You are on page 1of 118

Mengendarai Kuantum Menuju Komputer Fotonik

Mukhlis Akhadi (BATAN) Suatu ketika Hamlet berkata pada Horotio : masih lebih banyak lagi sesuatu di sorga dan di bumi dari pada apa yang dimimpikan dalam filsafatmu, Horotio. Kalimat tersebut barangkali tepat pula bila ditujukan kepada para fisikawan di akhir abad ke-19. Memasuki permulaan abad ke-19, perkembangan dalam penelitian fisika klasik dapat dikatakan tidak mengalami kemajuan yang berarti. Pada saat itu, hampir semua bidang studi yang berhubungan dengan fisika, seperti mekanika, gelombang, bunyi, optik, listrik, magnet dan sebagainya telah dikuasai semuanya. Menjelang akhir abad ke-19, sebagian besar fisikawan merasa puas dengan pengetahuan yang mereka kuasai. Mereka mengira bahwa setiap hal penting dalam fisika sudah diketahui, dan merasa tidak akan ada lagi penemuan-penemuan besar untuk menjelaskan fenomena alam. Persoalan-persoalan yang masih ada dalam fisika diyakini akan dapat dipecahkan menggunakan kerangka teori yang suatu ketika dapat ditemukan. Teori Kuantum Pada tahun 1900, fisikawan berkebangsaan Jernam Max Planck (1858-1947), memutuskan untuk mempelajari radiasi benda hitam. Beliau berusaha untuk mendapatkan persamaan matematika yang menyangkut bentuk dan posisi kurva pada grafik distribusi spektrum. Planck menganggap bahwa permukaan benda hitam memancarkan radiasi secara terus-menerus, sesuai dengan hukum-hukum fisika yang diakui pada saat itu. Hukum-hukum itu diturunkan dari hukum dasar mekanika yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton. Namun dengan asumsi tersebut ternyata Planck gagal untuk mendapatkan persamaan matematika yang dicarinya. Kegagalan ini telah mendorong Planck untuk berpendapat bahwa hukum mekanika yang berkenaan dengan kerja suatu atom sedikit banyak berbeda dengan hukum Newton. Max Planck mulai dengan asumsi baru, bahwa permukaan benda hitam tidak menyerap atau memancarkan energi secara kontinyu, melainkan berjalan sedikit demi sedikit dan bertahaptahap. Menurut Planck, benda hitam menyerap energi dalam berkas-berkas kecil dan memancarkan energi yang diserapnya dalam berkas-berkan kecil pula. Berkas-berkas kecil itu selanjutnya disebut kuantum. Teori kuantum ini bisa diibaratkan dengan naik atau turun menggunakan tangga. Hanya pada posisi-posisi tertentu, yaitu pada posisi anak tangga kita dapat menginjakkan kaki, dan tidak mungkin menginjakkan kaki di antara anak-anak tangga itu. Dengan hipotesa yang revolusioner ini, Planck berhasil menemukan suatu persamaan matematika untuk radiasi benda hitam yang benar-benar sesuai dengan data percobaan yang diperolehnya. Persamaan tersebut selanjutnya disebut Hukum Radiasi Benda Hitam Planck yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan dari suatu benda hitam berbeda-beda sesuai dengan panjang gelombang cahaya. Planck mendapatkan suatu persamaan : E = hn, yang menyatakan bahwa energi suatu kuantum (E) adalah setara dengan nilai tetapan tertentu yang dikenal sebagai tetapan Planck (h), dikalikan dengan frekwensi (n) kuantum radiasi. Hipotesa Planck yang bertentangan dengan teori klasik tentang gelombang elektromagnetik ini merupakan titik awal dari lahirnya teori kuantum yang menandai terjadinya revolusi dalam bidang fisika. Terobosan Planck merupakan tindakan yang sangat berani karena bertentangan dengan hukum fisika yang telah mapan dan sangat dihormati. Dengan teori ini ilmu fisika mampu menyuguhkan pengertian yang mendalam tentang alam benda dan materi. Planck menerbitkan karyanya pada majalah yang sangat terkenal. Namun untuk beberapa saat, karya Planck ini tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat ilmiah saat itu. Pada mulanya, Planck sendiri dan fisikawan lainnya menganggap bahwa hipotesa tersebut tidak lain dari fiksi matematika yang cocok. Namun setelah berjalan beberapa tahun, anggapan tersebut berubah hingga hipotesa Planck tentang kuantum dapat digunakan untuk menerangkan berbagai fenomena fisika.

Pengakuan terhadap Teori Kuantum Teori kuantum sangat penting dalam ilmu pengetahuan karena pada prinsipnya teori ini dapat digunakan untuk meramalkan sifat-sifat kimia dan fisika suatu zat. Pengakuan terhadap hasil karya Planck datang perlahan-lahan karena pendekatan yang ditempuhnya merupakan cara berfikir yang sama sekali baru. Albert Einstein misalnya, menggunakan konsep kuantum ini untuk menjelaskan efek foto listrik yang diamatinya. Efek foto listrik merupakan fenomena fisika berupa pancaran elektron dari permukaan benda apabila cahaya dengan energi tertentu menimpa permukaan benda itu. Semua logam dapat menunjukkan fenomena ini. Penjelasan Einstein mengenai efek foto listrik itu terbilang sangat radikal, sehingga untuk beberapa waktu tidak diterima secara umum. Namun ketika Einstein menerbitkan hasil karyanya pada tahun 1905, penjelasannya memperoleh perhatian luas di kalangan fisikawan. Dengan demikian, penerapan teori kuantum untuk menjelaskan efek foto listrik telah mendorong ke arah perhatian yang luar biasa terhadap teori kuantum dari Planck yang sebelumnya diabaikan. Pada tahun 1913, Niels Bohr, fisikawan berkebangsaan Swedia, mengikuti jejak Einstein menerapkan teori kuantum untuk menerangkan hasil studinya mengenai spektrum atom hidrogen. Bohr mengemukakan teori baru mengenai struktur dan sifat-sifat atom. Teori atom Bohr ini pada prinsipnya menggabungkan teori kuantum Planck dan teori atom dari Ernest Rutherford yang dikemukakan pada tahun 1911. Bohr mengemukakan bahwa apabila elektron dalam orbit atom menyerap suatu kuantum energi, elektron akan meloncat keluar menuju orbit yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika elektron itu memancarkan suatu kuantum energi, elektron akan jatuh ke orbit yang lebih dekat dengan inti atom. Dengan teori kuantum, Bohr juga menemukan rumus matematika yang dapat dipergunakan untuk menghitung panjang gelombang dari semua garis yang muncul dalam spektrum atom hidrogen. Nilai hasil perhitungan ternyata sangat cocok dengan yang diperoleh dari percobaan langsung. Namun untuk unsur yang lebih rumit dari hidrogen, teori Bohr ini ternyata tidak cocok dalam meramalkan panjang gelombang garis spektrum. Meskipun demikian, teori ini diakui sebagai langkah maju dalam menjelaskan fenomena-fenomena fisika yang terjadi dalam tingkatan atomik. Teori kuantum dari Planck diakui kebenarannya karena dapat dipakai untuk menjelaskan berbagai fenomena fisika yang saat itu tidak bisa diterangkan dengan teori klasik. Pada tahun 1918 Planck memperoleh hadiah Nobel bidang fisika berkat teori kuantumnya itu. Dengan memanfaatkan teori kuantum untuk menjelaskan efek foto listrik, Einstein memenangkan hadiah Nobel bidang fisika pada tahun 1921. Selanjutnya Bohr yang mengikuti jejak Einstein menggunakan teori kuantum untuk teori atomnya juga dianugerahi hadiah Nobel Bidang fisika tahun 1922. Tiga hadiah Nobel fisika dalam waktu yang hampir berurutan di awal abad ke-20 itu menandai pengakuan secara luas terhadap lahirnya teori mekanika kuantum. Teori ini mempunyai arti penting dan fundamental dalam fisika. Di antara perkembangan beberapa bidang ilmu pengetahuan di abad ke-20, perkembangan mekanika kuantum memiliki arti yang paling penting, jauh lebih penting dibandingkan teori relativitas dari Einstein. Oleh sebab itu, Planck dianggap sebagai Bapak Mekanika Kuantum yang telah mengalihkan perhatian penelitian dari fisika makro yang mempelajari objek-objek tampak ke fisika mikro yang mempelajari objek-objek sub-atomik. Dengan adanya perombakan dalam penelitian fisika yang dimulai sejak memasuki abad ke-20 ini, maka perhatian orang mulai tertuju ke arah penelitian atom, dan melalui penjelasan teori kuantum inilah manusia mampu mengenali atom dengan baik. Sebagai konsekwensi atas beralihnya bidang kajian dalam fisika ini, maka muncullah beberapa disipilin ilmu spesialis seperti fisika nuklir dan fisika zat padat. Fisika nuklir yang

perkembangannya cukup kontraversial kini menawarkan berbagai macam aplikasi praktis yang sangat bermanfaat dalam kehidupan. Energi nuklir misalnya, saat ini telah mensuplai sekitar 17 % kebutuan energi listrik dunia. Sedang perkembangan dalam fisika zat pada telah mengantarkan ke arah revolusi dalam bidang mikro elektronika, dan kini sedang menuju ke arah nano elektronika. Cairan Kuantum Setelah berumur hampir seabad, teori kuantum masih tetap mendapatkan perhatian yang sangat besar di kalangan fisikawan. Hal ini terbukti dengan dimenagkannya hadiah Nobel bidang fisikat untuk tahun 1998 ini oleh tiga kampium fisika kuantum akhir abad 20. Komite Nobel Karolinska Institute di Stockholm, Swedia, pada tanggal 13 Oktober 1998 mengumunkan Prof. Robert B. Laughlin (universitas Stanford, California), Prof. Daniel C. Tsui (Universitas Princeton) dan Prof. Horst L. Stoemer (fisikawan berkebangsaan Jerman yang bekerja di Universitas Columbia, New York dan sebagai peneliti di Bell Labs, New Yersey) sebagai nobelis fisika tahun 1998. Pada tahun 1982, Horst L. Stoemer dan Daniel C. Tsui melakukan eksperimen dasar menggunakan medan magnet sangat kuat pada temperatur rendah berupa superkonduktor yang didinginkan helium cair. Para nobelis fisika itu berjasa dalam penemuan mekanisme aksi elektron dalam medan magnet kuat sehingga membentuk partikel-partikel elementer baru yang bermuatan mirip elektron. Pada tahun yang bersamaan, Robert B. Laughlin juga menginformasikan fenomena serupa. Melalui analisa fisika teori, mereka berhasil menunjukkan bahwa elektron-elektron dalam medan magnet sangat kuat dapat berkondensasi membentuk semacam cairan sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai cairan kuantum. Hasil yang diperoleh ketiga fisikawan tadi sangat penting artinya bagi para peneliti dalam memahami struktur suatu materi, termasuk pembuatan aneka perangkat superkonduktor. Temuan itu juga merupakan terobosan dalam pengembangan teori dan eksperimen fisika kuantum serta pengembangan konsep-konsep baru dalam beberapa cabang fisika moderen. Para nobelis fisika sama-sama mempunyai latar belakang riset dalam pengembangan fisika kuantum yang mempunyai peran penting bagi kemajuan riset pengembangan perangkat fotonik. Temuan para nobelis fisika tahun 1998 ini telah memungkinkan efek kuantum menjadi mudah diamati. Fenomena Efek Hall (Hall effect) dalam fisika yang pertama kali dilaporkan oleh Edwin H. Hall pada tahun 1879 dan sangat menakjubkan itu, kini seakan-akan dapat diamati oleh para fisikawan di manapun. Komputer Fotonik Kiprah mekanika kuantum di masa-masa mendatang barang kali masih akan tetap diperhitungkan. Misteri lain yang mungkin lebih besar barangkali masih tersimpan dalam teori kuantum itu. Paling tidak para ilmuwan berharap, dengan mengendarai kuantum mereka akan sampai pada tujuan mewujudkan impian berupa hadirnya perangkat fotonik serta gagasan pembuatan komputer fotonik (komputer kuantum) yang akan mencerahkan kehidupan manusia di awal milenium ketiga ini. Arun N. Netravali, ilmuwan berdarah India yang menjabat Vice President Research Lucent Technology dan Direktur Bell Labs di AS, telah melakukan terobosan dalam proses pembuatan prosesor fotonik, sehingga beliau pada tahun 1998 menerima penghargaan tertinggi dari perusahaan elektronik NEC, Jepang. Basis dari perangkat fotonik ini bukan lagi pada teknologi silikon seperti yang saat ini banyak diaplikasikan, melainkan mulai bergerak menuju teknologi foton yang memanfaatkan cahaya.

Para ilmuwan sebetulnya sudah sejak lama berusaha mencari alternatif lain dalam mengembangkan komputer elektronik. Mereka umumnya melirik jalam untuk beralih dari komputer elektronik ke komputer fotonik. Banyak kelebihan yang dimiliki komputer fotonik ini jika kelak benar-benar bisa diwujudkan, yaitu : Pada komputer elektronik sinyal dibawa oleh berkas elektron, sedang pada komputer fotonik sinyal itu dibawa oleh foton (gelombang elektromagnetik) dalam bentuk cahaya tampak. Gerak atau cepat rambat foton cahaya paling tidak mencapai tiga kali lebih cepat dibandingkan cepat rambat elektron. Oleh sebab itu, komputer fotonik akan bekerja jauh lebih cepat dibandingkan komputer elektronik yang saat ini beredar. Semua cahaya tidak dapat saling mengganggu (berinterferensi) kecuali jika cahayacahaya itu berasal dari satu sumber. Di samping itu, cahaya dapat merambat di dalam serat optis yang lebih ringan dibandingkan logam (tembaga) yang saat ini dipakai sebagai media aliran elektron pada komputer elektronik. Pada komputer elektronik data disimpan dalam medium dua dimensi seperti pita magnetik dan yang lainnya, sedang pada komputer fotonik data dapat disimpan secara tiga dimensi dalam medium yang ketebalannya berorde mikro meter. Jadi satu penyimpan fotonik bisa memiliki kapasitas yang setara dengan ribuan penyimpan elektronik.

Kini para ilmuwan telah berhasil menghadirkan sumber cahaya dalam bentuk laser semikonduktor dan LED (Light Emitting Diode) yang dapat dipakai sebagai sumber pembawa sinyal pada komputer fotonik. Teknologi serat optis pun sudah berkembang sedemikian rupa sehingga siap mendukung tampilnya perangkat fotonik. Riset menuju terwujudnya komputer fotonik berkembang sangat pesat dan telah mencapai tingkat yang sangat mengagumkan. Tidak mustahil jika komputer fotonik ini akan segera hadir di hadapan kita dan ikut meramaikan unjuk kecanggihan teknologi moderen di awal milenium tiga ini. Sumber : Elektro Indonesia no. 31/VI (Mei 2000)

Iklim, Cuaca dan Perubahannya


Posted on Oktober 15, 2006 by bumiindonesia| 3 Komentar

http://bumiindonesia.wordpress.com/2006/10/15/iklim-cuaca-dan-perubahannya/ Cuaca adalah suatu gejala alam yang terjadi dan berubah dalam waktu singkat, yang kita rasakan dari menit ke menit, jam ke jam. Contoh: perubahan harian dalam temperatur, kelembaban, angin, dll. Sedangkan Iklim adalah rata-rata peristiwa cuaca di suatu daerah tertentu, termasuk perubahan ekstrem musiman dan variasinya dalam waktu yang relatif lama, baik secara lokal, regional atau meliputi seluruh bumi kita.

Iklim dipengaruhi perubahan-perubahan yang cukup lama dari aspek-aspek seperti orbit bumi, perubahan samudra, atau keluaran energi dari matahari. Perubahan iklim merupakan sesuatu yang alami dan terjadi secara pelan. Contoh: musim (dingin, panas, semi, gugur, hujan dan kemarau) dan gejala alam khusus (seperti tornado dan banjir).

Sebagai negara yang secara geografis berada di sekitar ekuator, Iklim di Indonesia adalah tropis yang terdiri dari musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai Februari, sedangakan musim kemarau terjadi pada bulan Maret-September.

Perubahan Cuaca dan Iklim

KONDISI cuaca dan iklim di muka bumi saat ini terlihat makin bervariasi dan menyimpang. Khusus untuk kawasan Indonesia, telah tampak sejak tahun 1991.

Contohnya, sebelumnya ada prediksi bakal hadirnya kegiatan gejala alam El Nino dari beberapa praktisi termasuk pula Badan Meteorologi dan Geofisika di awal tahun hingga kuartal pertama tahun 2001. Kenyataannya kondisi hadirnya El Nino ini sirna karena hingga awal Juni 2001 hujan masih mengguyur di berbagai kawasan Indonesia. Beberapa kalangan yang menyebutkan munculnya kegiatan gejala alam El Nino pada tahun 2001 ataupun tahun 2002 umumnya mengacu pada kejadian beberapa dasawarsa sebelumnya. Sejak tahun 1961, 1972, 1982, dan 1991 telah muncul kondisi kemarau yang umumnya merupakan dampak kegiatan gejala alam El Nino. Bahkan dari kalangan internasional telah muncul prediksi pada awal tahun 2001 yaitu akan muncul kegiatan gejala alam El Nino tahun 2001 yang akan berdampak besar berupa kekeringan dan kebakaran di kawasan Papua Niugini di timur wilayah Indonesia. Munculnya cuaca dan iklim di Bumi merupakan ekspresi pemerataan energi yang diterima Bumi secara tidak merata. Wilayah tropis di sekitar ekuator sepanjang tahun menerima energi radiasi sang surya yang berarti surplus energi, sementara di lain pihak wilayah subtropis dan kutub hanya menerima sedikit energi dan berlangsung relatif singkat dan bergantian akibat garis edar revolusi Bumi mengitari Matahari. Sebagai reaksi adanya beda dalam penerimaan energi ini dalam satu sistem muka bumi, terjadi usaha pemerataan melalui proses fisika dan kimiawi sedemikian sehingga terjadi peredaran udara di atmosfera dan peredaran laut. Dua sistem pemerataan energi ini dalam bentuk gerak (angin, gelombang dan arus), energi termal (panas) dan energi laten (uap air) berupa awan, hujan, salju, guntur dan sebagainya, yang kesemuanya berlangsung alamiah. Proses fisika dan kimiawi tersebut sangat tergantung pada besarnya energi dari sang surya selain ulah manusia yang kian bertambah. Pertambahan manusia dan mobilitasnya ikut memberi kontribusi dalam proses pemerataan energi yang menambah variasi alam yang tidak tetap dan sama dari waktu ke waktu dan masa ke masa. Matahari memancarkan energi radiasi yang merupakan hasil reaksi fusi dan fisi gas hidrogen dan helium yang bila dilihat dari Bumi tampak seperti titik-titik ledakan energi. Berdasarkan pengembangan lanjutan dan memperhatikan kondisi cuaca dan iklim, ternyata ada kaitan antara makin tingginya jumlah bintik-bintik Matahari dengan peningkatan pancaran energi Matahari. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan sejak tahun 1960-1962 yang memuncak dengan jumlah bintik di atas 175 buah dalam sebulan. Siklus kegiatan Matahari umumnya memuncak pada akhir setiap dasawarsa dan minimum di pertengahan dasa warsa. Untuk kurun waktu tahun 2000-2001 terekam kurang dari 175 buah bintik Matahari yang berarti kondisi puncaknya tidak sama dengan tiga dasawarsa periode 1961-1961, 1980-1981, dan 1990-1992. Dari gambaran tersebut dapat diartikan sementara bahwa kondisi pemberi gerak di alam raya khususnya di muka Bumi untuk periode tahun 2000-2001 yang kini sedang berjalan relatif lebih rendah dari kondisi sebelumnya. Dengan demikian besarnya energi radiasi sang surya tidak sama dengan energi yang dipancarkan khususnya dalam dua dasa warsa terakhir. Energi radiasi tersebut umumnya digunakan dalam peredaran udara dan kelautan yang ada di muka Bumi yang umumnya mempunyai tenggang waktu. Perhitungan munculnya El Nino

Yang cukup mencolok dan perlu menjadi perhatian kita adalah perkembangan kondisi dalam dua dasa warsa terakhir. Dari hasil peningkatan kegiatan Matahari yang muncul dan memuncak pada masing-masing dasawarsa itu menunjukkan adanya peningkatan yang lebih intensif dibandingkan kejadian periode sebelumnya. Dampak peningkatan tersebut menghasilkan kegiatan El Nino yang kuat untuk pertama kali pada periode 1982 dengan dampak kekeringan dan kebakaran yang meluas di Kalimantan. Selanjutnya tahun 1987 muncul lagi kegiatan El Nino. Tetapi, secara keseluruhan cuaca dan iklim untuk periode 1982-1990 cukup baik sehingga usaha swasembada pangan nasional saat itu berhasil dan Pemerintah Indonesia mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB. Namun, kondisi dasa warsa berikutnya dengan peningkatan kegiatan Matahari yang lebih intensif dengan puncak ganda untuk bintik Matahari dan jumlah ledakannya memberi indikasi peningkatan radiasi yang intensif dan berdampak kegiatan El Nino yang cukup panjang 1991-1994 dan muncul gejala alam El Nino kuat dengan kurun waktu yang singkat tahun 1991/1998 yang dinyatakan sebagai bencana yang dahsyat di Indonesia dan seluruh dunia. Patut pula dicatat bahwa deposit batu bara di lahan gambut membara untuk yang pertama kali di tahun 1991 yang kemudian berulang hingga awal tahun 1998. Selain itu swasembada pangan nasional yang diupayakan Pemerintah Indonesia hancur oleh kondisi alam yaitu cuaca dan iklim yang tidak menentu hingga tahun 2000 atau mungkin sampai saat ini. Kajian dalam bahasan ini merupakan kajian terbatas yang tentunya perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menuju kajian yang komprehensif atau dapat dipercaya. Berdasarkan pengalaman tersebut dan menilik kondisi cuaca dan iklim yang akan berlangsung hingga tahun 2010, untuk sementara dapat dilihat belum adanya peningkatan jumlah bintik Matahari atau ledakan. Hal ini berarti untuk kurun watu sembilan tahun mendatang peluang munculnya kondisi cuaca yang ekstrem seperti yang berlangsung dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir menjadi tanda tanya atau bahkan bisa dikatakan kecil peluang terjadi peningkatan kondisi cuaca dan iklim yang bervariasai atau berubah untuk kurun waktu musiman hingga tahunan. Pendapat ini didukung pula oleh kondisi perairan global, dalam hal ini perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Semula di Samudera Hindia dingin dan Samudera Pasifik akan hangat hingga awal bulan Juni, ternyata hal itu tidak berkembang, malah berkebalikan. Samudera Pasifik mendingin sedang Samudera Hindia menaik. Bukti kenaikan suhu muka laut ini terlihat dari peningkatan curah hujan di beberapa kawasan di Indonesia pada bulan Mei hingga awal Juni 2001. Karena hingga pertengahan tahun 2001 berubah, maka kondisi gejala alam El Nino peluang untuk muncul kecil pada tahun 2001 atau 2002 mendatang. Dengan indikasi alam ini akan dapat membantu tentang kekhawatiran beberapa kalangan khususnya kalangan pertanian, perkebunan dan kehutanan khususnya dari ancaman kekeringan yang mungkin muncul di tahun 2001. Adanya perkembangan curah hujan yang berlangsung akhir-akhir ini yang seharusnya memasuki musim kemarau merupakan peristiwa alam akibat kenaikan suhu muka laut S. Hindia dan munculnya indikasi gejala alam La nina intensitas ringan kembali giat. Sehingga

prakiraan BMG. dalam musim kemarau tahun 2001 yang menyatakan normal merupakan kondisi cuaca dan iklim di wilayah Indonesia.

http://pustakacuaca.blogspot.com/2010/12/oleh-soerjadi-wh.html
Kamis, 16 Desember 2010

SERBA-SERBI CUACA DAN IKLIM INDONESIA (Bagian Pertama)


Oleh Soerjadi Wh. Minggu 5 Desember 2004 -------------

Mukadimah. Tulisan ini dibuat hanya untuk pengisi waktu ketimbang nganggur. Isinya sembarangan untuk dibaca dengan santai saja; tetapi kalau dipikir serius juga boleh. Ceritanya tentang kejadian-kejadian cuaca dan iklim. Tulisan dibuat dalam bagian bagian yang banyaknya belum pasti.

