You are on page 1of 15

Analisis usaha kemitraan ayam pedaging di pt. Surya gemilang pratama Penelitian ini dilakukan di PT.

. Surya Gemilang Pratama (SGP) yang bergerak dalam bidang usaha PIR perunggasan khususnya kemitaan ayam pedaging. Pembangunan di masa mendatang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan peternak melalui peningkatan produksi ternak, disamping dutujukan untuk meningkatkan konsumsi daging didalam negeri. Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat menunjang pengembangan dari usaha ternak ayam pedaging. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui mekanisme hubungan kerjasama kemitraan antara PT. Surya Gemilang Pratama dengan peternak plasma di kabupaten dan mengetahui efisiensi usaha peternakan ayam pedaging pola kemitraan yang diselenggarakan PT. Surya Gemilang Pratama. Kegunaan bagaimana mekanisme kerjasama kemitraan antara PT. Surya Gemilang Pratama dengan peternak plasma di kabupaten dan bagaimana Efisiensi usaha peternakan ayam pedaging pola kemitraan yang diselenggarakan PT. Surya Gemilang Pratama. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah usaha ternak ayam pedaging yang terdaftar sebagai plasma dari PT. Surya Gemilang Pratama di Kabupaten . Metode penelitian ini adalah studi kasus, penarikan sampel dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan yang di dasarkan atas rekomendasi dari pegawai PT. Surya Gemilang Pratama. Dengan jumlah 36 responden dari 115 jumlah populasi dengan menggunakan rumus Yamane. Pengumpulan data dilakukan dengan survey, data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari PT. Surya Gemilang Pratama, sedang data sekunder diperoleh dari peternak dan Biro Statistik Kabupaten serta dari Dinas Peternakan . Hasil yang diperoleh dari penelitian bahwa usaha kemitraan ayam pedaging pada pola kemiteraan didapat biaya produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel yang terdiri dari biaya rata-rata sewa tanah Rp. 184.474,14 /periode, penyusutan peralatan Rp. 14.524,96 /periode, tenaga kerja Rp.606.944,44 /periode, DOC Rp. 17.305.555,56 /periode, vaksin dan obat Rp.1.495.031,83 /periode, listrik Rp. 96388,89 /periode. Pendapatan peternak sebesar Rp. 798.852,37 /periode per seribu ekor dan total pendapatan perkilogram sebesar Rp. 347,48 per periode. Efisiensi usaha dicapai pada saat produksi total sebesar 20.660,51 kilogram ayam hidup. Biaya variabel sebesar 98,63%, biaya tetap sebesar 1,37%. Pendapatan dari penjualan ayam sebesar 98,02%, pendapatan lain sebesar 1,98%. Kesimpulan dari Penelitian, bahwa pelaksanaan pola kemitraan usaha ayam pedaging di PT. Surya Gemilang Pratama yang merupakan pola kerjasama inti-plasma yang saling menguntungkan. Efisiensi usaha dicapai pada saat produksi total sebesar 20.660,51 kilogram ayam hidup atau 12.153 sampai 12.913 ekor. Saran bagi pihak inti adalah lebih meningkatkan pelayanan bagi pengembangan usaha kemitraan ayam pedaging. Pihak plasma diharapkan terus melanjutkan dan mengembangkan usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan.

