You are on page 1of 56

Air Kehidupan

Buku Kedua

Dipersembahkan kepada jiwa-jiwa yang haus akan air kehidupan…


Air Kehidupan Buku Kedua
2
Air Kehidupan – Buku Kedua
© 2002, 2003 oleh Daniel V. Kaunang, HCI Dilindungi Undang-undang

Rilis perdana
format elektronik, Juli 2003

This work is licensed under the Creative Commons NonCommercial-ShareAlike License.


To view a copy of this license, visit http://creativecommons.org/licenses/nc-sa/1.0 or
send a letter to Creative Commons, 559 Nathan Abbott Way, Stanford, California 94305,
USA.

Saran, masukan dan kritik silakan layangkan ke alamat e-mail saya:


danielvk@theronworks.com

Untuk informasi seputar Air Kehidupan, silakan mengunjungi situs webnya di alamat:
http://airkehidupan.theronworks.com

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
3

Kata Pengantar
Ada apa dengan agama? Pertanyaan ini menjadi tema pemikiran yang saya tuangkan
dalam jurnal Air Kehidupan sepanjang tahun 2002, terutama melihat semakin maraknya
aksi teror maupun kekerasan yang bermotif keagamaan. Agama yang diharapkan mampu
memberikan solusi bagi problematika kemanusiaan kerap kali justru menjadi sumber
problematika bagi kemanusiaan itu sendiri.
Menilik dari situ, dapatkah dipersalahkan jika banyak orang yang semakin menjauhi
bahkan meninggalkan agama, merangkul sekuler humanisme, seperti yang dijabarkan
oleh Karl Marx, Voltaire, dan tokoh-tokoh sosialis lainnya?

Harus diakui, sebagian agama tidak suka dipertanyakan. Bagi sebagian pemeluk agama,
doktrin maupun ‘kitab suci’nya merupakan kebenaran mutlak. Tidak bisa diganggu
gugat. Tapi sadar atau tidak itu merupakan pandangan lama yang diwariskan ketika
manusia secara geografis masih hidup terisolasi dari kelompok manusia di daerah
lainnya. Ketika dunia tidak lagi begitu luas, dapat dijangkau dalam hitungan jam, umat
manusia yang semakin meng-global membutuhkan paradigma religius yang mampu
mengedepankan persatuan, toleransi, dan kebersamaan. Pemisah-misahan dan pengkotak-
kotakan yang dilakukan agama-agama (sebagai warisan budaya masa lalu) hanya akan
membuat bertambahnya orang yang menjauhi agamanya.

Setidaknya hal pokok diataslah yang dicermati dan diulas dalam jurnal Air Kehidupan
kali ini. Keprihatinan terhadap kehidupan beragama kita perlu ditindak lanjuti dengan
upaya-upaya positif mengikis kristalisasi agama-agama institusi sehingga pada akhirnya
agama mampu kembali bergerak secara dinamis mengejar ketertinggalannya dari
perkembangan kehidupan manusia yang semakin kompleks dan modern.

Semoga apa yang dituangkan disini dapat sedikitnya menggugah pemikiran kita masing-
masing serta memberi manfaat bagi berkembangnya nilai-nilai kehidupan yang
dilandaskan oleh persatuan, toleransi, dan kebersamaan.

Salam kasih,

Daniel V. Kaunang
21 Juni 2003

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
4
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................................... 3
Lima Langkah Menuju Damai ............................................................................................ 5
Agama dan Persaudaraan, Sebuah Renungan..................................................................... 6
Masyarakat dalam Belenggu “Institusionalized Ignorance”............................................... 8
Mencermati Perkembangan Dialog Islam - Kristen.......................................................... 11
Mengikis Radikalisme dalam Islam.................................................................................. 13
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam ....................................................................... 15
Masa Depan Agama-agama di Indonesia ......................................................................... 21
Budi S. Tanuwibowo .................................................................................................... 22
Mudji Sutrisno .............................................................................................................. 23
Ulil Abshar-Abdalla...................................................................................................... 23
(Antisipasi) Masa Depan Agama-agama di Indonesia...................................................... 25
Pendahuluan.................................................................................................................. 25
Menyelamatkan Masa Depan Agama ........................................................................... 26
Ayat Tidak (Selalu) Berlaku Selamanya....................................................................... 27
Penutup ......................................................................................................................... 28
Let it Flow......................................................................................................................... 29
Seni Menata Hati dalam Bergaul ...................................................................................... 30
Kaidah Hidup (The Golden Rule)..................................................................................... 34
Enam tingkat interpretasi dan pemahamannya ............................................................. 34
Golden Rule dari masa ke masa.................................................................................... 35
Asal Usul Konsep Trinitas ................................................................................................ 37
Asal Usul Sunat................................................................................................................. 40
Two Pots ........................................................................................................................... 43
Asal Usul Astrologi........................................................................................................... 44
Apakah itu Astrologi? ................................................................................................... 44
Sejak kapan Astrologi berkembang? ............................................................................ 44
Mengapa manusia suka membuat ramalan2 seperti astrologi tersebut? ....................... 45
Pandangan Anda?.......................................................................................................... 45
"SUATU WAKTU" .......................................................................................................... 47
Ghosts of Our Past ............................................................................................................ 48
CATATAN ....................................................................................................................... 55
Tentang Jurnal Air Kehidupan.......................................................................................... 56

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
5

Lima Langkah Menuju Damai


Perdamaian dapat diraih ketika kita sebagai manusia:

1. Mau mengakui bahwa sebagian dari kepercayaan lama kita tentang Tuhan dan
tentang hidup sudah tidak berfungsi. Selama orang berpandangan bahwa
kepercayaan yang dianut adalah paling benar, tidak akan terwujud perdamaian
yang sesungguhnya.

2. Menjelajahi berbagai kemungkinan akan pemahaman baru terhadap hal-hal yang


tidak kita pahami mengenai Tuhan maupun kehidupan, pemahaman yang dapat
memberikan pembaharuan.

3. Berkeinginan untuk mengedepankan pemahaman2 baru akan Tuhan dan


kehidupan yang dapat mengembangkan gaya hidup yang lebih baik di dunia.

4. Berani menguji pemahaman-pemahaman baru tersebut apakah sejalan dengan hati


nurani, kemudian mengadopsinya untuk memperluas agama kita.

5. Mengekspresikan hidup kita sebagai perwujudan akan keyakinan yang ideal


daripada sebagai bentuk penyangkalan diri.

Disadur dari “The Five Steps To Peace” oleh Neale Donald Walsch.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
6

Agama dan Persaudaraan, Sebuah Renungan


Bagaimana menciptakan persaudaraan antar umat beragama secara konkrit.

Kedamaian beragama –persaudaraan- tidak akan dapat tercapai kecuali jika semua agama
mau untuk secara keseluruhan melepaskan dari segala bentuk otoritas keagamaan dan
sepenuhnya menyerahkan seluruh kedaulatan rohani. Hanya Tuhan-lah Roh yang
berkuasa.

Jelasnya, kita tidak akan dapat memiliki kebebasan beragama kecuali bila kita
menyerahkan SELURUH otoritas agama kepada Tuhan sendiri. Persaudaraan, kerajaan
surga di dalam hati setiap laki-laki dan perempuan, akan menciptakan kesatuan agama
jika, dan hanya jika orang2 beragama terbebas dari segala bentuk paham otoriter dan
kekuasaan (agama) yang eklesiastikal.

Istilah “otoritas yang eklesiastikal” asalnya dari bahasa Yunani kuno; “ecclesia”,
kelompok orang bebas dari Athena yang mengembangkan arti religius menentang otoritas
sipil. Persaudaraan beragama mungkin dicapai ketika seluruh saudara dan saudari
menolak semua otoritas dari agama selain dari Tuhan sendiri.

Ketika kita kehilangan pandangan dari realitas akan otoritas Tuhan semata atas hal-hal
spiritual, masing-masing label agama akan mulai berusaha menonjolkan superioritasnya.
Hasilnya, terjadi pertikaian, saling tuduh, bahkan “perang” antara umat beragama, yang
sama sekali jauh dari yang dinamakan “persaudaraan”.

Ini terbukti dari berbagai “perang suci”, perpecahan-perpecahan, kepunahan dalam


berbagai gerakan agama. Bagaimanapun kita sudah harus menyadari bahwa
kepercayaan/agama adalah antara kita sebagai individu dan Tuhan, tidak untuk
dipaksakan atas orang lain, atau bahkan dijadikan yang tertinggi.

Sebagai garis pedoman, kita dapat berbagi pandangan maupun pengalaman kerohanian
kepada orang lain, tapi tidak untuk memaksakan terhadap orang lain, untuk menunjukkan
superioritas, atau mencemarkan/menjatuhkan pandangan keagamaan orang lain.
Melakukan hal2 seperti itu berarti merampas otoritas orang lain yang bukan menjadi hak
atau klaim kita.

Persaudaraan yang sejati hanya dapat muncul dari kesadaran akan otoritas tunggal Tuhan
dalam segala hal kerohanian.

Sejarah telah mencatat bahwa umat manusia telah berulang kali mengambil alih kuasa
otoritas Tuhan. Contoh yang cukup menyolok, tidak hanya raja-raja, paus, imam, ulama,
orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai nabi, dan sebagainya, telah bersalah
karena merampas otoritas Tuhan untuk diri mereka masing-masing. Kita semua
merampas otoritas Tuhan ketika kita meninggikan diri sebagai golongan superior, spesial,
kaum terpilih, atau diangkat dalam cara tertentu yang mendudukkan diri kita diatas orang

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
7
lain, sebagai otoritas pribadi bagi orang-orang lain yang lebih bodoh. Dengan menilik
pandangan seperti itu, apakah kita benar2 dapat dikatakan mengasihi orang jika kita
menganggap derajat diri orang/kelompok/golongan lainnya lebih rendah atau inferior dan
menganggap diri atau kepercayaannya sebagai yang paling benar ??

Intinya, apa yang ingin saya kemukakan adalah:

1. Kebebasan beragama bagi individu tidak dapat terwujud sepanjang otoritas


kekuasaan ditempatkan/diambil alih pada/oleh agama. Teks/kitab yang dianggap
suci dan sempurna dijadikan pegangan sebagai sumber kebenaran absolut. Pada
tatanan sosial-agama yang menganut pola pikir demikian, hal-hal apapun yang
tidak sesuai atau tidak disebutkan dalam teks suci sangat berpeluang ditindas
dalam arti diberi cap kafir, sesat, golongan penghuni neraka, dsb. Tidak jarang
penggolongan seperti itu membuahkan kebencian, kekerasan, penindasan
spiritual. Salah satu dari sekian banyak contoh nyata: pada kelompok masyarakat
beragama tertentu, ada perasaan terancam dalam diri mereka sehingga merasa
wajib memerangi orang-orang dalam agamanya, kelompok-kelompok bahkan
agama lain yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan basis doktrin
kepercayaan agamanya.
2. Persaudaraan umat manusia tidak dapat terwujud selama masing-masing
kelompok beragama merasa diri/kelompok/agama/doktrin-nya sebagai yang
paling benar, paling tinggi, paling sempurna. Pertikaian, saling merasa terancam,
eksklusivisme dan pengkotak-kotakan/diskriminasi, kebuntuan dalam dialog yang
hanya berujung debat kusir dan saling menjatuhkan kepercayaan orang lain,
semua itu dan banyak masalah lainnya akan terus berlangsung selama masing-
masing mengesampingkan rasionalitas akal budi, mengeraskan hatinya, serta
mempertahankan egotisme keagamaannya.

Kedua hal diatas hanya dapat dicapai jika masing-masing individu, kelompok, institusi
agama BERANI dengan KESADARAN penuh menyerahkan segala kekuasaan dan
otoritas yang diambil alih oleh agama/kelompok kembali kepada Tuhan SEMATA.
Menyerahkan seluruh bentuk kepemimpinan kembali kepada Tuhan. Hanya Tuhan-lah
Maha Benar. Dialah Kebenaran Absolut. Bukan doktrin dan tradisi agama, bukan buku
suci, bukan kelompok-kelompok.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
8

Masyarakat dalam Belenggu “Institusionalized


Ignorance”
Akhir-akhir ini kelompok dengan truth claim kian tampak dan bermunculan ke
permukaan. Mereka mengedepankan pandangan yang eksklusif dengan kebenarannya
sendiri dan meniadakan kebenaran kelompok lain. Dalam melakukan hal itu, mereka
tidak jarang melakukan kekerasan dan represi, yang berakibat kian mahalnya hidup
ketenangan, kedamaian, dan rasa aman dalam kehidupan.

Pembiaran atau pengabsahan terhadap pola-pola represif tersebut akan


menjungkirbalikkan realitas kebenaran yang hakiki. Masyarakat akan terperangkap dalam
kepalsuan pengetahuan yang oleh Arkoun (2002: 285) disebut instutisionalized
ignorance; kebodohan yang melembaga. Mereka akan digiring kepada semacam aksioma
bahwa kebenaran itu hanya milik kelompok tertentu yang tidak boleh dipertanyakan
kembali tentang hakikatnya.

Karena itu, model pembodohan tersebut perlu dijadikan agenda pertama untuk dicarikan
solusinya yang tepat. Tanpa suatu sentuhan yang serius untuk membongkar persoalan
yang satu ini, penyelesaian terhadap persoalan-persoalan lain tidak akan pernah
memberikan arti signifikan bagi pencerahan kehidupan bangsa secara keseluruhan. Sebab
selama proses pembodohan terus berlangsung, masyarakat tidak akan pernah mengalami
pendewasaan dalam kehidupan mereka, serta sulit untuk mengentaskan diri mereka dari
beragam persoalan yang menghadangnya.

***

Terjadinya instutisionalized ignorance tersebur terkait dengan pola kebijakan politik,


sosial, dan agama yang membatasi ruang bagi berkembangnya kritisisme dalam
masyarakat. Hal ini -menurut Arkoun dalam The Unthought in Contemporary Islamic
Thought (2002: 11 -12) -bermula dari munculnya dominasi kekuasaan yang dimiliki
kelompok-kelompok tertentu, mulai dari politisi, akademisi sampai kaum agamawan,
yang membentuk logosphere, suatu bidang mental linguistik yang menentukan apa yang
dapat dipikirkan (thinkable), dan apa yang tidak dapat dipikirkan (unthought) dalam
kehidupan ini. Dalam rangka itu, sejumlah ide, nilai, eksplanasi, horizon suatu makna
dan semacamnya dibuang, atau ditolak sehingga suara-suara dan bakat-bakat yang kreatif
diabaikan atau harus dipinggirkan, serta tidak boleh ditoleh. Sedangkan pemikiran yang
mendukung pandangan mereka dikembangkan dan diapresiasi.

