You are on page 1of 24

Pengantar Studi Kitab Suci Isi Singkat Kitab Suci

Tujuan Bab ini: Memberi gambaran singkat dan padat pada siswa mengenai isi singkat seluruh kitab suci, dengan cara menelusuri kitab suci itu dari kitab ke kitab. Memberi kesadaran kepada para siswa bahwa Kitab Suci adalah sebuah perpustakaan mini, dengan rak besar. Bahkan masing-masing kitab juga adalah rak mini juga. Membuat siswa mampu mengetahui garis besar isi masing-masing kitab. Isi masing-masing kitab Kejadian: kitab kejadian adalah sejarah umat manusia mulai dari penciptaan dunia ke riwayat hidup dan perbuatan para bapa bangsa, yaitu abraham, isaak, yakub, dan yusuf. Di antara keempatnya, tentang isaak paling sedikit, padahal ia disebut dalam tiga serangkai para bapa bangsa. Keluaran: kitab keluaran adalah kitab yang berkisah tentang sejarah orang-orang israel di mesir, tentang bagaimana mereka melarikan diri dari sana di bawah pimpinan musa, tentang peristiwa di gunung sinai tempat diberikannya hukum (termasuk 10 perintah itu), dan dibangunnya kemah suci untuk menyertai perjalanan bangsa itu menuju ke tanah terjanji. Imamat: kitab imamatadalah kita yang memberi pelukisan rinci lebih lanjut tentang hukum-hukum yang diberikan di sinai. Bilangan: kitab bilangan adalah kitab hukum lanjutan; lalu dilanjutkan dengan kisah berangkatnya orang-orang israel dari sinai ke perbatasan tanah terjanji. Ada juga kisah tentang raja balak dan bileam si tukang nujum itu. Ulangan: kitab ulangan berisi kata-kata paling akhir dari musa untuk orang-orang israel. Di sini musa memberi mereka hukum-hukum yang lebih jauh untuk ditaati di tanah terjanji; ada juga kisah tentang wafat musa yang tragis itu. Pentateukh: Kelima kitab pertama di atas tadi disebut secara teknis pentateukh, artinya lima kitab (hukum). Ada juga kebiasaan lain yang menyebutnya kelima kitab hukum musa. Disebut demikian karena ada anggapa bahwa kelima kitab itu berasal dari musa. Kitab-kitab sejarah Kitab-kitab sejarah adalah kitab-kitab yang menyajikan sejarah israel. Hal itu merentang dari kitab yosua sampai ke ester. Kadang2 juga dimulai dari kitab kejadian sampai ke ester. Disebut demikian karena ia membeberkan data sejarah keselamatan, yaitu sejarah campur tangan allah dalam hidup bangsa israel. Isi masing-masing kitab sejarah ialah sbb: Isi singkat masing-masing kitab sejarah Yosua: kitab yosua adalah kitab yang mengisahkan sejarah penaklukan beberapa bagian wilayah palestina oleh orang-orang israel di bawah pimpinan yosua, pengganti musa. Hakim-hakim: kitab hakim2 adalah kitab yang mengisahkan tentang peristiwa pendudukan lebih jauh orang israel atas tanah terjanji. Saat itu israel dipimpin oleh rangkaian para hakim seperti deborah, gideon, dan samson. Sosok hakim itu sendiri ialah sosok tengah, yang separuh raja, dan separuh sosok pemimpin militer. Rut: kitab ruth adalah kitab yang tentang perempuan moab yg tinggal di israel dan menikah dengan seorang petani israel yang kaya-raya, boaz. Setting kisah itu adalah jaman para hakim 1samuel: kitab 1 samuel adalah kitab yang melukiskan peralihan dari model pemimpin para hakim ke tahap kerajaan. Hal itu terjadi di bawah tuntunan samuel. Di sini tercakuplah kisah-kisah tentang daud, raja israel yang pertama. 2 samuel: kitab 2 samuel adalah kitab yang mengisahkan tentang daud yang mengantikan saul yang mati terbunuh dalam pertempuran melawan orang-2 filistin. Juga mengandung kisah rinci tentang salomo yang menggantikan daud, dgn diselingi oleh kisah-2 anak-anak daud yangterlibat dlm pembunuhan, pemberontakan, pemerkosaan dan bahkan incest. 1 raja-raja: kitab 1 raja-2 adalah kitab yang bertutur tentang pemerintahan salomo, tentang drama perpecahan kerajaan menjadi utara dan selatan (israel-yehuda) ketika salomo wafat. Juga tentang raja-raja paling awal dari masa kerajan terpecah itu; juga berkisah tentang karya nabi elia. 2 raja-raja: kitab 2 raja2 adalah kitab yang berkisah tentang karya nabi elisa. Juga tentang raja2 yang kemudian dari israel dan yehuda. Juga kisah tentang reformasi yosia atas agama resmi negara. Juga berkisah tentang invasi atas yehuda, mula-mula oleh orang asyur, lalu oleh orang2 babel. 1tawarikh: kitab 1 tawarikh adalah kitab yang berisi sejarah dunia hingga ke daud. Sebagian besar dari padanya dikisahkan menurut garis keturunan genealogis (siapa melahirkan siapa, dst). 2tawarikh: kitab 2 tawarikh adalah kitab yang menyajikan sejarah mulai dari salomo hingga ke masa pembuangan, dengan mengikuti kisah yang ada dalam 2 raja-raja tetapi dengan banyak perbedaan rincian; juga mencakup pemulihan yehuda oleh orang-orang persia pada akhir masa pembuangan itu. Kitab ezra: kitab ezra adalah kitab yang berkisah tentang bagaimana seorang raja persia menyuruh kembali orang-orang yudea yang dibuang ke pembuangan agar kembali ke yerusalem untuk membangun kembali kenisah, dan membangun kembali agama yahudi. Di antara orang-2 itu adalah seorang imam yang bernama ezra Nehemia: kitab nehemia adalah kitab yang berkisah tentang pelbagai macam kegiatan nehemia (sering memakai kata ganti orang pertama), yaitu seorang yahudi yang diangkat sebagai guberbur persia atas yehuda, pada masa yang kurang lebih sama dengan jaman ezra.

Tobit: kitab tobit adalah kitab yang berkisah tentang orang-2 yahudi yang saleh yang berhasil dalam upaya membangun tali ikatan perkawinan antara pelbagai keturunan sanak keluarga mereka walau hal itu dilarang atau ditentang oleh para raja dan setan-setan. Hal itu bisa terjadi berkat bantuan seorang malaekat (rafael). Kitab ini tidak ada dalam kanon protestan. Hanya ada dalam kanon katolik saja (sebagai kitab deuterokanonika). Yudit: kitab yudit adalah kitab yang bercerita tentang yudit, seorang srikandi yahudi yang memperdaya panglima perang asyur dan memenggal kepalanya. Dengan itu ia menyelamatkan israel dari kekalahan. Kitab initidak ada dalam kanon protestan. Termasuk deuterokanonika. Ester: kitab ester adalah kitab yg berisi cerita tentang seorang perempuan yahudi, yg diambil menjadi isteri raja persia (harem, gundik). Dalam posisi itu ia menyelamatkan sesamanya orang-orang yahudi dari ancaman pembantaian (progrom). Versi katolik berbeda dari versi protestan. Versi katolik lebih panjang dari versi protestan. 1 makabe: kitab 1 makabe adalah kitab yang berkisah tentang peperangan2 yang dilakukan oleh orang-orang yahudi melawan raja antiokhus epifanes, si orang kafir itu, pada abad 2 sm. 2 makabe: kitab 2 makabe adalah kitab yang berisi kisah populer dan legendaris tentang peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam 1 makabe, khususnya mengenai kemartiran dari orang2 yahudi yang taat pada masa itu. Kitab2 didaktik, atau pengajaran atau hikmat Ada kitab-kitab yang dapat dimasukkan dalam kategori kitab-kitab didaktik atau kitab pengajaran. Atau kadangkadang disebut demikian. Itu karena di dalamnya secara khusus mengandung pengajaran atau hal-hal yang terkait dengan pendidikan atau pembentukan watak manusia. Bisa menyangkut moral hidup, bisa menyangkut sikap menghadapi penderitaan, pengalaman cinta dan jatuh cinta, pengalaman doa, pengalaman menjadi kaya dan berhikmat, dll. Kitab-2 yang termasuk di sini ialah ayub, mazmur, amsal, pengkotbah, kidung agung, kebijaksanaan salomo, sirakh. Ada juga yang menyebutnya kitab-kitab kebijaksanaan. Isi masing-masing kitab didaktik, hikmat, pengajaran Ayub: kitab ayub adalah kitab yang berisi kisah tentang seorang pria saleh yang sangat menderita. Ia mencoba merenungkan dan memahami misteri penderitaannya itu dalam proses dialog dengan ketiga temannya. Dan akhirnya karena kesalehannya, kemakmuran dan kesehatannya pun dipulihkan kembali. Mazmur: kitab mazmur adalah kitab yang berisi kumpulan lagu-lagu, doa-doa, nyanyian-nyanyian yang berjumlah 150 buah, yang biasanya dikaitkan dengan raja daud (sebagai pengarangnya). Amsal: kitab amsal adalah kitab yang berisi ucapan-ucapan bijak bestari dan ajaran-ajaran yang terdiri atas paragraf-paragraf pendek menyangkut perilaku etis, sosial, dan praktis di tengah masyarakat. Biasanya dikaitkan dengan raja salomo (sebagai pengarangnya). Pengkotbah: kitab pengkotbah adalah kitab yang mengandung serangkaian refleksi bernada skeptik tentang makna dan tujuan hidup, atau tentang kondisi di mana makna itu terasa tidak ada atau tidak jelas. Biasanya juga dikaitkan dengan raja salomo sebagai pengarangnya. Kidung agung: kitab kidung agung adalah kitab yang berisi kumpulan puisi-puisi cinta, yang biasanya dihubungkan dengan salomo. Oleh karena itu, disebut juga sebagai kidung salomo. Hikmat salomo: kitab ini adalah kitab yang berisi ajaran lebih jauh tentang perilaku manusia, dan hikmat ilahi; juga biasanya dikaitkan dengan salomo. Hanya bedanya dengan amsal ialah yang ini ada tidak ada dalam kanon protestan. Hanya ada dalam kanon katolik; disebut deuterokanonika. Kitab sirakh: kitab sirakh disebut juga kebijaksanaan yesus bin sirakh. Dalam tradisi latin disebut ecclesiasticus karena dulu dipakai gereja sebagai buku saku moral. Isinya ialah kumpulan-kumpulan amsal yang panjang dan mengandung ajaran yang lebih luas. Dihubungkan dengan yesus bin sirakh, yaitu seorang tokoh yang hidup pada abad kedua sebelum masehi. Kitab para nabi Adapun kitab yang disebut kitab para nabi adalah kitab-kitab yang merentang dari yesaya hingga ke maleakhi. Di dalamnya tercantum ajaran, nubuat, dan perbuatan (termasuk tindakan simbolis) para nabi. Juga sabda kutukan termasuk di dalamnya. Tetapi juga mengandung nubuat pemulihan dan penyelamatan dengan syarat pertobatan sebab kasih setia allah sangat besar. Isi masing-masing kitab kita lihat dalam slide berikut.. Yesaya: kitab nabi yesaya adalah kitab yang mengandung nubuat-nubuat yg panjang2 yg dihubungkan dengan yesaya, yg hidup pada abad ke-8 sm di yerusalem. Tetapi bab 40-55 sangat menarik bagi orang kristen karena menjadi sumber dari banyak patung, lukisan, gambar2 kristen, terutama sosok hamba yg menderita itu; dari sinilah banyak teks mesias handel itu diambil. Yeremia: kitab nabi yeremia adalah kitab yang mengandung nubuat2 yeremia. Intinya adalah ucapan-2 yeremia, yang hidup di akhir abad 7 sampai ke masa pembuangan pada abad 6. Inlah kitab terpanjang di antara kitab para nabi. Kitab ratapan: kitab ratapan adalah kitab yang berisi 5 ratapan agung atas kejatuhan yerusalem ke tangan orang2 babel. Secara tradisional lagu-2 ratapan ini dihubungkan dgn yeremia. Sangat populer di dunia katolik karena sering dipakai untuk ibadat selama trihari suci, lamentatio Kitab barukh: kitab barukh adalah kitab yang merenungkan situasi pembuangan baik dalam penghukuman maupun dalam pengharapan. Biasanya dihubungkan dengan barukh, sang sekretaris nabi yeremia. Kitab ini tidak termasuk dalam kanon ks protestan; disebut deuterokanonika. Kadang-kadang bab 6 masih berdiri sendiri secara terpisah dan diberi judul surat yeremia. Kitab yeheskiel: kitab yeheskiel adalah kitab yg memuat nubuat2 yeheskiel, yaitu orang yg sejaman dengan yeremia tapi lebih muda dari yeremia. Di dalamnya tercakup penglihatan-2nya akan allah yang bertahta di atas keretak yang dihela oleh binatang2 ajaib, juga mencakup kitash tentang tulang2 kering yg hidup kembali yg melambangkan kelahiran kembali israel sesudah drama pembuangan yg tragis itu. Pembuangan bukan kematian

Daniel: kitab daniel adalah kitab yg berkisah ttg kisah-2 dan penglihatan2, yg diduga dialami oleh org yg masih sejaman dgn yeremia, yg ikut dibuang, tetapi bernasib untung di pembuangan berkat kemampuan menafsirkan mimpi2 (spt yusuf). Ada banyak episode terkenal dari kitab ini. Misal: kisah kandang singa, tungku api bernyalanyala, tangan yg menulis pada tembok istana. Tambahan daniel 1: disebut juga doa azaria dan lagu pujian ketiga pemuda dlm perapian. Kadang-2 disebut juga nyanyian 3 anak atau nyanyian tiga orang yahudi. Diduga ini adalah rangkaian nyanyian dan doa yang diucapkan 3 pemuda yg dilempar ke dalam tungku api pembakaran yang berkobar-2 tetapi mereka tidak terbakar. Ini tidak ada dalam kanon protestan. Tambahan daniel 2: atau kisah susana-daniel. Kitab ini adalah sebuah cerita pendek ala detektif, dengan pahlawan daniel; di sana ada seorang perempuan yahudi bernama susana, yg diselamatkan dari pelbagai tuduhan palsu berzinah, yg ditimpakan kepadanya oleh 2 org pria tua yg marah karena mereka gagal berupaya memperkosa dia. Ini tidak ada dalam kitab protestan. Tambahan daniel 3: atau disebut juga kisah tentang daniel dengan dewa bel dan naga babel. Dua cerpen tentang betapa sia-sia dan absurdnya berhala-berhala itu dan juga tentng daya kekuatan allah israel. Kitab ini pun tidak ada dalam kanon protestan. Hosea: kitab hosea adalah kitab yang memuat nubuat2 nabi hosea yang kurang lebih berasal dari abad 8 sm., yaitu satu abad sesudah masa nabi elia dan elisa. Yoel: kitab yoel adalah kita yg berisi puisi2 penyesalan pada masa dilanda bencana alam, tetapi juga mengandung nubuat2 ttg masa depan yg berjaya-mulia tatkala allah akan mencurahkan rohnya kpd segala bangsa. Amos: kitab amos adalah kitab yang berisi nubuat yang disampai-kan nabi amos, seorang nabi yang masih sejaman dengan hosea. Sebagian besar isinya mengandung warta bencana dan kutuk. Obaja: kitab obaja adalah kitab yang mengandung nubuat singkat tentang penghukuman edom karena ikut membantu dalam penumpasan dan penghancuran yerusalem pada tahun 587 sm oleh babel. Yunus: kitab yunus adalah sebua kitab yg berisi cerpen terkenal tentang seorang nabi yg mangkir dari tugasnya karena enggan menjalankan tugas itu, dan dalam pelarian itu ia ditelan ikan besar di tengah laut. Itulah hukuman atas sikapnya yg tidak mau mentaati perintah allah. Tetapi kemduian ia dibebaskan lagi, sehingga ia pergi ke ninive dan berkotbah di sana. Hal itu mendatangkan tobat dan selamat atas niniveh yang mau mendengar allah melalui yunus. Mikha: kitab mikha adalah kitab yang berisi nubuat2 yang disampaikan nabi mikha, seorang nabi yang masih sejaman dengan yesaya. Nahum: kitab nahum adalah kitab yang berisi ramalan2 tentang penghancuran kota niniveh oleh satu campur tangan ilahi. Habakuk: kitab habakuk adalah kitab yang berisi nubuat2 tentang bakal terjadinya penghancuran yerusalem, yg disampaikan oleh seorang nabi yg sejaman dgn yeremia Zefania: kitab zefania adalah kitab yang berisi kutukan atau penghukuman2 atas banyak orang dalam hidup roang yehuda sebelum pembuangan. Hagai: kitab hagai adalah kitab yang berisi kata-kata seorang nabi yg mendorong umat yg kembali dari pembuangan utk membangun kembali kenisah atau bait allah di yerusalem. Zakharia: kitab zakharia adalah kitab yang mengandung ramalan2 yg diucapkan oleh seorang nabi yg masih sejaman dengan hagai di atas tadi. Isinya juga menyangkut pembangaunan dan pemulihan kembali komunitas umat pada masa sesudah pembuangan. Maleakhi: kitab maleakhi adalah kitab yg menyerang pelbagai macam pelanggaran yg terjadi pada komunitas jemaat sesudah pembuangan; bersama dengan sebuah teks yg terkenal yang meramalkan tetnang kembalinya elia untuk memulai kembali (inaugurate) apa yang disebut hari tuhan itu. Isi masing-masing kitab perjanjian baru Injil mateus: Injil menurut mateus adalah injil yang memberi penekanan pada ajaran-ajaran yesus, misalnya, ajaran yang mencakup kotbah di bukit (5-7) yang terkenal itu. Injil markus: Injil markus adalah kitab injil yang paling pendek. Isinya tidak perlu dibeberkan secara khusus, sebab hampir tidak ada bagian dari injil ini yang tidak ada dalam injil2 yg lain. Dengan kata lain, sebagiaan besar dari apa yg ada dalam markus, ditemukan lagi dalam mateus atau lukas. Injil lukas: Injil lukas adalah injil terpanjang. Kitab ini mengandung banyak perumpamaan2 dan kisah2 yang memang khas lukas, misalnya spt perumpamaan tentang anak yg hilang itu dan tentang orang samaria ybk, dan kisah tentang perjalanan ke emaus ini. Injil-injil sinoptik Ketiga injil di atas tadi (mat, mrk, luk) sering sekali disebut injil2 sinoptik; dan orangnya disebut sinoptisi. Disebut demikian karena ketiga injil ini kalau dilihat (optik) sekilas secara bersamaan (syn) akan tampak mirip satu sama lain. Itu tidak mengherankan karena emreka punya perspektif dan sumber yang sama. Injil yohanes: Injil yohanes disebut juga injil keempat. Injil ini sangat berbeda dari injil2 sinoptik tadi. Kekhasannya ada dua: 1. Sebagian besar perumpamaan tidak ada. 2. Ajaran yesus sangat terpusat pada identitas dirinya. Dari situlah keluar ucapan-ucapan sbb: aku adalah.

Kisah para rasul Sebenarnya ini adalah volume kedua dari injil lukas. Isinya terdiri atas kisah tentang sejarah gereja awal, dan khususnya mengenai pelbagai karya dan perjalanan misi yang dilakukan paulus mengelingi atau di seluruh wilayah laut tengah. Sebagai ilustrasi: lihat gambar-2 yg ada. Surat-surat paulus Roma: Ini adalah surat paulus yg terpanjang, yg dikirimnya ke gereja yang tidak didirikannya dan tidak pernah dikunjunginya. Sebagian besar menyangkut hubungan org-org yahudi dan para bgs kafir di dlm gereja; juga terkait dgn persoalan landasan bagi keselamatan apakah karena ketaatan kpd hukum yahudi ataukah karena iman akan kristus? 1korentus: 1korenutus adalah surat paulus yg ditujukan kpd umat kristen di korentus, sebuah kota pelabuhan besar, ramai, maju dan kompleks. Surat ini sbgn besar berbicara ttg bagaimana org kristen harus berhubungan dgn masyarakat di sekitar, juga ttg bagaimana gereja harus menata urusan2nya sendiri. Di sinilah muncul ucapan terkenal dari paulus: kebodohan allah adalah lebih bijaksana daripada hikmat manusia. 2korentus: 2korentus adalah surat paulus kepada umat di korentus yg secara lebih lanjut berbicara tentang relasirelasi di dalam gereja korentus itu sendiri; juga sekaligus memberi tanggapan terhadap tantangan2 yg ada terhadap otoritas paulus sendiri; rupanya saat itu ada yang pempersoalkan otoritas paulus. galatia: surat galatia, seperti surat roma, berbicara tentang tema pembenaran oleh iman. hanya bedanya, di sini paulus berbicara dengan nada marah dan benci terhadap apa yg oleh paulus lihat sbg kesalahan2 org galatia. inilah satu2-nya surat yg tidak dimulai dgn menyalami si penerima surat atas dan karna iman mereka. ini khas. efesus: surat efesus adalah sebuah uraian sistematik tentang pelbagai tema teologis, yang di sana-sini tumpangtindih dengan kolose. mungkin aslinya surat ini adalah sebuah ensiklik, yg dimaksudkan untuk diedarkan secara umum. perlu juga diketahui bahwa tidak semua manuskrip kuno menyebut surat efesus ini. filipi: surat filipi adalah surat kepada orang kristen di filipi. ini adalah surat pastoral paulus yang paling lembut, yang ditulisnya di penjara. di sana paulus coba mendorong orang kristen filipi agar hidup dalam ketaatan dan kemurahan hati. kolose: surat kolese adalah surat yg berisi kristologi paulus. ini adalah pengungkapan terpanjang lebar dari kristologi paulus (ajaran ttg kodrat serta martabat yesus). surat itu juga coba membujuk org-2 kristen di kolese utk tidak mengikuti satu sistem filsafat yang tidak sesuai dengan iman kristen, dalam pandangan si penulis surat ini. 1 tesalonika: surat 1tesalonika mungkin merupakan surat paulus yg paling awal, yg terutama sekali berbicara ttg tema eskatologi (kongkretnya, yaitu tentang rencana allah bagi sejarah, dan peranan yesus dalam mewujudkan jaman akhir itu). 2 tesalonika: surat 2 tesalonika adalah surat yg berisi uraian lebih lanjut tentang tema atau hal-hal eskatologis. 1 timoteus: surat 1 timoteus adalah surat yg berciri nasihat pastoral kepada timoteus, yang tampaknya diangkat paulus menjadi pemimpin di efesus, dengan jabatan hampir spt uskup, dlm artian yg kemudian dari jabatan & kata itu. 2 timoteus: surat 2 timoteus adalah surat yang berisi nasihat lebih jauh tentang bagaimana harus hidup sebagai gembala dari satu komunitas jemaat kristen. titus: surat kpd titus adalah surat yg ditujukan kepda titus. siapa dia? tampaknya ia adalah org yang punya peranan yg sama dengan peranan timoteus. tetapi ia berkarya di kreta. sperti halnya timoteus, titus pun dinasihati paulus agar hidup sederhana dan bijaksana. surat-surat pastoral ketiga surat di atas tadi (1 dan 2 tim dan titus), umumnya disebut sbg surat-surat gembala atau pastoral. pada umumnya org menganggap bhw surat-surat itu meniru-2 gaya dan isi surat paulus yg asli; jadi, nadanya pastoral spt paulus. tetapi umumnya diterima bahwa surat-surat ini berasal dari kurun waktu sesudah paulus wafat. jadi, mungkin dari lingkungan par amurid paulus sendiri.

filemon: surat kpd filemon adalah surat paulus yg ke-4 kepada sorang pribadi. inilah surat yg paling bernada personal dari semua surat yang lain. di sini ia berbicara tentang masalah budak, yaitu onesimus, yang melarikan diri itu. ibrani: surat ibrani tampaknya adalah sebuah risalat yg berbicara tentang status yesus, hidup kristen, dan pengharapan akan keselamatan. di sana juga ada banyak perbincangan mengenai pelbagai teks dari pl, suatu yang tidak biasa dlm surat2 paulus. oleh karena itu, ada beberapa manuskrip kuno yang menghubungkan surat ini dengan paulus. tetapi ada juga yg tidak demikian surat yakobus: surat yakobus adalah surat yang berisi kumpulan dari ajaran-ajaran etis (yang dikaitkan dengan yakobus). 1 petrus: surat 1 petrus adalah surat yg dicirikan oleh tema spt baptis dan kebakgitan; ciri ini sedemikian kuatnya sehingga org pernah menduga bhw mungkin aslinya karya ini adalah sebuah kotbah upacara liturgi baptis. 2 petrus: surat 2 petrus adalah surat yg hampir seluruhnya menaruh kepedulian pd tema eskatologis. dalam hal ini, surat tadi mempunyai banyak kesamaan dengan surat yudas. 1 yohanes: slide berikut.. 1yohanes: surat 1 yohanes adalah surat yg punya banyak kemiripan dgn injil yohanes. misalnya, tema cinta yg harus ditunjukkan orang kristen kpd satu sama lain sbg tanggapan terhadap kasih allah kdp mereka, yang diperlihatkan dalam dan melalui kristus. 2 yohanes: surat 2 yohanes adalah surat yang berisi peringatan melawan bahaya2 ajaran sesat. 3 yohanes: surat 3 yohanes adalah surat gembala yg bicara tentang masalah tata tertib pada masa gereja purba. yudas: surat yudas adalah surat yg berisi pengutukan kesalahan dlm gereja. kesalahan itu diancam dgn ancaman yg dilandaskan pd ide-2 eskatologis yg mirip dengan 2 petrus. surat-surat katolik: kadang-2 surat mulai dari 1 petrus ke yudas (berarti ada 6 surat) disebut sebagai surat katolik atau surat-umum. disebut demikian karena isinya ditujukan kepd semua org kristen pada umumnya; ini berbeda dgn surat-surat paulus misalnya, yang ditujukan kpd 1 komunitas jemaat tertentu, atau bahkan kpd satu pribadi tertentu. justru karena tidak spesifik, maka disebut umum atau katolik. wahyu: kitab wahyu adalah kitab yang mengandung karya apokaliptik yg menyangkut jaman akhir dan peranan kristus dalam dunia baru itu yang akan menyusul jaman akhir tadi.

