You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dari kondisi yang ada saat ini, diamati bahwa masih terjadi ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang pengertian gender. Harus diakui bahwa gender merupakan isu baru bagi masyarakat. Dalam setiap setiap masyarakat, kaum laki-laki dan perempuan memiliki peran gender yang berbeda. Perbedaan jalan perkembangan peran gender dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari lingkungan alam hingga cerita yang digunakan untuk memecahkan teka-teki perbedaan jensis kelamin. Beberapa masyarakat, seperti masyarakat Bali memiliki peran gender yang tumpang tindih dan dalam kehidupan kemasyarakatannya, Bali masih kental dengan adat budayanya. Adat Bali yang dimaksud meliputi, nilai, norma dan perilaku dalam masyarakat Bali pada umumnya yang sangat dikenal dengan sistem kekeluargaan patrilinial. Sistem kekeluargaan patrilinial sering diduga keras memberi peluang suburnya budaya patriarkhi ( kekuasaan/ dominasi laki-laki). Penulis tertarik dengan adat budaya masyarakat Bali terutama saat mengetahui adanya sistem kekeluargaan patrilinial, perkawinan, warisan, serta kesenian. Maka dari itu penulis ingin menjelaskan sedikit demi sedikit permasalahan-permasalahan ketimpangan gender dalam kehidupan dalam masyarakat khususnya di dalam masyarakat Bali yang terdapat ketimpang tindihan yang kentara jika dilihat dari sudut pandang dan penilaian masyarakat awam. Karena dalam pandangan masyarakat awam, secara alami terbentuk dua bentuk peradaban dari garis laki-laki atau patriarki dan garis perempuan atau matriarki.

Garis laki-laki dibenarkan karena kebutuhan legitimasi kelompok yang dibangun atas kekuatan fisik lelaki. Garis perempuan dibenarkan karena dalam usaha mempertahankan kehidupan, baik dalama bentuk berburu atau bertahan dari serangan kelompok lain biasanya lelaki mudah terbunuh dari perempuan, sehingga perempuan relatif bisa bertahan (biasanya masih terdapat di masyarakat primitif dan masih kental dengan adat budayanya).

B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dari penulisan ini adalah


a. Apa itu yang di maksud dengan gender?

b. Bagaimana adat mempengaruhi gender dalam kehidupan masyarakat Bali?


c. Apakah persoalan gender tersebut sepenuhnya berlaku bagi

semua masyarakat Bali?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan

juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan (West, Candace and Zimmerman, Don. 1987). (Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender & Inferioritas Perempuan, 2007, hal 4)
2. Doing Gender. Gender and Society, sesuatu yang kita tampilkan (Judith

Butler. 1990. Gender Trouble: Feminism and the subversion of identity. New York and London: Routledge). (Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender & Inferioritas Perempuan, 2007, hal 4)
3. Gender dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial tentang relasi laki-laki

dan perempuan yang di konstruksikan oleh sistem dimana keduanya berada. (Dr. Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, 2008, hal 19)
4. Gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis

merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki dan perempuan. (Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, 1993, hal 2)

BAB III PEMBAHASAN

1. Apakah gender itu? Ivan Illich adalah yang pertama kali menegaskan bahwa isu ketidakadilan gender muncul pada era revolusi industri pada abad ke-17. Kehidupan yang struktural menjadi lebih individual dan diskriminatif antara perempuan dan lakilaki. Dalam kondisi sekarang ini banyak persepsi tentang gender yang menimbulkan berbagai penafsiran dan respons yang tidak proporsional tentang gender. Perlu diketahui bahwa istilah gender pertama kali dipahami sebagai perbedaan kelamin yang berasal dari bahasa Latin genus yang berarti ras, keturunan, golongan, atau kelas. Meskipun gender merupakan bentukan sosial dan kultural untuk laki-laki dan perempuan, gender itu lebih merupakan istilah di kalangan antropologis. Menurut kamus antropologi, gender adalah klasifikasi kata secara sintaksis yang sering ditemukan dalam bahasa Indo-Eropa dan Semit. Hampir semua bahasa menunjukkan perbedaan antara gender maskulin dan feminim, beberapa bahasa juga memiliki gender netral dan yang lain mempunyai gender animate dan inanimate.

