You are on page 1of 144

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pertama tama, kami mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas semua taufik, hidayah dan karunia yang kami terima selama ini terutama dalam rangka menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan laporan ini. Laporan penelitian ini yang berjudul Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan diselesaikan dalam rangka kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies, PT. PLN (Persero). Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal hal sebagai berikut : 1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik. 2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangi kebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian.

i.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

3.

Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah langkah untuk (i) menutup kesenjangan (gap) energi listrik yang terjadi saat ini, (ii) mencegah terjadinya kesenjangan (gap) yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang, dan (iii) meningkatkan sarana & prasarana untuk menutup kesejangan (gap) energi listrik tersebut.

4.

Untuk

mensukseskan

langkah

langkah

tersebut

maka

dibutuhkan

ketersediaan dana atau investasi di sektor ketenagalistrikan. Mengingat saat ini, kemampuan keuangan Pemerintah maupun PT. PLN sendiri belum

memungkinkan, maka wajar diperlukan peranan swasta baru (dalam negeri maupun luar negeri) untuk berinvestasi di sektor tersebut. 5. Sampai saat sekarang, minat para swasta tersebut untuk berinvestasi dalam proyek ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang diharapkan (expected rate of return) dari usaha tersebut relatif rendah. Rendahnya keuntungan tersebut diperkirakan karena beberapa hal : (i) tarif dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate khusus pelanggan rumahtangga) yang menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain. 6. Dibutuhkan peran Pemerintah dalam menciptakan kondisi dan suasana investasi yang dapat menarik swasta baru di sektor ketenagalistrikan. Salah satu upaya Pemerintah adalah melakukan efisiensi dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Sehingga, kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha ketenagalistrikan harus terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya produksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik. 7. Untuk diperlukan upaya Pemerintah untuk menghasilkan kebijakan ekonomi yang dapat meningkatkan iklim dan realisasi investasi melalui : (i) penyederhanaan prosedur perijinan, (ii) peninjau ulang insentif fiskal agar

i.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

tepat sasaran, (iii) pengurangan tumpang tindih kebijakan Pemerintah Pusat & Daerah serta antra sektor, (iv) merevisi peraturan peraturan yang kurang mendorong kegiatan di ketenagalistrikan, (v) reformasi kelembagaan

penanaman modal, dan (vi) penanganan masalah masalah investasi secara tepat dan akurat. 8. Bentuk usulan insentif fiskal (hasil studi ini) yang diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi di bidang usaha ketenagalistrikan, antara lain : (i) di bidang PPh : a) insentif REGIONAL dengan pembebasan PPh 60% dari pendapatan untuk pengembangan usaha ketenagalistrikan; b) insentif SEKTORAL bagi perusahaan bidang usaha strategis dan atau prioritas pembangunan (termasuk ketenagalistrikan) dengan pembebasan PPh 10% selama 5 10 tahun; c) insentif EKSPOR dan DAERAH PERDAGANGAN BEBAS dengan pajak final 5% dari penghasilan bruto dengan komposisi : 3% Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah dan 1% untuk Dana Pembangunan, dan d) pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR 30% selama 5 tahun untuk mendorong ekspor dan daerah perdagangan bebas; (ii) di bidang PPN : a) usaha ketenagalistrikan dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN, b) barang modal berupa mesin dan peralan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis atas impor dan atau penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN; dan (iii) di bidang Kepabeanan : a) menggunakan mekanisme PP Nomor 42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringanan BM atas Impor; b) menggunakan Pasal 26 Ayat 1 huruf j UU Nomor 10 Tahun 1995 : Barang oleh Pemerintah Pusat dan Pemda ditujukan untuk kepentingan umum; c) merevisi PMK 47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukan industri ketegalistrikan ke dalam daftar industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan BM; d) memberikan fasilitas BM khusus untuk usaha ketenagalistrikan; dan e) menurunkan tarif BM barang modal untuk industri ketenagalistrikan dengan memasukan harmonisasi tarif.

i.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

9.

Usulan bentuk bentuk insentif fiskal untuk pemanfaatan sumber energi terbarukan, yaitu : a) penurunan bea masuk; b) pemakaian muatan lokal; c) penghapusan subsidi terhadap harga energi tidak terbarukan, dan d) memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari sumber daya tidak terbarukan. Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa setiap karya manusia tidak

luput dari kekhilafan (tidak ada gading yang tidak retak), sehingga kami selalu terbuka dan tulus ikhlas menerima saran saran maupun kritikan yang bersifat kontrukstif guna perbaikan laporan ini. Selanjutnya, kepada semua pihak yang berperan dalam mensukseskan penulisan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara yang kita cintai bersama.

Jakarta, Oktober 2005 Ketua Tim Penelitian dan Penulisan Laporan

Purwiyanto

i.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 BAB II Latar Belakang Masalah Tujuan Studi Metodologi Penelitian Output i.1 i vi vii viii 1.1 1.1 1.6 1.6 1.7 2.1 2.3

LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAAN DENGAN PERMINTAAN PASAR 2.1 Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha Ketenagalistrikan 2.2 Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik 2.2.1 2.3 Efek Subsidi Pemerintah

2.4 2.7 2.8

Insentif Fiskal dalam Rangka Mendorong Usaha Ketenagalistrikan 2.3.1 2.3.2 Pengenaan Pajak (Misal : PPN) Dampak Insentif Pemerintah terhadap Penurunan Biaya Produksi

2.9 2.12

BAB III

GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA 3.1 3.2 3.3 Profil Ketenagalistrikan Produksi Listrik dan Pengunaan Bahan Bakar Sektor Listrik Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik 3.3.1 Potret Permintaan Tenaga Listrik

3.1 3.1 3.3 3.4 3.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

3.3.2 Penawaran Tenaga Listrik 3.3.3 Transmisi Tenaga Listrik di Jawa-Bali 3.3.4 Transmisi Tenaga Listrik di luar Wilayah Jawa-Bali 3.4 BAB IV Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan

3.7 3.11 3.12 3.12 4.1

EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN 4.1 Peluang Sumber Dana yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Investasi Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement) 4.2 Insentif Kebijakan Fiskal yang Masih Berlaku Sampai dengan Tahun 2000 4.3 Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan oleh Investor Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai dengan Tahun 2000 4.4 Insentif Kebijakan Fiskal yang Diberlakukan Untuk Investasi di Sektor Kelistrikan 4.5 Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Untuk Mendorong Usaha dan Investasi Kelistrikan Setelah Tahun 2001 4.5.1 Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu 4.5.2 Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus yang dibentuk Pemerintah 4.5.3 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu(KAPET)

4.1

4.4

4.9

4.10

4.14

4.15

4.17

4.18 4.20

4.5.4 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) atas Hibah dan Pinjaman Luar Negeri 4.5.5 Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai 4.5.6 Restukturisasi Perusahaan

4.23 4.25 4.27

4.5.7 Penyusutan dan atau Pembebanan Biaya atas Biaya

ii

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan 4.5.8 Angsuran Pembayaran PPh atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap 4.5.9 Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor 4.6 Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Rangka 4.3.2 Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan 4.6.1 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Sebelum 1 Januari 2001 4.6.2 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Setelah 1 Januari 2001 sampai Dengan Sekarang 4.6.3 Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri 4.6.4 Rencana Kebijakan Pemerintah dalam Rangka Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan BAB V KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN 5.1 5.2 Kebijakan Insentif Fiskal di Beberapa Negara Kebijakan Insentif Fiskal di Malaysia 5.2.1 Kebijakan Insentif Regional 5.2.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.2.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.2.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.3 Kebijakan Insentif Fiskal di Filipina 5.3.1 Kebijakan Insentif Regional 5.3 5.4 5.4 5.1 5.1 5.1 5.2 5.3 5.1 4.3.6 4.3.5 4.3.4 4.3.3 4.29 4.28

iii

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.3.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.3.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.3.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.4 Kebijakan Insentif Fiskal di Singapura 5.4.1 Insentif Sektoral 5.4.2 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.4.3 Insentif Lainnya 5.5 Kebijakan Insentif Fiskal Thailand 5.5.1 Insentif Regional 5.5.2 Insentif Sektoral 5.5.3 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.5.4 Insentif Lainnya 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 Kebijakan Perlistrikan di Thailand Kebijakan Perlistrikan di Vietnam Kebijakan Perlistrikan di Malaysia Kebijakan Perlistrikan di Filipina Kebijakan Perlistrikan di India Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan 5.11.1 5.11.2 5.11.3 Pendahuluan Kondisi Indonesia Energi Terbarukan sebagai Penggerak Roda Ekonomi BAB VI ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL DI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN 6.1 Program Penyediaan Tenaga Listrik Periode 2004-2013 6.1.1 Rencana Pengembangan Pembangkit di Jawa, Madura dan Bali 6.1.2 Rencana Pengembangan Pembangkit di Luar Jawa, Madura dan Bali

5.5 5.5

5.6 5.6 5.6 5.8 5.8 5.9 5.9 5.11 5.11 5.12 5.12 5.13 5.14 5.15 5.17 5.28 5.28 5.29 5.31

6.1

6.1

6.1

iv

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6.1.3 Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa, Madura dan Bali 6.1.4 Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa, Madura dan Bali 6.1.5 Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura dan Bali 6.1.6 Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa, Madura dan Bali 6.2 Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi 6.2.1 Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali 6.2.2 Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura dan Bali 6.3 Insentif fiskal yang Berlaku Saat Ini Bagi Industri Ketenagalistrikan dan Kebutuhan ke Depan 6.3.1 6.4 6.5 Kebijakan Insentif Pajak yang Berlaku Saat Ini

6.1

6.2

6.2

6.3

6.3 6.3 6.4

6.4

6.5 6.14 6.15 6.15 6.16 6.16 7.1 7.1 7.6 7.6

Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004-2007 Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan 6.5.1 6.5.2 6.5.3 Potential Loss Terhadap Penerimaan Negara Kenaikan pendapatan Domestik Bruto (PDB) Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 7.2 Kesimpulan Saran dan Rekomendasi 7.2.1 Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastuktur Ketenagalistrikan 7.2.2 Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi Terbarukan

7.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Proyeksi Penawaran Energi Listrik yang Disesuaikan dengan Capacity Factor 1990-2010 (Juta Gigajoules) Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1 Tabel 5.1 Angka ROR Tahun 2000-2007 Pelanggan PT. PLN Tahun 2000-2004 Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.2 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.3 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.4 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.5 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.6 Tabel 6.1 Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003-2007 (Fixed Asset-US$ Juta) Tabel 6.2 Potential Loss Sektor Pajak Yang Ditanggung Pemerintah Selama Lima Tahun Tabel 7.1 Usulan Bentuk-Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Terbarukan 7.10 6.15 6.15 5.24 5.31 5.23 5.21 5.20 5.18 1.2 3.13 3.16 4.5

vi

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Subsidi dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik Gambar 2.2 Kasus Permintaan Elastis Gambar 2.3 Kasus Permintaan Tidak Elastis Gambar 2.4 Biaya Produksi dan Pasar Energi Listrik Gambar 3.1 Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001-2013 Gambar 3.2 Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004-2010 Gambar 3.3 Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik Gambar 3.4 Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik Gambar 4.1 Perbandingan Tarif Efektif PPh Badan di Beberapa Negara Pada Berbagai Tingkat Pendapatan 4.5 2.5 2.9 2.10 2.14 3.1 3.2 3.3 3.5

vii

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Tambahan Kapasitas Pembangkit IPP / Pemda Tambahan Kapasitas Pembangkit Proyek PLN Parameter Kandidat Pembangkit Asumsi Harga Bahan Bakar PLN & Private Projects Committed On Going Projects : Proyek Pembangkit PLN / IPP / Pemda Kapasitas Terpasang Proyeksi Kebutuhan Bahan Bakar Komposisi Produksi Menurut Jenis Energi Primer Regional Balance Tahun 2008 Kebutuhan Investasi Untuk Fasilitas Pembangkit, Penyaluran Dan Distribusi Lampiran 12 Lampiran 13 Rencana Penambahan Kapasitas Pokok pokok Pikiran Narasi Gabungan Perubahan UU Perpajakan Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16 Pokok pokok Pikiran Perubahan UU PPh Pokok pokok Pikiran Perubahan UU PPN & PPNBM Keputusan Menteri ESDM Nomor : 0002 Tahun 2004 Tentang Kebijakan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan Energi hijau) Lampiran 17 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 1122K/30/MEM/2002 Tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar Lampiran 18 Kebijaksanaan, Peraturan & Prosedur : Tata cara Perencanaan, Pelaksanaan / Penatausahaan, Dan Pemantauan Pinjaman / Hibah Luar negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN

vii

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, perusahaan untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Keperluan tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang menggunakan listrik. Dari hasil studi Arsyad (1994) mengenai hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Indonesia terlihat bahwa aktifitas ekonomi akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi, namun tidak sebaliknya. Dengan demikian, mengingat kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi bersifat terus menerus, maka scarcity problem akan berlaku secara alamiah dalam usaha ketenagalistrikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah terdapatnya gap atau kesenjangan antara penyediaan energi listrik dengan kebutuhan yang cukup besar dan cenderung membesar di masa depan, yang dapat menyebabkan melemahnya aselerasi perkembangan ekonomi, sehingga tidak tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang sustainable pada tingkat 6% per tahun. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang akan terjadi krisis energi listrik, karena pasokan energi listrik tidak mampu mengimbangi permintaan energi listrik. Selisih antara pasokan dan permintaan energi listrik (kesenjangan) tersebut tidak pernah bisa dipenuhi kalau hanya mengandalkan tingkat pertumbuhan alamiah dari penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah besar untuk (i) menutup kesenjangan pasokan energi listrik yang terjadi saat ini, dan (ii) mencegah

1.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terjadinya kesenjangan yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang (lihat Tabel 1.1). Penentu utama dari suksesnya langkah besar untuk mengatasi kesenjangan penyediaan energi listrik adalah ketersediaan dana investasi di sektor pembangkitt tenaga listrik. Namun demikian, kemampuan keuangan negara maupun PT. PLN untuk berinvestasi di sektor ketenagalistrikan tidak mencukupi sehingga diperlukan peran investor swasta baru dari dalam maupun luar negeri. Tabel 1.1 : Proyeksi Penawaran Energi Listrik Yang Disesuaikan Dengan Capacity Factor 1990 2010 (Juta Gwh) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Uraian Diesel Uap Air Gas turbin Panas Bumi Gas Uap Total Supply Energy Demand Perkiraan Kesenjangan Tahun 1995 11,12 56,53 18,02 2,63 4,19 20,98 114,04 249,40 135,36 2000 12,91 65,61 20,91 3,05 4,87 24,34 132,34 289,42 157,08 2005 14,88 75,63 24,10 3,52 5,61 28,06 152,56 333,63 181,07 2010* 15,29 77,70 24,76 3,62 5,76 28,83 156,72** 382,71** 225,99

Sumber : Ismalina, 1997, diolah. * RUPTL Tahun 2004 2013 Jawa, Madura, Bali. ** PLTU + Captive

Di sisi lain, minat investor swasta untuk menanamkan dananya dalam proyek pengembangan ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang diharapkan (expected rate of return) dari kegiatan tersebut relatif rendah. Rendahnya keuntungan tersebut utamanya terkait dengan hal-hal, antara lain : (i) tarif dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate) yang menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain. Untuk itu, diharapkan peran Pemerintah untuk menciptakan kondisi dan suasana investasi yang dapat menarik investor baru di bidang ketenagalistrikan. Salah satu upaya untuk menarik investor baru tersebut adalah melakukan efisiensi
1.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Dengan demikian, langkah kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha di bidang ketenagalistrikan harus terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya produksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik. Tarif dasar listrik (TDL) pada dasarnya merupakan instrumen yang bisa mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran listrik. Dari sisi permintaan akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi masyarakat pada umumnya adalah tarif yang murah. Sementara dari sisi penawaran akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi produsen listrik adalah tarif yang dapat memberikan keuntungan yang layak. Dalam rangka mempertemukan (mengakomodir) kedua kepentingan tersebut maka sejak awal krisis ekonomi hingga tahun 2005 ini, Pemerintah bersama PT. PLN (dengan persetujuan DPR Pusat) telah beberapa kali melakukan penyesuaian terhadap TDL per kelompok pelanggan. Namun demikian, kebijakan penyesuaian terhadap besarnya TDL yang berlaku sampai saat ini nampaknya belum mencerminkan tarif listrik yang kompetitif. Karena sejauh ini, besarnya TDL yang diberlakukan oleh PT. PLN masih relatif rendah apabila dikonversikan dengan mata uang dolar AS. Besarnya TDL rata-rata yang ditetapkan pemerintah pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi dan moneter sudah mencapai sekitar US$3 sen/kWh. Sejalan dengan depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar AS, maka besarnya TDL rata-rata tersebut merosot menjadi sekitar US$7 sen/kWh. Berkenaan dengan kenaikan TDL pada tahun 2000 dan 2001, besarnya TDL rata-rata pada tahun 2001 naik menjadi US$3,31 sen/kWh. Namun, besarnya harga jual rata-rata tetap di bawah harga pokok penjualan (HPP), yang mencapai US$4.03 sen/kWh. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan investor ketenagalistrikan menjadi rendah, kerena TDL yang lebih rendah dari HPP pada dasarnya akan mempersulit keuangan PT. PLN. Sementara itu, output investor ketenagalistrikan harus dijual kepada PT. PLN yang kondisinya kurang

menguntungkan tersebut.

1.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Di samping masalah besarnya TDL yang hanya sekitar 25% dari biaya recoverynya, masalah lain yang masih dihadapi oleh PT. PLN adalah diterapkannya sistem tarif uniform rate khusus pelanggan rumahtangga untuk semua jam pemakaian listrik, sehingga tidak ada pembedaan besarnya TDL untuk pemakaian pada waktu beban puncak (peak load) dan pemakaian pada waktu di luar beban puncak (siang hari). Padahal sudah bisa diduga bahwa pada masa beban puncak, biaya operasional yang harus ditanggung oleh PT. PLN akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya operasional pada masa bukan beban puncak. Oleh sebab itu, besarnya TDL yang diberlakukan tersebut juga merupakan salah satu faktor kurang menariknya investasi di sektor kelistrikan. Faktor penyebab lainnya adalah masih terjadinya in efisiensi dalam proses produksi listrik karena high cost economy, yang artinya biaya yang diperlukan untuk kegiatan produksi cenderung tinggi secara alamiah, dan pada akhirnya dapat menciptakan kondisi dan suasana investasi menjadi tidak kondusif. Padahal, investor swasta baru memerlukan kondisi dan suasana yang kondusif guna mendukung kegiatan investasi tersebut1. Dari dua sumber permasalahan tersebut, nampaknya tarif harga jual listrik yang rendah relatif sulit untuk diselesaikan dalam jangka pendek, mengingat tarif harga jual listrik sejauh ini dianggap sebagai barang strategis yang mempunyai pengaruh sosial-politis terhadap masyarakat. Permasalahan yang lebih berpeluang untuk dicari solusinya adalah relatif tingginya biaya. Oleh sebab itu, faktor penting yang diperlukan untuk menarik investor swasta baru di sektor kelistrikan adalah pandangan Pemerintah terhadap strategisnya persoalan kelistrikan di masa depan, serta goodwill Pemerintah untuk mendorong perkembangan kondisi dan suasana investasi menjadi kondusif. Hal tersebut menjadi makin penting sejalan dengan adanya kenyataan bahwa keuangan PLN tidak akan mampu mendukung pembiayaan penyediaan listrik yang mencapai sekitar US$ 750 juta/ tahun (World Bank).

studi BAF CEPS 2004, dan laporan Bank Dunia dalam CGI meeting secara eksplisit menyampaikan bahwa daya saing iklim investasi di Indonesai ermasuk yang terendah.

1Hasil

1.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Mengingat, untuk saat ini kebutuhan dana investasi di sektor ketenagalistrikan lebih banyak diharapkan dari investor swasta, maka daya saing ekonomi dari usaha ketenagalistrikan tersebut harus dikembangkan. Hal tersebut terkait dengan hasil studi Badan Analisa Fiskal (BAF) Departemen Keuangan dan CEPS tahun 2004, yang menyatakan bahwa daya saing dunia usaha dalam negeri sudah tidak kompetitif lagi apabila dibandingkan dengan kondisi di negara-negara lain. Pengertian

competitiveness mengandung arti yang sangat luas, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan usaha suatu negara menciptakan dan memelihara daya saing dunia usaha dalam negeri (World Competitiveness Yearbook, 2003)2. Secara umum terdapat empat faktor yang mempengaruhi daya saing dalam suatu bangsa, yaitu : (i) kinerja perekonomian, (ii) efisiensi pemerintah, (iii) efisiensi dunia usaha, dan (iv) kondisi infrastruktur3. Salah satu langkah penting yang memungkinkan dilaksanakan pemerintah untuk memperbaiki daya saing iklim investasi di Indonesia adalah memberikan insentif bagi usaha ketenagalistrikan, sehingga masalah dan potensi masalah yang mungkin timbul dapat diminimalisir. Insentif tersebut dapat dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan yang diambil Pemerintah, misalnya kebijakan sektor riil melalui berbagai kemudahan ekspor-impor, sektor moneter melalui penetapan tingkat bunga yang bersaing, maupun melalui berbagai kebijakan fiskal, baik sisi belanja, pendapatan, maupun pembiayaan. Namun demikian, sifat investasi di sektor ketenagalistrikan merupakan investasi bernilai besar dan berjangka waktu panjang, maka campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dapat lebih efektif, di samping penerapan kebijakan lain. Kebijakan fiskal yang bisa dilakukan dalam hal ini tidak terbatas pada instrumen perpajakan saja, namun, berupa kebijakan fiskal dalam arti yang lebih luas seperti privatisasi dan/atau kebijakan penyertaan modal negara pada sisi belanja negara. Selanjutnya, permasalahan penting dalam studi ini adalah : a. Apa saja kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya untuk tenaga listrik sesuai peraturan perundangan yang berlaku,
2Institute 3Idem.

for Management Development, 2003.

1.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

b. c. d.

Benefit cost analysis kebijakan fiskal untuk mendorong investasi tenaga listrik, Pengaruh kebijakan yang dipilih terhadap perkembangan pasokan, Apa rekomendasi kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi

ketenagalistrikan yang minimal dead weight loss-nya I.2. Tujuan Studi Kajian mengenai alternatif kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor ketenagalistrikan bertujuan, antara lain untuk : (1) Menginventarisir kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya investasi di sektor ketenagalistrikan; (2) Menganalisis dan mengevaluasi (benefit cost analysis) kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor tenaga listrik; dan (3) Memberikan rekomendasi pilihan kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi di sektor ketenagalistrikan tanpa menyebabkan misalokasi sumber daya (minimal dead weight loss). I.3. Metodologi Penelitian Studi ini akan dilakukan melalui metodologi kuantitatif dan kualitatifdeskriptif, yaitu dalam bentuk studi pustaka maupun pengolahan data kuantitatif. Kajian kualitatif tersebut antara lain berupa review kebijakan ketenagalistrikan, dan kajian perundang-undangan, seperti review undang-undang perpajakan dan undang-undang ketenagalistrikan, beserta peraturan pelaksanannya. Selanjutnya, kajian kuantitatif dan analisis data dilakukan untuk memperkirakan kebutuhan tenaga listrik dan penawaran tenaga listrik di waktu mendatang, mengkaji dampak kebijakan perpajakan pada biaya investasi ketenagalistrikan, dan dampak makro dari kebijakan fiskal tersebut. Kajian pustaka akan memberikan landasan teori bagi analisis kuantitatif, sekaligus membandingkan fakta empiris yang telah diterapkan di negara lain. Sementara itu, review perundang-undangan memberikan landasan hukum (legal standing) bagi berbagai alternatif dan rekomendasi kebijakan. Peraturan

perundangan yang terkait dalam hal ini antara lain undang-undang keuangan

1.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

negara, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang tentang investasi, dan undang-undang tentang perpajakan, beserta peraturan pelaksanaannya. Sementara itu, analisis data kuantitatif akan memberikan simulasi dampak kebijakan yang akan diambil. Dengan menggunakan data-data tentang

ketenagalistrikan, seperti statistik ketenagalistrikan, dan statistik PLN, maupun datadata dari luar negeri, dengan dibantu model-model statistik, persamaan simultan, maupun keseimbangan umum, diharapkan dapat memprediksikan dampak kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perekonomian. Dengan demikian, alternatif kebijakan yang direkomendasikan sudah merupakan alternatif-alternatif yang optimal, baik dari sisi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional maupun sektoral, dan kepentingan masyarakat secara umum. Tahap analisis yang akan dilakukan adalah: 1) 2) Melakukan evaluasi penyebab terjadinya kesenjangan, Memperkirakan berapa biaya yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan, 3) Alternatif peluang yang paling mungkin untuk menutup kekurangan biaya tersebut, dan 4) Bentuk insentif apa yang bisa diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku, atau insentif baru seperti di negara lain. I.4. Output Dari studi ini diharapkan dapat dihasilkan output, yaitu dalam bentuk: a. b. Dampak kebijakan fiskal pada biaya investasi ketenagalistrikan? Analisis dan evaluasi kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor tenaga listrik berdasarkan benefit cost analysis c. Rekomendasi terhadap bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang dapat mendorong mendorong investasi dengan meminimalisir misalokasi sumber daya (minimal dead weight loss), terutama di bidang (i) perpajakan, (ii) penyertaan modal negara (government investment), dan (iii) privatisasi.

1.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB II LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAAN DENGAN PERMINTAAN LISTRIK

Energi / tenaga listrik di jaman sekarang termasuk dalam kebutuhan primer bagi masyarakat luas (konsumen), mengingat hampir semua peralatan yang dipergunakan dalam rumahtangga telah menggunakan energi listrik. Oleh karena itu, penyediaan energi listrik mutlah diperlukan dalam rangka menjamin tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Di beberapa negara, mati listrik bahkan sudah dianggap sebagai bencana nasional, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkannya. Selain itu, sebagian besar kegiatan ekonomi sangat tergantung pada penyediaan energi listrik, misalnya industri manufaktur, industri jasa, industri transportasi, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Arsyad (1994), terdapat hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi energi (khususnya listrik), yang artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dicapai, semakin tinggi pula tingkat kebutuhan energi listrik. Sejalan dengan hal itu, Pusat Informasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003) menyatakan bahwa peningkatan PDB yang sustainable sebesar 6 persen/tahun dalam 10 tahun ke depan akan meningkatkan pertumbuhan kebutuhan energi listrik sebesar 9% per tahun. Namun permasalahan yang terjadi saat adalah penyediaan (daya terpasang) energi listrik dan pertumbuhannya sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan antara

(permintaan)

masyarakat

menimbulkan

kesenjangan

(gap)

penyediaan dan permintaan energi listrik yang semakin besar di tahun mendatang. Hal tersebut pernah disampaikan dalam hasil penelitian Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan (2001) bahwa wilayah Jawa Bali mengalami krisis listrik karena tingkat cadangan (reserve margin) yang baru mencapai 24,8%, padahal seharusnya sebesar 30% untuk tingkat cadangan yang aman.

