You are on page 1of 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makala mata kuliah Pengantar Pendidikan yang berjudul Peranan Pendidikan dalam Keluarga Kami juga minta maaf sebelumnya apabila dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi pembatasan materi maupun dari segi penyusunan katanya, untuk itu saya mengharapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun akademik untuk kesuksesan di masa mendatang. Akhirnya kami selaku pembuat makalah mengucapkan terimakasih atas terbacanya makalah ini.

DAFTAR ISI

JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................1.1 B. Rumusan Masalah .....................................................................1.2 C. Tujuan Penulisan .....................................................................1.3 BAB II : PEMBAHASAN A. B. C. D. E. F. G. Pengertian pendidikan ...................................................................... Pengertian Keluaraga ...................................................................... Bentuk Bentuk Keluarga................................................................. Pendidikan keluarga........................................................................... Peranan orang tua dalam mendidik anak.......................................... Pembentukan keluarga....................................................................... Peranan keluarga dalam pendidikan Emosional Anak...................... ................................................................................i ................................................................................ii

BAB III : PENUTUP 1. Kesimpulan 2. Saran DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... ...............................................................................

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meskipun barangkali sebagian diantara kita mengetahui tentang apa itu pendidikan, tetapi ketika pendidikan tersebut diartikan dalam suatu batasan tertentu maka terdapatlah bermacam-macam pengertian yang diberikan. Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Keluarga yang mampu mempersiapkan generasi yang baik adalah keluarga yang mampu memberikan pendidikan sikap sehingga emosionalnya terarah dan proporsional. Apabila pendidikan mereka terabaikan dan pembentukan pribadi mereka dilakukan secara tidak proporsional, maka mereka akan menjadi bencana bagi orangtua dan gangguan bagi masyarakat dan umat manusia secara keseluruhan. Pendidikan fase pertama ini menentukan sikap dan mental anak dalam berinteraksi dengan alam lingkungannya. Kekokohan pondasi mental dan kejiwaan pada fase awal akan menjadi filter dalam menghadapi berbagai persoalan hidupnya di kemudian hari. Keluarga sebagai lembaga terkecil di dalam masyarakat diharapkan mampu menyiapkan mental anak dalam menghadapi hidupnya pada masa mendatang. Apabila didikan anak dalam keluarga baik dan terarah, maka kelak anak akan tumbuh dewasa sebagai manusia yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Untuk mempersiapkan generasi yang baik tersebut tidaklah mudah. Orangtua sebagai pendidik di lingkup keluarga harus memiliki pengetahuan tentang perkembangan emosional anak dan juga harus mengetahui kewajibannya dalam mendidik anak. Oleh karena itu, tulisan ini akan membicarakan tentang pembentukan keluarga yang ideal sehingga dapat memberikan

pengaruh terhadap anak, perkembangan emosional anak, dan peranan keluarga dalam pendidikan emosional anak.

1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana peranan keluarga dalam pendidikan? 2. Bagaimana peranan masyarakat dalam pendidikan? 3. Bagaimana hubungan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pendidikan 2. Untuk mengetahui peranan masyarakat dalam pendidikan
3. Untuk mengetahui hubungan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Kata pendidikan menurut etimologi berasal darikata dasar didik.Apabila diberi awalan me,menjadi mendidik makaakan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan(ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikanyang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorangatau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upayapengajaran dan latihan. Istilah pendidikan dalam konteks Islam telahbanyak dikenal dengan menggunakan term yang beragam, sepertiat-Tarbiyah, at-Talim dan at-Tadib. Setiap term tersebutmempunyai makna dan pemahaman yang berbeda, walaupun dalam hal-haltertentu, kata-kata tersebut mempunyai kesamaan pengertian. Pemakaian ketiga istilah tersebut, apalagi pengakajiannya dirujukberdasarkan sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan al-Sunnah).Selain akan memberikan pemahaman yang luas tentang pengertianpendidikan Islam secara substansial, pengkajian melalui al-Qurandan al-Sunnahpun akan memberi makna filosofis tentang bagaimanasebenarnya hakikat dari pendidikan Islam tersebut? Dalam al-Quran Allah memberikan sedikitgambaran bahwa at-Tarbiyah mempunyai arti mengasuh,menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat,membesarkan dan menjinakkan. Hanya saja dalam konteks al-Isra maknaatTarbiyah sedikit lebih luas mencakup aspek jasmani dan rohani,sedangkan dalam surat asySyura hanya menyangkut aspek jasmani saja. B. Pengertian Keluarga

keluarga dalam bahasa Arab adalahal-Usrohyang berasal dari kata al-asruyang secara etimologis mampunyai arti ikatan kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagaiunit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasibio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatuikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukanikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjagakeharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungansilaturrahim. Sementara satu . Al- Razi mengatakanal-asru maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segalasesuatu

yang diikat baik dengan tali atau yang lain. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan keluarga adalah prosestransformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosialterkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkanberbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi,keluarga dan masyarakat. C. Bentuk-Bentuk Keluarga

Dalam norma ajaran sosial, asal-usul keluargaterbentuk dari perkawinan (laki-laki dan perempuan dan kelahiranmanusia seperti yang ditegaskan Allah dalm surat an-Nisa ayat satuyang berbunyi:


Artinya: Dan Ia ciptakan dari padaNyapasanganny dan Ia tebarkan dari keduanya lakilaki dan perempuan yangbanyak (an-Nisa: 1) Asal-usul ini erat kaitannya dengan aturanIslam bahwa dalam upaya pengembang-biakan keturunan manusia,hendaklah dilakukan dengan perkawinan. Oleh sebab itu, pembentukankeluarga di luar peraturan perkawinan dianggap sebagai perbuatandosa. Adapun bentuk-bentuk keluarga sebagaimanadijelaskan William J. Goode dapat diklasifikasikan ke dalam beberapabentuk:

1. Keluarga nuklir (nuclear family) sekelompok keluarga yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak yang belum memisahkan diri membentuk keluarga tersendiri.

2. Keluarga luas (extentended family) yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang
yang berketurunan dari kakek, nenek yang sama termasuk dari keturunan masingmasing istri dan suami.

3. Keluarga pangkal (sistem family) yaitu jenis keluaarga yang menggunakan sistem
pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua, seperti banyak terdapat di Eropa pada zaman Feodal, para imigran Amerika Serikat, zaman Tokugawa di Jepang, seorang anak yang paling tua bertanggungjawab terhadap adik-adiknya yang perempuan sampai ia menikah, begitu pula terhadap saudara laki-laki yang lainnya.

4. Keluarga gabungan (joint family) yaitu keluarga yang terdiri dari orang-orang yang
berhak atas hasil milik keluarga, mereka antara lain saudara laki-laki pada setiap

generasi, dan sebagai tekanannya pada saudara laki-laki, sebab menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak lahirnya mempunyai hak atas kekayaan keluarganya. Sementara itu dalam hubungan keluarga,Jalaluddin Rahmat mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul KeluargaMuslim dalam Masyarakat Modernbahwa biasanya sepasang suami istri memiliki tiga struktur. Pertama,sruktur komplementer atau dengan kata lain dikenal dengan keluargatradisional. Kedua, struktur simetris atau yang sering disebut dengankeluarga modern. Ketiga, struktur pararel yang merupakan hubunganantara struktur simetris dan struktur komplementer yang kedu belahpihak tersebut saling melengkapi dan saling bergantung, tetapi dalamwaktu yang sama mereka memiliki beberapa bagian dari perilakukekeluargaan mereka yang mandiri.

D. Pendidikan Keluarga Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalammasyarakat merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangkamenanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilakuyang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga danmasyarakat. Dalam buku TheNational Studi on Family Strength,Nick dan De Frain mengemukakan beberapa hal tentang pegangan menujuhubungan keluarga yang sehat dan bahagia, yaitu: 1. Terciptanya kehidupan beragama dalam keluarga 2. Tersedianya waktu untuk bersama keluarga 3. Interaksi segitiga antara ayah, ibu dan anak 4. Saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak 5. Keluarga menjadi prioritas utama dalam setiap situasi dan kondisi Seiring kriteria keluarga yang diungkapkan diatas, sujana memberikan beberapa fungsi pada pendidikan keluarga yangterdiri dari fungsi biologis, edukatif, religius, protektif,sosialisasi dan ekonomis. Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi religius dianggap fungsi palingpenting karena sangat erat kaitannya dengan edukatif, sosialisasi danprotektif. Jika fungsi keagamaan dapat dijalankan, maka keluargatersebut akan memiliki kedewasaan dengan pengakuan pada suatu sistemdan ketentuan norma beragama yang direalisasikan di lingkungan dalamkehidupan sehari-hari.

Penanaman akidah sejak dini telah dijelaskandalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 132 yang berbunyi:

.
Artinya: Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapankepada anak-anaknya, demikian juga Yakub. Ibrahim berkata: haianak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, makajanganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam. Secara garis besar pendidikan dalam keluargadapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Pembinaan Akidah dan Akhlak Mengingat keluarga dalam hal ini lebih dominanadalah seorang anak dengan dasardasar keimanan, ke-Islaman, sejakmulai mengerti dan dapat memahami sesuatu, maka alGhazali memberikanbeberapa metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengancara memberikan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahamandiawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Bad al-Hifdzi).Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalamdirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya. Bukankah merekaatau anak-anak kita adalah tanggungjawab kita sebagaimana yang telahAllah peringatkan dalam al-Quran yang berbunyi:

.
Artinya: jagalah diri kalian dan keluargakalian dari panasnya api neraka Muhammad Nur Hafidz merumuskan empat pola dasardalam bukunya. Pertama, senantiasa membacakan kalimat Tauhid padaanaknya. Kedua, menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya.Ketiga, mengajarkan al-Quran dan keempat menanamkan nilai-nilaipengorbanan dan perjuangan. Akhlak adalah implementasi dari iman dalamsegala bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak.Keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua.Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antaraibu, bapak dan

masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock menyatakanbahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat dijadikanteladan ataupunidola bagi mereka. 2. Pembinaan Intelektual Pembinaan intelektual dalam keluarga memgangperanan penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baikintelektual, spiritual maupun sosial. Karena manusia yang berkualitasakan mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah sebagaimanafirman-Nya dalam surat al-Mujadalah yang berbunyi:


Artinya: Allah akan mengangkat derajatorang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu diantarakalian. Nabi Muhammad juga mewajibkan kepadapengikutnya untuk selalu mencari ilmu sampai kapanpun sebagaimanasabda beliau yang berbunyi:


Artinya: mencari ilmu adalah kewajiban bagi muslim dan muslimat. 3. Pembinaan Kepribadian dan Sosial Pembentukan kepribadian terjadi melalui prosesyang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebihbaik apabila dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksinalar tabiat jiwa dan pengaruh yang melatarbelakanginya. Mengingathal ini sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjagaemosional diri dan jiwa seseorang. Dalam hal yang baik ini adanyaKewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi supportkepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda danbelum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocokdilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santundalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisadengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada orang tua agar kelak sianak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya.

E. Peran orang tua dalam mendidik anak Pendidikan dalam keluaraga adalah tanggun jawab orang tua, dengan peran ibu lebih banayak. Karena ayah biasanya pergi bekerja dan kurang ada di rumah, maka hubungan ibu dan anak lebih menonjol. Meskipun peran ayah juga amat penting, terrutama sebagai tauladan dan pemberi pedoman. Kalau anak sudah mendekati dewasa peran ayah sebagai penasehat juga penting karena dapat memberikan aspek berbeda dari yang diberikan ibu. Oleh karena hubungan ayah dan anak terbatas waktunya, terutama di hari kerja, maka ayah harus mengusahakan agar pada hari libur memberikan waktu lebih banyak untuk bersama dengan anak. Jika penghasilan keluarga tergantung pada penghasilan ayah yang kurang memadai untuk kehidupan keluaraga dapat menimbukan persoalan pendidikan yang tidak sedikit F. Pembentukan Keluarga

Keluarga ideal mampu mendidik anak sehingga anak menjadi generasi yang bisa berperan aktif secara positif di dalam masyarakat. Hal itu tidak akan terwujud jika tidak dipersiapkan dengan baik. Dalam kaca mata Islam, keluarga ideal adalah keluarga yang di dalamnya diisi dengan mawaddah dan rahmah sehingga seluruh anggota keluarga akan merasakan ketentraman dan kasih sayang di antara mereka. Kata-kata mawaddah dan rahmah yang terdapat dalam surat al-Rum ayat 214 merupakan unsur terpenting yang harus ada dalam keluarga. Oleh karena itu, keluarga yang di dalamnya diwarnai mawaddah wa rahmah dapat melahirkan generasi yang baik. Mawaddah atau cinta merupakan perasaan saling mencintai yang menjadikan hubungan kekeluargaan berdiri atas dasar keridhaan dan kebahagiaan.

Rahmah adalah kasih sayang yang menjadi sumber munculnya sifat lemah lembut, kesopanan akhlak, dan kehormatan prilaku. Menurut M. Alfatih Suryadilaga, untuk mencapai sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, salah satunya adalah dengan upaya mencari calon istri maupun suami yang baik. Upaya tersebut memang bukan suatu yang kunci, namun dapat menentukan baik tidaknya bangunan sebuah keluarga di kemudian hari. Upaya mencari jodoh atau pasangan hidup yang baik bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Ukuran baik dan buruknya seseorang sangatlah bervariatif. Di dalam masyarakat yang materialistis, tentunya dalam memilih pasangan hidup lebih cenderung sisi

ekonomi yang menjadi tolok ukurnya. Permasalahan yang berkaitan dengan agama lebih sering terabaikan. Akan tetapi, di dalam masyarakat ada satu penilaian yang lebih dominan dapat diterima yakni ukuran sikap ataupun moral. Dengan demikian, secara umum pandangan tentang memilih calon pendamping hidup yang baik sangat ditentukan oleh kapasitas dan cara berpikir seseorang di dalam masyarakat sehingga bisa berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Membicarakan tentang pembentukan keluarga Islami, namun demikian di dalam pembahasan ini, berdasarkan pada rambu-rambu yang diisyaratkan oleh al-Quran dan Hadis sehingga mawaddah wa rahmah bisa tercipta di dalamnya. Secara global, Nabi Muhammad SAW memberikan kriteria di dalam memilih calon suami maupun istri. Di dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad SAW menyatakan secara tegas persyaratan dalam memilih calon istri maupun suami. Persyaratan yang paling utama adalah dari sisi agama dan akhlaknya. Nabi Muhammad SAW juga memberikan warning bahwa sebaik-baik penilaian terhadap seseorang adalah berdasarkan agamanya, sebab wanita yang beragama mampu menjaga kehormatan dirinya, suami, dan keluarga sehingga atmosfir tenteram dan saling mengasihi tercipta di dalamnya. Sebaliknya, Nabi SAW tidak membolehkan memilih calon pasangan hidup hanya berdasarkan pada penilaian fisik saja, sebab akan mengakibatkan munculnya bencana. Menurut Husain Mazhahiri, arti bencana di sini bahwa istrinya dengan kecantikan yang merupakan kekayaan satu-satunya akan merendahkannya dan membangkitkan masalahmasalah dalam rumah tangga. Kemudian tingkah lakunya menjadi angkuh dan sombong serta memberlakukan berbagai macam syarat sehingga hilanglah rasa kasih sayang dan cinta dari dalam rumah tangga. Jika rasa kasih sayang dan cinta telah hilang dari keluarga, maka hal itu akan menimbulkan dampak yang negatif bagi emosi anak. Islam menganjurkan umatnya untuk lebih mengutamakan aspek ketakwaan. Apabila seorang suami yang bertakwa jika mencintai istrinya, ia memuliakannya, dan bila tidak mencintainya, ia tidak mendzaliminya. Adapun jika ia bukan orang bertakwa dan bermoral, maka kuncup kejahatan akan tumbuh sejak hari-hari pertama sebab tingkah laku yang tidak baik telah menjadi wataknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat memperhatikan proses pembentukan keluarga yang baik sehingga mawaddah wa rahmah dapat tercapai. Proses awal pembentukan keluarga, yakni dengan cara memilih calon pasangan hidup yang baik berdasarkan agama dan ketakwaan akan memberi dampak pada anak terutama pada aspek mental (emosi). Islam menginginkan keluarga sebagai home bagi semua anggota

