Tuhan, El. Kau takkan memenangkannya, tapi itu jelas merupakan
isu yang menarik. Hakim udik itu pasti tak tahu apa yang akan dialaminya.” Ia melangkah
ke depanku dengan manuver yang mulus, sehingga aku berjalan ke dalam rengkuhannya.
“Kau memang hebat,” bisiknya di telingaku.
Mungkin karena aku tak menghindar dari pelukannya, atau sesaat tubuhku mengejang di
pelukannya—yang membuat Stephen mengendurkan rengkuhannya. Ia menangkupkan tangan
di pipiku, mengelus rahangku. “Jadi,” katanya pelan. “Begitu saja?”
Sesaat aku ragu, memikirkan alasan yang bisa kukemukakan padanya, seperti ketika aku
berbohong pada Coop saat aku memutuskannya bertahun-tahun lalu. Aku dulu percaya
bahwa ada kebohongan yang bisa membawa akibat baik sehingga bisa diterima. Aku tidak
cukup baik untukmu. Aku terlalu sibuk untuk berkonsentrasi dalam satu hubungan; aku
butuh waktu untuk diriku sendiri.
Lalu aku teringat Katie, berlutut di depan jemaat gerejanya dan mengatakan pada mereka
apa yang ingin mereka dengar.
Aku menangkupkan tanganku di atas tangannya. “Yeah. Begitu saja.”
Stephen menarik tanganku ke bawah, menggoyangkannya seperti pendulum. Stephen, yang
selalu terlihat yakin pada dirinya sendiri, tiba-tiba terlihat kosong dan rapuh, seperti sekam
biji maple yang jatuh dari pohon.
Ia mengangkat tanganku dan mengembangkan jari-jariku. “Apa dia mencintaimu?”
“Ya,” kataku, menelan ludah dan memasukkan tangan ke saku.
“Kau cinta padanya?”
Aku tak langsung menjawab. Aku memalingkan kepala, sehingga aku bisa melihat sinar
lampu keluar dari ambang jendela dapur, dengan siluet Sarah dan Coop membungkuk di atas
tempat cuci piring. Coop tadi mengajukan diri membantu membersihkan meja, sehingga
aku dan Stephen bisa berjalan-jalan. Aku bertanya-tanya apakah Coop memikirkan aku,
apakah ia ragu akan apa yang akan kukatakan.
Stephen tersenyum lemah, saat aku menoleh padanya lagi. Ia meletakkan telunjuknya di
bibirku. “Aku sudah bertanya dan sudah mendapatkan jawabannya,” katanya, lalu mencium
pipiku lembut dan berjalan ke mobilnya.
Aku berjalan-jalan sendiri di sungai dan ke kolam. Lalu duduk di bangku kecil di pinggirnya.
Putus dengan Stephen adalah yang kuinginkan sejak pertama aku meninggalkan
Philadelphia, tapi tetap saja itu membuatku seperti habis dipukul di perut. Aku menekuk
lututku dan memandang bulan mengukir kaligrafi di air, mendengarkan suara alam yang
bersiap-siap menyongsong malam.
Ketika Coop datang, yang ia lakukan hanyalah mengembangkan lengannya. Tanpa sepatah
kata pun, aku berdiri, berjalan ke pelukan Coop, dan memeluknya erat-erat.

Sarah bersandar di sekopnya dan mendongak memandang langit. “Setiap kali kita mengisi
lumbung,” gumamnya gusar, “begitulah caraku tahu kapan cuaca akan berubah.”
111
Aku menghapus keringat di alisku untuk keseratus kalinya. “Mungkin kalau kita
berkonsentrasi cuaca akan berubah lima menit kemudian”
Katie tertawa. “Tahun lalu saat kami mengisi lumbung, suhunya sekitar dua puluh tujuh
derajat, matahari bersinar terik padahal musim gugur.”
Sarah menaungi matanya, menyipitkan mata ke arah ladang. “Oh, mereka datang.”
Pemandangan itu membuatku terpana. Aaron dan Samuel mengarahkan rombongan keledai,
yang menarik mesin pemanen jagung bertenaga bensin. Mesin itu tingginya hampir dua
meter, dengan mata pisau di depan untuk memotong jagung dan sebuah alat untuk
mengikat jagung yang sudah dipanen. Coop berdiri di belakang, melemparkan jagung yang
sudah diikat ke gerobak di belakang.
Coop menyeringai dan melambai saat melihatku. Ia mengenakan celana jins, kemeja polo
dan meminjam salah satu topi Aaron yang berpinggiran lebar untuk melindungi wajahnya
dari terik matahari. Ia kelihatan sangat bangga sehingga kau mungkin mengira ia memanen
jagung itu sendirian.
“Lihat dirimu,” kata Katie, menyodokku. “Kau menjadi ferhoodled.”
Aku tak tahu apa artinya itu, tapi sepertinya memang menggambarkan apa yang kurasakan.
Aku membalas senyum Coop dan menunggunya melompat turun dari gerobak. Levi, dengan
gaya penuh keyakinan anak remaja, berjalan ke ban conveyor di bawah lumbung dan
memasangnya sehingga mesin bertenaga gas bisa menjalankan ban itu, mesin pemotong,
dan kipas besar yang meniup jagung ke lumbung.
Sarah naik ke gerobak dan mulai melemparkan ikatan jagung ke ban conveyor, lalu aku
mengikutinya. Potongan sekam dan bonggol jagung menempel di pipi dan belakang leherku.
Jagung yang baru dipotong berbau lembap dan manis, dengan bau tajam yang
mengingatkanku pada bau alkohol. Tetapi, makanan yang disimpan di lumbung untuk ternak
sepanjang musim dingin tak jauh berbeda dengan jagung yang difermentasikan. Mungkin
karena itulah sapi selalu terlihat tenang dan mengantuk—sepanjang musim dingin mereka
mabuk.
Saat Aaron mengurusi kuda, Coop dan Levi mendorong jagung ke tepi gerobak, Samuel
melompat turun. Dengan rasa ingin tahu yang besar, aku mengamatinya mendekati Katie.
Selama ini Katie merasa tak enak, melihat Samuel setiap hari di peternakan sementara
hubungan mereka memburuk—tapi akhir-akhir ini Katie menjadi lebih gusar. Setiap kali
Samuel mendekat sekitar tiga meter darinya, ia selalu berusaha melarikan diri. Awalnya
kukira karena ia gugup mengingat sidang semakin mendekat, hingga Sarah sambil lalu bilang
bahwa November adalah bulan untuk pernikahan; tak lama lagi, pasangan yang berniat
menikah akan diumumkan di gereja.
Kalau saja peristiwanya berbeda, Katie dan Samuel akan menjadi salah satu dari mereka.
“Sini,” kata Samuel. “Biar aku saja.” Ia meletakkan tangan di bahu Katie dan mengambil
seikat jagung dari tangan gadis itu. Dengan gerakan yang kuat dan yakin, ia mengangkat
ikatan jagung yang berat itu di ban sementara Katie mundur dan mengamati.
“Samuel!” Mendengar teriakan Aaron, Samuel meringis dan mengembalikan pekerjaannya
kepada Katie lagi.
Katie langsung mengambil seikat jagung lagi. Suara bonggol jagung gemeretak terpotong di
ujung ban. Keledai-keledai yang sekarang sudah dilepas, berdiri dan mendepak-depak.
Meskipun ia tak mengatakan sepatah kata pun, Sarah terus bekerja di samping putrinya,
tersenyum.

Teresa Polacci datang lagi untuk meninjau kembali kesaksian untuk pemeriksaannya pada
hari saat mendung tebal menggantung di langit selama berjam-jam, membawa hujan lebat.
Di ruang susu, tempat aku duduk di depan komputerku, angin menerpa jendela dna
menjerit di bawah celah pintu.
“Jadi setelah kita mendiskusikan disosiasi,” gumamku keras-keras, “kita akan—" Aku
terhenti saat seekor anak kucing mencakar-cakar kakiku. “Hei, Katie, tolonglah.”
Katie, yang telungkup di atas lantai linoleum dengan anak-anak kucing merangkak di kaki
dan punggungnya, mengeluh. Ia merangkak, membuat semua anak terjatuh dari badannya,
kecuali seekor yang bertengger di bahunya dan menarik anak kucing itu dari celana jinsku.
“Baiklah. Jadi kita akan membahas tentang profil dasar wanita yang melakukan
pembunuhan bayi, bicara tentang disosiasi, lalu membahas wawancaramu dengan Dr.
Polacci.”
Katie menoleh. “Apakah aku harus duduk di sana dan mendengarkanmu mengatakan semua
itu?”
“Maksudmu di ruang sidang? Yeah. Kau kan terdakwanya.”
“Kalau begitu kenapa kau tidak membiarkan aku saja yang melakukannya?”
“Bersaksi, maksudmu? Karena jaksa akan membantaimu. Kalau Dr. Polacci menceritakan
kisahmu, juri lebih mungkin akan bersimpati padamu.”
Katie berkedip. “Memangnya apa yang tidak simpatik mengenai aku jatuh tertidur?”
112
“Pertama, kalau kau bersaksi dan berkata bahwa kau tertidur dan tidak membunuh bayi itu,
itu akan bertentangan dengan pembelaan kita. Kedua, ceritamu akan lebih sulit untuk
dipercaya juri.”
“Tapi itu yang sebenarnya.”
Psikiaternya telah memperingatkanku tentang ini—bahwa Katie mungkin akan dengan keras
kepala bertahan pada penjelasan amnesianya terhadap peristiwa yang terjadi. “Dr. Polacci
sudah bersaksi di lusinan kasus seperti ini. Kalau kau bersaksi, itu baru pertama kali.
Bukankah akan lebih aman menyerahkan pada yang lebih ahli?”
Katie melingkarkan salah satu anak kucing itu di telapak tangannya. “Berapa kasus yang
sudah kautangani, Ellie?”
“Ratusan.”
“Apa kau selalu menang?”
Aku berkerut. “Tidak selalu,” aku mengaku. “Sering.”
“Kau ingin memenangkan kasus ini, bukan?”
“Tentu saja. Karena itulah aku menggunakan pembelaan ini. Dan kau harusnya menurut
karena kau juga ingin menang.”
Katie mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan seekor anak kucing melompatinya. Lalu ia
memandang lurus padaku. “Tapi kalau kau menang,” katanya, “aku tetap saja kalah.”

Bau serbuk gergaji tercium udara dan suara melengking gergaji bertenaga hidrolik
membelah langit saat sekitar enam puluh pria Amish berusaha menyelesaikan rangka kayu
dinding gudang besar. Semua bentuk, ukuran, dan usia, para pria itu mengenakan kantong
peralatan tukang kayu di pinggang mereka, yang berisi paku dan palu. Anak-anak lelaki
remaja, yang pulang awal dari sekolah untuk peristiwa ini, berusaha membantu.
Aku berdiri di atas bukit dengan para wanita lain, tanganku bersedekap menyaksikan
keajaiban pendirian gudang. Keempat dindingnya tergeletak di tanah, dirakit secara dua
dimensi dulu. Sejumlah pria berdiri di dekat papan yang akan menjadi dinding sebelah
barat, mengambil posisi berjarak beberapa meter. Pria yang gudangnya sedang dibangun
ini, Martin Zook, berdiri agak jauh. Pada aba-aba hitungan yang ia berikan dalam dialek
Amish, para pria itu mengangkat kerangka dinding dan mulai mendirikannya. Martin
mendekat di belakang mereka, menahan dinding agar tetap berdiri dengan balok kayu yang
panjang, sementara Aaron mengambil tongkat untuk menahan sisi satunya. Sepuluh pria lagi
mendekat ke bagian bawah dinding, memalunya ke tempatnya dengan suara palu yang
bersahutan. Satu pria mulai nerjalan menyusuri fondasi semen, memasang paku dengan
satu ketukan palu di sepanjang balok kayu yang menahan dinding, sementara dua remaja
putra mengikuti di belakangnya dengan penuh semangat, memalu paku dua tiga kali agar
menancap kuat.
Di antara aroma kayu dan kerangka yang masih segar, tercium pula bau tajam keringat para
pria saat mereka mengangkat dinding yang lain, memasangnya, dan memanjat kerangka
kayu untuk memasang atap. Aku teringat para pekerja yang memasang atap baru di rumah
kami saat aku berusia enam belas tahun dan terkagum-kagum melihat para pria itu:
membawa kertas berlapis tar hitam, kaki mereka meregang untuk keseimbangan, kepala
diikat bandana, dada telanjang, dan tape recorder menyala dengan volume penuh. Pria-pria
Amish ini kelihatannya bekerja dua kali lipat lebih keras daripada para pekerja di rumahku
saat itu; namun tak satu pun dari mereka menyerah pada cuaca panas dengan setidaknya
menggulung lengan baju mereka.
“Hari yang baik untuk ini,” kata Sarah di belakangku pada wanita lain, saat mereka
menyiapkan makanan di meja piknik panjang.
“Tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin,” kata wanita itu menyetujui. Ia adalah istri
Martin Zook, dan aku sudah dikenalkan padanya tadi, tapi aku tak bisa mengingat namanya.
Ia melewati Sarah dan meletakkan sepiring ayam goreng di meja. Lalu ia menangkupkan
tangan di mulut dan berteriak, “Komm esse!”
Hampir bersamaan, setiap orang meletakkan palu dan paku dan melepaskan kantong
peralatannya. Anak-anak lelaki, yang masih berenergi, lari mendahului menuju bak cuci
yang diletakkan di luar dapur, penuh air. Sebongkah sabun Ivory mengapung di permukaan
airnya. Berkerumun, anak-anak itu mengoperkan sabun dari satu tangan ke tangan lain,
menirukan suara kentut dan tertawa-tawa. Mereka mengeringkan tangan dengan handuk-
handuk biru muda, dan memberikan kesempatan pada para pria yang berwajah merah dan
berkeringat untuk membersihkan diri.
Martin Zook duduk, putra-putranya duduk di sebelah kanan dan kirinya. Pria lain duduk di
kursi-kursi yang masih kosong. Martin menundukkan kepala, dan untuk sesaat, yang
terdengar hanyalah suara derit bangku yang diduduki pria-pria itu dan suara napas mereka.
Lalu Martin mengangkat kepala dan mengambil ayam.
Aku mengira akan ada percapakan riuh—setidaknya diskusi tentang berapa lama lagi gudang
itu akan selesai dibangun. Tapi hampir tak ada yang bicara. Para pria itu menyendokkan
makanan ke mulut, terlalu lapar untuk bertamah-ramah.
113
“Jangan terlalu kenyang,ya,” kata istri Martin mendekat ke meja dengan sepiring ayam
lagi. “Sarah membuat pai labu.”
Ketika Samuel bicara, itu terdengar lebih menarik karena tidak adanya obrolan lain di
meja. “Katie,” katanya, mengejutkan Katie sehingga ia terlompat, “apa ini salad kentang
buatanmu?”
“Memang ini buatannya,” jawab Sarah. “Membuat salad kentang dengan tomat, itu khas
Katie.”
Samuel mengambil lagi. “Bagus, karena aku menyukainya.”
Yang lain meneruskan makan mereka, seakan-akan tidak melihat rona merah yang menjalar
di wajah Katie, atau senyum pelan Samuel, atau pujian yang terdengar jelas itu. Dan
beberapa menit kemudian, saat para pria itu meninggalkan meja, membiarkan para wanita
membersihkan meja, Katie masih memandang ke barah gudang tempat para pria tadi pergi.
Wadah Tupperware sudah dibersihkan dan dikembalikan lagi pada para wanita yang
membuat makanan. Paku dikumpulkan di kantong kertas cokelat, dan palu diletakkan di
bawah bangku kereta. Gudang baru itu berdiri tegak, segar dan berwarna kuning, sebuah
siluet baru yang terukir di langit ungu.
“Ellie?”
Aku menoleh, terkejut. “Samuel.”
Samuel memegang topi, memutar-mutarnya. “Kupikir kau pasti ingin melihat bagian
dalamnya.”
“Bagian dalam gudang?” Selama berjam-jam kami menghadiri pendirian gudang, aku belum
melihat seorang wanita pun mendekati tempat pembangunan. “Aku senang sekali.”
Aku berjalan di sampingnya, tak tahu harus berkata apa. Percakapan pribadi kami yang
terakhir, diakhiri dengan Samuel tersedu-sedu menangisi kehamilan Katie. Akhirnya, aku
mengambil jalan keluar ala Amish—aku tidak mengatakan apa pun, tapi tetap berjalan di
sampingnya.
Gudang itu terlihat lebih besar dari dalam dibandingkan dari luar. Balok-balok kayu tebal
bersilangan di atas kepalaku, terhirup bau segar kayu pinus yang bertahan selama puluhan
tahun. Atapnya melengkung seperti langit buatan yang pucat; dan ketika aku menyentuh
tiang untuk mengikat binatang ternak, serbuk kayu menghujaniku.
“Ini benar-benar hebat,” kataku. “Membangun gudang dalam satu hari.”
“Hanya terlihat terlalu besar kalau dikerjakan sendiri.”
Tak jauh berbeda dengan filosofiku yang sering kukatakan pada klienku—meskipun
mempunyai pengacara andal di sisimu untuk membantumu bebas dari masalah tak
sebanding dengan mempunyai lima puluh teman dan kerabat yang siap setiap saat.
“Aku perlu bicara denganmu,” kata Samuel, terlihat tak nyaman.
Aku tersenyum padanya. “Langsung saja.”
Ia mengerutkan kening, mencoba memahami istilah bahasaku, lalu menggeleng. “Katie...
apa dia baik-baik saja?”
“Ya. Dan baik sekali apa yang kaulakukan untuknya tadi saat makan siang.”
Samuel mengangkat bahu. “Itu bukan apa-apa.” Ia berpaling, menggigiti kuku jempolnya.
“Aku sudah memikirkan tentang pengadilan itu.”
“Maksudnya sidangnya?”
“Ja. Sidangnya. Dan semakin kupikir, itu tak jauh berbeda dengan lainnya. Martin Zook tak
harus mengangkat semua balok kayu itu sendirian.”
Kalau ini adalah cara bicara Amish yang berputar-putar, aku tak mengerti maksudnya.
“Samuel, aku tak yakin—”
“Aku ingin membantu,” katanya memotongku. “Aku ingin bekerja dengan Katie di
pengadilan sehingga dia tak harus sendirian.”
Wajah Samuel gelap dan serius; ia sudah memikirkan ini masak-masak. “Membangun gudang
tidak dilarang Ordnung,” kataku lembut. “Tapi aku tak tahu bagaimana pandangan Uskup
kalau kau rela menjadi saksi karakter di sidang pembunuhan.”
“Aku akan bicara dengan Uskup Ephram,” kata Samuel.
“Dan kalau dia bilang tidak?”
Mulut Samuel mengeras. “Seorang hakim Inggris tidak peduli dengan Meidung.”
Tidak, hakim pengadilan tinggi tak akan peduli apakah seorang saksi diasingkan dari
komunitas religiusnya. Tapi Samuel mungkin peduli. Dan Katie juga.
Aku memandang ke belakang bahunya, ke dinding yang kuat, sudut gudang yang lega, atap
yang akan melindungi dari hujan. “Kita lihat nanti,” jawabku.

“Sekarang apa?”
Katie memutuskan benang dengan giginya dan memandangku. “Sekarang, kau sudah
selesai.”
Aku ternganga. “Kau bercanda?”
“Tidak.” Katie mengusapkan tangan di atas selimut kecil, dengan sulaman pondok kayu
kilasan minyak kuning, ungu, biru tua, dan merah. Ketika pertama kali datang ke rumah
Fisher, aku sama sekali tak bisa menjahit bahkan juga memasang kancing. Sarah dan Katie
memutuskan aku adalah murid potensial. Dengan bantuan mereka, aku belajar bagaimana
membuat jelujur, memasukkan benang ke jarum, dan menjahit. Setiap malam, saat semua
anggota keluarga berkumpul setelah makan malam—untuk membaca koran, atau bermain
backgammon atau Yahtzee, atau—seperti Elam—tertidur dan mendengkur, aku dan Katie
duduk bersama membungkuk menghadapi selimut kecilku dan menyulamnya bersama. Dan
sekarang selimut itu sudah selesai.
114
Sarah mengangkat kepala dari jahitannya. “Ellie sudah selesai?”
Aku mengangguk senang. “Mau lihat?”
Bahkan Aaron juga meletakkan koran yang dibacanya. “Tentu saja,” guraunya. “Ini adalah
peristiwa terbesar sejak Omar Lapp menjual dua puluh ekar tanahnya pada pengembang
dari Harrisburg.” Aaron memelankan suaranya. “Dan hampir sama tak mungkinnya.” Tapi ia
juga menyeringai geli, saat Katie membantuku melepaskan selimutku dari kerangkanya dan
memegangnya di depan dadaku bangga.
Aku tahu kalau Katie menyelesaikan selimut, ia tak akan memamerkannya, padahal hasilnya
lebih bagus. Aku tahu bahwa jahitan di bagian yang ia kerjakan rapi dan rata seperti gigi
bayi, sementara jahitanku meliuk-liuk seperti orang mabuk. “Itu bagus sekali, Ellie,” kata
Sarah.
Elam, yang duduk di kursi malas, membuka matanya. “Tak bisa menghangatkan kakinya di
musim dingin.”
“Memang bentuknya kecil,” kataku, lalu menoleh ke Katie. “Benar, bukan?”
“Ja. Seperti selimut bayi. Untuk anak=anak yang akan datang,” katanya tersenyum.
Aku memutar mataku. “Jangan terlalu berharap.”
“Kebanyakan wanita Amish seusiamu masih akan terus punya anak.”
“Kebanyakan wanita Amish seusiaku sudah menikah selama dua puluh tahun,” kataku.
“Katie,” Sarah memperingatkan, “jangan ganggu Ellie.”
Aku melipat selimutku hati-hati seperti bendera pusaka dan memeluknya. “Lihat, kan?
Bahkan ibumu pun setuju denganku.”
Kesunyian yang mengerikan memenuhi ruangan, dan aku langsung menyadari kesalahanku.
Sarah Fisher tidak setuju denganku—pada usia empat puluh tiga, ia rela mengorbankan
lengan kanannya asal bisa hamil, tapi ia sudah tak bisa membuat pilihan itu lagi.
Aku berpaling padanya. “Maafkan aku. Aku sama sekali tak bijaksana mengatakan itu.”
Sarah terdiam sesaat, lalu mengangkat bahu dn mengambil selimutku. “Kau mau aku
menyetrikakan ini untukmu?” tanyanya, terburu-buru keluar ruangan sebelum aku bisa
mengatakan padanya bahwa aku lebih ingin ia duduk dan bersantai.
Aku memandang sekeliling, tapi Katie, Aaron dan Elam kembali duduk, serius dengan
kegiatan masing-masing, seakan-akan aku tak pernah bicara salah sama sekali.
Sesaat kemudian terdengar ketukan di pintu, dan aku berdiri untuk membukanya. Aku bisa
mengira dari tukar pandang antara Aaron dan Elam, bahwa tamu yang datang malam-malam
begini saat bukan malam minggu pasti membawa masalah. Tanganku baru saja akan
menyentuh gagang pintu, saat pintu tiba-tiba terbuka, didorong dari luar. Jacob Fisehr yang
terpaku, tersenyum gugup. “Hei, Mam, aku pulang,” katanya santai, sebuah parodi sitkom
TV yang hanya dimengerti oleh kami berdua. “Apa makan malamnya?”

Sarah berlari-lari keluar, tertarik oleh suara putranya yang tak pernah ia lihat selama
bertahun-tahun. Tangannya langsung menutup mulut, matanya tersenyum di balik air mata,
ia sudah selangkah jauhnya dari Jacob saat Aaron menghentikannya hanya dengan
mengangkat lengan dan berkata. “Tidak.”
Aaron mendekati putranya, dan Sarah mundur menempel di dinding. “Kau tak lagi diterima
di sini.”
“Kenapa, Dat?” tanya Jacob. “Bukan karena Uskup bilang begitu, kan? Dan siapa yang bisa
membuat aturan lebih kuat daripada Ordnung?” Jacob melangkah maju. “Aku rindu
keluargaku.”
Sarah terengah. “Kau akan kembali ke gereja?”
“Tidak, Mam. Aku tak bisa. Tapi aku sangat ingin kembali ke rumahku.”
Aaron berdiri berhadapan dengan putranya, lehernya tercekat. Lalu, tanpa sepatah kata, ia
berbalik dan keluar ruangan. Beberapa detik kemudian terdengar suara pintu belakang
dibanting.
Elam menepuk bahu Jacob, lalu pelan berjalan ke arah putranya tadi keluar. Dengan air
mata membasahi wajahnya, Sarah mengulurkan tangan ke anak sulungnya. “Oh, aku tak
percaya ini. Aku tak percaya ini kau.”
Saat memandangnya, aku mengerti mengapa seorang ibu rela membiarkan dirinya
kelaparan untuk memberi makan anaknya; mengapa selalu ada ruang dan waktu saat
anaknya ingin meringku di sisinya; mengapa ia bisa menjadi lunak untuk menjadi bantal
bagi anaknya dan cukup kuat untuk memindahkan surga dan bumi. Jari Sarah mengelus
wajah Jacob, tanpa janggut, lebih tua dan berbeda. “Putraku,” bisiknya. “Putraku yang
tampan.”
Saat itu, aku bisa melihatnya sebagai gadis usia delapan belas tahun—langsing dan kuat,
malu-malu menunjukkan bayi pertamanya pada suaminya. Ia meremas tangan Jacob,
menginginkan putranya untuk dirinya sendiri, bahkan saat Katie melompat berdiri seperti
anak anjing untuk mendapatkan pelukan kakaknya. Jacob memandangku di atas kepala dua
wanita yang memeluknya. “Ellie, senang bertemu denganmu lagi.”
Jacob dengan segera menyetujui menjadi saksi karakter untuk Katie—hal terbaik untuk bisa
kulakukan, karena ayah dan ibunya jelas takkan menginjakkan kaki di kursi saksi.
115
Hari itu aku sudah melatih pertanyaanku dengannya. Tetapi, aku berencana untuk berlatih
lagi dengannya di State Collage, karena kupikir akan terlalu sulit untuk menyelundupkannya
ke dekat pertanian tanpa menimbulkan kecurigaan Aaron. Tapi sepertinya sekarang Jacob
bermain dengan aturannya sendiri.
Ia membiarkan Sarah menggandengnya ke dapur untuk minum cokelat panas—apakah itu
masih jadi kesukaannya?—dan kue muffin yang baru dibuatnya pagi tadi. Aku
memerhatikan, dan aku yakin Jacob juga merasa bahwa anggota keluarga yang sudah
dibaptis tetap berdiri, senang melihat kedatangannya tapi masih belum bisa duduk dengan
anggota keluarga yang diasingkan gereja.
“Mengapa kau kembali?” tanya Katie.
“Sudah saatnya,” jawab Jacob. “Yah, sudah saatnya kau dan Mam melihatku lagi.”
Sarah berpaling ke arah lain. “Ayahmu sangat marah saat dia tahu Katie mengunjungimu.
Kami tidak mematuhinya, dan dia kesal.” Ia menambahkan. “Bukan berarti dia tak ingin
melihatmu dan dia tidak menyayangimu. Dia pria yang baik, keras terhadap orang lain—tapi
paling keras pada dirinya sendiri. Saat kau memutuskan untuk meninggalkan gereja, dia
tidak menyalahkanmu.”
Jacob mendengus. “Tidak seperti itu yang kuingat.”
“Itu benar. Dia menyalahkan dirinya sendiri, karena menjadi ayahmu dan tidak
membesarkanmu dengan cara yang membuatmu ingin tetap tinggal.”
“Buku-buku yang kupelajari tak ada hubungannya dengannya.”
“Mungkin menurutmu begitu,” kata Sarah. “Tapi tidak menurut ayahmu.” Ia menepuk bahu
Jacob dan meletakkan tangannya di sana, seakan-akan ia tak ingin melepaskannya. “Selama
bertahun-tahun dia menghukum dirinya sendiri.”
“Dengan mengusirku?”
“Dengan menyerahkan satu hal yang paling dia inginkan,” jawab Sarah pelan. “Putranya.”
Jacob tiba-tiba berdiri dan menoleh ke Katie. “Kau mau jalan-jalan?”
Katie mengangguk, senang karena dipilih. Mereka baru akan keluar dari pintu belakang saat
Sarah memanggil Jacob. “Kau menginap di sini malam ini?”
Ia menggeleng. “Aku tak akan melakukan itu padamu,” katanya lembut. “Tapi tak peduli
Dat suka atau tidak, Mam, aku akan terus datang.”

Kadang saat berbaring di ranjangku di rumah Fisher, aku bertanya-tanya apakah aku akan
bisa kembali beradaptasi dengan kehidupan kota. Bagaimana rasanya tertidur
mendengarkan suara derum bus, dan bukannya suara burung hantu? Menutup mata di kamar
yang tak pernah benar-benar gelap, karena bias sinar lampu jalan? Bekerja di gedung
pencakar langit sehinga aku tak bisa mencium bau daun semanggi dan bunga rumput di
bawah kakiku?
Malam itu, bulan bersinar kuning seperti mata burung hantu, memandangku yang terbaring
di ranjang tempatku menunggu Katie kembali dari jalan-jalan bersama Jacob. Aku tadi
berharap bisa membahas tentang kesaksian Jacob nanti, tapi dia dan Katie menghilang dan
tidak kembali, hingga saat Elam kembali ke grossdawdi haus, ataupun saat Aaron akhirnya
kembali dari mengecek binatang ternak dan naik tanpa berkata apa-apa, juga ketika Sarah
brjalan dari ruangan ke ruangan, mematikan lampu gas.
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika Katie menyelinap masuk ke kamar. “Aku
belum tidur,” kataku. “Jadi tak usah mengendap-ngendap.”
Katie berhenti melepaskan celemeknya, lalu mengangguk dan menggantung bajunya.
Dengan memunggungiku, ia melepaskan gaunnya dan menggantungnya di salah satu pasak di
dinding, lalu memakai gaun malamnya.
“Pasti menyenangkan, bersama Jacob berdua saja.”
“Ja,” gumam Katie, tanpa antusiasme dalam suaranya.
Aku bangun bertelekan siku, khawatir. “Kau baik-baik saja?”
Katie tersenyum tipis. “Aku hanya lelah. Kami bicara tentang sidang dan itu melelahkanku.”
Setelah sesaat ia menambahkan, “Kukatakan padanya, kau akan mengatakan pada semua
orang bahwa aku gila.”
Bukan istilah yang akan kugunakan, tapi memang itu maksudnya. “Apa pendapat Jacob?”
“Dia bilang kau pengacara yang bagus, dan tahu apa yang kaulakukan.”
“Anak pintar. Dia bilang apa lagi?”
Katie mengangkat bahu. “Macam-macam,” katanya pelan. “Semua hal tentang dirinya.”
Aku berbaring lagi, melipat tangan di bawah kepala. “Aku yakin dia mengejutkan ayahmu
malam ini.”
Ketika tak ada jawaban, aku mengira Katie sudah tertidur. Aku terlompat kaget saat ia
turun dari ranjang dengan cepat dan menutup gorden. “Bulan itu,” gumamnya. “Terlalu
terang untuk tidur.”
Gorden itu memberikan nuansa gelap kehijauan dalam ruang, seperti gorden lain di rumah
ini. Itu adalah salah satu hal yang membedakan rumah Amsih dengan rumah Inggris—warna
gordennya dan tidak adanya kawat listrik masuk ke rumah.
“Mengapa gordennya berwarna hijau?” tanyaku, yakin bahwa ada penjelasan tentang hal
ini, seperti keanehan lain tentang cara hidup Amish.
Wajah Katie membelakangiku, suaranya serak. Kalau tidak karena pertanyaan iseng yang
kutanyakan, aku pasti mengira ia sedang menangis. “Karena,” katanya, “sejak dulu sudah
begitu.”

116
Aku sudah terbiasa hanya minum kopi di pagi hari, dan yakin bahwa keluarnya aku dari
rumah Fisher akan terjadi bersamaan dengan saat aku harus menjalani operasi jantung
kalau aku tidak hati-hati. Tapi pada hari praperadilan terakhir, saat aku turun ke dapur
mengenakan baju setelanku yang berwarna merah, Sarah menyorongkan sepiring telur dan
daging goreng panekuk, roti bakar dan madu. Ia bahkan mendorongku untuk tambah. Ia
memberiku makan seperti ia memberi makan Aaron dan Samuel, pria-pria yang bekerja
keras dan lama untuk mencari nafkah.
Hanya sekejap teringat pada kadar kolesterolku, aku makan semua yang ia hidangkan di
piringku.
Katie berdiri di depan bak cuci piring saat aku makan, mencuci mangkuk dan panci yang
digunakan untuk memasak. Ia mengenakan gaun warna lavender dan celemeknya yang
terbaik—baju minggunya—untuk ke pengadilan tinggi. Meskipun ia tak akan ikut masuk
untuk proses praperadilan, aku ingin hakim tahu ia masih dalam penjagaanku.
Katie berbalik untuk meletakkan mangkuk adonan yang baru dicuci ke meja, tapi mangkuk
itu terlepas dari tangannya. “Oh!” jeritnya. Ia berusaha menangkapnya, berusaha
mencegah agar mangkuk itu tidak jatuh berkeping-keping di lantai. Beruntung ia bisa
menangkapnya, dan memeluknya erat-erat di perut—tapi ia bergerak terlalu cepat dan
menjatuhkan teko dari meja dengan sikunya, sehingga kepingan porselen dan jus jeruk
bertebaran di lantai dapur.
Melihat kekacauan itu, Katie menangis. Sarah mengomelinya lembut dalam dialek Dietsch,
sementara Katie berlutut mengambil pecahan teko yang terbesar. Aku meletakkan serbetku
di meja dan berlutut di lantai membantunya. “Kau gugup.”
Katie menegakkan tubuhnya. “Hanya saja—tiba-tiba segalanya terasa sangat nyata, Ellie.”
Sarah mengulurkan tangan di antara kami, mengepel jus jeruk dengan handuk. Di atas
punggungnya, aku menatap Katie dan tersenyum. “Percayalah padaku. Aku tahu apa yang
kulakukan.”

Aku tahu George Callahan terganggu melihat Katie, yang duduk tenang dan manis di bangku
di luar ruang hakim. Ia terus mengintip melewati kepala juru tulis sidang yang datang untuk
mencatat proses praperadilan ini ke pintu yang terbuka, tempat Katie terlihat jelas. “Apa
yang dilakukan klienmu di sini?” akhirnya ia berbisik gusar padaku.
Aku sengaja menjulurkan leherku dan mengamati Katie. “Berdoa, kurasa.”
“Kau tahu apa maksudku.”
“Oh, mengapa aku membawanya ke sini? Ya Tuhan, George, kau seharusnya lebih mengerti
daripada orang lain. Ini bagian dari persyaratan jaminan.”
Hakim Ledbetter masuk. “Maaf, aku terlambat,” katanya, duduk di belakang mejanya. Ia
membuka berkas dan membacanya. “Sekalian saja kukatakan, Ms. Hathaway, betapa
senangnya aku bahwa akhirnya kau mengajukan strategi pembelaan berdasarkan gangguan
mental.” Ia membuka berkas lagi. “Ada mosi lagi yang ingin kalian ajukan?”
“Saya telah mengajukan mosi untuk pembatalan sidang, Yang Mulia,” kataku.
“Ya, aku tahu. Kenapa?”
“Karena klien saya tidak mendapatkan hak konstitusionalnya—sidang yang adil di antara
orang yang setara. Namun, tak ada seorang pria atau wanita Amish pun yang akan duduk
sebagai juri nanti. Dalam masyakarat kita—dalam sistem kita—tidak ada orang yang setara
dengannya.” Aku mengambil napas panjang saat mata hakim sedikit meyipit melihatku.
“Saya bisa saja mempertimbangkan meminta pengadilan di depan hakim, atau bahkan
meminta perubahan tempat sidang, tapi keduanya tak bisa diaplikasikan di sini—kedua
pilihan itu tetap membuat klien saya tidak mendapatkan haknya untuk sidang yang adil.
Juri tipikal antar komunitas di Amerika bukanlah juri yang adil untuk komunitas Amish, Yang
Mulia. Dan kalau klein saya tidak diadili oleh orang yang mengerti keyakinan dan cara
hidupnya, dan juga, dunianya—maka dia dalam kondisi tidak diuntungkan.
Hakim berpaling ke jaksa wilayah. “Mr. Callahan?”
“Yang Mulia, faktanya adalah Ms. Fisher melanggar hukum pemerintah Amerika Serikat. Dia
akan diadili di pengadilan Amerika Serikat. Tak peduli apakah dia Amish, Buddha, atau Zulu
—dia bermain api, dan sekarang dia dituntut untuk menghadapi konsekuensi dari
tindakannya.”
“Oh, yang benar saja. Dia bukan teroris internasional yang meledakkan bom di World Trade
Center. Dia warga negara Amerika Serikat, yang berhak mendapatkan perlakuan adil di mata
hukum.”
George menoleh padaku dan menggumam. “Warga negara Amerika membayar pajak.”
“Maaf, kurasa juru tulis tak bisa mendengar itu,” kata hakim.
Aku tersenyum padanya. “Jaksa wilayah baru saja membuat asumsi salah tentang tanggung
jawab fiskal klien saya. Orang Amish membayar pajak, George.”
117
“Kalaupun mereka memiliki usaha sendiri, mereka tidak membayar iuran Jaminan Sosial,
karena mereka tidak menggunakan layanan kesehatan Medicare atau Medicaid atau layanan
lain yang didanai Jaminan Sosial, karena mereka mengurus orangtua meeka sendiri. Kalau
mereka dipekerjakan oleh orang lain, iuran Jaminan Sosial dipotong dari gaji mereka dan
mereka tak pernah menggunakannya sesen pun. Orang Amish memang tidak membayar
pajak BBM, tapi mereka membayar pajak real estat, yang digunakan untuk membiayai
sekolah publik yang tak pernah mereka gunakan. Mereka juga tidak mengambil subsidi
pertanian federal, kesejahteraan, dan pinjaman sekolah.” Aku menoleh ke hakim, berkata,
“Inilah maksud saya, Hakim Ledbetter. Kalau jaksa kasus ini saja datang ke sidang dengan
asumsi yang salah tentang kaum Amish, prasangka itu bisa berlipat dua belas kalau dia
menghadapi juri tradisional.”
Hakim memijit puncak hidungnya. “Kau tahu, Ms. Hathaway, aku sebenarnya sangat
mempertimbangkan mosimu ini. Aku sangat prihatin melihat seorang warga negara Amerika
Serikat tidak akan bisa mendapatkan persidangan yang adil hanya karena keyakinan
agamanya. Apa yang kauajukan di mosimu sangat valid.”
“Terima kasih, Yang Mulia.”
“Sayangnya bagimu dan klienmu, apa yang baru saja dikatakan Mr. Callahan untuk merespon
mosimu juga valid. Kita punya terdakwa yang menghadapi tuntutan pembunuhan, bukan
karena mencuri sebungkus permen karet. Membatalkan sidang untuk kasus sebesar ini sama
saja dengan tidak bertanggung jawab. Meskipun kurasa kita bisa yakin bahwa tak akan ada
seorang Amish pun yang akan duduk sebagai juri, sebenarnya Ms. Hathaway, klienmu tak
akan mungkin mendapatkan juri yang setara tak peduli di mana pun sidang kasus ini akan
diadakan. Setidaknya di Lancaster ia mendapatkan kesempatan terbaik: dua belas orang
yang tinggal dan bekerja di komunitas ini yang sehari-harinya sering berhubungan dengan
orang Amish. Dua belas orang, yang kita harapkan sedikit lebih tahu tentang tetangga Amish
mereka daripada juri di wilayah lain Amerika Serikat.” Hakim memandang lurus padaku.
“Aku akan menolak mosimu untuk membatalkan persidangan Ms. Hathaway, tapi aku
berterima kasih padamu karena telah mengangkat masalah yang provokatif.” Hakim
meletakkan kedua tangannya di meja. “Sekarang, kalau tak ada lagi yang lain, aku ingin
kita menentukan tanggal pemilihan juri.”

“Tiga setengah minggu,” kataku, membiarkan seprai jatuh ke ranjang Elam di grosdawdi
haus. “Saat itulah persidangan dimulai.”
Sarah merapikan seprai linen di seberangku dan menghela napas lega. “Aku tak sabar
hingga semuanya selesai,” katanya. Menoleh dengan prihatin ke arah Katie, ia bertanya,
“Apakah tak enak berada di sana?”
“Katie melewati sidang pemeriksaan praperadilan dengan duduk di bangku luar kantor
hakim. Di persidangan nanti, dia akan duduk di sebelahku di meja pembela. Jaksa tak akan
bisa mengganggunya, karena dia tak akan bersaksi. Itulah sebagian alasan mengapa kami
mengajukan pembelaan karena gangguan mental.”
Katie baru saja selesai memasukkan bantal ke sarung yang bersih. Mendengar kalimatku
yang terakhir, ia menjerit, sangat pelan sehingga aku terkejut karena aku dan Sarah bisa
mendengarnya. “Tak bisakah kau berhenti? Tak bisakah kau berhenti mengatakan itu?”
Sambil mengerang sedih, ia berbalik dan keluar.
Sarah mengangkat roknya dan akan mengejar Katie, tapi aku menyentuh lengannya.
“Tolong,” kataku lembut. “Biar aku saja.”

Awalnya aku tak melihat Katie, meringkuk di kursi goyang. Aku menutup pintu dan duduk di
ranjangku, lalu menggunakan strategi yang kupelajari dari Coop—menutup mulutku dan
menunggu. “Aku tak bisa melakukan ini,” katanya, wajahnya masih menunduk di atas
lututnya. “Aku tak bisa hidup seperti ini.”
Setiap saraf di tubuhku menjadi waspada. Sebagai pengacara pembela, aku sudah
mendengar kata-kata itu lusinan kali—biasanya menjadi pertanda pengakuan yang
menyakitkan. Saat ini, bahkan kalaupun Katie mengakui ia membunuh bayi itu dengan
darah dingin, aku masih akan menggunakan pembelaan berdasarkan gangguan mental untuk
membebaskannya—tapi aku juga tahu bahwa aku akan berjuang lebih keras untuknya kalau
aku bisa percaya, dengan alasan apa pun, bahwa ia benar-benar tak menyadari apa yang ia
lakukan saat itu. “Katie,” kataku. “Jangan mengatakan apa pun padaku.”
Katie mengangkat kepala. “Setelah berbulan-bulan mendesakku, kau bilang begitu?”
“Katakan pada Coop, kalau kau mau. Tapi aku akan berusaha memberikan pembelaan yang
lebih bersemangat kalau kita tak membicarakan apa yang ingin kaubicarakan sekarang.”
Ia menggeleng. “Aku tak bisa membiarkanmu berdiri di sana dan berbohong mengenai
diriku.”
“Ini bukan kebohongan Katie. Bahkan kau pun tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kau
bilang pada Coop dan Dr. Polacci ada hal-hal yang tak bisa kauingat.”
118
Katie mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku ingat.”
Nadiku berdetak cepat di pelipisku. “Ingatanmu terus berubah, Katie. Setidaknya sudah
berubah tiga kali sejak aku bertemu denganmu.”
“Ayah bayi itu adalah pria bernama Adam Sinclair. Dia pemilik apartemen yang disewa
Jacob di State College. Dia pergi sebelum dia tahu... aku hamil.” Kata-katanya lembut,
ekspresi wajahnya bahkan lebih lembut lagi. “Awalnya aku memblokirnya. Dan pada saat
aku bisa mengakui bahwa aku hamil, semuanya sudah terlambat. Jadi aku terus berpura-
pura bahwa semuanya sama seperti sebelumnya.”
“Aku tertidur setelah melahirkan di gudang. Sebenarnya aku mau ke rumah dan
membawanya ke ibuku, Ellie, tapi kakiku gemetaran tak bisa berdiri. Aku hanya ingin
beristirahat sebentar. Lalu selanjutnya yang kutahu, aku terbangun.” Katie berkedip
padaku. “Bayi itu sudah hilang.”
“Mengapa kau tidak mencarinya.”
“Aku sangat takut. Aku lebih takut daripada kalau orangtuaku tahu, karena sepanjang
waktu saat aku mengatakan pada diriku sendiri ini adalah kehendak Tuhan, kurasa aku tahu
apa yang akan kutemukan. Dan aku tak mau itu.”
Aku memandang tegas padanya. “Kau mungkin saja membunuh bayi itu, Katie. Kau mungkin
saja berjalan dalam tidur. Kau mungkin membekapnya tanpa tahu apa yang kaulakukan.”
“Tidak.” Sekarang, Katie menangis lagi, wajahnya bengkak dan merah. “Aku tak mungkin
bisa, Ellie. Begitu aku melihat bayi itu, aku menginginkannya. Aku sangat
menginginkannya.” Suaranya melemah menjadi bisikan. “Dalam hidupku, bayi itu adalah
hal yang terbaik—dan hal terburuk—yang pernah kulakukan.”
“Apakah bayi itu masih hidup saat kau tertidur?”
Katie mengangguk.
“Lalu siapa yang membunuhnya?” Aku berdiri, marah. Pengakuan pada jam sebelas
bukanlah bahan untuk pembelaan hebat. “Saat itu jam dua pagi, dua bulan sebelum
waktunya kau melahirkan, dan tak seorang pun tahu kau hamil. Siapa yang mungkin masuk
ke sana dan membunuh bayi itu?”
“Aku tak tahu,” Katie tersedu. “Aku tak tahu, tapi bukan aku, dan kau tak bisa pergi ke
sidang lalu mengatakan aku membunuhnya.” Ia memandangku. “Apa kau tidak lihat apa
yang terjadi sejak aku mulai berbohong? Duniaku runtuh, Ellie. Seorang bayi tewas.
Semuanya jadi salah.” Ia menggenggam tangannya dan membenamkan di celemeknya. “Aku
ingin meluruskan masalahku.”
Membayangkannya saja membuatku marah. “Kita tidak bicara tentang pengakuan di depan
sekelompok pendeta, Katie. Mungkin kau bisa mendapatkan pengampunan di gereja Amish,
tapi di pengadilan, kau akan mendapat hukuman penjara lima belas tahun hingga seumur
hidup.”
“Aku tidak mengerti—”
“Tidak, kau memang tidak mengerti. Karena itulah kau menyewaku, seorang pengacara—
untuk mendampingimu menjalani proses hukum. Satu-satunya jalan kau bisa bebas adalah
kalau aku bisa ke sana dan memberikan pembelaan yang bagus. Dan pembelaan terbaik
yang kita punya adalah pembelaan berdasarkan gangguan mental. Tak ada juri di dunia ini
yang akan mempercayai kesaksianmu, kalau kau mengatakan kau tertidur dan terbangun,
lalu tiba-tiba bayi itu hilang. Dan mati pula.”
Katie bersikeras. “Tapi itu yang sebenarnya.”
“Satu-satunya tempat di mana kebenaran bisa membebaskanmu dari dakwaan pembunuhan
tingkat satu adalah di dunia sempurna. Ruang sidang jauh dari dunia yang sempurna. Sejak
pertama kali kita masuk ke sana, yang menjadi masalah bukanlah apa yang sebenarnya
terjadi. Tapi siapa yang punya cerita terbaik untuk dijual ke juri.”
“Aku tak peduli apakah ini dunia yang sempurna atau tidak,” kata Katie. “Itu bukan
duniaku.”
“Kalau kau bersaksi, dan mengatakan kebenaran, satu-satunya dunia yang akan kautuju
adalah penjara.”
“Kalau itu kehendak Tuhan, aku akan menerimanya.”
Aku murka, memelototinya. “Kau mau jadi martir? Silahkan saja. Tapi aku tak akan duduk di
sampingmu saat kau bunuh diri di ruang sidang nanti.”
Untuk sesaat Katie diam. Lalu ia menoleh padaku, matanya lebar dan jernih. “Kau harus,
Ellie. Karena aku membutuhkanmu.” Ia duduk di sebelahku di ranjang, begitu dekat hingga
aku bisa merasakan panas tubuhnya. “Aku tak akan cocok berada di ruang sidang Inggris itu.
Aku akan mencolok dengan pakaian dan caraku berpikir, karena aku bukan Inggris. Aku tak
tahu tentang pembunuhan, saksi, dan juri, tapi aku tahu bagaimana meluruskan semua hal
dalam hidupku saat segalanya kacau. Kalau kau berbuat salah dan bertobat, kau diampuni.
Kau akan diterima kembali. Kalau kau berbohong, dan terus berbohong, maka tak akan ada
tempat bagimu.”
“Komunitasmu tak mempermasalahkannya saat kau menyewaku,” kataku. “Mereka juga
akan mengerti mengapa kau harus melakukan ini.”
“Tapi aku tidak.” Katie melipat tangannya, seakan-akan berdoa. “Mungkin kebohongan ini
akan membebaskanku, seperti yang kaubilang, dan aku tak harus pergi ke penjara Inggris.
Tapi Ellie, lalu kemana aku harus pergi? Karena kalau aku berboong untuk menyelamatkan
diriku di sana, aku tak akan bisa kembali ke sini.”
119
Aku menutup mataku dan teringat kembali di gereja saat Katie mengaku. Aku mengingat
wajah-wajah orang saat mereka duduk di ruang yang penuh sesak dan panas itu,
memberikan hukuman—tidak ingin membalas dendam, tidak dengki... tapi lega, seakan-
akan kerendahan hati Katie membuat mereka merasa sedikit kuat. Aku memikirkan siang
itu, ketika kami semua bekerja sama memanen jagung; bagaimana rasanya menjadi bagian
dari sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Aku teringat wajah Sarah, saat ia melihat
Jacob untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.
Apa artinya kemenangan pribadi bagi seseorang yang menghabiskan sepanjang hidupnya
untuk menyerahkan diri demi kebaikan mereka?
Tangan Katie yang kapalan dan mungil, memegang tanganku. “Baiklah,” kataku menghela
napas. “Kita lihat nanti apa yang bisa kita lakukan.”

Sebelas
HAKIM PHILOMENA LEDBETTER memandang pengacara yang mencari-cari bolpoin untuk
ketiga kalinya sejak ia masuk ke kantor hakim. Untuk pengacara kota besar, Ellie Hathaway
kelihatan sangat gugup seperti pengacara yang baru pertama kali menangani kasus—semua
itu jadi lebih aneh, mengingat baru kemarin ia terlihat sangat percaya diri dan kompeten.
“Pengacara,” kata Hakim, “kau menghubungi kami lagi untuk diskusi?”
“Ya, Yang Mulia. Saya merasa perlunya pembicaraan lagi sebelum persidangan. Ada
kondisi... tertentu yang muncul.”
Duduk di sebelah kanannya George Callahan mendengus. “Sepuluh jam terakhir sejak
terakhir kali kita bertemu?”
Hakim Ledbetter mengabaikan komentar jaksa itu. Ia sendiri juga tak terlalu senang
dihubungi secara mendadak dan terpaksa menyesuaikan jadwalnya untuk Ellie. “Maukah kau
menjelaskan, Ms. Hathaway?”
Ellie menelan ludah. “Sebelumnya saya ingin bilang bahwa saya biasanya tidak melakukan
ini. Dan ini bukan pilihan saya. Karena kerahasiaan pengacara-klien saya tak bisa bicara
banyak, tapi klien saya ingin—yaitu, saya rasa...” Ia berdeham gugup. “Saya ingin menarik
kembali pembelaan berdasarkan gangguan mental.”
“Maaf?” kata George.
Ellie menegakkan duduknya. “Sebagai gantinya, kami mengajukan pernyataan tidak
bersalah.”
Hakim Ledbetter mengerutkan kening. “Aku yakin Anda tahu bahwa pada saat ini—”
“Percayalah, saya tahu semuanya. Saya tak punya pilihan, Yang Mulia. Agar bisa
menjalankan kewajiban etika pada sidang dan klien saya, saya harus melakukan ini. Saya
hanya mencoba memberitahukannya secepat yang saya bisa.”
Seperti yang sudah bisa diduga, George meledak marah. “Kau tak bisa melakukan ini tiga
setengah minggu sebelum sidang!”
“Kenapa kau harus marah?” tukas Ellie. “Kaulah yang harusnya membuktikan bahwa selama
ini dia tidak gila—dan sekarang aku mengatakan padamu bahwa kau benar. Ini bukan
masalah aku mengacaukan tuntutanmu, George; ini tentang aku yang mengacaukan
pembelaanku sendiri.” Menarik napas dalam-dalam, Ellie menoleh ke arah sang hakim.
“Saya ingin tambahan waktu untuk bersiap-siap, Yang Mulia.”
Hakim mengangkat alisnya. “Kita semua juga mau, Ms. Hathaway,” katanya tak acuh. “Yah,
aku minta maaf, tapi kau harus punya waktu tiga setengah minggu dari sekarang, dan ini
keputusanmu sendiri.”
Dengan anggukan kaku, Ellie memasukkan berkas-berkasnya dan keluar dari kantor hakim,
meninggalkan jaksa wilayah dan hakim yang bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi.

Ellie berjalan terburu-buru dari kantor hakim dan melewati lorong-lorong pengadilan tinggi,
lalu membukapintu depan dan berhenti, memandang ke dahan dan ranting pohon yang
kelabu dan telanjang, dan langit yang membentang. Ia sama sekali tak tahu apa yang harus
ia lakukan selanjutnya. Pikirannya berputar-putar ke semua tempat—bagus sekali, apalagi ia
hanya punya waktu kurang dari sebulan untuk menyiapkan pembelaan yang berbeda 180
derajat dari yang ia rencanakan.
Ia meletakkan tas kerjanya bersandar di kakinya, dan pelan-pelan duduk di anak tangga
pengadilan tinggi. Lalu, ia menghabiskan sedikit waktu yang ia miliki, dan bertanya-tanya
bagaimana ia bisa menang kalau ia sudah ketinggalan jauh.

