You are on page 1of 19

ARSITEKTUR TRADISIONAL BATAK

Mitologi Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewadewi yang dianut oleh orang Batak. Agama Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak. Kepercayaan Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan Batak.

Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen-elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa serta bahwa jiwa tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya.

Suku Batak sendiri terbagi dari: 1. Batak Toba (Tapanuli) : mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah mengunakan bahasa Batak Toba. 2. Batak Simalungun : mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa Batak Simalungun. 3. Batak Karo : mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan bahasa Batak Karo 4. Batak Mandailing : mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing 5. Batak Pakpak : mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa Pakpak. Toba PUSUK BUHIT Simalungun Karo Pakpak Mandailing Angkola.

Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb: Suku Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak.

Namun demikian, Ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa etnis Batak bukan hanya 5, akan tetapi sesungguhnya ada 11 [sebelas], ke 6 etnis batak tersebut adalah : 1. Batak Pesisir, 2. Batak Angkola, 3. Batak Padang lawas, 4. 4.Batak Melayu, 5. 5.Batak Nias, 6. 6.Batak Alas Gayo.

Sebelas dari sub etnis Batak adalah: 1. Batak TOBA ,di- Kab.Tapanuli Utara, Tengah, Selatan 2. Batak SIMALUNGUN,di- Kab.Simalungun,sebelah Timur danau Toba 3. Batak KARO,di- Kab Karo, Langkat dan sebagian Aceh 4. Batak PAKPAK [Dairi],di- Kab Dairi dan Aceh Selatan 5. Batak MANDAILING,di- Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi 6. Batak PASISIR,di- Pantai Barat antara Natal dan Singkil 7. Batak ANGKOLA,di- Wilayah Sipirok dan P. Sidempuan\ 8. Batak PADANGLAWAS ,di- Wil. Sibuhuan, A.Godang, Rambe, Harahap \ 9. Batak MELAYU,di- WiL Pesisir Timur Melayu \ 10. Batak NIAS,di- Kab/Pulau Nias dan sekitarnya \

11. Batak ALAS GAYO,di- Aceh Selatan,Tenggara, Tengah Yang disebut wilayah Tanah Batak atau
Tano Batak ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara. Seandainya tidak mengikuti pembagian daerah oleh Belanda [politik devide et impera] seperti sekarang, Tanah Batak konon masih sampai di Aceh Selatan.

AGAMA DAN KEPERCAYAAN


AGAMA PARMALIM
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah dewa-dewa. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).

Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah Debata, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut Ompu Na Bolon (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia.

Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa Ompu Nabolon ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi Mula Jadi Nabolon atau Tuan Mula Jadi Nabolon. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno.

Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata Debata yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi Debata Mula Jadi Nabolon.

Parmalim sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas pribadi itu lebih populer dari Ugamo Malim sebagai identitas lembaganya Berjuang bagi Parmalim bukan hal baru, karena leluhur pendahulunya dari awal dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan. Perjuangan dimulai sejak Raja Sisingamangaraja menyatakan tolak kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya

Raja Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim, sebuah agama kepercayaan yang lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja. Kini pusat agama Parmalim terbesar berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer dari kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Orang lebih mengenalnya sebagai Parmalim Hutatinggi. Di desa ini ada rumah ibadah orang Parmalim yang disebut Bale Pasogit.

Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar setiap tahunnya yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada ini dilakukan saat masuk tahun baru Batak yang dimulai setiap bulan Maret. Dan Sipaha Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara bulan juni-juli.

Dalam upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban seperti layaknya orang muslim, sarung dan Ulos (selendang batak). Sementara yang wanitanya bersarung dan mengonde rambut mereka. Semua acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok Naipospos.

Kakek Raja Marnokkok adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu utama Sisingamangaraja XI. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang termasuk yang bukan orang batak. Mereka tersebar di 39 tempat di Indonesia termasuk di Singkil Nanggroe Aceh Darussalam.

Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh para Missionaris dari Jerman yang bernama Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)di huta Dame, Tarutung. Sekarang ini gereja HKBP ada dimana-mana di seluruh Indonesia yang jemaatnya mayoritas suku Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya terwujud dalam Debata Natolu. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:

TONDI

Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

SAHALA

Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

BEGU

Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK


Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk suatu daerah perkampungan yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2 rumah, yaitu rumah jantan dan rumah betina. Rumah jantan terletak disebelah selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal, sedangkan rumah betina terletak di sebelah utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan padi..

Nenek moyang bangsa Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak yaitu jabu na marampang na marjual. Ampang dan Jual adalah tempat mengukur padi atau biji bijian seperti beras/kacang dll. Jadi Ampang dan Jual adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah Adat itu ada ukurannya, memiliki hukum hukum, aturan aturan, kriteria kriteria serta batas batas.

Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada wilayah (daerah) yang di atur oleh hukum hukum. Ruangan Ruma Batak itu biasanya di bagi atas 4 wilayah (bahagian) yaitu: 1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk rumah, daerah ini biasa di tempati oleh keluarga tuan rumah. 2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di tempati oleh anak anak yang belum akil balik (gadis) 3. Jabu Suhat ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah ini di tempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah yang di ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang belum memiliki rumah menempati jabu suhat. 4. Jabu Tampar Piring ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan pintu masuk. Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu tampar piring atau jabu soding jolo-jolo.

Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah antara Jabu Bona dan Jabu Tampar Piring, inilah yang dinamai Jabu Tongatonga Ni Jabu Bona. Dan wilayah antara Jabu Soding dan Jabu Suhat disebut Jabu Tongatonga Ni Jabu Soding. Disebut Rumah Bolon karena suku batak toba sangat percaya akan Tuhan mereka yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi rumah bolon berarti rumah Tuhan Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6 (enam), makanya ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat) atau RIA di dalam rumah sering mengatakan sampai pada saat ini; Marpungu hita di jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na marsangap na martua on.

Aspek-aspek Metafisik atau Spiritual yang menjadi Norma Utama


Begitu banyak aspek-spek spiritual yang menjadi norma utama dalam bangunan adat batak Toba ini. Salah satu contohnya adlah mengenai keharusan jumlah anak tangga yang berjumlah ganjil. Jika berjumlah genap, maka akan membawa kesialan bagi keluarga penghuni rumah tersebut.

Bagian dari bangunan ini yang terdiri dari bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah juga menandakan bahwa adanya ketiga jenis kehidupan yang dipercayai.

Bentuk-Bentuk Simbolik atau Lambang Kebudayaan atau Ide untuk Mengekspresikan Makna pada Denah Anatomi dan Tampak
Rumah batak toba dihiasi dengan symbol symbol yang diukir di hampir seluruh bangunan rumah bolon. Gorga gorga tersebut memiliki arti dan maknanya tersendiri. Dan teknik ragam hias untuk mebuat gorga tersebut terdiri dari cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk mengukir digunakan pisau tajam dengan alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu. Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri dari batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan arang. Tiang yang berjumlah banyak mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan.

Ornamentasi dan dekorasi dari rumah adat Batak Toba mengandung nilai filosofi bagi keselamatan penghuni. Lokasi elemen rumah yang dihias berada pada gevel, pintu masuk, sudut-sudut rumah, bahkan ada yang sampai berada di keseluruhan dinding. Hiasan ini dapat berupa ukiran, dapat diberi warna, atau hanya berupa gambar saja. Tiga elemen warna yang penting adalah merah, putih dan hitam. Merah melambangkan pengetahuan/kecerdasan, putih melambangkan kejujuran/kesucian dan hitam melambangkan kewibawaan/kepemimpinan.

Dinding rumah dibuat miring, berpintu dan jendela yang terletak di atas balok keliling. Atap rumah berbentuk segitiga dan bertingkat tiga, juga melembangkan rukut-sitelu. Pada setiap puncak dan segitiga-segitiga terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya. Pinggiran atap sekeliling rumah di semua arah sama, menggambarkan bahwa penghuni rumah mempunyai perasaan senasib sepenanggungan. Bagian atap yang berbentuk segitiga terbuat dari anyaman bambu disebut lambe-lambe. Biasanya pada lambe-lambe dilukiskan lambang pembuat dari sifat pemilik rumah tersebut, dengan warna tradisional merah, putih dan hitam. Hiasan lainnya adalah

pada kusen pintu masuk. Biasanya dihiasi dengan ukiran telur dan panah. Tali-tali penginkat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan.

Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati. Potongan yag lebih rendah dari dinding yang miring pada setiap sisi pintunya di penuhi dengan papan tiang jendela vertikal yang memberikan masuknya cahaya dan angin.

Bagian bagian Rumah Batak Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian : 1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk) 2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang 3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau).

Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat (ugasan homitan).

Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah : 1. Banua toru (bawah) 2. Banua tonga (tengah) 3. Banua ginjang (atas) Selanjutnya suku Batak Toba yang lama telah berkeyakinan bahwa ketiga dunia (banua) itu diciptakan oleh Maha Dewa yang disebut dengan perkataan Mula Jadi Na Bolon. Seiring dengan pembagian alam semesta (jagad raya) tadi yang terdiri dari 3 bagian, maka orang Batak Toba pun membagi/ merencanakan ruma tradisi mereka menjadi 3 bagian.

