You are on page 1of 4

Surat Kabar Harian SUARA MERDEKA, terbit di Semarang, Edisi 28 Januari 1986

KONSEP DESENTRALISASI KURIKULUM KURANG EFEKTIF BAGI NEGARA KITA Oleh : Ki Supriyoko

Masalah kurikulum kini mengorbit kembali. Kurikulum yang dapat diibaratkan sebagai "jalan" yang harus dilalui untuk menuju suatu tujuan, dan merupakan bagian yang sangat dominan dalam kompleksitas pendidikan di negara kita kembali mendapat sorotan yang cukup tajam dari para cendekiawan, khususnya para ahli pendidikan. Baru-baru ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, Prof. Dr. Fuad Hassan, mengemukakan bahwa mustahil membuat satu kurikulum yang baku bagi seluruh Indonesia. Selain nampaknya kurang baik dibidang kependudukan, dana, sarana dan prasarana, daerah-daerah pun tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri. Yang pada akhirnya daerah-daerah akan ditinggalkan oleh penduduk usia produktif. Seharusnya daerah diberi kesempatan untuk mengembangkan wilayahnya lewat kesempatan dalam kurikulum. Memang benar seperti apa yang dikemukakan oleh Mendikbud tersebut, secara tersirat aktivitas pembangunan daerah jangka panjang secara tidak langsung dapat terprogramkan melalui kurikulum. Kenapa? Karena hasil didik dari lembaga pendidikan (sebagai "pemakai kurikulum") adalah merupakan calon-calon pembangun daerah yang sangat potensial! Yang menjadi masalah sekarang adalah, benarkah kita tidak mungkin membuat kurikulum baku yang berlaku untuk seluruh Indonesia (sistem sentralisasi)? Ataukah kita harus membuat kurikulum-kurikulum per daerah yang materinya merupakan refleksi dari kebutuhan masing-masing daerah (sistem desentralisasi)? Atau, apakah tidak ada "jalan hubung" di antara kedua kutub tersebut untuk mencapai tujuan? Sentralisasi dan Desentralisasi Secara teoritis sentralisasi kurikulum sangat tepat diterapkan pada negara-negara

kecil dan dengan latar belakang fisik yang homogen, sedangkan desentralisasi kurikulum amat tepat diterapkan pada negara-negara besar dengan latar belakang fisik yang heterogen. Formulasi tersebut diatas disebut dengan "formulasi fisik" oleh karena struktur formula tersebut tekanannya lebih pada latar belakang fisik. Pada kenyataannya penerapan kurikulum disuatu negara tidak hanya mempertimbangkan karakteristik fisik atau karakteristik demografis saja, namun dari beberapa faktor non-fisik juga menyita perhatian untuk dipertimbangkan. Adat istiadat, sistem budaya, politik, agama, birokrasi akademik, birokrasi politik, dsb pada kenyataannya sangat berpengaruh dalam penyusunan kurikulum. Oleh karena itu disamping mempertimbangkan faktor fisik maka juga harus dipertimbangkan faktor non-fisik secara integral dalam penyusunan kurikulum. Untuk negara kecil dengan latar belakang fisik dan non-fisik yang heterogen maka sentralisasi kurikulum sangat mungkin untuk diterapkan. Kita bisa mengangkat Belgia dan Luxemburg sebagai contoh, karena negara-negara tersebut memiliki latar belakang fisik yang homogen juga memiliki latar belakang budaya politis dan agama yang relatif homogen. Sedangkan Banglades, Nepal dan Sri Lanka barangkali bisa mewakili negara pada dunia ketiga untuk diangkat sebagai contoh, sekalipun dengan beberapa catatan disana-sini. Seperti diketahui pada negara-negara yang sedang berkembang biasanya mengahadapi berbagai masalah yang sama-sama perlu mendapatkan prioritas pemecahannya, hal ini bisa mengganggu konsentrasi penerapan sistem sentralisasi kurikulum. Pada negara-negara yang masih banyak menghadapi masalah yang sama-sama perlu mendapatkan prioritas pemecahannya dan atau negara-negara dengan latar belakang fisik yang heterogen (misalnya agraris, bisnis, pantai, pegunungan, dsb) maka yang lebih tepat untuk diterapkan adalah sistem desentralisasi kurikulum. Sistem desentralisasi ini dapat mengangkat daerah/wilayah menjadi lebih "hidup" karena potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan dapat diungkap dan dikembangkan melalui konstruksi kurikulum yang benar-benar sesuai dengan kondisi, situasi serta karakteristik daerah yang bersangkutan. Satu kelebihan dari sistem desentralisasi kurikulum adalah lembaga pendidikan dapat menyiapkan lulusan yang lebih "siap pakai" bagi daerah/wilayah dimana kurikulum tersebut diterapkan, karena "bias prediktivitas"-nya dapat ditekan seminimal mungkin. Sistem Konvergensi

