Professional Documents
Culture Documents
Praktik outsourcing sebetulnya bukan hal baru di dunia. Sebelum Perang Dunia II,
Kerajaan Inggris telah menerapkan hal ini dengan merekrut serdadu Gurkha yang
terkenal dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950, Amerika
Serikat adalah negara yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk keperluan
perang. Praktik outsourcing kemudian berkembang luas di perusahaan multinasional
sejalan dengan perlunya mereka beroperasi secara efisien dan focus terhadap bisnis
mereka. Perancis kini merupakan negara yang paling berkembang dalam menerapkan
outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis, dalam berbagai skala, menerapkan
praktik outsourcing dalam menjalankan usaha.
Ada banyak hal yang mendorong berkembangnya kegiatan outsourcing. Alasan utama,
tentu saja, untuk efisiensi usaha. Pakar manajemen Charles T. Fote, misalnya,
mengatakan untuk bisa efisien, perusahaan jangan mengerjakan semua hal sendiri.
Selain lebih efisien, praktik outsourcing juga mengurangi panjang dan rumitnya mata
rantai kendali manajemen usaha. Tanpa outsourcing, perusahaan akan semakin tambun
sehingga tidak lincah bergerak.
Di sisi lain, perusahaan juga harus semakin fokus pada bidang-bidang yang dinilainya
strategis, seperti dikatakan pakar manajemen Al Ries. Fokus pada bidang keahlian
utamanya dan tidak lari kemana-mana, termasuk mengurusi hal-hal tetek bengek. Prinsip
ini juga sejalan dengan keyakinan bahwa ada jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan
penanganan khusus oleh tenaga-tenaga ahli tertentu. Dalam industri rekayasa global,
umpamanya, praktik outsourcing untuk tujuan ini diterapkan secara meluas dalam
industri pesawat terbang, otomotif, dan permesinan industri. Industri tersebut
menyerahkan pendesainan pesawat, mobil, atau mesin kepada perusahaan khusus
desain. Rancang-bangun mobil murah Maleo yang rencananya diproduksi Indonesia di era
Habibie dilaksanakan oleh sebuah perusahaan Australia, yang juga mengerjakan hal yang
sama untuk perusahaan otomotif lainnya.
Perusahaan otomotif Jepang menyerahkan sebagian besar pekerjaannya kepada industri
komponen yang memenuhi standar mereka. Selanjutnya, seluruh komponen itu dirakit di
perusahaan otomotif tersebut. Perusahaan otomotif tersebut hanya focus pada desain
dan pengembangan rancangbangun, memproduksi komponen tertentu, merakit, dan
memasarkan mobil-mobil yang telah ditempeli merek mereka.
Tengok pula apa yang dilakukan pemilik merek sepatu olahraga terkemuka di dunia
macam Nike, Adidas, Fila, dan sebagainya. Mereka hanya fokus pada pengembangan
desain sepatu, mendistribusikan, memasarkan, dan mengelola merek. Sedangkan
kegiatan produksinya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan lain yang tersebar di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mereka memberikan order produksi kepada
perusahaan-perusahaan yang mampu memberikan biaya dan mutu produksi terbaik.
Dalam definisi umum, praktik semacam ini termasuk kegiatan global outsourcing, yaitu
mensubkontrakkan produksi ke banyak perusahaan di dunia. Kegiatan bisnis semacam ini
sering juga disebut global sourcing, mereknya sama namun diproduksi di banyak negara.
Perusahaan perminyakan termasuk yang paling banyak melakukan kegiatan outsourcing,
baik di dunia maupun di Indonesia. Kegiatan yang disubkontrakkan tidak hanya bidang
transportasi, konsumsi, atau asuransi, tetapi meluas ke berbagai hal strategis lainnya.
Mulai dari survei seismic untuk mencari cadangan minyak dan gas hingga kegiatan
eksplorasi serta eksploitasi. Mereka menyewa rig untuk eksploitasi migas lepas pantai,
dan menyerahkan perawatan peralatan kepada ahli dari Schlumberger, misalnya.
Langkah Pertamina memperkenalkan praktik Kontraktor Production Sharing (KPS) sejak
tahun 70-an, sejatinya juga tergolong kegiatan outsourcing. Di situ, KPS diberi hak
mengelola blok-blok migas tertentu sebagai mitra Pertamina.
Kecuali karena beberapa alasan di atas, tidak dapat dipungkiri, ada juga perusahaan
multinasional yang menerapkan outsourcing dalam upaya menekan biaya buruh atau
tenaga kerja. Praktik global outsourcing yang terjadi pada industri sepatu maupun
industri TPT (tekstil dan produk tekstil) - dua industri yang sering disebut sebagai sunset
industry karena selalu mencari lokasi dengan biaya produksi termurah - tergolong pada
kategori di atas. Merek-merek global itu selalu mencari negara-negara dengan biaya
buruh murah untuk basis produksi. Produk akhirnya dijual dengan dolar, yang harganya
bisa 10 kali lipat dari harga pembelian merek tersebut dari para produsen. Sementara,
gaji tenaga kerja tetap dibayar mengikuti standar minimum macam UMR (Upah Minimum
Regional) atau UMP (Upah Minimum Propinsi).
Namun demikian, melimpahnya pasokan tenaga kerja dibandingkan lapangan kerja yang
tersedia, menyebabkan para tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain, selain menerima
fakta tersebut. Itu pulalah yang terjadi di Indonesia, saat pengangguran makin menjadi-
jadi pasca krisis ekonomi 1997. Dewasa ini, tingkat pengangguran telah mencapai 44 juta
orang lebih akibat lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan terus bertambahnya
tenaga kerja baru. Artinya, rata-rata di setiap rumah tangga, yang bekerja penuh hanya
satu orang saja. Sisanya menganggur. Hukum ekonomi menyebut fakta ini sebagai
seller's market, di mana pasokan buruh terlalu besar dibandingkan permintaan, sehingga
harga buruh cenderung tertekan.
Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, outsourcing sangat membantu mengurangi
pengangguran tersebut. Para pekerja bisa mendapatkan pekerjaan, meskipun dalam
bentuk kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu (PKWT/Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu). Upah yang diterima bahkan bisa lebih besar untuk pekerjaan tertentu karena
sifatnya kontrak. Pilihan bagi pencari kerja adalah, menerima semua kondisi ini atau
tetap menjadi pengangguran. "Saya kira, pilihan pertama jauh lebih baik," tukas
Kemalsjah Siregar, Managing Partner Firma Hukum Kemalsjah Chemby Avriline.
Dengan bekerja, lanjutnya, karyawan bisa bersosialisasi dengan baik dan mengasah
keterampilannya. Jika ada lowongan yang sesuai dan bisa memberikan gaji serta fasilitas
yang diharapkan, ia bisa melamar untuk mengisi lowongan tersebut. Daripada jadi
pengangguran dan tinggal di rumah, jelas ini sebuah pilihan yang jauh lebih baik.
"Manfaat utama outsourcing akan sangat dirasakan oleh para lulusan baru yang kesulitan
untuk memasuki dunia kerja," kata Ismaila Tyastanto, Managing Director PT HITSS
Sumberdaya Nusantara Konsultan, sebuah perusahaan jasa outsourcing. Kebanyakan
perusahaan pemberi jasa outsourcing (user) mencari tenaga kerja berusia muda untuk
menangani bidang pekerjaan tertentu. Selain gajinya lebih murah, anak-anak muda itu
masih mudah dididik, haus pengalaman, dan bisa bekerja keras. Perusahaan tidak
merasa rugi jika harus memberikan pelatihan pembekalan bagi mereka dalam
mengerjakan tugasnya secara profesional.
Melalui perusahaan jasa outsourcing, mereka bisa bekerja di perusahaan-perusahaan
besar, meskipun bukan menjadi karyawan perusahaan besar itu. Dalam situasi normal,
peluang bekerja di perusahaan besar itu belum tentu tersedia. Apalagi, setelah krisis
ekonomi, perusahaanperusahaan kini sangat berhati-hati menambah karyawan. Mereka
ingin seramping mungkin dan terhindar dari kompleksitas aturan ketenagakerjaan.
Konsekuensi dari penambahan karyawan permanen tidak hanya menyangkut gaji dan
fasilitas, tetapi juga dana pensiun dan jenjang karir. Oleh sebab itu, mereka menyiasati
kebutuhan tenaga kerja akibat tuntutan perkembangan usaha diisi melalui outsourcing.
Tidak semua kalangan internal perusahaan menerima praktik outsourcing ini dengan
tangan terbuka. Serikat Pekerja (SP) dan karyawan tetap, misalnya, cenderung menolak
gagasan outsourcing ini. Mereka khawatir praktik ini akan mengancam posisi karyawan
tetap dan mengacaukan system remunerasi perusahaan. "Karyawan tetap merasa was-
was, setiap saat mereka bisa saja diganti karyawan outsourcing atau bila bagiannya di-
outsource ke luar," ujar seorang karyawan senior sebuah bank yang enggan disebutkan
namanya.
Kekhawatiran ini, agaknya, terlalu berlebihan. Kalaupun bagian dia dioutsource ke luar,
perusahaan juga tidak semenamena. Misalnya departemen atau divisi teknologi
informasi. Bila disubkontrakkan kepada perusahaan penyedia jasa secara penuh, mulai
dari peralatan hingga SDMnya, ada satu perjanjian yang menyebutkan seluruh karyawan
departemen/divisi tersebut harus diambil-alih oleh perusahaan jasa penerima
outsourcing. "Otomatis, mereka berubah status menjadi karyawan kami, dengan sistem
remunerasi yang bersaing," ungkap Andreas R. Diantoro, Managing Director Hewlett-
Packard Indonesia. HP Indonesia menerima outsourcing peralatan TI (PC, server,
mainframe, printer, dan lainnya) berikut pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan
yang beroperasi di sini. Jasa penyewaan ini untuk produk PC disebut dengan seat
management. Selain menyediakan piranti keras, pengelolaan dan perawatan peralatan
dilakukan sepenuhnya oleh orang-orang HP. "Ini akan membuat biaya operasional dan
investasi perusahaan bisa ditekan," tambahnya.
Tentang tuduhan praktik outsourcing sebagai bentuk perbudakan baru atau modern? "Itu
jelas tidak berdasar," tukas Iftida, Ismaila, dan Hasanuddin Rahman. Meski mengaku ada
juga perusahaan outsourcing yang nakal, mereka menilai tuduhan itu muncul dari orang
yang tidak paham tentang manajemen bisnis. Sebelum bekerja, pekerja maupun
perusahaan telah membuat kesepakatan yang jelas dan saling menguntungkan. "Lagi
pula, sebagian besar perusahaan jasa outsourcing dimiliki atau dikelola oleh orang-orang
yang telah lama bergerak di bidang SDM sehingga tidak mungkin mereka semena-mena,"
ungkap mereka.
KONTROVERSI PERATURAN
Sejatinya, Indonesia belum memiliki Undang-Undang atau Peraturan Hukum yang secara
jelas mewadahi kegiatan outsourcing. Menurut Purbadi Hardjoprajitno, SH., dari Firma
Hukum Purbadi Associates, satu-satunya referensi hukum tentang outsourcing adalah UU
N0. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 64, 65, dan 66. UU itu tidak menyebutkan
outsourcing, melainkan hanya tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa tenaga kerja. Dengan demikian, sebuah perusahaan bisa
memborongkan sebagian pekerjaan atau pekerjaan tertentu kepada perusahaan
pemborong pekerjaan. Atau menyerahkan tenaga pengelola kepada perusahaan jasa
penyedia tenaga kerja. Meski tidak letterlijk menyebut outsourcing, kedua hal itu kiranya
bermakna outsourcing.
Walaupun begitu, terdapat sejumlah kerancuan pada pasal-pasal tentang kegiatan
outsourcing dalam UU No. 13 tersebut, jika praktik pemborongan pekerjaan dan tenaga
kerja itu dianggap sama dengan outsourcing. Pasal 65 menyebutkan, pekerjaan yang
dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat berikut:
dilakukan terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung/tidak
langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan, dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Pasal 66 menjelaskan, pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi (core business), kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi (dalam penjelasan Pasal 66 disebutkan, antara lain, cleaning service, catering,
satpam, usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, angkutan pekerja).
Benang merah dari kedua pasal itu adalah adanya batasan jenis-jenis kegiatan yang
boleh diborongkan dengan yang tidak. Di sinilah muncul ketidakjelasan atau kerancuan
penafsiran tentang UU tersebut. S. Lumban Gaol, Direktur Persyaratan Kerja
Depnakertrans, menegaskan, ada perbedaan mendasar antara outsourcing dalam dunia
bisnis dengan pengalihan pekerjaan dan tenaga kerja kepada pihak lain dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 itu. "Dalam dunia bisnis, semua pekerjaan bisa
dioutsourcing, sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan pekerjaan yang bisa diborongkan
kepada pihak lain adalah pekerjaan yang sifatnya penunjang, bukan pekerjaan pokok
atau core business," ujarnya.
Ia memberi contoh, pekerjaan teller di perbankan termasuk pekerjaan pokok, karena
kegiatan perbankan akan terhenti secara keseluruhan kalau pekerjaan teller terhenti atau
terganggu. Oleh karena itu, menurutnya, pekerjaan teller tidak bisa diborongkan atau
diserahkan kepada pihak lain. Bila pihaknya menemukan pelanggaran, maka
Depnakertrans akan memaksa perusahaan bersangkutan merekrut karyawan tersebut
menjadi karyawannya. "Tidak ada sanksi pidana atas pelanggaran ini. Tapi demi hukum,
dengan sendirinya karyawan itu harus menjadi karyawan perusahaan tersebut,"
jawabnya.
Menurut DR. H. Hasanuddin Rahman, Ketua DPN Apindo Bidang Hubungan Industrial
Advokasi, ketidakjelasan utama UU tersebut adalah soal definisi core business sebuah
perusahaan. "Pemerintah dan pelaku usaha memang belum sepaham tentang banyak hal
dari kegiatan outsourcing," katanya serius. UU tersebut menilai core business terkait
dengan proses produksi. Sementara kemajuan jaman menyebabkan kegiatan produksi
atau core business itu bergeser.
Seperti produsen mobil Toyota di Jepang, sebagian besar pengerjaan produknya
diserahkan kepada perusahaan lain. Di Indonesia, pabrik-pabrik otomotif juga menuju ke
sana. Paling-paling mereka hanya memproduksi komponen penting macam mesin,
transmisi, dan axle. Sisanya diserahkan pengerjaannya kepada perusahaan komponen.
Bila UU itu diterapkan, praktik bisnis global ini tidak cocok dan menjadi terlarang.
Bagaimana dengan bisnis jasa? Sami mawon. Teller dan layanan nasabah di perbankan,
misalnya, termasuk kegiatan core business. Tapi, jika perusahaan menetapkan fungsi
teller bukan merupakan core business karena bisa digantikan oleh mesin ATM dan
delivery channel lainnya, maka jabatan-jabatan tersebut kini mulai di-outsourcing ke
perusahaan lain karena perusahaan merasa tidak efisien lagi mengelolanya. Praktik ini
dilakukan oleh bank-bank global ataupun bank-bank besar lokal. Bagi perbankan global,
hal ini sudah menjadi praktik bisnis global sehingga mereka tinggal mengadopsinya di
Indonesia. Bahkan, dalam bisnis kartu kredit, proses bisnisnya banyak yang di-
outsourcing ke perusahaan lain. Mereka mengandalkan karyawan outsourcing untuk
mengelola bisnis, pemasaran, penagihan, dan layanan nasabah.
N. Krisbiyanto, GM Human Resources PermataBank, menangkap kesan adanya kekeliruan
penafsiran berbagai pihak - termasuk pemerintah - saat ini terhadap praktik outsourcing.
"Yang terjadi di Indonesia sebetulnya baru pada taraf contracting, belum sampai ke
outsourcing," ujarnya serius. Padahal, menurut Kris�- begitu sapaan akrabnya - dua hal
itu sangat berbeda. Kris mungkin benar. Apa yang tertulis di UU Indonesia lebih berbau
contracting ketimbang outsourcing. Dalam kegiatan contracting, perusahaan pemberi
kerja berperan penuh dalam kontrol proses bisnis dan atas kualitas kerja. Sementara
perusahaan penyedia jasa hanya menyediakan tenaga kerja dan mengikuti standard
proses bisnis.
Secara definisi, menurut Kris, outsourcing adalah suatu pendelegasian dari satu atau
beberapa proses bisnis kepada pihak luar di mana pihak tersebut akan melakukan proses
administrasi dan proses manajemen tertentu berdasarkan definisi dan ukuran kinerja
tertentu, yang telah disepakati bersama dalam satu kontrak kerja antara pemberi kerja
dan penyedia jasa.
Untuk mengatasi ketidakjelasan peraturan ini, diperlukan peraturan pelaksana yang
menyempurnakan UU No. 13 2003 itu berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja
(Kepmenaker). Salah satu kemungkinan, menurut Drs. S. Sianturi, Ketua P4 Pusat, adalah
dengan memberikan batasan mana pekerjaan yang tergolong core business dan mana
yang tidak untuk seluruh jenis industri. Atau membuat daftar jabatan/posisi yang
termasuk core dan yang tidak. "Bisa pula dengan memberikan kebebasan bagi masing-
masing perusahaan atau paling tidak masing-masing subsektor untuk merumuskan
sendiri pekerjaan yang tergolong core dan non-core," ujarnya.
Mewakili kalangan pengusaha, Hasanuddin Rahman juga meminta pemerintah untuk
menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan untuk menentukan kegiatan yang di-
outsourcing dan yang tidak. "Perusahaanlah yang paling tahu tentang jenis kegiatan yang
perlu di-outsourcing dan mana yang tidak. Yang penting, perusahaan melakukannya
tanpa merugikan siapapun," tukas Ketua Tim Perumus RUU Ketenagakerjaan
Apindo/Kadin Indonesia itu. Hal senada disampaikan Sofjan Wanandi, Ketua Umum
Apindo. "Kita semua harus realistis. Ekonomi masih sulit, sementara peraturan
ketenagakerjaan begitu banyak dan ada yang tumpang tindih. Bagi perusahaan,
outsourcing adalah pilihan yang tidak terhindarkan," tegasnya serius.
Di tengah persaingan bisnis yang menajam, perusahaan punya hak untuk melakukan
strategi bisnis yang memungkinkan mereka untuk bertahan dan berkembang. Tanpa
kehadiran perusahaan yang sehat dan berkembang, penciptaan lapangan kerja sulit
terwujud. Tanpa dukungan karyawan prefesional, perusahaan juga sulit berkembang.
Keduanya berkaitan erat satu sama lain.
Hanya saja, menurut Ismaila, pemerintah tidak perlu terlalu jauh ikut campur tangan
mengatur bisnis outsourcing. "Di manapun, pemerintah yang terlalu mengatur hasilnya
malah tidak baik," tegasnya. Salah satu ekses dari UU Ketenagakerjaan, para pegawai
Depnakertrans kerap memata-matai dan menginterogasi pegawai kontrak di berbagai
perusahaan. Niat baik Depnakertrans untuk melindungi kepentingan pekerja seringkali
menimbulkan masalah, khususnya mengganggu ketenangan bekerja para karyawan
perusahaan tersebut. Dikhawatirkan tindakan seperti ini menimbulkan ekses lain, seperti
upaya pemerasan, suap-menyuap, dan sejenisnya.
Eddy S. Tjahja malah mempertanyakan apakah praktik outsourcing sudah saatnya untuk
diatur. "Bisnis ini masih terlalu kecil untuk disebut sebuah industri di Indonesia.
Pengaturan kiri-kanan justru membuat bisnis ini tidak berkembang," tambahnya.
Pengaturan yang terlalu rigid akan menyulitkan dalam pelaksanaannya karena semakin
kompleksnya manajemen perusahaan, berkembangnya bentuk-bentuk baru pengelolaan
pekerjaan yang tidak dikenal sebelumnya, baik karena kompetisi maupun globalisasi
bisnis melalui kehadiran perusahaan multinasional.
Nafas dari peraturan yang dibuat pemerintah tentu untuk melindungi kepentingan
berbagai pihak, khususnya tenaga kerja. Tidak seperti di luar negeri, Drs. S. Sianturi
berpendapat, praktik outsourcing di Indonesia lebih banyak dilakukan untuk menekan
biaya tenaga kerja. Hal itu terlihat dari hubungan kerja yang selalu dalam bentuk kontrak,
upah lebih rendah, jaminan sosial dalam batas minimal, tidak adanya job security, dan
tidak adanya jaminan pengembangan karir.
Pendapat yang lebih kritis disampaikan oleh Yanuar Nugroho, Direktur The Business
Watch Indonesia. "Outsourcing mengaburkan bentuk hubungan industrial yang tidak
menguntungkan buruh. Ada beberapa hak buruh yang terpangkas dan bila ada
perselisihan, terjadi saling lempar tanggung jawab antara perusahaan pemberi pekerjaan
dengan perusahaan penyalur tenaga kerja," ungkapnya. Yanuar menilai, konsekuensi
terbesar dari outsourcing adalah munculnya job insecurity. Selain mereka bekerja hanya
selama masa kontrak yang relative pendek, ketidakpastian pekerjaan juga muncul
selama masa kontrak kerja berlangsung. "Meski dalam keadaan sakit, si pekerja akan
tetap masuk kerja karena takut kontraknya tidak diperpanjang."
Kritik semacam ini perlu menjadi masukan bagi perusahaan pemberi kerja maupun
perusahaan penerima kerja melalui outsourcing. Anggapan bahwa outsourcing sebagai
bentuk perbudakan baru atau perbudakan modern harus direspons secara bijak. UU No.
13 2003 telah menggarisbawahi bahwa perlindungan dan syarat kerja karyawan kontrak
minimal sama dengan yang berlaku di perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan.
Maknanya jelas. Karyawan outsourcing yang ditempatkan di satu perusahaan harus
memperoleh gaji dan fasilitas yang sama dengan karyawan tetap level yang sama di
perusahaan itu atau minimal mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Pelanggaran atas ketentuan ini harus secepatnya dikoreksi. Bagaimanapun, para
karyawan kontrak adalah asset utama perusahaan jasa outsourcing. "Kesejahteraan
mereka perlu diperhatikan agar mereka bekerja secara sungguh-sungguh," Finny
Widiyanti, Senior Manager PT Solusi Mitra Kerja, mengingatkan. Bila klien puas, kontrak
kerja dengan perusahaan jasa outsourcing itu tentu akan terus diperpanjang. Hal itu juga
menyebabkan kontrak kerja terhadap karyawan kontrak terus diperpanjang.
SEBUAH KENISCAYAAN
Satu hal yang pasti, praktik bisnis outsourcing sudah menjadi keniscayaan bagi
perusahaan. Di negara maju macam Amerika, dari hari ke hari semakin banyak fungsi
organisasi yang disubkontrakkan kepada perusahaan lain yang lebih pakar dan efisien di
bidangnya. Fungsi dan proses bisnis di bidang teknologi informasi (TI) diserahkan kepada
perusahaan TI raksasa seperti IBM dan HP yang lebih ahli di bidangnya. Kedua raksasa ini
melayani outsourcing penuh di bidang TI, mulai dari perangkat keras, lunak, hingga SDM,
melalui IBM Services dan HP Services.
Fungsi dan proses bisnis audit diserahkan kepada perusahaan audit terkemuka seperti
PricewaterhouseCopper, Ernst & Young, Deloitte, dan banyak lagi. Oleh perusahaan audit
raksasa ini, pengerjaan audit yang bersifat teknis dioutsourcing lagi kepada perusahaan
audit yang lebih kecil. Begitu pula fungsi dan proses bisnis manajemen SDM yang disebut
dengan HR Outsourcing�- meliputi pengelolaan gaji dan layanan informasi SDM. Nilai
total outsourcing proses bisnis (Business Process Outsourcing) bidang SDM di Amerika
diperkirakan tumbuh dari US,5 miliar menjadi US miliar tahun ini. Sungguh sebuah nilai
yang sangat besar. Belakangan, outsourcing proses bisnis di bidang pelatihan dan
pembelajaran juga semakin menjadi tren.
Apakah dunia kiamat dengan meluasnya praktik outsourcing ini? Tentu saja tidak. Bahkan
di negara Jepang sekalipun, yang dikenal dengan filosofi kerja seumur hidup (lifetime
employment), praktik outsourcing meluas pula diterapkan. Jaman terus berubah dengan
berbagai konsekuensinya. Hari ini, kita mungkin masih belum siap dan merasa tidak
nyaman dengan status pegawai kontrak itu. Beberapa tahun lagi, semuanya bisa saja
berubah seiring dengan berubahnya paradigma dunia kerja. Bagi profesional berprestasi,
status karyawan kontrak itu bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan.
Apa yang perlu dilakukan kini adalah sosialisasi praktik outsourcing ini secara benar.
Sosialisasi itu harus dilakukan pemerintah bekerjasama dengan para pelaku bisnis.
Sosialisasi terbaik tentunya melalui pemberian contoh positif oleh perusahaan jasa
outsourcing dalam mengelola karyawan kontrak. Kecuali itu, sosialisasi perlu untuk
memberikan gambaran bahwa outsourcing tidak hanya untuk pegawai rendahan atau
kelas asisten manajer.
Auditsi, sebuah perusahaan jasa outsourcing di Indonesia, bahkan melayani pula
outsourcing hingga level Presiden Direktur atau Chief Executive Officer (CEO). Sebuah
perusahaan besar asing kini sedang mencari CEO untuk dikontrak 2 tahun dengan gaji
US.000 plus bonus US.000 per bulan (total US.000 per bulan). Penghasilan yang sangat
besar untuk ukuran Indonesia, bukan?
Sosialisasi perlu juga dilakukan kepada perusahaan-perusahaan pemakai jasa outsourcing
agar mereka memahami betul filosofi dasar dari kegiatan outsourcing ini, yaitu untuk
mendapatkan biaya yang efektif (cost effective). Ada perusahaan yang salah kaprah
menerapkan prinsip cost effective ini dengan benar-benar menekan biaya. Padahal,
prinsip itu bermakna mengeluarkan biaya yang tepat guna. "Perusahaan harus melihat
mana biaya tetap yang bisa diubah menjadi biaya variabel," tutur Ismaila. Baik Iftida
maupun Ismaila meminta perusahaan untuk bertindak bijak dengan mau membayar
sedikit lebih mahal sehingga kualitas yang diperoleh user jauh lebih bagus. "Kalau
maunya murah-murah melulu, hasilnya juga tidak akan bagus," tukas mereka di tempat
terpisah.
Kemauan berbagai pihak untuk terus menyempurnakan pelaksanaan praktik outsourcing
diyakini akan mempercepat perkembangan bisnis outsourcing secara profesional. Tahun
ini, eksekutif Persaels Farid Aidit memperkirakan kebutuhan karyawan outsourcing baru
sekitar 15.000 pegawai. "Setidaknya hal ini bisa membantu penyerapan tenaga kerja dan
mengurangi pengangguran," tukasnya.
Terobosan dalam penciptaan lapangan kerja baru memang perlu diambil pemerintah
mengingat tingkat pengangguran yang terus bertambah dan berkurangnya kesempatan
kerja di sektor formal sejak 2001 hingga 2003. Pemerintah sendiri, menurut Direktur
Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas Dr. Ir. Bambang Widianto, MA., menilai
perlunya diterapkan Flexible Labor Market Policies, antara lain, dengan outsourcing.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja di sector yang relatif
modern, memungkinkan perpindahan pekerja dari pekerjaan dengan produktivitas rendah
ke pekerjaan yang memiliki produktivitas lebih tinggi, dan mempertahankan atau
meningkatkan kesejahteraan bagi mereka yang masih berada di sektor informal.
Di tengah keterpurukan perekonomian saat ini, tidak banyak pilihan yang tersedia bagi
angkatan kerja. Mereka dihadapkan pada pilihan bekerja dengan kondisi yang kurang
memuaskan atau tetap menganggur. Tumbuhnya bisnis outsourcing professional
diharapkan memperbaiki pilihan sulit itu.
Implementasi Balanced Scorecard di Singapura
No. 04 - Tahun 2004
Tulisan ini memaparkan penggunaan Balanced Scorecard (BS) pada dua organisasi di
Singapura: Pengadilan Rendah (Subordinate Courts) dan Centrepoint Properties. Informasi
dalam tulisan ini didasarkan pada bahan-bahan yang akan muncul dalam buku
Succeeding with the Balanced Scorecard: an Asian Perspective" yang sedang disiapkan
oleh kedua penulis.
PENDAHULUAN.
Singapura adalah pintu gerbang dalam pemanfaatan BS di kawasan Asia. Kedua kasus
perusahaan yang menjadi contoh dalam tulisan ini telah menerapkan BS semenjak 1998.
Bahkan Subordinate Courts berkeyakinan bahwa penerapan BS di lembaga ini merupakan
yang pertama di sektor peradilan di dunia.
BS adalah sistem manajemen strategi dan sistem implementasi yang terdiri dari Peta
Strategi dan sebuah scorecard pengukuran strategik, target, dan inisiatif yang
mengikutinya.
SUBORDINATE COURTS
Dengan 500 karyawan, Subordinate Courts menangani lebih dari 95% beban kasus di
pengadilan Singapura. Sebagai tindak lanjut dari pengetahuan yang diperolehnya
tentang BS dari program manajemen Harvard Business School, pimpinan tertinggi
Subordinate Courts Richard Magnus memutuskan untuk membuat proyek percontohan BS
dalam divisi tuntutan hukum berskala kecil (salah satu dari 5 divisi yang ada di
Subordinate Courts). Pilihan terhadap divisi ini didasarkan kepada ukuran divisi yang
relatif kecil, terstruktur dengan jelas, dan manajemennya senantiasa menyukai
perubahan.
Sebuah komite pengarah yang berisikan Richard Magnus dan personel senior lainnya
menelaah dan memantau program percontohan ini. Setelah 6 masa uji-coba, hasilnya
terbukti bahwa BS menyediakan sistem pengukuran kinerja yang lebih maju dan jelas
dibandingkan sistem yang saat ini ada. Perubahan menarik pun segera dimulai. Ms Chan
Wai Yin, Direktur Unit Riset dan Statistik, berkomentar:
"Proyek percontohan ini menunjukkan bahwa dalam menggunakan BS, matriks beban
organisasi lebih bisa diramalkan dibandingkan sistem sebelumnya, yang lebih bersifat
preskriptif dan berdasarkan aduit." Selanjutnya, ia berkata:
"Kami juga mendapatkan BS meningkatkan secara signifikan komunikasi. Sebagai sebuah
sistem dua-arah di mana karyawan bisa memberikan laporan yang lebih baik dan
mendiskusikan kinerja, kami mendapatkan fakta bahwa ia mengubah keseluruhan
paradigma dalam memantau, meningkatkan, dan mengukur kinerja kerja."
Sembari proyek percontohan itu berjalan, lembaga ini berupaya agar seluruh divisi
lainnya juga selalu mendapatkan informasi tentang kemajuan pekerjaan dalam rangka
membangun kesiapan dan secara pre-emtif mengatasi kesulitan kultural yang mungkin
muncul, seperti sekitar masalah ketakutan dalam pengukuran, misalnya.
Di akhir 1999, proyek berskala penuh secara resmi dimulai. Diawali pada level korporat
dan kemudian diteruskan ke level divisi. Proses pekerjaan memakan waktu sekitar 9
bulan.
Terdapat satu perubahan besar yang terjadi antara proyek percontohan dan proyek resmi
berskala penuh. BS pada proyek percontohan mencakup 4 perspektif dari keuangan
pelanggan (ini tipikal lembaga di sektor publik di mana perspektif pelanggan dianggap
sebagai perspektif utama), proses internal, proses pembelajaran, dan pertumbuhan. BS
yang direvisi, disebut juga Justice Scorecard, memungkinkan public memahami konsep
secara lebih baik, mencakup 3 perspektif - komunitas, organisasi, dan karyawan.
Wai Yin berkata: "Dalam perspektif komunitas, tujuan keseluruhan adalah menjaga
kepercayaan dan keyakinan publik. Perubahan dari Customer menjadi Community
dilakukan untuk lebih jelas merefleksikan fakta bahwa Subordinate Courts mesti
memperhatikan secara serius bukan hanya dengan siapa lembaga ini berhubungan setiap
hari dalam bidang pengadministrasian peradilan, tetapi juga terhadap komunitas yang
harus dilindungi saat keadilan itu diputuskan."
Di lapis menengah, dalam perspektif organisasi, terdapat operasi internal - sebuah
kombinasi antara persepektif finansial maupun proses internal. Menurut Wai Lin,
tanggung jawab finansial, meskipun bukan menjadi tugas utamanya, masih tetap menjadi
bagian integral dari operasional sebuah organisasi publik secara efektif dan efisien. Jadi,
komponen finansial diletakkan sebagai bagian dari perspektif organisasi. Perspektif ini
memungkinkan untuk menentukan bagaimana tipe layanan yang dibutuhkan komunitas
bisa diberikan secara efektif dari sisi biaya dan paling inovatif. Sehingga bisa terwujud
tujuan dari adanya institusi publik yang dinamis.
Bagian terakhir, yakni perspektif karyawan, ditempatkan sebagai fondasi dari piramid. Ia
berkata:
"Dalam upaya membangun tim karyawan yang termotivasi dan dikendalikan oleh
pengetahuan, kami memberi penekanan terhadap upaya membangun sumberdaya
manusia yang memenuhi permintaan terhadap pengadministrasian keadilan dalam
sebuah masyarakat berpengetahuan. Pengukuran kinerja dikembangkan dalam perspektif
ini menjamin bahwa seluruh upaya dilakukan untuk melengkapi para staf dengan
pelatihan, motivasi, dan kesiapan terkait, sekaligus untuk mendorong tumbuhnya kultur
pembelajaran yang kuat di jajaran pengadilan."
Desain final BS juga dipengaruhi oleh upaya benchmarking yang dilakukan oleh tim
fasilitasi BS pada lembaga peradilan yang dipimpin oleh Hakim Distrik Valerie Thean. Tim
tersebut belajar dari implementasi BS pada the City of Charlotte, North Carolina, AS dan
metode manajemen kinerja yang dimanfaatkan sistem peradilan lainnya. BS terbukti
sangat hebat untuk membuat orang memahami bagaimana menghubungkan apa yang
mereka kerjakan setiap hari terhadap visi dan misi organisasi. "Kami menjaga agar BS
tetap sederhana. Sebagai contoh, kami punya 14 objektif strategic terhadap BS
perusahaan. Sehingga menjaga agar karyawan tetap fokus pada hal-hal kritikal dalam
mendorong kinerja. Bila BS terlalu kompleks dan kacau, Anda bisa berhenti dan balik ke
belakang ke bagian mana Anda memiliki alat ukur yang komprehensif yang tidak
mempengaruhi strategi."
Naresh Makhijani MSID, CMC, MBA., B.Sc adalah direktur Balanced Scorecard Solutions,
Singapura, dan Advisor OTI, Indonesia. James Creelman bermukim di London.
Sumber: Majalah Human Capital No. 04 | Tahun 2004
Belajar dari MNC
No. 03 Tahun 2004
Ketika Louis V. Gerstner, Jr memutuskan menerima tawaran untuk menjadi Chairman dan
CEO IBM Corp. 1 April 1993, kondisi keuangan dan kinerja bisnis si raksasa biru sangat
berat. Total pendapatan IBM dan anak perusahaannya hanya US,5 miliar dengan
pendapatan bersih minus US,0 miliar. Hampir semua bisnis IBM mencatat kerugian. Satu-
satunya yang masih positif adalah bisnis mainframe, yang selama ini memang menjadi
andalan IBM. Tetapi, itu pun hanya menunggu waktu. Paul Rizzo, eksekutif IBM,
mengatakan kepada Gerstner bahwa pendapatan bisnis mainframe terus turun dari US
miliar tahun 1990 dan diperkirakan menjadi US miliar saja tahun 1993. Pendapatan per
saham minus US,17 dan imbal hasil ekuitas (Return on Stockholders' Equity) minus
15,4%. Harga saham per 31 Maret 1993 hanya US,72.
Semua fakta ini, tak pelak lagi, menunjukkan betapa buruknya kondisi bisnis IBM.
Sampai-sampai Thomas J. Watson Jr., mantan Chairman dan CEO IBM yang juga putera
pendiri IBM Thomas J. Watson Sr., harus ikut turun tangan meyakinkan Gerstner untuk
menerima tawaran memimpin IBM itu. Tanpa pemulihan total (total turnaround), IBM
yang menjadi salah satu kebanggaan Amerika bakal tinggal kenangan.
Banyak sekali langkah strategis dan taktis yang dilakukan Gerstner untuk memulihkan
bisnis IBM. Salah satu yang paling menarik adalah menyangkut budaya korporat IBM. Di
awal 90-an, jika mendengar nama IBM, kata dan citra yang muncul di pikiran seseorang
adalah "komputer besar", "PC", "ThinkPad", dan lainnya. Pada saat yang sama, orang
akan berpikir tentang "perusahaan besar", "konservatif", "handal", dan "seragam celana
gelap dan baju putih".
Deskripsi yang terakhir ini jelas tidak berkaitan dengan produk dan layanan IBM,
melainkan terkait dengan orang-orang IBM dan budaya bisnisnya. Sebelum sampai di IBM
(ia telah malang-melintang sebagai CEO perusahaan raksasa), Gerstner berpikiran bahwa
budaya korporat hanyalah satu dari beberapa elemen penting dalam membuat organisasi
sukses�- bersama-sama dengan visi, strategi, pemasaran, keuangan, dan seterusnya.
Begitu masuk ke IBM, ia menyadari kekeliruan tersebut. "Budaya korporat bukan hanya
salah satu aspek dari kesuksesan perusahaan. Ia adalah kesuksesan itu sendiri." Sebuah
organisasi, pada akhirnya, tidak lebih dari kapasitas kolektif dari orang-orangnya untuk
menciptakan nilai (value). Visi, strategi, dan seterusnya itu tidak akan bisa membuat
sukses bila tidak menjadi elemen dari DNA perusahaan itu sendiri.
Dalam membangun budaya dan jiwa IBM, peran Thomas Watson Sr. sangat luar biasa.
Pengalaman Watson sebagai seorang pengusaha yang berangkat dari nol menumbuhkan
budaya menghargai, kerja keras, dan perilaku etis di IBM. Watson menyadari bahwa
budaya dan nilai-nilai itu harus diinstitusikan supaya menjadi acuan bagi seluruh
pemimpin dan karyawan IBM. Ia menyimpulkannya dengan membuat istilah "Keyakinan
Dasar" (Basic Beliefs), yang terdiri dari 3 hal: (a) Excellence in everything we do, (b)
Superior customer service, (c) Respect for the individual.
Institusionalisasi "Keyakinan Dasar" itu tidak hanya dengan menempelkannya berupa
slogan di dinding-dinding kantor. Ia direfleksikan dalam sistem remunerasi, sekolah
manajemen, program pendidikan dan pelatihan karyawan, dalam pemasaran, maupun
layanan pelanggan. Ia menjadi doktrin perusahaan.
Selama bertahun-tahun, hal itu berjalan dengan sukses. Hanya saja, lingkungan terus
berubah dan kerapkali hal itu tidak diikuti dengan penyesuaian terhadap implementasi
budaya itu. Salah satu contoh bagus adalah seragam karyawan IBM. Sudah jadi rahasia
umum bahwa tenaga penjual IBM selalu berpakaian bisnis formal. Tom Watson membuat
aturan ini bagi para eksekutif perusahaan. Tetapi, sebetulnya, esensi di balik aturan itu
adalah hargailah pelanggan, dan berpakaianlah dengan rapih. Atas dasar itu, Gerstner
menghapus ketentuan pakaian formal seperti itu tahun 1995 yang sempat menimbulkan
banyak berita negatif di koran. Berpakaian disesuaikan dengan keadaan dan dengan
siapa Anda bertemu.
Ambil contoh "Keyakinan Dasar" itu. Kondisi saat ia dideklarasikan tahun 1962 dengan
kondisi 1993 sangat berbeda. Misalnya soal superior customer service. Selama masa
hegemoni IBM, layanan pelanggan berarti "menservis mesin IBM sesuai permintaan
pelanggan" ketimbang memberi perhatian terhadap perubahan lingkungan bisnis klien
dan memberikan solusi yang sesuai. Layanan pelanggan lebih menjadi pekerjaan
administratif.
Hal yang sama terjadi pada excellence in everything we do. Semua orang ingin bekerja
excellence tapi konsekuensinya pengambilan keputusan jadi lambat. Saat bergabung
dengan IBM, Gerstner mengatakan, produk mainframe baru diumumkan setiap 4-5 tahun.
Karenanya, ada lelucon di IBM awal 90-an: "Products aren't launched at IBM. They
escape." Saat ini rata-rata peluncuran produk baru menjadi 18 bulan saja.
Agaknya, "Keyakinan Dasar" yang paling dahsyat pengaruhnya�- dan paling banyak
disalahgunakan�- adalah respect for the individual. Di satu sisi, hal ini menyebabkan
karyawan merasa aman dan tenang bekerja dengan imbalan yang baik. Namun, di sisi
lain, perasaan itu menyebabkan karyawan tidak termotivasi untuk bekerja dengan kinerja
tinggi. Orang-orang terbaik IBM mendapatkan remunerasi yang lebih kecil dari rata-rata
industri.
"Keyakinan Dasar" ini juga berarti karyawan IBM bisa melakukan apa saja sesuai aturan
perusahaan dengan pertanggungjawaban yang minim. Bila karyawan berkinerja pas-
pasan dan diberhentikan, perusahaan tidak menghargai individualitas Anda karena
perusahaan tidak melatih Anda dengan apa saja yang Anda ingin kerjakan. Jika bos
memerintahkan melakukan sesuatu dan karyawan tidak setuju, karyawan bisa
mengabaikan perintah itu.
"Ini masalah yang sangat serius," gumam Gerstner. Karyawan sangat tergantung pada
faktor pengalaman. Lebih dari itu, mereka tidak bisa melepaskan diri dari keyakinan
bahwa IBM dan karyawannya tergolong bagus, cerdas, dan kreatif. Hal ini jelas sangat
membahayakan kelangsungan usaha IBM.
Di luar itu, Gerstner mengidentifikasi berkembangnya "budaya tidak" di IBM, yaitu
kebiasaan setiap individu, tim, atau divisi untuk menolak persetujuan atau pekerjaan.
Kendati setiap jajaran perusahaan telah bersepakat, beberapa eksekutif bisa saja
memblok persetujuan bila persetujuan itu mengurangi peran mereka terhadap
perusahaan. Budaya ini telah menyebabkan lamanya pengambilan keputusan, banyaknya
kerja yang duplikatif, dan terganggunya kinerja organisasi secara keseluruhan.
Gerstner sadar, mengubah sikap dan perilaku ratusan ribu orang sangat sulit. Sekolah
bisnis tidak mengajarinya. Ia tidak bisa melakukan revolusi dari menara gading yaitu dari
kantor pusat semata. Gerstner juga tidak bisa hanya memberikan pidato atau menulis
kredo baru untuk IBM dan menegaskan budaya baru telah muncul. Apa yang bisa
dilakukan adalah menciptakan kondisi tranformasi. Itulah yang ditempuh Gerstner.
Manajemen, menurut Gerstner, tidak mengubah budaya korporat. Caranya, manajemen
mengundang karyawan untuk mengubah budaya korporat IBM. Hal ini pun tidak mudah
dengan alasan birokrasi dan karena banyak yang enggan mengambil tanggung jawab
terhadap hasilnya. Mereka lebih menunggu perintah bos. Tujuan perubahan budaya
terbesar yang dilakukan Gerstner adalah agar IBMer yakin kembali kepada diri mereka
sendiri �€“ yakin bahwa mereka menentukan nasib diri mereka maupun perusahaan,
dan mereka tahu apa yang seharusnya mereka ketahui.
Gerstner mengambil peran sentral dengan memberikan contoh langsung perubahan
budaya tersebut. Ia memulai dengan menjelaskan prinsip-prinsip perusahaan sebagai
penentu kinerja usaha. Prinsip-prinsip itu merupakan upaya membuat "Keyakinan Dasar"
IBM kembali berfungsi efektif. Bulan September 1993, ia mengumumkan 8 prinsip dasar
yang menjadi pilar budaya baru IBM ke seluruh karyawan IBM di seluruh dunia. Prinsip-
prinsip kepemimpinan tersebut sebagai berikut:
1. Pasar menjadi tenaga pendorong di balik apapun yang kita kerjakan
2. Inti bisnis IBM adalah perusahaan teknologi yang memiliki komitmen tinggi
terhadap mutu
3. Ukuran utama dari sukses adalah kepuasan pelanggan dan nilai bagi pemegang
saham
4. Kita beroperasi sebagai organisasi entrepreneurial dengan birokrasi minimum dan
senantiasa fokus pada produktivitas
5. Kita tidak pernah kehilangan focus terhadap visi strategik
6. Kita berpikir dan bertindak berdasarkan urgensi
7. Karyawan yang hebat dan berdedikasi membuat semuanya terjadi, terutama bila
mereka bekerja secara tim
8. Kita sensitif terhadap kebutuhan karyawan dan komunitas di mana kita beroperasi
Hasil dari serangkaian strategi perubahan yang dilakukan Lou Gerstner di IBM sungguh
luar biasa. Ia sukses membangun budaya berkinerja tinggi di IBM, sesuatu yang
menurutnya sulit didefinisikan tapi mudah dikenali. Para eksekutif perusahaan adalah
pemimpin yang sesungguhnya dan penuh inisiatif. Karyawan memiliki komitmen terhadap
sukses organisasi. Produk IBM muncul dengan cepat di pasar. Setiap orang peduli
terhadap mutu. Kehilangan klien kepada pesaing membuat karyawan marah dan kecewa.
IBM berhasil melakukan salah satu turnaround terbesar dalam sejarah korporasi dunia.
Saat pensiun dari IBM secara total 1 September 2002, kinerja IBM sangat mengkilap
kendati tahun 2000-2001 bisnis teknologi informasi sempat terpukul akibat hancurnya
bisnis dotcom. Pendapatan IBM 2001 tercatat US,9 miliar, pendapatan bersih US,7 miliar,
harga per saham US,35, dan arus kas dari operasi sebesar US,3 miliar. Hebatnya, harga
saham IBM mencapai titik tertinggi US0,96 per lembar dan imbal hasil investasi
berdasarkan ekuitas (ROE) tercatat 35,1% (bandingkan dengan minus 35,2% saat ia
pertama kali memimpin IBM). Wajar, bila Gerstner dengan bangga mengatakan: "Who
says elephants can't dance?"
GE dan Welch Way
No. 03 Tahun 2004
Tahun 1981, Jack Welch, 45, menjadi CEO ke-8 sekaligus termuda dalam sejarah General
Electric (GE). Saat pertama menjadi Chairman dan CEO, tujuan Welch adalah menjadikan
GE sebagai perusahaan yang paling kompetitif di dunia. Untuk mewujudkan tujuan itu, ia
yakin, dibutuhkan revolusi untuk mentrasformasikan mimpi itu menjadi kenyataan.
Sejarah menunjukkan bahwa Welch adalah pemimpin yang tepat pada waktu yang
sangat tepat. Saat ia mengambil-alih posisi puncak, dunia korporasi Amerika dalam
masalah. Kompetisi global yang baru dan kondisi ekonomi yang tidak bagus telah
mengubah ladang permainan, tapi hanya sedikit CEO yang mengenalinya. Model bisnis
korporasi Amerika tahun 1980 tidak pernah berubah selama beberapa dekade.
Tahun pertama Welch di posisi puncak adalah perjuangan tiada habis. Ia sendiri
mencanangkan revolusi, yang berarti perang terhadap cara lama GE dalam
melaksanakan segala sesuatu sekaligus reinventing dari atas hingga ke bawah. Dalam
dekade pertama kepemimpinannya, Welch merombak banyak hal, menutup atau menjual
ratusan unit usaha, menghapuskan lapisan manajemen, dan mentransformasikan cara
birokrasi perusahaan.
Hanya sedikit orang yang paham kenapa CEO hebat ini harus melakukan perubahan
dramatis itu. GE sudah dianggap sebagai produsen yang hebat di dunia, lantas kenapa
harus menata ulang sesuatu yang tidak bermasalah? Tetapi, Welch melihat perusahaan
kelebihan beban akibat strukturnya. Ia melihat bisnis tidak bertumbuh cukup cepat dan
budaya yang kurang mendorong munculnya ide dan inovasi baru.
Bagaimana Welch memimpin GE dibeberkan dalam buku berjudul The Welch Way, yang
tidak fokus pada strategi pertumbuhan spesifik dalam revolusi Welch. The Welch Way
lebih menekankan kekuatan perilaku dan kultural di balik strategi bisnis GE. Berikut
adalah beberapa kekuatan Welch yang bisa jadi inspirasi bagi siapa saja dalam mengelola
bisnis:
1. Bukan mengelola (manage), tapi memimpin (lead)
Jack Welch adalah tentang kepemimpinan, bukan manajemen. Dia tidak suka dengan
kata-kata manage. Ia lebih suka dengan kata-kata lead. Ia senang menciptakan visi dan
membuat orang tekun dalam melaksanakan rencananya. Welch berpikir, eksekutif dan
CEO memonopoli kepemimpinan atau ide-ide bagus.
2. Menjadi kurang formal
Welch tidak menyukai suasana yang serba formal, karena menurutnya keunggulan GE
terletak pada suasana kurang formal. Tidak ada yang memanggil namanya dengan Mr.
Welch, tapi selalu dengan Jack saja. Ia meninggalkan dasi di rumah lebih sering
ketimbang membawanya, melaksanakan rapat informak, dan mendorong pencerahan
pada setiap orang. Welch membuat organisasi GE tanpa dinding pembatas. Karyawan
tidak takut menyampaikan ide-ide mereka meskipun hal itu bertentangan dengan nilai-
nilai perusahaan konvensional.
3. Hapuskan birokrasi
Welch sangat membenci birokrasi. Baginya, birokrasi adalah musuh, sampah,
pengambilan keputusan yang lambat, persetujuan yang tidak perlu, dan hal-hal lain yang
bertentangan dengan spirit perusahaan. Ia menempatkan upaya menghapus birokrasi
sebagai tugas utama setiap orang.
4. Selalu melihat kenyataan
Welch selalu lebih suka melihat kenyataan dan mengambil keputusan yang tepat
berdasarkan kenyataan itu.
5. Sederhanakan persoalan
Welch tidak pernah berpikir bisnis itu harus rumit. Baginya, menjaga segala sesuatu tetap
sederhana adalah satu kunci bisnis. Ia mengatakan, tujuannya adalah untuk
menghapuskan kerumitan apa saja di GE. Menurutnya, sepanjang orang memperoleh
akses terhadap informasi yang sama, mereka akan memberikan jawaban yang sama
terhadap berbagai masalah yang dihadapinya. Ia merasa sederhana membutuhkan
percaya diri yang sangat tinggi.
6. Melihat perubahan sebagai peluang
Baginya, perubahan adalah bagian dari hidup maupun bisnis. Ia mencintai perubahan
dan mengatakan kepada karyawan, perubahan ada dalam darah karyawan.
7. Memimpin dengan memberi energi
Saat Welch menjadi CEO, sistem manajemen yang berlaku lebih bersifat command and
control. Ia menemukan cara yang lebih baik. Manajer terbaik tidak memimpin dengan
intimidasi, melainkan dengan memberi inspirasi kepada orang untuk mencapai hasil.
8. Abaikan tradisi
GE adalah perusahaan yang kaya historis, tapi saat menjadi CEO Welch tak seorangpun
yang menyangka ia akan mengabaikan tradisi itu. Ia menilai, apa yang berhasil pada
masa lampau tidak mesti efektif lagi di masa depan. Sebelum era Welch, GE tidak
menjual bagian besar dari perusahaan, memecat puluhan ribu pekerja, atau memaksa
bos mendengarkan pekerja.
9. Buat aturan intelek
Di banyak perusahaan besar, pimpinanlah yang membuat aturan, dan karyawan
mendengarkan apa kata manajer. Bagi Welch, bisnis menyangkut upaya menggali potensi
intelektual. Makin banyak orang, makin banyak ide. Supaya orang mau menyampaikan
ide, organisasi harus mendorongnya
10. Bergerak cepat setiap hari
Selama karirnya, kecepatan sangat penting bagi Welch. Dalam dunia yang kini serba
terhubung dengan komunikasi, waktu yang tersedia sangat singkat. Ia selalu berpikir dan
mengambil keputusan dengan cepat. Misalnya, pertengahan 90-an, Welch dan tim dari
TV NBC bergerak cepat untuk memastikan hak penyiaran Olimpiade ke depan. Sebelum
jaringan TV lain menyadari apa yang terjadi, NBC telah membuat kesepakatan senilai
US,5 miliar untuk penyiaran 5-6 Olimpiade ke depan. Jika Welch enggan, NBC akan
kehilangan semuanya.
11. Tempatkan nilai pertama kali
Kebanyakan manajer menghabiskan waktu bicara angka-angka. Welch peduli dengan
angka-angka, tetapi jangan sampai mengalahkan nilai-nilai perusahaan. Ia bergeming
dengan manajer berkinerja tinggi namun dengan mengintimidasi karyawan.
Mencari Metode Rekrutmen Terbaik
No. 03 Tahun 2004
Beberapa organisasi memilih metode evaluasi psikologi dalam mengevaluasi seorang
calon karyawan. Namun semakin banyak perusahaan besar yang kini condong
menggunakan metode evaluasi perilaku (behavior test). Alasannya, past behavior
predicts future behavior. Bagaimana sebaiknya?
Pernahkah Anda ikut tes masuk di Citibank dan banyak perusahaan global lainnya?
Jangan pernah membayangkan Anda akan diuji dengan metode evaluasi psikologis (dulu
sering disalahartikan dengan psikotes) seperti yang jamak dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan lokal maupun BUMN. Perusahaan-perusahaan raksasa itu lebih banyak
melakukan tes perilaku (behavioral test) untuk mengetahui kemampuan calon karyawan
mereka dalam proses rekrutmen. Kecenderungan penggunaan tes perilaku itu
diungkapkan pula oleh sejumlah nara sumber Human Capital.
"Kami tidak memakai metode psikotes, karena psikotes hanya bisa melihat potensi orang,
tetapi tidak bisa meramalkan kinerja orang di masa depan," tukas Arvan Pradiansyah,
General Manager Human Resources Allianz Life Indonesia. Untuk meramalkan kinerja
orang di masa depan, lanjutnya, harus dilihat perilakunya di masa lalu (past behavior). Ini
sesuai dengan konsep past behavior predicts future behavior atau perilaku masa lalu bisa
digunakan untuk meramalkan kinerja orang itu di masa depan.
Menurut Vina G. Pendit, Direktur PT Daya Dimensi Indonesia, perusahaan rekrutmen yang
berafiliasi dengan DDI World berpusat di Amerika, psikotes lebih mengukur potensi
intelektual (IQ), sifat bawaan, agresifitas, dan kepribadian seseorang yang kadang kala
dalam bekerja tidak ke luar. Potensi itu masih harus digali lagi. Orang yang IQ-nya tinggi
belum jadi jaminan berperilaku yang benar. Lewat tes perilaku ataupun emosional (EQ),
hal semacam itu bisa diketahui. "Makanya banyak orang yang bilang, orang yang unggul
dalam keempat potensi itu belum tentu memiliki tingkat EQ yang tinggi. Bisa saja ia
pintar, namun ia hidup di dunianya sendiri," ungkapnya.
Sejalan dengan kesadaran perusahaan tentang pentingnya faktor perilaku dalam
menentukan kesuksesan dalam bekerja, maka rekrutmen dengan metode perilaku itu
makin menjadi tren global. Ramalan tingkat akurasi pendekatan perilaku ini, menurut
British Psychological Association (Inggris), tercatat 0,65. Angka ramalan ini tergolong
cukup tinggi karena dalam ilmu sosial tingkat akurasi lebih dari 0,50 sudah dianggap
akurat. Dengan tingkat akurasi seperti itu, memang masih punya potensi penyimpangan
sebesar 35%, tetapi itu masih wajar karena dalam ilmu sosial tidak ada yang 100%.
Alasannya, menurut Vina, manusia adalah makhluk dinamis, yang tidak bisa dipastikan
sepenuhnya. Tetapi, hasil pendekatan perilaku itu tidak jauh meleset karena
kecenderungan perilaku manusia yang sama. "Sering isteri mengharapkan perilaku suami
berubah setelah berkeluarga, itu sangat sulit terjadi," katanya tertawa, sambil
menambahkan, "Kecuali mungkin ada suatu peristiwa yang luar biasa terjadi dan
membuatnya trauma. Itu pun tidak menjamin orang berubah."
Pendekatan perilaku ini semakin dipakai untuk rekrutmen level yang semakin tinggi.
"Pendekatan ini lebih efektif," ujar Oktav P. Zamani, Assistant Director Bank Muamalat
Indonesia (BMI). Biasanya BMI menggunakan psikotes hanya untuk karyawan level�
bawah. Di Allianz, psikotes hanya dilakukan untuk merekrut sarjana baru lulus (fresh
graduate), kendati dasarnya masih menggunakan evaluasi perilaku. "Pengalaman
berorganisasi di kampus, kalau ada, bisa menjadi pertimbangan," tukas Arvan
Pradiansyah.
Dengan pendekatan perilaku, pengalaman bekerja kandidat bisa menjadi masukan
berharga dalam menilai kinerjanya di masa lalu. Hal ini bisa digali dalam wawancara.
Hanya saja Senior Consultant EXPERD Yuliana wanti-wanti, perlu keahlian khusus untuk
wawancara, karena kalau tidak bisa menggali juga akan sulit. "Observasi saat wawancara
itu penting, misalnya memperhatikan caranya menjawab selain mendapatkan
jawabannya," katanya.
Faktor berikutnya adalah menginterpretasikan hasil wawancara itu, yang hanya bisa
dilakukan tenaga terlatih. Untuk bisa menjadi pewawancara, ia harus mengikuti training
sehingga mendapatkan sertifikat. Bahkan, DDI mewajibkan tenaga pewawancara untuk
melakukan 2 kali wawancara sebelum terjun ke lapangan. Itu pun harus didampingi
tenaga senior 2-3 kali, baru dilepas sendiri. Begitu dilepas sendiri, wawancara pertama
yang dilakukan sendiri dilanjutkan dengan wawancara kedua oleh tenaga lebih senior.
Berkembangnya metode evaluasi perilaku membuat metode psikotes kehilangan "gigi".
Benarkah? "Tidak juga," tukas Suko Winarno, Kepala Divisi Evaluasi Psikologi Lembaga
Psikologi Terapan (LPT) UI. Teknik psikotes pada awalnya berkembang dari kampus-
kampus UI, Unpad, UGM, dan universitas lain yang memiliki Fakultas Psikologi. Dari era
70-an hingga 80-an, psikotes sangat dominan sebagai metode dasar rekrutmen. Metode
evaluasi perilaku baru berkembang di Indonesia tahun 90-an, namun berjalan agak
lambat. Jika metode evaluasi psikologi berkembang dari dataran akademisi atau ilmuwan,
maka metode evaluasi perilaku berkembang dari praktik organisasi sehari-hari.
Berbeda dengan evaluasi perilaku yang bisa dilakukan oleh tenaga non-psikolog, psikotes
hanya bisa dilakukan oleh psikolog. Untuk bisa melaksanakan psikotes, seseorang harus
mengikuti program pendidikan khusus psikologi. Dalam menjalankan tugasnya, para
psikolog terikat pada sejumlah kode etik profesi karena ia harus mendiagnosa aspek
psikologi orang lain.
Berkembangnya metode evaluasi perilaku secara tidak langsung mengamputasi dominasi
psikolog dalam jajaran manajemen SDM, khususnya rekrutmen perusahaan. "Pernyataan
itu bisa benar dan bisa juga tidak," tuturnya. Sebab, dalam menjalankan tugas evaluasi
psikologi, LPT UI tidak menafikan penggunaan evaluasi perilaku. Caranya,
menggabungkan evaluasi psikologi itu dengan evaluasi perilaku. Biasanya sehabis
evaluasi psikologi, berdasarkan permintaan klien, LPT UI juga melakukan evaluasi
perilaku melalui wawancara maupun simulasi.
