You are on page 1of 53

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, sedikitnya terdapat empat peraturan yang mempunyai peranan penting dalam mengubah peta dunia pendidikan di Indonesia, yakni terbitnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yaitu

perubahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan, UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta PP No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. Pada era desentralisasi, pengelolaan pendidikan telah memberikan kewenangan lebih banyak (dominan) kepada kepala sekolah/madrasah untuk

melaksanakan pengelolaan pendidikan agar lebih baik, dapat dipertanggungjawabkan, dan dapat mencetak lulusan yang berkualitas. Indonesia dengan beragam suku, budaya, dan agama semakin mengukuhkan diri sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini tidak hanya mempengaruhi tata pemerintahan, dan strata sosial ekonomi, tetapi juga sistem dan jenis pendidikan. Secara umum, pendidikan formal di Indonesia, khususnya tingkat dasar dan tingkat menengah terbagi menjadi dua yaitu satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional yang lazim disebut sekolah dan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang lazim disebut madrasah. Fakta menunjukkan bahwa dibandingkan dengan sekolah yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional, madrasah masih memiliki beberapa kekurangan, walaupun madrasah juga memiliki

2 beberapa keunggulan. Selain itu, data menunjukkan bahwa 91,4 persen madrasah berstatus swasta. Hal ini disebabkan secara historis, madrasah dianggap sebagai community-based education, pendidikan berbasis masyarakat yaitu kegiatan pendidikan yang dikelola oleh, dari, dan untuk masyarakat. Data dari Departemen Agama menunjukkan bahwa Madrasah Ibtidaiyah (setara SD) sebanyak 21.188, dengan 1.567 negeri dan 19.621 swasta, Madrasah Tsanawiyah (setara SMP) sebanyak 12.883 dengan 1.259 negeri dan 11.624 swasta, Madrasah Aliyah (setara SMU) sebanyak 5.398 dengan 644 negeri dan 4.754 swasta dan setingkat Taman Kanak-Kanak yaitu RA/BA/TA sebanyak 18.759. Dengan demikian total madrasah baik negeri maupun swasta sebesar 58.228, dengan jumlah guru sebanyak 623.024 orang. Disebabkan banyaknya satuan pendidikan yang berstatus swasta, dengan tanpa adanya dukungan yang memadai dari pemerintah, madrasah tidak menerapkan asas-asas manajemen dan kualitas. Karena lebih mengutamakan pendekatan sosial, madrasah dalam perkembangannya mengalami ketertinggalan daripada sekolah, meskipun akhirakhir ini juga bermunculan madrasah yang memiliki banyak keunggulan. Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003, madrasah belum memperoleh perhatian yang sama dengan sekolah, karena anggaran pembinaan madrasah diambilkan dari alokasi dana sektor agama. Pada tahun 2004, anggaran pendidikan bagi para siswa mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga Aliyah, mendapatkan subsidi dan anggaran yang relatif sama dengan sekolah di bawah Depdiknas (Burhanudin, 2006: 42). UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini merupakan angin segar bagi madrasah, karena undang-undang tersebut melarang adanya bentuk diskriminasi dalam memberikan hak pendidikan. Setiap satuan

3 pendidikan baik sekolah maupun madrasah diisyaratkan mempunyai hak untuk mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah. Dengan keluarnya UU Sisdiknas, dana dan perhatian pemerintah bukan lagi sebagai penghalang. Permasalahannya adalah apakah dengan UU Sisdiknas kompleksitas madrasah akan bisa ditangani. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan pengamatan lebih mendalam mengenai madrasah sebagai sebuah organisasi pendidikan. Madrasah merupakan sebuah organisasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor untuk bisa berkembang dan mencapai tujuannya, seperti faktor kepemimpinan, budaya organisasi, profesionalitas dan kinerja guru yang ada di organisasi madrasah tersebut. Penulis akan memetakan sejumlah fenomena dan permasalahan yang ada di madrasah dewasa ini. Pertama, madrasah dengan kepala madrasah sebagai pemimpinnya, merupakan sebuah organisasi yang unik dan berbeda dengan organisasi sekolah yang dikelola Departemen Pendidikan Nasional, misalnya adanya perbedaan cara pandang kepala madrasah terhadap kepemimpinan, budaya madrasah yang lebih diwarnai dengan budaya keislaman, kualitas atau latar belakang guru serta jumlah muatan kurikulum. Menurut Pidarta (1997) kepala madrasah merupakan kunci kesuksesan dalam mengadakan perubahan. Pidarta menambahkan bahwa kepemimpinan kepala madrasah dapat dilihat dari peran dan tanggung jawabnya sebagai manajer pendidikan, pemimpin pendidikan, supervisor pendidikan, dan administrator pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa kepemimpinan di madrasah belum sepenuhnya efektif. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya madrasah yang mempunyai kualitas lulusan yang rendah. Rodger D. Callons dalam Timpe (1993: 38-40) telah menegaskan sejumlah

4 ciri-ciri pemimpin yang berhasil di antaranya adalah kelancaran berbicara, kemampuan untuk memecahkan masalah, kesadaran akan kebutuhan, keluwesan, kecerdasan, kesediaan menerima tanggung jawab, keterampilan sosial, dan kesadaran akan lingkungan. Semua kepala madrasah ditengarai belum sepenuhnya memiliki ciri-ciri di atas. Kedua, budaya yang ada di lingkungan madrasah yang merupakan budaya organisasi. Budaya organisasi adalah interpretasi kolektif yang dilakukan oleh anggotaanggota organisasi berikut hasil aktivitasnya. Budaya organisasi dapat berbentuk normanorma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Budaya selalu dinamis. Hal ini sesuai dengan peranan madrasah sebagai agen perubahan yang fleksibel untuk menyesuaikan dengan perubahan. Budaya organisasi di madrasah diharapkan dapat mengikuti, menyeleksi, dan berinovasi terhadap perubahan yang terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Tilaar, (2004: 41) yang mengemukakan bahwa kebudayaan dan pendidikan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling mengikat. Dengan demikian, kualitas lulusan madrasah akan sangat ditentukan tidak hanya oleh kepemimpinan, tetapi juga budaya yang ada di lingkungan madrasah. Budaya organisasi merupakan asumsi-asumsi dasar dalam suatu organisasi. Beberapa permasalahan dalam budaya madrasah adalah adanya asumsi sebagian masyarakat bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan kelas dua dibandingkan dengan sekolah. Selain itu, kecenderungan yang terdapat di masyarakat yaitu dari sekolah untuk mencari ilmu menjadi sekolah untuk mencari kerja juga merupakan alasan mengapa masyarakat lebih memilih sekolah daripada madrasah. Nilai-nilai yang ada di madrasah yang notabene dipengaruhi oleh ajaran Islam juga merupakan budaya

5 organisasi yang merupakan interpretasi kolektif. Permasalahannya, apakah budaya organisasi di madrasah sudah kondusif dan baik sehingga mampu melahirkan lulusan yang berkualitas. Ketiga, profesionalitas guru yang menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Untuk menjadi sebuah organisasi yang sukses, tantangan madrasah ke depan adalah bagaimana meningkatkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas seperti yang tertuang dalam UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen. Akadum (1999) menyatakan bahwa dunia guru memiliki dua masalah yang harus diperhatikan oleh pengambil kebijakan yaitu; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena gaji yang rendah, sedangkan gaji yang rendah akan berpengaruh pada kinerjanya, (2) profesionalitas tenaga pendidik masih rendah. Di antara faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalitas tenaga pendidik antara lain; (1) banyaknya tenaga pendidik yang tidak menekuni profesinya secara utuh, hal ini dikarenakan tenaga pendidik bekerja di luar jam kerja untuk penghasilan tambahan demi kebutuhan sehari-hari, (2) belum adanya standar profesionalitas tenaga pendidik, (3) adanya perguruan tinggi yang mencetak lulusan asal jadi yang tidak konsisten dengan profesi keguruannya, (4) kurangnya motivasi tenaga pendidik untuk meningkatkan kualitas diri, misalnya melakukan penelitian seperti halnya dosen di perguruan tinggi. Dalam memberikan pelayanan kegiatan belajar mengajar, banyak madrasah di berbagai daerah menunjukkan profesionalitas yang rendah dan harus segera ditingkatkan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya tenaga pendidik madrasah yang mengajar di luar bidang keahliannya. Data Departemen Agama menunjukkan bahwa di madrasah, sebesar