Pada saat yang sama, ide-ide hegemonik disebarkan dan dijadikan satu-satunya
kebenaran yang tidak boleh dilawan, atau dibantah. Konstruk kehidupan dipolakan dalam
suatu kerangka pemahaman ketat yang tidak memberikan ruang sedikit pun untuk
terjadinya dialog yang kreatif. Pemikiran tersebut hanya dapat memuat satu pilihan, yaitu
harus diterima, dan tidak boleh diperbincangkan atau diperdebatkan.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
9
Kondisi seperti itu membuat masyarakat dipaksa untuk menerima akal hegemonik
tersebut sebagai sesuatu yang given. Pada gilirannya, jika hal tersebut berlanjut terus,
maka masyarakat -sadar atau tidak sadar -akan menganggap hal tersebut sebagai
semacam suatu ajaran yang harus dijalani, dituruti, dan tidak boleh dipertanyakan lagi
dari berbagai dimensinya, ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Pembungkaman tersebut akan melahirkan suatu masyarakat yang tidak mampu melihat
kehidupan -politik, pemahaman agama, dan pengetahuan -secara rasional dan kritis.
Mereka tidak terbiasa lagi untuk memilah antara kebenaran Tuhan yang absolut dengan
pemahaman manusia yang nisbi, sehingga pada gilirannya masyarakat tidak pernah
memperoleh kesempatan untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran alternatif yang
kreatif. Justru mereka hanya dihadapkan kepada pola pandang yang dikotomis: benar-
salah, haq-bid`ah, legal-subversif, dan sebagainya. Segala sesuatu yang sesuai dan sejalan
dengan mainstream pandangan adalah benar, haq, dan legal. Sedangkan pandangan yang
berbeda diyakini sesat, salah, dan subversif.

Pembentukan pola pandang tersebut akan memiliki hegemoni yang sangat represif ketika
politik berkolaborasi dengan agama, baik dalam bentuk agama dijadikan alat legitimasi
politik, atau dan sebaliknya. Dalam kondisi seperti ini, pemahaman agama akan
memetamorfosis menjadi agama itu sendiri yang diletakkan dalam kerangka kebenaran
yang absolut, universal, dan final. Demikian pula, politik atau kekuasaan dikembangkan
sebagai bagian inherent dari ajaran agama yang bernilai sama dengan ajaran agama yang
legalitasnya tidak boleh diganggu gugat.

Kondisi tersebut tentunya akan menciptakan kehidupan yang jauh dari sentuhan
rasionalitas dan wawasan yang transformatif. Agama yang pada dasarnya bersifat
rasional, dinamis, dan kritis berkembang menjadi keberagamaan yang beku. Pada tataran
ini, kebodohan yang melembaga itu benar-benar menjadi fenomena kehidupan
masyarakat.

***

Represi dan klaim kebenaran sepihak yang seakan-akan mendapat legitimasi saat ini
merupakan suatu proses pembodohan yang sangat jelas terhadap masyarakat. Melalui
pola semacam itu, masyarakat telah dipaksa untuk menerima pandangan yang hegemonik
sebagai suatu kebenaran. Dengan demikian, mereka tidak akan mampu lagi membedakan
antara kebenaran yang hakiki dan kebenaran yang palsu. Masyarakat tidak akan pernah
memiliki nalar kritis yang dapat memilah antara kebenaran absolut dan kebenaran yang
nisbi, atau antara nilai-nilai universal dan aplikasi dari nilai tersebut.

Karena itu, tugas kita semua untuk mendekonstruksi nalar-nalar hegemonik semacam itu
sehingga seluruh masyarakat (bukan hanya sebagian kecil) dapat menyikapi segala
persoalan kehidupan sebagai sesuatu yang terpikirkan, dan memahaminya sesuai dengan
kaidah kehidupan itu sendiri. Hal ini akan mengarahkan masyarakat untuk memahami
realitas dan persoalan kehidupan melalui pola pandang yang logis, penuh kedewasaan,
dan dapat dipertanggung-jawabkan secara moral, dan teologis. Mereka tidak dikungkung

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
10
lagi oleh tangan-tangan represif yang akan membuat mereka terjerembab dalam krisis
yang tak kunjung henti.

Maka, sebuah pendidikan yang transformatif menjadi keniscayaan untuk dikembangkan


yang dapat dinikmati dan melibatkan seluruh masyarakat. Pendidikan tidak dapat lagi
dijadikan alat untuk pembenaran bagi hegemonic reason semata. Justru yang lebih
penting adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan kritisisme
terhadap segala pandangan dan pemikiran, dan sekaligus dapat memunculkan pemikiran
dan pandangan-pandangan alternatif.

Pada sisi itu pula, pengembangan civil society yang kokoh menjadi kondisi yang tidak
dapat ditawar-tawar kembali. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai universal agama-
agama perlu dikembangkan ke dalam suatu rumusan konkret, dan inklusif sehingga dapat
diusung ke ruang publik dan menjadi milik bersama bangsa. Misi universal agama
sebagai pembebas manusia dari segala belenggu ketidakberdayaan hendaknya menjadi
landasan kukuh dari masyarakat sipil tersebut. Dengan demikian masyarakat tidak akan
menjadi alat kepentingan dan obyek penderita yang hanya memiliki kewajiban menerima
semata, serta tidak berhak dalam memberikan tawaran konstruktif sebagaimana pula
tidak memiliki daya untuk menolak segala represi yang membelenggu mereka.

Absennya civil society dan tidak adanya pendidikan yang transformatif akan membuat
kasus-kasus serupa akan bermunculan terus dalam kehidupan bangsa. Jika itu yang
terjadi, bangsa ini tidak akan pernah menyelesaikan krisis yang melilitnya. Bangsa ini
mungkin hanya akan hidup dalam mimpi yang tidak pernah tahu dan mengalami secara
nyata arti kehidupan yang sejahtera, dan damai.

Abd A`la, staf Pengajar Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.


Sumber: Jaringan Islam Liberal

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
11

Mencermati Perkembangan Dialog Islam - Kristen


Jika mengamati dialog-dialog yg terjadi dari dulu hingga sekarang, pemahaman lintas
agama di kalangan awam yg diharapkan masih sangat sedikit. Justru yg lebih sering
mencuat/menonjol adalah pertengkaran, saling mau menang sendiri, saling menunjukkan
arogansi agama masing2, hingga dialog mengalami kebuntuan, terjadi saling memaki,
saling menyalahkan, saling mencela agama orang lain, bahkan ada yg saling mengancam,
yang tidak membuahkan manfaat apapun selain memupuk kebencian thd orang yg tidak
sealiran dg kepercayaannya. Dialog yg berjalan sama sekali tdk menunjukkan
kedewasaan berpikir dan berwawasan luas, melainkan menunjukkan tembok2 kebebalan
yang saling erbenturan satu sama lain, tanpa ada yg mau introspeksi diri, bahwa imannya
telah terkristalisasi oleh doktrin2 jaman kuno yang dianggap, dijunjung, dan diagungkan
sebagai YANG PALING BENAR.

Melihat berlangsungnya debat kusir yg sering terjadi saya dan rekan2 lainnya merasa
cukup prihatin. Tapi kita tidak boleh diam terus menerus menyaksikan orang-orang yang
merasa dirinya/kelompoknya/agamanya paling benar tsb saling adu jotos dan berusaha
menjatuhkan agama yg dianggap musuhnya. Sudah saatnya orang2 yg sadar, siapapun
Anda, agar juga ikut gencar menyuarakan kasih, perdamaian dan pembaruan,
sebagaimana terus dikumandangkan oleh para pemuka2 agama yg tercerahkan seperti A.
Gymnastiar, Eka Dharmaputera, Mudji Sutrisno, Ulil A.-Abdalla, dll, melawan
konservatisme sempit yang ingin selalu membuat sekat2 antar agama antar kelompok dan
menyulut kebencian serta melestarikan kebodohan iman dengan menempatkan otoritas
agama diatas umatnya. Janganlah Anda mundur krn dihina, dicap yang tidak2 oleh
segelintir orang konservatif/fundamentalis literalistik yg takut akan kebenaran.
Apapun agama Anda, marilah kita membuka diri dan berdialog secara cerdas, dewasa dan
dilandasi cinta kasih. Kebenaran dan cinta kasih akan membebaskan diri kita dari sekat2
yang saling memisahkan antara agama, membuahkan kesadaran yang mempersatukan,
bahwa kita semua adalah umat manusia yg satu, yang hidup dibawah sinar matahari yang
sama, tidur dibawah sinar rembulan yang sama, menghirup udara yang sama, dan
diciptakan oleh Tuhan yang sama.

Saya juga setuju dan mendukung apabila dalam berbagai dialog dimoderatori sehingga
memiliki arah yg jelas. Tidak lagi berujung ke debat kusir ngotot-ngototan, saling
menyalahkan, dan mau menang sendiri.. tipikal anak kecil yg bertengkar, maunya
menang sendiri, hanya yg ini dilakukan oleh orang dewasa dan ini bahayanya (sepintar
apapun dia) jika orang dewasa memiliki pola pikir spt anak kecil yg hanya mau menang
sendiri, tidak bisa introspeksi, maunya orang lain yg salah, dirinya benar.

Sudah saatnya kita mengembangkan dialog2 yg mencari persamaan2, mengikis


perbedaan2, saling mencerdaskan yang semakin membuka wawasan kita baik intelektual
maupun spiritual sehingga pada akhirnya akan dicapai pencerahan bagi setiap individu,
suatu kesadaran bahwa kita semua pada hakikatnya adalah satu saudara.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
12
Semoga di tahun2 mendatang dialog Islam-Kristen dpt berkembang ke arah yg lebih baik.
Selamat merayakan Natal utk umat kristiani dan Happy New Year 2003.

Salam.

Daniel V. Kaunang

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
13

Mengikis Radikalisme dalam Islam


“Mata ganti mata hanya meninggalkan dunia menjadi buta.” - Mahatma Gandhi

Saya tidak bisa tidak ikut memikirkan peristiwa2 lalu yg telah -kalau boleh saya
dramatisir- mencapai titik kulminasinya melalui rencana agresi AS ke Iraq.
Kita di Indonesia sudah tidak bisa menutup mata lagi terhadap radikalisme dalam Islam.
Mungkin ketika WTC dibom tahun 1993 oleh kelompok Islam radikal, orang Indonesia
tidak ada yang peduli. Ketika WTC luluh lantak tahun 2001, masih ada sebagian orang
Indonesia yg sempat mensyukuri kehancurannya, “Mampus lu Amerika!”. Bahkan ketika
Legian dibom sehingga menewaskan 200-an orang, sebagian orang Indonesia masih bisa
bilang, “Itu pasti kerjaannya Amerika!”, seperti dilansir diberbagai media.

Sejak kejadian 11 September silam, Amerika merasa pongah. Tidak sedikit warga
Amerika yang terseret arus patriotisme dan kebencian yang berbalik ikut membenci
warga muslim. Begitu pula yg terjadi di Australia setelah terjadi pemboman di Bali.
Kemarahan sebagian warga Australia menjadi sentimen yg ditujukan pd warga muslim
(yang bukan bagian dari kelompok radikalis) yg tinggal disana.

Dalam sebuah milis awam di Amerika yang saya ikuti, banyak diantara warga Amerika
yang bertanya2, “Mengapa Amerika? Mengapa Islam begitu membenci Amerika?”.
Mereka tdk memahami krn Islam di Amerika tidak seperti Islam di Timur Tengah/Arab.
Setelah mereka mempelajari sejarah Islam, dan membaca AlQuran, sebagian dari mereka
merinding. Mereka menemukan didalam doktrin Islam terdapat ajaran2 yang
membenarkan pembunuhan thd manusia, ajaran balas dendam, ajaran memusuhi non-
muslim, dan ajaran berperang. Namun sebagian tetap memandang positif dan dapat
menemukan permata-permata yang terkandung dalam ajaran Islam. Di samping itu Karen
Armstrong dengan lugas dapat memaparkan latar belakang dan konteksnya secara
objektif, serta menjelaskan kaitannya mengapa bisa sampai terjadi apa yang telah terjadi
pada 11 September lalu (baca Ghosts of Our Past).

Benih2 kebencian yang ditanam dalam orang2 Islam radikal, telah berbuah busuk, dan
baunya mencemari Islam secara keseluruhan!
Akan tetapi, kebusukan itu juga mampu menyadarkan orang2 yang sebelumnya terus
memberi angin kepada kelompok2 radikal yang selalu melakukan kekerasan dengan dalih
atas nama Allah.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendukung perubahan paradigma menuju
Islam yang sejati dan kontekstual terhadap jaman modern, diantaranya a.l.:

1. Menunjukkan makna jihad yg sejati yaitu berjuang di jalan Tuhan (perjuangan


menguasai diri dan menyatukan diri dg Sang Ilahi).
2. Tanpa bermaksud pesimistis, mungkin kemauan untuk mengkoreksi doktrin
kekerasan yg tertanam dlm AlQuran rasanya masih sulit untuk generasi sekarang.
Jadi yg perlu dilakukan adl membantu menonjolkan ajaran2 yang mendukung

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
14
persaudaraan antar umat beragama dan kesetaraan derajat diantara laki-laki dan
perempuan.

3. Tegas menentang segala bentuk kekerasan yang dilakukan kelompok2 radikal.

4. Mempersempit ruang gerak dan komunikasi kelompok2 radikal, disamping


memperluas ruang silaturahmi dan dialog antar agama.

Saya tetap yakin dan berpengharapan bahwa di Indonesia dapat terjadi kebangkitan Islam
yang sesungguhnya dimana mainstream moslem dapat menemukan makna damai,
toleransi dan kebersamaan yang sejati dalam Islam.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
15

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam


Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah
organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka
agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri.
Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake
holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.

Dari Kompas, 18 November 2002

SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup; sebuah
agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan
sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai
"patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.

Saya melihat, kecenderungan untuk "me-monumen-kan" Islam amat menonjol saat ini.
Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.

Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana
menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi
"paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita
semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara
demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.

Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita
menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.

Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut
nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang
merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita
harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab
dan mana yang tidak.

Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus


diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan
seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan
kita tidak diwajibkan mengikutinya.

Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah
diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib
diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.

Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab
intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
16
decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.

Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "masyarakat" atau
"umat" yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal
yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan,
bukan berlawanan, dengan Islam.

Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-
Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu,
karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat,
tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan
antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip
kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.

Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana
kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara
pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui
prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-
nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah
urusan masing-masing agama.

Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti dipahami
kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli,
pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang
universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy
syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam.

Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan,


keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan
dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri.

***

BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks


pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis
yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja,
tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak
kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).

Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan


dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah,
Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan
cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di
sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
17

Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya
di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi
sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu
trade-off antara "yang universal" dengan "yang partikular".

Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu
dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah
satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada
kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain
pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di
muka Bumi.

Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah
saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan.
Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada
manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal
dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.

Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju
perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu
dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya
cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya
orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang
satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil
karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh
golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan
untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam.
Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam
berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di-"lawan" adalah setiap usaha untuk
memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.

Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya,
sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan
sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha,
Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi,
kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.

Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik keIslam-an yang
dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah "baju" dan
forma; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.

Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang dipakai, sementara
mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
18
berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok:
penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.

Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju" bersifat mutlak dan segalanya,
lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu
tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.

***

MUSUH semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang diutamakan Islam adalah
keadilan.

Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan
keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di bidang
budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot,
memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat
furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam
bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam
perbuatan.

Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam
dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara
rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya
manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di
muka Bumi.

Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada


"hukum Tuhan" (sekali lagi: saya tidak percaya adanya "hukum Tuhan"; kami hanya
percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-
hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah.
Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya
sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.

Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa'alihi bil 'ilmi, wa man aradal akhirata fa 'alihi
bil 'ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu,
begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia "nanti", juga harus pakai ilmu.
Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan
sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus
berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan
demikian, juga ikut berkembang.

Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus
tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan
sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai
itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam
periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
19

Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu resep dari
Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan
ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai
solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi,
merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan
hukum Tuhan.

Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya
tidak bisa menerima "kemalasan" semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan
alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum
Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua
umat manusia.

Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang
tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan
mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan
peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi
pencapaian yang disangga semua bangsa.

Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dengan "mereka", antara
hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran
yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah
penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang
kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.

Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari
kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang
disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka". Saya berpandangan, ilmu
Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-
lembaran Quran.

Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap
lembaran "Kitab Suci" atau "Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran pengetahuan yang
dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera
dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu
sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam.
Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang
dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.

Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak
pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku, jumud,
dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat
diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-
tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)."

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
20

Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat
berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama,
dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang
berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu
keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak
pernah ada ujungnya.

Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2:148); berlombalah-lombalah dalam


menghayati jalan religiusitas itu.

Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun
penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji
adalah maslahat manusia itu sendiri.

Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme
yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa
mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum
manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan
dalam semua perbincangan soal agama ini.

Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan
maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang
semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.

Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia.
Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas
maslahat manusia itu sendiri. []

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla


Sumber: Jaringan Islam Liberal

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
21

Masa Depan Agama-agama di Indonesia


Berikut ini catatan yang dirangkum dari seminar bertajuk “Masa Depan Agama-agama di
Indonesia” yang diselenggarakan di Jakarta 23 November 2002, dengan para pembicara
sbb.:
- Ir. Budi S. Tanuwibowo, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia
- Pandit Herman S. Hendra, Pemimpin Buddha Terravadha
- Romo F.X. Mudji Sutrisno, penulis dan dosen STF Driyarkara
- Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (menggantikan KH.
Abdurrahman Wahid yang berhalangan hadir)
- Pdt. E. Gerrit Singgih, Ph.D., penulis dan direktur Program Pasca Sarjana Teologi
- Gede M.N. Natih, Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (Tidak
hadir)
- Moderator, Pdt. Martin L. Sinaga

Pengantar oleh Pdt. Eka Dharmaputera, Ph.D.

Menilik berbagai kejadian akhir-akhir ini khususnya terorisme yang terkait dengan
pandangan keagamaan radikal, tak pelak masyarakat dunia mulai menyoroti pada
eksistensi agama. Agama, mau tidak mau, telah menjadi salah satu pemicu berbagai
persoalan yang menindas kemanusiaan melalui berbagai gerakan radikal. Sementara di
lain pihak, agama justru seperti tidak berdaya atau berdiam diri menghadapi berbagai
krisis dunia.

Pdt Eka dalam pengantarnya berpendapat, bahwa benturan-benturan persoalan


sebenarnya bukan pada antara agama-agama, namun lebih disebabkan benturan2
kepentingan dan pandangan antara kelompok-kelompok agama. Antara kelompok yang
mengutamakan pluralitas dengan kelompok yang mengutamakan uniformitas. Antara
kelompok yang pro kekerasan dengan kelompok yang anti kekerasan, dsb.
Sementara berbagai dialog antar agama telah dilakukan, namun yang terjadi kebanyakan
adalah dialog yang tidak kunjung usai, karena ada pihak-pihak yang berkeras
mempertahankan ego, ideologi dan pahamnya masing-masing. Dialog antar agama yang
berkembang menjadi debat kusir antar ideologi, dimana masing-masing kelompok merasa
dirinya sebagai yang “paling benar”. Akhirnya, dialog agama justru membuat sekat-
sekat yang memisahkan antara masing-masing kelompok beragama.

Lebih jauh lagi, di dalam seminar tersebut para pembicara berhasil mengidentifikasi
beberapa persoalan pokok keagamaan, diantaranya adalah:
1. Agama tidak lagi ada untuk kesejahteraan manusia, namun lebih banyak manusia
dikorbankan semata-mata demi kejayaan agama. Disini terlihat banyaknya
kelompok-kelompok (religius) yang memandang agama atau Tuhan jauh lebih
penting daripada manusia itu sendiri. Agama menjadi institusi yang menempatkan
diri dan mengambil alih kekuasaan dari Tuhan atas manusia.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
22
2. Eksklusivisme agama dalam berbagai kelompok-kelompok keagamaan. Dimana
“agamamu bukan agamaku, dan agamaku bukan agamamu”, “Untuk kalangan
sendiri”, “terutama yang seiman”, dsb menjadi patokan pembatas dan penyekat
antara umat-umat beragama.
3. ‘Kelumpuhan’ agama disatu sisi menumbuh-kembangkan sikap-sikap dan
pemikiran radikal (fundamentalisme) dalam menghadapi dunia yang sekuler dan
materialistik yang dianggap mengancam eksistensi agama itu sendiri. Hal tersebut
telah menimbulkan sikap-sikap yang menonjolkan kesombongan agama,
intoleran, fanatisme, dan bahkan membenarkan beragam tindak kekerasan.
4. Pandangan keagamaan yang dipelajari secara keliru, telah menimbulkan ratusan
hingga ribuan tafsiran, interpretasi atas teks suci agama.

Berbagai masalah yang terjadi dalam konteks keagamaan menimbulkan pertanyaan,


apakah masih ada masa depan bagi agama-agama, khususnya di Indonesia dan di dunia
pada umumnya ?

Dari berbagai buah pemikiran yang dikemukakan oleh para pembicara, disepakati bahwa
harapan bagi masa depan agama-agama akan terbuka jika agama mampu dan mau
merekonstruksi, memperbaharui pandangan2, dogma2, dan agama secara keseluruhan
yang sudah terbukti tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk dan
plural.

Lebih jelasnya dijabarkan oleh masing-masing pakar pembicara sbb:

Budi S. Tanuwibowo

1. Beliau menyorot agresivitas agama dalam menghadapi sekularisme dan


materialisme.
2. Masalah agama adalah memandang agama jauh lebih penting daripada manusia,
menimbulkan egotisme agama.
3. Apakah agama masih punya masa depan? Tergantung pada kesadaran kita sendiri.
Sudah saatnya kita berubah, merubah pandangan2 keagamaan yang egotis, merasa
diri/agama paling benar. Merubah pelajaran agama yang keliru yang
menyebabkan sekat-sekat antar umat beragama.

Herman S. Hendra.

1. Mutu agama terdeteksi dari sikap orang/masyarakat beragama itu sendiri.


2. Agama harus menjadi penjaga moral dan spiritual manusia, menebar ajaran
dengan kesejukan, bukan dengan nada-nada perang, serta agama seharusnya
menjauhi/tidak terlibat dalam kancah politik bernegara.
3. Untuk memecahkan masalah korupsi yang merusak moral, agar digalakkan
kotbah yang mengharamkan korupsi.
4. Kotbah dan ajaran-ajaran yang memberantas kekerasan. Tanpa kekerasan agama
membawa rahmat bagi setiap manusia dan alam semesta. Agama yang humanis.
5. Reinterpretasi ajaran-ajaran agama dan rekonstruksi institusi agama.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
23
6. Menghentikan bisnis berkedok agama yang mengeksploitasi simbol-simbol
keagamaan untuk kemakmuran diri atau kelompok.
7. Mengajarkan etika global untuk mengurangi terkotak-kotaknya umat beragama.

Mudji Sutrisno

1. Potensi kekerasan agama terletak pada 3 hal yaitu klaim pembenaran diri/doktrin
agama, klaim keselamatan hanya ada pada agamanya, dan mengatasnamakan
kuasa atas orang lain atau menempatkan agama sebagai kuasa tertinggi.
2. Harus diajarkan inklusivisme agama yang mengakui keberagaman agama-agama.
Mengembangkan toleransi antar umat beragama.
3. Memberi terjemahan nyata dalam tindakan, saling silaturahmi, saling
menyejahterakan dalam kepedulian pada sesama yang paling miskin dan menjadi
korban kekerasan ego-ego kita sendiri.
4. Di tingkat kebangsaan, Romo Mudji menyebutkan bagaimana dimasa depan
negara dan bangsa ini bisa hidup dari keragaman kulturalnya. Pertama yaitu
universalitas yang mengabstrasikan tradisi-tradisi perbedaan kultur yang ada
seperti prinsip-prinsip universal Pancasila. Kedua mengembangkan ideologi nilai-
nilai ideal universal secara baru tanpa menghiraukan multikultur yang ada.

Ulil Abshar-Abdalla

1. Masalah yang terjadi pada Islam maupun agama lain adalah kecenderungan
eksklusivisme, “agamaku bukan agamamu, dmk juga sebaliknya”.
2. Jawaban terletak pada bagaimana kita bisa memiliki sistem atau aturan kehidupan
yang mendudukkan manusia sebagai mahluk bermartabat.
3. Penciptaan demokrasi dengan agama sebagai pondasi individu. Bagaimana agama
bisa menyiapkan batu bata/bahan mentah untuk manusia hidup didalam sistem
demokrasi.
4. Juga disinggung bagaimana agama mengelola jemaatnya bukan sebagai jemaat
yang tertutup tetapi saling mengenal dan memahami satu sama lain antar agama.
5. Kemudian bagaimana agama dapat menyiapkan individu-individu yang dapat
hidup di alam pluralisme.
6. Sudah saatnya paham “agamamu bukan agamaku” diperbarui. Lebih jelasnya,
cara pandang keberagamaan masyarakat yang eksklusivis perlu diperbarui.
7. Intensifkan hubungan antara orang-orang beragama yang toleran, dan
mempersempit ruang pergaulan antara orang-orang yang intoleran.

E.G. Singgih, Ph.D.

1. Masalah dalam kekristenan adalah, orang kristen sulit menerima orang beragama
lain. Masalah utama terletak pada penafsiran “ayat emas” Matius 28:18-20 yang
telah menjadi dasar kegiatan kekristenan, yaitu perkabaran Injil. Hal ini telah
membuat orang beragama lain yang merasa terancam melakukan hal-hal yang
anarkis, sehingga sering terjadi perusakan, pembakaran gereja di berbagai pelosok

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
24
daerah. Bahkan pelarangan2 atau penyulitan ijin mendirikan gereja masih terjadi
hingga sekarang akibat rasa terancam dari masyarakat agama lain.
2. Terkait dengan hal tersebut, pendidikan kristen yang menempatkan agama sebagai
kewajiban. Di berbagai sekolah kristen, pelajaran agama kristen menjadi mata
pelajaran wajib yang harus diikuti siswanya.
3. Pemecahannya, perlu dilakukan reinterpretasi pemahaman yang baru yang dapat
mengakomodir seluruh golongan masyarakat beragama.
4. Agama juga harus dilepaskan dari kewajiban mengabarkan injil (atau populer
disebut kristenisasi), dan dikembalikan sebagai kebebasan hati nurani. Walaupun
dalam paparannya menunjuk kepada Kristen, namun tidak terlepas pada agama2
lain.

Moderator Pdt. Martin di akhir acara menyimpulkan bahwa agama tidak bisa berdiam diri
lagi, agama harus mengambil sikap dalam menghadapi krisis. Agama harus tegas dalam
menyikapi perilaku kekerasan yang dilakukan mengatasnamakan agama maupun Tuhan.
Mengembangkan dan memperluas komunikasi dan pemahaman antar agama sehingga
gap-gap yang terjadi dapat diperkecil. Kekuatan kita adalah “bhinneka tunggal ika”,
bukan nasionalisme. Pada akhirnya seminar ditutup dengan kata-kata yang cukup
membekas, “being religious is multi religions.”

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
25

(Antisipasi) Masa Depan Agama-agama di Indonesia


Pendahuluan

Berbicara tentang masa depan agama-agama di Indonesia, tentu tidak bisa atau tidak
mungkin dilepaskan dari 3 (tiga) hal, yaitu:
(i) persoalan atau permasalahan besar yang kini sedang kita hadapi sebagai
bangsa,
(ii) wacana atau visi kebangsaan kita ke depan, terutama yang berkaitan dengan
masalah sosial keagamaan dan kemajemukan bangsa, serta
(iii) kemampuan agama-agama itu sendiri dalam menjawab berbagai tantangan
dan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan yang ada saat ini, maupun di
masa depan.

