You are on page 1of 11

Bioteknologi, Menjelmakan Ancaman Menjadi Peluang

Sejak pertanian dimulai sekitar 5 ribu hingga 10 ribu tahun yang silam, manusia sudah memiliki naluri untuk memilih dan menggunakan benih unggul. Mereka mengetahui bahwa keturunan yang baik akan ditentukan oleh induk yang baik karena sifat dari induk diwariskan kepada anaknya. Kenyataan ini mendasari berkembangnya bidang pertanian. Teknologi genetika merupakan cabang ilmu pertanian yang kemudian berkembang cepat pada abad ini yang mengubah sistem produksi tanaman, ternak, dan ikan menjadi industri biologi yang lebih baik dan lebih adaptif terhadap lingkungan tumbuh. Cabang ilmu genetika yang memfokuskan pada genetika level sel dan level DNA membuat terobosan baru pada akhir tahun 1980-an. Ilmu genetika ini menerapkan teknik perbaikan sifat spesies melalui level DNA dengan cara memasukkan gen eksogenus untuk memperoleh sifatsifat bermanfaat yang tak terdapat pada spesies tersebut. Pada akhir abad ke-20 perkembangan teknologi genetika atau secara umum disebut bioteknologi mulai berkembang. Kini, tanaman produk bioteknologi telah ditanam untuk tujuan komersial di 23 negara dengan luas total 114,3 juta hektar. Tak hanya itu, ada 24 negara lagi yang tak menanam tetapi telah mengimpor produk tanaman bioteknologi ini untuk memenuhi kebutuhan pangan. Bioteknologi kian terasa manfaatnya ketika krisis pangan global menerpa negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Kenaikan jumlah penduduk tiap tahun juga merupakan tantangan dalam bidang pertanian.

Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi, populasi dunia akan meningkat sekitar 2,5 miliar jiwa dalam 43 tahun mendatang. Separuh di antaranya adalah usia lanjut di atas 60 tahun. Sulit Mengejar Khusus di Indonesia, tahun 2008 ini jumlah penduduk mencapai sekitar 230 juta jiwa. Pada tahun 2025, jumlahnya diperkirakan melonjak menjadi 280 juta jiwa. Dengan peningkatan jumlah penduduk yang tinggi, produksi padi akan sulit mengejar tingkat konsumsi pangan masyarakat. ''Apalagi di lapangan banyak kendala yang mempengaruhi meningkatkan produksi pangan, khususnya padi. Misalnya, perubahan iklim, konversi lahan pertanian, dan persoalan infrastruktur,'' tutur Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian (Deptan), Sutarto Alimoeso, kepada Republika, beberapa waktu lalu. Menurut Sutarto, ancaman kenaikan harga pangan dunia akibat krisis ekonomi yang melanda dunia sudah di depan mata. Karena itu, pemerintah perlu mendorong produksi padi. ''Sebagai solusinya, peningkatan produksi padi membutuhkan teknologi, modal, manajemen, dan cara peningkatan produksi yang baik,'' jelasnya. Wajar bila kaum akademisi dan peneliti pun dituntut untuk menemukan teknologi yang dapat menjadi solusi dan jalan pintas dalam peningkatan produksi pangan sehingga dapat memenuhi kebutuhan rakyat. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Deptan, Achmad Suryana, Indonesia telah menaruh perhatian terhadap bioteknologi selama 20 tahun terakhir. Saat ini, lanjut Suryana, ada sepuluh instansi yang melakukan penelitian perakitan tanaman dengan bantuan bioteknologi. Sebagian besar instansi tersebut adalah instansi pemerintah. ''Beberapa hasil penelitian itu sedang diteliti baik di laboratorium, rumah kaca, maupun di lapangan terbatas,'' ujarnya. Suryana menjelaskan, tanaman produk bioteknologi adalah produk teknologi yang sensitif dan masih perlu upaya membangun kepercayaan publik dalam pemanfaatannya. Deptan sendiri melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian (BB Biogen), sejak 1996, telah mengembangkan bioteknologi pada lima komoditas. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian, Sutrisno, mengatakan, lima komoditas pertanian yang dikembangkan sebagai tanaman transgenik tersebut yakni padi, kentang, tomat, tebu dan jarak pagar. ''Namun hingga kini belum ada satu pun yang diterapkan ke petani karena masih dalam tahap penelitian,'' ujarnya. Sutrisno mengaku, dari hasil penelitian tanaman transgenik yang dilakukannya BB Biogen, hasilnya belum optimal dan sesuai yang diharapkan. ''Contohnya, ketahanan terhadap hama penggerek batang pada tanaman padi baru mencapai 20 persen seharusnya yang ideal 80 persen,'' akunya.