Ellie perlu waktu setengah jam untuk mencari Jacob, yang menginap di Lancaster—tapi
tidak di rumah orangtuanya. Leda membuka pintu mendengar ketukan Ellie, tersenyum,
tapi Ellie tak mengacuhkannya, matanya tertuju pada pria muda yang meminum susu
langsung dari kotaknya di depan lemari es yang terbuka. Dasar kau sialan,” geramnya.
Jacob terkejut, menumpahkan susu di kemeja flanelnya. “Apa?”
“Kau seharusnya membantuku, sialan. Kau seharusnya mengatakan apa pun yang bisa
membantu kasus adikmu.”
“Sudah kukatakan!”
“Apakah nama Adam Sinclair masuk ke kategori itu?”
Leda maju untuk mencegah Ellie memarahi Jacob lagi, tapi Ellie terlanjur melihat
pandangan mata Jacob meredup, merasa ketahuan. Ia menenangkan bibinya, mengatakan
semua baik-baik saja, lalu ia menoleh ke Ellie. “Kenapa Adam?”
120
“Dia teman serumahmu?”
“Dan induk semangku.”
Ellie menyilangkan lengan di dada. “Dan ayah anak Katie.”
Jacob mengabaikan Leda yang terengah kaget. “Aku tak tahu pasti, Ellie. Aku hanya
menduga.”
“Akan sangat baik kalau kau membagi dugaanmu itu denganku sekitar—oh, tiga bulan yang
lalu. Ya Tuhan, apakah ada orang yang mau jujur padaku sebelum sidang?”
“Kupikir kau menggunakan pembelaan berdasarkan gangguan mental, kata Leda.
“Bicara saja pada keponakanmu tentang itu.” Ellie menoleh ke Jacob. “Yang kutahu, dia
keluar denganmu selama dua jam semalam, pulang, dan tidak mau aku membelanya dengan
cara yang kuinginkan. Apa yang kaukatakan padanya?”
Jacob memejamkan mata. “Aku tidak bicara tentangnya,” erangnya. “Aku bicara tentang
diriku sendiri.”
Ellie merasa pusing. “Teruskan.”
“Kukatakan pada Katie alasan aku kembali adalah alasan yang sama saat aku pergi—aku tak
bisa hidup dalam kebohongan. Aku tak bisa membiarkan orang-orang berpura-pura seakan
aku adalah orang lain. Enam tahu lalu, yang kuinginkan sebenarnya adalah sekolah, tapi aku
membiarkan orang mengira aku bahagia menjadi Amish. Dan sekarang, aku asisten dosen,
tapi yang paling kurindukan adalah keluargaku.” Jacob memnandang Ellie, terguncang.
“Ketika Hannah tenggelam, aku merasa itu salahku. Aku seharusnya ada di sana mengawasi
mereka berdua, tapi aku bersembunyi di gudang, mencoba membaca. Kukatakan pada Katie
bahwa untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku melihat adikku tenggelam—tapi kali ini
adikku adalah dia, dan kali ini aku menyembunyikan apa yang terjadi saat dia
mengunjungiku.”
“Kalau begitu kau tahu dia hamil saat—”
“Aku tak tahu. Aku baru menduganya setelah bicara denganmu dan detektif polisi.” Jacob
menggeleng. “Aku tak bermaksud Katie menerima kata-kataku secara harafiah. Aku hanya
ingin dia melihat bagaimana rasanya menjadi diriku.”
“Yah, kau berhasil,” kata Ellie datar. “Dia menjadikan dirinya seperti kakaknya yang jujur
sekarang. Dia ingin mengaku dan memberi kesaksian dengan menganggap juri sebagai
jemaat gereja.”
“Tapi aku bilang padanya bahwa pembelaan berdasarakan gangguan mental adalah strategi
yang bagus!”
“Rupanya bagian percakapan itu tidak meninggalkan kesan yang kuat.” Ellie bertopang
dagu. “Aku harus menemukan Adam Sinclair.”
“Aku sudah lama tak berhubungan dengannya—bahkan cek sewaku juga kukirimkan ke agen
manajemen properti. Sinclair ke luar negeri sejak Oktober lalu,” kata Jacob. “Dan dia tidak
pernah berhubungan dengan Katie untuk tahu bahwa Katie hamil.”
“Kalau kau tak berhubungan dengannya, bagaimana kau tahu kalau dia masih di luar negeri?
Atau kalau Katie tidak menulis surat padanya selama ini?”
Tanpa berkata-kata, Jacob berdiri dari kursinya dan naik ke lantai atas. Ia kembali
beberapa saat kemudian memegang setumpuk surat, diikat karet. “Ini datang ke tempatku
setiap dua minggu, tepat waktu seperti jam,” katanya. “Untuk Katie, ingatlah aku. Alamat
pengirimnya belum berubah. Stempel posnya dari Skotlandia. Dan aku tahu Katie tak
pernah menulis padanya karena aku tak pernah memberikan satu surat pun padanya.”
Terpecah antara rasa ingin tahu profesional dan ingin membela Katie, Ellie marah. “Kau
tahu, ini pelanggaran hukum federal.”
“Bagus. Kau bisa membelaku setelah kau selesai dengan Katie,” Jacob mengusapkan tangan
ke rambutnya dan duduk lagi. “Aku tidak melakukan ini karena ingin jadi orang brengsek.
Sebenarnya, aku malah mencoba menjadi pahlsawan. Aku hanya tak ingin Katie harus
menghadapi apa yang kuhadapi saat aku memutuskan jadi orang Inggris—membalikkan
punggung dari orangtua kami dan berusaha mencari jalan di tempat yang sangat besar dan
asing yang membuatmu tak bisa tidur. Aku tak tahu Katie hamil, tapi aku bisa melihat dia
tertarik paa Adam—dia selalu mengikutinya seperti anak anjing—dan aku tahu kalau
perasaan itu berkembang, akhirnya Katie harus memilih antara dua dunia. Kukira kalau
Adam pergi, Katie akan melupakannya, dan semuanya akan berjalan baik kembali.”
“Apakah adikmu tahu kau punya surat-surat itu?”
Jacob menggeleng. “Aku hendak mengatakan padanya tadi malam. Tapi dia sudah sangat
gelisah tentang sidang yang tak lama lagi, dan sepertinya ini akan membuat hatinya lebih
sakit.” Jacob meringis pedih, menekankan tangannya ke pinggir meja. “Kurasa aku harus
memberikan padanya hari ini.”
Ellie memandang huruf-huruf tebal dan rapi yang membentuk nama Katie. Amplop airmail
yang tipis, dilipat, distempel dan disegel. “Tidak perlu,” katanya.
Secara teknis, Ellie seharusnya mengajak Katie ke Philadelphia dengannya, tapi saat ini ia
telah lumayan mengacaukan proses hukum sehingga melonggarkan persyaratan jaminan.
Katie tak mungkin membuatnya terpuruk ke masalah yang lebih buruk lagi.
121
Ellie bahkan tak tahu mengapa ia pergi ke Philly, hingga akhirnya ia berhenti di tempat
parkir kompleks medis tempat kantor Coop berada.
Alamat itu sudah dikenalnya, tapi Ellie belum pernah ke sana. Ia berdiri di depan papan
nama, menyentuhkan jarinya di papan tembaga yang bertuliskan nama Coop. Di kantor
Coop, ketika sekretarisnya yang manis bertanya apa yang bisa dibantu, sekilas rasa cemburu
yang menghujam dada Ellie. “Dia sedang ada pasien sekarang,” kata sekretaris itu. “Anda
mau menunggu?”
“Ya.” Ellie duduk dan mulai membuka-buka majalah edisi enam bulan lalu, tanpa benar-
benar membacanya.
Setelah beberapa menit terdengar suara interkom, percakapan antara Coop dan
sekretarisnya, lalu Coop membuka pintu ke ruang dalam. “Hei,” katanya, matanya menari.
“Kudengar ini darurat.”
“Memang,” jawab Ellie, langsung merasa lebih baik sejak Katie mengacaukan dunianya. Ia
mengikuti Coop masuk dan membiarkannya menutup pintu. “Aku membutuhkan perhatian
medis.”
Coop memeluknya. “Yah, kau tahu aku seorang psikiater. Aku memeriksa pikiran.”
“Kau memeriksa semua bagian diriku,” kata Ellie. “Jangan terlalu merendah.”
Ketika Coop menciumnya, Ellie memeluk pria itu, menggosokkan pipinya di kemeja Coop
yang halus. Coop memangkunya di salah satu kursi empuk.
“Sekarang, apa yang akan dikatakan Dr. Freud tentang ini?” gumam Ellie.
Coop bergeser, gairahnya terasa keras di bawah paha Ellie. “Bahwa cerutu tak selalu
cerutu.” Ia mengerang, lalu menjatuhkan Ellie ke kursi saat ia berdiri mondar-mandir. “Aku
hanya punya aktu sepuluh menit sebelum pasien selanjutnya datang, dan lebih baik aku
tidak tergoda.” Ia memasukkan tangan ke saku. “Ada apa kau mengunjungiku?”
“Aku berharap bisa mendapatkan gratisan,” Ellie mengaku.
“Yah, aku akan senang menerima tawaranmu itu nanti—”
“Maksudku konsultasi klinis, Coop. Kepalaku kacau.” Ellie membenamkan wajah di kedua
tangannya. “Aku tak lagi menggunakan pembelaan berdasarkan gangguan mental untuk
Katie.”
“Mengapa?”
“Karena itu bertentangan dengan moralitasnya,” kata Ellie sarkastik. “Aku sangat senang
bisa membela terdakwa pembunuh pertama dalam sejarah yang mempunyai rasa etika
kuat.” Ia berdiri dan berjalan ke jendela. “Katie memberitahuku siapa ayah bayinya—
seorang dosen teman Jacob—yang tak pernah tahu tentang kehamilannya. Dan sekarang
setelah ia membuka lembaran kejujuran baru ini, dia tak membiarkanku pergi ke sidang dan
mengatakan bahwa dia mengalami disosiasi dan membunuh bayi itu, karena dia bersumpah
hal itu tidak benar.”
Coop bersiul. “Kau tak bisa meyakinkannya—”
“Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Aku tidak berhadapan dengan klien yang mengerti
bagaimana sistem pengadilan berjalan. Katie percaya sepenuh hati kalau dia mengaku, dia
akan diampuni. Mengapa tidak? Karena begitulah caranya di gerejanya.”
“Coba kita asumsikan bahwa kebenarannya adalah dia tidak membunuh bayinya,” katanya.
“Yah, ada kebenaran yang jelas juga. Seperti fakta bahwa bayi itu terlahir hidup, dan entah
bagaimana kemudian ditemukan mati dan disembunyikan.”
“Oke. Jadi apa artinya itu?”
Ellie menghela napas. “Orang lain membunuhnya—yang seperti sudah kita bicarakan,
hampir mustahil untuk digunakan sebagai pembelaan.”
“Atau bayi itu mati dengan sendirinya?”
“Dan berjalan, saat sudah mati, ke ruang penyimpanan untuk menguburkan dirinya sendiri
di bawah tumpukan selimut?”
Coop tersenyum tipis. “Kalau Katie menginginkan bayi itu, kemudian bangun dan
melihatnya sudah mati, mungkin saat itulah dia kehilangan kontak dengan realitas. Mungkin
dia menyembunyikan mayat bayinya saat mengalami disosiasi, dan tidak bisa mengingatnya
sekarang.”
“Menyembunyikan mayat masih merupakan kejahatan, Coop.”
“Tapi proporsinya tidak sama dengan pembunuhan,” jelas Coop. “Ada kesedihan yang
membuat seseorang secara sadar mau menerima kematian seseorang yang dicintai, dan itu
tidak terjadi apabila seseorang itu berperan dalam menyebabkan kematian.” Ia mengangkat
bahu. “Aku bukan pengacara, El, tapi bagiku sepertinya kau punya satu hal untuk dijadikan
pijakan—karena bayi itu meninggal dengan sendirinya dan pikiran Katie tak bisa
menerimanya. Dan kau pasti punya beberapa ahli yang bisa kaudatangkan untuk mengubah
laporan autopsi, bukan? Maksudku, Katie melahirkan prematur. Bayi prematur mana yang
bisa bertahan tanpa inkubator dan lampu, serta perawatan dari ICU neonatal?”
Ellie berusaha memikirkan strategi itu di kepalanya, tapi pikirannya terus terpaku pada
sesuatu yang mengganggu seperti serpihan kayu yang tajam. Menurut laporan autopsi semua
sudah tahu bahwa Katie melahirkan di usia kehamilan tiga puluh dua minggu. Dan tak
seorang pun—termasuk Ellie—pernah mempertanyakan itu. “Bagaimana bisa?” tanyanya.
122
“Bagaimana apa?”
“Bagaimana bisa Katie, gadis delapan belas tahun yang kondisi kesehatannya lebih baik dari
kebanyakan wanita seusianya, melahirkan prematur?”

Dr. Owen Zeigler mengangkat kepala saat Ellie mengganggu konsentrasinya untuk kesekian
kalinya karena ribut mengunyah daging goreng kering. “Kalau kau tahu apa yang
ditambahkan makananan itu ke tubuhmu, kau tak akan mau memakannya,” komentar
Owen.
“Kalau kau tahu kapan terakhir kali aku makan, kau tak akan menggangguku.” Ellie
mengamati dokter itu membaca laporan autopsi lagi.
“Jadi. Kelahiran prematur bukan jadi pokok masalahnya. Kelahiran prematur sering terjadi,
tak ada pengobatan yang bagus untuknya, dan dokter kandungan sering kali tak tahu apa
penyebabnya. Tetapi dalam kasus klienmu, kelahiran prematur kemungkinan besar
disebabkan choriomnionitis,” Ellie memandangnya kosong. “Itu adalah diagnosis patologi,
bukan bakteriologi. Pada dasarnya itu berarti ada peradangan akut di membran ketuban dan
saluran plasenta.”
“Kalau begitu apa yang menyebabkan choriomnionitis? Apa yang tertulis di laporan petugas
medis?”
“Dia tidak melaporkan apa-apa. Menurutnya jaringan janin dan plasenta sudah
terkontaminasi, sehingga penyebabnya tidak bisa diisolasi dan diidentifikasi.”
“Apa biasanya penyebab choriomnionitis?”
“Hubungan seksual,” kata Owen. “Sebagain besar agen adalah bakteri yang hidup di vagina.
Kalau dua ditambah dua maka—” Ia mengangkat bahu.
“Bagaimana kalau hubungan seksual bukan penyebabnya?”
“Maka agen penyebab infeksinya masuk dari jalan lain—seperti aliran darah ibu atau infeksi
saluran kencing—bisa menjadi penyebabnya. Tapi apakah ada bukti yang mendukung itu?”
Owen mengetukkan jarinya di sehelai halaman laporan autopsi. “Ini terus menggangguku,”
akunya. “Hasil pemeriksaan hatinya tidak ditindaklanjuti. Ada necrosis—kematian sel—tapi
tidak ada bukti peradangan.”
“Apa penjelasan bagi yang tidak paham patologi?”
“Petugas medis mengira kematian sel hati itu diakibatkan asphyxia—kekurangan oksigen—
yang menjadi penyebab kematian bayi itu. Tapi sepertinya bukan itu—lukanya tidak masuk
akal; meningindikasikan sesuatu yang bukan asphyxia. Kadang pendarahan anoxia, tapi
necrosis murni tak biasanya terjadi.”
“Jadi apa penyebab itu?”
“Akibat kelainan jantung bawaan, yang tidak dipunyai bayi itu—atau infeksi. Necrosis
mungkin terjadi beberapa jam sebelum tubuh bisa memberikan respons anti peradangan
terhadap infeksi yang bisa dideteksi secara patologis—dan ada kemungkinan bayi itu sudah
meninggal sebelum infeksi itu terjadi. Aku akan meminta sampel jaringan dari petugas
medis dan melakukan tes noda Gram untuk mencari tahu.”
Tangan Ellie terhenti di depan mulunya, daging gorengnya terlupakan. “Maksudmu ada
kemungkinan bayi itu meninggal akibat infeksi misterius ini dan bukan karena asphyxia?”
“Yeah,” kata ahli patologi itu. “Aku akan mengabarimu.”

Malam itu, akan turun hujan es. Sarah mendengarkan dari Rachel Yoder, yang
mendengarkan dari Alma Beiler, yang rematiknya menyebabkan lututnya bengkak sebesar
melon setiap tahun sebelum suhu turun drastis. Katie dan Ellie disuruh ke kebun untuk
memetik sayuran yang tersisa—tomat, labu, dan wortel yang besar-besar. Katie
mengumpulkan sayuran itu di celemeknya; sedangkan Ellie mengambil keranjang dari
rumah. Ellie mencari di bawah daun-daun zucchini, mencari sisa-sisa sayuran yang bisa
bertahan melewati musim panen. “Saat aku kecil,” gumamnya, “aku mengira bayi berasal
dari kebun sayur seperti ini.”
Katie tersenyum. “Aku dulu mengira bayi berasal dari suntikan.”
“Vaksin?”
“He-eh. Begitulah sapi bunting; aku pernah melihatnya.” Ellie juga sudah; inseminasi
buatan adalah cara teraman untk menernakan sapi perah. “Wah, aku benar-benar ngamuk
ketika Mam membawaku untuk divaksin cacar.”
Ellie tertawa geli, lalu memotong labu dari pohonnya yang menjalar dengan pisau. “Ketika
aku tahu yang sebenarnya tentang asal bayi, aku tak percaya. Secara logistik, sepertinya itu
tak akan berhasil.”
“Aku tidak banyak bertanya dari mana bayi datang sekarang,” gumam Katie. “Aku betanya-
tanya ke mana mereka pergi.”
Menegakkan tubuhnya, Ellie pelan-pelan meletakkan pisaunya. “Kau tidak akan membuat
pengakuan lagi sekarang, kan?”
Tersenyum sedih, Katie menggeleng. “Tidak. Strategi pembelaanmu aman.”
“Strategi pembelaan apa?” gumam Ellie, dan melihat lirikan panik Katie, ia buru-buru
menambahkan. “Maafkan aku. Aku hanya belum tahu apa yang akan kulakukan denganmu
sekarang.” Ellie duduk di antara dua lajur tanaman buncis, yang sudah dipetik berminggu-
minggu lalu.
123
“Kalau saja aku tidak pernah masuk ke ruang sidang itu—kalau aku membiarkanmu mencoba
membela dirimu sendiri seperti yang kaunginkan—kau pasti akan dinyatakan tidak kompeten
untuk menjalani sidang. Kau kemungkinan besar akan dibebaskan, dengan rujukan untuk
perawatan psikiater.”
“Aku bukannya tidak kompeten dan kau tahu itu,” kata Katie keras kepala.
“Ya, dan kau juga tidak gila. Kita sudah membahas ini sebelumnya.”
“Aku juga jujur (honest).”
“Amish?” kata Ellie, salah dengar. “Kurasa juri akan tahu itu, mengingat pakaianmu.”
“Aku bilang honest. Tapi aku juga seorang Amish.”
Ellie berusaha mencabut sebatang wortel. “Kedua kata itu memang cocok jadi sinonim.” Ia
menarik lagi, dan saat wortel itu tercabut tiba-tiba ia menyadari ap ayang baru saja ia
katakan. “Ya Tuhan, Katie, kau Amish.”
Katie berkedip padanya. “Kalau kau butuh waktu selama ini untuk menyadarinya, aku tidak
—”
“Itulah pembelaannya.” Ellie menyeringai. “Apakah pemuda Amish pergi berperang?”
“Tidak. Mereka anti wajib militer.”
“Mengapa?”
“Karena kekerasan bukan cara kami,” jawab Katie.
“Tepat sekali. Orang Amish hidup menurut ajaran literal Kristus. Itu artinya menyerahkan
pipimu yang sebelah seperti Yesus—bukan hanya di hari Minggu, tapi setiap menit dalam
setiap harinya.”
Katie bingung dan berkata. “Aku tidak mengerti.”
“Juri pasti tak akan mengerti, tapi mereka akan paham setelah aku selesai,” kata Ellie.
“Kau tahu mengapa kau orang Amish pertama yang menjadi terdakwa pembunuhan di East
Paradise, Katie? Karena—sederhana—kalau kau Amish, kau tak melakukan pembunuhan.”

Dr. Owen Zeigler menyukai Ellie Hathaway. Ia pernah bekerja dengan Ellie sekali sebelum
ini, dalam kasus seorang suami penyiksa yang memukuli istrinya yang sedang hamil dan
menyebabkannya kehilangan janin yang baru berusia dua puluh empat minggu. Ia menyukai
gaya Ellie yang terus terang, potongan rambut pendeknya, dan bagaimana kakinya seakan-
akan memanjang hingga ke lehernya—sesuatu yang mustahil secara anatomi tapi tetap saja
merangsang. Ia tak tahu siapa atau apa klien Ellie kali ini, tapi kalau melihat perkembangan
yang terjadi, Ellie Hathaway akan mendapatkan keraguan beralasan—meskipun
kesempatannya sangat kecil.
Di bawah mikroskopnya, Owen mengamati hasil tes noda Gram. Terlihat adanya kumpulan
tali-tali pendek berwarna biru tua yang mengindikasikan hasil Gram positif dalam bentuk
cocco-baccillus. Menurut hasil pembiakan autopsi, ini diidentifikasi sebagai diphtheroid—
kontaminan dasar. Tapi jumlahnya banyak sekali, membuat Owen bertanya-tanya apakah
semua ini memang benar diphtheroid.
Ellie sudah menanamkan bibit keraguan padanya. Bagaimana kalau tali-tali Gram itu adalah
tanda-tanda dari agen penyebab infeksi? Organisme berbentuk coccobacillus dengan mudah
bisa disalahartikan sebagai diphtheroid berbentuk tali, apalagi kalau ahli mikrobiologi yang
mengujinya tidak melakukan tes Gram.
Owen mengeluarkan preparat dari bawah lensa mikroskop, meletakkannya di telapak
tangan, dan berjalan melewati lorong rumah sakit ke laboratorium tempat Bono Gerhardt
bekerja. Owen menemukan ahli mikrobiologi itu sedang melihat katalog reagen. “Sedang
memilih bunga musim semimu?”
Ahli mikrobiologi itu tertawa. “Yeah. Aku tak bisa memutuskan akan memilih tulip Belanda,
virus herpes simplex, atau cytokeratin.” Ia mengangguk ke arah preparat yang dibawa
Owen. “Apa itu?”
“Menurutku ini bakteri betahemolytic step grup B atau listeria,” kata Owen. “Tapi aku
berharap kau bisa memberitahuku pastinya.”

Beberapa saat sebelum jam sepuluh malam, anggota keluarga Fisher akan menghentikan
apa pun yang mereka lakukan dan berkumpul, seakan-akan ditarik oleh magnet ke tengah
ruang duduk. Elam akan membacakan doa pendek dalam bahasa Jerman, lalu yang lain akan
menundukkan kepala mereka dalam diam selama beberapa menit, berdoa pada Tuhan. Ellie
sudah mengamati ritual itu selama berbulan-bulan sekarang, selalu mengingat
percakapannya dengan Sarah tentang keyakinannya. Ketidaknyamanan yang awalnya ia
rasakan, berganti menjadi rasa ingin tahu, lalu menjadi ketidakpedulian—ia biasanya
menyelesaikan artikel apa pun yang ia baca di Reader's Digest atau di salah satu buku
hukumnya, lalu ke atas untuk tidur saat yang lain selesai berdoa.
Malam ini, ia, Sarah, dan Katie bermain Scrabble. Permainannya berjalan agak
memusingkan, karena Katie ngotot kata-kata yang secara fonetik berejaan Dietsch boleh
dihitung. Ketika jam dinding berbunyi sepuluh kali, Katie memasukkan huruf-huruf Scrabble
ke kotaknya, diikuti ibunya. Aaron yang tadi di gudang, masuk dari pintu samping diiringi
embusan angin dingin. Ia menggantung mantelnya dan berlutut di sebelah istrinya.
124
Tapi malam itu, saat Elam membacakan doa bapa Kami, ia membacakannya dalam bahasa
Inggris. Terkejut oleh perubahan itu—orang Amish biasanya berdoa dalam bahasa Jerman
atau setidaknya, Dietsch—Ellie otomatis merasakan bibirnya mengikuti. Sarah, yang juga
berbisik, mengangkat kepalanya. Ia memandang Ellie, lalu bergeser sedikit ke kanan,
memberi ruang.
Entah sudah berapa lama sejak Ellie berdoa, benar-benar berdoa, bukan doa pendek di
saat-saat terakhir juri akan memberikan keputusan atau ketika polisi lalu lintas
menilangnya karena ngebut? Tanpa menjawab pertanyaan sendiri, Ellie turun dari kursinya
dan berlutut di samping Sarah, seakan-akan memang di situlah tempatnya, seakan-akan
pikiran dan harapannya akan terkabul.

“Bono Gerhardt,” kata pria itu, mengulurkan tangan. “Senang sekali.”


Ellie tersenyum pada ahli mikrobiologi yang dikenalkan Owen Zeigler padanya. Pria itu
tingginya hanya sekitar 160 sentimeter dan mengenakan topi bedah di kepalanya, berpola
zebra dan monyet. Sebuah bros boneka khas Guetamala terjepit di kerah bajunya.
Headphone melingkar di lehernya, yang terhubung dengan Sony Discman di sakunya. “Kau
ketinggalan inkubasinya,” katanya, “tapi aku memaafkanmu karena datang terlambat
setelah babak pertama.”
Bono mengajak Ellie ke meja, tempat beberapa preparat menunggu. “Pada dasarnya, kami
berusaha mengidentifikasi organisme yang ditemukan Owen dengan menggunakan
immunoperoxidase. Aku mengambil beberapa bagian lagi dari jaringan sampel, dan
menginkubasi mereka dengan antibodi yang bereaksi pada listeria—itu adalah bakteri yang
kami coba identifikasi. Yang ini adalah kontrol negatif dan positif kami: sampel asli listeria,
dari fakultas kedokteran hewan; dan diphtheroid. Dan sekarang tuan dan nyonya, saatnya
kebenaran.”
Ellie menahan napas saat Bono meneteskan beberapa tetes larutan ke spesimen pertama.
“Ini adalah peroxidase lobak, enzim yang mengikat antibodi,” jelas Bono. “Secara teori,
enzim ini hanya akan mengikat listeria.”
Ellie melihatnya menetesi semua preparat di meja. Akhirnya, Bono mengambil sebuah botol
kecil. “Iodine?” tebak Ellie.
“Hampir tepat. Ini cuma pewarna.” Ia meneteskan isi botol itu ke tiap sampel lalu
meletakkan preparat pertama di bawah mikroskop. “Kalau itu bukan listeria,” gumam
Bono, “gigit saja aku.”
Ellie memandang kedua pria itu. “Apa yang terjadi?”
Owen mengintip ke mikroskop. “Kau ingat saat aku bilang padamu bahwa necrosis di hati
mungkin disebabkan infeksi? Ini adalah bakteria yang menyebabkan infeksi itu.”
Ellie mengintip ke mikroskop, tapi yang ia lihat hanyalah benda-benda yang terlihat seperti
nasi gemuk, berpinggiran cokelat.
“Bayi itu menderita listeriosis,” kata Owen.
“Jadi ia tidak mati karena asphyxia?”
“Sebenarnya, ya. Tapi itu adalah serangkaian kejadian sebab akibat. Asphyxia itu
disebabkan kelahiran prematuf, yang disebabkan choriomanionitis—yang disebabkan
listeriosis. Sang bayi ketularan infeksi itu dari sang ibu. Infeksi itu fatal di sekitar tiga puluh
persen janin yang belum lahir, tapi bisa tidak terdeteksi pada ibunya.”
“Kalau begitu mati karena sebab alami.”
“Benar.”
Ellie meringis. “Owen, itu hebat sekali. Itu adalah informasi yang kuharapkan. Dan
darimana ibunya mendapatkan infeksi itu?”
Owen memandang Bono. “Ini adalah bagian yang tak akan kausukai, Ellie. Listeriosis seperti
bakteri streptococcus yang menginfeksi tenggorokan—infeksinya tidak sering terjadi.
Perbandingannya sekitar satu di antara dua puluh ribu wanita hamil. Infeksi maternal
biasanya terjadi setelah mengonsumsi makanan terkontaminasi, dan dengan teknologi saat
ini, kontaminan sudah dihilangkan saat makanan dikonsumsi.”
Ellie menyilangkan lengannya, tak sabar. “Makanan seperti apa?”
Ahli patologi itu mengangkat bahunya. “Seberapa besar kemungkinan klienmu minum susu
yang belum mengalami proses pasteurisasi saat dia hamil?”

Dua Belas
Ellie

PERPUSTAKAAN kecil di pengadilan tinggi berada tepat di atas kantor Hakim Ledbetter.
Meskipun aku seharusnya melakukan riset tentang pengadilan pembunuhan anak di bawah
usia lima tahun, selama dua jam ini aku lebih banyak memandang ke lantai berlapis kayu,
seakan-akan dari sini aku bisa membuat hati Hakim Ledbetter melunak.
“Aku bisa menebak apa yang yang kaupikirkan,” kata seseorang bersuara berat, aku
berbalik dan melihat George Callahan berdiri di belakangku. Ia menarik kursi dan
mendudukinya. “Kau sedang mengirimkan gelombang pikiranmu ke Phil, bukan?”
Aku mengamati wajahnya mencari tanda-tanda persaingan, tapi ia terlihat bersimpati.
“Hanya vodoo ringan.”
“Yeah, aku juga biasa melakukannya. Kemungkinan keberhasilannya sekitar lima puluh
persen.”
125
George tersenyum, dan merasa rileks, aku membalas senyumnya. “Aku mencarimu. Harus
kuakui—aku tidak merasa hebat mengirim seorang gadis Amish untuk dihukum penjara
seumur hidup, Ellie. Tapi pembunuhan tetaplah pembunuhan, dan aku mencoba mencari
solusi yang mungkin berguna bagi kita semua.”
“Apa tawaranmu?”
“Kau tahu dia menghadapi risiko penjara seumur hidup. Aku bisa memberimu sepuluh tahun
kalau dia mengaku bersalah melakukan pembunuhan. Dengar, dengan perilaku baik, dia bisa
keluar dalam waktu lima atau enam tahun.”
“Dia takkan bisa bertahan selama lima atau enam tahun di penjara, George,” kataku
perlahan.
George menunduk memandang tangannya yang tertangkup. “Dia punya kesempatan lebih
baik bertahan selama lima tahun dibandingkan lima puluh tahun di penjara.”
Aku memandang, lurus-lurus, ke lantai di atas kantor hakim Ledbetter. “Aku akan
mengabarimu nanti.”

Secara etika, aku seharusnya memberitahukan penawaran jaksa pada klienku. Aku pernah
berada dalam posisi ini sebelumnya, di mana aku harus memberitahukan tawaran yang
kurasa tidak akan menguntungkan kami, tapi kali ini aku gugup mengira-ngira respons
klienku. Biasanya aku bisa menyakinkan seseorang bahwa mengambil kesempatan menjalani
persidangan akan menjadi yang terbaik baginya, tapi dengan Katie ceritanya berbeda. Ia
dibesarkan untuk percaya bahwa kau harus minta maaf, lalu menerima hukuman apa pun
yang ditetapkan. Tawaran George akan membuat Katie berpikir ia bisa menyelesaikan
semua masalah ini, dengan cara yang masuk akal baginya.
Aku menemukan Katie sedang menyeterika di dapur. “Aku perlu bicara denganmu.”
“Oke.”
Ia sedang melicinkan salah satu lengan kemeja ayahnya—berwarna ungu muda—dan
menyetrikanya dengan setrika yang dipanaskan di kompor. Bukan pertama kali ini aku
menyadari bahwa Katie akan menjadi istri yang sempurna—ia memang dibesarkan untuk
menjadi istri yang sempurna. Kalau ia dihukum seumur hidup di penjara, ia tak akan
mendapatkan kesempatan itu. “Jaksa wilayah memberikan tawaran hukuman padamu.”
“Apa itu?”
“Bisa dibilang sebuah perjanjian. Dia mengurangi dakwaan dan hukuman, dan sebagai
imbalannya, kau harus mengaku bersalah.”
Katie membalik kemeja yang disetrikanya dan mengerutkan kening. “Lalu apakah kita masih
akan sidang?”
“Tidak. Semuanya akan selesai.”
Wajah Katie menjadi cerah. “Itu bagus sekali!”
“Kau belum mendengar persyaratan yang diajukannya,” kataku tak acuh. “Kalau kau
mengaku bersalah melakukan pembunhuan tak disengaja, dan bukan pembunuhan tingkat
satu, kau akan menjalani hukuman penjara selama sepuluh tahun, bukan seumur hidup.
Tapi dengan pengampunan kau mungkin hanya akan dipenjara selama setengah dari masa
hukuman itu.”
Katie meletakkan setrika di atas kompor. “Aku masih akan masuk penjara, kalau begitu.”
Aku mengangguk. “Risiko menerima tawaran ini adalah kalau kau tetap menjalani sidang
dan bebas, kau sama sekali tak masuk penjara. Itu seperti memutuskan sesuatu sebelum
kau bisa melihat apa yang akan terjadi nanti.” Saat aku mengatakannya pun, aku tahu itu
penjelasan yang salah. Seorang Amish menerima apa yang diberikan padanya—ia tak
mengharapkan yang terbaik, karena itu artinya akan merepotkan orang lain, orang lain yang
tidak mendapatkan yang terbaik.
“Kalau begitu apa kau bisa membebaskan aku?”
Pasti selalu seperti ini, dengna klien yang diberi tawaran oleh jaksa. Sebelum mereka
menerima saranku, mereka meminta jaminan bahwa semuanya akan menguntungkan
mereka. Dalam sebagian besar kasus sepanjang karierku, aku bisa mengatakan ya dengan
semangat, dengan keyakinan—lalu aku membuktikan diriku benar.
Tapi ini bukan “sebagian besar kasus”. Dan Katie bukanlah klienku yang biasa.
“Aku tidak tahu. Aku percaya aku bisa membebaskanmu dengan pembelaan ketidakwarasan
sementara. Tapi dengan keterbatasan waktu di mana aku harus menyiapkan pembelaan
baru, aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Aku rasa bisa membebaskanmu. Aku berharap bisa
membebaskanmu. Tapi Katie... aku tidak bisa menjanjikannya.”
“Yang harus kukatakan hanyalah bahwa aku bersalah?” tanya Katie. “Lalu semuanya
selesai?”
“Lalu kau masuk penjara,” kataku membenarkan.
Katie mengangkat setrika dan menekankannya ke bagian bahu kemeja ayahnya dengan
sangat keras sehingga berbunyi mendesis. “Kurasa aku akan menerima tawaran ini,”
katanya.
Aku memandangnya menggosokkan setrika bolak-balik di antara lubang kancing, gadis ini
yang baru saja memutuskan untuk masuk penjara selama sepuluh tahun. “Katie, bolehkah
aku mengatakan sesuatu sebagai temanmu, bukan sebagai pengacaramu?” Katie
memandangku. “Kau tak tahu bagaimana rasanya di penjara. Di sana tidak hanya dipenuhi
orang Inggris—tetapi dipenuhi orang-orang jahat. Aku pikir ini salah.”
126
“Kau tidak berpikir sepertiku,” kata Katie tenang.
Aku menahan jawabanku dan menghitung sampai sepuluh sebelum bicara lagi. “Kau mau
aku menerima tawaran itu? Baiklah. Tapi sebelumnya aku ingin kau melakukan sesuatu
untukku.”

Aku pernah berkunjung ke State Correctional Institute di Muncy sebelumnya, atas undangan
beberapa klien wanitaku yang masih menjalani hukuman mereka. Tempat itu terasa
mengerikan, bahkan bagi seorang pengacara yang terbiasa dengan realitas kehidupan
penjara. Semua wanita yang dihukum di pengadilan wilayah Pennsylvania dikirim ke pusat
klasifikasi diagnostik di Muncy, lalu mereka tetap di sana atau dipindahkan ke institusi
dengan keamanan minimum Cambridge Springs di Erie. Tapi setidaknya, Katie akan tinggal
di sini sekitar empat hingga enam minggu, dan aku ingin ia melihat apa yang akan
dijalaninya.
Sipir penjara, seorang pria malang karena mempunyai nama Duvall Shrimp dan mempunyai
kebiasaan menjengkelkan yaitu memandang payudaraku, dengan gembira mengajak kami
masuk ke kantornya. Aku tidak menjelaskan tentang Katie padanya, meskipun pastinya
sangat aneh melihat seorang gadis Amish duduk di sampingku saat aku memintanya
memberi kami tur di fasilitasnya, dan hebatnya, Duvall tidak bertanya kenapa. Ia membawa
kami ke ruang kontrol, di mana pintu jerujinya terbanting menutup di belakang Katie dan
membuatnya tersentak.
Pertama-tama, Duvall membawa kami ke ruang makan, di sana meja-meja panjang
berjajar. Sejumlah narapidana wanita antre dan bergerak seperti ular menuju meja saji,
mengambil nampan yang dipenuhi oleh gundukan makanan berwarna abu-abu yang tak
menggugah selera. “Narapidana makan di ruang makan,” kata Duvall, “kecuali kalau di
masukkan ke sel isolasi karena masalah perilaku, atau narapidana kasus besar. Mereka
makan di sel.” Kami mengamati beberapa kelompok narapidana duduk di meja-meja yang
berbeda, memandang kami penuh rasa ingin tahu. Lalu Duvall mengajak kami menaiki
tangga, ke jajaran sel. Sebuah televisi ditempatkan di ujung lorong memancarkan pijar-
pijar warna ke salah satu wajah narapidana wanita yang berdiri di depan pintu selnya
dengan tangan terjulur keluar dan menyiuli Katie. “Yuhuuu,” godanya. “Bukankah kau
terlalu awal untuk pakai kostum Halloween?”
Narapidana lain tertawa dan terkekeh-kekeh, berdiri di balik jeruji, seperti binatang sirkus.
Mereka memandang Katie seakan-akan dialah yang dipamerkan. Saat Katie melewati sel
terakhir di ujun glorong, membisikkan doa, seorang narapidana meludah, ludah itu jatuh
tepat di samping sepatu kets Katie.
Di halaman, Duvall jadi tambah ramah. “Aku sudah lama tak melihatmu. Apakah kau
sekarang kebanyakan membela pria dan bukan wanita?”
“Sama saja. Kau lama tak melihatku karena klienku dibebaskan.”
Ia mengarahkan dagunya ke arah Katie. “Siapa dia?”
Aku memandang Katie berjalan di tepi halaman yang kosong, berhenti di pojok, dan
memandang ke langit, yang seakan-akan dipigura pagar kawat berduri. Di menara di atas
kepala Katie ada dua penjaga, memegang senapan. “Seseorang yang ingin melihat
proertinya dulu sebelum menandatangani kontrak,” kataku.
Katie mendekati kami, menarik syalnya lebih erat di sekeliling bahunya. “Itu tadi sudah
semua,” kata Duvall. “kuharap semuanya sesuai dengan harapanmu.”
Aku berterima kasih padanya dan membimbing Katie ke tempat parkir, di sana ia masuk ke
mobil dan duduk diam hampir sepanjang perjalanan pulang selama dua jam. Di perjalanan
ia sempat tertiur, bermimpi, dan merintih pelan. Dengan satu tangan di kemudi, aku
menggunakan tanganku yang bebas untuk membelai rambutnya, menenangkannya.
Katie terbangun saat kami keluar dari jalan tol di Lancaster. Ia menekankan dahinya ke
jendela dan berkata, “Tolong katakan pada George Callahan bahwa aku tak mau menerima
tawarannya.”

Aku menyelesaikan kata-kata terakhir pidato pembukaanku dengan bersemangat dan


berbalik kaget mendengar suara tepuk tangan. “Hebat. Langsung dan persuasif,” kata Coop,
maju dari tempat teduh di gudang. Ia menunjuk ke arah sapi-sapi yang malas. “Tapi jurinya
berat.”
Aku merasakan pipiku memanas. “Kau seharusnya tidak di sini.”
Ia merangkul pinggangku. “Percayalah. Ini tempat seharusnya aku berada.”
Aku mendorong dadanya. “Ayolah, Coop. Sidangnya besok, aku akan menjadi teman yang
buruk.”
“Aku akan menjadi pendengarmu.”
“Kau hanya akan mengganggu konsentrasiku.”
Coop menyeringai. “Itu hal terbaik yang pernah kaukatakan padaku.”
Aku menghela napas, berjalan kembali ke ruang susu, di sana layar komputerku menyala.
“Mengapa kau tidak masuk saja dan membiarkan Sarah memberimu sepotong pai?”
“Dan kehilangan semua ketegangan ini?” Coop bersandar ke tangki susu. “Kurasa tidak. Kau
teruskan saja. Lakukan apa pun yang akan kaulakukan sebelum aku muncul.”
127
Dengan pandangan hati-hati, aku duduk di kotak susu dari kayu yang menjadi kursiku dan
mulai membaca daftar saksi untuk sidang besok. Setelah beberapa saat, aku mengucek
mataku dan mematikan komputer.
“Aku diam saja lho,” protes Coop.
“Kau tak perlu berkata apa-apa.” Aku berdiri lalu mengulurkan tangan padanya. “Jalan-
jalan yuk?”
Kami jalan-jalan, santai, melewati kebun di bagian utara pertanian, di sana pohon-pohon
apel berdiri seperti sekelompok wanita tua rematik. Aroma apel menggoda hidung kami,
segar dan manis seperti permen loli. “Pada malam sebelum sidang, Stephen biasanya
memasak steik,” kataku iseng. “Dia bilang ada dorongan primitif yang terkait dengan makan
daging segar.”
“Dan pengacara malah heran kenapa mereka dijuluki hiu,” Coop tertawa. “Apa kau juga
makan steik?”
“Tidak. Aku memakai piamaku dan menyanyi mengikuti Aretha Franklin.”
“Yang benar?”
Aku mendongak dan bernyanyi. “R-E-S-P-E-C-T!”
“Latihan untuk kepercayaan diri?”
“Tidak,” kataku. “Aku hanya benar-benar suka Aretha.”
Coop meremas bahuku. “Kalau kau mau, aku bisa menjadi penyanyi latarnya.”
Ia merengkuh dan membalikkan tubuhku, mencium bibirku. “Kuharap begitu,” katanya. “Ke
mana kau akan pergi, El, setelah semua ini selesai?”
“Yah, aku...” Aku tak tahu sebenarnya. Itu sesuatu yang selama ini tak ingin kupikirkan:
fakta kenapa aku terdampar dalam masalah Katie, sementara aku sendiri sedang melarikan
diri juga. “Aku mungkin bisa kembali ke Philadelphia. Atau tinggal dengan Leda.”
“Bagaimana denganku?”
Aku tersenyum. “Kurasa kau juga bisa tinggal di rumah Leda.”
Tapi Coop benar-benar serius. “Kau tahu apa maksudku, Ellie. Kenapa kau tak tinggal
denganku?”
Aku langsung merasa mataku berkunang-kunang. “Aku tak tahu,” kataku menatapnya lurus-
lurus.
Coop memasukkan tangan ke saku celananya: aku bisa melihat ia berjuang keras untuk
tidak berkomentar tentang bagaimana perlakuanku padanya dulu. Aku ingin menyentuhnya,
memintanya menyentuhku, tapi aku tak bisa melakukan itu. Kami sudah mengalami ini
sebelumnya, seratus tahun lalu, namun sepertinya bibir jurang tempat kami berdiri masih
sama dalam dan curamnya; aku masih tak bisa bernapas.
Tapi kali ini kami lebih tua. Aku tak akan berbohong padanya. Ia tak akan pergi. Aku
memetik sebutir apel dan mengulurkannya pada Coop.
“Apa ini seharusnya sebuah ranting zaitun, atau kau ingin memberi kiasan dari Alkitab?”
“Itu tergantung,” kataku. “Apa kita sedang bicara tentang Mazmur atau tentang
persembahan kurban?”
Coop tersenyum, ajakan untuk berbaikan. “Sebenarnya, aku memikirkan tentang Bilangan.
Semua keturunan itu.” Ia mengaitkan jarinya dengan jariku, menjatuhkan diri di rumput
yang lembut dan menarikku ke atasnya. Dengan tangan menahan kepalaku, ia menciumku,
hingga aku tak bisa berpikir apalagi ingat pada strategi pembelaanku. Ini aman. Ini sudah
kukenal.
“Ellie,” bisik Coop, atau mungkin aku hanya membayangkannya, “tak usah buru-buru.”

“Oke,” kataku, meniru ucapan jaksa sebaik mungkin, “ini tawaranku. Kau membiarkanku
mengambil ember air ini, dan kau mendapat dua hingga lima. Wortel, maksudku.”
Nugget menggelengkan kepalanya yang besar dan mendompakkan kakinya, keras kepala
seperti pengacara pembela yang menolak tawaran tak menguntungkan dari jaksa. “Kalau
begitu, kurasa kita akan menjalani sidang,” aku menghela napas, dan membungkuk masuk
ke kandang. Kuda itu mendorongku dengan hidungnya dan aku mengomelinya. “Keras
kepala rupanya menular dalam keluarga ini,” gumamku.
Sebagai balasan, kuda sialan itu menggigit bahuku. Berteriak kesakitan, aku menjatuhkan
ember air dan keluar dari kandang. “Baik,” kataku. “Ambil sendiri minummu.” Aku
berbalik, tapi terhenti oleh suara lirih di atasku, seperti meongan anak kucing.
“Halo?” panggilku. “Ada orang di sini?”
Ketika tak ada jawaban, aku menaiki tangga sempit ke penyimpanan jerami, tempat jerami
dan gandum untuk ternak disimpan. Sarah duduk di salah satu sudut, menangis,
membenamkan wajah ke celemeknya untuk menahan isak tangisnya.
“Hei,” kataku lembut, menyentuh bahunya.
Ia kaget, buru-buru mengusap air matanya. “Ach, Ellie. Aku ke sini untuk... untuk...”
“Untuk menangis. Tak apa-apa, Sarah. Aku mengerti.”
“Tidak.” Ia terisak. “Aku harus kembali ke rumah. Aaron akan pulang untuk makan siang tak
lama lagi.”
Aku memaksanya memandangku. “Aku akan berusaha keras untuk menyelamatkannya.”
Sarah berpaling, memandang ke ladang. “Aku seharusnya tak pernah menyuruhnya naik
kereta itu untuk menengok Jacob... Aaron benar selama ini.”
"Kau tak mungkin tahu bahwa Katie akan bertemu anak muda Inggris dan hamil."
"Benarkah?" kata Sarah pelan. "Ini semua salahku."
128
Hatiku bersimpati pada wanita itu. "Dia mungkin saja memilih untuk pergi sendiri.
Bagaimana pun itu tetap saja bisa terjadi."
Sarah menggeleng. "Aku mencintai anak-anakku. Aku mencintai mereka, dan lihat apa yang
terjadi."
Tanpa ragu, aku memeluknya. Aku bisa mendengarkan bisikannya di lekuk bahuku. "Aku
ibunya, Ellie. Aku seharusnya bisa memperbaiki ini. Tapi aku tak bisa."
Aku menarik napas panjang. "Kalau begitu aku yang harus melakukannya."

Berangkat sidang merupakan kerepotan tersendiri, Leda, Coop dan Jacob semuanya datang
ke pertanian sekitar pukul 06.30 pagi, dengan mobil sendiri-sendiri. Katie, Samuel, dan
Sarah langsung dibawa ke mobil Coop, karena ia satu-satunya pengemudi yang tidak
diasingkan. Baik Jacob maupun Leda merasa tak enak meninggalkan mobil mereka di tanah
Aaron Fisher, jadi Leda harus mengikuti Jacob kembali ke rumahnya untuk memarkir Honda
milik Jacob sebelum mereka kembali untuk menjemputku. Semua kerepotan ini membuatku
hampir yakin bahwa kami akan terlambat ketika Aaron berjalan keluar dari gudang,
matanya menatap lurus ke penumpang di mobil Coop.
Ia sudah menegaskan bahwa ia tak akan menghadiri sidang. Meskipun Uskup pasti akan
mengerti keterlibatan Aaron dalam masalah hukum ini, Aaron tak mau melunak. Tetapi
mungkin ia masih punya hati, pikirku. Bahkan kalaupun prinsip-prinsip yang dianutnya
membuat dirinya tak bisa menemani putrinya ke sidang, ia tak akan membiarkan putrinya
pergi tanpa mengucapkan selamat jalan. Coop membuka jendela belakang sehingga Aaron
bisa melongokkan kepalanya ke dalam dan bicara pada Katie.
Tapi saat mendekat, yang ia katakan dengan pelan hanyalah, "Sarah, komm."
Dengan mata tertunduk, ibu Katie meremas tangan anaknya lalu turun dari mobil. Ia berdiri
di samping suaminya, matanya berkilau dipenuhi air mata yang tidak ia biarkan jatuh
bahkan saat suaminya membalikkan bahunya dan merangkulnya kembali ke rumah.
Leda adalah orang pertama yang melihat mobil van wartawan. Tersebar di lapangan parkir
dihiasi parabola dan huruf-huruf stasiun TV. Lebih dekat ke gedung pengadilan terdapat
deretan reporter memegang mikrofon dan deretan kameramen, yang berhadapan seakan-
akan mereka sedang bersiap-siap shooting opera sabun dan bukannya berkomentar tentang
nasib seorang gadis muda.
"Apa ini?" Leda kaget.
"Belum jelas," gumamku. "Reporter bukan termasuk manusia."
Tiba-tiba wajah Coop muncul di sisi jendelaku. "Apa yang mereka lakukan di sini? Kukira kau
memenangkan mosi itu."
“Aku berhasil melarang kamera dari ruang sidang,” kataku. “Di luar area bebas.” Sejak hari
hakim memutuskan sidang, aku tak terlalu memikirkan tentang masalah media—aku terlalu
sibuk menyiapkan pembelaan baru. Tapi terlalu naif mengira bahwa tidak adanya kamera di
ruang sidang membuat publik tidak tertarik pada kisah ini. Aku meraih tas kerjaku dan
keluar dari mobil, tahu aku hanya punya dua menit sebelum semua wartawan itu sadar
siapa aku. Mengetuk jendela belakang mobil Coop, aku menarik perhatian Katie dari media.
“Ayo,” kataku. “Sekarang atau tidak sama sekali.”
“Tapi—”
“Tidak ada jalan lain, Katie. Bagaimanapun juga kita harus melewati mereka untuk masuk
ke pengadilan. Aku tahu ini bukan keinginanmu, dan jelas juga bukan yang kuinginkan, tapi
kita tak punya pilihan lain.”
Katie memejamkan matanya sekejap sebelum keluar mobil. Aku tahu ia berdoa, dan aku
berharap dengan sia-sia bahwa semoga tadi ia berdoa pada Tuhan agar semua wartawan itu
kena wabah penyakit. Lalu, dengan keanggunan yang melebihi usianya, Katie keluar dan
meletakkan tangannya ke tanganku.
Kesadaran langsung menyeruak, setelah para reporter mengenali kapp dan celemek atie.
Kamera berpaling; pertanyaan membombardir kami seperti tombak. Aku bisa merasakan
Katie berjengit setiap kali lampu kilat berpijar; dan aku teringat pada lukisan Dorian Gray,
yang daya hidupnya makin menyusut. Kebingungan, Katie menundukkan wajahnya dan
memercayaiku untuk menggandengnya menaiki tangga. “Tidak ada komentar,” teriakku,
membelah para reporter seperti haluan kapal besar menarik Katie di belakangku.
Setelah beberapa kali ke sini, aku kenal gedung ini dengan cukup baik, jadi aku langsung
membawa Katie ke toilet terdekat. Setelah mengecek semua kamar kecil untuk memastikan
semuanya kosong, aku bersandar di pintu untuk mencegah orang lain masuk. “Kau baik-baik
saja?”
Katie gemetaran, dan matanya membelalak kebingungan, tapi ia mengangguk. “Ja. Cuma
aku tidak menyangka itu akan terjadi.”
Itu juga bukan yang kuharapkan, dan aku punya kewajiban untuk mengatakan padanya
bahwa semua akan menjadi lebih baik kembali, tapi aku malah mengambil napas panjang,
dan jauh di dalam paru-paruku, aku merasakan aroma ketakutan Katie.
129
Kudorong Katie menjauh, kemudian berlari ke toilet terdekat dan muntah hingga tak ada
yang tersisa di perutku.
Aku berlutut, dengan wajah terbakar dan panas, aku menempelkan dahiku ke dinginnya
dinding fiberglass toilet. Dengan napas pendek-pendek, aku bisa bertahan, berbalik, dan
merobek tisu toilet untuk mengusap mulutku.
Tangan Katie menekan bahuku. “Ellie, apa kau baik-baik saja?”
Gugup, pikirku, tapi aku tak akan mengakuinya di depan klienku. “Pasti aku salah makan,”
kataku, memberikan senyumku yang tercerah pada Katie dan beranjak berdiri. “Nah. Ayo
kita pergi.”

Tangan Katie mengusap-usap kayu bepernis di meja pembela. Ada beberapa tempat di
pinggirnya yang terkelupas oleh tangan-tangan terdakwa sebelumnya yang duduk di tempat
yang sama dengannya sekarang. Aku bertanya-tanya berapa banyak dari semua terdakwa itu
yang benar-benar tak bersalah?
Ruang sidang, sebelum persidangan, sama sekali berbeda dengan keheningan dan
ketenangan yang sering diperlihatkan di acara TV tentang hukum. Kebalikannya, menjelang
sidang, ruang sidang sangat sibuk: juru tulis mencari-cari berkas, panitera membuang ingus
di saputangan berbintik, orang-orang di tempat pengunjung membicarakan headline berita
dengan membawa kopi dalam cangkir styrofoam. Hari ini keributan lebih dari biasanya, dan
kau bisa mendengar beberapa kalimat dengan jelas di antara suara ribut. Kebanyakan
percakapan itu melibatkan Katie, yang dipamerkan di meja pembela seperti binatang di
kebun binatang, jauh dari habitat alaminya, dan menjadi sasaran rasa ingin tahu orang lain.
“Katie,” kataku pelan, dan ia terlompat kaget.
“Kenapa belum dimulai?”
“Masih terlalu awal.” Sekarang tangan Katie tersembunyi di balik celemeknya, matanya
memandang ke kesibukan di ruang sidang. Pandangannya berhenti di George Callahan, di
meja penuntut sekitar dua meter dari meja kami.
“Dia terlihat ramah,” gumamnya.
“Dia tak akan ramah. Tugasnya adalah membuat juri percaya tentang semua hal buruk yang
akan dia katakan tentangmu.” Aku ragu, lalu memutuskan lebih baik Katie tahu apa yang
akan dihadapinya. “Ini akan sulit untuk kaudengar, Katie.”
“Kenapa?”
Aku berkedip padanya. “Mengapa akan sulit?”
“Tidak. Untuk apa dia berbohong tentangku? Mengapa juri harus percaya padanya dan
bukan padaku?”
Aku memikirkan tentang aturan bukti forensik, perbedaan antara menentukan motif dan
mengarang cerita bohong, profil psikometrik yang ditulis tentang juri—semua keanehan
yang tak akan dimengerti Katie. Bagaimana kau menjelaskan pada seorang gadis Amish
bahwa dalam persidangan, yang menang biasanya siapa yang punya cerita paling bagus?
“Beginilah cara kerja sistem hukum di dunia Inggris,” kataku. “Ini bagian dari permainan.”
“Permainan,” kata Katie pelan, mengendapkan kata itu di kepalanya. “Seperti football!” Ia
tersenyum padaku, mengingat percakapan kami dulu. “Permainan tentang kalah dan
menang, tapi kau dibayar.”
Aku merasa perutku mual lagi. “Yeah,” kataku. “Tepat sekali.”

“Semua harap berdiri; Yang Mulia Hakim Philomena Ledbetter memasuki ruang sidang!”
Aku berdiri dan memastikan Katie juga melakukan hal yang sama saat Hakim Ledbetter
masuk dair pintu samping ruang sidang. Hakim menaiki tangga ke podium, jubahnya
melambai di belakangnya. “Duduk.” Matanya memandang ke tempat pengunjung, menyipit
melihat sekumpulan wakil media di belakang. “Sebelum kita mulai kuingatkan sekali lagi
pada press bahwa kamera atau foto video dilarang di ruang sidang ini, dan kalau aku
melihat ada yang melanggar, aku akan melempar kalian semua keluar hingga akhir
persidangan ini.”
Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke Katie, memerhatikannya dalam diam sebelum bicara
paa penuntut umum. “Kalau penuntut sudah siap, silahkan mulai.”