Analisis Biaya Produksi Pada Perusahaan Susu Sapi Anugerah Di Kecamatan Kota Kotamadya Penelitian dilaksanakan di Perusahaan Susu Anugerah di desa Ngadirejo kecamatan Kota kotamadya . Pengambilan data dilakukan pada tanggal 1 Maret 30 Maret 2006. Tujuan penelitian adalah (1). Mengetahui berapa besar biaya produksi dan struktur biaya yang dipergunakan dalam produksi susu segar. (2). Mengetahui efisiensi usaha bila dilihat dari R/C ratio usaha peternakan sapi perah di Perusahaan Susu Anugerah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek pada saat penelitian yang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dalam bentuk studi kasus (case studies) yang memusatkan diri secara intensif dan mendalam terhadap suatu obyek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah materi informasi yang diperoleh peneliti secara langsung di tempat penelitian atau di suatu tempat yang menjadi obyek penelitian, sedangkan data sekunder adalah data-data yang dikumpulkan secara tidak langsung. Hasil penelitian diperoleh besar biaya produksi pada tahun 2001 sampai dengan 2005 antara lain : tahun 2001 sebesar Rp. 452.775.948,- ; tahun 2002 sebesar Rp. 473.080.178,- ; tahun 2003 sebesar Rp. 493.636.178,- ; tahun 2004 sebesar Rp. 525.427.772,- ; dan tahun 2005 sebesar Rp. 552.673.952,-. Efisiensi usaha dilihat dari R/C ratio Perusahaan Susu Anugerah berbeda setiap tahun. Efisiensi usaha tahun 2001 sebesar1,50, tahun 2002 sebesar 1,49, tahun 2003 sebesar 1,48, tahun 2004 sebesar 1,48 dan tahun 2005 sebesar 1,46. Efisiensi usaha yang paling besar adalah tahun 2001 sebesar 1,50. Efisiensi usaha berdasarkan R/C ratio Perusahaan Susu Anugerah layak dikembangkan karena nilainya lebih besar dari 1. Rentabilitas Perusahaan Susu Anugerah dapat dikatakan layak untuk dikembangkan karena rentabilitas berkisar antara 26-50 persen yang melebihi dari bunga bank pemerintah sebesar 16 persen. Berdasarkan hasil diatas maka disarankan Perusahaan Susu Anugerah diharapkan dapat mengefisienkan biaya produksi sehingga pendapatan usaha optimal. Perusahaan Susu Anugerah diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usaha dengan menambah penerimaan dan menekan biaya produksi usaha. Perusahaan Susu Anugerah diharapkan memperhatikan

kualitas dan kuantitas pakan sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap besar biaya produksi agar bisa meningkatkan penerimaan dan pendapatan.

Strategi Konservasi Dan Rehabilitasi Lahan Di Sub Daerah Aliran Sungai Wilayah Kabupaten Penelitian ini dilakukan di Sub Daerah Aliran Sungai Wilayah Kabupaten . Tujuan penelitian adalah : 1) Untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal terhadap upaya konservasi dan rehabilitasi untuk kecepatan pemulihan lahan di kabupaten , 2) Untuk menganalisis bagaimana strategi yang harus dilakukan dalam upaya konservasi dan rehabilitasi untuk kecepatan pemulihan lahan di kabupaten . Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif (Descriptif reseach), yaitu penelitian yang tidak menguji hipotesa (Non hipotesa), sedangkan tehnik pengambilan sampel dengan Proposive Sampling. Tehnik analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threats). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Masyarakat sekitar hutan di Kabupaten khususnya di wilayah Sub DAS memiliki jumlah penduduk yang cukup besar dengan sifat kebersamaan dan semangat kerja yang masih tinggi serta terbentuknya Kelompok Tani Penghijauan, namun demikian sumber daya manusia-nya masih tergolong rendah dan sebagian besar tidak memilki mata pencaharian yang tetap. Oleh karena itu tingkat pendapatannya masih rendah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih mengandalkan hutan sebagai tempat ketergantungan. Disisi lain terdapat industri yang memerlukan bahan baku dari hasil Kehutanan yang cukup tinggi dan juga terdapat pengusaha/masyarakat/individu/kelompok yang mengajukan diri untuk ditetapkan menjadi pengada/pengedar bibit tanaman kehutanan. 2) Konservasi dan rehabilitasi dalam rangka pemulihan lahan akan tercapai jika ada kerajasama yang baik dari semua pihak yaitu Pemerintah, Masyarakat dan perilaku konservasi. Artinya bahwa masyarakat sebagai modal utama dalam pemulihan lahan harus dijadikan mitra kerja oleh Pemerintah maupun Perilaku Konservasi bukan sebagai obyek. Pemerintah sebagai instansi yang bertanggung jawab berfungsi sebagai mediator dan sumber informasi dalam hal perkembangan tehnologi yang ada. Sedangkan Pelaku Konservasi tidak hanya mengejar provide (keuntungan) namun juga harus memperhatikan konservasi dan kelestarian alam/lingkungan.