Teori dan praktek. Para ilmuwan cuaca umumnya mempelajari cuaca dari teoriteori fisika dan matematika dengan percobaan-percobaan laboratorium kecil kemudian mengujinya dengan data pengamatan. Sebaliknya para praktisi cuaca melihat dulu kejadian-kejadian yang ada kemudian menanyakan mengapa begitu. Nah kalau demikian, bila pemikiran teori dan pengamatan praktek tersebut

disatukan hasilnya akan bagus. Tetapi ini barangkali. Hukum Buys Ballot. Dahulu, sekitar tahun 1950-an, saya di SD, waktu itu namanya Sekolah Rakyat (SR), diajari ilmu bumi didalamnya termasuk angin pasat yang arahnya dikemukakan oleh Buys Ballot, dan dikenal dengan hukum Buys Ballot, bahwa angin dari daerah tekanan tinggi di belahan bumi utara menuju ke daerah khatulistiwa dibelokkan searah jarum jam, sedangkan di belahan bumi selatan dibelokkan berlawanan dengan putaran jarum jam. Karena sekarang sudah banyak jam digital yang tidak menggunakan jarum penunjuk, sebaiknya istilah putaran jarum jam diganti saja dengan dibelahan bumi utara dibelokkan menganan dan di belahan bumi selatan dibelokkan mengiri apabila kita menghadap ke arah khatulistiwa. Buys Ballot itu orang pertama yang ditunjuk oleh Kongres Internasional Meteorologi pada tanggal 16 September 1873 di Wina sebagai Presiden Komite untuk menyiapkan Organisasi Meteorologi Internasional. Peredaran atmosfer, massa udara, gelombang atmosfer. Pelajaran ilmu bumi tersebut menunjukkan bahwa dahulu orang mempelajari cuaca dari peredaran atmosfer yang dipelopori oleh Hadley (1875). Kemudian dari peredaran tersebut digambarkan bahwa atmosfer berkelompok-kelompok membentuk massa udara; maka berkembanglah teori massa udara dan teori perenggan (front) seperti yang dikembangkan oleh Solberg dan J. Bjerknes dari Norwegia pada akhir abad ke-19. Dengan teori tersebut sampai-sampai dikenali istilah Intertropical Front (ITF). Kemudian dengan menggunakan teori fisika dan matematika dihipotesakan bahwa gerakan atmosfer dalam bentuk gelombang seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Rossby pada tahun 1939. Dalam bukunya " Weather Prediction by Numerical Process " Richardson ( 10 Oktober 1921) menulis : The investigation grew up out of a study of finite differences and .dst. Tetapi karena rumus matematikanya rumit, dia sendiri tidak bisa menghitung secara numeric. Baru kemudian setelah teknologi komputer diketemukan teori tersebut baru dapat dibuktikan. Interaksi gelombang atmosfer. Teori gelombang sampai sekarang terus berkembang, dan diketemukan bahwa di kawasan luartropik gelombangnya jenis longitudinal yang dikenal dengan gelombang Rossby, dan di kawasan tropik banyak gelombang jenis transversal yang dikenal dengan gelombang gravitas atau gelombang Kelvin. Gelombang-gelombang tersebut saling beriteraksi dan menghasilkan berbagai fenomena, misalnya siklon, siklontropik, pusaran,

badaiguntur dan lain-lain lagi. Kini malahan berkembang dipelajari interaksinya dengan lingkungan atmosfer, misalnya dengan laut, permukaan bumi. Sistem cuaca Indonesia. Di Indonesia pembicaraan tentang cuaca hampir selalu menyebut hujan, sehingga seolah-olah cuaca identik dengan hujan. Biarlah, meskipun jangan dibiasakan, memang hujan sangat dirasakan ulahnya bagi kehidupan di Indonesia. Banjir karena hujan; padi puso karena tidak ada hujan. Dari segi cuaca kawasan Indonesia memang rumit; disamping kondisi kepulauannya, data cuaca juga sangat kurang ( habis Pemerintah nggak kuat membiayai ). Oleh karena itu studi tentang cuaca di Indonesia memerlukan pendekatan dari berbagai aspek, antara lain aspek fisika, aspek geografi, aspek topografi-orografi, aspek struktur dan orientasi kepulauan. Bagaimana dari aspek dana ? Faktor geografi, topografi dan orografi, struktur kepulauan, orientasi pulau, dan factor lingkungan di sekitar Indonesia masing-masing ternyata mempunyai peran banyak dalam pembentukkan system peredaran udara. Antar system peredaran saling berinteraksi menghasilkan system cuaca dalam berbagai skala, mulai dari skala besar sampai skala kecil. Sinaran matahari yang terus-menerus dan berbeda siang dan malam membentuk ciri dasar cuaca Indonesia. Musim. Cuaca di Indonesia berfluktuasi dengan berbagai variasi, dari variasi harian (diurnal variation), variasi tahunan (annual variation), variasi musiman (seasonal variation), variasi intra musiman (intraseasonal variation), variasi antartahunan (interannual variation), dst. Karena letak wilayah Indonesia di sekitar khatulistiwa, maka wilayah tersebut menerima sinaran matahari terus-menerus sepanjang tahun tetapi berbeda mencolok pada waktu siang dan malam hari. Perbedaan sinaran siang dan malam hari memberi ciri yang kuat berupa variasi harian unsur cuaca, terutama pada suhu, tekanan, angin, dan kelembapan. Variasi harian suhu yang nyata adalah variasi harian dengan maksimum pada siang hari dan minimum pada malam menjelang pagi hari. Variasi harian tekanan mempunyai maksimum dua kali dan minimum juga dua kali. Maksimum terjadi pada sekitar pukul 10 pagi dan 10 malam, sedangkan minimum pada sekitar pukul 4 pagi dan pukul 4 sore. Variasi harian angin terdapat di tempat-tempat tertentu, misalnya di kawasan pantai variasi harian ditandai dengan adanya angin darat dan angin laut, di pegunungan dengan angin lembah dan angin gunung. Variasi harian kelembapan nisbi udara berkebalikan dengan variasi harian suhu, yakni minimum pada saat suhu mencapai maksimum

dan maksimum pada waktu suhu mencapai minimum. Variasi harian curah hujan sangat bergantung kepada tempatnya; di atas daratan hujan lebih banyak terjadi pada siang dan sore hari, sedangkan di atas laut dan teluk sering terjadi pada waktu malam dan menjelang pagi hari. Namun demikian variasi harian tersebut berubah karena adanya gangguan dari sistem yang lebih besar, misalnya monsun. Oleh karena itu perubahan dari kebiasaan harian dapat digunakan untuk mengidentifikasi sistem yang lebih besar, misalnya di Jakarta bila hujan terjadi pada menjelang pagi pertanda adanya monsun barat. Sesuai dengan letak geografinya Indonesia mempunyai variasi musiman. Variasi musiman tersebut dapat jelas terlihat pada curah hujan. Oleh karena itu di Indonesia dikenal musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut dibedakan dari banyaknya curah hujan. Pada umumnya sewaktu matahari ada di belahan bumi selatan dari bulan Oktober sampai Maret, curah hujan lebih banyak dibandingkan sewaktu matahari di ats belahan bumi utara dari bulan April sampai September. Untuk membedakan kedua musim tersebut BMG menggunakan criteria banyaknya curah hujan sama atau lebih dari 50 mm tiap dasarian; meskipun dengan criteria tersebut banyak daerah yang sulit dibedakan antara musim hujan dan musim kemarau. Variasi musiman juga terlihat pada arah angin meskipun tidak sama arah anginnya; misalnya di Sumatra Barat variasi musiman berupa perubahan dari angin baratdaya dan timurlaut, di Jawa terlihat dari perubahan angin barat dan angin timur. Variasi-variasi tersebut berkaitan dengan monsun Asia dan monsun Australia. Di beberapa daerah misalnya di Jawa bagian timur, Bali, Nusa tenggara serta daerah lain yang berdekatan dengan Australia, variasi musiman suhu maksimum dan minimum juga terlihat jelas. Minoru Tanaka (1994) mengemukakan bahwa daur musim kemarau yang diidentifikasi dengan menggunakan jumlah liputan awan di Jawa dan sekitarnya mempunyai variasi kisaran sampai 35% sedangkan daur intra musiman sekitar 5%. Hal tersebut sesuai dengan pendapat M.J. Manton dan J.L. McBride yang mengemukakan bahwa dalam daerah monsun lebih banyak struktur skala meso. Awal musim. Kapan nih ada hujan, sumur gue ude sat. Begitulah orang banyak membicarkan pada waktu musim kemarau. Sebaliknya, kok tiap hari hujan terus, kapan nih berhentinye sering kita dengar pada waktu musim hujan. Memang manusia serba susah, maunya yang enak aja. Tetapi para ilmuwan dan para ahli cuaca tidak mengabaikan pembicaraan orang tersebut; buktinya dari dulu tentang

awal musim sudah banyak dipelajari bahkan sampai sekarang masih belum tuntas. De Boer (1948) menandai awal musim hujan dengan jumlah curah hujan dasarian. Bila dalam lebih dari tiga dasarian berturut-turut dalam periode Oktober sampai Maret terdapat curah hujan yang jumlahnya sama atau lebih dari 50 mm maka dasarian yang pertama ditetapkan sebagai awal musim hujan. Kriteria tersebut masih digunakan oleh BMG sampai saat ini meskipun sering mengalami kesulitan dalam penerapannya, karena banyak tempat yang curah hujan bulanannya selalu besar dan selalu kecil sehingga dengan criteria tersebut terdapat tempat-tempat yang tidak mempunyai musim hujan atau musim kemarau. Harjawinata S dan Muharyoto (1980) menggunakan keseringan angin permukaan sampai 850 hPa untuk mengidenditifikasi awal musim. Mereka mengatakan bahwa awal musim barat disuatu tempat telah mulai apabila keseringan angin barat di tempat tersebut telah mencapai 50%. Tetapi sayangnya criteria tersebut tidak selalu dapat digunakan untuk mengidentifikasi musim hujan karena musim hujan tidak selalu berkaitan dengan musim angin barat. Kesulitan lain dalam menandai awal musim adalah ikut andilnya luas wilayah dan struktur kepulauan dalam pembentukan cuaca skala meso. Minoru Tanaka (1994) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara awal musim yang diperoleh dengan menggunakan criteria awan dan criteria angin. Dalam periode monsun panas Australia atau musim dingin Asia, untuk wilayah Indonesia bagian barat dan utara serta di bagian timur (Maluku, Irian Jaya) lebih dahulu angin (10-50 hari) daripada awan; sedangkan untuk wilayah Indonesia bagian selatan dan tengah lebih dahulu (sampai 30 hari) awan daripada angin. Mengapa begitu ya ? Rupanya antara angin dan awan ada sikap saling harga menghargai. Wilayah hujan. Kata banyak orang, curah hujan di Indonesia umumnya berjumlah besar di separoh tahun dan sedikit di separoh tahun sisanya; memang menurut data pengamatan yang diperoleh menunjukkan demikian; hanya saja kadar pengurangannya berbeda-beda di setiap tempat. Juga dikatakan bahwa variasi tersebut berkaitan erat dengan sistem peredaran atmosfer di sekitar Indonesia. Salah satu diantaranya adalah peredaran monsun Asia dan Australia. Namun demikian sebarannya mengikut waktu sangat beragam. Dengan menggunakan data curah hujan, Boerema (1941) menunjukkan adanya 153 tipe sebaran curah hujan bulanan, 69 terdapat di Jawa dan Madura serta 84 di daerah lain. Tetapi itu didasarkan data yang dipunyai waktu itu; sekarang rupanya lebih banyak lagi kalau

mau dibedakan lebih rinci. Dengan mengutip tulisan Eguchi (1988) mengemukakan bahwa Eguchi dengan menggunakan data dari 669 stasiun hujan membagi Indonesia dalam tiga wilayah (tidak termasuk Irian jaya)., yakni : (a) Jawa-Bali-Nusa Tenggara, yang musim hujannya lebih pendek dari musim kemarau, bersamaan dengan musim barat di Australia. Makin ke timur makin sedikit curah hujannya. (b) Sumatra dan Kalimantan bagian barat, yang mempunyai maksimum curah hujan dua kali dalam musim panas di belahan bumi selatan (Oktober Februari), (c) Kalimantan bagian timur, Sulawewsi, dan Maluku yang mempunyai satu atau dua kali periode hujan dengan maksimum bulanannya terdapat dalam bulan musim semi atau musim panas di belahan bumi utara (Maret Juli), dan dikuasai oleh pasat Pasifik yang membawa hujan sedikit. Analisis data curah hujan dari data global yang dilakukan Tim S-VII (Tien Andri) memperoleh peta isohyet yang menunjukkan bahwa di wilayah Indonesia terdapat lima daerah hujan, yakni : (a) Daerah di sekitar laut Cina Selatan termasuk Sumatra sebelah utara dan timur Bukit Barisan, Kalimantan Barat dan Selatan, Jawa barat bagian utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Daerah-darah tersebut menjadi daerah banyak hujan dalam bulan Nopember sampai Januari. (b) Daerah sekitar lutan India, termasuk Sumatra di bagian barat dari Bukit Barisan, Jawa Barat bagian barat-daya. Daerah tersebut hampir sepanjang tahun menjadi daerah banyak hujan. (c) Daerah kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, mempunyai maksimum sangat tinggi dalam bulan Desember Februari. (d) Daerah Maluku bagian tengah dan Irian Jaya bagian utara dengan curah hujan banyak dalam bulan Juli sampai September. (e) Daerah Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya bagian selatan yang berdekatan dengan Australia Utara dengan curah hujan banyak dalam bulan Desember sampai Maret.

Fenomena regional. Kadar monsun dan juga musim di Indonesia tidak tetap, melainkan berfluktuasi dengan berbagai variasi intra musiman (intraseasonal) sampai antar tahunan (interannual) sebagai akibat dari adanya berbagai gangguan dari sistem peredaran lain. Dalam skala variasi intra musiman berbagai fenomena yang mempunyai kaitan cukup berarti adalah : seruak monsun (monsoon surge), alir lintas ekuator (cross equatorial flow), Pias Pumpun Antartropik = PPAT (Intertropical Convergence Zone = ITCZ), pusaran (vortice), dan lembang tropik (tropical depression). Orang mengatakan fenomena-fenomena tersebut sebagai cuaca

gangguan kawasan tropik Indonesia. Seruak dingin. Salah satu dari fenomena monsun adalah dorongan yang menimbulkan arus besar yang berlangsung dalam waktu pendek serupa dengan denyutan dan disebut seruak monsun (monsoon surge). Dalam monsun dingin Asia dikenal dengan istilah seruak dingin (cold surge) yang ditandai dengan naiknya tekanan udara dan penurunan suhu dengan cepat, serta bertambahnya kecepatan angin. Observatorium Meteorologi Hongkong, dan juga yang digunakan dalam analisis pendahuluhan (quicklook analysis) MONEX 1078/1979 menggunakan criteria bahwa seruak dingin mencapai Hongkong apabila tekanan udara di Hongkong mencapai lebih tinggi dari 1030 hPa, dan penurunan suhu lebih dari 5 oC selama 24 jam. Dari kajian yang dilakukan menyimpulkan bahwa keseringah timbulnya seruak dingin merupakan indicator akan kadar monsun. Wirjohamidjojo S (1980), Hadi Suyono dan Widada S (1999) menunjukkan adanya seruak dingin tersebut diikuti dengan bertambahnya kecepatan angin di atas laut Cina Selatan ke arah selatan, dan selanjutnya bertambahnya hujan di sekitar laut Jawa. Alir lintas khatulistiwa. Baik dalam periode monsun dingin maupun dalam periode monsun panas Asia, di atas daerah khatulistiwa, khususnya di sekitar laut Cina Selatan, sering terdapat angin yang seragam arahnya. Pada musim monsun dingin Asia dari arah timur laut, dan pada musim monsun panas dari arah tenggara sampai selatan. Dalam keadaan demikian dikatakan teredapat alir lintas khatulistiwa. Adanya alir lintas khatulistiwa dalam musim monsun dingin Asia diikuti dengan banyak curah hujan di Indonesia (Wirjohamidjojo S 1980, 1982). Hal tersebut karena aliran berubah menjadi siklonal setelah melintasi khatulistiwa. Dengan menggunakan data ECMWF Hadi Suyono dan Widada S (1999) menunjukkan hal yang serupa. Ditunjukkan pula bahwa alir lintas khatulistiwa tersebut diikuti dengan perpindahan energi kinetik serta aliran dengan kepusaran nisbi (relative vorticity) tinggi di atas laut Jawa. Di India alir lintas khatulistiwa dalam monsun panas Asia digunakan untuk mengidentifikasi mulainya monsun (Sikka D.R. dan William m. Gray 1981). Dalam monsun dingin Australia alir lintas khatulistiwa dapat digunakan sebagai petunjuk kekuatan monsun Australia tersebut (Shiyan tao dan Lonxun Chen 1987). Pusaran. Fenomena berupa pusaran sering terjadi di laut Cina Selatan dan lautan India di sebelah barat Sumatra, baik dalam periode musim monsun panas maupun

dalam musim monsun dingin Asia. Pusaran di laut Cina Selatan yang sering timbul selama periode mondingin Asia merupakan hasil interaksi antara massa udara maritime tropis Pasifik Barat dan massa udara kontinental dingin; sedangkan dalam musim monsun panas Asia pusaran merupakan hasil interaksi antara massa udara maritime tropik Pasifik Barat dan massa udara khatulkistiwa lautan India. Keduanya terbentuk dari pertemuan angin baratan khatulistiwa kuat dan lebih kuat dibandingkan dengan angin timuran Pasifik. Dalam musim monsun panas pusaran sering berupa kelanjutan dari siklontropik dari Pasifik Barat.

Gb. Pusaran dalam bentuk siklontropik. Bila pusaran terjadi dalam musim monsun dingin, keberadaannya menghalangi masuknya udara monsun ke wilayah Indonesia yang terletak di sebelah selatannya. Bila pusaran di atas laut Cina Selatan terjadi dalam musim monsun panas dapat memperkuat alir lintas khatulistiwa ke utara, dan sebagai petunjuk kuatnya monsun panas atau kuatnya monsun dingin Australia. Pusaran di lautan India (sebelah barat Sumatra) dapat timbul dalam musim monsun dingin maupun dalam musim monsun panas Asia. Kemunculannya bersamaan dengan palung khatulistiwa. Pusaran tersebut hidupnya lebih permanen dan letaknya bergeser ke utara dan ke selatan mengikut gerakan Pias Pumpun Antartropik (PPAT). Bila sering timbul dalam musim monsun panas Asia, merupakan petunjuk lemahnya monsun panas tersebut atau lemahnya monsun dingin Australia.

Gb. Pusaran di laut India sebelah barat Sumatra. Lembang tropis (tropical depression). Di Indonesia memang tidak pernah dilanda siklontropik karena siklontropik tidak mau masuk wilayah Indonesia, mungkin takut karena penduduk Indonesia terlalu banyak. Namun demikian keberadaannya di sekitar Indonesia mempunyai dampak kepada cuaca di Indonesia. Contohnya lembang tropis di Australia Utara sebagai salah satu komponen penting dari monsun Australia. Musim lembang tropis tersebut adalah bulan Desember sampai Maret (Mc.Bride J.L. 1987). Adanya lembang tropis tersebut menandai kuatnya monsun panas Australia. Imbas dari lembang tropis berupa angin kencang dan hujan lebat yang dapat dirasakan di kawasan Nusa Tenggara sampai Bali. Palung khatulistiwa atau palung dekat khatulistiwa (Near Equatorial Trough). Bila kita sering menganalisis medan angin di sekitar khatulistiwa, termasuk juga di kawasan Indonesia, mendekati khatulistiwa angin tenggara dan atau angin timurlaut berbelok kearah timur sebelum melewati atau sesudah melewati khatulistiwa. Belokan-belokan tersebut terdapat dalam suatu garis, yang kemudian disebut garis geser angin (shear line). Garis geser angin kadang-kadang hanya satu, dan kadang-kadang ada dua. Garis geser angin tersebut sering timbul dalam musim monsun panas maupun dalam musim monsun dingin Asia, terutama dalam musim transisi bulan april dan Nopember. Pada daerah geser angin terdapat usaran-pusaran kecil yang dapat menimbulkan golakan dan awan-awan golakan dan banyak hujan. Palung khatulistiwa timbul dalam keadaan tekanan udara di belahan bumi selatan dan utara hampir seimbang. Pias Pumpun Antartropik (PPAT). Siapa yang tidak kenal PPAT ? Bagi para peminat cuaca, khusunya di Indonesia, diharapkan mengenalinya dengan seksama; karena daerah PPAT merupakan tempat banyak hujan. Dalam skala besar di khawasan tropik terdapat daerah pertemuan antara dua peredaran antisiklonal utara dan selatan. Batas antara kedua peredaran tersebut dikenal dengan nama ekuator

meteorologi. Dengan demikian ekuator meteorologi membagi troposfer menjadi dua belahan bumi (hemisfer) meteorologi. Ekuator meteorologi dikenal dengan nama pias pumpun antartropik, atau diskontinuitas antartropik, atau perenggan antartropik, atau perenggan monsun, atau palung monsun. Dari berbagai nama tersebut yang lebih sesuai adalah pias pumpun antartropik. Diskontinuitas antartropik, perenggan antartropik, dan perenggan monsun kurang popular karena sifat diskontinuitas dan sifat perenggan seperti yang terdapat di kawasan lintang tengah tidak tampak jelas.; demikian pula palung monsun tidak menunjukkan jelas perbedaan tekanan. Posisi PPAT tidak tetap dan tidak tepat di khatulistiwa atau sejajar garis lintang geografi, melainkan bergeser secara tahunan ke utara dan ke selatan mengikut gerak matahari. Namun demikian pergeseran tahunan tersebut juga tidak sama di setiap tempat. Di atas lautan Atlantik dan Pasifik hampir sepanjang tahun terdapat di belahan bumi utara dan pergeserannya kecil. Hal tersebut karena tekanan tinggi subtropik selatan di kawasan tersebut lebih mantap. Pergeseran tahunan yang paling besar terdapat pada bagian di atas Asia selatan Lautan India. Besarnya pergeseran tersebut karena berkaitan dengan monsun. Selain itu gerakan setiap harinya tidak tetap dalam satu arah; pada suatu saat bergerak ke utara, pada saat berikutnya dapat terus ke utara atau berbalik ke selatan. ------------Diposkan oleh soerjadi wh di 02:10

Kamis, 16 Desember 2010

SERBA-SERBI CUACA DAN IKLIM INDONESIA (Bagian Kedua)


Oleh Soerjadi Wh. Jakarta, Jumat 10 Desember 2004.

Sumatra. Ini bukan nama pulau Sumatra; tetapi nama fenomena cuaca usikan (disturbance) yang berupa garis gebos (squall line) yang sering terjadi di selat

Malaka antara pulau Sumatra dan semenanjung Malaysia. Orang memang menyebutnya sumatra. Apakah nama tersebut diambil dari nama pulau Sumatra, atau sebaliknya nama pulau Sumatra diambil dari fenomena sumatra tersebut ? Saya belum tahu. Fenomena (sumatra) tersebut berbentuk barisan awan tebal dan badaiguntur yang memanjang membentang dari arah barat; merupakan salah satu bentuk awan yang bukan karena golakan (convection) melainkan terbentuk karena proses lataan (advection) dan percampuran dari massa udara dari laut Cina Selatan yang dingin dan massa udara dari teluk Benggala yang agak panas . Kejadian tersebut sering dijumpai dalam bulan Januari- Februari semasa angin timurlaut dari monsun Asia musim dingin banyak terjadi di daerah tersebut. Terjadinya pada malam menjelang pagi hari, dan banyak membawa hujan. Imbas berupa hujan pagi tersebut juga sering dirasakan di Medan. Nah bila ingin berkenalan, kunjungilah dalam bulan tersebut atau tanya orang-orang Medan. Barangkali memang masih relevan bila kita tengok lagi pertanyaan M.A. Alaka dalam Technical Note no. 62 , WMO No. 155. TP 75 (Problems of Tropical Meteorology) untuk kita carikan jawabannya. Pertanyaan tersebut antara lain :

What is the origin of these disturbance ? What are the typical fields of wind, pressure, vertical motion and divergence ? What controls their intensity and movement ? What are their relations with larger-scale wind and pressure patterns ? What are the budgets of mass, energy and moisture ?

Angin barat. Sementara orang mengatakan bahwa angin barat membawa hujan, sehingga di Indonesia banyak yang mengatakan bahwa musim barat adalah musim hujan. Apakah hal demikian benar ? Flohn (1957) juga sudah mengidentifikasi bahwa dalam daerah sekitar khatulistiwa antara 10 LU dan 10 LS daerah dengan angin barat lebih banyak hujannya dibandingkan dengan daerah yang banyak angin timuran. Logikanya memang ada, bahwa angin barat mempunyai kelebihan momentum; kelebihan tersebut maunya sih diberikan kepada bumi. Tetapi karena bumi yang berputar ke arah timur lebih kencang tidak mau menerima sehingga terjadi gesekan dan kelebihannya diberikan kepada udara dalam arah ke atas; maka timbullah golakan. Oleh karena itu daerah angin barat banyak golakan.

Massa udara. Berbicara tentang massa udara di Indonesia memang merepotkan; karena kita pasti tidak dapat dengan jelas membedakan adanya dua atau lebih massa udara yang berbeda seperti di lintang tengah. Di kawasan lintang tengah adanya massa udara dapat mudah dikenali dengan adanya bidang diskontinuitas tekanan, suhu, angin, kelembapan, dalam bentuk perenggan (front). Tetapi kalau tidak diperhatikan, sering kita merasakan adanya perbedaan kadar udara; misalnya pada waktu musim kemarau beda suhu maksimum dan suhu minimum lebih besar dibandingkan musim hujan. Di Jawa Timur dan daerah lebih ketimur perbedaan tersebut lebih nyata; sedang di Sumatra Barat perbedaan tersebut kecil. Kalau begitu udara di Sumatra Barat tentu berbeda dengan udara di Nusa Tenggara. Sistem cuaca usikan (disturbance). Menurut Wheeler M. , N. Kaladis G ( ) dalam makalahnya Analysis of Cloud Tempertaure in the Wave Number Frequency Domain. Journal of Atm. Sciences. Vol. 56. pp 374 mengatakan bahwa : a. Large parts of synoptic varability in the tropics is due to propagating disturbances moving parallel to the equator. b. Madden Julian eastward wave number 1, 2, 3 centered of about 48 days OLRS. c. The search for any equatorial wave mode is dependent on the identification of ridge in the contours. d. It would seem likely that the convectively coupled equatorial waves, once generated, are inherently more prdictible than weather variations that predicted by red-noise background. Apakah fenomena seperti itu terlihat di Indonesia ? Fenomena tersebut dipelajari dalam skala sinoptik, dan tampak di kawasan Indonesia. Namun demikian dalam skala yang lebih kecil dalam musim monsun dingin Asia mungkin hanya terdapat jelas di Indonesia bagian tengah ( 100 120 BT), bersamaan dengan seruak monsun (monsoon surge) dan gerakan perenggan di lintang tengah utara. Dalam musim monsun Panas Asia terlihat di Sumatra bagian utara dan barat sampai jawa Barat bagian selatan bersamaan dengan pusaran atau palung di lautan India di sebelah barat Sumatra. Variabilitas. Menurut Yamanaka, sistem cuaca kawasan tropik memberikan banyak jenis fluktuasi seperti dalam table berikut ( Yamanaka M.D. 1996).

Kategori Musiman

Variasi Osilasi 10-12

Skala waktu 10 12

Keterangan Osilasi TTO (ten to twelve

dan antar tahun

tahunan (TTO) th ENSO (ElNino 4 th Southern Oscillation) 2 th. QBO (Quasi Binary 0,5 th Oscillation) 30-60 AO (Annual hari Oscillation) ISO (Interseasonal Oscillation)

Gangguan Super cloud 10-20 yang Gelombang Kelvin hari gerakannya Gelobang Kelvin 20 hari ke timur Gelombang Kelvin 10-20 MRG (Mixed Rossby hari Gravity wave) 5 hari 4-5 hari

Gangguan Cloud cluster yang Gelombang dua hari

4 hari 2 hari

oscillation) sering dikaitkan dengan daur bintik matahari. Osilasi troposferik yang dominan dalam kaitannya dengan iklim global, dan dipandang sebagai pasangan laut-atmosfer yang mandiri. Moda osilasi yang dominan di stratosfer ekuator bawah. Juga sebagai komponen osilasi troposfer selatan dan peredaran monsun, tetapi asalnya belum diketahui dengan pasti. Dominan di kawasan khatulistiwa. AO tropopause dan mesopause dipengaruhi / ditimbulkan oleh interaksi aliran (monsun). Gelombang Kelvin dengan bilangan gelombang zonal = 1. Dipandang sebagai hasil dari CSIK (Convective Stability of Secondary Kind). Gelombang Kelvin dengan panjang gelombang zonal 2000-4000 km. Dipaandang sebagai rezim golakan dalam dari ISO yang gerakannya ke timur. Di dekat tropopause, terpusat di Pasifik Barat. Di stratosfer bawah dengan bilangan gelombang k antara 1 dan 2. Di dekat stratopause dengan kecepatan besar ke arah timur. Di stratosfer bawah dengan bilangan gelombang 4 5. Di troposfer. Di dekat tropopause ;

gerakannya Pasang surut ke barat Angin darat-angin laut

Variasi yang lebih pendek

Pasang surut semi harian Awan Cb

berbentuk gelombang gravitas inersia atau siklontropis. Dihasilkan dari mekanisme CISK. Skala planet. Skala meso. 0,5 hari Skala planet. 1 jam Angin laut-angin darat sampai jarak 10 km, didorong oleh kondisi atmosfer takmanta. Dihasilkan dari mekanisme CISK.

1 hari 1 hari

Jadi bila hujan dipandang sebagai salah satu hasil dari berbagai gerak atmosfer dengan berbagai variabilitas tersebut ya memang sangat rumit; apalagi hujan harian. Oleh karena itu data yang digunakan harus sesuai dengan variabilitas yang diperhatikan. --------------Diposkan oleh soerjadi wh di 02:50

Rabu, 22 Desember 2010

SERBA-SERBI CUACA DAN IKLIM INDONESIA (Bagian Ketiga) Monsun


Oleh Soerjadi Wh.

MONSUN

Wajib. Dalam bagian pertama dan kedua monsun telah saya sebutkan meskipun hanya dalam garis besarnya saja. Dalam bagian ketiga ini saya ulangi lagi dan kita bicarakan lebih banyak. Mengapa diulangi ? Menyebut monsun hukumnya wajib bagi semua pemeluk agama cuaca Indonesia.. Karena kalau berbicara cuaca di Indonesia tanpa mengenang monsun rasanya sangat hambar.

