You are on page 1of 10

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama Visum.

Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan. Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Abdul Munim Idris memberikan pengertian visum et repertum adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan. Dari pengertian visum et repertum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa visum et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses peradilan. Menurut pendapat Tjan Han Tjong, visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya corpus delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan corpus delicti. 2.1.2 Jenis Visum et repertum Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, visum et repertum digolongkan menurut obyek yang diperiksa sebagai berikut : 1. Visum et repertum untuk orang hidup. Jenis ini dibedakan lagi dalam : 1. 1. Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.

2. Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan visum et repertum lanjutan. 3. Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia. 2. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah). Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi). 1. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP. 2. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah. 3. Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa. 4. Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.

2.1.3 Bentuk Umum Visum et repertum Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok visum et repertum, maka ditetapkan ketentuan mengenai susunan visum et repertum sebagai berikut : 1. Pada sudut kiri atas dituliskan PRO YUSTISIA, artinya bahwa isi visum et repertum hanya untuk kepentingan peradilan. 2. Di tengah atas dituliskan Jenis visum et repertum serta nomor visum et repertum tersebut. 3. Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan : 1. Identitas peminta visum et repertum. 2. Identitas surat permintaan visum et repertum. 3. Saat penerimaan surat permintaan visum et repertum. 4. Identitas dokter pembuat visum et repertum. 5. Identitas korban/barang bukti yang dimintakan visum et repertum.

6. Keterangan kejadian sebagaimana tercantum di dalam surat permintaan visum et repertum. 4. Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti. 5. Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa yang dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti. 6. Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa visum et repertum ini dibuat atas dasar sumpah dan janji pada waktu menerima jabatan. 7. Di sebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta Cap dinas dokter pemeriksa. 8. 2.1.4 Peranan dan kedudukan Visum et repertum 9. Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Penegak hukum mengartikan visum et repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya. 10. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di bagian Kesimpulan. 11. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia. 12. Tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan visum et repertum sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan pemberitaan dari

visum et repertum itu harus yang sesungguh-sesungguhnya dan seobyektifobyektifnya tentang apa yang dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan. Dengan demikian visum et repertum merupakan kesaksian tertulis. Maka visum et repertum sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain daripada itu visum et repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen dengan mana dapat ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila bersangkutan (jaksa, hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut. 13. Maka visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda Bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban merupakan Corpus Delicti. maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et repertum. Dan tentunya kedudukan seorang dokter di dalam penanganan korban kejahatan dengan menerbitkan visum et repertum seharusnya disadari dan dijamin netralitasnya, karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya kebenaran 14. Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan misalnya, pangaduan atau laporan kepada pihak kepolisian baru akan dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban. Jika korban dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis, maka dokter punya kewajiban untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi atau menyuruh keluarga korban untuk melapor ke polisi. Korban yang melapor terlebih dahulu ke polisi pada akhirnya juga akan dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis sekaligus pemeriksaan forensik untuk dibuatkan visum et repertum nya. Sebagai dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan melakukan pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat hubungan seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-obatan. Pengobatan terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara psikiatris untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan korban.

15. Maka sebagai dokter forensik mempunyai tugas untuk memeriksa dan mengumpulkan berbagai, bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum. Maka dari itu keterangan ahli berupa visum et repertum tersebut akan menjadi sangat penting dalam pembuktian, sehingga visum et repertum akan menjadi alat bukti yang sah karena berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan, sehingga akan membantu para petugas kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana. 16. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru seperti yang tercantum dalam KUHAP yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (pasal 180 KUHAP). 3.1 Peran Visum et repertum dalam Penyidikan Tindak Pidana di Indonesia Baik di dalam Kitab Hukum Acara Pidana yang lama, yaitu RIB maupun Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada satu pasal pun yang memuat perkataan visum et repertum. Hanya di dalam Staatsblad tahun 1937 No 350 pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana. Di dalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter, untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk: Keterangan ahli; Pendapat orang ahli; Ahli Kedokteran Kehakiman; Dokter; dan Surat Keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP: pasal 187 butir c). Menurut KUHAP pasal 184 ayat 1, yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah, yaitu: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Disebutkan pada KUHAP pasal 186 bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Selain itu, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan

pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Apabila ditinjau dari Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang memberikan definisi Visum et repertum, maka sebagai alat bukti Visum et repertum termasuk alat bukti surat karena keterangan yang dibuat oleh dokter dituangkan dalam bentuk tertulis. Di samping itu pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP mengenai alat bukti surat serta Pasal 187 huruf c yang menyatakan bahwa : Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Dari keterangan di atas, maka Visum et repertum dapat diartikan sebagai keterangan ahli maupun sebagai surat. Sebagai suatu keterangan tertulis yang berisi hasil pemeriksaan seorang dokter ahli terhadap barang bukti yang ada dalam suatu perkara pidana, maka Visum et repertum mempunyai peran sebagai berikut : 1. Sebagai alat bukti yang sah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP pasal 184 ayat (1) jo pasal 187 huruf c. 1. Bukti penahanan tersangka. Di dalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terhadap korban. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan tersangka. 1. Sebagai bahan pertimbangan hakim. Meskipun bagian kesimpulan Visum et repertum tidak mengikat hakim, namun apa yang diuraikan di dalam Bagian Pemberitaan sebuah visum et repertum adalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak pidana, di samping itu Bagian Pemberitaan ini adalah dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh dokter. Dengan demikian dapat dipakai sabagai bahan pertimbangan bagi hakim yang sedang menyidangkan perkara tersebut. Visum et repertum dibuat dan dibutuhkan di dalam kerangka upaya penegakan hukum dan keadilan, dengan perkataan lain yang berlaku sebagai konsumen atau pemakai Visum et repertum adalah perangkat penegak hukum, yaitu pihak penyidik sebagai instansi pertama

yang memerlukan Visum et repertum guna memperjelas suatu perkara pidana yang telah terjadi, khususnya yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia. Di dalam KUHAP, yang diminta dalam visum et repertum adalah keterangan ahli, dengan demikian tidak terbatas hanya dalam penentuan sebab kematian saja. Visum et repertum harus mencakup keterangan-keterangan yang diberikan oleh dokter kepada pihak penyidik agar penyidik dapat melakukan tugasnya, yaitu memperjelas suatu perkara pidana. Hal ini tergantung dari kasus atau obyek yang diperiksa oleh dokter yang bersangkutan. 1. Barang bukti yang diperiksa adalah mayat yang diduga atau diketahui merupakan akibat dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini keterangan atau kejelasan yang harus diberikan oleh dokter kepada pihak penyidik adalah: 1. Menentukan identitas Dalam hal ini dokter dengan metode identifikasi harus dapat menentukan secara pasti identitas korban, walaupun hasil dari penentuan tersebut tidak tertutup kemungkinan berbeda dengan identitas menurut pihak penyidik. Dengan dapat ditentukannya identitas secara ilmiah, pihak penyidik akan dapat membuat suatu daftar tersangka, yang akan berguna di dalam penyidikan. Hal tersebut berpijak pada kenyataan bahwa kebanyakan dari korban telah mengenal siapa pelakunya (ada korelasi antara korban dengan pelaku). Apabila sebab kematian dapat ditentukan sedangkan identitas tidak dapat diketahui, hal ini akan menyulitkan bagi pihak penyidik, tidak jarang penyidikan akan menemukan jalan buntu. 1. Memperkiarakan saat kematian Dari pemeriksaan mayat yang cermat tentang lebam mayat, kaku mayat, suhu tubuh, keadaan isi lambung serta perubahan post-mortal lainnya, maka dokter dapat memperkirakan saat kematian. Dan bila ditambah dengan informasi yang diperoleh dari para saksi di tempat kejadian perkara (TKP), maka perkiraan saat kematian lebih mendekati sebenarnya. Adapun manfaat dari perkiraan saat kematian tersebut adalah untuk membantu pihak penyidik dalam mempersempit daftar tersangka dari daftar semula yang dibuat atas dasar penentuan identitas korban, yaitu dengan mempelajari alibi dari para tersangka tersebut. Dengan demikian penyidikan akan dipersempit dan lebih terarah. 1. Menentukan sebab kematian Prinsip dalam menentukan sebab kematian adalah bahwa sebab kematian hanya dapat ditentukan melalui pembedahan mayat (otopsi), dengan atau tanpa disertai pemeriksaan tambahan (pemeriksaan laboratorium: toksikologi, patologi anatomi, dan sebagainya). Bagi pihak penyidik sebab kematian sangat berguna di dalam menentukan antara lain senjata yang dipergunakan oleh pelaku, racun yang dipakai, dikaitkan dengan kelainan atau perubahan

