Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 79 Studi Komperatif Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Al-Azhar Tentang Penafsiran Metode Dakwah
Syaikhu (Pegawai IAIN SMH Banten)
Pendahuluan Pada zaman keemasan Islam dahulu, ilmu pengetahuan dipelopori perkembangannya oleh ummat Islam, dan salah satu metode pengembangan ilmu pengetahuan itu adalah melalui dakwah baik dakwah bil-lisan, dakwah bil-qalam, ataupun dakwah bil-hal. Alangkah baiknya para pemimpin dan mujahid-mujahid dakwah masa kini kembali menggelorakan semangat dakwah itu dengan menata dan mengatur secara profesional institusi-institusi dan infrastruktur dakwah yang merupakan tulang punggung sekaligus pilar penyangga kekuatan Islam masa depan, seperti pada zaman keemasan Islam masa lampau. Metode yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam berdakwah pada mulanya adalah personal approach pendekatan individu, yaitu dengan mengumpulkan kaum karib kerabatnya di bukit shafa. Namun, kemudian berkembang dengan melalui pendekatan kolektif seperti yang dilakukan waktu berdakwah di Thaif dan kesempatan yang digunakan Rasulullah SAW di waktu musim haji. Beliau melaksaanakan dakwahnya dengan mengajak kaum muslimin kepada tauhid secara lebih terbuka. Tantangan dakwah yang kita hadapi sekarang ternyata berkembang, terutama dalam kenyataan masyarakat modern seperti berbagai bentuk hiburan (entertainment), kepariwisataan, ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 80 dan seni (art) dalam arti luas telah menimbulkan kerawanan- kerawanan moral dan etika. kerawanan-kerawanan moral dan etika itu muncul karena kemaksiatan dan kemungkaran yang disokong oleh kemajuan alat-alat teknologi informasi mutakhir, sehingga mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas, seperti perjudian, minuman keras, kriminalitas, pornografi- pornoaksi, dan sebagainya. Masalahnya, situasi yang dihadapi sekarang adalah pertarungan antara front dakwah amar maruf nahi munkar selalu dalam konteks persaingan yang seru, sengit, dan tajam dengan dakwah amar munkar Nabi maruf di atas ring yang senantiasa mencemaskan. Justru itu, setelah memperhatikan jumlah ummat Islam yang potensial dan mempunyai komitmen kuat masih sangat terbatas, sementara kita harus mengakomodir segenap permasalahan dan tantangan yang muncul, maka ada baiknya kita coba memilah dan memilih mana yang tetap untuk diberikan skala proritas dalam pemenangannya dengan mengedepankan konsep manajemen dakwah profesional. 1
Kemudian menejerial dakwah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai trenseter dakwah adalah merujuk kembali kepada ajaran Al-Quran dan As-Sunnah. Adapun Firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut : 7vu1- _O) O):Ec El)4O gOE'g4^) gOgNOE^-4 gO4L=OO4^- W _^gE_4 /-) "Og- }=O;O _ Ep) El+4O
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah 2 dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang- orang yang mendapatkan petunjuk (Q.S. An-Nahl/ 16 : 125)
Aku tinggalkan dua perkara untuk kamu sekalian, yang dijamin kamu sekalian tidak akan tersesat selamanya, yakni Kitabullah (Al- Quran) dan Sunnahku (Al-Hadits). (HR. Bukhari dan Muslim). 3
2 Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. 3 DR. H. Abuddin Nata, MA, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al- Ayat Al-Tarbawiy), (Jakarta; PT. RajaGrapindo Persada. 2002), h. 35 ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 82 Kemudian Al-Quran sebagai dasar dari dakwah sekaligus sebagai pedoman hidup manusia, sepatutunya kita gali secara baik dan benar agar apa yang kita sampaikan sesuai dengan apa yang Allah SWT firmankan. Al-Quran adalah kalamullah yang di dalamnya terdapat beberapa poin penting yang dapat kita gali untuk disampaikan kepada seluruh manusia antara lain, tentang tauhid, tentang syariat-syariat agama, kisah-kisah para Nabi dan Rasul, dan lain sebagainya. Al-Quran adalah firmannya yang tidak dapat dirubah oleh siapapun, ini sekaligus sebagai mukjizat yang tidak tertandingi. Namun dalam mengkaji Al-Quran kita tidak begitu saja dengan entengnya dapat mengetahui maksud dan tujuannya, akan tetapi kita perlu mengetahui beberapa faktor agar kita terhindar dari kesalahan, adapun faktor-faktor yang kita wajib pelajari dalam mengkaji Al-Quran adalah sebagai berikut : Wajib mempelajari Ulumul Quran, mempelajari Ilmu Nahwu dan Sharaf, mempelajari Ilmu Tafsir, mempelajari Ilmu Tajwid dan lain sebagainya Kata tafsir merupakan Mashdar dari kata ( ` , ,` , _) yang dalam kamus Al-Munawweir bermakna Tafsiran, interpretasi, penjelasan, komentar, dan keterangan. Arti tafsir itu sendiri menurut bahasa adalah (Q----- '~-( ; ,--~---) artinya yaitu: Tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan, menerangkan. Sedangkan dalam kitab Kitab Lisaanul Arab dijelaskan bahwa Kata tafsir diambil dari asal kata , yang berarti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Sedangkan kata At-Tafsir juga bermakna menyingkap maksud sesuatu yang sulit. Adapun tafsir menurut Istilah adalah: Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya, ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 83 menyimpulkan kandungannya dan hukum-hukumnya serta hikmah-hikmahnya. 4
Dengan demikian, Studi tafsir Al-Quran tidak terlepas dari metode penafsiran. Dalam hal ini berarti kesalahan- kesalahan maupun penyimpangan-penyimpangan di dalam menafsirkan Al-Quran bisa dihindari dengan mempelajari metode tafsir sehingga tujuan dan makna kandungan dan pesan-pesan Al-Quran pun dapat tercapai.
