PERBANKAN ISLAM Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester (UAS) Pada Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Nama : Abdul Malik Nim : 208 800 100 Kelas/Smster : Manajemen A / VI
JURUSAN MANAJEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN GUNUNG DJATI BNDUNG 2011 2
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dan Shalawat beserta salam semoga dicurahkan kepada Rasullah Saw, keluarganya, sahabatnya, serta para pengikutnya Atas pertolongan Allah Swt, dan dengan kerja keras akhirnya penulis bias menyelesaikan makalaha yang berjudul MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN SISTEM PERBANKAN ISLAM, dimana makalah ini dibuat untuk memenuhui tugas akhir smester pada mata kuliah fiqih muamalah, terimakasih juga penulis samapaikan kepada dosen matakuliah yaitu Bapak Sarip Muslim, M,ag karena beliau telah membimbing perkuliahan dari awal sampai akhir. Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saranya untuk perbaikan dimasa yang akan datang. Akhirnya hanya kepada Allah-lah segala sesuatu kembali. Semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya, amin.
Bandung, 05 Juni 2011
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 Latar belakang ....................................................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2 A. Pengertian Murabahah .................................................................................... 2 B. Syarat Murabahah ........................................................................................... 2 C. Jenis Murabahah ............................................................................................. 3 D. Rukun Murabahah .......................................................................................... 3 E. Murabahah Dalam Perspektif Fiqih ................................................................. 4 F. Pendapat Ulama Tentang Aplikasi Konsep Murabahah Di Perbankan Islam/Syari'ah ............................................................................................... 12 G. Murabahah Dalam Perbankan Syariah ........................................................... 13 H. Sistem Murabahah ...................................................................................... 14 I. Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah ............................................ 17 J. Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah .......................................... 21 BAB III PENUTUP .............................................................................................. 28 KESIMPULAN ................................................................................................. 28 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30
4
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Para pakar perbankan Islam pada awal terbentuknya perbankan Islam di kancah perbankan global menyepakati bahwa perbankan Islam dalam kegiatan operasional yang dijalankannya harus didasarkan pada sistem Profit and Loss Sharing (PLS) dan bukan berdasarkan sistem bunga (interest rate). Namun dalam prakteknya, sebagian besar bank-bank Islam mengalami kesulitan untuk menerapkan sistem ini dalam produk- produk pembiayaan yang ditawarkan yang menggunakan sistem PLS murni, dengan kendala yang penuh resiko dan ketidak-pastian. Masalah-masalah praktis yang terkait dengan pembiayaan ini di satu sisi mengakibatkan adanya penurunan dalam penggunaannya di dunia perbankan Islam, dan pada akhirnya pada sisi lain menyebabkan adanya peningkatan yang cukup drastis pada penggunaan mekanisme pembiayaan yang secara tidak langsung mirip dengan pembiayaan sistem bunga, yaitu mekanisme pembiayaan murabahah. Dalam lembaga keuangan atau perbankan Islam produk pembiayaan yang menggunakana mekanisme murabahah mendominasi sekitar 80 sampai dengan 95 persen dari transaksi keuangan yang ada. Namun, kondisi ini tidak terjadi di beberapa negara Islam seperti Sudan dan Iran, di mana mekanisme pembiayaan bagi hasil-rugi tetap atau sebagian besar digunakan. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh adanya faktor- faktor yang mendukungnya, seperti pemahaman masyarakat muslimnya yang tinggi akan pentingnya aplikasi ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya, termasuk dalam kegiatan perekonomiannya seharai-hari, di samping adanya peran tokoh agama yang sangat besar dalam kehidupan mereka. Oleh karenanya, dalam makalah ini penulis akan mencoba mengkaji mekanisme pembiayaan murabahah sebagai salah satu mekanisme pembiayaan terpenting dan terpopuler pada perbankan Islam, dengan memaparkan bagaimana konsep murabahah itu sendiri menurut kajian fiqih, penerapannya dalam perbankan Islam, perbandingannya dengan mekanisme pembiayaan yang berbasis bunga tetap pada perbankan konvensional dan suatu analisa terhadap praktik murabahah jika dikaitkan dengan permasalahan bunga dan riba.
5
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Murabahah Murabahah didefinisikan oleh para Fugaha sebagai penjualan seharga biaya/harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark-up atau margin keuntungan yang disepakati. Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus member tahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambah pada biaya (cost) tersebut. Dalam daftar istilah buku himpunan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah (DSN, 2003:311) adalah menjual suatu barang dengan menegaskan belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan lebih sebagai laba. Sedangkann dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah paragraph 52 dijelaskan bahwa murabahah adalah jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase. B. Syarat Murabahah Dalam murabahah dibutuhkan beberapa syarat, antara lain: 1. Mengetahui harga pertama (Harga Pembelian) Pembeli kedua hendaknya mengetahui harga pembelian karena hal itu adlah syarat sahnya transaksi jual beli. 2. Mengetahui besarnya keuntungan Mengetahui jumlah keuntungan adalah keharusan, karena ia merupakan bagian dari harga (tsaman), sedangkan mengetahui harga adalah syarat sahnya jual beli. 6
3. Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan sejenis, seperti benda-benda yang ditakar, ditimbang dan dihitung Syarat ini diperlukan dalam murabahah dan tauliyah, baik ketika jual beli dilakukan dengan penjual pertama atau orang lain. Serta baik keuntungan dari jenis harga pertama atau bukan, setelah jenis keuntungan disepakati berupa sesuatu yang diketahui ketentuannya, misalkan dirham atau yang lainnya. 4. Sistem murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan riba tersebut terhadap harga pertama Seperti membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan barang sejenis dengan takaran yang sama, maka tidak boleh menjualnya dengan system murabahah. 1
C. Jenis Murabahah Murabahah dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Murabahah tanpa pesanan Maksudnya adalah ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, Bank Syariah menyediakan dagangannya, penyediaan barang pada murabahah ini tidak terpengaruh atau terkait langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli. 2. Murabahah berdasarkan pesanan Bank Syariah baru akan melakukan transaksi murabahah apabila ada nasabah yang memesan barang, sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Murabahah ini dibagi menjadi 2 yaitu: a) Murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, maksudnya apabila telah dipesan harus dibeli. b) Murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat tidakmengikat , maksudnya walaupun nasabah sudah memesan, nasabah bias menerima atau membatalkan barang tersebut. Cara pembayaran murabahah dapat dilakukan dengan cara tunai atau dengan pembayaran tangguh. D. Rukun Murabahah 1. Pihak yang berakad a. Penjual
b. Pembeli 2. Objek yang diakadkan a. Barang yang diperjualbelikan b. Harga 3. Akad/sighat a. Serah (ijab) b. Terima (qabul)
E. Murabahah Dalam Perspektif Fiqih Ibnu Rusyid mendefinisikan murabahah sebagai berikut :
Murabahah tidak mempunyai rujukan atau referensi langsung dari al-Quran maupun Sunnah, yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual beli murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i mengatakan bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hukum walaupun Abdullah Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari Hadis. Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal abad ke-2 H. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam al-Quran atau dalam Hadis yang diterima umum, maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung faliditasnya dengan acuan pada praktek orang-orang Madinah. Ia berkata "Penduduk Medinah telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati.