2.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dengan kata lain, terdapatnya gap antara penyediaan dengan permintaan tenaga listrik merupakan masalah penting sekarang dan di masa depan. Masalah kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya kendala dan atau hambatan -- yang salah satunya -- adalah kekurangan investasi di bidang kelistrikan. Menurut informasi yang dapat dikumpulkan bahwa terhambatnya kegiatan investasi di sektor ketenagalistrikan di Indonesia saat ini antara lain disebabkan : 1. Rendahnya kemampuan keuangan negara maupun PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero untuk meningkatkan usaha ketenagalistrikan (seperti usaha penyediaan pembangkit tenaga listrik maupun usaha usaha penunjang tenaga listrik); dan 2. Rendahnya minat investor (swasta) untuk berinvestasi dalam usaha kelistrikan karena faktor ekspektasi keuntungan investasi yang rendah. Ekspektasi tersebut dikarenakan penjualan listrik di Indonesia kepada konsumen oleh PLN belum bisa didasarkan pada harga pasar, tetapi didasarkan pada SDL yang diatur oleh pemerintah. Selain itu TDL yang berlaku masih menggunakan sistem uniform rate untuk semua jam pemakaian listrik sehingga penentuan tarif dasar listrik (TDL) belum mencerminkan harga pasar dan biaya. Sementara dari sisi yang lain, biaya investasi usaha ketenagalistrikan yang masih kurang kompetitif (high cost economy). Oleh karena itu, pilihan yang memungkinkan untuk dilaksanakan saat ini adalah memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan bila perlu memberikan insentif fiskal bagi usaha ketenagalistrikan. Berbagai insentif yang dapat diberikan pemerintah bagi investor di sektor usaha ketenagalistrikan melalui kebijakan di sektor riil seperti kemudahan melakukan ekspor impor, kebijakan disektor moneter seperti penetapan suku bunga yang kompetitif serta kebijakan fiskal melalui instrumen di bidang perpajakan, non perpajakan dan bea masuk. Mekanisme lain saat ini sedang diperkenalkan oleh Bank Dunia (World Bank) adalah Penjamin Penerimaan (Revenue Guaranteed).

2.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.1. Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha Ketenagalistrikan Pasar dapat melakukan alokasi sumber daya secara efisien, apabila semua asumsi-asumsinya terpenuhi, antara lain : para pelaku ekonomi (produsen) bersifat rasional, memiliki informasi sempurna, barang (output) bersifat privat, pasar bersaing sempurna dan proses pertukaran tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi terutama dalam hal penyediaan listrik di Indonesia sehingga terjadi kegagalan pasar dalam usaha kelistrikan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam usaha penyediaan tenaga listrik, antara lain : 1. Informasi tidak sempurna karena ketidak-tahuan tentang jumlah dan kualitas barang (tenaga listrik) yang digunakan oleh konsumen sehingga untuk mendapatkan informasi tersebut yang detail perlu tambahan biaya; 2. Terdapat persaingan yang tidak sempurna (Inperfect Competition) dalam penyediaan tenaga listrik (sesuai dengan UU masih menunjuk PT PLN) sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan pemegang ijin usaha

ketenagalistrikan. Jadi, produsen tenaga listrik (PT. PLN) merupakan satusatunya perusahaan yang ditetapkan pemerintah dengan UU untuk memasok tenaga listrik sehingga BUMN tersebut seharusnya sangat mampu

mempengaruhi pasar dengan menentukan tingkat harga (dalam bentuk TDL). 3. Namun, tenaga listrik di dalam negeri dikategorikan sebagai barang semi public good, sehingga Pemerintah memberikan subsidi untuk pengadaan tenaga listrik. Seharusnya tenaga listrik merupakan barang private, artinya setiap masyarakat yang menggunakan tenaga listrik harus membayar (ada pengorbanan) sesuai dengan harga pasar yang mencerminkan harga pokok produksi dan manfaatnya. 4. Kegagalan pasar dalam penyediaan listrik ini menuntut intervensi pemerintah untuk menyediakannya. Akan tetapi, karena keterbatasan kondisi keuangan negara, maka intervensi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif yang dapat memberikan rangsangan ataupun penciptaan iklim usaha yang kondusif di bidang investasi penyediaan listrik.

2.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Didalam teori ekonomi dikenal dengan konsep insentif dengan konotasi posistif berupa reward maupun konotasi negatif berupa cost / penalty / disincentive yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya baik sebagai pelaku ekonomi maupun sebagai pengelola impact and incident atas perilakunya. Keputusan para pelaku ekonomi pada umumnya ditentukan oleh net expected incetives yang akan diterimanya, baik yang sifatnya material maupun non material, sehingga keputusan para pelaku ekonomi dapat berubah apabila terdapat perubahan insentif. Untuk itu, setiap kebijakan pemerintah / ekonomi / pembangunan perlu memperhitungkan unsur insentif yang secara rasional dapat mengarahkan perilaku masyarakat sesuai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, kesenjangan antara penyediaan dan permintaan masyarakat akan listrik dapat diselesaikan melalui penambahan investasi di sektor listrik sepanjang sistem insentif yang diharapkan para pelaku ekonomi dapat melampaui net expected incentives. Dalam hal ini, kesenjangan (gap) listrik dapat diminimalisir melalui pembangunan infrastruktur atau investasi di sektor pembangkit listrik. 2.2. Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik Energi listrik termasuk barang ekonomis yang mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Namun yang perlu mendapat perhatian bahwa listrik merupakan salah satu barang yang termasuk dalam kategori administered price, yaitu barang yang harganya diatur oleh kebijakan pemerintah, bukan oleh produsen sepenuhnya. Misalnya, harga jual energi listrik per unit ditetapkan lebih rendah daripada biaya produksi per unitnya. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian serta mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan (PT. PLN) maka Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan subsidi kepada produsen. Subsidi merupakan salah satu bentuk transfer pendapatan dari Pemerintah kepada produsen maupun konsumen (masyarakat), sebagai akibat adanya perbedaan harga jual barang dan jasa yang lebih rendah di pasar dibandingkan dengan biaya produksinya.

2.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Kurva permintaan pada gambar 2.1 menjelaskan bagaimana keinginan konsumen untuk membeli pada berbagai tingkat harga yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dan harga barang itu sendiri, sehingga bentuk kurva permintaan miring dari kiri atas ke kanan bawah. Kemiringan tersebut mengikuti hukum permintaan dimana konsumen biasanya akan membeli lebih banyak jika harganya lebih murah dan akan membeli lebih sedikit apabila harga lebih mahal. Gambar 2.1. Subsidi Dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik D P2 Subsidi S0 S1

PPasar

EPasar

TDL S0 S1 0 Q2

ESubsidi

QPasar QSubsidi

Qt

Keterangan : P0 = Harga keseimbangan pasar TDL < P0 sehingga terdapat Gap (shortage) sebesar Q2Q1. Langkah yang bisa ditempuh adalah menetapkan TDL P0 atau subsidi untuk menggeser kurva supply S0 ke S1

Kurva penawaran pada gambar 2.1 menjelaskan keinginan produsen untuk menjual barang pada berbagai tingkat harga. Bentuk kurva penawaran miring dari kiri bawah ke kanan atas menunjukkan bahwa semakin tinggi harga barang tersebut maka semakin tinggi keinginan produsen untuk memproduksi dan menjual barangnya. Kenaikan harga suatu barang akan berkecenderungan untuk

meningkatkan produksi barang tersebut. Dalam jangka pendek adalah dengan peningkatan penggunaan kapasitas melalui penggunaan tenaga kerja tambahan

atau dengan menambah jam kerja, sedang dalam jangka panjang dapat dilakukan dengan memperluas skala pabrik. Tingginya harga juga akan menarik perusahaan
2.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

untuk masuk ke pasar sehingga jumlah penjual bertambah dan barang yang ditawarkan meningkat. Dalam kondisi keseimbangan pada gambar 2.1., menunjukkan kedua kurva permintaan dan penawaran akan berpotongan pada suatu titik tertentu, yaitu pada titik E yang merupakan titik keseimbangan dimana harga keseimbangan adalah P0, dan jumlah barang keseimbangan sebesar Q0. Dalam kondisi tersebut, tingkat harga dan kuantitas yang berlaku sesuai dengan harga pasar, dimana tingkat harga telah mencerminkan harga pokok produksi dan benefit dari konsumsi. Mekanisme pasar adalah kecenderungan dalam pasar dimana harga barang terus berubah sampai tercapai posisi keseimbangan (jumlah barang yang diminta = jumlah barang yang ditawarkan). Pada kondisi keseimbangan (di titik E0), tidak terjadi kelebihan maupun kekurangan barang sehingga tidak ada tekanan pada harga untuk berubah lagi. Namun sesuai dengan kondisi yang ada, harga jual listrik ditentukan oleh Pemerintah melaui penetapan TDL (harga adalah P1). Pada harga P1 produsen menghasilkan output sebesar Q2 lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh konsumen Q1. Dalam kondisi tersebut terjadi kekurangan penyediaan barang (excess demand shortage). Untuk itu, biasanya Pemerintah menempuh kebijakan harga tertinggi (ceiling price) pada P1. Kebijakan ini bertujuan agar harga listrik dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Namun dengan dipilihnya kebijakan tersebut, Pemerintah menyadari dampak yang akan terjadi adalah excess demand. Guna menghindari kerugiaan yang besar dan atau untuk mempertahankan kelangsungan hidup produsen maka Pemerintah menempuh kebijakan subsidi (negative tax). Besarnya subsidi listrik yang diberikan oleh Pemerintah kepada produsen (PT. PLN) diharapkan mampu menambah suplai dari Q2 menjadi Q1 (gambar 2.1.). Pemberian subsidi ini akan menggeser kurva penawaran dari S0 ke S1 dan keseimbangan terjadi pada titik E1. Selain kebijakan subsidi, kebijakan lain yang dapat ditempuh Pemerintah berupa pemberian insentif kepada pelaku ekonomi, yang berupa insentif fiskal maupun insentif non fiskal, dengan tujuan untuk menumbuhkan minat investasi

2.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terutama untuk sektor kelistrikan serta untuk menjamin ketersediaan penyediaan listrik bagi masyarakat. Pemberian insentif fiskal tersebut akan berpengaruh terhadap jumlah penawaran listrik. Besarnya perubahan penawaran listrik akibat pemberian insentif fiskal sangat tergantung pada elastisitas harga penawaran listrik. Pada saat ini, penawaran listrik dalm kondisi tidak elastis (s<1) karena kurang investasi dan pemberlakuan TDL. Gambar 2.1 menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi penawaran adalah biaya produksi. Kenaikan penawaran listrik hanya dapat dilakukan dengan mengeluarkan biaya yang sangat tinggi. Dan salah satu faktor yang penting dalam menganalisis pertambahan biaya produksi adalah tingkat penggunaan kapasitas perusahaan. Apabila penggunaan kapasitas telah mencapai tingkat yang tinggi, maka investasi baru haruslah dilakukan untuk menambah produksi. Gambar 2.1 menyatakan bahwa pada saat jumlah penawaran mengalami peningkatan, maka garis penawaran bergeser dari S0 menjadi S1. Pada kondisi ini kurva permintaan tidak mengalami perubahan yaitu pada D0, sehingga kuantitas meningkat dari Q0 menjadi Q1. Namun, harga (P1) tidak mengalami kenaikan ataupun penurunan, karena harga listrik adalah tetap untuk jangka waktu tertentu (administered price), sehingga titik keseimbangan baru tercapai pada E2.

2.2.1. Efek Subsidi Pemerintah Filosopi pelaksanaan subsidi adalah pemberian transfer dari Pemerintah kepada produsen dan atau konsumen dalam rangka menciptakan harga yang relatif murah dan terjangkau semua lapisan konsumen serta mempertahankan

kelangsungan hidup produsen. Dengan demikian, pemberian subsidi dapat memberikan manfaat ekonomi kepada konsumen maupun produsen. Efek pemberian subsidi tersebut sangat tergantung pada besarnya masingmasing elastisitas kurva. Apabila elastisitas kurva penawaran lebih elastis dari pada kurva permintaannya, maka sebagian besar bagian dari subsidi yang dapat

2.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dinikmati oleh produsen serta makin besar pertambahan jumlah barang yang dapat ditawarkan oleh produsen. Atau sebaliknya, apabila kurva permintaan adalah lebih elastis dari pada kurva penawarannya, maka makin besar bagian dari subsidi yang dapat dinikmati oleh konsumen serta makin kecil pertambahan jumlah barang yang dapat ditawarkan oleh produsen. Berdasarkan uraian tersebut, maka pasar energi listrik mempunyai kurva permintaan yang cenderung in elastis (<1) karena : a) ketergantungan konsumen terhadap listrik relatif tinggi setelah BBM dalam menjalankan aktivitas ekonomi, dan b) kemampuan bargaining position konsumen terhadap harga listrik sangat lemah. Oleh sebab itu, pemberian subsidi terhadap listrik sangat membantu masyarakat, akan tetapi juga membawa dampak negatif, yaitu kenaikan permintaan listrik yang sangat tinggi. Sedang bentuk kurva penawaran energi listrik cenderung lebih elastis sehingga bagian subsidi yang diperoleh produsen makin kecil, namun produsen harus menyediakan pertambahan jumlah barang yang lebih banyak. Dengan demikian, pasar energi listrik mempunyai kurva permintaan yang relatif inelastis dan kurva penawaran yang relatif elastis. Oleh karena itu, kondisi pasar listrik yang demikian ini akan cenderung menyebabkan terjadinya kesenjangan (gap) antara penyediaan listrik dan permintaan listrik. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka Pemerintah masih perlu memberikan insentif

kepada produsen listrik dengan harapan bahwa ketersediaan energi listrik dapat ditingkatkan mengikuti kenaikkan permintaan listrik. 2.3. Insentif Fiskal Dalam Rangka Mendorong Usaha Ketenagalistrikan Ditinjau dari satu sisi, pengenaan pajak memang memberatkan karena dapat menyebabkan harga barang menjadi lebih mahal. Namun dari sisi lain, pajak sangat dibutuhkan untuk menjadi sumber penerimaan negara guna membiayai fungsifungsinya (redistribusi pendapatan dan sebagai alat stabilisasi ekonomi) serta untuk mengatur jumlah konsumsi barang yang menyebabkan dampak negatif. Hanya saja kebijakan penentuan pajak harus mempertimbangkan elastisitas permintaan dan penawaran, dan apabila tidak, maka tujuan pengenaan pajak tidak dapat tercapai.
2.8

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.3.1. Pengenaan Pajak (Misal : PPN) Secara konseptual, PPN adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah dan dibayar pada waktu terjadi transaksi jual beli barang atau jasa kena pajak. Pada umumnya, PPN dikenakan dalam bentuk suatu persentase tertentu dari hasil penjualan, misalnya PPN ditetapkan sebesar 10% dari harga atau hasil penjualan. Pungutan PPN ini akan menyebabkan konsumen harus membayar lebih tinggi untuk dapat mengkonsumsi/memperoleh barang/jasa tersebut. Namun dalam kenyataan, beban pembayaran PPN tersebut tidak seluruhnya harus dibayar atau ditanggung konsumen, akan tetapi sebagian beban PPN juga ditanggung oleh produsen. Pembagian beban pajak diantara konsumen dan produsen biasanya dinamakan dengan insiden pajak (tax incidence). Untuk menganalisis insiden pajak perlu dilihat proporsi beban pajak di antara konsumen dengan produsen masingmasing tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran yang berbeda atas beban pajak.

P D0 E1 P1 P0 P2 E0

S1 Tax

S0

Gambar 2.2. Kasus Permintaan Elastis

Q1

Q0

Qt

Pada gambar 2.2 menggambarkan pada kondisi sebelum kena pajak, kurva permintaan dan penawaran adalah D0 dan S0. Dan keseimbangan awal terjadi pada titik E0, maka harga keseimbangan terjadi pada tingkat P0 dan keseimbangan jumlah barang pada Q0. Kemudian pemerintah mengenakan pajak (PPN) kepada produsen sebesar T%. Akibatnya pengenaan PPN tersebut adalah berkurangnya jumlah barang yang ditawarkan sehingga kurva penawaran bergeser ke kiri dari S0 menjadi S1. Pergeseran kurva penawaran ini akan menggeser titik keseimbangan dari E0 menjadi
2.9

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

E1. Dalam kondisi ini, terjadi perbedaan antara harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima produsen, yaitu sebesar beban pajak. Harga keseimbangan berubah dari P0 naik menjadi P1 dan jumlah barang yang ditransaksikan mengalami penurunan dari Q0 menjadi Q1 sebagai akibat pengenaan PPN sebesar T%. Apabila dibandingkan antara harga sebelum dengan sesudah PPN, terlihat bahwa beban pajak yang harus ditanggung oleh konsumen sebesar P0P1 dan

sebaliknya (T - P0P1) atau P0P2 yang harus ditanggung oleh produsen (PT. PLN).

P E1 P1 P0 P2 E0

S1 Tax

S0

Gambar 2.3. Kasus Permintaan Tidak Elastis

D0

Q1

Q0

Qt

Gambar 2.3 menunjukkan pemerintah mengenakan PPN dalam kasus permintaan in elastis. Sebelum pemerintah memungut pajak (PPN) sebesar T%, kurva penawaran barang adalah S0 dan kurva permintaan konsumen adalah D0. Pertemuan penawaran dan permintaan menghasilkan keseimbangan pasar pada titik E0 dengan tingkat harga P0 dan tingkat kuantitas Q0. Setelah pemerintah memungut PPN sebesar T% yang membawa dampak bergesernya kurva penawaran barang ke atas dari S0 menjadi S1, artinya produsen mengurangi jumlah produksi barang sebagai akibat adanya pemungutan PPN tersebut. Dengan kurva pemintaan barang yang sama, maka keseimbangan pasar terjadi pergeseran dari titik E0 menjadi titik E1 dengan jumlah barang sebesar Q1. Pemungutan PPN tersebut menyebabkan kenaikan harga barang yang harus dibayar

2.10

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

konsumen, penurunan harga yang diterima produsen dan penurunan jumlah barang di pasar. Pada kurva permintaan yang in elastis ini, beban yang harus ditanggung atau dibayar oleh konsumen sebesar P0P1 dan produsen menanggung sebesar P0P2. Bentuk kurva permintaan yang in elastis tersebut menyebabkan jumlah beban pajak yang harus ditanggung konsumen jauh lebih besar dari pada beban yang harus ditanggung oleh produsen (lihat gambar 3) yang ditunjukkan dengan P0P1 > P0P2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasar energi listrik di Indonesia mempunyai bentuk kurva permintaan yang in elastis yang mempunyai arti bahwa ketergantungan konsumen terhadap energi listrik sangat tinggi dan tidak mempunyai alternatif energi selain listrik sehingga pada tingkat harga berapapun yang terjadi konsumen harus membayar (mampu atau tidak mampu) besarannya energi listrik yang dikonsumsinya. Karena kurva permintaan energi listrik yang in elastis tersebut, adanya pemungutan PPN tidak banyak menurunkan jumlah barang yang ditunjukkan oleh Q0Q1. Di sisi lain, pasar energi listrik di Indonesia mempunyai bentuk kurva

penawaran barang yang elastis, artinya produsen energi listrik sangat peka terhadap gangguan produksi (seperti : kebijakan pemerintah, inflasi, depresiasi nilai tukar, dll) sehingga jumlah penurunan produksi barang akan seiring dengan besarnya gangguan produksi tersebut. Dengan kurva penawaran yang elastis tersebut, produsen energi listrik berkemampuan besar untuk menggeser beban gangguan produksi tersebut kepada konsumen, misalnya pengenaan PPN terhadap

penggunaan energi listrik maka konsumen harus memikul beban pajak tersebut yang lebih besar dari beban yang ditanggung produsen. Dengan kata lain, produsen energi listrik berkemampuan besar untuk menggeser beban PPN kepada konsumen sehingga konsumen yang mendapat kerugian ganda, yaitu harga menjadi lebih mahal namun jumlah barang ditawarkan di pasar lebih sedikit. Berdasarkan gambar 2.4. menunjukan bahwa bentuk pasar energi listrik mempunyai kurva permintaan yang in elastis dan kurva penawaran yang elastis, sehingga untuk menciptakan harga yang dapat dijangkau seluruh
2.11

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

lapisan masyarakat dan menjamin pertambahan produksi yang mencukupi kebutuhan maka kebijakan subsidi dan/atau kebijakan ekonomi untuk mendorong investasi di sektor usaha ketenagalistrikan sangat masih diperlukan. 2.3.2. Dampak Insentif Pemerintah Terhadap Penurunan Biaya Produksi Gambar 2.4. berikut ini menunjukkan proses penetapan harga jual berdasarkan biaya produksi. Pada gambar tersebut menunjukkan total biaya produksi listrik sebelum mendapat insentif dari Pemerintah, yang diperlihatkan oleh kurva TC0 dan kurva TC1 merupakan kurva total biaya produksi listrik yang sudah mendapat insentif dari Pemerintah, sedangkan kurva TR menggambarkan penerimaan total perusahaan listrik. Selain itu, gambar 2.4. tersebut juga menunjukkan kondisi perusahaan sebelum dan sesudah diberikan insentif oleh Pemerintah. Pertama, kondisi sebelum mendapat insentif, dimana diperlihatkan oleh kurva TC0 menunjukkan tiga kondisi perusahaan, yaitu : a) Tahap I dimana perusahaan mengalami kerugian karena total biaya produksi lebih tinggi dari total penerimaan (TC > TR), b) Tahap II dimana perusahaan mengalami keuntungan maksimum karena total penerimaan lebih besar dari total biaya produksi (TR > TC), dan c) Tahap III dimana perusahaan mengalami break event point karena total penerimaan sama dengan total biaya produksi (TR = TC). Kondisi sebelum mendapat insentif Pemerintah, pada awalnya perusahaan menderita rugi (karena AC0 > AR1 = MR1) karena harga jual output yang rendah (0P1) dibawah harga keseimbangan (OP*). Pada tingkat harga 0P1 tersebut terjadi dua hal, yaitu : a) produsen hanya menawarkan output sebesar 0Q2 dengan kurva penawaran adalah S0, dan b) permintaan listrik masyarakat sebesar 0Q1 (karena berlaku hukum permintaan) dengan kurva pemintaan adalah D, sehingga akibatnya terjadi kelebihan permintaan (excess demand) sebesar selisih antara jumlah listrik yang ditawarkan produsen (S0) dengan jumlah permintaan listrik masyarakat (D) sebesar Q1Q2.

2.12

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Selanjutnya, perusahaan mendapat keuntungan maksimum dimana TR > TC0 yang disebabkan oleh meningkatnya harga jual mencapai 0P* (harga ini terjadi karena mekanisme pasar yaitu bertemunya permintaan dan penawaran akan listrik) dan ouput keseimbangan pada 0Q*. Kemudian karena biaya variabel (maintenance cost) untuk memproduksi listrik meningkat terus dan terjadi in efisiensi dalam perusahaan maka kemampuan produsen untuk menghasilkan laba akan semakin berkurang dan pada periode selanjutnya perusahaan kembali pada posisi titik impas (break event) yang diperlihatkan oleh TR = TC0. Dan apabila dibiarkan kondisi tersebut, besar kemungkinan perusahaan akan mengalami kerugian dan mendorong harga listrik semakin tinggi karena untuk mengurangi kerugian perusahaan. Untuk itu, Pemerintah perlu memberikan campur tangan dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dan menciptakan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Kemudian Pemerintah memutuskan bentuk campur tangannya berupa insentif (sebesar selisih antara TC0 dengan TC1) kepada perusahaan. Kondisi perusahaan setelah mendapat insentif dari Pemerintah, sehingga total biaya produksi menjadi lebih murah yang diperlihatkan oleh turunnya kurva TC dari TC0 menjadi TC1. Penurunan total biaya produksi tersebut diikuti dengan meningkatnya penawaran output sehingga menggeser kurva penawaran dari S0 menjadi S1. Dengan demikian, terjadi pergeseran keseimbangan pasar dari pada titik E0 menjadi E1 dan perubahan harga keseimbangan dari 0P* menjadi 0P1 serta diikuti dengan penambahan output dari 0Q* menjadi 0Q1. Besarnya selisih antara harga per unit (yaitu antara 0P* dengan 0P1) menunjukkan besarnya insentif per unit yang diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan. Oleh karena itu, tujuan utama Pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan terutama listrik adalah harga jual yang dapat terjangkau oleh masyarakat, jumlah output mencukupi kebutuhan masyarakat dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Dengan demikian, pemberian insentif oleh Pemerintah ini seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan (komponen) masyarakat bukan hanya segilintir golongan tertentu saja.