Metodologi Tafsir al-Misbah Pengarang Tafsir Al-Misbah ini ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab, Beliau lahir di Rappang Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Dari sekian banyak metode tafsir yang berperan dalam memahami Al-Quran, Quraish membatasi empat metode tafsir sebagaimana ia kutip dari Abd Al-Hayy Al-Farmawi, yaitu global (ijmali), analitis (tahlili), perbandingan (muqarin) dan tematik (maudlui). Kemudian dari keempat metode itu, yang paling popular penerapannya menurutnya, adalah metode analitis dan tematik. Pada penafsiran yang menggunakan metode analitis sang mufasir berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai sisi dengan memperhatikan sistematika kronologis ayat-ayat Al-Quran sebagaiman dimuat dalam mushaf. Sisi-sisi yang diterangkan misalnya; adalah dari kosa kata, latar belakang turunnya ayat, dan korelasi ayat. Metode ini, kendati dikenal sangat luas dan sarat dengan informasi, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan kelanjutannya pada ayat atau surat yang lain. Sementara pada metode tematik, mufasir berusaha mengkoleksi ayat-ayat Al-Quran
4 Dr. M. Umar al-Haji, Mausuat al Tafsir Qobla Ahdi Tadwin, Syuriah:1427. Cet.I.hal 10 ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 84 yang bertebaran di beberapa surat dan mengkaitkannya dengan satu persoalan atau tema yang telah ditentukan. Selanjutnya, ia melakukan analisis terhadap kandungan ayat- ayat tersebut sehingga tercipta satu kesatuan yang utuh. Bahasan metode tematik lazimnya menyangkut masalah- masalah kekinian yang menjadi persoalan mendesak umat, oleh karena itu upaya kontekstualisasi pesan Al-Quran menjadi sangat penting. 5
Menurut Ahmad Syukri Saleh, secara umum metode tematik memiliki dua bentuk kajian 6 , yaitu : Pertama, pembahasan menyangkut satu surat Al-Quran secara utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik. Menerangkan kaitan antara berbagai persoalan yang dimuatnya sehingga surat itu tampak dalam bentuk yang utuh dan cermat. Dalam hal ini mufasir hanya menyampaikan pesan yang dikandung dalam satu surat itu saja. Misalnya, pesan-pesan yang dimuat dalam surat Al- Baqarah, Ali Imran, atau Al-Kahfi. Biasanya kandungan pesan tersebut tersirat dari nama surat yang ditafsirkan. Contohnya, pesan yang dikandung dalam surat Al-Kahfi yang secara literal berarti gua. Dalam penafsirannya, mufasir akan menegaskan bahwa gua tersebut akan dijadikan sebagai tempat perlindungan (shelter) sekelompok pemuda yang mengisolasi diri dari kekejaman penguasa di zamannya. Dari mana ini diketahui bahwa surat tersebut dapat memberi perlindungan bagi siapa saja yang menghayati dan mengamalkan pesan- pesannya. Selanjutnya, setiap ayat atau kelompok ayat yang termaktub dalam surat Al-Kahfi diusahakan untuk mengaitkannnya dengan makna perlindungan itu.
5 DR. H. Ahmad Syukri Saleh. MA, Metodologi Tafsir Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Pengantar Quraish Shihab), (Jakarta; Sulthan Thaha press, 2007), hal.v-vii 6 Ibid., hal. 54-57. ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 85 Kedua, mengoleksi sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu persoalan tertentu yang sama, lalu ayat-ayat itu ditata sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu topik bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara tematik. Pandangannya Quraish tentang metode tematik dengan bentuk yang pertama, dapat kita simak dari uraian tafsirnya dalam tafsir Al-Misbah yang menerangkan tentang surat An- Nahl. Beliau menerangkan bahwa; Nama An-Nahl terambil dari kata itu yang disebut pada ayat 68 surah ini. Hanya sekali itulah Al-Quran menyebutnya. Ada juga ulama yang menamainya surah An-Niam karena banyak nikmat Allah yang diuraikan di sini. Selain itu, dalam menafsirkan tema dari kata An-Nahl Ia mengutip beberapa mufasir seperti Sayyid Quthub, ThabathabaI, Al-BiqaI, dan As-Suyuthi. Di antaranya ia simpulkan sebagaimana dikutip dari kesimpulan ThabathabaI; bahwa tujuan utama surah ini adalah penyampaian tentang dekatnya ketetapan Allah yaitu kemenangan agama yang haq. Allah SWT. adalah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib disembah karena Dia yang mengatur alam raya. Penciptaan adalah hasil perbuatan-Nya dan semua nikmat bersumber dari-Nya, tidak satu pun dari hal-hal tersebut yang bersumber dari selainnya. Karena itu, hanya Allah yang wajib disembah tidak satu pun selain-Nya. Disamping itu surah ini juga menjelaskan bahwa menetapkan agama adalah wewenang Allah SWT dan ini berarti penolakan kepercayaan kaum musyrikin serta dalih- dalih mereka mengingkari kehadiran para rasul. Di samping itu, Quraish juga mengutip dari Mufassir Al- Biqai, berpendapat bahwa tujuan pokok dan tema surah An- Nahl adalah membuktikan kesempurnaan Allah dan keluasan ilmu-Nya, dan bahwa Dia bebas bertindak sesuai dengan kehendaknya lagi tidak disentuh oleh sedikit kekurangan pun. Yang paling dapat menunjukkan makna ini adalah sifat dan keadaan An-Nahl, yakni lebah yang singguh menunjukkan ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 86 pemahaman yang dalam serta keserasian yang mengagumkan antara lain dalam membuat sarangnya. Demikian juga dengan pemeliharaannya dan banyak lagi yang lain seperti keanekaragaman warna madu yang dihasilkannya serta khasiat madu itu sebagai obat padahal sumber makanan lebah adalah kembang dan buah-buahan yang bermanfaat dan juga yang berbahaya. 7
Namun, dari kedua bentuk tematik tadi dan seperti bentuk karya tafsirnya, Quraish lebih cenderung menggunakan tafsir tematik bentuk yang pertama dalam tafsir Al-Mishbahnya serta tidak mengkesampingkan metode tahlili. Sebagaimana pandangannya, yakni menyajikan kotak (kelompok ayat-ayat ) yang berisi pesan-pesan Al-Quran yang terdapat pada ayat- ayat yang terangkum pada satu surat saja (akan tetapi dengan tidak meninggalkan metode tahlili) dan membahas menyangkut satu surat Al-Quran secara utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik Dalam hal ini, Ia mengakui; bahwa tidak mudah menerapkan metode maudhui. Mufasir yang menggunakannya dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan judul yang ditetapkannya. Seperti menghadirkan pengertian kosa kata ayat, sebab turunnya, korelasi antar ayat (atau yang dinamai munasabah), dan lain-lain yang biasa dihidangkan dalam metode tahlili. Demikianlah, sehingga yang menerapkan metode ini tidak dapat mengabaikan metode tahlili, walaupaun kandungan metode itu tidak dihidangkannya secara tegas dalam sajian maudhuinya. Itu sebabnya sehingga ia katakan bahwa unsur kecepatan hanya diperoleh oleh tamu yang kepadanya dihidangkan kotak maudhui, tidak bagi yang menyiapkan kotak itu. Karena itu dalam penyajian tafsir Al-Misbah, Quraish masih
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 87 menggunakan tahlili dalam penjelasannya. Akan tetapi tidak menghilangkan metode maudhui untuk mengarahkan pesan kandungan Al-Quran yakni dengan mengelompokkan ayat- ayat dalam satu Surat sesuai tema, agar kemudian tidak bertele-tele dan menyita waktu yang luas dalam pembahasannya. Pada tafsir Al-Misbah yang ditempuh dalam menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah. Yaitu, dengan menyajikannya sesuai urutan Ayat-ayat sebagaimana yang termaktub dalam mushaf, misalnya dari ayat pertama surat Al- Fatihah hingga ayat terakhir, kemudian beralih ke ayat pertama surat kedua (Al-Baqarah) hingga berakhir pula, dan demikian seterusnya. Pesan dan kandungannnya dihidangkan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam benak sang penafsir, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan ayat yang ditafsirkannya. Seperti ungkap Quraish sendiri bagaikan menyajikan hidangan prasmanan, masing- masing memilih sesuai seleranya serta mengambil kadar yang diinginkan dari meja yang telah ditata itu. 8
