You are on page 1of 7

UPAYA REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

Dony Rachmanadi*

Abstract Penambangan batubara di Kalimantan Selatan pada umumnya menyebabkan kerusakan dan perubahan lansekap lahan karena menggunakan sistem pertambangan terbuka. Untuk mengatasi dampak tersebut dilakukan kegiatan reklamasi yang diharapkan dapat memulihkan kondisi ekosistem mendekati seperti kondisi semula atau rona awalnya sehingga lahan bekas tambang dapat kembali produktif. Salah satu bagian dari kegiatan reklamasi adalah kegiatan penanaman kembali atau revegetasi dimana pada umumnya revegetasi ini menggunakan jenis-jenis tanaman cepat tumbuh yang adaptif pada kondisi yang sangat marjinal. Revegetasi areal tambang harus dilihat secara menyeluruh (holistik) karena yang diharapkan dari kegiatan ini adalah kelestarian fungsi dari lahan sesuai peruntukkannya. Wacana yang dikemukakan dalam kerangka holistik ini adalah pembentukan kantong-kantong pelestarian vegetasi yang dilakukan sebelum kegiatan pertambangan berlangsung; pemantapan fase revegetasi yang meliputi penanaman prakondisi menggunakan jenis cepat tumbuh/pioner yang dilanjutkan dengan fase introduksi jenis-jenis klimaks; dan pengelolaan areal revegetasi untuk menjaga keberlangsungan proses suksesi dari ancaman seperti kebakaran hutan dan lahan. Keywords: batubara, revegetasi, holistik, kantong pelestarian, suksesi

I.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya energi dan mineral, baik berupa minyak dan gas bumi, tembaga, nikel, dan lainlain. Salah satu jenis bahan tambang andalan, diluar minyak dan gas, adalah batubara (coal). Direktorat Investasi Sumbedaya Mineral (2003) menyebutkan bahwa potensi batubara nasional mencapai 57,85 milyar ton. Kalimantan Selatan memiliki potensi sebesar 15% dari potensi nasional tersebut. Mulyanto, et.al., (2006) menyebutkan bahwa sektor pertambangan dan energi, sampai saat ini merupakan sektor penting dalam menopang ekonomi negara oleh karena sektor ini pada triwulan III tahun 2005 menyumbang 10.45 % Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional atau setara 74 trilyun rupiah (BPS, 2005). Kemudian Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan lebih jauh, produksi batubara telah mencapai 2.313 ribu BOEPD (barel oil equivalen per day) pada tahun 2007, dan tahun 2008 produksi batu bara diproyeksikan akan mencapai 2.359 ribu BOEPD. Selain memberikan manfaat positif seperti disebutkan diatas, tidak dapat dipungkiri kegiatan pertambangan juga memiliki dampak negatif yang tidak sedikit,
*

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

46

misalnya kerusakan lingkungan seperti hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, hilangnya keanekaragaman hayati (gene pool), terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, terjadinya peningkatan erosi, dan terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan. Jika hal ini dibiarkan, maka akan mengancam kehidupan manusia (Rahmawaty, 2002). Dalam rangka mengembalikan kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya, maka terhadap lahan bekas pertambangan, selain dilakukan penutupan tambang, juga harus dilakukan pemulihan kawasan bekas pertambangan. Pemulihan kawasan tambang batubara dilakukan melalui kegiatan reklamasi. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. Lingkup kegiatan reklamasi: penatagunaan lahan, revegetasi, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, dan pekerjaan sipil (Permen ESDM No. 18 tahun 2008). Dari keseluruhan lingkup kegiatan reklamasi tersebut, makalah ini akan mencoba untuk menitikberatkan pembahasan pada kegiatan revegetasi. Dalam kerangka penyelamatan hutan sebagaimana tema workshop ini, maka revegetasi harus dipandang pada perspektif yang menyeluruh (holistik) dimana kelestarian fungsi dari hutan lah yang akan dicapai dalam kegiatan revegetasi yang dimaksud.