"Gabungan kedua metode evaluasi itu adalah yang terbaik, karena keduanya saling
melengkapi", �lanjutnya. Evaluasi psikologi akan memetakan potensi, kepribadian, sifat
bawaan, dan agresifitas kandidat, dan evaluasi perilaku akan mendapatkan gambaran
kompetensi yang bersangkutan untuk sukses dalam pekerjaan. Dalam praktiknya,
penggabungan kedua metode itu di LPT UI tetap diawali dengan evaluasi psikologi yang
memakai berbagai alat bantu tulis dan gambar. Alat-alat bantu evaluasi psikologi itu telah
dipergunakan sejak lama oleh LPT UI dan dipercaya.
Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan dengan klien, LPT UI bisa mengembangkan tes ke
beberapa aspek dari perilaku kandidat. Umpamanya, perusahaan meminta diukur
kemampuan kandidat dalam mengambil keputusan atau kemampuan bernegosiasi.
Tambahan pekerjaan itu tentu menyebabkan biayanya naik. Evaluasi tambahan ini bisa
sampai ke evaluasi perilaku secara penuh. "Hasilnya tentu lebih komprehensif, namun
biayanya juga mahal," ungkap Suko lagi. Biaya evaluasi komprehensif itu bisa mencapai
Rp 25 juta per orang, dan untuk level direksi bisa Rp 50 juta per orang.
Faktor biaya yang lebih murah dan bisa dilakukan dengan massal membuat evaluasi
psikologi lebih disenangi klien. LPT UI mengenakan biaya evaluasi psikologi sekitar Rp
2,5-3 juta per orang, sedangkan biaya evaluasi perilaku minimal dua kali lipat dari jumlah
itu. Biaya evaluasi perilaku lebih mahal karena alat bantu tesnya harus dibuat spesifik
sesuai dengan bidang tugas si kandidat. Bahkan di Amerika, si kandidat harus melakukan
orientasi lapangan dengan beraneka penugasan untuk mengetahui lebih jauh tentang
kompetensinya. Waktu yang dibutuhkan bisa seminggu, sementara evaluasi psikologi
bisa dilakukan dalam 2 hari saja. Kadang-kadang untuk membuat evaluasi perilaku,
konsultan harus turun dulu ke perusahaan, menyusun kriteria dan alat bantu.
Alasan lain kenapa orang lebih banyak meminta evaluasi psikologi, seperti dikemukakan
Suko, karena kebanyakan perusahaan sudah mengetahui kemampuan atau keahliannya
dalam bekerja. Apalagi, kalau ia sudah berpengalaman jadi manajer. Yang ingin diketahui
perusahaan adalah potret psikologi orang itu supaya sesuai dengan harapan perusahaan.
Misalnya, perusahaan butuh manajer yang tegas, memiliki kemampuan analitikal yang
bagus, dan mampu mengendalikan diri. Laporan psikologi akan menjelaskan apakah ia
sosok yang tegas, bagus memimpin, mampu mengendalikan diri, dan sebagainya.
Lantas, seberapa akurat evaluasi psikologi itu selama ini? "Kami tidak bisa menjelaskan
akurasi metode evaluasi psikologi itu. Tetapi yang pasti, permintaan terhadap evaluasi
psikologi jauh lebih banyak daripada evaluasi perilaku," jawabnya. Setiap tahunnya LPT
UI melakukan evaluasi 3.000-7.000 orang setiap tahunnya, tergantung dari permintaan
pasar. Tingginya permintaan terhadap evaluasi psikologi itu bukan berarti evaluasi
psikologi lebih akurat, karena�- seperti diuraikan di atas�- permintaan yang lebih tinggi
itu terutama karena biayanya yang jauh lebih murah.
Atas pengalamannya selama ini, General Manager Human Resources Management PT
Merpati Nusantara Airlines Tina Kemala, menilai metode evaluasi psikologi dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, handal, dan valid. "Metode ini lebih obyektif
ketimbang metode wawancara yang cenderung subyektif," ujarnya. Dalam evaluasi
psikologi terdapat 5 alat bantu, yaitu isian tertulis, observasi, wawancara, simulasi, dan
diskusi kelompok. "Salah memilih alat bantu dan metodenya, salah pula hasilnya,"
ungkapnya.
Alat bantu evaluasi psikologi banyak tersedia di pasar dan terus berkembang dari hari ke
hari. Pengembangan alat bantu ini dimaksudkan untuk mendapatkan potret kepribadian
dan potensi intelegensia kandidat yang semakin baik. LPT UI mengembangkan sendiri
alat-alat bantu tes itu dan tidak pernah mengambil utuh alat bantu yang ada di pasar
tanpa sentuhan mereka. Namun, Yuliana dari EXPERD, melihat cara pikir perusahaan-
perusahaan sekarang semakin maju karena mereka tidak mau mengandalkan tes seperti
yang banyak dijual. Alasannya, yang biasanya dijual itu sudah ketinggalan jaman.
Sebagai gantinya, banyak atasan yang� kini mengembangkan alat ukur tes sendiri.
Bahkan, lembaga tes psikologi juga semakin ketat membatasi sertifikasinya supaya tidak
semua orang boleh memakai dan membeli alat tes itu. "Kalau ingin beli, orang harus ikut
training terlebih dulu," paparnya.
Sadar bahwa kedua metode itu memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, banyak
konsultan rekrutmen yang menerapkan kombinasi kedua metode itu bagi keperluan
kliennya. Yuliana dari EXPERD mengatakan, alat ukur psikologi adalah alat bantu yang
bisa memperkaya evaluasi perilaku, meskipun perusahaannya lebih menggunakan
pendekatan Competency Based Assesment. Dari evaluasi psikologi diperoleh gambaran
profil dari orang itu yang tidak kelihatan, dan dari evaluasi perilaku diperoleh prediksi
perilakunyake depan sehingga kombinasi keduanya memungkinkan adanya profil utuh
orang itu luar-dalam.
EXPERD sendiri, menurutnya, tidak meninggalkan salah satu metode itu karena tidak ada
alat evaluasi yang bisa dipercaya 100%. Contohnya, mungkin orang pada saat evaluasi
psikologi tidak sungguh-sungguh mengerjakannya atau lagi kurang enak badan sehingga
hasilnya tidak optimal. Bisa pula orang itu pintar ngomong saat diwawancarai. Makanya,
kombinasi kedua pendekatan itu banyak direkomendasikan. Untuk mengetahui lebih jauh
tentang kandidat, EXPERD melakukan pula reference check, yaitu pengecekan referensi
kepada perusahaan tempat ia dulu bekerja untuk memastikan kinerja orang itu seperti
apa. Perusahaan yang dihubungi adalah perusahaan di mana ia sudah berhenti bekerja.
"Kegiatan assessment center, karena menggunakan banyak alat bantu, merupakan
metode dengan akurasi paling tinggi," tambahnya.
Hal yang sama dilakukan IQ Recruitment, yang bergerak di bidang rekrutmen dan
training. "Kami pakai kedua metode itu," ujar Heroetomo dari perusahaan itu. Alasannya,
ada juga hal yang bagus dari evaluasi psikologi karena dibuat berdasarkan riset dan
hasilnya bersifat kecenderungan. Kecenderungan itu kemudian ditindaklanjuti dalam
wawancara sehingga kecenderungan itu semakin kuat terlihat. Sebagai contoh, tuturnya,
ada orang yang percaya dirinya tinggi, cara penyelesaian masalahnya bagus, tetapi
berbahaya jika orang ini memiliki kecenderungan ambisius sehingga dia membuat
rencana yang muluk-muluk namun akhirnya gagal.
Urutan yang umum dalam melakukan seleksi karyawan dimulai dengan tahapan seleksi
administrasi, kemudian tes psikologi, dan tahapan selanjutnya adalah evaluasi perilaku
melalui wawancara dan bila diperlukan dengan simulasi. "DDI baru turun saat wawancara
dilakukan. Kami ingin lihat motivasinya setelah potensinya diketahui," kata Vina G.
Pendit. Kalau tidak sesuai, evaluasi berikutnya tidak perlu dilanjutkan karena hanya
buang uang saja. Evaluasi perilaku lebih jauh perlu dilakukan bila motivasi kandidat
memenuhi syarat. Pelaksanaan evaluasi perilaku biasanya dilakukan terakhir karena
butuh waktu yang lebih lama dan tenaga yang lebih banyak.
"Sebenarnya, tidak apa-apa jika organisasi ingin melakukan evaluasi perilaku terlebih
dulu kalau punya uang, waktu, dan tenaga," ujar Vina. Biasanya wawancara untuk
menggali perilaku dilakukan oleh lebih dari satu orang. Pewawancara akan mengajukan
pertanyaan berbeda untuk hal yang sama.
Kenyataannya, perusahaan membedakan pendekatan evaluasi menurut level jabatan. PT
Excelcomindo Pratama, operator seluler, umpamanya, menggunakan tes psikologi untuk
level staf, namun bagi mereka yang sudah berpengalaman 2-3 tahun ke atas, termasuk
supervisor, tidak lagi menggunakan tes psikologi. Sebagai gantinya, perusahaan
menerapkan teknik wawancara yang dibarengi dengan preference test khusus untuk
posisi-posisi kunci. Wawancara dilakukan mengacu pada Competency Based Human
Resources Management System yang telah dimiliki perusahaan.
"Di situ kami coba menilai kompetensi kandidat berdasarkan kompetensi yang
dibutuhkan perusahaan," kata Setyarini, Recruitment Staff, dan Ute Gerdanovita, Human
Capital Business Partner Excelcomindo. Teknik wawancara ini sering juga disebut
Behavior Even Interview (BEI).
Lain lagi dengan PT Cakra Bhasa, perusahaan spesialis pekerjaan bawah air. Karena
tuntutan pekerjaannya yang cukup sulit, baik secara intelegensia maupun fisik, maka
perusahaan melakukan evaluasi psikologi, wawancara, dan kesehatan secara terpadu.
"Pekerjaan kami membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan yang tepat dan
kesehatan fisik yang prima," tutur Sukarya Prawiradirdja, Presiden Direktur PT Cakra
Bhasa.
Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan Jepang? Menurut Mariko Asmara, Managing
Director PT JAC Indonesia yang banyak menangani perusahaan Jepang, perusahaan
Jepang lebih mementingkan faktor perilaku dalam menilai karyawan. Kultur perusahaan
Jepang, tuturnya, sangat percaya kompetensi itu dimulai dari perilaku. Cara berpikir
perusahaan Jepang adalah cari dulu orang yang baik, untuk selanjutnya perusahaan
bertanggungjawab mengasahnya. Seperti di Matsushita, lanjutnya, setiap hari
perusahaan menyediakan program training. "Cara berpikir seperti itu dibawa oleh
perusahaan Jepang ke luar negeri, termasuk Indonesia," ujarnya.
Daisy N. Aboebakar, Senior Consultant JAC Indonesia, menambahkan, perusahaannya
pernah menawarkan kepada klien perusahaan Jepang untuk melakukan tes psikotes,
tetapi kebanyakan klien menolak. "Klien bilang, agak sulit menghubungkan kinerja kerja
dengan psikotes itu. Kadang-kadang psikotesnya bagus, tapi kinerjanya tidak bagus,"
ungkapnya.
Bekerja di perusahaan Jepang tergolong unik karena umumnya mereka tidak memiliki job
description. Ruang lingkup pekerjaan umum sekali dan bersifat parallel sehingga mereka
sulit bekerja dengan spesialis. Semua orang harus bisa dan siap dipindah ke bagian mana
saja. Setelah dididik, kelak mereka akan mengetahui kompetensi si karyawan. Orang-
orang lulusan universitas luar negeri cenderung sangat individual, dan orang-orang
seperti itu tidak bisa diterima di perusahaan Jepang.
"Mereka sangat melihat sebagai kelompok atau tim," lanjut Mariko. Kandidat yang bagus
namun tidak bisa bekerja dalam tim, tidak bisa diterima klien. Mereka beranggapan,
semuanya bermula dari keinginan atau motivasi. Orang-orang yang memiliki motivasi
tinggi diyakini akan bisa belajar sendiri.
Bagi perusahaan Jepang faktor proses itu sangat penting sehingga mereka tidak semata
melihat hasilnya. Proses yang baik diyakini memberi hasil yang baik pula secara tim.
Upaya memperbaiki tradisi itu bukannya tidak ada, seperti yang kini ingin dilakukan
Matsushita dengan mengubah cara berpikir kebersamaan menjadi berorientasi pada
prestasi. Letak masalahnya, menurut Mariko, justru pada orang-orang Jepang sendiri,
apakah mereka siap untuk melakukan itu.
Tak pelak lagi, peran strategis dan vital dari rekrutmen mendorong perusahaan untuk
terus menerus memperbaiki metode evaluasi mereka. Pentingnya rekrutmen juga
berdampak positif terhadap profesi rekruter. Permintaan terhadap mereka di pasar
Amerika meningkat, begitu pula remunerasinya.
Pilihan evaluasi tidak mesti sama satu sama lain, kendatipun metode kombinasi diyakini
yang terbaik. Yang penting, manajemen perusahaan menaruh perhatian besar terhadap
proses rekrutmen. Maklum, proses rekrutmen yang salah menimbulkan biaya dan
masalah yang cukup memusingkan. "There's no such thing fixing a hiring mistake," sela
Vina dari DDI.
Ibarat pepatah, garbage in, garbage out. Yang masuk sampah, ke luarnya tetap sampah.
Tidak mau 'kan?
Mengupas Fondasi Visi dan Budaya Korporat
No. 03 Tahun 2004
Visi terdiri dari dua komponen utama�- core ideology (ideology inti) dan envisioned
future (memandang masa depan). Ia berperan penting dalam membentuk budaya
korporat.
Kata-kata visi kini menjadi makanan sehari-hari di setiap organisasi. Namun, makin sering
disebut, kata-kata visi itu juga kian membuat pusing. Banyak orang yang menyusun visi
organisasi berdasarkan cita-cita atau mimpi ideal di masa depan, tapi tidak berdasarkan
berbagai kondisi atau lingkungan yang mendukung perwujudan visi itu. Menurut James C.
Collins dan Jerry I. Porras, penulis buku terkenal Built to Last, sebuah visi usaha yang baik
dibangun atas dasar ideology inti (yang tidak pernah berubah) dan kemampuan
memandang masa depan (yang masih bisa diubah-ubah).
Untuk mewujudkan visi tersebut, harus diciptakan organisasi dan penyelerasan strategik
agar bisa mempertahankan core ideology dan mendorong kemajuan untuk menuju
envisoned future. Penyelerasan itu membuat visi itu membumi, mengubahnya dari
sekedar niat baik menjadi realitas kongkrit.
IDEOLOGI INTI
Ideologi inti adalah karakter yang membuat hidup sebuah organisasi dalam jangka
panjang�- semacam identitas diri yang konsisten sepanjang waktu dan melebihi siklus
hidup produk/pasar, terobosan teknologi, model manajemen, dan pemimpin individual.
Ideologi inti menjadi perekat bagi organisasi untuk bertumbuh, terdesentralisasi,
terdiversifikasi, berekspansi ke pasar global, dan menjaga keberagaman dalam
organisasi. Sumbangan terbesar para pendiri perusahaan visioner agaknya dalam
membentuk ideologi dasar ini.
Ideologi tidak bisa diciptakan atau disusun dengan melihat lingkungan eksternal. Ia
dihasilkan dari pencarian terhadap aspek internal perusahaan sehingga harus otentik.
Ideologi inti dibutuhkan agar bermakna dan inspirasional bagi orang-orang dalam
perusahaan. Dengan perkataan lain, ia tidak harus menarik bagi pihak luar. Adalah orang
dalam perusahaan yang butuh pemahaman terhadap nilai dan tujuan inti untuk
mendapatkan komitmen jangka panjang bagi keberhasilan perusahaan. Oleh sebab itu,
ideologi inti memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang berada dalam
perusahaan dan siapa yang berada di luar.
Menurut Collins dan Porras, harus dibedakan ideologi inti dengan "pernyataan" tentang
ideologi inti. Sebuah perusahaan bisa saja memiliki ideologi inti yang kuat tanpa sebuah
pernyataan formal. Misalnya, Nike. Perusahaan ini memiliki tujuan inti yang sangat kuat,
meski tanpa membeberkannya secara resmi.
Hanya saja, kedua pakar mengharapkan jangan sampai dalam menyusun nilai dan tujuan
inti hanya sebatas permainan katakata. Tidak diperlukan pernyataan sempurna untuk
menjelaskan ideologi dasar. Karena yang diperlukan adalah pemahaman penuh terhadap
nilai dan tujuan inti perusahaan. Ekspresi nilai dan tujuan inti bisa dilakukan dalam
banyak cara. Disarankan, sekali hal inti itu teridentifikasi, minta seluruh manajer
menyampaikan pernyataan tentang nilai dan tujuan inti perusahaan menurut versi
masing-masing.
Bedakan pula ideologi inti dengan konsep kompetensi inti. Kompetensi inti adalah konsep
strategik yang menampung kapabilitas organisasi, sedangkan ideology inti berisi untuk
apa perusahaan ada dan kenapa perusahaan eksis. Kompetensi inti harus diselaraskan
dengan ideologi inti perusahaan�- dan sering berakar pada ideologi inti�- tetapi tidak
sama dengan ideology inti.
Ideologi inti terdiri dari dua subkomponen berbeda, yaitu nilai inti (core value) dan tujuan
inti (core purpose).
NILAI INTI
Nilai inti adalah ajaran esensial dan membuat hidup organisasi�- berisi sejumlah prinsip
panduan yang berlaku sepanjang masa yang tidak membutuhkan justifikasi eksternal. Ia
memiliki nilai intrinsik dan penting bagi internal organisasi. Nilai inti tidak bisa
dikompromikan dengan hasil finansial dan sasaran jangka pendek. Ia juga tidak sama
dengan budaya spesifik atau praktik operasional tertentu.
Dalam banyak kasus, nilai inti bisa diperas menjadi lebih sederhana untuk menjadi
panduan substansial. Perhatikan bagaimana Sam Walton menerjemahkan esensi nilai
utama Wal-Mart: "Kami menempatkan pelanggan di atas segala-galanya .... Jika Anda
tidak melayani pelanggan, atau mendukung siapa saja yang melakukannya, maka kami
tidak butuh Anda." Juga bagaimana James Gamble secara sederhana dan elegan
menjelaskan nilai inti P&G terhadap mutu produk dan bisnis yang jujur: "Ketika Anda tidak
bisa membuat produk yang murni dengan timbangan yang benar, pergilah ke orang lain
yang lebih jujur, kendatipun untuk itu harus memecahkan batu besar."
Menarik pula bagaimana John Young, mantan CEO HP, menerjemahkan HP Way secara
sederhana namun mengena: "HP Way pada dasarnya berarti menghargai dan peduli
terhadap individu. Anda harus melakukannya jika orang lain juga ingin melakukannya
untuk Anda."
Begitulah. Nilai inti bisa dijelaskan dalam sejumlah cara berbeda, namun ia tetap ringkas,
jelas, mengena, dan bertenaga. Perusahaan visioner, menurut Collins dan Porras,
cenderung hanya memiliki sedikit nilai inti, biasanya antara 3 hingga 6. Sangat jarang
perusahaan visioner yang memiliki nilai inti lebih dari 6, dan kebanyakan kurang dari
jumlah itu. Itupun hanya beberapa saja yang benar-benar bisa dianggap nilai inti�- nilai-
nilai yang sangat fundamental dan sangat melekat.
Implikasi penting dari upaya artikulasi nilai inti tentunya ada. Nilai inti yang terlalu
banyak menyebabkan nilai inti yang sebenarnya menjadi kabur. Salah satu cara yang
bisa ditempuh dalam menyusun nilai perusahaan adalah dengan menanyakan pada diri
sendiri tentang "Mana saja di antara nilai-nilai itu yang memungkinkan untuk tetap hidup
beratus-ratus tahun terlepas dari perubahan eksternal apa pun yang terjadi�- kendati
lingkungan bisnis tidak mendukung nilai-nilai itu, atau bahkan 'menghukum'." Sebaliknya,
tentukan nilai-nilai yang bisa diubah atau dihilangkan bila lingkungan tidak bersahabat
dengan organisasi?
Satu hal yang perlu diingat adalah, jangan terperangkap dengan mengambil nilai inti
perusahaan visioner untuk dijadikan nilai inti perusahaan Anda. Nilai inti atau budaya
korporat tidak bisa datang dari luar atau mengambil nilai inti perusahaan lain yang
dianggap bagus. Juga dengan mencontoh buku manajemen. Nilai inti harus digali dari
ideologi inti perusahaan yang autentik, bukan dari mana-mana. Harus dipahami, ideologi
inti ada sebagai elemen internal, sangat independen terhadap lingkungan eksternal.
Lihat bagaimana George Merck II (Merck) sangat yakin bahwa obat-obatan untuk pasien,
dan ia ingin seluruh karyawan Merck juga memahami keyakinan itu. Thomas J. Watson Jr.
menguraikan nilai inti IBM yang diperolehnya dari sang ayah: "Nilai-nilai itu adalah aturan
hidup�- yang harus dijaga dengan seluruh tenaga, ditanamkan kepada seluruh orang,
dan diikuti dengan kesadaran penuh dalam setiap kehidupan karyawan."
David Packard dan Bill Hewlett, pendiri HP, tidak merencanakan HP Way secara khusus.
Mereka merasa sangat berkepentingan tentang bagaimana bisnis seyogyanya dibangun
dan langkah-langkah penyebarluasan nilai-nilai itu.
TUJUAN INTI
Tujuan adalah sejumlah alasan fundamental kenapa perusahaan harus ada selain hanya
mendapatkan uang. Banyak orang yang salah mengambil asumsi bahwa perusahaan ada
karena hanya untuk mencari uang. Jika perusahaan ingin eksis harus dicari alasan riil
yang lebih dalam.
Tujuan inti tidak mesti unik. Bisa saja dua perusahaan memiliki tujuan yang hampir mirip
seperti juga sangat mungkin dua perusahaan mempunyai sistem nilai yang sama,
misalnya integritas. Peran utama dari tujuan inti adalah untuk memandu dan memberi
inspirasi, tidak harus membuatnya berbeda. Sebagai contoh, banyak perusahaan bisa
berbagi tujuan inti yang dimiliki Hewlett-Packard, yakni ingin berkontribusi terhadap
masyarakat melalui peralatan elektronik untuk kemajuan ilmu dan kesejahteraan umat
manusia. Pertanyaannya, apakah perusahaan itu bisa melaksanakannya sekonsisten HP.
Seperti juga nilai inti, kuncinya adalah otentisitas, bukan keunikan.
Sebuah tujuan yang efektif mencerminkan pentingnya orang bekerja bagi perusahaan�-
ia membangkitkan motivasi�- ketimbang hanya menjelaskan output organisasi atau
target konsumen misalnya. Tujuan jangan dicampur-adukkan dengan tujuan spesifik atau
strategi bisnis yang bisa berubah berkali-kali. Dalam mengidentifikasi tujuan, beberapa
perusahaan membuat kesalahan dengan menjelaskan lini produk atau segmen konsumen
yang dituju. Hindari pernyataan yang bersifat deskriptif.
Ambil contoh 3M. Perusahaan ini tidak menyusun tujuan berdasarkan bisnis adhesive dan
abrasive, tetapi tujuan intinya adalah memecahkan masalah yang belum terpecahkan
secara inovatif. Tujuan itu memungkinkan 3M memasuki berbagai bidang bisnis baru.
Tujuan McKinsey bukan untuk melaksanakan konsultansi manajemen, tetapi membantu
perusahaan dan pemerintah untuk lebih sukses, sehingga bisa saja dalam 100 tahun ke
depan metode layanannya tidak lagi berbentuk konsultansi.
Saat diterima secara benar, tujuan lebih bersifat luas, fundamental, dan memberi daya
hidup. Sebuah tujuan yang bagus seyogyanya memandu dan memberi inspirasi terhadap
organisasi untuk bertahun-tahun. Memang, perusahaan visioner secara kontinu
mewujudkan tujuan tetapi tidak pernah sepenuhnya mencapai atau menuntaskan tujuan
itu. Walt Disney menerjemahkan upaya tiada henti dalam mewujudkan tujuan itu dengan
pernyataan: Disneyland will never be compeleted, as long as there is imagination left in
the world.
GE tidak akan pernah menuntaskan tugas untuk meningkatkan kualitas kehidupan
melalui teknologi dan inovasi. JW Marriott akan terus ber-evolusi�- dari bisnis A&W Root
Beer, ke jaringan bisnis makanan, ke katering pesawat, ke hotel, dan ke bidang lain yang
tidak seorang pun tahu di masa depan�- namun tidak pernah bertumbuh di luar tugas
fundamental "membuat orang yang jauh dari rumah merasa tetap dekat teman dan
begitu dibutuhkan."
Sama halnya Motorola yang terus berevolusi�- dari pengganti baterai untuk radio rumah,
ke radio mobil, ke televisi rumah, ke semikonduktor, ke integrated circuit, ke komunikasi
selular, ke sistem satelit, dan ke bidang bisnis lainnya di abad mendatang�- namun
tetap dalam koridor "dengan bangga melayani komunitas dengan menyediakan produk
dan jasa bermutu superior dan harga yang fair."
Disney akan terus ber-evolusi�- dari kartun, ke film animasi berdurasi panjang, ke klub
Mickey Mouse, ke Disneyland, ke karya box office, ke EuroDisney, dan ke bidang lain yang
kelak belum jelas lagi�- namun tetap pada tujuan inti "memberikan kegembiraan kepada
jutaan orang".
MEMANDANG MASA DEPAN
Komponen kedua dari visi adalah memandang masa depan (envisioned future), yang oleh
Collins dan Porras dibagi atas dua bagian: tujuan yang berani selama 10-30 tahun ke
depan dan deskripsi jelas tentang wajah perusahaan bila berhasil mencapai tujuan yang
berani itu. Tujuan yang berani itu bisa bersifat kuantitatif atau kualitatif, misalnya menjadi
perusahaan dengan pendapatan US5 miliar sebelum 2000 (Wal-Mart 1990),
mendemokratisasi bisnis otomotif (Ford, awal 1900-an), menjadi perusahaan yang paling
mengubah citra produk Jepang yang bermutu rendah secara global (Sony, awal 1950-an).
Pemilihan ungkapan "memandang masa depan" sejatinya bermakna ganda dan
paradoks. Di satu sisi, ia memunculkan perasaan kongkrit�- sesuatu yang jelas, nyata,
bisa dilihat, disentuh, dirasakan. Di sisi lain, hal itu mencerminkan satu waktu yang
belum terealisasi�- sebuah mimpi, harapan, atau aspirasi.
Budaya Korporat Lokal - Deddy Kusdedi (DIRUT PEGADAIAN)
No. 03 Tahun 2004
Budaya perusahaan sangat signifikan dengan keberhasilan Pegadaian, terutama setelah
pegadaian berganti status dari perusahaan jawatan (Perjan) menjadi persero.
"Waktu status kami Perjan, status kami PNS, bajunya birokrat, motto kerja, kami
dibutuhkan masyarakat. Jadi manajemennya manajemen warung, artinya yang gadai
syukur, tidak ada yang gadai tutup saja. Toh tanggal 1 gajian juga. Terserah perusahaan
mau untung atau rugi", jelas Dedi.
Dengan diganti menjadi perusahaan persero maka berubah sistemnyapun berubah
menjadi pegadaianlah yang membutuhkan nasabah. "Makanya kami bangun budaya
professional. Artinya, kualitas pelayanan harus betul-betul menjadi target utama. Kedua,
nasabah harus betul-betul dilayani sebaik-baiknya. Ketiga, mereka pun harus
bertanggung jawab terhadap maju mundurnya perusahaan", tutur Dedi lagi.
Kini pegadaian telah memiliki budaya perusahaan, yang disebut namanya Si Intan. "Ini
singkatan, I-nya inovatif, N-nya, memiliki nilai moral yang tinggi. T-nya trampil, A-nya Adi
layanan, dan N-nya nuansa citra", jelasnya. Sebelumnya pegadaian bisa dikatakan tidak
mengenal yang namanya target laba. Dengan diberlakukan budaya Intan, memberikan
kesejahteraan bagi semua pihak di pegadaian adalah nasabah. "Yang menggaji kita
adalah masyarakat", tegasnya. Intan sendiri telah mulai diberlakukan sejak tahun 1990.
Bagi Dedi, Intan harus menjadi kunci utama corporate culture di pegadaian. Tahap
pertamanya adalah sosialisasi. "Kita banyak kendala, karena yang namanya budaya
perusahaan tidak semudah membalikkan tangan. Pertama butuh kesabaran. Kedua,
butuh pembinaan yang berkelanjutan", tuturnya.
Sekarang pegadaian terbuka untuk semua lapisan masyarakat. "Sekarang kami punya
dua program baru, ada program pegadaian peduli, intinya adalah meningkatkan kualitas
pelayanan masyarakat yang betul-betul professional. Betul-betul peduli kepada
masyarakat", jelas Dedi. "Internalnya, menyangkut masalah keakuratan data. Satu lagi,
nasabah mendapat jaminan asuransi kecelakaan. Mungkin nanti juga akan semacam
hadiah yang diundi setiap tahun. Mau gadai piring, gadai mercy, haknya sama. Tapi
hadiahnya tidak seperti bank, hadiahnya paling motor Honda, motor. Mulai bulan Juni
akan diadakan. Dananya sekitar minimal setahun 15-20 motor," tambahnya lagi.
Di pegadaian peranan HRD untuk corporate culture ini merupakan kewajiban seluruh
pejabat. Karena kalau bicara pelanggan, yang dituju adalah seluruhnya, bukan melulu
nasabah saja. Konsep budaya pelanggan di pegadaian ini, ada empat, hubungan atasan
dengan bawahan, bawahan dengan atasan, hubungan karyawan dengan sesame
karyawan atau teman sejawat, hubungan karyawan dengan nasabah. "Paling tidak,
bagaimana saya harus memperhatikan kepentingan karyawan," jelasnya pasti.
Dalam hal membentuk corporate culture, pegadaian membutuhkan konsultan. Yang
relatif sulit adalah pembinaan yang berkelanjutan. "Saya intinya menekankan pendekatan
kekeluargaan dan kemanusiaan untuk memantapkan budaya perusahaan. Pilar-pilar
budaya perusahaan dari birokrasi ke professional saya ubah. Tentunya untuk merubah
budaya yang ada, ada konsekuensinya. Butuh biaya besar memang. Tapi itu investasi.
Dananya bisa dipergunakan untuk kepentingan karyawan, misalnya gaji yang memadai,
benefit-benefit supaya perilaku aneh seperti pungli, KKN, bisa dikikis habis", tutur Dedi
lagi.
Budaya Korporat Lokal - PT. MLC Life Indonesia
No. 03 Tahun 2004
Memasuki kantor yang berlokasi di Gedung Nugra Santana, jelas menimbulkan keunikan
tersendiri. Kantor bernuansa pantai ini memang sengaja diset untuk menciptakan etos
kerja yang tinggi bagi karyawannya.
Menurut Ivan Taufiza, People & Culture Director PT MLC Life Indonesia, infrastruktur
seperti itu memang sengaja dikonsepkan bernuansa pantai. "Ini bertujuan menciptakan
kenyamanan karyawan dalam bekerja," paparnya.
Misalnya, di ruang rapat terdapat akuarium dan pemandangan pasir dan kerang-kerang
di meja. Belum lagi ada kursi pantai untuk duduk-duduk santai karyawan, lantai yang
didesain dengan warna biru seperti warna laut, meja makan desain pantai, ruangan
perpustakaan yang cozy dan game playstation di ruang makan untuk mengatasi
kejenuhan karyawan. Jangan kaget jika untuk office boy dan driver, MLC memberikan
ruangan khusus untuk menjelajah di dunia maya alias internet.
"Kami juga mendesain kursi dan meja kerja dengan ala cubicle, maksudnya agar tidak
ada gap antara satu dengan yang lain, bahkan dengan jajaran manajer sekalipun," jelas
Ivan. Sehingga, jika salah satu karyawan ingin berdiskusi, mereka bisa langsung ngobrol
tanpa harus repot-repot. Kecuali untuk hal-hal yang krusial, MLC menyediakan beberapa
ruangan kecil yang sifatnya tertutup.
Meski hanya sebatas kendaraan, infrastruktur tersebut sangat 'manjur' buat karyawan
agar mereka memberikan hasil kerja yang baik kepada perusahaan. Diakui Ivan, MLC
menganut prinsip-prinsip seperti transparansi, keterbukaan, dan insiatif tidak hanya di
jajaran direksi saja, tapi juga sampai ke level bawah. Semua karyawan, kata Ivan, harus
bertanggung jawab baik kepada perusahaan maupun kepada dirinya sendiri.
Selama ini, perusahaan-perusahaan yang ada menurut Ivan menginginkan kontribusi
yang sifatnya tangible atau terukur dari segi finansial. "Tapi sebenarnya ada hal-hal yang
tidak terukur, tapi tetap kontribusi ke bisnis. Contoh, kepuasan karyawan," Ivan
memaparkan hal itu. Cara mengukurnya, adalah lewat insiatif, ide, semangat, spirit. Ini
yang mendasari rule People & Culture MLC untuk mengembangkan tersebut dan
membuat nilai-nilai yang intangible itu bisa makin membesar, sehingga kontribusi ke
bisnis juga makin besar.
Untuk mengukur kinerja karyawan, MLC menggunakan 6 cara, yaitu performance, people,
identifikasi, open eyes, control, dan flexibility. "Prinsipnya, apa yang kita punya sekarang
dan apa yang kita inginkan, gapnya ada dimana. Gap itu yang coba kita tutup," kata Ivan.
Diakui Ivan, sebelum MLC berdiri, MLC sempat bermitra dengan perusahaan properti
yaitu BII Landlease dan Simas Landlease. Baru pada tahun 2000, anak perusahaan
National Australia Bank(NAB) ini resmi didirikan. Sayangnya, sejak didirikan, banyak
perbedaan yang terjadi, antara budaya sebelum MLC resmi didirikan dengan budaya
yang baru.
"Banyak karyawan yang bingung karena nature dari pemilik yang sangat berbeda yaitu
dari property company berubah menjadi bankir yang sangat konsevatif, maka terkesan
ada perubahan yang sangat mencolok dari program-program karyawan," Ivan
membeberkan. Perbedaan dan perubahan yang mendasar ini yang banyak disesalkan
banyak karyawan MLC karena tidak dikomunikasikan kepada mereka.
Untuk mengatasi perbedaan tersebut, MLC menerapkan budaya yang lebih dinamis. "Di
sisi demografi, dari sisi usia, masa kerja dan latar belakang pendidikan mayoritas berusia
dibawah 35 tahun, sangat dinamis & informal," imbuhnya kembali. Ini jelas
menguntungkan MLC karena perbedaan-perbedaan antara karyawan lama dan karyawan
baru sudah lebih tertutup sedikit demi sedikit. "Saya yakin, kombinasi karyawan baru
yang 42% dapat saling bisa mempengaruhi karyawan lama yang 52% sehingga budaya
MLC lebih terbentuk seperti yang diharapkan."
Selain infrastruktur yang berperan bagi kepuasan karyawan, MLC juga banyak
mengadakan kegiatan sosial seperti membuat bangunan sekolah bersama-sama,
membuat gerobak bakso, atau kegiatan komunikasi bersama seperti nonton bareng, main
bowling bersama dan masih banyak lagi. "Berdasarkan hasil survei, hasil kepuasan
karyawan ada 2 poin yang sangat terasa, yaitu lingkungan kerja dan kegiatan sosial yang
dilakukan perusahaan," akunya dengan antusias.
Untuk ke depan, MLC mulai menerapkan budaya baru yang bertajuk "360 Derajat
Feedback". Tujuannya, untuk memberikan masukan kepada sesama karyawan, baik
jajaran atas maupun hingga ke level bawah secara formal. "Secara umum, orang
Indonesia punya budaya, sulit memberikan masukan baik ke atasan atau ke teman.
Takutnya, dia akan dianggap lebih pintar dari saya, atau sebaliknya takut menjelek-
jelekan saya." Ini menyebabkan MLC membuat dalam format yang seimbang yaitu stop
doing, artinya tidak perlu dilakukan lagi, start doing yaitu sesuatu yang belum dilakukan
tapi akan dilakukan dan continuous doing, yaitu sesuatu yang sudah dilakukan dan
bagus, maka akan terus dilakukan. Ketiga platform ini diharapkan mengurangi
subyektifitas.
Budaya Korporat Lokal - PT. Unilever Tbk.- Proses Tiada Henti
No. 03 Tahun 2004
Salah satu perusahaan yang dianggap telah memiliki corporate culture yang mapan
adalah PT. Unilever Indonesia Tbk. Corporate culture yang mapan, membuat perusahaan
yang telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1933 ini tumbuh menjadi perusahaan
penyedia consumer products yang mempunyai peran penting di Indonesia.
Kemapanan corporate culture di PT. Unilever, tidak begitu saja terbentuk. Hal ini
membutuhkan waktu dan proses yang terencana dengan matang. Keluar dari krisis tahun
1998, PT. Unilever layaknya perusahaan lain, juga mengalami penurunan penjualan.
Namun memasuki tahun 1999, PT. Unilever bertekad untuk kembali mencapai
pertumbuhan seperti sebelum krisis. "Kami menyimpulkan, jika mau kembali tumbuh
dengan level pertumbuhan seperti sebelum krisis, Unilever harus mengubah behavior
orang-orangnya. Kami harus mengubah the way we are," ujar Joseph Bataona, Direktur
HR PT. Unilever Tbk. "Jadi kami harus re-direct semua yang sudah dipunyai. Karena jika
tidak akan membutuhkan waktu yang lama sekali untuk mewujudkan tekad itu,"
tambahnya lagi.
Banyak proses yang telah dilalui oleh perusahaan ini untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam masa persiapan, dilakukan diskusi secara internal. Mulai pada level puncak
dipimpin oleh chairman dan direksi, mencoba mengidentifikasi apa saja elemen yang
dimiliki perusahaan untuk tetap tumbuh atau tumbuh lebih cepat lagi dan apa saja yang
menghambatnya. "Itu adalah unsur awal kami mencoba bicara tentang vision. Kami
sebetulnya mau kemana dalam 5-10 tahun mendatang dari titik ini. Dan itu kami lakukan
sendiri," jelas Joseph.
Kemudian disadari bahwa PT. Unilever terfokus pada consumer, costumer dan community.
Hingga kemudian muncul visi dari PT. Unilever yaitu To become the first choice of
consumer, costumer and community. Hal ini terwujud pada komitmen PT. Unilever
terhadap konsumennya yaitu menyediakan produk bermerek dan pelayanan yang secara
konsisten menawarkan nilai dari segi harga dan kualitas, dan yang aman bagi tujuan
pemakaiannya.
Banyak juga exercising yang dilakukan secara internal. Ada team kecil yang berjumlah 5
orang, dipimpin oleh Joseph, diminta untuk menerjemahkan visi itu ke dalam real values
yang harus dimiliki karyawan. "Waktu itu saya minta beberapa direksi untuk menuliskan
momen dalam karier mereka dimana mereka merasa satisfied, rewarded dan juga saat
mereka merasa marah besar, disappointed, dan very frustrated. Lalu mereka diminta
untuk mencari value apa yang membuat mereka merasa satisfied dan value yang
membuat mereka merasa frustrated. Dan mereka menulis apa saja values yang harus
ada untuk memacu perkembangan di perusahaan."
Hasilnya, muncul sekitar 20 values, yang kemudian di bagikan pada level puncak untuk
dibahas yang akhirnya dihasilkan the top six. Yang termasuk dalam the top six adalah
Customer, consumer and community focus, Teamwork, Integrity, Making things happen,
Sharing of joy, dan Excellence.
Namun tim tidak berhenti di situ saja, tim harus mengidentifikasi behavior seperti apa
yang mendukung atau tidak mendukung dari ke-6 nilai-nilai itu. Ini membutuhkan waktu
kurang lebih 5 bulan. Joseph menilai, behavior tersebut bukanlah sesuatu yang statis
sifatnya. Behavior yang dianggap mendukung dan tidak mendukung itu bukanlah sesuatu
yang statis sifatnya. Ia membutuhkan proses dalam pelaksanaannya. Meskipun sudah
berjalan 4-5 tahun, ini belum juga selesai, masih harus terus di review from time to time.
Awal tahun 1999, akhirnya terbentuk organization effectiveness committee. Komite ini
bertugas untuk melihat the whole company dan memberikan advis pada perusahaan
untuk mewujudkan visi focus pada consumer, costumer and community. Yang pertama
dilakukan komite ini adalah business process improvement plan. Untuk membuat semua
mengerti bahwa seluruh proses itu dilakukan agar costumer, consumer dan community
dapat merasa puas. "Dalam hal ini pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah proses
ini add value kepada costumer, consumer dan community, jika tidak kami cut," tegas
Joseph.
Kemudian ditunjuk satu group yang disebut sebagai facilitator perubahan, karena hal ini
tidak bisa dikerjakan oleh board atau unit secara sendiri-sendiri. Ia harus dilakukan
secara paralel di semua bagian dalam perusahaan. "Kami identifikasi dari seluruh divisi
untuk menjadi facilitator, karena yang sedang kami rencanakan adalah transformasi, dan
ini butuh support dari seluruh bagian. Kalau tidak akan pincang jadinya," jelasnya.
Keberagaman yang ada di perusahaan, bagi PT. Unilever Tbk. juga tidak menjadi
masalah, bahkan dianggap sebagai nilai tambah bagi perusahaan. "Kami yakin bahwa
diversity dalam hal apa saja di perusahaan ini perlu dipupuk. Kami tidak perlu
menjadikan seseorang sama semuanya. Kami yakin meski berbeda mereka memiliki
kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan dan bahkan membawa nilai tambah," tutur
Joseph. Contohnya, Unilever pernah punya accountant itu seorang flight engineer��atau
pejabat HR yang pendidikannya teknik arsitektur.
Setiap proses pasti memiliki tantangan, begitupun yang terjadi pada PT. Unilever.
Tantangannya yang ada yaitu apakah semua pihak memiliki kesiapan yang sama dan
apakah plan untuk program energizing sudah benar. "Jika kami benar mau berubah,
elemen transparansi atau keterbukaan juga harus ada. Kami coba train karyawan di sini
sebagai the whole being, yang punya brain juga heart," tutur Joseph.
Banyak hal telah dilakukan PT. Unilever untuk menyentuh hati para karyawannya. Joseph
mencontohkan banyak perusahaan yang menyediakan fasilitas kesehatan dengan
menyediakan rumah sakit gratis, tapi Unilever mau manusia yang sehat. Yaitu dengan
menyediakan ruang gym di lantai atas untuk semua level. Contoh lain, di lantai bawah
disediakan nursery room, untuk ibu yang menyusui.
Budaya Korporat Lokal - Setelah Temasek-Kookmin Masuk bii
No. 03 Tahun 2004
Gelombang divestasi yang dilakukan pemerintah Indonesia, baik perusahaan-perusahaan
di bawah BPPN maupun BUMN, menyebabkan masuknya pemegang saham asing ke
dalam kepemilikan perusahaan-perusahaan Indonesia.
Sebagian besar pemegang saham baru itu berasal dari Singapura, terutama melalui
Temasek, BUMN negara itu. Temasek telah masuk sebagai pemegang saham utama Bank
Danamon dan bersama bank terbesar Korea Kookmin Bank (dalam konsorsium Sorak)
menjadi pemegang saham mayoritas Bank Internasional Indonesia (bii).
Terlepas dari kontroversi di balik masuknya Temasek itu, perubahan besar kini sedang
terjadi dalam landscape perbankan Indonesia. Selain dari sisi kepemilikan, perubahan
besar itu diyakini juga akan berpengaruh terhadap budaya korporat dan cara mengelola
bank-bank tersebut. Banyak yang berharap, perubahan ini akan membuat manajemen
perbankan nasional lebih tangguh dan profesional. Praktik-praktik moral hazard�-
penyalahgunaan kesempatan dan jabatan�- diharapkan semakin terkikis sejalan dengan
meningkatnya kesadaran akan pentingnya faktor kepercayaan dan kepuasan nasabah
bagi keberlanjutan usaha perbankan.
Lantas, apakah masuknya konsorsium Sorak melahirkan budaya korporat baru di bii?
Henry Ho, Presiden Direktur bii, tak secara tegas mengatakannya. Namun, Managing
Partner Dunamis Organization Services Nugroho Supangat menilai budaya korporat
perusahaan lokal yang dibeli asing belum tentu akan berubah. "Mereka hanya melihat
sistem manajemennya saja. Kalau masih selaras dengan kepentingan mereka, tinggal
disempurnakan saja."
Budaya korporat bii diperkirakan sudah semakin baik setelah bank itu tidak lagi dimiliki
oleh keluarga Eka Tjipta Widjaja. Di bawah manajemen lama, dipimpin oleh Sigit Pramono
(kini menjadi Direktur Utama Bank BNI), transformasi budaya dan sistem kerja bii sudah
berlangsung. "Kami tinggal memantapkan saja apa-apa yang sudah baik, dan
menyempurnakan yang masih kurang," tutur Henry Ho, yang menghabiskan 22 tahun
karirnya di Citibank itu (terakhir di Arab Saudi).
Sebagai contoh, pemegang saham baru sangat fokus pada upaya pelayanan nasabah
secara efisien. Kantor-kantor cabang benarbenar difungsikan sebagai ujung tombak
pelayanan sekaligus point of sales. Dalam upaya meningkatkan layanan dan efisiensi
biaya, dalam 3 tahun ke depan bii akan menanamkan investasi bernilai puluhan juta
dolar di bidang teknologi informasi. Selain itu, seluruh jajaran bii diajarkan untuk benar-
benar berorientasi kepada efisiensi dan hasil. Bii secara konsisten mulai menerapkan
meritocracy, yang menghubungkan kinerja dengan reward dan punishment. Para
karyawan juga harus mampu beradaptasi dengan segala bentuk perubahan, baik internal
maupun eksternal.
Layaknya pemegang saham yang selalu concerned dengan kinerja usaha, maka bii akan
melakukan penyelarasan dan realokasi sumberdaya manusia ke bidang-bidang penghasil
pendapatan. "Kami akan berdayakan seluruh karyawan yang ada untuk berkontribusi
bagi kemajuan bii," tukas Henry Ho. Caranya, melalui upaya training secara
berkesinambungan, baik diselenggarakan sendiri maupun melalui outsourcing. Ia tak
menampik, bii akan memberi perhatian lebih terhadap pemasaran dan layanan nasabah.
Dengan strategi ini, jumlah karyawan bii yang kini mendekati 8.000 orang dianggap
memadai. Yang akan dilakukan bii, kata ayah 3 putera itu, bukan downsizing melakukan
resizing.
Dalam upaya penataan sumberdaya manusia sesuai kebutuhan organisasi itu, seluruh
orang bii�-dari karyawan terendah hingga CEO�- harus menjalani competence audit dan
performance appraisal. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui potensi karyawan dan
kecocokannya pada bidang-bidang pekerjaan yang ada. Dewasa ini, menurut
Direktur/Corporate Secretary bii Sukatmo Padmosukarso, proses penilaian terhadap 50
manajemen level atas�- termasuk Henry Ho - sudah dilakukan oleh perusahaan
konsultan asal Hong Kong. Pelaksanaan penilaian terhadap karyawan lainnya akan
diselenggarakan konsultan lokal, yang saat ini sedang diseleksi.
Para karyawan, lanjut Henry Ho, cukup exciting dengan segala upaya dan rencana
perubahan yang akan diterapkan manajemen bii. "Kami ingin menjadikan kembali bii
sebagai salah satu paling menguntungkan di Indonesia, seperti yang pernah diraih bank
ini," ujar Henry serius.
Masuknya Temasek dan Kookmin diakui Sukatmo sangat positif menyempurnakan budaya
korporat bii. Setidaknya, bii kini semakin transparan dan lebih disiplin. "Dulu, kalau mau
rapat, masih sering molor. Sekarang sudah tidak lagi. Semuanya harus ontime dan siap,"
tuturnya.
Budaya Korporat Lokal - Kisah Robby Membangun Bank Niaga
No. 03 Tahun 2004
Robby Djohan adalah figur yang tak terlepaskan dari serangkaian keberhasilan Bank
Niaga, termasuk sebagai bank dengan kualitas manajemen dan budaya korporat yang
cukup tangguh.
Setelah 8 tahun malang-melintang di Citibank dan berkontribusi besar dalam meletakkan
fondasi bisnis Citibank di Indonesia, menjelang usia 40 tahun ia memutuskan untuk
meninggalkan Citibank. Ada dua pilihan yang tersedia baginya saat meninggalkan
Citibank, yaitu bekerja sebagai agen (semacam manajer) di BDN dan direktur Bank Niaga.
Waktu itu, BDN sebagai bank pemerintah sudah menjadi organisasi yang besar
sementara Bank Niaga hanya sebuah bank kecil yang berdiri 26 September 1955.
"Kalau saya pilih BDN dengan sendirinya terbuka peluang bagi saya menjadi orang besar
karena saya bekerja pada suatu organisasi besar. Tapi, saya mengkhawatirkan birokrasi di
BDN. Akhirnya saya memilih Bank Niaga, sebuah bank pribumi yang kecil dan apabila
menjadi besar andil saya akan sangat menonjol," tulisnya dalam buku Robby Djohan, the
Art of Turnaround.
Masuk sebagai GM cabang Jakarta�- selevel direktur�- Bank Niaga tahun 1976, Robby
dipercaya menjadi Presiden Direktur 1 Januari 1984 menggantikan Idham. Sejak awal,
Bank Niaga memang ingin menjadi bank profesional seperti Citibank. Tatkala masuk Bank
Niaga, bank ini sudah menjalin kerjasama dengan Citibank di bidang retail banking.
Hanya saja, Citibank bermaksud menghentikan kerjasama itu sejalan dengan strategi
global Citibank yang waktu itu lebih fokus di bidang perbankan korporasi. Robby berhasil
meyakinkan Citibank Indonesia untuk tidak menghentikan kerjasama itu serta merta.
Kebetulan, beberapa orang Citibank yang ditempatkan di Bank Niaga masih mau berkarir
di Bank Niaga.
Sebagai eks Citibanker dan latar belakang kerjasama Bank Niaga dengan Citibank, maka
wajar bila Bank Niaga dianggap sebagai Citibank mini atau Citibanknya Indonesia. Toh
tidak semua hal yang diterapkan di Bank Niaga adalah konsep Citibank. "Kami hanya
mengambil mana yang baik saja," ujarnya. Salah satunya, bagaimana Citibank
mempersiapkan orang-orangnya. Seperti rekrutmen, pendidikan, pengembangan karir,
deskripsi pekerjaan, tujuan, program dan evaluasi kinerja. Juga kebiasaan rapat yang
tidak berlama-lama dan selalu disiplin dengan waktu.
Ketika berdiri hingga awal 70-an, belum terpikir oleh manajemen pembentukan budaya
korporat Bank Niaga. Saat itu, ujar Robby, orang belum mengenal apalagi memahami
budaya korporat. Kalau pun ada, perilaku pemilik Bank Niaga bisa dianggap sebagai
budaya korporat. Sehingga yang terjadi saat itu, para bawahan meniru apa yang
dilakukan atasan. Oleh sebab itu, budaya korporat Bank Niaga banyak sekali dipengaruhi
oleh contoh yang kuat dari para komisaris dan CEO Bank Niaga, khususnya oleh Soedarpo
Sastrosatomo, Julius Tahija, M. Idham, dan Robby. Kebetulan, menurut Robby,
keempatnya memiliki cara yang sama.
Sifat yang menonjol adalah, pertama sikap konservatif dan mengutamakan kualitas.
Kedua, manusia adalah asset utama. Ketiga, citra dan integritas. Sifat-sifat ini ada pada
keempat orang itu karena latar belakang pendidikan Belanda, keluarga yang intelektual,
lingkungan pergaulan, dan pekerjaan.
Keseragaman sifat itu memang tidak melahirkan dinamika, tetapi menjamin munculnya
satu fondasi yang kokoh untuk mengembangkan Bank Niaga. Karakter Soedarpo, Tahija,
dan Idham yang sangat konservatif dan Robby sebagai CEO yang cukup agresif
menghasilkan sinergi yang sangat baik.
Dengan sinergi ini, lanjut Robby, esensi budaya yang berkembang di Bank Niaga adalah
mengutamakan stakeholders. Selalu berorientasi pada pasar, manusia menjadi asset
utama, dan senantiasa mementingkan kualitas dalam semua hal yang dikerjakan. Setiap
penyimpangan tidak bisa ditoleransi dan secara otomatis dikoreksi oleh budaya
perusahaan yang berkembang. Robby juga tergolong sangat keras�- namun tanpan
dendam�- terhadap anak buahnya yang melakukan penyimpangan.
Pernah seorang staf Bank Niaga cabang Medan melakukan manipulasi. Waktu berkunjung
ke Medan, meski marah Robby mengatakan kepada orang itu untuk mencari pekerjaan di
luar bank. Ia menilai, orang itu tidak cocok bekerja di bank karena tidak tahan godaan
uang. Akhirnya, orang itu mundur dari Bank Niaga dan sesuai saran Robby mencari
pekerjaan di bidang lain.
Mereka yang ingin maju di Bank Niaga harus patuh kepada budaya korporat agar dia
tidak menjadi orang asing di Bank Niaga. Penentuan dan pengangkatan eksekutif sangat
ditentukan oleh rank and file, sehingga sulit bagi yang tidak bisa menyesuaikan diri
dengan budaya korporat itu untuk berkembang. "Oleh sebab itu, rekrutmen kader dari
luar sangat dibatasi," katanya.
Robby mengakui, visi dan strategi usaha yang terpikir waktu itu sangat sederhana. Ia
ingin Bank Niaga menjadi bank yang berkualitas, menguntungkan, dan masuk lima besar
di antara bank swasta. Keinginan itu jelas sangat ambisius karena Bank Niaga saat itu
merupakan bank terkecil di antara sekitar 65 bank swasta. Yang berkembang justru bank
milik WNI keturunan karena praktis sudah menguasai seluruh perdagangan. Sedangkan
Bank Niaga adalah bank milik pengusaha pribumi yang sangat konservatif.
Untuk mewujudkan keinginan itu, tahun 1976 Bank Niaga menyusun lima tahapan
sebagai strategi untuk mencapai visi itu. Pertama, memiliki manajemen yang
professional, terdiri dari sedikitnya 10 orang yang kompeten dan siap ditempatkan di
pusat dan di cabang. Kedua, mengembangkan program rekrutmen dan pendidikan yang
akan menghasilkan kader-kader Bank Niaga. Ketiga, memiliki prasarana, baik berupa
kantor yang modern dan jasa perbankan serta sistem operasi seperti Citibank. Keempat,
fokus pada retail banking dan commercial banking dalam pemasaran. Kelima, menjadi
bank yang menguntungkan sehingga lebih mudah mendapatkan modal dari investor
maupun dari laba ditahan.
Impelementasi dari strategi itu diakui Robby sangat sederhana. "Namun, karena kami
konsisten dan penuh komitmen menjalankannya, ia berjalan mirip bola salju. Hasilnya
bisa dilihat dalam waktu yang cukup singkat." Tahun 1988, Bank Niaga sudah menjadi
bank swasta kedua terbesar di bawah BCA, yang dimiliki Liem Sioe Liong kerabat
Presiden Soeharto dan dipimpin oleh Mochtar Riyadi. Bank lain yang menjadi saingan
adalah Bank Duta, yang banyak dibantu Bulog; Bank Umum Nasional milik Bob Hasan
yang disebut Robby sebagai "Anak Raja Republik" BDNI dan BII�- milik dua konglomerat.
Robby menilai, cepatnya perkembangan Bank Niaga karena faktor citra yang secara
cepat dapat diciptakan karena bank ini memiliki orang-orang yang selalu ingin melakukan
hal-hal terbaik untuk nasabah dan Bank Niaga, di samping memiliki integritas. Semua
orang di Bank Niaga ingin menjadikan bank ini sebagai bank modern dan mempunyai
sistem perbankan yang lebih baik dibandingkan bank lain.
Kalau datang ke cabang, maka laporan pemimpin cabang bukanlah apa yang sudah
dikerjakan tetapi apa yang menjadi masalah dan berapa besar kontribusi profit yang
mereka capai. Budaya Citibank terasa sekali di sini. Tidaklah populer di Bank Niaga
apabila pemimpin cabang melaporkan apa yang sudah ia lakukan ataupun
keberhasilannya. Karena Robby dengan ketus akan menjawab: "Anda sudah dibayar
untuk itu. Laporkan kepada saya apa yang menjadi masalah ataupun tantangan, dan
bagaimana Anda akan menghadapinya."
Sikap Robby ini merupakan cerminan budaya yang berkembang di kalangan eksekutif
Bank Niaga, yang selalu tertantang untuk memecahkan masalah. Mereka sadar bahwa
Bank Niaga berdiri sendiri dan tidak dibantu oleh fasilitas maupun kemudahan dari pasar
karena bank ini bank pribumi. Kunci keberhasilan Bank Niaga di mata Robby karena
menciptakan dan memiliki professional yang baik. Mereka memiliki keahlian, jiwa
kepemimpinan, dan motivasi bekerja yang tinggi. "Kalau di seluruh dunia orang-orang
Citibank ada di mana-mana, di Indonesia juga dapat dikatakan orang-orang Bank Niaga
ada di mana-mana," gumamnya bangga.
Sebagian besar direksi Bank Niaga saat ini adalah lulusan Program Pengembangan
Eksekutif yang dulu dikembangkan oleh Robby Djohan. Program ini meniru program
serupa di Citibank. Kendati ikut dirundung masalah karena krisis ekonomi, Bank Niaga
tetap memiliki nilai berharga untuk dipertahankan dari kemungkinan ditutup dan diminati
oleh investor. Sebuah bukti bahwa Robby memang hebat.
Menciptakan Organisasi Belajar [Strategi Mempertahankan Eksistensi
Perusahaan]
No. 07 - Tahun 2004
Dalam sebuah diskusi bertema "Financing Human Development in Indonesia" di Jakarta,
akhir Juli 2004, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian
Gie, menekankan perlunya Indonesia memberikan prioritas investasi yang lebih tinggi
pada upaya pembangunan manusia.
Masih menurut Kwik, hal tersebut, selain untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara
Indonesia juga untuk meletakan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi dan
menjamin kelangsungan demokrasi jangka panjang. Pada akhirnya, Kwik, berkesimpulan
bahwa Pemerintah harus lebih banyak berinvestasi pada program pembangunan manusia
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Penuturan Kwik di atas sangat jelas memfokuskan kepada urgensi atau peran SDM di
dalam suatu negara. Dalam cakupan yang lebih mikro, fungsi SDM sangat penting di
semua unit organisasi atau perusahaan. Di saat situasi dan kondisi usaha yang sangat
hypercompetitive dan berketidakpastian, sebagaimana yang diungkap oleh Richard
D'Aveni, maka SDM menjadi jawaban kunci bagi semua organisasi atau perusahaan untuk
dapat tetap survive sekaligus winning the future, jika tidak ingin mengalami kejadian
sebagaimana yang dilansir oleh Arie de Geus dari Royal Dutch/ Shell: Banyaknya
perusahaan yang tumbang (bangkrut) disebabkan karena tidak mampu belajar dan non-
adaptif, gagal menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Menurut Geus, rata-rata umur perusahaan yang terdaftar pada Fortune 500 dari berdiri
hingga mati berkisar antara 40-50 tahun saja, namun ada juga yang berusia ratusan
tahun. Perbedaannya terletak pada beberapa faktor sebagaimana disebutkan di atas.
