Professional Documents
Culture Documents
Beralihnya sistem nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali (managed floating
exchange rate) ke sistem nilai tukar mengambang penuh (floating exchange rate) memberikan dampak
terhadap kebijakan moneter di Indonesia. Nilai tukar yang sebelumnya digunakan sebagai salah
satu nominal anchor dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter tidak berlangsung lama
digunakan lagi. Sementara dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia, nilai tukar rupiah
sangat rentan terhadap arus lalu lintas modal internasional yang bergerak sedemikian dinamis.
Pasar keuangan yang berkembang pesat sebagai imbas keterbukaan tersebut telah mendorong
ketidak stabilan permintaan akan uang sehingga telah mengurangi efektivitas kebijakan moneter
dengan pendekatan kuantitas. Ketidakstabilan permintaan uang tersebut antara lain disebabkan
pesatnya perkembangan produk-produk keuangan dan terjadinya decoupling antara sektor keuangan
dan sektor riil dimana uang bukan hanya sebagai alat transaksi tetapi juga sebagai barang yang
diperdagangkan.
Pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan Granger causality test
versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan inflation targeting dapat digunakan di
Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel. Pengendalian moneter dalam kerangka
inflation targeting dapat dilakukan dengan menggunakan sukubunga PUAB overnight sebagai
kandidat utama sasaran operasional dan MCI sebagai sasaran antara, sementara underlying inflation
sebagai sasaran akhir tunggal.
Sementara penggunaan MCI sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy
rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan
nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Disamping itu, masih kuatnya
hubungan langsung antara monetary aggregates dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter
dari quantity targeting ke price targeting bukan merupakan substitusi penuh. Monetary aggregates
masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi.
I. Pendahuluan
B
eralihnya sistem nilai tukar Rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi
sistem yang mengambang penuh memberikan beberapa implikasi terhadap
pengendalian moneter di Indonesia. Secara teori, dalam sistem nilai tukar
mengambang penuh kebijakan moneter akan semakin efektif khususnya apabila diikuti
oleh mobilitas kapital secara internasional semakin sempurna. Setiap terjadi tekanan nilai
tukar Rupiah sebagai efek kebijakan moneter akan disesuaikan melalui pengaruh suku
bunga terhadap aliran modal dan pengaruh perubahan nilai tukar Rupiah terhadap
penawaran ekspor dan permintaan impor. Melalui mekanisme demikian, neraca transaksi
berjalan berfungsi sebagai alat mekanisme penyesuaian yang penting sehingga overall Balance
of Payment (BOP) selalu dalam ekuilibrium.
Dengan demikian, kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar Rupiah yang fleksibel
secara teori memerlukan sensivitas yang tinggi antara suku bunga domestik terhadap aliran
modal internasional dan keeratan hubungan negatif antara nilai tukar Rupiah dengan
suku bunga serta elatisitas yang tinggi antara perubahan nilai tukar Rupiah dengan
penawaran ekspor dan permintaan impor. Selain itu, nilai tukar Rupiah yang fleksibel dan
stabil juga harus tetap dijaga agar tidak memberikan tekanan pada harga-harga domestik.
Oleh karena suku bunga tampak memegang peranan vital dalam pengendalian
moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel, maka pendekatan pengendalian moneter
diusulkan untuk menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional dengan inflasi
sebagai sasaran tunggal. Suku bunga sebagai sasaran operasional akan diuji transmisinya
secara detail mulai dari suku bunga overnight, suku bunga deposito, suku bunga SBI lelang,
dan suku bunga kredit. Selain menfokuskan pada variabel suku bunga, juga akan diteliti
besarnya excess reserve bank yang optimal dan compatibel dengan sasaran suku bunga.
Untuk mencapai sasaran inflasi dengan baik, maka perlu dicari sasaran antara yang
dekat hubungannya dengan inflasi. Sasaran antara ini dapat berupa suku bunga jangka
panjang seperti suku bunga deposito 3 bulan atau lebih dan nilai tukar Rupiah, baik secara
nominal maupun riil, atau kombinasi antara keduanya yang disebut Monetary Condition
Index (MCI). Perlu tidaknya digunakan sasaran antara tergantung pada keeratan hubungan
antara suku bunga jangka pendek dengan inflasi. Apabila suku bunga jangka pendek dapat
langsung mempengaruhi laju inflasi dengan meyakinkan, tidak diperlukan sasaran antara
seperti di beberapa negara yang menerapkan inflation targeting yakni Australia, Inggris dan
Spanyol. Bank of Japan yang tidak menerapkan inflation targeting juga tidak memiliki sasaran
antara. Sedangkan yang memakai MCI sebagai sasaran antara adalah New Zealand, Swedia
dan Kanada.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 3
Transmisi perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat melalui dua saluran. Pertama,
melemahnya nilai tukar Rupiah akan menaikkan biaya produksi yang memakai barang
impor sehingga menaikkan harga. Tekanan harga ini akan diperburuk jika para buruh
melakukan desakan kenaikan upah nominal dalam rangka mempertahankan upah riilnya.
Kedua, harga non-tradable goods yang relatif lebih murah dibandingkan harga tradable goods
akan mendorong permintaan non-tradable goods sehingga meningkatkan harga domestik.
Kenaikan harga ini akan dipacu lagi jika suku bunga relatif rendah. Sasaran akhir dari
pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel adalah inflasi. Jenis inflasi yang
digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan moneter biasanya underlying inflation seperti
yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan inflation targeting. Hal ini juga sejalan
dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1999, yang antara lain mengemukakan bahwa sasaran
laju inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia adalah inflasi yang dapat dipengaruhi kebijakan
moneter atau secara implisit dapat diartikan sebagai underlying inflation.
Pembahasan pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel diatur sebagai
berikut. Bab II akan menyajikan landasan teori mengenai kebijakan moneter dalam sistem
nilai tukar yang fleksibel dengan berbagai asumsi yang harus dipenuhinya. Dalam bab III
akan dibahas mengenai konsep kebijakan moneter dengan inflation targeting dengan
mengambil contoh dari beberapa negara yang sudah menerapkan inflation targeting. Bab IV
akan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian moneter, baik pada masa sebelum krisis
dan pada saat krisis. Sedangkan bab V akan menjelaskan hasil studi empiris mengenai
mekanisme pengendalian moneter dalang kerangka inflation targeting Bab VI adalah
kesimpulan dan saran untuk perbaikan makalah ini.
Selain itu, elastisitas suku bunga dalam negeri yang cukup tinggi terhadap aliran
modal internasional yang seharusnya dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter,
juga tidak dapat efektif karena berkurangnya cadangan devisa.
Dalam sistem nilai tukar tetap, kebijakan moneter tidak efektif baik dalam situasi
perfect capital mobility maupun dalam perfect capital immobility. Sebagai ilustrasi, dalam sistem
nilai tukar tetap, dampak dari ekspansi moneter dapat dilihat dari dua situasi sebagai berikut.
BP
r LM
LM 1
ro Eo
r1 E1
IS
Y
Yo Y1
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 5
kemungkinan masih efektif apabila elastisitas suku bunga terhadap investasi lebih besar
dari pada rasio marginal prospensity to impor (MPI).
r
I M LM 1
ro Eo
BP
r1 E1
L S
Y
Yo Y1
6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Kebijakan fiskal dalam sistem nilai tukar tetap dan dalam perfect capital mobility justru
efektif karena eskpansifnya pengeluaran Pemerintah akan meningkatkan suku bunga dan
investasi sehingga pendapatan riil masyarakat bertambah. Naiknya suku bunga akan
mendorong aliran modal masuk dan overall BOP menjadi surplus sehingga cadangan devisa
meningkat dan jumlah uang beredar bertambah. Kebijakan fiskal semakin kurang efektif jika
elastisitas aliran modal internasional semakin kecil terhadap suku bunga dalam negeri.
Dalam keadaan perfect capital immobility, kebijakan fiskal tidak efektif sama sekali karena
suku bunga tidak memiliki hubungan dengan aliran modal internasional. Dalam jangka
panjang, ekspansi operasi Pemerintah tidak dapat meningkatkan pendapatan riil masyarakat
karena overall BOP yang defisit harus diimbangi dengan kontraksi moneter akibat
menurunnya cadangan devisa.
Dalam sistem nilai tukar yang fleksibel, overall BOP selalu ada dalam posisi ekuilibrium
artinya neraca transaksi berjalan (CA) akan selalu sama besarnya dengan neraca transaksi
modal (KA). Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme sederhana sebagai berikut.
a. Apabila overall BOP mengalami surplus, nilai tukar Rupiah akan mengalami apresiasi
sehingga mendorong impor dan mengurangi daya saing sehingga ekspor turun. Akibatnya
neraca transaki berjalan akan memburuk sampai overall BOP mencapai ekuilibirum.
b. Sebaliknya defisit overall BOP akan mendorong nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi
sehingga impor turun dan daya saing meningkat sehingga nilai ekspor meningkat. Alhasil,
neraca transaksi berjalan akan membaik sehingga overall BOP akan ekuilibirum.
Dalam model ini, neraca transaksi berjalan memegang peranan penting sebagai
mekanisme penyesuaian sehingga cadangan devisa diasumsi konstan. Posisi neraca ini,
baik surplus maupun defisit, dianggap akan bertahan dalam jangka panjang.
Selain itu, model Flemming-Mundell juga menganggap bahwa gerakan kapital hanya
merupakan fungsi dari perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri. Perbedaan suku
bunga ini dapat dihitung baik melalui pendekatan uncovered interest parity maupun covered
interest parity yang sudah memperhitungkan ekspektasi depresiasi dan premi risiko.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 7
Mekanisme pengaruh suku bunga dalam menjaga keseimbangan overall BOP dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a. Apresiasi nilai tukar Rupiah akan menyebabkan neraca transaksi berjalan memburuk
sehingga diperlukan kenaikan suku bunga dalam negeri dalam rangka menarik aliran
modal masuk ke dalam negeri. Akibatnya neraca transaksi modal meningkat dan overall
BOP mencapai ekuilibrium.
b. Depresiasi nilai tukar Rupiah akan memperbaiki posisi neraca transaksi berjalan sehingga
diperlukan suku bunga yang lebih rendah untuk menghambat aliran modal masuk.
Akibatnya, neraca transaksi modal menurun dan overall BOP mencapai keseimbangan.
Implikasi bagi kebijakan moneter dari model ini adalah bahwa semakin sempurna
mobilitas kapital, kebijakan moneter akan semakin efektif. Hal ini dapat diterangkan sebagai
berikut.
a. Kebijakan moneter yang kontraktif akan mendorong suku bunga dalam negeri meningkat
dan nilai tukar akan cenderung apresiatif. Nilai tukar yang apresiatif akan mendorong
impor dan menurunkan ekspor sehingga neraca tranksaksi berjalan akan memburuk.
Suku bunga yang tinggi akan mendorong aliran modal masuk sehingga neraca transaksi
modal akan membaik. Overall BOP akan mencapai keseimbangan baru dengan tingkat
output yang lebih tinggi dan nilai tukar yang menguat.
b. Transmisi ke tingkat harga domestik dapat dijelaskan melalui dua saluran sebagai berikut.
• Apresiasi nilai tukar Rupiah pada saat yang sama akan menurunkan biaya produksi
perusahaan sehingga akan menggeser kurva penawaran agregate ke kanan bawah
sehingga harga dalam negeri menurun.
• Kenaikan suku bunga akan mengurangi permintaan uang dari masyarakat sehingga
kurve permintaan agregat bergeser ke kiri atas dan menyebabkan harga-harga dalam
negeri semakin menurun.
c. Kebijakan moneter yang ekspansif akan mendorong menurunnya suku bunga dan nilai
tukar akan cenderung depresiatif. Nilai tukar yang depresiatif akan menurunkan impor
dan menaikkan ekspor sehingga neraca tranksaksi berjalan akan membaik. Suku bunga
yang rendah akan menghambat aliran modal masuk sehingga neraca transaksi modal
akan memburuk. Overall BOP akan mencapai keseimbangan baru dengan tingkat output
yang lebih tinggi dan nilai tukar yang melemah.
d. Transmisi ke tingkat harga domestik dapat dijelaskan melalui tiga saluran sebagai berikut.
• Depresiai nilai tukar Rupiah pada saat yang sama akan manikkan biaya produksi
perusahaan sehingga akan menggeser kurva penawaran agregate ke kiri atas sehingga
harga dalam negeri meningkat
8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
• Penurunan suku bunga akan menambah permintaan uang masyarakat sehingga kurve
permintaan agregat bergeser ke kanan bawah dan menyebabkan harga-harga dalam
negeri semakin meningkat.
• Kenaikan harga-harga dalam negeri akan memacu para buruh untuk menaikkan upah
nominalnya sehingga akan menambah biaya produksi dan semakin meningkatkan
harga-harga.
e. Secara grafis manajemen moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel dapat diterangkan
sebagai berikut.
ii. Meningkatnya ekspansi moneter akan meningkatkan permintaan domestik dan harga
domestik meningkat. Kurva permintaan agregate bergeser dari DD1 ke DD2 dan harga
naik dari P1 ke P2. Menimgkatnya harga akan menurunkan stok uang riil sehingga
kurva LM bergeser dari LM2 ke LM3. Kenaikan harga tersebut juga menurunkan nilai
tukar riil dan daya saing memburuk sehingga ekspor akan menurun. Hal ini menggeser
kurva IS dari IS2 ke IS3. Akibatnya pendapatan riil masyarakat menurun dari Y2 ke Y3.
iii. Depresiasi yang terjadi akibat ekspansi moneter juga akan memberikan dorongan kenaikan
harga lebih lanjut akibat naiknya biaya produksi akibat barang-barang impor. Harga
semakin meningkat lagi dari P2 ke P3 sehingga kurva penawaran agregate bergeser dari
SS1 ke SS2. Efek lanjutan kenaikan harga ini akan menurunkan lebih lanjut stok uang
beredar dan mengurangi daya saing ekspor sehingga kurva LM bergeser dari LM43 ke
LM4 dan kurva IS bergeser dari IS3 ke IS4. Alhasil, pendapatan riil masyarakat kembali
menurun dari Y3 ke Y4.
iv. Efek lanjutan dari kenaikan harga ini tergantung pada tingkat keterbukaan suatu
perekonomian dan peranan serikat pekerja dalam memperjuangkan upah riil para
anggotanya.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 9
r* BP
IS2
IS1 IS4 IS3
y
y1 y4 y3 y2
P SS2
SS1
P1
P2
P1
DD2
DD1
y
y1 y4 y3 y2
f.. Semakin sempurna mobilitas kapital, kebijakan fiskal semakin tidak efektif karena
kebijakan moneter yang ekspansif akan mendorong suku bunga naik dalam rangka
sterilisasi untuk menjaga agar jumlah uang beredar konstan. Naiknya suku bunga akan
mendorong aliran modal masuk sehingga nilai tukar Rupiah akan mengalami apresiasi
sedemikian rupa sehingga daya saing memburuk dan ekspor menurun sedemikian rupa
sehingga seluruhnya meng-offset kebijakan fiskal yang ekspansif.
g. Namun demikian, model ini tidak memasukkan unsur ekspektasi. Ekspektasi yang bersifat
regresif (apresiasi à depresiasi à apresiasi dan seterusnya) akan memberikan efek yang
berbeda dari kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal yang diambil. Selain itu, model
ini menggarisbawahi beberapi asumsi sebagai berikut.
• Perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri merupakan faktor penting dalam
mempengaruhi aliran modal masuk dan keluar.
• Suku bunga dan nilai tukar memiliki hubungan yang negatif dan erat.
10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
• Marshall-Lerner kondisi dipenuhi yakni elastisitas harga dari penawaran ekspor dan
permintaan impor harus lebih dari satu.
Pertimbangan lain adalah dengan penetapan sasaran tunggal inflasi maka dapat
mendorong terfokusnya pengendalian moneter, sehingga dapat meningkatkan efektivitas
pelaksanaan kebijakan moneter dalam memerangi inflasi. Laju inflasi yang tinggi tidak
hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 11
Sementara Bernanke dan Mishkin (1997) dan Masson (1998) mengemukakan beberapa
motivasi dari banyaknya beberapa negara-negara pada akhir-akhir ini menggunakan inflasi
sebagai sasaran tunggal, dapat disarikan sebagai berikut:
a. Penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal dapat digunakan sebagai nominal anchor
dalam kebijakan moneter untuk meyakinkan masyarakat bahwa bank sentral akan
melaksanakan kebijakan moneter secara disiplin dan konsisten.
b. Adanya suatu preposisi dalam teori makroekonomi yang mengemukakan bahwa inflasi
yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan efisiensi dalam jangka panjang.
c. Uang bersifat netral dalam jangka menengah dan panjang sehingga peningkatan jumlah
uang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga, bukan output dan kesempatan kerja.
d. Mahalnya biaya inflasi yang tinggi, khususnya dalam kaitan dengan alokasi sumber
daya atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang atau keduanya.
e. Pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi memerlukan lag yang sulit diprediksikan
dan bervariasi pengaruhnya.
Pengalaman beberapa negara, seperti Selandia Baru, Canada, Spanyol, Swedia dan
Inggris menunjukkan bahwa setelah negara-negara tersebut menetapkan inflasi sebagai
sasaran tunggal, laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah. Namun
dalam jangka pendek terdapat tradeoff antara penurunan inflasi dengan penurunan
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi berada
pada tingkat yang sustainable.
12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Sehubungan dengan inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang bersifat
forward looking maka dalam penetapan target inflasi terdapat beberapa masalah yang
perlu diperhatikan, meliputi inflasi yang digunakan, besarnya inflasi, jangka waktu
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 13
pencapaian inflasi dan fleksibilitas dari pencapaian target dalam hal terjadi shock
dalam ekonomi (Debelle, 1997 dan Debelle dan Lim, 1998).
Pertama, Penentuan inflasi yang digunakan harus menjadi komitmen nasional karena
ketidak berhasilan bank sentral dalam mencapai sasaran yang ditetapkan akan
mengurangi kredibilitas masyarakat terhadap bank sentral. Beberapa negara yang
menganut rezim inflation targeting, seperti Selandia Baru, Australia dan Kanada
menggunakan core inflation atau underlying inflation sebagai target. Penggunaan core
inflation dikarenakan inflasi yang dalam pengendalian bank sentral hanya yang
berasal dari sisi demand, sementara yang berasal dari sisi supply merupakan diluar
kendali bank sentral. Dalam negara yang masyarakatnya belum begitu maju, terdapat
persepsi bahwa inflasi merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari otoritas moneter
dengan tanpa membedakan penyebab dari tekanan inflasi. Negara Israel dan Swedia
menggunakan indeks harga konsumen (IHK) sebagai target sebagai rasa tanggung
jawab otoritas moneter terhadap masyarakat.
Ketiga, Jangka waktu pencapaian inflasi yang ditargetkan berbeda untuk masing-
masing negara tergantung dari inflasi awal yang terjadi. Bagi negara yang mempunyai
inflasi awal jauh berbeda dengan inflasi yang ditargetkan maka jangka waktu
pencapaian inflasi memerlukan waktu yang lama. Bahkan Debelle (1997)
menganjurkan jangka waktu sekitar 2 tahun untuk pencapaian target bagi negara-
negara yang mempunyai inflasi awal yang sudah tinggi. Penetapan jangka waktu
pencapaian inflasi yang cukup panjang tersebut karena terkait dengan struktur
ekonomi. Finlandia dan Swedia misalnya sejak menerapkan rezim inflation targeting
pada tahun 1993, memerlukan waktu tidak kurang 2 tahun dalam mencapai target
inflasi.
Keempat, Penerapan inflation targeting hendaknya juga tidak ditetapkan secara kaku.
Menurut Mc Donough (1996) ada 3 alasan mengapa fleksibilitas diperlukan dalam
menerapkan inflation targeting. Pertama, stabilitas harga adalah sasaran jangka pendek
14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
dalam penciptaan ekonomi yang lebih stabil dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi sebagai tujuan akhir. Dengan demikian kebijakan moneter disesuaikan
dengan siklus kegiatan ekonomi yang terjadi, sehingga inflation targeting tidak
dijadikan sebagai rule. Kedua, inflation targeting merupakan strategi moneter ke depan
(medium-term-forward-looking) sehingga ketidakpastiannya cukup besar khususnya
dari sisi penawaran (supply shock). Oleh karena itu kebijakan moneter yang dilakukan
juga harus mampu mengadopsi perubahan yang terjadi. Ketiga, penyimpangan inflasi
dari target yang ditetapkan dapat menurunkan kredibilitas bank sentral. Sebaliknya
apabila terlalu longgar juga dapat mengurangi keyakinan masyarakat terhadap bank
sentral dalam memerangi inflasi. Dengan demikian revisi inflasi dalam jangka pendek
dapat dimungkinkan sepanjang terdapat alasan yang jelas untuk melakukan
perubahan sesuai dengan perkembangan terakhir.
• Proyeksi Inflasi
Tidak seperti target besaran moneter atau nilai tukar yang melihat perkembangan
terkini dari target-target tersebut maka inflation target lebih bersifat strategi ke depan.
Hal tersebut dapat terjadi karena terdapatnya kecenderungan mengenai lamanya lag
dari perubahan piranti moneter ke inflasi. Sebagai konsekuensinya maka sebelum
melaksanakan kebijakan ini, otoritas moneter harus mempunyai model yang mampu
dengan akurat memprediksikan inflasi dalam suatu jangka waktu tertentu.
Ketidakakuratan dalam memprediksi inflasi ke depan tidak hanya menyangkut
kredibilitas otoritas moneter tetapi juga akan dapat menjadi beban yang mahal bagi
sektor riil apabila kebijakan moneter yang dilakukan terlalu ketat. Oleh karena itu
diperlukan kejelian otoritas moneter untuk memprediksikan inflasi sebelum
mengumumkannya kepada masyarakat.
