You are on page 1of 18

vA.

Madrasah sebagai institusi Pendidikan

Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Disamping lembaga bersifat umum seperti : masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kehkasan orientasinya. Secara umum, pada abad keempat hijrah dikenal beberapa sistem pendidikan (madaris tarbiyah) Islam. Hasan Abd, Al-Al, menyebutkan lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut : Sistem pendidikan Mutazillah, Sistem Pendidikan Ikhwan, Al-Safa, Sistem Pendidikan Bercorak Filsafat, Sistem Pendidikan Bercorak Tasawuf, dan Sistem Pendidikan Bercorak Fiqh. Hasan Muhammad dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin juga menyebutkan lima sistem, masing-masing Sistem pendidikan bercorak teologi, sistem pendidikan bercorak syiah, sistem pendidikan bercorak filsafat, sistem pendidikan Bercorak tasawuf, sistem pendidikan bercorak Fiqh (Hadits). Pembagian yang terakhir ini memasukkan sistem Ikhwan al-Safa ke dalam corak Filsafat dan memunculkan Syiah, yang sebenarnya sedikit atau banyak telah terlihat dalam Ikhwan Al-Safa. Institusi yang dipakai oleh masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Failasuf menggunakan : Dar Al-Hikmah, Al-Muntalinah, Warraqiin. 2. Mutasawuf menggunakan Al-Zawaya, Al-Ribat, AL-Masajid dan Halaqat Al-Dzikir. 3. Syiiyyin menggunakan Dra Al-Hikmah, Al-Masjid, pertemuan rahasia. 4. Mutakallimin menggunakan Al-Masajid, Al-Maktabat, Hawarit, Al Warraqin dan AlMuntadiyat. 5. Fuqaba dan Ahli Hadits : Al-Katatib, Al-Madaris, Al-Masajid.

Melihat data diatas, jelaslah madrasah merupakan tradisi sistem pendidikan bercorak fiqh. Masing-masing sistem diatas memiliki institusi yang khusus walaupun umumnya memanfaatkan masjid. Namun, demikian madrasah dapat dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan bercorak fiqh dan hadits, setidaknya pada masa Abbasiyah di Baghdad. Dengan kekhasannya itu, pada masa kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, madrasah merupakan lembaga pendidikan par excelene. Setelah perkembangan masjid dan kuttab, madrasah berkembang sangat pesat.

Dalam sejarah Islam dikenal banyak sekali tempat dan pusat pendidikan dengan jenis, tingkatan dan sifatnya yang khas. Dalam buku Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Nuzumuba, Falsafatuba, Tariktuba, Ahmad Syalabi menyebutkan tempat-tempat itu sebagai berikut : Al-Kuttab, AlQushur, Hawanit, Al-Waraqiin, Manazil, Al-Ulama, Al-Badiyah dan Madrasah. Ia membagi lembaga institusi-institusi pendidikan Islam tersebut menjadi dua kelompok, yaitu kelompok sebelum madrasah, dan sesudah madrasah. Hasan Abd Al-Al menyimpulkan bahwa madrasah adalah institusi yang timbul pada abad keempat hijriyah. Dan menganggap sebagai Era baru dari tahapan perkembangan institusi pendidikan Islam. Jadi, menurutnya madrasah sudah ada sebelum Masa Nizam Al-Mulk. Hal penting lain, yang perlu dicatat dari gambaran diatas, ialah bahwa institusi pendidikan Islam mengalami perkembangan, sesuatu dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat Muslim di kala itu. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat ditandai oleh : 1. Perkembangan Ilmu. Kaum Muslimin pada masa awal membutuhkan pemahaman Al-Quran sebagai apa adanya, begitu juga membutuhkan keterampilan membaca dan menulis. Ibu Khaldun mencatat bahwa pada awal kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis hanya berjumlah 17 orang. Semuanya laki-laki, pada masa Urmawi, masyakat Muslim telah banyak memperhatikan Al-Ilm Al-Maqliyyah yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran al-Karim yang meliputi Al-Tafsir, Al-Qiraat, Al-Hadits dan Usul Fiqh, dan Al-Ulum Al-Lisamiyah seperti Ilm Al-Lughah, Ilm Al-Nahw, Ilm Al-Bayan dan Al-Abad. Pada masa Abbasiyah, sangat mungkin masyarakat muslim mulai berhubungan dengan Al-Ulum AlAqliyah atau ilmu kealaman, seperti kedokteran, filsafat dan matematika. 2. Perkembangan kebutuhan. Pada masa awal, yang menjadi kebutuhan utama ialah mendakwahkan Islam. Karena itu, sasaranpun pada mulanya ditujukan pada orang-orang dewasa. Jika diamati lebih lanjut, ternyata tempat-tempat pendidikan diatas, kecuali madrasah, bukan tempat yang disiapkan khusus untuk pendidikan. Masjid bahkan merupakan tempat yang multi guna. Selain fungsi utamanya untuk ibadah, masjid menjadi sentrum kegiatan masyarakat Muslim. Fungsi masjid sebagai tempat pendidikan dalam perkembangannya dipertimbangkan kembali, sehingga mendorong dibukanya lembaga-lembaga pendidikan baru. Beberapa alasan yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan di masjid dipertimbangkan lagi ialah

