You are on page 1of 346

KUMPULAN ARTIKEL STRATEGI HR MAJALAH HUMAN CAPITAL

Memilih Perusahaan Outsourcing


No. 02 - April 2004
Pilih perusahaan outsourcing yang dapat berperan sebagai konsultan.
Perusahaan outsourcing yang profesional akan mampu memberikan opini dan alternatif
solusi bagi masalah yang berkaitan dengan rekrutmen, seleksi, penentuan profile
karyawan, penerapan disiplin sampai dengan pemutusan hubungan kerja. Selain
mematuhi hukum yang berlaku, perusahaan outsourcing yang baik juga harus bisa
berperan sebagai advisor yang dapat memberikan pandangan bagi langkah dan
kebijakan yang diambil oleh perusahaan pengguna sehingga dapat terhindar dari potensi
kerugian di masa mendatang.
Jangan memilih perusahaan outsourcing yang meluluskan apa saja keinginan perusahaan
pengguna. Sebagai advisor, perusahaan outsourcing harus mampu memberikan
gambaran di muka mengenai peraturan yang berlaku, keamanan, kemampuan
perusahaan, efektifitas, efesiensi kerja dan mana yang harus dilakukan oleh perusahaan
pengguna dan mana yang harus dilakukan oleh perusahaan outsourcing.
Pilih perusahaan-perusahaan outsourcing yang dapat berperan sebagai "administrasi
expert".
Pilih penyedia jasa outsourcing yang dapat menjaga kualitas kerjanya dengan selalu
memberikan jasa yang tepat waktu dan dapat diukur, serta mempunyai sistem kerja yang
teratur. Proses administrasi meliputi bagian rekrutmen dan seleksi, pendataan karyawan,
penggajian dan kelengkapan adminsitrasi yang tersimpan baik seperti data karyawan
misalnya. Jangan menjatuhkan pilihan pada perusahaan yang tidak mampu membantu
dalam proses admisnistrasi, karena buat apa memilih mitra kerja yang tidak mampu
meringankan beban perusahaan.
Adanya pembagian peran yang jelas.
Perusahaan pengguna adalah pihak yang paling mengetahui tentang pekerjaan apa yang
akan dilimpahkan pada penyedia jasa outsourcing dan bagaimana hasil yang diharapkan
dapat dilakukan oleh perusahaan outsourcing tersebut. Untuk itu sebelum melimpahkan
pekerjaan pada penyedia jasa outsourcing, perusahaan pengguna diharapkan dapat
memberikan penjelasan dengan lengkap tentang cakupan pekerjaan, karakteristik
pekerjaan dan kompetensi teknik yang diharapkan dari calon karyawan outsource beserta
perencanaan karir dan kompensasi yang diberikan.
Pilih Perusahaan yang dapat berperan sebagai "Culture Developer".
Perusahaan outsourcing harus mampu memahami kebutuhan perusahaan pengguna
dalam mendapatkan kandidat pekerja yang memiliki kesamaan cara pandang meskipun
masih bersifat potensial. Profile kandidat yang tepat dapat diberikan jika perusahaan
outsourcing diberi gambaran yang jelas profile karyawan seperti apa yang dianggap
mampu bekerja sesuai dengan lingkungan perusahaan pengguna.
Perusahaan outsourcing yang mempunyai pengalaman dapat memadukan keinginan
klien dengan data kandidat yang ada agar kandidat yang dikirimkan nantinya tidak akan
ditolak oleh perusahaan pengguna. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan dan diskusi yang
dalam serta keterlibatan perusahaan pengguna dalam menentukan profile kandidat.
Buat Service Level Agreement yang lengkap
Di dalam service Level Agreement sebaiknya dituangkan bagaimana bentuk tanggung
jawab kedua belah pihak, ekspektasi kedua belah pihak, alur kerja, cara kerja, peninjauan
performa dari perusahaan outsourcing, serta komitmen lainnya yang perlu dicantumkan.
Road Map Membangun Organisasi Berkinerja Tinggi Menggunakan Human
Capital Management
No. 01 - Maret 2004
Mengembangkan bakat dalam manajemen untuk menjalankan bisnis secara serius�-
selain membangun pengetahuan dan ketrampilan inti - di masa depan adalah satu factor
sukses kritis dalam lingkungan yang kompetitif. Pencapaian kinerja kerja yang sangat
sukses harus dijadikan sebagai criteria penting untuk pemilihan, perpindahan dan
promosi sumberdaya manusia.
Secara garis besar, setiap individu memulai proses pengembangan manajemen dengan
berusaha mendapatkan pengetahuan tentang pekerjaan dari bisnis di mana ia bergabung
(mempelajari titik-titik simpulnya, khususnya tentang pengetahuan dan keterampilan
dasar). Fase kedua adalah mengembangkannya sehingga bisa menjadi kontributor
individu. Fase ketiga adalah mampu mencapai tujuan/objektif bisnis melalui
bentukbentuk lain (projek, tim, tugas khusus, dan lain-lain). Fase keempat adalah lebih
strategis terlibat dalam menentukan arah bisnis. Di antaranya, mengkomunikasikannya
secara jelas pada saat memanfaatkan kompetensi inti yang telah ada atau
mengembangkan orang baru untuk menjalankan rencana dan strategi bisnis yang lebih
luas dalam organisasi.
Dasar yang mendukung kegiatan ini adalah penggunaan kompetensi. Konsisten dalam
menggunakan kompetensi kerja adalah sebuah kunci nyata bagi kinerja individu
organisasi yang superior. Hal-hal yang harus di ingat adalah:
1. Para staf yang terpilih berdasarkan standar kompetensi mempunyai kesempatan
yang lebih besar untuk menjadi lebih produktif dan tetap pada pekerjaannya
daripada mereka yang terpilih dengan menggunakan kriteria lain.
2. Para Manager dan Supervisor yang menggunakan dasar kompetensi "Best
Practices" dalam mengelola bawahan dan operasi bisnis meningkatkan tingkat
retensi, produktifitas, efisiensi, dan kepuasan pelanggan.
3. Pemanfaatan kriteria berdasarkan kompetensi yang obyektif, adil, dan valid dalam
seluruh aspek human capital management meningkatkan kepuasan karyawan dan
mengurangi beban perusahaan.
4. Konsisten dalam menggunakan "Best Practices" berdasarkan kompetensi oleh
seluruh staf berdampak pada penjualan dan kepuasan pelanggan serta
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pada seluruh organisasi.
Dari dasar-dasar ini kita dapat menguraikan tujuan/target kita.
Tujuan dari Competency Based Human Capital Management adalah untuk
mendayagunakan investasi organisasi dalam bidang sumberdaya manusia (human
capital) dengan memastikan bahwa:
1. Orang-orang yang terpilih untuk mengisi posisi-posisi mempunyai kemampuan,
motivasi, dan dukungan yang mereka butuhkan untuk berhasil.
2. Pejabat setiap pekerjaan (job incumbent) mempunyai dan menerapkan kompetensi
yang membuat mereka lebih efektif pada posisi mereka saat ini, dan menjadi dasar
bagi mereka untuk dipromosikan.
3. Para manajer sebagai pejabat mempunyai alat yang dibutuhkan untuk
membina/mengembangkan orang-orang atau pejabat baru.
4. Kriteria obyektif, adil, dan valid digunakan untuk seleksi, pelatihan/pengembangan,
penghargaan dan promosi.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, kita harus sadar dan mengikuti 5 langkah human
competency model:
1. Mengidentifikasi posisi kompetensi spesifik yang menentukan pencapaian kinerja
superior yang sesuai dengan tingkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
spesifik.
2. Membuat alat seleksi untuk memastikan bahwa pilihan-pilihan tersebut
mempunyai dasar kompetensi untuk membuat mereka berhasil.
3. Mempunyai kurikulum pembelajaran berdasarkan kompetensi untuk memastikan
bahwa masing-masing pejabat pekerjaan (job incumbent) mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya
dengan sukses.
4. Membuat alat bantu kegiatan pembinaan dan pengembangan untuk digunakan
para manajer dan staff.
5. Secara teratur meninjau kembali penilaian yang adil dan obyektif, penghargaan
dan promosi berdasarkan tingkatan kompetensi. Mengidentifikasi dan secara
cerdas menerapkan pendekatan Human Capital Management ke seluruh jajaran
organisasi, menyediakan critical building blocks untuk terciptanya keberhasilan
kinerja organisasi maupun individu
* Dr. Philip A. Hines,
Managing Director, Hines Consulting Pte Ltd di Singapore yang berpengalaman selama 25
tahun sebagai praktisi Human Capital Management global di 63 negara. Tulisan ini khusus
dibuatnya untuk Tabloid Human Capital
Sumber: Majalah Human Capital No. 01 | Maret 2004
Bagai Menggulung Benang
No. 03 Tahun 2004
Aktivitas merger dan akuisisi (M&A) akan terus terjadi dalam dunia bisnis, lokal maupun
global. Hati-hati, masalah budaya bisa menjadi kendala mulusnya proses M&A ataupun
pencapaian tujuan dari M&A itu sendiri.
Saat pertama kali dipercaya memimpin Bank Universal oleh Grup Astra tahun 1990,
Stephen Z. Satyahadi mempunyai setumpuk tugas. Setelah merger dengan Bank Maranu
milik pengusaha Andi Sose, Stephen harus membangun fondasi yang kokoh bagi
keberhasilan Bank Universal jangka panjang. Sebagai orang yang lama di Citibank, tak
pelak ia banyak terinspirasi oleh Citibank. Fokus usaha Bank Universal yang tadinya lebih
pada corporate banking diubah menjadi retail banking, khususnya konsumen dan
perusahaan menengah.
Hasil riset bersama dengan Boston Consulting Group menunjukkan bahwa kedua segmen
pasar itu paling menarik bagi bank dalam 5-10 tahun ke depan berdasarkan ukuran,
pertumbuhan, dan profitabilitas. Hubungan istimewa dengan konsumen dan mitra bisnis
Astra menjadikan fokus itu lebih menguntungkan bagi Bank Universal. Perubahan ini jelas
sesuatu yang besar bagi Bank Universal. Budaya korporat yang diperlukan tentu berbeda.
Kepemimpinan senior perlu diramu ulang. Stephen mengundang beberapa eksekutif eks
Citibank untuk bergabung, termasuk Jerry Ng (kini Direktur bank Danamon), Mahdi
Syahbudin (kini Direktur Bank Permata), dan Audi Wiranata (kini Direktur Astra
Buana/Garda Oto). Selain jago ritel, mereka juga memiliki budaya yang relatif sama
karena sama-sama jebolan Citibank. Bersama-sama dengan Terry David, seorang Filipina
yang jago dalam bidang manajemen SDM, tim pimpinan Bank Universal ini menggali,
menyusun, dan mensosialisasikan budaya korporat Bank Universal yang baru.
"Membangun budaya korporat merupakan tugas yang kami rasakan paling berat," ujar
Stephen kepada Human Capital.
Penyusunan budaya korporat dilakukan dengan mengembangkan pelatihan Seven Habits
karya Franklin Covey. "Seven Habits dipilih karena sangat cocok untuk membangun
keahlian fundamental sumberdaya manusia," jawabnya tentang alasan pemilih konsep
Franklin Covey itu. Dimulai dari kelompok kecil pimpinan, program pelatihan terus meluas
ke seluruh jajaran perusahaan. Sebanyak 213 bankir Universal menjadi instruktur, panelis
dialog, mentor, dan pengembangan kurikulum pelatihan tahun 1996. Sebanyak 8.818
karyawan Bank Universal telah mengikuti training di dalam kelas. Beberapa eksekutif
Bank Universal, yang umumnya masih berusia muda dan cemerlang, dikirim ke
universitas terkemuka di dunia macam Stanford dan Harvard Business School untuk
mempermantap perubahan di Bank Universal.
Dalam mewujudkan visi sebagai bank ritel terbaik di Indonesia, seluruh banker Universal
dipandu oleh sistem nilai empathy, entrepreneurship, empowerment, teamwork, dan
trustworthiness. Nilai investasi sebesar Rp 100 miliar ditanamkan sejak 1994 untuk
membangun infrastruktur bagi pencapaian visi itu, termasuk menyelaraskan karyawan,
proses, dan teknologi dengan strategi bisnis. Stephen menyebut, periode 1991 hingga
1997 adalah periode membangun dasar-dasar budaya korporat Bank Universal.
Sayangnya, krisis ekonomi keburu melanda Indonesia, yang juga menghantam Bank
Universal. Bank ini beruntung tidak harus dilikuidiasi seperti banyak bank lainnya, karena
tertolong oleh berkembangnya bisnis ritel yang cukup baik sesuai focus strategi mereka.
Saat krisis ekonomi melanda, porsi bisnis ritel dan korporat sudah berimbang.
"Bayangkan kalau kami tidak mengembangkan bisnis ritel, Bank Universal sudah pasti
dilikuidasi karena timbunan kredit bermasalah," ujar pria yang kini mengembangkan
bisnis pembiayaan konsumen, BPR, dan menjadi komisaris di anak perusahaan Astra itu.
Stephen menyesal tidak bisa menyelamatkan Bank Universal karena harus dimerger
dengan 3 bank lainnya membentuk Bank Permata. Tapi, satu hal yang harus disyukuri,
buah kerja mereka di Bank Universal selama ini tidak sepenuhnya sia-sia. Banyak alumni
Universal Bankers (begitu mereka menyebut bankir Bank Universal) yang tetap mencuat
karena kompetensi dan budaya kerja yang unggul. Darah Citibank dan Bank Universal
yang mengalir di tubuh para bankir itu membuat mereka sulit untuk diabaikan. Sebutlah
Mahdi Syahbudin dan Ongky W. Dana (Direktur Bank Permata), N. Krisbiyanto dan
Ekoputro Adijayanto (GM Bank Permata), Jerry Ng (Direktur Bank Danamon), dan masih
banyak lagi namanama lainnya.
Keunggulan manusianya, itulah yang membuat nama besar sebuah organisasi akan
selalu dikenang�- meski nama perusahaan bisa saja hilang karena merger, akuisisi, atau
sebab-sebab lainnya. Keunggulan manusia pula yang menjadikan perusahaan-
perusahaan besar selalu tumbuh. Manusia-manusia itu dibentuk dalam sebuah budaya
korporat yang kuat, dengan sistem nilai dan keyakinan yang seragam. Budaya itu
kemudian tercemin pada sikap dan perilaku setiap anggota organisasi itu. Seperti
dikatakan Stephen dan banyak pakar, budaya korporat juga menjadi alat yang efektif
untuk menyaring orang-orang yang cocok dan tidak cocok dengan sebuah perusahaan.
Persoalan budaya korporat ini menjadi isu menarik di Indonesia karena derasnya
gelombang merger dan akuisisi, terutama pasca krisis ekonomi 1997. Gelombang merger
paling dominan terjadi di industri perbankan, industri yang dianggap sebagai jantung
perekonomian. Kesulitan bisnis dan kebijakan untuk memperkuat fondasi perbankan oleh
BI mendorong terjadinya kegiatan merger di perbankan. Bank Danamon, misalnya,
menjadi surviving bank setelah merger dengan 7 bank lainnya. Bank Mandiri merupakan
bank bentukan baru hasil merger 4 bank pemerintah (Bank Exim, BDN, BBD, dan
Bapindo). Bank Permata terbentuk setelah merger Bank Universal dengan Bank Bali dan
2 bank lainnya. Praktik merger diproyeksikan akan terus berlangsung dalam periode
konsolidasi perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia yang
disusun oleh McKinsey untuk BI. Kini Bank Pikko dan 2 bank lainnya sedang bersiap pula
untuk merger.
Pembentukan budaya korporat pada sebuah entitas usaha hasil merger jelas bukan
pekerjaan mudah. Bagaimanapun, perusahaan-perusahaan yang merger telah memiliki
budaya korporat masing-masing. Dan, permasalahan yang dihadapi perusahaan hasil
merger juga tidak sedikit. Jangankan bicara pembentukan budaya korporat, konsolidasi
operasional pada Bank Mandiri hingga kini masih terus berlangsung. Padahal, merger
Bank Mandiri sudah berlangsung sejak 2000. Tantangan persaingan dan globalisasi bisnis
mengharuskan Bank Mandiri untuk meninggalkan budaya korporat lama yang menjadi
khas bank pemerintah, seperti terlalu birokratis, lamban, dan kurang berorientasi pada
pasar serta nasabah.
Menarik memperhatikan pengembangan budaya korporat di Bank Permata. Kesibukan
manajemen dalam konsolidasi operasional dan internal sedikit banyak mengurangi
perhatian terhadap pembentukan budaya korporat Bank Permata. Belum lagi, begitu
banyak masalah yang harus dihadapi manajemen, seperti soal cessie yang belum beres
dan kini ditambah lagi oleh rencana divestasi Bank Permata dan wacana merger yang
dilansir oleh manajemen Bank BNI. Kendati demikian, beruntung sejumlah direksi bank ini
muncul dari bank dengan budaya korporat yang kuat, seperti Agus Martowadoyo
(Citibank), Mahdi Syahbudin dan Ongki W. Dana (Citibank dan Bank Universal). Sehingga
visi, nilai-nilai, dan strategi usaha tetap bisa dibentuk meskipun secara pelan-pelan.
Para pakar manajemen dan budaya korporat menegaskan bahwa pembentukan budaya
korporat membutuhkan waktu dan konsistensi dalam eksekusinya. Pembentukan budaya
korporat juga harus menggali nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam organisasi
perusahaan, bukan dengan mengambil dari pihak luar. "Jangan pernah Anda mengambil
ideologi dan nilai-nilai dari perusahaan hebat sekalipun untuk menjadi dasar penyusunan
budaya korporat perusahaan Anda. Itu sebuah kesalahan besar," ungkap pakar
manajemen perubahan James C. Collins dan Jegry I. Porras mengingatkan. Sebaiknya
upaya menggali nilai-nilai itu dilakukan sendiri oleh manajemen perusahaan, meskipun
dalam praktiknya juga bisa dibantu oleh konsultan. Biasanya di perusahaan hasil merger,
menurut Nugroho Supangat, dibutuhkan tim khusus untuk pembentukan budaya
korporat, di mana CEO-nya terlibat penuh. Kalaupun melibatkan orang luar (semacam
konsultan, red), ia harus berpengalaman, netral, dan mengutamakan kepentingan
perusahaan.
Budaya korporat mana yang mau dipakai oleh perusahaan hasil merger macam Bank
Permata tergantung kesepakatan manajemen baru. Apakah budaya korporat bank
peserta merger terbesar atau budaya korporat bank yang dianggap paling kuat atau
kombinasi yang terbaik dari bank-bank yang ada, pilihan-pilihan itu bisa saja diambil.
"Konsultan bisa membantu mengeksplorasi nilai-nilai dan keyakinan itu selaras dengan
strategi perusahaan," ujar AB Susanto, Nugroho Supangat, dan Marina Tusin di tempat
terpisah.
Konsultan juga bisa berperan dalam mengatasi benturan-benturan antar pimpinan baru
dalam membentuk budaya korporat baru. Benturan mungkin saja terjadi karena masing-
masing pimpinan memiliki ego dan kebanggaan masing-masing. Kalaupun disepakati
mengambil yang terbaik dari perusahaan-perusahaan sebelumnya, lanjut Marina, harus
ada kesepakatan tentang keunggulan dari masing-masing nilai dan keyakinan itu.
Tahapan berikutnya, setelah budaya korporat berhasil diformulasikan, adalah sosialisasi
atau internalisasi budaya itu kepada seluruh jajaran perusahaan. Inilah tahapan paling
menyita waktu, tenaga, pikiran, dan komitmen dalam pembentukan budaya korporat.
Prosesnya memakan waktu lama, bisa 10-20 tahun, mencakup beberapa generasi
kepemimpinan. Kelemahan perusahaan di Indonesia adalah tidak adanya konsistensi
dalam membangun budaya korporat oleh setiap CEO dari waktu ke waktu. Kita pun wajib
ragu bagaimana nasib budaya korporat Bank Mandiri bila kelak E.C.W Neloe diganti atau
budaya korporat Bank Permata jika Agus Martowardoyo diganti.
Keraguan semacam ini tidak akan pernah muncul pada perusahaan asing dan
perusahaan-perusahaan Indonesia yang diakuisisi oleh pemilik asing, seperti yang terjadi
pada bii, Bank Danamon, Telkomsel, Indosat, dan sebagainya. "Mereka hanya membeli
perusahaan kita, sehingga tidak banyak mengutak-atik budaya korporat yang sudah
ada," tukas Nugroho Supangat. Tentu dengan catatan bila budaya korporat yang ada
sudah sesuai dengan kebutuhan strategi perusahaan. Seandainya belum, pemilik asing
akan mengintroduksikan nilai-nilai baru untuk menyempurnakan budaya yang sudah ada.
Sebagai contoh, Temasek�- yang menjadi pemilik baru pada bii dan Bank Danamon -
atau Singtel�- pemilik baru Telkomsel�- sangat concerned dengan upaya menggenjot
pemasaran sehingga nilai-nilai yang berkembang adalah fokus pada pendapatan dan
profitabilitas.
Mudah-mudahan fokus ini tidak mengorbankan pelanggan atau mengorbankan
kepentingan jangka panjang perusahaan. Yang pasti, masuknya pemilik asing ini bisa
menjadi momentum untuk meningkatkan daya saing SDM dan perusahaan-perusahaan
kita, termasuk dalam hal budaya korporat.
Seperti dikatakan Marina Tusin, pembentukan budaya korporat ibarat menggulung
benang. "Kalau benangnya belum selesai digulung dan lepas, harus digulung lagi.
Begitulah seterusnya." Karena prosesnya membutuhkan waktu lama, maka budaya
korporat akan mempengaruhi investasi dan eksistensi perusahaan di masa depan. Maka,
saatnya "menggulung benang" secara benar.
Rahasia Membangun Budaya Korporat
No. 03 Tahun 2004
Dunia bisnis diramaikan oleh perusahaan yang muncul silih berganti. Puluhan ribu
perusahaan baru bermunculan di dunia setiap hari, tak sedikit pula perusahaan yang
justru jatuh bangkrut. Namun, perusahaan-perusahaan terbaik tetap menjulang dan
menguasai pasar meski telah berusia tua. Apa kuncinya?
Tanyalah para lulusan perguruan tinggi terbaik di Indonesia tentang perusahaan favorit
mereka untuk bekerja? Jawabannya tidak jauh-jauh dari Citibank, Astra, Unilever, IBM,
Telkom, dan sejumlah nama lainnya. Perusahaan-perusahaan itu, selain market leader
juga memiliki track record yang pantas dibanggakan. Mereka adalah perusahaan-
perusahaan yang menempatkan manusia sebagai modal atau asset utama. Di situ,
orang-orang yang diterima ditempa keahlian, kompetensi, dan kepemimpinannya. Sikap
dan perilaku mereka dibentuk sesuai dengan kultur perusahaan.
Hasilnya, orang-orang Citibank memiliki motivasi bersaing yang sangat tinggi karena
budaya korporat Citibank, antara lain, memang menumbuhkan persaingan. Mereka dilatih
untuk mencari pemecahan masalah dan berorientasi kepada hasil. Orang-orang Astra
dikenal lebih low profile dan mengutamakan kerjasama tim serta etika dalam bekerja.
Sedangkan orang-orang Unilever dikenal sangat dinamis dan inovatif.
Sikap dan perilaku merupakan cerminan nyata dari budaya korporat sebuah perusahaan.
Budaya korporat, menurut mantan Chairman/CEO IBM yang sangat sukses Louis V.
Gerstner, Jr., adalah sukses (atau kegagalan) itu sendiri. Lebih dari sekedar elemen
penentu sukses (atau gagal) - bersama-sama dengan elemen lain - seperti yang diyakini
banyak orang. Dengan perkataan lain, budaya korporat sangat penting dan strategik bagi
keberhasilan perusahaan.
Menurut Nugroho Supangat, Managing Partner Dunamis Organization Services, budaya
adalah pola perilaku yang dilihat dalam suatu lingkungan. Misalnya, budaya orang Jawa
sangat beda dengan orang Batak. Kalau orang Batak, anak ngomong keras, bapak
ngomong keras, orang Jawa menyangka mereka lagi berantam. Padahal belum tentu.
Budaya korporat adalah budaya yang berkembang di dalam lingkungan sebuah
perusahaan. Ada perusahaan yang sangat boss oriented; begitu bos ada mereka bekerja,
tapi kalau bos pergi mereka main game semua. Kemudian ada budaya customer
oriented, mengutamakan konsumen. Apapun dikalahkan demi kepentingan konsumen.
Lain lagi di lingkungan BUMN. Budaya tenggang rasanya - budaya Jawa - terasa sekali.
Sementara di perusahaan asing, orang bebas saja menyampaikan pendapat, ide-ide, dan
sebagainya.
"Sesungguhnya budaya korporat itu barang abstrak. Susah dilihat tapi bisa dirasakan,"
tukas Marina R. Tusin, Managing Partner TASS Consulting. Manifestasinya, menurut
Marina, bisa dilihat dari bagaimana orang berinteraksi dalam perusahaan, cara pandang,
sistem, iklim atau atmosfir kerja, pola pengambilan keputusan, hubungan atasan-
bawahan. Hal ini sering juga disebut dengan istilah core value dari sebuah perusahaan.
Sebuah tatanan nilai atau prinsip yang diyakini benar atau baik oleh satu organisasi
dalam mencapai tujuan tertentu.
Dalam istilah pakar manajemen perubahan Dr. A.B. Susanto, budaya korporat adalah alat
manajemen mencapai tujuan. "Saya sering melihat, perusahaan hebat karena
eksekutifnya muda-muda, sekolahnya tinggi, punya penampilan yang baik, cerdas, dan
kemampuan komunikasi yang bagus. Namun sayang, ujung tombak yang runcing ini
menghadapnya tidak sama semua. Ada yang ke atas, ke bawah, dan ke samping.
Akibatnya, perkembangan perusahaan tidak terarah," kata Managing Director The Jakarta
Consulting Group itu.
Sebagai perusahaan konsultan yang mengkhusus pada manajemen perubahan, The
Jakarta Consulting Group banyak terlibat dalam pembentukan budaya korporat di
Indonesia. AB Susanto memperkirakan, 70% program budaya korporat di Indonesia
dibantu oleh perusahaannya. Proses yang dilakukan dimulai dari pembentukan visi dan
misi perusahaan. Disusul dengan menyusun strategi utama perusahaan agar visi dan misi
itu bisa diwujudkan. Kemudian dibentuk struktur organisasi. Kalau struktur organisasi
sudah terbentuk, lanjut AB Susanto, baru berbicara soal budaya korporat. Misalnya, perlu
tidak budaya itu diformalkan atau tidak.
Menyarikan budaya perusahaan dilakukan setelah mengeksplorasi nilai-nilai yang ada.
Konsultan sangat membantu memilah-milah nilai-nilai yang baik dan relevan bagi
pencapaian tujuan perusahaan. Nilai-nilai ini kalau diformalkan sangat mendukung
kemajuan perusahaan. Ini merupakan tahapan pertama, yang oleh Nugroho disebut
dengan formulasi nilai-nilai. Yang patut disadari, lanjut Nugroho, Marina, dan AB Susanto,
pembicaraan tentang budaya korporat tidak mengenal budaya baik dan buruk. Yang ada
hanya budaya yang mendukung dan tidak mendukung pencapaian tujuan perusahaan.
Tahap kedua, setelah budaya perusahaan dibentuk, perlu sosialisasi atau internalisasi
budaya tersebut ke seluruh jajaran perusahaan secara terus menerus. Tujuannya bukan
hanya karyawan paham akan slogan atau kredo perusahaan, tetapi juga tercermin dari
sikap dan perilaku mereka dalam bekerja. Tahapan ini adalah tahapan tersulit karena
banyak perusahaan yang memiliki budaya korporat baru sebatas slogan. Nilai-nilainya
indah, tapi sikap dan perilaku karyawan tidak berubah. Ada yang mengklaim budayanya
mengutamakan pelanggan, kenyataannya yang didahulukan adalah faktor uang, bukan
pelanggan. Jelas, hal ini sangat mendasar. "Biasanya perusahaan hancur karena tidak
mengahulukan pelanggannya," tutur Nugroho.
Kenyataan lain, sikap dan perilaku pimpinan yang tidak sesuai dengan budaya korporat
yang didengung-dengungkan. Padahal, menurut AB Susanto dan Marina, pemimpin
berperan terbesar dalam membentuk budaya korporat. Sebagian besar proses
pembentukan budaya diperoleh dari CEO atau pemilik perusahaan. Ada perusahaan yang
inisiatifnya berasal dari level menengah, tetapi tidak akan jalan selama pejabat di
atasnya tidak memberi komitmen, seperti yang dominan terjadi di BUMN.
Pimpinan merupakan figur panutan sehingga sikap dan perilakunya akan menjadi contoh
bagi seluruh jajaran perusahaan. Ia harus konsisten dalam menerapkan budaya
perusahaan yang telah disepakati. Kalau perusahaan mengutamakan kejujuran - salah
satu nilai dasar yang dipegang oleh raksasa Procter & Gamble (honesty and fairness)
ataupun Merck (honesty and integrity) - maka pimpinan harus menjadi tauladan pertama
dalam menerapkan perilaku jujur itu. Selain dedikasi terhadap nilai-nilai, sang pimpinan
juga harus mengoreksi perilaku yang salah atau tidak sesuai dengan nilai-nilai
perusahaan. Sosialisasi, internalisasi, dan komunikasi merupakan tugas sentral seorang
pimpinan.
Berikutnya, dan ini tidak kalah penting, memberikan penghargaan terhadap orang-orang
yang menunjukkan perilaku sesuai dengan budaya korporat. Caranya dengan mengukur
kinerja karyawan sesuai dengan budaya korporat. Marina mengatakan, ada perusahaan
yang kinerja karyawannya diukur dari penjualan atau laba saja, ini tidak salah. Hanya
saja organisasi semacam ini cenderung berorientasi pada jangka pendek semata.
Seharusnya, perusahaan menitikberatkan pada pengembangan sumberdaya manusia
(SDM) seperti yang telah ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan paling dikagumi di
dunia. Sehingga indicator pengukuran kinerja karyawan lebih diperluas, dan manajemen
kinerja juga diselaraskan dengan budaya yang hendak dibangun - sistem SDM, kebijakan
di bidang SDM dan terapannya seperti reward dan punishment, pendidikan dan pelatihan.
Tahap ketiga, mengukur apakah budaya korporat itu sudah diterapkan secara benar oleh
jajaran perusahaan dengan menggunakan indikator-indikator perilaku yang diperlukan.
Bila masih ada yang belum melakukannya, salah satu opsi adalah dengan memformalkan
terlebih dulu budaya korporat itu. "Banyak cara untuk mengevaluasi penerapan budaya
korporat. Kuncinya, harus dilakukan secara konsisten," tegas Nugroho, mantan pimpinan
Amex Indonesia itu.
Persoalan utama pembentukan budaya korporat di Indonesia adalah inkonsistensi
pembentukan budaya karena yang lebih berpengaruh adalah budaya sang pemimpin.
Begitu sang pemimpin berganti, budaya kerja pun berubah. Pemimpin baru merasa
bodoh atau kalah bila tidak mengganti budaya kerja sesuai keinginannya. Akibatnya, para
karyawan pusing. Di perusahaan-perusahaan seperti ini, upaya membangun institusi
masih menjadi masalah. Institusi yang kuat tidak akan terpengaruh oleh pergantian
pimpinan. Mungkin hanya diperlukan sedikit penyesuaian saja terhadap budaya korporat
bila pemimpin baru datang.
Repotnya, pembentukan (baca: pemantapan) budaya korporat membutuhkan waktu yang
lama. Dibutuhkan beberapa periode kepemimpinan atau waktu tahunan atau bahkan
puluhan tahun secara konsisten. Setiap pemimpin baru harus menyempurnakan budaya
yang sudah terbentuk sebelumnya disesuaikan dengan perubahan lingkungan maupun
kebutuhan organisasi mengantisipasi perubahan di masa depan. Perhatikan bagaimana
Astra meletakkan dasar-dasar budaya korporat yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
pendirinya William Soeryadjaya sejak didirikan tahun 1960-an. Budaya korporat itu makin
dimantapkan di era kepemimpinan Teddy P. Rachmat, disusul Rini MS Soewandi, dan Budi
Setiadharma saat ini.
Contoh yang sangat baik adalah konsistensi manajemen Citicorp (Citibank) dalam
membangun budaya korporatnya sejak pertama didirikan tahun 1890-an. Sejak awal,
pemimpin City Bank (kemudian berubah nama menjadi Citicorp) selalu membuat tujuan
bisnis yang berani dan jelas. Presiden/pendiri City Bank James Stillman telah membuat
tujuan yang berani (dalam banyak hal juga memberi stimulasi) untuk menjadi sebuah
nasional yang besar. Padahal, waktu itu, City Bank hanya sebuah bank kecil berskala
regional di Amerika dengan seorang Presiden, seorang kasir, dan sejumlah karyawan.
Sikap dan ambisi Stillman itu memberi inspirasi bagi pengembangan perusahaan di era
kepemimpian berikutnya. Frank Vanderlip, pengganti Stillman, menulis tahun 1915
(seperempat abad setelah mimpi Stillman dan 6 tahun setelah Stillman pindah ke Paris
untuk pensiun):
Saya sangat yakin bahwa terbuka peluang buat kami untuk menjadi institusi keuangan
yang paling kuat, paling handal dalam layanan, dan tersebar luas pertama di dunia.
Sungguh sebuah ambisi bisnis yang besar mengingat waktu itu hanya memiliki 8 Vice
President, 10 staf yunior, dan kurang dari 500 karyawan serta hanya ada di satu lokasi
Wall Street. Berikutnya, Charles Mitchell menggaungkan kembali ambisi itu dalam
pidatonya di depan karyawan tahun 1922. "Masa depan City Bank lebih cerah dari yang
pernah ada. Kita siap untuk melangkah dengan kecepatan penuh ke depan." City Bank
memang bertumbuh secara luar biasa: dari total asset US2 juta tahun 1914 menjadi US,6
miliar tahun 1929, dengan pertumbuhan rata-rata 35% per tahun.
Seperti juga banyak bank lainnya, City Bank juga kena dampak buruk akibat Perang
Dunia taun 1930-an, tapi setelah Perang Dunia II - dengan 5 generasi kepemimpinan
berikutnya - City Bank tetap memiliki energi yang tinggi untuk mewujudkan ambisi
Stillman dan Vanderlip. George Moore, CEO 1959-1967, kembali mempertegas ambisinya
seperti para pendahulunya dengan mengatakan: "Sekitar tahun 1960, (kami memutuskan
bahwa) kami akan berupaya meraih sukses dalam setiap layanan keuangan yang
bermanfaat, di mana pun di dunia ini."
Perhatikan betapa konsistennya manajemen City Bank dalam setiap generasi
kepemimpinan. Mimpi Citicorp tidak bisa dilepaskan dari mimpi sang pendiri. Namun,
tujuan bisnis itu telah melampaui batas usia sang arsitek. Ia telah melekat dalam sikap,
nilai, dan ambisi dari keseluruhan institusi.
Sekali lagi, perusahaan-perusahaan yang tangguh dan berumur panjang tergolong
visioner (visionary company), seperti ditulis James C. Collins dan Jerry I. Porras dalam
buku Built To Last. Visi itu menjadi sumber penting dalam meletakkan budaya korporat.
Dengan budaya korporat, setiap perusahaan bisa menyaring orang-orang yang cocok
untuk bergabung dengan organisasi. Otomatis, tukas mantan Presiden Direktur Bank
Universal Stephen Z. Satyahadi, orang-orang yang tidak cocok dengan budaya korporat
itu akan memilih untuk tidak bergabung atau ke luar perusahaan.
Makanya, seriuslah membangun budaya di perusahaan Anda.
Apa Kata Konsultan? Marina R. Tusin
No. 03 Tahun 2004
Corporate culture merupakan sesuatu yang fundamental dan menentukan kinerja dan
keberadaan dari perusahaan itu untuk ke depan. Kalau kita melihat perusahaan global,
salah satu faktor yang bisa dipertahankan keberadaannya adalah corporate culture.
Ini adalah barang abstrak, susah dilihat tapi bisa dirasakan. Manifestasi dari corporate
culture bisa tampak dari bagaimana orang berinteraksi di dalam perusahaan, bagaimana
cara pandang, sistem, iklim atau atmosfir kerja, pola pengambilan keputusan, hubungan
atasan bawahan. Juga bagaimana komunikasi apakah terbuka atau tertutup. Ini yang
biasanya tampak dalam sebuah perusahaan. Ini merupakan gambaran manifestasi dari
suatu budaya kerja dari perusahaan.
Sebetulnya bagaimana orang berperilaku, berinteraksi, iklim formal dan informal itu
terjadi, yang sifatnya sangat melekat dan mendrive seseorang. Itu merupakan core
valuenya, yaitu tatanan nilai atau prinsip yang diyakini benar dan baik oleh suatu
organisasi di dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Tatanan nilai inilah yang sebetulnya akan mendrive, mendorong, mengarahkan,
bagaimana tindakan-tindakan atau perilakuperilaku di dalam organisasi dalam mencapai
tujuan. Misalnya, ada organisasi yang salah satu valuenya yang diyakini adalah
integritas. Ini banyak terjadi di industri finansial. Seperti jasa perbankan, mengelola uang
dari nasabah, bagaimana nasabah bisa menaruh kepercayaan. Ini harus dibangun. Dia
akan berperilaku sesuai dengan prinsip tadi. Perilaku yang bagaimana, adalah harus jujur,
tidak boleh menipu.
Keberadaan suatu organisasi, bisa dilihat dari keterkaitan dengan visi, misi, dan nilai-nilai
yang diyakini benar. Sehingga kalau budayanya solid, manifestasinya bisa terlihat dari
perilaku, dan kalau perilakunya sesuai dengan nilai perusahaan, secara tidak langsung
kinerjanya juga akan meningkat.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun budaya korporat. Pertama,
elemen atau faktor apa saja yang berpengaruh dalam pembentukan budaya korporat.
Salah satu faktor yang sangat berperan, leadership action. Figur panutan sangat penting,
perilakunya dilihat. Ini sangat mempengaruhi integritas. Jika tidak bisa memberikan
contoh yang baik, bisa menjadikan kehancuran sebuah perusahaan. Jika pimpinan sudah
dijadikan contoh, maka bawahan bisa mengikutinya.
Bila hal ini sudah menjadi suatu prinsip, maka prinsip ini akan melekat di suatu sistem.
Jadi sistem yang menilai, tidak tergantung orang. Karena itu, di dalam menetapkan
prinsip atau nilai-nilai, itu bukan suatu yang mudah. Kecuali kalau semuanya berubah,
core valuenya diganti. Tapi bisa saja seorang pimpinan baru yang menjalani core value
baru membawa budaya kerja baru yang ingin dibangun.
Ada satu organisasi yang sudah terbangun budayanya. Bisa saja organisasi itu
mempunyai visi yang berbeda. Dia melihat prinsip-prinsip itu sudah tidak menunjang lagi
ke depan. Bisa saja dengan value yang baru bisa membangun budaya kerja yang baru
yang lebih dinamis. Itu bagus saja. Pimpinan harus bisa menilai, bisa membangun,
meyakinkan ke segenap jajaran manajemen. Prinsip atau nilai kita yang baru yang akan
kita bangun perilaku yang baru ke depan.
Lain hal jika pimpinan tidak bisa membawa kemana bawahan, mengarahkan kemana
yang akan dituju. Tidak akan terbentuk culture yang baru, culture yang lama akan tetap
ada.
Faktor yang lain, performance measurements, diukur dari kinerja. Kalau setiap orang di
organisasi, ia bekerja untuk mencapai keinginan perusahaan, kinerjanya diukur
berdasarkan apa. Kalau ada perusahaan yang diukur berdasarkan performance, tapi
performance targetnya tidak sesuai, atau performance targetnya hanya diukur
berdasarkan salesnya saja, profitnya saja. Maka, di dalam mengelola perusahaan, hanya
sebatas itu saja.
Padahal, seharusnya dilihat misalnya dari perkembangan SDMnya itu sendiri. Sehingga
perilaku yang mendukung budaya bisa menjadi coach yang baik, bisa membimbing
bawahannya. Kalau orang hanya mengukur dari duit saja, orang tidak bisa lagi melihat
dari segi harmonisasinya mengenai pentingnya kita berkembang, mengenai koordinasi
kita bekerja. Jadi hanya sales driven organization. Itu tidak salah, karena maunya begitu.
Tergantung pula dari ukuran kinerja yang akan dipakai, pimpinan harus bisa
mengarahkan, memberi contoh, mengoreksi bawahan yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai. Pertama, pimpinan harus bisa menunjukan dedikasi, kedua harus bisa mengoreksi
perilaku yang salah atau tidak sesuai dengan nilai, ketiga harus bisa mendorong orang
yang sudah melakukan perilaku yang sesuai. Ini perilaku kepimpinan. Dia harus bisa
mensosialisasikan, mengkomunikasikan dari waktu ke waktu tentang apa yang dituju,
dengan bahasa yang sama sehingga orang memahami.
Ada faktor lain yaitu ukuran kinerja kerja, itu kalau tidak jelas tidak akan memfokuskan
upaya-upaya yang dilakukan individu-individu dalam suatu instansi. Faktor yang tidak
kalah pentingnya yaitu people custom, bagaimana sistem SDM-nya, bagaimana
kebijakan-kebijakan SDM-nya, juga terapannya (reward and punishment, performance
management, training and development) itu selaras tidak dengan culture yang ingin
dibangun. Misalnya performance management yang di manage adalah bagaimana
mengelola performance seseorang tetapi kriteria yang diukur adalah loyalitas. Lalu juga
bagaimana dengan sistem rewardnya, itu membantu membentuk perilaku-perilaku yang
memiliki etika. Kejelasan visi, strategi, struktur business process dari organisasi tersebut
juga penting. Misalnya organisasi tersebut customer oriented, tetapi memiliki jalur
birokrasi yang panjang. Ini justru akan menghambat.
Setiap organisasi tergantung sejauh mana culture itu dibangun untuk mencapai tujuan
organisasi tertentu. Sebetulnya culture itu akan terbentuk dengan sendirinya.
Masalahnya culture yang bagaimana yang ingin dibangun. Sulit untuk menentukan
culture ini baik atau buruk. Itu akan terlihat dalam rentang waktu. Untuk kasus
perusahaan merger, harus dibangun dulu visi dan misi bersama, baru kemudian
membentuk budayanya. Tatanan nilai, kejelasan visi, sekarang yang harus dibangun.
Dalam perusahaan merger, masing-masing dari pemimpin menganggap dirinya yang
terbaik. Empat perusahaan menjadi satu, mereka punya pemimpin sendiri-sendiri. Waktu
bersatu, salah satu ada yang ditunjuk menjadi pimpinan baru. Bisa saja datangnya dari
perusahaan lama. Tapi harus ada kesepakatan bersama. Jadi tidak bisa lagi melihat dari
yang lama.
Bagaimana dengan benturan-benturan, dan cara mengatasinya? Ini harus ada komitmen
karena tantangan awalnya sangat besar. Biasanya konsultan masuk untuk
memfasilitasinya. Misalnya, nilai-nilai diambail dari yang terbaik di perusahaan
sebelumnya. Tapi tetap harus ada kesepakatan, ini baiknya dimana, itu baiknya dimana.
Kita bangun perusahaan yang baru, dengan prinsip yang seperti ini, visi dan misi seperti
ini. Kalau mereka tidak sesuai, secara alami mereka akan ke luar.
Pembentukan budaya korporat , seperti menggulung benang. Kalau benangnya belum
selesai digulung dan lepas, kita harus gulung lagi. Artinya, ini membutuhkan waktu yang
cukup panjang, karena akan berpengaruh pada investasi perusahaan dan keberadaan
perusahaan 10 tahun - 20 tahun mendatang. Biasanya yang jadi ukuran adalah sejauh
mana kesenjangan atau gap antara budaya yang ingin dibangun dengan budaya yang
berlangsung sekarang. Kalau gapnya sangat besar, maka pembentukan budaya
memakan waktu yang lebih panjang. Upaya-upaya yang dilakukan juga lebih kencang.
Apa Kata Konsultan? Nugroho Supangat
No. 03 Tahun 2004
Indonesia Masih Menganut Budaya Untung Berbicara budaya perusahaan, erat kaitannya
dengan perilaku seseorang dalam suatu lingkungan. Menurut Nugroho Supangat,
Managing Partner Dunamis, jika melihat budaya keluarga Jawa yang selalu berbahasa
lemah lembut misalnya, jelas sangat beda dengan keluarga Batak.
"Kalau keluarga Batak, anaknya ngomong keras, bapaknya ngomong keras, kita
nyangkanya lagi berantem," tutur Nug, sapaan akrab Nugroho. Padahal belum tentu. Ini
merupakan perilaku yang terjadi dalam suatu habitat.
Ini sama halnya dengan budaya perusahaan. Dikatakan Nug, jika bicara budaya
perusahaan, tergantung dari masing-masing perusahaan. Jika datang ke sebuah
perusahaan, saat atasan pergi, para karyawan malah asyik main game. "Itu kan budaya.
Budayanya yang sangat bos oriented," tegas Nug memberi contoh. Atau di perusahaan
lain yang ketika atasan tidak ada, tapi semua karyawan pada kerja. "Budaya kerjanya
adalah customer oriented," akunya. Atau budaya BUMN yaitu tenggang rasa yang kental
dan budaya perusahaan asing, orang bebas saja. "Kita sebenarya bukan bicara budaya
bagus atau tidak. Tapi budaya yang dinilai pas bagi perusahaan secara umum,"
tandasnya.
Yang paling berperan dalam budaya perusahaan menurut Nug ada beberapa hal.
Diantaranya adalah pemimpinnya. Kemudian, yaitu ada tidaknya proses kerja, yang
mengingatkan apa yang diinginkan. Artinya, kalau pemimpin pernah bilang, pelanggan
adalah utama, jangan hanya sebatas ucapan semata. "Pemimpin kan panutan. Dia
harusnya menaruh proses kerja ke bawahannya supaya semua proses berjalan dengan
lancar," tegas Nug. Contoh lain, jika ada telepon dari pelanggan, tapi disisi lain ada
atasan memanggil karyawan supaya ke ruang kerjanya. Kalau harus memilih mana yang
diutamakan, seharusnya pelanggan yang didahulukan. "Ini proses kerja. Jadi orang akan
terdorong untuk budaya itu."
Berbeda dengan budaya perusahaan yang merger, ujung-ujungnya pola kerja mereka
yang berbeda-beda harus disatukan. Perusahaan menyaring orang-orang yang cocok
atau tidak dengan budaya yang akan dipakai. Perusahaan juga harus menjelaskan
budaya apa yang akan dipakai. Untuk mengatasi masalah senioritas, perusahaan juga
harus memantapkan stake holder mereka. "Namanya juga manusia, ego dan insting
survivalnya pasti ada," Nug menambahkan. Jika stake holder sudah disetujui, karyawan
tidak perlu lagi meributkan senioritas. "Itu masa lalu. Kalau bank, setuju tidak kita lebih
fokus ke pelanggan. Kalau sudah tahu itu, kita sudah mulai bahasan baru, misinya
bersama, sedang visinya melayani stake holder," tukas Nug panjang lebar.
Meski konsultan sangat dibutuhkan, tetap peran CEO sangat berpengaruh. "Kalau ada
orang luar, sifatnya harus netral dan mementingkan perusahaan," tutur Nug, seraya
menambahkan bahwa perusahaan merger memang membutuhkan tim khusus, beda
dengan perusahaan akuisisi. Leader, dianggap Nug, tidak hanya sekedar memipin
organisasi atau perusahaan. Ia juga harus terlibat dalam proses kerja, tidak hanya
sekedar bicara hasilnya saja. "Pemimpin di Indonesia banyak yang tidak mau memikirkan
organisasinya. Rata-rata kita pemain alamiah saja sesuai dengan strukturnya, yaitu ada
direksi ada anak buah. Tapi seringkali kita bertanya bagaimana cara menjalani
organisasinya," paparnya kembali.
Membuat budaya perusahaan, lanjut Nug, bukan dalam seumur satu atau dua pemimpin
saja. Ini harus tetap dikembangkan selama perusahaan itu berdiri. Budaya perusahaan itu
berkaitan dengan nilai-nilai dasar. "Kalau di perusahaan asing, budayanya pasti masih
sama dengan yang dulu. Citibank contohnya. Budayanya sekarang sama dengan budaya
100 tahun lalu. Beda dengan perusahaan di Indonesia, pemimpin ganti, semua budaya
harus dirubah," Nug menyayangkan hal tersebut.
Untuk membangun sebuah budaya perusahaan, ada beberapa tahapan, yaitu formulasi,
menetapkan valuenya. Tahapan berikutnya, internalisasi semua orang yang didalam, baik
jajaran atas maupun sampai ke bawah. Selanjutnya adalah bagaimana ini bisa terus
menerus. Termasuk mengukur, budaya ini dijalani atau tidak. Supaya bisa dijalani dengan
benar. Indikator-indikator perilakunya juga harus diuku dan disosialisasikan. "Ada banyak
cara kok, yang penting harus konsisten," tegasnya.
Yang disayangkan, di Indonesia masih ada budaya untung baru sekian, belum lebih dari
itu. Contohnya, kasus Bank BNI yang jebol Rp30 miliar. "Ada saja yang bilang untung
jebol segitu, coba kalau lebih dari itu. Itulah budaya orang Indonesia, masih ada
untungnya," katanya. Padahal, beda dengan orang asing yang tidak menganut hal
demikian. "Mungkin karena orang Indonesia kalau sudah terdesak suka pasrah, makanya
suka terlontar kalimat itu," ujar Nug yang mengakui adanya perbedaan budaya di setiap
negara di dunia.
Apa Kata Konsultan? AB Susanto
No. 03 Tahun 2004
Memandang perkembangan corporate culture di perusahaan yang ada di Indonesia,
semakin lama bertambah baik. Ada budaya perusahaan tidak formal dan budaya yang
formal. Yang dimaksud budaya tidak formal adalah budaya yang berkembang termasuk
budaya baik dan budaya buruk. Tapi kalau diformalkan, sudah dipilih yang baik, dan lebih
penting mendukung policy perusahaan.
Strategi yang mendukung perusahaan ada caranya. "Kami di kantor ini membuat banyak
program untuk perusahaan, untuk mendayagunakan budayanya. Macam-macam
strateginya, masalah visi misinya, mempelajari grand strategy itu sendiri, mempelajari
budaya yang ada, baik yang buruk ataupun yang baik," jelas AB Susanto Managing
Partner The Jakarta Consulting Group. "Kita mencoba mencari nilai-nilai atau values,
necessary corresponding and supporting (NCS), artinya yang nyambung dan mendukung
akan policy suatu organisasi," jelasnya lagi.
Behavior, itu sangat penting untuk program kerja organisasi. Terutama adalah masalah
sosialisasi. Internalisasi mengubah yang namanya body of knowledge, atau pengetahuan
menjadi perilaku. Itu menjadi tantangan terbesar bagi organisasi dalam merubah budaya
informasi dan perilaku yang tertanam.
Corporate culture sudah berkembang besar sekali. Pertama mencari bentuk yang cocok,
kemudian cara mensosialisasikan harus dalam waktu yang singkat, tetapi merubahnya
sendiri baru akan selesai pada waktu yang telah ditentukan yang datang dari perusahaan
atau organisasi itu sendiri. "Kalau organisasi anak buahnya 4000 orang, itu makan waktu
lebih banyak. Kecuali kalau organisasinya hanya beranggotakan 400 orang. Itu kan
beda," jelas AB Susanto.
Banyak perusahaan di Asia yang punya corporate culture yang bagus, seperti di
Singapura, termasuk di Indonesia seperti Gudang Garam. Untuk perusahaan khususnya
bank-bank di Indonesia yang sejak krisis melanda, dimerger, memang tidak mudah,
karena corporate culture setiap perusahaan beda-beda. Diperlukan strategi khusus
bagaimana menggabungkan corporate culture yang ada. "Seperti di Bank Mandiri, Bank
Permata, itu kan tidak mudah," tutur AB Susanto. "Kami biasanya melakukan strategy
exploratory meeting yaitu untuk mengorganisir permasalahannya. Ini adalah mendesain
sesuatu, caranya mengambil mana yang paling bagus," tambahnya lagi. Sedangkan bagi
perusahaan yang diakuisisi, menurut AB Susanto, pembentukkan corporate culture jauh
lebih mudah.
Kendalanya dalam pembentukkan corporate culture cukup banyak, yang utama adalah
penekanan pada nilai-nilainya yang berbeda. Sebagai contoh bank yang kecil
menekankan pada senioritas, sedangkan bank yang bergabung menekankan pada
performance.
"Jika bicara mengenai kerja secara umum, pendekatannya tidak bisa serampangan.
Intinya kita menerapkan strategi exploratoring seperti tadi. Kita lihat strateginya mana
dari 4 bank yang paling baik, atau bahkan bisa saja strateginya baru," tutur AB Susanto.
Setelah itu pihak-pihak bersangkutan mulai menilai, nilai-nilai yang ada. Ini disebut
sebagai pemahaman nilai-nilai. "Selama ini kan pemahaman tentang itu masih sangat
dangkal. Nilai-nilai itu ada macam-macam. Kita mesti pilah-pilah, nilai mana yang
relevan. Harus dipertahankan. Yang kurang relevan, disingkirkan," tegasnya lagi. Jika
bicara tentang relevan dan tidak relevan, menurut AB Susanto, yang baikpun ada kalanya
kurang relevan. Dalam menilai mana yang baik dan relevan, juga termasuk dalam tugas
konsultan.
Budaya perusahaan atau corporate culture adalah alat manajemen untuk mencapai
tujuan. "Saya sering lihat, perusahaan hebat karena banyak eksekutifnya. muda-muda,
sekolahnya tinggi, punya penampilan yang baik, kemampuan berkomunikasi baik, tapi
saying, ujung tombak yang runcing ini menghadapnya tidak sama. Ada yang ke atas, ke
bawah, ke samping," paparnya. Cara menyatukan visinya harus ditata dengan baik.
Peran CEO dalam pembentukkan corporate culture sangat penting, karena proses budaya
itu hanya dapat dari CEO atau pemilik, tidak dari bagian lagi. "Menengah dan direksi, itu
tidak. Selalu dari CEO. Ada memang beberapa perusahaan yang prosesnya diinisiasi
dilakukan oleh menengah, itu bisa jalan. Tapi kalau yang di atasnya tidak memberi
komitmen, tidak ada gunanya," tegasnya lagi.
Untuk proses penerapan, biasanya dilakukan proses meeting. Dirapatkan terlebih dulu
baru kemudian disosialisasikan ke karyawan. Untuk itu butuh tim khusus, tapi tetap
membutuhkan orang dalamnya. "Tidak bisa orang luar karena mereka tidak tahu
kondisinya. Visi itu penting tapi harus di atas. Kalau pakai yang bawah itu salah.
Demokrasi sangat penting," paparnya. Namun demikian kalau ingin membangun budaya,
butuh semua pihak, ahli-ahli teknik, pemasaran, psikologi, antropologi sendiri. "Kami
yakin, kalau budaya perusahaannya bagus, strategis, maka budaya perusahaannya akan
maju," tegasnya. Jika semua sudah ada, corporate culturenya kemudian diformalkan,
dijabarkan. Ada keterangan jelas, ada sosialisasi juga program internalisasinya secara
tertulis.
Untuk perusahaan akuisisi pembentukkan corporate culture justru lebih mudah, karena
pihak yang mengakuisisi tinggal menerapkan saja budaya yang sudah ada kepada
perusahaan yang diakuisisi. "Dia kan beli, dia justru ingin nilai-nilai dia masuk. Ada
efeknya, tapi harus dicari yang baik. Kalau dibeli itu ada tujuannya. Kalau ingin
diperbaiki, itu diterapkan," jelasnya. Budaya itu tidak tergantung baik atau buruk. Yang
terpenting budaya harus sesuai dengan perusahaan. "Kalau CEO yang baru merasa
strateginya harus diubah, ya diubah. Kalau masih mendukung, buat apa diubah. Belum
tentu budayanya yang salah, tapi belum diterima oleh karyawan. Salahnya di dalam
program internalisasi," tuturnya lugas.
Cara Main Global, Bung!
No. 02 - April 2004
Praktik outsourcing global semakin meluas diterapkan oleh perusahaan multinasional
sebagai upaya meningkatkan daya saing. Perusahaan-perusahaan di India, Filipina, dan
beberapa negara Eropa Timur memperoleh kepercayaan dari perusahaan multinasional
Amerika. Kapan Indonesia menyusul?
Corak bisnis perusahaan multinasional (MNC) berubah sejalan dengan berkembangnya
globalisasi. Sekitar 4 tahun silam, Bank of America (BoA) begitu bernafsu merekrut
sebanyak mungkin talenta di bidang teknologi informasi (IT) dalam upaya mengalahkan
para rivalnya. Namun, musim gugur tahun 2002, BoA mengatakan kepada 15 insinyurnya
bahwa pekerjaan mereka akan berakhir akhir September 2002. Dalam beberapa tahun
terakhir, BoA telah memangkas 3.700 orang dari 25.000 orang karyawan di bidang
teknologi dan back office. Sebanyak 1.000 karyawan lagi menyusul bulan Maret tahun
lalu.
Perampingan perusahaan menjadi pendorong utama di balik drama ini. Pemutusan
hubungan kerja (PHK) ini terjadi tidak saja terjadi karena berkurangnya permintaan dan
bisnis lagi susah. Penyebab lainnya adalah outsourcing yang dilakukan perusahaan ke
India. Sejumlah mantan manajer dan kontraktor BoA mengatakan kepada BusinessWeek,
sepertiga pekerjaan mereka dipindah ke India, di mana biaya kerja per jam hanya US
sedangkan di Amerika US0. Sebagian mantan pekerja BoA kembali ke bangku studi untuk
mempelajari keahlian piranti lunak (software) yang baru. Beberapa mendapatkan lisensi
di bidang real estate. BoA mengaku mensubkotrakkan 1.100 jabatan ke perusahaan India
tahun lalu, tapi menekankan tindakan tersebut tidak seluruhnya menjadi penyebab PHK
di BoA.
Pemandangan yang kontras justru terjadi di India. Dalam lusinan kawasan industri yang
terletak di pinggir kota besar India, tidak satupun yang berbicara tentang kehilangan
pekerjaan. Di kampus seluas 22 hektar milik Infosys Technologies Ltd. Bangalore, 250
insinyur mengembangkan aplikasi IT untuk BoA. Di tempat lain, para staf Infosys
memproses pinjaman rumah untuk Greenpoint Mortgage di Novato, California.
Dekat bandara Bangalore, di kantor Wipro, 5 orang pakar radiology sedang
menerjemahkan 30 CT scan per hari untuk Massachusetts General Hospital (Rumah Sakit
Umum Massachusetts). Tak jauh dari situ, seorang insinyur muda Dharin Shah (26 tahun)
begitu bersemangat bercerita tentang pekerjaannya mendesain chip ponsel generasi
ketiga (3G) dengan gaji US.000 per tahun. Ia bekerja di pusat riset Texas Instrument Inc.
(TII). Beberapa tahun sebelumnya, insinyur macam Shah hanya bermimpi untuk bisa
bekerja di Silicon Valley. Sekarang, ia merasa, di India segalanya bisa terwujud.
Sekitar 1.600 km ke arah utara, di sebuah pabrik gandum tua di luar New Delhi,
sebanyak 2.500 karyawan terdidik pria dan wanita bekerja di gedung 4 lantai untuk Wipro
Spectramind Ltd. Mereka bertugas untuk memproses klaim bagi sebuah perusahaan
asuransi terkemuka dan menyediakan dukungan help-desk untuk sebuah perusahaan
penyedia layanan Internet terkemuka Amerika�- semuanya dengan biaya 60% lebih
murah daripada gaji di Amerika. Sebanyak 7 tenaga ahli bergelar PhD dalam bidang
biologi molekuler bekerja bergantian dalam bidang riset ilmiah di Wipro Spectramind
untuk perusahaan farmasi Barat. Di balik pintu kaca, tenaga spesialis Wipro mengajari
para staf untuk berbahasa Inggris Amerika. Pelanggan Amerika memang lebih menyukai
layanan beraksen mereka.
Selain India, beberapa pekerjaan melayang ke Manila, Shanghai, Budapest, atau San Jose
di Costa Rica. Kota-kota tersebut�- dan banyak lagi di negara berkembang lainnya�-
telah menjadi back office baru bagi perusahaan Amerika, Jepang, dan Eropa. Pernahkah
Anda mendengar nama Balazs Zimay? Ia adalah arsitek dari Budapest yang melayani
desain bangunan untuk berbagai negara.
Nama SGV & Co. mungkin tidak berarti apa-apa bagi Anda. Tapi, firma akuntan ini banyak
mengerjakan audit perusahaan untuk raksasa macam Ernst & Young International.
Bahkan, Bulgaria, Rumania, dan Afrika Selatan, yang mempunyai banyak tenaga terdidik
namun masih ketinggalan, berusaha merebut pasar jasa global tersebut.
Inilah gelombang kedua globalisasi, dan salah satu tren terbesar yang membentuk
perekonomian global. Gelombang pertama telah dimulai lebih dari dua dekade silam
dengan berpindahnya usaha pembuatan sepatu, garmen, elektronika berharga murah,
dan peralatan mainan ke negaranegara sedang berkembang. Hal itu kemudian diikuti
oleh pekerjaan jasa sederhana, seperti memproses tagihan kartu kredit, dan permainan
digital seperti penulisan kode piranti lunak.
Sekarang, hampir seluruh jenis pekerjaan berbasis pengetahuan bisa dikerjakan hampir
di mana saja. "Anda akan melihat ledakan pekerjaan yang pergi ke luar negeri," ungkap
analis Forrester Research Inc. John C. McCarthy. Ia memperkirakan sedikitnya 3,3 juta
pekerjaan kerah putih (white-collar jobs) dan US6 miliar gaji berpindah dari Amerika ke
negara-negara berbiaya lebih murah sebelum tahun 2015. Tren yang sama juga diikuti
oleh Eropa. Perbankan Inggris macam HSBC Securities Inc. memiliki back office yang
amat besar di India dan China; perusahaan Perancis menggunakan call center di
Mauritius; dan perusahaan besar Jerman seperti Siemens dan INA-Schaeffler merekrut
tenaga ahli Rusia, Baltik, dan Eropa Timur. Menurut Agung Laksamana, Vice President
Public Affairs HSBC Indonesia, HSBC memusatkan pengelolaan IT-nya di India dan aspek
SDM untuk ASEAN di Thailand.
Perpindahan pekerjaan itu dimungkinkan oleh kemajuan dunia digital, Internet, dan
jaringan data berkecepatan tinggi yang merajut dunia. Hari-hari belakangan ini, tugas
menggambar detil desain arsitektur, penyusunan laporan keuangan, atau mendesain
mikroprosesor bisa dilakukan di negara lain. Itu sebabnya, Intel dan Texas Instrument
rajin merekrut insinyur India dan China untuk mendesain chip circuit. Raksasa elektronika
Belanda Philips telah memindahkan riset dan pengembangan TV, ponsel, dan produk
audio ke Shanghai.
Dalam sebuah presentasi, Senior VP Microsoft Corp. Brian Valentine�- orang no. 2 dalam
unit Windows Microsoft�- mendesak para manajernya untuk segera memindahkan
pekerjaan yang mungkin ke luar negeri. Di India, katanya, Anda bisa mendapat pekerjaan
berkualitas dengan biaya 50%-60%, yang berarti Anda bisa mendapatkan 2 orang untuk
biaya satu orang Amerika.
Pelaku bisnis di Bursa Saham terbesar di dunia Wall Street tak mau ketinggalan. Jabatan
dengan gaji US.000 atau lebih pun mereka pindahkan ke luar negeri. Broker saham
macam Lehman Brothers Inc. dan Bear, Stearn & Co. mulai menggunakan analis
keuangan India untuk sejumlah besar pekerjaan. "Hal yang mendasar bagi perusahaan
adalah pindah ke lokasi yang menghasilkan biaya produksi terbaik," ucap Ann Livermore,
Head of Services pada Hewlett-Packard Co. yang memiliki 3.300 insinyur software di
India. Sekarang, bidang jasa pun menerapkan tren yang sama dengan apa yang telah
didahului oleh bidang manufaktur.
Semakin terintegrasinya ekonomi berbasis pengetahuan secara global menguntungkan
bagi negara sedang berkembang. Dampaknya bagi pekerja Amerika cukup besar.
Setidaknya para pekerja kerah putih perlu melakukan penyesuaian yang cukup sulit.
Munculnya talenta dari negara-negara berbiaya murah sejalan dengan strategi
perampingan yang dilakukan perusahaan Amerika, dari Wall Street hingga Silicon Valley.
Di Silicon Valley, menurut sebuah kajian, lapangan pekerjaan di sektor TI menyusut 20%
sejak awal 2001.
Di balik perpindahan pekerjaan ke luar negeri itu, semestinya Amerika meraih manfaat
positif�- seperti yang diraih Amerika dari gelombang globalisasi sebelumnya. Pada 90-
an, perusahaan Amerika harus mendatangkan ratusan ribu imigran untuk mengisi
kekosongan di bidang rekayasa. Saat ini, dengan mengirim pekerjaan jasa dan rekayasa
rutin ke negara yang surplus tenaga terdidiknya, tenaga kerja dan modal Amerika bisa
dimanfaatkan untuk industri bernilai tambah tinggi dan kegiatan R&D yang lebih maju.
Globalisasi juga memungkinkan pengendalian biaya jasa, seperti yang terjadi pada
pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan lainnya. Dengan memindahkan produksi ke
luar negeri, perusahaan bisa terus memotong biaya-biaya dan meningkatkan efisiensi. Di
sisi lain, dengan membantu perkembangan ekonomi negara-negara lain, perusahaan
Amerika memiliki pasar barang dan jasa yang lebih besar di luar negeri. Perusahaan
Amerika kini telah terbiasa mengerjakan banyak urusannya di berbagai negara. American
Express, Dell Computer, Eastman Kodak, dan banyak lagi mampu memberikan pelayanan
nasabah 24 jam namun tetap dengan biaya terkendali.
Bukankah para insinyur imigran asal Asia yang bekerja di TII, IBM, dan Intel beberapa
dekade berperan besar dan tersembunyi di balik terobosan teknologi di Amerika?
Bedanya kini, para insinyur India dan China mengerjakan R&D di negara mereka. General
Electric Co., contohnya, mempekerjakan 6.000 ilmuwan dan insinyur di 10 negara
berbeda. GE Medical Services memadukan teknologi magnet, flat-panel, dan pencitraan
diagnostik dari lab di China, Israel, Hungaria, Perancis, dan India untuk segala hal.
"Keuntungan utama dari praktik ini, kami bisa mendapatkan talenta terbaik di dunia,"
tegas VP Medical Global Supply Chain Dee Miller.
Namun, tidak seluruhnya memiliki cerita bagus. Belakangan banyak juga perusahaan
Amerika yang mengakhiri pemindahan kegiatan manufaktur dan desain ke luar negeri
karena mereka merasa lepas kontrol terhadap bisnis pokok (core business) atau karena
merasa terlalu sulit berkoordinasi. Dalam sebuah survei Gartner Inc. terhadap 900
perusahaan Amerika yang mensubkontrakkan pekerjaan IT ke luar negeri, sebagian besar
komplain terhadap kesulitan berkomunikasi dan memenuhi jadwal tenggat (deadline).
Bagi negara berkembang, seperti diuraikan sebelumnya, meraih keuntungan besar
dengan globalisasi pekerjaan kerah putih ini. Terutama bagi negara yang memiliki banyak
lulusan perguruan tinggi dan berkemampuan bahasa Inggris. Dampaknya jauh lebih
dahsyat ketimbang membangun pabrik baru. Sebelum 2008, nilai ekspor pekerjaan TI
dan jasa lainnya dari India mencapai US miliar, mempekerjakan 4 juta orang, dan
merupakan 7% dari GDP, menurut hasil studi McKinsey & Co. dan Nasscom, asosiasi
piranti lunak India.
Di Filipina, negara berpenduduk 75 juta jiwa, terdapat 380.000 lulusan perguruan tinggi
setiap tahunnya, sebagian akuntan yang terlatih dengan standar akuntansi Amerika.
India memproduksi 520.000 insinyur IT dengan gaji awal sekitar US.000 per tahun. Bagi
negara dengan pendapatan per kapita US0 per tahun, gaji sebesar itu sudah cukup
lumayan. Sedangkan Amerika hanya meluluskan 35.000 insinyur mekanikal setiap
tahunnya, dan China dua kali lipat jumlah itu.
William H. Gates III, Chairman Microsoft, memanfaatkan betul sumberdaya manusia yang
banyak itu. Kendati Microsoft mulai terlambat dibandingkan para rival, perusahaan itu
mengambil langkah dengan cepat. Selama 3 tahun, Gates mengumumkan
perusahaannya akan melakukan investasi senilai US0 juta. Nilai itu di luar US0 juta yang
dialokasikan untuk R&D dan outsourcing di China. Di lab riset Microsoft Beijing, sepertiga
dari 180 programer adalah PhD lulusan Amerika. Kelompok pakar ini membantu
pengembangan "tinta digital" yang memungkinkan tulisan tangan muncul di layar PC
tablet Microsoft. Hyderabad diposisikan sebagai pusat pengembangan software Microsoft.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini Indonesia memang belum dilirik sebagai
pelaksana outsourcing di era modern seperti yang diraih India maupun China. Problem
utama yang dihadapi Indonesia adalah faktor penguasaan bahasa Inggris SDM kita yang
sangat lemah. "Kita kalah dari segi penguasaan bahasa Inggris saja, namun dari sisi
kemampuan talenta Indonesia sanggup bersaing," tutur Daniel Lukmanmihardja, Senior
Manager Jatis Solution, perusahaan IT yang bergerak dalam pekerjaan sistem berbasis
Java, C++, dotnet, dan sebagainya. Soal ketersediaan talenta di bidang IT, sejauh ini Jatis
merasa tidak ada masalah. "Selain unggul dalam hal biaya, keunggulan kami juga karena
memiliki beragam keahlian yang dibutuhkan untuk memberikan solusi terbaik bagi klien,"
tambahnya.
Melihat kepercayaan yang terus berdatangan terhadap Jatis dari industri jasa keuangan
Singapura dan Malaysia (di luar negeri Jatis dikenal dengan bendera Firium), sebetulnya
Indonesia bisa bersaing merebut pasar outsourcing global. Meski untuk itu, kita harus
bekerja ekstra keras. Luasnya lingkup jasa yang dioutsourcing oleh perusahaan besar�-
dari yang sederhana layanan call center hingga pengerjaan R&D�- bisa menjadi pilihan
spesialisasi bagi� perusahaan Indonesia. Kita pun harus lebih agresif merebut pasar
sembari mempersiapkan infrastruktur bisnisnya.
Ketika user Memilih Outsourcing
No. 02 - April 2004
Semakin banyak perusahaan lokal dan global yang melakukan outsourcing.Bidang yang
disubkontrakkan pun beraneka macam. Mereka membuat perjanjian kualitas layanan
dengan perusahaan jasa outsourcing agar pelaksanaan kegiatan outsourcing berjalan
sesuai keinginan.
Setelah melakukan outsourcing infrastruktur dan sumberdaya manusia dengan pihak GE
Finance selama beberapa tahun, Bank Mandiri sejak tahun lalu memutuskan untuk
mengelola sendiri proses bisnis kartu kredit Bank Mandiri. Pengelolaan bersama dengan
GE Finance memang membuat biaya yang harus ditanggung Bank Mandiri sedikit lebih
mahal, yang berdampak pada tingginya bunga kartu kredit Bank Mandiri. Dengan dikelola
sendiri, otomatis Divisi Bisnis Kartu Kredit Bank Mandiri bisa lebih bebas bermanuver di
pasar.
Uniknya, pengambil-alihan proses bisnis kartu kredit dari pihak GE itu tidak menyebabkan
jumlah karyawan Bank Mandiri membengkak karena pengelolaan proses bisnis kartu
kredit itu dioutsourcing kepada perusahaan lain. Sekitar 300 karyawan Persaels,
perusahaan jasa outsourcing, dipilih oleh Bank Mandiri untuk menjalankan proses bisnis
kartu kredit mereka. Jumlah karyawan yang hampir sama juga dimanfaatkan oleh Bank
BNI dalam mengelola bisnis kartu kredit mereka. Karyawan tersebut merupakan
karyawan outsourcing dari PT Persona Prima Utama.
Sadar atau tidak sadar, begitu banyak fungsi bisnis perusahaan yang kini dikerjakan oleh
pegawai outsourcing. Saat menghubungi sebuah perusahaan besar melalui call center,
yang melayani telepon Anda boleh jadi bukan karyawan perusahaan dimaksud,
melainkan karyawan PT Media Prima HR Solutions. Atau saat Anda ke datang ke sebuah
bank, Anda mungkin dilayani oleh pegawai outsourcing yang bekerja untuk kepentingan
bank tersebut. Begitu banyak perusahaan yang telah melakukan outsourcing, tentu
dengan strategi yang berbeda-beda. Berikut adalah potret beberapa pemberi jasa
outsourcing tersebut.
HSBC INDONESIA
Sebagai salah satu institusi perbankan dan layanan keuangan internasional terkemuka
yang berpusat di London dengan aset USD 1,034 miliar per Desember 2003, HSBC
memberikan layanan perbankan pribadi komersial, korporasi serta investasi di wilayah
Asia Pasifik, Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Afrika.
HSBC yang telah berada di Indonesia sejak tahun 1884, juga sangat aktif dalam
mengembangkan bisnis personal banking, diantaranya kartu kredit yang mulai gencar
ditawarkan sejak tahun 1997. Dalam kurun waktu tersebut hingga saat ini, kepiawaian
HSBC telah mendapatkan beberapa penghargaan, diantaranya dari MasterCard sebagai
kartu kredit dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia dan penghargaan Outstanding
Performance dari Visa International.
Menurut Agung Laksamana, Vice President Public Affairs HSBC Indonesia, dengan
meningkatnya jumlah serta potensi nasabah di HSBC, pihaknya perlu menambah jajaran
sales kartu kredit untuk menjual kartu kredit Visa dan Mastercard. HSBC telah anggarkan
eksternal tim sebagai ujung tombak penjualan, untuk membantu penjualan kartu kredit
lewat perusahaan outsourcing. Sehingga, tim internal HSBC bisa memfokuskan diri pada
strategi perbankan serta marketing dan product development.
Untuk sebagian sistem aplikasi yang berhubungan dengan bank, seperti teknologi
informatika (TI), juga menggunakan jasa outsourcing. Kualitas serta delivery system
harus prima bagi kepuasan nasabah HSBC. Namun, semua sistem & aplikasi TI ini harus
mendapat persetujuan serta proses review dari TI pusat HSBC yang berada di Hongkong.
"Objektif dari outsourcing adalah agar HSBC dapat memfokuskan diri dalam melakukan
strategi yang berhubungan dengan kinerja bisnis, sekaligus meningkatkan kompetensi
dan efisiensi," lanjut Agung panjang lebar.
Sejauh ini, HSBC menilai implikasi negatif menggunakan jasa outsourcing belum terlihat.
Bahkan, outsourcing mampu membantu meningkatkan efisiensi bagi HSBC. "Kinerja
mereka bisa terus kami pantau serta proses review agar bisa mereinforce komitmen atas
mutu-kualitas kepada HSBC," papar Agung mengenai hal ini.
HSBC boleh berpuas hati. Kendati melakukan jasa outsourcing di bidang kartu kredit dan
TI dan secara makro belum mendapatkan kendala. Semua ini bisa diantisipasi karena
sistem HSBC yang solid. Untuk kartu kredit, misalnya, HSBC melakukan pengecekan
apakah benar atau tidak perusahaan outsourcing tersebut punya company team yang
sangat solid, apakah pernah mengoutsourcing perusahaan lain, siapa partner usaha dan
semacamnya.�"Kita cross check, kalau recordnya dan reputasinya tidak bagus, untuk
apa kita pakai?" ujarnya balik bertanya.
HSBC secara konsisten mengevaluasi setiap tahunnya untuk mengetahui sejauhmana
outsourcing yang dilakukan berjalan mulus. "Target kita cukup aggresif tahun ini,
terutama bagi bisnis kartu kredit, makanya kami terus mereview kinerja serta
perkembangan tim ini. Misalnya, dengan mentraining karyawan perihal produk HSBC,
direct selling approach dan banyak aplikasi lainnya."
Jika pada tahun 1998, kartu kredit HSBC hanya berkisar 20.000, maka pada tahun 2002
melonjak menjadi 250.000 dan sekarang mencapai 400.000. "Untuk 2004, HSBC
menargetkan nasabah kartu kredit sebesar setengah juta pemegang kartu. Tim Sales
kartu kredit kami tersebar di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya dan daerah
strategis lainnya seperti Malang, Yogyakarta hingga Cirebon untuk mendukung target
tahun ini," katanya. Sehingga, demi kemudahan nasabah dalam pembayaran kartu, HSBC
beraliansi dengan bank local seperti BCA, BNI, BII, Danamon, Niaga, Permata dan Lippo
Bank.
Sedangkan target untuk TI adalah quality service dan delivery, misalnya agar website
dan intranet HSBC bisa tetap atraktif dengan tampilan serta info yang terkini. "Biar
pengunjung tidak bosan, makanya kita usahakan agar setiap hari, informasinya selalu
updated," ujarnya.
EXSPAN
KEBUTUHAN setiap perusahaan yang tidak kontinu setiap tahunnya, membuat PT Exspan,
anak perusahaan PT Medco Energi Internasional Tbk, melakukan outsource terhadap
pekerjaan tertentu. "Secara umum, setiap perusahaan berusaha menentukan yang
terbaik bagi dirinya. Namun, kadangkala, itu menjadi kendala utama mengingat hal itu
bisa menelan biaya yang banyak. Outsourcing adalah solusinya," kata Aviv Murtadho,
Vice President IT PT Exspan.
Secara program, Exspan sudah melakukan hal ini sejak lama. "Bukannya kita tidak
mampu. Cuma masalahnya kapasitas saja. Kadang-kadang juga masalah skill atau
kemampuan. Kalau kapasitasnya tidak cukup, ini yang kita outsource," ujar Aviv. Yang
penting, tetap mengedepankan efisiensi waktu dan biaya.
Sejauh ini, Exspan menyerahkan kepada PT Solusindo dalam proteksi virus di komputer.
Untuk jasa satelit, Exspan menyerahkan ke PT Infokom dan untuk proyek diserahkan ke
PT Astra Graphia Information Technology (AGIT). "Jadi, tidak hanya sebatas tenaga kerja
saja, ilmu dan orangnya saja, tapi mesinnya juga," paparnya. Exspan tahun ini baru
melakukan outsourcing untuk rental dan operator, untuk mengoperasikan biaya telepon
dan sebagainya.
Adanya kemungkinan mengoutsource di bidang lain, Aviv mengatakan bisa saja itu terjadi
bila ada efisiensi. "Untuk ke depannya kita lihat lagi. Selama efisien akan kami lakukan,"
kata Aviv. Tentu tetap dengan melihat avaibility atau kesiapan di pasar. Kalau perusahaan
pemberi jasa dinilai tidak siap dan tidak bisa dipercaya, walau semurah apapun, Exspan
tidak akan melakukan outsourcing. "Di bidang migas, semuanya kami lakukan sendiri
karena kami mampu melakukannya," Aviv menjelaskan.
Agar proses outsourcing berjalan dengan lancar, sambung Aviv, pihaknya setiap tahun
mengevaluasi outsourcing, kemudian melakukan perencanaan kembali. Pekerjaan-
pekerjaan mana yang perlu dikaji dan apakah ada kemungkinan perlu dioutsourcing.
"Misalnya jika ada karyawan kita yang mau pensiun, apakah kita perlu mengganti segera
atau tidak. Itu jadi kesempatan untuk outsourcing," tambah Aviv saat ditemui Human
Capital di kantornya di bilangan Pancoran Jakarta Selatan.
Sampai saat ini, Aviv mengaku cukup puas untuk sebagian pekerjaan yang dioutsourcing.
Sebagian lagi diakuinya tergantung dari kematangan perusahaan outsourcing yang
bersangkutan. "Kalau ada yang puas, ya kita lanjutkan. Kalau tidak puas, kita cari lagi.
Ujung-ujungnya, ada satu kepuasan dan biaya yang murah. Kalau mereka kapabilitasnya
tidak sesuai, ya itu kita ganti," ia memaparkan lagi.
Untuk mencapai kepuasan, Exspan tidak berdiam diri. Agar jasa outsourcing bernilai baik,
Exspan memiliki service level agreement, suatu kesepakatan yang sudah ditentukan dari
awal pertemuan dengan perusahaan outsourcing. "Dari awal kita bilang kebutuhan kita
sekian, kalau ukurannya sesuai dengan yang kita butuhkan setiap bulan dan setiap
tahun, ya kita puas. Sekitar 95% sudah dinilai baik," papar pria kelahiran 29 Januari 1961.
Kalau ternyata lebih sering di bawah yang diharapkan Exspan, maka akan dikaji ulang
apakah masih perlu menggunakan jasa perusahaan outsource tersebut.
Memeras Keringat Pegawai Kontrak?
No. 02 - April 2004
Perusahaan outsourcing tenaga kerja sering dituduh hidup dari memeras keringat
pegawai kontrak karena memotong bagian tertentu dari hak karyawan. Seharusnya,
perusahaan jasa outsourcing hidup dari fee atas jasa yang telah diberikannya. Bagaimana
fakta sebenarnya?
Ketika berbicara tentang outsourcing, pertimbangan ekonomi dan efisiensi selalu menjadi
alasan utama perusahaan melakukan outsourcing. Sebagian perusahaan menerjemahkan
alasan ekonomi dan efisiensi itu dengan menekan paket penghasilan yang diberikan
kepada karyawan kontrak, baik secara langsung maupun melalui perusahaan jasa
outsourcing. Perusahaan telah memiliki gambaran biaya total bila seluruh pekerjaan atau
jabatan itu dikerjakan oleh pegawai tetap. Kalkulasi itu menjadi dasar bagi perusahaan
untuk berbicara dengan perusahaan jasa outsourcing tenaga kerja tentang total biaya
yang bisa mereka ke luarkan untuk outsourcing.
Cara berhitung seperti itu wajar-wajar saja. Namun, seharusnya perusahaan pemberi
kerja tidak membabi-buta menggunakan kalkulasi seperti itu. Manfaat ekonomis utama
dari outsourcing sebetulnya bukan terletak pada penghematan gaji yang bisa diperoleh
akibat outsourcing. Sebab, kalau hal itu dilakukan, besarnya penghematan gaji itu
tidaklah seberapa. Manfaat utamanya, di antaranya, perusahaan tidak harus lagi
mengurusi berbagai persoalan terkait dengan karyawan yang biasanya cukup
memusingkan, termasuk jenjang karir, hak cuti, pesangon jika berhenti, hak pensiun, dan
persoalan attitude karyawan. Manfaat lanjutannya, rentang kendali perusahaan tidak
terlalu panjang dan perusahaan bisa lebih fokus pada aspek strategis perusahaan,
khususnya pada upaya peningkatan kinerja bisnis perusahaan.
Ketentuan perundang-undangan (UU No. 13 2003) cukup jelas mengatur besaran gaji dan
fasilitas yang menjadi hak karyawan kontrak. Besarnya harus sama dengan yang diterima
oleh pegawai tetap untuk posisi yang sama. Perusahaan pemberi kerja berukuran besar,
termasuk perusahaan multinasional, cukup konsisten menerapkan "nyawa" dari UU itu.
Caranya, mereka memberikan fee yang besarnya bervariasi kepada perusahaan jasa
outsourcing atas jasa yang telah mereka berikan. Ada perusahaan yang memberikan fee
20-25% atas total remunerasi yang diperoleh para karyawan kontrak itu kepada
perusahaan jasa outsourcing. Jika nilai remunerasi 300 karyawan kontrak dari perusahaan
jasa outsourcing tertentu sekitar Rp 300 juta per bulan, maka perusahaan jasa
outsourcing itu memperoleh fee bruto Rp 60-75 juta per bulan. Bayangkan, jika
perusahaan semacam Persaels atau HITTS memiliki karyawan kontrak sekitar 1.000-
1.500, maka nilai fee yang diperoleh cukup besar.
Tapi, tunggu dulu. Nilai fee itu masih bersifat kotor karena perusahaan jasa outsourcing
harus pula membayar gaji belasan hingga puluhan karyawan mereka, biaya operasional
perusahaan, dan biaya sewa kantor. Kadang-kadang perusahaan jasa outsourcing
memberikan pelatihan dan hadiah-hadiah bagi para karyawan kontrak mereka, dari
produk elektronika hingga jalan-jalan ke luar negeri. Langkah ini sebagai bagian program
apresiasi dan program retensi terhadap karyawan kontrak berprestasi.
Meski fee itu tampak lumayan, tak ayal, perusahaan jasa outsourcing kadang-kadang
harus pula menanggung risiko keterlambatan pembayaran gaji oleh perusahaan pemberi
kerja. Repotnya, keterlambatan itu bisa mencapai 2-3 bulan. Bila total gaji yang harus
dibayarkan ratusan juta hingga satu miliar lebih per bulan, bisa dibayangkan betapa
besarnya dana talangan yang harus disediakan oleh perusahaan jasa outsourcing itu. Fee
yang nilainya lumayan besar itu bisa tidak berarti jika keterlambatan pembayaran gaji ini
mencapai dua bulan lebih.
Bagi perusahaan jasa outsourcing, kondisi semacam ini menjadi dilematis. Merasa hal ini
menjadi konsekuensi dari persetujuan untuk menerima pekerjaan dari klien, perusahaan
jasa outsourcing tetap harus mencarikan dana agar gaji para karyawan kontrak itu bisa
dibayar tepat waktu. "Soal pembayaran gaji tepat waktu ini satu hal yang wajib
dilaksanakan perusahaan jasa outsourcing karena sangat sensitif," ujar Ifitida Yasar,
Ismaila, dan Basanto dari perusahaan jasa outsourcing.
Sangat beruntung perusahaan jasa outsosurcing PT Persona Prima Usaha (PPU), yang
menempatkan sekitar 1.500 karyawannya di Bank BNI. Sebagai anak perusahaan
koperasi karyawan dan pensiunan Bank BNI, PPU relatif tidak menghadapi persoalan
dalam menyediakan gaji karyawan ini karena Bank BNI sangat tanggap dalam
menyediakan gaji para karyawan kontrak. Menurut I.K. Eko Sumarno, Direktur PPU,
biasanya para karyawan kontrak PPU gajian setiap tanggal 24, sehari lebih cepat
daripada jadwal gajian pegawai tetap Bank BNI. "Paling-paling kalau kami ada uang,
menalangi uang cuti dan pesangon karyawan kontrak," ucapnya. Atas jasanya itu, PPU
memperoleh fee tertentu, yang besarnya dirahasiakan manajemen PPU. Uang fee itu
digunakan untuk membayar gaji sekitar 18 karyawan dan manajemen PPU serta biaya
operasional lainnya.
Tak seluruh perusahaan pemberi kerja memberikan fee sebesar angka di atas. Cukup
banyak perusahaan yang memberikan fee jauh lebih kecil dari jumlah itu. Akibatnya,
perusahaan jasa outsourcing terpaksa memotong�- maksimal 10% - gaji karyawan untuk
menutupi biaya operasional mereka. "Potongan hingga 10% itu masih wajar karena
perusahaan jasa outsourcing juga harus membayar biaya operasional yang tidak sedikit,"
kata H. Hasanuddin Rahman, Ketua Apindo. Praktik pemotongan seperti ini sulit
memperoleh konfirmasi dari perusahaan jasa outsourcing. "Yang jelas, kami tidak
melakukannya," ujar Iftida Yasar dari Persaels dan Finny Widiyanti dari PT Solusi Mitra
Kinerja.
Iftida dan Finny menambahkan, sumber pendapatan perusahaannya adalah management
fee yang ditentukan saat melakukan deal dengan pihak pemberi kerja. Selain itu,
lanjutnya, perusahaannya juga meminta hak-hak yang sama bagi karyawan kontrak
dengan para karyawan tetap. "Negosiasi gaji langsung dilakukan oleh karyawan kontrak
dengan user. Kami pun tidak memungut sepeser pun dari gaji mereka," tukasnya.
Bila benar demikian, sungguh bersyukur para karyawan yang bekerja untuk perusahaan
jasa outsourcing seperti itu. Bukannya "memajaki" mereka, perusahaan jasa outsourcing
bahkan juga ikut memperjuangkan agar karyawan memperoleh hak-hak semaksimal
mungkin. Seperti di Bank BNI, karyawan kontrak yang bekerja untuk PPU juga
memperoleh gaji dan tunjangan yang relatif sama dengan karyawan tetap. Gaji dan
tunjangan yang diterima persis sama dengan karyawan tetap. Perbedaan hanya pada
bonus kinerja tahunan, yang selama ini dikenal dengan istilah jasa produksi. Seorang
asisten manajer kontrak juga memperoleh bonus tetapi jumlahnya lebih kecil dari asisten
manajer tetap. "Selebihnya sama nilainya, termasuk tunjangan hari raya dan pesangon,"
tukas Basanto Purno.
Kalau begitu, apa manfaat utama dari kegiatan outsourcing bagi Bank BNI? Dari sisi
biaya, diakui Basanto dan Eko Purnomo, Bank BNI mungkin mengeluarkan biaya lebih
karena harus membayar pula fee kepada PPU. Manfaat utamanya, Bank BNI tidak harus
repot mengurusi masalah personalia karyawan kontrak yang cukup njlimet jika ditangani
sendiri. Dengan sendirinya, Bank BNI tidak harus memiliki terlalu banyak orang di Bagian
SDM. Secara bertahap, pelaksanaan training yang selama ini ditangani in-house oleh
pegawai Bank BNI, kini mulai diserahkan penanganannya kepada PPU. Selain itu, Bank
BNI tidak harus memikirkan jenjang karir dan uang pension bagi karyawan kontrak.
Konsekuensi dari pengalihan tanggung jawab ini kepada perusahaan jasa outsourcing
tentu tidak kecil. Beberapa perusahaan jasa outsourcing bahkan membangun komunikasi
rutin dengan pegawai yang mereka tempatkan di berbagai perusahaan lain. Komunikasi
ini sangat penting karena para karyawan itu merasa sendirian, kesepian, dan asing di
lingkungan perusahaan tempat mereka bekerja. Tak jarang mereka menangis bila
menemui masalah, tidak jelas kepada siapa harus mengadu. Kadang-kadang mereka
pada saat awal mendapat perlakuan buruk atau "dikerjain" oleh karyawan tetap di
perusahaan di mana mereka ditempatkan. Dalam hal seperti ini, perusahaan jasa
outsourcing tidak bisa tutup mata atas persoalan karyawannya itu. Mereka harus
menempatkan diri sebagai "seorang ibu", tempat mengadu bagi karyawan tersebut.
"Ini sebabnya, Persaels menempatkan seorang - relationship officer -�untuk tiap
kegiatan, sebagai penghubung antara karyawan, klien, dan manajemen Persaels," tutur
Iftida Yasar.
Tantangan terbesar dari perusahaan jasa outsourcing adalah dari sisi permodalan. Seperti
telah disinggung di atas, tak jarang user baru membayar tagihan 2-3 bulan kemudian.
Idealnya, pembayaran tagihan dilakukan di muka, sehingga sebelum tanggal gajian uang
sudah diterima dari user untuk dibayarkan kepada karyawan kontrak. Sayangnya,
perusahaan pemakai tidak semuanya begitu. Keterlambatan pembayaran tagihan ini
menyebabkan perusahaan jasa outosurcing harus bermodal besar. Kenyataannya,di
negara maju pun, perusahaan jasa outsourcing tergolong padat modal. Perusahaan jasa
outsourcing terbesar di Amerika, Adeco, memiliki billing US miliar setahun atau sekitar
US,5 miliar per bulan. Bayangkan, berapa besar dana yang harus disediakannya untuk
menalangi pembayaran gaji dan operasional bila pembayaran dari user terlambat 2-3
bulan?
Bagi Adeco, hal semacam itu mungkin tidak menjadi masalah serius. Selain memiliki
modal kuat, mereka juga perusahaan publik yang mudah untuk memperoleh sumber
pendanaan dari perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya. Repotnya di Indonesia,
perusahaan jasa outsourcing belum dianggap oleh perbankan atau lembaga pembiayaan
lainnya. Lembaga anjak piutang (factoring) kini tidak lagi dikenal oleh perbankan
Indonesia sehingga perusahaan jasa outsourcing tidak bisa menjaminkan tagihan mereka
untuk mendapatkan dana pinjaman/talangan. "Seharusnya masalah ini bisa dibantu oleh
bank-bank pemakai jasa outsourcing itu dengan memberikan pinjaman, karena toh
tagihan perusahaan jasa outsourcing terhadap mereka juga ada dan harus mereka bayar.
Namun, sejauh ini, hal itu belum terwujud," ungkap sejumlah pimpinan perusahaan jasa�
outsourcing. Hingga kini pihak perbankan belum mau menyalurkan pinjaman kepada
perusahaan jasa outsourcing. "Padahal, bisnis ini termasuk memiliki risiko yang rendah,"
tambah mereka.
Konsekuensi dari hal ini, ungkap Ismaila yang pernah menjabat Compensation and
Benefit Manager Mobil Oil itu, perusahaannya hanya mau menangani outsourcing dari
perusahaan yang bonafid dan solid. Dalam arti memiliki arus kas yang kuat. Ia pun siap
untuk berkompetisi merebut kepercayaan dari klien seperti itu. "Tidak masalah, sebab
gaji 'kan tidak bisa kami tunda (pembayarannya)," tegasnya.
Kesimpulannya, bisnis jasa outsourcing bukanlah bisnis yang mudah ataupun bisa jalan
dengan modal pas-pasan. Kadang-kadang user juga menguji bonafiditas perusahaan jasa
outsourcing dengan melihat kemampuan mereka mengatasi keterlambatan pencairan
tagihan tersebut. "Dulu mungkin bisa dimulai dengan modal pas-pasan. Ke depan, sudah
tidak bisa lagi," tambah Basanto. Belum lagi jika karyawan outsourcing melakukan tindak
pidana penggelapan atau penipuan (fraud)�- sesuatu yang kadang-kadang terjadi,
kerugian user sepenuhnya harus diganti oleh perusahaan jasa outsourcing.
Kalau tidak ada tantangan seperti itu, bisnis outsourcing jelas sangat menarik dan
mudah. Fee yang diperoleh sangat menggiurkan, apalagi dibandingkan bunga simpanan
di bank yang maksimal 1% per bulan dan terus turun dari waktu ke waktu. Toh, bila
modal tidak jadi masalah, bukan serta merta Anda bisa dengan mudah mengelola jasa
outsourcing. "Anda harus mencintai masalah SDM. Jiwa Anda harus di sana. Kalau ada
yang tergiur untuk memutar uang di bisnis ini karena tertarik atas pengembalian
investasinya, itu salah besar," tegas Eddy S. Tjahja.
Profil Perusahaan Jasa Outsourcing
No. 02 - April 2004
Inilah profil sejumlah perusahaan yang bergerak dalam penyediaan jasa outsourcing,
khususnya outsourcing tenaga kerja. Karyawan mereka bekerja di berbagai perusahaan,
menangani berbagai pekerjaan. Sebagian besar dari mereka memang serius menjalani
dan mengembangkan usaha ini secara professional.
PERSAELS
Salah satu pemain yang berkiprah di bisnis outsorcing adalah PT Perdana Perkasa
Elastindo (Persaels). Persaels yang didirikan pada tanggal 31 Januari 2000, saat ini
didukung oleh para staf yang rata-rata memiliki pengalaman 5-10 tahun, mengkhususkan
diri dalam penyediaan tenaga kerja "white colar".
Menurut Presiden Direktur PT Persaels Iftida Yasar, walaupun diawali dengan usaha
penyediaan tenaga kerja kontrak (labour contracting), namun disiapkan untuk memasuki
bisnis outsourcing. Ini alasan utama Iftida menggaet Farid Aidid yang telah 10 tahun
menggunakan jasa outsourcing di Eropa, sebelum selanjutnya menggunakan jasa ini pula
selama bekerja sebagai Direktur Sales Citibank, untuk bergabung serta memberikan
banyak masukan dari perspektif bisnis. "Usaha ini tidak dapat hanya mengandalkan
proses rekrutmen yang mampu meyediakan karyawan sesuai dengan kompetensi
tuntutan jabatan, namun juga harus mampu menempatkan diri sebagai business partner
dari klien. Oleh karena itu penting sekali kita untuk memahami proses bisnis klien
tersebut," tuturnya serius.
Iftida sendiri mulai tertarik mengembangkan usaha di bidang penyedia tenaga kerja,
setelah hampir selama 4 tahun bekerja sebagai Staff and Goverment Relation Manager di
Citibank dan bertanggung jawab mereview dan membantu vendor dalam segi hukum dan
kepatuhan (kepatuhan), sebelum pindah ke ABN AMRO sebagai Assistant Vice President
Industrial Relation and Training. "Pengetahuan dan keahlian di area Employee Relation
juga seringkali terlupakan oleh para vendor outsourcing. Misalnya banyak vendor yang
mau menerima permintaan klien untuk mempermanenkan karyawan di perusahaannya,
tanpa mempersiapkan diri terhadap konsekuensinya terhadap vendor maupun karyawan
itu sendiri di masa datang. Sebagai vendor justru kita harus mampu menjelaskan pada
klien," ulasnya.
Persaels, lanjut Iftida, memberikan jasa outsourcing kepada perusahaan yang ingin
mendelegasikan tanggung jawab tugasnya, meliputi kegiatan operasional sehari-hari,
pengelolaan sumber daya serta keseluruhan proses kerja, untuk mendapatkan output
yang diinginkan. Misalnya, dalam melakukan proses verifikasi kartu kredit, Persaels
melakukan seluruh proses verifikasi dan melaporkan hasilnya sesuai dengan arahan
perusahaan yang memberikan kerja. Hanya saja diakui Iftida, saat ini perusahaan di
Indonesia masih belum terbiasa serta belum sesiap perusahaan di negara lain dalam
implementasi full outsourcing dan memulai dengan labor supply. Selanjutnya secara
bertahap memperbesar pemindahan proses kerja pada vendor.
Disebutkannya, dengan management fee yang diterima dan tanpa pemotongan gaji
karyawannya, Persaels memberikan sederet servis lengkap mulai rekrutmen, manajemen
sumber daya manusia, pengurusan resiko ketenagakerjaan serta administrasi
kompensasi, perpajakan, jamsostek, dan pelayanan kesehatan, sehingga perusahaan
klien bisa berkosentrasi penuh pada aktivitas bisnis intinya.
Iftida menyebutkan, Persaels juga memiliki sejumlah staf senior yang memberikan
training secara terus-menerus kepada karyawan yang direkrutnya. Beberapa hal yang
diberikan dalam training itu di antaranya mengenai Selling Skills, Negotiation Skills,
Appearance, Service Excellent, Telephone Etiquette, Orientation, Code of Conduct dan
Presentation Skill. "Di tahun 2004 ini kami telah mempersiapkan modul pelatihan baru
yang lebih menarik. Kami juga selalu mengadakan gathering atau pesta tahunan.
Tujuannya untuk membangkitkan motivasi staf kami agar bekerja lebih baik lagi," papar
Iftida.
Terhadap para kayawan yang direkutnya, Persaels selalu mengarahkan klien untuk
memberikan gaji sesuai kisaran standard di pasaran. Karyawan juga diberi hak asuransi
kesehatan dan Jamsostek. "Karyawan yang direkrut mempunyai kesempatan untuk
bekerja di perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi bagus. Mereka juga
mempunyai kesempatan untuk menjadi karyawan tetap kami, dengan kondisi tertentu,"
jelas Iftida.
Ditambahkannya, Persaels terus berbenah dan mengembangkan diri. Saat ini Persaels
sedang membuka kantor perwakilan di berbagai kota di Indonesia yang dinilai cukup
potensial. Persaels sudah membuka kantor cabang di Bandung, Surabaya dan Semarang.
Sedangkan untuk kota Medan, Samarinda, Cirebon dan Balikpapan masing-masing
ditangani oleh seorang karyawan.
"Kami juga selalu menjaga hubungan yang lebih baik dengan klien. Kami juga tengah
membidik target pasar yang lebih luas. Saat ini klien kami kebanyakan bergerak di
financial industry dan telekomunikasi. Namun mulai meluas di berbagai industri, seperti
consumer goods, farmasi dan perhotelan," demikian Iftida.
HITTS
DIDIRIKAN tahun 1996 oleh sejumlah "orang-orang" HR, pada mulanya PT HITSS Sumber
Daya Nusantara Konsultan belum mempunyai bisnis inti. Perusahaan menggarap banyak
hal terkait bidang sumberdaya manusia, seperti konsultansi, pelatihan untuk para
mahasiswa agar siap bekerja, rekrutmen dan outsourcing. Namun, yang paling
berkembang adalah bidang rekrutmen dan outsourcing. Dalam bisnis outsourcing, pada
waktu permulaan, HITTS hanya menyediakan tenaga-tenaga administrasi, sekretariat,
klerk, dan sejenisnya untuk klien perusahaan consumer goods dan perbankan.
Dewasa ini, tutur Managing Director HITSS Ismaila Tyastanto, perusahaannya
memperkerjakan sekitar 800-1000 karyawan di sekitar 10 perusahaan perbankan dan
asuransi untuk berbagai posisi dan bagian. Sebagian perusahaan itu tergolong
multinasional yang bonafid. "Kami memang mengutamakan melayani perusahaan yang
memiliki reputasi baik," ujar Ismaila, yang lama bekerja di bidang HR pada perusahaan
migas asing.
Tahun ini, HITTS akan terus menambah portofolio jasa outsourcing ke sejumlah
perusahaan lainnya. HITTS memilih focus dalam outsourcing tenaga kerja, jasa, dan
bidang penjualan (sales). "Outsourcing bidang penjualan itu juga menarik," kata wanita
yang sering dipanggil Isye itu. Kegiatan di bidang penjualan sudah mulai dilakukan HITTS
secara terbatas, misalnya dalam memasarkan kartu kredit, penawaran kredit, atau kartu
keanggotaan tertentu. Begitu pula jasa call center, teknologi informasi, dan pengelolaan
gaji.
Peluang bisnis outsourcing penjualan ini dinilai Isye juga sangat besar. Perusahaan tidak
perlu repot merekrut tenaga penjualan, seperti telemarketer, mengelola mereka untuk
mencapai target penjualan tertentu. Dengan diserahkan kepada perusahaan jasa
outsourcing, perusahaan tinggal memantau pencapaian target. Sedangkan, merekrut dan
mengelola program penjualan menjadi tanggungjawab perusahaan jasa outsourcing.
Sebagai imbalannya, perusahaan jasa outsourcing menerima biaya secara paket total,
semacam lumpsum. Berapa bagian bersih yang bisa diterima perusahaan, menurut
Isye,� sepenuhnya tergantung dari kemampuan perusahaan mengelola pekerjaan secara
baik dan efisien.
Secara umum, menurut Isye, peluang bisnis outsourcing masih terbuka lebar. Ada dua hal
yang melandasinya. Pertama, persaingan bisnis kini sangat ketat, termasuk karena imbas
globalisasi. Perusahaan kini harus fokus di bisnis utamanya, sehingga beberapa kegiatan
bisnis yang tidak bernilai tambah ataupun kegiatan yang memerlukan ahli-ahli spesialis
yang sangat canggih, lebih baik diserahkan kepada pihak lain.
Alasan kedua karena situasi ekonomi yang tidak menentu di Indonesia, yang
mengharuskan perusahaan bertindak cost effective. Pengertian cost effective di sini
bukan berarti asal menekan biaya saja, tetapi pengeluaran yang tepat guna. "Bukan asal
murah saja," ungkapnya. Dalam perspektif perusahaan, mereka kini harus melihat betul,
mana yang yang tergolong fixed cost atau mana yang bisa variable cost. Dengan
melakukan outsourcing, perusahaan menggeser pengeluarannya ke unsure variable cost.
Praktik outsourcing ini sudah dibuktikan di luar negeri dan sudah berjalan lama. "Kalau
tidak begitu, kita akan kalah bersaing," tuturnya. HITTS didukung oleh 18 karyawan.
Bagi pencari kerja, berkembangnya jasa outsourcing jelas peluang untuk masuk dunia
kerja. Hanya saja, berdasarkan pengalaman, seringkali kualitas tenaga kerja yang
melamar tidak klop dengan kebutuhan klien. Itu sebabnya, HITSS segera meresmikan
sekolah yang khusus mengembangkan kemampuan para lulusan baru dari perguruan
tinggi untuk siap betul bekerja, misalnya menangani customer service, teller, marketing,
dan sebagainya. Penonjolannya lebih pada pembentukan karakter, kepribadian, attitude,
dan keahlian berkomunikasi. "Pokoknya sekolah di bidang human capital," kata Ismaila
lagi. Lama studinya sekitar 5 bulan saja.
PT Bravo Satria Perkasa
KEAMANAN, merupakan hal yang tidak boleh terabaikan. Meningkatnya kerawanan
keamanan saat ini menyebabkan timbulnya kriminalitas yang sangat merugikan individu
atau perusahaan. Ini jelas berdampak pada kondisi bisnis di Indonesia.
Kondisi ini pula yang mengilhami Joko N Utomo, Kombes Pol. Purn Soeparno, Hendri
Dwiwantara, Deden TY. Wibawa dan Wahyu Sudarmojo, untuk membentuk PT Bravo Satria
Perkasa (BSP) tahun 2000 lalu, sebuah badan usaha yang bergerak dibidang jasa
penyedia dan pengelolaan tenaga pengamanan serta jasa kawal angkut uang dan barang
berharga.
Menurut Joko PN Utomo, Operation Director PT BSP, pihaknya optimis karena masih
banyak perusahaan, khususnya perusahaan besar, yang menyadari bahwa core business-
nya hanya memikirkan produk mereka saja, tidak memikirkan hal yang lain. Padahal
mereka membutuhkan rasa aman. Makanya diserahkan ke perusahaan yang lebih fokus
dalam hal ini.
Jenis pelayanan yang ditawarkan BSP adalah security guard services, meliputi analisis
lingkungan terhadap potensi ancaman keamanan, pembangunan system keamanan,
pembuatan standard operating procedure, penyediaan personel pengamanan, penerapan
manajemen SDM dan administrasi personalia, serta jaringan alat komunikasi antar
personel sekuriti.
Sedangkan pelayanan cash in transit, mencakup penyediaan personel pengawal
bersenjata, penyediaan fasilitas kendaraan angkut, koordinasi lintas wilayah rute
pengawalan serta pengadaan PAM VI orang dalam waktu tak tertentu.
Pro-Kontra Outsourcing
No. 02 - April 2004
Praktik bisnis outsourcing yang telah lama dilakukan negara-negara maju kini mulai
berkembang di Indonesia, meskipun masih lebih tepat disebut "labor contracting"
ketimbang outsourcing yang sebenarnya. Kegiatan mensubkontrakkan pekerjaan ini oleh
sebagian kalangan dianggap sebagai bentuk perbudakan baru atau memperlemah posisi
pekerja. Inilah solusi terhadap tingkat pengangguran yang begitu tinggi saat ini dan
kebutuhan perusahaan untuk benar-benar kompetitif. Di mana letak pro-kontranya?
Setiap kali membicarakan istilah outsourcing, maka hal yang pertama kali teringat adalah
kasus pegawai kontrak yang terjadi di Bank BNI. Para pegawai kontrak Bank BNI berdemo
di Bank BNI, DPR, dan kantor pusat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Depnakertrans). Kondisi ini, tak pelak, mempengaruhi operasional Bank BNI. Puncaknya
tahun 2003 lalu, Pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Depnakertrans) bertindak sebagai mediator pertemuan tripartit (pemerintah,
perusahaan, dan pekerja). Pertemuan itu menghadirkan Direktur Utama Bank BNI waktu
itu Saefuddien dan wakil para pekerja.
Hasilnya, seperti yang tersiar di berbagai media massa, pertemuan tersebut gagal
menghasilkan kesepakatan. Betapa panasnya suasana pertemuan itu terlihat dari
dikejarnya mobil Saefuddien oleh wakil para pekerja yang bertindak emosional. Badan
mobil tersebut digedor-gedor, dan mereka meminta Saefuddien untuk turun. Beruntung,
mobil yang ditumpangi Saefuddien berhasil meloloskan diri. Dan, pertemuan tersebut
berakhir tanpa penyelesaian. Mediasi oleh Depnaker pun gagal.
Lantas, apa yang sesungguhnya terjadi di Bank BNI? Awalnya adalah ketika tahun 2000,
IMF menilai Bank BNI kelebihan pegawai. Hasil ini diperoleh setelah konsultan bisnis Booz
Allen Hamilton yang diminta melakukan studi oleh IMF mengeluarkan rekomendasinya.
Bila Bank BNI ingin tetap bertahan dan tidak ditutup, IMF meminta Bank BNI untuk
mengurangi jumlah pegawai. Hingga 2001, Bank BNI berkutat dalam melakukan
rightsizing. Tetapi, perkembangan yang terjadi pada unit-unit bisnis Bank BNI,
mengharuskan Bank BNI menambah tenaga kerja namun bukan permanen sifatnya. Para
pegawai tersebut dikontrak oleh Bank BNI melalui Koperasi Swadharma milik Karyawan
dan Pensiunan Bank BNI. Dengan demikian, pegawai tersebut bekerja di Bank BNI, bukan
karyawan Bank BNI melainkan karyawan koperasi.
Dalam salah satu klausul perjanjian kerja antara si karyawan kontrak dengan Koperasi
disebutkan, pegawai kontrak akan diangkat menjadi pegawai tetap Bank BNI bila ada
formasi dan mereka lulus seleksi. Bila lulus, mereka menjadi pegawai tetap Bank BNI, dan
jika tidak lulus, tetap menjadi karyawan Koperasi. Inilah pangkal soalnya. Terbatasnya
jumlah karyawan kontrak yang bisa diterima menyebabkan sebagian besar karyawan
kontrak tetap berstatus karyawan kontrak. Kondisi ini terasa menyakitkan bagi karyawan
kontrak yang telah bekerja beberapa tahun dan berharap satu hari kelak mereka diangkat
menjadi karyawan tetap. Mereka berontak setelah sadar tidak lagi berpeluang menjadi
karyawan tetap Bank BNI.
Pihak Bank BNI merasa, karyawan kontrak itu memaksakan kehendaknya di luar
perjanjian kerja yang telah disepakati sejak awal. Sementara, karyawan kontrak menilai,
manajemen Bank BNI telah berlaku tidak adil. Rendahnya kemampuan manajerial
koperasi terhadap karyawan kontrak ini ikut memperburuk situasi. Itu sebabnya, lebih
dari 6 bulan lalu, Koperasi memutuskan mendirikan perusahaan khusus menangani
outsourcing tenaga kerja Bank BNI dengan nama PT Persona Prima Utama (PPU), yang
mengambil-alih pengelolaan karyawan kontrak Bank BNI dari Koperasi Swadharma.
"Dengan demikian, seluruh urusan terkait dengan karyawan kontrak, kini menjadi
tanggung jawab perusahaan ini," ujar Basanto Purno, Direktur Utama PPU, kepada Human
Capital.
Persoalan pegawai kontrak di Bank BNI itu membuka mata banyak pihak tentang praktik
outsourcing tenaga kerja yang ternyata telah berlangsung di Indonesia. Kendati yang
ditonjolkan lebih kepada ekses negatif dari kegiatan outsourcing. Media massa memang
lebih tertarik memberitakan sisi negatif pegawai kontrak di Bank BNI. "Itu karena media
berprinsip good news doesn't sell," ujar Eddy S. Tjahja, Managing Director JobsDB.com,
media sumberdaya manusia (SDM) berbasis Internet.
Kenyataannya, kasus pegawai kontrak di Bank BNI itu berdampak besar terhadap
pengembangan praktik outsourcing di Indonesia. Hal ini diakui oleh Iftida Yasar, Presiden
Direktur Persaels, sebuah perusahaan jasa bidang outsourcing. "Kasus Bank BNI itu
menjadi referensi buruk bagi penerapan kegiatan outsourcing secara profesional.
Padahal, kejadian itu hanya kasus saja karena waktu itu manajemen outsourcing masih
ditangani koperasi."
Saat Bank BNI menerapkan sistem pegawai kontrak itu, praktik outsourcing tenaga kerja
masih relatif baru di Indonesia. Toh manajemen Koperasi Swadharma Bank BNI
mengambil hikmah dari kasus tersebut dengan mendirikan PT PPU sebagai wadah
professional dalam mengelola pegawai kontrak, khususnya untuk Bank BNI. Terbukti sejak
manajemen pegawai kontrak diambil-alih PPU, tutur Direktur PPU I.K. Eko Sumarno, tidak
ada lagi masalah besar muncul ke permukaan.
KENAPA HARUS OUTSOURCING?