Tujuan utama penggunaan Monetary Condition Index (MCI) adalah untuk mengetahui
stance kebijakan moneter. Secara empiris, MCI adalah rata-rata tertimbang (weighted
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 15
average) dari perubahan suku bunga dan nilai tukar relatif terhadap periode yang
ditentukan (base periode). Bobot dari suku bunga dan nilai tukar mencerminkan
perkiraan dampak relatif kedua variabel tersebut terhadap aggregat demand pada suatu
periode yang seringkali ditentukan dalam waktu dua tahun. Selain digunakan sebagai
indikator kondisi moneter, MCI digunakan pula sebagai target operasional jangka
pendek.
Dasar pemikiran MCI adalah sebagai berikut : Nilai tukar mempengaruhi permintaan
agregat, khususnya pada perekonomian terbuka dengan skala yang kecil. Dengan
memfokuskan pada nilai tukar dan suku bunga diharapkan perilaku perekonomian
dapat diprediksikan, sehingga kebijakan ekonomi yang tepat dapat dilakukan.
Pelopor pertama penggunaan MCI adalah Kanada kemudian diikuti oleh Selandia
Baru dan Swedia, sementara negara Italia, Jerman, Perancis dan Inggris telah
mempublikasikan MCI. Bank of Canada (BoC) telah menggunakan MCI sejak beberapa
tahun lalu sebagai target operasional dalam mengarahkan kebijakan moneter. MCI
BoC dihitung berdasarkan jumlah tertimbang perubahan suku bunga nominal surat
berharga (commercial paper) berjangka waktu 90 hari (R) dan indeks nilai tukar nominal
trade-weighted G-10 bilateral (E). Kedua variabel tersebut dihitung berdasarkan nilai
relatif dari waktu dasarnya (base period). Bobot suku bunga dan nilai tukar
mencerminkan estimasi dampak relatif terhadap total output Kanada. BoC
menggunakan bobot suku bunga terhadap nilai tukar 3 : 1. Artinya, 1 point persentase
kenaikan suku bunga akan menyebabkan tiga kali perubahan pada MCI, yang setara
dengan 3% apresiasi Canadian Dollar. Untuk mendapatkan rasio 3 : 1 tersebut
digunakan persamaan partial dari model permintaan agregat (aggregate demand)
dengan menggunakan data kuartalan (Ericsson, 1991), sebagai berikut :
Y = F(Y*,Yt-1, RR, Q)
MCI t = θR (R t − R 0 ) + θe (e t − e 0 )
t : indeks waktu, dengan t=0 sebagai waktu dasar
OMO
Discount
Output
Rate
Gap
Inflation
Target
Pengendalian moneter dengan rezim ini diawali dengan pengendalian suku bunga
jangka pendek pasar uang (cash rate) dengan menggunakan instrumen moneter melalui
Operasi Pasar Terbuka (OPT). Untuk mengendalikan suku bunga maka keseimbangan
likuiditas senantiasa dijaga dengan memperhatikan settlement fund dari bank-bank.
Selanjutnya perubahan suku bunga jangka pendek tersebut akan ditransmisikan ke
suku bunga yang lebih panjang dan kredit. Perubahan suku bunga tersebut
selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan konsumsi dan investasi, sehingga sebagai
gilirannya juga akan mempengaruhi aggregate demand. Apabila terjadi output gap
(aggragate demand lebih besar dari output potensial) maka inflasi akan meningkat.
Dengan demikian dalam rezim ini, pengendalian permintaan agregat merupakan
kunci utama keberhasilan pengendalian inflasi.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 17
variabel nominal lainnya seperti inflasi. Hal tersebut dapat terjadi karena
mempertahankan nilai tukar dapat mengorbankan target inflasi. Dalam hal otoritas
moneter tidak dapat mencapai salah satu target tersebut maka hal tersebut dapat
mengurangi kredibilitas.
Sasaran inflasi yang digunakan adalah underlying inflation atau core inflation
sebagaimana dituangkan dalam kesepakatan atau Policy Targets Agreement (PTA) antara
Menteri Keuangan dan Gubernur RBNZ. Untuk mencapai sasaran tersebut RBNZ
menetapkan sasaran operasional dan sasaran antara. Sebagai sasaran operasional digunakan
Cash Rate, sementara untuk mengendalikan cash rate dilakukan melalui pengendalian
likuiditas perbankan (cash settlement). Pengaturan cash settlement tersebut dilakukan melalui
OPT dengan menggunakan government bills di pasar uang. Selanjutnya perubahan suku
bunga cash rate akan ditransmisikan ke perubahan suku bunga treasury bills 90 hari.
Dalam pengendalian moneter, RBA menggunakan suku bunga overnight fund (cash
rates) sebagai sasaran operasional. Sejak Januari 1990 RBA mengumumkan target suku bunga
cash rate secara harian beserta latar belakang kenaikan dan penurunannya. Pengendalian
cash rate dilakukan melalui OPT dengan menggunakan Commonwealth Government Securities
dan State Government securities. Perubahan cash rate akan mempengaruhi suku bunga lainnya,
seperti suku bunga pinjaman dan suku bunga lainnya yang berjangka waktu lebih panjang.
Perubahan suku bunga yang berjangka waktu panjang selanjutnya diharapkan dapat
mempengaruhi GDP dan inflasi 1.
Pada Februari 1991, BOC dan Pemerintah Kanada bersama-sama menetapkan target
inflasi sejalan dengan usaha menstabilkan harga. Target tersebut dimaksudkan sebagai
nominal anchor dalam mempengaruhi ekspetasi masyarakat terhadap inflasi, sehingga
masyarakat terdorong untuk melakukan aktivitas ekonominya dengan menggunakan asumsi
inflasi yang rendah. Hal ini pada akhirnya akan mempermudah bank sentral dalam mencapai
target inflasi yang rendah.
Target inflasi didefinisikan sebagai peningkatan CPI dalam 12 bulan dan merupakan
inflasi yang paling relevan digunakan di Kanada. Penetapan target tersebut cukup fleksible
dimana target ditetapkan dalam suatu band sebesar 1% di atas atau di bawah target 3%
1 Mekanisme kebijakan moneter di Australia dan Selandia Baru secara rinci dapat dilihat pada Perry Warjiyo dan
Doddy Zulverdi (1998).
20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
pada akhir tahun 1992, 2,5% sampai dengan pertengahan tahun 1994 dan 2% sampai dengan
akhir tahun 1995. Walaupun target yang dicapai adalah CPI total, tetapi Bank Sentral hanya
mempunyai tanggung jawab dalam mencapai target core inflation, yaitu inflasi yang telah
mengeluarkan harga-harga kolompok bahan makanan dan energi serta pengaruh pajak
tidak langsung. Tetapi apabila dalam pelaksanaan ditemukan perbedaan yang cukup signifikan
antara core inflation dan CPI maka tindak lanjut harus dilakukan agar core inflasi sesuai dengan
target dalam konteks CPI. Dalam hal terjadi kejadian di luar kendali, seperti bencana alam dan
peningkatan harga minyak, target inflasi dapat dipertimbangkan lagi untuk diubah.
Target inflasi adalah RPIX yakni retail price index (RPI) setelah dikeluarkan mortgage
interest rate. Target pertama kali ditetapkan sebesar 1-4% dan pada bulan Juni 1995 dirubah
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 21
menjadi maksimal sebesar 2%. Oleh karena inflation targeting merupakan kebijakan forward
looking, maka Bank of England meminta independensi dalam membuat assesment inflasi ke
depan dalam laporan inflasi kuartalan sejak Februari 1993.
Seperti negara-negara Kanada dan Selandia Baru, the Riksbank (RB) juga
menggunakan MCI sebagai sasaran antara dalam kebijakan moneternya. Mekanisme
transmisi kebijakan moneter di negara ini juga tidak jauh berbeda dengan kedua negara
yang menerapkan MCI tersebut di atas, dimana untuk mengetahui tekanan terhadap inflasi,
RB menggunakan indikator output gap (selisih PDB aktual dengan PDB potensial). Dalam
pelaksanaan kebijakan moneter, RB menetapkan suku bunga jangka pendek sejalan dengan
stance kebijakan moneter yang diinginkan. Suku bunga jangka pendek tersebut digunakan
untuk mempengaruhi suku bunga jangka menengah/jangka panjang. Selanjutnya suku
bunga jangka panjang tersebut akan mempengaruhi aggregate demand sehingga pada
akhirnya output gap dapat dikendalikan. Dengan pengendalian output gap tersebut maka
inflasi dapat dikndalikan. Pada bulan May 1994, RB menggunakan suku bunga repo 2
22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
i. Sasaran Akhir
Sasaran akhir kebijakan moneter selama masa pra krisis diarahkan pada pencapaian
inflasi yang rendah, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan keseimbangan neraca
pembayaran. Dengan multiple target tersebut, fungsi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter
tidak terfokus karena diantara ketiga tugas pokok tersebut terdapat kemungkinan yang
tidak sejalan. Tidak jarang terdapat trade off antara pencapaian inflasi yang rendah dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi
Target Repelita 5.00 5.00 6.70 6.70 6.70
Realisasi
- Fiskal 10.03 7.04 8.57 8.86 5.17
- Kalender 4.94 9.77 9.24 8.64 6.47
Pertumbuhan PDB
Target Repelita 5.00 5.00 7.10 7.10 7.10
Realisasi
- Fiskal 7.37 7.68 7.35 7.76 8.49
- Kalender 7.22 7.25 7.54 8.22 7.98
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 23
Velocity of M1 and M2
M1 M2
10.0 2.2
9.5 2.1
Vm2
VM1
2.0
9.0
1.9
8.5
1.8
8.0
1.7
7.5 1.6
7.0 1.5
I II III IV I II III IV I II III IV
dipengaruhi oleh M1 dan M2 (Iskandar, 1998), sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja
peranannya dalam mempengaruhi inflasi.
Untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia
(BI) menggunakan pendekatan kuantitas yakni jumlah uang beredar, bukan suku bunga.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 25
Dalam masa krisis pengendalian moneter menggunakan level base money (BM), bukan
pertumbuhannya, sebagai sasaran operasional dan sejak bulan April 1998 target tersebut
diumumkan ke publik. Dalam kaitannya dengan pinjaman IMF, terdapat 3 sasaran
operasional lainnya yang harus diperhatikan dalam mencapai sasaran BM yakni Net
Domestic Assets (NDA), Net International Reserves (NIR), dan liquidity support di mana NDA =
BM- NIR. Besarnya pemberian BLBI akibat krisis kepercayaan terhadap perbankan
merupakan salah satu faktor utama yang melatarbelakangi pembatasan level BM. Pemberian
BLBI dalam bentuk saldo debet, fasilitas diksonto dan dana talangan akan meningkatkan
BM (menambah saldo giro bank) dan menambah NDA berupa tagihan kepada bank.
Peningkatan likuiditas tersebut dapat menimbulkan tekanan terhadap harga dan nilai tukar
rupiah
Untuk mencapai target BM selain melalui OPT juga dibantu melalui intervensi BI di
pasar valas khususnya dalam rangka menyedot ekspansi kebijakan fiskal akibat defisit
keuangan Pemerintah yang dalam tahun 1998/99 diperkirakan mencapai 4% dari PDB.
Dalam hal ini BI sebagai fiscal agent melakukan intervensi valas untuk membantu OPT dan
sekaligus untuk menambah supply dolar di pasar valas. Dalam hal ini dana valas yang
dipakai untuk intervensi berasal dari pinjaman Bank Dunia dan ADB sedangkan dana dari
IMF untuk memperkuat cadangan devisa.
Kebijakan moneter tersebut telah berhasil secara bertahap menurunkan laju inflasi
dan menstabilkan nilai tukar rupiah, seperti terlihat dari evaluasi di bawah ini.
Grafik 6. Perkembangan Inflasi Bulanan dan Perubahan Base Money (MA 23 Hari)
( Base Money ) ( Inflasi )
10 5
Inflasi Bulanan
9
Changes BM 4
8
7 3
6 2
5
1
4
3 0
2 -1
1
-2
0
-1 -3
5 6 7 8 9 10 11 12 1
1998 1999
26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
bulan April 1998. Artinya, penurunan BM sekarang akan menurunkan inflasi pada
bulan depan. Korelasi antara kedua variabel ini dengan lead 1 bulan untuk inflasi
cukup tinggi yakni 0,87. Hal ini mencerminkan bahwa sasaran BM sebagai operasi
kebijakan moneter cukup tepat dalam mengendalikan inflasi (grafik 6).
variabel lain dengan distribusi jumlah lag yang sama. Dengan tanpa pembatasan berarti
jumlah parameter akan bertambah sebesar kuadrat dari jumlah variabel dan akan mengurangi
derajad kebebasan (degree of freedom) secara cepat (Hsiao, 1981). Metode ini, pada prinsipnya
menggunakan nilai final prediction error dari outoregresi dalam menentukan optimal lag
dependent dan independent variable (metode rinci, lihat lampiran).
Sementara proses transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga dilakukan dengan
melihat tiga bagian sebagai berikut :
a. Transmisi dari suku bunga jangka pendek melalui permintaan agregat ke inflasi.
b. Transmisi dari suku bunga ke nilai tukar
c. Transmisi dari nilai tukar ke inflasi
ii. Tidak terdapat hubungan kausalitas bidirectional antara suku bunga PUAB over night,
hubungan yang terjadi hanya hubungan satu arah dari excess reserve ke suku bunga
PUAB overnight, dengan optimal lag 1 series data. Hasil ini memberikan indikasi
perubahan yang terjadi dalam excess reserve dengan cepat ditransmisikan ke perubahan
suku bunga PUAB overnight.
iii. Suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight secara signifikan mempunyai
hubungan kausalitas satu arah dengan suku bunga dengan jangka waktu yang lebih
panjang di bawah ini
• Suku bunga deposito 1 bulan
• Suku bunga SBI 1 bulan
• Suku bunga Jibor 1 bulan
Dengan demikian perubahan suku bunga PUAB overnight dapat memberikan signal
kuat ke pasar, seperti terlihat dari respon perbankan merubah suku bunga yang lebih
panjang sebagai akibat perubahan dari suku bunga overnight.
iv. Ketiga suku bunga tersebut di atas mempengaruhi secara positif suku bunga jangka
panjang lainnya seperti suku bunga deposito 3,6,12,24 bulan dan suku bunga kredit.
Perubahan suku bunga tersebut mempengaruhi perilaku konsumsi dan investasi serta
selanjutnya permintaan agregat sebagaimana terlihat dari peningkatan PDB riil.
28 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 2
HASIL TES KAUSALITAS GRANGER (Metode Hsiao )
Catatan :
Test menggunakan data bulanan dari tahun 19990-1998, setelah terlebih dahulu men-stasionerkan seluruh
data.
Kuatnya transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga tersebut di atas juga
ditunjang dengan hasil impulse response (VAR) dengan menggunakan data bulanan dari
tahun 1990-1998 -data telah di-stasionerkan terlebih dahulu. Hasil uji tersebut menyimpulkan
shock yang terjadi di excess reserve mempengaruhi terhadap perilaku suku bunga PUAB
overnight. Selanjutnya shock yang terjadi di suku bunga jangka pendek ditransmisikan ke
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 29
suku bunga yang berjangka lebih panjang dan suku bunga kredit. Perubahan suku bunga
selanjutnya mempengaruhi pola konsumsi dan investasi -melalui jalur kredit. Perubahan
kedua variabel pada tahap berikutnya akan mempengaruhi permintaan agregat. Pada
akhirnya perubahan permintaan agregat akan mempengaruhi inflasi -secara teoritis tekanan
inflasi dapat dilihat dari output gap, namun karena ketidaksediaan data digunakan proxy
PDB riil. Hal tersebut dapat dilakukan mengingat kapasitas produksi pada periode analisis
cukup tinggi kecuali tahun 1998.
Response of D(PUAB) to One S.D. D(EXRES) Innovati Response of D(SBI1BL) to One S.D. D(PUAB) Innovatio ponse of D(DEP3) to One S.D. D(SBI1BL) Innova
4 3 1.2
1.0
2
2
0.8
1
0.6
0
0 0.4
-2 0.2
-1
0.0
-4 -2 -0.2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0.3
0.0 0.5
0.2
-0.2 0.0
0.1
-0.4 -0.5
0.0
i. Semakin tinggi suku bunga semakin sedikit permintaan uang untuk spekulasi sehingga
nilai tukar Rupiah akan mengalami apresiasi.
ii. Semakin tinggi suku bunga akan menarik aliran modal masuk sehingga menambah
persedian valas dalam negeri. Hasilnya, nilai tukar Rupiah menguat.
nilai tukar lebih ditentukan Pemerintah daripada mekanisme pasar. Namun berdasarkan
data pasca krisis hubungan tersebut cukup erat. Mekanisme transmisi suku bunga tersebut
ke nilai tukar terjadi melalui aliran modal asing, sebagaimana terlihat dari hubungan yang
erat antara suku bunga dengan aliran modal masuk keluar khususnya sejak terjadinya
krisis moneter bulan Juni 1997. Dengan menggunakan perubahan NFA sebagai proxy aliran
modal, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. Perubahan deposito 1 bulan memiliki
korelasi yang erat dengan perubahan NFA valas. Dengan demikian aliran modal yang cukup
besar sejak krisis merupakan salah satu faktor utama melemahnya nilai tukar rupiah.
Sedangkan, perubahan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri juga memiliki kaitan
erat dengan perubahan NFA valas. Hal ini menunjukkan bahwa ekspektasi depresiasi dan
premi risiko sangat mempengaruhi gerakan aliran modal internasional pada akhirnya juga
mempengaruhi nilai tukar rupiah.
3000 20
2000
15
1000
10
0
5
-1000
0
-2000
-3000 -5
97:07 97:09 97:11 98:01 98:03 98:05 98:07 98:09
D(NFA$) D(RDIF)
i. Melemahnya nilai tukar Rupiah akan meningkatkan harga tradable goods dalam mata
uang domestik. Akibatnya, harga-harga dalam negeri juga akan meningkat melalui exchange
rate pass through. Hal ini dapat dilihat dari tradable goods inflation.
ii. Depresiasi nilai tukar Rupiah akan mempengaruhi relative price effects yaitu meningkatnya
harga tradable goods relatif terhadap harga non-tradable goods, akan memberikan efek
psikologis bagi sektor non-tradable goods untuk menaikkan harga.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 31
Hasil uji Granger kausalitas test juga menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah
mempengaruhi inflasi baik terhadap inflasi IHK maupun underlying (core) inflation. Hasil ini
mengindikasikan bahwa pass through nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia cukup
dominan, sehingga pengendalian nilai tukar merupakan salah faktor penting dalam
mengendalikan inflasi. Piranti yang dapat digunakan untuk mengendalikan nilai tukar
tersebut dapat dilakukaan melalui suku bunga.
F-test = 43,56
Adjusted R-squared = 0,66
Keterangan
PDBRAR = PDB Riil
D1RMA = Suku Bunga Deposito Riil 1 bulan (Moving Average 12 bl)
NTUSGA = Pertumbuhan Nilai Tukar Rupiah/USD
TOTMAGA = Pertumbuhan Term of Trade (moving average 12 bl)
Tahun dasar yang dipilih adalah tahun 1994 dengan pertimbangan suku bunga dan
nilai tukar riil pada tahun tersebut cukup rendah dan stabil. Dengan menggunakan tahun
1994 sebagai tahun dasar MCI Indonesia dapat disusun seperti tampak dalam grafik di bawah.
105
104
103
102
101
100
99
98
1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
95
85
75
65
55
45
35
7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1997 1998
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 33
Dari grafik di atas, dapat dijelaskan periodesisasi kondisi moneter Indonesia sebagai
berikut.
a. Sejak tahun 1990 hingga awal tahun 1992 kebijakan moneter cenderung ketat yang
diperlihatkan dengan meningkatnya MCI, khususnya sejak diberlakukannya Paket Januari
1990.
b. Mulai tahun 1992 hingga 1993 kondisi moneter cenderung mengendor yang ditunjukkan
oleh menurunnya MCI. Sejak tahun 1994 kebijakan moneter kembali mengalami pengetatan
yang ditandai dengan meningkatnya MCI dan meningkatnya suku bunga deposito serta
menguatnya nilai tukar Rupiah riil. Kondisi demikian berlangsung hingga bulan Juni1997.
c. Sejak krisis moneter bulan Juni 1997 dan sejak dilepaskannya band nilai tukar pada
bulan Agustus 1997, MCI mulai berada di bawah 100 karena tingginya tingkat depresiasi
nilai tukar riil Rupiah. Penurunan suku bunga sejak bulan September 1998 sampai dengan
bulan Desember 1997 dan terus melemahnya nilai tukar Rupiah pada periode yang sama,
MCI terus mengalami penurunan sampai mencapai titik terendah pada bulan Juni 1998.
d. Sejalan dengan kembali dinaikannya suku bunga SBI sejak bulan Januari sampai dengan
April 1998 dan kecenderungan menguatnya nilai tukar Rupiah, MCI mulai menunjukkan
peningkatan secara berarti. Namun kemudian menurun tajam pada bulan Mei dan Juni
1998 akibat kerusuhan sosial.
e. MCI pasca kerusuhan terus menjukkan kenaikan sejalan dengan menguatnya nilai tukar
Rupiah dan menurunnya laju inflasi. Penurunan suku bunga sejak bulan September
tidak menurunkan MCI secara berarti.
Dari pengalaman di atas, dapat disimpulkan bahwa MCI merupakan variabel yang
cukup akurat untuk memberikan gambaran terhadap kondisi moneter yang terjadi. Dengan
demikian, MCI dapat dipakai sebagai approximate intrmediate target dalam mekanisme
pengendalian moneter di mana inflasi sebagai sasaran akhir.
pelaksanaan kebijakan moneter pada pencapaian inflasi maka dapat dihindarkan conflict of
interest terhadap pencapaian tujuan-tujuan lainnya yang dapat mengganggu kestabilan harga.
