You are on page 1of 23

STUDI MASYARAKAT INDONESIA :

CIRI-CIRI DAN KARAKTERISTIK SUKU MENTAWAI


Makalah ini disusun guna memenuhi syarat penilaian dalam mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia yang diampu oleh Inna Prihatini M.S

Disusun oleH :

Nama NIM Prodi

: Betha Jaswati Putri Destiana : k5409013 : Pendididkan Geografi

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun karya tulis yang berjudul Studi Masyarakat Indonesia : Ciri-ciri dan Karakteristik Suku Mentawai. Tulisan ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia di FKIP Geografi , Universitas Sebelas maret Surakarta yang mengkaji tentang ciri-ciri dan karakteristik suku Mentawai. Hadirnya tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan profil suku Mentawai berdasarkan bentuk fisik, cara hidup dan persebarannya. Disadari bahwa tulisan ini dapat terwujud atas bantuan dari berbagai pihak, sehingga penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam pembuatan karya tulis ini. Pembahasan dan isi dari karya tulis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca maupun semua pihak yang tertarik pada bidang sosial, secara khusus pembahasan mengenai studi kemasyarakatan di suku Mentawai. Masih banyak kekurangan yang terdapat dalam karya ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bermanfaat. Surakarta, September 2010

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG
Studi masyarakat Indonesia merupakan ilmu yang mengkaji tentang sumber

daya alam dan sumber daya manusia secara khusus yang berada di Indonesia, seperti kearifan lokal suatu daerah di Indonesia, interaksi sosial masyarakat di Indonesia atau kebudayaan masyarakat Indonesia. Untuk mengaplikasikan dan mengembangkan materi dalam studi ini, maka penulis mengambil salah satu suku di Indonesia sebagai topik pembahasan, yaitu suku Mentawai. Suku yang sangat lekat dengan lukisan tubuh dari tinta daun tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang adiluhung. Selain itu, sejak terjadinya tsunami yang merenggut ribuan nyawa, menghentakkan Aceh dan Sumatera Utara, kepulauan ini menjadi sorotan dunia. Hal ini disebabkan oleh letaknya yang berada pada lingkar cincin api, yaitu daerah rawan gempa bumi sehingga tsunami mampu menerjang daerah tersebut. Namun, suku Mentawai yang tinggal nun jauh di sana justru menjadi selebritis dadakan. Korban tsunami terhitung sedikit karena terselamatkan oleh kebiasaan nenek moyang, yaitu ketika ikan yang muncul di permukaan sangat banyak, maka penduduk harus mencari daerah yang tinggi dan aman supaya terhindar dari petaka besar. Salah satu pengalaman tersebut menggelitik penulis untuk mengungkap keberadaan suku yang mendiami Kepulauan Mentawai. Penulisan karya tulis ini diharapkan dapat melahirkan nilai budaya dan pelajaran sosial bangsa Indonesia, secara khusus dari suku Mentawai yang berada di kepulauan Mentawai, Sumatra Barat.

Mahasiswa yang memiliki tanggung jawab di bidang akademis maupun praktis, diwajibkan utuk menyumbangkan ilmu dan mencurahkan kemampuan secara utuh kepada tumpah darah supaya dapat mengharumkan nama Indonesia. Oleh sebab itu, karya tulis yang berjudul Studi Masyarakat Indonesia : Ciri-ciri dan Karakteristik Suku Mentawai akan menelaah suku tersebut baik dari segi fisik maupun kehidupan sosialnya supaya berguna bagi pergerakan pendidikan terutama pada kajian Studi Masyarakat Indonesia.
B.

BATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut terlihat bahwa masalah yang terdapat

dalam judul karya tulis Studi Masyarakat Indonesia : Ciri-ciri dan Karakteristik Suku Mentawai masih terlampau luas. Oleh sebab itu, penulis menentukan batasan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun pembatasannya, yaitu mengenai sejarah singkat suku Mentawai, demografi dan distribusinya, seerta kehidupan sosial-budaya suku tersebut.
C.

RUMUSAN MASALAH
Ada pun rumusan masalah yang akan mengantarkan penulis dalam

menelaah kajian mengenai suku Mentawai, yaitu:


1.