Praktik outsourcing sebetulnya bukan hal baru di dunia. Sebelum Perang Dunia II,
Kerajaan Inggris telah menerapkan hal ini dengan merekrut serdadu Gurkha yang
terkenal dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950, Amerika
Serikat adalah negara yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk keperluan
perang. Praktik outsourcing kemudian berkembang luas di perusahaan multinasional
sejalan dengan perlunya mereka beroperasi secara efisien dan focus terhadap bisnis
mereka. Perancis kini merupakan negara yang paling berkembang dalam menerapkan
outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis, dalam berbagai skala, menerapkan
praktik outsourcing dalam menjalankan usaha.
Ada banyak hal yang mendorong berkembangnya kegiatan outsourcing. Alasan utama,
tentu saja, untuk efisiensi usaha. Pakar manajemen Charles T. Fote, misalnya,
mengatakan untuk bisa efisien, perusahaan jangan mengerjakan semua hal sendiri.
Selain lebih efisien, praktik outsourcing juga mengurangi panjang dan rumitnya mata
rantai kendali manajemen usaha. Tanpa outsourcing, perusahaan akan semakin tambun
sehingga tidak lincah bergerak.
Di sisi lain, perusahaan juga harus semakin fokus pada bidang-bidang yang dinilainya
strategis, seperti dikatakan pakar manajemen Al Ries. Fokus pada bidang keahlian
utamanya dan tidak lari kemana-mana, termasuk mengurusi hal-hal tetek bengek. Prinsip
ini juga sejalan dengan keyakinan bahwa ada jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan
penanganan khusus oleh tenaga-tenaga ahli tertentu. Dalam industri rekayasa global,
umpamanya, praktik outsourcing untuk tujuan ini diterapkan secara meluas dalam
industri pesawat terbang, otomotif, dan permesinan industri. Industri tersebut
menyerahkan pendesainan pesawat, mobil, atau mesin kepada perusahaan khusus
desain. Rancang-bangun mobil murah Maleo yang rencananya diproduksi Indonesia di era
Habibie dilaksanakan oleh sebuah perusahaan Australia, yang juga mengerjakan hal yang
sama untuk perusahaan otomotif lainnya.
Perusahaan otomotif Jepang menyerahkan sebagian besar pekerjaannya kepada industri
komponen yang memenuhi standar mereka. Selanjutnya, seluruh komponen itu dirakit di
perusahaan otomotif tersebut. Perusahaan otomotif tersebut hanya focus pada desain
dan pengembangan rancangbangun, memproduksi komponen tertentu, merakit, dan
memasarkan mobil-mobil yang telah ditempeli merek mereka.
Tengok pula apa yang dilakukan pemilik merek sepatu olahraga terkemuka di dunia
macam Nike, Adidas, Fila, dan sebagainya. Mereka hanya fokus pada pengembangan
desain sepatu, mendistribusikan, memasarkan, dan mengelola merek. Sedangkan
kegiatan produksinya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan lain yang tersebar di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mereka memberikan order produksi kepada
perusahaan-perusahaan yang mampu memberikan biaya dan mutu produksi terbaik.
Dalam definisi umum, praktik semacam ini termasuk kegiatan global outsourcing, yaitu
mensubkontrakkan produksi ke banyak perusahaan di dunia. Kegiatan bisnis semacam ini
sering juga disebut global sourcing, mereknya sama namun diproduksi di banyak negara.
Perusahaan perminyakan termasuk yang paling banyak melakukan kegiatan outsourcing,
baik di dunia maupun di Indonesia. Kegiatan yang disubkontrakkan tidak hanya bidang
transportasi, konsumsi, atau asuransi, tetapi meluas ke berbagai hal strategis lainnya.
Mulai dari survei seismic untuk mencari cadangan minyak dan gas hingga kegiatan
eksplorasi serta eksploitasi. Mereka menyewa rig untuk eksploitasi migas lepas pantai,
dan menyerahkan perawatan peralatan kepada ahli dari Schlumberger, misalnya.
Langkah Pertamina memperkenalkan praktik Kontraktor Production Sharing (KPS) sejak
tahun 70-an, sejatinya juga tergolong kegiatan outsourcing. Di situ, KPS diberi hak
mengelola blok-blok migas tertentu sebagai mitra Pertamina.
Kecuali karena beberapa alasan di atas, tidak dapat dipungkiri, ada juga perusahaan
multinasional yang menerapkan outsourcing dalam upaya menekan biaya buruh atau
tenaga kerja. Praktik global outsourcing yang terjadi pada industri sepatu maupun
industri TPT (tekstil dan produk tekstil) - dua industri yang sering disebut sebagai sunset
industry karena selalu mencari lokasi dengan biaya produksi termurah - tergolong pada
kategori di atas. Merek-merek global itu selalu mencari negara-negara dengan biaya
buruh murah untuk basis produksi. Produk akhirnya dijual dengan dolar, yang harganya
bisa 10 kali lipat dari harga pembelian merek tersebut dari para produsen. Sementara,
gaji tenaga kerja tetap dibayar mengikuti standar minimum macam UMR (Upah Minimum
Regional) atau UMP (Upah Minimum Propinsi).
Namun demikian, melimpahnya pasokan tenaga kerja dibandingkan lapangan kerja yang
tersedia, menyebabkan para tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain, selain menerima
fakta tersebut. Itu pulalah yang terjadi di Indonesia, saat pengangguran makin menjadi-
jadi pasca krisis ekonomi 1997. Dewasa ini, tingkat pengangguran telah mencapai 44 juta
orang lebih akibat lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan terus bertambahnya
tenaga kerja baru. Artinya, rata-rata di setiap rumah tangga, yang bekerja penuh hanya
satu orang saja. Sisanya menganggur. Hukum ekonomi menyebut fakta ini sebagai
seller's market, di mana pasokan buruh terlalu besar dibandingkan permintaan, sehingga
harga buruh cenderung tertekan.
Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, outsourcing sangat membantu mengurangi
pengangguran tersebut. Para pekerja bisa mendapatkan pekerjaan, meskipun dalam
bentuk kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu (PKWT/Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu). Upah yang diterima bahkan bisa lebih besar untuk pekerjaan tertentu karena
sifatnya kontrak. Pilihan bagi pencari kerja adalah, menerima semua kondisi ini atau
tetap menjadi pengangguran. "Saya kira, pilihan pertama jauh lebih baik," tukas
Kemalsjah Siregar, Managing Partner Firma Hukum Kemalsjah Chemby Avriline.
Dengan bekerja, lanjutnya, karyawan bisa bersosialisasi dengan baik dan mengasah
keterampilannya. Jika ada lowongan yang sesuai dan bisa memberikan gaji serta fasilitas
yang diharapkan, ia bisa melamar untuk mengisi lowongan tersebut. Daripada jadi
pengangguran dan tinggal di rumah, jelas ini sebuah pilihan yang jauh lebih baik.
"Manfaat utama outsourcing akan sangat dirasakan oleh para lulusan baru yang kesulitan
untuk memasuki dunia kerja," kata Ismaila Tyastanto, Managing Director PT HITSS
Sumberdaya Nusantara Konsultan, sebuah perusahaan jasa outsourcing. Kebanyakan
perusahaan pemberi jasa outsourcing (user) mencari tenaga kerja berusia muda untuk
menangani bidang pekerjaan tertentu. Selain gajinya lebih murah, anak-anak muda itu
masih mudah dididik, haus pengalaman, dan bisa bekerja keras. Perusahaan tidak
merasa rugi jika harus memberikan pelatihan pembekalan bagi mereka dalam
mengerjakan tugasnya secara profesional.
Melalui perusahaan jasa outsourcing, mereka bisa bekerja di perusahaan-perusahaan
besar, meskipun bukan menjadi karyawan perusahaan besar itu. Dalam situasi normal,
peluang bekerja di perusahaan besar itu belum tentu tersedia. Apalagi, setelah krisis
ekonomi, perusahaanperusahaan kini sangat berhati-hati menambah karyawan. Mereka
ingin seramping mungkin dan terhindar dari kompleksitas aturan ketenagakerjaan.
Konsekuensi dari penambahan karyawan permanen tidak hanya menyangkut gaji dan
fasilitas, tetapi juga dana pensiun dan jenjang karir. Oleh sebab itu, mereka menyiasati
kebutuhan tenaga kerja akibat tuntutan perkembangan usaha diisi melalui outsourcing.
Tidak semua kalangan internal perusahaan menerima praktik outsourcing ini dengan
tangan terbuka. Serikat Pekerja (SP) dan karyawan tetap, misalnya, cenderung menolak
gagasan outsourcing ini. Mereka khawatir praktik ini akan mengancam posisi karyawan
tetap dan mengacaukan system remunerasi perusahaan. "Karyawan tetap merasa was-
was, setiap saat mereka bisa saja diganti karyawan outsourcing atau bila bagiannya di-
outsource ke luar," ujar seorang karyawan senior sebuah bank yang enggan disebutkan
namanya.
Kekhawatiran ini, agaknya, terlalu berlebihan. Kalaupun bagian dia dioutsource ke luar,
perusahaan juga tidak semenamena. Misalnya departemen atau divisi teknologi
informasi. Bila disubkontrakkan kepada perusahaan penyedia jasa secara penuh, mulai
dari peralatan hingga SDMnya, ada satu perjanjian yang menyebutkan seluruh karyawan
departemen/divisi tersebut harus diambil-alih oleh perusahaan jasa penerima
outsourcing. "Otomatis, mereka berubah status menjadi karyawan kami, dengan sistem
remunerasi yang bersaing," ungkap Andreas R. Diantoro, Managing Director Hewlett-
Packard Indonesia. HP Indonesia menerima outsourcing peralatan TI (PC, server,
mainframe, printer, dan lainnya) berikut pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan
yang beroperasi di sini. Jasa penyewaan ini untuk produk PC disebut dengan seat
management. Selain menyediakan piranti keras, pengelolaan dan perawatan peralatan
dilakukan sepenuhnya oleh orang-orang HP. "Ini akan membuat biaya operasional dan
investasi perusahaan bisa ditekan," tambahnya.
Tentang tuduhan praktik outsourcing sebagai bentuk perbudakan baru atau modern? "Itu
jelas tidak berdasar," tukas Iftida, Ismaila, dan Hasanuddin Rahman. Meski mengaku ada
juga perusahaan outsourcing yang nakal, mereka menilai tuduhan itu muncul dari orang
yang tidak paham tentang manajemen bisnis. Sebelum bekerja, pekerja maupun
perusahaan telah membuat kesepakatan yang jelas dan saling menguntungkan. "Lagi
pula, sebagian besar perusahaan jasa outsourcing dimiliki atau dikelola oleh orang-orang
yang telah lama bergerak di bidang SDM sehingga tidak mungkin mereka semena-mena,"
ungkap mereka.
KONTROVERSI PERATURAN

Sejatinya, Indonesia belum memiliki Undang-Undang atau Peraturan Hukum yang secara
jelas mewadahi kegiatan outsourcing. Menurut Purbadi Hardjoprajitno, SH., dari Firma
Hukum Purbadi Associates, satu-satunya referensi hukum tentang outsourcing adalah UU
N0. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 64, 65, dan 66. UU itu tidak menyebutkan
outsourcing, melainkan hanya tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa tenaga kerja. Dengan demikian, sebuah perusahaan bisa
memborongkan sebagian pekerjaan atau pekerjaan tertentu kepada perusahaan
pemborong pekerjaan. Atau menyerahkan tenaga pengelola kepada perusahaan jasa
penyedia tenaga kerja. Meski tidak letterlijk menyebut outsourcing, kedua hal itu kiranya
bermakna outsourcing.
Walaupun begitu, terdapat sejumlah kerancuan pada pasal-pasal tentang kegiatan
outsourcing dalam UU No. 13 tersebut, jika praktik pemborongan pekerjaan dan tenaga
kerja itu dianggap sama dengan outsourcing. Pasal 65 menyebutkan, pekerjaan yang
dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat berikut:
dilakukan terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung/tidak
langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan, dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Pasal 66 menjelaskan, pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi (core business), kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi (dalam penjelasan Pasal 66 disebutkan, antara lain, cleaning service, catering,
satpam, usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, angkutan pekerja).
Benang merah dari kedua pasal itu adalah adanya batasan jenis-jenis kegiatan yang
boleh diborongkan dengan yang tidak. Di sinilah muncul ketidakjelasan atau kerancuan
penafsiran tentang UU tersebut. S. Lumban Gaol, Direktur Persyaratan Kerja
Depnakertrans, menegaskan, ada perbedaan mendasar antara outsourcing dalam dunia
bisnis dengan pengalihan pekerjaan dan tenaga kerja kepada pihak lain dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 itu. "Dalam dunia bisnis, semua pekerjaan bisa
dioutsourcing, sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan pekerjaan yang bisa diborongkan
kepada pihak lain adalah pekerjaan yang sifatnya penunjang, bukan pekerjaan pokok
atau core business," ujarnya.
Ia memberi contoh, pekerjaan teller di perbankan termasuk pekerjaan pokok, karena
kegiatan perbankan akan terhenti secara keseluruhan kalau pekerjaan teller terhenti atau
terganggu. Oleh karena itu, menurutnya, pekerjaan teller tidak bisa diborongkan atau
diserahkan kepada pihak lain. Bila pihaknya menemukan pelanggaran, maka
Depnakertrans akan memaksa perusahaan bersangkutan merekrut karyawan tersebut
menjadi karyawannya. "Tidak ada sanksi pidana atas pelanggaran ini. Tapi demi hukum,
dengan sendirinya karyawan itu harus menjadi karyawan perusahaan tersebut,"
jawabnya.
Menurut DR. H. Hasanuddin Rahman, Ketua DPN Apindo Bidang Hubungan Industrial
Advokasi, ketidakjelasan utama UU tersebut adalah soal definisi core business sebuah
perusahaan. "Pemerintah dan pelaku usaha memang belum sepaham tentang banyak hal
dari kegiatan outsourcing," katanya serius. UU tersebut menilai core business terkait
dengan proses produksi. Sementara kemajuan jaman menyebabkan kegiatan produksi
atau core business itu bergeser.
Seperti produsen mobil Toyota di Jepang, sebagian besar pengerjaan produknya
diserahkan kepada perusahaan lain. Di Indonesia, pabrik-pabrik otomotif juga menuju ke
sana. Paling-paling mereka hanya memproduksi komponen penting macam mesin,
transmisi, dan axle. Sisanya diserahkan pengerjaannya kepada perusahaan komponen.
Bila UU itu diterapkan, praktik bisnis global ini tidak cocok dan menjadi terlarang.
Bagaimana dengan bisnis jasa? Sami mawon. Teller dan layanan nasabah di perbankan,
misalnya, termasuk kegiatan core business. Tapi, jika perusahaan menetapkan fungsi
teller bukan merupakan core business karena bisa digantikan oleh mesin ATM dan
delivery channel lainnya, maka jabatan-jabatan tersebut kini mulai di-outsourcing ke
perusahaan lain karena perusahaan merasa tidak efisien lagi mengelolanya. Praktik ini
dilakukan oleh bank-bank global ataupun bank-bank besar lokal. Bagi perbankan global,
hal ini sudah menjadi praktik bisnis global sehingga mereka tinggal mengadopsinya di
Indonesia. Bahkan, dalam bisnis kartu kredit, proses bisnisnya banyak yang di-
outsourcing ke perusahaan lain. Mereka mengandalkan karyawan outsourcing untuk
mengelola bisnis, pemasaran, penagihan, dan layanan nasabah.
N. Krisbiyanto, GM Human Resources PermataBank, menangkap kesan adanya kekeliruan
penafsiran berbagai pihak - termasuk pemerintah - saat ini terhadap praktik outsourcing.
"Yang terjadi di Indonesia sebetulnya baru pada taraf contracting, belum sampai ke
outsourcing," ujarnya serius. Padahal, menurut Kris�- begitu sapaan akrabnya - dua hal
itu sangat berbeda. Kris mungkin benar. Apa yang tertulis di UU Indonesia lebih berbau
contracting ketimbang outsourcing. Dalam kegiatan contracting, perusahaan pemberi
kerja berperan penuh dalam kontrol proses bisnis dan atas kualitas kerja. Sementara
perusahaan penyedia jasa hanya menyediakan tenaga kerja dan mengikuti standard
proses bisnis.
Secara definisi, menurut Kris, outsourcing adalah suatu pendelegasian dari satu atau
beberapa proses bisnis kepada pihak luar di mana pihak tersebut akan melakukan proses
administrasi dan proses manajemen tertentu berdasarkan definisi dan ukuran kinerja
tertentu, yang telah disepakati bersama dalam satu kontrak kerja antara pemberi kerja
dan penyedia jasa.
Untuk mengatasi ketidakjelasan peraturan ini, diperlukan peraturan pelaksana yang
menyempurnakan UU No. 13 2003 itu berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja
(Kepmenaker). Salah satu kemungkinan, menurut Drs. S. Sianturi, Ketua P4 Pusat, adalah
dengan memberikan batasan mana pekerjaan yang tergolong core business dan mana
yang tidak untuk seluruh jenis industri. Atau membuat daftar jabatan/posisi yang
termasuk core dan yang tidak. "Bisa pula dengan memberikan kebebasan bagi masing-
masing perusahaan atau paling tidak masing-masing subsektor untuk merumuskan
sendiri pekerjaan yang tergolong core dan non-core," ujarnya.
Mewakili kalangan pengusaha, Hasanuddin Rahman juga meminta pemerintah untuk
menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan untuk menentukan kegiatan yang di-
outsourcing dan yang tidak. "Perusahaanlah yang paling tahu tentang jenis kegiatan yang
perlu di-outsourcing dan mana yang tidak. Yang penting, perusahaan melakukannya
tanpa merugikan siapapun," tukas Ketua Tim Perumus RUU Ketenagakerjaan
Apindo/Kadin Indonesia itu. Hal senada disampaikan Sofjan Wanandi, Ketua Umum
Apindo. "Kita semua harus realistis. Ekonomi masih sulit, sementara peraturan
ketenagakerjaan begitu banyak dan ada yang tumpang tindih. Bagi perusahaan,
outsourcing adalah pilihan yang tidak terhindarkan," tegasnya serius.
Di tengah persaingan bisnis yang menajam, perusahaan punya hak untuk melakukan
strategi bisnis yang memungkinkan mereka untuk bertahan dan berkembang. Tanpa
kehadiran perusahaan yang sehat dan berkembang, penciptaan lapangan kerja sulit
terwujud. Tanpa dukungan karyawan prefesional, perusahaan juga sulit berkembang.
Keduanya berkaitan erat satu sama lain.
Hanya saja, menurut Ismaila, pemerintah tidak perlu terlalu jauh ikut campur tangan
mengatur bisnis outsourcing. "Di manapun, pemerintah yang terlalu mengatur hasilnya
malah tidak baik," tegasnya. Salah satu ekses dari UU Ketenagakerjaan, para pegawai
Depnakertrans kerap memata-matai dan menginterogasi pegawai kontrak di berbagai
perusahaan. Niat baik Depnakertrans untuk melindungi kepentingan pekerja seringkali
menimbulkan masalah, khususnya mengganggu ketenangan bekerja para karyawan
perusahaan tersebut. Dikhawatirkan tindakan seperti ini menimbulkan ekses lain, seperti
upaya pemerasan, suap-menyuap, dan sejenisnya.
Eddy S. Tjahja malah mempertanyakan apakah praktik outsourcing sudah saatnya untuk
diatur. "Bisnis ini masih terlalu kecil untuk disebut sebuah industri di Indonesia.
Pengaturan kiri-kanan justru membuat bisnis ini tidak berkembang," tambahnya.
Pengaturan yang terlalu rigid akan menyulitkan dalam pelaksanaannya karena semakin
kompleksnya manajemen perusahaan, berkembangnya bentuk-bentuk baru pengelolaan
pekerjaan yang tidak dikenal sebelumnya, baik karena kompetisi maupun globalisasi
bisnis melalui kehadiran perusahaan multinasional.
Nafas dari peraturan yang dibuat pemerintah tentu untuk melindungi kepentingan
berbagai pihak, khususnya tenaga kerja. Tidak seperti di luar negeri, Drs. S. Sianturi
berpendapat, praktik outsourcing di Indonesia lebih banyak dilakukan untuk menekan
biaya tenaga kerja. Hal itu terlihat dari hubungan kerja yang selalu dalam bentuk kontrak,
upah lebih rendah, jaminan sosial dalam batas minimal, tidak adanya job security, dan
tidak adanya jaminan pengembangan karir.
Pendapat yang lebih kritis disampaikan oleh Yanuar Nugroho, Direktur The Business
Watch Indonesia. "Outsourcing mengaburkan bentuk hubungan industrial yang tidak
menguntungkan buruh. Ada beberapa hak buruh yang terpangkas dan bila ada
perselisihan, terjadi saling lempar tanggung jawab antara perusahaan pemberi pekerjaan
dengan perusahaan penyalur tenaga kerja," ungkapnya. Yanuar menilai, konsekuensi
terbesar dari outsourcing adalah munculnya job insecurity. Selain mereka bekerja hanya
selama masa kontrak yang relative pendek, ketidakpastian pekerjaan juga muncul
selama masa kontrak kerja berlangsung. "Meski dalam keadaan sakit, si pekerja akan
tetap masuk kerja karena takut kontraknya tidak diperpanjang."
Kritik semacam ini perlu menjadi masukan bagi perusahaan pemberi kerja maupun
perusahaan penerima kerja melalui outsourcing. Anggapan bahwa outsourcing sebagai
bentuk perbudakan baru atau perbudakan modern harus direspons secara bijak. UU No.
13 2003 telah menggarisbawahi bahwa perlindungan dan syarat kerja karyawan kontrak
minimal sama dengan yang berlaku di perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan.
Maknanya jelas. Karyawan outsourcing yang ditempatkan di satu perusahaan harus
memperoleh gaji dan fasilitas yang sama dengan karyawan tetap level yang sama di
perusahaan itu atau minimal mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Pelanggaran atas ketentuan ini harus secepatnya dikoreksi. Bagaimanapun, para
karyawan kontrak adalah asset utama perusahaan jasa outsourcing. "Kesejahteraan
mereka perlu diperhatikan agar mereka bekerja secara sungguh-sungguh," Finny
Widiyanti, Senior Manager PT Solusi Mitra Kerja, mengingatkan. Bila klien puas, kontrak
kerja dengan perusahaan jasa outsourcing itu tentu akan terus diperpanjang. Hal itu juga
menyebabkan kontrak kerja terhadap karyawan kontrak terus diperpanjang.
SEBUAH KENISCAYAAN

Satu hal yang pasti, praktik bisnis outsourcing sudah menjadi keniscayaan bagi
perusahaan. Di negara maju macam Amerika, dari hari ke hari semakin banyak fungsi
organisasi yang disubkontrakkan kepada perusahaan lain yang lebih pakar dan efisien di
bidangnya. Fungsi dan proses bisnis di bidang teknologi informasi (TI) diserahkan kepada
perusahaan TI raksasa seperti IBM dan HP yang lebih ahli di bidangnya. Kedua raksasa ini
melayani outsourcing penuh di bidang TI, mulai dari perangkat keras, lunak, hingga SDM,
melalui IBM Services dan HP Services.
Fungsi dan proses bisnis audit diserahkan kepada perusahaan audit terkemuka seperti
PricewaterhouseCopper, Ernst & Young, Deloitte, dan banyak lagi. Oleh perusahaan audit
raksasa ini, pengerjaan audit yang bersifat teknis dioutsourcing lagi kepada perusahaan
audit yang lebih kecil. Begitu pula fungsi dan proses bisnis manajemen SDM yang disebut
dengan HR Outsourcing�- meliputi pengelolaan gaji dan layanan informasi SDM. Nilai
total outsourcing proses bisnis (Business Process Outsourcing) bidang SDM di Amerika
diperkirakan tumbuh dari US,5 miliar menjadi US miliar tahun ini. Sungguh sebuah nilai
yang sangat besar. Belakangan, outsourcing proses bisnis di bidang pelatihan dan
pembelajaran juga semakin menjadi tren.
Apakah dunia kiamat dengan meluasnya praktik outsourcing ini? Tentu saja tidak. Bahkan
di negara Jepang sekalipun, yang dikenal dengan filosofi kerja seumur hidup (lifetime
employment), praktik outsourcing meluas pula diterapkan. Jaman terus berubah dengan
berbagai konsekuensinya. Hari ini, kita mungkin masih belum siap dan merasa tidak
nyaman dengan status pegawai kontrak itu. Beberapa tahun lagi, semuanya bisa saja
berubah seiring dengan berubahnya paradigma dunia kerja. Bagi profesional berprestasi,
status karyawan kontrak itu bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan.
Apa yang perlu dilakukan kini adalah sosialisasi praktik outsourcing ini secara benar.
Sosialisasi itu harus dilakukan pemerintah bekerjasama dengan para pelaku bisnis.
Sosialisasi terbaik tentunya melalui pemberian contoh positif oleh perusahaan jasa
outsourcing dalam mengelola karyawan kontrak. Kecuali itu, sosialisasi perlu untuk
memberikan gambaran bahwa outsourcing tidak hanya untuk pegawai rendahan atau
kelas asisten manajer.
Auditsi, sebuah perusahaan jasa outsourcing di Indonesia, bahkan melayani pula
outsourcing hingga level Presiden Direktur atau Chief Executive Officer (CEO). Sebuah
perusahaan besar asing kini sedang mencari CEO untuk dikontrak 2 tahun dengan gaji
US.000 plus bonus US.000 per bulan (total US.000 per bulan). Penghasilan yang sangat
besar untuk ukuran Indonesia, bukan?
Sosialisasi perlu juga dilakukan kepada perusahaan-perusahaan pemakai jasa outsourcing
agar mereka memahami betul filosofi dasar dari kegiatan outsourcing ini, yaitu untuk
mendapatkan biaya yang efektif (cost effective). Ada perusahaan yang salah kaprah
menerapkan prinsip cost effective ini dengan benar-benar menekan biaya. Padahal,
prinsip itu bermakna mengeluarkan biaya yang tepat guna. "Perusahaan harus melihat
mana biaya tetap yang bisa diubah menjadi biaya variabel," tutur Ismaila. Baik Iftida
maupun Ismaila meminta perusahaan untuk bertindak bijak dengan mau membayar
sedikit lebih mahal sehingga kualitas yang diperoleh user jauh lebih bagus. "Kalau
maunya murah-murah melulu, hasilnya juga tidak akan bagus," tukas mereka di tempat
terpisah.
Kemauan berbagai pihak untuk terus menyempurnakan pelaksanaan praktik outsourcing
diyakini akan mempercepat perkembangan bisnis outsourcing secara profesional. Tahun
ini, eksekutif Persaels Farid Aidit memperkirakan kebutuhan karyawan outsourcing baru
sekitar 15.000 pegawai. "Setidaknya hal ini bisa membantu penyerapan tenaga kerja dan
mengurangi pengangguran," tukasnya.
Terobosan dalam penciptaan lapangan kerja baru memang perlu diambil pemerintah
mengingat tingkat pengangguran yang terus bertambah dan berkurangnya kesempatan
kerja di sektor formal sejak 2001 hingga 2003. Pemerintah sendiri, menurut Direktur
Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas Dr. Ir. Bambang Widianto, MA., menilai
perlunya diterapkan Flexible Labor Market Policies, antara lain, dengan outsourcing.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja di sector yang relatif
modern, memungkinkan perpindahan pekerja dari pekerjaan dengan produktivitas rendah
ke pekerjaan yang memiliki produktivitas lebih tinggi, dan mempertahankan atau
meningkatkan kesejahteraan bagi mereka yang masih berada di sektor informal.
Di tengah keterpurukan perekonomian saat ini, tidak banyak pilihan yang tersedia bagi
angkatan kerja. Mereka dihadapkan pada pilihan bekerja dengan kondisi yang kurang
memuaskan atau tetap menganggur. Tumbuhnya bisnis outsourcing professional
diharapkan memperbaiki pilihan sulit itu.
Implementasi Balanced Scorecard di Singapura
No. 04 - Tahun 2004
Tulisan ini memaparkan penggunaan Balanced Scorecard (BS) pada dua organisasi di
Singapura: Pengadilan Rendah (Subordinate Courts) dan Centrepoint Properties. Informasi
dalam tulisan ini didasarkan pada bahan-bahan yang akan muncul dalam buku
Succeeding with the Balanced Scorecard: an Asian Perspective" yang sedang disiapkan
oleh kedua penulis.
PENDAHULUAN.
Singapura adalah pintu gerbang dalam pemanfaatan BS di kawasan Asia. Kedua kasus
perusahaan yang menjadi contoh dalam tulisan ini telah menerapkan BS semenjak 1998.
Bahkan Subordinate Courts berkeyakinan bahwa penerapan BS di lembaga ini merupakan
yang pertama di sektor peradilan di dunia.
BS adalah sistem manajemen strategi dan sistem implementasi yang terdiri dari Peta
Strategi dan sebuah scorecard pengukuran strategik, target, dan inisiatif yang
mengikutinya.
SUBORDINATE COURTS
Dengan 500 karyawan, Subordinate Courts menangani lebih dari 95% beban kasus di
pengadilan Singapura. Sebagai tindak lanjut dari pengetahuan yang diperolehnya
tentang BS dari program manajemen Harvard Business School, pimpinan tertinggi
Subordinate Courts Richard Magnus memutuskan untuk membuat proyek percontohan BS
dalam divisi tuntutan hukum berskala kecil (salah satu dari 5 divisi yang ada di
Subordinate Courts). Pilihan terhadap divisi ini didasarkan kepada ukuran divisi yang
relatif kecil, terstruktur dengan jelas, dan manajemennya senantiasa menyukai
perubahan.
Sebuah komite pengarah yang berisikan Richard Magnus dan personel senior lainnya
menelaah dan memantau program percontohan ini. Setelah 6 masa uji-coba, hasilnya
terbukti bahwa BS menyediakan sistem pengukuran kinerja yang lebih maju dan jelas
dibandingkan sistem yang saat ini ada. Perubahan menarik pun segera dimulai. Ms Chan
Wai Yin, Direktur Unit Riset dan Statistik, berkomentar:
"Proyek percontohan ini menunjukkan bahwa dalam menggunakan BS, matriks beban
organisasi lebih bisa diramalkan dibandingkan sistem sebelumnya, yang lebih bersifat
preskriptif dan berdasarkan aduit." Selanjutnya, ia berkata:
"Kami juga mendapatkan BS meningkatkan secara signifikan komunikasi. Sebagai sebuah
sistem dua-arah di mana karyawan bisa memberikan laporan yang lebih baik dan
mendiskusikan kinerja, kami mendapatkan fakta bahwa ia mengubah keseluruhan
paradigma dalam memantau, meningkatkan, dan mengukur kinerja kerja."
Sembari proyek percontohan itu berjalan, lembaga ini berupaya agar seluruh divisi
lainnya juga selalu mendapatkan informasi tentang kemajuan pekerjaan dalam rangka
membangun kesiapan dan secara pre-emtif mengatasi kesulitan kultural yang mungkin
muncul, seperti sekitar masalah ketakutan dalam pengukuran, misalnya.
Di akhir 1999, proyek berskala penuh secara resmi dimulai. Diawali pada level korporat
dan kemudian diteruskan ke level divisi. Proses pekerjaan memakan waktu sekitar 9
bulan.
Terdapat satu perubahan besar yang terjadi antara proyek percontohan dan proyek resmi
berskala penuh. BS pada proyek percontohan mencakup 4 perspektif dari keuangan
pelanggan (ini tipikal lembaga di sektor publik di mana perspektif pelanggan dianggap
sebagai perspektif utama), proses internal, proses pembelajaran, dan pertumbuhan. BS
yang direvisi, disebut juga Justice Scorecard, memungkinkan public memahami konsep
secara lebih baik, mencakup 3 perspektif - komunitas, organisasi, dan karyawan.
Wai Yin berkata: "Dalam perspektif komunitas, tujuan keseluruhan adalah menjaga
kepercayaan dan keyakinan publik. Perubahan dari Customer menjadi Community
dilakukan untuk lebih jelas merefleksikan fakta bahwa Subordinate Courts mesti
memperhatikan secara serius bukan hanya dengan siapa lembaga ini berhubungan setiap
hari dalam bidang pengadministrasian peradilan, tetapi juga terhadap komunitas yang
harus dilindungi saat keadilan itu diputuskan."
Di lapis menengah, dalam perspektif organisasi, terdapat operasi internal - sebuah
kombinasi antara persepektif finansial maupun proses internal. Menurut Wai Lin,
tanggung jawab finansial, meskipun bukan menjadi tugas utamanya, masih tetap menjadi
bagian integral dari operasional sebuah organisasi publik secara efektif dan efisien. Jadi,
komponen finansial diletakkan sebagai bagian dari perspektif organisasi. Perspektif ini
memungkinkan untuk menentukan bagaimana tipe layanan yang dibutuhkan komunitas
bisa diberikan secara efektif dari sisi biaya dan paling inovatif. Sehingga bisa terwujud
tujuan dari adanya institusi publik yang dinamis.
Bagian terakhir, yakni perspektif karyawan, ditempatkan sebagai fondasi dari piramid. Ia
berkata:
"Dalam upaya membangun tim karyawan yang termotivasi dan dikendalikan oleh
pengetahuan, kami memberi penekanan terhadap upaya membangun sumberdaya
manusia yang memenuhi permintaan terhadap pengadministrasian keadilan dalam
sebuah masyarakat berpengetahuan. Pengukuran kinerja dikembangkan dalam perspektif
ini menjamin bahwa seluruh upaya dilakukan untuk melengkapi para staf dengan
pelatihan, motivasi, dan kesiapan terkait, sekaligus untuk mendorong tumbuhnya kultur
pembelajaran yang kuat di jajaran pengadilan."
Desain final BS juga dipengaruhi oleh upaya benchmarking yang dilakukan oleh tim
fasilitasi BS pada lembaga peradilan yang dipimpin oleh Hakim Distrik Valerie Thean. Tim
tersebut belajar dari implementasi BS pada the City of Charlotte, North Carolina, AS dan
metode manajemen kinerja yang dimanfaatkan sistem peradilan lainnya. BS terbukti
sangat hebat untuk membuat orang memahami bagaimana menghubungkan apa yang
mereka kerjakan setiap hari terhadap visi dan misi organisasi. "Kami menjaga agar BS
tetap sederhana. Sebagai contoh, kami punya 14 objektif strategic terhadap BS
perusahaan. Sehingga menjaga agar karyawan tetap fokus pada hal-hal kritikal dalam
mendorong kinerja. Bila BS terlalu kompleks dan kacau, Anda bisa berhenti dan balik ke
belakang ke bagian mana Anda memiliki alat ukur yang komprehensif yang tidak
mempengaruhi strategi."
Naresh Makhijani MSID, CMC, MBA., B.Sc adalah direktur Balanced Scorecard Solutions,
Singapura, dan Advisor OTI, Indonesia. James Creelman bermukim di London.
Sumber: Majalah Human Capital No. 04 | Tahun 2004
Belajar dari MNC
No. 03 Tahun 2004
Ketika Louis V. Gerstner, Jr memutuskan menerima tawaran untuk menjadi Chairman dan
CEO IBM Corp. 1 April 1993, kondisi keuangan dan kinerja bisnis si raksasa biru sangat
berat. Total pendapatan IBM dan anak perusahaannya hanya US,5 miliar dengan
pendapatan bersih minus US,0 miliar. Hampir semua bisnis IBM mencatat kerugian. Satu-
satunya yang masih positif adalah bisnis mainframe, yang selama ini memang menjadi
andalan IBM. Tetapi, itu pun hanya menunggu waktu. Paul Rizzo, eksekutif IBM,
mengatakan kepada Gerstner bahwa pendapatan bisnis mainframe terus turun dari US
miliar tahun 1990 dan diperkirakan menjadi US miliar saja tahun 1993. Pendapatan per
saham minus US,17 dan imbal hasil ekuitas (Return on Stockholders' Equity) minus
15,4%. Harga saham per 31 Maret 1993 hanya US,72.
Semua fakta ini, tak pelak lagi, menunjukkan betapa buruknya kondisi bisnis IBM.
Sampai-sampai Thomas J. Watson Jr., mantan Chairman dan CEO IBM yang juga putera
pendiri IBM Thomas J. Watson Sr., harus ikut turun tangan meyakinkan Gerstner untuk
menerima tawaran memimpin IBM itu. Tanpa pemulihan total (total turnaround), IBM
yang menjadi salah satu kebanggaan Amerika bakal tinggal kenangan.
Banyak sekali langkah strategis dan taktis yang dilakukan Gerstner untuk memulihkan
bisnis IBM. Salah satu yang paling menarik adalah menyangkut budaya korporat IBM. Di
awal 90-an, jika mendengar nama IBM, kata dan citra yang muncul di pikiran seseorang
adalah "komputer besar", "PC", "ThinkPad", dan lainnya. Pada saat yang sama, orang
akan berpikir tentang "perusahaan besar", "konservatif", "handal", dan "seragam celana
gelap dan baju putih".
Deskripsi yang terakhir ini jelas tidak berkaitan dengan produk dan layanan IBM,
melainkan terkait dengan orang-orang IBM dan budaya bisnisnya. Sebelum sampai di IBM
(ia telah malang-melintang sebagai CEO perusahaan raksasa), Gerstner berpikiran bahwa
budaya korporat hanyalah satu dari beberapa elemen penting dalam membuat organisasi
sukses�- bersama-sama dengan visi, strategi, pemasaran, keuangan, dan seterusnya.
Begitu masuk ke IBM, ia menyadari kekeliruan tersebut. "Budaya korporat bukan hanya
salah satu aspek dari kesuksesan perusahaan. Ia adalah kesuksesan itu sendiri." Sebuah
organisasi, pada akhirnya, tidak lebih dari kapasitas kolektif dari orang-orangnya untuk
menciptakan nilai (value). Visi, strategi, dan seterusnya itu tidak akan bisa membuat
sukses bila tidak menjadi elemen dari DNA perusahaan itu sendiri.
Dalam membangun budaya dan jiwa IBM, peran Thomas Watson Sr. sangat luar biasa.
Pengalaman Watson sebagai seorang pengusaha yang berangkat dari nol menumbuhkan
budaya menghargai, kerja keras, dan perilaku etis di IBM. Watson menyadari bahwa
budaya dan nilai-nilai itu harus diinstitusikan supaya menjadi acuan bagi seluruh
pemimpin dan karyawan IBM. Ia menyimpulkannya dengan membuat istilah "Keyakinan
Dasar" (Basic Beliefs), yang terdiri dari 3 hal: (a) Excellence in everything we do, (b)
Superior customer service, (c) Respect for the individual.
Institusionalisasi "Keyakinan Dasar" itu tidak hanya dengan menempelkannya berupa
slogan di dinding-dinding kantor. Ia direfleksikan dalam sistem remunerasi, sekolah
manajemen, program pendidikan dan pelatihan karyawan, dalam pemasaran, maupun
layanan pelanggan. Ia menjadi doktrin perusahaan.
Selama bertahun-tahun, hal itu berjalan dengan sukses. Hanya saja, lingkungan terus
berubah dan kerapkali hal itu tidak diikuti dengan penyesuaian terhadap implementasi
budaya itu. Salah satu contoh bagus adalah seragam karyawan IBM. Sudah jadi rahasia
umum bahwa tenaga penjual IBM selalu berpakaian bisnis formal. Tom Watson membuat
aturan ini bagi para eksekutif perusahaan. Tetapi, sebetulnya, esensi di balik aturan itu
adalah hargailah pelanggan, dan berpakaianlah dengan rapih. Atas dasar itu, Gerstner
menghapus ketentuan pakaian formal seperti itu tahun 1995 yang sempat menimbulkan
banyak berita negatif di koran. Berpakaian disesuaikan dengan keadaan dan dengan
siapa Anda bertemu.
Ambil contoh "Keyakinan Dasar" itu. Kondisi saat ia dideklarasikan tahun 1962 dengan
kondisi 1993 sangat berbeda. Misalnya soal superior customer service. Selama masa
hegemoni IBM, layanan pelanggan berarti "menservis mesin IBM sesuai permintaan
pelanggan" ketimbang memberi perhatian terhadap perubahan lingkungan bisnis klien
dan memberikan solusi yang sesuai. Layanan pelanggan lebih menjadi pekerjaan
administratif.
Hal yang sama terjadi pada excellence in everything we do. Semua orang ingin bekerja
excellence tapi konsekuensinya pengambilan keputusan jadi lambat. Saat bergabung
dengan IBM, Gerstner mengatakan, produk mainframe baru diumumkan setiap 4-5 tahun.
Karenanya, ada lelucon di IBM awal 90-an: "Products aren't launched at IBM. They
escape." Saat ini rata-rata peluncuran produk baru menjadi 18 bulan saja.
Agaknya, "Keyakinan Dasar" yang paling dahsyat pengaruhnya�- dan paling banyak
disalahgunakan�- adalah respect for the individual. Di satu sisi, hal ini menyebabkan
karyawan merasa aman dan tenang bekerja dengan imbalan yang baik. Namun, di sisi
lain, perasaan itu menyebabkan karyawan tidak termotivasi untuk bekerja dengan kinerja
tinggi. Orang-orang terbaik IBM mendapatkan remunerasi yang lebih kecil dari rata-rata
industri.
"Keyakinan Dasar" ini juga berarti karyawan IBM bisa melakukan apa saja sesuai aturan
perusahaan dengan pertanggungjawaban yang minim. Bila karyawan berkinerja pas-
pasan dan diberhentikan, perusahaan tidak menghargai individualitas Anda karena
perusahaan tidak melatih Anda dengan apa saja yang Anda ingin kerjakan. Jika bos
memerintahkan melakukan sesuatu dan karyawan tidak setuju, karyawan bisa
mengabaikan perintah itu.
"Ini masalah yang sangat serius," gumam Gerstner. Karyawan sangat tergantung pada
faktor pengalaman. Lebih dari itu, mereka tidak bisa melepaskan diri dari keyakinan
bahwa IBM dan karyawannya tergolong bagus, cerdas, dan kreatif. Hal ini jelas sangat
membahayakan kelangsungan usaha IBM.
Di luar itu, Gerstner mengidentifikasi berkembangnya "budaya tidak" di IBM, yaitu
kebiasaan setiap individu, tim, atau divisi untuk menolak persetujuan atau pekerjaan.
Kendati setiap jajaran perusahaan telah bersepakat, beberapa eksekutif bisa saja
memblok persetujuan bila persetujuan itu mengurangi peran mereka terhadap
perusahaan. Budaya ini telah menyebabkan lamanya pengambilan keputusan, banyaknya
kerja yang duplikatif, dan terganggunya kinerja organisasi secara keseluruhan.
Gerstner sadar, mengubah sikap dan perilaku ratusan ribu orang sangat sulit. Sekolah
bisnis tidak mengajarinya. Ia tidak bisa melakukan revolusi dari menara gading yaitu dari
kantor pusat semata. Gerstner juga tidak bisa hanya memberikan pidato atau menulis
kredo baru untuk IBM dan menegaskan budaya baru telah muncul. Apa yang bisa
dilakukan adalah menciptakan kondisi tranformasi. Itulah yang ditempuh Gerstner.
Manajemen, menurut Gerstner, tidak mengubah budaya korporat. Caranya, manajemen
mengundang karyawan untuk mengubah budaya korporat IBM. Hal ini pun tidak mudah
dengan alasan birokrasi dan karena banyak yang enggan mengambil tanggung jawab
terhadap hasilnya. Mereka lebih menunggu perintah bos. Tujuan perubahan budaya
terbesar yang dilakukan Gerstner adalah agar IBMer yakin kembali kepada diri mereka
sendiri �€“ yakin bahwa mereka menentukan nasib diri mereka maupun perusahaan,
dan mereka tahu apa yang seharusnya mereka ketahui.
Gerstner mengambil peran sentral dengan memberikan contoh langsung perubahan
budaya tersebut. Ia memulai dengan menjelaskan prinsip-prinsip perusahaan sebagai
penentu kinerja usaha. Prinsip-prinsip itu merupakan upaya membuat "Keyakinan Dasar"
IBM kembali berfungsi efektif. Bulan September 1993, ia mengumumkan 8 prinsip dasar
yang menjadi pilar budaya baru IBM ke seluruh karyawan IBM di seluruh dunia. Prinsip-
prinsip kepemimpinan tersebut sebagai berikut:
1. Pasar menjadi tenaga pendorong di balik apapun yang kita kerjakan
2. Inti bisnis IBM adalah perusahaan teknologi yang memiliki komitmen tinggi
terhadap mutu
3. Ukuran utama dari sukses adalah kepuasan pelanggan dan nilai bagi pemegang
saham
4. Kita beroperasi sebagai organisasi entrepreneurial dengan birokrasi minimum dan
senantiasa fokus pada produktivitas
5. Kita tidak pernah kehilangan focus terhadap visi strategik
6. Kita berpikir dan bertindak berdasarkan urgensi
7. Karyawan yang hebat dan berdedikasi membuat semuanya terjadi, terutama bila
mereka bekerja secara tim
8. Kita sensitif terhadap kebutuhan karyawan dan komunitas di mana kita beroperasi
Hasil dari serangkaian strategi perubahan yang dilakukan Lou Gerstner di IBM sungguh
luar biasa. Ia sukses membangun budaya berkinerja tinggi di IBM, sesuatu yang
menurutnya sulit didefinisikan tapi mudah dikenali. Para eksekutif perusahaan adalah
pemimpin yang sesungguhnya dan penuh inisiatif. Karyawan memiliki komitmen terhadap
sukses organisasi. Produk IBM muncul dengan cepat di pasar. Setiap orang peduli
terhadap mutu. Kehilangan klien kepada pesaing membuat karyawan marah dan kecewa.
IBM berhasil melakukan salah satu turnaround terbesar dalam sejarah korporasi dunia.
Saat pensiun dari IBM secara total 1 September 2002, kinerja IBM sangat mengkilap
kendati tahun 2000-2001 bisnis teknologi informasi sempat terpukul akibat hancurnya
bisnis dotcom. Pendapatan IBM 2001 tercatat US,9 miliar, pendapatan bersih US,7 miliar,
harga per saham US,35, dan arus kas dari operasi sebesar US,3 miliar. Hebatnya, harga
saham IBM mencapai titik tertinggi US0,96 per lembar dan imbal hasil investasi
berdasarkan ekuitas (ROE) tercatat 35,1% (bandingkan dengan minus 35,2% saat ia
pertama kali memimpin IBM). Wajar, bila Gerstner dengan bangga mengatakan: "Who
says elephants can't dance?"
GE dan Welch Way
No. 03 Tahun 2004
Tahun 1981, Jack Welch, 45, menjadi CEO ke-8 sekaligus termuda dalam sejarah General
Electric (GE). Saat pertama menjadi Chairman dan CEO, tujuan Welch adalah menjadikan
GE sebagai perusahaan yang paling kompetitif di dunia. Untuk mewujudkan tujuan itu, ia
yakin, dibutuhkan revolusi untuk mentrasformasikan mimpi itu menjadi kenyataan.
Sejarah menunjukkan bahwa Welch adalah pemimpin yang tepat pada waktu yang
sangat tepat. Saat ia mengambil-alih posisi puncak, dunia korporasi Amerika dalam
masalah. Kompetisi global yang baru dan kondisi ekonomi yang tidak bagus telah
mengubah ladang permainan, tapi hanya sedikit CEO yang mengenalinya. Model bisnis
korporasi Amerika tahun 1980 tidak pernah berubah selama beberapa dekade.
Tahun pertama Welch di posisi puncak adalah perjuangan tiada habis. Ia sendiri
mencanangkan revolusi, yang berarti perang terhadap cara lama GE dalam
melaksanakan segala sesuatu sekaligus reinventing dari atas hingga ke bawah. Dalam
dekade pertama kepemimpinannya, Welch merombak banyak hal, menutup atau menjual
ratusan unit usaha, menghapuskan lapisan manajemen, dan mentransformasikan cara
birokrasi perusahaan.
Hanya sedikit orang yang paham kenapa CEO hebat ini harus melakukan perubahan
dramatis itu. GE sudah dianggap sebagai produsen yang hebat di dunia, lantas kenapa
harus menata ulang sesuatu yang tidak bermasalah? Tetapi, Welch melihat perusahaan
kelebihan beban akibat strukturnya. Ia melihat bisnis tidak bertumbuh cukup cepat dan
budaya yang kurang mendorong munculnya ide dan inovasi baru.
Bagaimana Welch memimpin GE dibeberkan dalam buku berjudul The Welch Way, yang
tidak fokus pada strategi pertumbuhan spesifik dalam revolusi Welch. The Welch Way
lebih menekankan kekuatan perilaku dan kultural di balik strategi bisnis GE. Berikut
adalah beberapa kekuatan Welch yang bisa jadi inspirasi bagi siapa saja dalam mengelola
bisnis:
1. Bukan mengelola (manage), tapi memimpin (lead)
Jack Welch adalah tentang kepemimpinan, bukan manajemen. Dia tidak suka dengan
kata-kata manage. Ia lebih suka dengan kata-kata lead. Ia senang menciptakan visi dan
membuat orang tekun dalam melaksanakan rencananya. Welch berpikir, eksekutif dan
CEO memonopoli kepemimpinan atau ide-ide bagus.
2. Menjadi kurang formal
Welch tidak menyukai suasana yang serba formal, karena menurutnya keunggulan GE
terletak pada suasana kurang formal. Tidak ada yang memanggil namanya dengan Mr.
Welch, tapi selalu dengan Jack saja. Ia meninggalkan dasi di rumah lebih sering
ketimbang membawanya, melaksanakan rapat informak, dan mendorong pencerahan
pada setiap orang. Welch membuat organisasi GE tanpa dinding pembatas. Karyawan
tidak takut menyampaikan ide-ide mereka meskipun hal itu bertentangan dengan nilai-
nilai perusahaan konvensional.
3. Hapuskan birokrasi
Welch sangat membenci birokrasi. Baginya, birokrasi adalah musuh, sampah,
pengambilan keputusan yang lambat, persetujuan yang tidak perlu, dan hal-hal lain yang
bertentangan dengan spirit perusahaan. Ia menempatkan upaya menghapus birokrasi
sebagai tugas utama setiap orang.
4. Selalu melihat kenyataan
Welch selalu lebih suka melihat kenyataan dan mengambil keputusan yang tepat
berdasarkan kenyataan itu.
5. Sederhanakan persoalan
Welch tidak pernah berpikir bisnis itu harus rumit. Baginya, menjaga segala sesuatu tetap
sederhana adalah satu kunci bisnis. Ia mengatakan, tujuannya adalah untuk
menghapuskan kerumitan apa saja di GE. Menurutnya, sepanjang orang memperoleh
akses terhadap informasi yang sama, mereka akan memberikan jawaban yang sama
terhadap berbagai masalah yang dihadapinya. Ia merasa sederhana membutuhkan
percaya diri yang sangat tinggi.
6. Melihat perubahan sebagai peluang
Baginya, perubahan adalah bagian dari hidup maupun bisnis. Ia mencintai perubahan
dan mengatakan kepada karyawan, perubahan ada dalam darah karyawan.
7. Memimpin dengan memberi energi
Saat Welch menjadi CEO, sistem manajemen yang berlaku lebih bersifat command and
control. Ia menemukan cara yang lebih baik. Manajer terbaik tidak memimpin dengan
intimidasi, melainkan dengan memberi inspirasi kepada orang untuk mencapai hasil.
8. Abaikan tradisi
GE adalah perusahaan yang kaya historis, tapi saat menjadi CEO Welch tak seorangpun
yang menyangka ia akan mengabaikan tradisi itu. Ia menilai, apa yang berhasil pada
masa lampau tidak mesti efektif lagi di masa depan. Sebelum era Welch, GE tidak
menjual bagian besar dari perusahaan, memecat puluhan ribu pekerja, atau memaksa
bos mendengarkan pekerja.
9. Buat aturan intelek
Di banyak perusahaan besar, pimpinanlah yang membuat aturan, dan karyawan
mendengarkan apa kata manajer. Bagi Welch, bisnis menyangkut upaya menggali potensi
intelektual. Makin banyak orang, makin banyak ide. Supaya orang mau menyampaikan
ide, organisasi harus mendorongnya
10. Bergerak cepat setiap hari
Selama karirnya, kecepatan sangat penting bagi Welch. Dalam dunia yang kini serba
terhubung dengan komunikasi, waktu yang tersedia sangat singkat. Ia selalu berpikir dan
mengambil keputusan dengan cepat. Misalnya, pertengahan 90-an, Welch dan tim dari
TV NBC bergerak cepat untuk memastikan hak penyiaran Olimpiade ke depan. Sebelum
jaringan TV lain menyadari apa yang terjadi, NBC telah membuat kesepakatan senilai
US,5 miliar untuk penyiaran 5-6 Olimpiade ke depan. Jika Welch enggan, NBC akan
kehilangan semuanya.
11. Tempatkan nilai pertama kali
Kebanyakan manajer menghabiskan waktu bicara angka-angka. Welch peduli dengan
angka-angka, tetapi jangan sampai mengalahkan nilai-nilai perusahaan. Ia bergeming
dengan manajer berkinerja tinggi namun dengan mengintimidasi karyawan.
Mencari Metode Rekrutmen Terbaik
No. 03 Tahun 2004
Beberapa organisasi memilih metode evaluasi psikologi dalam mengevaluasi seorang
calon karyawan. Namun semakin banyak perusahaan besar yang kini condong
menggunakan metode evaluasi perilaku (behavior test). Alasannya, past behavior
predicts future behavior. Bagaimana sebaiknya?
Pernahkah Anda ikut tes masuk di Citibank dan banyak perusahaan global lainnya?
Jangan pernah membayangkan Anda akan diuji dengan metode evaluasi psikologis (dulu
sering disalahartikan dengan psikotes) seperti yang jamak dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan lokal maupun BUMN. Perusahaan-perusahaan raksasa itu lebih banyak
melakukan tes perilaku (behavioral test) untuk mengetahui kemampuan calon karyawan
mereka dalam proses rekrutmen. Kecenderungan penggunaan tes perilaku itu
diungkapkan pula oleh sejumlah nara sumber Human Capital.
"Kami tidak memakai metode psikotes, karena psikotes hanya bisa melihat potensi orang,
tetapi tidak bisa meramalkan kinerja orang di masa depan," tukas Arvan Pradiansyah,
General Manager Human Resources Allianz Life Indonesia. Untuk meramalkan kinerja
orang di masa depan, lanjutnya, harus dilihat perilakunya di masa lalu (past behavior). Ini
sesuai dengan konsep past behavior predicts future behavior atau perilaku masa lalu bisa
digunakan untuk meramalkan kinerja orang itu di masa depan.
Menurut Vina G. Pendit, Direktur PT Daya Dimensi Indonesia, perusahaan rekrutmen yang
berafiliasi dengan DDI World berpusat di Amerika, psikotes lebih mengukur potensi
intelektual (IQ), sifat bawaan, agresifitas, dan kepribadian seseorang yang kadang kala
dalam bekerja tidak ke luar. Potensi itu masih harus digali lagi. Orang yang IQ-nya tinggi
belum jadi jaminan berperilaku yang benar. Lewat tes perilaku ataupun emosional (EQ),
hal semacam itu bisa diketahui. "Makanya banyak orang yang bilang, orang yang unggul
dalam keempat potensi itu belum tentu memiliki tingkat EQ yang tinggi. Bisa saja ia
pintar, namun ia hidup di dunianya sendiri," ungkapnya.
Sejalan dengan kesadaran perusahaan tentang pentingnya faktor perilaku dalam
menentukan kesuksesan dalam bekerja, maka rekrutmen dengan metode perilaku itu
makin menjadi tren global. Ramalan tingkat akurasi pendekatan perilaku ini, menurut
British Psychological Association (Inggris), tercatat 0,65. Angka ramalan ini tergolong
cukup tinggi karena dalam ilmu sosial tingkat akurasi lebih dari 0,50 sudah dianggap
akurat. Dengan tingkat akurasi seperti itu, memang masih punya potensi penyimpangan
sebesar 35%, tetapi itu masih wajar karena dalam ilmu sosial tidak ada yang 100%.
Alasannya, menurut Vina, manusia adalah makhluk dinamis, yang tidak bisa dipastikan
sepenuhnya. Tetapi, hasil pendekatan perilaku itu tidak jauh meleset karena
kecenderungan perilaku manusia yang sama. "Sering isteri mengharapkan perilaku suami
berubah setelah berkeluarga, itu sangat sulit terjadi," katanya tertawa, sambil
menambahkan, "Kecuali mungkin ada suatu peristiwa yang luar biasa terjadi dan
membuatnya trauma. Itu pun tidak menjamin orang berubah."
Pendekatan perilaku ini semakin dipakai untuk rekrutmen level yang semakin tinggi.
"Pendekatan ini lebih efektif," ujar Oktav P. Zamani, Assistant Director Bank Muamalat
Indonesia (BMI). Biasanya BMI menggunakan psikotes hanya untuk karyawan level�
bawah. Di Allianz, psikotes hanya dilakukan untuk merekrut sarjana baru lulus (fresh
graduate), kendati dasarnya masih menggunakan evaluasi perilaku. "Pengalaman
berorganisasi di kampus, kalau ada, bisa menjadi pertimbangan," tukas Arvan
Pradiansyah.
Dengan pendekatan perilaku, pengalaman bekerja kandidat bisa menjadi masukan
berharga dalam menilai kinerjanya di masa lalu. Hal ini bisa digali dalam wawancara.
Hanya saja Senior Consultant EXPERD Yuliana wanti-wanti, perlu keahlian khusus untuk
wawancara, karena kalau tidak bisa menggali juga akan sulit. "Observasi saat wawancara
itu penting, misalnya memperhatikan caranya menjawab selain mendapatkan
jawabannya," katanya.
Faktor berikutnya adalah menginterpretasikan hasil wawancara itu, yang hanya bisa
dilakukan tenaga terlatih. Untuk bisa menjadi pewawancara, ia harus mengikuti training
sehingga mendapatkan sertifikat. Bahkan, DDI mewajibkan tenaga pewawancara untuk
melakukan 2 kali wawancara sebelum terjun ke lapangan. Itu pun harus didampingi
tenaga senior 2-3 kali, baru dilepas sendiri. Begitu dilepas sendiri, wawancara pertama
yang dilakukan sendiri dilanjutkan dengan wawancara kedua oleh tenaga lebih senior.
Berkembangnya metode evaluasi perilaku membuat metode psikotes kehilangan "gigi".
Benarkah? "Tidak juga," tukas Suko Winarno, Kepala Divisi Evaluasi Psikologi Lembaga
Psikologi Terapan (LPT) UI. Teknik psikotes pada awalnya berkembang dari kampus-
kampus UI, Unpad, UGM, dan universitas lain yang memiliki Fakultas Psikologi. Dari era
70-an hingga 80-an, psikotes sangat dominan sebagai metode dasar rekrutmen. Metode
evaluasi perilaku baru berkembang di Indonesia tahun 90-an, namun berjalan agak
lambat. Jika metode evaluasi psikologi berkembang dari dataran akademisi atau ilmuwan,
maka metode evaluasi perilaku berkembang dari praktik organisasi sehari-hari.
Berbeda dengan evaluasi perilaku yang bisa dilakukan oleh tenaga non-psikolog, psikotes
hanya bisa dilakukan oleh psikolog. Untuk bisa melaksanakan psikotes, seseorang harus
mengikuti program pendidikan khusus psikologi. Dalam menjalankan tugasnya, para
psikolog terikat pada sejumlah kode etik profesi karena ia harus mendiagnosa aspek
psikologi orang lain.
Berkembangnya metode evaluasi perilaku secara tidak langsung mengamputasi dominasi
psikolog dalam jajaran manajemen SDM, khususnya rekrutmen perusahaan. "Pernyataan
itu bisa benar dan bisa juga tidak," tuturnya. Sebab, dalam menjalankan tugas evaluasi
psikologi, LPT UI tidak menafikan penggunaan evaluasi perilaku. Caranya,
menggabungkan evaluasi psikologi itu dengan evaluasi perilaku. Biasanya sehabis
evaluasi psikologi, berdasarkan permintaan klien, LPT UI juga melakukan evaluasi
perilaku melalui wawancara maupun simulasi.
"Gabungan kedua metode evaluasi itu adalah yang terbaik, karena keduanya saling
melengkapi", �lanjutnya. Evaluasi psikologi akan memetakan potensi, kepribadian, sifat
bawaan, dan agresifitas kandidat, dan evaluasi perilaku akan mendapatkan gambaran
kompetensi yang bersangkutan untuk sukses dalam pekerjaan. Dalam praktiknya,
penggabungan kedua metode itu di LPT UI tetap diawali dengan evaluasi psikologi yang
memakai berbagai alat bantu tulis dan gambar. Alat-alat bantu evaluasi psikologi itu telah
dipergunakan sejak lama oleh LPT UI dan dipercaya.
Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan dengan klien, LPT UI bisa mengembangkan tes ke
beberapa aspek dari perilaku kandidat. Umpamanya, perusahaan meminta diukur
kemampuan kandidat dalam mengambil keputusan atau kemampuan bernegosiasi.
Tambahan pekerjaan itu tentu menyebabkan biayanya naik. Evaluasi tambahan ini bisa
sampai ke evaluasi perilaku secara penuh. "Hasilnya tentu lebih komprehensif, namun
biayanya juga mahal," ungkap Suko lagi. Biaya evaluasi komprehensif itu bisa mencapai
Rp 25 juta per orang, dan untuk level direksi bisa Rp 50 juta per orang.
Faktor biaya yang lebih murah dan bisa dilakukan dengan massal membuat evaluasi
psikologi lebih disenangi klien. LPT UI mengenakan biaya evaluasi psikologi sekitar Rp
2,5-3 juta per orang, sedangkan biaya evaluasi perilaku minimal dua kali lipat dari jumlah
itu. Biaya evaluasi perilaku lebih mahal karena alat bantu tesnya harus dibuat spesifik
sesuai dengan bidang tugas si kandidat. Bahkan di Amerika, si kandidat harus melakukan
orientasi lapangan dengan beraneka penugasan untuk mengetahui lebih jauh tentang
kompetensinya. Waktu yang dibutuhkan bisa seminggu, sementara evaluasi psikologi
bisa dilakukan dalam 2 hari saja. Kadang-kadang untuk membuat evaluasi perilaku,
konsultan harus turun dulu ke perusahaan, menyusun kriteria dan alat bantu.
Alasan lain kenapa orang lebih banyak meminta evaluasi psikologi, seperti dikemukakan
Suko, karena kebanyakan perusahaan sudah mengetahui kemampuan atau keahliannya
dalam bekerja. Apalagi, kalau ia sudah berpengalaman jadi manajer. Yang ingin diketahui
perusahaan adalah potret psikologi orang itu supaya sesuai dengan harapan perusahaan.
Misalnya, perusahaan butuh manajer yang tegas, memiliki kemampuan analitikal yang
bagus, dan mampu mengendalikan diri. Laporan psikologi akan menjelaskan apakah ia
sosok yang tegas, bagus memimpin, mampu mengendalikan diri, dan sebagainya.
Lantas, seberapa akurat evaluasi psikologi itu selama ini? "Kami tidak bisa menjelaskan
akurasi metode evaluasi psikologi itu. Tetapi yang pasti, permintaan terhadap evaluasi
psikologi jauh lebih banyak daripada evaluasi perilaku," jawabnya. Setiap tahunnya LPT
UI melakukan evaluasi 3.000-7.000 orang setiap tahunnya, tergantung dari permintaan
pasar. Tingginya permintaan terhadap evaluasi psikologi itu bukan berarti evaluasi
psikologi lebih akurat, karena�- seperti diuraikan di atas�- permintaan yang lebih tinggi
itu terutama karena biayanya yang jauh lebih murah.
Atas pengalamannya selama ini, General Manager Human Resources Management PT
Merpati Nusantara Airlines Tina Kemala, menilai metode evaluasi psikologi dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, handal, dan valid. "Metode ini lebih obyektif
ketimbang metode wawancara yang cenderung subyektif," ujarnya. Dalam evaluasi
psikologi terdapat 5 alat bantu, yaitu isian tertulis, observasi, wawancara, simulasi, dan
diskusi kelompok. "Salah memilih alat bantu dan metodenya, salah pula hasilnya,"
ungkapnya.
Alat bantu evaluasi psikologi banyak tersedia di pasar dan terus berkembang dari hari ke
hari. Pengembangan alat bantu ini dimaksudkan untuk mendapatkan potret kepribadian
dan potensi intelegensia kandidat yang semakin baik. LPT UI mengembangkan sendiri
alat-alat bantu tes itu dan tidak pernah mengambil utuh alat bantu yang ada di pasar
tanpa sentuhan mereka. Namun, Yuliana dari EXPERD, melihat cara pikir perusahaan-
perusahaan sekarang semakin maju karena mereka tidak mau mengandalkan tes seperti
yang banyak dijual. Alasannya, yang biasanya dijual itu sudah ketinggalan jaman.
Sebagai gantinya, banyak atasan yang� kini mengembangkan alat ukur tes sendiri.
Bahkan, lembaga tes psikologi juga semakin ketat membatasi sertifikasinya supaya tidak
semua orang boleh memakai dan membeli alat tes itu. "Kalau ingin beli, orang harus ikut
training terlebih dulu," paparnya.
Sadar bahwa kedua metode itu memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, banyak
konsultan rekrutmen yang menerapkan kombinasi kedua metode itu bagi keperluan
kliennya. Yuliana dari EXPERD mengatakan, alat ukur psikologi adalah alat bantu yang
bisa memperkaya evaluasi perilaku, meskipun perusahaannya lebih menggunakan
pendekatan Competency Based Assesment. Dari evaluasi psikologi diperoleh gambaran
profil dari orang itu yang tidak kelihatan, dan dari evaluasi perilaku diperoleh prediksi
perilakunyake depan sehingga kombinasi keduanya memungkinkan adanya profil utuh
orang itu luar-dalam.
EXPERD sendiri, menurutnya, tidak meninggalkan salah satu metode itu karena tidak ada
alat evaluasi yang bisa dipercaya 100%. Contohnya, mungkin orang pada saat evaluasi
psikologi tidak sungguh-sungguh mengerjakannya atau lagi kurang enak badan sehingga
hasilnya tidak optimal. Bisa pula orang itu pintar ngomong saat diwawancarai. Makanya,
kombinasi kedua pendekatan itu banyak direkomendasikan. Untuk mengetahui lebih jauh
tentang kandidat, EXPERD melakukan pula reference check, yaitu pengecekan referensi
kepada perusahaan tempat ia dulu bekerja untuk memastikan kinerja orang itu seperti
apa. Perusahaan yang dihubungi adalah perusahaan di mana ia sudah berhenti bekerja.
"Kegiatan assessment center, karena menggunakan banyak alat bantu, merupakan
metode dengan akurasi paling tinggi," tambahnya.
Hal yang sama dilakukan IQ Recruitment, yang bergerak di bidang rekrutmen dan
training. "Kami pakai kedua metode itu," ujar Heroetomo dari perusahaan itu. Alasannya,
ada juga hal yang bagus dari evaluasi psikologi karena dibuat berdasarkan riset dan
hasilnya bersifat kecenderungan. Kecenderungan itu kemudian ditindaklanjuti dalam
wawancara sehingga kecenderungan itu semakin kuat terlihat. Sebagai contoh, tuturnya,
ada orang yang percaya dirinya tinggi, cara penyelesaian masalahnya bagus, tetapi
berbahaya jika orang ini memiliki kecenderungan ambisius sehingga dia membuat
rencana yang muluk-muluk namun akhirnya gagal.
Urutan yang umum dalam melakukan seleksi karyawan dimulai dengan tahapan seleksi
administrasi, kemudian tes psikologi, dan tahapan selanjutnya adalah evaluasi perilaku
melalui wawancara dan bila diperlukan dengan simulasi. "DDI baru turun saat wawancara
dilakukan. Kami ingin lihat motivasinya setelah potensinya diketahui," kata Vina G.
Pendit. Kalau tidak sesuai, evaluasi berikutnya tidak perlu dilanjutkan karena hanya
buang uang saja. Evaluasi perilaku lebih jauh perlu dilakukan bila motivasi kandidat
memenuhi syarat. Pelaksanaan evaluasi perilaku biasanya dilakukan terakhir karena
butuh waktu yang lebih lama dan tenaga yang lebih banyak.
"Sebenarnya, tidak apa-apa jika organisasi ingin melakukan evaluasi perilaku terlebih
dulu kalau punya uang, waktu, dan tenaga," ujar Vina. Biasanya wawancara untuk
menggali perilaku dilakukan oleh lebih dari satu orang. Pewawancara akan mengajukan
pertanyaan berbeda untuk hal yang sama.
Kenyataannya, perusahaan membedakan pendekatan evaluasi menurut level jabatan. PT
Excelcomindo Pratama, operator seluler, umpamanya, menggunakan tes psikologi untuk
level staf, namun bagi mereka yang sudah berpengalaman 2-3 tahun ke atas, termasuk
supervisor, tidak lagi menggunakan tes psikologi. Sebagai gantinya, perusahaan
menerapkan teknik wawancara yang dibarengi dengan preference test khusus untuk
posisi-posisi kunci. Wawancara dilakukan mengacu pada Competency Based Human
Resources Management System yang telah dimiliki perusahaan.
"Di situ kami coba menilai kompetensi kandidat berdasarkan kompetensi yang
dibutuhkan perusahaan," kata Setyarini, Recruitment Staff, dan Ute Gerdanovita, Human
Capital Business Partner Excelcomindo. Teknik wawancara ini sering juga disebut
Behavior Even Interview (BEI).
Lain lagi dengan PT Cakra Bhasa, perusahaan spesialis pekerjaan bawah air. Karena
tuntutan pekerjaannya yang cukup sulit, baik secara intelegensia maupun fisik, maka
perusahaan melakukan evaluasi psikologi, wawancara, dan kesehatan secara terpadu.
"Pekerjaan kami membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan yang tepat dan
kesehatan fisik yang prima," tutur Sukarya Prawiradirdja, Presiden Direktur PT Cakra
Bhasa.
Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan Jepang? Menurut Mariko Asmara, Managing
Director PT JAC Indonesia yang banyak menangani perusahaan Jepang, perusahaan
Jepang lebih mementingkan faktor perilaku dalam menilai karyawan. Kultur perusahaan
Jepang, tuturnya, sangat percaya kompetensi itu dimulai dari perilaku. Cara berpikir
perusahaan Jepang adalah cari dulu orang yang baik, untuk selanjutnya perusahaan
bertanggungjawab mengasahnya. Seperti di Matsushita, lanjutnya, setiap hari
perusahaan menyediakan program training. "Cara berpikir seperti itu dibawa oleh
perusahaan Jepang ke luar negeri, termasuk Indonesia," ujarnya.
Daisy N. Aboebakar, Senior Consultant JAC Indonesia, menambahkan, perusahaannya
pernah menawarkan kepada klien perusahaan Jepang untuk melakukan tes psikotes,
tetapi kebanyakan klien menolak. "Klien bilang, agak sulit menghubungkan kinerja kerja
dengan psikotes itu. Kadang-kadang psikotesnya bagus, tapi kinerjanya tidak bagus,"
ungkapnya.
Bekerja di perusahaan Jepang tergolong unik karena umumnya mereka tidak memiliki job
description. Ruang lingkup pekerjaan umum sekali dan bersifat parallel sehingga mereka
sulit bekerja dengan spesialis. Semua orang harus bisa dan siap dipindah ke bagian mana
saja. Setelah dididik, kelak mereka akan mengetahui kompetensi si karyawan. Orang-
orang lulusan universitas luar negeri cenderung sangat individual, dan orang-orang
seperti itu tidak bisa diterima di perusahaan Jepang.
"Mereka sangat melihat sebagai kelompok atau tim," lanjut Mariko. Kandidat yang bagus
namun tidak bisa bekerja dalam tim, tidak bisa diterima klien. Mereka beranggapan,
semuanya bermula dari keinginan atau motivasi. Orang-orang yang memiliki motivasi
tinggi diyakini akan bisa belajar sendiri.
Bagi perusahaan Jepang faktor proses itu sangat penting sehingga mereka tidak semata
melihat hasilnya. Proses yang baik diyakini memberi hasil yang baik pula secara tim.
Upaya memperbaiki tradisi itu bukannya tidak ada, seperti yang kini ingin dilakukan
Matsushita dengan mengubah cara berpikir kebersamaan menjadi berorientasi pada
prestasi. Letak masalahnya, menurut Mariko, justru pada orang-orang Jepang sendiri,
apakah mereka siap untuk melakukan itu.
Tak pelak lagi, peran strategis dan vital dari rekrutmen mendorong perusahaan untuk
terus menerus memperbaiki metode evaluasi mereka. Pentingnya rekrutmen juga
berdampak positif terhadap profesi rekruter. Permintaan terhadap mereka di pasar
Amerika meningkat, begitu pula remunerasinya.
Pilihan evaluasi tidak mesti sama satu sama lain, kendatipun metode kombinasi diyakini
yang terbaik. Yang penting, manajemen perusahaan menaruh perhatian besar terhadap
proses rekrutmen. Maklum, proses rekrutmen yang salah menimbulkan biaya dan
masalah yang cukup memusingkan. "There's no such thing fixing a hiring mistake," sela
Vina dari DDI.
Ibarat pepatah, garbage in, garbage out. Yang masuk sampah, ke luarnya tetap sampah.
Tidak mau 'kan?
Mengupas Fondasi Visi dan Budaya Korporat
No. 03 Tahun 2004
Visi terdiri dari dua komponen utama�- core ideology (ideology inti) dan envisioned
future (memandang masa depan). Ia berperan penting dalam membentuk budaya
korporat.
Kata-kata visi kini menjadi makanan sehari-hari di setiap organisasi. Namun, makin sering
disebut, kata-kata visi itu juga kian membuat pusing. Banyak orang yang menyusun visi
organisasi berdasarkan cita-cita atau mimpi ideal di masa depan, tapi tidak berdasarkan
berbagai kondisi atau lingkungan yang mendukung perwujudan visi itu. Menurut James C.
Collins dan Jerry I. Porras, penulis buku terkenal Built to Last, sebuah visi usaha yang baik
dibangun atas dasar ideology inti (yang tidak pernah berubah) dan kemampuan
memandang masa depan (yang masih bisa diubah-ubah).
Untuk mewujudkan visi tersebut, harus diciptakan organisasi dan penyelerasan strategik
agar bisa mempertahankan core ideology dan mendorong kemajuan untuk menuju
envisoned future. Penyelerasan itu membuat visi itu membumi, mengubahnya dari
sekedar niat baik menjadi realitas kongkrit.
IDEOLOGI INTI
Ideologi inti adalah karakter yang membuat hidup sebuah organisasi dalam jangka
panjang�- semacam identitas diri yang konsisten sepanjang waktu dan melebihi siklus
hidup produk/pasar, terobosan teknologi, model manajemen, dan pemimpin individual.
Ideologi inti menjadi perekat bagi organisasi untuk bertumbuh, terdesentralisasi,
terdiversifikasi, berekspansi ke pasar global, dan menjaga keberagaman dalam
organisasi. Sumbangan terbesar para pendiri perusahaan visioner agaknya dalam
membentuk ideologi dasar ini.
Ideologi tidak bisa diciptakan atau disusun dengan melihat lingkungan eksternal. Ia
dihasilkan dari pencarian terhadap aspek internal perusahaan sehingga harus otentik.
Ideologi inti dibutuhkan agar bermakna dan inspirasional bagi orang-orang dalam
perusahaan. Dengan perkataan lain, ia tidak harus menarik bagi pihak luar. Adalah orang
dalam perusahaan yang butuh pemahaman terhadap nilai dan tujuan inti untuk
mendapatkan komitmen jangka panjang bagi keberhasilan perusahaan. Oleh sebab itu,
ideologi inti memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang berada dalam
perusahaan dan siapa yang berada di luar.
Menurut Collins dan Porras, harus dibedakan ideologi inti dengan "pernyataan" tentang
ideologi inti. Sebuah perusahaan bisa saja memiliki ideologi inti yang kuat tanpa sebuah
pernyataan formal. Misalnya, Nike. Perusahaan ini memiliki tujuan inti yang sangat kuat,
meski tanpa membeberkannya secara resmi.
Hanya saja, kedua pakar mengharapkan jangan sampai dalam menyusun nilai dan tujuan
inti hanya sebatas permainan katakata. Tidak diperlukan pernyataan sempurna untuk
menjelaskan ideologi dasar. Karena yang diperlukan adalah pemahaman penuh terhadap
nilai dan tujuan inti perusahaan. Ekspresi nilai dan tujuan inti bisa dilakukan dalam
banyak cara. Disarankan, sekali hal inti itu teridentifikasi, minta seluruh manajer
menyampaikan pernyataan tentang nilai dan tujuan inti perusahaan menurut versi
masing-masing.
Bedakan pula ideologi inti dengan konsep kompetensi inti. Kompetensi inti adalah konsep
strategik yang menampung kapabilitas organisasi, sedangkan ideology inti berisi untuk
apa perusahaan ada dan kenapa perusahaan eksis. Kompetensi inti harus diselaraskan
dengan ideologi inti perusahaan�- dan sering berakar pada ideologi inti�- tetapi tidak
sama dengan ideology inti.
Ideologi inti terdiri dari dua subkomponen berbeda, yaitu nilai inti (core value) dan tujuan
inti (core purpose).
NILAI INTI
Nilai inti adalah ajaran esensial dan membuat hidup organisasi�- berisi sejumlah prinsip
panduan yang berlaku sepanjang masa yang tidak membutuhkan justifikasi eksternal. Ia
memiliki nilai intrinsik dan penting bagi internal organisasi. Nilai inti tidak bisa
dikompromikan dengan hasil finansial dan sasaran jangka pendek. Ia juga tidak sama
dengan budaya spesifik atau praktik operasional tertentu.
Dalam banyak kasus, nilai inti bisa diperas menjadi lebih sederhana untuk menjadi
panduan substansial. Perhatikan bagaimana Sam Walton menerjemahkan esensi nilai
utama Wal-Mart: "Kami menempatkan pelanggan di atas segala-galanya .... Jika Anda
tidak melayani pelanggan, atau mendukung siapa saja yang melakukannya, maka kami
tidak butuh Anda." Juga bagaimana James Gamble secara sederhana dan elegan
menjelaskan nilai inti P&G terhadap mutu produk dan bisnis yang jujur: "Ketika Anda tidak
bisa membuat produk yang murni dengan timbangan yang benar, pergilah ke orang lain
yang lebih jujur, kendatipun untuk itu harus memecahkan batu besar."
Menarik pula bagaimana John Young, mantan CEO HP, menerjemahkan HP Way secara
sederhana namun mengena: "HP Way pada dasarnya berarti menghargai dan peduli
terhadap individu. Anda harus melakukannya jika orang lain juga ingin melakukannya
untuk Anda."
Begitulah. Nilai inti bisa dijelaskan dalam sejumlah cara berbeda, namun ia tetap ringkas,
jelas, mengena, dan bertenaga. Perusahaan visioner, menurut Collins dan Porras,
cenderung hanya memiliki sedikit nilai inti, biasanya antara 3 hingga 6. Sangat jarang
perusahaan visioner yang memiliki nilai inti lebih dari 6, dan kebanyakan kurang dari
jumlah itu. Itupun hanya beberapa saja yang benar-benar bisa dianggap nilai inti�- nilai-
nilai yang sangat fundamental dan sangat melekat.
Implikasi penting dari upaya artikulasi nilai inti tentunya ada. Nilai inti yang terlalu
banyak menyebabkan nilai inti yang sebenarnya menjadi kabur. Salah satu cara yang
bisa ditempuh dalam menyusun nilai perusahaan adalah dengan menanyakan pada diri
sendiri tentang "Mana saja di antara nilai-nilai itu yang memungkinkan untuk tetap hidup
beratus-ratus tahun terlepas dari perubahan eksternal apa pun yang terjadi�- kendati
lingkungan bisnis tidak mendukung nilai-nilai itu, atau bahkan 'menghukum'." Sebaliknya,
tentukan nilai-nilai yang bisa diubah atau dihilangkan bila lingkungan tidak bersahabat
dengan organisasi?
Satu hal yang perlu diingat adalah, jangan terperangkap dengan mengambil nilai inti
perusahaan visioner untuk dijadikan nilai inti perusahaan Anda. Nilai inti atau budaya
korporat tidak bisa datang dari luar atau mengambil nilai inti perusahaan lain yang
dianggap bagus. Juga dengan mencontoh buku manajemen. Nilai inti harus digali dari
ideologi inti perusahaan yang autentik, bukan dari mana-mana. Harus dipahami, ideologi
inti ada sebagai elemen internal, sangat independen terhadap lingkungan eksternal.
Lihat bagaimana George Merck II (Merck) sangat yakin bahwa obat-obatan untuk pasien,
dan ia ingin seluruh karyawan Merck juga memahami keyakinan itu. Thomas J. Watson Jr.
menguraikan nilai inti IBM yang diperolehnya dari sang ayah: "Nilai-nilai itu adalah aturan
hidup�- yang harus dijaga dengan seluruh tenaga, ditanamkan kepada seluruh orang,
dan diikuti dengan kesadaran penuh dalam setiap kehidupan karyawan."
David Packard dan Bill Hewlett, pendiri HP, tidak merencanakan HP Way secara khusus.
Mereka merasa sangat berkepentingan tentang bagaimana bisnis seyogyanya dibangun
dan langkah-langkah penyebarluasan nilai-nilai itu.
TUJUAN INTI
Tujuan adalah sejumlah alasan fundamental kenapa perusahaan harus ada selain hanya
mendapatkan uang. Banyak orang yang salah mengambil asumsi bahwa perusahaan ada
karena hanya untuk mencari uang. Jika perusahaan ingin eksis harus dicari alasan riil
yang lebih dalam.
Tujuan inti tidak mesti unik. Bisa saja dua perusahaan memiliki tujuan yang hampir mirip
seperti juga sangat mungkin dua perusahaan mempunyai sistem nilai yang sama,
misalnya integritas. Peran utama dari tujuan inti adalah untuk memandu dan memberi
inspirasi, tidak harus membuatnya berbeda. Sebagai contoh, banyak perusahaan bisa
berbagi tujuan inti yang dimiliki Hewlett-Packard, yakni ingin berkontribusi terhadap
masyarakat melalui peralatan elektronik untuk kemajuan ilmu dan kesejahteraan umat
manusia. Pertanyaannya, apakah perusahaan itu bisa melaksanakannya sekonsisten HP.
Seperti juga nilai inti, kuncinya adalah otentisitas, bukan keunikan.
Sebuah tujuan yang efektif mencerminkan pentingnya orang bekerja bagi perusahaan�-
ia membangkitkan motivasi�- ketimbang hanya menjelaskan output organisasi atau
target konsumen misalnya. Tujuan jangan dicampur-adukkan dengan tujuan spesifik atau
strategi bisnis yang bisa berubah berkali-kali. Dalam mengidentifikasi tujuan, beberapa
perusahaan membuat kesalahan dengan menjelaskan lini produk atau segmen konsumen
yang dituju. Hindari pernyataan yang bersifat deskriptif.
Ambil contoh 3M. Perusahaan ini tidak menyusun tujuan berdasarkan bisnis adhesive dan
abrasive, tetapi tujuan intinya adalah memecahkan masalah yang belum terpecahkan
secara inovatif. Tujuan itu memungkinkan 3M memasuki berbagai bidang bisnis baru.
Tujuan McKinsey bukan untuk melaksanakan konsultansi manajemen, tetapi membantu
perusahaan dan pemerintah untuk lebih sukses, sehingga bisa saja dalam 100 tahun ke
depan metode layanannya tidak lagi berbentuk konsultansi.
Saat diterima secara benar, tujuan lebih bersifat luas, fundamental, dan memberi daya
hidup. Sebuah tujuan yang bagus seyogyanya memandu dan memberi inspirasi terhadap
organisasi untuk bertahun-tahun. Memang, perusahaan visioner secara kontinu
mewujudkan tujuan tetapi tidak pernah sepenuhnya mencapai atau menuntaskan tujuan
itu. Walt Disney menerjemahkan upaya tiada henti dalam mewujudkan tujuan itu dengan
pernyataan: Disneyland will never be compeleted, as long as there is imagination left in
the world.
GE tidak akan pernah menuntaskan tugas untuk meningkatkan kualitas kehidupan
melalui teknologi dan inovasi. JW Marriott akan terus ber-evolusi�- dari bisnis A&W Root
Beer, ke jaringan bisnis makanan, ke katering pesawat, ke hotel, dan ke bidang lain yang
tidak seorang pun tahu di masa depan�- namun tidak pernah bertumbuh di luar tugas
fundamental "membuat orang yang jauh dari rumah merasa tetap dekat teman dan
begitu dibutuhkan."
Sama halnya Motorola yang terus berevolusi�- dari pengganti baterai untuk radio rumah,
ke radio mobil, ke televisi rumah, ke semikonduktor, ke integrated circuit, ke komunikasi
selular, ke sistem satelit, dan ke bidang bisnis lainnya di abad mendatang�- namun
tetap dalam koridor "dengan bangga melayani komunitas dengan menyediakan produk
dan jasa bermutu superior dan harga yang fair."
Disney akan terus ber-evolusi�- dari kartun, ke film animasi berdurasi panjang, ke klub
Mickey Mouse, ke Disneyland, ke karya box office, ke EuroDisney, dan ke bidang lain yang
kelak belum jelas lagi�- namun tetap pada tujuan inti "memberikan kegembiraan kepada
jutaan orang".
MEMANDANG MASA DEPAN
Komponen kedua dari visi adalah memandang masa depan (envisioned future), yang oleh
Collins dan Porras dibagi atas dua bagian: tujuan yang berani selama 10-30 tahun ke
depan dan deskripsi jelas tentang wajah perusahaan bila berhasil mencapai tujuan yang
berani itu. Tujuan yang berani itu bisa bersifat kuantitatif atau kualitatif, misalnya menjadi
perusahaan dengan pendapatan US5 miliar sebelum 2000 (Wal-Mart 1990),
mendemokratisasi bisnis otomotif (Ford, awal 1900-an), menjadi perusahaan yang paling
mengubah citra produk Jepang yang bermutu rendah secara global (Sony, awal 1950-an).
Pemilihan ungkapan "memandang masa depan" sejatinya bermakna ganda dan
paradoks. Di satu sisi, ia memunculkan perasaan kongkrit�- sesuatu yang jelas, nyata,
bisa dilihat, disentuh, dirasakan. Di sisi lain, hal itu mencerminkan satu waktu yang
belum terealisasi�- sebuah mimpi, harapan, atau aspirasi.
Budaya Korporat Lokal - Deddy Kusdedi (DIRUT PEGADAIAN)
No. 03 Tahun 2004
Budaya perusahaan sangat signifikan dengan keberhasilan Pegadaian, terutama setelah
pegadaian berganti status dari perusahaan jawatan (Perjan) menjadi persero.
"Waktu status kami Perjan, status kami PNS, bajunya birokrat, motto kerja, kami
dibutuhkan masyarakat. Jadi manajemennya manajemen warung, artinya yang gadai
syukur, tidak ada yang gadai tutup saja. Toh tanggal 1 gajian juga. Terserah perusahaan
mau untung atau rugi", jelas Dedi.
Dengan diganti menjadi perusahaan persero maka berubah sistemnyapun berubah
menjadi pegadaianlah yang membutuhkan nasabah. "Makanya kami bangun budaya
professional. Artinya, kualitas pelayanan harus betul-betul menjadi target utama. Kedua,
nasabah harus betul-betul dilayani sebaik-baiknya. Ketiga, mereka pun harus
bertanggung jawab terhadap maju mundurnya perusahaan", tutur Dedi lagi.
Kini pegadaian telah memiliki budaya perusahaan, yang disebut namanya Si Intan. "Ini
singkatan, I-nya inovatif, N-nya, memiliki nilai moral yang tinggi. T-nya trampil, A-nya Adi
layanan, dan N-nya nuansa citra", jelasnya. Sebelumnya pegadaian bisa dikatakan tidak
mengenal yang namanya target laba. Dengan diberlakukan budaya Intan, memberikan
kesejahteraan bagi semua pihak di pegadaian adalah nasabah. "Yang menggaji kita
adalah masyarakat", tegasnya. Intan sendiri telah mulai diberlakukan sejak tahun 1990.
Bagi Dedi, Intan harus menjadi kunci utama corporate culture di pegadaian. Tahap
pertamanya adalah sosialisasi. "Kita banyak kendala, karena yang namanya budaya
perusahaan tidak semudah membalikkan tangan. Pertama butuh kesabaran. Kedua,
butuh pembinaan yang berkelanjutan", tuturnya.
Sekarang pegadaian terbuka untuk semua lapisan masyarakat. "Sekarang kami punya
dua program baru, ada program pegadaian peduli, intinya adalah meningkatkan kualitas
pelayanan masyarakat yang betul-betul professional. Betul-betul peduli kepada
masyarakat", jelas Dedi. "Internalnya, menyangkut masalah keakuratan data. Satu lagi,
nasabah mendapat jaminan asuransi kecelakaan. Mungkin nanti juga akan semacam
hadiah yang diundi setiap tahun. Mau gadai piring, gadai mercy, haknya sama. Tapi
hadiahnya tidak seperti bank, hadiahnya paling motor Honda, motor. Mulai bulan Juni
akan diadakan. Dananya sekitar minimal setahun 15-20 motor," tambahnya lagi.
Di pegadaian peranan HRD untuk corporate culture ini merupakan kewajiban seluruh
pejabat. Karena kalau bicara pelanggan, yang dituju adalah seluruhnya, bukan melulu
nasabah saja. Konsep budaya pelanggan di pegadaian ini, ada empat, hubungan atasan
dengan bawahan, bawahan dengan atasan, hubungan karyawan dengan sesame
karyawan atau teman sejawat, hubungan karyawan dengan nasabah. "Paling tidak,
bagaimana saya harus memperhatikan kepentingan karyawan," jelasnya pasti.
Dalam hal membentuk corporate culture, pegadaian membutuhkan konsultan. Yang
relatif sulit adalah pembinaan yang berkelanjutan. "Saya intinya menekankan pendekatan
kekeluargaan dan kemanusiaan untuk memantapkan budaya perusahaan. Pilar-pilar
budaya perusahaan dari birokrasi ke professional saya ubah. Tentunya untuk merubah
budaya yang ada, ada konsekuensinya. Butuh biaya besar memang. Tapi itu investasi.
Dananya bisa dipergunakan untuk kepentingan karyawan, misalnya gaji yang memadai,
benefit-benefit supaya perilaku aneh seperti pungli, KKN, bisa dikikis habis", tutur Dedi
lagi.
Budaya Korporat Lokal - PT. MLC Life Indonesia
No. 03 Tahun 2004
Memasuki kantor yang berlokasi di Gedung Nugra Santana, jelas menimbulkan keunikan
tersendiri. Kantor bernuansa pantai ini memang sengaja diset untuk menciptakan etos
kerja yang tinggi bagi karyawannya.
Menurut Ivan Taufiza, People & Culture Director PT MLC Life Indonesia, infrastruktur
seperti itu memang sengaja dikonsepkan bernuansa pantai. "Ini bertujuan menciptakan
kenyamanan karyawan dalam bekerja," paparnya.
Misalnya, di ruang rapat terdapat akuarium dan pemandangan pasir dan kerang-kerang
di meja. Belum lagi ada kursi pantai untuk duduk-duduk santai karyawan, lantai yang
didesain dengan warna biru seperti warna laut, meja makan desain pantai, ruangan
perpustakaan yang cozy dan game playstation di ruang makan untuk mengatasi
kejenuhan karyawan. Jangan kaget jika untuk office boy dan driver, MLC memberikan
ruangan khusus untuk menjelajah di dunia maya alias internet.
"Kami juga mendesain kursi dan meja kerja dengan ala cubicle, maksudnya agar tidak
ada gap antara satu dengan yang lain, bahkan dengan jajaran manajer sekalipun," jelas
Ivan. Sehingga, jika salah satu karyawan ingin berdiskusi, mereka bisa langsung ngobrol
tanpa harus repot-repot. Kecuali untuk hal-hal yang krusial, MLC menyediakan beberapa
ruangan kecil yang sifatnya tertutup.
Meski hanya sebatas kendaraan, infrastruktur tersebut sangat 'manjur' buat karyawan
agar mereka memberikan hasil kerja yang baik kepada perusahaan. Diakui Ivan, MLC
menganut prinsip-prinsip seperti transparansi, keterbukaan, dan insiatif tidak hanya di
jajaran direksi saja, tapi juga sampai ke level bawah. Semua karyawan, kata Ivan, harus
bertanggung jawab baik kepada perusahaan maupun kepada dirinya sendiri.
Selama ini, perusahaan-perusahaan yang ada menurut Ivan menginginkan kontribusi
yang sifatnya tangible atau terukur dari segi finansial. "Tapi sebenarnya ada hal-hal yang
tidak terukur, tapi tetap kontribusi ke bisnis. Contoh, kepuasan karyawan," Ivan
memaparkan hal itu. Cara mengukurnya, adalah lewat insiatif, ide, semangat, spirit. Ini
yang mendasari rule People & Culture MLC untuk mengembangkan tersebut dan
membuat nilai-nilai yang intangible itu bisa makin membesar, sehingga kontribusi ke
bisnis juga makin besar.
Untuk mengukur kinerja karyawan, MLC menggunakan 6 cara, yaitu performance, people,
identifikasi, open eyes, control, dan flexibility. "Prinsipnya, apa yang kita punya sekarang
dan apa yang kita inginkan, gapnya ada dimana. Gap itu yang coba kita tutup," kata Ivan.
Diakui Ivan, sebelum MLC berdiri, MLC sempat bermitra dengan perusahaan properti
yaitu BII Landlease dan Simas Landlease. Baru pada tahun 2000, anak perusahaan
National Australia Bank(NAB) ini resmi didirikan. Sayangnya, sejak didirikan, banyak
perbedaan yang terjadi, antara budaya sebelum MLC resmi didirikan dengan budaya
yang baru.
"Banyak karyawan yang bingung karena nature dari pemilik yang sangat berbeda yaitu
dari property company berubah menjadi bankir yang sangat konsevatif, maka terkesan
ada perubahan yang sangat mencolok dari program-program karyawan," Ivan
membeberkan. Perbedaan dan perubahan yang mendasar ini yang banyak disesalkan
banyak karyawan MLC karena tidak dikomunikasikan kepada mereka.
Untuk mengatasi perbedaan tersebut, MLC menerapkan budaya yang lebih dinamis. "Di
sisi demografi, dari sisi usia, masa kerja dan latar belakang pendidikan mayoritas berusia
dibawah 35 tahun, sangat dinamis & informal," imbuhnya kembali. Ini jelas
menguntungkan MLC karena perbedaan-perbedaan antara karyawan lama dan karyawan
baru sudah lebih tertutup sedikit demi sedikit. "Saya yakin, kombinasi karyawan baru
yang 42% dapat saling bisa mempengaruhi karyawan lama yang 52% sehingga budaya
MLC lebih terbentuk seperti yang diharapkan."
Selain infrastruktur yang berperan bagi kepuasan karyawan, MLC juga banyak
mengadakan kegiatan sosial seperti membuat bangunan sekolah bersama-sama,
membuat gerobak bakso, atau kegiatan komunikasi bersama seperti nonton bareng, main
bowling bersama dan masih banyak lagi. "Berdasarkan hasil survei, hasil kepuasan
karyawan ada 2 poin yang sangat terasa, yaitu lingkungan kerja dan kegiatan sosial yang
dilakukan perusahaan," akunya dengan antusias.
Untuk ke depan, MLC mulai menerapkan budaya baru yang bertajuk "360 Derajat
Feedback". Tujuannya, untuk memberikan masukan kepada sesama karyawan, baik
jajaran atas maupun hingga ke level bawah secara formal. "Secara umum, orang
Indonesia punya budaya, sulit memberikan masukan baik ke atasan atau ke teman.
Takutnya, dia akan dianggap lebih pintar dari saya, atau sebaliknya takut menjelek-
jelekan saya." Ini menyebabkan MLC membuat dalam format yang seimbang yaitu stop
doing, artinya tidak perlu dilakukan lagi, start doing yaitu sesuatu yang belum dilakukan
tapi akan dilakukan dan continuous doing, yaitu sesuatu yang sudah dilakukan dan
bagus, maka akan terus dilakukan. Ketiga platform ini diharapkan mengurangi
subyektifitas.
Budaya Korporat Lokal - PT. Unilever Tbk.- Proses Tiada Henti
No. 03 Tahun 2004
Salah satu perusahaan yang dianggap telah memiliki corporate culture yang mapan
adalah PT. Unilever Indonesia Tbk. Corporate culture yang mapan, membuat perusahaan
yang telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1933 ini tumbuh menjadi perusahaan
penyedia consumer products yang mempunyai peran penting di Indonesia.
Kemapanan corporate culture di PT. Unilever, tidak begitu saja terbentuk. Hal ini
membutuhkan waktu dan proses yang terencana dengan matang. Keluar dari krisis tahun
1998, PT. Unilever layaknya perusahaan lain, juga mengalami penurunan penjualan.
Namun memasuki tahun 1999, PT. Unilever bertekad untuk kembali mencapai
pertumbuhan seperti sebelum krisis. "Kami menyimpulkan, jika mau kembali tumbuh
dengan level pertumbuhan seperti sebelum krisis, Unilever harus mengubah behavior
orang-orangnya. Kami harus mengubah the way we are," ujar Joseph Bataona, Direktur
HR PT. Unilever Tbk. "Jadi kami harus re-direct semua yang sudah dipunyai. Karena jika
tidak akan membutuhkan waktu yang lama sekali untuk mewujudkan tekad itu,"
tambahnya lagi.
Banyak proses yang telah dilalui oleh perusahaan ini untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam masa persiapan, dilakukan diskusi secara internal. Mulai pada level puncak
dipimpin oleh chairman dan direksi, mencoba mengidentifikasi apa saja elemen yang
dimiliki perusahaan untuk tetap tumbuh atau tumbuh lebih cepat lagi dan apa saja yang
menghambatnya. "Itu adalah unsur awal kami mencoba bicara tentang vision. Kami
sebetulnya mau kemana dalam 5-10 tahun mendatang dari titik ini. Dan itu kami lakukan
sendiri," jelas Joseph.
Kemudian disadari bahwa PT. Unilever terfokus pada consumer, costumer dan community.
Hingga kemudian muncul visi dari PT. Unilever yaitu To become the first choice of
consumer, costumer and community. Hal ini terwujud pada komitmen PT. Unilever
terhadap konsumennya yaitu menyediakan produk bermerek dan pelayanan yang secara
konsisten menawarkan nilai dari segi harga dan kualitas, dan yang aman bagi tujuan
pemakaiannya.
Banyak juga exercising yang dilakukan secara internal. Ada team kecil yang berjumlah 5
orang, dipimpin oleh Joseph, diminta untuk menerjemahkan visi itu ke dalam real values
yang harus dimiliki karyawan. "Waktu itu saya minta beberapa direksi untuk menuliskan
momen dalam karier mereka dimana mereka merasa satisfied, rewarded dan juga saat
mereka merasa marah besar, disappointed, dan very frustrated. Lalu mereka diminta
untuk mencari value apa yang membuat mereka merasa satisfied dan value yang
membuat mereka merasa frustrated. Dan mereka menulis apa saja values yang harus
ada untuk memacu perkembangan di perusahaan."
Hasilnya, muncul sekitar 20 values, yang kemudian di bagikan pada level puncak untuk
dibahas yang akhirnya dihasilkan the top six. Yang termasuk dalam the top six adalah
Customer, consumer and community focus, Teamwork, Integrity, Making things happen,
Sharing of joy, dan Excellence.
Namun tim tidak berhenti di situ saja, tim harus mengidentifikasi behavior seperti apa
yang mendukung atau tidak mendukung dari ke-6 nilai-nilai itu. Ini membutuhkan waktu
kurang lebih 5 bulan. Joseph menilai, behavior tersebut bukanlah sesuatu yang statis
sifatnya. Behavior yang dianggap mendukung dan tidak mendukung itu bukanlah sesuatu
yang statis sifatnya. Ia membutuhkan proses dalam pelaksanaannya. Meskipun sudah
berjalan 4-5 tahun, ini belum juga selesai, masih harus terus di review from time to time.
Awal tahun 1999, akhirnya terbentuk organization effectiveness committee. Komite ini
bertugas untuk melihat the whole company dan memberikan advis pada perusahaan
untuk mewujudkan visi focus pada consumer, costumer and community. Yang pertama
dilakukan komite ini adalah business process improvement plan. Untuk membuat semua
mengerti bahwa seluruh proses itu dilakukan agar costumer, consumer dan community
dapat merasa puas. "Dalam hal ini pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah proses
ini add value kepada costumer, consumer dan community, jika tidak kami cut," tegas
Joseph.
Kemudian ditunjuk satu group yang disebut sebagai facilitator perubahan, karena hal ini
tidak bisa dikerjakan oleh board atau unit secara sendiri-sendiri. Ia harus dilakukan
secara paralel di semua bagian dalam perusahaan. "Kami identifikasi dari seluruh divisi
untuk menjadi facilitator, karena yang sedang kami rencanakan adalah transformasi, dan
ini butuh support dari seluruh bagian. Kalau tidak akan pincang jadinya," jelasnya.
Keberagaman yang ada di perusahaan, bagi PT. Unilever Tbk. juga tidak menjadi
masalah, bahkan dianggap sebagai nilai tambah bagi perusahaan. "Kami yakin bahwa
diversity dalam hal apa saja di perusahaan ini perlu dipupuk. Kami tidak perlu
menjadikan seseorang sama semuanya. Kami yakin meski berbeda mereka memiliki
kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan dan bahkan membawa nilai tambah," tutur
Joseph. Contohnya, Unilever pernah punya accountant itu seorang flight engineer��atau
pejabat HR yang pendidikannya teknik arsitektur.
Setiap proses pasti memiliki tantangan, begitupun yang terjadi pada PT. Unilever.
Tantangannya yang ada yaitu apakah semua pihak memiliki kesiapan yang sama dan
apakah plan untuk program energizing sudah benar. "Jika kami benar mau berubah,
elemen transparansi atau keterbukaan juga harus ada. Kami coba train karyawan di sini
sebagai the whole being, yang punya brain juga heart," tutur Joseph.
Banyak hal telah dilakukan PT. Unilever untuk menyentuh hati para karyawannya. Joseph
mencontohkan banyak perusahaan yang menyediakan fasilitas kesehatan dengan
menyediakan rumah sakit gratis, tapi Unilever mau manusia yang sehat. Yaitu dengan
menyediakan ruang gym di lantai atas untuk semua level. Contoh lain, di lantai bawah
disediakan nursery room, untuk ibu yang menyusui.
Budaya Korporat Lokal - Setelah Temasek-Kookmin Masuk bii
No. 03 Tahun 2004
Gelombang divestasi yang dilakukan pemerintah Indonesia, baik perusahaan-perusahaan
di bawah BPPN maupun BUMN, menyebabkan masuknya pemegang saham asing ke
dalam kepemilikan perusahaan-perusahaan Indonesia.
Sebagian besar pemegang saham baru itu berasal dari Singapura, terutama melalui
Temasek, BUMN negara itu. Temasek telah masuk sebagai pemegang saham utama Bank
Danamon dan bersama bank terbesar Korea Kookmin Bank (dalam konsorsium Sorak)
menjadi pemegang saham mayoritas Bank Internasional Indonesia (bii).
Terlepas dari kontroversi di balik masuknya Temasek itu, perubahan besar kini sedang
terjadi dalam landscape perbankan Indonesia. Selain dari sisi kepemilikan, perubahan
besar itu diyakini juga akan berpengaruh terhadap budaya korporat dan cara mengelola
bank-bank tersebut. Banyak yang berharap, perubahan ini akan membuat manajemen
perbankan nasional lebih tangguh dan profesional. Praktik-praktik moral hazard�-
penyalahgunaan kesempatan dan jabatan�- diharapkan semakin terkikis sejalan dengan
meningkatnya kesadaran akan pentingnya faktor kepercayaan dan kepuasan nasabah
bagi keberlanjutan usaha perbankan.
Lantas, apakah masuknya konsorsium Sorak melahirkan budaya korporat baru di bii?
Henry Ho, Presiden Direktur bii, tak secara tegas mengatakannya. Namun, Managing
Partner Dunamis Organization Services Nugroho Supangat menilai budaya korporat
perusahaan lokal yang dibeli asing belum tentu akan berubah. "Mereka hanya melihat
sistem manajemennya saja. Kalau masih selaras dengan kepentingan mereka, tinggal
disempurnakan saja."
Budaya korporat bii diperkirakan sudah semakin baik setelah bank itu tidak lagi dimiliki
oleh keluarga Eka Tjipta Widjaja. Di bawah manajemen lama, dipimpin oleh Sigit Pramono
(kini menjadi Direktur Utama Bank BNI), transformasi budaya dan sistem kerja bii sudah
berlangsung. "Kami tinggal memantapkan saja apa-apa yang sudah baik, dan
menyempurnakan yang masih kurang," tutur Henry Ho, yang menghabiskan 22 tahun
karirnya di Citibank itu (terakhir di Arab Saudi).
Sebagai contoh, pemegang saham baru sangat fokus pada upaya pelayanan nasabah
secara efisien. Kantor-kantor cabang benarbenar difungsikan sebagai ujung tombak
pelayanan sekaligus point of sales. Dalam upaya meningkatkan layanan dan efisiensi
biaya, dalam 3 tahun ke depan bii akan menanamkan investasi bernilai puluhan juta
dolar di bidang teknologi informasi. Selain itu, seluruh jajaran bii diajarkan untuk benar-
benar berorientasi kepada efisiensi dan hasil. Bii secara konsisten mulai menerapkan
meritocracy, yang menghubungkan kinerja dengan reward dan punishment. Para
karyawan juga harus mampu beradaptasi dengan segala bentuk perubahan, baik internal
maupun eksternal.
Layaknya pemegang saham yang selalu concerned dengan kinerja usaha, maka bii akan
melakukan penyelarasan dan realokasi sumberdaya manusia ke bidang-bidang penghasil
pendapatan. "Kami akan berdayakan seluruh karyawan yang ada untuk berkontribusi
bagi kemajuan bii," tukas Henry Ho. Caranya, melalui upaya training secara
berkesinambungan, baik diselenggarakan sendiri maupun melalui outsourcing. Ia tak
menampik, bii akan memberi perhatian lebih terhadap pemasaran dan layanan nasabah.
Dengan strategi ini, jumlah karyawan bii yang kini mendekati 8.000 orang dianggap
memadai. Yang akan dilakukan bii, kata ayah 3 putera itu, bukan downsizing melakukan
resizing.
Dalam upaya penataan sumberdaya manusia sesuai kebutuhan organisasi itu, seluruh
orang bii�-dari karyawan terendah hingga CEO�- harus menjalani competence audit dan
performance appraisal. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui potensi karyawan dan
kecocokannya pada bidang-bidang pekerjaan yang ada. Dewasa ini, menurut
Direktur/Corporate Secretary bii Sukatmo Padmosukarso, proses penilaian terhadap 50
manajemen level atas�- termasuk Henry Ho - sudah dilakukan oleh perusahaan
konsultan asal Hong Kong. Pelaksanaan penilaian terhadap karyawan lainnya akan
diselenggarakan konsultan lokal, yang saat ini sedang diseleksi.
Para karyawan, lanjut Henry Ho, cukup exciting dengan segala upaya dan rencana
perubahan yang akan diterapkan manajemen bii. "Kami ingin menjadikan kembali bii
sebagai salah satu paling menguntungkan di Indonesia, seperti yang pernah diraih bank
ini," ujar Henry serius.
Masuknya Temasek dan Kookmin diakui Sukatmo sangat positif menyempurnakan budaya
korporat bii. Setidaknya, bii kini semakin transparan dan lebih disiplin. "Dulu, kalau mau
rapat, masih sering molor. Sekarang sudah tidak lagi. Semuanya harus ontime dan siap,"
tuturnya.
Budaya Korporat Lokal - Kisah Robby Membangun Bank Niaga
No. 03 Tahun 2004
Robby Djohan adalah figur yang tak terlepaskan dari serangkaian keberhasilan Bank
Niaga, termasuk sebagai bank dengan kualitas manajemen dan budaya korporat yang
cukup tangguh.
Setelah 8 tahun malang-melintang di Citibank dan berkontribusi besar dalam meletakkan
fondasi bisnis Citibank di Indonesia, menjelang usia 40 tahun ia memutuskan untuk
meninggalkan Citibank. Ada dua pilihan yang tersedia baginya saat meninggalkan
Citibank, yaitu bekerja sebagai agen (semacam manajer) di BDN dan direktur Bank Niaga.
Waktu itu, BDN sebagai bank pemerintah sudah menjadi organisasi yang besar
sementara Bank Niaga hanya sebuah bank kecil yang berdiri 26 September 1955.
"Kalau saya pilih BDN dengan sendirinya terbuka peluang bagi saya menjadi orang besar
karena saya bekerja pada suatu organisasi besar. Tapi, saya mengkhawatirkan birokrasi di
BDN. Akhirnya saya memilih Bank Niaga, sebuah bank pribumi yang kecil dan apabila
menjadi besar andil saya akan sangat menonjol," tulisnya dalam buku Robby Djohan, the
Art of Turnaround.
Masuk sebagai GM cabang Jakarta�- selevel direktur�- Bank Niaga tahun 1976, Robby
dipercaya menjadi Presiden Direktur 1 Januari 1984 menggantikan Idham. Sejak awal,
Bank Niaga memang ingin menjadi bank profesional seperti Citibank. Tatkala masuk Bank
Niaga, bank ini sudah menjalin kerjasama dengan Citibank di bidang retail banking.
Hanya saja, Citibank bermaksud menghentikan kerjasama itu sejalan dengan strategi
global Citibank yang waktu itu lebih fokus di bidang perbankan korporasi. Robby berhasil
meyakinkan Citibank Indonesia untuk tidak menghentikan kerjasama itu serta merta.
Kebetulan, beberapa orang Citibank yang ditempatkan di Bank Niaga masih mau berkarir
di Bank Niaga.
Sebagai eks Citibanker dan latar belakang kerjasama Bank Niaga dengan Citibank, maka
wajar bila Bank Niaga dianggap sebagai Citibank mini atau Citibanknya Indonesia. Toh
tidak semua hal yang diterapkan di Bank Niaga adalah konsep Citibank. "Kami hanya
mengambil mana yang baik saja," ujarnya. Salah satunya, bagaimana Citibank
mempersiapkan orang-orangnya. Seperti rekrutmen, pendidikan, pengembangan karir,
deskripsi pekerjaan, tujuan, program dan evaluasi kinerja. Juga kebiasaan rapat yang
tidak berlama-lama dan selalu disiplin dengan waktu.
Ketika berdiri hingga awal 70-an, belum terpikir oleh manajemen pembentukan budaya
korporat Bank Niaga. Saat itu, ujar Robby, orang belum mengenal apalagi memahami
budaya korporat. Kalau pun ada, perilaku pemilik Bank Niaga bisa dianggap sebagai
budaya korporat. Sehingga yang terjadi saat itu, para bawahan meniru apa yang
dilakukan atasan. Oleh sebab itu, budaya korporat Bank Niaga banyak sekali dipengaruhi
oleh contoh yang kuat dari para komisaris dan CEO Bank Niaga, khususnya oleh Soedarpo
Sastrosatomo, Julius Tahija, M. Idham, dan Robby. Kebetulan, menurut Robby,
keempatnya memiliki cara yang sama.
Sifat yang menonjol adalah, pertama sikap konservatif dan mengutamakan kualitas.
Kedua, manusia adalah asset utama. Ketiga, citra dan integritas. Sifat-sifat ini ada pada
keempat orang itu karena latar belakang pendidikan Belanda, keluarga yang intelektual,
lingkungan pergaulan, dan pekerjaan.
Keseragaman sifat itu memang tidak melahirkan dinamika, tetapi menjamin munculnya
satu fondasi yang kokoh untuk mengembangkan Bank Niaga. Karakter Soedarpo, Tahija,
dan Idham yang sangat konservatif dan Robby sebagai CEO yang cukup agresif
menghasilkan sinergi yang sangat baik.
Dengan sinergi ini, lanjut Robby, esensi budaya yang berkembang di Bank Niaga adalah
mengutamakan stakeholders. Selalu berorientasi pada pasar, manusia menjadi asset
utama, dan senantiasa mementingkan kualitas dalam semua hal yang dikerjakan. Setiap
penyimpangan tidak bisa ditoleransi dan secara otomatis dikoreksi oleh budaya
perusahaan yang berkembang. Robby juga tergolong sangat keras�- namun tanpan
dendam�- terhadap anak buahnya yang melakukan penyimpangan.
Pernah seorang staf Bank Niaga cabang Medan melakukan manipulasi. Waktu berkunjung
ke Medan, meski marah Robby mengatakan kepada orang itu untuk mencari pekerjaan di
luar bank. Ia menilai, orang itu tidak cocok bekerja di bank karena tidak tahan godaan
uang. Akhirnya, orang itu mundur dari Bank Niaga dan sesuai saran Robby mencari
pekerjaan di bidang lain.
Mereka yang ingin maju di Bank Niaga harus patuh kepada budaya korporat agar dia
tidak menjadi orang asing di Bank Niaga. Penentuan dan pengangkatan eksekutif sangat
ditentukan oleh rank and file, sehingga sulit bagi yang tidak bisa menyesuaikan diri
dengan budaya korporat itu untuk berkembang. "Oleh sebab itu, rekrutmen kader dari
luar sangat dibatasi," katanya.
Robby mengakui, visi dan strategi usaha yang terpikir waktu itu sangat sederhana. Ia
ingin Bank Niaga menjadi bank yang berkualitas, menguntungkan, dan masuk lima besar
di antara bank swasta. Keinginan itu jelas sangat ambisius karena Bank Niaga saat itu
merupakan bank terkecil di antara sekitar 65 bank swasta. Yang berkembang justru bank
milik WNI keturunan karena praktis sudah menguasai seluruh perdagangan. Sedangkan
Bank Niaga adalah bank milik pengusaha pribumi yang sangat konservatif.
Untuk mewujudkan keinginan itu, tahun 1976 Bank Niaga menyusun lima tahapan
sebagai strategi untuk mencapai visi itu. Pertama, memiliki manajemen yang
professional, terdiri dari sedikitnya 10 orang yang kompeten dan siap ditempatkan di
pusat dan di cabang. Kedua, mengembangkan program rekrutmen dan pendidikan yang
akan menghasilkan kader-kader Bank Niaga. Ketiga, memiliki prasarana, baik berupa
kantor yang modern dan jasa perbankan serta sistem operasi seperti Citibank. Keempat,
fokus pada retail banking dan commercial banking dalam pemasaran. Kelima, menjadi
bank yang menguntungkan sehingga lebih mudah mendapatkan modal dari investor
maupun dari laba ditahan.
Impelementasi dari strategi itu diakui Robby sangat sederhana. "Namun, karena kami
konsisten dan penuh komitmen menjalankannya, ia berjalan mirip bola salju. Hasilnya
bisa dilihat dalam waktu yang cukup singkat." Tahun 1988, Bank Niaga sudah menjadi
bank swasta kedua terbesar di bawah BCA, yang dimiliki Liem Sioe Liong kerabat
Presiden Soeharto dan dipimpin oleh Mochtar Riyadi. Bank lain yang menjadi saingan
adalah Bank Duta, yang banyak dibantu Bulog; Bank Umum Nasional milik Bob Hasan
yang disebut Robby sebagai "Anak Raja Republik" BDNI dan BII�- milik dua konglomerat.
Robby menilai, cepatnya perkembangan Bank Niaga karena faktor citra yang secara
cepat dapat diciptakan karena bank ini memiliki orang-orang yang selalu ingin melakukan
hal-hal terbaik untuk nasabah dan Bank Niaga, di samping memiliki integritas. Semua
orang di Bank Niaga ingin menjadikan bank ini sebagai bank modern dan mempunyai
sistem perbankan yang lebih baik dibandingkan bank lain.
Kalau datang ke cabang, maka laporan pemimpin cabang bukanlah apa yang sudah
dikerjakan tetapi apa yang menjadi masalah dan berapa besar kontribusi profit yang
mereka capai. Budaya Citibank terasa sekali di sini. Tidaklah populer di Bank Niaga
apabila pemimpin cabang melaporkan apa yang sudah ia lakukan ataupun
keberhasilannya. Karena Robby dengan ketus akan menjawab: "Anda sudah dibayar
untuk itu. Laporkan kepada saya apa yang menjadi masalah ataupun tantangan, dan
bagaimana Anda akan menghadapinya."
Sikap Robby ini merupakan cerminan budaya yang berkembang di kalangan eksekutif
Bank Niaga, yang selalu tertantang untuk memecahkan masalah. Mereka sadar bahwa
Bank Niaga berdiri sendiri dan tidak dibantu oleh fasilitas maupun kemudahan dari pasar
karena bank ini bank pribumi. Kunci keberhasilan Bank Niaga di mata Robby karena
menciptakan dan memiliki professional yang baik. Mereka memiliki keahlian, jiwa
kepemimpinan, dan motivasi bekerja yang tinggi. "Kalau di seluruh dunia orang-orang
Citibank ada di mana-mana, di Indonesia juga dapat dikatakan orang-orang Bank Niaga
ada di mana-mana," gumamnya bangga.
Sebagian besar direksi Bank Niaga saat ini adalah lulusan Program Pengembangan
Eksekutif yang dulu dikembangkan oleh Robby Djohan. Program ini meniru program
serupa di Citibank. Kendati ikut dirundung masalah karena krisis ekonomi, Bank Niaga
tetap memiliki nilai berharga untuk dipertahankan dari kemungkinan ditutup dan diminati
oleh investor. Sebuah bukti bahwa Robby memang hebat.
Menciptakan Organisasi Belajar [Strategi Mempertahankan Eksistensi
Perusahaan]
No. 07 - Tahun 2004
Dalam sebuah diskusi bertema "Financing Human Development in Indonesia" di Jakarta,
akhir Juli 2004, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian
Gie, menekankan perlunya Indonesia memberikan prioritas investasi yang lebih tinggi
pada upaya pembangunan manusia.
Masih menurut Kwik, hal tersebut, selain untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara
Indonesia juga untuk meletakan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi dan
menjamin kelangsungan demokrasi jangka panjang. Pada akhirnya, Kwik, berkesimpulan
bahwa Pemerintah harus lebih banyak berinvestasi pada program pembangunan manusia
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Penuturan Kwik di atas sangat jelas memfokuskan kepada urgensi atau peran SDM di
dalam suatu negara. Dalam cakupan yang lebih mikro, fungsi SDM sangat penting di
semua unit organisasi atau perusahaan. Di saat situasi dan kondisi usaha yang sangat
hypercompetitive dan berketidakpastian, sebagaimana yang diungkap oleh Richard
D'Aveni, maka SDM menjadi jawaban kunci bagi semua organisasi atau perusahaan untuk
dapat tetap survive sekaligus winning the future, jika tidak ingin mengalami kejadian
sebagaimana yang dilansir oleh Arie de Geus dari Royal Dutch/ Shell: Banyaknya
perusahaan yang tumbang (bangkrut) disebabkan karena tidak mampu belajar dan non-
adaptif, gagal menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Menurut Geus, rata-rata umur perusahaan yang terdaftar pada Fortune 500 dari berdiri
hingga mati berkisar antara 40-50 tahun saja, namun ada juga yang berusia ratusan
tahun. Perbedaannya terletak pada beberapa faktor sebagaimana disebutkan di atas.
Karenanya tak berlebihan jika pakar manajemen terkemuka, James Stapleton dalam
"Executive's Guide To Knowledge Management", mengemukakan bahwasanya knowledge
(pengetahuan) dan SDM adalah satusatunya "senjata" yang masih tersisa pada saat ini
untuk dapat menciptakan keunggulan kompetitif.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Maha Guru Manajemen, Peter F. Drucker
dalam "The Post Capitalist Society" bahwa keunggulan saat ini sangat ditentukan oleh
"Proses Belajar". Siapa yang lebih cepat belajar dan mampu memanfaatkan keadaan,
maka akan muncul sebagai pemenang. Drucker mengingatkan bahwasanya organisasi
tidak ubahnya seperti layaknya makhluk hidup (organisme) yang harus beradaptasi untuk
dapat bertahan hidup. Dalam skala internasional, kesuksesan Bill Gates dengan Microsoft-
nya telah membuktikan hal tersebut atau di Indonesia dapat diambil contoh ide brilliant
dari Tirto Utomo melalui air mineral Aqua-nya.
Gary Hamel dan C. Prahalad di dalam "Competing for The Future" telah mengingatkan
kita bahwasanya competition for the future is competition to create, learn, and dominate
emerging opportunities. Era efisiensi dan era kualitas sekarang telah bergeser menjadi
era informasi sekaligus inovasi, di mana setiap organisasi atau perusahaan dituntut untuk
cepat beradaptasi, seperti yang digambarkan oleh Felix Janszen dalam "The Age of
Innovation". Realitas dari argumentasi di atas dapat kita buktikan dari keunggulan
perusahaan-perusahaan Jepang di dunia internasional. Selain kuatnya dorongan untuk
terus berkreasi dan inovasi, organisasi atau perusahaan di negeri "Matahari Terbit"
tersebut juga menekankan organisasi bisnis mereka agar menjadi "The Knowledge
Creating Company", sebagaimana yang telah dijalankan oleh berbagai perusahaan besar
, seperti : Sharp, Matsushita, Honda, dll.
Tentunya upaya mendongkrak kualitas atau daya saing SDM suatu organisasi dapat
dikenali dari sejumlah indikator yang ada, di mana salah satunya yang akan dibahas pada
saat ini adalah Organisasi Belajar (The Learning Organization) atau terkadang diistilahkan
juga sebagai Knowing Organization.
Adalah Peter M. Senge yang menjadi tokoh yang mempopulerkan terminology di atas
melalui karyanya "The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning Organization"
(1990). Dalam pandangan Senge, organisasi belajar dapat didefinisikan sebagai suatu
organisasi di mana para anggota dari suatu organisasi secara terus menerus memperluas
kemampuannya untuk terus berkeinginan belajar dan mengembangkan potensi diri (team
learning). Menurut Senge, belajar dan oganisasi belajar adalah inti sukses masa depan,
Organisasi atu perusahaan yang akan bertahan adalah perusahaan yang mampu
menumbuhkan komitmen bagi seluruh insan di dalam organisasi tersebut untuk belajar
dan terus belajar. Senge mengibaratkan sebuah organisasi agar berperan sebagaimana
layaknya spon penyerap, yang tiada henti menyerap segala perkembangan yang terjadi
di dalam dan di luar organisasi tersebut. Masih menurut Senge, suatu perusahaan atau
organisasi yang selalu siap belajar dikategorikan sebagai perusahaan yang berada di
tahapan antara invention dan implementation.
Selain dari hal di atas, Senge juga menekankan kepada 4 (empat) disiplin lainnya, yakni :
segi berpikir sistematik (systems thinking), penguasaan pribadi (personal mastery),
model mental (mental models), dan membangun visi bersama (building shared vision),
Pengertian mana ditambahkan juga oleh Mike Padler sebagai suatu organisasi di mana di
dalamnya terdapat fasilitas belajar untuk seluruh anggota organisasi. Tentu saja yang
dimaksud belajar oleh kedua tokoh ini bukan saja terbatas di dalam korelasi pendidikan
formal namun juga informal, sebab sebagaimana filsafat yang kita kenal selama ini di
dalam masyarakat, bahwa pendidikan itu berlaku seumur hidup serta tidak ada batas
untuk belajar. Belajar bisa diimplementasikan dalam berbagai bentuk dan tindakan.
Diharapkan di dalam aplikasi belajar, terjadi suatu aspek psikomotorik (ketrampilan) atau
know-how yang unggul, yang mampu menggabungkan antara implementasi kognitif
(aspek intelektual) dan afektif (aspek penguasaan emosional) sehingga pada gilirannya
dapat meningkatkan derajat dan kompetensi individu, organisasi, dan pada akhirnya
eksistensi suatu bangsa di mata dunia internasional. Sebagai contoh, pada saat ini, kita
masih harus prihatin dengan kondisi kualitas SDM Indonesia yang ditempatkan dalam
rangking 111 dunia untuk peringkat Human Development Index (HDI) dari Lembaga
UNDPPBB. Rangking negara kita jauh tertinggal dari beberapa negara ASEAN lainnya.
Memang dibandingkan tahun lalu, posisi negara kita sudah beranjak 1 (satu) posisi lebih
baik dan telah dapat mengungguli Vietnam.