Pemberian independensi sebagai prasyarat utama dalam inflation targeting juga telah
dapat dipenuhi dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut di atas. Pemberian
independensi diberikan tidak terbatas pada independensi dari aspek kelembagaan tetapi
juga independen dari aspek instrumen dan tujuan kebijakan moneter. Pemberian status
independen memberikan dasar hukum yang kuat terhadap konsistensi kelembagaan Bank
Indonesia serta menghindarkan campur tangan pemerintah dan pihak lain dalam
pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Selain itu, kebijakan fiskal di Indonesia tidak menunjukkan keadaan yang lebih dominan
dari kebijakan moneter. Prinsip penyusunan APBN yang menghindarkan penggunaan
pembiayaan budget defisit yang berasal dari dalam negeri khususnya Bank Indonesia merupakan
prasyarat yang telah dipenuhi. Selama ini budget defisit pemerintah selalu dibiayai dengan
pinjaman luar negeri pemerintah, sehingga hal tersebut dapat menghindarkan tekanan-tekanan
inflasi yang berasal dari kegiatan mencetak uang yang berlebihan.
sistem keuangan yang sehat. Piranti moneter yang dapat digunakan untuk menjaga
keseimbangan likuiditas tersebut, antara lain dapat berupa intervensi rupiah overnight baik
yang bersifat ekspansi maupun kontraksi. Sementara dengan segera dijualnya obligasi
pemerintah di pasar sekunder, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga pemerintah
tersebut sebagai salah piranti moneter dalam mengendalikan likuiditas bank-bank.
Perubahan suku bunga overnight akan mempengaruhi ekspetasi pasar akan terjadinya
perubahan arah kebijakan moneter, sehingga bank-bank akan merespon dengan merubah
suku bunga berjangka pendek. Selanjutnya perubahan suku bunga tersebut akan
mempengaruhi perbankan untuk merubah suku bunga yang berjangka waktu lebih panjang.
Pada tahap berikutnya perubahan suku bunga akan mempengaruhi perilaku konsumsi dan
investasi, serta kesemua tersebut bermuara ke peningkatan permintaan agregat. Apabila
terjadi peningkatan permintaan agregat yang melampaui output potensial -tercermin dari
penurunan output gap-, inflasi akan cenderung meningkat. Dengan kerangka kebijakan
moneter ini keberhasilan dalam mengendalikan inflasi sangat tergantung keberhasilan
otoritas moneter dalam mengendalikan permintaan agregat.
MCI
1. OPERASI Suku
PASAR PDB
Bunga
INFLATION TARGET
TERBUKA : SUKU
BUNGA Jangka
SBI Panjang
SBPU (Deposito Output
OBLIGASI Ekses 1 bulan) GAP
PEMER. PUAB Barang
Reserve
2. FASILITAS O/N Tradable
Bank
DISKONTO
3. STATUTORY NILAI Perubahan
RESERVE TUKAR harga
relatif
4. MORAL (TWI) melalui
SUASION Agregat
Demand
Indikator Variabel:
- NDA, NIR, Base Money - Survey Kegiatan Usaha
- M1 / M2 - Survey Konsumen
- LII / LIE
36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
arti memberikan pinjaman likuiditas kepada bank-bank tidak sehat melainkan untuk
menjalankan fungsi BI sebagai lender of the last resort akibat missmatch pendanaan. Sehingga
tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan suku bunga perbankan dan menjadi reference
rate terhadap suku bunga pasar. Pendekatan seperti ini juga dilakukan Federal Reserve
Bank AS dengan menetapkan fed fund rate dalam rangka mengendalikan suku bunga
perbankan dan memperjelas arah kebijakan moneter.
Secara umum, hasil studi memperlihatkan bahwa suku bunga PUAB overnight dapat
mempengaruhi suku bunga yang lebih panjang dan nilai tukar. Kondisi ini memberikan
indikasi bekerjanya mekanisme Mundell-Fleming teori dalam sistem nilai tukar fleksibel.
Sehubungan dengan hal tersebut, MCI dapat digunakan otoritas moneter sebagai proxy
sasaran antara kebijakan moneter. Pengalaman pada masa sistem nilai tukar mengambang
menunjukkan bahwa MCI mempunyai hubungan yang sejalan dengan kebijakan moneter
Indonesia. Namun demikian, MCI jangan diterapkan secara kaku dalam menetapkan
kebijakan moneter (policy rules) melainkan hendaknya dapat dimungkinkan terjadinya
discretionary policy. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan penetapan
band MCI dan melihat sifat shock yang terjadi terhadap nilai tukar dan inflasi. Sepanjang
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 37
shock yang terjadi bersifat sementara dan masih dalam band MCI, tidak perlu dilakukan
kebijakan moneter yang over reactive. Selain itu, mengingat masih besarnya penggunaan
uang kartal dalam transaksi ekonomi Indonesia, seperti terlihat kuatnya pengaruh base money
terhadap inflasi pada masa krisis, maka monetary aggregates masih diperlukan sebagai
indikator dalam melihat tekanan terhadap inflasi. Indikator yang tidak kalah pentingnya
untuk melihat tekanan inflasi antara lain adalah Leading Indikator Inflasi (LII), Leading
Indikator Ekonomi (LIE) dan hasil-hasil survey ekonomi dan konsumen. Keseluruhan
indikator ini diperlukan untuk menetapkan kebijakan moneter yang akan ditempuh dalam
mengendalikan inflasi sebagai sasaran akhir.
2. Sasaran operasional yang paling dekat dengan suku bunga jangka panjang lainnya
adalah suku bunga overnight yang dalam hal ini diwakili oleh PUAB overnight. Suku
bunga ini dapat memberikan transmisi yang kuat terhadap suku bunga lainnya seperti
SBI, deposito, dan kredit. Agar suku bunga overnight tersebut lebih controllable, Bank
Indonesia melakukan pengendalian keseimbangan likuiditas di pasar uang melalui
pengendalian excess reserve. Bank Indonesia dapat menggunakan Intervensi rupiah
overnight untuk keperluan kontraksi dan ekspansi moneter. Kedepan dengan
diberlakukannya Undang-Undang BI yang baru, penggunaan reference rate fasilitas
diskonto dapat dijadikan sebagai sasaran operasional dalam memberikan signal yang
kuat ke pasar mengenai perubahan arah kebijakan moneter. Hal tersebut juga dilakukan
Federal Reserve Bank AS dan pada pelaksanaannya cukup efektif dalam memberikan
arah kebijakan moneter dan mestabilkan suku bunga.
3. Mengingat suku bunga jangka pendek memiliki hubungan kuat dengan nilai tukar dan
inflasi, maka pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel dapat dilakukan
melalui semacam aproximate intermediate target yaitu MCI riil. Hasil empiris menerangkan
bahwa MCI memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sasaran akhir inflasi. Namun
penggunaan piranti ini jangan dijadikan rules tetapi dimungkinkan discretion melalui
penetapan band dan melihat sifat shock yang terjadi pada nilai tukar dan inflasi. Policy
reaction dilakukan apabila terdapat tekanan yang berasal dari sisi permintaan.
38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Daftar Pustaka
A Cabrero, J L. Escriva and E Ortega, "Monetary Policy Execution in Spain: Key features and
Assesment", Conference Papers, BIS, Basle, March, 1997.
Abel, Andrew B, and Ben S. Bernanke, "Macroeconomics", Addi Son Wesley, Publishing
Company, 1995.
Artis, M. J, and Mervyn Lewis, "Money in Britain ; Monetary Policy Inovation in Europe",
Philip Alan, 1991.
Caves, Richard E, Jeprey A Frankel, and Ronald W Jones, "World Trade and Payments an
Introduction", Seventh-Edition, Harver Collins College Publisher, 1996.
Dornbusch Rudiger, "Exchange Rates and Inflation", The MIT Press, USA, 1995.
Eltis, W. A, and P. J. N Sinclair, "The Money Supply and the Exchange Rate", Oxford University
Press, 1981.
Enders, Walter, "Applied Econometric Time Series", John Wiley $ Sons, 1995.
Erricson, Neil R. ,Eilev S. Jansen, Neva A. Kerbershian and Ragnar Nymoen, "Interpreting a
Monetary Conditions Index in Economic Policy".
Granger, C.W.J. "Investigating Causal Relations by Econometric Mode1s and Cross Spectral
Methods", Econometrica, Vol. 37, No. 3 (July1969), pp. 424-438.
Guy Debelle, "Inflation Targeting in Practice", Working Paper, IMIF, March 1997.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel 39
Iskandar, "The Causal Relationship Among Money, Prices, and Output in Indonesia", Thesis-
-MA in Economics, Nasville-Tennessee, January, 1998.
Lafrance Robert, "An Overview of the Monetary Frameworks of Four Infaltion Targeting
Countires", 1997.
Pindyck, Robert , and Danield L. Rubinfeld, "Econometric Models and Economic Forecast",
Mc Graw-Hill Inc, 1991.
Solikin, "The Stability of Income Velocity Demand For Money, and Money Multiplier in
Indonesia, 1971-1996", Working Paper, Department Economics, The University of
Michigan, 1998.
Warjiyo, Perry dan Doddy Zulverdi, "Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional
Kebijakan Moneter di Indonesia" Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1,
Nomor 1, Bank Indonesia, Jakarta Juli 1998.
40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Lampiran
Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara 2 variabel
yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas 3 kategori, hubungan
kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah dan hubungan timbal balik. Prinsip
kerja dari Granger-Kausalitas test didasarkan atas vector autoregression sebagaimana diuraikan
sebagai berikut :
k k
Yt = ∑ αj Yt-j + ∑ βj Xt-j + ∈t
j=1 j=1
k k
Xt = ∑ δj Xt-j + ∑ γj Yt-j + ut
j=1 j=1
Dalam model VAR ini dipersyaratkan bahwa error terms (faktor pengganggu) Ît dan ut
tidak mempunyai hubungan satu sama dengan lainnya atau white-noise series, sedangkan k
adalah jumlah lag. Oleh karena itu sebelum melakukan uji hubungan kausalitas tersebut
seluruh data harus bersifat stasioner. Jika variabel yang akan diuji bersifat tidak stasioner
maka standar VAR model akan misspecified jika digunakan uji kausalitas (Granger, 1988).
Hal tersebut dapat terjadi karena jika suatu data bersifat non stasioner maka varian akan
meningkat sejalan dengan waktu, sehingga varian akan tidak terhingga jika tidak ada batasan
waktu dan pada saat tersebut tidak terdapat nilai tengah (mean) dalam jangka panjang
dimana data series kembali.
kausalitas satu arah dari Y ke X jika koefisien γj tidak sama dengan nol. Sementara apabila
keduanya terjadi maka dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship)
antara X dan Y atau terdapat hubungan kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X
dan Y.
1. Tentukan jumlah optimum lag dari regresi satu dimensi (one-dimensional regression), misal
Y, di bawah ini.
k
Yt = ∑ αj Yt-j
i=1
FPE = T + K x RSS
T-K T
Dimana RSS adalah jumlah kuadrad residual, T adalah jumlah observasi dan K adalah
jumlah parameter estimasi dari regresi.
3. Ulangi proses 1 dan 2 dengan menggunakan nilai k dari 1 sampai dengan n hingga
jumlah maksimum lags ditetapkan. Cari optimum lags dengan melihat nilai paling kecil
(minimum) FPE.
k m
Yt = ∑ αj Yt-j+ ∑ βj Xt-j + ut
i=1 i=1
42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
5. Hitung nilai FPE dan tentukan optimum lag dengan melihat nilai minimum FPE.
6. Bandingkan nilai FPE pada butir 2 dengan nilai FPE pada butir 5. Jika nilai FPE pada
butir 2 lebih kecil dari FPE pada butir 5 maka dapat disimpulkan X mempengaruhi Y.
Sementara model yang optimal yang digunakan untuk memprediksikan Yt adalah
menggunakan optimum lag Y dan X.
Prosedur uji kausalitas di atas didasarkan pada tingkat keakuratan penjelas regresi
(fitting of the regression), sehingga belum menunjukkan kekuatan controll variable dalam
mempengaruhi dependent variable. Oleh karena itu, untuk mendukung hasil tersebut
digunakan F-test dengan menggunakan regresi dengan optimal lags dari masing-masing
variabel. Formula F-test atau Wald test yang digunakan adalah sebagai berikut :
F = RSSr - RSSur/r
RSSur/(T-k)
Dimana RSSr adalah jumlah kuadrad residual dari persamaan yang diretriksi, RSSur
adalah jumlah kuadrad residual dari persamaan yang tidak diretriksi, r adalah jumlah
variabel yang diretriksi, T jumlah observasi dan k adalah jumlah parameter estimasi dari
regresi yang tidak diretriksi.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 43
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
D
alam dua dekade terakhir, Bank Indonesia telah melakukan beberapa kali
perubahan sistem nilai tukar (exchange rate arrangement). Sebagaimana kita
ketahui, sejak tahun 1978 sistem nilai tukar Indonesia bergerak semakin fleksibel
dengan kisaran intervensi yang semakin diperlebar hingga akhirnya dihapuskan pada bulan
Agustus 1997.
Gejolak nilai tukar dalam sistem nilai tukar yang semakin fleksibel tidak dapat
dihindari. Sebagai otoritas moneter, yang perlu dilakukan adalah upaya untuk meredam
gejolak nilai tukar yang berlebihan agar tidak membahayakan stabilitas perekonomian. Untuk
mendukung upaya tersebut otoritas moneter perlu mengestimasi nilai tukar keseimbangan
dengan baik dalam arti sesuai dengan faktor-faktor fundamental perekonomian yang juga
mencakup unsur ekspektasi pasar. Hal ini menjadi penting karena apabila suatu negara
mempertahankan nilai tukar riilnya pada tingkat yang “tidak tepat” akan memberikan signal
yang keliru kepada pelaku ekonomi yang pada akhirnya memperbesar kemungkinan
munculnya ketidakstabilan ekonomi.
Dengan mengetahui nilai tukar keseimbangan maka misalignment nilai tukar dapat
diukur dengan membandingkan nilai tukar riil aktual dari nilai tukar riil keseimbangannya.
*)Yati Kurniati : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat
Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, email : yati_k@bi.go.id
A.V. Hardiyanto : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat
Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, email : hardiyanto@bi.go.id
1 Fleksibel nilai tukar rupiah yang dimaksud adalah perkembangan nilai tukar rupiah yang terjadi dipasar di pasar
valuta asing dalam negeri, yang mencerminkan suatu pola pergerakan nilai tukar yang lebih bebas dan acak.
44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Misalignment nilai tukar riil merupakan komponen penting yang dapat menciptakan
ekspektasi nilai tukar di pasar. Dengan demikian, apabila misalignment nilai tukar dapat
terukur dengan baik, maka otoritas moneter akan dapat memprediksi perubahan ekspektasi
pasar terhadap nilai tukar sehingga pelaksanaan manajemen nilai tukar dapat lebih produktif.
Dengan latar belakang tersebut, secara ringkas penelitian ini bertujuan untuk:
a. membangun keterkaitan antara prilaku nilai tukar riil dan variabel ekonomi yang relevan,
b. mengukur tingkat keseimbangan nilai tukar riil jangka panjang dan jangka pendek
yang sesuai dengan fundamental perekonomian, sehingga selanjutnya dapat diketahui
besar misalignment,
c. memproyeksikan kisaran nilai tukar yang wajar untuk beberapa bulan kedepan.
Penelitian dilakukan dengan dengan analisa time series “Johansen’s Cointegration Test”
dan Error-Correction Model dengan periode estimasi bulanan dari September 1992 sampai
dengan Agustus 1998. Penentuan periode observasi ini dimaksudkan agar mencakup periode
sejak kisaran intervensi nilai tukar mulai diperlebar sampai akhirnya kisaran tersebut
dihapuskan pada bulan Agustus 1997 serta mencakup pula periode setelah nilai tukar mengambang.
2 Pendekatan NATREX mengukur keseimbangan nilai tukar yang mencerminkan keseimbangan eksternal dan
internal tanpa memperhitungkan faktor-faktor siklikal, spekulasi aliran modal dan pergerakan cadangan devisa.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 45
negara tersebut3 . Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, studi mengenai volatilitas
jangka pendek yang dilakukan terhadap nilai tukar negara-negara Eropa sejak periode regim
nilai tukar tetap Bretton Woods sampai dengan tahun tahun 1997 mengungkapkan bahwa
perilaku nilai tukar riil adalah regimedependent,4 yaitu tergantung pada pada sistem nilai
tukar yang berlaku. Dengan demikian , the nonnetrality hypotesis of exchange rate arrangement
semakin kuat. Studi-studi tersebut membuktikan bahwa volatilitas nilai tukar riil dalam
regim nilai tukar tetap. Hasil studi di atas bertentangan dengan pendapat Friedman (1953)
dan Sohmen (1961) yang menyatakan bahwa dalam regim nilai tukar mengambang nilai
tukar riil akan lebih stabil karena fleksibilitas nilai tukar nominal akan meng-offset dampak
dari perbedaan laju inflasi terhadap daya saing internasional suatu negara. Bagaimana
dengan perilaku nilai tukar riil Rupiah?
Perubahan dari satu sistem ke sistem lainnya didasarkan pada kebutuhan agar sistem
nilai tukar sesuai dengan perekonomian yang mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan ekonomi yang pesat (sebelum periode krisis juli 1997). Perubahan sistem
nilai tukar ini sangat berpengaruh pada perilaku nilai tukar rupiah, khususnya setelah
sistem nilai tukar beralih kepada sistem nilai tukar baik mengambang terkendali maupun
mengambang bebas.
Perubahan perilaku nilai tukar dalam regim nilai tukar yang berbeda juga berlakudi
Indonesia sebagaimana tercermin dalam grafik 2.1.
1a. Nilai Tukar Nominal Rp/US$ 1d. Nilai Tukar Riil Rp/US$
(% perubahan bulanan) (% perubahan bulanan)
4 3
stdev. periode stdev. periode stdev. periode stdev. periode
s.d. Sep92 = 0,22 Okt’92-Jul’97 = 0,58 s.d. Sep’92=0,38 Okt’92-Jul’97
2
3
1
2
0
1
-1
0
-2
-1 -3
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97
1b. Volatilitas Nilai Tukar Nominal Rp/US$ 1e. Volatilitas Nilai Tukar Riil Rp/US$
(Conditional Standard Deviation) (Conditional Standard Deviation)
2.0 3.0
2.5
1.5
2.0
1.0
1.5
0.5
1.0
0.0 0.5
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97
1c. Volatilitas Nilai Tukar Nominal Rupiah/US Dolar 1f. Volatilitas Nilai Tukar Riil Rupiah/US Dollar
dalam Periode Krisis Dalam Periode Krisis
100 100
90,97
79,95
80 80
60 60
40 40
24,44 21,91
20 20
0.75 0,59
0 0
97:07 97:09 97:11 98:01 98:03 98:05 98:07 98:09 97:07 97:09 97:11 98:01 98:03 98:05 98:07 98:09
Dalam periode nilai tukar tetap (sampai dengan tahun 1978) dan periode managed
floating sampai dengan Agustus 1992 saat dimana kurs pasar dipatokdengan spread hanya
0.25 persen dari batas atas dan batas bawah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, fluktuasi
nilai tukar di pasar sangat tidak berarti. Grafik 1a dan 1b serta tabel 1 menunjukkan bahwa
volatilitas nilai tukar nominal di pasar makin meningkat sejalan dengan dilebarkannya
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 47
kisaran intervensi (intervention band) secara bertahap sampai akhirnya kisaran tersebut
dihapuskan pada tanggal 14 Agustus 1997. Demikian pula halnya dengan pergerakan nilai
tukar riil. Dalam periode sampai dengan September 1992, standar deviasi persentase
perubahan bulanan nilai tukar riil adalah sebesar 0,38, sedangkan periode Oktober 1992 –
Juli 1997 sebesar 0,60. Sejalan dengan hal tersebut volatilitas nilai tukar riil Rupiah terhadap
US dollar juga menunjukkan kecenderungan meningkat pada saat kisaran intervensi
diperlebar secara signifikan. Sementara itu, periode pada saat free floating diterapkan terjadi
bersamaan dengan periode krisis nilai tukar, sehingga volatilitas nilai tukar riil meningkat
pesat dari sekitar 20% hingga maksimun mencapai 80%.6
*) Periode Jan’88 s.d. 12 Jun ’96 menggunakan kisaran kurs konversi, sedangkan periode 12 Jun. ’96 s.d. 13 Agt. ’97
menggunakan kisaran kurs intervensi
6 Namun karena masa penerpan free floating yang dicakup disini bersamaan dengan periode krisis (kondisi tidak
normal), volatilitas yang sangat tinggi dalam periode ini tidak dapat dijadikan penilaian umum
48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Thailand Pegged terhadap US$ Managed Floating system (per 2 Jul. ’97)
Korea Managed Floating system Free Floating system (per 16 Des. ’97)
Indonesia Managed Floating Free Floating system (per 14 Agt. ’97)
Malaysia Managed Floating Fixed system (per 2 Sep. ’98)
Salah satu pertimbangan utama dari keputusan pemerintah Thailand, Korea dan
Indonesia dalam mengubah nilai tukarnya menjadi lebih fleksibel adalah untuk menghindari
terkurasnya cadangan devisa yang semakin menipis akibat kebutuhan untuk
mempertahankan nilai tukar mata uang domestik terhadap US dolar yang makin merosot
akibat serangan spekulatif pada periode awal krisis. Sebaliknya, Malaysia memberlakukan
kebijakan nilai tukar tetap dengan mempeg-kan nilai ringgit terhadap terhadap US dolar
pada tingkat 3,8 RM/USD dengan maksud menghilangkan resiko nilai tukar bagi para
investor. Kebijakan nilai tukar Malaysia ini menyertai pemberlakuan kontrol devisa secara
selektif yng ditujukan untuk melindungi perekonomian domestik dari volatilitas pasar uang
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 49
dunia, serta meminimumkan kegiatan-kegiatan spekulatif yang dapat menekan nilai ringgit.