Imam Syafi'i menyatakan pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata: "Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu untuknya, maka transaksi demikian ini adalah sah.
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam jual beli murabahah itu disyaratkan beberapa hal, yaitu :
8
1. Mengetahui harga pokok Dalam jual beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok atau harga asal, karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli. Syarat ini juga diperuntukan bagi jual beli at-tauliyyah dan al-wadhi'ah. 2. Mengetahui keuntungan Hendaknya margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli, karena margin keuntungan tersebut termasuk bagian dari harga. Sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli. 3. Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual dengan penjual yang pertama atau setelahnya. Jual beli murabahah merupakan jual beli amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis. Atau dengan kata lain dalam jual beli tidak diperbolehkan berkhianat. Allah SWT berfirman dalam surah al-Anfal 27: !!., _, `.. , .> < _.l .> >..... .. .l-. __ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Berdasarkan ayat di atas, maka apabila terjadi jual beli murabahah dan terdapat cacat pada barang, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama fiqh, yaitu: menurut ulama Hanafiyyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang, karena cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut Sementara Jumhur ulama tidak membolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu termasuk khianat. Mekanisme pembiayaan yang menggunakan skim murabahah pada perbankan Islam jika ditilik sekilas memang terlihat mirip dengan pembiayaan yang menggunakan sistem bunga tetap yang ditawarkan perbankan konvensional. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba melakukan perbandingan untuk menemukan apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya untuk tujuan-tujuan yang sama dengan menfokuskan perbandingan pada aspek-aspek sebagai berikut : 9
1. Biaya (Harga) Untuk Pembiayaan Sebagaiman diketahui bahwa ketika sebuah bank konvensional memberikan pinjaman kepada seorang debitur, misalnya untuk pembelian barang-barang tertentu, maka bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan waktu jatuh tempo pinjaman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bukanlah menjadi urusan bagi bank konvensional terkait mengenai berapa harga barang yang akan dibeli oleh seorang nasabah. Yang terpenting adalah bagaimana memperoleh suku bunga terkait yang sedang berlaku (baik itu suku bunga tetap ataupun tidak tetap). Dan menjadi tanggung jawab nasabah sendiri setelah memperoleh pinjaman dengan suku bunga tertentu untuk membeli barang-barang yang diperlukan berapapun harganya. Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di perbankan syariah melalui pembiayaan murabahah, di mana bank Islam terlebih dahulu memastikan bahwa nasabah mengetahui total harga barang yang dibutuhkan sebelumnya. Artinya, pinjaman yang diberikan atau disalurkan kepada nasabah tetap memperhatikan apakah jumlah pinjaman tersebut mencukupi untuk membayar apa yang akan dibeli atau tidak. Dari kedua paparan tersebut, memang secara sekilas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, jika ditinjau dan dianalisa lebih jauh di mana dalam penetapan bunga yang berlaku di perbankan konvensional, suku bunga yang diberlakukan adalah tergantung pada kebutuhan bank untuk mendapatkan keuntungan riil, yang juga sangat tergantung pada kemungkinan terjadinya inflasi di masa mendatan, preferensi likuiditas, jumlah permintaan pinjaman, kebijakan moneter ataupun perkembangan suku bunga luar negeri. Dan hal itu sebenarnya juga terjadi pada pemberlakuan mark-up pada pembiayaan murabahah, di mana penetapannya juga didasarkan pada adanya faktor-faktor yang melatar-belakanginya seperti adanya kebutuhan bank Islam untuk memperoleh keuntungan riil dari pinjaman tersebut, termasuk kemungkinan inflasi yang akan terjadi, perkembangan moneter, marketabilitas barang-barang yang dijual melalui pembiayaan ini serta tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang tersebut.
10
Karenanya dapat disimpulkan dari perbandingan yang perta bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi penetapan suku bunga pada perbankan konvensional juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberlakuan mark-up dalam pembiayan murabahah. Oleh karenanya konsekuensi dari kesamaan faktor ini adalah bahwa suku bunga dan mark-up dalam murabahah untuk penyaluran dana-dana yang sebanding akan sama. Untuk perbandingan yang kedua dalam biaya dalam proses pembiayaan, memang terkadang dapat terjadi jumlah mark-up sekilas lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga dominan, namun perbedaan antara keduanya untuk pinjaman-pinjaman sejenis umumnya tidak terlalu jauh. Kondisi mark-up yang lebih rendah umunya dapat terjadi jika dalam pembelian barang-barang yang dibutuhkan nasabah dilakukan secara borongan sehingga pihak bank dapat memperoleh diskon-diskon dari penyalur untuk barang yang sama. Diskon-diskon inilah yang kemudian ditransfer kepada para nasabah murabahah dalam bentuk mark-up yang lebih rendah yang akan menurunkan biaya pembiayaan nasabah. Namun, kondisi ini tidak akan terjadi ketika permintaan pembelian barang dilakukan secara terpisah, dalam artian pembelian barang dilakukan ketika masing-masing nasabah mengajukan permintaan pembelian yang berbeda. dan kondisi inilah yang paling sering dan mungkin terjadi.