George Callahan berjalan ke arah tempat duduk juri, seakan-akan ia ingin menjadi teman
dari setiap anggota juri. “Aku tahu apa yang kalian pikirkan,” katanya. “Ini adalah sidang
pembunuhan—jadi mana terdakwanya? Tentunya gadis Amish yang duduk di sana,
mengenakan celemek dan topi putihnya, tak mungkin membunuh lalat apalagi manusia.” Ia
menggeleng. “Kalian semua tinggal di wilayah ini. Kalian semua sering melihat orang Amish
dengan kereta kuda mereka dan di kios pertanian mereka. Kalau kau tak tahu banyak
tentang mereka, setidaknya kalian tahu bahwa mereka adalah kelompok sangat religius
yang menyendiri dan tidak membuat keributan. maksudku—kapan terakhir kali kalian
mendengar ada orang Amish yang didakwa melakukan kejahatan?”
“Itu terjadi tahun lalu. Saat ketenangan kehidupan Amish dihancurkan oleh dua remaja
Amish yang mengedarkan kokain. Dan hari ini, saat kalian mendengar bagaimana wanita
muda ini membunuh bayinya sendiri yang baru lahir dengan darah dingin.”
130
George mengusapkan tangannya di pagar yang membatasi tempat duduk juri.
“Mengejutkan, bukan? Sulit dipercaya ada ibu yang tega membunuh bayinya sendiri, apalagi
gadis yang terlihat sepolos gadis yang sedang duduk di sana. Nah, jangan terlalu dipikirkan.
Selama persidangan ini kalian akan mengetahui bahwa terdakwa bukannya tak bersalah—
bahkan ia terbukti seorang pembohong. Selama enam tahun, ia menyelinap dari rumah
pertanian orangtuanya untuk menginap di akhir pekan di kampus universitas, di sana ia
mengurai rambutnya, lalu memakai jins dan kaus ketat serta berpesta seperti anak remaja
lainnya. Ia berbohong tentang itu—seperti ia berbohong tentang fakta bahwa ia jadi hamil
karena pesta liar di akhir pekan itu; seperti ia berbohong tentang melakukan pembunuhan.”
Ia berpaling ke Katie, menekan gadis itu dengan tatapannya. “Jadi apa kebenarannya?
Kebenarannya adalah sekitar pukul dua dini hari pada tanggal sepuluh Juli, terdakwa
terbangun dengan kontraksi sebelum melahirkan. Kebenarannya adalah, dia bangun,
mengendap-endap ke gudang, dan diam-diam melahirkan seorang bayi laki-laki yang hidup.
Kebenarannya adalah dia tahu kalau bayi itu ditemukan, kehidupan yang dikenalnya selama
ini akan berakhir. Dia akan diusir dari rumah, dari gereja, dan dari komunitasnya. Jadi
kebenarannya, dia melakukan apa yang harus dia lakukan untuk menutupi kebohongannya—
ia dengan penuh tekad, sengaja dan direncanakan sebelumnya membunuh bayinya sendiri.”
George mengalihkan pandangan dari Katie dan kembali ke juri. “Saat kalian melihat
terdakwa, lihatlah di balik kostumnya. Kostum itulah yang dia ingin agar kalian lihat. Tetapi
lihatlah dia sebagai seorang wanita yang membekap bayi yang menangis hingga tewas. Saat
Anda mendengarkan terdakwa, perhatikan apa yang dia katakan. Tapi ingat apa yang keluar
dari mulutnya tak bisa dipercaya. Gadis Amish yang terlihat manis ini menyembunyikan
kehamilannya yang terlarang, membunuh bayi baru lahir dengan tangannya, dan menipu
semua orang di sekitarnya. Jangan biarkan dia menipu kalian.”
Juri terdiri atas delapan wanita dan empat pria, dan aku bertanya-tanya mana yang akan
memihak kami atau menentang kami. Wanita cenderung merasa simpati pada remaja yang
hamil sebelum menikah—tapi cenderung benci pada ibu yang membunuh bayinya. Yang lebih
penting, tentu saja adalah seberapa mau dua belas orang itu mencari kelemahan.
Aku meremas tangan Katie yang gemetaran di bawah meja pembela dan berdiri. “Mr.
Callahan ingin kalian percaya bahwa ada pihak di ruang sidang ini yang ahli dalam
mengatakan kebohongan. Dan kalian tahu? Dia benar. Tapi masalahnya, orang itu bukan
Katie Fisher. Tapi aku.” Aku mengangkat tanganku dan melambai riang. “Yap, bersalah
sesuai dakwaan. Aku seorang pembohong dan bisa dibilang aku lumayan pintar dalam hal
itu. Sangat pintar sehingga aku menjadi pengacara yang lumayan berhasil. Dan meskipun
aku tidak akan mengatai penuntut umum, aku yakin dia pernah sekali atau dua kali
membekokkan fakta.” Aku menaikkan alisku ke arah juri. “Kalian semua tentu pernah
mendengar leluconnya—aku tak perlu bercerita tentang pengacara pada kalian. Kami tak
hanya berbohong dengan baik, tapi kami dibayar untuk melakukannya.”
Aku bersandar di pagar tempat duduk juri. “Di lain pihak, Katie Fisher, tidak berbohong.
Kenapa aku yakin ini? Yah, karena sebenarnya hari ini rencananya aku ingin menggunakan
pembelaan berdasarkan kegilaan sementara. Aku sudah mendapatkan ahli yang akan
mengatakan di sini bahwa Katie Fisher tak sadar apa yang ia lakukan pada pagi saat ia
melahirkan. Tapi Katie tak memperbolehkanku. Dia bilang dia tidak gila, dan dia tidak
membunuh bayinya. Dan bahkan kalau pun itu berarti ia berisiko dipenjara, dia ingin kalian
para juri, mengetahui itu.”
Aku mengangkat bahu. “Jadi inilah aku, seorang pengacara, dipersenjatai senjata baru—
kebenaran. Itu saja yang akan kukatakan untuk melawan tuduhan penuntut umum:
kebenaran dan mungkin mata yang lebih jernih. Tak satu pun yang akan ditunjukkan Mr.
Callahan pada kalian merupakan bukti konklusif, dan itu punya alasan yang kuat—Katie
Fisher tidak membunuh bayinya. Setelah tinggal selama beberapa bulan dengannya dan
keluarganya, aku tahu sesuatu yang tidak diketahui Mr. Callahan—bahwa Katie Fisher adalah
seorang Amish luar-dalam. Kau tidak bisa “berakting” Amish seperti yang diindikasikan Mr.
Callahan. Kau harus hidup sebagai Amish. Kau adalah Amish. Selama persidangan ini; kalian
akan memahami kelompok yang kompleks dan cinta dalami ini, seperti aku. Remaja kota
mungkin melahirkan dan membuang bayinya di toilet, tapi wanita Amish tak akan
melakukan itu. Katie Fisher tidak melakukan itu.
131
“Sekarang, mari kita kaji beberapa poin yang sudah dikemukakan Mr. Callahan. Apakah
Katie berulang kali pergi ke universitas di kota? Ya, benar—lihat, aku mengatakan hal yang
sebenarnya pada kalian. Tapi yang tidak dikatakan penuntut umum adalah mengapa ia pergi
ke sana. Kakak Katie, satu-satunya saudara kandung Katie yang masih hidup, memutuskan
untuk meninggalkan gereja Amish dan belajar di universitas. Ayahnya, terluka oleh
keputusan itu, melarang kontak dengan putranya ini. Tapi keluarga adalah segalanya bagi
Katie, seperti bagi sebagian besar orang Amish, dan dia sangat merindukan kakaknya
sehingga dia mau mempertaruhkan apa pun untuk menemuinya. Jadi kalian lihat bahwa
Katie tidak berbohong. Dia mempertahankan cintanya pada sang kakak.”
“Mr. Callahan juga mengindikasikan bahwa Katie harus menyembunyikan kehamilannya atau
dia akan diusir dari keyakinannya. Tetapi, kalian akan tahu bahwa orang Amish sangat
pengampun. Bahkan kehamilan haram pun akan diterima oleh gereja, dan anak yang
terlahir akan tumbuh dengan lebih banyak cinta dan dukungan dibandingkan yang
ditemukan di banyak rumah di komunitas kita sendiri.”
Aku berpaling ke arah Katie yang memandangku dengan mata lebar dan berbinar. “Ini
membawaku ke poin terakhir yang dikemukakan Mr. Callahan: kalau begitu mengapa Katie
Fisher membunuh bayinya sendiri? Jawabannya sederhana. Dia tidak membunuh bayinya.”
“Hakim akan menjelaskan pada kalian bahwa untuk memvonis Katie, kalian harus
memercayai dakwaan tanpa ada keraguan. Saat persidangan ini berakhir, kalian akan punya
lebih dari sekadar keraguan beralasan, kalian akan mendapatkan banyak keraguan. Kalian
akan lihat bahwa penuntut umum tak akan bisa membuktikan bahwa Katie membunuh
bayinya. Mereka tak punya saksi langsung atas fakta itu. Mereka tak punya apa pun kecuali
spekulasi dan bukti meragukan.”
“Di lain pihak, aku akan menunjukkan pada kalian bahwa ada banyak cara kemungkinan
bayi itu mati.” Aku berjalan ke arah Katie, sehingga juri akan memandang aku dan dia.
“Aku akan menunjukkan pada kalian mengapa orang Amish tak melakukan pembunuhan.
Dan lebih penting lagi,” aku mengakhiri, “Aku akan membiarkan Katie Fisher mengatakan
kebenaran pada kalian.”

Tiga Belas
LIZZIE MUNRO tak pernah membayangkan bahwa suatu hari ia bersaksi melawan Amish yang
menjadi terdakwa pembunuhan. Gadis itu duduk di meja pembela di samping pengacaranya
yang terkenal, kepalanya tertunduk dan tangannya saling menangkup seperti patung-patung
Precious Moment yang suka dijajarkan ibunya di ambang jendela. Lizzie sendiri benci
patung-patung itu—setiap malaikan terlalu manis, dan setiap penggembala bermata terlalu
polos untuk dianggap serius. Demikian juga, saat memandang Katie Fisher, Lizzie mengalami
dorongan yang sangat kuat untuk mengalihkan pandangannya.
Maka ia pun memfokuskan pandangan pada George Callahan yang terlihat necis dengan
setelan gelapnya. “Bisakah kausebutkan nama dan alamatmu?” tanyanya.
“Elizabeth Grace Munro. 1313 Grand Street, Ephrata.”
“Di mana kau bekerja?”
“Di kepolisian kota East Paradise. Aku seorang sersan detektif.”
George bahkan tak perlu menanyakan itu; mereka sudah sangat sering melakukan
pembukaan ini sehingga Lizzie tahu apa yang akan ditanyakan selanjutnya. “Sudah berapa
lama kau bekerja sebagai detektif?”
“Enam tahun terakhir. Sebelum itu aku menjadi petugas patroli selama lima tahun.”
“Bisakah kauceritakan pada kami sedikit tentang pekerjaanmu, Detektif Munro?”
Lizzie bersandar di kursi saksi—yang baginya merupakan tempat yang nyaman. “Sebagian
besar pekerjaanku mengusut kasus kejahatan di East Paradise.”
“Kira-kira seberapa banyak?”
“Yah, tahun kemarin ada sekitar lima belas ribu telepon totalnya. Dari semua itu hanya
sedikit yang benar-benar kejahatan—sebagian besar hanya masalah perilaku.”
“Berapa banyak pembunuhan yang terjadi tahun lalu?”
“Tak satu pun,” jawab Lizzie.
“Dari lima belas ribu telepon itu, apakah banyak telepon yang membuatmu harus
mengunjungi rumah orang Amish?”
“Tidak,” kata Lizzie. “Orang Amish baru menelepon polisi kalau ada pencurian atau
perusakan pada properti, dan kadang-kadang kami harus menahan remaja Amish yang
mengganggu ketertiban, tapi biasanya hubungan mereka dengan otoritas penegak hukum
sangat minimal.”
“Detektif, bisakah kauceritakan pada kami apa yang terjadi di pagi tanggal 10 Juli?”
Lizzie menegakkan bahunya. “Aku sedang di markas ketika seseorang menelepon
melaporkan penemuan mayat bayi di gudang. Ambulans sudah dikirim ke sana, lalu aku juga
ke sana.”
“Apa yang kautemukan sesampainya kau di sana?”
132
“Saat itu sekitar pukul lima dua puluh pagi, menjelang fajar. Gudang itu milik seorang
Amish peternak sapi perah. Aku memasang garis polisi di pintu depan dan belakang untuk
mengamankan tempat kejadian. Aku pergi ke ruang penyimpanan tempat mayat bayi itu
ditemukan, dan bicara dengan petugas medis. Mereka mengatakan bayi itu baru lahir dan
prematur, dan tak bisa ditolong dengan pernapasan buatan. Aku mencatat nama empat
pria, Aaron dan Elam Fisher, Samuel Stolzfus dan Levi Esch. Aku bertanya apakah mereka
melihat sesuatu yang mencurigakan atau mereka sudah menyentuh sesuatu di gudang. Pria
termuda, Levi, adalah orang yang menemukan mayat bayi itu. Ia belum menyentuh apa pun
kecuali dua lapis selimut kuda di atas mayat bayi yang dibungkus kemeja anak laki-laki.
Aaron Fisher, pemilik pertanian, mengatakan bahwa gunting yang biasa digunakan untuk
memotong tali jerami hilang dari pasaknya dekat kandang sapi. Keempat pria itu
mengatakan padaku bahwa tak ada orang lain di gudang, dan tidak ada wanita di rumah itu
yang hamil.
“Setelah itu, aku berjalan ke kandang-kandang mencari petunjuk. Unit kriminal dari
kepolisian negara bagian juga dihubungi. Hampir tidak mungkin mencetak sidik jari dari
balok kayu yang kasar dan jerami, dan sidik jari yang ditemukan cocok dengan setiap
anggota keluarga yang memang biasa pergi ke gudang itu.”
“Pada titik itu apakah kau sudah mencurigai adanya kejahatan?”
“Tidak. Aku tidak mencurigai apa pun, kecuali bahwa mayat bayi itu mungkin dibuang.”
George mengangguk. “Teruskan.”
“Akhirnya, kami menemukan tempat bayi itu lahir—di pojok kandang sapi yang bunting ada
jerami segar yang baru disebarkan untuk menutupi darah kering. Di tempat mayat bayi itu
ditemukan, kami menemukan jejak kaki di lantai tanah.”
“Apakah kau mendapatkan sesuatu dari jejak kaki itu?”
“Jejak kaki itu adalah jejak kaki telanjang seorang wanita yang mengenakan sepatu ukuran
tujuh.”
“Apa yang kaulakukan kemudian?”
“Aku mencoba menemukan wanita yang telah melahirkan. Awalnya aku mewawancarai istri
Aaron Fisher, Sarah. Ternyata dia pernah menjalani operasi pengangkatan rahim sekitar
sepuluh tahun lalu, dan tak bisa lagi punya anak. Aku menanyai tetangga terdekat dan dua
anak gadis mereka, yang semuanya punya alibi. Ketika aku kembali ke pertanian, putri
keluarga Fisher, Katie, sudah berada di bawah. Bahkan, ia pergi ke tempat penyimpanan di
gudang tempat petugas medis sedang menangani mayat bayi itu.”
“Apa reaksinya?”
“Dia sangat terganggu,” kata Lizzie. “Dia lari keluar gudang.”
“Apa kau mengikutinya?”
“Ya. Aku berhasil mengejarnya di beranda. Aku bertanya pada Ms. Fisher apakah dia hamil,
dan dia menyangkalnya.”
“Apakah itu membuatmu curiga?”
“Sama sekali tidak. Itu juga yang dikatakan orangtuanya padaku. Tapi lalu aku melihat ada
darah mengalir turun di kakinya dan menggenang di lantai. Meskipun enggan, aku memaksa
agar dia dibawa dengan ambulans ke rumah sakit untuk keselamatannya sendiri.”
“Saat itu apa yang kaupikirkan?”
“Bahwa gadis ini membutuhkan perawatan medis. Tapi kemudian aku bertanya-tanya
mungkin orangtua terdakwa tak pernah tahu dia hamil—mungkin dia menyembunyikan
kehamilannya dari mereka seperti ia berusaha menyembunyikannya dariku.”
“Bagaimana kau tahu ia menyembunyikan kebenaran?” tanya George.
“Aku pergi ke rumah sakit dan bicara pada dokter yang menangani terdakwa. Dokter itu
membenarkan bahwa ia telah melahirkan bayi, dan sekarang dalam kondisi kritis, dan harus
segera ditangani untuk menghentikan pendarahan dari vaginanya. Begitu aku tahu dia
berbohong padaku tentang kehamilannya, aku meminta surat perintah untuk menggeledah
pertanian dan rumah, serta mendapatkan tes darah dan DNA dari bayi dan terdakwa.
Langkah selanjutnya adalah mencocokkan darah di jerami dengan darah terdakwa, dan
darah di tubuh bayi dengan darah terdakwa, juga tipe darah bayi dengan darah terdakwa.”
“Informasi apa yang kaudapatkan dari surat perintah itu?”
“Di bawah ranjang terdakwa kami menemukan gaun malam berlumuran darah. Di lemarinya
ada bot dan sepatu berukuran tujuh. Dan semua tes laboratorium secara positif
menghubungkan darah di gudang dengan darah terdakwa, demikian juga tes darah pada
bayi juga positif terkait dengan terdakwa.”
“Apa yang kaupikir dari semua itu?”
Lizzie memandang sekilas ke Katie Fisher. “Meskipun dia menyangkal, terdakwa adalah ibu
bayi itu.”
“Pada titik itu, apakah kau percaya bahwa terdakwa telah membunuh bayinya?”
“Tidak. Pembunuhan jarang terjadi di East Paradise, dan tak pernah terjadi di komunitas
Amish. Pada titik itu, aku percaya bahwa bayi itu lahir mati. Tapi kemudian petugas medis
mengirimkan laporan autopsi, dan aku harus mengubah kesimpulanku.”
“Mengapa?”
133
“Yah, alasan pertama, bayi itu lahir hidup. Alasan kedua, tali pusarnya telah dipotong
dengan gunting—yang membuatku teringat pada gunting yang dilaporkan hilang oleh Aaron
Fisher, gunting yang darinya mungkin kami bisa memperoleh sidik jari. Bayi iut mati karena
kekurangan oksigen, tapi petugas medis menemukan serat di dalam mulut bayi yang cocok
dengan kemeja yang digunakan membungkusnya, mengindikasikan bahwa dia telah dibekap.
Saat itulah aku menyadari bahwa terdakwa adalah tersangka potensial.”
Lizzie meneguk air dari gelas yang terletak di meja depan kursi saksi. “Setelah itu aku
mewawancarai semua orang yang dekat dengan terdakwa, dan terdakwa sendiri. Ibu
terdakwa membenarkan bahwa anak bungsunya meninggal bertahun-tahun lalu, dan dia
sama sekali tak tahu putrinya hamil—dan tak punya alasan untuk curiga. Ayah terdakwa tak
mau bicara padaku. Aku juga mewawancarai Samuel Stolzfus, salah satu pekerja di
pertanian dan kebetulan kekasih terdakwa. Dari dia, aku tahu bahwa dia berencana
menikahi terdakwa musim gugur tahun ini. Dia juga bilang terdakwa tak pernah
berhubungan seksual dengannya.”
“Apa yang kaupikirkan dari semua itu?”
Alis Lizzie naik. “Awalnya aku bertanya-tanya mungkinkah Samuel tahu Katie Fisher tak
setia padanya—dan apakah dia membekap bayi itu sebagai balas dendam. Tapi Samuel
Stolzfus tinggal lima belas kilometer dari pertanian itu dengan orangtuanya, yang
membenarkan bahwa anaknya tidur di rumah pada waktu perkiraan kematian bayi itu
terjadi. Lalu aku mulai berpikir bahwa hipotesisku terbalik—bahwa informasi yang kudapat
sebenarnya mengarah ke terdakwa sendiri. Maksudku, ini motifnya: gadis Amish, orangtua
Amish, pacar Amish—dan dia dihamili orang lain? Itu adalah alasan kuat untuk merahasiakan
kelahiran bayinya, atau bahkan menyingkirkannya.”
“Apa kau mewawancarai orang lain?”
“Ya, Levi Esch, pembantu pertanian lainnya. Dia bilang terdakwa sering pergi diam-dian ke
Penn State selama enam tahun terakhir untuk bertemu kakaknya. Jacob Fisher tidak tinggal
sebagai orang Amish lagi, tapi seperti mahasiswa biasa.”
“Mengapa ini relevan?”
Lizzie tersenyum. “Jauh lebih mudah bertemu pria yang bukan pacar Amish-mu ketika dunia
baru berada di ujung jarimu—dunia dengan minuman keras, pesta mahasiswa, dan
Maybelline.”
“Apa kau juga bicara dengan Jacob Fisher?”
“Ya. Dia membenarkan kunjungan rahasia terdakwa dan bilang dia tidak tahu tentang
kehamilan adiknya. Dia juga bilang bahwa alasan terdakwa mengunjunginya tanpa setahu
ayah mereka adalah karena Jacob tidak diterima lagi di rumah.”
George pura-pura bingung. “Mengapa?”
“Kaum Amish tak lagi sekolah setelah lulus kelas delapan, tapi Jacob ingin meneruskan
pendidikannya. Pelanggaran terhadap aturan itu membuatnya diasingkan dari gereja Amish.
Aaron Fisher mempertegas hukuman itu satu langkah lebih jauh, dan mengusir Jacob. Sarah
Fisher mengikuti keinginan suaminya, tapi mengirim putrinya untuk mengunjungi Jacob
diam-diam.”
“Bagaimana hal ini memengaruhi pikiranmu tentang kasus ini?”
“Tiba-tiba,” kata Lizzie, “semua menjadi lebih jelas. Kalau aku jadi terdakwa, dan aku
tahu bahwa kakakku diasingkan hanya karena ingin belajar, aku akan sangat hati-hati agar
tidak melanggar aturan. Kau bisa bilang aku gila, tapi melahirkan bayi di luar nikah
merupakan pelanggaran hukum yang lebih berat dibandingkan membaca karya Shakespeare.
Itu artinya, kalau terdakwa tidak bisa menyembunyikan apa yang telah terjadi, dia akan
diusir dari rumah dan keluarganya, juga gerejanya. Jadi dia menyembunyikan kehamilannya
selama tujuh bulan. Lalu, dia melahirkan—dan menyembunyikannya juga.”
“Apakah kau berhasil mengetahui siapa ayah bayi itu?”
“Tidak.”
“Apa kau mempertimbangkan kemungkinan tersangka lain, selain terdakwa?”
Lizzie menarik napas panjang. “Kau tahu, aku sudah mencoba. Tetapi banyak hal yang tidak
cocok. Kelahiran itu terjadi dua setengah bulan lebih awal dari waktu normal, di tempat
yang tidak ada telepon dan listrik—yang artinya tak seorang pun mungkin menelepon, atau
mengetahuinya, kecuali mereka tinggal di pertanian dan mendengar terdakwa melahirkan.
Sedangkan kemungkinan adanya orang asing yang lewat, seberapa besar kemungkinan
seseorang muncul tak diundang pada jam dua pagi di pertanian Amish? Dan kalau muncul
orang asing, mengapa ia membunuh bayi itu? Dan mengapa terdakwa tidak mengatakannya?
“Jadi yang tertinggal hanyalah anggota keluarga. Tapi hanya satu dari mereka yang
berbohong tentang kehamilan dan kelahiran bayi itu di depanku. Karena hanya satu dari
mereka yang mempertaruhkan hal yang sangat besar kalau berita tentang bayi itu tersebar.
Dan hanya satu dari mereka yang menurut bukti ada di tempat kejadian.”
134
Lizzie melihat sekilas ke meja terdakwa. “Menurut pendapatku, fakta jelas menunjukkan
bahwa Katie Fisher membekap bayinya hingga tewas.”
Saat Ellie Hathaway berdiri untuk melakukan pemeriksaan silang, Lizzie menegakkan
bahunya. Ia mencoba mengingat apa yang dikatakan George tentang kekejaman pengacara
itu, kemampuannya mengorek jawaban dari saksi paling keras kepala sekalipun. Dari apa
yang ia lihat, Lizzie sama sekali tak meragukan perkataan George. Lizzie bisa menjaga diri
berada di antara pria di kantornya, tapi rambut pendek Ellie Hathaway dan stelannya yang
kaku membuatnya terlihat seakan-akan sisi lunak dari kepribadiannya sudah sejak lama
hilang.
Karena itulah Lizzie hampir terjatuh dari kursinya, saat pengacara itu mendekatinya dengan
senyum yang manis dan ramah. “Apa kau tahu aku dulu suka menghabiskan musim panas di
sini?”
Lizzie mengedipkan mata. “Di pengadilan?”
“Tidak,” Ellie tertawa, “berlawanan dengan apa yang dipercayai orang. Maksudku di East
Paradise.”
“Aku tak tahu itu,” kata Lizzie kaku.
“Yah, bibiku tinggal di sini. Dulu dia punya tanah pertanian kecil.” Ia meringis. “Tapi itu
sebelum pajak real estat naik setingi menara seluler baru.”
Mendengar itu, Lizzie terkikik. “Karena itulah aku mengontrak.”
“Yang Mulia,” George memotong, memberikan pandangan menegur pada saksi. “Saya yakin
juri tak perlu mendengar Ms. Hathaway bernostalgia.”
Hakim mengangguk. “Apa ini ada maksudnya, pengacara?”
“Ya, Yang Mulia. Alasannya adalah kalau kau tumbuh besar di sini, kau terbiasa melihat cara
hidup orang Amish.” Ellie menoleh ke Lizzie. “Benar begitu?”
“Ya.”
“Kau bilang kau tak banyak menangkap orang Amish. Kapan terakhir kalinya?”
Lizzie mengingat-ingat. “Sekitar lima bulan lalu. Seorang remaja tujuh belas tahun yang
keretanya masuk ke selokan karena mabuk.”
“Dan sebelum itu? Sudah berapa lama?”
Lizzie mencoba, tapi tak bisa mengingatnya. “Aku tak tahu.”
“Tapi cukup lama?”
“Kurasa begitu,” Lizzie mengaku.
“Dalam keseharianmu... baik profesional maupun pribadi... apakah menurutmu orang Amish
adalah orang yang lembut?”
“Ya.”
“Apa kau tahu apa yang terjadi saat gadis Amsih yang belum menikah punya bayi?”
“Aku dengar mereka merawat anaknya,” kata Lizzie.
“Itu benar, dan Katie tak akan diasingkan—hanya diisolasi untuk sementara. Lalu dia akan
diampuni dan diterima lagi dengan tangan terbuka. Jadi di mana motifnya untuk
membunuh?”
“Dalam tindakan ayahnya,” jelas Lizzie. “Ada banyak cara menyiasati pengasingan kalau
kau ingin tetap berhubungan dengan anggota keluarga yang telah meninggalkan gereja, tapi
Aaron Fisher tak mau melakukannya saat dia mengusir putranya. Fakta itu selalu
menghantui terdakwa, setiap saat.”
“Kukira tadi kau tidak mewawancarai Mr. Fisher.”
“Memang tidak.”
“Ah,” kata Ellie. “Jadi sekarang kau jadi cenayang?”
“Aku mewawancarai putranya,” jawab Lizzie.
“Berbicara pada anak tidak akan membuatmu tahu apa yang ada di pikiran ayahnya. Sama
seperti melihat bayi yang mati tidak berarti kau tahu bahwa ibunya yang membunuhnya,
benar bukan?”
“Keberatan!”
“Kutarik kembali,” kata Ellie tenang. “Menurutmu aneh tidak seorang wanita Amish
didakwa membunuh?”
Lizzie melihat ke arah George. “Memang tidak biasa. Tapi faktanya, itu terjadi.”
“Benarkah? Bukti ilmiahmu mengonfirmasikan Katie memang melahirkan bayi itu. Itu tak
bisa dibantah. Tapi apakah dengan melahirkan bayi berarti juga dia membunuh bayi itu?”
“Tidak.”
“Kau juga menyebutkan bahwa kau menemukan jejak kaki di lantai tahanh dekat tempat
mayat bayi itu ditemukan. Menurutmu, jejak kaki itu mengaitkan Katie dengan
pembunuhan itu?”
“Ya,” kata Lizzie. “Karena kami tahu dia memakai sepatu ukuran tujuh. Memang bukan
bukti langsung yang meyakinkan, tapi jelas mendukung teori kami.”
“Apakah ada bukti bahwa jejak kaki itu memang jejak kaki Katie?”
Lizzie bersidekap. “Tidak secara pasti.”
“Aku mengenakan sepatu ukuran tujuh, Detektif Munro. Jadi secara teoritis, bisa saja
kakiku yang membuat jejak kaki itu, benar?”
“Kau tidak di gudang pagi itu.”
“Apa kau tahu bahwa sepatu ukuran tujuh wanita dewasa juga kira-kira sama dengan
ukuran lima untuk sepatu anak?”
“Aku tidak tahu.”
“Apakah kau tahu kalau Levi Stoltzfus mengenakan sepatu ukuran lima?”
Lizzie tersenyum kaku. “Aku tahu sekarang.”
“Apakah Levi bertelanjang kaki saat kau tiba di pertanian?”
“Ya.”
“Apakah Levi, dari pengakuannya sendiri, berdiri di lantai dekat tumpukan selimut itu
untuk mengambil baju saat dia menemukan mayat bayi itu?”
“Ya.”
“Jadi mungkinkah bahwa jejak kaki yang kaucetak untuk menjadi bukti bahwa Katie
melakukan pembunuhan sebenarnya merupakan jejak kaki orang lain yang ada di tempat itu
tanpa tahu di situ ada mayat?”
“Memang mungkin.”
135
“Baiklah,” kata Ellie. “Kau bilang tali pusarnya dipotong dengan gunting.”
“Gunting yang hilang,” potong Lizzie.
“Kalau seorang gadis akan membunuh bayinya, Detektif, apakah dia akan repot-repot
memotong tali pusarnya?”
“Aku tidak tahu.”
“Bagaimana kalau kukatakan bahwa menekan dan memotong tali pusar memicu refleks yang
membuat bayi bernapas sendiri? Apakah masuk akan melakukan itu, kalau kau akan
membekap bayi itu beberapa menit kemudian?”
“Kurasa tidak,” jawab Lizzie tenang, “tapi, aku ragu kalau kebanyakan orang tahu bahwa
memotong tali pusar mendorong bayi bernapas. Lebih mungkin itu adalah tahap proses
kelahiran yang pernah mereka lihat di TV. Atau dalam kasus ini, dari melihat binatang
ternak.”
Dikalahkan selangkah, Ellie mundur untuk mencoba taktik baru. “Kalau seorang gadis ingin
membunuh bayinya, bukankah lebih mudah menutupinya dengan jerami dan
membiarkannya mati dengan sendirinya?”
“Mungkin.”
“Tetapi bayi ini ditemukan sudah bersih, dan dibungkus dengan kasih sayang, Detektif, ibu
pembunuh mana yang membersihkan dan membedong bayinya?”
“Aku tidak tahu. Tapi itu terjadi,” kata Lizzie kaku.
“Itu membuatku memikirkan hal lain,” lanjut Ellie. “Menurut teorimu, Katie
menyembunyikan kehamilannya selama tujuh bulan lalu menyelinap ke gudang untuk
melahirkan bayi diam-diam—berusaha untuk merahasiakannya agar orang-orang tak tahu
tentang keberadaan bayi itu baik saat dalam kandungan ataupun saat keluar. Jadi untuk apa
dia meninggalkan bayi itu di tempat yang dia tahu pasti akan dipenuhi orang-orang yang
akan memerah susu beberapa jam kemudian? Mengapa dia tidak membuang bayi itu di
kolam di belakang gudang?”
“Aku tidak tahu.”
“Atau di tumpukan pupuk kandang, dimana dia takkan cepat ditemukan?”
“Aku tidak tahu.”
“Ada banyak tempat di pertanian Amish itu untuk membuang mayat bayi dengan lebih
pintar dan aman dibandingkan di bawah tumpukan selimut.”
Mengangkat bahu, Lizzie menjawab. “Tak seorang pun mengatakan terdakwa pintar. Dia
hanya melakukan pembunuhan.”
“Pembunuhan? Kita bicara tentang hal-hal yang masuk akal di sini. Mengapa memotong tali
pusar, membuat bayi itu bernapas, membedongnya, membunuhnya—lalu meninggalkannya
di tempat yang pasti akan ditemukan?”
Lizzie menghela napas. “Mungkin dia tidak berpikir jernih.”
Ellie langsung menekannya. “Tetapi menurut dakwaan, kau mengatakan bahwa terdakwa
sadar akan tindakannya, bahwa dia merencanakannya, melakukannya dengan sengaja?
Apakah kau bisa melakukan dengan sadar dan bingung pada saat yang bersamaan?”
“Aku bukan psikiater, Ms. Hathaway. Aku tidak tahu.”
“Tidak,” kata Ellie penuh makna. “Kau tak tahu.”

Saat Katie dan Jacob kecil, mereka sering bermain bersama di ladang, berlarian di antara
ladang jagung pada musim panas, seakan-akan barisan tanaman jagung itu sebuah labirin.
Mengagumkan, betapa barisan jagung itu bisa menjadi dinding hijau yang tebal, sehingga ia
bisa berada hanya tiga meter dari kakaknya di sisi lain namun tak diketahuinya.
Suatu kali, saat ia berumur sekitar delapan tahun, Katie tersesat. Ia bermain ikuti
pemimpin, tapi Jacob meninggalkannya dan menghilang. Katie memanggil-manggilnya, tapi
kakaknya menggodanya hari itu dan tak mau datang. Ia berjalan berputar-putar, hingga
lelah dan haus, dan akhirnya ia berbaring telentang di tanah. Ia mengintip di antara
dedaunan jagung dan merasa aman mengingat fakta bahwa ini adalah matahari yang sama,
langit yang sama, dan dunia yang sama tempat ia bangun pagi. Dan akhirnya, karena
merasa bersalah, Jacob datang mencarinya.
Duduk di meja pembela, dengan hujan kata-kata menjatuhinya seperti badai, Katie ingat
pada hari ia tersesat di ladang jagung itu.
Semua hal akan berjalan baik dengan sendirinya, kalau kau membiarkannya berjalan sesuai
alurnya.

“Pasien dibawa ke UGD dengan pendarahan di vagina, dan tes kehamilan lewat urine
terbukti positif. Rahimnya mengembang sesuai ukuran janin sekitar dua puluh empat
minggu, dan mulut rahim terbuka,” kata Dr. Seaborn Blair. “Kami memberinya transfusi
pitocin untuk menghentikan pendarahan. Dan tes BSU mengonfirmasikan bahwa pasien
hamil.”
“Apakah pasien kooperatif saat dirawat?” tanya George.
“Seingatku tidak,” jawab Dr. Blair. “Dia sangat tidak senang ketika menjalani pemeriksaan
panggul—meskipun kami sering mengalaminya saat memeriksa wanita muda dari daerah
pedalaman.”
“Setelah Anda merawat terdakwa, apakah Anda sempat berbicara padanya?”
“Ya. Tentu saja, pertanyaan pertamaku, adalah tentang bayinya. Sudah jelas Ms. Fisher
baru saja melahirkan, namun dia tidak dibawa dengan bayinya.”
“Apa penjelasan terdakwa?”
Dr. Blair memandang Katie. “Dia bilang dia tak punya bayi.”
136
“Ah,” kata George. “Yang kau tahu itu secara medis itu tak benar.”
“Betul.”
“Apakah Anda menanyainya lebih jauh?”
“Ya, tapi dia tak mau mengakui kehamilannya. Pada titik itu, aku menyarankan konsultasi
psikiater.”
“Apakah seorang psikiater pernah memeriksa terdakwa saat di rumah sakit?”
“Setahuku tidak,” kata dokter. “Pasien tak menghendakinya.”
“Terima kasih,” kata George. “Saksimu.”
Ellie mengetuk-ngetukkan jarinya di meja pembela untuk sesaat, lalu berdiri. “Rahim
mengembang. BSU positif, pendarahan, dan pemeriksaan panggul. Apakah semua hasil ini
membuat Anda percaya Katie melahirkan bayi?”
“Ya.”
“Apakah semua pengamatan ini membuat Anda percaya Katie membunuh bayinya?”
Dr. Blair kembali memandang Katie. “Tidak,” jawabnya.

Dr. Carl Edgerton telah menjadi pemeriksa koroner di Lancaster County selama lebih dari
lima belas tahun dan penampilannya sangat sesuai untuk peran itu, alis tebal, dahi botak,
rambut putih yang memanjang di bagian belakang kepalanya. Ia telah mengikuti ratusan
persidangan dan mengikuti semua sidang itu dengan ekspresi sedikit sinis, seakan-akan
mengatakan ia lebih suka kembali ke laboratoriumnya. “Dokter,” kata penuntut umum,
“bisakah Anda beritahu kami hasil autopsi Bayi Fisher?”
“Ya. Bayi laki-laki terlahir hidup, prematur, dan tanpa cacat bawaan. Ada bukti
chorioaminionitis akut, juga meconium aspiration dan gejala pneumonia. Ada banyak
indikasi terjadinya asphyxia perinatal. Selain itu, ada perioral ecchymoses dan serat katut
dalam mulut yang cocok dengan kemeja yang membungkusnya.”
“Mari kita uraikan sedikit agar kami yang tidak kuliah kedokteran bisa mengerti,” kata
George, tersenyum pada juri. “Ketika Anda mengatakan bayi itu prematur dan terlahir
hidup, apa artinya itu?”
“Bayi itu tidak dikandung hingga usia kehamilan normal. Usia rangkanya cocok dengan usia
janin tiga puluh dua minggu.”
“Dan lahir hidup?”
“Kebalikan dari lahir mati. Paru-paru bayi itu berwarna pink dan berisi udara. Sampel dari
paru-paru, dan sampel kontrol dari hati, direndam di air. Jaringan paru-paru mengembang,
sementara jaringan hati tenggelam—itu mengindikasikan bayi itu terlahir hidup dan sempat
menghirup udara.”
“Bagaimana dengan tidak adanya cacat bawaan—mengapa itu penting?”
“Bayi itu kemungkinan besar akan hidup. Juga tidak ada gejala penyimpangan kromosom
dan tidak ada bukti penyalahgunaan obat—semua penemuan negatif yang penting.”
“Dan chorioamnionitis-nya?”
“Pada dasarnya, infeksi pada ibulah yang menyebabkan kelahiran prematur. Pemeriksaan
tambahan pada plasenta tidak menunjukkan adanya gejala penyebab umum kelahiran
prematur. Penyebab chorioamnionitis tidak teridentifikasi karena jaringan janin dan
plasenta terkontaminasi.”
“Dari mana Anda tahu itu?”
“Penyelidikan mikrobiologi menunjukkan adanya diptheroid—kontaminan umum—di jaringan
janin. Plasenta jarang steril setelah kelahiran normal, apalagi plasenta yang ini tergeletak
di gudang selama beberapa saat sebelum bisa diambil.”
George mengangguk. “Dan apa itu asphyxia?”
“Kekurangan oksigen, yang akhirnya menyebabkan kematian. Petechiae—pendarahan kecil—
terlihat di permukaan paru-paru, thymusi, dan pericardium. Pendarahan subarachnoid kecil
ditemukan di otak. Di hati terdapat jejak-jejak necrosis hepatocytes. Penemuan ini
kedengarannya sangat eksotis, tapi sering ditemukan pada asphyxia.”
“Bagaimana dengan ecchymoses dan serat katun?”
“Dalam bahasa awam, ecchymoses adalah memar-memar kecil. Dalam diameter sekitar satu
hingga satu setengah sentimeter, di sekitar mulut. Pengambilan sampel mulut menghasilkan
serat yang cocok dengan kemeja pembungkus mayat bayi itu.”
“Dari dua pengamatan ini, apa yang terpikir oleh Anda?”
“Bahwa seseorang telah menyumpalkan kemeja itu ke mulut bayi dan berusaha
membekapnya.”
George membiarkan pernyataan itu mengendap. “Apakah tali pusarnya dianalisis?”
“Potongan tali pusar yang masih tersambung di perut bayi panjangnya sekitar dua puluh
sentimeter, tanpa adanya penjepit ataupun pengikat, meski ujung tali pusar saling
menempel seakan-akan sempat ditekan selama beberapa waktu. Serat yang ditemukan di
sisa tali pusar dikirim ke Pelacakan Bukti untuk dianalisis dan cocok dengan pengikat jerami
yang ditemukan di gudang. Potongan tali pusar tidak rata, ada potongan seratnya, dan
mengindikasikan robekan di bagian tengah.”
“Apakah itu penting?”
Dokter Edgerton mengangkat bahu. “Itu artinya apa pun yang digunakan untuk memotong
tali pusar, kemungkinan besar gunting retak di bagian mata pisaunya dan telah digunakan
untuk memotong pengikat jerami.”
137
“Dokter, berdasarkan semua ini, apakah Anda bisa menentukan penyebab kematian Bayi
Fisher?”
“Ya,” kata Edgerton. “Kekurangan oksigen karena dibekap.”
“Apa Anda bisa menentukan cara kematiannya?”
Pemeriksa koroner itu mengangguk. “Pembunuhan.”

Ellie menarik napas dalam-dalam, berdiri, dan mendekati pemeriksa koroner. “Dr. Edgerton,
apakah ecchymoses di sekitar mulut merupakan bukti konklusif kalau bayi itu dibekap?”
“Bukti bayi itu dibekap ada di banyak organ tubuh yang menunjukkan tanda-tanda
asphyxia.”
Elli mengangguk. “Maksud Anda, misalnya, petechiae di paru-paru. Tapi bukankah benar
kalau dari autopsi Anda tidak bisa menentukan kapan asphyxia terjadi? Contohnya, kalau
ada masalah dengan aliran darah dari plasenta sebelum atau selama kelahiran, bukankah
itu juga menyebabkan kekurangan oksigen pada janin, yang akan terlihat di autopsi?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau terjadi masalah dengan aliran darah dari plasenta setelah kelahiran?
Apakah itu juga akan menyebabkan gejala asphyxia?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau sang ibu mengalami pendarahan atau susah bernapas saat melahirkan?”
Petugas koroner itu berdeham. “Itu juga.”
“Bagaimana kalau paru-paru bayi itu belum tumbuh sempurna, atau kalau mengalami
sirkulasi buruk atau pneumonia—apakah itu juga menimbulkan bukti terjadinya asphyxia?”
“Ya, memang.”
“Dan kalau bayi itu tersedak lendirnya sendiri?”
“Ya.”
“Jadi asphyxia bisa disebabkan banyak hal selain bekapan dengan maksud membunuh?”
“Itu benar, Ms. Hathaway,” kata petugas koroner itu. “Asphyxia, dan adanya serat di sekitar
mulut dan serat katun yang ditemukan dalam mulutlah, yang membuatku mengambil
diagnosis tadi.”
Ellie tersenyum. “Mari kita bicara tentang itu. Apakah bukti memar itu membuktikan bahwa
seseorang membekap mulut bayi?”
“Memar itu mengindikasikan adanya tekanan,” kata Dr. Edgerton. “Simpulkan saja sendiri.”
“Yah, mari kita lakukan itu. Bagaimana kalau bayi itu dilahirkan kurang hati-hati, dan
terjatuh dengan wajah dulu di lantai gudang—apakah itu bisa menyebabkan memar?”
“Mungkin saja.”
“Bagaimana kalau ibunya buru-buru menangkap bayi itu saat ia jatuh saat lahir?”
“Mungkin,” dokter itu membenarkan.
“Dan serat di rongga mulutnya,” lanjut Ellie. “Mungkinkah serat itu berasal dari ibu yang
berusaha membersihkan lendir dari jalan napas bayi, untuk membantunya bernapas?”
Edgerton memajukan kepalanya. “Mungkin saja.”
“Di semua skenario alternatif tadi, apakah sang ibu bermaksud melukai bayinya?”
“Tidak, dia tak bermaksud melukai.”
Ellie berjalan ke arah tempat duduk juri. “Anda tadi menyebutkan sampel plasenta
terkontaminasi?”
“Ya. Jarak waktu antara kelahiran dan pengambilan jaringan plasenta membuat plasenta itu
menjadi tempat biakan bakteri.”
“Jaringan janin sudah terkontaminasi?”
“Itu benar,” kata Dr. Edgerton. “Oleh diphteroid.”
“Atas dasar apa Anda mengindentifikasikan... diptheroid ini?” tanya Ellie.
“Morfologi koloni dan tes Gram di sampel plasenta dan janin.”
“Apakah Anda melakukan analisis biokimia untuk meyakinan mereka memang benar
diphteroid?”
“Tidak perlu.” Dokter mengangkat bahu. “Apakah kau membaca kembali buku teksmu
sebelum setiap kasus, Ms. Hathaway? Aku sudah melakukan ini selama lima belas tahun.
Percayalah aku tahu bentuk diphteroid seperti apa.”
“Anda seratus persen yakin bahwa yang Anda lihat adalah diphteroid?” Ellie mendesak.
“Ya, aku yakin.”
Ellie tersenyum tipis. “Anda juga menyebutkan bahwa plasenta menunjukkan gejala
choriominionitis akut. Apakah benar chorioaminionitis dapat menyebabkan janin menghirup
air ketuban yang terinfeksi, sehingga janin menderita pneumonia di dalam uterus—yang
akhirnya dapat memunculkan septicemia dan kematian?”
“Sangat, sangat jarang.”
“Tapi apakah itu bisa terjadi?”
Pemeriksa koroner itu menghela napas panjang. “Ya, tapi kemungkinannya kecil sekali.
Jauh lebih realistis mengaitkan choriomnionitis dengan kelahiran prematur, daripada
penyebab kematian.”
“Tapi Anda tadi mengakui,” kata Ellie, “hasil autopsi menunjukkan adanya gejala awal
pneumonia.”
“Itu benar, tapi tidak terlalu parah sehingga menyebabkan kematian.”
“Menurut laporan autopsi, meconium ditemukan di udara dalam paru-paru. Bukankah itu
tanda bayi itu mengalami masalah?”
“Ya, kotoran janin—meconium—bercampur dengan air ketuban dan diisap ke paru-paru. Itu
sangat menyakitkan dan bisa mengganggu pernapasan.”
Ellie berjalan mendekati saksi. “Anda baru saja memberikan dua alasan tambahan bahwa
bayi ini mungkin menderita gangguan pernapasan: gejala awal pneumonia, juga mengisap
kotorannya.”
“Ya.”
“Menurut kesaksian Anda, asphyxia adalah sebab kematian bayi ini?”
“Ya.”
138
“Benarkah bahwa pneumonia dan mengisap meconium—keduanya disebabkan sebab alami—
akan menyebabkan asphyxia?”
Dr. Edgerton terlihat geli, seakan-akan ia tahu apa yang sedang dilakukan Ellie. “Mungkin,
Ms. Hathaway. Kalau pembekapan bayi itu tidak membuatnya tewas.”

Ellie selalu menganggap konsep mesin penjual otomatis yang menjual sup panas dan kopi
sedikit mengesalkan—berapa lama cairan sup dan kopi itu sudah berada di sana? Bagaimana
mesin itu tahu untuk memberimu kopi nonkafein, dan bukannya sup ayam? Ia berdiri di
depan salah satu ruang bawah tanah pengadilan, berkacak pinggang, menunggu cangkir
styrofoam kecil keluar dengan kopi panas menguap.
Tapi tak ada yang terjadi.
“Ayolah,” gumamnya kesal, menendang bagian bawah mesin penjual otomatis itu. Ia
mengangkat tinjunya dan meninju Plexiglass keras-keras. “Ayolah, itu tadi lima belas sen,”
katanya, lebih keras.
Sebuah suara di belakangnya mengagetkan Elli. “Ingatkan padaku agar jangan pernah
meminjam uang padamu,” kata Coop, tangannya memegang kedua bahu Ellie, bibirnya
menyentuh bagian belakang leher Ellie ringan.
“Seharusnya mesin-mesin ini dipelihara,” gumam Ellie kesal membalikkan badan
membelakangi mesin itu. Seakan-akan mendengar, mesin itu mulai menyemprotkan kopi
panas tanpa cangkir, menyiram sepatu dan pergelangan kaki Ellie.
“Sialan!” teriaknya, melompat menyingkir, lalu mengamati noda cokelat di stokingnya.
“Oh, hebat.”
Coop duduk di kursi logam dekat situ. “Saat aku masih kecil nenekku suka mencoba agar
terjadi kecelakaan. Menyenggol botol susu dengan sengaja, terpeleset kakinya sendiri,
mencipratkan air ke blusnya.”
Membersihkan pergelangan kakinya, Ellie berkata, “Tak heran kau jadi psikiater.”
“Sangat masuk akal, sebenarnya, kalau kau percaya takhayul. Kalau dia harus melakukan
sesuatu yang penting, dia ingin membuang kesialan terlebih dulu. Lalu dia akan bebas dari
kesialan sepanjang hari.”
“Kau tentu tahu caranya tidak seperti itu.”
“Apa kau yakin?” Coop menyilangkan kakinya. “Bukankah menyenangkan bila tahu apabila
kau sudah mengalami kesialan ini, kau bisa masuk ke ruang sidang dan tak membuat
kesalahan?”
Ellie duduk di sampingnya dan mengeluh. “Apa kau tahu dia gemetaran?” Ellie melipat tisu
yang digunakannya untuk membersihkan noda kopi jadi dua, lalu melipatnya lagi, kemudian
meletakkan tisu itu di lantai di sebelah kursinya. “Aku bisa merasakan dia gemetaran di
sebelahku, seperti garpu tala.”
“Kau mau aku bicara padanya?”
“Aku tak tahu,” kata Ellie. “Aku takut membicarakannya malah akan membuatnya lebih
takut.”
“Secara psikologis—”
“Tapi kita tidak bicara secara psikologis, Coop. Kita bicara secara hukum. Dan hal yang
paling penting adalah membuatnya bisa menjalani sidang ini tanpa hancur.”
“Sejauh ini kau melakukannya dengan baik.”
“Aku belum melakukan apa pun!”
“Ah, sekarang aku mengerti. Kalau Katie gugup hanya karena mendengarkan kesaksian
orang lain, apa yang akan terjadi saat dia duduk di kursi saksi nanti?” Coop mengelus
punggung Ellie lembut. “Kau pastinya pernah menangani klien yang penggugup.”
“Tentu.”
“Kau—” Coop terdiam saat seorang pengacara lain masuk ke ruangan, mengangguk menyapa
mereka, dan memasukkan uang logam ke mesin penjual kopi otomatis. “Hati-hati,” Coop
memperingatkan. “Benda itu belum dilatih ke toilet.”
Di sampingnya, Ellie berusaha menelan kembali tawanya. Pengacara itu menendang mesin
yang rusak, mengumpat, dan berjalan menaiki tangga lagi. Ellie tersenyum pada Coop.
“Trims. Aku butuh itu.”
“Bagaimana dengan ini?” tanya Coop, mencondongkan tubuh untuk menciumnya.
“Kau jangan menciumku.” Ellie menahannya. “Kurasa aku terkena virus, aku tak enak
badan.”
Mata Coop memejam. “Aku tak keberatan mempertaruhkan nyawaku.”
“Oh, di sini rupanya kalian.”
Mendengar suara Leda, Ellie dan Coop saling menjauh. Bibi Ellie berdiri di tangga dengan
Katie di belakangnya. “Aku bilang padanya kau akan segera kembali,” kata Leda, “tapi dia
tak mau percaya.”
Katie menuruni tangga dan berdiri di depan Ellie. “Aku harus pulang sekarang.”
“Tak lama lagi, Katie. Bertahanlah sebentar lagi.”
“Kita harus kembali pada saat waktunya memerah susu sore, dan kalau kita pulang sekarang
kita akan bisa melakukannya. Ayahku tak bisa mengerjakannya hanya dengan Levi.”
“Kita harus berada di ruang sidang hingga sidang ditunda,” jelas Ellie.
“Hei, Katie,” Coop memotong, “bagaimana kalau kau dan aku pergi dan bicara selama
beberapa menit?” Ia melirik ke arah Ellie, mendorongnya agar lebih perhatian.
Bahkan dari jarak yang memisahkan mereka, tubuh Katie terlihat gemetaran. Ia
mengabaikan Coop, dan tetap memandang lurus ke Ellie. “Apa kau tak bisa membuat sidang
ditunda?”
139
“Itu tergantung pada hakim.” Ellie meletakkan tangan di bahu gadis itu. “Aku tahu ini sulit
bagimu, dan aku—kau mau ke mana?”
“Bicara pada hakim. Memintanya menunda sidang,” kata Katie keras kepala. “Aku tak boleh
melewatkan tugasku.”
“Kau tak bisa begitu saja bicara pada hakim. Itu tak boleh.”
“Pokoknya, aku akan melakukannya.”
“Kalau kau bikin hakim marah,” Ellie memperingatkannya, “kau tak akan bisa melakukan
tugasmu selamanya.”
Katie berbalik padanya. “Kalau begitu kau yang minta.”

“Ini permintaan yang tak biasa bagiku, pengacara,” kata Hakim Ledbetter. Ia
mencondongkan tubuhnya ke meja, mengerutkan kening. “Kau meminta agar kita selesai
lebih awal hari ini agar klienku bisa melakukan tugasnya?”
Ellie menegakkan punggungnya, ekspresinya datar. “Sebenarnya, Yang Mulia, saya meminta
agar kita menghentikan sidang pada jam tiga sore setiap hari selama persidangan ini
berlangsung.” Menggertakkan giginya, ia menambahkan. “Percayalah, Yang Mulia. Kalau ini
tidak berhubungan dengan cara hidup klien saya, saya tidak akan menyarankannya.”
“Sidang dihentikan paa jam setengah lima sore, Ms. Hathaway.”
“Saya tahu itu. Saya juga sudah menjelaskannya pada klien saya.”
“Aku sangat ingin tahu jawabannya.”
“Dia bilang sapi-sapi tak bisa menunggu selama itu.” Ellie melirik ke arah George, yang
menyeringai senang seperti kucing yang baru saja makan burung kenari. Dan mengapa ia
tidak senang? Ellie melakukan pekerjaan yang baik menggali kuburnya sendiri tanpa ia harus
menambahkan apa pun. “Masalahnya, Yang Mulia, selain klien saya, salah satu saksi yang
telah ditentukan juga seorang pekerja di pertanian Fisher. Kalau keduanya melewatkan
memerah susu di sore hari akan sangat mengganggu urusan ekonomi keluarga.”
Hakim Ledbetter menoleh ke penuntut umum. “Mr. Callahan, aku yakin kau punya pendapat
dalam hal ini?”
“Ya, Yang Mulia. Dari yang saya ketahui kaum Amish tak menuruti sistem daylight saving
time. Tak apa-apa mereka menjalankan jadwal mereka yang biasa selama tidak
memengaruhi orang lain, tapi di pengadilan mereka harusnya mengikuti jam kita. Sejauh
yang saya tahu, ini bisa saja kesengajaan Ms. Hathaway untuk menonjolkan perbedaan
antara kaum Amish dan dunia luar.”
“Ini bukan sengaja, George,” gumam Ellie. “Ini hanya karena harus memerah susu, itu
saja.”
“Terlebih lagi,” penuntut umum melanjutkan. “Saya masih punya satu saksi lagi untuk
ditanyai, dan menunda kesaksiannya akan merusak kasus saya. Karena sekarang hari Jumat,
juri takkan bisa mendengar kesaksiannya hingga Senin pagi nanti, dan saat itu momentum
yang tepat sudah hilang.”
“Tidak bermaksud lancang, Yang Mulia, bolehkan saya mengatakan bahwa di banyak sidang
yang sudah saya ikuti, seringkali jadwal diubah pada saat-saat terakhir menurut kebutuhan
pengasuhan anak, kunjungan dokter, dan keadaan darurat lain yang muncul dalam
kehidupan pengacara bahkan hakim? Mengapa tidak melonggarkan aturan untuk terdakwa
juga?”
“Oh, dia sudah melakukan pekerjaan itu dengan baik,” kata George sinis.
“Tenang, kalian berdua,” kata Hakim Ledbetter. “Meskipun sangat menggoda untuk keluar
dari sini sebelum kemacetan hari Jumat sore, aku akan menolak permintaanmu, Ms.
Hathaway, setidaknya hingga waktu yang dibutuhkan penuntut umum untuk mengajukan
kasusnya. Saat giliranmu, kau boleh menyelesaikan sidang pada jam tiga sore, kalau itu
yang kauinginkan.” Ia menoleh ke George. “Mr. Callahan, kau boleh memanggil saksimu.”