Studi dilakukan terhadap sistem nilai tukar negara-negara di Asia yang relatif tidak terkena
krisis mata uang yaitu Singapura dan Hongkong (lihat lampiran 1). Kedua negara ini
mempunyai karakteristik yang sama yaitu merupakan perekonomian yang terbuka (small
open economies) dan menganut sistem ekonomi pasar bebas. Namun kedua negara ini
menganut sistem nilai tukar yang berbeda yaitu Hongkong menganut Currensy Board System
(CBS) sedangkan Singapura menganut sistem managed floating dengan bank yang tidak diumumkan.
Hongkong
Hongkong menganut CBS sejak tahun 1983 untuk mengatasi serangan spekulatif
terhadap mata uangnya. Sistem ini terbukti telah mampu menahan serangan terhadap dollar
Hongkong yang terjadi beberapa kali termasuk dalam periode krisis Asia tahun 1997-98.
Hongkong dengan CBSnya mampu bertahan dari krisis mata uang Asia karena:
- Cadangan devisa yang sangat besar, terbesar ketiga didunia setelah Jepang dan RRC.
Pada awal krisis Asia (Juli 1997) Hongkong bahkan mendapat limpahan aliran modal
dari negara Asia lain yang mengalami krisis hingga cadangan devisa meningkat tajam
dari USD 67,6 miliar (Juni 1997) menjadi USD 81,6 miliar (Juli 1997) dan mencapai
puncaknya sebesar USD 98 miliar per Januari 1998. Dolar Hongkong mulai digoyang
spekulasi terutama pada semester kedua 1998, hingga cadangan devisanya menurun
menjadi USD 88,5 miliar per November 1998. Namun sejak Desember 1998 cadangan
devisa cenderung meningkat kembali.
- Kebijkan fiskal yang berhati-hati dan kredibel, dengan skala pemerintahan yang kecil
dan tanpa hutang luar negeri Hongkong memiliki struktur pajak yang sederhana dan
murah, serta pengeluaran publik yang hanya berjumlah 14 persen dari GDP (1996-1998).
- Sistem keuangan yang sehat dan solvent. Dunia perbankan Hongkong sehat dan kuat,
sehuingga naik turunnya tingkat bunga secara ekstrim yang sering terjadi dalam CBS
tidak melumpuhkan kegiatan disektor ini. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan
Hongkong sebesar 18 persen, dan debt rationya hanya hanya 3,7 persen. Fungsi supervisi
perbankannya juga amat prudent.
Singapura
Singapura dengan sistem nilai tukar managed floating juga mampu mengelola mata
uangnya secara kredibel sehingga terhindar dari krisis mata uang yang berat. Nilai mata
uangnya selalu dapat dipertahankan dalam target band yang secara berhati-hati dapat
diperlebar sesuai dengan kebutuhan. Band nilai tukar hanya diketahui oleh Monetary Authority
of Singapore (MAS) yang bertugas mengelola manajemen nilai tukar dolar Singapura.
Kehandalan sistem nilai tukar mengambang terkendali Singapura dapat terwujud dengan
ditunjang oleh:
- Cadangan devisa yang amat kuat. Sebelum krisis ekonomi Asia, cadangan devisa
Singapura mencapai USD 77,0 miliar (akhir 1996) dan dalam periode krisis menurun
menjadi USD 71,7 miliar (Akhir 1997), namun pada akhir 1998 telah meningkat kembali
menjadi USD 75,0 miliar
- Lembaga keuangan yang maju dan sehat
- Kebijaksanaan ekonomi makro yang diimbangi oleh kebijaksanaan mikro yang
berorientasi pada pasar. Pemerintah hanya mengintervensi pasar domestik dalam bidang-
bidang: pendidikan, perumahan, dan kesehatan dasar masyarakat.
- Fundamental ekonomi yang sudah kuat. Pemerintah tidak memiliki pinjaman luar negeri.
External shock yang melanda Singapura dapat diserap oleh perekonomian dengan
adjustment yang tidak menyakitkan, misalnya tanpa menyebabkan meningkatnya
pengangguran.
- Pemerintahan yang kredibel dan relatif bersih.
Dalam mengestimasi keseimbangan nilai tukar riil jangka panjang pada awalnya
dibutuhkan pengukuran nilai tukar riil (RER atau REER) aktual. Dalam kaitan ini, terdapat
beberapa alternatif definisi nilai tukar riil yaitu eksternal RER dan internal RER. “External”
RER diukur sebagai nilai tukar nominal yang disesuaikan dengan perbedaan tingkat harga
luar negeri terhadap dalam negeri. Pengukuran external RER dapat berupa PPP-based RER
berdasarkan CPI, the Mundell-Flemming atau aggregate production cost RER, maupun the traded
goods RER yang berdasarkan relative unit labor cost industri manufaktur, WPI, atau export unit
values. Sedangkan “internal” RER didefinisikan sebagai sebagai harga relatif dari traded
goods terhadap nontraded goods, atau didefinisikan sebagai harga relatif dari exportable and
inportable goods in term of nontraded goods. Pengukuran PPP-Based RER berdasarkan CPI
secara luas dipergunakan salam studi-studi empiris karena umumnya data indeks harga
konsumen mudah tersedia di bernagai negara sehingga memungkinkan perhitungan REER
dengan mitra negara.
Nilai tukar kesimbangan menurut Nurkes 8 adal;ah suatu nilai tukar yang
menghasilkan keseimbangan internal dan eksternal secara simultan, dengan tiga persyaratan
yang harus dipenuhi, yaitu: tidak ada restriksi perdagangan, tidak ada inseftip khusus
untuk capital inflow dan outflow, dan tingkat pengangguran yang wajar. Secara konseptual
dapat dibedakan antara RER aktual dan keseimbangan RER jangka pendek (SRER) dan
keseimbangan RER jangka panjang (LRER). Nilai RER aktual dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang mungkin bersifat transitory, termasuk faktor speculative bubble, transitory movements
pada kebijakan dan variabel eksogen. SRER merupakan nilai RER yang telah bersih dari
faktor-faktor yang bersifat spekulatif. Sedangkan LRER merupakan fungsi dari predeterminant
variabel yang bersifat stationer dan kebijakan dan variabel eksogen yang permanent. Terdapat
beberapa pendekatan untuk mengestimasi LRER
Salah satu teknik estimasi LRER adalah pendekatan Relative Purchasing Power Parity
(PPP). Teknik yang digunakan dalam pendekatan PPP sangat sederhana dimana nilai tukar
menurut PPPadalah yang menyamakan nilai produk dalam negeri bila ditukarkan dengan
produk luar negeri.
PPP juga didasarkan pada asumsi yang sederhana yaitu (i) jenis dan mutu barang
yang dipetukarkan sama, (ii) tidak ada biaya transport dan restriksi perdagangan
internasional, (iii) struktur ekonomi, teknologi dan permintaan masyarakat tidak berubah.
8 Nurkse, Condition
52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Pengukuran nilai tukar keseimbangan dengan pendekatan ini pada dasarnya untuk
memperoleh nilai tukar yang bersih dari pengaruh gangguan-gangguan yang bersifat
transitory. Pada prakteknya, upaya memperoleh nilai tukar keseimbangan yang bebas dari
transitory shocks diperoleh dengan mengidentifikasi-kan dan memilih tahun dasar yang
dianggap shocknya dapat diabaikan (negligible). Penentuan tahun dasar dalam pendekatan
ini menjadi sangat penting karena nilai tukar riil aktual dalam periode tahun dasar dianggap
sebagai nilai tukar keseimbangan riil estimasi, sedangkan nilai tukar nominalnya dapat
diperoleh setelah disesuaikan dengan perbedaan laju inflasi dalam dan luar negeri.9
Permasalahan yang mungkin timbul dari pendekatan ini adalah pemilihan tahun dasar
seringkali didasarkan pada penilaian yang subyektif dalam menentukan bahwa RER pda
tahun dasar mendekati LRER. Disamping itu pendekatan ini memiliki kelemahan karena
menganggap bahwa LRER konstan.
Akhir-akhir ini studi empiris banyak dikembangkan untuk mengestimasi nilai tukar
ekuilibrium dengan metode single equation reduced form (Elbadawi (1994), Elbadawi dan Soto
(1994, 1995), Baffes et al (1997)). Estimasi LRER dengan pendekatan ini dilakukan dalam
persamaan kointegrasi. Daya tarik dari pendekatan reduced form dibandingkan dengan
pendekatan struktural adalah pendekatan ini lebih sederhana dalam menggunakan latar
belakang teori dan data. Pendekatan ini juga memperhatikan perilaku nilai tukar riil efektif
untuk memperoleh nilai tukar keseimbangan yang mencerminkan kondisi fundamental
perekonomian. Fundamental determinants dari keseimbangan nilai tukar riil merupakan
variabel-variabel yang sangat berpengaruh terhadap keseimbangan eksternal dan internal
suatu negara. Metode ini memerlukan spesifikasi hubungan jangka panjang yang tepat
tanpa harus mengestimasi karakteristik struktural dari perekonomian.
Penelitian yang dilakukan oleh Faruqee (1995) tidak membahas masalah keseimbangan
internal dan eksternal melainkan mengestimasi persamaan nili tukar riil dengan
menggunakan productivity growth differentials, harga relatif non-traded goods, dan terms of
trade sebagai variabel yang menetukan neraca berjalan (variabel X), dan memperlakukan
stok NFA sebagai variabel eksogen. Nilai estimasi nilai tukar riil diperlakukan sebagai nilai
trend, bukan sebagai nilai keseimbangan.
Sementara itu, Stein (1995) dengan formulasi NATREX (natural real exchange rate)
menjelaskan gerakan nilai tukar jangka menengah dan panjang yang terkait dengan efisiensi
dan produktivitas variabel fundamental riil, dengan asumsi nilai tukar riil melakukan
penyesuaian ke arah keseimbangan. Penyimpangan dari kesimbangan eksternal dan internal
dianggap sebagai disequilibrium terms dalam persamaan reduced form. Penimpangan dari
keseimbangan internal diproyeksi dengan deviasi capacity utilization dari rata-ratanya,
sedangkan penyimpangan dari keseimbangan eksternal diasumsikan sebagai fungsi dari
deviasi US real long term rate dari rata-rata tertimbang comparable interest rate negara G7
lainnya. Dalam mengestimasi misalignment, Stein menghitung nilai estimasi dari hubungan
jangka panjang dimana nilai tukar hanya merupakan fungsi dari variabel-variabel
fundamental. Terdapat perbedan yang sangat besar antara nilai aktual dan nilai estimasi
antara tahun 1977 dan 1982 serta antara 1983 dan 1986. Model juga tidak mencakup apresiasi
besar yang terjadi pada dollar antara tahun 1980-1985.
Dimana St = nilai tukar nominal mata uang luar negeri per mata uang domestik
it = suku bunga nominal
it* = suku bunga dalam negeri
πt = risk premium
Persamaan (1) dikonversikan ke dalam bentuk riil (dikurangi dengan perbedaan ekspektasi
inflasi: Et(∆Pt - ∆Pt*) sehingga menjadi:
Agar persamaan (2) dapat diaplikasikan, diasumsikan bahwa ekspektasi nilai tukar,
Et[∆qt+k] dipengaruhi oleh fundamental ekonomi jangka panjang, Zt, sehingga keseimbangan
nilai tukar jangka panjang menjadi:
+ + +
qt = f( tott, tntt,nfat ) …………………………………(4)
Dari persamaan (1) – (4) dapat dihasilkan persamaan umum sebagai berikut:
BEER = f(tot, tnt, nfa, r-r*, π) ………………………. (5)
b. Produktivitas (tnt)
Dari sisi penawaran, determinan nilai tukar riil diwakili oleh relatif faktor produktivitas
yang dikenal dengan “the Balassa-Samuelson effect” yang menunjukkan bahwa setiap proses
yang menyebabkan pertumbuhan produktivitas sektor tradable lebih cepat dari pada sektor
nontradable (dibandingkan dengan luar negeri) akan mendorong apresiasi nilai tukar riil.
Dengan asumsi bahwa teknologi constant-resturn-to scale baik pada sektor tradable maupun
nontradable dan berlakunya the law of one price pada tradable goods, maka peningkatan
produktivitas pada produksi tradable goods cenderung akan meningkatkan marginal
produktivity of labor sektor tersebut yang tercermin pada kenaikan upah pada sektor tradable.
Adapun perfect mobility of labor antar sektor, hal ini pada gilirannya akan meningkatkan
harga nontradable, mendorong apresiasi nilai tukar riil.
d. Resiko (risk)
Country risk suatu negara mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap
perekonomian negara yang bersangkutan, yang tercermin dari keputusan-keputusan
investasi yang akan dilakukan di negara tersebut. Makin tinggi risk premium suatu negara
maka akan semakin mahal untuk melakukan investasi di negara tersebut. Tingginya resiko
juga menurunkan suku kepercayaan investor asing dan menimbulkan tekanan depresiatif
terhadap nilai tukar riil.
e. Perbedaan suku bunga riil dalam negeri dan luar negeri (ridf)
Perbedaan suku bunga riil dapat menjadi daya tarik bagi investor untuk mendapatkan
return yang lebih tinggi bagi investasinya. Jika perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri
makin membesar diperkirakan akan mampu menarik arus modal masuk sehingga nilai
tukar riil menguat.
56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
11 Untuk pemahaman mendalam mengenai cointegration test lihat Enders W, Applied Econometric Time Series,
1995.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 57
Catatan :
Ho = unit root (non-stationer) Ha = stationer
Mc Kinnon Critical value yang digunakan dalam test ADF untuk significant level 1% =
3,52 dan untuk signifikant level 5% = -2,90
* Ho ditolak pada siginifikan level 1%
** Ho ditolak pada siginifikan level 5%
12 Residual yang white noise adalah residual yang mempunyai distribusi normal dan tidak memiliki serial correlation.
Pengujian normality dilakukan dengan Jacque-Bera test, sedangkan pengujian serial correlation dilakukan dengan
Godfrey LM test.
13 Dipilih vector kointegrasi yang memiliki eigenvalue maksimum yang berarti memiliki dominan long run reltionship.
58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
lreer = 0,52 ltot + 2,00 ltnt + 0,37 lnfa + 0,82 lrisk - 0,04 ridf - 11,43 (6)
(3,84) (7,98) (8,00) (34,12) (3,21)
(angka dalam kurung menunjukkan t statistik)
Seluruh variabel signifikan secara statistik. Kecuali variabel perbedaan suku bunga,
seluruh parameter memiliki arah yang sesuai dengan hipotesa. Hal ini dimungkinkan apabila
mobilitas arus modal di Indonesia tidak memenuhi asumsi perfect capital mobility. Pada
negara-negara yang mobilitas modalnya sempurna, perbedaan suku suku bunga sangat
berpengaruh terhadap aliran modal. Kenaikan suku bunga domestik yang lebih cepat
daripada kenaikan suku bunga luar negeri akan mendorong terjadinya aliran modal masuk
yang pada gilirannya akan memperkuat mata uang domestik. Dalam kondisi dimana
pergerakan modal tidak terlalu sempurna, elastisitas suku bunga terhadap aliran modal
menjadi relatif rendah karena aliran modal masuk yang terjadi tidak semata-mata tertarik
oleh suku bunga domestik yang relatif lebih tinggi, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor lainnya seperti ketersediaannya sumber daya, pertumbuhan ekonomi dan faktor
fundamental lainnya.
Besarnya koefisien menunjukkan bahwa relatif harga traded terhadap non traded
good sangat elastis mencapai 2. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas sektor traded
goods relatif terhadap non-traded goods sangat besar peranannya terhadap prilaku nilai
tukar riil di Indonesia. Variabel kedua terpenting adalah faktor resiko yang memiliki koefisien
elastisitas 0,8. Koefisien resiko bertanda positif hanya karena definisi dari indikator yang
digunakan yaitu peningkatan indeks berarti resiko makin rendah. Apabila indeks resiko
meningkat (berarti resiko menurun) sebesar 1% maka indeks nilai tukar riil efektif akan
apresiasi sebesar 0,8%. Implikasinya adalah apabila pemerintah tidak dapat segera
menyelesaikan permasalahan ekonomi dan politik di dalam negeri, maka tekanan depresiasi
akan tetap besar. Terms of trade secara statistik berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil
dengan elastisitas sebesar 0,5%. Pengaruh positif tot sesuai dengan kecenderungan hasil-
hasil penelitian sebelumnya dimana income effect dari perubahan terms of trade di Indonesia
lebih besar dibandingkan substitution effect-nya. Aktiva luar negeri bersih berpengaruh positif
terhadap prilaku nilai tukar riil efektif, mencerminkan ketersediaan cadangan devisa
Indonesia akan mengurangi dorongan spekulasi. Semakin besar NFA yang kita miliki,
meningkatkan kepercayaan investor bahwa Indonesia cukup kuat menghadapi gangguan
eksternal (external shock) sehingga berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil rupiah.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 59
Dalam pembentukan model ECM, lagged value dari error yang diperoleh dari persamaan
keseimbangan jangka panjang (persamaan 6) akan digunakan sebagai koefisien error correction bersama
dengan determinaan jangka pendek dari persamaan nilai tukar riil. Hasil estimasi persamaan
jangka pendek dengan pendekatan ECM untuk periode 1992.9-1998.8 sebagai berikut :
dimana :
D = first difference operator, ECM = error correction term dari persamaan 6.
Ridf*D97 = dummy multiplicative perbedaan suku bunga dan pemberlakuan sistem
nilai tukar mengambang Agustus 1997.
LM test = test untuk menguji serial correlation (Ho: no serial correlation)
ARCH = autogressive conditional heteroscedasticity test
JB = Jarque Berra normality test (Ho: normal distribution of error term).
80
60
40
20
1993 1994 1995 1996 1997 1998
60 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Dalam estimasi persamaan jangka pendek, transformasi variabel suku bunga menjadi
dummy multiplicative interest rate differential menunjukkan bahwa perbedaan suku bunga
dalam dan luar negeri dalam periode diberlakukannya nilai tukar mengambang bebas secara
statistik berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil. Namun koefisien variabel ini sangat
rendah. Sementara itu, perubahan faktor produktivitas dalam jangka pendek juga mempunyai
pengaruh positif yang signifikan terhadap keseimbangan nilai tukar riil jangka pendek
diikuti dengan perubahan variabel resiko dan perubahan terms of trade (lag 3).
Pengukuran Misalignment
Pada kenyataannya, nilai tukar aktual tidak selalu berada dalam nilai
keseimbangannya. Deviasi nilai tukar aktual dari keseimbangannya umumnya terjadi dalam
jangka pendek. (macroeconomic-induced misalignment). Namun, adakalanya deviasi ini bersifat
persistent hingga deviasinya membesar (structural misalignment)1 4. Macroeconomic-induced
misalignment terjadi karena adanya inkonsistensi antara kebijakan ekonomi (khususnya
kebijakan moneter) dengan sistem nilai tukar yang berlaku. Misalnya, pelaksanaan kebijakan
moneter yang terlalu ekspansif dalam sistem nilai tukar tetap. Sedangkan structural
misalignment dapat terjadi ketika perubahan fundamental derminant dari nilai tukar tidak
diterjemahkan ke dalam perubahan aktual nilai tukar riil jangka pendek. Misalnya terms of
tradr memburuk, maka akan terjadi depresiasi pada nilai tukar keseimbangan. Bila nilai
tukar riil aktual tidak berubah menuju nilai tukar keseimbangannya maka akan terjadi
misalignment. Apabila misalignment ini berlangsung untuk periode yang cukup lama, hal ini
dapat membahayakan, karena tekanan-tekanan untuk mendorong nilai tukar riil ke arah
yang keseimbangan terakumulasi kuat menimbulkan sentimen negatif di pasar yang dapat
menimbulkan welfare cost yang tinggi.
(b) current equilibrium rate (q’t) adalah nilai tukar dengan nilai fundamental ekonomi yang
current : q’t = β’1Z1t + β’2Z2t
(c ) perbedaan nilai tukar riil aktual dan nilai tukar riil dengan fundamental ekonomi
pada current value merupakan current misalignment (cmt)
cmt = qt-q’t = qt - β’1Z1t + β’2Z2t = τ’Tt + εt
Nilai estimasi BEER hasil persamaan (7) merupakan current equilibrium rate.
Penyimpangan nilai REER aktual dari nilai estimasi BEER (grafik 3.1) menunjukkan current
misalignment. Current misalignment mencerminkan adanya faktor transitory atau random error
term, misalnya sebagai akibat adanya speculative bubles. Mungkin akan muncul argumentasi
bahwa “misalignment” yang diperoleh dari perbedaan REER aktual dan estimasi BEER
merupakan manifestasi dari specification error akibat adanya variabel fundamental lain yang
belum diperhitungkan ke dalam model. Namun argumentasi ini dapat dikesampingkan
dengan mengacu pada hasil diagnostic test terhadap residual.
Diagnostic test terhadap residual menunjukkan error term dari perbedaan REER dan
estimasi BEER memiliki distribusi normal dan bebas dari serial correlation. Error terms yang
white noise menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi prilaku nilai tukar
riil dalam persamaan telah mewakili keseluruhan faktor-faktor fundamental sehingga mampu
menerangkan prilaku nilai tukar riil secara sistematis.
Grafik 3.1. menunjukkan bahwa sampai dengan November 1995 REER mengalami
undervalued dibandingkan dengan BEER. Misalignment berlangsung cukup lama dan
cenderung mengecil pada saat band nilai tukar dilebarkan seperti yang terjadi pada bulan
Desember 1993, Agustus 1994, Mei dan Desember 1995. Sejak awal 1996 REER cenderung
overvalued yang semakin memb3esar sehingga misalignment ini mendorong timbulnya
tekanan-tekanan pasar yang berlebihan terhadap rupiah pada awal kirsis. Yang menarik
adalah setelah band intervensi dihapuskan (sejak Agustus 1997), aktual REER dan BEER
menunukkan kecenderungan konvergen.
sebesar 5,1% (Lampiran 5). Ketergantungan terhadap barang impor yang tinggi dalam
berproduksi menyebabkan sektor produksi sangat rentan terhadap gejolak nilai tukar.
