You are on page 1of 6

Malu

Menurut al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih


Oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali

Pengertian

Menurut bahasa berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang
terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela. Adapun asal kata al-hayaa u (malu)
berasal dari kata al-hayaatu (hidup), juga berasal dari kata al-hayaa (air hujan).

Sedangkan menurut istilah adalah akhlaq yang sesuai dengan sunnah yang
membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk sehingga akan
menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan kemalasan untuk
menjalankan hak Allah.

Makna tersebut dijelaskan dalam hadits Nabi shollallahu’alaihi wassallam,


“Sesungguhnya termasuk yang didapati manusia dari perkataan para nabi terdahulu
adalah, ‘Jika engkau tidak malu maka lakukanlah sekehendakmu’”1

Terdapat beberapa penjelasan ulama mengenai hadits ini, diantaranya 2:

Pertama, bentuk hadits di atas adalah perintah tapi maksudnya adalah


pemberitaan. Hal ini di karenakan sebagai pencegah utama agar manusia tidak
terjerumus ke dalam kejahatan adalah sifat malunya. Maka jika ia meninggalkan
sifat malunya, ia seakan-akan di perintahkan untuk mengerjakan semua larangan.

Kedua, hadits di atas merupakan ancaman, artinya lakukan apa saja yang kau
inginkan karena sesungguhnya Allah akan membalas semua perbuatanmu.

Ketiga, lihatlah kepada apa yang ingin engkau lakukan. Jika tidak termasuk yang
membuat malu maka lakukanlah, jika termasuk yang membuat malu, maka
tinggalkanlah.

Keempat, hadits di atas mendorong pada sifat malu dan memuji keutamaannya.
Artinya karena seseorang tidak boleh berprilaku semata-mata mengikuti kehendak
hatinya, maka ia tidak boleh meninggalkan sifat malunya.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa malu membatasi antara seorang hamba
dengan semua larangan atau kemaksiatan. Maka dengan kuatnya rasa malu makin
lemahlah kecenderungan seseorang untuk terjerumus dalam kemaksiatan.
Sebaliknya dengan lemahnya rasa malu makin kuatlah keinginan seseorang untuk
melakukan kemaksiatan.
1
HR. Bukhari dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu (Fathul Baari VI/515, X/527)
2
Fathul Baari oleh Ibnu Hajar VI/523, al Minhaaj fi Syu’abil Iiman oleh al-Hulaimi III/232

Diringkas oleh Abu Luthfi Ar-Rasyid


Malu
Menurut al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih
Oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali

Malu adalah Ciri Khas Keutamaan Manusia

Ketahuilah, Allah memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari
keinginan-keinginannya sehingga tidak berprilaku seperti binatang. Ingatlah
ketika Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang lalu nampaklah aurat
keduanya.

“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya Telah
merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya
dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku Telah melarang kamu
berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi kamu berdua?" (Qs. Al-A’raaf : 22)

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia merasa malu jika
tidak berpakaian. Dan tidaklah manusia itu memamerkan auratnya tanpa pakaian
kecuali fitrahnya telah rusak. Sedangkan rusaknya fitrah adalah akibat gangguan
iblis dan tentaranya.3

Adapun orang yang berupaya menelanjangi badan dari pakaian, melucuti jiwa
dari pakaian ketakwaan dan menghilangkan sifat malu kepada Allah dan
manusia, mereka itulah yang menginginkan manusia lepas dari fitrahnya dan
sifat-sifat kemanusiaannya. Padahal dengan fitrah dan sifat kemusiaannya itulah
ia di sebut sebagai manusia.

Sesungguhnya telanjang adalah sifat asli dari hewan, manusia tidak punya
kecenderungan kepadanya, jika sampai ada tentulah akan terjerumus dalam
Lumpur kehewanan.

