You are on page 1of 18

BAB III PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK INDONESIA PASCA PENGAKUAN

KEDAULATAN Karena didesak Dewan Keamanan PBB, Belanda bersedia mengadakan perundingan Renvile dengan Indonesia dan dilanjutkan dengan perundingan KMB di Den Haag Belanda 1949 berhasil mengakhiri pertikaian Indonesia-Belanda dengan pengakuan kedaulatan kepada Indonesia. Pada 2 November 1949 di Den Haag terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian dan sebagai presidennya adalah Soekarno dan Moh. Hatta diangkat sebagai Perdama Menteri. Proses Kembalinya Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan Secara resmi Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 dengan bentuk negara RIS. Ternyata sebagian besar rakyat Indonesiatidak menyukai bentuk negara RIS dan menghendaki Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). a. Terbentuknya Negara Federasi RIS 14 Desember 1949 wakil-wakil pemerintah RI dan negara-negara bagian melakukan pertemuan musyawarah federal di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pertemuan tersebut berhasil menyetujui Undang-undang Dasar RIS. Berdasarkan UUD RIS negara federasi RIS terdiri atas tujuh negara bagian (RI, NIT, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Timur-NST, Negara Sumatra Selatan), sembilan satuan kenegaraan (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Biliton-Belitung, Riau Kepulauan, Jawa Tengah) dan tiga daerah swapraja (Waringin, Sabang, Padang). Selengkapnya negara-negara tersebut adalah sebagai berikut: - Republik Indonesia RI berdiri 17 Agustus 1945, sebagai presiden dan wakil presidennya adalah Soekarno dan Moh. Hatta. Pusat pemerintahan semula di Jakarta, tapi karena ada kekacauan yang ditimbulkan oleh Sekutu dan NICA, maka dipindah ke Yogyakarta. Dalam perjanjian Linggarjati secara de facto RI hanya terdiri dari Sumatra, Jawa dan Madura, bahkan semakin mengecil setelah perjanjian Renvile. Bahkan setelah KMB RI hanya merupakan salah satu negara bagian dari RIS yang kepemimpinannya dijabat oleh Mr. Asaat (mantan ketua KNIP). - Negara Pasundan Diproklamasikan oleh Soeria Kartalegawa (Ketua Partai Rakyat Pasundan) pada 4 Mei 1947 di Bandung, namun baru resmi terbentuk pada 5 Maret 1948 dengan wali negaranya RAA. Wiranatakusumah. - Negara Indonesia Timur (NIT) NIT merupakan negara pertama yang dibentuk Van Mook dalam konferensi Denpasar pada 18-24 Desember 1946, wilayah NIT meliputi Bali, Nusa

Tenggara, Sulawesi dan Maluku dengan presidennya adalah Cokorde Gde Raka Sukawati. - Negara Madura Dibentuk 23 Januari 1948 atas prakarsa Van Der Plas (tokoh Belanda yang pandai bahasa Madura dan ahli agama islam) sebagai wali negaranya adalah RAA. Cakraningrat. - Negara Sumatra Timur Berdiri berdasarkan surat keputusan Van Mook pada 24 Maret 1948, wilayahnya meliputi Medan, Asahan Selatan, Labuhan Batu dan sekitarnya dengan wali negaranya adalah Dr. Tengku Mansyur. - Negara Sumatra Selatan (NSS) Oleh Van Mook disetujui pada 30 Agustus 1948 dengan negaranya adalah Abdul Malik. Wilayah NSS meliputiPalembang dan sekitarnya - Negara Jawa Timur Melalui konferensi di Bondowoso (16 November 1948) Van Der Plas mendirikan Negara Jawa Timur, tapi secara resmi berdiri 26 November 1948 dengan wilayah meliputi Surabaya, Malang, daerah sebelah timur sampai Banyuwangi dengan wali negaranya adalah RTP. Achmad Kusumonegoro. - Daerah Istimewa Kalimantan Barat (Borneo) Berdiri pada 12 Mei 1947 dan disetujui oleh Van Mook, dengan kepala daerahnya adalah Sultan Hamid Algadrie II. - Federasi Kalimantan Timur Berdiri sejak Februari 1948, Tenggarong termasuk didalamnya. - Daerah Otonom Dayak Besar Dibentuk pada Desember 1946 dan baru memiliki konstitusi sejak Desember 1948, wilayahnya adalah daerah Kalimantan Tengah sekarang. - Daerah Otonom Banjar Terlahir sejak Januari 1948 dan meliputi Kalimantan Selatan sekarang. - Dewan Federal Borneo Tenggara (DFBT) Disetujui oleh Van Mook pada 9 Mei 1947, wilayahnya meliputi Pulau Laut dan Kalimantan Tenggara, Pegatan, Cantung Sampanahan. - Daerah Otonom Bangka, Biliton (Belitung) dan Riau Kepulauan Diciptakan oleh Van Mook pada bulan Januari 1947 dan pada bulan Juni 1948 ketiganya bergabung menjadi federasi. - Daerah Otonom Jawa Tengah Dibentuk pada bulan Maret 1949 sesudah agresi militer Belanda II. Wilayah Jawa Tengah meliputi sebagian Banyumas, Pekalongan dan Semarang. b. Munculnya Gerakan Separatis Sebagian masyarakat tidak mendukung terbentuknya RIS (kelompok unitaris) dan sebagian lagi mendukung terbentuknya negara federal (kelompok federalis). Kelompok unitaris banyak terdapat di negara Pasundan dan negara Jawa Timur,