1. Kegiatan pendidikan di masjid dianggap telah mengganggu, fungsi utama lembaga itu sebagai tempat ibadah.. 2. Berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dan perkembangan ilmu pengetahuan. 3. Timbulnya orientasi baru dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagian guru mulai berfikir untuk mendapatkan rizki melalui kegiatan pendidikan. Mengapa proses transformasi dari masjid ke madrasah, berkembangan beberapa teori yang scara sepintas berbeda satu sama lain. Di antara teori yang ingin dikemukakan pada bagian ini adalah pendapat George Makdisi. Dalam sejumlah karya kesejarahannya, ia berkesimpulan bahwa perpindahan lembaga pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung, tetapi melalui tahapan perantara, yaitu masjid-khan. Teori ini agaknya menarik karena mepertimbangkan lembaga mesjid-khan sebelum lembaga-lembaga madrasah berkembang secara luas pada abad pertengahan. Selain Makdisi, sarjana yang memberikan perhatian terhadap sejarah kelembagaan madrasah adalah Ahmad Syalabi. Menurutnya perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara langsung, tidak mamaki lembaga perantara. Perkembangan madrasah dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya dalam beribadah di masjid, maka kegiatan pendidikan dibuatkan tempat khusus yang dikenal dengan madrasah. Jika dilihat dari kelayakan masjid sebagai tempat pendidikan, yang dikaitkan dengan ibadah dan fasilitas pendidikan, seharusnya daur al-katub atau daur al-ilim menjadi alternatif. Demikian itu karena dilengkapinya tempat-tempat tersebut dengan asrama, tempat-tempat untuk belajar dan fasilitas-fasilitas lain untuk memungkinkan terjadinya perubahan dan diskusi. Apalagi, madrasah memiliki komponen-komponen bangunan yang hampir serupa dengannya. Yang membedakannya ialah bahwa madrasah mempunyai kelas belajar yang memegang cukup, sedangkan daur al-alim atau daur al-kutub memiliki perpustakaan yang lebih lengkap. Karena itu, dapat dimengerti apabila J. Pederson dan Youssef Eche berteori bahwa madrasah merupakan duplikasi dari lembaga pendidikan. Dar Al-Ilm yang sudah lebih dahulu berkembang di wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyyah. Jika Dar Al-Ilm dijadikan sebagai media pendidikan dan propaganda Syiah, maka madrasah merupakan lembaga-lembaga pendidikan dan sekaligus propaganda Sunni. Makdisi menolak teori ini. Menurutnya Madrasah adalah lembaga pendidikan khas Islam (Sunni).

