You are on page 1of 11

TUGAS HUKUM DAN HAM

DISUSUN OLEH :

1. DONNI RAMADITA 2. ARDIAN RIZKI 3. RIZKY PUTRA P

NIM : E1A010191 NIM : E1A010117 NIM : E1A010147

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2011

A.

Pendahuluan
Kebebasan beragama di negeri ini dinegeri ini diajamin oleh Konstitusi, pasal 29

UUD 1945 menegaskan hal itu. Didalam pasal 28 ayat 2 dengan sangat jelas dikatakan : setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu. Sejarah telah membuktikan, bagaimana pengekangan terhadap agam-agama menjadi bencana. Mulai dari perang salib (the Crusades), sampai kerusuhan Poso. Perbedaan agama direduksikan sebagai perbedaan prinsip dan dan wajib saling bermusuhan. Padahal, agama sendiri tidak menginginkan hal itu. Apalagi pada abad pertengahan ketika trend agama sebagai simbol kekuatan politik (resmi), dimana agama penguasa harus menjadi agama rakyatnya. Sekian banyak orang yang dikorbankan hidupnya, hanya karena mereka memiki sudut pandang yang berbeda dengan pandangan resmi. Dalam hal ini negara tidak dapat dikritik sebab ia mengklaim diri sebagai wakil Tuhan dibumi ini. Bukankah para pejabat adalah pengemban amanat Tuhan sendiri? Tetapi, disisi lain, cara pandang itu tidak membawa kemajuan yang berarti di dalam peradaban negeri-negeri itu. Apalagi pengembangan ilmu pemgetahuan menjadi sangat terhambat, sebab gereja (yang dalam banyak hal juga berkolusi dengan negara) mengklaim dirinya sebagai penafsir satu-satunya terhadap firman Allah, dan penentu mutlak kehidupan manusia. Maka orang-orang seperti Copernicus dan Galileo Galilei mesti menebus kepicikan cara berpikir itu dengan nyawa mereka. Jelas peradaban umat manusia mengahadapi sesuatu jalan buntu. Jalan buntu ini diterobos dengan munculnya humanisme sebagai buah dari rasionalisasi dan pencerahan, dimana manusia dihargai harakt martabatnya. Tentu saja ini tidak lepas dari temuan kembali akan harkat manusia. Dalam perjalanan selanjutnya, prinsip-prinsip demokrasi modern dikembangkan setelah melalui likaliku sejarah yang tidak mudah. Agama memang tidak dikucilkan dari kehidupan, tetapi tidak lagi memegang kekuasaan mutlak. Prinsip hak asasi manusia dimajukan termasuk kebebasan untuk menganut agama yang dikehendaki. Prinsip inilah yang diakomodasi oleh negara-negara modern sekarang ini, termasuk Indonesia ketika hak ini dicantumkan sebagai salah satu hak dasar manusia., kebebasan memilih agama dan kepercayaan , termasuk aliran kepercayaan; kebebasan menyebarkan agama asalkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, negara harus berlaku adil terhadap semua agama.1

Tapi dalam kenyataan yang kita lihat saat ini belum sepenuhnya penerapan dapat terlaksana dengan baik. Pada dasarnya jiwa manusia yang bersifat bebas cenderung untuk melakukan segala hal sehingga menciderai hak-hak dari orang lain, hal inilah yang seharusnya untuk dipahami oleh setiap individu meskipun memiliki kepuasan yang tidak terbatas harus tetap menghormati hak-hak orang lain, adapun hal ini diatur didalam HAM. Hak Asasi Manusia atau yang lebih dikenal dengan HAM kini menjadi sorotan utama dalam topik permasalahan tiap negara tidak terkecuali negara Indonesia. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. Awal perkembangan HAM ditandai dengan adanya Magna Charta yang dicetuskan pada 15 juni 1215. Adapun kesimpulan yang dihasilkan yakni memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja. Sedangkan HAM di Indonesia bersumber dan bermuara dari pancasila yang artinya bahwa HAM mendapat jaminan dari falsafah Indonesia, sedangkan bermuara ke Pancasila yakni dalam pelaksanaannya harus mendapat pengawasan dari falsafah bangsa Indonesia karena pada dasarnya tidak ada orang yang secara mutlak dapat melaksanakan haknya tanpa memperhatikan hak orang lain. Di Indonesia sudah banyak kasus mengenai pelanggaran hak asasi manusia. Jika kita flashback sedikit tentunya masih ingat dengan kasus tragedi semanggi, kasus Lumpur Lapindo, kasus kerusuhan Ambon, Mungkin kasus yang paling menyikat perhatian yakni kasus penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah yang baru-baru ini

