You are on page 1of 75

FILSAFAT SAINS DAN TEKNOLOGI

BAB I APA ITU FILSAFAT ? 1. Pengertian Pengetian filsafat dapat ditinjau dari dua segi : 1.Secara etimologi: Kata Filsafat (Inggris : philosophy, Arab: falsafah) berasal dari bahasa Yunani: philosophia, terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia berarti kebijaksanaan (wisdom). Secara etimologi istilah filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Seorang Filsuf adalah pencinta kebijaksanaan. Kata Filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada saat itu belum begitu jelas, kemudian arti filsafat dipertegas oleh Socrates (470-399 SM). 2.Secara terminologi Secara terminologi filsafat diartikan sebagai berikut : a. Plato : filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai kebenaran yang asli. b. Aristoteles: Filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu metafisika,logika,retorika,etika,ekonomi,politik, dan estetika. c. Rene Descartes: Filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan d. Immanuel Kant : Filsafat adalah Ilmu yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan, di dalamnya tercakup masalah epistemology untuk menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui. e. Driyarkara : Filsafat adalah perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebab ada dan berbuat, permenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai ke mengapa yang penghabisan. Dengan melihat beberapa makna filsafat yang diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejalagejala atau fenomena-fenomena tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena. Filsafat adalah usaha untuk mengetahui segala sesuatu. Filsafat membahas masalah yang paling dasar dari segala sesuatu yang ada/being. Tujuan filsafat adalah mencari hakikat dari sesuatu objek/gejala secara mendalam. Filsafat itu reflektif, radikal dan integral. Radikal berarti filsafat harus mencari pengetahuan sedalam-dalamnya, sampai pada akar-akarnya, sejauh akal manusia mampu menemukannya. Filsafat tidak membatasi objeknya seperti ilmu pengetahuan yang lain. Filsafat tidak berhenti pada pengetahuan periferis (kulit atau penampakannya) tetapi menembus hingga inti masalah dengan mencari faktor-faktor fundamental yang membentuk

adanya sesuatu. Filsafat itu integral dengan mengkaji pengetahuan secara keseluruhan dan untuh. 2. Obyek Filsafat Obyek adalah bahan dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap Ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek. Ada dua objek filsafat: a.Obyek material Objek material filsafat adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan. Objek material adalah juga hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh satu disiplin imu. Para ahli menguraikan objek material filsafat sebagai berikut: -Mohammad Noor Syam : Segala sesuatu yang ada dan mungkun ada adalah objek filsafat. Dengan demikian objek filsafat tidak terbatas. -Louis O.Kattsoff : Lapangan kerja filsafat meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. -H.A. Dardiri : Segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Setelah meneropong berbagai pendapat dari para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa objek materiil dari filsafat sangat luas mencakup segala sesuatu yang ada. b. Objek formal Objek formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan, atau sudut dari mana objek materi itu dosorot. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama mebedakannya dari bidang-bidang lain. Suatu objek material dapat ditinjau dari berbagai macam sudut pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya objek materialnya manusia dan manusia ini ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia antara lain, psikologi, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Objek formal filsafat, adalah sudut pandang yang menyeluruh, secara umum sehingga bisa mencapai hakikat dari objek materialnya. Oleh karena itu yang membedakan filsafat dengan ilmu-ilmu lain terletak pada objek material dan objek formalnya. Kalau dalam ilmuilmu lain objek materialnya membatasi diri, sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Objek formal filsafat membahas objek materialnya sampai ke hakikatnya atau esensi yang dihadapinya. 3. Metode Filsafat Kata metode berasal dari kata Yunani: methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan,cara, arah). Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode adalah cara bertindak menurut sistem atau aturan tertentu. Metode filsafat : -Metode kritis : Socrates dan plato: Bersifat analisis istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika yang menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan perbedaan. Dengan jalan

bertanya, membedakan, membersihkan, menyisihkan dan mengolah, akhirnya ditemukan hakikat. -Metode intuitif :Plotinus,Bergson: Dengan jalan intropeksi intuitif dan dengan memakai simbol-simbol diusahakan pembersihan intelektual (bersama dengan penyucian moral) sehingga tercapai suatu penerangan pikran. Bergson: dengan jalan pembaharuan antara kesadaran dan proses perubahan tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan. -Metode Skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas, filsafat abad pertengahan. Bersifiat sintetis deduktif. Dengan bertitik tolak dari definisi atau prinsip yang jelas dengan sendirinya ditarik berbagai kesimpulan. -Metode geometris: Rene Descartes dan pengikutnya: Melalui analisis mengenai halhal kompleks dicapai intuisi akan hakikat-hakikat sederhana, dari hakikat itu dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya. -Metode empiris :Hobbes,Locke, Berkeley, David Hume: Hanya pengalaman menyajikan pengertian yang benar, maka semua pengertian (ide-ide) dalam intropeksi dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian disusun sersama secara geometris. -Metode transedental : Immanuel Kant, Neo-Skolastik: Bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu, dengan jalan analisis diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian sedemikian. -Metode Fenomenologis :Husserl, Eksistensialisme: Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (rediction) efleksi atas fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni. -Metode dialektis : Hegel, Marx : dengan jalan mengikuti dinamis pemikiran atau alam sendiri, tesis, antithesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan. -Metode Neo-Positivistis : Kenyataan dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksata). -Metode Analitika bahasa : Wittgenstein : Dengan jalan analis pemakaian bahasa sehari-hari, ditentukan sah atau tidaknya ucapan filosofis. 4.Ciri filsafat. a.Menyeluruh: Artinya pemikiran luas karena tidak membatasi diri dan tidak hanya ditinjau dari satu sudut pandang. Pemikiran kefilsafatan ingin megetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain, hubungan ilmu dengan moral, seni dan tujuan hidup. b.Mendasar: Artinya pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai keilmuan.

c.Spekulatif: Artinya hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya, Hasil pemikiran selalu menjadi dasar menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. 5. Asal dan peran Filsafat -Asal Filsafat Ada tiga hal yang mendorong manusia berfilsafat : a. Keheranan : Banyak filsuf menunjukan rasa heran (Yunani: Thaumasia) sebagai asal filsafat. Plato misalnya mengatakan mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari penyelidikan itu berasal filsafat. b. Kesangsian: Agustinus (254-430 M) dan Rene Descartes (1596-1650) menujukan kesangsian sebagai sumber utama pemikiran. Manusia heran tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh panca indranya? c. Kesadaran akan keterbatasan : Manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari bahwa dirinya itu sangat kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam di sekelilingnya. Manusia merasa bahwa ia sangat terbatas dan tertikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan. Dengan kesadaran akan keterbatasan dirinya manusia mulai berfilsafat. Ia mulai memikirkan bahwa di luar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas. - Peran filsafat : -Pendobrak : Berabad-abad lamanya intelektualitas manusia tertawan dalam penjara tradisi dan kebiasaan. Dalam penjara itu manusia terlena dalam alam mistik yang penuh sesak dengan hal-hal yang serba rahasia yang terungkap lewat berbagai mitos dan mite. Manusia menerima begitu saja segala penuturan dongeng dan takhayul tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Orang beranggapan bahwa karena segala dongeng dan tahyul merupakan bagian yang hakiki dari warisan nenek moyang, dan tradisi itu benar serta tidak dapat diganggu gugat maka dongen dan tahyul itu pasti benar dan tidak diganggu gugat. Orang-orang Yunani yang memiliki suatu rasionalitas yang luar biasa perna percaya kepada dewa-dewi yang duduk di meja perjamuan di Olympus sambil mengguncangkan kayangan dengan sorakan dan gerak tawa tidak henti-hentinya. Mereka percaya kepada dewadewi yang saling menipu satu sama lain, licik dan sering memberontak. Keadaan tersebut berlangsung cukup lama. Kehadiran filsuf telah mendobrak pintu dan tembok-tembok tradisi yang begitu skral yang selama itu tidak boleh digganggu gugat. -Pembebas: Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohan. Filsafat membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir mistis. Sesungguhnya filsafat telah, sedang, dan akan terus berupaya membebaskan manusia dari kekurangan pengetahuan yang menyebabkan manusia menjadi picik dan dangkal. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak jernih. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak kritis yang membuat manusia menerima kebenaran semu dan menyesatkan. Secara

ringkas dapat dikatakan bahwa filsafat membebaskan manusia dari segala jenis penjara yang hendak mempersempit ruang gerak akal budi manusia.

-Pembimbing: Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang dengan membimbing manusia untuk berpikir secara rasional. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dengan membimbing manusia untuk berpikir secara luas dan lebih mendalam, yakni perpikir secara universal sambil berupaya menemukan esensi suatu permasalahan. FIlsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak jernih dengan membimbing manusia untuk berpikir secara sistematis dan logis. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tida utuh dan begitu fragmentaris dengan membimbing manusia untuk berpikir secara integral dan koheren. 6. Pembagian/ cabang-cabang filsafat

Filsafat secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni filsafat sistematis dan sejarah filsafat. Filsafat sistematis berperan dalam pembentukan dan pemberian landasan pemikiran filsafat. Meliputi logika, metodologi, epistemology, filsafat ilmu, etika, estetika, metafisika, filsafat ketuhanan (teologi),filsafat manusia, dan kelompok filsafat khusus seperti filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat komunikasi, dan lain-lain. Sedangkan sejarah filsafat adalah bagian yang berusaha meninjau pemikiran filsafat di sepanjang masa, sejak zaman kuno sampai dengan zaman modern. Bagian ini meliputi sejarah filsafat Yunani (Barat),India,Cina, sejarah filsafat Islam. Studi kita terfokus pada cabang filsafat: logika, epistemology, filsafat ilmu, etika dan estetika. Logika adalah cabang filsafat yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita. Logika bergelut dengan azas-azas yang menentukan pemikirran yang lurus tepat dan sehat. Epistemologi, adalah bagian filsafat yang membicarakan terjadinya pengetahuan,sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, ciri pengetahuan ilmiah dan cara bagaimana mendapatkannya. Dengan belajar epistemology dan filsafat ilmu diharapkan dapat membedakan pengetahuan dan ilmu serta menggunakan dan mengetahui metode yang tepat dalam memperoleh suatu ilmu serta mengetahui kebenaran suatu ilmu itu ditinjau dari isinya. Persoalan dalam epistemology antara lain : bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan itu diperoleh? Bagaimana validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Apa perbedaan pengetahuan apriori dan aposteriori? Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik dan buruk. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidaknya tingkah laku manusia. Persoalam dalam etika di antaranya: Apa yang dimaksudkan baik dan buruk secara moral? Bagaimana kaitan antara kebebasan kehendak dan perbuatan susila? Apa yang dimaksudkan dengan kesadaran moral? Bagaimana peranan hati nurani dalam setiap perbutan manusia?

Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Persoalan estetika di antaranya: Apakan keindahan itu? Keindahan bersifat subjektif atu objektif? Apa yang merupakan ukuran keindahan? Apa peranan dalam kehidupan manusia? Bagaimana hubungan keindahan dengan kebenaran?

BAB II FILSAFAT PENGETAHUAH ( EPISTEMOLOGI ) 1. Pengertian Epistemologi Istilah episetemology dipakai pertama kali oleh J.F.Feriere, untuk membedakan dua cabang filsafat yaitu epistemology dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika pertanyaan pokoknya adalah: apakah hal yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam epistemology adalah : Apakah yang dapat saya ketahui. Epistemology berasal dari bahasa Yunani, Episteme dan logos. Epiasteme berarti pengetahuan dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar, dan lazim disebut teori pengetahuan, dalam bahasa ingris menjadi theory of knowledge. Istilah lain yang artinya setara dengan epistemology sebagaimana yang diuraikan dalam berbagai kepustakaan filsafat adalah logika formal, criteriology, kritika pengetahuan, gnosiology,dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat pengetahuan.(Abbas Amami. M; 1982,hlm.1). a. Logika materil Logika material sudah mengandaikan adanya ilmu pengetahuan yang lain yang disebut logika formal. Apabila logika formal berbicara tentang bentuk pemikiran maka logika material menyangkut isi pemikiran. Dengan kata lain apabila logika formal yang biasanya disebut logika berusaha untuk menyelidiki dan menetapkan bentuk pemikiran yang masuk akal, logika material berusaha untuk menetapkan kebenaran dari suatu pemikiran ditinjau dari segi isinya. Dapat dikatakan bahwa logika formal berhubungan dengan masalah kebenaran formal yang acap kali juga dinamakan keabsahan(jalan)pemikiran. Adapun logika material berhubungan dengan kebenaran materil yang kadang-kadang juga disebut kebenaran autentik atau autentisitas isi pemikiran. b. Kriteriologi . Istilah kriteriologia berasal dari kata kriterium yang berarti ukuran. Maksudnya adalah ukuran untuk menetapkan benar tidaknya suatu pemikiran atau pengetahuan. Dengan demikian kriteriologia merupakan suatu cabang filsafat yang berusaha untuk menetapkan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan berdasarkan ukuran kebenaran. c. Kritika pengetahuan. Istilah kritika pengetahuan sedikit banyak ada sangkut pautnya dengan istilah kriteriologi. Kritika pengetahuan adalah usaha manusia untuk menetapkan, apakah suatu pikiran atau pengetahuan manusia itu sudah benar atau tidak benar dengan jalan meninjaunya secara mendalam. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kritika pengetahuan menunjukan kepada suatu ilmu pengetahuan yang berdasarkan tinjauan secara mendalam berusaha menentukan benar tidaknya sesuatu pikran atau pengetahuan manusia.

d. Gnoseologia. Istilah gnoseologia berasal dari kata gnosis dan logos. Gnosis berarti pengetahuan yang bersifat keilahian, sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan, khususnya mengenai pengetahuan yang bersifat keilahian. e. Filsafat pengetahaun Filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Jadi filsafat pengetahuan adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan. Mengenai batasan epistemology, tidak sedikit yang memberikan batasan dengan corak yang sedikit berlainan: J.A. Niels Mulder menuturkan, epistemolgi adalah cabang filsafat yang mempelajari soal watak, dan batas-batas berlakunya ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan bahwa epistemology adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata epistemology adalah pengetahuan kita yang mengetahui pengetahuan kita. Abbas Hamami Mintarejo berpendapat bahwa epistemology adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahun yang telah terjadi. Apabila kita perhatikan definisi di atas tampak bahwa semuanya hampir senada. Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. Jadi objek material epistemology adalah pengetahuan, sedangkan objek formal adalah hakikat pengetahuan. Oleh karena itu sitematika penulisan epistemology adalah arti pengetahuan, terjadinya pengetahuan, jenis-jenis pengetahuan, dan asal usul pengetahuan. 2. Arti Pengetahuan: Pengetahuan adalah istilah yang digunakan untuk menuturkan apa bila seseorang mengenal sesuatu. Satu hal yang menjadi pengetahuan adalah selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenal hal yang ingin diketahuinya itu. Oleh karena itu pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia tentang sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Semua pengetahuan hanya ada dan dikenal dalam pikiran manusia, tanpa pikiran pengetahuan tidak akan eksis. Oleh karena itu keterkaitan antara pikiran dan pengetahuan merupakan sesuatu yang kodrati. Bahm menyebutkan ada delapan hal penting yang berfungsi membentuk struktur pikiran manusia :

a.

Mengamati (observasi). Pikiran berperan dalam mengalami objek-objek. Dalam melaksanakan pengamatan terhadap objek, pikiran haruslah mengandung kesadaran. Oleh karena itu di sini pikiran merupakan suatu bentuk kesadaran. Kesadaran adalah suatu karakteristik atau fungsi pikiran. Kesadaran melibatkan dua unsur penting, yakni kesadaran untuk mengetahui sesuatu dan menampakan sesuatu objek dan ini merupakan unsur yang hakiki dalam pengetahuan intuisi. Intuisi senantiasi hadir dalam kesadaran. Sebuah pikiran mengamati apa saja yang nampak. Pengamatan sering kali timbul dari rasa ketertarikan pada objek. b. Menyelidiki (inquires), ketertarikan pada objek dikondisikan oleh jenis-jenis objek yang tampil. Tenggang waktu atau durasi minat seseorang pada objek itu sangat tergantung padadaya tariknya. Kehadiran dan durasi suatu minat biasanya bersaing dengan minat lainnya, sehingga paling tidak seseorang memiliki banyak minat pada perhatian yang terarah. Minat-minat itu ada dalam banyak cara. Ada yang berkaitan dengan kepentingan jasmani, permintaan lingkungan, tuntutan masyarakat, tujuan pribadi, konsep diri, rasa tanggung jawab, rasa kebebasan bertindak, dan lain-lain. Minat terhadap objek cendrung melibatkan komitmen, kadang kala komitmen itu hanya merupakan kelanjutan atau menyertai pengamatan terhadap objek. Minatlah yang membimbing seseorang secara alami untuk terlibat kedalam pengalaman pada objek-bjek. c. Percaya (believes), manakala suatu objek muncul dalam kesadaran biasanya objek-objek itu diterima sebagai yang menampak. Kata percaya biasanya dilawankan dengan keraguan. Sikap menerima sesuatu yang menampak dinamakan kepercayaan. d. Hasrat (desires), kodrat hasrat mencakup kondisi biologis serta psikologis dan interaksi dialektik antara tubuh dan jiwa. Karena pikiran dibutuhkan dalam aktualisasi hasrat, kita dapat mengatakannya sebagai hasrat pikiran. Tanpa pikiran tidak mungkin ada hasrat. Beberapa hasrat muncul dari kebutuhan jasmani seperti makan, minum,istirahat, tidur dan lain-lain. Beberpa hasrat juga bisa timbul dari pengertian yang lebih tinggi seperti hasrat diri, keinginan pada objek-objek, pada orang lain, kesenangan pada binatang, pada tumbuhan, dan proses interaktif. Beberapa hasrat bisa timbul dari ketertarikan pada tindakan, pengaruh, pengendalian, dan ketertarikan pada kesenangan dan dalam melupakan penderitaan, ketertarikan pada kehormatan, dan lain-lain. e. Maksud (intends) setiap bentuk observasi dan penyelidikan, selalu memiliki maksud atau tujuan tertentu. f. Mengatur (organizes), setiap pikiran adalah suatu organisme yang teratur dalam diri seseorang. g. Menyesuaikan (adapts), menyesuaikan pikiran sekaligus melakukan pembatasanpembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan yang tercakup dalam otak dan tubuh di dalam fisik, biologis, lingkungan sosial dan cultural serta keuntungan yang terlihat pada tindakan, hasrat, dan kepuasan. h. Menikmati (enjoys), pikiran-pikiran mendatangkan keasikan. Orang yang asik dalam menentukan suatu persoalan, ia akan menikmati itu dalam pikirannya.

3. Terjadinya pengetahuan Menurut John Hospers ada enam hal dasar terjadinya pengetahuan: a. Pengalaman Indra (sense experience) Pengindraan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat untuk menyerap segala sesuatu objek yang ada di luar diri manusia. Karena selalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut realisme. Realisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui adalah hanya kenyataan. Jadi pengetahuan berawal mula dari kenyataan yang dapat diindrai. Tokoh pemula dari pandangan ini adalah Aristoteles, yang berpendapat bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya bentuk-bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas-bekas dalam batin. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indra (sensasi). Gagasan ini dikebangkan oleh Thomas Aquinas yang mengemukakan bahwa tiada sesuatu dapat masuk lewat ke dalam akal yang tidak ditangkap oleh indra. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengalaman indra merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra. Kekilafan akan terjasi apabila ada ketidaknormalan di antara alat-alat itu. b. Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. Hal yang perlu diperhatikan adalah tentang azas-azas pemikiran berikut: Principium Identitas. Adalah sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A=A).Azas ini disebut azas kesamaan. Principium Contradictionis, bila terdapat dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-duanya benar dalam waktu yang bersamaan, atau dengan kata lain pada subjek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Azas ini bisa disebut azas pertentangan. Principium tertii exclusi, pada dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah. Kebenaran hanya terdapat satu di antara keduanya, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Azas ini biasa disebut azas tidak adanya kemungkinan yang ketiga. c. Otoritas (authority) Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang memiliki kewibawaan dalam pengetahuannya. Jadi pengetahuan yang terjadi karena otiritas adalah pengetahuan yang terjadi melalui wibawa seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan. d. Intuisi (intuition) Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan tanpa melalui suatu proses ransangan atau stimulus untuk membuat pernyataan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan kareana pengetahuan itu muncul tanpa ada pengetahuan lebih dahulu.

e. Wahyu (revelation) Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabinya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik. f. Keyakinan (faith) Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan yang berupa wahyu dan keyakinan sangat sukar dibedakan secara jelas karena keduanya menetapkan bahwa alat lain yang dipergunakannya adalah kepercayaan. Bedanya barangkali jika keyakinan terhadap wahyu yang secara dokmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa agama. Adapun keyakinan melulu kemampuan kejiwaan manusia yang merupakan pematangan dari kepercayaan. Karena keprcayaan itu bersifat dinamis mampu menyesuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi. Adapun keyakinan sangat statis, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok untuk kepercayaannya. 4. Jenis Pengetahuan Menurut Soejono soemargono, pengetahaun dibagi atas: -Pengetahuan ilmiah -Pengetahuan nonilmiah Secara umum yang dimaksudkan dengan pengetahuan non-ilmiah adalah segala hasil pemahaman manusia atas sesuatu objek yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang cocok adalah hasil penglihatan dengan mata, mendengar dengan telinga, pembauan hidung, pengecapan lidah, dan perabaan kulit. Termasuk hasil pemahaman campuran penyerapan secara indrawi dan pemikiran secara akali. Juga segenap pemahaman manusia berupa tangkapan hal-hal gaib, yang diperoleh dengan intuisi yang biasa disebut pengetahuan intuitif . Pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pengetahuan manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah sudah lebih sempurna karena telah mempunyai dan memenuhi syarat-syarat cara bepikir khas yaitu metodologi ilmiah. Pengetahuan semacam ini biasa disebut ilmu pengetahuan. Plato membagi tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan sesuai dengan karakteristik objeknya: a. Pengetahuan eikasia (khayalan) Tingkat yang paling rendah yang biasa disebut pengetahuan eikasia adalah pengetauan yang objeknya berupa bayangan atau gambaran. Pengetahuan ini mengandung hal-hal berhubungan dengan kesenangan atau kesukaan serta kenikmatan manusia yang berpengetahuan. Misalnya orang yang mengkayal bahwa dirinya memiliki rumah mewah, kayalannya ini terbawa mimpi.