Karenanya tak berlebihan jika pakar manajemen terkemuka, James Stapleton dalam
"Executive's Guide To Knowledge Management", mengemukakan bahwasanya knowledge
(pengetahuan) dan SDM adalah satusatunya "senjata" yang masih tersisa pada saat ini
untuk dapat menciptakan keunggulan kompetitif.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Maha Guru Manajemen, Peter F. Drucker
dalam "The Post Capitalist Society" bahwa keunggulan saat ini sangat ditentukan oleh
"Proses Belajar". Siapa yang lebih cepat belajar dan mampu memanfaatkan keadaan,
maka akan muncul sebagai pemenang. Drucker mengingatkan bahwasanya organisasi
tidak ubahnya seperti layaknya makhluk hidup (organisme) yang harus beradaptasi untuk
dapat bertahan hidup. Dalam skala internasional, kesuksesan Bill Gates dengan Microsoft-
nya telah membuktikan hal tersebut atau di Indonesia dapat diambil contoh ide brilliant
dari Tirto Utomo melalui air mineral Aqua-nya.
Gary Hamel dan C. Prahalad di dalam "Competing for The Future" telah mengingatkan
kita bahwasanya competition for the future is competition to create, learn, and dominate
emerging opportunities. Era efisiensi dan era kualitas sekarang telah bergeser menjadi
era informasi sekaligus inovasi, di mana setiap organisasi atau perusahaan dituntut untuk
cepat beradaptasi, seperti yang digambarkan oleh Felix Janszen dalam "The Age of
Innovation". Realitas dari argumentasi di atas dapat kita buktikan dari keunggulan
perusahaan-perusahaan Jepang di dunia internasional. Selain kuatnya dorongan untuk
terus berkreasi dan inovasi, organisasi atau perusahaan di negeri "Matahari Terbit"
tersebut juga menekankan organisasi bisnis mereka agar menjadi "The Knowledge
Creating Company", sebagaimana yang telah dijalankan oleh berbagai perusahaan besar
, seperti : Sharp, Matsushita, Honda, dll.
Tentunya upaya mendongkrak kualitas atau daya saing SDM suatu organisasi dapat
dikenali dari sejumlah indikator yang ada, di mana salah satunya yang akan dibahas pada
saat ini adalah Organisasi Belajar (The Learning Organization) atau terkadang diistilahkan
juga sebagai Knowing Organization.
Adalah Peter M. Senge yang menjadi tokoh yang mempopulerkan terminology di atas
melalui karyanya "The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning Organization"
(1990). Dalam pandangan Senge, organisasi belajar dapat didefinisikan sebagai suatu
organisasi di mana para anggota dari suatu organisasi secara terus menerus memperluas
kemampuannya untuk terus berkeinginan belajar dan mengembangkan potensi diri (team
learning). Menurut Senge, belajar dan oganisasi belajar adalah inti sukses masa depan,
Organisasi atu perusahaan yang akan bertahan adalah perusahaan yang mampu
menumbuhkan komitmen bagi seluruh insan di dalam organisasi tersebut untuk belajar
dan terus belajar. Senge mengibaratkan sebuah organisasi agar berperan sebagaimana
layaknya spon penyerap, yang tiada henti menyerap segala perkembangan yang terjadi
di dalam dan di luar organisasi tersebut. Masih menurut Senge, suatu perusahaan atau
organisasi yang selalu siap belajar dikategorikan sebagai perusahaan yang berada di
tahapan antara invention dan implementation.
Selain dari hal di atas, Senge juga menekankan kepada 4 (empat) disiplin lainnya, yakni :
segi berpikir sistematik (systems thinking), penguasaan pribadi (personal mastery),
model mental (mental models), dan membangun visi bersama (building shared vision),
Pengertian mana ditambahkan juga oleh Mike Padler sebagai suatu organisasi di mana di
dalamnya terdapat fasilitas belajar untuk seluruh anggota organisasi. Tentu saja yang
dimaksud belajar oleh kedua tokoh ini bukan saja terbatas di dalam korelasi pendidikan
formal namun juga informal, sebab sebagaimana filsafat yang kita kenal selama ini di
dalam masyarakat, bahwa pendidikan itu berlaku seumur hidup serta tidak ada batas
untuk belajar. Belajar bisa diimplementasikan dalam berbagai bentuk dan tindakan.
Diharapkan di dalam aplikasi belajar, terjadi suatu aspek psikomotorik (ketrampilan) atau
know-how yang unggul, yang mampu menggabungkan antara implementasi kognitif
(aspek intelektual) dan afektif (aspek penguasaan emosional) sehingga pada gilirannya
dapat meningkatkan derajat dan kompetensi individu, organisasi, dan pada akhirnya
eksistensi suatu bangsa di mata dunia internasional. Sebagai contoh, pada saat ini, kita
masih harus prihatin dengan kondisi kualitas SDM Indonesia yang ditempatkan dalam
rangking 111 dunia untuk peringkat Human Development Index (HDI) dari Lembaga
UNDPPBB. Rangking negara kita jauh tertinggal dari beberapa negara ASEAN lainnya.
Memang dibandingkan tahun lalu, posisi negara kita sudah beranjak 1 (satu) posisi lebih
baik dan telah dapat mengungguli Vietnam.
IDENTIFIKASI
Disadari bahwa peningkatan kualitas SDM di dalam suatu organisasi atau perusahaan
mudah diucapkan namun sulit untuk dipraktekkan, karena hal ini bersifat multikompleks.
Bilamana kita ingin menerapkan sebuah organisasi belajar, maka kita perlu terlebih
dahulu mengidentifikasi beberapa aspek yang menjadi ciri bahwa suatu perusahaan telah
melaksanakan atau masuk dalam proses mengimplementasikan sebuah organisasi
belajar. Beberapa catatan yang dimaksud antara lain, adalah :
1. Apakah ada keinginan untuk memperbaiki praktek/performance perusahaan dari
kondisi sebelumnya?
2. Apakah ada keteraturan pola pikir dan tindakan di dalam organisasi tersebut?
3. Apakah ada arus informasi yang "mengalir" antara anggota di dalam suatu
organisasi?
Daniel Tobin (1993) melengkapi hal di atas dengan ungkapannya bahwa di dalam
learning organization terdapat beberapa prinsip, seperti : setiap anggota organsisasi
adalah pelajar, setiap orang saling belajar satu dengan yang lainnya, dan belajar
merupakan investasi dan bukannya biaya.
Tentu saja kita perlu menyadari bersama bahwasanya hasil dari sebuah organisasi belajar
tidak dapat secara instant kita raup. Upaya-upaya untuk melaksanakan organisasi belajar
merupakan the never ending journey. Jika kita berbicara masalah organisasi belajar, maka
kita berhadapan dengan sebuah kontekstual yang bersifat long term (jangka panjang).
Diperlukan berbagai kiat, daya upaya, dan terobosan untuk melaksanakan hal tersebut,
terutama untuk merubah paradigma dan pola pikir, serta sikap mental seluruh anggota
organisasi.
Satu hal yang menjadi catatan penting, bahwa di dalam penerapan organisasi belajar ini
maka faktor drive (dorongan) dan motivasi dari setiap individu di dalam organisasi atau
perusahaan menjadi penentu kemajuan sebuah organisasi. Organisasi belajar akan
berjalan jika ada proses pembelajaran individu di dalamnya selain juga adanya
transformasi komunikasi untuk saling belajar di antara inidviduindividu yang ada. Seperti
yang dikemukan oleh Senge, team atau organisasi akan maju jika diisi oleh individu-
individu yang bersedia melepaskan sentimen keindividuannya dan berusaha seoptimal
mungkin untuk meleburkan diri ke dalam ide pemikiran kolektif disertai komunikasi yang
terbuka, yang memungkinkan tercapainya tingkat penetrasi dan inovasi yang tidak akan
dapat dijangkau oleh para anggota secara individual. Hal inilah yang ditekankan oleh
Schon & Arygris dari Harvard dalam "Organizational Learning".
Diharapkan jika setiap individu mempunyai minat dan ambisi untuk maju melalui learning
organization maka pada gilirannya organisasi atau perusahaan akan maju. Tentu saja
keinginan untuk maju dan berkembang saja tidak akan berhasil, tanpa didukung oleh
suasana yang kondusif untuk terus belajar di dalam suatu organisasi. Di sinilah peran
pihak manajemen dituntut untuk berperan aktif, di dalam mewujudkan organisasi belajar.
Bahkan tidak berlebihan jika pihak manajemen dapat meniru apa yang dilakukan oleh
Jack Welch, CEO General Electric, yang langsung turun tangan menjadi tenaga pengajar
di pusat pelatihan SDM mereka di Crottonville, New York. Di dalam event seperti ini akan
menjadi ajang bagi para CEO guna dapat menyampaikan visi dan missinya kepada
seluruh anggota dari organisasi yang dipimpinnya. Ini menjadi momentum bagi para CEO
untuk melaksanakan change management sekaligus visionary leadership, empowerment
, dan pembudayaan proses belajar (learning process).
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwasanya dari saat ini, baik kita sebagai individu
maupun organisasi di mana kita bekerja harus mempunyai paradigma belajar jika tidak
ingin terlindas oleh perubahan situasi dan kondisi. Belum terlambat untuk memulai dan
seperti yang dicetuskan oleh Confucius, satu perjalanan panjang dimulai dengan satu
langkah awal, karenanya marilah kita mulai hari ini memulai langkah kita dengan belajar
dan belajar tiada henti, agar kompetensi individu, organisasi, dan bangsa Indonesia dapat
meningkat dan beradaptasi dengan kemajuan zaman. Patut diingat, tantangan ke depan
bukan semakin ringan melainkan justru semakin berat, cepat, dan tidak mengenal lagi
toleransi.
�
Penulis adalah seorang praktisi SDM di sebuah perusahaan tekstil di Batujajar, Kab.
Bandung
Sumber: Majalah Human Capital No. 07 | Tahun 2004
Perlunya Menjaga Keseimbangan Antara Kepentingan & Bisnis
No. 07 - Tahun 2004
Mengupas rencana suksesi menurut Dachriyanti tidak sekedar berbicara satu sesi saja.
Namun bagaimana bisnis itu bisa berkesinambungan dan bisa mempertahankan diri tidak
hanya di masa sekarang, tapi juga dimasa mendatang. Maka itu, menurut wanita yang
menjabat sebagai Senior Consultant di perusahaan konsultan Andrew Tani & Co,
diperlukan sebuah persiapan menuju pengelolaan dana organisasi. "Teknisnya bagaimana
bisa bersaing dan mempersiapkan orang-orang yang handal," kata Yanti, biasa wanita ini
disapa.
Dalam persiapan ini, yang menjadi utama adalah posisi kunci di sebuah organisasi.
"Sebenarnya rencana suksesi berlaku di semua level. Namun perlu diingat, kalau kita
bicara ikan, ikan itu akan busuk di kepala dulu. Jadi kalau kita bicara persiapan, akan
dilihat bagaimana pemimpinnya dan pemimpin sangat berpengaruh terhadap
organisasinya," tukasnya.
Langkah-langkah yang harus diambil dalam persiapan pengelolaan dana organisasi
adalah menentukan apa dan bagaimana organisasi tersebut di kelola dengan baik.
"Pertama kita harus melihat bisnis itu secara keseluruhan mau dibawa kemana dan apa
yang harus diciptakan oleh orang-orang di dalamnya supaya sampai ke sasaran," Yanti
menambahkan. Kemudian mempersiapkan orang-orang atau SDM dengan cara suksesi
untuk meneruskan arah yang ingin dicapai organisasi.
Yang perlu diingat, meski suksesi bisa menghadapi kendala dari luar dan dalam, tapi
kendala utama biasanya datang dari dalam organisasi karena orang-orang di dalam
organisasi tersebut lebih mengenal organisasinya. "Sense of ownership dari mereka
cukup besar. Tapi seringkali, yang namanya sistem baik atau buruknya berjalan
tergantung dari manusianya. Sistem, kami katakan tidak ada yang salah. Yang salah
justru manusianya," ujarnya.
Ketidak konsistenan dalam menjalankan sistem tersebut membuat seolah-olah organisasi
tidak mempunyai kandidat untuk dikembangkan menuju masa depan organisasi. "Kalau
organisasi tidak punya kandidat dari dalam, biasanya akan mengambil dari luar. Hal ini
bisa menimbulkan kecemburuan karena yang di dalam merasa esisten terhadap
pemimpin dari luar."
Namun, bukan berarti meng-hire dari luar tidak memiliki keuntungan buat organisasi.
Organisasi justru mendapatkan orang yang siap pakai karena orang-orang yang
dibutuhkan masih banyak terdapat di market. Keuntungan lain, waktu yang disediakan
untuk mengembangkan orang relatif lebih sedikit. "Meskipun orang yang di-hire dari luar
tidak mengenal dengan baik organisasi tersebut. Kalau organisasi bisa mengatasi dan
mengarahkan dengan baik, maka orang tersebut bisa menjalankan organisasi dengan
baik," sambung Yanti.
Seorang pemimpin, lebih terfokus kepada strategi bagaimana mengembangkan sebuah
organisasi. Sementara strategi perusahaan untuk core kompetensi organisasi cenderung
berasal dari dalam. "Yang namanya teknologi, manusia, dan sistem, semua harus dikenali
dengan baik." Karena, terkadang, secara kertas sistem dan teknologi sama, tapi bisa
menghasilkan yang berbeda akibat striker atau pemimpin yang berbeda.
Proses suksesi yang standar sebuah organisasi, lanjut Yanti, bisa memakan waktu 4-5
tahun. "Kalau prosesnya tidak normal, dalam kondisi tertentu bisa saja dipercepat,"
ujarnya. Tapi jika proses berjalan normal, semua akan terencana dengan baik sehingga
hanya tinggal di atas kertas terutama jika didukung mentor yang bagus dan monitoring
yang baik.
Untuk mencari mentor atau pemimpin yang baik, diperlukan orang yang berkemampuan
tepat, mengetahui dan mengerti kebutuhan organisasi ini bisa didapat melalui rekrutmen
awal. "Mengenai kriterianya, semua kembali kepada organisasi itu sendiri. Organisasi
membutuhkan orang yang bisa menyesuaikan kemampuan teknis dengan kemampuan
yang ada," paparnya antusias.
Usai proses rekrutmen, akan dilanjutkan dengan proses pengembangan melalui 2 hal, di
dalam kelas dan di luar kelas. Di dalam kelas biasanya lebih kepada seminar, training,
workshop dan sebagainya. Sedangkan di luar kelas lebih kepada beban kerja seharihari.
"Misalnya suksesor itu biasa mendapat beban A sampai D, sekarang mendapat beban A
sampai G. Atau bisa pula on the job training." Jika orang itu bisa menyelesaikan pekerjaan
dengan baik, maka kelak ia akan diharapkan menjadi penerus atasannya.
Kesalahan dalam melakukan suksesi, berdasarkan penilaian Yanti, biasanya terjadi
kontestan suksesor tidak hanya terdiri dari satu orang, kesiapan orang tersebut dan
pemilihan diwarnai dengan subyektivitas. "Penilaian pribadi dari petinggi atau orang yang
memberikan penilaian sering terjadi." Maka itu, ini harus diimbangi dengan panel. Tidak
hanya berdasarkan satu orang atau 2 orang, tapi sekelompok orang.
Selama ini, Andrew Tani & Co melibatkan diri sebatas proses perencanaan atau sekedar
memberikan saran. Saran itulah merupakan apa dan bagaimana mempersiapkan suksesi.
Apa saja yang harus disiapkan terlebih dahulu dan apa yang dibutuhkan, harus
dipetakan. Yang paling utama, orang-orang di organisasi harus menyadari kelebihan dan
kekurangan mereka serta bagaimana mereka bisa memperkecil kekurangan yang ada.
"Konsultan bisa ikut dalam proses penunjukkan suksesi, untuk menjaga netralitas supaya
ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan usaha. Yang sering
bentrok adalah hal-hal seperti ini. Kita sering dapat kenyataan, kita punya budaya seperti
ini, tapi karena ada kebutuhan lain kita tidak tahu. Ini seolah-olah dipaksakan," katanya
panjang lebar menyampaikan hal ini.
Menurut Andrew Tani & Co, posisi kunci, terbagi menjadi 3 level, level bawah, level
manager dan level eksekutif. Bicara level bawah adalah bicara kemampuan melakukan
sesuatu dengan baik. Sedangkan Level managerial, adalah kemampuan mereka
mengelola usaha dengan baik dan untuk level eksekutif adalah kemampuan melihat
masa depan dari sisi bisnisnya.
Tak heran jika level eksekutif menjadi posisi yang langka karena berperan untuk masa
depan. "Karena bisa dibilang, kemampuan teknik itu bisa jadi penunjang. Tapi yang
utama adalah insting bisnis. Dia harus bisa lihat kemampuan dia sehingga usaha bisnis
bisa maju," tandasnya. Perlu diingat, kata Yanti, level eksekutif sendiri terbagi menjadi 2
aspek, aspek bisnis atau arahan ke depan dan aspek teknis.
Jika proses suksesi telah berjalan, evaluasi diperlukan minimal 6 bulan sekali. Menurut
Yanti, waktu enam bulan tersebut merupakan waktu yang tepat karena dari 6 bulan itu,
seorang suksesor sudah bisa dilihat apakah dia berhasil atau tidak. Kedua, waktunya
tidak terlalu panjang sehingga kalaupun ada kegagalan, tetap bisa diantisipasi.
Enam Hukum Kepemimpinan Konflik
No. 07 - Tahun 2004
Konflik dalam organisasi tidak selamanya negatif. Menurut Prof. Michael Feiner dari
Columbia Univer sity Graduate School of Business, konflik ibarat kolesterol. Ada kolesterol
yang baik (HDL) dan ada yang bersifat jahat (LDL). Setiap orang memiliki kedua tipe
kolesterol itu. Setiap orang yang sadar pada kesehatan berupaya meningkatkan HDL dan
menurunkan LDL. Begitu pula pada organisasi. Kita selalu merasa konflik dalam
organisasi sesuatu yang jahat dan merugikan. Sejatinya, organisasi memerlukan
konflik�- tentunya konflik jenis yang baik�- untuk bertumbuh dan menjadi sejahtera.
Pemimpin yang baik berusaha menciptakan konflik yang sehat, karena dari sebuah
perdebatan dan pertukaran ide maka keputusan terbaik bisa dibuat, inovasi terjadi, dan
perubahan yang diperlukan berlangsung. Semuanya ini esensial bagi pertumbuhan
organisasi. Berikut adalah sejumlah hukum kepemimpinan konflik yang berisi cara
menghindarkan konflik jahat dan mendorong konflik baik.
1. THE LAW OF INTERDEPENDENCE
Pemimpin tidak bisa sepenuhnya mengandalkan kekuatan pada jabatan atau otoritas
formal. Mereka tak henti berada dalam keadaan interdependensi dengan bos yang lebih
tinggi, dengan kolega, dan dengan bawahan. Hukum ini mengingatkan kita bahwa
pengandalan berlebihan pada kekuasaan justru memunculkan konflik, karena orang
terpaksa mengikutinya. Bila terlalu mengandalkan otoritas formal, dan gagal untuk
menghargai interdependensi yang melekat pada hubungan pekerjaan, orang-orang akan
cenderung bermuka dua: di depan umum mengatakan mendukung, namun secara pribadi
malah tidak mendukung.
2. THE LAW OF BUILDING A CATHEDRAL
Untuk membuat orang selalu fokus pada kebersamaan ketimbang pada perbedaan satu
sama lain, pemimpin secara kontinu harus selalu mengingatkan orang-orang bahwa
mereka sedang membangun rumah ibadah, bukan sedang memotong batu. Bila berbagai
intrik dan konflik lainnya mulai mendominasi tim, maka yang terjadi adalah tujuan
bersama ditentukan oleh pendapat individu. Membangun rumah ibadah juga ibarat
vaksin yang digunakan secara regular mencegah penyakit sehingga pemimpin bisa
membatasi konflik agar tidak meluas.
3. THE LAW OF OPTIONS
Banyak yang menangani konflik dengan dua pendekatan: meredam konflik itu hingga
seluruhnya habis atau berkonfrontasi langsung. Tetapi, pemimpin jenius mengetahui opsi
apa saja yang tersedia di dalam krisis sekaligus tahu bagaimana menerapkannya. Ada
beberapa gradasi tindakan yang bisa diambil dalam menangani konflik.
Hanya saja, opsi apa saja yang dipergunakan untuk setiap kejadian sepenuhnya sangat
terbantung dari penilaian individu. Tidak ada hukum dan aturan yang pasti soal ini.
Bagian tersulit adalah mengetahui opsi apa saja yang tersedia dalam setiap situasi. Opsi
pertama yang tersedia ketika berhadapan dengan situasi konflik umumnya ada dua:
Opsi 1: Menghindar
Seorang pemimpin bisa memilih untuk menghindarkan konflik bila terlibat langsung, atau
memilih untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai.
Opsi 2: Berkonfrontasi
Yakin akan posisinya, pemimpin bisa memilih untuk mendorong terwujudnya objektif,
dengan menggunakan teknik persuasi untuk memenangkan kasus. Selain kedua opsi
umum itu, masih ada opsi-opsi lain.
Opsi 3: Berkompromi
Di sini pemimpin mencoba mencari solusi yang adil untuk kedua pihak yang berkonflik.
Caranya dengan menanggalkan perbedaan yang ada. Selama substansi konflik tidak
terkait masalah pribadi, tetapi lebih ke isu, sebuah solusi kompromi akan lebih baik.
Dalam situasi seperti ini, lebih baik menggunakan metode alternatif untuk menghapus
setiap konflik antar pribadi, dan berusaha untuk mencari konflik yang lebih berdasarkan
pada isu.
Opsi 4: Mendelegasikan
Di sini, pemimpin meminta bawahan untuk mengatasi konflik atas nama dirinya. Selama
anak buah memiliki prestasi yang baik dalam mengatasi konflik, cara ini bisa efektif
untuk mendayagunakan kekuatan tim. Ini juga bermanfaat karena tidak semua konflik
harus sampai kepada bos.
Opsi 5: Berkolaborasi
Pendekatan ini berupaya untuk mendiskusikan secara terbuka ketidaksepakatan dan
bersama-sama mencarikan jalan ke luar. Terdengar sederhana, hal ini mensyaratkan
orang-orang yang terlibat tidak bersikap emosional dalam memperjuangkan sikapnya.
Salah satu kunci kolaborasi adalah mengakui secara terbuka perbedaan di antara
mereka, misalnya dengan ungkapan: "Kami secara jelas merasakan perbedaan tentang
isu ini. Tolong jelaskan kembali kenapa Anda membaca situasi seperti itu?"
Pendekatan seperti itu diterapkan dalam situasi di mana dua departemen berkonflik, bisa
antara bagian kredit dan penjualan, atau antara pemasaran dan produksi. Dalam konflik
semacam ini, bersikap terbuka terhadap dampak negatifnya bagi organisasi bisa menjadi
pembuka pembicaraan yang baik.
Kolaborasi mungkin bukan opsi tercepat, tetapi hasilnya terbaik dan bersifat lebih
langgeng.
Opsi 6: Mengakomodasikan
Kadang-kadang pemimpin memutuskan untuk mendiamkan saja konflik yang ada,
terutama jika menjaga hubungan itu tidak banyak berpengaruh terhadap pencapaian
objektif organisasi dan tidak menghancurkan organisasi.
4. THE LAW OF THE CONSCIENTIOUS OBJECTOR
Dalam kasus di mana terjadi rivalitas antar departemen, bos berperan sangat besar
dalam mengatasinya. Bila Anda ingin bos menang, maka Anda sebaiknya tidak berusaha
melindunginya dari serangan orang lain. Tetaplah menunjukkan komitmen professional
kepada bos, tetapi lakukan hal itu dengan pekerjaan berkualitas. Bukan dengan
mengkritik orang lain. Cara terbaik untuk menunjukkan loyalitas dan sikap mendukung
adalah dengan bekerja sebaik-baiknya.
5. THE LAW OF THE LAST CHANCE SALOON
Sulit sekali menghindarkan terjadinya konflik yang tidak sehat. Seringkali terjadi, dua
orang yang bekerja dalam satu organisasi bermusuhan habis. Dalam situasi ini, terbuka
kemungkinan bagi Anda untuk menjadi mediator. Anda harus membangun sikap positif
pada masing-masing pihak terhadap yang lainnya. Sebab, selalu ada keahlian atau
atribut dari seseorang yang dihormati pihak lain, seberapapun hebatnya konflik tersebut.
Kadang-kadang bekerja secara individu dan kadang-kadang dengan melibatkan kedua
pihak yang berseteru, Anda bisa mengurangi friksi dan membangun kebersamaan.
Akan tetapi, pendekatan semacam ini tidak selalu berhasil, karenanya sering pemimpin
meminta orang untuk mengatasi sendiri konflik tersebut. Atau, sang pemimpin meminta
untuk mematuhi resolusi yang dia pilih.
6. THE LAW OF HEALTHY CONFLICT
Konflik sehat�- konflik ide�- mestinya didorong. Ibarat kolesterol jenis baik yang harus
terus ditingkatkan, konflik ide membuat organisasi tetap sehat. Debat, diskusi,
ketidaksetujuan, dan dialog adalah energi kehidupan bagi perusahaan tangguh dan
adaptif. Karena itu, pemimpin yang hebat membangun konflik ide sebagai sebuah nilai
kultural. Debat dan diskusi di mana suara yang berkembang sangat beragam pada
akhirnya bisa menghasilkan kesamaan pendapat. Semakin banyak debat dan diskusi
semakin baik. Metode seperti ini menghindarkan adanya suara vokal dalam setiap tim
tentang satu subjek.
Pendekatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan konflik sehat memanfaatkan desain
proses pengambilan keputusan tertentu. Lajimnya dalam teknik ini ditunjuk satu orang
atau grup untuk menjadi advokat dalam posisi berseberangan. Kadang-kadang,
pemimpin menunjuk "advokat jahat" yang memiliki posisi agak ekstrim dengan
menantang pandangan kelompok mayoritas. Di lain kesempatan, pemimpin membagi tim
menjadi dua kelompok, di mana masing-masing menjalankan tugas advokasi yang telah
ditentukan. Dengan kedua pendekatan itu, konflik ide yang sehat bisa tumbuh subur di
dalam organisasi.
Penting pula diingat bahwa setiap tim yang "berkonflik" setuju sejak semula bagaimana
keputusan final dibuat, sehingga pengambilan keputusan itu menjadi proses yang relatif
netral secara emosional. Bilamana proses yang dipergunakan secara eksplisit melahirkan
pandangan dan penilaian yang saling bertentangan (berkonflik), penting dirancang
sejauh mana konflik itu diselesaikan dalam keputusan final. Pemimpin biasanya
menunggu hingga satu pendekatan mendapat dukungan dari mayoritas atau hingga
tercapai sebuah konsensus, sehingga konflik itu terselesaikan sendiri. Pemimpin
kemudian mengumumkan keputusan akhir yang dibuatnya dan membiarkan sejumlah
konflik tetap belum terselesaikan. Antusiasme kedua kelompok yang memiliki pandangan
berbeda dalam mendapatkan keputusan akhir memungkinkan terlaksananya keputusan
tersebut dengan dukungan penuh mereka.
Perhatian besar perlu diberikan dalam menyeleksi proses pemunculan konflik agar
prosesnya sesuai dengan situasi. Upaya menggali pandangan-pandangan berbeda
berguna
untuk menjamin bahwa keputusan final telah memperhitungkan sebanyak mungkin data,
dan telah melalui pengujian. Ironisnya, pendekatan semacam ini lebih penting apabila
masa depan kurang pasti, dan tatkala keputusan yang diambil berisiko lebih tinggi.
Bilamana waktu yang tersedia cukup banyak, lingkungan kompetitif cukup jelas, dan
bilamana keputusan tidak begitu beragam, maka konflik sehat tidak begitu penting.
Namun, tatkala nilai dan risiko keputusan semakin meningkat, maka debat berkualitas
semakin penting pula. Ringkasnya, semakin penting pilihan yang harus diambil, semakin
besar kebutuhan untuk berkonflik sehat.
Proses Suksesi di PT. Caltex Pacific Indonesia
No. 07 - Tahun 2004
Perencanaan suksesi di PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) berawal dari proses penilaian
kinerja karyawan. Perusahaan yang kini mempunyai 5. 225 karyawan ini memiliki komite
yang disebut PDC (Personnel Development Committee) yang melakukan penilaian dan
pemilihan kandidat untuk posisi eksekutif dan posisi kunci lainnya.
Menurut GM Human Resources, PT Caltex Pacific Indonesia, Iwan Djalinus, PDC ini terbagi
atas Fungsional PDC, untuk menilai low level leader seperti posisi facility engineer,
production engineer, earth scientist, dan human resources. Kedua, Fungsional PDC
dengan persetujuan cross functional PDC untuk menilai mid level leader dan Executive
PDC untuk penilaian bagi posisi Manajemen. Seluruh posisi di Mid Management Level ke
atas adalah posisi kunci karena pada level tersebut seluruh komponen bekerja sama
menggerakkan roda organisasi ke tujuan. "Kekurangan satu komponen akan menjadikan
organisasi ini pincang."
Persiapan generasi penerus kepemimpinan, lanjut Iwan, melalui proses dari sistem yang
telah baku, dari mulai penyeleksian high potentials (hipot), rencana pengembangan
pegawai dan penempatannya oleh PDC. "Kriteria yang dipakai antara lain Leadership core
criteria, termasuk di dalamnya Integritas yang tinggi, kemampuan komunikasi,
kemampuan bisnis yang teruji, pengalaman dibidang minyak dan gas bumi di lingkungan
CPI serta bukti-bukti keberhasilan," lontarnya kembali. Selama ini suksesi selalu dilakukan
dari dalam organisasi.
Rencana pengembangan karyawan dilakukan berdasarkan usulan dari atasan setelah
berdiskusi dengan karyawan yang bersangkutan. Rencana ini kemudian disetujui oleh
PDC pada level yang lebih tinggi, dicatat dan dibuatkan rencana secara rinci. Dasar
penentuan orang potensial adalah berdasarkan kinerja, perilaku, wawasan dan beberapa
kriteria lainnya. Semuanya itu dilakukan oleh PDC yang biasanya terdiri dari 7 - 12 orang
anggota.
Selain penilaian kinerja yang tertata baik, paparnya lagi, karyawan juga mendapatkan
delegasi otoritas, pelatihan langsung oleh atasan atau mentornya melalui suatu sistem
mentoring, diberi penugasan yang beragam (cross assignment), termasuk di dalamnya
penempatan kerja internasional di perusahaan induk CPI, ChevronTexaco di Amerika atau
subsidiari ChevronTexaco di negara lain. Pelatihan-pelatihan di bidang soft skills juga
senantiasa dilakukan. Semua program pengembangan SDM ini secara tidak langsung
telah menjadi cara CPI untuk meretensi karyawannya.
"Tenaga potensial yang ada di CPI diperkirakan masih dapat memenuhi kebutuhan
Perusahaan dalan jangka 4 - 5 lima tahun mendatang, dan kami sedang memperisapkan
generasi berikutnya untuk kebutuhan setelah 5 tahun mendatang," sambungnya.
Namun, untuk beberapa posisi seperti Manager Security dan Manager Hubungan
Industrial (HI), dinilai Iwan merupakan posisi kunci yang langka di CPI. "Sebenarnya ini
hanya masalah pasar saja. Kebetulan di CPI sendiri Pekerjaaan ini sangat spesifik, dan
posisi ini juga pada saat ini merupakan key manager," tandasnya. Di CPI, Bagian
Hubungan Industrial yang menangani masalah Serikat Pekerja pernah berjalan sekitar 20
tahun lalu. Kemudian, sekarang ini dengan berubahnya status dari KORPRI menjadi
pegawai swasta kembali dan dimungkinkan dibentuknya Serikat Pekerja maka bagian
hubungan Industrial menjadi sangat penting kembali seperti halnya di Perusahan Minyak
yang lain akibatnya permintaan pasar terhadap orang yang memiliki kemampuan ini
sangat tinggi. "Akibat dari berubah status menjadi KORPRI sekitar 20 tahun lalu, maka
kami tidak punya rencana suksesi yang baik," tambah Iwan yang mengaku hingga kini
posisi HI hanya dilakukan oleh satu orang sehingga tidak fleksibel secara manajerial.
Padahal, Iwan mengaku HI tidak sekedar textbook thinking. oleh karena itu. CPI tidak bisa
langsung merekrut dari luar karena seorang suksesor untuk manager HI harus mengerti
internal bisnis perusahaan dan masih banyak hal lain lagi. "Seorang HI tidak hanya cukup
untuk mengerti tentang masalah peraturan saja, tapi juga memahami nature of the
business, jadi betul-betul, tidak hanya sebatas peraturan."
Tak heran jika berbagai upaya CPI untuk melakukan suksesi terhadap posisi ini terus
dilakukan. Mulai dari pemilihan calon suksesor serta mengirim ke luar negeri untuk
belajar tentang HI yang berkaitan dengan minyak dan gas bumi. "Kebetulan pula, dulu
ada pelaku-pelaku sejarah di CPI yang mengerti hal ini sehingga bisa menangani," tutur
Iwan yang mengaku CPI tidak bisa sembarang merekrut dari luar meski hal itu bisa saja
terjadi.
Terhadap proses suksesi ini, CPI melakukan evaluasi 3 bulan sekali. Dari evaluasi ini, akan
diketahui, siapa yang akan berhak menggantikan pimpinan dalam kurun waktu 3�- 5
tahun ke depan. "Apalagi mengingat turn over CPI termasuk rendah yaitu hanya dibawah
1% diluar sekitar 130 orang per tahun yang pensiun. Itu normal. Kalaupun keluar dari CPI,
paling hanya 2-3 orang. Paling banyak 5 orang," papar Iwan mengakhiri perbincangan
dengan Human Capital.
Suksesi di Bank Niaga
No. 07 - Tahun 2004
Berbicara suksesi sebuah perusahaan, tidak hanya sekedar bicara masalah pergantian
pemimpin semata. Setidaknya, ada 3 hal yang sangat berperan bagi kesuksesan sebuah
suksesi. Pertama adalah komitmen untuk suksesi. Suksesi disiapkan dari dalam
perusahaan karena konsistensi penting. Oleh sebab itu tantangannya bagaimana
menciptakan kwalitas orang dalam dengan value yang sudah teruji. Karyawan dari dalam
bisa memahami strategi perusahaan dan budaya dengan lebih baik, yang berarti, semua
perencanaan suksesi akan ditata lebih baik.
Kedua, perencanaan suksesi membutuhkan persiapan yang banyak, baik segi sistem,
maupun dari segi pengembangan karyawan tersebut. Sehingga orang-orang yang terbaik
yang harus ada dalam proses ini. Sistem tersebut bermula dari bagaimana rekrutmen itu
terjadi. Maka, rekrutmen strategi menjadi sangat penting karena pola dari suksesi
dasarnya adalah mengembangkan karyawan. Bukan "membeli" karyawan. "Bagaimana
karyawan bisa berkembang mengembangkan potensi dan kompetensinya di perusahaan.
Semua itu harus diseleksi dan diidentifikasi. Makanya, bicara suksesi sama dengan bicara
tentang 10-15 tahun ke depan," papar C. Heru Budiargo, Executive Director Compliance,
Risk Management Bank Niaga.
Heru yang juga menjabat Direktur SDM menegaskan, suksesi merupakan satu proses
satu kesatuan dengan satu organisasi, setiap orang dituntut untuk selalu siap. Posisi
kunci harus teridentifikasi, posisinya apa, ada di mana, dan sebagainya. Dalam jangka
panjang, suksesor-suksesor terbaik dengan performance-nya bagus akan dikembangkan
kompetensinya. Sedang dalam jangka pendek, seorang suksesor harus menunjukkan
performance dan kinerjanya sehari-hari. "Kan ada yang potensinya kurang baik, tapi
prestasinya baik. Orang ini diidentifikasi dari pengembangan secara khusus, diberi
kesempatan, diberi proyek, dipindahkan, supaya dapat pengalaman dan teruji
kompetensi dan kinerjanya," jelasnya panjang lebar.
Ketiga, yaitu performance appraisal, penilaian seorang karyawan. Yang dinilai adalah
kinerja dan kompetensi. Menurutnya, setiap perusahaan akan membutuhkan karyawan
dengan 2 kriteria tersebut. "Tapi memang tidak mudah. Ada orang yang kinerjanya baik,
tapi kompetensinya tidak bisa dikembangkan lagi. Atau sebaliknya. Artinya ada saja
orang yang berhenti di suatu tempat," cetus Heru lagi. Karena itu, tidak semua karyawan
disiapkan dan direkrut untuk berada di level eksekutif.
Strategi rekrutmen menurut Heru, selain menyangkut masalah kriteria calon karyawan
yang akan menjadi karyawan Bank Niaga, juga mengupas masalah training atau
pelatihan. Tidak hanya sekedar classical training, tapi juga day to day, pekerjaan
karyawan sehari-hari. "Sistem belajar classical hanya menyumbang 20%, sisanya day to
day," papar Heru. Seorang karyawan akan baik jika ia memiliki atasan yang baik.
Rencana suksesi, baik di setiap lini dan setiap saat, bukanlah sesuatu yang mudah.
Seseorang yang pergi, baik itu dikeluarkan, pensiun atau keluar dengan sendirinya,
idealnya harus ada pengganti. "Bisa saja suatu saat ada posisi yang kosong, misalnya
pemimpin cabang. Di kami, setiap orang setiap hari menyiapkan karyawannya untuk
menjadi suksesor." Suksesor yang terdekat adalah satu tingkat di bawahnya dan tidak
harus bawahan karyawan tersebut. Walau tidak tertutup kemungkinan Bank Niaga
mengambil suksesor dari luar, tapi jumlahnya tidak terlalu besar. Saat ini, 80% karyawan
yang direkrut Bank Niaga adalah fresh graduated, sisanya berasal dari perusahaan lain
yang pindah ke Bank Niaga. Kecuali untuk posisi treasury, hukum dan teknologi yang
dinilai Heru tergolong posisi langka di Bank Niaga.
Yang memutuskan layak tidaknya seorang suksesor menjabat posisi di atasnya adalah
Komite Personalia, yang terdiri dari beberapa anggota, bisa 3 orang, 5 orang atau 7
orang, tergantung daerah atau cabang masing-masing. Tujuannya, untuk mendapatkan
keputusan yang paling maksimal dan terhindar dari subyektifitas. "Umumnya, setiap
karyawan akan tahu jika ada salah satu karyawan dijadikan calon suksesor. Karena
system yang transparan, kecemburuan bisa dikurangi yaitu setiap orang harus mengakui
potensi dan kinerja si calon suksesor," akunya. Sehingga yang naik jabatan bisa
berbangga karena memang dia berpotensi dengan baik.
Yang menjadi kendala Bank Niaga adalah memberikan poin buruk kepada bawahan yang
dinilai. "Kadang-kadang ada supervisor yang susah mengatakan bahwa si B itu tidak baik
atau jelek. Mungkin karena adat timur," Heru berujar. Jadi, jika ada supervisor yang
memberikan penilaian yang tidak tepat, maka akan dirapatkan dalam rapat Komite.
Di Bank Niaga, ada 2 kelompok karyawan, karyawan pimpinan dan bukan karyawan
pimpinan. Kalau karyawan pimpinan biasanya diarahkan untuk menjadi seorang pimpinan
hingga ke level eksekutif. Seorang karyawan yang akan mencapai level tersebut harus
belajar untuk mengembangkan orang lain. "Poinnya bukan sukses itu sendiri, tapi
mengembangkan dan mencetak orang-orang yang berkualitas," tegasnya. Untuk menjadi
junior officer, karyawan akan dididik selama 6-8 bulan. Kemudian dari level junior officer
menjadi middle officer sekitar 5 tahun, middle officer menjadi senior officer sekitar 5
tahun
Jika di level managerial ke bawah, penilaian dilakukan oleh Komite Personalia, maka
untuk suksesi direksi, penilaian dilakukan oleh Komite Remunerasi dan Nominasi (KRN).
KRN ini ada di level komisaris sehingga anggota Komite ini adalah beberapa anggota
komisaris. "Di Bank Niaga, 90% Direksi berasal dari dalam karena umumnya jabatan
direksi menjadi karir," akunya.
Bank Niaga pernah menghadapi situasi yang di luar rencana, pertama adalah pasca Pacto
(Paket Oktober) 1983, yang membolehkan bank-bank baru dengan bebas membuka
cabang, sehingga membuat sekitar 50 karyawan Niaga pindah. Kedua, saat krisis
moneter terjadi pada tahun 1998-1999, saat dibentuknya Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Kala itu, dalam tempo setahun, sekitar 100 karyawan pimpinan Bank
Niaga melakukan eksodus ke BPPN. Hal ini diakui Heru sedikit menganggu kelancaran
operasional. "Karena banyak posisi yang kosong, terpaksa yang belum siap harus
'dikarbit'," ujarnya.
Proses evaluasi suksesi Bank Niaga dilakukan secara berkala minimal setahun 2 kali.
"Suksesi bisa terlihat dari berkembangnya perusahaan. Jika berkembang baik, artinya
suksesinya jalan," tukas Heru yang membeberkan bahwa Bank Niaga tahun ini asetnya
naik 30%, sehingga dalam tahun 2004 Bank Niaga menargetkan akan membuka 50
cabang di seluruh Indonesia dan merekrut karyawan sebanyak 900 orang.
Suksesi di Blue Bird Group
No. 07 - Tahun 2004
Didirikan 32 tahun yang silam, Blue Bird Group (BBG) kini berkembang menjadi
perusahaan transportasi darat terkemuka di Indonesia dengan karyawan 20.000 orang
lebih dan memiliki 13.000 kendaraan. Dewasa ini, transisi kepemimpinan terus
berlangsung dari generasi kedua ke generasi ketiga. Bagaimana strategi suksesi di BBG?
Tahun ini, BBG merayakan ulang tahun ke-32 dan ulang tahun ke-7 Pusaka Group,
perusahaan anak dari BBG. Siapapun tidak akan pernah membayangkan BBG akan
menjadi sebesar sekarang. Cikal perusahaan ini diawali saat Ibu Mutiara Siti Fatimah
Djokosoetono, SH. (kini almarhumah) bersama anak-anaknya menjalankan usaha taksi
"gelap" untuk menghidupi keluarga setelah sang suami Prof. Djokosoetono, SH. wafat.
Mobil yang dijadikan usaha taksi adalah mobil-mobil peninggalan Pak Djokosoetono.
Kala itu, seluruh keluarga ikut berperan serta dalam usaha taksi tersebut, mulai dari
pemasaran dan penerima order hingga menjadi pengemudi. Chandra Suharto (anak
tertua), misalnya, bertugas sebagai operator telepon, sedangkan Purnomo Prawiro (anak
ketiga/bungsu) sebagai pengemudi. Untuk menambah jumlah mobil, Ibu Mutiara
bekerjasama dengan janda-janda pahlawan dengan memanfaatkan mobil-mobil mereka
untuk menjadi taksi.
Bermodalkan pengalaman usaha taksi itu, Ibu Mutiara kemudian memberanikan diri
untuk meminta ijin taksi resmi dari Gubernur DKI Ali Sadikin. Pada awalnya, permintaan
tersebut ditolak karena latar belakang beliau hanya seorang ibu rumah tangga dan tidak
berpengalaman dalam bisnis yang keras ini. Sedangkan, perusahaan taksi lainnya yang
ada sudah banyak makan asam garam bisnis transportasi, seperti Gamya, Morante, dan
lainnya.
Ibu Mutiara tetap gigih memperjuangkan ijin itu. Ia mengumpulkan berbagai rekomendasi
dari hotel dan sejumlah pelanggan lain, dan semua itu cukup ampuh meyakinkan
Gubernur DKI sehingga ijin usaha taksi itu ke luar. Setelah ijin ke luar, tantangan
berikutnya muncul, yaitu mendapatkan pinjaman bank untuk membeli mobil baru. Bank
enggan memberikan pinjaman. Rumah satu-satunya milik Ibu Mutiara yang berlokasi di Jl.
HOS Cokroaminoto akhirnya dijaminkan berikut 24 mobil yang dijadikan taksi. Maka,
lahirlah perusahaan taksi Blue Bird dengan warna biru yang teduh.
Tantangan demi tantangan muncul silih berganti, tetapi sejarah menjadi saksi betapa
kegigihan dan keteguhan sikap Ibu Mutiara bersama anak-anaknya tidaklah sia-sia. Dari
24 taksi, kini BBG mengelola 13.000 unit kendaraan dan 20.000 karyawan lebih. Saat
berdiri, pangsa pasar Blue Bird hanya 15% dari 7 perusahaan taksi yang ada di Jakarta.
Sekarang, BBG menguasai 54% pangsa pasar dengan jumlah perusahaan taksi yang naik
menjadi 45 buah. BBG menjelma menjadi perusahaan transportasi darat terkemuka dan
paling sehat di Indonesia. Tak hanya itu, beberapa perusahaan taksi yang pada saat awal
memandang Blue Bird sebelah mata, akhirnya diselamatkan BBG dari kebangkrutan.
Bank-bank pun kini berlomba menawarkan pinjaman dengan jaminan mobil yang dibeli.
Kehidupan menjadi serba terbalik. Berkat usaha taksi itu pula, Ibu Mutiara berhasil
menghantarkan ketiga anaknya meraih gelar sarjana.
Setelah 28 tahun membangun dan membesarkan BBG, akhirnya wanita yang murah
senyum itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Almarhum sudah mempersiapkan kedua
puteranya DR. Chandra Suharto, MBA. dan dr. Purnomo Prawiro untuk mengambil tongkat
estafet kepemimpinan di BBG. Chandra menjabat Presiden Komisaris BBG dan Purnomo
menduduki posisi Managing Director.
Namun, proses suksesi dari generasi satu setengah ini (begitu Purnomo menyebut dirinya
dan kakaknya Chandra karena mereka telah ikut merintis usaha ini bersama Ibu Mutiara
sebagai generasi pertama, red) suatu saat harus pula berlangsung karena usia mereka
yang terus bertambah. Mereka sedang mempersiapkan generasi ketiga - anak-anak
mereka - sebagai penerus kepemimpinan BBG. Dewasa ini, 2 anak Purnomo (Noni
Purnomo, B.Eng., MBA. dan Ir. Adrianto Djokosoetono, MBA) dan 2 anak Chandra (Kresna
Djokosoetono dan Sigit Djokosoetono) bergabung di BBG. Noni, Kresna, dan Sigit
menduduki posisi Vice President (sebutan baru sebagai pengganti jabatan Senior
Manager, red) untuk posisi yang berbeda. Noni VP untuk bidang pengembangan bisnis,
Kresna membawahi audit, dan Sigit memimpin bidang reservasi. Sebagai anak paling
bungsu, Andri (panggilan Adrianto) sekarang masih menjabat manajer di bidang teknologi
informasi.
Pembagian bidang tugas tersebut, menurut Purnomo Prawiro, dilakukan atas minat dan
kompetensi masing-masing, bukan atas pembagian jabatan antara Purnomo dan
Chandra. Penempatan anak-anak itu didasarkan pada prinsip the right man/woman on
the right place. Satu puteri Purnomo lainnya, Sri Adriyani Lestari Purnomo yang dokter
memilih untuk mengambil spesialisasi kebidanan.
Kendati kini telah memegang posisi, anak-anak tersebut harus memulai karir dari bawah.
"Kalau langsung duduk di atas, mereka seperti diawang-awang. Ibarat di atas awan,
seakan-akan di bawah semuanya mulus dan tanpa gejolak, padahal tertutup oleh awan,"
tukas dokter lulusan Fakultas Kedokteran UI 1974 itu. Tidak hanya mengerti tentang
pekerjaan, anak-anak dituntut untuk menghayati pekerjaan. Misalnya, jadi staf itu seperti
apa, atau jadi orang bagian operasi shift 3 itu seperti apa? Begitu pula jadi manajer
menengah. Mereka harus tahu apa saja masalah yang dihadapi setiap level bagian atau
sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat.
Noni, anak tertua pasangan Purnomo dan Hj. Endang Basuki Purnomo, misalnya, sudah
terlibat dengan bisnis ini sejak berusia 5 tahun. Ia ikut mempersiapkan gulungan-
gulungan yang berisi perhitungan komisi setiap pengemudi. Berlanjut saat SMP dan SMA,
ia bekerja paruh waktu menjadi data entry selama masa liburan sekolah. "Itu pun saya
dites sebelum diterima," ujar ibu satu puteri berusia 5 tahun itu. Ia tidak merasa
diistimewakan karena harus menyelesaikan beban pekerjaan sesuai target. Menurut Noni,
perbedaannya paling saat meminta bantuan karyawan lain bila ia tidak mengerti.
"Karyawan senior akan cepat datang membantu," tuturnya, sambil menambahkan,
"Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk bekerja saat liburan sekolah."
Saat kuliah Teknik Industri di University of Newcastle, Australia, Noni mengambil tesis
tentang efisiensi untuk memperbaiki kinerja bengkel Blue Bird. Pulang dari Australia
setelah meraih gelar bachelor tahun 1994, Noni tidak langsung kembali ke BBG. Ia
memilih bekerja di bidang pemasaran pada PT Jakarta Convention Beureau. "Saya ingin
mempelajari teknis pemasaran karena waktu itu di BBG belum ada pemasaran. Yang ada
hanya bagian penjualan," katanya. Pekerjaan itu dijalaninya setahun. Itu pun sambil
bekerja malam di BBG dengan jabatan setingkat supervisor. Jadi, sepulang dari kantor
lain, Noni bekerja lagi di BBG.
Kemudian, ia meneruskan sekolahnya dengan mengambil program MBA di University of
San Francisco dengan major di bidang pemasaran dan keuangan selama setahun lebih
(1996-1997). Setelah menggondol gelar MBA, Noni bergabung kembali ke BBG dengan
memimpin Divisi Pengembangan Bisnis. "Inilah enaknya sebagai anak pemilik. Bidang
yang tidak ada bisa diadakan," katanya terkekeh. Bidang pengembangan bisnis sendiri
diakui Purnomo sangat penting buat BBG. "Yang paling benar dan gampang memimpin
bagian ini, ya keluarga pemilik," tukasnya juga sambil tertawa.
Tugas Noni mencakup pengembangan bisnis secara internal dan eksternal. Secara
internal, Noni bertanggung jawab untuk pengembangan sistem, misalnya aspek Total
Quality Management. Secara bertahap, BBG menerapkan tahapan menuju sertifikasi ISO
9002. "Kami memilih untuk mencoba pendekatan berbeda, tidak langsung mengambil
sertifikat ISO," tuturnya. Pengembangan bisnis eksternal dilakukan dengan menyusun
strategi pemasaran, termasuk strategi membangun citra perusahaan baik dengan iklan
langsung maupun program public relations (PR) internal. Program PR internal dilakukan
untuk membuat para pengemudi sebagai frontliners puas.
Tampilnya 4 anak pemilik di jajaran pimpinan BBG tidak berarti peluang karir bagi
professional tertutup. Dari 9 jabatan VP, hanya 3 yang diisi keluarga pemilik. Di jajaran
direksi - di atas ketiga anak pemilik dan VP lainnya�- ada seorang direktur profesional
yang telah berkerja sekitar 20 tahunan di BBG (H. Handang Agusni). H. Handang memulai
karirnya dari bawah sekali sebagai staf operasi. Ia bertanggung jawab mengelola operasi
harian usaha transportasi, sedangkan Purnomo bertanggung jawab pada aspek kebijakan
operasi usaha transportasi dan memimpin sayap usaha non-transportasi dari BBG
(seperti usaha Hotel di Lombok dan sejumlah usaha patungan dalam bidang karoseri,
depo kontainer, mobil pemadam kebakaran, dan usaha freight forwarding).
"Saya kira, lingkungan kerja untuk profesional di sini cukup kondusif," tegas Purnomo.
Purnomo dan Chandra telah memasang rambu-rambu yang jelas kepada keluarga
besarnya soal keterlibatan di BBG. Pertama, yang boleh ikut dalam perusahaan hanya
anak-anak pemilik. Pasangannya (suami atau istri) tidak diperbolehkan. Kedua, sedapat
mungkin tidak menerima anggota keluarga lain - keponakan, sepupu, dan sejenisnya -
untuk bergabung. Purnomo mengaku, lebih senang menghubungi temannya untuk
mencarikan tempat bekerja bagi saudara ketimbang menerimanya di BBG. Kalaupun ada
saudara yang ingin bekerja di BBG, ia menyerahkan sepenuhnya proses seleksi kepada
manajer HRD. "Kami tidak ikut campur," ulasnya.
Selama hasil tesnya bagus dan di atas yang lain, dia layak diterima. Setelah masuk
bekerja, orang itu diusahakan tidak berada langsung di bawah mereka. "Ini untuk
menghindari berbagai dampak buruknya. Misalnya, masalah pekerjaan bisa
menyebabkan keretakan dalam keluarga dan sebaliknya," tambahnya. Hingga kini, di luar
anak-anaknya, sedikit sekali saudara jauh pemilik yang bergabung di BBG.
Sadar usia terus bertambah, Purnomo dan Chandra berencana untuk pension sebagai
pimpinan dan cukup sebagai pemilik saja. Ia berharap pada usia 60 tahun (3 tahun lagi)
hal itu bisa terwujud. Kelak, ia cukup datang sekali seminggu ke kantor dan bisa
mengerjakan aktivitas lain yang bermanfaat, semisal kegiatan sosial. Penghasilannya
cukup dari dividen sebagai pemilik, karena hingga kini sebagian saham masih atas nama
dirinya (sebagian lagi sudah diserahkan kepada anak-anak). "Untuk berjaga-jaga supaya
nanti saya tidak mengemis-ngemis dari anak-anak minta uang," katanya terbahak.
Siapa di antara anak-anak yang bakal menggantikan posisi pimpinan di BBG, tidak terlalu
dirisaukan oleh Purnomo meskipun ia melihat hal itu sangat strategis untuk kemajuan
BBG ke depan. Menurutnya, harus ada orang luar yang netral untuk ikut memikirkan
suksesi kepemimpinan di BBG di luar keluarga pemilik. Sebaiknya, papar Purnomo, ada
pemegang saham dari pihak luar supaya penilaiannya lebih obyektif. Caranya bisa
dengan go public ataupun dengan mengundang strategic investor. "Saya sendiri menilai,
pilihan strategic investor lebih baik," ungkapnya. Rencana ini masih digodok, bisa saja
investor strategic itu adalah salah mitra usaha BBG dalam sejumlah usaha patungannya
(dari Jerman, Malaysia, Spanyol, dan sebagainya).
Satu hal yang pasti, semua pemilik sudah bersepakat untuk terus mengembangkan BBG
sehingga menjadi grup usaha penuh di bidang logistik terkemuka di Indonesia dan
kawasan ini. "Jangan sampai generasi ketiga hanya menghabiskan uang saja," katanya
serius di depan Noni.
Suksesi Di Perusahaan Keluarga
No. 07 - Tahun 2004
Berbeda dengan perusahaan non-keluarga, suksesi di perusahaan keluarga sangat kritikal
karena seringkali berlangsung tidak mulus. Ungkapan "Generasi pertama membangun,
Generasi kedua mengembangkan, dan Generasi ketiga menghabiskan" belum
sepenuhnya hilang. Lantas, bagaimana pula nasib para professional yang bekerja di
perusahaan keluarga?
Mungkin Anda pernah melihat tayangan iklan Telkom Flexy di sejumlah TV swasta. Iklan
itu bercerita tentang seorang ayah yang harus memilih satu di antara dua puteranya
untuk menjadi eksekutif puncak perusahaannya. Lalu muncul tayangan kebiasaan
anaknya dalam berkomunikasi yang berbeda. Yang satu memakai Telkom Flexy, satu lagi
memakai telepon seluler biasa. Akhirnya, sang ayah memilih anaknya yang memakai
Telkom Flexy. Alasannya? "Karena yang bersangkutan pintar mengelola uang dengan
memilih telepon yang irit," kira-kira begitulah jawaban sang ayah.
Untungnya, anak yang satu tidak protes. Mungkin dia tahu ayahnya sangat
berpenghitungan soal uang. Padahal, dia sudah mau protes, sebab ia memilih operator
seluler lain karena layanan telepon Flexy masih sering terputus-putus sehingga
mengganggu pembicaraan bisnisnya dengan orang lain. Artinya, gara-gara kualitas
sambungan telepon itu, peluang bisnis tidak bisa dia dapat.
Begitulah, proses suksesi di perusahaan keluarga bukanlah hal yang mudah. Faktor selera
sang ayah atau Ibu sebagai pimpinan masih sangat menentukan siapa yang akhirnya
dinobatkan sebagai pimpinan penerus. Padahal, tanpa kriteria yang jelas, pemilihan
pemimpin generasi berikutnya bisa menimbulkan kehancuran perusahaan. Misalnya, si
anak terpilih karena kejujuran dan kasih sayangnya kepada orang tua, sementara ia
lemah dalam kompetensi dan kepemimpinan. Lebih repot lagi bila jumlah anaknya cukup
banyak sehingga potensi untuk tidak akur sangat besar. Salah-salah memilih, akibatnya
seperti ungkapan di atas: "Generasi penerus justru hanya bisa menghancurkan
perusahaan."
Menurut AB Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group (JCG), suksesi di
perusahaan keluarga jauh lebih sulit dibandingkan perusahaan non-keluarga. Perusahaan
non-keluarga, baik perusahaan swasta maupun BUMN, bebas menentukan siapa yang
layak menjadi suksesor berdasarkan kompetensinya. Sementara di perusahaan keluarga,
ada kesan diteruskan ke generasi berikutnya. "Yang menjadi pertanyaan, apakah generasi
penerus mampu melanjutkan usaha dengan baik," tanyanya. Oleh sebab itu, hal pertama
yang harus dilakukan adalah mempersiapkan generasi penerus terlebih dahulu.
Karena lebih sulit, keterlibatan intens dari sang ayah/ibu mempersiapkan proses suksesi
menjadi prasyarat mutlak. Di sinilah dilemanya. Tidak semua pengusaha memiliki waktu
dan perhatian yang cukup dalam mempersiapkan anak-anaknya. Mereka umumnya lebih
hebat dalam berbisnis, namun merasa tidak punya kemampuan merancang program
suksesi. Akhirnya, proses suksesi dibiarkan terjadi secara alamiah.
Sebagian pengusaha yang sadar soal pentingnya suksesi ini kemudian menyerahkan
penyusunan rencana suksesi ini kepada konsultan. JCG memiliki sebuah program
perencanaan suksesi yang diberi nama JCG Octagon. Program ini memuat pula langkah
persiapan suksesi setidaknya 5 tahun di depan. Juga dibuat criteria suksesor dan proses
pencalonan yang hampir mirip dengan pemilihan Presiden. "Semua anak diperbolehkan
mencalonkan diri," ungkapnya.
Tujuan perencanaan suksesi ini adalah untuk mendapatkan pemimpin yang sesuai, bisa
berkomunikasi dan memberi dampak positif bagi orang lain. Itu sebabnya, pimpinan yang
dicari harus mempunyai visi yang jelas dan mampu mengkomunikasikan visi tersebut. Ia
juga harus pandai memilih bawahan (tim) dalam bekerja dan mempunyai hubungan yang
luas.
Cara yang ditempuh oleh pengusaha Mugijanto adalah dengan meminta bantuan
konsultan terkemuka Gede Prama, CEO Dynamic Consulting, untuk menjadi executive
coach bagi anak tertuanya. Program executive coaching ini dirancang 6 bulan-9 bulan, di
mana Gede rutin melakukan diskusi, memberikan penugasan, dan mengevaluasi
implementasinya di perusahaan. "Program ini sesuatu yang baru di Indonesia," tutur
Gede Parama. Mugijanto menilai positif program tersebut setelah melihat dampaknya
pada sang anak. "Dia semakin sistematis membuat laporan," tukasnya. Pak Mugi dan
Gede enggan menyebut honor jasa executive coaching ini. "Kami tidak terlalu hitung-
hitungan," ungkap mereka di tempat terpisah.
