You are on page 1of 8

GEOLOGI, HIDROGRAFI , MORFOLOGI GUNUNG SEWU DAN NUSA BARUNG

Dosen Pengampu : Drs. WAKINO S.Si

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Geologi Indonesia

NAMA : TEJO WIJAYANTO NIM : K5409059

PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Gunung Sewu Wilayah karst terbaik yang dieksplorasi: telah diketahui dalam kurun waktu yang lama, sebuah daerah di kepulauan Indonesia, terletak di sebelah tenggara Yogyakarta. Sabuk Tersier peregangan untuk total panjang bagian selatan Jawa bernama Gunung Kidul (Pegunungan Selatan). Sabuk ini terdiri dari tiga unit: unit utara meliputi Baturagung dan Pegunungan Popok, unit selatan dimana dua cekungan besar (Wonosari dan Baturetno) membentuk unit kedua, akhirnya Pegunungan Karst Gunung Sewu membentang dari sana sampai ke pantai Samudra Hindia mewakili ketiga unit (Gunung Sewu berarti ribuan puncak pegunungan). Panjang wilayah karst dari barat ke timur mencapai sekitar 85 km, lebar utara selatannya bervariasi antara 10 km dan 15. Kenampakan karst di permukaan mencakup wilayah seluas 1300 km . Geologi Gunung Sewu terdiri dari batugamping berumur Neogeae (Miosen Tengah), dalam depresi batuan sedimen yang berumur kuarter, hasil dari pelapukan, batuan tuff gunungapi, dll telah terakumulasi. Hal ini berarti bahwa batuan karst Gunung Sewu terbentuk dalam ketebalan lebih dari 200 m, sepeti yang telah diukur oleh Flathe dan Pfeiffer (28, 29), namun tidak dikenal angka yang menunjukkan ketebalan pasti. Di Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno sedimen lokal ini telah menjadi batugamping berpori, batugamping lembut, dan fasies napal berkapur.

Batugamping Wonosari ini terletak di atas Formasi Ojo yang berumur miosen tengah dengan komposisi yang sangat bervariasi (napal, tuf, breksi batu kapur, batu pasir, konglomerat, dll). Sebagian Formasi Ojo tersusun dari batuan kedap air. Dalam cekungan Formasi Wonosari yang dilapisi oleh batuan kedap air, sehingga disebut Formasi Kepek yang terdiri dari batuan semen, liat, dan fasies tuffaan. Tingkatan batuan yang keras, keputih-putihan, batugamping koral yang pejal menyusun dip Gunung Sewu dengan sudut kemiringan beberapa derajad dari

selatan ke tenggara. Di bagian barat formasi ini mencapai ketinggian 400 m. Berikut ini adalah singkapan Formasi Ojo di perbatasan pegunungan. Di bagian tengah dataran tinggi terdapat tutupan yang terpisah (250 300 m), sedangkan di bagian timur tidak nampak begitu berarti, lipatan berbentuk pelana-membekas padatan (350400 m). Batas melengkung dari cekungan Wonosari dikontrol oleh patahan Hidrografi. Adalah sebuah bukti yang jelas dari kondisi geografis Gunung Sewu bahwa air dari daerah karst daerah diterima oleh Samudera Hindia- batas terbawah wilayah ini terlaak di bagian timur dan hanya DAS Baturetno yang mengalir ke utara kemudian bergabung dengan Bengawan Solo untuk bermuara di Laut Jawa. Disamping dengan kedekatannya dengan wilayah erosi, system hidrologi dalam wilayah karst belum dieksplorasi secara memuaskan. Air permukaan Pegunungan dari Pegunungan utara di Gunung Kidul dan sebagian DAS Wonosari dialiri oleh Kali Opak dan anak anak sungainya, Kali Ojo, mengalir ke Samudera Hindia. Bagian yang terinfitrasi air rembesan jatuh ke Gunung Sewu dan mengalir sejajar dengan pola pengaliran hidrologi wilayah karst melalui saluran bawah permukaan menuju Samudera Hindia dan muncul di mata air karst dengan ukuran yang bervariasi sepanjang garis pantai. (Mata air karst yang paling besar adalah mata air Baron yang terletak di tengah tengah bagian selatan dataran tinggi karst, hasilnya yang bervariasi antara 25 dan 500 m3 per menit). Para peneliti kawasan karst yang lebih awal (Danes, H. Lehman, dll.) percaya bahwa sungai tersebut menunjam ke bawah tanah pada bagian tenggara dan batas selatan DAS Wonosari juga dialirkan melalui aliran karst yang kemudian menuju ke Samudera Hindia, berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Flathe dan Pfeiffer (28,29). Pengukuran geoelektrik oleh Flathe dan Pfeiffer ( 28,29), bagaimanapun, sudah menunjukkan bahwa oleh karena Penyimpangan Formasi Ojo yang kedap air