Anehnya, para pembantu syaitan yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin


memberikan nama-nama kepada para muslimah di rumah, di jalan, di sekolah
atau di mana saja yang mengenakan jilbab, kerudung atau baju yang tebal, julukan
yang menyakitkan (fanatik, ortodok dan lainnya). Padahal wanita muslimah tidak
mengenakannya kecuali untuk menjaga kemuliaannya, menjaga auratnya dan agar
tumbuh darinya seluruh fitrah islami yang murni, serta agar jelas perbedaan
dirinya dengan mereka yang telanjang seperti hewan.

Perhatikanlah, dampak yang di timbulkan dari tempat-tempat mode, para


desainer pakaian, salon-salon rias dan guru-gurunya terhadap kaum muslimah
jaman sekarang, mereka melancarkan tipu daya dengan berbagai corak dan rupa,
sebagaiman firman Allah Ta’ala,
3
Maqaami’usy Syaithaan (hal 25-26) oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali,

Diringkas oleh Abu Luthfi Ar-Rasyid


Malu
Menurut al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih
Oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali

“… dan akan aku (syaitan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
mengubahnya…” (Qs. An-Nisa’ : 119)

Ajakan tipu daya tersebut dituruti saja oleh para wanita yang terbiasa berbusana
‘telanjang’. Ketaatan seperti itu menghinakan pelakunya dan sekaligus membuat
orang tertawa dan menangis. Merekalah wanita-wanita yang terbius, terbujuk,
terpedaya oleh tipu daya syaitan berwujud manusia. Bahkan bisa jadi hewan yang
hina sekalipun ikut menjelek-jelekan perilaku mereka yang mengikuti tren.

Mereka tidak menyadari bahwa mereka hanyalah digunakan sebagai propaganda


obyek bisnis, apabila sudah tidak berguna lagi maka dicampakkan.

Disisi lain mereka juga dijadikan sarana pemuas syahwat terlarang yang merusak
keluarga. Tampil dalam lembaran-lembaran majalah, filem-filem, kisah-kisah dan
berita-berita dalam surat kabar. Seolah-olah majalah, surat kabar atau yang lainnya
dikemas sebagai tempat pelacuran yang berpindah-pindah.

Jika ada wanita yang ingin menjaga kehormatannya, mereka tatap dengan
pandangan penuh kebencian bagaikan penglihatan orang yang pingsan karena
takut mati.

Wahai Saudariku janganlah engkau menjadi penolong syaitan yang celaka dan
berpegang teguhlah pada Agama Allah dan kekuasaan-Nya.

Diringkas oleh Abu Luthfi Ar-Rasyid


Malu
Menurut al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih
Oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali

Jenis-Jenis Malu

Terdapat banyak jenis-jenis malu, diantaranya :

Malu kepada Allah,


Ketahuilah sesungguhnya celaan Allah itu diatas seluruh celaan. Dan pujian Allah
subhanahu wata’ala itu diatas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang
dicela oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh
Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain.

Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk Ketaatan dan
menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut di cela
Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati
kemaksiatan. Oleh karena itulah malu merupakan sebagian dari iman.

Nabi shollallahu’alaihi wassallam bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang
lebih, yang paling utama adalah ucapan laa ilaaha illallah (tiadak illah yang berhak
diibadahi dengan benar selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Dan rasa malu termasuk salah satu cabang iman.”4

Malu kepada Manusia,


Termasuk jenis malu adalah malunya sebagian manusia kepda sebagian yang lain.
Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya,
orang bodoh kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-
terangan menyatakan ingin menikah.

“Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, bahwasannya ia berkata, ‘wahai Rasulullah


Shollallahu'alaihi Wa Sallam, sesungguhnya gadis itu malu. Maka Rasulullah
Shollallahu'alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Persetujuannya diketahui dari diamnya’”.

Malunya seseorang terhadap dirinya,


Dan ini salah satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi
dan mulia, sehingga ia tidak puas dengan kekurangan , kerendahan dan kehinaan.
Karena itu engkau akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya
sendiri, seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu
kepada yang lain.
Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri saja sudah
demikian malu, apalagi terhadap orang lain.

4
HR Bukhari (Fathul Baari I/51), HR Muslim (Syahr An-Nawawi I/6), lafadz di atas milik Muslim
dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu.