Adakah hubungan antara persebaran suku Mentawai dengan cara hidup suku tersebut?

D.

TUJUAN PENULISAN
Bertolak dari rumusan masalah karya tulis ini, maka tujuan penulisannya

adalah:
1.

Untuk menjelaskan hubungan antara persebaran suku Mentawai dengan cara hidup suku tersebut.

E.

MANFAAT PENULISAN

1.

Secara teoritis, penulisan karya tulis ini dapat menambah khasanah keilmuan terutama dalam studi kemasyarakatan di Indonesia.

2.

Manfaat secara praktis dari hasil penulisan imi, ditujukan kepada pembaca dan terutama mahasiswa, pelajar dan seluruh generasi penerus bangsa Indonesia supaya dapat mengenal dan mencintai budaya tanah air Indonesia serta dapat melakkan tindakan nyata untuk melestarikan kebudayaan.

F.

METODE PENULISAN
Metode yang digunakan penulis guna mendapatkan data dan informasi

mengenai suku Mentawai, adalah metode kepustakaan. Metode ini dilakukan dengan cara mencari referensi dan mengunduh, baik dari buku, artikel maupun internet yang berkaitan dengan suku Mentawai.

BAB II ISI

A.

Sejarah Singkat Suku Mentawai


Mentawai merupakan sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Sumatra

Barat. Kabupaten Mentawai sendiri, terletak sekitar 85-135 km dari pantai Sumatera Barat, antara 0 -55-3 20 derajat lintang selatan dan 98 31 -100 40 derajat bujur timur, dengan luas daratan kurang lebih 7000 km. Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten kepulauan yang terletak memanjang dibahagian paling barat pulau Sumatera dan dikelilingi oleh Samudera Hindia. Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik, dan gugus kepulauan itu merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut. Ada pun suku asli yang tinggal di daerah ini, yaitu suku Mentawai. Suku Mentawai merupakan salah satu bukti keanekaragaman budaya Indonesia yang eksotik dan tak ternilai harganya. Suku ini termasuk suku terasing yang hidup primitif di tempat terpencil. Geografis Mentawai memang sangat jauh dari wilayah Indonesia yang lain. Sebagai gambaran, jika perjalanan dimulai dari wilayah terdekat, yakni dari pelabuan teluk Bungus Padarig, dibutuhkan waktu sekitar 10 sampai 12 jam menggunakan Kapal Ferry untuk sampai ke kepulauan Mentawai, (saat ini Memang telah ada Kapal cepat yang hanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam, tapi kapal yang terbuat dari serat plastik atau Febberglass, tidak selalu dapat melaut). Kedaaan cuaca yang selalu berubah-rubah tak memberanikan kapten kapal yang sudah sangat berpengalaman untuk menembus Mentawai dengan kapal cepat tersebut, jika memaksakan belum tentu jasad para penumpang dapat ditemukan di kapal yang karam di terjang Badai. Oleh sebab itu, suku ini kurang dikenal, tidak jarang salah tafsir mengenai keberadaannya

bahkan cara hidup dan budayanya menjadi suatu misteri. Masyarakat Mentawai sering dicampuradukkan antara dengan suku Dayak di Kalimantan. Secara fisik, kedua suku tersebut memiliki kemiripan, bahkan dengan suku di belahan bumi lain, seperti di Hawai, Marchesi, dan Fiji yang berasal dari Lautan Teduh. Tulisan ini merupakan catatan objektif mengenai kehadiran suku Mentawai yang memiliki nilai sosial budaya bagi bangsa Indonesia. Nama mentawai diambil dari bahasa asli penduduk setempat, yaitu Si Mateu. Ada pula yang beranggapan Mentawai berasal dari kata simatalu yang berarti Yang Maha Tinggi. Simatalu ini juga merupakan nama sebuah daerah yang menurut cerita dahulu merupakan daerah yang menjadi tempat bermukim lelaki dari Nias yang bernama Amatawe. Sehingga dewasa ini dikenal sebagai tanah Mentawai. Selain itu, orang Mentawai disebut orang Pagai oleh orang-orang dari daratan Sumatra, terutama masyarakat Sumatra Barat.

B.