Implementasi Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional Terhadap Strategi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Di

Gula pasir (Plantation White Sugar) di Indonesia diperlakukan sebagai bahan pangan dan termasuk sebagai salah satu dari 9 bahan pokok. Sebagai bahan pangan, maka terikat upayaupaya pemenuhan dan penyediaan dalam rangka ketahanan pangan. Ketahanan pangan minimal mempunyai tiga peran strategis dalam pembangunan nasional, yaitu : (1) Akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling asasi bagi manusia, (2) Pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas, (3) Ketahanan Pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga terjangkau, diutamakan dari dalam negeri (Yudhoyono, SB., 2006). Kebutuhan gula domestik saat ini diperkirakan mencapai 3,5 juta ton, sedangkan produksi gula pasir di Indonesia yang dihasilkan oleh 58 pabrik gula hanya mencapai 2,0 juta ton, sehingga terdapat defisit 1,5 juta ton atau setara 42% yang harus dipenuhi dari impor (Anonymous, 2005). Industri gula di Indonesia, sejak krisis gula dunia pada awal tahun tujuh puluhan telah menghadapi persoalan yang berat, uya bersumber pada produktivitas yang rendah, permasalahan pengembangan areal, rendahnya tingkat pendapatan petani dan permasalahan di bidang harga pokok gula Indonesia yang jauh lebih tinggi daripada harga gula luar negeri. Berbagai kebijakan di bidang pergulaan telah diterapkan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. Kebijakan tersebut antara lain penetapan Inpres No. 9 Tahun 1975 untuk mendukung penyediaan bahan baku tebu melalui pola kemitraan dengan petani, melakukan rehabilitasi PGPG di Jawa dan pendirian pabrik gula di luar jawa, serta menerapkan regulasi tataniaga dan harga provenue. Kebijakan tersebut pada awalnya mampu meningkatkan produksi gula nasional. Dengan adanya arus globalisasi, kebijakan tersebut mulai tidak efektif dan menghendaki perubahan orientasi dari pendekatan produksi ke pendekatan efisiensi dan daya saing (Anonymous, 2005). Menurut Samiyanto (1999), penurunan kinerja industri gula berkaitan erat dengan faktor internal dan eksternal industri gula. Faktor internal menyangkut isu-isu produktivitas lahan, kapasitas dan efisiensi pabrik, manajemen dan sumber daya manusia, sehingga berdampak pada rendahnya daya saing gula produksi dalam negeri. Faktor eksternal berkaitan dengan pengaruh globalisasi, kebijakan ekonomi, dan perubahan sosial masyarakat dan atau petani. Menurut Bank Dunia (1999) dalam Gumbira-Said, Rachmayanti dan Muttaqin, Zahrul (2001) menyatakan bahwa, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2000 diperkirakan hanya sebesar 3%, jauh di bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia yang dapat mencapai sebesar 6,2%. Dengan angka pertumbuhan ekonomi yang kecil tersebut, Indonesia harus lebih

meningkatkan daya saingnya di dunia internasional, khususnya daya saing produk-produk yang dihasilkan dari sektor agribisnis. Menurut Suwandi (2003), agribisnis pergulaan menghadapi masalah makin serius. Kenyataan menunjukkan bahwa, selama ini produksi gula terkonsentrasi di daerah tertentu, terutama Jawa dan Lampung. Produksi gula pun bersifat musiman, yakni hanya berlangsung selama 5-6 bulan masa giling. Kalangan fabrikan juga tidak memiliki pengalaman dan jaringan distribusi (distribution chanel) gula ke seluruh daerah di tanah air, karena hanya berkonsentrasi pada produksi, sedangkan pemasaran diserahkan kepada para pedagang besar. Secara struktural industri gula di Indonesia menghadapi dua permasalahan utama. Secara eksternal, pasar gula dunia sangat distorsif. Fenomena ini antara lain ditandai dengan diterapkannya bea masuk sangat tinggi dan diberlakukannya harga eceran yang harus dibayar konsumen jauh lebih mahal dibanding harga ekspor di sejumlah negara penghasil gula utama dunia. Negaranegara ini juga dikenal sangat royal dalam memberikan insentif untuk para petaninya. Disamping itu suku bunga perbankan untuk para petani kurang dari 3%, negara negara ini juga diketahui memberikan subsidi dalam bentuk kemudahan bagi petani untuk memperoleh sarana produksi (agroinputs). Ketika diketahui terjadi kegagalan panen baik sebagai akibat perubahan iklim yang sangat ekstrim maupun eksplosi hama, negara tidak segansegannya memberikan stimulus untuk para petani. Stimulus juga diberikan ketika harga jual produk petani tidak menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya produksi (Suwandi, 2003). Faktor eksternal yang berasal dari lingkungan domestik disebabkan karena banyaknya kebijakan makro ekonomi yang bersifat disinsentif terhadap pengembangan industri gula nasional. Salah satu contohnya adalah ketersediaan modal kerja berupa kredit program untuk para petani yang jumlahnya jauh dari cukup. Dalam 4 tahun terakhir, jumlah kredit program hanya mencapai 30% dari total kebutuhan. Itupun pengucurannya selalu terlambat, sehingga tidak banyak bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas. Masuknya gula secara ilegal dan lemahnya penegakan hukum (law enforcerment) membuat harga jual gula lokal semakin sulit diprediksi dan terjungkal (Suwandi, 2003). Menurut Garnida (2000) menyatakan bahwa, adanya penurunan produksi karena kurangnya rangsangan kepada petani, baik berupa modal maupun pembinaan, serta masih rendahnya tingkat harga di pasaran. Hal ini sesuai pendapat Anonymous (2005), yang menyatakan bahwa, secara internal, telah terjadi penurunan produktivitas secara significan, dari lebih 97,9 kuintal gula per hektar sebelum tahun 1975 menjadi 49,7 kuintal gula per hektar pada tahun 2000. Penyebab klasik yang selalu dituding adalah manajemen bahan baku yang tidak lagi ditangani PG. Sejak dicanangkannya program tebu rakyat, produktivitas memang menurun, meskipun kesalahan tidak dapat dibebankan begitu saja kepada para petani pengelola usaha tani. Sebagai

