You are on page 1of 28

Tanya Jawab Perburuhan Karyawan Tenaga Kerja

Perburuhan & Tenaga Kerja PHK dan pengunduran diri (dienot) Pertanyaan : Admin hukum online saya seorang karyawan permanent yang bekerja baru sekitar 6 tahun ditempat saya bekerja sekarang. tanggal 08 Juni kemarin seorang direktur tempatku bekerja menawarkan saya untuk pindah ke cabang lain berlokasi di Soroako. Ketika saya bertanya mengenai benefit apa yang saya dapat, jawabannya adalah sama seperti disini (hanya gaji + transport + makan + overtime jika ada). lalu saya katakan bahwa di sana biaya hidup tinggi, selain itu saya terangkan bahwa saya punya keluarga dan tempat tinggal di lokasi saya bekerja sekarang. Jika saya pindah ke soroako saya juga katakan itu sama saja dengan saya bunuh diri (menghitung gaji saya sekarang) lalu ketika saya tanyakan bagaimana jika pilihan saya adalaha menolak, maka jawaban dari direktur saya bahwa posisi saya akan dihapus. lalu ketika saya menanyakan bagaimana hitungannya, jawabannya adalah dianggap mengundurkan diri. Saya meminta waktu berfikir 2 hari. pertanyaan saya: 1. bisakah perusahaan menganggap sebagai pengunduran diri jika saya menolak tawaran itu dengan jawaban yang realistis tadi... 2. Cara apakah yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hak saya? (dalam hal ini saya tidak ingin diberhentikan karena alasan perusahaan yang mengkategorikan saya mengundurkan diri). setelah saya baca UU no 13 th 2003 juga mengenai peraturan perusahaan tempat saya bekerja, maka saya tidak menemukan jika menolak dipindahkan akan dianggap mengundurkan diri. terima kasih.. Jawaban : Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) memang tidak mengatur bahwa salah satu alasan pengunduran diri adalah karena penolakan kebijakan mutasi oleh perusahaan. Oleh karenanya, Saudara dapat merujuk pada ketentuan pada peraturan perusahaan, perjanjian kerja, dan atau perjanjian kerja bersama. Biasanya, kebijakan memutasi karyawan adalah hak prerogratif perusahaan. Oleh karenanya tak jarang perusahaan mencantumkan ketentuan bahwa pekerja harus bersedia ditempatkan di manapun di dalam peraturan perusahaannya atau di dalam perjanjian kerja. Tak jarang juga ada perusahaan-perusahaan tertentu yang mencantumkan ketentuan sanksi bagi pekerja yang menolak dimutasi. Dengan ketentuan itu selintas terlihat bahwa pekerja harus mengikuti kebijakan perusahaan dalam hal mutasi kerja. Namun demikian, pasal 31 dan pasal 32 UUK memberikan hak dan kesempatan kepada pekerja untuk ditempatkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan pekerja. Dengan demikian, seharusnya perusahaan juga harus memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan seorang pekerja sebelum yang bersangkutan dimutasi. Mengenai kasus Saudara yang akan dimutasi ke luar kota tetapi tidak mendapatkan tunjangan, Saudara bisa merujuk pasal 88 ayat 1 UUK yang menyebutkan bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ditambah lagi ketentuan pasal 15 ayat 1

PP No. 8 Tahun 1981 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan suatu ketentuan dalam perjanjian pekerja-pengusaha yang merugikan kepentingan pekerja akan menjadi batal menurut hukum. Dengan demikian, ketika saat ini Saudara mendapatkan penghasilkan yang layak, maka ketika dipindahkan pun Saudara seharusnya mendapatkan penghasilan yang layak pula. Untuk masalah penghidupan yang lebih layak kita bisa merujuk ke Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005. Jika perusahaan menyatakan Saudara dianggap mengundurkan diri karena tidak mau dipindahkan maka Saudara bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di daerah tempat Saudara bekerja. Sebelum ke sana, Saudara harus berusaha menyelesaikan masalah ini secara bipartit (antara Saudara dengan pengusaha) dan tripartit (antara Saudara, pengusaha, dan pihak ketiga antara lain mediator dari dinas tenaga kerja, konsiliator, atau arbiter). Perburuhan & Tenaga Kerja tenaga kontrak (andhika_poetra) Pertanyaan : Selamat siang, saya ingin mengetahui, apabila ada tenaga kontrak yang telah bekerja lebih dari 7 tahun 1 perusahaan & belum ada tanda-tanda untuk pengangkatan, bisakah tenaga kontrak tsb melakukan tuntutan hukum thd persudahaan tsb, tuntutan hukum apakah yg dikenakan untuk perusahaan tsb? sebelumnya saya haturkan terima kasih atas penjelasannya Jawaban : Pekerjaan kontrak dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dikategorikan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu perjanjian yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu; a. b. c. d. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; pekerjaan yang bersifat musiman; dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru , kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan.

PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui. Tetapi untuk jenis pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru dan produk tambahan tidak dapat dilakukan pembaharuan. Pembaharuan kerja ini hanya dapat diadakan setelah melebihi tenggang waktu 30 hari setelah PKWT yang lama berakhir dan hanya boleh dilakukan 1 kali untuk waktu paling lama 2 tahun. Menurut pasal 59 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, perjanjian waktu tertentu yang didasarkan atas waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Berdasarkan uraian di atas, Anda perlu memastikan dulu apakah jenis pekerjaan Anda termasuk dalam kategori yang disebutkan di atas. Jika tidak, maka jenis pekerjaan Anda sudah termasuk dalam jenis pekerjaan tetap dan perjanjian kerja Anda menjadi batal demi hukum. Karena itu pula, status Anda sudah menjadi pegawai tetap sejak perpanjangan kontrak yang kedua kalinya atau ketika Anda menandatangani kontrak ketiga. Dalam UU Ketenagakerjaan ada ketentuan yang menyatakan bahwa jika PKWT tidak memenuhi ketentuan pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), maka demi hukum perjanjiannya berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan pekerja/buruhnya menjadi pegawai tetap. Agar hak-hak Anda lebih terjamin, maka Anda berhak meminta surat pengangkatan sebagai pekerja tetap kepada perusahaan tempat Anda bekerja. Apabila perusahaan menolaknya, Anda dapat melaporkan hal tersebut kepada Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudinaker) di tingkat kabupaten/kota untuk minta dimediasi. Pihak Sudinaker akan mengeluarkan anjuran yang bisa jadi menerima atau menolak permohonan Anda. Kalau permohonan Anda diterima, tapi perusahaan tidak melaksanakan anjuran Sudinaker untuk mengangkat Anda sebagai pekerja tetap, Anda bisa membawa persoalan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan jenis kasus perselisihan hak. (Bung Pokrol)

Perburuhan & Tenaga Kerja cuti melahirkan (rembol) Pertanyaan : Menurut PP Nomor 24 Tahun 1976, cuti hanya diberikan kepada PNS/CPNS yang masa kerjanya minimal 1 tahun. Bagai mana dengan cuti melahirkan bagi CPNS yang masa kerjanya belum 1 tahun? Apakah ada peraturan lain yang mengaturnya? Mengingat tidak ada larangan bagi CPNS untuk hamil, sedangkan melahirkan bukan suatu hal yang bisa diatur waktunya. Jawaban : Ketentuan tentang cuti bagi PNS diatur dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1974 jo. UU No. 43 Tahun 1999 tentang PokokPokok Kepegawaian yang menyatakan bahwa setiap PNS berhak atas cuti.

Ketentuan Cuti untuk PNS diatur lebih lanjut dalam PP No. 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP tersebut Cuti didefinisikan dalam Pasal 1 sebagai keadaan tidak masuk kerja yang diizinkan dalam waktu tertentu.

Cuti Bersalin diatur dalam Bagian Kelima terutama dalam Pasal 20 PP No. 24 Tahun 1976 yang menyatakan bahwa (1) Untuk mendapatkan cuti bersalin, Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan mengajukan permintaan secara

tertulis kepada pejabat yang berwenang memberikan cuti; dan (2) Cuti bersalin diberikan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang memberikan cuti.

