You are on page 1of 14

Ada berita yang menarik tentang nasib 2 manusia di Indonesia, yaitu Iswan Deki dan Nurdin Halid.

Saya hanya akan menjelaskan persamaan dan perbedaan 2 manusia ini sebagai berikut : Persamaan 1. Iswan Deki dan Nurdin Halid sama-sama manusia berkewarganegaraan Republik Indonesia (WNI) 2. Iswan Deki dan Nurdin Halid sama-sama penghuni Lembaga Pemasyarakan alias narapidana 3. Iswan Deki dan Nurdin Halid sama-sama telah menjalani 2/3 masa hukumannya dan berkelakuan baik selama di penjara

Perbedaan 1. Iswan Deki hanya warga negara biasa dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Nurdin Halid warga negara dengan setumpuk jabatan salah satunya adalah Ketua Unum PSSI walaupun tidak diakui oleh FIFA dan berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang mapan 2. Iswan Deki di penjara karena perbuatan pidanan umum (saya tidak tahu kejahatannya saya dengar dia melakukan pencurian) dan tidak pernah didampingi oleh pengacara, sedangkan Nurdin Halid dihukum karena korupsi penyaluran minyak goreng dan didampingi oleh pengacara-pengacara hebat (salah satunya OC Kaligis) 3. Iswan Deki dihukum oleh pengadilan negeri Jambi selama 5 tahun dan dijebloskan ke Lapas Jambi, sedangkan Nurdin Halid dihukum oleh hakim agung di MA selama 2 tahun ditambah denda Rp 500 juta dan dijebloskan ke Lapas Cipinang Jakarta 4. Iswan Deki tinggal menjalani sisa hukuman selama 5 bulan dan stres karena tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya terutama Istri dan anaknya, sedangkan Nurdin Halid tinggal menjalani masa hukuman selama 8 bulan dan selalu dikunjungi oleh keluarganya. 5. Iswan Deki tidak pernah mendapatkan pembebasan bersyarat dan kabur dari penjara karena stres ingin ketemu keluarganya (9 jam kemudian ditangkap di

rumah ibunya), sedangkan Nurdin Halid mendapatkan pembebasan bersyarat atas permintaan pengacaranya dan dikabulkan oleh Dirjen Lapas sehingga tidak stres walaupun pembebasannya tidak ingin diliput oleh media massa 6. Iswan Deki kembali dijebloskan ke lapas Jambi dengan muka bonyok dan penuh luka-luka akibat dipukuli oleh sipir-sipir lapas yang kesal karena dia berhasil mengelabui para sipir cuma gara-gara kangen dengan keluarganya (kejadian pemukulannya disaksikan secara nasional karena ditayangkan oleh stasiun TV tersebut), sedangkan Nurdin Halid dapat berkumpul dengan keluarganya dan melakukan selamatan atas kebebasannya serta dapat hidup normal kembali dengan berusaha untuk mengambil alih jabatannya di PSSI.

