You are on page 1of 52

METODOLOGI PERKIRAAN DAMPAK EKONOMI DAN LINGKUNGAN AKIBAT ADANYA ALIH FUNGSI LAHAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH

I. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah 1.1 Pembangunan Pembangunan merupakan proses perubahan dari suatu kondisi tertentu menuju ke kondisi yang lebih baik, namun demikian tidak semua perubahan dapat disebut sebagai pembangunan. Pembangunan lebih condong pada perubahan menuju ke arah positif, sedangkan untuk perubahan yang cenderung pada arah negatif disebut dengan Bencana ataupun Perusakan (Suharyanto, 2006). Pembangunan juga dapat diartikan sebagai proses peningkatan kualitas hidup manusia. Pembangunan adalah suatu mekanisme penggunaan sumber daya yang terbatas dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam, teknologi, manusia, dan lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang suatu perekonomian melalui mekanisme ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan baik swasta maupun publik agar memperoleh peningkatan taraf hidup dan kemiskinan. Pembangunan juga telah didefinisikan sebagai pertumbuhan plus perubahan, yang merupakan kombinasi berbagai proses ekonomi, sosial dan politik, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (United Nations, 1972). Selain pengertian tersebut, Surna (1992) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam mengolah sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan untuk kelangsungan hidup manusia. Pembangunan kawasan (regional development) secara konvensional lebih cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi dasar bahwa proses pembangunan berlangsung dalam suatu keseimbangan matriks lokasi yang terdiri dari beberapa pusat pertumbuhan (growth poles) dan kawasan penyangga atau hinterland (Tjokrowinoto; 1995). Pemahaman terhadap pembangunan menghasilkan ide kemajuan, berkonotasi ke depan atau ke tingkat yang lebih tinggi. Pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional, seperti halnya percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan absolut (Todaro, 1994).
1

Selama ini pembangunan identik dengan Pembangunan Ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya atau suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Dimana Analisis Ekonomi Pembangunan = Permasalahan Negara Sedang Berkembang. Sebelum Perang Dunia II, para ilmuwan kurang memperhatikan pembangunan ekonomi, karena faktor-faktor sebagai berikut: Masih banyak negara sebagai negara jajahan untuk membahas pembangunan

Kurang adanya usaha dari tokoh masyarakat ekonomi.

Lebih mementingkan usaha untuk meraih kemerdekaan dari penjajah.

Para pakar ekonomi lebih banyak menganalisis kegagalan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran (depresi berat). Pasca Perang Dunia II (Th. 1942), banyak negara memperoleh kemerdekaan (antara lain: India, Pakistan, Phillipina, Korea, dan Indonesia), perhatian terhadap pembangunan ekonomi mulai berkembang. Kondisi ini disebabkan oleh: Negara jajahan yang memperoleh kemerdekaan

Berkembangnya cita-cita negara yang baru merdeka untuk mengejar ketertinggalannya di bidang ekonomi. Adanya keinginan dari negara maju untuk membantu negara berkembang dalam mempercepat pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi: Peningkatan pendapatan perkapita pertambahan penduduk. masyarakat pertambahan GDP > tingkat

Peningkatan GDP dibarengi dengan perombakan struktur ekonomi tradisional ke modernisasi. Pembangunan ekonomi untuk menyatakan perkembangan ekonomi pada negara yang sedang berkembang.

Pertumbuhan ekonomi: Kenaikan GDP tanpa memandang tingkat pertambahan penduduk dan perubahan struktur organisasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi untuk menyatakan perkembangan ekonomi negara maju. Sebab-sebab percepatan pertumbuhan ekonomi adalah: Keinginan negara untuk mengejar ketinggalan. Pertumbuhan penduduk. Adanya keharusan negara maju untuk membantu negara yang sedang berkembang.

Kuncoro (2000), menyebutkan bahwa pengertian pembangunan ekonomi adalah: Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus. Usaha untuk menaikkan pencapatan per kapita. Kenaikan pendapatan per kapita harus terjadi dalam jangka panjang. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang.

Arsyad (1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, dan semakin kecilnya kesenjangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Pembangunan ekonomi mensyaratkan Gross National Product yang tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang tinggi harus diambil. Namun yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana memacu pertumbuhan, melainkan juga siapa yang melaksanakan dan berhak menikmati hasil-hasilnya. Pada dasarnya pembangunan ekonomi suatu daerah adalah meningkatkan produktivitas dan terjadinya peningkatan pendapatan daerah secara riil. Pertumbuhan pendapatan daerah tersebut haruslah melampaui pertumbuhan penduduknya, agar supaya selisih antara laju pertumbuhan PDRB dengan laju pertumbuhan penduduk merupakan tingkat kemakmuran.

Dalam lingkup pemerintahan, fungsi pemerintah dalam pembangunan ekonomi yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu berkenaan dengan pemerintah sebagai fungsi alokasi, distribusi, dan stabilitasi perekonomian. Fungsi alokasi meliputi aspek pengelolaan alokasi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik. Fungsi distribusi meliputi aspek pemerataan dalam pendapatan dan kekayaan masyarakat. Fungsi stabilisasi meliputi aspek-aspek pertahanan keamanan, ekonomi, dan moneter. Semakin cepat pertumbuhan ekonomi, akan semakin banyak sumberdaya tanah yang diperlukan dalam proses produksi yang pada gilirannya akan mengurangi tersedianya sumberdaya tanah yang ada di bumi karena sumberdaya tanah itu harus diambil dari tempat persediaan (stock) sumberdaya alam. Jadi, dengan semakin menggebunya pembangunan ekonomi khususnya di negara yang sedang berkembang maka akan berarti semakin banyak yang sumberdaya alam yang diambil dan jumlahnya akan semakin sedikit. Oleh karena itu, tanah memiliki nilai ekonomi dan nilai pasar yang berbeda-beda. Tanah di perkotaan yang digunakan untuk kegiatan industri dan perdagangan biasanya memiliki nilai pasar yang tertinggi karena disitu terletak tempat tinggal dan sumber penghidupan manusia yang paling efisien dan memberikan nilai produksi yang tertinggi. Proses pembangunan secara pasti merubah struktur perekonomiam wilayah, yang selanjutnya memacu terjadinya pergeseran penggunaan lahan yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya alih fungsi lahan. Teori-teori perubahan struktural memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang sekitarnya akan memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional yang hanya mampu mencukupi keperluan sendiri ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi pada kehidupan perkotaan, dan lebih bervariasi, serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor-sektor jasa yang tangguh. Model perubahan struktural tersebut dalam analisisnya menggunakan perangkat-perangkat neoklasik berupa konsep- konsep harga dan alokasi sumber daya, serta metode-metode ekonometri untuk menjelaskan terjadinya proses transformasi. Aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung oleh ekonom-ekonom yang sangat terkemuka seperti W. Arthur Lewis yang termasyur dengan model teoretisnya tentang surplus tenaga kerja dua sektor; two sector surplus labor, dan Hollis B. Chenery yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang pola-pola pembangunan; patterns of development (Todaro, 1999). Structural Transformation (Transformasi Struktural) merupakan proses pengubahan struktur industri dari suatu perekonomian agar kontribusi sektor manufaktur terhadap pendapatan nasional (national income) lebih tinggi daripada sektor pertanian. Dapat juga diartikan sebagai perubahan komposisi industri dalam perekonomian. Misalnya: primary sector, secondary sector, dan tertiary industrial sector.

A. Teori Pembangunan W. Arthur Lewis Teori pembangunan Lewis Two-Sector Model menyatakan bahwa jika surplus tenaga kerja dari sektor pertanian tradisional bisa dialihkan ke sektor industri modern yang daya serap tenaga kerjanya semakin tinggi, maka hal itu akan mempromosikan industrialisasi dan dengan sendirinya akan memacu adanya pembangunan secara berkesinambungan. Pada intinya, teori ini membahas tentang proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama akhir dasawarsa 1960-an dan 1970an. Menurut model pembangunan yang diajukan oleh Lewis, perekonomian terdiri dari 2 sektor, yaitu:

Sektor tradisional. Merupakan sektor perdesaan subsisten yang kelebihan penduduk, dan ditandai dengan produktivitas marginal tenaga kerja sama dengan nol, dimana kondisi ini merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja; labor surplus sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor itu tidak akan kehilangan outputnya sedikitpun. Sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi, dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor yang modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi dibidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan atas sektor modern dan perluasan kesempatan kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri.

B. Teori Pembangunan Hollis B. Chenery Teori ini juga memusatkan perhatiannya pada proses yang mengubah struktur ekonomi, industri, dan kelembagaan secara bertahap pada suatu perekonomian yang terbelakang, sehingga memungkinka tampilnya industri-industri baru untuk menggantikan kedudukan sektor pertanian sebagai penggerak roda pembangunan. Namun berlawanan dengan model Lewis dan pandangan dualisme tentang pembangunan, teori ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi merupakan syarat yang harus dipenuhi, akan tetapi tidak akan memadai jika harus berdiri sendiri (necessary but not sufficient conditions) dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

Teori ini juga mensyaratkan bahwa selain akumulasi modal untuk pengadaan sumberdaya fisik maupun sumberdaya manusia, diperlukan juga suatu rangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian negara yang bersangkutan demi terselenggaranya transisi yang bersifat mendasar dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan-perubahan yang bersifat struktural ini melibatkan seluruh fungsi ekonomi, termasuk transformasi produksi dan perubahan komposisi permintaan konsumen, perdagangan internasional, dan sumberdaya, serta perubahan-perubahan dalam faktor sosioekonomi seperti proses urbanisasi, pertumbuhan, dan sebaran; distribusi penduduk di negara yang bersangkutan. Chenery mendasarkan perumusan model perubahan strukturalnya pada serangkaian penelitian empiris, dengan mengambil negara-negara berkembang pada berbagai tingkat pendapatan sebagai bahan studi guna mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembangunan mereka. Faktor-faktor yang penting tersebut antara lain adalah: kelancaran transisi dari pola perekonomian agraris ke perekonomian industri, kesinambungan akumulasi modal fisik dan manusia, perubahan jenis permintaan konsumen dari produk kebutuhan pokok ke berbagai macam barang dan jasa, perkembangan daerah perkotaan terutama pusat-pusat industri berkat migrasi para pencari kerja dari daerah-daerah pertanian di pedesaan dan kota-kota kecil, serta pengurangan jumlah anggota dalam setiap keluarga, dan kenaikan populasi (Todaro, 1999). Lebih lanjut, Kuncoro (1997) mengemukakan bahwa proses transformasi struktural akan membawa dampak positif sekaligus negatif. Salah satu sisi negatif dari perubahan struktural tersebut adalah meningkatnya arus urbanisasi yang sejalan dengan derajat industrialisasi yang dilakukan. Industrialisasi dan urbanisasi justru akan menghambat pemerataan hasil pembangunan, dimana peningkatan hanya akan terjadi pada sektor modern perkotaan. Sementara sektor perdesaan yang banyak ditinggalkan oleh para pekerja mengalami pertumbuhan yang lambat, sehingga jurang pemisah antara kota dan desa justru meningkat. Transformasi struktural hanya akan berjalan dengan baik apabila diikuti dengan pemerataan kesempatan belajar, penurunan laju pertumbuhan penduduk, dan penurunan derajat dualisme ekonomi antara desa dan kota. Jika hal tersebut dipenuhi, maka proses transformasi struktural akan diikuti oleh peningkatan pendapatan dan pemerataan yang terjadi secara simultan. 1.2 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah mempunyai arti yang luas, tetapi pada prinsipnya merupakan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu. Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Disisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana pelayanan

logistik, dan sebagainya. Disisi lain secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Alasan kenapa diperlukan upaya pengembangan wilayah pada suatu daerah tertentu, biasanya terkait dengan masalah ketidakseimbangan demografi, tingginya biaya atau ongkos produksi, penurunan taraf hidup masyarakat, ketertinggalan pembangunan atau adanya kebutuhan yang sangat mendesak (Pinchemel, 1985). Pengertian pengembangan wilayah menurut Prodhomme (1985), bahwa pengembangan wilayah merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah. Dari definisi diatas tersirat ada beberapa kata kunci yang harus terdapat dalam pengembangan wilayah, yaitu: Program yang menyeluruh dan terpadu Dalam rangka pengembangan wilayah harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Dalam pengembangan wilayah terdapat dua pendekatan yang dilakukan, yakni pendekatan sektoral atau fungsional (yang dilaksanakan melalui departemen atau instansi sektoral), dan pendekatan regional atau teritorial yang dilakukan oleh daerah atau masyarakat setempat. Sumberdaya alam yang tersedia dan kontribusi terhadap wilayah Dalam upaya pengembangan wilayah nasional, M.T. Zen (1980) menyebutkan bahwa perkembangan Indonesia dalam dua-tiga dasawarsa mendatang akan sangat tergantung pada kemampuannya mengarahkan tiga unsur pokok, yaitu:
1. 2. 3.

Ketersediaan SDA, Kemampuan SDM, dan Pemanfaatan teknologi.