IDENTIFIKASI
Disadari bahwa peningkatan kualitas SDM di dalam suatu organisasi atau perusahaan
mudah diucapkan namun sulit untuk dipraktekkan, karena hal ini bersifat multikompleks.
Bilamana kita ingin menerapkan sebuah organisasi belajar, maka kita perlu terlebih
dahulu mengidentifikasi beberapa aspek yang menjadi ciri bahwa suatu perusahaan telah
melaksanakan atau masuk dalam proses mengimplementasikan sebuah organisasi
belajar. Beberapa catatan yang dimaksud antara lain, adalah :
1. Apakah ada keinginan untuk memperbaiki praktek/performance perusahaan dari
kondisi sebelumnya?
2. Apakah ada keteraturan pola pikir dan tindakan di dalam organisasi tersebut?
3. Apakah ada arus informasi yang "mengalir" antara anggota di dalam suatu
organisasi?
Daniel Tobin (1993) melengkapi hal di atas dengan ungkapannya bahwa di dalam
learning organization terdapat beberapa prinsip, seperti : setiap anggota organsisasi
adalah pelajar, setiap orang saling belajar satu dengan yang lainnya, dan belajar
merupakan investasi dan bukannya biaya.
Tentu saja kita perlu menyadari bersama bahwasanya hasil dari sebuah organisasi belajar
tidak dapat secara instant kita raup. Upaya-upaya untuk melaksanakan organisasi belajar
merupakan the never ending journey. Jika kita berbicara masalah organisasi belajar, maka
kita berhadapan dengan sebuah kontekstual yang bersifat long term (jangka panjang).
Diperlukan berbagai kiat, daya upaya, dan terobosan untuk melaksanakan hal tersebut,
terutama untuk merubah paradigma dan pola pikir, serta sikap mental seluruh anggota
organisasi.
Satu hal yang menjadi catatan penting, bahwa di dalam penerapan organisasi belajar ini
maka faktor drive (dorongan) dan motivasi dari setiap individu di dalam organisasi atau
perusahaan menjadi penentu kemajuan sebuah organisasi. Organisasi belajar akan
berjalan jika ada proses pembelajaran individu di dalamnya selain juga adanya
transformasi komunikasi untuk saling belajar di antara inidviduindividu yang ada. Seperti
yang dikemukan oleh Senge, team atau organisasi akan maju jika diisi oleh individu-
individu yang bersedia melepaskan sentimen keindividuannya dan berusaha seoptimal
mungkin untuk meleburkan diri ke dalam ide pemikiran kolektif disertai komunikasi yang
terbuka, yang memungkinkan tercapainya tingkat penetrasi dan inovasi yang tidak akan
dapat dijangkau oleh para anggota secara individual. Hal inilah yang ditekankan oleh
Schon & Arygris dari Harvard dalam "Organizational Learning".
Diharapkan jika setiap individu mempunyai minat dan ambisi untuk maju melalui learning
organization maka pada gilirannya organisasi atau perusahaan akan maju. Tentu saja
keinginan untuk maju dan berkembang saja tidak akan berhasil, tanpa didukung oleh
suasana yang kondusif untuk terus belajar di dalam suatu organisasi. Di sinilah peran
pihak manajemen dituntut untuk berperan aktif, di dalam mewujudkan organisasi belajar.
Bahkan tidak berlebihan jika pihak manajemen dapat meniru apa yang dilakukan oleh
Jack Welch, CEO General Electric, yang langsung turun tangan menjadi tenaga pengajar
di pusat pelatihan SDM mereka di Crottonville, New York. Di dalam event seperti ini akan
menjadi ajang bagi para CEO guna dapat menyampaikan visi dan missinya kepada
seluruh anggota dari organisasi yang dipimpinnya. Ini menjadi momentum bagi para CEO
untuk melaksanakan change management sekaligus visionary leadership, empowerment
, dan pembudayaan proses belajar (learning process).
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwasanya dari saat ini, baik kita sebagai individu
maupun organisasi di mana kita bekerja harus mempunyai paradigma belajar jika tidak
ingin terlindas oleh perubahan situasi dan kondisi. Belum terlambat untuk memulai dan
seperti yang dicetuskan oleh Confucius, satu perjalanan panjang dimulai dengan satu
langkah awal, karenanya marilah kita mulai hari ini memulai langkah kita dengan belajar
dan belajar tiada henti, agar kompetensi individu, organisasi, dan bangsa Indonesia dapat
meningkat dan beradaptasi dengan kemajuan zaman. Patut diingat, tantangan ke depan
bukan semakin ringan melainkan justru semakin berat, cepat, dan tidak mengenal lagi
toleransi.

Penulis adalah seorang praktisi SDM di sebuah perusahaan tekstil di Batujajar, Kab.
Bandung
Sumber: Majalah Human Capital No. 07 | Tahun 2004
Perlunya Menjaga Keseimbangan Antara Kepentingan & Bisnis
No. 07 - Tahun 2004
Mengupas rencana suksesi menurut Dachriyanti tidak sekedar berbicara satu sesi saja.
Namun bagaimana bisnis itu bisa berkesinambungan dan bisa mempertahankan diri tidak
hanya di masa sekarang, tapi juga dimasa mendatang. Maka itu, menurut wanita yang
menjabat sebagai Senior Consultant di perusahaan konsultan Andrew Tani & Co,
diperlukan sebuah persiapan menuju pengelolaan dana organisasi. "Teknisnya bagaimana
bisa bersaing dan mempersiapkan orang-orang yang handal," kata Yanti, biasa wanita ini
disapa.
Dalam persiapan ini, yang menjadi utama adalah posisi kunci di sebuah organisasi.
"Sebenarnya rencana suksesi berlaku di semua level. Namun perlu diingat, kalau kita
bicara ikan, ikan itu akan busuk di kepala dulu. Jadi kalau kita bicara persiapan, akan
dilihat bagaimana pemimpinnya dan pemimpin sangat berpengaruh terhadap
organisasinya," tukasnya.
Langkah-langkah yang harus diambil dalam persiapan pengelolaan dana organisasi
adalah menentukan apa dan bagaimana organisasi tersebut di kelola dengan baik.
"Pertama kita harus melihat bisnis itu secara keseluruhan mau dibawa kemana dan apa
yang harus diciptakan oleh orang-orang di dalamnya supaya sampai ke sasaran," Yanti
menambahkan. Kemudian mempersiapkan orang-orang atau SDM dengan cara suksesi
untuk meneruskan arah yang ingin dicapai organisasi.
Yang perlu diingat, meski suksesi bisa menghadapi kendala dari luar dan dalam, tapi
kendala utama biasanya datang dari dalam organisasi karena orang-orang di dalam
organisasi tersebut lebih mengenal organisasinya. "Sense of ownership dari mereka
cukup besar. Tapi seringkali, yang namanya sistem baik atau buruknya berjalan
tergantung dari manusianya. Sistem, kami katakan tidak ada yang salah. Yang salah
justru manusianya," ujarnya.
Ketidak konsistenan dalam menjalankan sistem tersebut membuat seolah-olah organisasi
tidak mempunyai kandidat untuk dikembangkan menuju masa depan organisasi. "Kalau
organisasi tidak punya kandidat dari dalam, biasanya akan mengambil dari luar. Hal ini
bisa menimbulkan kecemburuan karena yang di dalam merasa esisten terhadap
pemimpin dari luar."
Namun, bukan berarti meng-hire dari luar tidak memiliki keuntungan buat organisasi.
Organisasi justru mendapatkan orang yang siap pakai karena orang-orang yang
dibutuhkan masih banyak terdapat di market. Keuntungan lain, waktu yang disediakan
untuk mengembangkan orang relatif lebih sedikit. "Meskipun orang yang di-hire dari luar
tidak mengenal dengan baik organisasi tersebut. Kalau organisasi bisa mengatasi dan
mengarahkan dengan baik, maka orang tersebut bisa menjalankan organisasi dengan
baik," sambung Yanti.
Seorang pemimpin, lebih terfokus kepada strategi bagaimana mengembangkan sebuah
organisasi. Sementara strategi perusahaan untuk core kompetensi organisasi cenderung
berasal dari dalam. "Yang namanya teknologi, manusia, dan sistem, semua harus dikenali
dengan baik." Karena, terkadang, secara kertas sistem dan teknologi sama, tapi bisa
menghasilkan yang berbeda akibat striker atau pemimpin yang berbeda.
Proses suksesi yang standar sebuah organisasi, lanjut Yanti, bisa memakan waktu 4-5
tahun. "Kalau prosesnya tidak normal, dalam kondisi tertentu bisa saja dipercepat,"
ujarnya. Tapi jika proses berjalan normal, semua akan terencana dengan baik sehingga
hanya tinggal di atas kertas terutama jika didukung mentor yang bagus dan monitoring
yang baik.
Untuk mencari mentor atau pemimpin yang baik, diperlukan orang yang berkemampuan
tepat, mengetahui dan mengerti kebutuhan organisasi ini bisa didapat melalui rekrutmen
awal. "Mengenai kriterianya, semua kembali kepada organisasi itu sendiri. Organisasi
membutuhkan orang yang bisa menyesuaikan kemampuan teknis dengan kemampuan
yang ada," paparnya antusias.
Usai proses rekrutmen, akan dilanjutkan dengan proses pengembangan melalui 2 hal, di
dalam kelas dan di luar kelas. Di dalam kelas biasanya lebih kepada seminar, training,
workshop dan sebagainya. Sedangkan di luar kelas lebih kepada beban kerja seharihari.
"Misalnya suksesor itu biasa mendapat beban A sampai D, sekarang mendapat beban A
sampai G. Atau bisa pula on the job training." Jika orang itu bisa menyelesaikan pekerjaan
dengan baik, maka kelak ia akan diharapkan menjadi penerus atasannya.
Kesalahan dalam melakukan suksesi, berdasarkan penilaian Yanti, biasanya terjadi
kontestan suksesor tidak hanya terdiri dari satu orang, kesiapan orang tersebut dan
pemilihan diwarnai dengan subyektivitas. "Penilaian pribadi dari petinggi atau orang yang
memberikan penilaian sering terjadi." Maka itu, ini harus diimbangi dengan panel. Tidak
hanya berdasarkan satu orang atau 2 orang, tapi sekelompok orang.
Selama ini, Andrew Tani & Co melibatkan diri sebatas proses perencanaan atau sekedar
memberikan saran. Saran itulah merupakan apa dan bagaimana mempersiapkan suksesi.
Apa saja yang harus disiapkan terlebih dahulu dan apa yang dibutuhkan, harus
dipetakan. Yang paling utama, orang-orang di organisasi harus menyadari kelebihan dan
kekurangan mereka serta bagaimana mereka bisa memperkecil kekurangan yang ada.
"Konsultan bisa ikut dalam proses penunjukkan suksesi, untuk menjaga netralitas supaya
ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan usaha. Yang sering
bentrok adalah hal-hal seperti ini. Kita sering dapat kenyataan, kita punya budaya seperti
ini, tapi karena ada kebutuhan lain kita tidak tahu. Ini seolah-olah dipaksakan," katanya
panjang lebar menyampaikan hal ini.
Menurut Andrew Tani & Co, posisi kunci, terbagi menjadi 3 level, level bawah, level
manager dan level eksekutif. Bicara level bawah adalah bicara kemampuan melakukan
sesuatu dengan baik. Sedangkan Level managerial, adalah kemampuan mereka
mengelola usaha dengan baik dan untuk level eksekutif adalah kemampuan melihat
masa depan dari sisi bisnisnya.
Tak heran jika level eksekutif menjadi posisi yang langka karena berperan untuk masa
depan. "Karena bisa dibilang, kemampuan teknik itu bisa jadi penunjang. Tapi yang
utama adalah insting bisnis. Dia harus bisa lihat kemampuan dia sehingga usaha bisnis
bisa maju," tandasnya. Perlu diingat, kata Yanti, level eksekutif sendiri terbagi menjadi 2
aspek, aspek bisnis atau arahan ke depan dan aspek teknis.
Jika proses suksesi telah berjalan, evaluasi diperlukan minimal 6 bulan sekali. Menurut
Yanti, waktu enam bulan tersebut merupakan waktu yang tepat karena dari 6 bulan itu,
seorang suksesor sudah bisa dilihat apakah dia berhasil atau tidak. Kedua, waktunya
tidak terlalu panjang sehingga kalaupun ada kegagalan, tetap bisa diantisipasi.
Enam Hukum Kepemimpinan Konflik
No. 07 - Tahun 2004
Konflik dalam organisasi tidak selamanya negatif. Menurut Prof. Michael Feiner dari
Columbia Univer sity Graduate School of Business, konflik ibarat kolesterol. Ada kolesterol
yang baik (HDL) dan ada yang bersifat jahat (LDL). Setiap orang memiliki kedua tipe
kolesterol itu. Setiap orang yang sadar pada kesehatan berupaya meningkatkan HDL dan
menurunkan LDL. Begitu pula pada organisasi. Kita selalu merasa konflik dalam
organisasi sesuatu yang jahat dan merugikan. Sejatinya, organisasi memerlukan
konflik�- tentunya konflik jenis yang baik�- untuk bertumbuh dan menjadi sejahtera.
Pemimpin yang baik berusaha menciptakan konflik yang sehat, karena dari sebuah
perdebatan dan pertukaran ide maka keputusan terbaik bisa dibuat, inovasi terjadi, dan
perubahan yang diperlukan berlangsung. Semuanya ini esensial bagi pertumbuhan
organisasi. Berikut adalah sejumlah hukum kepemimpinan konflik yang berisi cara
menghindarkan konflik jahat dan mendorong konflik baik.
1. THE LAW OF INTERDEPENDENCE
Pemimpin tidak bisa sepenuhnya mengandalkan kekuatan pada jabatan atau otoritas
formal. Mereka tak henti berada dalam keadaan interdependensi dengan bos yang lebih
tinggi, dengan kolega, dan dengan bawahan. Hukum ini mengingatkan kita bahwa
pengandalan berlebihan pada kekuasaan justru memunculkan konflik, karena orang
terpaksa mengikutinya. Bila terlalu mengandalkan otoritas formal, dan gagal untuk
menghargai interdependensi yang melekat pada hubungan pekerjaan, orang-orang akan
cenderung bermuka dua: di depan umum mengatakan mendukung, namun secara pribadi
malah tidak mendukung.
2. THE LAW OF BUILDING A CATHEDRAL
Untuk membuat orang selalu fokus pada kebersamaan ketimbang pada perbedaan satu
sama lain, pemimpin secara kontinu harus selalu mengingatkan orang-orang bahwa
mereka sedang membangun rumah ibadah, bukan sedang memotong batu. Bila berbagai
intrik dan konflik lainnya mulai mendominasi tim, maka yang terjadi adalah tujuan
bersama ditentukan oleh pendapat individu. Membangun rumah ibadah juga ibarat
vaksin yang digunakan secara regular mencegah penyakit sehingga pemimpin bisa
membatasi konflik agar tidak meluas.
3. THE LAW OF OPTIONS
Banyak yang menangani konflik dengan dua pendekatan: meredam konflik itu hingga
seluruhnya habis atau berkonfrontasi langsung. Tetapi, pemimpin jenius mengetahui opsi
apa saja yang tersedia di dalam krisis sekaligus tahu bagaimana menerapkannya. Ada
beberapa gradasi tindakan yang bisa diambil dalam menangani konflik.
Hanya saja, opsi apa saja yang dipergunakan untuk setiap kejadian sepenuhnya sangat
terbantung dari penilaian individu. Tidak ada hukum dan aturan yang pasti soal ini.
Bagian tersulit adalah mengetahui opsi apa saja yang tersedia dalam setiap situasi. Opsi
pertama yang tersedia ketika berhadapan dengan situasi konflik umumnya ada dua:
Opsi 1: Menghindar
Seorang pemimpin bisa memilih untuk menghindarkan konflik bila terlibat langsung, atau
memilih untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai.
Opsi 2: Berkonfrontasi
Yakin akan posisinya, pemimpin bisa memilih untuk mendorong terwujudnya objektif,
dengan menggunakan teknik persuasi untuk memenangkan kasus. Selain kedua opsi
umum itu, masih ada opsi-opsi lain.
Opsi 3: Berkompromi
Di sini pemimpin mencoba mencari solusi yang adil untuk kedua pihak yang berkonflik.
Caranya dengan menanggalkan perbedaan yang ada. Selama substansi konflik tidak
terkait masalah pribadi, tetapi lebih ke isu, sebuah solusi kompromi akan lebih baik.
Dalam situasi seperti ini, lebih baik menggunakan metode alternatif untuk menghapus
setiap konflik antar pribadi, dan berusaha untuk mencari konflik yang lebih berdasarkan
pada isu.
Opsi 4: Mendelegasikan
Di sini, pemimpin meminta bawahan untuk mengatasi konflik atas nama dirinya. Selama
anak buah memiliki prestasi yang baik dalam mengatasi konflik, cara ini bisa efektif
untuk mendayagunakan kekuatan tim. Ini juga bermanfaat karena tidak semua konflik
harus sampai kepada bos.
Opsi 5: Berkolaborasi
Pendekatan ini berupaya untuk mendiskusikan secara terbuka ketidaksepakatan dan
bersama-sama mencarikan jalan ke luar. Terdengar sederhana, hal ini mensyaratkan
orang-orang yang terlibat tidak bersikap emosional dalam memperjuangkan sikapnya.
Salah satu kunci kolaborasi adalah mengakui secara terbuka perbedaan di antara
mereka, misalnya dengan ungkapan: "Kami secara jelas merasakan perbedaan tentang
isu ini. Tolong jelaskan kembali kenapa Anda membaca situasi seperti itu?"
Pendekatan seperti itu diterapkan dalam situasi di mana dua departemen berkonflik, bisa
antara bagian kredit dan penjualan, atau antara pemasaran dan produksi. Dalam konflik
semacam ini, bersikap terbuka terhadap dampak negatifnya bagi organisasi bisa menjadi
pembuka pembicaraan yang baik.
Kolaborasi mungkin bukan opsi tercepat, tetapi hasilnya terbaik dan bersifat lebih
langgeng.
Opsi 6: Mengakomodasikan
Kadang-kadang pemimpin memutuskan untuk mendiamkan saja konflik yang ada,
terutama jika menjaga hubungan itu tidak banyak berpengaruh terhadap pencapaian
objektif organisasi dan tidak menghancurkan organisasi.
4. THE LAW OF THE CONSCIENTIOUS OBJECTOR
Dalam kasus di mana terjadi rivalitas antar departemen, bos berperan sangat besar
dalam mengatasinya. Bila Anda ingin bos menang, maka Anda sebaiknya tidak berusaha
melindunginya dari serangan orang lain. Tetaplah menunjukkan komitmen professional
kepada bos, tetapi lakukan hal itu dengan pekerjaan berkualitas. Bukan dengan
mengkritik orang lain. Cara terbaik untuk menunjukkan loyalitas dan sikap mendukung
adalah dengan bekerja sebaik-baiknya.
5. THE LAW OF THE LAST CHANCE SALOON
Sulit sekali menghindarkan terjadinya konflik yang tidak sehat. Seringkali terjadi, dua
orang yang bekerja dalam satu organisasi bermusuhan habis. Dalam situasi ini, terbuka
kemungkinan bagi Anda untuk menjadi mediator. Anda harus membangun sikap positif
pada masing-masing pihak terhadap yang lainnya. Sebab, selalu ada keahlian atau
atribut dari seseorang yang dihormati pihak lain, seberapapun hebatnya konflik tersebut.
Kadang-kadang bekerja secara individu dan kadang-kadang dengan melibatkan kedua
pihak yang berseteru, Anda bisa mengurangi friksi dan membangun kebersamaan.
Akan tetapi, pendekatan semacam ini tidak selalu berhasil, karenanya sering pemimpin
meminta orang untuk mengatasi sendiri konflik tersebut. Atau, sang pemimpin meminta
untuk mematuhi resolusi yang dia pilih.
6. THE LAW OF HEALTHY CONFLICT
Konflik sehat�- konflik ide�- mestinya didorong. Ibarat kolesterol jenis baik yang harus
terus ditingkatkan, konflik ide membuat organisasi tetap sehat. Debat, diskusi,
ketidaksetujuan, dan dialog adalah energi kehidupan bagi perusahaan tangguh dan
adaptif. Karena itu, pemimpin yang hebat membangun konflik ide sebagai sebuah nilai
kultural. Debat dan diskusi di mana suara yang berkembang sangat beragam pada
akhirnya bisa menghasilkan kesamaan pendapat. Semakin banyak debat dan diskusi
semakin baik. Metode seperti ini menghindarkan adanya suara vokal dalam setiap tim
tentang satu subjek.
Pendekatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan konflik sehat memanfaatkan desain
proses pengambilan keputusan tertentu. Lajimnya dalam teknik ini ditunjuk satu orang
atau grup untuk menjadi advokat dalam posisi berseberangan. Kadang-kadang,
pemimpin menunjuk "advokat jahat" yang memiliki posisi agak ekstrim dengan
menantang pandangan kelompok mayoritas. Di lain kesempatan, pemimpin membagi tim
menjadi dua kelompok, di mana masing-masing menjalankan tugas advokasi yang telah
ditentukan. Dengan kedua pendekatan itu, konflik ide yang sehat bisa tumbuh subur di
dalam organisasi.
Penting pula diingat bahwa setiap tim yang "berkonflik" setuju sejak semula bagaimana
keputusan final dibuat, sehingga pengambilan keputusan itu menjadi proses yang relatif
netral secara emosional. Bilamana proses yang dipergunakan secara eksplisit melahirkan
pandangan dan penilaian yang saling bertentangan (berkonflik), penting dirancang
sejauh mana konflik itu diselesaikan dalam keputusan final. Pemimpin biasanya
menunggu hingga satu pendekatan mendapat dukungan dari mayoritas atau hingga
tercapai sebuah konsensus, sehingga konflik itu terselesaikan sendiri. Pemimpin
kemudian mengumumkan keputusan akhir yang dibuatnya dan membiarkan sejumlah
konflik tetap belum terselesaikan. Antusiasme kedua kelompok yang memiliki pandangan
berbeda dalam mendapatkan keputusan akhir memungkinkan terlaksananya keputusan
tersebut dengan dukungan penuh mereka.
Perhatian besar perlu diberikan dalam menyeleksi proses pemunculan konflik agar
prosesnya sesuai dengan situasi. Upaya menggali pandangan-pandangan berbeda
berguna
untuk menjamin bahwa keputusan final telah memperhitungkan sebanyak mungkin data,
dan telah melalui pengujian. Ironisnya, pendekatan semacam ini lebih penting apabila
masa depan kurang pasti, dan tatkala keputusan yang diambil berisiko lebih tinggi.
Bilamana waktu yang tersedia cukup banyak, lingkungan kompetitif cukup jelas, dan
bilamana keputusan tidak begitu beragam, maka konflik sehat tidak begitu penting.
Namun, tatkala nilai dan risiko keputusan semakin meningkat, maka debat berkualitas
semakin penting pula. Ringkasnya, semakin penting pilihan yang harus diambil, semakin
besar kebutuhan untuk berkonflik sehat.
Proses Suksesi di PT. Caltex Pacific Indonesia
No. 07 - Tahun 2004
Perencanaan suksesi di PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) berawal dari proses penilaian
kinerja karyawan. Perusahaan yang kini mempunyai 5. 225 karyawan ini memiliki komite
yang disebut PDC (Personnel Development Committee) yang melakukan penilaian dan
pemilihan kandidat untuk posisi eksekutif dan posisi kunci lainnya.
Menurut GM Human Resources, PT Caltex Pacific Indonesia, Iwan Djalinus, PDC ini terbagi
atas Fungsional PDC, untuk menilai low level leader seperti posisi facility engineer,
production engineer, earth scientist, dan human resources. Kedua, Fungsional PDC
dengan persetujuan cross functional PDC untuk menilai mid level leader dan Executive
PDC untuk penilaian bagi posisi Manajemen. Seluruh posisi di Mid Management Level ke
atas adalah posisi kunci karena pada level tersebut seluruh komponen bekerja sama
menggerakkan roda organisasi ke tujuan. "Kekurangan satu komponen akan menjadikan
organisasi ini pincang."
Persiapan generasi penerus kepemimpinan, lanjut Iwan, melalui proses dari sistem yang
telah baku, dari mulai penyeleksian high potentials (hipot), rencana pengembangan
pegawai dan penempatannya oleh PDC. "Kriteria yang dipakai antara lain Leadership core
criteria, termasuk di dalamnya Integritas yang tinggi, kemampuan komunikasi,
kemampuan bisnis yang teruji, pengalaman dibidang minyak dan gas bumi di lingkungan
CPI serta bukti-bukti keberhasilan," lontarnya kembali. Selama ini suksesi selalu dilakukan
dari dalam organisasi.
Rencana pengembangan karyawan dilakukan berdasarkan usulan dari atasan setelah
berdiskusi dengan karyawan yang bersangkutan. Rencana ini kemudian disetujui oleh
PDC pada level yang lebih tinggi, dicatat dan dibuatkan rencana secara rinci. Dasar
penentuan orang potensial adalah berdasarkan kinerja, perilaku, wawasan dan beberapa
kriteria lainnya. Semuanya itu dilakukan oleh PDC yang biasanya terdiri dari 7 - 12 orang
anggota.
Selain penilaian kinerja yang tertata baik, paparnya lagi, karyawan juga mendapatkan
delegasi otoritas, pelatihan langsung oleh atasan atau mentornya melalui suatu sistem
mentoring, diberi penugasan yang beragam (cross assignment), termasuk di dalamnya
penempatan kerja internasional di perusahaan induk CPI, ChevronTexaco di Amerika atau
subsidiari ChevronTexaco di negara lain. Pelatihan-pelatihan di bidang soft skills juga
senantiasa dilakukan. Semua program pengembangan SDM ini secara tidak langsung
telah menjadi cara CPI untuk meretensi karyawannya.
"Tenaga potensial yang ada di CPI diperkirakan masih dapat memenuhi kebutuhan
Perusahaan dalan jangka 4 - 5 lima tahun mendatang, dan kami sedang memperisapkan
generasi berikutnya untuk kebutuhan setelah 5 tahun mendatang," sambungnya.
Namun, untuk beberapa posisi seperti Manager Security dan Manager Hubungan
Industrial (HI), dinilai Iwan merupakan posisi kunci yang langka di CPI. "Sebenarnya ini
hanya masalah pasar saja. Kebetulan di CPI sendiri Pekerjaaan ini sangat spesifik, dan
posisi ini juga pada saat ini merupakan key manager," tandasnya. Di CPI, Bagian
Hubungan Industrial yang menangani masalah Serikat Pekerja pernah berjalan sekitar 20
tahun lalu. Kemudian, sekarang ini dengan berubahnya status dari KORPRI menjadi
pegawai swasta kembali dan dimungkinkan dibentuknya Serikat Pekerja maka bagian
hubungan Industrial menjadi sangat penting kembali seperti halnya di Perusahan Minyak
yang lain akibatnya permintaan pasar terhadap orang yang memiliki kemampuan ini
sangat tinggi. "Akibat dari berubah status menjadi KORPRI sekitar 20 tahun lalu, maka
kami tidak punya rencana suksesi yang baik," tambah Iwan yang mengaku hingga kini
posisi HI hanya dilakukan oleh satu orang sehingga tidak fleksibel secara manajerial.
Padahal, Iwan mengaku HI tidak sekedar textbook thinking. oleh karena itu. CPI tidak bisa
langsung merekrut dari luar karena seorang suksesor untuk manager HI harus mengerti
internal bisnis perusahaan dan masih banyak hal lain lagi. "Seorang HI tidak hanya cukup
untuk mengerti tentang masalah peraturan saja, tapi juga memahami nature of the
business, jadi betul-betul, tidak hanya sebatas peraturan."
Tak heran jika berbagai upaya CPI untuk melakukan suksesi terhadap posisi ini terus
dilakukan. Mulai dari pemilihan calon suksesor serta mengirim ke luar negeri untuk
belajar tentang HI yang berkaitan dengan minyak dan gas bumi. "Kebetulan pula, dulu
ada pelaku-pelaku sejarah di CPI yang mengerti hal ini sehingga bisa menangani," tutur
Iwan yang mengaku CPI tidak bisa sembarang merekrut dari luar meski hal itu bisa saja
terjadi.
Terhadap proses suksesi ini, CPI melakukan evaluasi 3 bulan sekali. Dari evaluasi ini, akan
diketahui, siapa yang akan berhak menggantikan pimpinan dalam kurun waktu 3�- 5
tahun ke depan. "Apalagi mengingat turn over CPI termasuk rendah yaitu hanya dibawah
1% diluar sekitar 130 orang per tahun yang pensiun. Itu normal. Kalaupun keluar dari CPI,
paling hanya 2-3 orang. Paling banyak 5 orang," papar Iwan mengakhiri perbincangan
dengan Human Capital.
Suksesi di Bank Niaga
No. 07 - Tahun 2004
Berbicara suksesi sebuah perusahaan, tidak hanya sekedar bicara masalah pergantian
pemimpin semata. Setidaknya, ada 3 hal yang sangat berperan bagi kesuksesan sebuah
suksesi. Pertama adalah komitmen untuk suksesi. Suksesi disiapkan dari dalam
perusahaan karena konsistensi penting. Oleh sebab itu tantangannya bagaimana
menciptakan kwalitas orang dalam dengan value yang sudah teruji. Karyawan dari dalam
bisa memahami strategi perusahaan dan budaya dengan lebih baik, yang berarti, semua
perencanaan suksesi akan ditata lebih baik.
Kedua, perencanaan suksesi membutuhkan persiapan yang banyak, baik segi sistem,
maupun dari segi pengembangan karyawan tersebut. Sehingga orang-orang yang terbaik
yang harus ada dalam proses ini. Sistem tersebut bermula dari bagaimana rekrutmen itu
terjadi. Maka, rekrutmen strategi menjadi sangat penting karena pola dari suksesi
dasarnya adalah mengembangkan karyawan. Bukan "membeli" karyawan. "Bagaimana
karyawan bisa berkembang mengembangkan potensi dan kompetensinya di perusahaan.
Semua itu harus diseleksi dan diidentifikasi. Makanya, bicara suksesi sama dengan bicara
tentang 10-15 tahun ke depan," papar C. Heru Budiargo, Executive Director Compliance,
Risk Management Bank Niaga.
Heru yang juga menjabat Direktur SDM menegaskan, suksesi merupakan satu proses
satu kesatuan dengan satu organisasi, setiap orang dituntut untuk selalu siap. Posisi
kunci harus teridentifikasi, posisinya apa, ada di mana, dan sebagainya. Dalam jangka
panjang, suksesor-suksesor terbaik dengan performance-nya bagus akan dikembangkan
kompetensinya. Sedang dalam jangka pendek, seorang suksesor harus menunjukkan
performance dan kinerjanya sehari-hari. "Kan ada yang potensinya kurang baik, tapi
prestasinya baik. Orang ini diidentifikasi dari pengembangan secara khusus, diberi
kesempatan, diberi proyek, dipindahkan, supaya dapat pengalaman dan teruji
kompetensi dan kinerjanya," jelasnya panjang lebar.
Ketiga, yaitu performance appraisal, penilaian seorang karyawan. Yang dinilai adalah
kinerja dan kompetensi. Menurutnya, setiap perusahaan akan membutuhkan karyawan
dengan 2 kriteria tersebut. "Tapi memang tidak mudah. Ada orang yang kinerjanya baik,
tapi kompetensinya tidak bisa dikembangkan lagi. Atau sebaliknya. Artinya ada saja
orang yang berhenti di suatu tempat," cetus Heru lagi. Karena itu, tidak semua karyawan
disiapkan dan direkrut untuk berada di level eksekutif.
Strategi rekrutmen menurut Heru, selain menyangkut masalah kriteria calon karyawan
yang akan menjadi karyawan Bank Niaga, juga mengupas masalah training atau
pelatihan. Tidak hanya sekedar classical training, tapi juga day to day, pekerjaan
karyawan sehari-hari. "Sistem belajar classical hanya menyumbang 20%, sisanya day to
day," papar Heru. Seorang karyawan akan baik jika ia memiliki atasan yang baik.
Rencana suksesi, baik di setiap lini dan setiap saat, bukanlah sesuatu yang mudah.
Seseorang yang pergi, baik itu dikeluarkan, pensiun atau keluar dengan sendirinya,
idealnya harus ada pengganti. "Bisa saja suatu saat ada posisi yang kosong, misalnya
pemimpin cabang. Di kami, setiap orang setiap hari menyiapkan karyawannya untuk
menjadi suksesor." Suksesor yang terdekat adalah satu tingkat di bawahnya dan tidak
harus bawahan karyawan tersebut. Walau tidak tertutup kemungkinan Bank Niaga
mengambil suksesor dari luar, tapi jumlahnya tidak terlalu besar. Saat ini, 80% karyawan
yang direkrut Bank Niaga adalah fresh graduated, sisanya berasal dari perusahaan lain
yang pindah ke Bank Niaga. Kecuali untuk posisi treasury, hukum dan teknologi yang
dinilai Heru tergolong posisi langka di Bank Niaga.
Yang memutuskan layak tidaknya seorang suksesor menjabat posisi di atasnya adalah
Komite Personalia, yang terdiri dari beberapa anggota, bisa 3 orang, 5 orang atau 7
orang, tergantung daerah atau cabang masing-masing. Tujuannya, untuk mendapatkan
keputusan yang paling maksimal dan terhindar dari subyektifitas. "Umumnya, setiap
karyawan akan tahu jika ada salah satu karyawan dijadikan calon suksesor. Karena
system yang transparan, kecemburuan bisa dikurangi yaitu setiap orang harus mengakui
potensi dan kinerja si calon suksesor," akunya. Sehingga yang naik jabatan bisa
berbangga karena memang dia berpotensi dengan baik.
Yang menjadi kendala Bank Niaga adalah memberikan poin buruk kepada bawahan yang
dinilai. "Kadang-kadang ada supervisor yang susah mengatakan bahwa si B itu tidak baik
atau jelek. Mungkin karena adat timur," Heru berujar. Jadi, jika ada supervisor yang
memberikan penilaian yang tidak tepat, maka akan dirapatkan dalam rapat Komite.
Di Bank Niaga, ada 2 kelompok karyawan, karyawan pimpinan dan bukan karyawan
pimpinan. Kalau karyawan pimpinan biasanya diarahkan untuk menjadi seorang pimpinan
hingga ke level eksekutif. Seorang karyawan yang akan mencapai level tersebut harus
belajar untuk mengembangkan orang lain. "Poinnya bukan sukses itu sendiri, tapi
mengembangkan dan mencetak orang-orang yang berkualitas," tegasnya. Untuk menjadi
junior officer, karyawan akan dididik selama 6-8 bulan. Kemudian dari level junior officer
menjadi middle officer sekitar 5 tahun, middle officer menjadi senior officer sekitar 5
tahun
Jika di level managerial ke bawah, penilaian dilakukan oleh Komite Personalia, maka
untuk suksesi direksi, penilaian dilakukan oleh Komite Remunerasi dan Nominasi (KRN).
KRN ini ada di level komisaris sehingga anggota Komite ini adalah beberapa anggota
komisaris. "Di Bank Niaga, 90% Direksi berasal dari dalam karena umumnya jabatan
direksi menjadi karir," akunya.
Bank Niaga pernah menghadapi situasi yang di luar rencana, pertama adalah pasca Pacto
(Paket Oktober) 1983, yang membolehkan bank-bank baru dengan bebas membuka
cabang, sehingga membuat sekitar 50 karyawan Niaga pindah. Kedua, saat krisis
moneter terjadi pada tahun 1998-1999, saat dibentuknya Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Kala itu, dalam tempo setahun, sekitar 100 karyawan pimpinan Bank
Niaga melakukan eksodus ke BPPN. Hal ini diakui Heru sedikit menganggu kelancaran
operasional. "Karena banyak posisi yang kosong, terpaksa yang belum siap harus
'dikarbit'," ujarnya.
Proses evaluasi suksesi Bank Niaga dilakukan secara berkala minimal setahun 2 kali.
"Suksesi bisa terlihat dari berkembangnya perusahaan. Jika berkembang baik, artinya
suksesinya jalan," tukas Heru yang membeberkan bahwa Bank Niaga tahun ini asetnya
naik 30%, sehingga dalam tahun 2004 Bank Niaga menargetkan akan membuka 50
cabang di seluruh Indonesia dan merekrut karyawan sebanyak 900 orang.
Suksesi di Blue Bird Group
No. 07 - Tahun 2004
Didirikan 32 tahun yang silam, Blue Bird Group (BBG) kini berkembang menjadi
perusahaan transportasi darat terkemuka di Indonesia dengan karyawan 20.000 orang
lebih dan memiliki 13.000 kendaraan. Dewasa ini, transisi kepemimpinan terus
berlangsung dari generasi kedua ke generasi ketiga. Bagaimana strategi suksesi di BBG?
Tahun ini, BBG merayakan ulang tahun ke-32 dan ulang tahun ke-7 Pusaka Group,
perusahaan anak dari BBG. Siapapun tidak akan pernah membayangkan BBG akan
menjadi sebesar sekarang. Cikal perusahaan ini diawali saat Ibu Mutiara Siti Fatimah
Djokosoetono, SH. (kini almarhumah) bersama anak-anaknya menjalankan usaha taksi
"gelap" untuk menghidupi keluarga setelah sang suami Prof. Djokosoetono, SH. wafat.
Mobil yang dijadikan usaha taksi adalah mobil-mobil peninggalan Pak Djokosoetono.
Kala itu, seluruh keluarga ikut berperan serta dalam usaha taksi tersebut, mulai dari
pemasaran dan penerima order hingga menjadi pengemudi. Chandra Suharto (anak
tertua), misalnya, bertugas sebagai operator telepon, sedangkan Purnomo Prawiro (anak
ketiga/bungsu) sebagai pengemudi. Untuk menambah jumlah mobil, Ibu Mutiara
bekerjasama dengan janda-janda pahlawan dengan memanfaatkan mobil-mobil mereka
untuk menjadi taksi.
Bermodalkan pengalaman usaha taksi itu, Ibu Mutiara kemudian memberanikan diri
untuk meminta ijin taksi resmi dari Gubernur DKI Ali Sadikin. Pada awalnya, permintaan
tersebut ditolak karena latar belakang beliau hanya seorang ibu rumah tangga dan tidak
berpengalaman dalam bisnis yang keras ini. Sedangkan, perusahaan taksi lainnya yang
ada sudah banyak makan asam garam bisnis transportasi, seperti Gamya, Morante, dan
lainnya.
Ibu Mutiara tetap gigih memperjuangkan ijin itu. Ia mengumpulkan berbagai rekomendasi
dari hotel dan sejumlah pelanggan lain, dan semua itu cukup ampuh meyakinkan
Gubernur DKI sehingga ijin usaha taksi itu ke luar. Setelah ijin ke luar, tantangan
berikutnya muncul, yaitu mendapatkan pinjaman bank untuk membeli mobil baru. Bank
enggan memberikan pinjaman. Rumah satu-satunya milik Ibu Mutiara yang berlokasi di Jl.
HOS Cokroaminoto akhirnya dijaminkan berikut 24 mobil yang dijadikan taksi. Maka,
lahirlah perusahaan taksi Blue Bird dengan warna biru yang teduh.
Tantangan demi tantangan muncul silih berganti, tetapi sejarah menjadi saksi betapa
kegigihan dan keteguhan sikap Ibu Mutiara bersama anak-anaknya tidaklah sia-sia. Dari
24 taksi, kini BBG mengelola 13.000 unit kendaraan dan 20.000 karyawan lebih. Saat
berdiri, pangsa pasar Blue Bird hanya 15% dari 7 perusahaan taksi yang ada di Jakarta.
Sekarang, BBG menguasai 54% pangsa pasar dengan jumlah perusahaan taksi yang naik
menjadi 45 buah. BBG menjelma menjadi perusahaan transportasi darat terkemuka dan
paling sehat di Indonesia. Tak hanya itu, beberapa perusahaan taksi yang pada saat awal
memandang Blue Bird sebelah mata, akhirnya diselamatkan BBG dari kebangkrutan.
Bank-bank pun kini berlomba menawarkan pinjaman dengan jaminan mobil yang dibeli.
Kehidupan menjadi serba terbalik. Berkat usaha taksi itu pula, Ibu Mutiara berhasil
menghantarkan ketiga anaknya meraih gelar sarjana.
Setelah 28 tahun membangun dan membesarkan BBG, akhirnya wanita yang murah
senyum itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Almarhum sudah mempersiapkan kedua
puteranya DR. Chandra Suharto, MBA. dan dr. Purnomo Prawiro untuk mengambil tongkat
estafet kepemimpinan di BBG. Chandra menjabat Presiden Komisaris BBG dan Purnomo
menduduki posisi Managing Director.
Namun, proses suksesi dari generasi satu setengah ini (begitu Purnomo menyebut dirinya
dan kakaknya Chandra karena mereka telah ikut merintis usaha ini bersama Ibu Mutiara
sebagai generasi pertama, red) suatu saat harus pula berlangsung karena usia mereka
yang terus bertambah. Mereka sedang mempersiapkan generasi ketiga - anak-anak
mereka - sebagai penerus kepemimpinan BBG. Dewasa ini, 2 anak Purnomo (Noni
Purnomo, B.Eng., MBA. dan Ir. Adrianto Djokosoetono, MBA) dan 2 anak Chandra (Kresna
Djokosoetono dan Sigit Djokosoetono) bergabung di BBG. Noni, Kresna, dan Sigit
menduduki posisi Vice President (sebutan baru sebagai pengganti jabatan Senior
Manager, red) untuk posisi yang berbeda. Noni VP untuk bidang pengembangan bisnis,
Kresna membawahi audit, dan Sigit memimpin bidang reservasi. Sebagai anak paling
bungsu, Andri (panggilan Adrianto) sekarang masih menjabat manajer di bidang teknologi
informasi.
Pembagian bidang tugas tersebut, menurut Purnomo Prawiro, dilakukan atas minat dan
kompetensi masing-masing, bukan atas pembagian jabatan antara Purnomo dan
Chandra. Penempatan anak-anak itu didasarkan pada prinsip the right man/woman on
the right place. Satu puteri Purnomo lainnya, Sri Adriyani Lestari Purnomo yang dokter
memilih untuk mengambil spesialisasi kebidanan.
Kendati kini telah memegang posisi, anak-anak tersebut harus memulai karir dari bawah.
"Kalau langsung duduk di atas, mereka seperti diawang-awang. Ibarat di atas awan,
seakan-akan di bawah semuanya mulus dan tanpa gejolak, padahal tertutup oleh awan,"
tukas dokter lulusan Fakultas Kedokteran UI 1974 itu. Tidak hanya mengerti tentang
pekerjaan, anak-anak dituntut untuk menghayati pekerjaan. Misalnya, jadi staf itu seperti
apa, atau jadi orang bagian operasi shift 3 itu seperti apa? Begitu pula jadi manajer
menengah. Mereka harus tahu apa saja masalah yang dihadapi setiap level bagian atau
sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat.
Noni, anak tertua pasangan Purnomo dan Hj. Endang Basuki Purnomo, misalnya, sudah
terlibat dengan bisnis ini sejak berusia 5 tahun. Ia ikut mempersiapkan gulungan-
gulungan yang berisi perhitungan komisi setiap pengemudi. Berlanjut saat SMP dan SMA,
ia bekerja paruh waktu menjadi data entry selama masa liburan sekolah. "Itu pun saya
dites sebelum diterima," ujar ibu satu puteri berusia 5 tahun itu. Ia tidak merasa
diistimewakan karena harus menyelesaikan beban pekerjaan sesuai target. Menurut Noni,
perbedaannya paling saat meminta bantuan karyawan lain bila ia tidak mengerti.
"Karyawan senior akan cepat datang membantu," tuturnya, sambil menambahkan,
"Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk bekerja saat liburan sekolah."
Saat kuliah Teknik Industri di University of Newcastle, Australia, Noni mengambil tesis
tentang efisiensi untuk memperbaiki kinerja bengkel Blue Bird. Pulang dari Australia
setelah meraih gelar bachelor tahun 1994, Noni tidak langsung kembali ke BBG. Ia
memilih bekerja di bidang pemasaran pada PT Jakarta Convention Beureau. "Saya ingin
mempelajari teknis pemasaran karena waktu itu di BBG belum ada pemasaran. Yang ada
hanya bagian penjualan," katanya. Pekerjaan itu dijalaninya setahun. Itu pun sambil
bekerja malam di BBG dengan jabatan setingkat supervisor. Jadi, sepulang dari kantor
lain, Noni bekerja lagi di BBG.
Kemudian, ia meneruskan sekolahnya dengan mengambil program MBA di University of
San Francisco dengan major di bidang pemasaran dan keuangan selama setahun lebih
(1996-1997). Setelah menggondol gelar MBA, Noni bergabung kembali ke BBG dengan
memimpin Divisi Pengembangan Bisnis. "Inilah enaknya sebagai anak pemilik. Bidang
yang tidak ada bisa diadakan," katanya terkekeh. Bidang pengembangan bisnis sendiri
diakui Purnomo sangat penting buat BBG. "Yang paling benar dan gampang memimpin
bagian ini, ya keluarga pemilik," tukasnya juga sambil tertawa.
Tugas Noni mencakup pengembangan bisnis secara internal dan eksternal. Secara
internal, Noni bertanggung jawab untuk pengembangan sistem, misalnya aspek Total
Quality Management. Secara bertahap, BBG menerapkan tahapan menuju sertifikasi ISO
9002. "Kami memilih untuk mencoba pendekatan berbeda, tidak langsung mengambil
sertifikat ISO," tuturnya. Pengembangan bisnis eksternal dilakukan dengan menyusun
strategi pemasaran, termasuk strategi membangun citra perusahaan baik dengan iklan
langsung maupun program public relations (PR) internal. Program PR internal dilakukan
untuk membuat para pengemudi sebagai frontliners puas.
Tampilnya 4 anak pemilik di jajaran pimpinan BBG tidak berarti peluang karir bagi
professional tertutup. Dari 9 jabatan VP, hanya 3 yang diisi keluarga pemilik. Di jajaran
direksi - di atas ketiga anak pemilik dan VP lainnya�- ada seorang direktur profesional
yang telah berkerja sekitar 20 tahunan di BBG (H. Handang Agusni). H. Handang memulai
karirnya dari bawah sekali sebagai staf operasi. Ia bertanggung jawab mengelola operasi
harian usaha transportasi, sedangkan Purnomo bertanggung jawab pada aspek kebijakan
operasi usaha transportasi dan memimpin sayap usaha non-transportasi dari BBG
(seperti usaha Hotel di Lombok dan sejumlah usaha patungan dalam bidang karoseri,
depo kontainer, mobil pemadam kebakaran, dan usaha freight forwarding).
"Saya kira, lingkungan kerja untuk profesional di sini cukup kondusif," tegas Purnomo.
Purnomo dan Chandra telah memasang rambu-rambu yang jelas kepada keluarga
besarnya soal keterlibatan di BBG. Pertama, yang boleh ikut dalam perusahaan hanya
anak-anak pemilik. Pasangannya (suami atau istri) tidak diperbolehkan. Kedua, sedapat
mungkin tidak menerima anggota keluarga lain - keponakan, sepupu, dan sejenisnya -
untuk bergabung. Purnomo mengaku, lebih senang menghubungi temannya untuk
mencarikan tempat bekerja bagi saudara ketimbang menerimanya di BBG. Kalaupun ada
saudara yang ingin bekerja di BBG, ia menyerahkan sepenuhnya proses seleksi kepada
manajer HRD. "Kami tidak ikut campur," ulasnya.
Selama hasil tesnya bagus dan di atas yang lain, dia layak diterima. Setelah masuk
bekerja, orang itu diusahakan tidak berada langsung di bawah mereka. "Ini untuk
menghindari berbagai dampak buruknya. Misalnya, masalah pekerjaan bisa
menyebabkan keretakan dalam keluarga dan sebaliknya," tambahnya. Hingga kini, di luar
anak-anaknya, sedikit sekali saudara jauh pemilik yang bergabung di BBG.
Sadar usia terus bertambah, Purnomo dan Chandra berencana untuk pension sebagai
pimpinan dan cukup sebagai pemilik saja. Ia berharap pada usia 60 tahun (3 tahun lagi)
hal itu bisa terwujud. Kelak, ia cukup datang sekali seminggu ke kantor dan bisa
mengerjakan aktivitas lain yang bermanfaat, semisal kegiatan sosial. Penghasilannya
cukup dari dividen sebagai pemilik, karena hingga kini sebagian saham masih atas nama
dirinya (sebagian lagi sudah diserahkan kepada anak-anak). "Untuk berjaga-jaga supaya
nanti saya tidak mengemis-ngemis dari anak-anak minta uang," katanya terbahak.
Siapa di antara anak-anak yang bakal menggantikan posisi pimpinan di BBG, tidak terlalu
dirisaukan oleh Purnomo meskipun ia melihat hal itu sangat strategis untuk kemajuan
BBG ke depan. Menurutnya, harus ada orang luar yang netral untuk ikut memikirkan
suksesi kepemimpinan di BBG di luar keluarga pemilik. Sebaiknya, papar Purnomo, ada
pemegang saham dari pihak luar supaya penilaiannya lebih obyektif. Caranya bisa
dengan go public ataupun dengan mengundang strategic investor. "Saya sendiri menilai,
pilihan strategic investor lebih baik," ungkapnya. Rencana ini masih digodok, bisa saja
investor strategic itu adalah salah mitra usaha BBG dalam sejumlah usaha patungannya
(dari Jerman, Malaysia, Spanyol, dan sebagainya).
Satu hal yang pasti, semua pemilik sudah bersepakat untuk terus mengembangkan BBG
sehingga menjadi grup usaha penuh di bidang logistik terkemuka di Indonesia dan
kawasan ini. "Jangan sampai generasi ketiga hanya menghabiskan uang saja," katanya
serius di depan Noni.
Suksesi Di Perusahaan Keluarga
No. 07 - Tahun 2004
Berbeda dengan perusahaan non-keluarga, suksesi di perusahaan keluarga sangat kritikal
karena seringkali berlangsung tidak mulus. Ungkapan "Generasi pertama membangun,
Generasi kedua mengembangkan, dan Generasi ketiga menghabiskan" belum
sepenuhnya hilang. Lantas, bagaimana pula nasib para professional yang bekerja di
perusahaan keluarga?
Mungkin Anda pernah melihat tayangan iklan Telkom Flexy di sejumlah TV swasta. Iklan
itu bercerita tentang seorang ayah yang harus memilih satu di antara dua puteranya
untuk menjadi eksekutif puncak perusahaannya. Lalu muncul tayangan kebiasaan
anaknya dalam berkomunikasi yang berbeda. Yang satu memakai Telkom Flexy, satu lagi
memakai telepon seluler biasa. Akhirnya, sang ayah memilih anaknya yang memakai
Telkom Flexy. Alasannya? "Karena yang bersangkutan pintar mengelola uang dengan
memilih telepon yang irit," kira-kira begitulah jawaban sang ayah.
Untungnya, anak yang satu tidak protes. Mungkin dia tahu ayahnya sangat
berpenghitungan soal uang. Padahal, dia sudah mau protes, sebab ia memilih operator
seluler lain karena layanan telepon Flexy masih sering terputus-putus sehingga
mengganggu pembicaraan bisnisnya dengan orang lain. Artinya, gara-gara kualitas
sambungan telepon itu, peluang bisnis tidak bisa dia dapat.
Begitulah, proses suksesi di perusahaan keluarga bukanlah hal yang mudah. Faktor selera
sang ayah atau Ibu sebagai pimpinan masih sangat menentukan siapa yang akhirnya
dinobatkan sebagai pimpinan penerus. Padahal, tanpa kriteria yang jelas, pemilihan
pemimpin generasi berikutnya bisa menimbulkan kehancuran perusahaan. Misalnya, si
anak terpilih karena kejujuran dan kasih sayangnya kepada orang tua, sementara ia
lemah dalam kompetensi dan kepemimpinan. Lebih repot lagi bila jumlah anaknya cukup
banyak sehingga potensi untuk tidak akur sangat besar. Salah-salah memilih, akibatnya
seperti ungkapan di atas: "Generasi penerus justru hanya bisa menghancurkan
perusahaan."
Menurut AB Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group (JCG), suksesi di
perusahaan keluarga jauh lebih sulit dibandingkan perusahaan non-keluarga. Perusahaan
non-keluarga, baik perusahaan swasta maupun BUMN, bebas menentukan siapa yang
layak menjadi suksesor berdasarkan kompetensinya. Sementara di perusahaan keluarga,
ada kesan diteruskan ke generasi berikutnya. "Yang menjadi pertanyaan, apakah generasi
penerus mampu melanjutkan usaha dengan baik," tanyanya. Oleh sebab itu, hal pertama
yang harus dilakukan adalah mempersiapkan generasi penerus terlebih dahulu.
Karena lebih sulit, keterlibatan intens dari sang ayah/ibu mempersiapkan proses suksesi
menjadi prasyarat mutlak. Di sinilah dilemanya. Tidak semua pengusaha memiliki waktu
dan perhatian yang cukup dalam mempersiapkan anak-anaknya. Mereka umumnya lebih
hebat dalam berbisnis, namun merasa tidak punya kemampuan merancang program
suksesi. Akhirnya, proses suksesi dibiarkan terjadi secara alamiah.
Sebagian pengusaha yang sadar soal pentingnya suksesi ini kemudian menyerahkan
penyusunan rencana suksesi ini kepada konsultan. JCG memiliki sebuah program
perencanaan suksesi yang diberi nama JCG Octagon. Program ini memuat pula langkah
persiapan suksesi setidaknya 5 tahun di depan. Juga dibuat criteria suksesor dan proses
pencalonan yang hampir mirip dengan pemilihan Presiden. "Semua anak diperbolehkan
mencalonkan diri," ungkapnya.
Tujuan perencanaan suksesi ini adalah untuk mendapatkan pemimpin yang sesuai, bisa
berkomunikasi dan memberi dampak positif bagi orang lain. Itu sebabnya, pimpinan yang
dicari harus mempunyai visi yang jelas dan mampu mengkomunikasikan visi tersebut. Ia
juga harus pandai memilih bawahan (tim) dalam bekerja dan mempunyai hubungan yang
luas.
Cara yang ditempuh oleh pengusaha Mugijanto adalah dengan meminta bantuan
konsultan terkemuka Gede Prama, CEO Dynamic Consulting, untuk menjadi executive
coach bagi anak tertuanya. Program executive coaching ini dirancang 6 bulan-9 bulan, di
mana Gede rutin melakukan diskusi, memberikan penugasan, dan mengevaluasi
implementasinya di perusahaan. "Program ini sesuatu yang baru di Indonesia," tutur
Gede Parama. Mugijanto menilai positif program tersebut setelah melihat dampaknya
pada sang anak. "Dia semakin sistematis membuat laporan," tukasnya. Pak Mugi dan
Gede enggan menyebut honor jasa executive coaching ini. "Kami tidak terlalu hitung-
hitungan," ungkap mereka di tempat terpisah.
PROSES SUKSESI di Blue Bird Group (BBG) kini sedang berlangsung dari generasi kedua
(Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto) ke anak-anak mereka (generasi ketiga). Dewasa
ini, 2 anak Purnomo (Noni Sri Ayati dan Adrianto Djokosoetono) dan 2 anak Chandra
(Kresna Djokosoetono dan Sigit Djokosoetono) bergabung di BBG. Noni, Kresna, dan Sigit
menjabat Vice President, sedangkan Andri masih menjabat manajer karena belum lama
bergabung di BBG. "Prinsip kami adalah menempatkan the right people on the right
place," ungkap Purnomo Prawiro. Masing-masing memilih bidang sesuai dengan
minatnya. Noni membawahi pengembangan bisnis, Kresna audit, Sigit reservasi, dan
Andri teknologi informasi.
Keempat anak pemilik itu mengawali karirnya di BBG sejak dari bawah. Hal ini sesuai
dengan prinsip Purnomo dan Chandra, seseorang tidak bisa langsung duduk di atas. Ia
benar-benar harus mulai dari bawah agar mengerti dan menghayati pekerjaannya
sehingga dalam mengambil keputusan hasilnya juga bagus. Sejak kecil, anak-anak
Purnomo memang telah dilibatkan dalam bisnis ini.
Purnomo tidak terlalu mengkhawatirkan potensi konflik di antara anak-anak mereka
kelak. Meski ada anak-anaknya maupun Chandra yang bergabung, mereka sudah
merencanakan sebuah proses penentuan siapa yang kelak berada di puncak tahta.
"Sebaiknya ada pihak independen yang ikut memberikan penilaian," ujarnya. Caranya,
BBG berencana mengundang masuk investor independen melalui proses go public atau
pola investor strategis. "Kami cenderung memilih pola investor strategis," tambahnya.
Sadar betapa crucial-nya proses suksesi, salah satu taipan properti Indonesia Ir. Ciputra
benar-benar terlibat penuh memikirkan dan merancang konsep suksesi terbaik bagi
keempat anak-menantunya dalam Grup Ciputra. Ia tidak ingin, bisnis Grup Ciputra dan
hubungan persaudaraan hancur kelak di tangan generasi penerus (Rina, Juanita, Candra,
dan Cakra Ciputra serta pasangan masing-masing). Seluruh anak-anak dan menantunya
memang dilibatkan dalam bisnis Grup Ciputra. "Mereka memiliki pendidikan yang sangat
berkaitan dengan bisnis Grup Ciputra, di samping juga mempunyai pengalaman praktis
dalam industri real estate," ungkap Ciputra, 73.
Setelah melakukan pengkajian dan perenungan panjang, Ciputra membedakan model
regenerasi grupnya saat ini dan di masa depan. Saat ini, seluruh anak dan menantunya
berada dalam jajaran manajemen Grup Ciputra. Ke depan, ia membentuk struktur Grup
Ciputra, di mana keempat anak & menantunya memiliki dan memimpin Grup Ciputra
sebagai perusahaan induk (holding), namun masing-masing keluarga anaknya
diperbolehkan mengembangkan grup usaha baru. Dengan cara ini, Ciputra berharap
persatuan di antara keluarga anak-anaknya tetap terjaga, namun aspirasi bisnis masing-
masing juga tersalurkan. Sebab, setiap keluarga telah mendapat saham yang sama besar
di Grup Ciputra.
BANYAKNYA anak-anak pemilik yang ikut mengelola perusahaan keluarga menimbulkan
pertanyaan sejauh mana peluang para profesional untuk bisa berkarir di sana. "Posisi
kunci di Grup Ciputra terbuka bagi keluarga maupun professional," tukas Ciputra. Ia
menjelaskan, saat ini jumlah keluarga kandung maupun jauh yang bekerja di Grup
Ciputra atau bahkan di posisi-posisi kunci perusahaan jauh lebih sedikit dibandingkan
jumlah kaum professional.
Kesan dominannya keluarga dalam manajemen perusahaan mungkin berdasarkan
kenyataan manajemen PT Ciputra Development Tbk. dan PT Ciputra Surya Tbk., 2 anak
perusahaan Grup Ciputra yang telah go public. Candra Ciputra, 40, menjabat CEO PT
Ciputra Development, sementara Rina Ciputra, Budiarsa Sastrawinata, Juanita Ciputra,
Harun Hajadi, dan Cakra Ciputra menjabat Direktur. Di luar mereka terdapat 2 direktur
profesional murni: Tanan Herwandi Antonius dan Tulus Santoso Brotosiswojo. Di PT
Ciputra Surya Tbk., Harun Hajadi bertindak sebagai CEO, sedangkan anak-anak; menantu
menduduki jabatan direktur. Di perusahaan ini terdapat 2 direktur professional murni,
yaitu Sutoto Yakobus dan Nanik J. Santoso.
Tentang kesan dominansi ini, Ciputra berujar: "Sebagai perusahaan publik, kami harus
mempertanggungjawabkan kinerja dan hasil akhirnya kepada pemegang saham publik.
Tentu mereka menginginkan sebuah cara kerja profesional dan hasil bisnis yang
memuaskan. Untuk itu, Grup Ciputra harus memiliki sumberdaya manusia professional
dan unggul. Apakah mereka keluarga atau profesional, bukanlah kriteria pertama. Kriteria
pertama adalah kompetensi professional yang dibutuhkan dalam posisi tersebut."
Jumlah eksekutif profesional di jajaran manajemen BBG memang lebih banyak
dibandingkan pihak keluarga. Eksekutif tertinggi diisi oleh Purnomo Prawiro, di bawahnya
ada direktur profesional Handang Agusni yang telah bekerja puluhan tahun di BBG. Level
di bawah Handang ditempati 9 Vice President, di mana hanya 3 VP yang merupakan
keluarga kandung pemilik. Di berbagai posisi lainnya, praktis diisi oleh profesional.
"Sebisanya kami tidak menerima anggota keluarga besar di BBG. Yang boleh bekerja di
sini hanya anak kandung, sedangkan suami/isteri mereka sama sekali dilarang. Keluarga
jauh bisa saja bergabung selama lulus seleksi masuk," tutur Purnomo.
Pembatasan jumlah anggota keluarga yang boleh bergabung di BBG dilakukan untuk
mencegah adanya klik keluarga dan non-keluarga. Seolah-olah jabatan penting hanya
untuk keluarga. Kondisi ini tentu tidak baik. Pertama, hubungan keluarga itu langsung
dikaitkan dengan hubungan dalam perusahaan ataupun sebaliknya. Bentrok di
perusahaan akhirnya bentrok pula di keluarga. Kedua, yang bukan keluarga merasa
dirinya tidak punya peluang untuk naik sehingga tidak termotivasi untuk bekerja
maksimal.
Ia menambahkan, perusahaan membutuhkan para professional untuk memperkuat
barisan manajemen. Perekrutan professional dilakukan melalui dua jalur: cepat dan
lambat. Yang dimaksud jalur cepat adalah program Management Trainee, khusus untuk
lulusan S1 ke atas. Sedangkan jalur lambat adalah perekrutan karyawan nonsarjana.
Peluang berkarir bagi profesional akan semakin baik sejalan dengan kian berkembangnya
usaha tersebut, seperti yang terjadi pada grup-grup besar (Salim, Sinar Mas, CCM,
Hanson, dan sebagainya). Perkembangan usaha yang cepat tidak mungkin ditangani
sepenuhnya oleh keluarga. Sebaliknya, seperti di Grup Ciputra, perusahaan terus
membuka proyek-proyek baru di pulau Jawa dan luar Jawa untuk memberi kesempatan
bagi pemimpin bisnis baru untuk mendapatkan posisi.
Lagi pula, kebanyakan perusahaan keluarga telah menerapkan sistem manajemen
profesional sejalan dengan tuntutan persaingan bisnis yang semakin tinggi. Bukankah
sebagian besar perusahaan besar sekarang tadinya juga perusahaan milik keluarga?
Sukses BRI Mentransformasikan Organisasi
No. 07 - Tahun 2004
Berangkat dari citra bank ndeso, Bank BRI sukses mentransformasikan diri menjadi
organisasi perbankan yang tangguh. Bank ini mengadopsi serangkaian praktik
manajemen SDM terbaik, termasuk program pengembangan karir yang jelas dan program
ESOP/MSOP. Apa target BRI?
Mau jago soal micro banking, belajarlah ke Bank BRI. Agaknya pernyataan ini bergema
luas di kalangan perbankan internasional. Maka, mereka silih berganti berkunjung dan
belajar dari Bank BRI tentang spesialisasi yang satu ini. Bank BRI layak bangga dengan
kehebatannya di bidang micro banking. Karena spesialisasi itu membuat nama BRI
menjulang di dunia; karena fokus di micro banking itu membuat kinerja bisnis BRI relatif
mengkilap.
Bank BRI kini merupakan bank terbesar di dunia dalam micro banking dengan 4100
kantor BRI Unit yang melayani nasabah di berbagai wilayah nusantara. Selama ini, nama
BRI mungkin kalah populer dengan Gramen Bank, sebuah bank asal Bangladesh yang
disebut-sebut sukses dalam bidang micro financing. Tetapi, layanan micro financing itu
berbeda dengan micro banking. Layanan micro financing tidak mempedulikan dari masa
asal pendanaan untuk kredit mikro tersebut sehingga tidak murni bersifat komersial.
Sebagian besar pendanaannya merupakan dana bersubsidi dari pemerintah. Sementara
pendanaan micro banking sepenuhnya berasal dari bisnis komersial.
Jaringan layanan BRI Unit yang begitu luas memungkinkan BRI memberikan layanan
langsung kepada mayoritas masyarakat. Dewasa ini, menurut Direktur Utama BRI Rudjito,
BRI memiliki jumlah akun (account) lebih dari 31 juta buah sehingga bisa disimpulkan BRI
merupakan bank dengan nasabah terbesar di Indonesia. "Kalau ada bank lain yang
terpilih sebagai bank pilihan masyarakat, maka itu bisa dipertanyakan," ujarnya
berseloroh. Jumlah akun BCA, bank yang sering terpilih sebagai bank pilihan masyarakat
misalnya, hanya sekitar 9,5 juta - jauh lebih kecil dari BRI.
BRI Unit menjadi pilar bisnis yang penting dan strategis buat BRI, baik dari sisi finansial
maupun transformasi organisasi. Setelah sukses dengan proyek percontohan di
Yogyakarta, BRI Unit kemudian dikembangkan dengan mengkloning BRI Unit di
Yogyakarta itu. Menurut Rudjito, ada 3 hal yang menjadi kunci keberhasilan kemajuan BRI
saat ini, termasuk BRI Unit. Pertama, human capacity building. Prosesnya dimulai sejak
saat rekrutmen hingga pengembangan SDM melalui training terus menerus. Kepada
mereka juga diperkenalkan reward yang dikaitkan dengan pencapaian target sesuai fokus
program perusahaan. Perkembangan BRI Unit ini juga mengimbas positif ke cabang-
cabang BRI.
Kedua, institutional building. Organisasi layanan harus dibuat sederhana dan dekat
dengan masyarakat. Jumlah karyawannya minimum 4 orang dan maksimum 11 orang.
Organisasi ini harus mampu mendukung pengembangan komunitas dan memiliki
program supervisi yang jelas (cascading supervision). Makanya di BRI ada jabatan penilik
yang bertugas mengawasi BRI Unit. Setiap cabang membawahi 12 BRI Unit. Supervisi
tingkat berikutnya adalah Inspektur Wilayah yang melakukan audit hingga tingkat cabang
dan BRI Unit. Sekarang BRI memiliki 11 Inspektorat Wilayah di seluruh Indonesia.
Ketiga, technology building. Sesederhana apapun, BRI Unit di desa sudah menggunakan
teknologi. Paling tidak memiliki 1 PC, 1 printer, dan alat bantu generator set. Kalaupun
belum ada telepon, akses informasi dilakukan melalui VSAT. Umumnya seluruh jaringan
BRI sudah online, meskipun belum semuanya realtime. Pengembangan teknologi
informasi (TI) BRI berjalan sejak proses rekap tahun 2000. Investasi tersebut terus
berkembang. Kini, mayoritas jaringan BRI (324 cabang, 13 kantor wilayah, 11 kantor
inspeksi, 147 kantor cabang pembantu, dan sebagian BRI Unit) sudah terhubung secara
online dan realtime.
Teknologi sangat penting bagi kemajuan sebuah bank. "Tanpa dukungan teknologi, bank
sulit bersaing," tukasnya. Kendati fokus melayani segmen middle- low income, kebutuhan
terhadap teknologi itu juga besar. Dengan dukungan teknologi itu, BRI bisa memberikan
layanan terbaik kepada berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan target BRI untuk
memfokuskan 80% bisnis di usaha mikro, kecil dan menengah. Penguatan jaringan itu
bermanfaat pula mendukung dinamika perekonomian daerah akibat implementasi
otonomi daerah.
KETELADANAN PEMIMPIN
Kuatnya kualitas kepemimpinan Rudjito sangat berperan dalam mempercepat
transformasi organisasi BRI. Ketika ditanya apa resep kepemimpinannya, Rudjito
mengulang kembali 3 pesan pertamanya kepada seluruh pimpinan BRI saat dilantik
beberapa tahun lalu. Pertama, mengembangkan komunikasi interaktif. Rudjito meminta
setiap karyawan untuk berhubungan langsung dengan dirinya melalui telepon atau email.
"Dan, hal itu berjalan," tuturnya. Awalnya memang ada kesan malu-malu, tetapi setelah
tahun kedua dan seterusnya menjadi terbiasa. Ia mengaku, sebelum akhir tahun, sudah
bisa mengontrol pembukuan akhir tahun melalui SMS.
Pesan kedua, lanjutnya, adalah mengajak berpikir positif. Kalau ada usul dari anak buah,
jangan langsung dibantah, tetapi dengarkan terlebih dulu. Ketiga, kerjasama yang benar-
benar bekerjasama. Ketiga pesan itu berjalan efektif karena Rudjito sendiri konsisten
untuk memberikan sikap keteladanan dengan tindakan nyata dan transparan. Standar
dan penilaian pegawai dibuat lebih terbuka. Salah satu yang diatasi secara cepat adalah
menghentikan kebiasaan rumor mutasi personil. "Selama ini, sebelum seseorang pindah,
rumor dulu yang berkembang. Di era saya, itu tidak boleh lagi ada," tukasnya serius.
Mutasi pertama yang ia lakukan adalah mempromosikan Pemimpin Wilayah Padang,
Sumbar, untuk menjadi kepala divisi operasional di Jakarta. Pejabat tersebut dipanggil ke
Jakarta, dan ia siap memberikan laporan dengan setumpuk map. Selesai melapor, yang
bersangkutan langsung ditunjuk menjadi Kepala Divisi yang kebetulan waktu itu lowong.
Sejak itu, rahasia mutasi menjadi terjaga, tidak ada orang yang tahu. Baru kemudian
Direktur Personalia memberitahu Kepala Divisi SDM untuk membuatkan SK-nya.
Praktik itu terus dijalankan hingga kini. "Setiap keputusan mutasi tidak pernah tersebar
ke mana-mana," katanya, sambil menambahkan, "Banyak juga yang mencoba menebak-
nebak, tetapi tebakannya keliru." Pengiriman nota mutasi biasanya dikirim malam hari ke
wilayah, sehingga mereka baru tahu keesokan harinya. Dulu, lanjutnya, orang segan
memindahkan keluarga direksi ke luar Jakarta. Di era kepemimpinan Rudjito, hal seperti
itu tidak boleh lagi. Ini demi karir yang bersangkutan.
Mutasi pejabat di BRI adalah kehendak organisasi yang harus dipatuhi setiap karyawan.
Kalau membangkang, kepada mereka diberikan sanksi. Pengecualian terhadap hal ini
tetap ada, misalnya anak yang bersangkutan sakit tertentu yang pengobatannya hanya
bisa di Jakarta. "Tapi, kalau alasannya karena isteri menjadi pejabat tinggi di satu instansi,
itu tidak bisa diterima. Waktu mulai bekerja di sini, isterinya 'kan belum menjadi pejabat,"
ungkapnya tertawa. Praktik ini memberikan kepastian buat pegawai yang baik. "Tidak
ada niatan direksi untuk menghambat karir karyawan," tambahnya.
Penempatan seseorang menjadi pimpinan telah melalui kajian mendalam dari direksi BRI.
Menurut penilaian direksi, mereka yang dipromosikan itu memiliki track record dan moral
yang bagus. Toh semua itu tidak menjamin para pimpinan mampu menjalankan tugasnya
secara professional menurut aturan perusahaan. Seperti yang terjadi pada Kepala
Cabang BRI Senayan dan Senen di Jakarta yang menyalahgunakan dana nasabah dan
kasusnya terungkap ke media massa. Saat ini, kasus tersebut sedang disidangkan.
Menurut Rudjito, faktor yang sangat berperan mengubah orang adalah pertemanan.
"Mereka memilih berteman dengan maling sehingga pikirannya jadi pendek. Untuk itu,
mereka layak diberi sanksi keras."
Selama ini, penyalahgunaan wewenang di bank milik pemerintah terkesan lebih menonjol
ketimbang bank swasta. Rudjito sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Tetapi, ia
mensinyalir, praktik fraud seperti itu juga banyak terjadi di bank swasta. Bedanya, kasus-
kasus seperti itu ditutupi oleh pemiliknya dengan memecat orang tersebut dan
mengganti kerugian dari kocek sendiri. "Lha, kami mau menutup dari mana? Kami ini
hanya pegawai bank," ujarnya setengah bertanya.
PERBAIKAN REMUNERASI
Sejalan dengan perbaikan manajemen dan kinerja bisnis BRI, kesejahteraan pegawai BRI
yang berjumlah 34.719 orang (Desember 2003) kini jauh lebih baik. Kerja keras seluruh
jajaran BRI layak mendapat ganjaran setimpal. Dalam periode dua tahun sebelum go
public, manajemen BRI telah membagikan insentif direksi kepada pekerja berdasarkan
penilaian kinerja individu (performance appraisal). Karyawan yang kinerjanya biasa-biasa
saja mendapat insentif normal, kinerja bagus memperoleh lebih, dan kinerja di bawah
standar mendapat insentif lebih rendah. Sedangkan, insentif direksi untuk direksi tidak
ada.
Bentuk insentif lainnya adalah bonus tahunan yang dulu dikenal dengan istilah jasa
produksi. Insentif ini diperjuangkan direksi saat RUPS. Karena kinerja keuangan BRI 2003
yang bagus, untuk pertama kalinya, karyawan memperoleh bonus lebih dari satu kali.
Mereka layak mendapatkan bonus tersebut karena laba BRI terutama berasal dari
penyaluran pinjaman, bukan dari bunga obligasi seperti yang banyak terjadi pada bank
rekap lainnya. Pemberian insentif itu memberikan motivasi lebih buat karyawan BRI.
Kegembiraan karyawan BRI makin bertambah dengan digelarnya program ESOP
(Employee Stock Ownership Program) pada saat go public tahun lalu. Jumlah saham yang
dibagikan kepada karyawan mencapai 10% dengan batasan masa kerja maksimal 15
tahun. Karyawan yang memiliki masa kerja lebih dari 15 tahun harus ikut aturan 15 tahun
itu. Sebab, ESOP itu bertujuan untuk mendorong pegawai bekerja lebih professional
sehingga tidak terlalu banyak manfaatnya bagi perusahaan bila dibagikan kepada
pegawai dengan masa kerja yang semakin mendekati pensiun. Saham ESOP ini baru
boleh diperdagangkan setelah 2 tahun.
Karyawan membeli saham ESOP dari bonus kinerja 2003 setelah disahkan dalam RUPS.
Selain itu, karyawan bisa pula membeli saham dengan diskon 3% seperti yang
diberlakukan untuk nasabah. Diskon itu dibayar oleh BRI. Saham ini bisa diperjualkan
setelah periode lock up 6 bulan.
Untuk jajaran manajerial, BRI memperkenalkan MSOP (Management Stock Options
Program)�- sifatnya boleh beli dan boleh tidak. Harga pembeliannya 20% di atas harga
perdana Rp 875 per saham dengan periode lock up 2 tahun. Terlalu mahal? Tidak juga.
Sekarang saja harga saham BRI sudah lebih dari 100% dari harga perdana. "Hasilnya
akan sangat luar biasa jika harga saham BRI naik terus, misalnya sampai ke angka Rp
3000 per lembar," gumam Rudjito.
Jumlah saham yang dialokasikan untuk MSOP sebanyak 5%, tetapi jumlah itu tidak
langsung dihabiskan karena disisakan untuk dibagi lagi pada periode 2 tahun berikutnya.
Kebijakan ini bertujuan agar mereka yang belum naik pangkat masih berhak membeli lagi
saham MSOP. Serangkaian praktik manajemen yang berkualitas ini berkontribusi besar
terhadap kinerja bisnis BRI yang semakin baik. "Investor masih bullish dengan saham
BRI," ungkap sejumlah analis pasar saham kepada HC. Dewasa ini, investor public
menguasai 40,5% saham BRI dan sisanya dimiliki pemerintah RI.
Mengembangkan Model Kompetensi yang Strategis
No. 06 - Tahun 2004
Di era kapital intelektual ini, siapa yang tidak mengenal konsep "kompetensi"?
Sebagaimana terungkap dalam survei yang pernah dilakukan American Compensation
Association (ACA) di tahun 1996, banyak perusahaan meyakini kompetensi sebagai alat
yang ampuh untuk meningkatkan kinerja karyawan, mengkomunikasikan nilai-nilai
budaya, dan lebih jauh, membantu implementasi strategi perusahaan.
Ironisnya, tidak sedikit perusahaan yang kecewa karena lebih banyak merasakan
hambatan dalam implementasi kompetensi, daripada manfaatnya. Alasan yang antara
lain dikemukakan adalah kebanyakan model kompetensi "bicara dalam bahasa
SDM/psikologi", sulit dipahami, dan kurang terlihat kaitannya dengan bisnis perusahaan
(studi Watson Wyatt, 2001).
Apakah fakta di atas menunjukkan bahwa kompetensi merupakan konsep manajemen
masa kini yang - sebagaimana terjadi pada banyak konsep manajemen lain -�akan
'kehilangan masa'-nya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pastikan bahwa
pengembangan kompetensi di perusahaan Anda telah melewati keempat langkah kunci di
bawah:
LANGKAH 1 KLARIFIKASI STRATEGI BISNIS
Tak jarang ditemui, dengan alasan efisiensi, perusahaan memilih cara instant
membangun model kompetensi dengan langsung mengadopsi "kamus kompetensi" yang
siap pakai dan banyak beredar di pasaran, tanpa mengkaji ulang relevansinya dengan
strategi perusahaan. Inisiatif ini jelas menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Tapi
bayangkanlah bila semua perusahaan melakukan hal yang sama�- keunggulan
kompetitif apa yang bisa dicapai perusahaan melalui karyawan-karyawan yang memiliki
kompetensi yang generic (alias sami mawon dengan karyawan-karyawan perusahaan
kompetitor)?
Pastikan bahwa pengembangan kompetensi dimulai dengan mengklarifikasi strategi
bisnis perusahaan. Apa tema strategi yang menjadi intensi perusahaan Anda: Orientasi
pada layanan pelanggan? Fokus pada pelanggan tertentu? Reduksi biaya? Produk
berkualitas dengan harga premium? Perpaduan dari tema-tema tersebut?
LANGKAH 2 IDENTIFIKASI KAPABILITAS ORGANISASI
Merupakan langkah penghubung antara strategi bisnis perusahaan dengan model
kompetensi yang hendak dibangun. Katakanlah perusahaan "X" yang bergerak di bidang
jasa keuangan mempunyai sasaran bisnis "mencapai pertumbuhan laba dari tahun ke
tahun melalui peningkatan layanan pelanggan". Pencapaian "peningkatan layanan
pelanggan" tersebut tentunya harus didukung dengan kapabilitas-kapabilitas organisasi
tertentu, misalnya: riset pemasaran dan pengembangan produk yang inovatif.
Bergerak di industri yang sama dengan "X" dan dengan tema strategi yang hamper
serupa, perusahaan lain mungkin saja mensyaratkan kapabilitas organisasi yang
berbeda. Perusahaan "Y", misalnya, memilih manajemen hubungan pelanggan yang
didukung teknologi informasi yang memungkinkan cakupan pelanggan yang luas sebagai
kapabilitas yang lebih perlu dimiliki.
Intinya, tentukan kapabilitas organisasi yang unik untuk mendukung strategi perusahaan
Anda. Tidak perlu melibatkan semua kapabilitas organisasi, melainkan fokuskan pada
beberapa kapabilitas saja yang sungguh-sungguh bernilai strategis dan menunjukkan
kesenjangan paling besar dengan kinerja yang diinginkan. Perlu diingat untuk selanjutnya
meninjau-ulang kapabilitas yang telah diidentifikasi ini secara periodik, karena bukannya
tidak mungkin pada periode-periode selanjutnya perlu perubahan prioritas kapabilitas
organisasi.
LANGKAH 3 IDENTIFIKASI DAN KEMBANGKAN MODEL KOMPETENSI
Sebagaimana halnya kapabilitas organisasi diturunkan dari strategi perusahaan,
demikian pula halnya model kompetensi hendaknya diturunkan secara langsung dari
kapabilitas organisasi yang telah diidentifikasi. Singkatnya, yang perlu diidentifikasi pada
langkah ini adalah pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku karyawan yang relevan
dengan tuntutan kapabilitas organisasi. Kembali ke contoh perusahaan "X", untuk
memungkinkan pengembangan produk yang inovatif, dibutuhkan kompetensi-
kompetensi seperti: pengetahuan produk, pemahaman pasar target, inovasi, dan
kreatifitas.
Proses pengembangan model kompetensi dilanjutkan dengan melengkapi kompetensi-
kompetensi yang telah diidentifikasi tadi dengan definisi dan tingkatan- tingkatan
pencapaian (misalnya, skala 1-5). Lebih jauh, kelompokkan kompetensi dalam kategori
kompetensi inti (berlaku untuk semua fungsi dan posisi), manajerial, dan fungsional
(berlaku untuk fungsi-fungsi tertentu saja). Petakan dengan jabatanjabatan di organisasi
dan sertai dengan tingkatan minimum yang dipersyaratkan untuk tiap kompetensi.
Yang perlu dicatat, hindari kompetensikompetensi yang lebih merupakan atribut personal,
seperti integritas, nilai moral, kejujuran. Bukan saja karena jenis kompetensi ini sulit
diukur maupun dikembangkan, tetapi terutama karena kekurang-terkaitannya dengan
kapabilitas organisasi secara langsung.
LANGKAH 4 IMPLEMENTASIKAN DALAM APLIKASI KAPITAL MANUSIA
Bila aksi yang Anda tuju adalah memanjat pohon, tindakan apakah yang Anda pilih:
me-"rekrut" seekor tupai, atau melatih seekor ayam untuk bisa memanjat pohon? Akan
lebih bijaksana bila memilih alternative yang pertama, tentunya!
Analogi di atas berlaku dalam implementasi model kompetensi. Pada proses rekrutmen
dan seleksi, prioritaskan pada kompetensi-kompetensi yang sulit dikembangkan
(untrainable). Untuk seleksi calon tenaga penjual, misalnya, ketrampilan interpersonal
sebaiknya menjadi salah satu kriteria seleksi karena relatif sulit dikembangkan (daripada
pengetahuan produk, misalnya).
Selanjutnya, gunakan model kompetensi yang sudah dipetakan ke tiap jabatan (dan lebih
bersifat trainable) sebagai basis pelatihan dan pengembangan karyawan. Monitor
pencapaiannya dengan mengintegrasikan model kompetensi dengan system manajemen
kinerja. Lebih jauh, model kompetensi bahkan dapat diterapkan pada aplikasi kapital
manusia lain dan menjadi basis dari berbagai keputusan: perencanaan karir/suksesi,
asesmen, bahkan kompensasi. Apapun aplikasinya, pastikan bahwa model kompetensi
yang telah dibangun dapat "bekerja" melalui integrasinya dengan proses internal
perusahaan, yang dalam hal ini adalah proses dan kebijakan kapital manusia.
Kesimpulannya, rasanya tidak ada yang salah dengan konsep kompetensi itu sendiri.
Hanya saja perlu dihayati bahwa kompetensi pada dasarnya "cuma" sebuah alat. Sejauh
mana alat ini mampu menunjukkan manfaat strategis, tentunya tergantung pada kejelian
si pengguna alat dalam mengoptimalkan efektifitasnya melalui empat langkah di atas!

* Lisa E. Dewi adalah Human Capital Group Consultant di Watson Wyatt.