Hukum sebenarnya dibuat dan di berlakukan bagi masyarakat dari semua kalangan dalam suatu negara ataupun daerah.Hukum juga seharusnya dibuat untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat baik yang kaya maupun yang miskin,baik pejabat maupun masyarakat awam Namun ada penyimpangan yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia, Hukum sepertinya hanya berlaku bagi kaum yang kuat atau yang lebih jelas lagi masyarakat yang kaya. Hukum sama seperti barang yang bisa dibeli jika memiliki uang yang banyak. Dan dengan uang yang banyak seseorang yang tidak mampu membayar akan dikenai hukuman walaupun tidak bersalah. Hal ini sangatlah memprihatinkan karena kaum yang tertindas akan semakin tertindas dan kaum yang kuat dan kaya akan semakin kuat dan kaya. Seringkali kita temukan ada oknum yang menyebut dirinya pejabat ataupun orang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan melakukan penyimpangan hukum hanya karna posisi atau kedudukannya, bahkan tanpa malu orang yang berwewenang atau yang disebut Jaksa,Hakim,Pengacara dan masih banyak lagi badan yang berhubungan dengan hukum memasang tarif yang sangat mahal untuk membela yang bersalah dan menghukum yang tidak bersalah. Hal yang sangat menyimpang baik dari sisi Agama maupun dari sisi moralpun mereka lakukan hanya untuk membela ketidakadilan. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat dari golongan yang lemah sudah tidak lagi mempercayai hukum karna ketidakmampuannya dalam membayar sehingga tak jarang kita temukan masyarakat yang lemah lebih memilih mencari keadilan sendiri seperti pengeroyokan atau main hakim sendiri. Mereka merasa percuma melapor karna toh merekapun tidak akan dibela. Hal ini sudah menjadi hal yang biasa dan yang lebih memprihatinkan pemerintah seolah menutup mata dengan semua yang terjadi. Padahal yang terjadi bukan lagi rahasia bahwa pihak yang berwajib seolah memperdagangkan hukum hanya untuk kepentingan pribadi.Seharusnya pemerintah memperhatikan hal ini dan lebih bijaksana dalam menyikapi masalah ini agar masyarakat bisa kembali mempercayai hukum. Perlu kita sadari bahwa

negara Indonesia adalah negara hukum yang seharusnya mengutamakan keadilan bagi seluruh masyarakat dalam segala aspek kehidupan.bukan malah mementingkan uang dan kedudukan. Ada satu hal lagi yang diabaikan oleh pemerintah bahwa terjadinya KKN karna hukum kita yang masih lemah sehingga negara kita sangat sulit untuk berkembang.

DERAJAT UANG BERKEDUDUKAN LEBIH TINGGI DARI PADA KEADILAN Menakar keadilan itu sama halnya dengan menakar pundi-pundi uang. Kata-kata ini tentu sangat tidak enak didengar, namun itulah yang terjadi pada tatar praktis dunia peradilan Indonesia saat ini. Berbagai kasus suap dan putusan kontroversial yang selama ini menghias headline media massa tak ayal membuat perut mual. Aroma diusung busuk konspirasi yang mafia-mafia peradilan

menunjukkan betapa bobroknya peradilan di Indonesia. Hampir semua lapisan aparat penegak hukum bisa terlibat didalamnya, mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, hingga advokat mulai dari tingkat daerah sampai tingkat Mahkamah Agung. Masih segar dalam ingatan kita betapa kesialan mantan Dirut Jamsostek Ahmad Djunaedi telah membongkar kasus suap 600 juta rupiah terhadap hakim dan jaksa, keputusan kontroversial yang membebaskan Adelin Lies yang konon telah merugikan negara hampir 900 Miliar rupiah, kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan sebesar 6 Miliar rupiah, dan kasus suap antara Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman dan Artalita Suryani yang tentu masih terkait dengan kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan dan masih satu paket dalam kisruh BLBI. Deretan kasus tadi hanyalah secuil dari sekian banyak kebusukan-kebusukan lain yang sudah ataupun yang belum berhasil dibongkar. Konon para aktor utama masih aman, duduk berleha-leha diatas tumpukan uang haramnya.