2.13

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan TC0 TC1 TR

TR, TC

Gambar 2.4. Biaya Produksi dan Pasar Energi Listrik

Q2

QPasar MC0 EPasar

QSubsidi AC0

Qt

P, MR, AC, MC Tingkat Harga Pasar

MC1

AC1

AVC

TDL MR1

Q2

QPasar

QSubsidi

Qt

P S0 Tingkat Harga Pasar EPasar

Subsidi TDL

S1

ESubsidi

D 0 Q2 QPasar QSubsidi Qt

2.14

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB III Gambaran Umum Ketenagalistrikan di Indonesia 3.1. Profil Ketenagalistrikan Konsumsi listrik merupakan faktor penting untuk menunjang aktivitas perekonomian nasional, sehingga semakin tinggi aktivitas perekonomian akan menimbulkan konsumsi listrik yang semakin tinggi pula. Konsumsi listrik ini menunjukan pola peningkatan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maupun pertumbuhan penduduk Indonesia. Data menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga listrik secara nasional mencapai 88 TWh tahun 2000, dan meningkat mencapai 99 TWh tahun 2004. Untuk tahun 2010 diperkirakan konsumsi listrik secara nasional meningkat mencapai 145 TWh atau rata-rata per tahun naik sebesar 7,74%. Gambar 3.1. Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001 - 2013

200.000 180.000 160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Indonesia

Jawa-Bali

Wilayah Lain

Berdasarkan regional atau wilayah, jumlah konsumsi listrik terbesar terdapat di Jawa Bali yang mencapai 79,7 TWh tahun 2004 atau 80,5% dari konsumsi listrik nasional. Hal ini wajar karena dari 33 juta konsumen listrik di seluruh Indonesia, sebanyak 22,6 juta konsumen listrik atau 68.48% berada di Jawa Bali. Jumlah

3.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

konsumsi listrik di Sumatera sebesar 11,6 TWh tahun 2004 atau 11,7% dari konsumsi listrik nasional, dengan jumlah konsumen sebesar 5,9 juta pelanggan atau 17,9% dari total pelanggan. Untuk wilayah lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Irian Jaya) pada umumnya konsumsi listrik masih relatif kecil (kurang dari 5 TWh) tahun 2004. Pada tahun 2004 konsumsi listrik untuk Jawa Bali mencapai 79,7 TWh dan tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 125,9 TWh. Di Sumatera konsumsi listrik pada tahun 2004 mencapai 11,6 TWh dan tahun 2010 diperkirakan meningkat 16,3 TWh (lihat Gambar 3.2). Gambar 3.2 Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004 2010
140 120 100 80 60 40 20 0 Jawa - Bali Sumatera Tahun 2004 Kalimantan Sulawesi Tahun 2010 Lainnya
11,6 16,3 3,2 4,5 3,1 4,4 1,3 5,3 79,7 125,9

Tingkat electrification ratio, yaitu jumlah orang pemakai listrik terhadap total penduduk Indonesia, menyatakan bahwa semakin tinggi angka electrification ratio maka semakin banyak jumlah orang yang dapat mengkonsumsi dan menggunakan energi listrik untuk membantu melakukan aktivitasnya. Pada tahun 2004, angka electrification ratio secara nasional baru mencapai 54,8% dan di tahun 2010 diperkirakankan mencapai 70%. Tahun 2004 angka electrification ratio tertinggi adalah di wilayah Jawa & Bali yang mencapai 59,42%, disusul Sumatera 53,1%, Sulawesi 47,2%, Kalimantan 46,6% dan wilayah lainnya mencapai 33%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka electrification ratio
3.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terbesar berada di Pulau Jawa & Bali, artinya lebih dari 59% penduduk Indonesia yang berada di Pulau Jawa & Bali sudah menikmati dan menggunakan listrik dalam menunjang aktivitasnya. Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, angka electrification ratio di Indonesia masih jauh ketinggalan, misalnya dengan Armenia, Azerbaijan, Brunai Darussalam, Iran, China dan Singapura, dimana angka electrification ratio mencapai 100%. Rendahnya angka electrification ratio di Indonesia tersebut dalam jangka panjang akan berdampak pada rendahnya kemampuan Pemerintah terutama dalam mendorong atau memacu pertumbuhan ekonomi. 3.2. Produksi Listrik dan Penggunaan Bahan Bakar Sektor Listrik Dari sisi kapasitas tenaga listrik, pada tahun 2004 produksi listrik baru mencapai sebesar 24,3 GW, dimana 10,8% adalah hasil listrik swasta dan selebihnya oleh PT. PLN (Persero). Untuk meningkatkan angka electrification ratio menjadi 70% tahun 2010 maka kapasitas produksi listrik diharapkan naik sebesar 37,9 GW. Gambar 3.3. Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik

180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0

Oil 5% 9,6% 18% 9,7% 24% 49% 43% 5% 5,9% Geo Coal 30% Hydro Gas

4% 10%

G Wh

34%

46%

5,7%

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

3.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Berdasarkan fuel diversification plan Indonesian electricity sector 2004 - 2010, menunjukkan bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun 2004 diperlukan bahan bakar dengan komposisi 43% dari bahan bakar batubara, 24% dari gas, 9,7% dari hydro dan 18% dari bahan bakar minyak. Komposisi produksi listrik berdasarkan jenis pengggunaan bahan bakar ini masih belum efisien. 3.3. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik Tenaga listrik merupakan unsur vital dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, khususnya di bidang ekonomi. Oleh karenanya, ketersediaan tenaga listrik membawa outcome positif berupa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Akan halnya persoalan-persoalan ketenagalistrikan menimbulkan dimensi dampak yang meluas, tidak sebatas pada aspek ekonomi. Mengingat perannya yang esensial, maka pengelolaan ketenagalistrikan harus ditopang oleh kebijakan yang tepat. Nyatanya, persoalan demi persoalan ketenagalistrikan terus bergulir di negeri ini. Hal itu merefleksikan bahwa kebijakan energi (pada umumnya) dan

ketenagalistrikan (pada khususnya) belum mendukung dihasilkannya pasokan tenaga listrik yang cukup dari segi jumlah, mutu, dan keandalannya, juga dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pemadaman listrik secara bergilir di

wilayah Jawa dan Bali menjelang pertengahan tahun 2005 menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat yang menduga telah terjadi kekurangan pasokan listrik. Dugaan tersebut disangkal oleh PT. PLN (Persero) yang dalam siaran persnya

tanggal 2 Juni 2005 menyatakan kemampuan pasokan tenaga listrik untuk wilayah Jawa Bali cukup dan terus ditambah. Daya terpasang Pusat Listrik yang dimiliki oleh PLN di Pulau Jawa Bali adalah 16.261 MW, dengan Daya Mampu Netto 15.099 MW. Sedangkan pembangkit terpasang yang dimiliki oleh Swasta adalah sebesar 3.255 MW, sehingga total daya terpasang pembangkit di sistem Jawa Bali 19.516 MW dengan Daya Mampu Pasok pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.625 MW. Beban puncak tertinggi Pulau Jawa Bali terjadi pada tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, dimana beban puncak tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW... (Siaran Pers PT. PLN tanggal 2 Juni 2005.

3.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Namun, padamnya aliran listrik PLN (black-out) secara mendadak di sebagian wilayah Jawa dan Bali seperti yang terjadi tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 silam, kembali terulang pada 18 Agustus 2005. Kejadian tersebut memperkuat dugaan adanya ketidakberesan dalam sistem ketenagalistrikan, sehingga kemudian menuai pertanyaan; apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ketenagalistrikan tersebut?

Jumlah Tenaga Listrik (MW)


80 70 60 50 40 30 20 10 0

Gambar 3.4. Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik

Permintaan Penawaran
Tahun

2003

2004

2005

2006

2007

2008

Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ketenagalistrikan, tulisan ini akan menyarikan beberapa kajian pengamat ketenagalistrikan maupun penjelasan pihak PT. PLN menyangkut kondisi permintaan dan penawaran tenaga listrik saat ini, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbagai kajian tersebut

menghasilkan konklusi bahwa meski saat ini pasokan tenaga listrik diberitakan masih berada pada tingkat yang relatif aman (sedikit melebihi tingkat

permintaannya), namun jika tidak ada improvement kebijakan ketenagalistrikan dapat dipastikan dalam waktu dekat pasokan tenaga listrik tidak akan mampu lagi mengimbangi pertumbuhan permintaannya yang akan jauh melesat (Gambar 3.4). Dengan demikian, kebijakan di sektor ketenagalistrikan perlu segera dibenahi, termasuk di dalamnya insentif fiskal yang diperlukan mendorong investasi guna memacu peningkatan pasokan tenaga listrik. Berangkat dari gambaran kondisi

ketenagalistrikan yang dikemukakan, dapat diidentifikasi aktivitas dalam sektor ketenagalistrikan yang masih perlu mendapatkan insentif fiskal. Selanjutnya pada bagian akhir tulisan ini dibangun metodologi dalam rangka mencari bentuk insentif
3.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

fiskal sesuai dengan kebutuhan yaitu; meningkatkan jumlah pasokan, efisiensi dan keandalan tenaga listrik. 3.3.1. Potret Permintaan Tenaga Listrik Saat ini, permintaan tenaga listrik masih terkonsentrasi di wilayah Jawa Bali yang menyerap sekitar 77 persen kebutuhan listrik. Jumlah permintaan tenaga dapat dilihat dari besarnya penggunaan pada saat beban puncak. Menurut catatan PLN, beban puncak di wilayah Jawa Bali pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW, dan diperkirakan bulan Oktober 2005 akan mencapai 15.245 MW. Permintaan tenaga listrik dipastikan akan terus meningkat pesat sebesar 6 - 7 persen/tahun. Sedikitnya ada tiga faktor yang mendorong peningkatan tersebut, yakni; pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, peralihan penggunaan listrik non-PLN ke listrik PLN, serta adanya kecenderungan masyarakat menggunakan listrik secara boros. a. Pertambahan Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta dan pertambahannya rata-rata sebesar 1,5 persen/tahun, serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen/tahun dalam lima tahun terakhir berimplikasi pada tingginya konsumsi tenaga listrik. Tenaga listrik digunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas dalam rumah tangga maupun menjalankan usaha (bisnis dan industri). Pada fase awal, pembangunan infrastruktur (termasuk tenaga listrik) akan sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi. Dalam perkembangannya, terbentuk struktur korelasi dua arah pada saat multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi menuntut ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang mencukupi, andal, dan efisien. b. Peralihan Penggunaan Listrik Non-PLN ke Listrik PLN Peningkatan harga BBM yang terus terjadi sejak bulan Maret 2005 menyebabkan banyak industri yang semula membangkitkan listrik sendiri dengan

menggunakan genset kemudian beralih ke listrik PLN yang menjadi relatif lebih murah. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya lonjakan penggunaan tenaga
3.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik melebihi jumlah pasokannya. Lonjakan ini terlihat pada tanggal 29 April 2005 yang dilaporkan sebagai beban puncak tertinggi Pulau Jawa Bali yaitu sebesar 14.821 MW. c. Kecenderungan Masyarakat Menggunakan Listrik Secara Boros Perilaku konsumsi tenaga listrik oleh masyarakat cenderung boros. Di kalangan rumah tangga hal ini ditandai oleh penggunaan jumlah lampu hemat energi yang masih terbatas, karena alasan harga jenis lampu tersebut yang dirasa mahal. Masyarakat umumnya tidak memperhitungkan bahwa penghematan

pengeluaran dari penghematan listrik karena penggunaan jenis lampu tersebut akan lebih besar. Sedangkan di kalangan industri, misalnya industri tekstil,

masih banyak dijumpai penggunaan mesin-mesin tua yang masih dipertahankan oleh pengusaha padahal produktivitasnya sudah berkurang dan menuntut penggunaan listrik yang lebih besar per satuan produksi. Namun demikian, Pemerintah terhitung berhasil dalam mengkampanyekan penghematan listrik di malam hari pada kelompok pelanggan rumah tangga yang diserukan melalui Keppres Nomor 10 Tahun 2005, buktinya terjadi penurunan beban puncak, dari posisi tertinggi pada tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, menjadi 14.575 MW pada tanggal 2 Juni 2005. 3.3.2. Penawaran Tenaga Listrik1 Sebagaimana tercantum dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 2025 Departemen ESDM2, dari total kapasitas pembangkit sebesar 24.000 MW, 13 persen tersebar di wilayah Sumatera, 77 persen di Jawa - Bali, 3 persen di Kalimantan, dan 2,7 persen di Sulawesi. Trend pembangunan sistem

ketenagalistrikan masih terpusat di wilayah Jawa Bali.

Bagi kontraktor listrik

swasta, kedua wilayah tersebut dinilai lebih tidak beresiko, karena selain pasarnya besar dan berkembang pesat, infrastruktur pendukung sudah tersedia.

Terminologi penawaran tenaga listrik yang digunakan dalam kajian ini dikenal dengan istilah penyediaan tenaga listrik dalam perundangan ketenagalistrikan, yang meliputi tiga aktivitas, yakni; pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik. Dikutip dari artikel Kompas 20 Agustus 2005 berjudul Interkoneksi untuk Atasi Listrik.

3.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dengan pola pengembangan sistem ketenagalistrikan seperti dikemukakan di atas, kesenjangan antara wilayah Jawa Bali dengan wilayah lainnya semakin besar, padahal pembangunan di wilayah Indonesia Timur khususnya sangat tergantung salah satunya pada keberadaan tenaga listrik yang andal. Pengembangan pola

KAPET oleh Pemerintah yang dimaksudkan untuk menarik investasi di sektor ketenagalistrikan dan industri penggunanya secara bersamaan belum membawa perubahan yang signifikan terhadap pembangunan di wilayah Luar Jawa Bali. Secara umum, pertumbuhan penawaran tenaga listrik relatif lambat dibandingkan tingkat permintaannya. Sampai dengan tahun 1996, tingkat

elektrifikasi -yaitu prosentase listrik terpasang dibandingkan kebutuhan- hanya sekitar 40 persen (Elektro Indonesia, 1997)3. Kondisi ini tidak terlepas dari persoalanpersoalan yang menyelimuti aktivitas penyediaan tenaga listrik. a. Pembangkitan Tenaga Listrik Dari segi pembangkitan tenaga listrik, terdapat dua hal yang memicu rendahnya pertumbuhan penawaran tenaga listrik, yaitu; (i) adanya gap antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada saat ini (existing), serta (ii) lambatnya penambahan jumlah pembangkit tenaga listrik baru. b. Pembangkit Tenaga Listrik Existing. Pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada, umumnya terjadi perbedaan (gap) antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok. Hal itu antara lain disebabkan oleh: i. Berkurangnya umur teknis peralatan pembangkit. Berkurangnya umur teknis

peralatan menyebabkan penurunan kemampuan pembangkitan (derating), apalagi selama ini setiap pembangkit selalu dioperasikan secara maksimal mengingat keterbatasan jumlah pembangkit.

Elektro Indonesia, Edisi Kedelapan, Juli 1997, Kerjasama Tenaga Listrik Sektor Swasta ASEAN di Daerah Perbatasan Kalimantan.

3.8

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

ii. Kegiatan pemeliharaan peralatan pembangkit. Beberapa pembangkit sedang dalam pemeliharaan sesuai dengan jadwal pemeliharaan masing-masing pembangkit. iii. Variasi musim mengganggu operasionalisasi pembangkit. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) adalah jenis pembangkit yang operasionalisasinya tergantung pada musim. Saat kemarau, tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit jenis ini banyak berkurang. iv. Sebanyak 4 6 persen produksi tenaga listrik digunakan untuk keperluan operasional pembangkit. v. Ketersediaan bahan bakar. Tenaga listrik sebagai bentuk energi sekunder tergantung pada ketersediaan bahan bakar. Melambungnya harga BBM yang terjadi saat ini membebani keuangan negara karena anggaran subsidi listrik membengkak, yang kemudian membawa efek beruntun pada cashflow PT. PLN, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), sehingga jumlah pasokan listrik berkurang. Sementara itu, pengoperasian pembangkit listrik dengan energi lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) terkendala oleh jumlah pasokan bahan bakar. Tingginya harga batubara dan gas, membuat produsennya lebih banyak menjual ke pasar ekspor. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengakui dari 131,72 ton produksi

nasional sekitar 70 persen hasil batubara diekspor, sisanya dipakai untuk kebutuhan dalam negeri4. Sedangkan untuk gas bumi, dari produksi nasional sebesar 8,35 miliar kaki kubik (BSCF) per hari di tahun 2004, sekitar 58,4 persen diekspor dan sisanya untuk kebutuhan domestik. Akibatnya, banyak pembangkit listrik yang tidak dapat beroperasi secara optimal. c. Lambatnya Penambahan Jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Baru. Pesatnya laju peningkatan permintaan tenaga listrik seharusnya diimbangi oleh peningkatan produksinya. Namun, realisasi pertumbuhan pembangkit yang
4

Kompas, 22 Juli 2005, Batubara: Kebutuhan Domestik Harus Diutamakan.

3.9

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dilakukan oleh kontraktor listrik swasta (independent power producers) tidak mengalami kemajuan berarti dalam tiga tahun terakhir5. Beberapa hambatan yang mengganjal investor masuk ke bisnis pembangkitan listrik antara lain: Beban pajak yang dikenakan oleh Pemerintah sangat besar. Pajak tersebut bahkan sudah mulai dikenakan pada saat eksplorasi. Pada kasus pembangunan PLTGU Cilegon yang dimulai tahun 2004 dan masih berlangsung hingga saat dengan dana pinjaman dari Jepang, dari total biaya sebesar USD 431,3 juta, 8,8 persen diantaranya untuk membayar pajak dan 6,6 persen untuk membayar bunga pinjaman dan biaya-biaya pinjaman lainnya. Pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah semakin beragam. Kepentingan Pemda untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Contohnya di Sulawesi Utara, air untuk pembangkit listrik dikenakan pajak. Peraturan itu berdampak pada perhitungan keuntungan, sementara kontraktor tidak bisa menaikkan harga jual listrik yang penetapannya menjadi wewenang PT. PLN. Hal tersebut menyebabkan banyak kontraktor listrik swasta menghentikan proyeknya untuk sementara. Tidak ada lagi surat jaminan Pemerintah bagi kontraktor listrik swasta. Ini merupakan kebijakan baru Pemerintah yang diberlakukan sejak tahun 2002. Dengan tidak adanya jaminan tersebut, maka kontraktor harus menanggung sendiri semua resiko kegagalan proyek. Pengembangan energi alternatif sebagai bahan bakar pembangkit listrik terganjal oleh kebijakan lingkungan hidup. Baku mutu emisi adalah salah satu aturan yang harus dipenuhi dalam rencana pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Batubara memang sangat rentan terhadap polusi karbon di atmosfer. Profesor Smalley menyebut efek dari polusi batubara ini sebagai efek gigaton carbon pada atmosfer yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bumi itu sendiri6. Sementara itu di Bedugul Bali yang merupakan daerah resapan air, rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang
5 6

Kompas, 30 Juli 2005, Investasi Listrik Swasta Mandek: Pemerintah Belum Beri Kemudahan. Kompas, 18 Agustus 2005, Teknologi Nano: Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan

3.10

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sudah sampai tahap melakukan pengeboran tiga sumur di kawasan hutan lindung tidak berjalan mulus karena dikhawatirkan oleh masyarakat setempat akan menyebabkan krisis air. Jaminan ketersediaan bahan bakar pembangkit. Lambatnya pertumbuhan

pembangkit tenaga listrik tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan energi nasional. Salah satunya adalah masalah pengelolaan gas bumi, yang

cadangannya berada di luar Jawa, dalam hal ini Sumatera dan Kalimantan, sementara pasar utamanya ada di Jawa. Kontraktor penghasil gas enggan

mengeksploitasi karena infrastruktur distribusi gas ke Jawa tidak disediakan Pemerintah7. Mahalnya teknologi pembangkit dengan bahan bakar yang tergolong energi terbarukan. Peningkatan harga BBM membuat banyak pihak mulai mempertimbangkan diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan (seperti hidro, solar dan angin). Namun demikian, saat ini teknologi untuk kegiatan

pengembangannya masih terhitung mahal karena belum banyak dikuasai oleh sumberdaya manusia di dalam negeri, sehingga untuk pengadaan teknologi tersebut perlu mengimpor. Kondisi infrastruktur (jalan, pelabuhan, dan lainnya) yang ada saat ini sudah tidak lagi memadai. 3.3.3. Transmisi Tenaga Listrik Di Jawa Bali. Ketergantungan yang sangat besar atas transmisi 500KV di bagian utara Jawa yang merupakan satu-satunya jaringan penghubung daya dari PLTU Paiton di Jawa Timur ke Jawa Barat. Hal itu membuat pasokan listrik untuk interkoneksi Jawa Bali sangat rentan mengalami gangguan karena tidak ada alternatif jaringan transmisi. Selain itu, kondisi sistem interkoneksi tersebut sudah tua, dibangun tahun 1984 bersamaan dengan beroperasinya PLTU Suralaya. Sementara itu,

pembangunan jaringan baru di sepanjang selatan Jawa terhambat persoalan pembebasan lahan.
7

Kompas, 20 Agustus 2005, Kelangkaan Gas Sekarang Ini, Salah Siapa?

3.11

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Meskipun keberadaan jaringan transmisi alternatif di sepanjang selatan Jawa diperlukan, tapi menurut Robert Blohm hal tersebut bukan merupakan solusi mendasar terhadap persoalan ketenagalistrikan yang melanda Jawa Bali saat ini. Seharusnya PT. PLN membatasi tambahan permintaan listrik di Jawa Barat sebelum terjadi pemadaman. Interkoneksi Jawa Bali dapat beroperasi dengan baik jika didasarkan atas harga pasar yang sesuai dengan biaya dan lokasi. Pemerintah harus mengenakan pajak pendapatan umum terpisah untuk mengurangi tarif listrik di wilayah yang masih memerlukan pembangunan sehingga mendorong indutsri untuk berpindah ke sana8. 3.3.4. Transmisi Tenaga Listrik Di Luar Wilayah Jawa Bali. Jaringan transmisi relatif pendek (terutama di Kalimantan dan Sulawesi), terbatas pada tegangan tinggi 70 kV dan 150 kV, rata-rata pertumbuhannya rendah. Di luar Jawa, jaringan distribusi tenaga listrik banyak yang belum tersambung. Karena alasan itulah, investor yang ingin membangun pembangkit.

memprioritaskan pembangunan pembangkit tenaga listrik di wilayah Jawa Bali yang sistem pendukungnya sudah tersedia. 3.4. Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan Pada saat ini kebutuhan energi listrik masyarakat sudah demikian tinggi mencapai 99 TWh dibandingkan dengan kapasitas produksi energi listrik yang hanya 87 TWh, sehingga diperlukan tambahan produksi energi listrik sebesar 13.000 MW. Kebutuhan kapasitas tambahan tersebut diharapkan 8.000 MW dipenuhi oleh PT. PLN dan sisanya 5.000 MW diperoleh dari IPP-swasta. Kekurangan pasokan listrik ini mencerminkan bahwa PT. PLN sangat membutuhkan sumber pasokan listrik khususnya pembangunan infrastruktur listrik, yaitu untuk pembangkit dan transmission line.

Kompas, 29 Agustus 2005, Masalah Listrik Perlu Institusi Masyarakat: Operasional Pasar dan Kebijakan Sosial.

Dipisahkan antara

3.12

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Hal tersebut diperkuat lagi dengan kondisi, antara lain : a) rasio elektrisasi9 masih kurang dari 60%, b) harga jual beli yang disetujui antara PT. PLN dengan IPP masih proposional, c) cadangan energi selain bahan bakar minyak (BBM) masih relatif besar dengan harga masih terjangkau (seperti batubara, gas alam, air dan panas bumi) dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi BBM, d) rendahnya reserve margin sistem kelistrikan yang kurang dari 30%, dan e) belum berjalannya jaringan interkoneksi jawa sumatera melalui kabel laut. Dengan demikian, untuk memenuhi hal tersebut maka PT. PLN masih perlu pembangunan (investasi) infrastruktur ketenagalistrikan khususnya di sektor pembangkit, distribusi dan transmission line. Tabel 3.1. Angka ROR Tahun 2000 2007 Angka ROR Aktual (%) - 7,70 - 5,20 - 5,76 - 1,10 2,80 8,00 8,00 8,00 Angka ROR Menurut Cofenant Bank Dunia (%) 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00

No 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Sumber : Reinstra PT. PLN (Persero) Tahun 2003 2007.

Guna memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur tersebut, maka diperlukan pendanaan yang sangat besar. Total kebutuhan dana investasi seluruh wilayah di Indonesia selama periode tahun 2003 2007 (constant disbursement) sebesar US$ 6,617.3 juta dan US$ 5,779 juta (fixed asset). Namun dalam kondisi saat ini, pendanaan investasi tersebut tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada PT. PLN. Sejak tahun 2000 PT. PLN mengalami ketidakseimbangan finansial perusahaan yang dicerminkan oleh ROR yang negatif (Reinstra PT. PLN, 2003 2007) sehingga

9Merupakan

proses listrik terpasang dibandingkan dengan kebutuhan listrik yang masih rendah (yaitu 40% tahun 1996) sehingga kebutuhan pasokan listrik akan terus meningkat untuk mengejar ketinggalan dengan kebutuhan listrik masyarakat akan kegiatan ekonomi dan pembangunan.

3.13

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

menyulitkan PT. PLN untuk melakukan investasi sendiri. Padahal angka ROR yang disyaratkan oleh cofenant Bank Dunia sebesar 8%. Selain itu, semenjak tahun 1997 perusahaan ini tidak pernah menerima pinjaman baru dengan pola pendanaan concessional loan dari lembaga-lembaga keuangan luar negeri sebagai sumber dana investasi. Untuk itu, PT. PLN mengharapkan adanya dukungan pemerintah terutama kebijakan insentif fiskal dalam rangka kerjasama dengan investor swasta untuk memenuhi kebutuhan dana investasi tersebut. Dukungan Pemerintah yang diharapkan PT. PLN adalah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif terutama melalui insentif fiskal guna menggairahkan dan mendorong investasi sektor kelistrikan di dalam negeri. Kesulitan dalam penyediaan dana investasi untuk pembangungan

infrastruktur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : a) Harga jual rata-rata menjadi lebih rendah dari harga pokok penjualan (HPP) akibat depresiasi rupiah terhadap dollar AS, b) fluktuasi kurs valuta asing mempunyai pengaruh terhadap meningkatnya biaya produksi listrik terutama komponen biaya pembelian gas alam, listrik swasta, uap panas bumi, batubara, suku cadang dan beban pinjaman termasuk selisih kurs yang sebagian besar diperhitungkan dengan menggunakan valuta asing, dan c) dampak UU Otonomi Daerah yang menyulitkan bagi aktivitas PT. PLN karena dapat dijadikan sumber pendapatan bagi Pemda terutama pajak daerah dan retribusi daerah yang diberlakukan mulai dari hilir sampai hulu. Dalam menunjang iklim investasi yang kondusif di sektor kelistrikan, Pemerintah telah memberikan dukungan agar pembangunan infrastruktur

ketenagalistrikan dapat diciptakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 beserta petunjuk teknis adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 9 Tahun 2005 tentang Prosedur Lelang dan Penunjukkan Langsung Pembelian Tenaga Listrik, serta Keputusan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2005 tentang Perijinan Dalam Bidang Ketenagalistrikan. Berdasarkan peraturan tersebut PT. PLN telah mengundang investor domestik dalam lelang di 24 lokasi tersebar di luar Jawa, dengan kapasitas total 1.134
3.14

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

MW dan diikuti sebanyak 59 investor (qualified bidder), dan proses lelang saat ini masih berlangsung. Oleh karena itu, PT. PLN mengharapkan bentuk dukungan Pemerintah Indonesia dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pembangunan infrastruktur kelistrikan, antara lain : a) insentif fiskal meliputi keringanan maupun penundaan pembayaran PPh dan atau PPN, b) kemudahan ekspor Impor, c) pengenaan tingkat bunga bersaing, dan d) kemudahan dan keringan pengenaan bea masuk. Menurut PT. PLN bahwa dukungan Pemerintah tersebut sangat diperlukan untuk pembangunan kelistrikan di sektor pembangkit yang diproduksi di dalam negeri sehingga perlu dipertimbangkan adanya pembebasan terutama untuk bea masuk, PPN impor, dan untuk impor barang raw material dan sub sistem equipment yang diperlukan bagi fabrikasi perlatanan yang diproduksi di dalam negeri. Dukungan Pemerintah tersebut diharapkan dapat menciptakan biaya produksi peralatan yang dapat lebih bersaing dengan peralatan impor langsung dari luar negeri. Untuk menarik minat investor swasta (dari dalam maupun luar negeri) dalam usaha penyediaan listrik perlu ditawarkan beberapa hal-hal, yaitu iklim investasi yang kondusif dan atau kemudahan-kemudahan yang dapat diberikan kepada investor. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan kegiatan yang dapat

menggairahkan investasi di sektor kelistrikan, meliputi : a. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan diseluruh tanah air, karena hal ini merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan investasi. b. Menciptakan dan menyempurnakan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku (baik yang baru maupun lama) agar transparan dan mendukung usaha penanaman modal. c. Menyempurnakan prosedur pelayanan investasi serta mempercepat

pengeluaran perijinan (baru dan lama). d. e. Memberikan kemudahan tata cara memperoleh / penggunaan tanah. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).