II. UPAYA REKLAMASI DAN REVEGETASI TAMBANG BATUBARA Anonim (2006) menyebutkan, pada prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui reklamasi/rehabilitasi. Kondisi akhir reklamasi diarahkan untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati. Kegiatan ini dilakukan secara terus menerus/berlanjut sepanjang umur pertambangan sampai pasca tambang. Tujuan jangka pendek reklamasi adalah membentuk bentang alam (landscape) yang stabil terhadap erosi. Selain itu juga bertujuan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan dicapai menyesuaiakan dengan tataguna lahan pasca tambang. Penentuan tataguna lahan pasca tambang sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang telah direklamasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam sekitarnya. Lebih lanjut dijelaskan, untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu dilakukan beberapa upaya seperti : rekonstruksi lahan dan manajenem top soil. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu. Sebaiknya bahan-bahan galian dikembalikan keasalnya mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) disarankan berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi top-soil. Untuk memperoleh kwalitas top-soil yang baik, maka pada saat pengerukan,

47

penyimpanan dan re-distribusinya harus dilakukan pengawasan yang ketat. Realokasi top-soil pada lahan tanam bisa dilakukan secara lokal (per-lubang) atau disebarkan merata dengan kedalaman yang memadai. selain itu juga dilakukan revegetasi lahan kritis. Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008), menguraikan beberapa kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang, sebagai berikut: PT.Freeport Indonesia melakukan reklamasi dan suksesi alami pada area pengendapan pasir sisa tambang (sirsat). Sirsat mengapung bersama aliran sungai dan mengendap di daerah dataran rendah, dibantu dengan pembuatan tanggul. Di daerah dataran rendah inilah dilakukan suksesi dan reklamasi. Sirsat secara natural akan mencapai komunitas klimaks yang memberikan nilai ekologi dan nilai ekonomi. Saat ini sekitar 126 spesies berhasil ditanam dan dibudidayakan pada lahan sirsat baik dengan maupun tanpa penambahan bahan organik. PT.Koba Tin menggunakan metode Pot System untuk mengatasi minimnya top soil pada rehabilitasi lahan bekas tambang. Metode Pot System dinilai efektif untuk mengatasi lahan bekas tambang yang miskin unsur hara. Prinsip-prinsip yang digunakan diantaranya pembuatan lubang-lubang tanam; lubang-lubang tanam dikeringkan; penambahan top soil yang telah dicampur pupuk, kompos, dan mikroryza; dan penanaman. PT.Nusa Halmahera Minerals (PT.NHM) menggunakan metode enkapsulasi batuan potentially acid forming (PAF) di timbunan batuan pentutup tambang PT.NHM. PT. Newmont memilih metode suksesi progresif dimana ekosistem buatan manusia nantinya akan berkembang menjadi ekosistem alami. Secara umum, integrasi kegiatan penambangan dan reklamasi bertujuan mempercepat pemulihan lahan yang terganggu akibat kegiatan penambangan dan mengurangi luas lahan yang harus direklamasi pasca penambangan. Akbar, et.al. (2001) juga menerangkan beberapa kegiatan reklamasi oleh perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan; PT. Bahari Cakrawala Sebuku menggunakan pola suksesi alam dengan menanam land cover crop (LCC) dan beberapa tanaman berkayu. PT. Adaro Indonesia melakukan kegiatan revegetasi dengan melakukan ujicoba penanaman beberapa jenis tanaman cepat tumbuh seperti Acacia spp. dll. Mulyanto, et.al. (2006) menyebutkan upaya revegetasi menghadapi beberapa persoalan antara lain: lapisan tanahnya tipis, sehingga ruang perakaran sempit, kandungan unsur hara rendah, daya menahan air rendah, masam, dan kandungan logam-logam berat tinggi. Persoalan-persoalan tersebut daapt dilihat dari pertumbuhan tanaman revegetasi maupun kegagalan dalam usaha penanaman yang coba dilakukan. Rahmawaty (2002) lebih lanjut menjelaskan, untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Widajatno, et.al., (2008) menyebutkan evaluasi terhadap tanaman revegetasi di Sepapah, Kalimantan Selatan menunjukkan 48-61% tanaman terjadi percabangan rendah. Hal tersebut menunjukkan kondisi tanah yang marjinal.