keluarganya, sehingga slogan baiti jannati serta there is no place like home menjadi motivator dan saling mengasihi. Pertumbuhan dan perkembangan terus-menerus yang terdapat dalam diri manusia cakupannya sangat luas. Hal ini meliputi periode prenatal, neonatal, bayi, kanak-kanak, pubertas, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Namun demikian, dalam pembahasan ini, pembicaraan tentang pertumbuhan dan perkembangan dibatasi hanya pada masa perkembangan emosi dimulai sejak nol tahun hingga masa akhir anak-anak, yakni usia 12 tahun. Perkembangan dan pertumbuhan merupakan dua hal yang berkembang secara beriringan. Dengan perubahan-perubahan yang ada, individu diharapkan mampu mencapai tahap kematangan. Secara sepintas, pertumbuhan lebih identik dengan perubahan atau proses evolusi fisik dari masa pembuahan hingga berakhir dengan kematian. Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan berarti perubahan secara kualitatif. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa perkembangan bukan hanya dilihat pada pertumbuhan fisik, yakni dari bayi menjadi anak-anak, dari anak-anak menjadi remaja, dan seterusnya. Akan tetapi, merupakan keterpaduan yang kompleks antara fisiologis dan psikologis sehingga seseorang dapat mencapai kematangan, baik dalam bertindak, bersikap, dan berpikir. Kematangan seseorang dalam bertindak, bersikap, dan juga berpikir tidak terlepas dari perkembangan emosi yang ada dalam dirinya. Irwan Prayitno menggambarkan perihal emosi dengan cara sederhana. Menurutnya, emosi adalah suasana hati seperti marah, senang, sedih, gembira, dan takut. Setiap manusia memiliki suasana hati tersebut. Potensi emosi-emosi tersebut sangat diperhatikan dalam Islam. Hal ini tercermin dalam ajaran Islam yang melarang umatnya bersikap marah dan menyuruh mengatasi marahnya. Islam menganjurkan penganutnya untuk bersabar dan juga mengajarkan untuk selalu bersikap lemah lembut,14 menyayangi, dan memberikan maaf. Hal tersebut adalah upaya privensi gejolak emosi marah yang tidak terkendali. Begitu pentingnya permasalahan emosi, Islam menganjurkan bahwa emosi-emosi tersebut harus diarahkan kepada hal-hal yang positif. Bimbingan dan arahan tersebut tentunya tidak terlepas dari tahapan-tahapan pendidikan yang harus dilakukan oleh pendidik, baik itu di lingkungan formal maupun non-formal. Berkaitan dengan penjenjangan pertumbuhan dan perkembangan anak, di dalam pembahasan ini penulis membatasi hanya pada tiga fase, yakni fase persiapan atau (0-2 tahun), fase permulaan atau (2-6 tahun), dan fase paripurna anak atau atau (6-12 tahun). Dalam hal ini, diperlukan penjelasan tentang perkembangan anak pada fase tersebut sehingga orangtua nantinya akan mampu mengarahkan anak pada lingkup emosi yang positif.

Untuk memberikan pendidikan emosional anak yang maksimal diperlukan pengetahuan perkembangan emosi anak di setiap jenjangnya sehingga dapat diketahui berbagai perubahan pada diri anak dalam proses perkembangan tersebut.