Depresiasi yang tinggi menyebabkan harga barang impor meningkat tajam sehingga
mempengaruhi produktivitas tradable goods di dalam negeri yang kandungan impornya
tinggi. Selanjutnya, rendahnya produktivitas di dalam negeri memberikan tekanan depresiatif
terhadap nilai tukar rupiah.
Sementara itu, naiknya suku resiko (country risk) Indonesia pada periode krisis
berdampak pada terjadinya krisis kepercayaan yang berakibat pada meningkatnya tekanan
depresiasi rupiah. Spillover effect dari krisis nilai tukar menjadi sangat luas dan membuat
perekonomian Indonesia mundur jauh, karena dibangun denan fundamental yang lemah
baik di sektor finansial maupun sektor riil. Fundamental yang sedemikian buruk tercermin
pada prilaku keseimbangan nilai tukar BEER yang merosot tajam pada periode Agustus
1997- Januari 1998. Nampaknya perubahan-perubahan ekspektasi masyarakat yang
tercermin dalam variabel fundamental tersebut dapat cepat diterjemahkan oleh pasar dalam
sistem nilai free floating sehingga membawa prilaku nilai stukar riil aktual mendekati nilai
tukar keseimbangan.
I n d e k s R E E R A k tu a l d a n E s ti m a s i B E E R
(Ta h u n d a s a r 1 9 9 2 = 1 0 0 )
120
R EER
100
B EER
80 O p t im is
60 P e s im is
40
20
97: 01 97: 07 98: 01 98: 07 99: 01 99: 07
Grafik 3.2 menunjukkan bahwa baik dengan skenario optimis maupun pesimis, nilai
tukar riil efektif keseimbangan dalam semester kedua tahun 1999 diproyeksikan akan
membaik, meskipun belum mencapai level sebelum krisis. Dengan skenario optimis, indeks
BEER cenderung mengalami apresiasi hingga indeks meningkat dari sekitar 68 pada awal
semester 2 tahun 1999 hingga mencapai 77 pada akhir tahun 1999. Dalam periode yang
sama, dengan skenario pesimis indeks BEER diproyeksikan bergerak dari 66-69. Untuk
memperoleh gambaran nilai tukar rupiah terhadap US$ secara nominal, nilai tukar riil
efektif BEER dikonversikan dengan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), berdasarkan
asumsi nilai tukar negara-negara yang diperhitungkan dalam basket dan laju inflasi luar
negeri tertimbang sebagai berikut:
Dengan asumsi PPP tersebut diperoleh hasil proyeksi nilai tukar keseimbangan rupiah
terhadap US dolar pada semester kedua tahun 1999 bergerak sekitar Rp.6.600-Rp 7.000
(skenario optimis) dan Rp.7250-7550 (skenario pesimis), dengan kecenderungan menguat
hingga akhir tahun 1999.
IV. Kesimpulan
! Hasil penelitian mengenai volatilitas nilai tukar rupiah menunjukkan bahwa perilaku
nilai tukar riil rupiah adalah regime-dependent, artinya sistem nilai tukar yang dianut
mempengaruhi perilaku nilai tukar rupiah. Berdasarkan pengamatan terhadap perilaku
nilai tukar rupiah dalam tenggang waktu 20 tahun terakhir, diperoleh gambaran bahwa
semakin fleksible suatu sistem nilai tukar, maka nilai tukar akan semakin bergejolak
(volatile) baik secara nominal maupun riil. Fenomena ini mengindikasikan bahwa akan
semakin sulit memprediksi pergerakan nilai tukar di pasar dalam sistem nilai tukar
mengambang bebas. Hal ini dikarenakan pergerakan nilai tukar yang berdasarkan
kekuatan permintaan dan penawaran di pasar valas juga dipengaruhi oleh perubahan
ekspektasi pasar yang pembentukannya tergantung pada aspek ekonomi dan non ekonomi.
! Hasil studi awal terhadap dua negara yang memiliki sistem nilai tukar yang berbeda
yaitu Hong Kong (currency board system) dan Singapura (relatif fleksibel dengan sistem
mengambang terkendali dengan band nilai tukar yang tidak diumumkan) menunjukkan
bahwa kredibilitas manajemen nilai tukar suatu negara tidak tergantung pada sistem
nilai tukar yang dianut oleh negara yang bersangkutan, melainkan sangat ditentukan
oleh kekuatan faktor-faktor fundamental, termasuk memiliki cadangan devisa yang besar,
dan faktor-faktor kelembagaan seperti sistem keuangan yang sehat, good governance pada
perusahaan dan pemerintahan, sektor riil yang kompetitif dan efisien sehingga
perekonomiannya tidak vulnerable terhadap gangguan-gangguan eksternal. Dengan
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 65
memiliki faktor fundamental dan aspek kelembagaan yang kuat, kedua negara tersebut
relatif mampu bertahan dan terhindar dari krisis mata uang.
! Hasil estimasi menunjukkan bahwa dalam periode diberlakukannya sistem free floating,
nilai REER aktual cenderung konvergen dengan nilai keseimbangannya. Perubahan-
perubahan ekspektasi masyarakat yang tercermin dalam variabel fundamental dapat
dengan cepat diterjemahkan oleh pasar dalam sistem nilai free floating sehingga membawa
perilaku nilai tukar riil aktual mendekati nilai tukar riil keseimbangan. Namun
konsekwensinya adalah nilai tukar riil aktual menjadi lebih volatile, sehingga perlu
upaya untuk meredam gejolak dari variabel-variabel yang mempengaruhi volatilitas
nilai tukar riil di pasar.
perhitungan estimasi nilai tukar riil jangka pendek, melengkapi perhitungan nilai tukar
berdasarkan pendekatan Puchasing Power Parity. Estimasi nilai tukar riil dengan
pendekatan BEER diharapkan dapat lebih mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya
karena selain variabel-variabel ekonomi, unsur resiko (country risk) suatu negara juga
diperhitungkan sebagai variabel yang besar pengaruhnya terhadap pembentukkan nilai
tukar di pasar. Hasil estimasi dengan persamaan BEER ini bermanfaat untuk simulasi
proyeksi nilai tukar jangka pendek.
Daftar Pustaka
Clark, Peter B dan Ronald MacDonald, 1998, Exchange Rates and Economic
Fundamentals, A Methodological Comparison of BEERs and FEERs, IMF Working Paper/98/67,
(Washington: International Monetary Fund).
Enders, Walter, 1995, Applied Econometric Time Series, John Wiley & Sons, Inc., Canada
Faruqee, Hamid, 1995, “Long-Run Determinants of the Real Exchange Rate: A Stock-
Flow Perspective”, IMF Staff Papers Vol. 42 No.1, (Washington: IMF).
Stein, 1995, et.al., “The Fundamental Determinants of the Real Exchange Rate of the
US Dollar Relative to the Other G-7 Currencies, “IMF Working Paper 95/81 (Washington:
International Monetary Fund).
Flood, R.R., and A.K. Rose, 1995, “Exchange Rates: A virtual Quest for
Fundamentals,” Journal of Monetary Economics, No.36.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 67
Hong Liang, 1998, “Real Exchange Rate Volatility: Does the Nominal Exchange Rate
Regime Matter?”. IMF Working Paper/98/147 (Washington: International Monetary Fund).
International Country Risk Guide, Ed. Thomas S. Sealy, The PRS Group, East Syracuse,
New York. Beberapa penerbitan.
MacDonald, Ronald, 1997, “What Determines Real Exchange Rates? The Long and
Short of It”, IMF Working Paper/97/21, (Washington: International Monetary Fund).
Rogers, J.H., 1995, “Real Shocks and Real Exchange Rates in Really Long Term Data,”
International Finance Discussion Papers, Board of Governors of the Federal Reserve System,
No. 493.
Waluyo, Doddy budi dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era
Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Vol. 1 No. 1, Bank
Indonesia, Jakarta, Juli 1998.
Willeeeet, Thomas 1996, “Exchange Rate Volatility, International Trade, and Resource
Allocation.”Journal of International money and Finance 5 March: Supplement 101-12
68 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Selama krisis ekonomi akhir-akhir ini tekanan terhadap mata uang dialami ‘macan-
macan Asia’dengan akibat yang berbeda-beda, tergantung pada bagaimana pemerintahan
masing-masing negara bereaksi . sistem nilai tukar yang diterapkan, dan karakteristik perekonomian.
Dua negara, Singapuran dan Hongkong, mata uangnya mengalami tekanan namun
mampu melewati masa krisis. Kerusakan yang dialamai tidak separah yang terjadi di
Indonesia. Korea, dan Thailand. Terrdapat beberapa kesamaan karakteristik perekonomian
di antara singapura dan hongkong, yakni: derajad keterbukaannya, dan kedua perekonomian
menganut sistem ekonomi pasar bebas. Hal yang membadakan mereka adalah sistem nilai
tukar yang diterapkan. Singapura adalah negara penganut sistem nilai tukar mengambang
terkendali (managed floating), sedangkan Hongkong menggunakan currency board system (CBS).
2.2.1. Hongkong
CBS telah dilaksanakan oleh Hongkong Monetary Authority (HKMA) sejak tahun
1983. tugas utama HKMA memang untuk memelihara stabilitas nilai tukar mata uang
hongkong dolar dan dengan CBS supaya ini terbukti telah mampu menahan serangan
terhadap mata uang mereka,. Di dalam sistem ini, monetary base serta semua exchange fund
bills dan notes outstanding di back up seratus persen oleh cadangan devisa yang dipegang
HKMA. Setiap kali terjadi perubahan monetary base maka cadangan devisa akan berubah
sebesar nilai tukarnya. Mekanisme sistem ini seperti autopilot, sehingga apabila terjadi
capital outfllow KHMA bertindak pasif saja. Capital outflow itu sendiri menyebabkan
kontraksi monetary base yang pada gilirannya mendorong kenaikan tingkat bunga.
Kehandalan sistem ini di bawah penanganan HKMA terbukti selama kurun waktu
1997-98, di saat serangan spekulasi dolar Hongkong terjadi beberapa kali. Pada pertengahan
1997, banyak hedge finds asing melakukan serangan spekulatif terhadap dolar Hongkong
dengan melakukan posisi short. Pada kelanjutannya aksi short selling ini menyebabkan
tingkat bunga di Hongkong naik. Kenaikan suku bunga yang tinggi pada akhirnya memukul
balik pada spekulan karena para hedge funds menager membiayai posisi short mereka
dengan pinjaman bank. Hal ini menyebabkan kegiatan spekulasi mereka terjadi amat mahal.
Sebagai contoh, pada tanggal 23 Oktober1997, dalam sebuah serangan spekulatif, tingkat
bunga antar bank overnight melonjak menjadi 300%.1 5 Pada hari itu berbagai kegiatan
ekonomi Hongkong terpuruk dan kegiatan pasar saham pun terpukul. Namun serangan
spekulatif gelombang pertama dapat tertahan dan mata uangnya stabil selama kurun waktu
tersebut serta relatif stabil dibanding dengan masa-masa sebelum krisis.
15 Yam, Joseph, Chief Executive Honghong monetary Authority, Coping with Financial Turnoil, HKMA
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 69
8
7.8
7.6
7.4
7.2
7
93 94 95 96 97 98
Mar- Mar- Mar- Mar- Mar- Mar-
Serangan berikutnya melibatkan strategi spekulan yang lebih canggih. Pada bulan
Agustus 1998 mereka melakukan tekanan terhadap perekonomian Hongkong dengan jalan
menyerang dolar hongkong sekaligus melakukan aksi pemborongan saham-saham di pasar
saham Hongkong. Terbukti kembali bahwa kredibilaitas otoritas moneter yang tinggi serta
tindakan cepat, taktis dan cerdik untuk menghadapi ulah spekulan berhasil menyelamatkan
Hongkong.
Namun selain itu dapat disimpulkan empat hal yang menjadi penopang utama daya
tahan perekonomian Hongkong:
√ Cadangan devisa yang sangat kuat, per akhir tahun 1998 Hongkong memiliki cadangan
devisa sebesar USD 88,4 milyar, terbesar ketiga di dunia setelah Jepang dan RRC.
√ Kebijakan fiskal yang berhati-hati dan kredibel, dengan skala pemerintahan yang kecil
dan tanpa hutang luar negeri. Struktur pajak hongkong yang sederhana dan murah,
serta pengeluaran publik yang hanya berjumlah 18 persen dari GDP merupakan
kelebihan lainnya.
√ Sistem keuangan yang sehat dan solvent. Duania perbankan Hongkong sehat dan kuat
sehingga naik turunnya bunga secara ekstrim yang sering terjadi dalam CBS tidak
melumpuhkan kegiatan di sekitar ini. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan
Hongkong sebesar 18 persen, dan debt ratio lainnya hanya 3,7 persen. Fungsi supervisi
perbankannya juga amat prudent.
2.2.2. Singapura
Kebijakan moneter negara pulau ini ditangani oleh Monetary Authority of Singapore
(MAS), yang diketuai oleh Wakil Perdana Menteri Singapura. Salah satu fungsi dari MAS
adalah melaksanakan kebijakan moneter dan nilai tukar yang dapat mendukung tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan bersifat non-inflasioner.1 7 Kebijakan
moneter Singapura lebih terfokus pada manajemen nilai tukar Singapur dolar, dan
menyerahkan persoalan tingkat bunga kepada pasar.
Perekonomian negara ini bersifat terbuka, dan kebijakan nilai tukar mata uangnya
adalah managed floating. Singapore dolar di-manage terhadap basket of currancies dari
negara-negara partner dagang utama. Untuk itu ditetapkan target band nilai tukar Singapore
dolar dan MAS akan melakukan intervensi setiap kali terjadi gejolak di pasar. Sama seperti
yang dialami Hongkong dan negara-negara Asia lain. Singapura juga mengalami tekanan
pada perekonomiannya di saat gelombang serangan spekulatif terjadi di kawasan Asia
Pasifik, namun berkat sukses MAS menjaga kredibilitas, tekanan tersebut tidak bertahan lama.
Sedangkan di sisi kebijakan fiskal, Singapura selalu mengatasi masa krisis ekonomi
ini. Pemerintah Singapura juga menurunkan pungutan-pungutan terhadap dunia bisnis
sehingga meringankan beban perekonomian, sementara itu pengeluaran pemerintah
difokusklan pada pengeluaran pemerintah Singapura berkeinginan untuk melaksanakan
prinsip anggaran berimbang.
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997 terjadi, perekonomian Singapura berada dalam
kondosi full employment dan indikator makro lainnya menunjukkan kuatnya fundamental
perekonomian.1 8 Pada tahun 1996 dan 1997, neraca barang dan jasanya surplus sebesar
17,03 dan 16,5 persen dari GDP, dan keuangan pemerintah juga mengalami surplus. Inflasi
juga masih berkisar pada angka 2 persen di tahun 1997.
Tingkat bunga di Singapura juga sangat rendah 2,93 persen di tahun 1996 dan 4,35
persen tahn 1997, bahkan lebih rendah dari AS. Di saat krisis terjadi, gejolak dalam
perekonomian tidak membuat Singapura terjebak dalam depreciation-inflation spiral, karena
efesiensi dalam perekonomian telah membuat pelaku ekonomi mampu melakukan adjusment
dengan cepat. Kunci kekuatan perekonomian Singapura terletak pada:
√ Cadangan devisa yang amat kuat, sebelum krisis ekonomi Asia, di akhir tahun 1996
dan 1997 cadangan devisa Singapura mencapai angka: USD 76,8 milyar dolar dan USD
72,3 milyar dolar.
√ Kebijakan ekonomi makro yang diimbangi oleh kebijaksanaan makro yang berorientasi
pada pasar, Pemerintah hanya mengintervensi pasar domestik dalam bidang-bidang
pendidikan, perumahan, dan kesehatan dasar masyarakat.
√ Fundamental ekonomi yang sudah kuat. Eksternal shock yang melanda Singapura dapat
diserap oleh perekonomian dengan adjusment yang tidak menyakitkan, misalnya tanpa
menyebabkan meningkatnya pengangguran.
√ Pemerintahan yang kredibel dan relatif bersih.
Kesimpulannya, sebelum krisis ekonomi menyerang kawasan Asia, perekonomian
Singapura telah memiliki fundamental ekonomi yang amat kuat, sehingga otoritas moneter
dapat mempertahankan singapura dolar dengan kredibilitas yang tinggi. Dengan latar
belakang ini, MAS lebih leluasa me-manage Singapura dolar secara kredibel di dalam
menghadapi krisis. nilai Tukar mata uangnya selalu dapat dipertahankan untuk berada di
dalam target band yang secara hati-hati selalu diperlebar sesuai kebutuhan, sehingga
hasilnya, depresiasi terhadap dolar AS hanya 16,2 persen per tahun pada triwulan ketiga
tahun 1998. Dan tidak pernah melampaui angka pulau ini rentan terhadap terhadap imported
inflation, namunkenyataannya sepanjang krisis 1997-98, tingkat inflasi tidak pernah
melampaui angka 3 persen, karena demikian efesiennya.
Demikianlah tinjauan singkat terhadap dua sistem nilai tukar mata uang yang terbukti
telah berhasil. Faktor-faktor non ekonomis domestik measing-masing negara juga tidak kalah
penting dalam mendukung keberhasilan mempertaankan mata uang.
72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Studi dilakukan dengan periode observasi bulanan dari September 1992 sampai
dengan Agustus 1998.
Resiko
Digunakan financial risk indeks dari sumber data International Country Risk Guide
(ICRG). Indeks ini bertujuan untuk mengukur kemampuan suatu negara, baik pemerintah
maupun sektor swastanya, dalam memenuhi kewajiban-kewajiban keuangannya.
Indikator yang digunakan oleh ICRG dalam menghitung indeks resiko keuangan adalah:
• Hutang LN sebagai persentase PDB ---> point max. 20,0
• Hutang LN (% terhadap ekspor barang dan jasa) ---> point max. 20,0
• Neraca transaksi berjalan (% terhadap ekspor barang dan jasa) ---> point max. 30,0
• Cadangan devisa Bersih (persentase terhadap import) ----> point max. 10,0
• Kontrol Devisa ----> point max. 10,0
Komposit indeks dari indikator di atas dapat dikatagorikan menjadi:
Keterangan Indeks
Resiko sangat tinggi 00,0 – 49,5
Resiko tinggi 50,0 – 59,5
Resiko moderat 60,0 – 69,5
Resiko rendah 70,0 – 79,5
Resiko sangat rendah 80,0 – 100
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan 73
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6 :
Triatmo Doriyanto *)
*)Triatmo Doriyanto: Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM, Bank Indonesia, email :
triatmo@bi.go.id
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Halim Alamsyah, Bpk. Charles PR Joseph, Bpk. Iskandar, Yati
Kurniati, Doddy Zulverdi, M. Firdaus Muttaqin, Firman Mochtar, Solikin dan Reza Anglingkusumo, atas diskusi-
diskusi yang telah dilakukan dan bantuan penelitian yang diberikan.
78 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
I. Pendahuluan
K
risis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dipicu
oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD telah mengarahkan kepada
diadopsinya sistem nilai tukar mengambang (free floating exchange rate). Hal ini
memberi dampak yang besar kepada kebijakan moneter yang diambil oleh BI mengingat
nilai tukar tidak lagi bertindak sebagai jangkar perekonomian. Dengan demikian, program
moneter yang dicanangkan adalah mempertahankan stabilitas harga melalui pengaturan
jumlah uang beredar (dalam hal ini currency).
Dalam tulisan ini, hanya akan digunakan prosedur pertama dan akan dibahas apakah
permintaan uang riil tetap stabil sebelum dan selama krisis di Indonesia. Jika permintaan
uang tersebut stabil, maka real balance dalam jangka panjang akan berhubungan secara
proporsional dengan PDB Riil. Artinya, variabel-variabel tersebut berkointegrasi. Dengan
menggunakan uji stasioner dan integrasi dengan Augmented Dickey Fuller serta analisis
kointegrasi dengan menggunakan uji Johansen, tulisan ini meneliti permintaan uang dalam
jangka panjang dari tahun 1988:01 - 1999:03 berdasarkan data bulanan. Dinamika
permintaan uang riil ditaksir dengan ECM dan stabilitasnya diuji. Periode studi ini terdiri
dari masa sebelum krisis (sesudah Pakto 1988 s/d sebelum pemberlakuan sistem floating
exchange rate) dan selama krisis (sejak 1997:08 s/d 1999:03).
Hasil akhir dari studi ini menunjukkan bahwa demand currency riil tetap stabil selama
krisis di Indonesia. Tulisan ini menemukan bukti kuat terjadinya stabilitas permintaan uang
riil dalam jangka panjang yang diindikasikan oleh adanya kointegrasi currency riil dan
PDB riil. Uji stabilitas terhadap parameter-parameter model dinamik (jangka pendek)
menunjukkan konsistensi dalam seluruh periode. Spesifikasi model dinamik memasukkan
lag : currency, error correction, nilai tukar, tingkat suku bunga deposito 1 bulan, dan inflasi.
Efek perubahan PDB riil nampaknya tidak signifikan terhadap permintaan uang riil dalam
jangka pendek.
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ? 79
1 Data log (CURRENCY/IHK) dan log (PDBREAL) yang telah dilakukan seasonal adjustment telah diuj, namun
error correctionnya tidak stasioner jika dilakukan uji unit root dengan ADF (lihat lampiran).
2 Berbeda dengan IMF Working Paper, Can Currency Demand be Stable Under a Financial Crisis ? The Case of
Mexico, April 1999 yang mempergunakan data konsumsi sektor swasta sebagai pengganti PDBR. Data konsumsi
kwartalan yang telah di”spline” juga telah diuji, namun hasilnya tidak signifikan.