6 54 persen dari 628 ribu tenaga pendidik masih belum memenuhi kualifikasi minimal, yakni pendidikan S1 atau D4 dan kurang lebih 30 persen belum sesuai dengan kualifikasi bidang keahliannya. Profesionalitas guru berpengaruh pada kinerja guru. Kinerja guru atau performance adalah hasil kerja yang dicapai oleh individu atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan norma maupun etika (Suryadi Prawiro Sentono, 1999: 1). Kepala madrasah mempunyai peranan penting dalam menciptakan kinerja guru pada madrasah yang dipimpinnya. Menurut UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik (guru) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. Menurut John Suprihanto, (1996: 2) kinerja dapat dinilai dari aspek berikut yaitu: 1) kemampuan kerja, 2) kerajinan, 3) disiplin, 4) hubungan kerja, 5) prakarsa dan kepemimpinan atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Pada dasarnya, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan satuan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, peran guru sangatlah penting. Studi yang dilakukan Heyneman & Loxley pada tahun 1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara beberapa faktor yang menentukan kualitas satuan pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa) sepertiganya adalah guru. Di negara-negara berkembang yang biasanya ditandai oleh keterbatasan sarana dan prasarana, peran guru sangatlah vital.

7 Penelitian di 16 negara sedang berkembang menunjukkan bahwa guru memberi kontribusi terhadap prestasi belajar sebesar 34%, sedangkan manajemen 22%, waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%. Di antara faktor yang dapat mempengaruhi kinerja guru adalah imbalan atau hadiah yang diberikan. Hadiah tersebut dapat memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan lebih baik. Di samping itu, kemampuan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan pemberian penghargaan juga diperlukan untuk meningkatkan kinerja. Berdasarkan data, sekitar 91,4 persen madrasah dikelola oleh swasta dan banyak guru yang tidak mempunyai gaji yang mencukupi, jauh di bawah standar upah minimal, dan ini merupakan problem yang cukup mendasar. Dengan demikian, faktor kepemimpinan, budaya, dan profesionalitas di organisasi unik madrasah sangatlah penting dan menarik untuk diteliti untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor organisasi tersebut berpengaruh di lingkungan pendidikan yang berbasis masyarakat dan mempunyai kekhasan agama Islam. Penelitian ini akan menguji dan menganalisis hubungan ketiga variabel yaitu kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas. Penelitian ini sangat penting selain untuk mengkaji hubungan antar ketiga variabel di atas juga bisa membuka tabir atau memecahkan kompleksitas sebab ketertinggalan dan rendahnya kinerja guru di madrasah. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan kinerja guru di lingkungan madrasah sebagai lembaga pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam di bawah binaan Departemen Agama.

8 B. Identifikasi Masalah Berikut ini merupakan beberapa masalah yang dapat diidentifikasi oleh penulis. Masalah tersebut berkaitan dengan hubungan antara kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas dalam meningkatkan kinerja guru. Beberapa masalah yang dapat penulis identifikasi adalah : 1. Apakah kepemimpinan Kepala Madrasah Aliyah telah menerapkan prinsipprinsip kepemimpinan yang tepat sehingga dapat menggerakkan roda organisasi madrasah secara efektif ? 2. Apakah budaya organisasi madrasah telah terbina dengan baik sehingga dapat mewujudkan budaya yang kuat yang selanjutnya dapat mendukung mekanisme organisasi dan kinerja guru secara maksimal dan optimal ? 3. Bagaimanakah kinerja guru pada madrasah, apakah sudah tepat sasaran, tepat waktu, tepat guna, dan tepat jumlah ? 4. Apakah berbagai hal tersebut, yaitu kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas secara parsial maupun komprehensif dapat mempengaruhi kinerja guru ? 5. Bagaimanakah kecenderungan kepemimpinan, budaya organisasi, dan

profesionalitas pada organisasi madrasah ? 6. Bagaimanakah tipe kepemimpinan, jenis budaya organisasi, dan profesionalitas yang cocok diterapkan pada madrasah agar kinerja guru meningkat ? C. Pembatasan Masalah Secara teoritis, kinerja guru paling tidak dipengaruhi oleh delapan faktor, antara lain: lingkungan kerja guru, kompensasi yang diterima oleh guru, kecerdasan emosional,

9 pengembangan karier, kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi, komitmen madrasah, dan motivasi kerja. Gaya kepemimpinan pun bervariasi seperti gaya kepemimpinan otokratis, Laissez-faire, demokratis, karismatik, transaksional dan transformasional. Dengan demikian, faktor faktor yang mempengaruhi kinerja guru sangatlah luas, sehingga tidak mungkin diteliti secara keseluruhan dalam waktu yang relatif singkat dengan melibatkan objek penelitian yang beragam dari berbagai organisasi. Bertolak dari kondisi tersebut dan terutama mengingat keterbatasan peneliti dalam waktu, biaya, dan tenaga, penelitian ini dibatasi hanya pada faktor kepemimpinan transformasional, budaya organisasi, profesionalitas guru dan kinerja guru madrasah di lingkungan Departemen Agama. Seperti yang dibahas sebelumnya, madrasah mempunyai 3 tingkatan yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Penulis menfokuskan diri pada tingkat Madrasah Aliyah. Di Madrasah Aliyah terdapat tenaga pendidik (guru) dan kependidikan (staf). Penelitian ini lebih menfokuskan diri pada guru, hal ini disebabkan oleh karena guru diduga merupakan kunci yang berpengaruh secara langsung kepada peserta didik di berbagai satuan pendidikan, termasuk madrasah. D. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah kepemimpinan berpengaruh pada profesionalitas guru di madrasah ? 2. Apakah budaya organisasi berpengaruh pada profesionalitas guru di madrasah ? 3. Apakah kepemimpinan dan budaya organisasi berpengaruh pada profesionalitas guru di madrasah ?

10 4. Apakah kepemimpinan berpengaruh pada kinerja guru madrasah ? 5. Apakah budaya organisasi berpengaruh pada kinerja guru madrasah ? 6. Apakah profesionalitas berpengaruh pada kinerja guru madrasah ? 7. Apakah kepemimpinan dan budaya organisasi berpengaruh pada kinerja guru madrasah ? 8. Apakah kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas berpengaruh pada kinerja guru madrasah ?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap profesionalitas guru di madrasah ; 2. Mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap profesionalitas guru di madrasah ; 3. Mengetahui pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap

profesionalitas guru di madrasah ; 4. Mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja guru madrasah ; 5. Mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja guru madrasah ; 6. Mengetahui pengaruh profesionalitas terhadap kinerja guru madrasah; 7. Mengetahui pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja guru madrasah ; dan 8. Mengetahui pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas terhadap kinerja guru madrasah .

11

F. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan dua manfaat, yakni : a. Secara teoritis dapat menambah dan memperkaya studi mengenai organisasi publik, khususnya organisasi pendidikan madrasah ditinjau dari perspektif kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas dalam meningkatkan kinerja guru madrasah. b. Secara praktis dapat menjadi masukan bagi Departemen Agama dalam peningkatan kinerja guru madrasah dengan cara memperbaiki atau meningkatkan profesionalitas, kepemimpinan, dan budaya organisasi.