Suatu wilayah tertentu Dalam pengembangan wilayah diprioritaskan kepada kawasan-kawasan tertentu yang memenuhi kriteria, antara lain: 1. Mempunyai potensi untuk cepat tumbuh

2. Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakan pertumbuhan ekonomi di daerah sekitar. Wilayah yang sudah berkembang seringkali merupakan daerah aglomerasi dari satu kota atau aglomerasi dari sektor produksi. Sedangkan wilayah yang berpotensi berkembang biasanya baru mempunyai sumberdaya alam dan mempunyai akses ke pusat pertumbuhan.

A. Wilayah Homogen (Kawasan) Konsep wilayah homogen lebih menekankan aspek homogenitas (kesamaan) dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan (kompleksitas, varians, ragam) antarkelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional (interaksi) antar wilayah-wilayahnya atau antar komponen-komponen di dalamnya. Sumber-sumber kesamaan yang dimaksud dapat berupa kesamaan struktur produksi, konsumsi, pekerjaan, topografi, iklim, perilaku sosial, pandangan politik, tingkat pendapatan dan lain-lain. Konsep land cover salah satu cara termudah di dalam perwilayahan homogen. Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artifisial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kemampuan lahan, iklim, dan berbagai faktor lainnya. Homogenitas yang bersifat artifisial pada dasarnya kehomogenan yang bukan berdasarkan faktor fisik melainkan faktor sosial. Contoh wilayah homogen artifisial adalah kawasan atas dasar kemiskinan, suku bangsa dan lain-lain. Ada beberapa perbedaan teknis yang akan dihadapi di lapangan ketika konsep wilayah homogen digunakan sebagai pijakan pendeskripsian analisis atau pengelolaan. Secara ekologis, wilayah homogen tidak stabil dan sering berhimpitan dengan wilayah administratif. Secara teknis kuantitatif identifikasi wilayah homogen dapat dilakukan berdasarkan data-data faktor-faktor (peubah) penciri keragaman wilayah dengan menggunakan teknis analisis gerombolan (cluster analysis) yakni dengan menggunakan teknik analisa gerombol (cluster analysis) yakni deng an melakukan pengelompokkan unit-unit data spasial yang kemudian disebut sebagai wilayah-wilayah homogen (proses pewilayahan). Proses pewilayahan dilakukan untuk melakukan pengelompokan unit-unit data spasial sedemikian rupa agar terjadi keragaman (varians) yang minimum di dalam kelompok (wilayah) dan terjadi keragaman yang maksimum antarkelompok (antarwilayah) untuk membentuk sejumlah tipe wilayah.

B. Wilayah Perencanaan/Pengelolaan Khusus Wilayah perencanaan/pengelolaan tidak selalu berwujud wilayah administratif tapi berupa wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam suatu wilayah perencanaan/pengelolaan. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matriks dasar kesatuan siklus hidroologis (siklus air), sehingga DAS sebagai suatu wilayah berdasarkan konsep ekosistem perlu dikelola dan direncanakan secara seksama.

Kawasan otoritas DAS sering dibentuk sebagai suatu wilayah perencanaan yang dibentuk berdasarkan asumsikonsep wilayah sistem ekologi. Sejak Repelita I dan II banyak dibangun bendungan-bendungan dibagian hilir DAS, dilain pihak di bagian hulu erosi sangat tinggi sehingga terjadi sedimentasi pada bendungan. Pada tahap perencanaan, umur ekonomi waduk dirancang untuk tahap 50-60 tahun tetapi dalam waktu singkat (15 tahun) ternyata waduk tersebut sudah penuh dengan endapan lumpur. Hal ini terjadi karena perencanaan dibagian hulu tidak terintegrasi dengan bangunan di bagian hilir. Beberapa contoh yang terjadi, misalnya pada waduk selorejo Kecamatan Ngantang yang termasuk sub DAS Kunto, anak DAS Brantas. Penangannan yang parsial menyebabkan waduk tidak efektif. Akibatnya investasi yang besar terancam kelangsungannya sehingga umur ekonomi waduk menjadi pendek. Contoh lainnya adalah kasus reboisasi. Sejak Pelita II dan IV dibutuhkan dana yang besar untuk reboisasi ketika dalam Pelita I dan II pelaksanaannya baru sedikit sekali karena kelembagaan reboisasi belum berkembang sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan. Baru pada Pelita II dan IV dibuat perencanaan berbasis DAS. Namun secara riil perencanaan berbasis DAS sering mengalami kesulitan karena satu DAS meliputi beberapa Kabupaten atau bahkan beberapa Provinsi. Permasalahan muncul karena kurang diperhatikannya wilayah hulu yang mengalami erosi besar-besaran, pendangkalan waduk, dan penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air. Selain itu terjadi pertumbuhan di pusat-pusat kota di hilir, sehingga terjadi urbanisasi besarbesaran yang mengakibatkan berbagai dampak yang cukup serius. Perwilayahan komoditas adalah contoh penetapan wilayah perencanaan/pengelolaan yang berbasis pada unit-unit wilayah homogen. Suatu perwilayahan komoditas pertanian harus didasarkan pada kehomogenan faktor alamiah dan non alamiah. Konsep perwilayahan komoditas diawali oleh kegiatan evaluasi sumberdaya alam seperti evaluasi kesesuaian lahan (land suitablity) atau kemampuan lahan (land capability). Pemilihan komoditas yang akan diproduksi selanjutnya didasarkan atas sifat-sifat non alamiah seperti jumlah penduduk, pengetahuan, keterampilan (skill), kelembagaan petani, pasar dan lain-lain. Adanya sistem perwilayahan komoditas diharapkan dapat meningkatan efisiensi sistem produksi dan distribusi komoditas, karena perwilayahan komoditas pada dasarnya adalah upaya untuk memaksimalkan comparative advantage setiap wilayah. Beberapa alasan program perwilayahan komoditas menjadi wilayah homogen diantaranya: (1) budidaya bermacam-macam komoditas dalam satuan wilayah yang kecil tidak efisien, (2) upaya untuk menurunkan biaya pendistribusian input dan pendistribusian output, dan (3) untuk memudahkan manajemen. Walaupun demikian, perwilayah komoditas juga akan dihadapkan pada suatu kelemahan, yaitu kerentanan kawasan terhadap bahaya serangan hama. Pada umumnya penerapan konsep wilayah homogen menjadi wilayah-wilayah perencanaan sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam.
9

Penerapan lebih jauh konsep wilayah homogen menjadi wilayah-wilayah perencanaan sangat bermanfaat misalnya dalam:
1) Penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi daya dukung utama

yang ada (comparative advantage). 2) Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan tiap-tiap wilayah.

10

II. Sumberdaya Alam 2.1 Pengertian Sumberdaya Alam Sumberdaya alam, seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan, dan lain lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia, yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa. Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang kurang baik apalagi buruk, akan mengakibatkan dampak negatif bagi manusia. Menurut Suparmoko (1997) sumberdaya alam adalah segala segala sesuatu yang berada dibawah ataupun diatas bumi termasuk tanah itu sendiri. Jadi yang dimaksud dengan sumberdaya alam adalah sesuatu yang masih terdapat di dalam maupun di luar bumi yang sifatnya masih potensial dan belum dilibatkan dalam proses produksi untuk meningkatkan tersedianya barang dan jasa dalam perekonomian. Menurut Ensiklopedia Webster, sumberdaya didefinisikan sebagai: Kemampuan untuk memenuhi atau mengangani sesuatu. Sumber persediaan, penunjang, atau bantuan. Sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pemikiran seseorang. Dalam pengertian umum, sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi, dan dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah kompenen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Grima dan Barkes (1989), mendefinisikan sumberdaya sebagai aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Lebih jauh, Rees (1990) mengatakan bahwa sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus mempunyai 2 kriteria, yaitu: Harus ada pengetahuan, teknologi, atau keterampilan untuk memanfaatkannya. Harus ada permintaan terhadap sumberdaya tersebut. Pengertian sumberdaya sendiri dalam ilmu ekonomi sudah dikenal sejak beberapa abad lalu, ketika Adam Smith menerbitkan buku Wealth Of Nation pada tahun 1776, konsep sumberdaya sudah digunakan dalam kaitannya dengan faktor produksi. Dalam pandangan Adam Smith, sumberdaya diartikan sebagai seluruh faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan output.
11

Pengertian sumberdaya pada dasarnya mencakup aspek yang jauh lebih luas. Dalam literatur sering dinyatakan bahwa sumberdaya memiliki nilai intrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang terkandung dalam sumberdaya, terlepas apakah sumberdaya tersebut dikonsumsi atau tidak. Dalam memahami sumberdaya alam, terdapat 2 pandangan yang umumnya digunakan, yaitu: Pandangan Konservatif; Pandangan Pesimis; atau Perspektif Malthusian Dalam pandangan ini, resiko akan terkurasnya sumberdaya alam menjadi perhatian utama. Dengan demikian, dalam pandangan ini sumberdaya alam harus dimanfaatkan secara hatihati karena adanya faktor ketidakpastian terhadap apa yang akan terjadi terhadap sumberdaya alam untuk generasi mendatang. Perspektif ini berakar dari pemikiran Malthus yang dikemukakan sejak tahun 1879 ketika Principle Of Population dipublikasikan. Dalam perspektif Malthus, sumberdaya alam yang terbatas tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh secara eksponensial. Produksi dari sumberdaya alam akan mengalami apa yang disebut sebagai deminishing return, dimana output per kapita akan mengalami kecenderungan menurun sepanjang waktu. Lebih jauh lagi, perspektif ini juga melihat bahwa ketika proses deminishing return terjadi, standar hidup juga akan menurun sampai pada tingkat subsisten yang pada gilirannya akan mempengaruhi reproduksi manusia. Kombinasi kedua kekuatan ini dalam jangka panjang akan menyebabkan ekonomi berada dalam kondisi keseimbangan atau steady state. Pandangan Eksploitatif; Perspektif Ricardian Dalam pandangan ini, hal-hal yang dikemukakan antara lain:
1. Sumberdaya alam dianggap sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) yang

mentransformasikan sumberdaya kedalam man made capital yang pada gilirannya akan menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi di masa mendatang. 2. Keterbatasan suplai dari sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubstitusikan dengan cara intensifikasi (eksploitasi sumberdaya secara intensif) atau dengan cara ekstensifikasi (memanfaatkan sumberdaya alam yang belum dieksploitasi). 3. Jika sumberdaya menjadi langka, hal ini akan tercermin dalam 2 indikator ekonomi, yakni meningkatnya baik harga output maupun biaya ekstraksi per satuan output. Meningkatnya harga output akibat meningkatnya biaya per satuan output akan menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Di sisi lain, peningkatan harga output menimbulkan insentif produsen sumberdaya alam untuk berusaha meningkatkan suplai. Namun karena ketersediaan sumberdaya yang terbatas, kombinasi dampak harga dan biaya akan menimbulkan insentif untuk mencari
12

sumberdaya substitusi dan peningkatan daur ulang. Selain itu, kelangkaan juga akan memberikan insentif untuk mengembangkan inovasi-inovasi seperti pencarian deposit baru, peningkatan efisiensi produksi, dan peningkatan teknologi daur ulang sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap pengurasan sumberdaya alam.

2.2 Klasifikasi Sumberdaya Alam Secara umum, berdasarkan skala waktu pembetukan sumberdaya alam dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok, yaitu: Kelompok Stok Sumberdaya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas, sehingga eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya, karena apa yang kita manfaatkan sekarang mungkin tidak akan tersedia lagi dimasa mendatang. Dengan demikian, sumberdaya stok ini merupakan sumberdaya tak terbarui (non renewable), atau terhabiskan (exhaustible). Termasuk dalam kelompok ini, adalah: sumberdaya mineral, logam, minyak, dan gas bumi.
Kelompok Flows

Pada jenis ini, jumlah kuantitas fisiknya berubah-ubah sepanjang waktu. Dimana jumlah yang kita manfaatkan sekarang, bisa mempengaruhi atau bisa tidak berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya di masa mendatang, atau dengan kata lain sumberdaya ini merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable). Sumberdaya ini pula berdasarkan regenerasinya dipisahkan menjadi tergantung pada proses biologi (reproduksi) atau tidak. Ikan dan hutan misalnya, termasuk dalam kelompok sumberdaya yang regenerasinya tergantung pada proses biologi. Energi surya, gelombang pasang-surut, angin, dan udara masuk dalam kelompok sumberdaya yang tidak tergantung pada proses biologi. Namun, yang penting dijadikan catatan adalah, meskipun terdapat sumberdaya yang bisa melakukan proses regenerasi, jika titik kritis maksimum regenerasinya sudah terlampaui, sumberdaya ini akan berubah menjadi sumberdaya yang tak dapat diperbarui.