Diringkas oleh Abu Luthfi Ar-Rasyid


Malu
Menurut al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih
Oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali

Keutamaan-Keutamaan Sifat Malu

Allah mencintai sifat malu,


“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemalu dan Maha Menutupi. Dia mencintai
rasa malu dan ketertutupan.”5

Malu adalah akhlaq Islam,


“Sesungguhnya setiap agama itu berakhlaq, Sedangkan akhlaq agama islam
adalah malu.”6

Termasuk bagian dari iman,


Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu, bahwasannya Rasulullah Shollallahu'alaihi Wa
Sallam melewati seorang laki-laki dari sahabat Anshar sedang menasehati
temannya tetang rasa malu. Lalu Rasulullah Shollallahu'alaihi Wa Sallam
bersabda, “Biarkan ia, sesungguhnya malu merupakan bagian dari iman”7

Sifat malu mendatangkan kebaikan,


“Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”8

Sifat malu menghantarkan ke surga


“Malu itu bagian dari iman. Dan iman tempatnya di surga, sedangkan ucapan keji
termasuk bagian dari tabiat kasar, tabiat kasar itu tempatnya di neraka.”9

5
Hadits Shahih riwayat Abu Dawud (4012), an-Nasa-I (I/200), Ahmad (IV/224) dari Ya’la bin
Umayyah radhiallahu’anhu.
6
Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah (4181), al-Khara-ithi dalam Makaarimul Akhlaaq (49), ath-
Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghiir (I/13-14) hadits dari Anas.
7
HR. Bukhari (Fathul Baari X/521), Muslim Syahr an-Nawawi II/6-7)
8
HR. Bukhari (Fathul Baari I/74)
9
Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Hibban 1929, al-Hakim I/52, Ahmad II/501 dari banyak
jalan.

Diringkas oleh Abu Luthfi Ar-Rasyid


Malu
Menurut al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih
Oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali

Perkara-Perkara yang Dapat Meningkatkan Rasa Malu

Muraqabatullaah (merasa terus diawasi Allah),


Kapan saja seorang hamba itu merasa Allah sedang melihat kepadanya dan berada
dekat dengannya, ia akan mendapatkan ilmu ini (muraqabatullaah) karena rasa
malunya kepada Allah.

Mensyukuri nikmat Allah,


Sifat malu akan muncul dengan memikirkan nikmat Allah yang tidak terbatas,
pada hakikatnya orang yang berakal akan merasa malu untuk menggunakan
nikmat Allah untuk berbuat maksiat kepadanya.

Perkara-Perkara yang Tidak Termasuk Malu

Tidak berkata atau tidak terang-terangan dalam kebenaran,


Allah berfirman,
“… dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar …” (Qs. Al-Ahzaab : 53)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari (I/52) berkata, “an tidak
boleh dikatakan bahwa bisa jadi malu itu menjadi penghalang untuk berkata yang
benar, atau mengerjakan kebaikan karena malu yang seperti itu bukan malu yang
syar’I (sesuai syariat)”

Imam an-Nawawi rahimahullah, dalam Syahr Shahih Muslim (II/5), “Terjadi


masalah pada sebagian orang yaitu orang yang pemalu kadang-kadang merasa
malu untuk memberitahukan kebaikan kepada orang yang ia hormati. Akhirnya ia
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Terkadang sifat malunya membuat ia
melalaikan sebagian apa yang menjadi haknya dan hal-hal lain yang biasa terjadi
dalam kebiasaan sehari-hari.”

Malu dalam mencari ilmu’


‘Aisyah berkata,
“Sebaik-baik wanita adalah para wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi
mereka mendalami ilmu agama”10

Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Tidak akan bisa mencari ilmu (dengan
benar) orang yang malu mencarinya dan orang-orang yang sombong.”11

10
Fathul Baari (I/228), Syarah Shahih Muslim li Imam an-Nawawi (IV/15-16)
11
Fathul Baari (I/228)

Diringkas oleh Abu Luthfi Ar-Rasyid

You might also like