You are on page 1of 24

Pengenalan Clinical Pathways dan manfaatnya

Dr. Dody Firmanda, Sp.A, MA Ketua Komite Medik RSUP Fatmawati, Jakarta. Pendahuluan Dalam rangka untuk menjaga mutu layanan rumah sakit (dalam hal ini quality assurance) yang mencakup standar pelayanan (medis, perawat, apoteker dan penunjang), audit (medis dan manajemen) dan peningkatan mutu berkesinambungan - maka diperlukan suatu instrumen yang dapat merangkum seluruh kegiatan dan upaya tersebut di atas dalam penyelenggaraan layanan kesehatan yang terpadu di rumah sakit melalui Clinical Pathways.

Definisi Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.1,2,3

Disampaikan pada Acara Peningkatan Kemampuan Petugas Rumah Sakit Jiwa dalam Persiapan Akreditasi diselenggarakan oleh Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI di Hotel Salak, Bogor 7 10 Oktober 2011. 1 Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005. 2 Firmanda D. Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005. 3 Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.

Clinical Pathways dalam Tata Kelola Klinis (Clinical Governance) dan Sistem Pembiayaan Casemix Clinical Pathways merupakan kombinasi pertemuan antar Clinical Governance dan Sistem Pembiayaan Casemix. INA-DRG adalah versi Departemen Kesehatan RI untuk sistem pembiayaan berdasarkan pendekatan sistem casemix. Sistem casemix adalah suatu cara sistem pembiayaan berdasarkan pengelompokan jenis diagnosis kasus yang homogen. Secara ringkasnya sistem casemix terdiri dari 3 komponen utama yakni kodefikasi diagnosis (ICD 10) dan prosedur tindakan (ICD 9 CM), pembiayaan (costing) yang dapat berupa top-down approach, activity based costing dan atau kombinasi keduanya, dan clinical pathways. Untuk saat ini INA-DRG yang disusun berdasarkan data dari 15 rumah sakit vertikal Depkes RI (tipe A, B dan rumah sakit khusus) telah berhasil membuat 23 MDC (Major Diagnostic Categories).
Upaya tersebut memang belum sempurna dan belum mencerminkan realitas keadaan seluruh pelosok tanah air namun sebagai titik tonggak awal, hal tersebut merupakan suatu keberhasilan dalam membuat suatu sistem pembiayaan layanan kesehatan rumah sakit dan usaha baik menuju kepastian dan dapat diperbaiki serta ditingkatkan kualitas maupun validitas datanya yang representatif untuk Indonesia. Sebagai sistem yang baru lahir INADRG akan terus bergulir dan berkembang sesuai tuntutan perkembangan layanan kesehatan baik nasional maupun regional.4 Sistem Casemix adalah suatu cara mengelola sumber daya rumah sakit seefektif mungkin dalam memberikan layanan kesehatan yang terjangkau kepada masyarakat berdasarkan pengelompokkan spektrum diagosis penyakit yang homogen dan prosedur tindakan yang diberikan. 5,6,7,8,9 INA-DRG adalah
4

Firmanda D. Sosialisasi INA DRG: Konsep INA-DRG dan keterkaitannya dengan peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit. Disampaikan pada Acara Rapat Kerja Kesehatan daerah (Rakerkesda) Dinas Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2009 di Hotel Grand Elite Kompleks Riau Business Centre, Pekanbaru 2 5 Maret 2009. 5 Goldman L. Cost-Effectiveness in a flat world Can ICDs help the United States get rhythm? N Engl J Med 2005;353(14 ):1513-5. 6 Dana B Mukame DB, Zwanziger J, Bamezai A. Hospital competition, resource allocation and quality of care. BMC Health Services Research 2002; 2(10): 1472-81. 7 Diane Rowland D. Medicaid Implications for the health safety net.N Engl J Med 2005;353(14): 1439-41. 8 Greally C. After 12 years of Casemix in Ireland, a major review leading to its modernisation and

variasi sistem casemix untuk Indonesia yang disusun berdasarkan data dari 15 rumah sakit vertikal, mempergunakan ICD 10 untuk diagnosis dan ICD 9 CM untuk prosedur tindakan serta biaya berdasarkan tarif yang berlaku pada waktu tersebut. Dengan berakhirnya lisensi grouper INA-DRG terhitung tanggal 30 September 2010, maka nama sitem Casemix INA-DRG berubah menjadi INA-CBG10. Untuk masa yang akan datang, bila telah berhasil terkumpul seluruh clinical pathways maka INA CBG akan lebih disempurnakan dengan menghitung DRG Relative Weight dan Casemix Index serta Base Rate setiap pengelompokkan jenis penyakit dan selanjutnya dapat membandingkan (benchmarking) cost efficiency antar rumah sakit dalam memberikan layanan kesehatan yang sama serta dapat menerapkan Comparative Effectiveness (pengembangan implementasi dari ilmu Health Technology Assessment)11,12,13 yang saat ini menjadi tren di luar negeri. Adapun peran profesi dalam sistem pembiayaan Casemix INA CBG dapat dilihat sebagaimana dalam Gambar 1 berikut.