Dengan demkian dapat dikatakan bahwa pembiayaan murabahah dengan sistem mark-upnya adalah sama dengan pinjaman yang berdasarkan bunga atau bahkan dapat terjadi lebih besar (mahal). Di mana dalam pembiayaan berdasarkan penetapan suku bunga tertentu dalam pinjaman bank konvensional, pihak bankir ketika akan memberikan pinjaman hanya cukup diberikan data-data finansial yang relevan untuk menilai posisi keuangan nasabah dan menilai proyek yang dimohonkan untuk dibiayai. Sementara itu dalam pembiayaan murabahah, pihak bankir atau personil bank perlu untuk terlibat lebih jauh memberikan pembiayaan ini, di mana dibutuhkan adanya penelitian pasar yang memakan biaya, kertas kerja yang dihasilkan dari proses permintaan pembiayaan, melakukan kontak dengan penyalur, penanganan dokumen ataupun melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap perkembangan penjualan barang-barang murabahah setelah diberikan kepada para nasabahnya.
11
2. Resiko Dalam Pembiayaan Tentunya dalam setiap pembiayaan yang diberikan sebuah lembaga keuangan seperti bank atau yang lainnya tidaklah terlepas dari berbagai resiko yang akan menyertainya. Demikian jua halnya dengan pembiayaan yang dilakukan menggunakan skim murabahah, di mana faktor pembagian resiko (loss sharing) tetap ada dan menjadi alasan untuk mengambil keuntungan. Dalam perbandingan yang kedua ini, pembahasan mengenai resiko-resiko yang ada dalam pembiayaan akan difokuskan pada resiko-resiko yang terkait dengannya, seperti : a. Resiko yang tekait dengan barang Salah satu resiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank Islam terkait dengan pembiayaan murabahah adalah resiko yang timbul dari barang yang dijual kepada nasabah. Bank Islam ketika membeli barang yang diminta oleh nasabah murabahahnya, maka secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Artinya kondisi barang ketika diserahkan harus dalam keadaan baik sesuai dengan pesanan atau permintaan. Hal ini memang sudah menjadi ketentuan yang berlaku dalam hukum muamalah Islam. Seorang nasabah menurut kajian fiqih Islam berhak menolak barang-barang yang rusak atau kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang diberikan. Resiko-resiko tersebut mungkin kurang signifikan jika dikaitkan dengan kontrak murabahah dalam konteks perdagangan domestik (lokal). Akan tetapi dalam level perdagangan yang lebih luas (internasional), resiko-resiko semacam itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagaimanapun juga dalam prakteknya untuk menghindari timbulnya hal-hal semacam itu, bank Islam mengantisipasinya dengan menetapkan biaya-biaya asuransi dalam klausul- klausul kontrak yang dibuat dengan nasabah murabahah. Karenanya, dalam setiap kontrak transaksi murabahah, biaya asuransi merupakan salah satu biaya yang harus ditanggung oleh nasabah sebagai biaya yang ditambahkan pada pengeluaran-pengeluaran murabahah untuk mencapai total harga barang dan sebagai dasar bagai penentapan jumlah mark-upnya. Kondisi ini memang berbeda dengan apa yang menjadi dasar dari penetapan suku bunga dalam suatu pinjaman yang diberikan oleh bank 12
konvensional kepada debiturnya yang memang bersifat pinjaman murni semata. Oleh karenanya, tidak dapat dipungkiri jika di dalam pembiayaan murabahah ini markr-up yang ada ataupun total pengembalian yang harus dikeluarkan oleh nasabah murabahah bisa lebih besar dari suku bungan pinjaman bank konvensional. b. Resiko yang tekait dengan pembayaran Resiko lain yang mungkin terjadi dalam kontrak murabahah adalah resiko yang terkait dengan pembayaran angsuran dari nasabahnya. Karenanya untuk menghindari resiko ini, dalam klausul kotrak tertulis yang dibuat sebagian besar bank Islam mengharuskan adanya jaminan. Kaitannya dengan resiko yang terkait dengan pembayaran ini atau kemungkinan penunggakan nasabah untuk membayar kewajibannya, bank Islam membedakannya sebagai berikut : Jika tidak adanya pembayaran atau ketidak mampuan seorang nasabah dalam membayar diakibatkan oleh adanya faktor-faktor di luar kemampuan nasabah untuk mengontrolnya, maka bank Islam secara moral berkewajiban menjadwal ulang pembayaran hutang tersebut. Jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu dan tidak melakukannya, maka bank Islam dalam kondisi ini menggunakan sistem denda kepada nasabahnya, yang jumlahnya disesuaikan dengan tingkat laba yang wajar pada dana bank yang diinvestasikan sebagai opportunitycost (biaya untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal tersebut. Jika pelunasan pinjaman tidak mungkin dilakukan, maka bank Islam dalam sebagian besar prakteknya akan menyita jaminan yang diberikan beserta barang-barang yang diserahkan kepada nasabah. Melihat beberapa kebijakan yang dilakukan oleh bank Islam dalam menyikapi resiko pembayaran yang timbul dari pinjaman murabahah yang diberikan, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh bank konvensional ketika debiturnya tidak mampu mengembalikan atau melunasi pinjamannya sesuai kontrak yang dibuat, seperti adanya penjadwalan hutang ataupun semacam denda yang diberikan. Termasuk adanya keharusan untuk mengajukan jaminan dari pinjaman yang diajukan, untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo. 13
3. Hubungan Antara Bank Dan Pembeli Untuk perbandingan yang ketiga, perbandingan antara sistem bunga dan mark-up dapat dilihat dari adanya hubungan yang terjadi pada kedua kontrak yang terjadi. Pada awalnya, teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri utama dalam hubungan antara pihak bank dan nasabah adalah hubungan kemitraan yang berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS), yang dapat menghapus sifat hubungan yang biasa terjadi pada bank-bank konvensional, yaitu hubungan antara kreditur dan debitur. Bagaimanapun juga kondisi yang terjadi sulit untuk membenarkan teori tersebut, mengingat begitu pentingnya peranan transaksi murabahah dalam perbankan Islam yang secara keseluruhan dapat diperkirakan melebihi 75 persen dari kegiatan investasi yang ditawarkan. Dalam murabahah, secara tidak langsung kontrak jual beli yang terjadi membawa suatu hubungan kreditur-debitur antara pihak bank dengan nasabah. Di mana si pembeli (nasabah) menyetujui untuk membayar harga barang ditambah jumlah mark-up secara angsuran, termasuk tanggal jatuh tempo angsuran yang ditentukan dalam kontrak. Dengan demikian, ketika pihak bank dan nasabah menyepakati kontark jual beli ini, harga jual yang diberikan menjadi tanggungan hutang nasabah kepada bank bersangkutan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan antara seorang kreditur dan debitur yang tidak ada bedanya dengan hubungan yang terjadi pada kontrak pinjaman di bank konvensional. 