Bab II. Proses Menulis Kitab-kitab Aktifitas Menulis Dalam Dunia Biblikal Pertama-tama harus segera disadari bahwa adat kebiasaan menulis sudah ada di dunia Timur Tengah kuno jauh sebelum Israel ada sebagai sebuah bangsa atau negara (kerajaan). Jadi, sebelum Israel ada, orang-orang dan kebudayaan di kawasan Timur Tengah sudah mengenal huruf atau tulisan. Walau huruf sudah dikenal, tetapi itu tidak berarti tingkat melek huruf juga sudah tinggi atau merata. Sama sekali tidak. Melek huruf tidak merata di semua kebudayaan kuno. Tetapi hampir di semua negara-negara mulai dari Mesopotamia ke Mesir terdapat para penulis profesional atau para penulis, juga orang-orang yang melek huruf yang melakukan pekerjaan yang lainnya, paling tidak mulai dari pertengahan milenium ketiga SM (sekitar 2500). Walaupun awal mula dari kebudayaan Ibrani ditetapkan sejak awal tahun 1700-an SM (itulah tanggal yang biasanya dianggap sebagai tanggal kelahiran Abraham, walau tentu saja hampir terlalu dini beberapa abad), namun dunia Kitab Suci adalah dunia tulis menulis sudah sejak dari awal mulanya. (Jadi, itu bukan eksperimen yang baru muncul belakangan). Paling tidak mulai dari jaman Raja Salomo (barangkali sekitar tahun 970 sampai tahun 930 SM), bangsa Israel mengalami suatu eksistensi yang tenang tenteram, di kota-kota besar, kota kecil dan dusun-dusun. Dalam konteks ini ada tempat-tempat untuk menyimpan buku-buku, dan kesempatan-kesempatan untuk mempersiapkan bahan-bahan tertulis (biasanya papirus); pada jaman itu, kitab-kitab biasanya dibuat dari papirus-papirus tersebut. Ide mengenai buku-gambar mengenai Israel sebagai kaum badui (suku nomaden) yang mengarungi hidup nomadik di dalam kemah-kemah, tidak mampu mencatat apa-apa dalam bentuk tertulis, adalah sangat tidak benar menurut realitas historisnya, bahkan bagi kurun yang sangat dini ini. Kita harus mengakui dengan jujur bahwa abjad adalah salah satu sumbangan terpenting dari kebudayaan Ibrani. Abjad itu sangat membantu untuk membaca dan menulis. Abjad itu adalah terjemahan versi Arab dari alphabet, dua huruf pertama dalam bahasa Ibrani dan juga kebetulan Yunani. Abjad sendiri adalah nama tiga atau empat huruf pertama dalam abjad Arab: Alif bata ja. Untuk dapat memahami arti penting historis dari pernyataan ini mari kita lihat beberapa data berikut ini. Kebudayaan Mesopotamia sampai pada milenium pertama SM masih memakai sistem tulisan atau huruf paku, yang disebut cuneiform. Dalam sistem ini tanda-tanda menggambarkan silabe atau suku kata. Tanda-tanda itu kemudian ditorehkan atau dicapkan pada papan-papan tanah liat dengan memakai semacam paku yang ujungnya tajam. Itulah yang menjadi alat tulis mereka. Kaum Funisia-lah yang pertama kali mengembangkan sebuah sistem alfabet, untuk menggantikan tulisan dengan sistem simbol suku kata ini. Itulah yang menjadi cikal-bakal dari alfabet Ibrani, dan kelak juga menjadi cikal bakal dari sistem huruf kita sendiri dewasa ini (Latin). Dalam sistem yang terakhir ini masing-masing simbol melambangkan satu bunyi konsonan tertentu. (sedangkan vokal tidak diberi tanda khusus). Dari sistem ini kelak muncul sebuah sistem yang jauh lebih sederhana (tidak rumit seperti sistem simbol suku kata di atas tadi). Dalam sistem dan perkembangan yang baru ini ratusan simbol-bunyi dalam sistem cuneiform diganti hanya dengan 22 huruf saja. 22 huruf itulah yang menjadi pokok dari sistem alfabet baru ini. Perkembangan ini pada gilirannya mempunyai dampak yang sangat besar untuk aktifitas membaca dan menulis. Aktifitas membaca dan menulis mejadi jauh lebih mudah. Bahkan yang jauh lebih menggembirakan lagi, aktifitas itu bisa dikuasai oleh semakin banyak orang, juga termasuk orang-orang yang bukan para penulis profesional. Semua kitab dari PL ditulis dalam sistem alfabet baru ini. Sistem ini sendiri, dalam perjalanan perkembangan tahun berkembang dan berubah-ubah dalam rincian gayanya tetapi boleh dikatakan bahwa ia tidak pernah menyimpang dari 22 huruf itu saja. 22 huruf itu menjadi jumlah huruf yang standar dan mendasar. Besar sekali kemungkinannya bahwa beberapa bagian dari PL sudah sangat tua karena diduga berasal dari abad kesepuluh atau abad kesebelas SM dan diduga bahwa teks yang tertua (teks puitis)

dalam Hak,5 biasanya dianggap sebagai teks yang paling tuu dalam kitab suci. Sementara kitab yang paling muda ialah Kitab Daniel, diduga berasal dari pertengahan abad kedua (sekitar tahun 160 SM). Perjanjian Baru semakin lebih jelas lagi merupakan hasil dari sebuah kebudayaan tulis menulis. Dunia Laut Tengah pada jaman Yesus bahkan sudah mempunyai perpustakaan, toko buku. Pada saat itu sudah terdapat banyak para penulis profesional dan para penerjemah. Bahasa Yunani yang dipakai para penulis PB untuk menuliskan kitab-kitab PB sebagian besar adalah bahasa Yunani sehari-hari yang dipakai oleh orang-orang terdidik pada jaman itu. Itulah jenis bahasa Yunani yang telah menjadi bahasa bersama (lingua franca) dari seluruh kawasan Laut Tengah, termasuk juga Italia. Terutama di Italia, bahasa Yunani dipakai di samping bahasa Latin juga. Para penulis sering sekali memakai para penulis profesional untuk menuliskan kata-kata mereka, sering sekali dalam bentuk ringkasan atau bentuk singkat (semacam teknik steno). Surat Paulus kepada jemaat di Roma mengandung sebuah salam dari sekretaris atau amanuensis Paulus yang bernama Gayus (Rom.16:22). Pada pelbagai kesempatan Paulus juga menambahkan salam dari dia sendiri yang ditulisnya dengan tangannya sendiri. Hal ini biasanya dilakukan dengan maksud untuk mengesahkan surat itu (mungkin kegunaannya dapat disamakan dengan tanda tangan pada jaman modern dewasa ini yang biasanya dibubuhkan pada bagian akhir sebuah surat. Biasanya hal ini mau menyiratkan bahwa bagian selanjutnya dari surat itu dituliskan bagi dia (lihat 1Kor.16:21, Gal.6:11; Kol.4:18; 2Tes.3:17). Ya, dunia Kitab Suci adalah dunia tulis menulis dunia huruf, dan dunia kitab-kitab. Mungkin tidak semua orang sangat sadar akan hal ini. Oleh karena itu, untuk dapat memahami kitab Suci, maka kita harus melihat kitab suci itu sebagai sebuah produk dari para penulis yang ahli (terlatih). Semuanya dapat dibandingkan dengan para penulis lain dari dunia kuno maupun dunia modern dewasa ini. Siapa Penulis Kitab-kitab Suci? Sebagian besar kitab dalam Kitab adalah anonim. Kecuali surat-surat Paulus yang dimulai dengan menyebut namanya, lalu dilanjutkan dengan upaya identifikasi alamat tujuan, yaitu kepada siapa surat itu dikirim. Misalnya, 1Kor.1:1-3: ....... Ada juga teks PB lain yang dimulai dengan menyebut nama pengirimnya, yaitu kitab Wahyu. Secara formal kitab ini sebenarnya juga adalah serangkaian surat-surat, seperti kurang lebih yang tampak dalam bagian awal kitab itu. Sementara itu sebutan injil untuk keempat injil itu hanya muncul pada judul saja. Bahkan dalam teks asli Yunani, dikatakan hanya menurut... saja, tanpa kata Injil sama sekali (kata Matthaion, kata Loukan, kata Markon). Dalam PL nama yang kini ada sebagai judul kitab, bukanlah sebuah ketetapan sebagai pengarang. Maksudnya, kalau ada nama disebut pada awal, itu tidak berarti bahwa teks itu dikarang oleh orang yang namanya disebut di sana. Misalnya, Kitab Ayub adalah kitab tentang Ayub, dan bukan kitab dari Ayub atau kitab oleh Ayub. Begitu juga dengan 1 dan II Samuel, sebagai misal yang kedua. Dulu orang berpikir (mungkin saat ini juga masih ada yang berpikir demikian) bahwa kitab ini berasal dari Samuel, ditulis atau dikarang oleh Samuel. Jelas ini hampir tidak mungkin, sebab isinya antara lain ialah kabar tentang kematian Samuel. (Jadi, bagaimana Samuel yang sudah mati itu, masih menulis sesuatu dengan kabar kematiannya sendiri. Ini hanya mungkin kalau dikabarkan oleh orang lain yang bukan Samuel sendiri). Lima kitab pertama dalam PL (Pentateukh) sering disebut sebagai kitab Musa. Tetapi dalam kitab-kitab itu tidak pernah ada dikatakan bahwa Musa adalah penulis atau pengarangnya. Paling banter hanya bisa dikatakan bahwa Musa menulis beberapa bagian saja dari kumpulan kitab itu; yaitu Kel.34:11-26. Sebab dalam 2 ayat berikutnya memang dikatakan demikian dalam kitab itu sendiri. Begitu juga dengan Mazmur Daud dan Amsal Salomo. Sebutan itu tidak berarti bahwa keduanya menulis karya itu. Juga tidak berarti bahwa kedua kitab itu adalah milik Daud dan Salomo. Judul I dan II Raja tidak pernah dipakai dalam artian kepengarangan. Itu hanya pernyataan tentang pokok yang dibahas di sana. Hanya itu saja. Tetapi masih ada alasan yang lebih jauh lagi mengapa kita sulit menentukan atau menetapkan siapa yang menulis kitab-kitab biblis itu. Itu tidak lain karena sangat sedikit dari kitab-kitab itu yang merupakan sebuah teks yang sederhana sajayang disusun hanya oleh satu orang saja, pada satu kurun waktu tertentu. Misalnya, kita cenderung menganggap Kitab Kejadian sebagai kitab pertama dari Kitab Suci, dan karena itu dalam sebuah artian yang jelas memang demikianlah juga halnya. Tetapi kalau kita bertanya apakah kitab itu juga yang merupakan kitab pertama yang ditulis, maka kita sedang menghadapi sebuah permasalahan yang sangat rumit. Sebab tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Tampaknya jelas, dengan karya-karya dari pengarang manapun juga, untuk bertanya dalam tata urut apa atau dengan tujuan apa mereka menulis karya-karya mereka itu dan biasanya paling tidak adalah sebuah jawaban yang jelas yang dapat diajukan dan dapat diterima juga (masuk akal). Walau tidak ada petunjuk bukti yang cukup untuk yakin akan hal itu, paling tidak pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan yang masuk akal (sensible) dan koheren. Tetapi kitab Kejadian, dan banyak kitab-kitab biblis yang lainnya, mengandung bagian-bagian yang berasal dari kurun waktu yang sangat berbeda. Kitab-kitab itu tampak seperti sebuah antologi dalam dirinya sendiri, tampak seperti sebuah buku kumpulan karangan, buku yang mengumpulkan pelbagai macam ide, buku yang mengandung dan menyimpan banyak kutipan-kutipan. Hal ini dengan sangat mudah dapat dilihat dalam beberapa inkonsistensi di dalam sebuah kisah yang sedang dikisahkan. Misalnya, dalam Kej.4:26 kita membaca bahwa orang mulai memanggil nama TUHAN yaitu berarti, menyembah Allah dengan nama Ibraninya yang khas yaitu YHWH1 pada jaman Enosh, sang cucuk Adam. Tetapi di dalam kisah mengenai kehidupan Musa dalam Kel.6:2-3, tampak bahwa nama ini masih belum dikenal sampai saat Musa, ditugaskan untuk menyingkapkan nama itu kepada sesama kaum bangsanya Israel. Demikian juga halnya, Kej.1:24-27, menyatakan bahwa binatang-binatang diciptakan sebelum manusia, sementara Kej.2:18-19 melihat manusia sebagai sudah diciptakan terlebih dahulu, lalu binatang-binatang diciptakan untuk menjadi pengiring bagi dia. Ada begitu banyak kasus seperti ini dalam kitab suci sehingga para ahli pada umumnya telah menyimpulkan bahwa Kitab Kejadian, Keluaran, dan sebagian besar kitab-kitab yang lain dalam PL, adalah kumpulan bahana (composite), yang dibentuk dari bahan-bahan yang berasal dari kurun waktu yang berbeda, dan juga dari latar belakang tempat yang berbeda
1

Ada fn.p.16..

pula. Tetapi kalau memang demikian duduk perkaranya, maka tidak ada seorang pengarang bagi kitab Kejadian sama sekali kalau dilihat dari artian kata itu menurut pemahaman modern. Paling banter, yang ada hanyalah seorang penyusun yang menggambungkan bahan menurut rencana dan kehendaknya sendiri. Kalau hal ini benar demikian mengenai semua atau sebagian besar kitab dalam Kitab Suci, maka hal penetapan tanggal penulisan kitab itu dan menyusun mereka dalam suatu tata urut kronologis tidak hanya menjadi suatu pekerjaan yang sangat sulit, melainkan menjadi suatu tugas yang tidak mungkin dilakukan sama sekali. Bahkan boleh jadi bisa juga dikatakan bahwa pekerjaan seperti itu adalah tidak mempunyai arti sama sekali. Tugas menyusn sebuah buku dari bahan yang sudah terlebih dahulu ada tampaknya merupakan sesuatu yang asing bagi sebagian besar orang modern, tetapi sesungguhnya praktek seperti itu masih terjadi, atau masih terus dilakukan juga. Salah satu contoh yang baik ialah buku harian dari Anne Frank, seorang gadis Yahudi yang hidup di dalam tempat persembunyian dengan keluarganya di Amsterdam selama dua tahun, sampai ia ditemukan oleh para penguasa Jerman pada tahun 1944 dan dikirim untuk dihukummati di Bergen-Belsen. Beginilah caranya para penerjemah dari edisi 1997 dari buku harian itu mencoba melukiskan tahap-tahap yang telah dilewati oleh The Diary of a Young Girl itu. Injil-injil Semua keempat injil mengisahkan cerita yang sama. Itu sangat jelas. Mereka menampilkan kisah tentang bagaimana Yesus dari Nazaret mengumpulkan murid-mjurid, mengajar dan menyembuhkan, kemudian bagaimana Ia ditangkap oleh para penguasa dan diadili, lalu disalibkan, dimakamkan, tetapi lalu dibangkitkan dari antara orang mati. Tetapi ketika kita mencoba mempelajari detail kisah itu, ternyata injil-injil itu sering sekali bertentangan satu sama lain. Misalnya, apakah pembersihan Bait Allah terjadi pada awal karya publik Yesus (Yoh.2:13-20), ataukah menjelang akhir karya Yesus seperti dalam Mat.12:12-13; atau juga dalam Mrk dan Luk? Ketika Yesus ditanya, Guru yang baik, apa yang harus aku lakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?, Dia kan menjawab, Mengapa engkau menyebut Aku baik? (Mrk..10:18) atau Mengapa kau tanya Aku tentang apa yang baik? (Mat.19:17)? Atau jauh lebih penting lagi, apakah Yesus terutama mengajar tentang bagaimana orang harus hidup, seperti dalam Mateus, Markus, dan Lukas, ataukah terutama tentang status dan tempatNya sendiri dalam rencana Allah bagi dunia, seperti yang ada dalam injil Yohanes itu? Upaya untuk menguraikan beberapa dari permasalahan ini telah mengarah ke sebuah kesepakatan bahwa Yohanes agar sedikit berbeda dari Injil-injil Sinoptik yang lain. Di antara para Sinoptisi, ada banyak bahan yang dimiliki bersama dan juga ada banyak perbedaan-perbedaan. Dan hipotesis yang paling baik untuk menjelaskan hal itu kiranya ialah ada suatu derajat kesaling-tergantungan di antara mereka, yang digabungkan dengan pemakaian secara bersama-sama dokumen-dokumen atau kumpulan-kumpulan ucapan Yesus yang sekarang ini sudah hilang. Sebagian terbesar, walaupun tidak semua, para ahli PB percaya atau beranggapan bahwa Markus adalah Injil pertama yang disusun tetapi ia injil itu disusun si penyusun dengan memakai bermacam-macam bahan yang sudah dikumpulkan terlebih dahulu oleh orang-orang lain! dan bahwa Mateus dan Lukas sama-sama memakai Markus 9dalam beberapa bentu atau lainnya), bersama dengan kumpulan ucapan-ucapan Yesus yang secara konvensional dikenal dengan sebutan teknis Q. Hal ini menyiratkan suatu tugas yang mempunyai beberapa komponen pentahapan di dalamnya, mulai dari tugas pengumpulan, tugas seleksi, dan tugas kompilasi yang kiranya berarti bahwa tidak ada satu pun dari Injil-injil sudah selesai disusun sampai sekurang-kurangnya 30 atau 40 tahunan setelah wafat Yesus walau sebagian besar dari bahan yang terdapat di sana tentu saja sudah sangat dini usianya, muncul dalam tahap yang sangat dini dalam sejarah gereja, dan boleh jadi banyak juga dari bahan itu yang memang sudah berasal dari para murid Yesus sendiri yang pertama. Aktifitas mempelajari Injil-injil Sinoptik akan menuntun ke suatu pemahaman yang lebih jauh, yang membuatnya bahkan lebih sulit lagi untuk mencoba menetapkan tanggal dari kitab-kitab biblis itu. Sebagaimana yang baru saja telah kita lihat, tanggal dari sebuah Injil tidak mutlak perlu sama dengan tanggal dari bahan yang terkandung di dalamnya, sebab bahkan dalam sebuah Injil yang ditulis, katakanlah pada tahun 70 M, jadi sekitar 40-an sejak dari masa hidup Yesus sendiri, boleh jadi memang ada ucapan-ucapan dari Yesus, atau anekdotanekdot tentang Dia, yang secara faktual memang benar, yaitu, apa yang sesungguhnya dulu telah ia katakan atau lakukan. (Secara teknis hal ini dikenal dengan sebutan Ipsissima verba Iesu Christi). Boleh jadi hal-hal itu telah disimpan dan dilestarikan dengan baik dan dengan setia dalam pelbagai dokumen, tetapi dokumen itu kini telah hilang. Dan dokumen-dokumen itu sendiri pasti jauh lebih tua dari pada Injil-injil sebagaimana yang kita punyai sekarang ini. Menurut salah satu mazhab pemikiran, para murid Yesus sendiri dulu sebenarnya menuliskan ucapanucapan Yesus, sehingga para penginjil atau para penulis Injil hanya mengambil bahan yang pada saat itu dianggap otentik. Itu di satu pihak. Di pihak lain, pada dasarnya bisa saja ada bahan di dalam Injil-injil yang dikumpulkan sendiri oleh para penginjil itu dari kumpulan-kumpulan lain atau catatan-catatan. Beberapa kritikus berpikir bahwa kisah-kisah Kelahiran dalam Lukas 1-2 merupakan salah satu contoh dari hal ini yaitu legenda-legenda yang disusun dengan dan atau berdasarkan prinsip kesejajaran dan analogo dengan kisah-kisah Perjanjian Lama tentang para tokoh pahlawan besar, yang dalam faktanya sesungguhnya tidak mempunyai dasar sama sekali dalam sejarah. (Salah satu ahli seperti ini kiranya ialah Raymond E.Brown, Yesus Yang Dewasa Pada Masa Natal, The Birth of Messias itu). Maka dapat disimpulkan bahwa tanggal dan kebenaran dari kandungan Injil merupakan satu persoalan yang sangat rumit dan berbelit-belit, tidak mudah untuk ditetapkan. (Masalah Tradisi Lisan) Boleh jadi para penginjil, ketika mulai menulis, memakai bahan yang diturun-alihkan secara lisan, dari mulut ke mulut, dan tidak dalam bentuk tulisan. Hal ini tentung saja mengandung persoalan tertentu. Kalau hal ini benar berarti para penulis Injil banyak menimba dari kandungan ingatan lisan, sebuah ruang rekam data; mereka tidak mengambil dari sumber-sumber bahan tertulis. Kiranya hal ini tidak usah mengherankanjuga karena diyakini bahwa orang-orang dalam kultur tradisional dulu mempunyai kemampuan tinggi untuk menghafal (dewasa ini juga masih ada; bedanya kini orang menghafal dari bahan tertulis). Dengan menghafal orang mengingatnya, menyimpannya, dan mewariskannya juga secara lisan, yaitu dengan cara bercerita dan bercerita kembali. Dengan