expansion as a central pillar in hospital funding policy. Ireland Department of Health, 2004. Casemix Unit Department of Health and Children. Casemix Measurement in Irish Hospitals. Ireland Department of Health, 2005. 10 Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan RI Nomor IR.03.01/ I/570710 Tanggal 18 Oktober 2010. 11 Firmanda D. Pedoman implementasi Health Technology Assessment (HTA) di rumah sakit.Disampaikan pada Pertemuan Finalisasi Pedoman dan Draft Rekomendasi Hasil HTA 2008, diselenggarakan oleh Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik, Dirjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Hotel Majesty, Bandung 27 30 Agustus 2008.
9

12

Firmanda D. Bringing Health Technology Assessment (HTA) into practice. Disampaikan pada Acara Pelatihan Penapisan Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment/HTA) diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medis Depkes RI, Hotel Bumikarsa Komplek Bidakara, 11 13 Agustus, 2009. 13 Firmanda D. Principles to guide technology adoption related to safety and patient-centredness for clinical effectiveness. Presented at 4th Hospital Management Program from CHAMPS FKM-UI, Hotel Novotel Palembang July 31 August 1, 2009.

Gambar 1. Peran profesi dengan membuat Clinical Pathways dalam INA DRG sebagai sistem pembiayaan Casemix.14

Standar Pelayanan Kedokteran, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Panduan Praktik Klinis (PPK) Dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1348/MENKES/PER/IX/2010 yang digunakan adalah istilah Standar Pelayanan Kedokteran (SPK) yang terdiri dari Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Standar Prosedur Operasional (SPO). PNPK dibuat oleh organisasi profesi dan disahkan oleh Menteri Kesehatan RI, sedangkan
14

Firmanda D. Peran Profesi IDAI dan Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia dalam Sistem Pembiayaan Casemix. Disampaikan pada acara pertemuan perhimpunan profesi dan kolegium dengan P2JK di Bali 23-25 November 2009 dan di Batam 7-9 April 2010.

SPO dibuat di tingkat rumah sakit oleh profesi medis dengan koordinator Komite Medis dan ditetapkan penggunaannya di rumah sakit tersebut oleh pimpinan (direktur). Secara sederhana peraturan tersebut dapat dilihat sebagaimana dalam Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Ringkasan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1348/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran PNPK, SPO dan PPK. Standar Pelayanan Kedokteran tersebut tidak identik dengan Buku Ajar, Text-books ataupun catatan kuliah yang digunakan di perguruan tinggi. Karena Standar Pelayanan Kedokteran merupakan alat/bahan yang diimplementasikan pada pasien; sedangkan buku ajar, text-books, jurnal,

bahan seminar maupun pengalaman pribadi adalah sebagai rujukan/referensi dalam menyusun Standar Pelayanan Kedokteran.

bahan

Standar Prosedur Operasional untuk profesi medis di rumah sakit dalam bentuk Panduan Praktik Klinis15 - pada umumnya dapat diadopsi dari Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang telah dibuat oleh organisasi profesi masing masing, tinggal dicocokkan dan disesuaikan dengan kondisi sarana dan kompetensi yang ada di rumah sakit. Bila PNPK yang telah dibuat oleh organisasi profesi tersebut dan telah disahkan oleh Menteri Kesehatan RI serta sesuai dengan kondisi rumah sakit maka tinggal disepakati oleh anggota profesi (SMF) terkait sebagai Panduan Praktik Klinis (PPK) dan disahkan penggunaannya di rumah sakit oleh direktur rumah sakit tersebut. Namun bila PNPK tersebut belum ada atau tidak sesuai dengan kondisi rumah sakit atau dalam PNPK belum mencantumkan jenis penyakit yang sesuai dengan keadaan epidemiologi penyakit di daerah/rumah sakit tersebut maka profesi di rumah sakit tersebut wajib membuat Panduan Praktik Klinis (PPK) untuk rumah sakit tersebut dan disahkan penggunaannya di rumah sakit oleh direktur rumah sakit. Dalam menyusun PNPK dari organisasi profesi maupun PPK untuk rumah sakit profesi medis memberikan pelayanan keprofesiannya secara efektif (clinical effectiveness) dalam hal menegakkan diagnosis dan memberikan terapi berdasarkan pendekatan evidence-based medicine. Secara ringkasnya langkah tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

15

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1348/MENKES/PER/IX/2010

PNPK/PPK

Gambar 3. Langkah umum dalam kajian literatur melalui pendekatan evidencebased, tingkat evidens dan rekomendasi dalam proses penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran bentuk Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan atau Panduan Praktik Klinis (PPK).

