You are on page 1of 25

PERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT (Lactobacillus plantarum) TERHADAP MASA SIMPAN FILET NILA MERAH PADA SUHU RENDAH

Oleh : IIS ROSTINI, S.Pi NIP. 132317114

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JATINANGOR 2007

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL

: PERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT (Lactobacillus

plantarum) TERHADAP MASA SIMPAN FILET NILA MERAH PADA SUHU RENDAH

PENULIS NIP

: IIS ROSTINI, S.Pi : 132317114

Jatinangor, Agustus 2007 Menyetujui :

Kepala Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan

Evi Liviawaty, Ir., MSi NIP 131760488

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul Peranan Bakteri Asam Laktat (Lactobacillus plantarum) terhadap Masa Simpan Filet Nila Merah pada Suhu Rendah Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. 2. 3. 4. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan dukungan bagi penulis. Ketua Program Studi Perikanan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan dukungan bagi penulis untuk melaksanakan kegiatan ilmiah di bidang perikanan. Evi Liviawaty, Ir., MSi, selaku Kepala Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan atas masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata semoga apa yang telah dilaksanakan oleh penulis dapat memberikan manfaat bagi pengembangan pengetahuan di bidang perikanan.

Jatinangor, Agustus 2007

Penulis

iii

DAFTAR ISI

Bab

Halaman Lembar Pengesahan ...... Kata Pengantar .. Daftar Isi ii iii iv 1 4 8 10 11 13 15 18 19

I. II. III.

PENDAHULUAN PERUMUSAN MASALAH TINJAUAN PUSTAKA 3.1 3.2 3.3 3.4 Bakteri Asam Laktat (BAL) .. Filet Nila Merah Masa Simpan Filet Nila Merah .. Penyimpanan pada Suhu Rendah ...

IV. V.

HASIL DAN PEMBAHASAN . KESIMPULAN ... Daftar Pustaka .

iv

I.

PENDAHULUAN

Nila Merah merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan karena banyak digemari oleh masyarakat. Hal ini disebabkan nila merah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis ikan air tawar lainnya, yaitu mudah dibudidayakan, memiliki daging yang tebal dengan rasa dan kandungan duri yang sedikit sehingga dapat diolah menjadi berbagai produk olahan (Aswar, 1995). Hasil pengolahan nila merah yang mulai digemari oleh masyarakat adalah filet. Produk filet memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk olahan lain, dapat dipasarkan dalam bentuk penyajian yang menarik, serta memudahkan dalam pengangkutan (Liviawaty, Afrianto, dan Deden, 1998). Seperti komoditas perikanan lainnya, filet juga mempunyai sifat yang mudah busuk (Perishable food). Produk filet lebih rentan terhadap kontaminasi dan penurunan mutu daripada ikan utuh, konsekuensinya adalah penanganan dan pengolahannya membutuhkan perhatian ekstra yang melebihi komoditas olahan yang lain (Suparno, 1992). Proses pembusukan harus dihambat agar sebagian besar produk perikanan khususnya filet dapat dimanfaatkan secara maksimal, salah satunya dengan pengembangan beberapa cara pengawetan. Cara pengawetan pada filet antara lain dengan penyimpanan pada suhu rendah dan penambahan zat aditif sebagai bahan pengawet. Penyimpanan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini selain dapat menurunkan aktivitas respirasi juga dapat menghambat perkembangbiakan bakteri pembusuk yang terdapat

di permukaan daging. Cara pengawetan dengan suhu rendah dibedakan menjadi dua yaitu pembekuan dan pendinginan. Pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa tahun, sedangkan pendinginan dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan pangannya (Winarno, 1993). Suhu yang biasa digunakan untuk penyimpanan bahan pangan pada pendinginan adalah 5-10oC (Buckle et al., 1987) Teknik pengawetan terhadap bahan pangan telah dilakukan di berbagai negara maju dengan berbagai cara. Kemajuan dalam teknik ini disebabkan oleh kemajuan dalam ilmu alam dan ilmu kimia yang merupakan dasar teknologi makanan (Poerwosoedarmo dan Sediaoetama, 1977). Salah satu cara pengawetan produk perikanan yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu alam adalah pengawetan ikan secara biologis (mikrobiologis) dengan menambahkan kelompok bakteri asam laktat sebagai bahan pengawet (Suriawiria, 1983). Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk merombak senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga dihasilkan asam laktat. Sifat ini penting dalam pembuatan produk fermentasi, termasuk fermentasi ikan. Produk asam oleh bakteri asam laktat berjalan secara cepat, hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan dapat terhambat. Bakteri pathogen seperti Salmonella dan Staphylococcus aureus yang terdapat pada suatu bahan pangan akan dihambat pertumbuhannya jika di dalam bahan pangan tersebut terdapat kelompok bakteri lainnya yang tergolong bakteri asam laktat yaitu golongan Lactobacillaceae (Fardiaz, 1992). Pemberian bakteri asam laktat dapat menurunkan pH bahan pangan, Penurunan pH tersebut dapat memperlambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Buckle et al., 1987). Keadaan asam akibat penurunan pH akan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Ilyas, 1983).