Ciri-ciri dan Karakteristik Suku Mentawai


Orang-orang Mntawai memiliki tipe Melayu Polinesia. Beberapa ahli

berpendapat demikian karena berdasarkan anatomi para ahli terhadap tubuh masyarakat Mentawai tergambar, sebagai berikut : berkulit kuning bermata sipit menggunakan cawat atau penutup aurat dari bahan kulit kayu Sementara menurut Neuman, sejak dahulu Pulau Sumatra telah dihuni oleh orang-orang Polinesia yang kemudian diusir oleh orang Melayu yang datang. Kemudian sisa-sisa Polinesia menetap di Kepulauan Mentawai. Menurut Rosenberg, orang Mentawai memiliki kesamaan ciri dengan penduduk Hawai, Marchesi dan Fiji yang berasal dari Lautan Teduh. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian Ady Rosa, yang menyumbangkan hasil penelitiannya,

yaitu selain Mentawai dan Mesir, tato juga terdapat di Siberia (300 SM), Inggris (54 SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku di Eskimo, Hawaii, dan Kepulauan Marquesas. Budaya rajah ini juga ditemukan pada suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di Sumatera Barat. Sedangkan Bikmore, Mess dan Moris berpendapat bahwa orang Mentawai benar adanya orang Melayu, sama seperti orang Sumatra lainnya. Diperkuat oleh Oudemans yang mengatakan bahwa rumpun penduduk Mentawai serumpun dengan orang Batak dan orang Batu di Kepulauan Nias. Meskipun ciri-ciri orang Mentawai hampir mirip dengan suku lainnya, namun karakteristik yang terlihat secara latenlah yang membedakan kepribadian suku Mentawai. Yaitu ditunjukkan dari seni, kebiasaan, dan adat. Antara suku Mentawai dengan suku lainnya yang berada di sekitar Mentawai terlihat sangat berbeda. Pada hunian mereka tak dijumpai peradaban batu besar (menhir, dolmen & batu kubur). Fakta ini disebabkan oleh lokasi baru huniannya, atau karena kecilnya unit populasi migran hingga kurang tenaga untuk membangun artefakartefak batu. Beberapa peralatan berburu dan rumah tangga dari batu di Mentawai, sudah lama digantikan logam yang didatangkan dari Sumatera. Temuan secara historis, bahwa 500.000 tahun lalu (zaman Pleistocene), diperkirakan, Kepulauan Mentawai terpisah dari daratan Sumatra oleh naiknya permukaan air laut. Sejak itulah pulau ini terisolasi. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa daerah resmi Mentawai. Ada pun bahasa pemersatu, bahasa Indonesia, namun semakin ke pedalaman jarang ditemukan penduduk yang mampu bersilat lidah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kruyt berpendapat bahwa bahasa orang mentawai ada 2 logat yaitu Simalegi (daerah siberut utara,tengah) dan dialek sakalagan(siberut selatan, sipora dan pagai). Sedangkan menurut K.H Pampus, mentawai dibagi mjd 13 logat : sikakap, sipora, meileppet, silaoinan, saibi, sagulubbe, paipajet, simatalu, terekan dan simalegi. Persebaran suku Mentawai tidak terelalu luas, buktinya, mereka hidup berkelompok dan sangat tergantung pada alam. Gugusan pulau di Kepulauan