b. Pengetahuan pistis (substansial) Suatu tingkat pengetahuan di atas eikasia adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang tampak dalam dunia kenyataan atau hal-hal yang dapat diindrai secara langsung. Objek pengetahuan pistis disebut zooya karena isi pengetahuan semacam ini mendekati suatu keyakian (kepastian yang bersifat sangat pribadi atau kepastian subjektif) dan pengethuan ini mengandung nilai kebenaran apabila mempunyai syarat-syarat yang cukup bagi suatu tindakan pengatahuan. Misalnya mempunyai pendengaran yang baik, penglihatan normal,serta indra yang normal. c. Pengetahuan dianoya (matematik) Plato menerangkan pengathuan ini sebagai tingkatan pengetahuan yang ada di dalamnya tidak hanya terletak pada fakta objek yang tampak, tetapi juga terletak pada bagaimana cara berpikirnya. Contoh, para ahli matematik dan geometri, di mana objeknya adalah matematik yang harus diselidiki dengan akal budi melalui gambar-gambar, diagram, kemudian ditarik hipotesis, selanjutnya diolah sampai mencapai suatu kepastian. Pengetahuan ini disebut pengetahuan pikir. d. Pengetahuan noesis (filsfat) Pengetahuan tingkat tertinggi disebut noesis, pengetahuan yang objeknya adalah arche, ialah prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologik dan metafisik. Prinsip utama ini disenut IDE. Menurut Plato, pengetahuan ini hampir sama dengan pengetahuan pikir, tetapi tidak lagi menggunakan pertolongan gambar, diagram, melainkan dengan pikiran yang sungguh-sungguh abstrak. Tujuannya adalah untuk mencapai prinsip-prinsip utama yang isinya hal-hal yang berupa kebaikan, kebenaran dan keadilan. Menurut Plato, cara berpikir untuk mencapai pengetahuan tertinggi dari pengetahuan adalah dengan menggunakan metode dialog sehingga dapat dicapai pengetahuan yang sungguh-sungguh sempurna yang disebut episteme. 5. Asal-Usul Pengetahuan a. Rasionalisme Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahaun yang dipakai oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri yaitu atas dasar azas-azas pertama yang pasti. Metode yang diterapkan adal deduktif. Telaah yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Filsufnya antara lain Rene Descartes, B.Spinoza, Leibniz. b. Empirisme Aliran ini berpendapat bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang batiniah maupun yang lahiriah. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Tokoh empirisme adalah John Locke,David Hume.

c. Kritisisme Pertentangan antara rasionalisme dan empirsme hendak diselesaikan oleh Imanuel Kant dengan kritisismenya. Menurut Kant peranan budi sangat besar. Hal ini ampak dalam pengetahuan apriorinya, baik yang analitis maupun yang sintetis. Di samping itu peranan pengalaman (empiris) tampak jelas dalam pengetahuan aposteriorinya. Dalam kritik atas ratio murni Kant membedakan tiga macam pengetahuan : 1. Pengetahuan analitis. Predikat sudah termuat dalam subyek. Predikan diketahui melalui suatu analisis subjek. Misalnya : lingkran itu bulat. 2. Pengetahuan sintetis aposteriori : predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalam indrawi. Misalnya kalimat hari ini sudah hujan ,merupakan suatu hasil observasi indrawi sesudah observasi, saya bisa mengatakan bahwa S adalah P. 3. Pengetahuan sintesis apriori : akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam bersifat sintetis apriori. Kalau saya tahu bahwa 10+5=15 memang terjadi sesuatu yang sangat istimewa (Abbas Hamami, 1982). d . Positivisme Positivisme perpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual dan yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang tampak, segala gejala. Arti segala ilmu pengetahuan adalah mengetahui untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat mengatakan atau mengkosntatir fakta-faktanya dan menyelidiki hubungan satu dengan yang lain. Tidak ada gunanya untuk menanyakan pada hakikatnya atau kepada penyebab yang sebenarnya dari gejala-gejala tersebut. Yang harus diusahakan adalah menentukan syarat-syarat di mana fakta-fakta tetentu tampil dan menghubungkan fakta-fakta itu menurut persamaannya dan urutannya. Tokoh positivisme adalah Agust Comte. Menurut Comte, prekembangan pemikiran manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, tahap ilmiah atau positif. Perkembangan demikian itu berlaku baik bagi perseorangan maupun bagi seluruh umat manusia. 1. Tahap teologis, orang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah, kepada sebap pertama atau tujuan terakhir segala sesuatu. Jadi orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Oleh karena itu orang berusaha untuk memilikinya. Orang yakin bahwa di belakang setiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak khusus. Pemikiran ini dikelompokan lagi dalam tiga tahap yaitu tahap yang paling bersahaja atau primitive, ketika orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme), tahap kedua adalah ketika orang menurunkan hal-hal tertentu masing-masing dari yang bersifat adikodrati, yang melatar belakanginya sedemikian rupa sehingga setiap gejala memiliki dewa-dewanya sendiri (politeisme), tahap ketiga, adalah tahap tetinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan suatu tokoh tertinggi yaitu dalam monoteisme. 2. Tahap metafisika, merupakan suatu perubahan dari tahap teologi, sebab kekuatan yang adikodrati atau kekuatan dewa-dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak, dengan pengertian atau dengan pengada yang lahiriah, yang kemudian disatukan

dalam persatuan yang bersifat umum, yang disebut alam dan dipangdang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus. 3. Tahap positif, adalah zaman ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengetahuan teologis maupun metafisis, orang tidak mau lagi melacak asal dan tujuan terakhir alam semesta, atau melacak hakikat sejati dari segala yang berada di belakang segala sesuatu. Tahap ini orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya, dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. 6 .Metode-metode Ilmiah Menurut Soejono Soemargono (1983), secara garis besar metode ilmiah teridiri dari dua macam: 1. Metode Ilmiah yang bersifat umum Metode ilmiah yang bersifat umum dibagi atas dua, yaitu metode analitika-sintesa dan metode nondeduksi. Metode nondeduksi merupakan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi. Pengetahuan analitis terdiri atas dua macam yaitu pengetahuan anailtik apriori dan pengetahuan analitik aposteriori. Metode analisis ialah cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milahkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain. Pengetahuan analitis apriori misalnya, definisi segi tiga sebagai satu bidang yang dibatasi oleh tiga garis lurus saling beririsan yang membentuk sudut berjumlah 180 derajat. Pengetahuan analitis aposteriori berarti dengan menerapkan metode analitis terhadap suatu bahan yang terdapat di alam empiris atau dalam pengalaman sehari-hari akan memperoleh sesuatu pengetahuan tertentu. Misalnya setelah kita mengamati sejumlah kursi, kemudian kita berusaha untuk menentukan apakah yang dinamakan kursi itu? Definisnya misalnya, kursi adalah perabot kantor atau rumah tangga yang khusus disediakan untuk tempat duduk. Metode sintesa adalah cara penangan terhadap sesuatu objek dengan menggabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya sehingga menghasilkan sesuatu pengetahuan baru. Pengetahuan sintesis apriori misalnya satu ditambah empat sama dengan lima. Aposteriori menunjukkan kepada hal-hal yang adanya berdasarkan pengalaman dan dapat dibuktikan dengan melakukan sesuatu tangkapan indrawi. Pengetahuan sistesis aposteriori merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara menggabung-gabungkan pengetian yang satu dengan pengetian yang lainnya menyangkut hal-hal yang terdapat di dalam alam tangkapan indrawi atau yang ada dalam pengalaman empiris. Metode deduksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan ketentuan hal-hal yang bersifat umum. Metode induksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek dengan jalan mencari kesimpulan yang bersifat umum atau yang lebih umum berdasarkan pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus.

2. Metode penyelidikan ilmiah Metode penyelelidikan ilimiah dapat dibagi menjadi dua yaitu metode penyeledikian yang berbentuk daur/ metode siklus empiris dan metode vertikal atau yang berbentuk garis lempeng/metode linier. Metode siklus empiris adalah suatu cara penanganan terhadap objek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat empiris -kealaman dan penerapannya terjadi di tempat yang tertutup, seperti di dalam laboratorium. Penerapan metode empiris pertama-tama berupa pengamatan terhadap sejumlah hal atau kasus yang sejenis, kemudian berdasarkan pengamatan itu kita menarik kesimpulan yang bersifat sementara berupa hipotesa-hipotesa dan yang terakhir kita mengadakan pengujian terhadap hipotesa itu dalam eksperimen-eksperimen. Apa bila sudah berulang-ulang mengadakan eksperimen dan hasilnya sama, berarti hipotesa itu mengandung kebenaran. Jika sifat atau objeknya begitu penting, orang melakukan kajian lebih lanjut. Apabila hipotesa tersebut dapat bertahan maka hipotesa itu bisa ditingkatkan menjadi teori. Tetapi apabila objeknya dipandang sangat menentukan bagi kehidupan manusia, dengan melakukan kajian-kajian berikutnya dapatlah teori-teori yang bersangkutan ditingkatkan menjadi hukum-hukum alam. Ini berarti bahwa isi kebenaran dari teori-teori itu dapat diperiksa atau diteliti secara mendalam kenenarannya (verivikasi terhadap teori-teori). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manakala kita menerapkan metode penelitian ilmiah yang berbentuk daur/metode siklus-empiris, maka pengetahuan yang akan dihasilkan akan berupa hipotesa, teori dan hukum-hukum alam. (Soejono Soemargono,1983). Metode vertikal/berbentuk garis tegak lurus atau metode linier/berbentuk garis lempeng digunakan dalam penyelidikan yang objek materialnya hal-hal bersifat kejiwaan, yang terjelma dalam tingkah laku manusia di berbagai bidang kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.(Soejono Soemargono, 1983, hlm. 16-18). Penerapan metode ini diawali dengan pengumpulan bahan penyelidikan, kemudian bahan dikelompokan menurut pola tententu. Akhirnya menarik kesimpulan umum berdasarkan pengelompokan tersebut dan apabila dipandang perlu dapat diadakan peramalan/prediksi menyangkut objek penyelidikan bersangkutan. Penyelidikan ini biasanya dilakukan pada alam bebas atau alam terbuka, yaitu kelompok manusia tertentu. 1. a. Sarana Berpikir Ilmiah Bahasa Ilmia

Bahasa memegang peranan penting dan merupakan hal yang lazim dalam kehidupan manusia, termasuk yang membedakan manusia dengan makluk lain. Ernest Cassier menegaskan keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Ernest menyebutkan manusia sebagai animal symbolicum yaitu makluk yang mempergunakan simbol. Bahasa merupakan pernyataan pikir atau perasaan dan sebagai alat komunikasi masnusia. Bahasa pada dasarnya terdiri atas kata-kata atau istilah dan sintaksis. Kata atau istilah merupakan simbol dari arti sesuatu benda, kejadian, proses atau hubungan. Sedangkan

sintaksis adalah cara untuk menghubungkan kata-kata atau istilah di dalam kalimat untuk menyatakan arti. Kalimat dapat dibedakan atas kalimat bermakna dan kalimat tidak bermakna. Kalimat bermakna dibedakan antara kalimat berita dan kalimat bukan berita. Kalimat berita adalah klimat yang dapat dinilai benar atau salah. Sedangkan kalimat bukan berita dibedakan menjadi kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru, kalimat harapan. Dari bentuk kalimat di atas yang disebut bahasa ilmiah adalah kalimat berita yang merupakan ungkapan suatu pernyataan atau pendapat. 1. Pengelompokan habasa: b. Bahasa alami Bahasa alami adalah bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas dasar pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah dibedakan atas dua macam : Bahasa isyarat, bahasa ini dapat berlaku umum dan dapat pula berlaku khusus. Berlaku umum misalnya menggelengkan kepala tanda tidak setuju, mengangguk tanda setuju, hal ini tanpa ada persetujuan dapat dimengerti secara umum. Sedangkan yang belaku khusus adalah untuk kelompok tertentu dengan isyarat tertentu pula. Bahasa biasa, bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Simbol sebagai pengandung arti dalam bahasa biasa disebut kata sedangkan arti yang dikandungnya disebut makna. c. Bahasa buatan. Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan akal pikiran untuk maksud tertentu. Kata buatan disebut istilah, kandungan istilah disebut konsep.Bahasa buatan dibagi atas dua bagian: Babasa istilah,bahasa ini rumusannya diambil dari bahasa biasa yang diberi arti tertentu, misalnya: demokrasi (demos dan kratein), medan, daya, masa. Bahasa artifisial, adalah murni bahasa buatan, sering juga disebut bahasa simbolik, berupa simbol-simbol sebagaimana digunakan oleh logika maupun matematika. Misalnya, 2+3= 5 Dari pembagian di atas, bahasa buatanlah yang sebut bahasa ilmiah. Dengan demikian dapat dirumuskan, bahasa ilmiah adalah bahasa buatan yang diciptakan oleh para ahli dalam bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah atau lambanglambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu. Bahasa sehari-hari bersifat kognitif evaluative sedangkan bahasa ilmiah bersifat deskriptif. Kognitif evaluative, mengatakan sesuatu masih perlu dievaluasi karena hanya menyampaikan saja. Misalnya, melarang duduk di depan pintu. Bahasa sehari-hari banyak variasi, banyak peluang, banyak nuansa, bersifat subjektif. Sedangkan bahasa ilmiah bersifat eksak, pasti,objektif. 2. Fungsi Bahasa Aliran filsafat bahasa dan psikolinguistik mengartikan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi. Sedangkan aliran sosiolinguistik mengartikan bahasa sebagai sarana untuk perubahan masyarakat.

Secara umum bahasa diartikan sebagai pernyataan pikiran atau perasaan serta sebagai alat komunikasi manusia. Bahasa memiliki tiga fungsi pokok: -Fungsi ekspresif atau emotif, nampak pada pencurahan rasa takut serta takjub, demikian pula pencurahan seni seperti seni suara dan seni sastra. -Fungsi efektif atau praktis, untuk menimbulkan efek psikologis terhadap orang lain dan mempengaruhi tindakan-tindakan mereka kearah kegiatan atau sikap tertentu yang diinginkan. -Fungsi simbolik, mempunyai fungsi komunikatif yang disampaikan dalam bentuk simbol, bukan hanya untuk menyatakan fakta, melainkan juga untuk menyampaikan sesuatu maksud tertentu kepada orang lain. a. Logika dan matematika. Matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Matematika memiliki fungsi yang sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Perhitungan matematis misalnya menjadi dasar desain ilmu teknik, metode matematis memberi inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi, bahkan pemikiran matematis dapat memberikan warna kepada kegiatan arsitektur dan seni lukis. Kontribusi matematik dalam perkembangan ilmu alam, lebih ditandai dengan menggunanakan lambang-lambang untuk penghitungan dan pengukuran. Logika dan matematika memiliki keterkaitan yang sangat erat, sebagai sarana berpikir deduktif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa artificial yakni murni bahasa buatan. Baik logika maupun matematika lebih mementingkan bentuk logis pernyataanpernyataannya mempunyai sifat yang jelas. Matematika dan logika sebagai sarana berpikir deduktif mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Logika lebih sederhana penalarannya, sedangkan matematika jauh lebih terperinci. Walaupun demikian, hukum matematika dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum logika. b. Logika dan statistika Secara etimologi, kata statistic berasal dari kata status (latin)-state (inggris)-Negara (Indonesia). Pada umumnya kata statistic berarti kumpulan bahan keterangan (data) baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif) yang mempunyai arti penting untuk suatu negara. Ditinjau dari segi etimlogi kata statistic mempunyai beberapa pengertian: -Sebagai kumpulan bahan keterangan berupa angka atau bilangan. - Sebagai kegiatan perstatistikan. - Cara tertentu yang ditempuh dalam rangka mengumpulkan, menyusun atau mengatur, menyajikan, menganalisis dan memberi interpretasi terhadap sekumpulan bahan keterangan yang berupa angka. Logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif untuk mencari konsep yang berlaku umum. Peranan statistic dalam penellitian ilmiah dapat dikemukakan sebagai berikut: -Memungkinkan pencatatan data penelitian dengan eksak -memandu penelitian untuk menganut tata pikir dan tata kerja yang definitif dan eksak -Menyajikan cara-cara peringkasan data kedalam bentuk yang brmakna lebih banyak dan lebih muda mengerjakannya.

-memberi dasar-dasar untuk menarik kesimpulan melalui proses yang mengikuti tatacara yang diterima oleh ilmu. -memberikan landasan untuk meramalkan secara ilmiah tentang bagaimana suatu gejala akan terjadi dalam kondisi yang telah diketahui. -Memungkinkan peneliti untuk menganalisis menguraikan sebab akibat yang kompleks dan rumit, andaikan tanpa statistik, hal itu bakal menjadi pristiwa yang membingungkan dan tidak dapat diuraikan.

BAB III FILSAFAT ILMU

I. Pengertian Filsafat Ilmu Cabang filsafat yang membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu. Filsafat ilmu menganalisis ilmu pengetahuan dan cara-cara bagaimana pengetahuan ilmiah diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Pokok perhatiam filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah. Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), meta science (adi-ilmu), science of science (ilmu tentang ilmu). The Liang Gie mendefinisikan filsafat ilmu sebagai segenap pemikiran reflektif tentang persoalan-persoalan mengenai landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua : 1. Filsafat ilmu dalam arti luas, menampung permasalahan menyangkut hubungan dengan dunia luar dari kegiatan ilmiah, seperti : -implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah -tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu -konsekwensi pragmatic-etik penyelenggara ilmu, dan sebagainya. 2. Filsafat ilmu dalam arti sempit, menampung permasalahan hubungan ke dalam yang terdapat dalam ilmu, yaitu sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakannya serta mencapai pengetahuan ilmiah. Untuk mendapat gambaran singkat tentang pengertian filsafat ilmu dapat dirangkum tiga medan telaah yang mencakup dalam filsafat ilmu: 1. Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang-lambang yang digunakan, dan terhadap struktur penalaran tentang sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu rasional juga untuk membahas studi-studi bidang etika dan estetika, studi kesejarahan, antropologi, geologi, dan sebagainya. Dalam hubungan ini yang terutama sekali ditelaah adalah ihwal penalaran dan teorinya. 2. Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai konsep dasar, wacana, dan postulat mengenai ilmu serta upaya untuk membuka tabir dasar-dasar keempirisan, kerasionalan, dan kepragmatisan. Aspek filsafat ini erat kaitannya dengan hal yang logis dan epistemologis. Jadi peran filsafat ilmu di sini berganda. Pada sisi pertama filsafat ilmu mencakup analisis kritis terhadap anggaran dasar,seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang, dan hukum. Pada sisi yang lain filsafat ilmu mencakup studi mengenai keyakinan tertentu, seperti keyakinan mengenai dunia sana keyakinan mengenai keserupaan di dalam alam semesta.

3. Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang beranekamacam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu (Hartono Kasmadi, dkk; 1990,hlm.17-18). Tempat kedudukan filsafat di dalam lingkungan filsafat sebagai keseluruhan:

Being (ada) Ontology Metafisika

Knowing (tahu) Epistemologi Logika Metodologi Filsafat Ilmu

Axiologi (nilai) Etika dan Estetika

Tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh dua lapangan peneyelidikan filsafat ilmu: 1. Filsafat pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan epistemology yang mempunyai fungsi menyelidiki syarat pengetahuan manusia dan bentuk pengetahuan manusia. 2. Menyangkut cara-cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan logika dan epistemologi. Ini berarti caracara mengusahakan dan memperoleh pengetahuan ilmiah berkaitan erat dengan susunan logis dan metodologis serta tata urutan berbagai langkah dan unsur yang terdapat dalam kegiatan ilmu pada umumnya. Baik bidang pertama maupun kedua di atas dibahas dalam filsafat ilmu umum. Adapun dalam filsafat ilmu khusus membicarakan kategori dan metode yang digunakan dalam ilmu tertentu seperti kelompok ilmu alam, ilmu masyarakat, ilmu teknik, dan sebagainya. (Berling,1988).

II.