13

SU M B ER D AY A A L AM

SKALA W AKTU PERTUMBUHAN

KEGUNAAN AKHI R

STO K (TI DAK DAPAT DI PERBARUI )

ALUR (DAPAT DI PERBAR UI )

SUMBER DAYA MATER I AL

SUMBER DAYA ENER GI

HABI S DI KO NSUMSI CO NTO:H MI NYAK , BATU , GAS BAR A

DAPAT DI DAUR ULANG CO NTO:H BESI TEMBAGA , , ALUMUNI UM

MEMI LI KI TI TI K KRI TI S CONTO:H I KAN HUTANTANAH , ,

TI DAK MEMI LI KI TI TI K KR I TI S CO NTO:H UDARAANGI N ,

MATER I AL METALI K

MATER I AL NO N METALI K

ENER GI CO NTO:H ENER GI MATAHAR I , ANGI NMI NYAK ,

CO NTO:H CO NTO:H EMASBESI ALUMUNI UM TANAHPASI ,RAI R , , ,

EKSTRAKSI TI TI K KR I TI S >

Gambar 2.1 Klasifikasi Sumberdaya Alam

14

III. Tata Guna Lahan dan Alih Fungsi Lahan 3.1 Tata Guna Lahan Tata guna lahan dapat diartikan sebagai pengarahan penggunaan lahan dengan kebijakan dan program tata keruangan untuk memperoleh manfaat total sebaik-baiknya secara berkelanjutan dari daya dukung tiap bagian lahan yang tersediakan. Dengan kata lain, tiap macam penggunaan lahan ditempatkan pada bagian lahan yang sepadan dalam mendukung secara berkelanjutan beragam penggunaan lahan. Kemampuan lahan berhubungan dengan kemampuan lahan untuk menahan dampak biofisik. Kemampuan lahan adalah mutu lahan yang dinilai berdasarkan jenis penggunaan lahan dengan menggunakan pertimbangan biofisik, untuk mencegah degradasi lahan selama penggunaan lahan tersebut. Semakin kompleks pengelolaan lahan, maka kemampuan lahan memiliki nilai yang semakin rendah untuk mendukung penggunaan lahan. Sys (1985) mengemukakan enam kelompok besar sumberdaya lahan yang paling penting bagi pertanian, yaitu (1) iklim, (2) relief dan formasi geologis, (3) tanah, (4) air, (5) vegetasi, dan (6) anasir artifisial; buatan. Dalam konteks pendekatan sistem untuk memecahkan permasalahanpermasalahan lahan, setiap komponen lahan atau sumberdaya lahan tersebut di atas dapat dipandang sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem lahan. Sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik dan proses-proses serta fenomena-fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah penggunaan sumberdaya lahan dalam tipe-tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan ternak (Hardjowigeno, 1985). Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabilitasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (1) kualitas fisik lahan, (2) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (3) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar (Norton, 1984). Teori tentang penggunaan lahan semula dikembangkan oleh Von Thunen pada pertengahan abad 18, seorang Jerman. Ia mencatat hasil-hasil dari berbagai jenis tanaman dan melengkapinya dengan upaya-upaya yang terlibat dalam pengangkutan produks ini, oleh kuda dan kereta, ke
15

pasar. Dengan mengasumsikan sebuah kota yang terisolir, yang dikelilingi oleh lahan yang kualitasnya sama, Von Thunen berargumentasi bahwa pola-pola konsentris penggunaan lahan akan terjadi. Lahan di dekat kota akan digunakan digunakan untuk memproduksi tanaman yang hasilnya banyak dan voluminous, seperti kayu dan kentang, sedangkan lahan yang jauh dari pasar akan digunakan untuk memproduksi tanaman ekonomis-tinggi, volumenya kecil, seperti hasil-hasil peternakan. Walaupun ada banyak bukti adanya pola penggunaan lahan yang konsentris, namun kemudian ada beberapa alasan yang menyebabkan lenyapnya pola ini. Misalnya karena kota-kota menjadi tidak terisolir, lingkaran pengaruhnya dapat saling tumpang tindih dan mengganggu pola. Juga karena biaya angkutan biasanya tergantung pada aksesibilitas lahan terhadap jalur komunikasi yang baik, asumsi bahwa biaya angkutan meningkat linier dengan jarak dari pasar tampaknya kurang tepat. Akan tetapi sumber gangguan yang sangat penting berasal dari asumsi kualitas lahan yang homogen, dan menginsafi bahwa perbedaan kualitas lahan dapat menutupi posisi lokasional. Kualitas lahan dapat mengimbangi kerugian yang diakibatkan oleh posisi lokasi, hal ini merupakan tahapan pendek dari konsepsi normatif tentang keuntungan komparatif (comparative advantage). Sebagai bagian dari filosofi perdagangan bebas, dan ide tentang keuntungan komparatif ialah bahwa setiap bidang lahan dan sumberdaya yang berhubungan dengannya harus digunakan untuk aktivitas-aktivitas yang paling baik manfaatnya. Persyaratan dari semua yang hidup di suatu area tertentu akan barang dan jasa yang tidak dapat diproduksinya sendiri dapat dipenuhi dengan jalan perdagangan dengan pihak-pihak yang ada di area lain, yang juga mengalokasikan sumberdayanya untuk aktivitas yang paling sesuai. Karena potensial untuk keuntungan komperatif ternyata meningkat kalau biaya angkutan menurun, maka tidak aneh kalau konsepsi cincin konsentris dari Von Thunen telah terbukti tidak berlaku sejak saat ini. Akan tetapi, untuk menyimpulkan dari sini bahwa lokasi merupakan faktor yang relatif tidak penting dalam penggunaan lahan secara modern akan keliru karena beberapa hal. Pertama, di banyak negara di dunia, dimana ternak menyediakan sarana angkutan yang utama, maka aksesibilitas dari desa masih tetap determinan utama dari penggunaan lahan. Kedua, walaupun lokasi tampaknya menjadi faktor yang relatif kurang penting yang menentukan pengggunaan lahan pedesaan di negara-negara industri maju, namun hal ini akan tetap menjadi khusus kalau biaya bahan bakar terus naik. Dalam perencanaan penggunaan lahan, berikut adalah proses yang harus diperhatikan:

Pendugaan Kebutuhan Aktivitas Potensial. Untuk menghimpun data tentang sumberdaya dasar, persyaratan dan toleransi dari enam macam penggunaan yang akan dievaluasi harus ditentukan lebih dahulu. Supaya berguna dalam praktek, persyaratan dan toleransi ini harus dinyatakan secara kuantitatif. Misalnya, kalau akan mengevaluasi bahaya erosi tanah, maka diperlukan dua ukuran diagnostik, yaitu kemiringan lahan dan
16

permeabilitas tanah. Hanya lahan-lahan yang kemiringannya kurang dari sudut pembatas dan di atas permeabilitas batas akan memenuhi kriteria bahaya erosi bagi tanaman setahun. Dengan mengulangi pekerjaan ini untuk lima aktivitas lainnya, suatu daftar yang lengkap tentang ukuran diagnostik untuk mengklasifikasikan lahan dapat diperoleh.

Menentukan Kapabilitas sumberdaya Lahan. Lazimnya proses pengklasifikasian dan evaluasi lahan dimulai dengan penggunaan foto udara, untuk mengidentifikasikan areaarea yang mempunyai karakteristik fisik yang serupa, yang diikuti dengan analisis darat untuk mengelaborasi klasifikasi dan menduga sifat-sifat diagnostik dari unit-unit lahan yang diidentifikasikan tersebut. Bagaimana mengumpulkan data dalam praktek lapangan sangat tergantung pada diagnostik yang harus di-duga, data yang ada, waktu, tenaga, dana yang tersedia. Kalau pekerjaan survai telah diselesaikan, maka dapat dilakukan pendugaan kapabilitas dan kesesuaian masing-masing unit lahan bagi setiap aktivitas yang potensial. Pemaduan Kapabilitas Sumberdaya Lahan dan Kebutuhan Masyarakat. Walaupun kita telah menggunakan istilah kesesuaian, secara riil ada beberapa kemungkinan produksi dari perspektif ekonomi, tiga problem khusus yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut. (a). Kapabilitas aktual versus potensial Lahan merupakan satu-satunya input bagi aktivitas penggunaan lahan. Kemampuan potensial lahan untuk menghasilkan produk pertanian atau produk lain bukan hanya diukur dengan kapabilitas inherentnya saja tetapi juga oleh input lain baik dalam bentuk upaya reklamasi maupun upaya pengelolaan. Pembangunan teras-teras lahan sawah oleh para petani subsisten dan reklamasi lahan industri yang telah rusak untuk keperluan pertanian, merupakan dua teladan yang menyatakan sampai dimana potensial inherent dapat ditransformasikan, sedangkan efek tenaga kerja dan pupuk terhadap produksi pertanian. Cara untuk memperhitungkan input-input reklamasi dan pengelolaan ialah menduga kapabilitas dari paket reklamasi dan pengelolaan sebagai aktivitas yang terpisah. (b). Lokasi Kalau dipandang dari teori ekonomi tentang penggunaan lahan, kita dapat melihat bahwa LSA (Land Suitability Assessment) hanya memperhatikan aspek-aspek kualitas. Kalau sampai kepada pemaduan kesesuaian atau kemampuan; kapabilitas ini dengan kebutuhan masyarakat, maka juga harus memperhitungkan lokasi. Sebagaimana yang diuraikan di muka, biaya angkutan dapat mempunyai pengaruh penting terhadap profitabilitas produk pertanian, kayu, dan bahan tambang seperti halnya kesesuaian inherent atau kualitas lahan. Demikian juga, untuk rekreasi alam bebas, waktu atau perjalanan, biaya-biaya yang diperlukan dalam mencapai lokasilokasi khusus dapat menutupi kesesuaiannya. Memang, proksimitas dengan pusat
17

pemukiman merupakan atribut utama dari lokasi wisata yang bertumpu kepada pengguna jasa, sedangkan kualitas yang tinggi dari sumberdaya yang bertumpu lokasi, yang menarik pengunjuk dari jarak jauh, membuat lokasi menjadi tidak penting. Lokasi bahkan dapat menjadi penting untuk konservasi alam. Walaupun lokasi konservasi di daerah urban mungkin mempunyai kualitas yang jelek, ditinjau dari jenis/species atau habitat langka, mereka tampaknya sangat penting untuk maksudmaksud pendidikan, karena dekat dengan sekolahan dan kegiatan pendidikan lainnya. Sebaliknya, lokasi-lokasi yang kualitasnya baik, mengandung species dan habitat langka yang penting secara nasional dan internasional, mungkin hanya cocok untuk maksud-maksud konservasi kalau terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman. (c). Efek Eksternalitas Sifat ketiga yang perlu dipertimbangkan, dan yang seringkali berhubungan dengan lokasi, adalah efek eksternal yang diakibatkan oleh penggunaan lahan, terutama dalam menimbulkan polutan. Kita telah membahas bahwa limpasan dari aktivitas pertanian dapat menimbulkan biaya eksternal bagi industri air minum. Efek lain juga dapat timbul kalau sifat-sifat estetika dari bentang-lahan juga terpengaruh. Misalnya, penggunaan lahan yang tidak kompatibel, seperti pertambangan terbuka di Taman Nasional, dapat mereduksi kesesuaian dan nilai keseluruhan dari area. Proses-proses ekologi alami, terutama imigrasi, juga dapat menimbulkan biaya eksternal: misalnya migrasi serangga hama dan gulma dari habitat alaminya ke lahan pertanian, atau sebaliknya. Tata guna lahan menyiratkan azas-azas: Kelangsungan interaksi optimum antara intensitas kegiatan penggunaan lahan dan sifat lahan, yang menentukan kelayakan lahan. Penempatan sejumlah maksimum ragam penggunaan lahan yang kompatibel; sesuai. Keberlanjutan fungsi sumber daya lahan. Keuntungan yang seimbang bagi individu; perorangan dan masyarakat.

Dalam konteks tata guna lahan, pertanian harus dicermati; diperhatikan sebagai berikut:

Sebagai suatu industri, sehingga dalam pengalokasian lahan juga digunakan kriteria industri, terutama pada penyediaan sarana, pemasokan bahan baku dan sarana produksi, penyaluran output, dan pemasaran komoditas yang dihasilkan.

18

Secara holistik, sebagai suatu keterpaduan berbagai bentuk penggunaan lahan. Mulai dari bercocok tanam dan memelihara ternak sampai dengan mengolah hasil panen menjadi berbagai barang jadi. Secara geografi, dalam arti kata pengalokasian lahan harus dapat memberikan peluang menyebarkan pertanian seluas-luasnya agar dapat memanfaatkan sebaik-baiknya tiap keunggulan yang dimiliki oleh sumber daya tahan, iklim, dan air di tempat mereka berada. Sebagai suatu kegiatan yang berpangkal dalam kawasan perdesaan. Maka dari itu, tata guna lahan untuk pertanian harus dapat menciptakan keadaan dan suasana yang kondusif bagi penyejahteraan kehidupan perdesaan. Dengan demikian, pertanian dapat berfungsi menyeimbangkan kehidupan perdesaan dengan kehidupan perkotaan, dan selanjutnya dapat ikut berperan mencegah berlangsungnya urbanisasi patogenik.

Oleh karena itu, pertanian merupakan kegiatan penggunaan lahan yang paling bergantung pada keadaan alam dan memerlukan penyebaran usaha secara luas, sehingga pertanian perlu diberikan prioritas tinggi dalam tata guna lahan. Pemberian prioritas ini mencakup pula penyediaan lahan bagi pendirian pabrik-pabrik pengolah hasil panen pertanian, menurut pertimbangan kelancaran arus hubungan antara tahapan hulu dan tahapan hilir dalam pertanian (Notohadiprawiro, 2006).