Mentawai sebenarnya cukup banyak, namun yang dihuni hanya 4 pulau besar, yaitu Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora. Selain itu, alam yang selalu tidak bersahabat yang menyebabkan Mentawai tidak selalu dikenal orang. Butuh semangat dan keberanian tersendiri untuk datang ke kepulauan yang masih perawan ini. Mereka bermukim di kampung-kampung yang berfungsi sebagai tempat bermukim saja. Mereka hanya memanfaatkan pekarangan untuk ditanami tebu yang digunakan airnya. Kampung tersebut berada di sungai-sungai pedalaman dan sebagian di dekat pantai. Pada dasarnya, kampung Mentawai dibagi menjadi dua, yaitu kampung asli Mentawai dan kampung pemukiman Departemen Sosial. Kampung asli terdapat 3 macam rumah. Uma, rumah induk besar yang digunaakan untuk menyimpan benda-benda pusaka, untuk melakukan upacara dan menyimpan tengkorak hasil buruan. Tiap uma dipimpin seorang RIMATA. Biasanya lelaki yang bijak & berpengalaman, tapi ada juga yang dipilih berdasar keturunan. Rimata sebenarnya pemimpin adat uma itu sendiri. Kalau ada yang dianggap pelopor biasanya adalah orang yang ahli dibidangnya, dan tidak harus orangtua berpengalaman. Hubungan uma satu dengan yang lain dijaga dengan ikatan pernikahan. Uma disekat-sekat menjadi kamar yang ditempati oleh orang yang sudah menikah. Sekat-sekat tersebut yang dinamakan lalep. Lalep merupakan jenis rumah ke dua. Jika Uma sudah penuh, maka rumah yang dibangun untuk anggota suku Mentawai yang sudah menikah itu dinamakan Lalep. Rusuk merupakan rumah jenis ke tiga untuk menginap para pemuda atau anak-anak muda dan janda yang diusir dari kampung. Ada pula yang disebut dengan sikumang, adalah pondok untuk para janda yang terusir. Mereka terenak babi. Rumah mereka memiliki laibokat atau laibo dan balapat ka tei-tei. Yaitu beranda depan dan beranda belakang. Laibokat di labio merupakan tempat yang digunakan saat terjadi perbincangan kecil atau menerima tamu. Di bagian belakang ada puturukat untuk menari, dan ada purusuat untuk perapian. Tiang utama uma disebut ugala. Tiang kedua adalah kalabai. Kerangka rumah dari kayu bakau, lantai dari batang nibung dan dinding dari kulit kayu, sedang atapnya dari daun sagu.

Kampung pemukiman Departemen Sosial merupakan rumah-rumah yang berbaris dengan rapi saling berhadapan sepanjang jalan desa berbentuk panggung dengan kerangka balok kayu ukuran 6m x 12m. Di rumah tersebut terdapat 2 kamar berlantai dan dinding papan, beratapkan seng. Metologi masyarakat Mentawai mengatakan bahwa mereka berasal di pulau Siberut. Merka di ciptakan di Simatalu dan kemudian menyebar ke daerah pulau sekitarnya. Penyebabnya beragam, seperti perpecahan keluarga kekerabatan, proyek pemukiman Departemen Sosial, penduduk migrasi dari pulau lain untuk keperluan berdagang, atau masyarakat lain seperti Minangkabau, Batak, Jawa, Tiong Hoa, Hokian, Kek, bangsa Barat dan sebagainya. Pergeseran ini juga disebabkan oleh rendahnya angka pertambahan penduduk yg dikarenakan tingginya kematian bayi. Banyak orang yg datang menyebabkan masyarakat Mentawai berasimilasi, terutama dengan orang Jawa, Minangkabau, Tiong Hoa, Melayu dan Nias. Mobilitas amat kecil. Namun ada juga mobilitas karena sekolah dan berdagang. Sekolah para Mentawai ke sekolah katolik karena adanya tangan penggubah para misionaris Katolik dan Kristen. Meskipun mereka dianggap sebagai kaum perampas budaya dan jati diri suku Mentawai, memaksa penduduk Mentawai amnesia terhadap kearifan lokal mereka, namun para pendeta dan pastur ini memberikan sumbangan ilmu terhadap suku tersebut. Hal ini menyebabkan distorsi budaya yang dibuktikan dengan berkurangnya masyarakat Mentawai yang percaya terhadap Arat Bulungan, kebiasaan adat titi dan cara berpakaian mereka. Berdagang rotan atau manau, gaharu atau samuite yang dipasarkan ke Padang dan Pekanbaru merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan sebagian penduduk suku Mentawai yang mengerti monetary (keuangan). Masyarakat suku Mentawai memiliki ketrampilan dalam pengurusan tanah menjadi ladang. Selain berburu hewan buruan, seperti babi, monyet, dan lain sebagainya mereka berladang keladi yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Di ladang tersebut didirikan rumah untuk berteduh yang tidak jarang digunakan untuk bermalam sambil menjaga keladi mereka. Keladi tersebut

