You are on page 1of 39

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM Sumber-sumber hukum islam (mashadir al-syariat) adalah dalil dalil syariat dimana hukum syariat

digali. Sumber-sumber hukum islam dalam

pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Pertama, didasarkan pada sisi pandang kesepakatan ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini menjadi sumber hukum syariat. Pembagian ini menjadi tiga bagian : 1. Sesuatu yang telah disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syariat, yaitu al-Quran dan al-Sunah. 2. Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syariat,yaitu ijma dan qiyas. 3. Sesuatu yang menjadi perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi), istishhab(pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syaru man qablana (syariat sebelum kita), dan madzhab shahabat. Sumber Islam adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan dasar aturan atau pedoman agam Islam. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al-Qurandan Al Hadits sebagai mana hadits Rosulullah saw : Aku tinggikan dua perkara yag jika kamu berpegang teguh kepada keduanya tidak akan tersesat selamanya yaitu Al-Quran dan Al Hadits atau As Sunnah (H.R. Baihaqi). Dalam Al-Quran banyak yang menyebutkan tentang akal, maka para ulama menjadikan akal sebagai sumber hukum yang ketiga di dalam ajaran Islam. Hasil dari akal inilah yaitu rayu yang pelaksanaannya adalah melalui ijtihad. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Quran terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum. Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Quran, Hadist, Ijma, dan Qiyas. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam. Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Quran,

Sunnah, Ijma dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: Saya berhukum dengan kitab Allah. Nabi berkata: Jika tidak terdapat dalam kitab Allah ?, ia berkata: Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw. Nabi berkata: Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw ? ia berkata: Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad). Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw.[7]

1. AL-QURAN a. Pengertian Al-Quran Secara Bahasa (Etimologi)Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoroa ( )yang bermakna Talaa ([ )keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jamaa (mengumpulkan, mengoleksi). Secara Syariat (Terminologi) Adalah Kalam Allah taala yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, dalam pembukuannya, Al-Quran diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. . Allah taala berfirman, Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. (al-Insaan:23). Dan firman-Nya, Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan

berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf:2) Allah taala telah menjaga al-Quran yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia taala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya, Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya. (al-Hijr:9) b. Nama-nama Al-Quran Adapun nama-nama Al-Quran yaitu 1. Al kitab (kitabullah),yang merupakan sinonim dari kata Al Quran artinya,kitab suci sebagai petunjuk bagi oranh yang bertakwa.nama ini diterangkan dalam AlQuran surat al-baqara ayat 2. 2. Az-zikr, artinya peringatan, nama ini di terangkan dalam Al-Quran surat al-hijr ayat 9. 3. Al- furqan, artinya pembeda,nama ini diterangkan dalam surat al Furqan ayat 1. 4 As-suhuf berati lembaran-lembaran,seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran surat Al- bayinah ayat 2. Pembagian surat dalam Al-Quran. 1. Assabiuthiwaal, yaitu tujuh surat yang panjang,ketujuh surat itu yaitu albaqarah (286), al-Araf (206), Ali Imran (200), an-nisa (176), al anam (165), al-maidah (120), dan Yunus ( 109) 2. Al-Miuun, yaitu surat yang berisi seratus ayat lebih.Maksudnya surat-surat tersebut memiliki ayat sekitar seratus ayat atau lebih. Misalnya,surat Hud (123 ayat),Yusuf (111 ayat), dan At-Taubah (129 ayat). 3. Al-Matsaani, yaitu surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Maksudnya surat-surat tersebut kurang dari seratus ayat.Misalnya,surat Al-anfal (75 ayat),ar-rum (60 ayat),dan al-hijr(99 ayat). 4. Al- Mufashshal, yaitu surat-surat pendek seperti al-ikhlas,ad-duha,dan annasr.suat-surat seperti ini kebannyakan di temukan dalam juz ke 30.