Sedangkan Format Panduan Praktik Klinis (PPK) adalah sebagaimana contoh berikut dalam Gambar 4 sampai 6.

Gambar 14. Format Panduan Praktik Klinis Komite Medik RSUP Fatmawati (1)

Gambar 5. Format Panduan Praktik Klinis Komite Medik RSUP Fatmawati (2)

Gambar 6. Format Panduan Praktik Klinis Komite Medik RSUP Fatmawati (3)

10

Proses selanjutnya setelah menyusun Panduan Praktik Klinis (PPK) Rumah Sakit adalah membuat Clinical Pathways sebagai salah satu komponen dari Sistem Casemix (INA DRG) yang saat ini dipergunakan untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (Jamkesmas) di rumah sakit.

Clinical Pathways Definisi Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.16,17,18 Prinsip prinsip dalam menyusun Clinical Pathways Dalam membuat Clinical Pathways penanganan kasus pasien rawat inap di rumah sakit harus bersifat: a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara terpadu/integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien (Patient Focused Care) serta berkesinambungan (continuous of care) b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata, laboratoris dan farmasis) c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian
16

Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005. 17 Firmanda D. Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005. 18 Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.

11

d.

e. f. g.

(untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit emergensi). Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors). Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.

Clinical Pathways tersebut dapat merupakan suatu Standar Prosedur Operasional yang merangkum: a. Profesi medis: Standar Pelayanan Medis dari setiap Kelompok Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF) klinis dan penunjang. b. Profesi keperawatan: Asuhan Keperawatan c. Profesi farmasi: Unit Dose Daily dan Stop Ordering d. Alur Pelayanan Pasien Rawat Inap dan Operasi dari Sistem Kelompok Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF), Instalasi dan Sistem Manajemen Rumah Sakit.
Langkah langkah penyusunan Clinical Pathways Langkah langkah dalam menyusun Format Clinical Pathways yang harus diperhatikan: 1. Komponen yang harus dicakup sebagaimana definisi dari Clinical Pathways 2. Manfaatkan data yang telah ada di lapangan rumah sakit dan kondisi setempat19 seperti data Laporan RL2 (Data Keadaan Morbiditas Pasien) yang dibuat setiap rumah sakit berdasarkan Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit20 dan sensus harian untuk:
19

Firmanda D. Kodefikasi ICD 10 dan ICD 9 CM: indikator mutu rekam medik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Disampaikan pada Sosialisasi Pola Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Hotel Panghegar Bandung 1-3 Juni 2006. 20 Departemen Kesehatan RI. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta 2005.

12

a. Penetapan judul/topik Clinical Pathways yang akan dibuat. b. Penetapan lama hari rawat. 3. Untuk variabel tindakan dan obat obatan mengacu kepada Standar Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan Daftar Standar Formularium yang telah ada di rumah sakit setempat, Bila perlu standar standar tersebut dapat dilakukan revisi sesuai kesepakatan setempat. 4. Pergunakan Buku ICD 10 untuk hal kodefikasi diagnosis dan ICD 9 CM untuk hal tindakan prosedur sesuai dengan profesi/SMF masing masing.26 Persiapan dalam penyusunan Clinical Pathways Agar dalam menyusun Clinical Pathways terarah dan mencapai sasaran serta efisien waktu, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi antar profesi di SMF, Instalasi Rawat Inap (mulai dari gawat darurat, ruangan rawat inap, ruangan tindakan, instalasi bedah, ICU/PICU/NICU) dan sarana penunjang (instalasi gizi, farmasi, rekam medik, akuntasi keuangan, radiologi dan sebagainya). 1. Profesi Medis mempersiapkan Standar Pelayanan Medis (SPM/SPO) sesuai dengan bidang keahliannya. Profesi Medis dari setiap divisi berdasarkan data dari rekam medis diatas - mempersiapkan SPM/SPO, bila belum ada dapat menyusun dulu SPM/SPOnya sesuai kesepakatan. 2. Profesi Rekam Medis/Koder mempersiapkan buku ICD 10 dan ICD 9 CM, Laporan RL1 sampai dengan 6 (terutama RL2). Profesi Rekam Medis membuat daftar 5 - 10 penyakit utama dan tersering dari setiap divisi SMF/Instalasi dengan kode ICD 10 serta rerata lama hari rawat berdasarkan data laporan morbiditas RL2. 3. Profesi Perawat mempersiapkan Asuhan Keperawatan. 4. Profesi Farmasi mempersiapkan Daftar Formularium, sistem unit dose dan stop ordering. 5. Profesi Akuntasi/Keuangan mempersiapkan Daftar Tarif rumah sakit Setiap varians yang didapatkan akan dilakukan tindak lanjut dalam bentuk pelaksanaan audit medis sebagaimana yang dianjurkan dalam Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755/Menkes/Per/IV/2011.