4. Penyelesaian Hutang Pada dasarnya pembiayaan yang dilakukan dalam suatu kontrak murabahah yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu (angsuran) tidak jauh berbeda dengan suatu pembiayaan yang didasarkan pada suku bunga tetap pada perbankan konvensional. Dalam kedua kontrak tersebut, pembiayaan adalah tetap dianggap sebagai hutang, baik biaya pembiayaan yang ada dianggap atau disebut sebagai bunga atau laba serta jangka waktu pembayarannya pun ditetapkan. Perbedaan yang paling jelas adalah hanya terletak pada kondisi ketika seorang debitu gagal melunasi hutangnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Di perbankan konvensional, pinjaman yang diberikan melalui sistem bunga 14
pada umumnya akan menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo, baik si debitur mampu membayar atau tidak. Sementara itu di perbankan Islam tidak demikian adanya, tergantung pada kondisi ketidak-mampuan debitur dalam membayar pinjamannya tersebut. Jika seorang debitur tidak mampu melunasi hutangnya, maka pihak perbankan harus memberi kelonggaran (toleransi) untuk melunasinya sesuai dengan perintah al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 280. Penundaan semacam dalam inti konsepnya harus diberikan tanpa melalui penambahan beban atau semacamnya seperti adanya denda dan sebagainya atas waktu yang diberikan untuk pembayaran tersebut. Hanya saja dalam praktek yang terjadi, sebagian besar bank-bank Islam dengan dukungan dewan syariah mereka telah mempersempit penafsiran perintah kandungan ayat tersebut. Menurut mereka, penerapan perintah tersebut secara umum dapat memberikan celah kepada para debitur untuk sengaja lalai untuk melunasi hutangnya, padahal mereka mampu untuk melunasinya. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasinya mereka kemudian mengadopsi konsep denda bagi debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu, khususnya untuk mereka yang mampu melunasinya. Alasan mereka adalah untuk mengganti kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya hutang tepat pada waktunya. Namun, jika dilihat dari kegunaan yang ada dari konsep denda yang diberlakukan ini, pada dasarnya adalah sama dengan tujuan-tujuan praktis dari penerapan sistem bunga di bank-bank konvensional, ketika hutang tidak dilunasi tepat waktu (sebagai kompensasi atas hilangnya tingkat laba normal atau opportunity cost dari modal yang diinvestasikan). Itu semua adalah tidak lain untuk menjamin dana-dana yang diberikan kepada para nasabahnya. Analisis Keuntungan Murabahah, Bunga Bank dan Riba Kegiatan investasi yang dilakukan oleh sebagian besar dari bank Islam tampaknya hanya memperhatikan kesesuaian kegiatannya dengan ajaran hukum Islam secara parsial (tidak utuh) sebagaimana yang diterapkan dalam praktik pembiayaan murabahah. Bank-Bank Islam menyatakan bahwa di dalam al-Quran perdagangan untuk mendapatkan laba diperbolehkan, kemudian juga dengan bentuk murabahah sebagai jual beli dengan keuntungan atau laba yang ditetapkan. Dengan tidak adanya pembatasan yang jelas atas jumlah laba yang boleh diambil oleh seseorang dalam suatu kegiatan penjualan maka bank-bank Islam secara teoritis bebas menentukan besar mark-up untuk 15
suatu kontrak murabahah. Kaitannya dengan hal tersebut ada kecenderungan bank Islam untuk menafsirkan konsep riba sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam konteks transaksi finansial saja, yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan tertentu dalam utang piutang. Bank Islam tampaknya juga berargumen bahwa al-Quran ataupun Sunnah tidak ada yang secara khusus menegaskan bahwa setiap tambahan karena adanya tenggang waktu yang diberikan dalam membayar hutang seperti yang terjadi dalam kasus murabahah adalah riba. Seorang pengamat perbankan Islam memberikan cacatan bahwa bank-bank Islam termasuk mereka yang menjadi dewan pengawasnya mengatakan bahwa pengharaman riba pada prinsipnya bukan masalah ekonomi, tetapi pengharamannya adalah yang utama berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Yang diharamkan adalah semua keuntungan positif yang ditetapkan di awal kontrak bagi pemilik modal dalam suatu transaksi finansial murni, sedangkan murabahah yang menggunakan mark-up untuk menentukan keuntungannya bukan merupakan transaksi finansial murni. Sering dikatakan bahwa teknik mark-up atau batas laba dalam suatu transaksi perdagangan adalah bunga dengan nama yang berbeda dan memang asumsi ini jika dilihat dari sudut pandang ekonomi tidak memiliki perbedaan yang mendasar antara keduanya. Perbedaannya adalah hanya terletak pada permasalahan hukum dimana bunga adalah terkait dengan kontrak utang piutang, sementara mark-up adalah identik dengan kontrak jual beli atau penyewaan. Namun perbedaan hukum ini tampaknya tidak membuat batasan laba dalam murabahah dengan bunga dalam utang piutang memiliki perbedaan yang signifikan. Di sisi lain dari sudut pandang ekonomi pembiayaan yang berdasarkan mark-up dalam murabahah tidak memiliki manfaat ekonomis yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pinjaman yang berbasis bunga kecuali jika dalam pembiayaan murabahah harga yang disepakati akan tetap sama sekalipun pembayaran tidak bisa dilakukan pada waktu yang ditentukan (tepat waktu)
F. Pendapat Ulama Tentang Aplikasi Konsep Murabahah Di Perbankan Islam/Syari'ah Ada beberapa pendapat ulama mengenai praktek murabahah di perbankan yari'ah, antara lain : 16
1. Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba. 2. Murabahah merupakan jual beli 'inah yang diharamkan Islam. 3. Murabahah merupakan bai' atani fi bai'ah. 4. Murabahah merupakan jual beli barang yang belum dimiliki. Pendapat pertama: murabahah bukanlah jual beli melainkan hilah dengan tujuan untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan murabahah adalah untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana yang dilakukan oleh bank-bank konvensional. Gambarannya sebagai berikut: Secara hakiki, pembeli datang ke bank untuk mendapatkan uang pinjaman dan bank tidak membeli barang (asset) kecuali dengan maksud untuk menjual kepada pembeli secara kredit. Yang demikian itu bukanlah tujuan jual beli. Term hilah dalam fiqh diidentifikasikan sebagai upaya mencari legitimasi hukum untuk suatu kepentingan dengan tujuan-tujuan ekstra. Tujuan ekstra dalam konteks tersebut diartikan sebagai kepentingan khusus yang tidak memiliki kaitan langsung dengan hakikat aturan yang ditentukan oleh hukum syari'at. Dalam kasus murabahah ini kadang pembeli membeli barang atau sesuatu untuk memanfaatkannya dan kadang membeli barang untuk menjualnya kembali (seperti Bank Islam), kedua hal ini dibolehkan, namun kadang pembeli bermaksud untuk mengambil riba. Dengan demikian tergantung niat dari pembeli tersebut, sebagaimana ditegaskan dalam Hadis Nabi saw :
"Sesungguhnya amal perbuatan itu berdasarkan niyatnya"
G. Murabahah dalam Perbankan Syariah Dalam perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau margin keuntungan. Dengan kata lain, penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas dasar cost-plus profit. Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syariah, pada prinsipnya didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang 17
terkait dan kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut: 1. Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga plus biaya-biayanya; 2. Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang; 3. Apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli; 4. Pembayarannya ditangguhkan. Bank-bank syariah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin nasabah tidak memiliki uang untuk membayar. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah, antara lain 16 : 1. Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem (PLS), cukup memudahkan; 2. Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam; 3. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS; 4. Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur. H. Sistem Murabahah Menurut pendapat Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin yang penulis kutip dari Syariah Kajian Utama 14 - April - 2007 03:10:33, bahwa system murabahah bahwa sanya Di antara sistem akad jual beli yg cukup banyak ditemukan pada bank- bank adl apa yg mereka sebut dgn istilah murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di bank-bank yg mengatasnamakan diri Bank Islam. Banyak kaum muslimin yg terlena dgn embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk- 18
roduk sehingga jarang di antara mereka yg memperhatikan atau mempertanyakan dgn seksama sistem transaksi yg terjadi. Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lbh wajib daripada system- sistem riba yg berlaku di bank-bank konvensional sebab amat sedikit kaum muslimin yg mengetahuinya. Istilah tersebut di atas sesungguh telah ada dan diulas oleh para ahli fiqih sejak dahulu. Namun kini istilah tersebut dipakai utk sebuah hakekat permasalahan yg tdk sama dgn apa yg dahulu mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal sebuah transaksi dgn istilah jual beli amanah. Disebut demikian krn seorang penjual wajib jujur dlm menyebutkan harga sebuah barang kepada seorang pembeli Transaksi ini ada 3 jenis: 1. Murabahah Gambaran adl Amr misalkan membeli HP seharga Rp. 500 ribu lalu dia jual dgn keuntungan Rp. 100 ribu misalkan. 2. Wadhiah Gambaran adl seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000- kemudian krn terdesak kebutuhan mk dijual dgn harga Rp. 900.000- 3. Tauliyah Gambaran adl seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000- lalu dijual dgn harga yg sama. Transaksi-transaksi di atas diperbolehkan dgn kesepakatan para ulama kecuali poin satu di mana sebagian kecil ulama memakruhkannya. Namun yg rajih adl boleh dan ini adl pendapat mayoritas ulama. Adapun sistem murabahah yg terjadi di bank-bank Islami gambaran sebagai berikut: a. Calon pembeli datang ke bank dia berkata kepada pihak bank: Saya bermaksud membeli mobil X yg dijual di dealer A dgn harga Rp. 90 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dgn pemohon dgn mengatakan: Kami jual mobil tersebut kepada anda dgn harga Rp. 100 juta dgn tempo 3 tahun. Selanjut bank menyerahkan uang Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: Silahkan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut. Transaksi di atas dilakukan di kantor bank. 19
b. Sama dgn gambaran pertama hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata Kami membeli mobil X dari anda. Selanjut pembayaran dilakukan via transfer lalu pihak bank berkata kepada pemohon: Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.Hukum dua jenis transaksi di atas ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yg belum dia terima. c. Sama dgn gambaran sebelum hanya saja pihak bank datang langsung ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata kepada pihak showroom: Berikan mobil ini kepada si fulan . Sementara akad jual beli dgn tambahan keuntungan antara pihak bank dan pemohon sudah purna sebelum pihak bank berangkat ke showroom. Hukum transaksi inipun haram sebab pihak bank menjual sesuatu yg tdk dia miliki. Hakikat akad ini adl pihak bank menjual nominal harga barang dibayar dgn nominal harga jual dgn formalitas sebuah mobil dan ini adalah riba fadhl. d. Sama dgn yg sebelum hanya saja pihak bank datang ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata: Biarkan mobil ini di sini sebagai titipan. Lalu pihak bank mendatangi pemohon dan mengatakan: Pergi dan ambil mobil tersebut di showroom. Hukum akad ini juga haram sebab Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli barang hingga barang tersebut dipindahkan oleh sang pedagang ke tempat mereka sendiri. mk transaksi di atas termasuk menjual sesuatu yg belum diterima. e. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang mk pihak bank mengatakan: Kami akan mengusahakan barang tersebut. Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke took dan membeli barang selanjut dibawa ke halaman bank kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank. Pada akad di atas pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tdk dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut. Hukum transaksi ini dirinci: a) bila akad dlm bentuk keharusan mk haram krn termasuk menjual sesuatu yg tdk dia miliki. 20