Dalam pengertian ini, maka cuti bersalin tidak memerlukan masa waktu kerja tertentu dan hanya membutuhkan izin dari atasan yang berwenang dan atasan tersebut memberikan izin cuti terhadap PNS perempuan yang hendak melahirkan

Demikian jawaban kami semoga dapat membantu Anda. (Tim Suara Keadilan) Sumber : Hukumonline.com
Perburuhan & Tenaga Kerja Kerja 24 jam nostop! (mulyanta) Pertanyaan : tunangan saya(wanita) bekerja di sebuah perusahaan di jakarta, dengan jam kerja 08.00 wib 17.00wib. terkadang pulang jam 19.00wib, tapi kemarin tgl 25 agustus, setelah lewat jam kerja normal, tunangan saya di minta kerja malam, jadi langsung kerja lagi dan sekitar jam 08.00(26 agustus) saya telepon ternyata masih belum pulang dan katanya pulangnya jan 09.30wib. saya sempat terkejut, mana ada orang kerja sampai 24 jam nostop seperti itu. Tunangan saya dia tinggal di tempat kost sedangkan saya di tangerang. Terus terang saya sempat kesal dengan perusahaannya itu. Saya pernah mendengar katanya kalau pun lembur tidak boleh lebih dari 8 jam! pakah itu benar? dan bagaiman cara perhitungannya dengan perusahaannya itu? saya ingin datang dan temui atasannya, tapi saya juga sedang kerja ditangerang. saya telepon tapi katanya belum datang. Mohon bantuan masukan dari rekan apa yang harus saya lakukan karena ini sepertinya sudah terlewat batas. Terima kasih atas masukannya. Jawaban :

Mengenai waktu kerja, Pasal 77 ayat (2) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disingkat UUK) hanya mengenal ketentuan waktu kerja 40 jam kerja/minggu yang dapat diatur 8 jam/hari untuk 5 hari kerja/minggu dan 7 jam/hari untuk 6 hari kerja/minggu. Itu pun hari ke-6 hanya 5 jam kerja atau yang biasa kita dengar dengan istilah kerja setengah hari. Pengecualian ketentuan di atas memang dimungkinkan dalam pasal 77 ayat (3) UUK, yaitu hanya pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Yang dimaksud ialah sektor usaha energi dan sumber daya mineral serta pertambangan yang berlokasi pada daerah tertentu. Pada sektor ini, sebagaimana diatur khusus dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.234/MEN/2003 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-15/MEN/VII/2005, maksimal waktu kerja ialah 12 jam/hari,

termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya 1 jam. Artinya tidak ada satu aturan pun yang menyatakan buruh boleh dipekerjakan selama 24 jam non stop. UU ketenagakerjaan juga mengatur kelebihan waktu kerja atau yang biasa kita kenal dengan lembur. Definisi lembur sebagaimana disebutkan dalam pasal 78 ayat (1) UUK adalah waktu kerja yang melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (2) UUK. Mengenai kelebihan waktu kerja, pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur menyatakan lembur dapat dilakukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam/minggu. Kepmenaker 102 juga memberikan berbagai persyaratan lembur seperti: adanya persetujuan buruh yang bersangkutan, perusahaan wajib membayar upah kerja lembur, memberi kesempatan istirahat secukupnya serta makanan dan minuman. Adapun penghitungan upah lembur ditentukan dengan upah per jam, sedangkan upah per jam berdasarkan Kepmenaker 102 adalah 1/173 kali upah sebulan. Dan harus diperhatikan pula bahwa upah kerja lembur per jam-nya dikalikan dengan besaran yang berbeda-beda, tergantung pada waktu kerja lembur diadakan. Apabila kerja lembur diadakan setelah jam kerja, upah kerja lembur sebesar 1,5 kali upah sejam untuk jam pertama dan untuk setiap jam berikutnya harus dibayar sebesar 2 kali upah sejam. Sedangkan lembur yang diadakan pada hari yang telah ditetapkankan sebagai hari istirahat atau libur resmi, perhitungan upah kerja lembur dibayar 2 kali upah sejam untuk jam pertama dan untuk setiap jam berikutnya dibayar 3 kali sampai 4 kali upah sejam. Berikut contoh penghitungan upah lembur. X menerima upah Rp. 1.000.000/bulan atau sama dengan Rp.5.780,3/jam (1/173 kali upah sebulan). Ia bekerja dengan waktu kerja 8 jam/hari dan 5 hari/minggu. Pada hari kerja ke-5, X diminta untuk melakukan kerja lembur selama 3 jam. Maka penghitungan upah lemburnya adalah sebagai berikut: Jam pertama Jam kedua Jam ketiga : 1,5 x Rp. 5.780,3 : 2 x Rp. 5.780,3 : 2 x Rp. 5.780,3 = Rp. 8.670 = Rp. 11.560 = Rp. 11.560

Pemberian upah kerja lembur sebagaimana ketentuan di atas merupakan kewajiban. Bahkan UUK dalam pasal 187 menyatakan pelanggaran terhadap pembayaran upah lembur merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana 1 sampai dengan12 bulan kurungan dan/atau denda Rp.10.000.000 Rp. 100.000.000. Bila mengacu kepada aturan ini, ada berbagai strategi yang bisa ditempuh. Pertama tunangan anda harus memeriksa apakah benar aturan maupun persyaratan lembur telah dipenuhi perusahaan. Selain memperhatikan kesesuaian waktu, harus ditekankan pula bahwa lembur itu sifatnya voluntary bukan kewajiban, artinya cuma bisa dijalankan kalau ada persetujuan dari buruh yang bersangkutan dan wajib dibayar oleh perusahaan.

Sedikit pengalaman dari Jerman, lembur wajib dimintakan persetujuan dari buruh yang bersangkutan. Kemudian harus didiskusikan dan dibuat jadwal serta perencanaan oleh betriebsrat (dewan buruh yang terdiri dari buruh dan pengusaha yang ada dalam sebuah perusahaan). Belajar dari pengalaman ini, bila ada, mengapa tidak melibatkan Serikat Buruh (SB) di perusahaan. Secara kolektif untuk kepentingan seluruh buruh, SB dapat untuk melakukan pembelaan, menyampaikan keluhan soal jam kerja dan lembur, serta berunding dengan pengusaha. Apabila tidak juga dipenuhi, keluhan ini dapat pula dilaporkan sebagai tindak pidana khusus ketenagakerjaan pada Pegawai Penyidik Negeri Sipil (PPNS) yang ada di Dinas Ketenagakerjaan setempat maupun kepolisian. Demikian jawaban kami. Mudah-mudahan bermanfaat.
(Tim TURC)