Wahyu yang pertama dan terakhir diturunkan . Wahyu yang di turunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad adalah surat Al Alaq ayat ke 1-5 di gua hira.Tepatnya pada tangal 17 ramadan,tahun ke 40 bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Proses turunnya Al-Quran Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan proses turunnya Al-Quran : 1.Al-Quran diturunnkan sekaligus Al-Quran diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar kemudiaan diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw. 2.Al-Quran di turunkan secara berangsur-angsur. Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur pada setiap malam lailatul qadar. 3.Al-Quran diturunkan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah. AL-Quran diturunkan pertama kali pada malam lailatul qadar sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah,kemudian b aru diturunkan sedikit demi sedikit kepada Nabi Muhammad saw. Sejarah turunnya Al-Quran Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan perantaraan malaikat jibril sebagai pengentar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia / berumur 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan terakhir alquan turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat 3.Alquran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan surat disesuaikan dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan. Selain itu dengan turun sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad SAW akan lebih mudah menghafal serta meneguhkan hati orang yang menerimanya. Lama al-quran diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. c. Fungsi Al-Quran 1.Petunjuk bagi Manusia.

Allah swt menurunkan Al-Quransebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44) 2. Sumber pokok ajaran islam. Fungsi AL-Quran sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum, ibadah, ekonomi, politik, social, budaya, pendidikan, ilmu pengethuan dan seni. 3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia. Dalam AL-Quran banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Quran. 4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. Turunnya Al-Quran merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw. d. Tujuan Pokok Al-Quran 1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan. 2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan normanorma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif. 3. ptunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan AlQuran

1.Akidah akidah adalah keyakinan atau kepercayaan.Akidah islam adalah keyakinan atau kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap muslim.Dalam islam,akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk diyakini dalam hati seorang muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang diyakini dalam hati seorang muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman. 2.Ibadah dan Muamalah Kandungan penting dalam Al-Quran adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-uran tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)

Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia memerlukan berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan Allah atau hablum minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan manusia dengan manusia atau hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual beli,transaksi dagang, dan kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut kegiatan Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 82. 3.Hukum Secara garis besar Al-Quran mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum musyawarah,hukum perang,hukum antar bangsa. 4. Akhlak Dalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil menjalankan tugasnya menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu dinyatakan Allah dalam Al-Quran surat al-Qalam ayat 4. 5. Kisah-kisah umat terdahulu

Kisah merupakan kandungan lain dalam Al-Quran.Al-Quran menaruh perhatian penting terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat yang di namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Quran memuat tentang kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam Al-Quran antara lain di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39. 6. Isyarat pengemban ilmu pengetahuan dan teknologi Al-Quran banyak mengimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat 9.Selain kedua surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam kedokteran,farmasi,pertanian,dan astronomi yang bermanfaat bagi kemjuan dan kesejahteraan umat manusia. Keistimewaan Dan Keutamaan Al-quran : 1. Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia seluruh bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode waktu. 2. Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-quran dapat dipengaruhi jiwanya. 3. Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu. 4. Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk memahami hukum dunia manusia. 5. Menyamakan manusia tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya. Yang menentukan perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa. 6. Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap makhluk serta menanamkan tauhid dalam jiwa. HIKMAH ANGSUR 1. Untuk menguatkan hati Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam . Firman-Nya:Orangorang kafir berkata, kenapa Quran tidak turun kepadanya sekali turun saja? DITURUNKANNYA AL-QURAN SECARA BERANGSUR-

Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (Al-Furqaan: 32) 2.Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Quran karena menurut mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan begitu Allah menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding dengannya. Dan ternyata mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Quran, apalagi membuat langsung satu kitab. 3.Supaya mudah dihapal dan dipahami. 4.Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Quran dan giat mengamalkannya. 5.Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.

2. HADIST 1. PENGERTIAN HADIST Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah. 2. HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa Hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam al-Quran, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Quran. Karena tanpa keduanya orang islam tidak mungkin dapat memahami islam secara mendalam. Seorang mujahid dan seorang alim tidak diperbolehkan hanya mengambil dari salah satu dari keduanya.