PROSES SUKSESI di Blue Bird Group (BBG) kini sedang berlangsung dari generasi kedua
(Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto) ke anak-anak mereka (generasi ketiga). Dewasa
ini, 2 anak Purnomo (Noni Sri Ayati dan Adrianto Djokosoetono) dan 2 anak Chandra
(Kresna Djokosoetono dan Sigit Djokosoetono) bergabung di BBG. Noni, Kresna, dan Sigit
menjabat Vice President, sedangkan Andri masih menjabat manajer karena belum lama
bergabung di BBG. "Prinsip kami adalah menempatkan the right people on the right
place," ungkap Purnomo Prawiro. Masing-masing memilih bidang sesuai dengan
minatnya. Noni membawahi pengembangan bisnis, Kresna audit, Sigit reservasi, dan
Andri teknologi informasi.
Keempat anak pemilik itu mengawali karirnya di BBG sejak dari bawah. Hal ini sesuai
dengan prinsip Purnomo dan Chandra, seseorang tidak bisa langsung duduk di atas. Ia
benar-benar harus mulai dari bawah agar mengerti dan menghayati pekerjaannya
sehingga dalam mengambil keputusan hasilnya juga bagus. Sejak kecil, anak-anak
Purnomo memang telah dilibatkan dalam bisnis ini.
Purnomo tidak terlalu mengkhawatirkan potensi konflik di antara anak-anak mereka
kelak. Meski ada anak-anaknya maupun Chandra yang bergabung, mereka sudah
merencanakan sebuah proses penentuan siapa yang kelak berada di puncak tahta.
"Sebaiknya ada pihak independen yang ikut memberikan penilaian," ujarnya. Caranya,
BBG berencana mengundang masuk investor independen melalui proses go public atau
pola investor strategis. "Kami cenderung memilih pola investor strategis," tambahnya.
Sadar betapa crucial-nya proses suksesi, salah satu taipan properti Indonesia Ir. Ciputra
benar-benar terlibat penuh memikirkan dan merancang konsep suksesi terbaik bagi
keempat anak-menantunya dalam Grup Ciputra. Ia tidak ingin, bisnis Grup Ciputra dan
hubungan persaudaraan hancur kelak di tangan generasi penerus (Rina, Juanita, Candra,
dan Cakra Ciputra serta pasangan masing-masing). Seluruh anak-anak dan menantunya
memang dilibatkan dalam bisnis Grup Ciputra. "Mereka memiliki pendidikan yang sangat
berkaitan dengan bisnis Grup Ciputra, di samping juga mempunyai pengalaman praktis
dalam industri real estate," ungkap Ciputra, 73.
Setelah melakukan pengkajian dan perenungan panjang, Ciputra membedakan model
regenerasi grupnya saat ini dan di masa depan. Saat ini, seluruh anak dan menantunya
berada dalam jajaran manajemen Grup Ciputra. Ke depan, ia membentuk struktur Grup
Ciputra, di mana keempat anak & menantunya memiliki dan memimpin Grup Ciputra
sebagai perusahaan induk (holding), namun masing-masing keluarga anaknya
diperbolehkan mengembangkan grup usaha baru. Dengan cara ini, Ciputra berharap
persatuan di antara keluarga anak-anaknya tetap terjaga, namun aspirasi bisnis masing-
masing juga tersalurkan. Sebab, setiap keluarga telah mendapat saham yang sama besar
di Grup Ciputra.
BANYAKNYA anak-anak pemilik yang ikut mengelola perusahaan keluarga menimbulkan
pertanyaan sejauh mana peluang para profesional untuk bisa berkarir di sana. "Posisi
kunci di Grup Ciputra terbuka bagi keluarga maupun professional," tukas Ciputra. Ia
menjelaskan, saat ini jumlah keluarga kandung maupun jauh yang bekerja di Grup
Ciputra atau bahkan di posisi-posisi kunci perusahaan jauh lebih sedikit dibandingkan
jumlah kaum professional.
Kesan dominannya keluarga dalam manajemen perusahaan mungkin berdasarkan
kenyataan manajemen PT Ciputra Development Tbk. dan PT Ciputra Surya Tbk., 2 anak
perusahaan Grup Ciputra yang telah go public. Candra Ciputra, 40, menjabat CEO PT
Ciputra Development, sementara Rina Ciputra, Budiarsa Sastrawinata, Juanita Ciputra,
Harun Hajadi, dan Cakra Ciputra menjabat Direktur. Di luar mereka terdapat 2 direktur
profesional murni: Tanan Herwandi Antonius dan Tulus Santoso Brotosiswojo. Di PT
Ciputra Surya Tbk., Harun Hajadi bertindak sebagai CEO, sedangkan anak-anak; menantu
menduduki jabatan direktur. Di perusahaan ini terdapat 2 direktur professional murni,
yaitu Sutoto Yakobus dan Nanik J. Santoso.
Tentang kesan dominansi ini, Ciputra berujar: "Sebagai perusahaan publik, kami harus
mempertanggungjawabkan kinerja dan hasil akhirnya kepada pemegang saham publik.
Tentu mereka menginginkan sebuah cara kerja profesional dan hasil bisnis yang
memuaskan. Untuk itu, Grup Ciputra harus memiliki sumberdaya manusia professional
dan unggul. Apakah mereka keluarga atau profesional, bukanlah kriteria pertama. Kriteria
pertama adalah kompetensi professional yang dibutuhkan dalam posisi tersebut."
Jumlah eksekutif profesional di jajaran manajemen BBG memang lebih banyak
dibandingkan pihak keluarga. Eksekutif tertinggi diisi oleh Purnomo Prawiro, di bawahnya
ada direktur profesional Handang Agusni yang telah bekerja puluhan tahun di BBG. Level
di bawah Handang ditempati 9 Vice President, di mana hanya 3 VP yang merupakan
keluarga kandung pemilik. Di berbagai posisi lainnya, praktis diisi oleh profesional.
"Sebisanya kami tidak menerima anggota keluarga besar di BBG. Yang boleh bekerja di
sini hanya anak kandung, sedangkan suami/isteri mereka sama sekali dilarang. Keluarga
jauh bisa saja bergabung selama lulus seleksi masuk," tutur Purnomo.
Pembatasan jumlah anggota keluarga yang boleh bergabung di BBG dilakukan untuk
mencegah adanya klik keluarga dan non-keluarga. Seolah-olah jabatan penting hanya
untuk keluarga. Kondisi ini tentu tidak baik. Pertama, hubungan keluarga itu langsung
dikaitkan dengan hubungan dalam perusahaan ataupun sebaliknya. Bentrok di
perusahaan akhirnya bentrok pula di keluarga. Kedua, yang bukan keluarga merasa
dirinya tidak punya peluang untuk naik sehingga tidak termotivasi untuk bekerja
maksimal.
Ia menambahkan, perusahaan membutuhkan para professional untuk memperkuat
barisan manajemen. Perekrutan professional dilakukan melalui dua jalur: cepat dan
lambat. Yang dimaksud jalur cepat adalah program Management Trainee, khusus untuk
lulusan S1 ke atas. Sedangkan jalur lambat adalah perekrutan karyawan nonsarjana.
Peluang berkarir bagi profesional akan semakin baik sejalan dengan kian berkembangnya
usaha tersebut, seperti yang terjadi pada grup-grup besar (Salim, Sinar Mas, CCM,
Hanson, dan sebagainya). Perkembangan usaha yang cepat tidak mungkin ditangani
sepenuhnya oleh keluarga. Sebaliknya, seperti di Grup Ciputra, perusahaan terus
membuka proyek-proyek baru di pulau Jawa dan luar Jawa untuk memberi kesempatan
bagi pemimpin bisnis baru untuk mendapatkan posisi.
Lagi pula, kebanyakan perusahaan keluarga telah menerapkan sistem manajemen
profesional sejalan dengan tuntutan persaingan bisnis yang semakin tinggi. Bukankah
sebagian besar perusahaan besar sekarang tadinya juga perusahaan milik keluarga?
Sukses BRI Mentransformasikan Organisasi
No. 07 - Tahun 2004
Berangkat dari citra bank ndeso, Bank BRI sukses mentransformasikan diri menjadi
organisasi perbankan yang tangguh. Bank ini mengadopsi serangkaian praktik
manajemen SDM terbaik, termasuk program pengembangan karir yang jelas dan program
ESOP/MSOP. Apa target BRI?
Mau jago soal micro banking, belajarlah ke Bank BRI. Agaknya pernyataan ini bergema
luas di kalangan perbankan internasional. Maka, mereka silih berganti berkunjung dan
belajar dari Bank BRI tentang spesialisasi yang satu ini. Bank BRI layak bangga dengan
kehebatannya di bidang micro banking. Karena spesialisasi itu membuat nama BRI
menjulang di dunia; karena fokus di micro banking itu membuat kinerja bisnis BRI relatif
mengkilap.
Bank BRI kini merupakan bank terbesar di dunia dalam micro banking dengan 4100
kantor BRI Unit yang melayani nasabah di berbagai wilayah nusantara. Selama ini, nama
BRI mungkin kalah populer dengan Gramen Bank, sebuah bank asal Bangladesh yang
disebut-sebut sukses dalam bidang micro financing. Tetapi, layanan micro financing itu
berbeda dengan micro banking. Layanan micro financing tidak mempedulikan dari masa
asal pendanaan untuk kredit mikro tersebut sehingga tidak murni bersifat komersial.
Sebagian besar pendanaannya merupakan dana bersubsidi dari pemerintah. Sementara
pendanaan micro banking sepenuhnya berasal dari bisnis komersial.
Jaringan layanan BRI Unit yang begitu luas memungkinkan BRI memberikan layanan
langsung kepada mayoritas masyarakat. Dewasa ini, menurut Direktur Utama BRI Rudjito,
BRI memiliki jumlah akun (account) lebih dari 31 juta buah sehingga bisa disimpulkan BRI
merupakan bank dengan nasabah terbesar di Indonesia. "Kalau ada bank lain yang
terpilih sebagai bank pilihan masyarakat, maka itu bisa dipertanyakan," ujarnya
berseloroh. Jumlah akun BCA, bank yang sering terpilih sebagai bank pilihan masyarakat
misalnya, hanya sekitar 9,5 juta - jauh lebih kecil dari BRI.
BRI Unit menjadi pilar bisnis yang penting dan strategis buat BRI, baik dari sisi finansial
maupun transformasi organisasi. Setelah sukses dengan proyek percontohan di
Yogyakarta, BRI Unit kemudian dikembangkan dengan mengkloning BRI Unit di
Yogyakarta itu. Menurut Rudjito, ada 3 hal yang menjadi kunci keberhasilan kemajuan BRI
saat ini, termasuk BRI Unit. Pertama, human capacity building. Prosesnya dimulai sejak
saat rekrutmen hingga pengembangan SDM melalui training terus menerus. Kepada
mereka juga diperkenalkan reward yang dikaitkan dengan pencapaian target sesuai fokus
program perusahaan. Perkembangan BRI Unit ini juga mengimbas positif ke cabang-
cabang BRI.
Kedua, institutional building. Organisasi layanan harus dibuat sederhana dan dekat
dengan masyarakat. Jumlah karyawannya minimum 4 orang dan maksimum 11 orang.
Organisasi ini harus mampu mendukung pengembangan komunitas dan memiliki
program supervisi yang jelas (cascading supervision). Makanya di BRI ada jabatan penilik
yang bertugas mengawasi BRI Unit. Setiap cabang membawahi 12 BRI Unit. Supervisi
tingkat berikutnya adalah Inspektur Wilayah yang melakukan audit hingga tingkat cabang
dan BRI Unit. Sekarang BRI memiliki 11 Inspektorat Wilayah di seluruh Indonesia.
Ketiga, technology building. Sesederhana apapun, BRI Unit di desa sudah menggunakan
teknologi. Paling tidak memiliki 1 PC, 1 printer, dan alat bantu generator set. Kalaupun
belum ada telepon, akses informasi dilakukan melalui VSAT. Umumnya seluruh jaringan
BRI sudah online, meskipun belum semuanya realtime. Pengembangan teknologi
informasi (TI) BRI berjalan sejak proses rekap tahun 2000. Investasi tersebut terus
berkembang. Kini, mayoritas jaringan BRI (324 cabang, 13 kantor wilayah, 11 kantor
inspeksi, 147 kantor cabang pembantu, dan sebagian BRI Unit) sudah terhubung secara
online dan realtime.
Teknologi sangat penting bagi kemajuan sebuah bank. "Tanpa dukungan teknologi, bank
sulit bersaing," tukasnya. Kendati fokus melayani segmen middle- low income, kebutuhan
terhadap teknologi itu juga besar. Dengan dukungan teknologi itu, BRI bisa memberikan
layanan terbaik kepada berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan target BRI untuk
memfokuskan 80% bisnis di usaha mikro, kecil dan menengah. Penguatan jaringan itu
bermanfaat pula mendukung dinamika perekonomian daerah akibat implementasi
otonomi daerah.
KETELADANAN PEMIMPIN
Kuatnya kualitas kepemimpinan Rudjito sangat berperan dalam mempercepat
transformasi organisasi BRI. Ketika ditanya apa resep kepemimpinannya, Rudjito
mengulang kembali 3 pesan pertamanya kepada seluruh pimpinan BRI saat dilantik
beberapa tahun lalu. Pertama, mengembangkan komunikasi interaktif. Rudjito meminta
setiap karyawan untuk berhubungan langsung dengan dirinya melalui telepon atau email.
"Dan, hal itu berjalan," tuturnya. Awalnya memang ada kesan malu-malu, tetapi setelah
tahun kedua dan seterusnya menjadi terbiasa. Ia mengaku, sebelum akhir tahun, sudah
bisa mengontrol pembukuan akhir tahun melalui SMS.
Pesan kedua, lanjutnya, adalah mengajak berpikir positif. Kalau ada usul dari anak buah,
jangan langsung dibantah, tetapi dengarkan terlebih dulu. Ketiga, kerjasama yang benar-
benar bekerjasama. Ketiga pesan itu berjalan efektif karena Rudjito sendiri konsisten
untuk memberikan sikap keteladanan dengan tindakan nyata dan transparan. Standar
dan penilaian pegawai dibuat lebih terbuka. Salah satu yang diatasi secara cepat adalah
menghentikan kebiasaan rumor mutasi personil. "Selama ini, sebelum seseorang pindah,
rumor dulu yang berkembang. Di era saya, itu tidak boleh lagi ada," tukasnya serius.
Mutasi pertama yang ia lakukan adalah mempromosikan Pemimpin Wilayah Padang,
Sumbar, untuk menjadi kepala divisi operasional di Jakarta. Pejabat tersebut dipanggil ke
Jakarta, dan ia siap memberikan laporan dengan setumpuk map. Selesai melapor, yang
bersangkutan langsung ditunjuk menjadi Kepala Divisi yang kebetulan waktu itu lowong.
Sejak itu, rahasia mutasi menjadi terjaga, tidak ada orang yang tahu. Baru kemudian
Direktur Personalia memberitahu Kepala Divisi SDM untuk membuatkan SK-nya.
Praktik itu terus dijalankan hingga kini. "Setiap keputusan mutasi tidak pernah tersebar
ke mana-mana," katanya, sambil menambahkan, "Banyak juga yang mencoba menebak-
nebak, tetapi tebakannya keliru." Pengiriman nota mutasi biasanya dikirim malam hari ke
wilayah, sehingga mereka baru tahu keesokan harinya. Dulu, lanjutnya, orang segan
memindahkan keluarga direksi ke luar Jakarta. Di era kepemimpinan Rudjito, hal seperti
itu tidak boleh lagi. Ini demi karir yang bersangkutan.
Mutasi pejabat di BRI adalah kehendak organisasi yang harus dipatuhi setiap karyawan.
Kalau membangkang, kepada mereka diberikan sanksi. Pengecualian terhadap hal ini
tetap ada, misalnya anak yang bersangkutan sakit tertentu yang pengobatannya hanya
bisa di Jakarta. "Tapi, kalau alasannya karena isteri menjadi pejabat tinggi di satu instansi,
itu tidak bisa diterima. Waktu mulai bekerja di sini, isterinya 'kan belum menjadi pejabat,"
ungkapnya tertawa. Praktik ini memberikan kepastian buat pegawai yang baik. "Tidak
ada niatan direksi untuk menghambat karir karyawan," tambahnya.
Penempatan seseorang menjadi pimpinan telah melalui kajian mendalam dari direksi BRI.
Menurut penilaian direksi, mereka yang dipromosikan itu memiliki track record dan moral
yang bagus. Toh semua itu tidak menjamin para pimpinan mampu menjalankan tugasnya
secara professional menurut aturan perusahaan. Seperti yang terjadi pada Kepala
Cabang BRI Senayan dan Senen di Jakarta yang menyalahgunakan dana nasabah dan
kasusnya terungkap ke media massa. Saat ini, kasus tersebut sedang disidangkan.
Menurut Rudjito, faktor yang sangat berperan mengubah orang adalah pertemanan.
"Mereka memilih berteman dengan maling sehingga pikirannya jadi pendek. Untuk itu,
mereka layak diberi sanksi keras."
Selama ini, penyalahgunaan wewenang di bank milik pemerintah terkesan lebih menonjol
ketimbang bank swasta. Rudjito sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Tetapi, ia
mensinyalir, praktik fraud seperti itu juga banyak terjadi di bank swasta. Bedanya, kasus-
kasus seperti itu ditutupi oleh pemiliknya dengan memecat orang tersebut dan
mengganti kerugian dari kocek sendiri. "Lha, kami mau menutup dari mana? Kami ini
hanya pegawai bank," ujarnya setengah bertanya.
PERBAIKAN REMUNERASI
Sejalan dengan perbaikan manajemen dan kinerja bisnis BRI, kesejahteraan pegawai BRI
yang berjumlah 34.719 orang (Desember 2003) kini jauh lebih baik. Kerja keras seluruh
jajaran BRI layak mendapat ganjaran setimpal. Dalam periode dua tahun sebelum go
public, manajemen BRI telah membagikan insentif direksi kepada pekerja berdasarkan
penilaian kinerja individu (performance appraisal). Karyawan yang kinerjanya biasa-biasa
saja mendapat insentif normal, kinerja bagus memperoleh lebih, dan kinerja di bawah
standar mendapat insentif lebih rendah. Sedangkan, insentif direksi untuk direksi tidak
ada.
Bentuk insentif lainnya adalah bonus tahunan yang dulu dikenal dengan istilah jasa
produksi. Insentif ini diperjuangkan direksi saat RUPS. Karena kinerja keuangan BRI 2003
yang bagus, untuk pertama kalinya, karyawan memperoleh bonus lebih dari satu kali.
Mereka layak mendapatkan bonus tersebut karena laba BRI terutama berasal dari
penyaluran pinjaman, bukan dari bunga obligasi seperti yang banyak terjadi pada bank
rekap lainnya. Pemberian insentif itu memberikan motivasi lebih buat karyawan BRI.
Kegembiraan karyawan BRI makin bertambah dengan digelarnya program ESOP
(Employee Stock Ownership Program) pada saat go public tahun lalu. Jumlah saham yang
dibagikan kepada karyawan mencapai 10% dengan batasan masa kerja maksimal 15
tahun. Karyawan yang memiliki masa kerja lebih dari 15 tahun harus ikut aturan 15 tahun
itu. Sebab, ESOP itu bertujuan untuk mendorong pegawai bekerja lebih professional
sehingga tidak terlalu banyak manfaatnya bagi perusahaan bila dibagikan kepada
pegawai dengan masa kerja yang semakin mendekati pensiun. Saham ESOP ini baru
boleh diperdagangkan setelah 2 tahun.
Karyawan membeli saham ESOP dari bonus kinerja 2003 setelah disahkan dalam RUPS.
Selain itu, karyawan bisa pula membeli saham dengan diskon 3% seperti yang
diberlakukan untuk nasabah. Diskon itu dibayar oleh BRI. Saham ini bisa diperjualkan
setelah periode lock up 6 bulan.
Untuk jajaran manajerial, BRI memperkenalkan MSOP (Management Stock Options
Program)�- sifatnya boleh beli dan boleh tidak. Harga pembeliannya 20% di atas harga
perdana Rp 875 per saham dengan periode lock up 2 tahun. Terlalu mahal? Tidak juga.
Sekarang saja harga saham BRI sudah lebih dari 100% dari harga perdana. "Hasilnya
akan sangat luar biasa jika harga saham BRI naik terus, misalnya sampai ke angka Rp
3000 per lembar," gumam Rudjito.
Jumlah saham yang dialokasikan untuk MSOP sebanyak 5%, tetapi jumlah itu tidak
langsung dihabiskan karena disisakan untuk dibagi lagi pada periode 2 tahun berikutnya.
Kebijakan ini bertujuan agar mereka yang belum naik pangkat masih berhak membeli lagi
saham MSOP. Serangkaian praktik manajemen yang berkualitas ini berkontribusi besar
terhadap kinerja bisnis BRI yang semakin baik. "Investor masih bullish dengan saham
BRI," ungkap sejumlah analis pasar saham kepada HC. Dewasa ini, investor public
menguasai 40,5% saham BRI dan sisanya dimiliki pemerintah RI.
Mengembangkan Model Kompetensi yang Strategis
No. 06 - Tahun 2004
Di era kapital intelektual ini, siapa yang tidak mengenal konsep "kompetensi"?
Sebagaimana terungkap dalam survei yang pernah dilakukan American Compensation
Association (ACA) di tahun 1996, banyak perusahaan meyakini kompetensi sebagai alat
yang ampuh untuk meningkatkan kinerja karyawan, mengkomunikasikan nilai-nilai
budaya, dan lebih jauh, membantu implementasi strategi perusahaan.
Ironisnya, tidak sedikit perusahaan yang kecewa karena lebih banyak merasakan
hambatan dalam implementasi kompetensi, daripada manfaatnya. Alasan yang antara
lain dikemukakan adalah kebanyakan model kompetensi "bicara dalam bahasa
SDM/psikologi", sulit dipahami, dan kurang terlihat kaitannya dengan bisnis perusahaan
(studi Watson Wyatt, 2001).
Apakah fakta di atas menunjukkan bahwa kompetensi merupakan konsep manajemen
masa kini yang - sebagaimana terjadi pada banyak konsep manajemen lain -�akan
'kehilangan masa'-nya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pastikan bahwa
pengembangan kompetensi di perusahaan Anda telah melewati keempat langkah kunci di
bawah:
LANGKAH 1 KLARIFIKASI STRATEGI BISNIS
Tak jarang ditemui, dengan alasan efisiensi, perusahaan memilih cara instant
membangun model kompetensi dengan langsung mengadopsi "kamus kompetensi" yang
siap pakai dan banyak beredar di pasaran, tanpa mengkaji ulang relevansinya dengan
strategi perusahaan. Inisiatif ini jelas menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Tapi
bayangkanlah bila semua perusahaan melakukan hal yang sama�- keunggulan
kompetitif apa yang bisa dicapai perusahaan melalui karyawan-karyawan yang memiliki
kompetensi yang generic (alias sami mawon dengan karyawan-karyawan perusahaan
kompetitor)?
Pastikan bahwa pengembangan kompetensi dimulai dengan mengklarifikasi strategi
bisnis perusahaan. Apa tema strategi yang menjadi intensi perusahaan Anda: Orientasi
pada layanan pelanggan? Fokus pada pelanggan tertentu? Reduksi biaya? Produk
berkualitas dengan harga premium? Perpaduan dari tema-tema tersebut?
LANGKAH 2 IDENTIFIKASI KAPABILITAS ORGANISASI
Merupakan langkah penghubung antara strategi bisnis perusahaan dengan model
kompetensi yang hendak dibangun. Katakanlah perusahaan "X" yang bergerak di bidang
jasa keuangan mempunyai sasaran bisnis "mencapai pertumbuhan laba dari tahun ke
tahun melalui peningkatan layanan pelanggan". Pencapaian "peningkatan layanan
pelanggan" tersebut tentunya harus didukung dengan kapabilitas-kapabilitas organisasi
tertentu, misalnya: riset pemasaran dan pengembangan produk yang inovatif.
Bergerak di industri yang sama dengan "X" dan dengan tema strategi yang hamper
serupa, perusahaan lain mungkin saja mensyaratkan kapabilitas organisasi yang
berbeda. Perusahaan "Y", misalnya, memilih manajemen hubungan pelanggan yang
didukung teknologi informasi yang memungkinkan cakupan pelanggan yang luas sebagai
kapabilitas yang lebih perlu dimiliki.
Intinya, tentukan kapabilitas organisasi yang unik untuk mendukung strategi perusahaan
Anda. Tidak perlu melibatkan semua kapabilitas organisasi, melainkan fokuskan pada
beberapa kapabilitas saja yang sungguh-sungguh bernilai strategis dan menunjukkan
kesenjangan paling besar dengan kinerja yang diinginkan. Perlu diingat untuk selanjutnya
meninjau-ulang kapabilitas yang telah diidentifikasi ini secara periodik, karena bukannya
tidak mungkin pada periode-periode selanjutnya perlu perubahan prioritas kapabilitas
organisasi.
LANGKAH 3 IDENTIFIKASI DAN KEMBANGKAN MODEL KOMPETENSI
Sebagaimana halnya kapabilitas organisasi diturunkan dari strategi perusahaan,
demikian pula halnya model kompetensi hendaknya diturunkan secara langsung dari
kapabilitas organisasi yang telah diidentifikasi. Singkatnya, yang perlu diidentifikasi pada
langkah ini adalah pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku karyawan yang relevan
dengan tuntutan kapabilitas organisasi. Kembali ke contoh perusahaan "X", untuk
memungkinkan pengembangan produk yang inovatif, dibutuhkan kompetensi-
kompetensi seperti: pengetahuan produk, pemahaman pasar target, inovasi, dan
kreatifitas.
Proses pengembangan model kompetensi dilanjutkan dengan melengkapi kompetensi-
kompetensi yang telah diidentifikasi tadi dengan definisi dan tingkatan- tingkatan
pencapaian (misalnya, skala 1-5). Lebih jauh, kelompokkan kompetensi dalam kategori
kompetensi inti (berlaku untuk semua fungsi dan posisi), manajerial, dan fungsional
(berlaku untuk fungsi-fungsi tertentu saja). Petakan dengan jabatanjabatan di organisasi
dan sertai dengan tingkatan minimum yang dipersyaratkan untuk tiap kompetensi.
Yang perlu dicatat, hindari kompetensikompetensi yang lebih merupakan atribut personal,
seperti integritas, nilai moral, kejujuran. Bukan saja karena jenis kompetensi ini sulit
diukur maupun dikembangkan, tetapi terutama karena kekurang-terkaitannya dengan
kapabilitas organisasi secara langsung.
LANGKAH 4 IMPLEMENTASIKAN DALAM APLIKASI KAPITAL MANUSIA
Bila aksi yang Anda tuju adalah memanjat pohon, tindakan apakah yang Anda pilih:
me-"rekrut" seekor tupai, atau melatih seekor ayam untuk bisa memanjat pohon? Akan
lebih bijaksana bila memilih alternative yang pertama, tentunya!
Analogi di atas berlaku dalam implementasi model kompetensi. Pada proses rekrutmen
dan seleksi, prioritaskan pada kompetensi-kompetensi yang sulit dikembangkan
(untrainable). Untuk seleksi calon tenaga penjual, misalnya, ketrampilan interpersonal
sebaiknya menjadi salah satu kriteria seleksi karena relatif sulit dikembangkan (daripada
pengetahuan produk, misalnya).
Selanjutnya, gunakan model kompetensi yang sudah dipetakan ke tiap jabatan (dan lebih
bersifat trainable) sebagai basis pelatihan dan pengembangan karyawan. Monitor
pencapaiannya dengan mengintegrasikan model kompetensi dengan system manajemen
kinerja. Lebih jauh, model kompetensi bahkan dapat diterapkan pada aplikasi kapital
manusia lain dan menjadi basis dari berbagai keputusan: perencanaan karir/suksesi,
asesmen, bahkan kompensasi. Apapun aplikasinya, pastikan bahwa model kompetensi
yang telah dibangun dapat "bekerja" melalui integrasinya dengan proses internal
perusahaan, yang dalam hal ini adalah proses dan kebijakan kapital manusia.
Kesimpulannya, rasanya tidak ada yang salah dengan konsep kompetensi itu sendiri.
Hanya saja perlu dihayati bahwa kompetensi pada dasarnya "cuma" sebuah alat. Sejauh
mana alat ini mampu menunjukkan manfaat strategis, tentunya tergantung pada kejelian
si pengguna alat dalam mengoptimalkan efektifitasnya melalui empat langkah di atas!
Gede Prama
Di kalangan praktisi bisnis, apa yang selama ini diajarkan Gede Prama juga bisa disebut
sangat kuat mengandung ESQ. Menurut Gede Prama, manajemen sebagai praktek riil
pada dasarnya memiliki dua muka, yakni teknik dan spirit. Teknik tanpa spirit yang
memadai, mirip dengan pedang tanpa tuan. la bisa menimbulkan luka di mana-mana.
Sebaliknya, spirit tanpa teknik, hanyalah doa tanpa langkah nyata.
Dengan jalan berfikir seperti itu, Gede Prama mengajak kita memperlakukan "kekacauan"
sebagai sahabat, bukan musuh. Dia mengajak kita membongkar pola pikir yang selama
ini kita anut�- keluar dari kerutinan berpikir, berpikir tanpa batas, berimajinasi bebas.
Dengan pola pikir baru, dan kadang aneh bahkan gila ini, kita justru dapat memanfaatkan
"kekacauan" sebagai peluang dan titik pijak baru. Gede menawarkan gaya manajemen
berbasiskan kekacauan untuk mengahadapi dan keluar dari situasi sulit.
Menurut Gede Prama, kekacauan tidak perlu disikapi dengan kesedihan. Kesedihan
hanyalah petunjuk adanya kedangkalan. Semakin dangkal pemahaman seseorang akan
kehidupan,semakin sering kesedihan berkunjung. Dalam peradabar manusia, kesedihan
berdiri sebagai musuh atau penyakit yang menakutkan. Amat dan teramat sedikit orang
yang merindukan kesedihan. Sehingga bisa dimaklumi, kalau kemudian kesedihan duduk
dalam kursi musuh yang hanya layak ditakuti. Padahal, kata Gede Prama, kekacauan dan
kesedihan justru bisa menjadi titik pangkal untuk menuju dunia baru yang lebih damai.
Pemikiran Gede Prama banyak tertuang melalui artikei di berbagai media cetak, ceramah
maupun buku. Melalui lembaga yang didirikannya pada tahun 1993, yakni Dynamics
Consulting, ia menularkan gagasannya tentang pengelolaan perusahaan dan Sumber
Daya Manusia. Pada awalnya, lembaga ini diposisikan sebagai mitra pelatihan, kemudian
berubah menjadi mitra perubahan.
Di bawah pimpinan Gede Prama, Dynamics Consulting memiliki jejaring yang semakin
kuat dari hari ke hari. Awalnya hanya dipercaya perusahaan menengah lokal seperti Air
Mancui kemudian bergerak menjadi mitra terpercaya Unilever, RCTI. Citibank, BCA,
Microsoft, dan IBM. Sebagian menunjuk DC sebagai Konsultan Manajemen, sebagian lagi
meminta kami menjadi narasumber terpercaya.
Quo Vadis Indonesian Diaspora
No. 12 - Maret 2005
Deportasi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) oleh Malaysia memberi gambaran pahitnya nasib
para pekerja Indonesia di luar negeri. Dikejar-kejar, dibayar murah, dicambuk, bahkan
dipenjara, tetap saja mereka tidak jera merantau ke Negeri Jiran itu. Hal ini juga
menunjukkan potret buruk dari perekonomian Indonesia. Langkah strategis dan
komprehensif perlu diambil untuk mengatasinya.
Nasib para pekerja illegal asal Indonesia di Malaysia sungguh menyentuh harga diri kita
sebagai bangsa. Tampak para wanita dengan menggendong anak kepayahan menenteng
kardus barang saat naik ke kapal untuk kembali ke Indonesia. Di tempat lain, ribuan
pekerja asal Indonesia duduk berbaris diawasi oleh polisi Malaysia bersenjata. Sekilas
mereka seperti penjahat yang baru saja ditangkap. Di tempat kerja, mereka terlalu sering
mendapatkan perlakuan tidak manusiawi.
Sebagian lagi, berlari ke hutan untuk menghindarkan penangkapan oleh aparat. Persis
seperti penjahat. Di era modern saat ini, berlari ke hutan rupanya menjadi pilihan lebih
baik bagi TKI, ketimbang ditangkap atau dipaksa balik ke Indonesia.
Kembali ke negeri sendiri agaknya menjadi momok yang lebih menakutkan bagi mereka
ketimbang menghadapi berbagai ketidaknyamanan tersebut. Uang adalah motivasi
utama, seperti dikatakan seorang TKI asal Pacitan Rohman kepada Human Capital di
Jakarta beberapa waktu lalu. Kehidupan ekonomi yang sulit di kampung menyebabkan
ratusan ribu tenaga kerja tertarik mengadu peruntungan ke negeri orang. Mereka datang
dari hampir seluruh daerah di Indonesia. Kesengsaraan demi kesengsaraan yang mereka
alami tidak pernah membuat ciut semangat merantau ke luar negeri.
Sejatinya, gaji yang mereka peroleh di Negeri Jiran tidaklah besar. Sebagai tenaga kerja
ilegal, mereka digaji 300-400 ringgit (Rp 720.000-Rp 960.000) per bulan. Jauh di bawah
upah minimum regional Malaysia minimal 1.000 ringgit per bulan. Bila dipotong dengan
biaya hidup di Malaysia, maka gaji yang tersisa lebih sedikit lagi.
Status ilegal itu membuat majikan bisa menekan buruh dalam soal gaji dan terbebas dari
sejumlah kewajiban lainnya, termasuk asuransi tenaga kerja. Perusahaan Malaysia,
termasuk BUMI di sana, lebih suka mempekerjakan TKI ilegal dengan sejumlah alasan,
mulai dari tidak perlu membayar pajak tenaga kerja sekitar 1.200 ringgit per kepala,
membayar gaji di bawah standar hingga bisa mem-PHK kapan pun.
Di Malaysia terdapat 1,2 juta tenaga kerja asing, sekitar 703 berasal dari Indonesia.
Sebagian besar tenaga kerja asal Indonesia tergolong ilegal. Sekitar 300-an ribu TKI
sudah kembali ke Indonesia, sisanya sekitar 300 ribu masih bertahan di sana. Sebagian
yang bertahan adalah mereka yang berstatus legal, sedangkan sisanya adalah TKI ilegal
yang menunggu gaji mereka dibayar oleh para majikan.
Mayoritas TKI di Malaysia bekerja sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan sawit, dan
pembantu rumah tangga. Hanya sedikit TKI bekerja sebagai buruh pabrik dan pekerjaan
berketerampilan lebih tinggi. Biasanya yang terakhir ini tergolong legal dan memiliki
pendidikan serta keahlian yang lebih baik.
Munculnya TKI ilegal sesungguhnya bersumber dari ketidakmampuan pemerintah selama
ini untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai di Indonesia maupun
ketidakmampuan pemerintah untuk benar-benar mengelola pengiriman TKI secara baik.
Jumlah angkatan kerja di Indonesia saat ini tercatat 104,02 juta orang. Jumlah tersebut
terus bertambah 2-2,5 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya. Dari jumlah angkatan
kerja baru itu, hanya tersedia tambahan lapangan kerja untuk 1,57 juta orang saja per
tahun - dengan syarat ekonomi tumbuh minimal 5,5% per tahun.
Dengan kondisi ini, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia 2004 mencapai 10,53 juta
jiwa atau 9,9%. Tahun ini, lembaga pemikir ekonomi Indef memperkirakan tingkat
pengangguran terbuka masih 9,8% dengan tingkat kemiskinan 16,5%. Pulangnya ratusan
ribu TKI dan tragedi tsunami di Aceh tentunya menambah jumlah tenaga kerja yang
menganggur.
Persoalan ketenagakerjaan Indonesia tidak hanya berhenti pada jumlah pengangguran
terbuka yang sangat besar. Masih ada pengangguran setengah terbuka, yaitu tenaga
kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per bulan. Jumlahnya jauh lebih besar lagi.
Menurut perkiraan LIPI, jumlah penganggur setengah terbuka tahun 2004 28,93 juta
orang atau 27,5% dari total angkatan kerja.
Sulitnya kehidupan di Indonesia menyebabkan mereka menyambut gembira datangnya
para calo TKI ke daerah mereka. Para calo ini berhubungan dengan agen di Malaysia.
Selanjutnya, para agen di Malaysia bertransaksi dengan perusahaan di Malaysia. Di sisi
lain, para majikan di Malaysia pun sangat membutuhkan TKI. Dua kepentingan ini
akhirnya bertemu dengan diperantarai oleh para calo dan agen TKI itu.
PERDAGANGAN MANUSIA?
Status ilegal ini bermula dari upaya calon TKI dan calo TKI untuk memotong mata rantai
Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI), yang selama ini diakui secara
resmi sebagai lembaga pengelola pengiriman TKI keluar negeri. Alasannya untuk
menghindari prosedur dan birokrasi yang berbelit-belit serta mahal. Biaya yang harus
dikeluarkan calon TKI melalui PPJTKI mencapai Rp 5 juta lebih, terdiri dari biaya
pengurusan dokumen, transportasi, makan, dan akomodasi di penampungan.
Sebagian besar PPJTKI memanfaatkan calo untuk merekrut TKI dari kampung-kampung
yang jumlahnya bisa berlapis-lapis sehingga biaya komisi calo menjadi besar. Karena TKI
tidak punya modal memadai, si calo menalangi segala kebutuhan biaya pembuatan
dokumen administrasi, biaya makan, dan transportasi serta "menjual"nya kepada PPJTKI.
Repotnya, keseluruhan biaya yang mahal itu pada akhirnya harus ditanggung TKI karena
gaji mereka kemudian dipotong atau ditekan oleh majikan.
Sebagian besar calo rekrutmen TKI kemudian memotong jalur PPJTKI dengan langsung
berhubungan dengan agen TKl di Malaysia. Para calon TKI mau saja berhubungan dengan
calo ini karena biaya yang dikeluarkan lebih hemat - sekitar Rp 3 juta - meskipun
berstatus pekerja ilegal. Ketiadaterbatasan pendidikan mendorong mereka mengambil
jalan pintas. Padahal, para majikan di Malaysia itu cenderung memotong lebih besar lagi
gaji para pekerja ilegal ketimbang pekerja legal.
Sesungguhnya, rekrutmen TKI dari kampung-kampung merupakan awal dari praktik
perdagangan manusia yang ironisnya terjadi terhadap warga negara Indonesia. Para calo
itu membawa para calon TKI ke daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, seperti
Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Kalimantan Barat atau Nunukan di Kalimantan
Timur. Di kawasan perbatasan inilah praktik "penjualan manusia" ini dilaksanakan secara
diam-diam antara calo TKI dari Indonesia dengan agen TKI di Malaysia.
Agen TKI di Malaysia membeli TKI mulai dari 1.000 ringgit atau sekitar Rp 2,4 juta per
orang, selanjutnya agen tersebut menjual TKI kepada majikan atau perusahaan dengan
bayaran beberapa kali lipat. Praktik semacam ini menyebabkan nasib TKI menjadi tidak
menentu dan sering tertipu. Banyak majikan yang tidak mau membayar gaji mereka
dengan alasan mereka sudah membayar semuanya kepada agen TKI. Alasan ini
menjadikan posisi TKI sama saja dengan seorang budak, yang tidak mendapat hak apa-
apa karena sudah ditebus dari tuan (calo) pemiliknya. Padahal, tenaga mereka diperas.
ESQ : Tren Baru Pencarian Jati Diri
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan emosional sekaligus intelektual ternyata tak cukup membuat seseorang
berhenti mencari kepuasan batin sekaligus jati dirinya. Kini muncuk tren baru tentang
emotional spiritual quotient (ESQ). Benarkah ini sebuah proses menuju terwujudnya
tatanan bisnis dan sosial yang lebih beretika?
Mark Muddi, seorang eksekutif senior perusahaan minyak Amerika Serikat, Shell, pada
tahun 1999 menggelar sebuah pelatihan. Acara yang melibatkan 550 eksekutif Shell
tersebut cukup unik, lantaran materi yang diberikan mengenai terapi spiritual. Para
pengajarnya bukan lagi kalangan ahli manajemen atau pakar bisnis, melainkan para
biksu.
Kebingungan para pelaku bisnis terhadap metode pelatihan yang diberikan Shell akhirnya
terjawab ketika pada tahun 2002, Universitas Harvard menggelar sehuah seminar kiat
perusahaan agar bisa berumur panjang. Kesimpulannya, keberadaan sebuah organisasi
yang dapat bertahan lama sampai ratusan tahun disebabkan oleh adanya kecerdasan
spiritual (Spiritual Quotient/ SQ) dalam setiap anggota organisasi.
Di kalangan pelaku bisnis dan pengajar di perguruan tinggi Amerika, sejak sepuluh tahun
terakhir SQ memang telah membuka wawasan baru bahwa intelektualitas (IQ) seseorang
tidak akan ada artinya tanpa didukung oleh kecerdasan emosional atau Emotional
Quotient (EQ) yang memadai.
Itulah sebabnya, sejumlah sekolah bisnis terkemuka di Amerika yang menjadi pusat
pendidikan para calon top eksekutif dunia merasa perlu memberikan pendidikan moral
menciptakan seorang pemimpin yang bukan hanya memi yang tinggi, namun sekaligus
memiliki kepekaan moral yang pula.
Nancy Adler, profesor bidang manajemen di Unive Montreal, misalnya, mengajarkan
kepada mahasiswanya tentang nilai-nilai kehidupan seperti keberanian, empati dan rasa
hormat. Para mahasiswa juga diminta membuat catatan kilas balik tentang perjalanan
kehidupan mereka masing-masing, untuk kemudian didiskusikan bersama-sama.
Skandal demi skandal keuangan besar yang terjadi di Amerika, misalnya kasus Enron dan
WorldCom, tampaknya turut memicu kesadaran bahwa penanaman nilai moral dan etika
terhadap para pengelola perusahaan menjadi amat penting. Tak heran ketika Soshana
Zuboff, seorang psikolog dan pengajar di Universitas Harvard mendirikan sebuah wadah
refreksi diri bernama Odyssey, sangat diminati banyak kalangan. Hal yang juga terjadi
pada WorkAsia yang sangat digandrungi kalangan eksekutif. Mereka yang tergabung
dalam wadah ini adalah orang-orang yang sangat sukses dan karenanya kaya raya,
namun merasakan ada kekosongan dalam dirinya.
Mereka adalah orang-orang yang secara intelegensia sangat bermanfaat bagi
perusahaan dan lingkungannya, namun justru merasa tak memiliki nilai spiritual. Inilah
yang mendorong para eksekutif dan profesional melakukan pencarian jatidiri melalui EQ
dan SQ.
Kecenderungan tersebut, menurut Sintawati Putri dan Dwiputri Adimuktini dari Daya
Dimensi Indonesia (DDI) merupakan bentuk kesadaran bahwa IQ yang tinggi akan tidak
ada artinya jika tidak diimbangi dengan EQ dan SQ yang memadai. "Memang, tidak ada
jaminan kalau orang yang SQ-nya rendah dia bukan orang baik. Tapi, kalau orang yang
tidak jujur, tidak punya komitmen tentu tidak baik buat perusahaan," kata mereka.
Agus Budi Wasono, Senior Vice President HR PT Bogasari Flour Mills, menarnbahkan
bahwa berkembangnya EQ dan SQ merupakan bentuk kesadaran baru bahwa manusia
memiliki harkat yang harus dijunjung tinggi. "Kecenderungan itu sebenarnya sudah
terjadi pada revolusi industri, di mana masyarakat petani mulai masuk ke sektor industri,"
katanya.
Kecenderungan implementasi nilai moral dan spiritual pada awalnya diperkenalkan oleh
Daniel Goleman tahun 1995. Kemudian, Steven R. Covey melalui bukunya yang sangat
populer, 7th Habits yang disusul dengan buku terbaru 8th Habits, seolah melengkapi.
Covey mengangkat dua hal mendasar, yakni character dan competence yang bisa
diterjemahkan sebagai EQ dan IQ. Covey Center Leadership dengan metodenya yang
khusus berhasil rnengubah perilaku ratusan ribu orang menuju kualitas baik dan
rnengagumkan.
Menurut Goleman, EQ merupakan kemampuan mengelola diri sendiri dan hubungannya
dengan kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial dan keahlian sosial. Dalam
perkembangannya kemudian, konsep EQ ternyata belum mampu menjelaskan mengenai
makna kebahagiaan hakiki. Kemudian muncul kajian baru dari psikolog Danah Zohar dan
suaminya Ian Marshall yang menulis buku berjudul SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate
Intellegence. Buku ini cepat sekali populer, tak kalah dengan bukunya Daniel Goleman.
Danah Zohar tampaknya tidak memberikan batasan secara definitif mengenai SQ.
Namun, mereka memberikan penjelasan melalui gambaran yang semuanya berkaitan
dengan esensi SQ. Menurut Zohar, SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan masalah makna dan nilai. SQ juga bermakna kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ mempunyai kaitan dengan kreativitas.
Tetapi kreativitas di sini juga terkait dengan masalah nilai.
SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi, memberi rasa
moral, menentukan baik dan jahat, memberi gambaran atau bayangan kemungkinan
yang belum terwujud. la membawa manusia melampaui batas-batas pengetahuan dan
pengalaman, serta menempatkan pengeta-huan dan pengalaman ke dalam konteks yang
lebih luas. Transendensi membawa manusia kepada kesadaran akan sesuatu yang luar
biasa, dan tidak terbatas, baik di dalam maupun di luar dirinya.
Secara lugas, seorang ahli kimia asal Jepang Michio Kaku menggambarkan bahwa
seseorang yang telah mencapai SQ, ibarat ikan di sebuah akuarium yang berhasil
melompat keluar. Manusia di bumi digambarkan seperti sekelompok ikan yang sejak kecil
hidup di akuarium.
Ikan-ikan tersebut tidak sadar bahwa mereka berada pada dunia yang tidak pada
tempatnya, sampai suatu ketika ada seekor ikan yang berhasil melompat keluar. la bisa
melihat tempat asalnya dan teman-temannya dalam perspektif yang lebih tinggi.
Ikan tadi akhirnya juga tahu bahwa dunia yang ditempatinya sungguh sangat kecil dan
ada dunia lain yang jauh lebih luas. Kemampuan melompat tinggi-tinggi itulah yang
menggambarkan kemampuan 5Q seseorang.
Zohar dan Marshal dengan sangat ilmiah mampu menjelaskan SQ dari sisi�
neuropsikologi yang menekankan adanya god spot pada otak manusia. Ia menggunakan
bunga teratai sebagai simbol model berpikirnya. Seperti halnya bunga teratai yang
berlapis-lapis, proses dinamika pemikiran manusia juga terdapat tiga lapisan. Pertama,
pada bagian luar terdapat sisi rasional (ego), di tengah yang bertindak sebagai
penghubung adalah asosiatif (emosional) dan ketiga adalah unsur pemersatu, yakni
spiritual.
Dalam beberapa bagian bukunya Zohar dan Marshal mencoba menyoroti hubungan
antara agama dan SQ. Karena pada umumnya orang beranggapan bahwa SQ selalu
berhu-bungan dengan agama. Padahal menurut kedua pengarang tersebut SQ berbeda
dengan agama. Kalau agama merupakan aturan-aturan dari luar sedang SQ adalah
kemampuan internal. Sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam.
SQ mampu menghubungkan manusia dengan ruh esensi di belakang semua agama.
Orang yang SQ-nya tinggi tidak picik dan fanatik atau penuh prasangka dalam beragama.
Pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak selalu
mengkaitkan dengan masalah ketuhanan. Bagi mereka, kecerdasan spiritual lebih banyak
terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kesemuanya tidak
perlu berkait dengan masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna hidup dari
bekerja, belajar, berkarya bahkan ketika menghadapi problematika dan penderitaan. Di
sini tampak bahwa Zohar dan Marshall menempatkan agama hanya sebagai salah satu
cara mendapatkan SQ tinggi.
TREN DI INDONESIA
Menurut Nina Insania K. Permana, Kepala Assesment Center LPPM, sejatinya kajian
mengenai EQ maupun SQ bukanlah hal baru. Buku-buku Al-Ghazali, para sufi maupun
Dalai Lama telah banyak mengulas berbagai hal tentang proses transformasi hati, diri
maupun jiwa dalam meraih cinta dan kebahagiaan sejati dengan keimanan terhadap
Ilahi. Namun, katanya, pembahasan teori SQ sec:ara populer dan implementasinya pada
kegiatan organisasi atau perusahaan, memang baru terjadi pada sepuluh tahun terakhir.
Nina menilai, konsep SQ yang disampaikan Zohar dan Marshal sebenarnya sangat ilmiah.
Namun, ucapan keduanya yang memisahkan spiritualitas dengan ketuhanan sangat sulit
diterima oleh orang awam, termasuk di Indonesia. Namun, Riga Adiwoso dari MM-Ul
menegaskan bahwa SQ lebih menekankan pada aspek manusia yang berkaitan dengan
apa yang ada dalam dirinya.
Menurut Riga, persepsi bahwa SQ sama dengan moralitas dan keagamaan adalah keliru.
"Bisa saja ada orang yang sangat religius tapi tidak memiliki SQ tinggi," katanya. Djarot
Basuki, HRD & GA Administration Director Hotel Nikko, Jakarta berpendapat bahwa SQ
pada dasarnya tidak hanya menyangkut dasar agama, tapi ketulusan seseorang dalam
melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Terlepas dari beda pemahaman tersebut, yang pasti para konsultan dan praktisi SDM di
Indonesia menyambut baik munculnya tren baru, yakni ESQ (Emotional and Spiritual
Quotient) yang merupakan konsep gabungan antara EQ dan SQ, yakni ESQ. Pemaduan
antara aspek dunia dan akhirat, menurut Nina merupakan sesuatu yang sangat ideal. Hal
tersebut untuk menjaga agar manusia tidak terlalu percaya pada kekuatan diri dan lupa
akan kodratnya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. Praktisi manajemen Sandra Sembel
juga berpendapai senada. Menurut Sandra, ESQ menyangkut soal nilai-nilai kemanusiaan
universal yang terdapat pada setiap agama.
Dengan demikian, apa yang diajarkan oleh dai kondang Abdullah Gymnastiar, misalnya,
sejatinya tidak hanva untuk kalangan muslim, melainkan cukup relevan bagi penganut
agama lain. �€œYang diajarkan oleh AA Gym selama ini kan masalah kualitas moral dan
ajaran saling mencintai antar sesama manusia, kata Sandra. Demikian juga yang selama
ini dikumandangkan oleh praktisi manajemen bisnis Gede Prama.
Mengingat ESQ adalah menyangkut soal nilai, maka kata Sandra, keberadaannya tentu
berbarengan dengan pola pikir manusia itu sendiri.
Strategi Empat Pilar Bank Danamon
No. 13 - April 2005
Bank Danamon menyusun target pertumbuhan atau penciptaan nilai (value creation)
sebesar 10 kali dalam 10 tahun. Untuk mewujudkan target tersebut, Bank Danamon
menyusun empat pilar usaha, yang menempatkan sumber daya manusia sebagai aktor
terpenting. Salah satu hal terpenting adalah perlunya dilakukan penyelarasan organisasi
sesuai dengan misi, strategi, dan tuntutan bisnis.
Penyelarasan organisasi merupakan keharusan bagi perusahaan untuk mendapatkan
kinerja yang langgeng. Demikian dikatakan oleh Nugroho Supangat, pakar manajemen
yang juga Managing Partner Dunamis Organization Services. "Penyelarasan merupakan
proses yang harus terus menerus dilakukan," tukasnya bulan lalu. Nugroho melihat,
upaya penyelarasan organisasi yang dilakukan Bank Danamon sebagai satu contoh bagus
untuk menjadi referensi bagi pelaku bisnis. "Proses penyelarasan di Bank Danamon
berlangsung secara simultan dengan upaya penciptaan nilai (value creation) bagi
nasabah
maupun pemegang saham."
Proses penyelarasan organisasi Bank Danamon dilakukan manajemen baru Bank
Danamon yang dipimpin Francis Andrew Rosario karena tuntutan kompetisi yang kian
tajam, selain untuk mendapatkan return yang lebih baik bagi pemegang saham. Francis
bergabung menjadi CEO Bank Danamon pada bulan Juni 2003 setelah Temasek membeli
saham Bank Danamon.
Manajemen Bank Danamon menyusun target untuk tumbuh 10 kali lipat dalam periode
10 tahun, dan pertumbuhan sebesar itu tidak mungkin dicapai bila Bank Danamon hanya
tumbuh sesuai dengan pertumbuhan pasar. "Target itu hanya bisa diraih bila Bank
Danamon mampu menciptakan nilai yang unik pada setiap segmen pasar," ungkap
Francis.
Untuk mewujudkan objektif itu, 13.000 karyawan Bank Danamon harus berubah. Saking
pentingnya perubahan tersebut, Francis memutuskan menaikkan gaji karyawan hanya
dengan satu permintaan: mereka harus berubah. Sebelum transformasi dilakukan, Bank
Danamon mengumpulkan masukan dan aspirasi dari seluruh karyawan dan
mengolahnya. Manajemen turun ke berbagai wilayah untuk bertemu dengan karyawan.
Itu terjadi bulan Maret 2004.
Tahapan selanjutnya adalah menyusun misi dan nilai-nilai perusahaan pada September
2004. Misi Bank Danamon dijelaskan dalam kalimat We care and enable millions to
prosper dengan strategi usaha Serving customers; delivering value. Tahun 2005,
transformasi Bank Danamon memasuki tahapan komunikasi atau sosialisasi dari misi dan
nilai-nilai itu, yang dipimpin langsung oleh CEO dan dilanjutkan oleh para manajer kunci.
Kajian manajemen menunjukkan ada sejumlah syarat agar penciptaan nilai 10 x lebih
besar itu bisa diraih, antara lain, menjadikan upaya memenuhi kebutuhan nasabah
sebagai nilai utama, mau berinvestasi dalam pasar yang hertumbuh cepat, menumbuh-
kembangkan budaya wirausaha, mevyelaraskan proses internal untuk memastikan
penciptaan nilai tanpa melemahkan kontrol, dan membuat sistem kompensasi berbasis
insentif.
Keseluruhan syarat itu disusun menjadi 4 pilar. Pilar pertama, mendapatkan orang yang
tepat (People Strategy). Pilar kedua, melakukan penyelarasan organisasi (Organizational
Alignment). Pilar ketiga, merekayasa ulang proses bisnis (Re-engineering Core Processes).
Pilar keempar, membangun disiplin dalam mengeksekusi strategi usaha (Execution
Disciplines). Strategi mendapatkan orang yang tepat dimulai dengan mengidentifikasi
orang yang tepat itu. Orang yang dibutuhkan Bank Danamon harus memiliki integritas,
kemampuan kepemimpinan, dan disiplin. Dalam praktiknya, komposisi sumber daya
manusia (SDM) merupakan kombinasi yang sehat antara SDM yang tergolong pemikir
revolusioner dan SDM pelaksana yang berdisiplin tinggi.
Sebagai contoh, 1.000 staf yang selama ini menangani back office dimutasikan ke bagian
front office. Jumlah ini sudah merupakan 12%-15% dari keseluruhan staf. Kemudian,
sebanyak 60 petugas satpam dialihtugaskan menjadi teller.
Setelah orang yang tepat diidentifikasi, mereka diberdayakan. Para karyawan didorong
untuk menentukan pilihan-pilihan (dalam lingkup batas yang jelas) menyangkut struktur
biaya, model bisnis, dan kemanfaatan fasilitas kantor pusat. Mereka juga didorong untuk
berpikir kreatif dan memberikan ide-ide berani.
Dengan kebijakan seperti ini, setiap kepala unit bisnis memiliki hak penuh untuk
meredefinisikan model bisnis mereka. Setiap unit bisnis dibebaskan untuk menciptakan
saluran distribusi dan produk yang baru disesuaikan dengan segmen nasabah. Mereka
dibebaskan pula untuk menegosiasikan alokasi struktur biaya untuk mewujudkan target
bisnis dengan kantor pusat dan unit-unit pendukung.
Langkah ketiga dalam strategi SDM Bank Danamon adalah menciptakan budaya
berkinerja, antara lain, dengan menyusun ulang indikator kinerja kunci (Key Perfor-mance
Indicators / KPIs), menata ulang skala gaji dan penghargaan terhadap yang berprestasi,
dan membuat persetujuan dengan Serikat Pekerja untuk menilai kinerja staf dalam 12
bulan.
Menurut Francis, pihaknya berhasil meyakinkan Serikat Pekerja bahwa tidak ada
pemutusan hubungan kerja (PHK) di Bank Danamon dalam periode 12 bulan. Syaratnya
semua karyawan harus menunjukkan kinerja sesuai ditentukan. Sebagai konsekuensinya,
mereka yang berkinerja di bawah standar harus rela meninggalkan bank tersebut. "Bagi
karyawan yang tidak performed, tidak ada tempat di Bank Danamon," tegasnya.
Kalaupun karyawan harus meninggalkan Bank Danamon, lanjutnya, pihaknya
memberikan paket yang cukup menarik.
Langkah Bank Danamon untuk bersikap tegas terhadap under performer dimaksudkan
pula agar karyawan tersebut tidak berada dalam posisi terperangkap. Karyawan, menurut
Director / Chief of Staff Muliadi Rahardja, bekerja berdasarkan standar yang cukup tinggi.
Mereka yang tidak memenuhi standar tidak akan bisa berkembang di bank ini sehingga
merugikan karir mereka jika terus bertahan. Sebagai jalan ke luarnya, "Lebih baik mereka
mencari perusahaan lain," ungkapnya. "Tetap saja ada perusahaan yang bisa menerima
mereka di luar," tambah Francis, yang menyebut dirinya sebagai Revolutionary Leader
itu.
Pilar kedua dari perubahan transformasional di Bank Danamon menyangkut penyelarasan
organisasi untuk menjadi Relationship-Driven Organization. Penyelarasan dimaksudkan
agar bisa memberikan layanan terbaik dan menciptakan nilai yang unik kepada nasabah.
Penyelarasan organisasi ini mencakup 5 hal penting: meminimalkan birokrasi (fungsi
kantor pusat terbatas pada hal-hal yang tidak bisa dilaksanakan oleh unit bisnis secara
efektif; tugas unit pendukung tidak hanya mengadministrasikan tetapi juga menciptakan
bisnis), menegakkan aturan main (kebebasan dari setiap unit harus tetap sejalan dengan
manajemen risiko terpadu), mekanisme pasar (setiap bisnis unit bebas mencari sumber
produk dan layanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan nasabah), meracik produk sesuai
dengan kebutuhan nasabah (setiap produk didesain untuk melayani kebutuhan segmen
nasabah kunci), dan memungkinkan proses penjabaran visi perusahaan dari CEO hingga
ke level frontliner dengan dukungan pelatihan dan pengembangan profesional,
komunikasi, dan menyusun KPI serta insentif.
Pilar ketiga adalah rekayasa ulang proses bisnis untuk mendapatkan efektivitas yang
lebih besar. Objektif dari pilar ini adalah mendapatkan efisiensi optimal dalam
operasional, selalu memasukkan unsur risiko, setiap unit bisnis benar-benar beroperasi
sesuai proposisi nilai nasabah yang unik, dan lahirnya transparansi untuk memudahkan
memprediksi pencapaian tujuan bisnis.
Rahasia Sukses Female Leaders
No. 13 - April 2005
Secara kuantitas, jumlah pemimpin wanita dalam dunia bisnis, politik, dan akademik jauh
lebih sedikit dibandingkan pria. Toh dalam banyak hal, wanita memiliki sejumlah
kelebihan yang tidak dimiliki pria. Mayoritas tetap menjalankan kodrat sebagai wanita
kendari sukses sebagai eksekutif. Apa rahasianya?
