You are on page 1of 16

Dr. Abdul Aziz bin Fahd bin Abdul Muhsin, 2008. Jami al-Fatawa athThibbiyah wa al-Ahkam al-Mutaalliqah biha.

Evi Puspita Sari, dkk, 2005. Apa itu inseminasi buatan? Nurdiana yuke andriani, 2002. Tinjauan hukum islam terhadap inseminasi buatan pada manusia.

Pengertian inseminasi buatan. Teknik inseminasi buatan. Benar-salahkah inseminasi buatan. Pertimbangan syari. Tinjauan syari. Dampak inseminasi buatan.

Inseminasi buatan adalah proses bantuan reproduksi di mana sperma disuntikkan dengan kateter ke dalam vagina (intracervical insemination) atau rahim (intrauterine insemination) pada saat calon ibu mengalami ovulasi. Pada awalnya, inseminasi buatan lebih sering terdengar dilakukan pada hewan dan tumbuhan. Dengan cara mengambil sperma lalu menginjeksikannya pada hewan betina, begitupula halnya pada manusia, dan upaya ini dilakukannya karena adanya kesulitan untuk mencapai dan menyatu dengan ovum (sel telur).

Intrauterine Insemination (IUI). Direct Intraperitoneal Insemination (DIPI). Intravaginal insemination (IVI). Intracervical insemination (ICI). Intratubal insemination (ITI).

Segi agama Dalam hukum Islam tidak menerima cara pengobatan ini dan tidak boleh menerima anak yang dilahirkan sebagai anak yang sah, apalagi jika anak yang dilakukan perempuan karena nantinya akan mempersoalkan siapa walinya jika anak tersebut menikah Allah adalah kreator terbaik. Manusia dapat saja melakukan campur tangan dalam pekerjaannya termasuk pada awal perkembangan embrio untuk meningkatkan kesehatan atau untuk meningkatkan ruang terjadinya kehamilan, namun perlu diingat Allah adalah Sang pemberi hidup.

Segi sosial Posisi anak menjadi kurang jelas dalam tatanan masyarakat, terutama bila sperma yang digunakan berasal dari bank sperma atau sel sperma yang digunakan berasal dari pendonor, akibatnya status anak menjadi tidak jelas. Apabila seorang wanita belum menikah melakukan inseminasi buatan dengan sperma yang diperoleh dari sperma pendonor, akan menyebabkan persoalan dalam masyarakat seperti status anak yang tidak jelas. Selain itu juga akan ada pandangan negatif kepada wanita itu sendiri dari masyarakat sekitar, karena telah mempunyai anak tanpa menikah dan belum bersuami.

Segi hukum Dilihat dari segi hukum, pendonor sperma telah melanggar hukum. Tetapi kedudukan hukum di negara Indonesia mengenai inseminasi buatan ini masih belum jelas. Dan yang paling penting, perlu diterapkannya aturan resmi pemerintah dalam pelaksanaan dan penerapan bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang intensif terhadap bahaya potensial yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi.

Bahwa seorang wanita muslimah membuka dirinya di depan laki-laki, di mana di antara keduanya tidak boleh terjadi hubungan suami istri, adalah perkara yang dilarang dalam kondisi apa pun kecuali demi sebuah tujuan yang disyariatkan di mana syara memang membolehkannya. Bahwa kebutuhan seorang wanita kepada kesembuhan dari penyakit yang menyiksanya atau dari sebuah keadaan yang tidak lumrah pada dirinya yang membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang termasuk tujuan yang disyariatkan yang membolehkannya membuka diri kepada selain suaminya demi pengobatan ini, dalam kondisi ini hendaknya membuka diri tersebut dibatasi sesuai dengan tuntutan dharurat.

Manakala seorang wanita muslimah membuka dirinya di hadapan seseorang di mana di antara keduanya tidak boleh terjadi hubungan suami istri dibolehkan demi sebuah tujuan yang disyariatkan, maka orang yang menangani pengobatannya harus seorang dokter wanita muslimah, jika memungkinkan, jika tidak maka dokter wanita non muslim, jika tidak maka dokter laki-laki muslim, jika tidak maka non muslim, dengan urutan seperti ini. Tidak boleh ada khalwat antara dokter dengan pasien wanita kecuali jika didampingi oleh suaminya atau wanita lainnya.

Bahwa kebutuhan wanita yang bersuami yang tidak hamil dan kebutuhan suaminya kepada seorang anak termasuk tujuan yang disyariatkan, mengobatinya dibolehkan dengan cara inseminasi buatan yang dibolehkan. Bahwa cara yang pertama, yaitu benih jantan diambil dari laki-laki beristri kemudian disuntikkan pada rahim istrinya, salah satu cara dalam inseminasi dalam, merupakan cara yang boleh secara syar'i dengan memperhatikan kode etik syar'i, hal itu setelah terbukti bahwa wanita tersebut memerlukan cara ini agar dia bisa hamil.

Hendaknya cara ini tidak digunakan kecuali dalam keadaan yang sangat-sangat dharurat setelah terpenuhinya syarat-syarat umum yang disebutkan. Adapun cara-cara inseminasi buatan lainnya, baik dalam maupun luar, yang telah dijelaskan, maka seluruhnya diharamkan dalam syariat Islam, tidak ada peluang untuk membolehkan sesuatu darinya, sebab benih jantan bukan dari suami dan benih betina bukan dari istri atau karena wanita yang bersedia menampung dua benih yang dipertemukan tersebut bukan istri tetapi wanita asing bagi kedua pemilik dua benih.

resiko kerusakan sel sperma yang secara genetik tidak sehat, menjadi cukup besar. enzim akrosom ikut masuk ke dalam sel telur. Selama enzim akrosom belum terurai, maka akan menyebabkan pembuahan terhambat. melukai bagian dalam sel telur, yang berfungsi pada pembelahan sel dan pembagian kromosom. bayi dari hasil inseminasi buatan dapat memiliki resiko cacat bawaan lebih besar dibandingkan pada bayi normal. Seperti bibir sumbing, down sindrom, terbukanya kanal tulang belakang, kegagalan jantung, ginjal, dan kelenjar pankreas.

You might also like