3.2 Alih Fungsi Lahan Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristikkarakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976). Land Covers meliputi semua elemen; bagian atas dari permukaan tanah, beserta lapisan dibawahnya termasuk biota, humus, topografi, air tanah, dan air permukaan, serta konstruksi buatan manusia. Secara luas, land covers juga memasukkan savana, hutan, padang rumput, lahan kering, lahan basah, area industri, dan area permukiman (Turner, et.al, 1990).
19

Konsep lahan harus tidak disamakan dengan tanah, dalam pengertian lahan sudah termasuk tanah dengan segala sifat-sifatnya serta keadaan lingkungan sekitarnya. Jika sifat-sifat tersebut sama dalam segala aspek, dikatakan sebagai unit lahan (Drissen dan Koninj, 1992). Sitorus (2001) mendefinsikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi (konversi) lahan, kian waktu kian meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan proses alih guna lahan, khususnya pada lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih guna lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih guna lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih guna lahan (Iqbal, 2007). Alih Guna Lahan dalam suatu lansekap, terjadi sebagai implementasi keputusan para agen manusia, baik berupa keputusan strategis yang menentukan pola penggunaan lahan maupun keputusan taktis yang menentukan intensitas penggunaan lahan (Suyamto, 2004).

20

PENYEBAB PENTING

Faktor Eksogen Harga Pasar, Kebijakan, dan lain lain ALIH GUNA LAHAN

Kesehatan Ekosistem Keanekaragaman hayati, dan lain lain

Keputusan Strategis Pola Penggunaan Lahan, Segregasi atau Integrasi

Kombinasi

Jasa Lingkungan Fungsi Air, dan lain lain

Keputusan Taktis Intensitas Penggunaan Lahan

Respons Endogen Memori Belajar dan Kesadaran

Kesejahteraan Individu Produktivitas Lahan, Keuntungan, dan lain lain

KAPITAL SOSIAL

Gambar 3.1 Hubungan Antara Alih Guna Lahan dan Implementasi Keputusan

Gambar diatas menjelaskan bahwa lansekap berubah akibat dari adanya keputusan-keputusan yang diambil oleh para agen manusia. Umpan balik dari konsekuensi akibat perubahan tersebut bisa langsung terjadi jika menyangkut kesejahteraan individu, dan memerlukan kapital sosial untuk jenis-jenis konsekuensi lainnya. Konversi lahan pertanian pangan menjadi non pertanian, secara umum disebabkan dua faktor kondisi, yaitu: faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan akibat dari pertumbuhan kebutuhan lahan untuk keperluan non pertanian akibat perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, serta sistim perpajakan lahan (PBB) yang berakibat penggunaan lahan mengggeser fungsi pertanian menjadi fungsi nonpertanian, karena dinilai lebih menguntungkan. Sedangkan faktor internal penyebabnya adalah kemiskinan. Buruknya kondisi sosial ekonominya memicu petani menjual lahan pertaniannya, karena merasa tidak mendapat keuntungan ekonomis dari lahan itu (Pratomosunu, 2007).

21

Sempitnya lahan membuat pengusahaan tidak efisien, menghasilkan pendapatan yang rendah. Tidak mengherankan sekitar 70% penduduk miskin di pedesaan ada di sektor pertanian. Selain lahan sempit, soal lainnya adalah modal dan kesulitan mendapat sarana produksi. Menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai telah membuka wawasan penduduk pedesaan terhadap dunia baru di luar lingkungannya. Mereka merasa dirinya sebagai petani ketinggalan zaman dan sama sekali belum modern. Persepsi mereka, terutama generasi mudanya, terhadap profesi petani tidak jauh berbeda dengan persepsi masyarakat perkotaan, yaitu bahwa profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi. Akibat perubahan cara pandang tersebut, citra petani dibenak mereka semakin menurun. Dengan demikian lahan pertanian bukan lagi merupakan aset sosial semata, tetapi lebih diandalkan sebagai aset ekonomi atau modal kerja bila mereka beralih profesi di luar bidang pertanian. Mereka tidak akan keberatan melepaskan lahan pertaniannya untuk dialihfungsikan pada penggunaan non pertanian. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan kondisi ekonomi seperti saat ini, dimana kesempatan kerja formal semakin kecil. Tidak sedikit petani menjual lahannya untuk biaya masuk kerja pada lapangan kerja formal, atau membeli kendaraan untuk angkutan umum. Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Dengan demikian, secara keseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun. Di lain pihak, permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita (Rustiadi, 2001). Bagi petani yang hanya menggantungkan kehidupan dan penghidupannya pada usaha tani akan sulit dipisahkan dari lahan pertanian yang dikuasainya. Mereka tidak berani menanggung risiko atas ketidakpastian penghidupannya sesudah lahan pertaniannya dilepaskan kepada orang lain. Di samping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya. Dengan memiliki lahan yang luas, petani dapat memberi pekerjaan kepada tetangganya. Hubungan antara pemilik lahan dengan buruhnya diikat dalam ikatan kekeluargaan yang saling membutuhkan, meskipun dalam status yang berbeda. Dalam hal ini, lahan pertanian merupakan aset sosial bagi pemiliknya yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempertahankan kehormatan keluarganya. Lahan pertanian yang memiliki fungsi sosial seperti ini tidak mudah tergantikan dengan imbalan ganti rugi berupa uang meskipun jumlahnya memadai. Sistem waris dapat menyebabkan kepemilikan lahan yang semakin menyempit. Lahan pertanian yang sempit di samping pengelolaannya kurang efisien juga hanya memberikan sedikit
22

kontribusi bagi pendapatan keluarga petani pemiliknya. Biasanya petani tidak lagi mengandalkan penghidupannya dari bidang pertanian, sehingga mereka beralih mencari sumber pendapatan baru di bidang non pertanian. Untuk itu mereka membutuhkan modal atau dana yang diperoleh dengan cara menjual lahan pertaniannya. Banyak juga lahan yang diwariskan petani kepada anaknya digunakan untuk pemukiman sebagai akibat pengembangan keluarga melalui perkawinan. Bentuk lain yang berhubungan dengan pemecahan lahan adalah lembaga perkawinan yang umumnya berlaku di lingkungan masyarakat petani di pedesaan. Terbentuknya keluarga baru biasanya dibekali sebidang lahan oleh masing-masing pihak orangtua suami dan isteri untuk digabungkan menjadi milik bersama. Permasalahannya letak kedua lahan tersebut cenderung terpisah., sehingga kurang efisien dalam pengelolaannya dan sulit mengendalikannya. Dua kondisi ini mendorong pemiliknya untuk menjual sebagian lahan tersebut (Ilham, 2003). Menurut McNeill et al., (1998) faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan. perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan. Grubler (1998) mengatakan ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola penggunaan lahan, yaitu: Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas pada suatu daerah.

Pola perubahan penggunaan lahan juga disebabkan karena pertumbuhan penduduk, serta kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan transmigrasi serta faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang sangat penting dalam fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang pada akhirnya meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan lainnya. Konsekuensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan yang berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan
23

sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju (Murniningtyas, 2007). Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Penyusutan lahan persawahan disebabkan desakan pertambahan penduduk, perkembangan sektor industri, konversi lahan produktif menjadi real estate, daerah wisata, dan peruntukan lainnya yang saling tumpang-tindih. Penyusutan lahan persawahan itu semakin parah dengan tidak adanya konsistensi pemerintah dalam melaksanakan masterplan atau RUTR (rencana umum tata ruang). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. (Wahyunto, et al., 2001).

Gambar 3.1 Alih Guna Lahan Pertanian Hortikultura dan Hutan di Kecamatan Bumiaji

Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan).
24

Proses alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. Pola alih fungsi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua: (1) sistematis, (2) sporadis. Alih fungsi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, komplek perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola alih fungsi yang sistematis. Lahan sawah yang beralih fungsi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Di sisi lain, alih fungsi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Proses alih fungsi lahan sawah bersifat progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi, dalam waktu yang relatif pendek cenderung beralihfungsi pula dengan luas yang cenderung meningkat. Secara empiris progresivitas alih fungsi lahan dengan pola sistematis cenderung lebih tinggi daripada pola yang sporadis. Menurut Irawan (2002), terdapat tiga sebab utama yang memacu konversi lahan pertanian di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Jawa, yaitu:

Pertama, selama ini secara sadar atau tidak, sengaja atau tidak, sektor pertanian telah dijadikan sektor inferior dibanding aktivitas ekonomi lainnya (industri dan jasa). Sehingga secara pragmatis lahan sebagai input modal akan ditanamkan pada aktivitas ekonomi yang memberi imbalan yang tinggi. Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian lahan untuk kegiatan nonpertanian akan lebih diprioritaskan penyediaannya. Prioritas penyediaan lahan untuk kegiatan nonpertanian ini pun logis. Karena imbalan atau tingkat pengembalian (return) yang diberikan sektor nonpertanian (industri dan jasa) jauh lebih besar dibanding dengan imbalan yang diberikan sektor pertanian. Kedua, dari sisi petani. Peningkatan biaya hidup dan keperluan tersier yang sulit dielakkan merupakan faktor yang menyebabkan petani melepaskan hak milik atas garapannya. Nilai tukar hasil-hasil pertanian terhadap barang-barang nonpertanian, termasuk sarana produksi pertanian secara nyata telah melemahkan daya beli petani. Hasil pertanian dalam luasan sempit yang pada umumnya dimiliki petani kita tidak dapat diandalkan untuk membeli barang-barang nonpertanian tersebut. Akibat kemudian, sebagian atau bahkan seluruh lahan garapan itu mereka jual secara bertahap. Ketiga, dari sisi pemerintah. Law enforcement (penegakan hukum) yang sangat minim untuk mencegah terjadinya konversi lahan pertanian. Di era Orde Baru, misalnya, pemerintah mengeluarkan Keppres No 32/1992 tentang Pelarangan Alih Fungsi Lahan Irigasi Teknis di Pulau Jawa. Tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan keppres tersebut tidak ada gaung sama sekali.

25

Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian menyangkut dimensi yang sangat luas daripada sekedar turunnya produksi pertanian saja, karena hal itu terkait dengan aspekaspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Winoto, 1995; Nasoetion dan Winoto, 1996). Dorongan-dorongan bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi ada juga yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan oleh proses kebijaksanaan pemerintah (Anwar dan Pakpahan, 1990; Winoto, 1995). Menurut Anwar (1995), dalam proses alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi harga tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua informasi yang diperlukan untuk mendasari suatu keputusan transaksi. Artinya, harga pasar belum mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan pertanian, sehingga harga yang ditetapkan melalui mekanisme pasar cenderung under valuation. Menurut Winoto (1996), Kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor rent lainnya dari keberadaan lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang sudah berkembang. Ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan faktor positif dominan yang berpengaruh terhadap preferensi investor dalam memilih lokasi lahan yang akan dibangun untuk kegiatan non-pertanian. Sulitnya menghambat proses konversi tersebut, dikarenakan baik pemerintah pusat dan pemda sangat butuh akan masuknya investor baru, dimana lahan-lahan pertanian irigasi tersebut dapat dijadikan fasilitas untuk menarik investor karena bagi investor, lahan-lahan pertanian beririgasi mempunyai nilai strategis.

26

IV. METODOLOGI PERKIRAAN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP LINGKUNGAN DAN PEREKONOMIAN WILAYAH

Pada bagian ini akan dibahas mengenai jenis-jenis alat analisa yang bisa digunakan untuk menghitung sejauh mana alih fungsi lahan memberikan dampak terhadap ekonomi dan lingkungan suatu wilayah. Metode analisa yang dilakukan merupakan suatu tahapan, dimana pertama kali dilakukan analisa terhadap kondisi fisik dasar suatu wilayah, untuk mengetahui karakteristik dan kesesuaian lahan sehingga bisa diketahui, apakah alih fungsi lahan di wilayah tersebut sudah sesuai atau tidak, selanjutnya dilakukan penghitungan dampak baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan wilayah.

4.1 Analisa Sumberdaya Wilayah Analisa sumberdaya wilayah ini merupakan analisa yang menampilkan profil wilayah. Sasaran menciptakan profil sosial, ekonomi, demografi dan fisik dari suatu wilayah adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Mendeskripsikan seluruh kekuatan dan kelemahan ekonomi wilayah dengan menilai jenis, karakter dan distribusi sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik; Membandingkan tingkat pembangunan sumberdaya manusia, ekonomi dan fisik dari suatu wilayah dengan sumberdaya wilayah lain dalam satu pulau atau negara; Menentukan posisi relatif ekonomi wilayah dalam ekonomi nasional; Membandingkan distribusi sumberdaya manusia, ekonomi dan fisik dan dan tingkat pembangunan antar jurisdiksi administratif dan kawasan pemasaran dalam suatu wilayah; Mengidentifikasi kecenderungan dan perubahan dalam pembangunan wilayah yang dapat membantu menjelaskan posisinya dalam ekonomi nasional.