di bagian tengah dataran tinggi, air yang masuk tidak dapat mengalir ke selatan, tetapi bergerak ke barat, melalui sungai bawah tanah yang disebut Mulo, melewati batas selatan DAS, untuk mengalir ke sungai Ojo menuju ke suatu titik yang masih belum diketahui. Sedangkan para ilmuwan yang lebih awal menyarankan kehadiran DAS di tengah - tengah antara Sungai Ojo dan samudra, suatu garis pembagian yang merentang kea rah barat dari Desa Giring dan Warang dan ke utara dan timur laut untuk townlet Wonosari di dalam DAS yang sama, Flathe Pfeiffer mengusut temuan kedua ini dengan membagi bawah tanah garis di (dalam) yang utara sepertiga G.Sewu. Titik pandangan baru ini, bagaimanapun, tidak bisa diadopsi sampai yang dijamin oleh penyelidikan ke dalam hubungan antara sink-hole melawan mata air. Suatu kenampakan yang menarik dari hidrografi Gunung Sewu adalah kemunculan dari banyak danau doline atau telaga sebagaimana yang disebut oleh penduduk sekitar. Di dalam depresi dataran tinggi yang terkarstifikasi dan membatasi selatan DAS Wonosari terdapat sekitar 460 danau kecil dan variasi kolam yang berselang seling dengan diameter 50 sampai 300 meter. Daftar Telaga yang dihimpun atas Jogjakarta meliputi informasi sebanyak 372 danau dan kolam. Seperti yang ditunjukkan dalam berkas ini, 2/3 dari semua danau mengering pada musim kemarau dan hanya 144 yang dapat memelihara air yang tertampung saat musim hujan selama setahun. Morfologi. Permukaan G.Sewu ditonjolkan oleh beribu-ribu bukit berbentuk kerucut ( diperkirakan sekitar 40.000). Bentuklahan yang ganjil ini telah diluluskan sebagai jenis Formasi Gunung Sewu ke dalam daftar istilah morfologi. Formasi serupa muncul di banyak wilayah sabuk tropis (Antilles, Asia bagian tenggara, dll). Formasi yang ganjil ini menarik perhatian awal para pekerja riset dan penelitian yang dilakukan oleh Junghuhn (1836), peneliti pertama mengalami masalah, banyak para peneliti lain mencoba untuk mendeskripsikan atau menjelaskan proses evolusi batuan tersebut. Menurut H. Lehmann (42), dalam Neogene akhir dan awal Pleistosen, area G.Sewu yang sekarang ini muncul dengan susah dengan ketinggian beberapa meter di atas permukaan laut dan karstifikasi tidak bisa dimulai pada waktu itu. Ketika geoantiklin Jawa mulai terangkat kembali, wilayah Gunung Kidul menjadi miring ke

arah selatan, dan juga diatur gerakannya. Arus yang mengalir ke bagian utara dari blok ini mengalir ke selatan, menyaberangi daerah karst yang sekarang ini, memotong lembah ke dalam dan muncul permukaan, suatu proses yang intensif di dalam kasus paleo-Solo. (Sekarang telah kering, lembah batas-samudera ini mengalir dari selatan Giritontro). Ke arah pleistosen akhir dengan kemunculan yang lebih cepat dari zone batu gamping selatan, memunculkan DAS Wonosari Dan Baturetno, perairan dari DAS ini tidak bisa bisa seiring dengan tingkat pengangkatan yang tinggi dan mencari berbagai kemungkinan pengaliran ke arah barat dan utara, menghunjamkan sebagian bagiannya ke bawah tanah. Area Batugamping menjadi bukti adanya proses denudasi yang sedang berlangsung yang telah meyempurnakan bentukan bulat, kenampakan kerucut yang muncul sebagai kondisi topografi. Di dalam laporan Ekspedisi hidrogeologi Jerman tahun 1961, Flathe dan Pfeiffer menentang penggunaan istilah " Kegelkarst", ketika sekeliling gunung dan bukit karst G. Sewu adalah sine-lined bukannya cone-shaped (bentukan kerucut). Atas dasar yang membentur, meyakinkan ilustrasi, mereka mengusulkan