Banyak ayat al Quran dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum Islam selain al Quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli. - Dalil al-Quran Banyak ayat al-Quran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada ummatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Ayat yang dimaksud adalah: Firman Allah SWT:

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendakiNya diantara Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-rasulNya, dan jika kamu bariman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS. AliImran 3:179 Dalam ayat tersebut Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-nya. Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW. Ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Ayat yang berkenaan dengan masalah ini ialah: Firman Allah SWT:

Katakanlah! Taatlah kalian Allah dan Rasu-nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (QS. Ali Imran 3:32) - Dalil al-Hadis Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping al-Quran sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda: ) ) Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegangan teguh pada keduanya, yaituberupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya:. (HR. Malik) 3. MACAM-MACAM HADIST A. Berdasarkan Jumlah Perawi a. Hadits Mutawatir Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa snad yang terpercaya. Beberapa hal yang harus dipenuhi agar bisa disebut hadits mutawatir:

Isi hadits harus hal-hal yang dapat dicapai panca indra Orang-orang yang meriwayatkannya harus benar-benar terpercaya. Orang-orang yang meriwayatkan harus hidup pada satu zaman

b. Hadits Ahad Hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Pembagian hadits ahad: 1. Hadits Shahih Hadits yang bersambung sanadnya, dirwayatkan oleh orang yang adil dan dhobit (kuat hafalannya). Syarat-syarat hadits shahih:

Isinya tidak bertentangan dengan Al-Quran Sanadnya bersambung Diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhobit Tidak syadz (bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) Tidak cacat walaupun tersembunyi

2. Hadits Hasan

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak disangka dusta dan tidak syadz 3. Hadits Dhaif Hadits yang diriwayatkan oleh oarang yang tidak adil,tidak dhobit,syadz, dan cacat. B. Hadits Berdasar Macam Periwayatannya Hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad saw. Hadits juga disebut hadits marfu atau mausul. a. Hadits yang terputus sanadnya 1. Hadits Muallaq Hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits Dahif. 2. Hadits Mursal Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabiin dari Nabi Muhammad saw tanpa menyebutkan sahabat tempat merima hadits 3. Hadits Mudallas Hadits yang disembunyikan cacatnya, padahal sebenarnya ada. 4. Hadits Munqathi Hadits yang terputus karena hilang satu atau dua orang perawinya 5. Hadits Mudhol b. Hadits yang terputus sanadnya

Hadits Mu'allaq Hadits Mursal Hadits Mudallas Hadits Munqathi Hadits Mu'dhol

c. Hadits-hadits dhaif disebabkan oleh cacat perawi 1. Hadits Maudhu Hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh berdusta.

2. Hadits Matruk Hadits yng diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta. 3. Hadits Mungkar Hadits yang riwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang jujur 4. Hadits Muallal Hadits yang didalamnya ada cacat yang tersembunyi 5. Hadits Mudhthorib Hadist yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan yang kacau.

6. Hadits Maqlub Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan antara sanad dan matan atau sebaliknya 7. Hadits Munqalib Hadits yang terbalik lafalnya, sehingga artinya berubah 8. Hadits Mudraj Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang didalamnya ada tambahan yang bukan hadits. 9. Hadits Syadz Hadits yang bertentangan dengan hadits lainnya sekalipun posisi hadittsnya sederajat. 3. IJMA Obyek ijma` ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur`an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu`amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur`an dan al-Hadits.