Salah satu jenis bakteri asam laktat yang dapat digunakan untuk produk perikanan adalah Lactobacillus plantarum. Jenis bakteri asam laktat ini digunakan untuk menghambat penurunan mutu filet nila merah sehinga dapat disimpan dalam waktu lebih lama. Menurut Jenie dan Rini (1995) Lactobacillus plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroorganisme pathogen pada bahan pangan dengan daerah penghambatan terbesar dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya.

II.

PERUMUSAN MASALAH

Ikan merupakan bahan pangan yang mudah membusuk Hal ini dikarenakan daging ikan merupakan substrat yang ideal untuk kehidupan dan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, terutama bakteri. Kandungan air yang terdapat di dalam daging ikan cukup tinggi sehingga sangat sesuai untuk pertumbuhan bakteri (Irawan, 1995). Salah satu produk yang mudah mengalami pembusukan karena adanya kontaminasi dan penurunan mutu akibat serangan bakteri adalah filet. Untuk mencegah proses pembusukan tersebut, maka perlu dikembangkan berbagai cara pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat agar sebagian besar ikan yang diproduksi dapat dimanfaatkan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Filet nila merah yang disimpan pada suhu 5-10oC dapat diterima panelis hingga hari ke-7 berdasarkan batas penerimaan terhadap bau serta dapat menghambat pertumbuhan bakteri hinnga hari ke-7 (Liviawaty, Afrianto, dan Hamdani, 1999). Berdasarkan hasil penelitian Hawa (2001) jumlah koloni bakteri maksimum pada filet nila merah yang disimpan pada suhu 5-10oC pada hari ke-7 adalah 6,7x106 colony form unit/gram. Untuk menghambat penurunan mutu dan meningkatkan daya simpan filet, maka teknologi penanganannya perlu ditingkatkan, diantaranya adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah dan pemberian zat aditif sebagai bahan pengawet. Proses pengawetan ikan dapat dilakukan secara biologis (mikrobiologis), proses ini disebut dengan sistem ensiling. Cara ensiling sudah banyak digunakan untuk pengawetan bahan-bahan alami secara murah, mudah, sederhana, dan aman serta akan memperbaiki sifat-sifat organoleptik bahan pangan (Suriawiria, 1995). Pada awalnya cara tersebut hanya dipergunakan untuk mengawetkan hijauan, tetapi

kemudian dikembangkan untuk pengawetan semua bahan alami termasuk daging, ikan, telur, dan sayuran dengan hasil yang baik dan memuaskan (Von Hofsten dan Wirahadikusumah, 1972). Ensiling merupakan proses biokimia yang dilakukan oleh kelompok bakteri laktat yaitu Lactobacillus dengan hasil akhirnya antara lain mendapatkan asam laktat dan pH yang rendah (Nilsson dan Rydin, 1965). Asam laktat dapat bersifat mengawetkan bahan pangan (Winarno, 1994). pH yang rendah dapat menghambat kontaminasi mikroorganisme pembusuk, mokroorganisme pathogen serta