makhluk rasional, petani menggunakan logika dalam berusaha tani tebu. Ditengah ketatnya persaingan komoditas agribisnis, petani cenderung memaksimalkan profit dibanding produktivitas. Tidak mengherankan kalau ditengah mahalnya harga bibit dan kenaikan biaya produktivitas yang tak terimbangi harga jual, petani melakukan keprasan berulang kali. Keprasan berulang kali menjadi sarang potensial bagi penyakit pembuluh (ratoon stunting disease). Logis kalau rendemen sebagai manifestasi akumulasi hasil fotosintesis di daun yang distimulasi khlorofil jauh dari potensi sebenarnya. Penurunan produktivitas juga disebabkan adanya pergeseran areal tebu ke lahan tegalan, penerapan baku mutu budidaya yang kurang baik, serta lemahnya kelembagaan petani tebu. Masalah tersebut diperparah dengan ketidakpastian besarnya profit, sehingga memicu penurunan areal lahan pengusahaan tebu oleh petani, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi. Hal-hal tersebut, akhirnya mengakibatkan posisi Indonesia sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Cuba pada tahun 1930-an menjadi net importer dan bahkan pada tahun 1999 sebagai importer terbesar kedua setelah Rusia (Rohman dkk., 2006). Menurut Mirzawan, Lamadji dan Sugiyarta (1999) menyatakan bahwa industri gula telah mengalami penurunan produktivitas yang tajam, sehingga sulit untuk dapat bersaing di pasar global. Berbagai sektor kegiatan mempengaruhi produksi gula mulai dari faktor ketepatan, kebenaran, kemurnian varietas dan ketersediaan serta kesehatan bibit, faktor budidaya dan tebang angkut sampai faktor pabrik berpotensi menurunkan produktivitas. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan ketidakefisienan yang bermuara pada masalah mutu tebu, operasional maupun peralatan. Akibatnya kebanyakan pabrik gula tidak dapat mencapai tingkat efisiensi standar. Salah satu upayanya adalah dengan mengaplikasi teknologi yang siap pakai. Implikasi di balik berkurangnya areal dan produktivitas adalah, hampir semua PG di Jawa beroperasi di bawah kapasitas terpasang, sehingga efisiensinya menjadi lebih rendah. Kondisi ini diperparah dengan harga jual gula yang tidak berpihak kepada petani. Konsekuensi logisnya, PG semakin sulit memastikan jumlah tebu rakyat yang dapat memenuhi jumlah bahan baku ideal, sementara peningkatan produktivitas terbentur pada persoalan kelangkaan dana. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kalangan fabrikan memandang penting diambilnya langkahlangkah strategis guna mencegah situasi yang makin mengarah pada keruntuhan industri gula nasional (Wientoyo, 2003). Sebagai aset nasional dan industri yang secara langsung terkait pemanfaatan sumber daya lokal berdasarkan kaidah keunggulan kompetitif (competitive advantage) dengan multiplier-effects yang sangat luas, industri gula dapat menjadi pilar penting pemberdayaan ekonomi rakyat. Situasi dan hal-hal tersebut di atas, mendorong dicanangkannya Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2002 2007.