“Bayangkan kalau kau seorang gadis muda,” kata Dr. Brian Riordan, ahli psikiater forensik
untuk penuntut umum. “Kau terlibat dalam hubungan gelap dengan seorang pemuda yang
sama sekali tak diketahui oleh orangtuamu. Kau tidur dengan pemuda itu, meskipun
seharusnya kau tahu kau tak boleh melakukannya. Beberapa minggu kemudian, kau tahu
kalau kau hamil. Kau tetap megnerjakan rutinitasmu sehari-hari, meskipun kau mulai
merasa mudah lelah. Kau mengira masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Setiap kali
pikiran itu melintas di kepalamu, kau menyingkirkannya, berjanji aku akan mengatasinya
besok. Sementara itu, kau mengenakan baju sedikit lebih longgar, kau memastikan tak akan
orang yang memelukmu terlalu erat.
“Lalu, suatu malam, kau terbangun dengan rasa sakit yang parah. Kau tahu apa yang terjadi
padamu, tapi yang kaupikirkan adalah bagaimana menyimpan rahasiamu. Kau mengendap-
endap keluar rumah sehingga tak seorang pun mendengarmu melahirkan. Dalam kesunyian
dan kesendirian, kau melahirkan bayi yang tak berarti apa-apa bagimu. Lalu bayi itu mulai
menangis. Kau menutup mulutnya dengan tanganmu, karena kau takut suara tangisannya
akan membangunkan semua orang. Kau menekan lebih keras hingga bayi itu berhenti
menangis, hingga ia tak lagi bergerak.”
140
“Lalu, karena tahu kau harus menyingkirkannya, kau membungkusnya dengan kemeja yang
terdekat dan menyembunyikannya agar tak terlihat. Kau kelelahan, jadi kau kembali ke
kamarmu untuk tidur, mengatakan pada diri sendiri kau akan menyelesaikan masalahnya
besok. Saat polisi mendekatimu keesokan harinya, menanyaimu tentang bayi itu, kau
mengatakan kau tak tahu apa pun tentang dia, seperti yang selama ini kaukatakan pada
dirimu sendiri.”
Terpesona, para juri mencondongkan tubuh ke depan, terpukau oleh tajamnya situasi yang
digambarkan oleh Riordan. “Bagaimana dengan naluri keibuan?” tanya George.
“Wanita yang melakukan pembunuhan bayi terisolasi dari kehamilannya,” jelas Riordan.
“Bagi mereka, melahirkan sama rasanya seperti mengeluarkan batu ginjal dari saluran
kencing.”
“Apakah wanita yang membunuh bayinya merasa buruk melakukan itu?”
“Maksudmu menyesal.” Riordan mengerucutkan bibirnya. “Ya, mereka menyesal. Tapi
mereka menyesal karena orangtua mereka melihatnya dalam kondisi bukan sebagai anak
yang baik—bukan karena bayinya mati.”
“Dr. Riordan, bagaimana Anda bisa bertemu terdakwa?”
“Aku diminta memeriksanya untuk persidangan ini.”
“Apa maksudnya?”
“Membacakan penemuan bukti dalam kasus ini, memeriksa respons terdakwa terhadap tes
psikologi proyektif seperti Rorschach dan tes obyektif seperti MMPI, juga bertemu secara
pribadi dengan terdakwa.”
“Apakah Anda mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan sebagai psikiater?”
“Ya, pada saat dia membunuh bayinya, dia bisa membedakan benar dan salah, dan sadar
akan tindakannya.” Mata Riordan memandang selintas ke Katie. “Ini adalah kasus
pembunuhan bayi klasik. Semua hal tentang terdakwa cocok dengan profil wanita yang
mungkin membunuh bayinya sendiri—bagaimana dia dibesarkan, tindakannya,
kebohongannya.”
“Bagaimana Anda tahu dia berbohong?” tanya George, bermain sebagai pengacara jahat.
“Mungkin dia tak tahu dia hamil, atau melahirkan bayi?”
“Menurut pernyataannya sendiri, terdakwa tahu dia hamil tapi merahasiakannya. Kalau kau
memilih melakukan tindakan tertentu untuk melindungi dirimu sendiri, itu menunjukkan
adanya pengetahuan sadar tentang apa yang kaulakukan. Jadi, penyangkalan dan rasa
bersalah saling berkaitan. Terlebih lagi, sekali kau berbohong, kau akan cenderung
berbohong lagi, yang artinya semua pernyataannya tentang kehamilan dan kelahiran
bayinya meragukan. Namun, tindakannya menunjukkan kisah yang solid dan konsisten,”
kata Riordan. “Selama wawancara kami, terdakwa mengaku terbangun karena rasa sakit
akibat kontraksi dan sengaja keluar dari kamarnya karena tak ingin ada orang
mendengarnya. Ini mengindikasikan dia sengaja menyembunyikan tindakannya. Dia memilih
gudang an pergi ke tempat yang menurut pengetahuannya mempunyai jerami paling segar.
Ini menunjukkan niat. Dia menutupi jerami yang berlumuran darah setelah melahirkan,
mencoba mencegah bayinya menangis—dan mayat bayi itu ditemukan di bawah tumpukan
selimut. Ini menunjukkan dia punya sesuatu yang disembunyikan. Dia membuang gaun
malam berlumuran darah yang dia kenakan, bangun dan bersikap normal keesokan paginya
di depan keluarganya, terus melanjutkan kebohongannya. Setiap hal tadi—bertindak
sendirian, menyembunyikan kelahiran, membersihkan bekasnya, berpura-pura meneruskan
rutinitas hidupnya—mengindikasikan bahwa terdakwa tahu pasti apa yang dia lakukan saat
itu—dan lebih penting lagi, tahu bahwa yang dia lakukan adalah salah.”
“Apakah terdakwa mengaku membunuh bayinya saat Anda wawancarai?”
“Tidak, dia bilang dia tidak ingat.”
“Lalu bagaimana Anda yakin dia membunuh bayinya?”
Riordan mengangkat bahu. “Karena amnesia mudah dipalsukan. Dan karena, Mr. Callahan,
aku pernah melihat ini sebelumnya. Ada pola spesifik dalam rangkaian peristiwa
pembunuhan bayi, dan terdakwa memenuhi semua kriterianya. Dia menyangkal
kehamilannya. Dia mengaku tidak sadar dia akan melahirkan, saat merasakan kontraksi
pertama kali. Dia melahirkan sendiri. Dia bilang dia tidak membunuh bayinya, meskipun
bayinya ditemukan sudah menjadi mayat. Dia pelan-pelan mengakui adanya kesenjangan di
ceritanya seiring berlalunya waktu. Semua itu adalah tanda dari setiap kasus pembunuhan
bayi yang pernah kuteliti, dan membuatku yakin bahwa terdakwa membunuh bayinya,
meskipun ada bagian-bagian dari kisahnya yang belum bisa dia ingat.” Riordan
mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kalau aku melihat sesuatu yang berbulu, berparuh,
dengan kaki berselaput dan menguak, aku tak perlu melihatnya berenang untuk tahu itu
adalah seekor bebek.”
141
Bagian terberat dari mengubah pembelaannya bagi Ellie, adalah kehilangan Dr. Polacci
sebagai saksi. Namun, tidak mungkin dia memberikan laporan psikiater itu pada jaksa
penuntut, karena laporan itu menyatakan Katie telah membunuh bayinya, meski tanpa
kesadaran akan sifat dan kualitas tindakannya. Ini berarti lubang yang dicari Ellie untuk
melemahkan argumen penuntut umum harus dibuat sekarang, dan lubang itu harus cukup
besar. “Berapa banyak wanita yang telah membunuh bayinya yang pernah Anda
wawancarai?” tanya Ellie, berjalan mendekati Dr. Riordan di kursi saksi.
“Sepuluh.”
“Sepuluh!” mata Ellie membelalak. “Tapi kau seharusnya seorang ahli!”
“Aku memang dianggap ahli. Semuanya relatif.”
“Jadi—Anda hanya bertemu satu orang dalam setahun?”
Riordan memajukan kepalanya. “Sekitar itulah.”
“Profil yang Anda buat dan klaim Anda tentang Katie—semuanya berdasarkan pengalaman
luas yang Anda kumpulkan dari mewawancarai... sepuluh orang?”
“Ya.”
Ellie menaikkan alisnya. “Di Jurnal Ilmu Forensik, bukankah Anda mengatakan wanita yang
membunuh bayinya tidak jahat, Dr. Riordan? Bahwa mereka sebenarnya tak berniat
melakukan kejahatan?”
“Itu benar. Mereka biasanya tidak memikirkan pembunuhan itu sebagai kejahatan. Mereka
menganggap tindakannya sebagai tindakan egois yang akan menyelamatkan diri mereka.”
“Namun dalam kasus-kasus di mana Anda terlibat, Anda merekomendasikan bahwa wanita
yang telah melakukan pembunuhan bayi sebaiknya dipenjara?”
“Ya. Kita harus mengirimkan pesan pada masyarakat, bahwa pembunuh tak akan bebas.”
“Oh, begitu. Dokter, bukankah benar wanita yang melakukan pembunuhan bayi mengakui
membunuh bayi mereka sendiri?”
“Tidak pada awalnya.”
“Tapi akhirnya, saat dihadapkan degnan bukti atau didesak untuk menjelaskan, mereka
mengaku. Benar bukan?”
“Itulah yang kulihat, ya.”
“Selama wawancara Anda dengan Katie, apakah Anda memintanya untuk mengira-ngira apa
yang telah terjadi pada bayinya?”
“Ya.”
“Apa responsnya?”
“Dia memunculkan beberapa perkiraan.”
“Bukankah dia berkata, 'Mungkin dia mati begitu saja dan seseorang menyembunyikannya'.”
“Di antara yang lainnya, ya.”
“Anda bilang saat didesak, wanita yang melakukan pembunuhan bayi menyerah dan
mengaku. Bukankah fakta bahwa Katie memunculkan skenario hipotesis, dan bukannya
menyerah dan mengaku melakukan pembunuhan, berarti mungkin skenario hipotesisnya
itulah yang sebenarnya terjadi?”
“Itu artinya dia pembohong yang pintar.”
“Tapi apakah Katie pernah mengaku dia membunuh bayinya?”
“Tidak. Tetapi awalnya dia juga tidak mengakui kehamilannya.”
Ellie mengabaikan komentar itu. “Apa yang diakui Katie, tepatnya.”
“Dia bilang dia tertidur, bangung, dan bayinya sudah hilang. Dia tidak ingat hal lainnya.”
“Dan dari pengakuan itu Anda mengambil kesimpulan bahwa dia melakukan pembunuhan.”
“Itu adalah penjelasan yang paling mungkin, mengingat pola perilakunya.”
Itu adalah jawaban yang diinginkan Ellie. “Sebagai ahli dalam bidang Anda, Anda pasti tahu
apa artinya kondisi disosiasi.”
“Ya, aku tahu.”
“Bisakah Anda menjelaskan kondisi itu pada kami yang belum paham?”
“Kondisi disosiasi terjadi ketika seseorang menghilangkan sepotong kesadarannya untuk
bertahan dalam kondisi traumatik.”
“Seperti seorang istri yang dianiaya lalu menutup diri secara mental ketika suaminya
memukulinya?”
“Benar,” jawab Riordan.
“Apakah benar bahwa orang yang menderita kondisi disosiasi mengalami kehilangan ingatan
tapi dari luar tetap terlihat normal?”
“Ya.”
“Kondisi disosiasi bukanlah perilaku yang disengaja atau sadar?”
“Benar.”
“Apakah benar bahwa stres psikologis berat dapat memicu kondisi disosiasi?”
“Ya.”
“Mungkinkah melihat kematian seseorang yang dicintai bisa menyebabkan stres psikologis
berat?”
“Mungkin.”
“Mari kita mundur kembali. Mari kita asumsikan Katie sangat menginginkan bayinya. Dia
melahirkan, dan tragisnya, melihat bayinya itu meninggal meskipun dia sudah berusaha agar
bayinya itu bisa bernapas. Mungkinkah shock karena melihat kematian bayinya
menyebabkan kondisi disosiasi?”
“Memang mungkin,” kata Riordan menyetujui.
“Kalau kemudian dia tak bisa mengingat bagaimana bayinya meninggal, mungkinkah dia
hilang ingatan karena kondisi disosiasi?”
Riordan menyeringai. “Memang mungkin, kalau itu adalah skenario yang beralasan, Ms.
Hathaway, yang sayangnya bukan. Kalau kau ingin menyatakan bahwa terdakwa mengalami
kondisi disosiasi pati itu yang akibatnya dia menjadi kehilangan ingatan, aku akan dengan
senang hati mengikuti keinginanmu. Tapi tak ada bukti bahwa stres karena kematian
bayinya dengan sebab alami menyebabkan dia mengalami kondisi itu.”
142
“Juga sangat mungkin bahwa dia mengalami kondisi disosiasi karena stres melairkan. Atau
sebagai akibat dari tindakan pembunuhannya yang merupakan tindakan dengan tingkat
stres tinggi.
“Begini ya, fakta terjadinya disosiasi di sini tidak membebaskan Ms. Fisher dari tindakannya
membunuh bayinya. Manusia bisa melakukan tindakan cepat yang kompleks bahkan ketika
kemampuan mengingat tindakan ini tidak lengkap. Kau bisa menyetir mobil dalam kondisi
disosiasi, misalnya, hingga ratusan kilometer tanpa mengingat satu marka jalan. Dalam
kondisi disosiasi kau juga bisa melahirkan bayi, meskipun kau tak bisa mengingat secara
spesifik. Kau bisa mencoba memberi pernapasan buatan pada bayi yang sekarat, dan tidak
ingat secara spesifik. Atau,” kata Riordan penuh tekanan, “kau bisa membunuh bayi, dan
tidak mengingatnya secara spesifik.”
“Dr. Riordan,” kata Ellie, “kita di sini membicarakan seorang gadis Amish, bukan remaja
nakal yang suka nongkrong di mal. Coba bayangkan Anda dalam posisinya. Mungkinkah jika
Katie Fisher menginginkan bayi itu, dan bayi itu meninggal di pelukannya, dia menjadi
sangat sedih dan pikirannya secara tidak sadar memblokir apa yang terjadi?”
Tapi Riordan sudah sering menjadi saksi di persidangan sehingga tak mudah jatuh dalam
perangkap pengacara. “Kalau dia sangat menginginkan bayi itu, Ms. Hathaway,” katanya,
“mengapa dia berbohong tentang kehamilannya selama tujuh bulan?”

George sudah berdiri sebelum Ellie sampai lagi ke meja pembela. “Saya ingin melakukan
pemeriksaan ulang, Yang Mulia. Dr. Riordan, menurut pendapat Anda sebagai seorang ahli,
apakah terdakwa dalam kondisi disosiasi di pagi tanggal sepuluh Juli?”
“Tidak.”
“Apakah itu penting dalam kasus ini?”
“Tidak.”
Riordan mengangkat bahu. “Perilakunya sudah cukup jelas—tak perlu mengungkit omong
kosong psikologi ini. Tindakan subversif terdakwa sebelum kelahiran mengindikasikan bahwa
begitu bayi lahir, dia akan melakukan apa pun untuk menyingkirkannya.”
“Termasuk membunuh?”
Psikiater itu mengangguk. “Terutama membunuh.”

“Pemeriksaan silang,” kata Ellie. “Dr. Riordan, sebagai psikiater forensik Anda pasti tahu
bahwa untuk dakwaan Pembunuhan Tingkat Satu, seseorang harus dipastikan bersalah
membunuh dengan sengaja, niat, dan terencana.”
“Ya, itu benar.”
“Wanita yang membunuh bayinya—apa mereka memang berniat melakukannya?”
“Tentu saja.”
“Apa mereka sengaja melakukan tindakan itu?”
“Kadang-kadang, dari cara mereka mencari tempat bersembunyi, atau membawa selimut
atau kantong untuk membuang bayinya—seperti yang dilakukan terdakwa.”
“Apakah mereka berencana untuk membunuh bayinya sejak semula.
Riordan mengerutkan kening. “Itu tindakan reflektif, dipicu oleh kelahiran bayinya.”
“Tindakan reflektif,” ulang Ellie. “Yang Anda maksudkan adalah perilaku otomatis,
instingtif, tanpa dipikirkan?”
“Ya.”
“Kalau begitu pembunuhan bayi bukan termasuk pembunuhan tingkat satu, bukan?”
“Keberatan!”
“Ditarik kembali,” kata Ellie. “Tak ada pertanyaan lagi.”
George memandang hakim. “Yang Mulia,” katanya, “Penuntut umum sudah selesai.”

Sarah menyiapkan makan malam untuk mereka, sajian berbagai hidangan yang tidak
menarik hati Ellie. Ia mengambil piringnya dan merasakan ruangan jadi sesak, dan
bertanya-tanya mengapa ia tidak menerima ajakan Coop untuk makan di restoran di
Lancaster.
“Aku menyikat Nugget untukmu,” kata Saarah, “tapi tali kekangnya belum dibersihkan.”
“Baik, Mam,” jawab Katie. “Aku akan melakukannya setelah makan malam. Aku juga akan
mencuci piring, kau pasti lelah setelah membantu memerah.”
Dari ujung meja, Aaron bersendawa keras, tersenyum memuji istrinya. “Makanan enak,”
katanya. Ia mencantolkan kedua jempolnya di bretelnya dan berpaling ke ayahnya. “Aku
berniat pergi ke lelang Lapp hari Senin.”
“Kau butuh kuda baru?” tanya Elam.
Aaron mengangkat bahu. “Tak ada ruginya ke sana.”
“Aku dengar Marcus King akan menjual kuda jantannya yang berwarna kemerahan yang lahir
musim semi lalu.”
“Ja? Dia kuda yang cantik.”
Sarah mendengus. “Buat apa kau beli satu kuda lagi?”
Ellie memandang mereka bergantian, seakan-akan ia enonton pertandingan tenis. “Maaf,”
katanya pelan, dan satu per satu mereka menoleh padanya. “Apa kalian semua sadar
putrimu sedang di sidang dalam perkara pembunuhan?”
“Ellie, jangan—” Katie mengulurkan tangan, tapi Ellie menggeleng.
“Apa kalian semua sadar bahwa kurang dari seminggu, putrimu mungkin divonis bersalah
dan langsung dibawa dari ruang sidang ke penjara di Muncy? Duduk di sini bicara tentang
pelelangan kuda—apakah kalian tidak peduli dengan sidangnya?”
“Kami peduli,” kata Aaron kaku.
“Yah, bagus sekali caramu menunjukkan kepedulian,” gumam Ellie, meremas serbetnya dan
melemparnya ke meja sebelum lari ke atas ke kamarnya.
143
Saat Ellie membuka matanya lagi, hari sudah gelap, dan Katie duduk di pinggir ranjang.
Ellie langsung duduk, menyingkirkan rambut di dahinya dan menyipitkan mata ke jam meja
kecil bertenaga baterai di meja. “Jam berapa sekarang.”
“Jam sepuluh lewat,” kata Katie. “Kau tertidur.”
“Yeah.” Ellie mengusapkan lidahnya ke giginya yang terasa tidak enak. “Sepertinya begitu.”
Ia berkedip agar matanya terbuka, lalu berguling ke samping untuk menyalakan lampu gas.
“Kau tadi ke mana?”
“Aku mencuci piring dan membersihkan tali kekang.” Katie menyibukkan diri, menutup
gorden dan duduk di ranjang menguraikan gelungan rambutnya.
Ellie memandang Katie menyikat rambutnya yang panjang dan berwarna keemasan,
matanya lebar dan jernih. Saat Ellie pertama kali datang dan melihat pandangan itu pada
semua wajah di sekitarnya, ia salah mengra bawah pandangan mata itu kosong, dan bodoh.
Perlu berbulan-bulan baginya untuk menyadari bahwa pandangan orang Amish tidaklah
kosong, tapi penuh—bersinar dengan kedamaian yang tenang. Bahkan sekarang, setelah
awal sidang yang sudlit yang akan membuat orang lain gelisah, Katie tetap tenang.
“Aku tahu mereka peduli,” Ellie mendengar dirinya sendiri menggumam.
Katie menoleh. “Tentang sidangnya, maksudmu.”
“Yeah. Keluargaku dulu sangat ribut berdebat dan meledak marah lalu berbaikan lagi
setelah semua mengendap. Sekarang ketenangan ini masih terasa sedikit aneh.”
“Keluargamu sering membentakmu, ya?”
“Kadang,” aku Ellie. “Tapi setidaknya suara itu menunjukkan padaku bahwa mereka ada.”
Ia menggeleng, mengibaskan kenangan di kepalanya. “Ngomong-ngomong, aku minta maaf
karena meledak saat makan malam tadi.,” ia mengeluh. “Aku tak tahu apa yang salah
denganku.”
Sisir Katie terhenti di tengah-tengah. “Kau tak tahu?”
“Yah, tidak. Maksudku, aku sedikit gugup tentang sidangnya, tapi kalau aku jadi kau, kau
pasti lebih suka aku gugup daripada berpuas diri.” Ia memandang Katie, dan menyadari
bahwa pipi gadis itu merona merah.
“Apa yang kausembunyikan?” tanya Ellie, hatinya mencelos.
“Tidak apa-apa! Aku tak menyembunyikan apa pun!”
Ellie memejamkan mata. “Aku terlalu lelah sekarang. Bisakah kau menyimpan
pengakuanmu hingga besok pagi.”
“Oke,” kata Katie, cepat-cepat.
“Persetan dengan besok pagi. Beritahu aku sekarang.”
“Akhir-akhir ini kau tertidur lebih awal, seperti malam ini. Dan kau marah di meja makan.”
Mata Katie bersinar saat ia teringat hal lainnya. “Dan apa kau ingat pagi tadi, di toilet
pengadilan?”
“Kau benar. Ini semua pasti karena aku kena virus yang membuatku tak enak badan.”
Katie meletakkan sisirnya dan tersenyum malu-malu. “Kau tidak sakit, Ellie. Kau hamil.”

Empat belas
Ellie

“INI pasti salah,” kataku ke Katie menunjukkan alat tes kehamilan.


Katie membaca instruksi di belakang kemasan tes dan menggeleng. “Kau sudang menunggu
lima menit. Kau melihat sendiri garis kecil yang muncul di alat tes itu.”
Aku melemparkan alat tes itu ke ranjang, dengan tanda plus merah jambu kecil. “Aku
seharusnya pipis selama tiga puluh detik, dan aku hanya menghitung sampai lima belas.
Jadi pasti terjadi kesalahan.”
Kami berdua memandang ke kemasannya, yang masih berisi alat tes kedua. Di apotek untuk
harga satu kami mendapat dua. Yang perlu dilakukan untuk membuktikan adalah sekali lagi
ke kamar mandi, dan lima menit menunggu takdir. Tapi aku dan Katie sudah tahu hasilnya
akan seperti apa.
Hal seperti ini tak terjadi pada wanita usia empat puluh. Kecelakaan hanya terjadi pada
remaja yang terbawa suasana, bercinta di kursi belakang mobil orangtua mereka.
Kecelakaan adalah bagi wanita yang menganggap tubuhnya masih baru dan penuh kejutan,
bukannya pada dua teman lama yang sudah saling akrab. Kecelakaan terjadi pada orang-
orang kurang perhitungan.
Tapi ini tidak terasa seperti kecelakaan. Rasanya keras dan panas, sebuah gumpalan kecil
bersarang di balik telapak tanganku, seakan-akan aku sudah bisa merasakan gelombang
sonik dari jantung mungilnya.
Katie menunduk ke pangukannya. “Selamat,” bisiknya.
Selama lima tahun terakhir, aku sangat meninginkan bayi hingga hatiku sakit. Aku kadang
terbangun pada tengah malam di samping Stephen dan merasakan lenganku pegal, seakan-
akan aku telah memeluk bayi semalaman. Kalau aku melihat bayi di kereta dorongnya, aku
merasakan seluruh tubuhku mendamba untuk memeluknya; aku aku menandai menstruasiku
di kalender tiap bulan merasa seakan-akan hidupku terbuang sia-sia. Aku ingin
menumbuhkan sesuatu di bawah jantungku. Aku ingin bernapas, makan, dan mekar untuk
orang lain.
Aku dan Stephen bertengkar tentang anak-anak sekitar dua kali setahun, seakan-akan
masalah reproduksi adalah gunung api yang meletus sesekali di pulau yang kami bangun.
Pernah, aku benar-benar membuatnya lelah.
144
“Baiklah,” katanya. “Kalau memang sudah saatnya, pasti terjadi.” Aku tidak memakan pil
KB selama enam bulan, tapi kami tak bisa punya bayi. Baru setengah tahun kemudian aku
mengerti mengapa aku tak punya bayi: Kau tak bisa membuat kehidupan baru di tempat
yang mati pelan-pelan.
Setelah itu, aku berhenti meminta pada Stephen. Sebagai gantinya, saat naluri keibuanku
muncul, aku pergi ke perpustakaan dan meneliti. Aku belajar berapa kali sel zyagot
membelah sebelum bisa disebut sebagai embrio. Melalui slide film aku melihat gambar
janin mengisap jempolnya sendiri, pembuluh darahnya menjalar seperti jalan di balik
kulitnya yang berwarna oranye. Aku tahu janin berusia enam minggu ukurannya sebesar
stroberi. Aku membaca tentang protein alphafetal, amniocentitesi, dan rH factor. Aku
menjadi ilmuwan di menara gading, seorang ahli tanpa pengalaman nyata.
Jadi, aku tahu semua hal tentang bayi di dalam perutku ini—tetapi mengapa aku tidak
bahagia mengetahui keberadaannya.

Aku tak ingin semua orang di pertanian tahu aku hamil—setidaknya hingga aku
memberitahukannya ke Coop. Keesokan paginya, aku bangun terlambat. Aku berhasil
sampai ke tempat sepi di balik kebun sayur sebelum aku mulai mual dan muntah. Ketika
bau makanan kuda membuatku pusing, tanpa berkata apa-apa Katie menggantikanku, aku
mulai memahaminya dengan cara baru, kagum bahwa ia bisa menyembunyikan kondisinya
dari banyak orang selama ini.
Katie datang bergabung denganku di luar gudang. “Bagaimana,” tanyanya ramah, “kau
masih merasa mual?” Ia duduk di sebelahku, punggung kami bersandar di dinding kayu
gudang.
“Tidak lagi,” aku berbohong. “Kurasa aku akan baik-baik saja.”
“Setidaknya sampai besok pagi.” Katie merogoh ke balik ikatan celemeknya dan mengambil
dua kantong teh celup. “Kurasa kau akan memerlukan ini.”
Aku mencium the itu. “Apakah ini akan membuat perutku lebih enak?”
Katie merona. “Kau meletakkannya di sini,” katanya, mengusap payudaranya dengan ujung
jari. “Kalau payudaramu sakit.” Melihat ketidakmengertianku, ia menambahkan. “Harus
direndam dulu dengan air hangat.”
“Syukur aku kenal seseorang yang sudah mengalami ini—” Katie mundur seakan-akan
ditampar, dan aku terlambat menyadari apa yang baru saja kukatakan. “Maafkan aku.”
“Tidak masalah,” gumamnya.
“Tidak. Aku tahu ini tak akan mudah bagimu, apalagi di tengah-tengah persidangan. Aku
bisa saja mengatakan kalau kau akan punya bayi lagi nanti, tapi aku ingat bagaimana
rasanya setiap kali salah satu temanku yang menikah dan hamil mengatakan seperti itu
padaku.”
“Bagaimana rasanya?”
“Rasanya aku ingin memukulnya.”
Katie tersenyum malu-malu. “Ja, itu mendekati.” Ia melirik ke perutku, lalu melengos.
“Aku bahagia untukmu, Ellie, benar. Tapi itu tak berarti aku tak merasa sakit. Dan aku terus
mengatakan pada diriku sendiri bahwa Mam pernah kehilangan tiga bayinya, empat dengan
Hannah.” Ia mengangkat bahu. “Kau bisa bahagia melihat keberuntungan orang lain, tapi
itu tak berarti kau melupakan kesedihanmu.”
Saat itu baru aku menyadari bahwa Katie benar-benar menginginkan bayinya. Ia mungkin
menyembunyikannya, menunda mengakui kehamilannya—tapi begitu bayi itu terlahir,t ak
pernah ada pertanyaan di benaknya untuk tidak mencintainya. Aku terpukau
memandangnya, merasakan pembelaannya yang kusiapkan untuknya di persidangan
menyambung menjadi sebuah kebenaran.
Aku meremas tangannya. “Sangat berarti bagiku,” kataku. “Bisa membagi rahasia ini
dengan seseorang.”
“Tak lama lagi kau bsia mengatakannya pada Coop.”
“Kurasa begitu.” Aku tak tahu kapan dan apakah dia akan datang akhir minggu ini. Kami
belum membuat rencana bertemu lagi saat dia mengantar kami ke rumah Fisher Jumat
malam lalu. Karena masih tersinggung dengan penolakkanku untuk tinggal dengannya, Coop
menjaga jarak denganku.
Katie melingkarkan syalnya di bahuku. “Menurutmu dia akan bahagia?”
“Aku tahu dia akan gembira.”
Ia memandangku. “Kalau begitu kau sebentar lagi menikah.”
“Yah,” kataku. “Aku tak tahu.”
“Aku berani bertaruh dia pasti ingin menikahimu.”
Aku menoleh padanya. “Bukan Coop yang menahan diri.”
Aku mengira ia akan memandangku heran, bertanya-tanya mengapa aku menghindari jalan
yang sudah jelas dan mudah. Aku punya lelaki yang mencintaiu, ayah bayi ini, yang
menginginkan bayi ini. Bahkan aku pun tak mengerti mengapa aku enggan.
“Ketika aku tahu aku hamil,” kata Katie pelan. “Aku berpikir tentang memberitahu Adam.
Ia memang sudah pergi, tapi aku berpikir kalau aku mau pasti aku bisa menghubunginya.
Lalu aku menyadari bahwa sebenarnya aku tak ingin memberitahu Adam. Bukan karena dia
akan marah—ach, tidak, justru kebalikannya.
145
“aku tak mau memberitahukannya karena kalau aku memberitahukannya semua pilihan
akan hilang. Aku tahu apa yang harus kulakukan, dan aku bisa saja melakukannya. Tapi aku
takut suatu hari nanti aku melihat bayiku, dan aku tak akan berpikir, aku menyayangimu...”
Suaranya menghilang, dan aku berpaling untuk memandangnya, menyelesaikan kata-
katanya. “Aku akan berpikir bagaimana aku sampai di sini?”
Katie memandang ke kolam di kejauhan. “Tepat sekali,” katanya.

Sarah berjalan ke kandang ayam. “Kau tak perlu melakukan ini,” katanya padaku untuk
ketiga kalinya.
Tapi aku merasa bersalah karena bangun kesiangan. “Tidak apa-apa,” kataku. Keluarga
Fisher memelihara 24 ekor ayam betina petelur. Memberi makan ayam biasanya menjadi
tugasku dan Katie di pagi hari; tugas itu termasuk memberi makan ayam dan
mengumpulkan telur. Awalnya aku dipatuk sampai berdarah, namun aku belajar bagaimana
memasukkan lengan di bawah pantat ayam yang hangat tanpa mengalami luka. Sebenarnya,
aku ingin menunjukkan pada Sarah bahwa aku sudah belajar satu atau dua hal.
Di sisi lain, Sarah ingin menanyaiku tentang sidang Katie. Berada jauh dari Aaron, ia
bertanya tentang penuntut umum, saksi, hakim. Ia bertanya apakah Katie harus bicara di
sidang. Apa kami akan menang.
Pertanyaan terakhir itu terucap saat kami tiba di depan kandang. “Aku tak tahu,” kataku.
“Aku melakukan yang terbaik.”
Sarah tersenyum. “Ya,” katanya lembut. “Kau bekerja dengan baik.”
Ia mendorong pintu kandang hingga terbuka, membuat bulu-bulu beterbangan saat ayam-
ayam itu berkotek ribut dan berlarian. Kandang ayam selalu mengingatkanku pada
sekumpulan ibu-ibu yang sedang bergosip di salon, dan aku tersenyum saat seekor ayam
betina yang kaget berlarian mengitari tumitku. Aku menuju ke arah kanan dan mulai
mencari telur.
“Jangan,” kata Sarah saat aku mengangkat seekor ayam betina cokelat muda. “Dia masih
bagus, Gut.” Aku melihatnya mengepit ayam yang berganti bulu di ketiaknya seperti bola
dan menekankan jarinya di antara tulang di pantat ayam. “Ah, ini satu yang sudah tak
bertelur lagi,” katanya, mengulurkan ayam itu padaku dengan memegang kakinya. “Coba
aku cari satu lagi.”
Ayam itu menggeliat-geliat seperti Houdini hendak lari. Aku sungguh bingung dan
memegangi kaki ayam itu lebih erat, sementara Sarah mencari satu ayam lagi. Ia menuju
pintu kandang, mengusir ayam-ayam yang menghalangi jalannya. “Bagaimana dengan
telurnya?” tanyaku.
Sarah berpaling. “Mereka tak bertelur lagi. Karena itulah kita akan memakannya saat
makan malam.”
Aku berhenti, memandang ayam yang kupegang, dan hampir melepaskannya. “Ayo,” kata
Sarah, berbelok ke belakang kandang ayam.
Di belakang kandang ayam ada talenan, sebuah kapak dan seember air panas. Dengan
anggun Sarah mengangkat kampak, meletakkan ayam di talenan dan memotong kepalanya.
Saat ia melepaskan kakinya, ayam yang sudah tak berkepala itu berguling dan menggelepar
di genangan darahnya sendiri. Dengan ngeri aku melihat Sarah meraih ayam yang kupegang;
aku merasakan Sarah menarik ayam itu dari peganganku, sebelum aku jatuh berlutut dan
muntah.
Setelah sesaat, tangan Sarah mengelusku. “Ach, Ellie,” katanya, “kukira kau tahu.”
Aku menggeleng, dan itu membuatku mual lagi. “Kalau aku tahu aku tak mau ikut.”
“Katie juga tak tega,” aku Sarah. “Aku mengajakmu karena jauh lebih mudah daripada aku
harus kembali lagi ke sana setelah menyembelih ayam yang pertama.” Ia menepuk
lengannya; di punggung pergelangan tangannya ada noda darah. Aku memejamkan mata.
Aku bisa mendengar Sarah bergerak di belakngku, memasukkan ayam-ayam itu ke air panas.
“Sayur ayam,” kataku ragu. “Sup mienya...?”
“Tentu saja,” jawab Sarah. “Memang kau pikir dari mana ayam-ayamnya berasal?”
“Frank Perdue.”
“Dia juga melakukannya dengan cara yang sama, percayalah padaku.”
Aku membenamkan kepalaku di kedua tanganku, tak mau memikirkan semua fillet dada
ayam dan daging hamburger yang pernah kami makan, dan anak sapi kecil yang kulihat lahir
saat aku tinggal di pertanian ini. Orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat—lihat
saja Saarah yang memilih tak melihat kehamilan Katie atau juri yang memutuskan bebas
berdasarkan satu kesaksian simpatik, atau bahkan keenggananku mengakui bahwa
hubunganku dengan Coop lebih dari sekadar fakta bahwa kami telah membuat bayi
bersama.
Aku mengangkat kepala, melihat Sarah mencabuti bulu dari salah satu ayam, mulutnya
tertutup rapat. Ada bulu putih di celemek dan roknya; darah menetes ke tanah di
depannya. Aku menahan rasa mual yang naik ke tenggorokanku. “Bagaimana kau bisa
melakukannya?”
“Aku melakukan apa yang harus kulakukan,” katanya terus terang. “Kau harusnya lebih
mengerti tentang itu dari pada yang lain.”
146
Aku sedang bersembunyi di ruang susu, ketika Coop menemukanku siang itu. “El, kau tak
akan percaya ini—” Matanya membelalak saat melihatku, dan ia berlari ke sebelahku,
mengelus lenganku. “Bagaimana ini bisa terjadi?”
Ia tahu. Ya Tuhan, yang perlu dia lakukan hanya melihatku dan dia langsung tahu tentang
bayi ini. Aku menelan ludah dan memandangnya. “Seperti biasa, kukira.”
Tangan Coop turun dari bahuku ke pinggang, dan aku menunggu tangannya turun lebih ke
bawah. Tapi jarinya malah menarik kausku, menggosok-gosok noda merah yang menempel.
“Kapan terakhir kali kau disuntik tetanus?”
Ia tidak membicarakan tentang bayi. Ia tidak bicara tentang bayi.
“Yah, tentu saja tidak,” kata Coop, membuatku sadar bahwa aku tanpa sadar telah
mengucapkannya keras-keras. “Tapi Demi Tuhan, sidang bodoh itu bisa menunggu. Kau
harus segera diobati.”
Aku mendorong tangan Coop menjauh. “Aku baik-baik saja. Ini bukan darahku.”
Alis Coop terangkat. “Apa kau melakukan pembunuhan lagi?”
“Lucu sekali. Aku tadi membantu menyembelih ayam.”
“Aku sebenarnya lebih memilih menunda ritual pagannya setelah kau menyajikan
pembelaanmu, tapi—”
“Ceritakan tentang dia,” kataku tegas.
“Dia ingin jawaban. Lagi pula, pria itu langsung naik pesawat begitu ia mendengar bahwa
dia menjadi ayah—tapi dia ingin bertemu Katie dan bayinya.”
Mulutku ternganga. “Kau tak bilang padanya—”
“Tidak. Aku seorang psikiater, Ellie. Aku tak mau menyebabkan seseorang mengalami
kepedihan kalau aku tidak ada di sana, langsung mengatakan padanya, membantunya
mengatasi kepedihan itu.”
Saat Coop memalingkan pandangan, aku meletakkan tangan di bahunya. “Aku pasti
melakukan hal yang sama. Kecuali motifku bukan karena kebaikan hati tapi egoisme. Aku
ingin dia bersaksi, dan kalau itu bisa membawanya ke sini, maka biar saja.”
“Ini tak akan mudah baginya,” gumam Coop.
“Ini juga tak akan mudah bagi Katie.” Aku menegakkan tubuh. “Apakah dia sudah bertemu
Jacob?”
“Dia baru turun dari pesawat. Aku menjemputnya di Philly.”
“jadi di mana dia sekarang?”
“Di mobil, menunggu.”
“Di mobil?” aku tergagap. “Di sini? Kau gila ya?”
Coop menyeringai. “Kurasa aku dengan yakin bisa mengatakan padamu bahwa aku tidak
gila.”
Aku sedang tak ingin mendengar gurauannya. Aku mulai berjalan keluar gudang. “Kita harus
mengeluarkannya dari sini, cepat.”
Coop berjalan di sisiku. “Sebaiknya kau ganti baju dulu,” katanya. “Hanya saran sih—tapi
sekarang kau terlihat baru keluar dari film horor, dan kau tahu kan kesan pertama sangat
penting.”
Kata-kata Coop nyaris tak bisa kucerna. Aku terlalu sibuk memikirkan berapa kali dalam
sehari ini aku harus mengatakan pada seorang pria sesuatu yang tidak ia harapkan.

“Mengapa dia terlibat masalah?” tanya Adam Sinclair, mencondongkan tubuhnya di atas
meja restoran. “Apakah karena dia belum menikah saat dia punya bayi? Ya Tuhan, kalau
saja dia mengabariku, ini tak akan terjadi.”
“Dia tak bisa menulis surat padamu,” kataku lembut. “Jacob tak pernah meneruskan
suratmu.”
“Dia tidak meneruskan suratku? Bajingan itu—”
“—melakukan apa yang dia pikir merupakan jalan terbaik bagi adiknya,” kataku. “Dia
beranggapan Katie tak akan kuat menanggung beban harus meninggalkan keyakinannya, dan
itu akan terjadi kalau dia menikah denganmu.”
Adam mendorong piringnya menjauh. “Dengar, aku berterima kasih kau menghubungiku dan
memberitahuku bahwa Katie dalam masalah. Aku berterima kasih karena telah
menjemputku dari bandara dan mengantarku ke sini. Aku bahkan berterima kasih atas
makan siang gratisnya. Tapi aku yakin sekarang Katie sudah pulang dengan bayinya, dan aku
harus segera bicara dengannya.”
Aku melihat tangannya mengusap-usap meja dan membayangkan tangan itu menyentuh
Katie, memeluk Katie. Dan tiba-tiba aku merasakan kemarahan pada pria yang sama sekali
belum kukenal ini karena tidak menyadari betapa besar masalah yang dihadapi Katie akibat
dirinya. Memangnya siapa dia, yang memutuskan bahwa cintanya pada Katie mengalahkan
semua hal yang diyakini Katie sejak kecil? Memangnya siapa dia yang berani-beraninya
menggoda gadis berusia delapan belas tahun, padahal seharusnya dia tahu bahwa dia tidak
boleh melakukannya?
Ekspresi wajahku pasti berubah, karena di bawah meja, Coop menegakkan tangannya di
pahaku memberi peringatan. Aku berkedip, dan kembali memusatkan fokusku pada Adam:
mata yang terang, kakinya yang bergerak gugup, lirikannya ke pintu setiap kali terdengar
denting bel saat pintu membuka, seakan-akan ia mengharapkan Katie dan putranya masuk
kapan saja.
“Adam,” kataku, “bayinya tak bertahan hidup.”
Ia terenyak. Pelan-pelan ia menyilangkan lengan di atas meja, jari-jarinya saling
menggenggam sangat erat hingga ujungnya memutih. “Apa...,” katanya pelan, suaranya
tercekik. “Apa yang terjadi?”
147
“Kami tidak tahu. Dia lahir prematur dan meninggal tak lama setelah dilahirkan.”
Kepala Adam tertunduk. “Selama tiga hari terakhir, sejak kau menelepon, aku selalu
memikirkan bayi itu. Apakah matanya seperti mata Katie, atau dagunya seperti daguku.
Apakah aku langsung bisa mengenalinya. Ya tuhan. Kalau saja aku di sini, mungkin aku bisa
melakukan sesuatu.”
Aku memandang Coop. “Kami rasa sebaiknya kami tak mengabarkan ini padamu lewat
telepon.”
“Tidak. Tentu saja tidak.” Adam mengangkat kepala, mengusap matanya cepat-cepat.
“Memang,” kata Coop.
“Apakah itu yang kaumaksud saat kau bilang dia dalam masalah? Apakah kau memintaku
datang karena dia mengalami depresi?”
“Kami perlu kau untuk bersaksi membelanya di pengadilan,” kataku pelan. “Katie didakwa
membunuh bayinya.”
Adam tersentak mundur. “Tak mungkin.”
“Kurasa juga demikian.”
Adam berdiri lalu melempar serbet ke mejanya. “Aku harus menemuinya. Sekarang.”
“Kurasa sebainya kau menunggu.” Aku berdiri di depannya, mencegahnya keluar.
Adam memandang marah padaku. “Kaukira aku peduli dengan apa yang kau mau?”
“Katie bahkan tak tahu kau di sini.”
“Kalau begitu sudah saatnya dia tahu.”
Aku memegang lengannya. “Sebagai pengacara Katie, aku yakin kalau juri hadir saat
pertama kali Katie melihatmu lagi, mereka akan tergugah oleh emosi Katie. Mereka akan
berpikir bahwa orang yang menunjukkan hatinya dengan terbuka seperti itu tak mungkin
membunuh bayinya sendiri dengan darah dingin.” Aku menyingkir. “Kalau kau ingin melihat
Katie sekarang, Adam, aku akan mengantarmu. Tapi pikirkan masak-masak. Karena terakhir
kali dia membutuhkanmu, kau tidak ada untuk membantunya. Kali ini kau bisa
membantunya.”
Adam memandangku dan Coop bergantian, dan pelan-pelan duduk di kursinya.

Ketika Adam pergi ke toilet, aku bilang pada Coop bahwa kami harus bicara.
“Aku mendengarkan.” Coop mengambil kentang goreng piringku dan memasukkannya ke
mulutnya.
“Secara pribadi.”
“Aku senang sekali,” kata Coop, “tapi bagaimana dengan tugasku menjaga bayi.”
“Jauhkan bayimu dari bayi yang kujaga.” Aku menghela napas, dan mempertimbangkan
akan merahasiakan tentang bayi ini hingga setelah persidangan usai; saat ini aku seharusnya
berkonsentrasi pada Katie, bukan pada diri sendiri. Tapi aku hanya perlu melihat Adam
Sinclair untuk memahami kepedihan yang muncul dari kediaman, meskipun diam karena
niat baik.
Sebelum aku bisa memikirkan solusi, Adam memberikan pemecahannya padaku. Keluar dari
toilet dengan mata memerah dan berbau sabun, ia berdiri canggung di samping meja.
“Kalau tidak terlalu merepotkan,” katanya, “bisakah kalian mengantarku ke makam
putraku?”

Coop memarkir mobilnya di pinggir jalan di luar pemakaman Amish. “Ambil waktu selama
yang kau mau,” katanya. Adam turun dari kursi belakang, bahunya membungkuk menahan
angin, saat aku turun dari kursiku dan membukakan gerbang makam untuknya.
Kami melewati dedaunan yang diterbangkan angin saat kami menuju makan yang masi baru
itu. Nisannya, yang sumbing karena tangan Katie, berwarna abu-abu musim dingin. Adam
memasukkan tangannya ke saku dan bicara tanpa menoleh padaku. “Pemakamannya...apa
kau juga hadir?”
“Ya. Indah.”
“Apakah ada misa? Bunga?”
Aku teringat doa pendek yang diucapkan Uskup, bagaimana kebiasaan Amish yang tak
mengizinkan hiasana bunga dan nisan yang mewah. “Pemakamannya indah,” ulangku.
Adam mengangguk, lalu duduk di tanah di samping makam. Ia mengulurkan tangan, lembut
mengelus nisan, seperti seorang ayah yang membelai lembut pipi bayinya. Merasakan
mataku pedih, aku berbalik tiba-tiba dan berjalan kembali ke mobil Coop.
Saat aku masuk ke kursi depan, Coop memandangi Adam lewat jendela. “Pria malan. Aku
bahkan tak bisa membayangkan.”
“Coop,” kataku. “Aku hamil.”
Ia langsung menoleh. “Kau apa?”
Aku melipat tanganku di atas perut. “Kau dengan sendiri tadi.”
Fakta tentang bayi ini telah membuat pikiranku kusust, aku dulu pernah meninggalkan Coop
karena alasan yang salah; aku tak ingin tetap bersama dengannya karena alasan yang salah
pula. Aku memandangnya, menunggu; dalam hati berkata bahwa reaksinya tak akan
memengaruhi keputusanku tentang masa depanku; dan bertanya-tanya, kalau begitu
mengapa aku sangat ingin mendengar responsnya. Untuk pertama kalinya, aku tak yakin
akan komitmen Coop padaku. Memang, ia memintaku untuk tinggal dengannya, tapi ini
sama sekali tak sama. Mungkin ia ingin kami menghabiskan sisi hidup kami berdua, tapi ia
mungkin tak akan mengira bahwa sepanjang sisa hidup itu dimulai begitu tiba-tiba atau
dengan konsekuensi yang sedemikian besar. Ia tak pernah menyebutkan pernikahan. Ia tak
pernah menyebutkan anak.
148
Aku memberikan alasan yang sempurna bagi Coop untuk keluar dari hidupku dan memberiku
ruang bernapas yang selalu kuinginkan sebelumnya—tapi sekarang aku sadar aku tak ingin ia
pergi.
Ketika Coop tidak tersenyum, atau menyentuhku, dan tidak melakukan apa-apa kecuali
duduk tertegun di depanku, aku mulai panik. Mungkin Katie benar; mungkin seharusnya aku
menunggu beberapa hari atau lebih. “Jadi,” kataku, dengan suara bergetar. “Bagaimana
menurutmu?”
Ia mengulurkan tangan dan melepaskan tanganku yang menutupi perut. Ia mengangkat
sweterku dan mencondongkan tubuh ke depan, lalu aku merasakan ia mencium perutku.
Napasku yang tanpa sadar kutahan dari tadi terembus keluar dengan lega. Sesaat kemudian,
aku memeluk kepalanya di tanganku, membelai rambutnya, sementara Coop melingkarkan
lengannya di pinggangku dan memeluk kami berdua erat-erat.
Coop memaksa mengantarkanku hingga ke pintu depan rumah Fisher. “Aku tidak cacat,
Coop,” kataku. “Hanya hamil.” Tapi sisi feminis dalam diriku minggir, diam-diam senang
diperlakukan dengan manis.
Di beranda, ia memegang tanganku dan menarikku supaya menghadap padanya. “Aku tahu
bagian ini seharusnya terjadi sebelum kau membuat bayi, tapi aku ingin kau tahu bahwa
aku mencintaimu. Aku mencintaimu sudah sejak lama, sehingga aku tak ingat kapan
awalnya.”
“Aku ingat. Setelah malam pesta Kappa Alpha Theta di San Juan, waktunya antara saat kau
terjun ke tong berisi alkohol dan turnamen meniup bola pingpong dengan telanjang.”
Coop mengerang. “Jangan bilang pada jagoan ini bagaimana kita ketemu, oke?”
“Apa yang membuatmu yakin ini bayi laki-laki?”
Tiba-tiba Coop terdiam dan menempelkan tangan di dekat telinga. “Kau dengar itu?”
Aku mendengarkan, lalu menggeleng. “Tidak. Apa?”
“Kita,” katanya, menciumku ringan. “Terdengar seperti orangtua.”
“Menakutkan.”
Ia tersenyum, lalu memiringkan kepalanya dan memandangku. “Apa?” tanyaku, malu. “Apa
ada bayam menempel di gigiku?”
“Tidak. Karena aku hanya akan mengalami momen ini sekali saja, aku ingin mengingatnya.”
“Kurasa kita bisa mengatur agar kau mengantarku hingga ke depan rumah beberapa kali
lagi, kalau itu sangat penting bagimu.”
“Ya Tuhan, bisakah seorang pria menikmati apa yang diinginkannya? Apakah semua wanita
secerewet ini, atau karena kau pengacara?”
“Yah, kalau aku jadi kau, aku akan mengatakan apa pun yang ingin kukatakan, karena Adam
mungkin akan bosan menunggu di mobil dan pulang ke Philly tanpa kau.”
Coop merengkuh wajahku dengan tangannya. “Kau menjengkelkan, El, tapi kau wanita
menjengkelkan yang menjadi milikku.” Jempolnya mengelus pipiku. “Menikahlah
denganku,” bisiknya.
Aku mengangkat tangan dan memegang pergelangan tangannya. Di balik bahunya, bulan
sedang terbit, seperti hantu di langit. Aku sadar bahwa Coop benar: aku akan mengingat
saat ini dengan detail dan kejelasan yang sama saat aku memikirkan terakhir kali Coop
memintaku berbagi hidup dengannya; terakhir kali saat aku bilang tidak.
“Jangan membenciku,” kataku.
Tangan Coop terjatuh di kedua sisi badannya. “Kau takkan melakukan ini padaku lagi. Aku
tak akan membiarkanmu.” Otot rahangnya mengeras saat ia berusaha mengendalikan diri.
“Aku tidak bilang tidak. Aku juga belum bilang ya, Coop, aku baru tahu tentang ini. Aku
masih mengira-ngira bagaimana kata ibu cocok denganku. Aku tak bisa mencoba kata istri
pada saat yang sama.”
“Jutaan wanita lain bisa melakukannya.”
“Tidak dengan urutan seperti ini.” Aku mengelus dadanya, berusaha menenangkannya. “Kau
bilang padaku beberapa waktu lalu bahwa aku boleh berpikir dulu. Apakah itu masih
berlaku?”
Coop mengangguk, dan pelan-pelan membiarkan ketegangan lepas dari bahunya. “Tapi kali
ini kau tak akan bisa mengusirku dengan mudah.” Lalu ia menekankan tangannya ke
perutku, di mana sebagian dari diriku telah tertanam, dan menciumku.

“Kau pergi sangat lama,” bisik Katie dari ranjangnya. “Apa kau bilang padanya?”
Aku memandang langit-langit kamar, ke noda kuning kecil yang mengingatkanku pada
Abraham Lincoln. “Ya, aku bilang.”
Ia bangkit bertelekan siku. “Dan?”
“Dan dia bahagia. Itu saja.” Aku tak mau memandangnya. Kalau aku memandangnya, aku
akan mengingat ekspresi Adam ketika ia pertama kali mendengar tentang bayi mereka,
kesedihan Adam saat ia berlutut di sisi makam anaknya. Aku tak yakin bisa merahasiakan
pada Katie bahwa Adam sekarang sudah kembali.
“Pasti dia tak berhenti tersenyum,” kata Katie.
“He-eh.”
“Dia pasti memandang matamu.” Suaranya seperti melamun. “Aku yakin dia bilang dia
mencintaimu.”
“Sebenarnya—”
“Dan dia memelukmu,” lanjut Katie, “dan bilang bahwa meskipun orang lain
meninggalkanmu, meskipun kau tak akan melihat teman atau keluargamu lagi, dunia yang
berisi dirimu, dia dan bayi kalian akan terasa penuh oleh seluruh cinta yang akan
berkembang.”
Aku memandang Katie, matanya bersinar dalam gelap, bibirnya melengkung membentuk
senyum tipis antara kebahagiaan dan penyesalan. “Ya,” kataku. “Tepat seperti itu.”
149

Lima Belas

ELLIE hampir saja tak bisa pergi ke pengadilan pada hari Senin pagi kalau bukan karena teh
chamomile. Ia akhirnya berhasil turun setelah semalaman tak bisa tidur dan mual-mual, dan
di sebelah piringnya ia menemukan secangkir the panas dan biskuit asin. Saat itu, semua
orang lain sudah meninggalkan meja makan; hanya Katie dan Sarah yang tetap di dapur
mencuci piring. “Kau sudah tahu kan, kita akan pergi dengan Leda hari ini,” kata Ellie,
menahan diri mencium bau makanan. “Coop akan menemui kita di pengadilan.”
Katie mengangguk, tapi tidak berbalik. Ellie memandang punggung kedua wanita itu,
bersyukur bahwa Katie penuh pengertian untuk menghindarkan dirinya dari melihat piring
yang penuh dengan telur, daging goreng, dan sosis. Ellie meneguk tehnya ragu, mengira
perutnya akan mual lagi, tapi herannya mulanya justru berkurang. Ketika ia menghabiskan
tehnya, ia merasa lebih baik daripada yang ia rasakan sepanjang akhir pekan kemarin.
Ellie tak ingin terlalu sering menyinggung tentang kehamilannya, terutama hari ini, tapi ia
merasa berkewajiban berterima kasih pada pengertian Katie. “Tehnya,” bisik Ellie, saat
mereka naik ke kursi belakang mobil Leda, dua puluh menit kemudian. “Itu memang yang
kuperlukan.”
“Jangan berterima kasih padaku,” bisik Katie. “Mam yang membuatnya untukmu.”
Selama beberapa bulan ini, Sarah memenuhi piring Ellie saat makan seakan-akan ia babi
yang harus digemukkan sebelum disembelih; perubahan tiba-tiba pada menunya membuat
Ellie curiga. “Apa kau bilang padanya aku hamil?” tanya Ellie.
“Tidak. Dia membuatkannya untukmu karena kau khawatir tentang persidangan itu.
Menurutnya chamomile akan menenangkan sarafmu.”
Merasa rileks, Ellie bersandar. “Teh itu juga membuat perut jadi enak.”
“Ja, aku tahu,” kata Katie. “Mam dulu juga sering membuatnya untukku.”
“Kapan dia mengganggap kau sedang khawatir?”
Katie mengangkat bahu. “Dulu saat aku hamil.”
Sebelum Ellie bisa mengatakan sesuatu, Leda masuk ke kursi pengemudi dan melirik ke kaca
spion. “Kau tak apa-apa ikut mobilku, Katie?”
“Kurasa Uskup mulai terbiasa membuat pengecualian untukku.”
“Apakah Samuel ikut dengan kita hari ini?” gumam Ellie, melongok keluar jendela.
“Terlambat di hari pertama kesaksian biasanya tak disukai hakim.”
Seakan-akan mendengarnya, Samuel datang berlari-lari dari ladang di belakang gudang. Jas
baju hari Minggunya terbuka, topi hitamnya miring. Sambil melepaskan topi, ia masuk ke
kursi depan di samping Leda. “Maaf,” gumamnya, berbalik ke belakang saat Leda mulai
menjalankan mobil. Ia mengulurkan setangkai daun semanggi ke Katie, empat helai
daunnya layu di telapak tangan Katie. “Untuk keberuntungan,” kata Samuel, tersenyum
padanya. “Untukmu.”

