You are on page 1of 7

Soal Ujian Akhir Semester MSDM

Tahun Ajaran 2006/2007

Dikumpulkan : 2 Juli 2007 Jam 10.00 WIB via email (ronny01@runbox.com) atau
dikumpulkan di Tata Usaha Teknik Industri UNS

Soal 1 (60%)

Downloadlah jurnal atau artikel yang membahas mengenai permasalahan MSDM (jurnal
harus dilampirkan) dimana dalam pembahasannya harus melibatkan minmal 3 (tiga) topic
pembahasan MSDM (contoh: recruitment, seleksi dan training). Kemudian lakukanlah
hal-hal sebagai berikut:
a. sebutkan topik dan teori apa saja yang digunakan
b. bagaimana penjelasan atau uraian teori yang digunakan tersebut
c. berilah komentar/tanggapan/analisa terhadap jurnal tersebut.

Soal 2 (40%)

Saudara diminta untuk memberikan komentar terhadap kedua artikel dibawah ini
(sifatnya tanggapan, bukan menyalin ulang).

Artikel 1

Mengukur Efektivitas Training & Development

38 Mei 2007

Di sebuah arena diskusi internal sebuah perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia, J


Siregar (49) hanya bisa termangu kehilangan kata-kata ketika ia diberondong pertanyaan
peserta kelasnya. Pria yang yang kerap tampil sebagai pemberi materi dalam kelompok
diskusi terbatas soal SDM itu gelagapan ketika digugat tentang efektivitas sebuah
pelatihan, pengembangan atau training.

Sebagaian peserta diskusi menganggap aktivitas bahkan keberadaan sebuah institusi


pelatihan di sebuah perusahaan dianggap tidak efektif. Mahalnya biaya training dianggap
tidak sebading dengan hasil yang diperoleh. Waktu yang dikeluarkan tidak sepadan
dengan apa yang diberikan. Sehingga hujatan itu bermuara pada kalimat training tidak
ada gunanya? Kalau training tidak ada gunanya, buat apa ada divisi training?

Namun bagi sebagian peserta lainnya pendapat itu sangat tidak berdasar. Mereka
menganggap, training masih sangat berguna untuk kemajuan perusahaan. Mereka
menyebut Acer terus meningkat bisnisnya sebesar 40% karena pengembangan
kompetensi dari timnya. ICON+ maju pesat sejak fokus pada pelatihan dan human capital
stategies. Citibank makin sukses dan tidak pernah diam seminggupun tanpa training.

Bank Niaga apalagi, training center di gunung geulis penuh sepanjang tahun, maka tidak

1
heran terpilih sebagai Employer of Choice. Unilever juga sangat mementingkan training
untuk seluruh jajarannya. LippoBank dengan LB Academy nya sukses sekali dan
mendapat sambutan yang sangat positif dari seluruh karyawan di Indonesia, manajemen
sangat dihargai karena sangat memperhatikan pengembangan karyawan dari segi
softskills maupun hardskills.

Tengok HSBC, salah satu perintis industri keuangan modern di banyak negara di Asia itu
memanjakan aktivitas itu untuk terus mengembangkan sayapnya. Astra juga dikenal
menjadi raksasa di Indonesia karena banyak sekali menyiapkan program-program
pembelajaran untuk para karyawannya.

Lalu, apa rahasia sukses dari perusahaan-perusahaan yang sangat mendukung strategi
training dan development? Apakah biaya training itu racun, obat atau vitamin?
Bagaimana menilai bahwa biaya itu efektif, tidak buang-buang investasi dan bisa
menghasilkan untuk perusahaan? Yang terpenting apakah pola pola seperti ini masih
efektif untuk tetap dilakukan oleh perusahaan yang ingin berkembang tanpa harus jor-
joran menyisihkan bujet perusahaan?
Mengenai soal kebutuhan, kebanyakan pengamat menganggap masih diperlukan
keberadaan divisi training & development di sebuah perusahaan. Managing Director PT
Multi Talent Indonesia Irwan Rei termasuk yang menyatakan hal itu. ”Jelas masih perlu.
Selama perusahaan masih memiliki visi, misi dan tujuan yang ingin
dicapai dan ada kapabilitas organisasi yang ingin dibangun maka pelatihan maupun divisi
training akan diperlukan oleh perusahaan,” ujar Irwan.