Sering – dan mungkin kita sudah bosan – mendengar kata “Indonesia sedang menghadapi
krisis multi dimensi”. Kebosanan itu bisa dipahami, karena kata-kata itu, selama ini,
terkesan hanya dibicarakan dan dibahas saja, sementara pada realitanya belum nyata
terlihat adanya perbaikan signifikan. Perekonomian kita belum pulih benar, sementara
pengangguran tidak semakin berkurang. Korupsi di setiap lapis kehidupan masyarakat
terus saja berlangsung, sementara yang selalu dijadikan kambing hitam adalah masa lalu.
Keutuhan bangsa masih saja terancam, dan pertikaian antar berbagai kelompok di tanah
air tidak juga kunjung terselesaikan. Mengenai HAM, jangankan kita bisa menyelesaikan
pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu, untuk menjaga agar jangan sampai ada
pelanggaran HAM baru pun belum bisa dilakukan. Kemerosotan moral pada berbagai
lapisan umur, marak terjadi di mana-mana. Anak-anak dan orang dewasa makin banyak
yang menjadi pecandu narkoba. Pelajar dan bahkan mahasiswa makin suka tawuran.
Kejahatan seks semakin marak tanpa mengenal usia. Keluarga yang pecah berantakan,
menjadi cerita biasa sehari-hari. Di sini, masyarakat benar-benar menyaksikan sesuatu
yang kontras an sangat ironis terjadi sehari-hari, tanpa agama bisa berbuat banyak.

Yang lebih ironis, ketika usia bangsa kita semakin dewasa, proses membangsa kita justru
mengalami kemunduran. Pertikaian-pertikaian kecil antar pribadi, mudah disulut menjadi
pertikaian besar, bila dikaitkan dengan primordialisme. Nalar manusia menjadi kacau,
tidak lagi mudah membedakan mana benar dan mana salah. Hanya karena kesamaan
warna kulit, agama dan hal primordial lain, kita bisa membenarkan dan bahkan membela
mati-matian pihak yang seharusnya secara objektif tidak bisa kita benarkan. Kesadaran
dan tekad awal untuk hidup bersama sebagai bangsa yang majemuk, seolah terlupakan.

Mencermati carut-marut keadaan, kita kemudian cenderung lepas tangan dan saling
menyalahkan. Pada kondisi ini, maka pihak yang terlemahlah yang kemudian sering
menjadi tersangka. Sementara para pimpinan, termasuk tokoh agama, seolah bebas dari
beban dosa. Bahkan dengan wajah tanpa dosa kita sering menyaksikan munculnya
pernyataan-pernyataan normatif, yang cuma berhenti pada sikap menyesalkan, tanpa
pernah secara sungguh-sungguh berusaha mencari sebab ke dalam diri sendiri. Padahal,

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
26
kalau kita mau jujur, langsung atau tidak, krisis moral yang sedang dialami bangsa kita,
tidak bisa dilepaskan dari kegagalan sistem pendidikan kita, termasuk pendidikan agama.

Pada sisi ini, bila agama-agama tidak mampu menjawab persoalan bangsa untuk keluar
dari krisis multidimensi yang sejujurnya bersumber pada krisis moral, maka bisa diduga
masa depan agama-agama di Indonesia – dan dunia – akan makin kehilangan ruh, dalam
arti ada namun tiada menambah arti, dan jika tiada pun, tidak akan mengurangi arti.

Menyelamatkan Masa Depan Agama

Di depan kita telah membaca 3 (tiga) hal pokok yang menjadi tantangan utama bagi
eksistensi dan atau masa depan agama-agama. Bagaimana agama-agama bisa membantu
mengatasi pokok permasalahan tersebut ? Adakah jawabnya ? Kalau ada, apakah bisa
dilakukan ? Bila bisa dilakukan, apakah mudah dilaksanakan ? Pertanyaan lanjutan, kalau
memang bisa, apalagi mudah, lantas kapan semua itu harus dilakukan ?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada baiknya kita mencoba memilah


dan mengurai berbagai permasalahan yang terlihat rumit tersebut, agar menjadi lebih
sederhana, tanpa bermaksud menyederhanakan, apalagi menyepelekan. Tak usah terlalu
berumit-rumit. Kita semua tentu setuju bahwa garis besar pokok permasalahan di atas
menyangkut 4 (empat) hal, yaitu :
(i) manusia sebagai pribadi,
(ii) manusia sebagai bagian keluarga,
(iii) manusia sebagai warga masyarakat, bangsa atau kemanusiaan, dan
(iv) interaksi manusia sebagai umat beragama, terlepas agama apapun yang
dipeluknya.

Untuk mengatasi hal pertama dan kedua : permasalahan pribadi manusia dan keluarga,
agama seharusnya mampu mengatasinya dengan baik, kalau mau mengembalikan hakikat
agama untuk kebaikan manusia, dan bukan sebaliknya, manusia untuk agama. Semua
agama mengajarkan kepada kita bagaimana membina hubungan vertikal dengan Sang
Khalik dan horizontal antar sesama. Sering, saking asyiknya, kita sering memberikan
tekanan terlalu besar pada hubungan vertikal, dan melupakan bahwa hubungan horizontal
pun tidak kalah pentingnya. Bahkan dalam agama Khonghucu sangat ditekankan bahwa
hakikat agama adalah untuk memanusiakan manusia, agar ia bisa kembali ke Watak
Sejatinya yang pada dasarnya baik, sehingga bisa kembali ke Jalan Suci Tian (Tuhan).

Bila setiap agama, dalam hal ini tokoh-tokohnya, mau berendah hati dan saling berbagi,
melupakan perbedaan dan menggali persamaan, niscaya akan muncul sederetan nilai-nilai
universal, yang bisa kita gunakan bersama untuk kepentingan umat manusia, dalam
kaitannya sebagai makhluk pribadi, keluarga dan sosial. Apa yang kita kenal sebagai
Pendidikan Budi Pekerti atau ‘Character Building’, sebenarnya merupakan jalan keluar
yang paling tepat. Di sinilah, agama-agama, sebenarnya bisa berperan banyak untuk
menyumbangkan nilai-nilai universalnya, tanpa perlu bernafsu mencantumkan atributnya.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
27
Untuk mengatasi hal ketiga, yang menyangkut masyarakat, bangsa dan kemanusiaan, di
samping apa yang sudah disampaikan di atas, ada hal lain yang lebih penting dan menjadi
persyaratan utama, yaitu : perlunya kesadaran bahwa manusia, apalagi bangsa Indonesia,
sudah ditakdirkan terlahir berbeda-beda, majemuk. Dan karena kita percaya bahwa
semuanya adalah makhluk ciptaan Tuhan, tentunya harus muncul kesadaran pula bahwa
perbedaan tersebut terjadi karena kemauan Tuhan sendiri, termasuk perbedaan-perbedaan
dalam hal lain, misal : agama. Berangkat dari kesadaran sederhana ini, maka sudah
seharusnya para tokoh-tokoh agama secara sadar mau menjadi pelopor untuk tidak
menyakiti satu sama lain. Tak usah mengukur baju orang lain dengan ukuran badan kita
sendiri. Tak usah sibut ikut mencampuri urusan orang lain, namun uruslah umatnya
masing-masing dengan sebaik-baiknya. Dalam bahasa Khonghucu dikatakan, “Janganlah
melakukan pada orang lain, apa yang diri sendiri tiada inginkan”, namun sudah
seharusnya kita menyadari bahwa, “Di empat penjuru lautan, semuanya saudara”. Oleh
karenanya kita wajib, “Menggunakan pengetahuan Kitab, untuk memupuk persahabatan”
dan “Bila diri sendiri ingin tegak, maka bantulah agar orang lain pun tegak”. Lebih lanjut
Nabi Kong Zi menekankan bahwa seorang Jun Zi atau orang beriman dan berbudi luhur,
tetap bisa rukun meski berbeda. Sedangkan Xiao Ren, meski sama tak bisa rukun.

Hal keempat, sedikit lebih kompleks, karena umumnya orang cenderung mempunyai
semangat membuta untuk membela kelompoknya sendiri, tanpa melihat permasalahan
secara objektif. Mengenai hal ini sudah disadari sendiri oleh Nabi Kong Zi, bahwa di
dalam mengasihi dan membenci, orang biasanya menyebelah atau berpihak. Oleh karena
itu, mengingat interaksi antarmanusia di masa depan akan semakin intens dan tanpa
batas, jelas agama-agama tidak akan mampu mengatasinya sendiri. Di sini sungguh
diperlukan aturan hukum yang tegas dan adil. Dengan demikian bila ada permasalahan,
maka akan dapat dilihat dan diatasi dengan lebih jernih, tanpa mengkait-kaitkan dengan
hal-hal lain yang bersifat primordial, termasuk agama di dalamnya.

Ayat Tidak (Selalu) Berlaku Selamanya

Dalam hidupnya, Nabi Kong Zi berkali-kali menekankan perlunya Keberanian untuk


melakukan introspeksi diri. Berani mengakui kekeliruan dan ketikdakmengertian, dan
kemudian berani pula memperbaikinya. Dengan rendah hati dikatakan, “Bila mengerti,
katakanlah mengerti. Bila tidak mengerti, katakanlah tidak mengerti. Itu yang dinamai
mengerti. Setiap jalan bertiga, niscaya ada yang bisa kujadikan guru. Kuambil yang baik,
dan bila kujumpai yang kurang baik, aku periksa diriku sendiri”. Sikap rendah hati seperti
ini, yang tentunya juga dimiliki para Nabi dan para Suci yang lain, kiranya perlu kita
contoh dengan sungguh-sungguh, sehingga dengan demikian niscaya umat pun akan
meneladani pula, karena hakikatnya, “Kebajikan pemimpin laksana angin, dan Kebajikan
rakyat jelata laksana rumput. Kemana angin bertiup, kesana rumput merebah”.

Kiranya perlu pula kita dalami, bahwa setiap ayat dalam Kitab Suci, ada asal-usul atau
latar belakangnya. Tanpa ada pemahaman yang cukup mendalam mengenai kapan dan
dalam kaitan apa sebuah ayat diturunkan, bisa berbahaya. Apalagi bila diingat tidak
semua ayat berlaku selamanya. Dalam bahasa awam ada yang bersifat umum dan khusus.
Dengan berbekal pemahaman ini, ke depan tokoh-tohok agama dituntut untuk menggali

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
28
kembali makna terdalam setiap ayat, sehingga substansinya benar-benar mampu
menjawab tantangan yang dihadapi manusia dari jaman ke jaman. Diingatkan oleh Nabi
Kong Zi, “Bila diberi tahu tentang satu sudut, berusahalah mencari ketiga sudut yang
lain. Bila suatu hari dapat memperbarui diri, perbaharuilah terus tiap hari, dan jagalah
agar baharu selama-lamanya. Sesungguhnya hanya orang yang paling bodoh dan paling
bijaksana saja yang tak mungkin berubah. Negeri Zhou, biarpun negeri tua, Firman itu
tetap dipelihara, sehingga senantiasa baharu. Jadilah rakyat Tian yang baharu”.

Penutup

Akhirnya kita sampai pada tahap kesimpulan bahwa masa depan agama-agama sangatlah
tergantung pada kemampuan agama-agama tersebut dalam mengatasi setiap problema
masyarakat. Bisakah agama-agama mengatasinya ? Bisa, dan tidak akan menjadi terlalu
sulit bila semuanya mau membuka diri, saling memberi, tidak saling menyalahkan dan
merendahkan. Sibuklah berbenah diri, tanpa perlu bersibuk-ria mengagung-agungkan diri
sambil merendahkan orang lain. Lantas kapan bisa dimulai ? Jawabnya saat kita semua
sudah sampai pada puncak pembinaan diri, dan timbul kesadaran betapa setelah belajar
dengan tekun dan benar, dan kita semua benar-benar telah sampai pada inti ajaran agama,
ternyata berujung atau sampai kepada SATU Kebenaran Sejati, yang tiada berbeda.

Semoga Kebajikan selalu memperoleh tetangga.


Sungguh hanya oleh Kebajikan Tian berkenan, Shanzai.

*) Disampaikan oleh Ks. Budi S. Tanuwibowo, Ketua Umum MATAKIN, Sabtu, 23


November 2002

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
29

Let it Flow
Even love itself
must not be imprisoned
in one's own heart.

It must flow through you


so that it goes out to all.

So it is with every emotion


it must flow in and out of you
like the air you breathe.

It is easy to breathe "good" out,


when you breathe "good" in.
But how do you breathe "good" out,
when you breathe "bad" in?

(Katsugen undo, Richard S. Omura)

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
30

Seni Menata Hati dalam Bergaul


Oleh KH. Abdullah Gymnastiar

Pergaulan yang asli adalah pergaulan dari hati ke hati yang penuh keikhlasan, yang insya
Allah akan terasa sangat indah dan menyenangkan. Pergaulan yang penuh rekayasa dan
tipu daya demi kepentingan yang bernilai rendah tidak akan pernah langgeng dan
cenderung menjadi masalah.