3.15

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

f.

Menjamin ketersediaan sumber energi primer dengan menyediakan sarana penyaluran dan penyimpanan, seperti batubara, air dan gas alam.

g.

Mempercepat pembangunan infrastruktur yang memadai, seperti jalan, pelabuhan, transportasi, dan lain-lain. Untuk pembangunan infrastruktur listrik diperkirakan memerlukan dana

investasi sebesar Rp 60,3 triliun dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,93% per tahun (Media Indonesia, 5 September 2005). Jumlah dana investasi tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia dimana konsumsi tenaga listrik terbesar berada di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,6 TWh atau 80% dari keseluruhan konsumsi listrik di Indonesia. Apabila dicermati, konsumen (pelanggan) listrik terbesar adalah kelompok rumahtangga sebanyak 31 juta pelanggan atau 93% dari total 33,2 juta pelanggan (PT. PLN, 2004). Kemudian disusul oleh kelompok sektor bisnis yang mencapai 1,4 juta pelanggan (4%), dan kelompok sosial sebesar 691 ribu pelanggan atau 2% (lihat tabel 3.3.). Besarnya konsumsi listrik di Pulau Jawa Bali saat ini ternyata menjadi salah satu permasalahan yang krusial dalam kebijakan energi di Indonesia. Pada kondisi beban puncak, jumlah daya yang dibutuhkan mencapai 14.800 MW. Tingginya kebutuhan listrik tersebut karena Pulau Jawa Bali merupakan konsentrasi penduduk terbesar dan tempat didirikan industri. Tabel 3.2. Pelanggan PT. PLN Tahun 2000 2004
Kelompok Pelanggan Rumah tangga Industri Bisnis Sosial Perkantoran Total Growth 2000 26.796.675 44.337 1.062.955 582.811 102.627 28.589.405 3.9% 2001 27.885.612 46.014 1.172.247 608.713 115.142 29.827.728 4.3% 2002 28.903.325 46.824 1.245.709 633.114 124.947 30.953.919 3.8% 2003 29.997.554 46.818 1.310.686 659.034 137.324 32.151.416 3.9% 2004 30.957.613 46.343 1.357.114 690.989 160.466 33.212.525 3.3% Share (%) 93.2 0.1 4.1 2.1 0.5 100.0

3.16

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan Sumber : Media Indonesia, 06 September 2005.

Berdasarkan uraian di atas, sudah saatnya PT. PLN melakukan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan sumber dana dengan investasi sebesar Rp 60,3 triliun yang diharapkan dari investor swasta di dalam maupun luar negeri, meskipun tidak seluruhnya. Dampak dari kesulitan dana investasi tersebut menyebabkan PT. PLN tidak bisa melakukan investasi penambahan penyediaan tenaga listrik sehingga banyak daerah yang mengalami krisis pasokan tenaga listrik. Sejalan dengan hal tersebut, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI telah melakukan simulasi model ekonometrik makroekonomi yang menghasilkan angka elastisitas untuk mengukur tingkat kepekaan (sensitivitas) pembangunan infrastruktur listrik terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,84. Hasil simulasi tersebut menyatakan apabila jumlah stok listrik (MVA) dinaikkan sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi nasional meningkat sebesar 0,84% (Media Indonesia, 5 September 2005). Dan apabila dibedakan berdasarkan wilayah, maka kenaikan jumlah stok listrik (MVA) yang sama akan menghasilakn angka kepekaan sebesar 0,64 untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan untuk Kawasan Timur Indonesia sebesar 0,20. Berdasarkan uraian tersebut, maka prioritas utama pembangunan infrastruktur listrik adalah di wilayah KBI terutama di Jawa Bali guna menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

3.17

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB IV EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN Dalam rangka mendorong pertumbuhan investasi infrastruktur kelistrikan, Pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan kepada PT. PLN (Persero) baik dalam bentuk penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement-SLA) maupun kebijakan dalam perpajakan. Pemberian insentif kebijakan fiskal tidak membedakan satus perusahaan, karena baik perusahaan milik negara maupun investor swasta juga diberikan insentif terutama yang bergerak dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum. 4.1. Peluang Sumber Dana Yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Investasi Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement) Dalam rangka memperlancar pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Nomor:

185 / KMK .03 / 1995 tanggal 5 Mei 1995 yang mengatur tentang Tata Cara Kep.031/ Ket / 5 / 1995
Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam rangka pelaksanaan APBN. Selanjutnya sebagai upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan proyek yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan pinjaman/hibah luar negeri, telah diterbitkan ketentuan baru sebagai penyempurnaan SKB tersebut, yaitu SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Nomor:

459 / KMK .03 / 1999 tanggal 29 September 1999 tentang Perubahan Atas SKB KEP 264 / KET / 09 / 1999

Menteri

Keuangan

dan

Menteri

Negara

PPN/Ketua

Bappenas

No.

185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam rangka Pelaksanaan APBN.

4.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dana pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) yang tercantum dalam APBN adalah merupakan bagian dari APBN, sehingga pelaksanaan pencairan dana PHLN harus mengikuti ketentuan dan mekanisme APBN yang berlaku. Oleh karena itu, dalam pengelolaan dan penerusan dana PHLN harus berpedoman pada peraturan dan ketentuan pokok tersebut di atas. Selain peraturan tersebut di atas, maka pengelolaan dan penerusan dan PHLN harus berpedoman pula pada : a) b) c) d) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, e) PP No. 42/1995 perihal Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri; f) g) h) PP No. 25/2001, SE DJA No. SE-80/A/71/0696 tanggal 6 Juni 1996, SE DJA No. SE-106/A.6/2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan PPN, PPN-BM dan PPh Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri, serta i) Keputusan Menteri Keuangan No. 259/KMK.017/1993 tentang Penerusan Pinjaman. Hal hal penting yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dengan Menteri Negara PPN (Ketua Bappenas) Nomor 459/KMK.03/1999 dan Nomor Keputusan 264/KET/09/1999 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan (Penatausahaan) dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) terutama dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa:

4.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

1.

Jumlah atau bagian dari jumlah PHLN yang dimuat dalam Naskah Perjanjian Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPPHLN) dituangkan dalam Daftar Isian Proyek (DIP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP.

2.

Dalam hal PHLN akan diteruspinjamkan sebagai pinjaman, maka calon penerima penerusan pinjaman mengajukan usul penerusan pinjaman kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas.

3.

Menteri Keuangan atau kuasanya (dalam hal ini Direktorat Penerusan Pinjaman, Direktorat Jenderal Perbendaharaan) menetapkan persyaratan penerusan pinjaman dan menandatangani Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP atau SLA) dengan Penerima Penerusan Pinjaman (PPP) yang bersangkutan.

4.

Rekanan NPPP yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau kuasanya dengan PPP tersebut disampaikan kepada Bappenas, Bank Indonesia, dan BPKP. Apabila dana PHLN yang tercantum dalam NPPHLN, sebagian atau

seluruhnya disediakan untuk membiayai proyek-proyek BUMN/BUMD atau Pemda, maka dalam hal ini dana PHLN tersebut diteruspinjamkan kepada BUMN/BUMD atau Pemda. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP) atau disebut juga dengan two-step loan. SLA/PPP adalah subsidiary loan agreement/perjanjian penerusan pinjaman, yaitu perjanjian penerusan pinjaman luar negeri untuk pembiayaan proyek Pemda/BUMN/BUMD ditandatangani oleh Menkeu dan pihak Pemda/BUMN/BUMD. Ketentuan mengenai prosedur

penerusan pinjaman luar negeri diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003 tanggal 22 Januari 2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/ Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah kepada Daerah. Sedangkan penerusan pinjaman luar negeri kepada BUMN belum diatur secara spesifik.

4.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.2

Insentif Kebijakan Fiskal Yang Masih Berlaku Sampai Dengan Tahun 2000 Sebagai unit usaha, industri listrik mempunyai kewajiban untuk membayar

pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPNBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak lainnya (bea meterai), dan bea masuk. Di samping itu, dengan adanya otonomi daerah, industri listrik juga diwajibkan untuk membayar retribusi kepada daerah atas aktivitas yang dilakukannya. Namun, untuk mengurangi beban pajak, Pemerintah telah memberikan beberapa fasilitas perpajakan pada industri listrik sesuai dengan UU Perpajakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar perpajakan (simplicity, fairness, certainty, and competitiveness). Di samping itu, berbagai langkah pembaharuan yang telah dilakukan Pemerintah, baik di bidang administrasi maupun kebijakan perpajakan sejak tahun 1983 mempunyai andil dalam mengurangi beban pajak bagi wajib pajak pada umumnya dan industri listrik pada khususnya. Pembaharuan kebijakan perpajakan yang tertuang dalam UU Perpajakan telah dilakukan 3 kali berturut-turut, yaitu tahun 1983, 1994, dan 2000. Saat ini sedang diproses amandemen UU Perpajakan yang keempat kalinya. Perubahan kebijakan perpajakan yang mendasar terjadi pada tahun 1983, yaitu dari sistem penghitungan pajak government assessment menjadi self assessment, dan dari pajak penjualan menjadi pajak pertambahan nilai. Sistem self assessment mengatur perubahan perilaku aparat pajak sehingga menjadi lebih melayani wajib pajak, sedangkan perubahan pajak penjualan menjadi PPN telah mengurangi pajak ganda, sehingga beban pajak berkurang. Pemberlakuan PPN mengakibatkan pengenaan pajak hanya pada pertambahan nilai yang telah terjadi pada proses produksi, sehingga dikenal adanya pajak masukan dan pajak keluaran (PM-PK). Tarif PPN sebesar 10 persen relatif masih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain yang pengenaan tarif PPN bervariasi sekitar 10 persen. Di samping itu, dilakukan penyederhanaan tarif dan lapisan tarif pajak, serta peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Secara berturut-turut tarif PPh Badan yang berlaku dapat dilihat pada Tabel berikut.
4.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Tabel 4.1 Wajib pajak Badan Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap Lapisan Penghasilan Kena Pajak S/d Rp 10 juta Di atas Rp 10 juta s/d Rp 50 juta Di atas Rp 50 juta S/d Rp 25 juta Di atas Rp 25 juta s/d Rp 50 juta Di atas Rp 50 juta S/d Rp 50 juta Di atas Rp 50 juta s/d RP 100 juta Di atas Rp 100 juta Tarif Pajak 1983 15% 25% 35% 1991 15% 25% 35% 10% 15% 30% 1994 10% 15% 30% 2000

Tabel 4.1. memperlihatkan beban pajak untuk PPh Badan mengalami penurunan yang mencolok di tahun 1994 2000. Perubahan tersebut (tax reform) pada akhirnya membuat pengenaan pajak menjadi lebih sederhana, adil dan kompetitif. Hasil kajian Tim Kebijakan Perpajakan - BAF (2001), menyebutkan tarif efektif PPh badan di Indonesia secara umum bisa dikatakan kompetitif dibandingkan dengan tarif efektif PPh Badan negara-negara ASEAN dan sekitarnya.
Grafik 4.1. Perbandingan TarifG ra fik 2 .7 Badan di beberapa Negara Efektif PPh P e r b a n d in g a n T a r berbagai tingkat pendapatane b e r a p a N e g a r a pada if E fe k tif P P h B a d a n d i B
p a d a B e r b a g a i T in g k a t P e n d a p a ta n
35% 30% 25%

Tarif Efektif

20% 15% 10% 5% 0%


0 00 00 00 00 00 00 00 00 00 0 0 0 0 00 00 00 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 00 00 0. 2. 4. 80 30 40 50 60 10 20 70 90 0. 0. 12 10 11 20 0. 00 0

P e n g h a s ila n (d a la m U S $ )
In d o n e s ia C h in a
M a la y s ia V ie tn a m
T h a ila n d C a m b o d ia
P h ilip in e s

4.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pada tingkat pendapatan (profit) perusahaan di bawah US$25.000 tarif efektif PPh badan di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, namun pada tingkat pendapatan (profit) di atas US$25.000 tarif efektif PPh badan di Indonesia kalah dibandingkan Kamboja dan Malaysia. Untuk lebih detilnya lihat Grafik. Selain kebijakan umum perpajakan yang mendorong sistem perpajakan Indonesia menjadi lebih kompetitif sehingga beban pajak yang ditanggung perusahaan di Indonesia secara umum tidak lebih berat daripada beban pajak di negara lain, Pemerintah juga telah memberikan berbagai fasilitas kepada industri listrik secara khusus sebagai berikut : 1. PPh Badan Pasal 25/29 merupakan pajak atas penghasilan (profit) perusahaan dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri setiap bulan sebesar PPh yang terutang menurut SPT PPh tahun lalu dan pajak terutang dalam satu tahun. PPh tersebut dikenakan pada penghasilan kena pajak (PKP) perusahaan, yang merupakan selisih antara pendapatan operasi perusahaan dikurangi dengan biaya operasi perusahaan yang menurut peraturan bisa dikurangkan. Pendapatan operasi perusahaan listrik meliputi antara lain penjualan tenaga listrik dan biaya penyambungan. Sedangkan, biaya operasi perusahaan meliputi antara lain pembelian tenaga listrik, bahan bakar dan minyak pelumas, pemeliharaan, kepegawaian, dan penyusutan aktiva tetap. Untuk mengurangi beban PPh Pasal 25/29 Badan tersebut, Pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan untuk penerimaan atas biaya penyambungan listrik yang diterima PT PLN pada periode Januari Desember 1976 dengan menganggap bahwa penerimaan tersebut sudah dilaporkan pada SPT PT PLN. Sedangkan, periode 1 Januari 1977 31 Desember 1995 penerimaan atas biaya penyambungan listrik belum diakui sebagai penghasilan dan belum dikenakan PPh, sehingga terutang PPh namun pengenaannya dibagi rata selama 5 tahun terhitung sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2000. Setelah itu, mulai tahun 1996 semua penerimaan atas biaya penyambungan listrik merupakan penghasilan tahun bersangkutan dan wajib dikenakan PPh.

4.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.

PPh Pasal 22 Impor adalah pajak yang dipungut oleh badan tertentu (BUMN) berkenaan dengan kegiatan di bidang impor yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Apabila industri listrik tersebut adalah BUMN, maka perusahaan tersebut berkewajiban memungut PPh pasal 22 impor atas kegiatan di bidang impor yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Namun, pajak ini dapat dikreditkan pada SPT akhir tahun dan merupakan beban kontraktor. Untuk mengurangi beban PPh pasal 22 Impor, Pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan tidak dipungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh. Dengan demikian, khusus untuk industri listrik tidak dikenakan PPh pasal 22 impor.

3.

PPh Pasal 26 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima oleh WP luar negeri selain badan usaha tetap (BUT). Pajak ini dikenakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, penghargaan, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima oleh WP luar negeri. Untuk mengurangi beban PPh pasal 26 ini Pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan berupa pembebasan dari PPh untuk konsultan,

kontraktor/supplier semua proyek PLN yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri. 4. PPN adalah pajak yang dikenakan pada nilai tambah dari barang dan jasa yang diperjualbelikan. Dalam PPN dikenal adanya pajak masukan dan pajak keluaran, sehingga tidak terjadi pajak berganda. Pada dasarnya pajak ini merupakan beban konsumen. Untuk mengurangi beban PPN terutama cash flow industri listrik, Pemerintah memberikan beberapa fasilitas PPN sebagai berikut : a. Perusahaan PLN sebagai BUMN diperbolehkan memungut PPN dari supplier barang dan jasa atau kontraktor utama pelaksana proyek.

4.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Sehingga PLN tidak mengalami kesulitan cash flow, karena pajak masukannya sudah dipotong terlebih dahulu. b. Proyek-proyek PLN yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri dibebaskan dari PPN. c. Penyerahan jasa persewaan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan pelayaran niaga nasional, PPN yang terutang ditanggung Pemerintah. Oleh karena itu, penyerahan jasa persewaan kapal laut untuk

pengangkutan BBM PLN, PPN-nya ditanggung Pemerintah. d. PPN untuk penyerahan jasa tenaga listrik dibawah 6600 Watt bebas PPN. Sehingga harga jual listrik di bawah kategori 6600 Watt tidak menjadi lebih mahal. e. Jasa penagihan rekening listrik dan telepon yang dilakukan oleh bank, tidak terutang PPN. Sehingga premi penerimaan pembayaran rekening listrik bulanan yang diterima oleh bank-bank dari PLN, tidak terutang PPN. f. Atas impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta diberi fasilitas PPN yang terutang ditangguhkan. 5. PPNBM adalah Pajak penjualan barang mewah dikenakan pada pembelian barang-barang tertentu yang tergolong mewah. Pajak ini tidak dapat dikreditkan sehingga merupakan beban bagi pembelinya (PLN, perusahaan listrik lainnya atau konsumen). Untuk mengurangi beban PPNBM industri listrik, Pemerintah telah

memberikan fasilitas perpajakan PPNBM yang terutang ditangguhkan atas impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta. 6. Pajak Lainnya, terutama bea meterai, adalah pelunasan bea meterai yang dikenakan pada kuitansi listrik dengan tagihan diatas Rp250 ribu. Bea meterai ini merupakan bukti sahnya pembayaran kuitansi transaksi, dan merupakan beban konsumen pengguna listrik.

4.8

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Untuk penyederhanaan prosedur ijin pelunasan bea meterai atas kuitansi rekening listrik dan pelaporannya, Pemerintah telah memberikan fasilitas pemberian ijin pencetakan tanda Lunas Bea Meterai bisa dilakukan oleh Kepala KPP setempat atas kuitansi rekening listrik dengan menggunakan mesin pengolah data (komputer) pada tiap kantor unit/cabang PLN. 7. Bea Masuk adalah pajak yang dikenakan atas lalu lintas keluar masuk barang ke daerah pabean. Untuk mengurangi beban bea masuk industri listrik, Pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan pembebasan bea masuk atas impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta. 4.3. Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan oleh Investor Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai Dengan Tahun 2000 Dalam rangka mendorong partisipasi investor swasta dalam penyediaan tenaga listrik, Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta, telah memberikan beberapa kemudahan baik dalam bentuk pembebasan atas pembayaran bea masuk, pajak tidak dipungut sebagaimana diatur adalam Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, dan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah (PPN dan PPNBM) yang terutang ditangguhkan. Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 dan 3 dalam Kepres tersebut, penyediaan tenaga listrik oleh swasta diutamakan pada pola pelaksanaan membangun, memiliki dan mengoperasionalkan. Disamping itu dapat pula dipertimbangkan kemungkinan penggunaan pola pelaksanaan lain yang menguntungkan bagi negara. Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat 3 disebutkan bahwa tenaga listrik yang dihasilkan oleh usaha swasta dapat dijual kepada PT. PLN (Persero) atau kepada pihak lain. Pembangunan pembangkit tenaga listrik oleh swasta dilaksanakan sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang energi dan didasarkan atas ketersediaan keekonomian sumber usaha energi tersebut primer dan yang dengan diperlukan serta pertimbangan pertimbangan-

memperhatikan

pertimbangan pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu usaha pembangkitan tenaga


4.9

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik oleh swasta diutamakan penggunaan sumber energi primer di luar minyak bumi, kecuali apabila di lokasi proyek pembangkitan yang diusulkan tidak tersedia atau atas dasar keekonomian tidak mungkin digunakan sumber energi primer di luar minyak bumi. 4.4. Insentif Kebijakan Fiskal Yang Diberlakukan Untuk Investasi di Sektor Kelistrikan Berdasarkan jenis kegiatannya, investasi di bidang ketenagalistrikan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : a) investasi pada pembangkitan tenaga listrik, b) investasi pada transmisi tenaga listrik dan c) investasi pada distribusi tenaga listrik. Dalam konteks dengan insentif fiskal yang diberikan oleh Pemerintah, nampaknya baru kegiatan investasi di bidang pembangkit dan

distribusi tenaga listrik yang telah tersentuh. Di bidang pembangkit tenaga listrik, Pemerintah telah memberikan insentif fiskal dalam bentuk penerusan pinjaman, pembebasan PPh, PPN maupun PPnBM. Sedang untuk kegiatan distribusi, Pemerintah telah membebaskan konsumen dari PPN khususnya untuk pelanggan dengan daya kurang dari 6.600 VA. Dengan insentif ini diharapkan PT. PLN mampu menjual tenaga listrik dengan harga yang kompetitif. Di bidang ketenagalistrikan, terdapat dua permasalahan pokok yang dihadapi Pemerintah, yaitu : a. Secara nasional pertumbuhan permintaan tenaga listrik baru berkisar antara 7% 9% per tahun. Sementara itu, rasio elektrisifikasi saat ini baru mencapai 65% dan di tahun 2010 diharapkan naik menjadi 70%. Peningkatan rasio ini membutuhkan penambahan daya listrik dalam jumlah yang besar. Untuk itu diperlukan penambahan investasi baru dalam pembangkitan tenaga listrik. Dalam konteks ini Pemerintah perlu mendorong pengembangan investasi baru di bidang kelistrikan. Sejalan dengan PP Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan pemanfaatan Tenaga Listrik, investasi baru di bidang kelistrikan diprioritaskan penggunaan

4.10

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

energi setempat dengan kewajiban mengutamakan penggunaan sumber energi terbarukan karena pertimbangan keekonomian usaha dan dengan

memperhatikan pertimbangan pelestarian lingkungan hidup. Di Indonesia, sumber energi kebanyakan terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dari keekonomian usaha, pembangkitan tenaga listrik baru akan efisien apabila dilakukan di daerah penghasil sumber energi seperti batubara dan gas alam. b. Berdasarkan pertimbangan efisiensi usaha dalam pembangkitan tenaga listrik, maka investasi untuk transmisi tenaga listrik dari daerah yang penghasil tenaga listrik (luar Jawa) ke daerah yang kekurangan tenaga listrik, khususnya Jawa dan Bali yang tidak memiliki sumber energi primer. Untuk itu diperlukan insentif fiskal dalam bidang investasi transmisi tenaga listrik. Dalam kaitannya dengan kedua permasalahan di atas, maka yang perlu dipikirkan Pemerintah adalah bagaimana menciptakan kebijakan fiskal yang mampu memberikan insentif baik bagi pembangkit untuk meningkatkan produksi maupun transmisi tenaga listrik. Salah satu upaya adalah meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia melalui berbagai langkah perbaikan sistem perpajakan, sehingga mampu berperan menjadi daya tarik (insentif) bagi kegiatan investasi. Dengan demikian, penyempurnaan sistem perpajakan harus terus dilanjutkan, baik di bidang kebijakan maupun administrasi pajak (tax policy and administration reform). Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan kompetitif dalam rangka mendorong kegiatan investasi di Indonesia. Penyempurnaan sistem perpajakan tersebut tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan kompetitif, yaitu : 1. 2. 3. Netral dan tidak distorsif terhadap pola perilaku ekonomi masyarakat; Keadilan dalam pembebanan pajak (fairness); Kesederhanaan dalam pengadministrasian (simplicity) dan compliant costnya rendah;

4.11

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.

Stabil dan mudah diprediksi sehingga pembayar pajak dapat melakukan kalkulasi bisnis yang rasional;

5.