3 Prinsip metode “ spline” adalah melakukan interpolasi data kwartalan menjadi data bulanan. Berbeda dengan paper
IMF di atas, untuk menjadi data bulanan, data kwartalan diulang dalam kwartal yang sama.
4 Uji restriksi 0 pada koofisien ER menunjukkan penolakan yang sangat kuat (nilai Likelihood Ratio dan F statistik
yang sangat besar).
80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
mencerminkan hubungan positif antara permintaan uang riil dengan output dan nilai tukar
serta hubungan negatif antara permintaan uang dengan inflasi dan tingkat suku bunga
deposito 1 bulan. Hal ini mendukung fakta bahwa dalam jangka panjang terjadi kointegrasi
di antara variabel-variabel tersebut di atas.
Gambar 1.
Grafik hubungan antara log(CURRENCY/IHK), log(PDBREAL) dan ER
serta hubungan DEP1 dengan INFBUL untuk periode 1988:01 - 1999:03
16
14
12
10
4
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
LOG(CURRENCY/IHK) LOG(PDBREAL)
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
ER
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ? 81
80
60
40
20
-20
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
DEP1 INFBUL
CURRENCY
------------------- = α0 (PDBREAL)α1 exp. (α2 Z)
I H K
Test Augmented Dickey-Fuller (ADF) digunakan untuk menguji stasioner tidaknya suatu
variabel dan orde integrasi setiap variabel yang digunakan. Hasilnya dilaporkan dalam
Tabel 1. Seluruh variabel (kecuali inflasi - INFBUL) terintegrasi dengan orde 1 - I(1). Namun,
untuk kemudahan5 , orde inflasi disamakan dengan orde suku bunga - DEP1.
5 Menurut Pagan dan Wickens (1989), dimungkinkan untuk menggabungkan variabel-variabel yang berbeda orde
integrasinya, jika dalam 1 persamaan terdapat lebih dari 2 variabel.
82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 1.
Test Augmented Dickey-Fuller (ADF)
untuk menentukan orde integrasi setiap variabel.
log(CURRENCY/IHK) -2,229 3 Ya Ya
log(PDBREAL) -2,812 2 Ya Ya
ER -2,422 8 Ya Ya
DEP1 -2,549 7 Ya Ya
d(log(CURRENCY/IHK)) -4,510* 1 Ya -
d(log(PDBREAL)) -5,87* 0 - -
d(ER) -9,368* 1 - -
d(DEP1) -7,423* 1 - -
d(INFBUL) -15,328* 1 - -
Catt. : - Periode test untuk seluruh variabel adalah 1988:01 - 1999:03, kecuali dinyatakan lain.
- * menyatakan penolakan terhadap hipotesis nol : adanya unit root pada level 5 %.
- Uji untuk INFBUL inkonklusif, uji dengan menggunakan periode yang berbeda tidak dapat
menolak hipotesis nol : unit root (Ho : variabel bukan stasioner).
6 Uji dengan ADF terhadap residual persamaan jangka panjang (ECTR1) menunjukkan penolakan hipotesis nol
adanya unit root pada level 5 %. Hal ini membuktikan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam
persamaan jangka panjang berkointegrasi dengan orde 1 (lihat Enders, 1995).
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ? 83
penaksiran tidak mengabaikan adanya potensi vektor kointegrasi, maka prosedur dilakukan
dengan menggunakan 1 vektor kointegrasi.
Tabel 2.
Hasil penaksiran kointegrasi.
LOG(CURRENCY/IHK) LOG(PDBREAL) C
1 -1.164076 12.12411
-0.07035
Model error correction ditaksir untuk periode 1988:01 - 1999:03. Model ini pada awalnya
ditaksir dengan memasukkan 6 lag untuk seluruh variabel ∆(log(CURRENCY/IHK)),
∆(INFBUL), ∆(ER), ∆(DEP1), dan error correction sebagai tambahan. Struktur lag akhir
ditentukan berdasarkan signifikansi setiap lag dan kombinasi lag setiap variabel. Model
akhir adalah :
dimana ECTR1 adalah error correction. Tabel 3 menggambarkan hasil penaksiran tersebut.
Semua kooefisien mempunyai tanda yang benar. Nilai F statistik menunjukkan bahwa semua
koofisien signifikan pada level 1 % (kecuali intersep dan variabel suku bunga serta inflasi
pada level 10%), dan persamaan tersebut telah sesuai dengan spesifikasi. Residualnya
memiliki : homoskedastisitas (ARCH-LM), distribusi normal (NORM c2), dan tidak berkorelasi
pada lag 11. Gambar 2 menunjukan nilai aktual, nilai fitted dan residual penaksiran tersebut.
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ? 85
Tabel 3.
Hasil penaksiran ECM
Statistics Probability
JB 6.472510 0.039311
ARCH(1) 1.283865 0.259267
BG - LM test 1.154511 0.326511
White Test 1.129633 0.345774
Catt : - Jarque – Bera (JB) adalah uji untuk normalitas, tidak dapat ditolak pada level 1%.
- ARCH adalah uji untuk tidak adanya autoregressive conditional heteroscedasticity, tidak dapat ditolak pada
level 1%.
- Breusch – Godfrey LM test adalah uji untuk tidak adanya serial correlation, tidak dapat ditolak pada level 1%.
- White Test adalah uji untuk tidak adanya heteroskedastisitas, tidak dapat ditolak pada level 1%.
dan nilai tukar (meskipun pengaruhnya kecil). Dapat dicatat bahwa level transaksi
nampaknya tidak berpengaruh terhadap permintaan uang dalam jangka pendek, ini dapat
terjadi karena pendekatan bulanan PDBREAL yang menggunakan data kwartalan.
Gambar 2.
Nilai aktual, nilai fitted dan residual penaksiran ECM
0.3
0.2
0.1
0.0
0.15 -0.1
0.10 -0.2
0.05
0.00
-0.05
-0.10
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
Gambar 3.
Uji Cumulative Sum of Squares - Recursive terhadap : ∆log(CURRENCY/IHK) :
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
Untuk konfirmasi lebih jauh, dilakukan penghitungan forecast Chow, break point
Chow dan Ramsey Reset selama periode 1997:08-1999:03.
88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 4.
Uji Forecast Chow, Break Point Chow dan Ramsey Reset
Gambar 4.
Grafik CURRENCY, CURRENCYFMODEL dan CURRENCYFORCAST.
50000
prediksi
40000
30000
20000
10000
0
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
VI. Kesimpulan
Tulisan ini menemukan bukti bahwa permintaan uang riil di Indonesia tetap stabil
sebelum dan selama krisis. Analisis kointegrasi menggunakan teknik Johansen menunjukkan
hubungan kointegrasi yang kuat antara currency riil dan PDB riil. Model dinamis permintaan
uang riil menunjukkan konsistensi parameter yang ditaksir bahkan selama krisis terjadi.
Dapat disimpulkan bahwa perubahan yang signifikan pada permintaan uang riil karena
adanya krisis dapat dijelaskan dengan perubahan pada variabel-variabel yang secara historis
memang mempengaruhi permintaan uang di Indonesia.
Daftar Pustaka
Charemza, Wojciech W., and Deadman, Derek F., New Directions in Econometric Practice,
General to Specific Modelling, Cointegration and Vector Autoregression, Edward Elgar Publishing
Limited, 1997.
Enders, Walter, Applied Econometric Time Series, John Wiley & Sons, Inc., 1995.
Khamis, May, and M.L. Alfredo, Can Currency be Stable Under a Financial Crisis ? The
Case of Mexico, IMF Working Paper, April 1999.
Mills, Terence C., Time Series Techniques for Economists, Cambridge University Press,
1990.
Rao, Bhaskara B., (edit.), Cointegration for the Applied Economist, St. Martin’s Press, Inc.,
1994.
Solikin, The Stability of Income Velocity, Demand for Money, and Money Multiplier in
Indonesia, 1971 - 1996, Department of Economics, the University of Michigan, Spring 1998.
90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Lampiran
Uji kointegrasi pada Currency dan PDB Riil yang telah dilakukan seasonal adjustment
dan uji unit root pada error correctionnya (ECSA) :
Penaksiran ECM dengan variabel yang telah dilakukan seasonal adjustment dan uji
stabilitas pada d(log(currsa/ihk)) dengan Cusum of Square – Recursive :
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
30
Series: Residuals
Sample 1988:03 1999:03
25 Observations 133
20 Mean 2.80E-17
Median -0.004791
Maximum 0.123420
15
Minimum -0.077204
Std. Dev. 0.036406
10 Skewness 0.489809
Kurtosis 3.456423
5
Jarque-Bera 6.472510
Probability 0.039311
0
-0.05 0.00 0.05 0.10
ARCH Test:
F-statistic 1.283865 Probability 0.259267
Obs*R-squared 1.290868 Probability 0.255888
Test Equation:
Dependent Variable:
RESID^2
Method: Least Squares
Sample(adjusted): 1988:04 1999:03
Included observations: 132 after adjusting endpoints
Merosot tajamnya kondisi perekonomian nasional sejak terjadinya gejolak nilai tukar pertengahan
1997, diyakini sebagai dampak kombinasi antara besarnya aliran modal asing, lemahnya sektor keuangan,
serta lemahnya penilaian kegiatan usaha. Tulisan ini ditujukan untuk melihat pengaruh aliran modal
keluar terhadap perekonomian nasional serta efektifitas respon kebijakan yang ditempuh.
Dengan menggunakan model sederhana perekonomian terbuka, hasil pengujian membuktikan bahwa
aliran modal keluar secara mendadak dan dalam jumlah yang sangat besar telah mengakibatkan kinerja
perekonomian dengan cepat merosot serta dengan dampak yang cukup lama. Berbagai permasalahan
yang timbul selama krisis seperti perekonomian yang terkontraksi, inflasi yang melambung dan nilai
tukar yang melemah secara empiris dapat dibuktikan pada studi ini. Dari hasil studi ini juga terlihat
bahwa respon kebijakan ekonomi yang ditempuh dengan titik berat pada stabilisasi jangka pendek
terbukti cukup berhasil meskipun dengan pengorbanan semakin terkontraksinya perekonomian.
Pengujian counterfactual memperkuat hasil ini yaitu bilamana kebijakan suku bunga tinggi segera
diterapkan pada saal awal terjadinya krisis dan secara konsisten dipertahankan maka hasil yang terjadi
adalah inflasi yang lebih rendah dan nilai tukar yang lebih kuat, meskipun di sisi lain kebijakan ini
berdampak pada semakin merosotnya aktifitas perekonomian. Sedangkan apabila kebijakan fiskal
dilakukan lebih ekspansif maka kontraksi perekonomian dapat lebih tertahan, kendati menciptakan
trade off pada melemahnya nilai tukar dan melonjaknya inflasi.
Dengan demikian, kombinasi kebijakan yang sebaiknya diterapkan dalam kaitannya dengan upaya
mempercepat pemulihan perekonomian adalah kombinasi kontraksi di sisi moneter sejak terjadi tekanan
aliran modal keluar dan ekspansif dari sisi fiskal yang dilakukan secara bertahap. Hal ini didukung dari
hasil pengujian yang memperlihatkan bilamana kombinasi kebijakan tersebut diterapkan, laju inflasi
yang dicapai relatif lebih rendah dengan nilai tukar yang lebih kuat. Namun demikian, kebijakan yang
ditempuh tersebut dalam kaitannya dengan upaya stabilisasi nilai tukar tetaplah harus memperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakannya.
Akhirnya implikasi lebih jauh dari tulisan ini adalah pentingnya upaya mengurangi ketergantungan
pembiayaan pembangunan ekonomi yang bersumber dari dana asing, dengan belajar pada pengalaman
yang dialami saat ini, maka dapat diyakini bahwa pembangunan yang lebih bersifat ‘indigenous process’
akan lebih tahan terhadap gangguan.
*) Charles PR Joseph :Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM, Bank Indonesia, email :
cjoseph@bi.go.id
Arief Hartawan : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM, Bank Indonesia, email :
ahartawan@bi.go.id
Firman Mochtar : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM, Bank Indonesia, email :
firman@bi.go.id
98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
I. Latar Belakang
K
ondisi perekonomian nasional sejak terjadinya gejolak nilai tukar pertengahan
1997 berubah secara drastis. Berbagai perkembangan perekonomian yang
mengesankan dalam saat dekade terakhir sepertinya dengan cepat memudar.
Perekonomian nasional terus mengalami kontraksi sebesar 12,59% hingga triwulan II/1998.
Pendapatan perkapita merosot tajam sehingga menempatkan Indonesia kembali pada
klasifikasi negara “miskin”. Laju inflasi melambung tinggi yang hingga September 1998
telah mencapai 75,47%. Meskipun belum mencapai hyperinflation seperti yang pernah terjadi
di tahun 1960-an, laju inflasi yang tinggi ini telah menekan daya beli riil masyarakat
khususnya bagi mereka yang berpenghasilan tetap dan masyarakat kecil.
Sementara dari sisi fiskal, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang berhati-hati
antara lain dengan mengurangi ekspansi pengeluaran pemerintah untuk proyek investasi
namun meningkatkan pengeluaran dalam rangka program restrukturisasi sektor keuangan
dan untuk kepentingan sosial (social safety net). Selain kedua kebijakan di atas, juga dilakukan
reformasi struktural untuk menghilangkan/mengurangi berbagai distorsi dalam
perekonomian.
1 Pembahasan lengkap mengenai kebijakan moneter yang ditempuh dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan,
lihat Zulverdi (1998)
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 99
ini, pertama mengindentifikasi dampak kondisi ekonomi yang terjadi terhadap perekonomian
nasional. Dalam penelitian ini kondisi yang dimaksud dibatasi pada keadaan meningkatnya
aliran modal keluar. Kedua, melihat respon variabel penting ekonomi makro terhadap
kebijakan ekonomi makro yang ditempuh pemerintah di tengah kondisi meningkatnya aliran
modal keluar, dan ketiga, penelitian ini diharapkan akan mampu menyajikan altematif
kombinasi kebijakan ekonomi makro guna mempercepat pemulihan kondisi perekonomian
nasional.
Berpijak pada tujuan penelitian tersebut, tulisan ini terdiri dari delapan bagian. Pada
bagian dua secara umum akan melihat perkembangan ekonomi sebelum dan selama masa
krisis, serta kebijakan ekonomi makro yang ditempuh selama masa krisis ekonomi tahun
1997- 1998. Bagian tiga dan empat akan menyajikan model yang digunakan dalam
menjelaskan pengaruh kondisi aliran modal keluar serta kebijakan ekonomi makro yang
ditempuh terhadap variabel ekonomi makro Indonesia.
Selanjutnya, dengan menggunakan persamaan yang telah diuji pada bagian empat,
bagian lima akan melihat sensitivitas variabel ekonomi terhadap aliran modal keluar dan
kebijakan ekonomi makro saat kebijakan nilai tukar mengambang bebas diterapkan, baik
secara parsial maupun setelah dilakukan kombinasi . Secara implisit. bagian ini diharapkan
akan mampu menjelaskan apakah krisis yang terjadi pada tahun 1997, sebenarnya dapat
juga terjadi pada periode sebelumnya bilamana terjadi aliran modal keluar yang cukup
besar pada saat tersebut.
Dengan tetap menggunakan persamaan yang telah ada, pada bagian enam akan
dilakukan pengujian out of sample. Selain itu bagian ini juga melakukan pengujian counter
factual yang bertujuan melihat kondisi perekonomian seandainya dilakukan altenatif
kebijakan lain di luar kebijakan yang telah diterapkan. Akhirnya bagian ini juga diharapkan
akan mampu mencari kemungkinan alternatif kombinasi kebijakan ekonomi makro dalam
kaitannya dengan program pemulihan ekonomi. Selanjutnya dua bagian terakhir merupakan
kesimpulan dan implikasi kebijakan serta saran lanjutan dari penelitian ini.
adalah ditempuhnya kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati. Dengan kombinasi
kedua kebijakan tersebut maka berdampak pada mantapnya situasi ekonomi secara makro
dan iklim usaha yang kondusif.
Dibalik kondisi tersebut, beberapa pihak berargumen bahwa kinerja yang tejadi
tidaklah dibangun atas dasar struktur yang kuat. Menurut Warr (1998) pertumbuhan ekonomi
yang tinggi lebih disebabkan oleh penumpukkan stok modal melalui aliran modal asing
ketimbang peningkatan produktifitas tenaga kerja2. Adanya deregulasi sektor keuangan di
akhir dekade 1980-an telah berdampak pada meningkatnya arus modal masuk khususnya
melalui hutang swasta. Hutang swasta dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan
yang hingga akhir 1996 telah mencapai US$ 51,1 rniliar (Tabel 1). Tingginya arus modal
masuk kemudian berdampak pada perkembangan besaran-besaran moneter. Pertumbuhan
uang beredar, terutama M2, naik pesat didorong oleh meningkatnya arus modal masuk
(Tabel 1 ).
pada tingginya angka persetujuan PMA dan PMDN mengalami pertumbuhan yang cukup
tinggi seiring dengan meningkatnya arus modal masuk. Sementara itu total konsumsi tumbuh
rata-rata di atas 8% sejalan dengan meningkatnya konsumsi swasta (Tabel 1 ).
Sementara dari sisi harga, tingginya permintaan domestik telah meningkatkan harga
non traded goods. Bila dikaitkan dengan nilai tukar maka tingginya inflasi non trade goods ini
telah menyebabkan nilai tukar secara riil menjadi terapresiasi, karena pada sisi lain harga
traded goods relatif konstan.
apakah bersifat temporary atau permanent. Pada saat itu, sempat berkembang pemikiran bahwa
kondisi fundamental perekonomian Indonesia lebih baik dari negara-negara yang mengalami
krisis, sehingga kebijakan yang diterapkan cukup yang bersifat penyesuaian sementara.
Untuk meredam gejolak nilai tukar. Pemerintah berupaya melakukan beberapa langkah
pengetatan baik melalui kebijakan moneter maupun fiskal. Dari sisi kebijakan moneter antara
lain melalui intervensi baik secara spot maupun secara forward dan meningkatkan fleksibilitas
nilai tukar Rupiah melalui pelebaran rentang intervensi nilai tukar menjadi 12% dan
kemudian diakhiri dengan penghapusan rentang intervensi pada 14 Agustus 1997.
Selain itu, pemerintah melakukan penarikan dana BUMN seperti PT Jamsostek dan
Dana Pensiun BUMN ke dalam SBI pada tanggal 15 s.d. 22 Agustus 1997 berjumlah sebesar
Rp3,3 triliun. Di sisi fiskal, pemerintah melakukan konsolidasi anggaran dengan melakukan
penangguhan dan pengkajian ulang proyek BUMM yang bermuatan impor tinggi dan yang
menggunakan sumber pendanaan luar negeri.
kebutuhan devisa pihak swasta. Langkah tersebut dilakukan melalui intervensi di pasar
valuta asing, kebijakan Swap khusus untuk eksportir tertentu dan fasilitas forward kepada
importir (2 Oktober 1997), penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Valas menjadi 3%,
penangguhan rencana prepayment pinjaman komersial sebesar USD350 juta, dan penyediaan
kembali fasilitas SBPU kepada perbankan secara bertahap dan terukur sejak tanggal 21
Oktober 1997 yang diprioritaskan bagi bank yang memenuhi persyaratan tertentu.
Di sisi kebijakan fiskal dilakukan antara lain dengan meningkatkan disiplin anggaran
yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut : peningkatan penerimaan dari sumber non-
migas yang diusahakan melalui peningkatan pajak barang mewah serta penerimaan bukan
pajak, perbaikan administrasi dan struktur perpajakan, pengurangan subsidi, dan privatisasi BUMN.
Di sisi fiskal, kebijakan yang ditempuh antara lain mencakup pembatasan defisit
anggaran antara lain melalui pengurangan subsidi BBM, pencabutan keringanan perpajakan
untuk proyek mobil nasional, dan penghentian penggunaan dana anggaran dan non-
anggaran untuk proyek Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Sedangkan di sisi moneter, kebijakan yang dilakukan antara lain meliputi pengetatan
likuiditas perekonomian yang dicerminkan oleh kenaikan suku bunga SBI beberapa kali
yaitu pada tanggal 27 Januari, 23 Maret, 21 April, dan 7 Mei 1998, meskipun dalam
perkembangan selanjutnya, suku bunga yang terjadi merupakan hasil dari target kuantitas
yang ingin dicapai oleh otoritas moneter. Suku bunga SBI sempat mencapai 70,2% pada
lelang tanggal 2 September 1998 dan selanjutnya berangsur-angsur menurun menjadi 46,7%
pada lelang 25 Nopember 1998.
104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Selain itu, untuk mengurangi tekanan permintaan valuta asing juga dilakukan
langkah-langkah untuk mempercepat penyelesaian hutang Swasta, antara lain melalui
pembentukan INDRA dan Jakarta inisiatif.
Di bidang keuangan dan sektor riil, langkah-langkah yang dilakukan adalah
membentuk Badan Penyehatari Perbankan Nasional, mempercepat proses privatisasi BUMN,
mengurangi atau membatasi wewenang distribusi Badan Urusan Logistik (BULOG) hanya
untuk beras, dan menhapus hak monopoli dalam tata niaga berbagai komoditi lainnya
seperti cengkeh, semen, kertas dan kayu.
Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam model ini adalah variabel suku bunga,
kredit, pengeluaran pemerintah dan aliran modal asing dianggap sebagai variabel eksogen.
Penggunaan variabel aliran modal sebagai variabel eksogen sangat berhubungan dengan
realitas yang lerjadi selama krisis berlangsung. Disadari bahwa secara teoritis pergerakan
modal dapat dipengaruhi oleh variabel suku bunga domestik. Namun mengingat
pergerakaan modal selama krisis sangat dipengaruhi oleh pengaruh eksternal daripada
suku bunga domestik, maka aliran modal dalam penelitian ini diperlakukan sebagai variabel eksogen.