B. Asal-Usul dan Motivasi Pendirian Madrasah

Al-Maqrizi tampaknya mengira bahwa madrasah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Dalam karyanya Ittiadz, Al-Hunafa bi Akhbar Al-Aimmah Al-Fatimiyyah Al-Khulafa ia mengatakan bahwa Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masamasa sahabat dan tabiin, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah hijriyah. Madrasah pertama yang didirikan pada abad kelima Hijriyah (ke-11 Masehi) itu ialah Madrasah Nizamiyah yang didirikan pada tahun 457 H. oleh Nizam Al-Mulk. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa pengaruh madrasah Nizamiyah melampai pengaruh madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya. Ahmad Syalabi, misalnya menjadikan pendirian madrasah Nizamiyah sebagai pembatas, untuk membedakannya dengan era pendidikan Islam sebelumnya. Era baru itu ialah pada adanya katentuan-ketentuan yang lebih jelas berkaitan dengan komponen-komponen pendidikan dan pada keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan madrasah. Madrasah Nizamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi dan pemerintah terlibat dalam menetapkan tujuan-tujuannya. Menggariskan kurikulum, memilih guru, dan memberikan dana yang teratur kepada madrasah. Makdisi mempunyai pendapat yang lain, sekalipun menyetujui adanya peraturan-peraturan sebagai kelebihan madrasah, ia menganggap madrasah-madrasah Nizamiyah sebagai madrasah perseorangan. Dalam kaitan ini Nizam Al-Mulk adalah seorang pribadi yang mengelola madrasah untuk tujuan-tujuan sendiri. Jadi tidak ada keterlibatan perintah secara formal. Dari kajian tentang pertumbuhan madrasah Nizamiyah dan mengikuti sejarah perkembangannya, kami dapat menentukan tiga tujuan utamanya. Pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syiah. Kedua, menyediakan guruguru Sunni yang cakap untuk mengajarkan madzhab Sunni dan menyebarkannya ke tempattempat lain, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.

C. Teori Keilmuan Madrasah Tercatat dalam sejarah, bahwa segera setelah wafatnya Rasulullah, persoalan yang pertama timbul dalam Islam adalah persoalan politik. Dari persoalan politik itu kemudian berkembang menjadi persoalan politik timbul mendahului perkembangan pemikiran, atau dengan kata lain menjadi pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah politik. Latar belakang sejarah yang demikian itu, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini, dominasi kepentingan politik telah menentukan bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di dalamnya.

Pendidikan Islam dalam pelajarannya, sangat dipengaruhi oleh dua arus pergumulan. Bidang politik dan pemikiran, yang saling berkaitan. Terutama sejak awal abad ke 3 Hijriah terdapat pertentangan antar pemikiran dalam Islam semakin tajam. Salah satu bentuk pengaruh dari adanya pergumulan bidang politik dan pemikiran itu ialah dijumpainya tempat-tempat pendidikan yang khusus dan sekaligus merupakan ciri aliran pemikiran tertentu. Sebagai misal, Dar Al-Hikmah, lebih menunjuk kepada pola pendidikan pengikut Syiah, Al-Zawaya dan Al-Ribat adalah khas sufi, sedangkan madrasah, pada awalnya merupakan lembaga pendidikan yang mendukung ulama fiqh dan hadits. Melalui kajian lebih dalam, tradisi keilmuan di madrasah ini dapat dilihat dari tiga hal yaitu transformasinya, aliran dan kecendrungan politik pemerintahnya. Dalam hal transformasi akan dapat dilihat sejauh mana madrasah mempertahankan elemen pendidikan masjid di satu pihak dan menambahkan elemen-elemen baru di pihak lain. 1. Aspek Transformasi Madrasah Seperti telah diungkapkan sebelumnya madrasah merupakan transformasi dari masjid, bukan dari Duar Al-Ilm, madrasah tetap menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat lanjutan. Secara fisik madrasah pada abad pertengahan Islam pada dasarnya adalah bangunan masjid yang ditambah dengan lokal-lokal khusus untuk pendidikan (iwan) dan penginapan (pemondokan). Di samping itu madrasah mencerminkan transformasi dalam bidang administrasi dan managemen. Berbeda dengan masjid, madrasah telah mengarah pada sistem pengelolaan pendidikan yang lebih professional. Jika dilihat dari kesamaan fungsi dan tujuannya, terdapat indikasi, bahwa transformasi struktur itu tidak diikuti oleh tranformasi substansi keilmuan yang berarti. Dari sisi keilmuan, ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah masih merupakan kelanjutan dari yang diselenggarakan di masjid. Di masjid, pada awalnya diajarkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah agama. Kemudian mencakup juga al-ulum al-ajmabiyyah sebagai hasil dari pertemuan dengan budaya asing. Tetapi masih bersifat minor. Ilmu bumi, matematika, mantiq, falsafat dan tib memang diajarkan di beberapa masjid, tetapi dalam jumlah masjid yang sangat terbatas. 2. Aspek Aliran Keagamaan Pada akhir abad ke 4 atau awal abad ke 5 Hijriyah, pada waktu timbulnya madrasah, perkembangan keilmuan masyarakat Muslim dapat dikatakan telah mencapai tahap sempurna.

