You are on page 1of 8

LEPASNYA PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN DARI WILAYAH INDONESIA

Christina Agustin XI IPA 1

PENDAHULUAN
Letak Geografis Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan adalah berada di Laut Sulawesi di sebelah utara kawasan dasar Laut Ambalat. Sedang letak astronominya adalah pulau Sipadan (luas: 50.000 meter) dengan koordinat: 4652.86N 1183743.52E / 4.1146833LU 118.6287556BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter) dengan koordinat: 49N 11853E.

INTI
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Tadinya kedua negara sepakat untuk diselesaikan lewat ASEAN, tetapi masalah ketidak jelasan hukum teritorial antara Indonesia dan Malaysia hingga permasalahan ini tidak dapat diselesaikan oleh ASEAN dan terpaksa diserahkan pada Mahkamah Internasional. Malaysia sudah mempunyai perencanaan yang matang untuk membangun infrastruktur di pulau tersebut sementara Indonesia seolah-olah mengabaikan pulau tersebut, sehingga terkesan Indonesia berada di posisi terbelakang. Fakta bahwa Malaysia baru memasukkan SipadanLigitan dalam peta nasionalnya tahun 1969, dan secara gencar dipromosikan pengelola wisata selam swasta Malaysia pada majalah Asian Diver edisi Desember 1994/Januari 1995 yang terbit di Singapura. Iklan ajakan menyelam pada majalah itu tercatat sampai empat kali dipromosikan empat pengelola wisata selam yang berbeda. Para penyelam ataupun yang berminat menyelam diminta datang ke pulau itu untuk melihat "surga di bawah air" yang ada di sana. "Bayangkan Anda menyelam di air yang hangat dan tenang ditemani ribuan ikan warna-warni yang bergerak di antara batu-batu karang yang juga berwarna-warni lalu sekumpulan penyu bergerak di air yang biru, begitu dekat untuk Anda raih dan sentuh," demikian bunyi iklan itu. Iklan yang lain menyebut, Sipadan adalah salah satu dari lima tempat penyelaman yang paling indah di dunia. Juga ada pernyataan bahwa Sipadan adalah tempat penyelam yang spektakuler di dunia. Pengelola wisata selam tersebut seluruhnya berada di Sabah, Malaysia timur.

Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya. Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini. Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional. Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satusatunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan

militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan "besi tua yang mengambang" dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh. Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun. Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.

Diperkirakan Malaysia mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan untuk kepentingan nasionalnya, yaitu sumber daya alam yang berupa minyak dan gas selain itu dari letak geografisnya Sipadan dan Ligitan terletak di daerah yang strategis. Dari pihak Indonesianya sendiri bersih kukuh mempertahankannya karena memang secara ZEE Sipadan Ligitan merupakan wilayah indonesia.

Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.

KESIMPULAN
Menurut saya, dari kejadian Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini, Bangsa ini semakin sadar bahwa kita sebenarnya mempunyai kekayaan alam yang luar biasa yang dapat kita pakai untuk

kesejahteraan rakyat dan memajukan kehidupan bangsa kita sendiri. Terutama bagi Pemerintahan, supaya lebih cermat dalam mengatur soal territorial, apalagi Indonesia adalah Negara maritime, masa urusan territorialnya berantakan sekali. Pemerintah juga harus member perhatian terhadap pulau pulau milik Indonesia, jangan sampai kecolongan lagi. Apalagi yang kecolongan selalu pulau yang memiliki alam yang sangat indah dan SDA yang melimpah ruah. Dan saya menyangangkan masalah diplomasi yang tidak terlalu cerdik dalam menangani kasus ini. Mungkin teanga yang tersedia kurang memadai atau kurang pengetahuan tentang kasus ini, karena kasus ini sudah lebih dari 4 dasawarsa, jadi wajar saja jika terdapat penggantian pemegang kekuasaan dalam menangani kasus ini.

You might also like