Disinggung perlunya pengembangan tanaman transgenik untuk meningkatkan produksi pangan di Indonesia, Sutrisno memberikan alasan bahwa upaya tersebut tak selalu bisa dilakukan dengan cara konvensional. Masih Impor Lantaran masih dalam tahap penelitian, Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurti mengatakan, sejauh ini Indonesia masih mengimpor pangan hasil bioteknologi dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. ''Kita tak boleh selamanya mengandalkan pasokan luar untuk menyuplai kebutuhan pangan,'' ingatnya. Oleh karena itu, kata Bayu, pemerintah maupun pihak swasta memang harus terus mengembangkan bioteknologi untuk meningkatkan ketahanan pangan. Sebenarnya, ingat dia, pemerintah tinggal mengembangkan teknologinya saja, misalnya bagaimana caranya menciptakan tanaman varietas baru dengan kualitas yang lebih unggul. Pasalnya, negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat telah mengembangkan bioteknologi terlebih dulu. ''Jadi, pemerintah tak perlu mulai dari nol. Karena bisa mengadopsi teknologi,'' jelas Bayu. Dengan adanya bioteknologi, ujar Bayu, tanaman pangan bisa dikembangkan di tempat yang sangat kering, rawa, maupun daerah pasang surut. Indonesia masih memiliki lahan semacam itu yang belum dimanfaatkan. ''Jika tanaman pangan hasil biotek bisa ditanam di lahan semacam itu, maka produksi pangan akan meningkat,'' jaminnya. Lantas pertanyaan berikutnya, apakah produk rekayasa genetika (PRG) mampu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan? Bayu menyatakan, sebenarnya konteks manfaat PRG tak selinier seperti pada dimensi ketersediaan dalam konteks ketahanan pangan. Bayu mengakui, ada sejumlah pandangan ekonom pertanian bahwa PRG diharapkan memberikan lonjakan produksi pangan yang signifikan, atau terjadi perubahan teknologi yang 'mampu menggeser kurva produksi ke atas'. ''Sebaliknya, justru muncul kekhawatiran masyarakat bahwa PRG akan mengurangi kemampuan masyarakat mengakses pangan dan bahkan meminggirkan petani atau kearifan lokal yang telah terbangun sedemikian lama,'' cetusnya. Adapun Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Prof Dr Bambang Prasetya menyatakan produk bioteknologi memang telah berhasil menyelesaikan berbagai permasalahan pangan di negara-negara maju. Namun, di Indonesia pengembangan teknologi ini masih terhambat karena tingkat pemahaman masyarakat maupun pengambil keputusan masih relatif rendah. Menurut Bambang, masalah lain yang masih terus mengemuka dalam aplikasi tanaman bioteknologi adalah belum dihayatinya nilai-nilai strategis dalam memperjuangan kepentingan nasional di tengah kompetisi produk impor bibit dari negara besar. Agar produk bioteknologi tak menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, tak ada salahnya saran Graham Brooks, Peneliti Bioteknologi dari Inggris, didengar. Brooks mengatakan,

penggunaan bibit hasil bioteknologi meningkatkan produktivitas tanaman pangan. Di Eropa, ungkap Brooks, padi hasil bioteknologi produksinya meningkat 10 persen dibandingkan dengan padi biasa. Sedangkan di India, hasil bioteknologi meningkat hingga 50 persen. Jadi tanaman pangan hasil bioteknologi meningkatkan pendapatan petani. Sebab dengan jumlah bibit dan luas tanah yang sama mereka panen lebih banyak, ujarnya. Brooks menambahkan, di Eropa, bioteknologi dikembangkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Dengan persentase keuntungan petani 73 persen dan perusahaan 27 persen. Selain itu tak ada bukti produk pangan bioteknologi berbahaya bagi kesehatan. Sehingga tanaman bioteknologi baik jika dikembangkan di Indonesia, tegasnya.

