You are on page 1of 106

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Derasnya arus globalisasi, sebagai salah satu bentuk perubahan yang terjadi saat ini, bukan hanya memberikan pengaruh terhadap persoalan bisnis semata melainkan juga berdampak bagi kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Mantja (2002) menyatakan globalisasi itu dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada gilirannya berdampak juga bagi pelaksanaan pembangunan di masa yang akan datang. Perubahan global mengakibatkan dunia seakan-akan tanpa batas (borderless world) telah melahirkan gaya hidup baru (a new way oflife) dengan ciri kehidupan yang dilandasi penuh persaingan sehingga menuntut masyarakat dan organisasi membenahi diri mengikuti perubahan-perubahan cepat tersebut (Tilaar, 1998, 2002). Apabila suatu organisasi, termasuk organisasi sekolah, tetap mempertahankan status quo atau menolak suatu perubahan, maka institusi itu akan tertinggal dari arus perubahan. Sebab, tanpa disadari perubahan itu akan terus berubah (Zamroni, 2000). Berkenaan dengan perubahan dan tantangan masa depan itu, Yudohusodo (2004) mengemukakan beberapa pandangan para ahli sebagai berikut. Pertama, Gibson (1977) menyatakan; (a) masa depan kita nanti akan berbeda dengan masa lalu,

10

kebijakan tersebut belum diimplementasikan secara maksimal sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis, dari segi substansi manajemen, ada tiga bentuk kendala yang seringkah dijumpai dalam implementasi kebijakan pendidikan (Baedhowi, 2004). Kendala tersebut berkaitan dengan hal; (a) mengelola manusia {managingpeople), (b) mengelola organisasi (managing organization, dan (c) mengelola perubahan dan transisi (managing change and tramition). Kendala dalam hal mengelola manusia misalnya berkaitan dengan resistensi orang-orang terhadap perubahan yang dilakukan dalam pengembangan organisasi. Kendala mengelola organisasi antara lain bersumber dari kurangnya kemampuan pengelola untuk menjalankan tugas-tugas kepemimpinan secara efektif. Kemudian, permasalahan pokok berkaitan dengan upaya mengelola perubahan dan transisi tersebut dinyatakan Baedhowi (2004) bahwa ketika perubahan yang diinginkan itu terjadi jarang sekali dipikirkan bagaimana mengelola perubahan (managing change) itu agar tetap terjaga dan selalu meningkat secara dinamis. Akibatnya, kita seringkah dihadapkan pada perubahan yang hanya sekejap dan setelah itu hilang, dalam arti kembali lagi seperti sebelumnya. Sebagai contoh, perubahan yang hanya muncul sekejap itu dapat dilihat dan bcr bagai kegiatan, antara lain pelatihan (training) yang diharapkan dapat memberikan suatu perubahan, baik dalam pola pikir maupun dalam melaksanakan I/P(rioton cA^on,Kori T Intul' tYialz-csi/H yonrr cotno QiiKal^ir Anr\ Qonon /OHO 1 \ tWglUUAil JV11U11 ll.C4.lt. VJUIU1V 111U1VJUU JUUgJ JU111U, Jui/uivn UU1I uupui 1 ^iV/V 1 f

11

mengemukakan bahwa sudah menjadi tradisi bahwa perubahan dan inovasi pendidikan sering tampak berhasil ketika diujicobakan dan kemudian sirna begitu saja ketika ujicoba telah berakhir. Hal di atas menunjukkan perubahan yang dilakukan dalam pengembangan organisasi tidak terencana (unplanned change) sehingga implementasi kebijakan tidak berjalan secara berkelanjutan (unsustainably). Hal itu juga terjadi karena tidak ada komitmen yang kuat baik secara individu maupun kelembagaan untuk melaksanakan program pengembangan organisasi yang sudah ditetapkan. Keadaan yang digambarkan tersebut, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Harvey (dalam Suharyadi, 2004:1) yaitu: People think that ifthe Japanese have problems, they are quick t o take decision. Actually they are not, infact they are extremely slow to take dec isian, bui once a decision is take n, everyone is so committed t o do it, and know exactly what they have to do, so they can move at about three times the pace that we do. They spend the time to get the commitment, and the commitment is got by masses of mteraction. Paparan pendapat Harvey tersebut menunjukkan betapa tingginya komitmen orang-orang Jepang untuk melaksanakan suatu keputusan yang sudah diambil. Hal tersebut merupakan faktor penting dalam pengembangan organisasi dengan / pendekatan Manamejen Berbasis Sekolah sehingga perubahan yang berkelanjutan (sustamable change) dan peningkatan mutu (quality improvement) dapat terwujud. Penelitian-penelitian tentang pengembangan organisasi agak jarang dilakukan apalagi pada jenjang sekolah dasar. Bahkan, kecenderungan penelitian selama ini lebih banyak mengkaji proses dan substansi manajemen

12

pendidikan, misalnya, dan variabel-variabel kepemimpinan, supervisi, budaya organisasi, keefektifan organisasi, iklim sekolah, motivasi, semangat kerja, kinerja guru, kurikulum dan pembelajaran, dan prestasi belajar. Dengan kata lain, persoalan pengembangan organisasi agak kurang mendapat perhatian para peneliti. Pada hal, dilihat dari kerangka kebijakan pendidikan pengembangan organisasi merupakan persoalan strategis yang harus dilakukan terutama pada tataran implementasi suatu kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah pada SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri di Kota Cendekia. Berdasarkan wawancara dan hasil observasi pada saat studi pendahuluan, ketiga latar penelitian ini telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah sejak tahun 2003. Lebih rinci dapat dikemukakan hal- hal sebagai berikut: Pertama, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah mengacu pada tiga pilar, yaitu: manajemen sekolah dan transparansi, pembaruan metode pembelajaran, dan peranserta masyarakat (Hasil wawancara dengan guru tanggal 6 Mei 2005). Pengembangan organisasi ditujukan untuk membentuk budaya sekolah yang kuat sehingga menghasilkan pendidikan yang bermutu. Pengembangan ketiga pilar di atas dilakukan dengan cara melakukan berbagai perubahan. Misalnya, perubahan struktur di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri bukan hanya tampak dan pembentukan Dewan

13

Sekolah, melainkan juga sudah dibentuk paguyuban pada masing-masing kelas (di SD Negeri Mandiri organisasi wali murid pada tingkat kelas ini disebut dengan Forum Kelas). Perubahan tugas-tugas, sebagai konsekuensi dari perubahan struktur dan pola manajemen sekolah, tampak dan bertambahnya bobot dan intensitas tugas baik yang berkaitan dengan tugas-tugas manajemen sekolah maupun tugas personel sekolah. Sebagai implikasi dan penerapan Manajamen Berbasis Sekolah, manajemen sekolah dilakukan secara demokratis sesuai kewenangan terbatas yang diberikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Saat ini, sekolah mulai berupaya melakukan perubahan- perubahan atas dasar kemauan sendiri. Program sekolah disusun berdasarkan analisis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan serta keputusan diambil bersama dengan melibatkan personel sekolah, orang tua dan masyarakat. Perubahan teknologi tampak dan penerapan metode pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Pajangan kelas yang dibuat dan hasil karya murid sebagai salah satu ciri PAKEM terlihat lebih menonjol di SD Negeri Cerdas dan SD Negeri Mandiri. Selain intervensi terhadap struktur, tugas, dan metode pembelajaran, pengembangan organisasi di ketiga latar penelitian ini juga memberikan perlakuan terhadap guru melalui pelatihan dan studi banding guna meningkatkan kemampuan guru untuk mengimplementasikan program pembaruan yang dikembangkan. Terkait dengan hal ini, SD Negeri Mandiri lebih cenderung melakukan upaya "menjemput bola" yang tampak dari inisiatif melakukan sendiri kegiatan seminar dan lokakarya pada saat libur.

14

Kedua, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah tidak mudah diwujudkan karena muncul sikap resistensi terhadap perubahan yang dilakukan. Menurut kepala sekolah, pada awal pengembangan organisasi tampak adanya keengganan dan muncul resistensi dan kalangan guru (Wawancara tanggal 5 April 2005). Di bagian latar belakang masalah sudah dikemukakan, bahwa kecenderungan orang akan menolak perubahan (resistance to change). Hal ini disebabkan karena terjadi proses transisi manajemen sekolah dan paradigma lama ke yang baru. Resistensi guru terhadap pengembangan organisasi pada ketiga situs penelitian ini tampak dari alasan-alasan yang disampaikan, seperti tugas-tugas banyak, terlalu sibuk dan program yang lalu masih belum selesai sementara yang baru datang lagi. Ketiga, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah mulai menunjukkan suatu kemajuan. Hal ini, tampak dari upaya-upaya peningkatan mutu yang dilakukan sekolah, transparansi manajemen sekolah, penciptaan proses pembelajaran yang efektif, dan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam mendukung program sekolah. Berkenaan dengan hal tersebut wali murid menyatakan bahwa saat ini sudah tampak kemajuan di sekolah, manajemen sekolah lebih transparan dan partisipasi masyarakat lebih aktif (Wawancara tanggal 28 April 2005). Kemajuan awal yang dicapai tidak terlepas dari kemauan berkembang atas keinginan sendiri yang dimiliki oleh personel sekolah dan dukungan wali murid masyarakat. Indikasi ini pulalah yang mendorong

15

sekolah-sekolah atau instansi lain, baik yang berasal dari wilayah Kota Cendekia maupun sekolah-sekolah dari propinsi lain di Indonesia, berkunjung ke tiga sekolah tempat penelitian ini dilaksanakan guna mempelajari penerapan Manajemen Berbasis Sekolah.. Terakhir, adanya resistensi terhadap pengembangan organisasi telah dipahami oleh kepala sekolah terutama menyangkut alasan-asalan mengapa terjadi resistensi. Menurut kepala sekolah, munculnya resistensi karena para guru sudah terbiasa dengan pola lama (Wawancara tanggal 5 April 2005). Hasil pemahaman tersebut dijadikan dasar untuk mencari solusi bagaimana cara menghadapi resistensi itu (overcoming resitance to change). Alasannya adalah, pengembangan organisasi dengan melakukan berbagai perubahan adalah penting bagi peningkatan keefektifan organisasi itu, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana memperlakukan orang-orang dalam organisasi atas dasar pemahaman ilmu perilaku (behavioral science) yang benar sehingga resistensi terhadap perubahan dapat diatasi. Ini berarti, keberhasilan pengembangan organisasi dicapai dengan tidak mengorbankan kepentingan dan kepuasan anggota organisasi. B Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah pada tiga SD Negeri di Kota Cendekia. Fokus tersebut dirinci menjadi sub-sub fokus sebagai berikut:

16

1. Gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri, yang meliputi; (a) manajemen sekolah dan transparansinya, (b) metode pembelajaran, (c) peranserta masyarakat, dan (d) budaya sekolah.
2. Resistensi terhadap pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen

Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.


3. Cara mengatasi resistensi dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.
4. Faktor pendorong dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.
C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:
1. Gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri, yang meliputi; (a) manajemen sekolah dan transparansinya, (b) metode pembelajaran, (c) peranserta masyarakat, dan (d) budaya sekolah.

17

2. Resistensi terhadap pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen

Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.


3. Cara mengatasi resistensi dalam pengembangan organisasi dengan

pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.
4. Faktor pendorong dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan teori mengenai pengembangan organisasi sekolah dan mendorong peneliti lain untuk mengkajinya lebih lanjut sehingga dapat memperkaya teori pengembangan organisasi yang sudah ada.
2. Memperluas pemahaman tentang pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah. Hasil pemahaman ini dapat dipakai sebagai sumber informasi bagi kepala sekolah dalam mengelola pengembangan organisasi
3. Bahan masukan bagi guru dalam mengimplementasikan program

pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah,

18

khususnya penerapan pembelajaran aktif, efektif, kreatif, dan menyenangkan (PAKEM) di sekolah dasar.
4. Hasil penelitian ini berguna pula bagi pengambil kebijakan, seperti; pengawas

sekolah, dan kepala dinas pendidikan kecamatan, kabupaten/kota atau propinsi sebagai bahan masukan dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah khususnya di sekolah dasar.
5. Bahan masukan bagi pengurus Dewan Sekolah, Paguyuban/Forum Kelas, dan

orang tua murid untuk meningkatkan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. E. Definisi Operasional 1. Pengembangan organisasi adalah usaha jangka panjang yang dilakukan secara terencana untuk meningkatkan keefektifan sekolah. Konsep pengembangan organisasi dalam penelitian ini mengacu pada makna kualitas, yaitu peningkatan keefektifan sekolah dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah yang mengacu pada tiga pilar, yaitu (a) manajemen sekolah dan transparansinya, (b) metode Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), dan (c) peranserta masyarakat. Pengembangan ketiga pilar tersebut diarahkan untuk membentuk budaya sekolah yang menunjang pencapaian tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Pengembangan pilar manajemen sekolah dan transparansinya serta peranserta masyarakat dilakukan dengan cara perbaikan struktur organisasi

19

sebagai salah satu fokus perubahan dalam pengembangan organisasi. Kemudian, pengembangan metode PAKEM merupakan wujud dan perubahan teknologi dalam pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi terwujud bilamana resistensi yang muncul dipahami dan diatasi dengan baik. Hal ini merupakan fokus lain dari pengembangan organisasi, yaitu intervensi terhadap aspek individu/manusia. Di samping itu, dalam penelitian ini juga dipelajari faktor pendorong implementasi program pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. 2. Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan keefektifan sekolah. 3 Resistensi adalah respons guru terhadap program yang diimplementasikan dalam pengembangan organisasi yang dapat berupa keengganan atau penolakan. Hal ini muncul karena kekhawatiran guru terhadap berbagai konsekuensi dari program pembaruan yang dikembangkan.
4. Otonomi sekolah adalah kebebasan terbatas yang dimiliki sekolah untuk

mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan hak, wewenang, dan kewajiban dalam lingkup peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian otonomi sekolah bukanlah merupakan independensi yang terlepas dari ketentuan yang berlaku.

20

5. Dewan Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat

pada tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Nama organisasi ini jelas berbeda dengan apa yang disebut School Board Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat 3, seharusnya organisasi ini disebut Komite Sekolah (,School Committee) Namun, dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 pada bagian A poin 2 diatur tentang Acuan Pembentukan Komite Sekolah bahwa nama Komite Sekolah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, antara lain dinamakan Dewan Sekolah. Berdasarkan keputusan menteri tersebut, maka di wilayah Kota Cendekia organisasi yang mewadahi peranserta masyarakat di tingkat sekolah disebut dengan Dewan Sekolah. dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu, (b) dengan adanya tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi/institusi yang berbeda {new time cal! for new organizations) dengan ciri efisiensi yang tinggi, dan kecepatan bergerak, (c) dengan berbagai perubahan yang terjadi setiap organisasi atau institusi perlu merumuskan dengan tepat arah yang ingin dituju (where do we go next). Kedua, Senge (1994) juga mengatakan bahwa ke depan teijadi perubahan dari kompleksitas detail menjadi kompleksitas dinamik yang membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan-perubahan terjadi sangat mendadak dan tidak menentu. Ketiga, Kanter

(1994) menyatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran kosmopolitan dan setiap pelakunya (di berbagai bidang) termasuk bidang pendidikan dituntut memiliki konsep, kompetensi, relasi, dan kepercayaan diri. Perubahan dan tantangan masa depan yang digambarkan di atas mengisyaratkan organisasi untuk selalu melakukan penyesuaian dalam berbagai aspek, dalam hal ini disebut pengembangan organisasi (organizational development). Organisasi yang mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan dan mengisi peluang yang ada akan mampu bertahan hidup (survive) dan berkembang ke arah yang lebih baik (Gitosudarmo & Sudita, 2000). Bahkan lebih dari itu, Stoner (1982:379) menyatakan "managing such change effectively is not on/y a necessity for organizational surviva/ hut also a challengeIni berarti, kelangsungan hidup dan kemajuan suatu organisasi tergantung kepada kemampuan organisasi itu untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah merupakan ciri utama organisasi yang berhasil (Steers, 1977; Bennis dalam

BAB n KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan secara berurutan kajian teoretis tentang (1) pengembangan organisasi, mencakup (a) pengertian, dan (b) fokus perubahan dalam pengembangan organisasi, (2) Manajemen Berbasis Sekolah, terdiri dan (a) dasar pemikiran, (b) pengertian, dan (c) hasil kajian tentang implementasi Manajemen Berbasis Sekolah, (3) pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah, yang meliputi (a) pilar pengembangan organisasi, (b) resistensi terhadap pengembangan organisasi, (c) cara mengatasi resistensi, dan (d) faktor pendorong dalam pengembangan organisasi. A. Pengembangan Organisasi 1. Pengertian Sebagai bagian dan sistem yang lebih besar, sekolah sebagai suatu organisasi tidak bisa melepaskan diri dan pengaruh sistem-sistem lainnya itu yang secara terus menerus berubah. Hal ini berarti, organisasi berada dalam lingkungan yang selalu berubah (Stoner, 1982). Keadaan ini menuntut organisasi sekolah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan itu. Upaya penyesuaian diri tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan organisasi (organizationcil development). Sebelum membahas lebih lanjut mengenai konsep pengembangan organisasi, terlebih dahulu dikemukakan pengertian pengembangan organisasi menurut pendapat para ahli. Fullan, Miles dan Taylor (dalam Owens, 1991:223), setelah melakukan studi yang komprehensif terhadap pengembangan organisasi di sekolah-sekolah Amerika dan Canada, mengemukakan definisi tentang pengembangan organisasi sebagai berikut:

20

Organization development in school districts is a coherent, systematically-planned, sustained effort at system self-study and improvement, focusing explicitly on change in formal and informal procedures, processes, norms or structures, using behavioral science concepts. The goals o f O D mclude bot h the quality o f life of individuals as well as improving organizational functiomng and performance. Konsep pokok yang terkandung dalam pengertian di atas adalah; pengembangan organisasi di sekolah merupakan upaya perbaikan secara sistematik, terencana, dan berkelanjutan yang difokuskan pada perubahan prosedur formal dan informal, proses, norma atau struktur. Tujuan pengembangan organisasi di sekolah bukan hanya untuk meningkatkan fungsi dan kinerja organisasi, melainkan juga peningkatan kualitas kehidupan individu-individu yang menjadi anggota organisasi. Cummings dan Worley (2001:2) mengemukakan pula beberapa definisi pengembangan organisasi dengan mengutip pendapat para ahli, yaitu: 1. Organization development is a planned process of change in organization 's culture through the utilization of behavioral science technology, research, and theory.(Warner Burke).
2. Organization development refers to a long-range effort to improve an

organization 's problem-solving capabilities and its ability to cope with changes in its external environment with the help of external or internal behavioral-scientist consultants, or change agents, as they are sometimes c#//ec/.(Wendell French).
3. Organization development is an effort (1) planned, (2) organization-wide,

and (3) managedfrom the top, to (4) increase organization effectiveness and health through (5) planned mterventions in the organization 's "processes " using behavioral science ttow/ec/ge.(Richard Beckhard). Selain tiga definisi pengembangan organisasi yang sudah dikemukakan di atas, Cummings dan Worley juga mengutip definisi keempat dari ahli lain sebagai berikut: 4. Organization development is a systemwide process ofdata collection, diagnosis, action planning, intervention, and eva/uation aimed at (1) enhancing congruence among organizational structure, process, strategy, people, and culture; (2) developing

new and creative organizational solutions; and (3) developing the organization 's self-renewing capacity. 11 occurs through the collaboration of organizational members working with a change agent using behavioral science theory, research, and technology.{M\c\Ya.Q\ Beer). Masing-masing definisi di atas memberikan penekanan yang berbeda. Misalnya, definisi Burke (dalam Cummings & Worley, 2001) memfokuskan perhatian pada kultur sebagai target perubahan; definisi French (dalam Cummings & Worley, 2001) dikaitkan dengan usaha jangka panjang perbaikan organisasi dan penggunaan konsultan; dan definisi Beckhard dan Beer (dalam Cummings & Worley, 2001) ditujukan pada proses pengembangan organisasi. Di samping terdapat perbedaan sudut pandang, ada pula kesamaan dan definisi pengembangan organisasi itu yakni melakukan perubahan secara berencana untuk memperbaiki kineija organisasi. Bila disimak lebih teliti lagi, dalam berbagai definisi pengembangan organisasi terdapat beberapa konsep pokok, yaitu; (1) pengembangan organisasi didasarkan pada pengetahuan dan praktek ilmu perilaku (behavioral science), (2) pengembangan organisasi berkaitan dengan mengelola perubahan terencana (managingplannedchange), (3) fokus perubahan dalam pengembangan organisasi ditujukan pada strategi, struktur, tugas, teknologi, dan manusia terutama penlaku individu yang membangun kultur organisasi (organizational culture), (4) pengembangan organisasi memerlukan intervensi baik internal maupun eksternal, dan (5) pengembangan organisasi berorientasi pada peningkatan keefektifan organisasi {organization effectiveness) (Lippit, 1982; Stoner, 1982; Indrawijaya, 1983; Hanson, 1991; Owens, 1991; Robbins, 1996; Siagian, 2000; Cummings & Worley, 2001;

23

Sutarto, 2002; Thoha, 2002; Jones, 2004; http://www.toolpack.com/ services.html, diakses tanggal 9 Februari 2005; Wibowo, 2006). Berangkat dari beberapa definisi pengembangan organisasi yang sudah dikemukakan, maka konsep pengembangan organisasi dalam penelitian ini adalah usaha terencana untuk peningkatan keefektifan organisasi dengan mengadopsi pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah sehingga menghasilkan budaya sekolah yang menunjang terhadap pencapaian tujuan. Pengembangan organisasi mengacu pada tiga pilar, yaitu (1) manajemen sekolah dan transparansinya, (2) PAKEM, dan (3) peranserta masyarakat. Pengembangan ketiga pilar tersebut dilakukan melalui perbaikan struktur organisasi/tugas, perbaikan metode (teknologi), dan intervensi terhadap individu/manusia yang tercakup dalam cara mengatasi resistensi terhadap pengembangan organisasi sebagai wujud penggunaan ilmu perilaku (behavioral science theory). Selanjutnya, ada tiga istilah pokok yang perlu dijelaskan, yaitu pengembangan, perubahan dan pembaruan (inovasi). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002) dijelaskan bahwa pengembangan adalah upaya peningkatan yang menjurus kepada sasaran yang dikehendaki, perubahan adalah hal (keadaan) berubah atau peralihan dan suatu keadaan, dan pembaruan inovasi) adalah pengenalan atau penemuan sesuatu yang baru atau berbeda dan eadaan sebelumnya. Dalam konsep pengembangan tercakup makna perubahan dan pembaruan, sedangkan dalam konsep perubahan dan pembaruan belum tentu atau bahkan tidak tercakup makna

pengembangan. Namun demikian, pengembangan dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan dan/atau pembaruan. Kajian tentang pengembangan organisasi tidak bisa terlepas dan perubahan. Bahkan, hampir semua ahli berpendapat bahwa pengembangan organisasi bertujuan melakukan perubahan (Indrawijaya, 1983; Thoha, 2002). Pengembangan organisasi merupakan suatu respons terhadap perubahan (Bennis dalam Luthans, 1981; Buchanan & Huczynski, 2004). Dalam kaitan itu pula, Brown dan Harvey (2006:4) menyatakan "OD is a planned strategy to bring about organizational change." Sementara itu, Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1995) menyatakan pengembangan organisasi sebagai teknik manajenal untuk mengimplementasikan perubahan penting dalam organisasi. Berdasarkan hal tersebut, maka uraian mengenai perubahan dalam penelitian ini hanya berada dalam kerangka pikir pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi lebih banyak menekankan pada perubahan secara menyeluruh dan mendasar bukan hanya perubahan cara keija, melainkan proses dan sikap memahami persoalan, membuat keputusan, dan perlakuan terhadap orang-orang dalam organisasi. Dengan kata lain, pengembangan organisasi bukan hanya mengadakan perubahan (change) dalam struktur dan prosedur organisasi saja, melainkan juga termasuk kultur organisasi (Owens, 1991; Cummings & Worley, 2 31. Thoha, 2002). Bahkan secara tegas dikemukakan, jika perubahan hanya terjadi ;j.am susunan dan prosedur organisasi saja sedangkan kultur organisasi tetap sama, maka itu bukan merupakan perubahan dalam kerangka pengembangan organisasi. -:am prakteknya, pengembangan organisasi mencakup sepuluh konsep yang bercirikan; (a)

25

tujuan pengembangan organisasi, (b) pembaruan sistem, (c) suatu pendekatan sistem, (d) berfokus pada manusia, (e) suatu strategi pendidikan, (f) belajar melalui perilaku yang dialami, (g) berkaitan dengan masalah nyata, (h) suatu strategi terencana, (i) agen perubahan, dan (j) melibatkan pimpinan tingkat atas (Owens, 1991). Tujuan utama pengembangan organisasi adalah untuk perbaikan fungsi organisasi itu sendiri. Peningkatan produktivitas dan keefektifan organisasi memberikan implikasi terhadap kapabilitas organisasi dalam membuat keputusan- keputusan berkualitas dengan melakukan perubahan terhadap struktur, tugas-tugas, teknologi, dan sumber daya manusia. Pendekatan utama terhadap hal ini adalah mengembangkan budaya organisasi yang dapat memaksimalkan keterlibatan orang- orang dalam organisasi dalam membuat keputusan yang lebih efektif. Usaha-usaha pengembangan organisasi pada umumnya diarahkan pada dua tujuan akhir (Robbins, 1984), yaitu; (1) peningkatan keefektifan organisasi, dan (2) peningkatan kepuasan anggota-anggotanya. Lebih lanjut, ia merinci tujuan pengembangan organisasi sebagai berikut: (a) meningkatkan tingkat kepercayaan dan dukungan di antara anggota-anggota organisasi, (b) meningkatkan timbulnya konfrontasi terhadap masalah-masalah organisasi, baik dalam kelompok maupun antara kelompok, kebalikan dari to sweepingproblems under the rug, (c) menciptakan lingkungan dimana otoritas peran yang ditetapkan ditingkatkan dengan otoritas berdasarkan pada pengetahuan dan keterampilan, (d) meningkatkan keterbukaan komunikasi secara horizontal, vertikal, dan diagonal, (e) meningkatkan tingkat antusiasme dan kepuasan personel dalam organisasi, (f) menemukan solusi yang

26

sinergis terhadap masalah, dan (g) meningkatkan tingkat responsibilitas diri dan kelompok dalam perencanaan dan implementasi. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah yang menjadi fokus penelitian ini adalah (1) meningkatkan kepercayaan dan peranserta dari stakeholders baik internal maupun eksternal dalam menunjang keberhasilan sekolah, (2) menciptakan iklim sekolah yang demokratis dengan menyelenggarakan manajemen sekolah secara transparan dan akuntabel, (3) meningkatkan tingkat antusiasme dan kepuasan personel dalam organisasi, (4) meningkatkan tingkat responsibilitas diri dan kelompok dalam perencanaan dan implementasi program pengembangan organisasi, (5) menciptakan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan bagi peningkatan mutu lulusan, dan (6) menciptakan budaya sekolah yang kuat dengan ciri antara lain, memiliki komitmen yang tinggi untuk mewujudkan prestasi terbaik. Bertitik tolak dari beberapa pendapat di atas, ada beberapa aspek pokok yang perlu dicatat berkaitan dengan pengembangan organisasi. Pertama, pengembangan organisasi merupakan suatu proses bukan kejadian yang datang secara tiba-tiba. Artinya, pengengembangan organisasi dilakukan secara sengaja, terencana dan menempuh langkah-langkah yang sistematis. Kedua, dalam pengembangan organisasi terjadi proses transisi, yaitu pergerakan dari keadaan sekarang menuju keadaan baru yang diinginkan. Ketiga, sebagai proses transisi pengembangan organisasi menghadapi suatu keadaan yang tetap menginginkan status quo, sehingga perubahan terhadap

27

kondisi ini menimbulkan resistensi dari orang-orang yang terlibat dalam organisasi itu. Keempat, pengembangan organisasi mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan pengembangan organisasi secara umum adalah untuk mencapai tujuan organisasi itu sendiri. Di samping itu, tujuan pengembangan organisasi adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu (quality improvement), keefektifan, dan akuntabilitas organisasi terhadap stakeholders-nya. Ini berarti bahwa pengembangan organisasi yang dilakukan tidak dapat terlepas dari upaya untuk meningkatkan atau memperbaiki kineija organisasi. Pengembangan organisasi sekolah dapat dilakukan dengan cara mengadopsi ide-ide, model, cara, atau metode baru guna meningkatkan keefektifan organisasi (Owens, 1991). Ide-ide, model, metode atau cara baru yang diadopasi bisa saja berasal dari hasil analisis organisasi itu sendiri atau menerapkan suatu pendekatan yang telah dikembangkan oleh pihak lain. Hal ini tentu saja didasarkan atas pertimbangan bahwa pengadopsian tersebut dapat meningkatkan kualitas keluaran organisasi menjadi lebih baik. Pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah merupakan pengadopsian model manajemen sekolah yang pernah diterapkan di beberapa negara. Analisis implementasi pendekatan ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang bekeija sama dengan Bank Dunia. Berdasarkan hasil analisis itu, muncullah Kegiatan Rintisan Keija Sama segi tiga Pemerintah Republik Indonesia-UNESCO-UNICEF dalam program "Menuju Masyarakat Peduli Pendidikan Anak Menciptakan Mutu Pendidikan Dasar Melalui Manajemen Berbasis Sekolah dan Peranserta Masyarakat." Untuk merealisasikan program ini, sejak tahun 1999 telah

28

dilakukan pilot proyek di empat propinsi, yaitu; Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Dalam prakteknya, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah tetap didasarkan atas kemampuan sekolah masing-masing. 2. Fokus Perubahan dalam Pengembangan Organisasi Pengembangan organisasi didasarkan atas pandangan bahwa organisasi sebagai sistem. Oleh karena itu, fokus perubahan dalam pengembangan organisasi ditujukan pada elemen-elemen penting yang terdapat dalam organisasi itu. Menurut Leavitt (dalam Stoner, 1982; Owens, 1991), elemen-elemen dimaksud adalah; (a) struktur, teknologi, tugas, dan orang-orang. Saling ketergantungan antara elemen- elemen tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Elemen-elemen organisasi (diadaptasi dari Stoner, 1982.389)

29

Berdasarkan gambar 2.1, suatu perubahan dalam satu elemen organisasi akan mempengaruhi elemen-elemen lainnya. Dengan demikian, suatu perubahan yang efektif menyadari adanya interaksi elemen-elemen organisasi tersebut. Program perubahan yang berfokus hanya pada satu dan elemen-elemen organisasi itu memiliki kesempatan yang kecil untuk berhasil (Stoner, 1982). Terdapat berbagai pendapat ahli mengenai fokus perubahan dalam pengembangan organisasi dan masing-masing ahli melihat dari sudut pandang yang berbeda. Robbins (1996) melihat lingkup perubahan dalam pengembangan organisasi dan sisi apa yang dapat diubah oleh agen perubahan, Hanson (1991) melihat dan segi fokus perubahan, Steers (1977) meninjau dan aspek pendekatan yang digunakan dalam perubahan organisasi, Stoner (1982) memandang dari sudut variabel perubahan organisasi, dan Griffin dan Moorhead (1986) menguraikan dari sisi metode perubahan organisasi. Walaupun para ahli memandang fokus perubahan organisasi dan sisi yang berbeda, namun semua ahli tersebut sebenarnya ingin menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang dapat diubah dalam melakukan pengembangan organisasi sehingga kineija organisasi menjadi lebih baik. Berbagai pendapat para ahli mengenai fokus perubahan dalam pengembangan organisisasi dirangkum dalam tabel 2.1. Tabel 2.1. Rangkuman Pendapat Ahli tentang Fokus Perubahan dalam Pengembangan Organisasi

30

Steers (1977)

Stoner(1982)

1. Struktur dan Sistem

1. Struktur 2. Tugas 3. Teknologi

Griffin dan Moorhead (1986) 1. Struktural 2. Tugas dan teknologi 3. Kelompok dan individu

Hanson (1991) Robbins (1996)

1. Struktur 2. Tugas 3. Teknologi 4. Manusia

1. Struktur

2. Teknolog i i 3. Manusia

2.Pribadi individu 3. Iklim organisasi dan gaya pribadi individu

4. Manusia

4. Setting fisik

Schein, 1980; Tyson & Jackson, 1992; Gibson, Ivancevich & Donnely, 1996; Scheerens, 2000). Oleh karena itu, organisasi harus berubah (Morgan, 1993; Kotter, 1996). Kebutuhan untuk berubah sudah jelas, hal yang mungkin tidak begitu jelas adalah apa sebenarnya perubahan itu dan bagaimana caranya melakukan perubahan tersebut (Morgan, 1993). Apabila ketidakjelasan tersebut juga teijadi dalam dunia pendidikan, maka perubahan yang dilakukan tidak memberikan kontribusi terhadap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Atas dasar itu, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Fungsi pendidikan tersebut diemban oleh setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan termasuk Sekolah Dasar sebagai bagian dari pendidikan dasar. Pendidikan dasar yang termasuk hak dari semua warga negara merupakan fondasi dari suatu masyarakat yang demokratis. Oleh sebab itu, pendidikan dasar yang bebas ifree basic education) harus dijadikan prioritas utama di dalam membangun suatu masyarakat Indonesia baru yaitu suatu masyarakat demokratis (Tilaar, 2002). Namun, dalam kenyataannya pendidikan masih menghadapi berbagai permasalahan. Salah satu masalah pokok yang masih dihadapi dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan. Gambaran umum sebagai indikasi rendahnya mutu pendidikan Indonesia terlihat dan Human Development Index tahun 2004 yang menempatkan Indonesia berada di posisi 111 di bawah Malaysia (058), Thailand

30

Melihat perbandingan pendapat para ahli mengenai fokus perubahan dalam pengembangan organisasi sebagaimana tampak pada tabel 2.1, dapat dijelaskan bahwa secara umum terdapat kesamaan pandangan mengenai fokus perubahan dalam pengembangan organisasi. Perbedaan pandangan terlihat pada pendapat Robbins (1996) yang memasukkan unsur setting fisik dalam perubahan organisasi. Sebenarnya, perubahan setting fisik merupakan bagian dari perubahan struktur dan tugas, artinya perubahan struktur organisasi dan tugas-tugas yang sudah dilakukan diikuti dengan perubahan setting fisik tempat orang-orang atau anggota organisasi itu bekerja. Hal yang tidak jauh berbeda juga tampak pada pendapat yang dikemukakan Steers (1977). Walaupun Steers tidak menyatakan aspek perubahan yang berkaitan dengan tugas secara eksplisit, namun perubahan sistem yang dimaksudkan oleh Steers berkaitan dengan tugas-tugas, prosedur keija dan kebijakan guna mendukung perubahan struktur organisasi. Sementara itu, perubahan individu dan iklim organisasi termasuk ke dalam aspek perubahan yang ditujukan kepada manusia atau anggota- anggota organisasi, Griffin dan Moorhead (1986) menyebut hal ini dengan istilah perubahan individu dan kelompok. Menurut Steers (1977), perubahan organisasi dapat ditujukan terhadap aspek ndividu, kelompok, dan aspek organisasi. Aspek individu berhubungan dengan .nggota organisasi sebagai pribadi sehingga memerlukan strategi yang bersifat r' badi pula. Sementara itu, aspek kelompok menyangkut hubungan antar pribadi ^ng harus dibangun untuk mendukung proses perubahan. Terakhir, aspek organisasi - . -r.ubungan dengan unsur-unsur organisasional yang akan berpengaruh dalam proses perubahan.