Sumber : TURC

Perburuhan & Tenaga Kerja pesangon (ojar karjo) Pertanyaan : Tenaga kerja kami (wanita) meninggal dunia dan meninggalkan suami tanpa anak. Kepada siapa kami memberikan pesangon? sebab kami ditekan oleh pihak adik almarhum agar pesangonnya tidak diberikan kepada suaminya, dengan alasan suaminya sepeninggal almarhum sudah menikah lagi. Mohon penjelasan. Terima kasih.Jawaban : Terima kasih Pak Ojar Karjo Untuk menjawab pertanyaan Pak Ojar, kami ingin merujuk pada Pasal 166 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini menjelaskan bahwa dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Dari ketentuan di atas terlihat bahwa perusahaan wajib memberikan pesangon dan hak buruh lainnya kepada ahli waris. Sayang pasal tersebut tidak menjelaskan lebih rinci mengenai siapa ahli waris yang dimaksud dan bagaimana mekanisme pemberian pesangon itu kepada si ahli waris. Pada praktiknya, di tiap dokumen perjanjian asuransi atau pembukaan rekening tabungan di bank, ada sebuah klausul yang menyebutkan siapa ahli waris yang

berhak menerima manfaat atas asuransi atau tabungan itu jika si empunya meninggal dunia, yaitu suami atau istri si empunya. Hal yang sama dialami oleh istri yang suaminya seorang PNS. Ketika sang suami meninggal, istri berhak atas tunjangan bulanan almarhum suaminya. Dalam kasus yang Anda sebutkan, silakan coba ditengok lagi di dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama. Barangkali disebutkan mengenai siapa ahli waris yang berhak atas pesangon maupun tunjangan lainnya. Jika disebutkan, maka Anda tinggal membayarkannya kepada yang bersangkutan. Benar bahwa masalah yang menimpa perusahaan Anda cukup pelik karena adanya 'perselisihan' antar ahli waris (suami dengan adik si istri) yang masing-masing mengaku sebagai ahli waris yang sah dari pekerja anda. Mari kita tilik dari segi hukum waris. Dalam hukum waris islam, jika istri meninggal tanpa ada anak atau cucu, maka si suami berhak atas separoh () dari harta warisan. Hal itu ditegaskan dalam Surat An-Nisa ayat 12. Dari surat itu jelas terlihat bahwa suami adalah ahli waris yang dari istri. Sedangkan ditilik dari hukum waris Barat (berdasarkan KUH Perdata), pada prinsipnya anak dan keturunan lainnya diutamakan kedudukannya sebagai ahli waris. Meski begitu, Pasal 852a KUH Perdata menyamakan posisi suami (yang ditinggal mati istrinya) dengan anak untuk menjadi ahli waris. Sementara ditinjau dari hukum waris adat yang menganut sistem parental, pada prinsipnya antara duda dan janda tidak saling mewarisi. Namun demikian, sang duda bisa menguasai harta warisan istri untuk kebutuhan biaya hidup dan memelihara anak-anaknya. Dari tiga ketentuan sistem hukum waris di atas terlihat bahwa suami bisa dikategorikan sebagai ahli waris seperti yang disebut dalam ketentuan Pasal 166 UU Ketenagakerjaan. Artinya, anda wajib menyerahkan pesangon dan tunjangan lainnya kepada suami. Ada baiknya Anda meminta para pihak mendapatkan terlebih dahulu penetapan ahli waris dari pengadilan. Jika penetapan itu ada, maka Anda bisa lebih kuat secara hukum membayarkan pesangon tersebut kepada ahli waris yang sah. Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat (IHW). (Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com

Perburuhan & Tenaga Kerja karyawan pkwt (edwardtmr) Pertanyaan : Saya bekerja pada bagian personalia disebuah perusahaan, saya mempunyai karyawan dengan status PKWT. Karyawan tersebut tidak performance seperti yang diharapkan, jadi perusahaan mau memutuskan hubungan kerja, dia bekerja sudah 4 bulan. Apa saja hak dan kewajiban perusahaan apabila memutus kontraknya di tengah jalan tersebut. Terima kasih atas perhatian. Jawaban : Pertama kita lihat dulu pengertiannya, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara (Ps. 1 (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Kepmen 100/2004). PKWT adalah perjanjian bersyarat, yakni (antara lain) dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan ancaman bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa Indonesia, maka dinyatakan (dianggap) sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) (lihat ps. 57 ayat (2) Undang-undang no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau UU Ketenagakerjaan). PKWT tidak dapat (tidak boleh) dipersyaratkan adanya masa percobaan (probation), dan apabila dalam perjanjiannya terdapat/diadakan(klausul) masa percobaan dalam PKWT tersebut, maka klausul tersebut dianggap sebagai tidak pernah ada (batal demi hukum). Dengan demikian apabila dilakukan pengakhiran hubungan kerja (pada PKWT) karena alasan masa percobaan, maka pengusaha dianggap memutuskan hubungan kerja sebelum berakhirnya perjanjian kerja. PKWT berakhir pada saat berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam klausul perjanjian kerja tersebut. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum waktunya berakhir atau sebelum paket pekerjaan tertentu yang ditentukan dalam perjanjian kerja selesai, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena pekerja/buruh meninggal, dan bukan karena berakhirnya perjanjian kerja (PKWT) berdasarkan putusan pengadilan/lembaga Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), atau bukan karena adanya keadaan-keadaan (tertentu), maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja (dalam kasus anda, pihak perusahaan) diwajibkan membayar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (Pasal 162 UU Ketenagakerjaan). Sedangkan untuk hak-hak dan kewajiban yang lainnya dapat anda lihat dalam perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja (yang bersangkutan) dengan perusahaan dan atau peraturan perusahaan dan atau kesepakatan kerja bersama dari perusahan anda. Semoga bermanfaat. Perburuhan & Tenaga Kerja Tunjangan Karyawan Kontrak (saveetree_1979)

Pertanyaan : Apakah karyawan yang masih dalam status kontrak berhak untuk memperoleh tunjangan fasilitas kerja? dan apakah bleh tunjangan itu di advance untuk 5 tahun? Terima kasih. Jawaban : Pada dasarnya, rujukan pertama yang dapat anda gunakan adalah kontrak kerja anda dengan perusahaan (asumsinya memang ada kontrak kerja) karena dalam suatu hubungan perdata berlaku asas pacta sunt servanda yang artinya perjanjian yang telah dibuat berlaku layaknya UU bagi para pihak yang membuatnya. Jadi, anda harus buka-buka lagi kontrak kerja anda, lihat pasal-pasalnya, apakah tunjangan fasilitas yang anda maksud diatur dalam kontrak tersebut. Apabila memang hal tersebut diatur dalam kontrak, apapun isinya anda harus tunduk pada kontrak. Namun begitu, bukan berarti kontrak kerja dapat mengatur apa saja semaunya perusahaan. Pasal 54 ayat (2) Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003), menegaskan bahwa kontrak kerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahan berikutnya dari ketiga norma tersebut mana yang didahulukan, bagian penjelasan UU hanya menerangkan yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Dari penjelasan tersebut, berarti tidak ada penegasan mengenai hirarkis norma mana yang didahulukan. Namun, kalau kita merujuk pada logika peraturan perundang-undangan, kedudukan UU jelas lebih tinggi dibandingkan peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama. Permasalahannya sekarang, antara peraturan perusahaan dengan perjanjian kerja bersama, mana didahulukan. Menurut Pasal 109 UU 13/2003, peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan, sehingga dapat disimpulkan bahwa peraturan perusahaan adalah norma yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan. Sementara, menurut Pasal 116, Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Dengan mendasarkan pada asas pacta sunt servanda, maka perjanjian kerja bersama dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari peraturan perusahaan (dengan asumsi serikat pekerja/buruh merupakan representasi dari kepentingan seluruh karyawan, baik karyawan tetatp maupun kontrak). Jadi kembali pada permasalahan yang ditanyakan, untuk mengetahui apakah anda sebagai karyawan kontrak berhak atau tidak mendapatkan tunjangan, maka anda perlu melihat secara teliti ketentuan dalam kontrak kerja. Hal ini juga berlaku bagi pertanyaan anda berikutnya, mengenai apakah tunjangan tersebut dapat dibayarkan secara advance.