demikian cerita menjadi ruang didik, ruang sekolah menghafal. (Saya ingat akan adik saya Hubertus yang diajari ilmu mbeko oleh kakek dari pihak ibu, dengan ritualnya di waktu malam ketika semua orang sudah tertidur). Diduga bahwa injil-injil bersandar pada aktifitas menghafal seperti itu dan di situlah letak permasalahannya. Yaitu, mereka menghafal dari sumber yang tidak tertulis. Bahan lisan itu sulit dicek ulang perihal benar dan salahnya. Dan itulah yang menjadi segi keuntungan dan segi positif dari bahan tertulis. Dalam tradisi lisan, menghafal adalah sulit untuk melihat bahwa tradisi itu bisa menghindar atau terhindar dari perubahan, penyimpangan dalam proses transmisi itu sendiri. (Mungkin bukan penyimpangan, melainkan pemaknaan, dan peluasan cakrawala makna, karena ada proses distansiasi seperti dikatakan oleh Gadamer itu). Justru karena hal itu maka mudah sekali diubah. Tetapi itulah juga yang merupakan peluang hermeneutik untuk memperkaya makna. (kritik bentuk) (Lihat juga pedoman Vatikan itu, dan DV, dan REB). Seluruh mazhab studi dan penelitian ilmiah PB kritik bentuk atau form criticism menerima begitu saja sebagai benar satu fakta bahwa ucapan-ucapan dan kisah-kisah Injil diturun-alihkan secara lisan. Dan salah satu kesempatan untuk melakukan tugas penurun-alihan itu ialah ibadat gereja. Jadi, ibadat gereja itu dipandang sebagai kesempatan utama dalam mana mereka mencoba menurun-alihkan ajaran-ajaran yang ada pada mereka. (Ibadat menjadi semacam ruang kelas, ruang pelajaran, sekolah iman). Barangkali setiap minggu sebuah kisah tentang Yesus dikisahkan kepada orang-orang Kristiani yang berkumpul untuk beribadat, mula-mula kisah itu dikisahkan oleh mereka telah mengenal Dia dan kemudian oleh mereka-mereka yang telah mengenal orang-orang yang telah mengenal Yesus tadi. (Ini suatu mata rantai pengenalan terus menerus). Maksud atau tujuan dari semua aktifitas ini kiranya tidak lain ialah untuk meneruskan dengan sesungguhnya apa yang telah dikatakan oleh Tuhan sendiri. Tetapi sedikit demi sedikit kisah-kisah itu mengalami perkembangan dan perubahan, sebab di dalam proses penceritaan ulang itu, kisah tadi mendapat unsur dan dimensi baru, ditambahkan komentar dan sisipan di sana-sini. Dan orang yang bertanggung jawab atas terjadinya hal itu ialah komunitas Kristiani itu sendiri, terutama mereka yang bertugas untuk bercerita. Komunitas pendengar, kepada siapa kisah itu dikisahkan, turut juga membentuk kisah itu dan terutama turut menentukan bagaimana bentuk kisah itu akan diteruskan nantinya. Jadi, komunitas itu bukanlah komunitas yang diam, melainkan komunitas yang partisipatif dan formatif. Dan memang seharusnya demikian adanya. Yang jelas, tatkala mereka menceritakan kembali cerita-cerita itu, maka kiranya mereka telah menyesuaikan kisah-kisah tadi dengan kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan-permasalahan mereka. Kisah dari masa lalu tidak lagi dikisahkan sebagai sebuah kisah yang bebas nilai, melainkan kisah yang harus relevan dengan situasi sekarang dan di sini. Dengan cara itu ia mendapatkan relevansi dan aktualitasnya. Mungkin untuk menjelaskan hal ini, ada baiknya saya mengemukakan beberapa contoh sebagai ilustrasi. Misalnya, kisah-kisah mengenai konflik Yesus dengan para lawannya di dalam Yudaisme perlahan-lahan menjadi semakin tajam dan tajam dan juga keras (kasar) terutama ketika Gereja semakin menyadari bahwa ia berada dalam suatu keadaan yang ditandai oleh pertakaian yang semakin sengit dengan orang-orang Yahudi yang lain. Dan pertikaian itu akhirnya berbuntut pada penyingkiran orang-orang Kristiani itu dari ikatan komunitas Yahudi sama sekali. (Baca REB, SG, Armstrong, dll). Pelukisan mengenai ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi dalam Injil-injil, dan mengenai orang-orang Yahudi pada umumnya dalam Injil Yohanes, kiranya lebih memantulkan atau mencerminkan konflik yang lebih kemudian ini daripada perlawanan terhadap para penguasa Yahudi yang dulu sebenarnya telah dilakukan atau diperlihatkan oleh Yesus sendiri. (Artinya, Yesus sendiri dulu memang sudah melakukan perlawanan terhadap orang-orang Yahudi, sudah mengecam para ahli taurat dan orang-orang Farisi. Tetapi perlawanan itu tidaklah sekeras seperti perlawanan yang tampak terekam dalam injil-injil sekarang ini, yang lebih memantulkan konflik dan pertikaian di kemudian hari hari pada konflik yang terjadi pada masa Yesus sendiri). Tetapi, sampai sejauh tertentu kita bisa merekonstruksi proses berlangsungnya perkembangan ini. Dan dengan cara itu kita dapat menelusuri kembali ke belakang dan bisa sampai ke suatu presentasi yang lebih otentik akan Yesus dan akan ajaranNya dari pada ajaran yang yang kini sudah terkandung dalam injil-injil yang kita miliki. (Kritik Redaksi) (Lihat dari Pedoman Vatikan itu, juga DV) Di pihak lain, kalau bahan-bahan dalam Injil-injil sudah berubah dan berkembang sebelum para penginjil menemukan dan memakai mereka, maka kita harus membiarkan munculnya suatu kemungkinan bahwa mereka sendiri memang telah melakukan perubahan-perubahan yang sadar dan sengaja yaitu bahwa mereka sendiri lebih dari sekadar para penyusun saja. Istilah teknis yang biasa dalam studi-studi kitab suci bagi seorang penyusun yang melakukan perubahan kreatif terhadap bahan yang telah ia dapat sebagai warisan dari tradisi, ialah redaktor. Dan studi atau kajian mengenai apa yang telah dilakukan atau dikerjakan oleh para redaktor itu dikenal dengan sebutan teknis redaction criticism, atau kritik redaksi. Para ahli kritik redaksi, walau sepenuhnya sadar bahwa para penulis Injil tidak menyusun bahan mereka secara bebas tetapi mempunyai sumber-sumber tertentu (entah itu tertulis maupun lisan), mengatakan bahwa mereka sendiri juga memberi banyak sumbangan tersendiri dalam seluruh proses itu. Barangkali tidak ada banyak perbedaan sebenarnya antara menyebut Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes sebagai para redaktor dan menyebut mereka sebagai para pengarang, sebab masing-masing penulis mengadaptasikan bahan yang telah ia terima dengan suatu cara yang sedemikian rupa sehingga ia mampu memasukkan cap dan ciri-coraknya sendiri ke dalam bahan yang sedang ia kerjakan itu. Sosok Yesus versi Lukas dalam beberapa segi yang penting berbeda dari sosok Yesus versi Mateus. Misalnya, dalam Lukas, Yesus bersikap cukup longgar terhadap hukum Musa, tetapi sangat menaruh kepedulian pada orang miskin dan kelompokkelompok yang malang di dalam masyarakat. Sedangkan dalam Mateus, Ia justru mengintensifkan kekerasan dan keketatan hukum itu sendiri, dan lebih menaruh kepedulian dan perhatian terhadap masalah-masalah di dalam Gereja. Cara atau jalan yang paling baik untuk menjelaskan hal ini kiranya ialah bahwa kita harus membayangkan kedua penginjil yang sedang disinggung itu sebenarnya mempunyai agenda yang berbeda di dalam gereja atau komunitas jemaat mereka sendiri, masalah yang berbeda yang dihadapi dan ancaman-ancaman bahaya yang berbeda yang juga harus mereka hadapi. Itulah semua hal yang harus mereka ingatkan terhadap para pembaca mereka masing-masing. Maka dengan demikian masalah menyangkut kapan dan bagaimana Injil-injil ditulis ternyata merupakan suatu masalah yang sangat rumit dan pelik, berbelit-belit. Tetapi untuk menyederhanakan tampang permasalahan

ini, kita dapat mengatakan bahwa tentu saja seluruh proses itu pasti sedang menuju ke suatu titik akhir atau titik tujuan tertentu itulah titik sesudah mana Injil itu tidak akan diedit lagi lebih jauh; ia sudah berhenti. Dan titik akhir ini dapat ditetapkan secara garis besar saja untuk masing-masing injil. Inilah yang mau kita lihat dalam bagian berikut ini. Markus adalah injil yang pertama yang telah diselesaikan, boleh jadi sebelum jatuhnya kota Yerusalem kepada orang-orang Roma pada tahun 70-an (Armstrong itu), tetapi boleh jadi juga tidak lama sesudahnya. Mateus dan Lukas berasal dari suatu dasawarsa kemudian, atau mungkin lebih kemudian juga paling tidak demikianlah anggapan umum yang disepakati oleh para pakar PB. Tetapi kalau dengan tanggal penulisan itu kita maksudkan tanggal saat mana bahan itu pertama kalinya dituliskan, maka untuk beberapa bagian daripadanya boleh jadi sudah ada dan ditulis sejak sangat dini, yaitu mungkin sudah sejak jaman Yesus sendiri. Dan kalau beberapa di antara bahan itu diturun-alihkan secara lisan, maka penetapan tanggalnya kurang-lebih ditetapkan secara arbritrer begitu saja, karena bahan itu secara perlahan-lahan dan secara bertapa dibentuk dan diubah dalam perjalanan dan perkembangan waktu, dan kita bisa saja mengatakan dengan suatu tingkat keabsahan yang sama bahwa ia berasal dari tahun 40-an, 50an, 60 atau bahkan 70 M, dan tidak satu pun tanggal yang ditetapkan ini dapat menggambarkan suatu titik yang serba pasti dan jelas. Surat-surat Surat-surat (epistola) dalam PB mempunyai satu persoalan yang sangat berbeda lagi. Aktifitas menulis sebuah surat adalah sebuah proses yang berbeda dari aktifitas mengumpulkan sebuah kisah historis. Aktifitas menulis surat adalah perkara menyampaikan satu pesan dengan satu cara yang sedapat mungkin sangat jelas. Aktifitas ini bukan sekadar merangkum dan merangkai bersama-sama semua jenis informasi yang terlepas-lepas (framentaris) dan membentuknya sedemikian rupa sehingga bisa membantuk satu tatanan keseluruhan yang rapi teratur. Pertanyaan mengenai bagaimana, dan kapan, surat-surat Paulus akhirnya ditulis pada dasarnya tidak terlalu sulit (walau sebenarnya kita kadang-kadang kekurangan informasi historis yang perlu untuk dapat membuat kita merasa yakin dan pasti). Dari kisah para Rasul kita tahu, dan juga sesungguhnya dari surat-surat Paulus sendiri, bahwa ia menempuh beberapa perjalanan mengelilingi kawasan Laut Tengah, baik untuk membangun komunitas jemaat (gereja) di tempat-tempat di mana injil belum diwartakan atau membangun gereja yang telah ia sendiri dirikan dalam sebuah perjalanan yang terdahulu. Dengan cara merangkai dan mengumpulkan serta menyatukan indikasi-indikasi historis baik dalam Kisah maupun dalam surat-surat, maka adalah mungkin untuk menetapkan suatu tatanan kronologis yang mungkin bagi surat-surat itu. 1 dan 2 Tesalonika, 1 dan 2 Korintus, Galatia, Roma, Filipi, Kolose, Filemon, Efesus, 1 dan 2 Timotius, Titus. Tetapi dengan surat-surat inilah kita menghadapi masalah yang secara teknis disebut pseudonimitas. Sebagian terbesar, sebagaimana yang telah kita lihat, kitab-kitab bilis tidak menyampaikan kepada kita siapa yang menulis kitab-kitab itu; tetapi dalam kesempatan lain yang sangat jarang, kalau ternyata mereka memberitahukan nama penlisna, maka kadang-kadang mereka juga tidak sedang menyampaikan kebenaran. Jadi, belum tentu apa yang mereka sebutkan di sana sebagai penulis surat, memang benar demikian adanya. Sebagian besar para kritikus sepakat bahwa Surat-surat Pastoral yaitu 1 dan 2 Timotius dan Titus memang memakai nama dan kewibawaan Paulus, tetapi sesungguhnya mereka berasal dari seorang pemimpin generasi kedua di salah satu gereja-gereja yang memang telah didirikan oleh Paulus. Begitulah duduk perkaranya. Surat kepada Jemaah di Efesus secara luas dianggap sebagai semacam surat ensiklik, termasuk dalam tahap ketika surat-surat Paulus sedang dikumpulkan untuk membentuk satu rangkaian atau kumpulan (lihat Bab 3 nanti). Beberapa pakar juga meragukan otentisitas Kolose, yang erat sekali terkait dengan Efesus dalam temanya (antara lain tema kenosis itu). Itulah beberapa contoh kasus pseudonimitas dalam surat-surat PB. Dan pseudonimitas itu adalah sulit untuk dipahami dalam suatu kebudayaan modern seperti kita dewasa ini (karena terpaut suatu jarak ruang dan waktu yang sangat jauh), yang menetapkan banyak tolok ukur dalam proses otentikasi dokumen-dokumen, karena ia tampak memperdaya, dan tampaknya menyimpang jauh dari integritas religius dari karya-karya yang sedang dibicarakan itu. Dalam dunia kuno, pemakaian nama-nama orang lain adalah suatu masalah yang jauh lebih halus: ada hal-hal yang absah dan tidak absah. Kita akan kembali ke ke pokok ini dalam bab berikut. Kalau surat-surat Paulus yang asli berasal dari kurun waktu hingga tahun 60an M., maka surat-surat Deutero-Paulinian diduga berasal dari suatu kurun waktu yang jauh lebih kemudian, yaitu paruh kedua dari abad pertama atau bahkan sudah mulai memasuki abad kedua. Di dalam mereka (surat-surat Deutero itu) Paulus telah menjadi tidak hanya pendiri gereja-gereja melainkanjuga merupakan orang yang memberi mereka bentuk dan tatanan, dan dari siapa para pemimpin (Uskujp) mendapatkan kuasa atau otoritas mereka. Dan ada sesuatu yang dapat disebut iman, satu batang tubuh tradisi yang telah diturun-alihkan Paulus ke atas para pemimpin dan yang harus mereka pertahankan itulah sebuah ide yang khas ada pada para penulis abad kedua tetapi tidak secara jelas berasal dari Paulus itu sendiri. Surat-surat yang lain di dalam PB untuk sebagian terbesar juga bersifat pseudonimus juga, kecuali hanya satu surat yang tetap anonim, yaitu Ibrani. Sebagaimana yang akan kita lihat, banyak orang di dalam Gereja purba beranggapan bahwa surat kepada umat Ibrani itu ditulis Paulus, dan dalam Versi Terjemahan berwibawa hingga saat ini, ada yang masih menyebutkan demikian: Surat Rasul Paulus kepada orang-orang Ibrani. (fn: terjemahan Indonesia: didaftarkan di bagian akhir dari surat-surat Paulus, seperti juga dalam pelbagai versi terjemahan modern lain. Praksis liturgi gereja Katolik: lektor hanya membaca demikian, surat kepada orang-orang atau jemaat Ibrani, tanpa menyebut Paulus sebagai asal atau penulisnya). Tetapi surat itu sendiri sesungguhnya tidak dimulai dengan nama salah satu pengarang atau penulis tertentu. Dan Origenes, seorang teolog dari awal abad ketiga (sekitar 185sekitar 254), sudah melihat bahwa gayanya sangat berbeda dari gaya-gaya surat-surat Paulus yang lainnnya sehingga tidak mungkin bahwa surat itu berasal dari dia. Sesungguhnya juga penyebutan kata surat sebagai nama atau sebutan baginya boleh jadi juga merupakan sesuatu yang asing bagi sifat atau ciri-corak dan isi surat itu. Boleh jadi surat ini adalah lebih merupakan sebuah risalat pendek daripada sebuah surat, walau menjelang bagian akhir (lihat 13:22) sang pengarang memakai beberapa konvensi dari sebuah surat. Ada sebuah anggapan atau spekulasi yang sudah tua usianya bahwa sang pengarang adalah sang penginjil Lukas; tetapi pada waktu-waktu yang belakangan ini ada pakar lain yang mengusulkan bahwa sang pengarang adalah sahabat dan teman sekerja Paulus, yaitu yang bernama Apollos. Dokumen ini juga bersama dengan surat-surat Yohanes, Petrus dan

10

Yakobus adalah dokumen dari generasi kedua, jika dibandingkan dengan karya-karya Paulus sendiri. Sementara 2 dan 3 Yohanes tampak sebagai benar-benar surat, yang ditujukan kepada atau menyapa satu situasi konkret (suatu keretakan di dalam tatanan gereja), yang lain-lainnya tampak mengadopsi bentuk surat secara artifisial, barangkali karena prestise yang telah ditempelkan Paulus padanya. Menetapkan tanggal penulisan Perjanjian Lama Dari sudut pandangan dunia dan jaman modern dewasa ini, yang sudah merentang 2000-an tahun sejak masa-masa awal sejarah Kristianitas, tampaknya hampir tampak terlalu rumit dan repot kalau kita berbicara ataupun berdebat mengenai apakah sebuah dokumen PB tertentu memang berasal dari tahun 50, 70, atau bahkan 90-an Masehi. Boleh jadi kita pun merasa bahwa, apa pun yang menjadi fakta kebenarann yang sesungguhnya, semua karya-karya ini cukup dekat dengan Yesus sendiri (pokok, tokoh, pusat agama Kristianitas itu sendiri). Factor kedekatan histories itulah yang bisa menjadi sebuah alasan yang sangat kuat bahwa suatu teks tertentu bisa mempunyai tempat kedudukan yang penting dan istimewa bagi orang Kristiani, dan juga bisa dengan sangat kuat menarik perhatian mereka. Tetapi tentu saja bisa terjadi suatu perubahan atau pergeseran besar dalam rentang kurun waktu 40 atau 50 tahunan. Kalau kita membuat suatu perbandingan antara tulisan PB yang paling awal atau dini (yaitu 1Tes) dan bahan-bahan yang jauh lebih belakangan (seperti Titus atau 2Petrus) maka kita dapat merasakan dan melihat perubahan atau pergeseran besar itu. Maka bisa dikatakan bahwa ada suatu pergeseran mendasar di dalam penafsiran dan juga pemahaman akan esensi iman Kristiani itu dan kesetiaan pada keanggotaan di dalamnya. Namun demikian, kalau dilihat dari kaca mata kita sekarang ini, perbedaan dalam rentang kurun waktu menjadi relative, bahkan kita bisa mengatakan bahwa perbedaan itu tidak begitu besar atau panjang. Perbedaan itu singkat saja. Nah, kalau sekarang kita kembali ke PL, kita akan melihat dan menemukan bahwa rentang waktu yang diandaikan terlibat dalam seluruh prose situ, jauh lebih besar dan lebih panjang lagi dibandingkan dengan rentang waktu seluruh proses PB itu. Karena rentang waktunya sangat panjang, maka hal itu berdampak sangat besar juga pada jenis dan gaya sastra yang ada dan dipakai dalam PL. Jadi, keragaman gaya dan jenis sastra PL erat terkait dengan fakta sejarah bahwa seluruh proses PL itu sendiri mencakup rentang sejarah yang teramat panjang. Maka dalam bagian berikut kita akan mencoba melihat beberapa contoh insight dari perjanjian lama itu sendiri. Para Nabi Pada umumnya para ahli PL berpendapat bahwa sehubungan dengan hal ini, kitab para nabi merupakan tempat titik berangkat yang baik. Kita memulai studi dan penelusuran kita ke dalam PL dengan bertitik tolak dari Kitab para Nabi. Para nabi kiranya sebagian besar adalah orang-orang yang sudah melek huruf (tidak hanya secara literal saja melainkan juga sudah sampai pada tahap fungsional kreatif). Bahkan beberapa orang dari antara para nabi itu berasal dari kalangan kaum terdidik; demikian misalnya orang-orang seperti Yesaya, Yeremia, dan Yeheskiel. Bahkan kedua nama yang terakhir adalah juga imam (fungsi ganda). Sedangkan Yesaya adalah nabi dari kalangan Istana dan berkarya di bait Allah di Yerusalem. Walau dikatakan bahwa mereka sudah melek huruf, namun boleh jadi mereka tidak menuliskan sendiri pidato-pidato atau ucapan-ucapan mereka. Diduga mereka menyampaikan semuanya itu secara lisan saja kepada para pendengarnya. Inilah yang disebut sebagai tahap pewartaan Lisan. Ketika Yeremia diberitahu oleh Allah untuk meminta agar sang sekretarisnya, yaitu Baruch, menuliskan semua nubuat-nubuatnya (Yer.36), seakan-akan hal ini terasa sebagai sesuatu yang tidak biasa. Ini tampak menjadi sebuah kekecualian belaka. Sedangkan yang lain, semuanya disampaikan secara lisan. Jika demikian duduk perkaranya, maka pertanyaan kita selanjutnya ialah bagaimana akhirnya kita saat ini bisa memiliki kitab-kitab para nabi itu? Bagaimana kita dapat memiliki kitab-kitab para nabi itu, kalau dulunya semua yang tertulis itu disampaikan secara lisan (jadi merupakan pewartaan lisan belaka)? Itulah yang menjadi pertanyaan besar kita sekarang dan di sini. Ada beberapa kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan itu. Jawaban yang biasa atau umum adalah bahwa para murid dari para nabi itu menghafalkan banyak atau sebagian besar dari ucapan sang nabi, dan kemudian mereka meneruskan hal-hal itu, entah secara lisan maupun secara tertulis. Hal itu diteruskan kepada para murid mereka. Dan hal itu berlangsung beberapa kurun waktu, sampai akhirnya muncul sebuah kitab yang merupakan kumpulan dari ucapan-ucapan dari sang nabi tertentu. Sejak saat itulah ucapan-ucapan lisan tadi mulai mengambil bentuk buku, karena sudah terendapkan dalam rupa sebuah kitab. (kasus Amos) Tetapi dalam proses penerusan (transmisi) itu terjadi sangat banyak perubahan dan pergeseran dalam teks lisan itu sendiri. Bahkan ada juga yang hilang ditelan kegelapan sejarah. Fakta itulah yang bisa menjelaskan kenyataan sejarah bahwa ada banyak teks di dalam kitab para nabi itu sendiri yang hampir tidak mungkin berasal dari kurun sejarah sang nabi itu sendiri berkarya secara histories dalam waktu. Untuk membuktikan hal itu baiklah kita melihat beberapa contoh. MIsalnya, ada acuan-acuan (sejarah, tempat, tokoh) yang kalau diteliti dengan baik terbukti bersifat anakronistik. Kitab Amos misalnya, berakhir dalam 9:11-15 dengan sebuah ramalan atau nubuat mengenai pemulihan yang semarak mulia atas Dinasti Daud yang runtuh. Dengan kata lain, nubuat itu berbicara mengenai pemulihan dari sebuah dinasti di kerajaan Yehuda, yang tidak lain adalah Kerjaan yang berada di selatan. Padahal Amos (yang memang berasal dari selatan) tetapi berkarya sebagai nabi di utara, yaitu di Samaria. (Bdk tulisanku di Melintas dan Wacana Biblika itu nanti, juga bebearpa rujukan lain Mays dan BPK itu). Inilah satusatunya nubuat dalam kitab Amos yang mewartakan berkat padahal warna dasar seluruh kitab itu adalah suram karena ia menyampaikan kutuk dan warta celaka belaka. Tetapi, hal yang lebih penting yang dapat ditarik dari kenyataan ini ialah bahwa teks itu mengandaikan dinasti Daud itu memang sudah runtuh. (Justru karena sudah runtuh maka sekarang dinubuatkan bakal bangkit kembali. Dan warta kebangkitan itulah yang bisa menjadi sumber dan dasar pengharapan). Padahal pada jaman Amos ketika masih hidup dan berkarya, Kerajaan Yehuda itu sedang mencapai salah satu titik puncak kejayaannya, dia merupakan sebuah kerajaan yang makmur dan jaya, dan diperintah oleh seorang raja yang bernama Usiah, seorang dari kaum keturunan Daud. Jadi, dinasti Daud belum binasa sebagaimana diandaikan oleh teks itu. Maka apa yang dapat disimpulkan dari fakta anakronistik ini? Hanya satu hal saja. Sebagaian besar para ahli mengatakan bahwa boleh jadi salah seorang murid sang nabi dari jaman