Tidak sampai 50 tahun dari akhir dinasti Usmawi hingga awal dinasti Abbasiyah, hampir seluruh ilmu telah berhasil disusun, baik itu menyangkut al-ulum al-naqliyah yang mencakup ilmu-ilmu Al-Quran, Hadits, Fiqh, Ilmu bahasa dan Ilmu Sastra dengan berbagai ancamannya, maupun alulum al-aqliyah seperti Matematik, Mantiq, Falsafat dan Kalam. 3. Aspek Politik Pemerintah Madrasah merupakan babak baru dalam pendidikan Islam karena pemerintah telah iktu terlibat didalamnya. Keterlibatan tersebut sangat erat kaitannya dengan tujuan pemerintah, sehingga pendidikan merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Dari sudut keilmuan, keterlibatan pemerintah dalam Madrasah Nizamiyah telah mengarahkan madrasah hanya kepada ilmu yang mendukung satu mazhab dari empat madzhab ini dengan mengadaikan bahwa orientasi Sunni secara umum memang merupakan kecendrungan rakyat atau kehendak sejarah. Yang lebih penting lagi, karena pemilihan materi pelajaran memiliki kaitan dengan tujuantujuan politis, atau tujuan-tujuan sektarian, maka teknik penyampaiannya pun cenderung tertutup dan bersifat indoktrinasi. Ideologisasi dari materi-materi pelajaran tidak memberikan kesempatan untuk mengembangkan cara berfikir yang bebas, sejalan dengan itu, banyak diantara peserta didik di madrasah terpaksa beralih madzhab agar memperoleh keuntungan dari pendidikan madrasah yang bersifat demikian. Dilihat dari segi ini, pendidikan di madrasah merupakan satu kemunduruan dibanding di masjid. Di masjid seseorang memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan memilih halaqah sesuai dengan minatnya, tanpa terkena sangsi.

D. Pengaruh Madrasah Sebagai suatu ide, madrasah mempunyai pengaruh yang luas dan monumental. Dengan mengutip pernyataan al-Dailami, Abd Ghaini Abud mengatakan pendirian universitasuniversitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nizamiyah), George Makdisi dalam beberapa tulisannya membuktikan bahwa tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dan tradisi madrasah. Di dunia Islam, besarnya pengaruh madrasah merupakan fenomena umum. Beberapa pejabat pemerintah yang sering disebut memiliki kaitan dengan ide dan penyebaran madrasah ialah : Nizam al-Mulk.

Dengan adanya perhatian, atau campur tangan pemerintah, madrasah segera tersebar dengan luas. Banyaknya saudagar, ulama ataupun yang lainnya juga mendirikan madrasah dengan model dan standard yang relatif sama. Al-Azzawi mencatat bahwa pada masa Saljuk terdapat lebih dari tiga puluh madrasah yang didirikan oleh mereka yang tidak memiliki kaitan dengan penguasa. Ahmad Syalabi mencatat enam belas madrasah pada masa Dinasti Ayyubiyun yang didirikan oleh perorangan. Namun kelihatan, tiga diantaranya ada hubungannya dengan penguasa atau kekuasaan. Dengan itu, madrasah bukan hanya tersebar pada daerah amat luas di Timur, melainkan juga idenya telah terawatkan sehingga madrasah tetap eksis pada era modern. Selain faktor diatas, madrasah dapat diterima luas karena tujuan dan kurikulumnya yang sesuai dengan kecendrungan masyarakat ketika itu. Madrasah dianggap mewakili masyarakatnya. Hal itu dapat ditinjau dari sudut pandang sosial keagamaan maupun ekonomi.