Setelah sekian lama terjadi proses pembagian peran dan tanggung jawab terhadap kaum laki-laki dan perempuan yang telah berjalan bertahun-tahun bahkan berabad-abad maka sulit dibedakan pengertian antara seks dan gender. Menurut kamus bahasa Inggris kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris yaitu gender , namun tidak dijelaskan pengertian antara sex dan gender. Untuk itu lebih baik jika memahami terlebih dahulu pengertian serta konsep dari sex dan gender tersebut. Secara umumnya sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial, sedangkan gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Namun menurut Dr. Riant Nugroho gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari perubahan oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Istilah gender berbeda dengan istilah perempuan dan laki-laki yang sifatnya biologis, sebagai kodrat yang dibawa sejak lahir. Gender merunjuk pada sekumpulan aturan, tradisi, dan hubungan sosial-budaya yang menentukan kategori feminim dan maskulin. Feminitas dan maskulintas itu bentukan sosial-budaya, dan sama sekali bukan bawaan yang tak dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari sebuah tempat ke tempat lain sebagaimana laki-laki dan perempuan yang sudah pasti secara biologis. Gender juga merupakan hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup seharihari, dibentuk dan dirubah oleh masyarakat sendiri, oleh karena itu, sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.

Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminism berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut. Pembedaan keadaan seperti itu berasal dari karakteristik yang didmiliki oleh gender, yaitu :

Bersifat relasional: berbicara mengenai gender selalu berbicara mengenai hubungan antara minimal dua orang dalam berinteraksi.

Hirarkikal: berbicara tentang gender selalu membicarakan perbandingan, mana yang lebih tinggi dan lebih baik.

Historikal: gender terbentuk karena adanya kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk sejak jaman dahulu (menyejarah)

Konteks yang khusus: permasalahan gender selalu terkait dengan situasisituasi khusus

Institusional: permasalahan gender muncul saat relasi antara dua orang dilembagakan (diatur secara institusi).

Selain itu penyebab atau faktor permasalahan dari gender adalah: Pelabelan (stereotipe)

Pemberian cap/label pada pria atau perempuan dengan sifat tertentu yang belum tentu sesuai dengan kenyataan.

Beban ganda Kebanyakan perempuan mendapat beban ganda karena harus bekerja di sektor publik dan domestik

Peminggiran

Perempuan sering dianggap kurang mampu saat pengambilan keputusan penting

Dinomorduakan Karena dianggap kurang mampu maka perempuan sering diaggap sebagai mahkluk yang kurang penting atau nomor dua

Kekerasan

Banyak terjadi perempuan mengalami kekerasan karena masih banyak orang menganggap perempuan boleh disiksa karena perempuan adalah milik pria (dalam keluarga, pacaran, relasi buruh dan pimpinan, dsb).

2. Bagaimana adat mempengaruhi gender dalam kehidupan masyarakat

Bali? Masyarakat Bali sangat menjujung tinggi sistem kebudayaan. sistem budaya itu merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsepkonsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan warga masyarakat Bali. Dalam sistem kekerabatan dalam masyarakat, Bali termasuk dalam kelompok kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat yang sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus

keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama keluarga karena dalam perkawinan (pada umumnya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat. Pada masyarakat patrilinial di Bali dikenal lembaga sentana rajeg di mana anak perempuan dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratanpersyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Contoh dalam sebuah keluarga tidak dikaruniai anak laki-laki. Dan yang lebih fatal adalah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dapat dipakai alasan bagi suami untuk melakukan poligami. Dalam kaitan dengan hal itu hukum adat memang membolehkan adanya poligami sedang jumlah wanita yang boleh dikawin tidak terbatas, sehingga untuk menghindari adanya poligami maka ditempuh upaya merubah kedudukan anak perempuan melalui perkawinan nyeburin. Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam kaitan dengan harta kekayaan orang tuanya saja sedangkan dalam hal yang lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat (ayah laki) tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya. Sementara itu dilihat dari kebudayaannya masyarakat Bali masih kental dengan keseniannya, seperti seni tabuh (megambel/megong) sebagai salah satu bentuk berkesenian oleh perempuan bali, dalam satu dekade belakangan ini berkembang sangat pesat, seni tabuh ini menggunakan seperangkat alat gamelan yang biasanya dimainkan oleh para lelaki. Gamelan kompleks dan tergolong