1. Fase Persiapan atau (0-2 th)

Pada fase ini emosi anak belum dapat dideteksi secara khusus, tetapi dapat dilihat dari reaksi yang dilakukan oleh si bayi. Pada tahap ini, reaksi emosionalnya hanya dapat diuraikan sebagai keadaan menyenangkan dan tidak menyenangkan. Yang pertama, ditandai dengan tubuh yang tenang; yang kedua, ditandai dengan tubuh yang tidak tenang. Emosi anak pada tahap ini lebih cenderung didominasi oleh perasaan senang dan tidak senang. Perasaan senang dan tidak senang tersebut akan muncul sesuai dengan stimulus yang diberikan oleh lingkungan kepadanya sebab emosi anak pada usia ini sangat rentan dengan pembiasaan. Anak yang jarang berinteraksi dengan orang lain dan sering diremehkan akan tumbuh menjadi anak yang pemalu dan minder atau tidak percaya diri. Anak yang berada pada umur 0-2 tahun ini masih belum mampu mengekspresikan emosinya secara verbal. Namun demikian, ia dapat merasakan segala perlakuan yang diterima dari lingkungan melalui inderanya. Di dalam al-Quran disebutkan bahwa anak ketika lahir ke dunia ini tidak mengetahui apa-apa. Melalui inderanyalah, anak mampu memahami apa yang terjadi di sekelilingnya. Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa pada awal anak Adam lahir ke dunia, alat yang penting untuk membantunya survive dalam kehidupan adalah indera. Indera pendengaran lebih dominan bagi bayi yang baru lahir daripada penglihatan. Penglihatan bayi pada tahap awal masih belum bisa fokus dan mendeferensiasikan objek yang dilihatnya. Di sisi lain, indera pendengaran lebih mendominasi. Dengan kapasitas sensori tersebut bayi mampu membedakan suara yang lembut dan kasar serta keras. Ia dapat membedakan suara lembut ibunya dan suara wanita-wanita lain, bahkan pria sehingga bayi lebih cenderung memilih ajakan ibunya daripada selainnya. Berkaitan dengan berkembangnya aspek sensoris pada diri anak, Zakiah Daradjat berpendapat bahwa anak pada masa persiapan, yakni nol tahun hingga balita telah dapat merasakan sikap, tindakan, dan perasaan orangtua. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada usia ini anak belum mampu berpikir secara optimal, perbendaharaan kata masih terbatas, dan belum mampu memahami kata-kata abstrak. Oleh karena itu, pengaruh sikap orangtua terhadap anak sangatlah besar. Anak pada masa ini cenderung meniru segala ucapan yang didengarnya, tindakan, perbuatan, dan sikap

yang dilihatnya serta perlakuanyang dirasakannya. Oleh karena itu, pada fase ini perkembangan anak pada aspek inderawi masih mendominasi terutama indera pendengaran. Sikap dan perlakuan orangtua akan berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya.

2. Fase Permulaan Anak atau (2-6 th)

Pada tahap pertama emosi anak-anak belum bisa dibedakan dan juga belum ada ciri khusus yang signifikan. Akan tetapi, semakin bertambah usia anak mulai menampakkan emosinya yang jelas. Ekspresi kemarahan tidak selalu ditunjukkan dengan berteriak-teriak dan berguling-guling. Ia mulai belajar untuk menahan kemarahan serta mengendalikan emosinya. Pembangkangan yang terjadi pada diri anak merupakan hal yang alamiah sebab ini merupakan tahap perkembangan manusia. Namun demikian, tidak semua anak mengalami reaksi pembangkangan. Reaksi ini muncul dipengaruhi oleh cara pendidikan orangtua yang diberikan pada anak. Pembangkangan akan sering muncul pada keluarga yang menerapkan pendidikan disiplin yang ketat. Sebaliknya, keluarga yang menerapkan pendidikan disiplin tidak ketat dan lebih banyak permisive frekuensi pembangkangan anak lebih rendahal. Sifat pembangkangan juga merupakan refleksi masa individualisme yang terjadi pada diri anak. Anak memandang segala sesuatunya dari sudut pandangnya yang terbatas. Pandangan orang lain akan menjadi salah bila tidak sesuai dengan kemauannya. Ia sering menampakkan reaksi-reaksi yang bertentangan dengan saran orang lain dan bersikap keras kepala pada waktu-waktu tertentu. Ada juga yang berpendapat bahwa terjadinya pembangkangan pada anak yang berumur tiga tahun ke atas dikarenakan anak telah sampai pada kesadaran aku-nya, seiring dengan perkembangan bahasanya. Kesadaran akan akunya tersebut merupakan suatu taraf di mana anak menemukan kenyataan dirinya sebagai subjek. Pada awalnya, anak belum menyadari kalau dirinya sebagai subjek karena anak masih belum bisa membedakan antara dirinya yang berdiri sendiri dan dunianya. Ketika anak telah menemukan dirinya sebagai subjek seperti orang-orang dewasa lainnya,23 maka timbul dalam dirinya suatu kebebasan untuk menghendaki dan melakukan sehingga mendapat pengalaman sebagai subjek yang bebas dan berkehendak. Dengan demikian, aspek individualisme anak telah berkembang pada masa ini. Hal ini perlu arahan dan juga contoh teladan dari orangtua sehingga anak kelak dapat

menentukan sikap bahwa apa yang dilakukannya tersebut mendapat dukungan dari orangtua sehingga aspek emosional anak akan berkembang secara positif.