sumber: http://klikhimabio.blogspot.com/2009/01/madrasah-pada-masa-islam-klasik.html

ok
b.Kuttab
Kuttabsecara harfiah berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis. Tapi secara istilahkuttab berarti tempat ntuk belajar menulis dan membaca pada tingkat dasar. Para sahabat Nabi Saw., yang pandai baca tulis memanfaatkan lembagakuttab itu untuk keperluan mengajarkan ketrampilan menulis dan membaca ayat-ayat al-Qur'an kepada anak-anak. Dengan demikian,kutt ab di masa awal Islam oleh para sahabat dimanfaatkan untuk mengajarkan tulis baca ayat-ayat al-Qur'an. Dalam kisah diceritakan bahwa Rasullulah SAW. memerintahkan Al-Hakam bin Said untuk mengajarkan alQuran dan tulis baca pada sebuahkuttab di Madinah. Ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan jeniskuttab ini telah menjadi perhatian Rasulullah untuk menunjang keberhasilan dakwahnya. Pendidikan jeniskuttab ini pada mulanya diadakan di rumah-rumah guru. Setelah Nabi Saw. dan para sahabat membangun masjid, barulah adakuttab yang didirikan di samping masjid. Selain itu ada jugakuttab yang didirikan terpisah dari masjid. Masa belajar dikutt ab tidak ditentukan, bergantung kepada keadaan si anak. Anak yang cerdas dan rajin, akan lebih cepat menamatkan pelajarannya. Sebaliknya anak yang malas akan memakan waktu yang lama untuk menamatkan pelajarannya. Sistem pengajaran dikuttab

ketika itu tidak berkelas. Para murid biasanya duduk bersila dan berkeliling menghadap guru. Perkembangan lembaga pendidikan jeniskutt ab ini sejalan dengan perkembangan dan penyebaran agama Islam. Pada akhir abad pertama Hijriyah mulai berdirikutt ab kuttabyang tidak hanya mengajarkan tulis-baca al-Qur'an tapi juga pokok-pokok ajaran agama.Kuttab jenis ini sebenarnya merupakan perkembangan dari proses belajarmengajar di masjid yang sifatnya umum (bukan hanya untuk anak-anak tapi juga untuk orang dewasa, dan tidak hanya mengajarkan baca-tulis al-Quran namun juga ajaranajaran Islam). Tapi karena anak-anak tidak bisa menjaga kebersihan dan kesucian masjid maka kemudian mereka dilokalisir di tempat yang khusus di samping masjid dengan materi pengajaran yang sama, yaitu pokok-pokok ajaran Islam. Sejak itu berkembanglah kuttabmenjadi lembaga pendidikan Islam yang bersifat formal. Sampai pada abad ke-2 H, lembagakutt ab ini semakin banyak didirikan oleh kaum Muslimin atas prakarsa mereka sendiri, dalam arti lepas dari campur tangan pemerintah. Di masa ini pulakuttab tersebar merata di setiap negeri, sehingga karakteristikkuttab sebagai lembaga pendidikan yang terbuka sangat menonjol, dalam arti siapa saja bisa memanfaatkannya sebagai sarana untuk menimba ilmu pengetahuan Islam. Orang kaya dan miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk belajar dikutt ab . Hal ini terjadi karenakuttab tidak dikomersialisasikan. Para pengajar pun pada umumnya tidak mencari penghidupan dikutt ab , mereka mengajar secara ikhlas. Memang ada di antara mereka yang menerima upah, tapi umumnya tidak seberapa memberatkan. Singkatnya, pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan modelkuttab mengalami kemajuan pesat karena didukung oleh semangat kaum Muslim dalam menyebarkan agama Islam. Sejarah mencatat bahwa tradisi tulis baca di kalangan kaum Muslim yang ditanamkan melaluikuttab ini telah berjasa dalam mentransfer berbagai ilmu pengetahuan sehingga generasi Islam berikutnya dapat mengenal ajaran-ajaran Islam secara lebih baik.

c. Rumah Ulama
Di masa awal perkembangan agama Islam, rumah orang alim telah digunakan untuk belajar agama. Di masa Nabi Saw. menyampaikan risalah Islam, rumah para sahabat sering digunakan oleh Nabi untuk berkumpul dalam rangka menga-jarkan Islam. Rumah juga menjadi tempat menyampaikan ajaran Islam secara relatif aman, terutama dalam tiga tahun pertama dakwah Nabi, karena kondisi saat itu belum memungkinkan untuk berdakwah secara terang-terangan.