Analisa semacam ini dapat membantu mengklasifikasikan wilayah dalam suatu pulau atau negara dengan karakteristik sosioekonomi dan fisik yang beragam. Ini dapat membantu perencana dan pembuat kebijakan untuk memahami lingkungan yang unik dalam suatu wilayah dan posisi relatifnya dalam ruang-ekonomi nasional. Data tentang sumberdaya manusia, sosial dan fisik dari suatu wilayah dapat disusun dalam berbagai cara. Tidak ada pendekatan tunggal yang benar secara universal atau selalau berguna: kebanyakan tergantung pada jumlah dan kualitas informasi yang tersedia, jenis masalah atau isuisu yang penting bagi perencana wilayah, dan konsep-konsep umum tentang potensi wilayah bagi pembangunan. Karena kegunaan profil wilayah adalah untuk mengumpulkan dan menata informasi dengan cara yang akan membantu perencana dan pembuat kebijakan untuk memahami
27

kondisi yang lebih baik suatu kawasan dalam suatu wilayah dan memahami dinamika pertumbuhan atau keterbelakangan, memahami pilihan metode untuk mengorganisasi data yang didasarkan pada penyesuaian sehingga memungkinkan mencapai sasaran secara lebih efektif. Beberapa konsep utama dan implikasinya untuk mengumpulkan dan mengkategorisasi informasi diantaranya adalah wilayah sebagai: sistem produksi pertanian; kawasan core-periphery; kawasan ekonomi dan perdagangan; sistem permukiman yang terintergrasi. Salah satu analisa (yang lain diterangkan pada sub bab setelah ini) untuk menyajikan profil wilayah adalah descriptive statistical measures. Kebanyakan informasi yang tersedia dari sensus, survey dan studi-studi tertentu, analisa kelayakan dan sumber-sumber lain dapat diorganisir dan disimpulkan dengan menggunakan statistik deskriptif yang sederhana seperti rata-rata, persentase, range, rasio, distribusi frekuensi, indeks, tingkat perubahan dan times series. Ukuran ini dapat dihitung secara cepat dan mudah bagi pihak-pihak yang terlbat dalam pembangunan wilayah untuk memahami dan menginterpretasikan. Data-data itu dapat dihadirkan secara efektif dalam tabel, diagram, grafik, kurva, pictographs, tren dan klasifikasi.

4.2 Analisa Kesesuaian Lahan Secara garis besar analisa fisik dasar merupakan analisa untuk mengetahui kemampuan dan daya dukung kawasan untuk menerima pembangunan dari segi visualisasi tapak dan lahan. Hal ini erat berhubungan dengan keadaan tata guna lahan yang diarahkan untuk dapat menggambarkan kecenderungan berbagai lokasi kegiatan. Analisa ini juga mencakup perkiraan kebutuhan ruang di masa depan, yang didasarkan pada kebutuhan penduduk baik untuk permukiman maupun untuk kegiatan kawasan serta sarana prasarananya.

Gambar 4.1 Super impose; overlay Peta Tematik


28

Peta dapat memberi informasi keruangan karena dari peta dapat diperoleh informasi tentang : Posisi atau lokasi relatif suatu tempat (geografis, administratif) Besaran ukuran suatu wilayah (luas wilayah, luas penggunaan lahan) Bentuk wilayah (keadaan medan/topografi) Himpunan data yang telah terseleksi (persebaran SDA, persebaran penduduk, persebaran fasilitas). Kesesuaian klasifikasi lahan dengan penggunaan lahan

Selain memberi informasi, peta juga sebagai alat komunikasi antara pembuat peta dengan pembaca peta. Pengguna dituntut untuk memahami cara membaca dan menginterpretasikan peta. Memahami informasi dalam peta sama dengan membaca kenampakan yang ada, menganalisis, dan menghubungkan denga informasi yang lain. Pembuat peta harus memperhatikan teknis pembuatan peta yang benar (simbolisasi, laterring, generalisasi, dsb). Kandungan informasi yang terdapat dalam peta tergantung kepada : - Skala, - Tujuan (informasi umum, tourisme, navigasi, perencanaan) - Isi (peta topografi/informasi dasar, peta tematik). Peta juga dapat dijadikan sebagai alat analisa ruang. Analisa ruang dilakukan dengan jalan mengkaitkan antar informasi spasial (antar peta) sehingga didapatkan informasi baru sebagai hasil analisis yaitu berupa peta analisis. Peta analisis adalah peta yang menyajikan satu komponen informasi/masalah/unsur yang merupakan hasil dari penggabungan dari beberapa komponen informasi/masalah/unsur yang saling berkaitan erat. Didalam melakukan analisis spasial dengan menggunakan peta sebagai alat analisis, pembuat peta sebelumnya harus mempunyai pemahaman tentang : Apa yang ingin dianalisis Komponen-komponen informasi apa saja yang diperlukan untuk dianalisis Kriteria-kriteria apa yang dapat digunakan untuk mendukung analisis.

Teknis analisis spasial dapat dibagi kedalam : teknis analisis spasial sederhana dan teknis analisis spasial bertingkat. Analisa superimpose ini termasuk kedalam analisis spasial bertingkat.

4.3 Cellular Automatons Dengan cellular automatons seseorang dapat memprediksikan efek dari proses-proses yang simultan dalam mengevaluasi sistem dinamika ruang kawasan. Ketika suatu kawasan harus dikembangkan untuk keperluan pertumbuhannya pada masa akan datang, maka pilihan harus dibuat dimana ekspansi tersebut akan dikondisikan. Proses-proses ini dapat disimulasi dengan
29

menggunakan cellular automatons. Pertama-tama area harus dibagi kedalam grid-grid sel, setelah itu masing-masing sel diuji kecocokkannya/kesesuaiannya (suitability), pengaruh ruang (spatial influence), dan keadaan sekitarnya (surrounding) untuk setiap penggunaan lahan. Kecocokan melibatkan situasi di dalam sel, misalnya kondisi lapisan tanahnya dan harga tanahnya. Spatial influence tergantung pada kondisi diluar sel, misalnya pusat bisnis, pusat kota atau jalan. Surrounding berhubungan dengan situasi di sekitar sel, seperti kondsi landuse saat ini di sel sekitarnya, apakah mereka mempunyai dampak terhadap sel tersebut. Setiap sel diberi nilai untuk ketiga kategori tersebut. Untuk setiap langkah jumlah sel baru yang diperlukan untuk setiap jenis land use dihitung. Ini sebagai dasar untuk memilih sel yang paling baik bagi land use yang baru. Setiap sel diberi skor sesuai ketiga kategori yang didasarkan pada beberapa kriteria. Kriteria pertama harus ditentukan apakah sel mempunyai veto pada salah satu dari kategori tersebut. Jika sel tidak memenuhi persyaratan minimum untuk kategori pertama, maka dia mendapat veto. Untuk sel yang tidak mempunyai veto tentang land-use baru yang diharapkan, maka skor pada kategori ketiga ditambahkan menjadi skor total. Sel dengan skor total terbaik kemudian dipilih bagi land-use baru dan dipilih untuk nilai fungsi dari sel itu berubah menjadi land-use baru.
surroundin g suitability road spatial influenced

Cell

Gambar 4.2 Kriteria untuk nilai-nilai sel (values of a cell) Jika sel ditetapkan untuk land-use baru, maka sel-sel yang berdekatan juga berubah, jadi skor mereka terhadap sekitarnya bisa berubah. Begitu setiap penetapan land-use baru kedalam sel, maka skor sel sekitarnya harus disesuaikan untuk langkah berikutnya. A. Nilai Fungsi dan Kriteria Kesesuaian Setiap sel dapat mempunyai jumlah nilai-fungsi yang memungkinkan: sebuah sel dapat menerima sejumlah fungsi, ceperti nilai binari (on-off, aktif-pasif) atau klas land-use (taman, permukiman, industri, dll). Adalah mungkin sebuah sel hanya terdiri dari satu nilai, dan juga
30

memungkinkan nilai itu berubah dalam kondisi tertentu. Disamping nilai fungsi yang dimiliki setiap sel (industri, permukiman, lahan kosong, dll), setiap sel juga mempunyai nilai kecocokan (suitability-value) untuk setiap klas land-use. Nilai kecocokan ini didasarkan pada kecocokan letak (site-suitability), kendala fisik dan aksesbilitas. Contohnya kondisi tanah di lokasi, bagaimana kesesuaian lokasi bagi bangunan atau pertanian. Kesesuaian kondisi lahan dapat diukur dengan berbagai kriteria, seperti kedalaman air tanah. Faktor lain yang menentukan kesesuaian adalah keadaan land-use saat ini pada sel. Sel yang kosong lebih cocok daripada sel yang mempunyai land use. Jika land-use sel saat ini adalah industri dan rencananya berubah untuk permukiman, maka akan ada lebih banyak kerugian modal daripada jika land-use saat ini adalah lahan kosong atau pertanian.

Inventaris situasi saat ini Penentuan untuk masingmasing sel Skor: - suitability - spatial influence - surroundings

Penentuan jumlah sel baru yang dibutuhkan untuk land-use X

Mengeluarkan sel-sel veto Cek semua sel pada nilai veto untuk land-use X, pada: suitability spatial influences - surroundings

T + T

Total skor Mengumpulkan sel sisanya dengan skor pada: suitability spatial influences surroundings

Pilihan sel Memilih sel dengan skor total terbaik dan merubah nilai fungsinya

Outline skematis dari metode cellular automaton


31

Adalah juga mungkin mempunyai nilai-veto untuk suitability, misalnya kita dapat mengasumsikan bahwa kita sel selalu mempunyai land-use terkini, maka sel tidak menyediakan jenis land-use baru. Contoh lain adalah kasus dimana kondisi lahan buruk dimana bangunan hampir tidak mungkin atau terlalu mahal. Dalam kasus ini nilai veto dapat diperkenalkan yang menyatakan bahwa jika kondisi lahan lebih buruk daripada kondisi tertentu, maka sel tidak layak untuk bangunan (permukiman/industri).

Jalur kereta

N
pertania n Permuki man Kota Industri

A A

R R I

R I I
R = residential I = industry A = agriculture

N
Hutan

N
Nilai Fungsi: land-use saat ini

Situasi terkini dalam grid

N = nature reservation

Penghitungan dengan metode ini dapat diikuti seperti berikut. Pertama, nilai fungsi-fungsi untuk semua sel ditentukan. Jika lebih dari 50% dari sel mempunyai land-use tertentu, maka sel akan ditentukan bahwa land-use seperti nilai fungsinya. Hasilnya ditunjukkan pada gambar nilai fungsi: land-use saat ini.

1 2 2 1 2 2 3 1 0 0
Nilai kecocokan untuk permukiman dan industri
32

3 3 2 3

2 2 3 3 2 2 2

0 0 1 1

Untuk setiap jenis land-use, nilai kecocokannya harus ditentukan. Dalam contoh ini, kami hanya akan membuat nilai kecocokan untuk jenis land-use perumahan dan industri. Keccocokan hanya akan didasarkan pada kondisi lahan. Seperempat permukiman (dari 12 sel), kondisi lahannya amat penting dalam hubungannya dengan biaya pembangunan tapaknya. Dalam kasus ini, kondisi lahan akan dinilai hanya menurut kedalamannya the bearing layer (lebih tinggi lebih baik). Jika kedalaman the bearing layer diukur dan ditentukan skor-nya dari 0 sampai 3, maka skor berikut dapat dibesarkan seperti disajikan pada gambar nilai yang layak bagi perumahan dan industri.

B. Kriteria Pengaruh Ruang Kriteria kecocokan terkait dengan situasi dalam sel itu sendiri. Ada juga kriteria yang tidak secara langsung terkait dengan situasi di dalam grid itu sendiri, namun terkait dengan situasi di sekitarnya. Contohnya, polusi suara yang dihasilkan oleh jalan yang terdekat. Untuk kriteria ini, skor sel tidak terkait dengan situasi di dalam sel, tapi terkait dengan bagaimana sel terdekat untuk obyek tertentu (jalan). Nilai pengaruh secara ruang dari setiap sel terkait dengan efek tertentu pada sel, disebabkan oleh tempat/sel yang lain. Skor pengaruh ruang dapat dibagi kedalam pengaruh positif dan negatif. Contohnya adalah polusi udara yang disebabkan oleh jalan adalah pengaruh negatif, hal ini karena permukiman diharapkan sejauh mungkin. Pengaruh positif adalah dekat dengan pusat kota (city centre). Jika sebuah sel perumahan baru direncanakan, maka kemungkinan yang diharapkan bahwa sel menjadi dekat dengan pusat kota dimana terdapat banyak fasilitas. Pusat kota harus dapat dicapai dari sel baru. Untuk industri, kehadiran pasar buruh adalah penting , sehingga hubungan positif ada antara industri dan permukiman. Semua pilihan ini dapat diekspresikan dalam skor pengaruh ruang.

2 1 0 1 2

1 0 0 1 3

0 0 1 2 3

1 1 2 3 3

3 3 3 3 3

Nilai pengaruh spasial untuk railway

33

Seperti ditunjukkan oleh gambar nilai pengaruh spasial untuk railway, ada jalur kereta melintas kawasan. Ini dapat menyebabkan kebisingan dekat jalur kereta. Jadi sel yang dekat dengan jalur kereta akan diberi nilai lebih rendah. Efek pengaruh ruang yang lain dapat dicapai dari pusat kota, kita dapat mengekspresikan dalam aturan berikut. Jika sel dekat dengan pusat kota, maka sel diberi skori tertinggi, untuk setiap sel yang lebih jauh dari pusat kota, sel diberi poin yang lebih kecil. Hasilnya dapay dilihat pada gambar nilai pengaruh ruang untuk pusat kota yang dapat dicapai.