Apabila ternyata dalam kontrak kerja tidak ada aturan mengenai hal tersebut, maka langkah selanjutnya adalah mengecek pada perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan. Berdasarkan penelusuran hukumonline, sayangnya, UU 13/2003 tidak ada pengaturan secara spesifik mengenai hal ini. UU hanya menyatakan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1). Sementara mengenai definisi pekerja, UU menyatakan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 butir 3). Jadi, UU tidak menegaskan apakah yang dimaksud pekerja meliputi karyawan permanen sekaligus karyawan kontrak. Begitu pula dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (PP 8/1981). Peraturan pemerintah ini yang hingga kini belum diperbarui tersebut sebagaimana halnya UU 13/2003 hanya mengatur mengenai kewajiban pengusaha memberikan upah. Dimana berdasarkan definisi menurut PP 8/1981 dan UU 13/2003, upah termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya. Hanya saja PP 8/1981, dalam Pasal 2 menegaskan bahwa hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Dari pasal ini dapat ditafsirkan bahwa selama pekerja/buruh memiliki hubungan kerja dengan perusahaan yang secara legal biasanya dituangkan dalam kontrak kerja, maka yang bersangkutan berhak menerima upah. (Bung Pokrol) rtanyaan : Saya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan swasta dengan masa kerja 3 tahun 9 bulan 15 hari dengan status karyawan tetap dan telah mengundurkan diri secara baik2 atas kemauan sendiri. Dengan status seperti saya tersebut, pertanyaan saya adalah : 1. Apakah saya bisa mendapatkan uang jasa? apa dasar hukumnya? 2. Bila pada akhirnya pihak perusahaan menyatakan bahwa saya tidak mendapatkan uang jasa tetapi berdasarkan peraturan yang berlaku saya dinyatakan mendapatkan hak atas uang jasa, bagaimana prosedur dan cara menyelesaikannya? Demikian pertanyaan dari saya, atas perhatiannya disampaikan terima kasih. Jawaban : Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena kemauan saudara sendiri (untuk melakukan pengunduran diri dari perusahaan tempat saudara bekerja) diatur dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Pasal 162. Bagi saudara yang melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri maka, saudara akan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) yang meliputi: a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. Biaya pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan

d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Berdasarkan Pasal 162, jenis kompensasi PHK yang dapat saudara terima/tuntut dari pengusaha, bukanlah berupa uang pesangon maupun uang penghargaan masa kerja, melainkan hanya berupa uang penggantian hak yang besarannya disesuaikan dengan masa kerja saudara yang kurang dari 5 (lima) tahun.

Bila yang saudara maksud dengan uang jasa disini adalah uang penghargaan masa kerja, maka berdasarkan UU Ketenagakerjaan anda tidak mendapatkannya. Anda hanya mendapatkan uang penggantian hak (Pasal 162 UU Ketenagakerjaan). Selain itu, juga perlu Anda pahami maksud atas kemauan sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 162 (4) UUK, dimana dinyatakan bahwa pengunduran diri adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sebaliknya, PHK selain itu (dalam hal ini atas kemauan pengusaha) harus dengan penetapan lembaga tersebut. Dengan demikian uang penggantian hak berlaku hanya pada pengunduran diri dimaksud. Dapat kami tambahkan pula bahwa pihak perusahaan mempunyai hak untuk mempertimbangkan pemberian kompensasi PHK, apabila pengunduran diri yang saudara lakukan telah sesuai dengan ketentuan normatif pada Pasal 162 ayat (3) yaitu: mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; tidak terikat dalam ikatan dinas dan tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri. Hal-hal lain yang seringkali juga dimasukan sebagai bentuk kompensasi dari pengusaha kepada pekerja dimana pelaksanannya cukup diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Oleh karena itu ada baiknya bila saudara juga melihat kembali ketentuan perjanjian kerja saudara dengan pengusaha. Bila tidak ada kesepakatan antara saudara dan perusahaan tentang hal ini (setelah melakukan perundingan bipartit untuk musyawarah mufakat), saudara dapat saja hal ini ke mengajukan persoalan ke kadisnaker setempat (perselisihan yang terjadi dicatat) untuk diperantarai atau memilih penyelesaian melalui konsiliator atau arbiter yang terdaftar. Bila tidak dicapai kesepakatan penyelesaian, salah satu pihak (saudara atau perusahaan anda) dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Kami menyarankan agar anda menghubungi konsultan hukum anda untuk membahas hal ini lebih lanjut. Demikian, semoga bermanfaat. (Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com

Perburuhan & Tenaga Kerja Tentang Uang Pisah (valih) Pertanyaan : Dalam peraturan perusahaan saya apabila pekerja mengundurkan diri dari perusahaan maka "Pekerja yang mengundurkan diri akan menerima uang penghargaan masa kerja dan ganti rugi sesuai ketentuan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 156". Bagaimana dengan uang pisah kalau tidak di atur dalam perusahaan? Ini berarti perusahaan memberikan saya uang penghargaan masa kerja sesuai UU Ketenagakerjaan, kan? Mohon penjelasannya. Jawaban : Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) merupakan kaidah heteronom, sedangkan kaidah otonomnya diatur dalam perangkat peraturan perusahaan dan perjanjian kerja. Maksudnya adalah UU Ketenagakerjaan hanya memuat hal-hal yang sifatnya ketentuan paling minimal yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan, dan pengaturan yang lebih lengkap harus diatur dalam perangkat peraturan perusahaan (peraturan kerja, peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama). Hubungan kerja adalah merupakan salah satu hubungan hukum yang timbul atau lahir karena perjanjian, yakni perjanjian kerja (perjanjian perburuhan). Dengan adanya perjanjian tersebut, maka lahir perikatan yaitu perikatan dalam hubungan kerja, yang mewajibkan kepada para pihak untuk menunaikan kewajiban dan menuntut hak masing-masing (prestasi dan kontra prestasi). Dalam melihat apa saja hak dan kewajiban dari para pihak (pekerja dan pengusaha) yang harus diperhatikan bila terjadi peristiwa hukum (PHK karena mengundurkan diri), maka pekerja selain melihat UU Ketenagakerjaan juga harus meneliti kembali perjanjian kerja dan peraturan perusahaan nya. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang uang pisah bila si pekerja mengundurkan diri, pekerja hanya mendapat uang penghargaan masa kerja dan ganti rugi saja. UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa besaran dan pengaturan tentang uang pisah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian kerja bersama. Dalam kasus saudara, dimana uang pisah tidak diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, anda sebaiknya mengajak serikat pekerja di tempat saudara untuk bersama-sama mengajukan revisi atas peraturan perusahaan, dan kalau memungkinkan untuk membahas pembuatan perjanjian kerja bersama, sehingga hak-hak dari pekerja dapat dilindungi. Demikianlah semoga bermanfaat

Perburuhan & Tenaga Kerja Jam Kerja dan Kontrak Kerja (eddy_nah) Pertanyaan : Berapa jam kerja dalam 1 minggu menurut peraturan yang berlaku di Indonesia dan dasar hukumnya? Untuk kontrak permanen benarkah bila sudah 3 x kontrak maka perusahaan harus memberikan kontrak permanen atau harus di PHK dan dasar hukumnya? Terimakasih. Jawaban : Aturan yang mengatur tentang jam kerja dapat kita lihat dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dalam pasal 77 dan 76. Disebutkan dalam pasal 77 bahwa untuk waktu satu minggu kerja bisa diadakan untuk 6 (enam) hari atau 5 (lima) hari kerja. Kalau memilih satu minggu dengan 6 (enam) hari kerja maka perhari nya adalah 7 (tujuh) jam; sedangkan untuk satu minggu dengan 5 (lima) hari kerja maka perhari nya adalah 8 (delapan) jam. Sektor-sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat diadakan pengecualian, yang diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri yang terkait. Dalam UU Ketenagakerjaan dikenal dua bentuk hubungan kerja yaitu hubungan kerja dengan waktu tidak tertentu dan hubungan kerja dengan waktu tertentu. Hubungan kerja waktu tidak tertentu biasanya disebut juga sebagai pekerjaan tetap atau yang saudara sebut sebagai kontrak permanen. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui (ps.59 ayat 3) dengan jangka waktu diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun (ps.59 ayat 4). Ketentuan tentang perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini tatacara diatur dalam ayat 5 dan 6 ps.59 UU Ketenagakerjaan. Ayat 5 menyatakan bahwa Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Dan ayat 6 nya menyebutkan bahwa pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Bila ketentuan dalam perpanjangan dan pembaharuan ini tidak dilakukan atau dilanggar, maka akan berakibat demi hukum perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak) berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (tetap/ kontrak permanen). Demikianlah semoga bermanfaat. (Bung Pokrol)