31

Berdasarkan hal tersebut, ada tiga pendekatan umum yang dipakai untuk melakukan perubahan secara berencana, yaitu perubahan yang terutama ditujukan pada: (1) pribadi individu, (2) struktur dan sistem organisasi, dan (3) iklim organisasi dan gaya hubungan antar pribadi (Steers, 1977). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2. Leavitt (dalam Stoner, 1982) menyatakan bahwa pengembangan organisasi dapat dilakukan dengan cara mengubah strukturnya, teknologinya, dan atau manusianya. Perubahan struktur mencakup penyusunan kembali sistem internalnya, seperti garis komunikasinya, alur kerja, atau hirarki manajerial. Perubahan teknologi berarti mengubah peralatan, teknik memproses, atau metode produksi. Perubahan terhadap orang-orang dalam organisasi mencakup perubahan seleksi, pelatihan, hubungan, sikap, atau peran anggota organisasi. Perubahan terhadap orang-orang dalam organisasi bukan merupakan hal yang mudah dibandingkan dengan perubahan struktur, tugas, atau teknologi. '7/7 any change, it is usually easier t o change the structures and system than to change the culture. " (Tee, 2003:38). Walaupun ada beberapa fokus perubahan yang dilakukan dalam rangka pengembangan organisasi, namun perlu diingat bahwa "The premise of organizational development is: Orgamzations are social systems m which people are strongly influenced hy the rgamzationa/ culture. Therefore, the most potent tool for improvemen/ is cultural . hange(http://www.toolpack.com/services.html, diakses tanggal 9 Februari 2005). Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan budaya merupakan hal ^ngesensial dalam pengembangan organisasi. Dengan demikian,

32

pendekatan -engembangan organisasi hendaknya memberikan penekanan pada perubahan budaya Tabel 2.2. Rancangan Perubahan dalam Pengembangan Organisasi Aspek Teknik Intervensi Hasil Langsung Asumsi Mengenai Perubahan yang Dituju Penyebab Utama Perilaku dalam Organisasi Pribadi Individu Edukasi, pendidik Perbaikan tingkat Perilaku dalam an/latihan, sosiali keterampilan sikap organisasi sasi, perubahan dan motivasi terutama sikap manusia ditentukan oleh karakteristik setiap anggota organisasi Struktur dan Modifikasi prak Menciptakan kon Perilaku dalam sistem organisasi tek, prosedur dan disi yang menim organisasi kebijakan yang bulkan dan mem terutama berlaku, yang berikan imbalan ditentukan oleh mempengaruhi apa pada prestasi ang karakteristik yang dikerjakan gota yang mem situasi organisasi orang dalam tugas perlancar tercapai tempat orang nya tujuan bekerja organisasi Iklim organisasi Teknik eksperimen Menciptakan iklim Perilaku dalam dan gaya yang ditujukan un keseluruhan organisasi hubungan antar tuk meningkatkan organisasi yang terutama pribadi kesadaran anggota bercirikan tingkat ditentukan oleh akan faktor kepercayaan antar proses emosi dan penentu sosial dari pribadi dan sosial yang perilaku mereka keterbukaan yang mencirikan dan membantu tinggi, mem hubungan antara mereka perkecil para anggota mempelajari cara konsekuensi organisasi baru untuk disfungsi dan kon bereaksi dan flik sosial dan per berhubungan satu saingan yang amat sama lain dalam ketat konteks organisasi

33

organisasi (organizational culture) yang mempengaruhi cara orang-orang bekerja. Alasannya adalah karena keefektifan organisasi dapat diwujudkan apabila didukung oleh budaya organisasi yang kuat.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka fokus perubahan dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dikaji dari sisi perbaikan struktur organisasi sekolah, yaitu dengan membentuk Dewan Sekolah dan Paguyuban/Forum Kelas. Pengkajian fokus perubahan tersebut berada dalam kerangka perbaikan manajemen sekolah dan transparansinya serta peningkatan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Sementara itu, fokus perubahan teknologi dilihat dari pembaruan metode pembelajaran dengan penerapan metode PAKEM, dan fokus perubahan individu/manusia dipelajari dan cara-cara yang digunakan kepala sekolah untuk mengatasi resistensi terhadap pengembangan organisasi. B. Manajemen Berbasis Sekolah 1. Dasar pemikiran Dasar pemikiran dari SBM diartikulasikan oleh Carnegie Foundation (Hanson, 1991), yaitu; (1) sentralisasi yang terlalu berlebihan, pengawasan secara birokratik terhadap sekolah-sekolah mesti diakhiri, (2) kepemimpinan lokal yang efektif adalah sangat penting, dan (3) tiap sekolah harus diberi kebebasan dan persyaratan yang fleksibel untuk merespons secara kreatif tujuan pendidikannya secara menyeluruh guna memenuhi kebutuhan para siswa. Gerakan Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu pengalihan otontas pengambilan keputusan atau mengurangi cara-cara pengambilan keputusan secara terpusat yang sudah menjadi kebiasaan di masa lalu. Munculnya Manajemen Berbasis Sekolah erat kaitannya dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Desentralisasi merupakan sa'ah

35

satu isu yang amat populer pada akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia sebagai dampak reformasi di segala bidang termasuk pendidikan (Mantja, 2002). Pada satu desentralisasi pengelolaan pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang e-gandung ekspektasi, namun di sisi lain desentralisasi belum tentu dapat menjamin .-a;-a peningkatan mutu pendidikan. Penyebabnya adalah karena implementasi desentralisasi masih menimbulkan berbagai kekhawatiran, seperti konsentrasi ek jasaan pada beberapa orang atau golongan seperti pada sistem sentralistik, . ^-iN-adilan dan ketidak-jujuran jangan-jangan malah lebih sentralisasi (Hamidjojo, I Oleh karena itu, menurut Nurhadi (2004), pergeseran wewenang yang begitu r^i: sebagai dampak dari desentralisasi pemerintahan seharusnya diikuti dengan -_eseran paradigma dalam seluruh aspek manajemen pendidikan tingkat -r--e-;olahan di daerah yang semula dikelola secara lebih sentralistik sekarang harus e r h didesentralisasikan. Di samping itu, ada kemungkinan desentralisasi pendidikan -5tru dapat menimbulkan jurang yang makin lebar antara si kaya dan si miskin aar, 2000). Melihat berbagai fenomena desentralisasi tersebut, maka . entralization is necessary bui not sufficient t o improve the quahty of education. " ~ aar. 2000:88). Ada berbagai alasan yang mendorong perlunya desentralisasi pendidikan, a Nur (2001) menyimpulkan rasional desentralisasi ke dalam tiga aspek, yaitu; (a) _:istratif, (b) politik, serta (c) ideologi dan filsafat. Inti dan pendapat tersebut : .ukakan sebagai benkut. Pertama, pertimbangan administratif menitikberatkan - -atian pada efisiensi

pencapaian tujuan pendidikan dan berupaya menghilangkan a.banan dalam praktek manajemen pendidikan. Sentralisasi telah menimbulkan sikap patuh yang pasif (passive comformity), yaitu adanya keterikatan secara kaku terhadap aturan dalam melaksanakan tugas sehingga berkurang sikap inovatif. Kedua, secara politis perkembangan zaman menuntut adanya keikutsertaan dan wewenang daerah dalam pengambilan keputusan, yang jika dipertahankan sistem lama dapat berdampak munculnya kekacauan. Terakhir, secara ideologi dan filsafat munculnya desentralisasi didasarkan atas keyakinan pemberian otonomi yang lebih besar mendorong tercapainya tujuan yang diinginkan baik oleh individu maupun masyarakat. Di samping faktor-faktor di atas, menurut Soetopo (2004a) terdapat sejumlah faktor yang mendorong desentralisasi di bidang pendidikan di Indonesia, yaitu; (1) terjadinya tuntutan reformasi di segala bidang, termasuk bidang manajemen pendidikan, (2) kurangnya persaingan antar daerah dalam memajukan pendidikan karena tuntutan nasional yang seragam, (3) tuntutan masyarakat untuk mandiri sesuai dengan kemampuan daerah untuk menyelenggarakan dan memajukan bidang pendidikan, (4) ketidaksesuaian tuntutan nasional dengan potensi sumber daya di daerah, (5) adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat atas pendanaan, kurikulum, fasilitas, sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pendidikan, (6) kurangnya kreativitas daerah, sekolah, dan apalagi dari personel penyelenggara dan pelaksana pendidikan, akibat rasa takut melanggar aturan dari pihak atasan, dan (7) kurangnya kemandirian lembaga pengelola dan pelaksana pendidikan karena besarnya ketergantungan kepada pemerintah pusat.

37

Menurut Hamidjojo (2000), agar desentralisasi pendidikan dapat diterapkan dengan baik diperlukan sejumlah persyaratan krusial yang perlu dipenuhi, yaitu: 1. Pola dan asas keija harus demokratis berlandaskan nilai-nilai dasar desentralisasi. Dalam menerapkan desentralisasi harus mampu menghapus segala bentuk diskriminasi politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, SARA dan ekses anarcho-ethnocentrism. 2. Pemberdayaan rakyat dalam pendidikan harus menjadi tujuan utama, bukan semata-mata kewibawaan atau kekuasaan pemerintah daerah. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, karena itu yang diperlukan adalah usaha empowerment. Manajemen desentralisasi bukan hanya memperhatikan stakeholders tetapi justru berfokus pada peranserta seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun mekanisme hubungan kerja antarkomponen strategis di daerah dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas.
3

Pelayanan harus lebih cepat dan efisien. Kualitas pelayanan yang diberikan mestinya dapat menghapus persepsi negatif dari penerapan sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan selama ini.

Keanekaragaman aspirasi dan nilai serta norma lokal harus dihidupkan sebagai akar yang kokoh demi tegaknya sistem pendidikan nasional dan negara kesatuan.

2. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah Terdapat berbagai istilah yang dipakai berkaitan dengan Manajemen Berbasis Sekolah {School BasedManagement). Dalam berbagai literatur, istilah-istilah yang digunakan dalam membahas School-Based Management adalah; Shared Decision

Makmg, Si t e-Based Management, School-based Decision Making, Self-Managmg X hool, School Empowerment, Shared Governance, School-based Governance, Decentralized Authority, School-site Autonomy, Responsible Autonomy, dan Administrative Decentralization (Lindquist & Mauriel, 1989; Hanson, 1991; Caldwell & Spinks, 2003; Ceperley, Cistone, Fernandez & Tornillo, Johnston & Germinario, Lewis, dalam Cotton, 1992; Mohrman, Wohlstetter & Associates, 1994; Cromwell, 2000). Manajemen Berbasis Sekolah pada hakikatnya adalah pemberian kewenangan dan tanggung jawab pengambilan keputusan kepada kepala sekolah dengan melibatkan partisipasi individual, baik personel sekolah maupun anggota masyarakat. Dengan demikian, penerapan Manajemen Berbasis Sekolah akan membawa perubahan terhadap pola manajemen pendidikan dan sistem sentralisasi ke desentalisasi. Artinya, fungsi-fungsi manajemen sekolah yang semula dikerjakan oleh pemerintah pusat/dinas pendidikan propinsi/dinas pendidikan kota/kabupaten, sebagian dari fungsi itu dapat dilakukan oleh sekolah secara profesional (Depdiknas, 2002a). Lebih lanjut dikemukakan, dampak perubahan pola manajemen tersebut terhadap sekolah adalah; (1) sekolah bersifat otonom dan berkedudukan sebagai unit utama (selama ini sekolah ditempatkan sebagai subordinasi birokrasi semata dan kedudukan sekolah bersifat marginal), (2) personel sekolah dan anggota masyarakat dapat meninggalkan perilaku rutinitas dengan menunjukkan perilaku mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif, integratif, sinkronistis, kooperatif, luwes, dan profesional, dan (3) peran sekolah yang

39

selama ini biasa diatur (mengikuti apa yang diputuskan oleh birokrasi) disesuaikan menjadi sekolah yang bermotivasi-din tinggi (self-motlvator). Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tentang Manajemen Berbasis Sekolah yang dikemukakan oleh para ahli. Malen, Ogawa dan Kranz (dalam Ogawa & White, 1994:56) mengemukakan definisi Manajemen Berbasis Sekolah sebagai berikut: School-based management can be viewed conceptual/y as a formal alteration of governance structures, as a form ofdecentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribution of decision-making authority as the primary means through which improvements might be stimulated and sustained. Some formal authority t o make decision in the domains of budget, personnel and program is delegated to and often distributed among site-level actors. Some formal structure (council, committee, team, board) often composed of principals, teachers, parents, and at times, student and community residents is created so that site participants can be directly involved in school-wide decision making. Menurut Office of Educational Research and Improvement (OERI) dari the US Departemen of Education (dalam Sutjipto, 2001:7), pengertian Manajemen Berbasis Sekolah adalah sebagai berikut: A strategy to improve education by transferring significant decision- making authority from state and district offices to individual school, provide principals, teachers, students, parents greater control over the education process by giving them responsibility for decision about the budget, personnel, and the curriculum. Hal pokok yang terkandung dalam pendapat di atas adalah, bahwa sekolah merupakan unit utama dalam peningkatan mutu pendidikan dan oleh karena itu ekolah harus diberi otoritas dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, Marburger dalam Lindquist dan Maunel, 1989:404) menyatakan pula batasan mengenai ''.majemen Berbasis Sekolah dari sisi pendelegasian kekuasaan dan keputusan,

:engan pernyataan sebagai berikut: SBM is defined as a decentralized organizational structure in which the power and decisions formerly made by the superintendent and school board are delegated to the teachers, prmcipal, parents, community members, and students of the local school. Konsep yang terkandung dalam definisi yang dikemukakan Malen, Ogawa dan Kranz (dalam Ogawa & White, 1994) tentang SBM sekolah dipandang sebagai unit utama peningkatan mutu. SBM menurut OERI (dalam Sutjipto, 2001) merupakan strategi peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberikan otoritas pembuatan keputusan kepada sekolah. Sementara itu, SBM menurut Marburger (dalam Lindquist dan Mauriel, 1989) merupakan desentralisasi struktur organisasi. Pada hakikatnya, konsep SBM berdasarkan ketiga pendapat tersebut adalah pendelegasian otoritas pengambilan keputusan kepada sekolah. Untuk mendukung peran dan posisi tersebut dilakukan pembagian otoritas pengambilan keputusan. Beberapa otoritas formal pembuatan keputusan yang dimiliki sekolah menyangkut anggaran, personel dan program yang didelegasikan dan didistribusikan kepada aktor-aktor di tingkat sekolah. Selain itu, untuk meningkatkan partisipasi personel sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dibentuk dewan atau komite sekolah yang beranggotakan kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan masyarakat. Dengan demikian, personel sekolah, orang tua dan masyarakat, di samping mempunyai tanggung jawab yang besar dapat melakukan kontrol yang lebih luas terhadap proses pendidikan di sekolah. Terdapat beberapa prinsip yang melekat dalam konsep Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan dengan dewan sekolah yang melibatkan konstituen sekolah akan menumbuhkan rasa memiliki bagi konstituen itu,

(2) otoritas didelegasikan from the school board to central administration to the school building to the site council, dan (3) implementasi sistem pembuatan keputusan terdesentralisasi akan mendatangkan sumber-sumber (076) bahkan Filipina (083), (Jawa Pos, 2004). Keadaan khusus pada jenjang pendidikan dasar, terlihat dari hasil studi yang dilakukan oleh lembaga International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan kemampuan membaca murid Sekolah Dasar Indonesia berada pada urutan ke-38 dan 39 negara yang diteliti (Hadiyanto, 2004). Penyelesaian permasalahan di atas menuntut adanya perhatian serius dari pemenntah dengan mengkaji secara sistemik berbagai faktor strategis penyebab rendahnya mutu pendidikan. Permasalahan mutu pendidikan yang masih rendah bukan hanya muncul saat ini saja, melainkan sudah merupakan masalah yang berlangsung cukup lama. Menurut Sutjipto (2004), secara kasatmata dapat dilihat bahwa sistem pendidikan di Indonesia mengalami krisis yang dalam, telah berlangsung dalam kurun waktu lama dan terus menerus yang antara lain disebabkan oleh mismanagement. Mantja (2002) melihat persoalan di atas terkait dengan dua pertanyaan mendasar, yaitu; (a) apakah aktualisasi kegiatan pendidikan berpijak pada landasan yuridis dan kebijakan pelaksanaannya?, dan (b) apakah kegiatan pendidikan dikerjakan atas dasar manajenal dan oleh personel yang memiliki keterampilan manajemen pula?. Lebih khusus lagi, Bafadal (2003) menyatakan peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar hanya akan terjadi secara efektif bilamana dikelola melalui manajemen yang tepat. Selanjutnya ia memandang bahwa selama ini peningkatan mutu pendidikan cenderung melalui manajemen yang sentralistik.

Selanjutnya, berdasarkan berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara pembiayaan secara signifikan (Lindquist & Mauriel, 1989). Otonomi dan kewenangan sekolah yang memadai dapat meningkatkan efektivitas sekolah serta memberikan beberapa keuntungan, seperti; (a) kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada siswa, orang tua siswa, dan guru, (b) pemanfaatan sumber daya lokal menjadi lebih optimal dalam penyelenggaraan sekolah, (c) keefektifan melakukan pembinaan peserta didik, seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah, dan (d) adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, mengelola sekolah, merancang ulang sekolah, dan melakukan perubahan terencana (Sagala, 2004). Implementasi SBM di sekolah mempunyai konsekuensi terhadap perubahan pola manajemen sekolah dan pola lama ke pola baru (Depdiknas, 2002a). Perubahan aspek-aspek manajemen sekolah tersebut digambarkan dalam tabel 2.3. Dilihat dari sisi proses kebijakan, implementasi merupakan transisi dan keadaan sosial, politik, dan ekonomi sebelum kebijakan dianut kepada konfigurasi baru yang berbeda (Sutjipto, 1987). Sebagai proses transisi, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dihadapkan pada keadaan vang menginginkan status quo dan faktor lain yang menghendaki perubahan. Mohrman, Wohlstetter dan Associates (1994:50) menyatakan: The transition itself a substancial commitment of time, and money for staff development, mnovation, and the development of the organizational infrastructure to support this

new way of functioning. Oleh karena itu, pengembangan organisasi dengan rendekatan Manajemen Berbasis Sekolah harus dilakukan secara berencana.