Monsun. Monsun sudah lama dikenal, dan banyak yang mendefinisikannya dengan berbagai criteria. Dalam buku Glossary of Meteorology. Asmerican Meteoorological Soiciety- 1980 menyebutkan bahwa monsun adalah : A name for seasonal winds (derived from Arabic mousim, a season). It was first applied to the winds over Arabian sea, which blow for six months from northeast and six months from southwest, but it has been extended to similar winds in other parts of the world. Even in Europe the prevailing west to northwest winds of summer have been called the European monsoon . The primary cause is the much greater annual variation of temperature over large land areas compared with neighboring ocean sutface, causing an excess of pressure over the continents in winter and deficit in summer, but other factors such as the relief features of the land have considerable effect. The monsoons are strongest on the southern and eastern sides of Asia, the largest land mass, but monsoons also occur on the voasts of tropical regions wherever the planetary circulation is not strong enough to inhibit them. They have been described in Spain, northern Australia, Africa except the Mediteranean, Texas and the western coasts of the United States and Chile. In India the term is popularly applied chiefly to the southwest monsoon and, by extension, to the rains which it brings. Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa mausam semula digunakan untuk menamai angin di laut Arab yang dalam setahun bertiup bergantian arah, setengah tahun dari arah timur-laut dan setengah tahun lainnya dari arah tenggara. Bergantinya tiupan angin tersebut berkaitan dengan perbedaan panas yang terdapat di laut dan di daratan luas sehingga timbul beda tekanan udara dengan di darat lebih tinggi dalam musim dingin, dan lebih rendah dalam musim panas. Dari pengertian tersebut maka monsun tidak terdapat di setiap daerah melainkan hanya di kawasan tertentu di kawasan tropik yang kondisinya memenuhi syarat. Tetapi kini dalam kalangan meteorology, kata monsun (yang dalam bahasa Inggris ditulis monsoon ) digunakan sebagai kata istilah untuk nama dari angin dan fenomena-fenomena terkait yang setiap setengah tahun bergantian. Dari pandangan bahwa monsun hanya fenomena bergantinya arah angin saja dalam musim panas dan dalam musim dingin, seperti yang dikemukakan oleh Hann (1908); Shick (1953; Khromov (1957); Kao dkk. (1962), maka istilah monsun tersebut juga diberlakukan di kawasan lain;

misalnya di Eropa yang disebut monsun Eropa; sedangkan musim (yang dalam bahasa Inggris ditulis season) bukan istilah melainkan kata yang mempunyai arti selang waktu yang selama itu terdapat keadaan yang sangat sering terjadi. Misalnya musim dingin, adalah waktu yang selama itu suhu udara selalu rendah; musim hujan, adalah waktu yang selama itu banyak terjadi hujan. Jadi sama penggunaannya untuk misalnya musim duren yang mempunyai arti pada waktu itu banyak buah duren, musim mangga, musim penyakit, dll. Ramage (1971) mengemukakan bahwa daerah monsun ditandai dengan (a) arah angin utama berubah sekurang-kurangnya 120 derajat dari bulan januari dan Juli; (b) rata-rata keseringan angin utama dalam bulan Januari dan Juli lebih dari 40%; (c) sekurang-kurannya sebulan, rata-rata resultan angin dalam sebulan lebih dari 3m/detik; (d) sekurang-kurangnya satu siklon-antisiklon terjadi bergantian di daerah 5 derajat lintang dan bujur. Dengan kriteria yang dikemukakan Ramage tersebut maka daerah antara 35 oLU dan 25 oLS serta antara 30 oBT dan 170 oBT adalah yang memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai kawasan monsun. Dari banyak daerah monsun, yang paling jelas adalah di Asia, Australia Utara, dan Afrika, yang masingmasing dikenal dengan monsun Asia ( Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara), monsun Australia Utara, monsun Afrika (Afrika Selatan, Afrika Barat, Afrika Timur), dan monsun Australia. Selain dengan criteria yang dikemukakan Ramage, kini daerah monsun juga didefinisikan dengan menggunakan kiteria posisi Pias Pumpun Antartropik (PPAT). Pias Pumpun Antartropik adalah lajur perbatasan antara daerah Antisiklonal Utara dan Antisiklonal Selatan (Intertropical Covergence Zone = ITCZ). Digunakannya PPAT sebagai criteria daerah monsun karena daerah yang dilewati PPAT selalu mengalami perubahan arah angin yang memenuhi criteria Ramage tersebut. Dengan demikian maka selain daerah yang telah disebutkan, maka daerah monsun lebih umum terletak di kawasan antara tempat PPAT paling utara (dalam bulan Juli) dan tempat PPAT paling selatan (dalam bulan Januari), termasuk daerah Pasifik timur, Amerika selatan, dan Atlantik barat (tentang PPAT tersebut dibahas lebih rinci dalam bagian keempat). Bila definisinya seperti yang telah disebutkan, maka Indonesia tentunya juga mempunyai monsun. Kalau di India ada monsun baratdaya (southwest monsoon) dan monsun timur laut (northeast monsoon), di Indonesia dikenal monsun barat dan

monsun timur meskipun ada sebagian daerah di kawasan Indonesia bagian barat yang mearasakan adanya monsun baratdaya dan monsun timurlaut. Dalam tulisan ini saya gunakan istilah monsunal Indonesia yakni sifat-sifat serupa monsun. Sejak MONEX tahun 1978/79 diselenggarakan, sudah banyak yang diketahui sifatsifat fisis monsun, meskipun juga masih banyak lagi yang perlu digali. Tetsuzo yasunari (Role of Monsoon on Global Climate) dalam the Third International Symposiumon Equatorial Atmosphere Observation over Indonesia. Jakarta (Grand Hyatt) 14 15 May 1991 ) menyebutkan antara lain, bahwa : - Monsoon system may be considered as a heat engine using water as a fuel. - Strongly suggest that the axisting monsoon and the ENSO shoud be understood as a coupled ocean/land/atmosphere system over Eurasian continent through the Pacific. - The Asian/Australian monsoon system is a typical manifestation of the coupled ocean-land-atmosphere interaction between the largest continent and the largest ocean on the earth, and that it has a dominant role on the global climate system and its variability, fundamentally forced and maintained by the moist processes. - Monsoon system seems to have a principal mode of biennial oscillation, based upon the memory (heat storage) of the tropical Pacific Ocean. - Monsoon system transmits climatic signals from the tropics (lower latitude) to extratropics by means of the Rossby wave propagations forced by anomalous heating in the tropics. - Monsoon system is subjected to the anomalous mid-latitude westerly regimes by means of land surface processes (snow cover, soil moisture etc.) over Eurasian continent. - Monsoon system has a great role on the global climate system as a modulator of interannual variability of the system, by transmitting renewed initial conditions to, and receiving renewed boundary conditions from, the more chaostic mid-latitude westerly zone through the seasonal cycle. - In this process, the water with its three states act as an energy source of the system and, as a substance by which climatic informations are transferred. Dalam The Third International Symposium on Equatorial Atmosphere Observation over Indonesia di Jakarta (Grand Hyatt) 14 15 May 1991 ) juga, Akimasa Sumi mengemukakan bahwa ::

- Monsoon is a dominant phenomena which exist in the tropics. - Land-Ocean contrast in the tropics, which results in the monsoon phenomena, has a strong influence on fixing the location of the convection. Lain lagi, J.C. Sadler and J.T. Lim dalam bukunya (Monsoon Dynamics, edited by Sir James Lighthill & Prof. R.P.Pearce, Cambridge Univ. Press. 1977), menuliskan tentang berbagai indeks untuk mengidentifikasi monsun, antara lain : a) a cross-equatorial meridional wind index for selected longitudinal bands to monitor an outflow branch of summer monsoon area; b) a zonal-average meridional wind index at equator to monitor interhemispheric exchange; c) a zonal-average meridional wind index at some intermediate latitude to monitor the interaction between the tropics and higher latitude. This index should also be maintained for subzones to monitor the preferred areas of strong interaction; d) zonal wind indices at the equator for selected longitude bands to monitor the eastwest or Walker circulations. Dari apa yang telah mereka kemukakan tersebut dapat kita fahami bahwa monsun mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan sistem cuaca dalam berbagai skala, baik skala kecil maupun skala besar. Monsun di sekitar Indonesia. Kawasan Indonesia memang bukan sumber monsun; tetapi terletak dalam daerah kekuasaan monsun, yakni monsun Asia Selatan, monsun Asia Tenggara, dan monsun Australia. Ketiganya saling berinteraksi membentuk sistem monsunal Indonesia. Misalnya, pada waktu Asia musim dingin di sebagian besar Indonesia terjadi musim angin barat (musim barat), dan sebagian kecil di bagian barat terjadi musim angin timurlaut (musim timurlaut); pada waktu Asia musim panas, di sebagian besar Indonesia terjadi musim angin timurtenggara (musim timur), dan sebagian kecil di bagian barat terjadi musim angin baratdaya (musim baratdaya). Musim barat umumnya disertai dengan banyak hujan, sehingga musim barat diidentikkan dengan musim hujan; sebaliknya musim timur disertai dengan sedikit hujan dan diidentikkan dengan musim kemarau. Oleh karena itu untuk membicarakan lebih lanjut tentang sifat monsunal Indonesia lebih dahulu kita simak sejenak sifat-sifat monsun di sekitar Indonesia tersebut. a. monsun Asia Selatan (monsun India). Di India, monsun yang populer adalah monsun barat daya (southwest monsoon) atau monsun dalam musim panas Asia

(summer monsoon) karena banyak memberi hujan dan variasinya besar. 1) Klimatologi : Dari peta sinoptik harian diatas India terdapat palung tekanan rendah di troposfer bawah yang dikenal dengan palung dekat katulistiwa (Near Equatorial Trough) atau palung khatulistiwa (Equatorial Trough). Di sekitar palung merupakan daerah yang banyak hujan. Letak palung khatulistiwa bergeser ke utara dan ke selatan mengikut musim. Dalam bulan Juni sampai September palung tekanan rendah tersebut sangat kuat dan berimpit dengan Intertropical Convergence Zone (ITCZ). Dalam bulan Oktober sampai Mei sulit dibedakan dengan ITCZ, sedangkan dalam bulan Nopember sampai April palung tersebut berpisah dengan ITCZ karena letak ITCZ jauh ke selatan khatulistiwa. Awal munculnya ITCZ digunakan sebagai criteria awal monsun dan juga digunakan sebagai awal dari musim hujan. Menjelang datangnya monsun ( dalam bulan April-Mei) badaiguntur banyak terjadi di India, kemudian berkurang selama monsun berlangsung, Awal monsun ( southwest monsoon) di suatu tempat ditandai dengan : (i) ITCZ berada di tempat tersebut, (ii) ITCZ bergerak terus ke utara dan tidak kembali, (iii) Datangnya ITCZ ditandai dengan : o Angin baratan (westerly) di sebelah selatan ITCZ dengan kecepatan sekitar 20 knot; tebal lapisan angin baratan sampai 6 km dari permukaan laut, o Palung khatulistiwa berimpit dengan ITCZ, o Terjadi hujan lebat dan badaiguntur, (iv) Pada pertengahan bulan Mei hujan monsun mulai di teluk Benggala, selatan Miyanmar, dan Indo-China (Vietnam). (v) Monsun mencapai pantai barat India pada 30 Mei, kemudian terus bergerak ke utara, dan antara 1 Juni sampai 1 Juli meliputi hampir seluruh India. (vi) Rata-rata monsun mulai 30 Mei, dengan simpangan 8,2 hari Surutnya monsun ( southwest monsoon) di suatu tempat ditandai dengan : (i) ITCZ mulai bergerak ke selatan, berawal dari akhir bulan Agustus, mulai dari utara dan sekitar tanggal 15 Oktober monsun timurlaut berakhir di semua tempat. Tetapi di ujung selatan semenanjung daratan India hujan masih ada meskipun bukan kaitannya dengan ITCZ melainkan berkaitan dengan palung khatulistiwa. (ii) Sering disertai dengan kilat dan guntur.

(iii) Paling akhir monsun baratdaya mulai 18 Juni (1972). 2) Indikasi aktivitas (monsun baratdaya). Awal monsun di Kerala ditandai dengan timbulnya angin timuran di Aden pada ketinggian 200 hPa lima sampai enambelas hari sebelumnya, (Sutclift dan Banon 1954, dikutip Asnani), Anomali positip suhu pada 300 hPa di India Utara dalam bulan Mei menandai majunya awal monsun, sebaliknya anomaly negatip menandai mudurnya awal monsun (Rai Sarcar dan Patil-1961, dikutip Asnani), Dalam tahun awal monsun maju peredaran atmosfer pada paras 50 hPa tidak banyak berbentuk sel-sel; sebaliknya pada tahun awal monsun mundur, Ramaswamy 1965-dikutip Asnani), Juga ditunjukkan oleh Ramaswamy-1971 bahwa dalam tahun awal monsun mundur, terdapat anomali positip angin baratan pada paras 500 hPa, Bila awal monsun normal atau mundur, ditandai dengan melemahnya angin baratan secara mendadak (cepat) pada troposfer, sebaliknya bila awal monsun maju, Monsum umumnya ditandai dengan angin baratdaya yang kuat di troposfer bawah dan angin timuran kuat (jet) di troposfer atas, Monsun kuat ditandai dengan q tekanan rendah bahang (heat low) kuat di Asia tengah, q hujan banyak di pantai barat, Monsun lemah ditandai dengan q banyak hujan di Bangladesh dan sering timbul lembangan (depression) di teluk Benggala. Lembangan di teluk Benggala umumnya timbul dalam bulan Juni sampai September dengan paling banyak terjadi di bulan Agustus. Aktivitas monsun tidak terus menerus, melainkan berosilasi sekitar dua mingguan dan 30-50 harian. Model prediksi sudah banyak digunakan, baik dinamik maupun statistik. Dalam menggunakan metode statistik curah hujan selama monsun dikorelasikan dengan banyak parameter, seperti misalnya yang digunakan oleh Thapliyal (1991) dengan 7 parameter:
7

R = Co + S Ci X i
i=1

dengan R = curah hujan monsun dalam cm, X1 = posisi ridge subtropik 500 hPa sepanjang 75 BT bulan April, X2 = suhu minimum di pantai timur bulan Maret, X3 = suhu minimum India Utara bulan Maret, X4 = SML sepanjang pantai Peru dan Equador bulan Agustus sebelumnya, X5 = tekanan udara belahan bumi utara bulan januari sampai April, X6 = Kecenderungan perubahan SML pantai Peru dan Equador bulan Januarai sampai Maret, X7 = tekanan Darwin selama musim dingin C konstanta, dengan Co = -1,66; C1= 27,34; C2= 65,66; C3= -2,44; C4= 4,23; C5= 1,21; C6= 2,02; dan C7= -13,29. Kini dikembangkan lagi menjadi 16 parameter Note : Bila monsun panas (southwest monsoon India) kuat dan banyak hujan di pantai barat India, musim kemarau di Indonesia mundur dan kering; sebaliknya bila southwest monsoon lemah. b. monsun Asia Tenggara. Berbeda dengan monsun di India, monsun Asia Tenggara yang dominan bagi Indonesia adalah monsun timurlaut (northeast monsoon) atau monsun Asia musim dingin (winter monsoon). 1) Klimatologi : Monsun panas di kawasan Asia Tenggara mulai di Thailan 13 Mei dan terus bergerak ke utara sampai sekitar 33 LU sekitar 12 Juli, tetapi gerakannya tidak teratur, dan kemudian adakalanya timbul cabang dan berkembang ke utara sampai 40 45 LU sampai akhir Juli. Dalam periode monsun panas di lautan Pasifik sebelah timur Pilipina timbul siklon tropik. Monsun panas mulai melemah bulan Agustus. Monsun dingin berasal dari Asia tengah mencapai Cina mulai Oktober sampai Nopember; kemudian terus bergerak ke arah selatan. Selama musim dingin semua sistem angin dan tekanan adalah imbas dari perpindahan gelombang siklon ekstratropik yang membawa hujan di Cina. 2) Indikasi (aktif) monsun dingin Asia. Anomali tekanan positip di Asia tengah, Sering timbul seruak,

Angin timur laut kuat di troposfer bawah dan angin tenggara kuat di lapisan atas ( 200 hPa), Punggung (ridge) di lapisan atas (500 mb) meluas ke selatan sampai mencapai di atas 10 LU c. monsun Autralia Utara. 1) Klimatologi. Monsun memberi banyak hujan dalam musim panas, dan kering dalam musim dingin di Australia, Awal monsun didefinisikan dengan saat pertama kali sesudah 1 Nopember, empat atau lebih dari 6 stasiun di sekitar Darwin mencatat curah hujan lebih dari 19(n+1) mm (n = banyaknya hari sesudah 1 Nopember) (Troup 1961). Awal monsun juga didfinisikan dengan angin pada paras angin landaian (gradient wind, sekitar 0,9 km), yakni ketika Darwin mencatat angin barat terus-menerus dengan komponen zonal lebih dari 5,15(n+1) mpd. (n = banyaknya hari setelah 1 Nopember). Nichols (1982) mendefinisikan awal monsun basah dengan indeks yang dibuat berdasarkan curah hujan kumulatip di airport Darwin setelah tanggal 1 Agustus. Indeks tersebut adalah 10; 50; 100; 250; dan 500 mm, yang masing-masing terjadi rata-rata tanggal 4 Oktober; 26 Oktober; 11 Nopemeber; 6 Desember; dan 1 Januari. Dengan criteria Troup dan Nichols tersebut diperoleh bahwa 30% curah hujan jatuh sebelum awal musim dengan criteria angin. Lebih rinci Holan mengemukakan bahwa awal monsun tersebut ditandai dengan terjadinya angin baratan di atas Darwin dan curah hujan rata-rata dari seluruh hari antara Oktober sampai Nopember dari semua stasiun hujan di sekitar Darwin lebih dari 7,5 mm/hari. Dalam bulan Januari komponen baratan (westerly) pada paras 500 hPa mencapai 15 LS; diatasnya terdapat komponen timur. Monsun berosilasi 30-50 harian. Dalam monsun terdapat banyak struktur skala meso, (M.J. Manton dan J.L. McBride Recent Research on the Australian Monsoon 1994). Curah hujan rata-rata musiman di Australia Utara berkorelasi kuat dengan anomaly angin zonal, baik pada paras bawah (850 hPa) maupun pada paras atas (150 hPa).

(dikutip dari Holton 1986). Daerah golakan skala sinoptip di Monsun Australia dipacu oleh gerakan longitudinal (arah barat-timur), sedangkan di Monsun India aktivitas golakan bersamaan dengan gerak PPAT (Pias Pumpun Antartropik = Intertropical Convergence Zone ITCZ). (dikutib dari Shika dan Gadgil-1980). Moda Rossby yang terperangkap di khatulistiwa menimbulkan angin baratan di lapisan bawah di bagian barat dari daerah pelepas energi pendam skala besar, sedangkan moda Kelvin yang timbul di bagian timur menghasilkan angin timuran di lapisan bawah Pasifik Tropis (dikutip dari Hendon 11988, Chen at. al. 1989, Mqatsumo 1966, Webster 1972, Gill 1980). Lembang tropis (tropical depression) sampai siklontropis (disebut willy willy) sering timbul di timurlaut Australia (umumnya bulan Nopember sampai Maret). 2) Indikasi (aktif): Terdapat golakan kuat di Australia Utara dan Barat laut, Pusaran timbul di sekitar 20 LS 120 BT, Dipicu oleh seruak dingin (cold surge) dari Laut Cina Selatan (monsun dingin Asia), Sering timbul seruak angin selatan di sepanjang pantai barat Autralia Monsun Indonesia. 1). Klimatologi. Di Indonesia dikenal ada dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Umumnya musim hujan berkaitan dengan monsun. Pengkajian tentang monsun telah lama dilakukan, antara lain Walker (1924), Ramage (1967) dll. Demikian juga pengkajian mengenai hubungan dan kaitan antara monsun Asia dan Australia dengan system cuaca dan musim di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Boerema (1926), de Boer (1948). Cuaca di Indonesia berfluktuasi dengan berbagai variasi, dari variasi harian (diurnal variation), variasi tahunan (annual variation), variasi musiman (seasonal variation), variasi intra musiman (intraseasonal variation), variasi antartahunan (interannual variation), dst. Karena letak wilayah Indonesia di sekitar khatulistiwa, maka wilayah tersebut menerima sinaran matahari terus-menerus sepanjang tahun tetapi berbeda mencolok pada waktu siang dan malam hari. Perbedaan sinaran siang dan

malam hari memberi ciri yang kuat berupa variasi harian unsur cuaca, terutama pada suhu, tekanan, angin, dan kelembapan. Variasi harian suhu yang nyata adalah variasi harian dengan maksimum pada siang hari dan minimum pada malam menjelang pagi hari. Variasi harian tekanan mempunyai maksimum dua kali dan minimum juga dua kali. Maksimum terjadi pada sekitar pukul 10 pagi dan 10 malam, sedangkan minimum pada sekitar pukul 4 pagi dan pukul 4 sore. Variasi harian angin terdapat di tempat-tempat tertentu, misalnya di kawasan pantai variasi harian ditandai dengan adanya angin darat dan angin laut, di pegunungan dengan angin lembah dan angin gunung. Variasi harian kelembapan nisbi udara berkebalikan dengan variasi harian suhu, yakni minimum pada saat suhu mencapai maksimum dan maksimum pada waktu suhu mencapai minimum. Variasi harian curah hujan sangat bergantung kepada tempatnya; di atas daratan hujan lebih banyak terjadi pada siang dan sore hari, sedangkan di atas laut dan teluk sering terjadi pada waktu malam dan menjelang pagi hari. Namun demikian variasi harian tersebut dapat terganggu karena adanya gangguan dari sistem yang lebih besar, ,misalnya monsun. Sesuai dengan letak geografinya Indonesia mempunyai variasi musiman. Variasi musiman tersebut dapat jelas terlihat pada curah hujan. Oleh karena itu dikenal musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut dibedakan dari banyaknya curah hujan. Pada umumnya sewaktu matahari ada di belahan bumi selatan dari bulan Oktober sampai Maret, curah hujan lebih banyak dibandingkan sewaktu matahari di ats belahan bumi utara dari bulan April sampai September. Untuk membedakan kedua musim tersebut BMG menggunakan criteria banyaknya curah hujan sama atau lebih dari 50 mm tiap dasarian; meskipun dengan criteria tersebut banyak daerah yang sulit dibedakan antara musim hujan dan musim kemarau. Dalam table berikut ditunjukkan sebaran jumlah curah hujan bulanan di beberapa tempat yang berbeda variasinya. Variasi musiman juga terlihat pada arah angin meskipun tidak sama arah anginnya; misalnya di Sumatra Barat variasi musiman berupa perubahan dari angin baratdaya dan timurlaut, di Jawa terlihat dari perubahan angin barat

dan angin timur. Variasi-variasi tersebut berkaitan dengan monsun Asia dan monsun Australia. Di beberapa daerah misalnya di Jawa bagian timur, Bali, Nusa tenggara serta daerah lain yang berdekatan dengan Australia, variasi musiman suhu maksimum dan minimum juga terlihat jelas. Minoru Tanaka (1994) mengemukakan bahwa daur musim kemarau yang diidentifikasi dengan menggunakan jumlah liputan awan di Jawa dan sekitarnya mempunyai variasi kisaran sampai 35% sedangkan daur intra musiman sekitar 5%. Hal tersebut sesuai dengan pendapat M.J. Manton dan J.L. McBride yang mengemukakan bahwa dalam daerah monsun lebih banyak struktur skala meso. Awal musim hujan oleh De Boer (1948) dicirikan dengan jumlah curah hujan dasarian. Bila dalam lebih dari tiga dasarian berturut-turut dalam periode Oktober sampai Maret terdapat curah hujan yang jumlahnya sama atau lebih dari 50 mm maka dasarian yang pertama ditetapkan sebagai awall musim hujan. Sebaliknya untuk musim kemarau. Untuk menandai keadaan atau kadar musim digunakan nilai simpangan. Jika simpangan melebihi dari 0,5 dari simpangan baku disebut atas normal dan bila lebih dari 0,5 dibawah simpangan baku disebut bawah normal. Kriteria tersebut masih digunakan oleh BMG sampai saat ini meskipun sering mengalami kesulitan dalam penerapannya, karena banyak tempat yang curah hujan bulanannya selalu besar dan selalu kecil sehingga dengan criteria tersebut terdapat tempattempat yang tidak mempunyai musim hujan atau musim kemarau. Harjawinata S dan Muharyoto (1980) menggunakan keseringan angin permukaan sampai 850 hPa untuk mengidenditifikasi awal musim. Dikatakan bahwa awal musim barat disuatu tempat mulai apabila keseringan angin barat di tempat tersebut telah mencapai 50%. Namun demikian criteria tersebut tidak selalu dapat digunakan untuk mengidentifikasi musim hujan karena musim hujan di semua tempat tidak berkaitan dengan musim angin barat. Kesulitan lain dalam menandai awal musim adalah ikut andilnya luas wilayah dan struktur kepulauan dalam pembentukan cuaca skala meso. Penentuan awal musim dengan menggunakan parameter lain misalnya tekanan udara seperti yang digunakan oleh Berlage (1927), Resink (1952) dan Berlage (1968) juga tidak menunjukkan korelasi yang tinggi. Nichols

(1980) dengan menggunakan parameter tekanan udara Darwin dan curah hujan bulanan di Jakarta menunjukkan bahwa korelasi yang agak tinggi hanya dalam bulan Juli sampai September. Minoru tanaka (1994) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara awal musim yang diperoleh dengan menggunakan criteria awan dan criteria angin. Dalam periode monsun panas Australia atau musim dingin Asia, untuk wilayah Indonesia bagian barat dan utara serta di bagian timur (Maluku, Irian Jaya) lebih dahulu angin (10-50 hari) daripada awan; untuk wilayah Indonesia bagian selatan dan tengah lebih dahulu awan (sampai 30 hari) daripada angin. Pada awal dan menjelang akhir musim hujan monsun banyak terjadi guntur. Curah hujan di Indonesia umumnya berjumlah besar di separoh tahun dan sedikit di separoh tahun sisanya. Variasi tersebut berkaitan erat dengan sistem peredaran atmosfer di sekitar Indonesia. Salah satu diantaranya adalah peredaran monsun Asia dan Australia. Namun demikian sebarannya mengikut waktu sangat beragam. Dengan menggunakan data curah hujan, Boerema (1941) menunjukkan adanya 153 tipe sebaran curah hujan bulanan, 69 terdapat di Jawa dan Madura serta 84 di daerah lain. Eguchi (1988-yang dikutib Yamanaka) dengan menggunakan data dari 669 stasiun hujan membagi Indonesia dalam tiga wilayah (tidak termasuk Irian jaya)., yakni : (a) Jawa-Bali-Nusa Tenggara, yang musim hujannya lebih pendek dari musim kemarau, bersamaan dengan musim barat di Australia. Makin ke timur makin sedikit curah hujannya. (b) Sumatra dan Kalimantan bagian barat, yang mempunyai maksimum curah hujan dua kali dalam musim panas di belahan bumi selatan (Oktober Februari), (c) Kalimantan bagian timur, Sulawesi, dan Maluku yang mempunyai satu atau dua kali periode hujan dengan maksimum bulanannya terdapat dalam bulan musim semi atau musim panas di belahan bumi utara (Maret Juli), dan dikuasai oleh pasat Pasifik yang membawa hujan sedikit. Table 1. Sebaran curah hujan bulanan di beberapa tempat (1970-2000) sumber data: BMG-des.2003 Tempat Medan jan feb mar apr mei jun jul agt sep okt nop des setahun

83 114 101 168 192 142 170 169 230 291 236 250 2146

Ppinang 270 220 254 230 211 140 123 102 122 160 251 311 2394 Ptianak 263 196 202 263 231 191 190 184 253 271 340 258 2614 Bjmasin 362 299 304 246 218 133 138 Makasar 682 589 382 229 133 78 Palu 54 37 69 45 56 66 90 89 152 257 366 2677 43 109 350 602 3272 53 46 50 54 676

60 14 69 57

Manado 381 347 353 258 289 272 141 130 173 244 316 357 3281 Jakarta 393 276 214 142 105 95 61 92 46 103 112 228 1860 8 31 116 298 2036

Sbaya (juan) 434 379 291 234 123 68 Kupang 758 897 535 193 49 23 19 5

41 13 3

19 215 572 3285

Ambon (Patt) 128 111 134 155 339 456 450 346 159 92 62 117 2549 Biak (mokmer) 258 246 267 205 256 221 235 236 217 213 197 213 2784 Merauke 232 207 232 230 96 36 33 21 27 40 66 169 1391

Analisis data curah hujan dari data global yang dilakukan Tim S-VII (Tien Andri) memperoleh peta isohyet yang menunjukkan bahwa di wilayah Indonesia terdapat lima daerah hujan, yakni :

(a) Daerah di sekitar laut Cina Selatan termasuk Sumatra sebelah utara dan timur Bukit Barisan, Kalimantan Barat dan Selatan, Jawa barat bagian utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Daerah-darah tersebut menjadi daerah banyak hujan dalam bulan Nopember sampai Januari. (b) daerah sekitar lutan India, termasuk Sumatra di bagian barat dari Bukit Barisan, Jawa Barat bagian barat-daya. Daerah tersebut hampir sepanjang tahun menjadi daerah banyak hujan. (c) Daerah kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, mempunyai maksimum sangat tinggi dalam bulan Desember Februari. (d) Daerah Maluku bagian tengah dan Irian Jaya bagian utara dengan curah hujan banyak dalam bulan Juli sampai September. (e) Daerah Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya bagian selatan yang berdekatan dengan Australia Utara dengan curah hujan banyak dalam bulan Desember sampai Maret. Selama monsun barat, PPAT terdapat di kawasan Indonesia, sedangkan dalam musim timur berada di luar sebelah utara. Mulai masuk Indonesia

sekitar bulan Nopember dan gerak umumnya dari utara ke selatan sampai bulan Januari, kemudian kembali ke utara; tetapi gerak hariannya tidak tetap; ada kalanya hari ini ke utara besoknya ke selatan dan sebaliknya. 2) Indikasi (aktivitas). Kadar monsun dan juga musim di Indonesia tidak tetap, melainkan berfluktuasi dengan berbagai variasi intra musiman (intraseasonal) sampai antar tahunan (interannual) sebagai akibat dari adanya berbagai gangguan dari sistem peredaran lain. Dalam skala variasi intra musiman berbagai fenomena yang mempunyai kaitan cukup berarti adalah : seruak monsun (monsoon surge), alir lintas ekuator (cross equatorial flow), Pias Pumpun Antartropik = PPAT (Intertropical Convergence Zone = ITCZ), pusaran (vortice), dan lembang tropik (tropical depression). Pemanasan musiman di atas Kalimantan yang ditutupi hutan hujan tropis mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan timbulnya monsun panas Asia (Murakamin T. dan J. Matsumoto-1994 -GEWEX). Monsun Asia dan Australia dalam skala planet memberi dampak berbeda di setiap wilayah, berkenaan dengan kondisi wilayah yang bersangkutan. (GEWEX) Salah satu dari fenomena monsun adalah dorongan yang menimbulkan arus besar yang berlangsung dalam waktu pendek serupa dengan denyutan yang disebut seruak monsun. Dalam monsun dingin Asia dikenal dengan istilah seruak dingin (cold surge) yang ditandai dengan naiknya tekanan udara dan penurunan suhu dengan cepat, serta bertambahnya kecepatan angin. Observatorium Meteorologi Hongkong, dan juga yang digunakan dalam analisis pendahuluhan (quicklook analysis) MONEX 1078/1979 menggunakan criteria bahwa seruak dingin mencapai Hongkong apabila tekanan udara di Hongkong mencapai lebih tinggi dari 1030 hPa, dan penurunan suhu lebih dari 5 oC selama 24 jam. Dari kajian yang dilakukan menyimpulkan bahwa keseringah timbulnya seruak dingin merupakan indicator akan kadar monsun. Wirjohamidjojo S (1980), Hadi Suyono dan Widada S (1999) menunjukkan adanya seruak dingin tersebut diikuti dengan bertambahnya kecepatan angin di atas laut Cina Selatan ke arah selatan, dan bertambahnya hujan di sekitar laut Jawa.