Siapapun pasti suka uang. Paling tidak, tak satupun orang dimuka bumi ini yang tidak memerluakan uang, baik itu dalam bentuk mata uang ataupun barang yang memiliki nilai tukar yang tinggi. Jadi uang itu memang penting. Bahkan untuk Indonesia yang terlanjur memproklamirkan dirinya sebagai negara hukum, yang terpaksa menyaksikan hukum-nya menjadi alat mereka yang berkuasa atas uang. Padahal dalam undang-undang buku-buku teks hukum diterangkan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang setara dimata hukum. Tapi rupanya kali ini mata hukum agak sedikit bermasalah dalam memandang pihak-pihak yang ada dihadapannya. Mungkin mata hukum pun sudah kelilipan uang. Banyak yang mengatakan, masalah dalam dunia peradilan di Indonesia adalah kebobrokan moral aparat-aparat penegak hukumnya. Tapi cukupkah moral dapat membentengi para aparat penegak hukum dari kilauan uang yang membutakan mata dan hati. Merujuk pada ucapan khas bang napi, Kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Jika ada keuntungan dan kesempatan, apa lagi yang ditunggu. Bahkan yang awalnya tidak berniat pun bisa berubah niat karenanya. Jika moral manusia sanggup menangkis kesempatan-kesempatan tersebut, maka seharusnya kasus suap-menyuap akan semakin surut, tapi yang terjadi sekarang justru kebalikannya. Judicial corruption bukan sesuatu yang bisa dituntaskan semata-mata dengan perbaikan moral. Diperlukan sistem dan aturan yang kuat untuk mengawal perjuangan tersebut. Kesuliatannya adalah jika sistem dan aturan itu lagi-lagi merupakan produk manusia yang merupakan tempatnya salah dan lupa. Sebagai contoh, untuk mengantisipasi dan dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum di Indonesia telah dibentuk berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies antara lain KPK dan Komisi Yudisial. Namun apakah dengan adanya mekanisme tersebut akan menghilangkan praktek mafia peradilan? Memang, adanya berbagai komisi yang diantaranya memiliki fungsi melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum memang merupakan sebuah terobosan yang

memiliki niat baik, akan tetapi niat baik saja nampaknya tidak cukup. Sebagai contoh, saat belum lagi Komisi Yudisial berjalan efektif, sudah muncul masalah, yakni perseteruan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung (MA), disusul perseturuan MA dengan Badan Pemeriksa Keungan (BPK). Disini nampak adanya kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan. Siapapun yang jujur menilai akan melihat dengan jelas, bahwa carut-marutnya dunia peradilan di Indonesia bukan sekadar disebabkan oleh faktor manusianya, baik itu hakim, jaksa, atau pengacara. Banyaknya hakim, jaksa, atau pengacara busuk yang sebetulnya hanyalah akibat (bukan sebab) dari busuknya sistem peradilan kita. Buktinya, meski ada sejumlah hakim, jaksa, atau pengacara yang mungkin dipandang jujur dan bermoral, toh mereka sering terbentur dengan tembok tebal sistem peradilan yang ada (yang memang bobrok) ketika mereka berniat menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Artinya, inti persoalannya bermula dari sistem peradilan sekular yang memang memiliki banyak kelemahan yang bersifat sistemik. Contoh saja, adanya kekuasan pengadilan yang bertingkat-tingkat

memungkinkan adanya peluang banding atau kasasi dalam satu kasus peradilan. Inilah yang kemudian menjadi faktor utama berlarut-larutnya suatu kasus di pengadilan, bukan hanya berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun. Di samping itu, keberadaan para pengacara dan para jaksa dengan berbagai tingkatannya, yang tidak jarang menjadikan hukum hanya sebagai alat untuk mencari kekayaan, adalah faktor lain yang menambah ruwetnya dunia peradilan kita saat ini. Dalam sistem sekular seperti sekarang, hukum dihasilkan oleh mereka yang duduk di parlemen (yang kebanyakan lebih mementingkan diri dan partainya ketimbang rakyat kebanyakan), hukum akhirnya menjadi barang dagangan yang memungkinkan terjadinya tawar-menawar. Itulah bukti nyata dari bobroknya hukum buatan manusia.

Kelemahan sistemik ini tentu bermula dari kelemahan fundamental, yakni sekularisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum. Padahal, akal manusia memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan dalam menentukan hakikat baik-buruknya sesuatu. Hitam dan putih pun menjadi abu-abu. Maka benarlah apa yang difirmankan Tuhan, hukum siapakah yang lebih baik dibandingkan dengan hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?