Hari telah beranjak maghrib ketika Ida P.Lunardi meninggalkan kantornya di kawasan
Sunter Jakarta. Setelah lelah bekerja seharian, Presiden Direktur PT Federal International
Finance (FIF) itu mampir dulu ke sebuah restoran siap saji untuk membeli makanan bagi
keluarganya. Hari itu, wanita asal Semarang ini tidak sempat masak. Besok pagi ia juga
harus berangkat cepat ke kantor sehingga makanan siap saji ini tinggal dipanaskan untuk
sarapan pagi keluarganya.
Pada hari-hari lain, Ida selalu memasak - dibantu Ibunya yang meski sudah tua namun
masih sehat - untuk menyiapkan makanan bagi suami dan kedua anaknya sebelum
berangkat ke kantor. "Suami dan anak-anak sudah terbiasa dengan masakan saya.
Mereka tidak mau dilayani pembantu," ujarnya tentang kebiasaan ini. Akibatnya, setiap
hari Ida tetap harus memikirkan menu makanan di rumah. "Kalau tidak sempat masak, ya
harus beli makanan siap saji," tutur wanita yang memulai karirnya sebagai juru tik itu.
Bahkan Ida dulu masih menyetir mobil sendiri ke kantor saat hamil tua, dan keesokan
harinya ia melahirkan.
Ritual yang sama ternyata juga dijalani oleh banyak eksekutif wanita sukses lainnya.
Wiwiek D.Santoso, Presiden Direktur PT Astra France Motor yang mengelola merek
Peugeot, juga menjalankan perannya sebagai Ibu secara totalitas kendati telah menjadi
eksekutif sukses. Urusan masak-memasak lepas dari tanggung jawabnya. Setiap hari Ibu
dari tiga anak menyiapkan menu makanan di rumahnya. Biasanya Wiwiek membeli
bahan makanan sekali seminggu untuk dimasak selama seminggu sehingga ia harus
merencanakan menu setiap hari: mempersiapkan bahan-bahannya. Setiap malam, kalau
tidak ada acara, ia berusaha untuk makan malam bersama keluarga di rumah.
Sebagai wanita sukses, para eksekutif wanita tetap tidak ingin melupakan perannya
sebagai ibu rumah tangga: sebagai isteri bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Kesibukan
memang tidak memungkinkan mereka menjalankan peran itu secara sempurna, tetapi
mereka tetap berusaha maksimal melakoninya : dari urusan rumah tangga hingga urusan
pendidikan anak-anak. Belum lagi kalau anak sakit, pastilah si Ibu yang turun tangan
duluan. "Saya usahakan mengantarkan sendiri mereka ke dokter," ujar Ida, Wiwiek, dan
Eileen Rachman, pendiri lembaga konsultansi dan rekrutmen Experd. Hanya saja, mereka
tidak bisa lagi membantu pelajaran anak-anak di malam hari karena rasa capai yang
menghinggapi atau karena pulang terlambat.
Itulah salah salah satu kelebihan wanita dibandingkan para pria. Sukses berkarir, mereka
tidak ingin menyalahi kodratnya sebagai wanita yang harus hamil, mendidik anak-anak,
dan mengelola semua urusan rumah tangga. Sementara di kantor, para wanita itu juga
dituntut untuk berprestasi. Sungguh sebuah pekerjaan yang berat. Sejatinya, pekerjaan
menjadi ibu rumah tangga saja sudah sangat berat. "Kita tidak bisa menganggap enteng
peran menjadi ibu rumah tangga murni," ungkap Wiwiek D. Santoso dan Riyani T.
Bondan, Senior Vice President Learning Center Bank Mandiri.
Sebuah penelitian pernah dilakukan di Amerika, dan hasilnya sangat mengejutkan. Pria
hanya tahan tak lebih dari 6 bulan dalam menjalankan peran sebagai "ibu rumah tangga"
di rumah mereka. Tak hanya itu. Wanita karir pun belum tentu mampu menjalankan
peran sebagai ibu rumah tangga murni itu. Penelitian pada perusahaan komputer Sun
Microsystem, mayoritas pekerja wanita yang diberi peluang flexytime akhirnya ingin
kembali bekerja dengan pola waktu normal. Penyebabnya, mereka tidak kuat
menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya karena kompleks dan
beratnya pekerjaan tersebut.
WANITA LEBIH KUAT
Berbeda dengan pandangan umum bahwa wanita adalah makhluk yang lebih lemah dari
pria, kenyataan hidup tidak seluruhnya mendukung pandangan itu. Ahmad Purwono,
konsultan transformasi bisnis sekaligus dosen pasjasarjana Ul mengakui bahwa secara
fisik, wanita memang lebih lemah dari pria. Tapi kalau diperhatikan lebih jauh, banyak
tersimpan kekuatan di balik kelemahan fisik itu. Sebagai contoh, saat masih dalam
kandungan, para dokter menganggap bobot bayi wanita di atas 2 kg sudah memadai dan
cukup kuat untuk dibiarkan lahir. Sedangkan bayi laki-laki harus menunggu minimal 2,5
kg untuk dinyatakan kuat. Kondisi ini mengharuskan masa kehamilan bagi bayi laki-laki
relatif membutuhkan waktu lebih lama dan dukungan gizi lebih baik dibandingkan bayi
wanita. Fakta ini menunjukkan bahwa wanita ternyata lebih kuat.
Kekuatan itu terbukti karena wanita lebih cepat matang secara emosional dibandingkan
pria. Kematangan emosional itu juga terlihat saat wanita berkarir. Beberapa penelitian
menyebutkan, wanita lebih tahan banting dan lebih tahan terhadap stres dibandingkan
pria. Wanita lebih mampu mengelola beban stres, terlihat dari sikap mereka yang tetap
cool kendati sedang didera banyak persoalan. Sementara pria akan bersikap uring-
uringan, marah, dan bersikap emosional lainnya. Mayoritas tindakan bunuh diri di Jepang,
misalnya, dilakukan oleh kaum pria. Wanita hanya ikut-ikutan atau diajak serta oleh para
pria. Potret yang sama agaknya juga terjadi di Indonesia.
Di dalam pekerjaan, karakter wanita yang lebih tahan stres itu mewujud pula dalam
bentuk keuletan atau ketekunan. Banyak wanita sukses dibekali sikap semacam ini
sehingga membantu mereka menjalankan pekerjaan. Sebagai contoh, BRA Mooryati
Soedibyo mulai merintis usaha kosmetika alami sejak tahun 1973 dimulai dari garasi
rumahnya hanya dibantu oleh 2 orang pembantu. Kini usaha garasian itu telah
berkembang menjadi usaha yang cukup besar dan menguntungkan.
Selain itu, wanita punya kelebihan lain: luwes dan selalu bersikap detil dalam bekerja.
Sikap luwes menyebabkan wanita bisa diterima banyak kalangan karena luwes dalam
menyampaikan gagasan atau pendapat dan berusaha tidak menyakiti hati orang lain.
Juga luwes dalam merespons masalah. Semuanya itu tentu dilakukan tanpa harus
mengorbankan prinsip dan nilai-nilai pribadi.
"Keluwesan dan penghayatan terhadap pekerjaan turut membantu wanita untuk lebih
sensitif memahami betul apa yang dianalisa dan diputuskan," tutur Vina G. Pendit,
Direktur Selection and Assessment Services PT Daya Dimensi Indonesia (DDI). Cara
wanita mengambil keputusan biasanya tidak reaktif, melainkan melalui proses kajian
terhadap informasi pendukung dan kesepakatan bersama. Mereka pun lebih terbuka
terhadap kritik. "Saya terbuka untuk menerima kritik terhadap keputusan yang dibuat
dan meresponsnya. Sebab, tidak semua yang kami putuskan sempurna," kata Wiwiek dan
Ida di tempat terpisah. Mereka mengaku, kelemahan keputusan yang diambil biasanya
terjadi karena informasi untuk mendukung pengambilan keputusan tidak tersedia secara
lengkap.
Sikap detil jelas sangat membantu wanita dalam menjalankan perannya secara baik.
Tidak seperti pemimpin pria yang sangat emoh dengan hal yang serba detil, wanita
pemimpin terbiasa dengan hal yang detil. Segala tugas harus dibuat dengan
perencanaan, dipikirkan secara detil implementasinya, dan dijalankan penuh kehati-
hatian. "Kadang terkesan terlalu cerewet dan hati-hati," kata Ida dan Riyani, sambil
menambahkan, "Padahal tujuannya sangat baik." Kebiasaan ini membuat wanita
pemimpin mampu mengelola pekerjaan dengan efektif dan relatif aman dari sisi risiko.
Sikap detil Eileen, umpamanya, dilakukan dengan memasukkan semua tugasnya, baik
tugas rumah maupun kantor, ke dalam agenda kerja. Hal ini diakuinya sangat membantu
mengelola beban tugasnya sebagai eksekutif maupun ibu di rumah. Sebagai contoh,
Eileen selalu berusaha agar selepas Isya mengaji setiap Jumat malam. "Saya berusaha
tidak ada kegiatan lain pada malam itu untuk bisa rutin mengaji," ujarnya pelan. Namun
dari keseluruhan kelebihan wanita di mana pria harus mengakuinya secara jujur adalah
kemampuan wanita melaksanakan beberapa pekerjaan pada waktu yang sama tanpa
kehilangan fokus terhadap setiap pekerjaan. Ini sering diistilahkan dengan multitasking
atau multitracking oleh Barbara dan Allan Pease, pengarang buku nomor satu terlaris di
dunia Why Men Don't Have a Clue and Women Always Need More Shoes.
Seorang wanita bisa bekerja di komputer di rumah sambil memasak dan menjaga anak-
anak. Bisa juga bekerja di komputer sambil bicara di telepon plus mendengarkan
pembicaraan di dekatnya dan minum secangkir kopi. "Wanita bisa berbicara tentang
beberapa topik yang tidak relevan dalam satu pembicaraan dan menggunakan 5 nada
vokal untuk mengganti subjek atau untuk memberikan penekanan," tulis Barbara dan
Allan Pease. Kebalikannya, pria hanya bisa mengenali 3 dari nada itu. Sebagai hasilnya,
tambahnya, pria sering kehilangan fokus saat mendengarkan pembicaraan wanita.
Kelebihan ini ada pada wanita karena otak wanita diciptakan untuk kemampuan
multitracking. Sedangkan otak pria hanya dibekali dengan kemampuan monotracking.
"They can't make love and answer questions on why they haven't taken out the garbage
at the same time," tegas mereka tentang pria.
Ida menantang untuk membuktikan kelebihan wanita ini. "Coba saja ajak suami yang lagi
baca koran berbicara tentang sesuatu hal. Pasti dia terganggu dan bisa marah. Atau
kalaupun menjawab, pasti jawabannya seadanya."
WAKTU PEMBATAS
Begitu banyak lakon yang harus dijalani oleh seorang wanita eksekutif, waktu menjadi
kendala utama bagi mereka untuk bisa menjalankan perannya secara optimal. Menangani
masalah rumah tangga menambah beban wanita eksekutif karena beban kerja di kantor
sudah pasti berat. Umumnya para eksekutif menghabiskan waktu minimal 8-9 jam sehari
untuk bekerja di kantor. Belum termasuk ada kegiatan yang harus dihadiri malam hari
ataupun bertugas ke luar kota. Dengan demikian, waktu, tenaga, dan pikiran yang bisa
dicurahkan untuk menjalankan kodrat sebagai Ibu menjadi sangat terbatas.
Semua wanita eksekutif yang dihubungi Human Capital mengaku soal keterbatasan
waktu ini sebagai halangan utama bagi wanita menjalankan aneka perannya. Enny
Hardjanto, Senior Partner Dunamis dan mantan eksekutif Unilever, Citibank, Bank Papan
Sejahtera, dan TVRI, merasa membagi waktu sebagai hal yang pelik. "Kita harus memilih
prioritas dan tentu harus konsekuen dengan pilihan itu," katanya. Repotnya, pilihan pada
prioritas itu mengorbankan kepentingan pribadi. "Saya hobi masak, kadang-kadang tidak
punya waktu untuk memasak. Kecuali hari Sabtu, padahal Sabtu adalah hari
istirahatku..harinya Enny, bukan hari sebagai Ibu, sebagai isteri, sebagai anak, sebagai
konsultan, atau lainnya," paparnya.
Bagi Enny Sabtu adalah hari untuk diri sendiri, menikmati kesukaan / hobi atau
menjalankan apa yang menjadi pilihan pribadi, mulai dari membaca buku, main Internet,
pijat, lainnya. Wiwiek yang punya hobi memasak dan membaca juga mencoba
menjadikan Sabtu sebagai hari untuk diri sendiri. "Paling tidak hingga jam 12 siang saat
anak-anak pulang sekolah. Tapi belakangan, anak-anak pulang sekolah jam 9 pagi,
akibatnya waktu untuk diri sendiri jadi hampir tidak ada," ujarnya sambil terbahak.
Sedangkan hari Minggu sepenuhnya untuk keluarga. Biasanya Wiwiek bersama suami
mengantar kedua anak kembarnya menunggang kuda di Kebon Jeruk atau Tapos.
Waktu memang barang mahal bagi siapa saja yang sibuk, terlebih lagi bagi wanita
eksekutif. Mereka harus pandai membagi waktu karena perannya lebih banyak daripada
pria. Bagaimanapun hidup harus dibuat seimbang antara pekerjaan kantor dan rumah;
antara beban stres dan usaha relaksasi; antara kehidupan pribadi dan kehidupan
keluarga; antara kehidupan keluarga dan sosial. "Hidup harus dibuat menyenangkan,
jangan jadi beban," ujar mereka bersepakat.
Maka, pandai-pandailah menjalaninya. Pria pun mungkin harus belajar dari para wanita
sukses ini.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Memilih Berkarir Harus Siap Berkorban
Keputusan seorang wanita untuk terjun berkarir tidak mungkin terjadi begitu saja. Perlu
pertimbangan yang matang agar antara karir dan rumah tangga dapat berjalan seimbang
dan meminimalkan pengorbanan antara tugas yang satu dengan tugas yang lain. Ini
tentu bukan pekerjaan mudah, meski bukan mustahil dilakukan.
Wiwiek D. Santoso, President Director PT Astra France Motor mengungkapkan, pilihan
antara karir dan rumah tangga, pada dasarnya sama tinggi nilainya. Ia mengenang,
pengorbanan ibunya yang ketika itu harus meninggalkan bisnisnya yang telah ditekuni
bertahun-tahun demi mencurahkan perhatiannya kepada keluarga. Ketika itu Wiwiek
melihat bahwa keputusan ibunya tersebut sebagai hal yang biasa-biasa saja. Sebab, di
sekitar tempat tinggalnya di Malang, Jawa Timur, wanita karir atau businesswoman masih
terbilang langka.
Namun, setelah hijrah ke Jakarta dan menjadi wanita karir, Wiwiek baru menyadari
pengorbanan ibunya sungguh sangat besar. "Karena itu, saya berpendapat bahwa
menjadi wanita karir atau house wife keduanya sama-sama penting." Sebab, menjadi ibu
rumah tangga di mata Wiwiek merupakan pekerjaan mulia dan tidak bisa disepelekan. Ia
mengutip artikel di sebuah majalah asing yang mengisahkan seorang suami yang ingin
mencoba-coba menjadi "bapak rumah tangga" selama enam bulan. Namun, baru berjalan
beberapa hari suami tadi menyerah dan mengaku hampir mati. "Ini semakin menegaskan
bahwa tugas ibu rumah tangga juga cukup berat," katanya.
Wiwiek yang pernah mengembangkan karir di sejumlah anak perusahaan PT Astra
International, mengaku banyak belajar dari ibunya untuk senantiasa berusaha menjadi
isteri yang baik di mata suami dan ibu yang baik di mata anak-anak. Adapun untuk
mengasah kompetensi dan pengetahuan di bidang karir, ibu dari seorang putri berumur
17 tahun dan kembar 15 tahun itu. belajar dari mana saja. Bisa dari atasan, teman kerja,
buku, serta dari anak buahnya.
Pengembangan kemampuan, ketrampilan dan kompetensi diri, menurut Wiwiek harus
senantiasa dilakukan. Sebab. hampir semua perusahaan kini tak lagi mengenal
diskriminasi gender. Artinya pemberian tugas, beban, tanggung jawab dan jabatan
kepada seseorang untuk memimpin perusahaan tidak didasarkan dia seorang wanita
atau pria, melainkan berdasarkan atas kemampuan.
Nah, bagi seorang wanita yang harus pula mengelola rumah� tangga, selain
bertanggung jawab mengelola perusahaa kondisi ini tentu menuntut konsekuensi
tersendiri.� "Harus ada yang dikorbankan, dalam arti tidak semuanya bisa dijalankan
secara sempurna," kata penggemar novel ini. Ia menunjuk contoh, jika anak sakit dan
memerlukan keberadaan seorang ibu untuk mengantarnya ke dokter, ia akan
memprioritaskan fungsinya sebagai ibu. Sedangkan tugas kantor, sepanjang dapat
didelegasikan kepada orang lain, untuk sementara diserahkan kepada orang lain. Namun,
jika suatu saat ia harus menjalankan tugas kantor, misalnya melakukan business-trip ke
luar negeri suami dan anak-anaknya harus pula bisa memahami dan siap dengan kondisi
tersebut.
Wiwiek tampaknya sangat bersyukur karena selama ini ia dapat melakoni kedua peran
tersebut dengan relatif baik. Paling tidak, sejauh ini belum ada complain dari suami
maupun anak-anaknya. Bahkan, ketika secara bercanda Wiwiek mengatakan ingin tinggal
di rumah saja, mereka bingung.� "Memangnya Mama betah bengong di rumah?" ujar
Wiwiek menirukan komentar anak-anaknya.
Keberhasilan Wiwiek menjalankan peran ganda sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah
tangga, didukung oleh beberapa faktor. Pertama, komitmen yang sejak dini sudah
disepakati dengan suami, bahwa bagaimanapun kesibukan mereka berdua, keluarga
tetap menjadi prioritas. Mereka harus bisa saling mem-back up untuk urusan anak-anak
dan keluarga. Untuk mengambil raport anak-anak, misalnya, mereka berusaha untuk bisa
hadir berdua. Namun jika Wiwiek sedang sibuk, suaminya yang akan pergi. Begitu juga
sebaliknya. Faktor kedua, anak-anak Wiwik kini sudah beranjak dewasa, sehingga tidak
memerlukan perhatian ekstra.
Ketiga adalah komunikasi. Tanpa bermaksud membeberkan urusan kantor kepada suami
dan anak-anaknya, Wiwik sejak awal sudah menyampaikan kepada anggota keluarganya
bahwa tugas dan tanggung jawab pekerjaannya, akan membuatnya hanya punya sedikit
waktu untuk mereka. Meski tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin sebuah
perusahaan membuatnya sering pulang malam, Wiwik tetap berusaha sedapat mungkin
meluangkan waktu untuk anak-anak.
Ngobrol saat makan malam atau menjelang tidur, merupakan waktu yang sangat
berharga. Jika Wiwik terpaksa harus meninggalkan momen berharga itu, ia akan berusaha
menggantinya pada kesempatan lain. Misalnya menenami anak-anak berkuda di kawasan
Sukabumi, atau sekadar makan bersama di luar rumah.� "Sampai saya merasa tidak
punya waktu untuk diri saya sendiri," kata Wiwik tanpa kesan mengeluh, karena kondisi
itu adalah bagian dari konsekuensi dari pilihan yang ia ambil.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Pekerjaan Yang Terkait dengan Fisik Memunculkan Gender
Masalah gender, kini sudah tidak lagi dipermasalahkan di sebagian besar perusahaan
yang ada di Indonesia. Perusahaan justru lebih mengacu kepada kompetensi dan kinerja
seseorang dalam menilai seseorang. Tak terkecuali di PT Mitra Integrasi Informatika (MII),
merupakan salah satu anak perusahaan dalam kelompok usaha Metrodata yang
memfokuskan diri di bidang jasa konsultasi dan sistem integrasi teknologi informasi.
Setiap karyawan diperlakukan sesuai dengan kemampuan dan jabatan yang melekat di
dirinya. Karir, jelas terbuka untuk siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan,
MII boleh berbangga hati mengingat perusahaan tersebut pernah memiliki tiga
perempuan yang berada di jajaran director. Sayangnya, posisi director perempuan
tersebut kini hanya tinggal seorang saja.
Adalah Lumaksi Boediharga. Sosok perempuan yang mencintai dunia teknologi yang kini
menjabat sebagai Business Solution Director di MII. Ibu tiga anak jebolan Universitas
Gadjah Mada jurusan Ekonomi dan Teknologi ini mengaku bahwa posisi director yang kini
disandangnya, bukanlah sebuah posisi yang bisa ia raih hanya dengan sekejap mata.
Butuh perjuangan, keuletan dan kerja keras untuk mencapai posisi tersebut.
Menurutnya, umumnya perusahaan, sudah tidak lagi berpikir masalah gender karena
siapapun berhak untuk berkarir sesuai dengan kemampuannya. Jika sebuah perusahaan
membutuhkan seorang manager yang punya kapabilitas dengan kemampuan leadership
yang baik, tidak hanya sekedar baik dalam komunikasi, maka perusahaan tersebut akan
mencari orang yang sesuai dengan karakter tersebut.� "Perusahaan hanya tahu, oh dia
masih sendin atau sudah berkeluarga, dia akan cuti hamil dan melahirkan. Itu semua
sudah ada dalam peraturan tenaga kerja," tutur Maksi, sapaan akrabnya.
Dalam kondisi seperti sekarang, pekerja perempuan yang cuti hamil dan melahirkan,
misalnya, sudah diperhitungkan oleh perusahaan. Artinya, di satu sisi, bisa saja
perusahaan akan rugi jika karyawannya tidak masuk selama 3 bulan karena cuti hamil
dan melahirkan. Tapi di sisi lain, perusahaan akan selalu memperhitungkan hal itu dan
bagaimana cara mengantisipasinya. Maksi mengatakan, selama karyawan tersebut masih
punya kriteria yang baik dalam bekerja, itu tidak menjadi masalah. Bisa saja, jika orang
awam menilai, kenyataannya perusahaan akan merugi karena karyawannya tidak rnasuk
selama 3 bulan dengan konsekuensi perusahaan harus membayar cuti hamil dan
melahirkan.
Namun, lanjutnya, bukan berarti komposisi dalam satu perusahaan tidak diperhitungkan.
Contohnya, karyawan akuntan di MII sendiri lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.
Jelas, ada alas an tersendiri. Perempuan dianggap mempunyai ketelitian yang lebih baik
dibanding laki-laki. "Di kami laki-lakinya hanya 3 orang, sisanya perempuan. Mungkin ini
gender dan bermasalah kalau hamil semua. Tapi perusahaan pasti punya satu
pertimbangan," tegasnya.
Kendala, siapapun pasti akan mengalami hal demikian. Saat ia masih belum menikah,
kendala yang ia alami adalah meyakinkan kedua orangtuanya bahwa pekerjaan yang ia
geluti memang tidak sekedar datang dan pulang tepat waktu. Kendala terbesar muncul
saat ia memulai bahtera rumah tangga. "Kalau komunikasi tidak berjalan dengan lancar,
masalah akan muncul. Saya dan suami harus terus berkomunikasi menjelaskan pekerjaan
yang saya lakukan. Saya bekerja bisa sampai jam 3 pagi. Sebagai karyawan, kita harus
bekerja sampai selesai. Itu konsekuensi yang harus dihadapi," aku perempuan berusia 52
tahun dengan antusias.
Semestinya, setiap perempuan yang melamar kerja di suatu perusahaan, harus
menyadari bahwa kondisi-kondisi di luar jam kantor akan terjadi. Selain aturan baku
datang jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore, mereka harus menyadari akan ada pekerjaan
yang memakan waktu di luar itu seperti lembur dan dinas luar kota. Jika siap dengan
kondisi itu, maka siapapun akan berusaha mengantisipasi sedini mungkin.
Selain komunikasi dengan suami, ia juga harus menjelaskan kepada ketiga anaknya.
Memang, akunya, harus ada beberapa hal yang dikorbankan. Artinya, seseorang tidak
bisa idealisme terutama saat anak masih belum. mengerti pekerjaan ibunya. "Seorang
ibu, di suatu saat dia akan dihadapkan dengan dilema seperti anak sakit. Tapi dia harus
punya keputusan dan mencari solusinya, seperti menggunakan jasa baby sitter atau
pembantu untuk membawa anak ke dokter," papar perempuan yang hobi bekerja.
Berbeda jika pekerjaan yang ia geluti hanya sekedar mengisi waktu luang.
Seringnya dinas luar kota yang bisa memakan waktu sampai 7 bulan, membuat
perempuan ini sering diprotes oleh ketiga anaknya. "Kapan waktu liburnya?" ujar Maksi
mengikuti ucapan anak-anaknya sambil tersenyum. Untuk mengatasi hal tersebut,
perencanaan adalah hal utama. Ia dan suami biasanya akan merencanakan cuti jauh-jauh
hari sehingga mereka sekeluarga bisa berlibur berbarengan. Kalau cuti dipersiapkan jauh
hari maka pekerjaan harus saya diselesaikan dengan cepat, sebelum masa cuti tiba.
Ambisi dalam berkarir, memang selalu ada. Namun, ia tetap mengukur batas umurnya
yang sudah tidak muda lagi. Setidaknya, tekun berkarir dan happy dalam bekerja, adalah
motto hidupnya dalam bekerja. "Terkadang sebagai ibu, saya suka bandingkan dengan
ibu rumah tangga lain yang selalu mengurus anak. Memang beda, ada hal yang kurang
jika tidak bisa berkontribusi secara teknikal mengurus anak. Mungkin ini yang kadang-
kadang susah dilakoni seorang perempuan," kata Maksi yang sering bekerja lebih dari 15
jam bahkan pernah sampai 25 jam sehari dengan nada serius. Akhirnya, usaha yang ia
lakukan yaitu dengan berkontribusi secara moral kepada ketiga anaknya sehingga anak-
anaknya tidak merasa kehilangan sang ibu dalam hidup mereka.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Sukses di Rumah Tangga dan Karir
Ida Purwaningsih Lunardi agaknya tergolong wanita eksekutif langka di Indonesia. Kendati
menjadi CEO PT. Federal International Finance (FIF), anak perusahaan Astra di bidang
pembiayaan pembelian motor, ia tetap tidak ingin mengorbankan perannya sebagai ibu
rumah tangga. "Saya ingin sukses di karir, tetapi juga sukses sebagai istri bagi suami dan
ibu bagi anak-anak," ujarnya mantap.
Saking cintanya terhadap keluarga, Ida akan memilih mengorbankan urusan karir
ketimbang harus mengorbankan keluarga. Sewaktu menjabat Direktur Keuangan Astra
Credit Company (ACC), anaknya yang saat itu berusia 9 tahun sempat sakit berlarut-larut
sehingga harus diopname di rumah sakit selama 2 bulan. Ini mengharuskannya untuk
menjaga anaknya di rumah sakit. "Saya bilang kepada atasan, saya bisa melakukan
pekerjaan dari rumah sakit karena sudah ada sistem. Kalau Bapak keberatan, saya siap
mengundurkan diri," ucapnya, sambil menambahkan, "Karena bagi saya keluarga tetap
nomor satu, dan karir nomor dua."
Sang atasan mengabulkan permintaan Ida untuk bekerja dari rumah sakit. Setahun
kemudian, saat suaminya harus dirawat pula di rumah sakit selama sebulan, hal yang
sama terpaksa dilakukannya, ia tidak masuk lagi bekerja. Namun karena sudah ada
kesepakatan dengan atasan, hal itu bisa dilakoni Ida dengan baik.
Dalam kesehariannya yang sibuk, Ida masih menjalankan perannya sebagai ibu di rumah
dengan maksimal. Pagi hari, ia harus mempersiapkan sarapan bagi suami dan kedua
anaknya. Kebetulan kedua anak laki-lakinya masih tinggal serumah meski kini sudah
mulai bekerja. Di rumah Ida terbantu oleh ibunya yang berusia 79 tahun dan masih sehat
yang juga sama-sama punya hobi memasak. Kalau lagi malas, sore hari saat pulang
kantor ia membeli makanan siap saji.
Kewajiban terhadap keluarga itu memaksa Ida untuk membatasi lama waktu bepergian
ke luar kota dalam urusan bisnis.� "Waktu anak-anak masih kecil, saya usahakan untuk
pulang hari. Sekarang sudah tidak mesti begitu lagi. Sebelum bepergian ke luar kota,
saya sudah menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anak," tambah eksekutif asal
Semarang ini.
Hebatnya, kendatipun begitu intens menjalankan perannya sebagai ibu di rumah, Ida
juga tergolong sangat sukses dalam berkarir. Jabatan CEO diraihnya setelah berkarir
benar-benar dari bawah. Ia mulai berkarir pertama kali di PT United Tractors (UT) sebagai
juru tik. Ceritanya, Ida yang lulusan IKIP Semarang jurusan bahasa Inggris ini melamar
untuk bekerja di UT sebagai sekretaris karena perusahaan itu membuka lowongan kerja.
Personalia UT bertanya ijazah apa yang dimiliki Ida dan apakah punya ijazah sekretaris.
"Saya bilang tidak punya, Tetapi kalau mengetik saya bisa karena sering menerima jasa
pengetikan skripsi. Ketikan saya cepat dan rapih," jawabnya ketika itu. Akhirnya Ida
bukan diterima sebagai sekretaris, tetapi sebagai juru tik di bagian Personalia.
Toh Ida tetap mensyukuri hal ini dengan bekerja sebaik-baiknya.� "Saya berprinsip,
dalam melakukan pekerjaan selalu berusaha to be the best." Waktu menjadi juru tik, ia
melihat berapa lembar yang dihasilkan rekan kerjanya, dan Ida berusaha lebih banyak
dari jumlah itu. Karena mampu mengetik dengan cepat, Ida punya banyak waktu luang.
la menawarkan diri kepada atasannya untuk membantu mengoreksi hasil tes karyawan
yang ia kerjakan sampai malam. Lama-lama Ida dipercaya menjadi pengawas tes seleksi
karyawan.
Rupanya atasan Ida ngomong ke mana-mana tentang kehebatan Ida, bahwa Ida mampu
bekerja dengan cepat dan orangnya mauan. Saat Teddy P. Rahmat, Presiden Direktur UT,
mencari sekretaris beberapa bulan kemudian karena sekretarisnya pindah ke Jepang,
Teddy akhirnya menunjuk Ida sebagai sekretaris. Waktu bekerja jadi sekretaris pun, Ida
yang merasa banyak mengganggur mencoba membantu atasannya. Dia lihat Pak Teddy
suka membaca buku berbahasa Inggris, Ida mencoba membuatkan ringkasan dari buku-
buku tersebut. Saat Teddy akan membaca, Ida menawarkan hasil ringkasannya karena
waktu bosnya yang sempit untuk membaca. Teddy pun kaget.� "Bayangkan, pada saat
teman-teman sekretaris lain membaca majalah, saya malah baca buku dan membuatkan
ringkasannya," tuturnya sambil tersenyum.
Tiga tahun menjadi sekretaris, Teddy yang melihat potensi Ida menawarkan menjadi
manajer keuangan di PT Tractor Nusantara, anak perusahaan UT. la minta waktu untuk
berpikir.� "Saya juga bilang tidak mengerti bidang keuangan. Sebelumnya Pak Teddy
selalu menyuruh saya untuk belajar keuangan." Pak Teddy mencoba meyakinkan Ida
bahwa keuangan itu sederhana.� "Pokoknya kamu atur saja, jangan sampai ada utang
yang tidak bisa dibayar, ada kewajiban yang tidak bisa dipenuhi, uang yang mestinya
masuk diusahakan masuk supaya bisa bayar kewajiban."
Sehari berpikir�dan ia setuju dengan pendapat Teddy bahwa keuangan itu cukup
sederhana�Ida berketetapan hati untuk mengambil peluang itu. Keesokan harinya saat
bertemu Teddy, ia menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian, rnulailah Ida menjadi
manajer keuangan sambil terus belajar masalah keuangan. "Segalanya berubah.. Dari
tidak punya anak buah, jadi punya anak buah. Di perusahaan ini pula Ida kemudian
bertemu dengan sang suami.
Sejak menjadi manajer keuangan (1976-1979), karirnya terus melesat. la kemudian
dipercaya menjadi Direktur Keuangan 8 Administrasi PT Interdelta (1979-1986), menjadi
Presiden Direktur PT Swadharma Bhakti Sedaya Finance (1986-1994), Presiden Direktur
PT Astra Sedaya Finance (1989-1977), Direktur Keuangan Federal Motor (1997-1998), dan
Presiden Direktur FIF (1998 hingga saat ini). Selain itu, Ida dipercaya menjadi komisaris
beberapa anak perusahaan Astra.
Sebagai eksekutif, Ida telah menunjukkan kualitas kepemimpinannya di berbagai
perusahaan tempat ia berkarya. Di bawah kepemimpinannya, FIF yang babak belur saat
krisis ekonomi kini tampil sebagai salah satu anak perusahaan Astra yang paling
menguntungkan. Ia diberi kepercayaan membenahi FIF yang dililit utang US juta dan Rp
380 miliar di saat nilai rupiah anjlok beberapa kali lipat. Mau mengadu ke Astra sebagai
induk perusahaan tidak bisa, karena Astra juga sedang dililit persoalan yang sama
besarnya. FIF terpaksa memangkas jumlah karyawan dari 2.600 orang menjadi 1.700
orang. Akibat harga motor Honda dinaikkan 4 kali lipat dari Rp 3 juta/unit sebelum krisis
menjadi Rp 12 juta/unit setelah krisis, pasar motor tidak bergerak sehingga arus kas nihil.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
PEKERJA PEREMPUAN LEBIH DILIHAT KOMPETENSINYA
Pemimpin yang baik, adalah pimpinan yang kompeten dan bisa membawa tim yang solid.
Ini lebih penting ketimbang hanya mengurusi gender si pemimpin.
Peranan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia, dianggap kini lebih beruntung
karena sudah tidak ada kebijakan yang menyulitkan kaum perempuan untuk
dipekerjakan. Kalaupun perempuan pada situasi tertentu "disepelekan", itu disebabkan
karena sikap orang-orang tertentu saja, bukan karena pemerintah. Sehingga, perempuan
kini punya banyak kesempatan untuk berkarir.
Kesetaraan gender dalam sebuah pekerjaan menurut Eileen Rahman, justru tergantung
pada kompetensi yang sedang dibutuhkan. "Ada perempuan yang jago di bidang
tertentu, tetapi sebaliknya, ada pula laki-laki yang jago di bidang tertentu," papar
perempuan yang menjabat sebagai Director di Experd, sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang jasa konsultan SDM. Perempuan pada masa sekarang, lebih dilihat
kepada kompetensinya dalam berkarir. Perbedaan akan terlihat kalau kompetensi dan
entrepreneurship-nya memang beda. Tapi bukan karena jenis kelaminnya.
Ia mengakui, masih ada anggapan dari sebagian masyarakat Indonesia yang mengatakan
bahwa perempuan lebih baik di rumah. "Anda lihat sendiri, anggota DPR saja, yang
perempuan masih sedikit," katanya mencontohkan. Persepsi ini seharusnya diubah. Di
sisi lain, kaum perempuan pun harus meyakinkan diri bahwa dia mampu untuk berkarir.
Untuk mengakomodasi hak dan peranan perempuan saat bekerja, Eileen justru
beranggapan bukan dari segi struktur atau peraturan yang diberlakukan di perusahaan,
melainkan dari segi fasilitas. Contohnya, perusahaan memikirkan bagaimana karyawan
perempuan bisa lebih mudah mengurus balitanya secara lebih intensif, misalnya dengan
cara memberlakukan flexitime atau mungkin bisa dengan menyediakan ruangan
menyusui bagi perempuan pekerja yang masih menyusui anaknya. "Tapi, itupun harus di
lihat, apakah setiap perusahaan harus seperti itu. Kita harus bersaing dengan kaum laki
dan kaum perempuan yang lain. Makanya kita harus akal-akalan," tegasnya saat ditanya
bagaimana mengatasi persoalan pelik yang biasa muncul di setiap perempuan yang
bekerja, terutama dalam mengurus rumah tangga.
Kalau anak sakit. padahal ia dituntut untuk ke kantor karena ada rapat, Eileen mencoba
mengatasi hal demikian dengan menyerahkan tanggung jawab sementara kepada
mertua, pembantu bahkan bisa pula kepada tetangga yang dipercayainya. "Kan ada anak
kecil yang maunya dipeluk terus sama ibunya saat dia sakit. Kita harus bisa atasi ini.
Kalau tidak, kita kalah," aku nenek satu cucu yang salut dengan temannya, yang sengaja
menjebol dinding pagar rumahnya sehingga dia bisa saling menjaga dengan anak
tetangganya.
Perempuan yang menikah di usia yang tergolong muda�" 20 tahun" mengasuh anak-
anaknya tanpa dibantu orang lain selama 8 tahun. Setelah delapan tahun lewat, ia baru
mulai kuliah dan menapaki karir di usia 33 tahun. Tidak banyak perempuan yang
menjalani karir di usia demikian. Namun, ia bersyukur ierena ia bisa menjalani� "paket
komplit" seorang perempuan, berumah tangga, mengurus anak, sekolah dan berkarir
secara bertahap, tidak ada yang terlewatkan. "Ini sebuah kemewahan buat saya. Jarang
kan perempuan karir bisa seperti itu. Tapi ini unik, karena terjadi tanpa direncanakan,"
katanya dengan antusias.
Sebagai wanita karir, penggemar olahraga panjat tebing yang sudah berusia lebih dari
setengah abad ini membeberkan bahwa siapapun, laki-laki atau perempuan, pasti akan
mengalami suka duka dan berbagai rintangan dalam berkarir. "Saya ini suka bekerja.
Tidak enak kalau tidak ada kerjaan." Dukanya, justru dirasakan olehnya kalau kalah
proyek. Saat dibahas di kantor, ia mengaku sering marah-marah jika itu terjadi, kendati ia
menyadari bahwa kekalahan tersebut merupakan kesalahan seluruh tim termasuk
dirinya.
Banyak yang menilai, sosok Eileen terutama di mata anak buahnya adalah sosok
pemimpin dan teman yang memiliki perhatian yang sangat besar. Bisa dimaklumi, karena
ia adalah seorang psikolog. Menurutnya, secara teoritis, seorang atasan yang benar,
harus mendelegasikan dengan cepat hal-hal yang perlu diungkapkan kepada anak buah.
Atau dengan kata lain, seorang atasan harusnya mengajarkan anak buahnya supaya
pintar. Ini untuk menghindari menurunnya kinerja anak buah. Ada beberapa kemungkinan
jika karyawan atau anak buahnya jika kinerjanya berkurang. Pertama, karyawan tersebut
tidak pintar, kedua karyawan itu pengecut. Ketiga adalah tidak bisa melihat organisasi
dengan benar dan keempat ada masalah pribadi.
Ia memberikan contoh, jika ada anak buahnya yang pacarannya backstreet, mendadak
tidak berada di kantor padahal masih jam kantor atau ada rapat, ia akan segera
memanggil anak buahnya tersebut untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi.
"Kalau sering hilang begitu, maka dia tidak akan mencapai target. Ujung-ujungnya, dia
malah bisa dikeluarkan," jelasnya. Perhatian seseorang, akan terlihat jelas di wajah. Jika
ada masalah, maka raut wajah seseorang akan terlihat beda jika dibandingkan dengan
seseorang yang sedang tidak ada masalah. "Kita harus lihat detailnya supaya
penyelesaiannya cepat. Kita harus bantu karena urusannya ke kerjaan juga," tegasnya
kembali.
Di samping itu, pimpinan yang baik adalah pimpinan yang kompeten dan bisa membawa
tim yang solid. Ini lebih penting ketimbang hanya mengurusi gender si pemimpin.
Bahkan, ketegasan dan disiplin harus terus ditegakkan dan dicontohkan oleh pemimpin.
Kalau ada anak buah yang tidak perform terhadap perusahaan, ia dengan tegas akan
mengatakan bahwa dia tidak perform dan bisa dikeluarkan dari perusahaan. Jadi, jangan
heran jika dalam hitungan bulan, Eileen bisa memberhentikan karyawannya dan
menggantikannya dengan yang perform. "Makanya saat interview, saya tidak hanya
melakukan couching saja, tapi juga konseling. Jika dia ternyata tidak cocok untuk
pekerjaan ini, saya akan anjurkan untuk pekerjaan lain. Ini untuk menghindari kesalahan
dalam mendapatkan karyawan yang pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya," jelas
Eileen yang merasa dekat dengan anak buah perempuan dan tidak menyukai anak buah
yang "cari muka" terhadap dirinya.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Dalam Bekerja, Jangan Seperti Kuli dengan Mandor
Pesan sang suami yang mengharuskan ia bekerja serius dan tidak setengah-setengah,
membulatkan tekadnya untuk menekuni karir sekaligus mengelola keluarga.
Era kebebasan kaum perempuan di masa sekarang, kini sudah banyak dinikmati oleh
kaum perempuan. Dan kebebasan berkarir hingga sampai di posisi atas, juga dinikmati
oleh Riyani T. Bondan, sosok perempuan yang menjabat sebagai Senior Vice President
Learning Center Group Head Bank Mandiri.
Menurut Ani, demikian ia biasa disapa, Bank Mandiri kini sudah lebih terbuka dengan
posisi perempuan menjadi pimpinan. Sekarang saja, di group head Bank Mandiri memiliki
lima pimpinan. Kendati di level direktur belum terdapat perempuan, namun Ani
menegaskan bahwa itu bukan satu hal yang bermasalah buat kaum perempuan. Artinya,
kondisi demikian bukan disebabkan adanya diskriminasi, melainkan karena kompetisi
biasa secara profesional yang dilakukan Bank Mandiri. Secara global, jika kaum
perempuan masih tergolong jarang berada di level atas, diakuinya bukan karena dibatasi
secara sadar. Keterbatasan muncul, bisa pula karena pilihan perempuan itu sendiri,
bukan karena gagal dalam bersaing dengan laki-laki.
Di Amerika Serikat, aktualisasi begitu ditonjolkan, sehingga kepuasan kerja disamakan
dengan jabatan. Namun, Ani menilai, secara pribadi, kepuasan kerja di dirinya bukan
karena jabatannya, melainkan bagaimana ia bermanfaat untuk orang lain. "Atasan saya
pernah bilang, kamu kelihatannya menikmati di training. Padahal, mungkin di Indonesia,
istilah training itu bukan tempat prestisius," jelasnya. Orang Indonesia masih
beranggapan, kalau seseorang berada di divisi bisnis, baru dibilang hebat. Sedangkan
jika di bagian support, dianggap kurang hebat. Tapi tidak buat dirinya. Ia malah
beranggapan bahwa di mana pun ia ditempatkan dan memberikan kontribusi yang lebih
besar, ia merasa senang. Lain hal jika ia ditempatkan di suatu divisi yang malah
membuat ia tidak bisa berkontribusi, justru membuatnya kecil hati.
Ditempatkan di divisi yang dianggap sebagai "area gampang", justru membuat ibu dua
anak ini merasa diberi kesempatan ke dunia baru, yang tidak pernah tersentuh sekalipun.
"Tapi, di divisi apapun saya dipindahkan, saya tetap lihat positifnya." Maka itu, ia
mencoba mengikis pendapat bahwa orang-orang di bagian support itu artinya boleh diisi
oleh orang-orang yang tidak perform, atau malah dianggap "orang buangan". Tak heran
jika perempuan jebolan IPB ini sering mengutarakan ke rekan kerjanya untuk senantiasa
kerja keras sama-sama, yang mungkin orang lain bilang, ini lebih keras dibandingkan
yang di unit bisnis. "Saya bilang, ini memang tantangan seperti itu karena banyak PR
yang belum kita kerjakan. Tapi ini menarik, bagaimana kita bisa diterima, kita dibutuhkan,
kita bisa kerjasama. Itu justru yang menjadi kebanggaan sendiri," imbuhnya.
Menurutnya, kendala secara global bagi kaum perempuan yang berada di posisi atas
dalam berkarir ada di diri mereka sendiri. Artinya, dengan melakukan pilihannya mereka
sendiri, maka akan tercermin di cara kerjanya. Jika cara kerjanya menyiratkan sesuatu,
jelas dengan sendirinya muncul. "Kita tidak bisa membohongi orang lain, apa yang ada di
pilihan kita, pikiran kita akan terlihat di cara kerja. Bahkan jika perempuan tersebut berat
ke keluarga, itu akan tersirat. Bagaimana kita mengambil keputusan pada saat sulit.
Itulah perempuan dengan kelebihan dan kekurangannya," ungkapnya panjang lebar.
Dalam mengambil keputusan apakah seorang perempuan harus mengurus keluarganya
atau mengurus keluarga dan tetap berkarir, ia menegaskan bahwa itu adalah pilihan.
"Kalau kita memang bisa berkarir, keluarga bisa dikelola dengan baik dan dengan cara
tertentu, kenapa tidak?" Mengurus keluarga, jelas sebuah karir. Tapi akan lebih baik jika
tidak separuh-separuh. Jangan sampai terjadi, berkarir di rumah tidak, di kantor pun
tidak. Ini yang disayangkan oleh Ani.� "Jangan kantor jadi korban, rumah juga korban.
Kalau kita separuh-separuh dan tidak jelas arahnya, yang di rumah bingung, yang di
kantor juga bingung karena saat dibutuhkan di kantor, dia menghilang. Tapi di rumah
juga tidak sepenuhnya.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Pada Awalnya Menghadapi Dilema
Mengapa Anda memilih bekerja dan mengorbankan waktu yang mestinya untuk
keluarga? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada Direktur Keuangan Bakrie & Brothers,
Yuanita Rohali, maka jawaban yang muncul adalah sederet perhitungan yang berbau
matematis.
Yuanita, ibu tiga anak yang masing-masing berusia 10 tahun, 6, dan 3 tahun itu,
mengaku sebenarnya dihadapkan pada sebuah dilema : karir atau keluarga. Namun
setelah melakukan berbagai pertimbangan, akhirnya adik kandung presenter Alya Rohali
ini memutuskan untuk terus melaju dalam berkarir. Pertimbangan yang dia pakai, antara
lain adalah seberapa besar perbedaan waktu antara kalau ia bekerja dan tetap tinggal di
rumah sebagai ibu rumah tangga.
"Ternyata bedanya tidak terlalu signifikan," tukas pehobi musik dan menyanyi ini.
Perhitungannya: setelah sarapan dan bangun pagi, anak-anak (kecuali yang masih 3
tahun) bergegas berangkat sekolah dan suami pergi ke kantor. Kalau pun saya tinggal di
rumah, saya juga tak bisa bersama suami dan anak-anak, karena mereka punya
kesibukan masing-masing," kata Yuanita.
Menjelang makan siang, anak-anak pulang ke rumah dan makan siang tanpa ditunggui
ayah dan ibunya. Namun, anak-anak Yuanita hanya singgah ke rumah hanya untuk
beberapa jam saja. Setelah itu, mereka kembali meninggalkan rumah untuk mengikuti
berbagai kegiatan ekstra sekolah sampai jam 5 sore. Adapun Yuanita, jika tak ada
kegiatan yang sangat penting, akan kembali ke rumah sekitar pukul 19.00 untuk
berkumpul bersama keluarga.
Dengan asumsi bahwa kalau menjadi ibu rumah tangga Yuanita tak punya kegiatan lain
pun, waktu yang tersedia untuk bersama keluarga relatif singkat.� "Padahal, sebagai ibu
rumah tangga perlu juga kan bersosialiasi dan keluar rumah," tambahnya. Akhirnya
Yuanita memutuskan untuk terus berkarir. Apalagi, selama ini ia merasa bisa membagi
waktu antara pekerjaan dan tugas sebagai ibu dengan cukup baik.� "Saya biasakan
untuk bisa makan siang di rumah bersama anak-anak dan suami," katanya. Atau, jika
Yuanita tak sempat, anak-anak� yang menyusul ibunya ke kantor. Kesempatan ini
biasanya digunakannya untuk membimbing anak-anak mengerjakan tugas sekolah atau
sekadar ngobrol.
Nita sadar bahwa anak adalah bagian dari masa depannya juga. Karena itu, meski ia
sibuk dengan urusan pekerjaannya, Nita mencoba untuk bisa dekat dengan kedua
anaknya. Begitu besar keinginan untuk dekat dengan keluarga, sampai-sampai ia rela
kehilangan waktu untuk kepentingan pribadi, demi anak-anak dan suaminya.
Dalam menjalani karir profesionalnya, Yuanita mengaku tidak menghadapi kendala
berarti, terutama dalam statusnya sebagai perempuan.� "Sekarang, antara laki laki dan
perempuan praktis tidak ada pembedaan, kecuali untuk hal-hal yang sifatnya kodrati,"
tegasnya. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk saling
melengkapi. Di dunia kerja, menurut Yuanita wanita memiliki beberapa kelebihan.
Misalnya lebih tekun, sabar dalam arti tidak mudah marah, dan relatif lebih jujur. Adapun
pria, pendapat umum sering mengungkapkan bahwa mereka lebih tegas, dan lebih
berani.
Sebagai wanita, menurut Yuanita ia merasa tidak pernah dan tidak perlu memperoleh
perlakuan khusus dari perusahaan.� "Kalau kita menuntut keistimewaan, menurut saya
malah jadi tidak fair, karena di satu sisi kita sering meneriakkan persamaan hak
sementara di sisi lain wanita minta diistimewakan," katanya. la menegaskan, bahwa
secara fisik wanita memang berbeda dengan pria, namun hal tersebut hanya secara fisik
saja. Adapun di bidang karir, keduanya memperoleh hak dan kewajiban yang sama.
Keberhasilan Yuanita menekuni karir profesionalnya selama ini, seperti halnya wanita lain,
memang tak lepas dari peran orang tua dan suami serta anak-anak. Meski ibu Yuanita
lebih memilih sebagai housewife, selama ini, kata Yuanita, ibunya sangat mendukung
karirnya.� "Beliau sering menasehati saya, meskipun saya bekerja suami dan anak-anak
harus menjadi prioritas utama. Tapi pekerjaan juga mesti diselesaikan dengan sebaik-
baiknya," kata Yuanita mengenang pesan ibunya. Sedangkan soal suami, ia sudah
terbiasa berbagi tugas, terutama untuk urusan yang berkaitan dengan anak.
Yuanita mengakui, banyak pemimpin wanita yang lebih menekankan perasaan ketimbang
logika. Namun, buru-buru ia menambahkan bahwa ketika harus mengambil keputusan, ia
mesti menggunakan pertimbangan logika ketimbang perasaan. Misalnya, ketika ia harus
memutuskan anak buahnya dipindahkan ke tempat lain atau di-PHK, ia akan tetap
menjalankan keputusan tersebut, meski di sisi hatinya yang lain mungkin terbersit rasa
kasihan.� "Saya akan lebih bersalah lagi, baik kepada yang bersangkutan maupun
kepada perusahaan jika tidak mengambil keputusan," tegas mantan Head of Corporate
Banking di Bank Credit Lyonnais Indonesia itu.
Butuhkah Wanita Akan Kekuasaan?
No. 13 - April 2005
Kalau pria menganggap ambisius itu perlu, maka wanita menolak bersikap demikian.
Mereka juga menolak disebut haus kekuasaan, sebaliknya kekuasaanlah yang menjemput
mereka. Masih relevankah isu kesetaraan gender?
Pertanyaan tentang apakah wanita butuh kekuasaan, dalam arti wanita akan sangat
bangga dan senang jika berkuasa, selalu menarik untuk dikupas kapanpun juga. Inilah
pertanyaan klasik yang selalu muncul bila berbicara tentang kesetaraan gender. Tidak
hanya di Indonesia, tapi juga di negara Amerika sekalipun.
Para wanita eksekutif yang dimintai pendapat oleh Human Capital tegas menjawab
bahwa mereka tidak butuh kekuasaan atau ingin disebut wanita kuat. Sukses mereka raih
melalui usaha yang wajar dengan terus meningkatkan kompetensi pribadi. Tidak dikenal
sikut-sikutan atau saling jegal dalam kamus wanita karir. Tidak pula dengan
memanfaatkan kecantikan atau dengan menghalalkan segala cara. Mereka meresapi
sekali makna hidup yang terus mengalir. "Kita tidak pernah tahu ke mana ujungnya," kata
Wiwiek D. Santoso, Presiden Direktur PT Astra Finance Motor,dan Riyani T.Bondan, SVP
Learning Center Bank Mandiri.
Ida P. Lunardi, Presiden Direktur PT Federal International Finance, bahkan merasa lebih
baik mundur sebagai eksekutif bila harus mengalahkan kepentingan keluarga. Hal yang
sama juga disampaikan oleh Enny Hardjanto, mantan eksekutif banyak perusahaan
terkemuka dan kini menjadi Senior Partner Dunamis. "Saya berkarya untuk kepentingan
keluarga sehingga dalam perjalanan karir saya sangat mementingkan kesamaan nilai
perusahaan dengan nilai-nilai saya. Kalau nilai-nilai perusahaan tidak cocok, berarti saya
akan stres, maka saya lebih baik mundur," tuturnya. la mengingatkan, dunia tidak
selebar daun kelor. "Bila prinsip perusahaan cocok dengan prinsip pribadi sehinga sangat
mendukung, maka saya merasa tidak bekerja, tetapi beribadah," dia menambahkan.
Berbagai ungkapan di atas menunjukkan betapa kuatnya para wanita eksekutif itu
memegang prinsip, dan rela.berhenti bilaharus melanggar prinsip tersebut. Artinya,
mereka rela menanggalkan semua kekuasaan berikut atribut pendukungnya jika itu
diperlukan. Rasanya sulit bagi pria untuk bersikap jumawa semacam itu.
Sikap memegang prinsip ditunjukkan pula oleh wanita eksekutif yang termasuk dalam
daftar 50 wanita paling berkuasa dalam bisnis di Amerika dan dunia. Ann Fudge,
misalnya. Lulusan Harvard Business School, anggota Board Member GE, isteri, nenek, dan
mantan eksekutif bintang dari Kraft Food ini memutuskan untuk meninggalkan dunia
bisnis selama 2 tahun (dan keluar dari daftar Most Powerful majalah Fortune) sebelum
akhirnya ia mau menerima tawaran sebagai Chairman 8 CEO konglomerat iklan Young 8
Rubicam Inc. Selama waktu 2 tahun itu ia meninggalkan tahta kekuasaan di dunia bisnis.
"Saya kira wanita tidak perlu berpacu dengan pria dalam segala hal," tukasnya.
Seperti Fudge, banyak wanita eksekutif yang masuk dalam daftar Most Powerful Women
in Business itu melihat kekuasaan dalam perspektif berbeda dengan pria. Mereka melihat
kekuasaan lebih ke arah pengaruh, bukan ranking. Bahkan mereka tidak ingin menjadi
Carly Fiorina (mantan Chairman 8 CEO HP yang telah 7 tahun berturut-turut berada di
posisi 1 daftar tersebut saat masih menjabat sebagai CEO) atau menjalankan perusahaan
berskala raksasa.
"Kekuasaan ada di depan mata dan bersikap agresif. Saya tidak menyukainya,"ungkap
President Old Navy yang juga masuk dalam daftar bergengsi tersebut. Menurut Meg
Whitman, President 4 CEO eBay (nomor 2 dalam daftar), kekuasaan berkonotasi negatif.
Orang seperti Hillary Clinton pun (kini menjadi Senator asal New York) tidak suka
menggunakan istilah kekuasaan. "Saya tidak pernah memikirkannya," akunya. "Saya
bahkan tidak terlalu mengerti tentang kekuasaan. Saya kira hal itu tidak berhubungan
dengan saya."
Bagaimana dengan Condoleezza Rice, mantan Kepala Penasehat Keamanan Amerika dan
kini menjabat Menteri Luar Negeri Amerika? Wanita yang disebut-sebut berpandangan
keras ini (seperti terungkap dalam lawatannya ke Eropa baru-baru ini) ternyata enggan
menggunakan istilah berkuasa itu. Ia lebih suka menggunakan istilah yang lebih lembut
seperti pengaruh, fasilitator, dan sejenisnya. "Sebagai pejabat tinggi saya bisa
menggunakan pengaruh saya untuk kepentingan Amerika dan dunia," tukasnya.
Pandangan tentang kekuasaan ini membuat wanita tidak pernah ambisius dan mati-
matian mengejar posisi puncak. Mereka yang menggapai posisi tinggi merasa bahwa
kekuasaan yang mengejar mereka, ketimbang mereka yang mencari kekuasaan. "Saya
tidak pernah membayangkan atau bermimpi nendapat jabatan ini," ujar Condy, panggilan
akrab Condoolezza. Ia mengambil studi ilmu politik dan studi Soviet, mendapatkan gelar
Ph.D, menjadi seorang profesor, bekerja membantu pemerintahan Bush senior, menjadi
provost di Stanford, menjadi Penasehat Keamanan dan sekarang Menteri Luar Negeri
Amerika. "Semuanya tanpa perencanaan sedikitpun," tambahnya.
Banyak wanita yang menolak untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi karena
belum merasa mampu menjalankan peran tersebut. Myrtle Potter, COO Genentech,
sempat menolak duakali promosi jabatan. Ia ingin dipromosikan tetapi merasa belum siap
dan yang ia butuhkan adalah perpindahan lateral. Myrtle tak salah dengan sikapnya,
karena menurut biro riset Catalyst, kurangnya pengalaman dalam manajemen lini
menjadi hambatan utama bagi wanita menggapai posisi puncak.
Saat ditawari menjadi CEO, baik Ida maupun Wiwik tetap mempertanyakan keputusan
promosi ini kepada atasannya. "Pak Prijono bilang, saatnya Anda mengambil alih posisi
CEO," kata Wiwik. Waktu itu ia masih menjabat Managing Director, sebuah jabatan yang
dipercayakan CEO Astra waktu itu Rini Soewandi. Sedangkan jabatan CEO diisi Prijono
Sugiarto.
Alasan lain penolakan wanita terhadap jabatan lebih tinggi adalah karena mereka tidak
ingin melakukan pengorbanan pribadi. Ada banyak wanita eksekutif yang tidak ingin
kehidupannya tersita oleh urusan perusahaan. Wanita lebih suka pekerjaan yang
memberikan fleksibilitas waktu dan lebih bervariasi. Alasannya, wanita menginginkan
kepuasan dalam bekerja yang lebih besar dibandingkan pria.
Sebuah studi yang dilakukan GE terhadap 135.000 pekerja profesional mereka
mendapatkan temuan bahwa wanita berhenti bekerja lebih banyak daripada pria: wanita
berhenti secara sukarela 8% per tahun vs. 6,5% bagi pria. Kelihatannya secara
persentase perbedaannya tidak besar, tetapi dari segi jumlah absolut itu bertambah
2.025 orang wanita lebih per tahun.
Riset Catalyst melaporkan 26% wanita profesional yang belum berada di posisi paling
senior mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan pekerjaan itu. Dari sekitar 108
wanita eksekutif yang masuk daftar Fortune 50 hingga 2003, 20 orang telah
meninggalkan jabatannya yang prestisius. Sebagian besar karena kemauan pribadi.
Misalnya ada yang memilih fokus kepada keluarga, menjadi profesor pemasaran di
sekolah bisnis, mengelola pendidikan, menjalankan kegiatan filantropi, dan sebagainya.
Mencermati berbagai kenyataan di atas, memang jadi pertanyaan seberapa serius wanita
ingin mengembangkan karirnya? Sebab, di sisi lain, para wanita eksekutif ini juga ingin
agar masalah kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan bisa diperjuangkan.
Persoalan gender dalam korporasi juga terjadi di negara semaju Amerika. Jumlah wanita
yang menduduki posisi level puncak (AVP ke atas) di perusahaan besar di Amerika saat
ini hanya 8%. Jumlah wanita yang menduduki CEO pada perusahaan Fortune 500 tahun
lalu hanya 8 orang. Sisanya 492 CEO adalah pria.
