You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konflik dapat timbul dari berbagai hal atau sebab-sebab tertentu.

Konflik pun dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan pada siapa saja. Skala atau ruang lingkup konflik dapat terjadi dari lingkup yang paling kecil hingga yang paling kompleks dan sulit untuk dipecahkan. Konflik berskala kecil, misalnya konflik antarindividu, sedangkan konflik yang kompleks dan sulit untuk dipecahkan misalnya konflik antar suku di dalam satu bangsa, misalnya konflik di Poso merupakan salah satu contoh konflik intra bangsa. Jika dilihat secara geografisnya Poso merupakan daerah yang menjadi alat kelengkapan pendirian bansa dan negara di Indonesia. Poso merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah yang memiliki wilayah administratif 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, dengan berbagai macam masyarakat yang hidup dari beragam etnis dan agama. Secara sosio-kultural, masyarakat Poso menggunakan bahasa Beree dalam berkomunikasi sehari-hari, mengingat kekerabatan mereka dengan semboyan sintuwu maroso yang berarti persatuan yang kuat yang masih bertahan hingga meledaknya konflik sosial pada akhir tahun 1998. Konflik yang terjadi di Poso merupakan salah satu konflik yang terjadi di Indonesia. Di mana konflik yang terjadi diantara kelompok tersebut dapat terjadi ketika keputusan kelompok tidak sejalan dengan keinginan satu atau dua individu di dalam kelompok tersebut. Konflik di Poso masih simpang siur tentang penyebab sebenarnya konflik tersebut apa, sebagian ada yang mengatakan konflik tersebut terjadi karena konflik SARA dan juga sebagaian ada yang menyebutkan tentang ketidakadilan penduduk asli. 1.2 Rumusan Masalah Dari paparan latar belakang makalah diatas maka dapat dirumuskan sejumpah permasalah, yaitu: 1. Bagaimanakan asal mula konflik Poso itu terjadi? 2. Bagaimanakan proses terjadinya konflik Poso? 3. Bagaimanakah dampak yang ditimbulakan karena konflik Poso tersebut? 4. Bagaimanakan bentuk penyelesaian konflik Poso?

1.3 Tujuan Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui apa itu konflik Poso dan asal mula konflik tersebut terjadi. 2. Mengetahui kurun waktu dan proses terjadinya konflik tersebut. 3. Mengetahui dampak yang ditimbulkan karena konflik Poso. 4. Mengetahui bentuk penyelesaian konflik yang terjadi di Poso.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konflik Poso Menurut sebagian besar pengamat, konflik yang terjadi di Poso merupakan konflik horisontal antar agama, meskipun konflik tersebut tidaklah sederhana, karena melibatkan juga persilangan antar etnik, baik lokal maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta masuknya kekuatan luar seperti laskar jihad maupun militer. Disisi lain ada yang menjelaskan bahwa konflik Poso terjadi bukan karena masalah agama, namun adanya rasa ketidakadilan. Awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-tiba terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Meskipun pada awalnya yang disepakati dalam muspida setempat selalu diusahakan adanya keseimbangan. Seperti jika Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakil Bupatinya akan dicarikan dari Islam, begitu pula sebaliknya. Terlepas dari semua itu, konflik yang terjadi di Poso adalah bagian dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain. Akhirnya konflik tersebut terjadi pada akhir tahun 1998 dan berlarut-larut sampai dengan enam jilid. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut persoalan suku dan agama. Serta ketidakadilan dan diskriminatif terhadap masyarakat. Kesinambungan politik juga merambah dalam melatarbelakangi masalah ini dimana pengasaan struktur pemerintahan oleh satu pihak dalam arti tidak ada keseimbangan jabatan dalam pemerintahan. Konflik di Poso yang muncul di permukaan lebih terlihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konfli Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi. Kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo. Para pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Kelompok yang disebut pertama berasal dari wilayah Toraja yang masuk ke Poso dari arah Selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud dari arah Utara. Sedangkan pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah

Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah (dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen. Sementara menurut Gerry van Kliken dari Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV) Leiden, Belanda dalam konferensi internasional tentang konflik Asia Pasifik yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), MOST, UNDP dan UNESCO di Jakarta 22 Oktober 2003 menyebutkan (didasarkan atas penelitiannya) bahwa konflik Poso yang terjadi tahun 1998 dan 2001 lebih didorong oleh eskalasi isu, baik melalui penyebaran informasi lewat jalur yang sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang sebelumnya tidak memiliki ikatan sosial (brokerage). Ikatan yang kemudian muncul antar komunitas ini membuat konflik Poso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi konflik antar agama yang mendapat perhatian internasional. Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan Poso I berawal dari : 1. Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan ramadhan. 2. Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti Bugis, Jawa, dan Gorontalo, serta Kaili pada kerusuhan ke III. 3. Pemaksaan agama Kristen kepada masyarakat Muslim di daerah pedalaman kabupaten terutama di daerah Tentena dusun III Salena, Sangira, Toinase, Boe, dan Meko yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD Tentena. 4. Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol-simbol perjuangan ke agamaan kristiani pada kerusuhan ke III.

5. Pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar rumah penduduk antara pihak Kristen dan Islam. 6. Terjadi pembakaran rumah Ibadah ereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli Poso di Lombogia, Sayo, Kasintuvu. 7. Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku Flores, Toraja dan Manado. 8. Adanya pelatihan militer kristen di desa Kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum meledak kerusuhan III. Selain alasan-alasan awal mulanya terjadi konflik diatas ada pandangan lain tentang akar masalah konflik sosial tersebut. Hal tersebut adalah perkelahian antar pemuda yang diakibatkan oleh minuman keras.tidak diterapkan hukum secara adil maka ada kelompok yang merasa tidak mendapatkan keadilan misalnya adanya keterpihakan, menginjak hak asasi manusia dan lain-lain. Ketidaknyaman itulah yang menyebabkan konflik sosial itu terjadi hingga berlarut-larut dengan menelan banyak korban dan penanganan yang sangat tidak mudah. 2.2 Proses terjadinya Konflik di Poso Kabupaten Poso tergolong berpenduduk sangat heterogen. Sebelum konflik terjadi, aneka etnis maupun agama hidup rukun dalam harmoni sosial yang sangat terjaga. Walau suku Pamona, yang boleh dikatakan sebagai pribumi Tanah Poso, mendominasi entitas suku yang ada di Poso, namun pergesekan antar etnis nyaris tak pernah ada. Mereka hidup dalam satu consince collective yang disebut dengan sintuwu maroso. Kalaupun konflik pernah terjadi, bentuk maupun besaran konflik itu tak pernah mengusung nama suku, apalagi agama. Konflik Poso mempunyai lapisan/tingkatan proses jalanya konflik. Pada lapisan/tingkat yang paling dasar terdapat dua transformasi utama yang telah merubah wilayah Poso secara fundamental. Transformasi mendasar inilah sebenarnya yang merupakan akar dari permasalahan konflik Poso. Pada lapisan/tingkat berikutnya beroperasi sejumlah faktor-faktor etnis dan agama yang saling terkait dengan faktorfaktor politik. Dan terakhir, pada lapisan/tingkat teratas ditemukan faktor-faktor pemicu (provokator) serta stereotip-stereotip labelling psikologi sosial dan dendam

yang semakin menguat seiring dengan berkepanjangnya kekerasan yang semakin bengis. Pada lapisan dasar primida konflik Poso ini ditemukan berbagai transformasi mendasar yang merubah wajah Poso untuk selamanya. Transformasi ini ada dua jenis yaitu: 1. Transformasi demografik, walaupun Poso telah dimasuki oleh pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru sejak dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara. Para pendatang ini masuk dari arah Utara dan Selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam. 2. Transformasi ekonomi, kegiatan perdagangan secara perlahan, tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Keadaan ini makin menebalkan rasa keterdesakan dari penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama Kristen. Kedua transformasi mendasar diatas secara kebetulan melibatkan kedua umat beragama di Poso berhadap-hadapan secara diametral. Kenyataan transfor-masi struktural kemudian mengendap dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Tepat pada saat inilah para warga setiap umat itu kemudian mulai bertarung. Pertama pertarungan itu dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berba-gai posisi strategis baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi-posisi strategis itu secara berimbang, dan karena itu dirasakan adil dalam wujud powersharing pertarungan itu tidak meletup dalam bentuk kekerasan fisik. Berakhirnya masa jabatan Bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati dan sekwilda baru membuka peluang pertarungan baru yang ternyata gagal diselesaikan secara politik. Maka berubahlah pertarungan itu menjadi pertarungan fisik yang berdarahdarah. Pada lapisan puncak hanya faktor pemicu bukan akar permasalahan. Perkelahian antar pemuda dari kedua belah piha hanyalah pemicu yang memancing magma struktural bergerak ke permukaan. Apalagi ditambah dengan kekecewaan

institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru yang mengancam keharmonisan hidup di Poso. Ketika korban mulai berjatuhan maka roda-roda spiral kekerasanpun menjadi lepas kendali. Dendam semakin menumpuk. Hal ini kemudian berulangkali disulut oleh para provokator. Akibatnya, kekerasan menjadi semakin bengis, keji dan tak berkesudahan sampai berjilid-jilid. Meskipun konflik Poso terjadi mulai akhir tahun 1998, perang SAR telah menewaskan ratusan orang dan menyebabkan lebih dari 5.000 rumah hangus. Pada tahun 2002 dan 2003 saja telah terjadi beberapa kali penyerangan, yaitu sebagai berikut: 1. 1 Januari 2002 Gereja Advent di Kota Palu dibom. Pelakunya adalah salah satu tokoh yang menandatangani Deklarasi Malino. 2. 23 Maret 2002 Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Poso di Jalan Pulau Kalimantan dibom. Ruang kantor itu hancur berantakan, namun tak ada korban jiwa dalam ledakan ini. 3. 4 April 2002 Dua buah bom rakitan meledak di kantor Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Desa Rdatulene, Kecamatan Poso Pesisir, Poso, Sulawesi Tengah. Tak ada korban jiwa karena kantor dalam keadaan kosong. 4. 28 Mei 2002 Bom meledak di tiga lokasi di kota Poso. 5. 5 Juni 2002 Bom meledak di dalam bus PO Antariksaa jurusan Palu - Tentena di sekitar Desa Toini Kecamatan Poso Pesisir. Empat penumpang tewas dan 16 lainnya luka-luka. 6. 9 Oktober 2003 Terjadi penyerangan di Desa Beteleme, tetangga Desa Bintagor dan Desa Pawaru di Kecamatan Lembo, Kamis (9/10) tengah malam. Penyerangan itu mengakibatkan tiga warga sipil tewas, dua luka berat, serta 35 rumah musnah terbakar. 7. 18 Oktober 2003 Lima belas perusuh (empat di antaranya ditembak mati) tertangkap dalam penyisiran lanjutan yang dilakukan aparat di hutan Desa Pawaru, Kecamatan

Lembo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Kelompok perusuh ini diduga kuat pelaku penyerangan di Desa Beteleme. 8. 16 November 2003 Sedikitnya 1.000 orang mengepung Mapolres Poso menyusul penembakan dan penangkapan empat warga Desa Tabalo Kecamatan Poso Pesisir. Mereka menuntut pembebasan Irwan, Darwis, dan Sukri, serta penegakan hukum atas tewasnya Amisuddin. Keempat warga Desa Tabalo oleh polisi diduga terlibat kasus penyerangan bersenjata di wilayah Poso Pesisir pada 12 Oktober 2003. 2.3 Dampak Konflik Poso Kerusuhan yang terjadi di Poso menimbulkan dampak sosial yang cukup besar jika di liat dari kerugian yang di akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis berdampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu, dampak psikologis tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari keseluruhan, kerusuhan Poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil perang sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan secara sepihak oleh kelompok merah, terhadap penduduk muslim kota Poso dan minoritas penduduk muslim di pedalaman kabupaten Poso yang tidak mengerti sama sekali dengan permasalahan yang muncul di kota Poso. Dampak kerusuhan Poso dapat di bedakan dalam beberapa segi: 1. Budaya

Di anut kembali budaya pengayau dari masyarakat- pedalaman (suku Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam Runtuhnya nilai-nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi

Pamona dan suku Mori).

mencapai tujuan politiknya.

bingkai dalam hubungan sosial masyarakat Poso yang pluralis. 2. Hukum

Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke dalam dua kelompok yaitu Tidak dapat di pertahankan nilai-nilai kemanusiaan akibat terjadi kejahatan

kelompok merah dan kelompok putih.

terhadap manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.

Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hukum di Muculnya perasaan dendam dari korban-korban kerusuhan terhadap pelaku. Terhentinya roda pemerintahan. Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat. Hilanggnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian

masyarakat kabupaten Poso.

3. Politik

masing-masing kelompok kepentingan.

tujuannya. 4. Ekonomi

Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti

sawah, tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.

Eksodus besar-besaran penduduk muslim Poso. Terhentinya roda perekonomian. Rawan pangan. Munculnya pengangguran dan kelangkaankesempatan kerja.

2.4 Proses Penyelesaian Konflik Poso 2.4.1 Upaya Damai Sebelum Deklarasi Malino Untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi di Poso, telah diupayakan beberapa forum dan pertemuan baik oleh masyarakat dan pemerintah lokal maupun pemerintah pusat sebelum terwujudnya deklarasi Malino. Beberapa sebab yang menggagalkan upaya perdamaian pra Malino ini antara lain Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bersikap setengah hati untuk menghentikan konflik ini. Setengah hatinya pemerintah dikarenakan oleh enam sebab yaitu: 1. Elite nasional sedang sibuk sendiri dengan pertarungan politik di Jakarta. 2. Pemerintahan Habibie maupun Abdurrachman Wahid tidak punya genggaman yang kuat atas aparat keamanan dan hukum. 3. Militer masih belum merasa aman dan nyaman dalam proses reformasi yang sedang bergulir.

4. Disiplin yang sangat rendah di kalangan aparat keamanan dan korupsi yang merajalela di kalangan aparat hukum. 5. Faksi tertentu dalam aparat keamanan dan pemerintah daerah mengeruk keuntungan finansial dari konflik komunal yang berkepanjangan. 6. Masih terus bergiatnya para provokator sipil maupun militer. Kemudian, proses upaya perdamaian sebelumnya tidak melibatkan para komandan lapangan dari kedua pihak yang bertikai. Upaya perdamaian pra-Malino bersifat elitis dan seremonialmanipulasi beberapa jargon budaya lokal secara artifisial. Proporsi pemimpin yang menginginkan perdamaian masih jauh lebih kecil dari proporsi mereka yang terus ingin berperang, karena mengeruk keuntungan, termasuk keun-tungan finansial. 2.4.2 Deklarasi Malino Terwujudnya perjanjian damai secara permanen yang dikenal dengan Deklarasi Malino untuk Poso di Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada 18-20 Desember 2001 tidak terlepas dari adanya inisiatif lokal yang tulus dan kuat untuk menghentikan siklus kekerasan di Poso. Hal ini terutama terlihat dari keinginan pemimpin suku Pamona yang beragama Kristen yang terlebih dahulu mengambil inisiatif melobi pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) untuk mengupayakan perdamaian di Poso. Hal in juga didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa semakin terdesaknya posisi umat Kristen terutama setelah kedatangan Laskar Jihad dari luar Poso. Sesungguhnya kedua belah pihak menyadari bahwa tidak ada pihak yang menang (sama-sama kalah) dalam konflik ini. Keinginan tersebut direspon oleh pemerintah pusat melalui Menko Polkam dan Menko Kesra. Posisi sosial dan politik dari Menko Kesra Jusuf Kalla sebagai motor utama pemerintah pusat dalam proses Malino. Patut diingat bahwa konflik Poso meledak akibat ulah dari elit politik lokal, khususnya elit politik Golkar setempat dalam kasus pemilihan Bupati Poso yang baru. Dengan latar belakang yang dimiliki oleh seorang Jusuf Kalla sebagai seorang ketua DPP Golkar, politisi dan pebisnis yang berpengalaman asal Bugis yang memiliki jaringan yang luas di Sulawesi, memiliki tutur kata dengan bahasa yang sederhana menjadi suatu nilai tambah bagi keberhasilan proses perdamaian Malino. Terwujudnya perjanjian damai Malino inilebih kepada kuatnya keinginan kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik kekerasan di Poso, pemerintah hanya memfasilitasi perundingan damai tersebut.