Hanya saja bagi Irwan, pengelolaan training bisa saja diserahkan ke pihak di luar
perusahaan (outsourcing) selama ini dapat memberikanbnilai tambah bagi perusahaan.
”Yang penting pengelola training dapat membangun program yang efektif atau sesuai
dengan kompetensi maupun kapabilitas organisasi yang ingin dibangun,” terangnya.
Dalam kenyataannya, banyak organisasi yang menyerahkan program pelatihannya ke
pihak eksternal, terutama untuk kompetensi kompetensi yang sifatnya umum, seperti
kompetensi Kerja-sama Tim, Kepemimpinan dll. Namun untuk kompetensi-kompetensi
yang sifatnya khusus dan menjadi ”kekuatan” perusahaan, maka program pelatihan
umumnya dijalankan di dalam dan oleh perusahaan itu sendiri.

Efektivitas training

Untuk soal yang satu ini, soal efektifitas dan bagaimana mengukurnya, pendapat yang
muncul cukup beragam.
Direktur SDM PT Aneka Tambang, Syahrir Ika melihat ada beragam ukuran untuk
mengukur efektivitas dari sebuah training. “Efektifits training itu kan memang ada
ukurannya macam-macam,” terang Syahrir ketika ditemui di Jakarta pertengahan bulan
lalu. Menurut pria yang juga Ketua Umum Perhimpunan Manajemen Sumberdaya
Manusia (PMSM) itu, untuk mengukur efektivitas itu ada yang menggunakan ukuran cost
terhadap revenue. “Ada yang
5% dari revenue dipakai untuk learning,” ucapnya. Ukuran lainnya adalah peningkatan
kompetensi daripada orang-orang itu. “Jadi training yang bagus itu bisa dibikin lebih

2
efisien, tapi menghasilkan.

Syaratnya perusahaan itu harus punya standar kompetensi,” tambahnya. Heru Wiryanto,
salah satu pakar dan praktisi SDM itu memiliki pendapat lain. “Kalau melihat training
sebagai panacea dan satu satunya obat untuk pengembangan ya salah,” ujarnya kepada
HC.

Kenapa salah, karena menurut pengajar di beberapa perguruan tinggi terkemuka itu, dari
beberapa riset justru 60% ditentukan job assignment, 30% coaching counseling and feed
back dan 10% only from training. “ Nah kalau merujuk hasil hal tersebut kan
efektifitasnya hanya 10%,” tambah Heru.

Selain itu, sumber kesalahan kedua adalah pada level analisa kebutuhan training. Selama
ini menurut kacamata Heru, kebanyakan praktisi SDM melakukan analisa berdasarkan
weakness bukan berdasar kekuatannya. “Bagaimanapun kita tidak akan bisa melatih
anjing agar bisa meski trainingnya 25 tahun. Karena weakness
anjing adalah memang tidak bisa nyanyi,” jelasnya panjang lebar.

Dari situ bagi Heru terlihat, dimana letak kesalahannya. “Untuk development, 80%
strength, 15% trainable potential, dan hanya 5% weakness. Nah kalau konsentrasinya di
15% +5% terus impact-nya hanya 10% kan bisa dihitung secara matematis +/- 20% X
10%= impact training hanya 2% saja Wow....amazing kan,” ungkapnya antusias.
Sehingga agar agar training bisa berjalan efektif sehingga hasilnya sesuai dengan yang
diharapkan, Heru menyarankan agar pelatihan itu berbasis strength based bukan
weakness based. Kemudian harus dilink antara business startegi dengan kegiatan training,
jika menggunakan causal chain analysis justru mulai dari business
goal menuju training, jangan dibalik.

Soal kemungkinan melesetnya efektivitas training dari yang diharapkan juga diakui oleh
Irwan Rei. ”Hal ini dapat saja terjadi karena pengadaan training tidak disesuaikan dengan
apa yang memang dibutuhkan oleh perusahaan dan atau pelaksanaan trainingnya itu
sendiri yang kurang pas,” ungkap Irwan yang juga berkacamata.

