Professional Documents
Culture Documents
Pengertian
Menurut bahasa berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang
terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela. Adapun asal kata al-hayaa u (malu)
berasal dari kata al-hayaatu (hidup), juga berasal dari kata al-hayaa (air hujan).
Sedangkan menurut istilah adalah akhlaq yang sesuai dengan sunnah yang
membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk sehingga akan
menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan kemalasan untuk
menjalankan hak Allah.
Kedua, hadits di atas merupakan ancaman, artinya lakukan apa saja yang kau
inginkan karena sesungguhnya Allah akan membalas semua perbuatanmu.
Ketiga, lihatlah kepada apa yang ingin engkau lakukan. Jika tidak termasuk yang
membuat malu maka lakukanlah, jika termasuk yang membuat malu, maka
tinggalkanlah.
Keempat, hadits di atas mendorong pada sifat malu dan memuji keutamaannya.
Artinya karena seseorang tidak boleh berprilaku semata-mata mengikuti kehendak
hatinya, maka ia tidak boleh meninggalkan sifat malunya.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa malu membatasi antara seorang hamba
dengan semua larangan atau kemaksiatan. Maka dengan kuatnya rasa malu makin
lemahlah kecenderungan seseorang untuk terjerumus dalam kemaksiatan.
Sebaliknya dengan lemahnya rasa malu makin kuatlah keinginan seseorang untuk
melakukan kemaksiatan.
1
HR. Bukhari dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu (Fathul Baari VI/515, X/527)
2
Fathul Baari oleh Ibnu Hajar VI/523, al Minhaaj fi Syu’abil Iiman oleh al-Hulaimi III/232
Ketahuilah, Allah memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari
keinginan-keinginannya sehingga tidak berprilaku seperti binatang. Ingatlah
ketika Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang lalu nampaklah aurat
keduanya.
“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya Telah
merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya
dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku Telah melarang kamu
berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi kamu berdua?" (Qs. Al-A’raaf : 22)
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia merasa malu jika
tidak berpakaian. Dan tidaklah manusia itu memamerkan auratnya tanpa pakaian
kecuali fitrahnya telah rusak. Sedangkan rusaknya fitrah adalah akibat gangguan
iblis dan tentaranya.3
Adapun orang yang berupaya menelanjangi badan dari pakaian, melucuti jiwa
dari pakaian ketakwaan dan menghilangkan sifat malu kepada Allah dan
manusia, mereka itulah yang menginginkan manusia lepas dari fitrahnya dan
sifat-sifat kemanusiaannya. Padahal dengan fitrah dan sifat kemusiaannya itulah
ia di sebut sebagai manusia.
Sesungguhnya telanjang adalah sifat asli dari hewan, manusia tidak punya
kecenderungan kepadanya, jika sampai ada tentulah akan terjerumus dalam
Lumpur kehewanan.
“… dan akan aku (syaitan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
mengubahnya…” (Qs. An-Nisa’ : 119)
Ajakan tipu daya tersebut dituruti saja oleh para wanita yang terbiasa berbusana
‘telanjang’. Ketaatan seperti itu menghinakan pelakunya dan sekaligus membuat
orang tertawa dan menangis. Merekalah wanita-wanita yang terbius, terbujuk,
terpedaya oleh tipu daya syaitan berwujud manusia. Bahkan bisa jadi hewan yang
hina sekalipun ikut menjelek-jelekan perilaku mereka yang mengikuti tren.
Disisi lain mereka juga dijadikan sarana pemuas syahwat terlarang yang merusak
keluarga. Tampil dalam lembaran-lembaran majalah, filem-filem, kisah-kisah dan
berita-berita dalam surat kabar. Seolah-olah majalah, surat kabar atau yang lainnya
dikemas sebagai tempat pelacuran yang berpindah-pindah.
Jika ada wanita yang ingin menjaga kehormatannya, mereka tatap dengan
pandangan penuh kebencian bagaikan penglihatan orang yang pingsan karena
takut mati.
Wahai Saudariku janganlah engkau menjadi penolong syaitan yang celaka dan
berpegang teguhlah pada Agama Allah dan kekuasaan-Nya.
Jenis-Jenis Malu
Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk Ketaatan dan
menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut di cela
Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati
kemaksiatan. Oleh karena itulah malu merupakan sebagian dari iman.
Nabi shollallahu’alaihi wassallam bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang
lebih, yang paling utama adalah ucapan laa ilaaha illallah (tiadak illah yang berhak
diibadahi dengan benar selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Dan rasa malu termasuk salah satu cabang iman.”4
4
HR Bukhari (Fathul Baari I/51), HR Muslim (Syahr An-Nawawi I/6), lafadz di atas milik Muslim
dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu.
5
Hadits Shahih riwayat Abu Dawud (4012), an-Nasa-I (I/200), Ahmad (IV/224) dari Ya’la bin
Umayyah radhiallahu’anhu.
6
Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah (4181), al-Khara-ithi dalam Makaarimul Akhlaaq (49), ath-
Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghiir (I/13-14) hadits dari Anas.
7
HR. Bukhari (Fathul Baari X/521), Muslim Syahr an-Nawawi II/6-7)
8
HR. Bukhari (Fathul Baari I/74)
9
Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Hibban 1929, al-Hakim I/52, Ahmad II/501 dari banyak
jalan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari (I/52) berkata, “an tidak
boleh dikatakan bahwa bisa jadi malu itu menjadi penghalang untuk berkata yang
benar, atau mengerjakan kebaikan karena malu yang seperti itu bukan malu yang
syar’I (sesuai syariat)”
Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Tidak akan bisa mencari ilmu (dengan
benar) orang yang malu mencarinya dan orang-orang yang sombong.”11
10
Fathul Baari (I/228), Syarah Shahih Muslim li Imam an-Nawawi (IV/15-16)
11
Fathul Baari (I/228)