1. Aku Bukan Ancaman Bagimu

Kita tidak boleh menjadi seorang yang merugikan orang lain, terlebih kalau kita simak
Rasulullah Saw. bersabda, "Muslim yang terbaik adalah muslim yang muslim lainnya
selamat/merasa aman dari gangguan lisan dan tagannya." (HR. Bukhari)

a. Hindari penghinaan
Apapun yang bersifat merendahkan, ejekan, penghinaan dalam bentuk apapun terhadap
seseorang, baik tentang kepribadian, bentuk tubuh, dan sebagainya, jangan pernah
dilakukan, karena tak ada masalah yang selesai dengan penghinaan, mencela,
merendahkan, yang ada adalah perasaan sakit hati serta rasa dendam.

b. Hindari ikut campur urusan pribadi


Hindari pula ikut campur urusan pribadi seseorang yang tidak ada manfaatnya jika kita
terlibat. Seperti yang kita maklumi setiap orang punya urusan pribadi yang sangat
sensitif, yang bila terusik niscaya akan menimbulkan keberangan.

c. Hindari memotong pembicaraan


Sungguh dongkol bila kita sedang berbicara kemudian tiba-tiba dipotong dan disangkal,
berbeda halnya bila uraian tuntas dan kemudian dikoreksi dengan cara yag arif, niscaya
kita pun berkecenderungan menghargainya bahkan mungkin menerimanya. Maka latihlah
diri kita untuk bersabar dalam mendengar dan mengoreksi dengan cara yang terbaik pada
waktu yang tepat.

d. Hindari membandingkan
Jangan pernah dengan sengaja membandingkan jasa, kebaikan, penampilan, harta,
kedudukan seseorang sehingga yang mendengarnya merasa dirinya tidak berharga,
rendah atau merasa terhina.

e. Jangan membela musuhnya, mencaci kawannya


Membela musuh maka dianggap bergabung dengan musuhnya, begitu pula mencaci
kawannya berarti memusuhi dirinya. Bersikaplah yang netral, sepanjang diri kita
menginginkan kebaikan bagi semua pihak, dan sadar bahwa untuk berubah harus siap
menjalani proses dan tahapan.

f. Hindari merusak kebahagiannya

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
31
Bila seseorang sedang berbahagia, janganlah melakukan tindakan yang akan merusak
kebahagiaanya. Misalkan ada seseorang yang merasa beruntung mendapatkan hadiah dari
luar negeri, padahal kita tauh persis bahwa barang tersebut buatan dalam negeri, maka
kita tak perlu menyampaikannya, biarlah dia berbahagia mendapatkan oleh-oleh tersebut.

g. Jangan mengungkit masa lalu


Apalagi jika yang diungkit adalah kesalahan, aib atau kekurangan yang sedang berusaha
ditutupi.
Ingatlah bahwa setiap orang memiliki kesalahan yang sangat ingin disembunyikannya,
termasuk diri kita, maka jangan pernah usil untuk mengungkit dan membeberkannya, hal
seperti ini sama dengan mengajak bermusuhan.

hi. Jangan mengambil haknya


Jangan pernah terpikir untuk menikmati hak orang lain, setiap gangguan terhadap hak
seseorang akan menimbulkan rasa tidak suka dan perlawanan yang tentu akan merusak
hubungan.. Sepatutnya kita harus belajar menikmati hak kita, agar bermanfaat dan
menjadi bahan kebahagiaan orang lain.

i. Hati-hati dengan kemarahan


Bila anda marah, maka waspadalah karena kemarahan yang tak terkendali biasanya
menghasilkan kata dan perilaku yang keji, yang sangat melukai, dan tentu perbuatan ini
akan menghancurkan hubungan baik di lingkungan manapun. Kita harus mulai berlatih
mengendalikan kemarahan sekuat tenaga dan tak usah sungkan untuk meminta maaf
andai kata ucapan dirasakan berlebihan.

j. Jangan menertawakannya
Sebagian besar dari sikap menertawakan seseorang adalah karena kekurangannnya, baik
sikap, penampilan, bentuk rupa, ucapan dan lain sebagainya, dan ingatlah bahwa tertawa
yang tidak pada tempatnya serta berlebihan akan mengundang rasa sakit hati.

k. Hati-hati dengan penampilan, bau badan dan bau mulut


Tidak ada salahnya kita selalu mengontrol penampilan, bau badan atau mulut kita, karena
penampilan atau bau badan yang tidak segar akan membuat orang lain merasa terusik
kenyamanannya, dan cenderung ingin menghindari kita.

2. Aku menyenangkan bagimu

a. Wajah yang selalu cerah ceria


Rasulullah senantiasa berwajah ceria, beliau pernah bersabda, "Janganlah terlalu
membebani jiwamu dengan segala kesungguhan hati. Hiburlah dirimu dengan hal-hal
yang ringan dan lucu, sebab bila hati terus dipaksakan memikul beban-beban yang berat,
ia akan menjadi buta". (Sunan Abu Dawud).

b. Senyum tulus
Rasulullah senantiasa tersenyum manis sekali dan ini sangat menyenangkan bagi
siapapun yang menatapnya. Senyum adalah sedekah, senyuman yang tulus memiliki daya

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
32
sentuh yang dalam ke dalam lubuk hati siapapun, senyum adalah nikmat Allah yang besar
bagi manusia yang mencintai kebaikan. Senyum tidak dimiliki oleh orang-orang yang
keji, sombong, angkuh, dan orang yang busuk hati.

c. Kata-kata yang santun dan lembut


Pilihlah kata-kata yang paling sopan dengan dan sampaikan dengan cara yang lembut,
karena sikap seperti itulah yang dilakukan Rasulullah, ketika berbincang dengan para
sahabatnya, sehingga terbangun suasana yang menyenangkan. Hindari kata yang kasar,
menyakitkan, merendahkan, mempermalukan, serta hindari pula nada suara yang keras
dan berlebihan.

d. Senang menyapa dan mengucapkan salam


Upayakanlah kita selalu menjadi orang yang paling dahulu dalam menyapa dan
mengucapkan salam. Jabatlah tagan kawan kita penuh dengan kehangatan dan lepaslah
tangan sesudah dilepaskan oleh orang lain, karena demikianlah yang dicontohkan
Rasulullah.

e. Jangan lupa untuk menjawab salam dengan sempurna dan penuh perhatian.

f. Bersikap sangat sopan dan penuh penghormatan


Rasulullah jikalau berbincang dengan para sahabatnya selalu berusaha menghormati
dengan cara duduk yang penuh perhatian, ikut tersenyum jika sahabatnya melucu, dan
ikut merasa takjub ketika sahabatnya mengisahkan hal yang mempesona, sehingga setiap
orang merasa dirinya sangat diutamakan oleh Rasulullah.

g. Senangkan perasaannya
Pujilah dengan tulus dan tepat terhadap sesuatu yang layak dipuji sambil kita kaitkan
dengan kebesaran Allah sehingga yang dipuji pun teringat akan asal muasal nikmat yang
diraihnya, nyatakan terima kasih dan do’akan. Hal ini akan membuatnya merasa bahagia.
Dan ingat jangan pernah kikir untuk berterima kasih.

h. Penampilan yang menyenangkan


Gunakanlah pakaian yang rapi, serasi dan harum. Menggunakan pakaian yang baik
bukanlah tanda kesombongan, Allah Maha Indah dan menyukai keindahan, tentu saja
dalam batas yang sesuai syariat yang disukai Allah.

i. Maafkan kesalahannya
Jadilah pemaaf yang lapang dan tulus terhadap kekurangan dan kesalahan orang lain
kepada kita, karena hal ini akan membuat bahagia dan senang siapapun yang pernah
melakukan kekhilafan terhadap kita, dan tentu hal ini pun akan mengangkat citra kita
dihatinya.

3. Aku Bermanfaat Bagimu

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
33
Keberuntungan kita bukanlah diukur dari apa yang kita dapatkan tapi dari nilai manfaat
yang ada dari kehadiran kita, bukankah sebaik-baik di antara manusia adalah orang yang
paling banyak manfaatnya bagi hamba-hamba Allah lainnya.

a. Rajin bersilaturahmi
Silaturahmi secara berkala, penuh perhatian, kasih sayang dan ketulusan walaupun hanya
beberapa saat, benar-benar akan memiliki kesan yang mendalam, apalagi jikalau
membawa hadiah, insya Allah akan menumbuhkan kasih sayang.

b. Saling berkirim hadiah


Seperti yang telah diungkap sebelumnya bahwa saling memberi dan berkirim hadiah akan
menumbuhkan kasih sayang. Jangan pernah takut miskin dengan memberikan sesuatu,
karena Allah yang Maha Kaya telah menjanjikan ganjaran dan jaminan tak akan miskin
bagi ahli sedekah yang tulus.

c. Tolong dengan apapun


Bersegeralah menolong dengan segala kemampuan, harta, tenaga, waktu atau setidaknya
perhatian yang tulus, walau perhatian untuk mendengar keluh kesahnya.

d. Apabila tidak mampu, maka do’akanlah, dan percayalah bahwa kebaikan sekecil
apapun akan diperhatikan dan dibalas dengan sempurna oleh Allah.

e. Sumbangan ilmu dan pengalaman


Jangan pernah sungkan untuk mengajarkan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, kita
harus berupaya agar ilmu dan pengalaman yang ada pada diri kita bisa menjadi jalan bagi
kesuksesan orang lain.

Insya Allah jikalau hidup kita penuh manfaat dengan tulus ikhlas maka, kebahagiaan
dalam bergaul dengan siapapun akan terasa nikmat, karena tidak mengharapkan sesuatu
dari orang melainkan kenikmatan kita adalah melakukan sesuatu untuk orang lain.
Semata karena Allah Swt.

KH. Abdullah Gymnastiar, Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid Bandung.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
34

Kaidah Hidup (The Golden Rule)


Oleh: Daniel
Tanggal: 9/23/02

Enam tingkat interpretasi dan pemahamannya

"Lakukan kepada orang lain seperti kamu ingin orang lain lakukan kepadamu." adalah
kaidah hidup utama yang diajarkan oleh banyak guru dan filosofer. Pada aplikasinya,
kaidah emas ini memiliki tingkat pemahaman yang berbeda-beda pada manusia, bahkan
tidak jarang diterapkan secara negatif.

Nathaniel, salah seorang murid Yesus pernah menanyakan hal ini ketika berkumpul
bersama murid-murid dan pengikut lainnya. Yesus menjelaskan bahwa kaidah hidup itu
merupakan kaidah ideal yang seyogyanya diterapkan secara positif, dan bukan untuk
disalahartikan/disalahgunakan untuk membenarkan kepentingan2 sendiri. Lebih jauh,
Yesus merincikan pemahaman dan interpretasi atas kaidah itu kedalam 6 tingkatan, yang
saya coba jabarkan kembali secara sederhana sebagai berikut :

1. Tingkat kedagingan. Pemahaman orang di tingkat daging lebih mengarah kepada


egoisme dan diterapkan semata-mata utk kepentingan/kepuasan diri sendiri, sehingga
aplikasinya kadang cenderung negatif. Contohnya, kejahatan pemerkosaan thd wanita,
anak; pemaksaan kehendak.

2. Tingkat perasaan. Sedikit diatas daging, pada tingkat ini yang bersangkutan
menginterpretasi kaidah hidup mulai menggunakan perasaan simpati dan belas kasih.
Contoh, seseorang berbuat baik kpd orang lain agar orang lain itu berbuat baik kpdnya.
Atau secara pasifnya, seseorang tidak mengganggu orang lain dg harapan orang lain juga
tidak mengganggu dirinya.

3. Tingkat akal pikiran. Sedikit diatas perasaan, disini orang mulai menggunakan
pertimbangan akal budi dan kecerdasan pengalaman dlm memahami dan menerapkan
kaidah hidup secara positif.

4. Tingkat cinta kasih persaudaraan. Orang yg sampai pd tingkat ini mencerminkan kasih
sayang yg tulus dan tidak mementingkan diri sendiri terhadap orang lain. Dia tidak
berbuat baik semata2 agar orang lain berbuat baik kpdnya, tetapi dia berbuat baik krn
didasarkan pd kesadaran bhw orang lain adalah sama seperti dirinya, anak Tuhan. Disini
tingkat kesadaran akan "the fatherhood of God and brotherhood of man" mulai terbentuk,
memasuki "kerajaan surga", atau bisa juga dikatakan, telah "lahir kembali oleh roh".

5. Tingkat moral. Ketika pemahaman seseorang telah mencapai pengetahuan/wawasan


sejati akan kebenaran dan kesalahan, dia selalu menempatkan dirinya sebagai orang
ketiga dalam memperlakukan orang lain itu. Dia akan menggunakan empati dan

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
35
reevaluasi diri (bercermin diri) sehingga setiap harinya semakin dapat memperlakukan
orang lain dengan lebih baik lagi.

6. Tingkat spiritual. Akhirnya, tingkat interpretasi yang paling ideal, tingkat dimana
Tuhan menjadi "mata" bagi penglihatannya, menjadi "telinga" bagi pendengarannya, dan
menjadi "mulut" atas perkataannya. Artinya, orang ybs melihat kaidah hidup itu dari
pandangan Tuhan, disini tercapai kesejajaran dg kehendak Tuhan, karena, "dia
memperlakukan semua orang sebagaimana dia ketahui Tuhan memperlakukan mereka".

Pada akhir penjelasannya, Yesus mengajak kembali untuk "memperlakukan semua orang
sebagaimana yang kamu tahu aku akan memperlakukan mereka dalam situasi serupa."

Golden Rule dari masa ke masa

- Yahudi

What is hateful to you, do not do to your neighbor; that


is the entire Torah; the rest is commentary; go learn it.

Babylonian Talmud, Shabbat 31a, as cited in Glatzer, 1969, p. 197.

- Hindu

Do not to others what ye do not wish


Done to yourself...
--This is the whole Dharma, heed it well.

The Mahabarata, cited in Das, 1955, p. 398.

- Zoroastrianisme

Human nature is good only when it does not do unto another


whatever is not good for its own self.

Dadistan-i-Dinik, 94:5; in Müller, chapter 94, vol 18, 1882, p. 269.

- Buddha

Hurt not others in ways that you yourself would find hurtful.

Udanavargu, 5:18, Tibetan Dhammapada, 1983.

- Jainisme

In happiness and suffering, in joy and grief,


regard all creatures as you would regard your own self.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
36

Yoga-Sastra, cited in Bull, 1969, p. 92.

- Kong Hu Cu

Do not do to others what you do not want done to yourself.

Confucius, Analects, 15:23, 6:28; Mahabharara, 5:1517, in Confucius, The


Analects, 1992.

- Kristen/Katholik

Do unto others as you would have them do unto you.

Jesus, Bible, Luke 6:13

- Islam

No one of you is a believer until you desire for another that which you desire for
yourself.

The Sunnah (from the Hadith), publ. 1975.

- Sikh

Be not estranged from another for, in every heart, Pervades the Lord.

Sri Guru Granth Sahib, in Singh (trans.) 1963, p. 250.

- Bahá'í

Ascribe not to any soul that which thou wouldst not have ascribed to thee,
and say not that which thou doest not. This is my command unto thee,
do thou observe it.

Bahá'u'lláh, The Hidden Words, Arabic 29


* Bahá'u'lláh, The Kitab-i-Iqan, p 177

Semoga uraian diatas dapat menjadi berkat dan manfaat bagi kita bersama.

=Bahan=
Buku Urantia
Management and the Wisdom of Love: Uncovering Virtue in Organizations. Marcic, Dorothy. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1997

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
37

Asal Usul Konsep Trinitas


=Pengantar=

Ada kerancuan dalam pemahaman sebagian besar orang terhadap konsep trinitas dan
tritunggal seperti misalnya yang terkandung di dalam ajaran Hindu ataupun Kristen.
Banyak diantara pemeluk agama Kristen sendiri tidak memahami secara keseluruhan
realitas Trinitas, ditambah dengan kesalahan persepsi oleh para penganut kepercayaan
monoteistik seperti Islam dan Yahudi, yang mencampuradukkan konsep trinitas dengan
politeisme.

