You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia agak tersendat dengan berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda berusaha menekan umat Islam dengan menghambat pemberlakuan hukum Islam secara resmi dengan dibuatnya aturan-aturan yang sangat merugikan umat Islam. Dinamika pemberlakuan hukum Islam di Indonesia digambarkan dengan munculnya berbagai teori yang dikemukakan oleh para ahli (sejarawan), seperti teori penerimaan autoritas hukum dari H.A.R. Gibb (Ichtijanto, 1991: 114), teori receptio in complexu dari L.W.C. van den Berg (Ichtijanto, 1991: 120), teori receptie dari C. Snouck Hurgronje yang kemudian dikembangkan oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar (Ichtijanto, 1991: Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia agak tersendat dengan berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda berusaha menekan umat Islam dengan menghambat pemberlakuan hukum Islam secara resmi dengan dibuatnya aturan-aturan yang sangat merugikan umat Islam. Dinamika pemberlakuan hukum Islam di Indonesia digambarkan dengan munculnya berbagai teori yang dikemukakan oleh para ahli (sejarawan), seperti teori penerimaan autoritas hukum dari H.A.R. Gibb (Ichtijanto, 1991: 114), teori receptio in complexu dari L.W.C. van den Berg (Ichtijanto, 1991: 120), teori receptie dari C. Snouck Hurgronje yang kemudian dikembangkan oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar (Ichtijanto, 1991: seperti dalam pembuatan UU Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970) yang dilanjutkan dengan pemberlakuan UU Peradilan Agama (UU No. 7 tahun 1989), UU Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960), UU Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961), dan UU Pokok Kepolisian (UU No. 13 tahun 1961). Pada tahun 1991 pemerintah Indonesia memberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. KHI ini terdiri dari tiga buku yang semuanya merupakan bagian dari hukum perdata Islam, yakni buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan. KHI ini merupakan pegangan para hakim agama dalam memeriksa dan mengadili perkaraperkara yang menjadi wewenangnya di Pengadilan Agama. KHI ini hanya berlaku bagi umat Islam yang berperkara dalam hal perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dengan demikian, jelaslah bahwa KHI yang merupakan kumpulan aturanaturan mengenai hukum Islam di Indonesia belum menjangkau semua bidang yang ada dalam bagian hukum Islam. Salah satu AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial 1


bidang yang sama sekali tidak disinggung dalam hal ini adalah hukum pidana Islam. Oleh karena itu, jika umat Islam berperkara dalam hal pidana atau kriminal, tidak bisa ditemukan aturannya dalam KHI tersebut, bahkan Pengadilan Agama tempat diterapkannya KHI tidak mempunyai wewenang mengadili masalah-masalah yang menyangkut pidana yang dilakukan oleh umat Islam. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hukum pidana Islam tidak bisa atau belum bisa diberlakukan di Indonesia? Atau, mengapa hukum pidana Islam belum memberikan kontribusi bagi pembuatan hukum pidana nasional? Tentu saja, jawabannya bisa bervariasi, tergantung siapa yang memberikan jawaban atas masalah ini. Tulisan ini mencoba mengungkap prospek hukum pidana Islam di Indonesia dengan melihat kondisi Indonesia sekarang ini. Dari hari ke hari di tengahtengah masyarakat selalu diwarnai oleh tindak kriminal. Hukum pidana yang diberlakukan sekarang nampaknya belum dapat membuat para pelaku tindak kriminal jera dan takut, tetapi sebaliknya malah memberi peluang untuk melakukannya dengan cara dan taktik yang lebih canggih untuk dapat terhindar dari jeratan hukum pidana yang ada. Kalaupun sampai dipidana, para pelaku kejahatan tidak mendapatkan sanksi hukum yang berat.