13

Peran Clinical Pathways dalam Mutu di Rumah Sakit Secara ringkas berbagai manfaat dari implementasi Clinical Pathways sebagai instrumen pelayanan berfokus kepada pasien (patient-focused care), terintegrasi, berkesinambungan dari pasien masuk dirawat sampai pulang sembuh (continuous care), jelas akan dokter/perawat penanggung jawab pasien (duty of care), utilitas pemeriksaan penunjang, penggunaan obat obatan termasuk antibiotika, prosedur tindakan operasi, antisipasi kemungkinan terjadinya medical errors (laten dan aktif, nyaris terjadi maupun kejadian tidak diharapkan/KTD) dan pencegahan kemungkinan cedera (harms) serta infeksi nosokomial dalam rangka keselamatan pasien (patient safety), mendeteksi dini titik titik potensial berisiko selama proses layanan perawatan pasien (tracers methodology) dalam rangka manajemen risiko (risks management), rencana pemulangan pasien (patient discharge) , upaya peningkatan mutu layanan berkesinambungan (continuous quality improvement) baik dengan pendekatan tehnik TOC (Theory of Constraints) untuk sistem maupun individu profesi, penulusuran kinerja (performance) individu profesi maupun kelompok (team-work) sebagaimana dalam Gambar 7 berikut.

14

Gambar 7. Manfaat Clinical Pathways ditinjau dari berbagai aspek.

Secara langsung dengan Clinical Pathways dapat menilai pengelolaan obat dan bahan habis pakai (drugs and laboratory reagents management) yang efisien melalui kebijakan unit daily dosage, stop ordering, monitoring efek samping obat (MESO), klasifikasi penggunaan obat yang bersifat fast-moving, slowmoving dan stagnan sehingga penumpukan obat/reagens di depo/gudang obat instalasi farmasi dapat dicegah sebagaimana dalam Gambar 8 berikut.

15

8 .
Sedangkan akan manfaat Clinical Pathways untuk pihak pasien, profesi dan rumah sakit selaku institusi layanan kesehatan publik secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 9 dan untuk pihak penyandang dana/biaya dari asuransi kesehatan dan pemerintah (pusat/daerah) sebagaimana dalam Gambar 10.

16

Gambar 9. Manfaat Clinical Pathways untuk pasien, profesi dan rumah sakit.

Gambar 10. Manfaat Clinical Pathways bagi penyandang dana/anggaran biaya (asuransi dan pemerintah)

17

Peran Clinical Pathways dalam pendidikan kesehatan/kedokteran di Rumah Sakit Utama maupun Jejaring Manfaat Clinical Pathways untuk bidang pendidikan kesehatan/kedokteran (maupun spesialis) di rumah sakit pendidikan/jejaringnya dapat dipergunakan sebagai jembatan dalam rangka implementasi penilaian peserta didik berbasis komptensi (medical education assessment tools) yang dirangkum dalam cara Workplace-Based Assessment (WPBA)21 dalam bentuk portfolio berjenjang, Mini-CEX, Case-based Discussion (Cb-D), DOPS, Mini-PAT22 dan Script Concordance Test (SCT)23 yang merupakan standar internasional yang dianut di dunia pendidikan saat ini (Gambar 11).

21

Firmanda D. Implementation of Workplace-based Assessment in Indonesian Pediatrics Teaching Institutions. Disampaikan pada Kongres Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) XV di Manado, 10-14 Juli 2011. 22 Firmanda D. Implementation of Portfolios, Mini-CEX, DOPS, CB-D and Mini-PAT in Department of Pediatrics Fatmawati Hospital Jakarta. Disampaikan pada Kongres Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) XV di Manado, 10-14 Juli 2011. 23 Firmanda D. Script Concordance Test dalam Buku Rampai Pendidikan Dokter Spesialis Anak. Disampaikan pada Sidang Pleno Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia di Kongres Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) XV di Manado, 10-14 Juli 2011.