Pembagian volume tafsir Al-Misbah didasarkan atas ketuntasan pembahasan surat-surat dalam Al-Quran sehingga masing-masing volume mempunyai kuantitas yang berbeda, tergantung dari banyaknya surat yang dibahas dalam masing- masing volume. Tercatat sebanyak 15 volume dari tafsir Al- Misbah. Sesuai dengan perhatian beliau terhadap tafsir tematis, maka Tafsir al Misbah ini pun disusun dengan tetap berusaha menghidangkan setiap Bahasan Surat pada apa yang disebut dengan tujuan surat atau tema pokok surat. Hal ini dapat disaksikan misalnya ketika mencoba menafsirkan surat al Baqarah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa tema pokok surat ini adalah ayat yang membicarakan tentang kisah al Baqarah
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 88 yaitu kisah Bani Israil dengan seekor sapi. Melalui kisah al Baqarah ditemukan bukti kebenaran petunjuk Allah, meskipun pada mulanya tidak bisa dimengerti. Kisah ini juga membuktikan kekuasaan Allah. Karena itulah sebenarnya surat Al-Baqarah berkisar pada betapa haq dan benarnya kitab suci al Quran dan betapa wajar petunjuknya untuk diikuti. Dalam tafsirnya ini Quraish Shihab banyak mengambil inspirasi dari beberapa mufassir terdahulu, di antaranya adalah Ibrahim Ibn Umar Al-Biqai (W.885H/ 1480M), Muhammad Tantawi pemimpin tinggi al Azhar, Mutawalli Al-Sharawi, Sayyid Qutb, Muhammad Tahir b. Ashur, dan Muhammad Husayn Tabatabai. 9
Metode tahlili atau tajzi-I adalah bagaikan hidangan persamaan itu, sedangkan menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan adalah ilustrasi dari yang dinamakan oleh para pakar dengan metode maudhuI (tematik) atau tauhidi (kesatuan). Demikian ungkap Quraish. Inilah menurut penulis, metode tafsir Al-Mishbah yaitu paduan metode tematik dengan tahlili. Penjelasan tersebut pun ia terapkan dalam tafsir Al- Misbah dengan tetap menggunakan metode tematik dalam sistematika sasaran penafsirannya yang mengarahkan kepada pesan Al-Quran dan sasaran kebutuhan masyarakat, yang mana ia padukan dengan metode tahlili agar tidak bercerai berai ayat-ayatnya serta tetap menjaga keutuhan ayat sehingga terhindar dari penafsiran yang sepotong serta terhindar dari menyita waktu yang amat lama.
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 89 Penafsiran Tafsir Al-Misbah Tentang Metode Dakwah Dalam Al-Quran surah Al-Nahl (16): 125 termuat beberapa metode dakwah sebagaimana dapat dibaca dalam firman Allah SWT:
Artinya : Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. Al-Nahl/16: 125) Tiga metode dakwah yang terkandung dalam ayat ini, yaitu: Metode Al-hikmah, metode Al-Mawizhah dan metode Mujadalah. Dalam tafsir Al-Mishbah, Quraish menafsirkan ayat ini terlebih dahulu dengan menerangkan munasabah ayat adalah perintah mengamalkan prinsip-prinsip tauhid Nabi Ibrahim AS, yakni dengan sedikit menerangkan korelasi ayat ini dengan ayat sebelumnya, seperti uraiannya: Nabi Muhammad SAW yang diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim AS, sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu, kini diperintahkan lagi untuk mengajak siapa pun agar mengikuti pula prinsip- prinsip ajaran Bapak para Nabi dan pengumandang tauhid itu Kemudian, beliau menentukan tema ayat ini ialah berbicara tentang metode dakwah setelah menambahkan beberapa petunjuk kata per kata dari ayat tersebut, Sebagaimana dapat kita simak, antara lain: Ayat ini menyatakan: Wahai Nabi Muhammad serulah, yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru, kepada jalan yang ditunjukkan tuhanmu, yakni ajaran Islam, dengan hikmah, dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka, yakni siapa pun yang menolak atau meragukan ajaran Islam, dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam peringkat dan ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 90 kecerendungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan- tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin, dan serahkan urusanmu dan urusan mereka pada Allah karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu Dia-lah sendiri yang lebih mengetahui dari siapa pun yang menduga tahu tentang siapa yang bejat jiwanya tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah saja juga yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk. Setelah menguraikan satu ayat seutuhnya, barulah Ia menjelaskan lebih lanjut isi dari tema ayat mengenai metode dakwah serta menerangkan lebih detail kosa kata-kosa kata yang dianggap penting untuk dibahasnya; Menurut Quraish, Tiga macam metode dakwah itu harus disesuaikan dengan sasaran dakwah, antara lain: Pertama, metode hikmah yakni Terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Kedua, metode mauizhah hasanah yakni terhadap kaum awam diperintahkan untuk menerapkan mauizhah, yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana, dan Ketiga, metode jidal terhadap Ahl Al-Kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan yaitu dengan perdebatan cara yang terbaik, yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Lebih lanjut, beliau menerangkan lebih detail mengenai kosa kata dari kata hikmah, mauizhah dan jidal, bahkan Ia tambahkan argumennya dengan mengutip dari beberapa ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 91 mufassir seperti Thabathabai. Al-BiqaI, Thahir ibn Asyur, As- Suyuti dan lain-lain. Seperti keterangan sebagai berikut, yang menjelaskan tentang hikmah. Menurut Quraish, makna ini dari hikmah terambil dari kata hakamah, yang berarti kendali, karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan atau menjadi liar. Ia menyimpulkan, kata hikmah berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Beliau berpendapat bahwa, Siapa yang tepat dalam penilainnya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia yang hakim. Oleh karena itu, Ia mempertegas bahwa memilih perbuatan terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Begitu pun sebaliknya, memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Pendapat di atas ia perkuat dengan mengutip dari beberapa mufassir, di antaranya mufassir Thahir ibn Asyur, yang menyatakan hikmah adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keaadan dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Dan Ia pun mengutip dari ThabathabaI mengutip ar-Raghib Al- Ashfahani yang menyatakan secara singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal. Selain itu, menurut Quraish, seorang hakim harus memiliki kepercayaan diri tentang pengetahuan dan tindakannya. Sebagaimana pendapatnya yang ia kutip dari Al- Biqai. ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 92 Tambahan lagi, seperti yang Quraish tulis dari ar-Raghib, atau ibn Asyur- hikmah tidak perlu disifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal, ia adalah segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara berkesinambung. Maka dari itu, ia berpendapat seorang hakim (seorang yang mempunyai sifat kebijasanaan) ketika penyampaian pesan dakwahnya pastilah dalam bentuk yang paling sesuai. Adapun Mauizhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan, kata Al- Mauizhah terambil dari kata Waazha yang berarti nasihat. ditemukan bahwa Mauizhah hendaknya disampaikan dengan hasanah/baik, sedang perintah berjidal disifati dengan kata ahsan/yang terbaik, bukan sekedar yang baik Keduanya berbeda dengan hikmah yang tidak disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mauizhah ada yang baik dan ada yang tidak baik. Dan hendaknya diiringi dengan pengamalan dan keteladan dalam penyampainnya agar mengena hati sasaran. Karena mauizhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya. Maka, mauizhah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikan. Demikian Quraish menjelaskan. Sedang kata Jidal, menurut Direktur PSQ (Pusat Studi Al- Quran) ini, ada tiga macam, yaitu yang baik, yang terbaik, dan yang buruk. Sedang, kata Jadilhum terambil dari kata Jidal yang bermakna diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara. Dari ketiga macam kata jidal tersebut Ia klasifikasikan di dalam tafsir Al-Mishbah, sebagai berikut: Sedang jidal terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan, ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 93 serta menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik dan dengan argumen yang benar lagi membungkam.