b) bila akad tdk dlm bentuk keharusan dan bisa dibatalkan oleh pihak penjual atau pembeli mk masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini: Mayoritas ulama sekarang membolehkan transaksi tersebut sebab tdk mengandung pelanggaran-pelanggaran syari. Ini adl fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin melarang transaksi ini dgn alasan bahwa akad tersebut adl tipu daya menuju riba dan beliau memasukkan akad ini ke dlm sistem inah bahkan lbh parah lagi. Hakikat adalah pinjam meminjam uang degan bunga di tengah-tengah ada sebuah barang sebagai formalitas. Kenyataan yg ada pihak bank sendiri tdk akan mau dgn cara ini. Dia pasti membuat perjanjian- perjanjian saksi-saksi dan jaminan-jaminan atas barang tersebut. Gambaran kelima di atas hampir tdk bisa dijumpai di bank-bank yg ada kecuali dgn bentuk keharusan . Maka transaksi di atas juga tdk diperbolehkan dan kita harus berhati- hati dari sistem-sistem yg diberlakukan oleh bank manapun. I. Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua: 1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank 2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam Berikut ini uraian sekaligus tinjauan syari terhadap aplikasi tersebut: 1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank. Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah: a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya. Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya. Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana. Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi 21
hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan. b. Deposito biasa Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo. Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya. c. Deposito khusus (special investment) Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini. Tinjauan hukum syari Secara hukum syari, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan dan lahiriahnya tidak ada masalah. Adapun perbedaan sistem deposito/tabungan antara bank syariah dan bank konvensional adalah: a) Pada akad Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syariah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun. b) Pada imbalan yang diberikan: Bank syariah menerapkan prinsip mudharabah, sehingga bagi hasil tergantung pada: Pendapatan bank (hasil/laba usaha) Nominal deposito nasabah Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank Jangka waktu deposito Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional. 22
c) Pada sasaran pembiayaan Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad mudharabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah: a. Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut Di sini muncul pertanyaan besar: Siapa yang menanggung kerugian dana simpanan para nasabah? Jawabannya adalah sebagai berikut: Semua bank, baik konvensional maupun syariah1 harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No. 66 Th. 2008, red.). Hakikat akad dengan kondisi di atas Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad mudharabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi. Kesimpulannya, akad antara penabung dan bank syariah adalah riba/terlarang dengan alasan: 1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai. Hakikatnya adalah penabung memberi pinjaman kepada pihak bank dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil. Inilah hakikat dari riba jahiliah yang dikecam dalam Islam. Lihat makalah penulis di Kajian Utama Macam-macam Riba pada majalah Asy Syariah No. 28/III1428 H/2007 hal. 18. 2) Kerugian ditanggung mudharib (bank) Ini menyalahi prinsip mudharabah yang syari seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha mudharabah murni ditanggung modal bukan amil/mudharib. 23
3) Pihak bank terjatuh pada asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam. Lihat makalah penulis tentang asuransi di Kajian Utama majalah Asy Syariah Vol. III/29/1428 H/2007 yang berjudul Asuransi hal. 20-24. 2. Akad mudharabah antara bank dan nasabah peminjam Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke produk mudharabah dikarenakan risiko yang cukup tinggi, di antaranya: a. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu tidak seperti yang disebut dalam akad b. Lalai dan kesalahan nasabah yang disengaja c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila dia tidak jujur. Bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan2 ke produk murabahah. Pihak bank akan mengadakan akad dengan skema mudharabah dengan masalah melalui proses yang cukup ketat, di antaranya: a. Melihat reputasi nasabah dalam dunia usaha b. Melakukan pembiayaan pada usaha-usaha yang dapat diprediksi pendapatannya seperti: - mudharabah dengan koperasi yang melakukan akad murabahah untuk memenuhi kebutuhan karyawannya. - mudharabah dengan pihak yang bergerak di bidang rental officer. c. Untuk usaha-usaha yang kurang bisa diprediksi pendapatannya, seringkalinya dialihkan ke akad murabahah. Pada akad mudharabah ini pihak bank bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan nasabah sebagai mudharib (amil) Saat akad, nasabah dan bank melakukan kesepakatan tentang : Biaya yang dikeluarkan Nisbah (persentase) bagi hasil Nisbah ini bisa berubah-ubah, misal: 3 bulan pertama 60:40, tiga bulan kedua 50:50. Tenggang waktu mudharabah pihak nasabah memberikan dokumen tentang reputasi dia, pendapatan usahanya, dan lain-lain yang dibutuhkan pihak bank setiap tiga bulan, pihak nasabah membayar kepada bank keuntungan usaha dengan membuat laporan realisasi pendapatan (LRD) 24
Pada umumnya pihak bank tidak terlibat dalam usaha nasabah, pihak bank hanya terlibat dalam pembiayaan Akad mudharabah ini disertai adanya jaminan dari pihak nasabah.
J. Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah 1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepaki. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank. Sedangkan perlakuan akuntansi murabahah adalah sebagai berikut: 1. Pengakuan dan pengukuran urbun ( uang muka) a. Urbun diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima bank pada saat diterima b. Jika transaksi murabahah dilaksanakan, maka urbun diakui sebagai pembayaran piutang (bagian angsuran pembelian) c. Jika transaksi murabahah tidak dilaksanakan, maka urbun dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan bank 25
2. Pengakuan piutang Pada saat akad murabahah, piutang murabahah diakui sebesar perolehan ditambah keuntungan yang disepakati 3. Pengakuan keuntungan Keuntungan murabahah, diakui: a. Pada periode terjadinya, apabila akad berakhir pada periode laporan keuangan yang sama, atau b. Selain periode akad secara proposional, apabila akad melampui satu periode laporan keuangan 4. Pengakuan potongan (muqasah) pelunasan dini diakui dengan menggunakan salah satu metode: a. Pada saat penyelesaian, bank mengurangi piutang murabahah dan keuntungan murabahah b. Setelah penyelesaian, bank terlebih dulu menerima pelunasan murabahah dari nasabah, kemudian bank membayar muqasah kepada nasabah dengan mengurangi keuntungan murabahah 5. Pengakuan denda 6. Pada akhir periode, piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersihyang dapat direalisasikan 7. Pada akhir periode, margin murabahah tanguhan disajikan sebagai pos lawan piutang murabahah. 2
Jurnal Standar 1. Pada saat pembayaran uang muka kepada supplier (penjual membeli dari supplier) (Dr) Uang muka kepada supplier XX (Cr) Kas XX
2. Pada saat perolehan barang murabahah (Dr) Persediaan/aktiva murabahah XX (Cr) Uang muka kepada supplier XX (Cr) Kas XX
3. Pada saat dibatalkan, sebagian uang muka diterima kembali (Dr) Kas XX (Dr) Beban operasional lain XX (Cr) Uang muka kepada supplier XX
4. Bila terjadi penurunan nilali aktiva karena usang, rusak, atau kondisi lainnya (Dr) Kas XX (Dr) Beban operasional lain XX (Cr) Uang muka kepada supplier XX
5. Bila terjadi kenaikan nilai wajar persediaan melebihi harga perolehan maka keuntungan hanya boleh diakui pada saat direalisasi (Dr) Kerugian penurunan nilai aktiva murabahah XX (Cr) Persediaan/aktiva murabahah XX
6. Bila dalam murabahah tanpa pesanan atau murabahah dengan pesanan tidakmengikat terjadi penurunan nilai wajar persediaan dibawah harga perolehannya (Dr) Beban penurunan nilai aktiva murabahah XX (Cr) Selisih penilaian persdiaan nlai murabahah XX
7. Pada saat penjualan kepada pembeli a. Pembayaran secara tunai (Dr) Kas XX (Cr) Pendapatan margin murabahah XX (Cr) Persediaan/aktiva murabahah XX
b. Pembayaran secara angsuran (Dr) Piutang murabahah XX (Cr) Margin murabahah tangguhan XX 27
(Cr) Persediaan/aktiva murabahah XX
8. Urbun a. Penerimaan urbun dari pembeli (Dr) Kas XX (Cr) Titipan uang muka pembeli (urbun) XX
b. Pembatalan pesanan, pengembalian urbun kepada pembeli setelah dikurangi beban atau kerugian (jika ada), dan urbun lebih besar daripada beban atau kerugian (Dr) Titipan uang muka pembeli (urbun) XX (Cr) Beban/kerugian XX (Cr) Kas XX
c. Pembatalan pesanan, pengembalian urbun kepada pembeli setelah dikurangi beban atau kerugian (jika ada ), dan urbun lebih kecil daripada beban atau kerugian (Dr) Titipan uang muka pembeli (urbun) XX (Dr) Piutang kepada pembeli XX (Cr) Beban/kerugian XX d. Apabila murabahah jadi dilaksanakan (Dr) Titipan uang muka pembeli (urbun) XX (Cr) Piutang murabahah XX
9. Pada saat penerimaan angsuran dari pembeli (Dr) Kas XX (Dr) Margin murabahah tangguhan XX (Cr) Piutang murabahah XX (Cr) Pendapatan margin murabahah XX
10. Pada saat terjadi tunggakan angsuran a. Pada saat pengakuan pendapatan 28
(Dr) Piutang murabahah jatuh tempo XX (Dr) Margin murabahah tangguhan XX (Cr) Piutang murabahah XX (Cr) Pendapatan margin murabahah XX
b. Pada saat penerimaan angsuran tunggakan (Dr) Kas XX (Cr) Piutangm murabahah jatuh tempo XX
11. Pemberian potongan pelunasan dini dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 metode berikut: a. Jika pada saat penyelesaian, bank mengurangi piutang murabahah dan keuntungan murabahah (Dr) Margin murabahah tangguhan XX (Cr) Piutang murabahah (sebesar potongan) XX
(Dr) Kas XX (Dr) Margin murabahah tangguhan XX (Cr) Pendapatan margin murabahah XX (Cr) Piutang murabahah (sebesar sisa jumlah yang tdk dipotong) XX
b. Jika setelah penyelesaian, bank terlebih dulu menerima pelunasan piutang murabahah dari nasabah, kemudian bank membayar muqasah kepada nasabah dengan mengurangi keuntungan murabahah (Dr) Kas XX (Dr) Margin murabahah tangguhan XX (Cr) Pendapatan margin murabahah XX 29
(Cr) Piutangm murabahah XX
(Dr) Kas XX (Cr) Kas (sebesar potongan) XX
12. Penerimaan denda, apabila nasabah melanggar perjanjian dengan sengaja (Dr) Kas XX (Cr) Rekening dana kebajikan XX
CONTOH: UANG MUKA MURABAHAH Tuan Abdullah sepakat u ntuk membeli mobil antik dengan Bank Syariah: - Harga perolehan sebesar Rp. 130.000.000,00 - Keuntungan yang disepakati sebesar Rp. 20.000.000,00 - Harga jual yang disepakati sebesar Rp. 150.000.000,00 Sebagai tanda keseriusan Tuan Abdullah menyerahkan uang muka kepada Bank Syariah sebesar Rp. 30.000.000,00 Atas pesanan Tuan Abdullah tersebut Bank Syariah memesan kepada sebuah dealer mobil antik dan disepakati dengan harga jual dealer sebesar Rp. 130.000.000,00 dan sebagai tanda keseriusan atas pesanan tersebut Bank Syariah memberikan uang muak kepada dealer mobil sebesar Rp. 25.000.000,00 dengan aturan apabila pesanan dibatalkan, maka uang muka tersebut dipotong oleh dealer sebesar 50%. Atas mobil antik tersebut, oleh Bnak Syariah diberitahukan kepada Tuan Abdullah, termasuk harga barang atau mobil antik tersebut. Diperkenankan sebagai pembayaran angsuran). Bagi nasabah uang muka tersebut akan mengurangi hutangnya kepada bank syariah dan bagi bank syariah uang muka tersebut sebagai pengurang piutang murabahah pada porsi harga pokok barang (bagi bank syariah piutang murabahah terkandung unsur harga pokok dan unsur keuntungan yang disepakati). Dalam ilustrasi diatas, apabila pembayaran dilakukan secara tangguh atau angsuran, maka hutang Tuan Abdullah adalah: - Harga barang sebesar Rp. 130.000.000,00 - Keuntungan yang disepakati Rp. 20.000.000,00 30