Rumah tradisi mempunyai tiga tingkat sesuai dengan tingkat kosmos, demikian tulisan Achim Sibeth. Atap rumah tradisi itu adalah ijuk (serat batang pohon enau) yang 20 cm rapi dan berseni. Di bawah ijuk ada disusun dengan tebal lais-lais kecil yang banyak, bahannya diambil dari pohon enau juga dinamai hodong. Di atas ijuk tersebut ditaruh dengan lidi tarugit itu bukan asal diletakkan semuanya, disusun dengan seni Batak tertentu sehingga bagian atas ruma Batak itu nampak gagah, anggun, dan berseni. ATAP Atap Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang melengkung menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang kencang.

Atap terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah setempat. Suku batak menganggap Atap sebagai sesuatu yang suci, sehingga digunakan untuk menyimpan pusaka mereka. BADAN RUMAH Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia tengah, dunia tengah melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak, tidur, bersenda gurau. Bagian badan rumah dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk menolak bala. PONDASI

Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu sebagai tumpuan

dari kolom kayu yang berdiri diatasnya.

Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang fleksibel,

sehingga tahan terhadap gempa


Tiang yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan Mengapa memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih banyaknya batu

ojahan dan kayu gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan belum ditemukannya alat perekat seperti semen

DINDING

Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali

pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati. ORGANISASI RUANG Bentuk-bentuk ruang ruang dimana posisinya dalam ruang diatur oleh pola grid, hal ini dapat dilihat dari kolom-kolom yang tersusun secara modular pada denah. KESEIMBANGAN Keseimbangan pada rumah batak toba adalah simetris, baik pada denah maupun fasade bangunan, hal ini dapat dilihat jika kita menarik garis lurus tepat pada as gambar denah dan fasade SIRKULASI RUANG Sirkulasi Ruang pada rumah batak toba adalah tersamar, karena harus melewati jalan lurus sebelum berbelok ke bangunan utamanya PINTU MASUK BANGUNAN Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.

Denah

Tampak

Potongan

Detail Potongan

Detail Pondasi Umpak Simetris Fasade

NILAI FILOSOFI RUMAH ADAT BATAK


Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.

Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan seharihari, dalam rangka pergaulan antar individu.

Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.

Proses Mendirikan Rumah.

Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan mangarade. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan.

Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak Toba dikenal sebagai marsirumpa suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.

Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada pande (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan

mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk Ruma atau Sopo.

Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut mamingning.

Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang Jabu bona. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang jabu soding yang seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang jabu suhat dan si tampar piring.

Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah marsitiktik. Yang pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona.

Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan hot di ojahanna dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit dijungjung.

Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari pandingdingan yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan Ndang tartea sahalak sada pandingdingan sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.

Pandingdingan dipersatukan dengan parhongkom dengan menggunakan hansing-hansing sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan Hot di batuna jala ransang di ransangransangna dan hansing di hansing-hansingna, yang berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.

Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut bungkulan ditopang oleh tiang ninggor. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh sitindangi, dan penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai sijongjongi. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.

Dibawah atap bagian depan ada yang disebut arop-arop. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebut Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan.

Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada songsong boltok. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati.

Ombis-ombis terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi urur yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebut Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.

Pemanfaatan Ruangan

Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak disebut papan. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan gulang-gulang. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.

Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan talaga. Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang mengatakan Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.

Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tersebut dinamai sebagai songkor. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat pargonsi (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.

Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk untuk panggung tempat yang disebut pangabang, biasanya

dipergunakan

menyimpan

padi,

dimasukkan dalam bahul-bahul. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan ompon. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai Parbahul-bahul na bolon. Dan ada juga falsafah yang mengatakan Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.

Melintang di bagian tengah dibangun para-para sebagai tempat ijuk yang kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat parlabian digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.

Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan tangga yang berada di sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk Ruma dulu kala berada di tampunak. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan. Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan Tangga rege-rege.

Gorga

Disebelah depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran yang disebut dengan gorga dan terdiri dari beberapa jenis yaitu gorga sampur borna, gorga sipalang dan gorga sidomdom di robean.

Gorga itu dihiasi (dicat) dengan tlga warna yaitu wama merah (narara), putih (nabontar) dan hitam (nabirong). Warna merah melambangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih melambangkan ketulusan dan kejujuran yang berbuah kesucian. Wama hitam melambangkan kerajaan dan kewibawaan yang berbuah kepemimpinan.

Sebelum orang Batak mengenal cat seperti sekarang, untuk mewarnai gorga mereka memakai batu hula untuk warna merah, untuk warna putih digunakan tano buro (sejenis tanah liat tapi berwana

putih), dan untuk warna hitam didapat dengan mengambil minyak buah jarak yang dibakar sampai gosong. Sedangkan untuk perekatnya digunakan air taji dari jenis beras yang bernama Beras Siputo.