Transparansi

dan

peraturan

pelaksanaan

yang

tegas

sehingga

dapat

menghilangkan ketidakpastian. Mengacu kepada prinsip-prinsip dasar tersebut, maka kebijakan untuk memberikan fasilitas khusus pada satu atau dua sektor industri akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakefisienan pada sektor tersebut. Dengan demikian, fasilitasfasilitas tersebut justru harus dihapuskan, agar tidak menimbulkan distorsi. Oleh karena itu, insentif pajak tersebut harus diberikan dalam bentuk lain, yaitu fasilitas pajak yang dapat dinikmati secara umum. Pada dasarnya, penyempurnaan sistem dan prosedur pajak juga merupakan insentif pajak, karena hal ini dapat berdampak pada penurunan beban pajak dan peningkatan daya saing. Reformasi Kebijakan Perpajakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah pada dasarnya berkaitan dengan upaya perbaikan lebih lanjut sistem perpajakan, sehingga diharapkan lebih mampu berperan menjadi daya tarik (insentif) bagi kegiatan investasi di Indonesia, termasuk investasi di bidang ketenagalistrikan. Pemberian fasilitas perpajakan dimaksudkan untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia, baik melalui penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang-bidang tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Bentuk fasilitas tersebut antara lain diperbolehkannya depresiasi dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama tapi tidak boleh lebih dari 10 tahun, pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30 persen dari jumlah penanaman modal yang dilakukan selama 6 tahun, dan pajak ditanggung Pemerintah untuk BUMN dan PSO untuk hal-hal yang sangat mendesak dan penting. Amandemen UU PPh pada intinya mencakup ketentuan sebagai berikut : 1. Untuk mendorong investasi dan menyesuaikan dengan perkembangan tarif pajak di negara-negara tetangga, lapisan tarif PPh bagi Wajib Pajak (WP) Badan ditetapkan tarif tunggal. Tarif umum yang akan ditetapkan atas PKP WP
4.12

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Badan adalah 30%. Tarif ini akan diturunkan menjadi 28% pada tahun 2007 dan 25% pada tahun 2010. 2. Kepada WP yang akan melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan. 3. Untuk mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah dapat diberikan fasilitas perpajakan khusus yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Keuntungan/kerugian selisih kurs diakui sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia, 5. Pemupukan dana cadangan, biaya beasiswa, biaya sumbangan

penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka litbang, biaya pengembangan masyarakat dan sosial, dan sumbangan fasilitas pendidikan termasuk sebagai pengurang penghasilan bruto, 6. Perluasan dan pemotongan/pemungutan PPh dan perbedaan tarif pemotongan antara WP yang ber-NPWP dan non-NPWP. Sedangkan pokok-pokok amandemen UU PPN dan PPnBM antara lain adalah sebagai berikut : 1. Pengalihan BKP dalam rangka merger tidak dikenakan PPN, dengan syarat semua perusahaan yang terlibat telah terdaftar sebagai PKP, 2. 3. Pemberian ijin pemusatan tempat pajak terutang berdasarkan penelitian, PPN atas penyerahan JKP yang tidak sepenuhnya dilakukan atau dimanfaatkan tetapi sudah sepenuhnya dipungut dapat dikembalikan. Pokok-pokok amandemen undang-undang kepabeanan antara lain meliputi: 1. Menangkal penyelundupan dengan penajaman pada ketentuan pidana dan pemberatan sanksi, 2. Pengawasan pengangkutan barang tertentu dengan memberikan kewenangan pada DJBC untuk melakukan pengawasan atas pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean, 3. Mencegah pelanggaran kepabeanan berupa pemberatan sanksi administrasi, registrasi kepabeanan, audit kepabeanan, dan pemeriksaan jabatan,

4.13

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.

Fasilitasi perdagangan dan industri dengan antara lain memberikan jalur prioritas dan perluasan fungsi tempat penimbunan berikat,

5.

Perlindungan perdagangan dan insustri yaitu memberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan selain tarif dan/atau nilai pabean, penetapan bea masuk tindakan pengamanan, dan penegasan tarif pembalasan (retaliatie). Untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan efisiensi pajak, saat ini

pemberian fasilitas khusus untuk industri-industri tertentu telah dikurangi dan diganti dengan fasilitas-fasilitas yang dapat dinikmati secara umum. Namun, di dalam pemberian fasilitas tersebut tetap harus memegang teguh prinsip perpajakan, yaitu diberlakukan dan diterapkan perlakuan yang sama terhadap semua wajib pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama. Karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan harus mengacu pada kaidah di atas. Pemberian fasilitas perpajakan dimaksudkan untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia, baik melalui penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang-bidang tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Bentuk fasilitas tersebut antara lain diperbolehkannya depresiasi dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama tapi tidak boleh lebih dari 10 tahun, pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman modal yang dilakukan selama 6 tahun, dan pajak ditanggung Pemerintah untuk BUMN dan PSO untuk hal-hal yang sangat mendesak dan penting. 4.5. Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Untuk Mendorong Usaha Dan Investasi Kelistrikan Setelah Tahun 2001 Uraian berikut ini merupakan hasil workshop1 (tanggal 21 22 September 2005) yang telah dilakukan dalam rangka memperjelas insentif fiskal yang masih

Hasil kerjasama penelitian antara PT. PLN (Persero) dengan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan.
1

4.14

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diberlakukan

oleh

Pemerintah

untuk

mendorong

usaha

dan

investasi

ketenagalistrikan. Mengingat, saat ini terdapat kesenjangan antara kebutuhan dengan suplai tenaga listrik sehingga menimbulkan persoalan kelangkaan energi listrik. Selain itu, bahwa energi listrik saat ini termasuk dalam kategori komoditi atau barang strategis bagi perekonomian nasional, sebab pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dengan ketersediaan energi terutama listrik. Dengan kata lain, kelangsungan suplai energi listrik dapat menggerakan roda perekonomian nasional sehingga diperlukan upaya untuk menjamin kelangsung ketersediaan energi listrik. Untuk itu, Pemerintah dalam hal ini perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi baru di bidang infrastruktur energi listrik terutama untuk pembangkit, transmisi dan distribusi. 4.5.1. Penanaman Modal Di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau Di Daerahdaerah Tertentu Pasal 31A di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidangbidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas PPh dalam bentuk, antara lain : a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal yang dilakukan; b. c. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; d. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah. Fasilitas pajak penghasilan (PPh) tersebut diatur lebih lanjut dalam PP, antara lain :

4.15

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

a.

PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.

b.

PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerahdaerah Tertentu.

c.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 571/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerahdaerah Tertentu. PP tersebut mulai diberlakukan oleh Pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001,

terutama tentang fasilitas pajak penghasilan (PPh) berupa pengurangan penghasilan neto, penyusutan dan amortisasi dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama, pajak penghasilan atas deviden sebesar 10%. Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri terutama yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan di bidangbidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan (PPh) berdasarkan Keputusan Presiden. Fasilitas pajak

penghasilan tersebut adalah : 1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal yang dilakukan; 2. 3. 4. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih lama dari 10 tahun; Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subyek Pajak luar negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang berlaku. Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan atas kegiatan usaha di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) berdasarkan PP Nomor 20 Tahun 2000 tidak lagi diberikan fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam PP ini yang diberlakukan oleh Pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001.
4.16

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.5.2. Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus Yang Dibentuk Pemerintah Pasal 31B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa wajib pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan PPh yang terutang atas : a. b. c. Pembebasan utang. Pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang. Perubahan utang menjadi penyertaan modal. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah terutama yang menyatakan bahwa keringanan pajak penghasilan kepada wajib pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha, antara lain : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah. 2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang melakukan

restrukturisasi Utang Usaha melalui Lembaga Khusus yang dibentuk Pemerintah. Kepada Debitur yang telah menyelesaikan restrukturisasi utang usaha dalam tahun 2000, 2001 atau 2002 dapat diberikan fasilitas keringanan pajak penghasilan yang bersifat terbatas berdasarkan rekomendasi Ketua Komite Kebijaksanaan Sektor Keuangan (KKSK), antara lain : 1. Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan karena pembebasan utang (hair cut) yang diperoleh debitur dibebaskan sebesar 30%;
4.17

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.

Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau pihak ketiga karena pengalihan harta kepada kreditur (debt to asset swap) dibebaskan sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta pihak yang mengalihkan; Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau

kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur pada perusahan debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun melalui pihak ketiga dibebaskan sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar nilai buku utang pihak debitur. Merupakan aturan pelaksanaan Pasal 31B Undang-undang Pajak Penghasilan 2000. Ketentuan ini mulai berlaku tanggal 14 Februari 2001. 4.5.3. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Fasilitas pajak penghasilan yang diberikan dalam Kapet telah diatur dalam Peraturan Pemerintah, antara lain : a. PP Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. b. KMK Nomor: 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan

Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. c. SE-04/PJ.32/2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Mulai 7 April 2000 sampai dengan 1 Januari 2001, kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam KAPET diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagai berikut : 1. 2. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan atau amortisasi yang dipercepat; Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 tahun; 3. Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Deviden sebesar 10%. Sebelum 7 April 2000, terhadap pengusaha di KAPET berlaku Keppres Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

4.18

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sebagaimana diubah dengan Keppres Nomor 9 Tahuan 1998 dengan memberikan fasilitas, antara lain : 1. Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang modal, bahan baku dan peralatan lain yang berhubungan lansung dengan kegiatan produksi. 2. 3. Penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat. Kompensasi kerugian, mulai tahun pajak berikutnya berturut turut s/d paling lambat 10 tahun. 4. Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Deviden sebesar 50% dari jumlah yang seharusnya dibayar. 5. Pengurangan sebagai biaya produksi: a. Kenikmatan berupa natura yang diperoleh karyawan dan untuk diperhitungkan sebagai penghasilan bagi karyawan; b. Biaya pembangunan dan pengembangan daerah setempat yang

mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang fungsinya dapat dinikmati umum. Sejak 1 Januari 2001 bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) diberikan perlakuan di bidang PPh sebagai berikut : a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal yang dilakukan; b. c. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat; Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 tahun; d. Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subyek Pajak luar negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang berlaku. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah terutama yang menyatakan bahwa keringanan pajak penghasilan kepada wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di dalam Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), antara lain :

4.19

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

a.

PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu. b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 11/KMK.04/2001 tentang Perubahan atas KMK Nomor 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1994, yang menyatakan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam KAPET yang telah ditetapkan, antara lain : 1. 2. KAPET Natuna (Keppres Nomor 71 Th 1996 stdtd Keppres 117 Th 1999); KAPET Biak (Keppres Nomor 90 Th 1996 sebagaimana diubah dengan Keppres Nomor 10 Th 1998); 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. KAPET Batulicin ( Keppres Nomor 11 Th 1998); KAPET Sasamba (Keppres Nomor 12 Th 1998); KAPET Sanggau (Keppres Nomor 13 Th 1998); KAPET Manado Bitung (Keppres 14 Th 1998); KAPET Mbay (Keppres Nomor 15 Th 1998); KAPET Pare-pare (Keppres Nomor 164 Th 1998); KAPET Seram (Keppres Nomor 165 Th 1998); KAPET Bima (Keppres Nomor 166 Tahun 1998); KAPET Batui (Keppres Nomor 167 Th 1998); KAPET Bukari (Keppres Nomor 168 Th 1998); KAPET Betano, Natarbora dan Viqueque (Keppres Nomor 169 Th 1998); KAPET Das Kakab (Keppres 170 Th 1998); KAPET Sabang ( Keppres Nomor 171 Th 1998). Fasilitas Pajak Penghasilan sesuai Pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000. PP tersebut mulai diberlakukan oleh Pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001.

4.20

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.5.4. Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah (PPh DTP) atas Hibah dan Pinjaman Luar Negeri Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. Sejak tanggal 1 April 1995, Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah yang dibiayai degan hibah atau dana pinjaman luar negeri ditanggung oleh Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini berlaku surut sejak tanggal 1 April 1995. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996. Sejak 1 April 1995, Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor utama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri ditanggung oleh Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995, menyatakan bahwa Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau pinjaman luar negeri, antara lain : a. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang oleh karyawan asing yang bekerja pada kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama; b. Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor, konsultan dan pemasok lapisan kedua. Peraturan Pemerintah ini diberlakukan olah Pemerintah sejak tanggal 23 Juni 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000 tentang perubahan Kedua atas PP Nomor 42 Tahun 1995, menyatakan Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor, konsultan dan pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau

4.21

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diperloleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri ditanggung Pemerintah. Mengubah ketentuan mengenai PPh DTP pada PP Nomor 42 Tahun 1995 stdtd PP Nomor 63 Th 1998. Keputusan ini diberlakukan oleh Pemerintah sejak tanggal 23 Juni 2000. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan terutama yang menyatakan bahwa Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor, konsultan dan pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau diperloleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri ditanggung Pemerintah, antara lain : a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.04/2000 tentang perubahan Kedua Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996. b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-526/PJ./2000 tanggal 7 Desember 2000. c. Surat Edaran Nomor SE-05/PJ.42/2001 tentang Penegasan masa transisi berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000. Perlakuan Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 stdtd Peraturan Pemerintah Nomor 63

Tahun 1998 berkenaan dengan proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri berlaku juga terhadap kontrak pekerjaan/pengadaan yang ditandatangani setelah tanggal 23 Juni 2000, sepanjang loan aggrement yang telah ditandatangani oleh Pemerintah sebelum tanggal 23 Juni 2000 memuat klausul bahwa Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor, konsultan dan pemasok ditanggung Pemerintah. d. Keputusan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal 23 Juni 2000 dan untuk pertama kalinya diberlakukan untuk proyek-proyek Pemerintah yang kontraknya ditandatangani setelah tanggal 22 Juni 2000. e. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang perubahan ketiga atas peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan

4.22

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pemasok utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung Pemerintah. f. Mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 stdtd Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000. Keputusan ini diberlakukan Pemerintah sejak tanggal 18 Mei 2001. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan mengenai BUT yang menanamkan kembali labanya di Indonesia dibebaskan dari PPh Pasal 26 sebesar 20%, antara lain dalam : a. Pasal 26 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000; b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap. Pajak Penghasilan sebesar 20% dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak atas BUT tidak dikenakan jika atas penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat : 1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; 2. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun Pajak berjalan atau selambatlambatnya tahun Pajak berikutnya dari tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan 3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan produksi komersial. Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tentang perlakuaan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor

4.23

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

602/KMK. 04/2002 tentang perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Bentuk Usaha Tetap dinyatakan tidak berlaku. 4.5.5. Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK Nomor 466/KMK. 04/2000 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan

Pengggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-213/PJ./2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan Pengggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja. Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai. Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di daerah terpencil. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sarana dan fasilitas di lokasi bekerja untuk : a. Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa;
4.24

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

b.

Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada sarana kesehatan;

c.

Pendidikan bagi pegawai di lokasi bekerja, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada sarana pendidikan yang setara;

d.

Pengangkutan bagi pegawai di lokasi bekerja, sedangkan pengangkutan anggota keluarga dari pegawai yang bersangkutan terbatas pada pengangkutan sehubungan dengan kedatangan pertama ke lokasi bekerja dan kepergian pegawai dan keluarganya karena terhentinya hubungan kerja;

e.

Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating dan pacuan kuda, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak tersedia sarana dimaksud. Pengeluaran-pengeluaran dalam bentuk natura dan kenikmatan tersebut

bukan merupakan penghasilan bagi pegawai dan dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja pada tahun Pajak dibayarnya atau terutangnya pengeluaran tersebut. Keputusan Dirjen Pajak ini mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-14/PJ.31/2003 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman oleh Pemberi Kerja Bagi Seluruh Pegawai di Tempat kerja. Penyediaan makanan dan minumam bagi pegawai perusahaan di tempat kerja tidak mutlak harus seluruh pegawai perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris makan dan minum di tempat kerja. Apabila terdapat sejumlah pegawai yang tidak dapat memanfaatkan atau tidak memperoleh fasilitas in-natura tersebut di tempat kerja karena sifat pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi dan dinas luar lainnya), maka adanya hal tersebut saja tidak membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip tersebut diatas. 4.5.7. Restrukturisasi Perusahaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-23/PJ.42/1999 tentang Buku Panduan Tentang Perlakuan Perpajakan Restrukturisasi Perusahaan. Perlakuan perpajakan atas Restrukturisasi Perusahaan adalah :
4.25

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

1.

Penggabungan dan peleburan usaha : a. Pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dengan menggunakan nilai buku fiskal menurut badan usaha yang mengalihkan. b. Badan usaha yang mengalihkan harta tidak memperoleh keuntungan atau kerugian atas pengalihan harta tersebut. Oleh karena itu, badan usaha yang melakukan pengalihan harta tidak terutang PPh, termasuk PPh sebesar 5% atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan menerima pengalihan harta tidak memperoleh keuntungan atau kerugian sebagai akibat dari Pengalihan harta. c. Badan usaha yang menerima pengalihan harta tidak memperoleh keuntungan atau kerugian sebagai akibat penerimaan harta. d. apabila sebelum dilakukan penggabungan atau peleburan usaha, antara badan usaha yang mengalihkan harta dan yang menerima pengalihan harta mempunyai hubungan utang-piutang, maka tidak ada penghasilan maupun biaya yang timbul sebagai akibat kompensasi timbal-balik atas utang-piutang tersebut.

2.

Pemekaran usaha : a. Pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku fiskal menurut induk perusahaan. b. Induk perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian atas pengalihan hartanya. Oleh karenanya, Induk perusahaan tidak terutang PPh dari pengalihan harta, termasuk PPh sebesar 5% atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan. c. Anak perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian dari perolehan harta induk perusahaan dalam rangka pemekaran usaha. Sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf d dalam SE tersebut beserta penjelasannya

menyatakan bahwa :

4.26

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengalihan usaha termasuk objek Pajak.

Selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.

4.5.8. Penyusutan Dan Atau Pembebanan Sebagai Biaya Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei 2002 tentang perlakuan pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan, antara lain : 1. Atas biaya perolehan atau pembelian Ponsel yang dipergunakan oleh pegawai tertentu dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan melalui penyusutan Aktiva Tetap Kelompok I. 2. Atas biaya berlangganan/isi ulang atau perbaikan ponsel tersebut diatas dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya dalam tahun Pajak yang bersangkutan. 3. Atas biaya perolehan atau perbaikan besar kendaraan yang dimiliki dan dipergunakan perusahan untuk antar jemput karyawan dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II. 4. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaran tersebut diatas dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun Pajak yang bersangkutan. 5. Atas biaya perolehan atau pembelian sedan/sejenis yang dipergunakan oleh pegawai tertenu dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II.
4.27

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6.

Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut diatas dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan 50% dari jumlah biaya dalam tahun Pajak yang bersangkutan. Pengelompokan Aktiva Tetap yang disusutkan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor

138/KMK.03/2002.

4.5.9. Angsuran Pembayaran PPh Atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk tujuan perpajakan, antara lain : 1. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 10% setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiscal tahun-tahun sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU PPh yang berlaku. 2. Wajib Pajak yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus PPh yang terutang sebagaimana dimaksud diatas dapat mengajukan permohonan untuk membayar secara angsuran sampai dengan paling lama 5 (lima) tahun untuk PPh yang terutang sesuai dengan ketentuan sebagai berikut : Diatas Rp 2.000.000.000.000,- s/d Rp 4.000.000.000.000, masa angsuran s/d 2 (dua) tahun. Diatas Rp 4.000.000.000.000,- s/d Rp 6.000.000.000.000, masa angsuran s/d 3 (tiga) tahun. Diatas Rp 6.000.000.000.000 s/d Rp 8.000.000.000.000, masa angsuran s/d 4 (empat) tahun. Diatas Rp 8.000.000.000.000,- masa angsuran s/d 5 (lima) tahun. 3. Dalam hal Wajib Pajak melakukan pengalihan Aktiva Tetap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan PPh yang bersifat final sebesar 20% dari selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa

4.28

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

buku fiskal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahuntahun sebelumnya, kecuali atas: Pengalihan yang bersifat Force Majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan atau; Pengalihan, peleburan, atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan atau; Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat di perbaiki lagi. Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal 28 Nopember 2002. Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 384/KMk.04/1998 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan dinyatakan tidak berlaku. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-519/PJ./2002 tentang Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penilaian Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan. 4. Wajib Pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan wajib mendapatkan persetujuan Ka Kanwil yang

membawahi KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 30 hari kerja setelah tanggal dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dengan

menggunakan formulir yang telah ditentukan. 5. Apabila menurut penelitian permohonan Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan formal maupun material, maka Ka Kanwil wajib menerbitkan surat persetujuan paling lambat 30 hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan WP. 6. Apabilan setelah lewat batas waktu tersebut diatas Ka Kanwil belum menerbitkan surat keputusan diterima/ditolak, maka permohonan WP tersebut dianggap diterima dan wajib diterbitkan surat keputusan paling lambat 3 hari sejak tanggal berakhirnya batas waktu tersebut diatas. 4.5.10. Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April 2001 tentang Penunjukkan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya
4.29

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-417/PJ/2001 tanggal 27 Juni 2001 tentang Petunjuk Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara penyetoran dan Pelaporannya. Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah : 1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; 2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai : a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia; c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial atau kebudayaan. d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum; e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan; f. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya; g. h. i. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; Barang pindahan; Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barag kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

4.30

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

j.

Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;

k.

Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

l.

Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan petahanan dan keamanan negara;

m.

Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);

n. o.

Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama; Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasonal atau perusahaan penangkapan ikan nasional;

p.

Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;

q.

Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yag diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;

r.

Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.

3.

Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;

4.

Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

5.

Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum, PDAM dan benda-benda pos;
4.31

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6.

Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;

7.

Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara;

8.

Impor kembali (reimpor) yang meliputi barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

4.6.

Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Rangka Meningkatkan Usaha Dan Investasi Ketenagalistrikan

4.6.1. Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Sebelum 1 Januari 2001 Sesuai ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3, serta Pasal 4A ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa semua barang merupakan Barang Kena Pajak, kecuali barang-barang tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagai jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Pada periode berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, yaitu sejak 1 Januari 1995 sampai dengan 31 Desember 2000, listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999. Dengan demikian, dalam periode ini, Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas penyerahan listrik untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt.

4.32

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.6.2. Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Setelah 1 Januari 2001 sampai dengan Sekarang Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku sejak 1 Januari 2001, listrik tidak lagi ditetapkan sebagai jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, sehingga sejak 1 Januari 2001 listrik merupakan Barang Kena Pajak. Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (berlaku sejak 1 Januari 2001) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003, listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Di samping penetapan listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, ditetapkan juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 bahwa barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik (baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang) yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut merupakan Barang Kena Pajak tertentu yang atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan penetapan ini, maka atas impor dan atau penyerahan barang modal berupa mesin dan atau peralatan pabrik yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak berupa listrik, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam perkembangannya, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2002 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan
4.33

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, barang modal dimaksud tidak lagi ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak 2 Agustus 2002, sehingga atas impor dan atau penyerahan barang modal untuk industri ketenagalistrikan yang dilakukan sejak 2 Agustus 2002 terutang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2002 ini listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) masih ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Pada tahun berikutnya, tepatnya sejak 13 Agustus 2003, diterbitkan dan diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Penetapan dalam Peraturan Pemerintah ini kembali sebagaimana penetapan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, dimana listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, dan barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak berupa listrik dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. 4.6.3. Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri Di samping fasilitas perpajakan di atas, proyek-proyek ketenagalistrikan yang dilakukan dalam rangka Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan atau dana pinjaman luar negeri diberikan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

4.34

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Fasilitas tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.04/2000. Fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang diberikan atas Proyek Pemerintah tersebut berupa tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas: a. b. c. d. e. Impor Barang Kena Pajak; Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean; Penyerahan Barang Kena Pajak; dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak, oleh Kontraktor Utama dalam Proyek Pemerintah yang seluruh dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri. Dalam hal Proyek Pemerintah tersebut hanya sebagian saja yang dibiayai dengan dana atau pinjaman luar negeri, maka fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut hanya berlaku atas bagian dari Proyek Pemerintah yang dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri. 4.6.4. Rencana Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Dalam Rangka Meningkatkan Usaha Dan Investasi Ketenagalistrikan Dalam Rancangan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, apabila diperlukan, atas listrik dapat diberikan fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai

4.35

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dengan menggolongkannya sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga atas barang modal yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak berupa listrik, apabila diperlukan, dapat dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Berdasarkan uraian di atas, maka insentif perpajakan, khususnya di bidang Pajak Pertambahan Nilai, yang diberikan atas kegiatan industri ketenagalistrikan dapat dikatakan telah cukup memadai, baik insentif untuk kepentingan investor yang melakukan kegiatan di bidang ketenagalistrikan maupun kepada konsumen atau pengguna tenaga listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt).

4.36

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB V : KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA - NEGARA ASEAN 5.1. Kebijakan Insentif Fiskal Di Beberapa Negara Insentif mengenai ketenagalistrikan di beberapa negara sangat bervariatif sesuai dengan kondisi perekonomian negara-negara tersebut. Namun secara umum pemberian insentif sektor ketenagalistrikan di beberapa negara dapat dikelompokkan dalam bentuk insentif daerah, sektoral, ekspor dan daerah perdagangan bebas, serta dalam bentuk insentif lainnya. 5.2. Kebijakan Insentif Fiskal Di Malaysia Secara umum, insentif fiscal di sector ketenagalistrikan di Malaysia dikelompokan menjadi empat macam insentif, yaitu insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya. 5.2.1. Kebijakan Insentif Regional Insentif regional di Malaysia diberikan kepada wilayah-wilayah tertentu yang memiliki keunggulan komparatif ataupun wilayah yang menjadi prioritas

pembangunan. Salah satu contoh pemberian insentif regional diberikan pada pusat keuangan internasional di pulau Labuan. Sebagai pusat keuangan internasional, wilayah ini memberi tax rate kepada perusahaan perdagangan sebesar 3 persen dari profit atau pada jumlah yang tetap, yaitu sebesar 20.000 ringgit. Perusahaan yang melakukan kegiatan di luar perdagangan seperti perusahaan pembangkitan listrik diberi insentif pembebasan pajak. Perusahaan berstatus pionir terutama di sector ketenagalistrikan diberi insentif perpajakan secara khusus, yaitu 70 persen dari income-nya dibebaskan dari pajak (untuk proyek-proyek di bagian timur Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak diberikan sebesar 85 persen) yang merupakan daerah prioritas pembangunan. Setelah itu, neraca

5.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

keuangannya dikenakan tax rate pendapatan perusahaan. Status pionir ini diberikan kepada perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha dan menghasilkan produk yang sedang dipromosikan oleh pemerintah. Keringanan pajak investasi (Investment Tax Allowance atau ITA) sebesar 60 persen dapat diperoleh perusahaan yang memenuhi kualifikasi dalam pengeluaran modalnya selama 5 tahun terhitung sejak disetujuinya keringanan pajak investasi (untuk proyekproyek di bagian timur Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak diberikan sebesar 80 persen), salah satunya proyek pembangkit listrik hydro power Bakun di Sarawak. ITA dapat diberikan sebesar 70 persen dari pendapatan dalam tahun perhitungan pajak. 5.2.2. Kebijakan Insentif Sektoral Untuk insentif sektoral diberikan bagi perusahaan yang bergerak di sector-sektor tertentu yang strategis dan menjadi prioritas pembangunan pemerintah. Salah satu prioritas adalah di sector ketenagalistrikan. Perusahaan yang menetapkan kantor pusatnya di Malaysia akan memperoleh pembebasan pajak sebesar 10 persen selama 5 hingga 10 tahun terhadap pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perusahaan yang terkait dengan kantor atau perusahaan di luar Malaysia. Insentif juga diberikan kepada proyek-proyek public service seperti tenaga listrik, transportasi, komunikasi, dan proyek lain yang disetujui oleh Menteri Keuangan (Approved Service Projects atau ASPs). Insentif yang diberikan berupa pembebasan pajak penghasilan sebesar 70 hingga 100 persen selama 5 hingga 10 tahun atau bantuan dana investasi yang nilainya sama dengan 60 hingga 100 persen dari nilai pengeluaran modal dalam lima tahun sejak disetujui. Bantuan investasi ini nilainya kurang lebih sama dengan 70 hingga 100 persen dari pendapatan yang resmi. Perusahaan foreign fund management juga memperoleh pengurangan sebesar 10 persen dari tax rate terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari jasa yang diberikan kepada investor asing.