Menurut Husodo, SY.(2003) dan Mubardjo (2006), menyatakan bahwa, dalam upaya meningkatkan produktivitas gula diperlukan langkah yang dilaksanakan pemerintah, diantaranya : (1) Menyediakan bibit tebu bermutu unggul dan memiliki rendemen tinggi dengan harga terjangkau, (2) Mempercepat bantuan petani untuk pembongkaran kebun, membangun prasarana irigasi mikro, (3) Revitalisasi Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, (4) Dukungan permodalan pembangunan pabrik gula baru atau rehabilitasi PG dan perlindungan terhadap produsen gula. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, bahwa Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional mencakup tiga kegiatan yaitu : (1) bongkar ratoon, (2) penguatan kelembagaan, dan (3) rehabilitasi pabrik gula. Program ini dimulai tahun 2003, dimaksudkan untuk mempercepat peningkatan produktivitas gula nasional dan menuju swasembada gula, dalam bentuk kegiatan utama bongkar ratoon dan pembangunan kebun bibit, serta kegiatan penunjang berupa peningkatan pemberdayaan petani koperasi tebu. Sasaran Program Akselerasi adalah, produksi gula ditargetkan meningkat rata-rata 9,6% per tahun sehingga pada tahun 2007 Indonesia bisa menghasilkan 3,0 juta ton gula (Tabel 1). Dari target produksi sebanyak itu, hampir 60% diantaranya dihasilkan oleh PG-PG di Jawa dan sisanya oleh PG-PG di luar Jawa. Luas areal tebu pada tahun 2007 diproyeksikan mencapai 386 ribu ha, dengan total tebu giling sebanyak 34 juta ton (Anonymous, 2005).

Analisis Komparatif Pendapatan Petani Bawang Merah Sistem Tanam Bibit Dari Biji (Royal Selections) Dengan Sistem Tanam Bibit Dari Umbi Di Kabupaten .. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Mengetahui pengaruh tanaman dari biji terhadap biaya produksi pada tanaman bawang, (2) Mengetahui pengaruh system tanam dari biji terhadap peingkatan pendapatan petani bawang. Lokasi peneliian di Tegalsiwalan, Leces, Dringu dan Gending Kabupaten .. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sample secara Disproportionate Random Sampling. Sedangkan jesin penelitian adalah dengan jenis peneliian Deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara terhadap responden. Sedangkan teknik analsis data dengan menggunakan analisis analisis ekonomi dan analisis statistik dengan menggunakan T test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan petani bawang merah yang menggunakan sistem usahatani dari biji lebih kecil dari pada biaya produksi usahatani dengan menggunakan benih dari umbi, (2) Rata-rata pendapatan total yang diterima petani bawang merah yang menggunakan sistem benih dari biji lebih besar dari pada

yang menggunakan sistem usahatani dengan benih dari umbi, (3) Rata-rata pendapatan bersih yag diterima petani bawang merah yang menggunakan sistem usahatani benih dari biji lebih besar dari pada petai bawang merah yag menggunakan sistem usahatani benih dari umbi.

Analisis Kelembagaan Dan Produktivitas Usahatani Padi Pada Sistem Irigasi SUBAK (Studi kasus di Subak Sungsang, Desa Tibubiyu, Kec. Kerambitan, Kab. Sektor pertanian sampai saat ini masih memegang peranan penting di dalam menunjang perekonomian nasional. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja dan hidup dari sektor pertanian, sehingga perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada kemajuan sektor pertanian. Ketangguhan di sektor pertanian akan tetap merupakan faktor yang sangat penting dalam periode tinggal landas mengingat peranannya, sebagai penyedia pangan dan bahan baku industri, pendorong pencipta lapangan kerja pedesaan dan devisa negara. Sektor pertanian juga mempunyai peranan penting dalam mengentaskan kemiskinan. Pembangunan pertanian berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan upaya peningkatan kesejahteraan petani dan upaya menanggulangi kemiskinan khususnya di daerah pedesaan. Subak yang sedang direntangkan saat ini telah membawa banyak perubahan terhadap struktur perekonomian negara, di mana sektor-sektor pertanian mengalami kemajuan yang cukup berarti yang mengarah pada keseimbangan dengan sektor pertanian. Tujuan penelitian 1.Untuk mengetahui cara / sistem pengelolaan Subak dilihat dari Struktur organisasi, fungsi dan sangsi yang diberikan bagi anggota Subak. 2.Untuk mengetahui aspek sosial perkembangan kelembagaan Subak. 3.Untuk mengetahui perkembangan produktivitas usahatani padi pada tahun 1995-2004 dengan adanya sistem irigasi Subak. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Subak Sungsang desa Tibubiyu, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali. Penentuan daerah penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Tabanan mempunyai Subak terbanyak dan Museum Subak terletak di Kabupaten ini pula. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode untuk ketua kelompok yang berarti data yang digunakan di dalam penelitian ini berasal dari