48

Tetapi pada sisi lain ditemukan tumbuhan bawah sebagai indikator masuknya tumbuhan pioner, seperti: kerinyu (Chromolaena odorata), karamunting (Melastoma affine) dan tumbuhan berkayu mahang (Macaranga sp.). Irawan (2006) juga menyebutkan bahwa tanaman revegetasi yang ditanam telah diketahui dapat mendukung proses suksesi alami di sekitarnya. Pemantauan tanaman pada lahan tambang selanjutnya dilaksanakan untuk memberikan informasi dan umpan-balik. Lugo (1997) dalam Rahmawaty (2002) menjelaskan suksesi secara alami memiliki tahap-tahap tertentu, yang terjadi secara perlahan-lahan dan biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Penerapan kaedah suksesi menciptakan keseimbangan antara intervensi manusia dengan usaha ekosistem untuk mendisain lingkungannya sendiri (self design). Self design ini memberikan keuntungan dalam hal memberikan daya tahan hidup pada kondisi awal terjadinya suksesi, pemantapan kondisi hutan setelah fase awal suksesi, dan memerlukan sedikit biaya. Pada kegiatan revegetasi lahan bekas tambang ini, fenomena alam tersebut akan dicoba untuk dimodifikasi supaya tahapan suksesi (nudation, migrasi, ecesis, agregation, evolution of community relationship, invation, reaction, stabilization, dan klimaks) dapat berlangsung dengan cepat. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menanam jenis tanaman tertentu secara berurutan seperti halnya yang terjadi pada fase-fase dari suksesi alami. Dalam kegiatan reklamasi areal bekas tambang, prinsip-prinsip dan pengetahuan ekologi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, seperti pengetahuan tentang spesies, komunitas dan ekosistem, ekotype, substitusi spesies, interaksi antar individu, spesies dan ekosistem, serta suksesi (Rahmawaty, 2002). Pemilihan jenis adalah tahap yang paling penting dalam upaya revegetasi lahan bekas tambang. Pemilihan ini bertujuan untuk memilih spesies tanaman yang disesuaikan dengan kondisi lahan tersebut. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam didasarkan pada adaptabilitas, cepat tumbuh, diketahui teknik silvikultur, ketersediaan bahan tanam, dan dapat bersimbiosis dengan mikoriza.

III. TINJAUAN KRITIS DALAM UPAYA REVEGETASI AREAL BEKAS TAMBANG BATUBARA Tujuan reklamasi/restorasi suatu ekosistem, terdiri dari 3 hal, yaitu: (1). Protektif; dalam hal ini memperbaiki stabilitas lahan, mempercepat penutupan tanah dan mengurangi surface run off dan erosi tanah, (2). Produktif; yang mengarah pada peningkatan kesuburan tanah (soil fertility) yang lebih produktif, sehingga bisa diusahakan tanaman yang tidak saja menghasilkan kayu, tetapi juga dapat menghasilkan produk non-kayu (rotan, getah, obat-obatan, buahbuahan dan lain-lain), yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya, dan (3). Konservatif; yang merupakan kegiatan untuk membantu mempercepat terjadinya suksesi secara alami kearah peningkatan keanekaragaman hayati spesies lokal; serta menyelamatkan dan pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan potensial lokal yang telah langka (Rahmawaty, 2002). Mengacu pada tiga tujuan tersebut maka kegiatan revegetasi yang selama ini dilakukan di areal bekas tambang batubara dapat dikategorikan masih pada

