You are on page 1of 5

NIKAH : Antara Kepentingan Jamaah IM atau Pribadi ? Oleh : Heri Irawan (Naqib : Ust.

Antony, DPC Tembalang)

INTRODUCTION Pernikahan akan bersifat dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Islam di satu sisi, dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya, pada sisi yang lain. Dalam memilih jodoh, dipilihkan pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, dipertimbangkan pula kemaslahatan secara lebih luas. selain kriteria umum sebagaimana tuntunan fikih Islam, pertimbangan lainnya adalah : apakah pemilihan jodoh ini memiliki implikasi kemaslahatan yang optimal bagi dakwah, ataukah sekedar mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya? Atau kita telah sepakat untuk tidak mau melihat realitas itu, karena bukanlah tanggung jawab kita ? Ini urusan masing-masing. Tidak saudaraku, bahwa pernikahan memiliki komplesitas yang mesti kita pahami besama. Nila-nilai pernikahan manakala di maknai dengan penuh keyakinaan akan dampak positif yang akan didapatkan oleh kedua belah pihak (ikhwan/akhwat) maka niscaya kita akan meneguk separuh kenikmatan iman yang belum kita dapatkan. Masalah tema pernikahaan ini kerapkali luput dari perhatian ikhwan dan akhwat yang aktif berdakwah ketika masih lajang. Luput dari perhatian yang dimaksud adalah mereka lupa mempersiapkan secara cerdik bagaimana menyikapi dan memenej aktivitas dakwah pasca nikah. Para ikhwan, setelah menikah otomatis menjadi suami dan calon-calon abi yang tugas dan tanggung jawab menumpuk di pundaknya. Dari mulai mencari nafkah sampai memberikan perhatian untuk keluarga. Adapun seorang akhwat, setelah menikah otomatis menjadi seorang istri dan ibu, yang notabene kawasan kerjanya lebih banyak di dalam rumah karena berkaitan dengan tugas rumah tangga dan pendidikan anak. Banyak pasangan aktivis yang dapat memperhatikan mobilitas mereka pasca nikah. Mereka mempersiapkan secara cerdik dan membangun semangat bersama untuk tetap istiqomah di jalan dakwah tanpa mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarga. Namun ada juga, bahkan tak sedikit, ikhwan dan akhwat yang pada masa lajangnya aktif dalam kegiatan dakwah, tiba-tiba redup semangatnya setelah menikah. Apakah ini berarti bahwa kedua tanggung jawab besar itu tidak dijalankan secara beriringan? Tiap orang tentu akan

menjawab berbeda, karena lagi-lagi ini menyangkut kesiapan setiap pribadi. Bagi Anda yang belum menikah dan punya ghirah tinggi untuk tetap istiqomah di jalan dakwah, sudah selayaknya mempersiapkan diri. CONTENS Maka bagi para aktifis islam hendaknya memahami realitas ini agar memperoleh pemahaman yang mendalam tentang hakikat pernikahan. Sadari Keberadaan kita dijalan dakwah harus disadari sepenuhnya. Sebagaimana dakwah merupakan tuntutan setelah berilmu dan beramal. Karena itu, kita tidak bisa memilih jalur aman dengan hanya mengatakan,Ah, kan sudah banyak yang berdakwah. Sesungguhnya setiap kita mendapat amanah yang sama, tentu dengan bentuk dan porsi yang berbedabeda. Lagi-lagi hal ini berkaitan dengan kesiapan masing-masing pribadi. Yang terpenting, yang harus senantiasa kita tanamkan bahwa keberadaan kita di dunia ini bukan sekedar untuk meramaikannya. Namun lebih mulia dibanding itu, yaitu menjalankan ibadah kepada Allah. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surat Adz-dzariyat ayat 56. Siapkan Niat Niat, tampaknya sepele padahal memberikan pengaruh ekstra luar biasa. Ia menjadi kekuatan penggerak yang bisa terlihat wujudnya secara kasat mata, entah baik atau buruk. Seorang ikhwan atau akhwat yang pada masa lajangnya aktif mengikuti kajian atau dakwah demi sekedar memperoleh jodoh, misalnya, tentu akan lebih mudah mengalami penurunan semangat setelah tujuannya tadi kesampaian. Berbeda dengan para aktivis yang benarbenar meniatkan aktivitas dan dakwahnya untuk menegakkan agama Allah. Menikah justru bisa menjadi sarana untuk bersinergi dengan pasangan untuk membangun kekuatan dakwah. Niat ini seringkali tidak kita sadari dan diperhitungkan keberadaannya. Bahkan kita seringkali lalai membangun niat. Ya, semangat memang kadang naik turun seiring kondisi keimanan kita. Oleh karena itu, upaya untuk senantiasa meluruskan dan memperbaiki niat harus selalu dilakukan. Tetap berada dalam barisan dakwah adalah salah satu caranya. Komunikasikan Niat boleh ada. Semangat boleh tinggi. Namun setelah menikah, perlu strategi cerdik agar kedua amanah mulia itu dapat berjalan seiring, tanpa meninggalkan satu dan yang lainnya. Pasangan aktivis harus mengkomunikasikan hal ini dengan baik agar niatan mulia untuk tetap eksis di jalan dakwah pasca menikah tetap bisa berjalan tanpa mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Para suami perlu membuat jadwal aktivitas sebaik mungkin agar amanahnya sebagai dai tetap berjalan maksimal, namun juga tetap punya porsi untuk

