You are on page 1of 9

PENGELOLAAN DANAU DAN WADUK DI INDONESIA I.

PENDAHULUAN Danau/situ/waduk/embung adalah salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Ketersediaan sumber daya air, mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang pengembangan ekonomi wilayah. Sumber daya air yang terbatas disuatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya kegiatan ekonomipun terbatas sehingga kemakmuran rakyat makin lama tercapai. Air danau/waduk digunakan untuk berbagai pemanfaatan antara lain sumber baku air minum air irigasi, pembangkit listrik, penggelontoran, perikanan dsb. Jadi betapa pentingnya air tawar yang berasal dari waduk/danau bagi kehidupan. a. Danau/situ Di Indonesia terdapat kurang lebih danau kategori besar > 50 ha sebanyak 500 buah. Danau tersebut tersebar merata di setiap pulau besar (Sumatra, Jawa, Kalimantan Sulawesi, Papua) kecuali Pulau Bali. Sebaliknya waduk besar sebagian besar berlokasi di P.Jawa. Selain kategori danau besar terdapat juga danau kecil yang jumlahnya ribuan dan waduk kecil yang disebut embung. Danau kecil sering dikenal sebagai situ berukuran besar. Di Provinsi Jawa Barat terdapat 354 buah situ, di Provinsi Jawa Timur 438 buah situ. Danau yang terbesar adalah Danau Toba yang terletak 905 meter dpl, panjang 275 km, lebar 150 km dengan luas 1.130 km2, dan kedalaman maksimum 529 m di bagian utara dan 429 m di bagian selatan. Danau Toba merupakan danau terdalam kesembilan di dunia dan merupakan danau tipe vulkanik kaldera yang terbesar di dunia. Danau yang terdalam di Indonesia adalah danau Montana di Sulawesi Tengah dengan kedalaman maksimum 590 m dan merupakan danau terdalam ketujuh di dunia (Bemmelen 1949 dalam Lehmusloto et.al, 1995). Pada umumnya kedalaman danau bervariasi antara 50 200 m, akan tetapi banyak juga yang mempunyai kedalaman lebih rendah dari 50 m. Sampai saat ini sebagaian besar dari danau belum diketahui volumenya dengan pasti, demikian juga halnya presipitasi,

evaporasinya serta debit inflow dan outflow-nya. Dengan demikian waktu tinggal air danau tidak diketahui sehingga daya tampung beban pencemaran tidak diketahui dan sekaligus pemanfaatan bagi berbagai keperluan sulit untuk diprogramkan. b. Waduk dan Embung Waduk sering juga disebut danau buatan yang besar. Menurut Komisi Dam Dunia Bendungan/Waduk besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari 15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang 15 m. Embung banyak dibangun di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pembangunan waduk besar di Indonesia sampai tahun 1995 kurang lebih 100 buah. Dan sebagian besar 80% berlokasi di P.Jawa. Sejak terjadi krisis moneter pada tahun 1998, pembangunan waduk besar di Indonesia belum dilakukan lagi kecuali perencanaan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen tata airnya umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/out flow waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Pembangunan waduk/embung diperuntukkan berbagai keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir, sumber baku air minum, air industri, penggelontoran, air perikanan, tempat parawista. Jumlah tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada sebanyak 3,4% dari total dari kebtuhan nasional.

II.

PENELITIAN KUALITAS AIR DANAU Penelitian kualitas air danau di Indonesia sesungguhnya sudah dilakukan

sejak tahun 1928 yang dikenal dengan Sunda Expedition. Pada penelitian tersebut studi yang dilakukan baru pada taraf penelitian sifat fisika, kimia, dan biologi. Sesudah tahun tersebut penelitian danau dilakukan sporadis artinya hanya satu atau dua danau saja yang diteliti dan dilakukan oleh beberapa instansi termasuk Puslitbang Sumber Daya Air, yang dahulu dikenal dengan Direktorat Penelitian Masalah Air, yang diwakili oleh seksi Hidrokimia, kemudian pada tahun 1985 berubah menjadi Balai Lingkungan Keairan. Danau yang diteliti pada waktu itu antara lain Danau Batur, Bratan, Buyan, Tamblingan di Bali (1980), Danau Maninjau, Singkarak, Diatas, Dibawah di Sumatra Barat (1983 - 1984). Penelitian danau diseluruh Indonesia baru dilaksanakan kembali pada tahun 1992-1994 dengan kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dengan Republik Filandia. Pemerintah Indonesia diwakili oleh Pusat Litbang Sumber Daya Air. Jumlah danau alamiah yang diteliti ada sebanyak 19 buah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke seperti pada Gambar - 1. Fokus penelitian masih terfokus pada karakteristik fisika, kimia, biologi, belum meneliti tentang beban pencemaran, dan daya dukung danau dan waduk.

Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa beberapa danau mengalami masalah antara lain terjadi sedimentasi, (berkurangnya kedalaman), berkurangnya volume, berkurangnya luas, terjadinya pencemaran organik, berkurangnya populasi ikan bahkan beberapa jenis ikan endemik hampir hilang. Danau yang mengalami sedimentasi yang berat antara lain Danau Tondano, Tempe, Limboto di Sulawesi, Danau Jampang, Semayang, Melintang di Kalimantan. Danau Rawapening di Jawa Tengah dan danau lainnya mengalami sedimentasi ringan. Danau yang mengalami pengurangan luas antara lain Danau Limboto, Rawapening, Cidanau di Banten. Danau yang ditumbuhi oleh eceng gondok sehingga menutupi luas danau lebih dari 10% antara lain danau Rawa Pening, Kerinci di Jambi. Danau yang mengalami penurunan muka air yang nyata, yang disebabkan airnya digunakan untuk membangkitkan listrik antara lain danau Toba, Maninjau, dan Singkarak. Danau yang mengalami pencemaran oleh bahan nutrien (nitrogen, posfat) yang berasal dari limbah penduduk, pertanian, akitifitas perikanan dengan Keramba Jaring Apung (KJA) antara lain Danau Maninjau, Tondano, dan Toba. Danau yang mengalami berkurangnya populasi ikan dan hampir punah ikan yang bersifat endemik adalah ikan bilik di Danau Singkarak, ikan Depik di Danau laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah.

III. PENELITIAN KUALITAS AIR WADUK Penelitian kualitas air waduk yang dilakukan Puslitbang Sumber Daya Air sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. Jumlah waduk yang diteliti tidak banyak mengingat waduk yang sudah selesai dibangun pada periode tersebut juga tidak banyak. Waduk yang sudah terbangun pada priode tersebut adalah Waduk Darma, Jatiluhur di Jawa Barat Karangkates di Jawa Timur (1972). Penelitian kualitas air waduk dilakukan terhadap waduk yang baru beroperasi digenangi dan waduk yang sudah lama beroperasi. Berdasarkan hasil penelitian pada periode tersebut kondisi kualitas air waduk masih bagus baik pada lapisan epilimnion dan hypolimnion.atau dengan kata lain masih tercemar ringan. Hal ini kita dapat mengerti oleh karena penduduk, industri, perambahan hutan belum banyak sehingga limbahnya masih dapat dibersihkan oleh sungai atau waduk itu sendiri (self purification). Penelitian kualitas air waduk awal tahun 80-an dilakukan oleh Puslitbang Sumber Daya Air dan hasilnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan tahun periode 70-an. Akan tetapi penelitian kualitas air waduk yang dilakukan pada 90an bersama Pemerintah Filandia hasilnya mengalami perubahan dibandingkan dengan hasil tahun 80-an. Hasil penelitian kualitas air waduk 90-an menunjukkan bahwa kualitas airnya sudah banyak menurun. Penurunan kualitas air waduk tersebut disebabkan oleh pencemaran organik terutama senyawa nitrogen dan posfat yang berasal dari air limbah industri, penduduk, pertanian dan aktifitas perikanan KJA. Tingkat pencemaran waduk yang diakibatkan senyawa nitrogen, posfat, dan zat organik dapat dibagi 3 kategori yaitu: pencemaran amat sangat berat (hypertrophic = penyuburan amat sangat berat), pencemaran berat (eutrophic = penyuburan berat), dan pencemaran sedang (oligotrophic = penyuburan sedang), dan mesotrophic (belum tercemar). Waduk yang masuk tingkat eutrophic adalah Waduk Saguling, Cirata, Karangkates, dan Sengguruh. Kategori oligotrofik adalah Waduk Lahor, Jatiluhur, Muara Nusa Dua, Mrica, Kedungombo, dan yang termasuk mesotrophic adalah Waduk Palasari, Wlingi, Malahayu, dan lain-lain.

