You are on page 1of 4

Kemiskinan dan Anak Jalanan

oleh Rizky Nurdin, 090633571

Pascakrisis ekonomi, hampir setengah dari penduduk Indonesia termasuk kelompok miskin, yaitu mereka yang penghasilan per harinya kurang dari dua dolar AS. Jika hal itu benar, dapat dipastikan bahwa mayoritasnya adalah muslim. Situasi seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan sekaligus menjadi bahaya. Sebab kemiskinan ekonomi akan berdampak pada banyak hal seperti kualitas kesehatan, kecerdasan dan tingkat pendidikan. Masyarakat yang miskin dengan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan keislaman yang rendah, sangat rawan terhadap gejala penyakit masyarakat, seperti perjudian, prostitusi, miras, serta rumah tangga yang amburadul. Secara naluriyah manusia tidak ingin hidup miskin apalagi menjadi sebuah bangsa yang miskin. Padahal, kita tinggal di sebuah negara yang kaya akan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam.Mengapa kondisi ini bisa terjadi ?. Jawabannya tentu beraneka ragam dan penyebabnya pun tentu banyak. Di antaranya, pertama, karena sistem yang dipakai adalah sistem kapitalis yang syarat dengan riba, gharar dan maisir yang diharamkan dalam Islam. Sistem tersebut lebih berpihak kepada pemodal besar sehingga di negeri ini, monopoli dan konglomerasi membudaya karena sudah ditanamkan oleh kolonial Belanda dulu. Sistem ini juga telah melahirkan kesenjangan ekonomi yang sangat dalam antara si kaya dan si miskin. Kedua, karena kebijakan penguasa yang lebih sering berpihak kepada konglomerat daripada kepada rakyat melarat. Memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan ekonomi, pembangunan yang banyak bertumpu pada utang atau pinjaman asing sehingga semakin mengurangi wibawa dan harga diri sebuah bangsa besar. Dampaknya, banyak kebijakan penguasa yang lebih berpihak kepada kemauan hegemoni asing ketimbang kepentingan rakyat sendiri. Ketiga, kelemahan umat Islam sendiri. Di kalangan orang kayanya kesadaran untuk menunaikan zakat, infaq, shodaqoh dan waqaf masih relatif rendah. Sementara di kalangan orang miskinnya bermental malas dan fatalis. Semua ini tentu harus diperbaiki dan merupakan tanggung jawab bersama.

Realitas kemiskinan dengan indikator ketidakmampuan nilai pendapatan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak hanya melemahkan posisinya sebagai individu, tetapi juga berakibat pada terbatasnya pemenuhan kesejahteraan keluarga, baik kebutuhan yang bersifat primer maupun sekunder, seperti tempat tinggal yang layak, pemenuhan gizi keluarga dan pendidikan anak. Salah satu pihak yang menjadi korban dari kondisi ini adalah anak, dimana jaminan untuk berlangsungnya proses pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu, baik dari segi fisik, psikis, kehidupan sosial, pendidikan dan kualitas moral keagamaan. Ketidakberdayaan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak, membuat anak terpaksa drop out sekolah atau bahkan tidak mampu bersekolah. Kondisi ini juga ikut mendorong anak untuk bekerja atau terpaksa turun ke jalanjalan dalam rangka membantu perekonomian keluarga (children on the street), bahkan banyak diantara mereka yang terpaksa hidup di jalan (children of the street) akibat terputus hubungan dengan orang tua dan keluarganya (homeless). Sekarang ini, anak jalanan adalah bagian dari pemandangan kehidupan kota, menurut survei yang dilakukan oleh PILAR tahun 1998, jumlah anak jalanan ditaksir ada 50.000 orang. Di Jakarta saja, pada Agustus 1998 terdata 6.100 orang, dan di bulan Oktober 1998 melonjak menjadi sekitar 12.630 orang. Sementara di Bandung tak kurang dari 10.000 anak jalanan, padahal sebelum krisis cuma 2.000 anak. Begitu pula di Makassar, menurut perhitungan sebelum krisis ada 3.900 anak, kini diperkirakan 5.700 anak atau bertambah 50 persen (Pilar, No. 24/Th.1/2-15 Desember 1998). Untuk lebih meringankan beban ekonomi dari saudara-saudara kita, maka kita sebagai umat muslim diwajibkan untuk menunaikan zakat. Zakat menurut pengertian bahasa berarti tumbuh, suci dan berkah (Zakky Mubarak, 1999: 69-84). Diartikan tumbuh, karena dengan pelaksanaan zakat, harta seseorang akan semakin tumbuh dan berkembang. Ibadah zakat dapat menghindarkan pelakunya dari sifat kikir atau tamak. Harta yang dizakati dan diinfakkan akan semakin berkembang. Diartikan berkah, karena ibadah zakat dapat melahirkan keberkahan dan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat, ditandai dengan hilangnya kesenjangan antara kaum kaya dan kaum miskin. Orang yang berhak menerima zakat (mustahik) berdasarkan firman Allah SWT (Q.S. at-taubah : 60) yaitu : (1) orang fakir, (2) orang miskin, (3) malaf, yaitu orang-orang yang digembirakan hatinya karena baru masuk islam, (4) hamba sahaya untuk memerdekakan dirinya, (5) amil zakat (panitia yang mengelola zakat), (6) gharim, yaitu orang yang

berhutang, (7) musafir atau ibnu sabil, yakni orang yang kehabisan biaya dalam perjalanan, dan (8) sabilillah, orang yang berjuang menegakkan Islam. Berdasarkan sudut pandang ekonomi, zakat merupakan upaya untuk menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, zakat juga merupakan sumber pendapatan dan pembiayaan kegiatan ekonomi. Dengan kata lain zakat juga merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Zakat yang dikelola dengan baik, mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan (economic growth with euality). Dengan demikian, tujuan pemberdayaan zakat pada dasarnya apa saja yang dapat memberikan dan melanggengkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat. Konsep zakat dalam pemberdayaan zakat dan perbaikan ekonomi umat, bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan harkat dan martabat manusia, sehingga tercapai kehidupan yang lebih baik. Dapat disimpulkan bahwa, faktor terbesar yang memungkinkan seorang anak menjadi anak jalanan (street of children) adalah ekonomi. Kemiskinan membuat anak menjadi korban keluarga yang tidak berdaya memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga anak terpaksa turun ke jalan dalam rangka membantu perekonomian keluarga. Dengan adanya konsep lembaga ekonomi keumatan berupa zakat, maka diharapkan zakat dapat menjadi cara atau jalan untuk menciptakan pemerataan pendapatan sehingga tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Zakat diharapkan dapat menjadi modal untuk usaha kecil atau menengah dalam berwirausaha sehingga fungsi keluarga dapat menjadi maksimal dalam memenuhi segala macam kebutuhan hidup, lalu dapat meminimalisirkan jumlah anak jalanan di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka Mubarak, Zakky. 2007. Menjadi Cendekiawan Muslim : Kuliah Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta : Yayasan Ukhuwah Insaniah Latief, Mohammad. Pendidikan Islam untuk Anak Jalanan. http://staimaarifjambi.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-untuk-anakjalanan.html ( 15 April 2010, 02:30 )

Swara Muslim. Anak Jalanan dan Bahaya Pemurtadan. http://swaramuslim.net/more.php? id=A2328_0_1_0_M ( 15 April 2010, 02:45)

You might also like