41

Tabel 2.3. Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan Subordinasi Pengambilan keputusan terpusat --------- Otonomi partisipatif Ruang gerak kaku Pendekatan birokratik Sentralistik Diatur Overregulasi Mengontrol Mengarahkan Menghindari resiko : Gunakan uang semuanya ------------ ------------ w Pendekatan profesional Desentralistik ------------ Motivasi diri Deregulasi Mempengaruhi ------------ Memfasilitasi -----------Mengelola resiko Gunakan uang seefisien mungkin Individual yang cerdas Informasi terpribadi Pendelegasian ! Organisasi hirarkis Teamwork yang cerdas Informasi terbagi Pemberdayaan Organisasi datar Ruang gerak luwes

------------ Pengambilan keputusan

, rubahan berencana terjadi melalui tiga tahap, yaitu; (1) unfreezing the system rpreparing it for change, (2) imtiating the change, dan (3) refreeztng, or stabihzmg :. svstem after the change is unplemented (Duncan & Kurt Lewin dalam Sutarto, 2001 191). "Unfreezing" adalah merubah atau membongkar kebiasaan, dan tradisi lama -Daya mereka siap untuk menerima alternatif-alternatif baru. "Unfreezing" terjadi

42

.pabila kekuatan-kekuatan yang mendorong perubahan ditingkatkan atau kekuatankekuatan yang melawan perubahan dikurangi. Pada suatu ketika akan terjadi situasi individu telah cocok untuk berubah sehingga mereka siap untuk menerima pola-pola perilaku baru. Proses "changmg" sebagian besar timbul karena adanya "identification" yang timbul apabila suatu model diterapkan dalam lingkungan organisasi. "Internalization" timbul apabila individu ditempatkan dalam situasi perilaku baru dan mereka dituntut untuk berhasil melakukan tugas itu. "Refreezing" merupakan proses dimana perilaku yang baru diperoleh telah berintegrasi dengan pola perilaku dan kepribadian individu. 3. Hasil kajian tentang implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam hal anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian (Tim Penulis Direktorat TK/SD, Pusat Kurikulum, UNESCO & UNICEF, 2003). Selanjutnya, studi yang dilakukan di El Salvador, Meksiko, Nepal dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Namun, contoh lain yang ada di Indonesia adalah hasil analisis Program Ujicoba Pemberdayaan Masyarakat dalam Manajemen Pendidikan Sekolah Dasar di DKI Jakarta, yang dilakukan atas keqa sama Lembaga Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta dengan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun anggaran 1998/1999 menunjukkan bahwa "pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah masih sangat sulit, perlu waktu dan keberanian untuk berubah, mengingat

43

selama puluhan tahun manajemen sekolah bersifat sentralistis." (Tilaar, 2002:43). Berdasarkan keadaan tersebut, hal utama yang direkomendasikan oleh Tim Ujicoba untuk diubah adalah manajemen tingkat pejabat atau birokrat, karena seluruh manajer sekolah hingga saat ini masih "sangat patuh" dengan pimpinan, sehingga jika ada hal-hal yang bersifat inovatif mereka sangat takut untuk mengubahnya, karena dipandang tidak sesuai dengan standar baku yang ditetapkan. Di luar negeri, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengembangan organisasi telah banyak dilakukan. Mort (dalam Kimbrough dan Burkett, 1990) telah melakukan penelitian tentang proses perubahan terencana di awal tahun 1950-an. Hall dan Hord (1987) meneliti perilaku kepala sekolah dan peningkatan sekolah yang berhasil pada the Reseacrh and Development Center for Teacher Education at the uversity ofTexas, Austin. Fokus penelitiannya diarahkan pada Change Facilitator Sty le. Firestone dan Corbett (dalam Cotton, 1992) meneliti "Planned Organizational hange " dengan fokus how the change process should be managed so as to lead to r sitive results. Menurut Cotton (1992), Mutchler juga telah melakukan penelitian tentang "Eight Barriers to Changing Traditional Behavior" Prestin dan Bowen 1993) memfokuskan penelitiannya pada asesmen perubahan di empat sekolah dalam usaha restrukturisasi pendidikan. Hasil penelitian Lewin, Coch, French, Benne dan Chin (dalam Schein, 1980) menunjukkan bukti bahwa salah satu cara terbaik untuk membantu melaksanakan perubahan ialah dengan melibatkan sistem yang terkena angsung ke dalam proses pengambilan keputusan. Semakin banyak sistem itu berpartisipasi dalam menentukan bagaimana mengelola suatu perubahan, semakin

44

urang kemungkinannya untuk menentang perubahan itu, dan semakin mantaplah perubahan itu teijadi. Hasil penelitian klasik tentang how resistance to change may be managed\ dikemukakan Robbins (1984:184), yaitu: "There is a strong beliefheld by those people actively engaged in OD that changes are more likely to be accepted by individuals who have been given a voice in determining the content and process of the change". Selanjutnya, Goodlad (dalam Owens, 1991) melakukan penelitian tentang problem of personal and institutional renewal m education. Demikian pula penelitian Fullan, Miles dan Taylor tentang penilaian usaha-usaha OD, seperti dilaporkan Owens (1991). Hasilnya menunjukkan proyek OD bersifat parsial, tidak tuntas, aktivitas berlangsung jangka pendek karena kurangnya perencanaan dan diperlukan usaha berkelanjutan untuk sukses. Di samping itu, penelitian-penelitian yang mengkaji tentang implementasi kebijakan School Based Management juga telah banyak dilakukan di luar negeri. Lindquist dan Mauriel (1989) melakukan penelitian dengan judul School Based Management: doomed to failure?. Data penelitiannya membuktikan, terdapat tiga masalah yang umumnya muncul sebagai hambatan pengembangan SBM, yaitu; (1) kekeliruan konseptual dalam pengembangan SBM, (2) kurangnya motivasi untuk mendelegasikan otoritas ke sekolah-sekolah, dan (3) persyaratan yang berat tentang waktu dan keterampilan yang dituntut dalam implementasi SBM. Temuan lainnya, berdasarkan data ia mengakui bahwa (a) SBM memerlukan suatu perubahan dalam gaya manajemen sekolah, dan (b) tidak adanya dukungan yang kuat oleh pengawas merupakan bukti council's conflict dengan dewan. Selanjutnya, Cotton (1992) telah

45

mereview 42 buah penelitian tentang implementasi SBM. Misalnya, Site-Based ' fanagement: Its Potential for Enhancmg Learner Outcomes yang dilakukan Arterbury dan Hord (1991), School Based Management: Are We Ready? oleh Caldwell dan Wood (1988), dan School BasedManagement/Shared Decision Making in Dade County (Miami) oleh Cistone, Fernandez dan Tornillo (1989). Penelitianpenelitian tersebut lebih memfokuskan pada hakikat dan hasil Manajemen Berbasis Sekolah. Berdasarkan kepustakaan yang teijangkau, di Indonesia terdapat pula beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengembangan organisasi. Penelitian terkait, antara lain, dilakukan oleh Bafadal (1994). Ia meneliti proses perubahan di sekolah dasar yang difokuskan pada; (1) proses implementasi inovasi pendidikan ditinjau dari pengubahan latar struktural dan tingkah laku, (2) faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi inovasi, dan (3) peran agen perubahan dalam proses implementasi inovasi. Aswandi (2001) meneliti Perubahan Organisasi Perguruan Tinggi Swasta dari Manajemen Keormasan ke Manajemen Profesional, dengan fokus; proses perubahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan. Lengkong (2004) meneliti Strategi Perbaikan Sekolah Berdasarkan Perspektif Guru pada tiga SLTP di Minahasa dengan fokus proses perbaikan internal individual guru dan dampak dan proses perbaikan internal guru terhadap perbaikan kineija sekolah. C. Pengembangan Organisasi dengan Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah Uraian berikut ini mencoba mengelaborasi konsep pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah berdasarkan kajian teoretis yang

46

sudah dikemukakan sebelumnya. Hal ini sekaligus merupakan kerangka berpikir dari penelitian yang dilakukan. Ada pertanyaan pokok yang perlu dijawab, yaitu apa yang dikembangkan elakukan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis
v

r ah Bafadal (2003:93) menyebutkan aspek yang dikembangkan dalam --_;emen

Berbasis Sekolah ini dengan "empat pilar keberhasilan MPMBS a-a/emen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah), yaitu (1) peningkatan mutu, (2) . .andinan, (3) partisipasi, dan transparansi". Supriadi (2004:19) menyatakan bahwa ''BS pada dasarnya adalah MBS yang secara khusus diarahkan pada upaya r*r- ngkatan mutu pendidikan (quality-improvement orientedSBM)". Kemudian mencermati apa yang sudah diterapkan pada sekolah-sekolah yang dijadikan fra* ujicoba MBS, maka ada tiga pilar yang dikembangkan yaitu (a) manajemen : - h. i b) metode pembelajaran dengan menerapkan metode PAKEM, dan (c) -. -erta masyarakat (Subakir & Sapan, 2001). Berdasarkan pada pendapat- r-;- _i?at tersebut, maka kajian pengembangan organisasi dengan pendekatan - - emen Berbasis Sekolah dalam penelitian ini mengacu pada tiga pilar berikut i i manajemen sekolah dan transparansi, (2) metode pembelajaran, dan (3) . - ^rta masyarakat. Setelah pembahasan ketiga pilar tersebut, selanjutnya . . - an mengenai budaya sekolah sebagai sasaran pengembangan organisasi.

47

Manajemen sekolah dan transparansi Ada beberapa argumen perlunya perbaikan atau peningkatan manajemen ah dan transparansi. Hal ini sesuai dengan ide dasar yang melandasi lahirnya - _ emen Berbasis Sekolah, bahwa selama ini secara institusional sekolah kurang _ --ca;. akan dalam penyelenggaraan pendidikan, memiliki kewenangan yang sangat . - - kurang melibatkan personel sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan kurang transparan dalam pengelolaan keuangan (Marburger, dalam Lindquist & Mauriel, 1989; Hanson, 1991; Mohrman, Wohlstetter & Associates, 1994; Subakir & Sapan, 2001; Depdiknas, 2002a; Mulyasa, 2005). Pengembangan manajemen sekolah dititikberatkan pada aspek kemandirian sekolah dengan ciri utama pada keterbukaan atau transparansi (Subakir & Sapari, 2001; Bafadal, 2003; Supriadi, 2004). Kemandirian sekolah dipengaruhi antara lain oleh sampai sejauh mana kevvenangan yang diberikan dinas pendidikan kepada -ekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Alasannya adalah karena salah satu konsep pokok Manajemen Berbasis Sekolah adalah pelimpahan kewenangan kepada -ekolah dalam pengambilan keputusan (Marburger dalam Lindquist & Mauriel, 1989; L ndquist & Mauriel, 1989; Hanson, 1991; Sutjipto, 2001; Depdiknas, 2002a). Kewenangan terbatas yang dimiliki sekolah harus dimanfaatkan secara efektif efisien. Oleh karena itu, kepala sekolah perlu melibatkan personel sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dengan menggunakan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah, maka pola pengambilan keputusan ditekankan pada partisipasi personel sekolah dan masyarakat (Malen, Ogawa & Kranz dalam Ogawa &

48

White, 1994; Depdiknas, 2002a; Nurkolis, 2003; Sagala, 2004). Pelibatan personel r -;olah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dimulai dari penyusunan encana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), pelaksanaan, dan . .iluasi program sekolah. Untuk mewujudkan hal di atas, maka pengembangan manajemen sekolah : akukan dengan cara merubah struktur organisasi, tugas-tugas, dan prosedur atau - ' anisme keija. Kesemuanya itu diawali dengan perubahan struktur organisasi Komite Sekolah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Pembentukan struktur tersebut diikuti dengan perubahan tugas-tugas dan mekanisme keija antara sekolah dan Komite Sekolah. Penyelenggaraan manajemen sekolah yang memiliki ciri keterbukaan atau transparansi merupakan salah satu ciri dari sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (Subakir & Sapan, 2001; Depdiknas, 2002a; Direktorat TK/SD, Puskur, UNESCO & UNICEF, 2003; Bafadal, 2003; Supriadi, 2004). Transparansi manajemen sekolah dilakukan dengan cara menyampaikan program yang akan dilaksanakan sekolah dan melaporkan hasil pelaksanaan/evaluasinya, termasuk masalah keuangan. Berkenaan dengan hal ini, Subakir dan Sapari (2001) menyatakan: Kepala sekolah sebagai pemimpin puncak di sekolah bahkan tidak tanggung-tanggung dalam menerapkan transparansi manajemen keuangan. RAPBS disusun bersama guru, pengurus BP3, dan masyarakat. Hasilnya dipajang di tempat terbuka dan dengan mudah dibaca oleh siapapun. Bahkan banyak SD yang memberikan kepercayaan sepenuhnya masalah keuangan BP3 kepada bendahara BP3 yang berasal dari 'orang luar' (baca: bukan guru).

49

Pendapat di atas mempunyai arti bahwa dalam pengembangan organisasi dengan Manajemen Berbasis sekolah, sekolah telah melakukan perubahan dengan mewujudkan transparansi manajemen sekolah terutama menyangkut keuangan -ekolah. Hal ini sekaligus merupakan bentuk akuntabilitas sekolah kepada masyarakat. Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah diharapkan dapat berlangsung secara efektif dan efisien. 2. Pembaruan metode pembelajaran Salah satu fokus perubahan dalam pengembangan organisasi berkaitan dengan teknologi. Istilah teknologi mempunyai banyak arti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teknologi dalam bidang pendidikan adalah sebagai berikut: Metode bersistem untuk merencanakan, menggunakan dan menilai seluruh kegiatan pengajaran dan pembelajaran dengan memperhatikan, baik sumber teknis maupun manusia dan interaksi keduanya sehingga mendapatkan bentuk pendidikan yang lebih efektif. Perubahan teknologi dalam kerangka pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dilakukan dengan cara penerapan metode pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Pembaruan metode rembelajaran menjadi bagian dari pembaruan sistem yang merupakan salah satu ciri rengembangan organisasi (Owens, 1991). Hal tersebut sesuai pula dengan ;rakteristik Manajemen Berbasis Sekolah pada aspek proses belajar mengajar, yaitu _danya usaha sekolah untuk meningkatkan kualitas belajar siswa (Depdiknas, 2002a). karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan proses belajar mengajar (Mulyasa, 2005). Berdasarkan

50

uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembaruan metode pembelajaran dengan penerapan metode PAKEM merupakan bagian dari kerangkan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Selanjutnya, dikemukakan bahwa pengenalan, pengembangan, dan penerapan PAKEM dimaksudkan untuk memperbaiki proses pembelajaran dengan asumsi semuanya itu akan dapat memperbaiki mutu/hasil lulusan (Direktorat TK/SD, Puskur, UNESCO & UNICEF, 2003). Pembaruan metode pembelajaran tersebut mempunyai konsekuensi terhadap perubahan tugas-tugas guru dalam mengelola pembelajaran mulai dan

merata (Depdiknas, 2002a; Tim Penulis Direktorat TK & SD, Pusat Kurikulum, UNESCO & UNICEF, 2003). Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana prasarana pendidikan telah dilakukan, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terwujud. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik. Dampak dari manajemen yang sentralistik tersebut dikemukakan Bafadal (2003:37) sebagai berikut: Peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar tetap tidak banyak mengalami keberhasilan, karena selain tidak sesuai dengan kondisi sekolah, juga tidak dibarengi oleh upaya-upaya dari sekolah yang bersangkutan. Peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar akan terjadi bilamana ada kemauan dan prakarsa dari bawah, di mana kepala sekolah, guru kelas, orang tua siswa, komite sekolah berkemauan dan bekerja keras berupaya mengembangkan programprogram peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Ketiga, peranserta warga sekolah, khususnya guru, dan peranserta masyarakat, khususnya orangtua siswa, dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan, antara lain, pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi dan akuntabilitas. Sampai saat ini, upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan kelihatan masih terfokus pada faktor pertama (menggunakan pendekatan education production function). Sementara itu, upaya-upaya untuk mengatasi faktor penyebab kedua dan ketiga tampaknya kurang mendapat perhatian pemerintah selama ini.

50

merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasinya. Implikasi dari semua itu adalah diperlukan kesiapan guru menerima pembaruan dan kesiapan pengetahuan serta kemampuan untuk mengimplementasikan program pembaruan itu dalam bentuk tindakan nyata di kelas. Menurut Direktorat TK/SD, Puskur, UNESCO & UNICEF (2003) ada tujuh kemampuan guru yang diperlukan untuk mendukung penerapan PAKEM, yaitu kemampuan; (a) merancang dan mengelola kegiatan belajar mengajar yang mendorong beragam siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran, (b) menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam, (c) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan, (d) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan, (e) menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa, (f) mengaitkan kegiatan belajar mengajar dengan pengalaman-pengalamannya sendiri, dan (g) menilai kegiatan belajar mengajar dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus. 3. Peningkatan peranserta masyarakat Pendidikan bukan hanya kewajiban pemerintah, sekolah dan guru, tetapi juga ~enjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat (Direktorat TK/SD, Puskur, ^ESCO & UNICEF, 2003). "Peranserta masyarakat merupakan salah satu aspek >_ -;: ig dalam Manajemen Berbasis Sekolah" (Subakir & Sapari, 2001:13; Mulyasa, 1 28) Selama ini, peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan . iang masih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Diknas RI (dalam > _r hclis, 2003) menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian guru tingkat partisipasi orang tua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah masih rendah (rata-rata

51

57,1%) dan sangat rendah dalam hal menentukan kebijakan program sekolah dan mengawasinya, pertemuan rutin, kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan iklim sekolah. Partisipasi orang tua siswa yang sangat tinggi ialah dalam mengawasi mutu sekolah, pertemuan BP3, pembayaran dan bentuk iyuran BPS per bulan dan sumbangan uang gedung untuk siswa baru. Oleh karena itu, peranserta masyarakat merupakan salah satu pilar dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Pada satu sisi, peranserta masyarakat adalah penting, namun di sisi lain esarnva partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tersebut, mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antara sekolah, orang tua, dan masyarakat M -Kasa, 2003). Sehubungan dengan itu, pemerintah perlu merumuskan secara jelas ,-genai bentuk partisipasi dan tugas oprasional organisasi yang mewadahi ->. >erta masyarakat tersebut. Sebagai acuan yang dirujuk untuk peningkatan r. -anserta masyarakat adalah pasal 54 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, yang . . askan bahwa peranserta masyarakat dalam pendidikan meliputi peranserta . -angan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi k - -i'akatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan : : an.Selanjutnya, dalam pasal 56 dinyatakan bahwa masyarakat berperan _ - r-eringkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, . - asan, dan evaluasi program pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan < ~ e vekolah/Madrasah. ~:uk meningkatkan peranserta masyarakat dilakukan perubahan organisasi yang mewadahinya. Perubahan tersebut dilakukan dengan cara membubarkan

52

organisasi BP3 dan membentuk organisasi baru yang disebut Komite Sekolah. Dalam pasal 56 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.ini berarti, perubahan struktur organisasi yang mewadahi peranserta masyarakat telah diikuti dengan perubahan tugas-tugas yang akan dijalankan oleh Komite Sekolah. Persoalannya adalah apakah perubahan struktur dan tugas-tugas tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. 4. Budaya sekolah sebagai sasaran pengembangan organisasi Robbins (1984:171) berpendapat "organizationa/ culture is a perception, bui :f exis(s m the organization, not m the individual. Berdasarkan hal tersebut, individundividu dengan latar belakang yang berbeda atau tingkatan yang berbeda dalam rganisasi cenderung menjelaskan budaya organisasi dalam istilah-istilah yang sama. Pembicaraan mengenai budaya berkaitan dengan "the behavioral norms, .. <umptions, and beliefs of an organization' (Owens, 1991:171). Hoy dan Miskel (I 01:177) menyatakan "culture is manifested in norms, shared values, and basic umptions, each occurring at different levels ofdepth and abstraction ". Tingkatan -daya organisasi tersebut dapat dilihat dalam gambar 2.2. Budaya sebagai norma-norma bersama. Secara konkrit, perspektif

53

Gambar 2.2. Tingkatan Budaya (Hoy & Miskel, 2001:177). mengenai budaya muncul ketika norma-norma perilaku digunakan sebagai elemen dasar budaya (lihat gambar 6.1). Norma-norma biasanya tidak tertulis (unwritten) dan -erupa harapan informal. Norma-norma secara langsung mempengaruhi perilaku. N orma-norma itu more visible daripada values dan tacit assumptions\ dengan :emikian mereka memberikan cara-cara yang jelas untuk membantu manusia memahami aspek-aspek kehidupan organisasi. Oleh karena itu, apabila kita mempunyai perhatian terhadap perubahan perilaku organisasi, maka penting untuk -.e_getahui dan memahami norma-norma budaya itu.