mereka menghendaki negara yang sesuai dengan UUD 1945 dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Kelompok federalis mulai melemah setelah beberapa tokohnya berkhianat terhadap RIS yaitu Sultan Hamid II yang bersekongkol dengan Raymond Westerling membantai rakyat di Sulawesi Selatan, membunuh tentara republik di Bandung dan merencanakan pembunuhan terhadap sejumlah petinggi RIS di Jakarta. Kelompok ini menamakan diri Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ingin tetap mempertahankan negara Pasundan. Di Sulawesi Selatan kapten Andi Azis menyerang markas TNI di Makasar dan sejak 5 April 1950 Andi Azis menyatakan mempertahankan NIT. Di Maluku Selatan muncul gerakan separatis RMS di bawah pimpinan Dr. Soumokil pada 25 April 1950. c. Perjuangan Kembali ke Negara Kesatuan RI, BFO dan Belanda menyepakati terbentuknya RIS, negara RIS yang berbentuk federasi ini pada hakikatnya tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi. Belanda mendirikan RIS dengan maksud untuk mempermudah memecah belah bangsaIndonesia. Belanda tetap berkeinginan bahwa pada suatu saat mereka akan datang lagi untuk menguasai Indonesia. RakyatIndonesia menyadari bahwa RIS adalah bentukan Belanda dan bukan keinginan rakyat negara-negara bagian (apalagi tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak memiliki ideologi yang kuat, tidak memiliki tentara, kekuasaan dll). Pada awal Februari 1950 rakyat Jawa Barat, Jawa Timur dan negara-negara bagian lainnya menuntut pembubaran negaranegara bagian. Menanggapi situasi politik tersebut pada 8 Maret 1950 pemerintah RIS mengeluarkan UU darurat No.11 tahun 1950 tentang tata cara perubahan susunan kenegaraan RIS. Hingga pada 5 April 1950 terdapat tiga negara bagian yaitu RI, NST dan NIT, negara yang lainnya bergabung dengan RI di Yogyakarta. 19 Mei 1950 dilangsungkan perundingan antara pemerintah RIS (Moh. Hattawakil dari NST dan NIT) dengan pemerintah RI yang diwakili oleh Abdul Halim. Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan: RIS dan RI sepakat membentuk negara kesatuan berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945 dan RI dan RI akan membentuk panitia bersama yang bertugas menyusun undang-undang dasar negara kesatuan. Untuk menyusun konstitusi negara kesatuan yang baru maka dibentuklah panitia gabungan RIS dan RI dengan ketua bersama, menteri kehakiman Prof. Dr. Mr. Soepomo dan wakil perdana menteri RI Abdul Halim. Pada 14 Agustus 1950 parlemen RI dan senat RIS mengesahkan UUD NKRI (UUD Sementara 1950). NKRI resmi berlaku sejak 17 Agustus 1950, secara otomatis RIS bubar. Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah Pasca Pembentukan NKRI Persoalan pertentangan antara pemerintah pusat dengan daerah, baik yang berupa pertentangan ideologi antar partai maupun antar kepentingan, pergolakan sosial-politik ini terjadi pada kurun waktu 1950-1965. Ditengah-tengah memburuknya keadaan pemerintahan akibat pemberontakan di daerah, presiden Soekarno melontarkan suatu gagasan Konsepsi

Presiden pada 21 Februari 1957 di Istana Merdeka yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi dan kinerja pemerintahan. Isi Konsepsi Presiden tersebut adalah: - Sistem demokrasi parlementer model barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin. - Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk kabinet gotong royong yang beranggotakan wakil-wakil semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. - Dibentuk dewan nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan fungsional dalam masyarakat, dewan ini bertugas memberi nasehat kepada kabinet. Pertentangan antara pusat dan daerah tersebut mengakibatkan munculnya berbagai pembrontakan antara lain: a. Peristiwa PRRI di Sumatra Muncul setelah ada reuni mantan divisi banteng di Padangpada 20-25 November 1956. pertemuan ini melahirkan kesepakatan bahwa otonomi daerah yang seluasluasnya untuk menggali potensi daerah dan kekayaan daerah guna memenuhi pembangunan dan disepakati pembentukan Dewan Banteng yang diketuai oleh Achmad Husein (komandan Resimen IV dan Teritorium I di Padang). Sejak 9 Desember 1956 Kasad mengeluarkan pengumuman yang melarang perwira-perwira angatan darat melakukan kegiatan politik. Larangan tersebut tidak diindahkan bahkan Achmad Husein mengambil alih kekuasaan gubernur Ruslan Muljohardjo pada 20 Desember 1956. Selain dewan Banteng, muncul pula dewan-dewan lain di daerah lain seperti: - Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kolonel Maludin Simbolon) - Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Letkol Barlian) - Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol Ventje Sumual) Pemerintah pusat berusaha menyelesaikan perselisihan pusat-daerah melalui cara musyawarah. Pada bulan Maret 1957 diadakan konferensi Panglima Tentara dan Teritorium seluruhIndonesia untuk menyelesaikan masalah pusat-daerah. Kemudian diselenggarakan Munas (musyawarah nasional) pada bulan September 1957 dan Munap (musyawarah nasional pembangunan) pada bulan November 1957 yang bertujuan mempersiapkan usaha pembangunan di daerah-daerah secara integral. 9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan yang membicarakan pembentukan pemerintahan baru di Sungai Dareh, Sumtera Barat, pertemuan ini dihadiri oleh pimpinan dewan-dewan dan tokoh-tokoh sipil seperti Syarif Usman, Burhanudin Harahap dan Syafruddin Prawiranegara. Keesokan harinya Letkol Achmad Husein mengeluarkan ultimatun kepada pemerintah pusat agar kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden dalam waktu 5 x 24 jam dan presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan sebagai presiden yang konstitusional. Ultimatum ini ditolak oleh pemerintah bahkan Letkol Achmad Husein di pecat dari Angkatan Darat. Achmad Husein kemudian mengumumkan berdirinya

