You are on page 1of 15

HUKUM WARIS ANAK ZINAH DAN LIAN

Diajukan untuk memenuhi Tugas mata Kuliah Fiqih Mawarist Semester Genap STEI Tazkia Bogor Dosen :Ust. Mhd Jabal Alamsyah ,Lc

Disusun Oleh:

Mhd. Hamdan Azmi Marpaung (s.0913.145)

SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM (STEI) TAZKIA Sentul CityTlp. (0251) 421076-421077 Bogor Kode Pos 16680, Website :www.tazkia.ac.id 2009/2010

Muqaddimah


Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan kenikmatan dan kemudahan bagi kita dalam menjalankan kehidupan di dunia selaku hamba-Nya. Sholawat serta salam kita haturkan keharibaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW.

: : )(
Paper dengan judul Hukum Pewarisan Anak Zina dan Lian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan dibidang ilmu Fiqh Mawarits bagi pembaca dan terlebih bagi kami selaku penulis. Dalam penulisan ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif penulis harapkan.

Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................. 4 I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 5

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 5 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 5 1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................... 5 1.4 Metodologi Penulisan............................................................................................. 5 II. PEMBAHASAN ................................................................................................ 6

2.1 Pengertian Anak Zina............................................................................................ 6 2.2 Nasab Anak Zina.................................................................................................... 6 2.3 Pengertian Anak Li'an ........................................................................................... 7 2.4 Hak Waris Anak Zina dan Anak Li'an ................................................................ 9 2.4.1 Pendapat Pertama .............................................................................................. 9 2.4.2 Pendapat Kedua ............................................................................................... 10 2.4.3 Pendapat Ketiga............................................................................................... 11 2.5 Status Hak Waris Anak Zina dan Lian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ........................................................................................................................... 12 III. 3.1 PENUTUP ........................................................................................................ 14 Kesimpulan ...................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 15

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang : : 1 )(
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar bahagian faraidh / penentuan warisan itu diberikan kepada setiap ahli waris yang berhak dan jika terdapat sisa dari pembagian tersebut maka diserahkan kepada lakilaki yang paling dekat dengan si mayit. Salah satu penyebab seseorang itu saling mewarisi kepada keturunan dan keluarganya dalam Islam adalah karena pernikahan yang sah sesuai syariat Islam, kemudian bagaimana halnya jika keturunan tersebut diperoleh diluar akad yang sah menurut syarat Islam? Seperti anak Zina dan Lian.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang dirumuskan dalam tulisan ini, dengan tujuan menjawab pertanyaan-pertnayaan berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan anak Zina? 2. Apa yang dimaksud dengan anak Lian? 3. Bagaimana hukum pewarisan terhadap anak Zina dan Lian?

1.3 Tujuan Penulisan


Tulisan ini ditujukan guna memperjelas keingintahuan kami selaku penulis mengenai hukum pewarisan terhadap anak yang lahir karena Zina dan anak Lian serta diajukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Ilmu Fiqh Mawarits.

1.4 Metodologi Penulisan


Tulisan ini disusun dengan metode studi literatur menggunakan berbagai data yang bersumber dari : buku, artikel, dan beberapa karya ilmiah.

Mhd. Jabal Alamsyah, Sumber Pensyariatan Al-Mawarits. Brunei Darussalam. 2011, hlm. 21

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Anak Zina
Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :

, Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari
hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita. Senada dengan pengertian diatas, dalam tulisannya tang berjudul Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Abdul Manan menjelaskan bahwa : anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian diluar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.2

2.2 Nasab Anak Zina


Jika wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut tidak memiliki suami atau tidak sedang dalam masa iddah, ada beberapa pendapat mengenai nasab dari anak yang dikandung oleh wanita tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa anak tersebut dapat dinasabkan kepada laki-laki yang datang dan mengakuinya sebagai anak dan bukan hasil dari perbuatan zina dengan ibu si anak. Sebalikya, jika laki-laki itu berkata dan mengakui bahwa anak itu adalah anaknya dari perbuatan zina dengan ibu si anak, jumhur ulama berpendapat, anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya. Sebab, nasab atau keturunan adalah sebuah karunia, dan itu tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela. Akan tetapi, balasan yang sesuai untuk perbuatan zina adalah azab. Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.3 Jika wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut adalah seseorang yang memiliki suami atau dalam masa iddah maka ulama sepakat bahwa nasab dari anak
2

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana,

Jakarta, 2008, hlm. 80


3

Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Hukum Waris, Penerbit Senayan Abadi Publishing, Jakarta Cet. III 2011, hlm. 402

yang dikandung oleh wanita tersebut adalah anak dari suaminya, dan pengakuan seseorang atas anak tersebut tidak dapat diterima. Dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, yaitu sabda Nabi SAW yang artinya : "Anak milik orang yang memiliki ranjang (suami) dan wanita pezina mendapatkan sanksi."