Tampaknya sangat perlu diketahui lebih dahulu darimana dan sejak kapan timbulnya
konsep Trinitas berkembang. Para teologian yang menelusuri sejarah trinitas menemukan
adanya konsep ini dalam filosofi ajaran Yunani. Kemudian sekitar abad 2 Masehi
Theophillus mencetuskan kata 'triad' atau tritunggal. Para teologian menyimpulkan
bahwa konsep trinitas dalam kristen mulai terbentuk ketika terjadi rekonsiliasi antara
ajaran Kristen dengan Yunani.

Wacana kali ini merupakan langkah awal yang mencoba membawa kita lebih jauh lagi
menelusuri asal usul adanya konsep trinitas ini. Jika kita telah memiliki pemahaman
dasar mengenai asal usul trinitas, saya akan coba membahas lebih dalam lagi ke hakikat
trinitas yang jauh lebih kompleks.

Salam hangat,

Daniel V. Kaunang
Penulis, Jurnal Air Kehidupan

Asal Usul Konsep Trinitas

Sebelum manusia mulai dapat memahami realitas trinitas dalam kehidupan, konsep ini
ditanamkan dan diajarkan melalui wahyu-wahyu. Namun ajaran ini bukanlah diturunkan
tanpa kendala, terutama dikarenakan tingkat persepsi dan kapasitas pemahaman manusia
yang belum dapat menerima.

Wahyu pertama yang mengarah kepada pemahaman Trinitas dibuat oleh para staf
Caligastia, sekitar 1/2 juta tahun yang lalu. Konsep Trinitas ini hilang sama sekali dalam
kurun waktu pemberontakan Lucifer.

Trinitas, untuk kedua kalinya dibawakan oleh Adam dan Hawa selama kehidupannya di
taman eden pertama dan kedua. Ajaran ini tidak seluruhnya hilang bersamaan dengan
runtuhnya taman eden, bahkan dalam masa turunnya Melchizedek sekitar 35 ribu tahun
sesudahnya. Trinitas bertahan dalam konsep Trinitas kaum Sethite di Mesopotamia,
Mesir dan khususnya di India, dimana Agni sebagai Dewa Api berkepala tiga.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
38
Kemudian yang ketiga kali, Trinitas dibawakan oleh Imam Agung Melchizedek (yang
mengurapi Abraham). Doktrin Trinitas ini dilambangkan dengan 3 buah lingkaran
konsentris pada plat dada yang dikenakan oleh Imam Agung ini. Namun, sangat sulit
mengajarkan Bapa Universal, Anak Eternal dan Roh Infinit pada masyarakat bedouin
Palestina. Kebanyakan muridnya menyangka bahwa Trinitas terdiri dari tiga Yang
Tertinggi dari Norlatiadek, sebagian memahami sebagai Penguasa Sistem, Bapa
konstelasi, dan Pencipta semesta lokal. Lebih sedikit lagi yang menangkap ide yang
diasosiasikan dengan Bapa, Putera dan Roh.

Melalui aktivitas para misionaris Salem, ajaran2 Melchizedek tentang Trinitas pelan-
pelan tersebar ke sebagian besar wilayah Eurasia dan Afrika bagian utara. Pada masa
sesudah Melchizedek, membedakan antara tritunggal dan trinitas menjadi semakin sulit
ketika kedua konsep telah berbaur dan menyatu.

Di kalangan Hindu konsep trinitarian ini mengambil asal sebagai Keberadaan,


Kecerdasan, dan Kebahagiaan. Kemudian berkembang menjadi Brahma, Siva, dan
Vishnu; Trimurti. Penggambaran Trinitas di India pada awalnya dibawakan oleh para
imam Sethite, konsep selanjutnya diimpor oleh misionaris Salem dan dikembangkan oleh
para intelektual penduduk asli India melalui penggabungan doktrin trinitas dengan
konsep evolusioner tritunggal.

Agama Buddha mengembangkan dua doktrin yang pada dasarnya bersifat trinitas. Yang
pertama adalah Guru(Buddha), Hukum(Dhamma), dan Persaudaraan(Sangha); Tiratana,
dibawakan oleh Siddharta Gautama. Ide selanjutnya berkembang diantara pengikut2
Buddha di wilayah utara, merangkul pemahaman Raja Tertinggi, Roh Kudus, dan
Penjelmaan Juruselamat.

Konsep2 yang terkandung dalam Hindu dan Buddha benar2 merupakan dalil trinitas,
yaitu, suatu pemahaman akan manifestasi kelipatan tiga dari Tuhan yang monoteistik.
Konsep trinitas yang sejati tidak hanya sekedar kelompok tiga tuhan yang berbeda.

Bangsa Ibrani mengetahui tentang Trinitas dari tradisi2 Kenite jaman Melchizedek,
namun semangat monoteistik mereka akan satu Tuhan memudarkan seluruh ajaran2
tentang trinitas, hingga pada masa munculnya Yesus, doktrin Elohim ini telah dihapus
dari teologi Yahudi. Pemikiran Yahudi tidak lagi mau merekonsiliasikan konsep
trinitarian dengan kepercayaan monoteistik pada Satu Raja, Tuhan bangsa Israel.

Islam mengalami pergolakan yg sama. Dlm sejarahnya Muhammad lebih banyak


dihadapkan pd politeisme yg dianut suku Quraisy. Pada awalnya Muhammad dianggap
menerima dewi2 al Latta al Uzza, dan al Manat sbg anak2 perempuan Allah. Namun
kemudian Surat 53:19-26 membuat suku Quraisy marah, dan terjadilah konflik
berkepanjangan. Dari konflik tsb akhirnya tercetuslah bbrp ayat spt "Katakan: Dialah
Tuhan, Satu-satunya Tuhan Tempat berlindung selamanya, tidak beranak atau
diperanakkan dan tidak ada yg menyamai-Nya", "untukmulah agamamu, dan untukkulah
agamaku."

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
39
Dus menjadi sangat sulit bagi timbulnya gerakan monoteisme untuk dapat mentoleransi
trinitarianisme terutama ketika mereka sedang dihadapkan dengan politeisme. Gagasan
trinitas paling dapat digapai oleh agama2 yang memiliki tradisi monoteistik yang kuat
bersama dengan doktrin yg elastis/dinamis. Dua agama monoteis terbesar, Yahudi dan
Islam, terbentur pada kesulitan membedakan antara menyembah 3 tuhan (politeisme) dan
trinitarianisme, menyembah satu Tuhan yang ada dalam 3 manifestasi ilahi dan
personalitas.

Demikianlah sedikit penjabaran sejarah diturunkan dan berkembangnya konsep Trinitas


di bumi, sebelum konsep ini diperkenalkan oleh Paulus menjadi doktrin kepercayaan
Kristen hingga sekarang. Untuk merangkum uraian kali ini, setidaknya diketahui bahwa
konsep trinitas sudah diajarkan sejak puluhan ribu tahun yang lalu oleh Melchizedek, dan
menjadi akar dari ajaran2 keagamaan yang berkembang ke penjuru dunia, seperti
Sumeria, Hindu, dsb.

=Kosakata=

Caligastia
Adalah Putera Lanonandek sekunder yang menjalani tugas sebagai “Planetary Prince” di
bumi sampai masanya bergabung pada pemberontakan Lucifer sekitar 200 ribu tahun
yang lalu.

Elohim
Konsep tentang Tuhan three-in-one dari peradaban Sumerian-Chaldean di daerah Kish
dan Ur. Ajaran ini awalnya ditemukan dalam tradisi2 jaman Adam dan Melchizedek, dan
ketika dibawa ke Mesir, Trinitas ini disembah dengan nama Elohim, atau secara
kesatuan: Eloah. Konsep ini sempat menjadi bagian dari teologi Yahudi ketika mereka
dikuasai kerajaan Babylon.

Melchizedek
Golongan Putera Mikhael yang bertugas sebagai utusan serbabisa, umumnya bertugas
dalam situasi darurat di seluruh alam semesta. Posisinya tinggi, karena hanya setingkat di
bawah Gabriel. Salah satu diantaranya pernah menjelma di bumi (Machiventa
Melchizedek) dan bekerjasama dengan Ibrahim/Abraham, yang mana ajarannya menjadi
cikal-bakal semua ajaran agama bumi saat ini.

Norlatiadek
Norlatiadek adalah konstelasi dimana planet bumi berada.

=Bahan bacaan=
Urantia Book
- Paper 104 – Growth of The Trinity Concept
o 1. Urantian Trinity Concepts - P.1143

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
40

Asal Usul Sunat


Tanggal: 9/17/02

Sunat, kadangkala menjadi kontroversi bagi orang awam maupun orangtua yang baru
memiliki anak. Apakah sunat itu diperlukan atau diharuskan sebagaimana tradisi warisan
nenek moyang? Apakah anak laki-laki saya harus disunat? Bukankah sunat diwajibkan
oleh agama-agama tertentu?
Untuk membantu Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita telusuri dari
sejarah awal berkembangnya budaya sunat ini.

Tradisi sunat, sudah berkembang sejak jauh sebelum yang dapat dicatat oleh sejarah.
Tradisi sunat berasal dari jaman primitif yang dipraktekkan dalam suku tertentu terhadap
anak-anak yang menginjak dewasa. Hal ini adalah sebagai upacara inisiasi pubertas,
dimana seorang anak disunat dan diberi tato lambang sukunya. Inisiasi ini dilakukan
untuk menanamkan keteguhan pada anak, dan menunjukkan kehidupan sebenarnya yang
akan dihadapi.
Upacara inisiasi pendewasaan ini kemudian mencapai perkembangannya dengan
munculnya kontes fisik dan permainan ketangkasan.

Namun ide sunat terus berkembang menjadi ritual keagamaan sebagai salah satu bentuk
pengorbanan. Dalam artikel "Asal Usul Puasa dalam Agama" dan "Ritual" (oleh Nugroho
Widi), dijelaskan mengenai sejarah kultus pemujaan roh dan praktek-praktek yang
dilakukan. Salah satunya adalah upacara sunat yang dipraktekkan oleh penduduk Salem
(walaupun tidak pernah diharuskan oleh Melchizedek). Abraham pada masa itu
menentang ritual ini, namun akhirnya mensahkan ritual tersebut sebagai ratifikasi
terhadap perjanjian Salem. Sejarah mengenai Abraham hingga keterkaitannya dengan
ritual sunat dapat dibaca secara lebih jelas di Buku Urantia hal. 1014-1021.

Sunat, pada jaman Abraham dan setelahnya, menjadi simbol ikatan perjanjian antara
manusia dengan Tuhan, dimana Tuhan setuju untuk melakukan apa saja, manusia hanya
perlu setuju untuk percaya kepada janji-janji Tuhan dan mengikuti segala perintahNya.
Dari sini timbullah kepercayaan bahwa keselamatan dapat dicapai melalui pengorbanan
dan sesajian.
Dalam hal ini sunat yang dilakukan Abraham adalah dengan memotong kulit luar yang
membungkus penis hingga sebatas kepala penis.
Kemudian di lain masa, Musa dalam catatan sejarah melarang ritual sunat, namun setelah
kematiannya, penerusnya Joshua kembali mempraktekkan ritual tersebut. Ritual sunat ini
terus diturunkan dari generasi ke generasi, namun ajaran Kristen (Santo Paulus) pada
masa awal berdirinya melarang praktek sunat ini dilakukan.

Dalam perkembangannya hingga sekarang, tujuan sunat selain sebagai wujud


pengorbanan telah dimodifikasi menjadi satu alasan higienis.
Dan ini masih berlaku hingga sekarang dalam berbagai tradisi agama.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
41
Di Amerika tradisi sunat pada anak laki-laki sebagian tetap terpelihara dengan alasan
untuk menekan praktek masturbasi pada remaja (Paige, 1978).

Sunat tidak terbatas dilakukan pada laki-laki saja namun juga dilakukan pada perempuan.
Pada jaman sekarang, praktek sunat terhadap perempuan masih banyak ditemui di
berbagai daerah di Afrika, Mesir, dan bagian selatan Arab (Teluk Persia). Sunat
perempuan juga dilakukan sebagai tradisi di Malaysia dan Indonesia.

Dari sisi medis, penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa sunat sebenarnya tidak
diperlukan, kecuali pada kasus tertentu apabila terjadi kelainan, misalnya pada
pertumbuhannya kulit yang menyelubungi penis mengecil, sehingga menimbulkan rasa
sakit.
Dalam tahun 1949, Douglas Gairdner dalam makalah studinya (Fate of Foreskin, study of
circumcission) menyebutkan bahwa penyunatan secara medis tidak perlu dan tidak
bermanfaat, serta menimbulkan kontra-indikasi yang mengakibatkan komplikasi bahkan
kematian, baik praktek sunat pada bayi, perempuan maupun laki-laki remaja.
Kembali lagi kepada alasan penyunatan yaitu masalah kebersihan penis, dari makalah
Gairdner dapat disimpulkan bahwa alasan tersebut tidak dapat dijadikan alasan medis,
karena menyangkut kebersihan alat vital, anak perlu diajarkan sejak dini untuk
membersihkan alat vitalnya secara teratur, sebagaimana diajarkan untuk rajin
membersihkan bagian belakang telinganya.
Kesimpulan ini diperkuat kembali pada tahun 1971, setelah Noel Preston menyajikan
studinya tahun 1970, American Academy of Pediatrics (AAP) secara resmi menyatakan
bahwa tidak ada indikasi medis yang valid yang mengharuskan seorang anak laki-laki
disunat dalam periode neo-natal.

Dari uraian diatas, dapat diambil intisarinya sebagai berikut:

1. Perkembangan tradisi sunat:


- Pertama kali sebagai upacara inisiasi anak yang menginjak dewasa
- Berkembang menjadi upacara keagamaan/ritual pengorbanan/penyiksaan
- Berkembang menjadi simbol ikatan janji manusia dengan Tuhan
- Pada tradisi tertentu, sunat juga dilakukan terhadap wanita
- Ditemukan alasan psikis, yaitu higiene/kebersihan, mencegah masturbasi, dan
lainnya.
- Berkembang hingga sekarang sebagai warisan tradisi.

2. Penelitian medis tidak membuktikan adanya manfaat sunat. Alasan untuk kebersihan
sama sekali tidak dapat dijadikan alasan medis. Sebaliknya dapat menimbulkan resiko
kesehatan. Pada kasus tertentu sunat perlu dilakukan pada orang yang mengalami
penyempitan pada pertumbuhan kulit penis.