terjadi. Apabila kita melihat dari segi hak asasi manusia tentu ini menyorot perhatian, mengapa penulis menyampaikan demikian hal ini disebabkan karena dalam pasal 29 (2) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dank kepercayaannya itu. Tapi dalam kenyataannya Negara seolah-olah membiarkan terjadinya penganiayaan dan perusakan tempat ibadah yang dimiliki oleh jemaah Ahmadiyah. Dalam peristiwa yang memakan korban itu, umat islam sebagai agama mayoritas di Indonesia mengecap Ahmadiyah sebagai agama yang sesat. Kita tidak melihat adanya jaminan yang diberikan oleh Negara sebagaimana yang dijelaskan serta apakah ada campur tangan dari Negara dalam menentukan agama yang benar dan agama yang sesat.
B. Permasalahan

Apakah Aliran Agama Yang Dianggap Menyimpang oleh masyarakat umum dapat dibenarkan untuk Dilarang?Apakah Negara Memiliki Kewenangan Untuk Menentukan Agama Yang Benar dan Agama Yang Menyimpang?

C. Pembahasan

Sebelum membahas mengenai hal diatas penulis mencoba memberikan sedikit penjelasan, , menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Definisi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa aliran agama yang dianggap menyimpang adalah kepercayaan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada didalam masyarakat. Masyarakat yang merupakan unsur dari terbentuknya suatu Negara memiliki peranan yang penting dalam pembangunan bangsa, dengan kondisi masyarakat yang tentram maka laju pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik dapat terwujud, tetapi apabila kondisi tersebut tidak kondusif maka laju pertumbuhan akan terhambat. Tidak terlepas juga peran dari masyarakat dalam menjaga kekondusifan dalam hal beragama. Permasalahan hal beragama merupakan sesuatu yang sensitif sehingga dibutuhkan kematangan dari masyarakat dalam menyikapi agar keutuhan dalam bernegara tetap terjaga dengan sikap saling menghormati dan menghargai pemeluk agama atau kepercayaan lain. Konflik agama di Indonesia masih menjadi topik hangat dalam pembicaraan masyarakat, masih terlintas dalam benak kita ketika insiden penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah diberbagai daerah Indonesia. Penyerangan yang dilakukan oleh

masyarakat yang merasa bahwa ajaran yang disampaikan oleh jemaah Ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat atau dengan kata lain menyimpang dari ajaran agama Islam yang mereka yakini. Agama dapat menjadi koin mata uang, disatu sisi dapat bernilai baik dan disisi lain dapat bernilai sangat buruk. Disatu sisi agama mengajarkan kasih sayang kepada sang Pencipta dan umatnya. Dan disisi lainnya agama dapat menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dengan bentuk kekerasan, egoisme, serta menampilkan wajah yang hipokrit. Disinilah agama tidak mendapat simpatik. Padahal subtansi dalam beragama sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Kekerasan yang dilakukan dengan menyalahgunakan agama sungguh sangat disayangkan bahkan hal tersebut ikut mencoreng wajah agama tersebut, agama yang seharusnya menjadi penyebar kasih sayang diantara sesama umat melukai ajaran agama yang suci. Benar kata Karl Max bahwa agama dapat menjadi candu rakyat. Bahkan agama itu bisa jauh lebih berbahaya dari candu. Agama menjadi tragedi bagi manusia. Agama dapat mendorong orang untuk menganiaya sesamanya untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain untuk mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran. Penulis sependapat dengan tindakan yang dilakukan oleh MUI, yang memfatwakan bahwa ajaran yang disampaikan itu sesat dan menyimpang sehingga harus diluruskan. Didalam UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama), dimana pada pasal 1 disebutkan: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Maksud yang disampaikan dari UU itu, agar terjaganya kemurnian dari agama tersebut. Sehingga tindakan yang dilakukan oleh MUI adalah hal yang wajar. Begitu juga dengan Sinode dalam agama Nasrani, dsb. Badan-badan inilah yang berwenang untuk menetukan suatu aliran agama itu sesat atau tidak dengan tujuan untuk menjaga kemurnian agar tidak menyimpang dari dari pokok-pokok ajaran agama. Tetapi disatu sisi penulis tidak sependapat jika badan-badan tersebut menggunakan kekuatan Negara untuk menjalankan alasan tersebut karena Negara tidak memiliki kewenangan dalam menentukan suatu aliran