3. Fase Paripurna Anak-Anak atau (6-12 tahun)

Anak-anak pada masa ini mengalami tingkat kecemasan yang lebih besar daripada masa sebelumnya. Ia merasa takut kehilangan kasih sayang, perhatian, dan dukungan orangtuanya dikarenakan kehadiran individu lain, baik itu dari dalam lingkungan keluarga maupun dari luar. Anak-anak seusia ini mengungkapkan rasa cemas, cemburu, serta marah dengan cara yang berbeda dari fase sebelumnya. Pada fase persiapan kanak-kanak, emosi mereka lebih cenderung keluar dari batas dalam memberikan respon yang tidak menyenangkan maupun yang menyenangkan. Pada masa ini, seiring dengan pengalaman dan proses belajar, ia mulai bisa membedakan reaksi-reaksi emosional yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Ledakan amarah menjadi jarang karena anak mengetahui bahwa tindakan semacam itu dianggap perilaku bayi. Sebagai konsekuensinya, anak mengungkapkan amarah dalam bentuk murung, menggerutu, dan berbagai ungkapan kasar lainnya. Meskipun demikian, pada intinya anak sudah dapat berpikir dari sisi orang dewasa. Perkembangan aspek nalar anak pada fase ini membuatnya mulai melepaskan diri dari dominasi orangtua. Anak mulai berinteraksi dengan lingkungan sosialnya yang lebih luas. Ia mulai masuk sekolah dan bergaul dengan teman-temannya. Ia bermain bersama temantemannya dan lebih banyak meniru segala tingkah laku orang dewasa seperti perangperangan. Oleh karena itu, pada masa ini disebut juga dengan periode imitasi sosialisai yang terbesar. Dengan demikian, berkembangnya aspek sosial dalam diri anak pada masa ini membantu perkembangan sisi emosional. Pada saat ini, anak telah mampu memandang objek dari sisi pandang orang lain. Rasa simpatik dan pengertian terhadap orang lain juga mulai mendominasi. Meskipun anak masih diliputi rasa cemas, tetapi anak mulai belajar untuk mengontrol emosi dirinya sebagai konsekuensi rasa pengertian dan simpatik terhadap orang lain akan muncul dalam dirinya.

G. Peranan Keluarga dalam Pendidikan Emosional Anak

Orangtua merupakan cermin bagi anak-anak di dalam keluarga. Anak-anak cenderung meniru apa yang ia lihat dan temukan dalam keluarga sebab anak diibaratkan bagaikan radar yang akan menangkap segala macam bentuk sikap dan tingkah laku yang terdapat dalam keluarga. Jika yang ditangkap radar anak tersebut adalah hal-hal buruk, maka ia akan menjadi buruk meskipun pada hakikatnya anak dilahirkan dalam keadaan suci. Antara fitrah yang dibawa anak sejak lahir dan peran pendidikan orangtua harus sejalan. Fitrah anak tidak akan selalu terjaga apabila orangtua tidak memberikan bimbingan kepadanya dengan benar. Jika orangtua tidak memberikan dan mengarahkan pendidikan anak pada aspek sopan santun dan akhlak yang baik, maka perilaku anak akan cenderung menentang kepada orangtua. Ekspresi menentang tersebut bisa berupa perkataan keji dan sikap yang menyimpang, bahkan sampai pada taraf meremehkan kedudukan orangtua. Berkaitan dengan aspek emosional anak, kasih sayang orangtua sangat diperlukan anak pada awalawal pertumbuhan dan perkembangannya. Pada masa bayi anak sangat tergantung pada orangtuanya dikarenakan ketidak-berdayaannya dan juga banyaknya bahaya yang mengancam dirinya. Pada periode ini, rasa cinta dan kasih sayang mutlak diperlukan oleh anak agar kehidupannya kelak berkembang normal. Kurangnya cinta dan kasih sayang bisa berakibat fatal pada perkembangan anak selanjutnya. Hal ini bisa menyebabkan anak tersebut mundur dalam perkembangan motorik, berbicara dan tidak belajar bagaimana harus melangsungkan kontak sosial atau bagaimana harus mengungkapkan kasih sayang.

Tidak bisa dipungkiri bahwa anak belum bisa mengekspresikan dengan kata-kata apa yang ia rasakan. Akan tetapi, sejak hari pertama kelahirannya, anak sudah dapat merasakan kasih sayang orangorang di sekelilingnya. Ia merefleksikan kasih sayang yang ia rasakan dengan senyuman. Menurut Banu Garawiyan, kasih sayang merupakan makanan yang dapat menyehatkan jiwa anak. Secara alamiah makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk bertahan hidup. Tanpa adanya makanan, tentunya hidup seseorang tidak sempurna. Kasih sayang merupakan kebutuhan yang asasi juga bagi kehidupan seseorang. Dengan kasih sayang, aspek kejiwaan anak berkembang dengan baik karena ia merasa diterima di dalam komunitasnya, baik itu di lingkungan keluarga maupun masyarakat sehingga ia pun bisa memberikan kasih sayang kepada orang lain berdasarkan pengalaman hidup yang ia jalani. Lebih lanjut lagi, seorang anak belajar bagaimana cara memberikan kasih sayang terhadap sesama dari dalam lingkungan keluarga. Perasaan marah dan kasih sayang seorang