11

yang lebih kemudian telah menambahkan nubuat itu sebagai penutup kitab, tetapi penutup itu haruslah sebuah penutup yang membahagiakan, penutup yang membawa pengharapan, sebuah penutup happy ending. Kalau bukan seorang murid dari sang nabi, boleh jadi juga hal itu dilakukan oleh editor dari kitab itu di kemudian hari. Sang editor mungkin merasa bahwa sebuah kitab tidak sepatutnya hanya mengandung warta celaka belaka. Warta celaka yang sudah ada harus dinetralisir dengan warta sukacita. Kira-kira demikianlah duduknya perkara. (Kasus Yesaya) Yang di atas tadi kita sebut saja sebagai kasus Amos. Sekarang kita mau melihat kasus lain yaitu kasus Yesaya. Kasus yang paling ekstrem sebagai contoh dampak dari aktifitas dan intervensi editorial atas kata-kata para nabi adalah kitab nabi Yesaya itu sendiri. Sang nabi Yesaya itu sendiri sesungguhnya hidup dan berkarya pada abad kedelapan SM., kira-kira tidak lama sesudah Amos tampil dan berkarya di Kerajaan Utara. Tetapi, dan ini yang menjadi kasus kita yang menarik sebagai contoh, kitab yang menyandang nama beliau juga mengandung bagian-bagian kisah sejarah yang merentang kurun waktu yang sangat panjang bahkan sampai ke abad keenam, jadi kurang lebih dua abad sesudah sang nabi itu sendiri berkarya. (Kiranya kita tidak akan berani menyimpulkan bahwa sang nabi berkarya selama hampir lebih dari dua abad. Itu tidak mungkin, sebab umur manusia 70 tahun atau 80 kalau kuat, menurut kata si pemazmur). Kalau menyebut abad keenam berarti itulah kurun waktu tatkala orang-orang Israel (Yahudi) mengalami sebuah tragedy sejarah yang besar yaitu mereka dibuang ke Babel oleh Nebukadnesar, dan kira-kira 60 atau 70 tahun kemudian (sekitar tahun 530-an) mereka diijinkan untuk kembali ke Palestina dan membangun kembali Bait Allah yang baru di atas reruntuhan Bait Allah pertama (Salomo) di Yerusalem. (Ini terjadi di bawah prakarsa Ezra dan Nehemia, dan bait allah ini disebut bait allah kedua, yang nanti akan berakhir pada tahun 70 Masehi. Lihat catatan singkat dalam Armstrong itu). Sejak akhir abad 19 orang sudah terbiasa menyebut Yes.40-55 dengan sebutan Deutero-Yesaya (yang artinya Yesaya Kedua, Second Yesaya). Bagian ini mengisahkan kepedihan nasib kaum buangan, suatu nasib yang sedemikian menyedihkan sampai sang nabi harus berteriak menyerukan dan menyampaikan warta penghiburan Allah. Maka kitab ini dikenal juga sebagai kitab penghiburan (Lihat KS PL dengan pengantar dan catatan itu). Juga sejak saat yang sama, para ahli juga sudah biasa menyebut Yesaya 56-66 dengan sebutan Trito Yesaya (yang artinya Yesaya Ketiga, Third Yesaya). Disebut demikian karena inilah bagian ketiga yagn ditambahkan pada kitab Yesaya setelah orang-orang Yahudi kembali dari pembuangan dan melakukan proses pembangunan kembali kota suci Yerusalem termasuk Bait Allah di dalamnya. Maka sisanya, yaitu Yesaya 1-39, biasanya secara teknis disebut proto-Yesaya, yaitu kitab Yesaya yang asli yang berasal dari jaman sang nabi itu sendiri. Tetapi bahkan dalam penggal proto-Yesaya ini pun terdapat juga banyak teks yang mengandaikan kurun waktu yang jauh lebih di kemudian hari dari pada kurun waktu karya sang nabi itu sendiri. Salah satu contohnya ialah sebagian besar bahan dalam Yes.24-27. Bahan ini diyakini berasal dari jaman yang kemudian, bahkan mungkin juga jauh lebih belakangan lagi daripada Deutero dan Trito Yesaya. Nah lho. Jadi, kita dapat menarik sebuah kesimpulan. Bahwa bukan hanya PL sebagai keseluruhan saja yang merupakan sebuah perpustakaan, bahkan salah satu kitab saja dalam PL itu juga merupakan sebuah perpustakaan mini, karena dalam satu kitab itu terdapat lebih dari satu kitab juga sebenarnya. Kitab Nabi Yesaya adalah sebuah contoh paling nyata dari perpustakaan mini itu, sebuah perpustakaan di dalam perpustakaan. Kitab itu memang tampak sebagai sebuah bunga-rampai nubuat-nubuat yang sangat rumit dan bertumpuk-tumpuk, karena mengandaikan kurun dan lapisan sejarah yang beragam. Beberapa dari nubuat itu ditulis oleh Yesaya sendiri (dianggap atau bahkan diyakini sebagai otentik), atau paling tidak berasal dari mulut dia, tetapi nubuatnubuat yang lain berasal dari jaman yang belakangan, atau ditulis lalu ditambahkan pada jaman yang jauh lebih kemudian dari kurun hidup sang nabi itu sendiri. Kalau demikian duduk perkaranya, maka pertanyaan kita sekarang ialah apakah dulu memang ada apa yang disebut sebagai sebuah mazhab Yesaya, sebuah lembaga yang bertanggung-jawab melestarikan dan menambahkan sesuatu pada teks yang disusun oleh sang nabi itu sendiri? Ini adalah sebuah pertanyaan histories yang sangat besar. Ada beberapa kalangan para hali yang berpikir bahwa memang demikianlah duduk perkaranya, artinya memang ada mazhab seperti yang dimaksudkan. Tetapi kelompok para ahli yang lain yakin dan beranggapan bahwa kitab sebagaimana adanya saat ini dan sebagaimana yang kita terma sekarang merupakan hasil karya dari serangkaian (dan bukan hanya sekelompok) para editor yang tidak mempunyai hubungan khusus apa pun dengan sang Nabi Yesaya itu sendiri, tetapi yang juga telah mengerjakan sesuatu (editing, koreksi, penyisipan) pada kitab-kitab nabi yang lain, seperti Yeremiah atau Yeheskiel, sebab kedua kitab ini juga mempunyai bagian-bagian yang panjang (dan karena itu disebut kitab nabi-nabi besar) yang hampir tidak mungkin berasal dari kurun sejarah masa karya nabi itu sendiri. Jadi, diduga ada sekelompok editor professional yang tidak mempunyai kaitan personal apapun dengan para nabi, selain kaitan fungsional dan institusional belaka. Dari apa yang sudah dikatakan di atas tadi, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa bahkan masingmasing kitab para nabi pun dapat dibagi-bagi lagi menjadi kitab yang otentik dari sang nabi dan yang tidak begitu otentik (yang tidak secara langsung berasal dari sang nabi itu sendiri). Tetapi perlu segera disadari bahwa hal membagi kitab-kitab nabi-nabi menjadi bagian-bagian yang otentik dan bagian-bagian yang tidak otentik adalah merupakan salah satu tugas yang paling berat di dalam studi dan penyelidikan PL itu sendiri. Di tengah upaya kritis-historis ilmiah itu selalu ada sejumput keraguan yang mendorong orang bertanya, apakah langkah seperti itu memang pantas untuk dilakukan? Apakah kita tidak memperkosa kanon itu sendiri? Apakah kita tidak merusak status kanonik kitab yang bersangkutan? Inilah yang menjadi persoalan besar. Tetapi kita dapat memberi beberapa butir pertimbangan berikut ini. Dari sudut pandang keagamaan, dapatlah dikatakan bahwa teks-teks yang tidak murni berasal dari sang nabi tertentu masih tetap merupakan bagian utuh dari Kitab Suci. Jadi, tindakan pembedaan itu sama sekali tidak mempengaruhi status kanonik dari kitab yang bersangkutan. Tetapi dari sudut pandang yang lebih bersifat sastrawi, boleh jadi tetap dirasakan bahwa ada jauh lebih banyak keuntungan dan nilai positif juga kalau dalam studi kritis atas Kitab Yesaya, sebagaimana kitab itu adanya, daripada fragmen-fragmen yang meragukan yang tetap ada di sana juga setelah para kritikus sudah mengobrak-abrik kitab itu dalam derap nafsu penyelidikan mereka. Dengan kata lain, studi ilmiah tidak dapat mengubah status kanonik kitab sebagaimana adanya kitab itu, sebagaimana kitab itu telah diterima sebagai warisan agung dari sejarah masa silam. Tetapi kalau kita mau mengetahui dan mengenal tentang Yesaya, yaitu manusia yang benar-benar bernama nabi Yesaya itu

12

sendiri, maka tidak ada alternative lain selain model atau jenis analisis dan studi seperti ini. Yaitu kita mau tidak mau harus melakukan pemilahan dan pembedaan. Itu tidak bisa terhindarkan. Apalagi, dan ini sebuah pertimbangan pendukung lain yang lebih jauh, ada banyak sukses besar yang pantas dilaporkan juga sebagai hasil dari studi dan analisis seperti ini. Salah satu yang pantas dilaporkan ialah penemuan dan kesadaran histories akan adanya kitab Yesaya Kedua itu. Kesadaran itu membangkitkan kesadaran baru dalam diri kita akan adanya sebuah teologi yang khusus dalam kitab nabi Yesaya. Kita tidak bis amenyangkal fakta sejarah bahwa teologi Yesaya Kedua itu merupakan termasuk di antara sumbangan yang paling penting bagi apa yang harus dikatakan oleh PL tentang pokok-pokok besar dan mendasar seperti penciptaan, monoteisme, dan juga penderitaan (tema-tema eksistensial dalam teologi PL itu sendiri). Oleh karena itu, pantas kalau kita mempertimbangkannya secara terpisah juga. Di satu waktu kita dapat mempertimbangakan kitab ini saja dalam dirinya sendiri, sebagai sebuah kitab utuh yang mengandung visi teologis yang otonom, yaitu melihat teks itu dalam dirinya sendiri dan tidak terutama melihatnya sebagai bagian utuh dari kitab nabi Yesaya. Dan di waktu lain kita dapat melihatnya sebagai satu aspek dari kitab nabi Yesaya yang besar itu. Di sini kita dapat melihat sesuatu yang sudah disinggung secara tersirat dalam apa yang sudah diuraikan sampai sejauh ini. Yaitu kita membuat suatu pembedaan antara aktifitas menulis kitab-kitab di satu pihak, dan hal mengumpulkan kitab-kitab itu di pihak yang lain. (Bahkan harus ditambahkan bahwa sebelum ada penulisan sudah ada terlebih dahulu pewartaan lisan, dan penerusan secara lisan, barulah kemudian ada upaya penulisan). Dalam konteks kita sekarang ini, adalah jelas sekali bahwa hal menulis sebuah buku dan hal membangun sebuah perpustakaan adalah dua tugas atau kewajiban yang sangat berbeda satu sama lain. Sejauh menyangkut sastra Israel kuno dan bahkan dalam ukuran atau takaran tertentu juga menyangkut Injil-injil dari PB tindakan menarik garis pembedaan antara kedua aktifitas tadi adalah jauh lebih longgar. Sebab boleh jadi Yesaya sendiri dulu sebenarnya mungkin tidak menulis apa-apa, kalau kita memahami kata menulis itu benar-benar secara harfiah (mendapat ilham, lalu ia duduk mengambil alat tulis dan kertas dan mulai menuliskan ilham itu). Kiranya tidak seperti itu. Kalau tidak demikian, maka dapat dikatakan bahwa kita sesungguhnya sangat banyak berutang budi pada para muridnya sehubungan dengan pengetahuan kita mengenai apa yang dulu telah ia katakan atau sampaikan. Tanpa jasa para murid itu kita hampir tidak mungkin tahu apa-apa tentang perkataan dan warta sang nabi. Itu baru di satu pihak. Di pihak lain, kita juga tidak bisa begitu saja menyatakan bahwa kitab itu hanyalah hasil dari karya dari para murid itu saja, karena kepadanya telah ditambah-tambahkan sesuatu selama satu rentang masa atau tahun yang sangat panjang, bahkan bisa mencapai rentangan beberapa abad. Deutero-Yesaya dan Trito-Yesaya boleh jadi merupakan para pengarang dalam artian yang jauh lebih harfiah jika dibandingkan dengan nabi Yesaya itu sendiri walau tentang mereka berdua itu juga boleh jadi kita juga mendapat warisan perkataan dan warta mereka karya jasa karya para murid-murid juga. Jadi, tidak serba langsung juga. Selalu ada perantara. Dan perantara itu selalu juga serentak berfungsi sebagai penafsir. Perantara itu berperan dan berfungsi hermeneutik juga. Sebab ia meneruskan dengan cara menafsirkan, meneruskan dengan maksud dan tujuan serta kepentingan tertentu. Ada pamrihnya. Kita sebut saja pamrih hermeneutik dari si perantara itu. Tetapi ada satu hal yang dapat kita sepakati dengan sangat yakin bahwa pengumpulan dan penyusunan bahan-bahan menjadi Kitab final Nabi Yesaya sebagaimana yang kita miliki dewasa ini kiranya lebih merupakan hasil karya para editor (editorship) dari pada karya pengarang (authorship). Para editor itu juga bukan hanya burung beo atau tape rekorder belaka. Boleh jadi dalam proses editorial itu mereka juga telah menyumbangkan ide-ide mereka sendiri yang khas. Hal itu dapat mereka lakukan dengan pelbagai macam cara. Dan salah satu caranya ialah cara bahan-bahan itu disusun. Urutan tematik bab-per-bab juga mengadung visi dan misi teologis tertentu juga. (Walau contoh ini tidak berasal dari kitab nabi-nabi, melainkan dari kitab Hikmat, maka contoh penyelipan yang paling terkenal ialah, Ayub prosa yang disisihkan di antara Ayub puisi). Cara lain yang dapat mereka lakukan ialah dengan cara menyelipkan atau menyisipkan komentar-komentar mereka sendiri ke dalam teks; yang ini hampir sulit untuk dilacak. Dengan demikian karya itu, sebagai sebuah karya final bukan lagi sekadar sebuah antologi belaka. Ia sudah menjadi teologi dalam bentuk antologi, menjadi antologi teologi. Kita harus selalu ingat akan hal ini, yang akan menjadi kritis dan penting, ketika, dalam bab berikut nanti, kita melangkah ke cara bagaimana kitab-kitab biblis itu telah dikumpulkan ke dalam kelompok-kelompok atau golongan-golongan tertentu. Aktifitas-aktifitas menyusun dan mengumpulkan kitab-kita kurang begitu secara tajam dibedakan dari aktifitas menulis kitab-kitab dibandingkan dengan apa yang menjadi praktek atau kebiasaan dalam dunia modern kita dewasa ini. Para Penulis Profesional dan sastra Hikmat Kebijaksanaan Di atas tadi kita sudah singgung secara singkat mengenai kitab para nabi. Ada satu hal yang dapat diulang sekali sebagai sebuah kesadaran penting mengenai kitab para nabi itu. Yaitu bahwa sesungguhnya kita tidak tahu secara pasti siapa penulis yang menuliskan kitab-kitab para nabi dahulu. Di atas juga sudah ada usulan hipotetis bahwa yang menulis itu adalah kelompok para murid. Kalau benar demikian, tentu kelompok para murid yang dimaksudkan di sini adalah kelompok para murid yang terpelajar. Tetapi ada hipotesis lain, yaitu bahwa orangorang yang bertanggung-jawab secara historis atas semua perkembangan ini adalah kelompok para penulis profesional (scribes). Tetapi siapakah mereka ini? Mereka tidak lain adalah orang-orang terpelajar yang melakukan kegiatan penulisan sebagai cara untuk mendapatkan nafkah hidup, jadi mereka itu adalah para penulis profesional, yang bisa hidup dari dan karena jasa menulis (jasa melek huruf). Mereka itu bisa saja bekerja sebagai pekerja bebas atau tenaga lepas. Tetapi mereka juga bisa bekerja sebagai pegawai negara atau pegawai-pegawai pada lembagalembaga keagamaan. Hipotesis mengenai peranan para penulis profesional ini, kiranya cukup beralasan, mengingat fakta sejarah bahwa pelbagai kebudayaan lain di sekitar Israel pada masa itu juga mempunyai para (penulis) profesional seperti itu. Biasanya dari kalangan mereka inilah dipilih para calon untuk menjadi pegawai negeri. Sistem pemerintahan dengan staf pegawai negeri seperti itu sangat berkembang pesat baik di Mesir maupun di Mesopotamia pada kurun milenium kedua SM. Maka adalah sangat penting untuk menyadari betapa spekulatifnya pertanyaan-pertanyaan sekitar atau menyangkut asal-muasal atau tentang para penulis kitab-kitab Perjanjian Lama itu. Sebab yang kita tahu adalah fakta bahwa kitab-kitab itu sudah tertulis. Tetapi kita tidak hampir tidak tahu siapa yang menulis kitab-kitab itu. Itulah yang menjadi persoalan kita.

13

Dalam paragraf di atas tadi kita sudah mulai menyinggung perihal hipotesis mengenai adanya kelompok para penulis profesional. Barangkali kitab Amsal-lah yang merupakan contoh paling baik mengenai kitab yang diduga dihasilkan oleh kelompok para penulis profesional seperti itu. Tetapi kelompok para penulis profesional ini juga mempunyai latar belakang asal-usul yang berbeda juga. Misalnya ada yang mengatakan bahwa mereka mungkin sudah ada dan sudah bekerja juga pada jaman kerajaan Salomo. Oleh karena itu ada sementara ahli yang beranggapan bahwa kumpulan yang disebut Amsal-amsal Salomo dalam kitab Amsal itu memang sungguh berasal dari jaman pemerintahan raja Salomo sendiri. Selanjutnya mereka juga beranggapan bahwa tradisi hikmat yang terkandung atau tersimpan di dalam kitab itu memang sudah mulai ada di istana raja Salomo. Dan tidak hanya itu saja, boleh jadi raja Salomo itu sendirilah juga yang telah mendorong kelompok para penulis profesionalnya untuk menulis, mengumpulkan, dan menyusun kumpulan hikmat itu. Sebelum melangkah lebih lanjut, kita harus menyadari sejak semula bahwa kitab-kitab yang mirip seperti kitab Amsal itu ada juga di Mesir dan di Mesopotamia. Dan dalam beberapa hal, di tempat-tempat itu, tampaknya juga kitab-kitab tadi merupakan hasil kerja dari kelompok para penulis profesional dan terpelajar juga. Beberapa amsal dari alkibat tampaknya berasal dari lingkaran atau kalangan istana. Maka kita sebut saja sebagai amsal istana, atau amsal kerajaan (royal proverbs). Contoh yang paling terkenal ialah Ams.23:1-3. (dikutip saja). Selain itu ada juga amsal yang berasal dari konteks kampung atau wilayah hidup pedesaan. Maka kita sebut saja amsal kampung, atau amsal pedesaan. Contoh yang paling terkenal ialah Amsal 12:10-11). (dikutip saja). Nah, amsal-amsal seperti ini biasanya tidak mempunyai pengarang, dalam artian yang biasa dari kata itu. Amsal itu adalah amsal kolektif-komunal, amsal anonim. Ia sudah ada begitu saja di tengah-tengah masyarakat. Tetapi boleh jadi mereka sudah dikumpulkan dan disusun dengan cara-cara tertentu oleh satu kelompok tertentu, dalam hal ini ialah kelompok para penulis profesional tadi. Harus dikatakan juga bahwa kita tidak tahu dengan pasti kapan kitab Amsal itu sudah mulai ada sebagai sebuah kumpulan. Memang ada beberapa hipotesis untuk menjawab persoalan itu. Misalnya ada yang menunjuk kurun waktu antara tahun 1100 sampai tahun 300 SM sebagai rentang kurun proses pengumpulan dan penyusunan seluruh kitab Amsal itu. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa isi dari kitab itu pada umumnya menyangkut pengamatan atas hidup yang sangat umum sehingga hampir setiap kurun waktu di antara rentang tahun di atas tadi, di mana bahasa Ibrani klasik sudah digunakan, dapat ditunjuk sebagai kurun waktu penulisan. Dan sebagaimana biasanya, ada alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa kitab itu telah melewat banyak proses editing, proses koreksi. Mungkin sebanyak seperti yang terjadi atas kumpulan kitab para nabi, sebagaimana yang telah disinggung dalam bagian terdahulu. Naratif Separuh dari PL terdiri atas kisah atau sejarah dalam artian yang longgar. Pentateukh sudah dibahas sedikit di atas tadi. Tetapi tidak setiap orang setuju dengan hipotesis bahwa ia disusun dengan menjalin bersama-sama pelbagai sumber, walau ini merupakan sebuah teori klasik yang menjadi titik tolak semua studi ilmiah tentang Kitab Suci. Tetapi hampir setiap orang berpikir bahwa ia adalah komposit dan tidak disusun langsung sepanjang satu baris danjuga bahwa ia telah mengalami pelbagai macam tahap-tahap proses editorial. Dalam satu teks seperti berikut ini, adalah sulit untuk berpikir bahwa kita mempunyai satu karya koheren hanya dari satu orang penulis saja ........................ (Kel.24:9-18). Kalau kita melihat adegan ini dengan fokus yang sangat lembut, maka kita akan memperoleh satu kesan umum tentang perjumpaan Musa dengan Allah. Tetapi kalau kita coba melihat secara lebih teliti dan rinci tentang apa yang sedang terjadi, yang memang harus dilakukan, misalnya, jika kita mau mem-film-kannya, maka kita bisa melihat bahwa degan ini sangat tidak koheren. Dan itulah yang menjadi masalahnya. Beberapa kalikah Musa mendaki gunung itu? Apakah di antaranya ia pernah turun lagi? Siapa yang sebenarnya menyertai dia? Dan di manakah bangsa Israel pada saat ia naik? Nah, orang yang mempelajari teks ini, dan teks lain yang serupa itu,dengan teliti, biasanya akan sampai pada satu kesimpulan bahwa-teks itu adalah karya dari lebih dari satu pengarang meungkin juga misi-misi yang berbeda dari cerita yang satu dan sama, yang dirangkai menjadi satu oleh editor di kemudian hari. Tetapi identitas dari para penulis seperti itu tetap tinggal sebuah misteri yang sangat gelap. Sudah ada banyak karya yang telah dilakukan dalam mempelajari kitab-kitab sejarah dari Yosua sampai ke Rajaraja, dan juga kitab-kitab Tawarik, Ezra dan Nehemiah. Adalah sangat mapan bahwa kitab-kitab mulai dari Yosua hingga ke 2Raja-raja ditulis atau disusun selama masa Pembuangan pada abad keenam SM, dan dimaksudkan untuk menjelaskan dan melukiskan kemerosotan dari masa pendudukannya yang sukses atas tanah Kanaan, melalui kerajaan Daud dan Salomo, hingga ke terjadinya bencana yang berujung pada drama tragis Pembuangan itu. Untuk melakukan hal ini para penulis atau para penyusun telah menimba dari suatu rentang yang sangat luas bahan yang sudah ada dari kisah-kisah atau annals resmi kerajaan (seperti kitab tawarikh dari para raja Yehuda, 2 Raj.21:25, atau kitab kisah Salomo, 1Raj.11:41) semua jalan menuju ke legenda-legenda populer dengan cara mengebawahkannya pada suatu skema-penanggalan yang konsisten dan membentuknya untuk membuat pelbagai titik teologis tentang nasib Israel. 1 dan 2 Tawarikh mengisahkan kembali banyak dari kisah ini dari suatu perspektif pasca-pembuangan (kurang lebih kira-kira pada abad kelima SM), sementara Ezra dan Nehemia mencoba melestarikan kisah-kisah yang agak terpotong-potong mengenai proses pembangunan kembali pascapembuangan itu dan oleh karena itu pasti tidak lebih dulu dari akhir abad kelima atau keempat SM. (Kasus Yosua) Dalam kasush Yosua 2 Raja-raja boleh jadi ada satu petunjuk atau tanda mengenai identitas dari para penulisnya. Banyak dari tema teologis dari karya itu dekat dengan ide yang terdapat dalam kitab Ulangan, sebuah kumpulan hukum yang secara umum diduga telah dibuat dalam bentuknya yang final selama abad ketujuh SM kurang dari satu abad sebelum para sejarawan menghasilkan kisah mereka. Karena alasan ini karya-sejarah Yosua-2Raja-raja secara luas diacu dalam studi-studi biblis akademik sebagai Sejarah Deuteronomistik. Hal ini membenarkan

14

hipotesis bahwa para pengarang atau penyusun boleh jadi dekat dengan para penyusun kitab Ulangan itu sendiri dengan kata lain, beberapa kelompok orang yang menaruh peduli dengan administrasi atau pengajaran hukum: para nabi, para imam dan para penulis profesional semuanya telah diusulkan pada salah satu waktu atau pada kurun waktu yang lainnya. Bekerja dengan para pengarang 32.... Akhirnya, ada sejumlah kecil kitab di dalam Perjanjian Lama yang dapat dikatakan mempunyai seorang pengarang dalam artian yang kurang lebih sama seperti status kepengarangan rasul Paulus dalam Perjanjian Baru itu. Biasanya kitab-kitab ini adalah hasil karya dari satu orang penulis yang menyusun kitabnya dengan bebas, tetapi ia tetap mempunyai satu tujuan tertentu yang mau dicapainya dan diwujudkannya. Kitab-kitab seperti Rut dan Yunus, adalah cerita-cerita pendek tentang beberapa tokoh imajiner. Kitab-kitab ini sedikit sekali memperlihatkan adanya bukti bahwa isinya adalah merupakan sebuah kompilasi dari beberapa kitab atau aliran pemikiran. Tampaknya karya-karya itu adalah merupakan karya-karya fiksi yang sungguh sadar atau disadari, dan boleh jadi berasal dari kurun waktu sesudah masa Pembuangan. Kitab Pengkotbah ditampilkan sebagai, dan boleh jadi memang sungguh demikian juga adanya, hasil karya orang yang disebut Qoheleth (sang Pengkotbah, demikian terjemahan dalam versi terjemahan resmi). Walau juga harus disadari bahwa kitab ini pun di sana-sana mengutip beberapa amsal dari kurun terdahulu, amsal yang sudah ada terlebih dahulu (sebelumnya). Ayub sebagai sebuah kitab utuh-keseluruhan adalah sebuah komposisi, kitab yang disusun dan terdiri atas pelbagai macam unsur. Kalau pandangan umum benar bahwa kitab ini terdiri atas prosa dan puisi. Bagian prosanya ialah 1-2 dan 42:7-17. Bagian ini berasal dari pengarang lain. Dan bagian puisinya yang berbentuk dialog merentang dari 3:1-42:6. Bagian ini juga diduga dari kelompok pengarang yang lain. Dialog itu sendiri memperlihatkan banyak tanda bukti bahwa ia sendiri berasal dari seorang penulis yang kreatif. Penulis ini menyusun, dan tidak hanya merakit atau meracik bahan atau fragmen yang lebih tua saja; bagian ini juga diduga berasal dari kurun tidak lebih dini dari abad kelima SM. Kesimpulan: Sebuah Kisah yang Hal ini belum merupakan satu penuntun yang menyeluruh terhadap kitab-kitab yang ada dalam Kitab Suci: beberapa kitab belum disebut, dan banyak teori tentang mereka telah ditafsirkan (gloss over). Tujuan dari survei itu ada dua. 1). Saya telah mencoba menunjukkan kompleksitas dari proses dengan mana semua kitab-kitab akhirnya ditetapkan dalam tulisan. Beberapa di antaranya merupakan teks-teks tertulis yang terpadu sejak awal mula, tertulis atau paling tidak didiktekan oleh satu orang. Kasus yang jelas dari hal ini adalah surat-surat Paulus, tetapi beberapa kitab dari PL juga termasuk dalam kateogi yang sama Rut dan Pengkotbah baru saja telah disebut. Pada sisi ekstrem yang lain, beberapa kitab tampaknya telah disatukan seperti sebuah mozaik dari fragmen-framgen yang terlepas-lepas. Pentateukh dilihat dengan cara seperti ini oleh beberapa pihak, tetapi Amsal kiranya merupakan sebuah contoh yang paling baik. Di tengah kedua sudut ekstrem itu, ada mayoritas terbesar dari kitab-kitab, di mana seorang editor atau serangkaian editor telah mengambil bahan yang sudah ada (atau secara lisan atau dalam bentuk tulisan) dan telah memakainya untuk menciptakan suatu karya yang kurang lebih bersifat koheren, di mana beberapa tujuan akhir yang undarned masih bisa dilihat, tetapi dalam mana sebuah pola yang konsisten muncul juga none the less. Sejarah Deuteronomistik adalah contoh kasus klasik dari hal ini; demikian juga halnya dengan Injil-injil. Oleh karena sang redaktur terakhir telah membentuk bahan yang ia terima dengan suatu cara yang konsisten, masing-masing dari Injil mempunyai ciri-coraknya sendiri yang khas, walau ada fakta bahwa mereka semua mempunyai banyak sumber bahan tertentu yang sama. Kalau kita sudah mempelajari Injil secara rinci, maka kita pun akan segera tahu, kalau kita diberikan dengan suatu teks yang tidak teridenfikasi, dari injil manakah kiranya ia telah diambil. Hal ini berarti bahwa para penulis-Injil, walau bukan pengarang dalam artian yang sama seperti kita dewasa ini, adalah lebih dari pada pengetik-salinan yang hanya menulis kembali (transcribe) apa yang telah mereka temukan dalam sumber-sumber yang terdahulu. 2). Sebagaimana yang sudah diisyarakatkan tadi, saya mau menekankan kuranya suatu pembedaan yang jelas antara proses penulisan dan proses pengumpulan dalam kebudayaan-kebudayaan yang telah menghasilkan Kitab Suci. Ajaran-jaran yang lebih tua mengenai penafsiran Kitab Suci yang berbicara tentang Allah sedang mengilhami para pengarang biblis sulit untuk diterapkan pada suatu situasi historis sebagaimana yang telah kita lukiskan tadi. Ini bukan hanya sekadar bahwa ada hanya beberapa pengarang yang nyata dan yang lain itu hanya para penyusun saja: adalah kepengarangan itu sering sekali tampaknya dipahami sebagai semacam aktifitas kompilasi atau, kalau mau, bahwa kompilasi itu merupakan satu-satunya jenis kepengarangan yang diketahui oleh beberapa orang. Pengarang dari Amsal-amsal hanyalah sang pengumpul saja, walau boleh jadi ia telah mengumpulkan bahan itu secara kreatif, dengan cara menempatkan bahanyang telah ia peroleh dalam suatu tata urut yang benar untuk menyampaikan (to get across) poin apa saja yang ingin ia katakan. Sang penyusun Pentateukh adalah seorang pengaran kreatif, yang menyatu-padukan bahan yang beragam menjadi satu karya keseluruhan yang rapi dan final. Dunia kitab suci tidak akrab dengan banyak dari distingsi-distingsi kita dewasa ini. Kata Ibrani sopher, scribe atau penulis, mencakup satu rentang makna yang lebih luas dari pada kata-kata kita dewasa ini seperti penulis atau pengarang. dan sebenarnya, mungkin kata sekretaris merupakan sebuah terjemahan yang lebih baik untuk kata itu. Dalam sistem kepegawaian Inggris, Sekretaris Negara juga mempunyai Sekpri (yaitu para pegawai negeri yang bertindak sebagai para pembantu pribadi mereka), tetapi baik Sekretaris Negara maupun Sekretaris Pribadi juga mempunyai sekretaris juga yaitu, orang untuk menangani surat-surat mereka dan melakukan pengetikan. Dalam bahasa Ibrani, sopher secara kasar mempunayi rentang makna yang sama mulai dari beberapa orang yang melaksanakan tugas (chore) menyalin dengan rapi bahan yang sudah disusun oleh orang lain, hingga ke beberapa orang yang mempunyai sekretaris lagi kepada siapa ia dapat mendiktekan dan yang karena itu mungkin menulis agak sedikit, dalam artian harfiah dari istilah itu. Lebih jauh, tidak perlu ada suatu pembedaan antara seorang penulis dalam artian modern dari seorang pengarang, dan seorang penulis dalam artian beberapa orang