Pembahasan ketiga cara berdakwah dalam ayat 125 Ia menarik kesimpulan bahwa urutan ketiga macam metode itu sungguh serasi. Ia dimulai dengan hikmah yang dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mauizhah dengan syarat hasanah karena memang ia hanya terdiri dari macam, dan yang ketiga adalah jidal yang dapat terdiri dari tiga macam buruk, baik, dan terbaik, sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik. Ketiga macam metode itu ditetapkan kepada siapa pun sesuai dengan kondisi masing-masing sasaran. Akan tetapi, yang Ia kemudian mengemukakan tentang ketiga macam metode dakwah yang sesuai dengan tingkat kecerdasan sasaran dakwah itu, dianggap tidak sepenuhnya disepakati olehnya. Hal ini seperti yang Ia kutip dari ThabathabaI bahwa: Bisa saja ketiga cara ini dipakai dalam satu situasi/sasaran, di kali lain hanya dua cara, atau satu, masing-masing sesuai sasaran yang dihadapi. Bisa saja cendekiawan tersentuh oleh mauizhah, dan tidak mustahil pula orang-orang awam memeroleh manfaat dari jidal yang terbaik. Demikian Thabathabai, salah seorang ulama yang menolak penerapan metode dakwah itu terhadap tingkat kecerdasan sasaran. Ditambah lagi, Ia melengkapi dengan uraian dari Thahir Ibn Asyur yang berpendapat serupa dan menyatakan bahwa: Jidal adalah bagian dari hikmah dan mauizhah. Hanya saja, tulisnya, karena tujuan jidal adalah meluruskan tingkah laku atau pandapat sehingga sasaran yang dihadapi menerima kebenaran, kendati ia tidak terlepas dari hikmah atau mauizhah, ayat ini ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 94 menyebutkannya secara tersendiri berdampingan dengan keduanya guna mengingat tujuan dari jidal itu. 10
Demikian kurang lebih apa yang dipaparkan oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya, Al-Mishbah ini.
Metodologi Tafsir Al- Azhar Buya Hamka Hamka (1908-1981), Beliau dilahirkan di Tanah Sirah desa Sungai Batang di tepi Danau Maninjau (Sumatra Barat) Minang Kabau, tepatnya pada tanggal 17 Februari 1908 pada tahun Masehi atau 14 Muharam 1326 H. Kali ini penulis akan menguraikan metode yang digunakan Hamka dalam tafsir Al Azhar. Selama berada dalam tahanan beliau menyelesaikan karya monumental Tafsir Al- Azhar ini. Menurut Hamka sendiri, di setiap juz tafsirnya itu terdapat keterangan tempat penulisannya. Tetapi tidak semua keterangan tempat penulisan tafsir tercantum dalam tafsir itu. Juz 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 26, dan 30 tidak tercantum keterangan tempat penulisannya. Juz 4, 13, 14, 15, 16, 17, dan, 19 ditulis di Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta. Sedangkan juz 20 ditulis di Rumah Tahanan Sukabumi, juz 21, 22, 23, 24, dan sebagian juz 25 ditulis di Bungalow Harjuna Puncak, dan juz 27, 28, 29 serta sebagian juz 25 ditulis di Asrama Brimob Megamendung. Ditemukan beberapa metode yang dipakai Hamka dalam tafsir al Azhar yaitu : metode Tafsir bi al Matsur, Tafsir bi al Rayi, Tafsir Ijmali dan Tafsir Tahlily serta tafsir dengan menggunakan Ibarat atau contoh-contoh. Adapun corak yang terdapat dalam tafsir tersebut tidak terpaku dengan satu corak saja, paling tidak ada tiga corak yang bisa ditemukan
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 95 didalamnya yaitu : Corak Fikih, Corak Sosiologis dan Corak Dakwah. Kitab tafsir yang sebagian besar ditulis di penjara ini terdiri dari 30 juz. Dalam kitabnya ini Hamka melakukan pembahasan tafsirnya dengan menggunakan pendekatan ilmiah, keilmuan, filsafat, kesusastraan, hukum, sejarah, budaya, sosial kemasyarakatan, tasawuf, hadits, dan menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Lewat tafsirnya Hamka mendemontrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang tercakup oleh bidang-bidang ilmu agama Islam serta pengetahuan non keagamaan. Hamka berusaha menampilkan tafsirnya dengan bahasa yang mudah dan lugas. Ia mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Quran dari beberapa aspek dengan menggunakan pembahasan yang relatif tidak terlalu panjang lebar, tetapi juga tidak terlalu pendek. Dengan kata lain Ia berusaha menghidangkan sebuah hidangan karya tafsir yang cukup dan sesuai dengan selera pembacanya. Dalam melakukan pembahasan penafsiran ayat-ayat al- Quran, Hamka berusaha mengintegrasikan secara sinergis berbagai metode penafsiran yang ada. Hamka tidak menggunakan satu jenis metode tafsir saja, tetapi ia berusaha menggunakan berbagai metode tafsir yang ada dalam melakukan pembahasan tafsirnya. Setiap penafsir memiliki corak dan metode yang berbeda- beda sesuai dengan haluan pemikiran penafsirnya begitu juga dengan tafsir al-Azhar karya Buya Hamka ini beliau mempunyai cara tersendiri dalam menafsrikan al-Quran dan semua itu tidak terlepas dari setting sosial politik serta kecenderungan Hamka sendiri sebagai penafsir. Metode penafsiran Hamka termasuk dalam metode tahlili, karena beliau menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf al-Quran.
ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 96
Penafsiran Tafsir Al-Azhar Tentang Metode Dakwah Pada awal penafsiran ayat ini, yakni surat An-Nahl ayat 125, Hamka mengangkat tema dawah yang sebelumnya beliau terlebih dahulu mengkelompokkan ayat-ayat dalam satu surat sesuai dengan urutan ayat. Kemudian lebih lanjut beliau menerangkan tentang dakwah dengan ayat tersebut. Seperti pada keterangan sebagai berikut: Serulah kepada jalan Tuhan engkau dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (pangkal ayat 125). Ayat ini adalah mengandung ajaran kepada Rasulullah SAW, tentang cara melancarkankan dawah atau seruan terhadap manusia agar mereka berjalan di atas jalan Allah (fii sabilillah). Sabilillah atau shirathal mustaqim, ad-dinul haqqu, agama yang benar, yaitu sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Masih sama dengan apa yang ditafsirkan oleh Quraish, Hamka memaknai hikmah dengan kebijaksanaan baik ucapan maupun tindakan. Namun, sesuai dengan kecenderungannya dengan filsafat. Kali ini, beliau membandingkan filsafat dengan hikmah. Pendapat beliau yaitu : Kepadanya ditutunkan oleh Tuhan bahwa di dalam melakukan dawah hendaklah memakai tiga macam cara atau tiga tingkat cara. Pertama hikmah. (kebijaksanaan). Yaitu dengan secara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan terhadap tuhan. Contoh- contoh kebijaksanaan itu selalu pula ditunjukkan tuhan. Kata hikmah itu kadang-kadang diartikan orang dengan filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih luas dari filsafat. Filasafat hanya dapat dipahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih fikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Tetapi hikmat dapat ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 97 menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup. Kadang-kadang lebih berhikmat diam daripada berkata. Dalam menafsirkan al-mauizhatul hasanah, hamka menilai metode ini selain diartikan pengajaran yang baik. Al- mauizhatul hasanah juga sebagai pendidikan keagamaan yang harus dimulai sejak dini. Hal seperti ini sesuai dengan yang Ia tulis dalam tafsirnya: Yang kedua ialah al-mauizhatul hasanah, yang kita artikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan tuntunan sejak kecil. Sebab itu termasuklah dalam bidang al-mauizhatil hasanah, pendidikan ayah-bunda dalam rumah- tangga kepada anak-anaknya, yang menunjukkan contoh beragama di hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka pula. Termasuk juga pendidikan dan pengajaran dalam perguruan-perguruan. Pengajaran- pengajaran yang baik lebih besar kepada kanak-kanak yang belum ditumbuhi atau belum diisi lebih dahulu oleh ajaran- ajaran yang lain. Pada penafsiran metode dakwah yang ketiga yakni jidal, dapat kita lihat bagaimana Ia menyangkutkan permasalahan ayat jidal dengan permasalahan yang pernah dialami oleh masyarakat pada umumnya, yang Ia samakan posisi kondisi jidal dengan polemik serta tak luput Ia memberi contoh persoalan itu agar lebih mudah dipahami. Keterangan tersebut dapat kita lihat sesuai dengan tafsirnya yang berbunyi: Yang kedua (pen-yang ketiga) ialah jadilhum billati hiya ahsan, bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran fikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini menyuruh, agar dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 98 perasaan benci atau sayang kepada peribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib dibantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungkin dia enggan menerima kebenaran, meskipun hati kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan. Kemudian pada keterangan selanjutnya Ia mengkorelasikan makna ujung ayat ini dengan ayat 256 al- Baqarah, yang intinya bahwa dalam melakukan dakwah tidak ada paksaan. Hal ini sesuai dengan keterang tafsirnya: Ketiga pokok cara melakukan dawah ini, hikmat, ( _` , ,-, - =, -') amatlah diperlukan di segala zaman. Sebab dawah atau ajakan dan seruan membawa ummat manusia kepada jalan yang benar itu, sekali-kali bukanlah propaganda, meskipun propaganda itu sendiri kadang-kadang menjadi bagian dari alat dawah. Dawah meyakinkan sedang propaganda atau diayah adalah memaksaan. Dawah dengan jalan paksa tidaklah akan berhasil menundukkan keyakinan orang. Apalagi dalam hal agama, Al-Quran sudah menegaskan bahwa dalam hal agama sekali-kali tidak ada paksaan (Al- Baqarah ayat 256). Kemudian diujung ayat ini dengan tegas Tuhan mengatakan bahwa urusan memberi orang petunjuk atau menyesatkan orang adalah hak Allah SWT sendiri sesungguhnya Tuhan engkau, Dialah yang lebih tahu siapa yang sesat dari jalannya, dan dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (ujung ayat 125). Demikianlah ayat ini telah dijadikan salah satu pedoman perjuangan, menegakkan Iman dan Islam di tengah-tengah berbagai ragamnya masyarakat pada masa itu, yang kedatangan Islam adalah buat menarik dan membawa, bukan ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 99 mengusir dan mengeyahkan orang. Sampai saat ini ketiga pokok tersebut masih tetap terpakai, menurut perkembangan- perkembangan zaman yang modern. 11
Titik Persamaan Penafsiran Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Al- Azhar Tentang Metode Dakwah Dalam metode dakwah ditemukan tiga cara berdakwah, sesuai surat An-Nahl ayat 125 yakni metode bi al hikmah, bi al mauidzaah al hasanah, dan wa jaadil hum bi allatii hiya ahsanu. Ketiga metode itu oleh penulis temukan titik persamaan penafsiran dalam tafsir Al-Misbah oleh Quraish Shihab dan tafsir Al-Azhar oleh Hamka, titik persamaan itu antara lain: Pertama, memiliki kesamaan dalam mengawali penafsiran dengan menentukan topik bahasan, tema itu ayat itu adalah tentang dakwah. Hal tersebut, bisa kita simak pada kedua tafsir dalam menentukan tema surat An-Nahl ayat 125, 12