mikroorganisme penghasil racun akan mati (Sperling, 1968 dalam Suriawiria, 1983). Lactobacillus juga dapat menghasilkan H2O2 akibat adanya oksigen dan berfungsi sebagai antibakteri yang dapat menyebabkan adanya daya hambat terhadap pertumbuhan mikroorganisme lain. Lactobacillus mempunyai kemampuan untuk menghasilkan antibiotik yang disebut bakteriosin (Suriawiria, 1983). Pada pH rendah tersebut nilai nutrisi dan organoleptik dapat dipertahankan (Lovern 1955, Amano 1962, dan Meseck, 1969). Menurut Von Hofsten dan Wirahadikusumah (1977) ada tiga jenis bakteri asam laktat yang berpengaruh selama proses ensiling, yaitu Leuconostoc mesenteroides, Streptococcus faecalis, dan Lactobacillus plantarum. Bakteri yang mempunyai peranan penting sebagai penghasil asam laktat adalah L. plantarum. Berdasarkan hasil penelitian Jenie dan Rini (1995) L. plantarum mempunyai daerah penghambat terbesar terhadap Listeria monocytogenes dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya. Listeria monocytogenes merupakan bakteri pathogen yang penting terutama pada makanan dingin seperti susu, daging sapi, sosis kering, hasil laut dan sayur-sayuran, karena bakteri ini bersifat pathogen (Schofield, 1992). L. plantarum merupakan spesies Lactobacillus yang mampu memproduksi H2O2 dalam

jumlah yang tinggi (Jenie dan Rini, 1995). Lactobacillus mampu mengakumulasi H2O2 selama penyimpanan dalam refrigerasi tanpa pertumbuhan kultur dan produksi asam, hal ini memungkinkan aplikasi kultur laktat untuk pengawetan makanan tanpa harus melalui proses fermentasi (Gilliland, 1985). Berbagai cara telah dilakukan agar proses ensiling berjalan sesuai dengan yang diharapkan, terutama yang menyangkut kehadiran bakteri asam laktat di dalam substrat. Pengontrolan substrat selama proses ensiling harus benar-benar terjamin, antara lain dalam bentuk penambahan starter yang kaya akan Lactobacillus, khususnya L. plantarum (Rydin dan Linggren, 1979 dalam Suriawiria, 1983). Team peneliti ensiling di lingkungan TPI ( Tropical Product Institute) London, juga telah melakukan penambahan biakan bakteri asam laktat murni berupa starter dalam bentuk preparat terhadap campuran ikan dan tepung serealia sehingga proses ensiling dapat berhasil baik. Menurut Suriawiria (1983) starter adalah biakan pemula bakteri laktat yang digunakan untuk pengawetan ikan secara biologis, pada umumnya terdiri dari L. plantarum yang jumlahnya 109 cfu/gram sustrat. Menurut Raccach et al. (1979) L. plantarum yang dapat digunakan dalam memperpanjang daya simpan jumlahnya adalah sebanyak 108 sampai dengan 109 cfu/ml. Berdasarkan hasil penelitian Rostini (2002), diketahui bahwa jumlah bakteri L. plantarum 108 cfu/ml, 109 cfu/ml, dan 1010 cfu/ml berada pada fase logaritmik. Fase logaritmik adalah fase pertambahan populasi secara teratur menjadi dua kali lipat pada interval waktu tertentu (waktu generasi) selama inkubasi (Pelczar dan Chan, 1986). Jumlah L. plantarum 108 cfu/ml berada di awal fase logaritmik sehingga pertumbuhannya sangat pesat, L. plantarum 109 cfu/ml berada di tengah-tengah fase logaritmik, dan L. plantarum sebanyak 1010 cfu/ml berada di akhir fase logaritmik

menjelang fase stasioner. Karakteristik organoleptik yang meliputi kenampakan lendir, aroma, dan tekstur pada filet dengan konsentrasi perendaman dalam larutan biakan bakteri sebanyak 109 cfu/ml mengalami perubahan ke arah pembusukan pada hari ke-10. Penyimpanan dilakukan di dalam lemari pendingin pada suhu antara 5-10oC.