15

yang terlatih dalam mencampurkan tinda dan memperhalus papirus (smoothing). Dunia Greco-Roman memang dulu membuat pembedaan ini, tetapi bahkan di sana pun kurang begitu tajam dari pada pembedaan yang kita buat dewasa ini. Ketika dalam bab yang berikut kita bergerak lebih jauh lagi, dari hal mengumpulkan bahan ke proses menjadikan atau menyusun kitab, ke proses pengumpulan kitab-kitab untuk membentuk satu kumpulan-kumpulan yang lebih besar, kita perlu mengetahui pemikiran-pemikiran yang fuzzy ini secara lebih kuat lagi dalam benak kita. Jangan sampai kita melupakannya.
Bab III: Mengumpulkan Kitab-kitab Tujuan Bab ini:

Pengantar Bab 3 Sekarang ini kita sudah mempunyai kitab suci. Tentu kitab suci itu tidak berada begitu saja sebagai sebuah paket surgawi. Dibutuhkan suatu proses dan rentang waktu yang panjang untuk dapat sampai ke keadaan kita sekarang ini. Dengan kata lain, agar apa yang disebut Kitab Suci itu ada, adalah tidak cukup bahwa ada fakta banyak kitab yang dikumpulkan bersama-sama dalam sebuah bunga rampai, baik itu pada jaman Israel kuno dahulu maupun pada jaman gereja purba. Jadi, fakta bahwa ada banyak kitab saja, belum memadai sebagai syarat untuk terbentuknya kitab suci. Masih ada syarat yang lain. Yaitu mereka perlu dikumpulkan, dan memang mereka dulu telah dikumpulkan, dan kumpulan itulah yang membentuh sebuah batang tubuh kitabkitab. Dalam Kitab Suci sebagaimana yang kita ketahui, sebuah koleksi diikat-satukan bersama dengan suatu cara yang sangat harfiah: semua kitab biblis membentu satu volume tunggal, kurang lebih sama dengan bab-bab yang berbeda-beda dalam sebuah novel. (Jadi, masing-masing kitab dalam kitab suci dianggap sebagai bab-bab saja dari satu buku utuh yang tunggal). Tetapi di sini kita harus berhati-hati. Kita harus selalu mengingatkan diri kita sendiri akan teknologi yang berbeda untuk menghasilkan sebuah buku dalam dunia kuno dulu. Di Israel, sebagaimana halnya di Yunani dan Roma klasik, sebuah kitab itu ditulis hanya pada satu sisi saja dari satu batang (kepingan) papirus yang sangat panjang, atau, kadang-kadang, di atas permukaan kertas kulit, yang kemudian digulung untuk membentuk sebuah kitab gulungan (scroll). Gulungan itu biasanya mempunyai tiang kayu yang keras, yang berfungsi sebagai bagian inti dari gulungan (roller). Kayu gulungan ini masing-masing ada pada kedua ujung gulungan itu, sehingga gulungan itu dapat digulung ke salah satu kayu saja, dan kayu yang lain dijadikan pegangan. Atau bisa juga digulung pada keduanya sekaligus, dan berhenti di tengah kalau gulungan pada masing-masing kayu sudah sama tebalnya. Karena teknik penyimpanannya seperti itu, maka hal itu juga ikut mempengaruhi cara atau teknik penulisan. Pada saat itu tulisan disusun pada satu kolom-kolom yang sangat sempit yang sejajar dengan masing-masing kayu gulungan tadi. Sebuah gulungan dapat hanya menyimpan sebanyak satu tulisan yang ada dalam satu kitab saja, misalnya satu gulungan untuk kitab Yesaya saja, atau Yeremia saja, dst. Sebuah kumpulan kitab-kitab, dalam konteks ini, kiranya berarti demikian: sebuah kumpulan, dan bukan satu volume tunggal dari kumpulan karya-karya. Sebagaimana yang telah kita lihat, sebutan atau nama Kitab Suci kiranya bukanlah nama dari satu kitab melainkan nama sebuah perpustakaan kecil. (Sesungguhnya, kata bible itu sendiri berasal dari kata Yunani biblia, yang berbentuk plural, dan yang berarti kitab-kitab; jadi memang ada banyak kitab di dalamnya). Pola kuno ini masih tetap bertahan hidup dan masih tetap dipakai dalam sinagoga-sinagoga hingga saat ini, di mana kelima kitab Musa (Kejadian sampai Ulangan) masih tetap ditulis pada lima gulungan, yang disimpan dalam sebuah lemari yang disebut tabut, dan yang dibawa keluar setiap sabat untuk dibacakan dalam sebuah upacara suci kegamaan (ibadat). Tetapi untuk semua tujuan-tujuan yang lain, orang-orang Yahudi, seperti halnya juga orang-orang Kristen, memakai satu volume tunggal dan satu kodeks saja dari Kitab Suci itu. Di dunia kuno, kodeks apa yang kita sebuah sebagai sebuah kitab, yaitu satu volume yang dijilid rata dengan dua sampul depan dan belakang, dan satu punggung jilidan barulah muncul dalam sejarah sekitar abad pertama Masehi, dan hal ini, walaupun belum dapat dijelaskan sepenuhnya, mempunyai kaitan yang erat dengan Kristianitas itu sendiri. Walau ada gulungan-gulungan Injil-injil dan surat-surat, sudah sejak dari jaman yang awal mula orang-orang Kristiani menerima kodeks bagi kitab-kitab mereka sendiri, dan segera mulai menulis PL dalam kodeks-kodeks juga. Salah motif atau alasan yang mungkin ialah adanya suatu kerinduan untuk berbeda atau membedakan diri dari orang-orang Yahudi. Kemungkinan alasan yang lain ialah bahwa mereka memandang Injil-injil sebagai catatan-catatan dari mana seorang pewarta atau pengkotbah dapat mengisahkan kembali kisah-kisah mengenai Yesus, ketimbang sekadar suatu karya-karya sastra yang dipoles (polish) saja, dan karena itu menerima kodeks yang, dalam kebudayaan itu dahulu, merupakan kesamaan atau ekwivalen dari buku catatan seakan-akan agaknya kita seperti mau menyimpan catatan-catatan (scrible) Injil dengan tangan dalam buku catatan yang dijilid spiral di tangan seorang reporter sebagai ganti dari satu Kitab Suci yang dijilid dengan kulit dan dicetak pada kertas India. Tetapi apa pun saja yang menjadi alasannya, hal ini berarti bahwa orang-orang Kristen segera berada dalam satu posisi untuk mengumpulkan kitab-kitab suci mereka, tidak hanya dengan cara menyimpan mereka dalam satu ruang yang tunggal saja menurut suatu tata urut tertentu, melainkan dengan cara menulis mereka secara berturutan (consecutively) dalam sebuah kodeks tunggal, atau beberapa kodeks. (Satu pertanyaan tentang tata urutan kitab-kitab di dalam Kitab Suci dengan demikian dapat dengan lebih mudah dijawab dalam kasus orang-orang Kristiani daripada orang-orang Yahudi.). Musa Pada sekitar masa Pembuangan ke Babel, satu atau dua edisi dihasilkan dari apa yang kita sebut di atas sebagai Sejarah Deuteronomistik yaitu kitab-kitab sejarah yang meliputi kitab-kitab seperti Yoshua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja. Tetapi ada juga teori-teori lain yang menentang teori itu tentang bagaimana karya historis ini dikaitkan atau berkaitan dengan Pentateukh, yang juga, bagaimana pun juga, mengisahkan sejarah Israel juga, hingga ke tempat di mana karya Deuteronomistik memulai perjalanan kisahnya sendiri. Pandangan yang lebih tua, yang berlaku dari akhir abad sembilanbelas hingga ke pertengahan abad keduapuluh, adalah bahwa sejarah Pentateukh pada mulanya sesungguhnya adalah Hexateuch yaitu sebuah koleksi enam kitab (bahasa Yunani hex berarti enam). Kitab Yoshua, menurut teori ini, aslinya merupakan lanjutan dari Kitab Ulangan, yang mencatat atau melaporkan bagaimana janji-janji dulu telah diberikan atau diucapkan kepada para Bapa Bangsa Ibrani dalam kitab Kejadian sekarang ini sudah terpenuhi tatkala Tanah Terjanji akhirnya bisa diduduki di bawah kepemimpinan Yoshua. Hexateuch ini merupakan suatu karya yang bernada optimistik, suatu karya yang up-beat, yang berakhir dengan pendudukan Israel secara gagah perkasa atas Palestina. Tetapi menurut pandangan yang lebih belakangan ini, para ahli telah condong untuk melihat Yoshua sebagai suatu bagian utuh dari karya Deuteronomistik, tetapi juga mau memandang kitab Ulangan itu sendiri sebagai termasuk dalam karya ini, yang

16

berfungsi sebagai semacam pendahuluan baginya. Kitab Ulangan membentangkan adegan bagi Sejarah itu dengan cara memperjelas apa yang merupakan hukum-hukum dan tuntutan-tuntutan Allah kalau umat mau mendapat dan menikmati berkat karuniaNya, dan apa yang akan menjadi nasib mereka kalau mereka mengabaikan hal-hal itu. (Pada hari ini kuberikan dua pilihan bagimu.....). Dari sudut pandang sang Sejarawan, di dalam Pembuangan, ramalan yang dire ini sekarang sudah terjadi atau menjadi kenyataan, dan karena itu dia pun mencoba menghadiskan sejarah dari bangsa itu sebagai suatu realisasi atau pelaksanaan dari peringatan-peringatan yang ada dalam kitab Ulangan itu dahulu. Boleh jadi injil dari Kitab Ulangan sudah ada sebelum masa Pembuangan itu, tetapi sang Sejarawan menambah sangat banyak kepadanya,khususnya berkat-berkat dan kutuk=kutuk dari bab-bab yang belakangan (yaitu Ul.28-30), dan prolog historis dalam bab 1-3, yang harus dilihat sebagai pengantar untuk seluruh karya sejarah yang dibentangkan selanjutnya, dan tidak hanya pengantar kitab Ulangan itu saja. Maka menurut pandangan yang kedua ini, dari kata tettara bahasa Yunani, yang berarti empat) yang terdiri atas Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat dan Bilangan, yang berakhir dengan wafatnya Musa. Hal yang menimbulkan rasa ingin tahu ialah bahwa tidak satu pun dari cara penyusunan ini yang sama atau mirip dengan apa yang akhirnya menjadi sesuatu yang normatif dalam Yudaisme itu sendiri. Paling mulai dari abad keempat SM orang-orang Yahudi memandang kandungan historis dari Kitab Suci Ibrani sebagai terbagi menjadi lima kitab dari Musa yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan dan empat kitab secara agak membingungkan disebut para nabi (tentang hal ini lihat uraian bagian bawah nanti) Yoshua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja (Samuel dan Raja-raja aslinya tidak terbagi ke dalam masing-masing dua buku). Kiranya ada dua motivasi atau penyebab yang tampaknya menggaris-bawahi hal ini. Yang pertama ialah suatu kerinduan untuk memiliki serangkaian kitab-kitab yang menggambarkan atau mewakili ajaran, hidup dan karya Musa. Pada waktu ini, semua hal pemberian-hukum dilihat sebagai terpusatkan pada tangan Musa, sebagaimana halnya sebagian besar hal penulisan mazmur ada dikaitkan dengan Daud dan amsal-amsal bijak dikaitkan dengan Salomo. Pentateukh kadang-kadang disinggung atau disebut dalam PB hanya sebagai kitab Musa saja (misalnya dalam Luk.16:29-31, 24:27; Kis.15:21), dan tindakan mengakhiri kumpulan itu dengan wafat Musa tampaknya merupakan suatu yang wajar saja. Motif penyebab yang lain boleh jadi sudah terkait dengan pengalaman Pembuangan itu sendiri. Bagi suatu bangsa yang tidak lagi berada di atau menduduki tanah mereka sendiri walau beberapa dari mereka telah diijinkan untuk menduduki dan mendiaminya kembali catatan optimistik dari Yoshua mungkin terasa tidak bergema lagi, atau tidak berarti apa-apa, terdengar dangkal. Dengan cara mengakhiri dokumen agung yang mendasar dari agama Yahudi dengan wafat Musa, dan bukannya diakhiri di Tanah Perjanjian, boleh jadi mereka telah memberi sinyal (signaling) pengalaman mereka sendiri sebagai kaum buangan dan sebagai orang-orang yang mengembara (sojourners) di tanah-tanah yang merupakan milik orang lain. (efbe: maka perspektifnya bukan pendudukan dan kemapanan, melainkan pembuangan, pengembaraan terus menerus, menuju ke tanah terjanji). Karena alasan-alasan ini ataupun alasan lain manapun, Judaisme melihat kitab-kitab Musa tidak hanya sebagai permulaan dari suatu kisah yang akan terus berlanjut dalam dan melalui Yoshua, Hakim-hakim, dan seterusnya, melainkan sebagai suatu karya yang tertutup, dan sudah penuh dalam dirinya sendiri dalam mana semua hal-hal penting dari iman dan hidup Yahudi sudah dapat ditemukan. (Jadi kalau mau mencari hal-hal pokok mengenai iman Yahudi, buka saja kitab itu). Mulai dari sekitar jaman Ezra, pada abad kelima SM, Pentateukh atau Taurat itu (kata Ibrani untuk hukum, pendidikan, tuntunan semuanya ini adalah elemen-elemen dalam Torah) merupakan inti pokok (entrepiece) dari identitas Yahudi. Tidak ada astu kitab manapun yang menyamai dia dalam hal prestise dan kekudusan. Kita akan terus melangkah (dalam bab yang berikut) untuk mendiskusikan status Taurat secara lebih rinci dan mendalam lagi, tetapi untuk sekarang ini cukup hanya mencatat bahwa ia jelas sudah membentuk atau merupakan satu kumpulan: lima gulungan yang tergabung menjadi satu dan selalu akan disimpan bersamasama. Tentu saja orang-orang Kristiani pertama dulu adalah orang-orang Yahudi juga, dan sudah tentu (presumably) memandang Torah itu sebagai sesuatu yang sentral, persis sama dengan cara pandang orang-orang Yahudi lainnya tetapi agak segera muncullah suatu sikap (pandangan, penilaian) yang baru di kalangan orang-orang Kristen pertama itu. Pada abad kedua M orang-orang Kristiani tampaknya tidak lagi membuat suatu pembedaan yang besar antara Pentateukh dan Kitab-kitab Suci lainnya, dan karena itu mereka tidak melihat suatu patahan (ketidaksambungan, keretakan) antara Ulangan dan Yoshua. Beberapa para penulis Kristiani mulai memakai kata-kata seperti Enneateuch (satu kata yang berasal dari bahasa Yunani Ennea, yang berarti sembilan) untuk menyebut kesembilan kitab yang merentang dari Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yoshua, Hakim-hakim, Samuel, dan Raja-raja. Oleh karena orang-orang Kristiani tidak lagi melihat agama mereka sebagai terpusatkan pada hukum melainkan lebih terpusatkan pada Kristus, maka tampaknya tidak lagi dianggap penting untuk memberi kitab-kitab dari Musa itu sebuah posisi unggul (mencolok) secara khusus. (efbe: semua diperlakukan sama saja). Secara kebetulan (incidentally) mereka juga cenderung memberi lebih banyak arti penting pada kitab Yoshua, hanya karena satu alasan yang sederhana saja yaitu bahwa Yoshua dalam bahasa Yunani adalah Iesous, atau Yesus dan sebuah kitab yang diberi nama menurut nama Yesus, walaupun secara kebetulan saja, hampir tidak bisa ditempatkan (relegated) pada pembagian yang kedua. Paulus masih secara berkala berbicara tentang Musa dan para nabi, atau ungkapan lain yaitu hukum dan para nabi, dan banyak ucapan yang dikaitkan dengan Yesus dalam Injil-injil juga berbuat demikian. Tetapi pada abad kedua hal ini menjadi semakin tidak biasa lagi. Hal ini muncul sebagai sebuah kesepakatan, bukan karena ia mengungkapkan suatu pembedaan yang mempunyai arti penting bagi umat. Salah satu faktor di sini adalah perubahan dari Gereja yang didominasi oleh orang-orang Yahudi ke gerejayang terutama sekali terdiri atas para Bangsa, yang memakai bahasa Yunani, dan bukannya Ibrani lagi. Sesungguhnya, pada jaman PB banyak orangorang Yahudi di luar Palestina, dan beberapa juga yang berdiam di Palestina, berbicara bahasa Yunani sebagai bahasa mereka yang pertama. Karena hal ini Kitab Suci Yahudi pun tersedia dalam sebuah terjemahan Yunani. Menurut sebuah legenda, adalah salah satu dari para penguasa di Mesir, Ptolemeus Philadelphus (285-246 SM), yang pertama kali memerintahkan bahaw Torah itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sehingga ia bisa membuat pendapatnya sendiri mengenai hukum-hukum dari rakyatnya yang berbangsa Yahudi dan menempatkan sebuah salinan dari terjemahan itu dalam perpustakaan yang terkenal di Alexandria. Tujuhpuluh (atau 72) penerjemah melakukan pekerjaan itu, dan segera bisa menghasilkan sebuah versi terjemahan Yunani: itulah sebabnya disebut dengan Septuaginta (Latin Septuaginta, yang berarti tujuhpuluh) atau dengan simbol angka Romawi LXX itu. Realitasnya ialah bahwa bahwa orang-orang Yahudi yang berbicara Yunani, khususnya yang berdiam di Mesir, memerlukan sebuah versi terjemahan Mesir dari Kitab Suci itu sendiri, dan Septuaginta terdiri atas terjemahanterjemahan dari kitab-kitab yang berbeda yang dibuat selama suatu kurun yang teramat panjang, antara sekitar abad keempat hingga sekitar abad pertama SM. Kitab Suci Yunani akhirnya mengandung lebih banyak kitab dari pada Kitab Suci Ibrani tetapi, kesemuanya mempunyai asal-usul Yahudi; dan kitab suci inilah yang tampaknya diketahui atau dikenal oleh orang-orang Kristiani dari abad-abad awal. Itulah kitab suci yang mereka sebut-sebut, mereka singgung. Hal ini sudah benar demikian