Polemik yang muncul baru-baru ini pada prinsipnya menyoroti sistem manakah yang paling cocok untuk negara kita, apakah sistem sentralisasi kurikulum ataukah sebaliknya, desentralisasi. Mendikbud sendiri menegaskan bahwa tidak mungkin membuat satu kurikulum baku yang berlaku di seluruh Indonesia. Ini berarti bahwa dewasa ini sistem sentralisasi kurikulum tidak atau belum dapat diterapkan di negara kita. Sangat belum mungkin membuat satu kurikulum yang "cocok" untuk seluruh daerah/wilayah di tanah air, dalam artian mempersiapkan tenaga "siap pakai" untuk seluruh karakteristik daerah/wilayah. Demi melihat kondisi fisik yang heterogen (kita memiliki daerah agraris, daerah bisnis, daerah pantai, daerah pegunungan, daerah budaya, dsb) serta latar belakang budaya yang beraneka ragam, di samping berbagai kepentingan negara yang samasama menuntut skala prioritas, maka bisa dipahami apabila sentralisasi kurikulum belum dapat diterapkan. Penerapan sistem sentralisasi tentu akan banyak mengundang masalah. Terlalu jauhnya "rentang akademis" antara daerah yang satu dengan yang lain, segi-segi "aplikasi pembangunan", fasilitas, dana, dan sebagainya. Apakah ini berarti bahwa kita harus menerapkan sistem desentralisasi kurikulum? Sistem desentralisasi kiranya juga kurang efektif untuk diterapkan. Salah satu hambatan terbesar dalam penerapan sistem ini adalah tidak akan tercapainya "keseragaman kualitas" hasil didik, karena masing-masing daerah mempunyai tolok ukur sendiri-sendiri. Disamping itu ada berbagai masalah akan menyusul, diantaranya sempitnya cakrawala akademis, kurang berkembangnya ilmu-ilmu atau bidang studi-bidang studi tertentu, ialah kecenderungan menonjolnya sikap kedaerahan yang berlebihan, dsb. Kiranya yang paling tepat untuk diterapkan di negara kita adalah "sistem konvergensi", ialah penggabungan antara sistem sentralisasi dengan desentralisasi kurikulum. Materi baku disampaikan secara sentral/pusat yang bersifat sama untuk seluruh Indonesia, sedangkan materi pilihan disampaikan secara lokal (daerah/ wilayah) menurut kondisi, situasi dan karakteristik daerah ybs. Konsepsi semacam ini sebenarnya sudah tercermin ataupun dimanifestasikan dalam konstruksi Kurikulum SMA 1984, dimana untuk program inti dibuat sama untuk seluruh SMA di Indonesia, sedangkan program pilihan berbeda-beda. Sayangnya, dan harus diakui, program-program pilihan yang disediakan belum merupakan "aspirasi daerah" (misalnya: pertanian, perkebunan, pertukangan, kerajinan dsb), dengan demikian sifat "desentralisasi kurikulum" memang belum begitu terasa menonjol. Memang harus diakui pula bahwa kurikulumnya ini sendiri masih dalam taraf "eksperimentasi".

Demikianpun harus diakui bahwa secara filosofis konsepsional gagasan tentang penggabungan antara sistem sentralisasi dengan desentralisasi kurikulum sudah terpampang dengan jelas. Inilah sistem konvergensi! Kesimpulan Dari uraian diatas kiranya bisa disimpulkan bahwa sistem sentralisasi kurikulum tidak/belum mungkin diterapkan di negara kita. Dan demikian pula dengan sistem desentralisasi. Penerapan sistem sentralisasi atau desentralisasi akan banyak mengundang masalah, khususnya dalam segi-segi operasionalnya. Yang paling cocok untuk kondisi negara kita ialah "sistem konvergensi" yang merupakan penggabungan dari sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi. Kurikulum SMA 1984 yang sedang dikembangkan dewasa ini sebenarnya merupakan manifestasi dari "sistem konvergensi", meskipun dengan catatan disanasini. Masih banyak kekurangan-kekurangan dalam kurikulum SMA 1984 ini, diantaranya yang paling menonjol adalah belum tercerminnya "aspirasi daerah/wilayah" dalam konstruksi kurikulum tersebut. Partisipasi masyarakat, khususnya yang berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan sangat diharapkan untuk mengembangkan kurikulum ini. Bila ternyata Kurikulum SMA 1984 hasilnya sangat memuaskan maka dapat dikembangkan untuk jenjang pendidikan yang lainnya, baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Yang lebih penting lagi, polemik tentang sentralisasi dan desentralisasi kurikulum bisa segera diakhiri dengan "jawaban" yang tuntas !!!***** ============================================================= BIODATA SINGKAT:
Ki Supriyoko, adalah Ketua Lembaga Penelitian Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta serta pengamat masalah-masalah sosial dan pendidikan

You might also like