49

tahap awal. Untuk mencapai atau mendekati kondisi ekosistem seperti sebelum dilakukan pertambangan, maka diperlukan beberapa fase utama dalam kegiatan revegetasi yang harus direncanakan secara holistik dalam keseluruhan kegiatan pertambangan. Sebagaimana kita ketahui, pada tahap awal revegetasi pada umumnya menggunakan jenis-jenis tanaman pioner yang memiliki sifat cepat tumbuh dan adaptif terhadap kondisi lahan bekas tambang yang sangat marjinal. Akan tetapi jenis pioner ini memiliki batas usia produktif yang relatif pendek, misalnya jenis akasia yang memiliki umur produktif lebih kurang 8 tahun. Setelah masa tersebut, tanaman akan mulai mati secara alami sehingga menyebabkan areal revegetasi menjadi terbuka kembali dari tutupan vegetasi. Kondisi tersebut akan menyebabkan melonjaknya pertumbuhan jenis gulam dan rumputan yang pada akhirnya akan menjadi bahan bakar yang potensial dalam kebakaran lahan. Apabila proses di atas dibiarkan makan proses suksesi secara keseluruhan akan terganggu sehingga suksesi klimaks tidak akan tercapai atau fungsi revegetasi menjadi tidak tercapai. Pada sisi lain, suksesi yang terjadi dengan ditandainya introduksi jenis lokal seperti dikemukakan Akbar, et.al. (2005), Widajatno, et.al., (2008) dan Irawan (2006) ternyata masih jauh dari rona awal pada areal tersebut. Misalnya contoh kasus di Sepapah, Kalimantan Selatan dimana areal pertambangan batubara di daerah tersebut diketahui memiliki rona awal yang didominasi oleh jenis dipterocarpa, akan tetapi dalam evaluasi pada areal tanaman revegetasi ternyata tidak/belum ditemukan jenis tersebut. Kemudian, suksesi yang terjadi masih juga masih sangat rendah bila dilihat dari luas basal areanya, dimana nilainya jauh lebih kecil dari umumnya total basal area daerah tropik yaitu 36 m2/ha (Dawkins, 1959). Yang juga perlu menjadi perhatian adalah ternyata pemulihan secara alami (hanya mengandalkan suksesi alam) pada ekosistem yang telah terganggu atau terdegradasi pada umumnya berjalan sangat lambat bahkan stagnan (Kuijk, 2008). Kendala dari integrasi suksesi alam pada areal revegetasi adalah tidak adanya sumber benih atau lokasi revegetasi sudah terlalu jauh dari tegakan alam yang ada. Kondisi ini memunculkan suatu wacana untuk membentuk kantongkantong pelestarian vegetasi pada areal pertambangan yang diharapkan dapat menjadi sumber benih dalam proses suksesi alami di areal yang telah di revegetasi. Selain wacana tersebut di atas, tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai kelestarian fungsi vegetasi dalam rangka reklamasi areal tambang batubara adalah dengan membuat fase-fase revegetasi secara lengkap sehingga dapat lebih mendukung suksesi alam yang terjadi. Fase yang dimaksud adalah pada saat tanaman pioner berada pada umur optimalnya, maka dilakukan kegiatan penanaman lanjutan menggunakan jenis-jenis klimaks, seperti jenis meranti (Shorea spp.), kempas (Kompassia exelca), dan lainnya. Fase penanaman ini nantinya bersifat memperkaya jenis pada areal revegetasi (enrichment planting). Setelah fase-fase tersebut dilakukan, tentunya diperlukan pengelolaan secara menyeluruh yang dapat menjaga areal revegetasi dari gangguan, misalnya pemantaua pertumbuhan tanaman dan pemeliharaan tanaman secara berkala, menjaga tanaman dari bahaya kebakaran sehingga kegiatan reklamasi dan revegetasi ini menjadi suatu kegiatan yang menyeluruh dan tertata dengan baik.