“Akhir pekan menyenangkan?” tanya George saat mereka bersiap duduk di meja masing-
masing di ruang sidang.
“Lumayan,” jawab Ellie kasar, mengatur meja pembela sesuai dengan keinginannya hingga
ia nyaman.
“Sepertinya ada yang lagi mudah tersinggung. Pasti tidur terlambat tadi malam.” George
menyeringai. “Kurasa kau berpesta hingga sapi-sapi pulang. Ngomong-ngomong, jam berapa
mereka pulang?”
“Apa kau sudah selesai?” tanya Ellie, memandangnya tak acuh.
“Semua harap berdiri. Yang Mulai Hakim Philomena Ledbetter memasuki ruang sidang!”
Hakim duduk di kursinya. “Selamat pagi, semuanya,” katanya, memakai kacamatanya.
“Kurasa kita menutup sidang hari Jumat dengan penuntut umum sudah menyelesaikan
kesaksiannya, yang artinya hari ini Ms. Hathaway, kau yang mengajukan saksi. Kau sudah
siap?”
Ellie berdiri. “Ya, Yang Mulia.”
“Bagus. Kau boleh memanggil saksi pertamamu.”
“Pembela memanggil Jacob Fisher.”
Katie memerhatikan saat kakaknya memasuki ruang sidang dari lobby, di mana ia diisolasi
karena akan menjadi saksi, ia berkedip pada Katie saat disumpah. Ellie tersenyum padanya,
menenangkan. “Katakan nama dan alamatmu.”
“Jacob Fisher. North Street nomor dua ratus lima puluh, State College, Pennsylvania.”
“Apa hubunganmu dengan Katie Fisher?”
“Aku kakaknya.”
“Tapi kau tidak tinggal di rumah keluarga Fisher?”
Jacob menggeleng. “Selama beberapa tahun terakhir aku tidak tinggal di sana lagi. Aku
dibesarkan sebagai orang Amish di pertanian orangtuaku, dibaptis saat usia delapan belas
tahun, tapi kemudian aku meninggalkan gereja.”
“Mengapa?”
Jacob memandang ke arah juri. “Aku mengira aku akan tetap menjadi orang Amish
sepanjang hidupku, tapi kemudian aku menemukan sesuatu yang maknanya sama
pentingnya dengan keyakinanku, mungkin lebih.”
“Apa itu?”
“Pendidikan. Kaum Amish tidak percaya pada pendidikan setelah kelas delapan. Itu
berlawanan dengan Ordnung, aturan gereja.”
“Ada aturan?”
150
“Ya. Itulah yang sering dikaitkan, banyak orang dengan kaum Amish—fakta bahwa kau tak
bisa mengendarai mobil, atau menggunakan traktor. Cara berpakaian. Tidak ada listrik dan
telepon. Semua hal yang bisa membuatmu dikenali sebagai kelompok. Saat kau dibaptis,
kau bersumpah untuk hidup dalam kondisi itu.” Jacob berdeham. “Saat itu, aku sedang
bekerja magang di tukang kayu, membuat rak buku untuk seorang guru SMA di Gap. Dia
memergokiku membuka-buka bukunya dan meminjamkan beberapa buku padaku. Dia
menanamkan pikiran dalam kepalaku bahwa aku mungkin ingin melanjutkan pendidikanku.
Aku menyembunyikan buku-bukuku dari keluargaku selama aku bisa, tapi akhirnya aku tahu
aku akan meneruskan ke perguruan tinggi, dan aku sadar aku tak lagi bisa menjadi Amish.”
“Saat itu, apa yang terjadi?”
“Gereja Amish memberiku dua pilihan: Tidak kuliah, atau meninggalkan gereja.”
“Kedengarannya keras.”
“Tidak,” kata Jacob. “Kapan pun—bahkan juga hari ini—kalau aku kembali dan mengaku di
depan jemaat, aku akan diterima kembali dengan tangan terbuka.”
“Tapi kau tak bisa menghapus hal-hal yang telah kaupelajari saat kuliah, bukan?”
“Bukan itu masalahnya. Yang penting aku setuju mematuhi serangkaian kondisi yang
ditetapkan kelompok, dan bukannya mengikuti aturanku sendiri.”
“Apa yang kaukerjakan sekarang, Jacob?”
“Aku sedang kuliah S2 di Jurusan Bahasa Inggris di Penn State.”
“Orangtuamu pasti bangga padamu,” kata Ellie.
Jacob tersenyum samar. “Aku tak tahu tentang itu. Begini, apa yang pantas dipuji di dunia
Inggris jauh berbeda dengan apa yang pantas dipuji di dunia Amish. Bahkan, kau tak ingin
memancing orang untuk memujimu kalau kau seorang Amish. Kau ingin melebur, hidup
secara Kristiani tanpa menonjolkan diri. Jadi, tidak, Ms. Hathaway, orangtuaku tak bangga
padaku. Mereka bingung atas pilihan yang kuambil.”
“Apa kau masih menemui mereka?”
Jacob memandang adiknya. “Aku bertemu kedua orangtuaku untuk pertama kalinya selama
enam tahun beberapa malam lalu. Aku kembali ke rumah pertanian mereka meskipun
ayahku mengusirku setelah aku diasingkan gereja.”
Ellie mengangkat alisnya. “Kalau kau meninggalkan gereja Amish, kau tak boleh
berhubungan dengan orang Amish?”
“Tidak, itu pengecualian bukan aturan. Memang, berdekatan dengan orang yang sudah
diasingkan gereja bisa menjadi tak nyaman bagi orang lain, apalagi kalau kau tinggal di
rumah yang sama, karena diterapkannya Meidung—pengisolasian. Salah satu aturan gereja
yang kumaksudkan di sini menyatakan bahwa anggota gereja harus menghindari mereka
yang telah melanggar aturan. Orang-orang yang berdosa diisolasi untuk sementara waktu,
dan pada jangka waktu itu, orang Amish tak boleh makan dengan mereka, melakukan bisnis,
atau berhubungan seksual.”
“Jadi seorang suami harus mengasingkan istrinya? Seorang ibu harus mengasingkan
anaknya?”
“Secara teknis, ya. Tapi saat aku masih menjadi Amish, aku tahu ada seorang suami yang
mempunyai mobil dan diisolasi oleh gereja. Ia masih tinggal dengan istrinya, yang masih
menjadi anggota gereja—dan meskipun istri seharusnya menjauhi dia, entah bagaimana
mereka bisa punya tujuh anak yang semuanya dibaptis dalam keyakinan Amish ketika
saatnya tiba. Jadi pada dasarnya, pengisolasian itu tergantung pada individu yang terlibat.”
“Kalau begitu, mengapa ayahmu mengusirmu?” tanya Ellie.
“Aku juga sudah memikirkan tentang itu, Ms. Hathaway. Harus kukatakan ayahku melakukan
ini karena merasa gagal, dia merasa aku tak mau mengikuti jejaknya karena kesalahannya.
Dan aku kira dia takut kalau Katie terus berhubungan denganku, aku akan memengaruhinya
dengan mengenalkan dia ke dunia Inggris.”
“Ceritakan pada kami tentang hubunganmu dengan adikmu?”
Jacob meringis. “Yah, kurasa tak jauh beda dengan saudara lainnya. Kadang dia sahabat
terbaikmu, dan kadang dia orang yang paling menjengkelkan di dunia. Dia beberapa tahun
lebih muda dariku, sehingga sudah menjadi tanggung jawabku untuk menjaganya dan
mengajarinya beberapa pekerjaan di pertanian.”
“Apakah kalian dekat?”
“Sangat. Kalau kau seorang Amish, keluarga adalah segalanya. Kau tidak hanya makan
bersama setiap hari—tapi kau juga bekerja bersama untuk hidup.” Jacob tersenyum pada
Katie. “Kau akan kenal seseorang dengan sangat baik kalau kau bangun dengan mereka
pada pukul setengah lima tiap pagi untuk membersihkan kotoran sapi.”
“Aku yakin demikian,” kata Ellie. “Apakah kalian hanya dua bersaudara?”
Jacob menunduk. “Kami pernah punya adik perempuan. Hannah tenggelam saat dia tujuh
tahun.”
“Itu pasti sulit bagi kalian semua.”
“Sangat,” kata Jacob menyetujui. “Katie dan aku seharusnya menjaga dia waktu itu, jadi
kami selalu merasa bersalah. Dan itu membuat kami menjadi semakin dekat.”
151
Ellie mengangguk penuh simpati. “Apa yang terjadi setelah kau diasingkan?”
“Seperti kehilangan adik sekali lagi,” kata Jacob. “Hari ini Katie ada di sampingku untuk
kuajak bicara dan keesokan harinya dia sama sekali tak bisa kuraih. Pada minggu-minggu
pertama kuliah, aku rindu pertanian, orangtuaku, kuda dan keretaku, tapi aku paling
merindukan Katie. Apa pun yang terjadi padaku di masa lalu, aku selalu bercerita padanya.
Dan tiba-tiba aku berada di dunia baru penuh hal asing, suara dan kebiasaan asing, dan aku
tak bisa lagi berbagi rasa dengannya.”
“Apa yang kaulakukan?”
“Sesuatu yang sangat tidak biasa dilakukan orang Amish: aku melawan. Aku mengontak
bibiku, yang meninggalkan gereja Amish saat dia menikah dengan seorang Mennonite. Aku
tahu dia akan bisa menghubungi ibuku dan Katie, tanpa setahu ayahku. Ibuku tak bisa
datang menjengukku—tak pantas baginya untuk melanggar perintah suaminya—tapi dia
mengirim Katie sebagai wakilnya sekitar sebulan sekali selama beberapa tahun.”
“Maksudmu Katie menyelinap keluar rumah, berbohong pada ayahnya dan pergi ratusan
kilometer jauhnya untuk tinggal denganmu di asrama kampus?”
Jacob mengangguk. “Ya.”
“Ayolah,” dengus Ellie. “Pergi kuliah dilarang oleh gereja—tapi apa yang dilakukan Katie ini
diperbolehkan?”
“Waktu itu dia belum dibaptis—jadi dia tidak melanggar aturan apa pun dengna makan
denganku, bergaul denganku, dan ikut dalam mobilku. Dia hanya berusaha untuk terus
berhubungan dengan kakaknya. Ya, dia memang merahasiakan kepergiannya dari ayahku—
tapi ibuku tahu pasti ke mana dia pergi, dan mendukungnya. Aku tak melihat itu sebagai
Katie yang berusaha berbohong dan melukai keluarga kami; bagiku dia melakukan hal
terbaik untuk tetap menyatukan kami.”
“Saat dia berkujung ke State Collage, apakah dia menjadi—” Ellie tersenyum ke arah juri.
“Yah, bisa dibilang—maniak pesta?”
“Jauh dari itu. Awalnya dia merasa tidak cocok. Dia hanya ingin diam di apartemenku dan
memintaku membacakan buku-bukuku. Aku tahu dia merasa tak nyaman memakai pakaian
Amish di antara para mahasiswa, jadi hal pertama yang kulakukan adalah membelikan baju
Inggris biasa. Jins, dan kaus. Semacam itulah.”
“Tapi bukankah kau tadi bilang cara berpakaian Amish juga merupakan salah satu aturan
gereja?”
“Ya. Tapi sekali lagi, Katie belum dibaptis sebagai orang Amish, jadi dia tak melanggar
aturan apa pun. Orangtua Amish maklum bahwa anak-anak mereka akan sedikit nakal dan
mencoba-coba sebelum mereka siap dibaptis. Merasakan apa yang ada di luar sana. Remaja
Amish biasa memakai jins, atau nongkrong di mal, atau nonton—bahkan minum bir.”
“Remaja Amish melakukan ini?”
Jacob mengangguk. “Saat berusia lima belas atau enam belas dan memasuki masa
kenakalan remaja, kau biasanya bergabung dengan teman-teman sebaya untuk bergaul.
Percayalah, banyak anak-anak Amish itu melakukan hal-hal yang lebih berisiko dibandingkan
beberapa hal yang dialami Katie denganku di Penn State. Kami tidak memakai narkoba. Aku
sendiri tak melakukan itu, jadi aku tak mungkin mengajak adikku melakukan itu. Aku sudah
bekerja keras untuk bisa kuliah, dan aku membuat beberapa keputusan sulit agar bisa
kuliah. Alasan utamaku di Penn State bukanlah bermain tapi untuk belajar. Sering kali,
itulah yang dilakukan Katie saat bersamaku.” Ia memandang ke adiknya. “Saat dia datang
mengunjungiku, aku menganggap itu sebuah kehormatan. Dia adalah bagian dari rumah,
yang jauh-jauh datang ke tempatku. Aku tak mungkin membuatnya takut sehingga dia tak
mau lagi datang.”
“kau kedengarannya sangat sayang padanya.”
“Memang,” kata Jacob. “Dia adikku.”
“Ceritakan pada kami tentang Katie.”
“Dia manis, ramah, dan baik. Toleran. Tak egois. Dia melakukan apa yang harus dilakukan.
Tak ada keraguan pada diriku bahwa dia akan menjadi istri yang baik, dan ibu yang hebat.”
“Tapi hari ini dia disidang dengan dakwaan membunuh bayi.”
Jacob menggeleng. “Itu gila. Kalau kau kenal dia, tahu bagaimana dia dibesarkan, kau akan
tahu bahwa dalam pikiran Katie membunuh makhluk hidup itu menggelikan. Dia dulu sering
menangkap laba-laba yang merangkak di dinding rumah, dan membawanya keluar untuk
dilepaskan, dan bukannya membunuh mereka.” Ia menghela napas. “Aku tak bisa
membuatmu mengerti apa artinya menjadi orang Amish, karena kebanyakan orang tak bisa
melihat di balik kereta kuda dan pakaian aneh kami, padahal keyakinanlah yang sebenarnya
merupakan identitas utama orang Amish. Tapi dakwaan pembunuhan—yah, ini adalah
masalah orang Inggris. Di komunitas Amish, tak ada pembunuhan ataupun tindak kekerasan,
karena orang Amish tahu sejak mereka masih bayi, bahwa kau harus menyerahkan pipinya
yang lain seperti yang dilakukan Krtistus, dan bukannya membalas dendam.”
152
Jacob mencondongkan tubuhnya ke depan. “Ada akronim yang kupelajari di sekolah dasar—
yaitu J-O-Y. Akroni itu untuk mengingatkan anak-anak Amish bahwa Jesus adalah yang
pertama. Orang Lain yang kedua, dan You (kau) yang terakhir. Hal pertama yang kaupelajari
sebagai anak Amish adalah selalu ada otoritas lebih tinggi yang harus dipatuhi—apakah itu
orangtuamu, kepentingan komunias, atau Tuhan.” Jacob memandang ke adiknya. “Kalau
Katie menemukan dirinya dalam kesulitan, ia akan pasrah menerimanya. Ia tak akan
mencoba menyelamatkan dirinya sendiri dengan merugikan orang lain. Pikiran Katie tak
sampai ke sana; tak akan memikirkan membunuh bayi sebagai sebuah solusi—karena ia tak
tahu bagaimana menjadi egois.”
Ellie menyilangkan lengannya. “Jacob, apa kau mengenal Adam Sinclair?”
“Keberatan,” kata George. “Apa relevansinya?”
“Yang Mulia, bisakah saya berkonsultasi dengan Anda?” tanya Ellie. Hakim mengisyaratkan
kedua pengacara agar mendekat ke mejanya. “Kalau Anda memberikan sedikit kelonggaran,
Yang Mulia, pertanyaan ini akhirnya akan menjadi jelas.”
“Aku mengizinkannya.”
Ellie menanyakan pertanyaan itu kedua kalinya. “Dia adalah induk semangku yang sedang
pergi,” jawab Jacob. “Aku menyewa rumahnya di State College.”
“Apakah kalian punya hubungan sebelum bisnis persewaan rumah?”
“Kami teman.”
“Apa kesanmu tentang Adam Sinclair?”
Jacob mengangkat bahu. “Aku sangat menyukainya. Dia lebih tua daripada mahasiswa-
mahasiswa lainnya, karena dia sedang menempuh gelar doktor. Dia cerdas. Tapi yang
kukagumi darinya adalah—seperti aku—dia ada di Penn State untuk bekerja bukan bermain-
main.”
“Apakah Adam pernah bertemu adikmu?”
“Ya, beberapa kali, sebelum dia pergi ke luar negeri untuk meneliti.”
“Apakah dia tahu Katie orang Amish?”
“Tentu,” kata Jacob.
“Kapan terakhir kalinya kau bicara dengan Adam Sinclair?”
“Hampir setahun lalu. Aku mengirimkan cek uang sewaku ke agen properti. Sejauh yang
kutahu, Adam masih di pedalaman Skotlandia.”
Ellie tersenyum. “Terima kasih, Jacob. Tak ada pertanyaan lain.”

George memasukkan tangan ke sakunya dan mengerutkan kening memandang file yang
terbuka di meja penuntut umum. “Kau di sini hari ini untuk membantu adikmu, benar
begitu?”
“Ya,” kata Jacob.
“Apa pun yang bisa kaulakukan?”
“Tentu saja. Aku ingin juri tahu yang sebenarnya tentang dia.”
“Bahkan walaupun kau harus berbohong pada mereka?”
“Aku tak akan berbohong, Mr. Callahan.”
“Tentu tidak,” kata George sok. “Setidaknya tidak seperti adikmu.”
“Adikku tidak berbohong!”
Alis George terangkat naik. “Sepertinya sudah menjadi pola di keluargamu—kau bukan
Amsih, adikmu tidak bersikap sebagai orang Amish; kau berbohong, dia berbohong—”
“Keberatan,” kata Ellie panas. “Apakah ada pertanyaan?”
“Diterima.”
“Kau berbohong pada ayhmu sebelum kau diasingkan, bukan?”
“Aku menyembunyikan fakta bahwa aku ingin melanjutkan sekolah. Aku melakukannya agar
dia tidak terganggu—”
“Apakah kau memberitahu ayahmu kau membaca buku Shakespeare di gudang?”
“Tidak, aku—”
“Ayolah, Mr. Fisher. Apa yang kaumaksudkan dengan berbohong? Menyembunyikan sesuatu?
Tidak jujur? Berbohong karena lupa? Apa semua hal ini tidak mengingatkan sesuatu
bagimu?”
“Keberatan,” Ellie berdiri. “Menekan saksi.”
“Diterima. Harap hati-hati, penuntut umum.” Hamim Ledbetter memperingatkan.
“Kalau itu bukan kebohongan, lalu apa?” George mengubah pertanyaannya.
Otot di rahang Jacob berkedut. “Aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk belajar.”
Mata George bersinar. “Kau melakukan apa yang harus kaulakukan. Dan kau tadi bilang,
adikmu, terdakwa, juga selalu melakukan apa yang harus dia lakukan. Apakah itu sebuah
karakteristik orang Amish?”
Jacob ragu, berusaha menemukan ular di balik kata-kata George, yang siap menyemburkan
bisa. “Kaum Amish sangat praktis. Mereka tak pernah mengeluh, mereka hanya melakukan
apa yang perlu dilakukan.”
“Maksudmu, sebagai contoh, kalau sapi-sapi harus diperah, maka kau bangun sebelum fajar
untuk melakukannya?”
“Ya.”
“Jerami harus dipotong sebelum turun hujan, jadi kau bekerja hingga kau hampir tak kuat
lagi berdiri?”
“Tepat.”
“Bayi itu haram, jadi kau membunuh dan membuangnya sebelum semua orang tahu kau
berbuat salah?”
“Tidak,” kata Jacob marah. “Sama sekali tidak seperti itu.”
“Mr. Fisher, apakah benar kaum Amish yang kabarnya seperti orang suci itu sebenarnya tak
lebih baik dari kita semua—juga berbuat kesalahan?”
“Orang Amish tak ingin menjadi orang suci. Mereka orang biasa, sama seperti orang lain.
Tapi perbedaannya, mereka mencoba hidup tenang dan damai sebagai Kristiani—sementara
sebagian besar dari kita,” Jacob memandang penuh makna pada penuntut umum, “—sudah
setengah jalan menuju neraka.”
153
“Apa kau benar-benar mengharapkan kami percaya bahwa tumbuh besar di antara kaum
Amish bisa membuat seseorang tak mungkin mempunyai pikiran tentang kekerasan, balas
dendam, atau menipu?”
“Orang Amish mungkin saja memikirkan hal itu, Tuan, tapi jarang. Dan mereka tak pernah
melakukannya. Karena itu bertentangan dengan sifat mereka.”
“Seekor kelinci akan menggigit kakinya sendiri hingga lepas kalau terperangkap dalam
jebakan pemburu, Mr. Fisher, meskipun tak seorang pun akan menyebut kelinci sebagai
pemakan daging. Dan walaupun kau dibesarkan sebagai orang Amish, kau dengan mudahnya
berbohong saat memutuskan ingin meneruskan pendidikanmu, benar bukan?”
“Aku menyembunyikan pelajaranku dari orangtuaku karena aku tak punya pilihan lain,”
kata Jacob kaku.
“Kau selalu punya pilihan. Kau bisa tetap menjadi Amish, dan tidak pergi kuliah. Kau
memilih apa yang disisakan ayahmu—tidak ada keluarga—untuk mengikuti keinginan
egoismu. Ini benar bukan, Mr. Fisher?”
Jacob menunduk ke pangkuannya. Ia kembali merasakan hantaman gelombang keraguan
yang dihadapinya selama berbulan-bulan setelah meninggalkan East Paradise, gelombang
yang dulu dianggapnya akan menenggelamkan dirinya. “Itu benar,” jawabnya pelan.
Ia bisa merasakan Ellie Hathaway memandangnya, bisa mendengar suara Ellie
mengingatkannya bahwa apa pun yang dilakukan penuntut umum semuanya adalah tentang
Katie, bukan dirinya sendiri. Dengan penuh tekad, Jacob mengangkat dagunya dan
memandang lurus ke arah George Callahan.
“Katie seudah berbohong ke ayahmu selama enam tahun?”
“Dia tidak berbohong.”
“Apakah dia mengatakan pada ayahmu bahwa dia mengunjungimu?”
“Tidak.”
“Apakah dia mengatakan pada ayahmu bahwa dia menginap di rumah bibinya?”
“Ya.”
“Apakah dia benar-benar menginap di rumah bibimu?”
“Tidak.”
“Dan itu bukan kebohongan?”
“Itu...salah informasi.”
George mendengus. “Salah informasi? Itu baru kudengar. Sebut saja sesuai keinginanmu, Mr.
Fisher. Jadi terdakwa memberikan informasi yang salah pada ayahmu. Kurasa ia
memberikan informasi yang salah padamu juga?”
“Tak pernah.”
“Tidak? Apakah dia memberitahumu dia terlibat dalam hubungan seksual?”
“Ini bukan sesuatu yang dia—”
“Apakah dia mengatakan padamu dia hamil?”
“Aku tak pernah bertanya. Aku tidak yakin dia bahkan mengakui kehamilan itu pada dirinya
sendiri.”
George mengangkat alisnya. “Rupanya kau psikiater ahli sekarang?”
“Aku ahli dalam hal adikku.”
Penuntut umum mengangkat bahu, menekankan ia tak percaya omongan Jacob. “Mari kita
bicara tentang geng Amish yang nakal. Adikmu menjadi salah satu anggota geng anak-anak
nakal?”
Jacob tertawa. “Dengar, mereka itu bukan geng seperti Sharks dan Jets, dengan tawuran
dan daerah kekuasaan. Seperti kebanyakan remaja Inggris lainnya, kebanyakan anak-anak
Amsih adalah anak baik. Geng remaja Amish hanyalah istilah untuk sekelompok teman.
Katie masuk dalam geng Sparkies.”
“Sparkies?”
“Ya. Mereka bukanlah geng paling nakal di Lancaster County—yang paling nakal adalah
Kirkwooders—tapi mereka mungkin di nomor dua atau tiga.” Jacob tersenyum pada
penuntut umum. “Ammies, Shotguns, Happy Jacks—mereka adalah geng, seperti
sebutanmu, paling dekstruktif. Mereka beranggotakan anak-anak yang ingin mendapatkan
perhatian dari kenakalan mereka. Tapi kukira Katie tak pernah bertemu dengan remaja dari
kelompok itu.”
“Apakah adikmu masih ikut geng?”
“Secara teknis, dia masih boleh berkumpul bersama mereka hingga ia menikah. Tapi
sebagian besar anak muda berhenti datang lagi setelah mereka dibaptis di gereja.”
“Karena mereka tak boleh lagi minum alkohol, berdansa, atau nonton bioskop?”
“Benar. Sebelum dibaptis, aturan dilonggarkan, dan itu boleh-boleh saja. Setelah dibaptis,
kau sudah memilih jalanmu, dan kau sebaiknya menaatinya.”
“Katie minum bir untuk pertama kalinya saat dia mengunjungimu?”
Jacob mengangguk. “Ya. Di pesta asrama dan aku bersama dia.; tapi itu tak jauh beda
dengan pengalamannya bersama teman-teman gengnya.”
“Apakah itu diperbolehkan di bawah aturan Amish?”
“Ya, karena dia belum dibaptis.”
“Dia pergi nonton bioskop denganmu juga?” tanya George.
“Ya.”
“Yang juga mungkin sesuatu yang dia lakukan dengan gengnya?”
“Benar,” jawab Jacob.
“Dan itu diperbolehkan oleh gereja.”
“Ya. Karena ia belum dibaptis.”
“Bagaimana dengan dansa? Apakah kau mengajaknya berdansa?”
“Sekali atau dua kali.”
“Tapi gengnya mungkin juga pernah mengadakan dansa?”
“Ya.”
“Dan itu diperbolehkan gereja.”
“Ya. Sekali lagi, dia belum dibaptis.”
“Sepertinya kau bisa mencoba banyak hal sebelum menentukan pilihan,” kata George.
“Itulah tujuannya.”
“Jadi kapan adikmu dibaptis?” tanya George.
“September tahun lalu.”
154
Penuntut umum mengangguk serius. “Lalu dia hamil setelah dibaptis. Apakah hubungan
seksual di luar nikah dan mempunyai anak haram diperbolehkan gereja?”
Jacob terdiam, wajahnya memerah.
“Aku ingin jawaban.”
“Tidak, itu tak boleh.”
“Ah, ya. Karena dia sudah dibaptis?”
“Di antaranya ya,” kata Jacob.
“Jadi biar aku simpulkan,” kata George. “Terdakwa berbohong pada ayahmu, dia berbohong
padamu, dia hamil di luar nikah setelah mengambil sumpah baptis—apakah ini kebenaran
tentang adikmu yang ingin kautunjukkan pada juri?”
“Tidak!”
“Ini adalah gadis 'manis, ramah, dan baik' yang kaudiskripsikan dalam kesaksianmu tadi?
Kita biara tentang seorang gadis pramuka ideal bukan, Mr. Fisher?”
“Memang,” Jacob menjawab kaku. “Kau tak mengerti.”
“Tentu saja aku mengerti. Kau menjelaskannya dengan lebih baik daripada aku.” George
menyeberang ke arah juru tuis sidang dan menunjuk ke titik tertentu di transkrip. “Bisakah
kau membacakan ini untukku?”
Wanita itu mengangguk. “Bagis seorang Amish,” bacanya, “keluarga adalah segalanya.”
George tersenyum. “Tak ada pertanyaan lagi.”

Hakim Ledbetter memutuskan sidang diistirahatkan setelah kesaksian Jacob. Para juri
keluar dari ruang sidang, membawa catatan dan bolpoin mereka, dan berusaha menghindari
tatapan Ellie. Jacob, melompat berdiri dari kursi saksi, berjalan mendekati Katie dan ia
menggenggam tangannya. Ia menempelkan dahinya ke dahi adiknya dan berbisik dalam
dialek Dietsch, mengatakan sesuatu yang membuat Katie tertawa lirih.
Lalu ia berdiri dan menoleh ke Ellie. “Nah, bagaimana?”
“Bagus,” kata Ellie tersenyum.
Jawaban itu membuat Jacob sedikit rileks. “Apakah juri juga berpikir demikian?”
“Jacob, aku berhenti menduga-duga pikiran juri Amerika sejak film Adam Sandler meraih
jutaan dolar di box office—orang tak bisa diduga. Juri wanita berambut biru tadi, dia tak
pernah melepaskan pandang darimu sepanjang kesaksianmu. Tapi pria dengan rambut palsu
jelek berusaha mencabut sehelai benang lepas di manset blazernya, dan kurasa dia tak
mendnegarkan sepatah katapun darimu.”
“Tapi... tetap saja berjalan lancar?”
“Kau baru saksi pertama,” kata Ellie lembut. “Tunggu dan lihat saja, oke?”
Jacob mengangguk. “Bolehkan aku mengajak Katie minum kopi di bawah?”
“Tidak. Kamera tidak dilarang lagi begitu ia meninggalkan ruang sidang ini. Kalau dia ingin
kopi, bawa kopinya ke sini.”
Begitu Jacob pergi, Ellie menoleh ke Katie. “Kau lihat apa yang dilakukan George Callahan
pada Jacob di kursi saksi?”
“Ia mencoba menjebaknya sedikit, tapi—”
“Kau bisa bayangkan bukan bahwa semua itu akan jauh lebih buruk kalau kau yang duduk di
sana?”
Rahang Katie mengeras penuh tekad. “Aku akan meluruskan masalahku, apa pun risikonya.”
“Aku akan punya kasus yang lebih kuat kalau saja kau tidak bersaksi, Katie.”
“Bagaimana bisa? Setelah semua omonganmu tentang kebenaran itu, bukankah seharusnya
mereka mendengar dariku?”
Ellie mengeluh. “Tak seorang pun bilang aku akan mengatakan yang sebenarnya pada
mereka!”
“Kau yang bilang, saat pembukaan—”
“Itu cuma akting, Katie. Tujuh puluh lima persen pekerjaan pengacara ada hubungannya
dengan menjadi aktor kaliber Oscar. Aku akan menceritakan sebuah kisah pada mereka, itu
saja, dan kalau beruntung juri akan lebih menyukai kisahku daripada kisah George.”
“Kau bilang kau akan membiarkan aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Aku bilang aku tak akan menggunakan pembelaan berdasarkan kegilaan. Kau yang bilang,
kau akan mengatakan yang sebenarnya. Dan kalau kau ingat, aku hanya bilang kita lihat
saja nanti.” Ia memandang lurus ke Katie. “Kalau kau bersaksi, George akan
menghancurkanmu hingga berkeping-keping. Kita akan beruntung kalau dia tidak merusak
alur pembelaan kita. Ini dunia Inggris, sidang Inggris, dan dakwaan pembunuhan pengadilan
Inggris. Kau tak bisa menang kalau kau bermain dengan aturan Amish.”
“Klienmu adalah orang Amish, yang dibesarkan secara Amish, dan berpikir secara Amish.
Aturan Inggris tak bisa diterapkan,” kata Katie tenang. “Jadi apa yang kita punyai?”
“Dengarkan saja yang dilakukan dan dikatakan penuntut umum, Katie. Hingga tiba
waktunya bagimu untuk bersaksi nanti, kau boleh saja berubah pikiran.” Ellie memandang
kliennya. “Bahkan jika kau tak pernah berkata sepatah kata pun di sidang ini, aku bisa
menang.”
“Kalau aku tak pernah bicara, Ellie, aku adalah pembohong seperti yang dikatakan Mr.
Callahan.”
Frustasi, Ellie melengos. Hebat sekali. Katie ingin mengorbankan kasus ini demi kejujuran
religius; padahal Ellie tahu bahwa kejujuran tak mungkin ada di ruang sidang. Seperti
menyetir mobil di tengah badai es—bahkan kalaupun ia yakin akan kemampuannya
mengemudi, ada pengemudi lain di jalan yang menyalipnya, berpapasan, memotong jalan,
dan bertabrakan.
155
Tapi, Katie memang belum pernah mengemudi mobil.
“Kau tak enak badan, ya?”
Mendengar suara Coop, Ellie mengangkat wajahnya. “Aku baik-baik saja, makasih.”
“Kau kelihatan kacau.”
Ellie tersenyum jengkel. “Ya ampun, aku berani bertaruh kau harus memukuli seorang gadis
dengan tongkat untuk mengikuti keinginanmu.”
Coop membungkukkan badan di sampingnya. “Aku serius, Ellie,” katanya, memelankan
suaranya. “Aku berkepentingan atas kesehatanmu sekarang. Dan kalau sidang ini terlalu
berat bagimu—”
“Demi Tuhan, Coop, wanita dulu biasa melahirkan di ladang dan tetap memetik jagung
setelah—”
“Kapas.”
“Apa?”
Ia mengangkat bahu. “Mereka memetik kapas.”
Ellie berkedip padanya. “Apa kau di sana waktu itu?”
“Aku hanya memperjelas.”
“Yeah. Memperjelas. Dan jelasnya, aku baik-baik saja. Oke. Sempurna seratus persen. Aku
bisa memenangkan sidang ini; aku bisa melahirkan bayi ini; aku bisa melakukan apa pun.”
Dengan ngeri, Ellie sadar air mata mendesak keluar di sudut matanya. “Sekarang permisi
dulu, aku harus menghentikan perang di Bosnia dan menghentikan kelaparan di beberapa
negara dunia keiga sebelum sidang dimulai lagi.” Berdiri tergesa, ia mendorong Coop
minggir.
Coop memandang Ellie, lalu duduk di kursi yang tadi diduduki Ellie. Di sebelahnya, Katie
mengusap-usap setumpuk file hukum dengan ibu jarinya. “Itu karena bayinya,” katanya.
“Bisa membuatmu ferhoodled.”
“Yah.” Coop mengelus tengkuknya sendiri. “Aku mengkhawatirkannya.”
Menekan lebih keras dengan kuku ibu jarinya, sehingga meninggalkan bekas di kertas, Katie
berkata,”Aku juga khawatir.”

Ellie duduk di kursi sebelah Katie bertepatan dengan saat hakim kembali ke ruang sidang.
Wajah Ellie merah dan sedikit lembap, seakan-akan dia baru menyiram wajahnya dengan
air. Ia tak mau memandang Katie, bahkan ketika Katie menyentuh tangannya lembut di
bawah meja pembela, hanya untuk meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja.
Ellie kemudian menggumamkan sesuatu, sesuatu yang terdengar seperti, “jangan khawatir”
atau “maafkan aku”, meskipun perkataannya yang terakhir tak masuk akal bagi Katie. Lalu
Ellie berdiri dengan percaya diri, lancar dan dramatis yang membuat Katie teringat pada
asap yang keluar dari cerobong asap. “Pembela,” kata Ellie, “memanggil Adam Sinclair.”
Ia pasti salah dengar. Katie menahan napasnya.
“Keberatan,” sambut penuntut umum. “Saksi tidak ada dalam daftar.”
“Yang Mulia, dia baru dari luar negeri. Saya menemukan dia baru beberapa hari yang lalu.”
jelas Ellie.
“Itu tetap belum menjelaskan mengapa Mr. Sinclair tidak ada dalam daftar saksimu,” kata
Hakim Ledbetter.
Ellie ragu. “Dia bisa memberikan informasi penting yang baru saja saya temukan.”
“Yang Mulia, ini tidak benar. Ms. Hathaway membengkokkan prosedur hukum untuk
kepentingannya sendiri.”
“Maafkan saya, Yang Mulia,” balas Ellie, “dan saya juga minta maaf pada Mr. Callahan
karena pemberitahuan yang mendadak. Saksi ini tak akan memenangkan kasus saya, tapi
dia akan bisa memberikan informasi latar belakang penting yang selama ini hilang.”
“Saya ingin memeriksanya dulu,” kata George.
Katie tak mendengar sisanya. Yang dia tahu, tiba-tiba Adam ada di ruangan yang sama
dengannya. Napas Katie pendek-pendek, tersengal, setiap napasnya mendesah, seakan-akan
ia bisa membukanya dan menemukan permen dengan nama Adam. Adam meletakkan
tangannya di atas Alkitab dan Katie membayangkan, tangan itu menekan perutnya.
Dan lalu, ia memandang Katie. Ada kesedihan di matanya yang membuat Katie merasa
kepedihan menggelora dalam dirinya seperti laut, meninggalkan bekas air mata di mata
birunya. Adam memandangnya, terus memandangnya, hingga udara terasa berat, dan
jantung di dada Katie berdentam sangat keras hingga seakan-akan hendak melompat keluar.
Katie menggigit bibirnya, merasa sangat malu dan hina. Ia telah melakukan ini, ia telah
membawa mereka berdua hingga ke titik hina ini. Maafkan aku.
Jangan khawatir.
Katie mengangkat tangannya yang gemetar menutupi wajahnya, berpikir seperti anak-anak:
kalau ia tak bisa melihat Adam, ia pasti tak terlihat olehnya juga.
“Ms. Hathaway,” kata hakim. “Apakah Anda ingin minta waktu sejenak?”
“Tidak,” kata Ellie. “Klien saya baik-baik saja.”
Tapi Katie tidak baik-baik saja. Ia tak bisa berhenti gemetaran, dan air matanya mengalir
semakin deras, dan bagaimanapun juga ia tak bisa mengangkat kepala dan melihat Adam
lagi. Ia bisa merasakan pandangan para juri menusuk-nusuknya seperti jarum, dan ia heran
mengapa Ellie tak mau membiarkannya melakukan satu hal—membiarkannya lari dari sini,
dan tak kembali lagi.
“Aku mohon,” bisiknya pada Ellie.
“Sstt. Percayalah padaku,”
“Apa kau yakin, konselor?”
Ellie memandang sekilas ke arah juri, pada ekspresi mereka yang terngaga. “Sangat.”
156
Saat itu, Katie merasa ia benar-benar membenci Ellie.
“Yang Mulia,” terdengar suara Adam; oh Tuhan, suaranya yang manis dan dalam, seperti
gumaman kereta kuda di atas kerikil jalan. “Bolehkah saya?” Ia mengambil kotak tisu di
depan kursi saksi, dan mengangguk ke arah Katie.
“Tidak, Mr. Sinclair. Kau harus tetap di tempat,” perintah Hakim.
“Saya keberatan, Yang Mulia,” desak penuntut umum. “Ms. Hathaway mengajukan saksi ini
hanya demi nilai dramatisnya, dan tidak ada pentingnya sama sekali.”
“Aku belum menanyainya, George,” kata Ellie.
“Pengacara, mendekat,” kata Hakim Ledbetter. Dan ia berbisik marah ke Ellie dan jaksa
wilayah, suara mereka berdesis tak jelas. Dari kursi saksi, Adam memandang Katie, yang
masih tersedu-sedu. Ia mengambil kotak tisu dan membuka pagar yang membatasi kursi
saksi.
Panitera maju ke depan. “Maafkan aku, Sir, tapi—”
Adam mendorongnya minggir, suara langkahnya semakin keras saat ia mendekat ke meja
pembela. Hakim Ledbetter mengangkat pandangannya dan memanggil namanya. Saat Adam
terus berjalan, hakim mengetukkan palunya. “Mr. Sinclair! Kau harus berhenti sekarang,
atau aku menanggapmu menghina persidangan!”
Tapi Adam tidak berhenti. Saat suara penuntut umum naik dalam kemarahan, menimpali
suara peringatan hakim, Adam berlutut di samping Katie. Katie bisa mencium baunya,
merasakan panas tubuhnya, dan ia berpikir: Ini adalah kiamatku.
Katie merasakan sentuhan lembut tisu di pipinya.
Suara hakim dan para pengacara mengabur, tapi Katie tak memerhatikannya. Ibu jari Adam
mengelus kulitnya, dan ia memejamkan matanya.
Di belakang mereka, George Callahan mengangkat kedua tangannya dan mulai mendebat
lagi.
“Terima kasih,” bisik Katie, mengambil tisu dari tangan Adam.
Adam mengangguk, diam. Panitera, menuruti perintah hakim, memegang lengan Adam dan
menariknya berdiri. Katie memandangnya dibawa kembali ke kursi saksi, setiap langkah
seakan-akan mengangakan jurang di antara mereka.

“Aku pemburu hantu,” kata Adam menjawab pertanyaan Ellie. “Aku mencari dan mencatat
fenomena paranormal.”
“Bisakah kaujelaskan pada kami apa yang kaulakukan?”
“Menginap di tempat yang dikabarkan berhantu; mencoba mendeteksi perubahan medan
energi baik dengan tongkat pembaca energi atau dengan fotografi khusus.”
“Selain gelar Ph.D dari Penn State dalam bidang parapsikologis, apakah kau punya gelar
lain?”
“Ya. Sarjana sains dan gelar master dari MIT.”
“Dalam bidang apa, Mr. Sinclair?”
“Fisika.”
“Kalau begitu apakah kau menanggap dirimu sebagai ilmuwan?”
“Jelas. Karena itulah aku tahu fenomena paranormal pasti ada—ahli fisika mana pun pasti
akan mengatakan padamu energi tak mungkin hilang, hanya berubah bentuk.”
“Bagaimana kau mengenal Jacob Fisher?” tanya Ellie.
“Kami bertemu di sebuah kelas di Penn State—aku saat itu asisten dosen, dan ia mahasiswa.
Aku langsung tertarik pada fokusnya sebagai seorang pelajar.”
“Bisakah kaujelaskan?”
“Yah, mengingat bidang yang kugeluti, aku harus serius bekerja. Aku menemukan cara
terbaik untuk melakukannya adalah menetapkan hati, dan melakukan penelitianku, tak
peduli apa anggapan orang lain. Jacob mengingatkanku pada diriku sendiri, dalam hal itu.
Sebagai seorang mahasiswa S1 dia tidak tertarik pada pergaulan sosial antarmahasiswa dan
lebih tertarik pada sisi akademisnya. Ketika aku hendak menyewakan rumahku, karena aku
akan pergi meneliti, aku mendekatinya sebagai penyewa potensial.”
“Kapan kau bertemu adik Jacob?”
Pandangan Adam berpindah dari Ellie dan Katie dan melembut. “Pertama kali saat aku
mendapatkan gelar Ph.D. Kakaknya yang memperkenalkan kami.”
“Bisakah kauceritakan pada kami tentang itu?”
“Dia cantik, matanya lebar, dan pemalu. Aku tahu dia Amish—aku tahu dari Jacob
sebelumnya—tapi dia tidak memakai pakaian Amish.” Adam ragu, lalu mengangkat
tangannya. “Kami berjabat tangan. Biasa saja. Tapi aku ingat saat itu aku berpikir tak ingin
melepaskannya.”
“Apakah kau bertemu Katie lagi?”
“Ya, dia mengunjungi kakaknya sekali sebulan. Jacob pindah ke rumahku sebelum aku
pergi, jadi aku bertemu Katie saat dia berkunjung ke State College.”
“Apakah hubungan kalian berlanjut?”
“Kami berteman dengan cepat. Dia tertarik pada pekerjaanku, bikan tertarik karena ada
imbalannya, tapi dia benar-benar menghargai apa yang coba kulakukan. Aku mudah bicara
padanya, karena dia terbuka dan jujur. Bagiku, sepertinya dia tidak berasal dari dunia ini—
dan dalam banyak hal kurasa itu memang benar.” Adam bergeser duduknya. “Aku tertarik
padanya. Aku tahu aku tak boleh melakukan itu—demi Tuhan, aku sepuluh tahun lebih tua
darinya, lebih berpengalaman, dan bukan orang Amish. Tapi aku tak bisa berhenti
memikirkannya.”
“Apakah kalian menjadi sepasang kekasih?”
Adam melihat pipi Katie merona. “Ya.”
157
“Apakah Katie pernah tidur dengan orang lain sebelumnya?”
“Tidak,” Adam berdeham. “Dia masih perawan.”
“Apakah kau mencintainya, Mr. Sinclair?”
“Aku masih mencintainya hingga sekarang,” katanya pelan.
“Kalau begitu mengapa kau tidak ada di sini untuknya saat Katie hamil?”
Adam menggeleng. “Aku tak tahu tentang kehamilan itu. Aku menunda perjalanan
penelitianku dua kali, agar dekat dengannya. Tapi malam itu setelah... setelah pembuahan,
aku pergi ke Scotlandia.”
“Apakah kau pernah kembali ke Amerika sebelum ini?”
“Tidak. Kalau sudah, aku pasti menemui Katie. Tapi aku bepergian ke desa-desa terpencil,
area tak terjangkau. Hari Sabtu adalah pertama kalinya aku menginjang tanah Amerika
lagi.”
“Kalau kau tahu tentang bayi itu, Mr. Sinclair, apa yang kaulakukan?”
“Aku langsung menikahi Katie.”
“Tapi kau harus jadi orang Amish. Apakah kau bisa?”
“Sudah pernah ada yang melakukannya, aku tahu, tapi mungkin aku tak bisa. Imanmu tak
cukup kuat.”
“Jadi pernikahan bukanlah pilihan. Apa lagi yang mungkin kaulakukan?” tanya Ellie.
“Apa pun. Aku akan membiarkannya berada di antara keluarga dan teman-temannya, tapi
berharap aku bisa punya masa depan dengannya.”
“Masa depan seperti apa?”
“Apa pun yang dia mau atau dapat diberikan padaku,” kata Adam.
“Benarkan kalau aku salah,” lanjut Ellie, “tapi masa depan berdua antara wanita Amish
dengan pria luar sepertinya mustahil.”
“Kaktus saguaro bisa saja jatuh cinta pada manusia salju,” gumam Adam pelan, “tapi di
mana mereka akan tinggal?” Ia menghela napas. “Aku tak ingin menjadi kekasih yang hebat.
Aku akan bahagia kalau bisa menemukan tempat di pojok dunia di mana aku dan Katie bisa
menjadi hanya aku dan Katie. Walaupun aku mencintainya, aku tak bisa memintanya
meninggalkan semua hal dan semua orang yang ada dalam hidupnya selama ini. Karena
itulah aku memilih jalan pengecut tahun lalu. Aku pergi, berharap saat aku kembali, terjadi
keajaiban dan semuanya telah berubah.”
“Apakah demikian?”
Adam meringis pedih. “Ya, tapi tidak lebih baik.”
“Saat kau kembali Sabtu lalu, apa yang kauketahui?”
Adam menelan ludah. “Katie melahirkan bayiku. Dan bayi itu meninggal.”
“Itu pasti kabar yang sangat menyedihkan.”
“Ya,” kata Adam. “Dan masih menyakitkan.”
“Apa reaksi pertamamu?”
“Aku ingin menemui Katie. Aku yakin dia pasti sangat sedih seperti aku, mungkin lebih.
Kurasa kami bisa saling membantu.”
“Saat itu, apakah kau tahu Katie didakwa membunuh bayinya?”
“Ya.”
“Kau mendengar kabar bahwa bayimu meninggal, dan Katie adalah orang yang didakwa
membunuhnya—tapi kau tetap ingin menemuinya, memberi, dan mendapatkan
penghiburan?”
“Ms. Hathaway,” kata Adam. “Katie tidak membunuh bayi kami.”
“Bagaimana kau bisa yakin?”
Adam menunduk ke pangkuannya. “Karena aku menulis disertasi tentang itu. Cinta adalah
energi yang paling kuat. Katie dan aku saling mencintai. Kami tak bisa saling mencintai di
duniaku, dan kami tak bisa saling mencintai di dunianya. Tapi semua cinta itu, semua energi
itu harus mengalir ke suatu tempat. Dan itu mengalir ke bayi kami.” Suara Adam pecah.
“Bahkan kalaupun kami tak bisa saling memiliki, kami berdua bisa memiliki bayi itu.”

“Kau sangat mencintainya,” kata George di tengah pemeriksaan silangnya, “mengapa kau
tidak mengirim kabar padanya?”
“Aku melakukannya. Aku menulis surat seminggu sekali,” jawab Adam. Dari balik bulu
matanya, ia melirik ke Ellie Hathaway. Ellie telah memperingatkannya untuk tidak
berbicara tentang surat yang tak pernah sampai ke Katie, karena itu berarti akan ketahuan
bahwa Jacob tak ingin adiknya punya masa depan bersama Adam—sebuah pukulan terhadap
pembalasan cinta tak sampai.
“Jadi selama surat-menyurat itu, dia tak pernah bilang padamu kalau ia hamil?”
“Sejauh yang kutahu, dia tak pernah bilang pada siapa pun.”
George mengangkat alisnya. “Mungkinkah alasan dia merahasiakan kehamilannya darimu
karena dia tidak menganggap hubungan kalian sepenting anggapanmu?”
“Tidak, itu tidak—”
“Atau mungkin ia sudah puas dengan selingkuhannya dan sekarang ingin kembali ke pacar
Amishnya?”
“Kau salah.”
“Mungkin dia tidak mengatakannya padamu karena dia sudah berencana menyingkirkan
bayinya.”
“Dia tak akan melakukan itu,” kata Adam yakin.
“Maaf kalau aku salah mengerti, tapi apakah kau brada di gudang saat dia melahirkan?”
“Kau tahu aku tak di sana.”
“Kalau begitu kau tak bisa mengatakan apa yang terjadi dan tidak terjadi.”
“Dengan logika yang sama, kau juga tak bisa,” kata Adam. “Tapi ada satu hal yang aku tahu
dan kau tidak. Aku tahu bagaimana Katie berpikir dan merasakan. Aku tahu dia tak akan
membunuh bayi kami. Tak peduli apakah aku di sana menyaksikan kelahirannya atau tidak.”
158
“Oh, ya benar. Kau adalah... apa tadi kau bilang? Ah, pemburu hantu. Kau tak harus
melihat bendanya untuk percaya.”
Mata Adam memandang lurus pada penuntut umum. “Mungkin kau terbalik,” katanya.
“Mungkin aku percaya pada hal-hal yang tak bisa kaulihat.”

Ellie pelan menutup pintu ruang konferensi. “Dengar,” mulainya dengan ragu-ragu. “Aku
tahu apa yang akan kaukatakan. Aku tak punya hal membawa dia ke depanmu tiba-tiba.
Begitu aku tahu Adam ada di mana, aku seharusnya mengatakannya padamu. Tapi Katie,
juri perlu tahu tentang ayah bayimu agar bisa memahami bahwa kematian bayimu adalah
sebuah tragedi. Mereka harus melihat betapa sakitnya hatimu melihat Adam masuk ke
ruangan. Mereka harus mempunyai simpati yang besar padamu sehingga mereka ingin
membebaskanmu, untuk alasan apa pun yang dapat mereka temukan.” Ellie bersedekap.
“Bagaimanapun juga, aku minta maaf.”
Saat Katie melengos tak mau memandangnya, Ellie berusaha membuat situasi lebih cair.
“Aku bilang aku minta maaf. Kukira kalau kau minta maaf, aku akan diampuni dan diterima
kembali.”
Katie menoleh padanya. “Ini adalah milikku,” katanya pelan. “Kenangan ini adalah satu-
satunya yang kumiliki. Dan kau membukanya pada semua orang.”
“Aku melakukannya untuk menyelamatkanmu.”
“Siapa bilang aku ingin diselamatkan?”
Tanpa sepatah kata pun, Ellie berjalan ke pintu lagi. “Aku membawakan sesuatu untukmu,”
katanya, dan membuka pintu.
Adam berdiri di depan pintu ragu-ragu, tangannya menggenggam dan membuka di sisi
tubuhnya. Ellie mengangguk padanya, lalu keluar, menutup pintu di belakangnya.
Katie berdiri, menahan air mata. Yang perlu Adam lakukan hanyalah mengembangkan
lengannya dan ia akan jatuh dalam pelukannya. Yang perlu Adam lakukan hanyalah
mengembangkan lengannya, dan mereka akan kebali ke tempat mereka berada sebelum
semua ini terjadi.
Adam melangkah maju, dan Katie berlari menyambutnya. Mereka saling berbisik di kulit
masing-masing, meninggalkan jejak bagaikan luka. Katie bergeser mendekat, dan terkejut
melihat bahwa ia tak lagi terasa pas di pelukan Adam, seakan-akan ada benda di antara
tubuh mereka berdua. Ia memandang ke bawah, melihat apa yang terjepit di antara
mereka, dan tak menemukan apa pun kecuali fakta nyata yang terlihat tentang bayi
mereka.
Adam juga merasakannya, Katie tahu dari caranya merenggangkan dan menjauhkan
tubuhnya. “Aku mencoba menyuratimu. Kakakmu tak memberikan surat-suratku padamu.”
“Kalau tahu aku pasti memberitahumu,” jawab Katie. “Aku tak tahu kau di mana.”
“Kita pasti menyayanginya,” kata Adam penuh emosi, dengan nada yakin sekaligus penuh
tanya.
“Ya, kita pasti menyayanginya.”
Tangan Adam mengelus rambut Katie, memegang pinggiran Kapp-nya. “Apa yang terjadi?”
Tubuh Katie menegang. “Aku tak tahu. Aku tertidur, dan terbangun, dan bayinya sudah
hilang.”
“Aku tahu itu yang kaukatakan pada pengacaramu. Dan polisi. Tapi ini aku, Katie. Dia putra
kita.”
“Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tak ingat.”
“Kau di sana! Kau harus ingat!”
“Tapi aku tidak ingat!” pekik Katie.
“Kau harus,” kata Adam serak, “karena aku tak ada di sana. Dan aku perlu tahu.”
Katie merapatkan bibirnya dan menggeleng. Ia duduk di kursi dan membungkuk ke depan,
lengannya menyilang di depan perutnya.
Adam meraih tangannya dan mencium punggung tangannya. “Kita akan mengatasinya,”
katanya. “Setelah sidang, entah bagaimana, semuanya pasti berjalan baik.”
Katie membiarkan suara Adam membasuhnya seperti pembersih spiritual yang ia rasakan
saat Grossgemee, misa komuni. Betapa ia ingin mempercayainya! Mengangkat wajahnya
memandang Adam, Katie mulai mengangguk.
Tapi sesuatu mleintas di mata Adam, sebersit keraguan, melintas sangat cepat, sehingga
kalau Adam tak segera mengalihkan pandangan Katie pasti tak akan memikirkannya. Adam
bilang masih mencintainya. Ia mungkin tidak mengakuinya di ruang sidang, tapi di sini saat
mereka berdua, ia membiarkan dirinya bertanya-tanya apakah alasan Katie tak ingat apa
yang terjadi pada bayi mereka disebabkan Katie telah melakukan sesuatu yang tak
terucapkan.
Adam menciumnya lembut, dan Katie bertanya dalam hati bagaiman kau bisa begitu dekat
dengan seseorang sehingga sepertinya napas kalian pun bersatu, dan masih merasakan
jurang menganga di bawah kakimu. “Kita akan punya bayi lagi,” kata Adam, satu hal yang
tak sanggup didengar Katie.
Katie menyentuh pipi dan rahang Adam, telinganya yang halus. “Maafkan aku,” katanya, tak
yakin ia minta maaf untuk apa.
“Itu bukan salahmu,” gumam Adam.
“Adam—”
Menyentuhkan jari telunjuk ke bibir Katie, Adam menggeleng. “Jangan mengatakannya.
Jangan sekarang.”
Dada Katie sesak, sehingga ia hampir-hampir tak bisa bernapas. “Aku ingin bilang dia mirip
denganmu,” katanya, kata-katanya berjatuhan seperti sebuah hadiah. “Aku ingin bilang dia
tampan.”
159

Adam keluar dari toilet dan mencuci tangan di wastafel. Kepalanya masih penuh dengan
Katie, sidang, dan bayi mereka. Ia hampir tak sadar ketika ada pria lain mendekat dan
mencuci tangan di wastafel sebelahnya.
Mata mereka saling bertemu di cermin. Adam memandang topi hitam lebar pria itu, celana
sederhana, bretel, dan kemeja hijau pucat. Adam belum pernah bertemu lelaki itu
sebelumnya, tapi ia tahu. Ia tahu dengan cara yang sama dengan raksasa berambut pirang
itu tahu ketika sepertinya ia tak bisa melepas pandang darinya.
Ini adalah pria yang bersama dengan Katie, sebelum Katie bertemu dengannya.
Ia tadi tidak ada di ruang sidang; kalau ada Adam pasti mengingatnya. Mungkin ia tak mau
masuk ke ruang sidang karena alasan religius. Mungkin ia diisolasi, dan akan jadi saksi
nanti.
Mungkin, seperti yang dikatakan penuntut umum, ia datang merawat Katie setelah Adam
meninggalkannya.
“Permisi,” kata pria pirang itu dengan aksen tebal. Ia mengulurkan tangan melewati Adam
ke tempat sabun.
Adam mengeringkan tangannya dengan tisu. Ia mengangguk sekali—menantang, lurus—pada
pria itu, dan melemparkan tisu basah ke keranjang sampah.
Ketika Adam membuka pintu kamar mandi dan hendak melangkah ke lorong yang sibuk, ia
berpaling untuk terakhir kali. Pria Amish itu sedang mengambil tisu sekarang, dan berdiri di
tempat Adam tadi berdiri beberapa saat lalu.

Jari-jari Samuel memutar pegangan pintu ruang konferensi kecil tempat Ellie bilang Katie
berada. Katie memang di sana, kepalanya tertunduk di atas meja plastik jelek, seperti
bunga dandelion yang layu. Ia duduk di seberang Katie dan melipat sikunya di meja. “Kau
baik-baik saja?”
“Ja,” Katie mengeluh, mengusap matanya. “Aku baik-baik saja.”
“Yah, setidaknya salah satu dari kita merasa begitu.”
Katie tersenyum lemah. “Kau akan segera bersaksi?”
“Ellie bilang ya.” Samuel ragu. “Ellie bilang dia tahu apa yang dia lakukan.” Samuel berdiri,
merasa dirinya terlalu besar dan tak nyaman di ruangan sekecil ini. “Ellie juga bilang aku
harus mengantarmu kembali, sekarang.”
“Yah, kita tak boleh mengecewakan Ellie,” kata Katie sinis.
Alis Samuel bertaut. “Katie,” katanya, itu saja, dan tiba-tiba Katie merasa dirinya kecil dan
jahat.
“Aku seharusnya tak mengatakan itu,” katanya mengakui. “Akhir-akhir ini, aku tak kenal
diriku lagi.”
“Yah, aku kenal kau,” kata Samuel, sangat serius sehingga membuat Katie meringis geli.
“Syukurlah.” Katie tak suka berada di pengadilan ini, jauh dari pertanian orangtuanya, tapi
mengetahui Samuel juga merasa tak nyaman seperti dirinya, membuat dirinya merasa
sedikit lebih baik.
Samuel mengulurkan tangan dan tersenyum. “Ayo.”
Katie menautkan jemarinya ke jemari Samuel, Samuel menariknya berdiri dari kursi dan
menggandengnya ke luar ruang konferensi. Mereka berjalan bergandengan menyusuri
lorong, ke pintu ganda ruang sidang, menuju meja pembela; tak satu pun dari mereka yang
berpikir akan melepaskan pegangan.