Sumber: Majalah Human Capital No. 06 | Tahun 2004
PermataBank: Menuju Organisasi Berkinerja Tinggi
No. 06 - Tahun 2004
Setelah setahun merger, PermataBank mencatat kemajuan yang mengesankan dalam
membangun dan mengembangkan human capital. Proses integrasi sumberdaya manusia,
sistem, dan operasional berhasil diwujudkan dalam kurun waktu lebih singkat. Dalam
beberapa hal, PermataBank bahkan berada di depan bank lain yang sudah lebih dulu ada.
Apa rahasianya?
Istilah human capital tergolong baru dalam jagat bisnis. Adalah firma konsultan Accenture
yang memelopori penggunaan dan penyebarluasan istilah tersebut. Menurut Accenture,
manusia adalah asset utama dari seluruh jenis asset. "Human being are prime among all
assets." Sebagai bank yang relatif baru�- diresmikan secara legal pada 30 September
2002�- PermataBank sejak awal mengadopsi konsep human capital itu dalam
membangun cetak biru pengembangan organisasi dan kualitas manusia.
Merger 5 bank (Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Express, Bank Media, dan Bank
Patriot) membentuk PermataBank jelas bukan pekerjaan mudah, baik secara operasional
maupun secara hukum. Bayangkan, 5 bank dengan sistem teknologi, budaya kerja,
keahlian, kualitas Human Resources (HR), fokus bisnis, dan ukuran usaha berbeda
digabung menjadi satu. Secara total jumlah karyawan ke-5 bank itu mencapai 8157 staf.
Proses merger secara hukum berlangsung bulan September 2002 dan merger secara
operasional diselesaikan bulan Desember 2002. Hanya dalam waktu 5,5 bulan, proses
merger berhasil dituntaskan�- sebuah prestasi merger yang cukup mencengangkan bila
dibandingkan dengan jangka waktu merger bank-bank di bawah BPPN sebelumnya.
Selain proses integrasi operasional, tantangan terberat yang harus dihadapi perusahaan
hasil merger adalah integrasi HR sebagai bagian dari strategi human capital
PermataBank. Perampingan karyawan menjadi tidak terelakkan. Salah satu manfaat
utama dari merger adalah lahirnya efisiensi usaha yang lebih baik�- antara lain karena
jumlah karyawan yang lebih sedikit.
Dalam perkembangan lebih lanjut, menurut Wakil Direktur Utama PermataBank Chandra
Purnama, jumlah karyawan perlu dikurangi sebanyak 950 orang. Jumlah sebanyak itu
diperoleh setelah melalui kajian mendalam oleh PermataBank maupun pihak Accenture
sebagai konsultan merger, baik untuk tenaga staf tetap maupun kontrak. Selain itu,
sebanyak 1031 orang mengundurkan diri secara sukarela. Proses ini dilaksanakan pada
2003 hingga awal 2004, sehingga jumlah karyawan PermataBank per Mei 2004 menjadi
6317 orang.
Kompleksitas HR akibat proses merger berhasil diatasi PermataBank berkat adanya
program kerja prioritas dan rencana aksi yang jelas. Sepanjang 2003, misalnya,
PermataBank memprioritaskan penataan dan pengembangan organisasi, reposisi dan
pengaturan penempatan karyawan, penyelarasan sistem kompensasi dan benefit,
konsolidasi dan pengembangan sistem HR, menyusun dasar-dasar manajemen kinerja,
penyelarasan training, penyusunan Kontrak Kerja Bersama, job grading, dan penyusunan
budaya perusahaan yang baru. Sebagian besar kegiatan tersebut berhasil dirampungkan
tahun 2003. "Kami memang sangat fokus dalam strategi sumberdaya manusia," tukas N.
Krisbiyanto, GM Human Resources Group PermataBank.
Setidaknya ada tiga kegiatan penting yang perlu mendapatkan catatan di sini. Pertama
adalah kegiatan penyusunan visi, misi, dan strategi manajemen SDM, kedua kegiatan
penyusunan penggolongan kepangkatan (job grading), dan ketiga penyusunan budaya
perusahaan yang baru. Visi HR PermataBank adalah membantu mewujudkan organisasi
berkinerja tinggi dengan budaya kerja terbaik dan hubungan karyawan yang prima. Misi
HR mencakup upaya mengembangkan, mempertahankan dan mendapatkan orang-orang
berkemampuan tinggi; membantu karyawan dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan
perubahan bisnis dan membantu mereka untuk sukses menghadapi tantangan dan karir;
mengembangkan budaya berbasis meritocracy; dan menyediakan layanan HR terbaik
untuk seluruh karyawan.
Kegiatan job grading harus dilakukan karena begitu bervariasinya istilah jabatan,
kualifikasi, dan sistem kompensasi dari kelima bank peserta merger. Pada periode 6 bulan
awal proses merger, PermataBank memutuskan untuk menerima semua karyawan
berdasarkan jabatannya di bank sebelumnya. Pengelompokan jabatan dilakukan tetapi
belum terlalu detil. Misalnya, ada bank yang menyebut jabatan Vice President dan
ternyata setara dengan jabatan Assistant Vice President di bank lain. Mereka
dikelompokkan menjadi satu. Hal seperti ini berjalan 6 bulan awal.
Setelah organisasi mulai jalan, dan beban serta kemampuan masing-masing orang mulai
kelihatan, PermataBank mulai melakukan job grading. Kegiatan ini juga bertujuan
menyusun sistem remunerasi yang baru. Proyek job grading ini dibantu oleh konsultan
Hewitt sejak November 2003 dan selesai Maret 2004. "Pada bulan April 2004, barulah
hasil job grading itu mulai diimplementasikan dan selesai bulan Agustus 2004," ujar N.
Krisbiyanto.
Dari job grading itu disusun struktur organisasi baru, di mana berbagai jabatan dengan
istilah beraneka ragam sebelumnya disusutkan dan dikelompokkan secara rapi. Karena
kebijakan PermataBank tidak mengambil seluruh hal yang bagus (dalam hal remunerasi)
dari bank peserta merger, termasuk soal gaji, maka variasi gaji pada setiap level jabatan
masih cukup lebar. Untuk mengatasi hal ini, PermataBank menyusun standar gaji dengan
cara membentuk skala gaji untuk setiap level jabatan�- terendah hingga tertinggi.
Penyusunan skala gaji ini dilakukan dengan memanfaatkan hasil survei gaji (total
remunerasi) yang diselenggarakan Watson Wyatt ataupun Hay Management.
Di antara 10 bank besar di Indonesia, lanjut Krisbiyanto, besarnya remunerasi
PermataBank diposisikan bukan di barisan paling top. "Maklum, kami bank baru yang
harus dikelola secara efisien. Posisi kami 50 percentile sampai dengan 75 percentile di
beberapa posisi dari 10 bank besar di Indonesia," tegas N. Krisbiyanto. Posisi ini naik 15%
dibandingkan remunerasi PermataBank di awal merger.
Membangun budaya perusahaan yang baru mendapatkan perhatian yang sangat besar
dari manajemen PermataBank. Perusahaan-perusahaan yang unggul dikenal memiliki
budaya yang kuat. Proses penyusunan budaya perusahaan dibantu oleh konsultan
merger Accenture sebagai lembaga independen. Keterlibatan konsultan efektif untuk
menggali dan menyaring nilai-nilai yang sebaiknya dipegang oleh seluruh jajaran
PermataBank�- orang-orang yang berhak mendapat predikat PermataBanker. Langkah
penyusunan budaya perusahaan ini dimulai dengan menggali pandangan manajemen
puncak terhadap budaya perusahaan yang harus dikembangkan.
Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya tersusun budaya perusahaan PermataBank
dengan nilai-nilai sebagai berikut: Kepercayaan (trust), Pelayanan (service),
Kesempurnaan (excellence), Integritas (integrity), dan Profesionalisme (professionalism).
Nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku seluruh karyawan PermataBank
yang: disiplin (disciplin), bertanggung jawab (responsible), cepat, tanggap dan berinisistif
(proactive), ahli di bidangnya (competent), mampu bekerjasama (teamwork), efektif
dalam berkomunikasi (communicative), peka dan peduli untuk kebaikan (care), dan tidak
menyalahgunakan jabatan (no conflict of interest).
Mengupas Rencana Suksesi
No. 07 - Tahun 2004
Suksesi kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan perusahaan untuk tetap eksis
dan mencatat keberhasilan dalam waktu yang lama. Rencana suksesi (Succession Plan)
penting tidak hanya untuk jabatan CEO atau direktur, tetapi juga untuk jabatan-jabatan
lain yang vital bagi kelangsungan usaha perusahaan. Sejauh mana perusahaan Anda
memiliki rencana suksesi?
Apa perasaan Anda sebagai CEO bila puluhan tenaga potensial perusahaan Anda minggat
ke perusahaan lain? Anda pasti cemas, gondok, dan entah apa lagi perasaan tidak enak
lainnya. Robby Djohan, saat menjabat Presiden Direktur Bank Niaga, pernah mengalami
langsung hal ini ketika 52 manajer Bank Niaga dibajak pesaing sejalan dengan tingginya
kebutuhan tenaga pimpinan akibat Paket Deregulasi Perbankan Oktober 1988.
Eksodus itu kembali terulang saat organisasi BPPN dibentuk 1998-1999. Kali ini yang
eksodus lebih banyak. "Dalam setahun ke luar 200 karyawan lebih," ungkap C. Heru
Budiargo, Executive Director Compliance, Risk Management Bank Niaga. Rupanya, bankir
Bank Niaga sangat laku di pasar.
Sebagai perusahaan yang telah membangun sistem kaderisasi yang cukup baik, Bank
Niaga tetap kelimpungan ketika eksodus itu terjadi. Itu karena jumlah yang ke luar sangat
banyak. Konsekuensinya, banyak posisi yang kosong dan harus segera diisi. "Terpaksa
karyawan yang belum siap dikarbit," lanjut Heru. Bagaimana jadinya jika hal semacam itu
terjadi di perusahaan yang tidak sesiap Bank Niaga?
Orang sekaliber Bill Gates pun tak urung khawatir dengan masa depan raksasa piranti
lunak Microsoft bila 20 orang terbaiknya cabut ke tempat lain. "Microsoft akan menjadi
perusahaan yang tidak penting lagi," ujarnya suatu kali.
Ketika bertemu dengan Chandra Purnama, Wakil Direktur Utama Bank Permata yang
membawahi sumberdaya manusia, bulan lalu, persoalan suksesi juga menjadi salah satu
fokus perhatiannya. Kebetulan beberapa manajer level menengah Bank Permata baru
saja pindah ke perusahaan lain karena dibajak. Yang membuatnya risau, mereka yang
pindah itu adalah tenaga-tenaga penting di unit bisnis Bank Permata, khususnya di
bidang ritel yang menjadi salah satu fokus bisnis bank tersebut. Kepindahan mereka
mengancam pencapaian target bisnis yang telah disusun.
Selama ini banyak orang yang menilai wacana suksesi hanya dalam konteks proses
regenerasi pucuk pimpinan, semisal Presiden Direktur maupun Direktur. Fakta di atas
menunjukkan proses suksesi di level-level kunci di bawah manajemen sama pentingnya
dengan suksesi manajemen itu sendiri. Posisi manajerial menengah dalam organisasi tak
kalah penting dibandingkan posisi direksi. Kedua posisi itu saling berbagi dan melengkapi
dalam menjalankan roda perusahaan. Para eksekutif berperan dalam menyusun strategi
dan kebijakan organisasi, sementara manajer lebih berperan pada aspek operasional
yang bersifat teknis dan detil. Karenanya, penyusunan rencana suksesi untuk posisi kunci
di bawah direksi tidak kalah pentingnya.
Joseph Bataona, HR Director PT Unilever Tbk., menegaskan, suksesi tidak selalu
berhubungan dengan posisi yang bisa dikatakan tinggi. Di level bawah pun, suksesi itu
juga terjadi dan perlu dibuatkan perencanaan suksesinya. Sebagai contoh, bulan lalu
Unilever merayakan dan memberikan penghargaan kepada karyawan yang telah bekerja
paling tidak 15 tahun, 25 tahun, dan sudah akan pensiun. Total 282 orang. Dari jumlah
itu, jumlah karyawan yang akan pensiun tahun ini 54 orang. Berarti Unilever harus sudah
siap dengan orang-orang pengganti. Jumlah karyawan dengan masa kerja 25 tahun 214
orang, berarti orang itu akan segera memasuki pensiun sehingga perusahaan harus
sudah siap pula dengan penggantinya.
Merancang suksesi, mengembangkan sumberdaya manusia pengganti, dan
mengeksekusi pergantian orang sebanyak itu akan menjadi persoalan besar bagi
perusahaan yang tidak memiliki perencanaan suksesi yang berkualitas. Prinsip "gimana
nanti sajalah", jelas tidak bisa lagi diterapkan karena kompetisi bisnis sudah sangat tajam
dan kebutuhan terhadap sumberdaya manusia berkualitas tidak bisa ditawar. "Rencana
suksesi penting karena perusahaan beroperasi untuk jangka panjang. Bukan hanya untuk
satu atau dua tahun saja," lanjut Bataona.
RENCANA SUKSESI
Penyusunan rencana suksesi menuntut keterlibatan penuh manajemen perusahaan.
Tanpa visi dan komitmen yang kuat dari jajaran manajemen, sebuah rencana suksesi
tidak akan pernah terwujud. Kalaupun rencana suksesi itu jadi, hasilnya hanya sebatas
oret-oretan di atas kertas, tidak bakal terlaksana di lapangan. Setiap organisasi wajib
menyiapkan rencana suksesi tersebut karena jumlah orang yang berpotensi besar itu
tidaklah banyak. Pada beberapa keahlian spesifik, bahkan jumlahnya sangat langka. Di
industri perbankan, posisi kunci yang termasuk langka, di antaranya, teknologi informasi,
treasury atau dealer pasar uang, dan bagian hukum. Pekerjaan-pekerjaan tersebut,
menurut C. Heru Budiargo, sangat spesifik dan membutuhkan pendidikan khusus.
Rencana suksesi juga diperlukan karena proses kaderisasi di level manapun selalu butuh
waktu. Tidak ada jalan pintas atau proses karbit. Kita berbicara selang waktu 10-15 tahun
dengan sebuah proses yang runtut dimulai dari seleksi, identifikasi, dan pengembangan
orang tersebut. Wajar bila Heru bergumam: "Mengembangkan lebih sulit daripada
membeli."
Rencana suksesi juga penting bagi para karyawan karena menyangkut kepastian karir ke
depan. Mereka yang bekerja profesional akan bisa memastikan bahwa sekian tahun lagi
bakal menduduki posisi tertentu, begitu seterusnya. Kepastian semacam ini memang
lebih banyak disediakan oleh perusahaan-perusahaan dengan manajemen kuat.
Dalam keadaan yang sangat mendesak, proses pengkarbitan memang tidak
terhindarkan. Tetapi, kondisi abnormal semacam itu tidak terlalu sering terjadi. Pilihan
lain, jika sangat mendesak, adalah dengan merekrut orang luar untuk mengisi posisi yang
diperlukan. "Itu pun sangat langka terjadi," tegas Bataona lagi. Ia menambahkan, jika
semua rencana pengembangan sumberdaya manusia dilakukan secara benar, rasanya
tidak akan ada masalah mengenai kelangkaan tenaga pimpinan untuk setiap level.
Merekrut orang siap pakai dari pasar ada plus-minusnya. Plusnya, seperti diuraikan
Dachriyanti, Senior Consultant Andrew Tani & Co., mereka siap pakai sehingga langsung
bisa menjalankan tugasnya secara professional. Organisasi tidak butuh waktu dan tenaga
terlalu banyak untuk membuat orang itu siap tempur. Pada beberapa kasus, seperti di
Grup Astra, merekrut tenaga siap pakai dari luar juga dijadikan alat untuk
mengintroduksikan ilmu dan pengetahuan baru yang selama ini diperoleh si manajer atau
eksekutif saat bekerja di luar Astra. "Tentunya, setelah kami nilai orang yang kami rekrut
dari luar itu memang sangat bermanfaat bagi perusahaan," ujar Yulius Aslan, Chief HR,
Grup Astra.
Minusnya, antara lain, orang tersebut belum memahami budaya dan strategi organisasi
sehingga dalam bekerja orang tersebut harus melakukan penyetelan diri, paling tidak
semacam fine tuning begitu. Rekrutmen dari luar sering pula menimbulkan kecemburuan
dan resistensi dari orang dalam, khususnya orang-orang di bagian tersebut. Masalah ini,
menurut Dachriyanti, sangat tergantung kepada kemampuan leadership orang tersebut.
"Bila ia pemimpin yang baik, pasti bisa menangani hal-hal semacam itu," jelasnya.
Kepentingan bisnis banyak melatarbelakangi keputusan perusahaan merekut atau
membajak para professional dari luar organisasi. Citibank, yang selama ini dikenal
sebagai school of bankers dan pemasok kebutuhan eksekutif finansial, justru merekrut
Barry Lesmana dari saingannya BCA yang bank lokal untuk memimpin unit perbankan
konsumer yang sangat vital bagi Citibank di sini. Barry dikenal cukup sukses
mengembangkan usaha perbankan consumer semasa di BCA. Ia kini menjadi pemimpin
tertinggi perbankan consumer Citibank di Indonesia namun tetap melapor kepada 2
atasannya: pemimpin perbankan konsumer Citibank regional dan Country Manager
Citibank Indonesia yang tetap diisi orang bule.
Hal yang sama dilakukan Pertamina ketika merekrut Alfred Rohimone, eks Citibanker,
untuk menjadi Direktur Keuangan melalui jasa executive search. Kompleksitas aspek
keuangan Pertamina mengharuskan BUMN itu untuk mendatangkan orang yang lebih ahli
dari luar.
Terlepas dari plus-minus merekrut dari luar itu, sebagian besar perusahaan besar lebih
menyukai proses kaderisasi dari dalam dengan menyusun rencana suksesi yang
komprehensif dan berjangka panjang. PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), misalnya,
memiliki sistem suksesi yang sangat baku, dimulai dengan penyeleksian High Potentials
(Hipot), perencanaan pengembangan pegawai, dan penempatannya oleh PDC (Personnel
Development Committee). Menurut GM HR CPI, Iwan Djalinus, PDC bertugas untuk
melakukan penilaian dan pemilihan kandidat untuk posisi eksekutif dan posisi kunci
lainnya. CPI adalah satu dari sedikit perusahaan raksasa migas yang posisi CEOnya sudah
diisi oleh eksekutif lokal sejak lama.
Sungguh beruntung karyawan yang terpilih masuk kategori Hipot karena jumlahnya pasti
sangat terbatas dari total pegawai CPI 5.000 orang�- kendati orang tersebut belum tentu
tahu termasuk kelompok elit itu. Merekalah kader-kader pimpinan perusahaan di masa
depan. Ada beberapa kriteria yang dipakai untuk menentukan seseorang potensial atau
tidak, seperti kinerja, perilaku, wawasan, kepemimpinan, dan sebagainya.
Mengidentifikasi calon pemimpin hal yang sangat penting dalam sebuah rencana suksesi.
Kalau CPI mengenal istilah Hipot, maka Citibank memiliki apa yang disebut dengan talent
inventory�- kumpulan orang-orang yang memiliki talenta versi Citibank. Rupanya, istilah
inventory tidak hanya berlaku pada barang-barang tidak bergerak saja.
Apapun istilahnya, perusahaan professional memiliki kumpulan orang-orang istimewa
yang diharapkan menjadi pemimpin di masa depan. Bank Niaga memperkenalkan istilah
karyawan pimpinan untuk orang-orang semacam itu. Mereka diseleksi dari lulusan
universitas terkemuka dengan standar indeks prestasi tertentu. Jalur karyawan pimpinan
diseleksi melalui program management trainee, yang juga berlaku di perusahaan-
perusahaan lain. Karenanya, berbicara rencana suksesi, keberhasilannya ditentukan sejak
saat proses rekrutmen staf dimulai.
Menyeleksi calon pemimpin bukanlah pekerjaan mudah. Masalahnya, ada karyawan yang
kinerjanya baik, namun potensinya kurang. Atau sebaliknya. Ada pula yang karyawan
potensinya baik dan kinerjanya baik. Untuk mengetahui kualitas seseorang sekaligus
memperkaya eksposur karirnya, perusahaan melakukan program pengembangan,
serangkaian penugasan, dan mentoring. Di CPI, penugasan juga dilakukan sangat
beragam (cross assignment), termasuk penempatan kerja internasional di perusahaan
induk CPI, ChevronTexaco di Amerika Serikat, atau di anak perusahaan ChevronTexaco di
negara lain.
Unilever memiliki semacam professional skill dictionary yang berisi petunjuk
pengetahuan yang harus dimiliki seseorang di setiap level. Unilever membagi-bagi
pengetahuan dalam kategori basic awareness, working knowledge, fully operational, dan
terakhir leading act. "Kami selalu bandingkan kemampuan seseorang dengan
persyaratan sebuah pekerjaan. Jika belum cocok, maka itu adalah area untuk
pengembangan orang tersebut," papar Bataona.
Proses pengembangan orang tersebut dilakukan sendiri secara konsisten tanpa bantuan
konsultan dalam bentuk human resources plan yang terintegrasi dengan business plan.
Dengan perencanaan ini, perusahaan tidak akan terpengaruh bila tiba-tiba karyawan
diambil perusahaan lain.
Selanjutnya, orang tersebut terus dipantau dan dievaluasi oleh sebuah tim khusus,
seperti PDC di CPI dan Komite Personalia di Bank Niaga. Lembaga ini memiliki jumlah
anggota yang ganjil, 3, 5, 7 orang atau lebih. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan
keputusan mayoritas dan obyektif dalam menilai setiap karyawan. Komite Personalia
Bank Niaga tidak ada hanya di kantor pusat (direksi), tetapi juga ada di tingkat wilayah
dan tingkat grup. Penilaian dilakukan secara obyektif dan adil. "Supaya yang naik
pangkat bisa bangga karena memang ia berpotensi baik," ujar Heru tertawa.
MENGIDENTIFIKASI POSISI KUNCI
Mengawali penyusunan rencana suksesi, pertama kali perusahaan harus mengidentifikasi
posisi-posisi kunci di perusahaan kini dan mendatang. Identifikasi ini akan melahirkan
semacam peta posisi kunci. Posisi kunci itu lajimnya dihubungkan dengan visi, misi,
fokus, dan strategi bisnis perusahaan. Sebagai contoh, Bank Permata yang memfokuskan
bisnisnya pada perbankan ritel, khususnya konsumer, tentunya menempatkan unit
pemberian kredit kepemilikan mobil sebagai unit bisnis yang penting. Otomatis pimpinan
di unit itu merupakan posisi kunci. Bagi bank atau perusahaan yang fokus di target pasar
berbeda, posisi kunci berbeda lagi.
CPI mendefinisikan posisi kunci adalah level manajemen menengah ke atas karena
semua posisi itu saling bekerjasama untuk menggerakkan roda perusahaan. Sejauh ini,
tutur Iwan Djalinus, CPI memiliki tenaga potensial yang sangat memadai untuk 4-5 tahun
mendatang. Sekarang pun, CPI sedang mempersiapkan tenaga-tenaga potensial untuk
generasi berikutnya (5-10 tahun mendatang).
Perusahaan perbankan lajimnya menempatkan posisi kunci itu mulai dari group head ke
atas. Soal penamaan group head ini mungkin saja beda antar perusahaan. Ada bank yang
menyebutnya hanya sebagai head of saja, dan menempatkan group head setingkat
General Manager (GM). Esensinya tetap sama: tanpa mereka roda organisasi akan
berjalan pincang.
Setelah posisi kunci diketahui atau ditetapkan, tahap berikutnya adalah mengidentifikasi
suksesor atau kader-kader terbaik di setiap unit itu. Mereka adalah karyawan yang
memiliki kompetensi dan kinerja kerja yang bagus serta bisa dikembangkan. Mungkin
karena pengalaman buruk selama ini, Bank Niaga bahkan membuat sistem suksesi
berlapis dengan 3 orang suksesor yang siap menggantikan atasannya. Jadi, bila seorang
pemimpin cabang Bank Niaga pergi karena satu dan lain hal, maka setiap hari sudah ada
setidaknya 3 orang suksesor yang siap menggantikannya. Peringkat suksesor itu pun
telah disusun, meskipun tidak mesti peringkat 1 langsung menggantikan sang pemimpin
yang pergi.
Dengan segala perencanaan suksesi itu, tetap saja tidak ada jaminan 100% proses
suksesi akan berjalan sesuai harapan perusahaan. Perkembangan kompetensi dan kinerja
individu sangat tergantung kepada individu itu sendiri. Misalnya, ada saja kepala cabang
bank yang tergiur menyalahgunakan wewenang dengan membobol dana nasabah seperti
yang terjadi di BRI dan Bank Mandiri. Padahal, kinerja dan moral orang itu dinilai baik
oleh perusahaan, dan oleh karena itu layak dipromosikan menjadi kepala cabang. "Itu
kesalahan yang bersangkutan dalam memilih teman," tegas Rudjito, Direktur Utama Bank
BRI (baca rubrik STRATEGI HC, red).
Heru Budiargo pun mengakui tetap saja ada orang yang telah dikembangkan berhenti di
satu tempat, alias tidak bisa berkembang. "Tapi, memang tidak semua karyawan direkrut
untuk menjadi direktur," imbuhnya tersenyum.
Konsep Suksesi Grup Ciputra
No. 07 - Tahun 2004
Ciputra, salah satu tokoh properti dan real estate Indonesia, telah berhasil mengalihkan
estafet kepemimpinan Grup Ciputra kepada anak-anak dan menantunya. Ia juga
membuka kemungkinan anak dan menantunya membangun usaha sendiri di luar Grup
Ciputra. "Tetapi, semuanya tetap harus bersatu mendukung holding Grup Ciputra,"
tukasnya bersemangat. Energi kreativitas Ciputra tidak pernah habis-habisnya. Setelah
sukses menjadi CEO PT Pembangunan Jaya, dengan sejumlah proyek monumental
macam Ancol, Pondok Indah, Bintaro Jaya, Pantai Indah Kapuk, WTC, Park Royale
Apartments, Hotel Horison dan Hotel Mandarin, pada tahun 1981 ia mulai membangun
grup sendiri melalui PT Citra Habitat Indonesia (developer Perumahan Citra di Jakarta
Barat). Semenjak itu, Grup Ciputra terus berkembang dimotori oleh Ciputra dan dibantu
oleh keempat anak dan menantunya.
Dewasa ini, Grup Ciputra memiliki sejumlah anak perusahaan di bidang properti,
infrastruktur dan media, dua perusahaan di antaranya telah go public, yaitu PT Ciputra
Development Tbk. dan PT Ciputra Surya Tbk. PT Ciputra Development Tbk. didirikan 22
Oktober 1981 dan telah go public sejak 28 Maret 1994. Perusahaan ini menjadi
pengembang perumahan Citra-Raya, Citra Indah dan Citra Harmoni di samping Ciputra
Mall dan Hotel, proyek terpadu Ciputra Golden Triangle di dekat Mega Kuningan Jakarta,
dan Klub Golf di Surabaya. Sedangkan, Ciputra Surya menggarap sejumlah proyek
properti di kota Surabaya dan sekitarnya.
Krisis ekonomi sempat membuat usaha Grup Ciputra terpukul. Namun, Grup Ciputra
berhasil melewati masa yang paling sulit itu melalui proses konsolidasi usaha yang kini
telah selesai. "Sekarang adalah saat yang tepat untuk kembali melakukan ekspansi bisnis
secara hati-hati," ujar Ciputra kepada Human Capital. Sejak berumur 70 tahun (3 tahun
silam), Ciputra sudah tidak aktif lagi sebagai eksekutif perusahaan. Ia memilih menjadi
Presiden Komisaris saja.
Mempersatukan keempat anak (Rina Ciputra, 49 tahun; Junita Ciputra, 43 tahun; Candra
Ciputra, 40 tahun; dan Cakra Ciputra 40 tahun) dan para menantu laki-lakinya (Budiarsa
Sastrawinata, 49 tahun., dan Harun Hajadi, 43 tahun) dalam satu kapal bernama Grup
Ciputra merupakan salah satu kehebatan suami Dian Sumeler ini. Baginya, persatuan
keluarga sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar.
Membagi peran anak dan menantu sebanyak itu tentu bukan pekerjaan mudah. Candra
menjadi CEO Ciputra Development, Harun menjadi CEO Ciputra Surya, Rina memimpin
broker properti Century 21. Budiarsa yang sebelumnya menjadi CEO PT Bumi Serpong
Damai kini kembali bergabung dalam grup sebagai direktur di samping mulai aktif di
politik. "Posisi ditetapkan berdasarkan minat dan keahlian mereka," ungkap Ciputra
sambil menambahkan, "Setiap anak dan menantu saya memiliki latar belakang
pendidikan yang sangat berkaitan dengan bisnis Grup Ciputra dan mereka juga memiliki
pengalaman praktis dalam industri real estate."
Selain mengembangkan proyek inovatif, energi kreatif Ciputra tampak pula pada
perhatiannya terhadap proses suksesi kepemimpinan dalam Grup Ciputra. Ia
mengembangkan konsep regenerasi berdasarkan kerangka besar VISI, MISI, STRATEGI,
RENCANA AKSI, dan IMPLEMENTASI. Sebagai sebuah bisnis keluarga, ia mendambakan
terwujudnya VISI usaha bisnis yang, (1) Inovatif dan mampu bertumbuh terus melewati
jaman-jaman yang berbeda dan mampu berkembang di banyak tempat; (2) Mempererat
persaudaraan di antara keluarga, dan (3) Memanfaatkan keahlian dari masing-masing
anggota keluarga.
Untuk mewujudkan VISI itu, maka dikembangkan MISI atau sistem dasar untuk
melaksanakannya. Dalam proses regenerasi untuk Grup Ciputra, maka Ciputra telah
menetapkan MISI sebagai berikut:
Semua anak-anak memiliki saham baik di perusahaan induk maupun di anak perusahaan;
memberikan hak yang sama kepada semua anak, laki-laki atau perempuan;
memperlakukan menantu sama seperti anak sendiri; menciptakan keadilan di antara
keluarga; memberikan keleluasaan kepada setiap keluarga (anak, menantu, dan cucu)
untuk mengembangkan unit bisnis baru bersama keluarganya.
Kemudian, Ciputra menetapkan STRATEGI regenerasi dengan membagi konteks waktu
sekarang dan masa datang. Dalam konteks sekarang, perannya di perusahaan hanya
sebagai vision developer dan grand policy maker. Seluruh saham perusahaan telah dan
akan dibagi kepada anak-anak dan menantu, Yayasan Sosial Keluarga Ir. Ciputra, dan
Trust Fund untuk para cucu yang dapat dipergunakan bila mereka membutuhkan.
Keberadaan Trust Fund ini makin meneguhkan perhatian dan kecintaan Ciputra terhadap
keluarga dan keturunannya ke depan.
Secara operasional, bisnis Grup Ciputra saat ini terbagi dalam 3 kelompok besar, yaitu
kelompok bisnis komersial (mal, hotel, apartemen, dan lainnya), kelompok bisnis dalam
negeri, dan kelompok bisnis luar negeri. Dalam setiap kelompok ini (subholding), anak
dan menantunya menjadi pimpinan. "Saya berharap, pertumbuhan ketiga subholding ini
yang masing-masing memiliki tim profesional dan spesialis akan menyokong
pertumbuhan Grup Ciputra di masa sekarang," tuturnya.
Namun, di masa depan, struktur tersebut perlu disesuaikan. Ciputra telah membuat
konsep struktur organisasi yang menurutnya lebih pas mengakomodasikan dinamika
perubahan di masa depan. Nantinya akan ada holding Grup Ciputra ditopang oleh 4
keluarga anak-cucunya, di mana masing-masing keluarga anaknya bisa membentuk grup
usaha baru milik mereka. "Ini adalah sebuah solusi yang sangat logis dibandingkan
dengan memaksakan semua anggota keluarga berada dalam perahu yang sama," tegas
pria yang mendapat gelar Si Pengembang itu.
Setidaknya, ada 5 hal yang menjadi pertimbangan Ciputra dalam menyusun konsep masa
depan itu. Pertama, perusahaan induk (holding) Grup Ciputra mungkin akan menjadi
terlalu sesak bila harus diisi oleh seluruh anggota keluarga dan keturunannya. Kedua, ia
mengharapkan anak/menantu dan cucu untuk bergabung dalam holding, tetapi perlu
mengantisipasi munculnya sebuah bisnis baru dari salah satu keluarga namun belum
tentu cocok atau didukung oleh anggota keluarga lain.
Ketiga, ia perlu mengantisipasi munculnya bisnis-bisnis baru di dekade-dekade yang akan
datang dan belum tentu cocok dengan bisnis utama Grup Ciputra namun perusahaan
induk Grup Ciputra tetap akan menjadi wadah untuk berkumpul dan bersatu. Keempat,
Ciputra ingin keseluruhan keluarga besar bisnis Grup Ciputra tetap gesit dan inovatif
sehingga ukurannya yang utama bukan dari besarnya holding Grup Ciputra semata.
Kelima, persaudaraan dan keterkaitan satu sama lain dapat tetap terpelihara karena
memang dalam induk Grup Ciputra masing-masing keluarga telah mendapat saham yang
sama besar. Dengan cara ini, perhatian anak-anak dan para menantu kepada Grup
Ciputra sebagai induk akan tetap terpelihara, dan pada saat bersamaan mereka juga
memiliki peluang untuk mengembangkan bisnis bersama keluarga mereka masing-
masing.
Ciputra belajar sekali dari pengalaman banyak perusahaan keluarga yang gagal
mempersatukan generasi penerus. Kegagalan tersebut berdampak pada kemunduran
perusahaan dan perpecahan keluarga yang seharusnya tidak boleh terjadi. Keberhasilan
implementasi pemikiran Ciputra yang jauh ke depan ini tentunya sangat ditentukan
komitmen seluruh anak-menantunya di masa depan. Masalahnya, membuat bersatu itu
lebih sulit dibandingkan dengan membuat perpecahan. Hal kecil saja mudah "membakar"
kebersamaan dan persatuan yang telah dibangun bersusah payah selama ini.
Kematangan Succesion Plan Ala Unilever
No. 07 - Tahun 2004
Kemajuan sebuah perusahaan dipengaruhi oleh banyak aspek, mulai dari visi dan misi
perusahaan, bisnis plan dan dalam edisi ini Human Capital akan membahas mengenai
succession plan atau rencana suksesi. Untuk menggali pengalaman mengenai rencana
suksesi ini rasanya sangat wajar jika kita coba berkaca pada perusahaan besar seperti PT.
Unilever Indonesia Tbk.
Bagi PT. Unilever Indonesia tbk, rencana suksesi dianggap sangat penting karena
berkaitan dengan kelangsungan perusahaan. "Rencana suksesi itu menurut saya sangat
penting karena kami beroperasi jangka panjang bukan hanya operasi satu atau dua
tahun," tutur Joseph Bataona, Human Resources Director PT. Unilever Indonesia tbk.
Menurut Joseph, kalau sebuah perusahaan beroperasi dalam jangka panjang, perusahaan
tersebut harus mempunyai rencana yang jelas dalam jangka panjang tentang bagaimana
mendorong bisnis dalam kaitannya dengan penyediaan tenaga kerja di berbagai level
dengan capability yang diperlukan di periode yang berbeda-beda.
Suksesi yang dilakukan PT. Unilever tidak selalu hanya berhubungan dengan posisi yang
bisa dikatakan tinggi. "Unilever tadi malam merayakan dan memberi penghargaan bagi
karyawannya yang sudah bekerja paling tidak 15, 25 dan sudah akan pensiun," papar
Joseph. Rencana suksesi dipersiapkan secara matang oleh Pt. Unilever. "Tahun ini saja
mereka yang akan memasuki masa pensiun itu 54 orang, yang 25 tahun itu ada 214
orang, dan yang 15 tahun itu ada 14 orang, jadi total yang kami rayakan ada 282 orang.
Jadi bayangkan bahwa untuk tahun ini saja kami harus menyediakan penggantian untuk
mereka di berbagai level," tambahnya. Yang memasuki masa kerja 25 tahun itu 214
orang itu berarti mereka juga akan segera masuk ke masa pensiun dan kita harus
Persiapkan penggantinya dan itu di berbagai level. Yang kita lakukan itu memang
terencana dan tidak ada yang dadakan. Artinya kita lihat ke depan dalam jangka panjang.
Lalu kita plot pertahunnya. Jadi sudah kita diskusikan siapa yang akan pergi termasuk
pertambahan karyawan seiring dengan pertumbuhan perusahaan.
Secara teknis rencana suksesi PT. Unilever ke depan, seperti dijelaskan Joseph, pertama
karena pertumbuhan perusahaan ke depan harus melihat apakah perusahaan akan
punya karyawan yang sama atau mengalami pertambahan atau pengurangan, kedua
apakah perusahaan mempunyai stock tenaga kerja dan apakah stock ini akan cukup atau
perlu ditambah atau mungkin orangnya tetap sama tetapi perlu dididik lagi untuk
memenuhi requirement di tahun mendatang. Dalam konteks unilever, sejak awal tahun
70-an telah mempunyai program untuk merekrut fresh graduate dari perguruan tinggi.
"Mereka yang direkrut adalah mereka yang punya potensi bisa naik setinggi mungkin di
dalam organisasi ini. Kami didik mereka untuk bisa di posisi baik vertical maupun
horizontal," jelas Joseph. "Hal ini memungkinkan mereka belajar, untuk bisa mengisi
posisi yang ada baik disamping atau di atas mereka. Hasil dari itu saat ini direksi lokal
kami adalah mantan management trainee yang kami rekrut saat masih fresh graduate,"
ujarnya bangga.
Selain itu, untuk mendukung rencana suksesi di perusahaan, PT. Unilever mempunyai
buku panduan yang dinamakan 'Professional Skill Dictionary'. "Masing-masing role di
perusahaan ini mempunyai petunjuk pengetahuan apa yang harus dia punya untuk
semua level. Di sini kami definisikan ada basic awareness, working knowledge, fully
operational dan yang paling tinggi leading act," papr Joseph. Jadi setiap karyawan selalu
dibandingkan dengan requirement dari pekerjaannya, apakah cocok atau tidak, jika
belum cocok yang akan dilakukan perusahaan adalah pengembangan orangnya. Rencana
suksesi ini dilakukan juga untuk menghadapi keadaan darurat seperti ketika karyawan
yang tiba-tiba pindah ke perusahaan lain. Meski demikian tetap tidak menutup
kemungkinan jika karyawan pengganti harus diambil dari luar perusahaan. "Mungkin
dalam perkembangan perusahaan yang cepat ada yang setelah kami identifikasi ternyata
kami tidak punya tenaga itu di dalam atau untuk menunggu pengembangan tenaga di
dalam itu terlalu lama," tukasnya.
Sedangkan untuk mengukur keberhasilan rencana suksesi itu yang paling gampang
adalah dengan menggunakan performance a phrasal. "Setiap tahun kami punya PA.
Melalui PA kami diskusikan dengan si karyawan mengenai target yang harus dia capai
dan mengenai pengembangan dirinya sendiri, karena pada awal tahun itu kami bukan
hanya agree dengan target tapi juga development program," jelasnya. "Dan lebih baik
membantu seseorang untuk achieve dari pada memikirkan mengenai punishment, kalau
sudah coba mengembangkan dia tapi masih gagal secara alami itu akan terseleksi
dengan sendirinya, misalnya dia akan maju lebih lama dari pada teman-temannya,"
tegasnya.
Agung Podomoro Group
No. 08 - Tahun 2004
Kemajuan bagi sebuah perusahaan adalah sesuatu yang amat didambakan. Untuk
mencapai hal tersebut, sebuah perusahaan harus jeli dalam melihat apa dan siapa saja
yang dibutuhkan perusahaan. Hampir semua perusahaan membutuhkan kompetensi
yang sesungguhnya bukan hanya sekedar pengetahuan.
Agung Podomoro Group, sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang property,
juga menjabarkan kompetensi yang diperlukan bagi kemajuan perusahaannya saat ini.
"Kompetensi adalah unsur yang ada dalam diri dan di luar diri seseorang untuk menuju
kesuksesan," ujar Setia Wijaya, HRD Director Agung Podomoro Group. "Jadi kunci
kesuksesan seseorang itu ada di dalam dan di luar diri orang tersebut," tambahnya lagi.
Faktor dari dalam diri yang mempengaruhi seseorang menjadi sukses adalah kemauan.
Menurut Setia, tidak semua orang mau maju dan agar kemauan itu bisa muncul, orang
tersebut harus mengetahui keuntungan dan kerugian jika ia memiliki kompetensi dan apa
keuntungannya menjadi orang yang sukses. Sedangkan faktor yang berasal dari luar diri
adalah kemampuan. Kemampuan di sini berarti memiliki pengetahuan dan juga skill atau
keterampilan. "Keterampilan sendiri terbagi atas soft skill dan hard skill. Soft skill terkait
dengan hubungan antar manusia sedangkan hard skill adalah teknisnya," jelas Setia.
Disimpulkan Setia, bahwa kompetensi itu terdiri dari kemauan, kemampuan, kesempatan
dan kesehatan. "Orang tidak akan sukses jika hanya memiliki kemauan dan kemampuan
tanpa kesempatan dan kesehatan. Baginya sukses hanyalah mimpi," ujar Setia. Dengan
kata lain bagaimana seseorang yang memiliki kemauan dan kemampuan tanpa diberi
kesempatan untuk menunjukkan apapun yang dimilikinya.
Agung Podomoro Group memiliki cara sendiri untuk menggali kompetensi yang dimiliki
oleh pelamar yang datang. "Hal itu bisa kami gali dengan cara mengajukan beberapa
pertanyaan untuk mengetahui kemampuan apa saja yang dimiliki dan apa saja yang
telah orang tersebut kerjakan," paparnya. "Dari sini kami bisa tahu apakah si pelamar
mempunyai kompetensi yang cocok dengan kebutuhan perusahaan," tambahnya lagi.
Bagi mereka yang baru lulus dan belum memiliki kompetensi yang jelas namun memiliki
kemungkinan untuk berkembang, maka perusahaan ini tidak segan untuk mengirim
mereka ke lembaga training melalui program-program yang tersedia di perusahaan.
Tersedia training reguler untuk membantu pekerjaan sehari-hari dan training
pengembangan untuk mengembangkan jabatan.
Untuk mengukur kompetensi karyawannya digunakan tes psikotes, sedangkan untuk
mengukur kemampuan kompetensi untuk level manajer dilakukan melalui presentasi
untuk melihat ide dan apa saja yang ingin dikembangkannya. "Pemilik perusahaan inipun
menekankan bahwa jika ada karyawan yang berprestasi, harus diarahkan sebaik
mungkin," tegasnya. "Karyawan yang berpotensi akan dikembangkan dan karyawan yang
berprestasi akan menjadi calon pemimpin," tambahnya lagi.
Bagi perusahaan property seperti Agung Podomoro Group tersedia dua kompetensi, untuk
karyawan dan perusahaan. Kompetensi perusahaan dimaksudkan perusahaan harus
mampu bertahan dan juga bersaing. "Ini harus dimiliki juga oleh karyawan agar terjalin
hubungan yang sejalan antara perusahaan dan karyawan," jelasnya lagi. Meski demikian,
Setia mengaku tidak pernah melibatkan konsultan dalam proses perekrutan
karyawannya.
Ketika Jiwasraya Tampil Beda
No. 08 - Tahun 2004
Tak Percuma pemerintah meminta Herris B. Simandjuntak menjadi pimpinan puncak
Asuransi Jiwasraya (Persero), perusahaan asuransi tertua milik pemerintah. Asuransi jiwa
pelat merah itu kini berkembang menjadi perusahaan asuransi yang tangguh bak
perusahaan swasta. Pelan tapi pasti, raksasa itu bangkit dari tidurnya.
"Sekarang kami benar-benar merasa bangga dan percaya diri menjual produk-produk
asuransi Jiwasraya," ungkap sejumlah agen Jiwasraya yang telah bergabung selama 7-10
tahun kepada Human Capital. Alasan mereka, Jiwasraya kini sangat dikenal dan produk-
produk yang ditawarkan kepada konsumen dikemas sangat menarik. Kedua kekuatan
tersebut sangat membantu para agen pemasaran Jiwasraya melakukan tugasnya.
Rasa percaya diri, bangga, dan optimis kini menghiasi wajah seluruh insan Jiwasraya. Plus
baju seragam biru dongker, penampilan karyawan Jiwasraya tak lagi seperti perusahaan
BUMN umumnya. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari serangkaian langkah perubahan
yang diambil oleh direksi Jiwasraya di bawah kepemimpinan Herris B. Simandjuntak.
Sebagai orang swasta�- lama di Asuransi Jasindo dan Asuransi Allianz Utama Indonesia,
terakhir dengan jabatan Managing Director�- Herris dengan cepat mengidentifikasi
persoalan yang dihadapi oleh Jiwasraya usai diangkat tahun 2002. Setidaknya ada dua
masalah besar yang perlu diatasi secara sistematis. Pertama, citra BUMN yang identik
dengan karyawan banyak dan kualitas yang rendah, tidak profesional, dan sarang KKN.
Kondisi ini membuat memimpin BUMN menjadi lebih menantang karena mengurangi atau
mengganti karyawan pasti menimbulkan gejolak. Kedua, produk Jiwasraya lebih cocok
untuk orang tua.
Berangkat dari kenyataan tersebut, langkah pertama yang dilakukan direksi tahun 2002
adalah mengubah total identitas korporat Jiwasraya. Dibantu konsultan, perubahan itu
melahirkan logo dengan warna yang tidak lagi mengesankan sebuah BUMN. Identitas
baru tersebut berwarna merah yang mencerminkan keberanian dan integritas Jiwasraya.
Manajemen menjadikan perubahan identitas itu sebagai langkah awal perubahan.
"Kami menilai, upaya perubahan identitas harus didahulukan. Tidak menunggu
implementasi perubahan dari dalam," ujar Herris. Strategi perubahan ini sedikit berbeda
dengan yang diambil oleh Bank Danamon dan BII, yang memilih untuk menjadikan
perubahan identitas sebagai bagian pertengahan dan terakhir dari fase perubahan
organisasi.
Berbekal perubahan identitas itu, manajemen bergerak melakukan sosialisasi pentingnya
perubahan. Proses sosialisasi mengharuskan Herris dan jajaran direksi jarang di kantor
Jakarta dan memilih untuk berkeliling ke kantor cabang. Kesempatan itu digunakan untuk
memotivasi karyawan dan menjelaskan risiko jika Jiwaraya tidak berubah.
Mensosialisasikan perubahan di Jiwasraya tentu tidak semudah membalik telapak tangan.
Tantangan pertama adalah banyaknya jaringan kantor perusahaan, yang berjumlah
sekitar 400 buah dengan karyawan lebih dari 1.700 orang. Tantangan berikutnya adalah
sumberdaya manusia (SDM) yang terbiasa dengan budaya lama di mana karyawan tidak
kreatif dan hanya menunggu keputusan direksi. Herris mengibaratkan hal ini dengan
punggung parang yang tumpul. "Kami berkeyakinan, punggung parang yang tumpul itu
bila terus diasah juga menjadi tajam," tegasnya.
Manajemen memperkenalkan pola-pola manajemen baru sebagai bagian upaya
mengasah punggung parang itu. Herris menerapkan manajemen kepemimpinan
demokratik-partisipatif. Partisipasi dari bawahan didorong maksimal karena ia yakin
segala sesuatunya harus dimulai dari bawah. Pola rapat pimpinan, termasuk Rapat Kerja
Nasional (Rakernas), tak luput diubah. Setiap tahunnya, Jiwasraya melakukan 4 kali rapat
pimpinan nasional (termasuk Rakernas).
Rapat pimpinan triwulanan itu ada yang dilakukan di Jakarta dan ada pula di daerah-
daerah. Lokasi rapat di daerah pun diganti-ganti. Penggantian lokasi rapat dimaksudkan
untuk meningkatkan rasa memiliki kepada seluruh karyawan. Misalnya, untuk kawasan
Indonesia Tengah dan Indonesia Timur belum lama diadakan di Balikpapan. Rapat
tersebut diikuti tidak hanya oleh Regional Managers tetapi juga Branch Managers.
Dengan demikian, komunikasi bisa langsung dilakukan dengan level manajemen paling
bawah.
Dalam setiap rapat pimpinan, manajemen bertugas menyampaikan isu-isu strategis yang
perlu dibahas oleh karyawan. Selanjutnya karyawan mendiskusikannya, mencari solusi
dan strategi terbaik serta memutuskannya. Risalah rapat itu kemudian disampaikan
kepada direksi. Bila dinilai direksi sudah cocok, manajemen tinggal mengembalikan
pelaksanaannya kepada karyawan. Karena proses pembuatan keputusan itu sepenuhnya
dilakukan karyawan, Herris tinggal meminta mereka konsekuen dan konsisten
melaksanakannya.
"Jadi, mereka tidak bisa lagi bilang itu maunya direksi. Semua hal, dari susunan
organisasi, struktur keagenan, penyusunan target, dan strategi pencapaian
target�mereka yang buat," katanya.
Langkah lain adalah memperbaiki saluran komunikasi antara karyawan dengan
manajemen. Jalan ke luarnya, Jiwasraya membuat newsletter, berisi informasi kegiatan di
lingkup perusahaan. Media cetak ini dibagikan ke seluruh karyawan di seluruh Indonesia,
termasuk para agen. Herris rutin menulis dalam rubrik CEO Messages, di mana ia selalu
memfokuskan tulisannya untuk mengupas nilai-nilai profesionalisme. Di sisi lain, ia juga
membuka dialog dari atas ke bawah kapan saja. Ruang kantornya selalu terbuka untuk
membicarakan hal menyangkut perusahaan. Komunikasi bisa pula dilakukan ke telepon
selulernya. Seringkali Herris mendapatkan kiriman SMS dari para agen sehingga ia tahu
apa yang terjadi di level bawah.
Dalam perkembangannya Jiwasraya Newsletter tidak hanya untuk kalangan intern saja,
tapi juga ekstern. Media ini dikirim gratis untuk nasabah Jiwasraya, baik individu maupun
korporat. Bahkan isi media ini juga disesuaikan dengan menampilkan beberapa artikel
mengenai nasabah maupun pihak luar yang ada kaitannya dengan Jiwasraya.
STRATEGIC ARCHITECTURE
Seiring manajemen perubahan di atas, Jiwasraya berhasil menyelesaikan strategic
architecture atau cetak biru perusahaan ke depan. Pembuatannya dilakukan seluruh
pimpinan perusahaan yang difasilitasi oleh konsultan. Di situ dijelaskan visi, misi, prinsip
bisnis berorientasi kepada pelanggan, dan prinsip bisnis berorientasi kepada bisnis.
Keempat hal ini menjadi tuntutan hidup bagi seluruh orang Jiwasraya. Juga menjadi acuan
dalam membuat setiap keputusan. Cetak biru disosialisasikan sehingga karyawan
memperoleh arahan yang jelas tentang perusahaan ke depan.
Jiwasraya memiliki konsep strategi bersaing 3P, yaitu Product (menciptakan produk yang
inovatif, kompetitif, dan bernilai tinggi), Process (membangun proses bisnis yang tepat,
cepat, dan efisien), dan People (mengembangkan SDM yang profesional).
Manajemen SDM menjadi sentral dalam proses perubahan di Jiwasraya karena secara
kualitas SDM masih perlu ditingkatkan. Perombakan organisasi dan system banyak
dilakukan untuk merespons strategi bisnis perusahaan dan tuntutan persaingan.
Jiwasraya bahkan mencetak orang-orang yang kerjanya khusus menjadi instruktur untuk
mempercepat peningkatan kualitas SDM. Para instruktur itu ditempatkan 2 orang di
setiap kantor wilayah. Tahap pertama berhasil dicetak 35 instruktur. Kecuali itu, Jiwasraya
juga gencar melakukan pendidikan bagi jajarannya, termasuk bekerjasama dengan
Prasetiya Mulya Business School.
Resep Mengidentifikasi Kompetensi Organisasi
No. 08 - Tahun 2004
Mengidentifikasi sekumpulan kompetensi organisasi membutuhkan sebuah metodologi
terstruktur. Hal tersebut, menurut Steven Moulton, SPHR, dimaksudkan supaya proses
identifikasi berlangsung seimbang dan bisa diaplikasikan. Kompetensi organisasi bisa
disusun dalam sebuah kumpulan besar kompetensi atau dibuat dalam kumpulan berbeda
untuk setiap level berbeda dalam organisasi.
Seimbang dan bisa diaplikasikan seringkali menjadi wilayah yang terlupakan saat
organisasi memilih kompetensi organisasi. Kebanyakan hasil kompetensi terfokus pada
eksekutif dan level manajemen serta mengabaikan kompetensi yang dibutuhkan oleh
bagian lain dari organisasi. Atau fokus pada satu atau dua dimensi lebih dominan
dibandingkan yang lain.
Steven memberi contoh, kebanyakan organisasi cenderung mengidentifikasi kompetensi
yang fokus kepada interpersonal dan personal. Kompetensi interpersonal adalah
bagaimana orang diharapkan berinteraksi dengan orang lain, seperti mendengarkan atau
membina. Kompetensi personal adalah bagaimana seseorang melakukan tindakan,
seperti bisa mengontrol diri dan berani mengambil keputusan.
Seyogyanya, fokus seperti itu juga memasukkan kompetensi yang dibutuhkan dalam
menjalankan tugas (task) dan lingkungan kerja (interface). Kompetensi tugas terkait
dengan bagaimana pekerjaan atau tanggung jawab dilaksanakan, seperti pemecahan
masalah atau sikap persisten. Sedangkan kompetensi lingkungan kerja (interface) terkait
dengan lingkungan di mana seseorang bekerja, termasuk upaya mengikuti kebijakan dan
prosedur atau tanggung jawab etika/sosial.
Ada banyak pendekatan yang dipergunakan dalam mengidentifikasi kompetensi
organisasi. Yang populer adalah metode behavioral/critical event interview. Bisa juga
dengan memilih kompetensi dari daftar kompetensi atau melakukan benchmarking
dengan organisasi lainnya. Apapun pendekatannya, tutur Steven, terdapat 7 komponen
yang diperlukan untuk menjamin bahwa hasilnya sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Ketujuh komponen itu adalah structure, balance, participation, organizational context, job
content, linkage, dan validation.
Pendekatan yang dipilih haruslah terstruktur (structured) untuk mengidentifikasi
sekelompok kompetensi seimbang (balance) yang sesuai dengan kultur organisasi
maupun dengan kategori kompetensi yang diperlukan. Ia harus melibatkan partisipasi
(participation) representatif dari karyawan perusahaan. Untuk menciptakan kompetensi
menyeluruh yang sesuai dengan konteks organisasi (organizational context), daftar
kompetensi itu bisa mencapai 20 buah atau lebih. Setiap kompetensi itu tidak
diaplikasikan sama untuk setiap posisi. Oleh sebab itu, tahap berikutnya diperlukan
cakupan jabatan/pekerjaan (job content).
Ada tiga hal kunci dalam upaya mengembangkan dan mengimplementasikan kompetensi
dalam perusahaan:
(1) Kompetensi yang diterapkan di level individu perlu dikaitkan dengan kompetensi inti
dan kompetensi organisasi
(2) Seluruh kompetensi perlu dibuat spesifik dan kompetensi yang diterapkan dalam
lingkungan kerja harus jelas wujud perilakunya
(3) Metodologi identifikasi kompetensi harus memasukkan ketujuh komponen di atas.
Pendekatan perilaku cenderung lebih masuk akal saat menerapkan kompetensi terhadap
individu. Uraian secara jelas tentang bagaimana karyawan bisa mendemonstrasikan
kompetensi memudahkan karyawan dan pimpinan dalam mengukur penerapannya.
Dampak positif lain, meningkatnya kepercayaan dan sikap hormat dalam organisasi.
Keterkaitan (linkage) kompetensi dengan manajemen kinerja, seleksi, pengembangan,
dan proses HR lainnya akan menjadi faktor kunci sukses manajemen HR berbasis
kompetensi. Analisa jabatan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap posisi
menjadi penentu sukses atau gagalnya sebuah bisnis. Praktisi HR bisa memberi nilai
tambah dengan menciptakan wawancara terstruktur, perencanaan kinerja, bentuk-
bentuk diskusi, dan program pengembangan.
Komponen terakhir adalah proses validasi (validation) yang terdokumentasikan. Terdapat
3 proses validasi, yaitu criterion, construct, dan job content. Artinya, validasi bisa
dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, validasi berdasarkan konstruksi
tertentu, atau berdasarkan lingkup jabatan/pekerjaan. Dari ketiga proses tersebut,
validasi berdasarkan kriteria dan lingkup jabatan/pekerjaan paling banyak digunakan.
PT. Yupharin Pharmaceuticals - Karyawan yang Tidak Kompeten, Tidak Harus
Berakhir PHK
No. 08 - Tahun 2004
Sejak mengikuti ISO 9001/2000 pada tahun 2002 lalu, perusahaan farmasi milik keluarga
ini mulai memetakan dan menerapkan kompetensi bagi setiap karyawan sejalan dengan
perbaikan visi dan misi perusahaan.
Mengubah budaya perusahaan dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan yang
profesional memerlukan strategi yang tepat seperti yang kini sedang dilakukan di PT.
Yupharin Parmaceuticals. Menurut Adri Kurniawan, HR Manager PT. Yupharin
Parmaceuticals, dalam masa transisi tersebut, pihaknya melakukan pembaharuan visi
dan misi sehingga PT. Yupharin bisa lebih fokus terhadap bisnis ini.
"Kami sedang mengarahkan kepada bagaimana membentuk budaya perusahaan
mengingat masa transisi ini," ujarnya. Dan ini tidak bisa dilakukan dalam kurun waktu
setahun atau dua ke depan. "Banyak kendala. Sebagai contoh, yang namanya
perusahaan keluarga, kalau mau rapat, susah untuk tepat waktu. Bisa telat satu - dua
jam. Atau jika yang satu sudah hadir, yang lain belum datang atau malah tidak bisa sama
sekali," tuturnya kembali. Berbeda dengan perusahaan yang sudah profesional. Segala
sesuatunya harus berdasarkan aturan.
Permasalahan lain yang tak kalah penting adalah leadership. "Dulu karena ini perusahaan
keluarga, jika ada yang bagus, langsung dipromosikan begitu saja, tidak di-assess dulu
untuk jadi manager," ungkapnya. Tapi, cara ini malah berakhir dengan ketidakpuasan
akibat tidak kompeten orang itu di level tersebut.
Misalnya untuk posisi supervisor. Meski sebelum menjadi supervisor (medical
representatives) dia berhasil mencapai target dengan baik dan terus-menerus, bukan
berarti dia sudah berhasil memiliki kompetensi yang benar sebagai seorang supervisor.
Seorang supervisor harus bisa pula memanage orang lain, mengambil keputusan, berani
bertanggung jawab. "Dia kan sudah tidak kerja sendiri lagi, melainkan sudah harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan people management dan teamwork."
Untuk melatih karyawan dengan kondisi demikian, Adri menekankan karyawan tersebut
untuk mengikuti self development seperti seminar atau worshop yang diselenggarakan
oleh institusi/lembaga independent agar mental dan skill karyawan itu lebih tertata
dengan baik. "Dalam sebuah sesi training yang sudah diset sedemikian rupa, pernah juga
diterapkan hukuman dilarang makan siang bagi karyawan yang tidak berhasil menjual
produk yang harus mereka jual. Rupanya dalam kondisi kepepet, orang bisa juga
melakukan asalkan hukumannya juga konsisten," senyum Adri mengembang.
Kebutuhan akan kompetensi juga sejalan dengan diikutinya ISO 9001/2000 yang
diberlakukan di Yupharin sejak tahun 2002. "Memang berbeda saat kami mengikuti ISO
9001/1994 lalu. Di situ tidak mensyaratkan adanya kompetensi. Sedangkan di ISO
9001/2000, jelas mensyaratkan kompetensi," tambahnya. Dalam persyaratan, setiap
karyawan yang melakukan pekerjaan yang mempengaruhi produk haruslah kompeten.
Untuk mengetahui seseorang itu kompeten atau tidak, perusahaan harus
mengkualifikasikan kompetensi dan job competency (kompetensi jabatan) dan individual
competency (kompetensi individu). Kemudian kompetensi jabatan tersebut dicocokkan
dengan kompetensi individu/karyawan. "Dulu mungkin namanya kualifikasi pekerjaan (job
qualification), sekarang namanya kompetensi yang lebih luas cakupannya."
Untuk mengetahui kompetensi yang dibutuhkan perusahaan, pihaknya menggunakan
jasa konsultan, untuk menentukan kompetensi mana saja yang diperlukan. Misalnya
untuk managerial level di Yupharin, caranya, dengan melakukan focus group discusion
dari bawahan masing-masing manager serta wawancara dengan top managerment untuk
mengetahui bagaimana profil manager yang diharapkan. Sedangkan untuk mengetahui
kompetensi para manager-nya sendiri, dilakukan assessment untuk mengetahui sejauh
mana kompetensi yang dimilikinya. "Kami melakukan assessment untuk mencari
perbedaan antara manager yang biasa dengan yang unggul. Dengan demikian, kami bisa
tahu model kompetensi apa yang akan kita pakai," jelasnya kembali.
Jika terdapat gap atau kesenjangan yang signifikan, pihaknya melakukan evaluasi.
Setelah itu, baru menerapkan training dan coaching, untuk mengurangi gab tersebut. "Itu
kalau gap-nya negatif. Tapi kalau gapnya positif, kami lakukan dengan cara
pengembangan, misalnya ada cara proses promosi, perluasan pertanggungjawabkan
pekerjaan, sehingga nantinya orang ini tidak merasa frustasi, tapi malah diberikan
kesempatan yang lebih baik, sehingga bisa mengembangkan aktivitas dirinya dengan
baik," imbuhnya panjang lebar.
Di awal penerapan, tepatnya Juli 2002, Adri mengaku mendapat kendala dari karyawan
Yupharin, tidak hanya di level staf, tapi juga di level manager. Ada yang mengkaitkan
kompetensi dengan masa kerja. Sehingga ujung-ujungnya ada ketakutan mereka tidak
kompeten karena kompetensi yang tidak sesuai. "Cara mengatasi gap atau kesenjangan
kompetensi negatif ini tidak harus berakhir dengan PHK. Kan bisa cara lain seperti
mutasi, pengalihan tugas dan sebagainya," tandas Adri.
Meski baru menata kompetensi, ia mengaku optimis kompetensi bisa berjalan dengan
baik di perusahaan tersebut. "Karena kami baru set up, kami masih banyak
mengandalkan hard competencies seperti pendidikan, pengalaman, dan keahlian
mengingat penerapan kompetensi sebaiknya berawal dari rekrutmen dan seleksi
karyawan." Kemudian, pihaknya melihat apakah kompetensi individual ini cocok dengan
hasil kerjanya.
PT. Excelcomindo Pratama - Terapkan Training per Kompensasi
No. 08 - Tahun 2004
Kendati baru diterapkan pada tahun 2002 lalu, perusahaan telekomunikasi terbesar
ketiga di Indonesia ini menganggap pemetaan kompetensi terhadap setiap posisi jabatan
akan mengarahkan karyawannya menjadi lebih kompeten dalam bidang pekerjaannya.
Mengimplementasikan sebuah kompetensi dalam sebuah perusahaan bukanlah hal yang
mudah mengingat pengukurannya sangat rentan terhadap pengaruh subyektifitas.
Namun, inilah daya seni bagi sosok Joris de Fretes, Director Human Capital Development
PT Excelcomindo, yang berusaha menerapkan pengelolaan SDM berbasis kompetensi di
perusahaan yang sahamnya dimiliki PT. Telekomindo Primabhakti sebanyak 60 persen.
Menurut Joris, hasil kerja keras divisi HR dibantu pihak konsultan KPMG selama 6 bulan
memang belum terlihat nyata. "Karena setiap kompetensi yang telah ditetapkan untuk
setiap karyawan berdasarkan jabatannya selalu kami lakukan penilaian, tidak hanya oleh
atasan, tapi juga rekan kerja dan bawahan, maka proses ini tidak bisa dibilang sebentar,"
Joris menegaskan.
Dari sekitar 100 kompetensi yang dijabarkan pihak konsultan, pihak Excelcomindo
akhirnya hanya memilih 33 kompetensi, yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan ini.
"Waktu kita datang ke konsultan, mereka berikan sekitar 100 job competency, sedangkan
kami punya sekitar 400 posisi jabatan. Ke-400 ini kami pilah dulu menjadi 12 job family,
atau yang pekerjaannya hampir sama. Kami akan melihat kompetensi yang cocok dengan
job family-nya apa. Baru setelah itu kami pilah lagi menjadi job specific," tandas Joris.
Ke-33 kompetensi tersebut dibagi menjadi empat bagian, yaitu bisnis & organisasi,
fungsional, interpersonal dan intrapersonal. Bagian bisnis dan organisasi, bertujuan
bagaimana mengelola bisnis, fungsional, lebih kepada bidang masing-masing karyawan,
misalnya keuangan, marketing. Sementara interpersonal adalah kompetensi yang
berhubungan antara manusia, dan intrapersonal sifatnya lebih ke dalam diri karyawan,
yaitu bagaimana dia percaya diri dan sebagainya.
Bisnis organisasi, terdiri external (srategic) wareness, internal (organizational) awareness,
customer focus, entreen intrapreneurship, innovation orientation, quality orientation dan
financial awareness. Kedua, fungsional, terdiri negotiating, computer literacy, data
gathering analysis, problem solving, decision making, conceptual thinking, planning
organizing, leadership, people development, attention to detail, usage of functional
expertise dan usage of technical expertise.
Interpersonal, berisi tentang oral communication presentation, written
communication,persuasiveness influence, teamwork, interpersonal understanding dan
sociability networking. Sedangkan intrapersonal merupakan continuous learning, stress
tolerance, proactivity initiative, adaptability, tenacity result orientation, accountability,
integrity dan self confidence. "Setiap jabatan memakai maksimal delapan kompetensi,"
ujar Joris yang mengaku sedang mengusahakan agar delapan kompetensi itu bisa
diperkecil menjadi sekitar 5 kompetensi utama.
Selain delapan kompetensi untuk setiap posisi, Excelcomindo juga memiliki tiga
kompetensi utama (core competenccies) yang berlaku untuk semua posisi, yaitu
customer focus, quality orientation dan teamwork. "Core competency ini tidak peduli dia
ada di posisi mana, bidang apa, pokoknya harus bisa memiliki ketiga kompetensi ini,"
tukasnya.
Sebagai contoh, untuk posisi insinyur konstruksi, selain harus punya 3 core kompetensi
tersebut, dia harus punya kompetensi integrity, tenacity result orientation, attention to
detail, usage of technical expertise, untuk job family competencies. Sedangkan untuk job
specific competencies, terdiri dari planning organizing, data gathering analisys,
proactivity initiave dan problem solving.
Joris mengutarakan, diberlakukannya kompetensi lebih bertujuan agar pengembangan
SDM dapat lebih diarahkan sesuai dengan kompetensi yang dituntut oleh pekerjaan
karyawan, dan karyawan Excelcomindo bisa lebih fokus dan kompeten dalam
pekerjaannya sehingga pada akhirnya karyawan akan mendapatkan kepuasan kerja
karena dapat memberikan hasil yang dituntut oleh pekerjaannya. "Agar kompeten, maka
karyawan harus menguasai bidang pekerjaannya, baik pengetahuan teknis maupun
perilaku yang dituntut oleh pekerjaannya. Oleh karena itu diperlukan disain kompetensi
yang tepat dan benar," ujar Joris yang mengakui pihaknya tidak mengukur hal-hal yang
sifatnya attitude dan kepribadian seseorang.
Jika dalam pengukuran kompetensi karyawan masih terdapat gap yang besar, maka
dilakukan training sesuai dengan kebutuhan si karyawan sampai karyawan tersebut bisa
mengatasi kesenjangan kompetensi yang dialaminya.
Kendala terberat yang muncul dalam pemberlakukan kompetensi ini menurut Joris adalah
dalam mensosialisasikan kompetensi tersebut dan proses dalam melakukan penilaian
kompetensi karyawan. "Kami harus mensosialisasikan kepada seluruh karyawan yang ada
di Excelcomindo, mereka harus mengerti dan sadar akan pengetahuan dan perilaku yang
dituntut untuk mereka tampilkan agar sukses dalam melakukan pekerjaannya." Belum
lagi masalah penilaian terhadap kompetensi yang pada umumnya bersifat kualitatif. Hasil
penilaian harus diyakini obyektifitasnya agar tidak dilakukan kesalahan dalam melakukan
analysis maupun pengambilan keputusan berikutnya. "Kalau hanya atasan saja yang
menilai, kami kuatir pengaruh subyektifitasnya. Makanya kami sekarang menggunakan
tenaga bantuan untuk melakukan interview, dimana pada umumnya mereka adalah
psikolog" ujar Joris kembali.
Dari sisi perusahaan, diakuinya dengan menerapkan sistim kompetensi justru lebih efektif
dan efisien dalam melakukan pengembangan kemampuan karyawan mengingat training
yang dilakukan lebih fokus sesuai kebutuhan. "Kalau kami melakukan training untuk
banyak hal tapi kebutuhnya tidak sedemikian banyak, maka terbuang percuma dan
pemborosan," ungkap Joris sambil menambahkan bahwa total biaya membangun
kompetensi sekitar Rp.2,7 miliar, sedangkan untuk melakukan penilaian, tak kurang dari
Rp.1 miliar sejak awal diberlakukan kompetensi hingga tahun ini.
Jika tahun lalu, pihak Excelcomindo melakukan penilaian kompetensi hanya untuk level
manager dan supervisor, maka pada tahun ini mulai dilakukan pula untuk level staf.
Namun, bukan berarti penerapan kompetensi ini tidak mengundang resiko. Kalau tidak
tepat dalam menentukan arah bagi setiap karyawan, maka akan terjadi kesalahan yang
efeknya berimbas pula kepada biaya.
"Meski belum pernah terjadi, tapi kami berusaha mencoba menghindari hal ini. Misalnya
dengan cara mengurangi kompetensi dari delapan menjadi lima kompetensi. Soalnya
akan lebih mudah jika orang dibentuk dengan lebih sedikit tetapi tepat dari pada banyak
kompetensi untuk setiap jabatan staff. Biasanya makin tinggi jabatan makin banyak
kompetensi yang dituntut dari jabatan tersebut. Akhirnya kami harapkan dengan
pengembangan kompetensi ini, kalau dia ahli dan kompeten dengan pekerjaannya,
akhirnya dia akan mendapatkan kepuasan kerja," lontarnya mengakhiri perbincangan.
Empat Hukum Kepemimpinan Dalam Perusahaan
No. 08 - Tahun 2004
Melakukan perubahan adalah tugas utama seorang eksekutif. Tiap hari eksekutif berkutat
dengan segala hal yang berbau perubahan, dan ia berperan besar dalam setiap proses
perubahan. Tanpa dukungan dan dorongan pimpinan, niscaya perubahan bisa terlaksana
secara efektif dalam setiap perusahaan. Pakar manajemen dari Columbia University
Graduate School of Business Prof. Michael Feiner menyebutkan 4 hukum yang harus
dipahami oleh setiap pemimpin dalam melakukan perubahan:
1. The Law of the Burning Platform
Bila seorang pemimpin ingin meraih sukses dalam upaya perubahan�- dalam
departemen, seksi, divisi, di perusahaan anak, atau di perusahaan itu sendiri�- langkah
pertama yang harus Anda lakukan adalah meyakinkan orang lain bahwa perubahan tak
terelakkan. Bahwa tanpa perubahan, kondisi akan sangat menyakitkan. Platform bisnis
saat ini lebih baik dihancurkan kalau tidak ia akan menghadapi masa depan yang
semakin sulit. Kegagalan menyampaikan pesan ini kepada seluruh jajaran organisasi
akan menyebabkan perubahan sulit terlaksana secara baik.
Sebagai contoh, sering sekali pimpinan senior memutuskan untuk mengganti kultur dari
organisasi. Tingginya tingkat ke luar-masuk karyawan (turnover) menyadarkan mereka
bahwa kultur yang ada saat ini bisa terlalu longgar dan bisa pula karena terlalu kejam.
Bisa pula karena adanya masukan dari pelanggan yang menyebutkan mereka tidak
terlalu sensitif terhadap kebutuhan pelanggan. Namun, pada saat mengkomunikasikan
perubahan tersebut, pimpinan hanya menjelaskan kepada karyawan hal yang sangat
umum bahwa diperlukan perubahan kultur, tanpa mengaitkannya dengan keberlanjutan
nasib mereka ke depan.
Cara semacam ini tidak membuat orang terdorong untuk melakukan perubahan. Orang
harus melihat kebutuhan untuk perubahan kultur tersebut selama hal itu menjadi isu
sentral bagi perusahaan�- hal yang akan menentukan hidup-matinya perusahaan.
Pemimpin yang hebat akan menjelaskan bahwa tingkat ke luar-masuk karyawan yang
tinggi akan menyebabkan perusahaan sulit beroperasi secara efektif dan
mempertahankan pelanggan. Karena perubahan itu begitu vital bagi perusahaan, maka
karyawan secara otomatis akan ikut dalam perubahan tersebut.
2. The Law of Cascading Sponsorhip
Pemimpin tidak bisa mendelegasikan tanggung jawab untuk melakukan perubahan
kepada orang lain. Sering terjadi, pemimpin yang melihat perlunya perubahan yakin
bahwa sekali hal itu dipahami oleh staf atau bawahan, maka mereka akan bisa
melakukan perubahan tersebut. Kenyataannya, tidak bisa begitu.
Proses perubahan mensyaratkan keterlibatan dan dukungan dari banyak pihak. Pemimpin
harus bisa mendapatkan dukungan dari setiap level organisasi. Sekali pimpinan
mendapatkan komitmen dari sekelompok orang tersebut (disebut juga cascading
sponsorship), maka kelompok itu akan bekerja sama untuk mendapatkan komitmen
perubahan yang lebih luas. Pemimpin yang sukses paham betul bahwa mereka harus
selalu terlibat langsung dan terus menerus sejak dari awal hingga selesai.
3. The Law of Nuts and Bolts
Pada umumnya, pemimpin mengawali proses perubahan dengan sebuah pidato dan
pesan lainnya terhadap karyawan.
Pidato itu sendiri tidaklah cukup untuk membuat perubahan, tetapi ia bagian penting dari
alat perubahan. Akan tetapi, pidato itu hanya bagian kecil dari proses perubahan yang
efektif. Pemimpin yang berpidato tentang perlunya perubahan mengasumsikan bahwa
orang akan menerima penjelasan yang disampaikan. Hal itu tentu saja belum cukup
karena masih banyak yang harus dikerjakan. Jauh sebelum komunikasi pertama, seorang
pemimpin harus memulai proses dengan memahami apa saja yang perlu dilakukan agar
perubahan dalam organisasi berlangsung sukses. Ada beberapa pertanyaan berikut yang
perlu dijawab terlebih dulu:
Berapa lama perubahan dibutuhkan? Apa saja factor-faktor kunci selama proses
perubahan tersebut? Siapa saja pendukung kunci yang diperlukan untuk
memperkenalkan perubahan? Bagaimana caranya agar pendukung perubahan bisa
menang? Di mana saja resistensi bakal muncul? Apa peran yang dimainkan pendukung
kunci dalam membantu sponsor perubahan? Seberapa besar kebutuhan terhadap
perubahan bisa dikomunikasikan secara meyakinkan?
Bagaimana cara terbaik untuk mengkomunikasikan dampak positif dari perubahan
terhadap peran dan jabatan individual dalam organisasi? Masukan apa saja yang
diharapkan dari karyawan di setiap level? Apa peran saya sebagai pimpinan dalam setiap
tahapan proses perubahan? Bagaimana caranya agar bisa terus menumbuhkan perlunya
perubahan? Seorang pimpinan mesti menganalisis setiap langkah dalam proses, harus
menentukan secara tepat apa saja yang dibutuhkan untuk sukses, dan mesti pula
mengambil tanggung jawab demi kesuksesan implementasi perubahan.
4. The Law of Ownership
Salah satu alasan kenapa orang membenci perubahan adalah karena hal itu berpengaruh
terhadap mereka. Kendati mereka paham terhadap alasan perubahan, tetap saja mereka
merasa menjadi korban dari keputusan orang lain. Oleh sebab itu, orang harus diberi hak
untuk menyampaikan pendapat dalam setiap proses perubahan yang dilakukan. Bila
tidak, mereka tidak akan merasa memiliki hasil dari proses perubahan.
Selama proses perubahan berlangsung, setiap orang dalam organisasi seyogyanya diberi
kesempatan untuk menyatakan pendapat dan pertanyaan. Selama masukan mereka
masuk akal, pemimpin harus menyatukannya ke dalam proses perubahan. Hal ini
menjadikan mereka memiliki perubahan itu sendiri - aktif sebagai pelaku perubahan.
Pekerjaan Rumah di Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia di Indonesia-
Strategi Pengembangan Keahlian Nasional -
No. 08 - Tahun 2004
Laporan World Economic Forum melalui Global Competitiveness Report 2003-2004 telah
memberikan gambaran tentang daya saing bangsa Indonesia dalam kategori Business
Competitiveness Ranking yang berada pada nomor 60 dari total sebanyak 95 negara.
Daya saing Indonesia tetap berada jauh dibawah negara kawasan lainnya seperti
Singapura (8), Malaysia (26), Thailand (31), bahkan Vietnam (50). Indonesia hanya
"unggul" tipis dari Phillipina yang berada di posisi 64. Melalui laporan World Economic
Forum ini semakin menggambarkan ketatnya kompetisi dunia usaha di dalam maupun
luar negeri, sehingga tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Indonesia mendatang untuk
kembali fokus dan merumuskan kebijakan yang menyeluruh terhadap peningkatan daya
saing di dalam bidang penguasaan teknologi, reformasi birokrasi aparat-aparat negara,
perangkat hukum dan birokrasi berupa peningkatan pelayanan public sekaligus
komponen paling fundamental di dalamnya yaitu peningkatan daya saing manusia
Indonesia melalui pengembangan keahlian agar semakin maju dan berkembang.
Apabila mengacu kepada indicator-indikator yang dipakai oleh World Economic Forum
untuk mengukur Global Competitiveness isinya mengukur seberapa besar kekuatan dan
kelemahan ekonomi secara kompetitif sebuah negara dibandingkan negara lain - maka
akan terlihat bahwa factor tingginya penguasaan serta inovasi di bidang teknologi,
komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap institusi publik, intervensi
pemerintah dibidang makroekonomi ditambah dengan komponen-komponen relevan
lainnya seperti produktifitas, pengembangan tenaga kerja dan lingkungan hidup.
Kelemahan umum yang menjadi alasan rendahnya daya saing manusia dan pekerja
Indonesia sangat terlihat dari rendahnya penguasaan keahlian dasar seperti komunikasi
misalnya penguasaan bahasa asing, keahlian negosiasi, administrasi dst, keahlian yang
berhubungan antar pribadi (interpersonal) misalnya bagaimana membangun jaringan
(develop networking), tidak fokus dalam mengembangkan kepemimpinan diri
(leadership). Rendahnya kompetensi dan penguasaan keahlian-keahlian dasar seperti
diatas mudah kita temukan dalam aktifitas sehari-hari di lapangan. Mulai dari petugas
pelayanan publik pada tingkat pusat dan daerah, pekerja informal di multisektor, pekerja
formal di kalangan korporasi, bahkan pada level pekerja senior yang bekerja di
perusahaan multinasional asing. Lemahnya keahlian dasar tadi sudah terjadi sekian lama
tanpa ada intervensi yang menyeluruh dari pemerintah untuk melakukan perbaikan daya
saing manusia Indonesia.
Secara prinsip untuk dapat meningkatkan daya saing dibutuhkan manusia yang mampu
memberikan berkontribusi dan terlibat secara aktif terhadap keputusankeputusan yang
mempengaruhi dunia investasi atau pekerjaan itu sendiri. Melalui pengembangan
keahlian nasional diharapkan mampu membangun kemampuan manusia Indonesia untuk
terlibat dalam aktifitas pekerjaan mereka baik secara formal maupun informal. Pada
dunia kerja misalnya bentuk kontribusi terhadap produktifitas, bagaimana organisasi
dapat bekerja dengan lebih efektif dan efisien, penguasaan teknologi dst. Di dalam usaha
skala kecil keahlian berupa kewirausahaan, kemampuan dasar management, dst. Tujuan
dan prioritas pengembangan keahlian ini ditujukan untuk membuka peluangpeluang baru
bagi mereka yang masih bekerja maupun yang sedang tidak bekerja, lulusan sekolah
menengah atau perguruan tinggi yang baru memasuki dunia kerja dan kepada pekerja
yang memasuki masa pensiun, wanita dan pria yang memiliki keterbatasan yang sudah
terlalu lama tidak pernah mendapatkan perhatian dan tidak dimanfaatkan
kemampuannya.
Untuk dapat memperbaiki daya saing bangsa Indonesia diperlukan komitmen kuat dari
pemerintah sebagai regulator sekaligus lokomotif penggerak pengembangan kualitas
SDM. Sudah saatnya pemerintah melakukan pengukuran (assessment) yang realistis
tentang keahlian apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh negara.. Fokusnya kepada
keahlian dan kompetensi apa yang diperlukan untuk terus produktif, memiliki daya saing
internasional, fleksibilitas dan kemampuan mobilitas dari pekerja. Seperti pada banyak
negara berkembang yang berhasil meningkatkan daya saing manusianya diperlukan
sebuah inisitif yang dikelola oleh lembaga yang tugas utamanya adalah membuat dan
mengembangakan keahlian sumber daya manusia secara menyeluruh. Dalam konteks
Indonesia, penulis menyarankan pemerintah mendatang membentuk otoritas atau
lembaga khusus sebut saja lembaga tersebut adalah Lembaga Keahlian Nasional (LKN)
yang anggotanya berasal dari beragam perwakilan seperti asosiasi pengusaha,
universitas, asosiasi profesi, serikat pekerja, wakil pemerintah dan organisasi lain yang
mewakili komunitas dan pengembangan khusus. Tugas dan fungsi utama LKN adalah
pertama memberikan usulan kepada menteri tenaga kerja tentang bagaimana
mengembangkan keahlian SDM jangka pendek, menengah dan panjang di Indonesia.
Kedua melakukan kerja sama saling menguntungkan dengan department pendidikan
dalam penerapan strategi pengembangan keahlian berdasarkan skala prioritas dan
persetujuan bersama. Ketiga memberikan laporan secara periodik dan terbuka kepada
pihak terkait tentang kendalakendala yang dihadapi, perkembangan serta pencapaian
penerapan strategi pengembangan keahlian tersebut secara nasional kepada menteri
tenaga kerja.
Penerapan dari strategi pengembangan keahlian nasional baik secara kolektif maupun
individu harus menyatu dengan visi dan tujuan daya saing bangsa Indonesia di masa
mendatang. Strategi pengembangan keahlian nasional ini akan menjadi salah satu
komponen esensial dalam upaya peningkatan daya saing, kualitas dan kesejahteraan
manusia Indonesia secara menyeluruh. Faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan
utama bagi LKN dalam membuat strategi pengembangan keahlian nasional adalah
mengikut-sertakan program-program serta rencana jangka menengah-panjang seperti
perbaikan sekolah dan institusi pelatihan, pelatihan tingkat lanjutan disertai dengan
inisiatif riset dan kewirausahaan dalam pengembangan ekonomi rakyat.
Dalam waktu lima tahun mendatang, dengan adanya perubahan globalisasi yang terjadi
begitu cepat apabila Indonesia ingin meningkatkan daya saing manusianya minimal
dibandingkan dengan negara-negara kawasan ASEAN ada beberapa perubahan atau
kendala besar yang harus dihadapi adalah yaitu bagaimana merubah sekaligus
meningkatkan budaya pembelajaran yang semakin berkualitas (culture of high quality
lifelong learning), pengembangan dalam keahlian mengelola diri (self management),
peningkatan keahlian dalam berinovasi dan berpikir strategis (thinking).
Setiap target atau sukses indikator yang akan diusulkan oleh LKN melalui strategi
pengembangan keahlian nasional bukanlah sebuah sukses indikator pencapaian yang
hanya bersifat statis, karena indikator tadi harus cukup fleksibel untuk disesuaikan
dengan kebutuhan sektor-sektor baru dan sejalan dengan tujuan nasional yang dinamis.
Adalah sangat penting dalam mengembangkan keahlian nasional untuk mendapatkan
beragam masukan dari department tenaga kerja tingkat propinsi maupun forum-forum
pelatihan di tingkat wilayah, terutama di dalam membuat kerangka sukses indikator
dalam strategi pengembangan keahlian khusus. Tidak kalah penting dilaksanakannya
sosialisasi program melalui dialog dengan pengusaha, pekerja, penyedia jasa pendidikan
dan pelatihan serta perwakilan dari komunitas khusus untuk mendapatkan masukan
apakah usulan pengembangan yang diberikan realistis, dapat dikerjakan namun cukup
ambisius untuk menjamin terjadinya revolusi perubahan perilaku terhadap investasi yang
berkelanjutan di bidang keahlian SDM.
* Penulis adalah Pengamat dan Praktisi Sumber Daya Manusia
Sumber: Majalah Human Capital No. 08 | Tahun 2004
Kompetensi Resep Ajaib
No. 08 - Tahun 2004
Profesionalisme identik dengan kompetensi. Wajar bila kompetensi kini menjadi resep
ajaib bagi organisasi dalam meningkatkan kinerjanya. Berbagai model kompetensi dibuat,
tetapi yang lebih penting adalah implementasinya. Bagaimana kiat agar organisasi tidak
terjebak pada perangkap fantasi kompetensi? Tulisan pertama dari rangkaian tulisan
tentang kompetensi yang akan dimuat Human Capital dalam edisi-edisi berikutnya.
"Wah, Anda tidak kompeten di bidang ini," begitu sering kita mendengar penilaian
seorang atasan kepada bawahannya. Di lain kesempatan, CEO sebuah perusahaan besar
menegaskan bahwa perusahaannya menerapkan manajemen HR (Human Resources)
berbasis kompetensi.
Kompeten dan kompetensi adalah dua kata yang semakin sering diucapkan dalam
lingkup bisnis maupun organisasi pemerintah belakangan ini. Saking seringnya, makna
hakiki kedua kata itu pun cenderung disederhanakan. Kompeten dan kompetensi,
misalnya, dianggap sama dengan keahlian atau kemampuan. Orang yang ahli di bidang
teknik bangunan, umpamanya, dianggap kompeten di bidang teknik bangunan. Padahal,
kompetensi seorang ahli teknik bangunan yang berprofesi sebagai dosen akan berbeda
dengan ahli teknik bangunan yang berprofesi sebagai Manajer Proyek.
Di sini terlihat, kompetensi individu tidak bisa berdiri sendiri hanya sebatas kebisaan atau
kemampuan seseorang, tetapi ia terkait erat dengan tugas dan profesi yang dijalankan
orang itu dalam pekerjaan. Selain itu, kompetensi individu tak bisa dilepaskan dari
kompetensi inti (core competence) perusahaan. Seorang yang sejatinya kompeten di
bidangnya, mungkin dianggap tidak kompeten bila bekerja di perusahaan dengan
kompetensi inti berbeda.
Kompetensi lagi naik daun? Ini adalah hal yang patut disyukuri. Kompetisi bisnis yang
semakin keras�- baik dalam lingkup lokal maupun regional dan global�- mengharuskan
perusahaan untuk selalu ada di depan yang lain. Hal itu hanya mungkin diraih dengan
dukungan sumberdaya manusia berkompetensi tinggi. Perusahaan mengharapkan para
karyawannya untuk memiliki kinerja lebih tinggi, lebih responsif terhadap pelanggan,
lebih berorientasi pada proses, lebih terlibat dalam kepemimpinan, dan lebih
bertanggung jawab dalam menciptakan pengetahuan yang memberi nilai tambah bagi
kemampuan perusahaan.
Untuk bisa mewujudkan harapan perusahaan itu, professional human resources (HR)
harus bisa membantu organisasi untuk mengidentifikasi dan menentukan kompetensi
karyawan yang diperlukan. Sudah menjadi strategi bagi perusahaan terkemuka untuk
menerapkan dan mengintegrasikan kompetensi dalam seluruh bidang HR, termasuk
rekrutmen, seleksi, evaluasi, pengembangan, penilaian, dan pemberian imbalan.
"Perusahaan perlu untuk memikirkan secara serius proses seleksi dan penentuan
kompetensi. Mereka harus melakukan introspeksi sejenak," tulis Steven Moulton, SPHR.,
dalam majalah SHRM. Mengaitkan kompetensi dengan tujuan dan nilai-nilai perusahaan
akan sangat positif mempengaruhi arah dan fondasi perusahaan.
Sejatinya, kompetensi bisa dihubungan dengan seluruh aspek dari bisnis. Ia bisa
dihubungkan dengan misi/visi, objektif, dan nilai-nilai perusahaan. Sebaliknya,
kompetensi bisa dihubungkan pula dengan aspek praktik/operasional perusahaan yang
akhirnya berkaitan dengan nilai-nilai perusahaan. Untuk itu, perusahaan harus
memberikan dukungan konsisten untuk menginstitusionalisasikan kompetensi ke seluruh
bagian organisasi.
KOMPETENSI, APA ITU?
Lyle M. Spencer, Jr. dan Signe M. Spencer menulis dalam bukunya Competence at Work,
Models for Superior Performance (1993), kompetensi adalah karakteristik dasar dari
seseorang yang biasanya terkait dengan kinerja efektif menurut criteria tertentu
dan/atau kinerja superior dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Selanjutnya, Lyle dan
Signe menjelaskan, karakteristik dasar tersebut mengindikasikan cara berperilaku atau
berpikir, berlaku dalam berbagai situasi dan bertahan hingga batas waktu yang lama.
Mereka membagi karakteristik kompetensi menjadi 5 tipe, yaitu motives, traits, self-
concept, knowledge, dan skill (lihat boks: Lima Tipe Karakteristik Kompetensi). Kenneth H.
Pritchard, CCP., mendefinisikan kompetensi sebagai kombinasi pengetahuan (knowledge),
keahlian (skill), kebisaan (abilities), karakteristik personal (personal characteristics) dan
faktor-faktor individual lainnya yang membedakan kinerja superior dari kinerja rata-rata
pada situasi spesifik tertentu. Ia menggaris bawahi kompetensi terkait erat dengan
pekerjaan dan pekerja.
Definisi kompetensi yang lebih sederhana�- dan mungkin lebih mudah dicerna�-
diuraikan oleh Steven Moulton, SPHR, dalam tulisannya di SHRM berjudul "Competency
Development, Integration and Application". Bagi organisasi, katanya, kompetensi bisa
didefinisikan sebagai kemampuan teknikal yang membedakan perusahaan dengan
pesaing. Sementara bagi individu, kompetensi bisa didefinisikan sebagai kombinasi
pengetahuan , keahlian, dan kebisaan yang mempengaruhi kinerja kerjanya. Ia mengaku,
definisi kompetensi bisa sangat beragam dan berbeda dari satu orang ke orang lainnya.
Drs. Budiman Sanusi Mpsi, Direktur Psikologi dan Pengembangan Sumberdaya Manusia
(PPSDM), mengatakan kompetensi adalah keseluruhan pengetahuan, keterampilan,
perilaku, dan sikap yang ditampilkan oleh orang-orang yang sukses/berhasil dalam
mengerjakan suatu tugas dengan prestasi kerja yang optimal.
Dengan demikian, meski kalimatnya agak berbeda-beda, komponen kompetensi terdiri
dari pengetahuan, keahlian, kebisaan, dan karakteristik personal. Seluruh komponen itu
bersatu pada diri seseorang saat ia menyelesaikan sebuah pekerjaan/tugas ataupun
menghadapi situasi apa saja. Artinya, orang yang punya pengetahuan saja, belum bisa
dikatakan memiliki kompetensi, kalau ia tidak memiliki keahlian untuk mewujudkan
pengetahuan itu.
Sebagai praktisi, Setia Wijaya, HRD Director Agung Podomoro Group�- kelompok usaha
properti terkemuka�- mencoba menempatkan kompetensi sebagai factor yang
menentukan seseorang sukses dalam pekerjaan. Ia menilai, kompetensi terdiri dari 4
komponen, yaitu kemauan, kemampuan, kesempatan, dan kesehatan. "Empat hal inilah
yang membuat orang sukses," ujarnya. Orang tidak akan sukses bila hanya mempunyai
kemauan dan kemampuan, tapi tidak memiliki kesempatan dan kesehatan. "Di grup
kami, jika ingin sukses, setiap orang harus mempraktikkan excellent attitude,"
tambahnya.
DIMULAI DARI PERUSAHAAN
Sebelum menentukan kompetensi yang diharapkan perusahaan terhadap para karyawan,
hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan kompetensi perusahaan terlebih
dahulu. Kompetensi tersebut sebaiknya tidak bersifat umum, melainkan sudah dalam
bentuk kompetensi inti (core competencies). Setiap perusahaan yang mengetahui secara
persis kompetensi intinya bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan
strategik. Terlebih pula, bila perusahaan memahami benar keberagaman kompetensi
organisasi yang diperlukan untuk menjalankan misinya. Gabungan kompetensi inti dan
organisasi ini akan melahirkan kultur apa dan bagaimana organisasi berharap bisa
beroperasi.
"Kompetensi inti merupakan karakteristik utama dari keberhasilan organisasi," ungkap
Steven Moulton. Kompetensi inti adalah keahlian teknikal yang membedakan organisasi
dengan para pesaingnya. Kompetensi inti itu mencakup teknologi, strategi, metodologi
atau proses yang memberikan keunggulan bersaing bagi sebuah organisasi. Sumberdaya
organisasi yang bisa dijual macam uang, bangunan atau peralatan tidak termasuk di
dalamnya.
Gary Hamel dan Prahalad mendefinisikan kompetensi inti sebagai�proses pembelajaran
kolektif dalam organisasi, khususnya bagaimana mengkoordinasikan beragam keahlian
produksi dan mengintegrasikan beragam jenis teknologi. Oleh sebab itu, upaya
memahami dan mengaplikasikan kompetensi organisasi sangatlah berbeda dengan
aplikasi tradisional terhadap sumberdaya fisik. Kompetensi organisasi tidak hanya harus
disimpan dan dirawat, melainkan juga disebarluaskan dan ditanamkan dalam organisasi.
Contoh dari kompetensi inti tersebut adalah sebagai berikut: Canon, menggunakan
mekanik presisi, optik halus dan mikroelektronik untuk memproduksi aneka produk
seperti kamera, mesin fotokopi, dan peralatan litografi semikonduktor; 3M, mengolah
aneka material menjadi aneka produk macam Post-it notes, tape magnetik, film fotografi,
coated abrasives, dan sebagainya.
Kompetensi organisasi mencerminkan daftar kompetensi yang menguraikan bagaimana
organisasi mengharapkan karyawan menyelesaikan pekerjaannya. Kombinasi misi, visi,
nilai, kultur, dan kompetensi inti menentukan cara bekerja dalam organisasi. Setiap
karyawan harus mendemonstrasikan hal tersebut dalam berbagai aspek pekerjaan.
Lajimnya, setiap perusahaan menyusun banyak kompetensi organisasi - idealnya 15-25
kompetensi - dalam upaya menjelaskan secara umum bagaimana perusahaan berharap
karyawannya bertindak. Kompetensi yang umum dikemukakan adalah sebagai berikut:
pengambilan keputusan, pengambilan risiko, pengembangan relasi, pemecahan masalah,
analisis, perhatian terhadap detil, inovasi, kelenturan, layanan pelanggan, perspektif
strategik, kerjasama tim, dan kepemimpinan.
Tersusunnya kompetensi organisasi selanjutnya ditindaklanjuti dengan penentuan
kompetensi di tingkat individu. Di sini kompetensi penting untuk menjelaskan cakupan
jabatan/pekerjaan. Fokusnya terletak pada kompetensi teknikal dan kinerja, dua hal yang
sangat vital untuk sukses.
Kebanyakan analisis jabatan (job analysis) fokus terhadap persyaratan kompetensi
teknikal. Akibatnya, perusahaan yang mengutamakan promosi berdasarkan kompetensi
teknikal sering tidak peduli terhadap orang yang lemah kompetensi kinerjanya. Untuk
menghindari hal ini, Steven Moulton mengingatkan perusahaan untuk
mempertimbangkan pendekatan berimbang dalam mengevaluasi rekrutmen baru,
promosi, kinerja, dan rencana suksesi - tergantung pada posisinya. Diharapkan setiap
individu bisa mengaitkan apa dan bagaimana mereka bekerja dengan objektif
perusahaan.
Lantas, apa beda kompetensi teknikal dan kompetensi kinerja? Kompetensi teknikal
adalah pengetahuan, keahlian, dan kebiasaan tertentu yang diterapkan dalam
menyelesaikan sebuah tugas, pekerjaan atau fungsi tertentu. Fokusnya adalah pada apa
yang dia kerjakan. Harus dibedakan antara kompetensi teknikal dengan tujuan
operasional. Tujuan operasional spesifik pada proyek atau output dan keahlian teknikal
yang diperlukan untuk mendapatkan output itu. Kompetensi teknikal contohnya
menyelesaikan laporan keuangan, mendesain produk tertentu, mewawancarai pelamar
kerja, mengoperasikan komputer, dan seterusnya.
Kompetensi kinerja individu adalah kompetensi organisasi yang diterapkan kepada setiap
individu. Karyawan akan berjuang menerjemahkannya ke dalam aplikasi pekerjaan
tertentu. Perjuangan bagi setiap karyawan ini diperlukan karena keahlian ini diterapkan
secara berbeda dan seringkali tidak konsisten. Esensi kompetensi kinerja adalah
bagaimana pekerjaan dikerjakan. Sebagai contoh, akuntan membutuhkan kompetensi
kinerja terkait pada aspek detil dan pemecahan masalah secara analitikal. Sedangkan,
untuk orang-orang HR, berlaku hal yang lebih fleksibel -mungkin karena lebih banyak
berurusan dengan aspek kualitatif.
FANTASI KOMPETENSI
Tak pelak lagi, kompetensi menjadi salah satu bagian yang tersulit dalam pekerjaan
orang-orang HR saat ini. Begitu banyaknya jabatan dan jenis tugas dalam organisasi
menjadikan upaya menyusun kompetensi dasar untuk setiap orang bukanlah pekerjaan
mudah. Pekerjaan ini mungkin lebih sulit dibandingkan dengan penyusunan kompetensi
inti dan organisasi di mana para eksekutif dan pemilik masih bisa membantu dengan
menjabarkan visi, misi, tujuan, dan nilai-nilai organisasi yang ingin diwujudkan. Sekali
kompetensi individu itu ditetapkan, maka pekerjaan yang tak kalah repot berikutnya
adalah melakukan evaluasi kompetensi terhadap seluruh orang dalam organisasi.
Berlanjut kemudian dengan upaya mengembangkan kompetensi bila terdapat gap antara
kompetensi yang ada dengan kompetensi yang diharapkan perusahaan.
Berdasarkan studi menggunakan Behavioral Event Interview (BEI) selama 20 tahun, Lyle
Spencer dan Signe Spencer telah berhasil menyusun 286 model kompetensi. Masing-
masing model terdiri dari 50-150 indikator perilaku. Bisa dibayangkan, betapa banyaknya
indikator perilaku untuk keseluruhan model kompetensi tersebut. Saking banyaknya,
mereka membuatnya menjadi sebuah kamus kompetensi.
Model kompetensi itu termasuk teknikal/profesional, layanan SDM, pengusaha, penjualan/
pemasaran/perdagangan, dan pekerjaan manajerial dalam berbagai organisasi
(perusahaan, pemerintahan, militer, pendidikan, dan sebagainya). Secara rinci, Spencer
kemudian mengelompokkan kompetensi tersebut dalam 6 bagian, yang disebutnya
dengan istilah cluster (achievement & action, helping & human service, the impact &
influence cluster, managerial, cognitive, personal effectiveness). Selengkapnya soal ini
bisa dibaca dalam tulisan lain pada Fokus kali ini.
Pentingnya kompetensi menyebabkan perusahaan terkemuka dunia menerapkan
manajemen HR berbasis kompetensi yang mencerminkan kerangka terpadu dalam
manajemen human capital. Menurut Kenneth H. Pritchard, fungsi utama manajemen HR
yang bisa menggunakan pendekatan berbasis kompetensi adalah selection & placement,
training & development, dan performance management & compensation. "Pendekatan
menyeluruh mencakup ketiga bidang tersebut adalah yang terbaik," ungkapnya.
Implementasi manajemen HR berbasis kompetensi bisa saja dilakukan secara bertahap
sepanjang organisasi telah menyusun agenda yang jelas untuk mewujudkan sistem
kompetensi dalam manajemen HR. Organisasi harus memiliki kecepatan, fleksibilitas,
ekonomi, dan efektivitas untuk mendapatkan dan mempertahakan keunggulan
kompetitif. Dengan pemilihan dan penyusunan model kompetensi secara lengkap,
Kenneth mengatakan, setiap organisasi akan bisa menyusun, menyelaraskan, dan menilai
kompetensi untuk:
• Mengidentifikasi persyaratan kompetensi dan memiliki kompetensi berbasis
individu, tim, unit, dan sebagainya.
• Menghilangkan setiap gap kompetensi melalui seleksi efektif dan/atau training
yang tepat
• Menghargai dan mendorong secara jelas kinerja melalui sistem kompensasi
Di era di mana manajemen HR harus diselaraskan dengan strategi bisnis, maka tuntutan
terhadap manajemen HR berbasis kompetensi juga semakin tinggi. Kompetensi
menjadikan integrasi manajemen HR dengan strategi bisnis lebih fokus sehingga
memberi nilai tambah kepada keseluruhan organisasi. Tambahan lagi, manajemen HR
berbasis kompetensi mendorong pemberdayaan individu maupun tim sehingga proses
manajemen HR yang kompleks bisa dikurangi.
Perlu dicatat bahwa kompetensi membantu terwujudnya kinerja superior, namun tidak
ada jaminan untuk itu. Kompetensi dimiliki oleh pekerja. Mereka menerapkannya dalam
lingkungan kerja (proses, sistem, dan struktur) untuk menghasilkan output sebagai
produk dari kinerja. Faktor lingkungan internal dan eksternal sangat berpengaruh dalam
menentukan kinerja itu.
"Kompetensi itu hanya enabler�- tidak kurang, dan tidak lebih. Kompetensi juga bukan
untuk mengatasi masalah karyawan, disfungsi organisasi, perubahan teknologi yang
cepat, atau berbagai isu bisnis lainnya," ujar Kenneth mengingatkan. Kompetensi adalah
pendekatan teknikal dalam bekerja yang bila diterapkan secara efektif akan membantu
mewujudkan kinerja optimal.
Tidak ada yang menjamin bahwa kompetensi adalah resep ajaib bagi kesuksesan
organisasi. Aplikasi kompetensi akan berhasil bila dikembangkan dan diimplementasikan
secara konsisten dan tanpa kenal lelah ditindak lanjuti. Ia harus berjalan bersama-sama
dalam organisasi sehingga dampaknya bersifat sistemik.
Drs. Budiman Sanusi, Mpsi. Mengembalikan keberhasilan manajemen HR berbasis
kompetensi kepada kebijakan organisasi, dengan mengajukan rangkaian pertanyaan
berikut: Apakah tenaga kerja dianggap aset atau hanya modal kerja? Apakah tujuan
organisasi sejalan dengan tujuan individu-individunya? Apakah kompetensi organisasi
dan kompetensi individu mendapat prioritas atau perhatian yang tinggi dari pimpinan?
Apakah ada program pengembangan kompetensi dan disediakan dana/sumberdaya
memadai untuk implementasinya?
Kalau jawaban dari seluruh pertanyaan di atas positif mendukung, maka jalan menuju
sukses dalam manajemen HR berbasis kompetensi terbuka lebar.
Kompetensi Mendasari Semua Aspek Dalam Perusahaan
No. 08 - Tahun 2004
Kompetensi, satu kata yang kini seringkali diucapkan, terutama oleh orang-orang yang
bergerak di bidang sumber daya manusia (SDM). Kata ini juga sering dituliskan dalam
iklan lowongan yang menyatakan sebuah perusahaan mencari atau membutuhkan
karyawan yang memiliki kompetensi yang tinggi. Namun apakah sebenarnya yang
dimaksud dengan kompetensi?
Psikologi dan Pengembangan Sumber daya Manusia (PPSDM) adalah lembaga konsultan
yang bergerak di bidang psikologi dan pengembangan SDM, didirikan oleh para psikolog
dari Universitas Indonesia pada tahun 1998. Lembaga ini kini lebih banyak melakukan
riset untuk membantu perusahaan mengenai budaya perusahaan dan sistem
perusahaan.
Berkaitan dengan kompetensi, menurut Drs. Budiman Sanusi, M.Psi., Direktur PPSDM,
manajemen SDM kini mulai beralih dari sistem manajemen konvensional ke sistem
manajemen berbasis kompetensi. Yang dimaksud dengan sistem manajemen SDM
konvensional adalah sistem manajemen yang pendekatannya lebih administratif. Menurut
Budiman, orang SDM konvensional tidak lebih hanya sebagai juru catat, baik pada
administrasi kepersonaliaan hingga administrasi rekrutmen, dimana hanya mencatat dan
menyediakan orang yang dibutuhkan di suatu divisi. Penilaian yang dilakukan juga hanya
berdasar pada fakta masa lalu. "Peran SDM mulai dari pencatatan, pengadaan, seleksi
hingga penempatan selalu berdiri sendiri," ujar Budiman. "Mereka tidak pernah dilibatkan
dalam perencanaan SDM baik jangka panjang maupun jangka pendek," tambahnya lagi.
Sedangkan yang disebutmanajemen SDM berbasis kompetensi tidak� langsung
menghilangkan fungsi-fungsi manajemen konvensional. Menurut Budiman, perbedaannya
adalah pada penilaian yang didasarkan pada data riset faktual dan juga melakukan fungsi
prediksi.
Ilmu kompetensi, menurut Budiman juga tergolong ilmu baru. Banyak pihak yang sudah
sering menggunakan kata kompetensi tetapi masih belum mengerti dengan pasti apa
yang dimaksud dengan kompetensi. "Ada perusahaan yang mengatakan butuh orang
yang memiliki kompetensi, namun setelah dijabarkan, kompetensi yang dimaksud tidak
lebih dari pengetahuan saja," tegasnya. Versi Budiman, kompetensi adalah seluruh ciri-
ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhasil dalam suatu pekerjaan. Ciri-ciri tersebut
didapat bukan tanpa alasan, namun dengan melakukan riset. "Misalnya ada seorang
marketing yang sukses, kemudian diteliti keterampilan apa saja yang dimiliki orang
tersebut sehingga dapat menjadi seorang marketing yang sukses," jelas Budiman.
Hasilnya kemudian dipublikasikan dan dipakai sebagai patokan untuk mengembangkan
tenaga kerja. Ciri perusahaan yang sudah berbasis kompetensi adalah ia sudah memiliki
model kompetensi untuk semua jabatan yang ada, yang berafiliasi pada hasil riset
kompetensi yang sudah ada atau ia melakukan riset sendiri. "Setelah itu perusahaan
tersebut akan membuat kamus kompetensi seperti yang sudah dimiliki oleh Telkom,
Unilever," papar Budiman.
"Banyak hal dari manusia yang mempengaruhi kompetensinya antara lain bakat,
motivasi, sikap, sistem nilai, cara pandang, pengetahuan, keterampilan juga lingkungan,"
ujar Budiman. "Namun tidak semua hal tersebut dapat terlihat dari perilaku, ada juga
yang masih terpendam di bawah sadar manusia, ini pun harus dikembangkan menjadi
kompetensi," tegasnya lagi. Dan untuk mengukur kompetensi sendiri itu banyak
macamnya. Bisa melalui referensi dari professional, assessment center, psikotest,
wawancara, kuestioner perilaku dan biodata, namun untuk memperoleh hasil yang
maksimal hendaknya menggunakan semua alat tersebut.
Industri, menurut Budiman, intinya adalah duplikasi atau pengulangan dari yang baik,
oleh karena itu juga dibutuhkan contoh pekerja yang baik. "Untuk mencari contoh pekerja
yang baik dibutuhkan science atau ilmu, itulah awal munculnya kompetensi," tuturnya.
"Jadi kompetensi diawali dengan riset tentang orang-orang atau pekerja-pekerja sukses,
dan kalau risetnya sudah jelas, semua orang bisa mencontoh," tegasnya lagi. Bisa
dikatakan bahwa saat ini seorang karyawan dikelompokkan, dibayar, dikembangkan
melalui pelatihan sesuai dengan kompetensinya. Jadi kompetensi itu yang mendasari
keberhasilan mulai dari seorang karyawan hingga keberhasilan perusahaan.
Cluster Kompetensi Menurut Spencer
No. 08 - Tahun 2004
Seperti telah disinggung di atas, Lyle dan Signe Spencer mencoba mengelompokkan
kompetensi menurut pekerjaan ataupun profesi. Setidaknya ada 5 kelompok (cluster)
kompetensi. Berikut adalah kupasan ringkas tentang masing-masing kelompok tersebut.
HELPING AND HUMAN SERVICE.
Cluster ini melibatkan kegiatan yang harus memahami kebutuhan orang lain, yang terdiri
dari pemahaman interpersonal (interpersonal understanding/IU) dan orientasi layanan
pelanggan (customer service orientation/CSO).
IU adalah kemampuan untuk mendengarkan secara akurat dan memahami yang apa
yang tidak terucapkan dari orang lain. Atau mengekspresikan pikiran, perasaan, dan
perhatian terhadap orang lain. Orang lain di sini bisa individu ataupun kompulan individu
yang memiliki perasaan dan perhatian yang hampir sama. IU sering juga disebut dengan
empati, mendengarkan, kepekaan terhadap orang lain, perhatian terhadap perasaan
orang lain, dan pemahaman diagnostik.
CSO mencerminkan keinginan untuk membantu atau melayani orang lain, untuk
memenuhi kebutuhannya. Fokus kompetensi ini adalah pada upaya memenuhi kebutuhan
pelanggan atau klien. Pelanggan di sini bisa berarti pelanggan sebenarnya atau pihak lain
dalam organisasi. CSO sering disebut: berorientasi pada layanan dan bantuan, fokus pada
kebutuhan klien, bermitra dengan klien, fokus pada pengguna akhir, perhatian terhadap
kepuasan pasien.
THE IMPACT AND INFLUENCE (IMP)
Cluster ini terdiri dari IMP sendiri, organizational awareness (OA), dan relationship
building (RB).
IMP mencerminkan niat untuk mendekati, meyakinkan, mempengaruhi, atau membuat
terkesan orang lain, agar mereka mendukung agenda tertentu atau mereka menjadi
terpengaruh.
OA yaitu kemampuan individual untuk memahami hubungan kekuasaan dalam organisasi
atau di organisasi lain terkait (pelanggan, pemasok, dan sebagainya). Juga dalam level
yang lebih tinggi, posisi perusahaan dalam dunia yang lebih luas. RB adalah pekerjaan
untuk membangun atau memelihara pertemanan, hubungan yang hangat atau jaringan
kontak dengan orang, yang suatu kali, akan bermanfaat untuk mencapai tujuan terkait
pada pekerjaan.
Cluster ini mencakup kompetensi developing others (DEV), directiveness: assertiveness
and use of positional power (DIR), teamwork and cooperation (TW), team leadership (TL).
DEV adalah versi khusus dari impact and influence, berupa kemauan untuk
mengembangkan orang lain. Esensi dari kompetensi ini terletak pada kemauan serius
untuk mengembangkan orang lain dan dampaknya ketimbang sebuah peran formal. Bisa
dengan mengirim orang ke program training secara rutin untuk memenuhi kebutuhan
pekerjaan dan perusahaan. Cara lain adalah dengan bekerja untuk mengembangkan para
kolega, klien, bahkan atasan.
DIR mencerminkan kemauan untuk membuat orang lain selaras dengan keinginannya. Di
sini sang pemimpin menceritakan apa yang harus dilakukan.
TW berarti kemauan sungguh-sungguh untuk bekerja secara kooperatif dengan pihak
lain, menjadi bagian sebuah tim, bekerja bersama sehingga menjadi lebih kompetitif.
TL adalah kemauan untuk berperan sebagai pemimpin tim atau kelompok lain. Jadi
berkaitan dengan keinginan untuk memimpin orang lain. TL lajimnya terlihat dalam posisi
otoritas formal.
COGNITIVE
Cluster ini meliputi kompetensi analytical thinking (AT), conceptual thinking (CT),
technical/professional/managerial expertise (EXP)
AT adalah kemampuan memahami situasi dengan merincinya menjadi bagian-bagian
kecil, atau melihat implikasi sebuah situasi secara rinci. Pada intinya, kompetensi ini
memungkinkan seseorang berpikir secara analitis atau sistematis terhadap sesuatu yang
kompleks.
CT adalah memahami sebuah situasi atau masalah dengan menempatkan setiap bagian
menjadi satu kesatuan untuk mendapatkan gambar yang lebih besar. Termasuk
kemampuan mengidentifikasi pola atau hubungan antar situasi yang tidak secara jelas
terkait; mengidentifikasi isu mendasar atau kunci dalam situasi yang kompleks. CT
bersifat kreatif, konsepsional, atau induktif.
EXP termasuk pengetahuan terkait pada pekerjaan (bisa teknikal, profesional, atau
manajerial), dan juga motivasi untuk memperluas, memanfaatkan, dan mendistribusikan
pengetahuan tersebut.
PERSONAL EFFECTIVENESS
Kompetensi ini mencerminkan sejumlah aspek kematangan individual terkait dengan
orang lain dan pekerjaan. Kompetensi ini mengontrol efektivitas kompetensi lainnya
terkait dengan lingkungan, terdiri dari self-control (SCT), self-confidence (SCF), flexiblity
(FLX), dan organizational commitment (OC).
SCT adalah kemampuan untuk menjaga emosi dan meredam aksi negatif ketika sedang
marah, tatkala berhadapan dengan oposisi atau tindakan kasar dari orang lain, atau saat
bekerja dalam kondisi stres. SCT lebih sering ditemukan pada jabatan manajerial level
bawah dan posisi kontributor individual dengan tingkat stres tinggi. SCT jarang disebut-
sebut untuk level manajer ke atas.
SCF adalah keyakinan terhadap kemampuan diri menyelesaikan sebuah tugas. SCF
adalah sebuah komponen dari kebanyakan model dari orang-orang berkinerja superior.
FLX merupakan kemampuan untuk beradaptasi dan bekerja secara efektif dalam
berbagai ragam situasi, individual, atau kelompok. Kemampuan untuk memahami dan
menghargai perbedaan dan pandangan berlawanan terhadap sebuah isu. Untuk
mengadaptasi sebuah pendekatan sejalan dengan perubahan situasi. FLX memungkinkan
superior performer untuk beradaptasi dengan keahlian lain dan kompetensi yang
dibutuhkan situasi.
OC adalah kemampuan dan kemauan individu untuk menyelaraskan perilaku dengan
kebutuhan, prioritas, dan tujuan organisasi. Untuk bertindak mempromosikan tujuan
organisasi atau memenuhi kebutuhan organisasi. OC sering muncul pada posisi staf.
BHP Billiton Indonesia
No. 08 - Tahun 2004
Perusahaan pertambangan batubara terbesar di dunia yang berpusat di Inggris dan
Australia ini mulai menerapkan core competency mereka misalnya integritas dan ethics
and value sejak tahun 2000. Yaitu, dengan mewajibkan karyawannya menandatangani
perjanjian atau mereka sebut moral agreement yang berkaitan dengan kedua kompetensi
utama tersebut.
BHP Billiton hingga kini memiliki sekitar 26 kompetensi bagi para proffesional nya yang
terdiri dari beberapa fungsi untuk setiap jabatan. Sedangkan core competency ada
sekitar 6 - 8 kompetensi yang dipakai setiap karyawan. "Misalnya untuk posisi HR, kami
punya kompetensi seperti ethics & value, hiring dan staffing, interpersonal relationship,"
ujar Muliawan Margadana, HR Manager BHP Billiton Indonesia.
Menurut Muliawan, visi dan misi BHP Billiton yang abstrak itu perlu diterjemahkan dalam
kehidupan sehari-hari di seluruh dunia. "Namun untuk BHP Bilition Indonesia, kami
memilih core competency integritas dan kepercayaan karena disesuaikan dengan kondisi
di Indonesia. Oleh karenanya setiap karyawan harus menandatangani perjanjian atau
moral agreement yang isinya berkaitan dengan kompetensi integritas dan kepercayaan
tersebut," papar Muliawan yang juga menjadi Tim Perumus Sistem Kompetensi Profesi
Bidang Geologi dan Pertambangan.
Dalam mengidentifikasi kompetensi yang diberlakukan di BHP Billiton khususnya BHP
Billiton Indonesia, disesuaikan dengan visi BHP Billiton Indonesia yaitu keselamatan kerja
dan lingkungan, keberanian memelopori perubahan, saling menghargai satu sama lain
dan menciptakan keuntungan melalui penemuan, pengembangan dan pengelolaan
sumber daya alam dan memberikan solusi inovatif yang berorientasi pada pelanggan dan
pasar . Makanya tak heran jika BHP Billiton Indonesia memiliki beberapa kompetensi
penting berkaitan dengan visi dan misi tersebut yaitu action oriented, planning and
organizing dan integrity.
"Maksudnya, perusahaan tidak hanya sekedar cari untung saja, tapi juga bagaimana agar
kami tidak merusak alam, tetap menjaga kelestarian. Inilah yang membuat kami
mengambil kompetensi integritas dan kepercayaan," lanjutnya kembali. Dalam
membangun kompetensi yang ada di BHP Billiton Indonesia, Muliawan memaparkan
bahwa pihaknya dibantu konsultan dalam mendifinisikan kompetensi yang jumlahnya
sampai saat ini sekitar 74 kompetensi. Pihak konsultan juga membantu bagaimana cara
melakukan pengukuran kompetensi karyawan, sementara proses pengukurannya
dilakukan oleh BHP Biliton sendiri.
Untuk mengetahui keampuhan kompetensi yang diterapkan di perusahaan, Muliawan
mengaku menggunakan cara "360 derajat". Jadi, penilaian tidak hanya dilakukan oleh
atasan, tapi juga oleh rekan kerja setingkat dan bawahan. "Berbeda dengan performance
atau kinerja karyawan. Kalau kinerja, yang menilai hanya atasan saja," tukasnya. Dengan
cara demikian, diakui Muliawan akan terlihat jelas jika interpreneurship seorang
karyawan. Tidak hanya terlihat bagus di mata pimpinan, tapi juga terlihat bagus di mata
rekan sekerja dan bawahan.
Sejauh mana karyawan mencapai target kompetensi, menurut Muliawan, dibutuhkan cara
yang tepat, yaitu dengan cara penentuan target dari kompetensi dasar setiap karyawan.
Misalnya untuk sebuah posisi /fungsi marketing, kompetensi utamanya ada 10 macam,
dengan skala ukur kepentingan antara 1-5. "Kemudian kami melihat posisi kompetensi
karyawan ada di mana, apakah ada diskala 1, 3 atau bahkan sudah 5," jelasnya. Jika
kompetensi karyawan masih berada dibawah target yang dibutuhkan oleh fungsi /
jabatan tersebut , maka bagian human resource department (HRD) akan melanjutkan
dengan Individual Development Plan.
Gap atau perbedaan tersebut, kata Muliawan lagi, ditindaklanjuti dengan membuat
training need analysis yang sifatnya individual dan perusahaan secara keseluruhan.
Training ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan bisa satu training khusus untuk
meningkatkan satu kompetensi atau untuk beberapa kompetensi sekaligus bagi setiap
karyawan. "Dari sisi biaya, saya kira relatif. Bisa murah, bisa mahal. Misalnya Training
leadership yang mencakup beberapa kompetensi sekaligus didalamnya seperti decision
making, problem solving analysis, planning akan lebih murah bila pesertanya cukup
banyak," Muliawan menegaskan hal ini. Hingga kini BHP Billiton mempunyai 250an
karyawan dan 500an karyawan kontraktor. Ke-200 karyawan ada di posisi HR, finance,
marketing, transport and logistic manager, government relation, community
development, health safety and environment, engineering, exploration.
Dalam mengembangkan kompetensi selain dengan metode training, BHP Billiton juga
melakukan dengan cara lain seperti International Mentoring Program yaitu mengirimkan
karyawan ke operasi lain yang lebih matang di luar negeri dalam bentuk on the job
training.
DUTA PERTIWI : School of Property Professional
No. 11 - Februari 2005
Inilah jagoan proyek properti komersial di Indonesia. Sebut saja ITC, orang segera akan
tahu eksistensi mereka. Di kalangan industri properti, PT Duta Pertiwi Tbk. sering disebut
sebagai sekolahnya jago-jago properti alias school of property professional.
Nama ITC (International Trade Center) begitu dikenal oleh penduduk Indonesia,
khususnya yang tinggal di Jakarta dan Surabaya. Atau mereka-mereka yang pernah
berkunjung ke kedua kota besar itu. Awalnya adalah ITC Mangga Dua yang diresmikan
pertama kali tahun 1989. Inilah proyek penjualan ruang ritel pertama di Indonesia yang
menggunakan konsep strata title.
Sejak saat itu, muncul banyak ITC lainnya, seperti ITC Roxy Mas (terkenal sebagai pusat
perdagangan ponsel), ITC Cempaka Mas, ITC Ambassador Kuningan, ITC Fatmawati Mas
(semuanya di Jakarta), dan ITC Mangga Dua Surabaya (di Surabaya). Semuanya berskala
besar. Saat ini, proyek komersial sejenis sedang dibangun di Depok, Pekanbaru, dan
sebagainya.
Seluruh kawasan komersial tersebut berangkat dari konsep superblok yang
menggabungkan pusat perdagangan, kondominium, dan perkantoran dalam satu
kawasan terpadu. Pengembangan superblok telah menjadi ciri khas PT Duta Pertiwi Tbk.,
sebuah perusahaan properti raksasa di Indonesia yang namanya, barangkali, kalah
ngetop dibandingkan karya-karyanya.Konsep superblok memungkinkan perusahaan
mendapatkan marjin keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan berbagai tipe
pembangunan properti lainnya, selain juga bisa mengurangi dampak negatif dari
fluktuasi pasar.
Pembangunan superblok terbesar dilakukan oleh Duta Pertiwi di kawasan Mangga Dua
dengan mengubah 29 ha lahan terlantar, menjadi pusat bisnis dan pemukiman di utara
Jakarta.
Kecuali superblok dan proyek kondominium, anak perusahaan Grup Sinar Mas ini
mengembangkan pula beberapa proyek pemukiman yang seluruhnya berlokasi di Jakarta
dan kawasan sekitarnya, seperti Taman Duta Mas, Taman Permata Buana, Taman Banjar
Wijaya, Kota Bunga Puncak, Kota Wisata Cibubur, dan Legenda Wisata.
Perusahaan memiliki sejumlah proyek properti berjangka panjang, seperti hotel
berbintang dua Dusit Balikpapan dan Dusit Mangga Dua, dan pengembangan gedung
perkantoran Plaza BII di Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Keberhasilan Duta Pertiwi tak terlepas dari inovasi dan visi bisnis mereka yang jauh ke
depan. Perusahaan tercatat sebagai perusahaan pertama di Indonesia dalam banyak
konsep properti yang mereka garap. Dan, hal itu hanya dimungkinkan berkat kualitas
sumber daya manusia yang tinggi. "Pemilik dan manajemen menyadari modal kami
adalah human capital. Tanpa orang, kami tidak berhasil," ungkap Tjahjana Widjaja, GM
Corporate HRD PT Duta Pertiwi Tbk.
Posisi perusahaan yang berada di papan atas mendorong perusahaan untuk terus
berupaya mempertahankan posisi di depan para pesaing. Karena posisi terdepan itu,
tidak mungkin Duta Pertiwi mencari tenaga profesional dari luar karena tidak ada yang
memenuhi persyaratan perusahaan.
"Kami pernah mencoba pasang iklan untuk posisi Property Manager. Tapi yang kami
dapatkan, dibandingkan level supervisor di sini saja, masih kalah bagus," tutur
profesional properti yang sempat 9 tahun bergabung dengan Grup Astra itu. Jalan satu-
satunya bagi Duta Pertiwi adalah mencetak para profesional tersebut.
Perusahaan memiliki bagian khusus yang menangani bidang training & development
dengan modul-modul yang telah dikembangkan sendiri. Kemudian perusahaan memakai
pula jasa lembaga training di bawah Sinar Mas yang disebut dengan Supreme Learning
International (SLI), khususnya untuk bidang manajerial. Selain harus memiliki kinerja
yang baik dan ada kebutuhan organisasi, seseorang yang akan dipromosikan harus
mendapat pembekalan pelatihan dari SLI.
Dengan metode seperti itu, Duta Pertiwi tidak pernah memakai jasa head hunter untuk
mendapatkan tenaga manajerial. Semua karyawan yang didapat terus dikembangkan
karena untuk mendapatkan tenaga spesifik di bidang properti tidaklah mudah.
Sebaliknya, justru karyawan Duta Pertiwi yang banyak dibajak perusahaan pesaing
dengan tawaran remunerasi yang jauh lebih menarik. Itu sebabnya, Duta Pertiwi sering
dianggap school of property professional.
"Perusahaan pesaing tidak ingin pusing-pusing mengembangkan orang. Dia tinggal
datang ke "sekolah"™nya," papar Tjahjana tentang alasan pembajakan oleh pesaing.
Duta Pertiwi tentu tidak bisa memberikan remunerasi seperti yang ditawarkan pesaing
karena telah berinvestasi banyak terhadap pengembangan karyawan. Beberapa manajer
dan eksekutif akhirnya meninggalkan perusahaan, meskipun akhirnya banyak pula yang
kembali. Sehingga secara keseluruhan tingkat keluar masuk karyawan relatif rendah, 1%
saja.
Bisnis Duta Pertiwi yang terus berkembang dan telah terbukti sukses melewati krisis
ekonomi menjadi daya tarik utama bagi 5.200 karyawan untuk bertahan. Setiap
tahunnya, perusahaan memiliki sejumlah proyek untuk dikembangkan, di samping
mengelola proyek properti yang sudah beroperasi. Selain di Jakarta dan sekitarnya, Duta
Pertiwi memiliki pula proyek berskala cukup besar di Surabaya, Batam, Medan, dan
Balikpapan. Proyek-proyek baru tersebut sangat bermanfaat menampung karyawan yang
seluruhnya berstatus karyawan tetap.
Kesejahteraan karyawan salah satu yang sangat diperhatikan oleh perusahaan, kendati
remunerasi Duta Pertiwi bukanlah yang terbaik di kelasnya. Dalam penggajian,
perusahaan menggunakan kombinasi merit system dan lama masa kerja. Dasar sistem
kombinasi ini, lanjut Tjahjana, karena orang yang sudah senior dulunya juga memiliki
kinerja yang baik. Sistem penggajian ini berlaku untuk semua level. Perusahaan
berencana untuk mengkombinasikan sistem remunerasi tersebut berdasarkan
kompetensi, meskipun saat ini baru pada tahap sosialisasi.
Pola remunerasi Duta Pertiwi cenderung bersifat clean wages di mana gaji tidak lagi
dibagi dalam banyak komponen. Semua yang diterima karyawan sudah bersifat all in,
kombinasi gaji tetap dan gaji variabel. Komponen yang terpisah hanya tunjangan
kesehatan, lembur, kacamata, dan melahirkan hingga anak ketiga.
Bagi manajer ke atas, perusahaan menyediakan fasilitas kendaraan yang tidak menjadi
milik pribadi. Sejak 2003, sistem ini dimodifikasi. Level General Manager ke atas tetap
seperti itu, dan untuk level manajer diberi tunjangan transportasi sebagai pengganti.
Tunjangan itu terserah kepada penerima, mau untuk mencicil mobil atau naik taksi.
Potong Satu Generasi
No. 11 - Februari 2005
Banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
dikelola oleh Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN)
beberapa waktu lalu hanya merupakan puncak dari gunung es permasalahan di bidang
birokrasi pemerintah Indonesia. Pernyataan Meneg PAN Taufik Effendi bahwa masih
diperlukan tambahan pegawai negeri sipil untuk memperbaiki citra dan kinerja aparat
pemerintahan pusat dan daerah terkesan hanya untuk memenuhi target langkah aksi
seratus hari dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB).
Birokrasi di bidang perizinan merupakan bagian dari hidup kita berbangsa dan
bermasyarakat. Sistem birokrasi perizinan kita memelihara budaya korupsi dan turut
mendorong ekonomi biaya tinggi. Pada setiap kesempatan birokrasi kita menciptakan
sumber kekuasaan dan kewenangan baru, sehingga tercipta sumber korupsi yang baru
dalam bentuk tata niaga, pembaharuan prosedur, proses pengaturan dan peningkatan
tarif. Pemda melalui otonomi daerah juga menciptakan perijinan baru yang mengacu
pada peraturan/kewenangan Pemda ybs. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan
menciptakan peluang untuk korupsi. Melekatnya budaya feodal di kalangan birokrasi kita
juga menjadi salah satu penyebab sehingga korupsi dapat bertahan, berkelanjutan dan
makin menyebar.
Pemerintah melalui Menpan memiliki peran strategis untuk menciptakan birokrasi negara
yang sehat, ramping dan efektif. Sayangnya langkah yang ditempuh tidak melalui
penambahan PNS secara nasional. namun justru harus meringkas birokrasi itu melalui
program potong satu generasi PNS. Salah satu alasan lahirnya program potong satu
generasi adalah karena tingginya budaya korup di kalangan birokrasi di Indonesia.
Kebijakan dan koordinasi pemerintah dalam penyehatan birokrasi sangatlah berbeda
dibandingkan misalnya saat kita perang melawan teroris yang lugas dan terkoordinasi
secara luas.
Langkah pemotongan harus dilakukan secara gradual dan terstruktur, dimulai dengan
instruksi Presiden kepada setiap menteri yang membawahi departemen untuk secara
terukur dalam periode waktu tertentu harus mengurangi misalnya sepuluh persen jumlah
posisi di setiap departemen. Melalui metode ini, dalam periode waktu tertentu
pemerintah akan mampu memotong sekitar lima sampai sepuluh persen saja dari aparat
birokrasinya.
Pendekatan yang signifikan adalah melalui rekayasa organisasi (re-engineering).
Rekayasa organisasi akan memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi
hanya pada departemen dalam periode tertentu saja. Tujuannya untuk menghilangkan
pekerjaan yang tidak memberikan kontribusi melalui proses otomatisasi atau secara
desain ulang pekerjaan. Aktivitas ini akan membantu pemerintah untuk melakukan
identifikasi PNS berbakat dan potensial yang dibutuhkan untuk peningkatan kinerja
birokrasi yang lebih tinggi. PNS yang tidak sesuai di organisasi yang baru harus diberikan
bantuan yang menyeluruh di dalam proses transisinya. Misalnya pembekalan materi
pelatihan yang lengkap, pengelolaan keuangan keluarga dst. Kombinasi penerapan
pemotongan satu generasi ini dapat menghilangkan birokrasi PNS sebesar empat puluh
hingga lima puluh persen. Melalui program potong satu generasi dipastikan RI akan
mempunyai struktur birokrasi yang lebih sehat, ramping dan efektif.
Pengalaman negara lain saat melakukan rekayasa organisasi dengan cara memangkas
struktur birokrasi pemerintahannya ditempuh pertama melalui pemilihan jabatan-jabatan
penting tertentu. Pemerintah bekerja sama dengan pihak yang kompeten di bidangnya
seperti konsultan organisasi, praktisi dst melakukan identifikasi, membuat matriks
jabatan mana yang akan diprioritaskan untuk dilakukan rasionalisasi dalam waktu
singkat. Misalnya untuk jabatan penegak hukum yang strategis seperti pejabat tingkat
eselon dua dan satu di departemen kejaksaan, kehakiman dan Mahkamah Agung
dilaksanakan secara menyeluruh dalam tempo tiga sampai lima tahun. Untuk PNS yang
berada pada struktur formal maksimal berusia empat puluh lima tahun dan PNS yang
berusia lebih dari empat puiuh lima tahun harus mengikuti program pensiun dini dst.
Untuk jabatan lain yang tidak masuk dalam matriks, dibuatkan skema jangka menengah
untuk dilakukan rencana suksesi yang terukur. Secara sederhana, kantor Menpan sudah
mempunyai dokumen strategis yang berisi rencana kerja terukur untuk pejabat-pejabat
birokrasi seperti misalnya seorang Direktur PLN. Dan implementasi suksesinya melalui
kontrak dan rencana yang jelas dan terukur maksimum lima tahun mendatang dengan
kriteria suksesi berusia maksimal empat puluh lima tahun dst.
Selanjutnya melalui seleksi dan pemilihan PNS yang berbakat dan potensial. Pemerintah
harus menjamin lancarnya operasional birokrasi negara maka pemilihan PNS atau pejabat
negara yang berbakat adalah hal yang amat penting. Pemerintah secara menyeluruh
melakukan proses seleksi, pengembangan dan perencanaan suksesi dari individu pejabat
negara secara fair, terbuka dan transparan. Program potong satu generasi birokrat sudah
menjadi praktik umum yang telah dilaksanakan di banyak negara yang memiliki
komitmen kuat terhadap pemerintahan yang efektif dan efisien. Dan pelaksanaan
program ini secara menyeluruh juga menjadi dasar pijakan yang sangat masuk akal yang
telah menjadi sukses awal bagi pemerintah negara lain dalam upaya mereka melawan
korupsi khususnya yang menyangkut rendahnya dukungan birokrasi dan aparat hukum
karena budaya yang korup.
Bagaimana dengan usul menaikkan tingkat pendapatan para PNS / birokrasi? Mantan
Menteri Keuangan Ali Wardhana pernah melakukan kenaikan gaji Ditjen Pajak dan Bea
Cukai naik sampai sembilan kali, gaji karyawan BPPN juga sudah sangat besar bahkan
jika dibandingkan dengan seorang Direksi BUMN. Namun korupsi tetap tidak berkurang,
sebab yang melakukan korupsi bukan mereka yang kekurangan, namun para pegawai
birokrasi yang walaupun telah terjamin hidupnya masih merasa belum cukup untuk
memenuhi status sosial mereka. Demograf PNS inilah yang harus dipangkas pemerintah
melalui program potong satu generasi. Masalah birokrasi yang korup adalah masalah
keserakahan, bukan soal kekurangan untuk hidup. Biaya yang harus dikeluarkan untuk
proses perbaikan birokrasi ini juga sangat mahal sehingga akan lebih murah memangkas
proses birokrasi (prosedur) perizinan dan memotong jumlah PNS yang tidak produktif
sehingga bagi yang masih bekerja gajinya dapat dinaikkan. Peningkatan kompensasi
yang lebih adil dan layak yang telah disesuaikan dengan beban pekerjaan dan tanggung
jawab yang baru akan memacu PNS untuk memperbaiki produktivitas dan kinerjanya
sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada rakyat secara optimal.
Sumber: Majalah Human Capital No. 11 | Februari 2005
Reorganisasi Menuju Regional Champion
No. 12 - Maret 2005
Bank Mandiri terus melangkah maju dengan memantapkan organisasi untuk mewujudkan
visi menjadi Regional Champion. Reorganisasi dilaksanakan sehubungan dengan
masuknya Bank Mandiri ke bisnis micro-banking tahun ini maupun untuk mewujudkan visi
jangka panjang itu. "Mudah-mudahan tahun 2008 visi tersebut mulai terwujud," ungkap
Managing Director Bank Mandiri Nimrod Sitorus optimis.
Organisasi Bank Mandiri pasca merger antara Bank Eksim, BBD, BDN, dan Bapindo
sempat dikhawatirkan menyimpan potensi masalah karena kelebihan personil yang akut.
Maklum, jumlah karyawan keempat bank saat merger mencapai 26.609 orang, dan
jumlah itu harus dipangkas menjadi 15.453 orang akhir 1999. Kendati pemangkasan itu
berhasil dilakukan, tetap saja pembentukan organisasi baru tidak mudah dilakukan.
Beberapa posisi baru terpaksa diciptakan, termasuk di dataran manajemen, untuk
menampung kelebihan beban.
Di jajaran manajemen puncak, misalnya, Bank Mandiri bertaburan "bintang" seperti
Kodradi (yang belakangan menjadi Direktur Utama BTN), Sigit Pramono (belakangan
menjadi Direktur Utama BII dan sekarang menduduki posisi yang sama di Bank BNI), dan
Agus Martowardojo (sempat di BPPN dan akhirnya menjadi Direktur Utama Bank
Permata). Untunglah situasi sulit ini berhasil dilewati berkat kepemimpinan Robby Djohan
yang kemudian dilanjutkan oleh ECW Neloe hingga sekarang.
Sebagai bank terbesar dengan total aset per 30 Juni 2004 Rp 234,7 triliun, Bank Mandiri
harus berjuang keras untuk menunjukkan kehebatan sumber daya manusianya yang juga
terbesar itu. Bank ini tentunya tidak hanya ingin sekedar menjadi yang terbesar secara
kuantitas, tetapi juga unggul dalam kualitas.
Dewasa ini, Bank Mandiri memiliki 19.000 karyawan. Hingga awal 2005, enam tahun
lebih sejak proses merger organisasi dilakukan, Bank Mandiri telah memiliki sistem
manajemen sumber daya manusia (SDM) yang komprehensif dan modern. Sistem
tersebut mencakup seluruh aspek manajemen SDM, seperti recruitment, selection,
performance management, learning & development, growth management, rewards &
recognition, employee relations unions, dan retirement management & exit policy. Satu-
satunya perangkat manajemen SDM yang belum dilaksanakan secara baku adalah exit
policy dari karyawan yang berusia lanjut namun belum memasuki usia pensiun.
"Kami masih memikirkan bagaimana cara terbaik," tegas Nimrod Sitorus. Persoalan ini
diakui Nimrod perlu dicarikan jalan ke luar segera karena produktivitas atau kinerja
karyawan menjadi faktor yang sangat penting dalam memenangkan persaingan bisnis
yang kian ketat. Selama ini untuk karyawan berusia lanjut telah diberlakukan program
penempatan di bidang-bidang tertentu yang tidak terlalu menuntut kinerja tinggi, seperti
back office. Tetapi, program semacam ini tentu juga ada batasnya. Karena produktivitas
yang semakin menurun, karyawan senior perlu memberi kesempatan kepada tenaga-
tenaga yang lebih muda untuk berkarya.
Mereka, para karyawan senior, sadar akan hal ini. Hanya saja, tak sedikit karyawan senior
yang ingin tetap bekerja di Bank Mandiri demi status. Sewaktu baru merger dulu, Bank
Mandiri memiliki program pensiun sukarela (PPS). Ada sebagian yang hanya mau
menunggu-nunggu adanya PPS kedua. "Mungkin mereka merasa tidak optimal atau ingin
mencoba peluang di tempat lain," tambah Senior Vice President Human Capital Bank
Mandiri I Nengah Rentaya. Karyawan tentu ingin agar paket PPS itu tidak hanya
berdasarkan Undang Undang Ketenagakerjaan, tetapi lebih menarik dari itu.
AZAS KlNERJA DAN KETERBUKAAN
Produktivitas karyawan, seperti telah disinggung di atas, menjadi harga mati di Bank
Mandiri. Sejak bank ini terbentuk, seluruh karyawan sudah terbiasa dengan target. Setiap
karyawan diwajibkan minimal mencapai 80% dari target. Bagi mereka yang tidak
mencapai target minimal tersebut, mereka harus rela posisinya digantikan karyawan lain.
Pada gilirannya, hal itu juga berdampak kepada penghargaan (reward) yang bisa
diperoleh karyawan.
Sistem remunerasi Bank Mandiri dewasa ini termasuk kompetitif di lingkungan perbankan
nasional. Sebagai contoh, insentif atau bonus kinerja karyawan bisa mencapai 8 kali gaji.
Karyawan yang berprestasi mencapai target rata-rata saja bisa mendapatkan insentif 4
kali gaji, di luar Tunjangan Hari Raya (THR) 2 kali dan tunjangan cuti besar 1,5 kali gaji.
Untuk karyawan berprestasi tinggi, mereka bisa mendapatkan insentif 8 bulan gaji.
Bagaimana dengan karyawan yang tidak mencapai target?
Mereka harus menerima penalti. Paling-paling yang bersangkutan hanya mendapat
insentif 0,5 bulan gaji. "Kalau dulu khususnya di legacy, kerja nggak kerja, dapat bonus 2
kali gaji," tutur Nimrod, ayah 2 anak itu.
Karyawan berprestasi mendapat bonus tambahan berupa penghargaan dari direksi yang
disampaikan secara terbuka dalam sebuah acara khusus. Program penghargaan yang
diserahkan langsung oleh Direktur Utama ini berlangsung sejak 2000. Kepada karyawan
berprestasi diberikan pula hadiah jalan-jalan bersama keluarga ke luar negeri. Nimrod
pernah meraih penghargaan tersebut tahun 2001, saat masih menjabat GroupHead
Strategic Planning. "Sangat menyenangkan" jawab Nimrod tentang perasaannya waktu
menerima penghargaan tersebut.
Angin perubahan memang bertiup kencang di Bank Mandiri yang menghantam nilai-nilai
lama yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan organisasi. Prinsip
keterbukaan dan demokratisasi berjalan mencari titik keseimbangan yang baru. Para
direksi berusaha menempatkan diri sebagai mitra satu sama lain dalam bekerja. Setiap
permasalahan dibicarakan bersama untuk mendapatkan solusinya. Praktik semacam ini
merupakan perubahan yang signifikan di bank milik pemerintah. Karena dulu direksi
sangat ditakuti. Kemana-mana ada ajudan yang siap membawakan tas. Kalau perlu
karyawan menghindar dan jika bertemu harus membungkuk-bungkuk memberi hormat.
Beberapa direksi, termasuk Nimrod, mempraktikkan nilai-nilai keterbukaan itu dengan
selalu membuka pintu ruang kerjanya. Ia menyediakan waktu setelah jam 7 malam.
untuk menerima seluruh karyawan yang ingin bertemu dengannya tanpa perlu membuat
janji. Tak jarang Nimrol mengajak berdoa si karyawan bila yang bersangkutan sedang ada
masalah. Sering pula ia memberikan nasehat kepada karyawan yang dinilainya merasa
pintar namun sebetulnya belum matang. "Tentunya saya lihat-lihat dulu apakah karyawan
itu bisa menerima sikap saya yang sangat terus terang itu," ungkapnya.
Praktik keterbukaan semacam ini memberi inspirasi bagi jajaran di bawah direksi untuk
menerapkan hal yang sama. Bagaimanapun tidak mungkin bagi setiap direksi menerima
19.000 karyawan sendirian. Sehingga banyak pekerjaan yang didelegasikan kepada
pejabat yang lebih rendah. Hal ini mendorong interaksi yang lebih positif antara atasan
dengan bawahannya, sehingga atasan bisa lebih mengenali karyawan (know your
employee) untuk mencegah hal-hal negatif sekaligus konseling.
Wanita-wanita Penguasa Bisnis Dunia
No. 12 - Maret 2005
Wanita bukanlah makhluk lemah seperti yang sering dicitrakan selama ini. Di balik
kelemahlembutannya, wanita terbukti sukses menjadi pemimpin, termasuk di dunia
bisnis. Bagaimana potret wanita-wanita "perkasa" itu?
Memperhatikan kiprah wanita dalam jagat bisnis sungguh sangat menarik karena wanita
dianugerahkan pula kodrat sebagai ibu dalam rumah tangga. Selain itu, dunia bisnis yang
keras tidak cocok (atau tidak memberi kesempatan?) bagi wanita untuk tampil di puncak
singgasana bisnis. Tapi, banyak eksekutif wanita yang justru merasa kodrat itu sebagai
kekuatan. Sebagian besar eksekutif wanita yang sukses juga memiliki kehidupan keluarga
yang cukup baik.
Di deretan wanita "perkasa" dalam jagat bisnis global, Carly Fiorina (sebelum berhenti
sebagai CEO dan Chairman Hewlett-Peckard) berada di posisi teratas. Majalah Fortune
menempatkan Gerly di posisi teratas wanita paling berkuasa dalam bisnis di Amerika
maupun dunia. Wajar karena Carly memimpin perusahaan yang bernilai US miliar.
Sebagai contoh, dalam daftar wanita paling berkuasa dalam bisnis di Amerika 2003,
muncul nama Meg Whitman (President & CEO eBay) di posisi kedua dan Andrea Jung
(Chairman & CEO Avon Products) di posisi ketiga. Marjorie Magner (Chairman & CEO
Global Consumer Group, Citigroup) hanya ada di posisi ke-5 dan Oprah Winfrey (Chairman
Harpo Inc.) di posisi ke-7. Nama-nama dalam daftar itu jelas pemimpin bisnis raksasa
dengan asset perusahaan bernilai miliaran dolar.
Sebelum menerima tawaran memimpin Hewlett-Packard (HP) sebagai CEO menggantikan
Lew Platt, Carly yang bernama asli Cara Carleton Sneed lama berkarir di perusahaan
telekomunikasi terbesar di dunia AT&T. Kemudian dia diangkat menjadi CEO
LucentTechnologies, anak perusahaan AT8T. Di tangan Carly perusahaan ini menjadi lebih
independen dan berhasil go public dengan mendapat respons positif dari para investor.
Semua ini menjadi dasar kenapa Komite Pencari Eksekutif HP melirik Carly sebagai
kandidat utama CEO HP, walaupun Walter Hewlett, putera pendiri HP Bill Hewlett, tidak
terlalu menyukainya.
Carly mulai bergabung dengan HP 15 Juli 1999. Saat itu HP sedang terengah-engah
karena beberapa divisi usaha memiliki kinerja yang buruk. Salah satunya adalah Divisi
komputing yang terus merugi. Beberapa anggota Dewan Direksi HP bahkan sempat
berencana menjual divisi tersebut. HP banyak terbantu oleh kinerja divisi IPG (Image
Printing Group) yang masih menguntungkan, walaupun marjin keuntungan terus
menurun.
Manajemen di bawah kepemimpinan Carly tidak setuju menjual divisi komputing dan
memilih untuk menyelamatkannya. la meminta orang-orang HP untuk terbiasa bergerak
cepat, termasuk dalam meluncurkan dan mengirimkan produk baru. Selama ini HP tidak
akan pernah meluncurkan produk baru ke pasar sebelum benar-benar sempurna,
sehingga sering terlambat masuk pasar. Carly mengubah paradigma itu dengan
memperkenalkan istilah Perfect Enough, tidak usah terlalu sempurna tetapi diluncurkan
dengan strategi dan kecepatan yang tepat.
Tantangan yang dihadapi alumni Stanford University ini dalam memimpin HP memang
sangat besar. Kegagalan New Economy diperburuk oleh lesunya perekonomian Amerika.
Harga saham perusahaan teknologi informasi bertumbangan. Harga saham Cisco dan Sun
bahkan anjlok 70% lebih. Sebagai wanita, Carly bersyukur telah mendapatkan tempaan
kuat. Saat HP mem-PHK 6.000 karyawan (untuk memotong biaya US0 juta/tahun) 26 Juli
2001, Carly berusaha tegar dan tidak cengeng �€“ meskipun secara pribadi ia tidak
menyukai hal ini. Dengan PHK berarti Carly melanggar pantangan yang berlaku selama
ini: jangan pernah melakukan PHK di HP.
Keputusan Carly untuk melakukan merger dengan Compaq dan disetujui oleh pemegang
saham dengan perbedaan suara tipis (antara setuju dan menolak) rupanya tidak berhasil
sepenuhnya mampu menyelamatkan HP. Dalam sebagian besar pasar, divisi usaha HP
mengalami penurunan kinerja. Ketika Dewan Direksi memintanya untuk mundur sebagai
wujud tanggung jawab, tidak tersedia banyak pilihan baginya selain menyetujui
permintaan mundur itu. Maka, Carly resmi mundur dari HP 2 bulan lalu. Keputusan
mundur ini tentu saja menyenangkan bagi kubu Walter Hewlett yang sejak awal
menentang merger ini.
Kendati harus mundur, Carly telah berhasil melakukan sebuah pekerjaan besar, yaitu
merger terbesar dalam industri teknologi informasi. Ia berhasil menyatukan dua kekuatan
raksasa teknologi informasi yang pada dasarnya sangat berbeda. Merger penuh berhasil
dituntaskan dalam waktu setahun berkat kekuatan Carly yang menyukai aspek detil.
Carly meminta manajemen untuk membuat Play Book yang menjadi panduan bagi
seluruh jajaran HP dalam menjalankan proses merger. Orang akan tetap mengenangnya
sebagai CEO yang hebat dengan penampilannya yang selalu neat dan berkelas.
Mundur mungkin pilihan terbaik bagi Carly karena HP menghadapi tantangan baru yang
berbeda dan membutuhkan CEO yang berbeda pula. Setiap era tentu memiliki
tantangannya tersendiri dan membutuhkan tipe pimpinan tertentu pula. Itu berarti, Carly
harus melepaskan posisinya sebagai wanita paling berpengaruh dalam bisnis di dunia.
Akhir dari perjalanan karir Carly yang cemerlang memang mengejutkan. Tetapi terlalu
naif jika harus menyalahkan Carly karena ia seorangwanita. "Siapapun yangmenduduki
posisi CEO HP, pria sekalipun, akan tetap kesulitan menghadapi situasi yang ada," ucap
seorang pakar manajemen Amerika. Sebagai wanita, ia tidak merasa nyaman bekerja bila
level kepercayaan kolega dan anak buah menurun tajam.
Apakah hal ini menunjukkan Carly kurang tahan banting? Tentu saja tidak. Kalau ia tidak
tahan banting, mana mungkin ia menapak karirnya dengan sukses? Mana mungkin pula
dirinya berhasil mengalahkan kelompok pro status quo dalam drama voting merger
dengan Compaq melalui sebuah pertarungan yang menuntut mental baja dan energi
besar.
Bukan Menggantang Asap
No. 12 - Maret 2005
Sejumlah perusahaan berusaha mengembangkan kecerdasan spiritual para karyawannya
agar memiliki moral dan integritas tinggi. Pelatihan spiritualisme sangat membantu,
namun hal itu saja tidak cukup. Bagaimana perusahaan merespon fenomena ini?
Sebagai perusahaan nasional telekomunikasi terkemuka di Indonesia, PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk atau lebih dikenal dengan Telkom, menyadari persaingan yang sangat
ketat di dunia bisnis, khususnya bisnis telekomunikasi. Menghadapi persaingan tersebut,
kecerdasan intelektual (IQ) dan emosional (EQ) tidaklah cukup. Untuk melengkapi diri,
Telkom berniat membekali seluruh karyawan dan jajaran direksi dengan kecerdasan
spiritual (SQ).
Menurut Budi Siswanto, saat ini pihak Telkom berusaha mengurangi persaingan dengan
melengkapi diri melalui SQ. "Telkom yakin, SQ akan menunjang kompetitif efektif
perusahaan. Kami menyadari, keunggulan kompetisi Telkom ada di orang-orangnya,
bukan di teknologi, bukan karena kami punya infrastruktur, bukan pula karena kami
punya produk," papar pria yang menjabat sebagai Deputy of Head Telkom Divisi Regional
II Jakarta.
Karyawan Telkom diajak untuk selalu mempelajari berbagai macam sumber tentang SQ
mulai dari Steven Covey dengan 8 Habits, I Gede Prama, Aa Gym atau Ary Ginanjar. "Saat
ini kami memang pada ESQ milik Ary Ginanjar karena target kami seluruh karyawan ikut
acara itu," kata Budi yang membeberkan bahwa seluruh manajemen Telkom mulai dari
Manajer hingga Presdir mengikuti acara tersebut baru-baru ini.
Dengan demikian, diharapkan seluruh karyawan Telkom bisa mempunyai SQ yang
seimbang dengan IQ dan EQ. "Tidak selalu orang yang punya SQ baik akan memiliki IQ
atau EQ yang baik. Justru disini keluarnya keseimbangan. Hasilnya yang paling besar
kalau didukung semuanya atau ketiganya," Budi menjelaskan hal ini.
Alasan lain, lanjutnya, Telkom memiliki nilai hakiki yang datangnya dari Tuhan dan misi.
Kalau dulu misi Telkom adalah bagaimana menjadikan Telkom terpercaya bagi
masyarakat. Sekarang sudah tidak lagi. "Kami menarik tujuan hidup kami lebih ke depan
lagi. Misinya sekarang ridho di jalan Tuhan, yang diwujudkan kalau kami meninggal
masuk surga. Setiap orang pasti meninggal. Tapi meninggalnya ada dua pilihan, neraka
atau surga," kata Budi lagi. Jika orang ingin masuk surga, berarti setiap tindak tanduknya
harus berorientasi bagaimana nanti masuk surga.
Menurutnya, EQ itu erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang, apakah bisa mengendalikan marah atau tidak dan sebagainya. Berbeda
dengan kalau SQ yang memasukkan nilai-nilai Tuhan. "Kalau dalam Islam, nilai-nilai Allah
SWT yang kami anut dan kami lakukan setiap hari dan setiap saat. Kami selalu ingat
untuk mengimplementasikan nilai tersebut," ujarnya saat ditemui HC.
Implementasi SQ di perusahaan Telkom diakui Budi dilakukan setiap hari. Caranya, semua
pemimpin senior diwajibkan datang ke unit terkecil dan saling mengingatkan bahwa
Telkom menganut tujuh nilai yaitu kejujuran, transparansi, komitmen, kerjasama, disiplin,
peduli dan tanggung jawab. "Ke-7 nilai itu kami sarikan dari Asmaul Husna, sifat-sifat
Allah," ungkap Budi yang mengakui bahwa sudah sejak lama ke-7 nilai ini dimiliki Telkom,
namun baru dicanangkan kembali awal Februari lalu. Cara mengukurnya, dengan
implementasi 7 nilai. Misalnya, kejujuran. Meski relatif, tapi setiap karyawan Telkom bisa
saling mengingatkan. Contoh lain adalah disiplin. Jika setiap pagi ada karyawan yang
terlambat, karyawan lain berusaha saling mengingatkan. "Makanya sekarang sudah tidak
ada lagi karyawan terlambat karena malu dengan karyawan lain. Siapapun boleh
mengkritik, termasuk mengkritik atasan," akunya.
Jika seorang atasan dinilai oleh bawahannya tidak jujur, atasan tersebut tidak boleh
menanggapi hal itu saat karyawan mengomentari dirinya. Komentar itu harus ditelaah
dan dikaji lebih dalam, apakah benar dia berperilaku seperti itu. Barulah setelah itu
dibahas kembali. Hukuman atau sanksi di Telkom, tidak selalu dalam bentuk nyata. Untuk
menegakkan moral, justru dibutuhkan sanksi moral atau hukuman mental.
Bukan Menggantang Asap - PT. Unilever
No. 12 - Maret 2005
Keberadaan kecerdasan spiritual baru-baru ini dirasakan cukup menggebrak dunia usaha
di Indonesia. Namun demikian, ternyata PT. Unilever telah melakukan beberapa gebrakan
yang sejalan jauh sebelum munculnya pelatihan-pelatihan mengenai kecerdasan spiritual
saat ini.
Tanpa menyadari akan munculnya tren kecerdasan spiritual sekarang ini, PT. Unilever,
dengan istilah yang berbeda, telah mengembangkan tren 'bekerja dengan hati' yang
ternyata sejalan dengan praktek dari kecerdasan spiritual yang berkembang.
Mulanya perusahaan tertarik untuk mengetahui bahwa dari sekian banyak karyawan, ada
yang sangat menyukai pekerjaaan mereka sehingga mereka bekerja habis-habisan ada
juga yang biasa saja, padahal pada saat perekrutan mereka semua mempunyai
kualifikasi yang sama, memiliki tingkat intelegensi yang sama tetapi ada yang memiliki
passion begitu hebat terhadap pekerjaannya.
Joseph Bataona, HRD Direcetor PT. Unilever mengatakan bahwa perusahaan mencoba
untuk meneliti mengenai hal tersebut di atas dan ternyata mereka menemukan beberapa
istilah dalam kepustakaan dan dalam kenyataan itu berbeda-beda namun memiliki tujuan
yang sama.
Empat atau lima tahun yang lalu, Unilever mencoba me1akukan sebuah survey untuk
mengetahui hal-hal apa yang bisa rnembuat kita menjadi satu seperti sekarang dan
mempunyai keinginan yang sama untuk membangun perusahaan ini. "Saya tidak tahu
apakah kata spirit di sini sama dengan kata spiritual dalam kecerdasan spiritual, dan apa
yang kita temukan lalu di visualisasikan," ujarnya.
Pada prakteknya, Unilever mempunyai apa yang disebut sebagai winning strategy,
winning spirit dan winning team. Unilever memiliki visi yang terfokus pada customer,
consumer dan community. Maka dijelaskan pada karyawan jika semua pihak dapat
terfokus pada visi itu maka apapun halangan yang datang tidak akan menggoyahkan
perusahaan. Dan yang bisa membuat semua terfokus pada visi itu adalah apa yang
disebut sebagai spirit.�
Selanjutnya perusahaan mencoba mengembangkan hal itu dengan mencoba
mendengarkan pembicaran sehari-hari karyawan baik di kantin maupun koridor, dan
ternyata mereka seringkali menyentuh apa yang disebut sebagai balanced life. Lalu
Unilever mencoba membuat survey pendek dengan dua pertanyaan yaitu apakah hal
yang terpenting dalam hidup dan apa yang sudah dilakukan untuk mencapainya. "Nah
cara untuk menemukan jawabannya adalah dengan menyadari apa yang�menjadi
panggilan dalam hidupnya," ujar Joseph.
Perlu disadari bahwa karyawan adalah manusia yang memiliki hati dan juga pikiran.
Setiap kali perusahaan mengirimkan karyawan untuk training itu berarti
mengembangkan pikiran mereka, tetapi�perusahaan juga harus menyentuh hati
mereka. Oleh karena itu Unilever juga melakukan pelatihan yang disebut "Engaging Mind
and Heart".
Unilever juga menggunakan buku 8 Habits sebagai panduan dalam menjalankan
programnya. Buku 8 Habits, mengatakan untuk mencari panggilan apa dalam diri
seseorang itu sendiri yang akan membuat orang tersebut melangkah maju, setelah
menemukan panggilan itu, maka orang tersebut diharapkan dapat mempengaruhi orang
lain untuk menemukan panggilan mereka. Hal ini dapat diimplementasikan
dalam�sebuah forum yang akan membentuk sebuah tim yang sangat kompak dalam
bekerja dan membangun perusahaan.
Dikatakan Joseph, melalui 8 Habits dapat dilakukan pembangunan manusia seutuhnya. Di
sini�yang dibicarakan adalah mengenai visi, ketika seorang karyawan datang ke tempat
kerja, visi karyawan adalah 'dibayar'. Namun ternyata tidak hanya itu, berkembanglah
kebutuhan yang lainnya yaitu dibayar dengan layak, diperlakukan dengan layak dan
diperlakukan dengan penuh daya guna.
Dengan demikian karyawan akan merasa dihargai dan akan bekerja dengan
menggunakan hati. Karena dengan program-program yang dilakukan Unilever berusaha
untuk menyentuh hati karyawannya. Mereka akan bekerja dengan penuh semangat
bahkan mungkin tanpa mengenal waktu sehingga tidak perlu diragukan lagi loyalitasnya.
Bukan Menggantang Asap - PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan spiritual (SQ) bagi Bank Mandiri, sudah menjadi perhatian utama sejak
keempat bank yaitu Bank Exim, Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya dan Bapindo
dilebur menjadi satu pada tahun 1999. Lewat paradigma dalam manajemen etika Bank
Mandiri, setiap karyawan diperlakukan secara strategis untuk memberikan suatu nilai
yang diharapkan terhadap perusahaan.
SQ erat kaitannya dengan kecerdasan emosi atau EQ. Kendati Bank Mandiri lebih terfokus
kepada perilaku karyawan terutama dalam hal rekrutmen dan training, tetap perilaku
tersebut berakar dari SQ. Menurut I Nengah Rentaya, Senior Vice President Human
Capital Group Bank Mandiri, penerapan ini sudah dimulai sejak tahun 2000, dimana
seluruh pegawai yang masuk Bank Mandiri, diwajibkan mengikuti tes atau biasa disebut
attitude test, yaitu logical listening test, logical dan critical test, baik secara verbal
maupun numerik. Sementara untuk level-level tertentu, dilanjutkan dengan wawancara
perilaku atau soft skill karyawan melalui assessment center. "Kami menilai perilaku yang
ada di diri karyawan, bukan hal-hal yang tampak," kata Nengah saat ditemui HC di
ruangannya.
Saat merekrut karyawan, Bank Mandiri punya salah satu program yang namanya officer
development program (ODP), atau dikenal dengan sebutan management trainee.
Program ODP berbasis pada perilaku. Dalam ODP, dirumuskan kompetensi-kompetensi
seperti adaptability, positive working, relationship,communication, decition making,
integrity dan sebagainya. Poin-poin tersebut, menurutnya lagi, key action-nya adalah
tindakan. Sehingga, apa yang tercantum dalam SQ, sudah tercakup dalam komponen
kriteria sukses.
Dalam komponen EQ, terbagi dua kelompok, personal competent dan social competent.
Di personal competent, terdapat self awareness, self regulation, self motivation, dan
sebagainya. "Action yang termasuk dalam kategori self awareness di tempat kami pun
diterjemahkan. Jadi, kami bicara tentang perilaku yang jelas berkaitan dengan EQ," papar
pria kelahiran Tabanan, Bali, 46 tahun lalu. EQ dan SQ, bukanlah barang baru. Justru yang
harus dibahas adalah proses. Sayangnya, kebanyakan orang melihat tidak dari proses itu
sendiri, malah hasilnya saja. "Saya percaya, satu proses yang baik dan benar menjamin
akan menghasilkan suatu hasil yang baik," ia menanggapi hal ini kembali.
Nilai agama yang dikenal dalam SQ, sifatnya lebih universal. "Saya sepaham dengan itu,
karena kita hidup harus seimbang. Kita tidak mungkin hidup hanya berpikir dari sisi bisnis
saja. Bank Mandiri juga punya budaya yang harus kami bina," katanya antusias Budaya
tersebut, berhubungan kepada Yang Di Atas. Dikatakan lagi, setiap orang yang bekerja,
pasti arahnya akan kesitu pula. Seseorang tidak mungkin dalam sekejap memunculkan
nilai ekonomisnya saja, tapi juga apa sih kiblat di belakang itu semua. "Makanya waktu
kami merekrut pegawai baru, pondasi-pondasi yang seperti itu memang melandasi."
Contohnya adalah integritas, bagaimana melakukan komunikasi yang baik yang
semuanya berdasarkan SQ. "Komunikasi kan tidak hanya sekedar ngomong saja, harus
ada nilainya."
Ia menambahkan, Bank Mandiri tidak mencari orang pintar tapi tidak bisa bekerja dengan
efektif. Harus ada keseimbangan antara EQ, IQ dan SQ, sehingga bisa menghasilkan
suatu proses kerja yang efektif dan produktif. "Kami percaya kalau seseorang mempunyai
kemampuan logika yang baik, dia akan bisa dengan cepat berbicara, bukan semata-mata
prosedur saja karena prosedur kami yang buat. Artinya kalau memang ada hal-hal
penyimpangan, maka pasti akan mengajukan semacam revisi sepanjang dia
menganggap itu tidak cocok dengan kebutuhan." Lewat ODP, Bank Mandiri tidak semata-
mata melihat berdasarkan latar belakang pendidikan saja, tapi juga perilaku yang bisa
menghasilkan kerja yang efektif dan produktif.
Untuk mengukur kejujuran, Bank Mandiri memiliki rambu-rambu, di antaranya adalah
"Perilaku 3 Knows". Salah satunya berisi, karyawan tidak diperbolehkan menerima atau
memberi apapun kepada nasabah atau relasi bisnis yang dapat mempengaruhi aktivitas
kerja. "Karyawan Mandiri juga diharapkan tepat waktu dan tidak membuat kesalahan.
Kalau itu terjadi, sanksinya berat yaitu dikeluarkan. Sekecil apapun kesalahan kalau
sudah menyangkut kriminal, itu dianggap berat," tegas Nengah.
Perlukah SQ diterapkan di Bank Mandiri terutama dalam rekrutmen atau training? Nengah
menjawab bahwa untuk rekrutmen, Bank Mandiri sudah punya empat jalur rekrutmen,
yaitu jalur front liner, jalur pegawai back office yang sifatnya klerikal, jalur ODP, dan jalur
berpengalaman atau special hire. Bahkan untuk level Vice President dan Senior Vice
President ke atas, digunakan pula assessment center. "Setiap karyawan diklasifikasi
berdasarkan pertimbangan kemampuan keahlian masing-masing agar ke depannya kami
bisa memiliki standar perilaku yang benar."
Bank Mandiri sendiri menganut paradigma, dalam manajemen etika di setiap orang
adalah strategy partner. Sebagai aset, karyawan diperlakukan secara strategi, jadi harus
menghasilkan suatu nilai terhadap perusahaan. Itu kewajiban para manajer untuk me-
maintain-nya, supaya si aset ini memberikan return yang paling maksimal. Sebagai
partner, harus memberikan reward, ada insentif berbasis kompetensi. Mereka yang
memberikan return yang baik, disamping dapat reward mereka juga dapat investasi
dalam bentuk pendidikan yang lebih.
"Jadi, yang namanya EQ dan SQ itu memang sudah diterapkan di kami walau istilahnya
beda tapi maknanya sama," jawabnya lagi. Sehingga jika sekarang banyak bermunculan
orang-orang dengan metode EQ dan SQ seperti Ary Ginanjar, Steven Covey, I Gede
Prama, diakui Nengah itu bukanlah hal yang baru. "Itu sudah lama ada, jadi hanya
tambahan saja. Tapi hal ini bagus, Kami tidak berdasarkan mereka, tapi apapun yang
muncul dalam itu, ada dalam proses kami." Bank Mandiri memang mencari kader yang
memiliki potensi tersebut. Lanjutnya, EQ dan SQ kan bukan hanya satu faktor
kompetensi, tapi dari berbagai kompetensi. Apalagi mengingat perilaku yang
diproyeksikan Bank Mandiri adalah untuk kepentingan jangka panjang.
Bukan Menggantang Asap - Bank BNI
No. 12 - Maret 2005
Meski kecerdasan spiritual (SQ) sudah mulai menjadi pembicaraan perusahaan di
Indonesia, namun pengukurannya menjadi kendala bagi beberapa perusahaan untuk
penerapannya. Salah satunya adalah Bank BNI. Bank yang berdiri sejak tahun 1946 ini
cukup kesulitan dalam mengimplementasikan khususnya dalam hal rekrutmen dan
asesmen center milik bank tersebut.
Menurut Apin Aviyan, Pemimpin Kelompok Rekrutmen & Asesmen Center Bank BNI,
penerapan SQ khususnya untuk asesmen center dan rekrutmen dinilai cukup sulit,
kendati pihaknya sudah berusaha beberapa kali untuk menerapkan hal tersebut sebagai
salah satu sarana asesmen. "Terus terang, kami masih kesulitan untuk dapatkan alat
ukurnya," kata Apin.
Kendati saat ini ada beberapa perusahaan pernah menggunakan SQ, tapi ia menilai
sifatnya sebatas inventori, hanya mengisi formulir saja sehingga hasilnya yang keluar
hanya berdasarkan skala saja. "Tapi itu belum bisa dipercaya sebagai yang
mencerminkan SQ." Apalagi banyak yang beranggapan kalau SQ erat kaitannya dengan
kejujuran dan intregitas. "Saya belum melihat adanya korelasi antara seseorang ikut SQ
dalam bentuk training atau asesmen bisa dikatakan bahwa dia berhasil meningkatkan
kejujuran dan integritas. Itu masih belum dibuktikan secara empiris bahwa itu bisa jadi
dasar kami untuk melakukan implementasi di asesmen tempat kami," sambungnya.
Integritas dan kejujuran, memang menjadi hal yang paling utama di perusahaan
perbankan. Namun, hal itupun menurutnya cara pengukurannya secara formal masih
belum ada. la menyebutkan, ada beberapa perusahaan yang mengukur kejujuran dengan
cara cross check atau melalui referensi. Artinya, faktor performance seseorang dicek
dimanapun ia bekerja. "Kadangkala, kami butuh alat ukurnya seperti apa yang bisa
mengetahui kejujuran. Cara itu yang susah. Nah, SQ menawarkan hal itu," imbuh Apin
yang masih belum bisa mempercayai bahwa SQ memiliki validitas tinggi.
Sejauh ini, pengukuran kejujuran karyawan BNI hanya dilakukan sebatas wawancara saja.
Dari sisi kredibilitas, ia menganggap cara tersebut sudah cukup memadai dalam hal
informasi. Namun, ditegaskan lagi, seberapa besar tingkat validitas masih belum
dirasakan secara kasat mata
Implementasi secara formal adalah bagaimana seseorang mensarikan nilai-nilai yang ada
dalam agama, kemudian itu dijadikan dasar untuk meningkatkan spiritual dan kecerdasan
emosi (EQ) dalam bekerja. Bank BNI masih mengkaji untuk mengimplementasikan SQ di
tempat kerja dan bagaimana meningkatkan kontribusi karyawan di tempat kerja.
Nilainya, aku Apin, bisa saja dalam bentuk inventori menggunakan kertas dan pensil, ada
beberapa pernyataan yang nanti dijawab oleh responden. Kemudian dikoreksi oleh
valuatornya sehingga valuator bisa mengatakan bahwa SQ responden tersebut tinggi
atau rendah. "Kami belum bisa melihat, makna dari hasil itu sebagai sesuatu yang bisa
berubah pada diri seseorang."
Pemikiran ini yang mendasari pihak BNI untuk belum menerapkan SQ di dalam rekrutmen
dan asesmen center. Bahkan, BNI tidak akan menerapkan SQ jika ternyata tidak bisa
mempertanggungjawabkan secara metodologis bagaimana penggunaan SQ dan alat
ukurnya.
Uniknya, kendati Bank BNI masih kesulitan dalam mencari alat ukur SQ untuk rekrutmen
dan asesmen center, justru SQ telah diberlakuk5n di training karyawan BNI. Hal ini telah
berlangsung selama tiga tahun dengan menggunakan jasa Ary Ginanjar dan Toto
Tasmara. Dalam setiap pelatihan, ada pengukuran SQ sebagai dasar bagaimana
karyawan BNI bisa bekerja dengan jujur dan baik. Ini diterapkan untuk seluruh karyawan,
mulai dari level bawah hingga level atas, baik pegawai baru rnaupun pegawai lama, yang
sifatnya menumbuhkan kesadaran tentang kejujuran dan integritas karyawan "Tapi, tetap
kami menganggap bahwa belum ada data empiris bagaimana manajemen training bisa
klop di tempat kerja," tegasnya kembali.
Bukan Menggantang Asap - Bogasari Flour Mills
No. 12 - Maret 2005
Manusia sebagai aset penting dalam organisasi menjadi penentu organisasi di masa yang
akan datang. Pembekalan kompetensi menjadi sangat penting demi bertahannya
organisasi tersebut. Seyogyanya, pembekalan ini menyentuh pada aspek manusia dan
aspek teknis. Sayangnya, masih ada perusahaan yang terkadang hanya membekali
karyawannya sebatas kompetensi secara teknis. Menurut Agus Budi Wasono, Senior Vice
President HR Bogasari Flour Mills, kompetensi teknis dari setiap individu dipengaruhi oleh
kecerdasan intelektual atau IQ, sedangkan kompetensi sosial erat dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi atau EQ.
Perilaku yang dimunculkan seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi yang
diyakininya. Dalam sebuah organisasi perlu diterapkan nilai-nilai yang diyakini dapat
menyatukan anggotanya. Dengan dibentuknya nilai-nilai itu, pada akhirnya
mempengaruhi gaya atau perilaku seseorang. "Memang ada perusahaan-perusahaan
yang mempunyai budaya perusahaan yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai yang
dianggap sebagai satu hal inti seperti kejujuran dan integritas," ungkap pria yang kerap
disapa Sonny.
Kecerdasan emosional (EQ) erat dikaitkan dengan kecerdasan spiritual (SQ) yang mulai
marak dibicarakan. Menurut Sonny, apapun yang dimunculkan dalam perilaku adalah
wujud dari sebuah pergulatan intelektual dan spiritual yang dimunculkan melalui emosi.
"Orang bisa saja pandai, tapi kok dia jadi jahat?" katanya. Sehingga untuk mencari akar
permasalahan harus ada sesuatu yang diyakini orang tersebut, yang mungkin dikenal
dengan nama SQ. secara psikologis, SQ adalah kepercayaan seseorang pada suatu
kebenaran. "Spiritual itu mengatur kebenaran sehingga kalau dasarnya yang benar
keluar, maka luapan emosi pun akan ke arah sana," ujarnya.
Sayangnya, SQ yang baik tidak menjamin seseorang akan memiliki EQ yang baik pula.
Meski ada jaminan bahwa orang yang berpikiran baik, akan menunjukkan hasil yang baik,
tapi belum tentu bermanfaat bagi orang lain. Karena itu, dibutuhkan sistem nilai-nilai
atau perilaku yang sebaiknya dimunculkan, terutama dalam sebuah perusahaan.
Bogasari sendiri punya lima nilai yang diyakini sejak tahun 2000 sebagai suatu landasan
etika dalam bertindak maupun berperilaku terutama di Bogasari. Kelima nilai tersebut
adalah kejujuran, kepedulian, kebersamaan, keunggulan dan keterbukaan. Ini adalah
dorongan untuk manusia sehingga dia mempunyai ciri tertentu. "Warna itu bisa saja
umum, seolah-olah bentuknya seperti SQ, tapi menjadi khas karena dikaitkan dengan
misi usaha," tukasnya.
Organisasi perlu mengukur sejauh mana anggotanya sudah berperilaku sesuai dengan
nilai yang disepakati. Pengukuran yang dilakukan Bogasari hanya menitikberatkan pada
perilaku yang dimunculkan, belum pada tingkat keyakinan mengingat alat ukur SQ itu
sendiri masih sulit. "SQ itu memang satu hal yang perlu diberikan ke manusia dalam
organisasi, tapi untuk mengukurnya, kembali lagi kinerja dan perilaku karena itu yang
mudah," katanya panjang lebar.
Untuk bisa menjamin suatu kejujuran, sistem menjadi syarat utama karena sistem yang
membatasi karyawan. Jika karyawan keluar dari rambu sistem, barulah perusahaan
melihat dan menilai. "Kalau kami bicara masalah keberhasilan dari budaya perusahaan,
kami memang melihat dari perilaku karena itu yang kasat mata. Tapi untuk mengatur
keyakinan, koridornya tetap saja susah karena tidak bisa dilihat," ungkap Sonny.
Bahkan untuk menegakkan integritas, Bogasari membuat aturan main dengan berbagai
cara, mulai dari syarat-syarat kerja, perjanjian kerjasama antara karyawan dengan
perusahaan, adanya kebijakan-kebijakan perusahaan, adanya prosedur-prosedur untuk
menghindari pungli atau korupsi dan sebagainya.Jika ada pelanggaran oleh karyawan
terhadap nilai-nilai dari sistem yang diberlakukan, maka perusahaan akan menerapkan
sanksi mulai dari yang ringan hingga terberat seperti pemutusan hubungan kerja.
Meski sempat terpikir untuk memasukkan SQ dalam rekrutmen atau training, Soni
mengakui bahwa Bogasari belum bisa melakukan hal itu. Bukan karena SQ adalah
sesuatu hal yang tidak perlu. "Kami percaya bahwa banyak yang mengatakan bahwa SQ
sifatnya umum atau universal. Sayangnya, contoh-contoh yang digunakan banyak
memakai agama tertentu."
Secara eksplisit, SQ terkesan belum diterapkan di Bogasari. Namun secara umum,
sebenarnya sudah banyak perusahaan atau organisasi termasuk Bogasari sendiri
menerapkan SQ, misalnya dalam bentuk kegiatan seperti sembahyang bersama,
mendengarkan ceramah dan sebagainya. "Itu kan sebenarnya bagian dari SQ juga.
Hanya kemasannya saja yang beda. Saya yakin, dalam bentuk kehidupan manusia, ini
sudah diterapkan. Cuma, secara sistemasi, SQ baru-baru saja," papar Soni mengakhiri
perbincangan.
Bukan Menggantang Asap - PT. Elnusa
No. 12 - Maret 2005
Implementasi ESQ di PT Elnusa selama ini sudah tertuang dalam nilai-nilai perusahaan,
yakni clean, respecfull, and synergy. Tiga semboyan itu, menurut Odang Supriatna, HR
Manager Elnusa, telah ditanamkan kepada seluruh karyawan. Dengan prinsip itulah
Elnusa mencoba mengelola perusahaan secara lebih bersih dan beretika.
Ketiga unsur tersebut, menurut Odang Supriatna, merupakari satu kesatuan yang
diharapkan dapat membentuk jati diri setiap individu yang ada di Elnusa. Clean berarti
karyawan harus bersikap jujur dan menjunjung tinggi etika bisnis. Respectfull, merupakan
bentuk penghargaan dan memahami orang Sedangkan empati adalah sikap untuk mau
mendengar orang lain yang pada akhirnya terbentuk sinergi atau kerja sama.
Elnusa kini didukung oleh sekitar 280 orang karyawan. Sebagai perusahaan yang banyak
melibatkan subkontraktor dan supplier, Elnusa memang rentan terhadap praktek kolusi,
korupsi dan nepotisme. Namun, lanjut Odang, manajemen sudah menetapkan garis batas
operasional perusahaan yang secara tegas melarang setiap karyawan menerima komisi
dari pihak lain "Di Elnusa sudah tumbuh budaya bahwa menerima komisi merupakan
suatu aib yang sangat besar," kata Odang.
Untuk menggali tiga inti pokok tersebut Elnusa telah menerapkannya sejak tahap
perekrutan. Misalnya, dengan menggali aktivitas seorang calon karyawan selama sehari
dari pagi hingga malam. Begitu juga mengenai hobi, dan sebagainya Dengan cara itu,
kata Odang, ia bisa mengetahui bahwa karyawannya termasuk orang yang taat
beribadah atau tidak, apakah ia peduli dengan orang lain, apakah ia bertanggung jawab
terhadap keluarga dan lingkungannya dan sebagainya. "Dalam psikotes kan tidak pernah
ditanyakan apakah seorang calon karyawan menjalankan ibadah sholat atau tidak," tukas
Odang.
Menurut Odang, Elnusa sudah lama memahami bahwa karakter seorang karyawan
berperan sangat besar dalam mempengaruhi budaya perusahaan. Oleh karena itu, ketika
ada pelatihan mengenai ESQ, pihaknya langsung mendaftar sebagai peserta. Alasannya,
ia melihat dari sisi praktisnya, bahwa mengajarkan sesuatu yang berkaitan dengan soft
competence dan kejujuran jauh lebih sulit ketimbang melatih karyawan untuk mengerti
komputer atau akuntansi, misalnya.
Berangkat dari pemahaman tersebut, lanjut Odang, pihaknya menemukan konsep SQ
yang belum ditemukan di pelatihan lain. Awalnya, karyawan Elnusa mengikuti ESQ yang
diajarkan oleh Ary Ginanjar pada sekitar 3,5 tahun lalu melalui Elnusa Workover Service.
Ternyata, kata Odang materi yang disampaikan sangat bagus. Kemudian, Odang
mengusulkan agar seluruh karyawan Elnusa, mulai dari direksi hingga staf mengikuti
ESQ.
Pada awalnya, kata Odang, pihaknya tidak mengukur dampak pelatihan ESQ terhadap
perusahaan. Namun setelah berlangsung beberapa kali, ia melihat ada perubahan
perilaku karyawan yang berdampak positif terhadap perusahaan. Manfaat utama dari
pelatihan tersebut adalah munculnya kesadaran terhadap nilai hakiki manusia.
Menurut Odang ESQ bukan pelajaran agama, tapi lebih menekankan pada nilai-nilai
spiritual. Value tersebut dimasukkan dengan sangat efektif. la menyebut contoh, untuk
menerapkan perubahan jam masuk kerja dari jam 8 ke jam 7 pagi, butuh waktu satu
tahun untuk meyakinkan. Artinya, banyak orang yang dengan alasan kemacetan bukan
kerjaan, korupsi waktu. Karena itu, di perusahaan harus ada sistem.
Karyawan yang terlambat diberi surat peringatan. "Kalau saya tidak jujur, saya akan
merugikan diri sendiri dan orang lain. Saya juga akan dipecat oleh perusahaan," kata
Odang. Nah, nilai-nilai spiritual inilah yang dicoba dimasukkan sebagai ke dalam
perusahaan, sehingga pada setiap karyawan tumbuh kesadaran untuk senantiasa
berbuat baik. "Kalau sudah masuk ke dalam sistem perusahaan akan indah sekali," kata
Odang membayangkan.
Bukan Menggantang Asap - Hotel Nikko Jakarta
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan spiritual (SQ) tidak terfokus pada satu bidang perusahaan saja. Hal ini juga
dibutuhkan oleh semua bidang industri tanpa pengecualian. Berikut pendalaman Human
Capital terhadap kebutuhan kecerdasan spiritual di hotel Nikko Jakarta.
Berbeda dengan kesadaran akan pentingnya kecerdasan spiritual yang kini mulai
dipertimbangkan banyak perusahaan ternyata untuk bidang hospitality seperti
perhotelan hal itu sudah dirasakan sangat penting sekali sejak lama. Menurut Djarat
Basuki, HRD & GA Administration Director Hotel Nikko Jakarta, hal ini dikarenakan bahwa
ini adalah industri yang bergantung penuh pada orang.
Kebutuhan akan kecerdasan spiritual itu penting karena secara umum bisnis perhotelan
atau pariwisata ini tergantung penuh pada kepribadian manusianya. Di sini dituntut orang
yang memiliki kepribadian yang menarik atas dasar ketulusan, jadi tidak bisa diubah-
ubah. "Sudah dari dulu itu sudah jadi bahan pertimbangan yang penting," kata Djarot.
Kecerdasan spiritual bisa terlihat dengan cara wawancara. Dengan mencoba bicara
secara terbuka dalam artian jangan melakukan wawancara dalam suasana yang tegang
sama seperti saat ujian. "Saat interview, untuk level tertentu seperti manajerial ke atas,
saya selalu melakukan interview dengan cara mengajak mereka minum dengan begitu
suasana yang tercipta adalah suasana yang penuh keterbukaan," terangnya. "Jika
suasana tegang seperti saat ujian, kita tidak akan mendapat apa-apa," tambahnya lagi.
Jika seseorang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, maka yang dapat terlihat adalah
kestabilan kepribadian seseorang tersebut. Misalnya untuk kerja di perhotelan setiap
orang harus bisa melayani orang lain. Untuk dapat melayani orang lain itu hanya bisa
dilakukan oleh orang yang memiliki kestabilan kepribadian sehingga dapat menjiwai
pekerjaannya.
Menurut Djarot, di Hotel Nikko perimbangan bagi kecerdasan intelektual dan spiritual ini
berkisar antara 30%-70%, karena untuk pekerjaan yang berorientasi pada manusia yang
bersifat 'melayani',yang sebenarnya bukanlah hal yang sulit, tetapi kalau dia itu tidak
benar-benar merasa terpanggil untuk itu, tetap saja hal yang sulit.
Pelatihan yang spesifik mengenai kecerdasan spiritual, dikatakan Djarot memang belum
ada. "Saya berencana untuk menerapkan itu di sini, tetapi saya belum menemukan
metode ilmiah yang pas dengan pengertian ada parameter-parameter yang diaplikasikan
dan menghasilkan output yang bagus," terangnya.
Jadi untuk mengembangkan kecerdasan spiritual karyawan selama ini, menurut Djarot,
cara yang paling efektif adalah dengan cara menjadi contoh hidup untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini dilakukan dengan menyadari bahwa
budaya bangsa Indonesia lebih ke budaya melihat ke atas, sehingga kalau di atas itu
bagus, maka mereka juga akan berusaha untuk bagus, begitu juga sebaliknya.
Memahami pengertian kecerdasan spiritual dan emosional, menurut Djarot
pengertiannya hampir sama, tetapi bagi kecerdasan spiritual itu lebih mendalam. Karena
kalau hanya
kecerdasan emosional atau dikatakan emosi saja itu akan sulit. "Emosi seseorang itu
mempunyai batasan yang pendek, sehingga akan lebih mudah tidak terkontrol," ujarnya.
Jika dikaitkan dengan niiai-nilai agama, kecerdasan spiritual bisa juga terkait. Namun
walaupun seseorang telah memiliki agama yang baik, belum tentu memiliki kecerdasan
spiritual yang baik pula. "Mungkin hanya sekitar 50% saja, karena kecerdasan spiritual
bukan hanya menyangkut dasar agama tapi juga ketulusan dalam menjalankan
pekerjaannya, itu jika disangkutpautkan dengan pekerjaan," jelasnya.��
Mengadopsi Nilai-nilai Spiritualisme 1
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan spiritual berbeda dengan kecerdasan emosional, namun keduanya bisa saling
memperkuat. Tantangan terbesar adalah bagaimana kecerdasan spiritual ini menjadi
dasar dalam pengelolaan sumber daya manusia organisasi. Sebab yang selama ini
dikenal hanya kriteria-kriteria berdasarkan kecerdasan emosional.
Dunamis Organization Services
PERLU MENGARTIKAN KECERDASAN SPIRITUAL SECARA 'MAKNA'
Pengakuan akan pentingnya kecerdasan spiritual atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Spiritual Quotients (SQ) bagi pengembangan dan pencapaian visi dan misi sebuah
perusahaan semakin dirasakan banyak pihak. Pelatihan-pelatihan mengenai hal tersebut
juga mulai dirasakan perlu.
Meski tengah marak dibicarakan, seringkali terjadi kerancuan terhadap pengartian dari
kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual, menurut Nugroho Supangat, Managing Partner
Dunamis Organization Services, sebaiknya terlepas dari kajian keagamaan, meski
diakuinya penerapan kecerdasan spiritual di Indonesia masih belum bisa diberlakukan
seperti itu.
Digambarkan bahwa manusia itu mempunyai empat macam kebutuhan pokok yaitu
kebutuhan fisik (to live), sosial (to love), mental (to learn) dan spiritual (to leave a
legacy). Di sini, kecerdasan spiritual termasuk dalam kebutuhan spiritual, jadi terkait
lebih pada kontribusi manusia kepada negara, lingkungan dan perusahaan. Namun
dikatakan Nugroho, mungkin saja di dalamnya tetap terkandung nilai-nilai agama.
Manusia sebagai professional pasti juga memiliki kebutuhan spiritual itu. Tapi sebagian
besar banyak yang mengartikan hal itu pada keagamaan, itu sesuai dengan pengartian
spiritual yang mendasar.
Tidak seperti kecerdasan intelektual yang memiliki alat ukur yang jelas, kecerdasan
spiritual tidak bisa diukur dengan cara yang serupa. Jika kecerdasan spiritual yang
dibicarakan terkait dengan kebutuhan spiritual yaitu meninggalkan karya dalam hidup
menurut Nugroho, masih bisa diukur, tetapi jika terkait dengan nilai keagamaan, tentu
sangat sulit untuk melakukan pengukuran yang dimaksud.
Untuk mengukur karya yang akan ditinggalkan berarti terkait dengan kontribusi manusia
tersebut pada lingkungan atau perusahaan, salah satu hal yang bisa dijadikan indikator
adalah nilai kejujuran. Perusahaan BUMN di Indonesia juga mulai mempertimbangkan
nilai kecerdasan spiritual ini, yang menurut Nugroho mungkin disebabkan agar dapat
menurunkan dan menghindari tingkat kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang terjadi.
Perlu juga ditegaskan perbedaan dari kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan emosional terkait lebih pada tingkah laku sosial manusia. Menurut Daniel
Goleman, orang-orang yang memiliki keseimbangan emosional yang bagus itu lebih
gampang disukai orang lain. Dan hal ini mungkin akan mambawa dampak orang tersebut
akan berhasil, dengan kata lain ini lebih bersifat horizontal. Sedangkan kecerdasan
spiritual lebih dikaitkan dengan nilai-nilai moral keagamaan atau bersifat vertikal. Dan
tempat seperti ESQ diyakini mencoba menggabungkan keduanya.
Adanya tren di mana perusahaan rnulai mempertimbangkan pentingnya kecerdasan
spiritual ini, menurut Nugroho, belumlah lama. Mulanya semua orang tahu kecerdasan
intelektual yaitu komponen kompetensinya seseorang. Setelah itu orang baru menyadari
bahwa orang yang pintar saja tapi tidak bisa bergaul itu juga sulit. Saat 7 habits mulai
dikenal, di sini mengangkat dua hal yaitu character and competence. Character adalah
kecerdasan emosional dan competence adalah kecerdasan intelektual. Setelah itu orang
mulai berpikir bahwa nilai-nilai agamis juga mestinya lebih dikedepankan.
Melihat antusias orang mengikuti pelatihan ESQ, Nugroho rnemandangnya sangat luar
biasa bagusnya. Seseorang jadi mengerti 'makna', misalnya apa makna pekerjaannya.
Menurutnya, hal ini ada nilai spiritualnya tetapi bukan nilai keagamaan, karena
sebenarnya spiritual dan keagamaan itu adalah sesuatu yang berbeda. Dijelaskan jika
keagamaan, orang lebih banyak mengambil ritualnya saja, sedangkan spiritual lebih
mengerti akan makna apa yang dikerjakannya. Pengembangan kecerdasan spiritual
dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan atau juga dengan berinteraksi langsung
dengan pihak terkait.
Selama ini dikenal 3I (Intelligence, Initiative dan Integrity). Intelligence itu adalah sesuatu
yang paling mudah diukur, initiative yang agak sulit karena hampir semua orang yang
dites mengaku mampu melakukan apapun tetapi begitu masuk dia hanya diam dan
menunggu perintah. Oleh karena itu initiative harus dilihat pada masa percobaan. Tapi
kalau integritas itu lebih susah lagi, dalam waktu tiga bulan belum tentu perusahaan tahu
mengenai integritas seseorang. Jika membicarakan kecerdasan spiritual adalah
integritasnya dan ini butuh waktu yang agak panjang untuk mengetahuinya.
Jika membicarakan spiritual secara 'makna', menurut Nugroho, bisa dikaitkan sebagai
bagian kecerdasan spiritual, tetapi jika dikaitkan secara sempit sebagai spiritual agama,
ini tidak bisa dikaitkan seperti itu. Jadi bisa terlihat kecerdasan spiritual yang berkembang
di luar negeri seiring dengan perkembangan 8 habits adalah yang berkaitan dengan
'makna', sedangkan di Indonesia kecerdasan spiritual yang berkembang kental sekali
dengan nilai keagamaan. Untuk permulaan, pengartian dikaitkan dengan keagamaan
menurut Nugroho, tidak apa-apa, tetapi lebih baik jika pengertian tersebut dilakukan
secara 'makna'.
Mengadopsi Nilai-nilai Spiritualisme 2
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan spiritual berbeda dengan kecerdasan emosional, namun keduanya bisa saling
memperkuat. Tantangan terbesar adalah bagaimana kecerdasan spiritual ini menjadi
dasar dalam pengelolaan sumber daya manusia organisasi. Sebab yang selama ini
dikenal hanya kriteria-kriteria berdasarkan kecerdasan emosional.
MM UI
KESEIMBANGAN KETIGANYA SANGAT BERGUNA BAGI PERUSAHAAN
Fenomena baru, di mana manusia tidak hanya dipertimbangkan tingkat kecerdasan
intelektual (IQ) dan emosinya (EQ) saja, tetapi mulai dilirik tingkat kecerdasan
spiritualnya (SQ). Hal ini terlihat dengan bermunculannya pelatihan-pelatihan yang
mencoba mengembangkan kecerdasan spiritual seperti ESQ. Sebenarnya apakah yang
dimaksud dengan kecerdasan spiritual (SQ) itu?
Membahas mengenai kecerdasan spiritual, Riga Adiwoso, Dosen MMUI, menjelaskan
perbedaan dari bermacam kecerdasan yang telah dikenal. Secara garis besar, menurut
Riga, jika dibandingkan, kecerdasan intelektual itu bicara mengenai kemampuan berpikir,
kecerdasan emosional itu lebih bicara dari segi kemampuan untuk mengendalikan atau
mempunyai perasaan seperti empati, bagaimana mengatasi kemarahan, sedangkan
kecerdasan spiritual, bicara lebih pada aspek manusia yang berkaitan dengan hal-hal apa
yang ada di dalam diri manusia tersebut. Dengan kata lain bagaimana manusia melihat
apa misi dari kehidupan, lalu arti bekerja dan sebagainya.
Selama ini terkesan ada salah pengertian bahwa kecerdasan spiritual itu sama dengan
moralitas dan keagamaan, tetapi pada kenyataannya bukanlah itu. Dalam nilai agama,
menurut Riga, banyak orang yang hanya berpikir bagaimana caranya masuk surga tanpa
memperdulikan orang lain. Ini berarti seseorang bisa saja sangat relijius tetapi tidak
memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Karena yang disebut kecerdasan spiritual itu
awalnya adalah dalam diri manusia itu bagaimana seseorang melihat hubungannya
dengan pihak lain.
Dikatakan Riga, melalui pandangan kecerdasan spiritual yang sesungguhnya, dapat
dijadikan alat untuk bisa membagi dan mengkategorikan tipologi manusia yaitu:
Pertama, Conventional Type, yang lebih mengarah pada nurani manusia. Seseorang akan
merasa hidup itu lebih pada menjalankan kewajiban-kewajibannya. Kedua, Social Type,
lebih ke arah bahwa manusia itu akan merasa hidup memiliki nilai jika dia bisa bergaul
dan memiliki teman yang banyak. Ketiga, Investigative Type, lebih ke arah ketika
seseorang melihat sesuatu dan membuat cara berpikirnya adalah harus lebih tahu dan
menggali lebih dalam lagi.Keem-pat, Artistic Type, itu lebih ke arah sisi musik, seni,
sastra. Kelima, Realistic Type, tipe ini lebih pragmatis artinya seseorang bisa berpikir
dalam kondisi tertentu apa yang harus dilakukan. Keenam, Enterprising Type, seseorang
dalam tipe ini biasanya punya aspek untuk mengambil suatu resiko, kemampuan untuk
lebih melihat bahwa hidup adalah suatu permainan dan dia akan mau mengambiI resiko.
Jika kemudian dalam manajemen sumber daya manusia, menurut Riga, hal ini mulai
dipertimbangkan karena ada perasaan atau opini bahwa seseorang dengan kecerdasan
intelektual yang baik belum tentu stabil secara emosional dalam arti kedewasaan, tetapi
juga ketika harus mempunyai visi, dalam proses pengambilan keputusan kecerdasan
spiritual yang bermain.
Disitulah kecerdasan spiritual dianggap penting dan menjadi pondasi dasar dan
bagaimana seseorang melihat hidup. Jadi ada asumsi yang kurang benar yang
menganggap kecerdasan spiritual itu berkaitan dengan keagamaan. Dikatakan Riga,
keagamaan itu adalah hal lain, karena itu adalah persoalan individu yang berkaitan
dengan kewajiban yang terkait dengan alam baka. Kecerdasan spiritual lebih ke arah
nurani seseorang. Dengan kata lain kecerdasan spiritual lebih ke arah perkembangan diri
pribadi dalam artian keseluruhan.
Perusahaan-perusahaan mulai menggali kecerdasan spiritual dari para karyawannya
dikarenakan ada kaitan antara kompetensi dengan kecerdasan spiritual. Dimisalkan pada
kondisi ada keputusan yang sangat penting yang tidak ada rumusannya itu akan kembali
pada nurani seseorang tersebut, dan ini membutuhkan kecerdasan spiritual yang sangat
baik.
Pada prinsipnya kecerdasan spiritual sudah ada di diri manusia tapi masih bisa
dikembangkan seperti halnya bakat. Jadi hal ini merupakan bagian dari proses
pembelajaran. Karena tidak boleh melihat manusia itu sebagai satu dimensi, tapi multi
dimensi dan kecerdasan spiritual adalah bagian dari dimensi lainnya manusia.
Kecerdasan spiritual itu membantu membentuk manusia secara keseluruhan.
Untuk mengukur kecerdasan spiritual, menurut Riga, tidak bisa dilakukan dengan cara
yang dilakukan untuk mengukur kecerdasan intelektual. "Saya pribadi melihat bahwa
mengukur dengan menggunakan metodologi score itu tidak begitu suka," kata Riga.
"Saya lebih ke arah kualitatif," tambahnya.
Jadi untuk mendalami kecerdasan spiritual itu paling baik melalui tehnik interview,
misalnya menanyakan pada kondisi tertentu seseorang akan melakukan apa. Menurut
Riga jika secara kuantitatif, meskipun sudah banyak alat yang dikembangkan, akan
mungkin banyak hal yang terlewatkan. Kecerdasan spiritual baru bisa terlihat dalam
kondisi orang tersebut harus bertindak.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa sangat penting bagi perusahaan untuk memiliki
karyawan dengan tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi. Memang penting kecerdasan
intelektual, emosional dan spiritual saja yang baik, tetapi diperlukan keseimbangan
ketiganya yang akan membuat seseorang bisa bekerja dengan baik untuk ikut
mengembangkan perusahaan.
Mengadopsi Nilai-nilai Spiritualisme 3
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan spiritual berbeda dengan kecerdasan emosional, namun keduanya bisa saling
memperkuat. Tantangan terbesar adalah bagaimana kecerdasan spiritual ini menjadi
dasar dalam pengelolaan sumber daya manusia organisasi. Sebab yang selama ini
dikenal hanya kriteria-kriteria berdasarkan kecerdasan emosional.
Daya Dimensi Indonesia
BUILDING TRUST BERBASIS PADA KECERDASAN SPIR ITUAL
Kecerdasan spiritual atau SQ, tak lepas kaitannya dengan Yang Maha Kuasa. Segala
tindak tanduk manusia di muka bumi ini, selalu berkaitan dengan Yang Di Atas. Dalam
SQ, kejujuran adalah kunci utama seseorang baik dalam pergaulan maupun dalam
pekerjaan.
Menurut Sintawati Putri, salah seorang Senior Consultant Daya Dimensi Indonesia (DDI),
apapun yang dikerjakan seseorang, ia meyakini bahwa Tuhan akan selalu melihatnya.
"Apa saja yang kita lakukan adalah untuk Tuhan. Semua yang kita kerjakan berdasarkan
nilai-nilai llahi. Kita diingatkan bahwa hubungan kita juga harus ke atas, tidak hanya ke
samping," tukas Sinta, panggilannya. Apa yang dilakukan manusia tersebut muncul
dalam bentuk perilaku (EQ) sehingga tak heran jika SQ dan EQ, sangat erat kaitannya.
"Apa yang dimunculkan dalam perilaku juga berkaitan dengan hubungan kita dengan
Tuhan," paparnya.
Dimensi-dimensi yang ada di DDI selama ini sebagian besar lebih kepada pengukuran EQ.
Diakui, kecerdasan intelektual (IQ), hanya 20% berperan dalam keberhasilan seseorang,
sedang sisanya dimiliki EQ. "Sekarang ada SQ yang sebenarnya lebih terkait pada EQ,"
tutur Sinta sambil menambahkan bahwa sejak tahun 1980-an, semacam SQ seperti
manajemen etik dan etika sudah ada di Amerika Serikat.
DDI sendiri memiliki satu dimensi yang disebut building trust,yang terkait erat dengan
SQ. Building trust adalah membangun kepercayaan bagi orang lain. Salah satu perilaku
kunci dalam building trust adalah operate with integrity. Di dalamnya terdapat
demonstrates honesty, keeps commitments, dan behaves in a consistent manner. "Cuma,
memang tidak bisa mengukur kejujuran 100%," lanjutnya. DDI bisa mengukur hal
tersebut sehingga bisa tampil dalam diri si peserta. "Kalau orang sudah terinternalisasi,
sudah pasti operate with integrity-nya bagus. DDI sudah memikirkan bahwa itu adalah
SQ, tapi metode DDI lebih kepada perilaku," tukas Sinta antusias.
Berapa lama seseorang bisa mempertahankan kesadaran diri sendiri tentang spiritual ini,
menurut Sinta, bukan tergantung dari pelatihan spiritual yang kita lakukan. Justru
jawabannya adalah dengan berdoa atau sembahyang. "Kalau di Islam ada Shalat. Dalam
membaca Bismillah saja, artinya adalah Atas Nama Tuhan. Jadi, apapun yang kita lakukan
adalah atas nama Tuhan. Itu maknanya berat sekali. Itu juga cara untuk me-maintain
integritas kita," imbuh wanita yang pernah mengikuti kegiatan ESQ milik Ary Ginanjar
beberapa waktu lalu.
Dikatakan lebih lanjut, jika seseorang berbeda apa yang diucapkan dengan yang
dilakukan, maka integritasnya menjadi nol. Namun, apakah spiritual yang tinggi sangat
dibutuhkan oleh perusahaan, ia kembali menekankan bahwa hal itu bisa diukur
berdasarkan dimensi building trust milik DDI. "Kalau building trust-nya besar, saya kira
lebih baik. Sudah terbukti kalau ternyata perusahaan akan lebih memilih orang yang
jujur, bukan hanya sekedar pintar." Ditegaskan, tidak ada jaminan kalau orang yang SQ-
nya rendah, berarti dia bukanlah orang baik. "Tapi, kalau orang yang perilakunya tidak
jujur, tidak komitmen, berarti orang itu tidak baik di perusahaan."
Dimensi building trust, dinilainya, paling bagus jika dijadikan core competency di setiap
perusahaan. Semua karyawan, orang dan level bawah sampai atas harus punya
kompetensi itu atau integritas. Lain hal jika sudah menyangkut pekerjaan yang lebih
spesifik, maka akan jadi tambahan yang berbeda. "Jika ada satu orang yang melenceng
dari nilai inti ini, lebih baik dihapus saja orang ini," ujarnya sambil tersenyum.
Sementara itu, Dwiputri Adimuktini, Corporate Marketing Manager DDI, menambahkan
bahwa building trust itu tidak hanya sekedar operates with integrity saja, tapi juga ada
discloses own positions, remains open to ideas dan supports others. "Building trust ini
adalah hal yang sangat kritikal untuk mendukung empowering culture organization. Kami
berusaha melakukan agar orang lain bisa berperilaku yang sama dengan kami harapkan,"
ujarnya menimpali.
Kendati belum ada rencana untuk memasukkan SQ dalam assessment center, pihak DDI
belum berencana untuk itu. "Kami hanya sebatas karyawan DDI disertakan dalam
pelatihan ini. ESQ itu hanya satu sarana saja. Jika sudah dikaitkan dengan pekerjaan,
keluarnya adalah SQ," sambung Sinta. Seseorang yang terbiasa dengan marah- marah
jika ada anak buah yang membuat kesal, dengan mengikuti pelatihan tersebut bisa
meredam amarah itu. Jadi, ESQ milik Ary Ginanjar tersebut hanya memperkuat sifat-sifat
yang positif seperti sabar, jujur, atau penyayang.
Perilaku tersebut dikaitkan dalam simulasi DDI saat peserta memanggil anak buahnya
yang bermasalah. Yang paling mendasar adalah bagaimana seseorang berempati atau
men-support seseorang. "Setiap orang pasti ingin dihormati atau direspek oleh orang
lain. Itu semua sifat Tuhan, Cuma tergantung kita apakah kita memanfaatkan atau tidak,"
tegasnya lagi.
la menambahkan, ada contoh kasus, seorang pemimpin perusahaan di sebuah daerah,
integritas bawahannya rendah sekali. Kemudian semua anak buahnya disuruh ikut
pelatihan SQ, dalam waktu beberapa bulan, integritasnya menjadi tinggi. "Intinya, setiap
orang bekerja harusnya untuk diri sendiri, bukan karena keterpaksaan, oh saya bekerja
disini harus begini. Buat kami, nilai inti itu adalah untuk menyatukan semua orang yang
ada di dalam organisasi untuk menyatukan visi."
Di samping itu, lingkungan kerja juga sangat membantu. Jika ada teman yang salah,
maka teman yang lain sebaiknya mengingatkan. Dengan begitu, orang akan terbiasa
untuk memperbaiki kesalahannya. "Makanya nilai inti sangat penting sehingga setiap
karyawan ada keterkaitan satu sama lain," ia berimbuh.
Mengadopsi Nilai-nilai Spiritualisme 4
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan spiritual berbeda dengan kecerdasan emosional, namun keduanya bisa saling
memperkuat. Tantangan terbesar adalah bagaimana kecerdasan spiritual ini menjadi
dasar dalam pengelolaan sumber daya manusia organisasi. Sebab yang selama ini
dikenal hanya kriteria-kriteria berdasarkan kecerdasan emosional.
LPPM
KECERDASAN SPIRITUAL MEMADUKAN SEMUA KECERDASAN MANUSIA
Pada dunia sumber daya manusia Indonesia saat ini, berkembang suatu hal yang
mungkin sebenarnya tidak tergolong baru, yaitu pertimbangan akan pentingnya
kecerdasan spiritual bagi perkembangan karyawan dan perusahaan yang terkait.
Pelatihan mengenai kecerdasan spiritual yang kini tengah gencar digaungkan dan
diharapkan dapat membawa dampak positif bagi semua pihak.
Pada awalnya banyak kalangan yang hanya mempertimbangkan kecerdasan intelektual
yang seringkali dilakukan pengukurannya oleh berbagai pihak dan dikenal dengan IQ
(Intellectual Quotients). Mereka menganggap bahwa kecerdasan intelektual sudah dapat
menjamin keberhasilan seseorang untuk ikut membantu mengembangkan perusahaan
tempat mereka bekerja, tanpa disadari masih banyak hal yang mempengaruhi hal
tersebut.
Nina Insania K. Permana, Kepala Divisi Assessment Center LPPM mengatakan bahwa
ramainya upaya penerapan kecerdasan spiritual, baru dilakukan pada kurun waktu
sepuluh tahun terakhir saja. Menurut Nina, sebenarnya, pencarian kecerdasan spiritual
berkembang pada saat seseorang merasakan 'hampa' artinya 'kebahagiaan' yang
sebenarnya dalam kehidupan belum dirasakannya. Orang tersebut masih mencari apa
sebenarnya makna hidup dan bagaimana memaknai hidup sehingga benar-benar
memberikan kebahagiaan sejati.
Hal ini, masih menurut Nina, sebenarnya sudah dirasakan oleh berbagai generasi
manusia jauh sebelum teori SQ yang kini populer. Sebagai contoh, buku-buku Al Ghazali,
para sufi, maupun Dalai Lama telah banyak mengulas berbagai hal tentang proses
transformasi hati, diri maupun jiwa dalam meraih cinta dan kebahagiaan sejati dengan
keimanan pada Ilahi.
Menurutnya, pemberian label kecerdasan spiritual baru populer pada tahun 90-an ini,
ternyata belum mampu menjelaskan tuntas tentang kebahagiaan seutuhnya. Ternyata,
dalam kecerdasan emosional yang lebih membahas hubungan manusia dengan manusia
lainnya, pada prakteknya dalam kesuksesan dan kebahagiaan bukanlah semata-mata
diraih melalui otak maupun emosinya saja, tetapi perlu dilingkupi dengan kesadaran akan
makna serta nilai-nilai yang hakiki, yang lebih dibahas dalam kecerdasan spiritual.
Krisis moneter, bencana alam yang terjadi dalam lima tahun terakhir ini, termasuk
tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara maupun di negara lainnya, membawa
manusia pada suatu kenyataan bahwa walaupun dengan kemajuan teknologi yang maha
canggih dan berkembangnya peradaban sebagai manusia modern yang telah menikmati
berbagai kemudahan, serba ada dan instant namum di sisi lain ada sesuatu yang 'hilang'
dalam diri manusia. Manusia angkuh, merasa percaya diri bisa melakukan apa yang
diinginkannya, namun saat alam dengan kehendak-Nya menyajikan bencana, betapa kita
merasa tak berdaya. Terasa kekeringan secara spiritual telah membuat diri manusia 'lupa'
pada satu hal di mana sebagai manusia sesungguhnya, kita perlu cerdas secara spiritual.
Mengacu pada konsep yang dikemukakan Danar Zohar dan Dr. Ian Marshall mengenai
kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) yaitu kehampaan secara spiritual terjadi
sebagai produk dari IQ yang tinggi. Semakin banyak orang yang pintar namun semakin
banyak masalah yang timbul, karena tidak diiringi dengan kebijaksanaan. Dalam hal ini,
kecerdasan spiritual dapat memadukan semua kecerdasan manusia dan membuat
manusia menjadi utuh secara intelektual, emosional maupun spiritual.
Hal yang menarik dari konsep SQ ini, menurut Nina adalah adanya penjelasan yang
sangat ilmiah dari sudut pandang neuropsikologi, yaitu adanya 'God spot' pada otak
manusia. Melalui simbol bunga teratai yang banyak dipergunakan dalam upacara ritual
dan simbol keagamaan Timur dijadikan ilustrasi oleh Danah Zohar. Manusia digambarkan
memiliki tiga lapisan yang mempengaruhi proses dinamika intelektual-mental
spiritualnya.
Lapisan pertama, yang terdapat di sisi luar (bagian daun) disebutnya sebagai 'lapisan
pinggir ego' (rasional). Lapisan kedua, yang terdapat di tengah, adalah lapisan
penghubung asosiatif (emosional). Lalu, di bagian pusat, lapisan ketiga, adalah
pemersatu (spiritual). Dengan gambaran seperti ini mereka ingin menyatakan bahwa
manusia jelas-jelas berpikir bukan hanya dengan otak tetapi juga dengae emosinya (EQ)
yang akhirnya perlul dilingkupi dengan kesadaran akan makna serta nilai-nilai yang hakiki
(SQ).
Keberadaan kecerdasan spiritual ini mulai dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan
yang menganggap hal ini memang penting. Namun dikatakan Nina, bahwa proses
penanaman kecerdasan spiritual akan lebih baik dalam bentuk pembelajaran melalui
pengalaman. Hal ini bukanlah sesuatu yang harus masuk dalam kurikulum pengajaran
berbasis kompetensi dalam pendidikan formal. Penanaman nilai-nilai moral dan
pengembangan aspek kecerdasan spiritual ini akan jauh lebih berdampak tinggi bila
ditanamkan sejak dini (masa kanak-kanak) dan terus menerus sejalan dengan usia.
"Program training formal yang tiga hari hanyalah baru pada tahap 'awareness' saja yang
masih perlu ditindaklanjuti dengan perilaku dan tindakan nyata serta evaluasi secara
rutin untuk mengasahnya," kata Nina. "Selain itu, penanaman SQ secara langsung juga
agak sulit, karena dalam hal ini perlu dikaitkan langsung dengan hal-hal praktis yang
ditemui dalam kehidupan," terangnya lagi.
Menurut Nina, kecerdasan spiritual ini lebih banyak dipengaruhi oleh aspek eksternal,
dalam hal ini lingkungan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut juga
dipengaruhi oleh aspek bawaan, karena dalam perilaku atau tindakan seseorang
dipengaruhi oleh aspek hormonal maupun genetik.
Untuk mempermudah pemahaman semua pihak bila kecerdasan spiritual dikaitkan
dengan aspek yang langsung berkaitan dengan perilaku yang tercermin dari kecerdasan
emosi. Oleh karena itu, menurut Nina, berkembanglah ESQ yang merupakan perpaduan
antara EQ dan SQ.
Dalam perjalanannya, ESQ memiliki dampak positif terhadap pengembangan dan kinerja
seseorang dalam organisasi atau perusahaan. Umumnya orang yang cerdas secara
emosional dan spiritual lebih dapat diandalkan sebagai pribadi atau karyawan ataupun
pimpinan. Selain itu, kinerjanyanya juga relatif memuaskan. Karena itu, dalam saran
pengembangan kompetensi seseorang kerapkali Nina menyarankan upaya-upaya
peningkatan ESQ dalam perilakunya sehari-hari agar bisa memenuhi standar kompetensi
yang dituntut organisasi atau perusahaan maupun secara pribadi dalam mencapai tujuan
hidupnya.
Kiprah Para Pengajar ESQ
No. 12 - Maret 2005
Tingginya minat para profesional, praktisi bisnis, dan masyarakat umum terhadap
metode pelatihan ESQ, telah memunculkan fenomena tersendiri. Secara berseloroh,
seorang direktur SDM di perusahaan terkemuka di Indonesia mengungkapkan, suatu saat
bukan tidak mungkin bahwa tokoh spiritual akan lahir dari kalangan perusahaan, bukan
dari lembaga keagamaan. Hal itu sejatinya sudah mulai terjadi dengan munculnya Ary
Ginanjar Agustian atau Toto Asmara. Sebelum terjun total di bidang pencerahan jiwa,
keduanya dikenal sebagai eksekutif di perusahaan mapan.
Terlepas dari ucapan tersebut serius atau sekadar bercanda, faktanya gairah untuk
mencari ketenangan batin, kini memang semakin santer. Mereka rajin mengikuti
ceramah, seminar, atau membaca buku yang ditulis oleh para pengajar dan penganjur
spiritualitas. Berikut sekilas profil mereka:
Abdullah Gymnastiar
Nama Aa Gym sangat populer dan pernah menjadi kandidat calon presiden pada Pemilu
2004 lalu dalam sejumlah poling. Padahal Aa Gym bukanlah seorang tokoh satu partai
politik. Sebagai penceramah pun dia jarang sekali menyentuh sisi politik praktis. Satu-
satunya aktivitas sosial berdampak politis yang pernah dia lakukan adalah berkunjung ke
daerah konflik Poso, Sulawesi Tengah. Di hadapan jemaah Islam dan Kristen, kyai
berbekal ilmu laduni ini berceramah di Masjid Agung Darussalam, Palu, disambut penuh
haru disertai tetesan air mata.
Tingginya keinginan masyarakat menempatkan Aa Gym sebagai calon presiden dalam
sejumlah poling barangkali dimaksudkan untuk menutupi sisi ruang kosong yang
disisakan sejumlah kandidat yang nyata-nyata telah menunjukkan ambisinya merebut
kursi kepresidenan 2004 itu. Namun, beruntunglah, Aa Gym tidak benar-benar menjadi
presiden sehingga bisa lebih berkonsentrasi mengembangkan dan menularkan
pemikirannya melalui Management Qalbu.
Manajemen Qalbu yang dibawakan Aa Gym sesungguhnya sederhana saja. Yakni sebuah
konsep baru Syiar Islam yang menawarkan diri untuk mengajak orang memahami hati
atau qalbu, diri sendiri, agar mau dan mampu mengendalikan diri setelah memahami
benar siapa dirinya sendiri. Menurut dia orang sering lupa terhadap diri sendiri. Bahkan,
orang selalu menyalahkan orang lain jika terjadi sesuatu pada dirinya.
Sebaiknya setiap orang harus sadar bahwa semua yang terjadi dan bakal terjadi bermula
dari diri sendiri. Jika ingin jadi baik tentu harus berbuat baik. Jadi harus lebih dulu
mengenali dan memahami diri sendiri.
Menurut Aa, manusia berkualitas adalah manusia yang mengabdikan diri kepada Tuhan
dan mampu membawa manfaat kepada manusia di sekitarnya. Karena itu, ia berusaha
sekuat tenaga untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas. Salah satunya
adalah dengan mengelola Yayasan Pesantren Daarut Tauhid .Melalui yayasan itu, pria
kelahiran Bandung, 29 Januari 1962 itu berharap mampu memberikan yang terbaik
kepada para santrinya.
Aa menjelaskan bahwa yayasan yang membawahi 19 perusahaan itu lebih
menitikberatkan pada manfaat bisnis seperti membuka lapangan kerja. Selain itu, tempat
tersebut juga menjadi wahana untuk mempraktikkan jiwa dan pendidikan wirausaha yang
tentu saja didasari kejujuran. la ingin memberi contoh kepada masyarakat bahwa usaha
yang didasari kejujuran juga bisa berhasil. "Dengan jujur juga bisa kaya," seloroh Aa
dalam wawancara khusus dengan SCTV, beberapa waktu lalu.
Lebih jauh, Aa berharap Daarut Tauhid bisa menjadi proyek percontohan pembangunan
Tanah Air. Kerangka besarnya adalah menjadikan Indonesia menjadi negara terhormat.
"Besar harapan dunia akan melihat indahnya Islam di Indonesia," ujar Aa. Daarut Tauhid
sebagai miniatur Indonesia menjalankan prinsip 3M (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal
yang kecil, dan Mulai dari sekarang) untuk mencapai tujuan.
Untuk mencapai tujuan mulia itu, Indonesia memerlukan adanya grup keteladanan
pemimpin yang bisa mengayomi seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, pendidikan dan
pelatihan (diklat) yang berkesinambungan diperlukan untuk membentuk manusia
Indonesia yang berkualitas. Produk diklat itu nantinya harus didukung sistem yang
kondusif agar tidak melenceng.
Sebagai cnntoh, ia menceritakan transisi dirinya saat memutuskan untuk menjadi dai.
Saat berusia 24 tahun, ia terenyuh melihat adiknya yang lumpuh akibat penyakit.
Dengan kemampuan fisik yang terbatas, sang adik lebih taat beribadah dibandingkan
dengan dirinya yang sehat. Terlebih dengan ketenangan sang adik dalam menjalani hidup
meski kematian seolah dekat dengannya. "Sehebat apa pun Aa punya apa, tidak akan
punya ketenangan sebelum mengenal Allah dengan baik. Sehebat apa pun Aa punya
prestasi, tidak akan mencapai puncak kemuliaan sebelum Aa mengenal Nabi Muhammad
dan meniru kehidupannya," ungkap lulusan D-3 Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan
(PAAP) Universitas Padjadjaran, Bandung, itu.
Setelah itu, ia memutuskan belajar agama ke beberapa pondok pesantren dan ulama. la
pernah mengenyam pendidikan agama di Pesantren Miftahul Huda di Manonjaya,
Tasikmalaya, Jabar, dan A1engan Junaidi di Garut, Jabar. Perjalanan spitualnya itu pula
yang mempertemukan Aa dengan sang istri Ninih Muthmainah Muhsin.
Kini, Aa Gym telah dikenal luas sebagai seorang dai atau penceramah kondang. Bahkan
sosoknya terkenal hingga ke mancanegara. Pria yang enggan disebut sebagai ulama ini
tampil di acara Sixty Minutes di Televisi CBS Amerika Serikat. Bahkan, Koran New York
Times dan Majalah Time juga sempat menyajikan profil Aa Gym, berikut pandangan-
pandangannya. Kesibukannya pun tak kalah padat. Dalam sebulan, pemimpin Pondok
Pesantren Daarut Tauhid ini bisa mendapat 30 ribu undangan ceramah.