2.3 Pengertian Anak Li'an


Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :


Anak Lian adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami-isteri yang sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi (hakim syari) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah suamiisteri itu diambil sumpahnya (lian). Prof. Dr. Ahmad Syarifuddin menyebutkan bahwa Lian adalah sumpah yang diucapkan seorang suami yang menuduh isterinya melakukan zina dan tidak mendatangkan empat orang saksi selain dirinya sendiri, sumpah tersebut dilakukan sebanyak empat kali dan di kali ke-5 diiringi dengan ucapan laknat Allah atasku jika sumpah yang aku lakukan adalah dusta dan sang isteri juga diberi kesempatan menolak lian suaminya dengan bersumpah sebanyak empat kali dan di kali ke-5 diiringi dengan ucapan laknat Allah atasku jika kesaksian dan sumpah yang dilakukan suamiku adalah benar. Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya.4 Dalam Al Quran Al Kariem dijelaskan bahwa :

6 7 8 9
"Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk

Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2008

orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]: 6-9)5 Sebab turunnya ayat ini dan kekhususan hukum li'an kepada dua suami istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh wanita mukminah, yaitu firman Allah SWT :

4
"Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur [24]: 4)6 Sehubungan dengan permasalahan di atas, dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Sa'ad bin Ubadah selaku sesepuh orang Anshar berkata, "Apakah hanya seperti ini, wahai Rasulullah? (maksudnya adalah apakah solusinya hanya seperti yang tertera pada surat An-Nuur ayat 4 diatas). Rasulullah SAW bersabda, "Apakah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai kaum Anshar?" Mereka menjawab, "Dia adalah manusia paling besar cemburunya. Demi Allah, dia hanya menikah satu kali dengan perempuan perawan dan dia tidak pernah mencerai istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi perempuan perawan, karena cemburunya yang demikian besar itu."7 Kemudian Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin firman Allah itu benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku hanya merasa heran, seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri) diperkosa, aku tidak boleh berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak boleh mengusirnya sampai aku dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, jika aku menghadirkan mereka, pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya." Tidak berselang lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal bin Umayyah kembali dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama seorang laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak membentak atau mengusirnya sampai waktu pagi tiba. Pagi itu juga, Hilal menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku pulang di sore hari, aku mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku melihat dan mendengarnya sendiri." Mendengar cerita itu, Rasulullah tidak senang dan marah.8 Sa'ad bin Ubadah berkata, "Sekarang, Rasulullah mendapat contoh langsung dari peristiwa Hilal bin Umayyah. Kesaksian Hilal pun tidak dapat diterima oleh kaum muslimin."

5 6

HaditsWeb Kumpulan dan Refrensi belajar Hadits (Al Qur'an dan Terjemahannya) HaditsWeb Kumpulan dan Refrensi belajar Hadits (Al Qur'an dan Terjemahannya) 7 Dapat dibaca di Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Op Cit. hlm. 404 - 405 8 Rasul mengira Hilal menuduh isterinya, dapat dibaca di Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Op Cit. hlm. 404 - 405

Hilal berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar untukku." Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku mengerti engkau marah karena cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa aku berkata jujur." Demi Allah, sesungguhnya, Rasulullah SAW ingin memberikan perintah agar Hilal didera, namun saat itu wahyu turun, yakni Surah An Nuur ayat : 6 9 tersebut. Setelah itu, Rasulullah SAW bersabda, "Bergembiralah, hai Hilal, Allah telah memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal menyahut, "Sungguh, itulah yang aku harapkan dari Tuhanku." Demikianlah asbabun nuzul turunnya ayat 6 9 dari surat An Nuur di atas.

2.4 Hak Waris Anak Zina dan Anak Li'an


Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut :

Pendapat Pertama
Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali R.A

Pendapat Kedua
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat diwarisi dengan cara ashabah. Ashabahnya adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata, "Jika Anda ingin mengetahui ashabah anak li'an, lihatlah ashabah ibunya kalau ibunya wafat. Itulah yang menjadi ashabah anak li'an."

Pendapat Ketiga
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah ibunya karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Jika tidak ada ibu, ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibu. Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi'in, di antaranya Hasan dan Ibnu Sirin.

Sumber : Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Mesir. 2011 (cetakan ketiga). Hukum Waris. H. Addys Aldizar, Lc. dan H. Fathurrahman, Lc., penerjemah. Jakarta : Senayan Abadi Publishing. Terjemahan dari : Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami

2.4.1 Pendapat Pertama


Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari

orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah. Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184) Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6. Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris : ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (arradd). Hal ini disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus. Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8, anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.

2.4.2 Pendapat Kedua


Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat serupa dengan pendapat kedua ini. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari kalangan tabi'in, seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi. Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini, "Ashabah-nya adalah ashabah ibunya." Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak lakilaki atau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi." Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Rasulullah SAW, "Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertamatama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat." Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an berpindah dari ayahnya

kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat ibu. Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Jika seorang anak lian wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai ashabah.