Kedengarannya memang agak musykil untuk memasukkan atau menganggap rumah sebagai lembaga pendidikan. Tetapi dalam banyak hal, rumah justru menjadi lembaga pendidikan alternatif ketika di lembaga lain proses pendidikan tidak bisa dilaksanakan karena satu dan lain hal. Alasan keamanan seperti yang terjadi di masa Nabi dan para sahabat, sehingga mereka menggunakan rumah untuk sarana pendidikan, hanya satu contoh saja. Contoh lainnya cukup banyak dibeberkan dalam sejarah. Misalnya, ketika muncul dikotomi ilmu-ilmu agama dengan pengetahuan umum, dan mulai muncul kecenderungan untuk memusuhi bahkan melarang pengetahuan umum diajarkan di lembaga pendidikan yang terbuka, maka rumah ulama menjadi rumpuan harapan. Hal itu terjadi, misalnya, pada kasus ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apakah kemudian filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi mati di dunia Islam? Ternyata tidak. Sebab orang-orang yang menghargai ilmu pengetahuan, apapun jenisnya, tetap mempelajari dan menekuni ilmu tersebut meskipun harus secara sembunyi-sembunyi, yaitu di rumah-rumah ulama yang bersedia untuk mengajarkannya kepada mereka. Tatkala lembaga-lembaga pendidikan sedikit atau banyak diintervensi oleh penguasa, kesempatan yang tersedia untuk belajar dan mengajar di lembaga pendidikan tidak selalu sama. Bisa terjadi seorang ulama tidak diperkenankan mengajar di lembagalembaga pendidikan yang terbuka, baik karena perbe-daan faham keagamaan maupun karena persoalan politik. Maka pada saat itulah sang ulama menjadikan rumah kediamannya sendiri sebagai lembaga pendidikan. Masih banyak contoh lain bisa disebut. Tapi itu saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa rumah pada masanya telah memainkan peranan yang tidak kecil dalam proses belajar-mengajar dan bahkan memelihara tradisi keilmuan. Bisa dibayangkan kalau "kematian" filsafat dan ilmu pengetahuan umum di lembaga-lembaga pendidikan terbuka tidak "dihidup-kan" lagi oleh para ulama yang mengajarkannya di rumah-rumah mereka. Hal itu menunjukkan bahwa rumah ulama telah menjadi lembaga pendidikan tersendiri dalam sejarah Islam, terlepas dari berbagai keterbatasannya.

d.Halaqah al-dars
Halaqah al-dars(biasa disebut halaqahsaja) atau "lingkaran belajar", termasuk lembaga pendidikan Islam yang cukup dikenal sebelum lahirnya adrasah. Sebagian ahli bahkan mengatakan; bahwa halaqah masih ada dan dilangsungkan meskipunMadrasah . telah bermunculan di dunia Islam. Malah ada yang mengatakan bahwaHalaqah al-dars juga sering dilangsungkan diMadrasah . Sebelum kemunculanMadrasah , kegiatanHalaqah al-dars biasanya berlangsung di masjid-masjid atau rumah-rumah. Karena itu ada perdebatan apakahHalaqah al-dars cukup absah untuk disebut sebagai lembaga pendidikan, atau cukup disebut sebagai metode pengajaran saja. Asma Hasan Fahmi tidak ragu-ragu memasukkanHalaqah al-