Ary Ginanjar Agustian


Ary Ginanjar Agustian bukanlah ahli manajemen. Lelaki kelahiran Bandung tahun 1965 itu
bukan pula guru besar di bidang tata kelola perusahaan. Namun, ceramahnya di berbagai
tempat di Indonesia sangat memancing animo ratusan bahkan ribuan orang yang
sebagian besar adalah praktisi bisnis dan eksekutif perusahaan mapan. Kemampuannya
dalam bidang pelatihan Sumber Daya Manusia sungguh sangat luar biasa. Padahal, ia
bukanlah seorang psikolog atau ulama jebolan pesantren.
Ary Ginanjar, lulusan Universitas Udayana, Bali dan di Tafe College, Adelaide, South
Australia ini pernah menjadi pengajar tetap di politeknik Universitas Udayana, selama
lima tahun. Sedangkan pengetahuan agamanya diperoleh melalui metode "kemerdekaan
berpikir" selama 10 tahun atas tuntunan KN. Habib Adnan, ketua majlis ulama Bali pada
saat itu. Kini, ia adalah Presiden Direktur PT Arga Wijaya Persada, dan Komisaris utama PT
Arsa Dwi Nirmala yang berkedudukan di Jakarta. Disamping itu di sejumlah organisasi, ia
adalah eksekutif Vice President di JPC (Jakarta Professional Chapter) pada Junior Chamber
International, suatu organisasi leadership international yang berada di 124 negara.
Tentu saja bukan lantaran jabatan dan perusahaannya itu yang membuat lelaki
sederhana ini begitu digandrungi. Renungannya tentang Rukun Iman dan Rukun Islam
telah melahirkan karya yang sangat fenomenal, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual, ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Bukunya menjadi Best Seller, dan
telah dicetak ulang sampai 16 kali.
Sukses buku pertamanya dilanjutkan dengan buku kedua: Rahasia Sukses
Membangkitkan, ESQ Power. Dalam kurun waktu lima bulan sejak Januari 2004 lalu telah
naik cetak sebanyak lima kali. la kemudian mendirikan ESQ Leadership Center (ELC).
Lembaga ini ditujukan mengasah keterampilan melalui training tentang kecerdasan
emosi dan spiritual (Emotional Spiritual Quotient- ESQ).
Pelatihan lembaga tersebut ternyata memperoleh respon yang luar biasa. Tidak hanya di
Jakarta tapi juga di berbagai daerah. Karenanya kemudian dia harus melakukan dakwah
keliling ke beberapa kota, seperti Makasar, Medan, Pontianak dan berbagai kota lainnya.
Di Jakarta, Ary diundang/diminta untuk memberikan ceramah tidak kurang dari 2-3 kali
dalam sehari. Beberapa eksekutif yang pernah mengikuti training ESQ mengakui bahwa
materi yang disampaikan Ary Ginanjar sangat spesifik, unik, menarik dan sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman.
Dalam dua buah bukunya, Ary dengan bahasa yang lugas telah mengantarkan
pembacanya untuk menguak tabir rahasia tentang adanya korelasi yang sangat kuat
antara dunia usaha, profesionalisme dan manajemen modern, dalam hubungannya
dengan intisari al-Islam, yaitu rukun Iman dan rukun Islam. Pemahaman dan pendalaman
kedua unsur inti ini, telah melahirkan sebuah pemikiran baru yang segar.

Gede Prama
Di kalangan praktisi bisnis, apa yang selama ini diajarkan Gede Prama juga bisa disebut
sangat kuat mengandung ESQ. Menurut Gede Prama, manajemen sebagai praktek riil
pada dasarnya memiliki dua muka, yakni teknik dan spirit. Teknik tanpa spirit yang
memadai, mirip dengan pedang tanpa tuan. la bisa menimbulkan luka di mana-mana.
Sebaliknya, spirit tanpa teknik, hanyalah doa tanpa langkah nyata.
Dengan jalan berfikir seperti itu, Gede Prama mengajak kita memperlakukan "kekacauan"
sebagai sahabat, bukan musuh. Dia mengajak kita membongkar pola pikir yang selama
ini kita anut�- keluar dari kerutinan berpikir, berpikir tanpa batas, berimajinasi bebas.
Dengan pola pikir baru, dan kadang aneh bahkan gila ini, kita justru dapat memanfaatkan
"kekacauan" sebagai peluang dan titik pijak baru. Gede menawarkan gaya manajemen
berbasiskan kekacauan untuk mengahadapi dan keluar dari situasi sulit.
Menurut Gede Prama, kekacauan tidak perlu disikapi dengan kesedihan. Kesedihan
hanyalah petunjuk adanya kedangkalan. Semakin dangkal pemahaman seseorang akan
kehidupan,semakin sering kesedihan berkunjung. Dalam peradabar manusia, kesedihan
berdiri sebagai musuh atau penyakit yang menakutkan. Amat dan teramat sedikit orang
yang merindukan kesedihan. Sehingga bisa dimaklumi, kalau kemudian kesedihan duduk
dalam kursi musuh yang hanya layak ditakuti. Padahal, kata Gede Prama, kekacauan dan
kesedihan justru bisa menjadi titik pangkal untuk menuju dunia baru yang lebih damai.
Pemikiran Gede Prama banyak tertuang melalui artikei di berbagai media cetak, ceramah
maupun buku. Melalui lembaga yang didirikannya pada tahun 1993, yakni Dynamics
Consulting, ia menularkan gagasannya tentang pengelolaan perusahaan dan Sumber
Daya Manusia. Pada awalnya, lembaga ini diposisikan sebagai mitra pelatihan, kemudian
berubah menjadi mitra perubahan.
Di bawah pimpinan Gede Prama, Dynamics Consulting memiliki jejaring yang semakin
kuat dari hari ke hari. Awalnya hanya dipercaya perusahaan menengah lokal seperti Air
Mancui kemudian bergerak menjadi mitra terpercaya Unilever, RCTI. Citibank, BCA,
Microsoft, dan IBM. Sebagian menunjuk DC sebagai Konsultan Manajemen, sebagian lagi
meminta kami menjadi narasumber terpercaya.
Quo Vadis Indonesian Diaspora
No. 12 - Maret 2005
Deportasi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) oleh Malaysia memberi gambaran pahitnya nasib
para pekerja Indonesia di luar negeri. Dikejar-kejar, dibayar murah, dicambuk, bahkan
dipenjara, tetap saja mereka tidak jera merantau ke Negeri Jiran itu. Hal ini juga
menunjukkan potret buruk dari perekonomian Indonesia. Langkah strategis dan
komprehensif perlu diambil untuk mengatasinya.
Nasib para pekerja illegal asal Indonesia di Malaysia sungguh menyentuh harga diri kita
sebagai bangsa. Tampak para wanita dengan menggendong anak kepayahan menenteng
kardus barang saat naik ke kapal untuk kembali ke Indonesia. Di tempat lain, ribuan
pekerja asal Indonesia duduk berbaris diawasi oleh polisi Malaysia bersenjata. Sekilas
mereka seperti penjahat yang baru saja ditangkap. Di tempat kerja, mereka terlalu sering
mendapatkan perlakuan tidak manusiawi.
Sebagian lagi, berlari ke hutan untuk menghindarkan penangkapan oleh aparat. Persis
seperti penjahat. Di era modern saat ini, berlari ke hutan rupanya menjadi pilihan lebih
baik bagi TKI, ketimbang ditangkap atau dipaksa balik ke Indonesia.
Kembali ke negeri sendiri agaknya menjadi momok yang lebih menakutkan bagi mereka
ketimbang menghadapi berbagai ketidaknyamanan tersebut. Uang adalah motivasi
utama, seperti dikatakan seorang TKI asal Pacitan Rohman kepada Human Capital di
Jakarta beberapa waktu lalu. Kehidupan ekonomi yang sulit di kampung menyebabkan
ratusan ribu tenaga kerja tertarik mengadu peruntungan ke negeri orang. Mereka datang
dari hampir seluruh daerah di Indonesia. Kesengsaraan demi kesengsaraan yang mereka
alami tidak pernah membuat ciut semangat merantau ke luar negeri.
Sejatinya, gaji yang mereka peroleh di Negeri Jiran tidaklah besar. Sebagai tenaga kerja
ilegal, mereka digaji 300-400 ringgit (Rp 720.000-Rp 960.000) per bulan. Jauh di bawah
upah minimum regional Malaysia minimal 1.000 ringgit per bulan. Bila dipotong dengan
biaya hidup di Malaysia, maka gaji yang tersisa lebih sedikit lagi.
Status ilegal itu membuat majikan bisa menekan buruh dalam soal gaji dan terbebas dari
sejumlah kewajiban lainnya, termasuk asuransi tenaga kerja. Perusahaan Malaysia,
termasuk BUMI di sana, lebih suka mempekerjakan TKI ilegal dengan sejumlah alasan,
mulai dari tidak perlu membayar pajak tenaga kerja sekitar 1.200 ringgit per kepala,
membayar gaji di bawah standar hingga bisa mem-PHK kapan pun.
Di Malaysia terdapat 1,2 juta tenaga kerja asing, sekitar 703 berasal dari Indonesia.
Sebagian besar tenaga kerja asal Indonesia tergolong ilegal. Sekitar 300-an ribu TKI
sudah kembali ke Indonesia, sisanya sekitar 300 ribu masih bertahan di sana. Sebagian
yang bertahan adalah mereka yang berstatus legal, sedangkan sisanya adalah TKI ilegal
yang menunggu gaji mereka dibayar oleh para majikan.
Mayoritas TKI di Malaysia bekerja sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan sawit, dan
pembantu rumah tangga. Hanya sedikit TKI bekerja sebagai buruh pabrik dan pekerjaan
berketerampilan lebih tinggi. Biasanya yang terakhir ini tergolong legal dan memiliki
pendidikan serta keahlian yang lebih baik.
Munculnya TKI ilegal sesungguhnya bersumber dari ketidakmampuan pemerintah selama
ini untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai di Indonesia maupun
ketidakmampuan pemerintah untuk benar-benar mengelola pengiriman TKI secara baik.
Jumlah angkatan kerja di Indonesia saat ini tercatat 104,02 juta orang. Jumlah tersebut
terus bertambah 2-2,5 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya. Dari jumlah angkatan
kerja baru itu, hanya tersedia tambahan lapangan kerja untuk 1,57 juta orang saja per
tahun - dengan syarat ekonomi tumbuh minimal 5,5% per tahun.
Dengan kondisi ini, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia 2004 mencapai 10,53 juta
jiwa atau 9,9%. Tahun ini, lembaga pemikir ekonomi Indef memperkirakan tingkat
pengangguran terbuka masih 9,8% dengan tingkat kemiskinan 16,5%. Pulangnya ratusan
ribu TKI dan tragedi tsunami di Aceh tentunya menambah jumlah tenaga kerja yang
menganggur.
Persoalan ketenagakerjaan Indonesia tidak hanya berhenti pada jumlah pengangguran
terbuka yang sangat besar. Masih ada pengangguran setengah terbuka, yaitu tenaga
kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per bulan. Jumlahnya jauh lebih besar lagi.
Menurut perkiraan LIPI, jumlah penganggur setengah terbuka tahun 2004 28,93 juta
orang atau 27,5% dari total angkatan kerja.
Sulitnya kehidupan di Indonesia menyebabkan mereka menyambut gembira datangnya
para calo TKI ke daerah mereka. Para calo ini berhubungan dengan agen di Malaysia.
Selanjutnya, para agen di Malaysia bertransaksi dengan perusahaan di Malaysia. Di sisi
lain, para majikan di Malaysia pun sangat membutuhkan TKI. Dua kepentingan ini
akhirnya bertemu dengan diperantarai oleh para calo dan agen TKI itu.