12

BAB II TINJAUAN TEORI DAN KAJIAN LITERATUR

A. Tinjauan Pustaka 2.1 Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan suatu proses individu mempengaruhi kelompoknya demi mencapai tujuan bersama (Northouse, P.G, 2003: 3). Definisi yang hampir sama ditegaskan oleh Dubrin bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk

menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (Dubrin, A. J., 2003). Beberapa peneliti menjelaskan bahwa terdapat empat masalah spesifik sehubungan dengan kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan terkait dengan ide perubahan (Osborn dkk; Parry dalam Kan & Parry, 2004). Kedua, kepemimpinan melibatkan diri dalam masalah mempengaruhi orang lain (Bess & Goldman; Zaccaro dkk dalam Kan & Parry, 2004). Ketiga, kepemimpinan muncul dalam konteks kelompok juga dalam hubungan individu (Ammeter dkk; Hackman & Johnson; Zaccaro dkk dalam Kan dan Parry, 2004). Keempat, kepemimpinan terkait dengan pencapaian tujuan (Ohman dalam Kan dan Parry, 2004). Literatur mengenai kepemimpinan sangatlah kaya dan banyak pula teori-teori yang dihasilkan. Berikut ini akan kami bahas kepemimpinan yang berkaitan dengan tema penelitian ini agar nantinya teori yang dikaji bisa diterapkan untuk menganalisis data dan bahan yang diperoleh selama penelitian ini. Teori sifat kepemimpinan (trait theories of leadership) membedakan para pemimpin dari mereka yang bukan pemimpin dengan cara

12

13 berfokus pada berbagai sifat dan karakteristik pribadi (Robin dkk, 49,). Penelitian tentang kepemimpinan dilakukan oleh Ohio State University dengan sangat mendalam. Penelitian difokuskan pada usaha mengidentifikasi dimensi-dimensi independen dari perilaku pemimpin. Para peneliti akhirnya menemukan dua dimensi pokok yang disebut dengan struktur awal dan tenggang rasa. Struktur awal (initiating structure) merupakan tingkat pemimpin menetapkan perannya dan peran anak buahnya untuk mencapai tujuan organisasi. Tenggang rasa (consideration) adalah tingkat seorang pemimpin memiliki hubungan pekerjaan yang ditandai dengan adanya rasa saling percaya dan rasa hormat terhadap ide dan perasaan anak buah. Kepemimpinan dalam suatu organisasi memegang peranan penting. Pentingnya kepemimpinan dalam suatu organisasi terkait dengan strategi kepemimpinan yaitu: 1) Menciptakan Visi Visi adalah apa yang diimpikan, keadaan masyarakat yang dicita-citakan, apa yang dicapai oleh pemimpin dan pengikutnya di masa yang akan datang. Visi dapat mendorong dan menarik pemimpin dan pengikut untuk bergerak ke arah tertentu. 2) Mengembangkan Budaya Organisasi Untuk merealisasi visi, pengikut dan pemimpinnya harus berpikir, bersikap, dan berperilaku tertentu dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, pemimpin perlu menetapkan pedoman perilaku dalam bentuk norma-norma. Pemimpin mengumpulkan nilai-nilai yang ada di masyarakat atau mengembangkan nilai-nilai baru. Nilai-nilai ini kemudian dipergunakan oleh pemimpin untuk memotivasi dan menggerakkan para pengikutnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

14 3) Menciptakan Sinergi Sistem sosial yang oleh pemimpin, beranggotakan para pengikut pemimpin (mereka yang perilaku dan sikapnya terpengaruh oleh pengaruh pemimpin), mereka yang menolak kepemimpinan pemimpin, dan mereka yang mempunyai sikap netral terhadap kepemimpinan pemimpin. Mereka membentuk kelompok-kelompok sosial yang sering memiliki tujuan, latar belakang budaya, pendidikan, kelas sosial, dan sebagainya yang berbeda. Keadaan ini, terutama jika norma-norma demokratis tidak diterapkan, punya potensi untuk menimbulkan konflik destruktif, konflik tersebut mengganggu proses kepemimpinan. Konflik dalam batas tertentu memang bermanfaat untuk menciptakan sesuatu yang baru. Tanpa ada perbedaan pendapat, organisasi akan terjebak dalam aktivitas rutin. Akan tetapi, bila tidak dikelola, konflik menjadi tidak bermanfaat dan menghabiskan energi organisasi. Merupakan tugas rutin untuk memanajemeni konflik agar berkembang ke arah konflik konstruktif yang dapat menciptakan sesuatu yang baru. Dari sini kemudian mempersatukan para pengikutnya agar mampu menciptakan sinergi positif. 4) Memberdayakan Pengikut Pemberdayaan merupakan tindakan membangun, mengembangkan, dan

meningkatkan daya atau kekuasaan melalui kerja sama, berbagi, dan bekerja sama. Memberdayakan merupakan proses interaktif berdasarkan aktivitas sinergi.

Pemberdayaan perlu dilaksanakan oleh pemimpin secara sistematis. 5) Menciptakan Perubahan Kepemimpinan selalu diartikan untuk menciptakan perubahan dan pemimpin selalu disebut agen perubahan. Perubahan mencakup perilaku, prosedur, struktur atau keluaran

15 jumlah dalam organisasi. Target perubahan dalam kepemimpinan sangat luas, antara lain meliputi: a) visi dan misi, b) strategi dan rencana operasional, c) struktur organisasi, tugas, dan pembagian tugas-tugas, d) orang yang menjadi anggota organisasi dan yang dilayaninya, e) teknologi, dan f) produk sistem sosial. 6) Memotivasi Pengikut Salah satu tugas paling sulit dari pemimpin ialah memotivasi para pengikutnya agar mau bergerak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Motivasi dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri pengikut, mereka dengan kesadaran tinggi melakukan tugas karena memang telah menjadi tugasnya. Motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang berasal dari luar diri individu. Seperti, orang bekerja karena mengharapkan imbalan, gaji, pangkat atau penghargaan. 7) Mewakili Sistem Sosialnya Seorang pemimpin mewakili sistem sosial yang dipimpinnya. Dalam kapasitas ini pemimpin bertindak sebagai tokoh dan simbol sistem sosialnya. Ia berkewajiban untuk memikul sejumlah tanggung jawab kedinasan, tanggung jawab sosial, seremonial dan legal. Pemimpin bertindak sebagai wakil masyarakat yang dipimpinnya dalam kaitannya dengan pihak luar yang berada di lingkungan eksternal sistem sosial. 8) Membelajarkan Organisasi Organisasi merupakan sistem sosial yang ada untuk menyejahterakan masyarakat. Organisasi pembelajar akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara

berkelanjutan. Dalam bukunya, The Fifth Discipline, Senge (1990) menyatakan bahwa bangunan dari learning organization adalah lima pengetahuan yang harus dikuasai oleh

16 organisasi. Kelima disiplin tersebut adalah: a) system thinking (berpikir sistem), b) personal mastery (penguasaan personal), c) mental models (model-model mental), d) shared vision (visi bersama), e) team learning (belajar secara tim). Menurut Gupta dkk (2004), paling tidak ada tiga perspektif yang bersifat universal dan lintas budaya yang terkait dengan kepemimpinan, yaitu: 1) Kepemimpinan neokarismatik/ transformasional. 2) Kepemimpinan berorientasi regu (team-oriented leadership) 3) Kepemimpinan berbasis nilai (value-based leadership) Sejalan dengan tiga orientasi itu, berkembang aneka gaya kepemimpinan. Beberapa di antaranya yang populer adalah : a) Gaya Kepemimpinan Otokratis Dalam kepemimpinan otokratis, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota kelompoknya. Sebagai pemimpin, ia hanya menunjukkan dan memberi perintah dan kewajiban bawahan untuk mengikuti dan menjalankannya, tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Ciri-ciri kepemimpinan otokratis adalah: 1) Semua keputusan kebijaksanaan dihasilkan oleh pemimpin. 2) Setiap langkah aktivitas dan teknik diperintahkan oleh pemimpin satu persatu, sehingga langkah di masa depan tidak menentu. 3) Pemimpin biasanya mendiktekan tugas dan kerja lainnya untuk setiap anggota. 4) Pemegang peran dalam memuji dan mengkritik adalah pribadi, tetapi tetap tidak aktif dalam kelompok kecuali hendak memperagakan sesuatu. Ia bisa ramah atau tidak manusiawi, tetapi tidak bersikap bermusuhan secara terbuka (Jewell & Siegall, 1998).

17 b) Gaya Kepemimpinan Laissez-faire Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Pimpinan yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol atau koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan pada anggota-anggota kelompok, tanpa petunjuk dari pimpinan atau berupa saran-saran dari pimpinan. Ciri-ciri kepemimpinan model ini adalah: 1) Kebebasan seluasnya untuk keputusan kelompok atau individu, tanpa ikut sertanya pemimpin. 2) Berbagai bahan dipasok pemimpin, yang dengan jelas menyatakan akan memberikan informasi bila ditanya. Ia tidak ikut dalam diskusi yang lain. 3) Pemimpin sama sekali tidak ikut serta. 4) Jarang berkomentar mengenai aktivitas anggota, kecuali ditanya, dan berusaha tidak ikut serta atau mencampuri jalannya aktivitas (Jewell & Siegall, 1998). c) Gaya Kepemimpinan Demokratis Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompok. Pemimpin selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompok-kelompok dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. Adapun ciri-ciri untuk gaya kepemimpinan demokratis adalah : 1) Semua kebijakan merupakan pembicaraan dan keputusan kelompok, didorong dan dibantu pemimpin.