Disparitas itu juga terjadi dalam dunia politik. Hanya 14% wanita menjadi anggota Senat
AS dan 14% menjadi anggota DPR AS. Sementara di Indonesia, niat partai politik untuk
menaikkan kuota perempuan menjadi 30% masih jauh panggang dari api. Di DPR, jumlah
wanita jauh lebih sedikit lagi. Sementara di pemerintahan kini terdapat 4 menteri wanita.
"Sebetulnya dalam perusahaan tidak ada masalah gender. Masalahnya hanya apakah
wanita m.ampu dan mau untuk setara," ujar Enny Hardjanto yang mengaku telah merasa
setara dengan pria sejak usia muda. la menambahkan, banyak wanita yang berhasil
menempatkan diri setara atau jauh lebih baik dari pria, dari buruh kasar hingga eksekutif
perusahaan dan Menteri. "Kuncinya bagaimana wanita menguasai aspek kompetensi,
karakter, dan kemauan untuk maju."
Dari sisi kemampuan, tak satupun meragukan kualitas para wanita eksekutif Indonesia.
Hasil observasi Vina G. Pendit berinteraksi dengan klien, wanita yang menjadi pimpinan
dalam bisnis adalah orang-orang yang memang unggul. Secara teknis mereka menguasai
bidangnya, secara manajerial mereka tegas dan tanggap terhadap situasi dan tuntutan
sekitarnya, secara bisnis mereka pun tahu betul apa yang membuat organisasi berhasil.
Dari proses Assessment Center DDI terhadap level manajer ke atas, beberapa kali wanita
berhasil masuk dalam ranking 5 besar. Dan, di organisasi, ternyata wanita itu adalah
talenta perusahaan. Vina berpendapat, wanita potensial kini terus bertambah jumlahnya.
Jumlah kandidat wanita yang lolos dalam setiap proses seleksi, baik di tingkat bawah
maupun manajer meningkat. "Sekarang dari 20 orang yang lolos seleksi, 7-8 orang
adalah perempuan. Dulu paling hanya 3-4 orang," tambah Vina yang mengaku tidak
pernah membayangkan bisa menduduki posisi setinggi sekarang; apalagi bercita-cita
memimpin perusahaan.
Modernisasi kehidupan telah memberikan peluang dan tantangan bagi kaum wanita
untuk maju. Komitmen dan dukungan penuh suami serta keluarga akan sangat
membantu wanita meraih pencapaian-pencapaian tinggi dalam hidupnya. Selebihnya
ditentukan oleh kompetensi, karakter, dan kemauan wanita untuk maju.
Leadership Series: Memotivasi Karyawan adalah Prioritas Utama
No. 14 - Mei 2005
Menjadi pemimpin yang efektif untuk sebuah organisasi tentunya bukanlah hal yang
mudah. Banyak sekali keahlian / tanggung jawab yang harus mereka kuasai ; dan begitu
besar harapan (dari orang lain) yang harus mereka pikul untuk menjadikan organisasinya
supaya sukses.
Pemimpin harus mempunyai visi dan misi, ke mana mereka akan membawa timnya.
Mereka diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai kejujuran dan integritas. Mereka
bertanggung jawab untuk mengetahui tugas-tugas dari departemen atau karyawan yang
dibawahinya. Mereka juga diharuskan menjadi seorang yang cerdas, cekatan, tegas,
berinovasi dan sebagainya.
Semua hal tersebut adalah faktor yang penting untuk menjadi pemimpin yang sukses.
Namun jika kita harus memilih tugas yang paling utama dari pemimpin, secara umum
jawabannya adalah: Memotivasi karyawan. Terutama untuk pemimpin di tingkat middle-
level manager (yang membawahi suatu departemen atau tim), setelah mereka
menentukan tujuan / gol dari departemennya, membuat / membenahi prosedur kerja, lalu
merekrut pegawai, dsb, tugas selanjutnya adalah memotivasi karyawan agar gol
departemen tercapai.
Sering kali pemimpin lebih banyak membuang waktu mengawasi anak buahnya, daripada
memotivasi mereka. Beberapa pemimpin suka mengawasi jam berapa karyawannya
masuk kerja, memeriksa apakah mereka memakai komputer untuk bekerja atau
membuka personal email, atau bahkan menguping apakah anak buahnya berbicara
ditelpon dengan customer atau si pacar.
Sebenarnya kalau kita pertimbangkan lebih dalam, karyawan yang motivasinya tinggi,
tidak perlu terlalu diawasi / diatur lagi. Mereka akan datang kerja tepat waktu, bahkan
jika semangatnya tinggi sekali, mereka mungkin sudah "tidak tahan" untuk balik bekerja.
Karyawan yang bermotivasi tinggi melihat pekerjaannya sebagai suatu kesenangan,
bukan keharusan. Mereka biasanya selalu berpikir positif; kesulitan di pekerjaan adalah
tantangan untuk mereka, bukan masalah.
Memotivasi adalah tindakan yang proaktif, sedangkan mengawasi/mengatur biasanya
suatu tindakan yang reaktif. Pemimpin yang efektif akan memotivasi karyawan, sebelum
mereka jenuh / bingung dengan kerjaanya. Dan jika sudah bosan karyawan tersebut akan
menjadi malas / lalai, sehingga kita harus awasi / atur kinerjanya. Sebaliknya karyawan
yang tinggi motivasinya, dapat mengatur dirinya sendiri, besar inisiatifnya, bahkan
mereka biasanya mempunyai banyak ide-ide (berinovasi) untuk meningkatkan kinerja tim
kita.
Memberi motivasi adalah tugas yang sangat penting dari pemimpin. Dan untungnya,
tugas tersebut bukanlah hal yang sulit dilakukan, selama kita mau mencoba. Kita tidak
perlu menjadi motivation guru, atau mempunyai suara yang menggelegar (bagaikan
petir), atau kepribadian yang menggebu-gebu (seperti api) untuk memberi motivasi yang
efektif. Bahkan kalau suara kita seperti petir dan kepribadian berapi-api, mungkin
karyawan kita justru akan takut, sembunyi dibawah meja, dan tidak bisa bekerja.
Memotivasi adalah suatu ketrampilan. Hampir sama dengan ketrampilan berkomunikasi,
memakai komputer, mengemudikan kendaraan dsb. Semakin sering kita belajar dan
berlatih untuk memotivasi orang lain, semakin efektif motivasi yang kita berikan. Ada dua
hal yang harus kita ingat dalam memberi motivasi : Kita harus tulus (karyawan dapat
mengetahui apakah semangat yang kita beri adalah hal yang tulus dari hati kita, atau
hanya basa-basi). Lalu terkadang kita harus merubah (taylor-fit) cara kita memberi
motivasi (setiap orang, cara memotivasikannya dapat berlainan, tergantung
kepribadiannya).
Di bawah ini adalah beberapa contoh metode untuk memberi motivasi yang efektif :
Memberi ucapan selamat, langsung kepada karyawan. Jika Anda adalah Kepata
Departemen ataupun CEO/Presdir, akan sangat berkesan untuk seorang karyawan jika
tiba-tiba Anda mendatanginya untuk memberi selamat atas prestasi kerjanya.
Memberi selamat meialui telepon, sms, memo atau email. Jika tidak mungkin untuk Anda
bertemu langsung dengan karyawan yang berprestasi. Anda dapat melakukannya melalui
telepon, sms. surat atau email. Surat / email anda tidak perlu panjang, tetapi sebaiknya
disebutkan apa prestasi karyawan tersebut.
Memberi penghargaan di depan rekan kerja yang lain. Pemimpin dapat mengadakan
pertemuan dengan seluruh pegawai untuk memberi penghargaan kepada karyawan atau
tim yang telah mencapai prestasi yang khusus/unik. Namun hati-hati dalam melakukan
cara ini, karena ada orang yang justru malu jika dipuji di depan umum. Sebaiknya kita
beritahukan mereka dahulu rencana pertemuan tersebut.
Memberikan promosi bedasarkan kinerja, bukan pilih kasih. Pastikan bahwa sistem
promosi di organisasi anda benar-benar berdasarkan hasil kinerja karyawan. Pegawai
yang berprestasi tinggi, akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapat
promosi. Jika kita pilih kasih, atau tidak memberi sangsi kepada yang tidak berprestasi,
secara tidak langsung hal tersebut akan membuat kecewa karyawan yang kinerjanya
baik (motivasinya akan turun).
Memakai persaingan untuk memotivasi tim. Setiap organisasi tentunya bersaing dengan
perusahaan lain dalam mencapai sukses/target bisnis. Persaingan ini dapat dipakai
sebagai alat untuk memotivasi tim kita untuk menjadi lebih baik atau mencapai lebih
banyak daripada kompetisi. Banyak CEO/Presdir dari perusahaan yang berada di posisi
nomer dua atau tiga di industrinya, membuat tim sales-nya menjadi lebih bermotivasi
dan kerja keras untuk meningkatkan penjualan, daripada grup sales untuk perusahaan
yang nomer satu. Memberi motivasi kepada karyawan memang bukanlah satu-satunya
tugas pemimpin. Namun jika kita ingin menjadi pemimpin yang efektif, motivasi
karyawan sebaiknya selalu menjadi prioritas pertama. Jika karyawan dapat mengatur
dirinya sendiri, berinisiatif yang tinggi, pada akhirnya kita mendapat lebih banyak waktu
untuk menangani hal-hal yang lain (ketemu dengan customer, melakukan ekspansi
bisnis, dll), daripada habis waktu mengawasi kerja tim kita.
Memotivasi karyawan bukanlah hal yang mendesak / urgent, tetapi hal yang paling
penting untuk kepemimpinan.
Sumber: Majalah Human Capital No. 14 | Mei 2005
Penjarahan Negara dan BUMN
No. 14 - Mei 2005
Budaya korupsi kini menjadi wabah penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup
bangsa Indonesia. Penjarahan terhadap aset negara dan BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) harus dihentikan. Cara berpikir bangsa Indonesia yang terlalu pendek penyebab
utamanya.
Praktik mega-korupsi yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan keprihatinan
mendalam bagi kaum intelektual di negeri ini. Korupsi telah menjadi budaya yang
merasuk ke setiap sendi-sendi kehidupan. Tetapi, korupsi yang paling memprihatinkan
terjadi di dataran elit nasional karena menyebabkan kerugian yang sangat besar. Bukan
hanya dari segi jumlah yang dikorupsi, kerugian juga terjadi karena praktik terlarang itu
mendorong korupsi di level yang lebih rendah, seperti elit di daerah dan masyarakat
umum.
Di tingkat elit nasional, pelaku korupsi menyebar dari pejabat, pengusaha, anggota
legislatif hingga penegak hukum. Pelaku korupsi datang dari semua etnis, agama, dan
latar belakang pendidikan. Pada banyak kasus, mereka saling bersekongkol untuk korupsi
dan saling melindungi agar praktik haram ini sulit untuk dibongkar.
Reformasi terbukti tidak menghentikan praktik korupsi. Bahkan korupsi semakin
merajalela terjadi setelah era reformasi ini, khususnya di era Presiden Habibie, Gus Dur,
dan Megawati. Para konglomerat hitam telah menyebabkan kerugian negara hampir Rp
600 triliun (setidaknya inilah nilai buku aset yang diserahkan kepada BPPN).
Pengembalian nilai aset itu jauh dari harapan masyarakat. "Kita tidak usah bicara soal
recovery aset tersebut," ujar Ichsannudin Noersy kesal. Pengamat ekonomi ini berbicara
dalam seminar "Penjarahan Aset Negara dan BUMN" yang diadakan oleh Lembaga Studi
dan Advokasi untuk Perlindungan Aset Negara bulan lalu.
Beban negara akibat korupsi itu bertambah lagi karena harus mengeluarkan obligasi
rekap untuk menutup bolong dana perbankan akibat krisis ekonomi sebesar Rp 300 triliun
lebih. Setiap tahunnya pemerintah harus membiayai bunga obligasi tersebut, yang
besarnya lebih dari 10% per tahun. Beban ini telah menyedot kemampuan keuangan
pemerintah bersama-sama dengan pembayaran cicilan pinjaman luar negeri. Anehnya,
pemerintah setuju saja dengan IMF untuk melakukan privatisasi bank-bank yang sempat
dinasionalisasi tersebut, meskipun jumlah dana yang diperoleh tidak sebanding dengan
nilai obligasi rekap yang harus disuntikkan pemerintah.
Berbagai kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi sesungguhnya telah
menjadi pintu gerbang untuk terjadinya praktik korupsi yang lebih luas. Sebab, kebijakan
itu menciptakan banyak transaksi bisnis di bawah BPPN dan kementerian BUMN. Setiap
transaksi bisnis itu memunculkan peluang untuk korupsi. "Modus operandinya macam-
macam," stur Sunarsip, Direktur Center for Indonesian Reform yang kini menjadi Staf Ahli
Menneg BUMN.
Misalnya dengan memperbesar fee jasa konsultan (bank investasi, konsultan hukum,
penilai, akuntan, dan penjamin emisi), menekan harga saham perdana ataupun harga
penjualan aset, dan meminta pembeli/pemenang tender menyediakan fee ekstra di luar
transaksi (yang seharusnya bisa lebih mengoptimalkan nilai pendapatan bagi negara).
Praktik ini tentunya dilakukan oleh para pengambil keputusan di berbagai level.
Pada saat bersamaan, menguatnya peran legisiatif dan partai politik menimbulkan
praktik korupsi baru yang memperburuk keadaan. Banyaknya anggota DPR dan elit partai
yang kaya raya dengan cepat cermin dari betapa korupsi tidak pandang buiu. "Ia benar-
benar telah menjadi sistemik," ungkap Dr. Aviani, pengamat ekonomi dari indef.
Ketika pihak aparat hukum (kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian) menjadi tumpuan
harapan masyarakat, merekapun tidak punya komitmen yang jelas dalam menangani
kasus-kasus korupsi. Alih-alih menyelesaikan kasus korupsi, aparat hokum justru
terkooptasi oleh koruptor sehingga yang terjadi adalah bagi-bagi uang korupsi. "Jangan
heran kaiau penyelesaian kasus korupsi tidak pernah tuntas," kata Danang Widoyoko,
Anggota Badan Pekerja ICW.
Aparat hukum biasanya berdalih minimnya bukti hokum sebagai penyebab lambatnya
penyelesaian masalah korupsi. "Mereka minta hitam di atas putih. Ini yang sulit,"
komentar Ganang, sambil menamnahkan, "Korupsi itu bisa dirasakan namun susah
dibuktikan." Selain terbatasnya akses informal terhadap transaksi yang mencurigakan,
pelapor korupsi juga khawatir mendapat kesulitan akibat laporan mereka.
Lain lagi pendapat Ichsanuddin. "Saya punya dokumen transaksi sekoper banyaknya,
yang menunjukkan indikasi korupsi di berbagai transaksi. Tapi, apakah hal itu
ditindaklanjuti bila saya serahkan," tanyanya serius.
Ia pun mempertanyakan kepada siapa sebaiknya dokemen tersebut disampaikan. Kepada
KPK? la meragukan apakah KPK tertarik menangani kasus-kasus yang tidak terlalu
populer di mata publik.
PENJARAHAN APBN DAN BUMN
Menurunnya transaksi pasca BPPN dan privatisasi BUMN secara kuantitas dan kualitas,
serta adanya upaya serius pemerintahan SBY untuk menekan korupsi, menyebabkan
penjarahan terhadap aset negara diperkirakan bakal terfokus pada anggaran pendapatan
dan belanja nasional (APBN) dan daerah (APBD) serta BUMN.
Telah sejak lama diyakini bahwa kebocoran anggaran belanja negara minimal 30%.
Kebocoran tersebut terjadi karena dikorupsi oleh pejabat instansi berwenang sebagai
komisi dari setiap proyek / kegiatan. Kadang-kadang masih ada tambahan komisi buat
Pimpinan Proyek sebesar 10%. Dipotong laba bersih untuk pelaksana proyek - setidaknya
20% dari nilai proyek, maka nilai sesungguhnya dari proyek pembangunan hanya
mencapai 40% hingga 50% saja dari anggaran yang disediakan.
Konsekuensinya, setiap proyek telah di-mark up sebesar 30%-40% saat diusulkan. Kalau
tidak di-mark up, pemborong akan mengorbankan kualitas pekerjaan untuk mendapatkan
marjin keuntungan. Wajar bila kemudian pembangunan jalan atau proyek fisik apa saja
selalu bermasalah dalam kualitas maupun kuantitas. Sebentar sudah rusak lagi, dan
aparat terkait (Dinas PU, misalnya) akan lebih suka kalau jalan tiap sebentar rusak karena
itu berarti proyek. Terbukti hingga kini sulit sekali bagi rakyat untuk bisa menikmati jalan
dan berbagai prasarana / sarana publik lainnya yang berkualitas.
Praktik semacam ini terus terjadi hingga kini di berbagai bagian dan instansi, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Audit tidak akan bisa mengungkap praktik korupsi karena
hanya bergerak dalam dataran administrasi keuangan. Tapi pernahkah auditor memeriksa
secara detil harga barang yang dipergunakan untuk kegiatan itu sesuai spesifikasinya?
Niat baik pemerintahan SBY untuk menekan korupsi dan nenyejahterakan rakyat
seyogyanya dimulai pada saat penyusunan APBN. Cobalah memotong anggaran
pembangunan / belanja pemerintah sebesar 30% dan tingkatkan pengawasan secara
melekat niscaya akan membantu upaya pemerintah dalam menggarap proyek-proyek
pembangunan lainnya. Kita harus meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran supaya
tidak mengeluh terus kekurangan dana pembangunan dan berhutang lagi dari luar
negeri.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji
ulang perubahan. Apa pandangan mereka tentang manajemen perubahan?
SA SANTOSO
Konsultan Mercer Resource Consulting
VISI PEMIMPIN SANGAT BERPERAN
Change management sebenarnya bukan merupakan tren sesaat dan tidak terjadi dalam
waktu-waktu sekarang ini saja. Sebab, pada dasarnya change management adalah
proses berkesinambungan, di mana sebuah organisasi atau perusahaan senantiasa
berusaha menghindari kebekuan. Mengapa? Perusahaan ibarat air yang harus terus-
menerus diupayakan mengalir. Air yang cair bisa masuk ke mana saja. Ini inti dari
perubahan tadi, sehingga setiap organisasi atau perusahaan selalu berusaha dalam
kondisi cair.
Kalau sekarang ini change management menjadi topik yang hangat diperbincangkan, hal
itu lantaran situasi bisnis yang berubah semakin cepat. Ada perubahan yang dilakukan
secara sadar, dalam arti manajemen memang ingin berubah, ada pula perubahan yang
terjadi karena dipaksa keadaan. Bencana di Aceh, beberapa waktu lalu, misalnya,
menurut SA Santoso dari Mercer, adalah contoh ekstrim mengenai perubahan yang
dipaksa oleh keadaan. Ini sebenarnya merupakan momentum untuk memperbaiki nasib
rakyat Aceh setelah bertahun-tahun hidup di tengah-tengah konflik. "Harus ada
perubahan mendasar yang dilakukan untuk Aceh," kata Santoso.
Di lingkup perusahaan, merger dan akusisi, misalnya, kini terjadi di mana-mana. Hal ini
tentu berimplikasi pada perubahan di banyak bidang: struktur kepemilikan saham,
mungkin jumlah karyawan, gaya kepemimpinan, sistem, struktur hingga fokus bisnisnya.
Nah, di sini diperlukan transformasi yang tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ada
beberapa aspek yang harus dipertimbangkan agar perubahan yang dilakukan benar-
bensr mencapai tujuan, bukan sebaliknya.
Sekilas, perubahan merupakan kata yang sederhana dan gampang melakukannya.
Padahal tidak demikian. Untuk dapat melakukan perubahan secara benar dan berhasil,
diperlukan visi yang..kuat dari seorang pemimpin. Contohnya begini, beberapa tahun talu
terjadi booming internet dan dotcom di Indonesia Banyak perusahaan yang berlomba-
lomba masuk ke situ dengan membuat situs, menawarkan e-commerce dan sebagainya.
Tapi, beberapa tahun kemudian, ternyata bisnis ini tidak sebesar yang kita harapkan. Apa
yang terjadi? Akhirnya banyak perusahaan yang harus berputar haluan, bahkan banyak
pula yang mati di tengah jalan. Di sini, visi pemimpin sangat berperan.
Agar transformasi bisnis berjalan dengan baik, maka diperlukan sistem yang sesuai.
Sistem inilah yang nantinya akan mengatur rantai komando. Perubahan di lini marketing,
misalnya siapa yang harus bertanggung jawab? Begitu juga di bagian teknologi informasi,
dan sebagainya. Dari situ kemudian ditarik ke atas, di mana kendali dan pengawasan
terhadap perubahan dipantau oleh dewan direksi.
Syarat lain yang harus juga diperhatikan dan tidak kalah pentingnya adalah orangnya.
Bagaimana pun sistemnya canggih, pengawasannya sudah bagus dan sebagainya, tapi
kalau orang yang ada di dalam tidak ada keinginan untuk berubah, maka perubahan
tersebut mencapai hasil optimal. Di sini faktor komunikasi menjadi sangat penting.
Semua lini mesti bertanggung jawab dan concern untuk mengkomunikasikan arah
perusahaan ke depan. Semua harus terlibat. Kuncinya terletak pada 3H, yakni heart,
head dan hand. Perubahan harus dikomunikasikan secara persuasif agar menyentuh hati
(heart) para pihak yang terlibat dalam perubahan tersebut. Setelah itu, mereka tentu
akan berfikir (head) dan mencari cara bagaimana mengimplementasikan (hand)
perubahan tersebut.
Peran pihak luar, katakanlah konsultan, terhadap perubahan sebuah organisasi sangat
tergantung dari kondisi perusahaan yang hendak berubah. Konsultan pada dasarnya
hanya memberikan rekomendasi dan pendampingan terhadap proses perubahan di
kliennya. Pendorong utama terjadinya perubahan adalah keinginan dan manajemen
sendiri, dan untuk itu mesti memperoleh dukungan yang kuat dari karyawan melalui
sistem komunikasi yang tepat.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji
ulang perubahan. Apa pandangan mereka tentaog manajemen perubahan?
AB SUSANTO
Managing Partner The Jakarta Consulting Group
PERUBAHAN TIDAK SEBATAS LOGO SAJA
Sebagai perusahaan konsultan yang memposisikan diri sebagai mitra bagi perusahaan
untuk perubahan, The Jakarta Consulting Group (JCG) berusaha memberikan yang terbaik
pada setiap kliennya. Menurut AB Susanto, Managing Partner JCG, makna yang tercantum
dalam "partner in change", memiliki makna yang besar, sebuah tanggung jawab yang
berat bagi para konsultan JCG untuk bisa memberikan konsultasi perubahan yang baik
kepada klien. Perubahan yang terjadi di perusahaan bisa berupa restrukturisasi,
revitalisasi, reorganisasi, dan sebagainya.
"Ini menjadi penting karena perubahan yang baik, dibuat dengan baik, tumbuh dari
waktu ke waktu dengan baik karena dikelola dengan baik," jelas Susanto antusias. Ini
sama halnya dengan seorang manusia, yang tumbuh dan sekolah mulai dari TK, SD, SMP,
SMU hingga kuliah, yang setiap waktu "gayanya" akan berubah.
Kalau perusahaan atau organisasi tersebut masih berskala kecil, gaya kekeluargaan
masih bisa dipakai. Tapi, kalau perusahaan sudah mulai besar, Susanto menilai sistem
kekeluargaan malah kurang menguntungkan. Ini mengingat perusahaan tersebut harus
lebih lugas sehingga dibutuhkan sistem, pedoman dan sebagainya. Tidak bisa lagi
menggunakan kebijakan orang per orang. Lain pula jika perusahaan itu bertambah besar,
maka akan lebih diatur lagi. "Jadi, perusahaan yang lebih besar pun akan melakukan
perubahan manajemen. Sebaliknya, perusahaan yang tidak tumbuh, mengalami
kerugian, dan kehilangan pangsa pasar pun harus melakukan perubahan manajemen dari
sisi yang lain," ujar Susanto.
Susanto mengaku JCG memiliki berbagai divisi mulai dari divisi training, konsultasi,
rekrutmen servis eksekutif, assessment, event dan pengembangan organisasi, yang
masing-masing dipimpin oleh group head yang berbeda. Pada divisi pengembangan
organisasi, para konsultan JCG mencoba melihat bagaimana kondisi organisasi, sasaran
pasarnya, situasi persaingan yang berubah, branding dan sebagainya. JCG juga memiliki
divisi manajemen SDM, karena manajemen SDM biasanya akan berubah setiap saat.
Mulai dari cara penggajian, performance appraisal, dan lain-lain.
Susanto menyebutkan, JCG punya cara-cara yang khas dalam mendekati suatu
perubahan yaitu dengan cara menganalisa perubahan seperti apa yang dibutuhkan,
bentuknya seperti apa, dan caranya bagaimana, melalui beberapa model seperti JCG
Change Model dan JCG Business Transformation Model. "Karena kami mendalami masalah
perubahan, kami tidak mau hantam kromo dengan melakukan perubahan. Ini harus
berubah, itu harus restrukturisasi," tegas Susanto antusias.
Untuk mengimplementasikan perubahan yang diberlakukan di perusahaan khususnya
terhadap SDM, JCG mempunyai Jacob (Jakarta Consulting Group Activity Competency
Base) people management, untuk diterapkan kepada klien, namun penerapannya tentu
akan berbeda di setiap perusahaan. Kegiatan tersebut bentuknya melingkar, mulai dari
strategic planning, strategic HR planning, ada rekrutmen seleksi, integrasi, training &
development, performance & potential appraisal, kompensasi & benefit, career planning,
kemudian balik lagi ke strategic planning.
Dalam melakukan perubahan, Susanto menambahkan, tantangan terberat yang diperoleh
adalah jika top management belum yakin atau ragu-ragu terhadap perubahan. "Dalam
membuat project, kami selalu berhadapan dengan orang nomor satu di perusahaan
tersebut. Kalaupun lewat jalur bawah, kami selalu minta ijin untuk berbicara dengan yang
di atas, sehingga kalau level atas sudah oke mau jalan, baru kami mau jalan," ujarnya.
Alasannya, jika para pimpinan organisasi tidak yakin akan perubahan yang akan
dilakukan, Susanto khawatir para pimpinan tersebut akan "memotong" langkah konsultan
di tengah jalan. Akibatnya, perubahan akan tersendat-sendat bahkan berhenti.
"Konsultan itu mitra. Mitra itu harus punya kepercayaan. Kami punya ilmu dan
konsepnya, perusahaan punya manusia dan tempatnya."
Sementara dalam melakukan perubahan yang menyangkut nilai budaya, JCG mencoba
strategi konsultan dengan cara melakukan perubahan dari level atas termasuk para
pemilik hingga ke level bawah, itulah strategi konsultan. Cara ini jelas memakan waktu
yang tidak sebentar. Minimal, perubahan itu harus sudah bisa dilihat dan dirasakan dalam
waktu 6 bulan. Tapi selesainya perubahan tersebut tergantung dari setiap perusahaan.
"Kalau bicara perusahaan yang punya 4.000 karyawan dengan perusahaan yang hanya
punya 400 karyawan jelas berbeda. Bisa saja perusahaan dengan banyak karyawan perlu
waktu 2 tahun atau lebih untuk menyelesaikan perubahan tersebut," ungkap Susanto
sambil menambahkan bahwa JCG biasanya melakukan konsultasi dengan masa kontrak
pertahun. Lain hal jika hanya merubah seragam, logo atau identitas semata.
Yang perlu diingat, tegas Susanto, perubahan yang sebenarnya bukan hanya sekadar
organisasi saja, hanya sekadar bagan atau struktur, atau hanya sebatas kotak-kotak saja.
la menilai, yang paling utama adalah perubahan dalam bisnis proses, koordinasi kerja,
kontroling dan sebagainya. Dan jika nanti sudah diterapkan, harus tercermin dalam
perubahan nilai-nilai bekerja dalam budaya perusahannya.
JCG punya tujuh divisi dalam sebuah konsultasi untuk perubahan.ini disebabkan
perubahan itu tidak hanya merubah satu sisi saja. Selain merubah orang, juga merubah
sistem, kualitas manajemen, bisnis perusahaan, bisnis & marketing, dan masih banyak
lagi. "Ini keunggulan JCG karena kami punya banyak konsultan professional dari berbagai
macam disiplin ilmu. Sebabnya, kami melihat perusahaan sebagai sesuatu yang holistik,
bukan sepotong-potong. Kami bekerja dalam satu atmosfir yang sama, kolaboratif,
sehingga warnanya sama tetapi mempunyai pandangan yang berbeda-beda,"
sambungnya tanpa bermaksud menyombongkan diri. Kendati tantangan yang dihadapi
menjadi lebih banyak dan kompleks, koordinasi masiog-masing divisi menjadi kata kunci.
Disinggung mana yang lebih berat tantangannya, apakah perusahaan keluarga atau
BUMN, Susanto menjawab bahws semuanya sama beratnya karena punya permasalahan
yang berbeda-beda. Tantangan terberat dalam melakukan perubahan di perusahaan
keluarga adalah mendapat kepercayaan dari pemilik dan anggota organisasi. Sedangkan
tantangan yaeg dihadapi BUMN adalah kultur. "Kami punya center of excellent untuk
family business dan BUMN." Pendekatan untuk keluarga, biasanya dengan melihat
penyakit utamanya, kemudian JCG menyampaikan ke pemilik bahwa JCG akan melakukan
cara ini. Contohnya, JCG akan mengatur manajemen suksesi dan membuat peraturan
untuk keluarga. "Kami harus jadi pendengar yang baik. Tidak perlu menggali dari awal.
Jika mereka sudah terbiasa dengan kami, semua rahasia perusahaan akan keluar,"
jelasnya.
Sedangkan untuk BUMN, Susanto bersyukur pihaknya memiliki jaringan yang luas dan
JCG Research Institute sehingge JCG punya data yang lengkap. Ini berguna sebagai bahan
acuan sehingga para konsultan JCG bisa memahami persoalan yang terjadi di BUMN yang
menjadi kliennya dan bagaimana mengatasinya.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji
ulang perubahan. Apa pandangan mereka tentaog manajemen perubahan?
ALPHIN GINTING
Senior Management Consultant OTI Organisasi Transformasi Lintas Internasional
PERUBAHAN BUKAN SEBUAH PROGRAM SESAAT
Selama ini ada anggapan bahwa change management merupakan sebuah program.
Kegiatan ini dipandang sebagai aktivitas sesaat yang suatu saat akan berhenti. Padahal,
menurut Alpin Ginting dari OTI, perubahan adalah bagian dari manajemen organisasi
sehingga harus terus menerus mengalir. Mengapa, karena tantangan yang dihadapi akan
senantiasa dipengaruhi banyak faktor yang selalu berubah.
Dengan demikian harus ada pemahaman bahwa change adalah value di sebuah
perusahaan, karena pilihannya adalah berubah atau mati. Pemahaman ini juga
mengandung arti perubahan tidak pernah memberikan hasil terbaik, tapi senantiasa
untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Kalau dikatakan sebagai hasil terbaik, setelah
itu tidak ada kegiatan lagi.
Ada beberapa hal yang mesti dipahami terlebih dahulu dan dipersiapkan dengan baik
agar perubahan yang dilakukan sesuai alur yang benar. Pertama adalah kesiapan sumber
daya manusia. Yang dimaksud SDM di sini adalah mulai dari direksi, manajer hingga
karyawan biasa. Komponen kedua adalah visi dan misi pemimpinnya. Sedangkan ketiga
adalah kemampuan perusahaan, termasuk sistemnya, prosesnya dan sebagainya.
Ketiga komponen tersebut harus benar-benar berada di tangan panglima yang tepat.
Yang bertindak sebagai panglima adalah pemimpin mulai dari CEO hingga para manajer.
Mereka harus punya visi dan misi yang jelas. Selain itu para panglima juga harus
mengetahui kekuatan dan kelemahan organisasinya serta mampu merumuskan secara
jelas, hendak dibawa kemana para pasukan di organisasi tersebut. Harus ada penjelasan
kepada seluruh anggota organisasi bahwa kita sekarang ada di mana dan hendak ke
mana.
Ibarat sebuah mobil, di tengah perjalanan, setiap panglima juga harus menginformasikan
kepada pasukannya, sudah sampai dimana kita berada dan pada kecepatan berapa kita
bergerak. Sekarang, kita mau lari dengan kecepatan berapa? Ini harus terus menerus
dikomunikasikan. Untuk melakukan hal itu, panglima harus pula memperhatikan
lingkungan di luar. Kalau pemain lain sedang dalam kecepatan tinggi, kita mesti
mengimbangi dengan menambah kecepatan. Tapi kalau kondisinya memaksa kita harus
berjalan lambat ya jangan ngebut, agar kita tidak terjungkal.
Peran tersebut harus bisa dijalankan dengan baik oleh pemimpin. Semakin tinggi
kedudukannya maka semakin besar peran yang seharusnya ia mainkan. Logikanya, siapa
yang berada di posisi paling tinggi, tentu ia akan melihat lebih banyak, sehingga
memberikan informasi lebih banyak pula. Pimpinan manajemen secara teratur, misalnya
melalui president letter menjalin komunikasi, mereview dan memberikan umpan balik.
Dalam proses perubahan tersebut, biasanya konsultan dilibatkan. Menurut Alpin,
konsultan hanya bertindak sebagai katalisator yang diharapkan bisa berbagi pengalaman
mengenai metodologinya, sistemnya dan lain-lain. Sedangkan pemahaman tentang
proses bisnisnya tetap menjadi wilayahnya manajemen. Jika digambarkan dalam bentuk
kurva, keterlibatan konsultan dalam sebuah perubahan manajemen pada awalnya berada
di kiri atas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ia akan turun ke kanan bawah.
Sebaliknya, manajemen berada pada di kiri bawah dan terus meningkat ke kanan atas.
Mengingat perubahan adalah sebuah proses, maka prakteknya harus dilakukan secara
berkelanjutan, terus-menerus. Yang sering terjadi adalah adanya anggapan bahwa
setelah membekali karyawan dengan training yang berbiaya ratusan juta, para panglima
merasa sudah menjalankan fungsinya dengan benar. Padahal praktek dan implementasi
sehari-hari jauh lebih penting.
"Saya tidak mengatakan pembekalan melalui training tidak penting. Yang ingin saya
tegaskan adalah harus ada implementasi konkrit, agar training yang diberikan
memberikan result yang optimal bagi perusahaan," tukas Alpin. Hal ini, tambahnya,
hanya akan terjadi jika para panglima bisa menyampaikan visi dan misinya dengan baik
kepada anak buahnya. Ini harus ada kesamaan pandangan. Jangan sampai masing-
masing panglima menerjemahkan perubahan sesuai selera mereka sendiri-sendiri. Harus
ada keselarasan dan sinergi.
Berdasarkan pengalaman kami membantu sejumlah perusahaan, hambatan utama bagi
proses perubahan adalah adanya kesenjangan komunikasi. Arah perubahan hanya
dipahami di lapisan atas sebuah organisasi. Kalau kita tanyakan kepada karyawan, rata-
rata mereka mengaku tidak tahu hendak dibawa ke mana perusahaan tempat mereka
bekerja. Ironis sekali. Hambatan kedua adalah kegagalan dalam mengaktualisasikan
pengetahuan anggota organisasi terhadap perilaku sehari-hari dalam bekerja dan
result.
Setiap anggota organisasi mestinya memahami apa kontribusinya terhadap
organisasi yang menaunginya. Kalau mereka sudah memahami peran dan
kontribusinya, maka akan dengan mudah merumuskan dan menentukan apa yang harus
mereka lakukan.
• Beri Komentar
Change or Die
No. 14 - Mei 2005
Lingkungan bisnis akan terus berubah, cepat atau lambat. Perusahaan pun harus adaptif
dan antisipatif terhadap perubahan jika ingin bertahan dan memenangkan persaingan.
Tentu akan lebih baik bila perubahan yang dilakukan perusahaan Anda menyebabkan
perubahan besar di pasar dan kompetensi.
Kita telah sering mendengar ungkapan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali
perubahan itu sendiri. Perubahan akan selalu terjadi dalam setiap kehidupan umat
manusia, termasuk dalam organisasi. Futurolog Dr. Alvin Toffler dalam bukunya The
Adaptive Corporation mengatakan: "Change is not merely necessary for life, it is life".
Sejatinya, perubahan adalah hidup itu sendiri. Pemahaman ini menegaskan kepada kita
bahwa tidak seorang pun yang resisten terhadap perubahan. Begitu pula organisasi. Ia
akan menua, kehilangan relevansi, dan akhirnya mati bila tidak terus diremajakan.
Pakar manajemen dari Harvard Business School Rosabeth Moss Kanter, penulis buku The
World Class: Thriving Locally in the Global Economy, mengingatkan perlunya perusahaan
untuk adaptif terhadap perubahan. Perusahaan tidak bisa menolak perubahan, namun
tidak boleh jatuh dalam revolusi yang pada akhirnya menyakitkan. Perusahaan tidak bisa
menghindarkan diri dari perubahan, tak peduli seberapa besar ukuran, sumberdaya, atau
keunggulan yang dimiliki pada saat itu.
A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting, menegaskan betapa perubahan
harus terus dilakukan oleh perusahaan besar yang memimpin di pasar; terlebih bagi
perusahaan yang tidak bertumbuh, mengalami kerugian, ataupun kehilangan pangsa
pasar. "Yang penting arah perubahan yang diinginkan benar-benar sudah tepat,"
tegasnya.
Begitu banyak organisasi bisnis raksasa yang mati karena tidak bisa membuat perubahan
pada waktu yang tepat. Nama nama besar pada jamannya seperti Sears Roebuck, Zenith,
Ames, Westinghouse, McDonel Douglas, dan Burroughs kini tinggal kenangan.
Sepeninggal sang pendiri, perusahaan - perusahaan tersebut gamang menghadapi
perubahan dan ditelan oleh persaingan. "Kebanyakan perusahaan justru melakukan
perubahan setelah kondisinya sulit," ungkap Dr. Renald Kasali, pakar manajemen dari UI
penulis buku Change.
Dalam dunia bisnis, perubahan terjadi hampir setiap saat karena lingkungan bisnis jauh
lebih dinamis dibandingkan lingkungan organisasi lainnya. Perubahan tersebut didorong
oleh berbagai hal, seperti tuntutan konsumen dan kompetisi, regulasi teknologi,
pergerakan pasar, strategi baru, kehadiran manajemen baru, kondisi makro ekonomi-
politik, dan sebagainya. Meningkatnya dinamika bisnis menyebabkan tekanan terhadap
perubahan perusahaan juga meningkat. Repotnya, sebagian besar penyebab perubahan
berasal dari lingkungan eksternal, dan oleh karena itu tidak bisa dikontrol sepenuhnya
oleh perusahaan. Salah satu contoh adalah krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
1997/1998.
"Perusahaan hanya bisa mengontrol sebatas lingkungan internal," tukas Budi
Setiadharma, CEO PT. Astra International Tbk. Ia menilai, krisis ekonomi sebagai
perubahan yang relatif terjadi dalam waktu cepat dan tiba-tiba. "Kalau kami tidak
melakukan perubahan dengan cepat, pasti perusahaan menanggung beban yang berat,"
tambahnya.
Perubahan terjadi dalam berbagai bentuk dan cakupan�- kecil, menengah, dan besar.
Perubahan bisa saja hanya terjadi pada level individu, bisa pula di level organisasi,
namun bisa pula dalam konteks keseluruhan dari perusahaan. Hal terakhir bisa terjadi
karena perusahaan merubah fokus dan strategi bisnis sehingga mengharuskan pula
mengubah sistem nilai, budaya perusahaan, kompetensi karyawan, sistem penilaian
kinerja, dan seterusnya.
Telkom, menurut Change Managerent Manager Telkom Divre II Jakarta, Puguh Harianto,
melakukan perubahan terhadap 4 komponen sebagai ruang lingkup perubahan: sumber
daya manusia (SDM) / organisasi, budaya korporasi, proses bisnis, dan teknologi
informasi. SDM / organisasi yang lincah dan fleksibel diperlukan untuk menghadapi
perubahan maupun dalam melakukan perubahan itu sendiri. Budaya perusahaan yang
kuat dapat melindungi perusahaan dari terpaan perubahan lingkungan, tidak mudah
goyah. Kalaupun terjadi perubahan, hal itu dilakukan dengan cara yang mantap. Proses
bisnis sangat diperlukan agar perubahan yang dilakukan masih tetap dalam koridor arah
perusahaan. Sementara keberadaan teknologi informasi mutlak diperlukan bagi
perusahaan yang ingin tetap eksis di tengah-tengah lingkungan yang cepat berubah.
Membangun Kultur Perubahan
Banyak perusahaan yang mencoba beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Tetapi, di
era yang serba instant saat ini, tindakan seperti itu dianggap tidak lagi memadai.
Tindakan beradaptasi lebih tepat ditujukan bagi perusahaan yang terlambat merespons
perubahan dan dipaksa untuk melakukan penyesuaian. Yang dibutuhkan adalah
menjadikan perubahan sebagai bagian integrasi dari sistem manajemen perusahaan.
Dengan demikian, sistem menggerakkan seluruh jajaran untuk terus melakukan
perubahan kearah yang lebih baik. Tidak hanya itu, perusahaan mampu menentukan
perubahan yang berdampak luas terhadap lingkungan bisnis. Inilah yang dilakukan Grup
Astra dengan memacu upaya peningkatan dan inovasi di setiap perusahaan atau unit
bisnis setiap saat.
Semangat perubahan itu memang banyak diinspirasikan oleh filosofi kaizen (continous
improvement) yang telah diterapkan Astra sejak awal 80-an. Semangat tersebut
dikembangkan lebih lanjut dengan menerapkan Astra Management System tahun 2001
dalam upaya Astra menjadi excellent company. Semenjak itu, manajemen Astra terus
mengembangkan budaya dan semangat strive for excellence. Berkat semangat tersebut,
di antaranya, waktu untuk penyelesaian satu sepeda motor Honda kini menjadi 16 detik
dibandingkan prestasi sebelumnya 60 detik.
Hasil yang lebih besar terlihat dengan keberhasilan Astra mencatat prestasi fenomenal
dalam beberapa tahun terakhir: sukses meluncurkan mobil Xenia dan Avanza di segmen
pasar yang sama sekali baru, meraih banyak penghargaan nasional dan internasional di
berbagai bidang, dan lebih penting lagi mencapai rekor penjualan serta laba bersih pada
tahun 2004. Pinjaman Astra per 31 Maret 2005 seluruhnya lunas terbayar, padahal tahun
2000 total pinjaman Astra mencapai rekor Rp 17,8 triliun.
"Manajemen perubahan bukanlah sesuatu yangterjadi dalam waktu tertentu saja. la
harus merupakan proses yang berkesinambungan," ungkap SA Santoso, konsultan Mercer
Recource Consulting. Perubahan diperlukan untuk menghindari perusahaan dari
kebekuan. Mengapa? "Karena perusahaan ibarat air yang diupayakan terus mengalir,
sehingga setiap organisasi atau perusahaan selalu berusaha dalam kondisi cair."
Dalam istilah Alpin Ginting, Senior Management Consultant OTI Organisasi Transformasi
Lintas Internasional, perubahan bukanlah sebuah program. Sebab, kalau seperti itu,
perubahan hanya bersifat sesaat yang suatu saat akan berhenti. Padahal, menurut Alpin,
perubahan adalah bagian dari manajemen organisasi sehingga harus terus mengalir.
"Karena pasar yang dipengaruhi banyak faktor senantiasa berubah," katanya.
Pentingnya perubahan seharusnya membuat perusahaan menjadikan perubahan sebagai
nilai utamanya. Menurut Alpin, pemahaman ini mengandung arti, perubahan tidak pernah
memberikan hasil terbaik, tetapi senantiasa untuk mencapai sesuatu yang lebih baik.
Kalau dikatakan sebagai hasil terbaik, lanjutnya, setelah itu tidak ada kegiatan perbaikan
lagi.
PT Federal International Finance (FIF), anak perusahaan Astra yang bergerak di bidang
pembiayaan sepeda motor, adalah satu dari sedikit perusahaan di Indone-sia yang
menjadikan Change sebagai salah satu karakter perusahaan. "Seluruh karyawan
perusahaan harus mencintai perubahan, jangan resisten terhadap perubahan," ungkap
Ida P. Lunardi, Presiden Direktur FIF. Perusahaan memiliki karakter 5 C, yaitu Creative,
Courageous, Change, Commitment, dan Care.
Strategi Perubahan
Banyak alat bantu (tools) manajemen yang bisa dipakai untuk memacu perubahan dalam
perusahaan, seperti 7S Mc Kinsey, BCG Matrix, Benchmarking, Brain-storming, Business
Process Reengineering, Six Sigma, GE-McKinsey Matrix, Porter Five Forces, Statistical
Process Control, SWOT Analysis, PEST Analysis, Value Chain Analysis, dan sebagainya.
Perusahaan bisa memakai satu atau lebih alat bantu tersebut dalam menentukan arah
dan proses perubahan.
Faktor kritikal perubahan menyangkut manusia. Kegagalan melakukan perubahan lebih
banyak disebabkan oleh faktor manusia ketimbang faktor teknis. Perubahan harus
dikelola secara baik karena kegagalan melakukan perubahan menimbulkan dampak besar
bagi perusahaan dan karyawan.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh perusahaan agar setiap karyawan menerima
perubahan. Perusahaan spesialis perubahan Prosci membagi perubahan dalam 3 fase
(fase persiapan perubahan, fase mengelola perubahan, dan fase mendayagunakan
perubahan). Fase persiapan perubahan mencakup penetapan strategi manajemen
perubahan, memper-siapkan tim manajemen perubahan, dan mengembangkan model
sponsor. Faktor sponsor perubahan ini sangat penting, karena merekalah motor dan agen
perubahan dalam perusahaan.
Dalam fase mengelola perubahan, perusahaan mengembangkan rencana manajemen
perubahan dan mengimplementasikan rencana perubahan. Sedangkan fase
mendayagunakan perubahan meliputi langkah untuk mengumpulkan dan menganalisis
masukan, mendiagnosa gap dan mengelola orang / kelompok yang resisten, dan
mengadakan langkah koreksi dan merayakan keberhasilan dalam melakukan perubahan.
"Perubahan membutuhkan dukugan penuh dari manajemen puncak," ujar Daisy M.E.
Suhari, Kepala Divisi Pengelolaan SDM PT Infomedia Nusantara. Hal ini berdasarkan
pengalaman Daisy di Infomedia. Sejak akhir 2003, Infomedia memutuskan untuk
melakukan transformasi bisnis dan organisasi sejalan dengan strategi perusahaan untuk
mengembangkan 2 pilar bisnis baru (Contact Center dan Content Provider),di samping
pilar bisnis lama Buku Petunjuk Telepon (dulu Yellow Pages). Dari sisi sumber daya
manusia, Infomedia mengubah sistem manajemennya menjadi Competency Based
Human Resources Management (CBHRM). "Tanpa dukungan penuh manajemen puncak,
perubahan sulit terlaksana," ujarnya serius.
Almarhum Sam Walton, pendiri raksasa ritel Wal-Mart, bisa menjadi contoh eksekutif
puncak yang begitu komit dan terlibat terhadap perubahan Walton dikenal sebagai
eksekutif yang mementingkan perubahan, eksperimen, dan peningkatan secara konstan.
Ia tidak hanya asal omong, tetapi membangun mekanisme organisasi yang kongkrit :
untuk mendorong perubahan dan peningkatan. Menggunakan konsep "A Store Within a
Store", Walton memberi manajer departemen otoritas dan kebebasan untuk menjalankan
departemennya selayaknya usaha sendiri. Ia membuat insentif tunai dan pengakuan
publik terhadap associates yang berkontribusi terhadap penghematan biaya dan / atau
ide peningkatan layanan yang bisa dikembangkan di toko lain. Hingga kini Wal-Mart terus
berjaya dan menjadikan keempat anaknya sebagai orang-orang terkaya Amerika (lihat
rubrik Wacana, red).
Kecuali itu, menurut Human Capital Director PT Excelcomiodo Pratama Joris de Fretes,
faktor komunikasi memainkan peran penting untuk keberhasilan sebuah perubahan.
Perusahaan bisa menggunakan berbagai media internal (papan pengumuman, website,
majalah internal, dan video conference) ataupun forum khusus untuk
mengkomunikasikan perubahan tersebut. Untuk mempercepat proses perubahan,
perusahaan juga harus menetapkan Agen Perubahan (Change Agent)�- orang-orang
yang akan menjadi motor perubahan di lingkungannya.
Pada akhirnya, seperti ditulis Thomas J. Peters dan Robert Waterman Jr. dalam bukunya
yang terkenal In Search of Excelence, hanya perusahaan yang ekselenlah yang akan
menang dalam persaingan.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. ASTRA INTERNATIONAL Tbk
Perubahan Telah Menjadi Sistem
Grup Astra disebut-sebut sebagai kelompok bisnis nasional yang memiliki sistem
manajemen termaju di Indonesia. Astra menyebut sistem manajemennya dengan nama
Astra Management System (AMS). Sistem manajemen ini menjadi roda penggerak
organisasi Astra untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, moto, dan filosofi korporat Astra.
Dengan AMS, Astra terus melakukan perubahan sejalan dengan prinsip kaizen (continous
improvement) yang dianut Astra sejak beberapa dekade yang lalu.
Di sisi lain, kemunculan AMS menjadi cermin betapa Astra adalah organisasi yang
tanggap terhadap perubahan dan seringkali menjadi motor perubahan dalam konteks
bisnis nasional. Sadar bahwa konstelasi bisnis internal, nasional, dan internasional
berubah pasca krisis ekonomi 1997, manajemen Astra merasa perlu untuk melakukan
transformasi bisnis dan manajemen agar Astra menjadi perusahaan yang excellent.
Sistem manajemen Astra, Astra Total Quality Control / ATQC yang telah diterapkan sejak
1983 dan diubah menjadi Astra Total Quality Management / ATQM sejak tahun 1998,
dianggap tidak memadai lagi. AMS mulai diperkenalkan tahun 2001.
AMS masih tetap menggunakan 4 pilar dari ATQM (Mentalitas Dasar, Manajemen
Strategik, Sarana, dan Pemberdayaan dalam Implementasi), namun menurut Ketua Tim
Perumus Buku Panduan AMS I.W. Putraka perubahan atau revisi terjadi terhadap keempat
pilar tersebut. Revisi terpenting terkait dengan perubahan di Astra terjadi pada pilar 2
dengan memberikan penekanan pada upaya peningkatan (improvement) dan inovasi
secara lebih rinci. AMS menyeimbangkan porsi kegiatan peningkatan dan inovasi dengan
proses transformasi bisnis.
Krisis ekonomi menyebabkan Astra harus melakukan penjadwalan pembayaran utang
dengan para kreditur. Pada periode 1998-1999, Astra terpaksa mem-PHK 20.000
karyawan tetap dan 5.000 pegawai kontrak sehingga jumlah karyawan Astra tinggal
sekitar 100.000 orang. Tetapi, bisnis harus tetap berjalan. Masuknya Cycle & Carriage
(didukung raksasa finansial Jardine Matheson) sebagai pemegang saham utama Astra
dan dibukanya peluang investasi 100% kepada investor asing di Indonesia menyebabkan
berubahnya kompetisi di pasar. Liberalisasi perekonomian harus dijawab dengan langkah
yang tepat. Astra harus melepaskan sahamnya di banyak perusahaan manufaktur,
khususnya di bidang otomotif dan bisnis terkait. Semua faktor di atas mengharuskan
Astra harus mendesain ulang fokus dan strategi bisnis. "Astra harus menentukan
perannya dengan pelepasan kepemilikan usaha manufaktur tersebut," tukas Budi
Setiadharma, CEO PT Astra International Tbk., perusahaan induk Grup Astra.
Sebelum menetapkan pilihan, pimpinan Astra mengundang sejumlah pakar politik,
ekonomi, dan sosial-budaya terkemuka untuk mendapatkan pandangan mereka tentang
kondisi makro Indonesia kini dan mendatang. Juga pakar otomotif dunia untuk
mengetahui proyeksi bisnis otomotif global. Setelah mendengarkan seluruh pandangan
tersebut, jajaran pimpinan Astra kembali ke kandang masing-masing untuk
mendiskusikan pandangan mereka tentang masa depan Astra. Seluruh pandangan
tersebut dibawa kembali ke rapat pimpinan Astra untuk dibahas lebih lanjut.
Salah satu keputusan terpenting terjadi di bidang otomotif, penyumbang utama bisnis
Astra. Astra memutuskan untuk fokus di bidang pemasaran ritel dan jasa keuangan
ikutan. Bila selama ini Astra hanya bergerak di bidang manufaktur dan distribusi, Astra
kini bergerak langsung ke konsumen. Perubahan fokus bisnis ini, menurut Budi, menuntut
perubahan mentalitas dan kompetensi yang sangat besar.
Sebagai distributor, selama ini Astra hanya berhubungan dengan dealer,
mendistribusikan barang sesuai kebutuhan. Menjadi peritel, Astra kini berhadapan
langsung dengan konsumen yang sangat berbeda karakter dan perilakunya. Pesaing pun
berubah. "Perubahan ini tidaklah mudah, meskipun sekilas tampak mudah," tukasnya,
sambil menambahkan, "Perilaku konsumen sangat bervariasi, dan kecepatan melayani
distributor dengan ritel itu amat berbeda."
Setelah fokus bisnis ditetapkan, selanjutnya Astra melakukan perubahan organisasi dan
menetapkan figur-figur yang tepat untuk mengisi posisi yang ada berdasarkan kebutuhan
organisasi serta kompetensi baru yang dibutuhkan. "Waktu memutuskan fokus di ritel,
saya langsung berpikir tentang wajah-wajah Kepala Cabang dan Manajer Operasi
(setingkat di atas Kepala Cabang, red) apakah sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan," ujar CEO yang gemar lukisan tersebut. Kepala Cabang dan Manajer Operasi
merupakan ujung tombak bisnis Astra.
Caranya melalui audit organisasi dan personil. Orang yaog tidak suka dengan ritel tidak
bisa menjadi Kepala Cabang dan Manajer Operasi. Mereka yang kurang atau tidak
memenuhi syarat diberikan kesempatan training atau diminta menyingkir Beberapa
Kepala Cabang dan Manajer Operasi akhirnya harus rela menyingkir dalam struktur baru.
Tugas 'mempermak' orang tersebut dijalankan oleh AMDI (Astra Management
Development Institute), lembaga khusus yang bertugas merekrut dan mengembangkan
kualitas personil Astra.
Kecenderungan biaya yang terus naik mengharuskan orang-orang Astra untuk selalu
produktif dan efisien. "Jangan sampai terjadi seperti gunting, di mana grafik pendapatan
yang terus menurun berpotongan dengan grafik biaya yang terus menaik," Budi
berwanti-wanti. Lahirnya Xenia dan Avanza didasarkan atas pemikiran tersebut, hasil riset
selama 3-5 tahun setelah melihat adanya celah pasar yang gemuk di kelas mobil seharga
Rp 100 juta ke bawah. Konsumen tersebut ingin membeli adik Kijang, bukan Kijang.
Hasilnya, luar biasa. Penjualan kedua merek ini mendongkrak nilai penjualan dan laba
Astra secara signifikan.
Sebaliknya, inisiatif efisiensi terus dijalankan. Sistem administrasi back office seluruh
cabang Astra diseragamkan dengan memakai teknologi SAP. Selama ini, sistem
administrasi setiap cabang berbeda-beda sehingga masing-masing cabang
membutuhkan tenaga akunting dan Administration Dept. Head sendiri-sendiri. Kompilasi
data juga menjadi lambat. Dewasa ini, proses administrasi pemesanan mobil,
pembayaran, dan berbagai hal lainnya seragam serta online sehingga pengumpulan dan
penyatuan data di akhir bulan bisa dilaksanakan dengan cepat. Contoh lain, Astra
berhasil menyatukan pembelian seluruh unit usahanya�- yang selama ini berjalan
sendiri-sendiri�- untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik dengan para pemasok.
"Perubahan terberat adalah menyangkut manusia," jawab Gudi ketika ditanya bagian
tersulit dari perubahan. Upaya peningkatan manajemen proses tidak akan berjalan tanpa
pengembangan karakter dan kompetensi karyawan sebagai pemilik dan pengelola proses
perubahan itu sendiri. Apabila tujuan (goal) perubahan sudah ditetapkan, menurut Chief
AMDI Yakub Liman, kunci utama perubahan terletak pada Commitment, Involvement, dan
Leadership (CIL) dari eksekutif puncak dan jajaran pimpinan perusahaan. "Apapun proses
atau program perubahan, tanpa CIL sulit untuk berhasil," ujarnya.
Proses perubahan di Astra selalu diikuti dengan proses evaluasi secara berkala, di mana
manajemen mengikuti setiap perkembangan yang terjadi. Ini untuk menjaga jangan
sampai terjadi penyimpangan dalam melakukan perubahan. Proses perubahan tersebut
digambarkan dalam bentuk roda yang terus berputar naik ke anak tangga yang lebih
tinggi. Roda tersebut mengandung fungsi dasar manajemen PDCA (Plan, Do, Check,
Action). Untuk memutar roda dilakukan melalui training masif. Setiap roda yang naik ke
tangga lebih tinggi diganjal dengan Standardization (S) agar tidak melorot turun,
sehingga PDCA berubah menjadi SCDA. Begitulah seterusnya. Di setiap akhir tahun,
manajemen Astra mengadakan perayaan sebagai apresiasi terhadap tim yang dinilai
terbaik dalam melakukan improvement, haik teknik maupun non-teknik. Pemenang ke-1,
antara lain, mendapat sepeda motor atau hadiah uang Rp 20 juta.
Dengan lingkungan berkreasi yang kondusif dan menantang, wajar bila ide peningkatan
dan inovasi tumbuh subur di Astra. Setiap tahunnya Astra mendapatkan proposal ide dari
seluruh jajaran perusahaan tak kurang dari 130.000 buah. Jumlah tersebut, menurut
Yakub Liman, adalah proposal yang tercatat, yaitu proposal yang idenya bagus dan bisa
diimplementasikan. Lengkap dengan manfaat kuantitatif yang diperoleh bila ide itu
diimplementasikan. "Jadi, tidak bisa asal bunyi alias asbun," tutur Yakub. Astra
memberikan penghargaan kepada mereka yang berpartisipasi. "Kendati hanya sebungkus
nasi," tambahnya.
Di ulang tahun yang ke-48 yang jatuh 20 Februari lalu, kinerja bisnis Astra yang memiliki
sekitar 100.000 karyawan memang sangat mencorong. Perseroan berhasil mencatat
rekor laba bersih Rp 5,4 triliun pada 2004, naik 22,3% dari 2003. Nilai hutang perusahaan
pun menurun tajam, bahkan per 31 Maret 2005 hutang Astra kepada 19 sindikasi bank
asing telah dibayar luas sehingga hutang Astra menjadi nol. Total hutang kepada sindikasi
bank asing itu US7 juta, dan telah dibayar US1 juta pada Desember 2004 serta dibayar
lagi US juta pada Maret 2005. Selain itu, Astra masih memiliki dana tunai Rp 1 triliun
untuk membayar dividen.
Toh Astra tak henti berusaha meraih kemajuan. Pada ulang tahun ke-48, Astra juga
meluncurkan inisiatif baru yaitu nemberikan Astra Award kepada seluruh anak
perusahaan atau unit usaha terbaik di lingkungan Astra. Award ini dimaksudkan agar
seluruh perusahaan atau unit usaha Grup Astra berlomba meraih yang terbaik dengan
membangun winning team spirit. "Setiap orang Astra harus menghayati betul budaya dan
semangat strive for excellence," kata Budi. Setiap awal tahun, Budi sebagai CEO Astra
juga mengirim President Letter, sebuah pesan dan sranan yang harus menjadi pegangan
bagi seluruh insan Astra dalam menjalankan tugasnya.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. EXCELCOMINDO PRATAMA
MENGIKUTI IRAMA KONSUMEN
Perubahan di PT Excelcomindo Pratama pada awalnya dilakukan pada tiap-tiap divisi
secara bertahap. Namun, perubahan secara mendasar dilakukan ketika investor asing
yakni Asia Infrastructure Fund dan Telekom asal Malaysia masuk ke manajemen
Excelcom.