Perburuhan & Tenaga Kerja Meninggal saat proses PHK (kacung) Pertanyaan : Rekan saya dalam proses PHK setelah sebelumnya melewati masa skorsing. Beberapa kali sidang di P4D dan putusan akhir P4D (15 Maret 2005) menyatakan Perusahaan wajib membayar pesangon kepada rekan saya tapi Perusahaan mengajukan banding ke P4P (28 Maret 2005) dan rekan saya juga mengajukan kontra banding. Namun pada 19 September 2005 rekan saya meninggal karena sakit. Bagaimana status rekan saya apakah otomatis PHK atau proses di P4P masih berlanjut. Sampai saat ini belum juga ada kelanjutan (surat) dari P4P mengenai proses PHK tersebut sejak April 2005. Terima kasih. Jawaban :

Pada umumnya, acuan utama atas masalah perburuhan/tenaga kerja dan sengketa hubungan industrial adalah Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) ataupun Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004) beserta peraturan pelaksananya. Namun, berdasarkan penelusuran kami, peraturan perundangan tersebut tidak mengatur status suatu perselisihan perburuhan apabila penggugat meninggal dunia di tengah-tengah proses hukum. Oleh karena itu, sesuai Pasal 57 UU 2/2004, kita harus mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, pada umumnya mengacu pada HIR (singkatannya). Namun, ternyata HIR pun tidak mengatur hal tersebut di atas. Jika HIR tidak mengatur, lazimnya praktisi hukum, termasuk hakim, mengacu pada Rv (Reglement of de Burgeryke Rechtsvordering). Berdasarkan Pasal 248 dan 250 (3) Rv kalau salah satu pihak meninggal dunia, maka setelah kematian diberitahukan, pemeriksaan perkara terhenti (lazim disebut schorsing) dan tindakan persidangan setelahnya menjadi tidak sah. Namun demikian, dalam praktek ahli waris dari almarhum penggugat dapat melanjutkan gugatan. Beberapa referensi dapat ditemukan dalam literatur (lihat Hukum Acara Perdata Indonesia, Prof. Sudikno Mertokusumo, hal. 104-105, mengutip putusan Landraad/Pengadilan Negeri (PN) Jember, 14 April 1932 dan PN Kutoarjo, 14 Oktober 1933) maupun panduan bagi hakim (lihat Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Tekhnis Peradilan Buku II (lazim disebut Buku MA) bagian kedua angka 25, hal. 116). Oleh karena itu, ahli waris dari rekan anda dapat menggantikan almarhum untuk melanjutkan proses hukum yang berlangsung. Seharusnya, ahli waris tidak perlu memulai proses hukum dari awal, namun cukup melanjutkan proses yang tengah berlangsung. Mereka perlu memberitahukan fakta tersebut berikut bukti-buktinya (misalnya surat keterangan kematian) kepada P4P atau Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial. Penting untuk diperhatikan bahwa UU 2/2004 mulai berlaku pada 14 Januari 2006 dan seluruh perkara yang masih diperiksa oleh P4P akan dilimpahkan pada Mahkamah

Agung (MA). Proses pelimpahan ini sangat mungkin akan memperlambat proses penyelesaian perkara rekan anda.

Perburuhan & Tenaga Kerja Tunjangan Karyawan Kontrak (saveetree_1979) Pertanyaan : Apakah karyawan yang masih dalam status kontrak berhak untuk memperoleh tunjangan fasilitas kerja? dan apakah bleh tunjangan itu di advance untuk 5 tahun? Terima kasih. Jawaban : Pada dasarnya, rujukan pertama yang dapat anda gunakan adalah kontrak kerja anda dengan perusahaan (asumsinya memang ada kontrak kerja) karena dalam suatu hubungan perdata berlaku asas pacta sunt servanda yang artinya perjanjian yang telah dibuat berlaku layaknya UU bagi para pihak yang membuatnya. Jadi, anda harus buka-buka lagi kontrak kerja anda, lihat pasal-pasalnya, apakah tunjangan fasilitas yang anda maksud diatur dalam kontrak tersebut. Apabila memang hal tersebut diatur dalam kontrak, apapun isinya anda harus tunduk pada kontrak. Namun begitu, bukan berarti kontrak kerja dapat mengatur apa saja semaunya perusahaan. Pasal 54 ayat (2) Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003), menegaskan bahwa kontrak kerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahan berikutnya dari ketiga norma tersebut mana yang didahulukan, bagian penjelasan UU hanya menerangkan yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Dari penjelasan tersebut, berarti tidak ada penegasan mengenai hirarkis norma mana yang didahulukan. Namun, kalau kita merujuk pada logika peraturan perundang-undangan, kedudukan UU jelas lebih tinggi dibandingkan peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama. Permasalahannya sekarang, antara peraturan perusahaan dengan perjanjian kerja bersama, mana didahulukan. Menurut Pasal 109 UU 13/2003, peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan, sehingga dapat disimpulkan bahwa peraturan perusahaan adalah norma yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan. Sementara, menurut Pasal 116, Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Dengan mendasarkan pada asas pacta sunt servanda, maka perjanjian kerja bersama dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari peraturan

perusahaan (dengan asumsi serikat pekerja/buruh merupakan representasi dari kepentingan seluruh karyawan, baik karyawan tetatp maupun kontrak). Jadi kembali pada permasalahan yang ditanyakan, untuk mengetahui apakah anda sebagai karyawan kontrak berhak atau tidak mendapatkan tunjangan, maka anda perlu melihat secara teliti ketentuan dalam kontrak kerja. Hal ini juga berlaku bagi pertanyaan anda berikutnya, mengenai apakah tunjangan tersebut dapat dibayarkan secara advance. Apabila ternyata dalam kontrak kerja tidak ada aturan mengenai hal tersebut, maka langkah selanjutnya adalah mengecek pada perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan. Berdasarkan penelusuran hukumonline, sayangnya, UU 13/2003 tidak ada pengaturan secara spesifik mengenai hal ini. UU hanya menyatakan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1). Sementara mengenai definisi pekerja, UU menyatakan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 butir 3). Jadi, UU tidak menegaskan apakah yang dimaksud pekerja meliputi karyawan permanen sekaligus karyawan kontrak. Begitu pula dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (PP 8/1981). Peraturan pemerintah ini yang hingga kini belum diperbarui tersebut sebagaimana halnya UU 13/2003 hanya mengatur mengenai kewajiban pengusaha memberikan upah. Dimana berdasarkan definisi menurut PP 8/1981 dan UU 13/2003, upah termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya. Hanya saja PP 8/1981, dalam Pasal 2 menegaskan bahwa hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Dari pasal ini dapat ditafsirkan bahwa selama pekerja/buruh memiliki hubungan kerja dengan perusahaan yang secara legal biasanya dituangkan dalam kontrak kerja, maka yang bersangkutan berhak menerima upah. (Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com

Perburuhan & Tenaga Kerja PHK Kessalahan berat (dzakwan) Pertanyaan : Seorang security telah tidur pada saat bertugas sehingga barang yang dijaga didekatnya hilang (harga barang puluhan juta rupiah). Apakah security tersebut boleh langsung diphk atau harus melalui persidangan di pengadilan, sementara pada saat pemeriksaan polisi dinyatakan bahwa security tersbut tidak terlibat dengan pencurian barang tersebut, hanya benar-benar tidur pada saat bertugas (menyalahi prosedur kerja), kemana pengusaha harus mengadukan, apakah ke P4D atau harus ke pengadilan dulu dan bagaimana jika security tersebut langsung di PHK. Apa maksud keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pembatalan pasal 158 UU no 13 tahun 2003?