2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 3 3 3 2 3 3 2 3 3 2 2 1

C
3

Nilai Pengaruh ruang terhadap pusat kota

Adalah juga mungkin bahwa pusat kota bukan hanya kawasan yang harus dapat dicapai. Ada juga pusat bisnis yang penting bagi kawasan perumahan. Sehingga kemudahan pencapaian harus didasarkan pada dua kawasan. Pertama, skor untuk kemudahan pencapaian pusat bisnis untuk setiap sel ditentukan. Skor ini ditunjukkan pada gambar nilai pengaruh ruang terhadap pusat bisnis. Kemudian skor untuk pusat kota dan bisnis ditambahkan:

0 1 1 1 1

0 1 2 2 2

0 1 2 3 3

0 1 2 3

0 1 2 3 3 3 3 3 2

2 4 5 5 4

2 4

1 3

C
6 5

5 6

4 5 4

Nilai Pengaruh ruang terhadap pusat bisnis

Total nilai pengaruh ruang untuk pencapaian


34

Adalah juga mungkin bahwa total kawasan yang diinvestigasi jauh lebih besar daripada contoh sebelumnya. Melihat pada gambar tingkat pencapaian ke beberapa sel, seseorang melihat kawasan yang lebih besar. Jika skor untuk kemudahan pencapaian pusat kota ditentukan, maka seseorang melihat bahwa tiga atau lebih sel dengan land-use pusat kota. Untuk skor pencapaian pusat kota, semua jarak dari skor-sel ke semua sel dengan land-use pusat kota ditambahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah sel pusat kota:

d
j =1

j =n

ij

/n

d ij = jarak

antara skor-sel i dengan sel pusat kota j

n = jumlah sel-sel pusat kota


Jarak dari pusat skor-sel ke pusat dari sel pusat kota dapat diukur. Dimensi sel diketahui 200 * 200 meter, sehingga jarak bisa dihitung. Contohnya sel 1A.

n = 11
d 1a / 2 c = 400 2 + 200 2 = 447 d1a / 2 d = 600 2 + 200 2 = 632 d1a / 2 e = 800 2 + 200 2 = 825 d 1a / 3b = 200 2 + 400 2 = 447

d 1a ..... =...... dst

A
j =11

C C C C C

D C C C

E C C

7626 dij / 11 = 211 = 693 j =1


3 4 5 6 C C

35

Tingkat pencapaian ke beberapa sel pusat kota

Skor sel adalah 693. Perhitungan yang sama dapat dibuat untuk setiap sel. Hasil ditunjukkan oleh gambar skor tingkat pencapaian ke beberapa sel pusat kota.
A 1 2 3 4 5 6 69 3 58 5 53 0 53 3 63 3 76 4 57 0 43 6 C C 49 6 65 6 C 49 6 C D 49 1 C C C C C 60 0 C 43 7 61 2 42 0 53 1 68 2 66 0 C C F 68 7 58 3 54 4 57 7 66 7 79 4 1 C 2 C 3 C 4 C 5 6 B Tingkat pencapaian ke beberapa sel pusat kota dan pusat sel bisnis B C C C C C C C A B C D E F

Skor tingkat pencapaian ke beberapa sel pusat kota

Seperti diterangkan di awal, pusat kota tidak mungkin hanya menjadi kawasan dimana sel perumahan baru harus berada dekat. Dalam gambar tingkat pencapaian ke beberapa sel pusat kota dan sel bisnis, sebuah pusat bisnis ditambahkan dalam sel 6E dan 6F. Skor pusat kota dan pusat bisnis harus ditambahkan: Spencapaian = Skota + Sbisnis. Kita dapat menemukan jarak pusat kota dalam gambar diatas, namun jarak pencapaian pusat bisnis juga bisa dihitung. Ini dikerjakan dengan formula yang sama dengan n=2. Contohnya skor untuk sel 1A:
j =2 j =1

1A

/2=

( 1000

+ 800 2 + 1000 2 + 1000 2 / 2 = 1348

36

A 1 2 3 4 5 6
69 3 58 5 53 0 53 3 63 3 76 4

B
57 0 43 6

D
49 1

F
68 7 58 3 54 4 57 7 66 7

A 1 2 3 4 5 6
134 8 120 6 108 3 986 923 900

B
122 4 106 6

C
112 2

D
104 9

E
101 0

F
101 0 813 616 424 241

49 6

C C C
43 7 61 2

C C

66 0

C C

C C C
60 0

C C
729 700

C C C
8

C C C
365 300

C C
424 241

42 0 53 1

49 6 65 6

C
500

Jarak ke usat kota

Jarak ke pusat bisnis

Sekarang kita dapat menggabungkan jarak untuk pusat kota dan bisnis: Dpencapaian = Dkota + Dbisnis. Hasilnya dapat dilihat dalam gambar terakhir berikut ini.

A 1 2 3 4 5 6
204 1 179 1 161 3 151 9 155 6 166 4

B
179 4 150 2

C
161 8

D
154 0

E
157 0

F
169 7 139 6 116 0 100 1 104 9

C C
122 5 135 6

C C C
8

C C C
838 913

C C
844 913

C
110 0

Jarak ke sel kota dan sel bisnis

C. Kriteria Sekitarnya Gambaran spesial tentang cellular automaton adalah bahwa pilihan sel untuk land-use tertentu tidak hanya tergantung pada kecocokan selnya atau nilai pengaruh spasial-nya, melainkan juga tergantung pada klas-klas land-use dari sel sekitarnya. Contohnya jika sel

37

A 1 2 3 4 5

6 A 6 N N

6 A A 3 3

6 R R I 5

N R I X 5

6 5 I 5 6

Land-use saat ini Dikeluarkan nilai veto maks industri 3 Sel yang paling baik

Nilai-nilai sekitar permukiman

4.4 Analisa Keterkaitan Spasial Kawasan bukan hanya sebuah sistem ruang yang berbeda secara fungsional melainkan sebuah jaringan interaksi sosial, ekonomi, dan fisik. Proses interaksi terbentuk oleh keterkaitan antar permukiman, yang mana orang-orang tinggal di kawasan perdesaan desa memperoleh akses ke pelayanan, fasilitas, infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang dilokasikan di kota kecil dan kota besar. Melalui hubungan ini, orang-orang desa menerima banyak input yang dibutuhkan untuk meningkatkan produkstifitas pertanian dan pasar barang-barang yang mereka produksi. Pengembangan kawasan terjadi melalui pertumbuhan perbedaan ruang dan penciptaan keterkaitan baru dan lebih kuat diantara mereka. Dalam beberapa kasus, perluasan keterkaitan fisik semacam jalan atau transportasi sungai, dapat meningkatkan perbedaan permukiman yang ada; pada kasus yang lain dapat merangsang pertumbuhan kawasan yang baru. Keterkaitan baru biasanya meningkatkan interaksi yang lebih besar antara kawasan yang satu dan hinterland-nya. Lebih jauh lagi, keterkaitan yang mengintegrasikan sistem ruang tidak memungkinkan mereka untuk melepaskan diri dari keterkaitan. Menciptakan satu keterkaitan baru dapat menghasilkan sebuah efek riak (cascade effect) yang membuat aktivitas dan keterkaitan yang lain menjadi mungkin. Sekali susunan keterkaitan baru dikenalkan dalam sistem pasar perdesaan, maka keterkaitan akan memicu seperangkat perubahan yang sirkuler dan komulatif yang meningkatkan pertumbuhan dan perubahan yang jauh. Transportasi yang meningkat diantara desa sering mengarah pada penataan kembali dan ekspansi pasar periodik yang ada. Kelemahan perpindahan atau pasar yang tidak berhasil dan redistribusi komersial dan perdagangan dapat menciptakan pasar benar-benar baru dan dapat meningkatkan permintaan sistem transportasi. Keterkaiatan fisik baru diantara pusat-pusat perkotaan dan perdesaan dapat merubah aliran sumberdaya ekonomi, pola interaksi sosial dan perpindahan penduduk dan

38

barang. Dalam pekerjaan ini analisa keterkaitan antar ibukota kabupaten maupu antar wilayah kabupaten/kota ditinjau dalam tiga jenis keterkaitan: 1. Keterkaitan fisik (physical linkage) Integrasi ruang dari komunitas menghasilkan keterkaitan fisik melalui jaringan transportasi buatan manusia atau secara alami. Jalan baru dan jalur pelayaran dapat mengurangi waktu tempuh, biaya pengapalan yang lebih murah, pemasaran yang lebih luas, peluang komuting dan migrasi, menyediakan akses yang lebih luas bagi kesempatan kerja non pertanian. 2. Keterkaitan ekonomi (economic linkage) Interaksi ekonomi juga meningkatkan integrasi spasial. Keterkaitan paling penting adalah jaringan pasar melalui komoditi, bahan baku, dan aliran produk manufaktur di antara permukiman; aliran modal dan pendapatan; dan keterkaitan produksi ke depan dan ke belakang, diantara aktivitas manufaktur dan pemrosesan pertanian. Tabel 4.1 Beberapa Keterkaitan Spasial TIPE Keterkaitan Fisik ELEMEN Jaringan jalan Jaringan transportasi sungai dan air Jaringan rel Kesalingtergantungan ekologi Pola-pola pasar Aliran bahan baku dan barang antara Aliran modal Keterkaitan produksi Pola konsumsi dan belanja Aliran pendapatan Aliran komoditas sektoral dan antar wilayah

Keterkiatan Ekonomi

Keterkaitan antar wilayah, bisa diwakili oleh jurisdiksi kabupaten/kota atau ibukota kabupaten, dilihat dari fisik (kesaling tergantungan ekologi), aspek ekonomi (aliran komoditas). Analisa bisa dilakukan secara kualitatif maupun deskriptif.

4.5 Valuasi Ekonomi Pendekatan perhitungan ekonomi untuk jasa ekosistem dan sumberdaya alam (economic valuation) dewasa ini semakin popular di dunia konservasi
39

alam dan perlindungan hutan. Conservation International (CI) kerap menggunakan metoda ini untuk menjelaskan kepada pemangku kepentingan alasan betapa pentingnya melindungi suatu kawasan hutan dari suatu kegiatan lain yang bersifat kontra produktif. Hal tersebut sebagian besar timbul oleh anggapan bahwa pengambil keputusan dan penentu kebijakan lebih memahami simbol-simbol ekonomi karena berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dibanding teori ekosistem. Misalnya, dampak negatif perubahan lingkungan menjadi lebih konkrit apabila perhitungan yang diketengahkan, ternyata merupakan nilai intervensi manusia atas dalih pembangunan yang dapat berakibat menurunnya mata-pencaharian masyarakat di wilayah tertentu. Namun demikian, disamping popularitas dan semakin diperlukannya metode ini, debat dan kritik semakin mewarnai pelaksanaannya, khususnya dalam bagaimana pendekatan ini melakukan telaah nilai intrinsic sumberdaya alam. Pemanfaatan sumberdaya daerah perlu dikelola. Meninggalkan pemanfaatan begitu saja tanpa disertai dengan pengelolaan bukan saja dapat mengakibatkan kemunduran mutu sumberdaya dan lingkungan tetapi juga mempunyai dampak dalam hal distribusi pendapatan dan kesejahteraan sosial. Tanpa pengaturan, sektor pembangunan yang tampaknya kuat (namun belum tentu kuat) dapat menjadi yang dominan. Sebaliknya sektor pembangunan yang tampaknya lemah akan makin berkurang peranannya dan akhirnya lenyap. Analisis ekonomi memainkan peranan yang penting dalam mengevaluasi berbagai alternatif skenario pembangunan. Analisis ekonomi dapat membantu dalam menentukan siapa yang menang dan kalah serta biaya dan manfaat yang bisa diambil dari suatu keputusan alternatif pembangunan. Sebetulnya keputusan untuk membangun suatu sektor tidak saja tergantung pada pertimbangan ekonomi. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah sosial, kultural, politik, serta bio-ekologi. Namun dari segi ekonomis, pengaruh faktor-faktor ini pada batas dan asumsi tertentu masih dapat dinilai atau diperhitungkan biaya dan manfaatnya. Dengan kata lain, valuasi ekonomi berfungsi sebagai kerangka analisis dalam proses pengambilan keputusan. Berbagai metoda dan konsep dikembangkan untuk menilai dampak ekonomi penggunaan danpemanfaatan sumberdaya dan lingkungan pesisir. Tidak ada suatu metode yang lebih baik dari yang lain. Metoda valuasi ekonomi yang tepat bergantung pada sifat masalah yang dihadapi, aspek yang dianalisis , ketersediaan data dan informasi serta ketersediaan tenaga. Suatu tipologi metode valuasi ekonomi yang dikemukakan oleh Dixon et al (1988) membagi metode yang ada atas tiga bagian besar tergantung pada erajat atau kemudahan aplikasinya yaitu (1) yang umum diaplikasikan, (2) potensial untuk diaplikasikan, dan 93) yang didasarkan atas survei. Klasifikasi metodde-metode valuasi ekonomi ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.