satu ketua kelompok yang sudah berkompeten di bidangnya. Jumlah responden yang diambil sebanyak pengurus yang ada pada Subak setempat. Metode Pengumpulan Data Untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian ini, maka diperlukan adanya data-data yang dianggap relevan. Dalam penelitian ini, menggunakan dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari petani melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan yang sebelumnya telah disiapkan. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi-instansi yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dilaksanakan dan dipandang relevan. Data sekunder ini dipakai sebagai pendukung data primer. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk menggambarkan Subak dan kelembagaannya, serta produktivitas usahatani padi pada tahun yang telah ditentukan. Menurut Winarno Surachmad (1998), penelitian deskriptif ini menentukan dan menafsirkan data yang ada dan pelaksanaan metode deskriptif tidak terbatas pada penggunaan data saja, tetapi meliputi analisa data dan interpretasi data tersebut. Metode Analisa Data Untuk mengetahui cara / sistem pengelolaan Subak dilihat dari struktur organisasi, fungsi dan sangsi yang diberikan bagi anggota subak menggunakan metode analisa data secara deskriptif kualitatif. Untuk mengetahui aspek sosial perkembangan kelembagaan subak menggunakan metode analisa data secara deskriptif kualitatif. Data sekunder yang diperoleh merupakan data time series periode tahun 1995-2004. Dari data tersebut kemudian dianalisa lebih lanjut dengan analisa trend. Analisa trend dilakukan untuk melihat trend dari trend produktivitas usahatani padi dari tahun ke tahun. Dengan demikian akan diperoleh gambaran seberapa besar trend (kecenderungan) dan laju pertumbuhan variabel yang dianalisa. Dalam penggunaan analisis trend, b digunakan untuk mencari kemiringan atau slope dari persamaan garis dan untuk mengetahui laju pertumbuhan. Berikut adalah kriteria perkembangan trend: 1.Mempunyai trend positif, apabila b > 0 2.Mempunyai trend negatif, apabila b < 0

Selanjutnya hasil analisa trend ini digunakan untuk estimasi perkembangan produktivitas di masa yang akan datang. Hasil dari penelitian ini adalah: 1.Perkembangan volume produksi dengan menggunakan analisis trend analisis (time series) diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 6,2 + 0,113636 x. Dari persamaan ini diperoleh koefisien (b) sebesar 0,113636 x, yang berarti trendnya menunjukkan adanya penurunan maupun peningkatan volume produksi sebesar 0,113636 ton per tahun. Berdasarkan fungsi trend tersebut maka pada tahun 2006 volume produksi padi diproyeksikan naik menjadi 0,335165 ton. 2.Perkembangan produktivitas padi dengan menggunakan analisa trend analisis (time series) diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 2,626E-02 + 4,53E-04 x. Dari persamaan tersebut diperoleh koefisien (b) sebesar 0,0000453 x. yang berarti trendnya menunjukkan adanya penurunan maupun peningkatan produktivitas padi sebesar 0,0000453 ton/ha per tahun. Berdasarkan fungsi trend tersebut maka pada tahun 2006 volume produktivitas padi diproyeksikan akan mengalami peningkatan menjadi 0,000139 ton/ha

PT. Sinar Balebat Harapan Beragribisnis Kentang dari Hulu ke Hilir Senin, 16 November 2009, 5:16

Di tangan Uus Kusnawan, kentang disulap menjadi dodol. Ia menyiapkan struktur dan infrastruktur untuk bertahan di agribisnis kentang di wilayah Garut.

Kabupaten Garut merupakan salah satu sentra penghasil hortikultura di Jawa Barat. Salah satu komoditi hortikultura unggulan dari Garut adalah kentang. Komoditi ini banyak ditanam oleh petani di Kecamatan Cisurupan Garut. Adalah PT. Sinar Balebat Harapan (SBH), salah satu perusahaan agribisnis kentang terbesar di Kecamatan Cisurupan. Pemiliknya adalah Uus Kusnawan Sutarsa, MBA. Bermula dari usaha budidaya kentang yang telah dilaksanakan secara

turun menurun, SBH kini telah berkembang bukan hanya pada subsektor budidaya, tetapi juga subsektor input (bibit), dan subsektor pengolahan (keripik kentang dan dodol kentang).