anak diwarnai dari rumah dan tempat tinggalnya. Berbagai macam perasaan dan sikap yang menjadi dasar dalam berinteraksi dan berhubungan dengan sesama manusia berawal dari lingkungan rumah tangga. Pengalaman-pengalaman tersebut akan tertanam kuat dalam jiwanya sehingga segala perilakunya dalam menyikapi perkara yang baik atau yang buruk, ego, dan kecenderungannya semuanya tergantung dan bersumber dari kondisi kehidupan rumah tangga. Keluarga merupakan penentu arah sikap dan perilaku anak pada masa mendatang. Muhammad Taqi Falsafi menyatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan sekolah yang mampu mengembangkan potensi tersembunyi dalam jiwa anak dan mengajarkan kepadanya tentang kemuliaan dan kepribadian, keberanian dan kebijaksanaan, toleransi dan kedermawanan, serta sifat-sifat mulia lainnya. Apabila aspek emosional anak telah terbina, maka akan muncul suatu keterikatan secara psikis antara orangtua dan anak. Keterikatan tersebut akan menuntun anak merasakan cinta, kasih sayang, perhatian, dan perlindungan mereka terhadapnya, serta anak juga akan mencintai orangtua dan anggota keluarga. Dengan demikian, anak bisa memfungsikan aspek emosinya secara positif sebab atmosfir yang sarat dengan rasa saling mencintai dalam kehidupan keluarga merupakan faktor penting dalam membentuk kematangan kepribadian anak dan agar ia merasa damai, percaya diri, dan bahagia. Tugas pendidikan emosional anak dengan cara menciptakan suasana keluarga yang kondusif merupakan tanggung jawab kedua orangtua. Tugas tersebut tidak bisa digantikan oleh siapapun, terutama peranan seorang ibu dalam mendidik aspek psikis anak. Dengan keberadaan dan pengasuhan serta kasih sayangnya dapat memberikan influensi yang signifikan dalam membentuk kepribadian dan spiritual anak. Selain ibu, peran pembentukan kepribadian anak juga dipengaruhi oleh fungsi ayah itu sendiri. Shapiro menyatakan, banyak anak yang menderita karena dibesarkan oleh ayah yang secara fisik hadir di tengah keluarga, tetapi secara emosional tidak pernah ada. Si ayah tidak bereaksi terhadap kebutuhan anak-anak akan perhatian, kasih sayang, dan keterikatan. Jika anak menuntut kepedulian sang ayah, mereka diabaikan atau dihukum. Kondisi ini akan memicu tumbuhnya penghargaan diri yang rendah dan rasa takut ditolak dalam diri si anak. Suasana kondusif dalam keluarga akan tercipta jika orangtua tahu posisi masing-masing. Posisi keduanya dalam keluarga seperti miniatur yang akan dilihat dan ditiru oleh si anak. Berhasilnya orangtua dalam mendidik emosi anak tergantung pada suasana kehidupan keluarga yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, keluarga memberikan pengaruh, baik itu yang positif maupun yang negatif, pada perkembangan emosional anak. Orangtua perlu

menyadari akan pentingnya keharmonisan dalam rumah tangga dan juga perlu peka terhadap kebutuhan psikis anak, yaitu ketenangan jiwa.

BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN

Pengertian dari pendidikan keluarga adalahproses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unitsosial terkecil dalam masyarakat. Sebabkeluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalammenanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilakuyang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Kunci keberhasilan pendidikan dalam keluargasebenarnya terletak pada pendidikan rohani dengan artian keagamaanseseorang. Beberapa hal yang memegang peranan penting dalam membentukpandangan hidup seseorang meliputi pembinaan akidah, akhlak, keilmuan dan kreativitas yang mereka miliki. Sedangkan pendidikan dalam keluarga itu sendiri secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Pembinaan akidah dan akhlak 2. Pembinaan intelektual 3. Pembinaan kepribadian dans sosial 2. Saran Orangtua memberikan peranan yang signifikan dalam perkembangan anak selanjutnya. Pengaruh yang dominan adalah pada aspek psikis atau emosi. Aspek emosi anak dapat berkembang normal jika anak mendapat arahan, bimbingan, dan didikan dari orangtuanya. Oleh karena itu, anak nantinya memiliki jiwa dan kepribadian yang mampu berinteraksi dengan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Islam. Hal itu disebabkan oleh dimensi emosi anak terformat sejak awal anak lahir ke dunia ini, bahkan lebih jauh lagi, yakni sejak pemilihan pasangan hidup yang dilakukan oleh calon orangtua. Aspek emosi yang diarahkan