Baik dalam periode monsun dingin maupun dalam periode monsun panas Asia, di atas daerah khatulistiwa, khususnya di sekitar laut Cina Selatan, sering terdapat angin yang seragam arahnya. Pada musim monsun dingin Asia dari arah timur laut, dan pada musim monsun panas dari arah tenggara sampai selatan. Dalam keadaan demikian dikatakan terdapat alir lintas khatulistiwa. Adanya alir lintas khatulistiwa dalam musim monsun dingin Asia diikuti dengan banyak curah hujan di Indonesia (Wirjohamidjojo S 1980, 1982). Dengan menggunakan data ECMWF Hadi Suyono dan Widada S (1999) menunjukkan hal yang sama, dan ditunjukkan pula bahwa alir lintas khatulistiwa tersebut diikuti dengan perpindahan energi kinetik serta aliran dengan kepusaran nisbi (relative vorticity) tinggi di atas laut Jawa. Di India alir lintas khatulistiwa dalam monsun panas Asia digunakan untuk mengidentifikasi mulainya monsun (Sikka D.R. dan William m. Gray 1981). Dalam monsun dingin Australia alir lintas khatulistiwa dapat digunakan sebagai petunjuk kekuatan monsun Australia tersebut (Shiyan tao dan Lonxun Chen 1987).

Fenomena berupa pusaran sering terjadi di laut Ciana Selatan dan lautan India di sebelah barat Sumatra, baik dalam periode musim monsun panas maupun dalam musim monsun dingin Asia.

(a) Di atas laut Cina Selatan dalam musim monsun dingin Asia, pusaran merupakan hasil interaksi antara massa udara maritime tropis Pasifik Barat dan massa udara kontinental dingin; sedangkan dalam musim monsun panas Asia pusaran merupakan hasil interaksi antara massa udara maritime tropik Pasifik Barat dan massa udara khatulistiwa lautan India. Keduanya terbentuk dari pertemuan angin baratan khatulistiwa kuat dan lebih kuat dibandingkan dengan angin timuran Pasifik. Dalam musim monsun panas pusaran sering berupa kelanjutan dari siklontropik dari Pasifik Barat.

Gb.1. Pusaran dalam bentuk siklontropik.

Dalam musim monsun dingin adanya pusaran menghalangi masuknya udara monsun ke wilayah Indonesia yang terletak di sebelah selatannya. Bila pusaran di atas laut Cina Selatan terjadi dalam musim monsun panas dapat memperkuat alir lintas khatulistiwa ke utara, dan sebagai petunjuk kuatnya monsun panas India atau kuatnya monsun dingin Australia,dan kuatnya musim kemarau di Indonesia. (b) Pusaran di lautan India di sebelah barat Sumatra juga dapat timbul dalam musim monsun dingin maupun dalam musim monsun panas Asia. Kemunculannya bersamaan dengan palung khatulistiwa. Palung tersebut juga sebagai sambungan dari palung tekanan rendah diantara dua tekanan besar di lautan India barat dan timur. Pusaran tersebut hidupnya lebih permanen dan letaknya bergeser ke utara dan ke selatan mengikut gerakan Pias Pumpun Antartropik (PPAT). Bila sering timbul dalam musim monsun panas Asia, merupakan petunjuk lemahnya monsun panas tersebut atau lemahnya monsun dingin Australia, dan diikuti dengan musim kemarau yang basah di Indonesia. Sebaliknya bila monsun panas India kuat diikuti dengan kuatnya monsun dingin Australia pusaran berkurang jumlahnya dan diikuti dengan kemarau kering di Indonesia.

Gb.2. Pusaran di laut India sebelah barat Sumatra.

Lembang tropis (tropical depression) di Australia Utara adalah salah satu komponen penting dari monsun Australia. Musim lembang tropis tersebut adalah bulan

Desember sampai Maret (Mc.Bride J.L. 1987). Adanya lembang tropis tersebut menandai kuatnya monsun panas Australia. Imbas dari lembang tropis berupa angin kencang dan hujan lebat dapat dirasakan di kawasan Nusa Tenggara sampai Bali. Garis geser angin (shearline) sering timbul dalam musim monsun panas maupun dalam musim mosnsun dingin Asia, terutama dalam musim transisi bulan april dan Nopember. Pada daerah geser angin terdapat usaran-pusaran kecil yang dapat menimbulkan golakan dan awan-awan golakan dan banyak hujan. Palung khatulistiwa timbul dalam keadaan tekanan udara di belahan bumi selatan dan utara hampir seimbang. Bila PPAT terdapat di utara khatulistiwa, daerah hujan terdapat di depan PPAT dekat khatulistiwa; dan bila PPAT di sebelah selatan khatulistiwa dan terjadi arus lintas khatulistiwa, daerah hujan ada didepan PPAT, sedangkan bila tidak disertai arus lintas khatulistiwa daerah hujan ada di belakang PPAT menghadap khatulistiwa. Palung udara atas terdapat pada paras 500 hPa atau di paras lebih tinggi. Letaknya membujur ke arah selatan sampai mencapai di atas lintang 10 oLU dengan amplitudo sekitar 10 derajat lintang. Palung tersebut bertindak sebagai pengendali timbulnya seruak di lapisan bawah pada musi munsun dingin Asia. KESIMPULAN. Monsun di sekitar Indonesia mempunyai peran banyak dalam tatanan sistem cuaca di Indonesia. Indikasi aktivitas monnsun di sekitar Indonesia tersebut menjadi pula indikasi aktivitas monsun Indonesia. Pada dasarnya PPAT adalah daerah pumpunan yang dibentuk oleh aliran pasat dari sistem antisiklonal oleh karena itu udara bersifat mantam (stable) dan terdapat sungsangan (trade inversion). Pumpunan menjadi kuat dan mengalahkan sungsangan apabila didoorong oleh angin baratan khatulistiwa. Karena sifat mantab tersebut maka terjadi proses lataan (advection). Oleh karena itu peran lautan yang dilalui udara monsun sebagai sumber uap air menjadi sangat penting. Bila factor-faktor luar dipandang sebagai pendorong, maka sistem cuaca Indonesia

diringkaskan seperti pada tabel matriks berikut :

SKALA DAN SISTEM CUACA INDONESIA YANG BERKAITAN DENGAN FAKTOR PENDORONG (LUAR)

Parameter Indikator Global SML Pasifik SML India Hemisfer Monsun Monsun (seruak Gel. Rossby; / monsoon Osilasi Selatan surge) (SO). MesoSeruak PPAT; Kepusaran; sinoptik Monsun Gangguan Beraian angin. sinoptik (pusaran, siklontropis, dll.) Meso Kepusaran; Pemanasan Peredaran local beraian (stabilitas local) udara local (angin darat laut; angin gunung lembah; dll.) Mikro Peredaran Sinaran Depresi titik lokal matahari embun; beda suhu permukaan tanah dan udara.
PROBLEMA.

Skala

Faktor Faktor pemicu pendorong ENSO Monsun

Fenomena yang tampak. Panjang musim wilayah Awal musim; jml. curah hujan semusim wilayah. Daerah hujan; kepadatan hujan daerah.

Kabut; awan; hujan harian; kelebatan hujan daerah sempit (setempat). Iklim mikro

Indikasi-indikasi seperti yang telah disebutkan masih sedikit yang ditunjukkan dalam model-model numeric, Masalah data (harian) masih menjadi dilemma, Data citra satelit utamanya OLR dapat membantu DAFTAR RUJUKAN. Borema J. Dr. (1924). Typen van de Regenval in Nederlandsch Indie (Rainfall Types in the Netherlands Indies). Verhandilingen no. 18. Meteorologische Observatorium

Batavia (sekarang Badan Meteorologi dan Geofisika). BMG (2003). Laporan Akhir Pemutakhiran Rata-Rata Curah Hujan Di Indonesia Periode 1971 2000. Desember 2003. De Boer, H.J. (1948). On Forecasting the Beginning and the End of the Dry Monsoon in Java and Madura. Verhandilingen no. 32. Koninklijk Magnetisch en Meteoorologisch Observatorium Batavia (sekarang Badan Meteorologi dan Geofisika). Euguchi J. (1996). Rainfall Distribution and Air Stream Over Indonesia. Geograph. Review Japan 56. 151 170. Hardjawinata dan Muharyoto (1980). On the Onset of the Monsoon and Season in Indonesia. International Conference On the Scientific Results of Monsoon Experiment. WMO- Bali Oct. 1981. Hardjawinata dan Wirjohamidjojo S. (1989). Prosiding Loka Karya Hari Meteorologi 23 Maret 1988. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Hadi Suyono dan Widada S. (1999). Studi Tentang Pola Sirkulasi Meridional Pada Saat Berlangsungnya Seruak dingin. Buletin Meteorologi dan Geofisika ISSN 02151952 Maret 1999. Badan Meteorologi dan Geofisika. McBride J.L. (1987). The Australia Summer Monsoon. Monsoon Meteorology. Oxford Monograph on Geology and Geophysics No. 7 pp 203-231. Oxford University Press. Mandon M.J. and J.L. McBride (1991). Recent Research on the Australian Monsoon. Met. Soc. Of Japan. January 1992 pp. 275. Minoru Tanaka (1994). The Onset and Retreat Dates of Austral Summer Monsoon Over Indonesia, Australia and New Guinea. Journal Met. Soc. Of Japan April 1884. Nichols (1981). Long-range Forecasting in Indonesia. Report as WMO/UNDP Consultant. Unpublished. Shiyan Tao and Longxun Chen (1987). A Review of Recent Research on the East Asian Summer Monsoon. Monsoon Meteorology. Oxford Monographs on Geology and Geophysics no. 7 pp 61-89. Oxford University Press. Sikka D.R. and William M. Gray (1981). Cross Hemispheric Actions and the Onset of the Summer Monsoon over India. International Conference On the Scientific Results of MONEX. Bali 1981. WMO pp 74. ------ (1995). The South China Sea Monsoon Expereiment (SCSMEX). Science Plan. Reviced January 1993. Soerjadi Wirjohamidjojo, Andri Purwandani, Tien Sribimawati( KPDA / Tim

SVII BPPT). Monsun Bagi Cuaca dan Musim di Indonesia. Tien Sri Bimawati, Soerjadi Wh, Widada S., Yunus S.S., Urip Haryoko, Haryono, A. Zakir (1998). Variabilitas Keikliman di Indonesia. Jurnal IPTEK UPT Hujan Buatan BPPT no. 2. Th. 2. Maret 1998. hal.1-11. ISSN 1410. 4857. ------ (1981). International Coonference on Early Results of FGGE and Large-Scale Aspects of its Monsoon experiments. Talahassee, Florida. USA 12-17 January 1981. WMO ------ (1994). GEWEX Asian Monsoon Experiment. Science Plan Oct. 1994. Japan National Committee for WCRP. Wirjohamidjojo S. (1980). Hubungan antara Gelombang Dingin Asia dan Cuaca di Indonesia. Balai DIKLAT Meteorologi dan Geofisika Jakarta. Wirjohamidjojo S. (1982). The Main synoptic Feature and the Relation to the Distribution of Rainfall Over Java Sea and its Sorrounding During Winter MONEX Period. Int. Conference of Scientific Results MONEX. Bali Yamanaka M.D. (1998). Climatology of Indonesian Maritime Continent. RASC Kyoto University. Japan. Yudi Riamon dan Widada S. (1999). Variasi Curah Hujan Harian di Jakarta. Buletin Meteorologi dan Geofisika. ISSN 0215 1952. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. ------------Diposkan oleh soerjadi wh di 20:30

Senin, 10 Januari 2011

SERBA-SERBI CUACA DAN IKLIM INDONESIA (Bagian Keempat)


PIAS PUMPUN ANTARTROPIK (PPAT) Oleh Soerjadi Wh.

Seperti halnya monsun, Pias Pumpun Antartropik (PPAT) juga sudah lama dikenal. Dahulu dikenal dengan nama Intertropical Front (ITF). Pengenalan tentang PPAT diawali pandangan bahwa dalam skala besar di khawasan tropik terdapat daerah pertemuan antara dua peredaran antisiklonal utara dan selatan. Batas antara kedua peredaran tersebut dikenal dengan nama ekuator meteorologi. Diserupakan dengan sistem tekanan di kawasan lintang tengah dan lintang tinggi, maka ekuator meteorologi dipandang sebagai palung (trough) yang membagi troposfer menjadi dua belahan bumi (hemisfer) meteorologi. Oleh karena itu ekuator meteorologi dikenal juga dengan nama diskontinuitas antartropik, atau perenggan antartropik (Intertropical Front = ITF), atau perenggan monsun, atau palung monsun.

Dari penelitian dan pengalaman dalam pengamatan ternyata bahwa sifat diskontinuitas dan sifat perenggan tidak jelas dalam ekuator meteorologi tersebut. Oleh karena itu sebutan diskontinuitas antartropik, perenggan antartropik, dan perenggan monsun tidak popular lagi. Simpson (1965) mengggunakan nama Intertropical Convergence Zone (ITCZ); alih bahasa istilah Indonesianya Pias Pumpun Antartropik (PPAT) (kamus istilah Hidrometeorologi). Mengapa diberi nama ITCZ atau PPAT ? Simpson pertama kali mengemukakan bahwa dalam analisis medan angin di kawasan tropik terdapat pumpunan angin pasat dari belahan bumi selatan dan dari bumi utara dan tempat diskontinuitas (perubahan arah dan atau kecepatan) angin. Dalam perkembangannya, dengan makin banyak pengamatan memberi petunjuk bahwa untuk mencirikan PPAT perlu disesuaikan dengan skala pembicaraan. Dalam skala global PPAT dicirikan dengan : Sebagai batas sel Hadley di arah khatulistiwa, namun bila sampai batas paling jauh dari khatulistiwa tidak lagi selalu sebagai pertemuan massa udara dari kedua belahan bumi, Geraknya ke selatan utara mengikut pergerakan matahari, mencapai paling utara pada bulan Juli dan mencapai paling selatan dalam bulan Januari. Posisinya pada belahan bumi yang sedang dalam musim panas; tetapi di atas lautan Atlantik dan Pasifik hampir sepanjang tahun terdapat di belahan bumi utara dan pergeserannya kecil. Hal tersebut karena tekanan tingggi subtropik selatan di

kawasan tersebut lebih mantap. Pergeseran tahunan yang paling besar terdapat pada bagian di atas Asia selatan Lautan India. Besarnya pergeseran tersebut karena berkaitan dengan monsun. Di atas lautan luas letaknya hampir berimpit dengan daerah suhu muka laut paling tinggi,

Gb. 1. Posisi PPAT paling utara (atas) dan paling selatan (bawah) (Mints Dean) Dalam skala planeter dan sinoptik dicirikan dengan : PPAT adalah daerah pumpunan angin di troposfer paling bawah, PPAT adalah daerah pertemuan antara dua peredaran antisiklonal utara dan selatan. Dalam perjalannya sehari-hari posisi PPAT tidak tetap dan tidak tepat di khatulistiwa atau sejajar garis lintang geografi, Pergeseran tahunan tidak sama di setiap tempat, dan gerakan setiap harinya tidak tetap dalam satu arah; pada suatu saat bergerak ke utara, pada saat berikutnya dapat terus ke utara atau berbalik ke selatan, Pada PPAT udara cenderung bergerak ke atas, sehingga di daerah pias tersebut terdapat banyak awan golakan dan hujan, PPAT terletak di kawasan monsun.

Gb. 2. PPAT dan angin (atas) dan sistem tekanan ketika monsoon aktif bulan Desember
Dalam skala meso dicirikan dengan : Dapat berupa pertemuan angin pasat, dapat berupa pertemuan peredaran monsun, dapat berupa palung dekat khatulistiwa atau garis geser angin (windshear line) Tidak selalu berimpit dengan daerah padat awan.

Gerak hariannya tidak teratur. Tidak berupa pias atau lajur yang bersinambungan melainkan dapat terputus.putus. Bila sebagai pertemuan pasat (di bagian timur Indonesia), disekitar PPAT terdapat sungsangan pasat yang makin mendekati PPAT sungsangan berkurang dan terdapat golakan yang lebih besar (Wayne H Schubert etal.-1995) Dalam Journal Atmospheric Science. American Meteorological Soc. Vol. 52. Number 16. 15 August 1995. pp 2941 2952, Wayne H. Schubert etal. (1995) mengemukakan bahwa : o In schematic north-south cross sections the trade inversion layer is often depicted as sloping upward as air flows toward the intertropical convergence zone. o The stronger inversion to be somewhat lower and near 850 mb ( 1500 m), (Note : ke arah ITCZ terdapat golakan makin besar). Bagaimana PPAT di kawasan Indonesia? Di kawasan Indonesia: PPAT berada di kawasan Indonesia dari bulan Oktober sampai April. Jadi dalam musim hujan pada umumnya. Tidak merupakan pertemuan aliran antisiklonal utara dan selatan yang sama, Pergeseran umumnya dari utara ke selatan, namun daerah awan berkembang dari barat ke timur, Aktivitasnya berbeda sesuai dengan massa udara dan kondisi setempat. Posisi aktif di belakang gerak matahari pada waktu matahari bergeser ke selatan, dan di depan matahari pada waktu matahari bergeser ke utara. a. Di bagian barat (Sumatra bagian barat sampai NAD). PPAT terdapat diantara massa udara monsun timurlaut sebagai kepanjangan dari monsun dingin Asia Tenggara, massa udara lautan India utara sebagai kepanjangan dari monsun Asia Selatan, dan massa udara dari lautan India Selatan sebagai kepanjangan pasat belahan bumi selatan. Pada waktu musim dingin Asia, PPAT memasuki wilayah ini dari utara mulai bulan Oktober sampai Desember, selanjutnya bergerak ke selatan menjauhi khatulistiwa.

Dalam bulan Januari sampai Maret PPAT sering tidak jelas karena berbaur dengan palung dekat khatulistiwa ; kadang-kadang terlihat dua daerah lajur awan dari garis geser angin. Bila terdapat dua garis geser angin, diantara garis tersebut adalah lajur baratan khatulistiwa. Letaknya berubah-ubah sehingga angin permukaan di suatu tempat juga berubah-ubah dari tenggara dan dari baratlaut. Berikut saya kutib hasil analisis yang dilakukan A. Sulaiman dan Wasito Hadi (2003).

Gb.3. Diagram stik angin permukaan pada 2S,90E dalam deret waktu (harian)selama 312 hari mulai dari 23 Oktober 2001 sampai 28 Agustus 2002. (Sulaiman dan Wasito Hadi (2003) Setelah mencapai paling jauh di selatan khatulistiwa, kemudian kembali ke utara dan dilanjutkan dengan aktifnya monsun baratdaya (Asia Summer Monsoon) mulai bulan Mei. Setelah itu PPAT bergerak ke utara keluar dari wilayah Indonesia, dan kemudian angin baratdaya bertiup mantap di hampir seluruh wilayah tersebut . b. Di bagian tengah (Riau sampai Sulawesi), Di bagian tengah tersebut PPAT merupakan pertemuan angin pasat Pasifik Barat setelah termodifikasi di laut Cina Selatan dan berbelok ketimur ketika mendekati dan sampai melewati khatulistiwa, dengan angin pasat dari selatan setelah berbelok kearah timur. Daerah golakan tidak tepat di atas PPAT melainkan di atas garis geser angin (shearline) di depan dan dibelakang (sebelah menyebelah) PPAT. Bila terjadi arus lintas khatulistiwa (cross equatorial flow) daerah golakan aktif yang di depan atau di samping selatan PPAT. Pergeseran ke selatan tidak sama; di bagian timur lebih besar karena berkaitan erat dengan tekanan rendah Australia Utara. Letak Sulawesi Selatan yang membujur ke selatan dan bukit-bukit di sepanjang semenanjung tersebut mempunyai andil besar kepada aktivitas PPAT di kawasan tersebut. c. Di bagian selatan ( Nusa Tenggara sampai Merauke)

PPAT berada di kawasan selatan tersebut dari Januari sampai Maret yang terbentuk dari angin barat daya yang berasal dari daerah tekanan tinggi di Lautan India bagian timur sebelah barat Australia dan angin timur laut dari daerah tekanan tinggi di Pasifik Barat yang membelok ke timur setelah melintasi khatulistiwa. PPAT sering masuk ke dalam lembang tropis (tropical depression) di teluk Carpentaria di sebelah selatan pulau Timor dan di sebelah utara Australia. Daerah awan dan hujan hampir berimpit dengan daerah PPAT. Mendekati Papua bagian selatan Merauke, PPAT terbentuk oleh angin pasat belahan bumi selatan dari sistem tekanan tinggi subtropik Pasifik Selatan Barat dan Pasifik Utara Barat. d. Di bagian timur (Maluku sampai Papua bagian utara). Di kawasan bagian timur tersebut posisinya mudah berubah kadang-kadang agak ke utara dan kadang-kadang membujur arah barat daya-timur laut melintasi pulau Papua. Dalam peta analisis sering sulit dibedakan dengan garis geser angin (shearline). Dalam waktu monsun dingin selatan PPAT menjauh ke utara, tetapi di kawasan timur tersebut ditempati garis geser angin yang terbentuk dari angin pasat selatan yang berbelok ketimur pada waktu mendekati khatulistiwa. Oleh karena itu dalam bulan Juli September banyak awan dan hujan di kawasan tersebut. Bagaimana hubungan PPAT dan monsun? Jadi, kalau monsun membawa hujan di Indonesia dan yang banyak orang mengatakan sebagai musim hujan dalam bulan Oktober sampai April, dan PPAT di Indonesia juga dari bulan Oktober sampai April, apakah monsun sama dengan PPAT ? Tentunya tidak, tetapi PPAT dapat digunakan sebagai indikator aktivitas monsun; atau sebaliknya aktivitas monsun menentukan keberadaan dan kondisi PPAT. Namun demikian perlu diingat bahwa PPAT di bagian-bagian daerah Indonesia dibentuk oleh sistem angin yang berbeda. Bahan rujukan. Asnani G.C. (1993). Tropikal Meteorology. Vol. I. Pp. 1-15. 822, Sindh Clony, Aundh, Pune-411 007 India. Berlage Jr. H.P. (1927). Monsoon-Current in the Java Sea and Its Entrances. Verhandelingen no. 19. Koninklyk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia.

BMG. (2003). Laporan Akhir Pemutakhiran rata-Rata Curah Hujan di Indonesia Periode 1971 2000. BMG Jakarta. BMG. (1983). Asean Compendium of Climate Statistics. BMG Jakarta. Charney J. and Shukla J. (1977). Monsoon Dynamics, edited by Sir James Lighthill & Prof. R.P.Pearce, Cambridge Univ. Press. Euwe (1949). Forecasting Rainfall in the Periods December January February and April May June for Parts of Celebes and South Borneo. Verhandelingen no. 38. Departemen van Verkeer, Energie en Mijwezen Meteorologische en Geophysische Diennst. Gibbs W.J. (1987). Defining Climate. WMO Bulletin no. 4 Vol. 36. Oct. 1987. Gill Andrian E (192). Atmosphere Ocean Dynamics. Academic Press. Inc. N.Y. Hadi Suyono dan Widada S. (1999). Studi Tentang Pola Sirkulasi Meridional Pada Saat Berlangsungnya Seruak dingin. Buletin Meteorologi dan Geofisika ISSN 02151952 Maret 1999. Badan Meteorologi dan Geofisika. Hess W.N. (1974). Weather and Climate Modification. NOAA Environment Research Laboratory. John I. Pariwono & Agus S. Atmadipoera, M. Sulchan Darmawan, Hideake Hase (2003). Interaksi Laut-Atmosfir Di Perairan Ekuator Samudera Hindia Timur Pada SkalaMusiman dan Harian . Proc. Workshop Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di Sumatra Barat, 12 14 Agustus 2003. BPPT-BMG-LAPAN. Lansberg H.E. ( -----). World Survey of Klimatologi. Elsevier Scientific Publishing Co. Vol.3. Pant P.S. (1977 Monsoon Dynamics, edited by Sir James Lighthill & Prof. R.P.Pearce, Cambridge Univ. Press. Philander S.Grorge (1990). El Nino, La Nina, and the Southern Oscillation. Academic Press. Inc. N.Y. Sadler J.C. and Lim J.T. (1977).. Monsoon Dynamics. edited by Sir James Lighthill & Prof. R.P.Pearce, Cambridge Univ. Press. Schmidt F.H. and J. van der Vecht (1952). East Monsoon Fluctuations in Java and Madura During the Period 1880 1940. Verhandelingen no. 43. Kementerian Perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisik. Djakarta. --------- (1992). WMO and the Ozone Issue. WMO no. 778. Soehardi (1968). Menentukan Permulaan Musim Hudjan dan Permulaan Musim

Kemarau di daerah Surakarta dengan Menggunakan Teori de Boer. Kumpulan Naskah Meteorologi dan Pertanian. Hari Meteorologi Sedunia 1968. Lembaga Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Soerjadi Wh, Antoyo S, Rosdiana, Umi farida (1981). Cuaca di daerah Sumatra dan Jawa Barat Berkenaan dengan adanya Front/Palung di Belahan Bumi Utara dan Selatan sekitar Indonesia. Temu Karya Ilmian Nasional FGGE-MONEX Dan Ramalan Cuaca/Musim. 10-12 Agusstus 1981. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Soerjadi Wirjohamidjojo dkk (1994). Kamus Istilah Meteorologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Soerjadi Wirjohamidjojo (1981). The Main Synoptic Feature and the Relation to the Distribution of Rainfall Over Java Sea and its Surroundings during Winter MONEX Period. Proc. International Conf. On the Scientific Results of the Monsoon Experiment. Denpasar, Bali, Indonesia 26-30 October 1981. WMO Geneva , March 1982. Sukamso (1981). The Influence of the Cross Equatorial Flow and the Upper Trough on Rainfall in Bali. Proc. International Conf. On the Scientific Results of the Monsoon Experiment. Denpasar, Bali, Indonesia 26-30 October 1981. WMO Geneva , March 1982. Tetsuzo yasunari (1991). Role of Monsoon on Global Climate. The Third International Symposiumon Equatorial Atmosphere Observation over Indonesia. Jakarta (Grand Hyatt) 14 15 May 1991 ). Trewartha, Glenn.T dan Horn L.H. ( 1980). An Introduction to Climate. Fift Edition. International Student Edition. Wayne H. Schubert etal. (1995). Journal Atmospheric Science. American Meteorological Soc. Vol. 52. Number 16. 15 August 1995. pp 2941 2952 Wirjohamidjojo S. (1980). Hubungan antara Gelombang Dingin Asia dan Cuaca di Indonesia. Balai DIKLAT Meteorologi dan Geofisika Jakarta. Yamanaka M.D. (1998). Climatology of Indonesian Maritime Continent. RASC Kyoto University. Japan. ----------------Diposkan oleh soerjadi wh di 04:56

Senin, 20 September 2010

PROBLEMA CUACA DAN IKLIM DALAM PERTANIAN


Oleh Soerjadi Wh.