Seperti diketahui, Telekom Malaysia resmi masuk ke operator seluler PT Excelcomindo
Pratama (XL) setelah membeli 23,1 persen saham asing milik Nynex Indocel Holding Sdn
(Verizon) senilai US5,7 juta. Dengan transaksi tersebut, menurut Presdir PT Telekomindo
Primabhakti YW. Junardy, Telekom Malasyia akan menjadi mitra strategis sekaligus
menjadi langkah awal keterlibatannya di Excelcom yang merupakan operator seluler
ketiga terbesar di Indonesia.
Saat ini, komposisi pemilik saham XL sebanyak 60 persen dimiliki investor lokal yaitu
konsorsium PT Telekomindo Primabhakti dengan anggota Bentoel, Sheraton, Metro
Departement Store, dan Express Taxi. Selain Telekom Malaysia, perusahaan asing yang
memegang saham PT Exelcomindo Pratama adalah Asia Infrastructure Fund yang
menguasai sebesar 12,7 persen.
Direktur Pengembangan SDM PT Excelcom, Joris de Fretes mengakui, masuknya investor
asing di perusahaannya memang semakin memicu percepatan perubahan organisasi
menuju arah yng lebih baik. Dalam hal penetrasi ke pelanggan, kata Horis, Telekom
Malaysia meminta agar XL lebih agresif, sehingga bisa mendekatkan posisi pencapaian
pelanggan seluler dengan perusahaan sejenis di Indonesia. Hingga September 2004
jumlah pelanggan seluler XL mencapai 4,2 juta nomor, meningkat dari 2,9juta nomor
pada akhir 2003.
Joris menambahkan, ada atau tidak ada investor asing, pada dasarnya perubahan harus
dilakukan jika organisasi ingin terus berkembang. Ada beberapa faktor yang mendorong
sebuah organisasi harus berubah, yakni e-commers, percepatan arus informasi,
organisasi virtual, merger & akuisisi serta privatisasi.
Di luar faktor pendorong tersebut, ada hal lain yang juga sangat berpengaruh terhadap
arah perubahan, yakni perilaku konsumen juga telah berubah. Telekomunikasi kini tidak
lagi dipandang sebagai barang investasi, melainkan barang konsumsi. Artinya memiliki
sarana telekomunikasi bergerak kini telah menjadi kebutuhan.
Perbedaan perilaku konsumen ini menuntut penanganan yang berbeda pula, misalnya
dari produknya, strategi marketing-nya, promosinya dan sebagainya. Dengan demikian,
orientasi perusahaan, kata Joris juga harus berubah. Semula Excelcom mendasarkan
pada technology driven, tapi sekarang pendekatanya lebih kepada marketing driven.
Konkritnya, kata Joris, ketika hendak membangun BTS baru, misalnya, pertimbangan
utamanya bukan pada masalah teknologi atau jaringannya tapi lebih kepada marketing-
nya. Apakah di suatu daerah sudah benar-henar membutuhkan BTS? Untuk membangun
sebuah BTS paling tidak diperlukan dana Rp2 miliar. "Jika pelanggannya tidak terlalu
signifikan, tentu kami dan operator lain akan berpikir ulang tentang investasi tersebut,"
tukasnya.
Perubahan perilaku konsumen telekomunikasi juga bisa dilihat dari pola konsumsi
mereka, yang tercermin dalam ARPU (Average Revenue Per User), atau tingkat rata-rata
pemakaian pulsa setiap bulan. Dulu orang menggunakan ponsel minimal pulsanya sekitar
Rp 100 ribu. Tapi sekarang, sudah menurun menjadi sekitar Rp 50 ribu per bulan. Hal ini
pun harus diantisipasi dengan menawarkan paket-paket isi ulang yang relatif terjangkau.
Salah satunya adalah dengan meluncurkan Xplor yang diklaim memiliki keunggulan tarif
percakapan yang lebih hemat dibandingkan tarif pascabayar lainnya, karena durasi
percakapan dihitung per 1 detik. Selain itu, fasilitas ini juga gratis biaya abonemen (untuk
tagihan minimum penggunaan perbulan hanya Rp 25.000), serta gratis roaming nasional.
Pelanggan Xplor juga dapat menikmati tarif hemat 36 persen hingga 69 persen pada jam
tidak sibuk yaitu dari pukul 22.00 sampai 07.59 di hari kerja, sepanjang hari libur nasional
dan hari Minggu. Tarif hemat ini berlaku untuk panggilan yang dilakukan ke PSTN, sesama
XL dan operator lain, selain SLI dan premium call.
Kemudahan yang diperoleh dari layanan pascabayar Xplor adalah jangkauan di seluruh
Nusantara (mudah dipakai di mana saja) serta proses aktivasi yang mudah dan cepat
yaitu hanya dengan membeli kartu perdana seharga Rp 55.000,- �(termasuk PPN),
pengguna selular sudah dapat menggunakan Xplor dengan batas maksimum
penggunaan Rp 50.000,- sambil menunggu proses verifikasi data.
Berbagai perubahan yang dilakukan Excelcom memang sangat beralasan. Sebab, tak
lama lagi perusahaan itu berencana memasuki lantai bursa. Direktur Marketing Business
Solution PT Excelcomindo, Rudiantara mengungkapkan bahwa rencana mencatatakan
saham Excelcomindo di bursa saham sudah lama dibicarakan atau jauh sebelum Telekom
Malaysia masuk ke perusahaan. Jika rencana tersebut terealisasi, seluruh karyawan
perusahaan ini tentu harus melangkah seirama mempersiapkan perubahan yang
diperlukan.
Menurut Joris, kendala utama perubahan yang dilakukan di Excelcomindo sebenarnya
bukan pada komunikasinya, melainkan pada bagaimana seluruh karyawan bisa
mengadaptasi terhadap lingkungan yang harus atau sudah berubah. Juga bagaimana
karyawan dapat memahami peran dan fungsi masing-masing.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. FRISIAN FLAG INDONESIA
FOKUSKAN DIRI KE MARKETING DRIVEN & TRAINING DRIVEN
Berbekal pengalaman lebih dari tujuh dasawarsa dalam memasarkan produk susu, Frisian
Flag kini dikenal sebagai produsen dan distributor terkemuka di Indonesia. Tak heran
dalam kurun waktu 35 tahun, setiap jaman mengharuskan pelaku bisnis termasuk Frisian
Flag untuk merubah sikap sesuai dengan tuntutan konsumen.
Ini disadari betul oleh segenap jajaran direksi dan manajemen serta karyawan Frisian
Flag. Perubahan yang mendasar terutama dari segi perilaku, sikap, memandang
kompetensi yang berbeda di setiap zaman. Menurut Hendro Harijogi, HR & GA Director PT
Frisian Flag Indonesia, perubahan ini merupakan pertahanan hidup bagi semua
perusahaan pada umumnya dan Frisian Flag secara khusus. Pada tahun 1970an hingga
menjelang tahun 1990-an, Frisian Flag lebih erat dengan production driven. Artinya, apa
yang diproduksi Frisian Flag selama kualitasnya baik, maka konsumen akan membelinya.
Tapi, hal itu sudah tidak berlaku lagi. Diakui Hendro, sekarang ini adalah era marketing,
selain produknya berkualitas, produk tersebut harus mampu menarik perhatian
konsumen. �€œProduk susu dibuat semenarik mungkin karena konsumen memposisikan
produk itu tidak hanya untuk kesehatan, tapi juga untuk gaya hidup." Kalau produknya
bagus tapi tidak sesuai dengan gaya hidup masyarakat Indonesia pada masa kini, maka
produk itu akan dilupakan orang," ujarnya.
Contoh lain, dulu orang hanya mengenal supermarket, sekarang sudah ada hypermarket
yang lebih lengkap dan nyaman. "Sekarang orang mana mau ke supermarket, kurang
lengkap, tidak dingin, tidak nyaman dan sebagainya. Akibatnya jenis promosi juga
berubah," tukas Hendro. Tak heran jika Frisian Flag berusaha mengikuti keinginan
konsumen dan pasar. "Susu Bendera dulu dikenal sebagai produk berkualitas bagus.
Kualitas tidak boleh dihilangkan karena itu adalah warisan. Tapi kami juga harus mampu
menjaring konsumen dengan keunikan produk kami. Kalau kami tidak mau berubah,
maka kami akan bangkrut, termasuk pula perusahaan-perusahaan lainnya," imbuhnya
dengan antusias.
Dalam melakukan perubahan, Hendro menegaskan bahwa kecepatan menjadi kata kunci.
Kalau sebuah perusahaan tidak cepat bereaksi, maka konsumen akan lari ke produk lain.
Ini menuntut biaya yang lebih besar karena perusahaan harus selalu melakukan pelatihan
kepada karyawannya. Inovasi sangat penting. Jika karyawan tidak mampu untuk inovatif,
maka ia harus dilatih untuk inovatif. Selain market driven, Frisian Flag juga fokus kepada
training driven. Para karyawan diberi edukasi yang lebih baik dan diberi kesempatan
untuk mengambil keputusan. "Dulu, keputusan hanya dilakukan para atasan saja.
Sekarang, atasan justru harus meng-empower karyawan untuk kreatif. Itu perubahan
budaya dan bukan suatu hal yang mudah," ia kembali menjelaskan.
Pengembangan karir karyawan juga dibenahi. Menurutnya, seorang karyawan yang di-
training terus-menerus, tapi tidak jelas karirnya, maka karyawan tersebut tidak akan
termotivasi. "Setiap orang punya aspirasi dan sebagian besar aspirasi seseorang adalah
peningkatan karir. Mereka juga ingin maju dan punya tanggung jawab yang lebih besar,"
tukasnya. Kalau karyawan tidak punya kompetensi yang cukup dan training yangbaik,
maka dia tidak akan menerima posisi yang baik aan juga tidak akan termotivasi.
Dalam perubahan, komunikasi menjadi hal penting. Pertama, Frisian Flag menerapkan
sasaran terlebih dulu. Kemudian pihak manajemen melihat, apa yang dimiliki Frisian Flag,
kemudian mengkomunikasikan kepada seluruh karyawan. Untuk mencapai sasaran, ia
mengaku akan menghadapi kendala, termasuk gap. "Biasanya, kalau seseorang punya
gap atau kelemahan, orang tidak akan suka. Itu normal," senyumnya mengembang saat
memaparkan hal ini. Karena itu, pihak manajemen harus mampu mengkomunikasikan
gap tersebut sehingga bisa berkurang.
Setelah tahu gap-nya, manajemen kemudian memberikan fasilitas untuk menutupi gap
tersebut yaitu dengan menerapkan sistem yang memakan waktu bertahun-tahun. Hendro
mengaku, Frisian Flag dalam membangun sistem pengembangan SDM butuh waktu lima
tahun. Sedangkan untuk memahami sistem tersebut butuh komunikasi berkelanjutan.
"Perubahan dari production driven ke marketing driven butuh waktu yang lama." Langkah
awal, perubahan di sistem HR, mulai dari training, career path, pemahaman terhadap
pengembangan karir, dan menerapkan pengembangan secara nyata. "Jika dari sisi SDM
sudah baik," lanjutnya lagi, "maka segala hal yang menyangkut kebutuhan bisnis itu
sendiri, akan bisa dipahami oleh semua karyawan."
"Bisnis kami kan tidak hanya urusan para atasan saja. Pengangkat barang pun juga
berurusan dengan bisnis ini," tegasnya. Ia mencontohkan, di masa lalu pernah terjadi
para pengangkut barang dalam melakukan pekerjaannya seringkali tidak hati-hati.
Mereka beranggapan, para konsumen dulu tidak terlalu peduli terhadap kondisi produk.
Mereka lupa bahwa ada satu perubahan di masyarakat dan mereka tidak merasakan hal
itu karena mereka bagian dari kehidupan sehari-hari dan rutin selama bertahun-tahun.
"Dulu, kalau kaleng penyok dan kotor atau kardus rusak konsumen masih mau beli.
Sekarang, mana mau konsumen membelinya? Mereka lebih baik pilih produk lain,"
katanya setengah bertanya.
Perusahaan yang memiliki karyawan sebanyak 1800 orang permanen dan non permanen
ini memulai perubahan tersebut sejak tahun 1996 dan hingga kini masih terus
berlangsuog. Sedangkan perubahan-perubahan kecil semacam logo atau kemasan
biasanya dilakukan setiap 4 tahun. Perubahan lain yang muncul di Frisian Flag adalah
komposisi susu. Jika dulu produk susu belum menggunakan omega 3 dan omega 6,
sekarang sudah digunakan. "Itu penemuan baru dan memberi manfaat pada konsumen
maka perusahaan susu akan menambahkan komposisi itu jika ingin laku."
Saat ini, Hendro mengaku bahwa Frisian Flag masih menjadi market leader di kategori
produk susu. Frisian Flag berusaha mempertahankan hal itu, sesuai dengan core value
perusahaan yaitu menjadi yang terbaik dalam hal industri susu dan memproduksi susu
dengan kualitas terbaik serta ingin memberikan kontribusi sebesar-besarnya kepada
masyarakat. "Kami harus memberikan keuntungan yang 'sangat' kepada perusahaaan.
Artinya, kami tidak minta yang 'besar' karena kami punya kode etik dan sesuai dengan
visi kami, memberikan keuntungan yang baik bagi shareholders dan menempatkan di
sebagai perusahaan yang inovatif, mengerti kebutuhan konsumen," jelasnya panjang
lebar.
Implementasi BSc
Sering orang bertanya tentang bagaimana mengimplementasikan BSc secara sukses
dalam organisasi? Sebelum menerapkan BSc, sebaiknya organisasi melakukan asesmen
tentang kesiapan organisasi di dalam menerapkan sistem manajemen tersebut. Inilah
yang dilakukan Astra World dan sejumlah perusahaan lainnya. Kebanyakan perusahaan
malah tidak melakukan asesmen, langsung saja menjalankan BSc. Asesmen tersebut
dilakukan terhadap sejauh mana organisasi menjalankan 5 prinsip Organisasi Fokus Pada
Strategi (the Strategy-Focused Organization/SFO), yang dikupas oleh Norton dan Kaplan
dalam buku keduanya.
Prinsip pertama, menjabarkan strategi ke dalam aspek operasional. Prinsip kedua,
menyelaraskan organisasi dengan strategi. Prinsip ketiga, membuat strategi menjadi
pekerjaan setiap orang setiap hari. Prinsip keempat, menjadikan strategi sebagai proses
tanpa henti. Prinsip kelima, memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan eksekutif.
Sebagai sebuah sistem manajemen, implementasi BSc benar-benar berhasil jika menjadi
alat manajemen utama bagi pejabat organisasi, khususnya CEO. Kaplan dan Norton,
maupun para eksekutif yang berbagi pengalaman tentang implementasi BSc di organisasi
mereka, berulang-ulang mengatakan satu-satunya kondisi paling penting untuk
keberhasilan implementasi BSc adalah komitmen dan keterlibatan aktif dari tim
eksekutif. Hal ini sejalan dengan prinsip kelima dari SFO yang menegaskan pentingnya
faktor kepemimpinan eksekutif dalam mendorong perubahan.
Suwardi Luis mengukur komitmen pemilik, CEO atau eksekutif sebuah perusahaan
dengan sejauh mana yang bersangkutan meluangkan waktunya untuk mengikuti
workshop yang dia adakan. “Waktu mau menerapkan BSc di Dexa Medica, Ciputra Group,
Lippo Bank atau Bl, pemilik dan para eksekutifnya mengikuti workshop saya beberapa
jam hingga 2 hari. Kalau mereka setengah hari saja tidak punya waktu, bagaimana bisa
mengimplementasinya dengan sukses,” tanyanya serius.
Untuk mengimplementasikan BSc perlu dibentuk tim khusus BSc yang akan mendorong
proses implementasi BSc di seluruh organisasi sekaligus sebagai agen perubahan. Tim ini
lazimnya terdiri dari anggota lintas fungsi (SDM, keuangan, pemasaran, teknologi
informasi/ Tl, dan sebagainya).
Pada sejumlah organisasi, bahkan diangkat Manajer BSc penuh seperti yang terjadi di
perusahaan konsultan terkemuka Booz Allen Hamilton. Namanya John Monkzewski. Ia
dibantu oleh 3 karyawan penuh lainnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Adira
Finance, yang menunjuk Falk Archibald Kemur (Dicky) sebagai Manajer BSc yang
bertanggung jawab langsung kepada CEO. la dibantu oleh 2-3 staf. Selain bertugas
mendorong implementasi BSc di seluruh organisasi dengan serangkaian program
perubahan, ia juga menyiapkan laporan hasil pemantauan kinerja secara reguler kepada
seluruh kepala divisi maupun CEO, lengkap dengan hasil kajiannya.
Upaya melibatkan konsultan dalam implementasi BSc harus dilakukan secara hati-hati.
Konsultan berperan penting dalam program BSc, akan tetapi James Creelman dan Naresh
mengingatkan perlu adanya kejelasan tanggung jawab dari konsultan, “Konsultan
bukanlah pemilik program, dan juga tidak menyusun KPI,” ungkap mereka. Tugas utama
konsultan adalah meyakinkan manajemen puncak terhadap perlunya BSc, memfasilitasi
penyusunan visi, misi, strategi, dan KPI, serta melakukan transfer pengetahuan kepada
pihak perusahaan. “Hati-hati dengan konsultan yang melihat KPI sebagai sebuah latihan
pengukuran karena bisa berdampak serius terhadap implementasi program BSc,” kata
Naresh.
Dalam menjalankan BSc, proses otomasi menjadi bagian yang cukup penting, kendatipun
implementasi HSc bukanlah sebuah proyek TI. Dewasa ini cukup banyak software BSc
yang telah disertifikasi oleh BSCol. Software yang paling sederhana adalah program Excel
dan PowerPoint. Kemampuannya jelas terbatas. Software yang banyak dipakai di
kawasan ini adalah PB views (Canada) maupun QPR (Finlandia). “PB views merupakan
market leader di dunia, termasuk di Indonesia dan Singapura,” tegas Andrew Lim,
Direktur BSc Solutions PL, Singapura, kepada Human Capital.
Di banyak negara, seperti Singapura dan Malaysia, BSc diterapkan pula secara meluas di
organisasi milik pemerintah, seperti Kementerian Hukum, Informasi, bahkan Pengadilan.
Implementasinya tentu lebih menarik karena sasaran strategik organisasi tidak berupa
kinerja finansial dan cenderung bersifat kualitatif. Di Indonesia, BI adalah satu-satunya
organisasi publik yang sudah menerapkan BSc sejalan dengan transformasi organisasi BI.
Siapa menyusul?
Inisiatif Ganda Adira Finance
No. 16 - Juli 2005
PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk. (Adira Finance) menerapkan Balanced Scorecard
(BSc) dibantu dengan inisiatif TQM (Total Quality Management). Tujuannya untuk
mendorong proses inovasi dan peningkatan terus menerus. Hasilnya luar biasa.
Merasa bahwa visi dan misi perusahaan perlu dijabarkan ke dalam strategi perusahaan
hingga level terendah I (individu), manajemen Adira Finance memutuskan untuk
merancang implementasi BSc bulan Agustus 2002. Setelah melalui persiapan selama 6
bulan, bulan Februari 2003 Strategy Map Adira pun disahkan. Persiapan itu dipergunakan
untuk mempersiapkan KPI (Key Performance Indicator) dari level korporat, divisi, area,
cabang, hingga individu. Proses ini pada awalnya dibantu konsultan OTI. Secara korporat,
Adira memiliki 21 inisiatif strategik dengan 42 KPI. Sementara jumlah KPI untuk individu
umumnya berkisar antara 3-5 buah.
Sadar bahwa keberhasilan implementasi BSc sangat tergantung dengan keberadaan
orang yang khusus menanganinya, manajemen Adira Finance kemudian membentuk
divisi khusus dengan nama Corporate President Office Division. Kepala divisinya
dipercayakan kepada Falk Archibald Kemur (akrab dipanggil Dicky) dengan dibantu 2-3
staf. Divisi ini, menurut Dicky, langsung berada di bawah kendali CEO Adira Finance.
Yang menarik, meski hanya memiliki sedikit orang, implementasi BSc di Adira
berlangsung dengan cepat. Buktinya, KPI per individu pun berhasil mereka buat dan telah
diterapkan di lingkungan perusahaan. Keberhasilan ini sedikit banyak tercapai berkat
strategi jitu Adira dalam melakukan sosialisasi perubahan dan mengimplementasikan
BSc. Sosialisasi itu dilakukan dengan menggelar seminar BSc di lingkungan Area Manager
yang diikuti pula oleh seluruh Kepala Cabang. Awalnya, tutur Dicky, ada resistensi dari
sejumlah pimpinan di berbagai level untuk mengevaluasi KPI individu. Alasannya,
menambah kerepotan pekerjaan. Tetapi, Dicky berhasil meyakinkan mereka bahwa
sistem ini sangat membantu untuk memantau pekerjaan dan kompetensi bawahan
sehingga bisa melakukan perbaikan segera. Perusahaan kemudian membuat formulir
review untuk memudahkan pimpinan melakukannya. Hasil review itu disampaikan Dicky
kepada CEO maupun Kepala Divisi untuk ditindaklanjuti.
Tidak seperti yang umum dilakukan perusahaan, Adira menerapkan KPI dimulai dari level
paling bawah (cabang dan individu karyawannya). “Karena lebih mudah untuk
menerapkannya,” kilah Dicky, yang sebelumnya menjabat Kepala Divisi Branch Operation
Support tersebut. KPI individu jika dikumpulkan akan menjadi KPI Kepala Cabang. Tahap
berikutnya adalah level Area Manager. KPI seluruh cabang yang berada di setiap Area
Manager menjadi KPI untuk Kepala Divisi. Begitu seterusnya hingga ke level korporat
(Head Office). Menurut Dicky, implementasi KPI di kantor pusat baru diterapkan mulai
tahun ini. Sebab, fungsi kantor pusat lebih banyak pada aspek administrasi, sementara
pendapatan ditangani oleh kantor cabang.
Agar implementasi berjalan, Divisi ini dibantu oleh seorang pejabat di setiap level yang
diberi nama PDCA (Plan, Do, Check, Action) – semacam – Champion atau Change Agent.
Mereka bertugas memfasiiitasi proses implementasi BSc di level masing-masing. Yang
menarik, Divisi ini berhasil menyusun KPI untuk setiap karyawan dari aspek kualitatif
sekalipun. “Semua aspek bisa dibuatkan ukuran kuantitatifnya, kendati dasar
pekerjaannya adalah kualitatif,” ujarnya.
Waktu meluncurkan program BSc 2003 telah disepakati dengan direksi untuk menilai
pencapaian KPI sebagai berikut: 95% djanggap berhasil (wama hijau), 90%-95% dianggap
belum berhasil sepenuhnya (warna kuning), 80-90% baru berhasil sebagian (warna
coklat), dan < 80% dinilai belum berhasil (warna merah). Proses evaluasi untuk level
divisi ke bawah hingga saat ini cukup menggunakan software Excel Spreadsheet.
Sedangkan di level korporat (nasional) menggunakan software PB views. Kalau dipakai
untuk sampai ke cabang biayanya jadi mahal sekali karena harganya ditetapkan
berdasarkan jumlah pengguna. Sebagai solusinya, menurut Dicky, hasil evaluasi PB views
itu dikirim hingga ke cabang-cabang melalui intranet sehingga tidak bisa dicetak. “Yang
penting ‘kan bagi mereka adalah hasil evaluasinya, dan aman dari pesaing.”
�
Inisiatif BSc dilengkapi pula dengan pelaksanaan TQM yang bertujuan agar proses
peningkatan dalam rangka BSc terus berjalan. Program ini telah dimulai tahun 2004 yang
juga dimaksudkan untuk mempercepat perubahan dalam rangka Journey to Excellence
yang menjadi motto utama bisnis Adira. Sejumlah 450 GKM (Gugus Kendali Mutu) garda
depan (unit seksi cabang) berhasil terbentuk tahun 2004. Mereka di-training selama 2
minggu, dan setelah itu langsung membuat proyek kegiatan peningkatan dan inovasi
selama 3 bulan. Hasil kegiatan tersebut dilombakan. Tahun lalu, temanya adalah QCC
(Quality Control Circle) Olympic sejalan dengan serangkaian program kegiatan
bertemakan Adira Olympic 200R: "Winning Each Other’s Heart".
TQM yang dilaksanakan setahun sekali ini diadopsi dari Grup Astra yang dibawa oleh
pendiri utama Adira T. P. Rachmat. Hanya saja, TQM Astra lebih diterapkan di bidang
manufaktur, sedangkan Adira menangani bidang servis, yakni merubah orang dalam
bekerja.
"Tanpa TQM, BSc akan berjalan lambat,” tegas Dicky. Tahun ini, tema TQM adalah QCP
(Quality Control Program) dan SS (Suggestion System) yang ditujukan untuk level wilayah
(Area Manager). Setiap usulan inovasi yang masuk dan GKM-nya juara maka si pengusul
mendapatkan 15% dari total hadiah yang diraih GKM itu. Tahun 2006, TQM diterapkan
untuk level lebih tinggi (Kepala Divisi) dengan tema Quantum Leap Project.
Hasil serangkaian program perubahan tersebut berbuah manis. Jumlah karyawan Adira
meningkat hampir dua kali lipat (menjadi 10.000 orang lebih) dibandingkan 2003.
Penjualan 2004 meningkat 55% menjadi Rp 1,013 triliun dan laba naik 93,97% menjadi
Rp 301,3 miliar. “Tahun 2004 benar-benar tahun luar biasa buat Adira,” tegas CEO Adira
Finance Stanley Setia Atmadja. Bank Danamon pun kepincut membeli 75% saham Adira
dengan nilai sekitar Rp 1 triliun cukup dengan mengaudit aspek manajemen SDM. “Ini
bukti bahwa SDM Adira sangat dihargai pasar,” tambah Dicky lagi.
AAM, Melaju dengan BSc
No. 16 - Juli 2005
PT Anugrah Argon Medica (AAM) menjadi pionir dan contoh sukses di lingkungan Grup
Dexa Medica (DXG) dalam menerapkan Balanced Scorecard (BSc).
AAM yang bergerak dalam bidang distribusi obat-obatan dan alat kesehatan, merupakan
salah satu anak perusahaan DXG. AAM dalam beberapa tahun terakhir berkembang
sangat pesat, bahkan sejak akhir tahun 2003 sampai sekarang telah berhasil menjadi
pemimpin pasar distributor produk farmasi etikal di Indonesia dengan menguasai market
share 15%. Agresivitas dan tingkat pertumbuhan yang pesat ini didukung oleh SDM yang
kompeten serta sistem kerja yang baik, di antaranya adalah implementasi konsep BSc.
Budaya inovasi dan organisasi yang terus belajar ini tercermin dari sikap dan keyakinan
Managing Director AAM, Erwin Tenggono, yang selalu haus dengan konsep-konsep dan
tantangan baru.
“Di sini, konsep-konsep baru diadopsi dengan cepat,” aku Epivana, HR Manager AAM.
Setiap ada hal baru, selain dengan membaca buku, biasanya ada saja wakil AAM yang
dikirim ke seminar, training, workshop, dan sebagainya. Setelah kembali ke perusahaan,
mereka yang dikirim itu diminta menularkan pengetahuan mereka kepada yang lain dan
perusahaan mencoba menerapkannya.
Salah satu konsep yang pernah menarik perhatian Erwin adalah BSc. Sekitar tahun 1999,
perusahaan ini mulai menjajaki implementasi BSc. Saat itu AAM mengadopsi konsep BSc
untuk menyusun KPI (Key Performance Indicator) di level Operasional Cabang dengan
memperkenalkan sistem pengukuran kinerja berbasis KPI dengan 5 perspektif utama:
Financial, Customer, Principal, Internal Process, dan Learning & Growth. AAM
menambahkan satu perspektif baru yaitu Principal karena karakteristik bisnis perusahaan
distribusi menuntut sisi Principal (supplier) juga harus dikelola sebaik mengelola sisi
customer atau pelanggan. Sebab, AAM menganggap Principal sebagai mitra bisnis sama
seperti pelanggan.
Konsep ini terus dikembangkan, hingga di tahun 2001-2002, BSc mulai dibawa ke level
kantor pusat, diadopsi sebagai kerangka untuk menyusun strategi perusahaan,
departemen dan individu (para manajer). Konsep ini direspon sangat positif oleh para
manajer kantor pusat karena mendorong bekerja berdasarkan proses horisontal, tidak
hanya berorientasi ke hasil saja tapi juga proses; tidak hanya jangka pendek saja tapi
juga jangka panjang. Hanya saja pada saat itu, Scorecard individu itu belum dikaitkan
dengan sistem reward dari perusahaan, karena memang target utamanya adalah “Lebih
untuk mengubah paradigma karyawan tentang kinerja organisasi, bahwa ada hubungan
sebab-akibat dalam mencapai suatu sasaran kerja,” tambahnya.
Saat bergabung dengan AAM 2002, Epivana diharuskan belajar banyak tentang BSc
karena perusahaan ingin melangkah lebih maju lagi. Erwin berharap dalam waktu dekat,
BSc harus dikaitkan dengan sistem reward dari perusahaan. AAM sempat beberapa kali
mengundang konsultan BSc dan HR untuk belajar lebih jauh mengenai implementasi BSc
dan kaitannya dengan sistem reward.
Awal 2003, AAM mengadakan workshop internal BSc yang dibawakan sendiri oleh MD
Erwin Tenggono dan pesertanya terdiri dari seluruh manajer. AAM juga mengundang
pembicara dari perusahaan lain yang telah menjalankan program BSc untuk berbagi
pengalaman. Pada kesempatan yang sama, seluruh peserta kemudian mendiskusikan
secara intensif tentang Company Scorecard berikut strategic objective dan KPI-nya. Usai
workshop, Company Scorecard itu diturunkan menjadi Department Scorecard dan
Individual Scorecard.
Tahun 2003 itu juga, perusahaan dengan 1.400 karyawan ini mulai uji coba mengaitkan
sistem reward dengan pencapaian scorecard baik itu di tingkat perusahaan, departemen
sampai individu (manajer). Di pertengahan dan penghujung tahun dilakukan evaluasi
kinerja secara menyeluruh sehingga didapatkan besaran insentif / bonus bagi setiap
manajer. Hanya saja, hasilnya tidak terlalu memuaskan perusahaan. Beberapa manajer
mendapatkan bonus lumayan, padahal kinerja dirinya maupun perusahaan biasa-biasa
saja. Perusahaan menilai ini adalah proses belajar, scorecard dan KPI serta sistem reward
yang dibuat saat itu dianggap belum cukup tajam dan perlu terus disempurnakan di
tahun berikutnya.
Penilaian dan evaluasi terhadap pencapaian Company Scorecard dan Department
Scorecard ini dilakukan secara rutin kuartalan dan terbuka, di mana seluruh manajer
dikumpulkan dan pada saat itu dipresentasikan pencapaian Company Scorecard dan
Department Scorecard. Informasi ini membuat Kepala Departmen dan para Manajer
secara langsung mengetahui area-area perbaikan yang perlu dilakukan. Penyampaian
secara terbuka ini juga membuat setiap manajer bisa mengetahui perkiraan besaran
insentif / bonus yang bisa diperoleh di akhir tahun karena kinerja yang diciptakannya. Di
tahun 2004, evaluasi atas perolehan Company Scorecard dan Department Scorecard
konsisten dilakukan secara rutin setiap bulan.
Bagian tersulit yang dialami adalah saat membentuk KPI di perspektif Learning�&
Growth. Banyak program pengembangan yang dilakukan perusahaan dalam perspektif
Learning & Growth.
Kebetulan sejak tahun 2000, perusahaan sudah menerapkan manajemen berbasis
kompetensi (CBHRM), khususnya untuk bidang training dan pengembangan. Training
diberikan berdasarkan analisis gap kompetensi. AAM mencoba mengaitkan konsep
CBHRH ini dengan BSc untuk perspektif Learning & Growth-nya. Kegiatan asesmen
kompetensi membutuhkan effort yang besar dan komitmen dari semua pihak, maka
dengan dibantu oleh para manajer dan kepala cabang, tim HR melakukan asesmen
terhadap ratusan karyawan dengan metode targeted selection. Hasil asesmen ini
kemudian dikomunikasikan kepada atasan bagian yang terkait. Tahun berikutnya HR
kembali mengkomunikasikan kegiatan dan hasil pengisian gap kompetensi yang telah
dilakukan. Namun hasil pengukuran akhirnya tetap tidak mudah, sehingga AAM tetap
mengalami kesulitan untuk mengukur kinerja di perspektif Learning & Growth-nya.
Hingga pada tahun 2003 Kaplan & Norton mengeluarkan buku terbarunya tentang
Strategy Map, baru AAM berhasil mendapatkan kerangka yang lebih sempurna untuk
mengukur kinerja Learning & Growth-nya melalui 3 KPI utama: organization readiness,
human capital readiness dan information system readiness. Di sini AAM berhasil
menggabungkan konsep CBHRM dengan BSc, karena human capital readiness harus
diukur dengan konsep CBHRM dan AAM telah cukup lama mengimplementasikan itu.
Keberhasilan AAM dalam Implementasi BSc, diakui oleh top manajemen DXG telah
mendorong kemajuan bisnis yang pesat di AAM. Oleh sebab itu sejak tahun 2004
manajemen DXG membawa kesuksesan implementasi BSc di AAM ke anak perusahaan
DXG lainnya seperti PT Dexa Medica dan PT Ferron Par Pharmaceutical. Tahap berikutnya
adalah DXG sedang mengintegrasikan BSc di semua anak perusahaannya melalui
bantuan sistem informasi yang terintegrasi agar di level Group pun bisa mengakses BSc
semua anak perusahaannya.
Pelajaran yang didapat adalah implementasi BSc bukanlah hanya sebuah proyek
implementasi sistem. Implementasi BSc adalah suatu perubahan, baik perubahan
paradigma kerja, perubahan proses dan sistem kerja. Sistem hanyalah sebuah tools saja,
berhasil atau tidak sangat tergantung kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Komitmen, kepemimpinan, pembelajaran, dan konsistensi adalah kunci keberhasilan
implementasi BSc di AAM.
PT Capsugel Indonesia, Percontohan dari Indonesia
No. 16 - Juli 2005
Anak perusahaan farmasi dunia Pfizer Inc. ini mulai menerapkan Balanced Scorecard
(BSc) tahun 2002 dan merupakan pionir penerapan BSc di seluruh divisi Capsugel di
dunia. Produsen kapsul terbesar di Indonesia itu menikmati kinerja bisnis yang
membanggakan tahun 2004.
Capsugel merupakan divisi dari raksasa farmasi Pfizer yang memproduksi kapsul.
Perusahaan yang berkantor pusat di Morris Plain, Amerika (dekat New York) ini memiliki
sekitar 8 pabrik di seluruh dunia. Di Asia, pabrik Capsugel ada di Bogor (Indonesia),
Ayutthaya (Thailand), Suzhou (Cina), dan Sagamihara (jepang).
PT Capsugel Indonesia berdiri tahun 1996 setelah Pfizer mengakuisisi satu dari dua
produsen kapsul di Indonesia. Kapsul produksi perusahaan terbuat dari gelatin tulang sapi
yang sampai saat ini masih diimpor. Perusahaan memiliki 7 lini mesin produksi kapsul
padat (hard capsule) dan 10 mesin pencetakan kapsul dengan kapasitas total 4,6 miliar
kapsul per tahun. Kapasitas produksi tersebut dimanfaatkan secara penuh dengan
operasi yang berjalan 3 shift setiap hari dan 7 hari dalam seminggu.
Kapsul tersebut dipasarkan kepada perusahaan farmasi, produsen suplemen diet, dan
perusahaan jamu. Tahun 2005 perusahaan memasarkan 2,438 miliar kapsul untuk pasar
domestik dan 1,774 miliar kapsul untuk pasar ekspor. Secara umum, menurut GM/CPO
Capsugel Indonesia Eddy Susanto Gunawan, porsi pasar domestik dan ekspor hampir
seimbang. Dewasa ini, Capsugel Indonesia menguasai hampir 70% pangsa pasar kapsul
di Indonesia.
Keinginan Capsugel Indonesia untuk menerapkan BSc berawal dari keikutsertaan GM/CEO
dan sejumlah personil kunci perusahaan dalam workshop yang diselenggarakan OTI,
salah satu konsultan BSc terkemuka di Asia. Usai workshop, ujar Finance & Accounting
Manager Bernard Hananto, ide implementasi itu bergulir. Rencana implementasi BSC
telah disampaikan ke kantor regional Capsugel, dan mereka mendukung penuh serta
meminta Capsugel Indonesia sebagai proyek percontohan. Capsugel sendiri belum
menerapkan sistem BSc. Dibantu OTI, implementasi mulai dilakukan pertengahan 2002.
Implementasinya dilakukan oleh sebuah Komite BSc yang langsung dikoordinasikan
GM/CEO Capsugel Indonesia, dalam hal ini Eddy Susanto Gunawan yang menggantikan
GM/CEO sebelumnya pada awal 2002. Komite ini beranggotakan berbagai perwakilan dari
setiap bagian perusahaan.
Training BSc dilaksanakan dengan peserta mulai dari direksi hingga level engineer.
Langkah pertama adalah menyusun Strategic Map perusahaan. Kendati bagian dari
perusahaan global, perusahaan dimungkinkan menyusun Strategic Map tersendiri dengan
mengacu pada strategi bisnis Capsugel global. Berikutnya disusun KPI (Key Performance
Indicator) hingga level bagian (departemen). Karena KPI disusun bersama-sama dengan
konsultan dan hal ini sesuatu yang baru di perusahaan, maka KPI pada tahun 2002 itu
direvisi tahun 2003 dan seterusnya. Sebab, banyak KPI yang diajukan tidak begitu
relevan, sulit dicapai, dan sulit pula diukur. Baru tahun 2004, KPI Capsugel Indonesia
tersusun secara mantap. Jumlahnya mencapai ratusan. “Mungkin karena kami sudah
semakin pintar,” ungkap Eddy.
Bila pada sebagian perusahaan KPI tersebut masih diturunkan ke level individu, Capsugel
Indonesia merasa hal itu tidak diperlukan. Sebab utamanya, lanjut Eddy, semua
pekerjaan di sini dijalankan secara tim.
Dalam menyusun kriteria KPI, ada beberapa patokan yang harus dipenuhi. Misalnya, KPI
tersebut haruslah kritikal untuk mencapai tujuan dan strategi perusahaan, cukup bisa
diukur secara adil, fokus pada layanan, kualitas, produktivitas, dan efisiensi, mengandung
unsur tantangan, dan bukanlah upaya perseorangan. Atas dasar itu, tahun 2005 ini
perusahaan menetapkan KPI sebagai berikut: jumlah stok yang tidak bergerak (sleeping
stock), ketepatan waktu pengiriman, ketepatan waktu layanan, total komplain, waktu
dalam mengatasi komplain, barang cacat (disebut foreign), total kapsul yang dihasilkan,
ratio penggunaan gelatin, penghematan pemakaian energi dan air, dan penghematan
lainnya.
KPI di atas menjadi dasar bagi golongan 4-7 dari bagian produksi (kecuali penjualan dan
pemasaran) untuk penetapan insentif bonus yang mulai diberlakukan tahun 2005.
Sedangkan insentif KPI untuk bagian penjualan dan pemasaran ditetapkan tersendiri.
Meski demikian, Eddy dan Bernard menukaskan bahwa pada dasarnya kedua kelompok
ini saling terkait satu sama lain. “Tidak mungkin diberikan insentif kepada bagian
produksi bila ternyata penjualan malah menurun,” ungkap mereka.
Penerapan insentif berdasarkan KPI merupakan aplikasi cukup maju dalam kerangka BSc.
Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan sumberdaya manusia (SDM), insentif
ini sangat bermanfaat dalam memacu peningkatan kinerja seluruh karyawan. Mulai 2004,
Capsugel Indonesia telah melakukan survei kepada seluruh karyawannya – yang
berjumlah 128 orang ditambah tenaga tidak tetap menjadi 150-an orang – dengan
menanyakan apakah atasan mereka sudah melakukan pengembangan terhadap
kompetensi bawahan. Hasil dari survei yang dilakukan khusus terhadap pejabat level
supervisor ke atas ini menjadi dasar dalam membuat Development Plan SDM.
Perusahaan telah menyusun kompetensi bagi seluruh karyawan dan melakukan analisis
kebutuhan training berdasarkan gap kompetensi yang ada. Sejak tahun 2005, Capsugel
Indonesia telah berhasil menyusun matriks training yang menjadi panduan bagi setiap
orang. Matriks training ini disusun oleh sebuah tim manajemen senior dari berbagai
fungsi. Merekalah yang menyusun materi dan agenda training, baik yang bersifat hard
competencies maupun soft competencies. Keberadaan matriks itu jelas sangat
bermanfaat, karena selama ini program training dilakukan tanpa arah dan tujuan yang
jelas. Setiap 6 bulan matriks tersebut diperbarui sesuai dengan perkembangan
lingkungan.
Matriks training menjelaskan tentang berbagai modul training yang disediakan
perusahaan atau harus diambil karyawan. Keseluruhan modul training mencapai hampir
200 buah. Setiap tahunnya, menurut Bernard, Capsugel Indonesia mengeluarkan biaya
sekitar 2% dari total penjualan perusahaan. Rata-rata setiap karyawan mengikuti
minimum 4 program training setiap tahunnya. Hanya saja, ia menambahkan, evaluasi
program training tidak perlu sampai pada tahap pengukuran ROI (Return on Investment).
Pengembangan SDM Capsugel dilakukan dengan menyelaraskannya dengan strategi
perusahaan. Setiap tahun strategi perusahaan selalu diperbarui, kendati perubahan
strategi tidak akan selalu besar. Strategi perusahaan disusun berdasarkan visi untuk
menjadi produsen kapsul terbaik dalam mutu maupun biaya. Tahun 2005 ini, Capsugel
Indonesia memiliki 6 strategi bisnis, yang pada dasarnya fokus dalam mengembangkan
pasar kapsul (padat maupun cair) dan meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan.
Salah satu strategi bisnis tersebut juga meningkatkan pengembangan SDM dan
manajemen karyawan potensial (talent management).
Lantas sejauh mana implementasi BSc berpengaruh kepada kinerja perusahaan? Setelah
menerapkan BSc lebih sempurna 2004, kinerja perusahaan 2004 meningkat sangat
menggembirakan di berbagai bidang. Penjualan tumbuh sekitar 20% dan kembali
ke level pra krisis ekonomi, profitabilitas meningkat, dan pangsa pasar juga naik. Kinerja
2004 terbaik dalam sejarah perusahaan maupun di kawasan Asia. Tak hanya itu. Survei
Engagement Index yang dilaksanakan Pfizer terhadap SDM menempatkan Capsugel
Indonesia di posisi teratas di kawasan Asia.
Eddy berharap kinerja tersebut terus berhasil ditingkatkan dalam jangka lama. "Manfaat
utama dari implementasi BSc adalah untuk jangka lebih panjang. Cara berpikir kita
menjadi benar-benar strategis. Selain memikirkan strategi setiap tahun, kita juga harus
punya pemikiran tentang perusahaan 3-5 tahun ke depan,” ungkapnya. Berkat bantuan
software BSc PB views yang diterapkan sejak awal, Capsugel Indonesia dengan mudah
setiap saat memonitor pencapaian target berdasarkan KPI yang ada. "Kami tinggal fokus
menangani indikator yang masih berwarna merah,” Eddy menambahkan.
Terobosan Besar Katsushiro Indonesia
No. 16 - Juli 2005
Tak banyak orang yang tahu perusahaan yang satu ini. Tetapi, bagi pelaku bisnis alat
berat kelas dunia macam Komatsu, Caterpillar, Sakai, dan Hitachi, Katsushiro adalah
mitra bisnis penting. PT Katsushiro Indonesia merupakan produsen komponen peralatan
berat seperti excavator, dump truck, dozer, wheel loader, dan sejenisnya. Perusahaan
beroperasi tahun 1996 dengan modal disetor US,5 juta. Katsushiro sendiri adalah induk
dari anak perusahaan Katsushiro di sejumlah negara. Sebelumnya, pemegang saham
Katsushiro Indonesia ada beberapa, termasuk Komatsu Ltd. dan Mitsubishi Steel Co.
Saham pemegang saham lainnya itu kemudian dibeli oleh Katsushiro, sehingga
Katsushiro menguasai hampir 100% saham perusahaan.
Perusahaan memproduksi 4.500 ton/bulan dengan total ekspor mencapai 48%, terutama
memasok kebutuhan Komatsu. Sebagai pemain tunggal di pasar domestik, Katsushiro
Indonesia lokal karena belum semua komponen dibuat di pasar lokal. Sempat mencatat
rugi kurs tahun 1998, perusahaan kini berhasil bangkit dengan meraih penjualan sekitar
Rp 345 miliar tahun 2004 – melonjak hampir dua kali lipat. Caterpillar – pesaing utama
Komatsu – kini juga sedang menjajaki kemungkinan menjadikan Katsushiro Indonesia
sebagai vendor global-nya.
Sebagai perusahaan keluarga dari sono-nya (Jepang, red), pemilik Katsushiro dikenal
sangat konservatif dan tidak banyak menerapkan sistem manajemen modern. Sadar
persaingan begitu kompetitif, Budi Setyo Utomo (Direktur perusahaan waktu itu dan kini
menjabat Wakil Presiden Direktur) mengusulkan perusahaan untuk mengambil sertikasi
ISO 9002. Sempat ditentang petinggi Katsushiro, melalui perjuangan yang gigih dan
butuh waktu, manajemen akhirnya sepakat. Katsushiro Indonesia memperoleh sertifikat
IS0 9002 tahun 2000. Inilah pertama kali perusahaan Katsushiro secara global mengambil
program I SO 9002.
“Dengan adanya ISO 9002, kami berhasil masuk ke mana-mana,” tutur Setyo Budi Utomo
– dipanggil Bustom – yang lama berkarir di Grup Astra itu. Penjualan pun meningkat.
Pemegang saham dari Jepang pun senang sehingga memutuskan untuk menerapkan ISO
9002 plus ISO 14001 untuk kantor pusat di Jepang. Katsushiro Indonesia baru berencana
menerapkan ISO 14001.
Peraih gelar M. Agr dan MM yang juga menyenangi ilmu manajemen ini belum puas.
Setelah meraih ISO penjualan terus naik, Bustom – begitu ia sering dipanggil – diberi
kepercayaan lebih besar mengelola perusahaan. Sebagai orang yang kenyang dengan
teori dan praktik manajemen, dia melihat perusahaannya belum memiliki visi, misi, dan
strategi bisnis yang mantap. Juga ada gap yang lebar antara orang Jepang dengan orang
Indonesia maupun antara atasan dan bawahan. Maklum, mayoritas dari sekitar 500-an
karyawan saat ini hanya lulus SLTA. Sempat mengikuti seminar tentang BSc tahun 2000,
Bustom yang tidak puas mengundang OTI untuk menjadi mitra melakukan perubahan.
Dari penjelasan konsultan, ia merasa yakin sepenuhnya bahwa inilah sistem yang selama
ini dicarinya.
Perusahaan kemudian melakukan training BSc untuk memberi pemahaman bagi
karyawan sekaligus mendorong karyawan untuk berpikir dalam level lebih strategik. Itu
terjadi mulai Juni 2001. Sebagai pimpinan senior, Bustom kemudian menyusun visi, misi,
dan strategi perusahaan – yang selama ini nyaris tidak ada.
“Kebayang nggak, saya harus membuat visi dan misi perusahaan dari perusahaan milik
Jepang. Karena menunggu dari mereka jelas tidak mungkin,” ungkapnya sambil
tersenyum. Lahirlah visi Katsushiro: menjadi perusahaan penghasil produk dari pelat baja
terbesar di Indonesia (dan kini diubah menjadi Asia) dengan mengoperasikan mesin dan
peralatan berteknologi tinggi dan pelayanan bertaraf internasional. Visi itu kemudian
dijabarkan ke dalam misi dan strategi perusahaan.
Tersedianya dukungan bahan baku pelat baja dari Mitsubishi menjadi modal sangat
penting bagi Katsushiro Indonesia untuk mewujudkan visi tersebut. Mengandalkan
pasokan dari produsen lokal macam Krakatau Steel dan Gunung Medan dinilai tidak
mungkin. Perusahaan pun melakukan proses penyelarasan dan pengembangan SDM
dengan menata jajaran manajer sesuai konsep Meyer-Brigs dan membangun sistem
informasi SDM (HRIS). Berkat BSc, perusahaan lebih mudah mendapatkan informasi
kinerja karena sejak awal mereka sudah memakai software pb views. “Kami pun lebih
mudah membuat prioritas penanganan,” tutur pria yang juga menjabat Ketua Umum
Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) tersebut.
KPI yang diterapkan perusahaan masih untuk level korporat, belum sampai ke individu. Di
luar training keahlian, perusahaan berencana melaksanakan training terhadap jajaran
bawah tentang pengetahuan bisnis di luar bidang mereka sendiri. Tujuannya agar
karyawan tahu kaitan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya sehingga selalu
bertindak dalam perspektif korporat. Setiap bulan diadakan upacara yang memaparkan
pencapaian kinerja perusahaan. Upaya tersebut dibarengi dengan proses komputerisasi,
baik dengan menyediakan PC di setiap unit maupun implementasi software ERP
(Enterprise Resources Planning) bernama Prolnt.
Setelah berjalan beberapa tahun, diakui Bustom, kinerja perusahaan terus meningkat.
Mayoritas kinerja perusahaan sudah berwarna hijau, kendati dari sisi customer
perspective masih banyak merahnya. Upaya training untuk memperluas pengetahuan
karyawan di atas dimaksudkan pula untuk memperbaiki kinerja merah itu. “Sebab,
kepuasan pelanggan tidak hanya ditentukan oleh aparat pemasaran,” tuturnya mantap.
Implementasi Balance Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Di balik prestasi bisnis Unilever Indonesia yang begitu mengkilap dalam beberapa tahun
terakhir, implementasi konsep Balanced Scorecard (BSc) secara totalitas menjadi salah
satu kuncinya. Key Performance Indicator (KPI) diturunkan hingga level individu.
Bagaimana prosesnya?
Unilever Indonesia merupakan salah satu anak perusahaan raksasa produk konsumen
Unilever yang patut dibanggakan. Secara finansial hingga 2004, Unilever Indonesia
berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan dua digit selama 6 tahun berturut-turut.
Angka penjualan tumbuh sebesar 10,6% menjadi Rp 8,985 triliun; laba usaha tumbuh
14,8% menjadi Rp 2,039 triliun; laba bersih tumbuh sebesar 13,2% menjadi Rp 1,468
triliun. Dengan kurs sekitar Rp 9.000 per dolar Amerika, maka Unilever Indonesia bisa
dikatakan perusahaan satu miliar dolar.
Strategi bisnis adalah awal dari seluruh program yang dijalankan Unilever. Hal ini sejalan
dengan prinsip dasar dari sistem Balanced Scorecard (BSc), yang mulai diterapkan
Unilever Indonesia sejak tahun 2000. Implementasi sistem BSc pada mulanya dibantu
oleh konsultan. Sebelum tahun 2000, menurut HR Director Unilever Indonesia Josef
Bataona, perusahaan menerapkan model yang berbeda.
Pada era sebelum tahun 2000, perusahaan memiliki buku rencana bisnis tahunan yang
cukup tebal dan sampulnya dibuat glossy agar kelihatan lebih mewah. Materi buku
tersebut tidak mudah untuk dicerna dan dibaca, di samping tidak praktis. Manajemen
kemudian berpikir mencari pengganti buku berisi strategi itu dalam bentuk yang lebih
handy, namun efektif untuk selalu mengingatkan seluruh pihak tentang komitmen
mereka tahun itu. Pemikiran ini mendapatkan jalan saat perusahaan memutuskan untuk
menerapkan sistem BSc. “Setelah menjalankan beberapa tahun, kami menilai model BSc
sangat bagus dalam menunjang kinerja perusahaan,” tegasnya.
Unilever Indonesia tidak menyebut konsep ini sebagai BSc, melainkan dengan istilah lain:
Balanced Business Strategy (BBS) dan Balanced Business Plan (BBP). BBS dan BBP
disusun atas dasar sistem nilai utama perusahaan, yaitu fokus untuk melayani
pelanggan, konsumen, dan masyarakat. BBS merupakan strategi bisnis dalam periode
lebih panjang (3-5 tahun). la dijabarkan menjadi rencana bisnis tahunan dalam bentuk
BBP.
Dari level korporat, BBS dan BBP itu diturunkan ke level divisi, departemen hingga
individu. Muaranya adalah rencana implementasi. Proses penyusunan BBS dan BBP
dilakukan secara seimbang: tidak hanya top-down, tetapi juga bottom-up. Untuk
mendapatkan komitmen dan rasa memiliki karyawan, perusahaan mengundang
partisipasi seluruh karyawan untuk memberikan masukan. Masukan tersebut dibawa ke
level yang lebih tinggi, hingga ke level direksi (Board).
Di level Board, yang terdiri dari seluruh direksi dan 1-2 manajer kunci senior dari masing-
masing divisi, secara intens digodok BBS dan BBP – sebagian inputnya juga berasal dari
bawah. Wujud dari BBS dan BBP itu sesungguhnya cukup sederhana, karena cukup satu
lembar kertas saja. Sebagai rencana tahunan, BBP dibagi dalam 4 kolom, yaitu
pemasaran, operasional, SDM & organisasi, dan keuangan. Penyusunan BBP dimulai
dengan menetapkan rencana bisnis di bidang pemasaran secara bersama-sama. Setelah
disepakati, lantas dibicarakan rencana bisnis dari sisi operasional untuk menunjang
pencapaian rencana bisnis pemasaran tersebut. Untuk memungkinkan pemasaran
bertumbuh sesuai rencana bisnis dan operasional yang mendukung, maka perusahaan
mendefinisikan rencana bisnis dari kolom SDM dan organisasi. Semua aktivitas ini pada
akhirnya bermuara pada kolom keuangan.
Di setiap kolom ditetapkan pula KPI-nya. Dalam kolom pemasaran, misalnya, target
pertumbuhannya sangat jelas dalam persen. Di dalam kolom operasional, antara lain,
tertera persen kenaikan level pelayanan. Sementara di kolom SDM dan organisasi,
umpamanya dijelaskan kalau perusahaan membutuhkan kompetensi baru, maka divisi ini
menegaskan kapan harus tersedia. Hasilnya benar-benar hanya satu lembar, paling tidak
untuk level korporat dan divisi, tetapi satu lembar yang sangat penting.
Tapi, jangan dikira strategi bisnis yang serius tersebut ditampilkan dengan kata-kata yang
serius pula. Unilever mencoba menggunakan bahasa yang fun, fancy, dan sejenisnya.
“Jangan sampai bahasa strategi itu terlalu rumit dan berat sehingga susah dipahami,”
ungkap Presiden Direktur Unilever Indonesia Tbk. Maurits Lalisang, suatu kali.
Contohnya, di bidang pemasaran strategi Unilever adalah delight consumer everywhere
and everyday, nurture with tender &� loving care ‘infant' business, dan seterusnya. Di
divisi SDM dan organisasi, temanya empower our people and community. Di sisi lain,
setiap tahun karyawan membuat proyek kegiatan dengan nama yang aneh-aneh.
“Setelah ditanya, ternyata itu nama kampung kelahiran pemimpin kegiatan,” kata Josef
sambil tersenyum.
Proses penyusunan BBS dan BBP dibuat dengan memberikan kebebasan kepada level
yang lebih bawah dalam menentukan how, sementara level lebih atas hanya menentukan
aspek what saja. Proses seperti ini, tutur Josef, merangsang karyawan untuk berpikir
secara aktif dan kreatif sekaligus untuk menumbuhkan kepemilikan atas setiap strategi
yang telah diputuskan. Toh pada akhirnya strategi tersebut harus diterapkan secara
ekselen.
Karyawan akan berpikir tidak hanya memenuhi individual plan, tetapi juga berpikir dalam
konteks korporat. Kalau bisa membantu menjalankan annual plan level lebih tinggi, maka
mereka bisa berkontribusi untuk rencana divisi maupun korporat. Hal ini menjadikan
kerjasama antar divisi pun berjalan dengan baik. Masing-masing individu dan bagian
saling mengingatkan dan mendukung saat implementasi strategi bisnis.
Unilever Indonesia memonitor pencapaian KPI dengan menggunakan sistem traffic light.
Selain warna merah, ada warna kuning (sebagian tercapai, sebagian belum) dan warna
hijau, yang berarti tercapai. Dalam setiap rapat direksi yang berlangsung setiap bulan,
mereka tinggal melihat wama tersebut yang muncul dalam satu lembar BBS dan BBP.
Tidak perlu lagi bicara angka, karena warna tersebut mencerminkan hal sesungguhnya.
Perhatian direksi difokuskan pada strategi memperbaiki KPI yang masih berwarna merah,
sedangkan yang lain dianggap sudah berjalan. Begitulah seterusnya agar KPI berwarna
merah berubah menjadi kuning dan hijau.
Uniknya, pencapaian target tersebut juga bisa dimonitor oleh seluruh karyawan melalui
layar 2 buah TV yang berada di setiap lantai gedung kantor pusat Unilever di Jakarta.
Setiap kali mereka bisa melihat pencapaian target mingguan dari sisi penjualan berbagai
divisi pemasaran (home care, personal care, foods, dan ice cream). Strategi komunikasi
ini bertujuan untuk membangun kepedulian dan semangat di antara para karyawan.
“Jadi, kalau manajemen datang kepada mereka untuk minta bantuan, mereka pun
mengerti dan memberikan dukungan karena hasilnya bisa mereka lihat,” tegas Josef.
Evaluasi pencapaian target KPI dikoordinir oleh Corporate Strategic Planner yang berada
di bawah CFO (Chief Financial Officer). Dia berhubungan dengan BBP Champion yang
menjadi orang penghubung dan koordinator dari setiap divisi. Para champion ditentukan
oleh Direksi dari divisi masing-masing, yaitu individu yang berada satu level di bawah
direksi dengan kemampuan fasilitator dan ko-munikator yang baik. “Mereka datang ke
setiap bagian untuk mengevaluasi kemajuan pencapaian target,” tambah Mia Korompis,
External Public Relations Manager Unilever lndonesia. Kecuali itu, mereka ini bertugas
memfasilitasi berbagai rapat atau diskusi membahas BBS dan BBP di divisi yang berbeda
(bukan di divisinya sendiri). Untuk menjadi champion, mereka telah diberi training
terlebih dahulu.
Dalam perspektif learning and growth, serangkaian proses dilakukan Unilever secara
konsisten. Sebagian besar kegiatan pembelajaran dan pertumbuhan dilaksanakan sendiri
oleh Unilever, khususnya melalui Unilever Learning Center di kawasan Megamendung,
Puncak. Lembaga ini merupakan pusat training Unilever di kawasan Asia bersama-sama
dengan India.
Kecuali training bersifat kompetensi teknis, Unilever mencoba menyeimbangkan pula
antara hard competencies dengan soft competencies. Umpamanya, perusahaan
mengembangkan mentalitas "make it mine” – bahwa setiap program implementasi
adalah tanggung jawab setiap orang dan tidak mengandalkan orang lain. Ada lagi
program “can do”, yaitu mengembangkan mentalitas bahwa kita bisa.
Hasil dari implementasi BSc di Unilever Indonesia tidak hanya tercermin dari angka-angka
pencapaian finansial (bottom line) seperti tertera di awal tulisan ini. Beberapa kali
Unilever Indonesia dinilai terbaik oleh Unilever global dalam kreativitas people strategy
dan diundang untuk berbagi sukses dengan seluruh jajaran Unilever.