40

Metode yang umumnya diaplikasikan adalah yang langsung berdasarkan atas harga pasar. Penggunaan metode ini bila perubahan pola pemanfaatan sumberdaya mempengeruhi produksi aktual atau kapasitas untuk berproduksi. Dengan kata lain, harga pasar untuk input dan output menjadi dasar dalam valuasi ekonomi. Tabel 4.2 Metode Pengukuran dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Umum diaplikasikan Potensial diaplikasikan Berdasarkan data survei Berdasarkan Nilai Pasar : Perubahan produktivitas Kehilangan pendapatan Biaya terluang Berdasarkan harga Valuasi kontingen bayangan Nilai properti Perbedaan upah Biaya perjalanan

Berdasarkan biaya atau pengeluaran langsung : Berdasarkan biaya atau pengeluaran potensial Efektivitas biaya Biaya pengganti Biaya preventif Proyek bayangan
Sumber : Dixon et al (1988).

Kelompok metode kedua yaitu yang potensial untuk digunakan memanfaatkan informasi pasar secara tidak langsung. Penggunaan metode ini harus lebih berhati-hati dibandingkan dengan kelompok metode pertama, memerlukan data yang lebih banyak serta berdasarkan atas asumsiasumsi yang lenih kuat. Metode ketiga yaitu yang berdasarkan atas survei teknik valuasi ekonomi yang lebih tepat digunakan bila metode pertama dan kedua tidak bisa digunakan. Karena berdasarkan atas survei maka penggunaan metode ini memerlukan biaya yang relatif lebih besar. Akurasinya tergantung pada jenis data yang dikumpulkan, teknik pengumpulan data, serta karakteristik responden.

A. Metode Yang Umum Digunakan

Perubahan Produktivitas. Suatu proyek pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat mempengaruhi produksi dan produktivitas secara ositif atau negatif. Analisis perubahan produktivitas harus didasarkan atas situasi dengan proyek dan tanpa proyek. Kehilangan Pendapatan. Proyek pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir seringkali mengakibatkan kemunduran mutu lingkungan dalam berbagai bentuk. Dampaknya bagi manusia bisa dalam hal kesehatan penduduk yang makin buruk, kematian prematur, atau tidak kualitas kerja yang menurun. Dampak kesehatan ini secara ekonomis dapat divaluasi berdasarkan atas keinginan untuk membayar (willingness to pay ) guna mencapai kesehatan yang lebih baik.
41

Biaya Terluang. Menurut definisi, biaya terluang adalah hasil atau keuntungan yang bisa diperoleh dari alternatif terbaik investasi yang diabaikan. Metode valuasi ini digunakan untuk menduga nilai ekonomis suatu proyek atau pola pemanfaatan sumberdaya pesisir yang hasilnya tidak bisa secara langsung diukur dengan harga pasar. Analisis Biaya Efektif. Metode ini didasarkan atas biaya yang langsung dikeluarkan bagi proyek pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan pesisir. Bila dana yang tersedia terbatas, data yang akurat tidak tersedia, atau tidak ada pengetahuan yang memadai untuk mendapatkan secara pasti manfaat suatu proyek, maka valausi ekonomi dapat dilakukan dengan cara menetapkan tujuan pengadaan proyek tersebut serta mencari alternatif cara-cara mencapai tujuan itu. Cara yang paling hemat atau efisien dapat digunakan sebagai nilai minimum sumberdaya yang dimanfaatkan itu. Sebagai contoh bila proyek tersebut adalah upaya untuk mencegah pencemaran lingkungan maka cara pencegahan pencemaran yang paling kecil biayanya adalah nilai minimum dari sumberdaya yang dilindungi itu. Bila terdapat sejumlah dana untuk proyek pencegahan pencemaran ini, pengambil kebijakan harus memutuskan cara yang paling efektif penggunaan dana itu. Alternatif lain, pengambil kebijakan bisa menetapkan sejumlah tujuan atau sasaran serta kemudian menentukan yang tujuan atau sasaran yang paling memerlukan biaya.

Biaya Preventif. Biaya preventif adalah biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya dampak lingkungan yang merugikan. Kerusakan lingkungan biasanya sulit diestimasi. Namun biaya yang diperlukan untuk mencegah kerusakan itu lebih mudah diestimasi. Dengan berdasarkan atas prinsip biaya dan manfaat, dapat dikatakan bahwa nilasi ekonomis suatu lingkungan adalah sekurang-kurangnya sama dengan biaya yang diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan itu.

B. Metoda Yang Potensial Digunakan

Nilai Properti. Metode valuasi sumberdaya yang secara tidak langsung berdasarkan atas harga pasar ini seringkali berdasarkan fakta adanya hubungan komplemen antara permintaan terhadap komoditas yang dipasarkan (marketed commodity) dan yang tidak dipasarkan (nonmarket commodity). Sebagai contoh yaitu: harga hedonic terhadap permintaan pemandangan alam serta hawa segar di dekat pantai yang tidak dapat dinilai secara langsung tapi harus melalui penilaian terhadap permintaan rumah tempat tinggal yang memiliki kriteria yang dimaksud. Perbedaan Upah. Pendekatan ini berdasarkan atas teori yang menyatakan bahwa pada pasar bersaing sempurna, permintaan tenaga kerja sama dengan nilai produk marjinal serta pemasokan tenaga kerja berbeda dari suatu tempat ke yang lain karena perbedaan kondisi
42

dan lingkungan kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upah yang tinggi bisa merupakan penarik bagi pekerja untuk melakukan pekerjaan yang tinggi resikonya serta di daerah yang berpolusi. Berdasarkan atas alasan ini dapat dikatakan bahwa valuasi ekonomi secara individual terhadap resiko kesehatan adalah sama nilainya dengan perbedaan upah antara pekerja di tempat yang tidak polusi dan yang tercemar. Pendekatan ini hanya bisa digunakan bila pasar tenaga kerja benar-benar kompetitif.

Biaya Perjalanan. Biaya perjalanan adalah metode valuasi ekonomi yang digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata. Dengan teknik survei, responden yang mengunjungi daerah wisata ditanyakan biaya perjalanannya serta atribut responden. Biaya perjalanan adalah jumlah total pengeluaran yang dikeluarkan untuk kegiatan wisata yaitu terdiri dari biaya transportasi pulang-pergi, biaya masuk kawasan wisata, biaya permintaan wisata dan surplus konsumennya dapat ditentukan. Surplus konsumen ini dapat dianggap sebagai nilai ekonomi lingkungan pariwisata yang dianalisis. Katakanlah bahwa dari 100 populasi, diambil 30 responden. Setelah dihitung secara statistik diperoleh bahwa kurva permintaan individual adalah: q = 2.5 - 0.1.Pq + 0.0001 Y + 0.02 A + 0.03 Pr dimana: q Pq Y A Pr = hari libur (kunjungan wisata) responden = harga implisit untuk kegiatan wisata yang adalah sama dengan biaya perjalanan = Pendapatan per kapita = Umur ata-rata = Harga implisit kegiatan wisata ke daerah tujuan lain.

Bila rata-rata Y = 100.000, A = 50, Pr = 30 dan Pq = 45, maka dapat dihitung kurva permintaan individual, yaitu : q = 14.4 - 0.1 Pq Kurva permintaan seluruh populasi adalah : Q = 1440 - 10pq Untuk Pq =45, Q = 990. Juga dapat dihitung kurva permintaan invers yaitu, Pq = 144 - 0.1 Q Surplus konsumen yang merupakan nilai valuasi ekonomi barang dan jasa daerah tujuan wisata adalah:
43

CS = 0.5 [ ( 144 -45 ) * 990 ] CS = 49005

Proksi Terhadap Harga Pasar. Seringkali jasa lingkungan atau suatu sumberdaya mempunyai hubungan korelasi yang erat dengan komoditas lain yang secara langsung dapat dinilai dengan harga pasar. Karena adanya hubungan yang erat ini, nilai jasa lingkungan atau sumberdaya itu dapat diduga dengan harga komoditas asosiasinya. Sebagai contoh, nilai ekonomis sumberdaya ikan yang belum pernah dipasarkan dapat dinilai dengan harga ikan jenis yang serupa yang dijual di pasar setempat. Biaya Pengganti. Pendekatan ini merupakan salah satu metode valuasi ekonomi berdasarkan pengeluaran potensial. Menurut definisi, biaya pengganti adalah jumlah pengeluaran untuk memperoleh kembali barang dan jasa yang sama. Biasanya metode ini digunakan untuk menilai suatu ekosistem yang sudah mengalami kerusakan. Sebagai contoh, nilai ekonomi ekosistem terumbu karang dapat berupa biaya yang digunakan untuk membuat terumbu karang buatan. Biaya terumbu karang buatan ini (termasuk biaya studi atau survei lokasi material, pemasangan dan pengawasan) dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai secara ekonomis terumbu dalam kondisi asli atau sebelum mengalami kerusakan. Contoh lain yaitu menggunakan nilai investasi dan usaha panti pembenihan (hatchery) sebagai dasar untuk memberikan nilai bagi daerah asuhan dan pemijahan spesies tersebut yang sudah mengalami kerusakan.

Proyek Bayangan. Pendekatan ini juga merupakan salah satu metode valuasi ekonomi dengan menggunakan biaya atau pengeluaran potensial. Katakanlah salah satu proyek memiliki dampak negatif, namun ada kesulitan untuk menilai dampak negatif itu karena keterbatasan dan kesulitan memperoleh data. Proyek bayangan dalam kasus ini, yaitu dalam menggunakan nilai proyek lain yang hasilnya memberikan dampak positif sehingga dampak negatif yang dihasilkan oleh proyek pertama dapat dinetralisir. Nilai proyek yang kedua ini atau proyek bayangan ini dapat digunakan sebagai dasar penilaian proyek pertama. Pendekatan proyek pertama hampir sama dengan pendekatan biaya pengganti. Perbedaannya yaitu pada pendekatan biaya pengganti, perhitungan didasarkan atas kegiatan, jenis barang dan jasa yang sama.

C. Metode Survey Pendekatan ini lebih tepat dilakukan bila data pasar tidak tersedia sehingga akhirnya harus melakukan survei untuk memperoleh data yang relevan dan akurat. Metode valuasi ekonomi berdasarkan atas data survei yang umumnya digunakan adalah valuasi kontingen. Sesuai dengan
44

namanya, teknik ini memerlukan data yang dikumpulkan dari individu dan analisis nya berdasarkan pada pasar hipotetis atau pasar yang diandaikan yang dalam kenyataannya tidak ada. Individual ditanyai tentang keinginannya untuk membayar (willingness to pay) barang dan jasa tertentu. Metode ini biasanya digunakan untuk menduga nilai ekonomi suatu ekosistem yang mengalami perubahan kualitas atau sumberdaya yang masih asli serta belum dijamah serta fungsi suatu sumberdaya yang sulit dinilai secara langsung atau tidak langsung dengan harga pasar. Selama ini ada tiga jenis cara mengajukan pertanyaan dalam survei untuk memperoleh data yaitu:

Pertanyaan terbuka, Pertanyaan yang disertakan pilihan jawaban (payment card), serta Pertanyaan yang dijawab ya (setuju) atau tidak setuju.

Pertanyaan didahului dengan uraian yang jelas tentang kondisi sumberdaya atau lingkungan yang akan dinilai. Maksudnya supaya responden memiliki gambaran yang jelas tentang objek yang akan ditanyakan. Dengan demikian jawaban responden mendekati nilai sebenarnya objek itu. Bagi responden yang mengenal objek studi dengan baik, biasanya pertanyaan terbuka lebih sesuai. Dalam hal ini jawaban responden adalah nilai tertentu. Pertanyaan dengan pilihan jawaban biasanya ditujukan kepada mereka yang sudah mengenal dengan baik objek studi tetapi tidak mempunyai gagasan tentang nilai objek itu. Supaya jawaban bisa diberikan dalam bentuk nilai tertentu, responden diajukan alternatif jawaban untuk dipilih. Pertanyaan yang dijawab dengan setuju atau tidak setuju, umumnya ditujukan bagi mereka yang tidak begitu mengenal objek studi baik secara fisik maupun nilai. Setelah diuraikan tentang keadaan objek dan nilainya, responden ditanyai pendapatnya. Kelemahan cara ini yaitu bisa saja seluruh atau sebagian responden tidak setuju dengan nilai yang diajukan yang berarti analisis dan interprestasi data akan sangat sulit. Sebaliknya bila sebagian besar atau seluruh responden setuju dengan nilai yang diajukan, analisis dan interprestasi data akan sangat mudah. Nilai sumberdaya atau lingkungan dapat berupa nilai tengah dari seluruh jawaban. Selain itu, nilai tersebut bisa diajukan dalam bentuk suatu interval (nilai tengah dengan standar deviasinya). Ukuran pemusatan lainnya seperti mode, dapat juga digunakan. Analisis bisa dilanjutkan untuk pengaruh atribut responden terhadap nilai yang diajukan. Misalnya, bisa dilihat latar belakang pendidikan dan pekerjaan terhadap nilai yang diberikan. Valuasi ekonomi lingkungan merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, ini dapat dilakukan dengan menggunakan hasil valuasi yang telah dilakukan oleh tim ahli untuk menilai pencemaran lingkungan yang sejenis. Istilah ini disebut dengan transfer manfaat (Garrod dan Willis, 1999). Cara ini dianggap valid jika digunakan untuk mengambil kebijakan dalam

45

memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan, dan memberikan subsidi kepada pihak yang telah melakukan perbaikan lingkungan (Ready, et al., 2004; Rozan, 2004).