penggunaan istilah "sinoid" untuk

bukit karst sine-contoured seperti itu. Pada

kenyataannya, bagaimanapun, banyaknya gunung dan bukit sine-contoured reguler berkurang, sedangkan formasi transisi antara belahan bumi dan sinoid agak melimpah di dalam satu daerah karst yang sama, maka begitu juga pada karst Gunung Sewu. Sepertinya hal ini tidak menguntungkan untuk menyebut suatu

daerah karst sebagai suatu bentuk kesatuan geometris (karst berbentuk kerucut, "sinoid" karst, dll). Sebagai gantinya, kita seharusnya berbicara hanya dalam bahasa sederhana seprti " karst tropis" dan memberitahu di dalamnya kehadiran formasi pegunungan utama (menara puncak, dll). Proses evolusi dari relief yang ada sekarang ini telah digambarkan pada suatu diagram balok oleh H. Lehmann (42). Langkah yang pertama di dalam proses ini ditampilkan oleh kecenderungan saluran drainase permukaan wilayah selatan utara jurang dan parit-parit terbentuk pelan pelan dan naik ke atas permukaan. Selama pengangkatan wilayah yang sangat cepat dari apa yang dimaksud dengan "gerichteter karst" di dalam Literatur Jerman. Erosi Permukaan terpusat pada pengembangan linier kenampakan depresi, sementara itu perantara, batuan karang lebih bersifat memotong untuk membentuk kerucut. Sepanjang kemunculan subsekuen dari daerah karst adalah berkembangnya suatu jaringan hidrografis.

Menurut teori tertentu (54), suatu peran utama di di dalam langkah utama muncul dan berkembangnya beberapa kerucut karst dimainkan oleh apa yang disebut koloni koral - biohermes yang tumbuh di sepanjang pantai. Bentukan lahan karst yang negative (Hohlformen) ditemukan di tengahtengah depresi Gunung Sewu., batas terbentuknya doline- kenampakan khas dari sabuk tropis ( telaga biasanya m,uncul dari depresi ini ) Kebanyakan depresi, bagaimanapun, ditempilkan, di sini pula, oleh tebing karst kecil yang mengingatkan tahapan evolusi karst pada jaman dahulu. Lembah terusan karst ini menyambung ke garis pantai selatan sekitar 3 5 km ke dalam topografi perbukitan karst., menyediakan drainase permukaan yang episodis dari presipitasi selama musim hujan. Kenampakan khas dari karst di perbatasan bagian utara adalah kanyon yang dalam yang dialiri sungai yang berakhir di saluran utama, dimana terdapat gua besar. Sink yang roboh pit karst yang dalam- terdapat beberapa di daerah ini. Gua gua muda dapat ditemukan sepanjang pegunungan karst, namun system gua karst yang besar di aliran sungai bawah tanah di bagian utara masih belum dieksplorasi. Sepanjang pantai selatan Gunung Sewu, contoh contoh efek merusak dari proses abrasi dapat diamati. Di beberapa tempat, bentukan hasil erosi dan materialnya terendap sedalam 3 8 m dibawah batuan koral di bawah laut. Material erosi tersebut terus-menuerus terus tercuci oleh gelombang dan dengan kombinasi antara erosi fisika dan kimia telah membentuk batuan melalui terjadinya denudasi horizontal sepanjang batas pantai. Abrasi pantai adalah sebuah proses yang sangat cepat, yang digambarkan dengan baik oleh bentukan perbukitan kerucut dan blok blok batuangamping yang berdiri di dalam air pada batas batas tebing abrasi.

b) Nusa Barung

Pulau Nusa Barung Pulau berakhir di pantai tenggara Pulau Jawa dan tidak termasuk ke dalam wilayah karst terbesar. Wilayahnya hanya sepanjang 80 km217,3 km dari barat ke timur dengan 4 - 6 km lebarbya dari utara ke selatan. Di

sampingnya ukurannya yang kecil, jadilah pulau karst ini sebagai sesuatu yang bererti, sebagai sebuah pola morfologi yang berbeda dari yang Gunung Sewu. Geologi. Pulau Nusa Barung adalah suatu bagian integral sabuk tersier yang membantang melintasi Pulau Jawa selatan dan termasuk ke dalam fenomena karst. Pulau ini terbentuk dari batugamping koral berumur Miosen tengah yang dapat diidentifikasi dengan Formasi Gunung sewu yang terkenal, walaupun hubungannya belum sepenuhnya dapat dibuktikan. Formasi batuan pejal yang agak ringkas, batugamping keras melandai dengan kemiringan sudut kacil kea rah selatan. Perbatasan utara pulau, menalami peninggian setinggi 300 m dan mengendap dengan batas yang tajam kea rah samudera, mengindikasikan kemunculan patahan yang membujur dari barat ke Selatan, membelok-belok oleh formasi yang disebabkan oleh erosi terutama pada bagian timur laut. Hidrografi. Pulau ditandai oleh suatu perbedaan, sistem pengaliran