pemerintah revolusioner republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 15 Februari 1958 dengan perdama menterinya Syarifudin Prawiranegara. Untuk menumpas gerakan separatis PRRI pemerintah melakukan operasi militer antara lain: - Operasi Tegas (Letkol Kaharudin Nasution) untuk mengamankan Riau - Operasi 17 Agustus (Kol Ahmad Yani) untuk mengamankan Sumatera Barat - Operasi Saptamarga (Brigjen Djatikukumo) untuk mengamankan Sumatera Utara - Operasi Sadar (Letkol Ibnu Sutowo) untuk mengamankan Sumatera Selatan Dalam waktu singkat operasi gabungan ini dapat menumpas PRRI, Achmad Husein beserta pasukannya menyerahkan diri pada 29 Mei 1961. a. Peristiwa Permesta di Sulawesi Di Makasar panglima tentara dan teritorium III Letkol Ventje Sumual memproklamasikan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957 yang meliputi wilayah Sulawesi, Kep. Nusa Tenggara dan Maluku. DJ. Somba (komando daerah militer Sulawesi Utara dan tengah) mengeluarkan pernyataan bahwa sejak 17 Februari 1958 Sulawesi Utara dan Tenggara memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Pemerintah segera bersikap tegas untuk menumpas Permesta dengan melancarkan operasi gabungan yaitu Operasi Merdeka (dipimpin Letkol Rukmito Hendraningrat). Operasi ini terdiri dari beberapa bagian antara lain: - Operasi Saptamarga I (Letkol Soemarsono) untuk mengamankan Sulawesi Utara bagian tengah - Operasi Saptamarga II (Letkol Agus Prasmono) untuk mengamankan Sulawesi Utara bagian selatan - Operasi Saptamarga III (Letkol Magenda) untuk mengamankan Kepulauan sebelah utara Manado - Operasi Saptamarga IV (Letkol Rukmito Hendraningrat) untuk mengamankan Sulawesi Utara - Operasi Mena I (Letkol Pieters) untuk mengamankan Jailolo - Operasi Mena II (Letkol KKO Hunholz) untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera Operasi militer APRI di Indonesia bagian timur merupakan operasi yang terberat karena kondisi geografis yang sangat menguntungkan permesta dan pemberontak memiliki persenjataan yang modern berupa pesawat pembon B-26 dan pemburu Mustang yang diduga merupakan bantuan Amerika Serikat, hal ini terbukti dengan ditembak pesawat yang dipiloti Allan Pope (orang Amerika Serikat). a. Peristiwa APRA di Bandung Adanya tuntutan dari mantan anggota tentara KNIL yang dibubarkan untuk tetap menjadi angkatan peran negara bagian dan keengganan TNI bergabung dengan KNIL merupakan salah satu penyebab munculnya pemberontakan APRA. Di Bandung bekas anggota KNIL yang tidak mau bergabung dengan APRIS

membentuk organisasi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Raymond Westerling. APRA menuntut kepada pemerintah RIS agar organisasinya diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya negara Pasundan. Tuntutan APRA tidak dihiraukan oleh pemerintah, maka pada 23 Januari 1950 APRA melancarkan serangan terhadapa kota Bandung. Mereka membunuh anggota TNI yang dijumpai dan berhasil menduduki markas staf Divisi Siliwangi setelah membunuh 15 orang regu jaga diantaranya adalah Letkol Lembong. Penyerbuan APRA tidak diduga sebelumnya sehingga gerombolan in berhasil menguasai kota Bandung. Apalagi pada waktu yang bersamaan kesatuan divisi siliwangi baru beberapa saat memasuki kota Bandung setelah melakukan Long March dari Yogyakarta. Demikian juga panglima divisi siliwangi kolonel Sadikin yang sedang mengadakan peninjauan ke Subang bersama Gubernur Jawa Barat Sewaka. Untuk menanggulangi APRA, pemerintah RIS segera mengirimkan kesatuankesatuan polisi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ketika itu di berada Jakarta untuk ke Bandung. R Westeling berhasil meloloskan diri dari pasukan TNI dan melanjutkan makarnya di Jakarta untuk menangkap semua menteri RIS dan pejabat penting lainnya. Berkat kesigapan TNI gerakan Westerling dapat digagalkan. b. Peristiwa Andi Azis di Makasar Pada 5 April 1950 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh bekas tentara KNIL dipimpin oleh Andi Azis. Alasan pemberontakan yang dilakukan Andi Azis adalah tidak mau menerima kehadiran 900 pasukan APRIS yang berasal dari TNI pimpinan Letkol Mokoginta dan ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam pemberontakannya Andi Azis menuntut agar tentara bekas KNIL diberi kekuasaan untuk bertanggung jawab atas keamanan di wilayah NIT. Ultimatum dari pemerintah pusat agar Andi Azis bertanggung jawab atas perbuatannya tidak diindahkan sehingga dalam waktu 4 x 24 jam pemerintah mengirim pasukan di bawah pimpinan Alex Kawilarang untuk menumpas pemberontakan Andi Azis. Hasilnya pada 15 April 1950 Andi Azis menyerahkan diri. c. Peristiwa RMS di Maluku Didirikan oleh Dr. Soumokil (bekas Jaksa Agung NIT) pada 25 April 1950, gerakan ini tidak menginginkan Indonesia kembali ke negara kesatuan dan tidak menyetujui penggabungan KNIL ke dalam APRIS. Bekerjasama dengan Andi Azis di Makasar tentara KNIL melakukan intimidasi dan teror terhadap rakyat diAmbon. Pemerintah RIS berupaya menyelesaikan persoalan RMS dengan cara damai yang dipimpin oleh Dr. J. Leimena, akan tetapi usaha ini tidak berhasil sehingga dikirimlah pasukan yang dipimpin oleh Alex Kawilarang untuk meredam pemberontakan RMS pada 14 Juli 1950. Pada saat berupaya menguasai Ambon, pasukan APRIS dibagi menjadi 3 kelompok dengan pimpinan Mayor