Jawaban : Apabila kesalahan yang dilakukan oleh Security (tertidur sewaktu bertugas dan dianggap telah menyalahi prosedur kerja), termasuk ke dalam pengertian kesalahan berat yang ditetapkan dalam peraturan perusahaan (atau perjanjian kerja) Bapak, maka perusahaan dapat melakukan PHK, dan kemudian melaporkan PHK tersebut kepada P4D. PHK ini diberikan setelah perusahaan memberikan surat peringatan kepada Security tersebut terlebih dahulu (lihat pasal 161 UU Ketenagakerjaan). Kemudian, Bapak telah melaporkan kepada pihak kepolisian dan setelah dilakukan pemeriksaan ternyata orang tersebut tidak terlibat dalam pencurian. Upaya hukum (pidana) ini, hanya bisa Bapak lakukan sampai pada tahap pelaporan kepada yang berwenang melakukan penyidikan, dalam hal ini kepolisian. Ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan, Bapak dapat mendiskusikan dengan pengacara yang Bapak pilih. Pada rubrik direktori di situs kita ini terdapat daftar pengacara dan konsultan hukum yang dapat Bapak pilih. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya mengatakan bahwa pasal 158 telah memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Ini jelas akan mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan dalam hal PHK. Salah satu misi yang hendak diusung dalam UU Ketenagakerjaan yang baru ini adalah perlindungan terhadap buruh dari tindakan sewenang-wenang dari pengusaha. Pasal 158, salah satu diantara beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh putusan MK 012/PUU-1/2003 (termasuk didalamnya pasal 159, 160 ayat 1, 170 dan 171), bila tetap berlaku maka perlindungan terhadap buruh akan sulit dilaksanakan. Semoga bermanfaat. (Bung Pokrol) Perburuhan & Tenaga Kerja Pesangon (sofian_fox) Pertanyaan : Saya adalah karyawan dari salah satu perusahaan swasta yang berdomisili di Jakarta, saya telah bekerja di perusahaan ini sejak tahun 2000 hingga kini dengan status sbb: 1. Kontrak I thn 20002002, 2. Kontrak II thn 2002-2003, 3. Kontrak III thn 2003-2004, dan 4. Kontrak IV thn 2004hingga kini. Sampai sekarang status saya masih kontrak, ada beberapa yang ingin saya tanyakan: 1. Apakah benar menurut UU Ketenagakerjaan perusahaan saya yang telah mengikat kontrak kerja terhadap saya hingga 4 kali periode? 2. Kontrak saya akan berakhir bulan ini, di perusahaan saya berlaku bahwa jika seorang karyawan tidak mau diperpanjang kontraknya, maka saya dianggap mengundurkan diri dan tidak dapat pesangon, tolong berikan pasal dari UU Ketenagakerjaan bahwa apa yang berlaku di perusahaan benar/salah

3. Apakah hitungan masa kerja pesangon dihitung jika seorang karyawan telah bekerja selama 3 tahun dan bukan dihitung waktu tahun pertama karyawan bekerja Atas perhatiannya, saya ucapkan banyak terima kasih atas informasi yang diberikan. Jawaban : Pekerjaan kontrak dalam Undang-udang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dikategorikan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu perjanjian yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu; a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; dan d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru , kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan. Pertama, Bapak perlu mengetahui dulu apakah pekerjaan Bapak termasuk dalam kategori pekerjaan seperti yang disebutkan diatas atau tidak, bila tidak maka jenis pekerjaan Bapak sudah termasuk dalam kategori pekerjaan yang bersifat tetap dan kontrak Bapak batal demi hukum sehingga status Bapak seharusnya menjadi karyawan tetap. Tetapi apabila jenis pekerjaan Bapak sesuai dengan kategori diatas, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : pertama untuk PKWT tidak disyaratkan adanya masa percobaan kerja. Apabila dulu Bapak mengikuti masa percobaan kerja maka percobaan kerja tersebut batal demi hukum. Kedua untuk PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui. Tetapi untuk jenis pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru dan produk tambahan tidak dapat dilakukan pembaharuan. Pembaharuan kerja ini hanya dapat diadakan setelah melebihi tenggang waktu 30 hari setelah PKWT yang lama berakhir dan hanya boleh dilakukan 1 kali untuk waktu paling lama 2 tahun. Menurut pasal 59 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, perjanjian waktu tertentu yang didasarkan atas waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dan apabila perjanjian ini diperpanjang, selambat-lambatnya tujuh (7) hari sebelum berakhir, pengusaha harus memberitahukan dulu secara tertulis kepada pekerja yang bersangkutan. Untuk itu bila pekerjaan Bapak sudah termasuk dalam kategori PKWT maka Bapak dapat melihat apakah ketentuan seperti yang saya sebutkan diatas cocok dengan perjanjian kontrak Bapak atau tidak. Bila kontrak tersebut menyimpang dari ketentuan maka demi hukum PKWT tersebut menjadi perjanjian waktu tidak tertentu atau menjadi pekerjaan tetap. Untuk menjawab persoalan tidak memperpanjang kontrak, sebaiknya Bapak mengetahui dulu status Bapak ( berdasarkan uraian di atas) karena bila ternyata status Bapak adalah sudah menjadi karyawan tetap maka kontrak Bapak tersebut tidak dapat berlaku lagi dan Bapak dapat menuntut pihak perusahaan untuk bisa menjadikan Bapak menjadi karyawan tetap. Dan apabila Bapak bulan ini tidak lagi dipekerjakan maka Bapak berhak untuk dapat uang pesangon. Tetapi apabila status Bapak adalah karyawan kontrak maka Bapak perlu mengetahui apakah pekerjaan dalam PKWT di perusahaan Bapak mencantumkan batasan selesainya suatu pekerjaan atau tidak. Tetapi apabila pekerjaan tersebut belum selesai karena kondisi tertentu sedangkan dalam ketentuan dalam PKWT seharusnya sudah berakhir maka dapat dilakukan pembaharuan PKWT.dan kontrak Bapak bisa diperpanjang oleh si

perusahaan. Tetapi apabila Bapak menolak memperpanjang maka Bapak dianggap mengundurkan diri. Sebenarnya dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada pasal yang menyebutkan tentang ketentuan seperti di perusahaan Bapak, tetapi dapat saya jelaskan bahwa dalam pasal 62 disebutkan apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Sebenarnya untuk karyawan kontrak, ketika kontraknya berakhir dia tidak mendapatkan uang pesangon. Yang dapat uang pesangon hanyalah karyawan yang statusnya sudah menjadi karyawan tetap. Mengenai uang pesangon, dihitung sesuai dengan masa kerja dan tidak benar apabila dihitung setelah bekerja selama 3 tahun. (LBH Jakarta)

Sumber : LBH Jakarta


Perburuhan & Tenaga Kerja Pemotongan upah (iwbm3) Pertanyaan : Saya adalah general manager disebuah perusahaan yang bergerak di bidang retail. Pertanyaan saya berkisar pada beberapa karyawan kami yang sering sekali datang terlambat dan sudah berkali-kali diperingatkan tapi tetap saja datang terlambat. Nah untuk mendisiplinkan mereka apakah diperbolehkan memotong upah pekerja yang datang terlambat berdasarkan gaji per jam orang tersebut (gaji bulanan / hari kerja / jam kerja dlm 1 hari). Sebab menurut UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 93 ayat 1 dan pasal 95 ayat 1, Pihak perusahaan diperbolehkan memberi denda pada karyawan yang tidak melakukan pekerjaannya (karena tidak datang pada jam mulai kerja). Apakah ini betul? Jika hal ini tidak diperbolehkan apakah yang kami harus lakukan? Apakah tidak ada tindakan displiner selain mem-phk karyawan (dimana menurut saya itu yang mereka mau agar mendapat pesangon). Terima kasih. Jawaban : Memang benar berdasarkan Pasal 95 ayat (1) pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat didenda, namun denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan (Pasal 20 Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah). Jika tanpa kedua dasar itu pihak perusahaan tidak dapat menjatuhkan denda pada karyawan. Besarnya denda itupun harus ditentukan dalam perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan tersebut dan harus dinyatakan dalam mata uang RI. Untuk mem-PHK karyawan, dalam kasus ini pihak perusahaan tidak dapat langsung mem-PHK. Pihak perusahaan harus terlebih dahulu mengeluarkan surat peringatan sebanyak 3 kali kepada karyawan (lihat lebih lanjut dalam pasal 161 UU 13 Tahun 2003). Pihak perusahaan harus sedapat mungkin menghindari PHK tetapi jika dengan segal upaya tidak dapat dihindari, maka PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan buruh/pekerja atu dengan serikat buruh/serikat pekerja jika ada.