2.4.3 Pendapat Ketiga


Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya. Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah ibunya. Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah ibunya sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ashabahnya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh harta warisan anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah SAW, "Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya." (HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah) Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah, ibu pun mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu sama derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan ibunya." Dengan demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan ibu mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap. Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara pembagian yang demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut. Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah bagi kita bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang asal nasab itu dari ayah. Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara otomatis seluruh nasabnya berpindah ke ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk orang yang

memerdekakan ayah, kalau ayah budak. Ketaatan dapat kembali berpindah ke ayah sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan pindah ke ibu. Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim berkata, Berdasarkan pendapat di atas, Al-Qur'an telah menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus. Allah menjadikan Isa dari anak-cucu Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya. Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika ada yang bertanya, 'Kemudian, bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku adalah anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?' Kita jawab, 'Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang dapat mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti mengambil bagian tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan cara ashabah.'9

2.5 Status Hak Waris Anak Zina dan Lian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan : Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Dalam Islam, apabila seseorang telah terang ada hubungan darahnya dengan ibu bapaknya, maka di mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tak ada suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah cukup sempurna, dan tak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa dipandang ibu.10 Yang dapat dipandang ada, ialah hubungan darah dengan ibu saja tidak dengan bapak. Seperti pada anak zina dan anak lian. Syara telah menetapkan bahwa keduadua anak ini dibangsakan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya. Dalam urf modern dinamakan waad ghairu syari (anak yang tidak diakui agama). Sebagaimana ayahnya dinamakan ayah ghairu syari. Oleh karena anak zina, baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui hubungan darah dengan ayahnya, maka dia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula seseorang kerabat ayah, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya. Lantaran tak ada sebab saling mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena anak zina itu diakui hubungan darahnya dengan ibunya, maka dia mewarisi ibunya, sebagaimana di mewarisi kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya. Maka, apabila meninggal seorang anak yang diakui agama, dengan meninggalkan ayah dan ibunya yang tidak diakui
9

Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Op Cit. hlm. 406 - 410 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Penerbit Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 288 dalam Pasnelyza Karani
10

agama, maka semua harta peninggalannya untuk ibunya dengan jalan fardlu dan dengan jalan radd. Dan jikalau dia meninggal dengan meninggalkan seorang ibu, saudara lakilaki seibu dan saudara lelaki dari ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta peninggalan adalah untuk ibunya dan saudara seibu dengan jalan fardlu dan radd. Apabila ibunya meninggal, atau meninggal salah seorang kerabat ibu, maka anak yang ghairu syari itu menerima pusaka dari ibunya dan kerabat-kerabat ibunya. Dalam hal ini dipegang kaedah-kaedah umum terhadap pusaka. Dan apabila ayah yang bukan syari meninggal atau salah seorang kerabatnya, maka anak yang bukan syari tidak menerima pusaka darinya. Demikian pula terhadap anak lian, apabila telah sempurna ucapan berlian antara suami isteri dihadapan pengadilan, maka hakim pun menetapkan mereka berpisah dan menghubungkan anak itu kepada ibunya serta menetapkan, bahwa tidak ada hubungan darah antara anak itu dengan ayahnya. Hukum anak lian dalam pusaka sama dengan anak zina, karena itu ia mendapat pusaka dari ibunya dan dari kerabatkerabat ibunya.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan singkat di atas, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni mengenai nasab dari anak hasil perbuatan zina tersebut yang ia dinasabkan langsung kepada ibunya jika si wanita yang melakukan zina tersebut tidak memiliki suami atau dalam masa iddah, sedangkan jika wanita tersebut memiliki suami atau dalam masa iddah maka secara otomatis anak tersebut menjadi nasab dari suami ibunya. Dapat disimpulkan pula bagaimana hukum pewarisan terhadap anak hasil perbuatan zina dan lian.

DAFTAR PUSTAKA
Al Quran Al Kariem HaditsWeb Kumpulan dan Refrensi Belajar Hadits (Al Qur'an dan Terjemahannya) Alamsyah, Jabal Mhd. 2011. Sumber Pensyariatan Al-Mawarits. Brunei Darussalam. Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Mesir. 2011 (cetakan ketiga). Hukum Waris. H. Addys Aldizar, Lc. dan H. Fathurrahman, Lc., penerjemah. Jakarta : Senayan Abadi Publishing. Terjemahan dari : Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami Ali, Zainuddin. 2008. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Syarifuddin, Amir. 1999. Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraidh. Padang : IAINIB Press. Manan, Abdul. 2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Penerbit Kencana Ash Shiddieqy, Hasbi Muhammad. 1997. Fiqh Mawarits. Semarang : Pustaka Rizki Putra. Karani, Pasnelyza. 2010. Tesis dengan judul Status Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro. Semarang : Undip Press.

You might also like