memberikan hak-hak keluarga. Bukankah seorang ayah juga punya kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada anak dan istrinya? Ya inilah salah satu tugas yang tak boleh luput dari pemikiran seorang ayah yang sibuk berdakwah. Sangat ironi, jika semangat dakwah yang meletup-letup dari seorang ayah tidak ditransfer kapada sang anak. Bukankah anak-anak tersebut yang nantinya diharapkan menjadi kader-kader penerus dakwah? Demikian halnya seorang ibu, keinginan untuk tetap eksis di barisan dakwah pasca nikah harus terkomunikasikan dengan baik. Terlebih setelah menikah, wanita memang akan lebih banyak berkutat dengan urusan rumah tangga. Bukan berarti wanita tidak layak atau tidak punya kemampuan untuk aktif di luar rumah. Namun hal ini isyaAllah lebih sesuai dengan fitrah penciptaannya. Seorang ibu yang tetap punya semangat dakwah tinggi harus merumuskan strategi-strategi baru bersama suami. Secara syari seorang isti harus berusaha meraih ridha suami. Di sisi lain, suami pun mamahami bahwa ada saat dia berada di luar rumah, namun ada waktunya pula dia berada di rumah untuk membantu tugas-tugas kerumahtanggaan. Atau minimal seorang suami harus punya jadwal tetap untuk mengantarkan istrinya talim atau sekedar ziarah ke rumah sahabat untuk memberikan pencerahan bagi istri. Ikwah sekalian selain 3 hal penting diatas, ada juga hal penting lainnya yang perlu kita persiapkan sebagai aktfias dakwah agar pernikahan kita nanti mengahasilkan produktifitas yang tinggi dalam berdakwah. Ke-4 persiapan itu adalah: 1. Kesiapan pemikiran Bahwa ketika ingin menikah seseorang hendaknya sudah memiliki dasar-dasar pemikiran yang jelas tentang idenstitas ideologinya. Sudah memiliki kematangan visi mengapa kita menhajadi muslim (kematangan keislaman)? Hal ini berkaitan dengan komitmen kepada islam. Dasarnya adalah ilmu pengetahuan. Sehingga menelurkan marifah yang baik dengan islam. Dimana hal ini pula akan melahirkan kematangan sisi kepribadian: konsep diri yg jelas (paham SWOT dirinya ); aku diri, aku sosial, aku ideal. Pada fase ini maka seseorang ketika ingin mencari istri tidak memilih istri yang ideal akan tetapi mencari istri yang tepat dengan bingkai kepribadiannya. Dia juga akan memahami hambatan-hambatan dalam pernikahan, yaitu muncul sikap saling menerima pasangan apa adanya baik kelebihan maupun kekurangan. Sehingga suami/istri nantinya tidak akan memandang istri atau suamsi menurut pandangan pribadi, tetapi memandang sebagaimana mereka adanya. Niscaya kita tidak akan kecewa. Visi pernikahan harus jelas. Pengetahuan ttg pernikahan fardu ain dlm diri orang yang menikah. Pengetahuan ttg perkawinan : hak dan kewajiban suami istri, pengetahuan ttg masalah pendidikan krn terkait dg anak, msl2 kesehtn, dan seksual.

2.

Psikologis Orang yang matang secara pribadi adalah orang yang bisa mentranfer pemahaman menjadi karakter. Kematangan tertentu secara psikologis untuk menghadapi tantangan besar dalam hidup, tanggung jawab, dan kemandrian. Kematangan psikologis juga akan melahirkan keseimbnagan antara ambivalensi emosi yang ada dalam jiwa kita (ambivalensi antara harpan dan realisme, etc). Dalam suatu rumah tnagga fluktuasi emosi berlangsug lebih cepat dibandingkan ketika masih bujangan. Kematangan psikologis bagaimana mengubah situasi yang pelik menjadi cair kembali. 3. Fisik Islam sangat mempehatikan masalah ini. Syarat mutlak syah sebuah pernikahan saah satunya adalah fisik, sebelum melangsunkan pernikahan seorang lelaki atau wanita sebaiknya yakin bahwa alat reproduksi mereka berfungsi dengan baik. Karena hal ini salah satu hal yang membolehkan perceraian seorang suami terhadapistrinya manakala istrinya mandul atau sebaliknya.

4.

Finansial Aspek ekonmi sangat terlibat dalam masalah perkawinan. Karena ini merupakan hal yang tidak bisa di tawar tawar lagi bahwa kehidupan rumah tangga adalah suatu keniscayaan akan uang. Maka terjaminnya keuangan seorang suami merupaka hal penting yang tidak bisa diabaikan. Bahkan Rasul pun talah menjadi contoh dalam masalah ini.

KHOTIMAH Dari Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam Oleh Ibnu Hajar Al Ashqalani : Hadits ke-1 Abdullah Ibnu Masud Radliyallaahu anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda pada kami: Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-2 Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-3 Anas Ibnu Malik Radliyallaahu anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat. Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

You might also like