Objek Filsafat Ilmu

1.Objek material filsafat Ilmu Objek material filsafat ilmu adalah objek material yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh suatu ilmu. Objek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. 2.Objek Formal filsafat ilmu Objek formal adalah sudut pandang dari mana subjek menelaah objek materialnya. Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat

(esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian pada problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu pengetahuan bagi manusia? Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan otologis, epistemologis, dan psikologis. Landasan ontologis pengembangan ilmu artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang ilmuwan. Aliran materialisme mengatakan bahwa tidak ada hal yang nyata selain materi. Sedangkan aliran spiritualisme mengatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Pengetahuan ilmu berdasarkan materialisme cendrung pada ilmu alam yang menganggab bidang ilmunya sebagai induk bagi pengembang ilmu lain. Dalam perkembangan ilmu modern aliran ini disuarakan oleh positivisme. Sedangkan spiritualisme cendrung pada ilmu-ilmu kerohanian dan menganggab bidang ilmunya sebagai wadah utama dan titik tolak pengembangan bidang ilmu-ilmu yang lain. Jadi landasan ontologis ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang seorang ilmuwan terhadap realitas. Kalau realitas yang dimaksud adalah materi maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Sedangkan kalau realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh maka lebih terarah pada ilmu humaniora. Landasan epistemologis pengembangan ilmu, artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas cara dan prosedur ilmiah dalam memperoleh kebenaran. Yang dibagi atas dua kelompok: siklus empiris untuk ilmu alam dan metode linier untuk ilmu social dan humaniora. Cara kerja siklus empiris meliputi observasi, penerapan metode induksi, melakukan eksperimental (percobaan), verifikasi atau pengujian ulang terhadap hipotesi yang diajukan sehingga melahirkan sebuah teori. Adapaun cara kerja metode linier meliputi langkah-langkah antara lain, penangkapan indrawi terhadap realitas yang diamati, kemudian disusun sebuah pengertian (konsepi) akhirnya dilakukan prediksi atau peramalan tentang kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Landasan aksiologis pengembangan ilmu merupakan sikap etis yang harus dikembangkan oleh seorang ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Dengan demikian. suatu aktivitas ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercayaan, ideology yang dianut oleh masyarakat atau bangsa, tempat ilmu itu dikembangakan. III. Lingkup Filsafat Ilmu

Lingkup filsafat ilmu dari para filsuf dapat dijelaskan sebagaimana dikemukakan The Liang Gie (2000) sebagai berikut: 1. Pater Angeles Filsafat ilmu mempunyai empat bidang utama: a. Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan dan metode ilmu, analisis, perluasan dan penyusunannya untuk memperoleh pengetehuan yang lebih cermat. b. Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu dan struktur penalarannya.

c. Telaah mengenai saling kait di antara berbagai ilmu. d. Telaah mengenai akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan penyerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas, hubungan logika dan matematika dengan realitas, entitas teoretis, sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan. 2. A. Kornelius Benjamin Fislsuf ini membagi pokok soal filsafat atas tiga bidang: a. Telaah mengenai metode ilmiah, lambang ilmiah dan struktur logis dari sistem perlambangan ilmiah. Telaah ini banyak menyangkut logika dan teori pengetahuan dan teori umum tentang tanda. b. Penjelasan mengenai konsep dasar, praanggapan dan pangkal pendirian ilmu, landasan-landasan empiris, rasional atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya. Segi ini dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena mencakup telaah mengenai berbagai keyakinan terhadap dunia nyata, keragaman alam, dan rasionalitas dari proses alamiah. c. Aneka telaah mengenai saling kait di antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta seperti misalnya idealisme, materialisme, monisme, atau pluralisme. 3. Marx Wartofsky Menurut filsuf ini rentangan luas dari soal-soal interdisipliner dalam filsafat ilmu meliputi : a. Perenungan mengenai konsep dasar, struktur formal, dan metodologi ilmu b. Persoaln-persoalan ontologi yang khas bersifat filsafati dengan pembahasan yang memadukan peralatan analitis dari logika modern dan model konseptual dari penyelidikan ilmiah. 4. Ernest Nagel Filsafat ilmu mencakup tiga bidang: a. Pola logis ditunjukan oleh penjelasan dalam ilmu b. Pembuktian konsep ilmiah c. Pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah IV. Problem-problem filsafat ilmu:

1. Apakan konsep dasar dari ilmu? Maksudnya, bagaimana filsafat ilmu mencoba untuk menjelaskan praanggapan-praanggapan dari setiap ilmu, dengan demikian filsafat ilmu dapat lebih menempatkan keadaan yang tepat bagi setiap cabang ilmu. Dalam masalah ini filsafat ilmu tidak dapat lepas begitu saja dari cabang filsafat lainnya yang lebih utama yaitu epistemology atau filsafat pengetahuan dan metafisika. 2. Apakah batas-batas dari ilmu. Artinya: langkah-langkah apa yang dilakukan suatu pengetahuan sehingga mencapai sifat keilmuan. 3. Apakah batas-batas dari ilmu. Maksudnya, apakah setiap ilmu mempunyai kebenaran yang bersifat sangat universal ataukah ada norma-norma fundmental bagi kebenaran ilmu.

V.

Manfaat belajar Filsafat Ilmu

1. Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang ilmuwan harus kritis terhadap bidang ilmunya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistic, yakni menganggap hanya pendapat atau pikirannyalah yang paling benar. 2. Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab kecendrungan yang terjadi di kalangan ilmuwan menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Suatu sikap yang diperlukan di sini adal menerapkan metode ilmiah sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. 3. Filsafat ilmu memberi pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasional agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.

BAB IV ILMU PENGETAHUAN

I.

Definisi Ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja sciere yang berarti mempelajari, mengetahui. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian Ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu sebagai rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh suatu pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia dalam berbagai seginya dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.

Aktivitas Ilmu

Metode

Pengetahuan

Bagan di atas memperlihatkan bahwa ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, yang dilaksanakan dengan metode tertentu untuk menghasilkan suatu pengetahuan yang sistematis. Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt for find) atau pencarian (search). Oleh karena itu pencarian biasanya dilakukan berulang kali, sehingga dalam dunia ilmu dipergunakan istilah research (penelitian) untuk aktivitas ilmiah yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru. Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Metode yang perkaitan dengan pola prosedural meliputi pengamatan, percobaan, pengukuran, survey, deduksi, induksi, analisis, dan lain-lain. Berkaitan dengan tata langkah meliputi penentuan masalah, perumusan hipotesis,pengumpulan data,perumusan kesimpulan dan pengujian hasil. Yang berkaitan dengan berbagai teknik meliputi daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lain-lain. Yang berkaitan dengan aneka alat, meliputi timbangan, meteran, perapian, komputer, dan lain-lain.

Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono, 1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam komponen: a. Masalah (problem) Ada tiga karakteristik yang harus dipenuhi untuk menunjukan bahwa suatu masalah bersifat scientific, yaitu communicapibility, the scientific attitude, scientific method. Communicspibility berarti masalah adalah sesuatu untuk dikomunikasikan. The scientific attitude paling tidak memenuhi karakteristik curiosity, speculativeness, willingness to suspend judgement, dan tentativty. The scientific method berarti masalah harus dapat diuji (testable). b. Sikap (attitude) Karakteristik yang harus dipenuhi antara lain: Curiosity berarti adanya rasa ingin tahu tentang bagaiman sesuatu itu ada, bagaimana sifatnya, fungsinya, dan bagaimana sesuatu dihubungkan dengan sesuatu yang lain. Speculativeness, scientist: harus mempunyai usaha dan hasrat untuk mencoba memecahkan masalah melalui hipotesa-hipotesa yang diusulkan. Willingness to be objective, hasrat dan usaha untuk bersikap dan bertindak objektif merupakan hal yang penting bagi seorang scientist. Willingness to suspend judgement, ini berarti bahwa seorang scientist dituntut untuk betindak sabar dalam mengadakan observasi dan bersikap bijaksana berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan karena apa yang dikemukakan masih serba tentatif. c. Metode (method) Sifat scientific method berkaitan dengan hipotesi yang kemudian diuji. Esensi science terletak pada metodenya. Science sebagai teori merupakan sesuatu yang selalu berubah. Berkaitan dengan sifat metode scientific, para scientist tidak memiliki ide yang pasti yang dapat ditunjukan sesuatu yang absolut dan mutlak. d. Aktivitas (activity) Science adalah sesuatu lahan yang dikerjakan oleh para scientist melalui apa yang disebut scientific research, terdiri dari dua aspek yaitu individual dan social. Dari aspek individual science adalah aktivitas yang dilakukan oleh seseorang. Adapun dari aspek social, science has become a vast institutional undertaking. Scientist menyuarakan kelompok orang-orang elite dan science merupakan suatu perjalanan yang tanpa akhir atau suatu usaha yang tanpa akkhir. e. Kesimpulan (conclutions) Science lebih sering dipahami sebagai a body of knowledge. Body dari ide-ide ini merupakan science itu sendiri. Kesimpulan yang merupakan pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan dari science, yang diakhiri dengan pembenaran dari sikap, metode dan aktivitas. f. Pengaruh (effecs) Sebagian dari apa yang dihasilkan melalui science pada gilirannya memberi berbagai pengaruh. Pertimbangannya dibatasi oleh dua penekanan yaitu pertama, pengaruh ilmu terhadap ekologi, malalui apa yang disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap atau dalam masyarakat serta membudayakannya melalui berbagai macam nilai.

II: Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan. Ciri pengetahuan ilmiah antara lain persoalan dalam ilmu itu mudah dipecahkan dengan maksud untuk memperoleh jawaban. Memang ilmu muncul dari adanya problema dan harus dari satu problema, tetapi problema itu telah diketahuinya sebagai suatu persoalan yang tidak dapat diselesaikan dalam pengetahuan sehari-harinya. Di samping itu setiap ilmu dapat memecahkan masalah sehingga mencapai kejelasan dan kebenaran, walaupun bukan kebenaran akhir yang abadi dan mutlak. Kemudian bahwa setiap jawaban dalam persoalan ilmu yang berupa kebenaran harus dapat diuji oleh orang lain. Pengujian baik berupa pembenaran maupun penyangkalan. Hal lain juga bahwa setiap masalah dalam ilmu harus dapat dijawab dengan cara penelaahan atau penelitian keilmuan yang saksama, sehingga dapat dijelaskan dan didefinisikan. Dengan menilik persoalan keilmuan, maka pada dasarnya masalah yang terkandung dalam ilmu harus merupakan suatu problema yang telah diketahuinya, kemudian ada suatu penelaahan dan penelitian agar dapat memperoleh kejelasan dengan mempergunakan metode yang relevan untuk mencapai kebenaran yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie mempunyai lima ciri pokok: 1. Empiris: pengetahuan itu diperoleh berdasarkan percobaan dan pengamatan. 2. Sistematis: berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur. 3. Objektif: pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi. 4. Anslitis: pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok persoalan ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan dan peranan dari bagian-bagian itu. 5. Verifikatif: dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga. Van Melsen (1985) mengemukakan delapan ciri yang menandai ilmu : 1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang logis dan koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode) serta susunan logis. 2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggungjawab ilmuwan. 3. Bersifat universal 4. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif 5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan. 6. Progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh bila mengandung pertanyaan baru dan menimbulkan problem baru lagi. 7. Kritis, artinya tidak ada teori yang definitif, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru. 8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori dan praktis.

Muhammad Hatta, mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam. Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. Demi objektivitas ilmu, ilmuwan harus bekerja dengan cara ilmiah. Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan apabilah dipenuhi syarat-syarat berikut: 1. Ilmu harus mempunyai objek, ini berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya. 2. Ilmu harus mempunyai metode, ini berarti bahwa ilmu mencapai kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa menggunakan metode yang rapi. 3. Ilmu harus sistematik, ini berarti dalam memberikan pengalaman objeknya dipadukan secara harmonis sebagai satu kesatuan yang teratur. 4. Ilmu bersifat universal, ini berarti bahwa kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak mengenai sesuatu yang bersifat khusus melainkan kebenaran yang berlaku umum. III.Keragaman dan pengngelompokan ilmu pengetahuan The Liang Gie membaginya dalam empat bentuk: 1. Deskripsi Merupakan kumpulan pernyataan bercorak deskriptif dengan memberikan bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lainnya dari fenomena. Bentuk ini umumnya terdapat pada cabang-cabang ilmu khusus yang bercorak deskriptif seperti ilmu anatomi atau geografi. 2. Preskripsi Ini merupakan kumpulan pernyataan bercorak preskreptif dengan memberikan petunjuk atau ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaikanya dilakukan dalam hubungannya dengan objek. Bentuk ini dapat dijumpai dalam cabang-cabang ilmu social, misalnya ilmu pendidikan yang memuat petunjuk cara mengajar yang baik dalam kelas. Demikian pula dalam ilmu administrasi negara, dipaparkan misalnya azas, ukuran, dan berbagai ketentuan preskreptif lainnya tentang organisasi yang baik, managemen yang efektif, atau prosedur kerja yang efisien. 3. Ekposisi pola Bentuk ini merangkum pernyataan yang memaparkan pola, sifat, ciri, kecendrungan, atau proses lainnya dari fenomena yang ditelaah. Misalnya dalam antropologi dapat dipaparkan pola kebudayaan di berbagai suku bangsa atau dalam sosiologi dibeberkan pola perubahan masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan. 4. Rekonstruksi historis Bentuk ini merangkum pernyataan yang berusaha menggambarkan dengan penjelasan atau alasan yang diperlukan tentang sesuatu hal pada masa lampau secara ilmiah. Cabang ilmu khusus banyak mengandung pernyataan ini misalnya historiografi, ilmu purbakala dan paleontologi.

Berikut ini merupakan penggolongan ilmu-ilmu: a. Ilmu formal dan ilmu nonformal atau ilmu formal/ilmu nonempiris Non-empiris tidak berarti bahwa empiris/pengalaman indrawi tidak mempunyai peran. Empiris/pengalam indrawi tentu saja selalu memainkan peranan karena dalam pengalaman manusiawi, unsur indrawi tidak mungkin dilepaskan dari unsur intelektual. Suatu ilmu disebut ilmu non empiris (formal) karena ilmu ini dalam seluruh kegiatannya tidak bermaksud menyelidiki secara sistematis data-data indrawi yang konkret. Dua contoh ilmu formal/ilmu nonempiris, yaitu matematika dan filsafat. Sedangkan suatu ilmu disebut ilmu non formal/ilmu empiris karena memainkan peranan sentral/utama. Ilmu empiris dalam seluruh kegiatannya berusaha menyelidiki secara sistematis data-data indrawi yang konkret. Yang termasuk ilmu empiris/non formal adalah ilmu hayat, ilmu alam dan ilmu manusia. b. Ilmu murni dan ilmu terapan Ilmu teoritis adalah ilmu yang bertujuan meraih kebenaran demi kebenaran. Contoh: matematika dan fisika. Ilmu terapan praktis ialah ilmu yang bertujuan untuk diaplikasikan/ diambil manfaatnya. Contoh: ilmu kedokteran, ekonomi, hukum, teknik, psikologi, sosiologi, administrasi dan ekologi. c. Ilmu nomoteis dan idiografis Nomoteis ilmu, yang termasuk ilmu ini adalah ilmu-ilmu alam. Objek pembahasannya adalah gejala-gejala alam yang dapat diulangi terus menerus serta kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum alam. Ilmu idiografis, yang termasuk dalam ilmu ini adalah ilmuilmu budaya. Objek pembahasannya adalah objek yang bersifat individual, unik, yang hanya terjadi satu kali dan mencoba memahami objeknya menurut keunikannya. d. Ilmu deduktif dan induktif 1. Ilmu deduktif Disebut ilmu deduktif karena pemecahan persoalan tidak didasarkan atas pengalaman indrawi/empiris melainkan atas dasar deduksi/penjabaran. Deduksi adalah proses pemikiran di mana akal budi manusia menyimpulkan pengetahuan dari hal-hal yang umum dan abstrak kepada hal-hal yang khusus dan individual. Contoh ilmu deduktif adalah matematika.

2. Ilmu induktif Disebut ilmu induktif apabila penyelesaian masalah-masalah dalam ilmu didasarkan atas pengalaman indrawi/empiris. Yang termasuk dalam kelompok ilmu induktif adalah ilmu alam. Ilmu induktif bekerja selalu atas dasar induksi. Induksi adalah proses pemikiran dimana akalbudi manusia menyimpulkan pengetahuan dari hal-hal yang bersifat khusus dan individual kepada hal-hal yang bersifat umum dan abstrak.

3. Naturwissenschaften dan geisteswissenschaften Pembedaan antara natur dab geist dikemukakan oleh Wilhelm Dilthey berdasarkan pembedaan antara ilmu monotetis dan idiografis yang sudah digarap oleh Wilhelm Windelband. Natur, adalah ilmu pengetahuan alam, dengan objek pembahasannya adalah benda/gejala alam. Geist adalah ilmu budaya dengan objek pembahasannya adalah produk-produk manusiawi. Ciri khas ilmu budaya: mempunyai metode sendiri yang tidak bisa diambil dari metode ilmu alam. Ilmu budaya mendekati objeknya dengan cara verstehen (mengerti/memahami). Ilmu alam mendekati objeknya dengan cara erklaren (menerangkan). Erklaren menjelaskan tentang sesuatu peristiwa berdasarkan penyebabnya atau berdasarkan suatu hukum umum yang berlaku di alam. Berbeda dengan benda-benda alam, produk-produk manusiawi hanya bisa didekati dengan menggunakan metode verstehen. Misalnya, suatu karya seni hanya bisa dipahami dalam zaman historisnya/kehidupan seniman yang bersangkutan. Jadi,verstehen menangkap makna produk manusiawi dan itu hanya bisa dilakukan dengan menempatkan dalam konteks tertentu.

Bebeparapa pandangan tentang klasivikasi ilmu pengetahuan menurut para filsuf. Dalam buku filsafat ilmu karya Rizal Mustansyir dan Misnal Munir yang diterbitkan pustaka pelajar tahun 2001, mengklasifikasikan sebagai berikut : a. The Liang Gie The Liang Gie membagi pengetahuan ilmiah berdasarkan dua hal yakni ragam pengetahuan dan jenis pengetahuan. Pembagian ilmu menurut ragamnya mengacu pada salah satu sifat atributif yang dipilih sebagai ukuran. Pembagaian ini hanya menunjukan sebuah ciri tertentu dari sekumpulan pengetahuan ilmiah. Pada dasarnya pembagian berdasarkan ragam ilmu tidak memerinci berbagai cabang ilmu. Sifat atributif yang akan dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembagian dalam ragam ilmu ialah sifat dasar manusia yang berhasrat mengetahui dan ingin berbuat. Kehidupan manusia pada dasarnya berpangkal pada sifat dasar tersebut dan pengetauan teoretis akan memuaskan hasrat untuk mengetahui, sedangkan pengetahuan praktis dapat memenuhi keinginan berbuat. Dengan demikian The Liang Gie membagi ilmu menjadi dua bentuk yakni ilmu teoretis (theoretical science) dan ilmu praktis (practical science). Menurut The Liang Gie, ada enam jenis objek material pengetahuan ilmiah yakni, ide abstrak, benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, peristiwa social, dan proses tanda. Berdasarkan enam jenis pokok soal ini Liang Gie membagi ilmu menjadi tujuh jenis: -Ilmu matematis -Ilmu fisis -Ilmu biologis -Ilmu psikologis -Ilmu sosial -Ilmu linguistik -Ilmu interdisipliner

Konsep pembagian ilmu yang sistematis menurut Liang Gie sebagai berikut:

no

Jenis ilmu

Ragam ilmu

Ilmu teoretis Aljabar Geometri Ilmu fisis Kimia Fisika Ilmu Biologis Biologi molekuler Bilogi sel Ilmu psikologis Psikologis ekperimental dan perkembangan Ilmu sosial Antropolgi Ekonomi Ilmu linguistik Linguistik teoretis Linguistik perbandingan Ilmu interdisipliner Biokimia Ilmu lingkungan Ilmu matematis

Ilmu praktis Accounting statistik Enginering Metalurgi Ilmu pertanian Ilmu peternakan Psikologi pendidikan dan perindustrian Ilmu administrasi Ilmu marketing Linguistik terapan Seni terjemahan Farmasi Ilmu perencanaan kota

1 2 3 4

5 6 7

b. Cristian Wolff. Wolff mengklasifikasikan pengetahuan atas tiga kelompok: 1. Dengan mempelajari kodrat pemikiran rasional, kita dapat menemukan sifat yang benar dari alam semesta. Semua yang ada di dunia ini terletak di luar pemikiran kita yang direfleksikan dalam proses berpikir rasional. Alam semesta merupakan suatu sistim rasional yang isinya dapat diketahui dengan menyusun cara deduksi dari hukum-hukum berpikir. 2. Pengetahuan kemanusiaan terdiri atas ilmu-ilmu murni yaitu teologi rasinal yang berkaitan dengan pengetahuan jiwa dan kosmologi rasional yang terkait dengan kodrat dunia fisik. Filsafat praktis mencakup etika sebagai ilmu tetang tingkah laku manusia, politik atau ilmu pemerintahan, ekonomi sebagai bidang ilmu apa yang harus dilakukan seorang untuk mencapai kemakmuran. 3. Ilmu-ilmu murni dan filsafat praktis merupakan produk metode berpikir deduktif. Ilmu-ilmu teoritis dijabarkan dari hukum yang tidak bertentangan yang menyatakan bahwa sesuatu itu tidak dapat ada dan tidak ada dalam waktu yang bersamaan. Apa yang kita ketahui tentang dunia fisik ditentukan dari hukum yang menyatakan bahwa ada sesuatu alasan yang niscaya bagi keberadaan segala sesuatu.

4.

Seluruh kebenaran pengetahuan diturunkan dari hukum berpikir. Apa yang dikatakannya tentang moral dan religi adalah suatu koadrat yang abstrak dan formal. Etika dalam pandangannya tidak lebih dari seperangkat aturan yang kaku dan harus diikuti, sesuatu yang tidak terjawab yang hanya hadir dalam kasus tertentu. Agama diformalkan kedalam seperangkat kepercayaan tentang Tuhan dan jiwa manusia. Unsur-unsur emosi yang bermain secara normal masing-masing berperan penting di dalam wilayah pengalaman yang sangat minim. 5. Jiwa manuia dalam pandangan Wolff dibagi menjadi tiga yaitu mengetahui, menghendaki, dan merasakan. Ketiga aspek jiwa manusia ini mempengaruhi pandangan Emanuel Kant tentang tiga kritik yang terkenal yaitu kritik atas ratio murni, kritik atas ratio praktis, dan kritik atas daya pentimbangan. c. Aguste Comte

Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan Aguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan, yang menunjukan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampak terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala pengetahuan yang semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin konkret. Karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan Aguste Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupn sehari-hari. Urutan pengolongan ilmu pengetahuan menurut Aguste Comte sebagai berikut. a. Ilmu pasti (matematika) b. Ilmu perbintangan( astronomi) c. Ilmu alam(fisika) d. Ilmu kimia e. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi) f. Fisika social (sosiologi) d. Krl Raimun Proper Proper mengemukakan bahwa sistem ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokan kedalam tiga dunia yaitu: dunia pertama adalah kenyataan fisis dunia, dunia kedua adalah kenyataaan dan kejadian psikis dalam diri manusia, dunia ketiga adalah segala hipotesa hukum dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara dunia 1 dan 2 serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama dan lain sebagainya. Menurut Proper, dunia tiga hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, menbaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung mengendap dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni dan lain sebaganya. e. Thomas S.Kuhn Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan komulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah pertama-tama menyentuh wilayah paradigma yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh prestasi atau

praktek ilmiah konkret. Menurut Khun, cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut: Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktifitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah, para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang digunakan sebagai bimbingan atau arahan aktifitas ilmiahnya, dan ini dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai. Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal. Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.

f. Jurgen Habermas Pandangan Habermas tentang klasifikasi ilmu pengetahuan sangat terkait dengan sifat dan jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan, akses kepada realitas, dan tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ignas Kleden menunjukan pandangan Habermas tentang ada tiga kegiatan utama yang langsung mempengaruhi dan menentukan bentuk tindakan dan bentuk pengetahuan manusia, yaitu kerja, komunikasi dan kekuasaan. Kerja dibimbing oleh kepentingan yang bersifat teknis. Interaksi dibimbing oleh kepentingan yang bersifat praktis. Sedangkan kekuasaan dibimbinga oleh kepentingan yang bersifat emansipatoris. Ketiga kepentingan ini mempengaruhi pula proses terbentuknya ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu empiris analitis, ilmu historis hermeneutis, dan ilmu sosial kritis(ekonomi, sosiologi dan politik). IV.Susunan ilmu pengetahuan a. Langkah-langkah ilmu pengetahuan

Setiap penyelidikan ilmiah selalu diawali dengan suatu masalah dan berlangsung dalam tahap sebagai berikut: 1. Perumusan masalah. Setiap penyelidikan ilmiah dimulai dengan masalah yang dirumuskan secara tepat dan jelas dalam bentuk pertanyaan agar ilmuwan mempunyai jalan untuk mengetahui fakta-fakta apa saja yang harus dikumpulkan. 2. Pengamatan dan pengumpulan data/observasi Penyelelidikan ilmiah dalam tahap ini mempunyai corak empiris dan induktif dimana seluruh kegiatan diarahkan pada pengumpulan data dengan melalui pengamatan yang

3.