Achmad Wiranatakusumah, Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Suryo Subandrio yang mendarat di Ambon pada 28 September 1950. Pertempuran terjadi dengan RMS yang bertahan di Benteng Nieuw Victoria dan berhasil menangkap Dr. Soumokil pada 12 Desember 1963 dan dijatuhi hukuman mati. Pergantian Antar Kabinet yang Cepat dalam Sistem Kabinet Parlementer Sejak RIS bubar, Indonesia berbentuk NKRI dengan berpedoman UUDS 1950 dan menganut demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi liberal berlaku sistem kabinet parlementer dengan ciri-ciri: - Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat - Kabinet dipimpin perdana menteri yang bertanggung jawab pada parlemen - Susunan anggota dan program kabinet didasarkan dengan suara terbanyak dalam parlemen - Masa jabatan kabinet tidak ditentukan dengan pasti - Kabinet dapat dijatuhkan pada setiap waktu oleh parlemen dan pemerintah juga dapat membubarkan parlemen Pada masa demokrasi liberal telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 7 kali. Tiap-tiap kabinet tidak dapat berumur panjang rata-rata hanya berumur 1 tahun, padahal idealnya pergantian 7 kali kabinet minimal akan menghabiskan waktu selama 35 tahun, jadi tidak mengherankan apabila program-program setiap kabinet tidak sempat dilaksanakan. Berikut kabinet yang pernah berkuasa diIndonesia pada masa demokrasi liberal: a. Kabinet Natsir (6 Oktober 1950 - 21 Maret 1951) Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi dan dilantik presiden pada 6 September 1950 dengan perdana menterinya Muhammad Natsir. Kabinet ini memiliki formasi yang kuat karena didukung para tokoh yang mempunyai keahlian dibidangnya seperti: Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Asaat, Ir. Djuanda dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Program kabinet Natsir antara lain: - Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman - Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan - Menyempurnakan organisasi angkatan perang - Mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat - Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat Kabinet Natsir merintis perundingan bilateral masalah Irian Barat dengan Belanda. Namun perundingan ini menemui jalan buntu sehingga dimanfaatkan partai oposisi PNI dengan mengajukan mosi (kepercayaan) tidak percaya, selain masalah Irian Barat mosi tidak percaya juga muncul terhadap persoalan pembentukan DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi. Mosi ini diajukan PNI pada 22 Januari 1951 dan dimenangkan oleh PNI, sehingga kabinet Natsir menyerahkan mandatnya kepada presiden pada 21 Maret 1951 a. Kabinet Sukiman-Suwiryo (21 April 1951 - 23 Februari 1952) 10 bulan

Pada 27 April 1951 dibentuklah kabinet baru yang merupakan koalisi partai PNI dan Masyumi dengan dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwiryo (PNI). Program kabinet Sukiman-Suwiryo antara lain: - Menjalankan tindakan tegas sebagai negara hukum guna menjamin negara hukum guna menjamin keamanan dan ketentraman - Mengusahakan kemakmuran rakyat secepat-cepatnya - Mempercepat persiapan pemilihan umum - Menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan secepat-cepatnya memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI Kabinet Sukiman-Suwiryo tidak berusia lama karena mendapat tentangan dari partai koalisinya dan sejak 23 Februari 1952 kabinet ini demisioner. Penyebab jatuhnya kabinet ini adalah karena ditandatanganinya bantuan ekonomi, teknik dan persenjataan dari Amerika Serikat atas dasar Mutual Security Act (MSA), ditafsirkan Indonesia telah memasuki blok barat dan bertentangan politik luar negeri bebas aktif. a. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953) 14 bulan Muncul gagasan untuk membentuk zaken kabinet (kabinet yang didukung menteri yang memiliki keahlian dibidangnya) dengan menunjuk Wilopo (PNI) sebagai perdana menterinya. Program Kabinet Wilopo antara lain: - Melaksanakan Pemilu secepatnya - Memajukan taraf hidup rakyat dan keamanan dalam negeri - Memperjuangkan pengembalian Irian Barat dan melaksanakan politik luar negeri bebas aktif menuju perdamaian dunia Semasa kabinet ini berkuasa timbul separatisme dan terjadinya peristiwa Tanjung Morawa (Sumatera Utara) yang ditunggangi PKI, sehingga parlemen bereaksi keras dan mengajukan mosi tidak percaya. a. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 24 Juli 1955) 2 tahun Dengan dukungan dari PNI dan NU, Mr. Ali Sastroamidjojo ditunjuk menjadi perdana menteri. Program kabinet Ali Sastroamidjojo I antara lain: - Keamanan, pemilu, kemakmuran, keuangan, organisasi negara, perburuhan, dan perundang-undangan - Pengembalian Irian Barat - Politik luar negeri bebas aktif Pada masa ini muncul gerakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan serta beberapa gerakan perlawanan di daerah. Kabinet Ali Sastroamidjojo I berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA). Penyebab jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo I adalah mosi tidak percaya menyangkut pergantian