- Harga jual barang Rp. 150.000.000,00 - Pembayaran uang muka sebesar Rp. 30.000.000,00 (disetor ke bank syariah) Hutang Tuan Abdullah Rp. 120.000.000,00 Bagi Tuan Abdullah hutang tersebut sudah tidak kenal lagi hutang pokok atau hutan gmargin, dalam melakukan pembayaran hutangnya, berapapun besarnya yang berkurang adalah jumlah hutangnya, tidak dikenal berkurang hutang pokok atau yang berkurang hutang margin. Sedangkan perhitungan uang muka tersebut oleh bank syariah adalah: - Harga brang sebesar Rp. 130.000.000,00 - Pembayaran uang muka sebesar Rp. (30.000.000,00 (disetor ke bank syariah) Porsi harga pokok Rp. 100.000.000,00 - Keuntungan yang disepakati Rp. 20.000.000,00 Hutang Tuan Abdullah Rp. 120.000.000,00
31
BAB III PENUTUP KESIMPULAN Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori penjualan dengan pembayaran tunda. Meskipun tidak didasarkan pada teks al-Quran dan Sunnah, namun dalam kajian fiqh Islam jenis transaksi ini dapat dibenarkan. Bank-bank Islam telah menggunakan kontrak murabahah dalam kativitas pembiayaan mereka dimana barang-barang dilibatkan dan bank telah memperluas cakupan dan tingkat penggunaannya. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh puluh lima persen pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan keuntungan yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan keuntungan yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.
Pembiayaan murabahah dan harga kreditnya yang lebih tinggi jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan berbasis murabahah yang mendorong, meski secara tidak langsung, kepada pengakuan nilai waktu pada uang. Gambpang sekali dilupakan bahwa mengakui nilai waktu pada uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah dan kemudian penolakan hal yang sama dalam transaksi- transaksi finansial, tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dan tidak logis. Bentuk khusus kontrak keuangan yang sedang dikembangkan untuk menggantikan sistem bunga dan transaksi keuangan adalah mekanisme bagi hasil merupakan core product bagi bisnis syariah sebab bisnis syariah secara eklisit melarang penerapan tingkat bunga pada semua transaksi keuangannya bentuk bisnis yang berdasarkan syariah dapat dikembangkan dengan mengacu pada konsep syariah yaitu murabahah. Murabahah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak mempunyai bebrapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka meningkat jalinan kerja sama dimana bank membiayai pembelian yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murabahah ini miri[ dengan kredit modal kerja pada bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan tidak lebih dari satu tahun 32
dan seringnya untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti rumah, tanah, toko, mobil, motor dan sebagainya.
33
DAFTAR PUSTAKA Muhammad Rifki, Akuntansi Keuangan Syariah (Konsep dan Implementasi PSAK Syariah), Yogyakarta: P3EI Press, 2008 Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Press, 2005 Antonio, M. Syafii, (2001) Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani. Arifin,Zainul, (2005) Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: AlvaBet. ----------------, (1999), Memahami Bank Syariah, Jakarta: AlvaBet. Arif Hoetoro, (2007), Ekonomi Islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang: BPFE Unibraw. Chapra, M. Umer, (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam: Sebuah Tinjauan Islam, Jakarta: Gema Insani Press. Heri Sudarsono, (2004), Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia. Ibn Rusyd, (t,t), bidayah al-mujtahid wa nihyah al-muqtashid, beirut: Dar al-Fikr. Jaziri, Abdurrahman, (1990), kitab al-Fiqih 'ala al-Madhzhahib al-Arba'ah, Beriut:Dar al-Kutub al-Ilmiah. Jusmaliani, dkk., (2005), Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Karim, Adiwarman, (2003), Bank islam Analisis Fiqih dan keuangan, jakarta: IIIT Indonesia -------------, (2004), Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia. Qardhawi, Yusuf, (1987), Bai al-Murabahah li al-Aamir bi asy-Syira Kama Tajriyah al-Masharif al-Ilmiyah, t.tp: Maktabah Wahbah. Muhamad, (2005), Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMPYKPN. --------------, (2004) Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, Yogyakarta: UII Pers Rafi Yunus al-Misri, (1991),Al-Jami'fi Ushul ar-Riba, Damaskus: Dar al-Qalam. Robbyanto,(2007),"Ekonomi Syari'ah Rahmat Bagi Sektor Usaha","Makalah dalam seminar Nasional dan Launching Jurnal LEBI 2007,Yogyakarta, 17 Desember 2007 Schacht, Joseph, (1982), An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendon Press. Slamet Wiyono, (2005), Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: PT. Grasindo. Tazkia Institute, (1999), Murabahah, makalah disampaikan pada Lokakarya Perbankan Syariah, 14 Mei 1999 Sutan Remy Sjahdeini, (1999), Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata 34
Hukum Perbankan Indonesia Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Zulfikar Nazara, (2007), "Perkembangan Bank Syariah",Makalah Nasional dan Launching Jurnal LEBI 2007,Yogyakarta, 17 Desember 2007.