4.

5.

6.

cermat sambil didukung oleh berbagai sarana yang canggih. Hasil observasi ini kemudian dituangkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Pengamatan dan klasifikasi data Dalam tahap ini ditekankan penyusunan fakta-fakta dalam kelompok menurut jenis tertentu, kelas tertentu berdasarkan sifat yang sama. Kegiatan inilan yang disebut klasifikasi. Dengan klasifikasi, menganalisis, membandingkan dan membedakan datadata yang relevan. Perumusan pengetahuan (definisi) Dalam tahap ini, ilmuwan mengadakan analisis dan sintesis secara induktif. Lewat analisis dan sintesis ilmuwan mengadakan generalisasi (kesimpulan umum). Generalisasi merupakan pengetahuan umum yang dituangkan dalam pernyataanpernyataan umum/universal. Dari sinilah teori terbentuk. Tahap ramalan (prediksi)\ Dalam tahap ini, deduksi memainkan peranan. Di sini dari teori yang sudah terbentuk, diturunkan hipotesis baru dan dari hipotesis ini, lewat deduksi pula, ilmuwan mulai menyusun implikasi-implikasi logis agar ia dapat mengadakan ramalan tentang gejalagejala yang perlu diketahui atau yang masi terjadi. Deduksi ini selalu dirumuskan dalam bentuk silogisme. Pengujian kebenaran hipotesis (verifikasi) Dalam tahap ini dilakukan pengujian kebenaran hipotesis, artinya menguji kebenaran ramalan-ramalan melalui pengamatan atau observasi terhadap fakta yang sebenarnya atau percobaan-percobaan. Dalam hal ini keputusan terakhir terletak pada fakta. Jika fakta tidak mendukung hipotesis, hipotesis itu harus dibongkar dan diganti dengan hipotesis lain dan seluruh kegiatan ilmiah harus dimulai lagi dari permulaan. Itu berarti data empiris merupakan penentu bagi benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian, langkah terakhir dari seluruh kegiatan ilmiah adalah pengujian kebenaran ilmiah dan itu artinya menguji konsekuensi yang telah dijabarkan secara deduktif.

b.Siklus Empiris Sumber pengetahuan empiris berasal dari pengalaman. Program penyelidikan ilmiahnya terdiri dari lima tahap. a. Observasi. Pengamatan yang biasa. Ilmu empiris memperoleh bahan-bahan dari kenyataan empiris yang dapat diamati dengan pelbagai cara. Bahan itu disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi, diverifikasi, diidentifikasi, didaftar,diklasifikasi secara ilmiah. Observasi dibedakan antara observasi sehari-hari dan observasi ilmiah. Observasi sehari-hari bersifat emosional, berkaitan dengan emosi pengamat, pengamatannya bersifat subjektif, sangat dipengaruhi oleh presepsi social, dipengaruhi oleh suatu kepentingan yang bersifat pribadi, menguntungkan dirinya sendiri. Dalam observasi ilmiah emosi harus dikesampingkan bahkan unsur subjektif dihilangkan, hal-hal yang dikenal dan berpengaruh terhadap subjek dan variasi-variasi yang ada tidak diperhatikan, tidak ada kepentingan dirinya sendiri, dipakai sarana tertentu, ditingkatkan.

b.

c.

d.

e.

Induksi. Hal-hal yang diamati harus dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan kemudian disimpulkan kembali dalam pernyataan-pernyataan umum. Setelah diulang-ulang maka pernyataan umum tersebut memperoleh kedudukan sebagai hukum. Deduksi. Matematika dan logika memungkinkan pengolahan lebih lanjut oleh bahan-bahan empiris begitu bahan itu tercakup dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Kajian (eksperimentasi) Berdasarkan atas sistem itu dapatlah dijabarkan pernyataan-pernyataan khusus tertentu, yang kemudian dapat dikaji lagi dalam kerangka observasi eksperimental atau bukan eksperimental. Dengan kajian eksperimental maka pernyataan yang telah dijabarkan secara deduktif mendapatkan verifikasi atau klarifikasi secara empiris. Evaluasi. Hasil-hasil kajian membawa kita kepada evaluasi, suatu teori yang disusun dengan menggunakan induksi dan deduksi.

c.

Penjelasan dan ramalan. a.Penjelasan. Penjelasan yang lazim desertai dengan pemahaman (verstehen) merupakan pelengkap dari permulaan dalam penelitian yang dicatat untuk disusun suatu hipotesis yang baik dan menarik. Adapun jenis penjelasan dalam pengetahuan ilmiah antara lain : -Penjelasan logis. Penjelasan dedukti: penjelasan ini terdiri atas serangkaian tindakan berpikir untuk menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat umum. Dengan demikian dalam penjelasan deduktif diperlukan adanya suatu pernyataan yang bersifat umum yang dipergunakan sebagai pangkal tolak atau dalil. Penjelasan induktif atau penjelasan kausal adalah penjelasan yang mempergunakan pangkal tolak pada hal-hal khusus tertentu untuk sampai pada hal-hal umum. -Penjelasan probalistik, apabila terdapat suatu pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara pasti yang biasa dikemukakan dengan mengajukan kata-kata mungkin, hampir pasti, atau boleh jadi. Penjelasan probalistik banyak dipergunakan dalam ilmu sosial, utamanya ilmu politik. -Penjelasan finalistic, dalah penjelasan dengan berpangkal tolak atau mengacu pada tujuan. Penjesalan semacam ini bersifat pragmatis, karena menerangkan sesuatu dari segi kegunaannya. -Penjelasan historic atau genetic. Penjelasan ini berusaha untuk menjawab pertanyaan mengapa sesuatu terjadi. Hal ini menuntut suatu jawaban tentang sesuatu yang terjadi pada waktu yang lampau. -Penjelasan fungsional. Adalah bentuk penjelasan yang hendak memberikan gambaran atas sesuatu dengan mengemukakan apa yang diselidiki dalam hubungan dengan tempat atau keadaan yang sedang diteliti secara keseluruhan sistem dunia objek itu berada.

b. Ramalan -Ramalan menurut hukum. Bentuk ramalan yang paling tua adalah ramalan yang berupa dan berpangkal tolak pada keajegan-keajegan. Keajegan diperlukan untuk memecahkan atau menghampiri suatu permasalahan yang hampir mirip, baik dalam ilmu sosial maupun ilmu alam, karena hukum adalah suatu keteraturan yang fundamental yang dapat diterapkan pada setiap keadaan atau persoalan. - Ramalan menurut struktur. Ramalan ini secara langsung mampu memperhitungkan keadaan di masa datang berdasarkan pada suatu kemajuan baik yang vertikal maupun yang horizontal, karena perubahan menurut struktur ini memang seharusnya terjadi demikian. -Ramalam menurut proyeksi. Ramalan yang mempelajari kejadian terdahulu sehingga memperoleh suatu pernyataan berdasarkan kejadian itu. Ramalan proyeksi banyak dipergunakan dalam perkembangan ilmu sosial dengan dibantu oleh faktor peluang. -Ramalan menurut utopia. Ramalan yang terjadi berdasarkan pengetahuan teoretis yang sekarang dimiliki untuk mengetahui kejadian dan keadaan di masa yang akan datang. Sebagai contoh dewasa ini ada penjelasan ruang angkasa. Hal ini sebelumnya hanya merupakan fantasi belaka, dan kebetulan sudah difilmkan. (Abbas Hamami,M; 1980.31-35).

BAB V PRINSIP-PRINSIP METODOLOGI

1.

Pengertian

Metodologi berasal dari kata metode dan logos, yang berarti ilmu yang mempelajari tentang metode-metode. Kata metode berasal dari kata Yunani : methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti,sesudah) dan kata benda hodos (jalan,perjalanan, cara,arah). Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Pengertian metode berbeda dengan metodologi. Metoda adalah suatu cara, jalan, petunjuk pelaksana atau petunjuk teknis, sihingga memiliki sifat yang praktis. Adapun metodologi disebut juga science of methods, adalah ilmu yang membicarakan cara, jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian sehingga metodologi penelitian membahas konsep teoritis tentang metode. Dapat pula dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar ilmu dari metode penelitian, karena metodologi belum memiliki langkah-langkah praktis, adapun derivasinya adalah pada metode penelitian. Bagi ilmu seperti sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, ekonomi, hukum serta ilmu-ilmu kealaman, metodologi adalah dasar-dasar ilmu dari suatu metode, dasar dari langkah praktis penelitian. Jadi metode bisa dirumuskan sebagai suatu proses atau prosedur yang sistematik berdasarkan prinsip dan teknik ilmiah yang dipakai oleh disiplin ilmu tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Adapun metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode, aturan yang harus dipakai dalam kegiatan penelitian. Metodologi lebih bersifat umum sedangkan metode lebih bersifat khusus. Metodologi bersangkut paut dengan jenis, sifat dan bentuk umum mengenai cara-cara, aturan dan patokan prosedur jalannya penyelidikan yang menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja. Adapun metode adalah cara kerja dan langkah-langkah khusus penyelidikan secara sistematik menurut metodologi, agar tercapai suatu tujuan yaitu kebenaran ilmiah. 2. Unsur-unsur metodologi Menurut Anton Bakker dan Acmad Charis Zubair metodologi memiliki unsur-unsur : a. Interpretasi Artinya menafsirkan, membuat tafsiran yang tidak bersifat subjektif (menurut selera penafsir) melainkan harus bertumpu pada evidensi objektif untuk mencapai kebenaran yang autentik. Dengan interpretasi diharapkan manusia dapat memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat. Pada dasarnya interpretasi berarti tercapainya pemahaman yang benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari. b. Induksi dan deduksi Menurut Beerling, setiap ilmu selalu menggunakan metode deduksi dan induksi, berdasarkan pengertian siklus empiris. Siklus empiris melewati beberapa tahapan yakni observasi, induksi, deduksi, kajian (eksperimentasi) dan evaluasi. Cara ini berlaku tidak secara berturut-turut melainkan sekaligus.

c. Koherensi Usaha memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan menunjukan semua unsur struktural yang konsisten sehingga benar-benar merupakan internal struktur atau internal telations. Walau mungkin terdapat oposisi di antaranya tetapi unsur itu tidak boleh bertentangan satu dengan yang lain. Dengan demikian akan terjadi satu lingkaran pemahaman yang hakiki menurut keseluruhannya dari satu pihak dan unsur-unsurnya di pihak lain. d. Holistis Tinjauan secara lebih dalam untuk mencapai kebenaran secara utuh. Objek dilihat berinteraksi dengan seluruh kenyataannya. Identitas objek akan terlihat bila ada komunikasi dan korelasi dengan lingkungan. Objek(manusia) hanya dapat dipahami dengan mengamati seluruh kenyataan dalam hubungannya dengan manusia, dan manusia sendiri dalam hubungan dengan segalanya yang mencakup hubungan aksi-reaksi dengan tema zamannya. Pandangan menyeluruh ini juga disebut totalisasi, semua dipandang dalam kesinambungnnya dengan totalitas. e. Kesinabugan historis Dari perkembangannya, manusia adalah makluk historis, karena ia berkembang dalam pengalaman dan pikiran bersama dengan lingkungan zamannya. Maisng-masing orang bergumul dalam relasi dengan dunianya untuk membentuk nasib, sekaligus nasibnya dibentuk oleh mereka. Perkembangan pribadi itu dijalani dengan suatu proses kesinambungan. Rangkaian kegiatan dan pristiwa dalam kehidupan setiap orang merupakan mata rantai yang tidak terputus. Yang baru masih berlandaskan yang terdahulu, tetapi yang lama juga mendapat arti dan relevansi baru dalam perkembangannya yang lebih kemudian. Dalam hubungan mata rantai itulah harkat manusia yang unik dapat diselami. f. Idealisasi Idealisasi merupakan proses untuk membuat ideal, artinya upaya dalam penelitian untuk memperoleh hasil yang ideal atau yang sempurna. g. Komparasi Adalah usaha untuk memperbandingkan sifat hakiki dalam objek penelitian sehingga menjadi lebih jelas dan tajam. Perbandingan itu dapat menentukan secara tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga hakikat objek dapat dipahami semakin murni. Komparasi bisa diadakan dengan objek lain yang sangat dekat dan serupa dengan objek utama. Perbandingan itu meminimalkan perbedaan yang masih ada. Komparasi juga dapat dilakukan dengan objek lain yang berbeda jauh dengan objek utama. h. Heuristika Metode untuk menemukan jalan baru secara ilmiah untuk memecahkan masalah. Heuristika dapat mengatur terjadinya pembaharuan ilmiah. i. Analogikal Adalah filsafat yang meneliti tentang arti, nilain dan maksud yang diekspresikan dalam fakta dan data. Dengan demikian dapat dilihat analogi antara situasi atau kasus yang lebih terbatas dengan yang lebih luas. j. Deskripsi Seluruh hasil penelitian harus dapat diekspresikan. Data yang dieksplisitkan memungkinkan dapat dipahami secara mantap.

3.Prinsip-prinsip Metodologi Menurut Descartes, dalam karyanya termashur Discourse on Method (risalah tentang metode) diajukan enam prinsip metodologi: -Membicarakan masalah ilmu harus diawali dengan akal sehat (common sense) yang pada umumnya dimiliki oleh semua orang. Akal sehat ada yang kurang dan ada yang lebih, namun yang penting adalah penerapannya dalam aktivitas ilmiah. Menurut Descartes, pengetahuan budaya itu kabur, pengetahuan bahasa memang berguna, puisi memang indah, tetapi memerlukan bakat. Filsafat bagi Descartes rancu dengan gagasan yang seringkali bertentangan, oleh karena itu perlu dibenahi. Satu hal yang perlu dalam menuntut ilmu adalah melepaskan diri dari cengkraman otoritas kaum guru atau dosen, mengerahkan diri untuk belajar dari buku alam raya dan memperlajari dirinya sendiri. -Bagi Descartes, sesuatu yang dikerjakan oleh satu orang lebih sempurna dari pada oleh kelompok. Descartes mengajukan empat langkah untuk mendukung metode yang dimaksud : +Jangan perna menerima apa saja sebagai benar, jika anda tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya. Artinya dengan cermat hindari kesimpulankesimpulan dan prakomsepsi yang terburu-buru, dan janganlah memasukan apapun ke dalam pertimbangan anda lebih dari pada yang terpapar begitu jelas, sehingga tidak perlu diragukan lagi. +Pecahkan setiap kesulitan anda ke dalam bagian-bagian sebanyak yang dapat dilakukan untuk mempermudah penyelesaian. +Arahkan pemikiran anda secara tertib, mulai dari objek yang paling sederhana dan paling mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, ke pengetahuan yang paling kompleks, dan dengan mengandaikan sesuatu urutan bahkan di antara objek sebelum itu tidak mempunyai ketertipan kodrati. + Buatlah penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin, dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti tidak ada sesuatupun yang ketinggalan. -Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan metode sebagai berikut: +Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegang pada agama yang diajarkan. +Bertindak tegas dan mantap baik pada pendapat yang paling meyakinkan maupun yang paling meragukan. +Berusaha untuk mengubah diri sendiri dari pada merombak tatanan dunia -Menegaskan kebenaran yang seringkali terkecoh oleh indra. Kita memang dapat membayangkan diri kita sendiri tidak bertubuh, namun kita tidak bisa membayang diri kita sendiri tidak bereksistensi, karena ternyata kita dapat menyangsikan kebenaran pendapat lain. Oleh karena itu menurut Descartes, kita dapat saja meragukan segala sesuatu, namun kita tidak mungkin dapat meragukan diri kita sendiri yang sedang dalam keadaan ragu-ragu, cogito ergo sum. -Menegaskan perihal dualism dalam diri manusia, yang terdiri atas dua substansi yaitu res cogitans (jiwa bernalar) dan res ekstensa (jasmani yang meluas). Tubuh (res ekstensa) diibaratkan dengan mesin, yang tentunya karena ciptaan Tuhan maka tertata lebih baik.

-Dua jenis pengetahuan yaitu pengetahuan spekulatif dan praktis. Pengetahuan praktis terkait dengan objek-objek konkret seperti api, air, udara, dan lai-lain, sedangkan pengetahuan spekulatif menyangkut hal-hal yang bersifat filosofis. Berkat kedua pengetahuan inilah menusia menjadi penguasa alam.

BAB VI PENEMUAN KEBENARAN

1.Cara Penemuan Kebenaran Pada dasarnya kebenaran dapat ditemukan melalui dua cara, yaitu secara ilmiah dan secara non ilmiah, sebagaimana diuraikan oleh Hartono Kasmadi: a. Penemuan secara kebetulan Penemuan yang berlangsung tanpa sengaja, tidak dengan cara ilmiah, dan tidak direncana. Cara ini tidak dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan atau ilmu. b. Penemuan coba dan ralat (trial and eror) Terjadi tanpa adanya kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari. Aktivitas mencari kebenaran hanya bersifat spekulatif atau untung-untungan. Penemuan dengan cara ini membutuhkan waktu yang lama karena tanpa rencana, tidak terarah, dan tidak diketahui tujuannya. Cara coba dan ralat tidak bisa diterima sebagai cara ilmiah untuk mengungkapkan kebenaran. c. Penemuan melalui otoritas dan kewibawaan Pendapat orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang yang memiliki kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pembuktian ilmiah. Ada kalanya pendapat ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya, diwarnai oleh subjektivitas. d. Penemuan secara spekulatif Cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Bedanya seseorang yang menghadapi suatu masalah yang harus dipecahkan pada penemuan secara spekulatif mungkin sekali ia membuat berbagai alternative pemecahan, kemuadian ia memilih satu alternative pemecahan, sekalipun ia tidak yakin hal itu benar. e. Penemuan dengan cara berpikir kritis dan rasional Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada pemecahan yang tepat. Cara berpikir yang ditempuh pada tingkat permulaan dalam pemecahan masalah adalah dengan cara berpikir analitis dan sintetis. f. Melalui penelitian ilmiah Dilakukan melalui penelitian. Pada setiap penelitian ilmiah melekat ciri-ciri umum yakni pelaksanaannya yang metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang logis dan koheren. Artinya dituntut adanya sistem dalam metode maupun dalam hasilnya. Susunannya logis, bersifat univesalitas dan objektif. 2.Definisi Kebenaran Dala kamus umum bahasa Indonesia yang ditulis Purwadarminta ditemukan arti kebenaran : a. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misalnya kebenaran berita ini masih saya sangsikan, kita harus berani membela kebenaran dan kedilan. b. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misalnya, kebenaran yang diajarkan agama.

c. Kejujuran, kelurusan hati; misalnya tidak seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu. d. Selalu izin, perkenanan; misalnya dengan kebenaran yang dipertuan e. Jalan kebetulan, misalnya penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja. 3.Jenis Kebenaran Ada tiga jenis kebenaran yaitu kebenaran epistemologikal, kebenaran ontological, kebenaran semantikal. Kebenaran epistemological adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Disebut juga dengan istilah veritas cognitionis atau veritas logika. Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada sesuatu yang ada atau yang diadakan. Apabila dikaitkan dengan kebenaran ontological maka disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri. Kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang melekat dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis) karena kebenaran itu tergantung pada manusia yang menggunakan tutur kata atau bahasa. Hal adanya intelligilibilitas sebagai kodrat yang melekat pada objek di dalam benda, barang , makluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, yaitu sifat benar yang melekat pada objek. 4. Sifat kebenaran Menurut Abbas Hamami Mintaredja (1983) kata kebenaran bisa digunakan sebagai kata benda yang konkret maupun abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi adalah makna yang terkandung dalam satu pernyataan atau statement. Jika subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Hal demikian karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan,dan nilai. Denga adanya berbagai kategori tersebut, tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memeliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya, dan di situ terlihat sifat-sifat dari kebenarannya. 5.Teori kebenaran dan kekilafan Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato dan kemudian diteruskan Aristoteles. Plato melalu metode dialog membangun teori pengetahuan yang cuku lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itu teori pengetahuan berkembang terus utuk mendapatkan kesempurnaan sampai kini. Secara tradisional prinsip teori kebenaran sebagai berikut:\ a. Teori kebenaran saling berhubungan (coherence Theory of truth). Teori koherensi dibangun oleh para pemikir radisionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel dan Bradley. Sedangkan Kattsoff menjelaskan teori koherensi sebagai berikut: suatu proposi cendrung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi

lain yang benar, atau jika makna yang terkadung dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita Dengan memperhatikan pendapat Kattsoff, dapat diungkapkan bahwa proposisi itu benar bila mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada dan benar, atau proposisi itu mempunyai hubungan dengan proposisi yang terdahulu yang benar. Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat melalui fakta sejarah apabila pernyataannya bersifat logis. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kita tidak dapat membuktikan secara langsung isi pengetahuan itu, melainkan hanya dapat dibuktikan melalui hubungan dengan proposisi yang terdahulu, baik dalam buku-buku sejarah maupun dalam peninggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu. b. Teori kebenaran saling kebersesuaian (correspondence theory of truth) Teori ini adalah teori yang paling awal dan paling tua. Teori tersebut didasarkan teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui adalah suatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek. Teori ini berpandangan bahwa suatu proposisi dinilai benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan. Misalnya, air akan menguap bila dipanasi seratus derajat. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar. c. Teori kebenaran inherensi (Inherent theory of truth) Teori ini disebut juga teori pragmatis. Pandangannya adalah suatu proses bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau dimanfaat. Misalnya pengetahuan naik bis, kemudian akan turun dan bilang kepada kondektur kiri kemudian bis berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat karena bis berhenti di posisi kiri, tetapi karena penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri. d. Teori kebenaran berdasarkan arti ( Semantic theory of truth) Proposisi itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Teori ini mempunyai tugas untuk mengungkapkan kesahan dari proposisi dalam referensinya. Teori ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan Bertrand Russell, tokoh pemula filsafat analitika bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani : philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi atau sumber yang jelas. Jika tidak punya referensi yang jelas maka pengetahuan itu dinyatakan salah. e. Teori kebenaran sintaksis Kebenaran yang dinilai berdasarkan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Suatu pernyataan memiliki nilai kebenaran apabila yang mengikuti aturan sintaksis yang baku. Atau apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisis bahasa teruntama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya suatu kalimat harus mempunyai subjek dan predikat. Jika tidak maka kalimat itu tidak baku atau bukan kalimat. Seperti semua korupsi ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya.

f. Teori kebenaran nondeskripsi Dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalis. Suatu pernyataan atau statemen dinilai benar amat tergantung dari fungsi dan peran prenyataan itu. Jadi pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. g. Teoti kebenaran logic yang berlebihan (logical superfluity of truth) Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistic , diawali oleh Ayer. Menurut teori ini problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian sesungguhnya setiap proposisi mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apa bila kita membuktikan lagi, hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama, sehingga berupa garis yang bulat. Kekilafan. Kekilafan terjadi karena kesalahan pengabilan kesimpulan yang tidak runtut terhadap pengalaman-pengalaman. Jadi dalam hal ini kilaf mucul karena adanya praanggapan atau pernyataan yang sudah dianggap benar secara umum. Francis Bacon dalam teorinya idola mengungkan sebab terjadinya kekilafan dan penyelewengan pemikiran ilmih: -Idola teatri (sandiwara), sesuatu yang sering dilihat oleh seseorang atau tanpak dalam kehidupan sehari-hari lama kelamaan tanpa disadari dan diselidiki dianggap sebagai kebenaran. -Idola fori (pasar), keadaan dalam pikiran seseorang yang menyebabkan pikirannya tidak dapat berfungsi dengan baik, karena orang tersebut melihat sesuatu hanya dari segi luarnya saja. -Idola specus (gua), diakibatkan karena sifat indifidualitas manusia. Seseorang seolah berada di tempat yang gelap seperti di dalam gua. Hal ini terjadi karena tidak didukung oleh lingkungan, pendidikan, dan karakter yang baik, sehingga orang ini terkungkung oleh keterbatasan dirinya yang menyebabkan dirinya tidak memahami sesuatu dengan baik. -Idola tribus, diakibatkan oleh kodrat manusiawi sehingga orang yang terkena oleh idola ini tidak dapat memahami apa yang dihadapinya.