yang mana Quraish Shihab menerangkan terlebih dahulu dalam tafsir Al-Mishbah mengkaitkan ayat sebelumnya dengan ayat yang sedang dibahasnya, lalu Ia menjelaskan korelasi ayat tersebut, seperti Ia tulis Nabi Muhammad SAW yang diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim AS, sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu, kini diperintahkan lagi untuk mengajak siapa pun agar mengikuti pula prinsip-prinsip ajaran Bapak para Nabi dan pengumandang tauhid itu. Kemudian Ia tegaskan pula setelah menjelaskan ketiga metode dakwah dengan ungkapan Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam peringkat dan kecerendungannya; jangan hiraukan cemoohan,
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 100 atau tuduhan-tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin, dan serahkan urusanmu dan urusan mereka pada Allah. Tidak jauh berbeda apa yang dipaparkan oleh Hamka dalam tafsir Al- Azharnya, yang menjelaskan tentang tema ayat itu adalah dakwah, seperti yang Ia tulis pula Ayat ini adalah mengandung ajaran kepada Rasulullah SAW tentang cara melancarkankan dawah, atau seruan terhadap manusia agar mereka berjalan di atas jalan Allah (fii sabilillah). Sabilillah atau shirathal mustaqim, ad-dinul Haqqu, agama yang benar. Nabi SAW memegang tampuk pimpinan dalam melakukan dawah itu. Kepadanya ditutunkan oleh tuhan bahwa di dalam melakukan dawah hendaklah memakai tiga macam cara atau tiga tingkat cara. 13
Kedua, sama halnya dalam menyebutkan ketiga metode dalam surat An-Nahl ayat 125 sebagai pokok cara berdakwah serta menjelaskan secara runtut dari ketiga metode dakwah yakni dengan menafsirkan kata hikmah lebih dahulu, lalu mauidzah al-hasanah, dan jidal , -' _` , ,-, - =, , . Ketiga, menafsirkan kata hikmah dengan makna kebijaksanaan meliputi pengetahuan dan perbuatan. Hal ini dapat kita telusuri dalam tafsir Al-Mishbah, disebutkan bahwa terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.. Lanjut Quraish menjelaskan, kata hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. 14
Senada apa yang dijelaskan oleh Quraish, Hamka menuliskan bahwa pertama hikmah. (kebijaksanaan). Yaitu
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 101 dengan secara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan terhadap Tuhan. Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa; Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup. 15
Keempat, kesamaan dalam menafsirkan kata Mauidzatul Hasanah sebagai nasihat yang mesti disampaikan dengan yang baik, disertai dengan keteladan. Sebagaimana dituliskan Quraish, Kata al-Mauizhah terambil dari kata Waazha yang berarti nasihat. Mauizhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Oleh karena itu, Ia tegaskan kembali, bahwa Mauizhah baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladan dari yang menyampaikannya. Menurutnya inilah yang disebut Hasanah. Sebab kalau tidak, ia adalah yang buruk. 16
Hamka, mengartikan al-Mauizhatul Hasanah sebagai pengajaran yang baik, atau pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Yang membutuhkan keteladan bagi dari penyampaiannya. Hal ini Ia pertegas Mauizhah Hasanah termasuk sebagai bidang pendidikan dan tuntunan sejak kecil. Karena menurut hemat penulis pendidikan itu tidak lepas dari sifat keteladan si pendidik agar menjadi contoh yang baik bagi kehidupan yang terdidik. Sebagaimana Hamka berpendapat dalam tafsirnya Sebab itu termasuklah bidang mauizhatul hasanah, pendidikan ayah-bunda dalam rumah-tangga kepada anak-anaknya, yang menunjukkan contoh beragama di hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka pula. Termasuk juga pendidikan dan pengajaran dalam
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 102 perguruan-perguruan. Lanjut Hamka, pengajaran-pengajaran yang baik lebih besar kepada kanak-kanak yang belum ditumbuhi atau belum diisi lebih dahulu oleh ajaran-ajaran yang lain. 17
Kelima, serupa dalam mengartikan kata Jidal (wajadilhumbillati hiya ahsan) sebagai perbantahan (diskusi) dengan yang lebih baik. Hal ini dapat ditemukan persamaannya ketika Quraish membedakan antara Mauizhah dengan Jidal, Ia menguraikan bahwa Mauizhah hendaknya disampaikan dengan hasanah/baik, sedang perintah berjidal disifati dengan kata ahsan/yang terbaik, bukan sekedar yang baik. Keduanya berbeda dengan hikmah yang tidak disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mauizhah ada yang baik dan ada yang tidak baik, sedang jidal ada tiga macam, yang baik, yang terbaik, dan yang buruk. 18
Adapun Hamka menerangkan kata jadilhum billati hiya ahsan, bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Yakni ketika terjadi polemik, maka cara yang yang dipakai adalah dengan cara berbantah atau diskusi yang lebih baik sebagaimana Ia ungkapkan dalam tafsirnya; 19
Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran fikiran yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini menyuruh, agar dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada peribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu
17 Hamka, Op.Cit, h. 321-322 18 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta; Lentera Hati, 2002), vol-6, h. 774-777 19 Hamka, Loc.Cit, h. 321-322 ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 103 dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib dibantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungki dia enggan menerima kebenaran, meskipun hati kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan.