18 2) Perspektif aktivitas diperoleh selama periode diskusi yang pertama. Langkahlangkah umum untuk mencapai tujuan kelompok digariskan, dan bila nasihat diperlukan, pemimpin memberikan dua atau tiga alternatif untuk dipilih. 3) Para anggota bebas memilih rekan kerja dan pembagian kerja diserahkan kepada keputusan kelompok. 4) Pemimpin objektif atau berdasarkan fakta dalam memuji dan mengkritik dan berusaha menjadi pemberi semangat pada kelompok secara teratur tanpa terlalu ikut banyak bekerja (Jewell & Siegall, 1998). Ciri-ciri positif inilah yang mengakibatkan tipe demokratis tetap populer hingga kini. d) Gaya Kepemimpinan Karismatik Kepemimpinan karismatik didefinisikan sebagai kepemimpinan penting dalam hubungannya dengan kepuasan. Weber pertama kali memperkenalkan istilah charisma dan menjelaskan sebagai somewhat superhuman attribute (sifat manusia yang mempunyai kelebihan) atau suatu pemberian dari yang Maha Kuasa. Menurutnya, pemimpin karismatik dipandang sebagai mistik, narsistik, dan memiliki kemampuan personel yang magnetis (Wang dkk, 2005). Pemimpin karismatik berinteraksi dengan orang lain melalui keyakinankeyakinan dan perilaku yang unik (House; Weber dalam Sosik, 2005). Pengaruh karismatik berakar pada nilai-nilai pemimpin, karakteristik kepribadian, dan perilaku, atribusi pengikut, konteks, atau beberapa kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Pemimpin karismatik bersifat percaya diri, dominan, ekstrover, dan keyakinan kuat akan nilai-nilai yang dianut, serta keyakinan dan moral yang dianggap benar (House dalam Sosik, 2005). Tendensi perilaku dari pemimpin karismatik melibatkan inspirasi untuk memotivasi

19 tindakan kolektif, berperilaku dalam berbagai cara yang dapat menghasilkan model bagi pengikutnya, sensitif terhadap kecenderungan lingkungan, perilaku yang tidak konvensional, berani mengambil risiko, dan memformulasikan serta mengartikulasikan suatu visi (Conger dan Kanungo; Waldman dan Yammarino dalam Sosik, 2005). e) Gaya Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan transaksional membantu organisasi meraih tujuan-tujuannya secara lebih efisien dengan cara menghubungkan kinerja pekerjaan dengan penghargaan yang bernilai dengan jalan mendorong karyawan untuk dapat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menyelesaikan pekerjaan. Tingkat integrasi dan saling ketergantungan dibutuhkan bagi lingkungan kerja yang baru. Kompetisi global mensyaratkan kepemimpinan yang melampaui gaya kepemimpinan transaksional dasar dan harus melibatkan gaya yang lebih merangsang secara intelektual, inspirasional, dan karismatik (Avolio dkk; Bass dan Avolio dalam Zhu dkk, 2005). f) Gaya Kepemimpinan Transformasional Lebih dari duapuluh lima tahun, konstruk dari kepemimpinan transformasional telah mencapai popularitas yang tinggi di antara peneliti dan praktisi. Pertama kali diperkenalkan oleh Burns tahun 1978 dan dielaborasi oleh Bass tahun 1985. Burns (1978, hlm. 20) menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses yang padanya para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. para pemimpin tersebut mencoba menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan berdasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan, atau kebencian. Kepemimpinan transformasional

20 ditandai oleh kemampuan pemimpin untuk mengartikulasi visi bersama tentang masa depan, secara intelektual menstimulasi karyawan, dan menaruh perhatian terhadap perbedaan individual karyawan (Lowe dkk dalam Brown dan Keeping, 2005). Kepemimpinan yang mentransformasi dapat dipandang baik sebagai sebuah proses mempengaruhi pada tingkat mikro antara para individu dan sebagai sebuah proses pada tingkat makro dalam memobilisasi kekuasaan untuk mengubah memperbaiki lembaga-lembaga. Pada analisis tingkat sistem sosial dan kepemimpinan

makro,

transformasional menyangkut membentuk, mengekspresikan, dan menengahi konflik di antara kelompok-kelompok orang sebagai tambahan terhadap memotivasi orang. Bass (1985) mengusulkan sebuah teori kepemimpinan transformasional (transformational leadership) yang dibangun atas gagasan-gagasan yang lebih awal dari Burns (1978). Tingkat sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para pengikut. Para pengikut pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin tersebut, dan mereka termotifasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan terhadap mereka. Pemimpin tersebut mentransformasi dan memotivasi pengikutnya dengan cara: 1) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, 2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri sendiri, dan 3) mengaktifkan kebutuhankebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Menurut Gary Yukl (1994) pada setiap tahap dari proses transformasional, keberhasilan sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan keterampilan pemimpin

21 tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai berikut : a) Pemimpin transformasional melihat diri mereka sendiri sebagai agen-agen perubahan. b) Pemimpin transformasional adalah para pengambil risiko yang berhati-hati. c) Pemimpin transformasional yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan. d) Pemimpin transformasional mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka. e) Pemimpin transformasional fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dan pengalaman. f) Pemimpin transformasional mempunyai keterampilan kognitif, dan yakin kepada pemikiran yang berdisiplin dan kebutuhn akan analisis masalah yang hati-hati. g) Pemimpin transformasional adalah orang-orang yang mempunyai visi yang mempercayai intuisi mereka. Umumnya, kepemimpinan transformasional berjalan dengan menggunakan Multifactor Leadership Questionare (MLQ) yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio tahun 1995. Menurutnya, kepemimpinan transformasional dapat dirinci ke dalam lima indikator, yakni: 1) Karisma, didefinisikan sebagai sebuah proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut.

22 2) Stimulasi intelektual (intellectual stimulation), adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalahmasalah dari perspektif yang baru. 3) Perhatian terindividualisasi (individualized consideration), termasuk memberi dukungan, membesarkan hati, dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. 4) Motivasi inspirasional (inspirational motivation), yakni sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yang menarik, menggunakan symbolsimbol untuk mengfokuskan usaha-usaha bawahan, dan memodelkan perilakuperilaku yang sesuai. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kepemimpinan

transformasional adalah sebuah proses dimana pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi dengan cara menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan berdasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan, atau kebencian. Sedangkan indikator dari kepemimpinan transformasional adalah; karisma, stimulasi intelektual, perhatian terindividualisasi, dan motivasi inspirasional. 2.2 Budaya Organisasi Para pakar memberikan definisi yang bervariasi mengenai budaya organisasi. Gordon dan Ditomaso (dalam Baird dkk, 2004) misalnya menyatakan bahwa budaya organisasi adalah pola keyakinan yang stabil dan nilai-nilai bersama yang dikembangkan dalam organisasi sepanjang waktu. Sementara itu, Schein (dalam Dwyer dkk, 2003)

23 mendefinisikan bahwa budaya organisasi merupakan asumsi-asumsi dan keyakinan dasar yang dirasakan bersama oleh anggota organisasi dan merupakan solusi secara konsisten yang dapat berjalan dengan baik bagi sebuah kelompok dalam menghadapi persoalanpersoalan eksternal dan internalnya, sehingga dapat diajarkan kepada para anggota baru sebagai suatu persepsi, berpikir, dan merasakan hubungannya dengan persoalanpersoalan tersebut. Terciptanya budaya dalam organisasi banyak faktor yang menentukannya. Seperti yang disebutkan Robbins (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi budaya organisasi adalah: 1) Inisiatif individu (individual initiative); yaitu tingkat tanggung jawab dan kemandirian yang dimiliki tiap anggota. 2) Toleransi risiko (risk tolerance); adalah tingkat risiko yang boleh atau mungkin dipikul oleh anggotanya untuk mendorong mereka menjadi agresif, inovatif, dan berani mengambil risiko. 3) Integrasi (integration); ialah tingkat unit-unit kerja dalam organisasi yang mendorong untuk beroperasi dalam koordinasi yang baik. 4) Dukungan manajemen (management support); yaitu tingkat kejelasan

komunikasi, bantuan dan dukungan yang disediakan manajemen terhadap unit kerja di bawahnya. 5) Pengawasan (control); yaitu sejumlah aturan atau peraturan dan sejumlah pengawasan yang digunakan untuk mengatur dan mengawasi perilaku karyawan. 6) Identifikasi (identify); yakni tingkat identifikasi diri tiap anggota dalam organisasi secara keseluruhan melebihi grup kerja atau bidang profesi masing-masing.