BAB VII PENALARAN

1. Unsur Penalaran Penalaran merupakan satu konsep yang paling umum menunjuk pada satu proses pemikiran untuk sampai pada kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Dalam pernyataan itu terdiri atas pengertian sebagai unsurnya yang antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan kekaburan arti. Dalam proses pemikiran ini perlu dipelajari terlebih dahulu unsur-unsur dari penalaran pada umumnya yang bertitik tolak pada materi yang dibicarakan. Unsur di sini bukan merupakan bagian-bagian yang menyusun sesuatu penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai prinsip yang harus diketahui terlebih dahulu karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis tergantung pada pangkal pikirannya. a. Istilah, Pengertian, dan Term Istilah merupakan suatu atau lebih kata yang mengartikan sesuatu arti tertentu. Artinya , kata atau istilah itu tidak mengandung pengertian lain selain yang telah ditentukan. Biasanya suatu pegertian dinyatakan dalam satu istilah yang terdiri atas satu kata tetapi juga bisa dinyatakan dalam dua atau lebih kata yang kemudian disebut sebagai kata majemuk, seperti meja makan atau meja kursi. Meja kursi atau meja makan ini menunjukan sejumlah ciri, di antaranya berupa ciri-ciri yang hakiki, ciri dasar dari pengertian itu. Pengertian adalah hasil tangkapan akan manusia mengenai sesuatu objek. Kalau diungkapkan dalam kata atau simbol maka disebut term. Jadi term adalah bentuknya dan pengertian adalah isinya. Pengertian juga disebut konsep atau ide. Term sebagai uangkapan pengestian jika terdiri atas satu kata maka dinamakan istilah term sederhana. Misalnya manusia, hewan, dan sebgainya. Kalau terdiri dari beberapa kata maka dinamakan term kompleks. Misalnya reactor atom, kesenian daerah modern, pesawat terbang, dan sebagainya. Term juga bisa dibedakan menjadi term kategorimatis dan term sinkategorimatis. Term kategorimatis adalah term yang dapat mengungkapkan sepenuhnya suatu pengertian yang berdiri sendiri tanpa bantuan kata lain, meliputi nama diri (misal, Anton) kata sifat (missal, berakal), istilah yang mengandung pengertian umum (missal; manusia). Term sinkategorimatis adalah term yang tidak dapat mengungkapkan suatu pengertian yang berdiri sendiri jika tidak dibantu oleh kata lain. Misalnya kata : jika, semua, maka, dan sebagainya. b. Pendapat Pendapat pada hakikatnya suatu hubungan atau gabungan antara dua pengertian. Dalam pendapat tersebut, pengetian yang satu disebut subjek, kemudian dikemukakan pendapat oleh pengertian yang lain yang disebut predikat. Pendapat adalah satu hubungan kesatuan dari dua atau lebih pengertian. Hubungan antara subyek dan predikat disebut copula. Copula

merupakan inti pendapat. Dengan copula maka terjadi satu pengertian menjadi subjek dan pengertian lain menjadi predikat. Peran copula sangat penting karena dapat mengubah arti. Pendapat dilambangkan dalam bentuk kalimat. Sebagai contoh dapat dikemukakan kalimat berikut : Pak Budi adalah seorang guru Ini adalah suatu pendapat, di mana pengertian pertama pak Budi bergabung dengan pengertian kedua ialah seorang Guru. Pak Budi adalah subjek dan seorang guru adalah predikat. Adapun yang disebut copula merujuk pada adalah, yang jelas menentukan keseluruhan arti dari pendapat itu. Dalam bahasa Indonesia adalah tidak selalu dinyatakan secara jelas atau wujud, karena sudah tergabung dalam predikat. c. Perdalilan Hubungan antara dua atau lebih pendapat, atau jika dua atau lebih pendapat digabungkan, akan terjadi suatu perdalilan yang dilambangkan dalam bentuk uraian. Uraian yang terpendek adalah alinea atau paragraph yang menggambarkan suatu idea tau gagasan. Sejumlah alinea akan menghasilkan perdalilan yang lebih panjang, kompleks, dan menggambarkan gagasan yang lebih lengkap. Dalam perdalilan ini terdapat suatu wacana, atau lebih tepat argumentasi yang dibangun oleh beberapa kalimat. Perdalilan tampil dalam bentuk gabungan berbagai pendapat mengenai sesuatu, masalah, atau sesuatu masalah besar dengan beberapa masalah kecil yang merupakan bagiannya. Banyak sekali jenis perdalilan, di antaranya yang sangat terkenal disebut silogisme. Silogisme adalah suatu upaya untuk menghubungkan atau menggabungkan atau menyintesiskan suatu pendapat yang lebih umum (mayor) dengan pendapat lainnya yang lebih khusus (minor) secara teratur dan tersusun bertingkat sehingga tergabung suatu wacana atau argumentasi yang memenuhi syarat-syarat logis. Contoh: Segenap Negara berpemerintahan (1) Indonesia adalah suatu Negara (2) Jadi : Indonesia berpemerintahan (3) Kalimat (1) merupakan pendapat yang sifatnya umum (premis mayor) Kalimat (2) merupakan pendapat yang sifatnya lebih khusus (premis minor) Kalimat (3) merupakan kesimpulan Dala pendapat itu ditarik kesimpulan dari sejumlah pendapat yang disebut premis. Dengan kata lain, perdalilan itu merupakan pembuktian.

Logika formal disebut formal karena hanya mempersoalkan aturan atau hukum-hukum yang mengatur ketepatan bentuk atau susunan pikiran dan tidak mempersoalkan kebenaran isi pikiran itu. Pengertian, istilah, atau term tidak dapat ditentukan benar atau salah, karena merupakan sesuatu yang ditentukan atau dibangun atas dasar kesepakatan. Kalaupun terdapat ketidak sesuaian antara satu dengan lainnya maka kita menyebutnya sebagai berbeda. Kesalahan, dalam arti tidak memenuhi syarat-syarat logis, terjadi kalau suatu istilah digunakan untuk maksud yang berbeda. Benar dan salah hanya dapat digunakan untuk menilai suatu pendapat atau perdalilan, di mana masalahnya adalah apakah kopula dan silogismenya tepat atau tidak. Logika formal pada dasarnya hanya mempersoalkan syarat-syrat yang harus dipenuhi untuk mencapai kebenaran. Namun logikan tidak menjamin tercapainya kebenaran, yan benar senantiasa tepat, tetapi yang tepat tidak selalu benar. Ketepatan merupakan syarat mutlak bagi kebenaran, tetapi untuk mencapai kebenaran, ketepatan saja tidak cukup. Syarat-syarat itu dinyatakan dalam sejumlah asas atau prinsip atau hukum logika. Dalam hal ini terdapat empat prinsip utama sebagai berikut: 1. Principium identitatis Makna prinsip ini adalah dalam sebuah uraian hendaknya suatu istilah tertentu dipergunakan secara identik, yaitu hanya untuk melambangkan suatu pengertian yang tertentu pula, kecuali kalau ditegakkan sebaliknya. Dalam diskusi kerap kali orang dinilai menyalahi asas ini, ialah apabila mereka menggunakan istilah yang sama untuk melambangkan pengetian yang berbeda. Cara yang demikian dianggap menyalahi hukum logika, atau dianggap sebagai uraian yang tidak memenuhi syarat logis. Oleh karena itu, mereka yang menyelenggarakan diskusi, hendaknya membuat kesepakatan lebih dahulu mengenai pengertian itu dengan membuat batasannya. Sebuah batasan atau definisi adalah suatu uraian yang sesingkat-singkatnya, tentang suatu pengertian, sehingga ciri-ciri hakiki pengertian itu terungkap. 2. Principium contradictionis Prinsip ini menyatakan bahwa dalam suatu uraian, hendaknya tidak digunakan dua atau lebih pendapat yang maknanya bertentangan, kontradiktoris. Hanya satu dari pendapat itu yang benar, tidak mungkin kedua-duanya. Seperti diketahui, suatu uraian atau disebut perdalilan, merupakan himpunan dari sejumlah pendapat, melambangkan suatu maksud tertentu. Karena telah adanya maksud tersebut, maka jangan sampai terjadi pendapat-pendapat itu diartikan berbeda atau bertentangan dengan yang pertama.Kalau hal itu terjadi, maka uraian akan kacau, kekacauan itu karena tidak dipenuhinya syarat atau prinsip logika.

3. Principium exclusi tertii Prinsip menyatakan bahwa tiap pendapat adalah benar atau salah tiada kemungkinan ketiga (tertium nondatur). Sebagai contoh, hari ini saya mungkin akan pergi berlibur ke Jakarta. Peluang di sini adalah saya jadi pergi berlibur ke Jakarta atau tidak jadi berlibur ke Jakarta. Tidak ada kemungkinan ke tiga, ialah jadi dan tidak jadi berlibur ke jakata. 4. Principium rationis sufficientis Prinsip ini menyaratkan bahwa dalam satu uraian, kebenaran sebuah pendapat menuntut agar pendapat itu mempunyai dasar secukupnya. Atau kesimpulan suatu uraian harus ditarik berdasarkan dasar-dasar rasional yang secukupnya. Maksud dari perinsip ini adalah bahwa suatu uraian dianggap memenuhi syarat atau prisip logis, jika kesimpulan yang mengakhirinya atau kesimpulan yang dibuat dalam uraian itu dengan alasan-alasan sinambung, mempunyai hubungan kausal yang jelas dan mencukupi. Apa bila tidak rasional dan tidak cukup maka uraian itu dinilai tidak memenuhi syarat logika, jadi tidak sah. Demikianlah logika formal pada asasnya menuntut penggunaan bahasa secara sadar. Namun bahasa atau kata itu mengandung berhubungan dengan pengertian. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita memperhatikan berbagai hal yang berhubungan dengan pengertian ini. Pertama bahwa pengertian itu memiliki klasifikasi, karena kandungan maknanya bermacam-macam. Supaya dapat menggunakan pengertian dengan baik, perlu ada ketegasan dalam sifat-sifatnya. Oleh karena itu terdapat klasifikasi, baik menurut isi maupun keluasan atau cakupannya. Dilihat dari segi isi, terdapat pengertian yang bersifat: a. Kolektif dan distributive Kolektif karena pengertian itu mencakup sejumlah hal, misalnya rombongan. lusin, dan regu. Distributif adalah pengertian yang mencakup hal secara sendiri-sendiri, misalnya orang, sarjana, kuda. b. Konkret dan abstrak Konkret adalah pengertian yang memperlihatkan kenyataan, misalnya ini kuda putih. Abstrak adalah pengertian yang menunjukan sifatnya, misalnya kecerdasan. c. Konotatif dan denotative Konotatif adalah pengertian yang mewakili, misalnya, hal ini menggambarkan kepedulian. Denotatif adalah pengertian yang menunjukan pada hal yang dimaksudkan, misalnya pengawal, lingkungan, dasar. Ada juga klasifikasi menyangkut lingkungan pengertian, yaitu kenyataan yang diliputi atau merupakan ekstensinya, misalnya kerbau, kuda, kambing, hewan. Terdapat tiga jenis ekstensi pengertian: -Singular, pengertian yang belingkungan satu saja.

-Partikular, pengertian yang lebih luas dari singular tetapi tidak semuanya, misalnya beberapa orang, sebagian di antaranya. -Universal, pengertian yang mencakup semua, tanpa kecuali, seperti seluruhnya. Untuk memahami pengertian sesuatu hal diperlukan definisi mengenai hal itu, karena tidak semua hal dapat dipahami dengan mudah. Definisi adalah pengertian yang lengkap tentang sesuatu istilah yang mencakup semua unsur yang menjadi ciri utama istilah tersebut. Terdapat lima jenis definisi: -Definisi demontratif, sepertikursi itu kuat. -Definisi biverbal, seperti lembuh adalah sapi -Definisi ekstensif,seperti manusia adalah makluk hidup yang bisa berpikir. -Definisi deskriptif, pesawat terbang adalah alat angkut yang biasanya besar, bisa terbang, dan dikemudikan oleh seorang pilot. Empat syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah definisi agar disebut baik: -Sifat atau ciri yang akan digambarkan tidak boleh berlebihan tetapi juga tidak boleh berkekurangan. Misalnya, lemari adalah tempat menyimpan pakayan yang berwarna-warni. Merupakan definisi yang berlebihan. Sedangkan lemari adalah tempat penyimpanan dapat dinilai berkekurangan. -Tidak mengulang kata-kata sifat yang sama artinya, seperti, kebenaran adalah sesuatu yang betul. -Tidak menggunakan kata negative, seperti, kuda adalah bukan kambing. -Tidak menggunakan kata-kata yang terlalu umum, seperti, singa adalah binatang buas. Ada hal lain yang penting untuk diketahui dalam logika ialah yang disebut fallacy, yaitu kebohongan yang disengaja untuk maksud atau keuntungan tertentu. Terdapat lima fallacy utama yang perlu diingat: a. Karena ada kata-kata yang telah dibiasakan, misalnya marilah kita mengabadikan peristiwa ini b. Kata-kata mempunyai arti lain. Bulan ini tiga puluh hari. Bulan bersinar di langit. Jadi bulan tiga puluh hari bersinar di langit. c. Deduksi yang salah: kuda itu hewan. Sapi itu bukan kuda. Jadi sapi bukan hewan. d. Mengacaukan pengertian mutlak dengan pengertian terbatas: Daging yang kita makan hari ini adalah daging yang beli kemarin. Karena daging yang beli kemarin adalah daging mentah, maka yang kita makan sekarang adalah daging mentah. e. Manipulasi angka: 5 =2+3. 2= genap. 3=ganjil. Maka genap tamba ganjil= 5

BAB VIII ILMU, TEKNOLOGI, DAN KEBUDAYAAN

I. Hubungan antara Ilmu dan Teknologi Sama dengan aktivitas hidup manusia yang lain, ilmu memiliki dimensi-dimensi yang kompleks. Kompleksitas dimensi ilmu pada satu sisi menunjukkan luasnya ruang jelajah ilmu, namun pada sisi lain menjadikan ilmu sebagai suatu sistem yang "sangat terbuka". Pada satu pihak ilmu menjadikan hal dari "yang material" sampai "yang immaterial" sebagai objek telaahnya, namun di lain pihak ilmu dihadapkan pada masalah "pluralisme kebenaran" yang muncul karena adanya pluralitas paradigma teori maupun metodologi ilmu dewasa ini. Agar ilmu sebagai fenomena nyata dapat dianalisis watak dan hubungannya dengan teknologi, dan juga pengaruhnya dalam kehidupan sosial, berikut dibahas makna denotatif ilmu, makna konotatif ilmu, dan dimensi-dimensi dalam ilmu. Tidak berbeda jauh dengan makna etimologis "ilmu" yang berasal dari kata Latin "scientia" yang berarti: (a) pengetahuan tentang, tahu juga tentang, (b) pengetahuan yang mendalam, ilmu, pengertian, keahlian, tahu, faham benar-benar (Prent, dkk, 1969: 770). Makna denotatif "ilmu" juga merujuk pada "pengetahuan", "tubuh pengetahuan yang terorganisir" (the organized body of knowledge), "studi sistematis" (systematical studies), dan "pengetahuan teoritis" (theoretical knowledge) (The Liang Gie, 1982: 15). Dengan demikian makna denotatif "ilmu" mengacu pada lingkup pengertian yang sangat luas, baik itu "pengetahuan" sebagaimana dimiliki oleh setiap manusia, maupun "pengetahuan ilmiah" yang disusun secara sistematis dan dikembangkan melalui prosedur tertentu. Adapun konotasi istilah "ilmu" merujuk pada serangkaian aktivitas manusia yang manusiawi (human), bertujuan (purposeful), dan berhubungan dengan kesadaran (cognitive) (The Liang Gie, 1982: 17). Aktivitas yang dimaksud adalah segala kegiatan atau rangkaian kegiatan atau proses yang dijalani oleh fi sikawan maupun sosiolog untuk membangun pengetahuan ilmiah. Ilmuwan maupun filosof ilmu dalam mencanangkan tujuan ilmu yang dibangunnya tidak terlepas dari pemahaman ilmuwan atau filosof masing-masing tentang "dunia", yang akhirnya melahirkan pluralitas tujuan ilmu. Sejarah perkembangan ilmu secara gamblang telah memaparkan hal tersebut, bahwa tujuan "aktivitas ilmiah" berkembang dari sekedar hasrat untuk mengerti, menjelaskan, menguasai, dan memanfaatkan alam, sebagaimana tercermin dari pemunculan ilmu-ilmu tentang alam: fisika, kimia, biologi, kosmologi; berkembang pada tujuan untuk memahami, mengatasi, dan memanfaatkan daya-daya kehidupan, sebagaimana muncul dalam ilmu-ilmu tentang kehidupan: ilmu kedokteran, farmasi; sampai pada tujuan untuk memahami dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang bersifat sosial yang langsung melibatkan manusia: sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu bahasa, dan lain sebagainya. Dalam perkembangan ilmu -ilmu tersebut manusia makin mendekati dirinya sendiri dan makin sukar pula penelitian ilmiahnya (Peursen, 1984: 184). Dengan demikian keluasan tujuan ilmu pada akhirnya melahirkan pembagian objek formal ilmu yang menyesuaikan diri dengan objek material yang hendak diungkap melalui ilmu-ilmu tersebut.