1.2 Rumusan Masalah Perumusan masalah yang penulis coba angkat dalam penulisan makalah ini ialah : 1. Apa pengertian poligami dalam islam dan bagaimanakah pandangan islam terhadap poligami ? 2. Apa hukum poligami dalam islam ? 3. Apa syarat-syarat yang memperbolehkan poligami dalam islam ?
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulis dalam mengangkat masalah tentang poligami dalam makalah ini ialah : Memberikan penjelasan tentang pengertian poligami kepada masyarakat umum. Menjelaskan hukum dan pandangan islam terhadap permasalahan poligami yang telah terjadi dalam masyarkat. Sebagai salah satu tugas akademik yang diberikan dosen pengampu dalam mengambil mata kuliah Agama II. Sebagai sarana pembelajaran dan diskusi dalm forum akademik maupun non akademik.
1.4 Sistematika Pembahasan.

BAB I PENDAHULUAN AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial 2


1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 sistematika Pembahasan. BAB II PEMBAHASAN BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan 3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial


BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hukum islam Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Dasar dan kerangka hukum Islam ditetapkan oleh Allah. Hukum ini mengatur berbagai hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya (Mohammad Daud Ali, 1996: 39). Hukum Islam mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam 2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam. 3. Mempunyai dua istilah kunci yakni: a) syariat, b) fikih Syariat terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syariah; 4. Terdiri dari dua bidang utama yakni: a) ibadat. b) muamalat Ibadat bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalat dalam arti yang luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa ke masa; 5. Strukturnya berlapis, terdiri dari: a. nas atau teks Al-Quran b. sunnah Nabi Muhammad (untuk syariat) c. hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang Al-Quran dan as-Sunnah d. pelaksanaannya dalam praktek, baik berupa keputusan hakim, maupun berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk fikih); 6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala; 7. Dapat dibagi menjadi: a. hukum taklifi atau hukum taklif yakni al-ahkam al-khamsah yaitu lima kaidah, lima jenis hukum, lima kategori hukum, lima penggolongan hukum yakni jaiz, sunnat, makruh, wajib, dan haram. b. hukum wadhi yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum (M.D. Ali, 1996: 52-53). c. Selain ciri-ciri di atas, menurut T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam (1975: 156 - 212) sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali (1996: 53), hukum Islam juga mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut: 8. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu masa saja; 9. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan. 10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak umat Islam.

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial


B. Tujuan hukum islam. Adapun yang menjadi Tujuan Hukum Islam secara umum sering dirumuskan untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut almaqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shariah (tujuan-tujuan hukum Islam) (M.D. Ali, 1996: 53-54). C. Karakteristik Hukum Islam. Sebagai sebuah agama penyempurna, Islam datang dengan membawa aturan dan hukum untuk umat manusia. Hukum yang ada di dalam Islam adalah berdasarkan ketetapan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Oleh karena itu, terdapat berbagai perbedaan antara hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia. Hukum Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik khusus, antara lain sebagai berikut: 1. Hukum Islam didasarkan pada wahyu Ilahi Keistimewaan hukum Islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Maka setiap mujtahid dalam melakukan istimbath (penggalian) hukum-hukum syara' selalu merujuk pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahami ruh syari'at, tujuantujuannya secara umum, Kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum. 2. Hukum Islam bersifat komprehensif Hukum Islam bersifat komprehensif, yakni mencakup seluruh tuntutan kehidupan manusia. Disini akan sangat tampak kelebihan hukum Islam dibanding dengan undang-undang yang lain, karena hukum Islam mencakup tiga aspek hubungan, yaitu manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan masyarakatnya. 3. Hukum Islam terkait dengan masalah akhlak/moral Hukum Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia terpengaruh dengan tatanan moral, bahkan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammmad, bahwa Islam datang untuk menyempurnakan akhlak/moral manusia. Hal ini sangat berbeda dengan hukum positif buatan manusia yang hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip moral. 4. Adanya orientasi kolektivitas dalam hukum Islam Artinya, dalam hukum Islam itu selalu menjaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Ooleh karena itu, kemaslahatan yang bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual terutama ketika terjadi peretentangan antara keduanya.