yang ditemukan pada diri korban. Bila korban tewas akibat penembakan, maka pihak penyidik akan dapat mempersempit lagi daftar tersangka pelaku kejahatan yang dihasilkan dari perkiraan saat kematian. Bila korban tewas akibat tusukan benda tajam, maka pihak penyidik akan dapat mencari dengan tepat benda tajam yang bagaimana yang dapat dijadikan sebagai barang bukti. 1. Menentukan atau memperkirakan cara kematian Penentuan atau perkiraan cara kematian akan membantu penyidik dalam menentukan langkah yang harus dilakukan. Bila cara kematian korban adalah wajar, yaitu karena penyakit, maka pihak penyidik akan dapat dengan segera menghentikan penyidikan. Bila kematiannya ternyata tidak wajar, misalnya karena pembunuhan, maka pihak penyidik dapat pula menentukan langkah yang harus dilakukan. Demikian pula halnya bila kasus yang dihadapi adalah kasus bunuh diri atau kasus kecelakaan. Walaupun dokter tidak boleh memastikan cara kematian secara jelas di dalam Visum et repertum (oleh karena tidak melihat proses kejadian melainkan memberikan suatu penilaian tentang hasil akhir dari suatu proses), dokter harus dapat menjelaskan hal tersebut secara tersirat di dalam kesimpulan Visum et repertum yang dibuatnya. Dengan menyatakan bahwa sebab kematian adalah karena penyakit jantung serta tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan, ini mengarahkan penyidik kepada kematian yang wajar non kriminal. Dengan menuliskan bahwa pada korban didapatkan tanda-tanda mati lemas, adanya jejas jerat pada leher serta tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan pada mayat yang tergantung, sebenarnya dokter mengarahkan penyidik pada kasus bunuh diri. Dengan menyatakan bahwa pada korban didapatkan luka tembak masuk pada belakang kepala atau punggung, hal ini mengarahkan penyidik pada kasus pembunuhan. Selain keterangan atau kejelasan yang perlu disampaikan oleh dokter melalui Visum et repertum tersebut di atas, maka di dalam kasus-kasus khusus diperlukan kejelasan lain, yaitu: 1. Pada kasus penembakan Apakah benar luka pada korban adalah luka tembak; luka tembak masuk atau luka tembak keluar; diameter anak peluru dan kaliber serta jenis senjata api yang dipergunakan; jarak penembakan; posisi korban dan posisi penembak; berapa kali korban ditembak dan apakah luka tembak tersebut yang menyebabkan kematian serta luka tembak mana yang menyebabkan kematian bila terdapat lebih dari satu luka tembak masuk. 1. Pada kasus penusukan Jenis senjata dan perkiraan lebar maksimal senjata tajam yang masuk pada tubuh korban. 1. Pada kasus pembunuhan anak