Struktur "aktivitas ilmiah" pada dasarnya terdiri atas dua bagian, yakni bagian substantif atau isi, dan bagian prosedural atau metode (The Liang Gie, 1982: 20). Kedua bagian tersebut dalam kenyataannya tidak bisa dipisahkan, hanya dapat dibedakan dalam analisa. Sebagai gambaran, aktivitas pengukuran lu as suatu bidang tidak beraturan mensyaratkan adanya objek bidang tidak beraturan (bagian substantif) dan prosedur atau metode pengukuran bidang tidak beraturan. Atau sebagai gambaran di bidang ilmu sosial, aktivitas penelitian tentang motivasi bela negara ter hadap taruna AKABRI mensyaratkan adanya taruna AKABRI sebagai responden (bagian substantif) dan metode ataupun prosedur penelitian sosial tertentu yang digunakan untuk menjaring data yang berkaitan dengan motivasi bela negara. Namu n demikian "aktivitas ilmiah" sebagai bagian dari realitas sosial tidak cukup dipahami sesederhana itu. Berikut ini dibahas kompleksitas aktivitas ilmiah" dipandang dari sudut internal, dan dari sudut pandang "sosiologi ilmu". Dari titik pandang internal dan sistematis, konotasi ilmu sesungguhnya menyangkut tiga hal: proses, prosedur, dan produk (The Liang Gie, 1982: 25-26). Bila ilmu diperbincangkan sebagai suatu proses maka secara konotatif itu menunjuk pada "penelitian ilmiah". Bila ilmu diperbincangkan sebagai suatu prosedur, maka secara konotatif hal tersebut mengacu pada "metode Ilmiah". Adapun bila ilmu diperbincangkan sebagai produk (hasil), maka . secara konotatif yang dimaksud dengannya adalah "pengetahuan ilmiah". Dari sudut pandang sosiologi ilmu, dimensi ilmu dapat dibedakan antara sudut pandang "internal" dan sudut pandang "eksternal". Sudut pandang "internal" mengacu pada "ilmu akademis" (academic science), sedangkan sudut pandang "eksternal" mengacu pada "ilmu industrial" (industrial science) (Ziman, 1984: 3). Pembeda yang utama dari keduanya adalah hubungan mereka dengan masyarakat. "Ilmu akademis" relatif lebih menekankan pada pengkayaan tubuh pengetahuan ilmiah untuk pengembangan ilmu itu sendiri, tanpa adanya pemikiran untuk kemungkinan-kemungkinan penerapannya lebih jauh. Sedangkan "ilmu industrial" memusatkan diri pada pengkajian efek-efek teknologis dari pegetahuan ilmiah yang dihasilkan oleh "ilmu-ilmu murni". Titik berat perhatian "ilmu industrial" terletak pada kemampuan instrumental ilmu dalam memecahkan problem-problem praktis baik untuk kepentingan politis" militer, atau pun komersial (Ziman, 1984: 4-5). "Ilmu industrial" ini merupakan komponen utama dari "teknologi". Secara etimologis, akar kata "teknologi" adalah "techne" yang berarti serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek atau kecakapan tertentu; pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode; seni (Runes, 1976: 314)."Techne" memiliki kemiripan makna dengan "episteme" (pengetahuan) dalam arti pengetahuan tentang prinsip-prinsip, namun "techne" berkaitan dengan tujuan untuk "membuat" atau "mengerjakan", sedangkan "episteme" berkaitan dengan pemahaman. Adapun "logos" sebagai akar kata "logi", tidak mengacu pada status "ilmiah" dari teknologi, sebagaimana ditemukan dalam istilah "antropologi", "biologi", "sosiologi", namun lebih mengacu pada makna "tata pikir" atau pun "keteraturan", sebagaimana ditemukan dalam istilah "kronologi" dan "ideologi" (The Liang Gie, 1982: 96). Dalam tradisi Yunani, "logos" memiliki arti yang luas yang mengacu baik tata pikir maupun keteraturan benda-benda (Runes, 1976: 183). Dari tinjauan secara etimologis, sudah terlihat adanya potensi "kekaburan makna" dari istilah "teknologi". Potensi pertama terkait dengan dimensi "pengetahuan" dari teknologi, yang memunculkan permasalahan apakah "teknologi" termasuk dalam

"pengetahuan ilmiah" (ilmu) ataukah "pseudo-ilmiah", ataukah "pengetahuan biasa". Potensi "kekaburan makna" yang kedua terkait dengan dimensi "praktis" dari "teknologi", yang menimbulkan persoalan apakah persamaan atau pun perbedaan antara "teknologi" dan "teknik", juga antara "teknologi" dan "seni" (art)? Klarifikasi terhadap dua potensi masalah tersebut merupakan klarifikasi tentang hubungan antara teknologi dengan ilmu, dan hubungan antara teknologi dengan kebudayaan. Berikut ini beberapa pengertian "teknologi" yang dikaitkan dengan dimensi "pengetahuan". (1) Teknologi adalah penerapan dari pengetahuan ilmiah kealaman (natural science) (Brinkmann, 1971: 125). Pengertian ini adalah pengertian "teknologi" yang paling banyak digunakan dalam berbagai lingkup kehidupan. Pernyataan "teknologi adalah penerapan ilmu" dengan mudah dapat ditemukan pada mimbar kuliah maupun pada pengerjaan proyek fisik. (2) Teknologi merupakan pengetahuan sistematis tentang seni industrial, atau sebutan singkatnya, sebagai "ilmu industrial" (The Liang Gie, 1982: 82); atau penerapan pengetahuan ilmiah untuk industri (Hill, 1971: 322). (3) Bunge menyatakan bahwa teknologi adalah ilmu terapan (applied science) yang dipilahnya menjadi empat cabang, yakni: teknologi fisik (misal, teknik mesin, teknik sipil); teknologi biologic (misal, farmakologi); teknologi sosial (misal, riset operasi), teknologi pikir (misal, ilmu komputer) (The Liang Gie, 1982: 83). (4) Feibleman memandang teknologi sebagai pertengahan antara "ilmu murni" dan "ilmu terapan", atau merujuk pada makna teknologi sebagai "keahlian" (skill) (The Liang Gie, 1982: 84). (5) Menggunakan makna yang lebih dekat dan asli, Layton memahami teknologi sebagai pengetahuan (The Liang Gie, 1982: 84). (6) Sedangkan Karl Mark menggunakan istilah "teknologi" dalam tiga makna yang berbeda, yakni sebagai "alat kerja", "pengajaran praktis dari sekolah industrial", dan "ilmu tentang teknik" (The Liang Gie, 1982: 84). Dari berbagai definisi di atas jelas terlihat bahwa terdapat beberapa pendapat, yakni: Pertama, teknologi bukan ilmu, melainkan penerapan ilmu. Kedua, teknologi merupakan ilmu, yang dirumuskan dalam kaitan dengan aspek eksternal, yaitu industri, dan aspek internal yang dikaitkan dengan objek material "ilmu" maupun aspek "murni-terapan". Ketiga, teknologi merupakan "keahlian" yang terkait dengan realitas kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan pendapat pertama, tidak bisa disangkal bahwa pengetahuan ilmiah memainkan peranan yang sangat besar dalam perkembangan teknologi modern, namun sepanjang sejarah teknologi banyak ditemukan bahwa rancangan-rancangan dan penemuan teknologi bisa terwujud atas dasar suatu upaya yang secara teori ilmiah (pada masanya) justru salah (Brinkmann, 1971:125). Proses "penemuan" dalam teknologi, seperti halnya dalam ilmu, sering "diilhami" oleh hal-hal di luar teori yang telah ada. Dengan demikian pernyataan bahwa teknologi merupakan "penerapan ilmu" harus diterima bukan dalam arti yang absoulut. Demikian juga dengan pernyataan bahwa teknologi bukan ilmu. Perdefinitio memang teknologi berbeda dengan ilmu, namun perfactum ilmu menyumbangkan beberapa komponennya dalam bangunan teknologi. Dalam pendekatan sistem, ilmu merupakan salah

satu input dari teknologi, dan teknologi merupakan sebagian output dari ilmu. Masalah yang muncul pada pendapat kedua, pertama-tama terletak pada esensi pernyataan bahwa "teknologi merupakan ilmu". Pernyataan tersebut menimbulkan permasalahan serius. Bila "teknologi" dipahami sebagai salah satu jenis "ilmu" yang menjadikan hal-hal fisik, biologis, sosial, pikir, maupun "kepentingan industrial" sebagai objek materialnya dan segi "penerapan teori ilmiah" sebagai objek formalnya. Batasan pengertian yang demikian memangkas aspek-aspek teknologi yang lain, misalnya: asumsi filosofis di balik teknologi, aspek ideologis dari teknologi, aspek sosiologis dari teknologi, maupun aspek budaya dari teknologi. Teknologi secara mendasar lebih dari sekedar dan berbeda dengan ilmu terapan (Brinkmann, 1971:125). Jika demikian apakah pendapat ketiga bisa diterima, bahwa teknologi merupakan "keahlian ilmiah" yang terkait dengan aspek-aspek nyata dari masyarakat manusia, yakni "kerja", "sekolah", maupun Industri"? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini mau tidak mau harus dibahas dahulu pendapat-pendapat yang merumuskan teknologi dengan penekanan bukan pada dimensi "pengetahuan", melainkan pada dimensi "praktis" maupun. "aktivitas" dari teknologi. Terdapat beberapa definisi yang cenderung memahami teknologi dari aspek "bukan pengetahuan", yakni: (1) Teknologi sebagai suatu produksi untuk tujuan-tujuan ekonomis (Brinkmann, 1971: 126). (2) Teknologi sebagai suatu sistem yang netral untuk tujuan penggunaan apa pun (Brinkmann, 1971: 126). (3) Teknologi sebagai ungkapan kepentingan manusia untuk berkuasa (Brinkmann, 1971: 127). (4) Para ilmuwan sosial Hitam, terutama para antropolog, memahami teknologi kontemporer sebagai perluasan dan perkembangan bentuk aspek-aspek dari batasbatas umum aktivitas manusiawi masyarakat yang berbeda dari para pendahulu mereka pada jaman kuno dan prehistoric (The Liang Gie, 1982: 83). (5) Berliner dan Kranzberg juga membatasi pengertian "teknologi" dalam terminologi yang lebih luas dan dalam dengan maksud untuk memahami keseluruhan makna sosial dari "teknologi", dengan mendefinisikan "teknologi" sebagai aktivitas kerja manusia untuk membantu baik secara fisik atau intelektual dalam menghasilkan bangunan, produk-produk, atau layanan-layanan yang dapat meningkatkan produktivitas manusia untuk memahami, beradaptasi terhadap, dan mengendalikan lingkungannya secara lebih baik (The Liang Gie, 1971: 83). (6) Rickover memahami teknologi tidak lain sebagai artefak yang dihasilkan oleh manusia industrial modern dalam rangka memperluas kekuasaannya atas jiwa dan raga (The Liang Gie, 1971: 85). (7) Nash bahkan lebih sempit lagi, yakni dengan memahami teknologi sebagai aktivitas dan hasil dari aktivitas, yang merujuk pada pabrik-pabrik, barang, dan layanan (The Liang Gie, 1971:. 85). (8) Ziman mendefinisikan teknologi dalam kaitan dengan ilmu,' dengan merumuskan ilmu sebagai "Seni untuk Tahu" (The Art of Knowing), dan teknologi sebagai "Seni untuk Tahu Bagaimananya" (The Art of Knowing How) (The Liang Gie, 1971: 85) (9) Mengatasi kesulitan tidak adanya batas antara dimensi "pengetahuan" dan dimensi

"aktivitas" dari teknologi, Abrams menyatakan bahwa teknologi merupakan "penerapan teknik" (aplications of techniques) (The Liang Gie, 1982: 83). Dari berbagai batasan pengertian di atas tersirat luasnya --atau kaburnya-- kandungan pengertian "teknologi". Berbagai hal termasuk dalam wilayah konotasi "teknologi", baik pada dataran konsepsional (prosedur, seni, keahlian teknis, tujuan kerja, pengetahuan) maupun dataran faktual (artefak, pabrik, barang, industri, alat, aktivitas). Berbagai hal "eksternal" juga terkait dengan teknologi, yakni kepentingan ekonomi, politik, struktur sosial, maupun budaya masyarakat. Kesimpulan kecil yang dapat ditarik dari perbincangan tentang pengertian "teknologi" kiranya hanya satu, bahwa "teknologi" merupakan fenomena yang kompleks. Menghadapi kompleksitas "teknologi", --terinspirasi oleh Peter Drucker, Bertalaffy, dan Churchman-- The Liang Gie merumuskan "teknologi" sebagai suatu sistem seni praktis (a system of the practical arts). Sebagaimana pendekatan sistem, teknologi memiliki "input", komponen; "output", dan lingkungan. "Input" teknologi dapat berupa kekuatan-kekuatan material, keahlian, teknik, pengetahuan, alat. Komponen teknologi dapat berupa keahlian teknik (engineering), proses, fabrikasi, maknufaktur, maupun organisasi. Adapun "output" dari teknologi adalah bangunan-bangunan fisik, barang-barang, makanan, alat-alat, organisasi, atau pun benda-benda. Sedangkan yang dimaksud dengan "lingkungan" dari teknologi adalah berbagai komponen kebudayaan, terutama: ilmu (The Liang Gie, 1982: 85-91). Dengan pendekatan yang demikian, kiranya, beberapa pertanyaan pada awal Bab ini bisa terjawab, misalnya, bahwa "teknologi" berbeda dengan "teknik" karena cakupan pengertian "teknologi" lebih luas dari "teknik". Teknik adalah "seni praktis" (The Liang Gie, 1982: 85), atau "penciptaan alat-alat" (Kleden, 1987: 144), walau Jaques Ellul yang berlatar belakang bahasa Perancis memakai istilah "technique" identik dengan "technology" dan dalam pengertian "keseluruhan metode rasional untuk mencapai efisiensi mutlak dalam semua bidang aktivitas manusia" (Mitcham, 1971: 105). Teknik tidak timbul kebetulan saja, melainkan sebagai konsekuensi dari pengetahuan (Peursen, 1984: 181) Analog dengan hubungan antara teknik dan pengetahuan, demikian pula hubungan antara ilmu dan teknologi. Teknologi tidak muncul secara kebetulan saja, namun merupakan konsekuensi dari adanya ilmu. Untuk lebih memperjelas lagi identifikasi "ilmu" dan "teknologi", The Liang Gie mengumpulkan tujuh pembeda, yakni: (1) Teknologi merupakan suatu sistem adaptasi yang efisien untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan akhir dari teknologi adalah untuk memecahkan masalah-masalah material manusia, atau untuk membawa pada perubahan-perubahan praktis yang diimpikan manusia. Sedangkan ilmu bertujuan untuk memahami dan menerangkan fenomena fisik, biologis, psikologis, dan dunia sosial manusia secara empiris. (2) Ilmu berkaitan dengan pemahaman dan bertujuan untuk meningkatkan pemikiran manusia, sedangkan teknologi memusatkan diri pada manfaat dan tujuannya adalah untuk menambah kapasitas kerja manusia. (3) Tujuan ilmu adalah memajukan pengetahuan, sedangkan tujuan teknologi adalah memajukan kapasitas teknis dalam membuat barang atau layanan. (4) Abrams dan Layton merumuskan perbedaan ilmu dan teknologi terkait dengan pemegang peran. Bagi dia ilmuwan diharapkan untuk mencari pengetahuan murni

dari jenis tertentu, sedangkan teknologi untuk tujuan tertentu. Ilmuwan "mencari tahu", teknolog "mengerjakan". (5) Ilmu bersifat "supranasional" (mengatasi batas negara), sedangkan teknologi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tertentu. (6) Input teknologi bermacam-macam jenis, yaitu: material alamiah, daya alamiah, keahlian, teknik, mesin, ilmu maupun pengetahuan dari berbagai macam, misalnya: akal sehat, pengalaman, ilham, intuisi, dan lain-lain. Adapun input ilmu adalah pengetahuan yang telah tersedia. (7) Output ilmu adalah "pengetahuan baru", sedangkan teknologi menghasilkan produk berdimensi tiga (The Liang Gie, 1982: 85-91). Dari penelusuran terhadap konsep "ilmu" dan "teknologi" dengan berbagai aspek dan nuansanya, kiranya mulai jelas keterkaitan antara ilmu dan teknologi. Beberapa "titik singgung" antara keduanya mungkin dapat dirumuskan di sisi: (1) Bahwa baik ilmu maupun teknologi merupakan komponen dari kebudayaan. (2) Baik ilmu maupun teknologi memiliki aspek ideasional maupun faktual, dimensi abstrak maupun konkrit, dan aspek teoritis maupun praktis. (3) Terdapat hubungan dialektis (timbal batik) antara ilmu dan teknologi. Pada satu sisi ilmu menyediakan bahan pendukung penting bagi kemajuan teknologi yakni berupa teori-teori; pada sisi lain penemuan-penemuan teknologi sangat membantu perluasan cakrawala penelitian ilmiah, yakni dengan dikembangkannya perangkatperangkat penelitian berteknologi mutakhir. Bahkan dapat dikatakan, dewasa ini kemajuan ilmu mengandaikan dukungan teknologi, sebaliknya, kemajuan teknologi mengandai kan dukungan ilmu. (4) Sebagai klarifikasi konsep, istilah "ilmu" lebih tepat dikaitkan dengan konteks "teknologis", sedangkan istilah "pengetahuan" lebih sesuai bila digunakan dalam konteks "teknis". Dalam rangka memperjelas kedudukan dan peran " dwitunggal" ilmu dan teknologi terhadap peradaban manusia, berikut akan mengulas hubungan antara ilmu dan kebudayaan dan hubungan antara teknologi dan kebudayaan. C. Hubungan Ilmu dan Kebudayaan Batasan pengertian yang pernah dibuat oleh berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu dari rentang waktu tiga perempat abad tentang "kebudayaan", pernah dikumpulkan oleh Kroeber dan Kluckhohn. Dari usaha mereka terkumpul 150 definisi tentang kebudayaan yang diklasifikasikan menjadi tujuh kelompok definisi, yakni: (1) deskriptif, (2) historic, (3) normatif, (4) psikologis, (5) struktural, (6) genetik, dan (7) definisi yang tidak lengkap (Kroeber, 1952: 81-142). Secara umum tidak terdapat perbedaan prinsipil antara berbagai definisi, dan semua cenderung mengikuti definisi yang dibuat pertama kali oleh Taylor (1871) yang memberi batasan pengertian "kebudayaan" (culture atau civilization) sebagai keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keper cayaan, seni, hukum,

moral, adat kebiasaan, dan kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia sebagai anggota masyarakat (Kroeber, 1952: 81). Dengan kata lain, "kebudayaan" meliputi seluruh aktivitas manusia baik yang bersifat material maupun spiritual (nonmaterial). Dalam pengertian kontemporer, tidak beranjak jauh dari batasan pengertian kebudayaan "klasik", kebudayaan terdiri dari totalitas produk-produk manusia, dari yang material sampai dengan yang nonmaterial (Berger, 1.991: 8). Produk material mencakup semua unsur kebudayaan yang bersifat material, seperti: alat teknologis, arsitektur, biokultural, dan sebagainya. Sedangkan produk nonmaterial meliputi semua unsur kebudayaan yang bersifat nonmaterial, misalnya: bahasa, sistem nilai, sistem pengetahuan, kosmologi, kosmogoni, ekologi, dan lain sebagainya. Sebagai gambaran singkat, menghadapi tantangan alam, manusia menciptakan alat-alat yang membantunya merubah lingkungan menjadi sesuatu seperti yang dibutuhkan atau di kehendakinya. Dengan alat-alat yang dibuatnya manusia merubah lingkungan alamiah menjadi lingkungan buatan. Selain menghasilkan hal-hal material, melalui bahasanya manusia mencipta sistem simbol dan membangun sistem pengetahuannya. Sistem simbol tersebut meresapi hampir semua aspek kehidupan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Dari sini bisa ditemukan hal material tertentu yang sama, bisa memiliki makna berbeda bagi dua kebudayaan yang berlainan, karena masing-masing kebudayaan memiliki sistem pemaknaan yang tidak sama. Pembentukan kebudayaan nonmaterial selalu berjalan seiring dengan aktivitas manusia yang secara fisis mengubah lingkungannya. Terdapat tujuh kategorisasi berbeda-beda berkaitan dengan komponen-komponen kebudayaan, namun menurut Kroeber dan Kluckhohn semuanya mencirikan klasifikasi tiga bagian wilayah kebudayaan, yakni: (1) hubungan antara manusia dengan alam, yang berkaitan dengan upaya-upaya manusia mempertahankan kelangsungan hidupnya, teknik, kebudayaan "material". (2) hubungan antar manusia yang terkait dengan hasrat dan upaya untuk meraih status dan hasil dalam kebudayaan masyarakat. (3) aspek-aspek subjektif, gagasan, perilaku dan nilai serta tindakan, ilham, kebudayaan "spiritual" (Kroeber, 1952: 182-190). Terlepas dari berbagai silang pendapat, dewasa ini sulit kiranya untuk menerima pengertian "kebudayaan" yang "statis", karena "kebudayaan" merupakan kisah tentang perubahan-perubahan atau riwayat manusia yang selalu membe.ri wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada (Peursen, 1984: 11). Setidak-tidaknya pembagian wilayah budaya oleh Kroeber-Kluckhohn telah menyiratkan adanya potensi ketegangan antara berbagai komponen kebudayaan. Dalam rangka memahami dinamika perubahan kebudayaan, hubungan individu dan masyarakat tidak dapat dipahami dalam kerangka kausalitas linear, sebagaimana kecenderungan kuat yang muncul pada pemahaman "ilmu-ilmu positif' terhadap masyarakat. Dapat dikatakan demikian karena pola hubungan antara individu dan masyarakat secara hakiki dibentuk oleh tiga momentum proses, yakni: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi (dan/atau subjektivasi) (Berger, 1991: 4).

Secara dialektis eksternalisasi merupakan proses yang berpasangan dengan internalisasi, sedangkan objektivasi merupakan proses yang berpasangan dengan subjektivasi. Karena kedua proses bukan merupakan hubungan kausal linear, maka tidak tepat bila dinyatakan bahwa proses yang satu merupakan sebab, dan proses yang lain merupakan akibat. Dalam kerangka pemikiran dialektis-fenomenologis, setiap momentum proses merupakan sebab sekaligus akibat, atau akibat sekaligus sebab. Dengan demikian dinamika kebudayaan manusia dan eksistensi manusia adalah suatu "tindak penyeimbangan" terus-menerus antara manusia dan dirinya, manusia dan dunianya (Berger, 1991: 7). Maksud "eksternalisasi" adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. "Objektivasi" adalah proses transformasi produk-produk aktivitas fisik maupun mental manusia menjadi suatu realitas yang berhadapan dengan produsernya dalam bentuk kefaktaan (faktisitas) yang eksternal dan berbeda dari produsernya sendiri. "Internalisasi" adalah peresapan, kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur dunia objektif ke struktur kesadaran subjektif (Berger 1991: 4-5). Dalam kerangka pikir yang demikian, melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia. Namun melalui objektivasi, masyarakat menjadi suatu "realitas" objektif. Sedangkan melalui internalisasi, dapatlah dinyatakan bahwa manusia merupakan produk dari masyarakat. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan manusia harus terus menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas (Berger, 1990: 75). Dalam momentum eksternalisasi ini, aktivitas mental manusia menciptakan simbol, bahasa, sistem nilai, norma, maupun unusur-unsur ideasional yang lain. Adapun aktivitas fisik manusia adalah menciptakan barang-barang atau pun alat teknologi untuk memenuhi hasrat dan kebutuhannya. Keseluruhan hasil eksternalisasi tersebut, baik yang mental maupun yang fisik, disebut sebagai "kebudayaan" atau "dunia manusia". "Kebudayaan" sebagai "alam kedua" (alam buatan, selain alam natural), tidak pernah memiliki stabilitas sebagaimana yang terdapat dalam alam binatang. Dengan demikian watak inheren dari "kebudayaan" tersebut adalah perubahan (Berger, 1991: 8). Hal tersebut dapat terjadi lantaran esensi kedirian manusia bersifat "terbuka", dan oleh karenanya eksternalisasi manusia tidak sama dengan binatang. Dalam rangka eksternalisasi, manusia mampu membentuk "dunia"-nya secara "tidak terbatas", sedangkan binatang tidak dapat melakukannya. Aktivitas manusia dalam membangun kebudayaannya selalu dan pasti merupakan aktivitas kolektif, misalnya: bahasa, lembaga, teknologi, dan lain-lain (Berger, 1991: 9). Pada perkembangan yang lebih lanjut, "produk-produk manusia" (kebudayaan) mengalami transformasi menjadi suatu faktisitas di luar diri manusia. Pada titik transformatif inilah momentum proses objektivasi terjadi. Kebudayaan sebagai produk manusia berada di luar subjektivitas individual, dan memiliki watak seperti dunia alamiah, oleh karenanya merupakan bagian dari realitas objektif (Berger, 1991: 11-12). Kebudayaan sebagai produk manusia yang sudah menjadi realitas objektif pada akhirnya mengkondisikan manusia, baik secara individu maupun sosial, untuk menyesuaikan diri dengan produknya, baik bahasa, teknologi, atau lembaga sosialnya. Ini dapat terjadi karena bentang historis manusia individual lebih pendek dibanding dengan bentang historis