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial


5. Hukum Islam berbicara tentang halal-haram Dalam hukum Islam selalu ada pemikiran mengenai halal-haram terhadap setiap tindakan, tidak hanya pada persoalan-persoalan yang bersifat duniawi, tapi juga yang bersifat ukhrawi. Hukum duniawi titik tekannya adalah pada hal-hal yang tampak atau eksoteris dan tidak mempersoalkan hal-hal yang bersifat esoteris. Dan itulah yang disebut keputusan hukum (al hukmu al qada'i) dari seorang hakim. Oleh karena itu seorang hakim hanya memutuskan hukum berdasarkan bukti-bukti formal saja.oleh karena itu, sebenarnya keputusan hakim tidak dapat merubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya. 6. Hukuman bagi pelanggar hukum di dunia dan akhirat Ciri khusus lain yang membedakan hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia adalah bahwa hukum Islam memberikan sangsi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud yang sudah ditentukan maupun ta'zir yang yang tidak ditentukan, dan hukuman akhirat. D. Asas-Asas hukum Islam Asas berasal dari bahasa Arab (Asasun) yang artinya dasar, basis, pondasi. Jika dihubungkan dengan hukum maka asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. a) Asas-asas umum Asas keadilan Dalam Surat Shad (38) ayat 26 :


(26) Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu. Asas kepastian hukum Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu. Asas kemanfaatan Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial


b) Asas dalam lapangan hukum pidana Asas legalitas Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. Asas praduga tak bersalah Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. c) Asas dalam lapangan hukum perdata Asas kebolehan (mubah) asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Quran dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat. Asas kemaslahatan hidup Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Quran dan Sunnah. Asas kebebasan dan kesukarelaan Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat. Asas kebajikan Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan fihak ketiga dalam masyarakat. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati , kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial


Asas adil dan berimbang Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan. Asas mendahulukan kewajiban dari hak Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu. Asas kemampuan berbuat atau bertindak Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal. Asas kebebasan berusaha Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Asas mendapatkan sesuatu karena usaha dan jasa Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor. Asas perlindungan hak Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya. Asas hak milik berfungsi social Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Asas yang beritikad baik harus dilindungi Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu. Asas resiko dibebankan pada harta tidak pada pekerja. Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial 8


tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian. Asas mengatur dan memberi petunjuk Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi. Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi. E. Mazhab dalam fiqih 1. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni : 1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Quran 2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena rayu. Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW1. Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabiin, muncullah generasi Tabiit Tabiin. Ijtihad para Sahabat dan Tabiin dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabiit Tabiin. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah. Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab
1

http://diaz2000.multiply.com

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial


muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab Mazhab Hanafi, Maliki, Syafiie dan Hambali seperti yang ada sekarang. Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang Ahlu Sunnah, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Said bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Numan bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auzaie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sad (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafiie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) 2. Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih3. 1) Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. 2) Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41
2 3

Munim A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Risalah Gusti:Surabaya, Cet.2, 2006. Hal. 79 http://www.cybermq.com

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial

10


H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. 3) Periode awal pertumbuhan fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut. 4) Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial 11


muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan almaslahah al-mursalah. 5) Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut. Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja. Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang

memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq. 6) Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial 12


l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta. Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak

bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani). Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial

13


perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi. F. Prospek Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Tantangannya. Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para perumus bangsa (The Founding Fathers) kita sudah merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada pluralitas penduduk Indonesia, rencana itu tidak terwujud dan kemudian menjadian Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Perkembangan politik hukum di Indonesia sudah menjalani pertumbuhan dengan memperhatikan pengaruh dari faktor nilai-nilai kemasyarakatan dan keagamaan. Maka sudah waktunya para ulama dan kaum cendekiawan Muslim turut menegaskan kaidah agama, agar para penganutnya tidak lagi melanggar ajaran agamanya dengan cara self inforcement. Penegakan hukum (kaidah) agama secara preventif ini sangat membantu pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement) negara secara preventive represive. Tujuannya adalah agar masyarakat memahami dan menaati kaidah hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan demikian, syariah Islam bukan hanya didakwahkan, tetapi juga dilaksanakan melalui penegakan hukum preventif (bukan represif) guna mengisi kelemahan hukum pidana positif (A. Malik Fajar, 2001: 18). Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19 Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih pluralistis, yakni Undangundang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta yang dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang (Bustanul Arifin, 2001: 46). Sejak Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan berlaku melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945 dengan Undangundang No. 1 tahun 1946. Dalam pasal III disebutkan bahwa perkataan Nederlansch-Indie atau Nederlandsch-Indisch (e) (en) harus dibaca dengan Indonesie atau Indonesche, yang selanjutnya menjadi Indonesia. Dalam pasal VI (1) dinyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht. Kemudian dalam ayat (2) kitab hukum itu diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang menjadi dasar sehingga UU No. 1 tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini berlaku secara resmi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958 (Abdullah, 2001: 246). Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrument hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis, mana hukum pidana yang dapat ditegakkan? (Abdullah, 2001: 246). Ketiadaan HPI secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI secara legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan ijtihad pada ulama (kitab-kitab fikih). Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia, termasuk AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial 14


dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari semakin merebak di tengahtengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi. Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena itu, sanksi yang tegas seperti yang ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam beberapa kasus terlihat antusiasme masyarakat kita untuk segera menerapkan ketentuan pidana Islam, namun karena tidak diizinkan oleh aparat pemerintah keinginan untuk melaksanakannya tidak terwujud. Namun demikian, bukan berarti apa yang selama ini diterapkan oleh pengadilan di Indonesia seluruhnya bertentangan dengan HPI. Ada beberapa putusan pengadilan kita yang terkadang sama dan sesuai dengan ketentuan HPI, seperti hukuman mati dan langkah awal pemberlakuan sanksi pidana cambuk seperti yang diberlakukan di Nanggro Aceh Darussalam akhir-akhir ini. Telah bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru yang dapat disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan disiapkannya RUU KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga termuat materi-materi yang bersumberkan pada hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan. RUU ini juga sudah beberapa kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam forum sidang-sidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para pengak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari RUU tersebut. Pengintegrasian HPI ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal prinsip-prinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana kita. Misalnya, tindak pidana perzinaan dan meminum minuman keras tidak mesti harus dihukum dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Yang paling prinsip adalah bagaimana kedua contoh bentuk perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana yang tidak sesuai dengan prinsip dan moralitas Islam. Hal ini, menurut Masykuri Abdullah (Salim, 2001, 259), merupakan proses dari strategi legislasi hukum Islam ang bersifat gradual yang sejalan dengan kaidah fikih: Ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup memberikan harapan untuk dimulainya pemberlakuan HPI di Indonesia secara bertahap. Tawaran seperti ini barangkali juga dapat memuaskan sementara pihak yang kerap kali menolak setiap upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Pandangan Masykuri seperti di atas belum tentu dapat diterima oleh semua kalangan umat Islam di Indonesia. Ada sebagian dari mereka yang menginginkan diberlakukannya HPI secara penuh sesuai dengan ketentuan yang pasti (qathiy) dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Pemberlakuan HPI dalam aspek fundamentalnya saja, seperti di atas, bukan harapan mereka, namun juga harus menyertakan aspek instrumentalnya. Karena itulah, yang mereka harapkan adalah dimasukkannya ketentuan-ketentuan pokok HPI dalam hukum pidana nasional, jika tidak bias diberlakukan HPI secara khusus. Perlu ditambahkan bahwa pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik tentang agama ataupun yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU tersebut, misalnya tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara keagamaan, perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan terhadap agama dan kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di negara-negara sekular, sebab urusan agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masing-masing warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik kesusilaan, AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial 15


seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang terkait dengan materi HPI dalam RUU KUHP tersebut. Langkah seperti di atas merupakan upaya positif pemerintah untuk memberlakukan ketentuan hukum sesuai aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam. Namun, hingga sekarang langkah ini belum terwujud. Pembahasan masalah ini sudah memakan waktu yang cukup lama. Kita tunggu saja, kapan pemberlakuan hukum pidana nasional kita seperti di atas dapat direalisasikan? http://eprints.uny.ac.id/3659/

AGAMA II | Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial

16

You might also like