SBH juga memiliki jaringan pemasaran sendiri untuk produk kentangnya mulai dari bibit, kentang segar, keripik kentang, dan dodol kentang. Selain itu, SBH juga merambah pada usaha kios sarana produksi pertanian, lembaga keuangan BMT, dan sekolah SMK Agribisnis sebagai penunjang usahanya. Dengan demikian, Uus Kusnawan telah melaksanakan kegiatan agribisnis kentang secara utuh, mulai dari subsektor input hingga subsektor penunjang atau dari hulu ke hilir. Usaha agribisnisnya juga bertambah lengkap dengan posisinya sebagai ketua asosiasi petani kentang Kabupaten Garut.

Kecintaan Uus Kusnawan terhadap dunia pertanian sudah ada sejak kecil karena beliau lahir di keluarga petani. Bahkan setelah bergelar Master pun beliau tetap setia dengan bertani kentang dan beberapa komoditi hortikultura lainnya. Padahal kita tahu, di Indonesia tak banyak orang berpendidikan tinggi mau terjun langsung dalam usaha pertanian. Dalam usahanya, beliau bertindak sebagai petani, pedagang, pedagang pengumpul, pengolah, dan bahkan pembina kelompok tani kentang. Pengelolaan usaha agribisnis yang terintegrasi tersebut membuat Uus dapat meminimalkan risiko, seperti kenaikan harga saprotan, kelangkaan bibit, risiko fluktuasi harga, dan sebagainya.

Uus mengaku bahwa dalam usahanya beliau menggunakan filosofi Cina bahwa agar dapat hidup sejahtera kita sebaiknya memiliki penghasilan harian, bulanan, musiman, dan tahunan sekaligus. Maka beliau membuat toko saprotan untuk penghasilan harian, usaha pengolahan kentang untuk penghasilan mingguan atau bulanan, dan usaha budidaya kentang dan beberapa produk hortikultura lain untuk penghasilan musiman atau tahunan. Khusus untuk usaha pengolahan, SBH merupakan yang pertama memproduksi dodol kentang di Garut. Inovasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Uus untuk menyiasati kerugian saat bertani sekaligus memberikan nilai tambah dan mengangkat citra kentang dari kentang sebagai sayuran menjadi produk olahan lainnya, yaitu dodol.

Dodol kentang produksi SBH cukup disukai oleh konsumen. Terbukti dari kapasitas produksinya yang semakin meningkat sejak awal produk ini dipasarkan. Saat ini kapasitas produksinya adalah 200 kg - 300 kg dodol kentang per hari, sehingga dalam satu bulan dibutuhkan 5 ton-6

ton kentang. Keunggulan produk ini adalah rasanya yang khas dan tanpa bahan pengawet. Selain dodol kentang, SBH juga memproduksi dodol sirsak dan jambu biji dengan kapasitas produksi 8 ton per bulan. Harga jual dodol SBH adalah Rp 16.000 per kilo. Saat ini dodol produksi SBH telah dipasarkan di supermarket Carrefour di Jakarta dan Bandung, serta di beberapa outlet oleh-oleh di Garut. (Ratna)

SUARA AGRIBISNIS : Membangun Sistem Agribisnis Jagung

Sekarang ini adalah masa yang sudah lama ditunggu-tunggu petani jagung. Inilah masanya Indonesia untuk swasembada bahkan potensial untuk mengekspor jagung, ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 20002004, saat diwawancarai AGRINA.

Mengapa bisa demikian?

Hal ini dipicu oleh permintaan dalam dan luar negeri yang besar. Ini mengakibatkan harga jagung nasional dan global meningkat secara signifikan dalam pengertian jauh di atas biaya produksi. Harga yang sedemikian tingginya sehingga memberikan marjin cukup menarik buat para petani jagung.

Masa sekarang ini dapat dikatakan masa keemasan jagung karena selain harganya sangat baik, juga pasar sangat besar, sumberdaya lahan tersedia, sarana tersedia, tenaga kerja sudah terlatih, dan teknologi budidaya sudah kita dikuasai. Masalahnya hanya pada organisasi dan sistem yang belum terbentuk. Perlu kita upayakan sistem yang bersinergi sehingga berlangsung secara efektif dan efisien.

Sebelum peristiwa ini, insentif untuk mengimpor sangat tinggi apalagi dalam jumlah besar dan secara teratur karena secara global jagung over suplai. Namun keadaan itu sudah berubah, secara global sudah terjadi permintaan berlebih (excess demand) yang membuat harganya tinggi dan berdampak juga pada harga jagung di dalam negeri.