pimpinan di AD, kabinet Ali Sastroamidjojo I dianggap tidak mampu menyelesaikan pertentangan pendapat antara pemerintah dengan TNI-AD. e. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 3 Maret 1956) 7 bulan Kabinet ini merupakan kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai partai inti. Program kabinet Burhanudin Harahap antara lain: - Mengembalikan kewibawaan pemerintah dengan memupuk kepercayaan Angkatan Darat - Pemilu, Desentralisasi, Mengatasi inflasi, Pemberantasan korupsi, Perjuangan Irian Barat - Memajukan kerjasama Asia-Afrika atas dasar politik bebas aktif Keberhasilan kabinet Burhanudin Harahap adalah suksesnya penyelenggaraan pemilu I dan pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) yaitu Abdul Haris Nasution. Kabinet ini jatuh karena dianggap telah menyelesaikan tugas menyelenggarakan pemilu I. f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 14 Maret 1957) 1 tahun Kabinet Ali Sastroamidjojo II merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU. Program kabinet Ali Sastroamidjojo II antara lain: - Merencanakan dan melaksanakan pembangunan 5 tahun - Mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI - Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II ternyata di daerah banyak terjadi gerakan separatis seperti: munculnya Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Lambung Mangkurat (Kalsel) dan Dewan Manguni (Sulut). Sehingga melemahkan kabinet. g. Kabinet Djuanda (9 April 1957 10 Juli 1959) 26 bulan Dengan menyusun program kerja yang disebut Pancakarya kabinet ini memprogramkan: - Membentuk dewan nasional - Normalisasi keadaan republik - Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB - Perjuangan Irian Barat - Mempergiat pembangunan Dewan nasional berfungsi sebagai dewan penasihat kabinet untuk memperlancar roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara. Dewan ini beranggotakan 45 orang dengan ketua adalah Ir. Soekarno. Tetapi kondisi negara semakin memburuk, terutama disebabkan oleh pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Oleh karena itu pada 10-14 September 1957 diselenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Munas berhasil mengambil keputusan yang intinya adalah saling pengertian untuk tetap membina persatuan

dan kesatuan bangsa dan negaraIndonesia. Namun upaya pemerintah ini dalam kenyataannya tidak berjalan mulus, pada 30 November 1957 terjadi percobaan pembunuhan terhadap presiden Soekarno yang terkenal dengan Peristiwa Cikini. Pada masa demokrasi liberal pergantian kabinet berlangsung terlalu cepat. Tokohtokoh politik saling berebut kursi politik dagang sapi, sehingga berdampak pada: - Setiap kabinet hampir tidak sempat menjalankan program yang direncanakan - Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin pudar - Kondisi negara menjadi tidak stabil karena pergolakan sosial politik diberbagai daerah belum tertangani 2. Terselenggaranya Pemilihan Umum 1955 a. Partai-partai Peserta Pemilu Pertama Partai politik adalah kelompok terorganisir yang mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Masa pergerakan nasional mahasiswa memiliki andil besar dalam upaya melahirkan partai-partai politik, apalagi setelah kelahiran Budi Utomo 1908 banyak partai yang bermunculan, seperti SI (Sarekat Islam), IP (Indische Partij) dsb. Partai-partai pada masa pergerakan nasional dari segi perjuanganya dapat dibedakan menjadi 2 macam: - Partai-partai radikal (non kooperatif) seperti SI, PNI, Perhimpunan Indonesia (PI), Indische Partij (IP), dan PKI. Partai-partai ini tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda dengan tidak mau duduk daalam Dewan Rakyat (Volksraad) bentukan Belanda. - Partai-partai moderat (kooperatif) seperti Budi Utomo, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Partai Indonesia Raya (Parindra), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Sedangkan bila dilihat aspek orientasinya dapat dibedakan dalam hal ekonomi (Sarekat Dagang Islam/SDI), agama (Sarekat Islam, PSII), nasionalis (Budi Utomo, PNI, PBI, Parindra, IP, Partindo, Gapi) dan sosialis (ISDV dan PKI). Partai-partai politik yang eksis pada masa radikal, gerak langkah perjuanganya selalu mendapat pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda melalui Politiek Inlichtingen Dienst (PID) sebagai dinas rahasia yang bekerja menindas kaum pergerakan. Keberadaan partai politik ketika itu amat diperlukan sebagai wadah perjuangan rakyat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang partai-partai politik dilarang berdiri. Semua kegiatan banyak diarahkan pada upaya memenangkan Perang Asia Timur Raya. Hanya organisasi sosial keagamaan yang mendapat kesempatan berdiri yaitu MIAI yang kelak berubah menjadi Masyumi. Izin yang diberikan Jepang terhadap MIAI berkaitan dengan upaya menarik simpati masyarakat islam agar membantu proyek perang Jepang.