dimakan saat bukan musim buah. Sebenarnya, makanan pokok suku Mentawai adalah sagu dan talas yang banyak tersedia di hutan secara liar. Pohon sagu tersebut diolah oleh kaum pria dengan peralatan tradisional dan manual supaya dapat memenuhi kebutuhan pokok penduduk. Hasilnya yang berupa endapan disimpan dalam langkin atau wadah yang terbuat dari daun sagu, disimpan selama 2-3 minggu baru dapat diproduksi sebagai pemenuh kebutuhan pangan. Sistim pertanian tunggal suku Mentawai sangat sederhana, hanya memerlukan lahan kira-kira, 0, 25 sampai 0,50 haktarare, dari hutan yang ditebas dijadikan ladang, tapi tidak dibakar, yang sangat berbeda dengan sistim tanaman berpindah di daerah tropis lainya, dimana api merupakan bagian terpenting dari proses penebasan. Sistim ini mengisaratkan manusia hidup selaras dengan hutan dan alam. Suku Mentawai sendiri sangat menjaga alam dan lingkungannya secara ketat. Karena suku Mentawai tinggal di Kepulauan yang sangat mengenal laut, mereka juga memiliki insting untuk menagkap ikan dan dijual (suku Mentawai berburu hasil laut bukan ikan untuk suku mereka), penyu (dimakan dan meningkatkan gengsi). Ikan dihasilkan dari tangkapan di laut maupun sungai. Alat yang digunakan adalah lukah atau leggeu. Selain itu, mereka juga beternak babi dan ayam. Untuk menempatkan ternak mereka, dibuat pondok ternak. Supaya tidak tertukar, mereka menandai ternaknya masing-masing. Ternak ini digunakan jika diselenggarakan acara adat, perayaan perkawinan maupun denda adat. Pencarian hasil hutan seperti gaharu adalah untuk memenuhi pasar di luar Mentawai. Menurut informasi, gaharu tersebut diekspor ke Arab Saudi dan Singapura untuk bahan minyak wangi.
Tatabusana masyarakat asli Mentawai mencerminkan azas azas egaliter, dalam tatanan masyarakat tidak ada strata-strata sosial, pimpinan atau anak buah. Pembedaan busana lebih ditentukan pada kejadian, peristiwa, upacara yang dalam hal ini adalah upacara khusus tentang penghormatan arwah (punen). Selain itu busana juga mengungkapkan ciri-ciri kedekatan penyandangnya dengan alam lingkungan yang tropis, berhutan lebat berikut keaneka ragaman floranya. Hal ini antara lain tampak pada banyaknya hiasan floral yang dikenakan. Salah satu kelengkapan busana suku Mentawai, yang khususnya dipakai kaum pria adalah cawat, penutup aurat, terbuat dari kulit kayu

pohon baguk dan sebut kabit. Kaum wanita memakai sejenis rok yang terbuat dari dedaunan pisang yang diolah secara khusus dan dililitkan kepinggang untuk menutupi aurat, disebut sokgumai. Selain kabit dan sokgumai, orang-orang Mentawai dapat dikatakan tidak menggunakan apa-apa lagi yang benar-benar menutup tubuhnya selain aneka perhiasan serta dekorasi tubuh yang terbuat dari untaian manik-manik, gelanggelang, bunga-bungaan dan daun daunan.Kalung manik-manik yang sangat impresif yaitu ngaleu menghiasi leher dalam jumlah yang dapat mencapai puluhan, terbuat dari gelas berwarna merah, kuning, putih dan hitam atau hijau. Kedua pergelangan tangan juga dihiasi dengan gelang-gelang manik-manik. Demikian pula pada kedua pangkal lengan dan pada bagian kepala berbaur dengan aneka bunga dan daun-daunan. Ikat kepala ini dinamakan sorat. Sedangkan gelang manik pangkal lengan disebut lekkeu. Tampilan busana selengkapnya suku Mentawai ini dikenakan pada upacara punen, suatu ritus yang ditujukan untuk menghormati roh nenek moyang. Peristiwa ini melaksanakan praktek sikerei, suatu kegiatan perdukunan. Ritus ini dipimpin oleh seorang kerei (dukun) dalam busana kerei yang sebenarnya adalah busana tradisional Mentawai yang dihiasi dan ditaburi berbagai dekorasi yang lebih banyak dari pada keadaan sehari-hari. Busana kerei ini selain terdiri atas kabit dan sorat juga dilengkapi: - sobok, sejenis kain penutup aurat bercorak dibagian depan kabit. - rakgok, ikat pinggang dari lilitan kain polos, biasanya merah. - pakalo, botol kecil tempat ramuan obat-obatan. - lei-lei , rnahkota dari bulu-buluan dan bunga-bungaan. - cermin raksa, bergantung pada kalung depan dada. - ogok, sejenis subang pada kedua telinga.