1. Pengertian ijma` Ijma` menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang ( (sependapat) tentang yang demikian itu." Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui ) yang berati "kaum itu telah sepakat

pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'. 2. Dasar hukum ijma` Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran. a. Al-Qur`an Allah SWT berfirman: Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nis': 59) Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin. Firman AIlah SWT: Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali berceraiberai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma\\\' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid. Firman Allah SWT: Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisa: 115) Pada ayat di atas terdapat perkataan sablil mu`minna yang berarti jalan orangorang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma`, sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma` para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka." b. AI-Hadits Bila para mujtahid telah melakukan ijma` tentang hukum syara\\\' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma` itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi

kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) c. Akal pikiran Setiap ijma` yang dilakukan atas hukum syara`, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui

kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur\\\'an dan alHadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan. 3. Rukun-rukun ijma` Dari definisi dan dasar hukum ijma\\\' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut: 1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma`, karena ijma\\\' itu harus dilakukan oleh beberapa orang. 2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma`. 3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.

4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah. 4. Kemungkinan terjadinya ijma` Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma\\\', maka ijma\\\' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu: 1. Periode Rasulullah SAW; 2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan 3. Periode sesudahnya. Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur`an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung

menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu alQur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatanjabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya. Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ijma` tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW; 2. Ijma` mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam. Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-

undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal. Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nis' atau sebagai ahlul halli wal `aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka. Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang. 5. Macam-macam ijma` Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam. Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas: 1. ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma haqiqi; 2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma` `itibari.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada: 1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma\\\' itu adalah qath\\\'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma\\\' yang dilakukan pada waktu yang lain; 2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma\\\' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma\\\' yang dilakukan pada waktu yang lain. Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma\\\' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma`ijma` itu ialah: 1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW; 2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi; 3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab; 4. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi`i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam; 5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam. 6. Obyek ijma`

Obyek ijma` ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur`an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu`amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur`an dan al-Hadits.

4. QIYAS A. Pengertian Qiyas Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata qasa, yaqisu, qaisan artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Qiyas menurut berarti, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaanpersamaannya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqih qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara

membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Quran, AsSunnah dan ijma. Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.

Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-Quran dan sunnah. Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan

mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti illat yang ada pada kasus yang tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa illat yang ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan illat. Supaya lebih mudah memahaminya, akan kami kemukakan beberapa contoh berikut:

Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khomr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah SWT:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S al-Maidah: 90) Antara minum narkotik dan minum khomr ada persamaan illat, yaitu samasama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan illat itu, ditetapkanlah hukum minum narkotik yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khomr.

Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan itu, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan illatnya.

Perbuatan itu ialah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan. Sehubungan dengan ini Rosulullah saw bersabda: ) )

Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi. (H.R Tirmidzi) Antara kedua peristiwa itu ada persamaan illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwasiatkan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaiman orang yang telah membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperoleh harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya. Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua. Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok: 1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada halhal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Quran, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasanalasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Quran dan hadits. B. Kehujjahan Qiyas Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syari dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari. C. Dasar Hukum Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syiah. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Quran dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu: a. Al-Quran 1) Allah SWT berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an-Nis: 59) Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Quran dan al-

Hadits. Jika tidak ada dalam al-Quran dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Quran dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam alQuran dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas. Artinya: Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumahrumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam. (al-Hasyr: 2) Pada ayat di atas terdapat perkataan fatabir y ulil abshr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas. b. Al-Hadits. 1. Setelah Rasulullah SAW melantik Muadz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya: Artinya: Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Muadz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Quran.

Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Quran? Muadz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Muadz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Muadz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi) Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas. 2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti: Artinya: Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar. (HR. Bukhari dan an-Nasi) Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar

tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi. c. Perbuatan sahabat Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan. Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa alAsyari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah: Artinya: kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran d. Akal Tujuan Allah SWT menetapakan syara bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang illatnya sesuai benar dengan illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.

B. Rukun Qiyas Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur [5]berikut:

Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal ( )atau maqis alaih ( ) atau musyabbah bih ( ).

Far (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-faru ( )atau al-maqis ( ) atau al-musyabbah (.)

Hukum ashal ( ;) yaitu hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang. Illat ( ;)yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far.