Setelah kemerdekaan pemerintah RI memerlukan adanya DPR/MPR sebagai cerminan wakil rakyat yang sesuai dengan amanat UUD 1945. keberadaan DPR/MPR tidak terlepas dari kebutuhan perangkat partai politik. Pada gilirannya tiap partai politik tersebut akan berebut kursi untuk duduk di lembaga legislatif. Pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah 3 November 1945 yang intinya menyatakan pemerintah menghargai timbulnya partai-partai politik untuk menyalurkan aliran dan paham yang ada dalam masyarakat. Sejak saat itu lahirlah partai-partai politik yang hidup dengan partai-partai lama. Adapun partai-partai politik tersebut adalah: - Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dipimpin oleh dr. Sukiman sejak 7 November 1945 - Partai Komunis Indonesia (PKI) dipimpin oleh Moh. Jusuf sejak 7 November 1945 - Partai Buruh Indonesia (PBI) dipimpin oleh Nyono didirikan sejak 8 November 1945 - Partai Rakyat Jelata dipimpin oleh Sutan Dewanis didirikan sejak 8 November 1945 - Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dipimpin oleh Probowinoto didirikan 10 November 1945 - Partai Sosialis Indonesia (PSI) dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin didirikan 10 November 1945 - Partai Rakyat Sosialis (PRS) dipimpin oleh Sutan Syahrir didirikan 20 November 1945 - Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) dipimpin oleh I.J Kasimo didirikan 8 November 1945 - Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) dipimpin oleh JB. Assa didirikan 17 Desember 1945 - Partai Nasional Indonesia (PNI) dipimpin oleh Didik Joyosukarto sejak 29 Januari 1946 b. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pertama RI Sejak kembali ke NKRI sebagian partai-partai politik yang ada tidak bekerja sebagai penyalur aspirasi rakyat. Mereka hanya memperjuangkan kepentigan golongan atau pribadi. RakyatIndonesia menjadi frustasi melihat kepincangan politik, sehingga rakyat menuntut segera diadakan pemilihan umum. Persiapan pemilu mulai dirintis semasa kabinet Ali I dan pelaksanaannya dilakukan pada masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu pertama berlangsung 2 tahap yaitu: - Tahap pertama pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR - Tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota dewan konstituante (badan pembuat undang-undang dasar)

Dari 28 kontestan, pemilu pertama Indonesia memunculkan empat partai besar yaitu: Masyumi, PNI, NU dan PKI. Perolehan kursi DPR antara lain Masyumi 60, PNI 58, NU 47 dan PKI 32, sedangkan perolehan kursi dewan konstituante antara lain PNI 119, Masyumi 112, NU 91 dan PKI 80. 3. Latar Belakang Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkan a. Upaya Dewan Konstituante Menyusun UUD Tugas Dewan Konstituante adalah merancang UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. anggota dewan ini bersidang pada 10 November 1956, ternyata sampai tahun 1958 dewan konstituante belum berhasil merumuskan UUD. Hal ini disebabkan sering timbulnya perdebatan yang berlarut-larut, masing-masing partai mementingkan partainya. Sementara dikalangan masyarakat menuntut agar diberlakukannya kembali ke UUD 1945. menanggapi hal tersebut presiden Soekarno menyampaikan amanatnya di depan sidang dewan konstituante pada 25 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. amanat ini menjadi perdebatan dan akhirnya diputuskan melakukan pemungutan suara. 30 Mei 1959 pemungutan suara dengan hasil 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Tetapi suara terbanyak belum memenuhi kuorum (dua pertiga jumlah minimal anggota yang hadir) sehingga pemungutan suara harus diulang. Pemungutan suara kembali diadakan pada 1 dan 2 Juni 1959, tetapi selalu gagal mencapai kuorum, sehingga untuk meredam kebuntuan dewan konstituante memutuskan reses (istirahat dari kegiatan sidang). Kegagalan dewan konstituante menetapkan UUD baru tentu saja sangat membahayakan kelangsungan negara. Pemberontakan-pemberontakan di daerah terus bergejolak dan gangguan keamanan pun semakin gawat. Timbulnya ketidakstabilan negara itu disebabkan negara tidak memiliki pedoman konstitusi yang jelas. Untuk mencegah ekses yang membahayakan negara pada 3 Juni 1959 penguasa perang pusat (Letjen AH Nasution) atas nama pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang kegiatankegiatan politik. b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Setelah dewan konstituante gagal menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi RI, presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 yang berisi antara lain: - Pembubaran Dewan Konstituante - Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950 - Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya Dekrit presiden tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Kasad memerintahkan kepada segenap anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut. DPR dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaanya untuk terus bekerja dengan berpedoman kepada UUD 1945. c. Pengaruh Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Semenjak pemerintah RI menetapkan dekrit presiden 5 Juli 1959, Indonesia memasuki babak sejarah baru, yakni berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin. Menurut UUD 1945 demokrasi terpimpin mengandung pengertian kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Yang dimaksud permusyawaratan/perwakilan adalah majelis pemusyawaratan rakyat (MPR) sebagai pemegang kedaulatan. Dengan demikian harus dimaknai bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan sepenuhnya dilakukan oleh MPR. Namun makna ini kemudian ditafsirkan lain oleh pemerintah saat itu. Presiden Soekarno menafsirkan pengertian terpimpin sebagai suatu figur pimpinan yang memiliki peran menentukan dalam mengambil keputusan-keputusan yang tepat agar pemerintah dapat berjalan dengan baik. Akibatnya kekuasaan lebih banyak berpusat di tangan presiden daripada kekuasaan lembaga legislatif (DPR). Dalam perjalanan selanjutnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ditindaklanjuti dengan penataan bidang politik, sosial-ekonomi dan pertahanan keamanan. Sebagai realisasinya pada 20 Agustus 1959 Presiden Soekarno menyampaikan surat No.2262/HK/59 kepada DPR yang isinya menekankan kepada kewenangan presiden untuk memberlakukan peraturan negara baru. Selain ia juga harus membuat peraturan negara menurut UUD 1945. atas dasar peraturan negara baru tersebut, presiden membentuk lembaga negara seperti: MPRS, DPAS, DPR-GR, Kabinet Kerja dan Front Nasional. 1) Pembentukan MPRS Dibentuk melalui penetapan presiden No.2 Tahun 1959. keanggotaan MPRS terdiri atas anggota-anggota DPR sebanyak 261 orang, utusan daerah 94 orang dan wakil golongan sebanyak 200 orang. Susunan pimpinan MPRS adalah sebagai berikut: Ketua : Chaerul Saleh Wakil Ketua : Mr. Ali Sastroamidjojo Wakil Ketua : JH. Idham Khalid Wakil Ketua : DN Aidit Wakil Ketua : Wiluyo Puspoyudo Menurut penetapan presiden No.12 Tahun 1959, tugas MPRS hanya sebatas pada kewenangan menetapkan GBHN. Hal ini menunjukkan bahwa presiden berusaha membatasi kewenangan MPRS. Demikian pula tentang keberadaan semua pimpinan MPRS yang dalam praktiknya diangkat oleh presiden. Para pimpinan MPRS yang diangkat presiden tersebut adalah para menteri yang memegang departemendepartemen. Sebagai pimpinan MPRS sekaligus anggota kabinet. Hal ini berarti bahwa MPRS bukan lagi sebagai lembaga negara tertinggi. MPRS mempunyai kedudukan di bawah presiden. Dengan demikian kedaulatan rakyat berada di bawah presiden. Pada tahun 1960 1965 MPRS telah melakukan 3 kali persidangan yang dilaksanakan di Gedung Merdeka Bandung. Adapun sidang-sidang tersebut adalah: a. Sidang umum pertama (10 November 7 Desember 1960) menghasilkan ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 yang menetapkan manifesto politik