III.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL) Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah

karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat. Efek bakterisidal dari asam laktat berkaitan dengan penurunan pH lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 sehingga pertumbuhan bakteri lain termasuk bakteri pembusuk akan terhambat (Amin dan Leksono, 2001). Pada umunya mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6-8 (Buckle et al., 1987). Bakteri asam laktat pada ikan merupakan salah satu bagian dari bakteri awal. Pertumbuhan bakteri ini dapat menyebabkan gangguan terhadap bakteri pembusuk dan pathogen (Bromerg, dkk., 2001). Bakteri yang termasuk kelompok BAL adalah Aerococcus, Allococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, dan Vagococcus (Ali dan Radu, 1998). Pemanfaatan BAL oleh manusia telah dilakukan sejak lama, yaitu untuk proses fermentasi makanan. BAL merupakan kelompok besar bakteri menguntungkan yang memiliki sifat relatif sama. Saat ini BAL digunakan untuk pengawetan dan memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan (Chabela, dkk., 2001). BAL mampu memproduksi asam laktat sebagai produik akhir perombakan karbohidrat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin (Afrianto, dkk., 2006). Dengan terbentuknya zat antibakteri dan asam maka pertumbuhan bakteri pathogen seperti Salmonella dan E. coli akan dihambat (Silalahi, 2000). Efektivitas BAL dalam menghambat bakteri pembusuk dipengaruhi oleh kepadatan BAL, strain BAL, dan komposisi media (Jeppensen dan Huss, 1993).

Selain itu, produki substansi penghambat dari BAL dipengaruhi oleh media pertumbuhan, pH, dan temperature lingkungan (Ahn dan Stiles, 1990).

Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif dengan temperatur optimal lebih rendah dari 37oC (Frazier dan Westhoff, 1988). L. plantarum berbentuk batang (0,5-1,5 s/d 1,0-10 m) dan tidak bergerak (non

motil). Bakteri ini memiliki sifat katalase negatif, aerob atau fakultatif anaerob, mampu mencairkan gelatin, cepat mencerna protein, tidak mereduksi nitrat, toleran terhadap asam, dan mampu memproduksi asam laktat. Dalam media agar, L. plantarum membentuk koloni berukuran 2-3 mm, berwarna putih opaque, conveks, dan dikenal sebagai bakteri pembentuk asam laktat (Kuswanto dan Sudarmadji, 1988). L. plantarum mampu merombak senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan hasil akhirnya yaitu asam laktat. Menurut Buckle et al. (1978) asam laktat dapat menghasilkan pH yang rendah pada substrat sehingga menimbulkan suasana asam. L. plantarum dapat meningkatkan keasaman sebesar 1,5 sampai 2,0% pada substrat (sarles et al., 1956). Dalam keadaan asam, L. plantarum memiliki kemampuan untuk menghambat bakteri pathogen dan bakteri pembusuk (Delgado et al., 2001) Pertumbuhan L. plantarum dapat menghambat kontaminasi dari

mikrooganisme pathogen dan penghasil racun karena kemampuannya untuk menghasilkan asam laktat dan menurunkan pH substrat, selain itu BAL dapat menghasilkan hidrogen peroksida yang dapat berfungsi sebagai antibakteri

(Suriawiria, 1983). L. plantarum juga mempunyai kemampuan untuk menghasilkan bakteriosin yang berfungsi sebagai zat antibiotik (Jenie dan Rini, 1995).

3.2

FILET NILA MERAH Nila merah merupakan salah satu jenis ikan yang berpotensi sebagai bahan

baku filet, karena memiliki daging tebal dengan sedikit duri, warna daging putih bersih, dengan tekstur mirip ikan kakap merah (Djazuli, 2002). Nila merah juga mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi.

Tabel 1. Komposisi Kimia Nila Merah dalam 100 gram Daging Komposisi Air Protein Lemak Abu Mineral Sumber : Kusumawardhani (1988) Berat basah (%) 77,0 17,8 2,8 1,2 1,2

Filet ikan adalah lempengan daging ikan tanpa tulang yang diperoleh dengan cara memotong daging sejajar dengan tulang belakang (Dore, 1991). Rendemen filet yang dihasilkan biasanya antara 30% sampai dengan 40% dari bobot ikan (Liviawaty, 2001). Filet ikan dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu filet berkulit (skin-on fillet), filet tidak berkulit (skinless fillet), filet tunggal (single fillet) yaitu lempengan daging ikan yang disayat memanjang tulang belakang dengan bagian kulit perut dipotong sehingga dari satu ekor ikan diperoleh dua filet tunggal, dan filet kupu-kupu (butterfly fillet) yaitu dua filet tunggal dari seekor ikan yang dihubungkan semuanya oleh bagian kulit perut yang tidak dipotong (Ilyas, 1983).