Keadilan adalah mimpi bagi rakyat jelata. Sebaliknya, keadilan mudah dipermainkan oleh mereka yang berduit. MediaUmat- Banyak orang kecil tak berani mengadukan masalahnya ke penegak hukum. Mereka khawatir justru dengan melapor, mereka akan kehilangan banyak

uang. Lapor kehilangan ayam, yang hilang malah kambing, begitu pameo yang beredar di masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, semua pakai uang. Maka bagi mereka yang tak punya uang, ya harus menerima nasib: dihukum dan ditempatkan di penjara yang pengap. Sebaliknya mereka yang berduit, bisa bebas. Kalau pun dipenjara, masih bisa memilih kamar dan fasilitasnya layaknya di luar penjara. Berbagai kasus di tanah air menunjuk hal itu. Eddy Tansil, misalnya, cukong ini bisa melenggang dari LP Cipinang dengan leluasa. Caranya dengan membayar sipir penjara hanya beberapa juta. Pembobol Bapindo sebesar Rp 1,3 trilyun ini lepas begitu saja ke luar negeri, kabarnya ia ada di Cina. Beberapa kalangan sempat menyangsikan lepasnya taipan ini tanpa adanya bantuan 'orang-orang penting'. Koruptor kakap pun melenggang riang angkat kaki dari Indonesia. "Cekal tidak ada arti-nya kalau aparat di lapangan ikut bermain," kata Romli Atmasasmita, Koordinator Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi, yang kini pun jadi terpidana dalam kasus Sisminbakum Depkumham. Setelah Eddy Tansil kabur, giliran Hendra Rahardja, kakak kandungnya, yang melarikan diri ke Australia. Padahal bos Bank Harapan Sentosa yang menilap dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebanyak Rp 3,6 trilyun itu sudah masuk daftar cekal. Aturan cekal alias cegah tangkal, tak begitu manjur. Soal-nya aparat keimigrasian pun bisa 'dimainkan'. Malah orang seperti Anggoro Widjojo yang melarikan diri ke Singapura bisa leluasa bertemu dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar di negara tetangga ini. Padahal Anggoro adalah buronan KPK, eh malah ketemu bos KPK. Anehnya kok ya tidak ditangkap. Lebih dahsyat lagi, para koruptor kelas kakap yang terli-bat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kini bisa hidup bebas di Singapura. Sebut saja nama David Nusawijaya, Sumadikun Hartono, Bambang Soetrisno, Adrian Kiki Ariawan, Sudjiono Timam, Irawan Salim dan Maria Pauline Lumowa. Anehnya, kasus BLBI ini malah dihentikan. Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyi-dikan) kasus BLBI. Kejakgung beralasan pemerintah telah mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) yang telah diserahkan kepada Menteri Keuangan. Maka Rp 600 trilyun lebih uang rakyat seolah lenyap begitu saja.