Disamping gorga, rumah Batak juga dilengkapi dengan ukiran lain yang dikenal sebagai singa-singa, suatu lambang yang mengartikan bahwa penghuni rumah harus sanggup mandiri dan menunjukkan identitasnya sebagai rnanusia berbudaya. Singa-singa berasal dari gambaran sihapor (belalang) yang diukir menjadi bentuk patung dan ditempatkan di sebelah depan rumah tersebut. Belalang tersebut ada dua jenis yaitu sihapor lunjung untuk singa-singa Ruma dan sihapor gurdong untuk rumah Sopo.

Hal ini dikukuhkan dalam bentuk filsafat yang mengatakan Metmet pe sihapor lunjung di jujung do uluna yang artinya bahwa meskipun kondisi dan status sosial pemilik rumah tidak terlalu beruntung namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga integritas dan citra nama baiknya.

Perabot Penting

Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah ampang yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian pudi. Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk adat yang telah lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa panguhatan adalah sebagai tempat air untuk keperluan memasak.

Di sebelah bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas pandingdingan dibuat pangumbari yang gunanya sebagai tempat meletakkan barang-barang yang diperlukan sehari-hari seperti kain, tikar dan lain-lain. Falsafah hidup yang disuarakannya adalah Ni buat silinjuang ampe tu pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni ampehon tali-tali.

Untuk menyimpan barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai harga yang mahal biasanya disimpan dalam hombung, seperti sere (emas), perak, ringgit (mata uang sebagai alat penukar), ogung, dan ragam ulos seperti ragi hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi harangan, ragi huting, marmjam sisi, runjat, pinunsaan, jugia so pipot dan beraneka ragam jenis tati-tali seperti tutur-tutur, padang ursa, tumtuman dan piso halasan, tombuk lada, tutu pege dan lain sebagainya.

Karena orang Batak mempunyai karakter yang mengagungkan keterbukaan maka di kala penghuni rumah meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada acara yang bersifat kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini disebut dengan ungkap hombung yang disaksikan oleh pihak hula-hula.

Untuk keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan barang-barang yang disebut dengan rumbi yang fungsinya hampir sama dengan hombung hanya saja ukurannya lebih kecil dan tidak semewah hombung.

Sebagai tungku memasak biasanya terdiri dari beberapa buah batu yang disebut dalihan. Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku tempat memasak menjadi dua, sehingga dapat menanak nasi dan lauk pauk sekaligus.

Banyak julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang kesudiannya untuk menerima tamu dengan hati yang senang yaitu paramak so balunon yang berarti bahwa amak (tikar) yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi tamu terhormat jarang digulung, karena baru saja tikar tersebut digunakan sudah datang tamu yang lain lagi. Partataring so ra mintop menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi selalu mempunyai bara api tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu gesit dan siap sedia dalam menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.

Parsangkalan so mahiang menandakan bahwa orang Batak akan berupaya semaksimal mungkin untuk memikirkan dan memberikan hidangan yang bernilai dan cukup enak yang biasanya dari daging ternak.

Untuk itu semua maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan mencukupi untuk dapat hidup sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai mata pencaharian yang memadai, sehingga disebut Parrambuan so ra marsik.

Tikar yang disebut amak adalah benda yang penting bagi orang Batak. Berfungsi untuk alas tidur dan sebagai penghangat badan yang dinamai bulusan. Oleh karena itu ada falsafah yang mengatakan Amak do bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum martulang gabe uhum marbere

KESIMPULAN
Batak adalah nama sebuah suku bangsa di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara. Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya bisasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Palbegu atau Parbegu).

Rumah Bolon merupakan rumah adat Batak yang biasa digunakan sebagai tempat berkumpulnya para keluarga atau untuk acara-acara adat.

Rumah Batak memiliki dasar filosofi yang mendalam yang mendukung fungsi dan struktur bangunan yang sesuai dengan alam lingkungan di tanah batak. Kalau kita melihat bangunan rumah batak ini banyak hal yang menginspirasi kita mengenai filosofi fisika bangunan raja-raja batak terdahulu.

Beberapa hal yang khas yang dimiliki rumah batak yang dikenal dengan Ruma Bolon ini dapat kita lihat dari beberapa bagian pada bangunan antara lain : tangga, atap, dinding, kolong, system ruang, ornament-ornamen bahkan warna-warna yang dipakai pun, semuanya mengandung makna dan maksud tertentu.

Keunikan fisik yang terlihat pun dapat menarik perhatian para arsitek untuk mengambil konsep pada rumah bolon. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa bangunan khususnya di Kota Medan yang menggunakan konsep rumah bolon, misalnya atap, ornament ataupun lainnya. Biarlah Rumah Bolon tetap menjadi peninggalan budaya arsitektur yang sangat luar biasa.

TERIMA KASIH.

DAFTAR PUSTAKA

Ama Morlan Simanjuntak (Panggorga), http://tanobatak.wordpress.com R B Marpaung, http://tanobatak.wordpress.com Insinyur Dullah, http://insinyurdullah.blogspot.com

You might also like