Salah satu persoalan yang sangat penting dalam masalah Negara adalah penyediaan pangan bagi penduduknya. Untuk mengatasinya telah banyak upaya dengan meningkatkan teknologi pertanian; namun sejauh peningkatan teknologi tersebut masih ada kendala yang tidak mudah diatasi dengan teknologi, yakni masalah cuaca dan iklim. Tanaman masih belum dapat dipisahkan dari faktor cuaca dan iklim. Kegagalan panen masih banyak terjadi karena ketidak cukupan cuaca / iklim yang diperlukan bagi tanaman.

Jadi bagaimana menyikapi cuaca dan iklim bagi pertanian?

Iklim telah tersedia secara alami; namun manusia meskipun dengan ilmu dan teknologinya tidak mampu mengendalikan kecuali dalam skala yang terbatas. Oleh karena itu upaya yang bijaksana dalam meningkatkan keberhasilan usaha produksi pertanian yang maksimal adalah menyesuaikan kegiatan usahanya dengan peri laku cuaca dan iklim yang ada. Tanaman selain memerlukan tanah tertentu dan kecukupan zat hara, juga memerlukan air dan radiasi matahari yang cukup dalam waktu bersamaan. Dari sifat tersebut dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam produksi pertanian tanaman, yaitu : a. Kebutuhan dan tanggap tanaman kepada cuaca dan iklim, tanah, dan air; b. Karateristik lokasi dari unsur tanah (fisik maupun kimiawi); c. Karakteristik lokasi dari unsur cuaca dan iklim. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka fungsi meteorologi dalam pertanian yang perlu mendapat perhatian, khususnya dalam hal sebagai berikut (WMO 134) : (1) Pemonitoran (termasuk teknik, pengumpulan data, analisis, percobaan) (2) Dampak cuaca/iklim kepada pertumbuhan dan perkembangan tanaman, kualitas dan kuantitas produksi, (3) Dampak cuaca / iklim kepada timbulnya penyakit tanaman, kerusakan tanaman,

kehilangan produksi, (4) Dalam fungsinya sebagai sumberdaya iklim, (5) Dalam kaitannya dengan penyimpanan produksi, (6) Dalam kaitannya dengan modifikasi dan iklim tiruan, (7) Dalam kaitannya dengan Operasi managemen, (8) Dalam kaitannya dengan kehutanan, (9) Dalam kaitannya dengan nilai ekonomi

Apa saja yang perlu dilakukan? Kegiatan pertanian, kehidupan tanaman, berlangsung secara terus-menerus fase demi fase, dan setiap fase memerlukan kondisi cuaca tertentu. Demikian pula cuaca terus-menerus berlangsung dan juga selalu berubah. Namun demikian perubahan tersebut tidak selalu sejalan dengan yang diperkukan bagi tanaman dalam fase itu. Dengan demikian memonitor, termasuk menganalisis dan memprediksi cuaca / iklim perlu dilakukan agar dapat dilakukan penilaian dan upaya penyesuaian dengan adanya cuaca yang terjadi atau yang akan terjadi. Dalam setiap fase kehidupan tanaman terpengaruh oleh kondisi lingkungan termasuk tanah, air, cuaca. Oleh karena itu yang perlu diketahui adalah sejauh mana kondisi lingkungan tersebut mempengaruhi atau akan mempengaruhi kehidupan tanaman. Adanya fenomena ekstrem misalnya badai, embun beku, polusi, dapat secara langsung merusak tanaman. Upaya pecegahan atau pelindungan perlu dilakukan. Dalam hal tersebut informasi klimatologi tentang keseringan sesuatu fenomena ekstrem di suatu tempat , gawar (warning) dan prediksi akan adanya fenomena ekstrem sangat diperlukan. Sebagai sumberdaya, cuaca dan iklim perlu dianalisis dan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pertanian.

Untuk apa saja informasi cuaca dan iklim dalam pertanian? Kegiatan pertanian adalah upaya yang berkaitan dengan pembudi dayaan tanaman. Kegiatan pertanian sangat beragam, demikian pula nilai cuaca dan iklim yang diperlukan. Pada dasarnya cuaca/iklim dimanfaatkan untuk membuat perencanaan, yakni

perencanaan stratejik dan perencanaan operasional, serta pengendalian pelaksanaan kegiatan pertanian. Perencanaan stratejik meliputi perencanaan tata guna lahan, perencanaan pola tanam. Perencanaan operasional meliputi perencanaan penyiapan tanah, pembibitan, penanaman, pemeliharaan. Pelaksanaan kegiatan meliputi pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen, pasca panen, transportasi. Untuk membuat perencanaan tata guna lahan dan pola tanam diperlukan informasi klimatologi yang memberi gambaran tentang kebiasaan cuaca di daerah yang dimaksudkan. Nilai-nilai cuaca yang diperlukan utamanya adalah nilai rata-rata, nilai kisaran, dan nilai keseringan. Untuk membuat perencanaan operasional, diperlukan informasi cuaca yang sedang berlangsung dan prakiraan cuaca dari jangka waktu sedang sampai jangka panjang (musim). Untuk melaksanakan kegiatan misalnya pada waktu pengolahan tanah, diperlukan informasi cuaca yang sedang berlangsung dan prakiraan cuaca jangka pendek (harian) sampai sedang (mingguan). Dari masa pengolahan tanah, pembibitan dan seterusnya prakiraan cuaca harian digunakan untuk bahan pertimbangan pelaksanaan kegiatan harian, misalnya waktu mengolah tanah, penyemprotan hama, pemupukan, penjemuran, dll. Dengan informasi cuaca / iklim tersebut, perlakuanperlakuan untuk penanggulangan dapat ditetapkan.

Apa yang perlu diperhatikan dalam membuat Rencana Pola Tanam? Cuaca selalu berubah dan berbeda setiap waktu dan di setiap tempat. Perubahan tersebut ada yang tidak beraturan dan ada yang beraturan. Yang tidak beraturan umumnya berlangsung dalam waktu pendek yang ditimbulkan oleh proses-proses sementara dalam atmosfer. Sedangkan yang beraturan berkaitan dengan perubahan-perubahan alam dalam skala besar, misalnya yang utama karena, perputaran bumi pada porosnya, peredaran bumi mengelilingi matahari, perubahan fisik matahari. Perubahan-perubahan tersebut berbentuk perubahan harian (daily variation), perubahan musiman (seasonal variation), perubahan tahunan (annual variation), .. dan prubahan-perubahan dalam jangka waktu lebih lama lagi. Pola tanam bersifat tetap untuk jangka panjang; oleh karena itu selain didasarkan

atas sifat fisis tanah dan lingkungan, lebih banyak didasarkan atas ciri kecuacaan atau klimatologi wilayah yang bersangkutan. Bila faktor tanah sudah dimasukkan, selanjutnya untuk membuat rencana pola tanam perlu dikenali lebih dahulu sifat tanaman atas tanggapnya kepada cuaca atau iklim. Sifat ketanggapan tersebut ditetapkan sebagai syarat cuaca / iklim yang diperlukan. Kemudian dilakukan analisis unsur cuaca/iklim untuk mencari pola sebarannya mengikut waktu. Dalam hal ini analisis sebaran keseringan terjadinya nilai unsur cuaca diatas atau dibawah persyaratan lebih membantu dibandingkan analisis nilai rata-rata. Dari hasil analisis tersebut dicari selang waktu dengan perubahan cuaca yang sesuai dengan persayaratan cuaca bagi tanaman yang bersangkutan. Bagi tanaman semusim, perencanaan tanam perlu disusun dengan lebih cermat mengingat fase-fase pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan waktu tertentu dan persayaratan tertentu. Sebagai contoh untuk menetapkan pola tanam padi pada lahan basah yang memerlukan adanya curah hujan lebih atau sama dengan 75 mm setiap dasarian sampai waktu menjelang panen, dan kurang dari 50 mm pada waktu panen. Ketidak sesuaian antara fase kehidupan dan perubahan cuaca dapat menimbulkan kegagaalan kegiatan pertanian.

Apa yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengolahan tanah?

Sebelum suatu tanaman ditanam perlu disiapkan tanah yang memungkinkan dilakukannya penanaman tanaman. Pekerjaan pengolahan tanah dilakukan setelah tanah cukup lembap atau pada saat tanah masih dalam keadaan lembap sehingga mudah diolah.

Gb. 1. Penyiapan lahan

Apa yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya tanaman? Budidaya tanaman umumnya meliputi pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan panen.

1. Pembibitan
Penyiapan bibit dilakukan di tempat-tempat tertentu yang cuacanya sesuai yang diperlukan bagi bibit tanaman. Tempat tersebut ada yang di dalam ruangan dengan kondisi cuaca tiruan yang disesuaikan dengan yang diperlukan tanaman, misalnya di ruang rumah hijau (green house), atau di ruang terbuka yang diberi peneduh penahan sinar matahari, penutup untuk membuat kelembapan tinggi, pelindung angin, dan lain-lain.

1. Penanaman

Setelah bibit cukup kuat kemudian ditanam pada lahan yang telah disiapkan. Kondisi tanah yang diperlukan tanaman berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman, misalnya untuk menanam padi ada jenis yang memerlukan tanah berair, ada jenis padi yang memerlukan tanah yang hanya lembap saja. Selama penanaman langit cerah atau berawan.

Gb.2. Kegiatan menanam padi Pemilihan waktu tanam sangat penting karena setelah tanaman ditanam cuaca sangat berpengaruh kepada pertumbuhan selanjutnya. Oleh karena itu lebih dahulu perlu diketahui perkiraan cuaca selanjutnya setelah masa tanam. 1. Pemeliharaan Setelah bibit ditanam dilakukan pemupukan, pengairan, penyemprotan hama dan lain-lain.

Gb. 3. Penyemprotan hama Selama masa pemeliharaan diperlukan data pada hari itu apakah keadaannya memungkinkan pekerjaan pemeliharaan dilakukan. Misalkan bila untuk melakukan penyemprotan atau pemupukan diperlukan cuaca langit cerah atau berawan dan angin tidak lebih dari 10 km/jam maka pekerjaan ditunda apabila cuaca yang diperlukan tersebut tidak memenuhi. Selain itu prakiraan cuaca harian mingguan suhu, angin, kelembapan, hujan di tempat pertanian juga diperlukan untuk membuat rencana pekerjaan hari-hari berikutnya.

1. Panen
Kegiatan memanen juga perlu direncanakan dengan memilih waktu dengan cuaca tertentu yang memungkinkan dilakukannya pemanenan. Selama menjelang panen, diperlukan data cuaca harian dan prakiraan cuaca harian mingguan meliputi sinaran matahari, suhu, angin, kelembapan, hujan.

Gb.4. Masa panen.

1. Pasca panen
Selama masa panen dan pasca panen diperlukan informasi cuaca meliputi data cuaca harian dan prakiraan cuaca harian mingguan suhu, angin, kelembapan, hujan untuk kegiatan pengeringan.

Gb.5. Penjemuran hasil panen.

1. Transportasi
Kegiatan pertanian tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri secara langsung, tetapi juga dilakukan untuk maksud mencari keuntungan. Oleh

karena itu lebih dahulu perlu ditetapkan jenis tanaman apa yang akan ditanam dan diperlukan pula perencanaan penyimpanan dan pengangkutan hasil-hasil tanaman. Selain informasi di lokasi pertanian, untuk keperluan agribisnis diperlukan informasi cuaca di tempat lain. Informasi tersebut berguna untuk memberi pertimbangan penetapan pengiriman hasil pertanian, dll.

Gb. 6. Transportasi hasil panen.

Adakah problema cuaca dalam kegiatan pertanian? Problema yang sering dihadapi adalah adanya banyak kegiatan dalam suatu wilayah, sedangkan masing-masing kegiatan mempunyai sensitivitas kepada cuaca berlainan., Setiap orang atau setiap kegiatan mempunyai tanggap dan kepekaan berbeda kepada cuaca. Bagi seseorang atau sesuatu kegiatan adanya cuaca tertentu mungkin dirasakan sebagai yang menguntungkan, tetapi bagi orang atau kegiatan lain justru dirasakan sebagai yang merugikan.

Tidak jarang pada suatu musim, cuaca yang ada sesuai dengan yang dipelukan bagi tanaman dan kegiatan pertanian, tetapi cuaca saat itu justru juga mendukung kesuburan hidupnya hama, penyakit, dan parasit. Selanjutnya hama, penyakit, dan parasit tersebut mengganggu tanaman. Pada suatu musim kemarau yang banyak hujan para petani sayuran merasa untung karena tanamannya tumbuh subur dan tidak perlu melakukan penyiraman setiap hari; tetapi bagi petani garam dan perusahaan industri garam banyak mengalami kerugian karena hasil garamnya berkurang.

Jadi cuaca yang mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan ?

Tentu saja sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut, dan memang kiranya tidak perlu membedakan cuaca karena cuaca adalah salah satu dari banyak fenomena

alam yang berlangsung secara terus-menerus. Oleh karena itu sikap kita adalah memanfaatkan dan menghindari resiko dari dampak cuaca yang ada. Untuk itu banyak cara yang dapat dilakukan. Berikut adalah contoh nilai-nilai unsur cuaca yang memberikan keuntungan dan merugikan. a. Sinaran matahari : Sinaran matahari banyak meningkatkan kualitas tanah, tetapi dilain pihak sinaran matahari banyak dapat meningkatkan laju pengeringan tanah. Lama penyinaran banyak menambah lama proses fotosintesa; tetapi di lain pihak penyinaran yang banyak mempercepat tanaman menjadi layu. b. Suhu udara: Suhu udara tinggi meningkatkan kualitas tanah; tetapi dilain pihak suhu tinggi membuat berubahnya struktur tanah. Suhu udara tinggi meningkatkan proses pertumbuhan tanaman; tetapi dilain pihak apabila fluktuasi suhu besar tanaman menjadi stress, banyak daun gugur. Suhu rendah mendukung pertumbuhan holtikultura; tetapi suhu yang sangat rendah dapat menimbulkan embun beku (frost) yang dapat membuat kering tanaman. c. Angin: Dengan adanya angin tanah dapat terdinginkan; tetapi apabila angin bertiup terus-menerus dapat menimbulkan penggerusan (erosi) tanah dan tanah cepat menjadi kering karena penguapan menjadi besar. Bagi tanaman angin dapat membantu kecepatan penyerbukan; tetapi disisi lain bila bertiup kencang dapat menimbulkan kerusakan batang tanaman. d. Kelembapan: Kelembapan udara yang tinggi menjaga kelembapan tanah; bila kelembapan rendah penguapan menjadi besar dan kandungan air tanah menjadi berkurang. Bagi tanaman, kelembapan yang tinggi mendukung tanaman dapat tumbuh subur; tetapi kelembapan tinggi juga menyuburkan gulma dan memudahkan timbulnya hama dan penyakit yang dapat mengganggu tanaman. e. Curah hujan: Bila banyak hujan tanah menjadi gembur dan subur; tetapi hujan banyak dapat menimbulkan banjir, tanah longsor, erosi. Bagi tanaman, banyak hujan membantu tanaman mudah menyerap makanan dari tanah; tetapi bila terlalu banyak hujan pupuk banyak melimpas. f. Selang kering (dry spell): Adanya selang kering di musim hujan menambah sinaran matahari yang menguntungkan tanaman, tetapi disisi lain dapat menimbulkan tanaman stress kekurangan air. g. Selang basah (wet spell) : Adanya selang basah di musim kemarau menambah

kecukupan air, tetapi dapat merusak kualitas hasil panen.

Bagimana nilai unsur cuaca pertanian yang ada di Indonesia? Karena struktur kepulauan yang sangat beragam maka Indonesia terkenal dengan cuacanya yang sangat beragam pula. Namun demikian ada sifat yang secara umum dimiliki oleh masing-masing unsur, misalnya: a. Sinar matahari: Pada musim hujan di Indonesia intensitas matahari tinggi tetapi lama penyinaran pendek karena liputan awan banyak. Sebaliknya di musim kemarau intensitas sinar matahari rendah tetapi lama penyinaran panjang. b. Suhu udara : Suhu udara rata-rata di Indonesia hampir tidak banyak beda di musim hujan dan di musim kemarau, tetapi yang banyak beda adalah suhu maksimum pada siang hari dan suhu minimum pada malam hari. Di musim hujan beda suhu maksimum dan minimum lebih kecil dibandingkan suhu maksimum dan suhu minimum pada musim kemarau. c. Angin : Pada musim hujan kecepatan angin umumnya rendah; tetapi sering terjadi angin ribut . Sedangkan di musim kemarau umumnya angin betiup terus menerus dan kering. d. Kelembapan udara : Dalam musim hujan kelembapan tinggi, penguapan potensial tinggi. Dalam musim kemarau kelembapan rendah; penguapan tinggi dan kandungan air tanah rendah. e. Curah hujan : Bila di musim hujan banyak jumlahnya, memenuhi kebutuhan tanaman akan air. Dalam musim kemarau hujan sedikit tidak ada banjir; tetapi karena jumlahnya sedikit sering menimbulkan kekeringan. f. Selang kering dan selang basah: Dalam musim hujan sering terjadi selang kering lebih dari tujuh hari basah; dan dalam musim kemarau sering terjadi selang basah. Apa yang perlu diketahui untuk memanfaatkan cuaca? Dalam memanfaatkan cuaca terlebih dahulu perlu difahami tentang fungsi dan dampak unsur cuaca, yang antar lain meliputi: (1) Dampak cuaca/iklim kepada pertumbuhan dan perkembangan tanaman, kualitas dan kuantitas produksi, (2) Dampak cuaca / iklim kepada timbulnya penyakit tanaman, kerusakan tanaman,

kehilangan produksi, (3) Dampak cuaca dalam fungsinya sebagai sumberdaya iklim, (4) Dampak cuaca dalam kaitannya dengan penyimpanan produksi, (5) Dampak cuaca dalam kaitannya dengan modifikasi dan iklim tiruan, (6) Dampak cuaca dalam kaitannya dengan Operasi managemen, (7) Dampak cuaca dalam kaitannya dengan kehutanan, (8) Dampak cuaca dalam kaitannya dengan nilai ekonomi Cuaca/iklim memberi dampak kepada tanah dan tanaman. Dengan demikian yang sekurang-kurangnya perlu diketahui tentang cuaca dan iklim adalah : Bagaimana cuaca dan iklim yang ada, Cuaca dan iklim yang bagaimana yang berdampak kepada tanah dan tanaman, Cuaca dan iklim yang mana yang perlu dihindari agar tidak terkena dampak yang merugikan bagi tanah dan tanaman, Cuaca dan iklim yang bagaimana yang dapat dimanfaatkan sehingga tanah dapat dapat menyuburkan tanaman, Cuaca dan iklim yang bagaimana yang dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan upaya penanggulangan bagi tanah, tanaman dan hasil produksi. Cuaca yang bagaimana yang diperlukan tanah dan tanaman selama fase pertumbuhannya. Yang juga perlu difahami adalah tidak setiap waktu cuaca yang ada diperlukan oleh tanaman, bahkan mungkin merugikan. Oleh karena itu apabila ada cuaca yang merugikan perlu dilakukan antisipasi atau penanggulangan. Bagi petani perlu memperhitungkan alternatip dan menyiapkan upaya antisipasi apabila cuaca yang tidak diharapkan terjadi.

Apakah dampak cuaca / iklim bagi pertanian?

Dampak cuaca / iklim kepada kegiatan pertanian dapat dikategorikan menjadi : (a). dampak langsung , dan (b). dampak tidak langsung. Dampak langsung adalah dampak yang ditimbulkan oleh sesuatu unsur cuaca/iklim kepada kegiatan pertanian. Dampak lansung tersebut ada yang dirasakan seketika, dan ada yang dirasakan secara lambat. Dampak langsung seketika umumnya misalnya curah hujan yang lebat atau terus

menerus dapat menimbulkan tanah longsor saat itu; angin kencang menimbulkan kerusakan batang tanaman, adanya embun beku yang mengenai tanaman membuat daun dan batang tanaman menjadi kering. Dampak langsung yang diraskan secara lambat adalah kadar cuaca yang baru dirasakan setelah berkali-kali terjadi; misalnya tanah menjadi lembap setelah beberapa hari turun hujan; tanah menjadi kering setelah beberapa hari hujan makin berkurang. Dampak tidak langsung adalah dampak yang ditimbulkan oleh faktor lain tetapi faktor tersebut timbul berkaitan dengan cuaca/iklim yang terjadi, sedangkan kadar cuaca/iklin yang terjadi tersebut diperlukan bagi kegiatan pertanian pada waktu itu. Cuaca / iklim tidak hanya diperlukan tanaman saja tetapi hama , penyakit, tumbuhan parasit juga memerlukan cuaca / iklim. Sering terjadi bahwa kerusakan tanaman tidak karena cuaca saat itu secara langsung , tetapi karena timbulnya hama, penyakit, parasit yang justru hidup subur pada saat adanya cuaca yang dipelukan bagi tanaman dan kegiatan pertanian waktu itu. Dengan demikian gangguan tidak timbul dari cuaca, tetapi karena hama, penyakit, dan parasit yang hidup subur karena didukung cuaca waktu itu.

DAFTAR PUSTAKA Baradas. M.W. (1984). Pokok-Pokok Pengelolaan Cuaca Untuk Pertanian di Daerah Tropika Basah Indonesia. Kertas Kerja No. 41. INS/7.8/042 Mei 1984. . Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.

Boer R. dkk. (2003). Nilai Ekonomi Prakiraan Iklim. Workshop Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di Sumatra Barat. Padang 11-13 Agustus 2003.

IRRI (1975). Research Highlight for 1975.

Nieuwolt S (1985). Klimatologi Kawasan Tropik. Dewan Bahasa dan Pustaka. Malaysia.

Oldeman, L.R., (1975). An Agroclimatic Map of Java. Central Research Institut for Agricultur. Bogor.

Oldeman L.R. and Frere M. (1982). A Study of the Agroclimatology of the Humid Tropics of South-East Asia. WMO-No.597. Technical Note No. 179.

Sutrisno (1982). Indonesian Inter Agency Climate Impact Assessment System. Prociding Of The Workshop On Practical Farm Weather Mangement And Climate Impaact Assessment. Project INS/82/004 (Meteorological Programme For Increased Food Production) WMO. Trewartha, Glenn T.; Horn H. Lyle (1980). Introduction to Climate. McGrwaw Hill International Book Company.

Wirjohamidjojo Soerjadi ( 1984). Survey On The Inter-Agency Agrometeorological Service In Indonesia. Practical Farm Weather Management And Climate Impact Assessment. Project INS/82/004/ Jakarta.

Wirjohamidjojo Soerjadi (2006). Meteorologi Praktik. Badan Meteorologi & Geofisika. ISBN 979-99507-8-3.

Wirjohamidjojo, Soerjadi , Susanto, Patoni, dan Suroso H.(1993). Kamus Hidrometeorologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ISBN 979 459 357 5.

Wirjohamidjojo, Soerjadi (1993). Pengalamanku Tentang Cuaca di Indonesia. Buku IV. BMG Jakarta.

WMO (1993). Guide to Agricultural Meteorological Practices. WMO No. 134. August 1993. --------Diposkan oleh soerjadi wh di 06:16

Selasa, 31 Agustus 2010

MANFAAT DAN BAHAYA CUACA DALAM PENERBANGAN


Oleh Soerjadi Wh. Dalam penerbangan perihal keselamatan adalah prioritas utama. Keselamatan penerbangan berkaitan dengan banyak faktor, antara lain faktor manusia, faktor kondisi dan jenis pesawat terbang, fasilitas dan sarana Bandar udara, fasilitas dan sarana telekomunikasi, dan faktor cuaca. Dari kemungkinan penyebab kecelakaan pesawat terbang, 30% antara lain karena faktor cuaca, teknis pesawat, fasilitas penunjang operasi penerbangan, dan pelayanan lalu-lintas udara; sedangkan 70% dari faktor manusia yang termasuk baik awak pesawat maupun yang memberi pelayanan kepada pesawat terbang. Bagaimana peran cuaca dalam penerbangan?

Karena masalah penerbangan menyangkut banyak hal baik dalam lingkup nasional maupun internasional maka Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menetapkan berbagai aturan yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan tersebut. Khususnya dalam menetapkan aturan yang berkaitan dengan cuaca, ICAO bekerjasama dengan Organisasi Meteorologi Dunia ( World Meteorological Organization = WMO). Meskipun teknologi penerbangan makin maju namun karena frekuensi penerbangan juga makin meningkat kecelakaan pesawat terbang masih tetap mempunyai kemungkinan yang tinggi. Laju keseringan penerbangan di Amerika Serikat sejak tahun 1988 sekitar 10% setiap tahun (buletin WMO no.1 vol.38 Jan.1988); di Indonesia (data IATS Analysis) antara 1988 2003 sekitar 3,9% dan diperkirakan naik menjadi sekitar 6,4% sampai akhir 2013. Dengan demikian makin banyak kegiatan penerbangan, beban tanggung jawab keselamatan penerbangan juga makin meningkat. Apa dampak cuaca dalam penerbangan? Peran cuaca dalam penerbangan sangat besar. Cuaca mempunyai dua peran. Disatu sisi informasi cuaca mempunyai andil dalam peningkatan efisiensi dan efektivitas kegiatan dan keselamatan penerbangan, di sisi lain mempunyai potensi yang

membahayakan sampai dapat menimbulkan kematian. Namun demikian tidak mudah untuk mengatakan cuaca yang mana yang membahayakan, karena dampak cuaca bergantung pula kepada faktor lain. Khusunya dalam penerbangan, selain kadar atau intensitas unsur cuaca, jenis pesawat, kondisi pesawat, dan posisi penerbangan juga merupakan faktor yang menentukan sensitifitasnya terhadap cuaca. Misalnya angin silang (cross wind) di landasan terbang yang bekecepatan 20 knot, mungkin dapat menimbulkan bahaya bagi pesawat kecil yang melakukan pendaratan, tetapi tidak ada pengaruhnya bagi pesawat terbang besar dan modern. Dari posisi terbang, angin 20 knot pada paras penerbangan 30.000 kaki tidak terasakan bagi pesawat besar yang terbang pada paras tersebut, tetapi bila terjadi pada paras rendah sangat berarti bagi pesawat terbang kecil yang terbang pada paras tersebut. Dengan demikian kriteria membahayakan bergantung juga kepada macam penerbangan. Namun demikian karena setiap pesawat terbang mempunyai tiga kegiatan yang sama, yakni tinggal landas, terbang, dan mendarat maka penggunaan arti bahaya dalam penerbangan umumnya diterapkan untuk masing-masing kegiatan tersebut. Apa peran cuaca dalam pendaratan dan tinggal landas pesawat terbang ? Pendaratan dan tinggal landas tergolong masa kritis bagi penerbangan. Untuk pendaratan, faktor cuaca yang mempunyai potensi membahayakan antara lain : Angin silang, yang dapat melencongkan arah pendaratan atau tinggal landas. Angin haluan, yang dapat mengakibatkan penggunaan landasan terlalu panjang. Geser angin vertikal, geser angin horizontal, dan golak-galik, yang dapat melencongkan arah pendaratan atau tinggal landas dan dapat menimbulkan pesawat terjungkal. Langkisau, yang dapat menghambat, melencongkan arah pendaratan atau tinggal landas, atau pesawat terdorong. Banglas yang rendah, mengganggu penglihatan sehingga pendaratan atau tinggal landas yang dilakukan secara visual tidak dapat dilakukan dengan tepat. Tekanan dan suhu udara di permukaan landasan atau Bandar udara, digunakan untuk penyetelan altimeter dan perhitungan altitud kepadatan. Kesalahan pengamatan tekanan atau kesalahan pengesetan altimeter dapat menjatuhkan pesawat karena pesawat terbang mendarat tidak tepat sesuai dengan elevasi landasan. Longsoran udara dari awan Kumulonimbus, yang mengganggu pendaratan atau tinggal landas pesawat karena energi yang besar, pusaran yang kuat, dan arah angin yang menyebar ke segala arah.