Titik Perbedaan Penafsiran Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Al- Azhar Tentang Metode Dakwah Kiranya perlu ditemukan titik perbedaan kedua tafsir tersebut dalam menafsirkan metode dakwah sesuai surat An- Nahl ayat 125. adapun kedua titik perbedaan itu antara lain: Pertama, selain persamaan dalam menentukan topik bahasan pada surat An-Nahl ayat 125 yaitu dakwah dalam tafsir Al-Mishbah sedikit menerangkan korelasi ayat tersebut dengan ayat yang sebelumnya serta menghubungkan ayat ini dengan ayat yang akan datang (yang akan dibahasnya). Hal ini tidak ditemukan sebagaimana dalam tafsir Al-Azhar. Dalam tafsir Al-mishbah diterangkan bahwa sebelumnya Nabi Muhammad SAW diperintahkan mengikuti prinsip-prinsip tauhid Nabi Ibrahim AS. pada ayat sebelumnya. Kemudian Quraish mengkaitkan dengan ayat yang sedang dibahasnya yakni dengan menerangkan bahwa ayat ini adalah untuk mengajak siapa pun untuk mengikuti prinsip-prinsip tauhid Nabi Ibrahim AS. Setelah itu, Ia juga, sedikit membahas ulang ayat 125 ini pada ayat sesudahnya yaitu ayat 126; An-Nahl, sebagaimana tafsirnya: Jika ayat yang lalu memberi pengajaran bagaimana cara-cara berdakwah, ayat ini memberi pengajaran bagaimana seharusnya membalas jika kondisi telah mencapai tingkat pembalasan. Jika ayat 125 menuntun bagaimana cara menghadapi sasaran dakwah yang diduga dapat menerima ajakan tanpa membantah atau bersikeras menolak serta dapat menerima ajakan setelah jidal (bermujadalah), di ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 104 sini dijelaskan bagaimana menghadapi mereka yang membangkang dan melakukan kejahatan terhadap pelaku dakwah, yakni dai/penganjur kebaikan. 20
Begitu seterusnya cara Ia menafsikannya pada setiap ayat. Kedua, dalam tafsir Hamka, (sesuai dengan metode tematik) pada sekelompok ayat ditemukan tema yang diusung dituliskan tema besar, pada satu ayat atau beberapa kelompok ayat, sehingga pembaca/mufassir sebelum membaca lebih jauh dapat mengetahui tema yang ditelaah. 21 Sedangkan pada tafsir Al-Misbah tidak ditemukan seperti itu kecuali pada surat Yusuf saja hanya ditemukan pada pengkelompokkan ayat-ayat tanpa tema besar. 22
Ketiga, dalam segi penjelasan, Quraish pada tafsir Al- Mishbah lebih menekankan kepada uraian pengertian kosa kata, keserasian, pesan, petunjuk makna dan kandungan ayat serta banyak dinukil dari para mufassir sehingga penjelasan ayatnya pun lebih detail berbeda dengan tafsir Al-Azhar, yang sepintas memberikan keterangan pada kosa kata- Seperti kita lihat pada penjelasannya tentang metode dakwah, bagaimana ia lebih memperinci pemahaman kosa kata dari Hikmah : Kata hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Makna ini ditarik dari kata hakamah, yang
20 M. Quraish Shihab, Loc-Cit, h. 774-777 21 Hamka, Loc.Cit, h. 321-322 22 M. Quraish Shihab, Loc.Cit, h. 774-777 ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 105 berarti kendali, karena kendali menghalangi hewan/kebdaraan mengarah kea rah yang tidak diinginkan atau menjadi liar. 23
Memilih perbuatan terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai Hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilainnya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia yang hakim. Dan ia juga mengkutip perkataan mufassir untuk memperkuat argumentasinya mengenai hikmah, Thahir Ibn Asyur menggaris bawahi bahwa: hikmah adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keaadan dan kepercayaan manusia secara bersinambung. ThabathabaI mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan secara singkat bahwa Hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal. Dengan demikian, menurut Thabathabai, Hikmah adalah argument yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan. 24
Pakar tafsir al-Biqai menggarisbawahi al-Hakim, yakni yang memiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu atau kira-kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba. Kemudian, lebih jauh lagi tentang makna Hikmah ia berpendapat, Hikmah tidak perlu disifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal seperti tulis Ar-Raghib, atau seperti tulis Ibn Asyur, ia adalah segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara berkesinambung. Di sisi lain, Hikmah yang disampaikan itu adalah
23 M. Quraish Shihab, Loc.Cit, h. 774-777 24 Ibid, h. 774-777 ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 106 yang dimiliki oleh seorang (,,-) Hakim yang dilukiskan maknanya oleh Al-Biqai seperti penulis nukil di atas, dan ini tentu saja akan disampaikannya setepat mungkin, sehingga tanpa menyifatinya dengan satu sifat pun, otomatis dari namanya dan sifat penyandangnya dapat diketahui bahwa penyampainnya pastilah dalam bentuk yang paling sesuai. 25
Tidak itu saja, Quraish Shihab,di dalam penafsiran ayat 125 ini, ia memberikan penjelasan petunjuk makna pada tiap satu kalimah atau kata perkata dengan cara memisahkan terjemahan ayat yang dicetak miring, agar dapat dibedakan terjemahan ayat dengan tafsirannya, sesuai dengan disusunnya tafsir ini yakni agar mendapatkan pesan, kesan, dan keserasian Al-Quran. Kita dapat simak dalam tafsirnya pada ayat 125 ini; sebagai berikut; Ayat ini menyatakan: Wahai Nabi Muhammad, serulah, yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru, kepada jalan yang ditunjukkan tuhanmu, yakni ajaran Islam, dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka, yakni siapa pun yang menolak atau meragukan ajaran Islam, dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam peringkat dan kecerendungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan- tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin, dan serahkan urusanmu dan urusan mereka pada Allah karena sesungguhnya tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu Dia-lah sendiri yang lebih mengetahui dari siapa pun yang menduga tahu tentang siapa yang bejat jiwanya tersesat dari jalan- nya dan dia-lah saja juga yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk. 26
Sedangkan berbeda pada tafsir Al-Azhar, Hamka mengkolaborasikan kandungan dan makna ayat sesuai dengan
25 Ibid, h. 774-777 26 Ibid, h. 774-777 ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 107 kondisi masyarakat pada saat itu, serta memberikan contohnya. 27 Seperti dalam penafsirannya mengenai mauizhah hasanah yang penulis bahas sebelumnya dari penafsiran tersebut disebutkan bahwa ia mengartikan mauizhah hasanah termasuk bidang pendidikan yang mana ia jadikan menurut penulis sebagai solusi persoalan kehidupan masa depan anak- anak. Tidak itu juga, bagaimana ia ketika menafsirkan jadilhum billati hiya ahsan, ia menyebutkan bahwa kalau terpaksa telah terpaksa timbul perbantahan maka diperlukan dilakukan dengan cara yang terbaik, yang ia samakan persoalan perbantahan dengan polemik pada keadaannya ketika itu. Kemudian ia memberi contoh dari persoalan itu dengan penjelasannya sebagai berikut : Di antaranya ialah memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau saying kepada peribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang yang masih kufur, belum mengerti ajaranm islam, lalu dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib dibantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungki dia enggan menerima kebenran, meskipun hati kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan. 28