darsini sebagai lembaga pendidikan. Dia beralasan bahwa pendidikan Islam sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat mudah dan fleksibel. Artinya, ia tidak harus15 diselenggarakan di suatu tempat tertentu dan khusus, atau di sebuah bangunan yang permanen. Tampaknya, bagi Asma Hasan Fahmi, sepanjang sebuah majlis memenuhi kriteria ilmiah, maka ia sudah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan.Halaqah al-dars , menurutnya, telah memenuhi kriteria tersebut. Asma Hasan Fahmi menyatakan bahwa diskusi-diskusi ilmiah yang diselenggarakan di rumah-rumah para ulama, istana raja-raja, dan para pembesar adalahHalaqah al-dars yang cukup representatif. Lebih-lebih lagi apabila diskusi-diskusi itu juga menghadirkan orang-orang ternama dan para pemuka masyarakat seperti kalangan ulama, sastrawan, ahli logika, dokter, dan lain-lain. Perbedaan antaraHalaqah al-dars dengan "rumah ulama" yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan adalah bahwa "rumah ulama" lebih bermuatan pengajaran, dalam arti bahwa di situ ada murid yang belajar, dan ada guru atau pemilik rumah yang mengajar. SedangkanHalaqah al-dars lebih merupakan pertemuan ilmiah antara orang-orang pandai. Asma Hasan Fahmi menyebut contoh bagaimana kedudukan ilmu manthiq diperdebatkan secara berbobot dalam suatuHalaqah al-dars yang dipandu oleh Ibn alFurat. Dilihat dari materi pengajarannya, halaqah tidak sama dengan kuttab. Kalau kuttab dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, maka halaqah dapat disebut sebagai lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengancolle ge . Keempat lembaga pendidikan Islam disebut di atas merupakan lembaga pendidikan yang sangat awal dan dengan cepat sekali perkembangannya. Keempatnya sudah berdiri dan tersebar pada masa al-Khulafa' al-Rasyidun dan Bani Umayyah. Melalui lembaga pendidikan seperti inilah untuk pertama kalinya ilmu hadits, ilmu tafsir, dan fikih berkembang di kalangan para sahabat,tabi'i n (generasi setelah sahabat), danatba' altabi'in(generasi setelah tabi'in). Dengan melalui empat lembaga pendidikan itu telah lahir para ulama besar Islam
Asma Hasan Fahmi,Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam , edisi Indonesia (Jakarta: Bulan15 Bintang, 1979), h. 40.

dari kalangan sahabat, tabi'in dan atba' al-tabi'in, yang merupakan cikal bakal atau yang di masa kemudian melahirkan aliran-aliran pemikiran dalam Islam.Yang terkenal di antaranya belangsung di kota Makkah, Madinah, Basrah, Kuffah, Damaskus, dan Fustat.

1) Di Makkah

Di antara proses belajar-mengajar atau pendidikan Islam pertama di Makkah adalah pendidikan yang dilakukan oleh Abdullah ibn Abbas pada tahun 16 H (634 M). Dalam menjalankan pendidikan ini, dia dibantu oleh Mu'adz ibn Jabal. Pendidikannya sendiri berlangsung dikuttab , rumah sahabat, dan masjid. Beberapa materi pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut di antaranya adalah apa yang dewasa ini dikenal dengan tafsir, hadits, dirayah hadits, dan sastra. Melalui lembaga pendidikan ini telah lahir beberapa ulama terkenal, di antaranya Mujahid ibn Jabbar (ahli tafsir AlQur'an), Atha' ibn Abi Rabah (yang mengembangkan pengetahuan agama lewat kitabkitab fiqh), dan Thawus ibn Kaisan (seorang mufti [pemberi fatwa] di Makkah). Mereka ini dapat dikatakan sebagai ulama generasi kedua yang berjasa mengembangkan pendidikan di Makkah pada masa berikutnya. Adapun ulama generasi ketiga yang rerkenal adalah Sufyan ibn Uyainah dan Muslim ibn Khalid Al-Zanji. Imam Syafi'i, pengarang kitab fiqh terkenal "al-Umm" dan pendiri mazhab Syafi'i, pernah menimba ilmu di Makkah, sebelum belajar di Madinah.

2) Di Madinah
Lembaga pendidikan Islam di Madinah sudah ada dan berlangsung sejak Rasulullah Saw. dan para sahabat hijrah dari Makkah ke kota yang semula bernamaYatsrib itu. Masjid adalah salah satu yang terpenting dari lembaga yang digunakan oleh Nabi Saw. dalam proses pendidikan tersebut. Setelah beliau wafat, fungsi masjid sebagai lembaga pendidikan itu diteruskan oleh para sahabat. Kuttab dan rumah-rumah para sahabat pun masih tetap digunakan untuk menyampaikan pelajaran Islam. Di antara para sahabat yang meneruskan pendidikan Islam itu ialah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, dan Abdullah ibn Umar. Pengajaran al-Qur'an dan tafsir berkembang pesat ditandai dengan terbitnya al-Qur'an hasil tulisan tangan para murid yang dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit. Abdullah ibn Umar tampaknya sangat memusatkan pengajarannya pada bidang apa yang kemudian dikenal dengan hadits dan fiqh karena beliau adalah ahlinya dan dianggap sebagai pelopor mazhab Ahl al-Hadits yang berkembang pesat pada masa sesudahnya. Setelah para sahabat dan ulama Madinah generasi pertama wafat, para pengganti mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan adalah Sa'ad bin Musayyab dan Urwah bin alZubair bin al-A\vwan. Kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya yaitu seorang ahli hadits dan fiqh, yaitu ibn Syihab al-Zuhri. Kebanyakan kegiatan belajar mengajar di Madinah dilakukan di masjid-masjid, kuttab, dan rumah-rumah sahabat, seperti masa Rasullulah.