Namun jika pihak perusahaan tidak menginginkan PHK, perusahaan tidak dapat sewenang-wenang memperlakukan karyawan dengan tidak memberikan pekerjaan, memaksa karyawan untuk mengundurkan diri dan sebagainya. Pihak perusahaan tidak dapat menghindari PHK dengan cara-cara yang merugikan karyawan,dengan kata lain sebaiknya perusahaan mem-PHK karyawan dengan membayar seluruh hak karyawan. Jika hal itu terjadi karyawan mempunyai hak untuk menggugat perusahaan, dan perusahaan akan lebih merugi dengan gugatan tersebut. Jadi tindakan disipliner yang dapat dilakukan berupa membuat peraturan perusahaan atau perjanjian tertulis yang jelas dan dapat diketahui serta dipahami oleh karyawan. (LBH Jakarta)

Sumber : LBH Jakarta

Perburuhan & Tenaga Kerja Hubungan Ketenagakerjaan di dalam Yayasan (hilalibrahim) Pertanyaan : Bagaimana sebetulnya secara umum hubungan intern pekerjaan diatur dalam suatu badan hukum yayasan. Apakah yayasan tersebut harus menundukkan diri pada institusi depnaker/dinas tenaga kerja.Bila terjadi konflik di kemudian hari, bagaimana lantas mekanisme penyelesaian konfliknya? Jawaban :

Kami asumsikan "hubungan internal pekerjaan di yayasan" adalah hubungan kerja antara pegawai dan pengurus dari suatu yayasan. Berangkat dari titik tolak ini, yayasan sebagai salah satu badan hukum sosial termasuk ke dalam pengertian perusahaan menurut ketentuan umum dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UU Ketenagakerjaan"). Pada ketentuan umum UU tersebut disebutkan pengertian dari Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian di atas maka yayasan sebagai salah satu badan hukum sosial tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara Yayasan dalam hal ini diwakili oleh pengurus dengan pihak pekerja. Segala hal tentang tata cara hubungan kerja antara pengurus dan pekerja, termasuk didalamnya mengenai konflik yang muncul. Mekanisme dalam menghadapi konflik (atau dalam term ketenagakerjaan perselisihan) yang muncul, akan mengacu pada ketentuan peraturan perundangan bidang

ketenagakerjaan, dalam hal ini Undang-undang No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ("UU No.2/2004").
(Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com

Perburuhan & Tenaga Kerja beda karyawan harian dan bulanan ? (heri.purnomo) Pertanyaan : Sebenarnya apa perbedaan antara pekerja harian dan pekerja bulanan?... terimakasih Jawaban :

Bila kita bicara mengenai pekerja harian maka acuan kita adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-100/Men/VI/2004 tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kepmen 100/2004). Dalam Kepmen 100/2004 disebutkan bahwa untuk dapat dikateforikan sebagai pekerja/ buruh harian harus mengikuti beberapa ketentuan, diantaranya lama bekerja dalam 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi dari 21 (duapuluh satu) hari kerja. Disamping itu si Pengusaha/ Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh harian lepas wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis. Bentuk perjanjiannya dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tersebut, dan sekurang-kurangnya memuat: a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja; b. nama/alamat pekerja/buruh; c. jenis pekerjaan yang dilakukan; d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya. Daftar pekerja/buruh tersebut disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh harian lepas. Pelanggaran dari ketentuan di atas dapat mengakibatkan berubahnya status pekerja/ buruh dari pekerja/ buruh harian (pekerja kontrak) menjadi pekerja/ buruh tetap. Untuk Pekerja/ Buruh Bulanan dapat kita bagi menjadi dua, yaitu pekerja/ buruh bulanan yang berdasarkan perjanjian kerja kontrak dan pekerja/ buruh bulanan yang berdasarkan perjanjian kerja tetap. Ketentuan yang mengatur pekerja/ buruh bulanan yang kontrak mengacu pada Kepmen 100/2004 sedangkan untuk pekerja/ buruh bulanan tetap mengacu pada ketentuan umum ketenagakerjaan seperti diatur dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketanegakerjaan ("UU 13/2003").
(Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com

Perburuhan & Tenaga Kerja upah selama masa skorsing (jakartabaru2) Pertanyaan : Menurut UU 13 /2003 pasal 155 ayat (3) dikatakan bahwa Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 155 ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah berserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Selama masa skorsing dalam proses pemutusan hubungan kerja, 4 bulan pertama dibayar 75% alasannya di PK perusahaan ditentukan hal tersebut. Pada bulan ke 5 dan 6 dibayar 100% karena PK telah diperbaharui. Tetapi setelah sidang P4D diadakan dan belum ada keputusan dari P4D, perusahaan tidak bersedia membayar upah dan hak-hak lain yang biasa diterima pekerja lagi. Pertanyaan saya: apakah benar hal yang dilakukan perusahaan dan dasar hukumnya apa ? Jika hal diatas merupakan penyimpangan, tindakan apa yang dapat dilakukan pekerja? Jawaban : Pasal 155 ayat 3 Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur tentang pengecualian cara pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam pasal 151 UU Ketenagakerjaan. Dimana bila terjadi perselisihan perburuhan antara pekerja/buruh dengan pengusaha maka si

pengusaha dapat melakukan skorsing kepada si pekerja, walaupun perselisihan tersebut masih dalam proses pemutusan hubungan kerja, dan pengusaha tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Bila dalam kasus saudara si pengusaha atau perusahaan tetap tidak mau membayarkan Ketenagakerjaan upah atau melaksanakan dapat kewajiban lainnya ke menurut UU

maka

pekerja

melaporkannya

Disnaker

Bidang

pengawasan ketenagakerjaan. Karena tindakan yang dilakukan oleh perusahaan saudara bertentangan dengan aturan peraturan yang berlaku (UU Ketenagakerjaan). (Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com

Perburuhan & Tenaga Kerja Pegawai kontrak dan pasal 62 (moengil) Pertanyaan : saya adalah pekerja waktu tertentu yang dibayar bulanan, yang mengundurkan diri sebelum masa kontrak habis. Alasan mengundurkan diri adalah tidak ada job description yang jelas (saya diperintahkan bekerja untuk kepentingan pribadi atasan saya, sebagai distributor MLM). Apakah pasal 62 berlaku? Apakah saya harus mengganti senilai uang kontrak yang belum saya terima? Saat ini perusahaan menahan ijazah saya sebagai jaminan agar saya membayar penalty tersebut. Jawaban : Menurut UU Ketenagakerjaan pasal 61 ayat 1 perjanjian kerja berakhir apabila: (a) pekerja meninggal dunia; (b) berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; (c) adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau (d) adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena hal-hal yang di atas, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (pasal 62 UU Ketenagakerjaan). Dalam hal ini karena saudara yang mengajukan pemutusan hubungan kerja PKWT maka anda sebagai pihak yang mengundurkan diri diwajibkan oleh UU untuk membayar sejumlah uang sebesar upah sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Jadi dalam hal ini, menurut kami pasal 62 UU Ketenagakerjaan tetap berlaku. Disamping itu, UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigasi RI No.Kep-100/Men/VI/2004) tidak menyebutkan atau mengatur tentang persoalan pihak pekerja PKWT yang mengundurkan diri, karena persoalan pengunduran diri

hanya dikenal pada jenis hubungan kerja yang bersifat tidak tertentu (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). (Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com