Selain itu ia menyimpulkan penafsirannya dengan melirik kondisi kehidupan sosial pada waktu itu, seperti disimpulkannya; Demikianlah ayat ini telah dijadikan salah satu pedoman perjuangan, menegakkan Iman dan Islam di tengah-tengah berbagai ragamnya masyarakat pada masa itu, yang kedatangan Islam adalah buat menarik dan membawa, bukan mengusir dan
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 108 mengeyahkan orang. Dan sampai sekarang, ketiga pokok ini masih tetap terpakai, menurut perkembangan-perkembangan zaman yang modern 29
Studi Analisis Penafsiran Seperti yang telah penulis bahas sebelumnya, berbicara mengenai penafsiran Al-Quran tidak terlepas dari metode penafsiran. Sebagaimana para ulama berpendapat metode penafsiran dibagi menjadi empat macam metode 30 , tergantung pada sudut pandang yang digunakan. Untuk itulah, berbicara mengenai tafsir Al-Mishbah dengan tafsir Al-Azhar pun tidak luput dari penggunaan salah satu metode tersebut Pada tafsir Al-Misbah yang ditempuh dalam menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah. Yaitu, dengan menyajikannya sesuai urutan Ayat-ayat sebagaimana yang termaktub dalam mushaf, misalnya dari ayat pertama surat Al- Fatihah hingga ayat terakhir, kemudian beralih ke ayat pertama surat kedua (Al-Baqarah) hingga berakhir pula, dan demikian seterusnya. Pesan dan kandungannya dihidangkan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam benak sang penafsir, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan ayat yang ditafsirkannya. Metode tersebut menunjukkan bahwa dalam aspek sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan. Quraish, dalam hal ini menggunakan metode tahlili, seperti yang disinyalir al-Farmawi yang dikutip oleh Dr. Usman dalam bukunya Ilmu Tafsir, mendefinisikan metode tahlili ini sebagai tafsir yang mengkaji ayat-ayat al-Quran dari segi maknanya berdasarkan urutan ayat atau surah dalam Mushhaf sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut; dengan menjelaskan pengertian dan kandungan lafal-lafalnya, hubungan ayat-
29 Ibid, h. 321-322 30 Dr. Usman, M. Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta; Teras, 2009), Cet.I, h. 279 ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 109 ayatnya, hubungan surat-suratnya, sebab nuzulnya, hadis- hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufasir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya masing-masing. 31
Hamka pun dalam tafsir Al-Azharnya, dari segi sistematika ayat-ayat yang ditafsirkannya tidak terlepas pada kegiatan metode tahlili, serta keduanya jika dipandang dari aspek sasaran ayat atau untuk pengkaji tafsirnya, kemungkinan besar tidak akan pernah meninggalkan penggunaan metode tematik. Hanya saja, mungkin karena latar belakang pendidikan dan keahliannya, terlihat berbeda pada segi keluasan penjelasannya. Dibandingkan Hamka, Quraish Shihab lebih memperinci keterangan lafal, ayat bahkan munasabah ayat dan surat sehingga penelaah atau pembaca akan merasa puas dan mengerti kandungan ayat-ayat yang ditafsirkannya. Sedangkan yang dikaji Hamka pada tafsirnya masih berbentuk global (ijmaly) meskipun ia memberikan tema besar pada tiap satu atau kelompok ayat. Kendati pun demikian, namun pada penafsirannya Hamka hampir selalu mengkaitkan penafsiran ayat dengan persoalan dan kondisi masyarakat yang berkembang serta memberikan solusinya, seperti tersimak pada keterangannya, mauizhah hasanah adalah termasuk suatu bidang pendidikan yang mesti diterapkan sejak dini dengan tetap memberikan teladan. 32 Kalau kita lihat pada tafsir al-Mishbah jarang sekali penulis temukan keterangan seperti Hamka tersebut. Dalam pada itu, jika kita lirik lagi dari metode penafsiran, dari segi sumber penafsirannya. Keduanya menggunakan tafsir bi-al rayi 33 dan nampaknya sesuai dengan kosentrasi mereka
31 Ibid, h. 280-281. 32 Lihat Tafsir Al-Azhar An-Nahl: 125 33 Kata Al-Rayi, secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan ijtihad. Jadi, tafsir bi al-rayi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara jithad, ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 110 yakni metode tematik. Maka, menurut yang penulis temukan, tidak menggunakan metode bi al-matsur atau bi al-riwayah. Karena kalau mereka menggunakan metode bi al-matsur atau bi al-riwayah besar kemungkinan akan terlepas dari metode tafsir dengan menggunakan prinsip metode tematik dan dalam segi pembahasannya akan bertele-tele dan panjang.
Penutup Berdasarkan hasil pembahasan di atas tentang studi komparatif tafsir Al-Misbah dan tafsir Al-Azhar tentang penafsiran metode dakwah penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Metode penafsiran yaitu cara sistematis untuk mencapai pemahaman yang benar tentang maksud Allah SWT dalam Al-Quran, baik yang didasarkan pada pemakaian sumber-sumber penafsiran, sistem penjelasan tafsiran-tafsiran, keluasan penjelasan penafsiran maupun yang didasarkan pada sasaran dan sistematika ayat yang ditafsirkannya. 2. Metode dakwah dapat ditemukan tiga cara sesuai dengan surat An-Nahl ayat 125 yakni metode bi al hikmah, bi al mauidzaah al hasanah, dan wa jaadil hum bi allatii hiya ahsanu 3. Menafsirkan kata hikmah yaitu dengan makna kebijaksanaan meliputi pengetahuan dan perbuatan. Hal ini dapat kita telusuri dalam tafsir Al-Mishbah, disebutkan bahwa terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan
yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran, setelah terlebih dahulu mufassir terlebih dahulu memahami bahasa arab dan aspek-aspek dalalah (pembuktiannya) dr.usman, ilmu tafsr h. 283 ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 111 menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.. Quraish menjelaskan bahwa kata hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Senada apa yang dijelaskan oleh Quraish, Buya Hamka juga menuliskan dalam tafsir Al-Azhar bahwa: pertama hikmah. (kebijaksanaan), yaitu dengan secara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan terhadap Tuhan. Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa: Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup. 4. Metode penafsiran dari segi sumber penafsirannya, keduanya (Tafsir Al-Mishbah dan tafsir Al-Azhar) menggunakan tafsir bi-al rayi dan nampaknya sesuai dengan kosentrasi mereka yakni metode tematik. Penulis tidak menemukan metode bi al-matsur atau bi al-riwayah dalam menjelaskan makna yang surat An- Nahl ayat 125.
ADZIKRA Vol. 01. No. 02 (Juli - Desember) 2010
Syaikhu Tafsir Al-Bisbah & Tafsir Al-Azhar 112
Daftar Pustaka
Khatib Pahlawan Kayo, Manajemen Dakwah, (Jakarta; Amzah, 2007) Abuddin Nata, MA, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy), (Jakarta; PT. RajaGrapindo Persada. 2002) M. Umar al-Haji, Mausuat al Tafsir Qobla Ahdi Tadwin, Syuriah:1427. Cet. I Ahmad Syukri Saleh. MA, Metodologi Tafsir Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Pengantar Quraish Shihab), (Jakarta; Sulthan Thaha press, 2007), hal.v-vii M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta; Lentera Hati, 2002), vol-6 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Jakarta; PT. Mizan Pustaka, 2007) www.wikipwdia.org http://media.isnet.orgs. Artikel kajian tafsir alquram oleh taufikurrahman.lihat juga tafsir al- misbah vol:1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta; Lentera Hati, 2002), vol-6Hamka, Tafsir Al-Azhar , (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2008). Juz XIII-XIV Usman, M. Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta; Teras, 2009), Cet.I