Penurunan mutu pada filet dapat diketahui dengan menggunakan beberapa cara yaitu uji kimiawi, uji bakteriologis (mikrobiologis), dan uji organoleptik. Uji organoleptik dilakukan untuk menilai sejauh mana produk menyimpang dari mutu ikan yang masih segar dengan menggunakan panca indera dan mengamati perubahan terhadap karakteristik organoleptik yang terdiri dari kenampakan atau rupa, warna, aroma, rasa, dan tekstur produk.

3.3

MASA SIMPAN FILET NILA MERAH Masa simpan atau umur simpan bahan pangan adalah waktu tenggang atau

waktu selang suatu bahan pangan dapat disimpan dalam keadaan masih dapat dikonsumsi. Masa simpan erat kaitannya dengan proses pembusukan. Salah satu cara untuk memperpanjang masa simpan adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat reaksi kimia aktivitas enzim pada bahan pangan serta dapat menghambat atau menghentikan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme (Frazier dan Westhoff, 1978). Masa simpan bahan pangan segar relatif singkat meskipun pada suhu rendah. Relatif singkatnya masa simpan bahan pangan disebabkan adanya bakteri psikrofilik gram negatif dari kelompok Pseudomonas dan Achromobacter dalam jumlah besar yang mengakibatkan terjadinya proses pembusukan karena degradasi protein, lemak dan perubahan warna sehingga akan mempersingkat masa simpan (Reddy et al., 1975). Filet nila memiliki masa simpan yang relatif singkat, hal ini disebabkan karena daging ikan mengandung air yang tinggi sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba pembusuk (Reddy dan Chen, 1975). Jumlah bakteri merupakan suatu indikator pembusukan yang terjadi pada ikan dan ikan dikatakan busuk apabila jumlah bakteri sudah mencapai 105 106 cfu/g daging (Ilyas, 1972). Jumlah bakteri

maksimum pada ikan dan kerang adalah 106 cfu/g (Elliot dan Michener dalam Jay, 1996). Jumlah bakteri maksimum pada filet adalah 5x105 cfu/g (Dewan Standarisasi Nasional, 1995) dan 106 cfu/g (Connell, 1990). Masa simpan filet bervariasi tergantung pada waktu pembuatan setelah ikan mati (Liviawaty, 1999) serta proses penanganan dan penyimpanannya (Marshall, 2002). Masa simpan erat kaitannya dengan perubahan yang terjadi pada filet, baik perubahan fisik, biologis maupun kimiawi. Semua perubahan tersebut merupakan rangkaian proses yang akan menyebabkan filet membusuk, sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Proses pembusukan dapat dihambat secara fisik yaitu dengan pengeringan dan pendinginan, secara kimiawi yaitu dengan penambahan larutan garam, larutan asam serta untuk produk-produk tertentu penambahan larutan antibiotika, dan secara biologis yaitu dengan penggunaan mikroba antagonis untuk menghambat aktivitas bakteri pembusuk. Bakteri antagonis adalah bakteri yang memiliki sifat berbeda dengan bakteri yang tidak diharapkan kehadirannya. Penggunaan bakteri asam laktat sebagai mikroba antagonis cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk pada ikan. Bakteri asam laktat mampu memproduksi senyawa anti mikroba berupa asamasam organik, bakteriosin, dan hidrogen peroksida. Perlakuan perendaman dengan bakteri asam laktat atau produk-produk metabolitnya pada daging unggas giling disertai penyimpanan suhu rendah 3oC, mampu menekan pertumbuhan bakteri pembusuk hingga hari ke-7 (Raccach dan Baker (1978). Faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan mikroba antagonis untuk memperpanjang masa simpan ikan adalah pH rendah (<4,5), konsentrasi asam organik, kapasitas buffer dari substrat, kandungan hidrogen

peroksida, kompetisi nutrient dengan bakteri lain, produksi antibiotik atau bakteriosin, dan penurunan potensi oksidasi reduksi (Jay, 1996).