3) Di Basrah

Seperti di Makkah dan Aladinah, proses pendidikan dan pengajaran Islam di Basrah pertama-tama pada masa awal kebangkitan Islam memanfaatkan masjid dan rumahrumah ulama. Proses pendidikan dan pengajaran di Basrah itu dipelopori oleh Abu Musa al- Asy'ari dan Anas bin Malik, atas usulan Ali bin Abi Thalib. Kedua orang ini merupakan generasi pertama. Keduanya terkenal sebagai ahli Fiqh, Hadits dan Ilm alQuran. Tidak heran kalau ilmu-ilmu tersebut cukup dominan di Basrah. Dua ulama terkenal yang pernah dibesarkan oleh Abu Musa al-Asy'ari dan Anas ibn Malik adalah Hasan al-Basri dan Ibn Sirin, dua ulama terkenal di awal abad ke-2 H. Hasan al-Basri disebut-sebut sebagai perintis dan pemberi jalan bagi perkembangan Mazhab Ahl AlSunnah dalam bidang Ilmu Kalam. Ibn Sirin adalah seorang ahli Hadits dan Fiqh. Dia pernah belajar secara langsung dari Zaid bin Tsabit dan Anas bin Malik. Selain ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqh, tafsir, dan ilmu al-Qur'an, pada masa yang agak belakangan ilmu lain seperti sejarah, retorika, dan logika, juga banyak diajarkan di Basrah. Proses pendidikan dan pengajaran di Basrah berkembang pesat sejalan dengan kemajuan peradaban Islam di wilayah ArabTengah, dan banyak terpengaruh oleh perkembangan peradaban Islam di Irak dan Mesir.

4) Di Kufah
Ketika terjadi peperangan di Kufah, Umar bin Khattab, yang ketika itu menduduki jabatan khalifah, mengutus Ali bin Abi Thalib untuk memadamkan api peperangan di kota tersebut dengan perdamaian. Salah satu hasil yang dicapai dalam perdamaian itu adalah dibentuknya majlis pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Guru pertama dan utama yang ditugaskan menjalankan proses pendidikan dan pengajaran itu adalah Abdullah Ibn Mas'ud, seorang sahabat yang dikenal sebagai ahli fiqih dan ahli tafsir. Dia sendiri memberikan mata pelajaran al-Qur'an. Dalam menjalankan tugasnya, Abdullah bin Mas'ud ditemani oleh enam ulama besar, yaitu: 'Alqamah, al-Aswad, Masruq, 'Ubaidah, al-Harits bin Qais dan 'Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang kemudian menggantikan Abdullah Ibn Mas'ud dan mengembangkan majlis pendidikan di Kufah. Mereka berhasil mengembangkan lembaga pendidikan tersebut setelah mengadakan studi banding ke Madinah dan Makkah. Namanama lain yang pernah terlibat dalam pendidikan di Kufah adalah Abu Musa al-Asy'ari, Syuraih, Sya'bi, Nakha'i, Sa'id bin Zubair, Nu'man, dan Abu Hanifah.

5) Di Damaskus (Syiria)
Masih pada zaman Umar bin Khattab, ketika Islam sudah mulai mengembangkan sayap kekuasaannya sampai ke Syria (Syam), pengajaran Al-Quran secara berkala dimulai di mesjid-mesjid dan rumah-rumah. Itulah awal lembaga pendidikan Islam di

madrasah pada masa klasik islam bab2


Download this Document for FreePrintMobileCollectionsReport Document

Info and Rating


madrasah pada masa klasik islam bab2 Follow troupez_damour

Share & Embed Related Documents


PreviousNext 1.

p.

p.

p.

2.

p.

p.

p.

3.

p.

p.

p.

4.

p.

p.

p.

5.

p.

p.

p.

6.

p.

p.

p.

More from this user


PreviousNext 1.

48 p.

Recent Readcasters Add a Comment

You might also like