5.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pemberian insentif berupa pembebasan pajak penghasilan kepada perusahaan venture capital (Venture Capital Company atau VCC) bertujuan untuk meningkatkan keuntungan mereka yang diperoleh dari pembagian atas saham yang dimiliki. Hal ini didasari bahwa perusahaan venture capital merupakan perusahaan yang terlibat dalam usaha beresiko tinggi dan bergerak di bidang teknologi baru termasuk teknologi di bidang ketenagalistrikan yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan teknologi di dalam negeri. 5.2.3. Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas Pemerintah Malaysia sedang giat-giatnya meningkatkan ekspor. Termasuk pula di sektor ketenagalistrikan yang berencana mengekspor kelebihan pasokan tenaga listriknya dari Malaysia Bagian Timur (Sabah Sarawak) ke Brunei dan Indonesia (Kalimantan) ataupun dari Malaysia Bagian Barat ke Singapura. Pemberian pengurangan pajak berganda ditujukan untuk pengeluaran promosi ekspor yang telah disetujui. Perusahaan-perusahaan dalam negeri dapat meminta pengurangan pajak berganda ini untuk semua pengeluaran yang terjadi dalam meningkatkan ekspor. Insentif lain yang dapat diberikan sesuai dengan Undang-undang Peningkatan Investasi tahun 1986 (Promotion of Investment Act atau POIA) adalah insentif bagi hotel, industri, infrastruktur termasuk di sektor ketenagalistrikan, ekspor, pendapatan ekspor, dan pendapatan yang disesuaikan. 5.2.4. Kebijakan Insentif Lainnya Semua perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur atau kegiatan pertanian dan belum memperoleh insentif dalam bentuk apapun atas pengeluaran modalnya sesuai dengan POIA, dapat menerima Reinvestment Allowance (RA) sebesar 60 persen dari pengeluaran modal yang digunakan untuk pabrik, mesin, bangunan industri dengan tujuan ekspansi, modernisasi atau diversifikasi.

5.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Seperti halnya ITA, RA memberi keringanan pajak sebesar 70 persen dari pendapatan perusahaan. Setiap RA yang tidak terserap dapat digunakan untuk tahuntahun yang akan datang sampai dapat digunakan secara penuh. Proyek-proyek berkualifikasi yang terletak di daerah promosi di bagian timur Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak memperoleh RA hingga 100 persen dari pendapatannya. 5.3. Kebijakan Insentif Fiskal Di Filipina Sama seperti halnya Malaysia, secara umum insentif fiskal di sector

ketenagalistrikan di Filipina dikelompokan

menjadi empat macam insentif, yaitu

insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya. 5.3.1. Kebijakan Insentif Regional Insentif diberikan kepada perusahaan ketenagalistrikan yang berlokasi di daerah kurang berkembang atau wilayah ekonomi khusus serta menempatkan kantor pusat dan gudang penyimpanannya di Filipina. Dewan investasi (Board of Investment atau BOI) menggunakan paket insentif dari Executive Order 226 untuk mendorong perusahaan-perusahaan menempatkan

ketenagalistrikan kegiatan utamanya di daerah-daerah kurang berkembang. Perusahaan dengan status pionir memperoleh income tax holiday selama 6 tahun, sedangkan yang tidak berstatus pionir selama 4 tahun. Perusahaan ketenagalistrikan yang menempatkan kegiatan utamanya di daerah kurang berkembang memperoleh income tax holiday selama 6 tahun tanpa

memperhatikan statusnya sebagai perusahaan pionir atau tidak, dan jenis proyeknya, mendapat tambahan pengurangan pajak pendapatan yang nilainya sama dengan pengeluaran untuk pembangunan fasilitas infrastruktur utama. Perusahaan ketenagalistrikan yang berlokasi di luar kawasan ibu kota dan terdaftar pada atau sebelum tanggal 31 Desember 1994 akan memperoleh insentif jika
5.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

perusahaan tersebut membeli barang modal di dalam negeri. Insentif yang didapat yaitu tax credit yang nilainya sama dengan pajak pertambahan nilai dan bea masuk yang dibayar atas impor barang modal. Selain itu juga diberikan tax credit dan duty credit atas bahan mentah yang digunakan dalam produksi barang ekspor. Perusahaan tersebut memperoleh pembebasan pajak pertambahan nilai dan bea masuk atas suku cadang yang diimpor serta pengapalan dan pembongkaran di pelabuhan, termasuk biaya lain-lainnya. 5.3.2. Kebijakan Insentif Sektoral Insentif sektoral diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang menjalankan operasinya di sektor-sektor yang menjadi prioritas pemerintah terutama perusahaan di bidang infrastruktur termasuk perusahaan ketenagalistrikan. Kesepakatan internasional dan peraturan-peraturan khusus menyediakan insentif tertentu terhadap kegiatankegiatan khusus, seperti eksplorasi sumber mineral dengan menggunakan teknologi modern; pembangunan infrastruktur termasuk ketenagalistrikan, penambangan, penggalian, dan pemrosesan mineral, besi baja, produksi pipa tanpa sambungan, industri pertanian, publikasi, dan konstruksi. Peraturan-peraturan tersebut memberi pilihan tarif dari 0 hingga 5 persen. 5.3.3. Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas Untuk insentif ekspor bagi perusahaan ketenagalistrikan diberikan antara lain kepada perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada Philippines Economic Zone Authority (PEZA). Perusahaan-perusahaan tersebut dibebaskan dari pajak-pajak pusat dan daerah. Sebagai penggantinya, mereka dikenakan pajak final sebesar 5 persen dari penghasilan bruto yang didistribusikan sebagai berikut : 3 persen kepada pemerintah pusat, 1 persen kepada pemerintah daerah, dan 1 persen kepada dana pembangunan khusus (Special Development Fund).

5.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Penghasilan bruto yang dikenakan pajak sebesar 5 persen tidak termasuk biayabiaya untuk pembayaran administrasi, manajemen perusahaan, pemasaran, interest dan financial charges pada barang modal, kerugian akibat transaksi valuta asing, kerugian akibat penurunan nilai aset, iklan, asuransi, dan biaya pengadaan lain-lain. 5.3.4. Kebijakan Insentif Lainnya Pemegang hak cipta memperoleh pembebasan bea masuk dan pengenaan biaya atas impor mesin, perlengkapan dan suku cadang; serta pembebasan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan cukai terhadap komersialisasi produk-produk yang diciptakan. Tenaga kerja asing yang bekerja di kantor perwakilan daerah perusahaanperusahaan multinasional dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 persen atas penghasilan bruto mereka. Kantor perwakilan daerah perusahaan multinasional yang tidak memperoleh pendapatan di Filipina tidak dikenakan pajak penghasilan, ijin lokal, bea masuk impor, dan pajak pertambahan nilai. 5.4. Kebijakan Insentif Fiskal Di Singapura Sama seperti halnya negara lain, secara umum insentif fiskal di sector ketenagalistrikan di Singapura dikelompokan menjadi beberapa macam insentif, yaitu : insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya. 5.4.1. Insentif Sektoral Keringanan tax investment diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur atau konstruksi, perusahaan ketenagalistrikan, penyediaan jasa teknik, kegiatan riset dan pengembangan, pengoperasian proyek

pengurangan konsumsi air minum, atau kegiatan jasa bagi perusahaan berstatus pionir. Insentif ini diberikan sebagai pengurangan atas pendapatan yang dikenakan pajak hingga 100 persen dari pengeluaran modal atas bangunan pabrik dan peralatan baru yang digunakan di dalam negeri. Besarnya keringanan tax investment dapat
5.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dinegosiasikan, dan pengeluaran modal harus terjadi dalam 5 tahun sejak sertifikat keringanan investasi disahkan oleh Economic Development Board (EDB). Perusahaan dengan status pionir dapat memperoleh pembebasan pajak pendapatan selama 5 tahun, dan maksimum hingga 10 tahun untuk kasus-kasus tertentu yang dapat dinegosiasikan. Pada akhir masa pembebasan pajak tersebut, perusahaan pionir yang bergerak di bidang jasa dan manufaktur dapat mengajukan permohonan post-pioneer company incentive. Insentif ini dapat diperpanjang pada kegiatan usaha yang lain dengan persetujuan Kementerian Perdagangan dan Industri. Perusahaan yang mengeluarkan modal sedikitnya 10 juta dollar Singapura untuk aset baru yang produktif dapat mengajukan insentif pengembangan perusahaan (expanding enterprise incentive). Perusahaan-perusahaan jasa yang berstatus pionir juga dapat mengajukan insentif ini jika mereka bermaksud meningkatkan jumlah kegiatan usaha jasanya, tanpa harus mengeluarkan modal untuk aset yang produktif sebesar 10 juta dollar Singapura. Dengan insentif ini, keuntungan dari pengeluaran modal yang baru dibebaskan dari pajak hingga maksimum 20 tahun. Pengurangan income tax rate sebesar 10 persen ditawarkan kepada perusahaan jasa keuangan internasional, termasuk di dalamnya adalah : kantor pusat operasi kegiatan internasional, pusat perbendaharaan dan keuangan, perusahaan perdagangan komoditas internasional yang disetujui, perusahaan pelayaran internasional yang disetujui, perdagangan minyak yang disetujui, dan asuransi internasional. Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan berikut juga diberikan keringanan pajak sebesar 10 persen : Kegiatan tertentu dari Asian Currency Unit (ACU); Kegiatan tertentu dari fund manager yang disetujui; Kegiatan tertentu dari security company yang disetujui; Leasing internasional pada pabrik dan mesin oleh perusahaan leasing;

5.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Transaksi surat-surat berharga tertentu pada pasar uang yang telah ditentukan dengan pihak-pihak tertentu oleh anggota dari bursa perdagangan surat-surat berharga yang telah ditentukan;

Jasa-jasa tertentu yang disediakan oleh agen pemeringkat kredit yang telah disetujui;

Perdagangan surat-surat hutang selama periode tertentu.

5.4.2. Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas Dengan insentif ekspor, 90 persen keuntungan ekspor dibebaskan dari pajak. Masa pembebasan pajak adalah selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang dengan persetujuan Kementerian Perdagangan dan Industri. Perusahaan yang melakukan ekspor dari Singapura lebih dari 10 juta dollar Singapura untuk produk pabrikan atau lebih dari 20 juta dollar Singapura untuk komoditi tertentu dapat mengajukan international trade incentive. Dengan insentif ini, 50 persen keuntungan ekspor dibebaskan dari pajak, dan biasanya selama 5 tahun. Warehouse companies yang menambah pengeluaran sebesar 2 juta dollar Singapura atau lebih untuk fasilitas penyimpanan dan distribusi barang-barang pabrikan dengan tujuan ekspor dapat memperoleh pembebasan pajak sebesar 50 persen dari pendapatan ekspor mereka. Meskipun masa pembebasan pajak dapat

diperpanjang dengan persetujuan EDB, namun tidak dapat melebihi 20 tahun. 5.4.3. Insentif Lainnya Perusahaan yang menyediakan jasa-jasa tertentu dapat mengajukan

pengurangan pajak berganda terhadap pengeluaran untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D). Dalam menentukan apakah suatu pengeluaran dapat memperoleh insentif ini atau tidak, EDB mempertimbangkan beberapa hal, yaitu : besarnya pengeluaran untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D), tingkat keahlian dan kualifikasi dari peneliti, serta tingkat kesulitan dari proyek penelitian.

5.8

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.5.

Kebijakan Insentif Fiskal Thailand Sama seperti halnya di negara lain, secara umum insentif fiskal di sector

ketenagalistrikan di Thailand dikelompokan

menjadi empat macam insentif, yaitu

insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya.

5.5.1. Insentif Regional Insentif regional terhadap perusahaan ketenagalistrikan di Thailand diberikan berdasarkan zone regional yang sesuai dengan prioritas pembangunan pemerintah. Dewan investasi (Board of Investment atau BOI) bertanggungjawab terhadap pemberian insentif perpajakan dan memiliki wewenang untuk menentukan pihak-pihak yang dapat diberi insentif tersebut. BOI memberi beberapa persyaratan bagi industri maupun proyek yang dapat memperoleh insentif. BOI membagi 3 wilayah pengembangan, yaitu : 1. 2. 3. Zone 1 yang meliputi 6 propinsi di sekitar Bangkok. Zone 2 yang meliputi 10 propinsi di sekitar Zone 1. Zone 3 yang meliputi propinsi-propinsi lain di wilayah utara, timur laut, dan selatan Thailand, termasuk Laem Chabang Industrial Estate. Zone 3 dirancang sebagai Investment Promotion Zone. Untuk mendorong proyek-proyek ketenagalistrikan di propinsi yang kurang berkembang, proyek-proyek yang berlokasi di Zone 1 menerima hak-hak istimewa berupa keringanan pajak yang paling sedikit. Sementara untuk proyek-proyek di Zone 3 menerima hak-hak tersebut paling besar. BOI juga memberikan tambahan insentif bagi realokasi pabrik-pabrik ke dalam Zone 2 dan 3. Insentif di Zone 1 : Pembebasan pajak pendapatan perusahaan selama 3 tahun bagi

perusahaan-perusahaan yang memiliki proyek ekspor tidak kurang dari 80


5.9

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

persen total penjualannnya, serta menempatkan pabrik-pabriknya di kawasan industri atau promoted industrial zones. Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin yang digunakan untuk proyekproyek baru diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki proyek ekspor tidak kurang dari 80 persen total penjualannnya, serta menempatkan pabrik-pabriknya di kawasan industri atau promoted industrial zones. Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk produk-produk ekspor selama 1 tahun kepada perusahaan-perusahaan yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri. Insentif di Zone 2 : Pembebasan pajak perusahaan selama 3 tahun dan dapat diperpanjang hingga 7 tahun bagi perusahaan-perusahaan yang menempatkan pabrikpabriknya di kawasan industri atau promoted industrial zones. Pengurangan bea masuk impor sebesar 50 persen untuk mesin-mesin yang digunakan oleh pabrik-pabrik yang ditempatkan di kawasan industri atau promoted industrial zones. Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk produk-produk ekspor selama 1 tahun kepada perusahaan-perusahaan yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri. Insentif di Zone 3 : Pembebasan pajak perusahaan selama 8 tahun, dengan perpanjangan selama 5 tahun dimana selama masa perpanjangan tersebut diberikan pengurangan pajak pendapatan perusahaan sebesar 50 persen. Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin yang digunakan untuk proyekproyek yang ditempatkan di kawasan industri atau promoted industrial zones.

5.10

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk produk-produk ekspor selama 5 tahun diberikan kepada perusahaanperusahaan yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri.

Pengurangan bea masuk impor bahan-bahan mentah untuk produk yang dijual di dalam negeri sebesar 75 persen.

Pengurangan pajak berganda untuk biaya-biaya air, listrik, dan transportasi selama 10 tahun terhitung sejak tanggal penjualan pertama.

Tambahan pengurangan sebesar 25 persen untuk biaya-biaya yang berhubungan dengan pengembangan fasilitas infrastruktur tertentu yang terkait dengan proyek-proyek yang ditempatkan di kawasan industri atau promoted industrial zones.

5.5.2. Insentif Sektoral BOI (Dewan Investasi) mengidentifikasi proyek-proyek tertentu yang

diprioritaskan, yaitu sistem transportasi

utama, fasilitas pelayanan public, sektor

ketenagalistrikan, konservasi dan perlindungan alam, pengembangan teknologi, dan industri-industri utama. Proyek-proyek tersebut akan diberi insenstif sebagai berikut : Pembebasan pajak pendapatan perusahaan selama 8 tahun tanpa memperhatikan lokasi proyeknya. Pengurangan bea masuk impor mesin-mesin di Zone 1 dan 2 sebesar 50 persen. Pembebasan bea masuk impor mesin untuk proyek-proyek di Zone 3.

5.5.3. Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas Selain BOI, Industrial Estate Authority memberi insentif kepada proyek-proyek yang berlokasi di Export Processing Zones (EPZs). Insentif yang diberikan berupa : Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin dan peralatan lainnya. Pembebasan bea masuk impor seluruh bahan-bahan mentah. Pembebasan pajak pertambahan nilai, cukai, dan biaya-biaya tambahan lainnya.

5.11

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.5.4. Insentif Lainnya BOI memberi insentif untuk produk-produk yang dikembangkan melalui kegiatan riset dan pengembangan (R&D) termasuk riset di bidang ketenagalistrikan. Tambahan insentif termasuk perpanjangan pembebasan pajak pendapatan perusahaan selama 3 tahun. Undang-undang Pendapatan (Revenue Code) juga memberi pembebasan pajak pendapatan perusahaan yang nilainya sama dengan besarnya biaya pengeluaran untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D).

5.6.

Kebijakan Perlistrikan di Thailand Thailand memiliki 23 Gigawatts kapasitas tenaga listrik pada bulan Januari 2002

yang menghasilkan listrik sekitar 102 juta kwh. Penurunan perekonomian Thailand sebagai akibat krisis ekonomi yang menimpa beberapa negara di Asia pada tahun 1997 menyebabkan pula penurunan permintaan listrik domestik di Thailand hingga 3 juta kwh pada tahun 1998. Situasi ini membuat perusahaan listrik milik pemerintah Thailand (EGAT) merevisi proyeksi permintaan listriknya. EGAT juga menunda beberapa proyek listrik termasuk pembangunan pembangkit listrik Ratcaburi sebesar 300 MW hingga tahun 2004 (world energy, org). Sebagai akibat dari pemulihan ekonomi Thailand yang menyebabkan

pertumbuhan ekonomi yang kembali meningkat sehingga permintaan akan listrik juga meningkat, maka EGAT memutuskan untuk mengurangi cadangan kapasitas listriknya dari 25 persen menjadi 15 persen pada tahun 2004. Dan sekarangpun pemerintah Thailand telah kembali melanjutkan proyek-proyek pembangunan pembangkit listriknya yang tertunda akibat krisis (world energy, org). Kebijakan pemerintah Thailand dalam ketenaga listrikan antara lain dengan melakukan privatisasi dan penjualan beberapa pembangkitnya dari EGAT kepada pihak swasta. Selain itu juga dengan membuka kesempatan bagi Independent Power

5.12

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik. Salah satunya adalah Tri Energy yang memulai beroperasi pada tahun 2000 dengan kapasitas 700 MW di Ratchaburi. Selain itu, untuk terus meningkatkan pemenuhan kebutuhan listrik bagi warganya, pemerintah Thailand memberikan persetujuan kepada pihak swasta untuk membangun beberapa pembangkit yang prospektif di seluruh negeri, antara lain Thai Oil yang membangun pembangkit bertenaga gas di Sri Racha yang berkapasitas 1400 MW. Sedangkan EGAT berencana membangun 4 pembangkit baru pada tahun 2008 antara lain 2 pembangkit di sekitar Bangkok, 1 pembangkit di Chachoengsao di

propinsi sebelah utara Thailand dan 1 pembangkit di Songkla propinsi di sebelah selatan. Kebijakan lain yang ditempuh pemerintah Thailand untuk mereformasi sektor kelistrikannya antara lain dengan rencana pemerintah Thailand untuk memprivatisasi EGAT (Perusahaan Listrik milik pemerintah) yang masih dalam tahap studi dalam proses restrukturisasi dan privatisasi. Karena rencana privatisasi awal pada tahun 2004 ditunda karena ada penolakan dari serikat pekerja. 5.7. Kebijakan Perlistrikan di Vietnam Meskipun tingkat perkapita konsumsi listrik di Vietnam termasuk yang terendah diantara negara Asia, namun kenaikan permintaan terhadap listrik terus meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini, yang berakibat pada terbatasnya kapasitas pembangkit di Vietnam. Hal ini disebabkan pertumbuhan yang pesat di sektor industri, migrasi penduduk ke kota-kota besar, dan peningkatan standar hidup yang menyebabkan pertumbuhan yang pesat terhadap permintaan listrik. Pada tahun 2002, kapasitas pembangkit di Vietnam mencapai 8,3 GW yang mengahislkan sekitar 34,5 juta kwh. Dari total listrik di Vietnam, 60 persennya menggunakan tenaga air (hydropower) (world energy, org). Permintaan akan listrik di Vietnam diperkirakan tumbuh 15 hingga 16 persen pertahun hingga tahun 2010. Saat ini untuk mengatasi kekurangan pasokannya,
5.13

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Vietnam membeli listrik dari China untuk Vietnam sebelah utara dan berencana pula untuk membeli listrik dari Laos pada tahun 2008. Pada Desember 2004, pemerintah Vietnam telah membuat persetujuan untuk membeli listrikdari China sebesar 100 juta Kwh untuk mengatasi kenaikan permintaan listrik pada tahun 2005. Kebijakan perlistrikan di Vietnam saat ini adalah berusaha untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari luar negeri terutama dari China dengan terus membangun pembangkit-pembangkit baru. Antara lain mulai dibangunnya 32 power stations yang menghasilkan listrik sekitar 7.547 MW sebelum 2010. Selain itu perusahaan listrik milik pemerintah Vietnam EVN (Electricite of Vietnam) berencana untuk mentenderkan 16 pembangkit listrik tenaga air pada tahun 2010 dan tambahan 8 pembangkit listrik batubara. Sebagai akibatnya, EVN mengumumkan bahwa pada tahun 2005, produksi listrik di Vietnam meningkat hampir 20 persen atau sekitar 11.400 MW. Selain itu Vietnam mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia sebesar 220 juta US$ dalam proyek yang bernama Rural Energy yang dirancang untuk menyediakan tenaga listrik bagi 2,5 juta rumah tangga. Kebijakan perlistrikan lain di Vietnam untuk terus meningkatkan produksi listriknya antara lain dengan mengundang investor asing selebar-lebarnya dalam pembangunan pembangkit listrik. Antara lain dengan sistem Build-Operate-Transfer (BOT). Proyek BOT tersebut yang sekarang sedang berjalan antara lain kerjasama EVN dengan Tokyo Electric Power (TEPCO), Sumitomo dan Electricite de France (EdF). Proyek BOT tersebut dimulai dengan pembangunan konstruksi pembangkit di delta sungai Mekong yang berkapasitas 715 MW. Untuk menarik investor asing tersebut, pemerintah Vietnam memberikan kemudahan-kenudahan fasilitas antara lain dengan sistem BOT dan kerjasama dengan EVN. 5.8. Kebijakan Perlistrikan di Malaysia Malaysia pada saat ini memiliki sekitar 14 gigawatts kapasitas generator listrik. 86 persen nya merupakan thermal dan 14 persennya merupakan tenaga air. Pada tahun
5.14

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2002, Malaysia menambah kapasitas tenaga listriknya sekitar 67 juta kwh. Pemerintah Malaysia berharap tambahan investasi sekitar 9.7 juta $ dalam sektor listrik hingga tahun 2010. Sebagian besar menggunakan energi batubara. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Malaysia yang berusaha mengurangi kapasitas tenaga listrik menggunakan gas alam dengan meningkatkan penggunaan batubara hingga 30 persen pada tahun 2006 (world energy, org). Pembangunan proyek listrik panas bumi terbesar di Malaysia adalah proyek listrik bertenaga batubara sebesar 2100 MW di propinsi Johor. Sedangkan untuk proyek pembangunan listrik tenaga air terbesar adalah di Sarawak dengan kapasitas 2.4 GW , dan 70 persennya akan didistribusikan ke Kuala Lumpur dan sekitarnya dengan membangun konstruksi kabel sejauh 415 mil di Malaysia Timur, 400 mil kabel bawah laut dan 285 mil kabel distribusi de semenanjung Malaysia. Kebijakan perlistrikan di Malaysia antara lain dengan mendivestasi beberapa unit pembangkit listrik. Tenaga Nasional (perusahaan listrik milikpemerintah Malaysia) sejak tahun 1999 mulai mendivestasi sejumlah unit pembangkitnya kepada pihak swasta. Pemerintah Malaysia berharap dapat mencapai pasar listrik yang kompetitif baik dalam sektor pembangkit, distribusi ataupun transmisi. Tetapi reformasi sistem kelistrikan di Malaysia masih berada dalam tahap awal, dan proses transisi menuju pasar kompetitif belum diputuskan. Isu-isu tersebut masih dalam tahap studi karena masih banyak perbedaan dalam menderegulasi sistem yang berhubungan dengan kepentingan publik (world energy, org). 5.9. Kebijakan Perlistrikan Filipina Produksi energi di Filipina terkonsentrasi di sector kelistrikan. Energi panas bumi masih merupakan sumber listrik terbesar, diikuti oleh tenaga air, gas alam, batu bara dan minyak. Pemerintah Filipina telah membuat kebijakan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak dengan merubah sumber energi listriknya dari minyak menjadi gas alam (ESCAP, United Nations, NY, 2005).
5.15

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Peristiwa yang paling signifikan dalam industri energi di Filipina pada tahun belakangan ini adalah penerbitan undang-undang kelistrikan atau Electric Power Industry Reform Act (EPIRA) pada tahun 2001. Undang-undang ini memiliki 3 fungsi utama : 1) untuk mengembangkan sumberdaya kelistrikan 2) untuk memangkas biaya tinggi dari tenaga listrik di Filipina dan 3) untuk meningkatkan investasi asing di bidang ketenaga listrikan. Langkah yang diambil antara lain dengan mengeluarkan deregulasi dibidang kelistrikan dan privatisasi dari perusahaan Negara (BUMN) di sector kelistrikan. EPIRA mengharuskan National Power Corporation (Napocor) membagi assetasetnya yang terintegrasi kedalam sub-sub sector kecil seperti pembangkit, transmisi dan distribusi dalam rangka mempersiapkan diti untuk diprivatisasi. Hasilnya adalah dibentuk 2 perusahaan baru yaitu National Transmission Corporation (Transco) dan Power Sector Assets and Liabilities Management (PSALMco) yang siap untuk diprivatisasi. Napocor perlu mentransfer kewajiban untuk membeli tenaga listrik yang telah ada ke distributor swasta dan juga menegosiasi ulang kontrak-kontrak berharga tinggi. Karena faktanya bahwa distributor swasta tidak ingin melakukan perjanjian jika tenaga listrik berada diatas harga pasar. Selain itu Napocor juga memperoleh insentif keuangan dari pemerintah. Napocor saat ini memiliki utang sebesar 23 miliar US$ dan 9 miliar US$ perjanjian pembelian tenaga listrik, sehingga pemerintah harus menyediakan dana hingga 300 juta US$ per tahun untuk terus membuat Napocor beroperasi (world energy, org). Dalam rangka membuat penjualan Napocor lebih menarik bagi investor, pemerintah telah menyerap sebagian utang Napocor dalam jumlah yang signifikan. Selain itu juga perjanjian pembelian listrik sebesar 9 miliar US$ dengan IPP juga akan dilepas. Sistem transmisi telah ditransfer ke perusahaan independent (Transco) yang kemudian akan diprivatisasi. Sesuai dengan undang-undang deregulasi, tidak ada

pembeli potensial tunggal yang diizinkan untuk memiliki lebih dari 30% dari asset
5.16

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pembangkit di Filipina. Privatisasi Transco ditunda hingga mencapai proposal harga yang dapat diterima. Permintaan listrik di Filipina diharapkan tumbuh sekitar 9 persen per tahun selama 10 tahun terakhir ini. Sedangkan pertambahan kapasitas baru listrik hanya mencapai 10.000 MW sehingga terus memerlukan penambahan kapasitas tenaga listrik. 5.10. Kebijakan Perlistrikan di India India sedang berusaha untuk terus meningkatkan pemenuhan kapasitas listriknya, dimana saat ini penyediaan tenaga listrik masih dibawah jumlah permintaan atas tenaga listrik. Meskipun hampir sekitar 80 persen penduduk India telah memiliki akses terhadap listrik, namun keterjaminan pasokan listrik di India masih belum cukup sebagai akibat peningkatan pembangunan ekonomi di seluruh negeri. Kebijakan perlistrikan di India dalam rangka meningkatkan kapasitas

penyediaan tenaga listriknya adalah dengan melakukan liberalisasi terhadap investor asing di sektor kelistrikan terutama dalam membangun Independent Power Producers (IPP). Sebagai akibat liberalisasi yang di mulai pada tahun 1990an tersebut, maka telah disetujui puluhan proyek pembangunan kelistrikan. Namun sebagian proyek-proyek besar masih terganjal persetujuan regulasi karena kehati-hatian dalam sumber pendanaan. Otoritas listrik di India yaitu Dewan Listrik India (India State Electricity Board/SEB) masih sangat kurang dalam hal pendanaan, keuangan dan likuiditas. Hal ini salah satu penyebabnya adalah adanya penjualan listrik dengan tarif subsidi yang rendah yang tidak menutupi biaya terutama di sektor pertanian. Selain itu masih besarnya kehilangan distribusi, transmisi tegangan tinggi dan pencurian listrik membuat SEB berada dalam kesulitan finansial. Namun sejak SEB menjadi pembeli utama dari proyek=proyek IPP, kesulitan keuangan semakin dapat diatasi sehingga menjamin ketersediaan pasokan listrik di India. Kebijakan lain yang tidak kalah menarik adalah pada Juli 1998, pemerintah India mengumumkan kemudahan peraturan dalam penanaman investasi asing di sektor
5.17

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik. Proposal investasi hingga 15 miliar rupee atau sekitar 350 juta US$ dapat persetujuan secara otomatis. Namun persetujuan otomatis tersebut hanya berlaku bagi sektor listrik bertenaga air, batubara, minyak dan gas. Sedangkan untuk tenaga nuklir harus ada persetujuan lain. Kebijakan tersebut membuat banyak investor menanamkan modalnya di sektor kelistrikan yang membuat pasokan listrik di India terus meningkat. Sehingga pemerintah India menetapkan target peningkatan kapasitas sebesar total 100.000 MW selama 10 tahun kedepan (Renewable Resources Based Electricity in Asia, Amit Kumar, TERI, INDIA).