Budaya sebagai nilai-nilai bersama. Pada tingkat abstraksi menengah, -daya didefinisikan sebagai shared va/ues. Nilai-nilai merupakan konsepsi dan apa -ng diinginkan. Nilai-nilai merefleksikan asumsi-asumsi yang mendasari budaya. N lai senng didefinisikan "what members should do to be successful in the v.imzation" (Hoy & Miskel, 2001:178). Nilai-nilai bersama merupakan karakter dasar dan organisasi dan memberikan organisasi memiliki suatu indentitas. Budaya sebagai tacit assumptions Pada level yang paling dalam, budaya .erupakan manifestasi kolektif dari taat assumptions. Tacit assumptions merupakan -remis yang abstrak mengenai hubungan manusia, hakekat manusia, kebenaran, -ealitas. dan lingkungan. Budaya tersusun dari penlaku, karena itu dapat dikatakan bahwa budaya merupakan perilaku yang terpola (Ritzer, 1985). Pola dalam konteks ini berarti struktur atau susunan yang ada di balik perilaku. Pola dapat diidentifikasikan dengan cara menarik kesimpulan dari perilaku individu atau kelompok yang terjadi secara berulang-ulang. Pola dapat dilihat secara langsung {tangible) atau tersembunyi i intangible). Oleh karena itu, pola perilaku harus dipahami dan diinterpretasikan dan apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan anggota kelompok dalam latar budayanya. Dengan perkataan lain, "dalam mempelajari perilaku manusia diperlukan penelitian mendalam sampai ke inner behavior secara holistik, dan bertolak dari sudut pandang pelakunya" (Faisal, 1990:13). 5. Resistensi terhadap pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah Upaya pengembangan organisasi sekolah untuk meningkatkan mutu

pendidikan telah sering dilakukan, baik atas dasar inisiatif lembaga sendiri maupun dengan cara mengadopsi suatu bentuk kebijakan baru di sekolah, seperti halnya Manajemen Berbasis Sekolah. Perubahan yang dilakukan mestinya berjalan secara berkelanjutan (sustainability) sehingga peningkatan mutu (quahty improvement) yang menjadi tujuan perubahan itu dapat diwujudkan. Namun dalam kenyataannya, pengembangan organisasi sekolah tidak terjadi dengan mudah. Kotter (1996) menjawab pertanyaan mengapa organisasi gagal melakukan perubahan dengan mengidentifikasi delapan kesalahan, yaitu; (1) membiarkan adanya rasa puas diri yang terlalu banyak, (2) gagal menciptakan koalisi pengarah yang cukup kuat, (3) meremehkan kekuatan visi, (4) mengkomunikasikan visi dengan buruk, (5) membiarkan hambatan-hambatan menghalangi visi baru, (6) gagal menciptakan keuntungan jangka pendek, (7) terlalu cepat menyatakan keberhasilan, dan (8) lalai menanamkan perubahan secara kokoh ke dalam kultur lembaga. Selanjutnya, penyebab kegagalan pengembangan organisasi adalah karena adanya keenganan atau resistensi terhadap program pembaruan yang dikembangkan. Menurut Buchanan dan Huczynski (2004:617) resistensi adalah "an mability or an umvillingness to discuss or to accept change thal are perceived to be damagmg or threatening to the individual'." Selanjutnya, Hughes, Ginnett dan Curphy (2002: 395) menyatakan: "Everybody resists change, particularly those who have to change the most. " Berkenaan dengan hal ini pula, Robbins (1996) menyatakan salah satu penemuan yang paling baik berdasarkan penelaahan mengenai perilaku tndividu dan organisasi adalah bahwa organisasi dan anggotanya enggan terhadap atau menolak

perubahan. Dalam bentuk pernyataan lain, Robbins (1984) mengemukakan bahwa osaha-usaha untuk menghasilkan perubahan akan sering meghadapi resistensi. Hal itu c sebabkan karena people dislike uncertainty, bahkan perubahan meningkatkan etidakpastian. Konsekuensinya, individu-individu memerlukan tambahan pengetahuan terhadap hal-hal yang tidak diketahuinya. Anggota organisasi ingin mengetahui bagaimana perbedaan pekerjaan yang ditetapkan akan mempengaruhi mereka. Individu dan kelompok cemas bahwa suatu perubahan mungkin berpengaruh terhadap kepentingan mereka. Akibatnya, mereka akan menciptakan hambatan yang signifikan (significcmt barriers) untuk menghalangi perubahan, kecuali apabila perubahan yang dilakukan akan memberikan keuntungan kepada mereka. Keengganan atau penolakan terhadap perubahan dalam pengembangan organisasi dapat bersumber dari organisasi itu sendiri maupun dari individu sebagai anggota organisasi (Steers, 1977; Griffin & Moorhead, 1986; Hanson, 1991; Robbins, 1996; Siagian, 2000; Winardi, 2002). Sementara itu, Jones (2004) menyatakan resistensi terhadap perubahan dalam organisasi terdapat pada tiga level, yaitu; (a) level organisasi, (b) level kelompok, dan (c) level individual. Steers (1977) menyebut resistensi sebagai faktor penghalang perubahan dalam organisasi. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor individu dan organisasi. Uraian lengkap dari kedua faktor penghalang tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4. Pada tingkat pribadi, anggota organisasi menolak pengenalan metode baru karena mereka merasa aman dalam kondisi yang ada dan takut bahwa perubahan yang diperkenalkan merusak hubungan antar pribadi yang ada yang sudah beijalan cukup

lama. Ini berarti resistensi terhadap perubahan terutama disebabkan oleh ketakutan terhadap konsekuensi dari suatu perubahan dan karena orang lebih menyukai sesuatu

58

Tabel 2.4. Faktor Penghalang Perubahan dari Aspek Pribadi dan Organisasi Faktor dari Pribadi Faktor dari Organisasi

j 4.

5. 6. 7. 8.

9. 10 .

Salah paham mengenal tujuan, mekanisme atau konsekuensi perubahan Kegagalan melihat kebutuhan akan perubahan Kekhawatiran kehilangan status, rasa terjamin, dan kekuasaan sebagai akibat perubahan Kekhawatiran terhadap segala yang terasa asmg Kurang identifikasi atau keterlibatan dengan perubahan Kebiasaan Kepentingan menjaga status quo (karena keuntungankeuntungan tertentu) Norma kelompok dan kemantapan peranan Ancaman terhadap hubungan

1. Sistem imbalan dapat memperkuat status quo 2. Persaingan atau konflik antar bagian yang berakibat timbulnya keengganan bekerja sama 3. Biaya yang sudah tertanam dalam keputusan dan kegiatan yang lalu 4. Kekhawatiran bahwa perubahan akan mengacau imbangan kekuatan yang ada saat itu antara kelompok serta bagian 5. Iklim organisasi yang sedang berlaku 6. Kesalahan pemilihan metode memperkenalkan perubahan 7. Riwayat usaha perubahan yang tidak berhasil serta konsekuensinya di masa lalu 8. Kekakuan struktur

sosial yang ada 11. Konflik antara sasaran pribadi dan sasaran organisasi

a' g sudah dikenal daripada yang masih asing baginya. Di samping itu, resistensi : - adi karena sebagian anggota organisasi tidak memahami sepenuhnya alasan suatu - . "u~ahan atau pengaruh positif perubahan terhadap organisasi sehingga mereka akan .--paya untuk menciptakan perilaku yang menunjukkan resistensi dengan maksud berpartisipasi dalam implementasi program yang dikembangkan.

59

Sifat dan karakter organisasi itu sendiri juga dapat mempengaruhi sejauh mana '.-jbahan dapat diterima dalam organisasi. Misalnya, struktur imbalan yang erdapat dalam organisasi mungkin dirancang untuk menguntungkan perilaku yang ia Selain itu, jika bagian-bagian dalam organisasi memandang satu sama lain . -agai pesaing mereka, hal ini dapat merongrong usaha bersama yang menuju pada -ubahan karena takut perubahan itu akan melanggar wilayah mereka masing- - ~g Para pimpinan organisasi mungkin menganggap dirinya terikat pada . ?utusan dan tindakan-tindakan yang lalu karena sebelumnya sudah diadakan - estasi besar (sunk cost) untuk suatu produk atau teknologi tertentu. Bahkan usaha-

a.-.a perubahan yang sebelumnya salah kaprah dan tidak berhasil mengakibatkan
.^rcayaan para anggota organisasi terhadap keberhasilan setiap usaha baru lenyap.

Adanya kecenderungan orang untuk menolak setiap perubahan yang dilakukan __ pengembangan organisasi merupakan hal yang manusiawi (Siagian, 1994). . h karena itu, menurut Siagian, perubahan dalam pengembangan organisasi akan
- e-.ghadapi beberapa masalah, yaitu; (1) rasa takut, (2) penolakan terhadap

rem bahan, (3) cara yang tidak didasarkan kepada landasan yang kuat, (4) takut gagal, aar. 5 pihak-pihak yang terlibat tidak mendapat informasi yang kuat. Alasan ~ e~gapa orang menolak program perubahan dalam pengembangan organisasi, : emukakan oleh Gitosudarmo dan Sudita (2000), bahwa penolakan individual : erabkan; (1) takut karena tidak mengetahui, (2) belajar tugas yang baru, (3)

60

- rmsak kestabilan interaksi, dan (4) ketidakpercayaan pada manajemen. Sementara _

penolakan yang bersumber dan organisasi terdiri dan; (1) ancaman terhadap maktur kekuasaan, (2) struktur organisasi yang stabil, (3) sistem hubungan, dan (4)
- i. a perubahan dan kepentingan pribadi.

6. Cara mengatasi resistensi dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah Untuk menghadapi resistensi terhadap perubahan yang dilakukan dalam pengembangan organisasi, pimpinan harus mampu menilai dengan tepat sifat dan -ebutuhan akan pembaruan. Hasil analisis ini dijadikan landasan implementasi program pembaruan dengan mempelajari dan menangani berbagai sumber penghalang >ang mungkin timbul. Perlu diingat bahwa cara implementasi perubahan sama pentingnya dengan perubahan itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, pimpinan organisasi perlu memilih metode yang tepat untuk digunakan sehingga pengembangan organisasi dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan. Metode yang dapat dipakai untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan adalah; (a) pendidikan dan komunikasi, (b) partisipasi dan keterlibatan, (c) fasilitasi dan dukungan, (d) negosiasi dan perjanjian, (e) manipulasi dan kooptasi, dan (f) paksaan eksplisit dan implisit (Griffin & Moorhead, 1986; Kotter & Schlesinger dalam Stoner, 1982; Robbins, 1996; Gitosudarmo & Sudita, 2000). Pendidikan dan komunikasi merupakan salah satu cara yang dapat dipakai pimpinan untuk mengatasi keengganan terhadap perubahan. Pendidikan bagi seseorang dapat menambah pemahaman dan pengetahuan serta meningkatkan kemampuan yang mendukung implementasi perubahan. Begitu pula melalui komunikasi dapat disampaikan informasi penting kepada anggota organisasi sehingga mereka dapat memahami secara tepat mengenai alasan pentingnya suatu perubahan dilakukan. Dengan demikian, adanya kesalahan informasi yang mungkin diterima oleh anggota organisasi dapat diatasi melalui komunikasi.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kedua faktor terakhir tersebut tidak dapat dipertahankan setelah terjadi gelombang reformasi. Keadaan tersebut mendorong pemerintah untuk memberikan otonomi ke daerah sehingga dikeluarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Pendapatan Antara Pusat dan Daerah. Perubahan kedua undang-undang tersebut dituangkan dalam UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Lahirnya kedua Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk melakukan perubahan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi, sehingga perubahan manajemen pemerintahan tentu berakibat pula pada penataan manajemen pendidikan (Mantja, 2002). Alasan umum desentralisasi adalah bahwa dalam pembangunan bangsa terjadi perubahan wawasan dari top-down menjadi bottom-up (Tilaar, 2000). Namun, sentralisasi pendidikan menimbulkan kesan kurang melibatkan institusi pendidikan dan masyarakat di daerah. Kalaupun ada, wewenang yang diberikan amat terbatas. Akibatnya ada kecenderungan kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah pusat kurang dapat memenuhi kebutuhan nyata masyarakat daerah yang semestinya market-driven education, serta terdapat berbagai kesulitan dalam mengimplementasikan keputusan (Hamidjojo, 2000). Berdasarkan hal yang sudah dikemukakan di atas, maka perlu dilakukan Selain pendidikan dan komunikasi, tidak jarang pimpinan organisasi . -ggunakan pula partisipasi dan keterlibatan sebagai cara untuk mengatasi rengganan

terhadap perubahan. Cara ini digunakan, misalnya, pada fase --.rercanaan suatu kegiatan atau dalam proses pengambilan keputusan-keputusan -.n: ng menyangkut implementasi perubahan dalam organisasi. Jika orang dilibatkan __ am proses perencanaan dan pengambilan keputusan, maka orang tersebut .. ~Jerung menerima dan mau menjalankan keputusan yang diambil. Sudah barang e-.:j proses pengambilan keputusan itu dilakukan atas dasar musyawarah dan mufakat. Metode ketiga adalah fasilitasi dan dukungan. Sering ditemui kegagalan ~r ementasi suatu perubahan disebabkan kurangnya fasilitas dan dukungan. Oleh arena itu, untuk mengatasi keengganan terhadap perubahan pimpinan harus mampu
- .-fasilitasi dan mendukung upaya perubahan yang dilakukan dengan cara, - -o nya. melengkapi fasilitas atau sarana pendukung yang diperlukan anggota

rgansiasi dalam melaksanakan tugas-tugas baru. Negosiasi dan perjanjian juga dapat dilakukan untuk mengatasi keengganan . -idap perubahan. Cara ini dipakai apabila keengganan terhadap perubahan berada
- aa seberapa orang anggota organisasi atau orang-orang tertentu yang dianggap - rmpunyai peran kunci. Selanjutnya, cara ini juga ditujukan untuk mengatasi

.-remasan individu atas hilang atau berkurangnya insentif keija, sementara mereka idapkan pada tugas yang tidak ringan. Konsekuensinya, dalam negosiasi dan :~anjian pimpinan boleh saja menawarkan insentif tambahan atau reward dalam rr-.mk lain, sehingga individu tetap mempunyai komitmen untuk melakukan

61

perubahan dalam organisasi. Keengganan terhadap perubahan juga dapat diatasi dengan cara manipulasi dan kooptasi. Menurut Robbins (1996), manipulasi adalah memutarbalikkan fakta untuk membuat fakta itu tampak lebih menarik, menahan informasi yang tidak diinginkan, dan menciptakan desas-desus palsu agar anggota organisasi menerima baik suatu perubahan. Sedangkan kooptasi merupakan upaya untuk mempengaruhi pimpinan kelompok yang menolak perubahan dengan cara memberikan peran utama kepada mereka. Manipulasi perlu dilakukan secara hati-hati sehingga maksud yang sesungguhnya dari pimpinan tidak dapat dibaca oleh anggota organisasi. Apabila kondisi ini gagal diciptakan, bukan tidak mungkin manipulasi akan menimbulkan ketidakpercayaan lebih tinggi di kalangan anggota organisasi. Terakhir adalah paksaan. Apabila perubahan sudah merupakan suatu keputusan organisasi yang harus dijalankan, maka pimpinan mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk merealisasikan keputusan itu. Oleh sebab itu, jika ditemui beberapa orang individu masih menolak perubahan, maka bukan tidak mungkin pimpinan akan menggunakan cara paksaan. Apapun alasannya, paksaan tetap dipandang tidak baik. Namun, apabila cara lain tidak lagi efektif, apakah cara ini tetap tidak boleh digunakan? Jawabannya, sebelum menggunakan cara paksaan tersebut perlu dijawab lebih dulu pertanyaan yaitu apakah cara-cara lain sudah digunakan secara optimal? Penggunaan berbagai metode di atas harus didasarkan atas pemahaman situasi yang ada, sebab kesalahan memahami situasi dapat menyebabkan kekeliruan yang