Penghentian itu hanya berlangsung dua hari sebelum Jaksa Urip Tri Gunawan, Ketua Tim Jaksa Penyidik kasus BLBI dibekuk penyidik KPK saat melakukan transaksi di Jalan Terusan Hang Lekir, Jakarta, pada 2 Maret 2008. Ia ditangkap bersama barang bukti berupa uang senilai US$ 660 ribu (Rp 6,6 milyar) dari Artalyta Suryani alias Ayin. Uang ini merupakan suap untuk pengurusan kasus BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia atas nama Sjamsul Nursalim. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak pidana Korupsi, terungkap banyak hal skandal dalam kasus ini. Termasuk rekaman sadapan telepon genggam antara Urip dan Artalyta dalam tahanan. Terdengar jelas dari rekaman itu Artalyta berusaha mengatur skenario kesaksian Urip. Artalyta, tangan kanan Sjamsul Nursalim yang kini ada di Singapura, akhirnya divonis 5 tahun dan denda sebesar Rp 250 Juta. Urip sendiri harus mendekam di penjara selama 20 tahun. Artalyta ini sebelumnya punya hubungan yang cukup dekat dengan Presiden SBY. Ini bisa dilihat ketika Ayin me-ngawinkan anaknya, SBY dan Ani Yudhoyono pun ikut hadir memberikan restu. Kabarnya Ayin juga dikenal dekat dengan sejumlah petinggi negara. Seminggu sebelum ditangkap dan saat ditangkap, dia sempat berkomunikasi dengan pejabat. Ia juga beberapa kali ke Gedung Bundar (Kejaksaan Agung), menemui pejabat Kejagung, terkait kasus BLBI. Terakhir, dalam kasus Bank Century, sungguh aneh kasus bailout sebesar Rp 6,7 trilyun rupiah itu sampai sekarang dibiarkan menggantung oleh pemerintah. Eh belum-belum Kejaksaan Agung yang diharapkan berinisiatif membongkar kasus ini malah sudah menyatakan tidak ada masalah hukum dengan bantuan likuiditas ke Bank Century ini. Ada apa ini? Rasa Keadilan Hilang Kasus di atas hanyalah sebagian kecil kasus kongkalikong antara para cukong dan pejabat negara/penegak hukum. Hukum seakan menjadi barang dagangan. Bisa dibeli oleh orang yang berduit, kata Bambang Widodo Umar, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian kepada Media Umat. Efeknya, lanjut Bambang, rakyat kecil dan rakyat biasa melihat dan menyimpulkan aparat tidak atau kurang berpihak kepada masyarakat secara umum. Aparat menjadi cenderung membela orang yang punya duit. Inilah yang dikhawatirkan ahli hukum Sadjipto Raharjo. Dalam bukunya 'Sisi Lain Hukum di Indonesia', salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah

bergesernya hukum menjadi permainan. Tujuan hukum untuk memberikan keadilan telah mengalami kemerosotan menjadi permainan. Hukum sendiri diciptakan untuk mencapai keadilan. Namun keadilan menjadi mahal harganya bagi rakyat miskin. Orang kaya mampu menyewa pengacarapengacara yang handal ketika terjadi perkara padanya. Sebaliknya, rakyat miskin yang tidak mampu menyewa para pengacara hanya pasrah pada keadaan. Maling jemuran mendapat perlakuan dalam tahanan yang berbeda dengan koruptor yang bernilai trilyunan. Begitu sulitnya rakyat miskin untuk mendapatkan keadilan. Hukum dengan mudah diperjual-belikan. Keadilan rakyat kecil tergadai.

Kita dapat melihat teramat banyak kasus di negeri ini yang mempertontonkan kebijakan hukum yang mencederai rasa keadilan. Keadilan seolah bukan menjadi bagian dari penegakan hukum. Hukum dijalankan di atas segenap kekuatan uang, otot, dan kuasa.

Banyak fakta yang menunjukkan pengadilan bukan tempat yang baik untuk berburu keadilan. Upaya hukum dalam rangka mewujudkan kemakmuran masyarakat terkendala karena pengadilan sering terjebak pada ragam permainan kekuasaan dan kepentingan. Pengadilan tidak selalu mencerminkan tanggung jawab untuk menjadi penjaga nurani dan pintu gerbang keadilan. Jika keadilan sering dicederai, lambat laun akan kehilangan martabatnya. Martabat hukum tidak berdaya menghadapi kuasa kegelapan yang menyelimuti wajah peradilan. Hukum hanya menjadi barang mainan dan kehilangan hal yang mendasar: rasa keadilan. Prinsip dasar negara yang berdiri di atas prinsip rechstaat (negara hukum) dan bukan machstaat (negara politik) tidak bisa berjalan. Intrik politik melalui tangan-tangan kekuasaan selalu jauh lebih kuat. Termasuk untuk menciptakan keputusan-keputusan hukum. Tujuan hukum dalam masyarakat modern adalah untuk memakmurkan masyarakatnya, bukan memecah-mecahnya di mana hanya wong cilik bisa dikenai proses keadilan yang maharumit, sementara wong gedhe bisa mempermainkan hukum. Luka dalam rasa keadilan yang terjadi dalam berbagai kasus di negeri ini merupakan cermin dari gagalnya bangsa ini membangun keadaban hukum. Juga berarti sebagai kegagalan pemimpin untuk menjaga amanat penegakan nilai dan rasa keadilan. Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. Sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, namun untuk sebagian kecil saja. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya. Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena keadilan tidak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat memperoleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini adalah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan

rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat karena mereka yang bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan berkekayaan. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal. Di depan cengkeraman kekuasaan dan "orang kuat", hukum tidak lagi memiliki taring. Hukum tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum Indonesia dan martabat kita sebagai bangsa. Tragedi itu bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai negara hukum sering kali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang kita kenal sebagai kedaulatan hukum adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan. Keadilan tidak termanifestasi dalam kenyataan. Kenyataan yang termanifestasi di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan segala hal yang berkomparasi dengannya. Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang. Didamba selalu berdekatan, tapi tak pernah menyatu. Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memaniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis sebab hukum dan keadilan merupakan (sekadar) hiburan bagi rakyat kecil. Litani jeritan kekecewaan dan kesedihan. Tipu daya hukum ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial. Hukum juga harus memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan menghindari diskriminasi. Hukum mengemban misi kemanusiaan dan ingin menciptakan proses yang berperikemanusiaan. Kita semua hidup sedang menuliskan sebuah sejarah. Baik-buruk, benar-salah, tegas, dan plin-plannya sebuah catatan sejarah masa mendatang berawal dari semua tindakan kita hari ini. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak akan percaya. Dengan terus-menerus menggerus rasa keadilan, kita akan mengulang proses penyejarahan yang gelap. Bahwa hukum ditegakkan bukan karena prinsip keadilan sosial. Di negara yang mengagungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku. Semua berkewajiban dan berhak sama. Semua kesalahan harus diadili dengan cara seadil-adilnya. Itu cara mengembalikan martabat hukum.

Yang sedang dipertontonkan hari ini adalah bagaimana hukum tumpul menghukum para orang kuat, mantan pejabat, dan koruptor, tapi tajam beringas menghukum kelas teri. Maling ayam mendapatkan hukuman bertimpal-timpal, tetapi koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati karpet merah. Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan sikap arogan kekuasaan dan caracara tipu daya. Karena kekuasaan dan uang yang menjadi acuan, maka kita tak sanggup untuk melihat hati nurani. Karena kekuasaan yang menentukan hitam-putih hukum, maka mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan. Tepat apa yang dikatakan dalam pepatah, candida de nigris qui facere assuerat candida de nigris et de candentibus atra (yang menjahitkan dari kain yang hitam menjadi putih dan dari kain yang mengilat menjadi suram). Kita mengambil pelajaran dari pepatah tersebut, celakalah mereka yang mengubah kegelapan menjadi terang dan mempermainkan yang terang menjadi kegelapan. Roh keadilan tak mungkin dipadamkan kata-kata manis dan tipuan-tipuan politik. Jangan patah hati, yang gelap suatu ketika pasti terang dan yang terang tidak akan selamanya bisa diubah menjadi gelap. Tinggal langkah konkret para aparat berwenang apakah masih "bersedia" membuka tabir kegelapan yang berselimut asap tebal itu. Kita menantikan fajar keadilan dan kemanusiaan menjadi pilihan dalam kebijakan yang benar dalam menentukan masa depan bangsa ini. Harapan itulah yang dinantikan kita semua sebagai anak bangsa yang merindukan Indonesia pada masa depan dalam keadaan yang terang. Semoga keadilan masih berpihak kepada yang tertindas.

You might also like