3.4

PENYIMPANAN PADA SUHU RENDAH Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan

pembusukan pada daging ikan (Hadiwiyoto, 1993). Pada suhu rendah proses penguraian menjadi lambat, oleh karena itu biasanya untuk mempertahankan kesegaran ikan dan cara menghambat mikroorganisme, ikan ditempatkan dalam wadah atau ruangan yang bersuhu dingin (Irawan, 1995). Pendinginan ini hanya bersifat menghambat pertumbuhan bukan untuk membunuh atau menghentikan mikroorganisme sama sekali (Winarno, 1993). Hampir semua bakteri pathogen hanya mampu memperbanyak diri dengan laju yang lambat pada suhu di bawah 10oC, oleh karena itu makanan yang disimpan di dalam lemari es cukup aman. Beberapa organisme ada juga yang dapat tumbuh dengan baik pada suhu kira-kira 5oC sehingga kerisakan dapat terjadi walaupun di dalam lemari es (Gaman dan Sherrington, 1992).

Tabel 2. Kisaran Suhu untuk Pertumbuhan Mikroorganisme Kelompok Mikroorganisme Psikrofil Mesofil Termofil Sumber : Fardiaz (1992) Minimum -5-0 10-20 25-45 Suhu pertumbuhan (oC) Optimum 5-15 20-40 45-60 Maksimum 15-20 40-45 60-80

Mikroorganisme dapat dibedakan atas beberapa kelompok berdasarkan kemampuannya untuk dapat tumbuh pada kisaran suhu tertentu. Penggolongan mikroorganisme tesebut yaitu psikrofil, mesofil, dan termofil. Suhu tempat makanan di simpan, sangat besar pengaruhnya terhadap mikroorganisme yang dapat tumbuh serta kecepatan pertumbuhannya.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penambahan bakteri asam laktat (L. plantarum) dapat menurunkan nilai pH filet nila merah (Rostini, 2002). Penurunan nilai pH pada filet dapat memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk, hal ini menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk yang terdapat di dalam filet dapat diperlambat, sehingga penguraian protein oleh bakteri pembusuk dapat diperlambat juga. Penurunan nilai pH yang terjadi pada filet nila merah dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri tidak terlalu cepat karena dihambat oleh asam laktat yang dihasilkan dari perombakan glikogen oleh L. plantarum. Dengan terhambatnya pertumbuhan bakteri pembusuk tersebut maka masa simpan filet nila merah akan menjadi lebih lama. Jumlah bakteri dapat mempengaruhi karakteristik organoleptik filet nila merah karena metabolisme bakteri dapat menyebabkan perubahan terhadap kenampakan, lendir, aroma, dan tekstur, sehingga karakteristik organoleptik akan mudah mengalami kerusakan. Hal ini akan mempengaruhi terhadap penerimaan filet selama masa penyimpanan. Nilai pH filet dengan pemberian L. plantarum yang disimpan pada suhu rendah berkisar antara 5,95-6,90 (Oktaviani, 2004). Nilai pH tersebut dapat mendukung kemampuan bakteriosin dalam menghambat bakteri pembusuk, karena bakteriosin sangat aktif pada pH 6,5 (Daeschel, 1990). L. plantarum masih mampu berkembang dengan baik, dan tetap aktif mengeluarkan senyawa antimikroba (bakteriosin) pada suhu rendah (Buchanan dan Klawitter, 1991). Karakteristik ini merupakan keuntungan dalam memanfaatkan bakteriosin untuk memperpanjang masa simpan filet nila pada suhu rendah. Berdasarkan hasil penelitian Rostini (2002), dilihat dari jumlah bakteri dan organoleptik, filet yang diberi L. plantarum 108 cfu/ml dapat diterima sampai hari ke-

9. Jumlah bakteri, kenampakan, dan aroma filet yang diberi L. plantarum 109 cfu/ml dapat diterima sampai hari ke-9, sedangkan lendir dan tekstur diterima sampai hari ke-8, dan pemberian L. plantarum 1010 cfu/ml berdasarkan jumlah bakteri dan organoleptik dapat diterima sampai hari ke-7. Hal ini berarti bahwa konsentrasi pemberian L. plantarum dilihat dari jumlah bakteri dan karakteristik organoleptik, pemberian L. plantarum dengan konsentrasi 108 cfu/ml menghasilkan lama