Sebagaimana dimaklumi, aliran modal keluar tetap terus terjadi selama krisis
berlangsung, kendati pada sisi lain Bank Indonesia telah meningkatkan suku bunga. Faktor
efek penyebaran krisis keuangan di Thailand, ketidakstabilan kondisi sosial politik nasional,
menurunnya kinerja perekonomian regional, serta adanya kegiatan spekulasi di pasar valuta
asing, telah memberikan dampak negatif pada aliran modal.
Rachbini (1999) menilai globalisasi keuangan telah memberikan ruang gerak yang
lebih besar pada kegiatan spekulasi, yang pada gilirannya berbalik menjadi ketakutan, karena
tidak lagi menemukan tempat yang aman untuk menyimpan kekayaan. Dengan
memperhatikan kondisi tersebut, maka sulit bagi otoritas moneter dapat mempengaruhi
aliran modal secara berkesinambungan.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 105
Persamaan Definisi
A. Sisi Permintaan
I. Keseimbangan Pasar Barang - Kurva IS
Y = C + I + G + (X-M) Y = PDB Domestik
C = C(Y,r) ......................... (1) C = Konsumsi Masyarakat
I = I(r, NFA, M) ..........................(2) G = Pengeluaran Pemerintah
X = X(eP */P, M) .......................(3) X = Ekspor Brg dan Jasa
M = M(eP */P, Y) ......................(4) M = Impor Brg dan Jasa
r = Suku Bunga Nominal
P = IHK Domestik
P* = IHK luar negeri
e = Nilai tukar
II. Keseimbangan Pasar Uang - Kurva LM
Ms = Md Ms = Penawaran Uang
Ms = m x M0 Md = Permintaan Uang
M0 = NFA + DC M0 = Uang Primer
NFA = R + NFA(-1) m = Money multiplier
Md = Md(r, Y, P) ......................(5) R = Tambahan Cd. Devisa
NFA = NFA Bank Sentral
DC = Domestic Credit
B. Sisi Penawaran
Y = Y(P, I) ..................................(6)
C. Keseimbangan Neraca Pembayaran - (Kurva BoP)
R = (X - M) + S + F F = Aliran modal bersih
e = e(DC, NFA, Y, r, P) ...........(7) S = Neraca jasa
r* = Suku bunga luar negeri
D. Persamaan Inflasi
P = P (Y, eP*) ............................(8)
Sementara itu, penggunaan variabel suku bunga, kredit domestik, dan pengeluaran
pemerintah sebagai variabel eksogen adalah untuk mendudukan peran ketiga variabel
tersebut sebagai variabel kebijakan selama periode penelitian. Beberapa pengalaman
kebijakan ekonomi makro nasional yang kerap dilakukan - baik pada saat terjadi gangguan
ekstemal pada dekade 1980-an maupun saat terjadi tekanan dari sisi permintaan yang
106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Dengan mengacu pada asumsi dasar tersebut, maka model akan dibagi menjadi 4
blok model sederhana, yaitu blok pasar barang, blok pasar uang, blok penawaran agregat,
dan blok neraca pembayaran. Pada masing-masing blok terdiri atas beberapa persamaan
struktural. Secara umum persamaan struktural dalam model ini adalah persamaan “standar”
buku teks ekonomi makro dan pernah digunakan oleh Nopirin (1983), MODBI, dan Yoshino
(1998) dalam mengestimasi perilaku variabel ekonomi makro Indonesia.
Persamaan konsumsi swasta merupakan fungsi dari pendapatan dan tingkat bunga.
Hubungannya positif terhadap pendapatan dan negatif terhadap suku bunga. Apabila
pendapatan meningkat maka konsumsi juga akan bertambah, sedangkan bila suku bunga
meningkat maka akan ada bagian dari pendapatan yang semula ditujukan untuk konsumsi
kemudian dialihkan menjadi tabungan sebagai respon terhadap kenaikan suku bunga.
Investasi merupakan fungsi dari suku bunga, aliran modal dan impor. Hubungan
antara variabel bebas dengan investasi adalah : suku bunga memiliki hubungan yang negatif,
sementara aliran modal dan impor memiliki hubungan yang positif. Suku bunga dalam hal
ini dianggap sebagai komponen biaya dalam melakukan investasi. Bila suku bunga naik.
maka “biaya” meningkat sehingga dapat menurunkan minat investasi.
Hubungan yang positif antara aliran modal dengan investasi dimaksudkan untuk
menangkap hubungan antara external financing dengan kegiatan investasi. Penggunaan
aliran modal sebagai faktor yang mempengaruhi investasi bermula dari pemikiran tentang
teori akselator dalam investasi. Pada teori murni fungsi akselerator ini diwakili oleh
perubahan pendapatan nasional. Namun demikian, dalam kondisi perekonomian yang
sangat tergantung pada dana luar negeri, maka fungsi akselerator ini digantikan oleh variabel
aliran modal. Kendati hubungan ini masih dapat diperdebatkan, diharapkan hasil estimasi
akan mampu menjelaskan hubungan antara aliran modal asing dengan investasi. Sedangkan
hubungan investasi dengan impor adalah untuk menangkap adanya linkage bahwa
ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor masih sangat besar (HIID, 1995).
Oleh karena itu diyakini bahwa kenaikan investasi akan dibarengi pula oleh kenaikan
impor, terutama bahan baku dan barang modal.
Persamaan ekspor merupakan fungsi dari nilai tukar riil dan impor. Penggunaan
variabel impor dalam persamaan ekspor, adalah untuk menangkap peranan kandungan
impor dalam mendorong ekspor nasional. Sebuah estimasi HIID (1995) memperlihatkan
3 Pembahasan mengenai kebijakan ekonomi makro untuk dekade 1980-an lihat Woo dkk (1994), sementara
kebijakan pada dekade awal 1990-an lihat Ahmed (1993)
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 107
bahwa sekitar 1/3 impor nasional digunakan untuk investasi domestik dan kegiatan ekspor.
Sementara itu, hubungan nilai tukar riil dengan ekspor memiliki hubungan yang positif
yaitu bila rupiah mengalami depresiasi maka ekspor akan meningkat.
Sedangkan persamaan impor merupakan fungsi dari nilai tukar riil dan pendapatan
Indonesia. Nilai tukar memiliki hubungan yang negatif dengan impor karena bila terjadi
apresiasi rupiah maka impor meningkat. Hal ini karena sebagai akibat apresiasi rupiah,
harga barang impor menjadi relatif lebih murah (in terms of rupiah). Sementara hubungan
antara pendapatan domestik dengan impor adalah positif, yaitu bila pendapatan Indonesia
meningkat maka permintaan impor akan juga meningkat.
Pada blok pasar uang, dengan mengasumsikan terjadi kesimbangan antara permintaan
dan penawaran uang, maka permintaan uang merupakan fungsi dari suku bunga,
pendapatan dan inflasi. Permintaan uang memiliki hubungan yang negatif dengan suku
bunga, namun positif terhadap pendapatan dan inflasi. Apabila suku bunga naik maka
masyarakat cenderung untuk menabung sehingga permintaan uang akan turun. Sedangkan
bila pendapatan naik maka permintaan uang naik seiring dengan meningkatnya transaksi
pengeluaran. Sementara itu, permintaan uang juga dipengaruhi oleh inflasi yaitu bila inflasi
naik maka orang akan lebih cenderung memegang uang dari pada menyimpannya dalam
sistem perbankan, sehingga naiknya inflasi mengakibatkan permintaan uang akan meningkat.
Keterbatasan data dan informasi tentang kondisi pasar tenaga kerja Indonesia dan
kesulitan dalam mengukur total factor productivity menyebabkan dalam penelitian ini
persamaan penawaran agregat tidak dapat disusun sebagai fungsi dari capital, labor dan
total factor productivity sebagaimana tercantum dalam buku teks makroekonomi. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini persamaan sisi penawaran diestimasi sehingga merupakan fungsi
dari harga dan investasi.
Pada dasarnya model penawaran agregat yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan pengembangan dari model open macro economy oleh Yoshino (1998). Dalam
modelnya, Yoshino menggunakan inflasi yang diukur dengan survey biaya hidup (cost of
living index) sebagai faktor yang mempengaruhi penawaran agregat dengan hubungan yang
positif. Semakin tinggi inflasi (tingkat harga) maka ada insentif bagi produsen untuk
meningkatkan produksinya sehingga penawaran agregat bertambah. Sedangkan hubungan
penawaran agregat dengan investasi adalah positif yaitu bila terjadi peningkatan investasi
maka yang berarti akan terjadi peningkatan kapasitas produksi akibat meningkatnya stok
modal dan selanjutnya dapat meningkatkan penawaran agregat.
partner dagang. Namun demikian, mengingat relatif tetapnya variabel eksternal. maka
persamaan nilai tukar ditentukan oleh domestic credit, aliran modal, pendapatan nasional,
suku bunga dan laju inflasi.
Pengaruh uang beredar terhadap nilai tukar dapat dipisahkan menjadi dua yaitu
pengaruh domestic credit dan aliran modal asing. Domestic credit memiliki hubungan yang
positif dengan nilai tukar dimana bila terjadi penambahan domestic credit, maka excess liquidity
akan menyebabkan tekanan depresiasi rupiah (kurs Rp/USD) meningkat. Sedangkan aliran
modal memiliki hubungan yang negatif, karena semakin meningkat aliran modal masuk
berarti permintaan terhadap rupiah akan semakin meningkat yang pada akhirnya akan
memperkuat posisi rupiah. Sementara itu variabel suku bunga memiliki hubungan negatif
dengan nilai tukar, dimana kenaikan suku bunga memberikan pengaruh apresiasi nilai
tukar melalui penurunan permintaan uang.
Untuk inflasi diasumsikan merupakan fungsi dari pendapatan nasional dan nilai
tukar. Peningkatan pendapatan akan mendorong peningkatan konsumsi, bila ketersediaan
barang tidak bertambah sejumlah peningkatan permintaan, maka kenaikan konsumsi
akan menimbulkan tekanan kenaikan harga (demand pull inflation).Sedangkan depresiasi
nilai tukar mempengaruhi kenaikan inflasi melalui peningkatan harga input yang memiliki
komponen impor yang tinggi. Kenaikan harga input ini selanjutnya akan mengurangi
penawaran agregat sehingga akan meningkatkan harga (cost push inflation).
maka upaya melakukan koreksi persamaan guna menghasilkan D-W atau εt-1, yang optimal
seminimal mungkin dihindari. Upaya menghindari upaya koreksi tersebut masih dapat
ditolerir, mengingat koefisien estimasi pada persamaan yang mengandung autokorelasi
akan tetap tidak bias dan masih konstisten kendati pada sisi lain autokorelasi akan
menyebabkan koefisien estimasi menjadi tidak efisien (varians tidak minimum) (Gujarati,
1997 hal 410).
Kecilnya nilai D-W ataupun εt-1, secara teoritis ekonometrik ini dapat dipahami
mengingat data yang digunakan adalah data level, dengan kata lain data yang digunakan
tidak ditransformasikan terlebih dahulu dalam bentuk lainnya seperti pertumbuhan dan
nilai perubahan. Sebagaimana dikemukakan Gujarati (1997), salah satu penyebab terjadinya
autokorelasi ini adalah penggunaan data variabel ekonomi yang sebagian besar
berkarakteristik sangat kaku terhadap perubahan waktu (inertia). Oleh karena itu pada saat
dilakukan uji regresi dengan menggunakan data deret waktu, maka error yang didapat
akan menunjukkan terjadinya hubungan yang saling terkait dengan error masa lalu.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat hasil pengujian dengan Eviews untuk masing-
masing persamaan struktural.
Persamaan Konsumsi
LOG(C) = 0.71*LOG(Y) - 0.004*r(-1) + 0.251*LOG(C(-1)) .......................(1a)
(6.9) (-1.81) (2.31)
R = 0,95
2
εt-1 = 4,99 F-Stat = 575,9
hasil penelitian oleh Nopirin (1983) yaitu sebesar 0,89. Sementara variabel suku bunga
meskipun memiliki tanda koefisien yang sesuai dengan hipotesa awal, namun elastisitasnya
dan pengaruh parsialnya kurang signifikan.
Persamaan Investasi
LOG(I) = 2.22 - 0.011*d(r(-1)) + 0.31*LOG(NFA(-1)) + 0.47*LOG(M(-1)) ........ (2a)
(3.53) (-0.75) (4.23) (3.98)
R = 0,84
2
D-W = 1,19 F-Stat = 95,71
Variabel penjelas dalam persamaan investasi juga memberikan arah koefisien yang
benar dengan signifikansi pengaruh parsial yang cukup tinggi, kecuali pada variabel suku
bunga. Suku bunga, meskipun memberikan tanda koefisien yang sesuai dengan hipotesa
awal, namun hanya menghasilkan elastisitas yang relatif kecil sehingga kontribusi perubahan
suku bunga tidak banyak mempengaruhi investasi (investasi inelastis terhadap suku bunga).
Sementara itu variabel impor dan pemasukan modal bersih mempengaruhi investasi
secara signifikan. Besarnya peranan impor dan pemasukan modal bersih dalam
mempengaruhi investasi mengindikasikan bahwa investasi yang terjadi di Indonesia
sebagian besar bersumber dari external finance dan memiliki hubungan yang besar dengan
impor. Kondisi ini semakin memperkuat dugaan bahwa investasi di Indonesia akan sangat
rentan terhadap external shock terutama yang terkait dengan impor dan aliran modal.
Persamaan Ekspor
LOG(X) = 0.173*LOG((e*P*)/P) + 0.251*LOG(M(-1)) + 0.618*LOG(X(-1)) ....... (3a)
(2.88) (2.89) (5.71)
R2 = 0,88 εt-1 = -0,42 F-Stat = 220,31
Persamaan Impor
LOG(M) = 1.171*-0.554*LOG((e*P*)/P) + 0.756*LOG(Y) + 0.444*LOG(M(-1)) ....(4a)
(1.35) (-3.96) (5.78) (4.46)
R = 0,95
2
εt-1 = -1,52 F-Stat = 370.24
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 111
Hasil pengujian memperlihatkan variabel pendapatan nasional dan nilai tukar riil
sangat menentukan permintaan impor. Relatif besarnya elastisitas pendapatan menunjukkan
kecenderungan adanya demonstration effect dimana keinginan mengkonsumsi barang- barang
impor akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Selanjutnya dari
perhitungan income elasticity of import diketahui sebesar 1.36. Perekonomian dalam tahap
pembangunan yang lebih tinggi idealnya memiliki income elasticity of import sekitar 1. Hasil
perhitungan model menunjukkan bahwa import penetration perekonomian Indonesia masih
tinggi yang berarti bahwa setiap 1% peningkatan pendapatan akan diikuti oleh peningkatan
import yang lebih besar dari 1%. Temuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa impor
memiliki keterkaitan yang dalam perekonomian dimana setiap kali terjadi peningkatan
pendapatan cenderung diikuti oleh peningkatan impor yang lebih besar.
Secara umum variabel inflasi dan investasi menunjukkan pengaruh yang sesuai
dengan hipotesa awal dengan tingkat signifikasi yang cukup tinggi. Hasil persamaan
ini memperlihatkan bahwa meningkatnya penawaran agregat akan sangat dipengaruhi
oleh peningkatan investasi tahun sebelumnya. Sementara itu, pada persamaan investasi
diketahui bahwa investasi domestik dipengaruhi oleh besarnya aliran modal. Berdasarkan
transmisi ini secara tidak langsung mengimplikasikan bahwa sisi penawaran nasional
juga dipengaruhi oleh aliran modal asing. Bilamana aliran modal asing meningkat maka
akan terjadi peningkalan stok modal, yang selanjutnya akan mampu meningkatan kapasitas
4 Hasil pengujian untuk negara-negara berkembang lihat Haque, Kajal Lahiri, dan Peter J. Montiel (1990)
112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
produksi. Hasil persamaan ini semakin memperkuat indikasi kuatnya pengaruh external
financing sebagaimana dikemukakan oleh Warr (1998).
Persamaan Harga
LOG(P) = 0.316*LOG(e(-1) x P*(-1)) + 0.053*LOG(Y(-1)) .............. (8a)
(1.55) (0.24)
R = 0.63
2
D-W = 0.01 F-Stat = 95.85
V. Analisa Sensitivitas
Untuk melihat sensitivitas model terhadap suatu shock (perubahan) maka dilakukan
uji sensitivitas dengan menerapkan satu shock ke dalam model. Uji ini berguna untuk melihat
reaksi variabel dalam model (dari tanda positif atau negatif) akibat shock satu variabel
eksogen. Selain itu, hasil pengujian ini juga dapat memberikan informasi tentang bagaimana
pengaruh shock tersebut terhadap perilaku variabel di dalam model, khususnya berkaitan
dengan berapa lama waktu pengaruh shock terjadi, seberapa besar pengaruh shock, dan
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali pada keseimbangan jangka panjangnya.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 113
Grafik 1
Perkembangan Aliran Modal Bersih 1983:01 - 1997:02 (miliar US$)
5
0
83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97
Pada sisi lain, hasil uji sensitivitas juga memperlihatkan bahwa aliran modal
memberikan dampak yang cukup panjang terhadap variabel ekonomi makro. Bila secara
“arbitrary” disepakati bahwa jangka waktu satu shock terhadap satu variabel melebihi 10
periode (2,5 tahun) dikategorikan sebagai dampak permanen, maka terlihat bahwa dampak
aliran modal terhadap kondisi ekonomi makro memberikan dampak permanen. Seluruh
variabel akan kembali kepada keseimbangan jangka panjangnya berada di atas 10 periode
(Grafik 2 dan Tabel 2).
114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 2
Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap 50% Aliran Modal Keluar Bersih*
Keterangan :
* = Dihitung berdasarkan berdasarkan error hasil nilai simulasi dasar
Perubahan = error kumulatif sampai periode yang bersangkutan
Transmisi aliran modal keluar terhadap kondisi ekonomi makro bila ditelusuri
berdasarkan model yang digunakan sangat terkait dengan nilai tukar. Meningkatnya aliran
modal keluar akan mengakibatkan melemahnya nilai rupiah. Dimulai dari melemahnya
rupiah ini maka variabel ekonomi makro akan dengan cepat mengalami perubahan. Meskipun
sisi permintaan mengalami penurunan akibat berkurangnya likuiditas perekonomian, namun
inflasi akan tetap meningkat seiring dengan terkontraksinya sisi penawaran. Semakin
mahalnya biaya produksi barang yang berkandungan impor tinggi akibat lemahnya nilai
tukar telah mengurangi insentif melakukan produksi.
Dari sisi permintaan, PDB yang terkontraksi juga berkaitan dengan melemahnya
nilai tukar. Melemahnya nilai tukar yang kemudian diikuti dengan anjloknya impor telah
berdampak pada perkembangan variabel lainnya. Ekspor yang sempat mengalami
peningkatan pada dua periode dimuka akibat melemahnya nilai tukar, terlihat pada periode
berikutnya mengalami penurunan. Hal ini terutama berkaitan dengan besarnya kandungan
impor dalam ekspor nasional.
Sementara itu, investasi terlihat mengalami dampak ganda akibat aliran modal keluar.
Pada satu sisi aliran modal keluar berarti secara langsung mengurangi proses akselerator
dalam melakukan investasi. Pada sisi lain investasi juga mengalami penurunan akibat
dampak tidak langsung dan menurunnya impor akibat melemahnya nilai tukar. Dengan
kondisi ini, maka sebagai akibat aliran modal keluar, investasi mengalami dampak kontraksi
yang paling dalam dibandingkan variabel lainnya (Tabel 2).
Hasil pengujian ini, memperkuat indikasi bahwa sebelum krisis keuangan tahun
1997, struktur perekonomian nasional memang telah rentan terhadap aliran modal keluar.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 115
Grafik 2
Pengaruh Aliran Modal Keluar terhadap Variabel Ekonomi Makro (persen)
0.6
2.5
0.5
2
0.4
1.5 0.3
0.2
1
0.1
0.5
0
0 -0.1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
-0.5
-1
-1.5
-2
-2.5
-3
-3.5
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
Konsumsi Investasi
0 0
-0.5 -1
-2
-1
-3
-1.5 -4
-2 -5
-2.5 -6
-7
-3
-8
-3.5
-9
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
1
11
13
15
17
19
Ekspor Impor
0.5 0
0 -1
-0.5 -2
-1
-3
-1.5
-4
-2
-5
-2.5
-3 -6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Penggunaan ketiga variabel ini pada dasarnya merupakan aplikasi dari berbagai
respon kebijakan ekonomi makro yang ditempuh pada saat terjadi overheating pada awal
dekade 1990 dan krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Seperti telah diutarakan
pada bagian II, kebijakan moneter yang ditempuh untuk kedua kondisi tersebut
adalah melakukan kontraksi moneter baik secara kuantitas maupun melalui mekanisme
suku bunga, sementara dari sisi fiskal kebijakan yang ditempuh untuk kedua kondisi
perekonomian di atas adalah dengan melakukan kontraksi pengeluaran pemerintah.
Tabel 3
Sensitivitas Var. Ekonomi Makro thd Kenaikan 10% Suku Bunga Domestik Bersih*
dan laju inflasi menurun (Tabel 3). Namun demikian jangka waktu pengaruh yang diberikan
suku bunga terhadap perekonomian hanya bersifat sementara dengan rata-rata setelah 3
periode akan kembali lagi pada keseimbangannya.