republik Indonesia sebagai GBHN, ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang garis-garis pola pembangunan nasional semesta berencana tahapan pertama 1961 1969. b. Sidang umum kedua (15 22 Mei 1963) diantaranya menghasilkan ketatapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden Soekarno/mandataris MPRS menjadi presiden seumur hidup. c. Sidang umum ketiga (11 16 April 1965) diantaranya menghasilkan ketetapan MPRS No. V/MPRS/1965 tentang pidato presiden Soekarno berjudul Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeriIndonesia. 2) Pembentukan DPAS Dibentuk berdasarkan penetapan presiden No.3 tahun 1959 antara lain: a. Anggota DPAS diangkat dan diberhentikan oleh presiden b. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pernyataan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah c. Anggota DPAS sebanyak 45 orang yang terdiri dari wakil golongan politik, ututsan daerah, wakil golongan dan seorang ketua. d. DPAS dipimpin oleh presiden sebagai ketua e. Sebelum memangku jabatan, wakil ketua dan anggota DPAS mengangkat sumpah/janji di hadapan presiden 3) Pembentukan DPR-GR Dibentuk melalui penetapan presiden No. 4 tahun 1960. DPR-GR dibentuk menggantikan DPR hasil pemilu 1955 yang dibubarkan presiden sejak 5 Maret 1960 karena menolak mengesahkan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) untuk tahun 1961 yang diajukan presiden. Semua anggota DPR-GR diangkat oleh presiden sebanyak 283 orang yang terdiri dari 153 mewakili partai dan 130 mewakili golongan-golongan. Menurut Penpres No.32 Tahun 1964, DPR-GR adalah sebagai pembantu presiden menurut bidangnya masing-masing dan melaporkan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. 4) Pembentukan Kabinet Kerja 10 Juli 1959 Kabinet Djuanda (kabinet karya) dibubarkan dan sebagai gantinya adalah kabinet kerja yang dipimpin oleh presiden (sebagai perdana menteri) dan Ir. Djuanda ditunjuk sebagai menteri pertama. Kabinet kerja mempunyai 3 program yaitu: mencukupi kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan negara dan melanjutkan perjuangan merebut Irian Barat. 5) Pembentukan Front Nasional Dibentuk dengan Penpres No.13 Tahun 1959 pada 31 Desember 1959. lembaga ini merupakan organisasi masa yang berusaha memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita bangsa seperti yang terkandung dalam UUD 1945. front Nasional diketuai oleh presiden Soekarno dengan tujuan: menyelesaikan revolusi nasionalindonesia,

melaksanakan pembangunan semesta nasinal dan mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah RI. PERISTIWA-PERISTIWA EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN Kondisi Ekonomi Indonesia Menjelang Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia yang baru berdiri mewarisi kondisi ekonomi yang kacau akibat pendudukan Jepang. Awal kemerdekaan, kondisi ekonomi dilanda inflasi. Penyebabnya adalah mata uang Jepang beredarnya mata uang Jepang yang tidak terkendali. Pemerintah RI belum bisa menyatakan bahwa mata uang Jepang tidak berlaku, karena belum memiliki uang sendiri sebagai penggantinya. Untuk sementara pemerintah mengakui beredarnya 3 mata uang yaitu mata uang De Javanche Bank, mata uang Hindia Belanda dan mata uang Jepang. Situasi perekonomian diperparah dengan adanya blokade laut oleh Beland sejak kedatangannya kembali keIndonesia bersama sekutu. Dalam upaya untuk mengatasi hal tersebut pemerintah RI melalui menteri keuangan (Ir. Surachman) mengeluarkan kebijakan pinjaman nasional yang disetujui oleh BPKNIP. Pinjaman itu direncanakan akan mencapai Rp. 1.000.000.000. yang dibagi dalam dua tahap. Pinjaman akan dibayar kembali selambatnya dalam waktu 40 tahun. Ternyata kebijakan pemerintah mendapat sambutan dan dukungan yang baik dari rakyat. Buktinya pemerintah berhasil mengumpulkan uang sejumlah pegadaian. Sukses yang dicapai ini merupakan suatu ukuran bagi besarnya kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah dan aparatnya. Pada 6 Maret 1946 Belanda mengumumkan pemberlakuan uang baru yaitu mata uang NICA untuk menggantikan mata uang Jepang.Pemerintah RI mengingatkan kepada masyarakat bahwa di wilayah RI hanya berlaku 3 mata uang sebagaiman yang telah diumumkan pada 1 Oktober 1945. sebagai tindak lanjut pemerintah mengeluarkan uang kertas baru yang dinamai Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Sejak saat itu terjadi penukaran 1.000 mata uang Jepang ditukar dengan Rp. 1 mata uang ORI. Kebijakan pemerintah ini cukup memperbaiki kondisi ekonomi Indonesiakendatai belum memperbaiki keadaan seluruhnya. Pemerintah RI selanjutnya mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946 dan mendirikan Banking and Trading Corporation (BTC). BTC berhasil mengadakan kesepakatan dagang dengan perusahaan swasta Amerika Serikat-Isbrantsen Inc yang bersedia membeli gula, karet, teh dll dari Indonesia. Konferensi ekonomi pertama (Feb 1946) dan kedua (6 Mei 1946) diselenggaarakan dalam upaya untuk menanggulangi masalah ekonomi. Kebijakan yang berhasil dibuat antara lain yaitu mendirikan Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (PPBM-kemudian sekarang dikenal dengan Bulog), pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) pada 19 Januari 1947 atas usul dr. AK Gani (menteri kemakmuran). Kebijakan Planning Board antara lain: menyatakan semua banguan umum, perkebunan dan industri yang sebelum perang milik negara jatuh ke tangan pemerintah RI. Bangunan umum vital milik asing akan dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti rugi. Perusahaan modal asing akan dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian RI-Belanda. Ternyata usaha Planning Board ini belum membawa hasil yang diharapkan, sehingga menteri urusan bahan