Gb.1. Dampak longsoran udara dari awan Kumulonimbus. Apa dampak cuaca kepada pesawat terbang yang sedang dalam penerbangan?

Bagi pesawat terbang yang sedang dalam penerbangan, faktor cuaca dapat dimanfaatkan tetapi juga ada yang mempunyai potensi membahayakan. Yang dapat dimanfaatkan antara lain : angin, tekanan udara yang dapat dimanfaatkan untuk menetapkan jalur terpendek atau waktu terbang yang sependek mungkin. Yang mempunyai potensi membahayakan antara lain: gelombang udara yang berkaitan dengan angin kencang, gelombang gunung, golak-galik (turbulence) di dalam awan, golak-galik di luar awan atau golak-galik udara cerah (clear air turbulence = CAT), peng-es-an (icing), kilat. Bagaimana mengenali gelombang udara? Secara mudah gelombang udara dapat dikenali dari goncangan pesawat terbang yang sedang dalam penerbangan. Selain itu dapat pula dikenali dari susunan dan bentuk awan, misalnya dengan adanya jajaran garisgaris awan Sirus, adanya awan tudung, awan dengan varietas lentikularis atau bentuk lensa, awan rotor.

Gb.1. Sirus bergelombang. Sirus di kawasan tropik umumnya berada pada ketinggian lebih tinggi dari 6 km dari permukaan bumi; di kawasan mendekati kutub letaknya lebih rendah dibandingkan dengan Sirus di kawasan tropik. Bila ada Sirus berbentuk barisan seperti pada gb.1,

menunjukkan bahwa udara di tempat itu bergelombang. Makin besar lajur awan makin besar gelombangnya. Arah angin tegaklurus barisan awan. Gelombang udara juga dapat dikenali dari awan yang berbentuk seperti lensa (letikularis) seperti pada gb.2. Bentuk lentikularis umumnya terdapat pada awan Altostratus pada ketinggian antara 2 5 km dari permukaan bumi. Arah angin atau arah gelombang dari arah letak bentuk yang tipis dari bagian awan.

Gb. 2. Altostratus lentikularis. Ada kalanya Altrostratus lentikularis kelihatan seperti berputar seperti terlihat pada gb.3, yang biasanya terjadi di sekitar lereng gunung. Di Puncak Bogor awan seperti itu sering terlihat pada sore hari.

Gb. 3. Altostratus lentikularis dengan pusaran. Adakalanya gelombangnya tidak hanya gelombang vertikal tetapi juga gelombang horizontal seperti yang ditunjukkan oleh bentuk awan lentikularisseperti terlihat pada gb.4..

Gb.4. Altostratus lentikularis dengan gelombang horizontal. Selain itu awan bentuk lentikularis ada yang tampak menempel pada puncak gunung (gb.5.).

Gb. 5. Altostratus lentikularis menempel pada puncak gunung Ada pula yang menempel pada bagian atas awan Kumulonimbus atau Kumulus (gb.7.6). Bila tampak pada Kumulus menunjukkan pula bahwa di atas awan tersebut terdapat lapisan sungsangan sehingga awan tidak bisa menembusnya.

Gb.6. Altostratus lentikularis menempel pada puncak Kumulus. Selain menandai adanya udara bergelombang awan-awan tersebut juga dapat digunakan untuk menandai kemantapan (stability) lapisan udara. Adanya awan seperti pada gambar 3 dan 4 menandai adanya lapisan udara mantap (stable air). Dalam atmosfer baku ICAO laju susut suhu kearah vertikal dalam troposfer didefinisikan sebesar 6,5 oC / km. Bila pada suatu waktu pada suatu lapisan udara laju susut suhu tersebut < 6,5 oC / km, lapisan udara tersebut dikatakan mantap; bila laju susut suhu > 6,5 oC / km dikatakan lapisan udara takmantap (unstable air).

Berbahayakah udara di balik gunung? Di balik gunung tertentu sering timbul gelombang udara yang dikenal dengan gelombang gunung. Gelombang gunung umumnya terdapat pada balik gunung atau

bawah angin. Gelombang tersebut umumnya terbentuk karena adanya angin kencang melewati gunung pada saat lapisan udara di atasnya dalam keadaan mantap. Syarat untuk terbentuknya gelombang gunung a.l. (1) udara mantap; (2) arah angin dari arah tegak lurus ke gunung,kurang dari 30 derajat; (3). udara mempunyai nilai parameter tertentu yang mencapai maksimum. Parameter tersebut dikenal dengan nama parameter Scorer yang dalam rumus matematikanya dinyatakan sebagai : S = F(z) ~ (B / Uox)2 dengan B = {- g[(d ln r)/ r + g/c2 ]} dan (B)2 disebut frekuensi Brunt-Vaisala; Uox = kecepatan angin dalam arah sumbu X (horizontal); g = percepatan gravitas bumi; r = rapat massa udara; dan c = kecepatan suara. Gelombang tersebut dapat dikenali dengan adanya awan yang letaknya berantara secara teratur di balik gunung. Tetapi kadang-kadang selang antara awan-awan tersebut tidak tampak jelas sehingga dalam keadaan demikian sulit untuk menaksir adanya gelombang gunung.

Apakah yang dimaksud dengan golak-galik? Golak-galik adalah goncangan udara akibat bertumpuknya gerak rata-rata udara yang tidak teratur dan dalam keadaan terus-menerus berubah. Nilai batas yang digunakan sebagai indikasi yang memungkinkan terjadinya golak-galik adalah bilangan tak berdimensi yang dinamakan bilangan Richardson (Ri), yang rumusnya sebagai berikut: Ri = (B)2 / (U/z)2 , (7.1) dengan (B)2 = - g[ (d ln r)/ r + g/c2 ] disebut frekuensi Brunt-Vaisala; U/z = landaian (gradient) kecepatan angin dalam arah vertikal; g = percepatan gravitas; r = rapat massa udara; dan c = kecepatan suara. Bila R <= , udara bersifat takmantap; dan bila R<=1 udara bergolak-galik.

Apakah di dalam udara cerah dapat timbul golak-galik?

Dalam udara cerah dapat timbul golak-galik yang lazim dinamakan golak-galik

udara cerah (clear air turbulence = CAT) yang terjadinya tidak ditandai dengan fenomena yang tampak. Biasanya terjadi dalam troposfer. Golak-galik udara cerah tersebut sulit dipelajari karena skalanya kecil dibandingkan dengan skala atmosfer. Disamping itu waktu terjadinya umumnya pada bagian akhir dari waktu peluruhan proses termodinamik dari energi kinetik karena pemanasan dalam atmosfer. Tempat terjadinya umumnya di dekat lereng gunung pada ketinggian atmosfer kurang dari 2 km, di daerah perenggan, dalam udara di atas Kumulonimbus yang sangat tinggi sampai stratosfer bawah, dan di daerah sekitar arus jet (jet stream) yaitu daerah dengan angin berkecepatan tinggi di lapisan udara atas. Laju pertumbuhan golakgalik udara cerah dinyatakan dengan rumus (Chandrasekar 1961, dikutip Beer Tom 1964) sebagai berikut: Im() = k[(U)2 2(g/k) r/r ]

(7.2)

dengan Im() menyatakan bilangan imaginer dari ; = frekuensi sudut (angular frequency) ; k = bilangan gelombang = 2/, = panjang gelombang; U = beda kecepatan angin antar lapisan udara; g = percepatan gravitas bumi; r = beda rapat massa udara antar lapisan udara. Dari rumus tersebut mudah difahami bahwa apabila nilai [(U)2 2(g/k) r/r] >= 0 tidak ada nila Im() berarti tidak terjadi golak-galik udara cerah.

Peng-es-an (icing) sangat mengganggu penerbangan. Peng-es-an adalah fenomena penumpukan atau pelapisan es pada pesawat terbang. Peng-es-an dapat terjadi ketika pesawat terbang melewati butir-butir air adidingin di dalam awan atau di dalam hujan, atau melewati salju basah dan tetes air yang suhunya dibawah 0 oC. Suhu udara yang sangat rendah dapat menimbulkan proses peng-es-an pada pesawat terbang. Bila dalam paras terbang suhu udara rendah dan udara mengandung banyak air adidingin, tetes-tetes air yang membasahi badan pesawat yang sedang terbang dapat membeku dan membentuk lapisan es pada pesawat terbang. Peng-es-an umumnya terjadi pada suhu antara 0 oC dan 18 oC. Wujud peng-es-an bermacam-macam yang dapat dibedakan dari kepadatannya, keterawangannya (transparency), dan kekerasannya. Perbedaan tersebut berkaitan dengan suhu, ukuran tetes air, laju penumpukan. Namun demikian ada bentuk dasar peng-es-an, yakni bentuk es keruh (rime ice) dan es bening (clear ice) yang tingkatnya

dibedakan antara tingkat es kental (milky ice) dan tingkat es padat (kernel ice). Selain itu peng-es-an pesawat terbang juga dapat terjadi ketika pesawat terbang keluar dari lapisan udara dingin ke dalam lapisan udara hangat; dalam hal kejadian tersebut es yang terbentuk disebut es bulu (ice feathers) karena bentuknya seperti serabut. Peng-es-an pada permukaan badan pesawat terbang umumnya pada bagian pinggir sayap, pada stabilisator, dan pada ujung-ujung bagian lain serta pada lubang pembuangan. Peng-es-an pada permukaan badan pesawat terbang dapat terjadi karena lapisan air yang menempel pada badan pesawat mendingin dengan kuat. Peng-es-an karburator yang disebut peng-es-an karburator (carburetor icing), terjadi pada lubang pembuangan gas sisa pembakaran yang keluar dan mengembang dengan cepat. Peng-es-an karburator umumnya sudah dapat terjadi bila suhu udara luar antara 10 dan 15 oC. Peng-es-an pada pesawat terbang dapat mengurangi daya angkat, mengurangi daya dorong, dan menggnggu pengendalian karena peng-es-an dapat menimbulkan berbagai hal antara lain : menambah berat pesawat terbang, terjadi distorsi pada pembelah udara (aerofoil), mengganggu alat kemudi, mengganggu putaran balingbaling, mengurangi masukan udara pada mesin jet, dan mengurangi laju pembuangan karena peng-es-an karburator. Peng-es-an yang kuat dan membahayakan pesawat terbang mudah terjadi apabila pesawat terbang lama di dalam awan atau dalam hujan adidingin. Besarnya laju peng-es-an sebanding dengan kandungan air dalam awan yang dilalui pesawat terbang , kecepatan pesawat terbang, dan efisiensi pengumpulan dari bagian pembelah udara pada pesawat terbang. Umumnya besarnya laju peng-es-an sekitar 1 mm/menit, dan paling tinggi sebesar 30 mm/menit. Efisiensi pengumpulan untuk hujan sebesar 100%, untuk gerimis sebesar 75%, dan untuk butir-butir awan sebesar 50%.

Apa bahaya kilat bagi penerbangan? Kilat adalah salah satu fenomena elektrometeor berupa luahan muatan elektrik dalam udara. Kilat, antara lain dapat mengganggu alat telekomunikasi, saluran

listrik. Kilat dapat terjadi dari di satu tempat ke tempat lain di dalam suatu awan yang sama, dari awan ke awan lain, dan dari awan ke bumi atau sebaliknya dari bumi ke awan. Yang paling umum adalah kilat yang dihasilkan awan guntur atau awan Kumulonimbus. Bentuk kilat berbagai macam, antara lain yang terkenal adalah : kilat berkas (streak lightning), kilat garpu (forked lightning), kilat lembaran (sheet lightning), kilat bahang atau kilat api (heat lightning), kilat bola (ball lightning), kilat roket (rocket lightning).

Gb.7. Kilat garpu. Kilat berkas adalah kilat dari awan ke bumi yang tampak seperti kilapan berkas cahaya. Kilat garpu adalah kilat dari awan ke bumi yang ujungnya bercabang-cabang seperti garpu. Kilat lembaran adalah kilat yang hanya tampak seperti lembaran kilapan cahaya terang dan baur. Kilat bahang, sering disebut pula kilat api, berupa kilapan cahaya terang yang tampak di kejauhan dan lama setelah tampak disusul suara guntur. Kilat bola berupa kilapan cahaya berbentuk seperti bola yang garis tengahnya sekitar 0,3 meter, bergerak cepat pada suatu benda padat atau mengapung di udara, dan setelah itu meledak seperti bom; tetapi kilat tersebut jarang terjadi. Kilat roket adalah kilat yang sangat cepat seperti roket. Apa dampak cuaca sama bagi semua penerbangan? Dampak cuaca tidak sama bagi setiap penerbangan, umumnya dibedakan dalam tiga jenis penerbangan, yakni penerbangan rendah, penerbangan tengah, dan penerbangan tinggi..

Bagaimana dampak cuaca kepada penerbangan rendah?

Pesawat-pesawat terbang kecil, helikopter, paling banyak melakukan penerbangan

rendah. Penerbangan rendah sangat tinggi sensitifitasnya kepada cuaca karena di lapisan udara dibawah 3 km, cuaca sangat beragam dan sangat berubah-ubah. Penerbangan rendah umumnya berada di bawah dan di bagian bawah awan, sehingga pesawat yang melakukan penerbangan rendah menemui banyak perubahan arah dan kecepatan angin, dan masuk-keluar bagian bawah awan yang umumnya bergolak-galik. Biasanya dalam penerbangan rendah digunakan aturan terbang visual (Visual Flight Rules = VFR) yaitu batasan-batasan (kondisi cuaca) yang dipersyaratkan suatu penerbangan boleh dilakukan secara visual.

Bagaimana dampak cuaca kepada penerbangan tengah?

Penerbangan tengah adalah penerbangan pada paras tengah antara 3 km dan 8 km. Penerbangan pada paras tersebut masih mengalami banyak perubahan arah dan kecepatan angin, masuk-keluar di bagian tengah dan bagian atas awan, serta dalam udara bersuhu sekitar 0 oC dan atau di atas paras beku (paras dengan suhu 0 oC), serta dalam udara bertekanan rendah. Penerbangan tengah sering melewati dan terbang di dalam serta di puncak awan. Pengaruh awan Kumulus tinggi dan Kumulonimbus masih cukup besar. Peng-es-an mudah terjadi dalam paras penerbangan tengah; selain suhu udaranya rendah kadar air dalam udara msih cukup tinggi. Oleh karena itu informasi tentang kedua jenis awan tersebut sepanjang jalur dan wilayah penerbangan sangat diperlukan.

Bagaimana dampak cuaca kepada penerbangan tinggi? Penerbangan tinggi adalah penerbangan yang lebih tinggi dari 8 km. Umumnya berada pada paras di atas awan. Pengaruh cuaca di bawahnya kecil kecuali di atas siklon tropik yang kuat. Angin setempat umumnya tidak banyak perubahan; tetapi suhu udara sangat rendah. Peng-es-an masih mungkin terjadi utamanya di bagian paras paling bawah yang masih mengandung banyak uap air. Penerbangan tinggi umumnya melakukan penerbangan jauh dan lama. Perubahan cuaca yang dirasakan adalah perubahan yang berkaitan dengan perubahan tempat,

utamanya bagi penerbangan di kawasan lintang tinggi atau penerbangan yang menuju kearah meridional (utara selatan). Perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan ketinggian tekanan, ketinggian potensial, dan perubahan suhu. Apabila penerbangan dilakukan pada paras tekanan tetap, pesawat dapat mengalami perubahan ketinggian; dan bila terbang dalam paras ketinggian tetap, pesawat terbang mengalami perubahan tekanan. Perubahan arah dan kecepatan angin, dan juga perubahan suhu berkaitan dengan perubahan tekanan atau ketinggian tersebut. Bila penerbangan di atas kawasan khatulistiwa maka sepanjang penerbangan tidak banyak mengalami perubahan tekanan; sebaliknya penerbangan yang melintas dari arah khatulistiwa ke arah kutub atau sebaliknya mengalami perubahan tekanan yang besar.

Seberapa besar nilai ekonomi manfaat cuaca dalam penerbangan? Secara umum studi tentang keuntungan ekonomi dari pemanfaatan cuaca dan informasi cuaca dalam penerbangan telah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Fairbanks dkk. (1993), Robinson dkk. (1994). Perhitungan nilai ekonomi umumnya dilakukan dengan ukuran penghematan waktu terbang (waktu terbang minima) dan efisiensi pengaturan beban dan pengisian bahan bakar (fuel loading). Tetapi tidak dapat dihitung nilainya secara kuantitatif dalam hal yang berkaitan dengan keselamatan.

Manfaat informasi cuaca dalam penetapan rencana terbang.

Dalam upaya efisiensi dan keselamatan penerbangan selain harus memperhatikan kondisi sarana dan prasarana penerbangan serta kondisi pesawat terbang, cuaca selalu harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Pada dasarnya cuaca mempunyai andil besar dalam menentukan rencana dan keputusan untuk tinggal landas, keputusan mendarat, dan keputusan-keputusan selama dalam penerbangan.

Informasi cuaca penerbangan yang diterima penerbang digunakan untuk operasional penerbangan, baik informasi cuaca untuk persiapan lepas landas, selama dalam

penerbangan, maupun informasi cuaca untuk persiapan mendarat. Informasi cuaca bandar udara keberangkatan yang diterima sebelum lepas landas atau akan mendarat antara lain digunakan untuk menentukan dari arah mana pesawat terbang akan lepas landas atau mendarat. Hal ini berkaitan dengan arah angin di bandar udara saat itu, dimana pesawat terbang akan lepas landas atau mendarat dengan arah berlawanan dengan arah angin. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang selalu diperhatikan, yakni pengesetan altimeter, penentuan ketinggian terbang, dan penentuan terbang minimal.

Pengesetan altimeter (altimeter setting) itu apa?

Altimeter adalah alat yang digunakan untuk menaksir ketinggian di dalam atmosfer. Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk mengatakan tinggi dalam penerbangan, yakni ketinggian (height), altitude (altitude), dan elevasi (elevation). Ketinggian, adalah ukuran jarak vertikal letak suatu titik, atau benda, atau paras, yang diukur dari datum atau tinggi rujukan tertentu. Altitud adalah jarak vertikal letak suatu titik, benda, atau paras yang diukur dari permukaan laut atau permukaan laut rata-rata. Elevasi adalah jarak vertikal dari suatu titik, atau benda, pada permukaan bumi diukur dari permukaan laut. Untuk mengetahui ketinggian terbang, pesawat terbang umumnya dilengkapi dengan altimeter tekanan, ialah altimeter yang bekerjanya berdasarkan pengukuran tekanan udara. Tetapi pesawat terbang modern, selain dilengkapai dengan altimeter tekanan juga dilengkapi dengan altimeter radio atau radar. Dengan prinsip pemantulan gelombang radio, altimeter radio dapat menunjukkan ketinggian pesawat terbang di atas permukaan bumi. Oleh karena itu altimeter radio dikenal sebagai altimeter mutlak, sedangkan altimeter tekanan menunjukkan ketinggian nisbi, yaitu altitud atau ketinggian dari permukaan laut. Apabila pesawat terbang di atas laut altimeter tekanan dan altimeter radio menunjukkan ketinggian yang sama. Tetapi bila terbang di atas daratan, altimeter tekanan menunjukkan ketinggian lebih tinggi dibandingkan dengan altimeter radio. Bagi pesawat terbang yang hanya dilengkapi dengan altimeter tekanan, pengesetan altimeter sangat penting dan harus dilakukan dengan cermat agar pesawat terbang

dapat didaratkan dengan tepat diatas landasan pacu. Pengesetan dilakukan dengan menyesuaikan skala altimeter pada besarnya tekanan di Bandar udara yang dikoreksi dengan tekanan permukaan laut (QNH). Dalam altimeter, hubungan antara ketinggian dan tekanan mengikut rumus empirik : H = 221,15 Tm log (Po/P), dengan H = ketinggian dari permukaan laut (altitud) dinyatakan dalam kaki; Tm = suhu udara rata-rata dari permukaan laut sampai tinggi H dinyatakan dalam oK; Po = tekanan atmosfer pada permukaan laut; dan P = tekanan atmosfer pada ketinggian H. Namun demikian dalam praktek untuk menetapkan koreksi ke permukaan laut yang digunakan untuk pengesetan altimeter diperlukan patokan tekanan di atas permukaan laut tertentu. Tekanan permukaan laut tersebut diambil dari atmosfer baku ICAO. Dengan demikian perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut hasilnya dapat berbeda dengan bila menggunakan model atmosfer baku ICAO. Dalam Glossary of Meteorology, atmosfer baku ICAO ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut : Ketinggian permukaan atau paras muka laut rata-rata (mean sea level) = 0 meter;

Tekanan udara permukaan 1013,25 mb (hPa) Suhu udara permukaan 15 oC; Laju susut suhu vertikal sampai tinggi 11 km (ketinggian tropopause) sebesar 6,5
o

C/km atau 1,98 oC/ 1000 kaki.

Selanjutnya sejak tahun 1956 dikembangkan lagi dengan: Laju susut suhu dari 11 km sampai 25 km sebesar 0 oC/km; Laju susut suhu dari 25 km sampai 47 km sebesar +3 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 47 km sebesar + 9,5 oC ; Laju susut suhu dari 47 km sampai 53 km sebesar 0 oC/km; Laju susut suhu dari 53 km sampai 75 km sebesar 3,9 oC/km, sehingga suhu pada 75 km sebesar 76,3 oC; Laju susut suhu dari 75 km sampai 90 km sebesar 0 oC/km; Laju susut suhu dari 90 km sampai 126 km sebesar + 3,5 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 126 km sebesar + 49,7 oC (suhu skala molekul); Laju susut suhu dari 126 km sampai 175 km sebesar +10 oC/km, sehingga suhu

pada ketinggian 175 km sebesar + 539,7 oC; Laju susut suhu dari 175 km sampai 500 km sebesar + 5,8 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 500 km sebesar + 2424,7 oC. Altitud yang bersangkutan dengan tekanan dalam standar atmosfer ICAO disebut altitud tekanan (pressure altitude) atau ketinggian tekanan (pressure height). Untuk pengesetan altimeter diperlukan nilai ketinggian tekanan dan QNH. Dalam satuan tekanan, ketinggian tekanan (PH) dinyatakan dengan rumus : PH = Pml QFE dengan Pml = tekanan pada pemukaan laut atmosfer baku ICAO; QFE tekanan barometer pada Bandar udara yang tidak dikoreksi ke permukaan laut. Cara menghitung ketinggian tekanan dan QNH seperti pada contoh berikut. Misalkan di suatu Bandar udara elevasinya 3000 kaki dan tekanan barometer 930 hPa (tekanan sebenarnya yang tidak dikoreksi dengan permukaan laut = QFE). Maka dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO diperoleh : (1) Ketinggian tekanan (PH) = 1013,25 930 = 83,25 hPa. (2) Ketinggian tekanan 83,25 hPa setara dengan ketinggian H = 2331 kaki. Nilai tersebut dihitung dengan cara seperti berikut : Dalam atmosfer baku ICAO untuk ketinggian dibawah 5000 kaki 1 hPa setara dengan 28 kaki. Maka ketinggian tekanan 83,25 hPa tersebut setara dengan 83,25 x 28 = 2331 kaki. (3) QNH dihitung dengan rumus: QNH = Pml + (HICAO E)/28 (untuk E <= 5000 kaki) atau, QNH = Pml + (HICAO E)/30 (untuk E > 5000 kaki) dengan HICAO = tinggi setara tekanan dalam atmosfer baku ICAO; E = elevasi Bandar udara. Dengan rumus tersebut diperoleh : QNH = 1013,25 + (2331 3000)/28 = 1037,142 hPa. Dari perhitungan tersebut maka pengesetan altimeter dilakukan dengan menempatkan skala altimeter nol pada 1037,142 hPa. Pengsetan tersebut diperlukan

agar pendaratan pesawat terbang dapat dilakukan dengan tepat. Sebagai contoh, misalnya terjadi kesalahan pengesetan altimeter sebesar 1 hPa lebih kecil dari tekanan udara yang semestinya. Karena selisih tekanan udara sebesar 1 hPa setara dengan ketinggian 28 kaki, maka dengan kesalahan tersebut penerbang memperhitungkan bahwa pesawat sudah pada titik sentuh landasan (touch down) yang seharusnya, padahal yang sebenarnya pesawat terbang masih pada ketinggian 28 kaki dari landasan. Dengan demikian pesawat terbang mendarat melewati titik sentuh landasan yang seharusnya (gambar 9).

Gb. 9. Pendaratan pesawat terbang akibat kesalahan 1 hPa lebih kecil dari tekanan udara yang semestinya. Sebaliknya, apabila kesalahan sebesar 1 hPa lebih besar dari tekanan udara yang semestinya, maka penerbang memperhitungkan pesawat masih pada ketinggian 28 kaki dan belum menyentuh landasan, padahal pesawat terbang sudah menyentuh landasan sebelum mencapai titik sentuh landasan yang seharusnya dan pada kecepatan yang masih lebih tinggi dari yang seharusnya (gambar 10).

Gb. 10. Pendaratan pesawat terbang akibat kesalahan 1 hPa lebih besar dari tekanan udara yang semestinya.

Menghitung Nilai D (D-Value)

Keadaan atmosfer tidak tetap, sedangkan atmosfer baku ditetapkan berdasarkan model dan nilai rata-rata. Oleh karena itu sering terdapat perbedaan antara keadaan sebenarnya dan hasil perhitungan dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO. Beda ketinggian menurut atmosfer baku ICAO dan ketinggian sebenarnya disebut NIlaiD (D-value). D = Z h (7.6)

dengan Z = ketinggian yang dihitung menurut kriteria atmosfer baku ICAO, sama dengan ketinggian tekanan atau altitud tekanan; dan h = ketinggian sebenarnya dari permukaan bumi. Bila pesawat terbang dilengkapi dengan altimeter tekanan dan altimeter radio, nilai Z dapat diperoleh dari pengukuran dengan altimeter tekanan, dan h dari pengukuran dengan altimeter radio Misalkan di suatu Bandar udara elevasinya 3000 kaki dan tekanan barometer 930 hPa (tekanan sebenarnya yang tidak dikoreksi dengan permukaan laut = QFE) seperti pada contoh dalam butir 7.2.1.1, maka menurut pengukuran pada elevasi atau ketinggian 3000 kaki tekanannya 930 hPa. Tetapi kalau dihitung dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO, tekanan 930 hPa terdapat pada ketinggian 2331 kaki. Dengan demikian : Nilai-D = 2331 3000 = 669 kaki.

Altitud Kerapatan (Density Altitude) Altitud kerapatan adalah ketinggian tekanan dari suatu tempat (Bandar udara) yang dikoreksi dengan beda antara suhu di tempat itu dan suhu menurut atmosfer baku ICAO pada ketinggian yang sama dengan elevasi tempat. Sebagai contoh, misalnya di suatu Bandar udara yang elevasinya 3000 kaki, pada saat itu tekanan sebenarnya 960 hPa (QFE, tekanan tidak dikoreksi permukaan laut); dan suhunya 11 oC. Untuk menghitung altitud kerapatan mula-mula dihitung altitud atau ketinggian tekanan (PH) dengan menggunakan rumus (7.2), PH = Pml QFE = 1013,25 960 = 53,25 hPa. Dengan menggunakan ketentuan dalam atmosfer baku ICAO untuk ketinggian dibawah 5000 kaki 1 hPa setara dengan 28 kaki, maka dalam satuan tinggi : PH = 53,25 x 28 = 1491 kaki ( = Nilai D) Selanjutnya dengan menggunakan ketentuan atmosfer baku ICAO, suhu pada

permukaan laut 15 oC dan laju susut suhu vertikal 6,5 oC/km atau 1,98 oC/1000 kaki, maka pada ketinggian 1491 kaki suhunya sebesar : TICAO = 15 1491 (1,98/1000) = 15 2,95 = 12,05 oC Karena suhu di Bandar udara sebesar 11 oC maka dengan suhu menurut perhitungan dengan atmosfer baku ICAO berbeda sebesar 12,05 11 = 1,05 oC. Jika disetarakan dengan beda ketinggian yang laju susut suhunya 1,98 oC /1000 kaki, maka 1,05 oC setara dengan tinggi (H) sebesar : H = (1,05/1,98).1000 = 500 kaki dan altitud kerapatan (DH): = PH + H = 1491 + 500 = 1951 kaki . Nilai tersebut memberi pengertian bahwa apabila pesawat terbang akan tinggal landas atau mendarat di Bandar udara tersebut pada saat itu perlu menyesuaikan seperti kalau tinggal landas atau mendarat pada ketinggian 1951 kaki, meskipun elevasi Bandar udara sebenarnya 3000 kaki.

