You are on page 1of 33

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul Pembagian Waris Menurut Islam Selanjutnya Salawat beriring Salam tak lupa pula penulis tujukan S AW , sekalian. ke p a d a beserta Ya n g Nabi mana dan Beliau Ra s u l dan telah Muhammad p e n g i ku t n y a ke l u a r g a

mewariskan dua pusaka yang tak ternilai untuk ke b a i k a n m a n u s i a d i d u n i a w a l a k h i r a t . Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah bagi saya khususnya,dan segenap pembaca

wawasan umumnya.

Tak lupa saya mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dosen Pembimbing. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dalam menyusun makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman sekalian.

Depok,

September 2011

Penyusun

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................................... KATA PENGANTAR................................................................................................1 DAFTAR ISI..............................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................3 A. LATAR BELAKANG ...........................................................................................3 B. PERMASALAHAN...............................................................................................5 C. TUJUAN PENULISAN......5 D. MANFAAT PENULISAN......6 BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................7

a. PENGERTIAN HUKUM WARIS MENURUT ISLAM ................................7


b. PENGERTIAN PENINGGALAN.11

c. PEMBAGIAN WARIS MENURUT PANDANGAN ISLAM..13


d. CONTOH KASUS PEMBAGIAN WARIS PADA BANCI .... 23 BAB III PENUTUP...................................................................................................28

A. KESIMPULAN.....................................................................................................2 8 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................29

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
I. AYAT-AYAT WARIS ALLAH SWT berfirman "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka

untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)

sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12) "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).

Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai

anak

dan

mempunyai

saudara

perempuan,

maka

bagi

saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176). Dalam Surat di atas Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut yang semuanya termaktub dalam surat an-Nisa menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia menerimanya secara 'ashabah. Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu. Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan

sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah. RUMUSAN MASALAH Adapun rumusan masalah atas latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1. apa saja penjelasan tentang pembagian hukum waris sesuai

dengan hukum islam ? 2. apa saja hak hak yang berkaitan dengan harta peninggalan? 3. dan apa saja hak waris untuk orang yang tenggelam?

TUJUAN Sesuai dengan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuannya adalah : 1. mengetahui bagaimana pembagian hak waris dalam hukum islam 2. mempelajari ayat ayat yang memperkuat hukum waris dalam islam 3. dan mengetahui pembagian hak waris untuk orang terngelam. MANFAAT

Adapun manfaat dalam hal ini berorientasi pada pemecahan masalah yang solutif dan efisien dalam pembagian hak waris dalam hukum islam. Berdasarkan fakta yang terjadi dilapangan serta dalil yang memperkuat hukum tersebut, dan mencari problem solving. Dalam hal ini juga dituntut peran serta dari masyarakat dalam pencari solusi, yang tidak hanya berperan kritis dengan berbagai masalah yang terjadi tetapi juga menyelesaikannya sesuai dengan hukum islam.

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM WARIS MENURUT ISLAM Dalam keilmuan Islam ada dua istilah ilmu yang

membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris dan ilmu fara'id. Meskipun objek pembahasan keduanya sama tetapi istilahnya jelas berbeda Kata mawarits adalah jama' dari mirats. Miras sendiri adalah jamak dari waratsa-yaritsu-miyraatsan. Secara etimoloi kata mirats memiliki arti diantarnaya: yang kekal, yang berpindah dan Al mauruts yang maknanya at-tirkah" harta peninggalan orang yang meninggal dunia. ketiga arti tersebut

lebih menekankan kepada objek dari pewarisan yaitu harta peninggalan pewaris. Kata fara`id secara bahasa adalah bentuk jama' dari kata faridhoh. kata ini berasal dari kata fardu yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh par aulama kata fara`id diartikan sebagai almafrudhoh yang berarti al muqaddarah, bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagain par ahli waris. Apabila lebih luas dibandingkan menampung kedua untuk istilah diatas ilmu dalam yang pengertian bahasa kata mawaris mengandung pengertian yang dan menyebut membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandinkan dengan fara`id. Apabila ditelusuri sejarah pemakaian kedua istilah itu di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara`id dari pada mawarits. Hal ini dapat dilihat dari fikih-fikih klasik. Adapun pada masa belakangan ini menunjukan kebalikannya. Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, penaklukan dan kaidah-kaidah Mekah, agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa kota Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan

persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan. Secara terminologi ada beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ulama. Syaikh al Khatib As Syarbini: " Ilmu fikih yang berpautan dengan pembagian harta warisan dan penetahuan tentang perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan tersebut, dan pengetahuan tentan bagian-bagian yang wajib dari harta warisan bagi semua pihak yang memiliki hak." Wahbah Az Zuhaily: "kaidah-kaidah fikih dan perhitungan yang dengannya dapat diketahui bagian semua ahli waris dari harta peninggalan". Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan

rinciannya

terdapat

dalam

ayat-ayat

yang

saya

nukilkan

terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176). Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil. Untuk menjawab pertanyaan tersebut beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut: 1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya. 2. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya. 3. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita. 4. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika

10

telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan. 5. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian. Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki dua kali lebih besar dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmahhikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah. Syariat Islam tidak mewajibkan kaum meski wanita baik untuk untuk

membelanjakan

harta

miliknya

sedikit,

keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya),

11

selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: "... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (alBaqarah: 233) Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita. B. PENGERTIAN PENINGGALAN Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya). Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:

12

1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya. 2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan." Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk

13

menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya. C. PEMBAGIAN WARIS MENURUT PANDANGAN ISLAM JUMLAH bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima. a. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut: 1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah: "... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12) 2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:

14

a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.). b. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah. 3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat: a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki). b. Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal). c. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki. Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi auladikum", mencakup anak dan anak lakilaki dari keturunan anak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama. 4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat: a. Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.