24 7) Sistem penghargaan (reward system); adalah tingkat alokasi dan penghargaan (kenaikan gaji, promosi jabatan) berdasarkan performance pegawai sebagai lawan dari senioritas, anak masyarakat, dan lain-lain. 8) Toleransi terhadap konflik (conflict tolerance); yaitu tingkat toleransi terhadap konflik dan kritik keterbukaan yang muncul dalam organisasi. 9) Pola komunikasi (communication patterns); yakni tingkat keterbatasan

komunikasi dalam organisasi yang sesuai dengan otoritas pada hirarki formal. Sedangkan Miller menyebutkan delapan nilai-nilai utama yang menjadi dasar budaya organisasi. Miller dalam hal ini menyebutnya sebagai bukan faktor, karena lebih langsung mengarah kepada sifat budaya yaitu kumpulan nilai. Nilai-nilai yang disebutkan Miller adalah: a) asas persetujuan, b) asas konsensus, c) asas keunggulan, d) asas kesatuan, e) asas prestasi, f) asas empirisme, g) asas keakraban, dan h) asas integritas. Kemudian Baird dkk (2004) mengidentifikasikan tiga dimensi budaya organisasi, yaitu; inovasi, orientasi hasil (outcome orientation) dan kendali lemah versus ketat. Dua dimensi pertama dikembangkan oleh Oreilly dkk pada tahun 1991 dengan istilah profil budaya organisasi (organizational culture profile/OCP), sedangkan dimensi yang ketiga dikembangkan oleh Hofstede dkk tahun 1990 dengan istilah pengukuran budaya organisasi berbasis praktik (practices-based measure of organizational culture). Inovasi adalah reseptivitas (penerimaan) dan adaptasi untuk berubah dan kemauan untuk bereksperimen (Oreilly dkk dalam Baird dkk, 2004). Dimensi kedua, orientasi hasil, mengacu pada penekanan aksi dan hasil, mempunyai harapan akan kinerja yang optimal dan kompetitif (Oreilly dkk dalam Baird dkk, 2004). Sedangkan yang ketiga,

25 pengendalian ketat versus lemah mengarah kepada penekanan aktivitas pengendalian dan biaya (Hofstede dalam Baird dkk, 2004). Sementara Schein menunjuk tujuh dimensi budaya organisasi yang terefleksi ke dalam: kewaspadaan (vigilance), keterikatan (engagement), kredibilitas (credibility), akuntabilitas (accountability), pemberdayaan (empowerment), dorongan (support), dan pilihan- pilihan (options) dalam (Berry, 2004). Dimensi kewaspadaan (vigilance) mengacu kepada pertanyaan: standar apa yang berlaku dalam suatu organisasi? Peran apakah yang dapat saya jalankan dalam menetapkan standar? Dimensi ini terkait dengan masalah kesadaran dan komitmen integritas (dalam Berry, 2004). Dimensi keterikatan (engagement) secara kultural sangatlah kompleks.

Keterkaitan melibatkan faktor organisasi dan individual yang berkontribusi terhadap keterlibatan yang otentik dalam suatu organisasi. Proses rekruitmen, orientasi, sosialisasi, dan pengaturan karyawan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan sementara perasaan karyawan, kontrak-kontrak psikologis, dan persepsi terhadap keadilan mempengaruhi derajat keterlibatan otentik individu dengan organisasi. Karyawan pada dasarnya mengharapkan nilai etika yang konsisten antara pribadi dan organisasi (Dubinsky dan Ingram dalam Berry, 2004). Jika nilai etika organisasi konflik dengan nilai etika pribadi, komitmen karyawan terhadap organisasi akan berkurang (Schwepker dalam Berry, 2004). Pada saat karyawan menjadi anggota organisasi, metode sosialisasi, seperti pelatihan standar etika dapat digunakan untuk memperkuat komitmen karyawan terhadap nilai dan norma organisasi (Fogarty dalam Berry, 2004). Ritual- ritual organisasi, integrasi, peningkatan, dan degradasi adalah strategi yang dapat diterapkan

26 untuk mentransmisikan nilai dan norma organisasi kepada anggotanya (Trice dan Bayer dalam Berry, 2004). Dimensi kredibilitas mengacu pada perilaku kepemimpinan yang merupakan determinan utama persepsi dan keyakinan karyawan. Karyawan akan membandingkan nilai-nilai yang tumbuh dalam organisasi dengan apa yang dinyatakan dalam kebijakan formal. Strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kredibilitas tergantung dari perilaku kepemimpinan (dalam Berry, 2004). Dimensi akuntabilitas bergantung kepada bagaimana organisasi memfasilitasi komitmen karyawan (dalam Berry, 2004). Pemberdayaan adalah suatu proses yang memberikan karyawan otoritas untuk membuat keputusan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya (Jones dalam Berry, 2004). Dalam budaya organisasi, pemberdayaan mendorong karyawan untuk mengambil inisiatif bagi pengembangan kerja untuk mencapai sasaran kinerja (dalam Berry, 2004). Integritas adalah hal yang mustahil tanpa ada dorongan yang terbina dengan baik (Kerfoot dalam Berry, 2004). Organisasi dapat menciptakan dorongan dengan jalan merespon kepentingan karyawan, mendorong adanya tantangan-tantangan, memberikan perspektif alternatif (dalam Berry, 2004). Dengan kondisi seperti itu, budaya organisasi memiliki sejumlah fungsi hasil bagi anggota organisasi dan organisasi. Robbins (1996) menyebutkan beberapa fungsi budaya sebagai berikut: 1) Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas. Budaya dapat membedakan antara organisasi yang satu dengan yang lain ; 2) Budaya menumbuhkan rasa identitas bagi para anggotanya ; 3) Budaya menumbuhkan komitmen bersama daripada individual ; dan

27 4) Budaya meningkatkan kemantapan sosial. Budaya dapat menjadi perekat sosial serta mempersatukan organisasi dan rasa senasib dan sepenanggungan para anggota ; dan 5) Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa budaya organisasi adalah nilainilai, asumsi-asumsi, dan keyakinan-keyakinan dasar yang dirasakan bersama oleh anggota organisasi. Indikator dari budaya organisasi adalah ; inisiatif individu, toleransi terhadap risiko, integrasi dukungan manajemen, pengawasan identifikasi, sistem penghargaan, toleransi terhadap konflik, dan pola komunikasi. 2.3. Profesionalitas Guru Profesionalitas bisa didefinisikan sebagai penguasaan terhadap ilmu pengetahuan tertentu atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya, Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalitas bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap. Pengembangan profesionalitas lebih dari seorang teknisi dan bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Dalam jurnal Educational Leadership (1993) dalam Supriadi (1998) dijelaskan bahwa di Amerika untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan atau mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi , (4) Guru mampu berfikir

28 sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. 1 Di Indonesia, prinsip-prinsip profesionalitas disebutkan dalam UU no. 14 Tahun

2005 sebagai berikut; 21) Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (f). memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas

keprofesionalan guru. 2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis , berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Selain itu, paradigma baru tentang tenaga pendidik yang mempunyai profesionalitas tinggi yaitu memiliki: (1) Kepribadian yang matang dan berkembang, (2) Penguasaan ilmu yang kuat, (3) Kemampuan untuk memotivasi peserta didik untuk

29 menguasai sains dan teknologi, (4) Pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek diatas merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila syarat-syarat profesionalitas tenaga pendidik sudah terpenuhi maka peran guru yang awalnya pasif bisa menjadi lebih kreatif. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan tenaga pendidik profesional akan mengubah peran tenaga pendidik yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi kekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang kondusif. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tenaga pendidik memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informatory, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin: 2000). Beberapa studi tentang karakteristik profesi yang dilakukan oleh para ahli menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a. Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud disini ialah jenjang pendidikan tinggi dan pelatihan khusus yang berhubungan dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang penyandang profesi. b. Memiliki pengetahuan spesialisasi. Penguasaan terhadap spesialisasi bidang studi dan penguasaan metodologi pembelajaran. c. Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien. Pengetahuan khusus itu bersifat aplikatif, yaitu aplikasi didasari pada aplikasi teori yang jelas dan teruji. d. Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable.