46

Daftar Pustaka Sukirno, Sadono. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, Dan Dasar Kebijakan. Edisi Kedua. Kencana. Jakarta. Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, Dan Kebijakan. Edisi Pertama. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). Edisi Ketiga. BPFE. Yogyakarta. Todaro, M.P. 2000. Economic Development. Seventh Edition. Addison-Wesley Longman Limited. London. Todaro, M.P. 1997. Economic Development. Sixth Edition. Haris Munandar (penterjemah). Penerbit Erlangga. Jakarta. Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam Dan Lingkungan: Teori Dan Aplikasi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suyamto, D. A. Dan Van Noordwijk, M. 2005. Studi Skenario Tata Guna Lahan Di Nunukan, Kalimantan Timur (Indonesia): Faktor Penyebab, Sumber Penghidupan Lokal, Dan Cadangan Karbon Yang Relevan Secara Global. World Agroforestry Centre. Suyamto, D. A.. Van Noordwijk, M. Dan Lusiana, B. 2004. Respon Petani Kopi Terhadap Gejolak Pasar Dan Konsekuensinya Terhadap Fungsi Tata Air: Suatu Pendekatan Pemodelan. Agrivita Vol. 26 No.1. p. 118 -131. Stoorvogel, J. And Antle, J. M. 2000. Regional Land Use Analysis: The Development Operational Tools. http://www.tradeoffs.montana.edu Suroso dan Susanto, H. A. 2006. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir Daerah Aliran Sungai Banjaran. Jurnal Teknik Sipil Vol. 3 No. 2. p. 75 80. Nasution, Zulkifli. 2005. Evaluasi Lahan Daerah Tangkapan Hujan Danau Toba Sebagai Dasar Perencanaan Tata Guna Lahan Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan, Sumatera Utara. 26 Mei 2005. Hite, D., et.al. 2000. Factors Affecting Land Use Change At The Rural-Urban Interface. Rajan, K. S. And Shibasaki, R. 1999. Model Simulated Land Use/Cover Change In ThailandResult From AGENT-LUC Model. http://www.GISdevelopment.net Rajan, K. S. And Shibasaki, R. 2001. A GIS Based Integrated Land Use/Land Cover Change Model To Study Agricultural And Urban Land Use Changes. Makalah Disampaikan pada 22nd Asian Conference On Remote Sensing. 5-9 Nopember 2001.
47

Long, H., Heilig, G. K., Li. X., and Zhang, M. 2005. Socio-economic Development And Land Use Change: Analysis Of Rural Housing Land Transition In The Transect Of The Yangtse River, China. http://www.sciencedirect.com Agarwal, C., et.al. 2000. A Review And Assessment of Land Use Change Models: Dynamic Of Space, Time, And Human Choice. http://www.cipec.org Bhattarai, G., et.al. 2006. A Simple Bioeconomic Modeling Of Land Use And Its Impact On Water Quality And Agricultural Returns. Makalah Disampaikan pada SERA-IEG 30 Annual Meeting. 18-19 Mei 2006. Jones, R. 2005. A Review of Land Use/Land Cover and Agricultural Change Models. Stratus Consulting Inc. for the California Energy Commission, PIER Energy-Related Environmental Research. CEC-500-2005-056. U.S. Geological Survey. 1999. Analyzing Land Use Change In Urban Environment. USGS Fact Sheet 188-99. Hubacek, K., Vasques, J. 2002. The Economics Of Land Use Change. http://www.iiasa.ac.at Jantz, P., et.al. 2005. Urbanization And The Loss Of Resource Lands In The Chesapeake Bay Watershed. Environmental Management Vol. 36 No.6. p. 808-825. Hammes, J.J. 2005. Essays on the Political Economy of Land Use Change. Department Of Economics Gteborg University. Haberl, H. and Krausmann, F. 2003. Land Use Change And Socio-economic Metabolism: An Approach To Analyze Coupled Human-Environment Systems. http://www.iff.ac.at Skole, D. L. 2002. Tracking Change For Land Use Planning And Policy Making. http://www.ippsr.msu.edu Norris, P., et.al. 2002. Managing http://www.msue.msu.edu Land Use Change And Michigans Future.

Bryan, B. and Marvanek, S. 2004. Quantifying And Valuing Land Use Change For Integrated Catchment Evaluation Management In The Murray-Darling Basing 1996/97-2000/01. CSIRO Land And Water Client Report. Alig, R. and Ahearn, M. C. 2001. Effects Of Policy And Technological Change On Land Use. Economics Of Rural Land Use Change p. 28-39. Giyarsih, S. R. 2006. Pola Transformasi Spasial Di Koridor Segitiga Pertumbuhan JOGLOSEMAR. Makalah disampaikan pada Workshop Penelitian Berorientasi Paten. Jakarta.
48

U.S. EPA, 2000. Projecting Land-Use Change: A Summary of Models for Assessing the Effects of Community Growth and Change on Land-Use Patterns. EPA/600/R-0/098. U.S. Environmental Protection Agency, Office of Research and Development, Cincinnati, OH. Lubowski, R. N., et.al. 2003. Determinants Of Land Use Change In The United States 19821997. http://www.rff.org Kline, J. D. and Alig, R. J. 2001. A Spatial Model Of Land Use Change For Western Oregon And Western Washington. Pacific Northwest Research Station. Portland. Koomen, E. and Buurman, J. 2002. Economic Theory And Land Prices In Land Use. Makalah disampaikan pada 5th AGILE Conference On Geographic Information Science. 25-27 April 2002. Templeton, S. R. 2004. Demographic, Economic, And Political Determinants Of Developed Land Use. Department Of Applied Economics And Statistics. Clemson University. http://www.clemson.edu Su, X.F., et.al. 2006. A Conceptual Model For Simulating Farmer Decisions And Land Use Change. http://www.csiro.au Zhou, B. and Kockelman, K. M. 2006. Neighborhood Impacts On Land Use Change: A Multinomial Logit Model Of Spatial Relationship. http://www.utexas.edu Barret, J. 2005. Forecasting The Fiscal Impacts Of Land Use Change: Weston Nurseries Offering Hopkinton, Massachusetts. Hopkinton Land Use Study Committee. Boston. Suryandari, Ratnawati. 2006. Perluasan Bandaraya Metropolitan Jakarta Dan Impaknya Terhadap Guna Tanah Dan Corak Pekerjaan Penduduk Pinggiran: Kes Bandar Baru Bumi Serpong Damai. Geografia Vol. 1 Issue 1. p. 1-22. Do , A. and Roxo, M. J. 2000. Driving Forces Of Land Use Changes In Alentejo And Its Impact On Soil And Water. http://www.e-geo.csh.unl.pt Safirova, E., et.al. 2006. Congestion Pricing: Long-Term Economic And Land Use Effects. http://www.rff.org Shi, L. H. 1999. Economic Analysis And Land Use Policy. Proc. Workshop sponsored by the US Environmental Protection Agencys Office Of Economy and Environment and National Center For Environmental Research And Quality Assurance. 2 Desember 1999. Jussila, J. 2003. Political Economy Of Land Use And Logging In Presence Of Externalities. Makalah disampaikan pada European Summer School. 1-6 September 2003.

49

Brueckner, J. K. 2006. Government Land-Use Interventions: An Economic Analysis. Makalah disampaikan pada 4th Urban Research Symposium at World Bank. Bergeron, G. and Pender, J. 1999. Determinants Of Land Use Change: Evidence From A Community Study In Honduras. Environment And Production Technology Division Discussion Paper. Iqbal, M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 5 No. 2. p. 167-182. Long, H., et.al. 2005. Socio-economic Driving Forces Of Land Use Change In Kunshan, The Yangtse River Delta Economic Area Of China. http://www.sciencedirect.com Hadiyanto, Handoko. 2003. Kontribusi Dan Dampak Sektor Tanaman Pangan Terhadap Struktur Perekonomian Wilayah Propinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB Vol. IX No. 3. p. 163-168. Subejo. 2007. Memahami Dan Mengkritisi Kebijakan Pembangunan Pertanian Di Indonesia. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Mahasiswa Pertanian Indonesia/Latihan Kepemimpinan Dan Manajemen Mahasiswa, UGM. 15 Februari 2007. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Maulana, M. 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas Sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia 1980-2001. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 22 No. 1. p. 74-95. Verbist, B. et.al. 2004. Penyebab Alih Guna Lahan dan Akibatnya Terhadap Fungsi Daerah Aliran Sunga (DAS) Pada Lansekap Agroforestri Berbasis Kopi di Sumatera. Jurnal Agrivita Vol. 26. No. 1. p. 29-38. Suherman, M. 2004. Analisis Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rahmanto, B. et.al. 2003. Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan Sawah dan Implikasinya Terhadap Alih Fungsi Ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Soemarno. Konsepsi Sumberdaya Lahan. Modul Mata Kuliah Evaluasi Lahan dan Landuse Planning Universitas Brawijaya. Malang. Notohadiprawiro, T. 1994. Pertanian Dalam Konteks Tata Guna Lahan. Makalah disampaikan pada Seminar dan Pertemuan Wilayah III. Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia. Yogyakarta. 8-9 Agustus 1994.

50

Pagiola, S. 2000. Land Use Change In Indonesia. Environment Department. World Bank. Hoppe, H. H. 1992. Teori Umum Keynes Dalam Pandangan Misesian. Diterjemahkan dari The Misesian Case Against Keynes. Terbit dalam Dissent on Keynes: A Critical Appraisal of Keynesian Economics. New York: Praeger. p. 171198. Ardian, B. 2007. Teori Pertumbuhan Kota. http://www.p2kp.org Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1. p. 1-18. Syahyuti. 2000. Pembangunan Pertanian Indonesia Dalam Pengaruh Kapitalisme Dunia: Analisis Ekonomi Politik Perberasan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Adriani, D. 2006. Keragaan Pasar Kerja Pertanian-Non Pertanian dan Migrasi Desa-Kota: Telaah Periode Krisis Ekonomi. Jurnal SOCA Vol. 6 No. 1. p. 1-4. Kariyasa, K. 2006. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia. Jurnal SOCA Vol. 6 No. 1. p. 5-12. Elizabeth, R. 2006. Restukturisasi Ketenagakerjaan Dalam Proses Modernisasi Berdampak Perubahan Sosial Pada Masyarakat Petani. Jurnal SOCA Vol. 6 No. 1. p. 13-20. Ojima, D. S. And Parton, W. J. 1995. Integrated Approach To Land Use Analyses. http://www.nrel.colostate.edu. Notohadiprawiro, T. 1995. Memahami Pertanian Sebagai Suatu Industri, Bisnis, dan Gaya Hidup Pedesaan. Makalah disampaikan pada Seminar Pilmitanas VIII. Yogyakarta. 25 Januari 1995. Fadjarani, S. 2001. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung: Implikasi Pada Perencanaan Pengembangan Wilayah. Tesis. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Ilham, N. et.al. 2003. Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Boyle, K.J. and R.C. Bishop. 1988. Welfare Measurement Using Contingent Valuation : A comparison of Techniques. AJAE, 70(1):20-28. Dixon, J.A. 1989. Valuation of Mangroves. Tropical Coastal Area Management 4(3): 1,3-6. Dixon, J.A. and G. Hodgson. 1988. Economic Valuation of Coastal Resources : the El Nido Study. Tropical Coastal Area Management, 3(2):5-7.

51

Dixon, J.A. 1989. Coastal Resources: Assessing Alternatives, p.153-162. In T.E. Chua and D. Pauly (Eds). Coastal area management in Southeast Asia : policies, management strategies and case studies. ICLARM Conf.Proc.19,254 p. Dixon, J.A. et al. 1988. Economic analysis of the environmental impacts of development projects. Earthscan Publishers Ltd. London. Edwards, S.F. 1987. An Introduction to Coastal Zone Economics. Taylors and Francis Ltd. London. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. (Eds). 1984. Handbook for mangrove area management. United Nations Environment Programme, and Environment and Policy Institute. East West Center, Honolulu, Hawai. Pomeroy, R.S. Economic Valuation:available methods, p.149-162. In T.E. Chua and L.F. Scura (eds). Integrative framework and methods for costal area management. ICLARM Conf. Proc.37.169p. Garrod, G. & Willis, K.G. (1999). Economic Valuation of the Environment: methods and case studies, Edward Elgar, Cheltenham. Ready, R. Navrud, S.,Day, B., Dubourg, R., Machado, F., Mourato, S., Spanninks, F., & Maria Xos Vzquez Rodriquez, M.X.V. (2004). Benefit transfer in Europe: How reliable are transfers between countries? Environmental and Resource Economics, 29, 6782. Rozan, A. (2004). Benefit transfer: A comparison of WTP for air quality between France and Germany. Environmental and Resource Economics, 29, 295306.

52

You might also like