You are on page 1of 16

MAKALAH HUKUM ORANG DAN KELUARGA

Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan di Catatan Sipil

Disusun oleh : 1. Evandri Giuliano Pantouw 2. Hilda Mulyana (1006661595)

3. Imania Aini Putri M (1006687676) 4. Muhammad Rifki (1006687966) 5.Adryan Rahardianto


\

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya maka makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Di dalam makalah ini dibahas mengenai Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan di Catatan Sipil. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dalam memahami dan menggali lebih dalam permasalahan kasus Pencatatan Perkawinan Penghayat

Kepercayaan di Catatan Sipil lewat pandangan Hukum positif yang berlaku di


Indonesia..

Demikian kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Tim Pengajar Hukum Orang dan keluarga yang telah memberikan tugas ini kepada kami sehingga kami dapat mengetahui lebih jauh mengenai materi ini serta kepada seluruh pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami juga mengharapkan kritik dan saran untuk pengembangan makalah berikutnya. Seperti peribahasa yang berbunyi "Tiada gading yang tak retak", begitupula dengan makalah kami yang tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu kami mohon maaf sebesar besarnya apabila ada kata - kata yang kurang berkenan di dalam makalah ini.

Depok, July 2011

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ABSTRAKSI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah dan ruang Lingkup C. Tujuan Penulisan D. Jenis Penelitian dan Metode Analisis

i ii iii

1 2 2 2 2

E. Sistematika Penulisan yang Dihubungkan dengan Teknik Penulisan BAB II PEMBAHASAN A.1 Catatan Sipil A.2 Penghayat Kepercayaan B.1 Perkawinan Penghayat Kepercayaan C. Analisis BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 23 B. Saran 26 DAFTAR PUSTAKA 27 15

5 7

ABSTRAKSI

Kata Kunci : catatan sipil, penghayat kepercayaan, administrasi penduduk, perkawinan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman. Keanekaragaman tersebut dapat dilihat dari banyaknya suku dan agama yang terdapat di Indonesia. Indonesia mempercayai enam agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelum masuknya agama-agama tersebut, nenek moyang bangsa Indonesia memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah kepercayaan terhadap makhluk halus dan roh, sedangkan dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Walaupun banyak orang di Indonesia yang sudah menganut keenam agama di atas, namun masih terdapat orangorang yang memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme. Setiap manusia memiliki berbagai macam kebutuhan dasar, salah satunya adalah bereproduksi atau memiliki keturunan. Untuk memiliki keturunan, maka diperlukan perkawinan. Perkawinan menurut doktrin adalah suatu persekutuan atau perserikatan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui sah oleh peraturan-peraturan negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesatuan hidup yang abadi. Sedangkan menurut pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pasal 26 KUHPerdata, Undang-undang memandang perkawinan hanya dari segi keperdataan saja. Perkawinan di sini hanya dilakukan di hadapan pegawai catatan sipil. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974, Undang-undang memandang perkawinan berdasarkan asas kerohanian. Hal ini dapat dilihat dari adanya kata-kata berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974.

Untuk orang yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan untuk orang yang beragama selain Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. B. PERUMUSAN MASALAH DAN RUANG LINGKUP Di dalam makalah ini terdapat lima rumusan masalah, yaitu : 1. Apakah yang dimaksud dengan Catatan Sipil ? 2. Apakah yang dimaksud dengan Penghayat Kepercayaan ? 3. Apakah pemerintah telah memberi perlindungan terhadap status agama penghayat kepercayaan? 4. Apakah Hukum Indonesia telah mengatur mengenai ketentuan Perkawinan Penghayat Kepercayaan? 5. Apakah hukum positif Indonesia telah mengatur persoalan Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan di Catatan Sipil ? Ruang lingkupnya adalah melihat persoalan Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan di Catatan Sipil) di negara Indonesia ditinjau dari hukum positif yang berlaku di negara Indonesia.

C. TUJUAN PENULISAN Terdapat empat tujuan penulisan dari makalah ini, yaitu yang pertama untuk memenuhi tugas makalah kelompok mata kuliah dan keluarga dengan topik Pencatatan Perkawinan hukum orang Penghayat

Kepercayaan di Catatan Sipil. Tujuan yang kedua untuk mengetahui bagaimana konsep Perkawinan Penghayat Kepercayaan dari segi hukum positif yang berada di mengetahui bagaimana Indonesia, tujuan yang ketiga adalah untuk status Pencatatan Perkawinan Penghayat untuk