62

pemilihan metode. Di samping itu, masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, analisis yang tepat mengenai sumber penolakan atau keengganan terhadap pengembangan organisasi adalah amat penting sebelum suatu metode untuk mengatasi keengganan tersebut digunakan. 7. Faktor pendorong pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah Selain ada resistensi, keberhasilan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah juga ditentukan oleh sejumlah faktor pendorong. Artinya, implementasi program yang dikembangkan tidak akan terwujud tanpa adanya faktor-faktor pendorong dimaksud. Para teoretisi mengemukakan berbagai pendapat mengenai hal ini. Faktor pendorong yang utama berkaitan kesiapan pelaksana sistem baru tersebut (Mulyasa, 2005). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kesiapan pelaksana ditentukan oleh para pelaku, antara lain ketulusan pemerintah, aparat daerah, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Kesiapan ini juga menyangkut kemampuan dalam mengajukan argumentasi dan rasionalisasi dari berbagai sudut pandang untuk mendukung pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah. Intinya adalah, implementasi program pengembangan organisasi memerlukan kesiapan untuk meneriman dan melaksanakan perubahan. Terkait pula dengan faktor pendorong terjadinya perubahan dalam pengembangan organisasi, Tyson dan Jackson (1992) menyatakan kesiapan untuk berubah dipengaruhi oleh dua kekuatan yang berbeda. Pertama, kekuatan dalam diri orang itu sendiri, yang meliputi pengetahuan dan keterampilan dasar, serta kesadaran

diri. Bahkan ada bukti yang menyatakan bahwa tingkat motivasi dan yang paling pokok adalah harga diri berperan penting dalam kesiapan untuk berubah. Faktor iua adalah kekuatan-kekuatan yang ada pada sistem yang meliputi budaya dan k:im organisasi, dan konsekuensi yang dirasakan terhadap keberhasilan serta - egagalan dalam organisasi. Berkenaan dengan itu pula, kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor pendorong yang termasuk ke dalam kekuatan -istem yang ada. Karena kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah (Mulyasa, 2005). Dalam konteks Manajemen Berbasis Sekolah, kepala sekolah mempunyai peran yang sangat penting untuk meningkatkan mutu pembelajaran (Subakir & Sapari, 2001). Sementara itu, menurut Nurkolis (2003) kepemimpinan kepala sekolah yang kuat dan proses pengambilan keputusan yang demokratis sebagai faktor pendorong keberhasilan implementasi program-program yang dikembangkan dalam Manajemen Berbasis Sekolah. Selanjurnya, menurut McLaughlin keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh dua faktor, yaitu; loca/ capacity dan wi/I (Duke & Canady, 1991). Local capacity meliputi sumber-sumber, baik fiskal dan material, dan keahlian untuk mengimplementasikan kebijakan baru. Will mencakup aspek sikap, motivasi, dan kepercayaan yang mendasari respons pelaksana kebijakan. Duke dan Canady (1991) menjelaskan pula bahwa membangun kapasitas lokal untuk implementasi kebijakan dapat menjadi sebuah tantangan karena sumber-sumber yang ada sering terbatas dan pelatihan selalu menghabiskan waktu, namun menumbuhkan kemauan untuk menyikapi implementasi merupakan suatu peristiwa yang mendapat tantangan besar.

Kemauan sepertinya tidak bisa dipengaruhi oleh ancaman dan direktif. Dalam kedua kasus ini, menurut Duke dan Canady kepemimpinan dapat menjadi penting. Odden dalam Cooper, Fusarelli, dan Randall (2004:85) mencatat hasil temuan penelitian

65

terdahulu: "showed that there was a lack of both capacity and will at all levels of government the U.S. Office of Education, state departments of education, local district offices and local schoolsto develop and imp/ement newly created government a! programs. ... Research showed not only that most local educators did not want to imp/ement such programs (the wi/l was not there), bui also that they did not know how t o implement t hem (the capacity was not there)". Relevan dengan konteks pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah, Duke dan Canady (1991) mengemukakan beberapa -aran agar kebijakan secara aktual dapat diimplementasikan. Saran pertama er^enaan dengan komitmen (commitment). Komitmen kadang-kadang dapat mengikuti implementasi, banyak cara bagi pembuat kebijakan untuk mencari :_kungan terhadap kebijakan baru sebelum diimplementasikan. Cara tersebut adalah dengan melibatkan pelaksana kebijakan dalam pembuatan kebijakan dan -embangkitkan semangat kepemimpinan, hal itu diasosiasikan dengan visi dan misi. - _ran kedua adalah local capacity untuk implementasi kebijakan. Kapasitas ubungan dengan energi manusia. Bilamana energi bukan merupakan sumber yang aa^-at mendukung implementasi, pembuat kebijakan harus hati-hati sehingga tidak membuat kebijakan melebihi kemampuan staf yang mengimplementasikannya. Saran
r

Ahir berasal dari kesimpulan McLaughlin bahwapolicy impiementation depends n j

balance of support and pressure. Bertitik tolak dan kajian teori yang sudah dikemukakan di atas, maka dapat d mpulkan bahwa konsep pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dalam penelitian ini mengacu pada pengembangan tiga pilar MBS, a tu (1) manajemen sekolah dan transparansi, (2) pembaruan metode pembelajaran, dan

(3) peranserta masyarakat. Pengembangan ketiga aspek tersebut dijadikan acuan dari fokus penelitian yang melihat gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Untuk mewujudkan pengembangan ketiga pilar tersebut, dilakukan perubahan-perubahan yang berkaitan dengan struktur, tugas, teknologi, dan individu sebagai pelaksana. Selain mengkaji pengembangan ketiga pilar tersebut, gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi juga dilihat dari aspek budaya sekolah. Karena, budaya merupakan sasaran dan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Selanjutnya, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah berhadapan dengan munculnya resistensi karena terjadi transisi dari status quo menuju pada perubahan yang diinginkan. Resistensi yang muncul harus diatasi dengan cara-cara yang efektif sehingga keberhasilan pengembangan organisasi dapat terwujud. Selain itu, keberhasilan implementasi program yang dikembangkan dalam pengembangan organisasi ditentukan pula oleh sejumlah faktor pendorong. Dengan demikian, kesemua aspek tersebut (resistensi, cara mengatasi resistensi dan faktor pendorong dalam pengembangan organisasi) merupakan hal-hal yang turut dikaji dalam penelitian ini. Sebagai ilustrasi, kerangka berpikir penelitian pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dikemukakan dalam gambar 2.3.

B MANAJEMEN SEKOLAH PENGEMBAN GAN ORGANISASI DENGAN PENDEKATA N MBS ______ 4 ____ PERUBAHAN STRUKTUR, TUGAS, TEKNOLOGI DAN INDIVIDU PERANSERT A MASYARAK AT METODE PEMBELAJAR AN i. I,D A Y \ S KK O L A H

KEEFEKTIF AN SEKOLAH

PROGRAM PERUBAHAN DAN IMPLEMENTASINYA I FAKTOR ENDORONG

RESISTENSI

CARA Ml N(iATASI Oambui ' * K E R A N G K A H l K I ' I K I K l ' l N l I I I I A N 1 * 1 N G I MHANGAN < )!<( i ANI' -ASI DI NGAN l'l NDI i Al AN MANA,II Ml N IH KUASI' M K< 'l Ml

BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan (a) rancangan penelitian, (b) kehadiran peneliti, (c) sumber data dan informan, (d) teknik pengumpulan data, (e) teknik analisis data, (f) pemeriksaan keabsahan data, dan (g) tahap-tahap penelitian. A. Rancangan Penelitian Berdasarkan fokus dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan pada bab pendahuluan, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan rancangan multisitus (Yin, 1984; Bogdan & Biklen, 1998). Tujuan penelitian kualitatif dengan jenis multi situs lebih berorientasi pada pengembangan teori. Selain itu, alasan utama penggunaan rancangan multisitus karena ketiga latar memiliki karakteristik yang sama, yaitu:
1 Ketiga situs penelitian ini, yaitu (1) SD Negeri Cerdas, (2) SD Negeri Cermat,

dan (3) SD Negeri Mandiri Kota Cendekia telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah sejak tahun 2003. Berdasarkan hasil observasi pada saat studi pendahuluan, ketiga latar itu juga sering dan banyak dikunjungi oleh sekolah- sekolah dari daerah lain dengan tujuan untuk mempelajari penerapan Manajemen Berbasis Sekolah.
2

Dewan Sekolah sebagai organisasi yang mewadahi peranserta masyarakat pada ketiga latar penelitian ini juga menunjukkan keaktifan yang cukup tinggi dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dengan

69

demikian, diasumsikan pemilihan ketiga latar tersebut dapat memberikan gambaran komprehensif tentang pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah.
3. Pada ketiga latar penelitian ini juga sudah dibentuk organisasi yang

mewadahi peranserta wali murid di masing-masing kelas yang disebut dengan Paguyuban/ Forum Kelas.
4. Kesamaan karakteristik lainnya dari latar penelitian ini, ketiganya

berstatus sekolah negeri sehingga pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah mengikuti pola yang sama pula. 5 Selain mempertimbangkan kesamaan karakteristik ketiga latar tersebut yang juga didukung oleh hasil observasi awal, maka untuk lebih melengkapi informasi diminta pertimbangan kepada pihak dinas pendidikan mengenai sekolah-sekolah yang benar-benar sudah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada tanggal 28 September 2004, maka pihak dinas pendidikan merekomendasikan ketiga SD Negeri tersebut di atas untuk dijadikan lokasi penelitian pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. SD Negeri Cerdas terletak di perkampungan penduduk. Letak sekolah ini -ikup strategis, dengan demikian untuk menuju sekolah ini dapat menggunakan iKiitan kota. SD ini terletak di pinggir jalan raya, sehingga pihak sekolah ~ien jgaskan seorang satpam untuk membantu setiap murid yang akan menyeberang

71

in baik pada saat datang ke sekolah maupun pada waktu pulang ke rumah. Di - iran plang nama dan dinding sekolah bagian depan tertulis: Sekolah Dasar MBS. Sebagai pusat ujicoba. sekolah ini sering dikunjungi oleh instansi atau sekolah- sekolah dari daerah atau propinsi lain yang ingin mempelajari penerapan Manejemen Berbasis Sekolah. Untuk mengetahui lebih rinci instansi atau sekolah yang pernah berkunjung ke sekolah ini, pada tanggal 1 Februari 2005 dicari informasi ke SD Negeri Cerdas. Dengan mempedomani Buku Tamu, Kepala sekolah menyebutkan satu per satu instansi atau sekolah yang pernah mengunjungi SD ini. Nilai UPM (Ujian Pengendalian Mutu) tertinggi dari lulusan SD ini pada tahun pelajaran 2003/2004 adalah 46,20. Selain itu, sekolah ini juga mendapat Juara III siswa teladan Kota Cendekia pada tahun 2003 (Wawancara dengan Kepala Sekolah tanggal 8 Oktober 2004). Di samping berprestasi di bidang akademik, SD ini juga banyak berprestasi dalam bidang ekstrakurikuler, seperti lomba paduan suara, pidato, dan tertib shalat. SD Negeri Cermat terletak pada lokasi yang cukup strategis, dalam arti mudah dijangkau. Untuk menuju sekolah ini dapat menggunakan angkutan kota. Pada saat memasuki lokasi sekolah, di dinding sekolah tersebut tampak tulisan: Sekolah Dasar MBS. SD Negeri Cermat ini terletak di dalam kompleks perumnas, dengan demikian masyarakatnya agak heterogen. Maksudnya, masyarakat yang bertempat tinggal di perumnas ada yang berasal dan luar daerah setempat. Walaupun masyarakatnya agak heterogen, namun mereka tetap menjunjung tinggi

nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong terutama dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Seperti halnya SD Negeri Cerdas, sebagai tempat ujicoba Manajemen Berbasis Sekolah, SD Negen Cermat juga senng dikunjungi oleh instansi atau sekolahreorientasi penyelenggaraan pendidikan guna memberikan otonomi ke tingkat sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (School-Based Management) (Tim Penulis Direktorat TK & SD, Pusat Kurikulum, UNESCO & UNICEF, 2003). Otonomi sebagai wujud desentralisasi sebenarnya telah dilakukan sejak dulu walaupun tidak sepenuhnya sempurna (Mantja, 2002). Hal tersebut berarti bahwa sesungguhnya pemberian otonomi kepada sekolah bukan merupakan sesuatu yang baru, namun barangkali lingkupnya diperluas. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan organisasi (orgamzational development) dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan, namun kadang kala implementasi kebijakan itu tidak dilakukan secara berkelanjutan (unsustainahly) di sekolah. Ini berarti bahwa pengembangan organisasi (orgamzational development) menghadapi tantangan tidak ringan terutama menyangkut implementasi program-program yang dikembangkan menuju perubahan yang diinginkan. Hasil penelitian Fullan, Miles dan Taylor tentang penilaian usaha-usaha OD, seperti dilaporkan Owens (1991), menunjukkan OD bersifat parsial, tidak tuntas, aktivitas berlangsung jangka pendek karena kurangnya perencanaan dan diperlukan usaha berkelanjutan untuk sukses. Secara implisit hai

tersebut mempunyai arti bahwa tantangan utama dalam pengembangan organisasi adalah adanya kenyataan bahwa pada hakikatnya sebagian besar dari kita enggan untuk berubah (Suyanto, 2002). Perubahan sering diartikan sebagai bentuk ancaman. Selanjutnya, Suyanto (2002) yang mengutip pendapat

70

sekolah lain yang ingin mempelajari penerapan Manajemen Berbasis Sekolah. Data yang dicatat dari Buku Tamu tanggal 1 Februari 2005 menunjukkan banyak instansi atau sekolah yang berkunjung ke SD ini. Dilihat dan sisi prestasi, nilai UPM SD ini pada tahun pelajaran 2003/2004 paling tinggi 44,60 dan paling rendah 28,48. Selain berprestasi di bidang akademik, sekolah ini juga memiliki prestasi dalam bidang ekstrakurikuler terutama catur. Di samping implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dilakukan di bawah binaan langsung pemerintah Indonesia, UNESCO, dan UNICEF, SD Negeri Mandiri menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah atas dasar inisiatif sendiri (Hasil wawancara dengan staf Subdin Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Cendekia, Selasa 28 September 2004). SD Negeri Mandin terletak pada lokasi yang strategis dan berdekatan dengan salah satu perguruan tinggi di Kota Cendekia. Untuk menuju sekolah ini dapat menggunakan angkutan kota. Pada tahun pelajaran 2003/2004, nilai UPM lulusan SD Negeri Mandiri berada pada ranking teratas dari 25 SD/MI yang berada di wilayah kepengawasan III dan IV. Nilai rata-rata UPM tersebut adalah 41,87, nilai tertinggi 47 dan terendah 31,80. Dari 97 orang peserta UPM dari SD Negeri Mandiri, "0 orang memperoleh nilai di atas 40, 18 orang meraih nilai antara 35-39.99, dan hanya 4 orang mendapat nilai di bawah 30. Rancangan penelitian selanjurnya menggunakan metode komparatif konstan Bogdan & Biklen, 1998). Metode komparatif konstan merupakan rangkaian ingkah-Iangkah yang berlangsung sekaligus, dan analisisnya selalu berbalik kembali ke pengumpulan data dan pengkodean. Dalam prosesnya, metode komparati f konstan ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mulai dengan pengumpulan data

71

2. Mencari isu penting, kejadian yang selalu berulang atau kegiatan yang

merupakan kategori fokus


3. Mengumpulkan data yang mencakup banyak kejadian tentang kategori fokus untuk

melihat adanya keragaman dimensi dalam kategori


4. Menuliskan kategori-kategori yang sedang diselidiki dengan maksud untuk

memerikan dan menjelaskan peristiwa yang ada sambil terus mencari kejadiankejadian bani
5. Mengerjakan data dan memunculkan model untuk menemukan proses dan

hubungan-hubungan sosial yang mendasar


6. Melakukan sampling, pengkodean, dan penulisan sebagai analisis yang berfokus pada

kategori inti (Glaser dalam Bogdan & Biklen, 1998). Alasan penggunaan metode kualitatif dengan rancangan multisitus ini adalah karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah pada tiga Sekolah Dasar Negeri di Kota Cendekia. Alasan ini juga sesuai dengan hakikat penelitian kualitatif, yaitu; (1) realitas yang ada dalam pengembangan organisasi sekolah pada dasarnya terkonstruksi secara holistik, sehingga dengan menggunakan penelitian kualitatif realitas tersebut dapat dipahami secara utuh, terfokus, dan sesuai konteks di mana peristiwa itu terjadi, (2) hubungan antara peneliti dengan subjek yang diteliti lebih peka sehingga dengan mudah dapat dilakukan pemahaman yang mendalam terhadap objek yang diteliti, dan (3) penelitian kualitatif bersifat alami (natural), deskriptif,

induktif, dan berupaya menemukan makna (meaning) dari suatu fenomena yang terjadi (Patton, 1980; Lincoln & Guba, 1985; Bogdan & Biklen, 1998; Moleong, 2000; Mantja, 2003). Selanjurnya, pengembangan organisasi (organization development) merupakan suatu proses transisi dari keadaan manajemen sekolah yang sentralistik menuju Manajemen Berbasis Sekolah. Atas dasar itu, pemahaman terhadap pengembangan organisasi sekolah dipandang tepat didekati dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif terjadi proses yang berbentuk siklus. Dalam proses yang berbentuk siklus tersebut ada tiga tahapan yang berlangsung secara berulang-ulang, yaitu tahap; (a) eksplorasi yang meluas atau menyeluruh, dan biasanya masih bergerak pada taraf permukaan, (b) eksplorasi - ecara terfokus atau terseleksi guna mencapai tingkat kedalaman dan kerincian aspek tertentu, dan (c) pengecekan atau konfirmasi hasil atau temuan penelitian (Faisal, ^>901 Tahap-tahap tersebut diulangi beberapa kali sesuai dengan ruang lingkup penelitian yang makin lama makin menyempit, sejalan dengan pertanyaan- pertanyaan yang muncul kemudian sampai penulisan laporan penelitian. B. Kehadiran Peneliti Untuk meneliti objek penelitian ini, peneliti hadir ke lokasi penelitian dalam i-.gka waktu yang disesuaikan dengan kebutuhan, seperti studi pendahuluan, :er.gumpulan data, dan pemeriksaan keabsahan data. Studi pendahuluan dilakukan rada bulan Oktober sampai dengan Nopember 2004 berdasarkan izin dari Direkftir - gram Pascasarajana Universitas Negeri Malang dan rekomendasi dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Cendekia. Kehadiran peneliti ke lokasi penelitian pertama kali adalah pada tanggal 7 Oktober 2004 yang bertujuan untuk meminta izin dari kepala