PERDAGANGAN MANUSIA?
Status ilegal ini bermula dari upaya calon TKI dan calo TKI untuk memotong mata rantai
Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI), yang selama ini diakui secara
resmi sebagai lembaga pengelola pengiriman TKI keluar negeri. Alasannya untuk
menghindari prosedur dan birokrasi yang berbelit-belit serta mahal. Biaya yang harus
dikeluarkan calon TKI melalui PPJTKI mencapai Rp 5 juta lebih, terdiri dari biaya
pengurusan dokumen, transportasi, makan, dan akomodasi di penampungan.
Sebagian besar PPJTKI memanfaatkan calo untuk merekrut TKI dari kampung-kampung
yang jumlahnya bisa berlapis-lapis sehingga biaya komisi calo menjadi besar. Karena TKI
tidak punya modal memadai, si calo menalangi segala kebutuhan biaya pembuatan
dokumen administrasi, biaya makan, dan transportasi serta "menjual"nya kepada PPJTKI.
Repotnya, keseluruhan biaya yang mahal itu pada akhirnya harus ditanggung TKI karena
gaji mereka kemudian dipotong atau ditekan oleh majikan.
Sebagian besar calo rekrutmen TKI kemudian memotong jalur PPJTKI dengan langsung
berhubungan dengan agen TKl di Malaysia. Para calon TKI mau saja berhubungan dengan
calo ini karena biaya yang dikeluarkan lebih hemat - sekitar Rp 3 juta - meskipun
berstatus pekerja ilegal. Ketiadaterbatasan pendidikan mendorong mereka mengambil
jalan pintas. Padahal, para majikan di Malaysia itu cenderung memotong lebih besar lagi
gaji para pekerja ilegal ketimbang pekerja legal.
Sesungguhnya, rekrutmen TKI dari kampung-kampung merupakan awal dari praktik
perdagangan manusia yang ironisnya terjadi terhadap warga negara Indonesia. Para calo
itu membawa para calon TKI ke daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, seperti
Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Kalimantan Barat atau Nunukan di Kalimantan
Timur. Di kawasan perbatasan inilah praktik "penjualan manusia" ini dilaksanakan secara
diam-diam antara calo TKI dari Indonesia dengan agen TKI di Malaysia.
Agen TKI di Malaysia membeli TKI mulai dari 1.000 ringgit atau sekitar Rp 2,4 juta per
orang, selanjutnya agen tersebut menjual TKI kepada majikan atau perusahaan dengan
bayaran beberapa kali lipat. Praktik semacam ini menyebabkan nasib TKI menjadi tidak
menentu dan sering tertipu. Banyak majikan yang tidak mau membayar gaji mereka
dengan alasan mereka sudah membayar semuanya kepada agen TKI. Alasan ini
menjadikan posisi TKI sama saja dengan seorang budak, yang tidak mendapat hak apa-
apa karena sudah ditebus dari tuan (calo) pemiliknya. Padahal, tenaga mereka diperas.
ESQ : Tren Baru Pencarian Jati Diri
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan emosional sekaligus intelektual ternyata tak cukup membuat seseorang
berhenti mencari kepuasan batin sekaligus jati dirinya. Kini muncuk tren baru tentang
emotional spiritual quotient (ESQ). Benarkah ini sebuah proses menuju terwujudnya
tatanan bisnis dan sosial yang lebih beretika?
Mark Muddi, seorang eksekutif senior perusahaan minyak Amerika Serikat, Shell, pada
tahun 1999 menggelar sebuah pelatihan. Acara yang melibatkan 550 eksekutif Shell
tersebut cukup unik, lantaran materi yang diberikan mengenai terapi spiritual. Para
pengajarnya bukan lagi kalangan ahli manajemen atau pakar bisnis, melainkan para
biksu.
Kebingungan para pelaku bisnis terhadap metode pelatihan yang diberikan Shell akhirnya
terjawab ketika pada tahun 2002, Universitas Harvard menggelar sehuah seminar kiat
perusahaan agar bisa berumur panjang. Kesimpulannya, keberadaan sebuah organisasi
yang dapat bertahan lama sampai ratusan tahun disebabkan oleh adanya kecerdasan
spiritual (Spiritual Quotient/ SQ) dalam setiap anggota organisasi.
Di kalangan pelaku bisnis dan pengajar di perguruan tinggi Amerika, sejak sepuluh tahun
terakhir SQ memang telah membuka wawasan baru bahwa intelektualitas (IQ) seseorang
tidak akan ada artinya tanpa didukung oleh kecerdasan emosional atau Emotional
Quotient (EQ) yang memadai.
Itulah sebabnya, sejumlah sekolah bisnis terkemuka di Amerika yang menjadi pusat
pendidikan para calon top eksekutif dunia merasa perlu memberikan pendidikan moral
menciptakan seorang pemimpin yang bukan hanya memi yang tinggi, namun sekaligus
memiliki kepekaan moral yang pula.
Nancy Adler, profesor bidang manajemen di Unive Montreal, misalnya, mengajarkan
kepada mahasiswanya tentang nilai-nilai kehidupan seperti keberanian, empati dan rasa
hormat. Para mahasiswa juga diminta membuat catatan kilas balik tentang perjalanan
kehidupan mereka masing-masing, untuk kemudian didiskusikan bersama-sama.
Skandal demi skandal keuangan besar yang terjadi di Amerika, misalnya kasus Enron dan
WorldCom, tampaknya turut memicu kesadaran bahwa penanaman nilai moral dan etika
terhadap para pengelola perusahaan menjadi amat penting. Tak heran ketika Soshana
Zuboff, seorang psikolog dan pengajar di Universitas Harvard mendirikan sebuah wadah
refreksi diri bernama Odyssey, sangat diminati banyak kalangan. Hal yang juga terjadi
pada WorkAsia yang sangat digandrungi kalangan eksekutif. Mereka yang tergabung
dalam wadah ini adalah orang-orang yang sangat sukses dan karenanya kaya raya,
namun merasakan ada kekosongan dalam dirinya.
Mereka adalah orang-orang yang secara intelegensia sangat bermanfaat bagi
perusahaan dan lingkungannya, namun justru merasa tak memiliki nilai spiritual. Inilah
yang mendorong para eksekutif dan profesional melakukan pencarian jatidiri melalui EQ
dan SQ.
Kecenderungan tersebut, menurut Sintawati Putri dan Dwiputri Adimuktini dari Daya
Dimensi Indonesia (DDI) merupakan bentuk kesadaran bahwa IQ yang tinggi akan tidak
ada artinya jika tidak diimbangi dengan EQ dan SQ yang memadai. "Memang, tidak ada
jaminan kalau orang yang SQ-nya rendah dia bukan orang baik. Tapi, kalau orang yang
tidak jujur, tidak punya komitmen tentu tidak baik buat perusahaan," kata mereka.
Agus Budi Wasono, Senior Vice President HR PT Bogasari Flour Mills, menarnbahkan
bahwa berkembangnya EQ dan SQ merupakan bentuk kesadaran baru bahwa manusia
memiliki harkat yang harus dijunjung tinggi. "Kecenderungan itu sebenarnya sudah
terjadi pada revolusi industri, di mana masyarakat petani mulai masuk ke sektor industri,"
katanya.
Kecenderungan implementasi nilai moral dan spiritual pada awalnya diperkenalkan oleh
Daniel Goleman tahun 1995. Kemudian, Steven R. Covey melalui bukunya yang sangat
populer, 7th Habits yang disusul dengan buku terbaru 8th Habits, seolah melengkapi.
Covey mengangkat dua hal mendasar, yakni character dan competence yang bisa
diterjemahkan sebagai EQ dan IQ. Covey Center Leadership dengan metodenya yang
khusus berhasil rnengubah perilaku ratusan ribu orang menuju kualitas baik dan
rnengagumkan.
Menurut Goleman, EQ merupakan kemampuan mengelola diri sendiri dan hubungannya
dengan kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial dan keahlian sosial. Dalam
perkembangannya kemudian, konsep EQ ternyata belum mampu menjelaskan mengenai
makna kebahagiaan hakiki. Kemudian muncul kajian baru dari psikolog Danah Zohar dan
suaminya Ian Marshall yang menulis buku berjudul SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate
Intellegence. Buku ini cepat sekali populer, tak kalah dengan bukunya Daniel Goleman.
Danah Zohar tampaknya tidak memberikan batasan secara definitif mengenai SQ.
Namun, mereka memberikan penjelasan melalui gambaran yang semuanya berkaitan
dengan esensi SQ. Menurut Zohar, SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan masalah makna dan nilai. SQ juga bermakna kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ mempunyai kaitan dengan kreativitas.
Tetapi kreativitas di sini juga terkait dengan masalah nilai.
SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi, memberi rasa
moral, menentukan baik dan jahat, memberi gambaran atau bayangan kemungkinan
yang belum terwujud. la membawa manusia melampaui batas-batas pengetahuan dan
pengalaman, serta menempatkan pengeta-huan dan pengalaman ke dalam konteks yang
lebih luas. Transendensi membawa manusia kepada kesadaran akan sesuatu yang luar
biasa, dan tidak terbatas, baik di dalam maupun di luar dirinya.
Secara lugas, seorang ahli kimia asal Jepang Michio Kaku menggambarkan bahwa
seseorang yang telah mencapai SQ, ibarat ikan di sebuah akuarium yang berhasil
melompat keluar. Manusia di bumi digambarkan seperti sekelompok ikan yang sejak kecil
hidup di akuarium.
Ikan-ikan tersebut tidak sadar bahwa mereka berada pada dunia yang tidak pada
tempatnya, sampai suatu ketika ada seekor ikan yang berhasil melompat keluar. la bisa
melihat tempat asalnya dan teman-temannya dalam perspektif yang lebih tinggi.
Ikan tadi akhirnya juga tahu bahwa dunia yang ditempatinya sungguh sangat kecil dan
ada dunia lain yang jauh lebih luas. Kemampuan melompat tinggi-tinggi itulah yang
menggambarkan kemampuan 5Q seseorang.
Zohar dan Marshal dengan sangat ilmiah mampu menjelaskan SQ dari sisi�
neuropsikologi yang menekankan adanya god spot pada otak manusia. Ia menggunakan
bunga teratai sebagai simbol model berpikirnya. Seperti halnya bunga teratai yang
berlapis-lapis, proses dinamika pemikiran manusia juga terdapat tiga lapisan. Pertama,
pada bagian luar terdapat sisi rasional (ego), di tengah yang bertindak sebagai
penghubung adalah asosiatif (emosional) dan ketiga adalah unsur pemersatu, yakni
spiritual.
Dalam beberapa bagian bukunya Zohar dan Marshal mencoba menyoroti hubungan
antara agama dan SQ. Karena pada umumnya orang beranggapan bahwa SQ selalu
berhu-bungan dengan agama. Padahal menurut kedua pengarang tersebut SQ berbeda
dengan agama. Kalau agama merupakan aturan-aturan dari luar sedang SQ adalah
kemampuan internal. Sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam.
SQ mampu menghubungkan manusia dengan ruh esensi di belakang semua agama.
Orang yang SQ-nya tinggi tidak picik dan fanatik atau penuh prasangka dalam beragama.
Pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak selalu
mengkaitkan dengan masalah ketuhanan. Bagi mereka, kecerdasan spiritual lebih banyak
terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kesemuanya tidak
perlu berkait dengan masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna hidup dari
bekerja, belajar, berkarya bahkan ketika menghadapi problematika dan penderitaan. Di
sini tampak bahwa Zohar dan Marshall menempatkan agama hanya sebagai salah satu
cara mendapatkan SQ tinggi.
TREN DI INDONESIA
Menurut Nina Insania K. Permana, Kepala Assesment Center LPPM, sejatinya kajian
mengenai EQ maupun SQ bukanlah hal baru. Buku-buku Al-Ghazali, para sufi maupun
Dalai Lama telah banyak mengulas berbagai hal tentang proses transformasi hati, diri
maupun jiwa dalam meraih cinta dan kebahagiaan sejati dengan keimanan terhadap
Ilahi. Namun, katanya, pembahasan teori SQ sec:ara populer dan implementasinya pada
kegiatan organisasi atau perusahaan, memang baru terjadi pada sepuluh tahun terakhir.
Nina menilai, konsep SQ yang disampaikan Zohar dan Marshal sebenarnya sangat ilmiah.
Namun, ucapan keduanya yang memisahkan spiritualitas dengan ketuhanan sangat sulit
diterima oleh orang awam, termasuk di Indonesia. Namun, Riga Adiwoso dari MM-Ul
menegaskan bahwa SQ lebih menekankan pada aspek manusia yang berkaitan dengan
apa yang ada dalam dirinya.
Menurut Riga, persepsi bahwa SQ sama dengan moralitas dan keagamaan adalah keliru.
"Bisa saja ada orang yang sangat religius tapi tidak memiliki SQ tinggi," katanya. Djarot
Basuki, HRD & GA Administration Director Hotel Nikko, Jakarta berpendapat bahwa SQ
pada dasarnya tidak hanya menyangkut dasar agama, tapi ketulusan seseorang dalam
melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Terlepas dari beda pemahaman tersebut, yang pasti para konsultan dan praktisi SDM di
Indonesia menyambut baik munculnya tren baru, yakni ESQ (Emotional and Spiritual
Quotient) yang merupakan konsep gabungan antara EQ dan SQ, yakni ESQ. Pemaduan
antara aspek dunia dan akhirat, menurut Nina merupakan sesuatu yang sangat ideal. Hal
tersebut untuk menjaga agar manusia tidak terlalu percaya pada kekuatan diri dan lupa
akan kodratnya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. Praktisi manajemen Sandra Sembel
juga berpendapai senada. Menurut Sandra, ESQ menyangkut soal nilai-nilai kemanusiaan
universal yang terdapat pada setiap agama.
Dengan demikian, apa yang diajarkan oleh dai kondang Abdullah Gymnastiar, misalnya,
sejatinya tidak hanva untuk kalangan muslim, melainkan cukup relevan bagi penganut
agama lain. �€œYang diajarkan oleh AA Gym selama ini kan masalah kualitas moral dan
ajaran saling mencintai antar sesama manusia, kata Sandra. Demikian juga yang selama
ini dikumandangkan oleh praktisi manajemen bisnis Gede Prama.
Mengingat ESQ adalah menyangkut soal nilai, maka kata Sandra, keberadaannya tentu
berbarengan dengan pola pikir manusia itu sendiri.
Strategi Empat Pilar Bank Danamon
No. 13 - April 2005
Bank Danamon menyusun target pertumbuhan atau penciptaan nilai (value creation)
sebesar 10 kali dalam 10 tahun. Untuk mewujudkan target tersebut, Bank Danamon
menyusun empat pilar usaha, yang menempatkan sumber daya manusia sebagai aktor
terpenting. Salah satu hal terpenting adalah perlunya dilakukan penyelarasan organisasi
sesuai dengan misi, strategi, dan tuntutan bisnis.
Penyelarasan organisasi merupakan keharusan bagi perusahaan untuk mendapatkan
kinerja yang langgeng. Demikian dikatakan oleh Nugroho Supangat, pakar manajemen
yang juga Managing Partner Dunamis Organization Services. "Penyelarasan merupakan
proses yang harus terus menerus dilakukan," tukasnya bulan lalu. Nugroho melihat,
upaya penyelarasan organisasi yang dilakukan Bank Danamon sebagai satu contoh bagus
untuk menjadi referensi bagi pelaku bisnis. "Proses penyelarasan di Bank Danamon
berlangsung secara simultan dengan upaya penciptaan nilai (value creation) bagi
nasabah
maupun pemegang saham."
Proses penyelarasan organisasi Bank Danamon dilakukan manajemen baru Bank
Danamon yang dipimpin Francis Andrew Rosario karena tuntutan kompetisi yang kian
tajam, selain untuk mendapatkan return yang lebih baik bagi pemegang saham. Francis
bergabung menjadi CEO Bank Danamon pada bulan Juni 2003 setelah Temasek membeli
saham Bank Danamon.
Manajemen Bank Danamon menyusun target untuk tumbuh 10 kali lipat dalam periode
10 tahun, dan pertumbuhan sebesar itu tidak mungkin dicapai bila Bank Danamon hanya
tumbuh sesuai dengan pertumbuhan pasar. "Target itu hanya bisa diraih bila Bank
Danamon mampu menciptakan nilai yang unik pada setiap segmen pasar," ungkap
Francis.
Untuk mewujudkan objektif itu, 13.000 karyawan Bank Danamon harus berubah. Saking
pentingnya perubahan tersebut, Francis memutuskan menaikkan gaji karyawan hanya
dengan satu permintaan: mereka harus berubah. Sebelum transformasi dilakukan, Bank
Danamon mengumpulkan masukan dan aspirasi dari seluruh karyawan dan
mengolahnya. Manajemen turun ke berbagai wilayah untuk bertemu dengan karyawan.
Itu terjadi bulan Maret 2004.
Tahapan selanjutnya adalah menyusun misi dan nilai-nilai perusahaan pada September
2004. Misi Bank Danamon dijelaskan dalam kalimat We care and enable millions to
prosper dengan strategi usaha Serving customers; delivering value. Tahun 2005,
transformasi Bank Danamon memasuki tahapan komunikasi atau sosialisasi dari misi dan
nilai-nilai itu, yang dipimpin langsung oleh CEO dan dilanjutkan oleh para manajer kunci.
Kajian manajemen menunjukkan ada sejumlah syarat agar penciptaan nilai 10 x lebih
besar itu bisa diraih, antara lain, menjadikan upaya memenuhi kebutuhan nasabah
sebagai nilai utama, mau berinvestasi dalam pasar yang hertumbuh cepat, menumbuh-
kembangkan budaya wirausaha, mevyelaraskan proses internal untuk memastikan
penciptaan nilai tanpa melemahkan kontrol, dan membuat sistem kompensasi berbasis
insentif.
Keseluruhan syarat itu disusun menjadi 4 pilar. Pilar pertama, mendapatkan orang yang
tepat (People Strategy). Pilar kedua, melakukan penyelarasan organisasi (Organizational
Alignment). Pilar ketiga, merekayasa ulang proses bisnis (Re-engineering Core Processes).
Pilar keempar, membangun disiplin dalam mengeksekusi strategi usaha (Execution
Disciplines). Strategi mendapatkan orang yang tepat dimulai dengan mengidentifikasi
orang yang tepat itu. Orang yang dibutuhkan Bank Danamon harus memiliki integritas,
kemampuan kepemimpinan, dan disiplin. Dalam praktiknya, komposisi sumber daya
manusia (SDM) merupakan kombinasi yang sehat antara SDM yang tergolong pemikir
revolusioner dan SDM pelaksana yang berdisiplin tinggi.
Sebagai contoh, 1.000 staf yang selama ini menangani back office dimutasikan ke bagian
front office. Jumlah ini sudah merupakan 12%-15% dari keseluruhan staf. Kemudian,
sebanyak 60 petugas satpam dialihtugaskan menjadi teller.
Setelah orang yang tepat diidentifikasi, mereka diberdayakan. Para karyawan didorong
untuk menentukan pilihan-pilihan (dalam lingkup batas yang jelas) menyangkut struktur
biaya, model bisnis, dan kemanfaatan fasilitas kantor pusat. Mereka juga didorong untuk
berpikir kreatif dan memberikan ide-ide berani.
Dengan kebijakan seperti ini, setiap kepala unit bisnis memiliki hak penuh untuk
meredefinisikan model bisnis mereka. Setiap unit bisnis dibebaskan untuk menciptakan
saluran distribusi dan produk yang baru disesuaikan dengan segmen nasabah. Mereka
dibebaskan pula untuk menegosiasikan alokasi struktur biaya untuk mewujudkan target
bisnis dengan kantor pusat dan unit-unit pendukung.
Langkah ketiga dalam strategi SDM Bank Danamon adalah menciptakan budaya
berkinerja, antara lain, dengan menyusun ulang indikator kinerja kunci (Key Perfor-mance
Indicators / KPIs), menata ulang skala gaji dan penghargaan terhadap yang berprestasi,
dan membuat persetujuan dengan Serikat Pekerja untuk menilai kinerja staf dalam 12
bulan.
Menurut Francis, pihaknya berhasil meyakinkan Serikat Pekerja bahwa tidak ada
pemutusan hubungan kerja (PHK) di Bank Danamon dalam periode 12 bulan. Syaratnya
semua karyawan harus menunjukkan kinerja sesuai ditentukan. Sebagai konsekuensinya,
mereka yang berkinerja di bawah standar harus rela meninggalkan bank tersebut. "Bagi
karyawan yang tidak performed, tidak ada tempat di Bank Danamon," tegasnya.
Kalaupun karyawan harus meninggalkan Bank Danamon, lanjutnya, pihaknya
memberikan paket yang cukup menarik.
Langkah Bank Danamon untuk bersikap tegas terhadap under performer dimaksudkan
pula agar karyawan tersebut tidak berada dalam posisi terperangkap. Karyawan, menurut
Director / Chief of Staff Muliadi Rahardja, bekerja berdasarkan standar yang cukup tinggi.
Mereka yang tidak memenuhi standar tidak akan bisa berkembang di bank ini sehingga
merugikan karir mereka jika terus bertahan. Sebagai jalan ke luarnya, "Lebih baik mereka
mencari perusahaan lain," ungkapnya. "Tetap saja ada perusahaan yang bisa menerima
mereka di luar," tambah Francis, yang menyebut dirinya sebagai Revolutionary Leader
itu.
Pilar kedua dari perubahan transformasional di Bank Danamon menyangkut penyelarasan
organisasi untuk menjadi Relationship-Driven Organization. Penyelarasan dimaksudkan
agar bisa memberikan layanan terbaik dan menciptakan nilai yang unik kepada nasabah.
Penyelarasan organisasi ini mencakup 5 hal penting: meminimalkan birokrasi (fungsi
kantor pusat terbatas pada hal-hal yang tidak bisa dilaksanakan oleh unit bisnis secara
efektif; tugas unit pendukung tidak hanya mengadministrasikan tetapi juga menciptakan
bisnis), menegakkan aturan main (kebebasan dari setiap unit harus tetap sejalan dengan
manajemen risiko terpadu), mekanisme pasar (setiap bisnis unit bebas mencari sumber
produk dan layanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan nasabah), meracik produk sesuai
dengan kebutuhan nasabah (setiap produk didesain untuk melayani kebutuhan segmen
nasabah kunci), dan memungkinkan proses penjabaran visi perusahaan dari CEO hingga
ke level frontliner dengan dukungan pelatihan dan pengembangan profesional,
komunikasi, dan menyusun KPI serta insentif.
Pilar ketiga adalah rekayasa ulang proses bisnis untuk mendapatkan efektivitas yang
lebih besar. Objektif dari pilar ini adalah mendapatkan efisiensi optimal dalam
operasional, selalu memasukkan unsur risiko, setiap unit bisnis benar-benar beroperasi
sesuai proposisi nilai nasabah yang unik, dan lahirnya transparansi untuk memudahkan
memprediksi pencapaian tujuan bisnis.
Rahasia Sukses Female Leaders
No. 13 - April 2005
Secara kuantitas, jumlah pemimpin wanita dalam dunia bisnis, politik, dan akademik jauh
lebih sedikit dibandingkan pria. Toh dalam banyak hal, wanita memiliki sejumlah
kelebihan yang tidak dimiliki pria. Mayoritas tetap menjalankan kodrat sebagai wanita
kendari sukses sebagai eksekutif. Apa rahasianya?
Hari telah beranjak maghrib ketika Ida P.Lunardi meninggalkan kantornya di kawasan
Sunter Jakarta. Setelah lelah bekerja seharian, Presiden Direktur PT Federal International
Finance (FIF) itu mampir dulu ke sebuah restoran siap saji untuk membeli makanan bagi
keluarganya. Hari itu, wanita asal Semarang ini tidak sempat masak. Besok pagi ia juga
harus berangkat cepat ke kantor sehingga makanan siap saji ini tinggal dipanaskan untuk
sarapan pagi keluarganya.
Pada hari-hari lain, Ida selalu memasak - dibantu Ibunya yang meski sudah tua namun
masih sehat - untuk menyiapkan makanan bagi suami dan kedua anaknya sebelum
berangkat ke kantor. "Suami dan anak-anak sudah terbiasa dengan masakan saya.
Mereka tidak mau dilayani pembantu," ujarnya tentang kebiasaan ini. Akibatnya, setiap
hari Ida tetap harus memikirkan menu makanan di rumah. "Kalau tidak sempat masak, ya
harus beli makanan siap saji," tutur wanita yang memulai karirnya sebagai juru tik itu.
Bahkan Ida dulu masih menyetir mobil sendiri ke kantor saat hamil tua, dan keesokan
harinya ia melahirkan.
Ritual yang sama ternyata juga dijalani oleh banyak eksekutif wanita sukses lainnya.
Wiwiek D.Santoso, Presiden Direktur PT Astra France Motor yang mengelola merek
Peugeot, juga menjalankan perannya sebagai Ibu secara totalitas kendati telah menjadi
eksekutif sukses. Urusan masak-memasak lepas dari tanggung jawabnya. Setiap hari Ibu
dari tiga anak menyiapkan menu makanan di rumahnya. Biasanya Wiwiek membeli
bahan makanan sekali seminggu untuk dimasak selama seminggu sehingga ia harus
merencanakan menu setiap hari: mempersiapkan bahan-bahannya. Setiap malam, kalau
tidak ada acara, ia berusaha untuk makan malam bersama keluarga di rumah.
Sebagai wanita sukses, para eksekutif wanita tetap tidak ingin melupakan perannya
sebagai ibu rumah tangga: sebagai isteri bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Kesibukan
memang tidak memungkinkan mereka menjalankan peran itu secara sempurna, tetapi
mereka tetap berusaha maksimal melakoninya : dari urusan rumah tangga hingga urusan
pendidikan anak-anak. Belum lagi kalau anak sakit, pastilah si Ibu yang turun tangan
duluan. "Saya usahakan mengantarkan sendiri mereka ke dokter," ujar Ida, Wiwiek, dan
Eileen Rachman, pendiri lembaga konsultansi dan rekrutmen Experd. Hanya saja, mereka
tidak bisa lagi membantu pelajaran anak-anak di malam hari karena rasa capai yang
menghinggapi atau karena pulang terlambat.
Itulah salah salah satu kelebihan wanita dibandingkan para pria. Sukses berkarir, mereka
tidak ingin menyalahi kodratnya sebagai wanita yang harus hamil, mendidik anak-anak,
dan mengelola semua urusan rumah tangga. Sementara di kantor, para wanita itu juga
dituntut untuk berprestasi. Sungguh sebuah pekerjaan yang berat. Sejatinya, pekerjaan
menjadi ibu rumah tangga saja sudah sangat berat. "Kita tidak bisa menganggap enteng
peran menjadi ibu rumah tangga murni," ungkap Wiwiek D. Santoso dan Riyani T.
Bondan, Senior Vice President Learning Center Bank Mandiri.
Sebuah penelitian pernah dilakukan di Amerika, dan hasilnya sangat mengejutkan. Pria
hanya tahan tak lebih dari 6 bulan dalam menjalankan peran sebagai "ibu rumah tangga"
di rumah mereka. Tak hanya itu. Wanita karir pun belum tentu mampu menjalankan
peran sebagai ibu rumah tangga murni itu. Penelitian pada perusahaan komputer Sun
Microsystem, mayoritas pekerja wanita yang diberi peluang flexytime akhirnya ingin
kembali bekerja dengan pola waktu normal. Penyebabnya, mereka tidak kuat
menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya karena kompleks dan
beratnya pekerjaan tersebut.
WANITA LEBIH KUAT
Berbeda dengan pandangan umum bahwa wanita adalah makhluk yang lebih lemah dari
pria, kenyataan hidup tidak seluruhnya mendukung pandangan itu. Ahmad Purwono,
konsultan transformasi bisnis sekaligus dosen pasjasarjana Ul mengakui bahwa secara
fisik, wanita memang lebih lemah dari pria. Tapi kalau diperhatikan lebih jauh, banyak
tersimpan kekuatan di balik kelemahan fisik itu. Sebagai contoh, saat masih dalam
kandungan, para dokter menganggap bobot bayi wanita di atas 2 kg sudah memadai dan
cukup kuat untuk dibiarkan lahir. Sedangkan bayi laki-laki harus menunggu minimal 2,5
kg untuk dinyatakan kuat. Kondisi ini mengharuskan masa kehamilan bagi bayi laki-laki
relatif membutuhkan waktu lebih lama dan dukungan gizi lebih baik dibandingkan bayi
wanita. Fakta ini menunjukkan bahwa wanita ternyata lebih kuat.
Kekuatan itu terbukti karena wanita lebih cepat matang secara emosional dibandingkan
pria. Kematangan emosional itu juga terlihat saat wanita berkarir. Beberapa penelitian
menyebutkan, wanita lebih tahan banting dan lebih tahan terhadap stres dibandingkan
pria. Wanita lebih mampu mengelola beban stres, terlihat dari sikap mereka yang tetap
cool kendati sedang didera banyak persoalan. Sementara pria akan bersikap uring-
uringan, marah, dan bersikap emosional lainnya. Mayoritas tindakan bunuh diri di Jepang,
misalnya, dilakukan oleh kaum pria. Wanita hanya ikut-ikutan atau diajak serta oleh para
pria. Potret yang sama agaknya juga terjadi di Indonesia.
Di dalam pekerjaan, karakter wanita yang lebih tahan stres itu mewujud pula dalam
bentuk keuletan atau ketekunan. Banyak wanita sukses dibekali sikap semacam ini
sehingga membantu mereka menjalankan pekerjaan. Sebagai contoh, BRA Mooryati
Soedibyo mulai merintis usaha kosmetika alami sejak tahun 1973 dimulai dari garasi
rumahnya hanya dibantu oleh 2 orang pembantu. Kini usaha garasian itu telah
berkembang menjadi usaha yang cukup besar dan menguntungkan.
Selain itu, wanita punya kelebihan lain: luwes dan selalu bersikap detil dalam bekerja.
Sikap luwes menyebabkan wanita bisa diterima banyak kalangan karena luwes dalam
menyampaikan gagasan atau pendapat dan berusaha tidak menyakiti hati orang lain.
Juga luwes dalam merespons masalah. Semuanya itu tentu dilakukan tanpa harus
mengorbankan prinsip dan nilai-nilai pribadi.
"Keluwesan dan penghayatan terhadap pekerjaan turut membantu wanita untuk lebih
sensitif memahami betul apa yang dianalisa dan diputuskan," tutur Vina G. Pendit,
Direktur Selection and Assessment Services PT Daya Dimensi Indonesia (DDI). Cara
wanita mengambil keputusan biasanya tidak reaktif, melainkan melalui proses kajian
terhadap informasi pendukung dan kesepakatan bersama. Mereka pun lebih terbuka
terhadap kritik. "Saya terbuka untuk menerima kritik terhadap keputusan yang dibuat
dan meresponsnya. Sebab, tidak semua yang kami putuskan sempurna," kata Wiwiek dan
Ida di tempat terpisah. Mereka mengaku, kelemahan keputusan yang diambil biasanya
terjadi karena informasi untuk mendukung pengambilan keputusan tidak tersedia secara
lengkap.
Sikap detil jelas sangat membantu wanita dalam menjalankan perannya secara baik.
Tidak seperti pemimpin pria yang sangat emoh dengan hal yang serba detil, wanita
pemimpin terbiasa dengan hal yang detil. Segala tugas harus dibuat dengan
perencanaan, dipikirkan secara detil implementasinya, dan dijalankan penuh kehati-
hatian. "Kadang terkesan terlalu cerewet dan hati-hati," kata Ida dan Riyani, sambil
menambahkan, "Padahal tujuannya sangat baik." Kebiasaan ini membuat wanita
pemimpin mampu mengelola pekerjaan dengan efektif dan relatif aman dari sisi risiko.
Sikap detil Eileen, umpamanya, dilakukan dengan memasukkan semua tugasnya, baik
tugas rumah maupun kantor, ke dalam agenda kerja. Hal ini diakuinya sangat membantu
mengelola beban tugasnya sebagai eksekutif maupun ibu di rumah. Sebagai contoh,
Eileen selalu berusaha agar selepas Isya mengaji setiap Jumat malam. "Saya berusaha
tidak ada kegiatan lain pada malam itu untuk bisa rutin mengaji," ujarnya pelan. Namun
dari keseluruhan kelebihan wanita di mana pria harus mengakuinya secara jujur adalah
kemampuan wanita melaksanakan beberapa pekerjaan pada waktu yang sama tanpa
kehilangan fokus terhadap setiap pekerjaan. Ini sering diistilahkan dengan multitasking
atau multitracking oleh Barbara dan Allan Pease, pengarang buku nomor satu terlaris di
dunia Why Men Don't Have a Clue and Women Always Need More Shoes.
Seorang wanita bisa bekerja di komputer di rumah sambil memasak dan menjaga anak-
anak. Bisa juga bekerja di komputer sambil bicara di telepon plus mendengarkan
pembicaraan di dekatnya dan minum secangkir kopi. "Wanita bisa berbicara tentang
beberapa topik yang tidak relevan dalam satu pembicaraan dan menggunakan 5 nada
vokal untuk mengganti subjek atau untuk memberikan penekanan," tulis Barbara dan
Allan Pease. Kebalikannya, pria hanya bisa mengenali 3 dari nada itu. Sebagai hasilnya,
tambahnya, pria sering kehilangan fokus saat mendengarkan pembicaraan wanita.
Kelebihan ini ada pada wanita karena otak wanita diciptakan untuk kemampuan
multitracking. Sedangkan otak pria hanya dibekali dengan kemampuan monotracking.
"They can't make love and answer questions on why they haven't taken out the garbage
at the same time," tegas mereka tentang pria.
Ida menantang untuk membuktikan kelebihan wanita ini. "Coba saja ajak suami yang lagi
baca koran berbicara tentang sesuatu hal. Pasti dia terganggu dan bisa marah. Atau
kalaupun menjawab, pasti jawabannya seadanya."
WAKTU PEMBATAS
Begitu banyak lakon yang harus dijalani oleh seorang wanita eksekutif, waktu menjadi
kendala utama bagi mereka untuk bisa menjalankan perannya secara optimal. Menangani
masalah rumah tangga menambah beban wanita eksekutif karena beban kerja di kantor
sudah pasti berat. Umumnya para eksekutif menghabiskan waktu minimal 8-9 jam sehari
untuk bekerja di kantor. Belum termasuk ada kegiatan yang harus dihadiri malam hari
ataupun bertugas ke luar kota. Dengan demikian, waktu, tenaga, dan pikiran yang bisa
dicurahkan untuk menjalankan kodrat sebagai Ibu menjadi sangat terbatas.
Semua wanita eksekutif yang dihubungi Human Capital mengaku soal keterbatasan
waktu ini sebagai halangan utama bagi wanita menjalankan aneka perannya. Enny
Hardjanto, Senior Partner Dunamis dan mantan eksekutif Unilever, Citibank, Bank Papan
Sejahtera, dan TVRI, merasa membagi waktu sebagai hal yang pelik. "Kita harus memilih
prioritas dan tentu harus konsekuen dengan pilihan itu," katanya. Repotnya, pilihan pada
prioritas itu mengorbankan kepentingan pribadi. "Saya hobi masak, kadang-kadang tidak
punya waktu untuk memasak. Kecuali hari Sabtu, padahal Sabtu adalah hari
istirahatku..harinya Enny, bukan hari sebagai Ibu, sebagai isteri, sebagai anak, sebagai
konsultan, atau lainnya," paparnya.
Bagi Enny Sabtu adalah hari untuk diri sendiri, menikmati kesukaan / hobi atau
menjalankan apa yang menjadi pilihan pribadi, mulai dari membaca buku, main Internet,
pijat, lainnya. Wiwiek yang punya hobi memasak dan membaca juga mencoba
menjadikan Sabtu sebagai hari untuk diri sendiri. "Paling tidak hingga jam 12 siang saat
anak-anak pulang sekolah. Tapi belakangan, anak-anak pulang sekolah jam 9 pagi,
akibatnya waktu untuk diri sendiri jadi hampir tidak ada," ujarnya sambil terbahak.
Sedangkan hari Minggu sepenuhnya untuk keluarga. Biasanya Wiwiek bersama suami
mengantar kedua anak kembarnya menunggang kuda di Kebon Jeruk atau Tapos.
Waktu memang barang mahal bagi siapa saja yang sibuk, terlebih lagi bagi wanita
eksekutif. Mereka harus pandai membagi waktu karena perannya lebih banyak daripada
pria. Bagaimanapun hidup harus dibuat seimbang antara pekerjaan kantor dan rumah;
antara beban stres dan usaha relaksasi; antara kehidupan pribadi dan kehidupan
keluarga; antara kehidupan keluarga dan sosial. "Hidup harus dibuat menyenangkan,
jangan jadi beban," ujar mereka bersepakat.
Maka, pandai-pandailah menjalaninya. Pria pun mungkin harus belajar dari para wanita
sukses ini.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Memilih Berkarir Harus Siap Berkorban
Keputusan seorang wanita untuk terjun berkarir tidak mungkin terjadi begitu saja. Perlu
pertimbangan yang matang agar antara karir dan rumah tangga dapat berjalan seimbang
dan meminimalkan pengorbanan antara tugas yang satu dengan tugas yang lain. Ini
tentu bukan pekerjaan mudah, meski bukan mustahil dilakukan.
Wiwiek D. Santoso, President Director PT Astra France Motor mengungkapkan, pilihan
antara karir dan rumah tangga, pada dasarnya sama tinggi nilainya. Ia mengenang,
pengorbanan ibunya yang ketika itu harus meninggalkan bisnisnya yang telah ditekuni
bertahun-tahun demi mencurahkan perhatiannya kepada keluarga. Ketika itu Wiwiek
melihat bahwa keputusan ibunya tersebut sebagai hal yang biasa-biasa saja. Sebab, di
sekitar tempat tinggalnya di Malang, Jawa Timur, wanita karir atau businesswoman masih
terbilang langka.
Namun, setelah hijrah ke Jakarta dan menjadi wanita karir, Wiwiek baru menyadari
pengorbanan ibunya sungguh sangat besar. "Karena itu, saya berpendapat bahwa
menjadi wanita karir atau house wife keduanya sama-sama penting." Sebab, menjadi ibu
rumah tangga di mata Wiwiek merupakan pekerjaan mulia dan tidak bisa disepelekan. Ia
mengutip artikel di sebuah majalah asing yang mengisahkan seorang suami yang ingin
mencoba-coba menjadi "bapak rumah tangga" selama enam bulan. Namun, baru berjalan
beberapa hari suami tadi menyerah dan mengaku hampir mati. "Ini semakin menegaskan
bahwa tugas ibu rumah tangga juga cukup berat," katanya.
Wiwiek yang pernah mengembangkan karir di sejumlah anak perusahaan PT Astra
International, mengaku banyak belajar dari ibunya untuk senantiasa berusaha menjadi
isteri yang baik di mata suami dan ibu yang baik di mata anak-anak. Adapun untuk
mengasah kompetensi dan pengetahuan di bidang karir, ibu dari seorang putri berumur
17 tahun dan kembar 15 tahun itu. belajar dari mana saja. Bisa dari atasan, teman kerja,
buku, serta dari anak buahnya.
Pengembangan kemampuan, ketrampilan dan kompetensi diri, menurut Wiwiek harus
senantiasa dilakukan. Sebab. hampir semua perusahaan kini tak lagi mengenal
diskriminasi gender. Artinya pemberian tugas, beban, tanggung jawab dan jabatan
kepada seseorang untuk memimpin perusahaan tidak didasarkan dia seorang wanita
atau pria, melainkan berdasarkan atas kemampuan.
Nah, bagi seorang wanita yang harus pula mengelola rumah� tangga, selain
bertanggung jawab mengelola perusahaa kondisi ini tentu menuntut konsekuensi
tersendiri.� "Harus ada yang dikorbankan, dalam arti tidak semuanya bisa dijalankan
secara sempurna," kata penggemar novel ini. Ia menunjuk contoh, jika anak sakit dan
memerlukan keberadaan seorang ibu untuk mengantarnya ke dokter, ia akan
memprioritaskan fungsinya sebagai ibu. Sedangkan tugas kantor, sepanjang dapat
didelegasikan kepada orang lain, untuk sementara diserahkan kepada orang lain. Namun,
jika suatu saat ia harus menjalankan tugas kantor, misalnya melakukan business-trip ke
luar negeri suami dan anak-anaknya harus pula bisa memahami dan siap dengan kondisi
tersebut.
Wiwiek tampaknya sangat bersyukur karena selama ini ia dapat melakoni kedua peran
tersebut dengan relatif baik. Paling tidak, sejauh ini belum ada complain dari suami
maupun anak-anaknya. Bahkan, ketika secara bercanda Wiwiek mengatakan ingin tinggal
di rumah saja, mereka bingung.� "Memangnya Mama betah bengong di rumah?" ujar
Wiwiek menirukan komentar anak-anaknya.
Keberhasilan Wiwiek menjalankan peran ganda sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah
tangga, didukung oleh beberapa faktor. Pertama, komitmen yang sejak dini sudah
disepakati dengan suami, bahwa bagaimanapun kesibukan mereka berdua, keluarga
tetap menjadi prioritas. Mereka harus bisa saling mem-back up untuk urusan anak-anak
dan keluarga. Untuk mengambil raport anak-anak, misalnya, mereka berusaha untuk bisa
hadir berdua. Namun jika Wiwiek sedang sibuk, suaminya yang akan pergi. Begitu juga
sebaliknya. Faktor kedua, anak-anak Wiwik kini sudah beranjak dewasa, sehingga tidak
memerlukan perhatian ekstra.
Ketiga adalah komunikasi. Tanpa bermaksud membeberkan urusan kantor kepada suami
dan anak-anaknya, Wiwik sejak awal sudah menyampaikan kepada anggota keluarganya
bahwa tugas dan tanggung jawab pekerjaannya, akan membuatnya hanya punya sedikit
waktu untuk mereka. Meski tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin sebuah
perusahaan membuatnya sering pulang malam, Wiwik tetap berusaha sedapat mungkin
meluangkan waktu untuk anak-anak.
Ngobrol saat makan malam atau menjelang tidur, merupakan waktu yang sangat
berharga. Jika Wiwik terpaksa harus meninggalkan momen berharga itu, ia akan berusaha
menggantinya pada kesempatan lain. Misalnya menenami anak-anak berkuda di kawasan
Sukabumi, atau sekadar makan bersama di luar rumah.� "Sampai saya merasa tidak
punya waktu untuk diri saya sendiri," kata Wiwik tanpa kesan mengeluh, karena kondisi
itu adalah bagian dari konsekuensi dari pilihan yang ia ambil.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Pekerjaan Yang Terkait dengan Fisik Memunculkan Gender
Masalah gender, kini sudah tidak lagi dipermasalahkan di sebagian besar perusahaan
yang ada di Indonesia. Perusahaan justru lebih mengacu kepada kompetensi dan kinerja
seseorang dalam menilai seseorang. Tak terkecuali di PT Mitra Integrasi Informatika (MII),
merupakan salah satu anak perusahaan dalam kelompok usaha Metrodata yang
memfokuskan diri di bidang jasa konsultasi dan sistem integrasi teknologi informasi.
Setiap karyawan diperlakukan sesuai dengan kemampuan dan jabatan yang melekat di
dirinya. Karir, jelas terbuka untuk siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan,
MII boleh berbangga hati mengingat perusahaan tersebut pernah memiliki tiga
perempuan yang berada di jajaran director. Sayangnya, posisi director perempuan
tersebut kini hanya tinggal seorang saja.
Adalah Lumaksi Boediharga. Sosok perempuan yang mencintai dunia teknologi yang kini
menjabat sebagai Business Solution Director di MII. Ibu tiga anak jebolan Universitas
Gadjah Mada jurusan Ekonomi dan Teknologi ini mengaku bahwa posisi director yang kini
disandangnya, bukanlah sebuah posisi yang bisa ia raih hanya dengan sekejap mata.
Butuh perjuangan, keuletan dan kerja keras untuk mencapai posisi tersebut.
Menurutnya, umumnya perusahaan, sudah tidak lagi berpikir masalah gender karena
siapapun berhak untuk berkarir sesuai dengan kemampuannya. Jika sebuah perusahaan
membutuhkan seorang manager yang punya kapabilitas dengan kemampuan leadership
yang baik, tidak hanya sekedar baik dalam komunikasi, maka perusahaan tersebut akan
mencari orang yang sesuai dengan karakter tersebut.� "Perusahaan hanya tahu, oh dia
masih sendin atau sudah berkeluarga, dia akan cuti hamil dan melahirkan. Itu semua
sudah ada dalam peraturan tenaga kerja," tutur Maksi, sapaan akrabnya.
Dalam kondisi seperti sekarang, pekerja perempuan yang cuti hamil dan melahirkan,
misalnya, sudah diperhitungkan oleh perusahaan. Artinya, di satu sisi, bisa saja
perusahaan akan rugi jika karyawannya tidak masuk selama 3 bulan karena cuti hamil
dan melahirkan. Tapi di sisi lain, perusahaan akan selalu memperhitungkan hal itu dan
bagaimana cara mengantisipasinya. Maksi mengatakan, selama karyawan tersebut masih
punya kriteria yang baik dalam bekerja, itu tidak menjadi masalah. Bisa saja, jika orang
awam menilai, kenyataannya perusahaan akan merugi karena karyawannya tidak rnasuk
selama 3 bulan dengan konsekuensi perusahaan harus membayar cuti hamil dan
melahirkan.
Namun, lanjutnya, bukan berarti komposisi dalam satu perusahaan tidak diperhitungkan.
Contohnya, karyawan akuntan di MII sendiri lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.
Jelas, ada alas an tersendiri. Perempuan dianggap mempunyai ketelitian yang lebih baik
dibanding laki-laki. "Di kami laki-lakinya hanya 3 orang, sisanya perempuan. Mungkin ini
gender dan bermasalah kalau hamil semua. Tapi perusahaan pasti punya satu
pertimbangan," tegasnya.
Kendala, siapapun pasti akan mengalami hal demikian. Saat ia masih belum menikah,
kendala yang ia alami adalah meyakinkan kedua orangtuanya bahwa pekerjaan yang ia
geluti memang tidak sekedar datang dan pulang tepat waktu. Kendala terbesar muncul
saat ia memulai bahtera rumah tangga. "Kalau komunikasi tidak berjalan dengan lancar,
masalah akan muncul. Saya dan suami harus terus berkomunikasi menjelaskan pekerjaan
yang saya lakukan. Saya bekerja bisa sampai jam 3 pagi. Sebagai karyawan, kita harus
bekerja sampai selesai. Itu konsekuensi yang harus dihadapi," aku perempuan berusia 52
tahun dengan antusias.
Semestinya, setiap perempuan yang melamar kerja di suatu perusahaan, harus
menyadari bahwa kondisi-kondisi di luar jam kantor akan terjadi. Selain aturan baku
datang jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore, mereka harus menyadari akan ada pekerjaan
yang memakan waktu di luar itu seperti lembur dan dinas luar kota. Jika siap dengan
kondisi itu, maka siapapun akan berusaha mengantisipasi sedini mungkin.
Selain komunikasi dengan suami, ia juga harus menjelaskan kepada ketiga anaknya.
Memang, akunya, harus ada beberapa hal yang dikorbankan. Artinya, seseorang tidak
bisa idealisme terutama saat anak masih belum. mengerti pekerjaan ibunya. "Seorang
ibu, di suatu saat dia akan dihadapkan dengan dilema seperti anak sakit. Tapi dia harus
punya keputusan dan mencari solusinya, seperti menggunakan jasa baby sitter atau
pembantu untuk membawa anak ke dokter," papar perempuan yang hobi bekerja.
Berbeda jika pekerjaan yang ia geluti hanya sekedar mengisi waktu luang.
Seringnya dinas luar kota yang bisa memakan waktu sampai 7 bulan, membuat
perempuan ini sering diprotes oleh ketiga anaknya. "Kapan waktu liburnya?" ujar Maksi
mengikuti ucapan anak-anaknya sambil tersenyum. Untuk mengatasi hal tersebut,
perencanaan adalah hal utama. Ia dan suami biasanya akan merencanakan cuti jauh-jauh
hari sehingga mereka sekeluarga bisa berlibur berbarengan. Kalau cuti dipersiapkan jauh
hari maka pekerjaan harus saya diselesaikan dengan cepat, sebelum masa cuti tiba.
Ambisi dalam berkarir, memang selalu ada. Namun, ia tetap mengukur batas umurnya
yang sudah tidak muda lagi. Setidaknya, tekun berkarir dan happy dalam bekerja, adalah
motto hidupnya dalam bekerja. "Terkadang sebagai ibu, saya suka bandingkan dengan
ibu rumah tangga lain yang selalu mengurus anak. Memang beda, ada hal yang kurang
jika tidak bisa berkontribusi secara teknikal mengurus anak. Mungkin ini yang kadang-
kadang susah dilakoni seorang perempuan," kata Maksi yang sering bekerja lebih dari 15
jam bahkan pernah sampai 25 jam sehari dengan nada serius. Akhirnya, usaha yang ia
lakukan yaitu dengan berkontribusi secara moral kepada ketiga anaknya sehingga anak-
anaknya tidak merasa kehilangan sang ibu dalam hidup mereka.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Sukses di Rumah Tangga dan Karir
Ida Purwaningsih Lunardi agaknya tergolong wanita eksekutif langka di Indonesia. Kendati
menjadi CEO PT. Federal International Finance (FIF), anak perusahaan Astra di bidang
pembiayaan pembelian motor, ia tetap tidak ingin mengorbankan perannya sebagai ibu
rumah tangga. "Saya ingin sukses di karir, tetapi juga sukses sebagai istri bagi suami dan
ibu bagi anak-anak," ujarnya mantap.
Saking cintanya terhadap keluarga, Ida akan memilih mengorbankan urusan karir
ketimbang harus mengorbankan keluarga. Sewaktu menjabat Direktur Keuangan Astra
Credit Company (ACC), anaknya yang saat itu berusia 9 tahun sempat sakit berlarut-larut
sehingga harus diopname di rumah sakit selama 2 bulan. Ini mengharuskannya untuk
menjaga anaknya di rumah sakit. "Saya bilang kepada atasan, saya bisa melakukan
pekerjaan dari rumah sakit karena sudah ada sistem. Kalau Bapak keberatan, saya siap
mengundurkan diri," ucapnya, sambil menambahkan, "Karena bagi saya keluarga tetap
nomor satu, dan karir nomor dua."
Sang atasan mengabulkan permintaan Ida untuk bekerja dari rumah sakit. Setahun
kemudian, saat suaminya harus dirawat pula di rumah sakit selama sebulan, hal yang
sama terpaksa dilakukannya, ia tidak masuk lagi bekerja. Namun karena sudah ada
kesepakatan dengan atasan, hal itu bisa dilakoni Ida dengan baik.
Dalam kesehariannya yang sibuk, Ida masih menjalankan perannya sebagai ibu di rumah
dengan maksimal. Pagi hari, ia harus mempersiapkan sarapan bagi suami dan kedua
anaknya. Kebetulan kedua anak laki-lakinya masih tinggal serumah meski kini sudah
mulai bekerja. Di rumah Ida terbantu oleh ibunya yang berusia 79 tahun dan masih sehat
yang juga sama-sama punya hobi memasak. Kalau lagi malas, sore hari saat pulang
kantor ia membeli makanan siap saji.
Kewajiban terhadap keluarga itu memaksa Ida untuk membatasi lama waktu bepergian
ke luar kota dalam urusan bisnis.� "Waktu anak-anak masih kecil, saya usahakan untuk
pulang hari. Sekarang sudah tidak mesti begitu lagi. Sebelum bepergian ke luar kota,
saya sudah menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anak," tambah eksekutif asal
Semarang ini.
Hebatnya, kendatipun begitu intens menjalankan perannya sebagai ibu di rumah, Ida
juga tergolong sangat sukses dalam berkarir. Jabatan CEO diraihnya setelah berkarir
benar-benar dari bawah. Ia mulai berkarir pertama kali di PT United Tractors (UT) sebagai
juru tik. Ceritanya, Ida yang lulusan IKIP Semarang jurusan bahasa Inggris ini melamar
untuk bekerja di UT sebagai sekretaris karena perusahaan itu membuka lowongan kerja.
Personalia UT bertanya ijazah apa yang dimiliki Ida dan apakah punya ijazah sekretaris.
"Saya bilang tidak punya, Tetapi kalau mengetik saya bisa karena sering menerima jasa
pengetikan skripsi. Ketikan saya cepat dan rapih," jawabnya ketika itu. Akhirnya Ida
bukan diterima sebagai sekretaris, tetapi sebagai juru tik di bagian Personalia.
Toh Ida tetap mensyukuri hal ini dengan bekerja sebaik-baiknya.� "Saya berprinsip,
dalam melakukan pekerjaan selalu berusaha to be the best." Waktu menjadi juru tik, ia
melihat berapa lembar yang dihasilkan rekan kerjanya, dan Ida berusaha lebih banyak
dari jumlah itu. Karena mampu mengetik dengan cepat, Ida punya banyak waktu luang.
la menawarkan diri kepada atasannya untuk membantu mengoreksi hasil tes karyawan
yang ia kerjakan sampai malam. Lama-lama Ida dipercaya menjadi pengawas tes seleksi
karyawan.
Rupanya atasan Ida ngomong ke mana-mana tentang kehebatan Ida, bahwa Ida mampu
bekerja dengan cepat dan orangnya mauan. Saat Teddy P. Rahmat, Presiden Direktur UT,
mencari sekretaris beberapa bulan kemudian karena sekretarisnya pindah ke Jepang,
Teddy akhirnya menunjuk Ida sebagai sekretaris. Waktu bekerja jadi sekretaris pun, Ida
yang merasa banyak mengganggur mencoba membantu atasannya. Dia lihat Pak Teddy
suka membaca buku berbahasa Inggris, Ida mencoba membuatkan ringkasan dari buku-
buku tersebut. Saat Teddy akan membaca, Ida menawarkan hasil ringkasannya karena
waktu bosnya yang sempit untuk membaca. Teddy pun kaget.� "Bayangkan, pada saat
teman-teman sekretaris lain membaca majalah, saya malah baca buku dan membuatkan
ringkasannya," tuturnya sambil tersenyum.
Tiga tahun menjadi sekretaris, Teddy yang melihat potensi Ida menawarkan menjadi
manajer keuangan di PT Tractor Nusantara, anak perusahaan UT. la minta waktu untuk
berpikir.� "Saya juga bilang tidak mengerti bidang keuangan. Sebelumnya Pak Teddy
selalu menyuruh saya untuk belajar keuangan." Pak Teddy mencoba meyakinkan Ida
bahwa keuangan itu sederhana.� "Pokoknya kamu atur saja, jangan sampai ada utang
yang tidak bisa dibayar, ada kewajiban yang tidak bisa dipenuhi, uang yang mestinya
masuk diusahakan masuk supaya bisa bayar kewajiban."
Sehari berpikir�dan ia setuju dengan pendapat Teddy bahwa keuangan itu cukup
sederhana�Ida berketetapan hati untuk mengambil peluang itu. Keesokan harinya saat
bertemu Teddy, ia menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian, rnulailah Ida menjadi
manajer keuangan sambil terus belajar masalah keuangan. "Segalanya berubah.. Dari
tidak punya anak buah, jadi punya anak buah. Di perusahaan ini pula Ida kemudian
bertemu dengan sang suami.
Sejak menjadi manajer keuangan (1976-1979), karirnya terus melesat. la kemudian
dipercaya menjadi Direktur Keuangan 8 Administrasi PT Interdelta (1979-1986), menjadi
Presiden Direktur PT Swadharma Bhakti Sedaya Finance (1986-1994), Presiden Direktur
PT Astra Sedaya Finance (1989-1977), Direktur Keuangan Federal Motor (1997-1998), dan
Presiden Direktur FIF (1998 hingga saat ini). Selain itu, Ida dipercaya menjadi komisaris
beberapa anak perusahaan Astra.
Sebagai eksekutif, Ida telah menunjukkan kualitas kepemimpinannya di berbagai
perusahaan tempat ia berkarya. Di bawah kepemimpinannya, FIF yang babak belur saat
krisis ekonomi kini tampil sebagai salah satu anak perusahaan Astra yang paling
menguntungkan. Ia diberi kepercayaan membenahi FIF yang dililit utang US juta dan Rp
380 miliar di saat nilai rupiah anjlok beberapa kali lipat. Mau mengadu ke Astra sebagai
induk perusahaan tidak bisa, karena Astra juga sedang dililit persoalan yang sama
besarnya. FIF terpaksa memangkas jumlah karyawan dari 2.600 orang menjadi 1.700
orang. Akibat harga motor Honda dinaikkan 4 kali lipat dari Rp 3 juta/unit sebelum krisis
menjadi Rp 12 juta/unit setelah krisis, pasar motor tidak bergerak sehingga arus kas nihil.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
PEKERJA PEREMPUAN LEBIH DILIHAT KOMPETENSINYA
Pemimpin yang baik, adalah pimpinan yang kompeten dan bisa membawa tim yang solid.
Ini lebih penting ketimbang hanya mengurusi gender si pemimpin.
Peranan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia, dianggap kini lebih beruntung
karena sudah tidak ada kebijakan yang menyulitkan kaum perempuan untuk
dipekerjakan. Kalaupun perempuan pada situasi tertentu "disepelekan", itu disebabkan
karena sikap orang-orang tertentu saja, bukan karena pemerintah. Sehingga, perempuan
kini punya banyak kesempatan untuk berkarir.
Kesetaraan gender dalam sebuah pekerjaan menurut Eileen Rahman, justru tergantung
pada kompetensi yang sedang dibutuhkan. "Ada perempuan yang jago di bidang
tertentu, tetapi sebaliknya, ada pula laki-laki yang jago di bidang tertentu," papar
perempuan yang menjabat sebagai Director di Experd, sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang jasa konsultan SDM. Perempuan pada masa sekarang, lebih dilihat
kepada kompetensinya dalam berkarir. Perbedaan akan terlihat kalau kompetensi dan
entrepreneurship-nya memang beda. Tapi bukan karena jenis kelaminnya.
Ia mengakui, masih ada anggapan dari sebagian masyarakat Indonesia yang mengatakan
bahwa perempuan lebih baik di rumah. "Anda lihat sendiri, anggota DPR saja, yang
perempuan masih sedikit," katanya mencontohkan. Persepsi ini seharusnya diubah. Di
sisi lain, kaum perempuan pun harus meyakinkan diri bahwa dia mampu untuk berkarir.
Untuk mengakomodasi hak dan peranan perempuan saat bekerja, Eileen justru
beranggapan bukan dari segi struktur atau peraturan yang diberlakukan di perusahaan,
melainkan dari segi fasilitas. Contohnya, perusahaan memikirkan bagaimana karyawan
perempuan bisa lebih mudah mengurus balitanya secara lebih intensif, misalnya dengan
cara memberlakukan flexitime atau mungkin bisa dengan menyediakan ruangan
menyusui bagi perempuan pekerja yang masih menyusui anaknya. "Tapi, itupun harus di
lihat, apakah setiap perusahaan harus seperti itu. Kita harus bersaing dengan kaum laki
dan kaum perempuan yang lain. Makanya kita harus akal-akalan," tegasnya saat ditanya
bagaimana mengatasi persoalan pelik yang biasa muncul di setiap perempuan yang
bekerja, terutama dalam mengurus rumah tangga.
Kalau anak sakit. padahal ia dituntut untuk ke kantor karena ada rapat, Eileen mencoba
mengatasi hal demikian dengan menyerahkan tanggung jawab sementara kepada
mertua, pembantu bahkan bisa pula kepada tetangga yang dipercayainya. "Kan ada anak
kecil yang maunya dipeluk terus sama ibunya saat dia sakit. Kita harus bisa atasi ini.
Kalau tidak, kita kalah," aku nenek satu cucu yang salut dengan temannya, yang sengaja
menjebol dinding pagar rumahnya sehingga dia bisa saling menjaga dengan anak
tetangganya.
Perempuan yang menikah di usia yang tergolong muda�" 20 tahun" mengasuh anak-
anaknya tanpa dibantu orang lain selama 8 tahun. Setelah delapan tahun lewat, ia baru
mulai kuliah dan menapaki karir di usia 33 tahun. Tidak banyak perempuan yang
menjalani karir di usia demikian. Namun, ia bersyukur ierena ia bisa menjalani� "paket
komplit" seorang perempuan, berumah tangga, mengurus anak, sekolah dan berkarir
secara bertahap, tidak ada yang terlewatkan. "Ini sebuah kemewahan buat saya. Jarang
kan perempuan karir bisa seperti itu. Tapi ini unik, karena terjadi tanpa direncanakan,"
katanya dengan antusias.
Sebagai wanita karir, penggemar olahraga panjat tebing yang sudah berusia lebih dari
setengah abad ini membeberkan bahwa siapapun, laki-laki atau perempuan, pasti akan
mengalami suka duka dan berbagai rintangan dalam berkarir. "Saya ini suka bekerja.
Tidak enak kalau tidak ada kerjaan." Dukanya, justru dirasakan olehnya kalau kalah
proyek. Saat dibahas di kantor, ia mengaku sering marah-marah jika itu terjadi, kendati ia
menyadari bahwa kekalahan tersebut merupakan kesalahan seluruh tim termasuk
dirinya.
Banyak yang menilai, sosok Eileen terutama di mata anak buahnya adalah sosok
pemimpin dan teman yang memiliki perhatian yang sangat besar. Bisa dimaklumi, karena
ia adalah seorang psikolog. Menurutnya, secara teoritis, seorang atasan yang benar,
harus mendelegasikan dengan cepat hal-hal yang perlu diungkapkan kepada anak buah.
Atau dengan kata lain, seorang atasan harusnya mengajarkan anak buahnya supaya
pintar. Ini untuk menghindari menurunnya kinerja anak buah. Ada beberapa kemungkinan
jika karyawan atau anak buahnya jika kinerjanya berkurang. Pertama, karyawan tersebut
tidak pintar, kedua karyawan itu pengecut. Ketiga adalah tidak bisa melihat organisasi
dengan benar dan keempat ada masalah pribadi.
Ia memberikan contoh, jika ada anak buahnya yang pacarannya backstreet, mendadak
tidak berada di kantor padahal masih jam kantor atau ada rapat, ia akan segera
memanggil anak buahnya tersebut untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi.
"Kalau sering hilang begitu, maka dia tidak akan mencapai target. Ujung-ujungnya, dia
malah bisa dikeluarkan," jelasnya. Perhatian seseorang, akan terlihat jelas di wajah. Jika
ada masalah, maka raut wajah seseorang akan terlihat beda jika dibandingkan dengan
seseorang yang sedang tidak ada masalah. "Kita harus lihat detailnya supaya
penyelesaiannya cepat. Kita harus bantu karena urusannya ke kerjaan juga," tegasnya
kembali.
Di samping itu, pimpinan yang baik adalah pimpinan yang kompeten dan bisa membawa
tim yang solid. Ini lebih penting ketimbang hanya mengurusi gender si pemimpin.
Bahkan, ketegasan dan disiplin harus terus ditegakkan dan dicontohkan oleh pemimpin.
Kalau ada anak buah yang tidak perform terhadap perusahaan, ia dengan tegas akan
mengatakan bahwa dia tidak perform dan bisa dikeluarkan dari perusahaan. Jadi, jangan
heran jika dalam hitungan bulan, Eileen bisa memberhentikan karyawannya dan
menggantikannya dengan yang perform. "Makanya saat interview, saya tidak hanya
melakukan couching saja, tapi juga konseling. Jika dia ternyata tidak cocok untuk
pekerjaan ini, saya akan anjurkan untuk pekerjaan lain. Ini untuk menghindari kesalahan
dalam mendapatkan karyawan yang pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya," jelas
Eileen yang merasa dekat dengan anak buah perempuan dan tidak menyukai anak buah
yang "cari muka" terhadap dirinya.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Dalam Bekerja, Jangan Seperti Kuli dengan Mandor
Pesan sang suami yang mengharuskan ia bekerja serius dan tidak setengah-setengah,
membulatkan tekadnya untuk menekuni karir sekaligus mengelola keluarga.
Era kebebasan kaum perempuan di masa sekarang, kini sudah banyak dinikmati oleh
kaum perempuan. Dan kebebasan berkarir hingga sampai di posisi atas, juga dinikmati
oleh Riyani T. Bondan, sosok perempuan yang menjabat sebagai Senior Vice President
Learning Center Group Head Bank Mandiri.
Menurut Ani, demikian ia biasa disapa, Bank Mandiri kini sudah lebih terbuka dengan
posisi perempuan menjadi pimpinan. Sekarang saja, di group head Bank Mandiri memiliki
lima pimpinan. Kendati di level direktur belum terdapat perempuan, namun Ani
menegaskan bahwa itu bukan satu hal yang bermasalah buat kaum perempuan. Artinya,
kondisi demikian bukan disebabkan adanya diskriminasi, melainkan karena kompetisi
biasa secara profesional yang dilakukan Bank Mandiri. Secara global, jika kaum
perempuan masih tergolong jarang berada di level atas, diakuinya bukan karena dibatasi
secara sadar. Keterbatasan muncul, bisa pula karena pilihan perempuan itu sendiri,
bukan karena gagal dalam bersaing dengan laki-laki.
Di Amerika Serikat, aktualisasi begitu ditonjolkan, sehingga kepuasan kerja disamakan
dengan jabatan. Namun, Ani menilai, secara pribadi, kepuasan kerja di dirinya bukan
karena jabatannya, melainkan bagaimana ia bermanfaat untuk orang lain. "Atasan saya
pernah bilang, kamu kelihatannya menikmati di training. Padahal, mungkin di Indonesia,
istilah training itu bukan tempat prestisius," jelasnya. Orang Indonesia masih
beranggapan, kalau seseorang berada di divisi bisnis, baru dibilang hebat. Sedangkan
jika di bagian support, dianggap kurang hebat. Tapi tidak buat dirinya. Ia malah
beranggapan bahwa di mana pun ia ditempatkan dan memberikan kontribusi yang lebih
besar, ia merasa senang. Lain hal jika ia ditempatkan di suatu divisi yang malah
membuat ia tidak bisa berkontribusi, justru membuatnya kecil hati.
Ditempatkan di divisi yang dianggap sebagai "area gampang", justru membuat ibu dua
anak ini merasa diberi kesempatan ke dunia baru, yang tidak pernah tersentuh sekalipun.
"Tapi, di divisi apapun saya dipindahkan, saya tetap lihat positifnya." Maka itu, ia
mencoba mengikis pendapat bahwa orang-orang di bagian support itu artinya boleh diisi
oleh orang-orang yang tidak perform, atau malah dianggap "orang buangan". Tak heran
jika perempuan jebolan IPB ini sering mengutarakan ke rekan kerjanya untuk senantiasa
kerja keras sama-sama, yang mungkin orang lain bilang, ini lebih keras dibandingkan
yang di unit bisnis. "Saya bilang, ini memang tantangan seperti itu karena banyak PR
yang belum kita kerjakan. Tapi ini menarik, bagaimana kita bisa diterima, kita dibutuhkan,
kita bisa kerjasama. Itu justru yang menjadi kebanggaan sendiri," imbuhnya.
Menurutnya, kendala secara global bagi kaum perempuan yang berada di posisi atas
dalam berkarir ada di diri mereka sendiri. Artinya, dengan melakukan pilihannya mereka
sendiri, maka akan tercermin di cara kerjanya. Jika cara kerjanya menyiratkan sesuatu,
jelas dengan sendirinya muncul. "Kita tidak bisa membohongi orang lain, apa yang ada di
pilihan kita, pikiran kita akan terlihat di cara kerja. Bahkan jika perempuan tersebut berat
ke keluarga, itu akan tersirat. Bagaimana kita mengambil keputusan pada saat sulit.
Itulah perempuan dengan kelebihan dan kekurangannya," ungkapnya panjang lebar.
Dalam mengambil keputusan apakah seorang perempuan harus mengurus keluarganya
atau mengurus keluarga dan tetap berkarir, ia menegaskan bahwa itu adalah pilihan.
"Kalau kita memang bisa berkarir, keluarga bisa dikelola dengan baik dan dengan cara
tertentu, kenapa tidak?" Mengurus keluarga, jelas sebuah karir. Tapi akan lebih baik jika
tidak separuh-separuh. Jangan sampai terjadi, berkarir di rumah tidak, di kantor pun
tidak. Ini yang disayangkan oleh Ani.� "Jangan kantor jadi korban, rumah juga korban.
Kalau kita separuh-separuh dan tidak jelas arahnya, yang di rumah bingung, yang di
kantor juga bingung karena saat dibutuhkan di kantor, dia menghilang. Tapi di rumah
juga tidak sepenuhnya.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Pada Awalnya Menghadapi Dilema
Mengapa Anda memilih bekerja dan mengorbankan waktu yang mestinya untuk
keluarga? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada Direktur Keuangan Bakrie & Brothers,
Yuanita Rohali, maka jawaban yang muncul adalah sederet perhitungan yang berbau
matematis.
Yuanita, ibu tiga anak yang masing-masing berusia 10 tahun, 6, dan 3 tahun itu,
mengaku sebenarnya dihadapkan pada sebuah dilema : karir atau keluarga. Namun
setelah melakukan berbagai pertimbangan, akhirnya adik kandung presenter Alya Rohali
ini memutuskan untuk terus melaju dalam berkarir. Pertimbangan yang dia pakai, antara
lain adalah seberapa besar perbedaan waktu antara kalau ia bekerja dan tetap tinggal di
rumah sebagai ibu rumah tangga.
"Ternyata bedanya tidak terlalu signifikan," tukas pehobi musik dan menyanyi ini.
Perhitungannya: setelah sarapan dan bangun pagi, anak-anak (kecuali yang masih 3
tahun) bergegas berangkat sekolah dan suami pergi ke kantor. Kalau pun saya tinggal di
rumah, saya juga tak bisa bersama suami dan anak-anak, karena mereka punya
kesibukan masing-masing," kata Yuanita.
Menjelang makan siang, anak-anak pulang ke rumah dan makan siang tanpa ditunggui
ayah dan ibunya. Namun, anak-anak Yuanita hanya singgah ke rumah hanya untuk
beberapa jam saja. Setelah itu, mereka kembali meninggalkan rumah untuk mengikuti
berbagai kegiatan ekstra sekolah sampai jam 5 sore. Adapun Yuanita, jika tak ada
kegiatan yang sangat penting, akan kembali ke rumah sekitar pukul 19.00 untuk
berkumpul bersama keluarga.
Dengan asumsi bahwa kalau menjadi ibu rumah tangga Yuanita tak punya kegiatan lain
pun, waktu yang tersedia untuk bersama keluarga relatif singkat.� "Padahal, sebagai ibu
rumah tangga perlu juga kan bersosialiasi dan keluar rumah," tambahnya. Akhirnya
Yuanita memutuskan untuk terus berkarir. Apalagi, selama ini ia merasa bisa membagi
waktu antara pekerjaan dan tugas sebagai ibu dengan cukup baik.� "Saya biasakan
untuk bisa makan siang di rumah bersama anak-anak dan suami," katanya. Atau, jika
Yuanita tak sempat, anak-anak� yang menyusul ibunya ke kantor. Kesempatan ini
biasanya digunakannya untuk membimbing anak-anak mengerjakan tugas sekolah atau
sekadar ngobrol.
Nita sadar bahwa anak adalah bagian dari masa depannya juga. Karena itu, meski ia
sibuk dengan urusan pekerjaannya, Nita mencoba untuk bisa dekat dengan kedua
anaknya. Begitu besar keinginan untuk dekat dengan keluarga, sampai-sampai ia rela
kehilangan waktu untuk kepentingan pribadi, demi anak-anak dan suaminya.
Dalam menjalani karir profesionalnya, Yuanita mengaku tidak menghadapi kendala
berarti, terutama dalam statusnya sebagai perempuan.� "Sekarang, antara laki laki dan
perempuan praktis tidak ada pembedaan, kecuali untuk hal-hal yang sifatnya kodrati,"
tegasnya. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk saling
melengkapi. Di dunia kerja, menurut Yuanita wanita memiliki beberapa kelebihan.
Misalnya lebih tekun, sabar dalam arti tidak mudah marah, dan relatif lebih jujur. Adapun
pria, pendapat umum sering mengungkapkan bahwa mereka lebih tegas, dan lebih
berani.
Sebagai wanita, menurut Yuanita ia merasa tidak pernah dan tidak perlu memperoleh
perlakuan khusus dari perusahaan.� "Kalau kita menuntut keistimewaan, menurut saya
malah jadi tidak fair, karena di satu sisi kita sering meneriakkan persamaan hak
sementara di sisi lain wanita minta diistimewakan," katanya. la menegaskan, bahwa
secara fisik wanita memang berbeda dengan pria, namun hal tersebut hanya secara fisik
saja. Adapun di bidang karir, keduanya memperoleh hak dan kewajiban yang sama.
Keberhasilan Yuanita menekuni karir profesionalnya selama ini, seperti halnya wanita lain,
memang tak lepas dari peran orang tua dan suami serta anak-anak. Meski ibu Yuanita
lebih memilih sebagai housewife, selama ini, kata Yuanita, ibunya sangat mendukung
karirnya.� "Beliau sering menasehati saya, meskipun saya bekerja suami dan anak-anak
harus menjadi prioritas utama. Tapi pekerjaan juga mesti diselesaikan dengan sebaik-
baiknya," kata Yuanita mengenang pesan ibunya. Sedangkan soal suami, ia sudah
terbiasa berbagi tugas, terutama untuk urusan yang berkaitan dengan anak.
Yuanita mengakui, banyak pemimpin wanita yang lebih menekankan perasaan ketimbang
logika. Namun, buru-buru ia menambahkan bahwa ketika harus mengambil keputusan, ia
mesti menggunakan pertimbangan logika ketimbang perasaan. Misalnya, ketika ia harus
memutuskan anak buahnya dipindahkan ke tempat lain atau di-PHK, ia akan tetap
menjalankan keputusan tersebut, meski di sisi hatinya yang lain mungkin terbersit rasa
kasihan.� "Saya akan lebih bersalah lagi, baik kepada yang bersangkutan maupun
kepada perusahaan jika tidak mengambil keputusan," tegas mantan Head of Corporate
Banking di Bank Credit Lyonnais Indonesia itu.
Butuhkah Wanita Akan Kekuasaan?
No. 13 - April 2005
Kalau pria menganggap ambisius itu perlu, maka wanita menolak bersikap demikian.
Mereka juga menolak disebut haus kekuasaan, sebaliknya kekuasaanlah yang menjemput
mereka. Masih relevankah isu kesetaraan gender?
Pertanyaan tentang apakah wanita butuh kekuasaan, dalam arti wanita akan sangat
bangga dan senang jika berkuasa, selalu menarik untuk dikupas kapanpun juga. Inilah
pertanyaan klasik yang selalu muncul bila berbicara tentang kesetaraan gender. Tidak
hanya di Indonesia, tapi juga di negara Amerika sekalipun.
Para wanita eksekutif yang dimintai pendapat oleh Human Capital tegas menjawab
bahwa mereka tidak butuh kekuasaan atau ingin disebut wanita kuat. Sukses mereka raih
melalui usaha yang wajar dengan terus meningkatkan kompetensi pribadi. Tidak dikenal
sikut-sikutan atau saling jegal dalam kamus wanita karir. Tidak pula dengan
memanfaatkan kecantikan atau dengan menghalalkan segala cara. Mereka meresapi
sekali makna hidup yang terus mengalir. "Kita tidak pernah tahu ke mana ujungnya," kata
Wiwiek D. Santoso, Presiden Direktur PT Astra Finance Motor,dan Riyani T.Bondan, SVP
Learning Center Bank Mandiri.
Ida P. Lunardi, Presiden Direktur PT Federal International Finance, bahkan merasa lebih
baik mundur sebagai eksekutif bila harus mengalahkan kepentingan keluarga. Hal yang
sama juga disampaikan oleh Enny Hardjanto, mantan eksekutif banyak perusahaan
terkemuka dan kini menjadi Senior Partner Dunamis. "Saya berkarya untuk kepentingan
keluarga sehingga dalam perjalanan karir saya sangat mementingkan kesamaan nilai
perusahaan dengan nilai-nilai saya. Kalau nilai-nilai perusahaan tidak cocok, berarti saya
akan stres, maka saya lebih baik mundur," tuturnya. la mengingatkan, dunia tidak
selebar daun kelor. "Bila prinsip perusahaan cocok dengan prinsip pribadi sehinga sangat
mendukung, maka saya merasa tidak bekerja, tetapi beribadah," dia menambahkan.
Berbagai ungkapan di atas menunjukkan betapa kuatnya para wanita eksekutif itu
memegang prinsip, dan rela.berhenti bilaharus melanggar prinsip tersebut. Artinya,
mereka rela menanggalkan semua kekuasaan berikut atribut pendukungnya jika itu
diperlukan. Rasanya sulit bagi pria untuk bersikap jumawa semacam itu.
Sikap memegang prinsip ditunjukkan pula oleh wanita eksekutif yang termasuk dalam
daftar 50 wanita paling berkuasa dalam bisnis di Amerika dan dunia. Ann Fudge,
misalnya. Lulusan Harvard Business School, anggota Board Member GE, isteri, nenek, dan
mantan eksekutif bintang dari Kraft Food ini memutuskan untuk meninggalkan dunia
bisnis selama 2 tahun (dan keluar dari daftar Most Powerful majalah Fortune) sebelum
akhirnya ia mau menerima tawaran sebagai Chairman 8 CEO konglomerat iklan Young 8
Rubicam Inc. Selama waktu 2 tahun itu ia meninggalkan tahta kekuasaan di dunia bisnis.
"Saya kira wanita tidak perlu berpacu dengan pria dalam segala hal," tukasnya.
Seperti Fudge, banyak wanita eksekutif yang masuk dalam daftar Most Powerful Women
in Business itu melihat kekuasaan dalam perspektif berbeda dengan pria. Mereka melihat
kekuasaan lebih ke arah pengaruh, bukan ranking. Bahkan mereka tidak ingin menjadi
Carly Fiorina (mantan Chairman 8 CEO HP yang telah 7 tahun berturut-turut berada di
posisi 1 daftar tersebut saat masih menjabat sebagai CEO) atau menjalankan perusahaan
berskala raksasa.
"Kekuasaan ada di depan mata dan bersikap agresif. Saya tidak menyukainya,"ungkap
President Old Navy yang juga masuk dalam daftar bergengsi tersebut. Menurut Meg
Whitman, President 4 CEO eBay (nomor 2 dalam daftar), kekuasaan berkonotasi negatif.
Orang seperti Hillary Clinton pun (kini menjadi Senator asal New York) tidak suka
menggunakan istilah kekuasaan. "Saya tidak pernah memikirkannya," akunya. "Saya
bahkan tidak terlalu mengerti tentang kekuasaan. Saya kira hal itu tidak berhubungan
dengan saya."
Bagaimana dengan Condoleezza Rice, mantan Kepala Penasehat Keamanan Amerika dan
kini menjabat Menteri Luar Negeri Amerika? Wanita yang disebut-sebut berpandangan
keras ini (seperti terungkap dalam lawatannya ke Eropa baru-baru ini) ternyata enggan
menggunakan istilah berkuasa itu. Ia lebih suka menggunakan istilah yang lebih lembut
seperti pengaruh, fasilitator, dan sejenisnya. "Sebagai pejabat tinggi saya bisa
menggunakan pengaruh saya untuk kepentingan Amerika dan dunia," tukasnya.
Pandangan tentang kekuasaan ini membuat wanita tidak pernah ambisius dan mati-
matian mengejar posisi puncak. Mereka yang menggapai posisi tinggi merasa bahwa
kekuasaan yang mengejar mereka, ketimbang mereka yang mencari kekuasaan. "Saya
tidak pernah membayangkan atau bermimpi nendapat jabatan ini," ujar Condy, panggilan
akrab Condoolezza. Ia mengambil studi ilmu politik dan studi Soviet, mendapatkan gelar
Ph.D, menjadi seorang profesor, bekerja membantu pemerintahan Bush senior, menjadi
provost di Stanford, menjadi Penasehat Keamanan dan sekarang Menteri Luar Negeri
Amerika. "Semuanya tanpa perencanaan sedikitpun," tambahnya.
Banyak wanita yang menolak untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi karena
belum merasa mampu menjalankan peran tersebut. Myrtle Potter, COO Genentech,
sempat menolak duakali promosi jabatan. Ia ingin dipromosikan tetapi merasa belum siap
dan yang ia butuhkan adalah perpindahan lateral. Myrtle tak salah dengan sikapnya,
karena menurut biro riset Catalyst, kurangnya pengalaman dalam manajemen lini
menjadi hambatan utama bagi wanita menggapai posisi puncak.
Saat ditawari menjadi CEO, baik Ida maupun Wiwik tetap mempertanyakan keputusan
promosi ini kepada atasannya. "Pak Prijono bilang, saatnya Anda mengambil alih posisi
CEO," kata Wiwik. Waktu itu ia masih menjabat Managing Director, sebuah jabatan yang
dipercayakan CEO Astra waktu itu Rini Soewandi. Sedangkan jabatan CEO diisi Prijono
Sugiarto.
Alasan lain penolakan wanita terhadap jabatan lebih tinggi adalah karena mereka tidak
ingin melakukan pengorbanan pribadi. Ada banyak wanita eksekutif yang tidak ingin
kehidupannya tersita oleh urusan perusahaan. Wanita lebih suka pekerjaan yang
memberikan fleksibilitas waktu dan lebih bervariasi. Alasannya, wanita menginginkan
kepuasan dalam bekerja yang lebih besar dibandingkan pria.
Sebuah studi yang dilakukan GE terhadap 135.000 pekerja profesional mereka
mendapatkan temuan bahwa wanita berhenti bekerja lebih banyak daripada pria: wanita
berhenti secara sukarela 8% per tahun vs. 6,5% bagi pria. Kelihatannya secara
persentase perbedaannya tidak besar, tetapi dari segi jumlah absolut itu bertambah
2.025 orang wanita lebih per tahun.
Riset Catalyst melaporkan 26% wanita profesional yang belum berada di posisi paling
senior mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan pekerjaan itu. Dari sekitar 108
wanita eksekutif yang masuk daftar Fortune 50 hingga 2003, 20 orang telah
meninggalkan jabatannya yang prestisius. Sebagian besar karena kemauan pribadi.
Misalnya ada yang memilih fokus kepada keluarga, menjadi profesor pemasaran di
sekolah bisnis, mengelola pendidikan, menjalankan kegiatan filantropi, dan sebagainya.
Mencermati berbagai kenyataan di atas, memang jadi pertanyaan seberapa serius wanita
ingin mengembangkan karirnya? Sebab, di sisi lain, para wanita eksekutif ini juga ingin
agar masalah kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan bisa diperjuangkan.
Persoalan gender dalam korporasi juga terjadi di negara semaju Amerika. Jumlah wanita
yang menduduki posisi level puncak (AVP ke atas) di perusahaan besar di Amerika saat
ini hanya 8%. Jumlah wanita yang menduduki CEO pada perusahaan Fortune 500 tahun
lalu hanya 8 orang. Sisanya 492 CEO adalah pria.
Disparitas itu juga terjadi dalam dunia politik. Hanya 14% wanita menjadi anggota Senat
AS dan 14% menjadi anggota DPR AS. Sementara di Indonesia, niat partai politik untuk
menaikkan kuota perempuan menjadi 30% masih jauh panggang dari api. Di DPR, jumlah
wanita jauh lebih sedikit lagi. Sementara di pemerintahan kini terdapat 4 menteri wanita.
"Sebetulnya dalam perusahaan tidak ada masalah gender. Masalahnya hanya apakah
wanita m.ampu dan mau untuk setara," ujar Enny Hardjanto yang mengaku telah merasa
setara dengan pria sejak usia muda. la menambahkan, banyak wanita yang berhasil
menempatkan diri setara atau jauh lebih baik dari pria, dari buruh kasar hingga eksekutif
perusahaan dan Menteri. "Kuncinya bagaimana wanita menguasai aspek kompetensi,
karakter, dan kemauan untuk maju."
Dari sisi kemampuan, tak satupun meragukan kualitas para wanita eksekutif Indonesia.
Hasil observasi Vina G. Pendit berinteraksi dengan klien, wanita yang menjadi pimpinan
dalam bisnis adalah orang-orang yang memang unggul. Secara teknis mereka menguasai
bidangnya, secara manajerial mereka tegas dan tanggap terhadap situasi dan tuntutan
sekitarnya, secara bisnis mereka pun tahu betul apa yang membuat organisasi berhasil.
Dari proses Assessment Center DDI terhadap level manajer ke atas, beberapa kali wanita
berhasil masuk dalam ranking 5 besar. Dan, di organisasi, ternyata wanita itu adalah
talenta perusahaan. Vina berpendapat, wanita potensial kini terus bertambah jumlahnya.
Jumlah kandidat wanita yang lolos dalam setiap proses seleksi, baik di tingkat bawah
maupun manajer meningkat. "Sekarang dari 20 orang yang lolos seleksi, 7-8 orang
adalah perempuan. Dulu paling hanya 3-4 orang," tambah Vina yang mengaku tidak
pernah membayangkan bisa menduduki posisi setinggi sekarang; apalagi bercita-cita
memimpin perusahaan.
Modernisasi kehidupan telah memberikan peluang dan tantangan bagi kaum wanita
untuk maju. Komitmen dan dukungan penuh suami serta keluarga akan sangat
membantu wanita meraih pencapaian-pencapaian tinggi dalam hidupnya. Selebihnya
ditentukan oleh kompetensi, karakter, dan kemauan wanita untuk maju.
Leadership Series: Memotivasi Karyawan adalah Prioritas Utama
No. 14 - Mei 2005

Menjadi pemimpin yang efektif untuk sebuah organisasi tentunya bukanlah hal yang
mudah. Banyak sekali keahlian / tanggung jawab yang harus mereka kuasai ; dan begitu
besar harapan (dari orang lain) yang harus mereka pikul untuk menjadikan organisasinya
supaya sukses.
Pemimpin harus mempunyai visi dan misi, ke mana mereka akan membawa timnya.
Mereka diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai kejujuran dan integritas. Mereka
bertanggung jawab untuk mengetahui tugas-tugas dari departemen atau karyawan yang
dibawahinya. Mereka juga diharuskan menjadi seorang yang cerdas, cekatan, tegas,
berinovasi dan sebagainya.
Semua hal tersebut adalah faktor yang penting untuk menjadi pemimpin yang sukses.
Namun jika kita harus memilih tugas yang paling utama dari pemimpin, secara umum
jawabannya adalah: Memotivasi karyawan. Terutama untuk pemimpin di tingkat middle-
level manager (yang membawahi suatu departemen atau tim), setelah mereka
menentukan tujuan / gol dari departemennya, membuat / membenahi prosedur kerja, lalu
merekrut pegawai, dsb, tugas selanjutnya adalah memotivasi karyawan agar gol
departemen tercapai.
Sering kali pemimpin lebih banyak membuang waktu mengawasi anak buahnya, daripada
memotivasi mereka. Beberapa pemimpin suka mengawasi jam berapa karyawannya
masuk kerja, memeriksa apakah mereka memakai komputer untuk bekerja atau
membuka personal email, atau bahkan menguping apakah anak buahnya berbicara
ditelpon dengan customer atau si pacar.
Sebenarnya kalau kita pertimbangkan lebih dalam, karyawan yang motivasinya tinggi,
tidak perlu terlalu diawasi / diatur lagi. Mereka akan datang kerja tepat waktu, bahkan
jika semangatnya tinggi sekali, mereka mungkin sudah "tidak tahan" untuk balik bekerja.
Karyawan yang bermotivasi tinggi melihat pekerjaannya sebagai suatu kesenangan,
bukan keharusan. Mereka biasanya selalu berpikir positif; kesulitan di pekerjaan adalah
tantangan untuk mereka, bukan masalah.
Memotivasi adalah tindakan yang proaktif, sedangkan mengawasi/mengatur biasanya
suatu tindakan yang reaktif. Pemimpin yang efektif akan memotivasi karyawan, sebelum
mereka jenuh / bingung dengan kerjaanya. Dan jika sudah bosan karyawan tersebut akan
menjadi malas / lalai, sehingga kita harus awasi / atur kinerjanya. Sebaliknya karyawan
yang tinggi motivasinya, dapat mengatur dirinya sendiri, besar inisiatifnya, bahkan
mereka biasanya mempunyai banyak ide-ide (berinovasi) untuk meningkatkan kinerja tim
kita.
Memberi motivasi adalah tugas yang sangat penting dari pemimpin. Dan untungnya,
tugas tersebut bukanlah hal yang sulit dilakukan, selama kita mau mencoba. Kita tidak
perlu menjadi motivation guru, atau mempunyai suara yang menggelegar (bagaikan
petir), atau kepribadian yang menggebu-gebu (seperti api) untuk memberi motivasi yang
efektif. Bahkan kalau suara kita seperti petir dan kepribadian berapi-api, mungkin
karyawan kita justru akan takut, sembunyi dibawah meja, dan tidak bisa bekerja.
Memotivasi adalah suatu ketrampilan. Hampir sama dengan ketrampilan berkomunikasi,
memakai komputer, mengemudikan kendaraan dsb. Semakin sering kita belajar dan
berlatih untuk memotivasi orang lain, semakin efektif motivasi yang kita berikan. Ada dua
hal yang harus kita ingat dalam memberi motivasi : Kita harus tulus (karyawan dapat
mengetahui apakah semangat yang kita beri adalah hal yang tulus dari hati kita, atau
hanya basa-basi). Lalu terkadang kita harus merubah (taylor-fit) cara kita memberi
motivasi (setiap orang, cara memotivasikannya dapat berlainan, tergantung
kepribadiannya).
Di bawah ini adalah beberapa contoh metode untuk memberi motivasi yang efektif :
Memberi ucapan selamat, langsung kepada karyawan. Jika Anda adalah Kepata
Departemen ataupun CEO/Presdir, akan sangat berkesan untuk seorang karyawan jika
tiba-tiba Anda mendatanginya untuk memberi selamat atas prestasi kerjanya.
Memberi selamat meialui telepon, sms, memo atau email. Jika tidak mungkin untuk Anda
bertemu langsung dengan karyawan yang berprestasi. Anda dapat melakukannya melalui
telepon, sms. surat atau email. Surat / email anda tidak perlu panjang, tetapi sebaiknya
disebutkan apa prestasi karyawan tersebut.
Memberi penghargaan di depan rekan kerja yang lain. Pemimpin dapat mengadakan
pertemuan dengan seluruh pegawai untuk memberi penghargaan kepada karyawan atau
tim yang telah mencapai prestasi yang khusus/unik. Namun hati-hati dalam melakukan
cara ini, karena ada orang yang justru malu jika dipuji di depan umum. Sebaiknya kita
beritahukan mereka dahulu rencana pertemuan tersebut.
Memberikan promosi bedasarkan kinerja, bukan pilih kasih. Pastikan bahwa sistem
promosi di organisasi anda benar-benar berdasarkan hasil kinerja karyawan. Pegawai
yang berprestasi tinggi, akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapat
promosi. Jika kita pilih kasih, atau tidak memberi sangsi kepada yang tidak berprestasi,
secara tidak langsung hal tersebut akan membuat kecewa karyawan yang kinerjanya
baik (motivasinya akan turun).
Memakai persaingan untuk memotivasi tim. Setiap organisasi tentunya bersaing dengan
perusahaan lain dalam mencapai sukses/target bisnis. Persaingan ini dapat dipakai
sebagai alat untuk memotivasi tim kita untuk menjadi lebih baik atau mencapai lebih
banyak daripada kompetisi. Banyak CEO/Presdir dari perusahaan yang berada di posisi
nomer dua atau tiga di industrinya, membuat tim sales-nya menjadi lebih bermotivasi
dan kerja keras untuk meningkatkan penjualan, daripada grup sales untuk perusahaan
yang nomer satu. Memberi motivasi kepada karyawan memang bukanlah satu-satunya
tugas pemimpin. Namun jika kita ingin menjadi pemimpin yang efektif, motivasi
karyawan sebaiknya selalu menjadi prioritas pertama. Jika karyawan dapat mengatur
dirinya sendiri, berinisiatif yang tinggi, pada akhirnya kita mendapat lebih banyak waktu
untuk menangani hal-hal yang lain (ketemu dengan customer, melakukan ekspansi
bisnis, dll), daripada habis waktu mengawasi kerja tim kita.
Memotivasi karyawan bukanlah hal yang mendesak / urgent, tetapi hal yang paling
penting untuk kepemimpinan.
Sumber: Majalah Human Capital No. 14 | Mei 2005
Penjarahan Negara dan BUMN
No. 14 - Mei 2005
Budaya korupsi kini menjadi wabah penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup
bangsa Indonesia. Penjarahan terhadap aset negara dan BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) harus dihentikan. Cara berpikir bangsa Indonesia yang terlalu pendek penyebab
utamanya.
Praktik mega-korupsi yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan keprihatinan
mendalam bagi kaum intelektual di negeri ini. Korupsi telah menjadi budaya yang
merasuk ke setiap sendi-sendi kehidupan. Tetapi, korupsi yang paling memprihatinkan
terjadi di dataran elit nasional karena menyebabkan kerugian yang sangat besar. Bukan
hanya dari segi jumlah yang dikorupsi, kerugian juga terjadi karena praktik terlarang itu
mendorong korupsi di level yang lebih rendah, seperti elit di daerah dan masyarakat
umum.
Di tingkat elit nasional, pelaku korupsi menyebar dari pejabat, pengusaha, anggota
legislatif hingga penegak hukum. Pelaku korupsi datang dari semua etnis, agama, dan
latar belakang pendidikan. Pada banyak kasus, mereka saling bersekongkol untuk korupsi
dan saling melindungi agar praktik haram ini sulit untuk dibongkar.
Reformasi terbukti tidak menghentikan praktik korupsi. Bahkan korupsi semakin
merajalela terjadi setelah era reformasi ini, khususnya di era Presiden Habibie, Gus Dur,
dan Megawati. Para konglomerat hitam telah menyebabkan kerugian negara hampir Rp
600 triliun (setidaknya inilah nilai buku aset yang diserahkan kepada BPPN).
Pengembalian nilai aset itu jauh dari harapan masyarakat. "Kita tidak usah bicara soal
recovery aset tersebut," ujar Ichsannudin Noersy kesal. Pengamat ekonomi ini berbicara
dalam seminar "Penjarahan Aset Negara dan BUMN" yang diadakan oleh Lembaga Studi
dan Advokasi untuk Perlindungan Aset Negara bulan lalu.
Beban negara akibat korupsi itu bertambah lagi karena harus mengeluarkan obligasi
rekap untuk menutup bolong dana perbankan akibat krisis ekonomi sebesar Rp 300 triliun
lebih. Setiap tahunnya pemerintah harus membiayai bunga obligasi tersebut, yang
besarnya lebih dari 10% per tahun. Beban ini telah menyedot kemampuan keuangan
pemerintah bersama-sama dengan pembayaran cicilan pinjaman luar negeri. Anehnya,
pemerintah setuju saja dengan IMF untuk melakukan privatisasi bank-bank yang sempat
dinasionalisasi tersebut, meskipun jumlah dana yang diperoleh tidak sebanding dengan
nilai obligasi rekap yang harus disuntikkan pemerintah.
Berbagai kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi sesungguhnya telah
menjadi pintu gerbang untuk terjadinya praktik korupsi yang lebih luas. Sebab, kebijakan
itu menciptakan banyak transaksi bisnis di bawah BPPN dan kementerian BUMN. Setiap
transaksi bisnis itu memunculkan peluang untuk korupsi. "Modus operandinya macam-
macam," stur Sunarsip, Direktur Center for Indonesian Reform yang kini menjadi Staf Ahli
Menneg BUMN.
Misalnya dengan memperbesar fee jasa konsultan (bank investasi, konsultan hukum,
penilai, akuntan, dan penjamin emisi), menekan harga saham perdana ataupun harga
penjualan aset, dan meminta pembeli/pemenang tender menyediakan fee ekstra di luar
transaksi (yang seharusnya bisa lebih mengoptimalkan nilai pendapatan bagi negara).
Praktik ini tentunya dilakukan oleh para pengambil keputusan di berbagai level.
Pada saat bersamaan, menguatnya peran legisiatif dan partai politik menimbulkan
praktik korupsi baru yang memperburuk keadaan. Banyaknya anggota DPR dan elit partai
yang kaya raya dengan cepat cermin dari betapa korupsi tidak pandang buiu. "Ia benar-
benar telah menjadi sistemik," ungkap Dr. Aviani, pengamat ekonomi dari indef.
Ketika pihak aparat hukum (kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian) menjadi tumpuan
harapan masyarakat, merekapun tidak punya komitmen yang jelas dalam menangani
kasus-kasus korupsi. Alih-alih menyelesaikan kasus korupsi, aparat hokum justru
terkooptasi oleh koruptor sehingga yang terjadi adalah bagi-bagi uang korupsi. "Jangan
heran kaiau penyelesaian kasus korupsi tidak pernah tuntas," kata Danang Widoyoko,
Anggota Badan Pekerja ICW.
Aparat hukum biasanya berdalih minimnya bukti hokum sebagai penyebab lambatnya
penyelesaian masalah korupsi. "Mereka minta hitam di atas putih. Ini yang sulit,"
komentar Ganang, sambil menamnahkan, "Korupsi itu bisa dirasakan namun susah
dibuktikan." Selain terbatasnya akses informal terhadap transaksi yang mencurigakan,
pelapor korupsi juga khawatir mendapat kesulitan akibat laporan mereka.
Lain lagi pendapat Ichsanuddin. "Saya punya dokumen transaksi sekoper banyaknya,
yang menunjukkan indikasi korupsi di berbagai transaksi. Tapi, apakah hal itu
ditindaklanjuti bila saya serahkan," tanyanya serius.
Ia pun mempertanyakan kepada siapa sebaiknya dokemen tersebut disampaikan. Kepada
KPK? la meragukan apakah KPK tertarik menangani kasus-kasus yang tidak terlalu
populer di mata publik.
PENJARAHAN APBN DAN BUMN
Menurunnya transaksi pasca BPPN dan privatisasi BUMN secara kuantitas dan kualitas,
serta adanya upaya serius pemerintahan SBY untuk menekan korupsi, menyebabkan
penjarahan terhadap aset negara diperkirakan bakal terfokus pada anggaran pendapatan
dan belanja nasional (APBN) dan daerah (APBD) serta BUMN.
Telah sejak lama diyakini bahwa kebocoran anggaran belanja negara minimal 30%.
Kebocoran tersebut terjadi karena dikorupsi oleh pejabat instansi berwenang sebagai
komisi dari setiap proyek / kegiatan. Kadang-kadang masih ada tambahan komisi buat
Pimpinan Proyek sebesar 10%. Dipotong laba bersih untuk pelaksana proyek - setidaknya
20% dari nilai proyek, maka nilai sesungguhnya dari proyek pembangunan hanya
mencapai 40% hingga 50% saja dari anggaran yang disediakan.
Konsekuensinya, setiap proyek telah di-mark up sebesar 30%-40% saat diusulkan. Kalau
tidak di-mark up, pemborong akan mengorbankan kualitas pekerjaan untuk mendapatkan
marjin keuntungan. Wajar bila kemudian pembangunan jalan atau proyek fisik apa saja
selalu bermasalah dalam kualitas maupun kuantitas. Sebentar sudah rusak lagi, dan
aparat terkait (Dinas PU, misalnya) akan lebih suka kalau jalan tiap sebentar rusak karena
itu berarti proyek. Terbukti hingga kini sulit sekali bagi rakyat untuk bisa menikmati jalan
dan berbagai prasarana / sarana publik lainnya yang berkualitas.
Praktik semacam ini terus terjadi hingga kini di berbagai bagian dan instansi, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Audit tidak akan bisa mengungkap praktik korupsi karena
hanya bergerak dalam dataran administrasi keuangan. Tapi pernahkah auditor memeriksa
secara detil harga barang yang dipergunakan untuk kegiatan itu sesuai spesifikasinya?
Niat baik pemerintahan SBY untuk menekan korupsi dan nenyejahterakan rakyat
seyogyanya dimulai pada saat penyusunan APBN. Cobalah memotong anggaran
pembangunan / belanja pemerintah sebesar 30% dan tingkatkan pengawasan secara
melekat niscaya akan membantu upaya pemerintah dalam menggarap proyek-proyek
pembangunan lainnya. Kita harus meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran supaya
tidak mengeluh terus kekurangan dana pembangunan dan berhutang lagi dari luar
negeri.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji
ulang perubahan. Apa pandangan mereka tentang manajemen perubahan?
SA SANTOSO
Konsultan Mercer Resource Consulting
VISI PEMIMPIN SANGAT BERPERAN
Change management sebenarnya bukan merupakan tren sesaat dan tidak terjadi dalam
waktu-waktu sekarang ini saja. Sebab, pada dasarnya change management adalah
proses berkesinambungan, di mana sebuah organisasi atau perusahaan senantiasa
berusaha menghindari kebekuan. Mengapa? Perusahaan ibarat air yang harus terus-
menerus diupayakan mengalir. Air yang cair bisa masuk ke mana saja. Ini inti dari
perubahan tadi, sehingga setiap organisasi atau perusahaan selalu berusaha dalam
kondisi cair.
Kalau sekarang ini change management menjadi topik yang hangat diperbincangkan, hal
itu lantaran situasi bisnis yang berubah semakin cepat. Ada perubahan yang dilakukan
secara sadar, dalam arti manajemen memang ingin berubah, ada pula perubahan yang
terjadi karena dipaksa keadaan. Bencana di Aceh, beberapa waktu lalu, misalnya,
menurut SA Santoso dari Mercer, adalah contoh ekstrim mengenai perubahan yang
dipaksa oleh keadaan. Ini sebenarnya merupakan momentum untuk memperbaiki nasib
rakyat Aceh setelah bertahun-tahun hidup di tengah-tengah konflik. "Harus ada
perubahan mendasar yang dilakukan untuk Aceh," kata Santoso.
Di lingkup perusahaan, merger dan akusisi, misalnya, kini terjadi di mana-mana. Hal ini
tentu berimplikasi pada perubahan di banyak bidang: struktur kepemilikan saham,
mungkin jumlah karyawan, gaya kepemimpinan, sistem, struktur hingga fokus bisnisnya.
Nah, di sini diperlukan transformasi yang tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ada
beberapa aspek yang harus dipertimbangkan agar perubahan yang dilakukan benar-
bensr mencapai tujuan, bukan sebaliknya.
Sekilas, perubahan merupakan kata yang sederhana dan gampang melakukannya.
Padahal tidak demikian. Untuk dapat melakukan perubahan secara benar dan berhasil,
diperlukan visi yang..kuat dari seorang pemimpin. Contohnya begini, beberapa tahun talu
terjadi booming internet dan dotcom di Indonesia Banyak perusahaan yang berlomba-
lomba masuk ke situ dengan membuat situs, menawarkan e-commerce dan sebagainya.
Tapi, beberapa tahun kemudian, ternyata bisnis ini tidak sebesar yang kita harapkan. Apa
yang terjadi? Akhirnya banyak perusahaan yang harus berputar haluan, bahkan banyak
pula yang mati di tengah jalan. Di sini, visi pemimpin sangat berperan.
Agar transformasi bisnis berjalan dengan baik, maka diperlukan sistem yang sesuai.
Sistem inilah yang nantinya akan mengatur rantai komando. Perubahan di lini marketing,
misalnya siapa yang harus bertanggung jawab? Begitu juga di bagian teknologi informasi,
dan sebagainya. Dari situ kemudian ditarik ke atas, di mana kendali dan pengawasan
terhadap perubahan dipantau oleh dewan direksi.
Syarat lain yang harus juga diperhatikan dan tidak kalah pentingnya adalah orangnya.
Bagaimana pun sistemnya canggih, pengawasannya sudah bagus dan sebagainya, tapi
kalau orang yang ada di dalam tidak ada keinginan untuk berubah, maka perubahan
tersebut mencapai hasil optimal. Di sini faktor komunikasi menjadi sangat penting.
Semua lini mesti bertanggung jawab dan concern untuk mengkomunikasikan arah
perusahaan ke depan. Semua harus terlibat. Kuncinya terletak pada 3H, yakni heart,
head dan hand. Perubahan harus dikomunikasikan secara persuasif agar menyentuh hati
(heart) para pihak yang terlibat dalam perubahan tersebut. Setelah itu, mereka tentu
akan berfikir (head) dan mencari cara bagaimana mengimplementasikan (hand)
perubahan tersebut.
Peran pihak luar, katakanlah konsultan, terhadap perubahan sebuah organisasi sangat
tergantung dari kondisi perusahaan yang hendak berubah. Konsultan pada dasarnya
hanya memberikan rekomendasi dan pendampingan terhadap proses perubahan di
kliennya. Pendorong utama terjadinya perubahan adalah keinginan dan manajemen
sendiri, dan untuk itu mesti memperoleh dukungan yang kuat dari karyawan melalui
sistem komunikasi yang tepat.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji
ulang perubahan. Apa pandangan mereka tentaog manajemen perubahan?
AB SUSANTO
Managing Partner The Jakarta Consulting Group
PERUBAHAN TIDAK SEBATAS LOGO SAJA
Sebagai perusahaan konsultan yang memposisikan diri sebagai mitra bagi perusahaan
untuk perubahan, The Jakarta Consulting Group (JCG) berusaha memberikan yang terbaik
pada setiap kliennya. Menurut AB Susanto, Managing Partner JCG, makna yang tercantum
dalam "partner in change", memiliki makna yang besar, sebuah tanggung jawab yang
berat bagi para konsultan JCG untuk bisa memberikan konsultasi perubahan yang baik
kepada klien. Perubahan yang terjadi di perusahaan bisa berupa restrukturisasi,
revitalisasi, reorganisasi, dan sebagainya.
"Ini menjadi penting karena perubahan yang baik, dibuat dengan baik, tumbuh dari
waktu ke waktu dengan baik karena dikelola dengan baik," jelas Susanto antusias. Ini
sama halnya dengan seorang manusia, yang tumbuh dan sekolah mulai dari TK, SD, SMP,
SMU hingga kuliah, yang setiap waktu "gayanya" akan berubah.
Kalau perusahaan atau organisasi tersebut masih berskala kecil, gaya kekeluargaan
masih bisa dipakai. Tapi, kalau perusahaan sudah mulai besar, Susanto menilai sistem
kekeluargaan malah kurang menguntungkan. Ini mengingat perusahaan tersebut harus
lebih lugas sehingga dibutuhkan sistem, pedoman dan sebagainya. Tidak bisa lagi
menggunakan kebijakan orang per orang. Lain pula jika perusahaan itu bertambah besar,
maka akan lebih diatur lagi. "Jadi, perusahaan yang lebih besar pun akan melakukan
perubahan manajemen. Sebaliknya, perusahaan yang tidak tumbuh, mengalami
kerugian, dan kehilangan pangsa pasar pun harus melakukan perubahan manajemen dari
sisi yang lain," ujar Susanto.
Susanto mengaku JCG memiliki berbagai divisi mulai dari divisi training, konsultasi,
rekrutmen servis eksekutif, assessment, event dan pengembangan organisasi, yang
masing-masing dipimpin oleh group head yang berbeda. Pada divisi pengembangan
organisasi, para konsultan JCG mencoba melihat bagaimana kondisi organisasi, sasaran
pasarnya, situasi persaingan yang berubah, branding dan sebagainya. JCG juga memiliki
divisi manajemen SDM, karena manajemen SDM biasanya akan berubah setiap saat.
Mulai dari cara penggajian, performance appraisal, dan lain-lain.
Susanto menyebutkan, JCG punya cara-cara yang khas dalam mendekati suatu
perubahan yaitu dengan cara menganalisa perubahan seperti apa yang dibutuhkan,
bentuknya seperti apa, dan caranya bagaimana, melalui beberapa model seperti JCG
Change Model dan JCG Business Transformation Model. "Karena kami mendalami masalah
perubahan, kami tidak mau hantam kromo dengan melakukan perubahan. Ini harus
berubah, itu harus restrukturisasi," tegas Susanto antusias.
Untuk mengimplementasikan perubahan yang diberlakukan di perusahaan khususnya
terhadap SDM, JCG mempunyai Jacob (Jakarta Consulting Group Activity Competency
Base) people management, untuk diterapkan kepada klien, namun penerapannya tentu
akan berbeda di setiap perusahaan. Kegiatan tersebut bentuknya melingkar, mulai dari
strategic planning, strategic HR planning, ada rekrutmen seleksi, integrasi, training &
development, performance & potential appraisal, kompensasi & benefit, career planning,
kemudian balik lagi ke strategic planning.
Dalam melakukan perubahan, Susanto menambahkan, tantangan terberat yang diperoleh
adalah jika top management belum yakin atau ragu-ragu terhadap perubahan. "Dalam
membuat project, kami selalu berhadapan dengan orang nomor satu di perusahaan
tersebut. Kalaupun lewat jalur bawah, kami selalu minta ijin untuk berbicara dengan yang
di atas, sehingga kalau level atas sudah oke mau jalan, baru kami mau jalan," ujarnya.
Alasannya, jika para pimpinan organisasi tidak yakin akan perubahan yang akan
dilakukan, Susanto khawatir para pimpinan tersebut akan "memotong" langkah konsultan
di tengah jalan. Akibatnya, perubahan akan tersendat-sendat bahkan berhenti.
"Konsultan itu mitra. Mitra itu harus punya kepercayaan. Kami punya ilmu dan
konsepnya, perusahaan punya manusia dan tempatnya."
Sementara dalam melakukan perubahan yang menyangkut nilai budaya, JCG mencoba
strategi konsultan dengan cara melakukan perubahan dari level atas termasuk para
pemilik hingga ke level bawah, itulah strategi konsultan. Cara ini jelas memakan waktu
yang tidak sebentar. Minimal, perubahan itu harus sudah bisa dilihat dan dirasakan dalam
waktu 6 bulan. Tapi selesainya perubahan tersebut tergantung dari setiap perusahaan.
"Kalau bicara perusahaan yang punya 4.000 karyawan dengan perusahaan yang hanya
punya 400 karyawan jelas berbeda. Bisa saja perusahaan dengan banyak karyawan perlu
waktu 2 tahun atau lebih untuk menyelesaikan perubahan tersebut," ungkap Susanto
sambil menambahkan bahwa JCG biasanya melakukan konsultasi dengan masa kontrak
pertahun. Lain hal jika hanya merubah seragam, logo atau identitas semata.
Yang perlu diingat, tegas Susanto, perubahan yang sebenarnya bukan hanya sekadar
organisasi saja, hanya sekadar bagan atau struktur, atau hanya sebatas kotak-kotak saja.
la menilai, yang paling utama adalah perubahan dalam bisnis proses, koordinasi kerja,
kontroling dan sebagainya. Dan jika nanti sudah diterapkan, harus tercermin dalam
perubahan nilai-nilai bekerja dalam budaya perusahannya.
JCG punya tujuh divisi dalam sebuah konsultasi untuk perubahan.ini disebabkan
perubahan itu tidak hanya merubah satu sisi saja. Selain merubah orang, juga merubah
sistem, kualitas manajemen, bisnis perusahaan, bisnis & marketing, dan masih banyak
lagi. "Ini keunggulan JCG karena kami punya banyak konsultan professional dari berbagai
macam disiplin ilmu. Sebabnya, kami melihat perusahaan sebagai sesuatu yang holistik,
bukan sepotong-potong. Kami bekerja dalam satu atmosfir yang sama, kolaboratif,
sehingga warnanya sama tetapi mempunyai pandangan yang berbeda-beda,"
sambungnya tanpa bermaksud menyombongkan diri. Kendati tantangan yang dihadapi
menjadi lebih banyak dan kompleks, koordinasi masiog-masing divisi menjadi kata kunci.
Disinggung mana yang lebih berat tantangannya, apakah perusahaan keluarga atau
BUMN, Susanto menjawab bahws semuanya sama beratnya karena punya permasalahan
yang berbeda-beda. Tantangan terberat dalam melakukan perubahan di perusahaan
keluarga adalah mendapat kepercayaan dari pemilik dan anggota organisasi. Sedangkan
tantangan yaeg dihadapi BUMN adalah kultur. "Kami punya center of excellent untuk
family business dan BUMN." Pendekatan untuk keluarga, biasanya dengan melihat
penyakit utamanya, kemudian JCG menyampaikan ke pemilik bahwa JCG akan melakukan
cara ini. Contohnya, JCG akan mengatur manajemen suksesi dan membuat peraturan
untuk keluarga. "Kami harus jadi pendengar yang baik. Tidak perlu menggali dari awal.
Jika mereka sudah terbiasa dengan kami, semua rahasia perusahaan akan keluar,"
jelasnya.
Sedangkan untuk BUMN, Susanto bersyukur pihaknya memiliki jaringan yang luas dan
JCG Research Institute sehingge JCG punya data yang lengkap. Ini berguna sebagai bahan
acuan sehingga para konsultan JCG bisa memahami persoalan yang terjadi di BUMN yang
menjadi kliennya dan bagaimana mengatasinya.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji
ulang perubahan. Apa pandangan mereka tentaog manajemen perubahan?
ALPHIN GINTING
Senior Management Consultant OTI Organisasi Transformasi Lintas Internasional
PERUBAHAN BUKAN SEBUAH PROGRAM SESAAT
Selama ini ada anggapan bahwa change management merupakan sebuah program.
Kegiatan ini dipandang sebagai aktivitas sesaat yang suatu saat akan berhenti. Padahal,
menurut Alpin Ginting dari OTI, perubahan adalah bagian dari manajemen organisasi
sehingga harus terus menerus mengalir. Mengapa, karena tantangan yang dihadapi akan
senantiasa dipengaruhi banyak faktor yang selalu berubah.
Dengan demikian harus ada pemahaman bahwa change adalah value di sebuah
perusahaan, karena pilihannya adalah berubah atau mati. Pemahaman ini juga
mengandung arti perubahan tidak pernah memberikan hasil terbaik, tapi senantiasa
untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Kalau dikatakan sebagai hasil terbaik, setelah
itu tidak ada kegiatan lagi.
Ada beberapa hal yang mesti dipahami terlebih dahulu dan dipersiapkan dengan baik
agar perubahan yang dilakukan sesuai alur yang benar. Pertama adalah kesiapan sumber
daya manusia. Yang dimaksud SDM di sini adalah mulai dari direksi, manajer hingga
karyawan biasa. Komponen kedua adalah visi dan misi pemimpinnya. Sedangkan ketiga
adalah kemampuan perusahaan, termasuk sistemnya, prosesnya dan sebagainya.
Ketiga komponen tersebut harus benar-benar berada di tangan panglima yang tepat.
Yang bertindak sebagai panglima adalah pemimpin mulai dari CEO hingga para manajer.
Mereka harus punya visi dan misi yang jelas. Selain itu para panglima juga harus
mengetahui kekuatan dan kelemahan organisasinya serta mampu merumuskan secara
jelas, hendak dibawa kemana para pasukan di organisasi tersebut. Harus ada penjelasan
kepada seluruh anggota organisasi bahwa kita sekarang ada di mana dan hendak ke
mana.
Ibarat sebuah mobil, di tengah perjalanan, setiap panglima juga harus menginformasikan
kepada pasukannya, sudah sampai dimana kita berada dan pada kecepatan berapa kita
bergerak. Sekarang, kita mau lari dengan kecepatan berapa? Ini harus terus menerus
dikomunikasikan. Untuk melakukan hal itu, panglima harus pula memperhatikan
lingkungan di luar. Kalau pemain lain sedang dalam kecepatan tinggi, kita mesti
mengimbangi dengan menambah kecepatan. Tapi kalau kondisinya memaksa kita harus
berjalan lambat ya jangan ngebut, agar kita tidak terjungkal.
Peran tersebut harus bisa dijalankan dengan baik oleh pemimpin. Semakin tinggi
kedudukannya maka semakin besar peran yang seharusnya ia mainkan. Logikanya, siapa
yang berada di posisi paling tinggi, tentu ia akan melihat lebih banyak, sehingga
memberikan informasi lebih banyak pula. Pimpinan manajemen secara teratur, misalnya
melalui president letter menjalin komunikasi, mereview dan memberikan umpan balik.
Dalam proses perubahan tersebut, biasanya konsultan dilibatkan. Menurut Alpin,
konsultan hanya bertindak sebagai katalisator yang diharapkan bisa berbagi pengalaman
mengenai metodologinya, sistemnya dan lain-lain. Sedangkan pemahaman tentang
proses bisnisnya tetap menjadi wilayahnya manajemen. Jika digambarkan dalam bentuk
kurva, keterlibatan konsultan dalam sebuah perubahan manajemen pada awalnya berada
di kiri atas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ia akan turun ke kanan bawah.
Sebaliknya, manajemen berada pada di kiri bawah dan terus meningkat ke kanan atas.
Mengingat perubahan adalah sebuah proses, maka prakteknya harus dilakukan secara
berkelanjutan, terus-menerus. Yang sering terjadi adalah adanya anggapan bahwa
setelah membekali karyawan dengan training yang berbiaya ratusan juta, para panglima
merasa sudah menjalankan fungsinya dengan benar. Padahal praktek dan implementasi
sehari-hari jauh lebih penting.
"Saya tidak mengatakan pembekalan melalui training tidak penting. Yang ingin saya
tegaskan adalah harus ada implementasi konkrit, agar training yang diberikan
memberikan result yang optimal bagi perusahaan," tukas Alpin. Hal ini, tambahnya,
hanya akan terjadi jika para panglima bisa menyampaikan visi dan misinya dengan baik
kepada anak buahnya. Ini harus ada kesamaan pandangan. Jangan sampai masing-
masing panglima menerjemahkan perubahan sesuai selera mereka sendiri-sendiri. Harus
ada keselarasan dan sinergi.
Berdasarkan pengalaman kami membantu sejumlah perusahaan, hambatan utama bagi
proses perubahan adalah adanya kesenjangan komunikasi. Arah perubahan hanya
dipahami di lapisan atas sebuah organisasi. Kalau kita tanyakan kepada karyawan, rata-
rata mereka mengaku tidak tahu hendak dibawa ke mana perusahaan tempat mereka
bekerja. Ironis sekali. Hambatan kedua adalah kegagalan dalam mengaktualisasikan
pengetahuan anggota organisasi terhadap perilaku sehari-hari dalam bekerja dan
result.
Setiap anggota organisasi mestinya memahami apa kontribusinya terhadap
organisasi yang menaunginya. Kalau mereka sudah memahami peran dan
kontribusinya, maka akan dengan mudah merumuskan dan menentukan apa yang harus
mereka lakukan.
• Beri Komentar
Change or Die
No. 14 - Mei 2005
Lingkungan bisnis akan terus berubah, cepat atau lambat. Perusahaan pun harus adaptif
dan antisipatif terhadap perubahan jika ingin bertahan dan memenangkan persaingan.
Tentu akan lebih baik bila perubahan yang dilakukan perusahaan Anda menyebabkan
perubahan besar di pasar dan kompetensi.
Kita telah sering mendengar ungkapan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali
perubahan itu sendiri. Perubahan akan selalu terjadi dalam setiap kehidupan umat
manusia, termasuk dalam organisasi. Futurolog Dr. Alvin Toffler dalam bukunya The
Adaptive Corporation mengatakan: "Change is not merely necessary for life, it is life".
Sejatinya, perubahan adalah hidup itu sendiri. Pemahaman ini menegaskan kepada kita
bahwa tidak seorang pun yang resisten terhadap perubahan. Begitu pula organisasi. Ia
akan menua, kehilangan relevansi, dan akhirnya mati bila tidak terus diremajakan.
Pakar manajemen dari Harvard Business School Rosabeth Moss Kanter, penulis buku The
World Class: Thriving Locally in the Global Economy, mengingatkan perlunya perusahaan
untuk adaptif terhadap perubahan. Perusahaan tidak bisa menolak perubahan, namun
tidak boleh jatuh dalam revolusi yang pada akhirnya menyakitkan. Perusahaan tidak bisa
menghindarkan diri dari perubahan, tak peduli seberapa besar ukuran, sumberdaya, atau
keunggulan yang dimiliki pada saat itu.
A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting, menegaskan betapa perubahan
harus terus dilakukan oleh perusahaan besar yang memimpin di pasar; terlebih bagi
perusahaan yang tidak bertumbuh, mengalami kerugian, ataupun kehilangan pangsa
pasar. "Yang penting arah perubahan yang diinginkan benar-benar sudah tepat,"
tegasnya.
Begitu banyak organisasi bisnis raksasa yang mati karena tidak bisa membuat perubahan
pada waktu yang tepat. Nama nama besar pada jamannya seperti Sears Roebuck, Zenith,
Ames, Westinghouse, McDonel Douglas, dan Burroughs kini tinggal kenangan.
Sepeninggal sang pendiri, perusahaan - perusahaan tersebut gamang menghadapi
perubahan dan ditelan oleh persaingan. "Kebanyakan perusahaan justru melakukan
perubahan setelah kondisinya sulit," ungkap Dr. Renald Kasali, pakar manajemen dari UI
penulis buku Change.
Dalam dunia bisnis, perubahan terjadi hampir setiap saat karena lingkungan bisnis jauh
lebih dinamis dibandingkan lingkungan organisasi lainnya. Perubahan tersebut didorong
oleh berbagai hal, seperti tuntutan konsumen dan kompetisi, regulasi teknologi,
pergerakan pasar, strategi baru, kehadiran manajemen baru, kondisi makro ekonomi-
politik, dan sebagainya. Meningkatnya dinamika bisnis menyebabkan tekanan terhadap
perubahan perusahaan juga meningkat. Repotnya, sebagian besar penyebab perubahan
berasal dari lingkungan eksternal, dan oleh karena itu tidak bisa dikontrol sepenuhnya
oleh perusahaan. Salah satu contoh adalah krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
1997/1998.
"Perusahaan hanya bisa mengontrol sebatas lingkungan internal," tukas Budi
Setiadharma, CEO PT. Astra International Tbk. Ia menilai, krisis ekonomi sebagai
perubahan yang relatif terjadi dalam waktu cepat dan tiba-tiba. "Kalau kami tidak
melakukan perubahan dengan cepat, pasti perusahaan menanggung beban yang berat,"
tambahnya.
Perubahan terjadi dalam berbagai bentuk dan cakupan�- kecil, menengah, dan besar.
Perubahan bisa saja hanya terjadi pada level individu, bisa pula di level organisasi,
namun bisa pula dalam konteks keseluruhan dari perusahaan. Hal terakhir bisa terjadi
karena perusahaan merubah fokus dan strategi bisnis sehingga mengharuskan pula
mengubah sistem nilai, budaya perusahaan, kompetensi karyawan, sistem penilaian
kinerja, dan seterusnya.
Telkom, menurut Change Managerent Manager Telkom Divre II Jakarta, Puguh Harianto,
melakukan perubahan terhadap 4 komponen sebagai ruang lingkup perubahan: sumber
daya manusia (SDM) / organisasi, budaya korporasi, proses bisnis, dan teknologi
informasi. SDM / organisasi yang lincah dan fleksibel diperlukan untuk menghadapi
perubahan maupun dalam melakukan perubahan itu sendiri. Budaya perusahaan yang
kuat dapat melindungi perusahaan dari terpaan perubahan lingkungan, tidak mudah
goyah. Kalaupun terjadi perubahan, hal itu dilakukan dengan cara yang mantap. Proses
bisnis sangat diperlukan agar perubahan yang dilakukan masih tetap dalam koridor arah
perusahaan. Sementara keberadaan teknologi informasi mutlak diperlukan bagi
perusahaan yang ingin tetap eksis di tengah-tengah lingkungan yang cepat berubah.
Membangun Kultur Perubahan
Banyak perusahaan yang mencoba beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Tetapi, di
era yang serba instant saat ini, tindakan seperti itu dianggap tidak lagi memadai.
Tindakan beradaptasi lebih tepat ditujukan bagi perusahaan yang terlambat merespons
perubahan dan dipaksa untuk melakukan penyesuaian. Yang dibutuhkan adalah
menjadikan perubahan sebagai bagian integrasi dari sistem manajemen perusahaan.
Dengan demikian, sistem menggerakkan seluruh jajaran untuk terus melakukan
perubahan kearah yang lebih baik. Tidak hanya itu, perusahaan mampu menentukan
perubahan yang berdampak luas terhadap lingkungan bisnis. Inilah yang dilakukan Grup
Astra dengan memacu upaya peningkatan dan inovasi di setiap perusahaan atau unit
bisnis setiap saat.
Semangat perubahan itu memang banyak diinspirasikan oleh filosofi kaizen (continous
improvement) yang telah diterapkan Astra sejak awal 80-an. Semangat tersebut
dikembangkan lebih lanjut dengan menerapkan Astra Management System tahun 2001
dalam upaya Astra menjadi excellent company. Semenjak itu, manajemen Astra terus
mengembangkan budaya dan semangat strive for excellence. Berkat semangat tersebut,
di antaranya, waktu untuk penyelesaian satu sepeda motor Honda kini menjadi 16 detik
dibandingkan prestasi sebelumnya 60 detik.
Hasil yang lebih besar terlihat dengan keberhasilan Astra mencatat prestasi fenomenal
dalam beberapa tahun terakhir: sukses meluncurkan mobil Xenia dan Avanza di segmen
pasar yang sama sekali baru, meraih banyak penghargaan nasional dan internasional di
berbagai bidang, dan lebih penting lagi mencapai rekor penjualan serta laba bersih pada
tahun 2004. Pinjaman Astra per 31 Maret 2005 seluruhnya lunas terbayar, padahal tahun
2000 total pinjaman Astra mencapai rekor Rp 17,8 triliun.
"Manajemen perubahan bukanlah sesuatu yangterjadi dalam waktu tertentu saja. la
harus merupakan proses yang berkesinambungan," ungkap SA Santoso, konsultan Mercer
Recource Consulting. Perubahan diperlukan untuk menghindari perusahaan dari
kebekuan. Mengapa? "Karena perusahaan ibarat air yang diupayakan terus mengalir,
sehingga setiap organisasi atau perusahaan selalu berusaha dalam kondisi cair."
Dalam istilah Alpin Ginting, Senior Management Consultant OTI Organisasi Transformasi
Lintas Internasional, perubahan bukanlah sebuah program. Sebab, kalau seperti itu,
perubahan hanya bersifat sesaat yang suatu saat akan berhenti. Padahal, menurut Alpin,
perubahan adalah bagian dari manajemen organisasi sehingga harus terus mengalir.
"Karena pasar yang dipengaruhi banyak faktor senantiasa berubah," katanya.
Pentingnya perubahan seharusnya membuat perusahaan menjadikan perubahan sebagai
nilai utamanya. Menurut Alpin, pemahaman ini mengandung arti, perubahan tidak pernah
memberikan hasil terbaik, tetapi senantiasa untuk mencapai sesuatu yang lebih baik.
Kalau dikatakan sebagai hasil terbaik, lanjutnya, setelah itu tidak ada kegiatan perbaikan
lagi.
PT Federal International Finance (FIF), anak perusahaan Astra yang bergerak di bidang
pembiayaan sepeda motor, adalah satu dari sedikit perusahaan di Indone-sia yang
menjadikan Change sebagai salah satu karakter perusahaan. "Seluruh karyawan
perusahaan harus mencintai perubahan, jangan resisten terhadap perubahan," ungkap
Ida P. Lunardi, Presiden Direktur FIF. Perusahaan memiliki karakter 5 C, yaitu Creative,
Courageous, Change, Commitment, dan Care.
Strategi Perubahan
Banyak alat bantu (tools) manajemen yang bisa dipakai untuk memacu perubahan dalam
perusahaan, seperti 7S Mc Kinsey, BCG Matrix, Benchmarking, Brain-storming, Business
Process Reengineering, Six Sigma, GE-McKinsey Matrix, Porter Five Forces, Statistical
Process Control, SWOT Analysis, PEST Analysis, Value Chain Analysis, dan sebagainya.
Perusahaan bisa memakai satu atau lebih alat bantu tersebut dalam menentukan arah
dan proses perubahan.
Faktor kritikal perubahan menyangkut manusia. Kegagalan melakukan perubahan lebih
banyak disebabkan oleh faktor manusia ketimbang faktor teknis. Perubahan harus
dikelola secara baik karena kegagalan melakukan perubahan menimbulkan dampak besar
bagi perusahaan dan karyawan.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh perusahaan agar setiap karyawan menerima
perubahan. Perusahaan spesialis perubahan Prosci membagi perubahan dalam 3 fase
(fase persiapan perubahan, fase mengelola perubahan, dan fase mendayagunakan
perubahan). Fase persiapan perubahan mencakup penetapan strategi manajemen
perubahan, memper-siapkan tim manajemen perubahan, dan mengembangkan model
sponsor. Faktor sponsor perubahan ini sangat penting, karena merekalah motor dan agen
perubahan dalam perusahaan.
Dalam fase mengelola perubahan, perusahaan mengembangkan rencana manajemen
perubahan dan mengimplementasikan rencana perubahan. Sedangkan fase
mendayagunakan perubahan meliputi langkah untuk mengumpulkan dan menganalisis
masukan, mendiagnosa gap dan mengelola orang / kelompok yang resisten, dan
mengadakan langkah koreksi dan merayakan keberhasilan dalam melakukan perubahan.
"Perubahan membutuhkan dukugan penuh dari manajemen puncak," ujar Daisy M.E.
Suhari, Kepala Divisi Pengelolaan SDM PT Infomedia Nusantara. Hal ini berdasarkan
pengalaman Daisy di Infomedia. Sejak akhir 2003, Infomedia memutuskan untuk
melakukan transformasi bisnis dan organisasi sejalan dengan strategi perusahaan untuk
mengembangkan 2 pilar bisnis baru (Contact Center dan Content Provider),di samping
pilar bisnis lama Buku Petunjuk Telepon (dulu Yellow Pages). Dari sisi sumber daya
manusia, Infomedia mengubah sistem manajemennya menjadi Competency Based
Human Resources Management (CBHRM). "Tanpa dukungan penuh manajemen puncak,
perubahan sulit terlaksana," ujarnya serius.
Almarhum Sam Walton, pendiri raksasa ritel Wal-Mart, bisa menjadi contoh eksekutif
puncak yang begitu komit dan terlibat terhadap perubahan Walton dikenal sebagai
eksekutif yang mementingkan perubahan, eksperimen, dan peningkatan secara konstan.
Ia tidak hanya asal omong, tetapi membangun mekanisme organisasi yang kongkrit :
untuk mendorong perubahan dan peningkatan. Menggunakan konsep "A Store Within a
Store", Walton memberi manajer departemen otoritas dan kebebasan untuk menjalankan
departemennya selayaknya usaha sendiri. Ia membuat insentif tunai dan pengakuan
publik terhadap associates yang berkontribusi terhadap penghematan biaya dan / atau
ide peningkatan layanan yang bisa dikembangkan di toko lain. Hingga kini Wal-Mart terus
berjaya dan menjadikan keempat anaknya sebagai orang-orang terkaya Amerika (lihat
rubrik Wacana, red).
Kecuali itu, menurut Human Capital Director PT Excelcomiodo Pratama Joris de Fretes,
faktor komunikasi memainkan peran penting untuk keberhasilan sebuah perubahan.
Perusahaan bisa menggunakan berbagai media internal (papan pengumuman, website,
majalah internal, dan video conference) ataupun forum khusus untuk
mengkomunikasikan perubahan tersebut. Untuk mempercepat proses perubahan,
perusahaan juga harus menetapkan Agen Perubahan (Change Agent)�- orang-orang
yang akan menjadi motor perubahan di lingkungannya.
Pada akhirnya, seperti ditulis Thomas J. Peters dan Robert Waterman Jr. dalam bukunya
yang terkenal In Search of Excelence, hanya perusahaan yang ekselenlah yang akan
menang dalam persaingan.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. ASTRA INTERNATIONAL Tbk
Perubahan Telah Menjadi Sistem
Grup Astra disebut-sebut sebagai kelompok bisnis nasional yang memiliki sistem
manajemen termaju di Indonesia. Astra menyebut sistem manajemennya dengan nama
Astra Management System (AMS). Sistem manajemen ini menjadi roda penggerak
organisasi Astra untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, moto, dan filosofi korporat Astra.
Dengan AMS, Astra terus melakukan perubahan sejalan dengan prinsip kaizen (continous
improvement) yang dianut Astra sejak beberapa dekade yang lalu.
Di sisi lain, kemunculan AMS menjadi cermin betapa Astra adalah organisasi yang
tanggap terhadap perubahan dan seringkali menjadi motor perubahan dalam konteks
bisnis nasional. Sadar bahwa konstelasi bisnis internal, nasional, dan internasional
berubah pasca krisis ekonomi 1997, manajemen Astra merasa perlu untuk melakukan
transformasi bisnis dan manajemen agar Astra menjadi perusahaan yang excellent.
Sistem manajemen Astra, Astra Total Quality Control / ATQC yang telah diterapkan sejak
1983 dan diubah menjadi Astra Total Quality Management / ATQM sejak tahun 1998,
dianggap tidak memadai lagi. AMS mulai diperkenalkan tahun 2001.
AMS masih tetap menggunakan 4 pilar dari ATQM (Mentalitas Dasar, Manajemen
Strategik, Sarana, dan Pemberdayaan dalam Implementasi), namun menurut Ketua Tim
Perumus Buku Panduan AMS I.W. Putraka perubahan atau revisi terjadi terhadap keempat
pilar tersebut. Revisi terpenting terkait dengan perubahan di Astra terjadi pada pilar 2
dengan memberikan penekanan pada upaya peningkatan (improvement) dan inovasi
secara lebih rinci. AMS menyeimbangkan porsi kegiatan peningkatan dan inovasi dengan
proses transformasi bisnis.
Krisis ekonomi menyebabkan Astra harus melakukan penjadwalan pembayaran utang
dengan para kreditur. Pada periode 1998-1999, Astra terpaksa mem-PHK 20.000
karyawan tetap dan 5.000 pegawai kontrak sehingga jumlah karyawan Astra tinggal
sekitar 100.000 orang. Tetapi, bisnis harus tetap berjalan. Masuknya Cycle & Carriage
(didukung raksasa finansial Jardine Matheson) sebagai pemegang saham utama Astra
dan dibukanya peluang investasi 100% kepada investor asing di Indonesia menyebabkan
berubahnya kompetisi di pasar. Liberalisasi perekonomian harus dijawab dengan langkah
yang tepat. Astra harus melepaskan sahamnya di banyak perusahaan manufaktur,
khususnya di bidang otomotif dan bisnis terkait. Semua faktor di atas mengharuskan
Astra harus mendesain ulang fokus dan strategi bisnis. "Astra harus menentukan
perannya dengan pelepasan kepemilikan usaha manufaktur tersebut," tukas Budi
Setiadharma, CEO PT Astra International Tbk., perusahaan induk Grup Astra.
Sebelum menetapkan pilihan, pimpinan Astra mengundang sejumlah pakar politik,
ekonomi, dan sosial-budaya terkemuka untuk mendapatkan pandangan mereka tentang
kondisi makro Indonesia kini dan mendatang. Juga pakar otomotif dunia untuk
mengetahui proyeksi bisnis otomotif global. Setelah mendengarkan seluruh pandangan
tersebut, jajaran pimpinan Astra kembali ke kandang masing-masing untuk
mendiskusikan pandangan mereka tentang masa depan Astra. Seluruh pandangan
tersebut dibawa kembali ke rapat pimpinan Astra untuk dibahas lebih lanjut.
Salah satu keputusan terpenting terjadi di bidang otomotif, penyumbang utama bisnis
Astra. Astra memutuskan untuk fokus di bidang pemasaran ritel dan jasa keuangan
ikutan. Bila selama ini Astra hanya bergerak di bidang manufaktur dan distribusi, Astra
kini bergerak langsung ke konsumen. Perubahan fokus bisnis ini, menurut Budi, menuntut
perubahan mentalitas dan kompetensi yang sangat besar.
Sebagai distributor, selama ini Astra hanya berhubungan dengan dealer,
mendistribusikan barang sesuai kebutuhan. Menjadi peritel, Astra kini berhadapan
langsung dengan konsumen yang sangat berbeda karakter dan perilakunya. Pesaing pun
berubah. "Perubahan ini tidaklah mudah, meskipun sekilas tampak mudah," tukasnya,
sambil menambahkan, "Perilaku konsumen sangat bervariasi, dan kecepatan melayani
distributor dengan ritel itu amat berbeda."
Setelah fokus bisnis ditetapkan, selanjutnya Astra melakukan perubahan organisasi dan
menetapkan figur-figur yang tepat untuk mengisi posisi yang ada berdasarkan kebutuhan
organisasi serta kompetensi baru yang dibutuhkan. "Waktu memutuskan fokus di ritel,
saya langsung berpikir tentang wajah-wajah Kepala Cabang dan Manajer Operasi
(setingkat di atas Kepala Cabang, red) apakah sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan," ujar CEO yang gemar lukisan tersebut. Kepala Cabang dan Manajer Operasi
merupakan ujung tombak bisnis Astra.
Caranya melalui audit organisasi dan personil. Orang yaog tidak suka dengan ritel tidak
bisa menjadi Kepala Cabang dan Manajer Operasi. Mereka yang kurang atau tidak
memenuhi syarat diberikan kesempatan training atau diminta menyingkir Beberapa
Kepala Cabang dan Manajer Operasi akhirnya harus rela menyingkir dalam struktur baru.
Tugas 'mempermak' orang tersebut dijalankan oleh AMDI (Astra Management
Development Institute), lembaga khusus yang bertugas merekrut dan mengembangkan
kualitas personil Astra.
Kecenderungan biaya yang terus naik mengharuskan orang-orang Astra untuk selalu
produktif dan efisien. "Jangan sampai terjadi seperti gunting, di mana grafik pendapatan
yang terus menurun berpotongan dengan grafik biaya yang terus menaik," Budi
berwanti-wanti. Lahirnya Xenia dan Avanza didasarkan atas pemikiran tersebut, hasil riset
selama 3-5 tahun setelah melihat adanya celah pasar yang gemuk di kelas mobil seharga
Rp 100 juta ke bawah. Konsumen tersebut ingin membeli adik Kijang, bukan Kijang.
Hasilnya, luar biasa. Penjualan kedua merek ini mendongkrak nilai penjualan dan laba
Astra secara signifikan.
Sebaliknya, inisiatif efisiensi terus dijalankan. Sistem administrasi back office seluruh
cabang Astra diseragamkan dengan memakai teknologi SAP. Selama ini, sistem
administrasi setiap cabang berbeda-beda sehingga masing-masing cabang
membutuhkan tenaga akunting dan Administration Dept. Head sendiri-sendiri. Kompilasi
data juga menjadi lambat. Dewasa ini, proses administrasi pemesanan mobil,
pembayaran, dan berbagai hal lainnya seragam serta online sehingga pengumpulan dan
penyatuan data di akhir bulan bisa dilaksanakan dengan cepat. Contoh lain, Astra
berhasil menyatukan pembelian seluruh unit usahanya�- yang selama ini berjalan
sendiri-sendiri�- untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik dengan para pemasok.
"Perubahan terberat adalah menyangkut manusia," jawab Gudi ketika ditanya bagian
tersulit dari perubahan. Upaya peningkatan manajemen proses tidak akan berjalan tanpa
pengembangan karakter dan kompetensi karyawan sebagai pemilik dan pengelola proses
perubahan itu sendiri. Apabila tujuan (goal) perubahan sudah ditetapkan, menurut Chief
AMDI Yakub Liman, kunci utama perubahan terletak pada Commitment, Involvement, dan
Leadership (CIL) dari eksekutif puncak dan jajaran pimpinan perusahaan. "Apapun proses
atau program perubahan, tanpa CIL sulit untuk berhasil," ujarnya.
Proses perubahan di Astra selalu diikuti dengan proses evaluasi secara berkala, di mana
manajemen mengikuti setiap perkembangan yang terjadi. Ini untuk menjaga jangan
sampai terjadi penyimpangan dalam melakukan perubahan. Proses perubahan tersebut
digambarkan dalam bentuk roda yang terus berputar naik ke anak tangga yang lebih
tinggi. Roda tersebut mengandung fungsi dasar manajemen PDCA (Plan, Do, Check,
Action). Untuk memutar roda dilakukan melalui training masif. Setiap roda yang naik ke
tangga lebih tinggi diganjal dengan Standardization (S) agar tidak melorot turun,
sehingga PDCA berubah menjadi SCDA. Begitulah seterusnya. Di setiap akhir tahun,
manajemen Astra mengadakan perayaan sebagai apresiasi terhadap tim yang dinilai
terbaik dalam melakukan improvement, haik teknik maupun non-teknik. Pemenang ke-1,
antara lain, mendapat sepeda motor atau hadiah uang Rp 20 juta.
Dengan lingkungan berkreasi yang kondusif dan menantang, wajar bila ide peningkatan
dan inovasi tumbuh subur di Astra. Setiap tahunnya Astra mendapatkan proposal ide dari
seluruh jajaran perusahaan tak kurang dari 130.000 buah. Jumlah tersebut, menurut
Yakub Liman, adalah proposal yang tercatat, yaitu proposal yang idenya bagus dan bisa
diimplementasikan. Lengkap dengan manfaat kuantitatif yang diperoleh bila ide itu
diimplementasikan. "Jadi, tidak bisa asal bunyi alias asbun," tutur Yakub. Astra
memberikan penghargaan kepada mereka yang berpartisipasi. "Kendati hanya sebungkus
nasi," tambahnya.
Di ulang tahun yang ke-48 yang jatuh 20 Februari lalu, kinerja bisnis Astra yang memiliki
sekitar 100.000 karyawan memang sangat mencorong. Perseroan berhasil mencatat
rekor laba bersih Rp 5,4 triliun pada 2004, naik 22,3% dari 2003. Nilai hutang perusahaan
pun menurun tajam, bahkan per 31 Maret 2005 hutang Astra kepada 19 sindikasi bank
asing telah dibayar luas sehingga hutang Astra menjadi nol. Total hutang kepada sindikasi
bank asing itu US7 juta, dan telah dibayar US1 juta pada Desember 2004 serta dibayar
lagi US juta pada Maret 2005. Selain itu, Astra masih memiliki dana tunai Rp 1 triliun
untuk membayar dividen.
Toh Astra tak henti berusaha meraih kemajuan. Pada ulang tahun ke-48, Astra juga
meluncurkan inisiatif baru yaitu nemberikan Astra Award kepada seluruh anak
perusahaan atau unit usaha terbaik di lingkungan Astra. Award ini dimaksudkan agar
seluruh perusahaan atau unit usaha Grup Astra berlomba meraih yang terbaik dengan
membangun winning team spirit. "Setiap orang Astra harus menghayati betul budaya dan
semangat strive for excellence," kata Budi. Setiap awal tahun, Budi sebagai CEO Astra
juga mengirim President Letter, sebuah pesan dan sranan yang harus menjadi pegangan
bagi seluruh insan Astra dalam menjalankan tugasnya.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. EXCELCOMINDO PRATAMA
MENGIKUTI IRAMA KONSUMEN
Perubahan di PT Excelcomindo Pratama pada awalnya dilakukan pada tiap-tiap divisi
secara bertahap. Namun, perubahan secara mendasar dilakukan ketika investor asing
yakni Asia Infrastructure Fund dan Telekom asal Malaysia masuk ke manajemen
Excelcom.
Seperti diketahui, Telekom Malaysia resmi masuk ke operator seluler PT Excelcomindo
Pratama (XL) setelah membeli 23,1 persen saham asing milik Nynex Indocel Holding Sdn
(Verizon) senilai US5,7 juta. Dengan transaksi tersebut, menurut Presdir PT Telekomindo
Primabhakti YW. Junardy, Telekom Malasyia akan menjadi mitra strategis sekaligus
menjadi langkah awal keterlibatannya di Excelcom yang merupakan operator seluler
ketiga terbesar di Indonesia.
Saat ini, komposisi pemilik saham XL sebanyak 60 persen dimiliki investor lokal yaitu
konsorsium PT Telekomindo Primabhakti dengan anggota Bentoel, Sheraton, Metro
Departement Store, dan Express Taxi. Selain Telekom Malaysia, perusahaan asing yang
memegang saham PT Exelcomindo Pratama adalah Asia Infrastructure Fund yang
menguasai sebesar 12,7 persen.
Direktur Pengembangan SDM PT Excelcom, Joris de Fretes mengakui, masuknya investor
asing di perusahaannya memang semakin memicu percepatan perubahan organisasi
menuju arah yng lebih baik. Dalam hal penetrasi ke pelanggan, kata Horis, Telekom
Malaysia meminta agar XL lebih agresif, sehingga bisa mendekatkan posisi pencapaian
pelanggan seluler dengan perusahaan sejenis di Indonesia. Hingga September 2004
jumlah pelanggan seluler XL mencapai 4,2 juta nomor, meningkat dari 2,9juta nomor
pada akhir 2003.
Joris menambahkan, ada atau tidak ada investor asing, pada dasarnya perubahan harus
dilakukan jika organisasi ingin terus berkembang. Ada beberapa faktor yang mendorong
sebuah organisasi harus berubah, yakni e-commers, percepatan arus informasi,
organisasi virtual, merger & akuisisi serta privatisasi.
Di luar faktor pendorong tersebut, ada hal lain yang juga sangat berpengaruh terhadap
arah perubahan, yakni perilaku konsumen juga telah berubah. Telekomunikasi kini tidak
lagi dipandang sebagai barang investasi, melainkan barang konsumsi. Artinya memiliki
sarana telekomunikasi bergerak kini telah menjadi kebutuhan.
Perbedaan perilaku konsumen ini menuntut penanganan yang berbeda pula, misalnya
dari produknya, strategi marketing-nya, promosinya dan sebagainya. Dengan demikian,
orientasi perusahaan, kata Joris juga harus berubah. Semula Excelcom mendasarkan
pada technology driven, tapi sekarang pendekatanya lebih kepada marketing driven.
Konkritnya, kata Joris, ketika hendak membangun BTS baru, misalnya, pertimbangan
utamanya bukan pada masalah teknologi atau jaringannya tapi lebih kepada marketing-
nya. Apakah di suatu daerah sudah benar-henar membutuhkan BTS? Untuk membangun
sebuah BTS paling tidak diperlukan dana Rp2 miliar. "Jika pelanggannya tidak terlalu
signifikan, tentu kami dan operator lain akan berpikir ulang tentang investasi tersebut,"
tukasnya.
Perubahan perilaku konsumen telekomunikasi juga bisa dilihat dari pola konsumsi
mereka, yang tercermin dalam ARPU (Average Revenue Per User), atau tingkat rata-rata
pemakaian pulsa setiap bulan. Dulu orang menggunakan ponsel minimal pulsanya sekitar
Rp 100 ribu. Tapi sekarang, sudah menurun menjadi sekitar Rp 50 ribu per bulan. Hal ini
pun harus diantisipasi dengan menawarkan paket-paket isi ulang yang relatif terjangkau.
Salah satunya adalah dengan meluncurkan Xplor yang diklaim memiliki keunggulan tarif
percakapan yang lebih hemat dibandingkan tarif pascabayar lainnya, karena durasi
percakapan dihitung per 1 detik. Selain itu, fasilitas ini juga gratis biaya abonemen (untuk
tagihan minimum penggunaan perbulan hanya Rp 25.000), serta gratis roaming nasional.
Pelanggan Xplor juga dapat menikmati tarif hemat 36 persen hingga 69 persen pada jam
tidak sibuk yaitu dari pukul 22.00 sampai 07.59 di hari kerja, sepanjang hari libur nasional
dan hari Minggu. Tarif hemat ini berlaku untuk panggilan yang dilakukan ke PSTN, sesama
XL dan operator lain, selain SLI dan premium call.
Kemudahan yang diperoleh dari layanan pascabayar Xplor adalah jangkauan di seluruh
Nusantara (mudah dipakai di mana saja) serta proses aktivasi yang mudah dan cepat
yaitu hanya dengan membeli kartu perdana seharga Rp 55.000,- �(termasuk PPN),
pengguna selular sudah dapat menggunakan Xplor dengan batas maksimum
penggunaan Rp 50.000,- sambil menunggu proses verifikasi data.
Berbagai perubahan yang dilakukan Excelcom memang sangat beralasan. Sebab, tak
lama lagi perusahaan itu berencana memasuki lantai bursa. Direktur Marketing Business
Solution PT Excelcomindo, Rudiantara mengungkapkan bahwa rencana mencatatakan
saham Excelcomindo di bursa saham sudah lama dibicarakan atau jauh sebelum Telekom
Malaysia masuk ke perusahaan. Jika rencana tersebut terealisasi, seluruh karyawan
perusahaan ini tentu harus melangkah seirama mempersiapkan perubahan yang
diperlukan.
Menurut Joris, kendala utama perubahan yang dilakukan di Excelcomindo sebenarnya
bukan pada komunikasinya, melainkan pada bagaimana seluruh karyawan bisa
mengadaptasi terhadap lingkungan yang harus atau sudah berubah. Juga bagaimana
karyawan dapat memahami peran dan fungsi masing-masing.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. FRISIAN FLAG INDONESIA
FOKUSKAN DIRI KE MARKETING DRIVEN & TRAINING DRIVEN
Berbekal pengalaman lebih dari tujuh dasawarsa dalam memasarkan produk susu, Frisian
Flag kini dikenal sebagai produsen dan distributor terkemuka di Indonesia. Tak heran
dalam kurun waktu 35 tahun, setiap jaman mengharuskan pelaku bisnis termasuk Frisian
Flag untuk merubah sikap sesuai dengan tuntutan konsumen.
Ini disadari betul oleh segenap jajaran direksi dan manajemen serta karyawan Frisian
Flag. Perubahan yang mendasar terutama dari segi perilaku, sikap, memandang
kompetensi yang berbeda di setiap zaman. Menurut Hendro Harijogi, HR & GA Director PT
Frisian Flag Indonesia, perubahan ini merupakan pertahanan hidup bagi semua
perusahaan pada umumnya dan Frisian Flag secara khusus. Pada tahun 1970an hingga
menjelang tahun 1990-an, Frisian Flag lebih erat dengan production driven. Artinya, apa
yang diproduksi Frisian Flag selama kualitasnya baik, maka konsumen akan membelinya.
Tapi, hal itu sudah tidak berlaku lagi. Diakui Hendro, sekarang ini adalah era marketing,
selain produknya berkualitas, produk tersebut harus mampu menarik perhatian
konsumen. �€œProduk susu dibuat semenarik mungkin karena konsumen memposisikan
produk itu tidak hanya untuk kesehatan, tapi juga untuk gaya hidup." Kalau produknya
bagus tapi tidak sesuai dengan gaya hidup masyarakat Indonesia pada masa kini, maka
produk itu akan dilupakan orang," ujarnya.
Contoh lain, dulu orang hanya mengenal supermarket, sekarang sudah ada hypermarket
yang lebih lengkap dan nyaman. "Sekarang orang mana mau ke supermarket, kurang
lengkap, tidak dingin, tidak nyaman dan sebagainya. Akibatnya jenis promosi juga
berubah," tukas Hendro. Tak heran jika Frisian Flag berusaha mengikuti keinginan
konsumen dan pasar. "Susu Bendera dulu dikenal sebagai produk berkualitas bagus.
Kualitas tidak boleh dihilangkan karena itu adalah warisan. Tapi kami juga harus mampu
menjaring konsumen dengan keunikan produk kami. Kalau kami tidak mau berubah,
maka kami akan bangkrut, termasuk pula perusahaan-perusahaan lainnya," imbuhnya
dengan antusias.
Dalam melakukan perubahan, Hendro menegaskan bahwa kecepatan menjadi kata kunci.
Kalau sebuah perusahaan tidak cepat bereaksi, maka konsumen akan lari ke produk lain.
Ini menuntut biaya yang lebih besar karena perusahaan harus selalu melakukan pelatihan
kepada karyawannya. Inovasi sangat penting. Jika karyawan tidak mampu untuk inovatif,
maka ia harus dilatih untuk inovatif. Selain market driven, Frisian Flag juga fokus kepada
training driven. Para karyawan diberi edukasi yang lebih baik dan diberi kesempatan
untuk mengambil keputusan. "Dulu, keputusan hanya dilakukan para atasan saja.
Sekarang, atasan justru harus meng-empower karyawan untuk kreatif. Itu perubahan
budaya dan bukan suatu hal yang mudah," ia kembali menjelaskan.
Pengembangan karir karyawan juga dibenahi. Menurutnya, seorang karyawan yang di-
training terus-menerus, tapi tidak jelas karirnya, maka karyawan tersebut tidak akan
termotivasi. "Setiap orang punya aspirasi dan sebagian besar aspirasi seseorang adalah
peningkatan karir. Mereka juga ingin maju dan punya tanggung jawab yang lebih besar,"
tukasnya. Kalau karyawan tidak punya kompetensi yang cukup dan training yangbaik,
maka dia tidak akan menerima posisi yang baik aan juga tidak akan termotivasi.
Dalam perubahan, komunikasi menjadi hal penting. Pertama, Frisian Flag menerapkan
sasaran terlebih dulu. Kemudian pihak manajemen melihat, apa yang dimiliki Frisian Flag,
kemudian mengkomunikasikan kepada seluruh karyawan. Untuk mencapai sasaran, ia
mengaku akan menghadapi kendala, termasuk gap. "Biasanya, kalau seseorang punya
gap atau kelemahan, orang tidak akan suka. Itu normal," senyumnya mengembang saat
memaparkan hal ini. Karena itu, pihak manajemen harus mampu mengkomunikasikan
gap tersebut sehingga bisa berkurang.
Setelah tahu gap-nya, manajemen kemudian memberikan fasilitas untuk menutupi gap
tersebut yaitu dengan menerapkan sistem yang memakan waktu bertahun-tahun. Hendro
mengaku, Frisian Flag dalam membangun sistem pengembangan SDM butuh waktu lima
tahun. Sedangkan untuk memahami sistem tersebut butuh komunikasi berkelanjutan.
"Perubahan dari production driven ke marketing driven butuh waktu yang lama." Langkah
awal, perubahan di sistem HR, mulai dari training, career path, pemahaman terhadap
pengembangan karir, dan menerapkan pengembangan secara nyata. "Jika dari sisi SDM
sudah baik," lanjutnya lagi, "maka segala hal yang menyangkut kebutuhan bisnis itu
sendiri, akan bisa dipahami oleh semua karyawan."
"Bisnis kami kan tidak hanya urusan para atasan saja. Pengangkat barang pun juga
berurusan dengan bisnis ini," tegasnya. Ia mencontohkan, di masa lalu pernah terjadi
para pengangkut barang dalam melakukan pekerjaannya seringkali tidak hati-hati.
Mereka beranggapan, para konsumen dulu tidak terlalu peduli terhadap kondisi produk.
Mereka lupa bahwa ada satu perubahan di masyarakat dan mereka tidak merasakan hal
itu karena mereka bagian dari kehidupan sehari-hari dan rutin selama bertahun-tahun.
"Dulu, kalau kaleng penyok dan kotor atau kardus rusak konsumen masih mau beli.
Sekarang, mana mau konsumen membelinya? Mereka lebih baik pilih produk lain,"
katanya setengah bertanya.
Perusahaan yang memiliki karyawan sebanyak 1800 orang permanen dan non permanen
ini memulai perubahan tersebut sejak tahun 1996 dan hingga kini masih terus
berlangsuog. Sedangkan perubahan-perubahan kecil semacam logo atau kemasan
biasanya dilakukan setiap 4 tahun. Perubahan lain yang muncul di Frisian Flag adalah
komposisi susu. Jika dulu produk susu belum menggunakan omega 3 dan omega 6,
sekarang sudah digunakan. "Itu penemuan baru dan memberi manfaat pada konsumen
maka perusahaan susu akan menambahkan komposisi itu jika ingin laku."
Saat ini, Hendro mengaku bahwa Frisian Flag masih menjadi market leader di kategori
produk susu. Frisian Flag berusaha mempertahankan hal itu, sesuai dengan core value
perusahaan yaitu menjadi yang terbaik dalam hal industri susu dan memproduksi susu
dengan kualitas terbaik serta ingin memberikan kontribusi sebesar-besarnya kepada
masyarakat. "Kami harus memberikan keuntungan yang 'sangat' kepada perusahaaan.
Artinya, kami tidak minta yang 'besar' karena kami punya kode etik dan sesuai dengan
visi kami, memberikan keuntungan yang baik bagi shareholders dan menempatkan di
sebagai perusahaan yang inovatif, mengerti kebutuhan konsumen," jelasnya panjang
lebar.