Perkembangan Penelitian Bioteknologi Pertanian di Indonesia

Sejak pertanian dimulai 5.000-10.000 tahun yang lalu manusia sudah mempunyai naluri untuk memilih dan menggunakan benih yang unggul. Mereka mengetahui bahwa keturunan yang baik akan ditentukan oleh induk yang baik, karena sifat dari induk (tetua) diwariskan kepada anaknya. Kenyataan inilah yang mendasari berkembangnya bidang pertanian. Teknologi genetika merupakan cabang ilmu pertanian yang berkernbang cepat pada abad ini yang mengubah sistem produksi tanaman, ternak, dan ikan menjadi industri biologi yang lebih baik dan iebih adaptif terhadap lingkungan tumbuh. Penerapan teknologi genetika dengan perubahan bentuk menjadi ideal pada tanaman, ternak dan ikan telah meningkatkan produksi pertanian pada abad ini (Budianto, 2000).

Teknologi genetika memicu terjadinya revolusi hijau (green revolution) yang berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya revolusi hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga dapat tercukupi bahan makanan pokok asal serealia. Untuk dapat mempertahankan keberlanjutan revolusi hijau, Sumarno dan Suyamto (1998) menganjurkan rumusan agroekoteknologi yang menekankan pada tindakan bersama antara sistem produksi dan perawatan sumber daya lahan (Budianto, 2000).

Teknologi genetika memicu terjadinya revolusi hijau (green revolution) yang berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya revolusi hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga dapat tercukupi bahan makanan pokok asal serealia. Untuk dapat mempertahankan keberlanjutan revolusi hijau, Sumarno dan Suyamto (1998) menganjurkan rumusan agroekoteknologi yang menekankan pada tindakan bersama antara sistem produksi dan perawatan sumber daya lahan (Budianto, 2000).

Cabang ilmu genetika yang memfokuskan pada genetika level sel dan level DNA membuat terobosan baru pada akhir tahun 1980-an. Ilmu genetika ini menerapkan teknik perbaikan sifat spesies melalui level DNA dengan cara memasukkan gen eksogenus, untuk memperoleh sifatsifat bermanfaat yang tidak terdapat pada spesies tersebut. Pada akhir abad 20 perkembangan teknologi genetika atau secara umum disebut bioteknologi mulai berkembang. Menurut Moeljopawiro (2000a) bioteknologi dalam arti luas didefinisikan sebagai penggunaan proses biologi dari mikroba, tanaman atau hewan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia. Sedangkan rekayasa genetika didefinisikan dalam arti luas sebagai teknik yang digunakan untuk merubah atau memindahkan material genetik (gen) dari sel hidup. Definisi yang lebih sempit, seperti yang digunakan oleh Animal and Plant Health Inspection Service (APHIS) Departemen Pertanian Amerika, rekayasa genetika modifikasi genetik dari suatu organisme dengan menggunakan teknologi rekombinan DNA. Bioteknologi merupakan bidang ilmu baru di bidang pertanian yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan cara konvensional. Penggunaan bioteknologi bukan untuk menggantikan metode konvensional tetapi bersama-sama menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Penggunaan metode konvensional dengan teknologi tinggi memaksimumkan keberhasilan program perbaikan pertanian. Bioteknologi harus diintegrasikan ke dalam pendekatan-pendekatan konvensional yang sudah mapan. Bioteknologi berkembang dengan cepat di berbagai sektor dan meningkatkan keefektifan cara-cara menghasilkan produk dan jasa. Untuk alih teknologi dan pengembangan bioteknologi secara layak dan tidak merusak lingkungan, diperlukan berbagai persyaratan selain peraturan perundangan juga modal yang besar.