17

adanya sehubungan dengan Paulus, walau ia sudah terpelajar dalam Ibrani; ia menulis dan mengutip kitab suci PL, dalam bahasa Yunani. Hukum dan Para Nabi Ungkapan hukum dan para nabi, adalah cara biasa untuk membedakan antara Pentateuch dan semua kitab kudus yang lain dalam Yudaisme dari kurun PB, dan hal ini terpantul dengan sangat jelas dalam Injil-injil (lihat Mat.7:21; 11:13). Nabi-nabi adalah sebuah istilah yang merangkum-semua (catch-all), jauh lebih luas dibandingkan dengan nuansa pemakaian pada jaman kita sekarang ini. Sebagaimana yang sudah kita lihat, ia mencakup kitab-kitab sejarah juga kitab-kitab yang kita kira sebagai kitab kenabian - Yesaya, Yeremia, dst. Dalam suatu kurun waktu yang jauh lebih kemudian hal-hal ini disebut Yang Kemudian atau Para Nabi Kemudian, untuk membedakan mereka dari Sejarah Deuteronomistik (yaitu kitab-kitab dari Yosua sampai ke 2Raja-raja) terdahulu atau perintis dan kemudian di sini hanya berarti mereka yang datang duluan dan mereka yang datang belakangan di dalam daftar dari gulungan kitab suci, dan barangkali juga dalam cara dalam mana gulungan-gulungan itu disusun dalam suatu perpustakaan atau ruang buku. Tetapi Nabi-nabi juga tampaknya mengacu kepada kitab-kitab yang lain, seperti Mazmur dan Ayub sesuatu, yang sebenarnya, dibayangkan sebagai kudus tetapi yang tidak termasuk bagian dari Pentateukh. Maka Yudaisme dalam masa PB sesungguhnya ada dua jenis kitab kudus: 1) Taurat, yang dianggap paling tinggi, dan 2) segala sesuatu yang lain selain Taurat. Sejumlah kecil referensi-referensi PB menyarankan adanya suatu pembagian rangkap tiga. Maka dalam Luk 24:44 kita menemukan ungkapan rangkap tiga itu,hukum, para nabi, dan mazmur-mazmur, di mana mazmur-mazmur mungkin menunjuk lebih jauh suatu pembedaan antara nabi-nabi dan beberapa kelompok kitab-kitab yang lain, yang barangkali lagilagi mempunyai status yang lebih rendah. Tetapi secara keseluruhan, petunjuk bukti dari abad pertama M ialah bahwa hanya ada dua kategori kitab saja. Pada abad kedua SM karya yang disebut Sirakh dalam beberapa Kitab Suci Inggris (juga disebut Sirakh, atau Kebijaksanaan Yesus bin Sirakh), berbicara tentang hukum, nabi-nabi, dan kitab-kitab yang lain, tetapi kitabkitab yang lain itu mungkan saja hanya berarti kitab-kitab yang lain dalam artian sebenarnya, yaitu, kitab-kitab yang bukan merupakan kitab suci. Apa yang pasti ialah bahwa Yudaisme pada akhirnya mengakui satu kategori ketiga, yaitu dengan cara membatasi Nabi-nabi pada keempat kitab sejarah (Yosua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja) dan keempat kitab-kitab kenabian yang cocok dengan sebutan itu (Yesaya, Yeremiah, Yehezkiel, dan Duabelas Nabi kecil), dan dengan cara menempatkan kesemua kitabkitab non-Pentateuch ke dalam satu kategori yang disebut secara bland sebagai Tulisan-tulisah Hikmat (Writings). Landasan untuk pembagian seperti itu tampaknya terutama sekali dasar kronologis belaka: Tulisan-tulisan Hikmat merupakan kitab-kitab yang belakangan dari Kitab Suci Ibrani. Maka Tawarikh muncul (dimasukkan) di sana, bersama dengan Ezra dan Nehemiah, dalam suatu tempat yang sangat terpisah dari kitab-kitab sejarah awal, dan demikian juga halnya dengan kitab Mazmur, Amsal dan Ayub, dan kelima gulungan yang dibacakan pada pesta-pesta Yahudi: Rut, Pengkotbah, Kidung Agung, Ester, dan Ratapan. Dari sudut pandangan Kristiani, adalah sangat mencolok untuk menemukan Daniel di antara Tulisan-tulisan Hikmat, yang jelasjelas tidak lagi diperlakukan atau dianggap sebagai sebuah kitab kenabian, walau ada petunjuk bukti bahwa pada tahun-tahun awal ia dipandang sebagai karya kenabian di dalam Yudaisme. Maka Kitab Suci Ibrani akhirnya dipahami dengan suatu cara yang sedemikian rupa sehingga ia dapat dilihat sebagai tiga lingkaran konsentrik, dengan Torah berada pada pusatnya, dan Nabi-nabi (sebagaimana ditetapkan sekarang) yang berikutnya, dan Tulisan-tulisan Hikmat sebagai lingkaran paling luar. (penumbra). Orang-orang Kristiani tidak melihat hal-hal itu dengan cara seperti ini sama sekali. Bagi mereka hanya ada satu kategori saja, yaitu Kitab Suci; dan kitab-kitab yang terdapat di dalamnya cenderung disusun berdasarkan tema atau jenisnya. Maka kitab suci Yunani, sebagaimana yang diterima oleh orang-orang Kristiani, dimulai dengan semua kitab-kitab sejarah Pentateukh, Para Nabi Terdahulu (tidak disebut demikian), Tawarikh, Ezra, Nehemiah, Ester, dengan dua kitab naratif yang sama sekali tidak diakui di dalam Kitab Suci Ibrani, Tobit dan Yudit, yang ada di antara Nehemia dan Ester (lihat Bab 1). Kemudian ada kitab-kitab puitik seperti Mazmur, Amsal, Ayub dan Pengkotbah, dan masih ada dua karya yang lain yang tidak diterima di dalam Yudaisme, yaitu Kebijaksanaan Salomo dan Kitab Sirakh. Akhirnya ada kitab-kitab kenabian: Yesaya, Yeremiah bersama dengan kitab Ratapan, dianggap sebagai hasil karya Yeremiah, dan kitab Barukh Yeheskiel, Daniel (yang oleh orangorang Kristiani pandang sebagai kitab kenabian), dan keduabelas nabi-nabi kecil. Masih ada variasi rinci lagi dalam tata urut di dalam kodeks-kodeks Kristiani, tetapi inilah yang menjadi pola dasariahnya. Kitab Duabelas Keduabelas nabi kecil (Hosea, Joel, Amos, Obaja, Junus, Mikah, Nahum, Habakuk, Zefania, Hagai, Zakaria, dan Maleaki) diperlakukan sebagai satu buku tunggal saja dalam Kitab Ibrani Kitab dari Keduabelas Nabi dan dikelompokkan bersama sebagai nabi-nabi kecil dalam Kitab Yunani. Tulisan-tulisan ini berasal dari banyak kurun waktu dan sejarah, tetapi ada beberapa petunjuk bukti bahwa hal memperlakukan mereka sebagai satu telah mendatangkan beberapa perubahan dan tambahan-tambahan terhadap masing-masing kitab kecil itu. Misalnya, Yoel dan Amos yang ditempatkan satu di samping yang lain walau ada rentang waktu 200-an tahun memisahkan mereka (terbentang di antara mereka) mempunyai sejumlah kecil ciri-corak yang sama, termasuk satu nubuat yang sangat panjang (Yoel 2:16 dan Amos 1:2). Dan kadang-kadang diusulkan bahwa Maleaki aslinya bukanlah sebuah kitab sama sekali, melainkan suatu bagian tambahan pada kitab Zakariah yang telah dipromosikan ke status sebagai sosok nabi tersendiri agar bisa tercapai jumlah angka keramat dua belas itu (Maleaki itu sendiri berarti utusanku, dan bisa saja itu hanya sebuah gelar saja untuk Zakaria walau nama-nama Ibrani seperti ini juga memang bisa ada). Tata urut dari Keduabelas kitab itu adalah berbeda dalam Kitab Suci Yunani, tetapi (sebagaimana yang dapat kita harapkan) bisa mengalami sangat banyak variasi atau perubahan di antara manuskrip-manuskrip yang berbeda-beda. Injil-injil (lihat tulisan tangan itu) Keempat Injil kita mungkin pada awalnya adalah teks kisah berwibawa tentang hidup dan ajaran Yesus dalam satu gereja lokal tertentu. Para penulis Kristiani awal pun biasanya mengkaitkan Markus, Injil tertua, dengan Roma. Umum diterima bahwa Mateus ditulis di Syria. Lukas di Asia Kecil (di wilayah Turki modern sekarang ini). Sedangkan Yohanes ditulis di dan untuk Efesus. Pada tahap awal ini mungkin mereka tidak mempunyai judul-judul. Walau baris pertama Markus adalah semacam judul yaitu sbb: ...... Mungkin juga sebagian besar orang Kristen pada saat itu tidak sadar bahwa gereja-gereja lain mempunyai injilinjil sendiri juga yang lain juga. Oleh karena itu, kita tetap tidak tahu bagaimana orang Kristen awal memahami hubungan antara injil. Ini adalah sebuah misteri besar yang serba gelap. Para penulis Kristen sering mengutip dari Injil-injil. Tetapi tidak begitu teiliti, Injil mana yang dikutip. Apalagi sebuah kutipan langsung; yang biasa terjadi, orang mengutip berdasarkan hafalan dan ingatan saja.

18

Tetapi kira-kira sekitar tahun 150 ada perubahan. Petunjuk pertama yang kita percayai ada dalam karya Ireneus, uskup Lyon. Untuk pertama kalinya Ireneus berbicara bahwa ada empat Injil. Ia cukup sering berapologi tentang hal ini: bahwa ada empat injil tadi. Ini fakta yang benar. Padahal mungkin sebenarnya angka 4 itu hanya untuk menunjukkan empat arah mata angin utama, 4 arah lingkup misi, atau empat makhluk hidup dalam Wahyu itu (4:9) dan empat janji Allah dengan manusia. Argumen seperti itu tampak seperti agak dipaksa-paksakan. Seakan-akan disiratkan bahwa pada saat itu memang sudah ada empat injil untuk Ireneus. Betulkah demikian? Yang jelas argumen itu tidak begitu meyakinkan semua orang, apalagi jika ia tidak percaya tentang beberapa jumlah injil saat itu. Argumen Ireneus itu sepertinya sudah memastikan bahwa pada jaman dia memang sudah ada empat injil, paling tidak di gereja-gereja berbahasa Yunani di Prancis Selatan. Yang jelas tidak lama sesudah Ireneus, muncul Clemens dari Alexandria (seornag filsuf Kristiani). Ia mencoba membedakan antara Yohanes dan ketiga injil yang lain. Menurut dia Injil-injil yang lain itu bersifat dunia, sedangkan Yohanes itu bersifat rohani (injil rohani). Itu berarti juga bahwa bagi dia sudah ada empat injil seperti yang kita punyai saat ini. Yang jelas pada masa gereja purba ada banyak inji. Tetapi tidak satu pun yang lebih tua dari pada yang lain. Mungkin dengan kekecualian beberapa fragmen dalam Injil Thomas, yang ditemukan di Mesir tahun 1945-6. Injil ini hanya kumpulan ucapan-ucapan Yesus saja; tidak mempunyai satu bingkai naratif. Maka dapat disimpulkan bahwa empat Injil sudah terkumpul sebagai empat pada satu saat tertentu pada abad kedua. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap Gereja sudah memiliki keempat-empatnya. Keempatnya dinilai tinggi juga oleh Gereja yan gmungkin tidak mengenalnya secara langusng. Ketika akan dikumpulkan barulah mereka diberi nama, agar dapat dibedakan dari satu sama lain. Dari manuskrip tertua, pembedaan itu dilakukan dengan cara memberi keterangan menurut.... atau kata..... Kata Injil itu sendiri tidak ada dalam judul. Tampaknya pada tahap ini, kata injil itu bukanlah judul generik untukjenis kitab khusus seperti ini. Markus misalnya, hanya mengatakan kabar baik sebagaimana dikisahkan Markus.

Surat-surat Paulus (Lihat tulisan tangan itu) Sisa PB (lihat tulisan tangan itu) Siapa yang mengumpulkan Kitab Suci? Dalam bab yang terakhir kita bertanya: Siapa yang menulis kitab-kitab itu? Sekaranglah saatnya kita harus menjawab pertanyaan yang lain: Siapa yang mengumpulkan mereka? Pertanyaan yang kedua ini bukan pertanyaan mudah. Tidak ada jawaban serba mudah untuk pertanyaan ini dibandingkan dengan pertanyaan pertama. Proses pengumpulan dan penyebaran (diseminasi) Kitab-kitab Suci Yahudi dan Kristiani merupakan suatu proses yang sangat rumit dan beragam. Kita mempunhyai suatu ide yang sangat baik tentang mengapa Torah, kelima kitab Musa, akhirnya dikumpulkan bersama dan diperlakukan sebagai satu karya dalam beberapa artian tertentu (kelima pilar atau fifths hukum). Kita bisa membaca motifnya dari fakta bahwa Torah itulah yang menjadi sebutan bagi kitab-kitab itu pada akhirnya. Kendati ciri-corak naratif mereka yang jelas dan bahan miscellaneous yang terdapat dalam mereka, kitab-kitab Pentateukh dialami oleh angkatan-angkatan yang kemudian pertama-tama dan terutama sekali sebagai instruksi dalam bagaimana hidup sebagai seorang Yahudi yang baik. Oleh karena itu rupanya bahwa mereka dikumpulkan bersama oleh orang yang dipercayai dengan tugas pengaturan hidup Yahudi, sesuatu yang seperti apa yang sekarang ini kita sebut para rabbi, atau barangkali juga para ahli hukum. Motif atau alasan yang sekunder tetapi juga sangat penting untuk mengumpulkan kita-kitabTorah, sedemikian pentingnya sehingga mereka bisa dibaca secara agung-meriah dalam liturgi sekunder karena alasan untuk membaca mereka dengan cara demikian adalah karena peranan sentral mereka sebagai instruksi moral, tetapi penting karena ia menentukan bentuk bagaimana kiranya bentuk kitab-kitab ini mulai sekarang hingga seterusnya, yaitu sebagai gulungan-gulungan yang dihasilkan dengan perhatian penuh cinta dan suatu tingkat kepedulian yang sangat besar dan tinggi akan keakuratan. Kitab-kitab yang lain tidak mempunyai fungsi sentral yang sama dalam Yudaisme, dan kita hanya bisa menebak tentang bagaimana mereka akhirnya bisa dikumpulkan bersama dalam satu kumpulan, pada akhirnya bermuara (settle into) pada pembagian berganda dari Para Nabi dan Tulisan-tulisan Hikmat. Pembedaan ini, yang tampaknya telah sampai pada panggung beberapa waktu kemudian dari pada proses penulisan PB (yang tidak sadar akan hal ini), boleh dihubungkan dengan pemakain liturgis dari kitab-kitab non-Torah. Aturan di dalam sinagoga dewasa ini, yang sudah berasal dari jaman yang sudah sangat kuno di masa silam, adalah bahwa setelah pembacaan mingguan yang diambil dari Pentateukh, maka pembacaan kedua ditambahkan. Bacaan kedua ini harus diangkat atau diambil dari Nabi-nabi, dan bukannya dari Tulisan-tulisan. Tetapi bacaan-bacaan kedua (haftarot) dalam prakteknya telah ditetapkan sudah sejak sangat lama, dan adalah mungkin bahwa aturan itu terpantul dalam pembagian dari Kitab Suci itu, dan bukan sebaliknya dengan kata lain, bahwa para Nabi adalah kitab-kitab yang menyumbang pada Haftarot kepada buku bacaan liturgi, dan Tulisan adalah yang tidak memberi sumbangan. Adalah benar juga bahwa Tulisan-2 cenderung mengandung karya-karya yang lebih kemudian dari para Nabi-nabi, walau tidak secara umum demikian adanya (misalnya, Zakariah, di dalam Nabi-nabi, mungkin sekali berasal dari kurun waktu yang lebih kemudian dalam tanggal penyusunannya daripada Mazmur, di dalam Tulisan2). Tetapi adalah sangat meragukan apakah orang-orang Yahudi pada permulaan dari jaman kita memang tahu kitab-kitab mana yang lebih tua dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain. Satu-satunya kesimpulan yang aman ialah bahwa kita hanya tidak tahu bagaimana kedua kumpulan ini mulai berada, dan itu berarti mulai dikumpulkan menjadi satu kumpulan. Sama-sama misteriusnya adalah penyusunan Injil-injil. Kalau memang benar bahwa aslinya masing-masing Injil adalah kepunyaan gereja partikular tertentu dan merupakan versi lokal dari Kabar Baik, maka peralihan menuju ke pengakuan empat kesaksian yang berbeda dan sering sekali tidak konsisten terhadap atau tentang injil pasti telah merupakan suatu perubahan sikap yang besar dan barangkali juga mengandung sisa-sisa traumatik tertentu. Sebagaimana yang akan kita lihat kemudian, diterimanya empat kisah yang tidak konsisten berarti bahwa tidak satu pun dari mereka bisa lagi dianggap sebagai otoritatif secara mutlak: masing-masing mempunyai daya untuk memodifikasi kisah yang dikisahkan oleh yang lain. (dengan kata lain, ada saling pengaruh juga).

19

(Masalah Markion) Tentu saja dulu sudah ada penolakan terhadap upaya perumusan (promulgation) akan satu kumpulan dari empat-Injil. Hal ini bisa kita lihat dalam karya dari Marcion (wafat sekitar tahun 160-an), yang mengatakan dengan tegas bahwa hanya ada satu saja Injil yang benar, yaitu Lukas dan bahwa hanya satu kali itu saja ia telah expurgated dia, sehingga hal ini mendukung gaya Kristianitas dia sendiri. Adalah jelas dari hal ini bahwa Injil-injil yang lain pasti telah beredar juga, dan kita tahu bahwa orang yang masih sejaman dengan Marcion, yaitu Yustinus Martir, mengutip dari semua ketiga Injil Sinoptik walau tidak pernah mengutip dari Yohanes, dan tidak mengajukan satu pertanyaan tentang kompabilitas timbal balik mereka. Hal ini menyarankan bahwa Injil-injil atau paling tidak injil-injil Sinoptik sudah secara luas dilihat sebagai serangkaian dokumen yang koheren pada awal abad kedua Masehi. Tampaknya hal ini terjadi tanpa banyak kontroversi sama sekali, yang terasa sangat mencolok manakala orang berhenti untuk berpikir betapa anehnya bahwa Gereja bisa mempunyai empat versi alternatif mengenai peristiwa dan ajaran-ajaran yang ia sendiri pandang sebagai sangat penting! Walau perlawanan Marcion terhadap keadaan perkara seperti ini sudah mati atau menghilang di antara para penggantinya, namun beberapa para penulis Kristiani awal memang sudah berpikir bahwa satu Injil yang tunggal dan dihomogenisasi akan jauh lebh baik dari pada versi empat injil yang tidak konsisten satu sama lain. (Maka muncul gerakan dan upaya untuk membuat semacam harmonisasi injil). Contoh yang paling terkenal dari gerakan ini ada dalam karya seorang yang bernama Tatianus. Sekitar tahun 150-60 ia menghasilkan sebuah Diatessaron, yaitu suatu Harmoni Injil, yang merupakan atau dianggap sukses besar dalam beberapa gereja-gereja Timur, dan masih terus dipakai juga oleh banyak orang Kristiani bahkan setelah semua akhirnya telah mengakui koleksi empat injil sebagai kumpulan yang berwibawa. Harmoni-harmoni Injil yaitu kisah-kisah tunggal, yang mengeluarkan semua bentuk inkonsistensi dan menyatu-padukan semua kisah-kisah dan ajaran-ajaran dalam satu kitab saja mash terus dipakai hingga hari ini oleh beberapa orang Kristiani. Kalau nasihat Paulus kepada orang-orang Kolose untuk membaca suratnya kepada orang-orang Laodikea (dan sebaliknya juga) adalah otentik, kita boleh melihat koleksi dari surat-suratnya sebagai kembali atau berasal pada suatu dorongan yang berasal dari Paulus sendiri. Beberapa para ahli bahkan telah berbicara tentang tindakan Paulus yang menerbitkan surat-suratnya membuat salinan dari sejumlah surat-surat itu dan mengedarkan mereka kepada semua gereja yang telah ia dirikan. Kalau hal ini tidak terjadi pada masa hidup Paulus sendiri, maka kiranya hal ini sangat boleh jadi (fairly) telah terjadi tidak lama sesudahnya: produksi surat-surat Deutero-Paulinian seperti surat-surat Pastoral itu menyiratkan bahwa orang membaca dan menilai surat-surat itu sebagai dianggap ditulis oleh Paulus. Marcion, lagi-lagi, mempunyai satu kumpulan-surat Paulus, dan tampaknya ia bukan orang pertama yang memikirkan tentang hal ini, karena ia membuang bagian-bagian dari surat-surat yang tidak ia setujui, yaitu (presumably) menyiratkan bahwa dia (dan mereka yang menghukum dia karena vandalismenya) sudah tahu surat-surat itu dalam bentuk mereka yang lebih penuh (lengkap). Sudah barang tentu kita tidak dapat mengatakan seberapa jauh korpus Paulinium itu dipikirkan sebagai suatu karya tunggal, dan seberapa jauh perbedaan antara pelbagai surat-surat dilihat dan diperhatikan. Hal terbaik yang dapat kita katakan ialah bahwa surat-surat membentuk satu kumpulan dalam suatu artian yang lebih dari pada sekadar bersifat insidental belaka seakan-akan mereka itu hanya sekadar terjadi atau berada dalam satu ruangan yang sama tetapi dalam cara yang kurang tampaknya mereka kepada kita, yang bisa pergi ke sebuah toko buku dan membeli sebuah buku yang mengandung persis surat-surat yang sama dalam tata urut yang sama juga. Kumpulan kitab-kitab dalam dunia kuno adalah sangat beragam, tidak konsisten, dari pada yang tampaknya pada kita sekarang ini.
Bab IV: Dari Kitab-kitab ke Kitab Suci Apa itu Kitab Suci? OK Spesial Sejak Semula OK (hal.54 belum) Sebuah Seleksi Khusus Hal.55-56. Faktor yang kedua ialah ini. Jika kitab-kitab PL dan PB semuanya adalah sastra yang pernah ada di Israel dan pada jaman Gereja purba, kiranya masuk akal untuk berharap bahwa kitab-kitab sekular dan suci sama-sama akan diwakilkan atau tergambarkan dalam Kitab Suci. Bagaimana pun juga, akan mengherankan untuk menemukan satu bangsa yang tulisan-tulisannya hanya berkisah tentang pokok-pokok yang suci-suci saja walau di mana hal ini menyangkut Gereja maka hal ini lebih masuk akal dan dapat diterima, sebab Gereja adalah sebuah gerakan rohani, dan bukan satu bangsa. Tetapi tampaknya jelas bahwa dalam kedua kasus itu ada lebih banyak kitab-kitab yang berada dari pada yang masuk dalam waktu untuk membentuk Kitab Suci. Gereja mempunyai lebih banyak lagi dokumen daripada yang sudah membentuk Kitab Suci itu, yang banyak dari padanya telah ditemukan kembali pada jaman modern ini misalnya, dokumen-dokumen yang ditemukan dalam penggalian di Nag Hammadi di Mesir, seperti Injil Thomas, yang disebut dalam Bab 3. (Beberapa tahun belakangan ini, kita dihebohkan dengan Injil Yudas yang terkenal itu). Di mana menyangkut Israel kuno, PL itu sendiri menyebut banyak kitab-kitab yang sekarang ini telah hilang, seperti misalnya kitab Yashar (2Sam.1:18) dan silsilah para raja Israel dan Yehuda (lihat 2Raj.15:26 dan 16:19). Kitab-kitab di dalam PL dan PB adalah kitab-kitab yang akhirnya diterima sebagai suci, dalam beberapa artian; mereka bukan hanya sekadar semua kitab-kitab yang kebetulan ada. (sebab masih ada lebih banyak lagi dari sekadar yang diterima dan diakui). Sebagaimana yang akan kita lihat dalam Bab 5, hal itu tidak niscaya berarti bahwa seseorang secara sadar telah memilih mereka dari sebuah daftar kemungkinankemungkinan yang lebih panjang. Sebagian besar dari mereka tampaknya telah diterima sejak dari awal mula. Tetapi mereka adalah kitab-kitab yang diakui secara luas sebagai kitab yang mempunyai kwalitas yang tinggi: dengan mengakui (reckoning) mereka sebagai Kitab Suci bukan hanya sekadar suatu perkara mengambil hanya salah satu dari kitab-kitab yang boleh jadi sudah tersedia dan memutuskan untuk menyebut mereka sebagai Kitab Suci. Maka usul bahwa kitab-kitab yang telah kita perbincangkan telah menjadi Kitab Suci mengandung suatu kebenaran yang penting, tetapi jangan sampai membuat kita berpikir ini hanya suatu pertanyaan terbuka kitab-kitab manakah yang akan mendapatkan status ini. Beberapa di antaranya telah ditulis dengan sebuah status yang tinggi dalam hati sedari awal mula. Baik Pentateukh dan kitab-kitab para nabi membuat suatu pengakuan di dalam teks itu sendiri sebagai kitabyang diilhami secara ilahi, dan Injil Yohanes, paling tidak, tampaknya dirancang untuk menjadi sebagai semacam Kitab Suci Kristen (dengan sengaja dan sadar). Kita telah mengkait-kaitkan (bandying) kata kitab Suci dalam banyak halaman dalam buku ini, tetapi kita tidak pernah mendefinisikannya. Dalam bab ini saya bermaksud untuk bertanya apa yang tersirat dalam menyebut sebuah buku itu sebagai kitab suci, dan bagaimana kitab-kitab seperti itu dibaca dalam dunia kuno. Sebuah definisi yang baik akan Kitab Suci adalah definisi yang diberikan oleh S.Z.Leiman: [Kitab-kitab] yang diterima oleh orang-orang Yahudi sebagai otoritatif untuk praktek keagamaan dan/atau ajaran, dan yang otoritasnya mengikat atas orang Yahudi untuk semua generasi. (S.Z.Leiman, The Canonization of Hebrew Scripture: The Talmudic and Midrashic Evidence, Hamden, Conn., 1976, p.14). Bab 5 Proses Penetapan Kanon