Enam Belas
ELLIE

MALAM sebelum kesaksian untuk pembelaan Katie dimulai, aku bermimpi menjadikan Coop
sebagai saksi. Aku berdiri di depannya di ruang sidang kosong yang hanya berisi kami
berdua, galeri pengunjung berpernis warna lemon di belakangku seperti gurun hitam. Aku
membuka mulut untuk bertanya padanya tentang perawatan Katie, tetapi yang keluar dari
mulutku malah pertanyaan yang berbeda, seperti burung yang terbang keluar setelah
terjebak sekian lama: Apakah kita akan tetap bahagia sepuluh tahun lagi dari sekarang?
Malu, aku menutup mulutku dan menunggu saksi untuk menjawab pertanyaan, tapi Coop
hanya diam memandang ke pangkuannya. “Aku butuh jawaban, Dr. Cooper,” desakku; dan
aku mendekati kursi saksi, lalu menemukan mayat bayi Katie terlentang di pangkuan Coop.
Menanyai Coop sebagai saksi membuatku merasa sangat tidak nyaman—bisa dibilang seperti
menjalani pencabutan bulu bikini wax dan mencabut serpihan bambu yang menancap di
bawah kuku. Ada sesuatu yang mengganggu menghadapi seorang pria yang dikurung di kotak
saksi di depanku, harus menjawab semua pertanyaan yang kulontarkan padanya—tetapi
tahu bahwa pertanyaan yang akan kutanyakan bukanlah pertanyaan-pertanyaan yang
sebenarnya ingin kutanyakan padanya. Selain itu, ada perasaan dan emosi di antara kami,
semua hal yang tak terucapkan setelah aku hamil. Semua hal ini mengelilingi kami seperti
laut, pucat dan mengganggu; sehingga ketika aku melihat Coop atau mendengarnya bicara,
aku tak yakin persepsiku bisa akurat.
Coop mendekatiku beberapa menit sebelum ia bersaksi. Tangan di saku, dan berusaha
terlihat profesional, ia mengangkat dagunya. “Aku ingin Katie di luar sidang saat aku
bersaksi.”
160
Katie saat itu tidak duduk di sebelahku; aku tadi meminta Samuel menjemputnya dari ruang
konferensi. “Mengapa?”
“Karena itu tanggung jawabku pada Katie sebagai pasienku, dan setelah tindakanmu dengan
Adam, kurasa dia terlalu rapuh untuk mendengarkanku bicara tentang apa yang terjadi.”
Aku merapikan kertas-kertas di depanku. “Sayang sekali, karena aku ingin juri melihat dia
sedih.”
Keterkejutan Coop terlihat jelas. Yah, baguslah. Mungkin inilah cara menunjukkan padanya
bahwa aku bukanlah wnaita sesuai harapannya. Memandangnya dingin, aku menambahkan,
“tujuannya adalah membuat juri simpati padanya.”
Aku mengira Coop akan mendebatku, tapi ia hanya berdiri memandangku diam, hingga aku
mulai merasa gelisah. “Kau tidak setangguh itu, Ellie,” katanya akhirnya. “Kau tak usah
berpura-pura.”
“Ini bukan tentang aku.”
“Tentu saja ya.”
“Mengapa kaulakukan ini padaku?” tanyaku, frustasi. “Aku tidak butuh ini sekarang.”
“Justru ini yang kaubutuhkan, El.” Coop mengulurkan tangan dan merapikan kerah jasku,
lembut mengusapnya, dan tiba-tiba aku ingin menangis.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Katie tetap tinggal, titik. Dan sekarang, permisi dulu,
aku perlu beberapa menit untuk berkonsentrasi.”
“Beberapa menit itu,” katanya lembut. “Akan terus berjalan.”
“Demi Tuhan, aku sedang di tengah-tengah sidang! Apa yang kauharapkan?”
Coop menurunkan tangannya dari bahku ke lenganku. “Bahwa suatu hari kau akan berpaling
ke belakang,” katanya, “dan sadar bahwa kau sudah sendirian selama bertahun-tahun.”

“Mengapa Anda datang menemui Katie?”


Coop terlihat bagus di kursi saksi. Bukannya aku mendasarkan penilaianku pada saksi
melalui cara mereka memakai setelan, tapi ia terlihat rileks, tenang, dan terus tersenyum
pada Katie, sesuatu yang jelas diperhatikan oleh juri. “Untuk merawatnya,” jawab Coop.
“Bukan mengevaluasinya.”
“Apa bedanya?”
“Kebanyakan psikiater profesional yang bersaksi di sidang diminta untuk memeriksa pikiran
Katie untuk keperluan sidang. Aku bukan psikiater forensik; aku psikiater biasa. Aku hanya
diminta untuk membantunya.”
“Kalau Anda bukan psikiater forensik, kalau begitu mengapa Anda di sini sekarang?”
“Karena selama merawatnya aku berteman dengan Katie. Kebalikan dari ahli yang hanya
mewawancarainya sekali, aku percaya aku lebih tahu cara berpikirnya dengan lebih
menyeluruh. Dia menandatangani persetujuan supaya aku bisa bersaksi, yang menurutku
menunjukkan tanda besarnya rasa percaya Katie padaku.”
“Perawatan seperti apa yang Anda berikan pada Katie?”
“Wawancara klinis yang semakin dalam selama empat bulan ini. Aku mulai dengan bertanya
tentang orangtuanya, masa kecilnya, harapannya terhadap kehamilan, sejarah depresi atau
trauma psikologis—wawancara psikiatris dasar.”
“Apa yang Anda ketahui dari semua itu?”
Coop meringis. “Katie bukan remaja biasa. Sebelum aku bisa benar-benar memahaminya,
aku harus paham apa artinya menjadi Amish. Dan aku yakin semua orang tahu budaya
tempat seorang anak dibesarkan sangat memengaruhi tindakan mereka saat dewasa.”
“Kami sudah mendengar tentang budaya Amish. Khususnya, apa yang menarik Anda sebagai
psikiater Katie?”
“Budaya kita mempromosikan individualitas, sementara orang Amish sanat terikat pada
komunitas. Bagi kita, jika seseorang terlihat menonjol, itu bukan masalah karena
keanekaragaman. Bagi orang Amish, tidak ada ruang untuk menyimpang dari norma. Sangat
penting untuk melebur, karena kesamaan identitas itulah yang mendefinisikan komunikas
mereka. Kalau kau tidak melebur, dampak psikologisnya sangat tragis—kau mencolok
sendirian, padahal selama ini yang kau tahu kau adalah bagian dari kelompok.”
“Bagaimana hal ini mendukung pemahaman Anda tentang Katie?”
“Yah,” kata Coop, “dalam pikiran Katie, perbedaan sama saja dengan rasa malu,
penolakan, dan kegagalan. Bagi Katie, ketakutan diasingkan oleh komunitasnya sangatlah
mengakar. Dia melihat itu terjadi pada kakaknya, dalam kasus yang sangat ekstrem dan tak
ingin itu terjadi pada dirinya sendiri. Dia ingin menikah, punya anak—tetapi ia selalu
mengasumsikan bahwa hal itu terjadi seperti setiap orang lain di dunianya. Begitu tahu dia
mengandung anak pria Inggris, dan di luar nikah—yang keduanya sangat berlawanan dengan
norma Amish—yah, itu bisa membuatnya diasingkan, dan itu tak bisa dihadapi oleh
pikirannya.”
Aku mendengar Coop bicara tentang Katie, tapi memikirkan diriku sendiri. Tanganku masuk
ke balik jasku, mengusap perutku. “Apa maksud Anda dengan itu?”
“Dia dibesarkan dengan keyakinan bahwa hanya ada satu cara dari A untuk menuju B,”
katanya. “Yaitu kalau hidupnya tidak berjalan sesuai dengan yang dia harapkan, maka itu
tak bisa diterima.”
161
Kata-kata Coop membungkusku sehingga aku menjadi sesak. “Itu bukan salahnya,” kataku
akhirnya.”
“Tidak,” kata Coop lembut. “Aku sedang berusaha membuatnya memahami itu, sekarang.”
Ruangan terasa menyempit, orang-orang mengabur dan suara-suara menjauh. “Susah untuk
mengubah cara berpikir seseorang.”
“Ya, dan karena itulah Katie tidak mengubahnya. Tak bisa. Kehamilannya,” gumam Coop,
“mengacaukan dunianya.”
Aku menelan ludah. “Apa yang Katie lakukan?”
“Dia berpura-pura kehamilannya bukan masalah, padahal itu hal terpenting di dunia. Dan
punya kekuatan untuk mengubah hidupnya.”
“Mungkin... dia hanya takut mengambil langkah pertama.”
Keheningan menyelimuti ruang sidang. Aku memandang bibir Coop terbuka, dan menunggu
Coop membebaskanku.
“Keberatan!” kata George. “Apakah ini pemeriksaan saksi atau sinetron TV?”
Terguncang dari perenunganku, aku merasakan wajahku merona merah. “Diterima,” kata
Hakim Ledbetter. “Ms. Hathaway, bisakah kau mengembalikan channel ke ruang sidang?”
“Ya, Yang Mulia. Maaf.” Aku berdeham dan sengaja berpaling dari Coop. “Saat Katie tahu
dia hamil, apa yang dilakukannya?”
“Tidak ada. Dia menyingkirkan pikiran itu dari kepalanya. Dia menyangkalnya. Dia menunda
memikirkannya. Kau tahu saat kita kecil, kita biasa menutup mata dan mengira kita tak
terlihat? Yah, ini prinsipnya juga sama. Kalau Katie tidak mengatakannya keras-keras, 'Aku
hamil'—maka dia tidak hamil. Akhirnya, kalau Katie mengakui pada dirinya sendiri bahwa
dia hamil, dia harus mengakuinya di depan gereja juga—mengakui dosanya seara terbuka
dan diasingkan selama beberapa waktu, dan setelahnya dia diampuni.”
“Mengabaikan kehamilannya—kedengarannya seperti keputusan yang disengaja.”
“Bukan, karena dia tak punya pilihan lain. Dalam pikiran Katie hal itu jelas akan
membuatnya terusir dari komunitasnya.”
“Dia tak bisa menyembunyikannya lagi saat melahirkan. Apa yang terjadi kemudian?”
“Sudah jelas,” kata Coop, “mekanisme penyangkalannya runtuh, dan pikirannya mencari
cara lain agar dia tetap tak mengakui kehamilan itu. Ketika pertama kali aku bertemu
Katie, dia mengatakan padaku dia merasa tak enak badan saat makan malam, tidur lebih
awal, dan tidak ingat apa pun hingga terbangun keesokan paginya. Tentu saja, fakta
mengindikasikan bahwa malam itu, dia melahirkan bayinya.”
“Itukah mekanisme pertahanannya yang baru—kehilangan ingatan?”
“Kesenjangan ingatan, karena disosiasi.”
“Bagaimana kau tahu Katie mengalami disosiasi sejak dia tahu dia hamil?”
“Karena kalau tidak dia mungkin sudah menderita gangguan kepribadian ganda. Orang yang
memecah kesadarannya selama berbulan-bulan seperti itu pasti sudah mengembangkan
kepribadian baru. Tapi, memecah sepotong kesadaran untuk bisa bertahan dalam kondisi
trauma singkat adalah sesuatu yang mungkin terjadi, dan itu terlihat konsisten pada Katie.”
Coop terdiam. “Tidak penting untuk tahu mekanisme pertahanan seperti apa yang ia
gunakan, apakah sadar atau tidak sadar. Bagi Katie, yang lebih penting adalah memahami
mengapa dia merasa perlu melindungi dirinya dari pengetahuan bahwa dia hamil dan
melahirkan, titik.”
Aku mengangguk. “Apakah dia akhirnya mengingat apa yang terjadi selama dan setelah
kelahiran?”
“Hingga titik tertentu,” kata Coop. “Dia ingat takut darah menodai sepreinya. Dia ingat ke
gudang untuk melahirkan, dan merasa sangat takut. Dia ingat memotong tali pusar bayinya
dan mengikatnya. Dia ingat dia mengangkat bayi itu dan memeluknya. Menenangkannya.”
Coop mengangkat jari kelingkingnya. “Dia ingat memberikan jari ini pada bayinya untuk
diisap. Dia memejamkan mata karena sangat lelah, dan saat terbangun bayinya sudah
hilang.”
“Berdasarkan pengetahuan Anda tentang Katie, menurut Anda apa yang terjadi pada bayi
itu?”
“Keberatan,” kata George. “Spekulasi.”
“Yang Mulia, setiap saksi yang diajukan penuntut umum berspekulasi tentang masalah ini,”
debatku. “Sebagai psikiater Katie, Dr. Cooper jauh lebih berkualifikasi daripada orang lain
untuk berkomentar tentang hal ini.”
“Ditolak, Mr. Callahan. Dr. Cooper, Anda boleh menjawab pertanyaannya.”
“Aku yakin bayi itu meninggal di pelukannya, karena banyak bayi prematur meninggal
karena alasan medis. Lalu dia menyembunyikan mayatnya—tidak dengan baik, karena saat
itu bertindak seperti robot.”
“Apa yang membuat Anda percaya hal ini?”
“Sekali lagi, kembali pada diri Katie yang seorang Amish. Melahirkan bayi di luar nikah
dalam komunitas Amish memang memalukan, tetapi tidak selalu tragis. Katie mungkin akan
diasingkan sementara waktu, lalu diterima kembali dengan tangan terbuka, karena orang
Amish sangat menghargai anak-anak.”
162
“Akhirnya, setelah stres karena melahirkan, Katie harus menghadapi fakta bahwa dia telah
melahirkan anak haram, tapi aku yakin dia bisa mengatasinya bila bayinya hidup sehingga
terasa nyata baginya—dia menyayangi anak-anak, dia mencintai ayah bayinya, dan dia bisa
saja menerima pengasingan dengan melihat setidaknya ada sesuatu yang indah muncul dari
kesalahan yang dibuatnya.”
Coop mengangkat bahu. “Tetapi, bayi itu meninggal dalam pelukannya saat dia pingsan
kelelahan. Dia terbangun, berlumuran darah karena melahirkan dan memeluk bayinya yang
mati. Dalam pikirannya, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian bayi itu: bayi itu
mati karena terlahir bukan dari pernikahan di gereja Amish.”
“Coba kuluruskan lagi, Dokter. Kau tak percaya Katie membunuh bayinya?”
“Tidak, aku tak percaya. Membunuh bayinya sendiri mustahil dilakukan Katie, karena dia
tak akan diterima lagi oleh komunitasnya. Meskipun aku bukan ahli tentang masyarakat
yang cinta damai seperti kaum Amish, kurasa mengakui pembunuhan akan membuat
seseorang tak diterima lagi dalam komunitas itu. Karena diterima dalam komunitasnya
merupakan hal terpenting dalam pikirannya selama kehamilan, maka pikiran itu juga ada di
kepala Katie saat dia melahirkan. Kalau dia terbangun dan menemukan bayinya masih
hidup, kurasa dia akan mengaku di gerejanya, membesarkan bayinya dengan orangtuanya,
dan melanjutkan hidup. Tapi, itu tidak terjadi. Kurasa dia terbangun, melihat bayinya sudah
mati, dan panik—dia akan diasingkan karena punya anak di luar nikah, dan dia tak punya
bayi agar ia bisa bertahan dalam pengasingan itu. Jadi pikirannya secara refleks bergerak
untuk bertindak dan mencoba menghilangkan bukti kelahiran dan kematian bayinya—
intinya, agar tak ada alasan lagi untuk mengasingkan diri dari komunitasnya.”
“Apakah Katie sadar saat dia menyembunyikan mayat bayinya?”
“Kurasa Katie menyembunyikan mayat bayinya saat dia masih dalam kondisi disosiasi,
karena hingga sekarang dia tak bisa ingat bagaimana dia melakukannya. Dia tak bisa
membiarkan dirinya mengingat, karena itu satu-satunya jalan agar dia bisa bertahan
menjalani kedukaan dan rasa malu.”
Sebenarnya pada titik ini aku dan Coop sudah merencanakan untuk menghentikan
kesaksian. Tapi tiba-tiba, berdasarkan firasat, aku menyilangkan tangan dan meneruskan
pertanyaan. “Apakah Katie pernah mengatakan pada Anda apa yang terjadi pada bayinya?”
“Tidak,” kata Coop waspada.
“Jadi seluruh skenario ini—kematian bayi dan Katie yang tak sadar menyembunyikan mayat
bayinya—adalah sesuatu yang Anda karang sendiri.”
Coop berkedip padaku, bingung, dan ia pantas merasa bingung. “Yah... tidak semuanya. Aku
berdasarkan kesimpulanku pada pembicaraanku dengan Katie.”
“Yeah, baiklah,” kataku tak acuh. “Tapi karena Katie tak mengatakan pada Anda apa yang
benar-benar terjadi malam itu, mungkinkah Katie membunuh bayinya dengan darah dingin,
dan menyembunyikannya di ruang penyimpanan setelah itu?”
Aku mengarahkan saksi, tapi aku tahu George tak akan mengajukan keberatan. Coop
terbata-bata, jelas bingung. “Mungkin adalah kata yang sangat besar,” katanya. “Kalau kau
bicara tentang kemungkinan terjadinya—”
“Jawab saja pertanyaannya, Dr. Cooper.”
“Yah. Itu barangkali bisa terjadi. Tapi belum tentu mungkin.”
“Mungkinkah Katie melahirkan, memeluk bayi laki-lakinya, membungkusnya, dan menangis
setelah dia menemukan bayi itu mati dalam pelukannya.”
“Ya,” kata Coop. “Kalau itu mungkin.”
“Mungkinkah Katie tertidur memeluk bayinya yang masih hidup, dan orang asing masuk ke
gudang dan membekap bayi itu, dan menyembunyikannya saat Katie pingsan.”
“Tentu, itu mungkin. Hampir mustahil, tapi mungkin.”
“Apakah Anda bisa memastikan bahwa Katie tidak membunuh bayinya?”
Coop ragu. “Tidak.”
“Bisakah Anda memastikan bahwa Katie memang membunuh bayinya?”
“Tidak.”
“Adilkah kalau dikatakan Anda punya keraguan tentang apa yang terjadi malam itu?”
“Ya. Bukankah kita semua begitu?”
Aku tersenyum padanya. “Tak ada pertanyaan lagi.”
“Benarkah kalau aku salah, Dr. Cooper, tapi terdakwa tak pernah bilang bayinya mati
dengan sendirinya, bukan?”
Coop memakukan pandangannya pada penuntut umum sehingga George terpaksa melengos.
Tuhan memberkatinya. “Tidak, tapi dia juga tak pernah bilang dia membunuhnya.”
George memikirkan jawaban itu. “Tetapi, Anda sepertinya berpikir bahwa itu sangat tidak
mungkin.”
“Kalau kau kenal Katie, kau juga akan berpikir demikian.”
“Berdasarkan kesaksian Anda, pikiran terpenting di kepala Katie adalah penerimaan oleh
komunitasnya.”
“Ya.”
“Seorang pembunuh akan diasingkan oleh komunitas Amish—mungkin untuk selamanya?”
“Itu asumsiku.”
163
“Nah, kalau begitu, apabila terdakwa membunuh bayinya, bukankah masuk akal kalau dia
menyembunyikan bukti pembunuhan sehingga dia tak akan diasingkan selamanya?”
“Ya Tuhan, aku sering mengerjakan tugas matematika ini di kelas tujuh. Kalau x maka pasti
y. Kalau tidak x, maka juga tidak y.”
“Dr. Cooper,” desak George.
“Yah, aku mengatakannya karena jika bagian kalau dari pernyataan itu salah, bisa
dikatakan bagian makanya juga salah. Itu sama saja dengan mengatakan Katie tak mungkin
membunuh bayinya. Itu adalah tindakan sadar—padahal saat itu dia sedang mengalami
kondisi disosiasi.”
“Menurut teori Anda, dia mengalami disosiasi saat melahirkan—dan juga mengalami
disosiasi saat menyembunyikan bayinya—tapi bisa tetap sadar secara mental untuk
memahami bayinya meninggal karena sebab alami di selang waktu di antaranya?”
Wajah Coop membeku. “Ya,” katanya memulihkan diri, “tidak tepat seperti itu. Ada
perbedaan antara tahu apa yang terjadi, dan memahaminya. Mungkin saja dia mengalami
disosiasi selama peristiwa itu.”
“Kalau dia mengalami disosiasi saat menyadari bayinya mati dalam pelukannya, seperti
yang Anda katakan tadi, dia tak begitu tahu apa yang terjadi?”
Coop mengangguk. “Itu benar.”
“Kalau begitu mengapa dia diliputi kedukaan dan rasa malu?”
Ia memojokkan Coop, dan kami semua tahu itu. “Katie menerapkan sejumlah mekanisme
pertahanan untuk bertahan melewati kelahiran bayinya. Salah satu dari mekanisme itu pasti
berfungsi saat dia sadar bayinya mati.”
“Enak sekali,” komentar George.
“Keberatan,” protesku.
“Diterima.”
“Dokter, Anda tadi bilang hal pertama yang diingat Katie tentang kelahirkan bayinya adalah
dia tak ingin seprainya terkena darah, jadi dia pergi ke gudang untuk melahirkan?”
“Ya.”
“Dia sendiri tak ingat tentang bayinya.”
“Bayinya datang setelah rasa sakit melahirkan, Mr. Callahan.”
Penuntut umum tersenyum. “Begitu pula yang dikatakan ayahku empat puluh tahun lalu.
Yang kumaksudkan adalah terdakwa tak ingat memeluk bayi, atau membangun ikatan
dengannya, benar bukan?”
“Semua itu akan terjadi setelah kelahirkan. Setelah kondisi disosiasi,” kata Coop.
“Kalau begitu sangat tidak berkaitan saat kau mengkhawatirkan noda darah seprai dan pada
saat yang sama kau sangat bahagia menunggu untuk punya anak.”
“Dia tak bahagia saat itu. Dia ketakutan, dan mengalami disosiasi.”
“Jadi dia tidak bersikap seperti biasanya?” desak George.
“Tepat sekali.”
“Kalau begitu bisa dibilang tubuh terdakwa melahirkan, merasakan sakit, meskipun
pikirannya berada di tempat lain?”
“Tepat. Kau tetap bisa berfungsi secara mekanisme, meskipun sedang mengalami kondisi
disosiasi.”
George mengangguk. “Mungkinkah bagian dari Katie Fisher yang hadir secara fisik dan
secara mekanis bisa melahirkan dan memotong tali pusar bayinya juga secara fisik hadir dan
secara mekanis mampu membunuh bayinya?”
Coop terdiam. “Ada banyak kemungkinan.”
“Kurasa jawabannya ya,” George mulai berjalan kembali ke meja penuntut umum. “Oh,
satu pertanyaan terakhir. Berapa lama Anda kenal Ms. Hathaway?”
Aku sudah berdiri sebelum aku menyadari aku bangkit dari kursi. “Keberatan!” teriakku.
“Apa relevansinya? Apa dasarnya?”
Setiap orang tentu bisa melihat jelas betapa wajahku jadi memerah. Ruang sidang hening.
Di kursi saksi, Coop sepertinya ingin dirinya menghilang ditelan lantai.
Hakim Ledbetter menyipitkan matanya padaku. “Mendekat,” katanya. “Apa hubungannya
pertanyaan itu dengan kasus ini, Mr. Callahan?”
“Saya ingin menunjukkan bahwa Ms. Hathaway sudah mempunyai hubungan kerja dengan
saksi ini selama bertahun-tahun.”
Kedua telapak tanganku berkeringat dan menekan meja hakim keras-keras. “Kami belum
pernah bekerja sama di persidangan sebelumnya,” kataku. “Mr. Callahan mencoba
membuat juri berprasangka hanya dengan menunjukkan bahwa Dr. Cooper dan aku saling
mengenal seara pribadi maupun profesional.”
“Mr. Callahan?” tanya Hakim.
“Yang Mulia, saya yakin ada konflik kepentingan di sini, dan saya ingin juri tahu.”
Sementara Hakim memikirkan argumen kami, aku tiba-tiba ingat pertama kali Katie
mengakui siapa ayah bayinya. Bulan saat itu purnama dan bersinar terang, cahayanya
menerobos ke jendela dan menguping pembicaraan kami. Suara Katie melembut saat ia
menyebut nama Adam. Dan sepuluh menit lalu ia berkata: Kenangan ini adalah satu-
satunya yang kumiliki, dan kau memberitahukannya pada semua orang.
Kalau George Callahan melakukan ini, sama saja ia merampok harta pribadiku.
“Baiklah,” kata Hakim. “Aku akan mengizinkan kau melanjutkan pertanyaanmu.”
Aku berjalan kembali ke meja pembela dan duduk di samping Katie. Tangan Katie langsung
terulur menggenggam tanganku dan meremasnya. “Berapa lama Anda kenal pembela?”
tanya George.
164
“Dua puluh tahun,” kata Coop.
“Benarkah kalian berdua punya hubungan lebih dari sekadar hubungan profesional?”
“Kami sudah berteman lama. Aku sangat menghormatinya.”
George memandangku dari ujung rambut ke ujung kaki, dan saat itu aku ingin sekali
menendang giginya. “Teman?” desaknya. “Tak lebih?”
“Bukan urusanmu,” kata Coop.
Penuntut umum menangguk. “Itu juga yang dipikirkan Katie, dan lihat apa yang
menimpanya.”
“Keberatan!” kataku, berdiri begitu cepat sehingga aku hampir menarik Katie berdiri juga.
“Diterima.”
George tersenyum padaku. “Dicabut.”

“Ayolah,” kata Coop padaku beberapa saat kemudian, saat ia dipersilakan turun dari kursi
saksi dan Hakim memutuskan istirahat. “Kau butuh jalan-jalan.”
“Aku harus bersama Katie.”
“Jacob akan menjaganya, ya kan, Jacob?” tanya Coop, menepuk bahu kakak Katie.
“Tentu,” kata Jacob, menegakkan badannya.
“Baiklah,” gumamku. Aku mengikuti Coop ke luar ruang sidang, melewati gumaman para
wartawan yang masih duduk di kursi pengunjung.
Begitu kami sampai di logi, kilatan lampu kamera meledak di depan wajahku. “Benarkah,”
tanya seorang reporter, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajahku. “bahwa—”
“Bisakah aku mengatakan sesuatu di sini?” potong Coop dengan ramah. “Kau tahu berapa
tinggiku?”
Reporter mengerutkan kening. “Sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter?”
“Sekitar itulah. Kau tahu beratku?”
“Sembilan puluh kilogram.”
“Tebakan hebat. Kau tahu kalau aku sekarang berpikir untuk mengambil kamera dan
melemparkannya?”
Reporter itu tersenyum sinis. “Kurasa kau adalah bodyguard dalam segalanya.”
Aku meremas lengan Coop dan menariknya ke lorong, di sana aku menemukan ruang
konferensi yang kosong. Coop memandang ke pintu yang tertutup di belakang kami, seakan-
akan memikirkan hendak mengejar reporter itu lagi. “Nanti malah jadi publisitas buruk,”
kataku.
“Tapi aku memikirkan tentang kepuasan psikologisnya.”
Aku duduk di kursi. “Aku tak percaya tak seorang pun berusaha memotret Katie, tapi
mereka mengejarku.”
Coop tersenyum. “Kalau mereka mengejar Katie, itu membuat mereka terlihat buruk—
melanggar kebebasan religius dan semacamnya. Tapi mereka masih membutuhkan sesuatu
sebagai gambaran cerita mereka. Itu berarti hanya ada kau dan Callahan, dan percayalah,
kamera lebih menyukaimu daripada dia.” Coop ragu sebentar. “Kau hebat sekali di sana
tadi.”
Mengangkat bahu, aku meregangkan jari-jari kakiku. “Kau sendiri juga bagus. Saksi terbaik
yang kita punya, kurasa—”
“Yah, makasih—”
“—hingga George benar-benar menjatuhkan kredibilitasmu.”
Coop berdiri di belakangku. “Sialan. Dia tidak merusak seluruh kesaksian dengan sampah
itu, bukan?”
“Tergantung bagaimana juri memandangnya, dan apakah mereka mengira kita menipu
mereka. Juri tak suka dipermainkan.” Aku meringis. “Tentu saja, mereka mengira aku tidur
dengan semua orang yang kujadikan saksi.”
“Kau bisa menarik kesaksianku, jadi aku akan membebaskan mereka dari pikiran itu.”
“Terima kasih, tapi tak usah.” Jari-jari Coop mengusap rambutku dan mulai memijit
kepalaku. “Ya Tuhan enak sekali. Kukira kau harus membayar untuk ini.”
“Tidak. Ini salah satu keuntungan tidur denganku agar aku mau bersaksi.”
“Kalau begitu, ada untungnya juga.” Aku mendongakkan kepala dan tersenyum. “Hai,”
bisikku.
Coop menundukkan wajahnya dan menciumku. “Hai.”
Mulutnya mengulum mulutku, terasa canggung dengan posisi ini, sehinga aku berputar dan
berlutut di kursi untuk memeluknya. Setelah sesaat, ia melepaskanku dan menempelkan
dahinya ke dahiku. “Bagaimana anak kita?”
“Hebat,” kataku, tapi senyumku memudar.
“Apa?”
“Aku berharap Katie bisa merasakan ini,” kataku. “Momen dengan Adam, kau tahu. Momen
yang membuatnya percaya bahwa semua akan baik-baik saja.”
Coop memiringkan kepalanya. “Benarkah demikian, El?”
“Bayi ini akan baik-baik saja,” kataku lebih pada diriku sendiri dibandingkan pada Coop.
“Bayi ini bukan yang dipertanyakan.” Coop menarik napas dalam-dalam. “Apa yang kau
bilang di dalam tadi selama pemeriksaan saksi—tentang mengambil langkah pertama, apa
kau serius?”
Aku bisa saja berpura-pura; aku bisa saja mengatakan padanya aku tak tahu apa
maksudnya. Tapi, aku malah mengangguk.
Coop menciumku dalam-dalam, menghirup napasku panjang dan lama, terasa manis.
“Mungkin aku belum menyebutkannya, tapi aku ahli dalam mengambil langkah pertama.”
“benarkah,” kataku. “Kalau begitu ajari aku.”
“Pejamkan matamu,” jawab Coop, “dan melompat.”

Aku menghela napas dalam-dalam dan berdiri. “Pembela memanggil Samuel Stolzfus.”
Terdengar tawa pelan dan pandangan ingin tahu saat Samuel masuk ke ruang sidang dikawal
petugas. Seekor banteng di toko porselen, pikirku, memandang pria besar itu naik ke kursi
saksi, wajahnya pucat ketakutan dan tangannya gugup, memutar-mutar pinggiran topi
hitamnya.
165
Dari Katie dan Sarah serta pembicaraan di meja makan, aku tahu apa yang dikorbankan
Samuel untuk menjadi saksi di persidangan Katie. Meskipun komunitas Amish mau bekerja
sama dengan penegak hukum dan pergi ke sidang bila dipanggil, tapi mereka melarang
anggotanya melakukan tuntutan hukum secara sukarela. Samuel, yang dengan sukarela
menawarkan diri sebagai saksi karakter untuk Katie, berada di antara dua ujung ekstrem
itu. Meskipun keputusannya tidak dipertanyakan oleh pengurus gereja, ada beberapa
jemaat yang tidak setuju, yakin bahwa kesengajaannya mengajukan diri di pengadilan
Inggris ini tidak akan memberikan hasil yang baik.
Juru tulis sidang, pria berwajah kurus dan berbau permen karet, mendekati Samuel dengan
Alkitab. “Tolong angkat tangan kananmu.” Juru tulis itu menyorongkan Alkitab di bawah
telapak tangan Samuel. “Apakah kau bersumpah untuk mengatakan yang sebenarnya,
seluruh kebenaran, dan tidak ada yang lain kecuali kebenaran, semoga Tuhan
menolongmu?”
Samuel menarik tangannya menjauh dari Alkitab seakan-akan tangannya terbakar. “Tidak,”
katanya ngeri. “Aku tidak mau.”
Gumaman ribut terdengar dari kursi pengunjung. Hakim mengetukkan palunya dua kali.
“Mr. Stolzfus,” katanya lembut. “Aku sadar kau tidak kenal sistem pengadilan. Tapi ini
prosedur biasa.”
Samuel menggeleng keras kepala, rambut pirangnya berayun-ayun, ia memandangku,
memanggil.
Hakim Ledbetter menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti, “kenapa aku?” Lalu
ia memanggilku mendekat. “Pengacara kau punya waktu beberapa menit untuk menjelaska
prosedur ini pada saksi.”
Aku berjalan mendekati Samuel dan meletakkan tanganku di lengannya, mengalihkannya
dari pandangan ingin tahu para pengunjung. Ia gemetaran. “Samuel, apa masalahnya?”
“Kami tidak berdoa di depan umum,” bisiknya.
“Itu hanya kata-kata. Tak berarti apa-apa.”
Mulutnya ternganga, seakan-akan aku berubah menjadi setan di depan matanya. “Itu
adalah sumpah pada Tuhan—bagaimana mungkin kau bilang tak berarti apa-apa? Aku tidak
bisa bersumpah di atas Alkitab, Ellie,” katanya. “Aku minta maaf, tapi kalau itu harus, aku
tak bisa melakukannya.”
Mengangguk kaku, aku kembali ke hakim. “Bersumpah di atas Alkitab bertentangan dengan
agamanya. Mungkinkah untuk membuat perkecualian?”
George mendekat ke sampingku. “Yang Mulia, maaf kalau kedengarannya seperti kaset
rusak, tapi jelas Ms. Hathaway sudah merencanakan ini untuk membuat juri simpati pada
orang Amish.”
“George benar tentu saja. Dan tak lama lagi sepasukan artis drama yang kusewa akan
datang untuk memeragakan aib yang diderita Katie untuk menarik perhatian.”
“Kau tahu,” kata Hakim Ledbetter serius, “aku pernah mendapatkan saksi seorang pebisnis
Amish dalam sidang beberapa tahun lalu, dan kami mengalami masalah yang sama.”
Aku ternganga memandang hakim, bukan karena ia memberikan solusi, tapi karena ia
pernah mendapatkan seorang Amish di ruang sidang sebelumnya. “Mr. Stolzfus,” kata
hakim. “Apakah kau mau mengakui di atas Alkitab?”
Aku bisa melihat pikiran Samuel berputar. Dan aku tahu pikiran harafiah orang Amish akan
menerima saran hakim ini. Selama kata yang digunakan bukan berikrar atau bersumpah
atau berjanji, Samuel akan menerima kompromi itu.
Samuel mengangguk. Juru tulis menyorongkan Alkitab di bawah tangannya lagi; aku
mungkin hanya satu-satunya orang yang mengambati bahwa tangan Samuel mengapung
beberapa milimeter dari Alkitab. “Apakah kau... uh, mengakui untuk mengatakan yang
sebenarnya, seluruh kebenaran, dan tidak ada yang lain kecuali kebenaran, semoga Tuhan
menolongmu?”
Samuel tersenyum pada pria kecil itu. “Ja, baiklah.”
Ia duduk di kursi saksi, memenuhi seluruh podium, tangannya yang besar menangkup di atas
lutut, dan topinya ditaruh di bawah kursi. “Bisa kau sebutkan nama dan alamatmu?”
Samuel berdeham. “Samuel Stolzfus. Blossom Hill Road, East Paradise Township.” Ia ragu
sebentar, lalu menambahkan. “Pennsylvania, Amerika Serikat.”
“Terima kasih, Mr. Stolzfus.”
“Ellie,” bisiknya keras-keras, “kau boleh memanggilku Samuel.”
Aku menyeringai geli. “Oke. Samuel. Apakah kau sedikit gugup?”
“Ya.” Jawabannya disertai embusan napas lega.
“Aku yakin kau gugup. Apa kau pernah ke pengadilan sebelumnya?”
“Tidak.”
“Apakah kau pernah berpikir bahwa suatu hari kau akan masuk ke ruang sidang?”
Samuel menggeleng. “Ach, tidak. Kami tak percaya tentang mengajukan tuntutan hukum,
jadi aku tak pernah memikirkannya.”
“Siapa yang kaumaksud dengan 'kami'?”
“Orang-orang,” katanya.
“Kaum Amish?”
“Ya.”
“Apakah kau diminta menjadi saksi hari ini?”
“Tidak. Aku mengajukan diri.”
“Kau sukarela meletakkan dirimu di posisi yang tidak mengenakkan? Mengapa?”
166
Matanya yang biru jernih terkunci pada Katie. “Karena Katie tidak membunuh bayinya.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku sudah mengenalnya sepanjang hidupku. Sejak kami anak-anak. Aku bertemu
dengannya setiap hari selama bertahun-tahun. Sekarang aku bekerja pada ayah Katie di
pertanian.”
“Benarkah? Apa yang kaulakukan di sana?”
“Apa pun yang diperintahkan Aaron padaku. Seringnya, aku di sana untuk membantu tanam
dan panen. Oh ja, dan memerah susu. Karena di sana ada peternakan sapi perah.”
“Kapan memerah susu dilakukan, Samuel?”
“Jam setengah lima pagi dan setengah lima sore.”
“Apa saja yang kaukerjakan saat memerah susu?”
Alis George terangkat. “Keberatan. Apa kita butuh pelajaran tentang manajemen
peternakan?”
“Saya sedang menyiapkan dasar kesaksian, Yang Mulia,” debatku.
“Ditolak. Mr. Stolzfus, kau boleh menjawab pertanyaannya.”
Samuel mengangguk. “Yah, kami mulai dengan mencampur makanan. Lalu kami
membersihkan kotoran di kandang sapi dan mengumpulkannya di lubang kompos. Aaron
punya dua puluh sapi, jadi pekerjaan ini butuh waktu lumayan lama. Lalu kami
membersihkan ambing sapi dan memasang pompa perah, yang dijalankan dengan generator.
Apa aku sudah bilang pompa digunakan untuk dua sapi sekali pasang? Susunya dimasukkan
ke kaleng kemudian ditumpahkan ke tangki susu. Dan biasanya di tengah-tengah
pemerahan, kami harus berhenti dan membersihkan kotoran mereka lagi.”
“Kapan truk perusahaan susu datang mengambil susu?”
“Dua hari sekali, kecuali hari Minggu. Saat hari Minggu, truk datang pada waktu yang aneh,
seperti Sabtu tengah malam.”
“Apakah susunya sudah dipasteurisasi sebelum truk mengambilnya?”
“Tidak, itu terjadi setelah susu dibawa dari peternakan.”
“Apakah keluarga Fisher minum susu dari supermarket?”
Samuel menyeringai. “Itu bodoh, bukan? Seperti membeli daging babi saat kau baru saja
menyembelih seekor babi yang gemuk. Keluarga Fisher meminum susu segar produksi
peternakan mereka. Aku harus membawakan seteko susu segar kepada ibu Katie dua kali
sehari.”
“Jadi susu yang diminum keluarga Fisher belum dipasteurisasi?”
“Belum, tapi rasanya sama saja dengan susu yang kau beli di kemasan jerigen putih itu. Kau
sudah minum. Rasanya sama, bukan?”
“Keberatan—bisakah seseorang mengingatkan saksi bahwa dia seharusnya tak boleh
memberikan pertanyaan?” kata George.
Hakim mencondongkan tubuh ke samping. “Mr. Stolzfus, kurasa penuntut umum benar.”
Wajah pria besar itu memerah dan ia tertunduk. “Samuel,” kataku cepat-cepat, “mengapa
kau merasa kau mengenal baik Katie?”
“Aku sudah sering melihatnya di berbagai situasi sehingga tahu bagaimana ia bersikap—saat
ia sedih, saat ia bahagia. Aku ada di sana saat adiknya tenggelam, saat kakaknya diasingkan
dari gereja. Dan juga dua tahun lalu, kami mulai pergi bersama.”
“Maksudmu berkencan?”
“Ja.”
“Apakah kalian masih berkencan saat Katie hamil”
“Ya.”
“Apakah kau ada saat dia melahirkan?”
“Tidak, aku tak ada,” kata Samuel. “Aku baru tahu kemudian.”
“Apakah kau saat itu mengira bahwa itu adalah bayimu?”
“Tidak.”
“Mengapa tidak?”
Samuel berdeham. “Kami tak pernah tidur bersama.”
“Apakah kau tahu siapa ayah bayi itu?”
“Tidak. Katie tak mau memberitahuku.”
Aku melembutkan suaraku. “Bagaimana perasaanmu tentang itu?”
“Sangat buruk. Dia gadisku, kau tahu. Aku tak tahu apa yang terjadi.”
Untuk beberapa saat, aku membiarkan juri memandang ke Samuel. Pria kuat dan tampan
dengan pakaian yang terlihat aneh, bicara terbata-bata dalam bahasa keduanya, mencoba
bertahan dalam situasi yang sama sekali tak dikenalnya. “Samuel,” kataku. “Gadismu hamil
dengan orang lain—bayi itu ditemukan mati secara misterius, meskipun kau tak di sana
untuk melihat apa yang terjadi—kau gugup pergi ke ruang sidang untuk bersaksi—tapi kau
datang ke sini untuk mengatakan pada kami Katie tidak melakukan pembunuhan?”
“Itu benar.”
“Mengapa kau membela Katie yang telah berbuat salah padamu?”
“Semua yang kaukatakan tadi benar, Ellie. Aku seharusnya marah. Aku memang marah,
selama beberapa waktu, tapi sekarang aku tidak marah. Sekarang aku sudah menyingkirkan
keegoisanku dan aku ingin membantunya. Begini, sebagai orang Amish, kau tidak
mementingkan dirimu sendiri. Kau tak mau melakukannya, karena itu artinya Hochmut—
menyombongkan diri—padahal selalu ada orang lain yang lebih penting dari dirimu. Jadi
saat Katie mendengar orang lain mengatakan kebohongan tentang dia dan bayi ini, dia tak
mau melawan, atau membela dirinya. Aku di sini untuk mebelanya.” Seakan-akan
mendengarkan kata-katanya sendiri, Samuel pelan-pelan berdiri dan memandang ke arah
juri. “Dia tidak melakukan ini. Dia tak bisa melakukan ini.”
167
Kedua belas anggota juri terpukau oleh wajah Samuel yang tenang dan penuh keyakinan.
“Samuel, apa kau masih mencintainya?”
Samuel menoleh padaku, pandangannya melewatiku dan berhenti pada Katie. “Ya,”
katanya. “Ya, aku mencintainya.”

George mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke bibir. “Dia gadismu, tapi dia tidur dengan pria
lain?”
Mata Samuel menyipit. “Apa kau tidak mendengar apa yang kukatakan tadi?”
Penuntut umum mengangkat tangannya. “Aku hanya bertanya-tanya bagaimana perasaanmu
tentang itu.”
“Aku tidak datang ke sini untuk bicara tentang perasaanku. Aku datang ke sini untuk bicara
tentang Katie. Dia tidak melakukan sesuatu yang salah.”
Aku menutupi tawaku dengan pura-pura batuk. Untuk seseorang yang tidak berpengalaman,
Samuel bisa jadi orang yang sangat susah dipengaruhi. “Apakah agamamu mempraktikkan
pengampunan, Mr. Stolzfus?”
“Samuel.”
“Baiklah kalau begitu. Samuel. Apakah agamamu mempraktikkan pengampunan?”
“Ya. Kalau seseorang merendahkan diri dan mengakui dosanya, dia akan selalu diterima
kembali oleh gereja.”
“Setelah dia mengakui dosanya?”
“Setelah dia mengaku, itu benar.”
“Oke. Sekarang mari kita lupakan tentang gereja sebentar saja. Jangan menjawab sebagai
seorang Amish, jawab saja sebagai seorang manusia. Apakah ada hal-hal yang tak bisa
kaumaafkan?”
Bibir Samuel mengeras. “Aku tidak bisa menjawab tanpa berpikir sebagai orang Amish,
karena memang begitulah diriku. Dan kalau aku tak bisa mengampuni seseorang, itu bukan
jadi masalah mereka, tapi masalahku, karena aku tidak menjadi Kristiani yang baik.”
“Dalam kasus ini, kau mengampuni Katie.”
“Ya.”
“Tapi kau tadi bilang pengampunan mengimplikasikan pihak lain telah mengakui dosanya.”
“Ya...ja.”
“Jadi kalau kau mengampuni Katie, dia pasti telah melakukan hal yang salah—meskipun
lima menit yang lalu kau bilang dia tidak melakukan sesuatu yang salah.”
Samuel terdiam beberapa saat. Aku menahan napasku, menunggu George menghantamkan
pukulan mematikan. Lalu pria Amish itu mengangkat pandangannya. “Aku bukan orang
pintar, Mr. Callahan. Aku tak kuliah, seperti kau. Aku tak tahu apa yang sebenarnya
kautanyakan padaku. Ya aku memaafkan Katie—tetapi bukan karena membunuh bayi. Satu-
satunya hal yang kumaafkan dari Katie adalah karena telah mematahkan hatiku.” Ia ragu
sebentar. “Dan kurasa bahkan kalian orang Inggris tak bisa memenjarakan dia karena itu.”