Salah satu isu strategis yang penting dalam penelitian pertanian ialah penelitian harus dapat secara terus menerus memperbaiki potensi genetik dan menghasilkan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan untuk pernbangunan pertanian yang berkelanjutan. Sejalan dengan kebijaksanaan penelitian pertanian pada umumnya, perbaikan bahan genetik rnelibatkan gabungan pemakaian cara pendekatan konvensional dan modern, dengan penekanan pada aplikasi bioteknologi dalam pelestarian plasma nutfah dan program pemuliaan

Paradigma Baru Dunia Bioteknologi Pertanian

Pertanian modern yang bertumpu pada pasokan eketernal berupa bahan-bahan kimia buatan (pupuk dan pestisida), menimbulkan kekhawatiran berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sedangkan pertanian tradisional yang bertumpu pada pasokan internal tanpa pasokan eksternal menimbulkan kekhawatiran berupa rendahnya tingkat produksi pertanian, jauh di bawah kebutuhan manusia. Kedua hal ini yang dilematis dan hal ini telah membawa manusia kepada pemikiran untuk tetap mempertahankan penggunaan masukan dari luar sistem pertanian itu, namun tidak mebahayakan kehidupan manusia dan lingkungannya (Mugnisjah, 2001). Pertanian modern dikhawatirkan memberikan dampak pencemaran sehingga membahayakan kelestarian lingkungan, hal ini dipandang sebagai suatu krisis pertanian modern. Sebagai alternatif penanggulangan krisis pertanian modern adalah penerapan pertanian organik. Kegunaan budidaya organik menurut Sutanto (2002) adalah meniadakan atau membatasi

kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pemanfaatan pupuk organik mempunyai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik berdaya amliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus menkonservasikan dan menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan. Dengan demikian penerapan sistem pertanian organik pada gilirannya akan menciptakan pertanian yang berkelanjutan.. Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Nenek moyang memanfaatkan pupuk hijau dan kandang untuk menjaga kesuburan tanah, membiakkan benih sendiri, menjaga keseimbangan alam hayati dengan larangan adat. Mereka mempunyai sistem organisasi sosial yang sangat menjaga keselarasan, seperti organisasi Subak di Bali dan Lumbung Desa di pedesaan Jawa. Dengan pertanian modern, petani justru tidak mandiri Padahal, FAO (lembaga pangan PBB), telah menegaskan Hak-Hak Petani (Farmers Rights) sebagai penghargaan bagi petani atas sumbangan mereka. Hak-hak Petani merupakan pengakuan terhadap petani sebagai pelestari, pemulia, dan penyedia sumber genetik tanaman. Hak-hak petani dalam deklarasi tersebut mencakup: hak atas tanah, hak untuk memiliki, melestarikan dan mengembangkan sumber keragaman hayati, hak untuk memperoleh makanan yang aman, hak untuk mendapatkan keadilan harga dan dorongan untuk bertani secara berkelanjutan, hak memperoleh informasi yang benar, hak untuk melestarikan, memuliakan, mengembangkan, saling tukar-menukar dan menjual benih serta tanaman, serta hak untuk memperoleh benihnya kembali secara aman yang kini tersimpan pada bank-bank benih internasional (Wacana, edisi 18, Juli-Agustus 1999).

Kondisi Pertanian Kita

Pengguna pupuk kimia yang berlebihan dan intensifikasi pertanian selama 30 tahun terakhir menyebabkan turunnya daya dukung tanah pertanian. Unsur hara (sari pati makanan) tanah dan bahan organik tanah terkuras dengan cepat, tetapi hanya unsur hara kimia (pupuk kimia) saja yng ditambah ke dalam tanah. Akibatnya terjadi kondisi seperti : Kandungan bahan organik tanah saat ini hanya 1%, padahal yang ideal adalah 5%, aktifitas mikroba tanah rendah, sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menurun, kesuburan tanah berkurang, kebutuhan pupuk kimia meningkat, tetapi tidak selalu diikuti dengan peningkatan produksi. Penggunaan bahan kimia untuk herbisida, fungisida, insektisida oleh petani dilakukan tanpa memperhatikan petunjuk pemakaian. Produk-produk pertanian kita terkontaminasi oleh residu bahan-bahan kimia berbahaya. Residu bahan kimia itu sangat berbahaya untuk kesehatan. Residu bahan kimia yang tersisa di dalam tanah menyebabkan pencemaran lingkungan dan perusak keseimbangan biota tanah. Penggunaan bahan kimia sintetik untuk pupuk dan pestisida maupun herbisida selama bertahuntahun telah menyebabkan menurunnya kesuburan tanah. Budidaya pertanian yang sangat intensif dan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan memperparah kondisi ini. Akibatnya terjadi kondisi seperti di bawah ini :