berat. Akan tetapi, gamelan yang biasa ditekuni oleh laki-laki secara turunmenurun, belakangan ini mulai di gandrungi oleh perempuan Bali. Bahkan, megambel boleh dikatakan aktivitas aktual dalam penyelenggaraan ritual oleh kau perempuan. Aktivitas ini mulai ditekuni di sebagian besar kota maupun pelosokpelosok pedesaan di Bali dan secara finansial-komersial tidak ada apa-apanya. Para perempuan Bali mulai menekuni seni megambel ini karena dorongan hati nurani yang paling dalam sebagian sebuah persembahan dalam memvariasikan dalam memvariasikan aktivitas kehidupannya. Disamping itu, eksibisi, parade, ataupun lomba gong kebyar wanita di media elektronik khususnya di stasiun Bali TV ataupun TV RI Bali sangat memotivasi mereka untuk berpartisipasi dalam seni megambel. Secara Psikologis mereka merasakan ada kepuassan batin dan kedamaian yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata. Kepuasan batin yang positif yang memberikan ketenangan, kedamaian, dan keindahan dalam alam nyata ini menjadi kunci kehidupan yang sangat sulit ditemukan dewasa ini sehingga aktivitas ini selalu dinanti-nanti oleh para perempuan Bali. Sementara itu dalam hal ekonomi dapat diperbandingkan antara peran perempuan bali dalam menunjang ekonomi keluarga dan membuat keputusan dalam keluarga adalah sebagai berikut: No. Uraian 1. perempuan % laki-laki % 53,5 %

Sumbangan terhadap ekonomi 46,5 % keluarga.

2.

Sumbangan

curah

tenaga

untuk keluarga : -Untuk ekonomi menengah 65% kebawah - Untuk ekonomi kelas tinggi 49 % 35 %

51 %

3.

Pengambilan keputusan dalam 49 % keluarga

56 %

Konsep warisan dalam hukum adat bali memiliki beda makna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang selalu merupakan hak dan bersifat materiil atau memiliki nilai uang. Di Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil maupun inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa: 1) Kewajiban terhadap Desa Adat 2) Kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya 3) Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga, orang tua maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis. 4) Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat 5) Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang.

3. Apakah persoalan gender tersebut sepenuhnya berlaku bagi semua masyarakat Bali? Kenyataan memang ada ketimpangan gender dalam hukum adat bali, ada bias dalam tatanan norma, sementara dari tatanan ide tidak ada membedakan anak laki-laki ataupun perempuan. Dalam tatanan perilaku tidak muncul protes besar para perempuan yang diasumsikan bahwa mereka merasa adil, karena pengertian warisan di Bali lebih banyak kewajiban dari pada hak, bahkan diam-diam perempuan merasa beruntung menjadi individu yang bebas mengekspresikan dirinya, tak terikat kewajiban keluarga. Bagaimanapun dalam sistem kekeluargaan patrilinial prioritas utama pasti pada anak laki-laki. Itu tak bisa dipungkiri. Arogansi laki-laki diakui atau tidak, pasti ada dan sangat mungkin terjadi dan sistim ini dengan jelas memberi dasar

melahirkan kekuasaan pada laki-laki. Bukti yang nyata adalah adat tempo 60-an yang telah dijabarkan di atas. Menurut para penulis kenyataan ketidakadilan gender (kekerasan terhadap perempuan / istri), ternyata tidak mutlak dipengaruhi oleh sistim kekeluargaan, pendidikan ataupun, tingkat kesejahteraan. Kekerasan terhadap istri/ perempuan bisa terjadi dalam kalangan intelektual, buruh, tani, pengusaha dan lain-lain dimanapun terdpat budaya patriarkhi ( dominasi kekuasaan laki-laki) masih sangat dominan. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah berakar dari budaya dominasi laki-laki atau budaya patriakhi. Dalam struktur dominasi ini kekerasan sering kali digunakan oleh laki-laki untuk: memenangkan perbedaan pendapat untuk menyatakan rasa tidak puas kadangkala untuk mendemonstrasikan dominasi semata-mata. Kekerasan terhadap perempuan sering kali juga dianggap sebagai bukan masalah besar karena beberapa alasan: ketiadaan data statistik yang akurat adanya anggapan bahwa kekerasan tersebut adalah masalah tempat tidur yang sangat pribadi dan berkaitan dengan kesucian rumah tangga berkaitan dengan akar budaya seperti kehormatan rumah tangga ketakutan perempuan terhadap suami. Keempat alasan ini saling berkait. Maka dari itu konswensi dari tuntutan kesetaraan gender, berarti perempuan harus mandiri dan mampu mengatasi persoalannya sendiri. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengikis ketidakadilan gender adalah dengan mengubah perilaku, yang menurut Talcott Parson yang paling mudah berubah dan menyesuaikan dengan perkembangan baru. Menurut hemat penulis budaya patriarkhi dalam adat bali muncul pada tingkat perilaku, oleh karena itu harus ada proses penyadaran pada semua individu.