30 e. Mampu mengorganisasikan kerja secara mandiri atau self-organization. Kemandirian dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai kewenangan akademiknya melekat pada dirinya. Pekerjaan yang dia lakukan dapat dikelola sendiri, tanpa bantuan orang lain, meskipun tidak berarti menafikan bantuan. f. Mementingkan kepentingan orang lain (altruism). Seorang tenaga pendidik harus siap memberikan pelayanan kepada peserta pelatihan pada saat bantuan diperlukan. g. Memiliki kode etik. Kode etik ini merupakan norma-norma yang mengikat tenaga pendidik dalam bekerja. h. Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunitas. Tanggung jawab ini dapat berbentuk disiplin mengajar dan dalam melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas pembelajaran. i. Mempunyai sistem upah. Sistem upah disini berupa standar gaji . j. Budaya professional. Budaya profesi, bisa berupa penggunaan simbol-simbol yang berbeda dengan simbol-simbol untuk profesi lain. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalitas guru adalah penguasaan terhadap ilmu pengetahuan tertentu atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Dalam proses ini, pendidikan, prajabatan, penataran, pembinaan dari profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru dan imbalan secara bersama-sama akan menentukan pengembangan profesionalitas seorang tenaga pendidik. Sedangkan indikator dari profesionalitas guru adalah (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk

31 meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (f). memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan 7untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

2.4. Kinerja Guru Kinerja (performance), menurut Wirawan (2003), merupakan singkatan dari kinerja enerji kerja. Pengikut sebagai sumber budaya manusia mempunyai enerji-tenaga, pikiran, pengetahuan, dan keterampilan yang ada digerakkan (kinetika) akan menghasilkan keluaran kerja. Sedangkan bagi Ilyas (2002), kinerja merupakan penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel di dalam organisasi. Apabila merujuk pada pengertian-pengertian tentang kinerja di atas, secara umum kinerja guru dapat didefinisikan sebagai hasil kerja atau wewenang seorang guru baik secara kuantitas maupun kualitas dalam periode waktu tertentu. Jika dikaitkan dengan

32 madrasah, kinerja guru yang dihasilkan harus sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh guru yang bersangkutan dan tidak melanggar aturan etika di lingkungan madrasahnya. Dalam UU No. 14/2005 yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dengan demikian, tugas seorang guru bukan hanya sebagai orang yang mentransfer ilmu kepada peserta didik tapi juga secara totalitas mendidik dari awal hingga proses evaluasi sehingga hasil dari proses belajar mengajar bisa diketahui. Keberhasilan seorang guru dalam melaksanankan tugas utamanya di atas merupakan indikator keberhasilan kinerjanya. Untuk meningkatkan kinerja guru dan mencapai tujuan organisasi, maka guru diharapkan memiliki beberapa faktor berikut ini seperti yang tertuang dalam pasal 8 UU No. 14/2005. Pasal ini menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sedangkan dalam pasal 35 dijelaskan bahwa beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Dengan demikian, kinerja guru berkaitan erat dengan konsep pelayanan karena tugas seorang guru tidak hanya mengajar tapi juga memberikan pelayanan terbaik kepada peserta didiknya. Pelayanan ini merupakan tanggung jawabnya sebagai pendidik, pembimbing sekaligus pengawas. Mengenai pelayanan, para pakar mendefinisikan secara

33 beragam. Dalam konteks pelanggan, Lovelock (1997) memberikan arti pelayanan sebagai: Selling, that involves interactions with customer in person, by telecommunication or by mail. It is designed, performed, and communicated with two goals in mind operational efficiency and customer satisfaction. Definisi di atas mengungkapkan bahwa pelayanan terhadap pelanggan dapat dilakukan dengan bantuan teknologi dan media komunikasi. Oleh karena itu, agar para penyedia jasa (guru) selalu dalam posisi unggul mendapat kepercayaan penuh dari pelanggan (peserta didik) guru harus bersifat proaktif, up to date, efektif, dan efisien. Begitu juga seorang guru harus mampu bersikap kreatif dengan memanfaatkan teknologi dan media komunikasi. Kotler, sebagaimana dikutip oleh Supranto (1998),

mendefinisikan jasa/pelayanan sebagai berikut: A service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. It is production may or may not be tied to physical product. Kutipan di atas menunjukkan bahwa pelayanan merupakan suatu kinerja atau penampilan yang tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan atau peserta didik lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi atau menggunakan jasa tersebut. Pelayanan juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik melalui aktivitas sendiri maupun melalui aktivitas orang lain. Proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inilah yang oleh Moenir (2000) dinamakan pelayanan. Kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan ini bisa terpenuhi dengan partisipasi seorang guru secara langsung.

34 Pelayanan, dalam hal ini jasa pengajaran seorang guru, pada dasarnya memiliki karakteristik-karakteristik tertentu dan berbeda jika dibandingkan dengan jenis usaha lain. Menurut Tjiptono (2001), karakteristik-karakteristik jasa/ pelayanan meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Intangibility Berry dalam Enis dan Cox, seperti dikutip oleh Tjiptono, mengartikan intangibility sebagai 1) sesuatu yang tidak dapat disentuh dan dirasa dan 2) sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, diformulasikan, atau dipahami secara rohaniah. 2) Insperability Bahwa service biasanya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. 3) Variability Service bersifat sangat variable karena merupakan non-standardized output, artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan dan di mana service tersebut dihasilkan. Ada tiga faktor yang menyebabkan variabilitas kualitas service yaitu partisipasi pelanggan selama penyampaian service, moral/motivasi karyawan dalam melayani pelanggan, dan beban kerja perusahaan. 4) Perishability, service merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Dalam praktik kehidupan organisasi sehari-hari termasuk juga organisasi madrasah, terdapat berbagai jenis pelayanan. Namun, secara sederhana, menurut Moenir (2000), bentuk pelayanan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1) pelayanan

35 dengan lisan, 2) pelayanan melalui tulisan, dan 3) pelayanan perbuatan. Ketiga pelayanan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Pelayanan dengan lisan Pelayanan dengan lisan dilakukan oleh seorang guru ketika memberikan penjelasan tentang pelajaran atau bimbingan tertentu kepada murid. 2) Pelayanan melalui tulisan Pelayanan melalui tulisan merupakan bentuk layanan yang menonjol ketika guru memberikan ujian tulis atau tugas lain yang berkaitan dengan mata pelajaran. 3) Pelayanan dengan perbuatan Seorang guru dituntut untuk memberikan contoh dengan perbuatan, misalnya memotivasi peserta didiknya. Pelayanan memiliki dimensi yang secara operasional dapat dijabarkan menurut jenis pelayanannya. Namun secara umum, dari hasil studi yang dilakukan oleh The Focus Group to the Marketing Research yang dibentuk oleh Belenger, Bemhard dan Goldstrucker diperoleh kesimpulan bahwa ada sepuluh dimensi yang saling melengkapi dalam bentuk kinerja guru dalam memberikan pelayanan jasa pengajaran. Kesepuluh dimensi tersebut seperti diutarakan oleh Zeithaml dkk (1990), yaitu dimensi tangible, reliability, responsiveness, competence, courtesy, credibility, security, access,

communication, dan understanding. Sesuai dengan perkembangan, sepuluh dimensi tersebut disederhanakan Zeithaml dkk (1990) menjadi lima dimensi sebagai berikut: 1) Emphaty, yaitu kemudahan dalam berinteraksi, komunikasi yang baik, penuh perhatian dan memahami kebutuhan dan keinginan peserta didik atau pelanggan.