Robby Djohan : Anak Emas dan Kepemimpinannya
No. 15 - Juni 2005
Di usia 67 tahun, Robby Djohan tetap menjadi figur menarik untuk diajak berbincang
tentang dunia korporasi dan manajemen di Indonesia. Ia adalah eksekutif yang kenyang
pengalaman memimpin: Citibank, Bank Niaga, Garuda Indonesia, dan Bank Mandiri. Tidak
semua perusahaan hasil sentuhannya langsung langsung mengkilap kinerjanya, tetapi
Robby adalah mentor dan pengkader yang baik.
Anak didiknya masih tetap berkibar di kancah bisnis nasional di tengah berbagai
perubahan. Sebut saja Agus Martowardojo, yang dipercaya menjadi Direktur Utama Bank
Mandiri, Gunarni Soeworo, Komisaris Utama Bank Mandiri, Emirsyah Satar, dipercaya
menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia, Arwin Rasyid, yang disebut-sebut akan
menempati pos barunya sebagai Direktur Utama Indosat.
Selain menjadi investor bagi sejumlah bisnis yang menurutnya memiliki return menarik
dan aktif dalam sejumlah aktivitas sosial, Robby juga mengajar di FE Ul dua kali
seminggu – termasuk pada program pascasarjana. Karena belum bergelar S2 dan S3,
Robby tetap bisa mengajar, kendati tidak boleh menguji. Tak berencana mengambil
Doktor? “Itu soal yang tidak terlalu sulit. Hanya saja, saya ingin membuat disertasi dari
hasil riset yang mendalam. Dan itu yang repot dan butuh waktu,” tukasnya. la pun masih
punya keinginan untuk menerbitkan buku kedua, setelah buku pertama, beredar
beberapa waktu lalu.
Di sela-sela seminar “Revitalisasi SDM Korporasi” yang diselenggarakan Inti Pesan dalam
rangka HUT ke-45 FE Undip bulan lalu, Human Capital berbincang-bincang tentang “anak-
anak emas”nya, pandangannya tentang leadership, dan kedekatannya dengan Menneg
BUMN Sugiharto. Berikut petikannya:
Agus Martowardojo diangkat menjadi Direktur Utama Bank Mandiri. Apakah karena
usulan Anda?
Saya memang suka mempromosikan eksekutif yang baik, termasuk kepada Menneg
BUMN. Saya tahu persis kualitas dan integritas Agus dan bekas anak buah saya lainnya,
sehingga saya berkewajiban menyampaikan apa yang saya ketahui dan yakini itu kepada
Menneg BUMN. Ini sebatas usulan, supaya dalam menetapkan kandidat untuk jabatan
eksekutif pihak pengambil keputusan punya referensi. Tentunya pihak pemerintah
sebagai pemegang saham bisa saja tidak setuju dengan usulan tersebut.
Agus dan beberapa eksekutif lainnya sering disebut sebagai “Anak Emas” Robby Djohan.
Benarkah?
Disebut ‘Anak Emas” bisa saja. Mereka telah bekerja dan berhubungan dengan saya
sejak lama sehingga saya tahu persis tentang mereka. Kadang-kadang mereka masih
meminta nasehat dan pandangan saya tentang berbagai hal kendati mereka sudah
menjadi eksekutif di mana-mana. Agus, misalnya, adalah ahli restrukturisasi perbankan,
dan sangat cocok memimpin Bank Mandiri yang masih perlu perbaikan. Apalagi ia bekas
orang dalam Bank Mandiri, yang mengerti permasalahan Bank Mandiri dan solusinya.
Saat ini Bank Mandiri memang membutuhkan orang seperti Agus, tapi tidak boleh lama-
lama di sana.
Maksudnya?
Setiap periode membutuhkan kepemimpinan yang berbeda. Bank Mandiri dalam periode
sekarang lagi membutuhkan Agus, tetapi maksimal cukup 5 tahun saja di posisi itu. Kalau
tidak, muncul zona kenyamanan yang membuat hidup jadi kurang menantang dan
keenakan. Masih banyak perusahaan lain yang butuh sentuhan Agus dalam periode
berikutnya.
Anda dikenal dekat dengan Menneg BUMN Sugiharto, dan oleh karena itu usulan Anda
pasti diakamodasikan.���
Saya memang dekat dengan Sugiharto. Kami sudah saling panggil nama saja. Awalnya
dulu dia sering minta advis saya sebagai bankir karena ia mengurusi keuangan Nedco.
Justru sebagai teman dekat kami tidak boleh saling merugikan. Sebaliknya, kami harus
saling membantu untuk kebaikan. Diminta atau tidak, saya tetap mengusulkan orang-
orang yang saya anggap bagus. Saya ingin mendukung niat serius pemerintah untuk
menata manajemen perusahaan negara. Keputusan sepenuhnya ada di tangan dia
(Menneg BUMN).
Bagaimana Anda selama ini mengkader pemimpin dalam organisasi yang Anda pimpin?
Di setiap perusahaan yang saya pimpin tidak ada secara spesifik jabatan Direktur
Personalia. Bukan karena saya tidak menganggap penting Bagian Personalia. Justru
karena saya menganggap personalia itu sangat strategis dan penting sehingga fungsi
personalia langsung saya tangani sebagai CEO. Saya tidak terlalu mengerti soal
perbankan, kredit, dan sebagainya. Ngerti tapi kulit-kulitnya saja. Teknologi saya juga
tidak mengerti. SMS saja sering minta tolong sekretaris (tersenyum). Tapi, soal personalia
saya mengerti banget. Kalau Anda ingin organisasi yang tangguh, bangunlah sistem dan
kepemimpinan terlebih dulu. Nomor satu buat saya adalah membangun manusia. Yang
lain itu contigent saja. Saya tidak percaya dengan pendapat leader is born. la harus
dicetak dan dididik. Benar charismatic leader is born tetapi pemimpin karismatis tanpa
keahlian akan menyalahgunakan kepemimpinannya. Saya kira banyak bukti tentang hal
ini.
Banyak pemimpin yang tidak mau mengembangkan anak buahnya karena takut
tersaingi?
Ini jelas salah besar. Sebagai pemimpin kita harus yakin bahwa ada orang lain yang lebih
hebat dari kita di luar sana. Saya justru senang bekerja dengan orang-orang hebat. Biar
mereka yang kerja dan saya tinggal mengarahkan dan memantau saja. Capek juga kalau
semua hal dikerjakan sendiri. Salah satu kunci leadership adalah memberikan otoritas
kepada bawahan di samping membangun kepercayaan. Tentunya kita tahu dulu kualitas
dan kompetensi bawahan tersebut, Ini sesuai dengan pandangan pakar manajemen
Franciscus Fukuyama, “The most important in relationship is trust.” Saya sangat
concerned dengan succession plan. Kalau saya ke cabang, pertanyaan pertama yang
saya ajukan adalah siapa yang akan menggantikan posisi Anda sebagai Kepala Cabang.
Mereka tidak perlu takut jika saya bertanya begitu karena berarti dia akan dipromosikan.
Selalu ada tempat bagi mereka yang berkualitas bagus.
Banyak perusahaan besar, khususnya BUMN, yaq terhambat perkembangannya karena
terlalu birokratis, Bagaimana pengalaman Anda saat menangani Bank Mandiri dan
Garuda?
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. TELKOM Tbk
YANG CEPAT AKAN MEMAKAN YANG LAMBAT
Suatu perusahaan membutuhkan perubahan manajemen, karena perusahaan itu berada
pada lingkungan yang juga berubah dan perubahan itu memberikan tekanan yang
bergulir terus menerus atau preasure for change. Bahkan menurut Alvin Toffler, seorang
futurist, mengatakan, "Change is not merely necessary for life, it is life!" Perubahan itu
bukanlah harus yang penting untuk hidup, melainkan hidup itu sendiri. Jadi, selama orang
atau perusahaan itu hidup selalu mengalami perubahan, yang ditandai dengan adanya
pertumbuhan dan perkembangan. Seperti ditegaskan Puguh Harianto, Manager Change
Management Telkom Divisi Regional II Jakarta, terjadinya perubahan sendiri bisa didorong
dari banyak hal, seperti regulasi, teknologi, kompetisi, pergerakan pasar, hadirnya
manajemen atau kebijakan baru, tekanan efisiensi biaya, keinginan untuk tumbuh secara
dramatis dan sebagainya.
"Perubahan tidak seharusnya diiakukan secara reaktif, melainkan harus didisain dan
perubahan harus dijadikan sebagai suatu strategi untuk mencapai tujuan secara
keseluruhan," ujarnya. Setidaknya ada 4 komponen.sebagai ruang lingkup obyek
perubahan, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) & organisasi, budaya korporasi, proses
bisnis dan teknologi informasi (Tl).
Secara umum hanya ada tiga, SDM & organisasi, TI dan bisnis proses. Namun, pihak
Telkom Telkom memasukkan unsur budaya karena budaya di Telkom tidak hanya sekedar
menggugah perilaku manusia. "Kalau dulu berbicara tentang Telkom, maka akan terpisah-
pisah karena masing-masing daerah punya budaya sendiri. Budaya adalah value, kalau
tidak bisa mengikat dan berjalan sendiri-sendiri, itu tidak ada artinya. Makanya kami
kristalkan menjadi satu budaya satu yang harus menjadi acuan dan sebagai pengikat,"
Puguh mengutarakan hal ini. Telkom memiliki budaya perusahaan bertajuk "The Telkom
Way 135".
Ditambahkan, perubahan lingkungan bisnis yang kadang-kadang sulit diprediksi,
memerlukan SDM dan organisasi yang lincah dan fleksibel baik dalam menghadapi
perubahan itu sendiri maupun dalam melakukan perubahan menjadf Iebih baik. Dari sisi
budaya korporasi, jika budaya korporasi itu kuat, maka dapat melindungi perusahaan dari
terpaan perubahan lingkungannya, tidak mudah goyah dan jika dia berubah akan
dilakukan dengan cara yang mantap.
Puguh mengakui, proses bisnis juga sangat diperlukan agar perubahan yang dilakukan
masih tetap dalam koridor arah perusahaan dan mudah dilakukan tracking jika
diperlukan. Sementara keberadaan TI saat ini hampir mutlak diperlukan bagi perusahaan-
perusahaan yang ingin tetap eksis di tengah-tengah lingkungan yang cepat mengalami
perubahan. "Ada ungkapan, diera TI, bukan lagi yang besar memakan yang kecil,
melainkan yang cepat yang akan memakan yang lambat," tegasnya. Dalam melakukan
implemtasi perubahan manajemen, ia menegaskan bahwa hal ini merujuk pada teori
perubahan yang terdiri dari 7 tingkat perubahan atau "7 Levels of Change" yaitu
Effectiveness -�Doing the Right Things, Efficiency - Doing the Things Right, Improving�-
Doing Things Better, Cutting�- Doing Away with Things, Copying�- Doing Things Other
People Are Doing, Doing Things No One Else Is Doing, dan Impossible�- Do Things That
Can't Be Done.
Pada level 1, kebutuhan perubahan yang mendasar dari suatu pengelolaan perusahaan
adalah berubah dari mengerjakan yang tidak sejalan dengan aturan menjadi bekerja
sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Ada 4 hal utama yang dapat dijadikan sebagai
tuntunan perubahan pada level 1 ini yaitu lakukan setting prioritas, fokus, kerjakan yang
terpenting dan berusaha untuk lebih efektif.
Di level 2, semua pekerjaan dilakukan sesuai dengan aturan yang ditetapkan,
kesempatan berikutnya adalah melakukan perubahan ke arah tindakan efisien, yaitu
mengerjakan sesuatu dengan benar terkait dengan orang lain, unit kerja lain, dan before
and next process. Ada 4 batasan yang dapat diacu pada level perubahan ini yaitu ikuti
prosedur internal dan eksternal, yakinkan bahwa hubungan kerja internal dan eksternal
jelas dan bersih, pahami standar-standar kerja sehingga resiko dieleminir sekecil mungkin
dan berusaha untuk lebih efisien.
Pada level 3, adalah bekerja untuk menghasilkan yang lebih baik adalah perubahan
berikutnya, yang ditandai dengan melakukan pemikiran terhadap apa yang dikerjakan,
mendengarkan dan mempertimbangkan berbagai usulan, berusaha mencari jalan untuk
memperbaiki sesuatu dan membantu, melatih dan membimbing. Level berikutnya,
perubahan pada level berikutnya adalah berusaha mulai keluar dari rutinitas kerja yang
dapat menimbulkan kebosanan dan berujung pada turunnya produktivitas. Diakui Puguh,
perubahan di level ini paling tidak diawali dengan pertanyaan 'Mengapa?', kemudian
tidak mengerjakan sesuatu yang tidak 'Terukur' dan melakukan 'Penyederhanaan'
(simplify) terhadap proses-proses kerja dan solusinya.
Di level 5, yaitu mengerjakan sesuatu yang orang lain juga mengerjakannya dengan hasil
yang ekselen. Copy dan terapkan, setelah melalui observasi, melakukan pemikiran
sebelum berpikir dan bertindak, membaca dan memahami tentang best practices dari
berbagai referensi. Kemudian, level berikutnya adalah berani tampil beda, kadang-
kadang perlu dilakukan untuk menunjukkan agility perusahaan. Diawali dengan
pertanyaan 'Mengapa Tidak', kita akan bergerak kesuatu perubahan berikutnya di mana
orang lain tidak melakukannya. Perubahan yang dilakukan oleh suatu perusahaan di level
ini biasanya ditunjukkan dengan re-orientasi fokus dari 'Sama' menjadi 'Berbeda' dan
mengadopsi berbagai teknologi baru.
Level terakhir adalah puncak perubahan adalah melakukan sesuatu yang 'Tidak' mungkin
dikerjakan. Kata tidak menjadi suatu tantangan untuk diubah menjadi 'dapat', melalui
langkah-langkah identifikasi asumsi-asumsi, munculkan pertanyaan: yang tidak mungkin
hari ini, bisa jadi di kemudian hari, alihkan fokus-fokus rutin, munculkan ide-ide "gila" dan
lakukan terobosan terhadap aturan-aturan yang mengikat.
Tantangan dalam melakukan perubahan tidak lepas, dari cakupan perubahan itu sendiri.
Puguh menjelaskan, ada 3 hal perubahan, yaitu micro changes yaitu perubahan yang
mempengaruhi secara individual atau�must change kemudian organizational changes
yaitu perubahan yang terjadi di lingkungan pekerjaan, akibat dari hubungan dengan
mitra kerja, dengan serikat pekerja dan sebagainya atau We must change. Serikutnya
adalah macro changes, yaitu perubahan yang terjadi menimbulkan implikasi global atau
"Everyone must change". Tiap-tiap tipe perubahan tersebut, lanjutnya kembali,
dihadapkan pada tantangan yang berbeda. "Secara umum, tantangan utama yang
dihadapi dalam melakukan perubahan adalah resistensi terhadap perubahan karena rasa
nyaman dan aman, dan resiko perubahan akibat tidak ada yang bisa menjamin bahwa
perubahan akan menghasilkan keluaran yang lebih baik." Selain itu, ketidakmampuan
membaca dan memahami makna perubahan yang terjadi dan kemampuan
menterjemahkan perubahan menjadi suatu strategi untuk mencapai tujuan juga
berpengaruh.
Telkom sendiri melakukan perubahan karena didorong adanya perubahan regulasi, yaitu
UU Telekomunikasi No. 36 tahun 1999. Dengan dibukanya kran kompetisi, sambungnya,
maka perubahan sesungguhnya dimulai, meskipun kala itu masih terjadi duopoli antara
Telkom dan Indosat.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. INDOSAT Tbk
MEMBANGUN KESAMAAN GERAK DAN LANGKAH
Perubahan manajemen di Indosat didorong oleh penggabungan antara Indosat, Satelindo
dan IM3 pada November 2003. Alasan utama penggabungan antara lain didasarkan pada
upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki, berkaitan dengan visi utama
Indosat sebagai fully network service provider. Selain itu, perubahan ini juga dilakukan
dalam rangka menghadapi kompetisi pasar.
Penggabungan perusahaan, di mana pun senantiasa berkonsekuensi pada pengurangan
sumber daya manusia. Menurut Sutrisman, Director Corporate Services Indosat, pada
dasarnya ingin perusahaan berusaha mempertahankan SDM yang ada karena masing-
masing karyawan tentu memiliki peran dan kontribusi terhadap perusahaan. Namun,
karena karyawan ada juga karyawan yang memiiiki pertimbangan tersendiri, akhirnya
pihak perusahaan menawarkan opsi pensiun dini. "Jumlah karyawan yang memilih opsi ini
tidak terlalu signifikan," katanya.
Untuk mendorong percepatan perubahan, visi, misi dan value organisasi harus digariskan
dan dikomunikasikan secara terus menerus kepada seluruh karyawan. Sebelum
bergabung, masing-masing perusahaan tentu memiliki visi, misi dan value yang berbeda-
beda. Nah, setelah bergabung tentu harus ditetapkan
Beberapa bulan lalu, Pakar HR Pande Nyoman Agus Jaya, melalui sebuah seminar yang
digelarnya di Jakarta menggagas perlunya perusahaan di Indonesia untuk tidak melulu
menerapkan konsep Competency Based Human Resources Manage ment (CBHRM) dalam
mengembangkan sumber daya manusia yang dimiliki. Selain konsep
CBHRM itu sudah dianggap ketinggalan zaman, Pande N Agus Jaya menganggap
kegagalan yang dimunculkan dalam penerapan konsep itu cukup tinggi. “Hasilnya kalau
boleh jujur saya sampaikan, 90% gagal,” terang Pande kepada Human Capital ketika itu.
Untuk mendukung asumsinya itu, Pande pun menawarkan sebuah konsep baru, Talent
Based Human Resources Management (TBHRM). Konsep yang fokus pada potential talent
yang dimiliki setiap orang ini menurut Pande sudah diterapkannya sejak 20 tahun lalu.
Sejak saat itu pula konsep ini terus tumbuh dan berkembang di negera asalnya
menggusur konsep CBHRM yang telah lebih dulu mengglobal sejak diperkenalkan Prof Dr
David McClelland 33 tahun lalu.
MedcoEnergi misalnya, perusahaan minyak dan gas yang cukup besar ini baru melakukan
transisi dari CBHRM menuju TBHRM. “Sekarang ini kita sedang transisi ke arah talent. Kita
juga ingin mengalokasikan source kita ke arah yang lebih tepat. Artinya tidak produksi
masal tapi produksi yang ekslusif lah. Dalam arti kita memang
mengalokasikan sesuatu ketempat yang pas lah,” terang Manager of Human Capital
Development MedcoEnergi Salmar Ngadikan.
Head of Human Resources Standard Chartered Irene Wuisan ketika ditemui di ruang
kerjanya akhir bulan lalu juga mengakui soal ketidak populeran konsep TBHRM ini di
kalangan perusahaan lokal Indonesia. “Dari artikel yang saya baca, perusahaan di luar
negeri atau perusahaan asing yang ada di Indonesia rata-rata sudah menggunakan
konsep Talent Management tersebut dalam membina dan mengembangkan SDM nya
supaya lebih berpotensi, tapi jarang terdengar untuk yang perusahaan local,” terangnya
lagi.
Hanya saja, seputar efektifitas konsep tersebut Irene yang juga paham betul me ngenai
konsep CBHRM menyatakan tak jauh beda dengan bila menerapkan CBHRM. “Tinggal
bagaimana kita mengelolanya karena ujung-ujungnya dua-duanya bagus tinggal
bagaimana kita mengkombinasikannya saja, dan itu bisa berjalan dengan bagus dan
tidak terputus-putus,” ungkap Irene lagi.
Sedangkan HR & Administration Director Coca Cola Indonesia Sandra Sahupala juga
mengaku telah menerapkan konsep Talent Management di perusahaannya. “Perusahaan
saya sudah menerapkan konsep ini, dan terus menyempurnakan program-program dan
sistem pendukungnya,” terang Sandra yang ditemui seusai mengajar
di salah satu hotel di bilangan Kemang Jakarta selatan. Menurut wanita bule ini, tujuan
diterapkan nya konsep ini agar seluruh perusahaan bisa fokus dan optimal kepada
sumber daya manusia yang merupakan talenta-talenta perusahaan.
Perusahaan berbasis asing lainnya, PT Unilever Tbk, juga mengaku telah menggunakan
konsep ini dalam mengembangkan sumber daya manusianya. Menurut Direktur Human
Resources PT Unilever Indonesia Tbk Josef Bataona ketika ditemui Anung Prabowo dan
Aditiyo Wirawan di ruang kerjanya pertengahan Nopember lalu, konsep
Talent Management ini ia terapkan secara terpadu dengan konsep yang telah
berkembang lebih dulu, Competency Based Human Resources Management. “Karena
kompetensi itu adalah bagaimana kemampuan orang itu. Kemapuan itu dalam kaitan
dengan bagaimana dia bisa melalakukan pekerjaan itu sendiri dalam kaitan dengan
professional skill itu membuat konsep ini masih perlu untuk mendukung konsep Talent
yang muncul belakangan,” terangnya.
Perusahaan lokal
Tidak populernya konsep TBHRM ini di perusahaan lokal Indonesia tentu menyisakan
sejumlah pertanyaan, apakah konsep ini betul-betul mampu secara efektif membawa
sebuah perusahaan ke sebuah lompatan yang lebih besar lagi atau memang tak mungkin
menerapkan konsep ini di dalam kultur sebuah perusahaan local Indonesia.
Hanya saja menurut Sandra lagi, banyak perusahaan mengatakan bahwa SDM bagi
mereka sangat penting dan perusahaan itu telah menyediakan anggaran pelatihan yang
besar. “Namun kebanyakan itu lip-service saja. Mereka mungkin tidak memahami apa
yang harus dilakukan supaya “investasi” yang didedikasikan pada pengembangan
SDM tidak sia-sia. Ataupun mereka memahaminya tetapi tidak serius menganggap SDM
sebagai asset melainkan hanya sebagai sarana agar pekerjaan dikerjakan dan biasanya
mempunyai visi yang sangat jangka pendek,” lanjut Sandra.
Irene Wuisan pun beranggapan sama, menurutnya perusahaan lokal pun bisa
menerapkan konsep ini. “Asalkan perusahaan tersebut memiliki 3 unsur,” ujar Irene.
Ketiga unsur yang dimaksud, infrastrutur yg cukup kuat, komitmen dari manajer untuk
memakai metode ini, serta sumber daya manusia yang bisa diandalkan. “Bila itu dimiliki
maka perusahaan itu dapat dengan mudah mengadopsi konsep tersebut,” tambah Irene.
Sementara itu, Managing Director Multi Talent Indonesia Irwan Rei menyatakan kalau
penerapan konsep Talent Management ini tidak dipengaruhi oleh apakah perusahaan xyz
itu lokal atau asing. “Semua organisasi yang memerlukan manusia untuk mencapai
tujuan-tujuan bisnisnya pasti memerlukan sistem dan proses untuk menarik dan me-
ngelola SDM-SDM pilihannya,”paparnya.
Masih menurut Irwan, perbedaan antar organisasi satu dengan yang lain terletak pada
tingkat sophistication-nya. Organisasi yang satu mungkin banyak tergantung pada feeling
atau perasaan pemimpin di dalam mengelola sdm-sdm di dalamnya, sementara
organisasi yang lain telah memiliki sistem atau SOP yang rapi dan didukung oleh
studi yang lengkap mengenai kompetensi pegawai yang diperlukan, pola pergerakan
pengembangan karir yang dibangun berdasarkan kriteria dan proses yang jelas, sistem
dan program SDM yang dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempe-
ngaruhi kepuasan, motivasi maupun tingkat engagement pegawai.
Sehingga untuk bisa menerapkan konsep tersebut, yang perlu dilakukan pertama-kali
oleh perusahaan itu menurut Irwan adalah dengan melihat bahwa ada dua pihak yang
terlibat di sana. “Di satu sisi ada perusahaan (shareholders) yang memiliki visi, misi,
tujuan organisasi, strategi bisnis maupun resources (finansial maupun non-finansial) yang
terbatas, dan di sisi lain adalah SDM-SDM yang diharapkan dapat bergabung dan
membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya,”ungkap Irwan.
Organisasi perlu tahu persis apa yang ingin dicapai? Bagaimana strategi mencapainya?
Organization capabilities apakah yang diperlakukan? Kompetensi apakah yang
diperlukan? Bagaimana dan dimana mendapatkan SDM-SDM dengan kompetensi yang
diinginkan tadi? Apa yang menjadi faktor-faktor utama (drivers) yang mempengaruhi
motivasi mereka dalam bekerja?
Beragamnya penjabaran konsep Talent Management ini menjadikan konsep ini kian
istimewa. “Kita bisa datang dengan label, istilah dan ruang-lingkup yang berbeda-beda
mengenai konsep “talent management”, namun pengelolaan SDM atau “managing
talent” sebenarnya sudah lama dilakukan oleh demikian banyak organisasi dengan
tingkat kecanggihan sistem dan program SDM pendukung yang berbeda-beda,” urai
Irwan Rei.
Gaungnya menurut Irwan semakin terdengar seiring dengan persaingan bisnis yang
semakin tinggi dan yang lalu mendorong organisasi untuk semakin serius di dalam
menarik dan mengelola SDM-SDM pilihannya. Berbeda dengan misalnya konsep Balanced
Scorecard dimana ada Kaplan dan Norton sebagai pencetus idenya, tapi tidak mudah
untuk menunjuk siapa yang melakukannya untuk konsep talent management.
Irene Wuisan pun mengakui banyaknya penafsiran terhadapkonsep itu. “Kalau kita lihat
dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain, itu banyak sekali definisi-definisi yang
berbeda-beda, jadi kembali tergantung kepada perusahaannya itu sendiri,” ujar Irene.
Hanya saja Irene mengaku banyak melihat pergeseran pendekatan dalam menerapkan
konsep Human Resources Management yang ada. Kalau dulu kata Irene, orang-orang itu
harus disesuaikan dengan pekerjaannya, ini menjadi focus dari konsep CBHRM, sekarang
mulai bergeser.
“Sekarang mulai megarah kepada karyawannya sendiri, karyawannya punya keahlian apa
sih, karyawannya ini kelebihan-nya ada dimana, dan itulah yang ditumbuhkan, dibina dan
diangkat supaya karyawan ini potensinya bisa lebih tergali, itulah yang dibilang
memanage talent, jadi talent itu disini lebih kepada si karyawannya sendiri,” terang Irene
memaparkan konsep Talent Managementnya.
Dengan menerapkan konsep Talent Management, Irwan melihat sebagai sebuah proses
yang dilakukan oleh organisasi untuk menjawab tantangan yang ada. Dalam lingkup yang
luas, bagi Irwan managing talent tidak hanya berbicara mengenai pengembangan karir
pegawai, namun bagaimana organisasi dapat menarik dan mengelola SDM-SDM
pilihannya, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. “Ini berarti mulai dari proses
rekrutmen, penempatan pegawai, penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan karir,
sampai pegawai meninggalkan perusahaan di arahkan untuk menjawab tujuan
tersebut”,lanjutnya.
Dan itu menurut Irwan bukan masalah yang sederhana, karena untuk melakukan itu,
organisasi perlu mengetahui apa yang membuat SDM-SDM yang handal ini tertarik untuk
bergabung dan bekerja dengan baik di dalam organisasi dan menyeimbangkannya
dengan apa yang ingin dicapai oleh organisasi. “Ada dua pihak yang terlibat di sana:
pegawai dan perusahaan, masing-masing dengan kebutuhan yang tidak selalu sama,
sehingga perlu dicari titik temunya. Perusahaan memiliki visi dan misi, strategi untuk
mencapainya, maupun organization capabilities yang perlu dibangun, sementara pegawai
memiliki kebutuhan akan pengembangan karir, reward & recognition, maupun lingkungan
kerja yang menyenangkan,”tutup Irwan. • (ich)
Untuk dapat menerapkan konsep itu secara konsisten dan dapat memberi manfaat yang
berarti dalam pengelolaan perusahaan. Maka perusahaan tersebut harus memenuhi
beberapa prasyarat;
4. Terdapat suatu keadaan kesempatan yang sama (Equal Opportunities) dan pelakuan
adil yang didasari pada assesmen yang faktual.
5. Agar c dan d dapat dipenuhi maka hal ini sejogyanya didukung dengan suatu kebijakan
SDM (human resources policies) dan alat dan sistem penilaian kinerja (performance
appraisal system and tools) yang secara konsisten diterapkan. Artinya tidak terdapat
perlakuan yang khusus bagi orang-orang tertentu.
Sebuah Keniscayaan
Dalam kompetisi bisnis yang semakin sengit dan mengglobal, keberlangsungan usaha
perusahaan sangat ditentukan seberapa efisien dan efektif mereka bersaing di pasar.
Kerasnya persaingan itu berdampak pada daya tahan perusahaan. Menurut Andreas
Diantoro, umur bertahan perusahaan kini semakin pendek dibandingkan periode masa
lalu. “Umur perusahaan kini hanya seperlima dari kondisi pada masa lalu,” tuturnya. Oleh
sebab itu, daya saing sangat menentukan. Dalam konteks daya saing itu pula,
outsourcing menjadi pilihan yang tidak terhindarkan.
Pakar manajemen Charles T. Fote, seperti dikutip Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial
Depnakertrans Dr. Muzni Tambusai, mengatakan bahwa kecenderungan perusahaan
untuk melakukan semua aspek bisnis dari hulu ke hilir secara sendirian sudah tidak bisa
lagi. Ada jenis pekerjaan yang tidak efisien dikerjakan sendiri dan secara kualitas lebih
baik bila dikerjakan pihak spesialis. Kalau tidak, rentang kendali perusahaan akan
menjadi sangat panjang dan organisasi menjadi gendut sehingga tidak lincah bergerak di
pasar.
Tengoklah bagaimana perusahaan raksasa Airbus atau Boeing memutuskan hanya fokus
pada rancang bangun, pemasaran, dan purna jual dari pesawat-pesawat mereka. Mereka
membeli mesin dari Rolls Royce atau Pratt & Witney, sistem instrumentasi dari
perusahaan lain, dan menyerahkan berbagai pembuatan komponen pesawat kepada
berbagai vendor, termasuk PT Dirgantara Indonesia (DI).
BUMN Indonesia ini sedang mengerjakan kontrak dari British Aerospace System dalam
pembuatan komponen sayap pesawat raksasa Airbus 380 senilai US juta. Pekerjaan
komponen sayap juga diperoleh untuk Airbus A320, A321, dan A319 senilai US juta. Dari
pola outsourcing ini terlihat bahwa DI tidak berhubungan langsung dengan Airbus,
melainkan menerima pekerjaan dari British Aerospace System yang telah ditunjuk Airbus
sebagai vendor outsourcing komponen pesawat Airbus.
Praktik serupa telah sejak lama dilakukan industri otomotif, permesinan industri, sepatu,
dan banyak lagi. Di markasnya Aichi, Jepang, raksasa Toyota hanya menyatukan seluruh
komponen mobil mereka dari berbagai vendor dan mengerjakan pekerjaan akhir,
termasuk memasang logo Toyota. Kecuali lebih efisien dalam pembuatan komponen,
dengan sistem Just in Time (JiT) efisiensi juga diperoleh di dalam pengelolaan mata rantai
pasok (supply chain).
Makin ke sini, perusahaan manufaktur cenderung mengalihdayakan proses produksi
kepada pihak lain yang telah mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Mereka
cenderung fokus pada proses yang lebih strategik dan bernilai tambah, seperti proses
rancang bangun, pemasaran, pelayanan pelanggan, dan manajemen merek. Praktik ini
juga diterapkan dalam bisnis yang lebih kecil, misalnya menyerahkan pembuatan batik
kepada pengrajin batik sementara merek dan pemasarannya dikelola Danarhadi, Batik
Keris, dan perusahaan batik lainnya.
Dalam industri perminyakan, tutur Vice President HR Medco Energi Billy R. Assa,
oursourcing berlangsung secara meluas, tidak hanya pada aspek-aspek pendukung
macam transportasi atau konsumsi, melainkan juga pada aspek eksplorasi dan eksploitasi
(hal yang selama ini dianggap pihak lain sebagai core business). Paling tidak dari aspek
sumberdaya manusianya. “Nature industri migas global memang begitu,” ucapnya. Maka,
jangan kaget bila berkunjung ke lapangan operasi Medco di berbagai daerah,
menemukan para mekanik/teknisi yang bukan karyawan Medco, melainkan karyawan
perusahaan outsourcing.
Bila kita, sebagai konsumen, beranggapan bahwa semua orang yang bekerja di Telkomsel
adalah karyawan Telkomsel, sudah saatnya pandangan ini dikoreksi. Dewasa ini, menurut
Vice President HR Telkomsel N. Krisbiyanto, di Telkomsel bekerja sekitar 2.300 karyawan
outsourcing. Terbesar di call center dan layanan pelanggan, satpam, dan pengemudi.
Berikutnya adalah pelayan kantor, validasi, administrasi hingga sekretaris. Jumlah
tersebut akan terus bertambah menuju 2009, tahun di mana transformasi dengan model
bisnis baru ditargetkan berjalan secara penuh di Telkomsel.
Outsourcing itu akan menyentuh semua aspek bisnis Telkomsel: pemasaran, operasional,
keuangan, teknologi informasi (Tl), perencanaan bisnis, dan dukungan bisnis.
Umpamanya di bidang operasi, akan dialihdayakan kegiatan instalasi, pengembangan,
dan pemeliharaan jaringan. Pertimbangannya, teknologi jaringan ini dikuasai oleh vendor-
vendor kelas dunia macam Siemens, Ericsson, Alcatel, Nokia, dan sebagainya. Mereka
memberikan solusi terpadu dari penyediaan produk hingga instalasi, perawatan, dan
pengembangan teknologinya. Dengan kondisi seperti itu, kelak Telkomsel tidak perlu
tenaga teknik dalam jumlah besar di bidang jaringan ini.
Praktik outsourcing, lanjut N. Krisbiyanto, akan menyebabkan ratio produktivitas
Telkomsel yang diukur dalam jumlah pelanggan/ karyawan akan tetap terjaga. Saat ini,
Telkomsel memiliki 21 juta pelanggan dan 3.500 karyawan. Tahun 2009, perusahaan
menargetkan pelanggan naik menjadi 37 juta pelanggan dengan jumlah karyawan hanya
bertambah sedikit menjadi 5.000 orang saja. “Pertambahan pelanggan sebesar itu tidak
harus dibarengi dengan kenaikan karyawan secara besar-besaran. Selain penataan ulang
personil dan organisasi, solusinya adalah melalui outsourcing,” tambah pria yang akrab
dipanggil Kris itu.
Di dalam bisnis perbankan, outsourcing juga sesuatu yang bersifat imperatif. Faktor
jumlah karyawan yang berlebihan dan berujung pada inefisiensi telah menjadi masalah
laten. Selama ini, mayoritas bank di Indonesia telah melakukan PHK berulangkali karena
mengalami kelebihan karyawan dan perubahan lingkungan bisnis. Setelah PHIC
dilakukan, organisasi kembali mekar tidak terkendali, yang pada akhirnya berujung pada
PHK baru.
Masalah klasik ini, menurut Pemimpin Divisi SDM Bank BNI Adhianto Sardjono,
mengharuskan bank mencari solusi terbaik. “Unit-unit tidak diperkenankan lagi
melakukan rekrutmen tenaga tidak tetap yang ikatan kerjanya langsung dengan BNI
untuk pekerjaan apapun,” ujarnya. Belajar dari pengalaman buruk beberapa tahun lalu,
BNI kini mengontrol penuh proses rekrutmen karyawan, dan mengutamakan melalui
praktik outsourcing.
BNI menerapkan dua model outsourcing: pertama, dilakukan di BNI sebagai penyedia
pekerjaan; kedua, dilakukan di perusahaan penyedia jasa outsourcing. Mengingat
kerahasiaan data yang sangat penting, BNI lebih mengutamakan pilihan pertama.
Tak hanya personil, beberapa bank bahkan mengalihdayakan peralatan TI mereka,
termasuk PC sekalipun. Sebuah bank terkemuka menyerahkan pengadaan dan
pemiliharaan puluhan ribu PC dan peralatan pendukungnya kepada HP Indonesia. Praktik
ini menekan biaya investasi (Total Cost of Ownership/TCO) maupun perawatannya.
Dengan cara ini, ujar Andreas, perusahaan bisa fokus kepada inovasi ketimbang aspek
perawatan yang selama ini terjadi.
Berikut adalah beberapa prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Maxwell yang
disarikan oleh Andy Juniarso, CEO Quantum Leap, dosen di beberapa perguruan tinggi di
Jakarta, yang sering tampil sebagai pembicara atau penterjemah berbagai seminar
publik.
Menurut John C. Naxwell, pemimpin sejati idealnya mempunyai tujuan hidup yang jelas
dan terutama mempunyai minat yang besar untuk memimpin umat manusia menuju
tujuan yang jelas tersebut. Walaupun tidak menjelaskan dengan contoh seorang person,
tetapi menurut John, dari hasil interview-nya dengan sekian banyak pemimpin
perusahaan dan institusi di Amerika. mereka yang telah berhasi menjadi pemimpin di
perusahaan besar ataupun pemimpin massa, adalah mereka yang mempunyai suatu visi
(tujuan hidup) yang jelas serta misi yang dipahaminya.
Minat yang besar dalam memimpin suatu perusahaan, institusi atau sekelompok besar
manusia / profesionaI atau umat adalah salah satu sumber motivasi terbesar dan penting
dari dalam diri seseorang pemimpin yang berhasil. John menyarankan bagi para calon
pemimpin agar berhasil yaitu pertama-tama agar mempunyai tujuan hidup yang jelas,
yang dipahaminya benar, yang sangat diinginkan dan diperjuangkannya. Idealnya tujuan
hidup tersebut bernilai baik bagi banyak orang, berkualitas atau dihargai oleh pemilik
perusahaan (shareholder) sehingga banyak orang akan mendukungnya, dengan sukarela
atau termotivasi untuk mengikutinya pula.
John menganalisis bahwa seringkali calon pemimpin yang kurang berhasil, hanya memilih
tujuan hidupnya semata untuk memilikinya, tetapi tidak benar-benar menginginkannya,
bahkan tidak punya gairah (desire) untuk mencapainya. Semua hanya angan-angan, cita-
cita setinggi langit, yang hanya dilihat dan dikagumi, tak pernah berusaha untuk
meraihnya.
Pertumbuhan adalah proses dan siklus kehidupan yang natural dan bertahap. Barang
siapa yang bisa menjalankannya dengan konsisten dan terus bergerak untuk tumbuh
kembang, maka merekalah yang akan survive, termasuk untuk menjadi seorang
pemimpin sejati. Pemimpin besar tentu telah melewati proses panjang dari awal mulanya
di level bawah, pada starting point yang kecil scope-nya, pada cakupan yang terbatas,
kemudian berkembang terus menjadi semakin besar, semakin dikenal, dipercaya banyak
orang, semakin berpengaruh, diyakini dan pada tahapan akhirnya mencapai posisi
puncak kepemimpinan yang mempengaruhi dan mengkoordinasikan keputusan tertinggi.
Pertumbuhan adalah kata kunci yang penting dalam proses kepemimpinan, karena
memimpin sekelompok manusia bukanlah perkara mekanis, matematis atau ilmu pasti,
melainkan seni manajemen, yang dinamis, fleksibel, berubah-ubah sesuai situasi dan
kondisi. Sesuai dengan interaksi antara manusia yang dipimpin dengan customer,
kompetitor, pemerintah, dan alam. Kesemua ”pemain” tersebut berinteraksi,
berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga mekanismenya
dinamis, tidak ada pola yang baku dan pasti. Walaupun ada kecenderungan dan kiat-kiat
yang jitu, tetap saja strategi kepemimpinan harus terus disesuaikan dengan kondisi
”medan tempur”.
Dengan kata lain John mengatakan bahwa pemimpin sejati tidak justru takut disaingi oleh
calon pemimpin yang baru atau yang lain. Bukan justru menutup dan menekan agar
bawahannya tidak berkembang, tidak membahayakan posisinya di kemudian hari. Karena
apabila hal ini dilakukan maka perusahaan tersebut tidak akan bisa mencapai kapasitas
yang optimal dan juga sudah pasti sulit berkembang.
Apakah perusahaan Anda dipimpin oleh person yang mempunyai kapasitas sebagai
seorang leader yang memberdayakan pemimpin baru, meng-generate new leaders
secara aktif, atau sebaliknya seorang leader yang membentengi dirinya dengan
kekuasaan agar kepemimpinannya aman dan tidak tersaingi? Niccolo Machavelli
mengatakan, ”The first method for estimating the intelligence of a ruler is to look at the
men he has around him.”
John C. Maxwell mengakui: “I’m not certain that the above subject is an issue of I.Q., but I
am sure that it is a test of leadership. Leaders who continue to grow personally and bring
growth to their organizations will influence many and develop a successful team around
them.” (from John C. Maxwell book titled “Developing The Leader Within You”, page 180 ).
Andrew Carnegie said, “It marks a big step in your development when you come to
realize that other people can help you do a better job than you could do alone.”
Pada prinsip kedua John menyarikan bahwasannya seorang leader dapat menjadi besar
apabila dirinya sendiri selalu berkembang, senantiasa belajar, memperbaiki diri dan
membuka diri untuk dibantu dan berbagi serta memberdayakan orang-orang yang
mempunyai kapasitas sebagai leader.
Transformasi Infomedia Menuju Rp 1 Triliun
No. 17 - Agustus 2005
Tadinya dikenal sebagai penerbit Yellow Pages, kini Infomedia memiliki tiga pilar bisnis :
direktori, contact center, dan penyedia konten. Sejak 2003, Infomedia mulai melakukan
transformasi bisnis dengan melakukan banyak perubahan strategic. Targetnya, total
pendapatan perusahaan menjadi Rp 1 triliun tahun 2006.
Tadinya dikenal sebagai penerbit Yellow Pages, kini Infomedia memiliki tiga pilar bisnis :
direktori, contact center, dan penyedia konten. Sejak 2003, Infomedia mulai melakukan
transformasi bisnis dengan melakukan banyak perubahan strategic. Targetnya, total
pendapatan perusahaan menjadi Rp 1 triliun tahun 2006.
Sebutlah nama Yellow Pages, orang akan langsung ingat pada PT Infomedia Nusantara,
perusahaan yang dimiliki 51% sahamnya oleh Telkom dan 49% oleh Elnusa. Kini, nama
Yellow Pages sudah berganti dengan Buku Petunjuk Telepon (BPT). Sebagai satu-satunya
produsen BPT, semestinya Infomedia melenggang mudah di pasar. Tetapi, manajemen
Infomedia sadar bahwa era enak ini tidak akan selalu ada. Kemungkinan masuknya
pesaing langsung dan tidak langsung tetap saja ada.
Pesaing langsung adalah perusahaan penerbit direktori sejenis atau hampir serupa,
Deregulasi UU Telekomunikasi menyebabkan hadirnya operator telepon tetap selain
Telkom. Data telepon akan dimiliki oleh Telkom, Indosat, dan operator baru yang besar
kemungkinannya adalah pemain-pemain asing. Implikasinya, pasar layanan informasi
multimedia terbuka bagi pemodal asing. “Mereka kaya pengalaman dalam
menyelenggarakan bisnis Yellow Pages,” ungkap M. Gatut Awantoro, Presiden Direktur
Infomedia.
Pesaing tidak langsung muncul sebagai akibat konvergensi teknologi antara industri
media, telekomunikasi, dan komputer sehingga memunculkan banyak piranti baru untuk
mengakses informasi, seperti ponsel, PDA, CD-ROM, Internet, dan sebagainya. Ditambah
dengan kian sengitnya persaingan dalam memperebutkan kue iklan dengan berbagai
media konvensional lainnya, maka tantangan bisnis yang dihadapi Infomedia jelas tidak
kecil. Kondisi ini mengharuskan Infomedia untuk terus melakukan inovasi, menghasilkan
produk yang berkualitas dan disukai oleh pelanggan.
Menyadari berbagai faktor intemal dan eksternal di atas, manajemen Infomedia
kemudian mencanangkan program transformari bisnis pada tahun 2002. Dibantu oleh
konsultan bisnis, Infomedia menyusun “Strategic Transformation Plan” (STP) 2002-2006.
STP memuat roadmap yang harus dilalui Infomedia untuk mencapai tujuan transformasi
bisnis, yaitu menjadikan Infomedia sebagai NationaI Leader for Multimedia Directory
Based Information Service.
Ada 4 tahapan yang harus dilalui oleh Infomedia untuk mewujudkan tujuan transformasi
tersebut, mulai dari tahapan persiapan organisasi hingga tahapan ekspansi (lihat boks,
red). Untuk mengawal proses transformasi bisnis tersebut, Infomedia membentuk Tim
Implementasi Strategic Plan (TISTP) dengan fungsi utamanya mengawal dan mengawasi
agar transformasi yang dijalankan perusahaan sesuai dengan perencanaan.
Digerogoti Pesaing
Yellow Pages muncul pertama kali tahun 1976. Sampai tahun 2002, sebelum transformasi
bisnis dicanangkan, Yellow Pages merupakan satu-satunya pilar bisnis Infomedia. Dengan
sendirinya. Infomedia sangat tergantung dari layanan ini. Munculnya pesaing dan
perubahan lingkungan bisnis menyebabkan pasar Yellow Pages yang monopolistis mulai
digerogoti pesaing. Dari sisi pendapatan, perorangan iklan Yellow Pages masih terus
bertumbuh. Namun, sebagai mantan orang keuangan di Telkom, M. Gatut Awantoro yang
mulai bergabung di Infomedia tahun 2003, melihat dari sisi marjin laba (profit margin)
Infomedia terus menurun sejak 2000. “Ini yang tidak disadari rekan-rekan di Infomedia
karena tidak pernah dikomunikasikan, ” ungkapnya.
Repotnya, Infomedia belum memiliki data pendukung bisnis yang memadai. Misalnya,
data tentang pelanggan. Ibarat mau menyetir mobil, lanjut Gatut, manajemen harus
punya indikator-indikator kemudi, Indikator tersebut harus disusun terlebih dahulu lantas
dianalisis. Ia pun melihat bahwa ukuran perusahaan bisa lebih besar dari yang ada. “Saya
mencanangkan tahun 2006, pendapatan perusahaan bisa mencapai Rp 1 triliun,”
tambahnya.
Jalan untuk mewujudkan target tersebut hanyalah satu : melakukan transformasi bisnis
secara total. Beruntung jajaran direksi lama sudah menyusun rencana transformasi bisnis
tersebut. Gatut menilai, isi rencana transformasi bisnis tersebut sangat sesuai dengan
kebutuhan infomedia. Namun, rencana Gatut untuk menerapkan rencana transformasi
bisnis itu malah tidak disambut manajemen Infomedia secara penuh. Ada yang
mengingatkan untuk tidak menerapkan rencana transformasi bisnis itu, karena kalau
gagal akan disalahkan. Gatut bergeming. “Saya malah berpikir sebaliknya. Ini adalah
kesempatan bagi saya untuk meneruskan transformasi bisnis Infomedia.”
Penyebab rendahnya animo karyawan terhadap rencana transformasi bisnis adalah
karena mereka merasa rencana strategik itu dibuat oleh konsultan, bukan oleh mereka.
Di sinilah letak permasalahannya. Seharusnya dilakukan transfer kepemilikan rencana
transformasi itu kepada karyawan sebelum konsultan pergi. Hal ini menyebabkan upaya
memulai perubahan di Infomedia terasa lebih berat. Gatut menggelar training / workshop
tentang rencana transformasi itu yang diikuti seluruh manajemen dan karyawan.
Tujuannya untuk menyamakan persepsi di kalangan internal Infomedia sekaligus
mengetahui siapa yang mendukung dan menolak rencana transformasi bisnis tersebut.
Sebagai direksi, Gatut ikut acara yang berlangsung 3 hari penuh itu. Sebab ia meyakini,
transformasi bisnis adalah tugas direksi.
Bagi Gatut, transformasi bisnis Infomedia tidak bisa ditawar-tawar lagi. Toh ia merasa
tidak bisa menjalankan transformasi sendirian. Selain dukungan dari beberapa jajaran
internal, khususnya anak-anak muda yang menginginkan perubahan, Gatut mengajak
mantan dosen ITB yang menjadi konsultan manajemen perubahan, Haryanto
Mangkusasono. Pak Haryanto dipilihnya bukan hanya hebat dalam mempresentasikan
aspek teori perubahan, tetapi juga mempraktikkan perubahan. Setelah setahun
bekerjasama dengan Haryanto, akhirnya Infomedia berhasil membuat paradigma bisnis
baru. Salah satunya, paradigma perubahan yang wajib hukumnya. Tata nilai perusahaan
pun diperjelas dan dipertajam seperti yang terangkum dalam budaya kerja ANTUSIAS.
Menjadi 3 Pilar Bisnis
Untuk mewujudkan pertumbuhan pendapatan yang signifikan, Infomedia
mengembangkan 2 pilar bisnis baru sehingga seluruhnya menjadi 3 pilar bisnis. Di luar
pilar layanan direktori, kedua pilar bisnis baru itu adalah layanan contact center dan
layanan konten. Layanan contact center merupakan sebuah keahlian baru yang
dikembangkan perusahaan dan masih terkait dengan bisnis telekomunikasi. Menurut
Gatut, manajemen direktori sangat berbeda dengan contact center – yang terakhir lebih
banyak aspek teknologi informasinya. Berkembangnya CRM (Customer Relationship
Management) di Tanah Air membuat layanan contact center ini berkembang sangat
cepat. Dewasa ini, Infomedia menangani contact center di berbagai divisi regional Telkom
dengan jumlah keseluruhan agen (karyawan yang bekerja di contact center) sekitar 2.000
orang. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah karena beberapa kantor Telkom
lainnya sudah berbicara dengan Infomedia untuk outsourcing layanan ini.
Layanan konten merupakan pengembangan lebih lanjut dari layanan direktori melalui
bentuk-bentuk digital. Konsultan sempat meramalkan layanan ini akan menjadi
primadona Infomedia tahun 2010. Perkiraan ini diakui Gatut sulit tercapai karena kondisi
lingkungan tidak mendukung. “Kecuali karena konsumen bisa mendapatkan berbagai
informasi secara gratis, penghargaan konsumen terhadap informasi di sini sangat
kurang,” lanjutnya.
Implementasi Balanced Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Selain menjadi organisasi publik pertama di Indonesia yang menerapkan sistem Balanced
Scorecard (BSc), BI juga menjadi pelopor implementasi BSc di antara sesama bank
sentral di dunia. Apakah masih sebatas tataran konsepsi atau sudah menjawab tuntutan
masyarakat?
Dalam era independensi Bank Indonesia tidak ingin terlihat jumawa dengan status
barunya, tetapi sebagian kalangan justru melihat adanya upaya pembenahan internal
melalui rangkaian Program Transformasi Bank Indonesia. Salah satu pembenahan internal
yang dilakukan dan saat ini telah diakui baik secara nasional maupun internasional
adalah menata Perencanaan Strategis Bank Indonesia dengan mengintegrasikan sistem
perencanaan, anggaran dan manajemen kinerja (SPAMK). Inisiatif ini awalnya dipelopori
oleh Aulia Pohan, Deputi Gubemur Bl yang telah purnabakti Mei 2005.
Integrasi SPAMK menggunakan BSc sebagai management tools, sehingga setelah
digunakannya BSc dalam 3 tahun terakhir banyak pihak mengakui Bl dapat dikatakan
sebagai perintis penggunaannya untuk organisasi publik, Diundangnya Bank Indonesia
sebagai Anggota Strategic Planning Discussion Group oleh BIS (Bank lnternational for
Settlement) bersama dengan bank sentral dari negara maju menjadikan bukti
implementasi SPAMK menjadi perhatian dan dapat disejajarkan dengan implementasi
strategic planning diantara bank sentral dunia.
Belum lagi kalangan nasional yang mendukung upaya Bank Indonesia mengkoordinasikan
forum komunikasi yang terbuka untuk siapapun yang bermitra dan berhasil melibatkan
kalangan akademisi, praktisi strategic planning baik dari perusahaan swasta, instansi
pemerintah maupun lembaga non-profit lain untuk membentuk Strategic Planning Forum
pada bulan Desember 2004 yang lalu.
Integrasi SPAMK bukan merupakan suatu yang mudah mengingat adanya suatu
perubahan paradigma yang sangat mendasar dari sebelumnya Bank Indonesia tidak
dituntut transparan dan akuntabel menjadi suatu lembaga yang siap dinilai dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya. "Sistem pendidikan Bank Indonesia
untungnya sudah mempersiapkan SDM untuk siap menghadapi perubahan karena level
edukasi yang sangat tinggi di sini. Pegawai adalah aset utama kami,” jelas Halim
Alamsyah, Director of Office of the Governor Bank Indonesia yang didampingi oleh Dwi
Pranoto, Ketua Tim Perencanaan Strategis dan Manajemen Kinerja dan Trisno Nugroho,
Analis di Tim yang sama. Ditambahkan oleh Halim bahwa ”pemahaman dan penerimaan
konsep BSc yang relatif cepat di BI tidak lepas dari adanya kesiapan SDM BI (HR
Readiness) dan dukungan Dewan Gubemur yang tinggi”.
“Kami memiliki siklus perencanaan strategis sebagai guidelines dan menggunakan BSc
sebagai alat pantau untuk early warning pencapaian Sasaran Strategis Bank Indonesia,”
lanjut Halim Alamsyah. Ditambahkan juga oleh Dwi Pranoto, apabila secara sistem dan
kesiapan SDM belum memadai untuk pencapaian Sasaran Strategis tertentu, Bank
Indonesia melakukan suatu inisiatif yang dapat menjembatani percepatan pencapaian
Sasaran Strategis Bank Indonesia.
Melalui implementasi SPAMK ini diharapkan BI mampu melaksanakan tugasnya secara
efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia, yang tentunya tidak
lepas dari upaya untuk memenuhi harapan stakeholders baik di dalam maupun luar
negeri. Hal ini mengingat semakin tingginya tuntutan stakeholders akan peningkatan
kredibilitas BI yang banyak ditentukan dengan kemampuan BI untuk meningkatkan
kinerjanya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 23/1999 dan
perubahannya dalam UU No.4/ 2004 tentang BI. Dalam rangka pencapaian tujuan
tersebut, BI harus semakin akuntabel dan transparan kepada publik sehingga mampu
meningkatkan efektivitas pelaksanaan good governance BI. Pada akhirnya diharapkan BI
mampu menjadi organisasi yang fokus pada strategi (strategy-focused organization)
sebagaimana organisasi best practices lainnya yang telah menerapkan BSc.
Setiap Anggota Dewan Gubernur dan Pemimpin Satuan Kerja (Satker) di BI dapat
memonitor pencapaian pelaksanaan tugas dan target yang telah ditetapkan setiap saat
melalui dashboard BSc secara online pada internal website Bank Indonesia.” Saya dapat
langsung berkomunikasi dan berinteraksi kepada penanggungjawab suatu pencapaian
target kalau saya melihat ada indikasi target tersebut tidak tercapai,” jelas Halim
Alamsyah yang sebelumnya menjadi Direktur di Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter. Selain sisi praktisnya, yang terpenting adalah filosofi dari BSc yang berorientasi
bukan hanya kepada hasil tetapi juga kepada proses.
Perubahan ini merupakan evolusi dari pelaksanaan beberapa sistem perencanaan
strategis yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia. Di era ’90an, BI telah menerapkan
sistem MBO (Management by Objective) yang lebih menekankan kepada sistem
manajemen yang berorientasi kepada hasil. Atas dasar itu, para pimpinan Satker bekerja
dengan berorientasi kepada hasil. Lama-lama manajemen Bl sadar bahwa sistem ini
melupakan proses sehingga hasil akhirnya tidak selalu baik. Untuk itulah BSc menjadi
pilihan BI.
Dalam penerapan BSc pun BI melakukan secara bertahap. Awalnya saat diresmikan oleh
Gubernur BI Syahril Sabirin, BI lebih banyak menggunakan “Key Performance Indicator
(KPI) List” baik di level organisasi maupun Satker, atau yang biasa disebut dengan 1st
generation BSC. Dalam perkembangannya, BI menyempurnakan lebih lanjut dengan
memperkenalkan ’Strategy Map’ dalam SPAMIC, yang dianggap sebagai 2nd generation
BSc. Dan, terakhir dengan diperkenalkannya Destination Statement BI 2008 oleh
Gubernur BI sekarang, Burhanuddin Abdullah, maka BI dianggap telah memasuki era
lebih lanjut menuju 2nd generation BSc.
Sebelum melibatkan konsultan, Dwi Pranoto yang sejak awal terlibat dalam Inisiatif
SPAMK mengatakan bahwa BI telah lama mengkaji dan mempelajari BSc, baik melalui
buku/paper mengenai BSc terutama yang ditulis oleh Kaplan dan Norton maupun dengan
mengirimkan pejabat dan stafnya mengikuti seminar dan kursus BSc sejak tahun 2000-
an, serta mempelajari implementasi BSc dari organisasi best practices.
Pada awal tahun tahun 2003, menurut Analis dari Tim yang sama Trisno Nugroho, BI
mencari konsultan lokal yang berpengalaman menerapkan BSc di lembaga publik, yang
didukung dengan praktisi dari Australia yang telah berpengalaman menerapkan BSc di
lebih dari 100 lembaga publik. BI dan konsultan itu menyusun Strategy Map dan IICU
untuk BI dan level Satker dengan melakukan workshop dengan seluruh anggota Dewan
Gubernur, Pimpinan Satker, dan melaksanakan workshop intensif dengan wakil-wakil
Satker.
Agar sukses, Bl melakukan manajemen perubahan yang terencana secara baik. Berbagai
perubahan penting untuk mendukung efektivitas SPAMK berbasis BSc telah dilakukan
antara lain dengan memperkenalkan Forum Strategis (Forstra), membentuk Komite PAMIC
yang diketuai oleh anggota Dewan Gubernur, dan menetapkan Manajer IKU di setiap
Satuan Kerja yang membantu pimpinan Satuan Kerja dalam mencapai kinerja Satuan
Kerja dan kinerja BI, serta melaksanakan edukasi dan komunikasi di seluruh jajaran BI.
Implementasi BSc di BI, menurut Halim, berjalan berkat dukungan penuh Dewan
Gubernur BI meskipun disadari masih belum seluruh aspek BSc bisa diterapkan secara
mulus. BI sejak awal telah menggunakan software dengan ’dashboard
management’-nya’- untuk memantau pencapaian kinerjanya. Melalui dashboard ini –
yang mempunyai indikator hijau, kuning dan merah – setiap anggota Dewan Gubernur
dan Pimpinan Satker dapat memantau pencapaian kinerja BI dan Satker secara online.
Usaha evaluasi dan perbaikan kinerja yang tidak baik (warna merah) maupun yang
mencerminkan suatu early warning system (warna kuning) diserahkan kepada anggota
Dewan Gubernur dan Pimpinan Satker masing-masing. Dalam praktiknya, upaya penilaian
kinerja tersebut dirasakan belum berjalan optimal. Kondisi ini juga muncul karena belum
adanya Job Value di Bl (berapa penting/besar sumbangan suatu bidang terhadap kinerja
Bl), dan mana bidang yang tergolong core, strategic support, maupun process. Meskipun
pencapaian kinerja ini sudah terkait dengan kinerja Pimpinan Satker, namun disadari
belum terhubung sepenuhnya dengan sistem insentif.
Lantas, bagaimana arah implementasi BSC di BI ke depan? Menurut Halim dan Dwi, BI
belum akan menerapkan BSc hingga ke level individu dalam waktu dekat. Tantangan ke
depan juga masih banyak. Sebagai lembaga publik, dalam setiap kegiatannya Bl akan
menghadapi implikasi terutama yang terkait dengan aspek hukum dan reputasi lembaga.