Owen Zeigler rupanya alergi pada ruang sidang. Untuk keenam kalinya, ia bersin, menutupi
hidungnya dengan sapu tangan bermotif bunga. “Maaf. Dermatophagoides pteronyssinus.”
“Apa?” kata Hakim Ledbetter.
“Kutu debu. Makhluk kecil yang jahat. Mereka tinggal di bantal, kasur—dan aku yakin, di
bawah karpet ini juga.” Ia mengendus. “Mereka makan kulit ari yang jatuh dari kulit
manusia, dan kotoran mereka menyebakan gejala alergi. Kau tahu, kalau kau memonitor
kelembapan di sini sedikit lebih baik, kau bisa mengurangi penyebab iritasinya.”
“Kurasa kau mengacu pada kutu debu dan bukan pengacara,” kata Hakim datar.
Owen memandang ragu ke ventilasi AC di atas. “Kau mungkin sebaiknya juga mengecek
spora bakterinya juga.”
“Yang Mulia, saya juga punya alergi,” kata George. “Tapi saya merasa nyaman-nyaman saja
di ruang sidang.”
Owen terlihat tersinggung. “Bukan salahku kalau aku lebih peka.”
“Dr. Zeigler, apakah kau merasa bisa bersaksi? Atau apakah aku harus mencari ruang sidang
yang lain?”
“Atau mungkin gelembung plastik?” gumam George jengkel.
Owen bersin lagi. “Aku akan mencoba.”
Hakim memijit-mijit pelipisnya. “Kau boleh teruskan, Ms. Hathaway.”
“Dr. Zeigler,” kataku, “apakah Anda memeriksa sampel jaringan Bayi Fisher?”
“Ya. Bayi laki-laki terlahir prematur tanpa cacat bawaan. Ada bukti choriomnionitis dan
infeksi. Penyebab kematian adalah kekurangan oksigen tidak lama setelah dilahirkan.”
“Kalau begitu, penemuan Anda tidak bertentangan dengan hasil pemeriksaan petugas
koroner?”
Owen tersenyum. “Kami sependapat tentang penyebab kematian. Tapi mengenai penyebab
sebenarnya dari kematian—kejadian yang menyebabkan terjadinya kekurangan oksigen—
analisis kami sangat berbeda.”
“Bagaimana bisa?”
“Menurut petugas koroner penyebab kematian adalah pembunuhan. Sedangkan menurutku
penyebab kekurangan oksigen bayi itu adalah karena sebab alami.”
Aku membiarkan juri meresap perkataan itu selama beberapa saat. “Sebab alami? Apa
maksud Anda?”
“Berdasarkan dari analisisku, Ms. Fisher tidak terkait dengan pembunuhan bayinya—bayi itu
berhenti bernapas dengan sendirinya.”
“Mari coba kita uraikan penemuan itu, Dokter.”
“Yah, yang paling membingungkan adalah necrosis hati.”
“Bisa Anda jelaskan?”
168
Owen mengangguk. “Necrosis adalah kematian sel. Necrosis murni biasanya disebabkan
kelainan jantung bawaan, yang tidak dialami oleh bayi ini, atau karena infeksi. Ketika
petugas koroner melihat necrosis, dia mengasumsikan itu merupakan bagian dari asphyxia—
kekurangan oksigen, tapi hati punya dua jalur suplai darah dan lebih tahan terhadap
ischemia dibandingkan organ lainnya.”
“Ischemia?”
“Hypoxia jaringan—kekurangan oksigen—yang disebabkan kurangnya suplai oksigen dalam
darah. Biasanya jejak luka akibat kekurangan oksigen sangat jarang ditemukan di hati. Dan
ditambah dengan chorioamnionitis, aku mulai bertanya-tanya apakah mungkin ada peran
agen penyebab infeksi di sini.”
“Mengapa petugas koroner melewatkan ini?”
“Ada dua alasan,” jelas Owen. “Pertama, hati tidak menunjukkan adanya poly—sel darah
putih yang merespons infeksi bakteri. Tetapi, kalau infeksinya baru terjadi, mungkin belum
ada respons poly lagi. Petugas koroner mengasumsikan tidak ada infeksi karena tidak ada
respons peradangan. Tapi kematian sel bisa saja terjadi beberapa jam sebelum tubuh
meresponsnya dengan memunculkan radang—dan aku yakin bayi itu sudah meninggal
sebelum ini bisa terjadi. Kedua, biakan sampelnya menunjukkan tidak adanya organisme
yang mungkin menyebabkan infeksi.”
“Apa yang Anda lakukan?”
“Aku mengambil parafin yang berisi sampel jaringan dan melakukan tes Gram pada hati.
Saat itulah aku menemukan sejumlah besar bakteri cocco-bacillary di bayi itu. Pemeriksa
medis menganggap ini adalah kontamin—diphtheroid, yang juga bakteri berbentuk pipa.
Nah, cocco-bacilli sering disalahpahami sebagai bakteri berbentuk pipa lain, seperti
diphtheroid; atau cocci, seperti staphylococcus atau streptococcus. Organisme ini banyak
sekali sehingga aku mulai bertanya-tanya apakah organisme itu tidak hanya sekadar
kontaminan—dan mungkin merupakan agen penyebab infeksi. Dengan bantuan ahli
mikrobiologi, aku mengidentifikasi organisme itu sebagai Listeria monocytogenes, bakteri
berbentuk pola motile pleomorphic yang positif hasilnya saat dilakukan uji Gram.”
Aku bisa melihat mata juri kosong, pusing dengan seluruh istilah ilmiah itu. “Coba Anda
ulangi sekali lagi,” gurauku.
Owen tersenyum. “Kita sebut saja listeriosis. Itu adalah infeksi yang disebabkan bakteri
ini.”
“Bisakah Anda jelaskan pada kami tentang listeriosis?”
“Listeriosis sering menjadi penyebab yang tak dikenal dalam kelahiran prematur dan
kematian bayi,” kata Owen. “Infeksi pada trimester kedua atau ketiga kehamilan biasanya
menyebabkan bayi lahir mati atau kelahiran prematur yang diikuti pneumonia dan
munculnya mikroorganisme pada bayi tidak lama setelah dilahirkan.”
“Tunggu dulu,” kataku. “Anda tadi bilang Katie menderita infeksi yang mungkin
membahayakan kesehatan bayinya, sebelum bayi itu lahir?”
“Itulah yang kumaksud. Terlebih lagi, infeksi ini sangat sulit didiagnosis tepat waktu untuk
terapi yang tepat. Sang ibu hanya akan mengalami gejala seperti flu—demam, pegal-pegal,
sakit ringan—hanya beberapa jam sebelum terjadi kelahiran prematur.”
“Apa efeknya bagi bayi?”
“Depresi tidak lama setelah kelahiran, demam, dan gangguan pernapasan.” Owen berhenti.
“Angka kematian bayi baru lahir, menurut penelitian, adalah sekitar tiga puluh hingga lima
puluh persen setelah perawatan.”
“Bayi yang terinfeksi listeria punya lima puluh persen kemungkinan meninggal meskipun
sesudah dirawat?”
“Benar.”
“Bagaimana infeksi listeriosis terjadi?” tanyaku.
“Dari riset-riset yang kubaca, makan-makanan terkontaminasi adalah jalur penularan yang
paling umum. Terutama susu dan keju yang tidak dipasteurisasi.”
“Susu yang tidak dipasteurisasi,” ulangku.
“Ya. Dan orang-orang yang sering kontak dengan binatang risikonya semakin tinggi.”
Aku meletakkan tangan di bahu Katie. “Dr. Zeigler, kalau aku memberikan laporan autopsi
bayi Katie, lalu mengatakan pada Anda bahwa Katie tinggal di peternakan sapi perah,
minum susu yang belum dipasteurisasi setiap hari selama hamil, dan terlibat aktif dalam
pemerahan sapi dua kali sehari, apa yang akan Anda pikirkan?”
“Berdasarkan pada kondisi kehidupannya dan paparan potensial terhadap Listeria
monocytogenes, aku bisa menyimpulkan bahwa dia mendapatkan infeksi saat hamil.”
“Apakah Bayi Fisher menunjukkan gejala bayi yang terinfeksi listeriosis?”
“Ya. Dia terlahir prematur dan mengalami kegagalan pernapasan. Dia menderita beberapa
gejala granulomatosis infantiseptica, termasuk necrosis hati dan penumonia.”
“Apakah itu fatal?”
“Tentu saja. Baik dari komplikasi kekurangan oksigen tidak lama setelah lahir maupun dari
infeksinya.”
“Menurut pendapat Anda, apa yang menyebabkan kematian Bayi Fisher?” tanyaku.
169
“Asphyxia—kekurangan oksigen karena kelahiran prematur, akibat chorioaminionitis yang
disebabkan oleh listeriosis.” Owen tersenyum. “Memang sepertinya terlalu berat, tapi pada
dasarnya artinya ada serangkaian kejadian yang menyebabkan kematian akibat sebab alami.
Bayi itu sudah sekarang sejak saat dia dilahirkan.”
“Menurut pendapat Anda, apakah Katie Fisher yang bertanggung jawab terhadap kematian
bayinya?”
“Ya, kalau kau bicara teknis,” kata Owen. “Lagipula, tubuhnyalah yang menularkan Listeria
monicytogenes pada janinnya. Tetapi infeksi itu jelas tidak disengaja. Kau tak bisa
menyalahkan Ms. Fisher lebih dari menyalahkan seorang ibu yang tak sengaja menularkan
AIDS pada janinnya.” Owen memandang Katie, yang duduk dengan kepala tertunduk. “Itu
bukan pembunuhan. Hanya kejadian yang menyedihkan.”
Aku sendang melihat George bingung. Itu tepat seperti yang kuharapkan—tidak ada jaksa
penuntut umum yang akan menganalisis listeriosis sendiri, dan jelas itu tak terpikirkan oleh
George selama pemeriksaan saksi. Ia berdiri, merapikan dasinya, dan berjalan menuju
saksiku.
“Listeria,” katanya. “Apakah ini bakteri umum?”
“Sebenarnya, listeria lumayan umum,” kata Owen. “Ada di mana-mana.”
“Kalau begitu mengapa kita semua tidak tertular?”
“Listeria memang bakteri yang umum, tapi infeksinya jarang terjadi. Hanya sekitar satu
dari dua puluh ribu wanita hamil.”
“Satu di antara dua puluh ribu. Dan itu menyerang terdakwa sekuat tenaga, seperti yang
Anda bilang, karena kebiasaannya minum susu yang belum dipasteurisasi.”
“Asumsiku memang begitu.”
“Apakah Anda benar-benar tahu bahwa terdakwa minum susu yang tidak dipasteurisasi?”
“Yah, aku memang tidak bertanya padanya, tapi dia tinggal di peternakan sapi perah.”
George menggeleng. “Itu tidak membuktikan apa-apa, Dr. Zeigler. Aku bisa saja tinggal di
peternakan ayam dan alergi telur. Apakah Anda tahu pasti bahwa setiap kali terdakwa
mengambil teko di meja makan, teko itu berisi susu—dan bukan jus jeruk, atau air, atau
Coke?”
“Tidak, aku tidak tahu.”
“Apakah ada orang lain di rumahnya yang menderita listeriosis?”
“Aku tidak diminta untuk menganalisis blok parafin dari jaringan mereka,” kata Owen.
“Jadi aku tak bisa mengatakannya padamu.”
“Biar saya membantu Anda, kalau begitu. Mereka tidak menderita listeriosis. Tak seorang
pun kecuali terdakwa yang menunjukkan tanda-tanda penyakit misterius ini. Bukankah aneh
bahwa satu keluarga yang minum susu yang sama tidak semuanya mengalami reaksi fisik
terhadap bakteri itu?”
“Tidak juga. Kehamilan adalah kondisi ketika kekebalan tubuh ditekan, dan listeriosis
meradang pada pasien yang mengalami gangguan kekebalan tubuh. Jika seseorang di rumah
itu menderita kanker, atau infeksi HIV, atau sangat tua, kondisi itu bisa menyebabkan
gangguan pada sistem kekebalan—maka mungkin saja ada respons infeksi yang rupanya
dialami Ms. Fisher.”
“Yang rupanya dialami,” ulang George. “Dokter, apakah Anda mengindikasikan, dia mungkin
saja tidak menderita penyakit ini?”
“Tidak, dia jelas menderita infeksi listeriosis. Plasenta dan bayinya terinfeksi dan satu-
satunya jalan penularan bakteri adalah dari ibu.”
“Apakah ada cara untuk membuktikan, secara pasti, bahwa bayi itu menderita listeriosis?”
Owen memikirkan pertanyaan ini. “Kami tahu dia terinfeksi listeria, karena tes
immunostaining yang kami lakukan.”
“Bisakah Anda membuktikan bahwa bayi itu mati karena komplikasi listeriosis?”
“Bakteri listeria-lah yang fatal,” jawab Owen. “Bakteri itu menyebabkan infeksi di hati,
paru-paru, otak, di mana saja. Tergantung pada pola keterlibatannya, organ yang
menyebabkan kematian mungkin berbeda antarpasien. Dalam kasus bayi Fisher,
penyebabnya adalah kegagalan sistem pernapasan.”
“Kematian bayi itu karena kegagalan pernapasan?”
“Ya,” kata Owen. “Kegagalan pernapasan, karena infeksi saluran pernapasan.”
“Tapi bukankah infeksi saluran pernapasan hanya salah satu penyebab kegagalan
pernapasan?”
“Ya.”
“Apakah pembekapan juga menyebabkan kegagalan pernapasan?”
“Ya.”
“Jadi, mungkinkah bayi itu memang terinfeksi listeria, mungkin ada jejak bakteri di tubuh
dan paru-parunya—tapi penyebab kematian yang sebenarnya disebabkan oleh ibunya yang
membekapnya?”
Owen mengerutkan kening. “Itu mungkin saja. Tak ada cara yang pasti untuk
mengetahuinya.”
“Tak ada pertanyaan lagi.”
Aku berdiri dari kursiku untuk pemeriksaan ulang sebelum George sampai ke mejanya. “Dr.
Zeigler, kalau bayi Katie tidak mati karena kegagalan pernapasan pagi itu, apa yang akan
terjadi padanya?”
“Yah, dengan mengasumsikan bahwa setelah lahir di rumah bayi itu tidak segera di bawa ke
rumah sakit untuk didiagnosis dan dirawat, maka infeksinya akan meluas.”
170
“Dia mungkin akan meninggal karena pneumonia dua atau tiga hari kemudian... kalau tidak,
dia bisa saja meninggal karena meningitis dua minggu kemudian. Begitu meningitis muncul,
penyakitnya jadi fatal meskipun sudah didiagnosis dan dirawat.”
“Jadi kecuali bayi itu dibawa ke ruang perawatan setelah dilahirkan, kemungkinan besar dia
akna meninggal tak lama lagi?”
“Itu benar.”
“Terima kasih, Dokter.”
Aku duduk tepat saat George berdiri lagi. “Pemeriksaan ulang, Yang Mulia. Dr. Zeigler, Anda
bilang angka kematian akibat listeriosis tinggi, bahkan dengan perawatan?”
“Ya, hampir limapuluh dari seratus bayi akan mati karena komplikasi listeriosis ini.”
“Dan kau baru saja memberi hipotesis bahwa Bayi Fisher bisa saja meninggal dalam minggu-
minggu awal hidupnya, kalau tidak pagi itu?”
“Ya.”
George mengangkat alisnya. “Bagaimana Anda tahu Dr. Zeigler, bahwa dia bukan salah satu
dari lima puluh bayi yang mungkin selamat?”
Untuk alasan yang tak bisa kupahami, Katie menarik dirinya semakin dalam di setiap kata-
kata kesaksian Owen. Seharusnya, ia senang seperti aku. Bahkan usaha George pada saat-
saat terakhir tak bisa mencabut fakta bahwa bakteri fatal ini telah ditemukan di tubuh
bayi. Juri, sekarang punya keraguan beralasan—yang kami perlukan untuk pembebasan
Katie.
“Katie,” kataku, mencondongkan tubuh mendekatinya, “kau baik-baik saja?”
“Tolong, Ellie. Bisakah kita pulang sekarang?”
Ia terlihat memelas. “Apa kau sakit?”
“Aku mohon.”
Aku melirik arlojiku. Jam tiga tiga puluh; masih terlalu awal untuk jadwal memerah susu,
tapi Hakim Ledbetter tak akan tahu. “Yang Mulia,” kataku berdiri, “kalau diizinkan, kami
ingin mengakhiri sidang hari ini.”
Hakim menyipitkan mata padaku dari pinggir kacamatanya. “Ah ya. Memerah susu.” Ia
memandang ke arah Owen Zigler, yang sekarang duduk di kursi pengunjung. “Yah, kalau aku
jadi kau, aku akan mencuci tanganku kalau sudah selesai. Mr. Callahan, apa kau keberatan
sidang selesai lebih awal karena pekerjaan di peternakan?”
“Tidak, Yang Mulia. Ayam-ayamku sudah tak sabar menunggu.” Ia mengangkat bahu. “Oh,
benar. Aku tak punya ayam.”
Hakim cemberut padanya. “Tak perlu sok kosmopolitan, pengacara. Baiklah. Sidang akan
dibuka lagi besok pada jam sepuluh pagi. Sidang ditutup.”
Tiba-tiba orang-orang mengerumuni kami: Leda, Coop, Jacob, Samuel, dan Adam Sinclair.
Coop memeluk pinggangku dan berbisik, “Aku berharap bayi kita mewarisi otakmu.”
Aku tak menjawab. Aku melihat Jacob berusaha bercanda yang akan membuat Katie
tersenyum; Samuel berdiri tegang seperti tali busur dan berhati-hati agar tidak bersentuhan
dengan Adam. Sedangkan Katie, berusaha terlihat berani, tetapi senyumnya mengembang
terlalu lebar sehingga menarik wajahnya seperti kain yang ditarik terlalu kencang. Apakah
hanya aku yang memerhatikan betapa gadis itu sebentar lagi akan hancur berkeping-keping?
“Katie,” kata Adam, melangkah ke depan, “kau mau jalan-jalan?”
“Tidak, dia tidak mau,” jawab Samuel.
Terkejut, Adam menoleh padanya. “Kurasa Katie bisa bicara sendiri.”
Katie menekankan jemarinya ke pelipis. “Terima kasih, Adam, tapi aku sudah punya
rencana dengan Ellie.”
Aku tidak tahu kami punya rencana, tapi melihat matanya yang memohon putus asa, aku
mengangguk. “Kami harus membahas tentang kesaksiannya,” kataku, meskipun kalau bisa
aku tak ingin Katie bersaksi sama sekali. “Leda akan mengantar kami. Coop, bisakah kau
mengantar yang lain pulang?”
Kami pulang seperti waktu hari Jumat; Leda membawa mobilnya ke pintu belakang
pengadilan menjemput aku dan Katie di belakang dapur kafetaria. Lalu kami memutar ke
jalan keluar di depan pengadilan, melewati semua reporter yang masih menunggu
kemunculan Katie. “Sayang,” kata Leda beberapa menit kemudian. “Dokter yang kau minta
bersaksi itu memang hebat.”
Aku melihat diriku di cermin di atas kursi penumpang di bagian depan, menghapus bekas
maskara di bawah mataku. Di belakangku, di kursi belakang, Katie berpaling memandang ke
luar jendela. “Owen pria yang baik. Dan ahli patologi yang lebih baik lagi.”
“Bakteri itu... apakah benar-benar ada?”
Aku tersenyum pada Leda. “Dia tak boleh mengarangnya. Itu namanya sumpah palsu.”
“Yah, aku yakin kau bisa memenangkan kasus ini hanya dengan kesaksian dokter itu.”
Aku melirik ke cermin lagi, berusaha menarik pandangan Katie. “Kau dengar itu?” kataku
penuh makna.
Bibir Katie merapat; selain itu ia tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tadi
mendengarkanku. Pipinya terus menempel di jendela mobil, memalingkan pandangan.
Tiba-tiba, Katie membuka pintu mobil, membuat Leda berbelok tajam ke pinggir jalan dan
berhenti mendadak. “Bintang-bintangku!” jeritnya.
“Katie, sayang, kau tak boleh melakukan itu saat mobil sedang berjalan!”
171
“Maafkan aku, Bibi Leda, bolehkan aku dan Ellie berjalan pulang dari sini?”
“Tapi masih lima kilometer lagi!”
“Aku butuh udara segar. Sementara, Ellie dan aku, kami harus bicara.” Katie tersenyum
sekilas. “Kami akan baik-baik saja.”
Leda memandangku, meminta persetujuan. Aku saat itu mengenakan sepatu pantofel
hitamku—memang bukan hak tinggi, tetapi bukan pilihan pertamaku sebagai sepatu hiking.
Katie sudah berdiri di luar mobil. “Oh, baiklah,” gumamku, melemparkan tas kerjaku ke
kursi. “Tolong turunkan ini di kotak pos ya.”
Kami memandang lampu belakang mobil Leda menghilang di ujung jalan, lalu aku berpaling
ke Katie, bersedekap. “Ada apa ini?”
Katie mulai berjalan. “Aku hanya ingin sendirian sebentar.”
“Yah, aku tak akan pergi—“
“Maksudku sendirian denganmu.” Ia membungkuk memetik bunga pakis yang panjang
melingkar yang tumbuh di pinggir jalan. “Terlalu berat, melihat mereka semua
menginginkan secuil diriku.”
“Mereka sayang padamu.” Aku memandang Katie membungkuk di bawah pagar listrik dan
masuk ke padang rumput yang dipenuhi sapi. “Hei—kita masuk tanpa izin.”
“Ini tempat John Lapp tua, dia tak keberatan kalau kita mengambil jalan pintas.”
Aku berjalan hati-hati menghindari kotoran sapi, melihat binatang-binatang itu
mengibaskan ekor mereka dan berkedip malas padaku saat kami melewati daerah
kekuasaan mereka. Katie membungkuk memetik bunga dandelion dan biji rumput. “Kau
seharusnya menikahi Coop,” katanya.
Aku terbahak. “Itukah yang ingin kaubicarakan denganku sendirian? Bagaimana kalau kita
mengurus masalahmu lebih dulu, dan mengurus masalahku setelah sidang?”
“Kau harus. Pokoknya harus.”
“Katie, baik menikah atau tidak, aku tetap akan melahirkan bayi ini.”
Katie berjengit. “Itu bukan pokok masalahnya.”
“Apa pokok masalahnya?”
“Begitu dia pergi,” katanya pelan, “kau tak bisa mendapatkannya lagi.”
Jadi itu yang mengganggunya—Adam. Kami berjalan dalam diam selama beberapa saat,
membungkuk keluar dari sisi pagar listrik yang lain. “Kau masih bisa punya masa depan
dengan Adam. Orangtuamu tidak seperti enam tahun lalu, saat Jacob pergi. Semua hal bisa
saja berbeda.”
“Tidak, tidak bisa.” Katie terdiam, mencoba menjelaskan. “Hanya karena kau mencintai
seseorang, tidak berarti Tuhan menakdirkan kalian untuk bersama.” Tiba-tiba kami berhenti
berjalan, dan aku langsung menyadari dua hal: Katie membawaku ke pemakaman Amish;
dan emosinya yang rapuh tak ada hubungannya dengan Adam. Wajahnya menoleh ke arah
nisan makam anaknya yang sumbing, tangannya mencengkram pagar kayu pembatas
makam. “Orang-orang yang kucintai,” bisiknya, “selalu diambil dariku.”
Ia mulai menangis dalam diam, melingkarkan tangan ke perutnya. Lalu ia membungkuk ke
depan, terjungkal jatuh, seperti belum pernah kulihat sebelumnya: tidak saat ia didakwa
membunuh, tidak saat bayinya dimakamkan, juga saat ia diasingkan. “Maafkan aku,”
sedunya. “Maafkan aku.”
“Jangan, Katie.” Aku menyentuh bahunya lembut dan ia rebah dalam pelukanku.
Kami berdiri di pinggir jalan, berpelukan, tanganku mengusap punggungnya
menenangkannya. Rumput dan bunga liar yang dikumpulkan Katie berserakan di bawah kaki
kami, sebuah persembahan. “Aku sangat menyesal,” ulangnya. “Aku tak bermaksud
melakukannya.”
Darahku membeku, tanganku terhenti di punggungnya. “Tak bermaksud melakukan apa?”
Katie mengangkat wajahnya. “Membunuh bayiku.”

Tujuh Belas

KETIKA Katie lari melintasi halaman, terengah-engah, para pria sedang memerah susu. Ia
bisa mendengar suara-suara di gudang dan merasakan dirinya tertarik ke sana. Dari tepi
pintu yang terbuka lebr, ia bisa melihat Levi mendorong gerobak; Samuel membungkuk
untuk menghubungkan pompa ke ambing salah satu sapi. Setelah terdengar isapan dan
tarikan, aliran kental putih mulai mengalir melewati slang yang menuju ke kaleng susu.
Katie menangkupkan tangannya ke mulut dan lari ke samping gudang, di sana ia muntah dan
muntah hingga tak ada lagi yang tersisi di perutnya.
Ia bisa mendengar Ellie memanggilnya sembari terpincang-pincang lari di halaman. Ellie tak
bisa lari secepat dia, dan Katie tanpa malu-malu menggunakan keuntungan itu untuk lari
dari Ellie.
Menyelinap diam-diam dari samping gudang, Katie menuju ke ladang yang tinggal berisi
bonggol jagung setelah dipanen. Tidak ada tanaman yang bisa menyembunyikannya
sekarang, tapi setidaknya ladang ini akan memberikan jarak antara dia dan Ellie.
Mengangkat roknya, Katie lari ke kolam dan bersembunyi di balik pohon oak besar.
Katie mengulurkan tangannya ke depan, mengamati jari-jari dan pergelangan tangannya. Di
manakah mereka sekarang, bakteri itu? Apakah masih ada yang tersisa dalam dirinya atau
semuanya sudah beralih ke bayinya?
172
Ia memejamkan mata berusaha menghilangkan bayangan bayinya yang baru lahir, terbaring
di antara kakinya dan menangis sekeras-kerasnya. Katie tak ingin mengatakannya keras-
keras, tapi ia melihat betapa dada dan perut bayinya berusaha sekuat tenaga mengisap
udara.
Tapi ia tak bisa melakukan apa-apa, seperti ia tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah
Hannah tenggelam, atau agar Jacob tidak diusir dari rumah, atau agar Adam tak pergi.
Katie melihat langit, tergambar jelas di antara ranting-ranting pohon oak yang gundul. Dan
ia mengerti bahwa semua tragedi ini akan terus terjadi hingga ia mengaku.

Ellie pernah membela klien yang bersalah, bahkan beberapa klien yang berbohong padanya,
tetapi ia tak pernah merasa dikhianati seperti sekarang. Ia berjalan melintasi halaman
dengan marah, marah pada kebohongan Katie, marah pada Leda karena menurunkan
mereka lima kilometer dari rumah, dan pada kondisi fisinya yang lemah sehingga baru
berlari sebentar saja ia sudah kehabisan napas.
Ini bukan masalah pribadi, katanya mengingatkan diri sendiri. Ini murni bisnis.
Ia menemukan Katie di kolam. “Kau mau bilang padaku apa yang kaumaksudkan tadi?”
tanya Ellie, membungkuk dan terengah-engah.
“Kau dengar aku,” kata Katie merengut.
“Katakan padaku mengapa kau membunuh bayimu, Katie.”
Katie menggeleng. “Aku tak mau membuat alasan lagi. Aku hanya ingin mengatakan pada
juri apa yang kukatakan padamu, sehingga semua ini selesai.”
“Mengatakan pada juri?” Ellie tergagap. “Langkahi dulu mayatku.”
“Tidak,” kata Katie, memucat. “Kau harus memperbolehkanku mengatakan semuanya.”
“Tak mungkin aku akan membiarkan kau duduk di kursi saksi dan mengatakan pada
pengadilan kau membunuh bayimu.”
“Dulu kau bilang kau memperbolehkanku bersaksi!”
“Sayangnya, ceritamu berbeda saat itu. Kau bilang kau ingin mengatakan yang sebenarnya,
mengatakan pada semua orang kau tidak melakukan pembunuhan. Tak masalah
menempatkanmu di kursi saksi kalau kau tidak mengatakan yang berlawanan dengan
strategi pembelaanmu; tapi aku tak akan membiarkan dirimu bersaksi kalau kau hendak
bunuh diri secara legal.”
“Ellie,” kata Katie putus asa. “Aku harus mengaku.”
“Ini bukan gerejamu!” teriak Ellie. “Berapa kali kau harus mendengar itu? Kita tidak
membicarakan tentang pengasingan selama enam minggu di sini. Kita bicara tentang
hukuman bertahun-tahun. Mungkin seumur hidup. Di penjara.” Ellie menahan
kemaharannya dan mengambil napas dalam-dalam. “Tak masalah membiarkan juri
mendengarmu, mendengarkan kedukaanmu. Mendengar kau tidak bersalah. Tapi apa yang
baru saja kaukatakan padaku...” Suara Ellie menghilang; ia melengos. “Kalau aku
membiarkanmu bersaksi, itu sama saja aku tidak bertanggungjawab secara profesional.”
“Mereka masih bisa melihat dan mendengar kedukaanku.”
“Yeah, dan semuanya itu akan sia-sia kalau aku menanyakan apakah kau membunuh
bayimu.”
“Kalau begitu jangan tanya itu.”
“Kalau aku tidak bertanya, George yang akan melakukannya. Dan begitu kau duduk di kursi
saksi, kau tak bisa berbohong.” Ellie menghela napas panjang. “Kau tidak bisa berbohong—
dan kau tak bisa terus terang mengatakan kau membunuh bayimu juga, atau sama saja kau
menjamin hukuman bagi dirimu sendiri.”
Katie menunduk memandang kakinya. “Jacob bilang kalau aku ingin bicara di sidang, kau
tak bisa menghentikanku.”
“Aku bisa membebaskanmu tanpa kau harus bersaksi. Tolong, Katie. Jangan lakukan ini
pada dirimu.”
Katie berpaling ke Ellie dengan ketenangan luar biasa. “Aku akan bersaksi besok. Kau
mungkin tak suka, tapi itulah yang kuinginkan.”
“Kau ingin mendapatkan pengampunan dari siapa?” Ellie meledak marah. “Juri? Hakim?
Karena mereka tak akan mengampunimu. Mereka hanya akan melihatmu sebagai monster.”
“Kau tidak, bukan?”
Ellie menggeleng, tak bisa menjawab.
“Ada apa,” desak Katie. “Katakan apa yang kaupikirkan.”
“Berbohong pada pengacaramu dan berbohong pada temanmu adalah dua hal yang
berbeda.” Ellie berdiri dan membersihkan roknya dari tanah. “Aku akan menulis surat
pernyataan untuk kautandatangani, yang menyatakan aku menentang tindakanmu ini,”
katanya tenang, dan berjalan pergi.

“Aku tak percaya,” kata Coop, mendekatkan ujung selimut yang sedang ia lipat dengan
Ellie. Selimut itu berpola cincin pernikahan, sebuah ironi yang tak lepas dari perhatiannya.
Beberapa selimut lain, yang baru dicuci, berkibar di tiang jemuran yang diikatkan di antara
pohon, kaleidoskop warna yang besar berlatar belakang langit yang menggelap.
Ellie berjalan mendekatinya, mengulurkan ujung selimut kepadanya. “Percayalah.”
“Katie tak mungkin membunuh.”
Ellie mengambil lipatan selimut dari Coop dan melipatnya menjadi dua. “Rupanya, kau
salah.”
“Aku kenal dia, Ellie. Dia klienku.”
173
“Yeah, dan teman sekamarku. Pikirkan saja.”
Coop mengulurkan tangan melepaskan penjepit yang menahan selimut kedua. “Bagaimana
dia melakukannya?”
“Aku tak bertanya.”
Itu mengejutkan Coop. “Kau tidak bertanya?”
Jemari Ellie mengelus perutnya. “Aku tak bisa,” katanya lalu memalingkan muka.
Saat itu yang diinginkan Coop hanyalah memeluknya. “Satu-satunya penjelasan adalah dia
berbohong.”
“Apakah kau tidak mendengarkanku di sidang?” Bibir Ellie berkerut. “Orang Amish tidak
berbohong.”
Coop mengabaikannya. “Dia berbohong agar dihukum. Entah untuk alasan apa, itulah yang
dia butuhkan secara psikologis.”
“Tentu, kalau kau menganggap hidup di penjara sebagai terapi.” Ellie menarik ujung
selimut. “Dia tidak berbohong, Coop. Dalam pekerjaanku, aku mungkin sudah melihat
pembohong sesering dirimu. Katie memandang mataku dan bilang dia membunuh bayinya.
Dia serius.” Dengan tiba-tiba Ellie menarik selimut dari tangan Coop dan melipatnya lagi,
lalu membantingnya di atas lipatan selimut pertama. “Katie Fisher akan masuk jurang dan
dia membawa kita semua dengannya.”
“Kalau dia menandatangani surat pernyataan itu, kau tak dianggap bertanggungjawab.”
“Oh, tidak. Tentu saja tidak. Hanya nama dan akuntabilitasku masuk keranjang sampah
bersama kasusnya.”
“Tidak masalah apa yang dipikirkannya, aku sangat meragukan kalau Katie melakukan ini
untuk membuatmu kesal.”
“Tak masalah kenapa dia melakukannya, Coop. Dia akan bersaksi dan melakukan pengakuan
publik, dan juri tak akan peduli apa alasan dia melakukan itu. Mereka akan menghukumnya
begitu dia mengaku.”
“Apakah kau marah karena dia mengacaukan kasusmu, atau karena kau tidak menduga ini
terjadi?”
“Aku tidak marah. Kalau dia ingin menyia-nyiakan hidupnya, tak masalah bagiku.” Ellie
merengut selimut yang sedang dipegang Coop, tapi terlepas sehingga selimut itu jatuh ke
tanah. “Sialan! Kau tahu butuh waktu berapa lama untuk mencuci benda ini? Kau tahu
tidak?” Ia terduduk di tanah, selimut menggunduk di belakangnya, dan membenamkan
wajah di tangannya.
Coop bertanya-tanya bagaimana wanita sekurus pohon willow dan serapuh ini bisa
memanggul keselamatan seseorang di bahunya. Ia duduk di samping Ellie, dan
merengkuhnya, jari-jari Ellie mencengkram kemeja Coop. “Aku bisa saja
menyelamatkannya,” bisiknya.
“Aku tahu, Sayang. Tapi mungkin dia ingin menyelamatkan dirinya sendiri.”
“Yah, bagus sekali jalan yang dipilihnya.”
“Kau berpikir seperti pengacara lagi.” Coop mengetukkan jarinya ke pelipis Ellie. “Kalau
kau takut semua orang meninggalkanmu, apa yang kaulakukan?”
“Membuat mereka tinggal.”
“Dan kalau kau tak bisa melakukan itu, atau tak tahu bagaimana caranya?”
Ellie mengangkat bahu. “Aku tak tahu.”
“Ya, kau tahu. Bahkan kau sudah melakukannya. Kau pergi lebih dulu,” kata Coop, “jadi
kau tak harus melihat mereka pergi darimu.”

Saat Katie masih kecil, ia menyukai hujan, di mana ia bisa berlari ke ujung halaman melihat
genangan air dan jejak minyak membuat bayangan pelangi. Langit sekarang terlihat seperti
itu, ungu cerah dihiasi warna oranye, merah dan perak, seperti gaun ratu peri. Warna-
warna itu turun di setiap pertanian orang Amish; setiap tanah yang terbentang
memunculkan tanah subur dan kaya yang sepertinya berlangsung selamanya.
Ia berdiri di beranda di keremangan senja, menunggu. Ketika suara derum mobil datang
dari arah barat, Katie merasakan jantungnya naik ke tenggorokan, setiap otot di tubuhnya
menegang untuk melihat apakah mobil itu akan berbelok di ujung jalan. Tapi beberapa
detik kemudian, di antara pepohonan, lampu belakang mobil itu melintas menjauh.
“Dia tak akan datang.”
Katie berbalik terkejut mendengar suara itu, yang diikuti oleh pijakan berat sepatu bot di
tangga beranda. “Siapa?”
Samuel menelan ludah. “Ach, Katie. Apa kau akan memaksaku menyebutkan namanya
juga?”
Katie mengusap lengannya naik turun dna memandang ke arah jalan raya lagi.
“Dia pergi ke Philadelphia. Dia akan kembali besok, saat sidang.”
“Kau datang untuk mengatakan ini padaku?”
“Tidak,” jawab Samuel. “Aku datang untuk mengajakmu jalan-jalan.”
Katie menunduk. “Kurasa aku tidak bisa menjadi teman yang baik sekarang.”
Samuel mengangkat bahu saat Katie tidak menjawab. “Baiklah, tapi aku akan tetap pergi,”
kata Samuel dan mulai menuruni beranda.
“Tunggu!” teriak Katie, dan ia buru-buru menjajari langkah Samuel.
Mereka berjalan diiringi simfoni angin yang meniup pepohonan, burung hantu berkekut
menarik perhatian tikus dan embun berkilau di jaring laba-laba. Langkah-langkah lebar
Samuel membuat Katie harus setengah berlari untuk menjajarinya. “Kita mau ke mana?”
tanyanya setelah beberapa saat, ketika mereka hampir sampai ke kebun apel.
Samuel berhenti tiba-tiba dan memandang sekeliling. “Aku sama sekali tak tahu.”
174
Itu membuat Katie meringis geli, dan Samuel juga tersenyum, lalu mereka berdua tertawa.
Samuel duduk, memeluk lutut, dan Katie duduk di sampingnya, roknya berdesir bergesekan
dengan dedaunan gugur. Apel Empire, merah seperti batu rubi, mengenai kapp Katie dan
topi lebar Samuel. Samuel tiba-tiba teringat bagaimana Katie pernah mengupas apel dalam
satu putaran pnajang di sebuah acara pendirian gudang, melempar kulit apel itu ke
belakang bahunya seperti dongengan tradisi untuk mengetahui siapa yang akan menjadi
suaminya; dan bagaimana teman-teman serta keluarga mereka tertawa melihat kulit apel
itu jatuh ke tanah membentuk huruf S.
tiba-tiba kesunyian terasa sesak dan berat di bahu Samuel. “Panen apelmu pasti bagus,”
katanya, sambil melepas topi. “Banyak sekali untuk bahan saus apel.”
“Yang jelas ibuku akan sibuk.”
“Dan kau?” gurau Samuel. “Kau akan berada di gudang bersama kami, kurasa?”
“Aku tak tahu di mana aku akan berada.” Katie memandangnya, dan berdeham. “Samuel,
ada sesuatu yang harus kukatakn padamu—”
Samuel menekankan jarinya kemulut Katie, ke bibir gadis itu yang lembut, dan membiarkan
dirinya membayangkan ini adalah sebuah ciuman. “Jangan bicara.”
Katie mengangguk dan menunduk ke pangkuannya.
“Sudah hampir November. Mary Esch menanam seledri.”
Hati Katie mencelos. Bulan November—bulan pernikahan—dan seledri, yang sering
digunakan dalam hidangan pernikahan. Itu terlalu berat untuk ditanggung. Ia sudah tahu
tentang ciuman Samuel dan Mary, tapi tak ada seorang pun yang mengatakan padanya
selama ini. Lagi pula, itu urusan Samuel, dan ia punya hak untuk terus melanjutkan
hidupnya. Menikah, bulan depan, dengan Mary Esch.
“Dia pasti akan menikahi Owen King, itu sudah jelas,” lanjut Samuel.
Katie berkedip padanya. “Dia tak akan menikah denganmu?”
“Kurasa gadis yang akan kunikahi tak akan suka itu.” Wajah Samuel memerah dan ia
tertunduk. “Kau tak akan suka, bukan?”
Untuk sesaat, Katie membayangkan hidupnya seperti hidup gadis Amish lainnya; dunianya
belum begitu jauh melenceng sehingga lamaran yang manis ini masih bisa terjadi.
“Samuel,” katanya, suaranya bergetar. “Aku tak bisa berjanji padamu sekarang.”
Samuel menggeleng, tapi tak mengangkat matanya. “Kalau bukan November ini, maka
November depan. Atau November setelahnya.”
“Kalau aku pergi, bisa saja selamanya.”
“Kau tak akan pernah tahu. Lihat aku, misalnya.” Samuel mengeluskan jarinya ke pinggir
topinya, sebuah lingkaran hitam sempurna. “Dulu aku mengira akan meninggalkanmu
selamanya... dan ternyata selama ini aku hanya menuju ke tempat aku bermula.” Ia
meremas tangan Katie. “Kau akan memikirkannya?”
“Ya,” kata Katie. “Akan kupikirkan.”

Sudah lewat tengah malam ketika Ellie diam-diam naik ke kamar atas. Katie tidur miring,
seberkas sinar bulan membelah tubuhnya jadi dua seperti sulap. Ellie pelan-pelan
mengambil selimut, lalu mengendap-endap ke pintu.
“Apa yang kaulakukan?”
Ia berpaling menghadap Katie. “Tidur di sofa.”
Katie duduk, selimutnya turun memperlihatkan gaun malam putihnya yang sederhana. “Kau
tak harus melakukan itu.”
“Aku tahu.”
“Itu buruk bagi bayimu.”
Otot di leher Ellie berkedut. “Jangan katakan padaku apa yang buruk bagi bayiku,”
katanya. “Kau tak punya hak.” Ia berbalik dan berjalan menuruni tangga, memeluk selimut
erat-erat ke dadanya, seakan-akan membentuk perisai, seakan-akan belum terlambat
menjaga hatinya dari rasa sakit.

Ellie berdiri di kantor hakim, mengamati buku-buku hukum, dinding kayu, karpet tebal di
lantai—semuanya kecuali Hakim Ledbetter sendiri, yang sedang membaca surat pernyataan
yang disodorkannya.
“Ms. Hathaway,” kata hakim beberapa saat kemudian. “Apa yang terjadi?”
“Klien saya mendesak untuk bersaksi, meskipun saya menentangnya.”
Hakim memandang Ellie, seakan-akan dari ekspresi Ellie yang datar ia bisa menebak
kekacauan yang terjadi semalam. “Apakah ada alasan mengapa kau menentangnya?”
“Saya yakin alasannya akan terlihat sendiri nanti,” kata Ellie.
George jelas terlihat senang, berdiri lebih tegak.
“Baiklah, kalau begitu,” keluh Hakim. “Ayo kita selesaikan.”

Kau tak bisa tumbuh besar sebagai orang Amish, dan tak tahu kalau mata punya beban,
bahwa pandangan punya arti, yang kadang terasa seperti napas di bahumu dan kadang
seperti tombak yang menembus punggungmu; tapi biasanya di Lancaster pandangan
bersiborok satu lawan satu—seorang turis yang menengok untuk mengamatinya, seorang
anak memandangnya tak berkedip di toko kelontong. Duduk di kursi saksi, Katie merasa
dirinya lumpuh oleh mata yang memandangnya. Seratus orang memandangnya ternganga
bersamaan, dan mengapa tidak? Tak setiap hari ada orang Amish yang mengaku telah
melakukan pembunuhan.
Ia mengusapkan telapak tangannya yang berkeringat ke celemeknya dan menunggu Ellie
mulai menanyainya.
175
Ia tadi berharap, saat mereka melakukan ini, Ellie akan mempermudahnya—mungkin Katie
bisa berpura-pura bahwa hanya ada mereka berdua, ngobrol di pinggir kolam. Tapi Ellie tak
berkata padanya sepanjang pagi. Tadi pagi, Ellie muntah di kamar mandi, minum secangkir
the chamomile, dan berkata pada Katie sudah waktunya berangkat tanpa mau
memandangnya. Tidak, Ellie tak akan bermurah hati padanya hari ini.
Ellie mengancingkan jasnya dan berdiri. “Katie,” katanya lembut, “kau tahu mengapa kau
di sini hari ini?”
Katie berkedip. Suara Ellie, pertanyaannya—lembut penuh simpati. Merasa lega, ia mulai
tersenyum—lalu ia melihat ke mata Ellie. Kedua matanya tetap keras dan marah seperti
semalam. Kelembutan ini—hanya bagian dari akting. Bahkan sekarang, Ellie hanya berusaha
untuk membebaskannya.
Katie menarik napas panjang. “Orang-orang mengira aku membunuh bayiku.”
“Bagaimana perasaanmu tentang itu?”
Sekali lagi, Katie teringat pada tubuh mungil terbaring di antara kakinya, berlumuran
darah. “Buruk,” bisiknya.
“Kau tahu bukti-bukti memberatkanmu.”
Dengan memandang sekilas ke arah juri, Katie mengangguk. “Aku berusaha memahami apa
yang telah dikatakan. Aku tak yakin aku mengerti semuanya.”
“Apa yang tidak kau mengerti?”
“Cara orang Inggris sangat berbeda dengan cara kami.”
“Apa bedanya?”
Katie memikirkannya sesaat. Pengakuan, cara yang sama, atau ia tak akan duduk di sini
sekarang. Tapi orang Inggris menghakimi seseorang sehingga mereka bisa menyingkirkan
orang itu. Orang Amish menghakimi seseorang sehingga mereka bisa menerima orang itu
kembali. “Dari tempatku berasal, masalahnya bukan siapa yang bersalah. Tetapi agar orang
bisa bertobat dan melanjutkan hidup.”
“Apakah kau berdosa saat kau hamil?”
Secara instingtif, Katie merendahkan diri. “Ya.”
“Mengapa?”
“Aku belum menikah.”
“Apakah kau mencintai orang itu?”
Dari balik bulu matanya, Katie memandang ke kursi pengunjung mencari Adam. Lelaki itu
duduk di ujung kursinya dengan kepala tertunduk, seakan-akan ini juga sebuah pengakuan
baginya. “Sangat,” gumam Katie.
“Apakah kau didakwa atas dosa itu oleh komunitasmu?”
“Ya. Pengurus gereja dan Uskup, mereka datang dan memintaku mengaku di gereja.”
“Setelah kau mengaku hamil di luar nikah, apa yang terjadi?”
“Aku diasingkan untuk sementara, untuk memikirkan apa yang telah kuperbuat. Setelah
enam minggu, aku kembali dan berjanji untuk bekerja dengan gereja.” Ia tersenyum.
“Mereka menerimaku kembali.”
“Katie, apakah pengurus gereja dan pendeta memintamu untuk mengakui telah membunuh
bayimu?”
“Tidak.”
“Mengapa tidak?”
Katie melipat tangannya di pangkuan. “Mereka tak mendakwaku membunuh bayiku.”
“Jadi orang-orang di komunitasmu sendiri tak percaya kau berdosa telah membunuh?” Katie
mengangkat bahu. “Aku butuh jawaban verbal,” kata Ellie.
“Tidak, mereka tak percaya.”
Ellie berjalan kembali ke meja pembela, sepatu hak tingginya berdetak di lantai papan.
“Kau ingat pada malam saat kau melahirkan, Katie?”
“Sepotong-sepotong. Aku ingat sedikit demi sedikit.”
“Mengapa demikian?”
“Kata Dr. Cooper karena pikiranku tak bisa menerima terlalu banyak terlalu cepat.” Katie
menggigit bibir bawahnya. “Aku sepertinya memblokir pikiranku setelah itu terjadi.”
“Setelah apa terjadi?”
“Setelah bayinya lahir.”
Ellie mengangguk. “Kami sudah dengar itu dari beberapa orang, tapi kurasa juri ingin
mendengarkan ceritamu tentang malam itu. Apa kau tahu kau hamil?”
Katie tiba-tiba merasakan dirinya terjungkal ke belakang dalam pikirannya, hingga di bawah
telapak tangannya ia merasakan tekanan bayi yang kecil namun kuat di dalam perutnya.
“Aku tak memercayainya, hingga aku harus memindahkan jepitan celemekku karena aku
jadi gemuk.”
“Apa kau menceritakan pada seseorang?”
“Tidak. Aku menyingkirkannya dari kepalaku, dan berkonsentrasi pada hal lain.”
“Mengapa?”
“Aku takut. Aku tak mau orangtuaku tahu apa yang terjadi.” Katie menarik napas dalam-
dalam. “Aku berdoa semoga aku salah.”
“Kau ingat melahirkan bayi?”
Katie melingkarkan tangannya di perut, mengingat rasa sakit yang meledak dari punggung
hingga perutnya. “Beberapa,” katanya. “Rasa sakit, dan bagaimana jerami menusuk
punggungku... tapi ada selang waktu yang tak bisa kuingat.”
“Bagaimana perasaanmu saat itu?”
“Takut,” bisiknya. “Sangat takut.”
“Kau ingat bayinya?”
Ini adalah bagian yang sangat dikenal Katie, bahkan sepertinya terukir di balik kelopak
matanya. Tubuh kecil mungil, tak lebih besar dari tangannya, menendang, terbatuk, dan
mencari-cari. “Dia sangat tampan. Aku menggendongnya. Memeluknya. Aku mengelus
punggungnya. Dia... tulang-tulannya sangat mungil. Jantungnya berdetak di tanganku.”
“Apa yang hendak kauperbuat dengannya?”
176
“Aku tak tahu. Kurasa aku akan membawanya ke ibuku mencari sesuatu untuk
membungkusnya dan membuatnya hangat... tapi aku tertidur sebelum aku bisa
melakukannya.”
“Kau pingsan?”
“Ja.”
“Apakah kau masih memeluk bayimu?”
“Oh, ya,” kata Katie.
“Apa yang terjadi setelah itu?”
“Aku terbangun. Dan bayinya hilang.”
Alis Ellie terangkat naik. “Hilang? Apa yang kaupikirkan?”
Katie meremas tangannya. “Bahwa semuanya itu mimpi,” akunya.
“Apakah ada bukti yang menunjukkan kebalikannya?”
“Ada darah di gaun malamku, dan sedikit jerami.”
“Apa yang kaulakukan?”
“Aku pergi ke kolam dan membersihkan diri,” kata Katie. “Lalu aku kembali ke kamarku.”
“Mengapa kau tidak membangunkan seseorang, atau pergi ke dokter, atau mencoba mencari
bayimu?”
Air mata menggenang di mata Katie. “Aku tak tahu. Aku seharusnya melakukan itu. Aku
tahu sekarang.”
“Saat kau terbangun keesokan paginya, apa yang terjadi?”
Katie mengusap matanya. “Seperti tak ada sesuatu pun yang berubah,” katanya dengan
suara bergetar. “Kalau semua orang terlihat sedikit berbeda; kalau aku merasa sakit,
mungkin aku tidak...” Suaranya memelan, dan ia memalingkan pandangan. “Aku berpikir
mungkin aku membayangkan semua itu, bahwa tak ada sesuatu yang terjadi padaku. Aku
ingin percaya itu, karena dengan begitu aku tak harus bertanya-tanya di mana bayinya.”
“Apakah kau tahu di mana bayi itu?”
“Tidak.”
“Kau ingat membawa bayi itu ke suatu tempat?”
“Tidak.”
“Kau tak ingat bangun dengan bayi di pelukanmu?”
“Tidak. Setelah aku terbangun, bayinya sudah hilang.”
Ellie mengangguk. “Apa aku berencana menyingkirkan bayimu?”
“Tidak.”
“Apa kau ingin menyingkirkan bayimu?”
“Tidak begitu aku melihatnya,” kata Katie lembut.
Ellie sekarang berdiri hanya jarak setengah meter dengannya. Katie menunggu
pertanyaannya, menunggu agar ia bisa mengatakan apa yang ingin dikatakannya di sini. Tapi
dengan gelengan kepala yang hampir tak terlihat, Ellie berpaling ke juri. “Terima kasih,”
katanya. “Tak ada pertanyaan lagi.

Terus terang, George heran. Ia mengharapkan adanya pertunjukan brilian ala Ellie
Hathaway dalam pemeriksaan kliennya sebagai saksi, tapi Ellie tidak melakukan hal yang
luar biasa. Yang lebih penting lagi, Katie juga demikian. Katie telah mengatakan apa yang
memang diharapkan akan dikatakannya—dan itu sama sekali bertentangan dengan
bagaimana Ellie mengajukan surat pernyataan di kantor hakim tadi pagi.
George tersenyum pada Katie. “Selamat pagi, Ms. Fisher.”
“Kau bisa memanggilku, Katie.”
“Baiklah, Katie. Mari kita lanjutkan ceritamu. Kau tertidur memeluk bayi, dan saat kau
terbangun, dia sudah hilang. Kau satu-satunya saksi malam itu. Jadi katakan pada kami—
apa yang terjadi pada bayinya?”
Katie memejamkan matanya, setetes air mata mengalir di salah satu sudutnya. “Aku
membunuhnya.”
George terhenti. Pengunjung bergumam bingung, dan hakim mengetukkan palunya berkali-
kali meminta semua orang tenang. Menoleh ke Ellie, George mengangkat tangannya
bertanya. Ellie duduk di meja pembela, kelihatan bosan, dan George sadar ini bukan hal
yang mengejutkan bagi Ellie. Membalas pandangan George, Ellie mengangkat bahu.
“Kau membunuh bayimu?”
“Ya,” gumamnya.
George memandang gadis itu di kursi saksi, terlihat memelas dan kalah, saat ia meringkuk
di kursi penuh kesedihan. “Bagaimana kau melakukannya?”
Katie menggeleng.
“Kau harus menjawab pertanyaannya.”
Katie menggenggam tangannya di atas perutnya. “Aku hanya ingin meluruskan masalahku.”
“Tunggu dulu. Kau baru saja mengaku membunuh bayimu. Sekarang aku memintamu
mengatakan bagaimana kau membunuhnya.”
“Maafkan aku,” kata Katie tercekik. “Aku tak bisa.”
George menoleh ke Hakim Ledbetter. “Boleh mendekat?”
Hakim mengangguk, dan Ellie berjalan mendekati George di depan meja hakim. “Apa yang
terjadi?” tuntut George.
“Ms. Hathaway?”
Ellie mengangkat alis. “Pernah dengar Amademen Kelima, George?”
“Sekarang sudah sedikit terlambat,” kata penuntut umum. “Ia sudah mendakwa dirinya
sendiri.”
“Tak harus begitu,” kata Ellie tenang, meskipun ia dan George sama-sama sadar Ellie
berbohong mentah-mentah.
“Mr. Callahan, kau tahu pasti bahwa saksi bisa mengambil Amademen Kelima kalau ia mau.”
Hakim menoleh ke Ellie. “Namun, dia harus ditanya terlebih dulu.”
Ellie melirik ke Katie. “Dia tahu apa namanya, Yang Mulia. Dia cuma tahu ia tak ingin
mengatakan—tentang ini.”
“Yang Mulia, Ms. Hathaway tidak bisa berbicara atas nama saksi. Kalau saya tidak
mendengar terdakwa secara resmi mengambil Amandemen Kelima, saya tak percaya.”
Ellie memutar matanya. “Bolehkan saya bicara sebentar dengan klien saya?” Ia berjalan
mendekat ke kursi saksi. Katie gemetaran seperti daun, dan Ellie malu saat menyadari
bahwa gadis itu gemetaran karena mengira akan dimarahi olehnya.
177
“Katie,” katanya tenang. “Kalau kau tak ingin berbicara tentang kejadian itu, yang perlu
kaukatakan hanyalah, 'Aku mengambil Amandemen Kelima'.”
“Apa artinya itu?”
“Itu adalah bagian dari Konstitusi. Artinya kau punya hak untuk tetap diam, meskipun kau di
kursi saksi, sehingga kata-katamu tak bisa digunakan untuk melawanmu. Mengerti?”
Katie mengangguk, dan Ellie berjalan kembali ke meja pembela dan duduk.
“Tolong katakan pada kami bagaimana kau membunuh bayimu,” ulang George.
Katie melirik ke arah Ellie. “Aku mengambil Amandemen Kelima,” katanya tersendat.
“Mengejutkan sekali,” gumam George. “Baiklah, kalau begitu. Coba kita kembali dari awal.
Kau berbohong pada ayahmu sehingga kau bisa menemui kakakmu di universitas. Kau
melakukan ini sejak usia dua belas tahun?”
“Ya.”
“Dan sekarang kau delapan belas.”
“Ya, benar.”
“Selama enam tahun apakah ayahmu pernah tahu kau mengunjungi kakakmu?”
“Tidak.”
“Kau terus berbohong, bukan?”
“Aku tidak berbohong,” kata Katie. “Dia tak pernah bertanya.”
“Selama enam tahun, dia tak pernah bertanya bagaimana akhir pekanmu dengan bibimu?”
“Ayah tak pernah membicarakan bibiku.”
“Beruntung sekali. Kalau begitu, kau berbohong pada kakakmu tentang tidur dengan teman
serumahnya?”
“Dia—”
“Tidak, biar kutebak. Dia tidak pernah bertanya, benar?”
Binggung. Katie menggeleng. “Tidak.”
“Kau tak pernah bilang pada Adam Sinclair bahwa kau mengandung anaknya?”
“Dia pergi ke luar negeri.”
“Kau tak pernah bilang pada ibumu tentang kehamilanmu atau orang lain tentang masalah
itu?”
“Tidak.”
“Dan ketika polisi datang di pagi setelah kau melahirkan, kau juga berbohong pada
mereka?”
“Aku tak yakin itu benar-benar terjadi,” kata Katie, suaranya mencicit kecil.
“Ayolah. Kau sudah delapan belas tahun. Kau berhubungan seksual. Kau tahu kau hamil,
meskipun kau tak mau mengakuinya. Kau sudah sering melihat wanita di komunitasmu
punya bayi. Apakah kau mau bilang padaku kau tak tahu apa yang terjadi malam itu?”
Katie menangis diam-diam lagi. “Aku tak bisa menjelaskan bagaimana pikiranku saat itu,
kecuali sepertinya tidak berjalan normal. Aku tak tahu mana yang nyata dan mana yang
tidak. Aku tak ingin memercayainya, karena dengan demikian berarti itu bukan lagi mimpi.”
Ia meremas-remas ujung celemeknya. “Aku tahu aku sudah berbuat salah. Aku tahu sudah
waktunya bagiku bertanggung jawab atas apa yang terjadi.”
George mencondongkan tubuhnya begitu dekat sehingga kata-katanya jatuh ke pangkuan
Katie. “Kalau begitu katakan pada kami mengapa kau melakukannya?”
“Aku tak bisa membicarakannya.”
“Ah. Benar. Seperti kalau kau tak membicarakan tentang kehamilanmu, maka itu akan
menghilang. Dan kalau kau tak mengatakan pada orang-orang bahwa kau tak membunuh
bayimu, mereka tak akan pernah tahu. Tapi caranya tidak seperti itu, bukan, Katie? Bahkan
kalaupun kau tidak mengatakan pada kami bagaimana kau membunuh bayimu, bayimu
tetap saja meninggal, bukan?”
“Keberatan,” kata Ellie. “Dia menekan saksi.”
Katie meringkuk di kursi tersedu-sedu. Mata George memandangnya sekilas; lalu berbalik
tak peduli. “Dicabut. Saya sudah selesai.”
Hakim Ledbetter menghela napas. “Istirahat lima belas menit, Ms. Hathaway, bawa klienmu
untuk menenangkan diri.”
“Ya,” kata Ellie, bertanya-tanya bagaimana ia bisa membantu Katie menenangkan diri
sementara dirinya sendiri juga hampir pecah berantakan.

Ruang konferensi itu gelap dan lembap, dengan lampu neon rusak yang berkedip-kedip dan
tak memberi penerangan sama sekali. Ellie duduk di meja kayu jelek, menyusuri noda kopi
yang usianya mungkin sudah setua Katie. Sementara kliennya berdiri di dekat papan tulis di
ujung ruangan, menangis.
“Aku ingin bersimpati padamu, Katie, tapi kau memintanya sendiri.” Ellie menjauh dari
meja dan memunggungi Katie. Mungkin kalau ia tak memandang Katie, sedu-sedan itu tak
akan terdengar begitu keras. Atau mengganggunya.
“Aku ingin semuanya selesai,” Katie terbata-bata, wajahnya bengkak dan merah. “Tapi
kejadiannya tidak seperti yang kuharapkan.”
“Benarkah? Apa yang kauharapkan—adegan film minggu ini di mana kau menangis dan juri
juga menangis bersamamu?”
“Aku hanya ingin diampuni.”
“Yah, sepertinya itu tak akan terjadi sekarang. Ucapkan selamat tinggal pada
kebebasanmu, Sayang. Lupakan tentang pengampunan dari gerejamu. Lupakan tentang
bertemu orangtuamu lagi, atau berhubungan lagi dengan Adam.”
“Samuel memintaku untuk menikah dengannya,” bisik Katie sedih.
Ellie mendengus. “Kau mungkin bisa bilang padanya kunjungan suami-istri susah didapat di
penjara negara bagian.”
“Aku tak ingin kunjungan suami-istri. Aku tak ingin punya bayi lagi. Bagaimana kalau—”
Katie berhenti tiba-tiba dan memalingkan muka.
178
“Bagaimana kalau kau apa?” tukas Ellie. “Membekapnya saat lupa diri?”
“Tidak!” Mata Katie digenangi air mata lagi. “Penyakit itu, bakteri itu. Bagaimana kalau
masih ada dalam diriku?”
Di atas kepala Ellie, lampu neon berdesis dan meletup. Ellie pelan-pelan memandang Katie,
dari penyesalannya yang terlihat jelas ke bagaimana jari-jarinya memegangi pakaiannya
erat-erat, seakan-akan penyakit itu bisa ditarik keluar dari dirinya. Ellie teringat Katie
suatu kali pernah mengatakan padanya bahwa kau harus mengakui apa yang didakwakan
pengurus gereja padamu. Ia memikirkan bagaimana gadis yang terbiasa mendengar orang
lain mendakwakan dosa padanya mendengarkan kesaksian ahli patlogi dan menyalahkan
dirinya pada sesuatu, yang sebenarnya adalah kecelakaan.
Ellie memandang Katie, dan mengerti bagaimana jalan pikirannya.
Ia berjalan menyeberangi ruangan dan memegang bahu gadis itu. “Sekarang katakan
padaku,” katanya. “Katakan bagaimana kau membunuh bayimu.”

“Yang Mulia,” mulai Ellie, “saya ingin melakukan pemeriksaan ulang.”


Ellie bisa merasakan George melihatnya seakan-akan menganggap dirinya sudah gila, dan
untuk alasan yang bagus; dengan pengakuan tercatat di pengadilan, tidak banyak yang bisa
dilakukan Ellie untuk menghapus kerusakan yang sudah terjadi. Ellie melihat Katie duduk di
kursi saksi lagi, bergerak gelisah, gugup, dan pucat. “Ketika penuntut umum bertanya
padamu apakah kau membunuh bayimu, kau bilang ya.”
“Itu benar,” jawab Katie.
“Saat dia memintamu untuk menjelaskan metode pembunuhannya, kau tidak ingin bicara.”
“Tidak.”
“Aku bertanya padamu sekarang: apakah kau membekap bayi itu?”
“Tidak,” gumam Katie, suaranya serak dan bergetar.
“Apakah kau dengan sengaja mengakhiri hidup bayi itu?”
“Tidak. Tak pernah.”
“Bagaimana kau membunuh bayimu, Katie?”
Katie menarik napas panjang dan sedih. “Kau dengar sendiri dokternya. Dia bilang aku
membunuhnya karena infeksi itu dan menularkannya. Kalau aku bukan ibu bayi itu, dia
pasti masih hidup.”
“Kau membunuh bayimu dengan menularkan listeria dari tubuhmu?”
“Ya.”
“Apakah itu yang kaumaksudkan saat kau mengatakan pada Mr. Callahan kau telah
membunuh bayimu?”
“Ya.”
“Kau bilang pada kami sebelumnya, di gereja, kalau kau berdosa, kau harus mengaku di
depan jemaat.”
“Ja.”
“Bagaimana rasanya?”
Katie menelan ludah. “Sangat mengerikan, begitu rasanya. Pertama, kau harus mengikuti
misa Minggu dulu. Semua menyanyikan lagu punjian, dan setelah itu semua yang belum
menjadi anggota gereja keluar. Uskup memanggil namau, dan kau harus berdiri lalu duduk
di depan para pendeta dan menjawab pertanyaan mereka dengan cukup keras sehingga
seluruh jemaat bisa mendengarmu. Semua orang melihatmu, dan jantungmu berdetak
sangat keras sehingga kau bahkan hampir tak bisa mendengar perkataan Uskup.”
“Bagaimana kalau kau tak berdosa?”
Katie mengangkat kepala. “Apa maksudmu?”
“Bagaimana kalau kau tak bersalah?” Ellie teringat kembali percakapan mereka berbulan
lalu, berdoa semoga Katie juga mengingatnya. “Bagaimana kalau pengurus gereja
mengatakan kau berenang telanjang, padahal kau tidak melakukannya?”
Katie mengerutkan kening. “Kau tetap mengaku.”
“Meskipun kau tidak melakukannya?”
“Ya. Dan kalau kau tidak menunjukkan betapa kau menyesal, kalau kau mencoba membuat
alasan, semuanya akan jadi lebih memalukan. Sudah cukup berat berjalan ke depan
pendeta dengan semua keluarga dan teman-teman melihatmu. Kau hanya ingin semuanya
cepat selesai, menerima hukuman, sehingga kau bisa diampuni dan diterima kembali.”
“Jadi... di gerejamu, kau harus mengaku agar diampuni. Bahkan kalaupun kau tidak
melakukannya?”
“Yah, bukan berarti orang dituduh semena-mena. Sering kali ada alasan mengapa orang
harus mengaku. Bahkan kalaupun ceritanya tak selalu tepat, biasanya kau masih melakukan
sesuatu yang salah. Dan setelah kau mengaku, terjadi penyembuhan.”
“Jawab pertanyaannya, Katie,” Ellie tersenyum kaku. “Kalau pengurus gereja datang
padamu dan mengatakan kau telah berbuat dosa, padahal kau tidak melakukannya, kau
tetap akan mengaku?”
“Ya.”
“Begitu. Sekarang—mengapa kau ingin jadi saksi di persidanganmu ini?”
Katie memandang wajahnya. “Untuk mengaku dosa yang didakwakan padaku.”
“Tap kau didakwa membunuh,” kata Ellie. “Itu artinya kau dengan sengaja membunuh
bayimu, kau ingin dia mati. Apa ini benar?”
“Tidak,” bisik Katie.
“Kau harus tahu bahwa datang ke sini hari ini dan mengatakan kau membunuh bayimu akan
membuat juri percaya kau bersalah, Katie. Mengapa kau melakukan itu?”
“Bayinya sudah mati, dan itu karena aku. Tak masalah apakah aku membekapnya atau
tidak, dia tetap saja mati karena sesuatu yang kulakukan. Aku harus dihukum.”
179
Katie mengangkat celemeknya untuk mengusap air matanya. “Aku ingin semua orang
melihat betapa aku menyesal. Aku ingin mengaku,” katanya pelan, “karena itu satu-satunya
cara aku agar aku bisa diampuni.”
Ellie bersandar ke pagar kursi saksi, menghalangi pandangan semua orang. “Aku akan
mengampunimu,” katanya lembut, hanya pada Katie, “kalau kau mengampuniku.” Lalu ia
menoleh ke hakim. “Tak ada pertanyaan lagi.”