Penentuan Terbang Minimal Angin dapat menghanyutkan pesawat udara sehingga arah lintasan pesawat (track) tidak sama dengan arah hadapan (heading) pesawat. Dengan demikian apabila arah pesawat dihadapkan kearah tujuan dengan menggunakan arah geografis padahal ada angin maka pada saat yang diperhitungkan pesawat tidak sampai tujuan yang dikehendaki. Untuk mendapatkan jarak atau waktu terpendek yang disebut penerbangan minimal maka pesawat harus setiap kali diubah arah sesuai dengan arah dan kecepatan angin yang ada . Misalkan pesawat terbang dari A akan menuju B, bila tidak ada angin lintasan pesawat akan sepanjang garis AB. Bila ada angin dapat hanyut sehingga arah pesawat melencong tidak sampai pada B. Agar pesawat dapat mencapai B dengan menempuh jarak dan waktu terpendek maka pesawat terbang harus dihadapkan

kearah tertentu sesuai dengan arah dan kecepatan angin yang menerpanya. Garis arah dari Bandar udara pemberangkatan sampai Bandar udara tujuan disebut lintasan (track), misalnya AB, dan garis arah pada arah hadapan disebut lintasan hadapan (heading), misalnya AC. Sudut antara lintasan hadapan dan lintasan (b) disebut sudut hanyutan. Perhitungan untuk mencari sudut hanyutan sebagai berikut.

Gb. 11. Bagan hanyutan. Misalkan pesawat terbang dari A menuju B. Arah hadapan (heading) AB terhadap arah timur sebesar a. Kecepatan terhadap bumi (ground speed) pesawat sebesar VB knot. Karena angin, arah pesawat terbang mengikuti arah lintasan (track) maka pesawat terbang pada saat yang direncanakan dapat tidak sampai pada tujuan (B). Besarnya sudut simpangan disebut sudut hanyutan. Besarnya sudut hanyutan dapat dihitung dengan menggunakan analisis vektor. Misalkan (gb.11), VB = ( b1i + b2j ) vektor kecepatan pesawat terhadap bumi dari bandar udara keberangkatan ke arah Bandar udara tujuan;

a = sudut arah hadapan (heading) yang direncanakan terhadap arah timur; Va = ( a1i + a2j ) vektor kecepatan angin; f = arah angin terhadap arah utara, atau (270 f) terhadap arah timur b = adalah sudut hanyutan; VH = ( h1i + h2j ) vektor kecepatan pesawat terbang karena hanyutan, Maka dalam koordinat siku-siku (X-Y), dengan X positif ke arah timur dan Y positip ke arah utara dapat dihitung :

VH = Va + VB h1i + h2j = ( a1i + a2j ) + ( b1i + b2j ) h1 = a1 + b1 = VA cos (270 f) + VB cos a h2 = a2 + b2 = VA sin (270 f) + VB sin a Besarnya kecepatan VH = (h12+ h22 ) = [{VA cos(270 f)+VB cosa}2 + {VA sin(270 f)+VB sina}2] arah VH = g = arc tan ( h2 / h1) = arc tan {VA sin(270f) + VB sina} / {VA cos(270f) + VB cosa} Sudut hanyutan sebesar : b = a g Contoh. Pesawat terbang terbang dari Cengkareng ke Pontianak. Jarak Cengkareng ke Pontianak S = 2000 km; Arah Cengkareng Pontianak terhadap arah timur a = 60o; Kecepatan pesawat terbang terhadap bumi VB = 500 km/jam; Arah angin f = 330o; Kecepatan angin VA= 50 km/jam Maka, besarnya kecepatan dalam arah lintasan VH = (h12+ h22 ) = [{VA cos(270 f)+VB cosa}2 + {VA sin(270 f)+VB sina}2] = [{50cos(270 330)+500 cos60}2 + {50sin(270 330)+500 sin60}2] = [{50cos( 60)+ 500 cos60}2 + {50sin(60)+500 sin60}2] = [{ 50. + 500. }2 + {50 (3) + 500 . 3}2] = [{ 25 + 250 }2 + { (253) + 2503}2] = [(275 )2 + { (2253)2]

= {(75625 + (50625.3)} = (75625 + 151875) = (75625 + 151875) = 227500 = 477 km/jam Arah VH = g = arc tan ( h1 / h2) = arc tan {VA sin(270f) + VB sina} / {VA cos(270f) + VB cosa} = arc tan {50sin(60) + VB sin60} / {50cos(60) + 500 cos60} = arc tan {50 (3) + 500 . 3} / {50. + 500. } = arc tan {(253) + 250 3)} / (25 + 250) = arc tan { (253) + 250 3)} / (25 + 250) = arc tan { (2253) / 275 } = arc tan { (389,25) / 275 } = arc tan (1,4155) = 54,75o Sudut hanyutan sebesar : b=ag = 60o 54,75o = 5,25o

==========

Daftar rujukan. Caracena Fernando (1987). The Microburst As An Aircraft Hazard and Forecast Problem. WMO Bulletin No.4. Vol. 36 October 1987 hal. 278 284. Hans Neuberger (1951). Introduction to Physical Meteorology. The Pensilvania State University. Huschke Ralph E. (1980). Glossary of Meteorology. American Meteorological Society. Boston. Third printing. Mc. Intoch D,H, (19972). Meteorological Glossary. London. HMO. NASA (1988). Earth System Science. NASA USA. Rainhardi Manfred E. (1989). Aeronautical Meteorology in the Service of Aviation. WMO Bulletin No.1 Vol.38 January 1989. pp.22.

Richard Scorer (1972). Clouds Of The World. Lothian Publishing Co (PTY) LTD. Melbourne David & Charles Newton Abbot. Thompson J.C. and Brier, G.W.(1955). The Economic Utility of Weather Forecast. Monthly Weather Review. Vol. 83 No. 11. Thompson, J.C. (..). Potential Economic Benefits from Improvements in Weather Information. World Weather Watch Planning Report No. 27. WMO. Wirjohamidjojo Soerjadi dan Sridadi Budihardjo (2007). Praktek Meteorologi Penerbangan. Badan Meteorologi Dan Geofisika. ISBN 978-979-1241-03-8. Wirjohamidjojo, Soerjadi , Susanto, Patoni, dan Suroso H.(1993). Kamus Hidrometeorologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pust Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ISBN 979 459 357 5. Wirjohamidjojo, Soerjadi; Prof. DR. Mezak A. Ratag (2006). Kamus Istilah Meteorologi Aeronautik. Badan Meteorologi & Geofisika. ISBN 979-99507-3-2. WMO (1969). International Cloud Atlas. Abridged Atlas. World Meteorological Organization. Geneva, Switzerland. WMO (1998). Technical Regulations. WMO No. 49. Volume II. Meteorological Service fore International Air Navigation. ---------Diposkan oleh soerjadi wh di 02:17

Sabtu, 28 Agustus 2010

ANGIN YANG MEMPUNYAI BANYAK MAKNA


Oleh : Soerjadi Wh.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia banyak ditemui kata angin, baik dengan arti yang sebenarnya maupun sebagai ungkapan kiasan atau peribahasa; misalnya : pohon tumbang karena angin kencang; itu hanya kabar angin (berita yang belum pasti benarnya); anggaplah sebagai angin lalu (tidak perlu difikirkan). Namun demikian jangan anggap sepele masuk angin karena dapat membuat badan kita lemas dan bahkan dapat menjadi pendorong kematian. Khususnya dalam meteorologi angin mempunyai peran banyak dalam pembentukan sistem cuaca, sehingga banyak nama dan arti yang diberikan. Apakah angin itu?

Angin adalah gerak udara. Dalam meteorologi, bila tidak ada penjelasan lain, angin adalah gerak udara dalam arah horizontal. .Gerak tersebut timbul karena perbedaan suhu dan tekanan udara di suatu tempat dan di tempat lain yang berdekatan. Mata angin, bukan matanya angin. Angin dicirikan dengan arah datangnya, misalnya angin utara adalah angin yang bertiup dari arah utara, angin timur adalah angin yang bertiup dari timur. Untuk menatakan arah angin digunakan ukuran derajat. Angin dari utara arahnya dinyatakan 360 derajat; dari timur 90 derajat; dari selatan 180 derajat; dari barat 270 derajat. 0 derajat tidak digunakan untuk menyatakan arah tetapi digunakan untuk menyatakan angin yang sangat lemah atau tidak ada angin. Susunan arah angin tersebut dinamakan mata angin.

Angin angin itu punya nama. Adanya angin memberi kesan yang bermacam-macam. Oleh karena itu orang membedakan angin dengan memberi nama. Berbagai cara dan dasar digunakan untuk memberi nama angin antara lain : berdasarkan arah bertiupnya, kecepatan atau kekuatannya, waktu bertiupnya, sifat dan dampaknya, dan masih banyak lagi.. Berasarkan kebiasaan arah datangnya dikenalangin baratan, angin timuran : Angin baratan adalah angin yang arahnya selalu dari barat, tetapi berbeda dengan angin barat.. Angin timuran adalah angin yang arahnya selalu dari timur tetapi berbeda dengan angin timur. Dari arahnya dan sekaligus dari tempatnya dikenal angin baratan khatulistiwa, angin

baratan subtropik, angin timuran kutub. Angin baratan khatulistiwa adalah angin baratan yang terdapat di sekitar khatulistiwa yang memisahkan angin pasat belahan bumi utara dan pasat belahan bumi selatan.. Angin baratan subtropik, adalah angin baratan yang terdapat di pinggiran menghadap kutub dari kawasan subtropik. , Angin timuran kutub adalah angin timuran yang terdapat di kawasan kutub. Angin pasat, adalah nama angin di kawasan tropik yang berasal dari daerah tekanan tinggi subtropik yang berpusat di sekitar 30o 40o lintang utara dan di sekitar 30o 40o lintang selatan. Angin tersebut bertiup dari suatu arah hampir sepanjang tahun. Di bagian belahan bumi utara arah umumnya dari timur laut, dan di bagian belahan bumi selatan dari arah tenggara. Angin pasat timbul karena adanya daerah dengan tekanan tinggi luar tropik di belahan bumi utara dan selatan dan yang lebih tinggi dari pada tekanan udara di kawasan tropik. Angin pasat terlihat jelas di atas lautan Pasifik dan di atas lautan Atlantik.

Dari perubahan arahnya dikenal angin menganan dan angin mengiri. Angin menganan adalah angin yang arahnya berubah ke arah kanan atau searah dengan arah putaran jarum jam. Angin tersebut terdapat di kawasan tropik belahan bumi utara ketika angin dari daerah tekanan tinggi subtropik menuju ke arah kawasan tropik Selain itu juga terdapat di sekitar daerah siklon atau siklontropis di belahan bumi selatan. Angin mengiri adalah angin yang arahnya berubah ke arah kiri atau berlawanan dengan arah putaran jarum jam. Angin tersebut terdapat di kawasan tropik belahan bumi selatan ketika angin dari daerah tekanan tinggi subtropik menuju ke arah kawasan tropik Selain itu juga terdapat di sekitar daerah siklon atau siklontropis di belahan bumi utara.

Dari tempatnya, dikenal banyak nama angin : Angin lokal.. Nama angin yang biasa bertiup di suatu tempat disebut angin lokal atau angin setempat. Angin lorong, angin lokal kencang diujung terowongan atau celah diantara dua bukit, Angin laut, angin lokal di kawasan pantai yang terjadi pada siang hari; arahnya dari laut menuju daratan karena perbedaan suhu ketika permukaan darat lebih tinggi dari pada suhu di atas laut yang bersebelahan. Umumnya angin laut lebih kuat dibandingkan angin darat. Angin laut dapat memasuki daratan sampai sekitar 30 km dari pantai, sedangkan angin darat hanya mencapai sekitar 10 km dari pantai ke arah laut. Angin darat, angin lokal di kawasan pantai yang terjadi pada malam hari; arahnya dari daratan menuju lautan karena perbedaan suhu ketika permukaan laut suhunya lebih tinggi dari pada suhu di atas daratan yang bersebelahan. Angin gunung, angin lokal di pegunungan yang terjadi pada malam hari dari puncak gunung menuju lembah ketika udara di puncak gunung menjadi dingin dan rapat massanya lebih besar dibandingkan dengan yang ada di lembah. Angin gunung juga disebut angin katabatik. Angin lembah, angin lokal yang di pegunungan yang terjadi pada siang hari dari lembah ke arah puncak gunung ketika lereng gunung mendapat banyak penyinaran matahari, sehingga udara naik sepanjang lereng gunung. Angin lembah disebut pula angin anabatik. Angin permukaan, adalah angin yang bertiup di dekat permukaan bumi. Pengukuran angin tersebut dilakukan pada ketinggian 10 meter dari permukaan bumi di kawasan terbuka.

Berdasarkan waktu terjadinya, dikenal angin musim, Angin musim adalah nama angin yang bertiup secara musiman. Dalam sebagian tahun bertiup dari satu arah, dan sebagian tahun lainnya bertiup dari arah yang berlawanan. Angin musim tersebut terdapat di banyak daerah, misalnya di Afrika, Arab, India, Indonesia. Di Indonesia bagian tengah dan timur pada umumnya dikenal angin musim barat dan angin musim timur. Angin musim barat berlangsung mulai sekitar bulan Oktober dan berakhir sekitar bulan Maret; angin musim timur berlangsung sekitar bulan April sampai sekitar bulan September. Di sebagian

Indonesia bagian barat, di India, dikenal angin musim barat daya dan angin musim timur laut. Angin musim barat daya berlangsung dari sekitar bulan Mei sampai sekitar bulan September, dan angin musim timur laut berlangsung sekitar bulan Oktober sampai sekitar bulan April. Pergantian arah angin tersebut berkaitan dengan musim panas dan musim dingin di benua Asia. Musim angin timur laut berkaitan dengan musim dingin di Asia, dan musim angin barat daya berkaitan dengan musim panas di Asia.

Dari sifat udara yang dibawa dikenal nama-nama angin : Angin jatuh (fohn), angin lokal yang terdapat di tempat-tempat tertentu di balik gunung. Angin tersebut sering sangat kencang, panas dan kering yang timbulnya pada musim tertentu. Angin tersebut timbul ketika udara yang dibawah dingin dan di atas panas melewati gunung. Setelah melewati gunung udara turun dengan kencang seperti angin jatuh. Angin jatuh tersebut bertiup kencang dan berlangsung terusmenerus sampai berhari-hari sehingga menimbulkan dampak yang sangat terasa di daerah yang dilewati. Biasanya terjadi pada musim kemarau yang sangat kering. Karena dampak yang sangat terasa tersebut penduduk setempat memberi nama menurut kesan yang dirasakan. Di Indonesia angin jatuh yang terkenal adalah angin bohorok di Tapanuli Sumatra Utara; angin kumbang di daerah Cirebon Jawa Barat, angin gending di daerah Pasuruhan Jawa Timur, angin barubu di Sulawesi Selatan, angin wambraw di daerah Manokwari. angin taku yakni angin timur-timur laut kuat di Juneau Alaska yang biasanya bertiup dalam waktu antara bulan Oktober dan Maret Angin anabat, adalah angin lokal yang bertiup naik sepanjang lereng gunung yang panas karena sinar matahari. Angin gravitas, adalah gerak udara dingin dari tempat yang tinggi ke arah pantai laut di dekatnya yang panas. Angin gravitas juga sering diserupakan dengan angin jatuh atau angin katabat. Angin hitam, adalah angin yang kuat, sangat bergolak-galik, kering yang bertiup ke bawah di lereng gunung; angin tersebut terkenal di Kurdistan selatan, Persia, dan dinamai juga dengan angin reshabar.

Angin katabat adalah angin turun sepanjang lereng gunung yang timbul karena dalam arah horizontal kerapatan udara di sepanjang lereng lebih besar daripada kerapatan udara di sekitarnya. Perbedaan kerapatan tersebut karena pendinginan permukaan lereng mendinginkan udara di sekatnya. Angin krakatao adalah lapisan angin timuran di atas wilayah tropik pada ketinggian 18 24 km. Lapisan tersebut menempati puncak dari angin baratan troposfer tengah yang tebalnya sampai 6 km dan kira-kira 2 km di atas tropopauze. Nama angin tersebut dikenali ketika adanya debu letusan gunung Krakatao pada tahun 1883.

Di kalangan pelayaran dan penerbangan dikenal nama-nama angin yang diberikan menurut kesan pada pelayaran atau penerbangan, misalnya: Angin buritan adalah nama angin yang bertiup dari arah belakang searah dengan arah gerak kapal atau pesawat terbang; disebut pula angin turutan. Angin haluan atau angin sakal adalah angin yang bertiup dari depan arah kapal atau pesawat terbang. Baik angin buritan maupun angin sakal keduanya disebut angin membujur. Angin lambung adalah angin yang bertiup dari arah samping kapal atau pesawat terbang; disebut pula angin silang yalah angin yang mempunyai komponen berarah tegaklurus terhadap arah gerakan kapal atau pesawat terbang.

Mengapa angin dapat menumbangkan pohon? Angin mempunyai kecepatan dan energi yang dapat mendorong benda-benda yang dilewatinya. Kecepatan angin dinyatakan dalam km/jam, m/detik, atau dalam knot ( 1 knot = 1 mil/jam = 1,8 km/jam ). Dalam pelayaran lazimnya menggunakan ukuran kecepatan knot dan dalam penerbangan selain knot juga digunakan ukuran km/jam atau m/detik. Angin mempunyai energi yang besarnya setara dengan kecepatannya; makin kencang makin besar energi yang dibawanya. Berkaitan dengan energi tersebut oleh Admiral Beaufort dari angkan laut Inggris pada awal abad-19 angin dibedakan tingkatnya menurut dampak yang ditimbulkan, dan menyusunnya dalam skala yang selanjutnya dikenal dengan skala Beaufort. Kenudian pada tahun 1906 G.C. Simpson dalam Meteorological Office Publication no. 180, London, mengemukakan hubungan antara skala Beaufort dan kecepatan angin dalam rumus : V = 0,836 B3 /

2, dengan V = kecepatan angin dinyatakan dalam m/dt, dan B besarnya skala. Dengan skala Beaufort dikenali tanda-tanda seperti berikut : Skala Beaufort 0 : Keadaan tenang; asap dari cerobong industri kelihatan Skala Beaufort 12: Angin sangat kencang yang kecepatannya lebih dari 60 knot. Di darat banyak menimbulkan pohon tumbang dan di laut menimbulkan gelombang sangat tinggi. Berdasarkan kecepatannya angin diberi tingkatan yang diberi nama: Angin teduh, adalah angin yang kecepatannya kurang dari 1 knot. Angin ribut, adalah angin yang luar biasa kekuatannya lebih dari 28 knot. Angin ribut kuat, adalah angin ribut yang kecepatannya 41 sampai 47 knot. Angin ribut hebat, adalah angin ribut yang kecepatannya lebih dari 48 knot. Angin ribut lemah, adalah angin ribut yang kecepatannya 25 sampai 33 knot. Angin ribut sedang, adalah angin ribut yang kecepatannya 25 sampai 33 knot. Bebagai nama angin juga diberikan berdasarkan sifat fisis dan berdasarkan teori atau disebut angin teoritik, antara lain :. Angin geostrofik adalah angin mendatar yang secara teori dihasilkan dari adanya keseimbangan antara gaya Corioli dan landaian mendatar tekanan. Dalam fisika keseimbangan tersebut dinyatakan dengan rumus : Vg = g/f p/n; dengan g = percepatan gravitas bumi, f = faktor Corioli, p = tekanan atmosfer, dan p/n = landaian tekanan sepanjang arah garis n tegaklurus isobar. Angin geostrofikk arahnya hampir sejajar dengan arah isobar. Angin alobar adalah (1). Komponen angin yang secara teori dihasilkan oleh ketidak seragaman perubahan lokal dari tekanan mengikut waktu. (2). Kecepatan angin yang timbul dari adanya keseimbangan antara gaya Corioli dan percepatan angin geostrofik. Angin isalobar, adalah angin yang secara teori ditimbulkan oleh perubahan lokal tekanan mengikut waktu. Angin landaian adalah komponen kecepatan angin yang tegaklurus garis kontur tekanan tetap di suatu titik pada peta ketinggian. Secara teori angin landaian (Vgr) dihasilkan dari adanya keseimbangan antara gaya Corioli dan gaya sentripetal dengan landaian mendatar tekanan, dan dinyatakan dengan rumus : Vgr2/R + f Vgr = g p/n; dengan R = jejari lengkungan lintasan, f = faktor Corioli, g = percepatan gravitas bumi, p/n = landaian tekanan tegaklurus isobar.

Angin langkisau adalah angin kuat yang mendadak terjadi dalam waktu singkat yang kemudian diikuti keadaan tenang (ta ada angin); umumnya hanya disebutkan langkisau saja. Angin membujur setara adalah angin khayalan, dalam penerbangan, yang diwujudkan seperti angin sebenarnya dengan kecepatan seragam sebesar kecepatan rata-rata pesawat terbang terhadap bumi dan selalu sejajar dengan lintasannya. Angin pilin adalah badai angin kecil dengan udara di dalamnya berputar mengelilingi pusat yang bertekanan rendah; kadang-kadang putaran udara menjulur ke atas sampai beberapa ratus meter dan menimbulkan pilin debu bila terjadi di padang pasir. Angin puyuh, adalah putaran kuat turus udara berbentuk juntaian yang terdapat pada bagian bawah awan Kumulonimbus dan hampir selalu tampak sebagai awan corong. Pusarnya bergaris tengah beberapa ratus meter. Biasanya berputar siklonal (mengiri bila dilihat dari atas) dengan kecepatan sekitar 150 500 km/jam. Angin puyuh termasuk fenomena atmosfer skala lokal yang mempunyai potensi kekuatan sangat merusak. Di Indonesia angin puyuh disebut juga puting beliung. Angin semu, adalah angin yang arah dan kecepatannya diukur dari benda yang bergerak. Besar arah dan kecepatannya sama dengan beda vektor antara angin sebenarnya dan kecepatan benda yang bergerak. Angin sakal setara, sama dengan angin membujur setara. Angin termal adalah angin yang secara teori diturunkan dari perbedaan suhu dan tekanan dalam lapisan atmosfer yang rumusnya : \

. Dalam praktik angin termal dinyatakan sebagai beda vektor angin di suatu paras dan vektor angin paada paras dibawahnya. Misalkan pada paras 500 mb vektor angin V5 dan pada paras 700 mb V7 maka angin termal dalam lapisan antara paras 700 mb dan 500 mb ditulis :

VT = V5 V7 Di lintang tengah dan tinggi belahan bumi utara, di sekitar daerah dingin, arah angin termal adalah siklonik (mengiri), dan di sekitar daerah panas antisiklonik

(menganan). Sebaliknya di belahan bumi selatan, di sekitar daerah dingin arah angin termal adalah antisiklonik (mengiri), dan di sekitar daerah panas siklonik (menganan). Meskipun penaksiran tersebut hanya untuk lintang tengah dan tinggi, tetapi dapat digunakan untuk menaksir imbasnya di kawasan tropik atau Indonesia. Dengan angin termal dapat ditaksir adanya lataan suhu atau energi dan arah penjalarannya. Dalam lapisan batas (dari permukaan sampai sekitar 3 km atau paras 700 mb) , proyeksi ujung vektor angin termal membentuk garis spiral yang disebut spiral Ekman. Bila bentuk spiral sangat lengkung dalam lapisan tersebut udara bergolak-galik besar.

Angin sebagai petunjuk cuaca. Dari angin dapat dikenali bebagai fenomena cuaca. Misalnya, di daerah mengumpulnya angina di dekat permukaan bumi udara cenderung bergerak ke atas sehingga menimbulkan banyak awan dan hujan. Sebaliknya di daerah angina menyebar udara cenderung bergerak ke bawah sehingga di atas daerah tersebut awan sulit tumbuh. Bila ngin kencang terus-menerus bertiup di atas lautan dapat menimbulkan gelombang besar. Bila di suatu daerah arah angina sejajar tetapi kearah samping kecepatannya banyak berbeda menimbulkan gesekan sehingga udara berputar; demikian pula dapat menimbulkan putaran bila arah angina di suatu sisi berlawanan arah dengan angina di sisi sebelahn Diposkan oleh soerjadi wh di 17:22

Jumat, 08 Januari 2010

cuaca, sistem cuaca sinoptik wilayah


MENGENALI SISTEM CUACA SINOPTIK BERBAGAI DAERAH Oleh: Soerjadi Wh -------------

Dalam ilmu kependudukan dikatakan bahwa Indonesia terdiri dari banyak suku dan budaya, namun punya satu nusa, nusa Indonesia; satu bangsa, bangsa Indonesia; satu bahasa, bahasa Indonesia. Demikian pula dalam cuaca Indonesia memiliki cuaca yang beragam sifatnya mengikut kondisi setempat, namun punya kesamaan, yakni mempunyai satu variasi, variasi harian; dan variasi musiman.

Konon untuk sekilas mengenali iklim di suatu tempat, dapat menggunakan indikator pohon atau tanaman tahunan apa yang tumbuh atau hidup subur di tempat itu; kemudian ke arah mana condongnya pohon, batang atau ranting-ranting tanaman tersebut. Misalnya, kalau di suatu daerah banyak tumbuh pohon asam pertanda bahwa daerah itu mempunyai kemarau yang kuat; bila banyak pohon duren, musim kemarau di daerah itu sering banyak hujan atau orang klimatologi menyebut hujan tahunannya tipe ekuatorial. Hanya saja jangan dibalik, sebab sebaliknya tidak selalu berlaku. Di Papua nggak bakalan ketemu duren dan pohon asam, tetapi yang ada pohon matoa buahnya seperti sawo kecik rasanya seperti duren.

Tetapi berdasarkan azas meteorology, untuk mengenali sistem cuaca dan iklim suatu tempat selain perlu dikenali factor cuaca sinoptik lingkungan, perlu diperhatikan factor lingkungan setempat. Di Indonesia factor lingkungan setempat tersebut banyak ragamnya, yang dalam tulisan ini hanya diambil yang dalam dimensi skala besar saja. Maksudnya factor lingkungan tersebut sekurang-kurangnya untuk mengenali massa udara apa yang memasuki wilayah yang diperhatikan, dan apa sifat aliran udara yang ada. Faktor-faktor tersebut nantinya menjadi pangkal dan pendorong terbentuknya cuaca, khususnya curah hujan di masing-masing daerah.

Daerah NAD bagian barat-selatan sampai Bengkulu. Dahulu D.I. Aceh, sekarang Nangroe Aceh Darussalam (NDA). Pada tanggal 26 Desember 2004 dilanda gempa dan tsunami. Ribuan penduduk meninggal dan entah berapa banyak bangunan hancur. Daerah Sumatra bagian barat menghadap langsung ke lautan India bagian barat, sehingga sistem cuaca daerah tersebut banyak diwarnali oleh sifar udara lautan.

Aceh yang terletak di ujung barat-utara langsung menghadap lautan India dan bertetangga dengan sistem cuaca teluk Benggala dan Banglades. Dalam sistem tekanan, daerah Aceh terletak dalam daerah tekanan rendah khatulistiwa atau doldrums. Dalam waktu peralihan musim doldrums terlihat jelas; angin sangat berubah arah (variable). Musimnya dikuasai oleh monsun Asia Selatan yang pada musim dingin Asia angin bertiup dari timurlaut dengan massa udara yang sifat asalnya dari Tibet dingin dan kering kemudian termodifikasi di laut India utara. Oleh karena itu bergantung banyak kepada udara di atas laut tersebut. Kalau laut panas banyak menghasilkan hujan dan bila lautnya dingin hujan berkurang. Pada musim panas belahan bumi utara angin bertiup dari arah barat daya karena monsun barat daya (SW monsoon). Pada waktu monsun Asia musim panas aktif dan kuat, angin barat dayanya berkurang dan menjadi dari selatan sampai selatan tenggara; curah hujan juga berkurang, Pada saat itu di laut sebelah barat India sering timbul lembangtropis; curah hujan banyak di pantai barat dan utara India. Tetapi bila monsun Asia tersebut lemah, angin dari arah baratdaya sampai barat. Ada yang mengatakan bahwa angin barat tersebut adalah angin baratan khatulistiwa atau sebagai kepanjangan dari komponen peredaran Walker. Angin baratan tersebut memicu timbulnya lembangtropis sampai siklontropis di teluk Benggala. Imbas dari lembangtropis dan siklontropis dirasakan di daerah Aceh berupa banyak hujan angin kencang, serta gelombang laut yang tinggi. Masa timbulnya lembangtropis tersebut antara bulan Mei sampai September. Oleh karena itu berbeda dengan di daerah tengah atau timur yang banyak cuaca gangguan dalam bulan Oktober Maret, di sana perlu waspada dalam waktu antara Mei dan September.