Kepercayaan di Catatan dan tujuan yang terakhir adalah

menambah pengetahuan bagi penulis secara khusus dan kepada pembaca secara umum. D. METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN Jenis penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah penelitian dengan metode pengembangan yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperluas dan menggali lebih dalam masalah dan realita yang telah ada. Dalam kasus ini masalah yang akan dikembangkan adalah mengenai permasalahan Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan di Catatan Sipil yang kemudian akan lebih dispesifikasikan ke dalam pandangan hukum orang dan keluarga yang berlaku di negara Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah analisis secara kualitatif, yaitu dengan mengambil kesimpulan dari data - data yang sudah ada dan kemudian dibuat suatu kesimpulan tentang masalah yang bersangkutan. E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistem yang digunakan dalam menulis makalah ini adalah dengan menerangkan pembahasan Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan di Catatan

Sipil dilihat dari sudut pandang hukum positif di Indonesia. Setelah itu akan
diambil inti sari dari pokok pembahasan dan kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dari seluruh data - data yang sudah ada.

BAB II

A.1 Catatan Sipil Dr. Wienarsih & Sri Soesilowati menyatakan Catatan sipil adalah kegiatan pencatatan yang dilakukan oleh kantor catatan sipil yang sengaja dilakukan pemerintah dengan maksud melakukan pencatatan yang sebesar-besarnya tentang kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia dalam masyarakat keluarga1. Pencatatan tersebut berupa akte/surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti adanya peristiwa kelahiran, perkawinan, perceraian maupun kematian. Pengaturan tentang catatan sipil terdapat dalam Buku 1 KUHPerdata BAB II tentang aktaakta catatan sipil. Terdapat beberapa pendapat mengenai istilah catatan sipil :
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio Burgelijke Stand (Belanda), Catatan Sipil, suatu lembaga yang ditugaskan

untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga negara, seperti kelahiran,perkawinan, dan kematian. Menurut M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. Catatan sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah
yang bertugas untuk mencatat, mendaftarkan, serta membukukan selengkap mungkin tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang misalnya perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian serta ganti nama

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan catatan sipil atau pencatatan sipil merupakan suatu lembaga yang sengaja dibentuk oleh pemerintah dengan tugas menyelenggarakan pencatatan, penerbitan, penyimpanan dan pemeliharaan data keperdataan seseorang, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian,pengakuan dan pengesahan anak., serta pergantian nama.
1

Dr. Wienarsih dan Sri Soesilowati, S.H., Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, Jakarta, Gimatama

Lembaga catatan sipil mengeluarkan akte catatan sipil yang bertujuan untuk memungkinkan seorang memperoleh kepastian hukum yang sebenar-benarnya mengenai peristiwa kehidupannya. Mengenai pencatatan perkawinan menurut pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk kepentingan administrasi negara, agar hakhak yang timbul dari perkawinan itu misalnya pembuatan akta kelahiran, kartu keluarga, dan lain sebagainya yang memerlukan akta nikah sebagai bukti adanya suatu perkawinan dapat terjamin. Hal-hal semacam ini perlu diatur agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan antara lain: a. Perkawinan Dianggap tidak Sah Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. b. Ibu Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI

dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.

A.2 Penghayat Kepercayaan Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Salah satu wujud budaya Indonesia tersebut adalah budaya spiritual yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang pada dasarnya adalah warisan leluhur budaya bangsa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu aspek warisan budaya bangsa (budaya spiritual) secara realistis masih hidup dan berkembang serta dihayati oleh sebagian masyarakat Indonesia. Penghayat Kepercayaan didefinisikan dalam peraturan pelaksanaan UU No. 23/2006 pada PP 37/2007 adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa . Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya dan menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya, Namun Pemerintah secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Hal ini dikuatkan oleh Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Kemudian dengan lahirnya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut menyebabkan munculnya persepsi agama resmi dan tidak resmi. Diskriminasi tersebut diteguhkan oleh Tap MPR no.IV/MPR/1978 tentang GBHN yang menyatakan bahwa Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Tap ini

ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama no.4/1978 tentang Kebijaksanaan mengenai aliran-aliran Kepercayaan dan Instruksi Menteri Agama no.14/1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama no.4/1978 yang pada intinya menyatakan bahwa Departemen Agama tidak mengurusi persoalan aliran-aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama. Aliran Kepercayaan, sebagai agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme dan tidak diakui sebagai agama sehingga mengakibatkan tidak memiliki hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan sebagainya. Dalam perkembangannya, muncul istilah penghayat murni dan penghayat tidak murni bagi mereka yang terkategorikan sebagai penghayat kepercayaan murni adalah mereka yang pada kolom agama di KTP nya tidak mencantumkan nama agama umum, sementara bagi mereka yang terkategorikan sebagai penghayat kepercayaan tidak murni adalah mereka yang mencantumkan kolom agama umum pada KTP nya disebabkan keterpaksaaan oleh kondisi politis atau administratif. Padahal legitimasi hukum pemerintahan tentang agama diakui atau tidak diakui, resmi dan tidak resmi, umum atau tidak umum adalah konsepsi legitimasi yang inkonstitusional bertentangan dengan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948/Deklarasi, Kovenan Internasional Hak Sipol 1966 (UURI 12/2005) / Kovenan, UUD 1945 Amandemen IV/2004, pasal 29, dan UURI 39/1999 tentang HAM. Titik terang mengenai permasalahan ini muncul saat lahirnya Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mengakomodasi penghayat kepercayaan. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006, Pasal 64 ayat 2 menyatakan Keterangan tentang agama (di Kartu Tanda Penduduk) sebagai dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Kebijakan ini merupakan perkembangan baru bagi para penghayat kepercayaan atau agama lokal dengan syarat bahwa kelompok penghayat kepercayaan atau agama lokal ini harus mendaftarkan diri kepada kementerian yang terkait. Mereka yang sudah mendaftarkan diri, dengan sendirinya akan mendapatkan layanan. Dengan demikian telah terdapat kejelasan status agama bagi para penghayat kepercayaan tanpa diskriminasi pemerintah, sesuai dengan jaminan Pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD

1945 yang memberikan ruang kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk agama dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.

PENCATATAN BAGI PENGANUT KEPERCAYAAN

Undang-undang perkawinan secara eksplisit menentukan perkawinan adalah sah apabila itu dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu. Kemudian menyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.2 Untuk memperjelas tafsiran dari UndangUndang tersebut maka pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No 477 Tahun 1978 yang menyatakan, bahwa agama resmi yang diakui oleh pemerintah hanya lima, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Sedangkan untuk memperjelas maksud Pasal 2 Ayat (2) UU No 1/1974, dalam hal pencatatan perkawinan pemerintah telah membuat ketentuan sebagaimana maksud Pasal 2 PP No 9 Tahun 1975, tentang Penetapan Kantor Pencatatan Perkawinan, yakni untuk yang beragama Islam dilakukan sesuai amanat UU No 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Perceraian, Talak dan Rujuk yakni di Kantor Urusan Agama (KUA) atau lembaga lain di bawah institusi Departemen Agama. Sedangkan untuk yang beragama non Islam di lakukan di Kantor Catatan Sipil di bawah Institusi Depdagri. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa KCS tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. KCS tidak mau melaksanakan putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan. Hal tersebut pula yang menyebabkan para penghayat kepercayaan tidak dapat melakukan pencatatan perkawinan pada kantor catatan sipil. Selama ini upaya mencatatkan pernikahan para penghayat selalu mendapatkan hambatan di kantor catatan sipil karena belum ada dasar hukumnya.
2

Undang-undang Perkawinan no.1 tahun 1974

Sebagian anak-anak pasangan penghayat kepercayaan tidak bisa mendapatkan akta kelahiran dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah, padahal mereka melangsungkan pernikahan sesuai adat dan kepercayaan masingmasing. Sehingga, banyak warga penghayat yang terpaksa mengaku salah satu agama jika ingin menikah, Pencatatan pernikahan para penghayat kepercayaan ini dilakukan di kantor KUA. Para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum yang menghalangi hak sipil dan budaya, tetapi menghadapi pejabat negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP) karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mengatur antara lain pencatatan perkawinan para penganut aliran kepercayaan membuat syarat dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan sudah jelas. Para penghayat kepercayaan sudah bisa mengatur tata cara pencatatan perkawinan dan pemerintah telah mengakui perkawinan mereka. PP 37 tahun 2007 adalah peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam pasal 105 undang undang itu diatur bahwa dalam waktu enam bulan sejak disahkannya undang-undang itu, pemerintah wajib menerbitkan peraturan pemerintah tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Dalam PP 37 Tahun 2007 dijelaskan bahwa penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan diatur dalam BAB X pasal 81 sampai dengan pasal 83.

Pemerintah melalui Mendagri juga telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang antara lain memungkinkan penghayat aliran kepercayaan mencacatkan dan melaporkan perkawinan mereka ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sekalipun perkawinan mereka dilangsungkan di luar negeri. Bagi penghayat kepercayaan WNA juga dimungkinkan mencatatkan perkawinan dengan menyertakan suratketerangan terjadinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan.

DAFTAR PUSTAKA
Wienarsih, dan Soeilowati Sri. Hukum Perorangan dan Kekeluargaaan Perdata barat, Jakarta: Gimatama Budi Akhmad, dan Ahlan Surini. 2008. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: CV. Gitama Jaya

You might also like