penyimpanan yang lebih lama. Berdasarkan hasil penelitian Liviawaty et al. (1999) filet nila merah yang disimpan pada suhu 5-10oC dapat diterima sampai hari ke-7 berdasarkan batas penerimaan terhadap aroma dan serta dapat menghambat pertumbuhan bakteri sampai hari ke-7. Dengan demikian berarti bahwa filet nila merah yang diberi bakteri asam laktat (BAL) jenis L. plantarum memiliki masa simpan dua hari lebih lama bila dibandingkan dengan filet yang tidak diberi L. plantarum. Di dukung oleh hasil penelitian Oktaviani (2004), menyatakan bahwa filet nila merah yang direndam dengan larutan L. plantarum sebanyak 108 cfu/ml selama 5, 10, dan 15 menit mampu mencapai masa simpan hingga hari ke-9. Hal tersebut

disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk yang menjadi lebih lambat karena L. plantarum yang diinokulasikan ke dalam filet konsentrasinya cukup padat ssehingga terjadi persaingan dengan bakter pembusuk dalam memperebutkan nutrient pada medium filet. Adanya proses persaingan serta terbatasnya jumlah nutrient pada medium filet menyebabkan pertumbuhan bakteri pembusuk menjadi terhambat (Jenie et al., 1997). Filet yang mempunyai masa simpan hingga hari ke-9, pertumbuhan bakteri pembusuk meningkat pesat pada hari terakhir penyimpanan (hari ke-10). Pada akhir masa simpan, pertumbuhan L. plantarum mulai terdesak dan senyawa-senyawa

antimikrobanya sulit beraktivitas. Filet nila sebagai medium tumbuh mikroba, mengalami penumpukkan senyawa metabolit yang merupakan hasil reaksi metabolisme L. plantarum itu sendiri, dan pada akhirnya senyawa-senyawa metabolit tersebut akan bersifat racun serta mengganggu keseimbangan pertumbuhan L. plantarum. Selain itu, kandungan nutrisi sangat diperlukan oleh L. plantarum dari medium (filet nila) sudah sangat berkurang (Fardiaz, 1992).

V.

KESIMPULAN

Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Bakteri Asam Laktat (BAL) khususnya Lactobacillus plantarum terhadap filet nila merah, maka dapat disimpulkan bahwa : BAL jenis L. plantarum memperlihatkan efektivitasnya dalam menghambat bakteri pembusuk pada filet nila merah. Perendaman filet nila merah dalam larutan L. plantarum dapat menghasilkan penurunan nilai pH substrat sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk yang tidak tahan terhadap kondisi asam atau pH rendah.. Efektivitas BAL (L. plantarum) paling tinggi dalam memperpanjang masa simpan filet nila merah diperoleh melalui perendaman L. plantarum dengan konsentrasi 108 cfu/ml selama 5, 10, dan 15 menit, yaitu hingga hari ke-9. Filet nila merah yang diberi bakteri asam laktat (BAL) jenis L. plantarum memiliki masa simpan dua hari lebih lama bila dibandingkan dengan filet yang tidak diberi Lactobacillus plantarum.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E., dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 125 hlm. Afrianto, E., E. Liviawaty., dan I. Rostini. 2006. Pemanfaatan Limbah Sayuran untuk Memproduksi Biomasa Lactobacillus plantarum sebagai Bahan Edible Coating dalam Meningkatkan Masa Simpan Ikan Segar dan Olahan. Laporan Akhir. Unpad. 113 hlm. Ali. G.R.R. and S. Radu. 1998. Isolation and Screening of Bacteriocin Producing LAB from Tempeh. University of Malaysia. Amano, K. 1962. The Influence of Fermentation on The Nutritive Value of Fish Special Reference Fish Product of South Asia. Fish in Nutrition (FAO), 7 : 180-200. Aswar. 1995 Pembuatan Fish Nugget dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Skripsi. IPB. Bogor. 605 hlm. Bromberg, R., I. Moreno, C.L. Zaganini, R.R Delboni, V.N. Moreira, J. Oliveira, and A.L.S. Lerayer. 2001. Characterization of Bacteriocin-Producing Lactic Acid Bacteria Isolated from Meat and Meat Products (abs). IFT Annual Meeting 2001. New Orleans, Lousiana. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 365 hlm. Connell, J.J. 1990. Control of Fish Quality. Fishing News Books. London. 222 hlm. Dewan Standarisasi Nasional. 1995. Filet Nila Merah Beku. Jakarta. 5 hlm. Djazuli, Nazori. 2002. Penanganan dan Pengolahan Produk Perikanan Budidaya dalam Menghadapi Pasar Global : Peluang dan Tantangan. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Dore, Ian. 1991. The New Fresh Seafood Buyers Guide. Van Nostrand Reinhold. New York. 280 hlm. Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 320 hlm. Frazier, W.B., and Dennis C. Westhoff. 1998. Food Microbiology. Third Edition. McGraw-Hill, Inc. New York. 539 hlm. Gaman, P.M., dan K.B. Sherrington. 1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 317 hlm.