36 2) Tangible, yaitu kinerja pelayanan yang berupa sarana fisik, perkantoran, komputerisasi administrasi, ruang tunggu, tempat informasi, dan sebagainya. 3) Reliability, yaitu kemampuan dan keandalan dalam menyediakan pelayanan yang terpercaya. 4) Responsiveness, yaitu kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan peserta didik atau konsumen. 5) Assurance, yaitu pengetahuan, keterampilan dan kemampuan serta sopan santun guru dalam memberikan pelayanan, aman dari bahaya, risiko, keraguan, dan memiliki sifat dapat dipercaya. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditemukan bahwa kinerja guru merupakan hasil kerja sesuai dengan tugas dan wewenangnya dalam proses belajar mengajar baik secara kuantitas maupun kualitas dalam periode waktu tertentu. Adapun indikator guru meliputi: kemampuannya dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. B. Kajian Literatur Penelitian tentang kepemimpinan, budaya organisasi dan kinerja sudah banyak dilakukan dengan variabel (independen maupun dependen) yang sama dengan objek berbeda. Namun demikian, penulis mengidentifikasi sedikitnya dua penelitian ilmiah yang bisa dibandingkan dengan penelitian sekarang ini. 1. Penelitian oleh Trisno Martono Penelitian tersebut berjudul Kepemimpinan kepala sekolah, kinerja guru, dan Budaya Organisasi. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memperoleh gelar Guru Besar FKIP

37 UNS dengan bertempat di sejumlah SMP dan SMK di kota Solo pada tahun 2006. Martono menemukan bahwa pentingnya keberadaan kepala sekolah, yang pola kepemimpinannya dapat mempengaruhi kinerja guru, budaya organisasi sekolah dan produktivitas sekolah yang semakin meningkat. Produktivitas sekolah baik kuantitas maupun kualitas dapat meningkat, jika penerapan demokrasi antarunsur sumber daya manusia terwujud berdasarkan fakta di lapangan, selain gaya kepemimpinan masih didominasi model paternalistik, masih banyak kepala sekolah belum berprofesi sebagai pemimpin. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Martono adalah variabel profesionalitas dan objek yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada satuan pendidikan madrasah, dalam hal ini Madrasah Aliyah, yang tentunya berbeda kultur dengan satuan pendidikan SMP atau SMK. 2. Penelitian oleh Armanu Thoyib Penelitian tersebut berjudul Hubungan kepemimpinan, Budaya strategi, dan Kinerja: Pendekatan Konsep. Thoyib menyimpulkan bahwa terdapat variable-variabel di atas saling mempengaruhi. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Thoyib adalah pada pendekatan. Thoyib lebih kepada pendekatan konsep tidak melalui kajian lapangan sedangkan kajian ini selain pendekatan konsep juga akan diuji secara empirik.

38

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kerangka Pemikiran Secara teoritis, peningkatan kinerja guru, sebagai salah satu faktor penunjang keberhasilan sebuah satuan pendidikan, secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas guru. Dewasa ini, kepemimpinan yang dianggap cukup efektif adalah kepemimpinan transformasional, yakni dimana seorang pemimpin mencoba menimbulkan kesadaran para pengikutnya dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi, seperti keserakahan, kecemburuan, atau kebencian. Sedangkan peran budaya dalam organisasi adalah untuk membantu kita memahami lingkungan dan menentukan cara menanggapinya, dan dengan demikian dapat mengurangi adanya ketegangan, ketidakpastian, dan kekacauan. Profesionalitas guru diperlukan dalam organisasi yakni untuk meningkatkan kompetensi atau kemampuan seorang guru sehingga mampu bertahan dan bersaing dengan organisasi satuan pendidikan lainnya. Berdasarkan uraian di atas., dalam penelitian ini sementara, yaitu : Pertama, kepemimpinan transformasional dapat berpengaruh terhadap terdapat beberapa asumsi

profesionalitas guru di madrasah, karena pemimpin dalam hal ini kepala madrasah bertanggung jawab dalam menentukan standar profesionalitas dalam organisasi

38

39 madrasah. Semakin bagus kepemimpinan kepala madrasah, semakin bagus pula standar profesionalitas guru di madrasah tersebut. Kedua, budaya organisasi di lingkungan guru mempengaruhi profesionalitas guru di madrasah tersebut, dikarenakan budaya organisasi berperan sebagai nilai-nilai atau aturan yang melandasi perilaku guru madrasah dalam menghadapi setiap permasalahan. Jika budaya organisasi di lingkungan guru berkembang dengan baik, maka standar profesionalitas guru madrasah juga akan meningkat. Ketiga, kepemimpinan dan budaya organisasi berpengaruh terhadap

profesionalitas guru. Di sini pemimpin atau kepala sekolah berperan sebagai figur yang memberikan contoh dalam melaksanakan budaya organisasi yang nantinya akan dijadikan standar profesionalitas guru di madrasah. Semakin bagus pengembangan

budaya organisasi oleh kepala madrasah, maka akan meningkatkan profesionalitas guru di madrasah. Keempat, kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja guru, asumsi ini didasarkan bahwa seorang kepala sekolah menentukan kebijakan-kebijakan yang nantinya akan digunakan sebagai acuan dalam peningkatan kinerja guru. Jadi apabila kepala madrasah mampu menjalankan tugasnya dengan baik, maka dengan sendirinya kinerja guru akan meningkat. Kelima, budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja guru. Dalam hal ini budaya organisasi dijadikan pedoman untuk meningkatkan kinerja guru di madrasah, sehingga semakin bagus budaya organisasi yang ada di madrasah menjadikan kinerja guru dapat dilaksanakan dengan optimal.

40 Keenam, profesionalitas berpengaruh terhadap kinerja guru. Semakin tinggi standar profesionalitas guru yang diterapkan di madrasah, semakin tinggi pula kinerja guru di lingkungan madrasah. Ketujuh, kepemimpinan dan budaya organisasi juga dapat mempengaruhi kinerja guru. Jika madrasah menerapkan kepemimpinan transformasional dengan baik dan mampu mengembangkan budaya organisasi yang ada, maka dengan sendirinya kinerja guru akan meningkat. Kedelapan, kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas berpengaruh terhadap kinerja guru. Apabila kepala madrasah menerapkan gaya kepemimpinan transformasional dengan baik dan disertai dengan berkembangnya budaya organisasi yang positif, serta tingginya profesionalitas guru, maka akan meningkatkan kinerja guru yang ada di madrasah. Agar lebih jelas, di bawah ini akan digambarkan kerangka pemikiran tentang pengaruh kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi terhadap profesionalitas serta implikasinya pada kinerja guru. Hubungan dari variablevariabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar I model penelitian

Kepemimpinan Transformasional

(X1) 3

4
Profesionalitas Guru

Kinerja Guru (Z)

2
Budaya Organisasi (X2)

(Y)

5 7

41 B. Hipotesis Penelitian Berdasarkan acuan teoritis, kerangka pemikiran, dan konstelasi pemikiran, penelitian sebagaimana tersaji di atas dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Hipotesis Alternatif (Ha) a) Terdapat pengaruh kepemimpinan terhadap profesionalitas guru. b) Terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap profesionalitas guru. c) Terdapat pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap profesionalitas guru. d) Terdapat pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja guru. e) Terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja guru. f) Terdapat pengaruh profesionalitas terhadap kinerja guru. g) Terdapat pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja guru. h) Terdapat pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, dan profesionalitas terhadap kinerja guru. 2. Hipotesis Nol (Ho) a) b) c) Tidak terdapat pengaruh kepemimpinan terhadap profesionalitas guru. Tidak terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap profesionalitas guru. Tidak terdapat pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap

profesionalitas guru. d) e) f) g) Tidak terdapat pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja pelayanan guru. Tidak terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja guru. Tidak terdapat pengaruh profesionalitas terhadap kinerja guru. Tidak terdapat pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap

kinerja guru.

42 h) Tidak terdapat pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, dan

profesionalitas terhadap kinerja guru.

43

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung pada bulan Oktober sampai dengan November 2009 di 90 madrasah yang tersebar di enam provinsi di Pulau Jawa yaitu meliputi; Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur. Jumlah madrasah yang akan diteliti berjumlah 90. Dengan demikian, pada tiap provinsi akan diteliti 15 madrasah dengan kualifikasi sebagai berikut; 5 madrasah akreditasi A, 5 madrasah akreditasi B, dan 5 madrasah akreditasi C.