15

b. Ia

hanya

seorang

diri

(tidak

mempunyai

saudara

perempuan). c. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan. Dalilnya adalah firman Allah berikut: "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).

Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176) 5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat: a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki. b. Apabila ia hanya seorang diri. c. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan. d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama. b. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:

16

1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut: "... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya " (an-Nisa': 12) 2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut: "... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu

tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12) Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.

17

c. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT: "... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utangutangmu ..." (an-Nisa': 12). d. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita: 1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih. 2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih. 3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih. 4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut: 1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak

mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:

18

"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (anNisa': 11) Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini. Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam. 2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut: a. Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan. b. Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan. c. Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara lakilaki. 3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:

19

a. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek. b. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah. c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah: "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176) 4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut: a. Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek. b. Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah. c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (anNisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu

20

tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam. e. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian

Sepertiga Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat: 1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. 2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah: "... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11) Juga firman-Nya: "... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11). F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian

seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan

21

keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu. 1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11) 2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci dalam bab tersendiri. 3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat: a. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki. b. Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya): "... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11). 4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila yang

22

meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak lakilaki pewaris mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak lakilakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan." Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan pewaris." Mendengar menemui jawaban Abu Ibnu Mas'ud, al-Asy'ari sang dan penanya memberi kembali tahu

Musa

permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengahtengah kalian.

23

D. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMIL


a. Definisi Banci Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggaklenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki." Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya. Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada-- -disebut sebagai musykil.

24

Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh. Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya, atau mengenali tandatanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil. Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan. Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak

25

wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya." Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai lakilaki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi. Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat keluarnya air seni." b. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini: 1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih) sebagai salah satu sedikit laki-laki bagiannya atau Imam di Syafi'i antara Dan ini serta keadaannya merupakan wanita.

pendapat

pendapat mayoritas sahabat. 2. Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan

26

dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci. 3. Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i. c. Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya Untuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya. Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.

27

Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya. Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci 1. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan seorang anak banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima, sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pokok masalahnya dari empat. Kemudian kita menyatukan (al-jami'ah) antara dua masalah, seperti dalam masalah almunasakhat. Bagian anak laki-laki adalah delapan, sedangkan bagian anak perempuan empat, dan bagian anak banci lima. Sisa harta waris yaitu tiga kita bekukan untuk sementara hingga keadaannya secara nyata telah terbukti. 2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki banci. Pokok masalahnya dari enam bila banci itu dikategorikan sebagai wanita, kemudian di-'aul-kan menjadi delapan. Sedangkan bila sang banci dianggap sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dari enam tanpa harus di- 'aul-kan. Dan al-jami'ah (penyatuan) dari keduanya, menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat. Sedangkan pembagiannya seperti berikut: suami sembilan bagian, ibu enam bagian, saudara laki-laki banci tiga bagian, dan sisanya kita bekukan. Inilah tabelnya: 6 Suami 8 3 Suami 1/2 6 3 24 9

28

1/2 Ibu 1/3 Banci 2 3 Ibu 1/3 Banci kandung 2 1 6 4

Pada tabel tersebut sisa harta yang ada yaitu lima bagian dibekukan sementara, dan akan dibagikan kembali ketika keadaan yang sebenamya telah benar-benar jelas. 3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah banci. Maka pembagiannya seperti berikut: Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua, sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok masalahnya dari tujuh, dan penyatuan dari keduanya menjadi empat belas. Bagian suami enam, saudara kandung perempuan enam bagian, sedangkan yang banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua bagian dibekukan. Ini tabelnya: 2 Suami 1/2 Sdr. 1/2 Banci lk. kdg. 1 pr. 1 6 Suami 1/2 7 3 14 6 6 -

Sdr. kdg. pr. 1/2 3 Sdr. pr. seayah 1 1/6

29

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penulisan tersebut diatas, maka didapat kesimpulan sebagai berikut: a. Hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.

30

b.

Dalam pembagian waris:

1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. 2. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). 3. Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. 4. Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita: Dua anak perempuan (kandung) atau lebih. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat: i.
ii.

Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu.

31

Adapun

asbhabul

furudh

yang

berhak

mendapat

bagian

seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu. c. Adanya dua jenis kelamin pada seseorang atau bahkan sama sekali tidak ada disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh

32

DAFTAR PUSTAKA

Ali ash-Shabuni Muhammad,1995, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta, Gema Insani. www.wikipedia.com

33

You might also like