Di kawasan lainnya di bagian barat Sumatra : pada waktu musim dingin utara

(Asia) diatas lautan India ditempati oleh daerah tekanan tinggi subtropik meskipun letaknya agak ke selatan; tetapi pada waktu musim dingin selatan (Australia), daerah tekan tinggi subtropik tersebut terbagi menjaadi dua, satu di bagian barat dan satunya di bagian timur dekat Australia. Yang di bagian timur sering menjadi satu dengan tekanan tinggi daratan Australia. Kedua daerah tekanan tinggi tersebut membentuk palung tekanan rendah yang ujungnya sebelah utara terletak di dekat sebelah barat-selatan Sumatra. Ujung palung tersebut menjadi daerah pusaran yang adanya hampir terus-menerus. Pada musim dingin utara udara di daerah tersebut campuran dari udara yang diwarnai sifat udara laut Cina Selatan dan lautan India. Pada waktu musim dingin Asia tersebut angin bertiup dari arah baratlaut yang berasal dari angin tmurlaut yang dibelokkan ke timur setelah melintasi khatulistiwa, dan angin baratdaya yang berasal dari angin tenggara dari pasat selatan lautan India yang dibelokkan ke timur pada waktu mendekati khatulistiwa. PPAT sering tidak mudah dibedakan dengan garis geser angin (shearline). Pada musim panas Asia atau musim dingin selatan udara diatas daerah tersebut diwarnai oleh sifat udara laut India dan sifat udara benua tropis Australia yang sudah lama diatas lautan India bagian timur. Selama musim panas Asia atau musim dingin selatan tersebut, angin berubah-ubah dari tenggara sampai baratdaya. Sering menjadi tempat garis geser angin yang mempermudah timbulnya pusaran di atas ujung palung tekanan rendah.

Sumatra bagian utara ( Sumatra Utara bagian utara dan Riau daratan). Daerah tersebut terletak di sebelah utara bukit barisan; di sebelah utaranya dibatasi oleh selat Malaka. Letaknya sejajar dengan semenanjung Malaysia. Diatas daerah tersebut bertiup angin musim timurlaut yang berasal dari monsun Asia Dingin dan angin musim selatan-baratdaya yang berasal dari monsun Asia Panas dan dari pasat selatan. Tetapi angin selatan barat daya tersebut tidak terlalu kuat karena terhambat bukit barisan. Namun demikian angin pasat yang kuat dapat menimbulkan efek fohn yang dapat dirasakan di Sumatra Utara bagian utara yang nama lokalnya angin bohorok. Angin bohorok bersifat kering dan panas, dan dapat terjadi antara bulan Juli September. Angin timur laut mulai masuk daerah tersebut bulan Nopember dan berlangsung

sampai bulan Februari. Dalam bulan Maret April angin sangat berubah-ubah, dan selanjutnya menjadi angin tenggara sampai barat daya dari bulan Mei sampai September. Kemudian dalam bulan Oktober juga berubah-ubah menjelang bertiupnya angin timuran. Dengan demikian bulan Maret-April adalah bulan menjelang pergantian dari angin timurlaut menjadi angin tenggara-baratdaya, dan Oktober-Nopember bulan menjelang pergantian angin tenggara-baratdaya menjadi angin timur. Angin timur berkaitan dengan monsun dingin Asia. Bila terdapat pusaran di laut Cina Selatan, angin timur tersebut berbelok kearah timur menjadi angin utara atau sampai baratlaut. Angin timur dari monsun dingin Asia menimbulkan banyak hujan di sepanjang pantai utara/timur Malaysia. Dan berkurang di sebelah selatan termasuk di daerah Sumatra bagian utara tersebut. Angin tenggara barat-daya berkaitan dengan monsun dingin Australia dan monsun panas Asia. Dengan demikian adanya angin tersebut bergantung kepada kedua aktivitas monsun tersebut. Bila monsun panas Asia kuat dan mosun Australia lemah banyak bertiup angin baratdaya; bila monsun panas Asia lemah dan monsun dingin Australia kuat banyak bertiup angin tenggara. Bila kedua-duanya kuat, angin bertiup dari arah timur; dan bila kedua-duanya lemah angin berubah-ubah sampai barat. Dalam bulan dengan angin berubah-ubah, banyak timbul curah hujan. Dalam bulan tersebut di selat Malaka terjadi banyak golakan yang ditimbulkan oleh pumpunan angin yang membawa sifat massa udara dari laut India Utara dan dari Laut Cina Selatan. Akibat percampuran tersebut sering timbul gebos berupa garis yang panjang (squall line) yang dikenal dengan nama Sumatra. Gebos tersebut umumnya terjadi pada malam menjelang pagi hari.

Riau lautan dan Kalimantan Barat. Letaknya di dan menghadap laut Cina Selatan merupakan kawasan segitiga emas tempat bertemunya aliran pasat Pasifik Barat, aliran udara dari daratan Cina, aliran udara dari lautan India, dan aliran pasat tenggara (Australia). Pada waktu monsun dingin Asia berlangsung, massa udara daratan Cina dan massa udara subtropik Pasifik Barat daya bertemu di daerah tersebut. Massa udara yang berasal dari Cina bersifat dingin dan kering, sedangkan yang dari Pasifik lebih panas

dan mantap (stable). Keduanya termodifikasi di atas laut Cina Selatan yang panas. Oleh karena itu sifat kedua massa udara tersebut mempunyai peran besar dalam pembentukan cuaca. Indikator adanya pertemuan kedua massa udara tersebut berupa perenggan (front) yang ujungnya bagian selatan dapat mencapai di atas Laut Cina Selatan. Pada citra satelit perenggan tersebut mudah dikenali. Biasanya datangnya perenggan tersebut diawali dengan seruak (surge) monsun. Musim monsun dingin adalah musim angin timurlaut di saerah Riau dan Kalimantan Barat. Tetapi pada saat monsun lemah atau istirahat (break), angin timurlaut berbelok ke timur sewaktu di atas laut Cina selatan dan sering membentuk pusaran. Adanya pusaran menghambat gerak monsun ke selatan. Pusaran tersebut sering terjadi dalam bulan Desember. Bila monsun dingin kuat, angin bertiup dari arah timurlaut dengan kencang (> 10 knot) dan sampai melewati khatulistiwa (cross equatorial flow). Pada waktu monsun panas Asia, lebih rumit. Pada pertengahan musim monsun (juliAgustus), sering empat aliran ( dari tenggara sebagai kepanjangan pasat selatan, dari monsun baratdaya lautan India, dari Pasifik Barat Daya, dan dari Asia bagian timur) masuk ke wilayah tersebut. Oleh karena itu pada musim monsun panas tersebut sering terjadi pusaran di atas laut Cina Selatan. Pada saat ada pusaran sering terlihat dua lajur awan dari baratdaya ke arah timur laut dan lajur awan dari tenggara ke arah baratlaut, dan terkesan sebagai PPAT yang bercabang. Bila monsun panas kuat letak pusaran lebih ke utara, dan bahkan sering bergabung dengan siklontropis yang berasal dari Pasifik Baratdaya. Bulan Maret- April dan September-Oktober daerah tersebut merupakan daerah doldrums dengan angin berubah-ubah

Daerah Sumatra Selatan Laut Jawa dan sekitarnya. Daerah Sumatra Selatan, Laut Jawa dan sekitarnya boleh dikatakan sebagai daerah yang benar-benar memiliki sebutan monsun barat identik dengan musim hujan karena memang benar-benar angin bertiup dari barat pada waktu musim hujan; dan musim timur adalah musim kemarau karena benar-benar angin bertiup dari arah timur pada waktu musim kemarau. Dari letaknya pulau Jawa dan Kalimantan, laut Jawa seolah-olah sebagai lorong saluran udara (belum ada penelitian sifat lorong tsb. ?) yang mempunyai

peran tertentu dalam pembentukan awan dan hujan (akan diceritakan tersendiri dalam babak tentang curah hujan). Mulai bulan Oktober angin berangsur bertiup dari barat sampai bulan Maret berkaitan dengan monsun dingin Asia; dan berangsur menjadi dari timur berkaitan dengan monsun Australia musim dingin. PPAT di daerah tersebut merupakan batas angin timur laut dari Pasifik Barat yang dibelokkan ke timur karena melintasi khatulistiwa menjadi angin barat, dan angin pasat tenggara belahan bumi selatan (Australia) yang terbelokkan ke timur karena pertukaran momentum dari angin barat tersebut. Aliran udara di bagian selatan dari PPAT pada waktu menuju ke selatan lebih bersifat sikonal dibandingkan di bagian utara. Di bagian timur aliran terpotong oleh jasirah Sulawesi Selatan. Bulan Maret - Mei daerah tersebut menjadi daerah doldrums; angin berubah-ubah dan beraangsur menjadi angin tenggara sampai selatan. Paada waktu Australia musim dingin, angin pasat dari tenggara dibelokkan menjadi angin baratdaya, sedangkan pasat utara menjadi baratlaut. Bila terdapat siklontropis di sebelah timur Pilipina, PPAT membujur pada arah baratdaya-timurlaut menuju ke arah tempat siklontropis.

Daerah Kalimantan dan Sulawesi. Daerah Kalimatan dan Sulawesi mempunyai cuaca sinoptik lingkungan yang sama, tetapi Kalimantan yang berupa pulau besar dan Sulawesi yang mempunyai struktur jazirah, dan banyak teluk mempunyai reaksi yang berbeda. Massa udara diatas daerah Kalimantan dan Sulawesi pada waktu musim monsun Asia Dingin berasal dari Laut Cina Selatan dan Pasifik Barat Daya, serta massa udara yang tlah melewati lautan India bagian timur. Pada waktu musim dingin belahan bumi utara, angin timurlaut pasat bergabung dengan angin timur monsun di laut Cina selatan, kemudian pada waktu mendekati khatulistiwa berbelok ke timur menjadi angin baratlaut. Jasirah Sulawesi Selatan yang melintang tegaklurus angin baratan selama monsun dingin Asia seolah-olah menjadi pemisah sehingga aliran menjadi lebih asiklonal ke arah selatan. Pada musim dingin Australia (belahan bumi selatan), hampir seluruh daerah dialiri

udara yang bersifat benua tropis Australia. Pada musim dingin selatan tersebut angin dari arah tenggara sampai selatantenggara. Makin keutara cenderung berbelok ke arau timurlaut karena seringnya terdapat lembangtropis atau siklontropis di sebelat timur Pilipina.

Daerah Maluku bagian tengah dan utara sampai Papua bagian barat dan utara. Daerah Maluku bagian tengah dan utara serta Papua bagian utara berhadapan dengan lautan pasifik barat. Pada daerah tersebut terdapat banyak pulau kecil dan menghadap laut Pasifik Baratlaut. Daerah tersebut hampir sepanjang tahun ditempati massa udara yang dibawa oleh pasat dari tekanan tinggi subtropik Pasifik baratdaya dan pasat dari tekanan tinggi subtropik Pasifik tenggara. Pada waktu musim dingin utara bertiup angin barat yang berasal dari pasat timurlaut yang berbelok ketimur, dan pasat tenggara yang berbelok ketimur. Pada waktu musim dingin utara, massa udara di atas daerah tersebut diwarnai massa udara laut Cina Selatan dan Pasifik Baratlaut, kadang-kadang juga yang berasal dari lautan India bagian timur (dekat Australia). Selama musim dingin utara tersebut angin bertiup dari baratlaut dan dari selatan sampai baratdaya. PPAT tidak jelas karena adanya barisan pegunungan yang tinggi di sepanjang Papua.. PPAT sering melompat jauh dari utara ke selatan. Pada waktu terdapat lembang tropis atau siklontropis di Australia Utara PPAT jauh di sebelah selatan; kemudian bila lembangtropis atau siklontropis tersebut hilang PPAT dengan cepat pindah ke utara. Pada musim dingin selatan (Australia), udara di atas daerah tersebut diwarnai oleh campuran sifat udara lautan India bagian timur dan Pasifik Selatan Baratdaya. Selama musim dingin selatan (Australia) tersebut daerah Maluku menjadi daerah angin berubah-ubah atau dalam daerah geser angin (shearline) sebagai perubahan dari angin tenggara menjadi angin barat daya. Daerah geser angin terdapat melintang kearah timurlaut dari sekitar pulau Buru. Pada waktu musim panas utara daerah tersebut menjadi daerah geser angin dari tenggara menjadi baratdaya.

Daerah Selat Sunda dan Jawa bagian selatan. Daerah Selat Sunda dan Jawa

bagian selatan menhadap lautan India bagian timur. Daerah tersebut membujur sejajar khatulistiwa dan bagian pinggir dari daerah tekana tinggi subtropik selatan. Pada waktu menjelang akhir musim dingin utara, udara di daerah tersebut diwarnai oleh sifat udara laut Cina Selatan yang sudah melalui banyak daerah dan udara tropik Lautan India bagian timur. Tetapi pada waktu musim dingin selatan, udara diwarnai oleh sifat udara benua Australia dan udara tropik lautan India bagian timur. Makin ke timur sifat udara benua tropis lebih terlihat. Dari bulan Januari Februari daerah tersebut ditempati oleh PPAT yang merupakan daerah pumpunan angin dari barat-baratlaut yang berasal dari angin monsun timurlaut kemudian berbelok menjadi angin barat setelah melintasi khatulistiwa, dan angin baratdaya yang berasal dari angin pasat tenggara (selatan yang berbelok ke timur. Pada musim dingin selatan PPAT sudah ke utara, dan angin berubah menjadi dari tenggara sampai timur yang berasal dari angin pasat dari subtropik selatan. Di bagian barat daerah tersebut imbas dari adanya palung tekanan rendah yang terbentuo oleh daerah tekan tinggi subtropik Lautan India Barat dan timur masih terasakan.

Daerah Jawa Timur sampai Nusa Tenggara Timur. Daerah Jawa Timur sampai Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang paling nyata antara musim hujan dan musim kemarau. Perubahan tekanan udara secara musiman sampai mencapai 5 milibar, dan terlihat lebih jelas dibandingkan dengan daerah lain. PPAT di daerah tersebut hanya dalam waktu pendek (januari Februari) yang terbentu sebagai pupunan angin barat dari belah bumi utara dan angin baratdaya dari lautan India bagian timur. Pada musim panas udara diwarnai dengan sifat massa udara benua tropik Australia. Angin bertiup dari tenggara sampai timur.

Daerah Papua bagian selatan. Daerah Papua bagian selatan merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh barisan gunung yang tinggi yang menghadap ke laut Banda dan laut Arafura. Pada waktu musim dingin utara udara di atas daerah tersebut diwarnai oleh

campuran udara lautan Pasifik Barat dan udara lautan India bagian timur serta dari sifat lautan Pasifik selatan baratdaya. Selama musim dingin utara angin bertiup dari arah baratlaut yang berasal dari pasat utara yang terbelokkkan menjadi angin baratlaut setelah melintasi khatulistiwa, dan angin barat yang berasal dari daerah tekanan tinggi lautan India bagian timur. Angin baratan kuat timbul berkaitan dengan adanya lembangtropik atau siklontropik Willywilly. Pada musim dingin selatan (Australia) udara diwarnai oleh sifat lautan Pasifik selatan baratdaya. Pada musim dingin selatan tersebut angin bertiup dari arah tenggara sebagai bagian pasat daerah tekanan tinggi subtropik selatan.

Jakarta, Minggu 9 Januari 2005., diupdate 7 Januari 2010

------------Diposkan oleh soerjadi wh di 05:10

MENGENAL TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA (HUJAN BUATAN)


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pendahuluan Awan Hujan Metoda Penyemaian Awan Hasil TMC Latihan Team

Halaman Utuh

Evaluasi Hasil TMC Pengukuran hasil TMC dapat ditinjau dari hasil tambahan air hujan selama periode dilakukannya kegiatan modifikasi cuaca (hujan buatan) di daerah target. Ada dua pendekatan besara dalam evaluasi hasil TMC yaitu dari segi curah hujan dan aliran. Evaluasi penambahan curah hujan diukur melalui pendekatan atau estimasi menggunakan daerah kontrol sebagai pembanding untuk daerah target. Syarat daerah kontrol antara lain berada di luar daerah target dan tidak terkontaminasi dengan bahan semai yang dilepaskan, serta memiliki karakteristik curah hujan yang berkorelasi kuat dengan curah hujan di daerah target. Selisih antara besarnya curah hujan rata-rata di daerah target dengan besarnya curah hujan rata-rata di daerah kontrol selama periode kegiatan hujan buatan dinyatakan sebagai tambahan curah hujan hasil TMC. Metode Evaluasi hasil TMC lainnya adalah melalui pendekatan debit aliran (inflow) di daerah target. Prinsip dari metode ini adalah membandingkan nilai denit aliran selama periode kegiatan hujan buatan dengan nilai debit saat tidak ada pelaksanaan hujan buatan. Selisih besarnya debit aliran diantara kedua periode tersebut dinyatakan sebagai penambahan aliran hasil TMC. Kualitas Air Hujan Hasil TMC Kegiatan TMC ini ramah lingkungan. Bahan yang digunakan untuk penyemaian awan juga dipergunakan pada kehidupan sehari-hari. Contohnya NaCI, bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut, dan pada kehidupan sehari-hari biasa digunakan sebagai bahan masakan ataupun dalam pertanian. Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran 50 mikro mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan berukuran 2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari beberapa kali kegiatan TMC telah membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun badan-badan air masih aman untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemanfaatan TMC di Indonesia Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh berbagai pihak. Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Perusahaan Listrik negara (PLN), Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk seperti Perum Jas Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT

INCO adalah beberapa contoh para pengguna jasa teknologi ini. Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk keperluan pengisian air pada waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi ataupun PLTA saja, namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai bencan yang disebabkan oleh kondisi iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun di indonesia. Secara teori, teknologi ini juga mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini efektifitas TMC untuk mengantisipasi banjir belum terukur karena belum pernah dilakukan.

Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang sering dijadikan target kegiatan hujan buatan secara garis besar, pedoman penentuan waktu pelaksanaan dan pemanfaatan TMC untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut.

Pedoman penentuan waktu pelaksanaan TMC untuk mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Pendahuluan Awan Hujan Metoda Penyemaian Awan Hasil TMC Latihan Team
Halaman Utuh

Pustekkom 2007

Terminologi Hujan Buatan Pernah mendengar istilah hujan buatan? Kebanyakan orang mengartikan istilah hujan buatan adalah hujan yang sengaja dibuat oleh manusia. Sebenarnya istilah hujan buatan tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai pekerjaan membuat atau menciptakan hujan, karena teknologi ini hanya berupaya untuk meningkatkan dan mempercepat jatuhnya hujan, yakni dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan. Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas hujan buatan adalah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan aplikasi dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) atau proses pembentukan es (ice nucleation). Saat ini TMC menjadi salah satu solusi teknis yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh karena adanya penyimpangan iklim/cuaca. TMC bukanlah hal baru di dunia, karena teknologi ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai kepentingan.

Pesawat sedang melakukan penyemaian awan untuk merangsang terjadinya hujan Sejarah Modifikasi Cuaca di Dunia Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya perkembangan modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya.

Vincent Schaever (membungkuk) memperagakan pembuatan kristal es dengan meniupkan nafasnya pada lemari pendingin

Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand. Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPt yang bernama Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi dan PLTA.

Ir. Soebagio (kedua dari kiri) selaku Ketua Tim Hujan Buatan mendampingi Prof.Dr.Ing. BJ Habibie saat mengawali percobaan hujan buatan di Indonesia

Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin (supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses kristal es. Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh air yang menjadi dingin. Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya dibawah titik beku. Waktu jatuh lewat atmosfer salju mencair dan menjadi hujan. Pada musim dingin, salju jatuh tanpa menjadi cair dan masih berbentuk salju. Butiran salju terdiri dari kristal es kecil-kecil. Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di bawah titik beku, titik air dalam awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa mencair.

Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 - 0,1 mikron) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan.Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan. Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 - 5 mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30 mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 - 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikelpartikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan penggabungan tidak terjadi.

Tipikal Ukuran Diameter Tetes Hujan (Rain Drop), Tetes Awan (Cloud Droplet), dan Inti Kondensasi (Condensation Nucleus) ( Sumber : http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect14/Sect14 1d.html) Ilustrasi proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) dalam awan dapat dilihat pada gambar berikut:

Ilustrasi Proses Tumbukan dan Penggabungan Keterangan Gambar : A. Tetes-tetes awan (droplets) yang berukuran kecil bergerak naik keatas terbawa gerakan udara secara vertikal (updraft); sementara itu sudah ada tetes awan yang menjadi partikel berukuran lebih besar (Giant Nuclei) yang karena beratnya melebihi berat dari udara sehingga sudah mulai bergerak jauh ke bawah.

B. Partikel Besar (GN) ini bertindak sebagai "pengumpul" tetes-tetes awan yang lain, karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). C. Semakin banyak tetes lain yang tertumbuk dan bergabung, maka partikel tersebut akan semakin besar ukurannya, dan lama kelamaan akan terbelah membentuk partikel (GN) baru. D. Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan, dan bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berantai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut.

Bagaimana TMC Dapat Menambah Curah Hujan ? Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan adalah mengupayakan agar proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya dilakukan dengan cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan, yang dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan awan tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif. Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl). Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN : berukuran lebih dari 5 mikron ) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang atau matang sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke seluruh awan. Penambahan partikel dengan spektrum CCN (Cloud Condencation Nucleus: Inti Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena partikel dengan spektrum ini sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan tidak perlu dibuat, karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan sendirinya bila kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea. Berikut adalah animasi yang menggambarkan perbedaan antara sekuens pertumbuhan awan yang tidak disemai dengan awan yang disemai :

Sekuens awan tidak disemai 5 menit : Kumulus mulai tumbuh. 10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar 15 Menit : Tetes besar semakin banyak dan mulai terjadi kristal es. Awan mencapai tinggi maksimum 20 menit : Kristal-kristal semakin besar, tetes air di dalam awan berkurang. Kristal es jatuh dan mencair menjadi tetes air hujan. 30 menit : Hujan ringan berlangsung dan awan membuyar.

Sekuens awan yang disemai

5 menit : Kumulus mulai tumbuh. 10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar 15 menit : Sejumlah bahan semai yang terkonsentrasi dimasukan ke dalam awan dari dasar awan maupun dari puncak awan. 20 menit : Terjadi pelepasan panas laten ketika air supercooled membeku menjadi es dan awan tumbuh menjadi sangat besar. 30 menit : Jumlah air yang terlibat di dalam awan semakin besar sehingga curah hujan meningkat.

METODA PENYEMAIAN AWAN Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan adalah menggunakan wahana pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang, modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket yang diluncurkan ke dalam awan.

Gambar 10. Macam-macam metoda penyampaian bahan semai ke dalam awan Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan dikuasai teknologinya berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang TMC sistem GBG saat ini masih dalam tarap ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru sebatas kajian dan dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia.

Wahana Pesawat Terbang Berikut adalah beberapa contoh gambar penyemaian awan dari pesawat terbang :

Pesawat terbang jenis Cassa NC 212-200 sedang melepaskan bahan semai berupa serbuk garam NaCI melalui airscooper yang terpasang pada bagian bawah pesawat. bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di sekitar dasar awan (jenis aan hangat).

Selain berupa serbuk (powder), bahan semai dapat pula dikemas dalam bentuk flare yang dipasang pada bagian sayap ataupun bawah pesawat. Partikel bahan semai masuk ke dalam awan jika flare terbakar.

Bahan semai jenis ejectable flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan dari pesawat pada bagian puncak awan (jenis awan dingin).

Ground Base Generator Ground Base generator (GBG) merupakan salah satu metoda alternatif untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan, yang pada prinsipnya dengan memanfaatkan potensi topografi dan angin lembah (valley breeze), yaitu angin lokal yang berhembus ke atas pegunungan

pada siang hari dengan mengikuti kemiringan permukaan gunung. Bahan semai dikemas dalam bentuk flare yang dibakar dari atas menara pada ketinggian tertentu. Kembang api yang merupakan hasil pembakaran dari flare dengan bahan higroskopik itu ditujukan untuk mengatur partikel Cloud Condensation Nuclei ( CCN) yang berukuran sangat halus ke dalam awan sehingga diharapkan mampu merangsang terjadinya hujan. GBG aslinya digunakan di daerah lintng menengah dan tinggi dengan suhu lingkungan berada di bawah titik beku (<00C), namun saat ini sudah mulai diterapkan di Indonesia meski masih dalam taraf ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang menyebar di kawasan Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede - Pangrango) dengan tujuan untuk menyemai awan-awan orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap awan yang melintas dapat disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga tidak terjadi penumpukan awan yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah tersebut sehingga diharapkan akan mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Penyemaian awan menggunakan sistem statis Ground Base Generator (GBG) yang memanfaatkan awan-awan orografis pada daerah pegunungan

Wahana Roket Roket dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan oleh negar-negara di Eropa. Saat ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah menjajaki kemungkinan teknologi ini untuk diaplikasikan di Indonesia.

Penyemaian awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari darat.

Evaluasi Hasil TMC Pengukuran hasil TMC dapat ditinjau dari hasil tambahan air hujan selama periode dilakukannya kegiatan modifikasi cuaca (hujan buatan) di daerah target. Ada dua pendekatan besara dalam evaluasi hasil TMC yaitu dari segi curah hujan dan aliran. Evaluasi penambahan curah hujan diukur melalui pendekatan atau estimasi menggunakan daerah kontrol sebagai pembanding untuk daerah target. Syarat daerah kontrol antara lain berada di luar daerah target dan tidak terkontaminasi dengan bahan semai yang dilepaskan, serta memiliki karakteristik curah hujan yang berkorelasi kuat dengan curah hujan di daerah target. Selisih antara besarnya curah hujan rata-rata di daerah target dengan besarnya curah hujan rata-rata di daerah kontrol selama periode kegiatan hujan buatan dinyatakan sebagai tambahan curah hujan hasil TMC. Metode Evaluasi hasil TMC lainnya adalah melalui pendekatan debit aliran (inflow) di daerah target. Prinsip dari metode ini adalah membandingkan nilai denit aliran selama periode kegiatan hujan buatan dengan nilai debit saat tidak ada pelaksanaan hujan buatan. Selisih besarnya debit aliran diantara kedua periode tersebut dinyatakan sebagai penambahan aliran hasil TMC. Kualitas Air Hujan Hasil TMC Kegiatan TMC ini ramah lingkungan. Bahan yang digunakan untuk penyemaian awan juga dipergunakan pada kehidupan sehari-hari. Contohnya NaCI, bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut, dan pada kehidupan sehari-hari biasa digunakan sebagai bahan masakan ataupun dalam pertanian. Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran 50 mikro mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan berukuran 2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari beberapa kali kegiatan TMC telah membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun badan-badan air masih aman untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemanfaatan TMC di Indonesia

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh berbagai pihak. Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Perusahaan Listrik negara (PLN), Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk seperti Perum Jas Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT INCO adalah beberapa contoh para pengguna jasa teknologi ini. Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk keperluan pengisian air pada waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi ataupun PLTA saja, namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai bencan yang disebabkan oleh kondisi iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun di indonesia. Secara teori, teknologi ini juga mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini efektifitas TMC untuk mengantisipasi banjir belum terukur karena belum pernah dilakukan.

Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang sering dijadikan target kegiatan hujan buatan secara garis besar, pedoman penentuan waktu pelaksanaan dan pemanfaatan TMC untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut.

Pedoman penentuan waktu pelaksanaan TMC untuk mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia.

Tim Pengembang untuk materi Mengenal Teknologi Modifikasi Cuaca (Hujan Buatan)

Penulis Pengkaji Media Pemrogram Desain Grafis Quality Qontrol

: : : : :

Budi Harsoyo Gatot Pramono Arum B. Satriani Syarif Hidayatullah Unavailable

You might also like