5.18

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.19

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.20

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.21

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.22

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.23

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.24

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.25

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.26

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.27

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.1.1. Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan1 5.11.a. Pendahuluan Trend industri listrik di negara berkembang dewasa ini mengalami perubahan signifikan akibat peningkatan konsumsi. Seiring dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak, maka alternatif lain yang mulai ditempuh adalah penggunaan energi panas bumi. Pemakaian energi panas bumi atau yang sering disebut "energi hijau", memberi penghematan pengeluaran bagi negara berkembang. Dewasa ini sebanyak 71 negara di dunia sudah memanfaatkan energi panas bumi. Data tersebut menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan dari penggunaan energi terbarukan tersebut. Pada tahun 1995 hanya 28 negara yang memakai energi panas bumi dan kemudian bertambah menjadi 58 negara pada tahun 2000. Diperkirakan kapasitas terpasang dari pemakaian energi panas bumi di seluruh dunia hingga akhir tahun 2004, mencapai 27.825 Mega Watt Thermal (MWT). Sejak tahun 2000 tercatat pertumbuhan kapasitas terpasang dari penggunaan panas bumi mencapai 12,9 persen per tahun, sehingga pada tahun 2004 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan pada tahun 2000. Trend penggunaan energi panas bumi yang berkembang pada saat ini, merupakan isyarat bagi Indonesia mengenai ketatnya persaingan untuk mendapatkan investasi asing. Indonesia harus berusaha keras agar tak ketinggalan dalam menarik investor untuk mengeksplorasi cadangan panas bumi yang ada, sebab setiap negara berkembang berlomba menarik perhatian investor asing. Partisipasi swasta memang sangat dibutuhkan, karena biaya eksploitasi dan eksplorasi energi panas bumi tidak murah. Risiko investasi yang sangat tinggi, membuat para investor membutuhkan iklim investasi yang kondusif dan jaminan harga penjualan energi yang relatif menguntungkan.

Disarikan oleh Makmun dari berbagai sumber.

5.28

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Negara yang saat ini sangat agresif untuk menarik investasi dalam mengelola panas bumi, antara lain negara China dan Filipina. Kedua negara tersebut, memberikan insentif yang relatif menarik bagi investor dalam mengembangkan pemanfaatan energi panas bumi. China yang saat ini sedang bersemangat mengembangkan pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkit listrik, memberikan insentif pembebasan pajak hingga delapan tahun dan dihitung setelah lapangan panas bumi sudah mulai berproduksi. Sementara negara Filipina membebaskan pajak bagi investor panas bumi hingga enam tahun. Pembebasan pajak itu membuat pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkit listrik cukup berkembang di Filipina hingga 1.930,89 Mega Watt energi (MWe). Sementara kondisi di Indonesia, pajak untuk pengembangan lapangan panas bumi jika ditotal bisa mencapai 43 persen. Selain itu, pajak sudah berlaku sejak investor sudah melakukan kegiatan eksplorasi. Masalah iklim investasi di Indonesia juga tidak menarik, karena harga energi panas bumi tidak kompetitif dengan BBM yang bersubsidi, dan rendah dukungan politik untuk penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Apabila Indonesia tidak melakukan perbaikan terhadap iklim investasi di sektor pengembangan panas bumi, maka dipastikan akan kesulitan untuk bersaing dalam merebut investasi panas bumi. Hal itu karena perusahaan yang bermain di sektor panas bumi tidak banyak dan dengan dana yang terbatas, sehingga setiap negara harus saling berebut. 5.11.b. Kondisi Indonesia Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia, yakni setara dengan 27.000 Megawatt (MW) atau 40 persen dari cadangan panas bumi dunia. Tetapi pemanfaatan cadangan panas bumi Indonesia masih sangat minim, yakni hanya 800 MW atau sekitar empat persen dari total cadangan 20.000 MW. Bahkan, target pemerintah untuk pemanfaatan energi panas bumi hingga tahun 2006

5.29

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diperkirakan hanya akan bertambah 200 MW menjadi 1.000 MW. Sementara target hingga tahun 2020 hanya akan meningkat menjadi 6.000 MW. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro optimis, investor sudah mulai memberikan perhatian serius kepada pengembangan

pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia. Hal itu terkait dengan kebijakan harga BBM di Indonesia yang telah membuat harga listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan pembangkit listrik yang menggunakan BBM. Rencana pengembangan energi panas bumi di Indonesia, sejalan dengan kebijakan energi nasional untuk mengembangkan energi terbarukan. Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi yang cukup besar. Namun hingga kini belum banyak investor yang melirik untuk memanfaatkan energi terbarukan ini. Untuk itu pemerintah perlu kiranya memberikan insentif yang menarik. Perhatian komunitas panas bumi internasional sebenarnya sudah sangat besar terhadap Indonesia. Hal itu terbukti dengan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan World Geothermal Congress 2010 dengan menyisihkan negara Iceland sebagai produsen energi panas bumi terbesar di dunia pada saat ini. Di Indonesia, sumberdaya energi sebagai pendorong kesejahteraan masyarakat dicapai melalui dua peran, yaitu fungsinya sebagai sumber energi pendorong pembangunan dan industrialisasi serta fungsinya sebagai sumber devisa. Dengan demikian, keberlanjutan peran sumberdaya energi sebagai pendorong kesejahteraan masyarakat diukur dari keberlanjutan perannya sebagai sumber energi dan sebagai penghasil devisa. Kebijakan energi hijau yang dicanangkan Pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral akhir Desember 2003 menunjukkan bahwa energi alternatif, khususnya energi terbarukan, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perencanaan dan pengembangan energi nasional. Sehingga dalam perjalanannya

5.30

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

peran energi terbarukan diarahkan untuk dapat berfungsi sebagai penggerak roda ekonomi dan penghasil devisa. 5.11.c. Energi terbarukan sebagai penggerak roda ekonomi Pembangunan sektor energi dengan tugas utama sebagai alat untuk menanggulangi kemiskinan tidak hanya diamanatkan oleh KTT Bumi (WSSD) di satu sisi, di sisi lainnya merupakan hal utama bagi Indonesia karena alasan pemerataan pembangunan dan memajukan desa-desa sebagai kekuatan baru bagi ekonomi nasional. Hal yang patut disyukuri oleh Bangsa Indonesia adalah potensi energi terbarukan yang melimpah dan tersebar seperti mikro hidro, tenaga angin, tenaga surya, dan biomassa, umumnya berada di pedesaan atau bahkan daerah terpencil, di seluruh kepulauan nusantara. Beberapa alasan mendasar bagi penyediaan energi terbarukan bagi masyarakat pedesaan dan daerah terpencil antara lain karena (a) lokasi sumberdaya energi terbarukan umumnya berada di pedesaan dan desa terpencil, (b) penyediaan energi konvensional di daerah ini memerlukan biaya tinggi (terutama karena biaya distribusi yang relatif tinggi), (c) mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan (d) pemanfaatan energi terbarukan tidak hanya untuk menyediakan energi bagi keperluan rumah tangga akan tetapi juga untuk menambah penghasilan rumah tangga dengan memperkenalkan dan mengimplementasikan kegiatan-kegiatan atau usaha untuk menambah penghasilan. Melimpahnya sumberdaya energi terbarukan selain memiliki fungsi strategis sebagai security of supply karena keterbatasan sumberdaya energi primer yang berasal dari fossil, juga akan berfungsi sebagai precursor bagi kegiatan ekonomi pedesaan. Dengan arahan yang tepat bagi pemanfaatan energi di desa maka diharapkan banyak usaha atau kegiatan produktif yang muncul guna meningkatkan perekonomian rumah tangga dan desa.

5.31

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Tabel 5.6. : Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity


No Negara 1 Thailand 4 China Insentif Fiskal Income tax exemption from 3-5 years Accelerated depreciation of the cost of installing or constructing facilities Approval for remittance of money in foreign currency Exemption from reduction of import duties on equipment and machinery Pembebasan pajak hinggan 6 tahun Income tax holidays Exemption from taxes and duties on imported spare parts Exemption from wharfage dues and export tax, duty, import and fees Exemption from excise duty Low import tariffs for capital equipment and most of the materials and components Depreciation allowances for capital equipment Pembebasan pajak sampai dengan 8 tahun. Pengenaan pajak dihitung setelah berproduksi

Philippines

India

Sources : Amit Kumar Renewable Resources Based Electricity in Asia TERI, India, 2004.

5.32

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB VI ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL DI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN 6.1 . Program Penyediaan Tenaga Listrik Periode 2004-2013 6.1.1. Rencana Pengembangan Pembangkit Di Jawa, Madura dan Bali Perencanaan sistem pembangkit Jawa, Madura dan Bali (Jamali) disusun dengan menggunakan program WASP yang bertujuan untuk mendapatkan konfigurasi pengembangan pembangkit yang memenuhi kriteria kenadalan tertentu dengan total biaya pengembangan termurah dalam suatu kurun waktu periode perencanaan. Adapun jenis pembangkit yang dipertimbangkan untuk rencana pengembangan adalah PLTU Batubara 600 MW, PLTGU LNG 750 MW, PLTG BBM 200 MW dan PLTA Pumped Storage unit 250 MW. Berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2004-2013 Jawa, Madura dan Bali, komposisi produksi energi listrik menurut jenis energi primer, pangsa batubara tetap mendominasi energi primer lainnya, yaitu 48% pada tahun 2013. Panas bumi dan air mengalami penurunan secara perlahan peranannya. Sedangkan produksi energi listrik dari gas bumi mengalami peningkatan. 6.1.2. Rencana Pengembangan Pembangkit Di Luar Jawa, Madura dan Bali Untuk memenuhi kebutuhan sampai tahun 2013, diperlukan tmabahan kapasitas pembangkit sekitar 6.161 MW (termasuk commited dan on going project) dengan perincian 5.338 MW proyek PLN dan 823 MW proyek swasta dan Pemerintah daerah (Pemda). Tambahan kapasitas pembangkit rata-rata per tahun mencapai 600MW, sementara pertambahan kebutuhan beban puncak sekitar 420 MW (beban puncak pada tahun 2003 adalah sebesar 4.237 MW dan tahun 2013 diperkirakan beban puncak sekitar 8.391 MW atau pertambahan beban puncak sekitar 4.200 MW). 6.1.3. Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa, Madura dan Bali

6.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dalam periode 2004-2013,pengembangan sistem penyaluran di sistem Jamali berpedoman pada pengembangan dengan sistem tegangan 500 kV dan 150 kV. Sedangkan sistem tegangan 70 kV diusahakan untuk tidak dikembangkan lagi atau tetap dipertahankan pada sistem yang pertumbuhan listriknya tidak lagi begitu pesat. Pada dasarnya pengembangan sistem penyaluran dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok pengembangan, antara lain kelompok sistem growth, realibility, improvement dan debottlenecking serta kelompok sistem penyaluran terkait dengan pembangkit baru. Pengembangan sistem penyaluran di sistem Jamali untuk 10 tahun ke depan tidak banyakbmerubah teknologi jaringan yang merupakan hasil dari program yang sdeang berjalan saat ini. Pengembangan sistem penyaluran terutama disebabkan oleh kelompok sistem growth dan debottlenecking. Khususnya pengembangan sistem 500 kV di Jawa-Bali, tidak ada perubahan yang berarti sesuah beroperasinya jalur 500 kV bagian selatan. Dalam periode 2004-2013 diperlukan tambahan fasilitas transmisi dan gardu listrik sebanyak 5.837 Kms dan 31.826 MVA. 6.1.4. Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa, Madura dan Bali Secara umum pengembangan sistem penyaluran hingga tahun 2013 tidak akan banyak mengubah topologi jaringan. Pengembangan lebih banyak dilakukan untuk ememenuhi pertumbuhan dalam bentuk penambahan kapasitas trafo. Pengembangan untuk meningkatkan reliability dan debottlenecking hanya terdapat pada beberapa sistem, antara lain rencana pembangunann sirkit kedua pada beberapa ruas trasmisi di sistem Sumbagut, sistem Kaltim Suluttenggo dan Kalsel. Rencana pengembangan sistem penyaluran hingga tahun 2013

diproyeksikan sebesar 5.352 MVA untuk pengembangan Gardu Induk (150 kV dan 70 kV) serta 4.184 kmr pengembangan jaringan transmisi. 6.1.5. Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura dan Bali Kebutuhan fisik distribusi untuk mengantisipasi perubahan penjualan energi listrik dapat diproyeksikan sampai tahun 2013 membutuhkan tambahan jaringan

6.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

tegangan menengah 51.702 Kms, regangan rendah 78.712 Kms dan kapasitas trafo distribusi 11.681 MVA. 6.1.5. Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa, Madura dan Bali Perkiranaan kebutuhan fisik dapat diukelompokkan dalam beberapa jensis, yaitu: 1) kebutuhan fisik perluasan sistem distribusi untuk mengantisipasi pertumbuhan sales, 2) kebutuhan fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan kehandalan (realibility), 3) kebutuhan fisik untuk meningkatkan kualitas pelayanan tenaga listrik pada pelanggan (power quality), 4) kebutuhan fisik untuk reahabilitasi jaringan, 5) kebutuhan fisik untuk menurunkan susut teknis jaringan, dan 6) kebutuhan fisik untuk perbaikan sarana pelayanan. Dengan pendekatan seperti di atas, kebutuhan fisik sistem distribusi seluruh PLN luar Jawa hingga tahun 2013 adalah sebesar 47.812 kms jaringan tegangan menengah, 52.624 kms jaringan tegangan rendah. Disamping itu juga terdapat tambahan kebutuhan trafo distribusi sebesar 4.343 MVA. 6.2. Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi Sejalan dengan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2004-2013, kebutuhan dana untuk penyediaan tenaga listrik dibedakan antara Jawa, Madura dan Bali dan luar Jawa, Madura dan Bali. 6.2.1. Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali Kebutuhan investasi dibedakan menjadi tiga, yaitu untuk pembangkitkan, sistem penyaluran dan sistem distribusi, al : a. Untuk memenuhi kebutuhan investasi di sisi pembangkit sampai dengan tahun 2013 diperkirakan mencapai US$ 6.513,8 juta. Kebutuhan pendanaan ini diluar pembangkit yang akan dibangun oleh swasta, yaitu PLTU Tanjung Jati dan PLTU Cilacap. b. Untuk sistem penyaluran dari tahun 2004-2013 pendanaan yang diperlukan adalah US$ 2.321,8 juta (tidak termasuk SCADA dan Telekomunikasi) c. Untuk rencana pengembangan distribusi untuk perluasan jaringan tegangan menengah dan tegangan rendah, namanbah travo distribusi dansambungan

6.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pelanggan baru, dalam waktu yang sama diperkirakan dibutuhkan pendanaan sebesar US$ 3.808,9 juta. 6.2.1. Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura dan bali Kebutuhan investasi pembangkit, sistem penyaluran dan distribusi untuk luar Jawa, Madura dan Bali dalam periode 2004-2013 diperkirakan mencapai US$ 5.796 juta atau rata-rata per tahun mencapai US$ 600 juta selama sepuluh tahun. Kebutuhan investasi ini tidak termasuk on going dan committed project pembangkit. On going didefinisikan sebagai projek PLN/IPP dalam pelaksanaan, sedangkan committed project adalah proyek PLN yang sudah memperoleh pendanaan dan proyek IPP yang sudah memperoleh PPA. Persentase biaya pembangkit, penyaluran dan distribusi masing-masing adalah 61%, 15% dan 24%. Artinya system masih bertumbuh, belum mengalami kejenuhan, karena cirri system yang sudah jenuh adalah biaya distribusi jauh lebih besar dari pembangkit dan tranmisi. 6.3. Insentif fiskal yang berlaku saat ini Bagi Industri Ketenagalistrikan dan Kebutuhan Ke Depan Seperti halnya jenis industri lain, industri listrik mempunyai kewajiban untuk membayar berbagai jenis pajak dalam melakukan aktivitasnya, baik berupa pajak pusat maupun pajak/retribusi daerah seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah. Jenis pajak yang harus dibayar, antara lain pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak lainnya (bea meterai), dan bea masuk. Peranan industri listrik dalam mendukung pembangunan nasional sangatlah besar karena listrik bisa dikatakan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi keberlangsungan terciptanya output produksi yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan

perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing industri di Indonesia, Pemerintah telah memberikan beberapa fasilitas perpajakan bagi industri

ketenagalistrikan, baik berupa fasilitas penangguhan maupun pembebasan pajak,


6.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

mulai dari sisi pembangkit hingga penjualan. Fasilitas tersebut disesuaikan dengan UU Perpajakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar perpajakan (simplicity, fairness, certainty, and competitiveness). 6.3.1. Kebijakan Insentif Pajak Yang Berlaku Saat Ini Dalam subbab ini pembahasan akan dijabarkan dalam rangkaian tiap jenis pajak dengan mengacu pada dasar hukum yang masih berlaku, yaitu PPN/PPnBM dan PPh. A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) PPN adalah pajak yang dikenakan pada nilai tambah dari barang dan jasa yang diperjualbelikan. Dasar hukum yang masih berlaku hingga saat ini, antara lain : (i) Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2000, (ii) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2003, (iii) PP Nomor 25 tahun 2001, (iv) Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 371/ KMK.03/2003, dan (v) KMK Nomor 486/ KMK.04/2000. 1. UU Nomor 18 Tahun 2000 Menurut UU ini pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, kecuali barang-barang tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagai jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Didalam pasal 4 yang termasuk obyek PPN adalah : Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam Daerah Pabean (DP) yang dilakukan oleh pengusaha Impor BKP Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) didalam DP yang dilakukan oleh pengusaha Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar DP didalam DP Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak

Sementara itu dalam pasal 4A ayat 2 jo PP Nomor 144 Tahun 2000 pasal 1, disebutkan jenis barang yang tidak dikenakan PPN, yaitu : barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
6.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam)

makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, dan

uang, emas batangan, dan surat-surat berharga

2. PP Nomor 46 Tahun 2003 PP ini merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN, dimana listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya diatas 6600 watt) ditetapkan sebagai barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, dan barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik yang diperlukan secara langsung dalam proses

menghasilkan barang berupa listrik dibebaskan dari pengenaan PPN (dalam pasal 1 dan 2). Pengusaha Kena Pajak yang mengimpor dan/atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis diwajibkan mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak (KMK Nomor 371/KMK.03/2003 pasal 5 ayat 1). Fasilitas ini dimaksudkan untuk mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing dengan menjamin tersedianya barang-barang yang bersifat strategis. Fasilitas ini ditujukan kepada industri

ketenagalistrikan yang bergerak di bidang pembangkit. 3. PP Nomor 25 tahun 2001 jo KMK Nomor 239/ KMK.01/1996 (diubah dengan KMK Nomor 486/ KMK.04/2000) Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari PP Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. Fasilitas yang diberikan berupa tidak dipungut PPN/PPnBM atas

6.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Impor barang kena pajak, Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean, Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean,

Penyerahan barang kena pajak, dan atau Penyerahan jasa kena pajak.

Fasilitas tersebut diberikan kepada investor ketenagalistrikan yang bertindak sebagai kontraktor utama dalam proyek pemerintah yang dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, sementara apabila hanya sebagian saja yang dibiayai maka fasilitas tersebut hanya berlaku atas bagian dari proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri. Yang termasuk proyek pemerintah adalah proyek yang tercantum dalam DIP atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP termasuk proyek yang dibiayai dengan Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP)/Subsidiary Loan Agreement (SLA). Sedangkan kontraktor utama adalah kontraktor, konsultan, dan pemasok (supplier) yang berdasarkan kontrak melaksanakan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, termasuk tenaga ahli dan tenaga pelatih yang dibiayai dengan hibah luar negeri. Jadi dalam fasilitas ini terdapat 2 kategori yaitu (i) dibebaskan dari pengenaan PPN berupa penyerahan listrik dan impor atau penyerahan barang modal untuk menghasilkan listrik dan atau BKP lainnya, dan (ii) tidak dipungut PPN/PPnBM (impor BKP, pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud dari luar DP, penyerahan BKP/JKP). Dalam RUU Perpajakan apabila diperlukan maka akan dimasukkan ketentuan bahwa : listrik ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, dan barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis yang atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.
6.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

B.

Pajak Penghasilan (PPh) Fasilitas pajak penghasilan yang diberikan tidak secara spesifik menyebutkan untuk industri tertentu (misalnya industri ketenagalistrikan). Fasilitas yang diberikan antara lain : 1. UU Nomor 17 tahun 2000 Didalam pasal 31A ayat 1 kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk : a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan; b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; c. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan d. Pengenaan pajak penghasilan atas dividen sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah; Didalam pasal 31B ayat 1 dinyatakan bahwa Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas : (a) pembebasan utang; (b) pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang; dan (c) perubahan utang menjadi penyertaan modal; 2. PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas PPh untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-daerah Tertentu. PP ini merupakan penegasan dari UU Nomor 17 tahun 2000. Yang dimaksud dengan bidang-bidang usaha tertentu adalah bidang-bidang usaha di sektor-sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional khususnya dalam rangka peningkatan ekspor.