B. Populasi dan Sampel Madrasah Aliyah yang ada di pulau Jawa berjumlah 2.798 baik yang berstatus swasta maupun negeri. Sedangkan tempat penelitian berjumlah 90 madrasah yang tersebar di enam provinsi di Pulau Jawa. Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah guru. Populasi guru pada 90 Madrasah Aliyah di enam provinsi tersebut kurang lebih mencapai 3150 orang. Menurut Suharsimi Arikunto (1996), apabila jumlah populasi kurang dari 100 maka diambil semua, tetapi apabila lebih dari 100 maka dapat diambil 20-25 persen atau lebih dari jumlah populasi. Jadi, sampel pada Madrasah Aliyah terakreditasi A berjumlah sepuluh orang, akreditasi B tujuh orang, dan akreditasi C lima orang. Jumlah sampel mencapai 660 orang guru, sehingga sampel diambil lebih dari 20

43

44 persen. Sedangkan teknik pengambilan sampelnya dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). C. Jenis Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang bekerja dengan angka, yang datanya berwujud bilangan (skor atau nilai, peringkat, atau frekuensi), yang dianalisis dengan menggunakan data statistik, untuk menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian yang sifatnya spesifik, dan untuk melakukan prediksi bahwa suatu variabel tertentu mempengaruhi variabel yang lain. (Creswell dalam Alsa, 2003). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif korelasional, yang bertujuan untuk mencari hubungan dari variabel-variabel penelitian yang dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi. Teknik statistik korelasi dipakai untuk menguraikan dan mengukur seberapa besar tingkat hubungan antara variabel atau antara perangkat data.

2. Definisi konseptual dan definisi operasional Variabel penelitian adalah suatu sifat yang dapat memiliki berbagai macam nilai, yang menyangkut segala sesuatu yang menjadi objek penelitian. Menurut Kerlinger (2000), terdapat dua jenis variabel penelitian, yaitu variabel bebas (Independent Variable), dan variabel terikat (Dependent Variable). Menurut Ahmadi (1977), variabel bebas (Independent Variable) adalah kondisi atau karakteristik-karakteristik yang mempengaruhi fenomena yang diobservasi. Variabel

45 ini juga sering disebut dengan variabel pengaruh karena berfungsi mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas yang terdapat dalam penelitian ini adalah kepemimpinan transformasional, budaya organisasi, dan profesionalitas. Definisi konseptual kepemimpinan transformasional adalah sebuah proses dimana pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi dengan cara menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan. Sedangkan indikator dari

kepemimpinan transformasional adalah; karisma, stimulasi intelektual, perhatian terindividualisasi, dan motivasi inspirasional. Definisi konseptual dari budaya organisasi adalah nilai-nilai, asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan dasar yang dirasakan bersama oleh anggota organisasi yang meliputi: inisiatif individu, toleransi terhadap risiko, integrasi dukungan manajemen, pengawasan identifikasi, sistem penghargaan toleransi terhadap konflik, dan pola komunikasi. Definisi konseptual dari profesionalitas guru adalah penguasaan seorang guru terhadap guru terhadap ilmu pengetahuan tertentu atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Indikator profesionalitas guru meliputi: memiliki bakat, minat, idealisme, komitmen peningkatan mutu, kualifikasi akademik, kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, penghasilan sesuai dengan prestasi kerja, kesempatan untuk

mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, jaminan perlindungan hukum dan memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

46 Sedangkan variabel terikat yaitu kondisi atau karakteristik yang berubah atau muncul ketika mengintroduksi pengubah atau mengganti variabel bebas. Variabel ini sering disebut variabel yang dipengaruhi atau variabel terpengaruh, karena menurut fungsinya, variabel ini dipengaruhi oleh variabel lain (Ahmadi,1977). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kinerja guru Madrasah Aliyah di pulau Jawa. Definisi konseptual kinerja guru adalah hasil kerja sesuai dengan tugas dan wewenangnya dalam proses belajar mengajar baik secara kuantitas maupun kualitas dalam periode waktu tertentu. Adapun indikator guru meliputi: kemampuannya dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Sedangkan definisi operasional dari kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan profesionalitas dan kinerja guru dapat dilihat pada tabel berikut ini :

47 Table 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian No Variabel 1 Kepemimpinan Indikator Karisma Stimulasi intelektual Perhatian terindividualisasi Motivasi inspirasional Inisiatif individu Toleransi terhadap risiko Integrasi Dukungan manajemen Pengawasan Identifikasi Sistem penghargaan Toleransi terhadap konflik Pola komunikasi Memiliki bakat, Item Pernyataan

Transformasional 2 Budaya Organisasi 3 Profesionalitas

minat,

panggilan jiwa, dan idealisme Memiliki komitmen untuk

meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dan Memiliki kualifikasi akademik latar belakang pendidikan

48 sesuai dengan bidang tugas Memiliki kompetensi yang

diperlukan sesuai dengan bidang tugas Memiliki tanggung jawab atas

pelaksanaan tugas keprofesionalan Memperoleh penghasilan yang

ditentukan sesuai dengan prestasi kerja Memiliki kesempatan untuk keprofesionalan

mengembangkan

secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat Memiliki hukum jaminan dalam tugas

perlindungan melaksanakan keprofesionalan

Memiliki organisasi profesi mempunyai kewenangan

yang

mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

49 4 Kinerja Guru D. Instrumen Penelitian Untuk memperoleh data primer, penulis menggunakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyebarkan angket /kuesioner yang mengacu pada skala model likert dengan metode rating yang dijumlahkan (method of summated rating). Sedangkan untuk memperoleh data sekunder dilakukan melalui wawancara terhadap guru Madrasah Aliyah. Studi dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang kinerja guru di madrasah yang bersangkutan. E. Teknik Analisis Data Data yang terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis untuk dapat menjawab masalah penelitian dan hipotesis penelitian. Untuk itu, dalam penghitungannya digunakan metode korelasi product moment dari Pearson. Dengan metode korelasi tersebut secara deskriptif dapat diketahui kualitas tingkat hubungan pada masing-masing variabel. F. Rancangan Analisis dan Uji Hipotesis Rancangan sebagai berikut : analisis dalam penelitian ini akan menggunakan analisa statistik Mendidik Mengajar Membimbing Mengarahkan Melatih Menilai Mengevaluasi

50 a) Uji Validitas Untuk mengetahui apakah kuesioner skala mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan ukurnya, diperlukan pengukuran validitas (Azwar,2003). Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik korelasi product moment pearson, dan dalam

penghitungannya menggunakan program SPSS versi 11,5. b) Uji Reliabilitas Untuk mencari nilai estimasi reliabilitas dari instrumen yang digunakan, peneliti menggunakan teknik Alpha Cronbach, yang digunakan dengan membelah item-item menjadi dua belahan yang jumlahnya sama banyak. Uji reliabilitas ini dalam penghitungannya menggunakan program SPSS versi 11.5. c) Uji Hipotesis Dengan menggunakan rancangan analisis di atas dapatlah digunakan untuk uji hipotesis pengaruh pada masing-masing variabel.

51

PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP PROFESIONALITAS SERTA IMPLIKASINYA PADA KINERJA GURU
(Penelitian pada Madrasah Aliyah di Pulau Jawa)

PROPOSAL DISERTASI

Oleh: PERI ADRIAN

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 5 KOTO PARIK GADANG DIATEH MUARA LABUH SOLOK SELATAN

52

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 7 C. Pembatasan Masalah ...................................................................................... 8 D. Rumusan Masalah .......................................................................................... 9 E. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 10 F. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 10

BAB II TINJAUAN TEORI DAN KAJIAN LITERATUR A. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 12 2.1 Kepemimpinan ......................................................................................... 12 2.2 Kepemimpinan Transformasional ............................................................ 19 2.3 Budaya Organisasi .................................................................................... 22 2.4 Profesionalitas ...........................................................................................27 2.5 Kinerja Guru .............................................................................................30 B. Kajian Literatur ................................................................................................ 35

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 37

53 B. Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 39 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 41 B. Populasi dan Sampel .................................................................................... 41 C. Jenis Penelitian ............................................................................................ 42 D. Instrumen Penelitian .................................................................................... 45 E. Teknik Analisis Data ................................................................................... 46 F. Rancangan Analisis dan Uji Hipotesis ........................................................ 46

You might also like