Syarat-syarat illat antara lain adalah: 1. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra 2. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu dan tidak mudah berubah 3. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya 4. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan asli Sebagai contoh ialah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut faru. untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa: 10). Persamaan illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu samasama haram. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: - Ashal, ialah memakan harta anak yatim - Faru, ialah menjual harta anak yatim - Hukum ashal, ialah haram - Illlat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim. C. Syarat-syarat qiyas Setelah diterangkan rukuk-rukun qiyas, berikut akan diterangkan syarat-syarat dari masing-masing rukun qiyas tersebut. 1) Ashal

Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah syarat-syarat ashal itu adalah:

Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara Ashal itu bukan merupakan faru dari ashl lainnya Dalil yang menetapkan illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum

Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas faru.

2) Al-Faru

Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh al-faru yaitu:

Illat yang ada pada faru harus sama dengan illat yang ada pada ashal. Contoh illat yang sama dzatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram (H.R Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasai). illat yang ada pada wisky sama dengan zatnya/materinya dengan illat yang ada pada khamr. Contoh illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atau perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qishas dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.

Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum mendzihar wanita dzimmi kepada mendzihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. Karena kaharaman hubungan suami istri dalam mendzihar suami istri yang bersifat muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kafarat. Sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani membayar kafarat, dan kafarat merupkan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk beribadah. Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut ulama Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafiiyyah hukumnya sah karena orang dzimmi dikenakan kafarat.

Tidak ada nash atau ijma yang menjelaskan hukum faru itu. Artinya tidak ada nash atau ijma yang menjelaskan hukum faru dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma, disebut para ulama ushul fiqh sebagai qiyas fasid. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma.

Bahkan dalam literature lain ditambahkan beberapa syarat-syarat faru, antara lain:

Hukum furu tidak mendahului hukum ashl. Artinya hukum faru itu harus datang kemudian dari hukum ashl. Contohnya adalah mengqiyaskan wudhu dengan tayammum dalam wajibnya niat, karena keduanya samasama taharah (suci). Qiyas tersebut tidak benar, karena wudlu (faru) diadakan sebelum hijrah, sedang tayammum (ashl) diadakan sesudah hijrah. Lagipula ditetapkannya tayammum itu adalah sebagai pengganti wudlu di saat tidak dapat melakukan wudlu. Bila qiyas itu dibenarkan, maka berarti menetapkan hukum sebelum ada illatnya.

Cabang tidak mempunyai hukum yang tersendiri. Ulama usul berkata: apabila datang nash maka qiyas menjadi batal.

Hukum cabang sama dengan hukum ashl.

3) Hukum Ashl Syarat-syarat hukum ashal, antara lain:

Hukum syara itu hendaknya hukum syara yang amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara, sedang sandaran hukum syara itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama berpendapat bahwa ijma tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara ijmatidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara yang amaly kepada hukum yang mujmal alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma sebagai sandaran qiyas.

Hukum ashl harus maqul al-mana, artinya pensyariatannya harus rasional

Hukum ashl itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu.

Hukum ashl macam ini ada dua macam, yaitu: a) Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashl saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqoshor sholat bagi orang musafir. Illat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (masyaqqot). Tetapi Al-Quran dan dan hadits menerangkan bahwa illatnya itu bukan karena masyaqqat tetapi karena adanya safar (perjalanan) b) Dalil (Al-Quran dan Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashl itu berlaku khusus, tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lailn. Misalnya dalam sebuah riwayat dikatakan:

Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup. (H.R. Abu Daud, Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, al-Tirmidzi dan al-Nasai) Ayat Al-Quran menentukan bahwa sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki bersama dua orang wanita (Q.S AlBaqoroh, 2: 282), tetapi Rosulullh saw. Menyatakan bahwa apabila Khuzaimah (sahabat) yang menjadi saksi, maka cukup sendirian. Hukum kesaksian secara khusus ini tidak bisa dikembangkan dan diterapkan kepada faru, karena hukum ini hanya berlaku untuk pribadi Khuzaimah. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi Rosululloh saw., seperti kawin lebih dari empat orang tanpa mahar. Ada juga syarat lain yang disebutkan dari sumber lain bahwa syarat hukum ashal adalah:

Hukum ashl itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah dinasakhkan, sehingga masih mungkin dengan hukum ashl itu membangun (menetapkan) hukum. Alasannya ialah bahwa perentangan hukum dari ashl kepada faru adalah didasarkan kepada adanya sifat yang menyatu pada keduanya. Hal ini sangat tergantung kepada pandangan (itibar) dari

pembuat hukum ashl yang telah dimansukh, tidak ada lagi pandangan pembuat hukum terhadap sifat yang menyatu pada hukum ashl tersebut. 4) illat

Pengertian illat

Secara etimologi illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Secara termenologi, terdapat beberapa definisi illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada makalah ini akan kami sebutkan definisi illat menurut imam al-Ghozali, yaitu:

Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena perbuatan syari. Menurutnya, illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti: adanya suatu illat menyebabkan munculnya hukum. AlGhozali berpendapat bahwa pengaruh illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya izin Allah. Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan illat itu berpengaruh terhadap hukum. Misalnya seorang pembunuh terhalang mendapatkan warisan dari harta orang yang ia bunuh, disebabkan pembunuhan yang ia lakukan. Dalam kasus ini bukan karena membunuh semata-mata yang menjadi illat yang menyebabkan ia tidak mendapat warisan, tetapi atas perbuatan dari kehendak Allah. Dengan demikian, illat ini hanya merupakan indikasi, penyebab dan motif dalam suatu hukum, yang dijadikan ukuran untuk mengetahui suatu hukum.

Bentuk-bentuk illat

illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi illat bagi hukum bila telah memenuhi syaratsyarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah:

Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya: sifat memabukkan pada minuman keras.

Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.

Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina.

Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr. Sifat syari, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syari dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.

Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya: sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishos.

Semua sifat tersebut dapat menjadi illat. Tetapi mengenai kemungkinannya untuk menjadi illat bagi suatu hukum, para ulama berbeda pendapat. Bagi ulama yang dapat menerima sifat tersebut sebagai illat, masih diperlukan beberapa syarat yang akan dijelakan di bawah ini.

Syarat-syarat illat illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi illat adalah bagian dari tujuan disyariatkannya hukum, yaitu untuk kemashlahatan umat manusia.

Syarat-suarat illat adalah sebagai berikut:

Contohnya: sifat menjaga diri merupakan hikmah diwajibkannya qishosh. Maksudnya, bila seseorang pembunuh diqishosh, maka orang akan menjauhi pembunuhan, sehingga diri (jiwa) manusia akan terpelihara dari pembunuhan.

Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap indera manusia, karena illat merupakan pertanda adanya hukum. Misalnya sifat memabukkan dalam khamr. Apabila illat itu tidak nyata, tidak jelas, dan tidak bisa ditangkap indera manusia, maka sifat seperti itu tidak bisa dijadikan illat. Contoh sifat yang tidak nyata, adalah sifat sukarela dalam jual beli. Sifat sukarela ini tidak bisa dijadikan illat yang menyebabkan pemindahan hak milik dalam jual beli, karena sukarela itu masalah batin yang sulit diindera. Itulah sebabnya para ahli fiqh menyatakan bahwa sukarela itu harus diwujudkan dalam bentuk perkataan ijab dan qobul.

Dalam literature lain ditambahkan bahwa syarat illat itu antara lain:

illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur (

), keadaannya

jelas dan terbatas, sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya. Contohnya: keadaan dalam perjalanan menjadi illat untuk bolehnya mengqashar sholat. Qashar sholat diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanan, karena keadaan dalam perjalanan itu menyulitkan (masyaqqah), namun masyaqqah itu sendiri tidak dapat diukur dan ditentukan secara pasti, karena berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara satu situasi dan situasi lainnya. Karenanya, masyaqqah itu tidak dapat dijadikan illat hukum. Sifatnya sama dengan sifat yang batin (tidak dhahir), sehingga harus diambil sifat lain yang dhahir sebagai patokan yang alasan di dalamnya terdapat alasan yang sebenarnya, yaitu keberadaan dalam perjalanan yang sifatnya jelas dan terukur.

Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi illat ( .) Adanya kesesuaian hubungan

antara sifat dengan hukum itu menjadikannya rasional, diterima semua pihak, dan mendorong seseorang untuk lebih yakin dalam berbuat.

Contohnya: sakit menjadi illat bolehnya seseorang membatalkan puasa, karena sakit itu menyulitkan seseorang untuk berpuasa. Seandainya dilakukan juga, malah akan merusak dirinya, padahal syara melarang merusak dan melarang mencelakakan diri. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan illat bagi bolehnya berbuka puasa, karena antara mengantuk dan puasa tidak mempunyai hubungan kesesuaian apa-apa.

Fungsi illat

Pada dasanya setiap illat menimbulkan hukum. Antara illat dan hukum mempunyai kaitan yang erat. Dalam kaitan itulah terlihat fungsi tertentu dari illat, yaitu sebagai:

Penyebab/penetap yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama muarrif, muassir, atau baits. Contohnya illat

memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan minuman yang memabukkan.

Penolak yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku. Contohnya dalam masalah iddah. Adanya iddah menolak dan menghalangi terjadinya perkawinan dengan laki-laki yang lain, tetapi iddah itu tidak mencabut kelangsungan perkawinan bila iddah itu terjadi dalam perkawinan. Iddah dalam hal ini adalah iddah syubhat.

Pencabut yaitu illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum. Contohnya: sifat thalaq dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya thalaq itu mencabut haq bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau rujuk), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya thalaq itu.

Penolak dan pencabut yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung. Contohnya sifat radha (hubungan

persusuan) berkaitan dengan hubungan perwakinan. Adanya hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan perkawinan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susunan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan.

d) Pembagian qiyas Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Qiyas illat, Qiyas dalalah dan Qiyas syibih. 1. Qiyas illat ialah qiyas yang mempersamakan ashl dengan faru, karena keduanya mempunyai persamaan illat. Qiyas illat terbagi: a. Qiyas jali, ialah qiyas yang illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi menjadi: Qiyas yang illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah illat larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash. Qiyas mulawi ialah yang hukum pada faru sebenarnya lebih utama

ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata ah kepada kedua orang tua berdasarkan firman Allah SWT: Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan ah (Q.S al-Isra: 23) illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan ah yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi faru lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.

Qiyas musawi, ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada faru sebanding

dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. illatnya adalah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT: Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa: 10). Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristwa ini nampak hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada faru. b. Qiyas khafi, ialah qiyas yang illatnya munkin dijadikan illat dan munkin pula tidak dijadikan illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas. illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk. 1. Qiyas dalalah Qiyas dalalah ialah qiyas yang illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Cara ulama yang menetapkannya wajib

mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadat, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan kepada orang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu ia anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat. 1. Qiyas syibih Qiyas syibih adalah qiyas yang faru dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan faru. seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya. Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat pada faru dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi, yaitu: 1. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada faru lebih kuat daripada hukum ashl, karena illat yang terdapat pada faru lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan ah. Dalam surat al-Isra, 17:23 Allah berfirman: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah (Q.S al-Isra, 17: 23)

Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa illat larangan ini adalah menyakiti orang tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan ah karena sifat menyakiti melalui pukulan lebih kuat dari ucapan ah. 1. Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada faru sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam surat al-Nisa, 2:2: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. (Q.S an-Nisa, 4: 2) Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim. 1. Qiyas al-adna, yaitu illat yang ada pada faru lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan illat yang ada pada faru sangat lemah disbanding ikatan illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-SyafiI mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.

You might also like