You are on page 1of 6

CEKUNGAN AIR TANAH DI JAKARTA

Air sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dan mahluk hidup lainnya harus dijaga kelestariannya. Air agar dapat dipakai oleh semua pihak dibutuhkan suatu siklus yang dinamakan siklus hidrologi. Siklus hidrologi adalah suatu sistem besar dan kompleks yang mengalirkan air ke seluruh planet. Energi dari matahari kekuatan sistem, menyebabkan air menguap dari permukaan lautan dunia. Air ini kemudian mengembun membentuk awan besar massa. Awan ini digerakkan oleh sistem angin global dan, ketika kondisi benar, air endapan, jatuh kembali ke permukaan lagi sebagai hujan, salju, atau hujan es. Sebagian besar curah hujan kembali ke atmosfer sebagai penguapan dari badan air atau dari permukaan tanah, dan sebagai transpirasi dari

tanaman. Transpirasi sangat mirip dengan respirasi (pernapasan) pada hewan, dan melepaskan uap air ke atmosfer. Proses penguapan dan transpirasi biasanya disatukan sebagai evapotranspirasi. Beberapa dari air yang jatuh ke tanah menghasilkan limpasan permukaan yang mengumpulkan untuk membentuk sungai dan sungai yang akhirnya mengalir kembali ke laut, di mana proses dimulai lagi. Sebuah bagian akhir dari curah hujan - pada umumnya fraksi terkecil - merembes melalui tanah untuk mencapai permukaan air dan menjadi air tanah. Kecuali air tanah dihilangkan dengan pemompaan dari sumur, mengalir melalui akifer menuju titik pembuangan alam, seperti mata air, sungai dan sungai, danau, atau pantai laut.

Gambar 1.1 siklus hidrogeologi

Peningkatan kebutuhan air bagi berbagai keperluan akibat pertambahan jumlah penduduk, kegiatan perekonomian seperti industri, pertanian serta adanya pembangunan di berbagai sektor dapat berdampak positif dan negatif bagi kuantitas dan kualitas sumberdaya air yang ada. Dampak positif timbul dari peningkatan kuantitas sumberdaya air akibat adanya kegiatan penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan manusia seperti pembangunan dam, bendungan dan sebagainya. Selain itu penurunan fungsi sarana dan prasarana bangunan yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti berbagai bendungan yang diperuntukan bagi peningkatan kuantitas sumber air dan pemenuhan kebutuhan listrik bagi masyarakat telah terancam oleh adanya peningkatan sedimentasi yang terjadi pada bendungan-bendungan tersebut sehingga akan mempengaruhi usia pakai dan kegunaannya. Peningkatan sedimentasi terjadi akibat adanya peningkatan erosi oleh adanya kerusakan lahan dan vegetasi di bagian hulu sungai yang merupakan konservasi sumberdaya air bagi daerah aliran sungai yang ada. Di sisi lain, berbagai kegiatan manusia ini juga berdampak negatif pada sumberdaya air yang ada seperti pencemaran dan penurunan muka air tanah. Muka air tanah cekungan Jakarta terus mengalami perubahan sesuai dengan berjalannya waktu. Hasil studi yang dilakukan oleh BIT GTL & Dinas Pertambangan DKI Jakarta, 1994) menunjukkan kedudukan muka air tanah untuk berbagai akuifer dapat diuraikan sebagi berikut:

1.1 Akuifer air tanah tak tertekan (<40 m) Akuifer air tanah tak tertekan mempunyai kedudukan muka alami (1956) sekitar 5 m (aml), yang kemudian turun menjadi 2,49 m (bml) pada tahun 1992. Pada tahun 1994 muka air tanah mengalami penurunan terdalam yang mencapai 3,48 - 3,50 m (bml), sedangkan hasil studi 1996 menunjukkan penurunan antara 01,0-4,35 m (bml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang berjarak antara 3,0-11,0 km ke arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis hidrokimia (Distam DKI Jakarta & Dit GTL, 1995), menunjukkan bahwa akuifernya, memiliki hubungan dengan air laut dan tidak

memperlihatkan terjadinya proses intrusi air laut. Proses yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air tanahnya adalah Natrium Bikoarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil analisis isotop menunjukkan umur rata-rata air tanahnya adalah 10,318 13,639 tahun.