Gilliland, S.E. 1985. Role of Starter Culture Bacteria in Food Preservation. Bacterial Starter Culturer for Foods. CRC Press. Boca Raton, Florida. 342 hlm. Hawa, M.P. 2001. Pengaruh Perendaman filet Nila Merah dalam Larutan Kunyit terhadap Perubahan Karakteristik dan Lama Penyimpanan Filet pada Suhu Rendah. Skripsi. Unpad. Jatinangor. 60 hlm. Ilyas. 1972. Peranan Es dalam Industri Perikanan. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. Direktorat jenderal Perikanan. Jakarta. 45 hlm. Ilyas. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Teknik Pendinginan Ikan. C.V. Paripurna. Jakarta. 237 hlm. Irawan, A. 1995. Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri. C.V. Aneka. Solo. 108 hlm. Jay, M. James. 1996. Modern Food Microbiology. Fifth edition. Chapman and Hall. New York, USA. 661 hlm. Jenie, S.L., dan Shinta E. Rini. 1995. Aktivitas Antimikroba dari Beberapa Spesies Lactobacillus terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Makanan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan, 7(2) : 46-51. Kuswanto, K.R., dan Slamet Sudarmadji. 1988. Proses-proses Mikrobiologi Pangan. PAU Pangann dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 160 hlm. Liviawaty, E., E. Afrianto, dan H. Hamdani. 1999. Mempelajari Efek Kondisi Post Mortem Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) terhadap Perubahan Karakteristik Filet Selama Penyimpanan pada Suhu rendah. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Bandung. 53 hlm. Liviawaty, E. 2001. Organoleptik Ikan. Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor. 82 hlm. Marshall, D.L., C.R. Kim, dan J.O. Heamsberger. 2002. Extended Shelf-Life of Catfish Fillets Treated with Sodium Acetate, Monopatassium Phosphate and Bifidobacteria. Department of Food Science and Technology, Mississippi State University. Hlm. 21-26. Meseck, G. 1969. Importance of Fisheries Production and Utulization in The Food Economy. Fish in Nutrition (FAO), 7 : 23-37 Oktaviani, Dini. 2004. Efektivitas Bakteriosin dari Lactobacillus plantarum terhadap Masa Simpan Filet Nila Merah pada Suhu Rendah. Skripsi. Unpad. Jatinangor. 62 hlm. Pelczar, M.J. 1958. Microbiology. McGraww-Hill Book Company, Inc. New York. 546 hlm.

Pelczar, M.J., dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 443 hlm. Poerwosoedarmo dan Sediaoetama, A.D. 1977. Ilmu Gizi. Dian Rakyat. Jakarta. 254 hlm. Raccach, M., R.C. Backer., J.M. Regenstein, E.J. Mulnix. 1979. Potential Application of Microbial Antagonism to Extended Storage Stability of a Flesh Type Food. Journal Food Science, 44 (1) : 43. Salle, A. J. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. Kogakusha Company, Ltd. Tokyo. 812 hlm. Suparno. 1992. Pembuatan Filet Ikan. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Pusat Penelitian Perikanan. Jakarta. Hlm. 15-19. Suriawiria, Unus. 1986. Mikrobiologi Masa Depan Penuh Kecerahan Di Dalam Pembangunan. Kumpulan Beberapa Tulisan dari Unus Suriawiria. Jurusan Biologi. ITB. Bandung. Hlm. 67-68. Suriawiria, Unus. 1995. Pengantar Mikrobiologi Umum. Angkasa. Bandung. 238 hlm. Von Hofsten, B. dan S. Wirahadikusumah. 1972. Preservation Fish and Other Protein Rich Products by Lactic Acid Fermentation. UNESCO/ICRO dan Pustaka. Kuala Lumpur. 560 hlm. Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 416 hlm. Winarno, F.G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 180 hlm.

You might also like