masyarakat dengan berbagai tingkat keluasan unit yang berbeda (suku, bangsa, ras) (Berger, 1991: 10). Pada unsur-unsur material kebudayaan, manusia pada akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perangkat teknologis yang telah dihasilkannya sendiri. Pada dunia agraris --suatu misal-- seorang petani dituntut untuk memiliki "pengetahuan" ataupun "keahlian" tertentu agar dia dapat menggunakan "cangkul" (alai teknologis). Pada dunia industri, manusialah (pekerja pabrik) yang pada akhirnya harus menyesuaikan diri dengan mekanisme "ban berjalan". Proses yang serupa juga terjadi dengan unsur-unsur nonmaterial dari kebudayaan. Manusia menemukan dan membuat bahasa, namun pada akhirnya "dunia"-nya sangat ditentukan oleh logika bahasa yang telah diciptakannya sendiri. Demikian pula manusia menciptakan lembaga-lembaga sosial, yang pada akhirnya menentukan jenjang sosial dan pola hubungan antar manusia itu sendiri. "Objektivitas" kebudayaan ini sendiri bukanlah "objektivitas" yang stabil, justru oleh watak inheren manusia yang "terbuka", dalam arti manusia bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan "realitas objektif"-nya atau manusia "menolak realitas objektif' tersebut, dan melalui momentum proses eksternalisasi manusia membentuk "realitas objektif baru". Proses penerimaan ataupun penyerapan "realitas objektif" ke dalam struktur subjektif kesadaran manusia, sehingga "pengetahuan individu" sesuai dengan "cadangan pengetahuan masyarakat" (social stock of knowledge), disebut sebagai momentum proses internalisasi. Oleh karena masyarakat berada baik sebagai kenyataan objektif maupun subjektif, maka perubahan kebudayaan manusia harus dipahami dalam dinamika momentum-momentum proses kebudayaan tersebut. Bagian terpenting dari momentum proses internalisasi adalah sosialisasi, yang dimengerti sebagai pengimbasan individu secara komprehensif dan konsisten ke dalam dunia objektif suatu masyarakat atau salah satu sektornya (Berger, 1990: 187). Sosialisasi dibedakan menjadi dua, antara sosialisasi primer dan sosial isasi sekunder. Sosialisasi primer adalah berbagai proses pengalihan " pengetahuan masyarakat" ke dalam kesadaran subjektif individu, yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain sesuai dengan latar sosio-historis mereka (Berger, 1990: 194-196). Sosialisasi primer berakhir bila konsep tentang "dunia objektif" telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Identifikasi sederhana terhadap sosialisasi primer dapat ditemukan dalam "pendidikan" menurut artinya yang luas, yakni proses pembelajaran dalam masyarakat luas. Melalui sosialisasi primer ini "dunia" setiap individu terbentuk, berikut unsur-unsur ideasionalnya maupun tata hubungan internal dan eksternal antar unsur tersebut. Melalui sosialisasi primer ini setiap individu mengenal dan memahami hubungan kekerabatan, hubungan sosial, hubungan ekonomis, hubungan politis, dan juga tata nilai dalam masyarakat atau habitatnya. Masyarakat yang dihasilkan oleh sosialisasi primer adalah masyarakat dengan khazanah pengetahuan yang sangat sederhana. Berbeda dengan sosialisasi primer, sosialisasi sekunder merupakan internalisasi sejumlah "sub-dunia" kelembagaan atau berdasarkan lembaga dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya dalam masyarakat (Berger, 1990:198). Identifikasi paling mudah dari sosialisasi sekunder adalah "pendidikan" dalam arti yang sempit, sebagaimana ditemukan dalam pendidikan formal (resmi dan melembaga), nonformal (tidak resmi tapi memiliki lembaga), dan informal (tidak resmi dan tidak melembaga). Identifikasi dan penentuan peranan pada sosialisasi sekunder dan dilandasi oleh tata nilai dan norma yang khusus pula. Dari

landasan peran, tata nilai, dan norma yang berbeda dapat ditemukan dengan mudah perbedaan antara misalnya-- "pendidikan umum"dan "pendidikan kejuruan", antara "pendidikan sipil" dan "pendidikan militer", atau pun antara "pendidikan mental" dan "pendidikan ketrampilan". Unsur terpenting dari sosialisasi sekunder dalam rangka menciptakan dan mempertahankan konsistensi adalah adanya pengandaian prosedur-prosedur konseptual untuk mengintergrasikan berbagai perangkat pengetahuan (Berger, 1991:201). Dari sini lahirlah berbagai tradisi metode maupun prosedur pengintegrasian pengetahuan, dengan ilmu dan teknologi sebagai tradisi yang paling menonjol di antara tradisi yang lain. Dalam kerangka tiga tahap perkembangan kebudayaan, (tahap mitis, ontologis, dan fungsional) tradisi ilmu mulai timbul dalam alam pikiran ontologis (peursen, 1984:180). Dalam alam pikiran yang demikian manusia bersikap mengambil jarak terhadap alam sekitarnya, sehingga alam dapat dipelajari dan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sikap dasar yang semula hanya berkembang pada ilmu-ilmu alam, atas peran empirisme dan positivisme, pada akhirnya merambah pula pada ilmu budaya-budaya manusia. Dewasa ini dalam ilmu budaya manusia pun sudah muncul semacan pengetrapan teknis, walau tahap-tahap pengetahuan, teknik dan etika terbelakang sekali bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu kehidupan, dan ilmu kehidupan inipun terbelakang lagi dibandingkan dengan ilmu alam (peursen, 1984:191). Dari perkembangan tradisi keilmuan ini terlihat bahwa ilmu memiliki peranan yang besar baik dalam menjaga stabilitas dunia objektif melalui sosialisasi sekunder, ataupun dilain pihak membongkar realitas objektif sebagaimana dijamin oleh teori-teori ilmu yang telah ada dan menggantikannya dengan realitas objektif yang baru melalui teori-teori keilmuan yang baru. Sejarah perkembangan ilmu telah mencatat beberapa pembongkaran dunia objektif yang dirintis oleh Copernikus (Jonas, 1971 : 80), juga sederet nama di bidang ilmu alam maupun ilmu sosial humaniora. Dengan demikian adanya pemahaman yang memisahkan ilmu dan kebudayaan baik secara konseptual maupun secara faktual tidak dapat diterima lagi. Ilmu merupakan komponen penting dari kebudayaan, bahkan kecendrungan akhir abad ini semakin memberi tempat bagi dominasi "ilmu" dalam menciptakan universumuniversum simbolik atau "dunia kemasuk-akalan". Tidak perlu disangkal bahwa memang timbul gejala marginalisasi unsur-unsur "pengetahuan" lain, sebagaimana nampak dalam penempatan "unsur-unsur pengetahuan nonilmiah" sebagai unsur pengetahuan yang berada di luar "objektivitas". Contoh yang bisa dirujuk adalah tersingkirnya "ilmu rakyat" (folk science) dari "perbincangan satu meja" dengan tradisi "pengetahuan ilmiah", sekalipun "folk science" masih dijadikan objek ilmu antropologi (Ziman, 1984:185-186). Tidak perlu dipungkiri pula bahwa "scientism" telah menjadikan kategori "ilmiah" sebagai matra pembeda antara "dapat dipercaya", "dapat dipercaya sebagian", "meragukan", "di luar jangkauan". Pemilahan antara "folk science", "pseudoscience" (setengah ilmiah), "science", maupun "parascience" (mengatasi jangkauan ilmu) jelas mengindikasikan hal tersebut (Ziman, 1984: 185-189). "Scientism" yang dilatarbelakangi metafisika positivistik yang "materialistic", sudah tentu merupakan bahaya bagi keseimbangan dan dinamika kebudayaan. Dapat dikatakan demikian karena pendekatan positivistik hanya menekankan dimensi material dari kebudayaan, dengan menyebutkan puncak peradaban manusia adalah masyarakat yang bermatra tunggal

"pengetahuan ilmiah". Sebagaimana watak yang sudah melekat pada "kebudayaan" manusia, "scientism" pada akhirnya mendapatkan reaksi, paling tidak dengan munculnya reorientasi atau pun pengembangan orientasi baru bagi pengembangan ilmu. Gejala yang nampak semakin luas adalah mulai ditinggalkannya "ideologi ilmu untuk ilmu", atau "ilmu bebas nilai" (Ziman, 1971: 190-193). "Ideologi" yang demikian jelas mengingkari hubungan dialektis antara "ilmu" sebagai unsur sistem "kebudayaan" dengan unsur sistem "kebudayaan" yang lain, baik itu religi, struktur ekonomi, struktur social, kepentingan politis, maupun subjektivitas manusia itu sendiri. Persoalan yang kemudian menuntut pemikiran bersama lebih lanjut adalah strategi pengembangan ilmu yang sungguh-sungguh mempertimbangkan unsur-unsur sistem "kebudayaan" yang lain secara integral dan integratif. Kesalahan pemilihan strategi "pembelajaran" ilmu, akan mempunyai akibat langsung bagi integrasi kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Setiap kebudayaan memiliki hirarkhi nilai yang berbeda-beda sebagai dasar penentu skala prioritas (Suriasumantri, 1987: 263). Ada sistem kebudayaan yang menekankan nilai teori, dengan mendudukkan rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah sebagai dasar penentu "dunia objektif". Terdapat pula sistem kebudayaan yang menempatkan nilai ekonomi sebagai acuan dasar dari seluruh dinamika unsur kebudayaan yang lain. Ada juga sistem kebudayaan yang meletakkan nilai politis sebagai dasar pengendali unsur-unsur kebudayaan yang lain, di samping ada sistem kebudayaan yang menempatkan nilai religius, nilai estetis, nilai sosial sebagai dasar dan orientasi seluruh unsur kebudayaan. Setiap pilihan orientasi nilai dari kebudayaan akan memiliki konsekuensi masing-masing baik pada taraf ideasional maupun operasional. Berikut ini akan diulas lebih jauh proses dinamis kebudayaan dengan titik singgung komponen "terpenting" kedua dari kebudayaan, yakni: teknologi. D. Hubungan Teknologi dan Kebudayaan Seperti telah disinggung di atas, kebudayaan terdiri dari sejumlah besar unsur yang berbeda seperti lembaga-lembaga politik, ideologi-ideologi politik, sistem ekonomi, sistem hukum, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai religius. Bunge menyusun daftar enam komponen kebudayaan yang memiliki hubungan timbal batik yang kuat dengan teknologi. Komponen-komponen tersebut, berurutan dari yang "keras" sampai dengan yang "lunak" adalah: matematika, ilmu, filsafat, humaniora, ideologi, dan seni rupa (The Liang Gie, 1982: 88). Dari bagan yang yang disusun oleh Bunge, hampir semua komponen lain "berhubungan langsung" dengan teknologi, kecuali matematika. Terlepas dari dapat diterima atau tidaknya "penyerderhanaan" yang dilakukan oleh Bunge, bagaimanapun meski diterima bahwa dalam sistem kebudayaan yang holistik, teknologi hanyalah salah satu komponen di antara komponen kebudayaan lainnya. Atau bila dikembalikan dalam perspektif fenomenologis Berger, teknologi merupakan bagian dari "realitas objektif' sebagai hasil dari momentum proses eksternalisasi. Dan seperti unsur-unsur "realitas objektif' lain, teknologi juga tidak "stabil". Dengan demikian dalam pendekatan sistem maupun dalam pendekatan fenomenologis, tidak tepat bila teknologi didudukkan dalam kutub oposisi dengan kebudayaan. Pernyataan-pernyataan seperti teknologi merusak kebudayaan, teknologi merupakan kelestarian lingkungan hidup manusia memang tidak sepenuhnya salah. Dasar pemikiran dari pernyataan-pernyataan yang demikian berangkat dari pengertian dan asumsi yang berbeda de-

ngan pendekatan sistem ataupun fenomenologis. Mereka memandang "teknologi" sebagai "kebudayaan" (barat), atau "produk kebudayaan" (barat) yang belum tentu sesuai dengan "kebudayaan yang lain" (nonbarat). Sejarah perkembangan teknologi telah memaparkan bahwa akar teknologi modern bukan berasal dari kebudayaan Asia atau Afrika, melainkan dari Eropa dan Timur Tengah (Ferkis dalam: Mangunwijaya, ed, 1985: 14-19). Pada komunitas kebudayaan yang menjadi akar pertumbuhannya pun, teknologi ternyata telah melahirkan banyak masalah pada level teori-teori sosial, filsafat, teologi, yakni terkait dengan masalah "otonomi", "kebebasan", "keadilan" "sejarah", dan pemahaman manusia terhadap diri dan masyarakatnya (Menezes, 1986: 72). Dari sini lahir anekdok bahwa ilmu sosial, filsafat, dan teologi meski berterimakasih terhadap teknologi karena diberi permasalahan baru sehingga ketiga bidang ilmu tersebut masih bisa berkembang! Berbeda dengan peran ilmu yang sangat besar dalam pembentukan dan pengkayaan universum simbolis manusia dalam "realitas objektif', teknologi lebih berperan membangun "unsur material" kebudayaan manusia. Bila pada mileneum pertama sebelum Abad Masehi manusia bergumul antara dua aktivitas, yakni merenung dan berpikir -- setelah masa itu manusia terlibat dalam pergulatan baru, yakni berpikir dan bertindak. Bila pada masa Yunani Kuno manusia merenung dan berpikir tentang hakikat "dunia", setelah Abad Masehi manusia berpikir dan bertindak terhadap "dunia". Perubahan dari kesadaran pertama yang berupa "berpikir tentang pikiran" (thinking of thinking) menjadi "berpikir tentang tindakan" (thinking of acting) merupakan perubahan yang esensial. Perubahan dari alam "theoria" ke alam "praxis", secara sederhana menggambarkan pula peningkatan peran teknologi dalam kebudayaan manusia. Bahkan teknologi sendiri memiliki suatu potensi merubah kesadaran intelektual dan moral dari diri individu manusia (Moser, 1971: 139). Dengan demikian , seperti halnya realitas nilai yang terbentuk dalam momentum proses eksternalisasi, teknologi yang juga merupakan bagian dari "realitas objektif' pada akhirnya memiliki peranan yang besar terhadap komponen kebudayaan yang lain, maupun terhadap manusia sendiri. Pada tingkat tertentu teknologi mengkondisikan "kebudayaan". Teknologi komputer dengan jaringan Internet-nya, misalnya, telah mengkondisikan manusia baik secara individual maupun sosial secara berbeda dengan "dunia tanpa teknologi komputer". Teknologi komputer dan jaringan Internet, yang buatan manusia, pada akhirnya menuntut pembuatnya untuk menerima poles-poles hubungan baru, tata nilai baru, bahkan suatu "dunia" baru, yakni "dunia Cyberspace". Tidak perlu disangkal bahwa teknologi sangat berperan pada "pembongkaran" dunia manusia, baik dunia material maupun dunia nonmaterial. Teknologi tidak hanya membuka batas-batas kemampuan fisik manusia, namun juga batas cakrawala pengetahuan manusia. Mengingat teknologi tidak hanya berkaitan dengan aspek material, namun juga nonmaterial, tentu timbul pertanyaan: Apakah perubahan unsur material dari "teknologi baru" rnensyaratkan "unsur nonmaterial baru" pula yang sesuai? Apakah perubahan aspek material dari teknologi membawa pula perubahan aspek nonmaterial dari teknologi yang bersangkutan? Atau dalam rumusan yang terbalik: Apakah adanya aspek nonmaterial tertentu merupakan syarat bagi adanya suatu produk teknologi? Atau dalam rumusan yang lebih sederhana: Apakah setiap sistem kebudayaan hanya sesuai bagi pengembangan teknologi tertentu? Sebelum menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pengaruh komponen-komponen kebudayaan yang lain terhadap teknologi, ada baiknya disinggung sedikit tentang paradigma teknologi yang cukup dominan dewasa ini. Terdapat dua "gerakan" yang cukup dominan dewasa ini berkaitan dengan sifat paradigma mereka tentang tekonologi. Gerakan pertama adalah gerakan yang berkembang dan

mendapatkan latar belakang filosofisnya dari "scientism" dan positivisme, sedangkan gerakan kedua merupakan gerakan-gerakan yang menentang paradigma teknologi yang didasarkan atas asumsi-asumsi "scientism" dan positivisme. Terdapat tiga ciri pokok paradigma teknologi dari gerakan pertama, yakni: (1) Keharusan teknologi, yang menyatakan bahwa setiap ilmu yang dapat diterapkan wajib untuk diterapkan. Melalaikan kewajiban tersebut berarti pula menghalangi kemajuan. (2) Setiap masalah yang timbul karena teknologi akan dapat dipecahkan oleh teknologi pula. (3) Elitisme dalam teknologi, bahwa struktur teknologi menentukan bahwa jenis teknologi hanya dapat ditangani oleh suatu kelompok orang tertentu. Teknologi telah mempengaruhi cara pandang atau penilaian seseorang terhadap orang lain. Timbul anggapan umum bahwa mereka yang memiliki, menggunakan, dan membina teknologi memiliki kedudukan dan peran yang lebih penting dari yang lain (Fujimoto, dalam: Mangunwijaya, 1985: 76-78). Pandangan-pandangan yang mewarnai paradigma teknologi yang demikian' jelas mengisolasikan teknologi dari komponen kebudayaan yang lain. Bahkan terdapat kecenderungan kuat untuk menganggap teknologi sebagai "sistem tertutup", yang setidaktidaknya terindikasi dari pernyataan bahwa masalah yang lahir oleh teknologi hanya dapat diatasi dengan teknologi. Sebuah sikap arogan dan pengingkaran yang serius terhadap akibatakibat nonteknologis terhadap komponen kebudayaan yang lain. Bereaksi terhadap pengembangan teknologi yang didasari paradigma positivistic tersebut, lahir gerakan yang hendak mengembalikan teknologi pada jangkar sejarahnya, yakni untuk kesejahteraan "semua orang". Sebutan yang populer untuk paradigma kedua ini adalah "teknologi tepat" (appropiate technology). Maksud utama dari gerakan kedua ini pada pokoknya hendak membongkar elitisme dalam teknologi dengan mengembangkan teknologi yang lebih demokratis (Fujimoto, dalam: Mangunwijaya, 1985: 78), di samping hendak mengembangkan teknologi yang sesuai dengan situasi budaya dan geografis setiap masyarakat dengan orientasi utama untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar (Menezes, 1986: 85). Terdapat empat nilai yang dijadikan pegangan oleh gerakan ini, yakni: (1) Pengutamaan usaha swadaya, baik berkaitan dengan perumusan permasalahan, pemecahan masalah, maupun pengelolaan teknologinya. (2) Penghargaan yang tinggi terhadap desentralisasi. (3) Pengutamaan kegotong-royongan dalam melaksanakan sesuatu. (4) Adanya kesadaran tanggungjawab jangka pendek dan jangka panjang, juga tanggungjawab sosial dan ekologis (Fujimoto, dalam Mangunwijaya, 1985: 79-80). Dengan demikian, segala pembicaraan tentang teknologi sebaliknya merujuk pada paradigma yang lebih spesifik, karena ternyata tidak ada paradigma tunggal tentang teknologi. Dengan cara berpikir yang demikian pula, kiranya pandangan yang menilai teknologi dengan segala akibat negatifnya meski diletakkan dalam kerangka "komunikasi antar sistem kebudayaan". Dasar dari kerangka pikir yang demikian adalah mengembalikan "teknologi" kepada "lingkungannya" yang sesuai dengan sistem kebudayaan tertentu, dengan paradigma teknologinya yang spesifik. Jawaban manusia terhadap masalah-masalah teknologi tentu dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biotic, lingkungan sosial, ekonomi, politik, maupun agama. Terlebih-lebih teknologi tidak hanya berupa produk, namun juga berupa lembaga dan mekanisme kerja dalam masyarakat (Jacob, 1988: 810).

Selain secara internal teknologi membawa berbagai dampak lingkungan alam per locus pada sistem kebudayaan yang melahirkannya, akibat-akibat negatif teknologi terhadap lingkungan sosial lebih berakar pada masalah "komunikasi antar sistem kebudayaan" terlebih semakin terbukanya hubungan antar sistem kebudayaan oleh pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi. Dewasa ini produk suatu teknologi dengan perangkat lunaknya dan sistem nilai dibalik teknologi tersebut dengan mudah melintasi "wilayah-wilayah kebudayaan". Akselerasi perlintasan "wilayah kebudayaan" oleh teknologi sudah semakin sulit dikendalikan dan melahirkan gejala-gejala yang tidak dikehendaki oleh manusia sendiri. Reaksi-reaksi "marjinal" oleh gerakan anti-teknologi maupun oleh gerakan "teknologi tepat" agaknya tetap sulit menghasilkan "paradigma baru" yang diharapkan. Oleh karenanya, beberapa persoalan khusus yang dihadapi oleh negara-negara berkembang berkaitan dengan teknologi sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan masalah yang murni "teknologis" melainkan terkait terutama dengan aspek politis dan ekonomis. "Alih teknologi" kemudian lebih banyak menimbulkan pertanyaan dari pada memberi jawaban yang tuntas terhadap "kesenjangan teknologi" antara negara maju dan negara berkembang. Bila yang dimaksud dengan "alih teknologi" adalah "relokasi industri" dari negara maju ke negara berkembang atau dari negara kaya ke negara miskin, maka kunci permasalahannya terletak pada kemauan politik dari negara maju tersebut, di samping tendensi ekonomis dari para investor dalam mengembangkan kekayaannya. Terminologi yang bermain kemudian adalah "stabilitas politik", "deregulasi", atau pun "upah buruh rendah". Investor yang menjadikan ketiga hal tersebut sebagai dasar pertimbangan "relokasi industri" jelas lebih digerakkan oleh motivasi ekonomis dari pada maksud mulia untuk "alih teknologi". Atas kepentingan perlindungan investasi pula beriringan dengan issue-issue lingkungan dan issue-issue hak azasi dijadikan senjata oleh negara maju dalam menekan negara berkembang, sehingga negara berkembang dan negara miskin makin lemah posisinya dalam "tawar-menawar" mengenai teknologi dan industri yang bagaimana yang meski dikembangkan. Juga timbul masalah apabila yang dimaksud dengan "alih teknologi" adalah "transfer teknologi" dari negara maju ke berkembang. Telah banyak sekali bukti bahwa "transfer teknologi" berarti pula transfer sikap-sikap terhadap kerja, terhadap pengetahuan, terhadap kekuasaan, terhadap manusia, maupun terhadap alam (Ferkis, dalam: Mangunwijaya, ed, 1985: 29). Pemindahan perangkat "keras" dan "lunak" dari teknologi kemudian berarti pula pemindahan gaya hidup, pola konsumsi, dan pandangan hidup terhadap dunia. Memindahkan teknologi kemudian lebih bermakna sebagai "pemindahan kebudayaan", karena sangat sulit kiranya "memindahkan teknologi" tanpa menyertakan pula "kebudayaan" yang melatarbelakangi teknologi tersebut. Selain atas dasar kerangka pikir "kebudayaan", suatu kebijakan (policy) untuk "alih teknologi" meskinya juga diputuskan dengan mempertimbangkan watak yang melekat pada teknologi negara maju tersebut, kerena bisa jadi "watak dasar" teknologi justru berlawanan dengan tujuan kebijakan tersebut. Sudah sejak dimulainya revolusi industri di Eropa, teknologi yang dihasilkan oleh masyarakat Eropa dan kemudian disebarkan ke seluruh dunia (untuk selanjutnya kita sebut: "teknologi barat"), ternyata memiliki: Pertama, watak ekonomis yang: "capital-intensive", "research-intensive", "organitation-intensive", "labour-intensive", dan "worker-intensive", yang pada intinya berorientasi pada efisiensi ekonomis dengan pengutamaan kendali pada elit pendukung finansial dan elit tenaga ahli.