Portalhr - Strategi HR – halaman 8


Halaman [ |« Sebelumnya ... 4 5 6 7 8 9 10 11 12 ... Selanjutnya »| ] dari 17
Implementasi Balanced Scorecard (BSc) menjadi kultur Astra World
No. 16 - Juli 2005
Sukses dengan Balanced Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Inisiatif Ganda Adira Finance
No. 16 - Juli 2005
AAM, Melaju dengan BSc
No. 16 - Juli 2005
PT Capsugel Indonesia, Percontohan dari Indonesia
No. 16 - Juli 2005
Terobosan Besar Katsushiro Indonesia
No. 16 - Juli 2005
Implementasi Balance Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Robby Djohan : Anak Emas dan Kepemimpinannya
No. 15 - Juni 2005
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Implementasi Balanced Scorecard (BSc) menjadi kultur Astra World
No. 16 - Juli 2005
Jauh sebelum terjadinya divestasi saham Astra dalam berbagai usaha manufaktur
otomotif kepada principal masing-masing, Grup Astra sudah merasakan adanya tekanan
yang besar dari principal di bidang distribusi, pembiayaan, dan asuransi (downstream).
Atas dasar itu dan pentingnya kedekatan dengan pelanggan, Astra pada awal 1998 (saat
krisis ekonomi sedang menghebat) menyadari perlunya memperkuat distribusi. Posisi
Astra dalam value chain bisnis otomotif harus jelas dan kuat. Kalau tidak, konsumen tak
perlu membeli mobil dari Astra.
Maka, tahun 2001, manajemen Astra mulai memikirkan organisasi operasional yang
khusus meningkatkan pelayanan kepada pelanggan. Organisasi itu – Astra World –
diluncurkan kepada publik pertama kali tahun 2002 dengan tanggung jawab menjalankan
aktivitas dalam bidang pengelolaan hubungan pelanggan dengan menyediakan layanan
'gaya hidup berkendara’. Aktivitas operasionalnya meliputi akuisisi dan pengelolaan
anggota, pengelolaan mitra bisnis, pengelolaan basis data pelanggan & memfasilitasi
CRM (Customer Relationship Management), serta mengelola gateway (call center, portal,
dan media informasi lainnya), termasuk Emergency Road-side Assistance (ERA).
Setiap pembeli dan pemakai mobil dari Grup Astra (Toyota, Daihatsu, BMW, Isuzu, dan
Peugeot) mendapatkan kartu keanggotaan Astra World, yang terdiri dari dua jenis: kartu
identitas keanggotaan biasa dan kartu anggota dengan fungsi kartu kredit. Kartu
keanggotaan tersebut diberikan secara gratis dan diberikan hanya untuk setiap
pembelian mobil di cabang-cabang Astra International. Banyak manfaat yang diperoleh
oleh pemilik kartu, mulai dari mengingatkan servis berkala hingga bantuan darurat di
jalan selama 24 jam, call center, portal, diskon langsung, dan bonus rupiah. Hingga saat
ini tercatat jumlah anggotanya mencapai 200.000 pelanggan.
Sebagai organisasi baru, Astra World memiliki 2 tantangan utama: mendefinisikan
strategi yang jelas dan meningkat; serta mengoperasionalkan strategi ke dalam tindakan
dan mengukurnya. Sebelum menerapkan BSc, manajemen melakukan asesmen
organisasi untuk mengukur kesiapan platform untuk implementasi BSc didasarkan pada 8
faktor, yaitu 5 prinsip dasar (memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan eksekkutif,
menerjemahkan strategi ke dalam istilah operasional, menyelaraskan organisasi terhadap
strategi, menjadikan strategi tugas setiap orang, membuat strategi sebagai proses tanpa
henti), kapabilitas BSc di seluruh jajaran organisasi, infrastruktur mendukung
implementasi, dan kapasitas perubahan dan pembaruan.
Caranya, perusahaan melakukan workshop visi dan strategi, definisikan tema strategik,
susun strategic map (termasuk objektif, pengukuran, target, inisiatif, dan rencana aksi),
dan melakukan validasi strategic map setiap divisi yang terhubung dengan strategic map
organisasi.
Proses penyusunan strategy map dilakukan sepenuhnya oleh jajaran Astra World. Tim
penyusunnya berasal dari lintas unit fungsional di lingkungan Astra. Bahkan, ujar Head of
Finance & Organization Development Astra World Jeffrey Gunadi Chandrawijaya, saat
menjalankan strategi tersebut, setiap anggota tim harus menandatangani commitment
letter untuk menjamin implementasi strategi yang telah disusun.
Meskipun bermula dari arahan atasan (top-down), strategi tersebut disusun dari bawah,
dimulai dari pimpinan unit bisnis (bottom-up). Pada mulanya, banyak yang takut dengan
KPI (Key Performance Indicator) karena akan menimbulkan konsekuensi kepada
karyawan. "Kami tegaskan kepada semua karyawan, KPI itu berguna untuk melihat
bagian dari organisasi yang sakit dan perlu segera diperbaiki,” ungkap Jeffrey.
Layaknya organisasi baru, Astra World – jumlah karyawan kini 256 orang – bisa
membangun organisasi dan sistemnya dari nol. Tetapi, hal itu juga menyebabkan Astra
World harus menyusun KPI melalui proses panjang karena belum ada referensi dari best
practice. Setahun sekali dilakukan penyetelan terhadap KPI yang telah disusun – apakah
KPI itu relevan dan strategik bagi pencapaian kinerja organisasi. Sedangkan evaluasi
target dilakukan setiap kuartal. Jumlah KPI untuk level organisasi 24 buah, sedangkan
jumlah KPI untuk level departemen sekitar 20 buah. KPI tersebut bahkan sudah
diturunkan hingga level individu karyawan, khususnya mereka yang menangani ERA.
“Karena KPI-nya cukup mudah dibuat secara kuantitatif,” kata Ratna Ikawati, Analyst of
Finance Advisory & Analysis Finance Division. Misalnya, berapa cepat waktu penanganan
pelanggan yang mobilnya mogok dan seberapa puas para pelanggan itu.
Astra World memiliki 2 tema strategi menurut kurun waktunya. Pertama,
mempertahankan dan meningkatkan bisnis otomotif Astra melalui CRM (periode 2004-
2009); kedua, bertumbuh ke luar bisnis otomotif dan menjadi agen bagi pelanggan
(periode 2010 dan seterusnya). Tema besar strategi tersebut dijabarkan lagi dalam
periode yang lebih singkat. Contohnya, tahun 2008, CRM sudah harus berhasil
diimplementasikan secara penuh.
Dalam perspektif manusia, strategi utama Astra World adalah membangun kompetensi,
yang diukur melalui sejumlah indikator: human capital readiness, employee opinion
survey, dan information capital readiness.
Untuk mendorong peningkatan di segala bidang dan mengisi gap antara target 2009
dengan kondisi riil 2005, Astra World mengadopsi pula konsep Six Sigma. Gap tersebut
diisi dengan membuat inisiatif strategik. Para karyawan diwajibkan membuat proyek
kegiatan setiap tahunnya di bidang masing-masing berdasarkan inisiatif strategik ini.
Proyek kegiatan tersebut terus berjalan sehingga memacu karyawan untuk selalu
berusaha mencari hal yang lebih baik.
“Dewasa ini, BSc telah menjadi salah satu budaya perusahaan kami. Karyawan juga
makin memahami strategi perusahaan, bagaimana mereka bisa berkontribusi, dan
bagaimana kontribusi mereka akan berdampak terhadap Astra World,” papar Jeffrey lagi.
Adanya software sangat membantu dalam meninjau dan melaporkan kinerja organisasi
dari setiap unit secara akurat. Awal 2002, Astra World memutuskan mengganti software
BSc dari QPR ke PB views karena lebih bisa memenuhi kebutuhan perusahaan.
Sukses dengan Balanced Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Balanced Scorecard (BSc) telah menjelma menjadi sistem manajemen organisasi yang
paling komprehensif dan diimplementasikan secara meluas di berbagai organisasi swasta
aupun pemerintah. Adopsi BSc di Indonesia lebih banyak dilakukan perusahaan swasta.
Sementara di Singapura dan Malaysia, organisasi publik lebih banyak menerapkannya.
Konsep BSc pertama kali diperkenalkan oleh Dr. David Norton (CEO Nolan-Norton yang
kini menjadi President Balanced Scorecard Collaborative – BSCol) dan profesor Harvard
Business School Dr. Robert Kaplan melalui tulisannya di Harvard Business Review (HBR)
tahun 1992. Artikel berjudul Balanced Scorecard – Measures That Drive Performance itu
merupakan kesimpulan dari hasil studi mendalam yang dilakukan terhadap 12
perusahaan manufaktur dan jasa tahun 1990. Tulisan tersebut dengan cepat menyita
perhatian pembaca jurnal terkemuka tersebut dan menjadi artikel yang paling banyak
diminta untuk dicetak ulang sepanjang sejarah HBR.
Begitu suksesnya tulisan tersebut, ia diikuti dengan serangkaian artikel HBR lainnya yang
secara detil menjelaskan bagaimana BSc dimanfaatkan dalam organisasi dan bagaimana
pengalaman pihak yang pertama menerapkannya membantu menyempurnakan
metodologi BSc. Salah satu yang paling antusias berbagi pengalaman adalah Mobil Oil,
perusahaan pertama yang terkenal keberhasilannya dalam menerapkan BSc. Seluruh
artikel tersebut menjadikan konsep BSc mengalami evolusi dari awalnya hanya sebagai
kerangka pengukuran kinerja menjadi kerangka manajemen dan implementasi strategi di
mana pengukuran kinerja hanya salah satu elemen inti saja.
Kaplan dan Norton memetik pelajaran berharga dari berbagai artikel itu maupun dari
penugasan konsultansi yang mereka lakukan sehingga mempengaruhi pola pikir mereka
dalam menulis 3 buku tentang BSc. Buku pertama ke luar tahun 1996 dengan judul The
Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action; diikuti buku kedua tahun 2001 The
Strategy-Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New
Business Environment. Sebagai puncaknya adalah peluncuran buku ketiga tahun 2004
berjudul Strategy Maps: Converting Intangible Assets into Tangible Outcome. Ketiga buku
tersebut telah terjual lebih dari 400.000 kopi dan telah diterjemahkan ke dalam 23
bahasa.
Selain Kaplan dan Norton, banyak pakar manajemen lainnya yang menulis buku tentang
implementasi BSc sehingga makin memperkaya khasanah BSc. James Creelman,
misalnya, telah menulis 6 buku tentang BSc. Salah satu bukunya ditulis bersama dengan
Naresh Makhijani, pendiri konsultan transformasi bisnis OTI, yang khusus mengupas
implementasi BSc di Asia (Succeeding with the Balanced Scorecard).
Tak pelak lagi, BSc telah menjadi bahan pembicaraan di berbagai perusahaan dan
organisasi publik di banyak negara. Data tahun 2003 dari perusahaan konsultan asal
Amerika Bain & Company menunjukkan tak kurang dari 60% dari organisasi berskala
menengah dan besar Amerika Utara telah menggunakan BSc. Angka ini meningkat 10%
dari tahun sebelumnya. Dengan asumsi pertumbuhan 10% saja per tahun, maka
diperkirakan tahun 2005 ini angka adopsi tersebut naik menjadi 80%. “Pasar BSc Amerika
Utara memang semakin matang,” ungkap James Creelman kepada Human Capital. Hal
yang sama dia perkirakan terjadi di Eropa.
Tingkat adopsi BSc di Asia masih sulit diketahui angka persisnya. Creelman dan Naresh
memperkirakan laju implementasi BSc di Asia akan naik dengan laju yang sama dalam
beberapa tahun ke depan. Satu-satunya data yang tersedia adalah hasil studi Creelman
dan Naresh yang dipublikasikan dalam buku mereka. Dari 121 perusahaan di kawasan
Asia Tenggara yang disurvei tentang pemanfaatan BSc tahun 2004, sebanyak 36% telah
menggunakan BSc, 18% berencana menerapkannya, dan sisanya (46%) belum
menerapkannya sama sekali.

Kenapa BSc?
Dalam perjalanan awalnya, konsep BSc dipakai untuk mengukur kinerja eksekutif. Untuk
menilai kinerja eksekutif diperlukan ukuran kinerja komprehensif yang tidak hanya
mencakup perspektif keuangan, tetapi juga 3 perspektif lain, yaitu pelanggan/konsumen,
proses bisnis/internal, dan pembelajaran serta pertumbuhan (SDM). Selama ini penilaian
kinerja eksekutif hanya diukur dari perspektif keuangan sehingga perhatian dan upaya
para eksekutif lebih tercurah pada pencapaian kinerja keuangan, yang seringkali bersifat
jangka pendek. Sistem BSc mengoreksi kesalahan ini dengan memasukkan perspektif
non-keuangan untuk melengkapi sistem penilaian kinerja tersebut. Kinerja keuangan
yang bagus dan berjangka panjang hanya bisa dihasilkan bila perusahaan berhasil
memuaskan konsumen, melaksanakan proses bisnis yang produktif dan efektif, dan
mengembangkan kompetensi sumberdaya manusia (SDM).
Setelah mencatat keberhasilan dalam implementasi BSc, konsep BSc diperluas lebih dari
sekedar untuk mengukur kinerja eksekutif, tetapi diterapkan ke dalam proses
perencanaan strategik. Begitu komprehensifnya sehingga BSc sering dianggap sebagai
inti dari manajemen strategik. Setelah visi, misi, dan tujuan ditetapkan, perusahaan
biasanya menyusun tema strategi yang akan diusung dalam periode 3-5 tahun ke depan.
Tema strategi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam masing-masing perspektif sehingga
menjadi strategy map.
“Dengan demikian, seluruh strategi dari keempat perspektif itu selaras dengan strategi
perusahaan secara keseluruhan maupun antara satu dengan yang lainnya,” ungkap N.
Krisbiyanto, mantan GM HR Group Bank Permata yang kini menjadi VP HR Management
Telkomsel. Strategi di setiap perspektif di level korporat itu kemudian dijabarkan ke dalam
strategi di level lebih rendah, seperti divisi, departemen bahkan hingga individu
(individual scorecard).
Langkah berikutnya diikuti dengan menyusun indikator kinerja utama atau Key
Performance Indicator (KPI) dari masing-masing strategi dari setiap perspektif tersebut.
KPI dari level korporat diturunkan ke level divisi, departemen, hingga level individu. Untuk
mewujudkan KPI, perusahaan menyusun target beserta inisiatif yang hendak dijalankan
dalam periode tertentu. Target dan inisiatif itu menjadi dasar penentuan objektif dari
perorangan. Selanjutnya adalah tahapan implementasi dan pemantauan.
Pemantauan kinerja dalam kerangka BSc jauh lebih efektif ketimbang sistem manapun.
Evaluasi dilakukan berdasarnya sejauh mana pencapaian KPI dari setiap level, dan hal ini
bisa dilakukan dalam periode bulanan atau beberapa bulan – tidak harus menunggu
hingga 6 bulan atau 12 bulan. Pemantauan semacam ini sangat berguna untuk
mengetahui sejauh mana pencapaian kinerja organisasi, mencegah melencengnya
implementasi strategi, dan melakukan langkah-langkah koreksi jika itu diperlukan.
“BSc itu seperti master dashboard sebuah mobil,” tutur Suwardi Luis, CEO PT GML
Performance Consulting yang juga banyak bergerak dalam konsultansi BSc. Di situ
terdapat aneka instrumen panel yang membantu sopir (dalam hal ini CEO atau eksekutif,
red) dalam menyediakan informasi tentang kondisi mobil untuk menuju ke satu tujuan.
Namun, lanjutnya, indikator di dashboard itu tidak banyak gunanya bila si sopir tidak
menindaklanjutinya. “Kalau indikator bensin sudah merah tapi tetap saja jalan tanpa
mengisi bensin, mobil akan mogok sehingga tidak mencapai tujuan,” tambahnya. Artinya,
untuk sukses melaksanakan BSc membutuhkan serangkaian upaya yang dilakukan
secara konsisten.

Implementasi BSc
Sering orang bertanya tentang bagaimana mengimplementasikan BSc secara sukses
dalam organisasi? Sebelum menerapkan BSc, sebaiknya organisasi melakukan asesmen
tentang kesiapan organisasi di dalam menerapkan sistem manajemen tersebut. Inilah
yang dilakukan Astra World dan sejumlah perusahaan lainnya. Kebanyakan perusahaan
malah tidak melakukan asesmen, langsung saja menjalankan BSc. Asesmen tersebut
dilakukan terhadap sejauh mana organisasi menjalankan 5 prinsip Organisasi Fokus Pada
Strategi (the Strategy-Focused Organization/SFO), yang dikupas oleh Norton dan Kaplan
dalam buku keduanya.
Prinsip pertama, menjabarkan strategi ke dalam aspek operasional. Prinsip kedua,
menyelaraskan organisasi dengan strategi. Prinsip ketiga, membuat strategi menjadi
pekerjaan setiap orang setiap hari. Prinsip keempat, menjadikan strategi sebagai proses
tanpa henti. Prinsip kelima, memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan eksekutif.
Sebagai sebuah sistem manajemen, implementasi BSc benar-benar berhasil jika menjadi
alat manajemen utama bagi pejabat organisasi, khususnya CEO. Kaplan dan Norton,
maupun para eksekutif yang berbagi pengalaman tentang implementasi BSc di organisasi
mereka, berulang-ulang mengatakan satu-satunya kondisi paling penting untuk
keberhasilan implementasi BSc adalah komitmen dan keterlibatan aktif dari tim
eksekutif. Hal ini sejalan dengan prinsip kelima dari SFO yang menegaskan pentingnya
faktor kepemimpinan eksekutif dalam mendorong perubahan.
Suwardi Luis mengukur komitmen pemilik, CEO atau eksekutif sebuah perusahaan
dengan sejauh mana yang bersangkutan meluangkan waktunya untuk mengikuti
workshop yang dia adakan. “Waktu mau menerapkan BSc di Dexa Medica, Ciputra Group,
Lippo Bank atau Bl, pemilik dan para eksekutifnya mengikuti workshop saya beberapa
jam hingga 2 hari. Kalau mereka setengah hari saja tidak punya waktu, bagaimana bisa
mengimplementasinya dengan sukses,” tanyanya serius.
Untuk mengimplementasikan BSc perlu dibentuk tim khusus BSc yang akan mendorong
proses implementasi BSc di seluruh organisasi sekaligus sebagai agen perubahan. Tim ini
lazimnya terdiri dari anggota lintas fungsi (SDM, keuangan, pemasaran, teknologi
informasi/ Tl, dan sebagainya).
Pada sejumlah organisasi, bahkan diangkat Manajer BSc penuh seperti yang terjadi di
perusahaan konsultan terkemuka Booz Allen Hamilton. Namanya John Monkzewski. Ia
dibantu oleh 3 karyawan penuh lainnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Adira
Finance, yang menunjuk Falk Archibald Kemur (Dicky) sebagai Manajer BSc yang
bertanggung jawab langsung kepada CEO. la dibantu oleh 2-3 staf. Selain bertugas
mendorong implementasi BSc di seluruh organisasi dengan serangkaian program
perubahan, ia juga menyiapkan laporan hasil pemantauan kinerja secara reguler kepada
seluruh kepala divisi maupun CEO, lengkap dengan hasil kajiannya.
Upaya melibatkan konsultan dalam implementasi BSc harus dilakukan secara hati-hati.
Konsultan berperan penting dalam program BSc, akan tetapi James Creelman dan Naresh
mengingatkan perlu adanya kejelasan tanggung jawab dari konsultan, “Konsultan
bukanlah pemilik program, dan juga tidak menyusun KPI,” ungkap mereka. Tugas utama
konsultan adalah meyakinkan manajemen puncak terhadap perlunya BSc, memfasilitasi
penyusunan visi, misi, strategi, dan KPI, serta melakukan transfer pengetahuan kepada
pihak perusahaan. “Hati-hati dengan konsultan yang melihat KPI sebagai sebuah latihan
pengukuran karena bisa berdampak serius terhadap implementasi program BSc,” kata
Naresh.
Dalam menjalankan BSc, proses otomasi menjadi bagian yang cukup penting, kendatipun
implementasi HSc bukanlah sebuah proyek TI. Dewasa ini cukup banyak software BSc
yang telah disertifikasi oleh BSCol. Software yang paling sederhana adalah program Excel
dan PowerPoint. Kemampuannya jelas terbatas. Software yang banyak dipakai di
kawasan ini adalah PB views (Canada) maupun QPR (Finlandia). “PB views merupakan
market leader di dunia, termasuk di Indonesia dan Singapura,” tegas Andrew Lim,
Direktur BSc Solutions PL, Singapura, kepada Human Capital.
Di banyak negara, seperti Singapura dan Malaysia, BSc diterapkan pula secara meluas di
organisasi milik pemerintah, seperti Kementerian Hukum, Informasi, bahkan Pengadilan.
Implementasinya tentu lebih menarik karena sasaran strategik organisasi tidak berupa
kinerja finansial dan cenderung bersifat kualitatif. Di Indonesia, BI adalah satu-satunya
organisasi publik yang sudah menerapkan BSc sejalan dengan transformasi organisasi BI.
Siapa menyusul?
Inisiatif Ganda Adira Finance
No. 16 - Juli 2005
PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk. (Adira Finance) menerapkan Balanced Scorecard
(BSc) dibantu dengan inisiatif TQM (Total Quality Management). Tujuannya untuk
mendorong proses inovasi dan peningkatan terus menerus. Hasilnya luar biasa.
Merasa bahwa visi dan misi perusahaan perlu dijabarkan ke dalam strategi perusahaan
hingga level terendah I (individu), manajemen Adira Finance memutuskan untuk
merancang implementasi BSc bulan Agustus 2002. Setelah melalui persiapan selama 6
bulan, bulan Februari 2003 Strategy Map Adira pun disahkan. Persiapan itu dipergunakan
untuk mempersiapkan KPI (Key Performance Indicator) dari level korporat, divisi, area,
cabang, hingga individu. Proses ini pada awalnya dibantu konsultan OTI. Secara korporat,
Adira memiliki 21 inisiatif strategik dengan 42 KPI. Sementara jumlah KPI untuk individu
umumnya berkisar antara 3-5 buah.
Sadar bahwa keberhasilan implementasi BSc sangat tergantung dengan keberadaan
orang yang khusus menanganinya, manajemen Adira Finance kemudian membentuk
divisi khusus dengan nama Corporate President Office Division. Kepala divisinya
dipercayakan kepada Falk Archibald Kemur (akrab dipanggil Dicky) dengan dibantu 2-3
staf. Divisi ini, menurut Dicky, langsung berada di bawah kendali CEO Adira Finance.
Yang menarik, meski hanya memiliki sedikit orang, implementasi BSc di Adira
berlangsung dengan cepat. Buktinya, KPI per individu pun berhasil mereka buat dan telah
diterapkan di lingkungan perusahaan. Keberhasilan ini sedikit banyak tercapai berkat
strategi jitu Adira dalam melakukan sosialisasi perubahan dan mengimplementasikan
BSc. Sosialisasi itu dilakukan dengan menggelar seminar BSc di lingkungan Area Manager
yang diikuti pula oleh seluruh Kepala Cabang. Awalnya, tutur Dicky, ada resistensi dari
sejumlah pimpinan di berbagai level untuk mengevaluasi KPI individu. Alasannya,
menambah kerepotan pekerjaan. Tetapi, Dicky berhasil meyakinkan mereka bahwa
sistem ini sangat membantu untuk memantau pekerjaan dan kompetensi bawahan
sehingga bisa melakukan perbaikan segera. Perusahaan kemudian membuat formulir
review untuk memudahkan pimpinan melakukannya. Hasil review itu disampaikan Dicky
kepada CEO maupun Kepala Divisi untuk ditindaklanjuti.
Tidak seperti yang umum dilakukan perusahaan, Adira menerapkan KPI dimulai dari level
paling bawah (cabang dan individu karyawannya). “Karena lebih mudah untuk
menerapkannya,” kilah Dicky, yang sebelumnya menjabat Kepala Divisi Branch Operation
Support tersebut. KPI individu jika dikumpulkan akan menjadi KPI Kepala Cabang. Tahap
berikutnya adalah level Area Manager. KPI seluruh cabang yang berada di setiap Area
Manager menjadi KPI untuk Kepala Divisi. Begitu seterusnya hingga ke level korporat
(Head Office). Menurut Dicky, implementasi KPI di kantor pusat baru diterapkan mulai
tahun ini. Sebab, fungsi kantor pusat lebih banyak pada aspek administrasi, sementara
pendapatan ditangani oleh kantor cabang.
Agar implementasi berjalan, Divisi ini dibantu oleh seorang pejabat di setiap level yang
diberi nama PDCA (Plan, Do, Check, Action) – semacam – Champion atau Change Agent.
Mereka bertugas memfasiiitasi proses implementasi BSc di level masing-masing. Yang
menarik, Divisi ini berhasil menyusun KPI untuk setiap karyawan dari aspek kualitatif
sekalipun. “Semua aspek bisa dibuatkan ukuran kuantitatifnya, kendati dasar
pekerjaannya adalah kualitatif,” ujarnya.
Waktu meluncurkan program BSc 2003 telah disepakati dengan direksi untuk menilai
pencapaian KPI sebagai berikut: 95% djanggap berhasil (wama hijau), 90%-95% dianggap
belum berhasil sepenuhnya (warna kuning), 80-90% baru berhasil sebagian (warna
coklat), dan < 80% dinilai belum berhasil (warna merah). Proses evaluasi untuk level
divisi ke bawah hingga saat ini cukup menggunakan software Excel Spreadsheet.
Sedangkan di level korporat (nasional) menggunakan software PB views. Kalau dipakai
untuk sampai ke cabang biayanya jadi mahal sekali karena harganya ditetapkan
berdasarkan jumlah pengguna. Sebagai solusinya, menurut Dicky, hasil evaluasi PB views
itu dikirim hingga ke cabang-cabang melalui intranet sehingga tidak bisa dicetak. “Yang
penting ‘kan bagi mereka adalah hasil evaluasinya, dan aman dari pesaing.”

Inisiatif BSc dilengkapi pula dengan pelaksanaan TQM yang bertujuan agar proses
peningkatan dalam rangka BSc terus berjalan. Program ini telah dimulai tahun 2004 yang
juga dimaksudkan untuk mempercepat perubahan dalam rangka Journey to Excellence
yang menjadi motto utama bisnis Adira. Sejumlah 450 GKM (Gugus Kendali Mutu) garda
depan (unit seksi cabang) berhasil terbentuk tahun 2004. Mereka di-training selama 2
minggu, dan setelah itu langsung membuat proyek kegiatan peningkatan dan inovasi
selama 3 bulan. Hasil kegiatan tersebut dilombakan. Tahun lalu, temanya adalah QCC
(Quality Control Circle) Olympic sejalan dengan serangkaian program kegiatan
bertemakan Adira Olympic 200R: "Winning Each Other’s Heart".
TQM yang dilaksanakan setahun sekali ini diadopsi dari Grup Astra yang dibawa oleh
pendiri utama Adira T. P. Rachmat. Hanya saja, TQM Astra lebih diterapkan di bidang
manufaktur, sedangkan Adira menangani bidang servis, yakni merubah orang dalam
bekerja.
"Tanpa TQM, BSc akan berjalan lambat,” tegas Dicky. Tahun ini, tema TQM adalah QCP
(Quality Control Program) dan SS (Suggestion System) yang ditujukan untuk level wilayah
(Area Manager). Setiap usulan inovasi yang masuk dan GKM-nya juara maka si pengusul
mendapatkan 15% dari total hadiah yang diraih GKM itu. Tahun 2006, TQM diterapkan
untuk level lebih tinggi (Kepala Divisi) dengan tema Quantum Leap Project.
Hasil serangkaian program perubahan tersebut berbuah manis. Jumlah karyawan Adira
meningkat hampir dua kali lipat (menjadi 10.000 orang lebih) dibandingkan 2003.
Penjualan 2004 meningkat 55% menjadi Rp 1,013 triliun dan laba naik 93,97% menjadi
Rp 301,3 miliar. “Tahun 2004 benar-benar tahun luar biasa buat Adira,” tegas CEO Adira
Finance Stanley Setia Atmadja. Bank Danamon pun kepincut membeli 75% saham Adira
dengan nilai sekitar Rp 1 triliun cukup dengan mengaudit aspek manajemen SDM. “Ini
bukti bahwa SDM Adira sangat dihargai pasar,” tambah Dicky lagi.
AAM, Melaju dengan BSc
No. 16 - Juli 2005
PT Anugrah Argon Medica (AAM) menjadi pionir dan contoh sukses di lingkungan Grup
Dexa Medica (DXG) dalam menerapkan Balanced Scorecard (BSc).
AAM yang bergerak dalam bidang distribusi obat-obatan dan alat kesehatan, merupakan
salah satu anak perusahaan DXG. AAM dalam beberapa tahun terakhir berkembang
sangat pesat, bahkan sejak akhir tahun 2003 sampai sekarang telah berhasil menjadi
pemimpin pasar distributor produk farmasi etikal di Indonesia dengan menguasai market
share 15%. Agresivitas dan tingkat pertumbuhan yang pesat ini didukung oleh SDM yang
kompeten serta sistem kerja yang baik, di antaranya adalah implementasi konsep BSc.
Budaya inovasi dan organisasi yang terus belajar ini tercermin dari sikap dan keyakinan
Managing Director AAM, Erwin Tenggono, yang selalu haus dengan konsep-konsep dan
tantangan baru.
“Di sini, konsep-konsep baru diadopsi dengan cepat,” aku Epivana, HR Manager AAM.
Setiap ada hal baru, selain dengan membaca buku, biasanya ada saja wakil AAM yang
dikirim ke seminar, training, workshop, dan sebagainya. Setelah kembali ke perusahaan,
mereka yang dikirim itu diminta menularkan pengetahuan mereka kepada yang lain dan
perusahaan mencoba menerapkannya.
Salah satu konsep yang pernah menarik perhatian Erwin adalah BSc. Sekitar tahun 1999,
perusahaan ini mulai menjajaki implementasi BSc. Saat itu AAM mengadopsi konsep BSc
untuk menyusun KPI (Key Performance Indicator) di level Operasional Cabang dengan
memperkenalkan sistem pengukuran kinerja berbasis KPI dengan 5 perspektif utama:
Financial, Customer, Principal, Internal Process, dan Learning & Growth. AAM
menambahkan satu perspektif baru yaitu Principal karena karakteristik bisnis perusahaan
distribusi menuntut sisi Principal (supplier) juga harus dikelola sebaik mengelola sisi
customer atau pelanggan. Sebab, AAM menganggap Principal sebagai mitra bisnis sama
seperti pelanggan.
Konsep ini terus dikembangkan, hingga di tahun 2001-2002, BSc mulai dibawa ke level
kantor pusat, diadopsi sebagai kerangka untuk menyusun strategi perusahaan,
departemen dan individu (para manajer). Konsep ini direspon sangat positif oleh para
manajer kantor pusat karena mendorong bekerja berdasarkan proses horisontal, tidak
hanya berorientasi ke hasil saja tapi juga proses; tidak hanya jangka pendek saja tapi
juga jangka panjang. Hanya saja pada saat itu, Scorecard individu itu belum dikaitkan
dengan sistem reward dari perusahaan, karena memang target utamanya adalah “Lebih
untuk mengubah paradigma karyawan tentang kinerja organisasi, bahwa ada hubungan
sebab-akibat dalam mencapai suatu sasaran kerja,” tambahnya.
Saat bergabung dengan AAM 2002, Epivana diharuskan belajar banyak tentang BSc
karena perusahaan ingin melangkah lebih maju lagi. Erwin berharap dalam waktu dekat,
BSc harus dikaitkan dengan sistem reward dari perusahaan. AAM sempat beberapa kali
mengundang konsultan BSc dan HR untuk belajar lebih jauh mengenai implementasi BSc
dan kaitannya dengan sistem reward.
Awal 2003, AAM mengadakan workshop internal BSc yang dibawakan sendiri oleh MD
Erwin Tenggono dan pesertanya terdiri dari seluruh manajer. AAM juga mengundang
pembicara dari perusahaan lain yang telah menjalankan program BSc untuk berbagi
pengalaman. Pada kesempatan yang sama, seluruh peserta kemudian mendiskusikan
secara intensif tentang Company Scorecard berikut strategic objective dan KPI-nya. Usai
workshop, Company Scorecard itu diturunkan menjadi Department Scorecard dan
Individual Scorecard.
Tahun 2003 itu juga, perusahaan dengan 1.400 karyawan ini mulai uji coba mengaitkan
sistem reward dengan pencapaian scorecard baik itu di tingkat perusahaan, departemen
sampai individu (manajer). Di pertengahan dan penghujung tahun dilakukan evaluasi
kinerja secara menyeluruh sehingga didapatkan besaran insentif / bonus bagi setiap
manajer. Hanya saja, hasilnya tidak terlalu memuaskan perusahaan. Beberapa manajer
mendapatkan bonus lumayan, padahal kinerja dirinya maupun perusahaan biasa-biasa
saja. Perusahaan menilai ini adalah proses belajar, scorecard dan KPI serta sistem reward
yang dibuat saat itu dianggap belum cukup tajam dan perlu terus disempurnakan di
tahun berikutnya.
Penilaian dan evaluasi terhadap pencapaian Company Scorecard dan Department
Scorecard ini dilakukan secara rutin kuartalan dan terbuka, di mana seluruh manajer
dikumpulkan dan pada saat itu dipresentasikan pencapaian Company Scorecard dan
Department Scorecard. Informasi ini membuat Kepala Departmen dan para Manajer
secara langsung mengetahui area-area perbaikan yang perlu dilakukan. Penyampaian
secara terbuka ini juga membuat setiap manajer bisa mengetahui perkiraan besaran
insentif / bonus yang bisa diperoleh di akhir tahun karena kinerja yang diciptakannya. Di
tahun 2004, evaluasi atas perolehan Company Scorecard dan Department Scorecard
konsisten dilakukan secara rutin setiap bulan.
Bagian tersulit yang dialami adalah saat membentuk KPI di perspektif Learning�&
Growth. Banyak program pengembangan yang dilakukan perusahaan dalam perspektif
Learning & Growth.
Kebetulan sejak tahun 2000, perusahaan sudah menerapkan manajemen berbasis
kompetensi (CBHRM), khususnya untuk bidang training dan pengembangan. Training
diberikan berdasarkan analisis gap kompetensi. AAM mencoba mengaitkan konsep
CBHRH ini dengan BSc untuk perspektif Learning & Growth-nya. Kegiatan asesmen
kompetensi membutuhkan effort yang besar dan komitmen dari semua pihak, maka
dengan dibantu oleh para manajer dan kepala cabang, tim HR melakukan asesmen
terhadap ratusan karyawan dengan metode targeted selection. Hasil asesmen ini
kemudian dikomunikasikan kepada atasan bagian yang terkait. Tahun berikutnya HR
kembali mengkomunikasikan kegiatan dan hasil pengisian gap kompetensi yang telah
dilakukan. Namun hasil pengukuran akhirnya tetap tidak mudah, sehingga AAM tetap
mengalami kesulitan untuk mengukur kinerja di perspektif Learning & Growth-nya.
Hingga pada tahun 2003 Kaplan & Norton mengeluarkan buku terbarunya tentang
Strategy Map, baru AAM berhasil mendapatkan kerangka yang lebih sempurna untuk
mengukur kinerja Learning & Growth-nya melalui 3 KPI utama: organization readiness,
human capital readiness dan information system readiness. Di sini AAM berhasil
menggabungkan konsep CBHRM dengan BSc, karena human capital readiness harus
diukur dengan konsep CBHRM dan AAM telah cukup lama mengimplementasikan itu.
Keberhasilan AAM dalam Implementasi BSc, diakui oleh top manajemen DXG telah
mendorong kemajuan bisnis yang pesat di AAM. Oleh sebab itu sejak tahun 2004
manajemen DXG membawa kesuksesan implementasi BSc di AAM ke anak perusahaan
DXG lainnya seperti PT Dexa Medica dan PT Ferron Par Pharmaceutical. Tahap berikutnya
adalah DXG sedang mengintegrasikan BSc di semua anak perusahaannya melalui
bantuan sistem informasi yang terintegrasi agar di level Group pun bisa mengakses BSc
semua anak perusahaannya.
Pelajaran yang didapat adalah implementasi BSc bukanlah hanya sebuah proyek
implementasi sistem. Implementasi BSc adalah suatu perubahan, baik perubahan
paradigma kerja, perubahan proses dan sistem kerja. Sistem hanyalah sebuah tools saja,
berhasil atau tidak sangat tergantung kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Komitmen, kepemimpinan, pembelajaran, dan konsistensi adalah kunci keberhasilan
implementasi BSc di AAM.
PT Capsugel Indonesia, Percontohan dari Indonesia
No. 16 - Juli 2005
Anak perusahaan farmasi dunia Pfizer Inc. ini mulai menerapkan Balanced Scorecard
(BSc) tahun 2002 dan merupakan pionir penerapan BSc di seluruh divisi Capsugel di
dunia. Produsen kapsul terbesar di Indonesia itu menikmati kinerja bisnis yang
membanggakan tahun 2004.
Capsugel merupakan divisi dari raksasa farmasi Pfizer yang memproduksi kapsul.
Perusahaan yang berkantor pusat di Morris Plain, Amerika (dekat New York) ini memiliki
sekitar 8 pabrik di seluruh dunia. Di Asia, pabrik Capsugel ada di Bogor (Indonesia),
Ayutthaya (Thailand), Suzhou (Cina), dan Sagamihara (jepang).
PT Capsugel Indonesia berdiri tahun 1996 setelah Pfizer mengakuisisi satu dari dua
produsen kapsul di Indonesia. Kapsul produksi perusahaan terbuat dari gelatin tulang sapi
yang sampai saat ini masih diimpor. Perusahaan memiliki 7 lini mesin produksi kapsul
padat (hard capsule) dan 10 mesin pencetakan kapsul dengan kapasitas total 4,6 miliar
kapsul per tahun. Kapasitas produksi tersebut dimanfaatkan secara penuh dengan
operasi yang berjalan 3 shift setiap hari dan 7 hari dalam seminggu.
Kapsul tersebut dipasarkan kepada perusahaan farmasi, produsen suplemen diet, dan
perusahaan jamu. Tahun 2005 perusahaan memasarkan 2,438 miliar kapsul untuk pasar
domestik dan 1,774 miliar kapsul untuk pasar ekspor. Secara umum, menurut GM/CPO
Capsugel Indonesia Eddy Susanto Gunawan, porsi pasar domestik dan ekspor hampir
seimbang. Dewasa ini, Capsugel Indonesia menguasai hampir 70% pangsa pasar kapsul
di Indonesia.
Keinginan Capsugel Indonesia untuk menerapkan BSc berawal dari keikutsertaan GM/CEO
dan sejumlah personil kunci perusahaan dalam workshop yang diselenggarakan OTI,
salah satu konsultan BSc terkemuka di Asia. Usai workshop, ujar Finance & Accounting
Manager Bernard Hananto, ide implementasi itu bergulir. Rencana implementasi BSC
telah disampaikan ke kantor regional Capsugel, dan mereka mendukung penuh serta
meminta Capsugel Indonesia sebagai proyek percontohan. Capsugel sendiri belum
menerapkan sistem BSc. Dibantu OTI, implementasi mulai dilakukan pertengahan 2002.
Implementasinya dilakukan oleh sebuah Komite BSc yang langsung dikoordinasikan
GM/CEO Capsugel Indonesia, dalam hal ini Eddy Susanto Gunawan yang menggantikan
GM/CEO sebelumnya pada awal 2002. Komite ini beranggotakan berbagai perwakilan dari
setiap bagian perusahaan.
Training BSc dilaksanakan dengan peserta mulai dari direksi hingga level engineer.
Langkah pertama adalah menyusun Strategic Map perusahaan. Kendati bagian dari
perusahaan global, perusahaan dimungkinkan menyusun Strategic Map tersendiri dengan
mengacu pada strategi bisnis Capsugel global. Berikutnya disusun KPI (Key Performance
Indicator) hingga level bagian (departemen). Karena KPI disusun bersama-sama dengan
konsultan dan hal ini sesuatu yang baru di perusahaan, maka KPI pada tahun 2002 itu
direvisi tahun 2003 dan seterusnya. Sebab, banyak KPI yang diajukan tidak begitu
relevan, sulit dicapai, dan sulit pula diukur. Baru tahun 2004, KPI Capsugel Indonesia
tersusun secara mantap. Jumlahnya mencapai ratusan. “Mungkin karena kami sudah
semakin pintar,” ungkap Eddy.
Bila pada sebagian perusahaan KPI tersebut masih diturunkan ke level individu, Capsugel
Indonesia merasa hal itu tidak diperlukan. Sebab utamanya, lanjut Eddy, semua
pekerjaan di sini dijalankan secara tim.
Dalam menyusun kriteria KPI, ada beberapa patokan yang harus dipenuhi. Misalnya, KPI
tersebut haruslah kritikal untuk mencapai tujuan dan strategi perusahaan, cukup bisa
diukur secara adil, fokus pada layanan, kualitas, produktivitas, dan efisiensi, mengandung
unsur tantangan, dan bukanlah upaya perseorangan. Atas dasar itu, tahun 2005 ini
perusahaan menetapkan KPI sebagai berikut: jumlah stok yang tidak bergerak (sleeping
stock), ketepatan waktu pengiriman, ketepatan waktu layanan, total komplain, waktu
dalam mengatasi komplain, barang cacat (disebut foreign), total kapsul yang dihasilkan,
ratio penggunaan gelatin, penghematan pemakaian energi dan air, dan penghematan
lainnya.
KPI di atas menjadi dasar bagi golongan 4-7 dari bagian produksi (kecuali penjualan dan
pemasaran) untuk penetapan insentif bonus yang mulai diberlakukan tahun 2005.
Sedangkan insentif KPI untuk bagian penjualan dan pemasaran ditetapkan tersendiri.
Meski demikian, Eddy dan Bernard menukaskan bahwa pada dasarnya kedua kelompok
ini saling terkait satu sama lain. “Tidak mungkin diberikan insentif kepada bagian
produksi bila ternyata penjualan malah menurun,” ungkap mereka.
Penerapan insentif berdasarkan KPI merupakan aplikasi cukup maju dalam kerangka BSc.
Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan sumberdaya manusia (SDM), insentif
ini sangat bermanfaat dalam memacu peningkatan kinerja seluruh karyawan. Mulai 2004,
Capsugel Indonesia telah melakukan survei kepada seluruh karyawannya – yang
berjumlah 128 orang ditambah tenaga tidak tetap menjadi 150-an orang – dengan
menanyakan apakah atasan mereka sudah melakukan pengembangan terhadap
kompetensi bawahan. Hasil dari survei yang dilakukan khusus terhadap pejabat level
supervisor ke atas ini menjadi dasar dalam membuat Development Plan SDM.
Perusahaan telah menyusun kompetensi bagi seluruh karyawan dan melakukan analisis
kebutuhan training berdasarkan gap kompetensi yang ada. Sejak tahun 2005, Capsugel
Indonesia telah berhasil menyusun matriks training yang menjadi panduan bagi setiap
orang. Matriks training ini disusun oleh sebuah tim manajemen senior dari berbagai
fungsi. Merekalah yang menyusun materi dan agenda training, baik yang bersifat hard
competencies maupun soft competencies. Keberadaan matriks itu jelas sangat
bermanfaat, karena selama ini program training dilakukan tanpa arah dan tujuan yang
jelas. Setiap 6 bulan matriks tersebut diperbarui sesuai dengan perkembangan
lingkungan.
Matriks training menjelaskan tentang berbagai modul training yang disediakan
perusahaan atau harus diambil karyawan. Keseluruhan modul training mencapai hampir
200 buah. Setiap tahunnya, menurut Bernard, Capsugel Indonesia mengeluarkan biaya
sekitar 2% dari total penjualan perusahaan. Rata-rata setiap karyawan mengikuti
minimum 4 program training setiap tahunnya. Hanya saja, ia menambahkan, evaluasi
program training tidak perlu sampai pada tahap pengukuran ROI (Return on Investment).
Pengembangan SDM Capsugel dilakukan dengan menyelaraskannya dengan strategi
perusahaan. Setiap tahun strategi perusahaan selalu diperbarui, kendati perubahan
strategi tidak akan selalu besar. Strategi perusahaan disusun berdasarkan visi untuk
menjadi produsen kapsul terbaik dalam mutu maupun biaya. Tahun 2005 ini, Capsugel
Indonesia memiliki 6 strategi bisnis, yang pada dasarnya fokus dalam mengembangkan
pasar kapsul (padat maupun cair) dan meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan.
Salah satu strategi bisnis tersebut juga meningkatkan pengembangan SDM dan
manajemen karyawan potensial (talent management).
Lantas sejauh mana implementasi BSc berpengaruh kepada kinerja perusahaan? Setelah
menerapkan BSc lebih sempurna 2004, kinerja perusahaan 2004 meningkat sangat
menggembirakan di berbagai bidang. Penjualan tumbuh sekitar 20% dan kembali
ke level pra krisis ekonomi, profitabilitas meningkat, dan pangsa pasar juga naik. Kinerja
2004 terbaik dalam sejarah perusahaan maupun di kawasan Asia. Tak hanya itu. Survei
Engagement Index yang dilaksanakan Pfizer terhadap SDM menempatkan Capsugel
Indonesia di posisi teratas di kawasan Asia.
Eddy berharap kinerja tersebut terus berhasil ditingkatkan dalam jangka lama. "Manfaat
utama dari implementasi BSc adalah untuk jangka lebih panjang. Cara berpikir kita
menjadi benar-benar strategis. Selain memikirkan strategi setiap tahun, kita juga harus
punya pemikiran tentang perusahaan 3-5 tahun ke depan,” ungkapnya. Berkat bantuan
software BSc PB views yang diterapkan sejak awal, Capsugel Indonesia dengan mudah
setiap saat memonitor pencapaian target berdasarkan KPI yang ada. "Kami tinggal fokus
menangani indikator yang masih berwarna merah,” Eddy menambahkan.
Terobosan Besar Katsushiro Indonesia
No. 16 - Juli 2005
Tak banyak orang yang tahu perusahaan yang satu ini. Tetapi, bagi pelaku bisnis alat
berat kelas dunia macam Komatsu, Caterpillar, Sakai, dan Hitachi, Katsushiro adalah
mitra bisnis penting. PT Katsushiro Indonesia merupakan produsen komponen peralatan
berat seperti excavator, dump truck, dozer, wheel loader, dan sejenisnya. Perusahaan
beroperasi tahun 1996 dengan modal disetor US,5 juta. Katsushiro sendiri adalah induk
dari anak perusahaan Katsushiro di sejumlah negara. Sebelumnya, pemegang saham
Katsushiro Indonesia ada beberapa, termasuk Komatsu Ltd. dan Mitsubishi Steel Co.
Saham pemegang saham lainnya itu kemudian dibeli oleh Katsushiro, sehingga
Katsushiro menguasai hampir 100% saham perusahaan.
Perusahaan memproduksi 4.500 ton/bulan dengan total ekspor mencapai 48%, terutama
memasok kebutuhan Komatsu. Sebagai pemain tunggal di pasar domestik, Katsushiro
Indonesia lokal karena belum semua komponen dibuat di pasar lokal. Sempat mencatat
rugi kurs tahun 1998, perusahaan kini berhasil bangkit dengan meraih penjualan sekitar
Rp 345 miliar tahun 2004 – melonjak hampir dua kali lipat. Caterpillar – pesaing utama
Komatsu – kini juga sedang menjajaki kemungkinan menjadikan Katsushiro Indonesia
sebagai vendor global-nya.
Sebagai perusahaan keluarga dari sono-nya (Jepang, red), pemilik Katsushiro dikenal
sangat konservatif dan tidak banyak menerapkan sistem manajemen modern. Sadar
persaingan begitu kompetitif, Budi Setyo Utomo (Direktur perusahaan waktu itu dan kini
menjabat Wakil Presiden Direktur) mengusulkan perusahaan untuk mengambil sertikasi
ISO 9002. Sempat ditentang petinggi Katsushiro, melalui perjuangan yang gigih dan
butuh waktu, manajemen akhirnya sepakat. Katsushiro Indonesia memperoleh sertifikat
IS0 9002 tahun 2000. Inilah pertama kali perusahaan Katsushiro secara global mengambil
program I SO 9002.
“Dengan adanya ISO 9002, kami berhasil masuk ke mana-mana,” tutur Setyo Budi Utomo
– dipanggil Bustom – yang lama berkarir di Grup Astra itu. Penjualan pun meningkat.
Pemegang saham dari Jepang pun senang sehingga memutuskan untuk menerapkan ISO
9002 plus ISO 14001 untuk kantor pusat di Jepang. Katsushiro Indonesia baru berencana
menerapkan ISO 14001.
Peraih gelar M. Agr dan MM yang juga menyenangi ilmu manajemen ini belum puas.
Setelah meraih ISO penjualan terus naik, Bustom – begitu ia sering dipanggil – diberi
kepercayaan lebih besar mengelola perusahaan. Sebagai orang yang kenyang dengan
teori dan praktik manajemen, dia melihat perusahaannya belum memiliki visi, misi, dan
strategi bisnis yang mantap. Juga ada gap yang lebar antara orang Jepang dengan orang
Indonesia maupun antara atasan dan bawahan. Maklum, mayoritas dari sekitar 500-an
karyawan saat ini hanya lulus SLTA. Sempat mengikuti seminar tentang BSc tahun 2000,
Bustom yang tidak puas mengundang OTI untuk menjadi mitra melakukan perubahan.
Dari penjelasan konsultan, ia merasa yakin sepenuhnya bahwa inilah sistem yang selama
ini dicarinya.
Perusahaan kemudian melakukan training BSc untuk memberi pemahaman bagi
karyawan sekaligus mendorong karyawan untuk berpikir dalam level lebih strategik. Itu
terjadi mulai Juni 2001. Sebagai pimpinan senior, Bustom kemudian menyusun visi, misi,
dan strategi perusahaan – yang selama ini nyaris tidak ada.
“Kebayang nggak, saya harus membuat visi dan misi perusahaan dari perusahaan milik
Jepang. Karena menunggu dari mereka jelas tidak mungkin,” ungkapnya sambil
tersenyum. Lahirlah visi Katsushiro: menjadi perusahaan penghasil produk dari pelat baja
terbesar di Indonesia (dan kini diubah menjadi Asia) dengan mengoperasikan mesin dan
peralatan berteknologi tinggi dan pelayanan bertaraf internasional. Visi itu kemudian
dijabarkan ke dalam misi dan strategi perusahaan.
Tersedianya dukungan bahan baku pelat baja dari Mitsubishi menjadi modal sangat
penting bagi Katsushiro Indonesia untuk mewujudkan visi tersebut. Mengandalkan
pasokan dari produsen lokal macam Krakatau Steel dan Gunung Medan dinilai tidak
mungkin. Perusahaan pun melakukan proses penyelarasan dan pengembangan SDM
dengan menata jajaran manajer sesuai konsep Meyer-Brigs dan membangun sistem
informasi SDM (HRIS). Berkat BSc, perusahaan lebih mudah mendapatkan informasi
kinerja karena sejak awal mereka sudah memakai software pb views. “Kami pun lebih
mudah membuat prioritas penanganan,” tutur pria yang juga menjabat Ketua Umum
Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) tersebut.
KPI yang diterapkan perusahaan masih untuk level korporat, belum sampai ke individu. Di
luar training keahlian, perusahaan berencana melaksanakan training terhadap jajaran
bawah tentang pengetahuan bisnis di luar bidang mereka sendiri. Tujuannya agar
karyawan tahu kaitan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya sehingga selalu
bertindak dalam perspektif korporat. Setiap bulan diadakan upacara yang memaparkan
pencapaian kinerja perusahaan. Upaya tersebut dibarengi dengan proses komputerisasi,
baik dengan menyediakan PC di setiap unit maupun implementasi software ERP
(Enterprise Resources Planning) bernama Prolnt.
Setelah berjalan beberapa tahun, diakui Bustom, kinerja perusahaan terus meningkat.
Mayoritas kinerja perusahaan sudah berwarna hijau, kendati dari sisi customer
perspective masih banyak merahnya. Upaya training untuk memperluas pengetahuan
karyawan di atas dimaksudkan pula untuk memperbaiki kinerja merah itu. “Sebab,
kepuasan pelanggan tidak hanya ditentukan oleh aparat pemasaran,” tuturnya mantap.
Implementasi Balance Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Di balik prestasi bisnis Unilever Indonesia yang begitu mengkilap dalam beberapa tahun
terakhir, implementasi konsep Balanced Scorecard (BSc) secara totalitas menjadi salah
satu kuncinya. Key Performance Indicator (KPI) diturunkan hingga level individu.
Bagaimana prosesnya?
Unilever Indonesia merupakan salah satu anak perusahaan raksasa produk konsumen
Unilever yang patut dibanggakan. Secara finansial hingga 2004, Unilever Indonesia
berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan dua digit selama 6 tahun berturut-turut.
Angka penjualan tumbuh sebesar 10,6% menjadi Rp 8,985 triliun; laba usaha tumbuh
14,8% menjadi Rp 2,039 triliun; laba bersih tumbuh sebesar 13,2% menjadi Rp 1,468
triliun. Dengan kurs sekitar Rp 9.000 per dolar Amerika, maka Unilever Indonesia bisa
dikatakan perusahaan satu miliar dolar.
Strategi bisnis adalah awal dari seluruh program yang dijalankan Unilever. Hal ini sejalan
dengan prinsip dasar dari sistem Balanced Scorecard (BSc), yang mulai diterapkan
Unilever Indonesia sejak tahun 2000. Implementasi sistem BSc pada mulanya dibantu
oleh konsultan. Sebelum tahun 2000, menurut HR Director Unilever Indonesia Josef
Bataona, perusahaan menerapkan model yang berbeda.
Pada era sebelum tahun 2000, perusahaan memiliki buku rencana bisnis tahunan yang
cukup tebal dan sampulnya dibuat glossy agar kelihatan lebih mewah. Materi buku
tersebut tidak mudah untuk dicerna dan dibaca, di samping tidak praktis. Manajemen
kemudian berpikir mencari pengganti buku berisi strategi itu dalam bentuk yang lebih
handy, namun efektif untuk selalu mengingatkan seluruh pihak tentang komitmen
mereka tahun itu. Pemikiran ini mendapatkan jalan saat perusahaan memutuskan untuk
menerapkan sistem BSc. “Setelah menjalankan beberapa tahun, kami menilai model BSc
sangat bagus dalam menunjang kinerja perusahaan,” tegasnya.
Unilever Indonesia tidak menyebut konsep ini sebagai BSc, melainkan dengan istilah lain:
Balanced Business Strategy (BBS) dan Balanced Business Plan (BBP). BBS dan BBP
disusun atas dasar sistem nilai utama perusahaan, yaitu fokus untuk melayani
pelanggan, konsumen, dan masyarakat. BBS merupakan strategi bisnis dalam periode
lebih panjang (3-5 tahun). la dijabarkan menjadi rencana bisnis tahunan dalam bentuk
BBP.
Dari level korporat, BBS dan BBP itu diturunkan ke level divisi, departemen hingga
individu. Muaranya adalah rencana implementasi. Proses penyusunan BBS dan BBP
dilakukan secara seimbang: tidak hanya top-down, tetapi juga bottom-up. Untuk
mendapatkan komitmen dan rasa memiliki karyawan, perusahaan mengundang
partisipasi seluruh karyawan untuk memberikan masukan. Masukan tersebut dibawa ke
level yang lebih tinggi, hingga ke level direksi (Board).
Di level Board, yang terdiri dari seluruh direksi dan 1-2 manajer kunci senior dari masing-
masing divisi, secara intens digodok BBS dan BBP – sebagian inputnya juga berasal dari
bawah. Wujud dari BBS dan BBP itu sesungguhnya cukup sederhana, karena cukup satu
lembar kertas saja. Sebagai rencana tahunan, BBP dibagi dalam 4 kolom, yaitu
pemasaran, operasional, SDM & organisasi, dan keuangan. Penyusunan BBP dimulai
dengan menetapkan rencana bisnis di bidang pemasaran secara bersama-sama. Setelah
disepakati, lantas dibicarakan rencana bisnis dari sisi operasional untuk menunjang
pencapaian rencana bisnis pemasaran tersebut. Untuk memungkinkan pemasaran
bertumbuh sesuai rencana bisnis dan operasional yang mendukung, maka perusahaan
mendefinisikan rencana bisnis dari kolom SDM dan organisasi. Semua aktivitas ini pada
akhirnya bermuara pada kolom keuangan.
Di setiap kolom ditetapkan pula KPI-nya. Dalam kolom pemasaran, misalnya, target
pertumbuhannya sangat jelas dalam persen. Di dalam kolom operasional, antara lain,
tertera persen kenaikan level pelayanan. Sementara di kolom SDM dan organisasi,
umpamanya dijelaskan kalau perusahaan membutuhkan kompetensi baru, maka divisi ini
menegaskan kapan harus tersedia. Hasilnya benar-benar hanya satu lembar, paling tidak
untuk level korporat dan divisi, tetapi satu lembar yang sangat penting.
Tapi, jangan dikira strategi bisnis yang serius tersebut ditampilkan dengan kata-kata yang
serius pula. Unilever mencoba menggunakan bahasa yang fun, fancy, dan sejenisnya.
“Jangan sampai bahasa strategi itu terlalu rumit dan berat sehingga susah dipahami,”
ungkap Presiden Direktur Unilever Indonesia Tbk. Maurits Lalisang, suatu kali.
Contohnya, di bidang pemasaran strategi Unilever adalah delight consumer everywhere
and everyday, nurture with tender &� loving care ‘infant' business, dan seterusnya. Di
divisi SDM dan organisasi, temanya empower our people and community. Di sisi lain,
setiap tahun karyawan membuat proyek kegiatan dengan nama yang aneh-aneh.
“Setelah ditanya, ternyata itu nama kampung kelahiran pemimpin kegiatan,” kata Josef
sambil tersenyum.
Proses penyusunan BBS dan BBP dibuat dengan memberikan kebebasan kepada level
yang lebih bawah dalam menentukan how, sementara level lebih atas hanya menentukan
aspek what saja. Proses seperti ini, tutur Josef, merangsang karyawan untuk berpikir
secara aktif dan kreatif sekaligus untuk menumbuhkan kepemilikan atas setiap strategi
yang telah diputuskan. Toh pada akhirnya strategi tersebut harus diterapkan secara
ekselen.
Karyawan akan berpikir tidak hanya memenuhi individual plan, tetapi juga berpikir dalam
konteks korporat. Kalau bisa membantu menjalankan annual plan level lebih tinggi, maka
mereka bisa berkontribusi untuk rencana divisi maupun korporat. Hal ini menjadikan
kerjasama antar divisi pun berjalan dengan baik. Masing-masing individu dan bagian
saling mengingatkan dan mendukung saat implementasi strategi bisnis.
Unilever Indonesia memonitor pencapaian KPI dengan menggunakan sistem traffic light.
Selain warna merah, ada warna kuning (sebagian tercapai, sebagian belum) dan warna
hijau, yang berarti tercapai. Dalam setiap rapat direksi yang berlangsung setiap bulan,
mereka tinggal melihat wama tersebut yang muncul dalam satu lembar BBS dan BBP.
Tidak perlu lagi bicara angka, karena warna tersebut mencerminkan hal sesungguhnya.
Perhatian direksi difokuskan pada strategi memperbaiki KPI yang masih berwarna merah,
sedangkan yang lain dianggap sudah berjalan. Begitulah seterusnya agar KPI berwarna
merah berubah menjadi kuning dan hijau.
Uniknya, pencapaian target tersebut juga bisa dimonitor oleh seluruh karyawan melalui
layar 2 buah TV yang berada di setiap lantai gedung kantor pusat Unilever di Jakarta.
Setiap kali mereka bisa melihat pencapaian target mingguan dari sisi penjualan berbagai
divisi pemasaran (home care, personal care, foods, dan ice cream). Strategi komunikasi
ini bertujuan untuk membangun kepedulian dan semangat di antara para karyawan.
“Jadi, kalau manajemen datang kepada mereka untuk minta bantuan, mereka pun
mengerti dan memberikan dukungan karena hasilnya bisa mereka lihat,” tegas Josef.
Evaluasi pencapaian target KPI dikoordinir oleh Corporate Strategic Planner yang berada
di bawah CFO (Chief Financial Officer). Dia berhubungan dengan BBP Champion yang
menjadi orang penghubung dan koordinator dari setiap divisi. Para champion ditentukan
oleh Direksi dari divisi masing-masing, yaitu individu yang berada satu level di bawah
direksi dengan kemampuan fasilitator dan ko-munikator yang baik. “Mereka datang ke
setiap bagian untuk mengevaluasi kemajuan pencapaian target,” tambah Mia Korompis,
External Public Relations Manager Unilever lndonesia. Kecuali itu, mereka ini bertugas
memfasilitasi berbagai rapat atau diskusi membahas BBS dan BBP di divisi yang berbeda
(bukan di divisinya sendiri). Untuk menjadi champion, mereka telah diberi training
terlebih dahulu.
Dalam perspektif learning and growth, serangkaian proses dilakukan Unilever secara
konsisten. Sebagian besar kegiatan pembelajaran dan pertumbuhan dilaksanakan sendiri
oleh Unilever, khususnya melalui Unilever Learning Center di kawasan Megamendung,
Puncak. Lembaga ini merupakan pusat training Unilever di kawasan Asia bersama-sama
dengan India.
Kecuali training bersifat kompetensi teknis, Unilever mencoba menyeimbangkan pula
antara hard competencies dengan soft competencies. Umpamanya, perusahaan
mengembangkan mentalitas "make it mine” – bahwa setiap program implementasi
adalah tanggung jawab setiap orang dan tidak mengandalkan orang lain. Ada lagi
program “can do”, yaitu mengembangkan mentalitas bahwa kita bisa.
Hasil dari implementasi BSc di Unilever Indonesia tidak hanya tercermin dari angka-angka
pencapaian finansial (bottom line) seperti tertera di awal tulisan ini. Beberapa kali
Unilever Indonesia dinilai terbaik oleh Unilever global dalam kreativitas people strategy
dan diundang untuk berbagi sukses dengan seluruh jajaran Unilever.
Robby Djohan : Anak Emas dan Kepemimpinannya
No. 15 - Juni 2005
Di usia 67 tahun, Robby Djohan tetap menjadi figur menarik untuk diajak berbincang
tentang dunia korporasi dan manajemen di Indonesia. Ia adalah eksekutif yang kenyang
pengalaman memimpin: Citibank, Bank Niaga, Garuda Indonesia, dan Bank Mandiri. Tidak
semua perusahaan hasil sentuhannya langsung langsung mengkilap kinerjanya, tetapi
Robby adalah mentor dan pengkader yang baik.
Anak didiknya masih tetap berkibar di kancah bisnis nasional di tengah berbagai
perubahan. Sebut saja Agus Martowardojo, yang dipercaya menjadi Direktur Utama Bank
Mandiri, Gunarni Soeworo, Komisaris Utama Bank Mandiri, Emirsyah Satar, dipercaya
menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia, Arwin Rasyid, yang disebut-sebut akan
menempati pos barunya sebagai Direktur Utama Indosat.
Selain menjadi investor bagi sejumlah bisnis yang menurutnya memiliki return menarik
dan aktif dalam sejumlah aktivitas sosial, Robby juga mengajar di FE Ul dua kali
seminggu – termasuk pada program pascasarjana. Karena belum bergelar S2 dan S3,
Robby tetap bisa mengajar, kendati tidak boleh menguji. Tak berencana mengambil
Doktor? “Itu soal yang tidak terlalu sulit. Hanya saja, saya ingin membuat disertasi dari
hasil riset yang mendalam. Dan itu yang repot dan butuh waktu,” tukasnya. la pun masih
punya keinginan untuk menerbitkan buku kedua, setelah buku pertama, beredar
beberapa waktu lalu.
Di sela-sela seminar “Revitalisasi SDM Korporasi” yang diselenggarakan Inti Pesan dalam
rangka HUT ke-45 FE Undip bulan lalu, Human Capital berbincang-bincang tentang “anak-
anak emas”nya, pandangannya tentang leadership, dan kedekatannya dengan Menneg
BUMN Sugiharto. Berikut petikannya:
Agus Martowardojo diangkat menjadi Direktur Utama Bank Mandiri. Apakah karena
usulan Anda?
Saya memang suka mempromosikan eksekutif yang baik, termasuk kepada Menneg
BUMN. Saya tahu persis kualitas dan integritas Agus dan bekas anak buah saya lainnya,
sehingga saya berkewajiban menyampaikan apa yang saya ketahui dan yakini itu kepada
Menneg BUMN. Ini sebatas usulan, supaya dalam menetapkan kandidat untuk jabatan
eksekutif pihak pengambil keputusan punya referensi. Tentunya pihak pemerintah
sebagai pemegang saham bisa saja tidak setuju dengan usulan tersebut.
Agus dan beberapa eksekutif lainnya sering disebut sebagai “Anak Emas” Robby Djohan.
Benarkah?
Disebut ‘Anak Emas” bisa saja. Mereka telah bekerja dan berhubungan dengan saya
sejak lama sehingga saya tahu persis tentang mereka. Kadang-kadang mereka masih
meminta nasehat dan pandangan saya tentang berbagai hal kendati mereka sudah
menjadi eksekutif di mana-mana. Agus, misalnya, adalah ahli restrukturisasi perbankan,
dan sangat cocok memimpin Bank Mandiri yang masih perlu perbaikan. Apalagi ia bekas
orang dalam Bank Mandiri, yang mengerti permasalahan Bank Mandiri dan solusinya.
Saat ini Bank Mandiri memang membutuhkan orang seperti Agus, tapi tidak boleh lama-
lama di sana.
Maksudnya?
Setiap periode membutuhkan kepemimpinan yang berbeda. Bank Mandiri dalam periode
sekarang lagi membutuhkan Agus, tetapi maksimal cukup 5 tahun saja di posisi itu. Kalau
tidak, muncul zona kenyamanan yang membuat hidup jadi kurang menantang dan
keenakan. Masih banyak perusahaan lain yang butuh sentuhan Agus dalam periode
berikutnya.
Anda dikenal dekat dengan Menneg BUMN Sugiharto, dan oleh karena itu usulan Anda
pasti diakamodasikan.���
Saya memang dekat dengan Sugiharto. Kami sudah saling panggil nama saja. Awalnya
dulu dia sering minta advis saya sebagai bankir karena ia mengurusi keuangan Nedco.
Justru sebagai teman dekat kami tidak boleh saling merugikan. Sebaliknya, kami harus
saling membantu untuk kebaikan. Diminta atau tidak, saya tetap mengusulkan orang-
orang yang saya anggap bagus. Saya ingin mendukung niat serius pemerintah untuk
menata manajemen perusahaan negara. Keputusan sepenuhnya ada di tangan dia
(Menneg BUMN).
Bagaimana Anda selama ini mengkader pemimpin dalam organisasi yang Anda pimpin?
Di setiap perusahaan yang saya pimpin tidak ada secara spesifik jabatan Direktur
Personalia. Bukan karena saya tidak menganggap penting Bagian Personalia. Justru
karena saya menganggap personalia itu sangat strategis dan penting sehingga fungsi
personalia langsung saya tangani sebagai CEO. Saya tidak terlalu mengerti soal
perbankan, kredit, dan sebagainya. Ngerti tapi kulit-kulitnya saja. Teknologi saya juga
tidak mengerti. SMS saja sering minta tolong sekretaris (tersenyum). Tapi, soal personalia
saya mengerti banget. Kalau Anda ingin organisasi yang tangguh, bangunlah sistem dan
kepemimpinan terlebih dulu. Nomor satu buat saya adalah membangun manusia. Yang
lain itu contigent saja. Saya tidak percaya dengan pendapat leader is born. la harus
dicetak dan dididik. Benar charismatic leader is born tetapi pemimpin karismatis tanpa
keahlian akan menyalahgunakan kepemimpinannya. Saya kira banyak bukti tentang hal
ini.
Banyak pemimpin yang tidak mau mengembangkan anak buahnya karena takut
tersaingi?
Ini jelas salah besar. Sebagai pemimpin kita harus yakin bahwa ada orang lain yang lebih
hebat dari kita di luar sana. Saya justru senang bekerja dengan orang-orang hebat. Biar
mereka yang kerja dan saya tinggal mengarahkan dan memantau saja. Capek juga kalau
semua hal dikerjakan sendiri. Salah satu kunci leadership adalah memberikan otoritas
kepada bawahan di samping membangun kepercayaan. Tentunya kita tahu dulu kualitas
dan kompetensi bawahan tersebut, Ini sesuai dengan pandangan pakar manajemen
Franciscus Fukuyama, “The most important in relationship is trust.” Saya sangat
concerned dengan succession plan. Kalau saya ke cabang, pertanyaan pertama yang
saya ajukan adalah siapa yang akan menggantikan posisi Anda sebagai Kepala Cabang.
Mereka tidak perlu takut jika saya bertanya begitu karena berarti dia akan dipromosikan.
Selalu ada tempat bagi mereka yang berkualitas bagus.
Banyak perusahaan besar, khususnya BUMN, yaq terhambat perkembangannya karena
terlalu birokratis, Bagaimana pengalaman Anda saat menangani Bank Mandiri dan
Garuda?
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. TELKOM Tbk
YANG CEPAT AKAN MEMAKAN YANG LAMBAT
Suatu perusahaan membutuhkan perubahan manajemen, karena perusahaan itu berada
pada lingkungan yang juga berubah dan perubahan itu memberikan tekanan yang
bergulir terus menerus atau preasure for change. Bahkan menurut Alvin Toffler, seorang
futurist, mengatakan, "Change is not merely necessary for life, it is life!" Perubahan itu
bukanlah harus yang penting untuk hidup, melainkan hidup itu sendiri. Jadi, selama orang
atau perusahaan itu hidup selalu mengalami perubahan, yang ditandai dengan adanya
pertumbuhan dan perkembangan. Seperti ditegaskan Puguh Harianto, Manager Change
Management Telkom Divisi Regional II Jakarta, terjadinya perubahan sendiri bisa didorong
dari banyak hal, seperti regulasi, teknologi, kompetisi, pergerakan pasar, hadirnya
manajemen atau kebijakan baru, tekanan efisiensi biaya, keinginan untuk tumbuh secara
dramatis dan sebagainya.
"Perubahan tidak seharusnya diiakukan secara reaktif, melainkan harus didisain dan
perubahan harus dijadikan sebagai suatu strategi untuk mencapai tujuan secara
keseluruhan," ujarnya. Setidaknya ada 4 komponen.sebagai ruang lingkup obyek
perubahan, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) & organisasi, budaya korporasi, proses
bisnis dan teknologi informasi (Tl).
Secara umum hanya ada tiga, SDM & organisasi, TI dan bisnis proses. Namun, pihak
Telkom Telkom memasukkan unsur budaya karena budaya di Telkom tidak hanya sekedar
menggugah perilaku manusia. "Kalau dulu berbicara tentang Telkom, maka akan terpisah-
pisah karena masing-masing daerah punya budaya sendiri. Budaya adalah value, kalau
tidak bisa mengikat dan berjalan sendiri-sendiri, itu tidak ada artinya. Makanya kami
kristalkan menjadi satu budaya satu yang harus menjadi acuan dan sebagai pengikat,"
Puguh mengutarakan hal ini. Telkom memiliki budaya perusahaan bertajuk "The Telkom
Way 135".
Ditambahkan, perubahan lingkungan bisnis yang kadang-kadang sulit diprediksi,
memerlukan SDM dan organisasi yang lincah dan fleksibel baik dalam menghadapi
perubahan itu sendiri maupun dalam melakukan perubahan menjadf Iebih baik. Dari sisi
budaya korporasi, jika budaya korporasi itu kuat, maka dapat melindungi perusahaan dari
terpaan perubahan lingkungannya, tidak mudah goyah dan jika dia berubah akan
dilakukan dengan cara yang mantap.
Puguh mengakui, proses bisnis juga sangat diperlukan agar perubahan yang dilakukan
masih tetap dalam koridor arah perusahaan dan mudah dilakukan tracking jika
diperlukan. Sementara keberadaan TI saat ini hampir mutlak diperlukan bagi perusahaan-
perusahaan yang ingin tetap eksis di tengah-tengah lingkungan yang cepat mengalami
perubahan. "Ada ungkapan, diera TI, bukan lagi yang besar memakan yang kecil,
melainkan yang cepat yang akan memakan yang lambat," tegasnya. Dalam melakukan
implemtasi perubahan manajemen, ia menegaskan bahwa hal ini merujuk pada teori
perubahan yang terdiri dari 7 tingkat perubahan atau "7 Levels of Change" yaitu
Effectiveness -�Doing the Right Things, Efficiency - Doing the Things Right, Improving�-
Doing Things Better, Cutting�- Doing Away with Things, Copying�- Doing Things Other
People Are Doing, Doing Things No One Else Is Doing, dan Impossible�- Do Things That
Can't Be Done.
Pada level 1, kebutuhan perubahan yang mendasar dari suatu pengelolaan perusahaan
adalah berubah dari mengerjakan yang tidak sejalan dengan aturan menjadi bekerja
sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Ada 4 hal utama yang dapat dijadikan sebagai
tuntunan perubahan pada level 1 ini yaitu lakukan setting prioritas, fokus, kerjakan yang
terpenting dan berusaha untuk lebih efektif.
Di level 2, semua pekerjaan dilakukan sesuai dengan aturan yang ditetapkan,
kesempatan berikutnya adalah melakukan perubahan ke arah tindakan efisien, yaitu
mengerjakan sesuatu dengan benar terkait dengan orang lain, unit kerja lain, dan before
and next process. Ada 4 batasan yang dapat diacu pada level perubahan ini yaitu ikuti
prosedur internal dan eksternal, yakinkan bahwa hubungan kerja internal dan eksternal
jelas dan bersih, pahami standar-standar kerja sehingga resiko dieleminir sekecil mungkin
dan berusaha untuk lebih efisien.
Pada level 3, adalah bekerja untuk menghasilkan yang lebih baik adalah perubahan
berikutnya, yang ditandai dengan melakukan pemikiran terhadap apa yang dikerjakan,
mendengarkan dan mempertimbangkan berbagai usulan, berusaha mencari jalan untuk
memperbaiki sesuatu dan membantu, melatih dan membimbing. Level berikutnya,
perubahan pada level berikutnya adalah berusaha mulai keluar dari rutinitas kerja yang
dapat menimbulkan kebosanan dan berujung pada turunnya produktivitas. Diakui Puguh,
perubahan di level ini paling tidak diawali dengan pertanyaan 'Mengapa?', kemudian
tidak mengerjakan sesuatu yang tidak 'Terukur' dan melakukan 'Penyederhanaan'
(simplify) terhadap proses-proses kerja dan solusinya.
Di level 5, yaitu mengerjakan sesuatu yang orang lain juga mengerjakannya dengan hasil
yang ekselen. Copy dan terapkan, setelah melalui observasi, melakukan pemikiran
sebelum berpikir dan bertindak, membaca dan memahami tentang best practices dari
berbagai referensi. Kemudian, level berikutnya adalah berani tampil beda, kadang-
kadang perlu dilakukan untuk menunjukkan agility perusahaan. Diawali dengan
pertanyaan 'Mengapa Tidak', kita akan bergerak kesuatu perubahan berikutnya di mana
orang lain tidak melakukannya. Perubahan yang dilakukan oleh suatu perusahaan di level
ini biasanya ditunjukkan dengan re-orientasi fokus dari 'Sama' menjadi 'Berbeda' dan
mengadopsi berbagai teknologi baru.
Level terakhir adalah puncak perubahan adalah melakukan sesuatu yang 'Tidak' mungkin
dikerjakan. Kata tidak menjadi suatu tantangan untuk diubah menjadi 'dapat', melalui
langkah-langkah identifikasi asumsi-asumsi, munculkan pertanyaan: yang tidak mungkin
hari ini, bisa jadi di kemudian hari, alihkan fokus-fokus rutin, munculkan ide-ide "gila" dan
lakukan terobosan terhadap aturan-aturan yang mengikat.
Tantangan dalam melakukan perubahan tidak lepas, dari cakupan perubahan itu sendiri.
Puguh menjelaskan, ada 3 hal perubahan, yaitu micro changes yaitu perubahan yang
mempengaruhi secara individual atau�must change kemudian organizational changes
yaitu perubahan yang terjadi di lingkungan pekerjaan, akibat dari hubungan dengan
mitra kerja, dengan serikat pekerja dan sebagainya atau We must change. Serikutnya
adalah macro changes, yaitu perubahan yang terjadi menimbulkan implikasi global atau
"Everyone must change". Tiap-tiap tipe perubahan tersebut, lanjutnya kembali,
dihadapkan pada tantangan yang berbeda. "Secara umum, tantangan utama yang
dihadapi dalam melakukan perubahan adalah resistensi terhadap perubahan karena rasa
nyaman dan aman, dan resiko perubahan akibat tidak ada yang bisa menjamin bahwa
perubahan akan menghasilkan keluaran yang lebih baik." Selain itu, ketidakmampuan
membaca dan memahami makna perubahan yang terjadi dan kemampuan
menterjemahkan perubahan menjadi suatu strategi untuk mencapai tujuan juga
berpengaruh.
Telkom sendiri melakukan perubahan karena didorong adanya perubahan regulasi, yaitu
UU Telekomunikasi No. 36 tahun 1999. Dengan dibukanya kran kompetisi, sambungnya,
maka perubahan sesungguhnya dimulai, meskipun kala itu masih terjadi duopoli antara
Telkom dan Indosat.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. INDOSAT Tbk
MEMBANGUN KESAMAAN GERAK DAN LANGKAH
Perubahan manajemen di Indosat didorong oleh penggabungan antara Indosat, Satelindo
dan IM3 pada November 2003. Alasan utama penggabungan antara lain didasarkan pada
upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki, berkaitan dengan visi utama
Indosat sebagai fully network service provider. Selain itu, perubahan ini juga dilakukan
dalam rangka menghadapi kompetisi pasar.
Penggabungan perusahaan, di mana pun senantiasa berkonsekuensi pada pengurangan
sumber daya manusia. Menurut Sutrisman, Director Corporate Services Indosat, pada
dasarnya ingin perusahaan berusaha mempertahankan SDM yang ada karena masing-
masing karyawan tentu memiliki peran dan kontribusi terhadap perusahaan. Namun,
karena karyawan ada juga karyawan yang memiiiki pertimbangan tersendiri, akhirnya
pihak perusahaan menawarkan opsi pensiun dini. "Jumlah karyawan yang memilih opsi ini
tidak terlalu signifikan," katanya.
Untuk mendorong percepatan perubahan, visi, misi dan value organisasi harus digariskan
dan dikomunikasikan secara terus menerus kepada seluruh karyawan. Sebelum
bergabung, masing-masing perusahaan tentu memiliki visi, misi dan value yang berbeda-
beda. Nah, setelah bergabung tentu harus ditetapkan

Portalhr - Strategi HR – halaman 1


Halaman [ 1 2 3 4 5 ... Selanjutnya »| ] dari 17
The Next Generations: Dicari atau Dipersiapkan?
No. 34 - Januari 2007
Berguru Talent ke Negeri Orang
No. 33 - Desember 2006
Eagles fly, Chickens stay . .
No. 31 - Oktober 2006
Susanna S Hartawan: Mendevelop Yang Tidak Ada Menjadi Ada
No. 30 - September 2006
Musa Ichwanshah Anif: Tak Bisa Apa-Apa Tanpa Karyawan
No. 30 - September 2006
Presdir MSAM Rizka Baely: Dibentuk Orang Tua,Guru dan Dosen
No. 30 - September 2006
Ananto Pratikno: Kesederhanaan Sang Server Leader
No. 30 - September 2006
Ageing Population Ancam Indonesia
No. 31 - Oktober 2006
Rencananya Agustus ini...
No. 29 - Agustus 2006
Corporate Culture: Mitos?
No. 29 - Agustus 2006
The Next Generations: Dicari atau Dipersiapkan?
No. 34 - Januari 2007
Siapa yang tak kenal pimpinan General Electric, Jack Welch. Ia dikenal sebagai salah
seorang leader yang paling sukses- beliau mulai bekerja di GE pada tahun 1960- seiring
dengan kualitas leadership yang dimilikinya. Salah satu yang paling disukai oleh lawan
dan kawannya adalah bagaimana beliau mengembangkan dan mempersiapkan
bawahannya sehingga akan selalu ada orang yang telah siap untuk mengambil alih
posisinya pada saat beliau di promosikan.
Pada tahun 1981, Jack Welch dipilih menjadi CEO dari GE dan jabatan itu ia geluti selama
hampir 20 tahun yang berakhir pada tahun 2000. Hebatnya, 9 tahun sebelum ia pensiun,
yakni pada tahun 1991, Jack Welch telah menyampaikan rencananya untuk memilih
penggantinya. Bisa dibayangkan bagaimana seorang Jack Welch sebagai salah seorang
pemimpin besar dan dari sebuah korporasi besar di dunia dan telah membawa GE dari
perusahaan dengan billion US menjadi 0 billion US dollar sudah begitu konsern
menyiapkan calon penggantinya jauh sebelum ia pensiun.
Apa yang dilakukan Jack Welch jelas merupakan sebuah contoh bagaimana sebuah
konsep Succession Planning menjadi penting bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Saking pentingnya, persiapan tentang hal itu sudah dilakukan jauh-jauh hari. Lalu
bagaimana dengan perusahaan-perusahaan Indonesia pada umumnya? Sampai sejauh
mana konsep ini diterapkan?
Manager HR Corporate GE untuk Indonesia, Raechana Syafei melihat proses dan
mekanisme succession plan menjadi sangat penting untuk kesuksesan sebuah organisasi.
“Karena seseorang yang telah diidentifikasi dalam proses succession plan tersebut pada
akhirnya diharapkan akan melaksanakan dan bertanggung jawab atas kelangsungan
organisasi untuk menghadapi tantangan-tantangan dimasa depan,” ujarnya.
Dalam “succession plan” karyawan yang diidentifikasi adalah karyawan yang
dikategorikan sebagai “high potential” yang harus dipilih secara seksama kemudian
diberikan training and development untuk meningkatkan keahlian dan kompentensi yang
diperlukan dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan bisnis dimasa datang dan
diharapkan akan menjadi pimpinan dari organisati atau perusahaan tersebut.
Oleh karena itu pengembangan dan kesempatan untuk belajar lebih luas harus diberikan
kesempatan kepada mereka terutama untuk sebuah korporasi yang besar. Dan secara
individual mereka juga harus dapat “mengeksploitasi” dirinya dengan seluas-luasnya
dalam lingkungan kerja sehingga mereka dapat lebih mengerti apa yang diperlukan oleh
perusahaan untuk selalu sukses dan menjadi yang terbaik.
Succession Planing ini adalah satu dari sekian banyak inisiatif yang setiap perusahaan
yang menurut Anne (begitu ia biasa dipanggil) harus dipikirkan segera dan jangan
sampai semuanya menjadi terlambat. “Jika kita tidak memikirkan succession planning
dari sekarang kemungkinan akan pada akhirnya akan menjadi beban jika terjadi suatu
krisis dalam perusahaan tersebut,” lanjutnya.
Pentingnya Succesion Planning disiapkan sejak jauh-jauh hari juga diiyakan beberapa
pakar dan praktisi HR Indonesia. Presiden Direktur John Clements Consultants Indonesia
Andi Mohammad Hatta menyatakan baik karyawan, pimpinan, eksekutif dari sebuah
perusahaan itu adalah organ yang mesti selalu diperbaharui. ”
Kalau tidak diperbaharui makanya going concern itu akan cepat mati. Nah, itu poin
penting bila bicara tentang succession planning,” terangnya.
Direktur General Affair dan HR PT Aneka Tambang Tbk, Syahrir Ika juga menyatakan hal
yang hampir sama. “Perusahaan kan harus dikembangkan. Jadi kalau tidak dipersiapkan
rekrutmen yang baik kemudian pengembangan karir yang baik, pergantian pejabat yang
baik, bisa terjadi gap,” terang Syahrir lagi.
Sedangkan bagi Pakar HR yang juga penggagas konsep Talent Based Human Resources
Management (TBHRM), Pande N Agus Jaya, Succession Planning merupakan suatu proses
dimana perusahaan menjamin bahwa karyawan-karyawan yang direkrut dan
dikembangkan akan mampu memenuhi peran-peran kunci dari fungsi organisasi.
“Succession planning ini makin lama makin dipentingkan karena secara kecenderungan
banyak orang-orang sukses yang maunya pensiun dini sehingga perusahaan perlu
menyiapkan pengganti nya,” terangnya lagi.
Mencari atau Menyiapkan?
Namun sebelum jauh membahas sebuah konsep Succession Planning, menurut Direktur
Daya Dimensi Indonesia, Vina G Pendit, seseorang harus mampu dahulu membedakan
antara succession planning yang biasa dilakukan banyak perusahaan, yakni mencari next
person yang bisa menggantikan seseorang, dengan succession dalam pengertian
menyiapkan orang untuk suatu posisi yang sampai semaksimal mungkin orang itu bisa
tumbuh dan berkembang bersama kita. “Itu dua hal yang berbeda ya,” ujarnya.
Kalau yang pertama tadi itu benar-benar bicara tentang suksesi yang tradisional. Hal
seperti ini menurut Vina lama kelamaan sudah tidak memungkin lagi terjadi. ”Kenapa?
Karena organisasi itu makin kesini makin efisien. Efisien itu artinya dalam suatu fungsi
tidak ada lagi jabatan-jabatan asisten manajer, asisten direktur, itu sudah nggak ada.
Yang ada adalah manajer, senior manajer, habis itu direktur misalnya,” terangnya lagi.
Dengan begitu sebuah proses suksesi menurut Vina menjadi tidak lagi mudah.
Dari situlah kemudian lahir konsep-konsep succession management. Dimana succession
management system itu adalah memikirkan bukan hanya siapa yang bakal menjadi
pemimpin berikutnya tetapi juga menciptakan, menyiapkan kantong-kantong atau pool of
talent dilevel junior manager. “Artinya apa, secara sengaja organisasi itu membikin pool
of talent,” urainya lagi.
Sedangkan pakar HR Pande N Agus Jaya mengingatkan seringnya orang salah ketika
mengartikan konsep succession planning. “Succession planning itu tidak hanya
menyiapkan top leadernya saja tapi juga mendapatkan orang-orang yang tepat untuk
setiap fungsi,” terang Pande awal bulan lalu.
Selain itu, menurut Pande lagi, Succession Planning itu bukan tujuan melainkan sebuah
proses. Dan proses itupun bukan proses yang berkesinambungan sepanjang tahun.
“Succession Planning bukan suatu proyek,” terangnya lagi. Sehingga dalam
penerapannya pun dibutuhkan komitmen dari semua pihak, bukan hanya dari HRD saja,
melainkan komitmen dari top eksekutif, pimpinan HRD, pimpinan-pimpinan di lapangan
dan semua fungsi pendukung lain.
Dalam prosesnya, menurut Pande lagi, manusia yang ada dipetakan berdasarkan bakat
atau talentnya. “Lupakan dulu semua kompetensi yang dia miliki. Setelah itu kita
dapatkan talent profile dari semua orang. Baru kemudian kita lihat organisasi, existing
seperti apa. untuk existing kita lihat apakah job bordernya sudah tepat,” terang Pande.
Berguru Talent ke Negeri Orang
No. 33 - Desember 2006
Sekitar 33 tahun lalu konsep Competency Based Human Resources (CBHRM)
diperkenalkan pertama kali oleh Prof Dr David McClelland di Amerika Serikat. Konsep
management HR ini berkembang dan terus mendunia seolah tanpa pesaing, termasuk
Indonesia.
Namun kemunculan Talent Based Human resources Management (TBHRM) memberi
angin baru bagi dunia HR. Silih berganti konsep ini diadopsi oleh perusahaan-perusahaan
mumpuni di negeri seberang. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Benarkah di negeri ini
konsep ini kalah popular dengan CHBRM?

Beberapa bulan lalu, Pakar HR Pande Nyoman Agus Jaya, melalui sebuah seminar yang
digelarnya di Jakarta menggagas perlunya perusahaan di Indonesia untuk tidak melulu
menerapkan konsep Competency Based Human Resources Manage ment (CBHRM) dalam
mengembangkan sumber daya manusia yang dimiliki. Selain konsep

CBHRM itu sudah dianggap ketinggalan zaman, Pande N Agus Jaya menganggap
kegagalan yang dimunculkan dalam penerapan konsep itu cukup tinggi. “Hasilnya kalau
boleh jujur saya sampaikan, 90% gagal,” terang Pande kepada Human Capital ketika itu.

Untuk mendukung asumsinya itu, Pande pun menawarkan sebuah konsep baru, Talent
Based Human Resources Management (TBHRM). Konsep yang fokus pada potential talent
yang dimiliki setiap orang ini menurut Pande sudah diterapkannya sejak 20 tahun lalu.
Sejak saat itu pula konsep ini terus tumbuh dan berkembang di negera asalnya
menggusur konsep CBHRM yang telah lebih dulu mengglobal sejak diperkenalkan Prof Dr
David McClelland 33 tahun lalu.

Sejumlah perusahaan multinasional yang mapan menerapkan konsep tersebut di


antaranya, Citibank, Caltex, Unilever, Coca Cola, Standard Chartered, HSBC Bank, dan
masih banyak lagi. Sedangkan di perusahaan-perusahaan lokal muncul nama PT Wijaya
Karya, Bank Mandiri, Bank Central Asia, PT Lautan Luas Tbk. Meski begitu, konsep TBHRM
ini belum digunakan bahkan dikenal secara luas di kalangan perusahaan lokal Indonesia.

MedcoEnergi misalnya, perusahaan minyak dan gas yang cukup besar ini baru melakukan
transisi dari CBHRM menuju TBHRM. “Sekarang ini kita sedang transisi ke arah talent. Kita
juga ingin mengalokasikan source kita ke arah yang lebih tepat. Artinya tidak produksi
masal tapi produksi yang ekslusif lah. Dalam arti kita memang

mengalokasikan sesuatu ketempat yang pas lah,” terang Manager of Human Capital
Development MedcoEnergi Salmar Ngadikan.

Head of Human Resources Standard Chartered Irene Wuisan ketika ditemui di ruang
kerjanya akhir bulan lalu juga mengakui soal ketidak populeran konsep TBHRM ini di
kalangan perusahaan lokal Indonesia. “Dari artikel yang saya baca, perusahaan di luar
negeri atau perusahaan asing yang ada di Indonesia rata-rata sudah menggunakan

konsep Talent Management tersebut dalam membina dan mengembangkan SDM nya
supaya lebih berpotensi, tapi jarang terdengar untuk yang perusahaan local,” terangnya
lagi.

Perusahaan-perusahaan itu menginvestasikan uang yang cukup banyak di dalam


membina dan mengembangkan sumber daya manusianya. “Dan saya yakin di tahun-
tahun mendatang di Asia akan lebih banyak lagi investasi yang ditanamkan untuk
membina dan membangun SDMnya dan Cina sedang bergerak kea rah sana” ucap Irene
lagi.
Selain itu, Irene juga mengakui perusahaan tempatnya bekerja saat ini telah menerapkan
konsep TBHRM ini sejak lama. “Begitu saya pindah ke sini (Standard Chartered-red),
perusahaan ini telah menerapkan konsep ini, dan hasilnya efektif” terang Irene ketika
ditemui di ruang kerjanya akhir bulan lalu.

Hanya saja, seputar efektifitas konsep tersebut Irene yang juga paham betul me ngenai
konsep CBHRM menyatakan tak jauh beda dengan bila menerapkan CBHRM. “Tinggal
bagaimana kita mengelolanya karena ujung-ujungnya dua-duanya bagus tinggal
bagaimana kita mengkombinasikannya saja, dan itu bisa berjalan dengan bagus dan
tidak terputus-putus,” ungkap Irene lagi.

Sedangkan HR & Administration Director Coca Cola Indonesia Sandra Sahupala juga
mengaku telah menerapkan konsep Talent Management di perusahaannya. “Perusahaan
saya sudah menerapkan konsep ini, dan terus menyempurnakan program-program dan
sistem pendukungnya,” terang Sandra yang ditemui seusai mengajar

di salah satu hotel di bilangan Kemang Jakarta selatan. Menurut wanita bule ini, tujuan
diterapkan nya konsep ini agar seluruh perusahaan bisa fokus dan optimal kepada
sumber daya manusia yang merupakan talenta-talenta perusahaan.

“Secara konseptual pengelolaan SDM, konsep ini bertujuan untuk memaksimalkan


pengembangan karyawan, mempersiapkan SDM/talenta yang kompeten di waktu yang
akan datang, dan membuat talenta-talenta perusahaan tidak mudah meninggalkan
perusahaan (retention strategy),” terang Sandra.

Perusahaan berbasis asing lainnya, PT Unilever Tbk, juga mengaku telah menggunakan
konsep ini dalam mengembangkan sumber daya manusianya. Menurut Direktur Human
Resources PT Unilever Indonesia Tbk Josef Bataona ketika ditemui Anung Prabowo dan
Aditiyo Wirawan di ruang kerjanya pertengahan Nopember lalu, konsep

Talent Management ini ia terapkan secara terpadu dengan konsep yang telah
berkembang lebih dulu, Competency Based Human Resources Management. “Karena
kompetensi itu adalah bagaimana kemampuan orang itu. Kemapuan itu dalam kaitan
dengan bagaimana dia bisa melalakukan pekerjaan itu sendiri dalam kaitan dengan

professional skill itu membuat konsep ini masih perlu untuk mendukung konsep Talent
yang muncul belakangan,” terangnya.

Perusahaan lokal

Tidak populernya konsep TBHRM ini di perusahaan lokal Indonesia tentu menyisakan
sejumlah pertanyaan, apakah konsep ini betul-betul mampu secara efektif membawa
sebuah perusahaan ke sebuah lompatan yang lebih besar lagi atau memang tak mungkin
menerapkan konsep ini di dalam kultur sebuah perusahaan local Indonesia.

Beberapa praktisi dan pemerhati HR justru meyakinkan bahwa konsep Talent


Management ini dapat diterapkan oleh organisasi manapun, tak peduli apakah itu lokal
maupun asing. “Sejauh budaya organisasi tersebut didasari pada belief bahwa SDM
merupakan aset perusahaan, sehingga pelatihan dan pengembangan merupakan suatu
tindakan investasi, maka perusahaan atau organisasi apapun dapat saja menerapkan
konsep ini, sejauh manajemennya mempunyai komitmen untuk mengadakan dan
mempertahankan persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan” terang Sandra pasti.(Baca,
Prasyarat Penerapan Konsep Talent Management)

Hanya saja menurut Sandra lagi, banyak perusahaan mengatakan bahwa SDM bagi
mereka sangat penting dan perusahaan itu telah menyediakan anggaran pelatihan yang
besar. “Namun kebanyakan itu lip-service saja. Mereka mungkin tidak memahami apa
yang harus dilakukan supaya “investasi” yang didedikasikan pada pengembangan

SDM tidak sia-sia. Ataupun mereka memahaminya tetapi tidak serius menganggap SDM
sebagai asset melainkan hanya sebagai sarana agar pekerjaan dikerjakan dan biasanya
mempunyai visi yang sangat jangka pendek,” lanjut Sandra.

Irene Wuisan pun beranggapan sama, menurutnya perusahaan lokal pun bisa
menerapkan konsep ini. “Asalkan perusahaan tersebut memiliki 3 unsur,” ujar Irene.
Ketiga unsur yang dimaksud, infrastrutur yg cukup kuat, komitmen dari manajer untuk
memakai metode ini, serta sumber daya manusia yang bisa diandalkan. “Bila itu dimiliki
maka perusahaan itu dapat dengan mudah mengadopsi konsep tersebut,” tambah Irene.

Sementara itu, Managing Director Multi Talent Indonesia Irwan Rei menyatakan kalau
penerapan konsep Talent Management ini tidak dipengaruhi oleh apakah perusahaan xyz
itu lokal atau asing. “Semua organisasi yang memerlukan manusia untuk mencapai
tujuan-tujuan bisnisnya pasti memerlukan sistem dan proses untuk menarik dan me-
ngelola SDM-SDM pilihannya,”paparnya.

Masih menurut Irwan, perbedaan antar organisasi satu dengan yang lain terletak pada
tingkat sophistication-nya. Organisasi yang satu mungkin banyak tergantung pada feeling
atau perasaan pemimpin di dalam mengelola sdm-sdm di dalamnya, sementara
organisasi yang lain telah memiliki sistem atau SOP yang rapi dan didukung oleh

studi yang lengkap mengenai kompetensi pegawai yang diperlukan, pola pergerakan
pengembangan karir yang dibangun berdasarkan kriteria dan proses yang jelas, sistem
dan program SDM yang dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempe-
ngaruhi kepuasan, motivasi maupun tingkat engagement pegawai.

Sehingga untuk bisa menerapkan konsep tersebut, yang perlu dilakukan pertama-kali
oleh perusahaan itu menurut Irwan adalah dengan melihat bahwa ada dua pihak yang
terlibat di sana. “Di satu sisi ada perusahaan (shareholders) yang memiliki visi, misi,
tujuan organisasi, strategi bisnis maupun resources (finansial maupun non-finansial) yang
terbatas, dan di sisi lain adalah SDM-SDM yang diharapkan dapat bergabung dan
membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya,”ungkap Irwan.

Organisasi perlu tahu persis apa yang ingin dicapai? Bagaimana strategi mencapainya?
Organization capabilities apakah yang diperlakukan? Kompetensi apakah yang
diperlukan? Bagaimana dan dimana mendapatkan SDM-SDM dengan kompetensi yang
diinginkan tadi? Apa yang menjadi faktor-faktor utama (drivers) yang mempengaruhi
motivasi mereka dalam bekerja?

“Jawaban-jawaban akan pertanyaan ini akan membantu organisasi membangun sistem


dan program SDM, mulai dari proses recruitment, staffing, career development & training,
performance management, sampai employee separation, yang sesuai,”lanjutnya.

Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Beragamnya penjabaran konsep Talent Management ini menjadikan konsep ini kian
istimewa. “Kita bisa datang dengan label, istilah dan ruang-lingkup yang berbeda-beda
mengenai konsep “talent management”, namun pengelolaan SDM atau “managing
talent” sebenarnya sudah lama dilakukan oleh demikian banyak organisasi dengan
tingkat kecanggihan sistem dan program SDM pendukung yang berbeda-beda,” urai
Irwan Rei.

Gaungnya menurut Irwan semakin terdengar seiring dengan persaingan bisnis yang
semakin tinggi dan yang lalu mendorong organisasi untuk semakin serius di dalam
menarik dan mengelola SDM-SDM pilihannya. Berbeda dengan misalnya konsep Balanced
Scorecard dimana ada Kaplan dan Norton sebagai pencetus idenya, tapi tidak mudah
untuk menunjuk siapa yang melakukannya untuk konsep talent management.

“Karena demikian banyak pihak, termasuk konsultan-konsultan besar di dunia


mempopulerkan istilah ini. Meski label atau istilah yang digunakan sama, perbedaan
umumnya didapatkan pada ruang lingkup (scope), proses maupun istilah-istilah
pendukung yang digunakan, walau kalau dicermati lebih-dalam, semuanya fokus untuk
menjawab tantangan bagaimana organisasi dapat “mengelola talent” dengan baik
sehingga tujuan-tujuan mereka dapat tercapai,”terangnya lagi.

Irene Wuisan pun mengakui banyaknya penafsiran terhadapkonsep itu. “Kalau kita lihat
dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain, itu banyak sekali definisi-definisi yang
berbeda-beda, jadi kembali tergantung kepada perusahaannya itu sendiri,” ujar Irene.

Hanya saja Irene mengaku banyak melihat pergeseran pendekatan dalam menerapkan
konsep Human Resources Management yang ada. Kalau dulu kata Irene, orang-orang itu
harus disesuaikan dengan pekerjaannya, ini menjadi focus dari konsep CBHRM, sekarang
mulai bergeser.

“Sekarang mulai megarah kepada karyawannya sendiri, karyawannya punya keahlian apa
sih, karyawannya ini kelebihan-nya ada dimana, dan itulah yang ditumbuhkan, dibina dan
diangkat supaya karyawan ini potensinya bisa lebih tergali, itulah yang dibilang
memanage talent, jadi talent itu disini lebih kepada si karyawannya sendiri,” terang Irene
memaparkan konsep Talent Managementnya.

Dengan menerapkan konsep Talent Management, Irwan melihat sebagai sebuah proses
yang dilakukan oleh organisasi untuk menjawab tantangan yang ada. Dalam lingkup yang
luas, bagi Irwan managing talent tidak hanya berbicara mengenai pengembangan karir
pegawai, namun bagaimana organisasi dapat menarik dan mengelola SDM-SDM
pilihannya, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. “Ini berarti mulai dari proses
rekrutmen, penempatan pegawai, penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan karir,
sampai pegawai meninggalkan perusahaan di arahkan untuk menjawab tujuan
tersebut”,lanjutnya.

Dan itu menurut Irwan bukan masalah yang sederhana, karena untuk melakukan itu,
organisasi perlu mengetahui apa yang membuat SDM-SDM yang handal ini tertarik untuk
bergabung dan bekerja dengan baik di dalam organisasi dan menyeimbangkannya
dengan apa yang ingin dicapai oleh organisasi. “Ada dua pihak yang terlibat di sana:
pegawai dan perusahaan, masing-masing dengan kebutuhan yang tidak selalu sama,
sehingga perlu dicari titik temunya. Perusahaan memiliki visi dan misi, strategi untuk
mencapainya, maupun organization capabilities yang perlu dibangun, sementara pegawai
memiliki kebutuhan akan pengembangan karir, reward & recognition, maupun lingkungan
kerja yang menyenangkan,”tutup Irwan. • (ich)

Prasyarat Penerapan Konsep Talent Based Human Resources Management

Untuk dapat menerapkan konsep itu secara konsisten dan dapat memberi manfaat yang
berarti dalam pengelolaan perusahaan. Maka perusahaan tersebut harus memenuhi
beberapa prasyarat;

1. Manajemen telah menetapkan kriteria-kriteria dari talenta-talenta kunci, dan


menerapkan proses seleksi dan assesmen periodik talenta-talenta kunci yang ketat
berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.

2. Manajemen mempunyai suatu sistem penempatan talenta-talenta kunci yang baik.


Biasanya talenta-talenta kunci menempati posisi pekerjaan yang penting (critical job
positions), dan senantiasa diberikan tugas-tugas atau proyek-proyek yang penuh
tantangan.

3. Terdapat Sistem Pengelolaan Kinerja (Performance Management System) yang baik


dan adil. Tanpa adanya sistem pengelolaan kinerja yang baik dan adil, penilaian kinerja
dan prestasi karyawan akan didasari pada “Like and Dislike”.

4. Terdapat suatu keadaan kesempatan yang sama (Equal Opportunities) dan pelakuan
adil yang didasari pada assesmen yang faktual.

5. Agar c dan d dapat dipenuhi maka hal ini sejogyanya didukung dengan suatu kebijakan
SDM (human resources policies) dan alat dan sistem penilaian kinerja (performance
appraisal system and tools) yang secara konsisten diterapkan. Artinya tidak terdapat
perlakuan yang khusus bagi orang-orang tertentu.

6. Manajemen menerapkan suatu sistem pengakuan dan penghargaan yang bersaing.


Bukan hanya sistem kompensasi finansial yang baik, tetapi juga program pengakuan dan
penghargaan yang non-finansial.