Titi, merupakan identitas paling khas milik Mentawai. Kebiasaan ini adalah dengan cara merajah tubuh mereka menggunakan tinta daun. Bagi orang Mentawai,
tato merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu

dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau
buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya.

Tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di atas tubuh. Fungsi tato yang lain adalah keindahan. Maka masyarakat Mentawai juga bebas menato tubuh sesuai dengan

kreativitasnya. Kedudukan tato diatur oleh kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan (agama
sekaligus kepercayaan). Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulung atau daun. Sekumpulan daun itu dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau ketse.

Inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (Dewa
Laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang). Arat Sabulungan dipakai dalam setiap upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan penatoan. Ketika anak lelaki memasuki akil balig, usia 11-12 tahun, orangtua

memanggil sikerei dan rimata (kepala suku). Mereka akan berunding menentukan hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah
itu, dipilihlah sipatiti, seniman tato. Sipatiti ini bukanlah jabatan berdasarkan pengangkatan masyarakat, seperti dukun atau kepala suku, melainkan profesi laki-laki. Keahliannya harus dibayar dengan seekor babi. Sebelum penatoan akan dilakukan punen enegat, alias upacara inisiasi yang dipimpin sikerei, di puturukat (galeri milik sipatiti).

Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan
tato di sekujur tubuhnya. Pembuatan tato sendiri melewati proses ritual, karena bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan (kepercayaan kepada roh-roh). Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam sekitarnya. Hanya jarum yang digunakan untuk perajah yang merupakan besi dari luar. Sebelum ada jarum, alat pentatoan yang dipakai adalah sejenis kayu karai, tumbuhan asli Mentawai, yang bagian ujungnya diruncingkan. Tubuh bocah yang akan ditato itu lalu mulai digambar dengan lidi. Sketsa di atas tubuh itu kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu yang dipukul pelan-pelan dengan kayu pemukul untuk memasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang dipakai adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa.

Janji Gagak Borneo merupakan tahap penatoan awal, dilakukan di bagian pangkal
lengan. Ketika usianya menginjak dewasa, tatonya dilanjutkan dengan pola durukat di dada, titi takep di tangan, titi rere pada paha dan kaki, titi puso di atas perut, kemudian titi teytey pada pinggang dan punggung. Proses pembuatan tato memakan waktu dan

diulang-ulang. Tentu saja menimbulkan rasa sakit dan bahkan menyebabkan

demam. Ditemukan juga bahwa tato pada masyarakat Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam. Diduga, dari sinilah orang Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru. Akibatnya, motif serupa ditemui juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru. Di Indonesia, tato orang mentawai lebih demokratis dibandingkan pada masyarakat dayak yang lebih cenderung menunjukkan status kekayaan seseorang makin bertato, makin kaya. Dalam keyakinan masyarakat Dayak, contohnya bagi Dayak Iban dan Dayak Kayan, tato adalah wujud penghormatan kepada leluhur. Kepimimpinan yang jelas, tercermin dalam sistem religi. semua upacara upacara tradisional mereka yang beragam, dipimpin oleh seorang KEREI atau sikere (dukun, tokoh spritual). Agama asli orang Mentawai, Arat Sabulungan, percaya bahwa segala sesuatu punya roh masing-masing yang sama sekali terpisah dari raganya & bebas berkeliaran di alam luas. Kekuatan terselubung dalam suatu benda yang bisa mengganggu manusia, mereka sebut bajao. Karenanya harus diadakan upacara pulaijat (pembersihan uma) di waktu tertentu (selama 1 minggu, bahkan lebih). Selama itu mereka terkena aturan punen (ritual pelarangan mengerjakan tabu yang berkaitan dengan pulaijat). Sikerei (pemimpin upacara) tidak terikat pada kelompok uma asalnya, ia dapat dipanggil memberi pengobatan di uma yang lain. Imbalan atas pengobatannya itu akan dibagi pada sesama anggota uma asalnya. Tiap roh berpengaruh satu sama lain, kepercayaan mereka. dan kekuatan alam yang terselubung secara keseluruhan itu disebut KINA ULAU. Kepercayaan asli ini mulai berangsur digantikan oleh agama Islam & Kristen. Meski masih ada yang menganut agama asli, setidaknya masih percaya roh-roh gaib. Orang Mentawai senang tari-tarian, diiringi beberapa buah gendang & gong yang didapat dari pendatang. Bagi mereka tarian itu perlambang gerak alam sekitarnya.