permukaan dan suatu pola aliran bawah tanah yang primitif. Aliran permukaan diwakili oleh suatu jaringan lembah kering yang padat, mengeluarkan dari perbatasan utara yang tinggi menjaring keseluruhan pulau sepanjang bentukan timurlaut-baratdaya. Lembah-lembah kering dikembangkan oleh erosi fluvio, untuk sebagian timbulnya hujan ( lihat data stasiun "Puger" dalam tabel 2) jatuh dalam dalam bentuk hujan lebat sebagai karakteristik iklim tropis dan massa air jatuh ke lembah ebagi agen erosi yang menyebabkan erosi secara kimia. Tidak ada mata air tungga karst sejati di pulau ini, hanya beberapa mata air kecil menucul dari singkapan darai kedalaman formasi yang telah kita ketahui. Kapasitas infiltrasi dari air sangat cepat mengalir ke selatan sepanjang alas formasi batuan, melalui patahan kecil, memuncul pada bagian perbatasan lembah kering bawah yang dalam. Air yang masuk ke dalam tidak berpusat pada mata air mana pun yang lebih besar, sepanjang yang diketahui oleh penulis, akan tetapi, air tersebut meningglakan karst pejal di pola yang tidak teratur, sebagian besar di bawah permukaan laut. Pola hidrografi yang minim di pulau ini menjadi tanggung jawab untuk masyarakat penghuni di dekat Jawa yang tidak tinggal di daerah ini, oleh karena itu hingga saat ini pulau ini tidak berpenghuni. Akar tumbuhan tropis yang mampu mencapai kedalaman,

bagaimanapun dapat menemukan cukup air untuk menjamin kelangsungan dari kelebatan hutan tropis di daerah ini, tanaman khas daerah krast tropis. Di pulau ini hidup banyak hewan buruan (rusa besar, babi liar, varanus, ular raksasa, dll)

meminum air tergenang pada canyon yang dalam dan mata air kecil yang banyak terisi air di musim hujan. Morfologi. Perkemabangan awal pulau mungkin hampir sama seperti yang sebelumnya diusulkan untuk G. Sewu oleh H. Lehmann. Blok endapan Miosen yang terbagi-bagi di bagian selatan muncul di atas permukaan air laut selama masa Miosen, namun relief rendah batuan tersebut tidak mengalami karstifikasi hingga masa Kuarter awal. Tingkat kemunculan kemudian adalah tidak sangat tinggi seperti pada kasus G. Sewu. Lembah selalu dapat tetap terbentuk seiring dengan aktivitas endogen. Maka, depresi tertutup yang tidak memilkiki system pengaliran tidak dapat terbentuk dimana saja, dan bahkan walaupun gua bawah permukaan dapat terbentuk oleh karena perbandingan relief yang lebih rendah dan pola lanskap gua yang terbelah. Pembentukan kenampakan khas kerucut kawasan karst tropis masih dalam tahap awal. Perkambangan kerucut kerucut tersebut terletak di perbatasan bukit bukit rendah yang membentang Timurlaut baratdaya diantara baukit bukit kering telah dimulai, tapi masih dihubungkan oleh pelana yang tinggi di banyak tempat. Kami telah menghitung sebanyak 400 calaon kerucut yang terbentuk dengan jarak yang hamper berdekatan., seperti rantai yang terspusat (gerichterer Karst seperti yang telah disebutkan oleh Lehmann). Kerucut yang telah sepenuhnya terbentuk muncul di garis pantai bagian selatan, dimana banyak terdapat gabungan antara erosi fluvial dan abrasi yang terkait dengan pembentukan inselberg dari bagian yang lebih rendah, selatan, bagian dari rantai kerucut. Pulau Nusa Barung adalah contoh yang sangat bagus sebagai perbandingan tahapan evolusi karst tropis yang masih muda. Bentukan yang sama juga ditampakkan di tempat lain juga, sepanjang garis pantai selatan Jawa.

You might also like