“Oke, semuanya jadi ruwet sekarang,” kata George. “Kau membuat bayi itu meninggal
tetapi kau tidak membunuhnya. Kau ingin dihukum sehingga kau bisa diampuni karena
sesuatu yang tidak sengaja kaulakukan.”
“Ya,” Katie mengangguk.
George terdiam sesaat, seakan-akan memikirkan jawaban itu. Lalu ia mengerutkan kening.
“Jadi apa yang terjadi pada bayinya?”
“Aku membuatnya sakit, dan dia mati.”
“Kau tahu, ahli patologi memang bilang dia terinfeksi, tapi dia mengakui ada beberapa
alasan yang mungkin membuatnya meninggal. Apa kau melihat bayi itu berhenti bernapas?”
“Tidak. Aku tertidur. Aku tak ingat—hingga terbangun.”
“Kau tak pernah melihat bayimu lagi setelah terbangun?”
“Sudah hilang,” kata Katie.
“Dan kau ingin kami percaya kau tidak ada hubungannya dengan itu?” George
mendekatinya. “Apa kau membungkus mayat bayi itu di selimut dan menyembunyikannya?”
“Tidak.”
“Huh. Kukira kau tadi bilang kau tak ingat—setelah tertidur.”
“Aku memang tak ingat!”
“Kalau begitu secara teknis kau tak bisa mengatakan secara pasti bahwa kau tidak
menyembunyikan bayi itu.”
“Kurasa tidak,” kata Katie pelan, bingung.
George tersenyum, meringis lebar seperti serigala. “Dan secara teknis kau tak bisa
mengatakan secara pasti bahwa kau tidak membekap bayi itu.”
“Keberatan!”
“Dicabut,” kata George. “Tak ada pertanyaan lagi.”
Ellie mengumpat dalam hati. Pernyataan penuh makna George adalah hal terakhir yang
akan didengar juri sebagai bagian dari kesaksian. “Pembela sudah selesai, Yang Mulia,” kata
Ellie. Ia memandang Katie membuka pagar saksi dan melangkah turun, menyebrangi
ruangan dengan hati-hati, seakan-akan sekarang ia tahu bahwa sesuatu yang stabil seperti
tanah yang padat setiap saat bisa saja bergoyang di bawah kakinya.
“Kalian tahu,” kata Ellie pada juri. “Aku berharap bsia mengatakan pada kalian secara pasti
apa yang terjadi di pagi buta tanggal sepuluh Juli di gudang pertanian Fisher, tapi aku tak
bisa. Aku tak bsia karena aku tak di sana. Demikian juga Mr. Callahan, dan juga para ahli
yang kalian lihat memasuki ruang sidang ini selama beberapa hari terakhir.
“Hanya ada satu orang yang berada di sana, yang juga sudah berbicara pada kalian di ruang
sidang ini—dan dia adalah Katie Fisher, seorang gadis Amish yag tak bisa mengingat apa yang
sebenarnya terjadi pagi itu. Katie, yang berdiri di sini dihantui rasa bersalah dan malu,
yakin bahwa penularan infeksi tak sengaja pada janinnya membuatnya bertanggung jawab
atas kematian bayi itu. Katie, yang sangat sedih kehilangan bayinya sehingga berpikir dia
pantas dihukum, bahkan meski dia tak bersalah. Katie, yang ingin diampuni untuk sesuatu
yang tidak dia niatkan untuk dilakukan.”
Ellie menyusurkan tangannya di pagar juri. “Dan tidak adanya niat itu, Bapak-bapak dan
Ibu-ibu, sangatlah penting. Karena untuk membuktikan Katie bersalah melakukan
pembunuhan tingkat pertama, penuntut umum harus menyakinkan Anda tanpa keraguan
bahwa Katie membunuh bayinya dengan rencana, niat dan sengaja. Pertama, itu berarti ia
merencanakan pembunuhan ini. Tapi Anda sekalian sudah mendengar bahwa tak ada
seorang Amish pun yang akan melakukan tindak kekerasan macam itu, tak seorang Amish
pun akan melakukan tindakan yang mementingkan kesombongan di atas kerendahan hati
atau mementingkan keputusan pribadi di atas aturan masyarakat. Kedua, itu artinya Katie
ingin bayinya mati. Tapi Anda sudah melihat bagaimana wajah Katie saat dia pertama kali
melihat lagi wajah ayah dari bayinya, saat dia mengatakan pada Anda bahwa dia
mencintainya. Ketiga, itu artinya Katie dengan sengaja membunuh bayinya. Tapi Anda sudah
melihat bukti bahwa infeksi yang ditularkan selama kehamilan bisa saja menjadi penyebab
kematian bayi itu—sebuah tragedi, tapi tetap saja sebuah kecelakaan.
“Sudah menjadi tugas penuntut umum untuk membuktikan pada Anda bahwa bayi Katie
Fisher dibunuh. Tugasku adalah menunjukkan pada Anda bahwa mungkin ada alasan lain
yang realistis, dan mungkin menyebabkan kematian bayi Katie selain pembunuhan tingkat
satu. Kalau ada lebih dari satu cara untuk melihat apa yang terjadi pagi itu, kalau ada
meski setititik keraguan dalam diri Anda, maka Anda tak punya pilihan kecuali
membebaskan Katie.”
180
Ellie berjalan mendekati Katie dan berdiri di belakangnya. “Aku berharap bisa mengatakan
pada Anda sekalian apa yang terjadi atau apa yang tidak terjadi pagi itu tanggal sepuluh
Juli,” ulangnya, “tapi aku tak bisa. Dan kalau aku saja tak tahu pasti—bagaimana dengan
kalian?”

“Ms. Hathaway benar—tapi hanya satu hal. Katie Fisher tak tahu pasti apa yang terjadi di
pagi hari ketika ia melahirkan bayinya.” George memandang wajah para juri. “Dia tak tahu,
dan dia mengakuinya—dia juga mengaku membunuh bayinya.”
George berdiri, tangan di belakang punggung. “Tetapi, kita tak perlu ingatan terdakwa
untuk mengetahui kebenarannya, karena dalam kasus inin, fakta bicara dengan sendirinya.
Kita tahu bahwa Katie Fisher berbohong pada keluarganya selama bertahun-tahun tentang
kunjungan rahasianya ke dunia luar. Kita tahu bahwa dia menyembunyikan kehamilannya,
melahirkan diam-diam, menutupi jerami yang terkena darah, dan menyembunyikan mayat
bayinya. Kita bisa melihat laporan autopsi dan melihat memar di sekitar mulut bayi yang
disebabkan pembekapan, serat katun di batang tenggorokannya, diagnosis pembunuhan
oleh pemeriksa medis. Kita bisa melihat bukti forensiknya—tes DNA yang menempatkan
terdakwa dan hanya terdakwa di tempat kejadian. Kita bisa menunjukkan motif
psikologinya—ketakutan Ms. Fisher diasingkan dari keluarganya selamanya, seperti
kakaknya, karena melahirkan bayi di luar nikah. Kita bahkan bisa melihat kembali rekaman
pengadilan dan mendengarkan terdakwa mengaku membunuh bayinya—sebuah pengakuan
sukarela, yang kemudian oleh pengacara pembela berusaha dibelokkan demi
kepentingannya.”
George menoleh ke Ellie. “Ms. Hathaway ingin kalian berpikir bahwa karena terdakwa orang
Amish, maka kejahatan ini tak mungkin dilakukan. Tapi menjadi Amish adalah sebuah
agama, bukan alasan. Aku sudah melihat penganut Katolik taat, Yahudi beriman, dan Muslim
yang saleh semuanya melakukan tindakan kriminal. Ms. Hathaway juga ingin kalian percaya
bahwa bayi itu mati karena sebab alami. Kalau begitu, untuk apa membungkusnya dan
menyembunyikannya di bawah tumpukan selimut—sebuah tindakan yang menunjukkkan
usaha menyembunyikan? Pembela tak bisa menjelaskan itu; mereka hanya bisa memberikan
kesaksian kacangan tentang infeksi bakteri tak jelas yang mungkin menyebabkan kegagalan
pernapasan pada bayi itu. Aku ulangi: mungkin menyebabkan. Tapi sekali lagi, mungkin saja
tidak. Mungkin itu hanya satu cara untuk menutupi kebenaran: bahwa pada tanggal sepuluh
Juli, Katie Fisher keluar ke gudang pertanian orangtuanya, lalu berencana, berniat, dan
sengaja membekap bayinya sampai mati.”
George melirik ke Katie, lalu kembali ke juri. “Ms. Hathaway juga ingin kalian percaya satu
kebohongan lagi—bahwa Katie Fisher adalah satu-satunya saksi pagi itu. Tapi itu tak benar.
Seorang bayi juga berada di sana; bayi yang tak bisa bicara untuk dirinya sendiri karena
ibunya telah membungkamnya.” Ia membiarkan pandangannya mengamati dua belas pria
dan wanita yang memandangnya. “Bicaralah untuk bayi itu hari ini,” katanya.

Ayah George Callahan, yang memenangkan empat kali pemilihan sebagai jaksa wilayah di
Bucks County beberapa puluh tahun lalu, biasa mengatakan padanya bahwa selalu ada satu
kasus dalam karier hukum seseorang yang bisa membuatnya selalu diingat orang. Itu adalah
kasus yang selalu dihubungkan dengan namanya, setiap kali kau melakukan hal lain yang
berharga dalam hidupmu. Bagi Wallace Callahan, kasusnya adalah menghukum tiga
mahasiswa kulit putih atas kejahatan memerkosa dan membunuh gadis kulit hitam kecil di
tengah-tengah protes gerakan hak asasi. Bagi George, kasus itu adalah kasus Katie Fisher.
George bisa merasakannya sebagaimana ia bisa merasakan bahwa besok akan turun salju,
dengan otot-ototnya yang menegang. Juri akan memutuskan bersalah. Yah, bahkan Katie
pun menganggap dirinya bersalah. Ia tak akan terkejut kalau vonis sudah turun sebelum
makan malam.
George memakai mantelnya, meraih tas kerjanya, dan membuka pintu ruang sidang.
Reporter dan kamerawan dari jaringan TV lokal dan nasional langsung mengerubunginya. Ia
menyeringai, memamerkan sisi wajahnya yang terbaik pada kamera, dan mendekat pada
mikrofon yang disodorkan ke depan wajahnya.
“Ada komentar tentang kasus ini?”
“Apa Anda bisa menebak apa keputusan juri?”
George tersenyum dan membiarkan suaranya yang sudah terlatih memunculkan kalimat
yang sudah dihafalnya. “Jelas, penuntut umum yang akan menang.”

“Tidak ada keraguan bagiku bahwa ini akan menjadi kemenangan kami,” kata Ellie pada
sekelompok kecil wartawan yang berkumpul di tempat parkir pengadilan tinggi.
“Apakah menurut Anda pengakuan Katie mungkin akan mempersulit juri membebaskannya?”
teriak salah seorang reporter.
181
“Sama sekali tidak.” Ellie tersenyum. “Pengakuan Katie lebih berhubungan dengan
kewajiban moral agamanya daripada urusan hukum kasus ini.” Ellie dengan sopan berjalan
ke depan, membuat gerombolan wartawan itu terpecah.
Coop, yang menunggu selesainya konferensi pers dadakan itu, mendekatinya saat Ellie
menuju ke mobil sedan biru Leda. “Aku seharusnya tetap tinggal,” kata Ellie.
“Kemungkinan besar juri sudah selesai sebelum kita makan.”
“Kalau kau tetap tinggal, Katie akan dikerubungi orang. Kau tak bisa mengurungnya terus di
ruang konferensi.”
Ellie mengangguk dan membuka pintu mobil. Saat ini, Leda, Katie dan Samuel sudah
menunggu di pintu belakang kantin pengadilan.
“Yah,” kata Coop. “Selamat.”
Ellie mendengus. “Jangan memberi selamat padaku dulu.”
“Tapi kau tadi bilang kau akan menang.”
Ellie menggeleng. “Aku memang mengatakan itu,” katanya mengakui. “Tapi kenyataannya,
Coop. Aku sama sekali tak tahu.”

Delapan Belas
SEHARI kemudian, juri belum mengambil keputusan.
Karena di pertanian Fisher tidak ada telepon, Hakim Ledbetter memerintahkan George
untuk meminjamkan penyerantanya padaku. Saat keputusan datang, Hakim akan
memberitahuku. Sementara itu, kita semua bisa pulang dan mengurus urusan masing-
masing.
Sebelumnya aku pernah mengalami situasi ketika juri tak bisa mengambil keputusan. Ini
tidak menyenangkan karena secara otomatis bisa dibilang kami harus menjalani sidang
kedua, tapi juga karena hingga keputusan turun, aku menjadi terobsesi menebak-nebak apa
yang salah dengan pembelaanku. Dulu, saat juri membutuhkan waktu yang lama untuk
memutuskan, aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan kasus lain yang kukerjakan.
Aku akan pergi ke gym dan menggunakan Stairmaster hingga aku hampir tak bisa bergerak,
apalagi berpikir. Aku bisa duduk dengan Stephen, yang akan membantuku menganalisis
kasus itu lagi sehingga aku bisa melihat kelemahanku.
Sekarang, aku dikelilingi keluarga Fisher—yang semuanya punya kepentingan dengan
keputusan ini, tapi sepertinya tak seorang pun sadar bahwa keputusannya belum datang
juga. Katie terus melakukan pekerjaan rumahnya. Aku diminta membantu Sarah di dapur,
membantu di gudang apabila Aaron membutuhkanku, meneruskan hidup meskipun kami
sedang menunggu keputusan yang menentukan.
Dua puluh delapan jam setelah kami meninggalkan pengadilan, aku dan Katie sedang
membersihkan jendela rumah Annie King, seorang wanita Amish yang baru saja terjatuh dan
pinggangnya patah. Aku memandang Katie, yang dengan tekun membasahi kain yang
dipegangnya di larutan sabun dan mengusapkannya ke kaca, bertanya dalam hati bagaimana
ia menemukan kekuatan untuk menolong orang lain saat emosinya sendiri pasti campur
aduk sekarang. “Apa ini tak mengganggumu?” kataku akhirnya.
“Punggungku?” tanya Katie. “Ja, sedikit. Kalau terlalu sakit bagimu, istirahat saja
sebentar.”
“Bukan punggungmu. Fakta bahwa kau belum tahu keputusan sidangnya.”
Katie menjatuhkan kain lapnya ke ember dan berdiri. “Khawatir tak akan membuatnya
terjadi lebih cepat.”
“Aku tak bisa berhenti memikirkannya,” aku mengakui. “Kalau aku menghadapi dakwaan
pembunuhan, kurasa aku tak akan bisa membersihkan jendela orang lain.”
Katie menoleh padaku, matanya jernih dan penuh kedamaian sehingga membuatku sulit
mengalihkan pandangan. “Hari ini Annie butuh bantuan.”
“Besok, mungkin kau yang membutuhkannya.”
Katie memandang keluar jendela, di mana para wanita sibuk mengeluarkan alat-alat
pembersih dari kereta mereka. “Maka besok, semua orang ini akan bersamaku.”
Aku menelan keraguanku, berharap demi dirinya, Katie benar. Lalu aku berdiri, membiarkan
lapku di ember. “Aku akan segera kembali.”
Katie menahan senyum; seringnya aku pergi ke kamar mandi akhir-akhir ini menjadi bahan
lelucon. Namun semua ini tak lucu lagi beberapa saat kemudian, saat aku duduk di toilet,
melihat ke bawah dan menyadari bahwa aku mengalami pendarahan.

Sarah membawa kereta kudanya ke rumah sakit, rumah sakit yang sama tempat Katie dibaw
a dengan ambulans pada hari ia melahirkan. Di bak belakang, terguncang-guncang, aku
berusaha mengatakan pada diriku sendiri bahwa ini normal; ini sering terjadi pada wanita
hamil. Tanganku menahan kram yang mulai terasa di perutku, sementara Katie dan Sarah
duduk di bangku depan saling berbisik dalam dialek Dietsch.
Aku dibawa ke unit gawat darurat, pertanyaan menghujaniku dari segala arah. Apakah aku
hamil? Sudah berapa bulan? Seorang perawat menoleh pada Katie dan Sarah, yang berdiri
tak nyaman di pinggir gorden. “Apa kalian keluarganya?”
“Bukan. Teman,” jawab Katie.
“Kalau begitu kalian harus menunggu di luar.”
Sarah memandangku sebelum pergi. “Kau akan baik-baik saja.”
“Tolong,” bisikku. “Cari Coop.”
182
Dokter yang memeriksaku mempunyai tangan seperti pianis, dengan jari putih panjang yang
sangat lembut sehingga rasanya seperti bunga mengusap kulitku. “Kami akan melakukan tes
darah untuk mengetes kehamilan Anda,” katanya. “Lalu kami akan mengadakan
pemeriksaan ultrasonik untuk melihat apa yang terjadi.”
Aku mengangkat tubuhku bertelekan siku. “Apa yang terjadi?” tanyaku, menuntut dan
mendesak. “Kau harus tahu.”
“Yah, pendarahannya lumayan deras. Berdasarkan tanggal menstruasi terakhir Anda,
kemungkinan ini adalah kehamilan di luar kandungan yang sangat berbahaya. Kalau tidak,
tubuh Anda mungkin secara spontan melakukan proses aborsi.” Ia memandangku.
“Keguguran.”
“Kau harus menghentikannya,” kataku tegas.
“Kami tak bisa. Kalau pendarahannya berhenti sendiri, itu pertanda bagus. Kalau tidak...
yah...” Ia mengangkat bahu dan menggulungkan stetoskopnya ke leher. “Kami akan tahu
lebih banyak sebentar lagi. Cobalah untuk beristirarahat.”
Aku mengangguk, berbaring kembali, berusaha untuk tidak menangis. Menangis tak akan
memberi manfaat apa-apa. Aku terbaring diam, bernapas pendek-pendek. Aku tak bisa
kehilangan bayi ini. Aku tak bisa.

Wajah Coop pucat pasi saat teknisi ultrasonik mengusapkan gel ke perutku dan menekankan
alat seperti mikrofon ke kulit perutku. Di layar komputer titik-titik buram mulai
membentuk menjadi bulatan yang bergerak dan berubah bentuk. “Ini dia,” kata teknisi itu,
dengan panah grafik menunjuk ke bulatan kecil.
“Yah kehamilannya tidak di saluran tuba falopi,” kata dokter. “Perbesar.”
Teknisi membesarkan area itu. Ia tidak terlihat seperti bayi, tidak terlihat seperti apa pun
kecuali lingkaran titik-titik putih dengna titik hitam di tengah. Aku menoleh memandang
dokter dan teknisi, tapi mereka diam saja. Mereka memandang ke layar komputer, ke
sesuatu yang sepertinya sangat salah.
Teknisi menekan perutku lebih keras, menggerak-gerakkan tongkatnya maju mundur. “Ah,”
katanya akhirnya.
Titik hitam itu berdetak ritmis. “Itu detak jantungnya,” kata dokter.
Coop menggenggam tanganku. “Itu bagus, bukan? Itu artinya semua baik-baik saja?”
“Kami tak tahu apa yang menyebabkan terjadinya keguguran, Dr. Cooper, tapi hampir
sepertiga kehamilan awal mengalami keguguran. Biasanya karena embrionya tidak
sempurna, jadi itu memang yang terbaik. Istri Anda masih mengalami pendarahan. Yang bisa
kita lakukan sekarang adalah memulangkannya dan berharap semuanya akan berubah dalam
beberapa jam ke depan.”
“Memulangkannya? Kau hanya akan menyuruhnya pulang?”
“Ya. Anda harus terus berbaring. Kalau pendarahannya tidak melambat besok pagi, atau
kramnya menjadi lebih hebat, kembalilah lagi ke sini.”
Aku memandang ke layar komputer, terpaku pada lingkaran putih kecil itu.
“Tapi detak jantungnya,” desak Coop. “Itu tanda positif.”
“Ya. Sayangnya, pendarahannya cukup hebat.”
Dokter dan teknisi meninggalkan ruangan. Coop terduduk di kursi di samping meja periksa
dan mengembangkan jari-jarinya di atas perutku. Aku menggenggam tangannya. “Aku tak
akan melepaskan bayi ini,” kataku tegas padanya. Lalu aku membiarkan diriku menangis.

Coop ingin membawaku ke apartemennya, tapi terlalu jauh. Tetapi Sarah mendesak agar
kami kembali ke rumah pertanian, dan di sana ia bisa menjagaku. “Tentu saja, kau ikut,”
katanya pada Coop, dan karena itulah Coop memperbolehkan Sarah membawaku.
Coop menggendongku ke kamar yang aku bagi bersama Katie dan pelan-pelan
membaringkanku ke ranjang. “Nah,” katanya mengatur bantal di bawah kepalaku.
“Bagaimana?”
“Enak.” Aku memandangnya dan mencoba tersenyum. Ia duduk di pinggir ranjang dan
meremas tanganku. “Mungkin ini bukan apa-apa.”
Aku mengangguk. Coop mengelus pinggir selimut dengan tangannya, melihat ke meja di
samping ranjang, jendela, lantai—ke mana pun asal tidak memandangku. “Coop,” kataku,
”tolong aku.”
“Apa pun.”
“Aku ingin kau menelepon Hakim Ledbetter. Beri tahu apa yang terjadi, untuk jaga-jaga.”
“Demi Tuhan, Ellie, kau seharusnya tidak memikirkan itu sekarang.”
“Tapi aku memang memikirkannya. Dan aku butuh kau untuk melakukan ini.”
Coop menggeleng. “Aku tak akan meninggalkanmu.”
Aku menyentuh lengannya, membisikkan kata-kata yang sebenarnya tak ingin kami dengar.
“Tak ada yang bisa kaulakukan sekarang.”
Aku berpaling, dan sesaat kemudian aku mendengar langkah Coop keluar dari kamar. Tapi
tak lama kemudian, pintu terbuka lagi. Mengira Coop kembali, aku membuka mata, dan
melihat Sarah menuangkan segelas air dari teko.
“Oh,” kataku. “Terima kasih.”
Ia mengangkat bahu. “Aku ikut prihatin ini terjadi, Ellie.”
183
Aku mengangguk. Meski ia mungkin merasa tak enak melihat satu lagi calon ibu yang belum
menikah hamil di rumahnya, ia cukup murah hati menawarkan simpatinya padaku sekarang.
“Aku kehilangan tiga bayi antara Katie dan Hannah,” kata Sarah datar. “Aku tak pernah
mengerti mengapa orang Inggris mengatakan—kehilangan bayi. Kau tahu jelas di mana dia
berada, bukan? Dan kau akan melakukan apa pun untuk menjaganya agar tetap di sana.”
Aku memandangnya, wanita ini mengerti bagaimana rasanya tak berdaya melawan tubuhmu
sendiri, bagaimana rasanya tidak bisa mengatasi kelemahanmu. Seperti yang dikatakan
Katie—tak masalah apakah kematian itu akibat kecelakaan; aku tetap saja merasa bersalah.
“Bayi ini sudah terasa nyata bagiku,” bisikku.
“Tentu saja,” kata Sarah. “Dan kau rela memindahkan surga dan bumi untuknya.”
Ia menyibukkan diri merapikan kamar. “Kalau kau butuh apa pun, panggil saja, kau
dengar?”
“Tunggu.”
Sarah berhenti di pintu.
“Bagaimana...?” aku tak bisa melanjutkan pertanyaanku, tapi Sarah mengerti.
“Itu kehendak Tuhan,” katanya tenang. “Kau bisa melewatinya. Kau hanya tak bisa
melupakannya.”

Aku pasti tertidur, karena yang kemudian kuingat adalah matahari hampir terbenam dan
Coop terbaring di ranjang Katie di seberang ruangan. Saat aku bergerak, ia duduk dan
berlutut di sebelahku. “Bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik-baik saja. Kramnya sudah hilang.”
Kami berpandangan, takut akan apa yang mungkin terjadi. “Aku sudah menelepon Hakim,”
kata Coop, cepat-cepat mengganti topik. “Dia bilang jur belum mengambil keputusan dan
kalau perlu dia akan terus mengisolasi mereka hingga kau sehat kembali.” Ia berdeham.
“Dia juga bilang dia berdoa untuk kita.”
“Itu bagus,” kataku tenang. “Kita butuh semua bantuan yang ada.”
“Bolehkan aku bertanya sesuatu?” Coop mengambil sehelai benang lepas di selimut. “Aku
tahu ini bukan saat yang tepat, dan aku tahu aku sudah berjanji tak akan melakukan ini,
tapi aku ingin kau mau menikah denganku. Aku bukan pengacara, jadi aku tak punya
argumen hebat untuk meyakinkanmu. Tapi ketika Katie meneleponku hari ini dari rumah
sakit, aku tak bisa bernapas. Kukira kau mengalami kecelakaan. Lalu Katie bilang bayinya
yang bermasalah, dan yang terpikir olehku hanyalah, syukurlah, syukurlah bukan Ellie.
“Aku membenci diriku sendiri karena itu. Aku bertanya-tanya apa aku memang pantas
mendapatkan ini, hanya karena apa yang terpikir olehku. Dan sekarang aku membayangkan
bayi ini, karunia yang tak kuharapkan sebelumnya, akan diambil dariku. Kalau ini terjadi,
El, rasanya akan sangat sakit—tapi itu tak sebanding dengan apa yang akan kurasakan kalau
kau yang diambil dariku. Itu...” katanya, suaranya bergetar, “aku tak akan tahan.”
Coop mengangkat tanganku ke bibirnya dan menciumnya. “Kita akan punya lebih banyak
bayi lagi. Mereka memang bukan bayi yang ini, tetapi mereka milik kita. Kita bisa punya
sepuluh bayi, satu untuk setiap kamar di rumah kita.” Coop mengangkat wajahnya.
“Katakan saja kau mau.”
Aku dulu meninggalkan Coop karena aku ingin melihat apakah aku bisa menjadi yang
terbaik, kalau aku berusaha sendiri di dunia. Tapi tinggal selama berbulan-bulan dengan
keluarga Fisher membuatku mengerti apa artinya mengetahui ada seseorang yang akan
membantuku bangun saat aku terjatuh.
Aku menolah Coop kedua kalinya karena aku takut aku hanya berkata ya karena rasa
tanggung jawab, karena bayi di perutku. Tapi sekarang mungkin tidak ada bayi. Hanya ada
aku, Coop, dan rasa sakit di dadaku yang hanya bisa dimengerti olehnya.
Berapa kali lagi aku akan membuang ini, sebelum aku menyadari bahwa inilah yang kucari-
cari selama ini?
“Dua belas,” jawabku.
“Dua belas?”
“Dua belas bayi. Aku ingin punya rumah yang sangat besar.”
Mata Coop bersinar. “Sebuah rumah yang sangat besar,” janjinya, dan menciumku. “Ya
Tuhan, aku cinta padamu.”
“Aku cinta padamu juga.” Dan begitu ia naik ke ranjangku, aku mulai tertawa. “Aku akan
lebih mencintaimu kalau kau membantuku ke kamar mandi.”
Coop menyeringai dan memelukku, menggendongku ke lorong. “Kau bisa melakukan ini
sendiri?”
“Selama tiga puluh tujuh tahun latihan aku sudah lumayan bisa.”
“Kau tahu bukan itu yang kumaksudkan,” katanya lembut.
“Aku tahu.” Kami berpandangan selama sesaat, hingga aku harus berpaling dari duka di
matanya. “Aku bisa mengatasi ini, Coop.” Aku menutup pintu kamar mandi dan mengangkat
gaun malamku, menguatkan diri untuk melihat pembalut yang bersimbah darah. Saat aku
melihat ke bawah, aku mulai menangis.
Dengan tergesa-gesa, Coop masuk ke kamar mandi, matanya bingung dan takut. “Apa? Ada
apa?”
Air mataku terus mengalir; tak bisa berhenti, menderas. “Tambahkan lagi jadi tiga belas
bayi,” kataku, tersenyum. “Kurasa yang satu ini akan tetap tinggal.”
184

Sembilan Belas

BARU setelah George Callahan menghabiskan sebotol Zantac, ia sadar kasus ini
memakannya hidup-hidup. Keyakinannya akan kemenangan, ternyata tak terlalu
meyakinkan lagi. Ia bertanya-tanya juri mana yang sulit membuat keputusan—pria dengan
tato Claddagh? Ibu dengan empat anak? Ia bertanya-tanya apakah ia punya waktu untuk ke
apotek setelah makan siang, atau ia akan dipanggil untuk diberitahu tentang keputusannya
begitu ia masuk ke jalan tol. Ia bertanya-tanya apakah Ellie Hathaway juga tak bisa tidur
selama tiga malam terakhir.
“Wah,” kata Lizzie Munro, mendorong piringnya. “Ini baru pertama kalinya aku makan lebih
banyak darimu.”
George meringis. “Rupanya perutku lebih peka daripada yang kukira.”
“Kalau kau bertanya padaku—meski jelas kau tidak bertanya—aku bisa saja mengatakan
padamu bahwa orang-orang di sini sulit memutuskan vonis bersala untuk seorang Amish.”
“Mengapa?”
Lizzie mengangkat salah satu bahunya. “Mereka seperti malaikat yang tinggal di bumi.
Kalau kau mengakui bahwa salah satu dari mereka adalah pembunuh, maka semua orang
lain di dunia ini jelas akan masuk neraka.”
“Mereka juga belum bisa memutuskan untuk membebaskannya.” George mengusap
mulutnya dengan tisu. “Ledbetter bilang juri meminta transkrip pemeriksaan dari dua
psikiater.”
“Nah, itu baru menarik. Kalau mereka mempermasalahkan kondisi mental, itu hampir
mengindikasikan bahwa juri merasa terdakwa melakukan sesuatu yang salah.”
George mendengus. “Aku yakin Ellie Hathaway akan berpendapat beda.”
“Ellie Hathaway tak banyak berpendapat sekarang. Apa kau belum dengar?”
“Dengar apa?”
“Dia sakit. Dibawa ke rumah sakit.” Lizzie mengangkat bahu. “Kabarnya ada hubungannya
dengan komplikasi kehamilan.”
“Hamil? Ellie Hathaway hamil?” George menggeleng. “Ya Tuhan, kukira naluri keibuannya
nyaris seperti laba-laba black widow.”
“Yeah,” kata Lizzie. “Sekarang banyak sekali terjadi hal seperti itu.”

Ellie mendapatkan kelonggaran dari berbaring di kamar menjadi di sofa ruang duduk. Ia
hanya sekali diperbolehkan berjalan, saat Coop membawanya ke dokter kandungan yang
menyatakan kehamilannya selamat namun ia harus menjaga kondisinya. Sekarang Coop
kembali ke kantornya menemui klien yang mengalami dorongan bunuh diri, meninggalkan
Sarah yang menjaganya seperti elang. Tapi Sarah juga keluar untuk menyembelih ayam
untuk makan malam—membuat Ellie, untuk pertama kalinya, bahagia dengan statusnya
sebagai orang sakit.
Ellie memejamkan mata, tapi ia yakin kalau ia tidur satu jam lagi ia akan mengalami koma.
Ia berusaha memutuskan argumen apa yang akan digunakannya untuk meyakinkan Coop
bahwa ia sudah boleh berdiri—posisi berbaring tertekuk ini membuat punggungnya sakit—
ketika Katie mengendap-endap di pintu, berusaha agar tidak terlihat.
“Oh tidak. Kembali ke sini,” perintah Ellie.
Katie masuk kembali. “Kau butuh sesuatu?”
“Yeah. Aku perlu kau membawaku keluar dari sini.”
Mata Katie membelalak. “Tapi, Dr. Cooper—”
“—sama sekali tak tahu bagaimana rasanya tiduran selama dua hari penuh.” Ellie meraih
tangan Katie dan menariknya sehingga Katie terduduk di sampingnya. “Aku bukan ingin
mendaki gunung Everest,” pintanya. “Hanya berjalan-jalan sedikit. Di luar.”
Katie memandang ke dapur. “Ibumu di kandang ayam. Tolonglah.”
Katie mengangguk cepat, lalu membantu Ellie berdiri. “Kau yakin kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja. Benar. Kau bisa menelepon dokterku dan bertanya.” Menyeringai, Ellie
menambahkan. “Kalau kau punya telepon.”
Katie melingkarkan tangannya di pinggang Ellie dan melangkah pelan-pelan bersamanya
melewati dapur menuju pintu belakang. Ellie mempercepat langkahnya saat mereka
melewati kebun sayur, melewati tanaman labu yang menjalar seperti gurita. Di pinggir
kolam, Ellie duduk di bangku di bawah pohon oak, pipinya memerah dan cerah, merasa jauh
lebih baik.
“Bisakah kita kembali sekarang?” tanya Katie takut.
“Aku baru saja sampai. Kau pasti ingin aku istirahat dulu sebelum aku jalan kembali lagi ke
rumah, bukan?”
Katie memandang ke arah rumah. “Aku ingin kau sudah kembali lagi sebelum ada orang
tahu kau keluar.”
“Jangan khawatir, aku tak akan bilang siapa-siapa kau yang membawaku ke sini, kalau kau
juga tidak mengadukan aku.”
“Tak akan,” jawab Katie.
Ellie mendongak dan membiarkan matahari menyinari wajah dan lehernya. “Nah, di sinilah
kita berdua. Rekan dalam kejahatan.”
“Rekan dalam kejahatan,” ulang Katie pelan.
Mendengar suaranya yang lirih dan sedih, Ellie berkedip. “Oh, Katie. Aku tak bermaksud...”
“Ssttt.” Katie mengangkat tangannya, pelan-pelan berdiri sambil memandang ke arah
kolam.
185
Segerombolan bebek liar, yang bersembunyi di alang-alang di pinggir kolam tiba-tiba
terkejut dan beterbangan, menyemburkan embun yang membuat permukaan kolam
bersinar. Matahari sore bersinar, dan selama sesaat Katie bisa melihat adiknya berputar di
tengah cipratan air dan cahaya matahari itu, sesosok balerina tembus pandang yang tak
menyadari penontonnya.
Inilah yang dirindukan Katie kalau ia masuk penjara. Rumah ini, kolam ini, hubungan ini.
Hannah berbelok dan di pelukannya ada bungkusan kecil. Ia berbelok lagi, dan bungkusan
itu bergerak... sehingga sebuah lengan mungil kemerahan keluar dari bungkusan itu. Embun
turun lagi, suara ribut bebek semakin menjauh. Katie duduk di samping Ellie, yang tiba-tiba
terlihat lebih pucat daripada sebelumnya. “Tolong,” bisik Katie. “Jangan biarkan mereka
mengirimku pergi.”

Karena menghormati Aaron, Jacob memakirkan mobilnya satu kilometer dari pertanian
ayahnya. Ia tahu ada anak muda Amish yang membeli mobil di masa Rumspringa, kenakalan
remaja mereka, anak-anak yang memarkir mobil mereka di belakang gudang tembakau,
sementara ayah mereka pura-pura tak melihat. Tapi Jacob tak pernah punya mobil. Hingga
ia pergi dari sini.
Berjalan menyusuri jalan tanah ke arah rumah juga terasa aneh. Tak sadar ia mengusap-
usap bekas luka di dagunya karena main roller skate semasa kecil dan tersandung retakan
di trotoar. Retakan itu masih di sana. Dan ia yakin roller skate-nya juga masih ada,
disimpan di loteng dengan baju-baju dan topi lamanya yang belum diberikan pada sepupu-
sepupunya yang lebih muda.
Detak jantungnya terasa sangat ribut di telinganya saat Jacob sampai di pintu gudang,
sehingga ia harus berhenti dan bernapas dalam-dalam agar mendapatkan keberanian
melanjutkan langkah. Masalahnya, ia sudah menjadi Sod sangat lama, sehingga berpikir
secara Amish menjadi semakin sulit baginya. Di sidang Katie-lah—dia, dibandingkan orang-
orang lain seharusnya menjadi ahli dalam kehidupan Amish—menyadari bahwa selama ini
sisi Amishnya memang sudah ada dalam dirinya. Meskipun ia tinggal di dunia yang berbeda,
ia masih melihat dunia tempatnya sekarang dengan mata seseorang yang tumbuh besar
terpisah dan sendiri; ia menilai dunia itu dengan serangkaian nilai yang sudah tertanam
dalam dirinya sejak lama.
Salah satu kebenaran pertama yang kaupelajari sebagai orang Amish adalah tindakan
berbicara lebih keras dari kata-kata.
Di dunia Inggris, orang-orang mengirimkan ucapan belasungkawa, menulis e-mail, dan
bertukar kartu valentine. Di dunia Amish, simpati muncul dalam bentuk kunjungan, cinta
adalah pandangan puas di meja makan, bantuan adalah uluran tangan. Selama ini, Jacob
menunggu permintaan maaf dari ayahnya, padahal itu bukanlah cara ayahnya.
Jacob membuka pintu gudang yang berat dan berjalan masuk. Titi-titik debu beterbangan di
udara, dan bau tajam jerami dan gandum manis terasa sangat familier sehingga Jacob
terpaku sesaat dan memejamkan mata, mengenang. Sapi-sapi yang diikat di tiang mereka,
bergerak-gerak menyambut kedatangannya dan memalingkan kepala mereka yang besar ke
arahnya.
Saat itu waktunya memerah susu. Jacob memang sudah merencanakannya. Ia berjalan ke
lorong tengah gudang. Levi sedang menyekop kotoran ke sebuah gerobak, tak terlihat
senang. Samuel berdiri di ujung lorong, menunggu makanan ternak turun dari gudang atas.
Elam dan Aaron berjalan dari sapi ke sapi, mengecek pompa dan membersihkan ambing sapi
yang akan diperah selanjutnya.
Elam-lah yang melihat Jacob pertama kali. Menegakkan tubuhnya pelan-pelan, kakek tua
itu memandang Jacob lalu tersenyum. Jacob mengangguk, lalu meraih ember yang dipegang
kakeknya dan merobek sehelai kertas dari halaman buku telepon lama. Ia mengambil botol
semprot dari tangan Elam untuk membersihkan ambing saat ayahnya muncul dari balik
punggung sapi.
Aaron terkejut. Bahunya menegang; otot dahinya berkerut. Samuel dan Levi memandang
dalam diam, bahkan sapi-sapi pun sepertinya terdiam, menunggu apa yang akan terjadi.
Elam meletakkan tangannya di bahu putranya. “Et is nix,” katanya. Tidak apa-apa.
Tanpa kata, Jacob membungkuk dan melakukan tugasnya. Tangannya mengusap kuit ambing
sapi yang lembut. Sesaat kemudian ia merasakan ayahnya berdiri di belakangnya. Tangan
yang telha mengajarinya bagaimana melakukan hampir semua hal, dengan lembut
menyuruhnya minggir, sehingga pompa perah bisa dipasang.
Jacob berdiri, berhadapan dengan ayahnya. Aaron mengangguk pelan ke sapi selanjutnya.
“Nah,” katanya dalam bahasa Inggris. “Aku menunggu.”
George menaiki tangga beranda depan rumah Fisher, tak yakin apa yang akan dihadapinya.
Ia sempat berpikir orang-orang yang begitu dekat dengan Tuhan pasti bisa mengirimkan kilat
untuk menghantamnya begitu ia keluar dari mobil, tapi sejauh ini semua berjalan lancar. Ia
merapikan jas dan dasinya, lalu mengetuk pintu.
186
Yang membukakan pintu adalah terdakwa. Senyum di wajahnya langsung menghilang dan
layu. “Ya?”
“Aku, eh ingin menemui Ellie.”
Katie menyilangkan lengan di dada. “Dia tak menerima tamu sekarang.”
Dari belakangnya terdengar seseorang berteriak. “Itu tidak benar! Aku akan menerima siapa
saja. Bahkan kurir sekalipun, suruh dia masuk!”
George mengangkat alisnya, dan Katie membuka pintu kasa supaya George bisa masuk. Ia
mengikuti Katie masuk ke rumah yang ternyata mirip dengan rumahnya sendiri. Di ruang
duduk, Ellie terbaring di sofa degnan selimut sulam menutupi kakinya.
“Wah,” kata George. “Kau terlihat sangat berbeda memakai piama. Lebih lembut.”
Ellie tertawa. “Karena itulah aku tak pernah memakainya ke sidang. Apakah ini kunjungan
sosial?”
“Tidak sepenuhnya.” George memandang penuh makna ke Katie. Katie melihat sekilas ke
Ellie, lalu pergi ke ruang sebelah. “Aku punya penawaran untukmu.”
“Kejutan,” kata Ellie datar. “Apakah juri membuatmu takut?”
“Tidak. Justru aku mengira kaulah yang panik, dan aku sekarang sedang merasakan
semangat bersaing.”
“Jangan sok kesatria, George. Baiklah, katakan.”
“Dia mengaku bersalah,” kata George. “Dan kami setuju hukuman empat hingga tujuh
tahun.”
“Tak mungkin,” kata Ellie kesal, tapi kemudian teringat Katie, duduk di pinggir kolam. “Aku
akan mempertimbangkan nolo, dan aku akan menerima dua hingga tiga tahun sebagai
tawaran masa hukuman percobaan, kalau kau memperbolehkanku menawar kurang dari
itu.”
George melengos, melihat ke luar jendela. Ia ingin memenangkan kasus ini lebih dari apa
pun—karena kasusu inilah yang akan membantunya naik di pemilihan mendatang. Ia tak
punya keinginan melihat Katie Fisher membusuk di penjara selamanya; dan dari yang
dikatakan Lizzie padanya, George tahu hal itu juga tak diterima baik oleh masyarakat.
Dengan pengajuan nolo contendere, seperti yang disarankan Ellie, terdakwa tidak mengaku
bersalah, tapi masih menerima vonis hukuman. Pada dasarnya itu berarti mengatakan kau
tidak melakukannya, tapi kau mengerti bahwa ada bukti yang cukup untuk menghukumnya,
jadi kau menerima vonisnya.
Bagi Katie, itu artinya menyelamatkan muka dan menerima hukuman pada saat bersamaan.
Bagi Ellie, itu artinya menghapus pengakuan tak terduga kliennya dari catatan sidang.
Bagi George, itu masih vonis bersalah.
George berjalan mendekati Ellie lagi. “Aku harus memikirkannya dulu. Kalau dia benar
terbukti bersalah, dia bisa saja dihukum untuk waktu yang lama.”
“Kalau, George. Sudah lima hari dan juri belum bisa mengambil keputusan. Kalau mereka
memutuskan bebas, Katie mendapat nada. Artinya tak satu pun hukuman.”
George menyilangkan lengannya. “Nolo. Tiga sampai enam tahun, percobaan.”
“Dua setengah sampai lima dan perjanjian ini sah.” Ellie tersenyum. “Tentu saja aku harus
memberi tahu klienku dulu.”
“Hubungi aku lagi.” George berjalan keluar, berhenti di ambang pintu. “Hei, Ellie,”
katanya. “Aku turut prihatin mendengar apa yang terjadi.”
Ellie meremas selimutnya. “Yah, semua akan baik-baik saja sekarang.”
“Yeah.” George mengangguk pelan. “Kurasa begitu.”

Katie duduk di luar kantor hakim, mengusapkan jarinya ke pinggiran bangku kayu berpernis.
Ia menekankan telapak tangannya di satu tempat, mengelapnya dengan celemeknya, lalu
mengulanginya lagi. Meskipun berada di sini hari ini tidak terlalu membuatnya gelisah
seperti berada di sini untuk menjalani sidang. Katie tetap tak sabar untuk segera bisa pergi.
“Aku mencari-carimu.”
Katie mengangkat kepalanya saat Adam duduk di sampingnya. “Jacob mengatakan padaku
tentang permohonannya.”
“Ya. Dan semuanya akan selesai,” kata Katie pelan, dan mereka berdua merenungkan kata-
kata itu, membalikkannya seperti batu, dan mengendapkannya lagi.
“Aku akan kembali ke Skotlandia.” Adam ragu. “Katie, kau bisa—”
“Tidak, Adam.” Katie menggeleng, memotongnya. “Aku tak bisa.”
Adam menelan ludah, mengangguk. “Kurasa aku sudah tahu itu sejak dulu.” Ia menyentuh
pipi Katie. “Tapi aku juga tahu bahwa selama berbulan-bulan ini, kau ada di sana
denganku.” Saat Katie mengangkat kepala, bingung, Adam melanjutkan. “Aku melihatmu,
kadang-kadang, di kaki ranjangku saat aku terbangun. Atau aku melihat siluetmu di garis-
garis dinding puri. Kadang, saat angin bertiup, aku mendengar seakan-akan kau
memanggilku.” Ia menggenggam tangan Katie, mengelus jemarinya. “Aku melihatmu lebih
jelas daripada saat aku melihat hantu.”
Adam mengangkat tangan Katie, mencium telapak tangannya dan menutup genggaman di
atas bekas ciumannya. Lalu ia menekankan genggaman itu ke perut Katie. “Ingatlah aku,”
kata Adam serak; dan untuk kedua kalinya dalam hidup Katie, Adam meninggalkannya.
187

“Aku senang kalian sudah mencapai persetujuan,” kata Hakim Ledbetter. “Sekarang mari
kita bicarakan tentang waktunya.”
George maju. “Kami setuju hukuman percobaan, Yang Mulia, dua setengah sampai lima
tahun. Tapi saya pikir penting untuk diingat bahwa apa pun keputusan yang diambil nanti
harus memberikan pesan pada masyarakat bahwa pembunuhan bayi itu tetap salah.”
“Kami setuju untuk mengajukan nolo,” jelas Ellie. “Klien saya tidak mengetahui kejahatan
ini. Dia sudah berkali-kali mengatakan bahwa dia tak tahu apa yang terjadi malam itu, tapi
untuk beberapa alasan dia mau menerima vonis bersalah. Tetapi, kita tidak berbicara
tentang penjahat kriminal di sini. Katie punya komitmen pada komunitasnya, dan dia tak
akan menjadi penjahat kambuhan. Dia tak akan menjalani hukuman sehari pun, bahkan
satu jam pun tidak. Mengirimnya ke penjara berarti menganggap dia penjahat biasa,
padahal keduanya sama sekali tak sebanding.”
“Ms. Hathaway, kurasa kau sudah memikirkan pemecahannya.”
“Ya. Saya rasa Katie kandidat sempurna untuk program monitoring elektronik.”
Hakim Ledbetter melepas kacamatanya dan mengusap matanya. “Mr. Callahan, kita
memberi contoh pada masyarakat dengan menyidangkan kasus ini secara terbuka. Aku tak
melihat alasan untuk lebih menambah malu komunitas Amish lebih dari besarnya banyaknya
perhatian media selama ini, dengan mengirim salah satu dari mereka ke penjara Muncy.
Terdakwa akan menjalani hukuman—namun dalam kesendirian. Yang sepertinya terlihat
seperti keadilan yang puitis.” Ia menandatangani berkas di depannya. “Aku menghukum Ms.
Fisher setahun memakai gelang elektronik,” kata Hakim Ledbetter. “Kasus ditutup.”

Borgol plastik itu akan terpasang di bawah stokingnya, karena ia tak akan bisa melepasnya
selama hampir delapan bulan. Lebarnya lima sentimeter, dan di dalamnya ada alat deteksi.
Kalau Katie meninggalkan Lancastr County, Ellie menjelaskan, alat itu akan berbunyi, dan
pengawas masa hukuman percobaan akan menemukannya, untuk meyakinkan bahwa Katie
tidak membikin masalah lagi. Katie secara resmi menjadi tahanan negara, yang berarti tak
punya hak bicara.
Tapi ia boleh tinggal di pertanian, menjalani hidupnya, dan mengurusi dirinya sendiri.
Tentunya alat kecil seperti itu tak sebanding dengan banyaknya hal yang masih bisa
didapatnya.
Dia dan Ellie berjalan menyusuri lorong gedung pengadilan, detak sepatu mereka
menggema dalam kesunyian. “Terima kasih,” kata Katie pelan.
“Dengan senang hati.” Ellie terdiam. “ini perjanjian yang adil.”
“Aku tahu.”
“Bahkan meski kau divonis bersalah.”
“Itu tak menggangguku.”
“Yeah.” Ellie tersenyum. “Kurasa aku akan bisa melupakannya, sekitar sepuluh tahun lagi.”
“Uskup Ephram bilang ini hal yang baik untuk komunitas kami.”
“Mengapa?”
“Membuat kami tetap rendah hati,” kata Katie. “Terlalu banyak orang Inggris yang mengira
kami orang suci, dan ini akan mengingatkan pada mereka bahwa kami juga manusia.”
Mereka melangkah keluar bersama di siang hari yang tenang. Tidak ada reporter, tidak ada
turis—baru berjam-jam kemudian pers akan tahu bahwa juri sudah dibubarkan dan sidang
dihentikan mendadak, karena ada perjanjian. Katie berhenti di anak tangga teratas,
memandang berkeliling. “Bayanganku tidak seperti ini.”
“Apanya?”
“Setelahnya,” ia mengangkat bahu. “Kupikir semua hal yang kaukatakan di persidangan
akan membantuku memahami apa yang terjadi sedikit lebib baik.”
Ellie tersenyum. “Kalau aku melakukan pekerjaanku dengan benar, biasanya aku malah
membuat semuanya jadi lebih kabur.”
Angin sepoi, membawa hawa musim dingin, meniup tali kapp Katie ke depan wajahnya.
“Aku tak akan pernah tahu bagaimana dia meninggal, bukan?” tanyanya pelan.
Ellie melingkarkan lengannya ke lengan Katie. “Kau tahu bagaimana saat dia masih hidup,”
jawabnya. “Itu sudah cukup.”
188

Dua Puluh
Ellie

LUCU kalau dilihat bagaimana kau bisa mengumpulkan begitu banyak dalam waktu yang
begitu singkat. Aku datang ke East Paradise hanya dengan satu koper, tapi setelah sekarang
tiba saatnya untuk mengepak barang-barangku, aku hampir tak bsia memasukkan
semuanya. Sekarang, selain baju-bajuku, ada selimut buatan tanganku yang pertama dan
mungkin juga yang terakhir. Selimut yang akan menghiasi boks bayiku. Ada topi jerami yang
kubeli di Zimmerman, topi anak laki-laki dengan pinggiran lebar, tapi selama ini menahan
sinar matahari dari wajahku saat aku bekerja di ladang. Juga ada hal yang lebih kecil:
sebuah batu rata sempurna yang kutemukan di sungai, korek apu dari restoran tempat aku
makan malam pertama kalinya dengan Coop, alat tes kehamilan ekstra dari promosi beli
satu dapat dua. Dan akhirnya, ada hal-hal yang terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam
koperku: semangat, kerendahan hati, dan kedamaian.
Katie sedang berada di luar, memukul-mukul karpet dengan gagang sapu. Ia membuka
stokingnya untuk menunjukkan gelang elektronik di kakinya pada Sarah, dan aku sudah
menjelaskan pada mereka batas-batas yang boleh dilalui Katie. Coop tak lama lagi akan
tiba dengan mobilnya, untuk membawaku pulang.
Pulang. Aku perlu waktu untuk terbiasa dengan kata itu. Aku bertanya-tanya berapa kali aku
akan terbangun jam setengah lima pagi, membayangkan perbincangan pelan para pria yang
pergi ke gudang untuk memerah susu. Berapa lama aku akan lupa untuk menyalakan jam
weker, karena yakin ada kokok ayam jantan yang akan membangunkanku.
Aku juga bertanya-tanya bagaimana rasanya mengganti-ganti saluran TV lagi. Tidur di
samping Coop tiap malam, lengannya memelukku seperti sebuah jangkar. Aku bertanya-
tanya siapa klienku berikutnya, dan apakah aku akan sering memikirkan Katie.
Terdengar ketukan lembut di pintu. “Masuk.”
Sarah masuk ke kamar, tangannya di bawah celemek. “Aku datang untuk melihat apakah
kau butuh bantuan.” Melihat gantungan kosong di dinding, ia tersenyum. “Kurasa kau sudah
selesai.”
“Mengepak barang-barang tidak terlalu sulit. Pergi dari sinilah yang sulit.”
Sarah duduk di ranjang Katie, merapikan selimut dengan satu tangan. “Dulu aku tak ingin
kau di sini,” katanya pelan. “Ketika Leda pertama kali menyarankannya di ruang sidang hari
itu, aku menolaknya.” Sarah mengangkat wajahnya, matanya mengikutiku, saat aku
menyelesaikan bersih-bersih. “Tidak hanya karena Aaron. Kupikir kau salah satu orang yang
kadang datang pada kami dan berpura-pura mereka adalah salah satu dari kami karena
mereka berpikir kedamaian adalah sesuatu yang bisa dipelajari.”
Tangannya mengelus pola selimut yang kurang sempurna. “Aku langsung tahu bahwa kau
sama sekali bukan orang seperti itu. Dan kurasa, aku harus mengakui bahwa kami belajar
banyak darimu, daripada apa yang kaupelajari dari kami.”
Duduk di sebelah Sarah, aku tersenyum. “Itu meragukan.”
“Kau berhasil membuat Katie-ku tetap di sini. Dan untuk itu, kau akan selalu menjadi orang
istimewa.”
Mendengarkan wanita yang tenang dan pendiam ini, aku merasa dekat dengannya. Ia
memercayakan putrinya padaku untuk sementara waktu. Dan terlebih lagi, aku memahami
kekuatan sebuah keyakinan.
“Aku kehilangan Jacob, dan Hannah. Aku tak bisa kehilangan Katie. Kau tahu bagaimana
seorang ibu akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan anaknya.”
Tanganku mengusap perutku. “Ya, aku tahu.” Aku menyentuh bahunya. “Kau melakukan apa
yang benar, membiarkanku membela Katie di persidangan. Tak peduli apa yang dikatakan
Aaron, Uskup atau orang lain padamu, kau harus yakin itu.”
189
Sarah mengangguk, lalu dari bawah celemeknya ia mengeluarkan sesuatu yang terbungkus
kertas tisu. “Aku ingin memberikan ini padamu.”
“Kau tak harus melakukannya,” kataku, merasa malu karena aku tak ingat untuk
menyiapkan hadiah untuknya sebagai ucapan terima kasih atas keramahan keluarga Fisher.
Aku merobek kertas itu, dan kertasnya terbuka memperlihatkan sebuah gunting.
Gunting yang berat dan berwarna perak, sumbing di salah satu matanya. Gunting ini sudah
dibersihkan, tapi tali kecil yang terikat di gagangnya gelap dan kaku akibat darah yang
mengering. “Kurasa kau bisa membawa ini,” kata Sarah singkat. “Aku tak bisa
mengembalikannya ke Aaron lagi.”
Aku kembali teringat kesaksian petugas medis, foto autopsi tali pusar mayat bayi itu. “Oh,
Sarah,” bisikku.
Aku mendasarkan pembelaanku pada fakta bahwa seorang wanita Amish tak akan, tak bisa
melakukan pembunuhan. Dan sekarang di depanku ada seorang wanita Amish, memegang
bukti yang menunjukkan ia bersalah.
Malam itu lampu dibiarkan menyala di gudang karena selama ini Sarah tahu putrinya hamil.
Dia menyembunyikan gunting berlumuran darah yang digunakan untuk memotong tali pusat.
Bayinya menghilang saat Katie tertidur—dan alasan mengapa Katie tak bisa mengingat saat
ia membungkus dan menyembunyikan mayat bayi itu, karena memang bukan dia yang
melakukannya.
Mulutku membuka dan menutup, berusaha mengeluarkan pertanyaan yang tak terucap.
“Matahari, terbit cepat pagi itu. Aku harus segera kembali ke rumah sebelum Aaron
terbangun untuk memerah susu. Kukira aku bisa kembali nanti—tapi aku harus pergi. Aku
harus.” Matanya digenangi air mata. “Akulah orang yang mengirimnya ke dunia Inggris—dan
aku bisa melihat bagaimana ia berubah. Tak seorang pun memerhatikan—tidak juga Samuel
—tapi kalau dia tahu, aku tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya ingin Katie mempunyai
kehidupan yang selama ini dibayangkannya—hidup di sini, bersama kami.”
“Tapi Aaron mengusir Jacob, karena hal yang lebih sepele dari ini. Dia tak akan mau
menerima bayi itu... dan Katie harus pergi juga.” Mata Sarah menatap perutku. “Sekarang
kau mengerti bukan, Ellie? Aku tak bisa menyelamatkan Hannah, dan aku tak bisa
menyelamatkan Jacob... Aku punya satu kesempatan terakhir. Apa pun yang terjadi,
seseorang akan meninggalkanku. Jadi aku membuat pilihan. Aku melakukan apa yang kukira
harus kulakukan, menjaga putriku.” Ia menundukkan kepalanya. “Dan tetap saja aku
hampir kehilangan dia.”
Di luar, terdengar suara klakson, pintu mobil membuka dan menutup, dan suara Coop
ngobrol dengan Katie di halaman depan. “Yah,” kata Sarah mengusap matanya dan berdiri.
“Aku tak mau kau membawa koper itu. Biar aku saja.” Ia tersenyum saat mengangkatnya,
memperkirakan beratnya. “Kalau sudah lahir, bawalah bayimu ke sini sehingga kami bisa
melihatnya, ya?” kata sarah, meletakkan koper dan memelukku.
Tubuhku membeku, tak bisa balas memeluknya. Aku seorang pengacara; aku terikat hukum.
Sesuai dengan kewajibanku, aku seharusnya menelepon polisi, mengatakan pada jaksa
wilayah tentang informasi ini. Kemudian Sarah akan disidangkan untuk kejahatan yang sama
yang telah didakwakan pada putrinya.
Tapi seakan-akan bergerak dengan sendirinya, tanganku terangkat ke punggung Sarah, ibu
jariku mengusap pinggiran jepit yang menjepit celemeknya. “Jaga dirimu,” bisikku,
memeluknya erat. Lalu aku cepat-cepat menuruni tangga, menuju ke luar tempat dunia
menantiku.

TAMAT
Sabtu, 29 September 2007

You might also like