20

Perlu disadari bahwa tiga proses yang telah kita pelajari sejauh ini jelas berbeda satu sama lain. dan hal ini adalah sesuatu yang logis-logis saja. Aktifitas menulis buku tidaklah sama dengan proses atau aktifitas mengumpulkan buku. Pada gilirannya dua hal ini tidak sama dengan upaya mulai memperlakukan kitab-kitab itu sebagai Kitab Suci. Tetapi penting juga disadari bahwa tiga hal itu bukan tiga tahap sejarah yang jelas berbeda dalam proses perkembangan Kitab Suci. Jangan sampai dipikirkan bahwa seakan-akan selama beberapa abad orang menulis buku-buku; lalu ada kurun waktu orang mengumpulkan kitab-kitab itu; lalu ada lagi tahap di mana orang melihat semua buku itu sebagai Kitab Suci. Yang jelas, tiga tahap itu saling tumpang tindih. Kitab Ulangan dan mungkin Injil Yohanes, sedang membuat satu klaim implisit sebagai Kitab Suci sejak dari semula. Beberapa kitab sudah dipandang sebagai Kitab Suci sebelum kitab-kitab yang lain, yang ada dalam Kitab Suci, ditulis. Begitulah Pentateukh mungkin sudah dikumpulkan dan dipandang sebagai suci sebelum beberapa dari nabi-nabi kemudian lahir. Pada saat Daniel dan Pkht ditulis, Yudaisme sudah mempunyai Kitab Suci. Begitu juga halnya dengan PB. Surat-surat Paulus mungkin sudah terkumpul dalam satu korpus sebelum 2Ptr ditulis, yang mengacu kepada mereka seakan mereka sudah merupakan satu karya yang akrab (bagi para pembacanya). Jadi, Kitab Suci itu tumbuh dengan satu cara yang sangat acak-acak (untidy) dan tidak ada satu pemikiran apa pun yang bisa mengubah fakta sejarah itu. Ada proses keempat yang harus ditempuh sebelum Kitab Suci mulai ada dalam bentuk seperti kita memilikinya sekarang ini. Kadang-kadang orang berbicara tentang kanon Kitab Suci; proses ke arah itu disebut kanonisasi. Sampai saat ini saya berusaha menghindari pemakaian kedua kata itu. Tetapi kini saya harus menjelaskan alasannya. Kata kanonisasi, ketika dipakai mengenai teks-teks Kitab Suci, cenderung untuk berarti dua hal sebagai berikut ini. Atau sekaligus keduanya, yang dipandang secara keliru seakan-akan keduanya itu tidak berbeda. Yang satu adalah proses yang dilukiskan dalam Bab 3: yaitu tahap-tahap dengan mana teks-teks tertentu akhirnya dipandang sebagai suci dan berwibawa. Di sini orang pun bertanya: Kapan Daniel dikanonisasikan? Artinya, Kapan Daniel, akhirnya dipandang sbagai Kitab Suci, dengan semua implikasi-implikasi yang baru saja disebutkan tetnang hal penerapan universal, makna-makna tersembunyi, relevansi dengan jaman, dan sering dikutip (aptness) dengan kalimat-kalimat seperti sebagaimana ditulis dalam Kitab Daniel. Maknanya yang kedua ialah perkembangan dari sebuah daftar (itulah arti asli dari kata kanon dalam bahasa Yunani) yang mencakup semua Kitab Suci dan yang efeknya berarti mau mengatakan bahwa tidak ada buku lain yang mempunyai status yang sama seperti ini. Adalah penting untuk melihat bahwa dua hal ini adalah dua hal, dan tidak satu. Pada prinsipnya adalah mungkin untuk memiliki Kitab Suci tetapi tanpa kanon, seperti halnya dalam banyak agama-agama lain di dunia ini. Kitab-kitab suci hanya terus mengakumulasi sampai ada lebih dari satu orang yang bisa membaca, dan tidak seorang pun merasa untuk memaksakan titik silang (cut off). Judaisme dan Kristianitas kiranya telah menelusuri lorong yang penuh konflik darah itu. (Seperti halnya Buddhisme), tetapi sebenarnya tidak berbuat demikian. Adalah tidak enak memakai istilah kanonisasi untuk menyebut baik tentang pengakuan akan satu kitab sebagai Kitab Suci dan tentang keputusan bahwa ia termasuk dalam satu daftar resmi sementara yang lain tidak dan karena itulah sampai sekarang ini saya menghindari istilah itu. Hal.74-75. Poin yang dikatakan di atas tentang tumpang tindih antara tiga proses awal atau pertama kita (penulisan, pengumpulan, dan penerimaan sebagai Kitab Suci), dapat juga diperluas ke proses atau tahap yang keempat. Jelas adalah benar sehubungan dengan suatu karya tertentu bahwa ia mula pertama ditulis, baru kemudian dikumpulkan ke dalam satu kumpulan atau batang tubuh, dan kemudian akhirnya diakui sebagai Kitab Suci. Baru sesudah itulah dikanonisasi dalam artian diterima secara resmi sebagai bagian dari satu daftar yang terbatas. Tetapi sebagaimana halnya proses-proses yang lain saling tumpang tindih secara kronologis, dengan beberapa kitab sudah tiba sebelum yang lain-lain sudah ditulis, demikian juga kanonisasi buku-bukutertentu boleh jadi sudah terjadi sangat dini dalam sejarah. Demikianlah dapat terjadi bahwa dalam perjalanan sejarah ada kitab-kitab yang lain yang tidak dikanonisasi (non-kanonisasi), yaitu, bahwa karya-karya itu ditolak secara resmi dari kategori sebagai Kitab Suci. Kiranya sudah jelas pada akhir abad keempat SM bahwa tidak ada apa-apa lagi yang dapat ditambahkan pada Pentateukh, dan bahwa tidak ada sesuatu yang lain lagi yang dapat menyaingi otoritasnya bagi orang-orang Yahudi. Dan pada saat itu banyak kitab lain dalam Kitab Suci Ibrani belum ditulis sama sekali. Paulus, dalam 2Tes.2:2, memberi perintah bahwa surat-surat yang meragukan (spurious) yang diandaikan (purporting) datang dari dia harus diabaikan, dan mengandung (appends) tanda tangan dia sebagai bukti otentikasi atas suratnya (3:17). (Ada sementara orang yang berpikir 2 Tes itu sendiri meragukan atau spurious, dan bahwa ini adalah suatu cara ingenious untuk meletakkannya melampaui penghinaan.). Dan Tertullianus, pada abad kedua M, mengacu kepada daftar-daftar dari kitab-kitab yang terlarang, seraya mengusulkan bahwa Gereja sudah mulai melarang teksteks tertentu walau pada waktu itu isi dari PB sama sekali belum ditetapkan secara pasti. Tetapi, poin utama yang harus dikatakan tentang proses kanonisasi (dalam artian daftar resmi dari kitab-kitab yang diterima) adalah seberapa sedikit dari padanya yang sungguh terjadi. Secara menyeluruh, baik dalam Yudaisme dan Kristianitas, kriteria untuk memakai dan mengacu atau menghormati kitab-kitab tertentu adalah fakta (atau kepercayaan, apakah sungguh berdasar atau tidak) bahwa mereka selama ini sudah selalu dihormati. Dengan demikian, sebagaimana yang akan kita lihat, adalah hanya di pinggir-pinggir saja dari suatu kanon bahwa keputusan-keputusan sungguh dituntut dalam salah satu agama: sebagian terbesar dari kitab-kitab biblis hanya diterima begitu saja dari masa silam dan diturun-alihkan ke masa depan, tanpa diajukan satu pertanyaan apa pun juga, atau tanpa dipersoalkan apa-apa lagi. Perjanjian Lama 75-76. Bahwa fakta sudah diterima sejak lama hampir merupakan segala-galanya di dalam proses pembentukan Kitab Suci, hal itu tampak paling jelas dalam kasus Kitab Suci Ibrani. Judaisme memperlihatkan suatu kecenderungan yang kecil untuk melegislasi tentang kandungan dari Kitab Suci, dan hampir tidak ada suatu bukti apa pun bahwa ada pertikaian tentang hal ini. Ada suatu teks di dalam Mishnah (Yadaim 3:5) yang mengatakan bahwa memang ada pertikaian-pertikaian, dalam akademi rabinik yang didirikan di Yahnah setelah runtuhnya Yerusalem ke tangan orang-orang Roma pada tahun 70 M, tentang apakah Kitab Sirakh dan Kidung Agung itu menajiskan tangan-tangan. Ide yang aneh ini (dipandang sebagai aneh pada saat itu bagaimana mungkin sebuah kitab suci dapat mendatangkan kenajisan atau defilement?) telah ditafsirkan sebagai menyiratkan bahwa beberapa orang telah meragukan tentang status kitab suci dari kedua kitab ini, yang dianggap agak kemudian dan rada tidak biasa. Saya sendiri beranggapan bahwa masalah itu boleh jadi erat terkait dengan fakta bahwa nama suci-ilahi, YHWH, tidak muncul dalam kedua kitab itu. Dalam kasus ini pertikaitan bukanlah mengenai apakah mereka itu adalah kitab suci kalau mereka memang bukan kitab suci, maka masalah itu kiranya tidak akan pernah muncul juga ke permukaan melainkan apakah mereka harus diperlakukan dengan sikap dan perhatian yang sama seperti yang selalu selama ini diperlihatkan atau ditunjukkan kepada kitab-kitab yang memang disebut Kitab Suci itu, sebagaimana yang telah kita lihat dalam Bab 2. Yang menarik ialah bahwa ada petunjuk bukti yang kemudian bagi persoalan-persoalan tentang apakah Esther itu bisa menajiskan tangan atau tidak. Esther juga tidak mempunyai nama suci itu, tetapi merupakan bagian inti dari Kitab Suci bagi para rabi, karena ia merupakan teks primer yang dibacakan secara publik pada pesta Purim. Maka tidak dapatlah dipahami kalau ada orang yang mencoba untuk membuangnya dari kanon. Jadi, ada faktor kesepakatan para rabi; ada faktor kesepakatan dalam pemakaian liturgis. Dua hal ini mutlak. Tetapi, para rabbi tidak undoubtedly membicarakan kitab Sirakh, dan ada peraturan-peraturan yang eksplilit bahwa, walaupun bersifat membangun, kitab ini tidak diakui sebagai kitab suci. Sejumlah kecil keraguan juga dicatat sehubungan dengan kitab Yeheskiel, dengan dasar karena ia berkonflik dengan Torah (lihat di atas), dan tentang Amsal, dengan alasan adanya inkonsistensi internal kitab itu ssendiri. Tampknya tidak ada kitab lain yang telah menjadi subjek dari suatu peraturan, sebegitu jauh yang dapat kita katakan atau sampaikan. Tetapi tentu saja ada suatu kesenjangan besar dalam pengetahuan kita di sini: karena hal ini meninggalkan suatu pertanyaan mengenai PL Yunani yang lebih panjang, yang dilestarikan dalam manuskrip-manuskrip Kristiani tetapi yang tentu saja merupakan produk dari Yudaisme dalam daerah-daerah yang berbahasa Yunani, khususnya di Mesir. Pada satu titik tertentu, Yudaisme rabinik kiranya telah memutuskan bahwa Kitab Suci Ibrani yang lebih pendek lebih disukai untuk dipilih dibandingkan dengan daftar yang lebih panjang dari LXX (Septuaginta). Dan walaupun kita membedakan dua macam daftar sebagai Ibrani dan Yunani, tetapi tetaplah harus diingat bahwa sebagian besar dari kitab-kitab tambahan itu dalam kanon LXX aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani juga. Bagian-bagian penting dari teks Ibrani kitab Sirakh, misalnya, ditemukan di Kairo pada tahun 1896, dan adalah mungkin untuk dikatakan bahwa berdasarkan gaya dari kitab-kitab yang lain bahwa mereka juga merupakan terjemahan-terjemahan dari teks asli dalam bahasa Ibrani. Maka hal ini bukan hanya sekadar masalah bahasa saja yang membuat beberapa kita mampu menemukan jalan mereka ke dalam kanon Yahudi sementara kitab-kitab yang tertinggal di luarnya, alias tidak dapat masuk kanon. Biasanya dipikirkan bahwa masalah itu dapat dipecahkan dengan mengatakan bahwa kanon-kanon yang lebih panjang dan lebih pendek hanya menggambarkan atau mewakili Kitab-kitab Suci dari orang-orang Yahudi masing-masing atau berturut-turut di Mesir (Alexandria) dan Palestina. Kemerosotan (demise) dari kanon yang lebih panjang dalam Yudaisme kiranya merupakan suatu konsekwensi dari naiknya (ascendancy) pada akhirnya Yudaisme Palestina di atas varietas Alexandria. Barangkali hal ini terlalu menyederhanakan masalah, sebab ada banyak kontak antara kedua pusat dari Yudaisme itu sebenarnya. Suatu pemecahan yang lebih baik ialah mungkin untuk berpikir bahwa hanya Pentateukh sajalah yang benar-benar penuh berciri kanonik yaitu, dipertahankan melawan penambahan atau pun penyisipan (supplantation) pada abad pertama SM, dan bahwa semua kitab-kitab Yahudi yang lainnya membentuk atau merupakan sebuah kategori yang longgar (fluid), dari mana komunitas-komunitas dan para penulis Yahudi memilih apa-apa saja yang mereka sukai atau, barangkali apa-apa saja yang mereka ingin mendapatkan salinannya. Ketika para penulis PB mengacu kepada hukum dan para nabi sebagai suatu cara untuk melukiskan Kitab Suci Yahudi, hukum itu sudah pasti atau tentu tetapi para nabi itu masih tetap merupakan sebuah daftar yang terbuka. Semua kitab-kitab yang sekarang ini ada dalam Kitab Suci Ibrani pada akhirnya dimasukkan secara pasti, tetapi ada sebuah penumbra dari karya-karya tentang mana yang setuju atau disetujui, dan yang belum ditetapkan (proscribed) oleh seorang pun juga. Orang dapat membayangkan hal ini dengan mudah dalam kasus kitab Daniel. Teks Ibrani dan Aramaik yang utama sudah ada atau tersedia begitu sajja otentik, karena Daniel telah bernubuat pada abad keenam SM, dan oleh karena itu teks itu mempunyai otoritas dalam hal usia. Tetapi ada juga tambahan-tambahan sedikit kisah-kisah mengenai Susanna dan bel dan Naga, dan nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan oleh tiga orang Pemuda di dalam tanur api itu. Apakah hal-hal ini asli atau tidak? (Itulah yang menjadi pertanyaan kritis-historis kita). Kita tidak mempunyai catatan-catatan mengenai suatu diskusi atau perbincanngan mengenai hal ini (pada pihak orang Kristiani, ada sebuah surat oleh Origenes tentang Susanna, tetapi tidak apa-apa dalam tradisi Yahudi), dan boleh jadi ada sementara orang yang berpikir tentang satu hal dan yang lain berpikir tentang hal yang lain. Kanon Yunani mempunyai otoritas potensial karena Paulus memakai kitab Kebijaksanaan. Otoritas potensial dari kanon Yunani itu dapat dilihat dengan mudah, sebagaimana telah dicatat di atas, karena Paulus memakai Kebijaksanaan. Adalah juga penting bagi Philo dari Alexandria, sang penulis Yahudi yang merupakan orang sejaman Paulus tetapi agak sedikit lebih tua dari pada Paulus. Sejarawan Yahudi Yosephus, di pihak yang lain, menulis dalam bahasa Yunani tetapi dari suatu latar belakang konteks Palestina, tidak memakai apa yang kiranya akan dikenal sebagai kitab-kitab Apokrif boleh jadi ini merupakan sebuah konfirmasi sedikit bahwa kedua kanon itu masing-masing merupakan Kanon di Alexandria dan Palestina. Apa yang tidak selalu diperhatikan (yang selalu luput dari perhatian) ialah diskusi Yosefus sendiri tentang kanon, sementara dia mengakui hanya kitab-kita dari Kitab Suci Ibrani yang ada, memakai sebagai kriteria untuk inklusi bukannya suatu keputusan atau perintah dari beberapa otoritas yang kompeten, tetapi hanya (berdasarkan) tanggal dari kitab itu saja. Setiap kitab yang ditulis sebelum kematian Artaxerxes secara potensial bersifat skriptural; apa yang ditulis sesudah kurun waktu itu, tidak lagi demikian. Secara praktis hal ini berarti bahwa Yosefus mendukung kanon Ibrani (yang ia tahu dalam bahasa Yunani!), dan karena itu ia pun dapat berkata bahwa ada hanya 22 kitab-kitab suci saja bagi orangorang Yahudi. Tetapi dalam teorinya kanon itu tidaklah bersifat tertutup: kitab-kitab tua yang baru saja ditemukan kiranya harus dipertimbangkan sebagai calon

21

untuk dimasukkan ke dalam kanon. (Bagaimana cara Yosephus menghitung kitab-kitab itu, dan apakah mereka persis sama dengan kitab-kitab Ibrani yang ada sekarang ini, secara tradisional terhidup 24, yang lain-lainnya tidaklah serba pasti). Petunjuk bukti dari PB tidak banyak membantu kita. Sebagaimana yang telah kita lihat, beberapa para penulis PB secara tidak diragukan lagi mengutip dari kitab-kitab yang sekarang ini ada dalam Apocrypha, dan Kitab Kebijaksanaan-lahyang paling penting dari antara itu semua. Sehingga, di satu pihak, adalah tidak mungkin untuk mengatakan bahwa kanon PL yang dipakai oleh gereja PB adalah persis sama dengan Kitab Suci Ibrani saat ini. Di pihak lain, pemakaian yang dilakukan atas kitab-kitab yang (kini) tidak-kanonik adalah sangat kecil jika dibandingkandengan pemakaian yang sangat banyak dari kitab-kitab pokok seperti Kejadian, Yesaya atau Mazmur. Jika kita tertarik dengan yang praktis dari pada dengan posisi atau pendapat yang teoretis, kita mau tidak harus mengatakan bahwa bagi PB kanon itu hampir identik dengan Kitab Suci Ibrani. Petunjuk bukti PB tidak mendukung suatu pernyataan doktriner bahwa apa yang disebut sebagai Apokrif itu tidaklah kanonis bagi para penulis ini, tetapi ia menunjukkan bahwa ia memang berada di pinggiran (marginal). Pada saat penyusunan Mishnah, pada abad kedua M., Kitab Suci Ibrani tentu saja sudah berada dalam pedomannya yang sekarang ini ada: tidak ada kitab lain yang pernah dikutip di sini. Kita masih belum tahu bahwa Kitab Suci memiliki bentuknya yang sekarang ini yaitu Hukum, Nabi-nabi, dan Hikmat walau hal ini tetap saja mungkin. Tetapi bagaimana hal ini terjadi, ini adalah sebuah misteri sejarah, yang tidak dapat seluruhnya kita ketahui. Begitu orang-orang Yahudi telah memutuskan kanon Ibrani yang lebih pendek, orang-orang Kristiani pun cepat atau lambat mau tidak mau akan bertanya apakah mereka harus mengikuti ketetapan itu (suit), ataukah harus tetap setia pada Kitab Suci Yunani yang lebih panjang yang telah menjadi sesuatu yang biasa bagi sebagian besar para penulis dari abad pertama Kristianitas atau sekitar itu. Uskup dan teolog Melito dari Sardis (wafat sekitar tahun 190 M) mengangkat masalah itu menjelang akhir dari abad kedua, dan sebenarnya terus melangkah lebih jauh dengan melakukan perjalanan mencari fakta di Palestina untuk mencari dan menemukan secara pasti apa yang menjadi ketetapan atau batas-batas dari Kanon Ibrani itu. Ia dengan tekun (duly) menyerahkannya (commended) kepadanya kepada gereja, yang hanya melanjutkan saja memakai kitab-kitab Yunani tambahan walau seakan-akan mereka tidak pernah ada. (Kontroversi Hieronimus dan Agustinus) Satu-satunya kontroversi yang nyata atas kanon PL pada abad-abad awal mula adalah di antara Hieronimus (sekitar 345-420), sang penerjemah Kitab Suci ke dalam bahasa Latin, dan Agustinus dari Hippo (354-430). Hieronimus telah lama menetap (tinggal) di Betlehem, dibantu di dalam karyanya oleh sejumlah para penasihat Yahudi, dan hampir tidakbisa tidak menyadari bahwa orang-orang Yahudi hingga saat itu tidak memberi tempat kepada kitab-kitab apokrif itu sama sekali. Dengan tekun (duly) ia mengusulkan bahwa Kitab Sucinya yang baru, Vulgata, harus mengikuti daftar Ibrani yang lebih pendek. Tetapi Agustinus menentang hal ini dengan sangat kuat, dengan mengatakan bahwa LXX, dan versi terjemahan Latinnya yang semula, yaitu Vetus Latina, selalu telah mencakupkan kitab-kitab tambahan itu, yang secara teratur dikutip oleh para pemimpin dan para guru Kristiani sebagai Kitab Suci. Resolusi konflik, kalau memang dapat disebut demikian, awalah bahwa Hieronimus menerjemahkan kitab-kitab tambahan itu, tetapi menyebut mereka sebagai apokrif (yang artinya kitab-kitab yang tertutup) atau kitabkitab gereja, dengan kontras dengan kitab-kitab kanonik dari Kitab Suci Ibrani, dan tidak lagi memandang mereka sebagai sepenuhnya kitab suci. Tetapi karena mereka masih tetap muncul dalam Kitab Suci Latin, sebagian besar orang tidak membedakan mereka dari bagian lain dari Kitab Suci itu. Secara khusus adalah menarik bahwa Hieronimus sendiri masih tetap memakai dan mengutip kitab-kitab deuterokanonik sebanyak sebelumnya juga setelah pertikaian dia dengan Agustinus. (Athanasius) Hal yang persis sama adalah juga benar sehubungan dengan Bapa Kristiani yang lain, yaitu Athanasius (sekitar 296-373), yang, satu angkatan sebelum Hieronimus, juga sama-sama telah menyatakan diri mendukung kanon yang lebih pendek itu. Rasa sukanya sendiri akan kitab-kitab apokrif, khususnya akan kitab Kebijaksanaan Salomo, masih tetap besar sekali juga sesudah ia telah memutuskan untuk demikian (mendukung kanon yang lebih pendek itu). Apa yang kita lihat di sini adalah sebuah fenomena terhadap mana studi-studi akan kanon biblis sering sekali memberi perhatian yang sangat sedikit juga: bahwa kanon teoretis yang dipegang orang jarang sekali sama dengan kanon fungsional mereka. (Jadi, ada beda antara kanon teoretis dan kanon fungsional). Para penulis Kristen sering sekali memakai kitab-kitab yang mereka tidak pandang sebagai kanonik; sebaliknya, mereka menerima beberapa kitab sebagai kanonik, tetapi hampir tidak pernah memakai mereka juga. (mungkin seperti sikap sebagian besar orang katolik dewasa ini, yang mengakui Deuterokanonika sebagai kekhasan mereka, tetapi tidak pernah membaca kitab-kitab itu secara khusus juga). Agustinus menerima seluruh kanon Yunani. Sikap Agustinus ini tetap merupakan sikap yang resmi dari Gereja Barat sampai jaman Reformasi Protestan itu. Walau kitab-kitab tambahan masih terus disebut apokrif atau deuterokanonik, ternyata hal ini tidak membawa suatu perubahan praktis apa-apa pun juga khususnya karena kitab-kitab ini tidak dicetak khusus (hived off) dalam bagian yang khusus (seperti halnya dalam beberapa versi cetakan protestan), melainkan tercampur-baur dalam dan dengan kitab-kitab Ibrani dari jenis yang sama: Kebijaksanaan dan Sirakh di samping Amsal dan Pengkotbah; Tobit dan Judit di samping Ester; dst. (Seperti susunannya dalam LXX itu). Tetapi para pembaharu Protestan, kembali ke posisi Hieronimus itu, dan dengan gigih mengatakan bahwa PL Gereja harus hanya mengandung kitab-kitab yang ada dalam Kanon Ibrani saja. Tetapi, mereka mencapai hal ini hanya memindahkan kitab-kitab tambahan itu yang berasal dari kanon Yunani itu, sehingga PL Protestan tidak mengikuti tata urut dari Kitab Suci Ibrani lagi, melainkan mengikuti tata urut LXX, hanya tanpa beberapa buku tertentu saja. Maka dengan tepat dapatlah dikatakan bahwa Kitab Suci Protestan itu adalah sebuah hibrida, dalam artian sebuah kitab yang memang mempunyai kitab-kitab Ibrani tetapi dengan tata urut Yunani. Paradoksnya, upaya Protestan untuk memulihkan Kitab Suci primitif dan otoritatif berhasil dalam menghasilkan sebuah Kitab Suci yang tidak pernah dikenal oleh seorang Kristiani mana pun sampai saat itu. (Jadi, ini sebuah eksperimen historis baru). Tetapi tidak semua orang Protestan seluruhnya merasa bahagia dengan perubahan ini. Kaum Anglikan tetap gigih mempertahankan kitab-kitab apokrif itu, baik untuk studi pribadi maupun untuk dibacakan di depan publik di gereja (suatu langkah yang berani tentu saja), Lutheran hanya untuk studi pribadi saja; tetapi keduanya mengumpulkan kitabkitab tambahan ini dalam sebuah apendiks bagi Kitab Suci, dan memakai judul Apokrif untuk kitab-kitab itu. (Jadi, ada perbedaan sikap dan perlakuan juga). Perjanjian Baru Sudah sangat dini orang Kristiani mulai mengumpulkan tulisan-tulisan para penginjil dan para penulis surat. Itu sudah kita tahu. Tidak lama berselang mereka menganggap kumpulan-kumpulan itu sebagai naskah berwibawa dan skriptural. Misalnya, pada akhir abad I, Klemens dari Roma menulis surat kepada jemaat di Korintus. Dalam surat itu ia mengutip surat Paulus kepada orang di Korintus, seakan-akan ia mempunyai daya ikat yang sama seperti Kitab-kitab PL itu. Begitu juga orang seperti Yustinus Martir. Ia mengutip Injil-injil seakan-akanmereka adalah padanan Kristiani untuk PL itu. (Faktor Pengaruh Marcion) Tetapi apa yang tidak kita temukan adalah suatu daftar yang menunjukkan mana teks-teks Kristen yangmempunya status khusus ini dan mana yang tidak. Ada satu kesepakatan umum bahwa orang pertama yang membuat daftar seperti itu adalah seorang Kristiani heterodoks, yang bernama Marcion. Daftar yang ia punyai sangatlah pendek expurgate yang dibersihkan dari semua unsur-unsur Yudaisme dan beberapa surat-surat Paulus, yang disusun sedemikian rupa sehingga dimulai dengan Galatia, yang mempunyai satu pernyataan paling jelas dari ide Paulus bahwa Kristus telah menyelamatkan para penganutNya dari kutuk hukum yang oleh Marcion dipahami sebagai pembebasan dari Yudaisme. Sering sekali dikatakan bahwa, tatkala ia menetapkan kanon ini, Marcion membentangkan satu preseden yang kemudian diikuti oleh sebagian besar Gereja (mayoritas). Alih-alih memegang satu PB yang didefinisikan secara kabur, para penulis Kristiani gariis utama (diduga begitu) mulai sibuk (goad info) daftarkan kitab-kitab yang mereka, kaum ortodoks, pandang sebagai Kitab Suci. Kalau memang demikian duduk perkaranya, maka tidak ada penulis-penulis Kristiani dari abad-abad awal yang tampaknya telah sadar akan hal ini. Mereka semua serta merta melihat arti penting Marcion, yaitu terletak dalam sikapnya yang menolak PL; halini mendorong para penulis ortodoks memperthankan PL dan menetapkan tempatnya yang paling tepat dan sebaiknya dalam Gereja. Tampaknya tidak seorang pun telah berpikir bahwa penetapan Marcion akan kanon PB memang mempunyai daya pengaruh juga. Mungkin lebih baik dipikirkan bahwa Marcion hidup pada kurun waktu ketika perhatian pada batas-batas teoretis dari Kitab Suci Kristen baru saja mulai muncul, dan bahwa dia kebetulan menjadi kesaksian kita yang paling awal ke arah perkembangan ini. Bagaimana pun juga apakah mereka terdorong oleh kebutuhan untuk menolak Marcion, para penulis Kristen dari pertengahan abad kedua dst mulai menaruh perhatian pada soal ketetapan tentang apakah kitab PB memang benar-benar terilhami, apostolik, dan skriptural; sejak saat itulah mulai muncul daftar-daftar. (Daftar dari Eusebius dan Athanasius) Ada dua daftar klasik dari abad keempat, yaitu dari Eusebius dan dari Athanasius. Isi daftar mereka sangat mirip dan kurang lebih mirip dengan PB kita (yang lebih mirip ialah daftar dari Athanasius itu); tetapi yang lebih menarik ialah kategori-kategori yang dipakai untuk mengklasifikasi pelbagai kitab-kitab yang ada. Untuk itu Eusebius membedakan tiga macam kategori: 1) Homolegoumena, yaitu kitab-kitab yang diakui secara universal; 2) antilegoumena, yaitu kitab-kitab yang statusnya diperdebatkan, tetapi yang dibaca secara luas dalam Gereja; 3) notha, yaitu kitab-kitab yang harus ditolak karena dicurigai (spurious). Dalam kategori ketiga ini termasuk buku-buku seperti Shepherd dari Hermas itu, Surat Barnabas, dan Didache (Ajaran Para Rasul). Kitab-kitab ini dihormati secara luas pada Gereja awal tetapi mereka tidak diakui sebagai kanonik pada gereja-gereja arus utama pada masa Eusebius. Yang menarik ialah kategori kedua, yaitu kitab-kitab yang konon diperdebatkan. Di dalam kategori ini termasuklah kitab-kitab berikut ini, demikian menurut Eusebius, Yakobus, Yudas, 2Petrus, 2-3Yohanes. Yang lain-lain yang kita tahu sekarang ini sebagai PB merupakan buku-buku yang disepakati bersama (jadi termasuk dalam kategori pertama tadi). Tetapi ada satu kasus khusus, yaitu kitab Wahyu. Gereja-gereja Timur sering sekali meragukan kitab ini; itu tidak lain karena spekulasinya tentang masa depan; dan hal itu secara luas dipandang sebagai liar (inflamatory). Menurut Eusebius, kitab ini bisa termasuk dalam kategori pertama atau ketiga; artinya, ada yang menganggap dia sebagai kitab yang diakui secara universal; tetapi ada juga yang menduga bahwa kitab ini meragukan. Akibatnya ia tetap berada dalam kategorinya sendiri (juga bukan berarti Eusebius merasa yakin tentang hal itu juga). Dari diskusi ini muncul sejumlah poin penting yang harus kita cermati baik-baik. Pertama, kanonisitas pada umumnya bukan satu persoalan sekadar luar atau dalam saja: ada juga satu kategori marginal dari kitab-kitab yang statusnya tidak jelas, bukannya tidak seperti kitab-kitab deuterokanonika dari PL itu. Kitab-kitab yang ada termasuk dalam salah satu dari tiga kategori, bukan hanya dari dua saja. Kalau ini benar menyangkut kanon yang resmi, maka ini juga bahkan jauh lebih jelas benar lagi di mana menyangkut kanon fungsional. Semua para penulis Kristiani mempunyai kitab-kitab yang sering sekalimereka pakai secara penuh (ini termasuk dalam kategori pertama), dan tidak ada kitab-kitab lain yang tidak mereka setujui walau ada orang-orang lainyang memberinya otoritas (ini termasuk kateogi ketiga). Tetapi selalu ada kitab-kitab yang ada di wilayah penumbria yang entah pada prinsipnya diterima, tetapi tidak banyak dipakai, atau pada prinsipnya ditolak, tetapi nyatanya masih dipakai juga. Contoh yang baik untuk yang pertama ialah Kisah, yang oleh para penulis Kristiani secara universal dipandang skriptural, tetapi dikutip sangat sedikit saja dalam sebagianbesar para penulis Kristiani awal; tentu jauh lebih kurang dari pada karya volume I yaitu Injil Lukas. (Tetapi muncul pertanyaan kritis yang menggelitik dalam diri saya, mengapa sampai terjadi demikian? Apakah ada alasan teologis tertentu? Tidak mudah menjawab