6.8

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Sedangkan daerah-daerah tertentu adalah daerah terpencil yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral termasuk gas bumi. Bagi wajib pajak yang telah memperoleh fasilitas atas kegiatan usaha di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) tidak lagi diberikan fasilitas ini. 3. KMK Nomor 571/KMK.04/2000 Bagi wajib pajak badan dalam negeri berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Untuk memperoleh fasilitas ini, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan kepada Menteri Keuangan dengan dilampiri Surat Persetujuan Penanaman Modal dan setelah mendapatkan keputusan dari Menteri Keuangan, wajib menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan dan

Triwulanan Realisasi Penanaman Modal yang telah diaudit. 4. PP Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus yang Dibentuk Pemerintah. Restrukturisasi utang usaha yang dimaksud adalah : a. Pembebasan utang (hair cut); Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan karena pembebasan utang (hair cut) yang diperoleh debitur dibebaskan sebesar 30% b. Pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang (debt to asset swap); Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau pihak ketiga karena pengalihan harta kepada kreditur (debt to asset swap) untuk penyelesaian utang dibebaskan

6.9

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta pihak yang mengalihkan. c. Perubahan utang menjadi penyertaan modal (debt to equity swap); Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur pada perusahaan debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun melalui pihak ketiga, dibebaskan sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar nilai buku utang pihak debitur Fasilitas ini diberikan untuk debitur yang telah menyelesaikan

restrukturisasi utang usaha dalam tahun pajak 2000, 2001, 2002 dan berdasarkan rekomendasi Ketua Komite Kebijaksanaan Sektor Keuangan (KMK Nomor 113/KMK.03/2001). 5. PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Menurut pasal 1disebutkan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam KAPET diberikan perlakukan PPh yaitu : a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal yang dilakukan; b. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan atau amortisasi yang dipercepat c. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 (sepuluh) tahun; d. Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen yang dibayarkan kepada Subyek Pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. Pemberian fasilitas ini diperkuat dengan KMK Nomor 11/KMK.04/2001 6. PP Nomor 25 Tahun 2001 Didalam pasal 3 disebutkan bahwa Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan

6.10

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah.Fasilitas ini diberikan dalam rangka untuk mempercepat pemulihan ekonomi. 7. KMK Nomor 486/KMK.04/2000 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri Berdasarkan pasal 4 ayat 2 Pajak Penghasilan yang terutang oleh Kontraktor, Konsultan dan Pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah 8. KMK Nomor 113/KMK.03/2002 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap PPh sebesar 20% dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak atas Bentuk Usaha Tetap tidak dikenakan terhadap penghasilan apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat: a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi komersial. Apabila penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar pengenaannya adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan
6.11

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pembukuan

yang

sudah

dikoreksi

fiskal

dikurangi

dengan

Pajak

Penghasilan yang bersifat final 9. KMK Nomor 466/KMK.04/2000 jo Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP213/PJ./2001 Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai di tempat kerja dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai. Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di daerah terpencil Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sarana dan fasilitas di Iokasi bekerja untuk : a. Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di Iokasi bekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa; b. Pelayanan kesehatan, sepanjang dilokasi bekerja tersebut tidak ada sarana kesehatan; c. Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada sarana pendidikan yang setara; d. Pengangkutan bagi pegawai di Iokasi bekerja, sedangkan

pengangkutan anggota keluarga dari pegawai yang bersangkutan terbatas pada pengangkutan sehubungan dengan kedatangan pertama ke Iokasi bekerja dan kepergian pegawai dan keluarganya karena terhentinya hubungan kerja;

6.12

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

e. Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating dan pacuan kuda, sepanjang di Iokasi bekerja tersebut tidak tersedia sarana dimaksud. 10. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan. Biaya-biaya tersebut antara lain : a. Biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I b. Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan. c. Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II d. Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan. e. Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui

penyusutan aktiva tetap kelompok II


6.13

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

f. Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan. Biaya-biaya tersebut diatas tidak merupakan penghasilan bagi para pegawai perusahaan yang bersangkutan. 11. KMK Nomor 236/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya Didalam pasal 3 ayat 1a, yang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan 6.4. Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004 - 2007 Selama ini PT. PLN mengandalkan sumber dana Investasi dari concessional loan yaitu berasal dari lenders lembaga-lembaga keuangan dunia (baik lembaga bilateral maupun multilateral) berupa penerusan pinjaman luar negeri Pemerintah kepada PT. PLN. Namun pola pendanaan tersebut sudah tidak banyak diharapkan pada masa yang akan datang khususnya untuk pengembangan pembangkit berskala besar, karena adanya keterbatasan dalam liability Pemerintah dalam membuat pinjaman baru dan atau adanya perubahan kebijakan pada lenders. Berdasarkan hasil studi kapasitas pinjaman baru yang disusun oleh PT. PLN (2002), telah menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyerap pinjaman baru masih relatif besar, yakni dapat mencapai Rp 80,0 triliun untuk periode waktu 5 tahun ke depan dengan tingkat debt service yang cukup. Meskipun demikian, kondisi tersebut belum membawa dampak positif bagi datangnya investasi baru kepada PT. PLN.

6.14

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Berdasarkan perhitungan, kebutuhan dana investasi untuk memenuhi permintaan tenaga listrik di sistem Jawa Bali dan sistem luar Jawa Bali selama lima tahun dengan skenario terbatas adalah US$ 5,779 juta (fixed asset). Kebutuhan dana investasi tersebut dipergunakan untuk pembangungan sarana pembangkitan, transmisi dan distribusi. Tabel 6.1. : Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003 2007 (Fixed Asset US$ Juta) No 1 2 Uraian Jamali Luar Jamali Indonesia 2003 239.1 282.6 521.7 2004 647.7 576.9 1,124.6 2005 635.9 478.4 1,114.3 2006 613.1 469.7 1,082.8 2007 1,471.1 364.5 1,835.6 Jumlah 3,606.9 2,172.1 5,779.0

Sumber : RKAP PT. PLN (Persero).

6.5.

Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan

6.5.1. Potensial Loss Terhadap Penerimaan Negara Fasiltas investasi yang diberikan kepada kegiatan investasi di sektor tenaga listrik utamanya berupa pembebasan PPN, PPh Pasal 22 atas impor dan bea masuk. Dengan anggapan bahwa tarif PPN adalah 10 persen, tarif PPh Pasal 22 atas impor sebesar 2,5 persen dan tarif bea masuk sebesar 5 persen, maka untuk investasi sebesar Rp 80,6 triliun selama lima tahun. Bersadarkan kondisi tersebut, secara bruto potensial loss yang akan ditanggung Pemerintah dari pajak : Tabel 6.2. : Potensial Loss Sektor Pajak Yang Ditanggung Pemerintah Selama Lima Tahun No 1 2 3 Sektor Pajak PPN PPh Pasal 22 Bea Masuk Jumlah Tarif (%) 10,0 2,5 5,0 Nilai Investasi (Rp Triliun) 84,63 84,63 80,60 Potensial Loss (Rp Triliun) 8,46 2,12 4,03 14,61

6.15

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Namun potensial loss aktual yang ditanggung Pemerintah sebesar Rp 12,49 triliun (Rp 14,61 Rp 2,12 triliun), karena pengenaan pajak untuk PPh Pasal 22 dapat dikreditkan pada akhir tahun pajak dan tidak dicatat sebagai potensial loss. 6.5.2. Kenaikan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Kenaikan PDB disebabkan oleh meningkatnya investasi dan kelangsungan produksi ekonomi sebagai akibat tidak matinya listrik. Dari beberapa studi diperoleh gambaran bahwa setiap kenaikan pasokan listrik sebesar 1 persen akan membawa kenaikan PDB sebesar 0,67 persen. Kenaikan PDB tersebut, selain sebagai dampak meningkatnya investasi di bidang ketenagalistrikan itu sendiri, dan juga sebagai akibat dari meluasnya kegiatan usaha karena mudahnya mendapatkan tenaga listrik. Dengan demikian, terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik pada akhirnya akan membawa peningkatan pendapatan masyarakat. Terkait dengan produk nasional perlu kiranya disampaikan bahwa dibeberapa negara, tenaga listrik digolongkan sebagai jasa kebutuhan nasional, sehingga matinya aliran listrik dikategorikan sebagai bencana nasional. Hal tersebut tidak mengherankan, apabila matinya aliran listrik dapat mengganggu kelancaran proses produksi. Selain itu, tidak kontinyu aliran listrik dapat merupakan alasan pokok bagi investor untuk tidak menanamkan investasinya di suatu negara. 6.5.3. Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat Ketersediaan lisrik yang semakin terjamin akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Ketersediaan jasa tenaga listrik yang bisa diperoleh secara mudah akan berdampak pada meningkatnya kemudahan pemenuhan berbagai kebutuhan yang memerlukan tenaga listrik. Hal tersebut bermuara pada naiknya tingkat kepuasan pelanggan maupun masyarakat luas.

6.16

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1.

Simpulan Dewasa ini penggunaan energi, khususnya listrik, di dalam perekonomian

nasional mengalami peningkatan sangat pesat yang tercermin dari jumlah permintaan total masyarakat Indonesia akan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun 2004 dan diproyeksikan sebesar 37,9 GW tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan permintaan akan listrik sebesar 8 10% per tahun. Namun, produksi listrik dari PT. PLN belum dapat mengimbangi tingginya permintaan masyarakat akan listrik tersebut. Jumlah pasokan energi listrik yang diproduksi PT. PLN hanya 18,0 GW tahun 2004 sehingga dalam tahun tersebut terjadi kekurangan (gap) pasokan listrik sebesar 6,3 GW. Dengan kata lain, kondisi permintaan lebih besar dari pada pasokan listrik tersebut dapat mengakibatkan krisis energi listrik di tanah air. Munculnya gap pasokan listrik ini sebesarnya menandakan suatu kondisi dimana tidak berkembangnya kegiatan investasi di bidang infrastruktur

ketenagalistrikan, yaitu di sektor pembangkitan, transmisi dan distribusi. Karena secara umum sejak krisis ekonomi mulai berlangsung tahun 1997, telah menunjukkan penurunan realisasi investasi mencapai 50% bahkan nilai persetujuan proyek PMA merosot 96% dibandingkan PMDN selama tahun 2001, meskipun dari segi jumlah proyek naik 50%. Dan tidak ada foreign direct investment (FDI) yang masuk ke Indonesia semenjak tahun 1997 sehingga Pemerintah masih membutuhkan pinjamanan luar negeri untuk mendanai proyek proyek ketenagalistrikan. Beberapa faktor yang dituding sebagai penyebab terjadinya penurunan investasi di dalam negeri sehingga menurunkan minat investor untuk menanamkan modal, antara lain : a. Instabilitas politik dan keamanan yang disebabkan oleh perseteruan di antara elit politik, kerusuhan atau kekerasan yang berbau SARA, timbulnya aspirasi ke arah disintegrasi bangsa, dan meningkatnya tingkat kriminalitas.
7.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

b. Banyaknya kasus demonstrasi / pemogokan di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan yang disebabkan meningkatnya kesadaran mengenai hak-hak buruh, masih rendahnya pendapatan buruh, kesejahteraan dan keselamatan kerja belum memadai. c. Pemahaman yang keliru terhadap pelaksanaan UU Otonomi Daerah yang disebabkan belum lengkap dan jelasnya pedoman menyangkut tatacara pelaksanaan otonomi daerah sehingga menimbulkan bentuk-bentuk pungutan dan atau retribusi yang kurang jelas dasar hukumnya. d. Kurangnya jaminan kepastian hukum, misalnya dengan dilakukan pembatalan secara sepihak terhadap pemenang tender dan tidak diberikan kompensasi yang layak, demikian dengan pembatalan dan atau perubahan terhadap isi kebijakan (kontrak di bidang ketenagalistrikan seperti power purchase agreement / energy contract. e. Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) terutama

menyangkut lembaga-lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga arbitrase, baik asing (ICC/ICSID) maupun lokal (BANI) yang menyebabkan rendahnya kepercayaan investor terhadap tatacara / proses penyelesaian sengketa dan atau penegakan hukum. f. Kurangnya jaminan atau perlindungan investasi sehingga investor merasa tidak aman dan nyaman karena masih saja terjadi tindakan tindakan penjarahan dan atau pengambil alihan secara melawan hukum terhadap aset aset investor tanpa dapat dicegah oleh Pemerintah. g. Masih kurang menariknya insentif fiskal khususnya perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah dibandingkan dengan insentif fiskal yang diberikan oleh Pemerintah negara negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, Philipina dan Singapura, yang pada akhirnya dapat mendorong investor untuk merelokasi investasinya dari Indonesia kepada negara negara tersebut. h. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia karena belum tersedianya sumber daya manusia yang memadai baik secara kualitatif dan kuantitatif untuk memenuhi kebutuhan industri.

7.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

i.

Masih berjalannya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menguntungkan pihak pihak tertentu meskipun telah dikeluarkannya UU Pemberantasan KKN dan UU Pembalikan Beban Pembuktian serta pembentukan Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) namun tetap saja tidak mampu mengurangi dan atau memberantas praktek KKN.

j.

Tidak ada kejelasan dalam kebijakan investasi yang dicerminkan dengan tinggi risiko (country risk) sehingga biaya financial dari projek ketenagalistrikan menjadi mahal dan pada akhirnya berakibat harga jual (TDL) juga mahal.

k. Terjadi penundaan beberapa proyek yang dapat menurunkan manfaat ekonomi dan keuangan (karena penundaan pendapatan PT. PLN dan penundaan kesempatan konsumen menikmati jasa kelistrikan) sehingga dapat meningkat biaya investasi, misalnya apabila perusahaan listrik mendapat pinjaman dari lembaga-lembaga multilateral (World Bank, ADB, etc.) maka Pemerintah Indonesia harus membayar commitment fee dan penundaan dapat meningkatkan biaya investasi. Melihat faktor faktor tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa kondisi perekonomian nasional nampaknya sudah kurang menarik minat investasi di bidang infrastruktur khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena selama ini investasi infrastruktur di sektor ketenagalistrik kurang mendapat perhatian atau fasilitas yang memadai dari Pemerintah terutama dalam penggunaan input yang akan menghasil energi listrik (setrum). Akibatnya, ke depan dapat terjadi krisis energi listrik karena tidak ada penambahan kapasitas baru dan atau kapasitas yang lama sudah mulai menurun kinerjanya. Selain itu, terjadi perbedaan sudut pandang antara Pemerintah dengan para pelaku ekonomi khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena menurut para pelaku ekonomi bahwa kegiatan dalam industri ketenagalistrikan pada umumnya dibedakan antara kegiatan di sektor hulu (pembangkitan, transmisi dan distribusi) dan hilir (penjualan listrik). Dan selama ini yang sering mendapat insentif fiskal adalah di sektor hilirnya, akan tetapi di sektor hulunya masih belum banyak tersentuh insentif fiskal. Sedangkan dari sudut pandang Pemerintah dalam pengenaan pajak tidak membedakan barang berdasarkan sektor hulu dan hilir,
7.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sehingga berakibat tidak pernah dapat menuntaskan permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi. Pengaruh pungutan pajak terhadap beban perusahaan dan penyediaan energi listrik sangat besar, sehingga dapat memberatkan kelangsungan usaha

ketenagalistrikan, misalnya pajak yang dipungut pada tingkat operasional perusahaan antara lain :
BBM & Pelumas a. PPN 10% b. PPh 0,3% Pemeliharaan (Jasa) a. PPN 10% Pajak Pajak Lainnya a. Pajak air permukaan b. Pajak air bawah tanah c. Pajak penerangan jalan d. Ijin gangguan gardu induk e. Ijin gangguan pembangkit f. IMB Tower g. PBB

Impor Suku Cadang a. Bea Masuk 5 20% b. PPN Impor 10% c. PPh Impor 2,5%

Sumber : PT. PLN (Persero), 2005.

Pajak yang dipungut Pemerintah atas pekerjaan kontruksi yang dilakukan pada proyek proyek usaha ketenagalistrikan, antara lain :
Pembebasan Tanah a. PPh Psl 25 5% b. BPHTB 5%

Survai a. PPN 10%

E/D a. PPN 10%

Impor Peralatan a. Bea Masuk 5 - 20% b. PPN Impor 10% c. PPh Impor 2,5%

Kontruksi a. PPN 10%

Sumber : PT. PLN (Persero), 2005.

Selain itu, beberapa negara di kawasan ASEAN sudah banyak memberikan insentif fiskal kepada proyek proyek strategis dan sesuai dengan prioritas pembangunan termasuk proyek ketenagalistrikan. Pemberian insentif tersebut lebih banyak ditujukan untuk menarik minat (sweatener) investor dalam menanamkan modal ke negara negara tersebut. Namun, proyek proyek ketenagalistrikan di tanah air belum banyak mendapat insentif fiskal terutama pada bidang infrastruktur (pembangkitan, transmisi dan distribusi). Untuk itu, perlu ditinjau kembali jenis jenis insentif fiskal kepada proyek proyek ketenagalistrikan agar investasi tidak ke luar kawasan Indonesia (capital flight).

7.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Untuk itu, secara serius Pemerintah saat ini berupaya untuk mendorong investasi baik asing maupun dalam negeri melalui perbaikan berbagai kebijakan ekonomi dan non ekonomi dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif agar perekonomian diharapkan tumbuh rata rata 6,6% per tahun melalui peningkatan peranan swasta dalam pembangunan. Tekad Pemerintah tersebut telah diwujudkan dalam agenda prioritas pembangunan melalui program peningkatan investasi, yaitu : 1. Kebijakan peningkatan iklim dan realisasi investasi dengan langkah langkah : a. Penyederhanaan prosedur birokrasi dan perijinan

b. Penyusunan insentif investasi yang tepat sasaran c. Pengurangan tumpang tindih kebijakan pusat daerah dan antar sektor

d. Penanganan masalah masalah investasi secara tepat e. 2. Reformasi kelembagaan penanaman modal

Reformasi bidang perpajakan dan kepabeanan, melalui : a. Amandemen UU Perpajakan

b. Reformasi administrasi sengketa pajak c. 3. Fasilitasi perdagangan dan pemberantasan penyelundupan

Peningkatan daya saing industri manufaktur melalui upaya : a. Peningkatan utilisasi kapasitas dan memperluas basis industri untuk memperkuat struktur yang ada b. Pengembangan investasi strategis secara fungsional dalam aspek

pengembangan teknologi industri, informasi pasar serta prasarana sarana pengendalian mutu c. Fasilitas pengembangan sub sektor industri sesuai dengan masalah yang dihadapi, difokuskan (diprioritaskan) pada sub-sub sektor yang menyerap tenaga kerja, mengolah sumber daya alam (SDA) dalam negeri, memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan memiliki potensi pengembangan ekspor ke depan. Dengan demikian, sektor ketenagalistrikan telah memenuhi kriteria dalam pengembangan industri strategis yang perlu mendapat dukungan Pemerintah terutama dalam investasi infrastrukturnya (bidang pembangkitan, transmisi dan
7.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

distribusi). Sehingga, perlu kesamaan pandang antara Pemerintah (baik di Pusat dan Daerah) dengan pelaku pelaku sektor ketenagalistrikan agar pemberian dukungan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah (multiplier effect) yang lebih besar dari pada potensial loss akibat pemberian dukungan atau fasilitas tersebut. 7.2. Saran dan Rekomendasi

7.2.1. Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastruktur Ketenagalistrikan Berdasarkan hasil studi ini dengan memperhatikan berbagai dampak pemberian insentif fiskal termasuk potensial loss penerimaan Pemerintah atas proyek proyek ketenagalistrikan, maka usulan insentif fiskal untuk yang kiranya dibutuhkan dan untuk mendukung peningkatan investasi infrastruktur

(pembangkitan, transmisi dan distribusi) di bagi dalam dua jenis insentif (pajak dan kepabeanan), antara lain : a. Bidang Pajak Penghasilan (PPh) 1. Menerapkan insentif REGIONAL dengan memberikan PEMBEBASAN PPh 60% dari pendapatan untuk pengembangan industri ketenagalistrikan; 2. Menerapkan insentif SEKTORAL untuk perusahaan yang bergerak pada usaha Strategis dan atau prioritas pembangunan (termasuk tenaga listrik) dengan memberikan pembebasan PPH 10% selama 5 10 tahun; 3. Menerapkan Insentif EKSPOR & DAERAH PERDAGANGAN BEBAS dengan mengenakan Pajak Final 5% dari penghasilan bruto dengan komposisi : 3% Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah & 1% untuk Dana Pembangunan; 4. Pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR 30% selama 5 tahun dalam mendorong Insentif EKSPOR & DAERAH PERDAGANGAN BEBAS. b. Bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1. LISTRIK dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerahannya DIBEBASKAN dari penge-naan PPN;

7.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.

BARANG MODAL berupa mesin dan peralatan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis atas impor dan atau penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN.

c.

Kepabeanan 1. Menggunakan mekanisme PP 42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringan BM dapat diberikan atas Impor; 2. Menggunakan Pasal 26 ayat (1) huruf j UU 10 Tahun 1995 : Barang oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditujukan untuk Kepentingan Umum; 3. MEREVISI PMK 47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukkan industri ketenagalistrikan ke dalam daftar industri jasa yang

mendapatkan fasilitas keringan BM; 4. 5. Memberikan FASILITAS BM KHUSUS untuk PT. PLN (Persero); Menurunkan TARIF BM BARANG MODAL untuk industri

ketenagalistrikan dengan memasukkan Harmonisasi Tarif. 7.2.2. Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi Terbarukan Faktor utama penghambat pengembangan energi terbarukan adalah harga energi yang dihasilkannya tidak dapat berkompetisi dengan harga energi yang berasal dari fosil yang masih disubsidi, maka penghapusan subsidi dalam bentuk harga energi fosil mutlak dilakukan. Penghapusan subsidi pada harga energi fosil tidak hanya akan memberi ruang yang lebih kompetitif bagi pengembangan energi terbarukan, juga akan berdampak kepada berkurangnya beban keuangan negara yang selama ini digunakan untuk menutupi subsidi. Kebijakan penghapusan subsidi yang tidak populis pada akhirnya bermuara pada pertanyaan: Lalu bagaimana fungsi sosial pemerintah sebagai akibat dari kebijakan penghapusan subsidi? Hal tersebut disebabkan bahwa secara umum masyarakat pengguna energi adalah mereka yang "dhuafa" dengan kemampuan membeli yang secara umum sangat rendah (lower purchasing power). Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka diusulkan agar pemerintah memberikan subsidi langsung maupun tidak langsung (direct and indirect subsidy)
7.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

kepada yang benar-benar membutuhkan. Subsidi langsung dapat dilakukan pada jenis energi untuk pelanggan yang tercatat dengan baik seperti PLN. Sedangkan subsidi tidak langsung dapat diberikan untuk pelanggan bahan bakar cair seperti pelanggan minyak tanah. Bentuk subsidi tidak langsung ditujukan untuk menstimulir (mendorong) kegiatan-kegiatan pada asyarakat yang ditargetkan guna mendapatkan tambahan pendapatan (income generating activities) melalui subsidi biaya pendidikan, pendanaan mikro melalui revolving fund atau skema pendanaan mikro lainnya, dan juga subsidi biaya kesehatan sehingga masyarakat dapat menjalankan kegiatan dan berkehidupan yang lebih baik. Berkaitan dengan skema pendanaan mikro dalam mendorong upaya pemanfaatan energi terbarukan, maka Pemerintah perlu membuat

regulasi/peraturan perbankan khusus untuk mengakomodasi dan memberikan kemudahan skema pendanaan yang lebih berpihak kepada masyarakat kecil. Ini bisa membantu mengakhiri paradigma pendanaan yang saat ini memberi perhatian lebih kepada daerah pinggiran kota karena rendahnya daya beli masyarakat kecil di desa akibat keadaan ekonomi mereka pas-pasan bahkan di bawah garis kemiskinan (under poverty line). Sebaiknya bantuan kredit diberikan agar masyarakat bisa melakukan kegiatan-kegiatan untuk menambah penghasilan mereka, sehingga pada akhirnya daya beli mereka dapat meningkat. Kebijakan insentif lainnya yang diharapkan mampu menurunkan biaya pembangkitan energi terbarukan yaitu melalui penurunan bea masuk (import tax). Bea masuk yang selama ini dikenakan pada energi terbarukan adalah tidak tepat dan harus ditinjau kembali dan diusulkan untuk dikurangi, tetapi tidak dihilangkan karena menganggap barang atau peralatan energi terbarukan sebagai pajak barang mewah. Kebijakan insentif juga seharusnya diberikan kepada pemain lokal, seperti perusahaan manufaktur yang menunjang kegiatan energi terbarukan. Hal tersebut ditujukan karena selama ini muatan impor yang masih dominan (high import content) pada beberapa teknologi energi terbarukan seperti photovoltaik, gasifikasi dan kogenerasi biomasa, bahan bakar berbasis tumbuh-tumbuhan (bio-disel dan bio-

7.8

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

etanol), dan konverter untuk tenaga angin, menyebabkan harga energi terbarukan yang dihasilkan menjadi relatif mahal. Selain itu pada beberapa kasus kerusakan membutuhkan waktu yang relatif lama karena menunggu pengiriman (impor). Dengan demikian diharapkan menambah muatan lokal (local content) dapat secara signifikan mengurangi biaya investasi dan mengurangi biaya produksi energi terbarukan, sehigga pada akhirnya dapat menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi energi terbarukan untuk bersaing dengan energi fosil. Memasukkan harga lingkungan (internalize the externalities) pada komponen biaya energi yang berasal dari fosil (tak terbarukan). Hal tersebut perlu dilakukan mengingat dampak yang sangat buruk dari penggunaan energi tak terbarukan bagi lingkungan baik lokal maupun global dan dapat menurunkan kualitas kesehatan manusia. Untuk itu penerapan biaya lingkungan tidak hanya ditujukan untuk memberikan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif, tetapi juga akan digunakan untuk usaha atau kegiatan untuk pemulihan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan energi tak terbarukan. Rencana penyediaan dana (depletion premium) atas menyusutnya minyak bumi dan juga dampak buruk terhadap lingkungan yang dihasilkan akibat pemanfaatan minyak bumi yang selama ini hanya menjadi wacana sebaiknya dapat direalisasikan. Dengan adanya alokasi dana bagi pengembangan energi terbarukan yang berasal dari depletion premium, diharapkan tidak hanya menggugah kepedulian dari Pertamina terhadap pentingnya pemanfaatan energi terbarukan untuk menjawab kelangkaan pasokan minyak, juga diharapkan akan memberikan kesadaran bagi Pertamina untuk melirik bisnis energi terbarukan dalam ekspansi perusahaannya seperti yang dilakukan oleh perusahan minyak besar di dunia. Memberikan keringanan pembebasan pajak sementara (tax holiday) yang ditujukan untuk menstimulasi kegiatan investasi bagi pengembangan energi terbarukan untuk daerah-daerah yang selama ini terlupakan atau tertinggal seperti Indonesia bagian timur atau daerah terpencil pedesaan lainnya di Indonesia.

7.9

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Insentif fiskal sangat diperlukan sebagi upaya untuk mengeembangkan energi terbarukan. Hal tersebut sebagai terobosan guna merangsang investor untuk mengembangkan energi ramah lingkungan. Disadari, rasio elektrifikasi masih terbilang rendah, sekitar 80 juta rakyat belum menikmati pelayanan listrik. Isentif fiskal paling tidak akan merangsang para investor baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk membangun sejumlah proyek listrik yang ramah lingkungan. Tabel 7.1. : Usulan Bentuk - Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanftaan Sumber Daya Terbarukan No Bentuk Insentif Tujuan Bea masuk yang selama ini dikenakan pada energi terbarukan adalah tidak tepat dan harus ditinjau kembali karena menganggap barang atau peralatan energi terbarukan sebagai pajak barang mewah mengurangi biaya investasi dan mengurangi biaya produksi energi terbarukan, sehigga pada akhirnya dapat menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi energi terbarukan untuk bersaing dengan tidak terbarukan. a. memberi ruang yang lebih kompetitif bagi pengembangan energi terbarukan, b. berkurangnya beban keuangan negara yang selama ini digunakan untuk menutupi subsidi. a. untuk memberikan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif, b. untuk pemulihan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan energi tak terbarukan

Penurunan bea masuk

Pemakaian muatan lokal

Penghapusan subsidi terhapa harga energi tidak terbaharukan Memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari sumber daya tak terbarukan.

7.10

You might also like