Excess demand yang kita alami ini bukanlah bersifat musiman tapi zaman, artinya bisa berlangsung beberapa tahun. Oleh karena itu, kini masa untuk mengembangkan sistem agribisnis jagung nasional yang berkelanjutan dan memberikan keuntungan kepada semua pelakunya dalam sistem agribisnis jagung. Dan sudah masanya pula untuk membangun sistem agribisnis jagung yang komplet, efektif, dan efisien.

Jika kita ingin membangun sistem agribisnis jagung faktor apa yang paling penting dibenahi?

Selama ini kita mengandalkan pada impor, maka sistem yang paling lemah adalah sistem pengeringan dan penyimpanan lokal serta pembelian dan penjualan lokal. Dalam keadaan demikian itu petani selalu kecewa karena sewaktu harga tinggi mereka tidak mendapatkannya. Akibatnya, pada musim berikutnya dia berhenti menanam, maka suplai dalam negeri berkurang. Hal tersebut terjadi secara berulang-ulang. Selanjutnya para petani jagung cenderung mencari alternatif selain jagung sehingga membuat impor jagung makin lama makin besar.

Jadi, bila kita ingin membangun sistem agribisnis ini, bagian paling lemahlah yang pertama sekali ditanggulangi. Untuk itu perlu kerjasama yang baik dalam jangka panjang antara pembeli besar, seperti pabrik pakan ternak, dengan para enterpreneur dan pedagang lokal, serta organisasi petani. Jika hal ini tidak dibenahi, zaman keemasan jagung itu tidak pernah dinikmati oleh para pelaku dan kita tidak akan mungkin swasembada, apalagi untuk mengekspor.

Bagaimana agar sistem agribisnis itu bisa terbentuk?

Agar sistem agribisnis jagung ini bisa terbentuk, efektif, dan efisien, maka dibutuhkan semacam agribusiness coordinator. Agribusiness coordinator bisa datang dari berbagai pihak tergantung pada situasi lokal, bisa dari pabrik pakan ternak, pedagang regional dan lokal, organisasi petani, atau pemerintah daerah. Agribusiness coordinator berperan sebagai dirigen dalam sebuah orkestra sistem agribisnis mulai dari hulu sampai hilir sekaligus menjadi fasilitator agar timbul saling percaya antara para pelaku.

Dia juga harus mampu memfasilitasi agar setiap pelaku dalam sistem agribisnis itu tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek baginya semata. Tapi selalu memikirkan keuntungan yang diterima oleh keseluruhan sistem agribisnis dalam jangka panjang. Jika ada ketidakpercayaan dari satu pihak, itu akan menghambat bergeraknya sistem itu.

Bagaimana pengembangan sistem agribisnis jagung?

Untuk mengembangkan sistem agribisnis jagung ini harus dipisahkan agribisnis jagung untuk kepentingan feed (pakan ternak) dan food (makanan manusia). Dan jagung untuk makanan manusia dipisahkan lagi antara jagung pipilan, jagung manis, dan jagung muda. Memang semua namanya jagung tapi sebenarnya jagung yang berbeda. Karena jagungnya berbeda, maka pengembangan agribisnis dan catatan statistiknya juga harus terpisah-pisah. Ini perlu disepakati dulu khususnya di pemerintahan.

Sedangkan pengembangan jagung untuk bahan bakar (fuel) mash jauh. Untuk food dan feed saja kita sudah kewalahan memenuhinya. Pengembangan biofuel di Indonesia lebih cocok dari kelapa sawit dibandingkan jagung.

Satu hal yang menarik, pengembangan agribisnis jagung ini membutuhkan dukungan dari lembaga keuangan baik untuk petani, pedagang, maupun industri. Oleh karena itu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang selama ini ditekankan pada beras dan gula juga sudah masanya dikembangkan untuk jagung.

Selain itu, peranan pemerintah daerah juga dibutuhkan. Jagung bisa ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia, tapi sentra jagung hanya di beberapa provinsi. Oleh karenanya peranan pemerintah daerah di sentra produksi sangat penting untuk memfasilitasi bertumbuhnya sistem agribisnis yang bersinergi. Peranan pemerintah daerah yang sangat penting adalah menyediakan infrastruktur lokal seperti jalan, irigasi, lembaga keuangan daerah, dan pasar.

Untung Jaya

You might also like