Pada periode tersebut penelitian kualitas air waduk baru dimulai pada tahun 2004. Pada tahun 2004-2005 penelitian baru dilakukan pada waduk di P. Jawa sebanyak 10 waduk terutama waduk yang mengalami pencemaran yang amat sangat berat dan berat. Dari penelitian terlihat bahwa pencemaran waduk makin berat dibandingkan dengan sebelumnya. Sebagai contoh Waduk Saguling, kadar oksigen pada lapisan hypolimnion-nya sangat rendah yaitu < 3 mg/L. Padahal secara umum kadar oksigen pada lapisan tersebut mendekati kadar oksigen pada lapisan epilimnion (lapisan dengan sinar matahari dapat tembus sampai kedalaman tsb.). Selain itu kualitas airnya telah tidak memenuhi baku mutu untuk keperluan sebagai sumber air baku, air perikanan, air industri, air irigasi. Contoh waduk lain yang mengalami pencemaran berat adalah waduk Karangkates sehingga sering terjadi algal bloom. Dampak algal bloom tersebut air waduk Karangkates mulai berwarna hijau pekat kemudian berubah menjadi coklat, ikan mati, timbul bau busuk, Mesin-mesin PLTA makin cepat terkorosi. Pencemaran di Waduk Karangkates yang menyebabkan terjadi algal bloom adalah limbah penduduk, peternakan, pertanian. Dampak yang paling serius dari algal bloom pada waduk adalah adanya produksi toksin oleh ganggang Microcystis yang disebut Mycrocystein yang dapat menyerang syaraf dan mengakibatkan kematian. Selain pencemaran kimia, juga terjadi pencemaran fisik, yaitu sedimentasi yang berat kepada waduk. Waduk yang sedimentasinya tinggi disebabkan oleh tingkat erosi yang tinggi di DAS-nya. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perambahan hutan, sistem pertanian yang kurang memperhatikan prinsip prinsip konservasi air dan tanah. Selain faktor tersebut diatas juga disebabkan oleh perubahan tataguna lahan dan tekanan kemiskinan penduduk serta kepadatan penduduk. Sebagai contoh akibat kemiskinan dan perambahan hutan adalah di hulu Kali Brantas yaitu pada saat terjadi krisis moneter tahun 1997, hutan di hulu Kali Brantas hampir 70% habis dijarah oleh penduduk. Waduk yang mengalami tingkat sedimentasi yang tinggi adalah Sengguruh dan Karangkates di DAS Kalibrantas Hulu, Waduk Wonogiri di DAS Bengawan Solo, Waduk Mrica di DAS Serayu, Waduk Saguling dan Cirata di DPS Citarum Tengah, Waduk Bili-bili di Sulawesi Selatan serta lainnya.

IV. PENGELOLAN DANAU DAN WADUK Sesuai dengan UU. No. 7 Tahun 2004 tentang SumberDaya Air, yang terdiri 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Waduk embung, situ dan danau yang merupakan sumber daya air telah banyak banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh karena pengelolan waduk/danau yang banyak mengalami kendala. Dalam UU-Sumber Daya Air telah mengamanatkan untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP. No. 51 Tahun 1997, tentang Lingkungan Hidup; PP. No. 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; PP. No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung; Kep. Pres No.123/2001, tentang koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri yang terkait tentang pengelolaan sumber daya air. Walaupun sudah banyak undangundang atau peraturan yang diundangkan tentang pengelolaan sumber daya air dan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air akan tetapi pada kenyataannya konservasi sumber daya air, pengendalian daya rusak air terhadap sumber daya air pada danau dan waduk, situ, embung dan sungai masih jauh dari harapan malahan semakin rusak baik kuantitas maupun kualitas airnya. Beberapa faktor yang menyebabkan kendala dalam melakukan pengelolaan sumber daya air antara lain: a) Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS waduk, yaitu setiap instansi lebih mementingkan sektornya dari pada konservasinya. b) Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air danau atau waduk sehingga menimbulkan konflik kepentingan. c) Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan pemerintah tempat berlokasinya danau/waduk untuk melakukan upaya konservasi yang optimal. d) Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan konservasi.

e) Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS ataupun penduduk yang bermukim di sekitar danau/waduk.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil ulasan tersebut di atas, ada beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Kualitas air danau pada umumnya masih baik, kecuali di lokasi yang DAS yang telah rusak, misalnya tutupan hutannya kurang dari 15%, sistem pertanian tidak memperhatikan konservasi air dan tanah, dan pemanfaatan air yang tidak memperhatikan water balance, 2. Aktifitas Keramba Jaring Apung yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungannya 3. Kualitas air (parameter kimia-biologi) waduk yang di DAS-nya banyak industri, penduduk mengalami pencemaran yang sangat berat, 4. Kualitas air (parameter fisika) waduk pada umumnya sudah tercemar berat oleh sedimen, kecuali waduk yang dilengkapi check dam atau terdapat penampungan di bagian hulunya.

You might also like