Pola kegiatan mereka sehari-hari yang berhubungan erat dengan punen (pesta-pesta suci) maupun syarat-syarat persembahan sebelum mendirikan rumah, berburu, membuka ladang dan sebagainya. Hubungan muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial dalam hubungan rusuk, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat. Kedua muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan rumah sederhana, sementara si suami berusaha mencari nafkah & kesiapan materi yang lebih memadai. Ini tanda bahwa pasangan muda tersebut masuk dalam sistem sosial, ke dalam kebersamaan adat. Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal di uma ayah si suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang disebut rumah lalep. Pernikahan resmi di Siberut memerlukan kesiapan sang lelaki; pertanggungjawaban yang cukup berat bagi kelangsungan hidup calon istrinya. Jika sang lelaki dipandang telah mapan (ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu & babi), perkawinan bisa diresmikan adat. Sejak itu mereka diakui sebagai pasangan dewasa secara sosial. Seseorang akan terhormat jika dia telah tinggal di rumah lalep, berarti pernikahannya telah diresmikan adat. pasangan resmi tersebut bisa bergabung dan tinggal di uma ayah dari sang suami. Jika rumah rusuk buat sementara, maka lalep dibangun permanen dan lebih baik. Lalep adalah rumah individual yang didirikan oleh lelaki kepala rumah tangga, bila uma orang tuanya penuh. Di masa lalu, keluarga dari beberapa lalep masih berusaha untuk mendirikan sebuah uma baru. Hal itu tampaknya sudah jarang dilakukan saat ini. Tarian khas etnis Mentawai disebut Turuk Laggai. Tarian Turuk Langai ini umumnya bercerita tentang tingkah laku hewan, sehingga judulnya pun disesuaikan dengan nama-nama hewan tersebut, misalnya tari burung, tari monyet, tari ayam, tari ular dan sebagainya. Matotonan adalah tanaman kecombrang, kincrung atau onje. Tanaman yang buahnya terasa asam ini merupakan tanaman obat bagi suku Mentawai dan bunganya dikonsumsi sebagai sayuran. Sepanjang perjalanan menyusuri hulu sungai hingga sampai di Matotonan memang tanaman kecombrang dan bambu