73

sekolah pada ketiga situs. Pada saat pertama kali bertemu dengan kepala sekolah, peneliti memperkenalkan diri dan kemudian menyampaikan maksud kunjungan sambil memperlihatkan surat rekomendasi dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Cendekia. Tanpa ada rasa keberatan dan dengan senang liati, kepala sekolah pada ketiga situs memperkenankan peneliti melakukan penelitian di sekolahnya. Atas izin dan kesediaan tersebut peneliti dapat berkunjung pada hari-hari berikutnya guna melakukan sftidi pendahuluan. Kemudian, kehadiran peneliti untuk kepentingan pengumpulan data dilanjutkan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2005. Walaupun ketiga kepala sekolah sudah memberikan izin untuk pelaksanaan pengumpulan data, namun peneliti tetap mengurus kembali surat izin penelitian dari Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang sebagai dasar bagi Kepala Dinas Pendidikan Kota Cendekia untuk mengeluarkan surat rekomendasi. Pada akhir bulan Agustus 2005 izin penelitian dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Cendekia secara resmi sudah berakhir, namun peneliti tetap hadir di lokasi penelitian sampai bulan Desember 2005 atas izin kepala sekolah pada ketiga situs penelitian. Namun kehadiran peneliti setelah pengumpulan data selesai tidak lagi intensif, karena tujuan kehadiran setelah pengumpulan data tersebut hanyalah untuk melakukan pemeriksaan keabsahan data. Selama kegiatan pengumpulan data, peneliti berupaya untuk hadir ke lokasi penelitian pada setiap hari sekolah sesuai dengan jam sekolah yang berlaku (07.00 s.d. 12.30 WIB untuk SD Negen Cerdas dan SD Negeri Cermat, serta 06.30 s.d

74

12.20 untuk SD Negeri Mandiri Kehadiran peneliti di lokasi penelitian adalah untuk keperluan wawancara, observasi dan melakukan kajian dokumen. Wawancara dilakukan dengan informan penelitian setelah meminta kesediaan yang bersangkutan terlebih dahulu. Kesediaan atau izin tersebut juga berlaku bagi kegiatan observasi dan analisis dokumen yang diperlukan. Kehadiran peneliti ke lokasi penelitian juga dilakukan di luarjam sekolah, yaitu pada waktu pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler pada setiap hari Jumat dan Sabtu pukul 15.00 s.d 17.00 WIB. Waktu kunjungan lainnya adalah sore hari guna mengikuti kegiatan rapat baik yang dilakukan oleh sekolah, Dewan Sekolah maupun Paguyuban Kelas. Balikan, peneliti pernah datang ke sekolah pukul 05.30 WIB pagi untuk mengikuti acara istighosah yang dilaksanakan di SD Negeri Cermat pada tanggal 12 Juni 2005. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memanjatkan doa bagi murid kelas VI yang akan mengikuti ujian akhir. Contoh lain dan kehadiran peneliti di sekolah, adalah; pada hari Sabtu tanggal 2 Juli 2005 pukul 19.00 - 11.00 ketika berlangsung acara gebyar seni dan pelepasan murid kelas VI di SD Negeri Cerdas dan pada hari Minggu tanggal 3 Juli 2005 ketika dilakukan rapat Dewan Sekolah. Di samping kehadiran peneliti ke sekolah untuk keperluan observasi dan wawancara, peneliti juga ikut berpartisipasi dalam aktivitas yang dilakukan oleh personel sekolah sejauh kegiatan itu dapat "dimasuki" dengan tetap menjaga batas kewenangan peneliti dan etika penelitian. Ini dilakukan dengan maksud agar peneliti benar-benar dapat membaur dengan warga sekolah, sehingga kehadiran peneliti tidak lagi dianggap sebagai "orang baru" di lembaga tersebut. Beberapa bentuk partisipasi yang dilakukan adalah; mengikuti upacara bendera, mengikuti rapat majelis guru,

rapat Dewan Sekolah, rapat Paguyuban/Forum Kelas, mengikuti pertemuan wali murid pada awal tahun ajaran baru dan saat persiapan ujian murid kelas VI, membantu pelaksanaan kegiatan administrasi sekolah, membantu persiapan acara gebyar seni dan pelepasan murid kelas VI, mengikuti istighosah, dan ikut bersama guru melakukan kunjungan rumah untuk kepentingan pendataan kemampuan orang tua calon murid baru. Kehadiran peneliti di lokasi penelitian tetap memperhatikan etika penelitian sehingga tidak mengganggu dan merugikan pihak yang diteliti. Berkenaan dengan hal ini, dipedomani asas lunum etika penelitian yang dianjurkan Bogdan dan Biklen (1998), sebagai berikut: 1 Melindungi idenditas subjek sehingga informasi yang dikumpulkan tidak merugikan mereka. Anonimitas diperluas tidak hanya untuk tulisan, melainkan juga untuk laporan verbal tentang informasi yang dipelajari melalui observasi. Peneliti tidak menghubungkan informasi spesifik mengenai individu kepada orang lain dan berhati-hati berbagi informasi yang bersifat khusus dengan orang- orang di tempat penelitian yang dapat menggunakan informasi untuk kepentingan tertentu.
2. Memperlakukan subjek secara hormat dan meminta mereka berkooperasi dalam

kegiatan penelitian. Subjek diberi tahu mengenai kepentingan penelitian dan keikutsertaan peneliti dengan mereka dilakukan apabila telah diizinkannya. Peneliti tidak berbohong kepada subjek atau merekam pembicaraan dengan menggunakan perlengkapan mekanik secara tersembunyi.
3. Menjelaskan mengenai apa saja batasan dan persetujuan pada saat negosiasi izin 4. untuk melakukan penelitian dan peneliti harus mematuhi kontrak itu.

76

5. Menceritakan

dengan benar ketika peneliti menulis dan melaporkan

temuannya. Peneliti melaporkan sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh data (febricatmg data or distorting data is the ultimate siri of a scientist). C. Sumber Data dan Informan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian yang sudah dikemukakan pada bab pendahuluan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah yang mencakup (1) gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi yang meliputi (a) perubahan manajemen sekolah, (b) pembaruan metode pembelajaran, (c) pembahan struktur/tugas untuk peningkatan peranserta masyarakat, dan (d) budaya sekolah, (2) resistensi terhadap pengembangan organisasi, (3) cara mengatasi resistensi terhadap pengembangan organisasi (wujud dari fokus perubahan individu/manusia), dan (4) faktor pendorong dalam pengembangan organisasi. Pengembangan pilar manajemen sekolah dan transparansinya serta peranserta masyarakat dilakukan dengan cara perbaikan struktur organisasi sebagai salah satu fokus perubahan dalam pengembangan organisasi. Kemudian, pembaruan metode pembelajaran dengan pengembangan metode PAKEM merupakan wujud dan perubahan teknologi dalam pengembangan organisasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah manusia dan dokumen. Sumber data dan orang-orang terdin dari; kepala sekolah, guru, siswa, kepala dinas pendidikan, pengawas sekolah, pengurus Dewan Sekolah, penjaga sekolah, pegawai tatausaha. dan wali mund. Informan kunci (key informant) dalam penelitian ini adalah kepala sekolah pada ketiga situs penelitian. Kemudian, sumber data yang berasal dari dokumen dipilih berdasarkan relevansinya dengan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah.

Informan penelitian ditetapkan dengan menggunakan teknik snow-ball sampling (Bogdan & Biklen, 1998). Informan dipilih dengan mempedomani kriteria yang dianjurkan Faisal (1990), yaitu (a) subjek yang sudah cukup lama menyatu dengan suatu kegiatan yang menjadi sasaran penelitian, (b) subjek yang masih terlibat secara aktif dalam kegiatan yang menjadi sasaran penelitian, (c) subjek yang bersifat "lugu" dalam memberikan informasi, (d) subjek yang mempunyai cukup banyak waktu untuk memberikan informasi, dan (e) subjek yang sebelumnya tergolong masih "asing" bagi peneliti. Informan pertama yang diwawancarai adalah kepala sekolah sebagai informan kunci. Berdasarkan wawancara pertama, kepala sekolah menunjuk beberapa orang guru untuk diwawancarai selanjurnya. Jumlah informan tetap yang diwawancarai terus bertambah sesuai anjuran informan sebelumnya. Sampai -enehtian berakhir, jumlah informan yang diwawancarai terlihat dalam tabel 3.1. Tabel 3.1. Jumlah Informan Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 Informan Kepala sekolah Guru Dewan sekolah Wali murid Murid Pengawas sekolah Penjaga sekolah/TU Ka.dinas pendidikan Jumlah Situs I 1 5 1 3 2 1 1 14 Situs II 1 5 1 3 2 1 13 Situs III 1 5 I 2 I 1 1 12 Total 3 15 3 8 5 1 3 1 39

78

D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) observasi berperanserta, (b) wawancara, dan (c) studi dokumentasi. 1. Observasi berperanserta Untuk mempelajari pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dilakukan observasi berperanserta (participanl observation) (Spradley, 1980). Menurut Guba dan Lincoln (1981), observasi berperanserta dilakukan dengan alasan; (a) pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung, (b) teknik pengamatan juga memungkinkan peneliti dapat melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya, (c) pengamatan dapat digunakan untuk mengecek keabsahan data. (d) teknik pengamatan memungkinkan peneliti matnpu memahami situasi-situasi yang rumit, dan (e) dalam kasus-kasus tertentu dimana penggunaan teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. Pada tahap awal penelitian, peneliti berperanserta secara pasif, kemudian setelah kehadiran peneliti diterima oleh orang-orang yang diteliti, maka peneliti mulai bergerak untuk melakukan peranserta secara aktif. Hal ini dilakukan sesuai dengan apa yang dianjurkan Spradley (1980), yaitu; (a) pada partisipasi pasif peneliti hadir dalam situasi sosial yang diteliti, tetapi tidak berpartisipasi atau tidak berinteraksi dengan orang-orang yang sedang diteliti, dan (b) pada partisipasi aktif peneliti benisaha untuk ikutserta melakukan apa yang dilakukan orang-orang yang diteliti, serta tidak hanya menerima tetapi benar-benar mempelajari aturan budaya dari perilaku yang muncul. Selama melakukan observasi dibuat catatan lapangan, yaitu catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan dalam rangka mengumpulkan

79

data dan refleksi terhadap data (Bogdan & Biklen, 1998). Catatan lapangan dibuat dengan mempedomani prinsip (1) identifikasi bahasa, yaitu mengidentifikasi bentuk bahasa yang digunakan, (2) verbatim, yaitu mencatat ucapan atau perkataan sebagaimana yang dikatakan oleh orang yang dijadikan sumber informasi, dan (3) konknt, yaitu menggunakan bahasa yang konknt bukan hanya memberi nama pada suatu tindakan (Spradley, 1980). Catatan lapangan ditulis dalam buku yang sudah disediakan khusus untuk keperluan tersebut. 2. Wawancara Di samping melakukan observasi berperanserta, untuk mengumpulkan data penelitian juga dilakukan wawancara secara mendalam (m-depth inferview) dengan informan penelitian, yaitu orang-orang yang dianggap potensial, dalam arti orang tersebut memiliki banyak informasi mengenai masalah yang diteliti. Wawancara calam penelitian ini dilakukan secara formal maupun informal sehingga dapat diungkapkan pendapat informan mengenai pengembangan organisasi dengan rendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Wawancara dilakukan berulang kali sampai diperoleh gambaran yang jelas mengenai pengembangan organisasi sekolah. Untuk merekam hasil wawancara digunakan tape recorder merek Sony TC- 2 \>DV sebagai alat perekam. Penggunaan alat ini dilakukan apabila sudah mendapat z:n dan infonnan yang diwawancarai. Namun, dalam kenyataannya tidak semua - orman bersedia direkam pada waktu dilakukan wawancara sehingga peneliti harus Welch, seorang chief executive perusahaan raksasa kelas dunia, General Electric, menggambarkan betapa perubahan pada hakikatnya tidak disukai oleh banyak orang. Fenomena itu digambarkan dalam ungkapannya sebagai berikut: "change has no constituency. People like status quo. They like the way it was." (Suyanto, 2002:109). Untuk maksud yang sama, Goleman, Boyatzis, dan McKee (2002:272) menyatakan

bahwa "kebanyakan kelompok dan organisasi berputar-putar di sekitar status quo, menolak segala sesuatu yang mengancam keadaan ini." Implementasi perubahan pendidikan membutuhkan adanya perubahan dalam tindakan nyata (Fullan, 1991). Artinya, implementasi suatu kebijakan baru sering memerlukan individu-individu untuk mengubah pola pemikiran dan perilaku yang sudah terbentuk dengan baik (Duke, 1991). Bahkan, Sarason (Duke, 1991) berpandangan bahwa perubahan merupakan sesuatu yang sangat sukar. Dengan ungkapan lain, Peterson dan Hicks (Hughes, Ginnett dan Curphy, 2002:385) menyatakan "old is easy, new is hard\ Akibatnya, beberapa organisasi tidak berhasil membuat perubahan yang diinginkan menuju keadaan yang lebih baik (Morgan, 1993; Kotter, 1996). Beberapa pelajaran penting dan pengalaman reformasi pendidikan di berbagai negara menunjukkan bahwa keberhasilan atau kegagalan reformasi pendidikan banyak terletak pada implementasinya (Achmady, dalam Anwar, 2004). Sebagai contoh, misalnya, restrukturisasi pendidikan Amerika pada abad keduapuluh telah melakukan perubahan setiap tahunnya di masing-masing sekolah dengan harapan agar perubahan itu dimulai dengan cepat, berjalan baik dan dengan hasil yang

80

mencatat hasil wawancara dalam buku agenda atau buku catatan lapangan yang sudah disediakan. Semua informasi yang disampaikan informan dicatat, walaupun tidak seluruh informasi tersebut dapat direkam dengan baik. Kelemahan ini diatasi dengan jalan segera menyusun dan melengkapi kembali catatan-catatan tersebut setelah peneliti pulang ke rumah atau disempurnakan pada malam harinya. 3. Studi Dokumentasi Selain melakukan observasi berperanserta dan wawancara mendalam, untuk mengumpulkan data penelitian ini juga dilakukan studi dokumentasi, yaitu mempelajari dokumen-dokumen yang relevan dengan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Dokumen yang dipelajari adalah (a) RAPBS, (b) laporan pertanggungjawaban keuangan sekolah, (c) SK Dewan Sekolah, (d) program dan rencana pembelajaran, (e) buku tamu, (f) buku daftar hadir guru, (g) jumlah guru dan murid, (h) buku prestasi, (i) struktur organisasi sekolah dan Dewan Sekolah serta Paguyuban Kelas, (j) profil sekolah, dan (k) daftar sarana dan prasarana sekolah. E. Teknik Analisis Data I. Analisis data situs tunggal Analisis data dalam penelitian kualitatif bukanlah langkah yang berdiri sendiri. Oleh karena dalam penelitian kualitatif ditempuh proses yang berbentuk siklus, sehingga memungkinkan peneliti menempuh tahapan yang ada atau kembali ke langkah sebelumnya. Hal ini berarti, kegiatan analisis data tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan pengumpulan data (Mantja, 1990). Atas dasar itu, kegiatan analisis data penelitian ini terdiri dari analisis selama di lapangan dan analisis setelah data terkumpul (Bogdan & Biklen, 1998). Analisis data di lapangan dilakukan sesuai dengan apa yang dianjurkan Bogdan dan Biklen (1998), yaitu; (1) ambil keputusan

81

untuk mempersempit kajian, (2) putuskan bentuk kajian yang ingin diselesaikan, (3) kembangkan pertanyaan analitis, (4) rencanakan sesi pengumpulan data selanjurnya berdasarkan temuan observasi sebelumnya, (5) tulis sebanyak-banyaknya "komentar pengamat" tentang ide-ide yang muncul, (6) tulis memo untuk diri sendiri tentang apa yang dipelajari, (7) ujicobakan ide dan tema pada subjek, (8) mulai mengeksplorasi literatur ketika berada di lapangan, (9) gunakan metafora, analogi, dan konsep, dan (10) gunakan perlengkapan visual. Selanjutnya, kegiatan pokok analisis setelah pengumpulan data adalah mengembangkan kategori kode atau dapat pula menggunakan sistem kode yang sudah ditetapkan sebelumnya. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan, dan dokumen > ang sudah dituliskan dalam catatan lapangan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Bogdan dan Biklen (1998), bahwa analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan penyusunan transkrip wawancara, catatan lapangan, dan materi lainnya yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman sehingga memungkinkan seseorang menyajikan apa-apa yang telah ditemukannya. Selanjurnya menurut Muhadjir (1996), analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara mduktif konseptual, yaitu melalui kegiatan menelaah data, mendata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensistesis, mencari pola dan menemukan apa yang bermakna untuk selanjurnya disusun menjadi suatu teori

82

substansi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif dengan menempuh tiga langkah, yaitu; (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles & Hubennan, 1994). Reduksi data merupakan bentuk analisis untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak diperlukan, dan mengorganisasikannya sehingga kesimpulan akhir dapat dirumuskan. Menseleksi data secara ketat, membuat ringkasan data dan rangkuman inti, merupakan kegiatan-kegiatan mereduksi data. Langkah selanjurnya adalah menyusun rangkuman inti ke dalam satuan-satuan untuk kemudian dikategorikan dengan cara membuat kode. Proses analisis data sebagai suatu siklus interaktif dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1. Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif, diadaptasi dan Miles & Hubennan (1994:12).