Kedua, ditinjau dari aspek sosial, teknologi barat ternyata bersifat melanggengkan sifat ketergantungan. Ketergantungan ini terkait baik dengan teknik produksi maupun dengan pola konsumsi. Mata rantai produsen dan konsumen terputus, dalarn arti produsen menentukan produk lebih berorientasi pada "kemajuan teknologi". Asumsi dasar produsen adalah "menciptakan kebutuhan". iklan-ikian di berbagai media massa merupakan "nabi-nabi" bagi penciptaan kebutuhan baru. Ketiga, struktur kebudayaan, teknologi barat telah melahirkan struktur kebudayaan yang: (a) Memandang ruang geografis dengan kaca mata pusat-pinggiran, dengan dunia barat sebagai pusatnya. (b) Adanya kecenderungan untuk melihat waktu sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemajuan dan berkembang secara linear. (c) Adanya kecenderungan untuk memahami realitas secara terpisah, dan memahami hubungan antar bagian sebagai hubungan mekanistis sehingga perubahan pada satu bagian menuntut adanya penyesuaian pada bagian lain. (d) Kecenderungan untuk memandang manusia sebagai tuan atas alam dengan hak-hak yang terbatas (Menezes, 1986: 82-83). Dengan mempertimbangkan watak teknologi barat yang demikian, sulit kiranya untuk tidak menyebut "alih teknologi barat" sebagai "invasi kebudayaan barat". Globalisasi merupakan bukti betapa "gelombang invasi" terjadi dengan dahsyatnya. Dengan demikian perbincangan tentang hubungan antara teknologi dan kebudayaan dapat ditilik dari dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang teknologi dan dari sudut pandang kebudayaan. Dari sudut pandang teknologi terbuka alternatif untuk memandang hubungan antara teknologi dan kebudayaan dalam paradigma positivistis atau dalam paradigma "teknologi tepat". Masing-masing pilihan mengandung konsekuensi yang berbeda terhadap komponen-komponen kebudayaan yang lain. Paradigma teknologi positivistis yang didasari oleh metafisika materialistis jelas memiliki kekuatan dalam menguasai, menguras, dan memuaskan hasrat manusia yang tak berbatas. Sedangkan paradigma "teknologi tepat" lebih menuntut kearifan manusia untuk "hidup secara wajar". Dari sudut pandang kebudayaan, bagaimanapun teknologi dewasa ini merupakan anak kandung "kebudayaan barat", dan ini berarti bahwa penerimaan ataupun penolakan secara sistemik terhadap teknologi harus dilihat dalam kerangka "komunikasi antar sistem kebudayaan". Sehingga, bagi negara atau masyarakat pengembang teknologi, suatu penemuan teknologi baru merupakan momentum proses eksternalisasi dalarn rangka membangun "dunia objektif' yang baru; sedangkan bagi negara atau masyarakat "konsumen teknologi", suatu "konsumsi teknologi baru" bisa bermakna: inkulturasi kebudayaan, alkulturasi kebudayaan, atau bahkan "invasi kebudayaan".

BAB IX ETIKA KEILMUAN

A. Antara Etika, Moral, Norma, Dan Kesusilaan Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Adapun motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan ticlak sadar tidak dapat dinilai baik buruk. Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya. (Sunoto, 1982, hlm. 6) Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada seclikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam keduclukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. (Frans Magnis Suseno, 1987, hlm. 14) Norma adalah alai tukang kayu atau tukang bate yang berupa segitiga. Kemudian norms berarti sebuah ukuran. Pads perkembangannya norms diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum, yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.

B. Arti Kesusilaan Leibniz seorang filsuf pada zaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu "menjadi" yang tedadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap. (Harun Hadiwijono, 1990, hlm. 44 - 45) Oleh karena itu, tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita. Akibat pandangan itu orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang tidak jelas. Menurut filsuf Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa berbagai pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada zaman negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang pada zaman negara industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan oleh kemakmuran yang dialami pada zaman industri bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi. C. Problema Etika Ilmu Pengetahuan

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masamasa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saj a menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh. (Achmad Charris Zubair, 2002) Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikejakan untuk memperkokoh

kedudukan Berta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Khaliknya. Jadi sesuai dengan pendapat Van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dan yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia itu sendiri. D. Ilmu: Bebas Nilai Atau Tidak Bebas Nilai Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptismetodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang raguragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada mana Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam. Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut. 1. Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya. 2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia clan penentuan diri. 3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal. Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuwan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah. (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001) Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu

pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga ditentukan oleh kepentingan praktis kenclati dengan cara yang berbeda. Kepentingannya adalah memelihara, serta memperluas bidang aling pengertian antarmanusia dan perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoretis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, bahasa, dan otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, sedang otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial. E. Pendekatan Ontologis Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? (Jujun S. Suriasumantri, 1985, hlm. 34). Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerahdaerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, h1m. 88) Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologis ilmu bersifat netral terhadap mlai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya. F. Pendekatan Epistemologi Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Jujun S. Suriasumantri, 1985, hlm. 34-35) Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh

pengetahuannya berdasarkan: (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; (b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut; (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm. 9) Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis. Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap, kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/ 1985, h1m. 91) Dalam kaitan dengan moral, dalam proses kegiatan keilmuan setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup Yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan. G. Pendekatan Aksiologi Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan normanorma moral atau profesional? (Jujun S. Suriasumantri, 1985, hlm. 34-35) Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama. H. Sikap Ilmiah Yang Harus Dimiliki Ilmuwan Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang ilmiah. Ilmiah dalam arti sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Oleh karena itu, ia terbuka untuk diuji oleh siapa pun. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan

setelah ia membangun suatu bangunan yang kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Di smilah letak tanggung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karena itu, penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah. Manusia sebagai makhluk Tuhan bersama-sama dengan alam dan berada di dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan membudayakan dirinya bilamana manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya. Manusia yang merupakan bagian alam tidak hanya bagian yang terlepas darinya. Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai dengan martabatnya, manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa merupakan pusat dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa di antara manusia dengan alam ada hubungan yang bersifat keharusan clan mutlak. Oleh sebab itu, manusia harus senantiasa menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa lebih-lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak. Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu moral khusus ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. (Abbas Hamam M., 1996, hlm. 161) Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap, ilmuwan. Hal ini disebabkan oleh sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara social untuk melestarikan dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada'ruhan. Artinya, selaras dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan. Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M.,(1996) sedikitnya ada enam, yaitu sebagai berikut.
1.

Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alai-alai indra serta budi (mind). Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belied dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak

2.

3. 4.

5.

pugs terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya. 6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara. Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan .komunal. Di samping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan kepatuhan terhadap norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah barang tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian objektivitas dan demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan. Yang perlu diperhatikan bagi para ilmuwan khususnya di Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya etika keilmuan dijelaskan bahwa etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta, dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan komunikatif, dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai clan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik. Di samping itu, etika ini mendorong tumbuhnya kemampuan menghadapi hambatan, rintangan, dan tantangan dalam kehidupan, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, mampu menumbuhkan kreativitas untuk penciptaan kesempatan baru dan tahan uji, serta pantang menyerah.

BAB X. ESTETIKA

Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan keindahan, yang didalamnya termasuk nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia (The Liang Gie,1976). Estetika, seperti juga bidang lainnya, dapat dibahas dalam lingkup estetika filsafati dan estetika ilmiah. Selain itu, dalam memahami estetika, kita perlu memahami istilah lain yang berhubungan dengan kesenian, khususnya teori kesenian yang untuk sebagian besar mempunyai kaitan, bahkan persamaan dengan filsafat seni. 1. Estetika Filsafati Menurut The Liang Gie, istilah-istilah yang sering tampil berkaitan dengan estetika adalah filsafat keindahan (philosophy of beauty), filsafat citarasa, filsafat seni, dan filsafat kritik. Selain itu, terdapat pula istilah 'kritik seni' atau 'tinjauan seni'. Dalam bahasa Inggris, istilah filsafat diganti dengan teori, sehingga namanya menjadi theory of beuauty, theory of taste, theory of fine arts, dan theory of Five Arts. Penggunaan istilah teori sering dianggap tidak tepat karena berdasarkan asumsi tertentu. Adapun estetika atau filsafat seni mencari landasan atau asumsi sehingga teori keindahan lebih tepat dianggap sebagai kajian ilmiah dalam membahas fenomena atau wujud kesenian daripada dasar-dasar bagi wacana seni. Adapun yang dimaksud dengan "Teori Lima Seni" (theory of Five Arts) adalah teori seni yang menyangkut permasalahan seni lukis, seni pahat, arsitektur, sajak dan musik. Terdapat pengertian lain, yaitu 'fine art' yang kadang-kadang disebut sebagai seni halus, ialah jenis seni yang khusus menyangkut seni rupa. Bagaimana proses terjadinya istilah itu, tidak cukup jelas. Boleh jadi istilah itu muncul karena lukisan dibuat dengan cara atau tindakan lembut atau hasilnya berupa goresan -goresan warna, garis, dan bidang yang halus. Pada zaman Yunani Kuno, filsafat keindahan yang saat ini lebih banyak dianggap sebagai bagian dari aksiologi, lebih banyak dibicarakan dalam metafisika. Pada masa Yunani Kuno masalah estetika antara lain dibahas oleh Socrates dan Plato. Dalam Abad Pertengahan dan awal Abad Modern, dengan mendasarkan diri pada pendapat Leibniz, Alexander Gottlieb Baumgarten, dianggap sebagai tokoh pertama estetika modern yang membedakan antara pengetahuan intelektual (intellectual knowledge)yang disebutnya sebagai pengetahuan tegasdan pengetahuan inderawi (sensuous knowledge)yang disebutnya sebagai pengetahuan kabur. Tahun 1750 buku Baumgarten berjudul Aesthetics terbit dalam dua jilid. Buku tersebut menjelaskan bahwa estetika adalah pengetahuan tentang sensuous. Dalam bahasa Yunani, aiesthetika berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindra, sedangkan aisthesis berarti persepsi indrawi. Baumgarten dikenal sebagai seorang filosof yang berjasa mengangkat estetika sebagai cabang tersendiri dalam filsafat.

Tentunya kita perlu membedakan estetika sebagai bagian dari filsafat dan estetika sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga filsafat estetika tidak seharusnya begitu saja disebut sebagai teori estetika. Secara singkat w acan a ya ng m en ya n gkut h u k u m -hukum keseni an, adal ah i l m u pengetahuan mengenai kesenian, keindahan, atau estetika. sedangkan wacana tentang hakikat, akar dari ilmu kesenian, berupa hasil perenungan, bukan eksperimen dan pengalaman-pengalaman lahiriah, yaitu filsafat estetika. Bernard Bosanquet (1961) dalam bukunya A History of Aesthetic menyatakan bahwa teori aestetika merupakan cabang filsafat, dan lahir untuk keperluan pengetahuan, bukan sebagai bimbingan praktis untuk menilai dan membentuk sesuatu yang bernilai estetis. Dengan demikian, aestetika pertama kali ditujukan kepada mereka yang membutuhkan minat filosofis dalam memahami tempat dan nilai keindahan dalam sistem kehidupan manusia, sebagaimana diartikan oleh pemikir-pemikir utama pada periode yang berbeda dalam sejarah dunia. Dalam menelaah masalah estetika, kita perlu berbicara mengenai kedudukan dan peranannya dalam sejarah pemikiran pada masa lalu, khususnya Yunani Kuno. Bosanquet menyatakan bahwa, penciptaan seni sajak dan seni formatif Hellenik dianggap sebagai panggung pertemuan (intermediate) antara relegi praktis populer dan refleksi kritis atau filosofis. Isi legendaris mengenai kesenian ini bukanlah pekerjaan penyair atau seniman formatif, melainkan pemikiran kebangsaan menyangkut perkembangan pemikiran yang panjang mengenai ha-hal yang berada di luar kebiasaan. 2. Prinsip Estetika Prinsip estetika yang menjadi bahan pertirnbangan ditemukan pada antikuitas Hellenistik secara umum. Prinsip ini dapat diberikan sebagai prinsip bahwa keindahan mengandung ekpresi imajinatif dan sensuous mengenai kesatuan dalam kemajemukan. Apakah hakikat keindahan merupakan karakteristik presentasi yang dialarni? Pikiran Hellenik menjawabnya secara formal. Alasannya, menurut kaum Hellenistik bahwa seni pertama kali muncul sebagai reproduksi dari realitas. Hal tersebut merupakan alasan yang ditentang analisis estetik karena berpegang teguh pada signifikan konkret mengenai keindahan dalam diri manusia dan alam. Teori yang bersangkutan dengan keindahan, mempunyai tiga prinsip yang membangun kerangka kerja spekulasi Hellenistik mengenai alam dan nilai keindahan. Namun, hanya satu yang dapat dianggap sebagai judul yang lebih tepat bagi "teori estetika". Adapun dua prinsip lainnya lebih dekat pada masalah-masalah moral dan metafisika, meskipun akar keduanya adalah asumsi metafisika yang juga memadai untuk batasan analisis estetika. Prinsip ketiga dianggap sebagai kondisi ekspresi yang abstrak. Asumsi metafisikal diperuntukkan dalam membangun pikiran bahwa representasi artistik tidak lebih daripada realitas biasa, ialah realitas seperti direpresentasikan terhadap sense persepsi dan perasaan normal. Hal itu berkaitan dengan objek persepsi yang biasa terhadap orang dengan tujuan-tujuannya. Jadi, asumsi metafisika merupakan subjek untuk reservasi dalam hubungannya dengan cara eksistensi yang kurang solid dan lengkap daripada yang terdapat dalam objek untuk mengambil suatu penilaian.

Objek persepsi umumnya dianggap sebagai standar seni. Dalam objek persepsi terdapat suatu baris yang tidak mungkin diatasi dalam rnenghadapi identifikasi keindahan dengan ekspresi spiritual yang hanya dapat ditangkap oleh persepsi tingkat tinggi. Dengan kata lain, untuk menerima imitasi atas alam dengan pengertian yang paling luas sebagai fungsi seni, sangat mudah untuk menyatakan bahwa masalah keindahan adalah nyata dalam kemungkinan yang paling kasar sehingga menghendaki ketidakmampuan total untuk memecahkannya. Artinya bahwa materi presentasi keindahan merupakan sesuatu yang diangkat dari objek persepsi, indra tidak menyentuh pertanyaan, "Apa yang dapat seni perbuat, lebih daripada yang dilakukan alam? " Timbul pertanyaan lain, "Dalam segi apakah? " jawabannya adalah dalam hal kondisi dan karakter umum. Apakah suatu realitas dapat ditampilkan kembali sebagai keindahan, untuk jawabannya kita telah mengangkat pertanyaan spesifik mengenai ilmu estetika. Terhadap teori kepandaian timbul pernyataan baru, "Bilamana suatu realitas menampilkan diri?" 3. Konsep Estetika Konsep estetika berasosiasi dengan istilah-istilah yang mengangkat kelengkapan estetika dan mengacu pada deskripsi serta evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek, satu kejadian artisitik dan estetik. Pertanyaan-pertanyaan epistemologis, psikologis, logis, dan metafisik, telah diangkat sebagai perlengkapan analog dengan hal yang telah diangkat mengenai konsep-konsep itu. Pada abad ke-18, filosof seperti Edmund Burke dan David Hume berusaha menerangkan konsep estetika. Misalnya keindahan secara empiris, dengan cara menghubungkannya dengan respons-respons fisik dan psikologis serta mengelompokannya ke dalam tipe-tipe penghayatan individual atas objek-objek dan kejadian-kejadian yang berbeda, jadi mereka melihat suatu dasar untuk objektivitas reaksi-reaksi pribadi. Kant menyatakan bahwa konsep estetika secara esensial bersifat subjektif,berakar pada perasaan pribadi mengenai rasa senang dan sakit, juga menyatakan bahwa konsep-konsep itu memiliki objektivitas tertentu dengan dasar bahwa pada taraf estetika murni, perasaan sakit dan senang merupakan respons yang universal. Pada abad ke-20, para filosof kembali mengacu pada analisis Humean mengenai konsep-konsep estetika melalui patokan cita rasa kemanusiaan, dan telah mengembangkan pertimbangan psikologis untuk mencoba melahirkan keunikan epistemologis dan logis mengenai konsep estetika. Banyak orang berpendapat bahwa meskipun tidak ada hukum-hukum estetika, seperti semua bunga mawar adalah indah, atau bahwa musik simfoni memiliki empat gerakan dan dikonstruksikan dengan aturan dan harmoni Barok, akan menjadi menyenangkan. Konsep-konsep estetika tidak memainkan peranan penting dalam diskusi atau perd ebatan. Dalam hal ini, beberapa filosof berargumentasi lain bahwa konsep-konsep estetik tidak secara esensial berbeda dengan tipe-tipe konsep lainnya. Teori-teori masa kini menarik, bahwa konsep estetika merupakan contextdependentdikonstruksi di luar pendapat dan kebiasaan. Teori-teori mereka biasanya menolak pendapat bahwa konsep-konsep estetika dapat bersifat universal. Misalnya, tidak hanya tidak ada jaminan bahwa istilah harmoni akan memiliki arti yang sama pada kultur yang berbeda, sama sekali tidak dapat digunakan. Terdapat beberapa hal mengenai masalah estetika yang penting untuk memahami apa

yang nyata terjadi dalam kehidupan. Pertama adalah tentang aliran estetis atau aestetisme, sikap estetis, serta hubungan estetika dan etika. Mengenai istilah aestetisme, Mautner (1999) rnenyatakan adanya dua pengertian yang umum dipahami dan dipakai orang. Pengertian pertama adalah aliran filsafat dan orang-orang yang menghadapi permasalahan apa pun atau dalam berkarya apa pun senantiasa mengutamakan dan mendahulukan nilai-nilai estetis. Misalnya Goethe, menyatakan bahwa dalam kehidupan, umumnya yang harus diutamakan dan didahulukan adalah nilai estetis, seperti keseimbangan dalam bertingkah laku dan menilai situasi atau gejala apa pun. Para seniman tidak harus termasuk dalam aliran ini. Ada seniman yang dalam berkarya menghitung-hitung lebih dahulu lakutidaknya karya tersebut. Hal ini menyangkut nilai kehidupannya, bukan masalah ia seniman atau bukan, atau hidup dari dunia seni atau akuntansi. Mengenai pengertian kedua, aestetisme diartikan sebagai teori. Aestetisme merupakan inti dari fart pour fart, bahwa seni memiliki nilai intrinsik. Seyogianya seni dinilai atas dasar ukuran seni itu sendiri, bukan untuk maksud dan fungsi lain yang dimungkinkan. Teori ini banyak didukung pada abad ke-19. Budd dalam Craig (2005) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sikap aestetis adalah cara kita menganggap sesuatu dan jika hanya menangkap inti estetis di dalamnya. Hal ini mengasumsikan bahwa dalam setiap kejadian estetis, setiap objek yang terdapat di dalamnya dinilai secara identik, khas untuk setiap kejadian. Hal ini menjadi problematik. jika identitas sikap ditentukan feature -feature, maka itu diarahkan. Secara definisi, pokok atau minat estetis dalam suatu objek merupakan pokok atau minat dalam kualitas-kualitas estetisnya. jika perhatian kualitas-kualitas estetis dapat diterangkan secara uniform, maka terdapat sikap estetis yang tunggal, ialah minat di dalam kualitas estetis menyangkut hal yang dibicarakan. Tetapi konsepsi sikap estetis ini tidak tepat untuk mencapai maksud utama dari penempatan sikap estetis itu. Maksud definisi estetis ini bahwa sikap estetis yang dipahami sebagai setiap yang ditujukan pada kualitas-kualitas estetis objek, memiliki anggapan dasar gagasan estetik, dan tidak dapat digunakan untuk menganalisisnya. Dengan demikian, pertanyaannya adalah apakah terdapat karakterisasi sikap estetis yang memcirikan hakikatnya tanpa secara eksplisit mengantarkan pada konsep estetik? Tidak ada alasan yang baik untuk menanggapi hal tersebut. Sehubungan dengan itu, tidak ada sesuatu pun sebagai sikap estetis. Hal itu merupakan sikap yang diperlukan untuk melengkapi minat estetis dan dikarakterisasikan secara mandiri untuk estetika. Mengenai hubungan etika dan estetika, Tanner, sebagaimana dikutip Craig (2005), menyatakan bahwa antara penilaian estetika dan etika telah melahirkan subjek materi estetika, terutama berlandaskan pandangan idiosinkretis Kant mengenai moralitas. Pandangan tersebut adalah mengenai moralitas sebagai serentetan issu imperatif dalam hubungannya dengan perintah dengan alasan-alasan praktis. Menurutnya, penilaian atas cita rasa tidak didasari alasan apa pun. Bahkan, Neokantianisme beranggapan bahwa penilaian estetis pertama kali bersangkutan dengan kesenian itu sendiri, dengan kekhasannya. Sementara itu, moralitas terutama berhubungan dengan tindakan dan dapat diulang. Hal ini menyebabkan seni cenderung terpisah dari aktivitas manusia lainnya.

You might also like