Kedua penurunan domestik kredit memberikan pengaruh negatif pada sebagian besar
variabel ekonomi dan bila dibandingkan dengan pengaruh suku bunga, besaran-besaran
pengaruh domestic credit terlihat relatif lebih besar (Tabel 4). Sebagaimana pengaruh suku
bunga, domestic credit juga memberikan tekanan kontraksi kepada perekonomian melalui
penurunan permintaan domestik, sementara sektor eksternal relatif kecil terpengaruh. Pada
sisi lain nilai tukar mengalami apresiasi dan inflasi mengalami penurunan. Selanjutnya
jangka waktu pengaruh domestic credit terlihat bervariasi. Berbeda dengan pengaruh suku
bunga, pengaruh kontraksi domestic credit terhadap PDB terlihat lebih bersifat permanen,
sedangkan pengaruh terhadap inflasi dan nilai tukar terlihat hanya bersifat temporer.
Tabel 4
Sensitivitas Var. Ekonomi Makro thd Penurunan 10% Domestic Credit*
Hasill ketiga yang terlihat adalah bahwa pengaruh kebijakan fiskal yang diwakili
oleh penurunan pengeluaran pemerintah juga memberikan pengaruh yang negatif terhadap
kondisi perekonomian (Tabel 5). Namun demikian, bila dibandingkan shock kebijakan dari
sisi moneter maka besaran pengaruh kebijakan fiskal relatif besar. Sedangkan jangka waktu
pengaruh terlihat bahwa sifat shock umumnya permanen kecuali terhadap inflasi dan nilai tukar.
Grafik 3
Pengaruh Kebijakan Ekonomi Makro terhadap Variabel Ekonomi Makro (persen)
2 0.5
0 0
-0.5
-2
-1
-4
-1.5
-6 Suku Bunga
Domestic Credit -2 Suku Bunga
Domestic Credit
-8 Pengeluaran Pemerintah
-2.5 Pengeluaran Pemerintah
-10 -3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Suku Bunga
Domestic Credit
1
Pengeluaran Pemerintah
-1
-2
-3
-4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Konsumsi Investasi
0.5 6
0 Suku Bunga
4 Domestic Credit
-0.5
Pengeluaran Pemerintah
-1 2
-1.5 0
-2
-2
-2.5
-3 -4
-3.5 -6
Suku Bunga
-4 Domestic Credit
-8
-4.5 Pengeluaran Pemerintah
-5 -10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ekspor Impor
1 4
3 Suku Bunga
0.5
Domestic Credit
2
0 Pengeluaran Pemerintah
1
-0.5
0
-1 -1
Suku Bunga -2
-1.5
Domestic Credit
Pengeluaran Pemerintah -3
-2
-4
-2.5
-5
-3 -6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 119
Tabel 5
Sensitivitas Var. Ekonomi Makro thd Penurunan 10% Pengeluaran Pemerintah*
inflasi, dimana setelah diterapkannya satu kebijakan inflasi sempat melambat namun pada
periode berikutnya akan segera kembali melemah.
Indikasi kedua adalah kebijakan fiskal memberikan pengaruh yang relatif lebih besar
dengan dampak permanen bila dibandingkan kebijakan moneter terhadap perkembangan
perekonomian nasional (Grafik 3). Lebih lanjut kondisi ini menggambarkan bahwa kebijakan
fiskal terlihat lebih dominan dalam mempengaruhi sisi permintaan dibanding kebijakan
moneter. Bila dikaitkan dengan hasil pengujian persamaan struktural, hal ini antara lain
ditunjukkan oleh kurang sensitifnya permintaan uang pada saat terjadi perubahan suku
bunga, sehingga lebih lanjut berarti keseimbangan pasar uang menjadi sangat elastis (kurva
LM relatif datar dibandingkan kurva IS). Akibat elastisnya kurva LM tersebut maka meskipun
telah dilakukan kebijakan moneter yang dampaknya akan mengubah keseimbangan di pasar
uang, namun output (Y) yang terjadi tidak akan banyak berubah pada saat terjadi interaksi
dengan kurva IS yang mencerminkan keseimbangan pasar barang. Berdasarkan perilaku
ini maka implikasi yang dapat ditarik adalah kebijakan fiskal akan lebih kuat dan efektif
dalam mempengaruhi output.
ekonomi, yaitu kondisi meningkatnya aliran modal keluar dalam jumlah yang sangat besar
yang kemudian direspon dengan kebijakan kontraktif di sisi fiskal dan moneter. Dari
gambaran bagian ini, selanjutnya diharapkan akan didapatkan satu alternatif kombinasi
kebijakan relevan guna mencapai target tertentu di tengah kondisi meningkatnya aliran
modal keluar.
Secara mendasar target kebijakan yang hendak dicapai adalah menciptakan stabilitas
harga dengan tetap mendorong aktivitas perekonomian. Secara lebih spesifik target stabilitas
dapat diejawantahkan dalam bentuk upaya meredam gejolak nilai tukar dan mengendalikan
laju inflasi, sementara pada sisi lain aktifitas perekonomian tetap berjalan.
Hasil pengujian dengan skenario terjadinya aliran modal keluar yang kemudian
direspon dengan kebijakan ekonomi makro yang kontraktif baik dari sisi fiskal maupun
moneter terlihat telah menyebabkan terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi. Bila pada saat
terjadi aliran modal keluar nilai tukar menjadi terdepresiasi yang lebih lanjut berdampak
pada melonjaknya inflasi, maka dengan diterapkannya kebijakan kontraktif ini nilai tukar
rupiah menguat sementara inflasi menurun.
Namun pada sisi lain kebijakan .yang ditempuh tersebut telah menyebabkan seluruh
komponen PDB mengalami penurunan dengan cepat. Hanya dalam tiga periode PDB telah
terkontraksi sebesar 8,6% (Tabel 6). Apresiasi yang begitu cepat pada nilai tukar telah
berdampak menurunnya ekspor, sementara impor mengalami peningkatan kembali, yang
selanjutnya menurunkan konsumsi dan investasi nasional. Kendati mengalami kontraksi
Tabel 6
Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro
terhadap Kebijakan Ekonomi Makro saat terjadi Aliran Modal Keluar Bersih
untuk Skenario Kebijakan A*
Tertinggi Keseimbangan
Variabel Periode Perubahan(%) Periode Perubahan(%)
Indeks Harga Konsumen 2 -0,15 3 0,17
Produk Domestik Bruto 5 -13,14 16 -34,06
Ekspor 11 -18,95 20 -34,52
Impor 5 -5,48 21 -67,25
Investasi 10 -57,61 21 -81,54
Konsumsi Swasta 5 -11,60 20 -35,45
Kurs Rp. Nominal 1 -0,08 2 1,33
Keterangan :
Kebijakan A = Peningkatan Suku Bunga, Kontraksi Domestic Credit, dan Kontraksi Pengeluaran Pemerintah
Perubahan = error kumulatif sampai periode yang bersangkutan
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 121
4 Nilai Tukar
1 Inflasi
2
0 0
-2
-1
-4
-2
-6
Aliran Modal Keluar
-8 -3
Kebijakan A Aliran Modal Keluar
-10 Kebijakan B Kebijakan A
-4 Kebijakan B
-12
-14 -5
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7
2
PDB
-1
-2
-3
Aliran Modal Keluar
-4
Kebijakan A
-5 Kebijakan B
-6
1 2 3 4 5 6 7
0 Konsumsi Investasi
6
-1 4 Aliran Modal Keluar
Kebijakan A
-2 2 Kebijakan B
-3 0
-2
-4
Aliran Modal Keluar
-4
-5
Kebijakan A -6
-6 Kebijakan B
-8
-7 -10
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
1 Ekspor 6
Impor
Aliran Modal Keluar
0.5 4 Kebijakan A
Kebijakan B
0
2
-0.5
0
-1
-2
-1.5
Aliran Modal Keluar -4
-2
Kebijakan A
-2.5 Kebijakan B -6
-3 -8
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Keterangan : Aliran Modal Keluar = Terjadi defisit Neraca Modal 50% dibandingkan sebelumnya
Kebijakan A = Peningkatan Suku Bunga 10%, Kontraksi Domestic Credit 10%, dan
Kontraksi Pengeluaran Pemerintah 10%
Kebijakan B = Peningkatan Suku Bunga 10%, Kontraksi Domestic Credit 10%, sementara
Pengeluaran Pemerintah tetap
122 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
perekonomian yang dalam, respon kebijakan yang ditempuh relatif mampu meminimalisir
durasi pengaruh. Adanya kebijakan kontraktif ini akan dengan segera mengembalikan
perilaku variabel ekonomi makro pada keseimbangan jangka panjangnya. Dari hasil
pengujian memperlihatkan kebijakan kontraktif mengembalikan pada perilaku jangka
panjang rata-rata setelah 3 periode (Grafik 4).
Merujuk pada hasil simulasi respon kebijakan sesuai skenario A, maka terdapat
pemikiran perlunya penerapan kebijakan ekonomi makro yang masih mampu mendorong
perekonomian namun pada sisi lain tetap mampu meredam depresiasi rupiah dan
mengendalikan laju inflasi. Salah satu altematif kebijakan yang ada adalah dengan tetap
melakukan ekspansi fiskal, sementara pada sisi lain kebijakakan moneter dilakukan
kontraksi. Skenario ini berdasarkan pada hasil pengujian sensitivitas variabel ekonomi makro
terhadap kebijakan makro dimana terdapat indikasi bahwa kebijakan fiskal relatif berperan
dalam perekonomian nasional dibandingkan kebijakan moneter dalam mendorong output
perekonomian.
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa dengan skenario kedua ini terlihat kontraksi
perekonomian yang terjadi tidak sedalam bila dibandingkan dilakukan kebijakan kontraktif
pada kedua kebijakan. Bila pada skenario pertama kontraksi perekonomian yang terjadi
adalah sebesar 8,6%, maka dengan tetap mengupayakan ekspansi pada sisi fiskal kontraksi
yang terjadi hanya sebesar 5,7% (Tabel 7). Kondisi perekonomian yang lebih baik ini bila
dilihat dari komponennya sangat terkait dengan meningkatnya permintaan domestik.
Tabel 7
Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro
terhadap Kebijakan Ekonomi Makro saat terjadi Aliran Modal Keluar Bersih
untuk Skenario Kebijakan B*
Tertinggi Keseimbangan
Variabel Periode Perubahan(%) Periode Perubahan(%)
Indeks Harga Konsumen 2 -4,26 5 -5,09
Produk Domestik Bruto 2 -6,49 3 -5,73
Ekspor 1 -2,27 2 -1,88
Impor 1 5,28 2 3,18
Investasi 2 -4,65 3 -0,90
Konsumsi Swasta 2 -7,30 6 -9,92
Kurs Rp. Nominal 1 -12,44 4 -14,48
Keterangan :
Kebijakan B = Peningkatan Suku Bunga, Kontraksi Domestik Credit, tetapi Pengeluaran Pemerintah tetap
Perubahan = error kumulatif selama periode yang bersangkutan
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 123
Konsumsi dan investasi meskipun juga terkontraksi, namun penurunan yang terjadi tidak
sedalam bilamana kebijakan yang ditempuh adalah kontraksi pada dua bidang tersebut.
Respon kebijakan makro ekonomi ini, terutama kebijakan fiskal yang ekspansif,
setidaknya sejalan dengan pendapat Meyer (1998) dan McKibbin (1998). Menurut Meyer,
kebijakan fiskal yang ekspansif bukanlah hal yang melatarbelakangi terjadinya krisis. Upaya
menerapkan kebijakan fiskal yang kontraktif tidak akan menyelesaikan permasalahan.
bahkan akan semakin menyebabkan perekonomian tersebut terkontraksi. Oleh karena itu
kebijakan yang seharusnya dilempuh dari sisi fiskal adalah dengan tetap melakukan ekspansi.
Tabel 8
Rangkuman Nilai Statistik
Hasil Simulasi Ex-Ante (1997:03 - 1998:02)
Keterangan : RMSPE = Root Mean Square Parcent Error ; MPE = Mean Percent Error
berbeda dengan yang telah ditempuh. Dalam kaitan tersebut, maka cara analisa yang
digunakan adalah dengan melakukan simulasi counterfactual yaitu simulasi dengan
mengubah arah kebijakan yang telah ditempuh. Dengan cara analisa ini diharapkan akan
mampu menerangkan berbagai kondisi yang dapat terjadi apabila diterapkan suatu kebijakan
yang berbeda dengan kebijakan aktual.
Variabel kebijakan yang diubah dalam simulasi counterfactual adalah variabel suku
bunga dan pengeluaran. Simulasi ini tidak melibatkan variabel kebijakan domestic credit
mengingat kebijakan moneter telah terwakili oleh variabel suku bunga. Selain itu, dalam
kondisi aktual upaya melakukan kontraksi melalui domestic credit melalui penyerapan dana
BUMN dilakukan hanya dalam beberapa kesempatan saja.
Hasil simulasi counterfactual awal ini menghasilkan beberapa indikasi awal. Pertama
apabila suku bunga dipertahankan tinggi sejak triwulan III/97, kondisi yang terjadi adalah
laju inflasi menurun dan nilai tukar rupiah menguat. Namun demikian, perkembangan
yang menggembirakan ini tidak diikuti perkembangan PDB. Penerapan suku bunga tinggi
yang lebih lama akan menghambat kegiatan di sektor produksi seperti tercermin pada semakin
terkontraksinya perekonomian (Tabel 9).
Tabel 9
Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro1
Skenario Counter Factual 1997:3 - 1998:2
Keterangan :
1 = Dihitung berdasarkan error kumulatif dari hasil nilai simulasi dasar
2 = Suku bunga domestik telah meningkat sejak 1997:3 dan konstanpada level 32,95%
3 = Konsumsi Pemerintah meningkat sebesar 10% sejak 1997:3 dan konstan pada tahap berikutnya
Berdasarkan kedua kondisi tersebut, maka kebijakan dasar yang dapat ditempuh
pada sisi moneter adalah dengan tetap melakukan kontraksi pada sisi moneter bahkan
dengan suku bunga yang lebih tinggi dari kondisi aktual. Dengan kebijakan ini nilai tukar
rupiah dapat terapresiasi sementara inflasi menjadi lebih kecil. Sedangkan dari sisi fiskal,
kebijakan yang ditempuh adalah dengan melakukan ekspansi bukan melakukan kontraksi
sebagaimana yang telah dilakukan. Dengan kebijakan fiskal ini maka kontraksi
perekonomian yang terjadi diharapkan tidak akan sedalam kondisi aktual.
126 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 10
Skenario Kombinasi Kebijakan Counter Factual
Periode 197:03 - 1998:02
Dari berbagai kombinasi kebijakan ekonomi makro yang ada, hasil pengujian
memperlihatkan bahwa skenario Kebijakan C memberikan hasil yang lebih positif bagi kondisi
nilai tukar inflasi, dan pertumbuhan ekonomi, dibandingkan skenario kebijakan lainnya
(Tabel 11). Kebijakan yang ditempuh ini relatif mampu mengurangi tekanan terjadinya
depresiasi nilai tukar lebih tajam. Sejalan dengan menguatnya nilai tukar, kondisi laju inflasi
juga relatif mampu ditekan bila dibandingkan kondisi aktual. Dengan perkembangan ini,
kombinasi kebijakan C mampu mendorong pertumbuhan ekonomi relatif cukup besar. Dalam
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 127
kaitan ini ekspansi dari sisi fiskal menjadi pendorong meningkatnya kembali permintaan
domestik sebagaimana tercermin dari lebih tingginya tingkat konsumsi dan investasi.
Tabel 11
Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro
Kebijakan Counter Factual 1997:3 - 1998:2
Sementara itu dari sisi fiskal, kebijakan yang seharusnya diterapkan adalah dengan
terus melakukan peningkatan pengeluaran pemerintah pada setiap periode sejalan dengan
terus meningkatnya aliran modal keluar. Dengan upaya ini, sektor pemerintah akan menjadi
pendorong aktivitas perekonomian sekaligus mengisi peran yang ditinggalkan sektor swasta.
7.1. Kesimpulan
Bertolak dari hasil-hasil perhitungan serta berbagai indikasi yang mengikutinya
beberapa kesimpulan yang dapat ditarik pada penelitian ini adalah :
1. Perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap dampak aliran modal keluar karena
relatif besarnya porsi external financing. Akibat tingginya ketergantungan terhadap aliran
modal asing, pada saat terjadi aliran modal keluar secara cepat dengan jumlah yang
128 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
besar, kondisi perekonomian nasional dengan cepat memburuk. Oleh karena itu contagion
effect dari krisis keuangan di Thailand hanya merupakan “pembuka jalan” menuju
kondisi yang lebih buruk.
2. Bila tidak dibarengi dengan kebijakan ekonomi makro yang tepat, aliran modal keluar
yang terjadi akan memberikan dampak negatif yang cukup lama terhadap kondisi
perekonomian. Mengingat variabel awal yang dipengaruhi aliran modal keluar adalah
nilai tukar, maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa variabel nilai
tukar memegang peranan sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Dalam kaitan
ini penelitian membuktikan bahwa pemulihan nilai tukar akibat shock aliran modal
keluar baru akan terjadi setelah kurang lebih 4 tahun.
4. Kebijakan ekonomi makro yang diterapkan Pemerintah selama periode 1997:03 - 1998:02
melalui kontraksi fiskal dan moneter, masih dapat diperdebatkan. Namun hasil pengujian
model memperlihatkan bahwa kebijakan yang sebaiknya ditempuh adalah melakukan
ekspansi dari sisi fiskal sementara dari sisi moneter tetap melakukan kontraksi secara
konsisten. Kombinasi kebijakan ekonomi makro normatif menunjukkan bahwa kontraksi
moneter secara konsisten seharusnya telah dilakukan sejak timbulnya indikasi terjadinya
aliran modal keluar namun pada sisi lain harus pula diimbangi oleh kebijakan fiskal
yang ekspansif.
1. Guna menghindari dampak negatif aliran modal asing, dalam jangka pendek kebijakan
pengendalian lalu lintas devisa perlu segera diupayakan. Sementara dalam jangka
panjang, kebijakan menggali sumber dana domestik guna menggantikan peran dana
asing haruslah mendapatkan perhatian secara serius. Dengan demikian, pembangunan
akan lebih bersifat indigenous process, yaitu berasal dari kekuatan sendiri yang diharapkan
akan lebih tahan dari gangguan.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98 129
.2. Pentingnya variabel nilai tukar dalam perekonomian Indonesia mengindikasikan bahwa
upaya menstabilkan fluktuasi nilai tukar perlu menjadi prioritas. Dalam kaitan itu maka
upaya mengkaji lebih lanjut tentang satu sistem nilai tukar serta kebijakan yang
melengkapinya guna kestabilan nilai tukar tersebut tetap perlu dilanjutkan.
3. Mengingat hasil pengujian memperlihatkan bahwa kebijakan suku bunga hanya akan
mempengaruhi nilai tukar dalam waktu yang sangat singkat, maka dalam kaitannya
dengan pengendalian nilai tukar upaya yang dilakukan tidak cukup hanya dengan
menggunakan instrumen suku bunga. Hal penting lainnya yang dapat mempengaruhi
nilai tukar adalah pemulihan kepercayaan terhadap kondisi dan prospek perekonomian.
4. Sementara itu, guna mengurangi terjadinya kontraksi yang lebih dalam, kebijakan fiskal
ekspansif harus dilakukan. Ekspansi fiskal tersebut perlu dipertajam prioritasnya yaitu
pada sektor-sektor yang memiliki multiplier effect yang besar terhadap perekonomian.
Terbatasnya sumber penerimaan negara sementara pada sisi lain pengeluaran harus
lebih ditingkatkan, mengharuskan defisit pada APBN tetap besar selama sektor swasta
belum bangkit. Dalam kaitan ini, permasalahannya adalah bagaimana membiayai
ekspansi fiskal tersebut mengingat dalam penelitian ini model yang digunakan tidak
memiliki budqet constraint.
Dalam kaitan itu, maka pada penelitian selanjutnya upaya penyempurnaan lebih
lanjut terhadap model yang digunakan perlu dilakukan. Dengan ini diharapkan realitas
yang terjadi dapat digambarkan secara lebih akurat. Penyempurnaan tersebut tidak hanya
dalam ruang lingkup menambah atau mengurangi variabel yang telah digunakan, tetapi
lebih jauh lagi dengan menambah persamaan baik persamaan struktural maupun identitas
dalam berbagai blok model. Penyempurnaan lebih mendalam dapat juga dilakukan dengan
memperhatikan hubungan antar variabel yang diuji mengingat fenomena ekonomi yang
terjadi terkadang menunjukkan hubungan yang tidak linier.
130 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Daftar Pustaka
Ahmed, Sadiq, Appropriate Macroeconomic Management in Indonesia’s Open Economi,
World Bank Discussion Papers No. 191, 1993
Basri, M. Chatib dan Ari Kuncoro, Tinjauan Triwulan Perekonomian Indonesia, Ekonomi
Keuangan Indonesia Vol. XLVI, No.2, 1998
____________, Gejolak Nilai Tukar dan Implikasinya Bagi Pelaksanaan Tugas Pokok Bank
Indonesia di Masa Mendatang, Makalah pada Rapat Kerja Bank Indonesia, Desember 1997
____________, Arah Kebijakan Moneter unluk Pemulihan Ekonomi, Makalah pada Rapat
Kerja Bank Indonesia, November 1998.
Meyer, Laurence H, Lesson from the Asian Crisis : A Central Banker’s Perspective, Paper
presented at The 22nd SEANZA Central Banking Course, Wellington, New Zealand, 20
November 1998
McKibbin, Warwick and Will Martin, The East Asian Crisis : Investigating Causes and
Policy Responses, Preliminary Draft, 1998
Rachbini, Didik J, Arus Modal Global Mulai Naik Tahun 1999, Kompas 22 Desember
1998
Woo, Wing Thye, Bruce Glassburner, Anwar Nasution, Macroeconomic Policies, Crises,
and Long-Term Growth in Indonesia 1965-1990, World Bank, 1994
Zulverdy, Doddy, Manajemen Moneter dalam Masa Krisis, Buletin Ekonomi Moneterdan
Perbankan, Vol. 1. No. 2, Bank Indonesia, 1998