Mudah-mudahan dari sedikit yang dapat saya sampaikan diatas dapat menjadi masukan
dan pertimbangan bagi pembaca sehingga dapat memahami lebih dalam perlu-tidaknya
sunat dilakukan pada anak maupun orang dewasa di jaman modern.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
42
=Bahan Bacaan=
Urantia Book
- Paper 70 - The Evolution Of Human Government
o 7. Primitive Clubs And Secret Societies - P.790
- Paper 89 - Sin, Sacrifice, And Atonement
o 8. Redemption And Covenants - P.982
- Paper 92 - The Later Evolution Of Religion
o 1. The Evolutionary Nature Of Religion - P.1003
- Paper 93 - Machiventa Melchizedek
o 6. Melchizedek's Covenant With Abraham - P.1020
Gairdner DA. The fate of the foreskin. BMJ 1949;2:1433-1437
Preston EN. Wither the foreskin? A consideration of routine neonatal circumcision.
JAMA 1970;213:1853-1858
Paige, Karen Eriksen. The ritual of circumcision. Human Nature, pp 40-48, May 1978 -
www.noharmm.org
Hamid Rushwan, Female Circumcision, World
Health Organization, Sept 1995

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
43

Two Pots
Author Unknown

A water bearer in India had two large pots, each hung on the ends of a pole which he
carried across his neck.
One of the pots had a crack in it, while the other pot was perfect and always delivered a
full portion of water.
At the end of the long walk from the stream to the house, the cracked pot arrived only
half full. For a full two years this went on daily, with the bearer delivering only one and a
half pots full of water to his house.

Of course, the perfect pot was proud of its accomplishments, perfect for which it was
made.
But the poor cracked pot was ashamed of its own imperfection, and miserable that it was
able to accomplish only half of what it had been made to do.
After 2 years of what it perceived to be a bitter failure, it spoke to the water bearer one
day by the stream. I am ashamed of myself, and I want to apologize to you. I have been
able to deliver only half my load because this crack in my side causes water to leak out
all the way back to your house. Because of my flaws, you have to do all of this work, and
you don't get full value from your efforts, " the pot said.

The bearer said to the pot, "Did you notice that there were flowers only on your side of
the path, but not on the other pot's side? That's because I have always known about your
flaw, and I planted flower seeds on your side of the path, and every day while we walk
back, you've watered them.
For two years I have been able to pick these beautiful flowers to decorate the table.
Without you being just the way you are, there would not be this beauty to grace the
house.

Moral: Each of us has our own unique flaws. We're all cracked pots. But it's the cracks
and flaws we each have that make our lives together so very interesting and rewarding.
You've just got to take each person for what they are, and look for the good in them.
Blessed are the flexible, for they shall not be bent out of shape. Remember to appreciate
all the different people in your life!

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
44

Asal Usul Astrologi


Membahas sejarah dan asal usul perkembangan astrologi, dan relevansinya dengan
realitas kehidupan.

Tanggal: 9/17/02

Masa depan, siapa yg tidak tertarik utk mengetahui masa depan? paling tidak, apa yg
akan terjadi pada diri sendiri. Dan kalau kita membuka majalah-majalah, tabloid, situs-
situs komunitas di internet, bahkan dalam fasilitas sms, ada satu hal yang tidak pernah
hilang hingga kini: ramalan Astrologi atau horoskop. Mengapa begitu banyak diantara
kita yg masih terpaku pada metode ramalan yang telah dipraktekkan sejak ribuan tahun?
Apa itu Astrologi? Sejak kapan Astrologi berkembang? Pertanyaan2 seperti ini akan kita
coba bahas bersama. Sebagai tambahan/pelengkap, kita juga akan mengetahui scr ringkas
apa kata Yesus mengenai Astrologi.

Apakah itu Astrologi?


Astrologi awalnya adalah ilmu yang mempelajari pergerakan dan posisi bulan, matahari
dan bintang2 yang dipercayai berpengaruh pada kehidupan manusia. Dengan
mempelajari pergerakan benda2 angkasa tersebut orang dapat mengetahui karakter
seseorang, dan meramalkan masa depan seseorang.

Seorang astrolog membuat peta yang disebut horoskop, yang berisi posisi-posisi benda2
ruang angkasa pada waktu tertentu, misalnya pada tanggal kelahiran seseorang. Horoskop
digambarkan kedalam bentuk lingkaran yang menunjukkan orbit bumi terhadap matahari
selama 1 tahun. Perputaran ini dibagi kedalam 12 bagian yang disebut Zodiak (Aries,
Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagittarius, Capricorn, Aquarius dan
Pisces). Kemudian setiap planet termasuk bulan dan matahari mewakili sifat dasar
manusia, sedangkan zodiak mencerminkan karakteristik seseorang.
Dari pemetaan tersebut seseorang yang lahir pada pertengahan bulan Mei memiliki
bintang Gemini.

Horoskop juga dibagi lagi kedalam 12 bagian waktu perputaran bumi selama 24 jam.
Tiap bagian mencakup aspek tertentu dari kehidupan seseorang seperti jodoh, pekerjaan,
kesehatan, dan lain sebagainya.

Sejak kapan Astrologi berkembang?


Apabila ditelusuri ternyata astrologi berkembang di berbagai peradaban manusia di dunia
sejak lama. Awalnya masyarakat menemukan bahwa matahari berpengaruh terhadap
perubahan musim dan panen ladang. Dari penemuan tersebut, manusia mengembangkan
sistem kepercayaan bahwa planet-planet maupun bintang2 memiliki pengaruh terhadap
berbagai aspek kehidupan manusia.

Bentuk astrologi yang pertama dan tertua dikembangkan di Babylonia sekitar 3000 tahun
SM. Masyarakat di Cina diketahui mulai mempraktekkan astrologi sejak 2000 tahun SM.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
45
Beberapa bentuk lainnya ditemukan pada peradaban kuno di India dan Amerika (suku
Maya). Pada 500 tahun SM, astrologi telah tersebar ke Yunani yang kemudian tersebar ke
dataran Eropa. Astrologi menjadi sistem kepercayaan yang mendunia, walaupun dikecam
oleh Gereja Abad Pertengahan.

Efek positifnya, astrologi kemudian melahirkan ilmu perbintangan yang disebut


Astronomi, namun astrologi tetap menjadi salah satu bagian sains hingga pada abad 16
pamor astrologi turun akibat astronomer seperti Galileo dan Copernicus
mempublikasikan penemuan-penemuan astronomi yang revolusioner. Sejak itu astrologi
tidak lagi dipandang sebagai sains, dan ilmuwan mulai memusatkan perhatiannya pada
ilmu astronomi.

Mengapa manusia suka membuat ramalan2 seperti astrologi tersebut?


Dorongan ini alamiah dan terjadi karena manusia pada dasarnya didiami oleh Roh Tuhan.
Pada mahluk hidup yg tidak didiami oleh roh (misalnya binatang) hanya dapat
mengetahui masa kini dan masa lalu. Tetapi manusia karena didiami Roh memiliki
kemampuan untuk memvisualisasikan masa depan, sehingga dikatakan manusia memiliki
'insight'.

Lalu mengapa astrologi terus bertahan sebagai bagian dari "pegangan hidup"
orang banyak?
Kembali lagi kepada sifat dasar manusia yang memiliki keingintahuan yang besar,
termasuk ingin tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari. Forecasting, disamping
mitologi, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah umat manusia. Astrologi
begitu kuat daya tariknya, pada jaman Romawi-pun, Caesar berulangkali menghancurkan
para ahli ramal, namun tetap saja astrologi dpt bangkit kembali. Saya tuliskan "pegangan
hidup", karena astrologi pada jamannya merupakan bagian yg tak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Contohnya pada pernikahan, seseorang yg memiliki latar budaya
Tionghoa, atau lainnya mungkin akan segera mengenal adanya budaya menghitung
tanggalan/hari baik untuk menikah. Kemudian kedua pasangan akan dihitung tingkat
keberuntungan dan sialnya berdasarkan tanggal lahir mereka. Banyak sekali aplikasi
astrologi pada kehidupan kita, bahkan di jaman modern ini, astrologi masih dilestarikan.

Pandangan Yesus tentang Astrologi.


Dalam diskusi dan tanya jawab bersama murid-muridnya, Yesus pernah membahas
pertanyaan Andreas (Andrew) mengenai tahayul dan ilmu sihir. Dikatakan bahwa arah
pergerakan dan jalur bintang-bintang di angkasa sama sekali tidak ada hubungannya
dengan kejadian-kejadian yang terjadi pada kehidupan manusia di bumi. Astrologi adalah
kesalahan tahayul besar yang tidak memiliki tempat di dalam injil kerajaan surga.
Sedangkan astronomi adalah ilmu sains yang tepat untuk terus dikembangkan oleh umat
manusia. Mengenai pandangan Yesus mengenai ilmu sihir dan jenis2 tahayul lainnya
lebih jauh akan kita bahas dikemudian hari.

Pandangan Anda?
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar dari kita, khususnya di Indonesia
kehidupannya masih belum terlepas dari hal-hal seperti horoskop/ramalan/hong-shui dan

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
46
berbagai macam tahayul. Bahkan institusi2 agama tidak dapat menolak kecanduan
umatnya terhadap ramalan. Ironi ini bisa dijelaskan karena pada agama2 tertentu justru
berkembang dari nubuatan2 manusia tentang masa depan (misalnya konsep akhir jaman
yang dikembangkan dalam agama Islam dan Kristen).
Horoskop, salah satunya, telah dan masih terus menjadi gaya hidup banyak orang
modern, yang kepribadiannya dibentuk, dan masa depannya tergantung pada pengamatan
atas pergerakan bulan dan bintang.
Lalu bagaimana dengan pandangan Anda pribadi? Mungkin Anda juga punya
pengalaman-pengalaman tertentu mengenai hal ini yang dapat melengkapi pembahasan
topik kita kali ini?

Mudah-mudahan tulisan ini dapat sedikitnya menggugah semangat kita untuk mencoba
mengupas kebenaran dibalik fenomena ramal-meramal ini.

Salam hangat,

Daniel V. Kaunang

=Bahan=
- Astrology, Doris A. Hebel, National Advisory Board, National Council for Geocosmic
Research.
- Urantia Book, Part 4 The Life of Jesus, Paper 150, Third Preaching Tour.
- Webster College Dictionary

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
47

"SUATU WAKTU"
Suatu waktu
Suatu tempat

Aku ingin dapat berkumpul bersama saudara-saudari lainnya

Dimana kita dapat bersama berdoa dan menyembah Tuhan dengan berbagai cara yang
mengangkat jiwa
Dimana kata-kata yang mendorong harapan selalu diucapkan
Dimana tidak ada orang yang menunjuk kepadaku dan berkata "Kamu orang berdosa dan
telah jatuh dihadapan kemuliaan Tuhan"
Dimana aku tidak perlu menjaga perkataan dan pemikiranku karena tidak terdapat
didalam buku suci
Dimana orang tidak lagi saling menempatkan dirinya maupun orang lain pada kotak-
kotak aliran, agama, suku, kebudayaan, kebangsaan, umur, gender, dsb
Dimana kita semua telah memiliki keterbukaan hati, pikiran serta ketulusan jiwa, lepas
dari ikatan-ikatan iri, dusta, dendam, amarah dan prasangka
Dimana setiap agama ada dan kita dapat saling berbagi pengalaman dan pertanyaan tidak
hanya ttg agama-agama tetapi semua kebudayaan didalamnya
Dimana kita dapat belajar dari pengalaman2 indah kebudayaan orang lain yang tidak kita
dapatkan
Dimana kita dapat berbagi filosofi, ilmu pengetahuan, kepemimpinan, pelayanan
komunitas, membangun kehidupan rumahtangga, dan lain-lain yang dapat meningkatkan
hati dan jiwa.

Aku ingin berada disana

Suatu waktu
Suatu tempat

Words inspired from Cynthia McCarthy


Daniel V. Kaunang

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
48

Ghosts of Our Past


=Pengantar=
Menyambung pembahasan kita mengenai "kesadaran spiritual" menuju ke era
persaudaraan umat manusia dan kesulitannya karena banyak agama mengklaim masing2
paling benar, berikut ini saya sajikan artikel yang cukup terkait dan sangat menarik yang
berupaya mengupas akar penyebab terorisme (khususnya akhir2 ini) secara detail dan
komprehensif. Karen secara khusus menyorot perlunya dikembangkan mentalitas "one
world" ditahun-tahun mendatang sebagai solusi yang akan membawa perdamaian pada
dunia. Selama orang-orang masih terkotak-kotak dan berpegang teguh pada egotisme,
egoisme, ketidakpedulian dan prasangka, maka kesadaran bahwa seluruh umat manusia
secara spiritual adalah satu saudara akan menjadi seperti apa yang Sdr. Kasarung tulis,
HANYA MIMPI YANG SULIT TERWUJUD.

Sebagai renungan dan referensi:


Brotherhood is impossible on a world whose inhabitants are so primitive that they fail to
recognize the folly of unmitigated selfishness. There must occur an exchange of national
and racial literature. Each race must become familiar with the thought of all races; each
nation must know the feelings of all nations. Ignorance breeds suspicion, and suspicion is
incompatible with the essential attitude of sympathy and love. [UB P.597 - §5]

Salam damai,

Daniel V. Kaunang
Penulis, Moderator AirKehidupan

=Artikel=

Ghosts of Our Past

To win the war on terrorism, we first need to understand its roots

By Karen Armstrong, January 2002

About a hundred years ago, almost every leading Muslim intellectual was in love with the
West, which at that time meant Europe. America was still an unknown quantity.
Politicians and journalists in India, Egypt, and Iran wanted their countries to be just like
Britain or France; philosophers, poets, and even some of the ulama (religious scholars)
tried to find ways of reforming Islam according to the democratic model of the West.
They called for a nation state, for representational government, for the disestablishment
of religion, and for constitutional rights. Some even claimed that the Europeans were
better Muslims than their own fellow countrymen since the Koran teaches that the
resources of a society must be shared as fairly as possible, and in the European nations
there was beginning to be a more equitable sharing of wealth.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
49
'We cannot understand the present crisis without taking into account the painful process
of modernization.'