22

pertanyaan ini). Nah, tipe kedua dapat dilihat dalam Gembala Hermas itu, yang terus menerus dibaca pada masa Gereja purba jauh setelah ia dinyatakan tidak kanonik, dan kadang-kadang muncul dalam manuskrip-manuskrip biblis, termasuk Kodeks yangbesar dan bergengsi, seperti Sinaitikus itu (pertengahan abad keempat), yang dibagi dalam bagian-bagian untuk dibacakan di muka umum dalam Gereja. Kedua, walau dalam daftar-daftar seperti daftar Eusebius gereja tampaknya sedang mengidentifikasi dan menetapkan kitab-kitab PB, praksis sebagian besar tidak diragukan. Misalnya, tidak seorang mulai menganggap serius Injil Mateus karena Eusebius telah mendaftarkannya. Itu terjadi begitu saja, seperti semua homolegoumena lain; sudah disepakati oleh semua begitu saja. Hanya di wilayah-wilayah pinggir sajalah dari Kanon bahwa sebuah daftar seperti itu menjadi satu aturan atas satu topik kontroversial; dan justru di sinilah ia tidak memberitahu kita apa yang perlu kita ketahui. Ada sesuatu yang lucu tentang deklarasi agung yang orang tampaknya tidak bisa sepakat yaitu tentang status dari 2 Petrus dan 3 Yohanes. Sebab diandaikan para pembaca tahu akan hal itu, dan justru karena itu mereka pun membaca Eusebius: dengan harapan ia dapat memberi mereka jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi apa yang ia buat ialah hanya mengangkat dan merumuskan soal, dan membiarkannya tidak terpecahkan. Satu aspek yang penting dari PB, seperti juga PL, adalah bahwa ia mempunyai tepi-tepi yang fuzzy; nah, yang dibuat Eusebius ialah mengidentifikasi area yang tepat dari fuzzyness itu. Ketiga, tampaknya Eusebius mencampurkan dua soal: apakah kitab-kitab itu ortodoks atau tidak ortodoks, dan apakah kitab-kitab itu kanonik atau tidak kanonik. Notha yang ditetapkan oleh Eusebius (kitab-kitab yang meragukan tadi) bukanlah kitab-kitab yang tidak boleh dibaca dengan alasan bahwa mereka itu tidak ortodoks dan karena itu dianggap bisa menyesatkan. Sama sekali tidak seperti itu. Sesungguhnya kitab-kitab itu adalah kitab-kitab yang pada masa Eusebius, telah diputuskan orang-orang Kristiani sebagai tidak merupakan bagian utuh dari PB. Itu saja. Jadi, mereka itu ortodoks tetapi tidak kanonik. Itu sama dengan cara orang Kristiani modern memandang tulisan-tulisan C.S.Lewis itu: sangat ortodoks tetapi jelas bukan merupakan bagian dari Kitab Suci. Oleh karena itu, Eusebius pun mempunyai kategori yang keempat, yang mencakup kitab-kitab yang tidak ortodoks, heretik, dan benar-benar reprehensible yang tidak boleh dibaca oleh orangorang Kristiani; sebagai contoh ia memberi Injil Petrus, sebuah karya lebih buruk dari pada karya yang diragukan. Tatkala ia membahas kitab Wahyu, tampaknya ia mengganti haluan di tengah jalan; dan sulit untuk dikatakanapakah ia sedang menilai soal itu menyangkut status skripturalnya ataukah ortodoksinya. Jika ortodoks, logisnya ia termasuk dalam kategori 1 dan 3; jika tidak ortodoks kiranya ia telah dibuang ke dalam gudang karya-karya heretik saja. Tetapi lagi-lagi, di mana kita merasa perlu tahu jawaban atas satu soal, Eusebius hanya mengatakan pada kita bahwa ada soal. Itu saja. Ia tidak memberi jawaban sama sekali. Semua ini menegaskan bahwa pengakuan akan kitab-kitab tertentu sebagai Kitab Suci seluruhnya merupakan satu proses alami belaka; tidak ada urusan regulasi gerejawi. Inti PB sudah diterima sangat dini sehingga aturan-aturan sesudahnya hanya sekadar mengakui saja apa yang sudah jelas sebelumnya. Dan di mana ada keraguan, aturan-aturan seperti itu sering sekali membiarkan hal itu tetap ada di sana. Jadi, kanonisasi,dalam artian membuat daftar eksklusif kitab-kitab untuk diterima sebagai Kitab Suci, dipersaksikan sangat lemah dalam Gereja Purba. Untuk sebagian besar, kitab-kitab PB seakan-akan meretas jalannya sendiri ke dalam Gereja; dan kitab-kitab yang diragukan jarang-jarang atau diterima, atau akhirnya ditolakoleh kehendak (penetapan) Gereja. Lalu lambat laun tumbuh sebuah konsensus. Hingga dewasa ini, walau kita sekarang mempunyai kitab suci dalam mana semua kitab dicetak dalam format yang sama dan karena itu tampak seakan-akan mereka itu mempunyai status yang sama, toh sebagian besar orang Kristiani yang membaca Kitab Suci tahu bahwa hal ini tidak demikian sebenarnya. Kalau Eusebius tidak jelas tentang pemahaman akan 2Petrus dan 3Yohanes, demikian juga halnya sebagian besar orang-orang Kristiani; dan pelbagai komite gerejawi mawih berdebat apakah cocok untuk membaca Kitab Wahyu dalam gereja atau tidak. (Ini bukan pendapat gereja Katolik, sebab dalam gereja Katolik, kitab ini dibaca secara luas, dalam liturgi ekaristi dan ofisi ilahi). Tetapi, PB sebagaimana yang telah kita terima didukung (endorsed), tanpa tambahan atau penghapusan, oleh satu otoritas di dalam Gereja dari abad keempat Masehi. Petunjuk bukti adalah sebuah surat yang ditulis oleh Athanasius kepada para klerusnya pada tahun 367 Masehi. Perhatikan bahwa di sini penyusunan yang lama, dengan mana Kisah memperkenalkan bukannya surat-surat Paulus melainkan surat-surat Katolik, masih tetap bertahan hidup, tetapi dalam segi yang lain daftar itu identik dengan daftar kita sendiri. Adalah tidak tedious untuk berbicara tentang [kitab-kitab] dari PB. Ini adalah keempat Injil, menurut Mateus, Markus, Lukas, dan Yohanes. Sesudah ini, Kisah Para Rasul dan Surat-surat yang disebut Katolik, dari tujuh orang rasul: dari Yakobus, ada satu; dari Peter, ada dua; dari Yohanes, ada tiga; setelah yang ini, satu dari Yudas. Sebagai tambahan, ada empatbelas surat dari Paulus sang Rasul, yang ditulis dalam tata urut ini: yang pertama, kepada orang-orang Roma; kemudian, dua surat kepada jemaat di Korintus; kemudian, kepada orang-orang Filipi; lalu, kepada orang-orang Kolose; setelah ini, dua surat kepada jemaat di Tesalonika; dan surat kepada orang-orang Ibrani; dan lagi, dua surat kepada Timotius; satu surat kepada Titus; dan akhirnya, surat kepada Filemon. Dan selain itu, Wahyu kepada Yohanes. Inilah semua yang merupakan sumber-sumber keselamatan, agar dia yang haus bisa dipuaskan dengan kata-kata yang hidup yang terkandung di dalam mereka. Hanya di dalam kitab-kitab inilah ajaran tentang keallahan dinyatakan. Janganlah siapa pun menambah-nambah sesuatu kepadanya; jangan juga ada sesuatu yang diambil dari mereka. Di sini adalah kanonisasi dalam artian yang ketat dan keras dari istilah itu: pernyataan bahwa kitab-kitab ini dan hanya kitab-kitab ini saja yang harus dipandang sebagai Kitab Suci. Begitu titik ini sudah dicapai, kita dapat mengatakan bahwa proses pembuatan Kitab Suci Kristiani itu sudah rampung, lengkap, selesai. Bab 6 Kesimpulan Dalam buku ini kita telah melihat pada dua proses yang terpisah, tetapi tetap saling terkait satu sama lain di banyak titik. Yang pertama ialah proses dengan mana pelbagai macam kitab yang sekarang ini membentuk Kitab Suci akhirnya ditulis dan terdapat dalam bentuk tertulis. Kedua adalah proses dengan mana mereka akhirnya mereka diterima sebagai Kitab Suci, dan berbeda (dibedakan) dari semua kitab-kitab yang lain. Namun demikian kedua proses itu adalah sangat kompleks, tetapi beberapa kecenderungan dan prinsip umum dapat dilihat dengan jelas juga. Yang pertama, sebagai langkah awal, proses penulisan kitab-kitab biblis: kita sudah mencatat bahwa semua kebudayaan yang menghasilkan PL dan PB adalaah kebudayaan-kebudayaan melek huruf, bukannya dalam artian bahwa kemelekan itu tersebar luas dan merata ke dan di mana-mana, melainkan dalam artian bahwa ada satu kelompok besar dan elit orang yang sangat melek huruf kira-kira sama tingkat melek hurufnya seperti dewasa ini dan yang menghasilkan tulisan yang canggih bagi orang-orang sejaman mereka untuk dibaca. Baik dalam jaman PL dan PB ada orang yang disebut, dengan satu istilah teknis, para ahli tulis, dan walaupun kita tidak mempunyai informasi rinci tentang peranan mereka, adalah jelas bahwa mereka tidak hanya merupakan padanan kuno dari prosesor-kata, melainkan sering sekali menghasilkan tulisan yang original dan kreatif. Sebagian terbesar PL sampai kepada kita dari tangan-tangan orang seperti itu, dan dalam keadaan tata kemelekan yang luar biasa prima dan mengagumkan. Pada saat yang sama, ada dua faktor yang membuat situasi di jaman kuno itu sangat berbeda dari situasi di jaman kita sekarang ini. Yang satu adalah arti penting yang diberikan kepada ide, kisah-kisah, puisi-puisi dan ucapan-ucapan yang diturun-alihkan secara lisan ketimbang dalam bentuk tulisan.

Beberapa kebudayaan yang mengenal huruf, seperti halnya kebudayaan kita sendiri dewasa ini, memandang tradisi lisan sebagai kurang terpercaya daripada sistem penurun-alihan dalam bentuk tulisan, tetapi di jaman Israel kuno dulu dan di jaman Gereja purba satu gudang penyimpanan yang besar dibentangkan oleh keakuratan daya ingatan (menghafal), dan ada banyak ungkapan-ungkapan kepercayaan justru diingat dan diwariskan berkat daya ingatan yang sangat terlatih, dan dalam kondisi seperti ini, tulisan berada para urutan tingkat kedua dalam mutunya. Orang-orang Kristiani perdana terutama sekali kuat melekat dan menganut titik pandangan ini, kadang-kadang bahkan sampai memandang Injil-injil yang tertulis terutama sekali sebagai repositories dari bahan yang bisa mengingatkan sang pewarta atau sang guru tentang kisah mengenai Yesus, ketimbang sebagai sebuah Kitab Suci dalam dirinya sendiri dari situlah datangnya fakta sejarah bahwa para penulis semula sering mengutip Injil-injil secara tidak akurat! Rasa suka dan pilihan orang-orang Kristen yang lebih condong kepada Kodeks dari pada gulungan kitab mungkin mencerminkan ide ini bahwa Injil-injil yang tertulis adalah informal, komposisi-komposisi yang seperti catatan, ketimbang kitab-kitab dalam artian formal. Di Israel kuno, juga, kenangan-kenangan historis mungkin beredar selama banyak tahun secara lisan sebelum ada seseorang yang menuliskan mereka hal ini kiranya secara khusus benar sehubungan dengan jenis-jenis bahan legendaris, seperti, misalnya, kisah-kisah tentang Elia dan Elisa. Kedua, para penulis kuno mempunyai satu ide yang berbeda dari kita mengenai apa yang merupakan komposisi asali. Banyak dari karya-karya mereka yang asli merupakan produk dari semacam konsortium para penulis yang tersebar dalam satu rentang waktu yang panjang, yang menambah (dan kadang-kadang juga menarik atau membuang keluar sesuatu, substract) dokumen-dokumen yang sudah ada, dengan mengubah-ubah hal ini agar bisa cocok dengan tujuan-tujuan mereka yang khusus dengan menghasilkan edisi-edisi baru, membagi dua dokumen dan kemudian mengembangkan masing-masing bagian dengan satu cara yang baru, menggambungkan bahan tertulis dengan tradisitradisi lisan yang kebetulan mereka ketahui. Sebuah kitab tidaklah jenis benda yang sama dalam sebuah kultur seperti itu seperti bagi kita suatu entitas dengan satu bentuk yang tertentu, ada awal, ada tengah, dan ada sebuah akhir, yang ditulis dalam gaya yang sama dalam dan dirancang untuk mengungkapkan satu poin khusus tertentu. Sebuah paralel modern bagi kitab kuno kiranya adalah sesuatu yang lebih mirip sebuah koleksi pesan-pesan e-mail, yang digabungkan oleh orang yang menerima mereka semua dan kemudian mencetak bahan itu dalam sebuah format yang seragam yang lalu bisa menutup atau menyelubungi asal-usul mereka yang berbeda-beda (disparate). Namun demikian, selama suatu kurun waktu tertentu kitab-kitab yang jelas berbeda belum atau tidak muncul, dan nama-nama yang dituntut dan para pengarang yang diduga demikian (alleged). Dan beberapa kitab skriptural yang paling jelas adalah surat-surat Paulus, tetapi juga beberapa kitap PL seperti Ruth atau Yunus mulai hidup sebagai kitab-kitab bahkan juga sudah dalam pengertian modern kita dewasa ini, sebagaimana halnya tulisan-tulisan dari satu pribadi yang khusus dengan satu pesan khusus untuk disampaikan. Proses pengumpulan bersama-sama kitab-kitab yang terpisah menjadi satu batang tubuh yang lebih besar, dan ide bahwa batang tubuh ini mempunyai satu status religius yang khusus, juga sanglah kompleks, rumit. Atau seluruh atau sebagian dari proses ini cenderung disebut sebagai kanonisasi Kitab Suci, walau saya telah mengusulkan bahwa kata ini adalah lebih baik disimpan untuk tahap terakhir dari perkembangan itu yaitu tahap pada mana dinyatakanlah secara positif bahwa tidak ada kitab-kitab lain lagi dari yang ada dalam daftar itu yang

23

bisa dianggap sebagai Kitab Suci (atau bahkan akan pernah dihitung sebagai). Bagaimana pun juga, ada beberapa tahap yang jelas yang terjadi dalam seluruh proses ini. Pertama, kitab-kitab harus dikumpulkan: kitab-kitab Musa, misalnya, dikumpulkan bersama-sama untuk membentuk Pentateukh atau Torah; Surat-surat Paulus dikumpulkan sebagai corpus Paulinian, dan kemudian diberi currency yang luas sebagai sebuah koleksi yang koheren yang mengungkapkan teologi yang sama dalam seluruh kumpulan, ketimbang sebagai karya-karya individual, masing-masingnya dari suatu situasi yang berbeda. Kedua, kumpulan-kumpulan seperti itu akhirnya mulai dibacakan secara khusus tetapi yang tidak diterapkan pada kitabkitab sekular secara alegoris, misalnya, atau sebagai suatu yang relevan secara universal, atau sebagai kepenuhan dari suatu makna yang tersembunyi. Akhirnya, muncullah saat di mana beberapa otoritas yang berkompeten mengumumkan secara resmi bahwa kategori dari kitabkitab suci sekarang ini sudah penuh, lalu menarik satu garis di bawah kumpulan itu untuk mengubahnya menjadi Sebuah Kitab Suci. Yang terakhir dari tahap-tahap ini yaitu tahap pada mana saya secara unequivok mengkaitkan nama kanonisasi tadi adalah kurang penting dari pada kedengarannya baik bagi PL maupun bagi PB. Tidak ada suatu catatan mengenai satu otoritas dalam Yudaisme yang menyatakan secara resmi mengenai batas-batas yang pasti dari Kitab Suci Ibrani itu (?). Yang ada hanyalah beberapa pernyataan stray tentang kitab ini atau kitab itu yang otoritasnya memang dipersoalkan (Kitab Sirah sebenarnya hampir merupakan satu-satunya kitab yang kita ketahui yang telah ditetapkan (ruled) sebagai tidak kanonik). Dan di dalam Kristianitas, sejumlah para penulis semula mendaftarkan kitab-kitab PB yang disetujui, tetapi untuk sebagian terbesar kitab-kitab yang didaftar itu seluruhnya adalah jelas (adalah kiranya bukan berita pada abad keempat M, misalnya, untuk mengatakan bahwa Surat kepada Jemaat di Roma itu adalah kanonik), dan di mana mereka tidak ada, daftar itu sering sekali mencakupkan sebuah catatan yang mengatakan bahwa status mereka tidak serba jelas, ketimbang suatu keputusan tentang hal ini. Kalau ada satu poin yang saya ingin agar bisa terus diingat (to take away) oleh pembaca buku ini, maka ide itu erat terkait dengan pengamatan yang terakhir ini. Status kitab-kitab dalam Kitab Suci kita kadang-kadang saja telah bersifat kontroversial. Pada tepian (fringes) dari kanon kedua Perjanjian itu ada beberapa kitab yang statusnya tidak pernah bisa seluruhnya jelas di dalam Gereja, dan dalam prakteknya (kalau tidak dalam teori) hal ini sering tetap tidak jelas dan tidak pasti juga hingga dewasa ini. Di mana menyangkut PL, kitab-kita yang oleh orang-orang Protestan disebut Apokrif sesungguhnya telah menjadi pokok kontroversi dan ketegangan di dalam Gereja Kristiani itu sendiri. Tetapi tidak satu pun dari mmereka telah menjadi sepenting seperti sebagian besar dari kitab-kitabn dalam PL yang cocok (proper) bagian sebagian besar orang-orang Kristiani itu. Barangkali Kebijaksanaan Salomo (yang dianggap apokrif oleh Protestan), sesuatu yang amat disukai oleh para penulis Kristiani awal, kadang-kadang jauh lebih penting dari pada sebuah kitab yang pendek dan amat tidak peneting, seperti misalnya kitab nubuat Nahum (yang kanonik itu). Tetapi kiranya adalah sulit untuk menemukan sebuah contoh kasus kedua mengenai keadaan perkara yang terbolak-balik itu. Gereja purba, untuk sebagian terbesar, memandang Apokrif sebagai Kitab Suci, tetapi ia sama sekali tidak banyak memakainya juga. Demikianlah juga halanya dengan kanon PB: ada pertikaian-pertikaian tentang Ibrani dam Wahyu, tetapi bahkan orang-orang yang keen untuk mencakupkan kitab-kitab ini ke dalam kanon tidak memakai mereka sama sekali sebanyak mereka memakai Mateus dan Roma misalnya. (saya kira ini tidak benar, sebab dalam Gereja Katolik banyak dipakai juga). Maka hal ini ada di pinggiran, dan bukannya ada di pusat, bahwa dulu memang ada kontroversi. Inti pokok dari kedua Perjanjian itu tidak pernah bersifat kontroversial dalam Yudaisme ataupun dalam Kristianitas. Kitab Suci bertumbuh dengan cara penerimaan secara pasti (steady) dari kitab-kitab tertentu sebagai jelas-jelas kudus. Sering sekali alasan-alasan yang muncul sesudahnya ditemukan (atau bahkan diciptakan) untuk mendukung keadaan perkara seperti ini: Tanggal atau kepengarangan dari kitab-kitab, atau keduanya sekaligus, diajukan (pleaded) sebagai alasan-alasan bagi kekudusan mereka. Tetapi dalam prakteknya suatu persepsi bahwa kitab-kitab telah dipakai sejak waktu yang sudah sangat lama di masa silam sudah merupakan satu alasan yang sangat kuat dan nyata. Persepsi ini mungkin merupakan satu persepsi yang benar misalnya, 1Tesalonika sesungguhnya berasal dari kurun-kurun paling dini dari kurung sejarah Kristianitas; Banyak dari Mazmur boleh jadi memang sudah berasal dari jaman Daud itu sendiri. Atau boleh jadi hal ini adalah sesuatu yang salah misalnya 2Pterus tidaklah berasal dari atau ditulis oleh Rasul Petrus, melainkan oleh seroang penulis yang memakai nama samaran dari antara kurun paling akhir abad pertama, kalau bukan abad kedua; kitab Ulangan bukan oleh Musa melainkan (sangat mungkin) oleh seorang penulis atau para penulis dari antara abad ketujuh dan kelima SM. Tetapi apakah persepsi itu benar atau tidak, yang penting hal ini mengarah kepada kitab-kitab yang dipandang sebagai tidak terkalahkan (unassailable) jauh sebelum seseorang mulai bertanya, secara aktif, apakah yang ini atau yang itu yang harus dipandang sebagai sungguh-sungguh kanonik. Sejarah pemakaian yang sudah lama (hampir) merupakan segala-galanya. (Seakan-akan menjadi kriteria yang penting). Kitab suci bukanlah hasil dari beberapa jenis legislasi: ia hanya bertumbuh begitu saja. Perlahan-lahan dalam waktu, dari waktu ke waktu.

24

You might also like