1.2. Akuifer air tanah tertekan atas (40-140 m) Akuifer air tanah tertekan atas (40-140 m) memiliki kedudukan muka air tanah dalam (1956) antara 1 - 10 m (ami), dan mengalami penurunan kembali pada tahun 1992 menjadi 18,64 - 35,50 m (bml). Dan pada tahun 1994 muka air tanah turun kembali menjadi 31,78 - 56,90 m (bml). Sedangkan hasil studi 1995 memperlihatkan bahwa mat nya telah mengalami kenaikan antara 12,70 - 52,98 m (nml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang berjarak antara 1,5 - 7,5 km ke arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis hidrokimia (Distam DKI Jakarta & Dit GTL, 1995) memperlihatkan bahwa akuifernya tidak memiliki hubungan dengan air laut, tetapi yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air tanahnya adalah Natrium Bikarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil analisis isotop memperlihatkan bahwa umur rata-rata air tanahnya adalah 17.500 s/d 22.006 tahun.

1.3. Akuifer air tanah tertekan bawah (>140 m) Akuifer air tanah tertekan bawah memiliki kedudukan mat alami (1956) sekitar 2 m (negatif), yang kemudian mengalami penurunan menjadi 22,0-33,90 m (bml). Selama tahun 1994 terus terjadi penurunan mat menjadi 40,0-51,40 m (bml), sedangkan hasil studi 1995 menunjukkan bahwa akiufernya tidak berhubungan dengan air laut, tetapi yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air tanahnya adalah Natrium Bikarbonat. Hasil analisis isotop menunjukkan umur rata-rata air tanahnya adalah 17,172 tahun s/ d 32,58 tahun. Adanya data air tanah akuifer tertekan atas (40-140 m) yang bersifat payau ternyata berada di tepi kali Grogor, Sunter dan Cakung, sehingga

pencemaran air payau ke dalam akifer tesebut adalah melalui mekanisme pasang naik air laut yang masuk ke dalam aliran air sungai dan mencemari air tanah dangkalnya. Air tanah payau ini akan menyebabkan rusaknya pipa sumur bor dalam yang selanjutnya akan mengakibatkan pipa menjadi keropos dan bocor, dan akhirnya mencemari air tanah tertekan atas (Distam DKI Jakarta &DitGTL, 1995). Air garam yang berada dalam akuifer tertekan dapat pula merupakan air tanah tua (Distam DKI Jakarta & GT, 1966) karena lingkungan pengendapan akuifer adalah pengendapan fluviatil serta laut (Hehanusa & Djoehanah, 1983 dan Distam DKI Jakarta & P3G 1995).

Gambar 1.2 Cekungan air tanah Jakarta

Sampai saat ini pengambilan air tanah pada CAT Jakarta saat ini hampir melebihi setengah aliran air tanah yang masuk ke dalam akuifer menengah dan dalam, kondisi demikian dapat di kategorikan sudah memasuki zona kritis hingga rusak. Berdasarkan data Badan Geologi, DESDM, Neraca Air Tanah Jakarta saat ini adalah, potensi air tanah (dalam) 52 juta m3/thn sedangkan pengambilan air tanah (dalam) 21 juta m3/thn (40%).

Maka dari itu, Menteri ESDM mencegah dampak negatif yang timbul akibat eksploitasi air tanah yang tidak terkendali disarankan pertama, melindungi daerah imbuhan air tanah untuk mencegah terjadinya penurunan pembentukan air tanah. Kedua, mengendalikan pengambilan air tanah di daerah lepasan (groundwater discharge area) untuk mencegah penurunan ketersediaan air, menggunakan air tanah seefektif dan seefisien mungkin dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Ketiga, mengelola kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara terpadu. Dan keempat, terus melakukan sosialisasi mengenai pentingnya mengelola air tanah yang berorientasi pada kelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
http://rahmatkusnadi6.blogspot.com/2010/06/dampak-kerusakan-pengambilan-airtanah.html http://www.kgs.ku.edu/Publications/Bulletins/ED10/04_occur.html

You might also like