Penyuluhan terutama pada anggota masyarakat lewat Desa Adat, perlunya kesetaraan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan terutama kesempatan untuk memperoleh pendidikan, di luar soal waris. Pencatatan perkawinan harus digalakkan, agar hak-hak perempuan dalam kasus perkawinan dapat terlindungi. Memberikan pelatihan keterampilan agar perempuan mandiri dari segi ekonomi. Adanya pelayanan kesehatan yang murah. ( Posyandu terus digalakkan). Memberi penyuluhan moral dan keagamaan lewat media massa, atau dalam darmawacana di desa adat untuk menjaga mentalitas dan moralitas semua orang, khususnya untuk perempuan agar tak cepat menyerah pada tekanan hidup, dengan alasan ekonomi dan lainnya tergantung akar masalah ketidakadilan yang terjadi. Penulis tidak merekomendasikan perubahan terhadap hukum kekeluargaan karena sistem kekeluargaan patrilineal di Bali mengandung kebaikan antara lain: 1) Status anak jelas mengikuti garis keturunan purusa/ ayahnya. 2) Tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup anak, pendidikan, kesehatan upacara, kawin atau mati ada pada pihak ayah. 3) Nilai seorang anak adalah sangat tinggi dan utama, karena kelahirannya diyakini sebagai reinkarnasi para leluhur keluarga purusa, dalam keadaan apapun tak mungkin disia-siakan oleh keluarga purusanya. Ini yang tidak boleh diubah, karena menyangkut kewajiban suci/ darmaning sentana.

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya ketimpangan gender dalam hubungannya terutama terkait dengan sistem kekerabatan, perkawinan, pewarisan, serta kesenian yang masih berlaku dewasa ini. Keempat hal tersebut menunjukan adanya perbedaan namun tergantung dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Disamping adanya perbedaan, terdapat pula adanya persamaan terutama yang menyangkut kekuasaan dalam pengambilan keputusan, ini nampak sama yaitu tetap berada di tangan laki-laki. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh budaya partiarki yang bersifat universal yang bersifat turun temurun. Secara umum kedudukan perempuann dalam hukum adat masih mencerminkan sub-ordinasi dan ketimpangan gender terhadap perempuan. Namun keadaan yang sub-ordinasi terhadap perempuan dapat berubah seiring dengan kemajuan jaman dan majunya tingkat pendidikan suatu masyarakat. Disamping perubahan itu dapat juga terjadi melalui proses kesadaran masyarakat yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender melalui pendidikan, peraturan perundang-undangan yang adil hukum dan gender. Sehingga kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud dalam kehdupan masyarakat di Bali. Dari aspek adat budaya sebagai tatanan norma yang seharusnya menjadi pedoman bertingkah laku, dilihat dari segi hukum waris terhadap

harta kekayaan keluarga adalah ketimpangan gender. Walaupun demikian adat pun tetap memberi solusi bagi orang tua yang ingin bersikap adil terhadap anak perempuannya. Satu hal yang seringkali dilupakan bahwa pengertian warisan menurut adat Bali berbeda dengan pengertian warisan menurut budaya barat yang hanya bersifat materiil belaka. Bila ini dipahami dengan labih baik adat Bali sesungguhnya adil dan luwes.

B. SARAN Dilihat dari tataran prilakunya (adat), maka sangat diperlukan rekonstruksi sosial sesuai dengan perkembangan hukum nasional ke arah kemandirian perempuan untuk adanya keadilan gender di daerah Bali, tanpa harus mengubah adat budaya Bali yang telah berlaku dan berlangsung hingga sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropolgi. Jakarta: Rineka Cipta. Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nugroho, Dr. Riant. 2008. Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saptiawan, Itsna Hadi dan Sugihastuti. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sastriyani, Siti Hariti. 2008. Women In Public Sector (Perempuan di Sektor Publik). Yogyakarta: Tiara Wacana.
http://www.scribd.com/doc/23743574/Hukum-Adat-Bali http://www.scribd.com/doc/15564947/Ketimpangan-Gender-2 http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/mengikis%20ktdkad%20gender %20ad.pdf

You might also like