Menurut pandangannya, program training selayaknya dibangun berdasarkan kompetensi


yang diperlukan di dalam suatu jabatan. ”Ujung-ujungnya tujuan training adalah untuk
membangun kapabilitas organisasi di dalam mencapai visi dan misinya,” ujarnya. Dan
tanpa ada dasar yang jelas mengenai kapabilitas dan kompetensi yang ingin dibangun
oleh organisasi maka training bisa menjadi tidak efektif hasilnya dan menjadi
pemborosan bagi perusahaan.

Hal lain yang juga menurut Irwan Rei penting, soal pelaksanaan training nya itu sendiri
yang perlu disesuaikan dengan jenis kompetensi yang ingin dibangun. Ada jenis
kompetensi yang memerlukan pelatihan yang umumnya perlu dilakukan dalam jangka
panjang, seperti Kepemimpinan dan Kemampuan berkomunikasi.

Sumber: http://www.portalhr.com/majalah/edisiterbaru/fokus/1id655.html

3
Artikel 2
Satu dari 5 Karyawan Keluar setelah Dua Tahun Bekerja

Rabu, 08 November 2006

Fenomena “job shock” yang umum dialami para tenaga profesional yang baru pertama
kali menginjakkan kaki di dunia kerja perlu dicermati oleh pengusaha. Sebuah survei
tentang tingkat “erosi” pekerja menyatakan, satu dari lima karyawan meninggalkan
pekerjaannya dalam dua tahun pertama bekerja.

Survei dilakukan oleh lembaga riset Sirota Survey Intelligence (SSI) di Inggris terhadap
47 ribu karyawan. “Banyak pemimpin perusahaan yang luput menyadari bahwa
karyawan baru adalah orang-orang yang memiliki antusias tinggi untuk memulai karir,
dan perilaku manajemen telah merusak antusiasme itu,” ujar Presiden SSI Douglas Klein.

“Penelitian kami memperlihatkan angka penurunan pada moral karyawan setelah mereka
bekerja di sebuah organisasi selama enam bulan, dan penurunan ini menjadi lebih buruk
ketika mereka mengevaluasi antara apa yang mereka harapkan dan apa yang mereka
dapat. Perusahaan yang baik tidak menciptakan situasi yang bisa mengakibatkan
penurunan moral ini,” tambah dia.

Tidak Sesuai

Menurut chairman emeritus SSI David Sirota, masa “bulan madu” antara karyawan baru
dengan perusahaan tempat mereka pertama kali bekerja tidak menemukan kesesuaian
dengan harapan. “Dua tahun pertama bekerja adalah masa ketika karyawan merasa bahwa
pekerjaan mereka sesuai dengan harapan, di samping bahwa pengusaha telah membuat
mereka percaya selama proses rekrutmen,” kata Sirota.

Namun, sambung dia, sikap dan perilaku manajemen dalam usaha meretensi karyawan,
membuat perasaan dan percaya diri karyawan baru berantakan. "Perusahaan sebaiknya
invest dalam meningkatkan keterampilan memimpin para menajernya dan menciptakan
lingkungan di mana karyawan merasa dihargai oleh atasan mereka,” saran Sirota.

Lebih jauh, menurut analisis yang dilakukan berdasarkan hasil penelitian tersebut,
perusahaan-perusahaan dapat meningkatkan retensi karyawan baru dari 10% menjadi
13% dengan menerapkan kebijakan dan praktik manajemen yang lebih efektif. Termasuk,
menyediakan pekerjaan yang lebih menantang, jalur karir yang jelas dan kesempatan
yang lebih besar untuk berkembang.

Tak kalah penting, pengusaha perlu menciptakan atmosfir di mana staf merasa dihargai
dan terjamin –melibatkan mereka dalam usaha-usaha menuju kinerja yang baik,
mendengar ide-ide mereka dan menjalankannya. Para manajer juga harus mengubah
perilaku mereka dan lebih konsisten dengan ucapan dan perilaku mereka.

Untuk menghindari kesamaan judul artikel/jurnal, dimohon mengisi isian dibawah :

4
DAFTAR JUDUL TAKE HOME TEST MSDM
REGULER & EKSTENSI

No Nama Judul Artikel / Jurnal

5
6
7

You might also like