Perburuhan & Tenaga Kerja perjanjian pemborongan pekerjaan (andre_aw2003) Pertanyaan : Masalah-masalah apa saja yang harus dicermati dalam pemborongan pekerjaan? Terimakasih. Jawaban : Pada saat ini, sedangkan berkembang wacana untuk merevisi UU No.13 tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sebagai antisipasi terhadap persoalan ketenagakerjaan dan investasi di Indonesia, dan salah satu yang menjadi sorotan adalah persoalan outsourcing. Namun, kita tidak akan membahas hal tersebut di sini, tetapi kepada salah satu aspek dalam outsourcing, yaitu pemborongan pekerjaan. Sebagai dasar dan acuan dalam perjanjian pemborongan adalah UU Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain (Kepmen 220/2004). Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis (diatur dalam ps.64 - ps.66 UU Ketenagakerjaan). Dalam pemborongan pekerjaan terdapat tiga kelompok yang berkepentingan, yaitu Perusahanan Pemberi Pekerjaan Pemborongan (Perusahaan Pemberi Pemborongan), Perusahaan Penerima Pekerjaan Pemborongan (Perusahaan Penerima Pemborongan), dan Pekerja. Perusahaan Pemberi Pemborongan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan. Hal ini dilaksanakan melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Didalamnya wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja yang muncul. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemborongan perkerjaan ini, yaitu: 1. Bentuk Perusahaan, dan 2. Jenis Pekerjaan. Dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan yang harus diperhatikan adalah apakah perusahaan tersebut berbadan hukum atau tidak, karena penyerahan ini hanya dapat diberikan kepada perusahaan

yang berbadan hukum (Ps.3 (1) Kepmen 220/2004). Ada beberapa pengecualian terhadap hal ini (dapat dilihat dalam Ps.3 (2) dan Ps.4 Kepmen 220/2004). Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Perusahaan Pemberi Pemborongan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja Perusahaan Pemberi Pemborongan; d. tidak menghambat proses produksi secara langsung artinya kegiatan tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya. Disamping itu, Perusahaan Pemberi Pemborongan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan (yang akan diserahkan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan). Perusahaan Pemberi Pemborongan juga harus menetapkan jenisjenis pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang. Kemudian melaporkan semua ini kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Demikianlah semoga bermanfaat. (Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com
Perburuhan & Tenaga Kerja perselisihan perburuhan (sagitaku) Pertanyaan : Apakah ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU no 13 th. 2003 dapat disimpangi dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kesepakatan Kerja Bersama yang dibuat oleh pihak ybs? Penyelesaian perselisihan perburuhan yang bagaimanakah yang bisa diambil oleh para tenaga kerja berjangka waktu tertentu? Apakah dalam penyelesaian perselihan tersebut, ketentuan dalam UU no 13 th 2003 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan juga berlaku bagi para tenaga berjangka waktu tertentu? Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih. Jawaban : Suatu ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak boleh disimpangi/bertentangan dengan Kesepakatan Kerja Bersama yang dibuat oleh pihak yang bersangkutan. Namun demikian suatu Kesepakatan Kerja Bersama dapat saja mengembangkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003 selama hal tersebut tidak bertentangan dan memberikan kondisi atau keadaan yang jauh lebih baik untuk semua pihak terutama para tenaga kerja. Pada dasarnya peraturan pemerintah baik Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (Permenaker RI No. PER02/MEN/1993), tidak mengatur secara terperinci mengenai penyelesaian perselisihan perburuhan untuk tenaga kerja waktu tertentu. Namun demikian apabila kita tinjau lebih jauh, suatu tenaga kerja waktu tertentu dengan kata lain tenaga kerja kontrak melakukan suatu pekerjaan pada suatu perusahaan berdasarkan kontrak kerja yang telah dibuat dan ditandatangani oleh tenaga kerja kontrak tersebut dengan pihak perusahaan yang mempekerjakannya. Sehingga dengan demikian, apabila terjadi suatu perselisihan, maka penyelesaian perselisihan yang dapat dilakukan/diambil oleh tenaga kerja kontrak tersebut adalah penyelesaian perselisihan perburuhan sebagaimana yang tercantum didalam kontrak tersebut di atas. Pada dasarnya peraturan pemerintah baik Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (Permenaker RI No. PER02/MEN/1993), tidak mengatur secara terperinci mengenai penyelesaian perselisihan perburuhan untuk tenaga kerja waktu tertentu. Sehingga penyelesaian perselisihan yang dapat dilakukan/diambil oleh tenaga kerja kontrak tersebut adalah penyelesaian perselisihan perburuhan sebagaimana yang tercantum didalam kontrak yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak tenaga kerja waktu tertentu dengan pihak perusahaan. (Mulyadi S.H., LL.M)

Sumber : Ikatan Advokat Indonesia

Perburuhan & Tenaga Kerja Tunjangan (abuhandi) Pertanyaan : JIka perhitungan lembur berdasarkan upah (gaji pokok ditambah tunjangan tetap), bagaimana dengan perhitungan absent, apakah pemotongannya berdasarkan upah (gaji pokok ditambah tunjangan tetap) atau berdasarkan gaji pokok saja ? Saya tidak dapat mengakses dokumen SE11/M/BW/1990, dapatkah pengasuh memberikan sedikit penjelasan atas "tidak masuk kerja" berdasarkan SE tersebut ? Terimakasih. Jawaban : Berdasarkan surat edaran dari Menteri Tenaga Kerja No. SE-11/M/BW/1990 dinyatakan bahwa dasar perhitungan upah minimum yang telah ditetapkan bagi masing-masing daerah atau sektoral, kecuali bagi perusahaan yang telah memberikan lebih dari upah minimum. Sehingga dengan demikian perhitungan absen bukan berdasarkan upah yang merupakan gaji pokok ditambah tunjangan tetap.

Yang dimaksud dengan tidak masuk kerja pada SE-11/M/BW/1990 adalah pengertian tidak masuk kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) butir b Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981, yaitu tidak masuk kerja karena alasanalasan sebagai berikut; a. Buruh sendiri kawin, dibayar untuk selama 1 (satu) hari; b. Menyunatkan anaknya, dibayar untuk selama 1 (satu) hari; c. Membaptiskan anak, dibayar untuk selama 1 (satu) hari; d. Mengawinkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; e. Anggota keluarga meninggal dunia, yaitu suami/istri, orang tua/mertua atau anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; f. Istri melahirkan anak, dibayar untuk selama 1 (satu) hari. Sebagai bahan informasi yang perlu untuk diketahui, bahwa atas ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, telah terdapat perubahannya dengan berdasarkan pada Pasal 93 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu; a. Pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari; b. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; c. Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; d. Membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; e. Istri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; f. Suami/istri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; g. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari. (Mulyadi S.H., LL.M)

Sumber : Ikatan Advokat Indonesia

Perburuhan & Tenaga Kerja Status hukum outsourcing (ivvy_la) Pertanyaan : Saya pegawai outsourcing salah satu bank, yang ingin saya tanyakan apakah benar bahwa outsourcing di Indonesia belum ada dasar hukum yang mengaturnya? Sehingga karyawan tidak mempunyai bargaining power? Terima kasih Jawaban : Outsourcing ini biasanya melibatkan perusahaan (pemberi pekerjaan, misalnya perusahaan ABC), perusahaan perusahaan penerima pekerjaan atau perusahan penyedia jasa pekerja/buruh (misalnya XYZ), dan pekerja/buruh. Yang harus diperhatikan disini tentang hubungan kerja yang terjadi, dimana hubungan kerja adalah antara XYZ (perusahaan penerima pekerjaan, dalam perjanjian pemborongan, atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh) dengan pekerja/ buruh.

Persoalan outsourcing sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan kita dalam hal ini bisa dilihat dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dalam hal ini dalam pasal 64 sampai dengan pasal 66. Disamping itu juga dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004). Dalam UU Ketenagakerjaan yang termasuk kedalam jenis hubungan kerja yang bersifat outsourcing adalah perjanjian pemborongan pekerjaan dan atau penyediaan jasa pekerja/buruh dimana perjanjiannya dibuat secara tertulis. Demikian semoga bermanfaat. (Bung Pokrol)

Sumber : Hukumonline.com

You might also like