50

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa topik penelitian yang dapat dilakukan untuk mendukung keberhasilan kegiatan reklamasi dan revegetasi secara holistik, yaitu: 1) penelitian mengenai pembentukan kantongkantong pelestarian vegetasi, seperti berapa jarak optimal areal revegetasi dan kantong pelestarian, berapa luas optimal areal kantong pelestarian; 2) penelitian mengenai metode penanaman perkayaan pada areal revegetasi, seperti asosiasi jenis, teknis penanaman dalam jalur atau rumpang (gap), lebar jalur dan rumpang optimum dalam penanaman perkayaan; 3) penelitian pengaruh jenis tegakan revegetasi terhadap kehidupan organisme (tingkat rendah dan tinggi) di bawah dan permukaan tanah; 4) penelitian hubungan tanaman dengan kondisi tapak, seperti penanaman pada tanah mampat, pengaruh kekurangan air pada tanaman. Beberapa topik penelitian tersebut diharapkan dapat mendukung wacana yang dikemukan dalam makalah ini dan lebih jauh dapat berkontribusi dalam usaha pemulihan ekosistem yang terganggu aebagai dampak dari kegiatan pertambangan secara umum dan pertambangan batubara khususnya.

IV. PENUTUP Revegetasi areal tambang harus dilihat secara menyeluruh (holistik) karena yang diharapkan dari kegiatan ini adalah kelestarian fungsi dari lahan sesuai peruntukkannya. Wacana yang dikemukakan dalam kerangka holistik ini adalah pembentukan kantong-kantong pelestarian vegetasi yang dilakukan sebelum kegiatan pertambangan berlangsung; pemantapan fase revegetasi yang meliputi penanaman prakondisi menggunakan jenis cepat tumbuh/pioner yang dilanjutkan dengan fase introduksi jenis-jenis klimaks; dan pengelolaan areal revegetasi untuk menjaga keberlangsungan proses suksesi dari ancaman seperti kebakaran hutan dan lahan.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Rehabilitasi Tambang. Praktek Unggulan Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan. Commonwealth of Australia. Akbar, A., Eko P., Hendra A.B., dan Syahrir N. 2001. Teknik Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Laporan Hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Akbar, A., Eko P., dan Hendra A.B. 2005. Potensi Tanaman Revegetasi Lahan Reklamasi Bekas Tambang Batubara dalam Mendukung Suksesi Alam. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 2 No. 3. Bogor. Dawkins, H.C. 1959. The Volume Increament of Natural Tropical High Forest and Limitation on Its Improvement. Empire Forestry Review, 38, 175-180

51

Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Seminar Reklamasi Lahan Bekas Tambang di Indonesia. Bandung. Irawan, A. 2006. Penanaman Lahan Tambang di PT Freeport Indonesia. Seminar Nasional PKRLT Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 146 Tahun 1999 Tentang : Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan Kuijk, M. 2008. Forest Regeneration and Restoration in Vietnam. Disertasi Utrecht University. Wohrmann Print Service, Zupthen. Lugo, A.E. 1997. The Apparent Paradox of Reestablishing Species Richness on Degradedlands with Tree Monocultures. Forest Ecology ang Management. Mulyanto, B. Dan Suwardi. 2006. Prospek Zeolit Sebagai Bahan Penjerap dalam Remediasi Lahan Bekas Tambang. Seminar Nasional PKRLT Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya MineraNo. 18/2008 mengenai reklamasi tambang dan penutupan tambang. Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Suprapto, S.J. 2006. Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek Konservasi Bahan Galian. Kelompok Program Penelitian Konservasi Pusat Sumber Daya Geologi Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Widajatno, D., Delma A. 2008. Pertimbangan Lingkungan dalam Rencana Penutupan Tambang Batubara di Sepapah, Kalimantan Selatan. Seminar Air Asam Tambang dan Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Bandung.

52

You might also like