Kandungan bahan organik tanah saat ini hanya 1 2%, padahal yang ideal adalah 5%, Aktivitas mikroba tanah rendah, Sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menurun, Kesuburan tanah berkurang, Kebutuhan pupuk kimia cenderung semakin meningkat, tetapi tidak selalu diikuti oleh peningkatan produksi.

Produk-produk pertanian kita terkontaminasi oleh residu bahan-bahan kimia sintetik berbahaya. Residu kimia ini sangat berbahaya. Residu kimia ini sangat berbahaya untuk kesehatan. Residu

bahan kimia yang tersisa di tanah menyebabkan pencemaran lingkungan dan merusak

keseimbangan biota tanah. Bencana revolusi hijau mulai disadari setelah bertahun-tahun kemudian. Meskipun kondisi tanah pertanian kita sudah kritis. Namun tidak ada kara terlambat untuk mulai memperbaiki kondisi ini. Beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi pertanian kita.

Secara bertahap mengurangi penggunaan pupuk kimia dan bahan-bahan kimia sintetik berbahaya lainnya di dalam budidaya pertanian, kembali menggunakan pupuk alami/organik untuk mengembalikan kesuburan tanah pertanian kita, menggunakan pestisida hayati atau nabati yang lebih ramah lingkungan dengan memperhatikan kelestarian alam.

PUPUK BIO ORGANIK HERBAFARM

Herbafarm Cair
HERBFARM adalah sebuah jawaban untuk kebutuhan sarana produksi pertanian yang ramah lingkungan sebagaiwujud dari dukungan pada Program Ketahanan Pangan Nasional dan untuk mewujudkan Pertanian Indonesia yang Sehat dan Berkesinambungan. Ancaman krisis pangan yang melanda berbagai wilayah di dunia akibat perusakan lingkungan oleh manusia menyebabkan iklim dan lingkungan berubah secara ektrim. Gagal panen dan bahkan gagal

tanam terjadi di mana mana. Lebih parah lagi, setiap tahun ribuan hektar lahan yang subur berkurang akibat penggunaan pupuk kimia. Sungguh ironis, menggunakan racun untuk meningkatkan produksi pangan bagi kehidupan. Dampak buruknya adalah kesehatan dan daya tahan tubuh manusia terus merosot akibat makanan yang mengandung racun residu bahan kimia yang digunakan untuk pupuk.

Granul Herbafarm
Penggunaan pupuk organik tidak meninggalkan residu yang membahayakan bagi kehidupan. Pengaplikasiannya mampu memperkaya sekaligus mengembalikan ketersediaan unsur hara bagi tanah dan tumbuhan dengan aman. Kesadaran manusia untuk menjaga lingkungan dan kesehatan yang makin meningkat akan memotivasi dalam memilih berbagai produk yang sehat dan meninggalkan produk produk yang terbukti merusak dan mencemari lingkungan dan kesehatan. Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan pertanian, perkebunan dan hutan yang sangat luas adalah pasar yang tidak terkira besarnya. Diperkirakan market pupuk di Indonesia Rp. 40 Triliun per tahun, Kemudian didukung oleh kebijakan pemerintah dalam penguatan sektor pangan dan kebijakan lingkungan sehat menjadi program utama negara negara di dunia termasuk Indonesia yang mencanangkan Go Organic 2010 adalah hal yang akan menjadi pendorong dan mempercepat pertumbuhan bisnis di sektor pertanian ramah lingkungan. HERBAFARM pupuk bio organik cair dan granul produksi PT.SIDOMUNCUL, Semarang. HERBAFARM diproduksi dari hasil samping industri jamu yang berbahan baku dari tanaman obat & rempah-rempah melalui proses bioteknologi mutakhir yaitu Biologocal Complexation Proses ( BCP ).

You might also like