makanan IJ Kasimo merencanakan kegiatan ekonomi selama lima tahun yang terkenal dengan Plan Kasimo. Isi Plan Kasimo adalah anjuran untuk memperbanyak kebun bibit dan padi unggul. Penyembelihan hewan pertanian harus dicegah dan tanah kosong harus ditanami kembali, transmigrasi penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera. Kebijakan-kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan Gunting Syarifudin Adalah pemotongan nilai mata uang (sanering) diatas Rp. 2,50 menjadi setengahnya, ini dilakukan pada 20 Maret 1950 oleh menteri keuangan RIS Syarifudin Prawiranegara. Program Benteng (Benteng Group) Dr. Sumitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Untuk itu perlu ditumbuhkan pengusaha-pengusaha pribumi agar dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Pemerintah mencoba berperan dalam membantu memberikan bantuan kredit dan memberikan bimbingan konkret. Gagasan Sumitro tersebut selanjutnya dituangkan dalan program kabinet Natsir. Program benteng dimulai pada April 1950 dan selama 3 tahun tidak kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit, akan tetapi program ini tidak berjalan mulus karena karena pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dan mentalitas pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif. Nasionalisasi de Javasche Bank Ketentuan dalam KMB mengenai De Javasche Bank sangat merugikan bangsa Indonesia. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa suatu peraturan pemerintah Indonesia tentang De Javasche Bank dan pemberian kredit dari De Javasche Bank kepada pemerintah Indonesia harus dikonsultasikan kepada pemerintah Belanda. Pada 19 Juni 1951 kabinet sukiman membentuk panitia nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan keputusan pemerintah RI No.122 dan 123 tanggal 12 Juli 1951 pemerintah menghentikan Dr. Houwink sebagai presiden De Javasche Bank dan mengangkat Mr. Syarifudin Prawiranegara sebagai presiden De Javasche Bank yang baru. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesiasebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi. Sistem Ekonomi Ali Baba Atas prakarsa Mr. Iskaq Cokrohadisuryo menteri perekonomian dalam kabinet Ali Sastroamijoyo I. kabinet ini memprioritaskan kebijakan Indonesianisasi dengan mengutamakan pertumbuhan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Dalam sistim ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba sebagai pengusaha non pribumi. Untuk memajukan ekonomi Indonesia perlu ada kerja sama antara pengusaha pribumi dan non pribumi. Pengusaha non pribumi diwajibkan memberikan latihan dan tanggung jawab kepada tenagatenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduk jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-uasaha swata nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan asing. Program ini tidak berjalan mulus karena

pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek) Pada masa pemerintah kabinet burhanudin harahap Indonesia mengirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial ekonomi antaraIndonesia dengan Belanda. Misi dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan finansial ekonomi yaitu: - Persetujuan finek hasil KMB dibubarkan - Hubungan finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral - Hubungan finek didasarkan pada UU nasional dan tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangi rencana persetujuan ini, maka pemerintah RI mengambil langkah sepihak dengan melakukan pembubaran Uni IndonesiaBelanda pada tanggal 13 Februari 1956. hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Pada 3 Mei 1956 presiden Soekarno menandatangai undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sementara itu pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaanperusahaan tersebut. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) Ketidakstabilan politik dan ekonomi menjadi penyebab terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, Pemerintah membentuk badan perencanaan pembangunan nasional yang disebut Biro Perancang Negara untuk merencanakan pembangunan jangka panjang dengan Ir. Djuanda sebagai menteri perancang nasional. Bulan Mei 1956 biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. RUU rencana pembangunan ini disetujui oleh DPR pada 11 November 1958. pada tahun 1957 akibat perubahan politik dan ekonomi sasaran dan prioritas RPLT ini diubah dalam Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). RPLT tidak berjalan dengan baik karena: - Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot - Perjuangan membebaskan Irian barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolah ekonomi - Adanya ketegangan antara pusat dan daerah, sehingga banyak daerah yang melakukan kebijakan ekonominya sendiri-sendiri Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat diredakan dengan diadakannya Munap. Ir. Djuanda memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembanguan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena kesulitan dalam menentukan prioritas. Selain itu

masih belum redanya ketegangan politik antara pusat dengan daerah menjadi penyebab macetnya rencana pembangunan tersebut.

You might also like