mendominasi, dan di kawasan muara di dekat pantai adalah berawa-rawa dan di penuhi pohon-pohon sagu. Suku Mentawai memiliki pengetahuan yang luar biasa. Mereka mampu membaca masa depan dengan ramalan usus ayam dan usus babi. Atau menentukan bahaya, tanda-tanda baik atau masa panen dengan petunjuk gempa. Mimpi juga dapat dijadikan sebagai penjelasan hidup yang dibaca oleh Sekerei. Warisan budaya suku Mentawai merupakan karya yang Adiluhung dan sangat indah. Mempesona terhadap setiap mata memandangnya, indah tak terperi. Namun, kenyataan yang sungguh dilematis kini mulai mendera. Pilihan untuk maju atau melestarikan budaya. Sungguh terdengar klasik namun sangat riil. Indonesia yang memiliki beribu gugusan pulau dan beragam budaya harus menelan kenyataan pahit oleh kejayaan kaum pendahulu. Mentawai, Asmat, Badui, Dayak dan suku-suku lain di Tumpah Darah ini harus diplih atau memilih. Dipilih, diatur dengan sedemikian rupa supaya ikut berkembang seperti penduduk di daerah lain atau memilih meninggalkan budayanya dan memaksakan diri untuk melupakan tradisi, adat istiadatnya. Dewasa ini, pada era serba modern dan teknologi merajai dunia, suku Mentawai kian terdesak oleh modernisasi dan globalisasi. Kultur seakan semakin menyempit dan memasuki generasi akhir. Inilah masa kritis dimana punahnya keindahan alam liar yang memiliki kearifan lokal lebih baik untuk mengatur bumi lestari daripada manusia sekarang yang lebih memikirkan untung-rugi. Masyarakat yang mencintai etnik kian jengah dengan kemusrikan pihak tak bertanggung jawab atas mozaik besar Tuhan untuk negeri ini. Namun, apalah daya, manusia tak akan mampu hanya berpangku pada gerakan statis yang mengagungkan nilai budaya dan seni melainkan selalu bergerak dan membangun diri. Inilah bukti nyata bahwa zaman tak pernah gentar mengubah segala hal menjadi absurd. Hanya Tuhan yang tahu akan dibawa ke arah apa suku Mentawai di Indonesia, dan bangsa indonesia hanya tergolek lemas jika kemiskinan mulai meracuni baik dari segi ekonomi, sosial, politik maupun budaya.

BAB III PENUTUP


A. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dalam karya tulis yang berjudul Studi Masyarakat Indonesia : Ciri-ciri dan Karakteristik Suku Mentawai, maka simpulan yang mampu ditarik, adalah ada hubungan antara keberadaan suku mentawai di Kepulauan Mentawai dengan cara hidup mereka. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal, seperti; kehidupan primitif penduduknya karena kurangnya informasi dan jarak yang terlampau jauh; mata pencaharian penduduk yang mayoritas adalah berburu, bertani dan nelayan karena mereka berada di dekat pantai dan hutan tropis rendah; tata busana masyarakatnya yang memanfaatkan kulit pohon dan dedaunan guna menutupi auratnya dan lain sebagainya.

B.

SARAN
Bertolak dari karya tulis ini, penulis dapat menyampaikan saran,

diantaranya: Kepada pemda Kabupaten Mentawai, supaya dalam pengembangan daerah juga memperhatikan sektor yang paling memungkinkan di daerah tersebut, yaitu pariwisata. Penduduk yang sangat mencintai alam, dirasa kurang tepat jika sektor industri dan ekploitasi hasil hutan menjadi sumber dana otonomi daerah. Salah satu contohnya adalah pengembangan daerah oleh Selandia Baru yang mendorong turis datang ke daerah tersebut sehingga lebih menguntungkan. Warisan etnik yang cukup memesona adalah terobosan jitu bagi pemda untuk mendapatkan sumbangan dana oleh suku Mentawai.

DAFTAR PUSTAKA
Hiratata, Andrea. 2008. Edensor. Bentang : Yogyakarta. Rudito, Bambang. 1984. Masyarakat Terasing di Indonesia. Universitas Andalas : Padang. www.wikipedia.com Kabupaten Mentawai www.depsos.go.id Mengolah Kekayaan Alam Mentawai bagi Kemakmuran Seluruh Indonesia. (Penulis : Denny Yuriandi, Kordinator News Cameraman RCTI, Jakarta). www.facebook.com group : Adat dan Budaya Suku Mentawai

LAMPIRAN

GB.1 upacara adat : upacara malam suku Mentawai

GB.2 tengkorak monyet, hasil buruan sebagai hiasan dinding

GB. 3 sebagian penduduk Mentawai yang melestarikan budaya asli Mentawai

GB.4 seorang wanita tua dengan titi di sekujur tubuhnya, rajah khas mentawai

Gb.5 pemuda Mentawai dengan tata busana menuju perubahan

GB. 6 Generasi baru suku Mentawai, masihkah mengenal titi dan Arat Bulungan?

GB. 7 tarian tradisional, tarian Ayam

GB. 8 Perbedaan antara generasi Tua dan generasi Muda

GB. 9 generasi akhir suku Mentawai asli

You might also like