Esensi penting dari isi deklarasi damai Malino ini disebutkan bahwa kelompok Muslim dan Kristiani dengan hati lapang serta jiwa terbuka sepakat menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Mereka juga wajib mentaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum kepada siapa saja yang melanggar serta meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Guna menjaga agar suasana damai, mereka menolak pemberlakuan keadaan darurat sipil dan campur tangan pihak asing. Mereka sepakat menghilangkan semua fitnah dan ketidak-jujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. Disepakati juga tentang hak hidup di Poso yang tersirat dari adanya pernyataan bahwa Poso adalah bagian integral dari NKRI, karena itu setiap warganegara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai serta menghormati adat-istiadat setempat. Semua hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemilik yang sah sebagaimana sebelum konflik dan perselisihan berlangsung. Keberhasilan perjanjian damai di Malino disambut baik oleh semua pihak. Dalam mengimplementasikan butir-butir kesepakatan deklarasi Malino, pemimpin kedua belah pihak bersama dengan pemerintah dan seluruh organisasi masyarakat adat setempat sepakat untuk bekerjasama melakukan sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat Poso. Upaya pemulihan pasca deklarasi Malino telah dilakukan dan secara berangsur-angsur para pengungsi telah kembali ke desanya, kehidupan masyarakat setempat sudah kembali normal dan persaudaraan diantara kedua kelompok masyarakat yang sempat bertikai kembali harmonis, pemerintah pusat dan daerah telah membangun kembali sarana dan prasarana publik yang sempat dirusak dan kehidupan perekonomian serta pemerintahan kembali normal. Pihak Polri dan TNI terus berupaya memulihkan kondisi keamanan dan melakukan penegakan hukum. Usaha-usaha pengembangan perdamaian pada masyarakat dengan sifat dasar yang berbeda. Di satu pihak pendekatan budaya tampaknya cukup efektif. Dalam pemahaman seperti ini, dapat dimengerti mengapa kerukunan masyarakat di beberapa kecamatan di Kabupaten Poso dapat berproses lebih cepat dibandingkan dengan proses kerukunan masyarakat di kecamatan-kecamatan lainnya. Langkah awal pemerintah dalam rangka penanganan pengungsi Poso pasca deklarasi Malino antara lain

1. Penyelesaian permasalahan pengungsi melalui upaya rekonsiliasi yang intensif serta dukungan dari berbagai pihak baik yang tertikai, lembaga pemerintah maupun masyarakat untuk mengupayakan situasi yang lebih kondusif. 2. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana penyelesaian masalah pengungsi secara menyeluruh. 3. Implementasi pelaksanaan deklarasi Malino yang meliputi rehabilitasi prasarana dan sarana umum serta rehabilitasi perumahan.

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Konflik Poso terjadi bukan karena masalah agama, namun adanya rasa ketidakadilan. Awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-tiba terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Meskipun pada awalnya yang disepakati dalam muspida setempat selalu diusahakan adanya keseimbangan. Seperti jika Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakil Bupatinya akan dicarikan dari Islam, begitu pula sebaliknya. Terlepas dari semua itu, konflik yang terjadi di Poso adalah bagian dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain. Perkelahian antar pemuda yang diakibatkan oleh minuman keras.tidak diterapkan hukum secara adil maka ada kelompok yang merasa tidak mendapatkan keadilan misalnya adanya keterpihakan, menginjak hak asasi manusia dan lain-lain. Konflik sosial yang terjadi di poso ini sangat berdampak pada masyarakat khususnya masyarakat poso itu sendiri, Mulai dari segi Budaya, Hukum, Politik, Ekonomi, selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis juga bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu. 3.2 Saran Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai konflik sosial yang terjadi di poso, Yang merupakan salah salah satu tragedi nasional. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penulisan ini di masa akan datang. Penulis juga berharap agar dalam penyelesaian masalah konflik sosial di poso ada kerja sama dari semua pihak tanpa ada rasa memihak satu kelompok.

DAFTAR PUSTAKA Hasrullah. 2009. Dendam Konflik Poso (Periode 1998-2001). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Karnavian, M. Tito, dkk. 2008. Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Konflik Poso. (http://konflikposo.blogspot.com/2009/03/konflik-poso.html) Lebang, Toni. 2006. Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika: Sari Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sianturi, Eddy MT. Konflik Poso dan Resolusinya. (http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=7). Diakses Kamis, 28 Oktober 2010, pukul 13.45. Wahyuni, Niniek Sri, dkk. 2007. Manusia dan Masyarakat. Jakarta: Ganeca Exact.

KONFLIK SOSIAL

KONFLIK POSO

Oleh: Astrid Ratri Sekar Ayu 14020110130092 Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

You might also like