Apakah dilahirkan hidup atau lahir mati, ada tidaknya tanda-tanda perawatan, maturitas serta viabilitas. 1. Pada kasus pengeroyokan Jenis kekerasan dan jenis luka, luka mana dan akibat senjata yang bagaimana yang menyebabkan kematian pada korban (prinsip: hanya terdapat satu penyebab kematian). 1. Pada kasus kecelakaan lalu lintas Penyebab terjadinya kecelakaan dilihat dari faktor korban (korban yang mabuk atau dalam pengaruh obat); serta perkiraan jangka waktu antara terjadinya kecelakaan dan kematian, yang dikaitkan dengan penentuan faktor apa saja yang menyebabkan kematian, kecelakaan itu sendiri atau keterlambatan pertolongan yang diberikan karena adanya hambatan dalam transportasi korban, dan sebagainya. 1. Barang bukti yang diperiksa adalah korban hidup pada kasus perlukaan (penganiayaan), selain identitas korban perlu diberikan kejelasan perihal jenis luka dan jenis kekerasan serta kualifikasi luka, dimana kualifikasi luka dapat menentukan berat ringannya hukuman bagi pelaku, yang pada taraf penyidikan dapat dikaitkan dengan pasal dalam KUHAP yang dapat dikenakan pada diri tersangka, yang berkaitan pula dengan alasan penahanan. 2. Di dalam kasus kejahatan seksual, maka kejelasan lain yang diperlukan adalah: Ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, Ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, Perkiraan umur, dan Menentukan pantas tidaknya korban untuk dikawin.

Bilamana persetubuhan dapat dibuktikan, perlu kejelasan perihal kapan terjadinya persetubuhan tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengetahui alibi dari tersangka pelaku kejahatan. 1. Di dalam kasus psikiatrik, maka Visum et repertum yang dibuat haruslah dapat memberikan kejelasan di dalam hal: Apakah pelaku kejahatan atau pelanggaran mempunyai penyakit jiwa Apakah kejahatan atau pelanggaran tersebut merupakan produk dari penyakit jiwa

tersebut Penjelasan bagaimana psikodinamiknya sampai kejahatan atau pelanggaran itu dapat terjadi.

3.2

Hambatan Visum et repertum

1. Hambatan dalam pembuatan antara lain adalah jauhnya rumah sakit dan terbatasnya tenaga kedokteran kehakiman yang membuat visum et repertum (Widy Hargus, 2010). 2. Hambatan dalam penerapan adalah, pembuatan Visum et repertum terkadang kurang lengkap dan pembuatan Visum et repertum tidak dilakukan sesegera mungkin. (Widy Hargus, 2010). 3. Keadaan mayat sudah membusuk. Keadaan seperti ini dapat mempengaruhi hasil dari visum. Biasanya organ tubuh yang memberikan hasil positif untuk pemeriksaan toksikologi sudah mengalami pembusukan maka dapat mengakibatkan hasil menjadi negatif. (Edward Sinaga, 2010). 4. Kurangnya koordinasi antara penyidik dengan dokter yang mengakibatkan prosedur permintaan visum menjadi memakan waktu yang lama (Edward Sinaga, 2010). 5. Dari pihak penyidik seperti keterlambatan permintaan visum, (Husnul Muasyaroh, 2002). 6. Dari pihak keluarga karena tidak mengijinkan dilakukannya autopsi (Husnul Muasyaroh, 2002). 7. Dari pihak dokter karena butuh tempat untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan (Husnul Muasyaroh, 2002). 8. Untuk korban kecelakaan yang hidup, banyak korban yang menolak untuk dilakukan visum et repertum oleh karena belum mengetahui manfaat dan kegunaaannya (Budi Sampurna, 2007). Adanya hambatan-hambatan seperti yang disebutkan diatas yang terjadi dalam pelaksanaan visum et repertum memerlukan solusi. Diantaranya dengan memperbaiki koordinasi antara penyidik dan dokter sehingga SPVR datang tepat waktu dan visum dapat dilakukan dengan cepat. Dapat pula menambah pengetahuan dan keterampilan dalam membuat visum dengan cara membuat SOP (standar operasional). Motivasi kepada korban hidup ataupun korban meninggal tentang tujuan dan pentingnya otopsi. Mengadakan kerjasama lintas sektoral mengeenai perbaikan sarana dan prasarana yang mungkin dibutuhkan dalam pemeriksaan visum et repertum.

You might also like