atau kepercayaan itu sesat, yang diperkuat dalam konstitusi Negara Indonesia UUD1945 yang pada dasarnya telah mengakui dan memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dan secara eksplisit konstitusi kita memberikan tempat dalam hal beragama yang diatur dalam pasal UUD 1945. Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan konstitusi telah menjamin kebebasan beragama sebagai prinsip yang sah.

Peran Negara
Terkait kebebasan beragama di Indonesia, problem yang mendapat perhatian adalah pada banyaknya ketentuan perundang-undangan yang bermasalah dilihat dari perspektif kebebasan beragama. Peraturan itu bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama maupun karena bertentangan antara dengan yang lain.Akan tetapi, harmonisasi maupun sinkronisasi aturan hukum di bidang kebebasan beragama belum ditangani optimal, Padahal, bidang kebebasan beragama, dan hubungan antarumat beragama sangat tergantung pada harmonisasi tersebut UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. 2 Sehingga dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi diharapakan tidak terjadi konflik antar pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Adnan Buyung Nasution dalam suatu diskusi pernah dengan bersemangat mengecam negara yang mencoba melakukan intervensi ke dalam kehidupan agama. Negara, kata Buyung, tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu. Argumen yang mendukung gagasan itu, negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan agama sendiri, itu tidak bisa dilarang oleh negara. Selain itu juga bentuk ketidakadilan Negara dalam mengakomodasi seluruh rakyat Indonesia terlihat pada saat pengurusan KTP (kartu tanda penduduk) tidak tercantumnya pilihan sebagai penghayat (penganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa). Padahal Negara menjamin kebebasan Negara dalam memilih agama dan kepercayaan dan menjalankan ibadah dalam sesuai dengan pilihan agama

dan kepercayaannya itu. Lebih lanjut, kelompok penghayat memperlihatkan lemahnya perlindungan hukum bagi mereka. M Guntur Romli (2005) mencatat bahwa kebebasan beragama tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah sejak masa Orde Baru, sehingga pemerintah berikutnya harus mewarisi sekian banyak persoalan seputar kebebasan beragama. Pemerintah terbiasa membuat kebijakan yang reaktif dan kuratif terhadap masalah kebebasb beragama. Sedangkan kebijakan yang bersifat preventif untuk mencegah aksi-aksi intoleran dan aksi kekerasan kurang mendapat perhatian. Hal ini dilakukan karena konflik beragama kurang dianggap isu populis sehingga seolah-olah dibiarkan terjadi, dan terkadang isu-isu seperti ini sering dimunculkan kepermukaan masyarakat untuk memancing pengalihan isu yang sedang berkembang dimasyarakat. Dan masyarakat selalu terpancing dengan permasalahan ini sehingga menimbulkan konflik di kalangan masyarakat. Telah banyak gagasan yang muncul membahas mengenai urusan beragama dan penodaan tidak perlu diatur, atau dengan kata lain Negara tidak perlu repot-repot menentukan agama atau yang dianut oleh rakyatnya, karena itu bukan kewenangan Negara. Kebijakan Negara yang mengakui hanya ada 6 agama di Indonesia membuat kesempatan bagi pemeluk agama dan kepercayaan lain tidak mendapat tempat dalam hak-hak sipil mereka. Adnan Buyung Nasution dalam suatu diskusi pernah dengan bersemangat mengecam negara yang mencoba melakukan intervensi ke dalam kehidupan agama. Negara, kata Buyung, tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu. Argumen yang mendukung gagasan itu, negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan agama sendiri, itu tidak bisa dilarang oleh negara. Bahkan ada pembicaraan bahwasanya peran Negara tidak diperlukan dalam hal beragama, dan perlu untuk dipertimbangkan apabila tidak adanya peran Negara dikhawatirkan akan terjadinya tindakan yang semena-mena dari pemeluk agama yang disandarkan pada subyektifitas menurut agama dan kepercayaan masingmasing pemeluk sehingga tidak ada pengaturan yang standard. Agar semangat dalam konstitusi itu tetap terjaga, pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama tetap diperlukan. Hanya saja, dalam membuat aturan hukum termasuk aturan soal agama, perlu konsisten mengacu pada Pancasila yang telah menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional. Kaidah-kaidah ini tidak

terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Kaidah-kaidah penuntun itu antara lain3: 1.Hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun ideologis. 2.Hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. 3.Membangun keadilan sosial. 4.Membangun toleransi beragama dan berkeadaban. 4 Dengan capaian pemahaman yang elaboratif demikian, maka implementasi kebebasan beragama sebagaimana amanat konstitusi tidak bergerak menjadi liar, unproporsional, dan mengukuhkan politik identitas melainkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Sebab, jangan sampai pemaknaan yang tidak tepat terhadap kebebasan beragama justru menjadi rongrongan bagi demokrasi, khususnya demokrasi konstitusional yang dengan berpeluh-peluh terus diikhtiarkan di Indonesia.

Kesimpulan

Sudah kita ketahui bersama bahwa tiap-tiap penduduk Indonesia dijamin haknya dalam hal berkeyakinan dan beragama sebagaimana yang tercantum dalam konstitutsi Negara kita dan diperjelas dalam pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Tetapi dalam praktek kenegaraan tidak seperti yang diharapkan. Banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh Negara dalam melindungi hak-hak warga Negara. Dengan pluralisme Indonesia memungkinkan banyaknya agama dan kepercayaan yang berkembang dimasyarakat sehingga apabila terjadi penyimpangan atau penodaaan di salah satu agama maka yang berhak atau memiliki wewenang dalam melakukan penafsiran adalah badan yang dibentuk oleh masyarakat untuk menjaga nilai-nilai suci yang terkandung dalam agama. Akan tetapi kewenangan ini memiliki batasan-batasan yang harus dihormati, dengan kata lain apabila ada sekelompok orang yang salah dalam melakukan penafsiran terhadap salah satu agama tertentu tidak diperbolehkan melakukan tindakan anarkis yang akhirnya akan menimbulkan konfilk di masyarakat. Adapun peran Negara dalam hal beragama sangat terbatas yakni Negara hanya memberikan perlindungan bagi warga Negara dalam melaksanakan ibadah dan upacara agama, tidak ada ruang bagi Negara dalam melakukan intervensi dalam hal beragama. Namun apabila salah satu agama melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok agama lain yang dilakukan oleh Negara hanya menindak tindakan kekerasan yang dilakukan bukan yang lain. Dengan demikian para pemeluk agama menampilkan agama yang berwajah kedamaian dan penuh cinta-kasih-sayang.

Penutup

Tulisan singkat diatas belumlah mencakup segala aspek dalam peraturan mengenai HAM dalam hal beragama didalam suatu Negara, mungkin dengan sedikit penjelasan yang penulis berikan dapat memberikan sedikit gambaran akar permasalahan yang sedang terjadi. Suatu aliran agama dapat ditafsirkan menyimpang hanya oleh badanbadan agama resmi seperti MUI, NU, Muhammadiyah, dsb. Namun kewenangan itu diberikan dengan memberikan batasan yakni tanpa melakukan kekerasan sedangkan peran Negara hanya memberikan perlindungan bagi warga Negara dalam melaksanakan ibadahnya serta membuat peraturan yang bersifat umum. Hal demikian mungkin dapat dilakukan apabila sudah terwujud jika adanya keselarasan dan saling penghormatan antar umat beragama di Indonesia. Mudah-mudahan dapat terwujud.

Sarwono Kusumaatmadja, Politik dan Hak Minoritas, Kelompok Minoritas dan Hak Minoritas, , Penerbit Koekoesan, , 2007. UU Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah bentuk perundang-undangan sebagaimana diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum jadi-jadian yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59, 20 Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59, 26 November 1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Moh. Mahfud MD, KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI, Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta. Moh. Mahfud MD, KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI, Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.

You might also like