dengan baik tentunya akan memberikan hasil yang positif. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa anak lahir ke dunia ini membawa berbagai potensi, baik itu potensi akhlak maupun potensi agama. Anak suci sejak lahirnya. Kesucian anak serta segala potensi positif yang melekat padanya akan berkembang sesuai dengan arahan yang diberikan oleh orangtua sebagai lingkungan pertama yang berinteraksi dengannya. Arah potensi tersebut semua tergantung pada pemahaman orangtua tentang pendidikan anak, terutama pendidikan pada aspek emosi. Pendidikan emosional anak yang terpenting bukan hanya pendidikan yang disengaja, yang ditujukan pada objek yang dididik, yaitu anak, tetapi yang lebih penting adalah keadaan dan suasana rumah tangga, keadaan jiwa orangtua, dan hubungan antara satu dengan yang lainnya. Segala persoalan orangtua akan mempengaruhi si anak karena apa yang mereka rasakan akan tercermin dalam tindakan mereka. Dengan demikian, sikap dan mental anak akan menggambarkan cara orangtua dalam mendidik dan memperlakukan anak. Anak menjadi cerminan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA J. Goode, William, SosiologiKeluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Muhaimin, Pemikiran PendidikanIslam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung:Trigenda Karya, 1993. Poerwadarminta, W.J.S., KamusBesar Bahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, 1985. Rahmat, Jalaluddin dan Muhtar Gandatama, KeluargaMuslim Dalam Masyarakat Modern, Bandung:Remaja Rosdakarya, 1994. Sujana, Djuju, PerananKeluarga Dalam Lingkungan Masyarakat,Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. 1. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 702. 2. Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya, 1993, hlm. 127. 3 William J. Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 33. 4. Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandatama, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 107. 5. Djuju Sujana, Peranan Keluarga Dalam Lingkungan Masyarakat, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996, hlm. 25.

6. Muhammad Ali al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), hal. 199. 7.Muhammad A.R, Pendidikan di Alaf Baru (Yogyakarta: Prismasophie, 2003), hal. 5. 8.Ali Qaimi, Buaian Ibu di Antara Surga dan Neraka (Bogor: Cahaya, 2002), hal. 36. 9. Artinya: Dan di antara tanda- tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (ar-Rum : 21). 10. Muhammad al-Ghazali, Dilema Wanita di Era Modern (Jakarta: Mustaqim, 2003), hal. 190-191. 11. M. Alfatih Suryadilaga, Memilih Jodoh dalam Membina Keluarga Mawaddah wa Rahmah dalam Bingkai Sunah Nabi, Marhumah (Ed.) (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 50. 12. Artinya: Apabila ada orang yang anda sukai agama dan prilakunya datang meminang kepada Anda, maka nikahkanlah. Bila tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di muka bumi. Dikutip dari Sunan al-Tirmidzi, juz 2 (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1994), hal. 344. 13. Artinya: Wanita itu dinikahi karena agamanya, hartanya, dan juga kecantikannya. Maka pilihlah (nikahilah) karena agamanya, niscaya engkau akan berbahagia. Dikutip dari Jalaluddin al-Suyuti, Sunan Nasai, juz 3 (Beirut-Libanon: Dar alQalam, TT), hal. 65. 14. Artinya: Jangan sekali-kali kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya. Sebab, kecantikan itu boleh jadi akan membuat mereka terjerumus dan janganlah kamu menikahi wanita karena harta kekayaannya. Boleh jadi akan membuat mereka melampui batas (durhaka). Akan tetapi, nikahilah wanita karena agamanya. Sesungguhnya hamba sahaya perempuan yang hitam lagi cacat yang berpegang teguh pada agama adalah lebih baik (daripada wanita yang cantik dan kaya raya tetapi tidak beragama). Dikutip dari Al-Hafidh Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah (Semarang: Toha Putra Indonesia, TT), hal. 597. 15. Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), hal. 24. 16. Ibid, hal. 27. 17.Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 2.

18. Irwan Prayitno, Ketika Anak Marah, Seri Pendidikan Anak 2 (Bekasi: Pustaka Tarbiyatuna, 2003), hal. 37. 19.Artinya: Maka karena rahmat dari Allah, engkau bersikap lemah lembut bagi mereka, sekiranya engkau berlaku kasar dan berhati keras, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarah dengan mereka dalam segala urusan (Ali Imran: 159). 20. Hurlock, Psikologi Perkembangan, hal. 64. 21. Ibid, hal. 86. 22.Artinya: Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan Ia memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari agar kamu dapat bersyukur. (alNahl: 78) 23. Muhibin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Logos, 1999), hal. 14. 24. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 109. 25. Kartini Kartono, Psikologi Anak (Bandung: Alumni, 1979), hal. 116. 26. F. J. Monks dkk, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), hal. 130. 27. Whiterington, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 170. 28. Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 213. 2.9 Hurlock, Psikologi Perkembangan, hal. 154. 30. Whiterington, Psikologi, hal. 170. 31. Khairiyah Husain Taha Sabir, Peran Ibu dalam Mendidik Generasi Muslim (Jakarta: Firdaus, 2001), hal. 121. 32. Ibid, hal. xviii. 33. Kartono, Psikologi, hal. 97. 34. Hurlock, Psikologi Perkembangan, hal. 99. 35. Banu Garawiyan, Memahami Gejolak Emosi Anak (Bogor: Cahaya, 2002), hal. 73. 36. Menurut teori kebutuhan Maslow, kebutuhan seseorang akan kasih sayang merupakan kebutuhan yang urgen setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, yakni kebutuhan akan sandang,

pangan, papan, dan keselamatan. Sebelum terpenuhi kebutuhan fisiologis, kasih sayang bukanlah hal yang penting. Kasih sayang bukanlah hal yang nyata dan tidak ada gunanya

You might also like