83

Pengkodean dibuat berdasarkan fokus penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, informan, dan situs penelitian. Pengkodean yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada tabel 3.2. Tabel 3.2. Sistem Pengkodean Analisis Data No Aspek Pengkodean Kode . 1 Fokus Penelitian: Resistensi terhadap pengembangan organisasi RES CAR
Cara mengatasi resistensi dalam pengembangan

organisasi Faktor Pendorong dalam pengembangan organisasi Gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi Teknik Pengumpulan Data. Wawancara Observasi Dokumentasi Sumber Data: Kepala Sekolah Dewan Sekolah Pengawas Sekolah Kepala Dinas Pendidikan Guru Murid Wali Murid Penjaga Sekolah Pegawai Tatausaha Situs Penelitian SD Negeri Cerdas SD Negeri Cermat SD Negeri Mandiri

FAK BAR

W 0 D KS DS PS DP GM WM PJG TU

1 11 III

Pengkodean tersebut digunakan dalam kegiatan analisis data. Kode fokus penelitian digunakan untuk mengelompokkan data hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Kemudian, pada bagian akhir

84

catatan lapangan/transkrip wawancara dicantumkan; kode situs penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, tanggal, bulan dan tahun. Contoh penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, tanggal, bulan dan tahun. Contoh penerapan kode dan cara membacanya adalah sebagai berikut: I. W KS 04-04-05 SD Negen Cerdas Wawancara Kepala Sekolah ---------------- ^ -------------------------------------------------------------

Tanggal, bulan dan tahun --------------------------------------------------2 Analisis data lintas situs Analisis data lintas situs bertujuan untuk membandingkan dan memadukan temuan yang diperoleh dari masing-masing situs penelitian. Secara umum, proses analisis data lintas situs mencakup kegiatan sebagai benkut; (a) merumuskan proposisi berdasarkan temuan situs pertama dan kemudian dilanjutkan dengan situs kedua sampai situs ketiga, (b) membandingkan dan memadukan temuan teoretik sementara dari ketiga situs penelitian, dan (c) merumuskan kesimpulan teoretik berdasarkan analisis lintas situs sebagai temuan akhir dari ketiga situs penelitian. Kegiatan analisis data lintas situs dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.2. F Pemeriksaan Keabsahan Data Pemeriksaan keabsahan data dilakukan untuk memenuhi kritena yang dianjurkan Lincoln dan Guba (1985), yaitu; (1) kredibilitas (validitas internal), (2) transferabihtas (validitas eksternal), (3) dependabilitas (reliabilitas), dan (4)

85

Gambar 3.2. Kegiatan Analisis Data Lintas Situs

konfirmabilitas (objektivitas). Pemenuhan masing-masing kriteria keabsahan data tersebut diuraikan satu per satu sebagai berikut. Kredibilitas

86

Kredibilitas (validitas internal) dalam penelitian ini dipenuhi melalui c >?rapa kegiatan. Pertama, aktivitas yang dilakukan untuk membuat temuan dan
- erpretasi yang akan dihasilkan lebih terpercaya yang terdiri dari; (a)

e- perpanjang masa observasi, (b) melakukan pengamatan yang terus menerus, dan melakukan triangulasi. Perpanjangan masa observasi dilakukan dengan maksud elen ekapi kekurangan-kekurangan data yang masih diperlukan untuk menyusun . ~ -an penelitian yang terpercaya. Tujuan lain, menurut Lincoln dan Guba -35 301). adalah: "Pro/ongedengagement is the invesment of sufficient time to iv certam purposes; leaming the culture, testing f or mi smformaUon mtroduced
-

<i<ortions either of the self or of the respondents, and building trust."

. -amatan secara terus menerus ditujukan agar apa yang diamati bukanlah kejadian . atau muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan aktivitas yang sudah . m Jika perpanjangan masa observasi memberikan ruang lingkup (scope), maka
- a amatan secara terus menerus memberikan kedalaman (depth).

Triangulasi menurut Denzin terdiri dari empat macam, yaitu dengan


- r-anfaatkan sumber, metode, penyidik dan teori (Lincoln & Guba, 1985). Dalam -r

man ini, triangulasi dilakukan dengan menggunakan sumber dan metode, mar oilasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari . mrg informan dengan informan lainnya. Contohnya, dalam wawancara kepala t !ah menyatakan bahwa guru dilibatkan dalam pengambilan keputusan w . angkut kebijakan sekolah. Kebenaran pernyataan kepala sekolah tersebut dicek : r- aan pendapat guru dengan mengajukan pertanyaan; apakah guru-guru dilibatkan dalam pengambilan keputusan di sekolah?. Kemudian, triangulasi metode dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda (observasi, wawancara atau

87

dokumentasi). Misalnya, melalui wawancara guru menyatakan bahwa sejak metode PAKEM diterapkan pembelajaran dilakukan secara berkelompok. Untuk membuktikan pernyataan guru tersebut dilakukan observasi mengenai pelaksanaan pembelajaran di kelas. Kedua, aktivitas yang ditujukan untuk melakukan pemeriksaan eksternal (externa/ check) terhadap temuan penelitian dilakukan dengan cara peer debriefmg. Ada beberapa tujuan dari peer debnefing, yaitu; (a) membantu menjaga kejujuran peneliti karena the inquirer's biased are probed, makna-makna dieksplorasi, dan dasar-dasar interpretasi diklarifikasi, (b) memberikan pengenalan dan pencarian kesempatan untuk menguji hipotesis keija yang mungkin muncul dalam pikiran peneliti, dan (c) memberikan kepada peneliti suatu kesempatan untuk chatarsis, dengan demikian dapat menjernihkan pikiran dan emosi dan perasaan yang mungkin cloudwg goodjudgement (Lincoln & Guba, 1985). Peer debriefing dalam penelitian ini dilakukan dengan teman yang juga mengambil program doktor program studi Manajemen Pendidikan angkatan 2003, yaitu Bapak Kasman. Diskusi teman sejawat mi dilakukan sejak penyusunan dan pengembangan proposal sampai penyusunan aporan. Khusus untuk memperoleh masukan mengenai paparan data dan temuan renelitian ini, diskusi teman sejawat sudah dilakukan pada han Senin tanggal 28 Nopember 2005 pukul 10.00 WIB bertempat di perpustakaan Program Pascasaijana niversitas Negen Malang. Masukan yang diperoleh dan diskusi tersebut berkenaan iengan sinkronisasi paparan data dengan fokus penelitian dan penulisan serta pemaknaan bahasa Jawa yang diungkapkan informan dalam hasil wawancara. Berbagai masukan tersebut segera diperbaiki setelah diskusi selesai.

88

Ketiga, melakukan member checks sehingga data yang dikumpulkan dari informan lebih valid. Member checks dilakukan dengan cara meminta kesediaan informan membaca ulang hasil wawancara yang sudah dituangkan ke dalam transkrip sehingga diperoleh masukan untuk perbaikannya. Umumnya, informan banyak memberikan koreksi tentang bahasa yang dipaparkan pada saat wawancara. Perbaikan transkrip wawancara segera dilakukan berdasarkan masukan dan informan. Apabila informan tidak merasa keberatan, maka kepadanya diminta untuk memaraf pada bagian akhir transknp wawancara yang dikoreksinya. Namun, tidak semua informan bersedia melakukan hal tersebut. Salah satu contoh hasil koreksi informan terhadap transknp wawancara yang sudah diparaf dapat dilihat pada bagian lampiran. 2. Transferabilitas Transferabilitas (validitas eksternal) menjawab persoalan sampai sejauh mana hasil penelitian dapat "ditransfer" pada beberapa konteks lain. Namun, menurut Lincoln dan Guba (1985), bukanlah tugas peneliti untuk memberikan index of ;ransferability, tanggung jawabnya adalah memberikan data base yang dapat membuat pertimbangan transferabilitas temuan potensial. Pemenuhan kriteria transferabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan deskripsi yang nnci (ihick description). 5 Dependabilitas Untuk memenuhi kntena dependabilitas (reliabilitas) digunakan salah satu teknik yang disarankan Guba (Lincoln dan Guba, 1985), yaitu dengan cara audit temuan (the inquiry audit). Audit temuan penelitian ini dilakukan dengan Bapak Prof. Dr.Willem Mantja, M.Pd (Pembimbing pertama), Prof Dr. Hendyat Soetopo, M.Pd (Pembimbing kedua), dan Prof. H. A Sonhadji K.H., M.A., Ph.D. Pembimbing ketiga). 4 Konfinnabilitas

89

Pemenuhan kriteria konfinnabilitas (objektivitas) dimaksudkan untuk melihat bjektivitas temuan penelitian yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu dilihat ia h sahan yang menyangkut dengan relevansi data, penggunaan teknik analisis yang cermat, interpretasi data secara benar, dan rumusan kesimpulan yang benar-benar c iukung oleh data yang lengkap. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemenuhan icrteria konfinnabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara -engkonfirmasikan data dan temuan dengan ahli, yaitu Bapak Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd. G. Tahap-tahap Penelitian Secara umuin prosedur yang dilalui dalam pelaksanaan penelitian ini terdiri :ar aga tahap, yaitu; (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan penelitian atau rer.gumpulan dan analisis data, dan (3) tahap penyusunan laporan penelitian. Ketiga tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut. Tahap persiapan Inspirasi penelitian ini muncul pada wakfti mengikuti mata kuliah Psikologi endidikan Lanjut (DIP 711) pada semester pertama Juli-Desember 2003 (semester menggembirakan. Sayangnya, terlalu sering teijadi sekolah yang menjadi sasaran perubahan tidak ubahnya bagaikan "a ship 's graveyardfor innovations that failed to float" (Hanson, 1991:370). Maksudnya, ketika inovasi benar-benar diimplementasikan, muncul pertanyaan apakah ada perubahan yang terjadi di sekolah setelah ini Keraguan terhadap hal ini diungkapkan dalam sebuah pepatah Cina kuno: "The ingredients change, buI the soup remains the same" (Hanson, 1991:370). Oleh karena itu, penting untuk disimak apa yang diungkapkan Sirotnik dan Clark (Cotton, 1992:1), yaitu: "The ultimate power to change isand has always beenin the heads, hands, and heart ofthe educators who work in the schools

90

Implementasi kebijakan pendidikan di era otonomi daerah, yang merupakan wujud pergeseran dinamika manajemen pendidikan, banyak diyakini sebagai cara yang jitu (panacea) untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Baedhowi, 2004:2). Berdasarkan keyakinan tersebut, banyak negara, antara lain Selandia Baru, Spanyol, Brasil, Meksiko, dan Zimbabwe mengadopsi kebijakan ini. Namun demikian, implementasi kebijakan ini ternyata tidak selalu membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Wallis (Baedhowi, 2004:2) menyatakan; "'more andmore governments see decentralization as a way forward, as a desirable policy. On the other hand, the imp/ement at ion of that policy has most/y failed to live up expectation." Implementasi kebijakan pendidikan di era otonomi daerah telah berlangsung sekitar empat tahun juga menunjukkan hasil yang bervariasi dan cenderung kurang menggembirakan (Baedhowi, 2004). Hasil penelitian tentang implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota menunjukkan secara umum gasai 2003/2004). Mata kuliah ini dibina oleh Bapak Prof. Dr. T Raka Joni, M.Sc dan Ibu Dr. Lusiana, dr. Gagasan awal penelitian ditulis dalam praproposal dengan judul: Manajemen Perubahan di Sekolah Dasar dalam Rangka Implementasi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah dan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Proposal ini sekaligus diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Disain Penelitian (DIP 703) yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Zaini Hasan, Prof. Dr. I Wayan Ardhana, dan Dr. Laurens Kaluge, yang juga diikuti pada semester gasal 2003/2004. Dosen pembina mata kuliah menyarankan agar kajian perubahan diarahkan pada peningkatan mutu di sekolah.

91

Proposal mulai dirasakan agak terarah setelah mengikuti mata kuliah; (1) Teori dan Model Dalam Bidang Studi yang dibina oleh Bapak Frans Mataheru, Dip.Ed.Ad., Hd.D. dan Bapak Dr. Hendyat Soetopo, M.Pd, dan (2) Analisis Isu dan Kebijakan Pendidikan yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd Kedua mata kuliah tersebut diikuti pada semester genap 2003/2004). Kegiatan selanjurnya yang dilakukan dalam tahap persiapan adalah penyusunan draft usulan penelitian yang diajukan kepada dosen pembimbing. Sebelum ide-ide penelitian diajukan kepada dosen pembimbing, pada awal September 2004 dilakukan diskusi dengan teman-teman sekelas. Masukan dan saran dari teman-teman dijadikan bahan pertimbangan penyusunan d rafi proposal. Kemudian, ide-ide pokok penelitian (sekitar 2 halaman ketikan) dengan judul Perubahan Organisasi Sekolah (Kasus implementasi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah pada Tiga SD Negeri di Kota Cendekia), diajukan kepada Bapak Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd sebagai pembimbing pertama pada awal bulan September 2004. Setelah ide-ide pokok penelitian disetujui, beliau menyarankan kepada peneliti untuk melakukan studi pendahuluan ke tempat di mana penelitian ini akan dilakukan guna penyusunan proposal lengkap. Studi pendahuluan dilakukan dengan cara mengurus surat pengantar untuk mendapatkan izin observasi dari Direktur Program Pascasaijana Universitas Negeri Malang yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cendekia. Berdasarkan surat Direktur Program Pascasaijana Nomor: 2530/J36.4.1/PG/2004 tanggal 27 September 2004, Kepala Dinas Pendidikan Kota Cendekia mengeluarkan Surat Rekomendasi untuk melakukan observasi ke SD Negeri dan Swasta Kota Cendekia (Surat Kepala Dinas Kota Cendekia Nomor: 070/4915/ 420.304/2004 tanggal 05

92

Oktober 2004). Berdasarkan surat rekomendasi dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Cendekia tersebut, peneliti mengunjungi SD Negeri Mandiri yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah atas inisiatif sendiri dan SD Negeri Cerdas, serta SD Negeri Cermat yang telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah melalui kegiatan rintisan kerja sama segi tiga Pemerintah Republik idonesia-UNESCO-UNICEF dalam program "Menuju Masyarakat Peduli Pendidikan Anak - Meningkatkan Mutu Pendidikan Dasar melalui Manajemen Berbasis Sekolah dan Peranserta Masyarakat". Pemilihan sekolah-sekolah ini sesuai pula saran dari Staf Subdin Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Cendekia. Hasil studi pendahuluan dituangkan dalam draft proposal penelitian lengkap, \ ang selanjurnya dikonsultasikan kembali dengan dosen pembimbing. Balikan dari Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd diperoleh awal Oktober 2004, masukan dan Bapak Dr Hendyat Soetopo, M.Pd sebagai pembimbing ketiga diperoleh tanggal 8 Nopember 2004, dan saran-saran dari Bapak Frans Mataheru, Dip.Ed.Ad., Ed.D. diterima tanggal 13 Desember 2004. Balikan dari beliau tersebut sangat memberikan motivasi bagi penulis. Walaupun banyak saran perbaikan, namun dengan kalimat yang indah dan menyejukkan Bapak Frans Mataheru, Dip.Ed.Ad., Ed.D. menyatakan: saya pikir mi proposal yang baik! Bagus!. Setelah diperbaiki semua saran-saran dan dosen pembimbing, pada pertengahan Desember 2004 ketiga dosen pembimbing menyetujui proposal penelitian yang sudah disusun untuk diseminarkan dalam mata kuliah Seminar Usulan Penelitian. Selanjutnya, draft usulan yang telah disetujui pembimbing diseminarkan di velas tanggal 19 Januari 2005 pukul 10.00 WIB betempat di gedung H1 mang 1206, guna mendapat masukan dari teman-teman (terutama Bapak Syamsul Hadi sebagai

93

pembanding) dan dosen pembina mata kuliah seminar usulan penelitian. Cukup "anyak masukan dan teman-teman dan dosen pembina mata kuliah seminar (Bapak Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd dan Bapak Prof. H. Ahmad Sonhadji K.H., M. A., r h D.). Semua saran segera diperbaiki setelah seminar selesai. Perbaikan draft rroposal dilakukan dengan cara berkonsultasi dengan ketiga dosen pembimbing disertasi Dengan mempertimbangkan saran-saran dalam seminar dan setelah - .-.-.onsultasi dengan dosen pembimbing, maka judul penelitian ini berubah menjadi: : engembangan Organisasi dengan Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (Studi iitisitus pada Tiga Sekolah Dasar Negeri di Kota Cendekia). I Tahap pelaksanaan penelitian dan analisis data Sebelum pelaksanaan penelitian terlebih dahulu dilakukan pengurusan surat :. honan izin pelaksanaan penelitian dan Direktur Program Pascasaijana Universitas Negeri Malang (Nomor Surat: 894/J36.4.1/PG/2005 tanggal 10 Maret 2005) yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cendekia. Atas dasar surat tersebut Dinas Pendidikan Kota Cendekia mengeluarkan rekomendasi pelaksanaan penelitian dengan surat Nomor: 070/711/420.307/2005 tanggal 18 Maret 2005. Setelah izin diperoleh, selanjutnya dilakukan penelitian ke sekolah-sekolah yang dijadikan objek studi ini. Kegiatan berikutnya adalah menganalisis dan menafsirkan data yang sudah dikumpulkan sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan. Analisis data dilakukan mulai dari situs pertama, kemudian dilanjutkan dengan situs kedua dan ketiga. 3. Tahap penyusunan laporan penelitian

94

Penyusunan laporan penelitian dilakukan berdasarkan data yang sudah dianalisis dan dicek keabsahannya selama pelaksanaan penelitian. Dalam penyusunan laporan ini konsultasi dengan ketiga dosen pembimbing tetap dilakukan. Setelah penyusunan laporan selesai, maka diminta surat keterangan telah melaksanakan penelitian pada ketiga latar. Atas permintaan di atas, SD Negeri Cerdas memberikan surat keterangan dengan Nomor: 421/205/35.73.307.03/2005 tanggal 19 Desember 2005, SD Negeri Camat dengan Nomor: 005/28/35.73.303.03/ 303/2005 tanggal 24 Desember 2005, dan SD Negeri Mandiri dengan Nomor: 421.2/ 262/420.307.05/SDNP 1/2005. Catatan: Semua surat izin penelitian di atas (Surat izin dari Direktur PPS UM, Rekomendasi Dinas Pendidikan, dan Surat Keterangan Penelitian dan ketiga sekolah) tidak dilampirkan dalam naskah ini, karena nama sekolah sudah disamarkan. Namun semua surat tersebut ada pada peneliti.

You might also like