So what happened in the intervening years to transform all of that admiration and respect
into the hatred that incited the acts of terror that we witnessed on September 11? It is not
only terrorists who feel this anger and resentment, although they do so to an extreme
degree. Throughout the Muslim world there is widespread bitterness against America,
even among pragmatic and well-educated businessmen and professionals, who may
sincerely deplore the recent atrocities, condemn them as evil, and feel sympathy with the
victims, but who still resent the way the Western powers have behaved in their countries.
This atmosphere is highly conducive to extremism, especially now that potential terrorists
have seen the catastrophe that it is possible to inflict using only the simplest of weapons.

Even if President Bush and our allies succeed in eliminating Osama bin Laden and his
network, hundreds more terrorists will rise up to take their place unless we in the West
address the root cause of this hatred.
This task must be an essential part of the war against terrorism.

We cannot understand the present crisis without taking into account the painful process
of modernization. In the 16th century, the countries of Western Europe and, later, the
American colonies embarked on what historians have called "the Great Western
Transformation." Until then, all the great societies were based upon a surplus of
agriculture and so were economically vulnerable; they soon found that they had grown
beyond their limited resources. The new Western societies, though, were based upon
technology and the constant reinvestment of capital. They found that they could
reproduce their resources indefinitely, and so could afford to experiment with new ideas
and products. In Western cultures today, when a new kind of computer is invented, all the
old office equipment is thrown out. In the old agrarian societies, any project that required
such frequent change of the basic infrastructure was likely to be shelved. Originality was
not encouraged; instead people h! ad to concentrate on preserving what had been
achieved.

So while the Great Western Transformation was exciting and gave the people of the West
more freedom, it demanded fundamental change at very level: social, political,
intellectual, and religious. Not surprisingly, the period of transition was traumatic and
violent. As the early modern states became more centralized and efficient, draconian
measures were often required to weld hitherto disparate kingdoms together. Some
minority groups, such as the Catholics in England and the Jews in Spain, were persecuted
or deported. There were acts of genocide, terrible wars of religion, the exploitation of
workers in factories, the despoliation of the countryside, and anomie and spiritual malaise
in the newly industrialized mega-cities.

Successful modern societies found, by trial and error, that they had to be democratic. The
reasons were many. In order to preserve the momentum of the continually expanding
economy, more people had to be involved- even in a humble capacity as printers, clerks,
or factory workers. To do these jobs, they needed to be educated, and once they became

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
50
educated, they began to demand political rights. In order to draw upon all of a society's
resources, modern countries also found they had to bring outgroups, such as the Jews and
women, into the mainstream. Countries like those in Eastern Europe that did not become
secular, tolerant, and democratic fell behind. But those that did fulfill these norms,
including Britain and France, became so powerful that no agrarian, traditional society,
such as those of the Islamic countries, could stand against them.

Today we are witnessing similar upheaval in developing countries, including those in the
Islamic world, that are making their own painful journey to modernity. In the Middle
East, we see constant political turmoil. There have been revolutions, such as the 1952
coup of the Free Officers in Egypt and the Islamic Revolution in Iran in 1979. Autocratic
rulers predominate in this region because the modernizing process is not yet sufficiently
advanced to provide the conditions for a fully developed democracy.

'By the 15th century, Islam was the greatest world power-not dissimilar to the United
States today.'

In the West, we have completed the modernizing process and have forgotten what we had
to go through, so we do not always understand the difficulty of this transition. We tend to
imagine that we have always been in the van of progress, and we see the Islamic
countries as inherently backward. We have imagined that they are held back by their
religion, and do not realize that what we are actually seeing is an imperfectly modernized
society.

The Muslim world has had an especially problematic experience with modernity because
its people have had to modernize so rapidly, in 50 years instead of the 300 years that it
took the Western world. Nevertheless, this in itself would not have been an insuperable
obstacle. Japan, for example, has created its own highly successful version of modernity.
But Japan had one huge advantage over most of the Islamic countries: It had never been
colonized. In the Muslim world, modernity did not bring freedom and independence; it
came in a context of political subjection.

Modern society is of its very nature progressive, and by the 19th century the new
economies of Western Europe needed a constantly expanding market for the goods that
funded their cultural enterprises. Once the home countries were saturated, new markets
were sought abroad.
In 1798, Napoleon defeated the Mamelukes, Egypt's military rulers, in the Battle of the
Pyramids near Cairo. Between 1830 and 1915, the European powers also occupied
Algeria, Aden, Tunisia, the Sudan, Libya, and Morocco-all Muslim countries. These new
colonies provided raw materials for export, which were fed into European industry. In
return, they received cheap manufactured goods, which naturally destroyed local
industry.

This new impotence was extremely disturbing for the Muslim countries. Until this point,
Islam had been a religion of success. Within a hundred years of the death of the Prophet
Muhammad in 632, the Muslims ruled an empire that stretched from the Himalayas to the

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
51
Pyrenees. By the 15th century, Islam was the greatest world power-not dissimilar to the
United States today. When Europeans began to explore the rest of the globe at the
beginning of the Great Western Transformation, they found an Islamic presence almost
everywhere they went: in the Middle East, India, Persia, Southeast Asia, China, and
Japan. In the 16th century, when Europe was in the early stages of its rise to power, the
Ottoman Empire [which ruled Turkey, the Middle East, and North Africa] was probably
the most powerful state in the world. But once the great powers of Europe had reformed
their military, economic, and political structures according to the modern norm, the
Islamic countries could put u! p no effective resistance.

Muslims would not be human if they did not resent being subjugated this way. The
colonial powers treated the natives with contempt, and it was not long before Muslims
discovered that their new rulers despised their religious traditions. True, the Europeans
brought many improvements to their colonies, such as modern medicine, education, and
technology, but these were sometimes a mixed blessing.

Thus, the Suez Canal, initiated by the French consul Ferdinand de Lesseps, was a disaster
for Egypt, which had to provide all the money, labor, and materials as well as donate 200
square miles of Egyptian territory gratis, and yet the shares of the Canal Company were
all held by Europeans. The immense outlay helped to bankrupt Egypt, and this gave
Britain a pretext to set up a military occupation there in 1882.

Railways were installed in the colonies, but they rarely benefited the local people. Instead
they were designed to further the colonialists' own projects. And the missionary schools
often taught the children to despise their own culture, with the result that many felt they
belonged neither to the West nor to the Islamic world. One of the most scarring effects of
colonialism is the rift that still exists between those who have had a Western education
and those who have not and remain perforce stuck in the premodern ethos. To this day,
the Westernized elites of these countries and the more traditional classes simply cannot
understand one another. After World War II, Britain and France became secondary
powers and the United States became the leader of the Western world. Even though the
Islamic countries were no longer colonies but were nominally independent, America still
controlled their destinies. During the Cold War, the United States sought allies in the
region b! y supporting unsavory governments and unpopular leaders, largely to protect its
oil interests.
For example, in 1953, after Shah Muhammad Reza Pahlavi had been deposed and forced
to leave Iran, he was put back on the throne in a coup engineered by British Intelligence
and the CIA. The United States continued to support the Shah, even though he denied
Iranians human rights that most Americans take for granted.

'We in the First World must develop a "one world" mentality in the coming years.'

Saddam Hussein, who became the president of Iraq in 1979, was also a protégé of the
United States, which literally allowed him to get away with murder, most notably the
chemical attack against the Kurdish population.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
52
It was only after the invasion in 1990 of Kuwait, a critical oil-oducing state, that Hussein
incurred the enmity of America and its allies. Many Muslims resent the way America has
continued to support unpopular rulers, such as President Hosni Mubarak of Egypt and the
Saudi royal family. Indeed, Osama bin Laden was himself a protégé of the West, which
was happy to support and fund his fighters in the struggle for Afghanistan against Soviet
Russia. Too often, the Western powers have not considered the long-term consequences
of their actions. After the Soviets had pulled out of Afghanistan, for example, no help
was forthcoming for the devastated country, whose ensuing chaos made it possible for the
Taliban to come to power.

When the United States supports autocratic rulers, its proud assertion of democratic
values has at best a hollow ring. What America seemed to be saying to Muslims was:
"Yes, we have freedom and democracy, but you have to live under tyrannical
governments." The creation of the state of Israel, the chief ally of the United States in the
Middle East, has become a symbol of Muslim impotence before the Western powers,
which seemed to feel no qualm about the hundreds of thousands of Palestinians who lost
their homeland and either went into exile or lived under Israeli occupation.
Rightly or wrongly, America's strong support for Israel is seen as proof that as far as the
United States is concerned, Muslims are of no importance.

In their frustration, many have turned to Islam. The secularist and nationalist ideologies,
which many Muslims had imported from the West, seemed to have failed them, and by
the late 1960s Muslims throughout the Islamic world had begun to develop what we call
fundamentalist movements.

Fundamentalism is a complex phenomenon and is by no means confined to the Islamic


world. During the 20th century, most major religions developed this type of militant
piety. Fundamentalism represents a rebellion against the secularist ethos of modernity.
Wherever a Western- style society has established itself, a fundamentalist movement has
developed alongside it. Fundamentalism is, therefore, a part of the modern scene.
Although fundamentalists often claim that they are returning to a golden age of the past,
these movements could have taken root in no time other than our own.

Fundamentalists believe that they are under threat. Every fundamentalist movement-in
Judaism, Christianity, and Islam-is convinced that modern, secular society is trying to
wipe out the true faith and religious values. Fundamentalists believe that they are fighting
for survival, and when people feel their backs are to the wall, they often lash out
violently. This is especially the case when there is conflict in the region.

The vast majority of fundamentalists do not take part in acts of violence, of course. But
those who do utterly distort the faith that they purport to defend. In their fear and anxiety
about the encroachments of the secular world, fundamentalists-be they Jewish, Christian,
or Muslim-tend to downplay the compassionate teachings of their scripture and
overemphasize the more belligerent passages. In so doing, they often fall into moral
nihilism, as is the case of the suicide bomber or hijacker. To kill even one person in the

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
53
name of God is blasphemy; to massacre thousands of innocent men, women, and children
is an obscene perversion of religion itself.

Osama bin Laden subscribes roughly to the fundamentalist vision of the Egyptian
ideologue Sayyid Qutb, who was executed by President Nasser in 1966. Qutb developed
his militant ideology in the concentration camps in which he, and thousands of other
members of the Muslim Brotherhood, were imprisoned by Nasser. After 15 years of
torture in these prisons, Qutb became convinced that secularism was a great evil and that
it was a Muslim's first duty to overthrow rulers such as Nasser, who paid only lip service
to Islam.

Bin Laden's first target was the government of Saudi Arabia; he has also vowed to
overthrow the secularist governments of Egypt and Jordan and the Shiite Republic of
Iran. Fundamentalism, in every faith, always begins as an intra-religious movement; it is
directed at first against one's own countrymen or co-religionists. Only at a later stage do
fundamentalists take on a foreign enemy, whom they feel to lie behind the ills of their
own people. Thus in 1998 bin Laden issued his fatwa against the United States. But bin
Laden holds no official position in the Islamic world; he simply is not entitled to issue
such a fatwa, and has, like other fundamentalists, completely distorted the essential
teachings of his faith.

The Koran insists that the only just war is one of self-defense, but the terrorists would
claim that it is America which is the aggressor. They would point out that during the past
year, hundreds of Palestinians have died in the conflict with Israel, America's ally; that
Britain and America are still bombing Iraq; and that thousands of Iraqi civilians, many of
them children, have died as a result of the American-led sanctions.

None of this, of course, excuses the September atrocities. These were evil actions, and it
is essential that all those implicated in any way be brought to justice. But what can we do
to prevent a repetition of this tragedy? As the towers of the World Trade Center
crumbled, our world changed forever, and that means that we can never see things in the
same way again. These events were an "apocalypse," a "revelation"- words that literally
mean an "unveiling." They laid bare a reality that we had not seen clearly before. Part of
that reality was Muslim rage, but the catastrophe showed us something else as well.

In Britain, until September 11, the main news story was the problem of asylum seekers.
Every night, more than 90 refugees from the developing world make desperate attempts
to get into Britain. There is now a strong armed presence in England's ports. The United
States and other Western countries also have a problem with illegal immigrants. It is
almost as though we in the First World have been trying to keep the "other" world at bay.
But as the September Apocalypse showed, if we try to ignore the plight of that other
world, it will come to us in devastating ways.

So we in the First World must develop a "one world" mentality in the coming years.
Americans have often assumed that they were protected by the great oceans surrounding
the United States. As a result, they have not always been very well-informed about other

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
54
parts of the globe. But the September Apocalypse and the events that followed have
shown that this isolation has come to an end, and revealed America's terrifying
vulnerability. This is deeply frightening, and it will have a profound effect upon the
American psyche. But this tragedy could be turned to good, if we in the First World
cultivate a new sympathy with other peoples who have experienced a similar
helplessness: in Rwanda, in Lebanon, or in Srebrenica.

We cannot leave the fight against terrorism solely to our politicians or to our armies. In
Europe and America, ordinary citizens must find out more about the rest of the world.
We must make ourselves understand, at a deep level, that it is not only Muslims who
resent America and the West; that many people in non-Muslim countries, while not
condoning these atrocities, may be dry-eyed about the collapse of those giant towers,
which represented a power, wealth, and security to which they could never hope to
aspire.

We must find out about foreign ideologies and other religions like Islam. And we must
also acquire a full knowledge of our own governments' foreign policies, using our
democratic rights to oppose them, should we deem this to be necessary. We have been
warned that the war against terror may take years, and so will the development of this
"one world" mentality, which could do as much, if not more, than our fighter planes to
create a safer and more just world.

Karen Armstrong is the author of The Battle for God: A History of Fundamentalism and
Islam: A Brief History.

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
55

CATATAN

airkehidupan.theronworks.com
Air Kehidupan Buku Kedua
56

Tentang Jurnal Air Kehidupan


Air Kehidupan adalah jurnal berisikan kumpulan tulisan, karya seni, artikel, dialog dan
studi pribadi serta dari para penulis lainnya yang menggagas, mendukung, dan
menyuarakan nilai-nilai hidup dan kemanusiaan yang selaras, harmonis dan termotivasi
oleh kebenaran, keindahan dan kebaikan; cinta kasih.

Pertama kali dipublikasikan dalam format newsletter dan didistribusikan secara terbatas
melalui mailing list, kini jurnal Air Kehidupan ditempatkan pada situs internet sehingga
lebih terjangkau secara luas.

airkehidupan.theronworks.com

You might also like