18

Gambar 11. Manfaat Clinical Pathways untuk pendidikan kedokteran di rumah sakit dalam bentuk Workplace-based Assessment (WPBA).18-20

19

Peran Clinical Pathways dalam penelitian kesehatan/kedokteran di Rumah Sakit Disamping itu Clinical Pathways dapat dipergunakan untuk penelitian deskriptif dan analitik baik secara cross-sectional, prospektif maupun retrospektif untuk bidang kedokteran klinis, manajemen dan kesehatan lainnya sebagaimana contoh berikut yang pernah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak III di Yogyakarta pada tahun 2007. Hasil penelitian tersebut merupakan input dalam rangka penerapan implementasi Evidence-based Medicine (EBM) sesuai keadaan dan kondisi setempat baik untuk prevalensi penyakit (pre-test probability) dan perhitungan likelihood ratio positive dalam rangka penegakkan diagnosis dan terapi pertimbangan pemilihan obat berdasarkan NNT (numbers need to treat) maupun NNH (numbers need to harms) serta pertimbangan CBE (CostBenefit Effectiveness), juga mencari nilai cost-weight, case-mix index dan base rate dari kasus penyakit tersebut sebagaimana contoh dalam Gambar 12 berikut.21

Gambar 12. Penelitian prospektif Clinical Pathways Pneumonia


24

24

Firmanda D. Implementasi Clinical Pathways Pneumonia. Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan

20

Manfaat Clinical Pathways dalam Akreditasi Rumah Sakit Konsep. konstruksi maupun model implementasi Clinical Pathways secara tidak langsung sebagaimana diutarakan diatas bahwa:

Clinical Pathways sebagai instrumen pelayanan berfokus kepada pasien (patient-focused care), terintegrasi, berkesinambungan dari pasien masuk dirawat sampai pulang sembuh (continuous care), jelas akan dokter/perawat penanggung jawab pasien (duty of care), utilitas pemeriksaan penunjang, penggunaan obat obatan termasuk antibiotika, prosedur tindakan operasi, antisipasi kemungkinan terjadinya medical errors (laten dan aktif, nyaris terjadi maupun kejadian tidak diharapkan/KTD) dan pencegahan kemungkinan cedera (harms) serta infeksi nosokomial dalam rangka keselamatan pasien (patient safety), mendeteksi dini titik titik potensial berisiko selama proses layanan perawatan pasien (tracers methodology) dalam rangka manajemen risiko (risks management), rencana pemulangan pasien (patient discharge) , upaya peningkatan mutu layanan berkesinambungan (continuous quality improvement) baik dengan pendekatan tehnik TOC (Theory of Constraints) untuk sistem maupun individu profesi, penulusuran kinerja (performance) individu profesi maupun kelompok (team-work).
Merupakan suatu rangkaian sistem yang dapat dipergunakan sebagai instrumen untuk memenuhi persyaratan penilaian Akreditasi dari Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) versi baru maupun dari Joint Commission International for Hospital (JCI) versi 2011 untuk standar standar dalam Section I. Patient Centered Standard maupun dalam Section II. Healthcare Organization Management Standard sebagaimana ilustrasi Gambar 13 sampai 15 berikut.

(PIT) Ilmu Kesehatan Anak III di Yogyakarta, Juli 2007.

21

Gambar 13. Clinical Pathways dan JCI 2011 Accreditation Standards

Gambar 14. Sistematika dalam JCI 2011 Hospital Standards dan Penilaiannya

22

Gambar 15. Clinical Pathways dan tehnik Tracer Methodology yang digunakan oleh surveyor dalam rangka Akreditasi JCI 2011 Kesimpulan: Dari uraian singkat diatas dengan hanya selembar Clinical Pathways merupakan suatu instrumen yang komprehensif merangkum secara terpadu bidang pelayanan, pendidikan dan penelitian maupun akreditasi serta sekaligus memenuhi seluruh tiga tujuan dari Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 dan empat tujuan Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009. Bahkan bila dilaksanakan Clinical Pathways secara konsisten dimana akan didapatkan data data cost-weight, casemix index dan base-rate secara lengkap (untuk micro-system) akan dapat disusun suatu National Health Accounts sehingga Universal Coverage akan lebih mudah tercipta dan Undang Undang RI Nomor 40 Tahun 2004 untuk bidang kesehatan terwujud (secara macro-system). Terima kasih, semoga bermanfaat. Jakarta 7 Oktober 2011 Dody Firmanda Ketua Komite Medik RSUP Fatmawati Jakarta. http://www.scribd.com/Komite%20Medik

23

You might also like