(Sumber : HR & Adiministration Coca Cola Indonesia Sandra Sahupala)


Eagles fly, Chickens stay . .
No. 31 - Oktober 2006
Perumpamaan yang sudah lama saya dengar sewaktu bekerja 20 tahun lalu. Penuh
dengan sindiran dan makna yang sangat jelas, namun kurang sesuai dengan budaya kita,
khususnya bagi yang memang senang bekerja tanpa adanya tantangan, atau cukup
dengan ala kadarnya saja.
Perkembangan jaman dan perubahan globalisasi, membuat diri kita dipacu lebih keras
lagi, belum lagi adanya persaingan dari orang-orang yang mempunyai kapasitas dan
kompetensi lebih tinggi. Tidak terbatas berasal dari orang-orang asing, namun orang
Indonesia yang telah mengenyam pendidikan dan pengalaman asing, juga menjadi
pesaing kuat bagi kita-kita yang berjalan lambat atau kurang sesuai dengan keadaan saat
ini.
Kecepatan dan greget, menjadikan satu pengukuran atas kapasitas seseorang.
Kemampuan untuk menghasilkan sangat cepat dan dilakukan dengan sepenuh hati,
tanpa adanya dorongan dari luar dirinya. Ditambah dengan kompetensi otak yang lebih
pula, menjadikan hasil dapat diperoleh lebih cepat dan memberikan manfaat yang sesuai.
Itulah karakter 'eagle . .' yang selalu ingin lebih ke depan, lebih jauh, lebih cepat, lebih
dalam memberikan hasil yang luar biasa, lebih efisien namun tetap efektif. Sementara
ada pula yang masih tidak mampu mengimbangi gerak para eagle tersebut, yaitu
'chicken' . . yang selalu mengeluh dan mempertanyakan . . mengomentari negatif
tentang perilaku eagle, tanpa mampu memberikan alternatif solusi . .
Para 'Eagle' menentukan tujuan dan arah dirinya, dengan tetap menyesuaikan gerak
polanya dengan tempat dia berada. Umumnya perilakunya serba terukur dan cepat,
sehingga sering menyakitkan bagi sekelilingnya, yang umumnya berisi orang-orang yang
binnen atau damai dengan keadaan tanpa tantangan.
Eagle tersebut bisa tidak tahan bekerja di lingkungan chicken, dan memilih untuk terbang
mencari tempat yang seirama dalam berperilaku dan dengan kecepatan yang sama.
Mereka tidak tinggal diam, meskipun semua di sekitarnya tidak ada hal-hal yang buruk.
Mereka selalu mencari alternatif untuk lebih baik dan cepat.
Karena itu, bila suatu perusahaan memberikan fasilitas untuk para chicken yang senang
bekerja tanpa tantangan, dan kebetulan di dalam perusahaan tersebut ada beberapa
eagle, maka tidak aneh bila para eagle tersebut akan terbang dan mencari tempat lain.
Sebagai seorang pemimpin, perlu menyadari akan hal ini, karena akan mempunyai
dampak kehilangan orang-orang yang berpotensi dan berkinerja sangat baik.
Marilah kita tingkatkan proses 'mengerti-understanding' akan orang-orang di sekeliling
kita secara tulus, khususnya yang memiliki potensi untuk berkembang dan
mengembangkan. Semoga kita tidak kehilangan orang-orang hebat tersebut, dan secara
bertahap mengubah para 'chicken' untuk mampu bersaing dengan 'eagle'. Dan menjaga
'eagle' tetap bersama kita.
Sumber: Majalah Human Capital No. 31 | Oktober 2006
Susanna S Hartawan: Mendevelop Yang Tidak Ada Menjadi Ada
No. 30 - September 2006
Vision without action is a merely dream. Ya, visi tanpa aksi merupakan mimpi belaka.
Demikian penggalan filosofi Susanna S. Hartawan saat ditemui Human Capital beberapa
akhir Agustus lalu. Dalam usia 37 tahun, wanita yang pernah bercita-cita menjadi guru ini
telah memiliki kiprah yang panjang dan telah diakui sebagai salah satu leader terbaik
saat ini.
Terbukti dengan sertifikasi yang diraihnya sebagai Assessor dari Malcolm Balridge dan
juga Quality Black Belt dari Compac Corporation, Houstion, USA pada tahun 1997 selain
International Certifed Consultrant for Thomas Imternational Behavioral Syatem, Certifed
Pritchett Rumbler Blache dari Dallas, Amerika Serikat dalam hal Cycle of Leadership,
Change Management.
Susanna S. Hartawan yang sekarang menjabat sebagai managing director di PT NBO
Indonesia, exclusive partner dari Nelson & Oostergard International (NBOGroup)
Management System ini sangat menyadari arti penting sebuah visi bagi seorang leader.
Visi itu menurut Susanna diperlukan untuk mengetahui ke arah mana seorang itu akan
berjalan memimpin anak buahnya.
Soal gaya kepemimpinan, Susanna mengacu pada lima tipe kepemimpinan yang ia
ketahui. Kelima konsep leadership itu, Strategic Leadership, Box Leadership, Human
Asset Leadership, Change Agent Leadership dan Expertise Leadership. Dari lima konsep
tersebut ia lebih mengarah kepada Strategic Leadership dalam menjalani perannya
sebagai seorang pemimpin.
“Jadi saya melihat bagaimana men-develop yang tidak ada menjadi ada”, ungkapnya. Ia
menyadari bahwa setiap orang tidak mungkin langsung menjadi bagus. Melainkan harus
melakukan yang terbaik dari awal, “Do it right at the first time”. Namun ia juga tidak
menutup mata bahwa orang tersebut akan melakukan kesalahan. Oleh karena itu setiap
orang harus diberikan kesempatan. Dari ke salahan itulah seseorang dapat belajar dan
menjadi lebih baik lagi dengan kesalahan tersebut. Seperti itulah konsep kesuksesan
menurut wanita penggemar travelling ini.
Saat bekerja, ia selalu berusaha merangkul karyawannya dan mengajarkan mengenai
lead by example. Ia juga mengakui bukan tipe orang yang otoriter dan cuma menyuruh
saja. Bekerja sampai tengah malam bahkan pagi hari bersama-sama karyawannya bukan
hal yang asing lagi baginya. Karena hal tersebut merupakan contoh yang baik dari
seorang leader kepada bawahannya. “Kita kan mengajar leadership, jadi kalau kita
sendiri tidak menerapkan leadership tersebut, itu lucu”, ujarnya memberi alasan.
Gaya kepemimpinan yang dipakainya terbukti mampu mengangkat perusahaan yang
dipimpinnya. Pada usia 28 tahun saat ia mengepalai strategic planning and review di
Compac Computer Indonesia ia berhasil mengangkat pamor Compac dari perusahaan
yang menyandang predikat nomor terakhir dibranded IT menjadi nomor satu dipangsa
pasar IT Indonesia. Sebagai ganjarannya, Susanna diangkat menjadi Regional Director di
kawasan Asia Tenggara yang membawahi enam negara, yaitu Indonesia, Singapura,
Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam. Saat ditempatkan di Regional Office di
Singapura ia menjadi satu-satunya Regional Director yang wanita.
Walau bekerja dibidang IT namun ia mengakui tidak mempunyai kemampuan di bidang
tersebut. Pekerjaannya lebih mengarah ke bisnis dan quality improvement. Karena itulah
ia sangat menekankan kualitas dalam melakukan pekerjaannya. Baginya kualitas sangat
penting. Karena itu seseorang dalam bekerja tidak boleh hanya karena jam kerja
melainkan harus mampu memberikan kualitas pekerjaan dan meyelesaikannya dengan
kualitas yang tinggi.
“You need to control what you want”, ujar Susanna mengenai prinsipnya. Maksudnya bila
ia memiliki keinginan maka ia akan mewujudkan keinginan tersebut. Dalam menjalankan
perusahaan ia selalu menginginkan agar perusahannya bisa memberikan kontribusi,
value dan nilai-nilai kepada kliennya. “Maka ini yang saya angkat”, imbuh wanita yang
pernah meraih Best Indonesia Top Executive Award 2003 itu.
Sifat yang keras dan lembut merupakan dua sisi yang berbeda yang juga mem pengaruhi
gaya kepemimpinannya. Untuk menerapkan gaya kepemimpinan tersebut, Susanna
mengakui itu bukan hal yang mudah. Karena ia menyadari tidak semua bawahannya bisa
menerima dan sesuai dengan gaya kepemimpinannya.
Sumber: Majalah Human Capital No. 30 | September 2006
Musa Ichwanshah Anif: Tak Bisa Apa-Apa Tanpa Karyawan
No. 30 - September 2006
Kalau disebut nama Musa Ichwanshah Anif, mungkin nama itu akan tak beda dengan
kebanyakan nama orang Indonesia asli. Tak akan banyak orang yang tahu siapa
sesungguhnya si Musa Ichwanshah Anif ini. Tapi kalau ketika menyebut nama itu
ditambahi embel-embel anggota Komisi XI DPR RI, bisa jadi banyak orang akan berebut
mengaku kenal dekat dengan dirinya. Meskipun orang yang mengakui kenal itu bisa jadi
belum pernah tahu siapa sebetulnya si Musa Ichwanshah Anif ini.
Bagi masyarakat Medan, Sumatera Utara, nama Musa Ichwanshah Anif lebih tidak asing
di telinga. Karena pemuda yang gemar berkebun ini termasuk salah pengusaha sukses di
wilayah yang sempat dipimpin oleh (alm) Rizal Nurdin ini. Meski karirnya lebih banyak
dipenuhi dengan gemerlapnya industri Kelapa sawit di sana, namun Musa Ichwan juga di
kenal sebagai seorang pengusaha muda yang memiliki bisnis di bidang property baik
perumahan maupun plaza. Lingkupnya meliputi wilayah Sumatera Utara dan Provinsi
Riau.
“Dulu saya pertama bekerja diperusahaan property. Kemudian saya buka perusahaan
sendiri, trading, di Sumatera Utara. Dari trading pertama saya bergerak di TBS (Tandan
Buah Segar) kelapa sawit kemudian saya bergerak menjadi trader CPO, akhirnya saya
membuka kebun sendiri. Mudah-mudahan dalam satu tahun ke depan saya berencana
membuka pabrik CPO nya,” papar Musa Ichwanshah Anif ketika ditemui Pangeran M Rizal
dari Human Capital pertengahan bulan lalu.
Lalu untuk memimpin bisnisnya itu, Musa Ichwanshah Anif mengaku tak perlu kiat yang
aneh-aneh. “Kalau untuk mengelola perusahaan saya mungkin sama seperti orang-orang
lain. Gaya saya ya apa adanya saya. Artinya saya merasa bawahan saya bukan sebagai
bawahan melainkan bagian dari perusahaan. Bisa dikatakan aset atau mungkin bisa kita
bayangkan mereka salah satu shareholder di situ,” ungkapnya lagi.
Ichwan mengaku selalu membawa orangnya (karyawannya-red) itu menjadi bagian dari
dirinya. “Karena saya rasa tanpa mereka saya tidak bisa apa-apa. Perusahaan bisa maju
kalau ada rasa memiliki. Untuk menciptakan rasa itu mereka harus menjadi bagian dari
perusahaan,” lanjutnya lagi.
Dan untuk menjadikan 100 orang karyawannya sebagai bagian dari perusahaan, buat
Musa tidak sulit. “Kalau saya mungkin tidak punya metode khusus,” terangnya. Pria yang
suka jogging dan berburu ini menggunakan pendekatan manusiawi ketika ia berada di
sekitar karyawannya. “Di mana saja mereka berada, tentunya harus membuat mereka
merasa ada manfaatnya,” terangnya lagi.
Dan untuk memastikan kondisi itu berjalan, Ichwan mengaku seringkali terjun langsung
ke tengah-tengah karyawannya. “Tapi itupun apabila memungkinkan. Tapi kalau tidak
saya selalu memberikan nomor hp saya ke seluruh karyawan saya,” tambahnya lagi. Itu
berarti, semua karyawan yang ada menyimpan nomor handphone nya. “Sehingga tiap
ada masalah yang tak terselesaikan di lapangan bisa langsung berkomunikasi dengan
saya,”ucap Ichwan menyakinkan.
Sama seperti pemimpin lainnya, Ichwan punya harapan. Ia berharap bila pola komunikasi
antara dirinya dengan para karyawan telah berjalan dengan baik, maka perusahaan pun
akan tumbuh dan berkembang dengan sehat dan menguntungkan. “Selain itu, saya cuma
ingin hidup saya berarti buat orang lain,” harapnya.
Tidak hanya itu, Ichwan pun menginginkan keluarganya, terutama anak-anaknya bisa
berhasil. ”Tapi saya ingin dia melihat apa yang telah saya lakukan hari ini karena kerja
keras. Itu yang harus mereka lakukan juga. Tidak cuma mengandalkan apa yang telah
saya capai menjadi hak milik dia. Tapi kerja keras saya harus dia ikuti,”katanya.
Untuk itu, Ichwan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan perhatian yang lebih
untuk keluarganya. “Jujur aja saya belum punya formula pembagian yang bagus. Artinya
ya keluarga masih suka complain lah. Karena waktu buat mereka agak terbatas, tapi saya
akan terus berusaha,” janji Ichwan menutup pembicaraan.
Musa Ichwanshah Anif: saya cuma ingin hidup saya berarti
Sumber: Majalah Human Capital No. 30 | September 2006
Presdir MSAM Rizka Baely: Dibentuk Orang Tua,Guru dan Dosen
No. 30 - September 2006
Bagi sedikitnya dua ratus juta warga Amerika Serikat, John F Kennedy adalah salah satu
presiden terbesar yang pernah mereka miliki sepanjang keberadaan negara itu di bumi
ini. Kharismanya sebagai pemimpin bangsa tidak hanya membanggakan rakyatnya, tapi
juga mampu menyihir miliaran orang yang tinggal ribuan kilometer jauhnya dari negara
adidaya itu bahkan dalam kurun waktu kehidupan yang berbeda.
Tapi bagi seorang Rizka Baely, John F Kenedy tidak hanya sekedar memiliki kharisma. Di
mata President Director Momentum Synergy Asset Management (MSAM) ini, sosok John F
Kennedy tidak hanya sekedar pemimpin bagi rakyatnya. “Tapi juga intelektual, rasa ingin
tahunya juga besar,” katanya kepada Aditiyo Wirawan dari Human Capital pertengahan
Agustus lalu. Sehingga tak heran bila Rizka banyak belajar dari perjalanan hidup sang
Presiden.
Sifat ingin tahu itu pula, yang juga dimiliki Rizka hingga saat ini. Menurutnya ke ingin
tahuan itu penting bagi perkembang an bisnisnya. “Karena perkembangan bisnis ini kan
pesat sekali, juga instrumen-instrumen dalam bidang keuangan juga kan pesat ya. Jadi
kalau saya tidak punya rasa ingin tahu yang tinggi, saya akan ketinggalan jauh dari yang
lain,” ujarnya lagi.
Selain John F Kennedy, Rizka juga menyukai sosok lain, biasanya ilmuwan, jenderal,
tokoh-tokoh sejarah, pemimpin perusahaan atau tokoh lainnya. “Saya suka baca tentang
biografi bermacam-macam orang ataupun statementnya. Saya mengambil yang bagus-
bagus dari mereka, tapi saya tidak mengikuti salah satu diantaranya.,” terangnya lagi.
Sehingga amat beralasan kalau ia mengaku bukan John F Kennedy, bukan pula tokoh-
tokoh ternama itu yang berperan besar dalam pembentukan karakater dirinya. “Saya
rasa mungkin hampir sama dengan semua orang,” terangnya. Hanya orang tua, guru dan
dosen lah yang diakui Rizka amat berpengaruh dalam pembentukan karakater dirinya.
“Ya orang tua saya, guru dan dosen yang berpengaruh besar dalam pembentukan gaya
memimpin saya,” lanjutnya.
Karakter inilah yang dijadikan bekal Rizka dalam mengembangkan perusahaan yang
telah didirikannya dua tahun lalu. “Saya ingin membesarkan perusahaan dari segi asset
under management nya. Kami juga ingin membuat perusahaan ini besar dari segi produk,
aset yang dikelola dan jumlah nasabahnya,” akunya lagi. Sebagai catatan, di bawah
kemimpinan perempuan kelahiran Jakarta 1 Juni 1968 ini, MSAM mampu mengelola dana
hingga Rp 44 miliar hingga akhir Agustus ini.
Angka itu tentunya bukan kerja main-main, sehingga diperlukan sebuah tim yang solid
untuk mengelolanya. Tim yang solid akan tergantung dengan kemampuan sang
pemimpin dalam memimpin timnya. Dan Rizka Baely melihat kebutuhan itu. Sehingga
wajar bila ibu satu anak itu melihat pentingnya leadership dalam sebuah perusahaan.
“Karena leadership yang menentukan visi perusahaan, juga yang memberi semangat ke
team member untuk bergerak kedepannya,” kata lulusan terbaik Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia tahun 1992 ini. Sedangkan visi perusahaan yang dimaksud Rizka
lagi adalah bagaimana MSAM bisa menjadi perusahaan fund management yang penting
di Indonesia.
Untuk mencapai visi itu, Rizka senantiasa mendelegasikan tugas-tugasnya kepada
jajarannya. Dan itu diakui oleh Rizka sebagai bagian dari gayanya dalam memimpin
perusahaan. “Kalau saya lebih ke delegasi, yang penting itu kita memilih orang yang
tepat untuk bidangnya, integritasnya terpercaya, lantas kita training sesuai dengan
kebutuhan perusahaan seperti apa. Lalu tentu kita beri kepercayaan. Kita juga
memberikan delegasi-delegasi terutama untuk manajer-manajer didivisi yang
bersangkutan,” papar anak sulung dari tiga bersaudara itu yakin.
Sementara itu, untuk menerapkan gaya kepemimpinannya itu, mantan Direktur Asset
Management di Citibank itu mengaku tidak menemui kesulitan apapun. “Saya lihat
sementara ini jalan saja ya,” ucapnya. Yang penting menurut Rizka adalah pola dan
proses rekrutmennya. “Itu harus bagus ya. Tentunya orang-orang yang dipilih harus
mempunyai integritas dan reputasi yang baik.,” ucapnya lagi. Setelah semuanya ia
dapatkan, sudah puaskah Rizka Baely? Jawabnya, “Belum.”. Masih banyak yang harus
saya kerjakan. Perusahaan masih harus berkembang, begitu juga dengan pribadi saya
juga. Jadi kalau puas sih belum. Masih banyak yang harus dikerjakan. Tapi so far oke,”
tegasnya.
Dan untuk menggapai semuanya itu, Rizka memegang teguh filosofi hidupnya,
intellectually stimulating. “Bagi saya yang penting hidup secara intellectual stimulate,
secara spiritual peaceful, damai dan juga kita punya banyak teman,” tutupnya.
Sumber: Majalah Human Capital No. 30 | September 2006
Ananto Pratikno: Kesederhanaan Sang Server Leader
No. 30 - September 2006
Pagi itu, Selasa (23/8) sekitar pukul 07.30, di depan rumah yang luasnya tak lebih dari
180 meter persegi, Ananto Partikno (33) terlihat bersiap-siap. Kemeja putih lengan
panjang terlihat rapih menyelimuti tubuhnya yang ramping. Tak terlihat dasi menghiasi
lehernya, apa lagi jas, yang terlihat hanya celana panjang hitam yang menemani si
kemeja putih tadi. Ia juga tak sedang menenteng tas kulit penyimpan dokumen keluaran
merek ternama, tapi pria tiga anak itu terlihat menenteng sebuah helm dengan warna
yang telah pudar dengan tangan kanannya. Satu-satunya tas yang menemaninya pagi itu
hanya sebuah tas punggung hitam yang terlihat melekat dipunggung.
Sama seperti pagi-pagi yang lain, Executive Director Nielsen Media Research Indonesia
menumpang ojek menuju stasiun kereta yang jauhnya sekitar 15 Kilometer dari
rumahnya di pinggiran kota Depok, Jawa Barat. Di stasiun inilah, Ananto kemudian
berdesak-desakan dengan seribuan penumpang lainnya menumpang KRL Depok Ekspres
menuju Stasiun Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Lalu dengan menumpang Metromini atau
Kopaja, Ananto pun tiba di kantornya di Gedung Mayapada, Lantai 17, Kawasan Bisnis
Sudirman, Jakarta Pusat tepat waktu.
Ketika ditanya seputar rutinitasnya itu, jawaban yang muncul dari mantan Business
Development & Strategic Planning Director PT Hotlinetama Sarana ini singkat saja.
“Lumayan bisa lebih cepat sampai di kantor, hemat waktu kan?” ucapnya ketika ditemui
Anung Prabowo & Aditiyo Wirawan dari Human Capital di ruang kerjanya awal bulan lalu.
Tapi bagi 100 orang stafnya, rutinitas itu lebih merupakan cerminan dari sebuah konsep
ke sederhaan yang diyakini Ananto. Sebuah konsep hidup yang sama sekali tidak
berdampak buruk bagi perjalanan karirnya, tapi justru menuai kepercayaan banyak orang
kepada dirinya.
Kesederhanaan itu pula yang memperkuat konsep kepemimpinan yang diterapkan di
tempat bekerjanya yang sekarang. Mantan wartawan ini menganggap dirinya sebagai a
server leader. “Pemimpin yang melayani timnya, mereka butuhnya apa, apa yang bisa
saya backup dan lain sebagainya,” sambungnya. Konsep kepemimpinan itu dikutipnya
dari sebuah buku, in the Main of the Leader, terbitan Harvard University Press.
“Di situ ada beberapa cakupan bagaimana seorang leader bisa menjadi teladan bagi
karyawannya dan juga disenangi oleh klien nya sehingga di internal dia menjadi
motivator, fasilitator dari semua permasalahan yang ada di kantor baik masalah
marketing, masalah fi nancial, masalah HR, masalah operation dan di luar kita menjadi
semacam bisnis partner bagi mereka,” ungkapnya panjang lebar.
Konsep itu tentu perlu diterapkan ke dalam tim yang dipimpinnya. Mujurnya, Ananto
mengaku belum menemukan kesulitan ketia ia menerapkan gaya kepemimpinan itu
kepada anak buahnya. “Karena intinya adalah komunikasi kepada mereka,” jelasnya.
Meski mengaku belum menemukan kesulitan, Ananto menyadari munculnya beberapa
kendala dalam penerapan gaya itu. Selain pola komunikasi, kendala lainnya adalah
corporate culture yang telah ada sebelumnya dirinya memimpin. “Pemimpin yang lalu
kan gayanya beda dengan saya,” katanya.
Pertanyaannya sekarang, mengapa sebuah konsep leadership itu penting bagi seorang
Ananto Pratikno? Ia pun menjawabnya dengan lugas, karena menurutnya, leadership
memiliki peran yang besar bagi kemajuan sebuah perusahaan. “Keberhasilan suatu
perusahaan kan tidak hanya diukur oleh target sale yang harus dicapai, tapi juga harus
diukur oleh kepuasan karyawan dan kepuasan klien, nah yang itu memerlukan apa itu
yang disebut dengan leadership,” terang lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Kependidikan Universitas Lampung ini lagi.
Menurutnya, dirinya punya beberapa tugas utama yang harus dipenuhinya. Tugas utama
itu, mencapai target yang sudah digariskan perusahaan, mampu memberikan kepuasan
kepada para klien, menciptakan komunikasi yang bagus antara manajemen dengan
karyawan dan menyiapkan orang-orang yang mampu menjadi pemimpin. “Nah untuk
melaksanakan tugas itu, dibutuhkan kemampuan seorang leader,” terangnya. Seorang
leader itu harus bisa memotivasi dan memberikan inspirasi kepada timnya sehingga bisa
menjadikan suasana kerja yang menyenangkan.
Kalau sudah begitu, yang dilakukan Ananto dengan hati-hati adalah meng-upgrade
attitude, skill dan knowledge. Hasilnya, Ananto mengaku puas dengan kinerja timnya.
“Sampai saat ini Alhamdulillah beberapa target-target financial commitment kita
beberapa sudah tercapai,” akunya.
Sumber: Majalah Human Capital No. 30 | September 2006
Ageing Population Ancam Indonesia
No. 31 - Oktober 2006
Dalam sebuah pembicaraan di komunitas maya, Robby (38) sebut saja begitu, meminta
bantuannya pada rekannya. Manager HRD di sebuah perusahaan farmasi itu bingung
dalam memperlakukan beberapa karyawannya. “Di kantor saya ada karyawan yang
sudah berumur 60 tahun ke atas, saya bingung harus saya apain,” tutur Robby kepada
sang teman. Robby merasa serba salah, karena merujuk umur para karyawan yang sudah
senja sudah seharusnya para karyawan itu memasuki masa pensiun. “Tapi kemampuan
mereka masih belum tergantikan,” keluh Robby lagi.
Apa yang dialami Robby sebetulnya masih biasa-biasa saja, faktor usia dalam kaitannya
dengan soal kinerja akan menjadi masalah pada kurun waktu mendatang. Lihat saja hasil
survei yang diluncurkan Watson & Wyatt Indonesia pada awal bulan lalu. Menurut
Managing Consultant Watson & Wyatt Indonesia Lilis Halim, pada 30 hingga 50 tahun
mendatang, populasi yang menua (ageing population) akan muncul di Indonesia.
Tingkat harapan hidup yang semakin panjang, dan menurunnya tingkat kelahiran
(natality), menurut Lilis akan mengubah kurva populasi manusia di tanah air berdasar
umur. Kurva populasi manusia saat ini berbentuk kerucut, karena jumlah usia muda
masih lebih banyak dibandingkan populasi tua. “Masih ada pertumbuhan dari young
generationnya dan populasi yang tuanya tidak terlalu banyak.Tetapi, ke depan bentuknya
akan seimbang karena populasi yang menua tetap ada,” ucapnya.
Tenaga usia produktif makin sulit direkrut pasar tenaga kerja. Indonesia akan kekurangan
tenaga kerja produktif 5-10 tahun mendatang akibat populasi yang menua. “Akibatnya
kekurangan tenaga kerja produktif. Ini masalah tenaga kerja serius,”ujar Lilis lagi.
Populasi ini, ujar Lilis, berdampak besar terhadap pola rekrutmen karyawan. “Apalagi,
negara Asia Pasifi c menjadi negara tujuan kaum usia tua,” kata Lilis. Untuk Indonesia,
penelitian itu dilakukan terhadap 201 perusahaan, 80 persennya berbentuk perusahaan
terbatas. Watson juga meneneliti 11 negara lainnya, di antaranya Australia, China, India
dan Malaysia.
Kata Lilis, usia harapan hidup manusia Indonesia meningkat dari usia 68 tahun pada 2000
menjadi 75 tahun pada 2005. Populasi tenaga kerja yang berusia 50 tahun ke atas
mencapai 16 persen pada 2005, meningkat jadi 28 persen pada 2030 dan 37 persen
pada 2050. Populasi akan naik 3 kali lipat dari 38 juta pada 2005 menjadi sekitar 123 juta
di tahun 2050.
Pendapat serupa disampaikan praktisi HR yang juga Direktur PT Sinar Rejeki Utomo
George Surya Kencana. Menurut pria yang tinggal di Singapura itu, Asia selama ini
memang dikenal sebagai benua dengan pertumbuhan penduduk usia lanjut yang pesat.
“Bahkan pada saatnya nanti, dua pertiga penduduk dunia yang berusia lanjut akan hidup
di Asia,” ungkap salah satu dosen UI ini.
Selanjutnya menurut Lilis, usia para pekerja bertambah tua sementara banyak
perusahaan dan karyawan yang belum siap menghadapi masa pensiun itu. Hasil
penelitian Watson Wyatt menunjukkan bahwa populasi yang menua itu akan berdampak
besar terhadap pola rekrutment karyawan serta beban biaya dan pensiun yang harus
ditanggung oleh perusahaan dan karyawan.
Karena itu, perusahaan konsultan ini menganjurkan semua perusahaan untuk membuat
skema pensiun sejak dini dengan membagi beban biaya kepada perusahaan dan
karyawan, karena hal itu akan menjadi daya tarik tersendiri untuk mempertahankan
tenaga berpotensi agar tetap bekerja di perusahaan bersangkutan, kata Lilis.
Ketika diminta untuk menanggapi temuan tersebut, Direktur PT Wijaya Karya Tonny
Warsono menyatakan yang terpenting untuk dilakukan adalah mempersiapkan segala hal
agar bisa lebih siap lagi dalam mengantisipasi temuan tersebut. Bagi Tonny, trend yang
diprediksikan oleh tim dari Watson & Wyatt itu tentunya berbasis pada asumsi-asumsi
yang diambil. “Perubahan yang sangat cepat dalam dekade ini membuat perencanaan 3
tahun kedepan saja sudah merupakan suatu hasil yang sangat baik,” ujarnya.
Sehingga untuk menyikapi trend tersebut, menurut Tonny tidak hanya berhenti pada
pernyataan setuju atau tidak setuju terhadap temuan itu. “Namun kami lebih fokus
mengantisipasi perubahan cepat apa yang akan terjadi. Organisasi belajar akan terus
untuk trengginas (Agility) dalam mengadopsi perubahan yang terjadi,” sambungnya.
Namun seperti yang diakui Tonny, sejauh ini pihaknya masih belum menemui kendala
dalam melakukan regenerasi. “Dari pengalaman kami selama 2 tahun terakhir ini, rekrut
yang kami lakukan masih mudah mendapatkan Sumber Daya Manusia yang kami
perlukan,” ucapnya.
Sebagai catatan, rasio rekrut dibanding jumlah pelamar yang dimiliki WIKA mencapai
satu berbanding 70. “ Itu artinya untuk lowongan sekitar 30 orang, yang melamar
mencapai 2000 an orang, kadang malah mencapai 1:100 pada tahun ini,” ujarnya lagi.
Sementara itu pakar IT Tata Sutabri menyatakan sependapat dengan temuan Watson
Wyatt seputar trend ageing population di Indonesia tersebut. “Hasil survey itu
memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengantisipasi lebih dini tentang
semakin banyaknya populasi yang semakin bertambah tua di perusahaan tersebut,” ujar
Tata.
Dan itu berarti menurut Tata, perusahaan harus segera membuat regulasi sampai batas
usia berapa karyawan tersebut sudah dikatakan tidak produktif dan penyelenggaraan
program pensiun segera disiapkan ketika waktunya sudah tiba.
Meski begitu, soal sulitnya untuk mendapatkan usia kerja akibat semakin menua
populasi, Tata memiliki pendapat lain. “Menurut saya tidak sulit, kalau sedini mungkin
kita melalukan regenerasi untuk bidang-bidang tertentu, dimana pihak SDM sudah
melihat hal tersebut sebagai suatu kebutuhan jangka panjang,” ungkapnya.
Di bidang kerja yang digelutinya, Tata mengaku usia produktif rata-rata antara 23 hingga
60 tahun, seperti programmer, sistem analist, project manager, dosen. “Mereka kalau
sudah terlalu tua, bukan melihat dari fisik, tapi secara psikologis, semakin tua biasanya
semakin malas dan enggan untuk berubah sehingga pada usia tertentu mindset mereka
stag,” terang Tata.
Untuk kondisi tertentu bisa diterima, semakin tua semakin professional, tapi untuk
kondisi tertentu tidak berlaku. Seperti contoh untuk level top manajemen mungkin bisa
karena memang seorang pimpinan itu yang dibutuhkan adalah pemikirannya &
kemampuan berfikir (thinking skill), sementara untuk level middle & low manajemen
dibutuhkan orang-orang yang selain professional juga dia energik dari fisik maupun
psikologis. Biasanya orang muda bisa lebih kreatif, lebih bisa kompromi dalam diskusi dan
kadang-kadang nyeleneh...lalu bagaimana dengan Ageing Population-nya? Ya siap-siap
saja!
Program Pensiun Buat Si Tua
Meningkatnya populasi menua berdampak serius terhadap sektor ekonomi. Perusahaan
dan pemerintah akan menghadapi kenaikan beban SDM yang signifikan, karena
mayoritas pekerja berharap tetap mendapat tanggungan biaya kesehatan dan pensiun.
Masalah ini membawa dampak keuangan besar bagi perusahaan dalam dua dekade
mendatang. “Padahal, kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terbatas,” tegasnya.
Hal itu berdampak terhadap beban biaya kesehatan dan pensiun yang harus ditanggung
perusahaan. “Populasi yang menua menjadi isu sosial ekonomi besar di Asia Pasifik pada
abad ke-21,” ujar Lilis Halim.
Rencananya Agustus ini...
No. 29 - Agustus 2006
Meski untuk PT Lion Super Indo, istilah Budaya Kerja bukan hal yang baru lagi, namun
baru Agustus 2006 ini sebuah konsep Budaya Kerja yang sesuai kondisi yang ada bakal
diterapkan. Namun bukan berarti Super Indo tumbuh dan berkembang tanpa nilai-nilai
strategis yang menjadi jiwa dari pertumbuhan perusahaan tersebut.
Selama ini menurut Vice Executive Director Melanie Dharmosetio, Super Indo
menggunakan nilai-nilai strategis perusahaan yang menginduk kepada Delhaize asal
Belgia. Menurut catatan Super Indo hingga saat ini telah memiliki sedikitnya 3000
karyawan di seluruh Indonesia. Selama ini apa yang dijadikan Budaya Kerja oleh Delhaize
diterapkan pula di Indonesia.”Tapi kan pada akhirnya kita yang di Indonesia memiliki
nilai-nilai tersendiri yang sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia,” ungkap Melanie
ketika ditemui di ruang kerjaannya pertengahan Juli lalu.
Karena bagi Melanie, Budaya kerja tidak hanya terpaku pada suasana saja. “Tapi ada satu
nilai-nilai yang dianut di kelompok kerja tersebut yang kita sama-sama meyakini ini yang
terbaik di tempat kerja. Jadi sesuai dengan kebutuhan yang ada di komunitas tersebut,”
jelasnya lagi.
Atas pertimbangan itu pula, maka tim perumusan konsep Budaya Kerja di Super Indo pun
dibentuk. Orang-orang terbaik dari divisi Organitation Development menjadi tulang
punggung tim perumus tersebut yang mulai bekerja serius setahun lalu. “Hasilnya pada
tahap awal, tim berhasil merumuskan empat hal,” terang Manager Organizational
Development PT Lion Super Indo Giokniwati yang mendampingi Melanie. Empat core
value menurut Giokniwati itu sudah ada meski nuansa Delhaize sebagai perusahaan
induk masih begitu terasa. Keempat core value itu leadership, excellent in execution,
learning company kemudian attractive workplace.
Setelah melalui perjalanan melelahkan, nilai-nilai strategis yang mengakar dari nilai-nilai
yang ada di Super Indo pun terumuskan. “Kami temukan empat hal yang cocok dengan
Super Indo yaitu integrity, team work, innovation and simplicity,” ungkap Melanie lagi. Di
dalam konsep integrity bagi Super Indo ada lima konsep yang ditekankan, jujur,
bertanggung jawab, berani mengakui kesalahan, budaya yang positif dan konsisten.
Sedangkan di dalam konsep teamwork yang terpenting adalah koordinasi kerja. “Karena
kita bergerak di retail dimana banyak distribution channel dan outlet dimanamana. Jadi
antara outlet dengan kantor pusat harus ada koordinasi,” sambung wanita yang hobi
melukis itu. Sedangkan di dalam konsep innovation yang diharapkan kecenderungan para
karyawan untuk tidak pernah berhenti belajar. Sementara itu dalam simplicity baik
Melanie maupun Giokniwati berharap segala sesuatunya menjadi lebih simple. “Membuat
segala sesuatu yang rumit itu menjadi simple, itu harapan kami”lanjutnya.
Melanie menyadari bahwa tidak mudah menerapkan konsep budaya kerja itu ke seluruh
anggota komunitas perusahaannya. “Bayangkan, untuk kantor pusat ada sekitar 200
karyawan itu belum ditambah sekitar 3000-an di seluruh toko yang kami miliki,” terang
wanita yang sudah bekerja di Super Indo sejak 1997 lalu.
Untuk itu, Melanie menyiapkan kiatnya. “Pertama, kita berembuk bersama semua top
management dari tiap divisi. Setelah itu kita pilih orang-orang yang secara konsep kita
anggap sudah cukup memahami empat core value tadi,” jelasnya. Lalu setelah tahapan
itu sukses dilakukan, Melanie akan melihat apakah orang-orang pilihan itu bisa
mendelivery kepada bawahannya. “Baru, kemudian orang-orang ini kita ajak down to
store, yaitu kita campaign ke toko-toko untuk mensosialisasikan,” paparnya.
Bila semua berjalan sesuai dengan yang diharapkan, Melanie yakin pemahaman budaya
kerja ini akan efektif dan akhirnya bermuara pada kinerja profesional serta produktivitas
yang meningkat dan itu bakal terlihat jelas dalam performance managemant. “Tetapi
saya tidak memasang target terlalu tinggi akan sukses karena tidak mudah untuk
berubah. Apalagi bicara core value bicara tentang sikap. Bukan cuma skill, (tapi)
behavior,” lanjutnya
Di balik itu semua, ada keinginan yang begitu dominan di dalam pikiran Melanie untuk
sesegera mungkin dilaksanakan. “Saya “ ingin di Super Indo lebih rileks, lebih gembira.
Tetapi tetap serius.
Sikap sebagai partner juga anak buah sebagai mitra harus dikembangkan supaya mereka
juga merasa tidak takut berbicara dengan orang-orang yang jabatannya lebih tinggi.
Sehingga orang bekerja dengan senang hati. Berhadapan dengan atasan bukan suatu
yang menakutkan tetapi seorang yang enak untuk diajak kerjasama. Sehingga nantinya
akan bekerja dengan nyaman,” harap Melanie.
Harapan Melanie itu memuncak seusai ia hampir setengah bulan lebih mengunjungi
perusahaan retail di negeri Paman Sam. Di negeri itu, Melanie banyak menjumpai kalau
mereka (pekerja-red) lebih ekspresif.
Pekerja di negeri George W Bush itu bangga akan pekerjaannya, apapun pekerjaan
mereka. Itu ditunjukkan oleh sikap mereka yang ceria.
Bandingkan pekerja di Indonesia yang lebih sopan, diam. Kalau disini tidak
memperlihatkan apakah mereka bangga atau tidak. Mungkin karena kita orang Indonesia
kita lebih menutupi perasaannya. “ Saya ingin Super Indo itu menjadi Super Indo yang
survive dan leading di bidangnya,” harapnya lagi.
Sumber: Majalah Human Capital No 29 | Agustus 2006
Corporate Culture: Mitos?
No. 29 - Agustus 2006
Berbagai penelitian telah sampai pada kesimpulan: budaya korporat, kultur menentukan
keberhasilan suatu organisasi. Kultur menjadi semacam icon manajemen dalam dekade
terakhir, dibicarakan di banyak seminar.
Pentingnya Corporate Culture, budaya korporat, banyak yang sudah yakin. Berbagai
penelitian, pengakuan CEO maupun survey tidak jarang sampai pada kesimpulan: budaya
korporat, kultur menentukan keberhasilan suatu Organisasi, apapun bentuk dan tujuan
Organisasi tersebut. Kultur menjadi semacam icon manajemen dalam dekade terakhir,
dibicarakan di banyak seminar.
Sayangnya, banyak yang tidak yakin terhadap pertanyaan lanjutan. Kalau kultur memang
penting, dapatkah kultur menjadi “variable” Organisasi yang dapat dikelola? Dapatkah
kita ubah? Kalau dapat bagaimana caranya? Dan yang terpenting kemana harus diubah?
Tiga pertanyaan terakhir, sebenarnya menjadi kunci apakah kultur di suatu Organisasi
dapat menjadi suatu kekuatan penentu keberhasilan, atau sebaliknya menjadi titik lemah.
Monster versus Malaikat
Apakah kultur, semacam Monster yang menggeroti kinerja atau Malaikat penyelamat
kinerja Organisasi? Pengalaman Bank Indonesia, dan juga beberapa bank di Indonesia,
kultur dapat menjadi Monster kalau kultur tidak cocok dan bahkan berlawanan dengan
visi dan misi Organisasi.
Kultur, yang dalam definisi praktis: nilai yang dianut dan mengejawantah dalam perilaku,
sistem dan cara kerja-harus sesuai dengan strategi Organisasi. Disini sering timbul
pertanyaan, apakah strategi harus menyesuaikan kultur yang berkembang di
perusahaan? Jawabnya justru sebaliknya; kultur harus menyesuaikan dengan strategi,
walaupun mengubah kultur tidak mudah.
Strategi diambil sebagai konsekwensi logis dari misi dan visi perusahaan. Sebagai misal,
perusahaan ingin memenangkan persaingan dengan high-tech, inovasi dan riset. Kalau
kultur yang berkembang adalah klan-keluarga yang berorientasi kedalam, akan sangat
sulit memenuhi strategi perusahaan. Dalam kultur klan, orang-orang sudah merasa
nyaman, puas dengan situasi sekarang, akrab, tolerans, biasanya tidak berani menilai
kinerja rendah. Kultur tipe ini tidak cocok dengan keinginan dan strategi Organisasi yang
dinamis dan inovatif. Disini kultur, tanpa disadari, menjadi Monster yang menghambat
tujuan Organisasi, dan jelas harus diubah.
Ada dua syarat agar kultur dapat menjadi Malaikat pembantu kinerja. Pertama, seperti
diatas, kultur harus kompatibel dengan strategi, visi, misi. Kedua, kultur harus kuat.
Kultur kuat dimaksudkan dianut oleh semua (seragam-homogen) stakeholder Organisasi,
khususnya stakeholder internal; manajemen, sistem yang ada dan pegawai. Sering kita
temui, rumusan kultur yang ingin dicapai sudah tepat, cocok dengan strategi. Biasanya
dirumuskan dalam 3 sampai 5 values seperti; customer care, responsibility, integritas,
kompeten dan berbagai kata yang “baik”. Namun apabila rumusan ini tidak “hidup” di
seluruh komponen Organisasi, hanya beberapa orang yang mempraktekkan, kultur ini
masih lemah dan tidak berdampak pada kinerja. Apalagi kalau yang “hidup” justru values
yang berlawanan.
Kultur : DNA Organisasi
Kultur merupakan sistem nilai yang utuh dan “hidup” di suatu Organisasi. Tidak
berlebihan bila ditamsilkan kultur adalah DNA Organisasi. Sebagaimana DNA pada
Manusia yang tersembunyi pada inti sel, kultur juga tidak kasat mata, namun
menentukan semua gerakan dan daya tahan Organisasi terhadap tantangan yang ada.
Pemahaman konsep semacam ini penting kalau kita ingin mengubah atau menyesuaikan
kultur Organisasi. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa penanganan yang
separatis, sulit sekali berhasil, bahkan sering menjadi pukulan balik-backfire-dari tujuan
semula. Sebagai contoh sebuah Organisasi yang meningkatkan gaji pegawai agar kinerja
meningkat. Sering manajemen menjadi kehabisan akal, kenapa kinerja tak kunjung
meningkat. Ini karena kurangnya pemahaman terhadap mekanisme psikologis dalam
Organisasi.
Tidak ada jalan Pintas
Mengubah kultur perlu stamina,energi dan waktu. Tanpa ini, biasanya kita cepat
menyerah dan sampai pada kesimpulan bahwa kultur tidak dapat diubah, sesuatu yang
“given”. Perubahan yang demikian lama juga bukan pilihan yang ekonomis bagi sebuah
Organisasi, apalagi yang berorientasi jangka pendek. Untuk Organisasi jenis ini saya
sarankan lupakan kultur.
Bagaimana seharusnya mengubah atau bahkan membangun kultur? Jawaban generiknya:
change management. Banyak teori mengenai perubahan ini, mulai dari Kotler dengan 8
step of change sampai Managing Transition dari William Bridges. Memang tidak ada jalan
pintas. Perlu ada semacam “quick win”-hasil yang segera terlihat. Tanpa ini, semua yang
terlibat perubahan akan putus asa dan kehabisan napas. Dalam memilih quick win, perlu
dipertimbangkan dua hal : dampak yang luas dan gampang dicapai. Untuk sebuah bank
misalnya yang ingin customer care meningkat, memilih petugas front liner mulai dari
satpam, teller, customer office akan segera terlihat oleh semua karyawan. Perubahan
dapat dimulai dari yang paling gampang; seragam, tersenyum, menyapa dll. Quick-win
semacam ini harus segera pula disiarkan, diexpose keseluruh stakeholder, agar diperoleh
halo-effect yang pada gilirannya menambah keyakinan pihak yang terlibat.
Quick-win ini tidak akan berarti kalau tidak terus diikuti perubahan yang lebih sistemik.
Langkah selanjutnya, tergantung dari kebutuhan. Untuk Organisasi besar dengan ribuan
karyawan, kultur harus dibangun dari sistem pengelolaan SDM-nya seperti; sistem
penilaian kinerja, sistem promosi dan sistem gaji. Tiga terakhir sangat krusial dan
powerfull. Sebagai contoh, kalau Organisasi menginginkan pegawai yang inovatif, apakah
sistem gajinya juga selaras. Kalau inovatif dan yang biasa saja, digaji sama, pegawai
tidak termotivasi. Role Model atau teladan pimpinan, walaupun tidak terlalu powerfull,
harus ada (must), apalagi untuk Indonesia Widyo Gunadi yang sangat paternalistik.
Sumber: Majalah Human Capital No. 29 | Agustus 2006

Portalhr - Strategi HR – halaman 2


Halaman [ |« Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 ... Selanjutnya »| ] dari 17
PT Semen Gresik Tbk - Menyiapkan SDM Menuju Persaingan Global
No. 30 - September 2006
Bila yang Muda Menjadi Pemimpin
No. 30 - September 2006
Budaya Antri
No. 30 - September 2006
Dari Mulai ARTI, 3-2-1 Hingga 1-3-5
No. 29 - Agustus 2006
People Adalah Asset Terbaik Kami
No. 29 - Agustus 2006
How Close Your Strategy to Your People?
No. 29 - Agustus 2006
Budaya Kerja, Antara Harapan dan Kenyataan
No. 29 - Agustus 2006
Meneg BUMN Sugiharto,
No. 29 - Agustus 2006
Mencari Sistem Manajemen Kinerja Efektif
No. 28 - Juli 2006
In Search of Indonesia Human Capital Excellence
No. 27 - Juni 2006

PT Semen Gresik Tbk - Menyiapkan SDM Menuju Persaingan Global


No. 30 - September 2006
Persaingan dunia usaha yang semakin ketat serta berkembangnya ekonomi global,
mendorong perseroan untuk menjadikan sumber daya manusia sebagai aset utama dan
mitra strategis dalam mencapai Visi dan Misi suatu Perseroan, sehingga peningkatan
kompetensi dan profesionalisme sumber daya manusia menjadi tuntutan yang mutlak
untuk dipenuhi.
Termasuk salah satunya adalah PT Semen Gresik (Persero) Tbk, yang memiliki visi ingin
menjadi perusahaan persemenan bertaraf internasional yang terkemuka dan mampu
meningkatkan nilai tambah kepada para pemangku kepentingan (stakeholders). Serta
salah satu misinya adalah mewujudkan manajemen perusahan yang berstandar
internasional dengan menunjang tinggi etika bisnis, semangat kebersamaan dan
bertindak proaktif, efisien serta inovatif dalam berkarya.
Perseroan ini secara berkelanjutan berusaha memenuhi kebutuhan sumber daya
manusianya dengan meningkatkan sumber daya manusia yang sehat dan produktif, serta
mengidentifikasi kebutuhan kompetensi, melakukan penilaian terhadap sumber daya
manusia dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sesuai tuntutan kompetensi.
Pada tahun 2005 lalu jumlah jam pelatihan meningkat 29% dibandingkan tahun 2004.
Hasilnya Perseroan ini pun juga berupaya menciptakan iklim kerja yang kondusif dengan
menerapkan sistem manajemen yang terintegrasi, internalisasi Budaya Perusahaan serta
mengembangkan sistem informasi manajemen sumber daya manusia yang terintegrasi
dengan sistem informasi manajemen perseroan. Di samping itu Perseroan juga
memberikan kesempatan yang luas bagi sumber daya manusia untuk memperoleh
pendidikan akademis pada jenjang yang lebih tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Direktur Keuangan PT Semen Gresik (Persero)Tbk
Cholil Hasan, “Konsep manajemen SDM berbasis kompetensi dikembangkan dalam
rangka membentuk karyawan yang siap menghadapi perubahan dalam mencapai tujuan
Perseroan jangka panjang,” paparnya.
Sistem manajemen SDM secara pastinya akan dikembangkan dan dimplementasikan.
Assessment karyawan dalam rangka pengembangan dan penempatan dilaksanakan
tahun 2004 dan 2005 secara berkesinambungan berdasarkan kompetensi, job, value,
kinerja dan motivasi. Bersamaan dengan itu bekerja sama dengan konsultan independen,
konsep manajemen SDM berbasis kompetensi dikembangkan dalam rangka membentuk
karyawan yang siap menghadapi perubahan dalam mencapai tujuan Perseroan jangka
panjang.
Dalam bidang kesejahteraan, PT Semen Gresik (Persero) Tbk secara terus menerus
mengupayakan adanya peningkatan kesejahteraan karyawan beserta keluarganya,
antara lain dalam bentuk penyesuaian tingkat penghasilan secara berkala, memberikan
tunjangan lain, memfasilitasi kegiatan keagamaan/sosial, olah raga dan kesenian dan
memberikan layanan kesehatan secara komprehensif bagi karyawan dan keluarganya.
Perseroan juga secara konsisten mengidentifikasi dan mengevaluasi kondisi lingkungan
kerja dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan produktif
dilingkungan perseroan.
Dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia sebagai aset utama dan mitra
strategis dalam menjalankan usaha. Perseroan senantiasa berupaya membangun
hubungan industrial yang harmonis dengan para karyawan seperti yang tertuang dalam
bentuk Surat Perjanjian Kerja Bersama antara Perseroan dengan serikat pekerja di
lingkungan perusahaan.
Setelah melalui assessment pada bulan Januari 2005 lalu, PT Semen Gresik (Persero)Tbk
menerima sertifikat dengan predikat bendera emas atas penerapan Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3). Sistem tersebut diterapkan Perseroan untuk
menciptakan kesadaran karyawan tentang kesehatan dan keselamatan kerja di
lingkungan kerja. Hal tersebut memberikan kontribusi terhadap iklim kenyamanan dan
keamanan karyawan dalam menjalankan tugasnya.
Program Sinergi
Untuk meningkatkan kinerja yang berkesinambungan, PT Semen Gresik (Persero)Tbk
menerapkan program sinergi dengan anak perusahaan khususnya yang bergerak
dibidang industri semen (Semen Padang dan Semen Tonasa).
Selama tahun 2005 lalu, pengembangan program sinergi telah banyak dilaksanakan,
salah satunya pada sektor sumber daya manusia yang telah tersusun mengenai
standarisasi kompetensi.
Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Utama PT Semen Gresik (Persero) Tbk Dwi
Soetjipto, “Sepanjang tahun 2005, kami fokus pada tindakan-tindakan yang dapat
meningkatkan sinergi dan efisien di dalam Perseroan. Hasil nyata upaya-upaya tersebut
tercermin pada posisi keuangan Perseroan yang menguat,” ungkapnya.
Keberadaan anak perusahaan (Semen Padang dan Semen Tonasa) itu ternyata
dimaksudkan untuk mendukung PT Semen Gresik (Persero) Tbk dalam mencapai visi dan
misi yang dimilikinya tersebut.
PT Semen Padang (SP) memang merupakan salah satu anggota Semen Gresik Group
yang sahamnya dimiliki oleh Perseroan sebesar 99,99% dan salah satu produsen semen
terbesar di wilayah Sumatera. Kapasitas produksi terpasang mencapai 5.240.000 ton per
tahun yang menjadikan SP sebagai pemasok kebutuhan semen terbesar di wilayah
Sumatera.
Sementara PT Semen Tonasa (ST) yang sahamnya dimiliki Perseroan sebesar 99,99% juga
merupakan salah satu anak perusahaan Semen Gresik Group yang berlokasi di Biringere,
Pangkep, Sulawesi Selatan. Kapasitas produksi terpasang saat ini sebesar 3.480.000 ton
per tahun dan menjadikan ST sebagai pemasok kebutuhan semen terbesar, khususnya di
daerah Sulawesi.
Kedua anak perusahaan itu memiliki kontribusi besar bagi perkembangan PT Semen
Gresik (Persero) Tbk, karena sebagai produsen semen yang menghasilkan kapasitas
produsksi terbesar dibanding dengan anggota Perseroan lainnya.
Good Corporate Governance
PT Semen Gresik (Persero)Tbk memahami bahwa perubahan lingkungan bisnis dan
persaingan yang semakin kompetitif membutuhkan suatu perangkat handal untuk
menciptakan perusahaan unggul yang senantiasa berkembang dengan sehat. Bagi
Perseroan, tata kelola perusahaan (Corporate Governance) merupakan suatu sistem
dimana aturan, kaidah, norma dan pedoman Perseroan diperlukan untuk menetapkan
arah dan kendali perusahaan. Komitmen Perseroan dalam menerapkan tata kelola
perusahaan yang baik merupakan jaminan terhadap pelaksanaan praktek-praktek bisnis
yang sehat dalam setiap kegiatan operasional perusahaan.
Dari tahun ke tahun PT Semen Gresik (Persero) Tbk terus berupaya untuk memperbaiki
dan meningkatkan tata kelola perusahaan,baik dari segi komitmen maupun
penerapannya. Tujuan utama tata kelola perusahaan yang baik adalah untuk
meningkatkan kinerja usaha dan pertumbuhan jangka panjang serta menciptakan nilai
bagi pemegang saham dan stakeholders lainnya.
Salah satu langkah penting pada tahun 2005 lalu dalam meningkatkan penerapan tata
kelola perusahaan yang baik adalah dengan terbentuknya Komite Asuransi dan
Manajemen Risiko sebagai organ Komisaris yang bertugas membantu melakukan
penilaian secara periodik terhadap risiko usaha dan memberikan rekomendasi kepada
Komisaris tentang pengelolaan risiko usaha dan jenis serta nilai asuransi yang ditutup
oleh Perseroan dalam hubungannya dengan risiko usaha.
Langkah penting yang dilakukan dalam penerapan manajemen risiko pada tahun 2005
lalu itu adalah dengan telah selesainya pekerjaan “Pre-Diagnostik Risiko Perusahaan”
pada proses bisnis inti Perseroan dan menghasilkan peta risiko (risk mapping) yang
memberikan gambaran umum tentang portfolio risiko bisnis perusahaan tersebut.
Bila yang Muda Menjadi Pemimpin
No. 30 - September 2006
Membangun kesuksesan sebuah perusahaan apalagi negara tidak lah semudah yang kita
bayangkan, perlu ada proses yang cukup panjang untuk dapat menuju kesana. Salah satu
faktor yang menentukan sebuah perusahan itu menjadi sukses atau tidak tegantung dari
seorang leader atau pemimpinnya. Sialnya, hal yang paling sulit sekarang ini adalah
bagaimana seorang pemimpin tersebut ditemukan.
Lalu apa yang menyebabkan sulitnya menemukan seorang pemimpin? Bisakah setiap
orang bisa menjadi pemimpin? Dan siapakah yang ideal masuk dalam komunitas
bergengsi ini? Yang tua atau yang muda?
Sebetulnya tak sulit menemukan seorang pemimpin di dalam sebuah crowd, sekelompok
orang ataupun komunitas. Karena menurut Managing Director NBOGroup Susanna S
Hartawan, semua orang sebenarnya punya kemampuan untuk menjadi seorang
pemimpin. “Cuma, kemampuan orang itu berbeda-beda,” ungkap Susanna yang sehari-
harinya bergelut dengan konsep leadership ini.
Selain itu setiap orang juga memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi seorang
pemimpin. “Semuanya tergantung dari calon leader tersebut dalam mengembangkan
dirinya menjadi yang terbaik,” tambah Susanna.Dan untuk mendapatkan nilai-nilai
kepemimpinan dalam diri seseorang itu diperlukan perpaduan antara bakat dan
kompetensi yang bisa dikembangkan secara seimbang.
Sehubungan dengan hal itu, ada lima tipe kepemimpinan yang selama ini dipahami
dengan baik oleh Susanna. Kelima tipe kepemimpinan itu, strategic leadership,box
leadership, expertise leadership, human asset leadership, change agent leadership.
Pemimpin menurut Susanna harus mampu memimpin dirinya sendiri dulu, dan bila dia
sudah bisa memimpin dirinya sendiri baru dia bisa memimpin orang lain. “Jadi seorang
pemimpin itu baru akan diakui sebagai seorang pemimpin kalau dia punya anak
buah,kalau dia nggak punya anak buah dia bukan pemimpin ya kan,” ujarnya
berpendapat,
Namun untuk hal ini, pendapat agak berbeda disampaikan Managing Director Discover
Synergy Aisha Dagmar. Menurut Aisha, leadership itu tidak harus membentuk
sekelompok orang. Bila prinsip dari leadership adalah menjadi panutan, maka seseorang
bisa jadi panutan di masyarakatnya. “Tidak harus punya anak buah. Jadi nggak harus jadi
manajer atau punya titel, jabatan struktural seperti diperusahaan,” lanjutnya.
Talent atau Competency
Leadership bagi Managing Director Discovery Synergy Aisha Dagmar adalah sesuatu
yang bisa dibentuk sesuai dengan kompetensinya. “Pada prinsipnya memang ada orang
yang born to lead. Tapi bukan berarti mereka yang tidak born to lead, kepemimpinannya
tidak bisa diasah. Kepemimpinan itu bisa dikembangkan melalui program-program
pelatihan,” ungkapnya lagi.
Menurut wanita kelahiran Dusseldorf, Jerman itu, ada beberapa karekteristik dasar yang
harus dimiliki oleh seorang leader. Karakter dasar ini yang nantinya bisa diasah,
dikembangkan, ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan maupun program pengasahan
diri sendiri. Beberapa karakter dasar yang dimaksud itu di antaranya sikap tegas. “Kalau
kita bilang A, kita lakukan A. Ini adalah cermin dari seorang yang memiliki karakter
kepemimpinan karena dia adalah panutan dari bawahan atau anggota timnya,”ucap ibu
dua anak ini.
Contoh karakter lainnya, mampu mempercayai orang lain. Bila seorang leader tidak
mampu mempercayai anak buahnya, maka akan sulit buat dia untuk mendelegasikan
tugasnya. “Jadi jangan harap bila anda tidak bisa mempercayai bawahan anda, mereka
bisa percaya pada anda sebagai seorang pimpinan,” lanjutnya.
Lebih jauh lagi menurut wanita yang suka jalan-jalan ini, leader sama seperti wanita,
lebih instingtif. Kenapa seperti itu karena di kehidupan nyata kadang ada orang yang
pintar memanipulasi keadaan. Orang itu mampu menunjukkan sifat-sifat yang positif,
bahkan hebat dari dirinya tapi nyatanya dia itu tidak seperti itu. “Nah, seorang pemimpin
harus mampu melihat ini. Ini semata-mata bukan suaitu kompetensi atau skill tapi dari
insting dia juga,” ucapnya.
Sementara itu pengagas Talent BHRM Pande Nababan Agus Jaya mengaku sempat
berpikir kalau kepemimpinan itu bisa dibentuk, bisa dilatih. “Sama dengan pengusaha, itu
bisa dilatih dan dibentuk,” ujarnya. Pemikirannya itu didasari oleh berkembangnya
konsep Competency Based HRM, yang selalu menetapkan role model serta kompetensi
yang dijadikan acuan. Tapi sekarang setelah ia mengembangkan konsep Talent Based
HRM, kepemimpinan tidak akan efektif dikembangkan di dalam diri seseorang yang tidak
memiliki karakter itu sebagai bawaan dari lahir.
Sedangkan ketika diminta memilih apakah leadership itu itʼs a given atau sesuatu yang
bisa dikembangkan. Susanna menjawab yang kedua. “Saya lebih mengatakan bahwa
kepemimpinan itu bisa dikembangkan,” ujarnya.
Tapi bila anda ingin jadi pemimpin namun insting itu belum muncul, tak perlu takut.
Insting ini menurut Aisha juga bisa dikembangkan. “Dari jam terbangnya memimpin.
Semakin lama dia memimpin, semakin terasah instingnya,” tuturnya. Hanya saja,
semakin bertambah umur seseorang, semakin kuat karakter yang dimilikinya. “Tapi kalau
sudah usia 40 keatas dia baru mengembangkan kepemimpinan, memang sudah agak
sulit ya,” tambahnya.
Sulit untuk menentukan kapan secara emosi seseorang sudah bisa dibilang matang.
Karena Emotional Quotient itu datangnya lain-lain pada setiap orang. Dari kematangan
EQ itu ada orang yang sudah 40 nggak matang-matang. Ada anak SMP yang sudah pintar
sekali memimpin teman-temannya.
Tapi biasanya tingkat kematangan itu tergantung pada usia, pengalaman dan juga
kesempatan. “Untuk yang satu ini, tidak semua orang punya kesempatan sama. Jadi
kesempatan itu harus kita ciptakan sehingga bisa menjadi hitungan,” lanjutnya.
Dulu, sekitar 15 tahun yang lalu, untuk melihat seseorang matang atau tidaknya dalam
hal kepemimpinan seringkali ditinjau dari faktor usia. Kata Aisha, seseorang harus
berumur di atas 40 tahun dulu, baru bisa menduduki posisi puncak. “Sekarang tidak lagi,
generasi sekarang lebih kritis, lebih proaktif, ada kecenderungan lebih tegas juga,
mereka jadi lebih ketat proses pembelajaran, dengan demikian pemolesan keterampilan
kepemimpinannya menjadi lebih cepat, sehingga mereka bisa matang dalam usia
sebelum 40 tahun,”ucapnya.
Sedangkan Pande Nababan berpendapat, paling lambat umur 40 seseorang sudah harus
menjadi world class leader. “Kenapa? Karena diumur 40 seseorang mencapai level
kompetensi yang tinggi, dia pintar dan secara kejiwaan dia sudah matang,” kata Pande.
Tapi untuk yang ini giliran Susanna yang kurang sependapat. “Kalau menurut saya tidak
ada batasan usia, tetapi yang ada itu adalah bagaimana dia bisa melihat suatu
kesempatan dan dia bisa menjalankan kesempatan itu dengan baik,” ujarnya.
Dari semua itu, yang tidak kalah pentingnya menurut pendiri Bank Niaga Robby Djohan
adalah bagaimana persiapan kita dalam mempersiapkan generasi penerus. “Saatnya
sekarang ini generasi penerus untuk diberi kesempatan untuk memimpin “ ujar Robby.
Hanya saja menemukan seorang pemimpin yang mempunyai jiwa leadership yang baik
ternyata menurut Robby Johan amat sulit. Seorang leader atau pemimpin tidak dilahirkan
begitu saja namun harus dibangun, harus mempunyai standarisasi. “Salah satunya
mempunyai karakter, karakter yang dimaksud adalah harus memiliki kepintaran yang
didapat dari pendidikan, serta berpengalaman,” ucapnya lagi.
Karakter ini sangat penting karena dengan kepintaran dan mempunyai pengalaman yang
juga ditunjang dengan keahlian, bukan hal mustahil seorang leader tersebut akan bisa
menentukan atau memutuskan sebuah masalah dari perusahaannya apabila seorang
leader tersebut mendapatkan masalah atau krisis diperusahaannya dengan cepat dan
akurat. Namun, jangan terjebak dengan memenuhi kriteria karakter-karakter semata,
walaupun seorang leader sudah memenuhi itu semua, akan tetapi penempatannya tidak
sesuai maka akan percuma saja. Dan kini bintang-bintang muda mulai bermunculan. Mari
kita simak sekelumit pandangan dan gaya kepemimpinan mereka.
Sumber: Majalah Human Capital No 30 | September 2006
Budaya Antri
No. 30 - September 2006
Bambang melongok ke kanan dan kiri. Tangannya naik-turun sebagai isyarat
menghentikan kendaraan yang lewat didepannya. Sudah sepuluh taxi yang melewatinya
tanpa sedikitpun mengurangi kecepatan. Laki-laki asal Semarang yang lama tinggal di
Jakarta itu, butuh taxi untuk pulang ke hotel. Dari jauh dilihatnya suatu barisan manusia
seperti ular-naga di depan sebuah supermarket. Anehnya, sopir taxi selalu mengerem
mobilnya di depan barisan itu, buka pintu belakang, dan menyilakan masuk orang yang
berdiri paling depan, dan tancap gas kembali. Begitu seterusnya,dan Bambang tetap
tidak mendapatkan taxi, kendati lambaian tangannya malahan sudah diikuti teriakan,
“Stop taxi, sir”.
Kejadiannya memang bukan di jalan Manggarai atau Matraman, pun bukan di jalan elit
Thamrin atau Sudirman. Tapi di “Orchard-Road” Singapura. Manusia bak ular naga itu lagi
antri untuk mendapatkan taxi. Dan itulah keharusan yang dilakukan di sana. Seluruh
kehidupan di negeri Singa memang sudah ditandai dengan gejala antrian.
Banyak momen dalam hidup bermasyarakat yang memang membutuhkan antrian.
Membeli karcis KA, ruang tunggu dokter, Kentucky Fried Chicken, perempatan jalan raya,
dan masih banyak lagi. Tata cara berantri tidak pernah diajarkan oleh siapapun, tetapi
sistem-antrian bisa dimengerti secara universal oleh manusia normal. Bila jumlah sumber
pelayanan lebih sedikit daripada pemakai kebutuhan, maka antrian tak pelak lagi mutlak
dibutuhkan. Dan situasi itu besar kemungkinan untuk muncul di negara berkembang –
termasuk Indonesia – di mana sumber pelayanan relatif sangat terbatas dibanding
peminatnya.
Kebiasaan antri memang belum membudaya di masyarakat Indonesia. Dan Bambang
kena getahnya di Singapura. Pergilah ke stasiun Gambir, lebih-lebih menjelang lebaran.
Antrian untuk membeli karcis memang mula-mula ada, tetapi tidak sedikit manusia-
manusia yang merasa dirinya harus diprioritaskan, langsung menyerobot ke depan atau
lewat pintu belakang loket. Dan antrian bubar tak karuan. Dalam teori antrian,
penyerobot-penyerobot tersebut disebut Pengganggu-Sistem (System disturbance) dan
harus dienyahkan jika sistem ingin tetap dipertahankan. Baru-baru ini kemacetan lalu-
lintas di Jakarta menjadi topik yang aktual, tetapi “system-disturbance” ini belum
disinyalir sebagai biang malapetaka kemacetan jalanan di Jakarta, yang sekarang sudah
pula diikuti oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Itulah yang pertama-tama justru
harus dibasmi dan bukan hanya diseminarkan. Pernahkah anda melihat kemacetan lalu-
lintas di Puncak? Mobil berderet sepanjang berkilo-kilo meter. Dalam model antrian
seperti itu, disiplin diri mutlak diperlukan. Tapi apa yang sering terlihat? Banyak sopir
yang tidak sabar. Langsung menyalip dari kanan atau kiri, bukan memperlancar tetapi
malahan membikin runyam. Dan herannya itu juga dilakukan mobil-mobil mewah yang
tentunya milik orang berduit, yang biasanya berpendidikan.
Apakah sebab orang kita dikenal tidak dapat berdisiplin untuk antri? Pertama tentu
karena kesadaran bermasyarakatnya kurang. Kedua, karena rasa ego yang berlebihan
dan ingin cepat dan enak sendiri. Ketiga, karena bangsa Indonesia terkenal luwes dan
sulit bersifat “zakelijk”. Padahal syarat mutlak antrian dapat tertib adalah rasa lugas itu.
Yang dulu dilayani duluan, yang kemudian menyusul. Istilah kerennya “First In First Out”
(FIFO). Biar atasan harus dilayani belakangan bila sang bawahan datang lebih awal.
Antrian yang lancar memang tak kenal tua-muda, pria-wanita atau kaya-miskin. Anti
diskriminasi. Yang terakhir, lebih aman kalau kita salahkan penjajah Belanda yang tidak
mendidik untuk membiasakan bangsa Indonesia berantri.
Jalan keluar satu-satunya adalah pendidikan bangsa. Masyarakat harus dipameri bahwa
dengan tertib berantri, segala urusan akan lebih cepat beres. Kebiasaan untuk berdisiplin
antri harus dicanangkan dan sarana untuk antri harus disediakan di setiap tempat umum.
Lengkap dengan segala sangsinya. Di sekolah-sekolah – sejak Taman Kanak-kanak hingga
Perguruan Tinggi – perlu ditanamkan bahwa antri adalah suatu kebiasaan yang harus
keluar secara spontan. Cara berebut dan main sodok dianggap tabu. Dan yang penting
rasa paling-kuasa, paling-penting, paling-kuat atau paling-layak diprioritaskan mesti
sedikit demi sedikit dikikis habis. Kalau perlu dengan menempel stiker-stiker “I Love
Antri” seperti model anak gaul mengagungkan grup band favoritnya. Antri bukan untuk
mempersulit atau memperlama pelayanan tetapi justru memperlancar.
Kalau sekarang sudah banyak kelompok anak-muda yang mengkampanyekan konservasi-
lingkungan, bahaya narkoba atau kepadatan penduduk, sudah saatnya dibentuk AMPA
(Angkatan Muda Penganjur Antrian). Hayo, siapa mulai????
Sumber: Majalah Human Capital No. 30 | September 2006
Dari Mulai ARTI, 3-2-1 Hingga 1-3-5
No. 29 - Agustus 2006
Sama seperti perusahaan lainnya PT Telkom juga sudah tidak lagi asing dengan istilah
Budaya Kerja atau Corporate Culture atau Budaya Korporat. Selain sudah hampir empat
tahun lalu nilai-nilai strategis itu diterapkan, tak ada sedikitpun pernyataan ragu yang
keluar dari ucapan Senior General Manager Human Resource Center PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk, Faisal Syam ketika ditanya seputar Budaya Kerja.
Buat mantan Asisten Direksi Pengembangan Eksekutif – Direktorat SDM di perusahaan
yang sama itu, Budaya kerja merupakan human habit behavior pegawai dalam bekerja.
“Sekarang banyak perusahaan-perusahaan yang mencanangkan budaya kerja top down.
Tapi pegawainya belum mendemonstrasikan behaviour yang diinginkan oleh
pimpinannya,” terangnya lagi.
Sejak Budaya Kerja pertama kali diperkenalkan pada tahun 2002 lalu, PT Telkom telah
mengalami perubahan nilai-nilai strategis. “Semuanya tergantung kondisi perusahaan
saat itu,” jelas Faisal. Faisal mencontohkan, ketika Pak Cacuk (Sudaryanto) menjadi
Direktur Utama Telkom, pola Budaya Kerja yang diterapkan adalah 3-2-1 padahal sebelum
Pak Cacuk, Telkom telah menerapkan Budaya ARTI sebagai Budaya Kerja yang diterapkan.
Pola itu diterapkan ketika PN Telkom saat itu berubah dari Perusahaan Negara menjadi
Perum. Kemudian perubahan terjadi lagi menyusul berubahnya status Perum menjadi
Perusahaan Terbatas (PT).
Lalu nilai-nilai strategis Budaya Kerja yang diterapkan itu berubah lagi mengiringi
berubahnya status perusahaan Telkom dari hanya sekedar PT menjadi Tbk. “Hingga kini
PT Telkom Tbk menggunakan 1-3-5 sebagai Budaya Kerja yang harus disepakati semua
karyawannya,” terang Sarjana Matematika dari Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sumatera Utara, Medan itu.
Pola 1-3-5 itu sendiri berarti; 1 (satu) asumsi dasar, 3 (tiga) nilai inti yang mencakup
Customer Value, Excellent Service, Competent People. Sedangkan 5 (lima) merupakan
langkah perilaku untuk memenangkan persaingan, yang terdiri atas Stretch The Goals,
Simplify, Involve Everyone, Quality is My Job, Reward the Winners.
The Telkom Way 135 merupakan hasil penggalian dari perjalanan PT Telkom Tbk dalam
mengarungi lingkungan yang terus berubah, dikristalisasi serta dirumuskan oleh berbagai
inspirasi dari perusahaan lain dan berbagai tantangan dari luar. PT Telkom berharap
dengan tersosialisasinya The Telkom Way 135, maka akan tercipta pengendalian kultural
yang efektif terhadap cara rasa, cara memandang, cara berpikir, dan cara berperilaku.
Perubahan-perubahan itu menurut Faisal memang memberikan hasil yang signifikan
“Dampaknya terhadap produktivitas dan kinerja, ya bagus,” sambung pria yang meraih
gelar Magister Manajemen nya di Sekolah Tinggi Manajemen Bandung. “Banyak
impactnya terhadap perusahaan. Tentunya kinerja kita seperti diketahui trendnya tetap
terus meningkat. Kemudian produktivitas pegawai juga meningkat dan semangat kerja
mereka meningkat dengan adanya budaya itu,” ujarnya.
Meski begitu tidak mudah menerapkan nilai-nilai strategis itu kepada sekitar 28.000
karyawan yang ada. Selain butuh waktu. menerapkan budaya kerja itu menurut Faisal
tidak bisa langsung. “Kalau tidak begitu, yang muncul biasanya penolakan,” lanjutnya.
Untuk mengatasi penolakan tersebut, Faisal mengaku punya tahapan sosialisasi sendiri.
“Kita punya tahapan, mulai dari awareness, understand, hingga tahapan sosialisasi.
Nggak bisa langsung dikenalkan. Pasti banyak yang resisten. Kalau sudah resisten
memang sudah susah. Jadi kita rangkul melalui tahapan-tahapan itu,”ucapnya.
Malahan menurut Fahmi, di tempatnya bekerja sekarang digelar pertandingkan itu antar
divisi untuk mengetahui divisi mana yang sudah mendemonstrasikan Budaya Kerja
tersebut. Walaupun kedengarannya aneh, namun dengan pertandingan itu, dapat
diketahui siapa yang lebih dulu menerapkan nilai-nilai strategis tersebut.
Reward pun diberikan kepada mereka-mereka yang masuk kategori The best people.
“Malah dulu ada penghargaan divisi mana yang sudah lebih maju menerapkan budaya itu
dibanding divisi lain,”ujarnya. Bentuk rewardnya saat itu berupa penghargaan yang
diberikan dalam sebuah acara yang biasanya dilakukan di training center. “Semua kepala
divisi diundang, pegawai juga. Di situlah ditentukan juara satu dan juara dua. Punishment
nggak ada. Karena kita nggak mengenal punishment. Kalau ada yang kurang maju kita
dorong supaya lebih maju,”ungkap Faisal panjang lebar.
Saat ini, program 1-3-5 PT Telkom sudah dianggap berjalan di relnya. Kemajuan banyak
ditemukan di sana-sini. Poduktivitas pegawai terus meningkat, berbuntut pada
meningkatnya performance perusahaan. “Dan kita juga ikut untuk memberikan penilaian
performans perusahaan,” tuturnya lagi.
Termasuk juga penilaian seputar leadership, Memang, setiap aktivitas yang dilakukan di
PT Telkom harus dievaluasi apakah efektif apa tidak. “Misalnya kita punya system.
System ini dilaksanakan nggak? Kalau sudah dilaksanakan efektif nggak?. Kalau sudah
efektif, ada nggak improvement?,” ujarnya sambil bertanya.
Semua itu dilakukan menurut Fahmi, demi untuk menggapai predikat sebagai center of
excellent.
Sumber: Majalah Human Capital No. 29 | Agustus 2006
People Adalah Asset Terbaik Kami
No. 29 - Agustus 2006
Belakangan ini bisnis jasa leasing kendaraan makin marak di nusantara. Fenomena ini tak
lepas dari kesadaran bisnis bahwa outsourcing merupakan strategi terbaik untuk efisiensi
dan efektifitas. Dengan menyerahkan manajemen kendaraan pada pihak kedua,
perusahaan akan dapat mengkonsentrasikan sumber dayanya pada bisnis inti.
TRAC – Astra Rent A Car yang memasuki 20 tahun perjalanan dalam bisnis jasa leasing
kendaraan, saat ini memiliki lebih dari 12.000 kendaraan operasional termasuk 1.000 unit
sepeda motor (di bawah brand TREMO),dipercaya sebagai pemimpin pasar bisnis jasa
leasing kendaraan di Indonesia. ”Pelanggan kami sebagian besar dari kalangan korporat”
jelas Pongki Pamungkas, Presdir PT Serasi Autoraya yang memiliki brand TRAC. Selain itu,
TRAC juga mengelola sekitar 4.000 pengemudi profesional yang mendapat pelatihan
ekstensif di Pusat Pelatihan Pengemudi.
Menjadi pemimpin pasar di bisnis ini tentunya tak mudah, apalagi dengan mengelola
ribuan kendaraan dan pengemudi. Kuncinya, tak lain adalah sumber daya manusia yang
berkualitas. ”People adalah asset terbaik kami” ujar Pongki ketika ditanya tentang kunci
keberhasilan perusahaan yang dipimpinnya.
Pongki percaya bahwa mengedepankan kualitas layanan terbaik yang diusung karyawan
pilihan adalah strategi terbaik dalam memenangkan persaingan. “Siapapun karyawan di
TRAC ini punya pelanggan. Pelanggan saya selain customer saya diluar, customer saya
yang lain salah satunya adalah karyawan saya. Customer manapun harus saya
perlakukan sebagai raja. Saya harus bisa melayani mereka dengan baik,” kata Pongki
yakin.
Budaya korporat menjadi salah satu strategi TRAC untuk membentuk karyawan memiliki
jiwa pelayanan. Pembentukan budaya korporat dimulai sejak rekrutmen hinga ke
pelatihan dan pembinaan. Proses seleksi dan rekrutmen dilakukan secara ketat, ”Itu pintu
kami untuk mendapatkan sumber daya manusia yang terbaik dan sesuai dengan budaya
korporat TRAC. Sehingga kami tidak pernahmenganggap itu sepele,” ungkap Pongki. Yang
pertama dilakukan adalah melihat kesesuaian budaya korporat dan kompetensi calon
karyawan.
Serasi Standard Service yang merupakan standar layanan sejak awal sudah
diinternalisasi pada setiap karyawan TRAC melalui pelatihan berkesinambungan. Jiwa
layanan dalam perusahaan diintisarikan dalam SMILE yaitu Solution, Maestro, Integrity,
Liveliness dan Empathy.
Untuk mengukur keberhasilan strategi pengembangan people-nya, salah satu cara yang
dilakukan TRAC adalah melalui Customer Satisfaction Survey, Employee Opinion Survey
dan Branch Opinion Survey dilakukan setiap 2 tahun sekali dan menunjukkan tingkat
kepuasan karyawan atas layanan next process, hasilnya senantiasa menjadi bahan
berharga untuk perbaikan.
Pengembangan ke Depan
Untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, TRAC terus berupaya
mengadopsi konsep competency based HR dimana setiap jabatan telah dibuat peta
kompetensinya termasuk juga jenjang karir dan pengembangan ke depan.
Selain people, apa yang menjadi andalan TRAC untuk mempertahankan posisinya
sebagai pionir dan pemimpin industri ini?
Saat ini TRAC terus melakukan inovasi-inovasi untuk mempertahankan posisinya di pasar.
Dukungan Teknologi Informasi diakui Pongki sebagai salah satu keunggulan TRAC dalam
manajemen kendaraan dalam jumlah ribuan. Lewat sistem integrasi dan real time SAP 47
yang digunakan TRAC, manajemen stock, perawatan, administrasi bahkan penanganan
masalah pelanggan menjadi lebih mudah dan cepat.
Disamping itu layanan 24 jam Customer Assistance Center TRAC membantu pelanggan
yang mengalami masalah kapan pun. Sejak tahun 2004 TRAC telah mendapat sertifikasi
ISO 9001:2000 dari TUV Rheinland. Sertifikasi ini menjamin TRAC memberikan layanan
kepada pelanggan sesuai standar internasional.
”Kami ingin menjadi perusahaan berkelas dunia di bidang jasa transportasi”, ujar Pongki
tentang harapan masa depan perusahaan. Dengan people sebagai asset terbaiknya,
Pongki yakin bahwa harapan itu akan terwujud.
Sumber: Majalah Human Capital No. 29 | Agustus 2006
How Close Your Strategy to Your People?
No. 29 - Agustus 2006
Suatu kali saya menyaksikan sebuah film dokumenter mengenai salah satu bagian dari
pcrang Vietnam yang legendaris. Konon kabarnya film ini menjadi salah satu film yang
wajih ditonton oleh para kadet di West Point Academy. Di dalam film tersebut ditayangkan
mengenai bagaimana Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dalam meng-counter strategi
dan taktik perang gerilya di suatu teritori yang diperebutkan.
Setelah dilakukan pengintaian dilapangan dan satelit serta foto udara serta data intelejen
lainnya yang dilakukan berbulan-bulan, para strategists dan perwira tinggi sepakat
dengan rancangan strategi perang yang menitikberatkan pada manuver dan mobilitas
tinggi dengan formasi penguasaan teritori yang dinamis bukan pengusaan teritori yang
statis seperti layaknya yang dikenal pada perang konvensional.�
Konsekuensinya pertempuran harus dimenangkan dengan cara memukul mundur setiap
kekuatan musuh yang muncul disetiap wilayah dengan sesegera mungkin dengan korban
dipihak sendiri seminimal mungkin. Karena pertempuran seperti ini disadari akan seperti
lomba lari marathon yang perlu mengatur ketersediaan sumber daya dalam rentang
waktu panjang, bukan lari sprint yang selesai dalam beberapa detik. Penguasaan penuh
atas suatu teritori hanya dibatasi pada beberapa wilayah-wilayah pilihan yang strategis
guna dijadikan basis pijakan. Singkat cerita, semua persiapan telah dirancang dan
direncanakan serta diperhitungkan. Dari mulai jumlah dan jenis pasukan yang akan
diterjunkan, unsur pendukung serangan udara, sampai alur dukungan logistiknya.
Sukseskah strategi dan rencana yang telah mereka rancang dengan seksama tersebut?
Yang digambarkan dalam film tersebut kondisi di lapangan adalah jumlah pertempuran
yang dimenangkan di berbagai front semakin menurun, jumlah tentara KIA (killed in
action) yang terus meningkat sangat tinggi serta tingkat moral pasukan rendah, terjadi
desersi, bahkan terjadi juga pembangkangan atas perintah atau menolak bertempur. Para
perwira tinggi clan pcrancang strategi sibuk mengevaluasi dan mengkaji ulang kondisi
medan perang berusaha menemukan apa yang salah dengan strategi yang diterapkan.
Kesimpulannya: tidak ada yang salah dengan strategi dan skenario perang yang telah
mereka tetapkan. Tudingan diarahkan pada rendahnya combat effectiveness dari
pasukan serta lambannya dukungan dari udara, arteleri, dan logistik dalam
mengimplementasikan setiap pergerakan pasukan dan pertempuran di lapangan.
Lantas apa gerangan yang salah? Selang beberapa waktu setelah penarikan mundur
tentara Amerika Serikat di Vietnam, sebuah komisi dari Pentagon ditugaskan untuk
mengevaluasi lebih lanjut. Kesimpulannya secara mengejutkan adalah sama: tidak ada
yang salah dengan strategi yang telah mereka tetapkan! Namun kali ini ada catatan yang
diberikan oleh komisi tersebut, bahwa strategi yang telah ditetapkan tidak dipahami
secara utuh oleh pasukan dari tingkat perwira menengah ke bawah yang terlibat dalam
pertempuran tersebut. Salah satu ilustrasi yang digambarkan dari wawancara dengan
veteran perang tersebut adalah para letnan di lapangan tidak dapat menjelaskan kepada
pasukannya ketika mereka memerintahkan pasukannya dipagi hari untuk bertempur
setengah mati dalam berupaya menguasai suatu bukit hanya untuk kemudian
ditinggalkan pada keesokan harinya untuk bertempur di medan yang lain dan kembali
lagi untuk merebut bukit yang beberapa hari sebelumnya sudah pernah ditinggalkan.
Singkat kata, strategi yang dipahami oleh para perwira tinggi dan perancang strategi
tidak pernah mendarat hingga lapisan terbawah dalam rantai komando. Sebagai
akibatnya kebingungan dan frustrasi merebak di benak para serdadu yang berperang
meregang nyawa di lapangan.
Kita bisa bayangkan, bahwa dalam organisasi militer saja bisa terjadi seperti itu,
bagaimana bila hal yang serupa terjadi dalam setting organisasi sipil, misalnya dalam
suatu perusahaan. Sebagai catatan untuk anda, organisasi militer adalah structured &
systematic organization paling tua di dunia. Sekarang mari kita bayangkan, bahwa dalam
militer mereka berperang, maka dalam bisnis suatu perusahaan di jaman sekarang ini
mau tidak mau pasti harus berperang juga di medan pertempuran yang semakin global.
Konsekuensinya, strategi dan taktik bisnis harus dapat dikelola secara responsif terhadap
perkembangan eksternal perusahaan mulai dari perubahan regulasi, pesaing baru,
perkembangan teknologi yang sangat cepat, sampai dengam memperebutkan sumber-
sumber daya penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan.
Namun memiliki arahan dan perencanaan strategi bisnis yang responsif saja tidak cukup,
lebih penting lagi adalah bagaimana membuat perencanaan strategi tersebut melibatkan
semua bagian yang ada di organisasi perusahaan anda sehingga dicapai suatu
pemahaman kepemilikian (ownership) dan komitmen yang kuat serta merata sesuai
dengan peran dan fungsinya masing-masing di setiap lapisan.
Mari kita coba telaah suatu entitas bisnis dalam menurunkan arahan strategisnya
kesetiap jenjang manajemen di dalam perusahaan maka akan dapat ditemui suatu pola
yang seharusnya terjadi sesuai dengan peran setiap jenjangnya. Adalah peran para
direktur yang merupakan anggota dewan direksi (board of directors) di jajaran top
management suatu perusahaan untuk memberikan arahan strategis bagi seluruh
perusahaan. Istilahnya adalah – yang mencerminkan makna perannya sebagai para
direct-or- ”Direct and Control”. Mereka adalah yang bertanggung jawab dalam
memberikan arahan yang memberikan koridor kebijakan atas kemana arah dan strategi
yang akan ditempuh dengan berbagai pertimbangan dan resiko usaha yang ada dan
melakukan pengawasan dan pengendalian untuk memastikan bahwa strategi yang telah
dicanangkan tersebut membuahkan hasil seperti yang direncanakan.
Apakah cukup sampai dengan arahan saja? Untuk lapisan top management cukup,
karena yang seharusnya menjabarkan arahan strategis tadi kedalam suatu perencanaan
yang lebih rinci adalah peran dari lapis berikutnya, yaitu lapisan middle management.
Mereka inilah yang berperan dan bertanggung jawab untuk melakukan perencanaan
strategis dan memonitor pencapaian hasil dari rencana yang diimplementasikan. Di
sinilah peran ”Plan and Control” dijalankan termasuk di dalamnya pemilihan taktik dan
penentuan alokasi sumber daya serta faktor pendukung lainnya.
Lantas dimana implementasinya? Jawabannya ada di jenjang berikutnya yang akan
mencerna arah dan rencana strategis yang telah diterapkan untuk direalisasikan dalam
suatu rencana kerja dan mengeksekusinya. Para manajer yang biasanya berada di
jenjang ini perlu untuk memahami apa yang menjadi arahan strategis serta bagaimana
perencanaan strategis yang yang digariskan untuk kemudia mensinkronisasikannya
dengan action yang akan dilakukannya bersama dengan pasukan yang ada di wilayah
kerja mereka. Di sinilah peran ”Execute and Control” harus terjadi dengan akurat dan
koheren (baca: nyambung).
Jadi dalam hal perencanaan strategis suatu perusahaan, adanya jenjang dalam
manajemen perusahaan bukanlah tanpa makna, namun perlu untuk difungsikan sesuai
dengan peran dan tanggung jawabnya. Tentu saja alur top-down dan bottom-up atau
middle-up yang jelas, seimbang dan tak tersumbat menjadi suatu pra-syarat yang
menentukan. Kerancuan dalam menjalankan peran tadi di dalam suatu perusahaan
sering kali mengakibatkan intervensi yang berlebih dari lapisan atas dan tidak
memberdayakan lapisan di bawahnya atau bahkan mematikan aspirasi serta kreativitas.
Sebaliknya bisa jadi arahan strategis beserta dengan perencanaannya menjadi sesuatu
hal yang eksklusif bagi top management saja atau paling jauh sampai dengan jajaran
middle management saja dan tidak dimengerti oleh lapis-lapis manajemen di bawahnya.
Dengan berkaca pada kegagalan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di Vietnam tadi,
patut kiranya kita untuk dapat belajar dari sejarah dan tidak membiarkan hal yang sama
terjadi di perusahaan anda.
Sumber: Majalah Human Capital No. 29 | Agustus 2006
Budaya Kerja, Antara Harapan dan Kenyataan
No. 29 - Agustus 2006
Pertengahan Juli lalu di Jakarta, Indonesia: Corruption Watch (ICW) melansir
kecenderungan peningkatan kasus korupsi yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada semester pertama tahun ini. Pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masih mendominasi lembaga paling
banyak melakukan tindak pidana korupsi.
Ketua Divisi Informasi Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo kepada
wartawan, mengatakan 28 dari 140 kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum
semester lalu melibatkan Badan Usaha Milik: Negara/Badan Usaha Milik Daerah. Kasus
korupsi yang terjadi sebelum 2006, BUMN/BUMD menyumbang 13,4 persen. Sedangkan
dari total korupsi yang muncul semester lalu mencapai 46,4 persen. Total kerugian
negara semester lalu menurut Adnan mencapai Rp. 10,97 triliun.
Sementara itu, selang satu hari sebelumnya, ketika hadir sebagai pembicara kunci di
Seminar tentang Corporate Culture yang digelar oleh civitas akademika Universitas Bina
Nusantara, di Jakarta pertengahan Juli lalu, Menteri Negara BUMN Sugiharto menyatakan
keseriusannya dalam menegakkan Good Corporate Governance di jajaran yang
dipimpinnya.
“Saya sudah tunjuk deputi staf ahli (Pandu Joyowinoto) yang bertanggung jawab khusus
atas pelaksanaan Good Corporate Governance di seluruh BUMN,” kata Pak Menteri ketika
ditanya Human Capital. Menurut Sugiharto, dirinya amat serius dalam hal itu mengingat
resultansi dari penerapan Good Corporate Governance yang baik dan benar adalah
kenaikkan kinerja.
Namun laporan ICW, seolah-olah memberikan sinyal kepada Pak Menteri kalau
perjalanannya menciptakan BUMN yang bersih dan berbudaya kerja yang baik dan benar
makin panjang dan berliku. Pertanyaannya sekarang efektifkan penanaman nilai-nilai
Budaya Kerja dalam meningkatkan kinerja dan produktivitas perusahaan? Masih
populerkan konsep Budaya Kerja untuk diterapkan di sebuah perusahaan?
Guntur Prakoso (35) tersenyum simpul ketika dirinya ditanya tentang Budaya Kerja.
Senyumnya tidak menunjukkan dia tahu persis apa yang dimaksud dengan Budaya Kerja,
tapi lebih karena manajer SDM di sebuah perusahaan keramik itu ragu-ragu apakah
tempatnya bekerja memiliki apa yang disebut dengan Budaya Kerja atau tidak. “Ada atau
tidaknya saya ragu, tapi kalau aturan jam kerja, cuti, punishment & Reward, jenjang karir
pasti ada dong,”ujar Guntur yakin.
Itu baru Guntur, coba simak ucapan Yuni (26) pegawai sebuah toko buku terkemuka di
Jakarta. “Jujur saya baru dengar dengan yang namanya Budaya Kerja, yang saya tahu
masuk jam delapan pagi pulang jam lima sore, setiap akhir bulan terus gajian. Itu saja,
1ho memang Budaya Kerja itu kayak apa? Jawaban-jawaban seperti itu kerap muncul
ketika Human Capital bertanya tentang Budaya Kerja kepada beberapa narasumber yang
ditemui. Lalu sebetulnya apa itu Budaya Kerja?
Salah seorang pakar Budaya Kerja Anugrah Pekerti menyebut Budaya Kerja sebagai
perangkat keyakinan dasar dan nilai yang terlembagakan dalam suatu organisasi.
Sedangkan HR Manager PT YKK Zipper Indonesia Vibrayani Arkhama menganggap
Budaya Kerja sebagai pola perilaku yang diadopsi oleh suatu lingkungan kerja yang
disepakati. “Ya ada semacam kesepakatan tidak tertulis diantara orang-orang yang ada di
lingkungan kerja itu bahwa pola perilaku inilah yang boleh kita tunjukkan dalam
lingkungan kerja kita,” begitu kata Vibrayani.
Sementara itu Vice Executive Director PT Lion Super Indo Melanie Dharmosetio
menyatakan Budaya Kerja tidak hanya suasana. Tapi ada satu nilai-nilai yang dianut di
kelompok kerja tersebut yang sama-sama diyakini sebagai yang terbaik di tempat kerja.
“Jadi campur antara suasana kerja, suasana manusianya dan nilai-nilai yang dianut di
kelompok kerja itu,” jelas Melanie.
Pendapat agak berbeda diutarakan Peneliti SDM Eksekutif Biro Kebijakan Organisasi dan
SDM Direktorat Sumber Daya Manusia Bank Indonesia Widyo Gunadi. Menurut Widyo,
orang sering salah mengartikan Budaya Kerja. Orang, sering menganggap Budaya Kerja
itu sebagai corporate culture. “Padahal budaya kerja ya budaya pekerja. Sedangkan kalau
budaya corporate adalah kumpulan perilaku yang sesuai dengan visi dan misi
organisasi,” terang Widyo.
Selain itu kata Widyo, orang sering menganggap budaya kerja sebagai sesuatu yang
given. “Padahal menurut saya budaya kerja adalah sesuatu yang harus dibentuk sesuai
dengan keinginan organisasi. Dan begitu kita buat budaya kerja, ada dua dimensi yang
menyertainya yaitu cocok dan kuat. Ada yang cocok tapi tidak kuat dan ada yang kuat
tapi tidakcocok,” sambung Widyo.
Kesan yang muncul adalah Budaya Kerja merupakan sebuah abstraksi yang bisa
diterjemahkan secara bebas oleh siapapun. Tidak mudah menemukan sebuah konsep
Budaya Kerja yang langsung menghujam pada sebuah aktivitas riel. ”Budaya Kerja
adalah sesuatu yang abstrak tidak dapat dilihat tapi bila dilaksanakan manfaatnya dapat
dirasakan,” ungkap Manajer Budaya Kerja PT BNI Subroto Warsito memberikan
pendapatnya. Pendapat ini meyakinkan kita tentang bagaimana abstraknya pakar
Budaya Kerja di Indonesia menafsirkan konsep Budaya Kerja itu sendiri.
Padahal di dalam acara Seminar tentang Corporate Culture yang digelar Universitas Bina
Nusantara di Jakarta pertengahan Juli lalu, dalam salah satu makalahnya, Herry Tjahjono
seorang Corporate Culture Therapist, menerangkan pola-pola budaya kerja yang
diterapkan perusahaan-perusahaan besar di luar negeri. Konsep Budaya Kerja yang
diterap telah diterjemahkan dalam sebuah aktivitas yang riel, jauh sekali dari kesan
abstrak dalam memunculkan konsep Budaya Kerja tersebut.
Southwest Airlines misalnya, perusahaan penerbangan asal Amerika Serikat itu
menerjemahkan konsep Budaya Kerja dalam sesuatu aktivitas yang riel. Salah satunya
dengan mengumumkan boarding secara meriah dan seluruh awak pesawat menyambut
penumpang dengan bernyanyi. Selain itu mereka mewujudkan konsep Budaya Kerja
mereka dengan hanya mengoperasikan satu model pesawat saja, Boeing 737 dari
beberapa varian.
Contoh lain pemunculan konsep Budaya Kerja secara riel ditunjukkan oleh Food Lion,
perusahaan asal Amerika yang berbisnis sama dengan Superindo. Suasana kerja di Food
Lion, menurut Melanie Dharmosetio, begitu ekspresif. Budaya kerja mereka
mengharuskan mereka untuk tampil ceria.
Situasi itu menunjukkan kebanggaan mereka akan pekerjaannya, apapun pekerjaan
mereka. ”Kalau disini tidak memperlihatkan apakah para karyawan itu bangga atau tidak
dengan pekerjaan mereka,” ujar Melanie. Budaya Kerja seperti itu yang menurut Melanie
bisa diterapkan di tempatnya bekerja. ”Saya ingin di Super Indo lebih rileks, lebih
gembira. Tetapi tetap serius,” harapnya.
Sementara itu untuk tahun ini, PT YKK Zipper Indonesia menerapkan komitmen
”Hilangkan Kesia-siaan” sebagai moto dari Budaya Kerja tahun ini. ”Artinya ini lebih ke
arah bagaimana sebuah proses atau sebuah situasi-situasi yang mubazir itu dihilangkan,
maksudnya penggunaan waktu yang efektif, seperti itu,” terang Vibrayani Arkhama.

Efektivitas Budaya Kerja


Apapun bentuk implementasinya, sebuah perusahaan terus berlomba-lomba
menjalankan konsep Budaya Kerja menurut beberapa pakar tetap diyakini mampu
memberikan kontribusi positif terhadap kinerja dan produktivitas perusahaan.
Meneg BUMN Sugiharto,
No. 29 - Agustus 2006
Bukan Sugiharto namanya, bila tidak mampu memaparkan segala sesuatu dalam
kemasan yang cendekia. Pria yang dipercaya SBY sebagai Menteri Negara BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) itu menceritakan ringkas perjalanan hidupnya. Sebuah perjalanan
yang membantunya membentuk Budaya Kerja yang selalu menempatkannya sebagai
yang terbaik di bidangnya.
Kisah hidup yang menarik perhatian ratusan pasang telinga itu dipaparkannya dengan
lugas ketika Pak Menteri yang gemar berkemeja safari itu hadir sebagai pembicara kunci
di seminar sehari tentang Corporate Culture yang diselenggarakan oleh Universitas Bina
Nusantara di Hotel Shangri-La, Jakarta, 19 Juli 2006 silam.
Sugiharto menuturkan kalau proses manajemen budaya yang dimilikinya saat ini
merupakan suatu karakter dari sikap pribadinya dalam upaya mencapai puncak karir
yang diinginkan. Perjalanan hidupnya pada masa lalu diawali melalui sebuah proses
penempaan jiwa yang keras agar bisa eksis dalam kehidupan yang juga keras dan rumit.
“Karir saat ini bukanlah sekedar kebetulan saja, melainkan sebuah proses perjalanan
bagaimana saya bisa keluar dari suatu krisis. Saya pun berusaha untuk merubah mental
underdog saya menjadi mental yang kuat,” kata Sugiharto memulai kuliah umumnya.
Status pekerja diawali pada saat pria berkacamata itu masih duduk di bangku sekolah.
Sugiharto yang saat itu masih murid SMA 13, Jakarta Utara itu bekerja sebagai kuli
bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. “Saya harus bekerja malam hari,
karena paginya ia harus belajar di sekolah,”ucapnya penuh semangat.
Tidak muncul keharuan dari wajah Pak Menteri selain keinginannya untuk berbagi kepada
audience yang yang hadir. Penghasilan yang didapat dari pekerjaannya sebagai
pembongkar peti itu tidak digunakan untuk meringani biaya sekolah dirinya saja
melainkan juga membantu biaya hidup adiknya. SMA pun ia tamatkan dengan predikat
dua besar di sekolahnya
Kemudian Sugiharto muda bekerja di salah satu kantor Akuntan, walaupun dirinya saat
itu diterima sebagai pegawai negeri di Departemen Keuangan. Selain karena ia
menganggap, lebih baik bekerja dalam suasana yang dinamis dari pada jadi priyayi
(Pegawai negeri) juga karena dengan memilih bekerja di kantor akuntan itu bisa kuliah.
“Saya kuliah dibiayai kantor akuntan itu konsekuensinya saya harus menjalani ikatan
dinas selama enam tahun,” terang Pak Menteri.
Selama bekerja di kantor akuntan itu, pria kelahiran 29 April 1955 di Medan itu,
mengawali karirnya selalu dari bawah. “Semua karir saya jalani mulai dari level yang
paling bawah,” terang Pak Menteri lagi. Mulai dari staf biasa, junior asisten, senior
asisten, asisten supervisor, supervisor, sisten manager, manager hingga posisi puncak.
Setiap jenjang itu dilalui Sugiharto dengan predikat master (top skors).
“Karena saya selalu serius dalam bekerja, dan pada saat itu budaya kerja yang positif
saya tanamkan dalam diri saya,” ujarnya. Buat Sugiharto yang terpenting dalam proses
pembentukan Budaya Kerja adalah bagaimana seseorang itu menjadi contoh bagi yang
lainnya. “Dan hal itu saya tanamkan betul dalam diri saya,” ucapnya.
Menjadi contoh bagi yang lain, juga dilakukan Sugiharto ketika berkiprah di Medco,
perusahaan perminyakan swasta papan atas di negeri ini. “Lihat bagaimana saya
memimpin Medco semua saya lakukan secara professional dan transparan hasilnya
Medco selalu menjadi yang terbaik,”sambungnya berapi-api.
Kini sebagai pemimpin tertinggi di Kementerian Negara BUMN, Sugiharto pun kembali
mengambil peran penting sebagai contoh dari pola penerapan Budaya Kerja yang baik di
jajarannya. Salah satu program yang sedang ia bangkitkan yaitu bagaimana cara
menerapkan protocol capital market didalam pengelolaan BUMN, baik itu yang non listed,
maupun yang listed tentunya. “Karena itu sudah diisyaratkan dalam Undang-Undang
Pasar Modal. Tapi yang tidak pun saya harapkan agar BUMN itu memiliki hubungan check
and balanced yang sempurna, seperti halnya perusahaan publik,” harap Sugiharto.
BUMN yang baik menurutnya harus memiliki komite audit, komite investment dan komite
yang lainnya. Saat ini komite-komite itu sedang disosialisasikan, diakses, direview dan
kemudian ditingkatkan dari waktu ke waktu, bahkan disayembarakan. Tahun lalu ia
sendiri sudah memberikan penghargaan yang tujuannya untuk berkompetisi bagaimana
perusahaan BUMN dapat berlomba melakukan Good Corporate Governance (GCG).
Karena menurut Pak Menteri penerapan GCG secara baik dapat menaikkan kinerja.
Kedepannya Sugiharto yakin bahwa makin tinggi level of government practice-nya yang
diikuti makin besar progresifitasnya maka makin tinggi pula keuntungan yang di dapat.
“Saya berharap tidak ada lagi bentuk-bentuk penyimpangan dalam penerapan Budaya
Kerja di BUMN manapun nantinya, ”tutupnya.
Mencari Sistem Manajemen Kinerja Efektif
No. 28 - Juli 2006
Sistem Manajemen Kinerja ( Performance Management System ) sangat menentukan
kinerja organisasi. Repotnya, banyak organisasi yang kesulitan membangun dan
menerapkan Sistem Manajemen Kinerja yang efektif. Apa saja kunci sukses dari sebuah
sistem yang efektif ?
Kata kinerja (performance) merupakan santapan rutin dari setiap organisasi. Cobalah
dengarkan ucapan, pidato, atau pengarahan dari seorang CEO (Chief Executive Officer),
pastilah kata-kata kinerja akan selalu terselip di dalamnya (kalau tidak menjadi fokus
pembicaraan). Tak heran bila ada yang menyebutkan, kinerja merupakan kata sakti
dalam menggelindingkan organisasi.
Ungkapan di atas, apa pun yang melatarbelakanginya, adalah sangat benar dan sangat
wajar. Sebuah organisasi akan eksis kalau ia berkinerja. Dan, organisasi akan sukses bila
memiliki kinerja yang tinggi. Maka, sistem manajemen kinerja (performance management
system /PMS) menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem manajemen organisasi secara
keseluruhan - bahkan menjadi inti dari system manajemen tersebut - PMS adalah alat
bagi manajemen untuk menggelindingkan fungsi-fungsi manajemen, khususnya dalam
aspek controlling, tegas PM Susbandono, General Manager HR PT Medco E&P Indonesia.
Menurut FX Sri Martono, Chief Corporate HR & Management Development PT. Astra
International Tbk., manajemen kinerja (performance management / PM) adalah proses
perencanaan, evaluasi, coaching & counseling, dan penilaian kinerja karyawan untuk
mewujudkan objektif organisasi sekaligus mengoptimalkan potensi diri karyawan. Irwan
rei, pengamat HR, menambahkan PM tidak hanya terkait dengan manajemen kinerja
individu karyawan, tetapi juga manajemen kinerja organisasi.
Dengan demikian, PM merupakan sebuah siklus, yang pada dasarnya terdiri dari
perencanaan kinerja (penetapan target dan penyusunan Key Performance Indicator/KPI),
pemantauan / peninjauan kinerja (coaching, counseling, mentoring, feedback), penilaian
kinerja (performance appraisal), dan tindak lanjut berupa pemberian penghargaan dan
hukuman (reward & punishment). Siklus tersebut harus dijalankan sebagai sebuah
kesadaran yang tidak terputus, dan berjalan secara berkelanjutan.
Sebuah perencanaan kinerja untuk setiap individu, sejatinya, bukanlah sebuah proses
yang berdiri sendiri. Pada perusahaan-perusahaan yang maju, rencana kinerja individu
karyawan yang merupakan turunan (cascading) dari KPI level departemen, KPI level
divisi, dan KPI level perusahaan (korporat). Kalau dirujuk ke atas, maka KPI karyawan
sebetulnya berasal dari KPI perusahaan. Kita tahu, sebelum memasuki tahun baru,
perusahaan secara korporat telah membuat target atau objektif bisnis pada tahun
mendatang.
Sebagai grup usaha yang besar, Astra bahkan telah memulai penyusunan perencanaan
bisnis tersebut pada bulan September dengan nama Planning Circle. Program
perencanaan ini biasanya dimulai dengan mengundang pakar ekonomi, politik, dan
sosial-budaya untuk mendapatkan pandangan tentang prediksi lingkungan bisnis pada
tahun mendatang. Masukan eksternal itu menjadi pertimbangan bagi jajaran direksi Astra
dalam menyusun rencana dan strategi bisnis, termasuk menentukan arah bisnis
perusahaan tahun mendatang. Berdasarkan rencana dan strategi bisnis itu, perusahaan
menyusun target atau objektif bisnis serta menetapkan KPI level perusahaan.
Tahapan selanjutnya, target atau objektif bisnis dan KPI level perusahaan diturunkan di
level divisi, departemen, unit, hingga ke individu. Artinya, sasaran kerja seorang pegawai
diselaraskan dengan sasaran kerja departemennya ; sasaran kerja departemen
diselaraskan dengan sasaran kerja divisi ; dan sasaran kerja divisi diselaraskan dengan
sasaran kerja perusahaan. Sehingga proses penyelarasan strategi bisnis dan
implementasinya berlangsung pada setiap tingkatan dan bagian.
Lazimnya, proses penyusunan rencana kinerja dari setiap karyawan dilakukan pada akhir
tahun. Medco melakukannya pada bulan November dan Desember. Begitu pula PT PAM
Lyonnaise Jaya (Palyja), Astra Credit Companies (ACC) dan sebagainya. Namun, tak
sedikit perusahaan yang menyusun rencana kinerja individu pada awal tahun.
Penyusunan rencana individu tersebut dilakukan antara individu dengan atasan masing-
masing. Hasilnya adalah sasaran kerja individu, yang di Astra dikenal dengan istilah
Individual Performance Plan (IPP) dan di Medco disebut Sasaran Kerja Utama (SKU).
Sasaran kerja tersebut harus ditandatangani oleh karyawan dan atasannya secara
bersama-sama sehingga menjadi pegangan resmi di dalam mengelola kinerja karyawan
yang bersangkutan. "Sasaran kinerja masing-masing individu bersifat spesifik, kendati
tidak menutup kemungkinan adanya karyawan yang memiliki sasaran kinerja yang
hampir sama," tukas Cahyo Winarto, Direktur HR, GA & Environment Social Responsibility,
ACC dan PM Susbandono di tempat terpisah.
Evaluasi dan Penilaian Kinerja
Setelah sasaran kinerja karyawan ditetapkan (IPP, SKU, atau KPI) maka proses berikutnya
adalah memantau, menelaah, dan mengevaluasi pencapaian kinerja tersebut. Dalam
melakukan kegiatan ini, atasan memainkan peran yang sangat penting. Boleh dikatakan,
atasan adalah pemilik utama proses pemantauan, penelaahan, dan penilaian kinerja
bawahan tersebut. Pemantauan kinerja pegawai itu sebaiknya dilakukan setiap saat,
sedangkan proses evaluasi (review) secara bulanan. "Ini untuk bisa dengan cepat
meluruskan setiap penyimpangan yang terjadi," kata FX Sri Martono.
Wahyu Wibowo, Direktur Corporate Affairs Palyja, mengaku perusahaannya juga
melakukan proses pemantauan dan peninjauan kinerja karyawan secara terus menerus.
Sementara, evaluasi kinerja secara resmi diadakan pada pertengahan tahun (bulan Juni)
dan evaluasi kinerja tahunan di akhir tahun (Desember). "Di setiap waktu selalu ada
komunikasi secara terus menerus," ujarnya.
Tampaknya, membuat penilaian kinerja (Performance Appraisal / PA) secara resmi saja
tidak lagi memadai. Menunggu PA pertengahan tahun jelas berisiko mengingat selama 6
bulan pertama pegawai menjalankan berbagai aktivitas yang sangat menentukan kinerja
semester pertama maupun semester kedua serta kinerja tahunan. Penyimpangan yang
terlalu jauh tentu sangat sulit untuk diluruskan untuk mencapai kinerja optimal di
semester dua.
Astra menyadari sekali hai ini, sehingga grup perusahaan dengan 118.000 karyawan ini
konsisten melaksanakan review kinerja pegawai secara bulanan, meskipun hanya
dilakukan oleh atasan yang bersangkutan. Cahyo Winarto mengungkapkan, Astra
menyediakan formulir PICA (Problem Identification and Corrective Action) untuk diisi
atasan terkait kinerja setiap bawahannya. Dengan sistem ini, berbagai permasalahan
yang dihadapi karyawan bisa diidentifikasi dan diberikan langkah-langkah koreksinya.
Sistem review yang relatif cepat ini berakibat pada tingkat kesibukan atasan dalam
menjalankan review serta tindak lanjutnya, seperti memberikan umpan balik (feed back)
dan melaksanakan proses pengajaran (coaching) dan pembimbingan (counseling) oleh
atasan. Konsekuensinya, proses pengajaran dan pembimbingan tersebut berlangsung di
sepanjang tahun, khususnya yang bersifat informal. Sedangkan pengajaran dan
pembimbingan formal dilakukan setelah PA tengah tahun dan akhir tahun mendapatkan
adanya gap antara kinerja riil dengan kinerja yang seharusnya (sesuai IPP, SKU, atau KPI).
Beberapa riset menyebutkan, proses pengajaran dan pembimbingan oleh atasan
(coaching & counseling) memegang peranan yang sangat besar dalam keberhasilan
sebuah PMS. Sejumlah literatur menyebutkan porsi proses pengajaran dan
pembimbingan mencapai 70-80%, jauh lebih besar dibandingkan dengan proses
perencanaan dan evaluasi kinerja. Seluruh narasumber Human Capital mengamini
pendapat ini. "Pengajaran dan pembimbingan langsung oleh atasan jauh lebih efektif
ketimbang training. Dikirimkan training ke mana-mana, seringkali malah percuma," tegas
Cahyo Winarto dari ACC.
Repotnya, proses pengajaran dan pembimbingan tidaklah mudah untuk dilakukan.
Keluhannya macam-macam. Ada yang mengeluhkan kurangnya kompetensi atasan untuk
melakukannya. Survei "Performance Management di Indonesia," yang dilakukan Mercer,
sebanyak 24% mengeluhkan keahlian dalam memberikan umpan balik, melaksanakan
pengajaran dan pembimbingan. Keluhan lain, atasan tidak punya cukup waktu untuk
melakukannya. Toh ada juga kecenderungan atasan (perusahaan) enggan melakukannya
karena banyak juga pegawai yang diajar dan dibimbing akhirnya keluar meninggalkan
perusahaan. Sehingga, semua pengorbanan itu menjadi sia-sia.
Tentu saja semua alasan di atas tidak bisa diterima. Coaching dan counseling merupakan
salah satu keahlian yang harus dikuasai atasan. Untuk bisa menjalankan sebuah proses
coaching dan counseling yang efektif, sebaiknya tugas tersebut dimasukkan sebagai KPI
dari seorang atasan. Sebagai bagian dari Man Management Astra, coaching dan
counseling termasuk kriteria PA atasan. Hal itu ditambah lagi dengan tugas
mengembangkan bawahan.
Tanpa KPI pun, lanjut Sri Martono, sebetulnya tugas pengajaran dan pembimbingan wajib
dilaksanakan oleh seorang atasan bila ia menyadari bahwa tugas utamanya adalah
meningkatkan kinerja bagian yang ia pimpin. Keberhasilan ia menjalankan fungsi tersebut
pada akhirnya akan membuat kinerja bagiannya juga meningkat.
Ada banyak model dalam menjalankan coaching dan counseling. Salah satunya�Model
yang dikembangkan oleh Waren Bennis (penulis buku On Becoming Leader). Ada lagi
teknik GROW (Goal, Reality, Option, Will), yang pada dasarnya menjelaskan factor kunci
untuk keberhasilan coaching dan counseling : harus ada tujuan yang jelas, disesuaikan
dengan kenyataan, analisis opsi yang ada, dan lakukan dengan niat bersama.
Objektivitas PA
Meski kalah penting dari proses coaching dan counseling, implementasi PA tidak bisa
dipandang enteng. Persoalan utama terkait dengan PA berhubungan dengan objektivitas
dan dan keadilan proses PA. Di sejumlah perusahaan, PA sangat ditentukan oleh penilaian
atasan sehingga memunculkan istilah arogansi atasan. Survei Mercer terhadap praktik PM
di Indonesia mendapatkan data, 74% responden mengaku perusahaannya menerapkan
pendekatan ini. Tetapi, metoda semacam ini telah menjadi ciri dari praktik PM di Asia.
Sebanyak 80% responden dari negara-negara Asia di luar Indonesia juga melakukan hal
yang sama.
Pada banyak perusahaan terkemuka, PA tidak lagi ditentukan secara subjektif oleh
atasan. Astra, misalnya, membuat PA di mana si karyawan dan atasan sama-sama
memberikan penilaian. Tujuannya untuk mendapatkan penilaian yang lebih objektif. Agar
lebih objektif lagi, penilaian oleh atasan itu juga dinilai oleh atasan langsung dari atasan
tersebut. "Jadi, atasan juga tidak bisa semena-mena memberikan penilaian atas
bawahannya, karena satu sama lain juga kenal bawahan tersebut," tukas Sri Martono.
Perhatian perusahaan terhadap PA dari hari ke hari terus meningkat. Bagaimanapun, PA
menyangkut nasib orang. Pegawai yang memiliki nilai PA yang rendah otomatis
terhambat karirnya, terhambat pengembangan dirinya, terlambat kenaikan gajinya, dan
sulit mendapatkan bonus kinerja tahunan. Sebagai sebuah siklus, PMS pada perusahaan
maju dikaitkan dengan reward macam bonus kinerja dan penyesuaian gaji, promosi
jabatan, dan pengembangan orang tersebut di masa depan (melalui pendidikan dan
latihan). "Training juga bisa menjadi salah satu bentuk dari reward," imbuh Antonius
Thomas Tulolo, AVP HR Bank Artha Graha.
Atas dasar pertimbangan itu, sejumlah perusahaan mencoba menyempurnakan PA
mereka dengan menerapkan sistem Multirater Assesment, khususnya 360 degrees
feedback. Dalam konsep ini, PA dari seorang pegawai melibatkan kolega dan bawahan
(selain atasan seperti selama ini berlangsung). Bank Artha Graha termasuk perusahaan
Indonesia yang menerapkan konsep ini, khususnya untuk mendapatkan penilaian yang
objektif dari level pimpinan. Sistem PA yang semakin objektif dan adil tentu berbuah
kepada motivasi, kesejahteraan, dan kepuasan pegawai. "Target kami tahun ini, 90%
karyawan harus puas dari sisi manajemen HR," tambah Antonius.
Cara perusahaan memberikan penilaian ternyata cukup bervariasi. Bagi Grup Astra
beserta perusahaan anaknya, proses dan hasil bisnis mendapatkan bobot penilaian yang
sama, yaitu 50% : 50%. Khusus untuk yang tidak punya anak buah, bobot penilaian
antara proses dan hasil bisnis adalah 40% : 60%. Sebab, ujar Sri Martono, Astra
berkeyakinan hasil bisnis yang baik dihasilkan oleh proses bisnis yang juga baik.
Sementara Bank Artha Graha lebih memfokuskan pada hasil, yang mulai diberlakukan
sejak tahun 2006.
Sebagian besar PMS dewasa ini menggunakan pendekatan Balanced Scorecard (BSc)
sebagai dasar perencanaan dan penilaian kinerja. Istilah KPI memang istilah yang populer
karena BSc. Keunggulan BSc, menurut Irwan Rei, terletak pada beberapa hal. Pertama,
BSc memberikan perhatian berimbang antara faktor finansial dengan faktor-faktor
nonfinansial (seperti proses bisnis, hubungan dengan pelanggan, dan kualitas SDM)
dalam menentukan kinerja organisasi jangka panjang.
Kedua, dalam BSc terdapat hubungan yang jelas dan sebab-akibat (cause and effect)
antara sasaran kerja pegawai dengan sasaran kerja departemen, divisi, dan perusahaan.
Ketika aktivitas itu dilakukan secara disiplin di seluruh tingkatan dan bagian dalam
organisasi, mereka dapat melihat bagaimana pekerjaan mereka dipengaruhi dan
mempengaruhi pekerjaan orang lain. Faktor kedua ini menghasilkan penyelarasan yang
lebih baik dalam organisasi.
Selain menggunakan alat BSc, banyak pula perusahaan yang menggunakan pendekatan
mirip BSc. Medco dan Bank Artha Graha contohnya. "Kami tidak menggunakan BSc,
tetapi lebih kepada Performance Based," ungkap PM Susbandono dari Medco. Sejumlah
perusahaan bahkan melengkapi BSc dengan sistem kompetensi sebagai alat dari PMS.
Kecuali menilai pencapaian kinerja, perusahaan juga berkepentingan untuk
mengembangkan kompetensi karyawan. Palyja dan Wijaya Karya contohnya. Dengan
demikian, PMS berusaha mengukur input, output, dan proses secara simultan.
Berkembangnya kritik terhadap sistem kompetensi yang sering dianggap tidak relevan
dengan kinerja perusahaan mendorong konsultan HR global Watson Wyatt
mengembangkan konsep Pemicu Nilai (Value Driver) sebagai pendekatan yang sedikit
berbeda dengan kompetensi. Dalam konsep Pemicu Nilai ini, kegiatan manusia dalam
sebuah bisnis terbagi dalam empat kategori Pemicu Nilai : Menetapkan Strategi (Setting
the Course), Memobilisasi Karyawan Potensial (Mobilizing Talent), Menciptakan
Pendapatan (Generating Revenue), dan Menjalankan Bisnis (Running the Business).
"Masing-masing Pemicu Nilai memiliki Kamus Perilaku. Berbeda dengan pendekatan
kompetensi tradisional, Kamus Perilaku dalam konsep ini berorientasi pada tindakan,
disesuaikan dengan kebutuhan organisasi, dan menjelaskan cara kontribusi masing-
masing karyawan terhadap kinerja organisasi," tutur Lisa Evaty Dewi, Konsultan Watson
Wyatt Indonesia.
Penyempurnaan praktik bisnis, khususnya PMS, telah menjadi kebutuhan mutlak
perusahaan. Survei "Praktik PM" oleh Mercer menyebutkan, 41,5% responden non-HR di
Indonesia mempertanyakan kredibilitas PMS. Mereka menilai, implementasi sistem,
seperti pemberian umpan balik (34%) dan mengaitkannya dengan reward (32%) menjadi
hambatan utama dari sebuah PMS yang berhasil. Temuan lain yang sangat menarik, PM
saat ini dinilai sebagai tugas HR. Lebih dari 80% responden menyatakan hal tersebut.
Ketika ditanya, siapa seyogyanya bertanggung jawab untuk mengelola kinerja, mereka
mengatakan HR harus bekerjasama dengan seluruh level manajemen.
Sebuah PMS yang efektif tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab bagian HR. Setiap
bagian memiliki peran signifikan dalam mengelola kinerja, di mana tugas utama
sebetulnya jatuh kepada setiap level pimpinan organisasi (dari yang tertinggi hingga
terendah). Jajaran manajemen harus mampu menjawab berbagai tantangan yang muncul
terkait dengan PMS, seperti adanya kejelasan Sistem PA, objektivitas atasan dalam
melakukan penilaian, transparansi sistem, dan konsistensi proses coaching serta
counseling.
In Search of Indonesia Human Capital Excellence
No. 27 - Juni 2006
Banyak riset telah membuktikan keterkaitan antara kinerja perusahaan dengan proses
pengelolaan SDM di dalam perusahaan, dan kenyataannya memang proses SDM
perusahaanlah yang menciptakan iklim dan budaya kerja yang kondusif maupun
destruktif di dalam perusahaan.
Coba bedakan suatu perusahaan A yang memiliki proses SDM yang jelas,
terkomunikasikan dengan baik dan didukung oleh manajemen perusahaan, dengan
perusahaan B yang sangat jauh dari keadaan tersebut. Yang mana kira-kira yang dapat
diharapkan menghasilkan pelanggan yang puas, karyawan yang berkomitmen tinggi
serta kinerja yang spektakuler? Bila anda menjawab perusahaan A, anda benar sekali!
Ratusan perusahaan global sudah dapat dikategorikan ke dalam jenis perusahaan A,
seperti dapat kita lihat dalam daftar 500 besar di majalah Forbes.
Melihat perkembangan perusahaan di luar, kami selalu dihantui oleh pertanyaan: A?
Sebenarnya ada berapa perusahaan Indonesia yang diyakini sebagai perusahaan yang
telah mencontoh best practices perusahaan kelas dunia tersebut? A? Atau lebih baik lagi,
ada berapa perusahaan Indonesia yang sudah menjadi panutan dalam hal pengelolaan
SDM di negerinya sendiri, lengkap dengan aspek budaya lokalnya.
Untuk menjawab hal tersebut kami akan mulai dengan suatu perjalanan untuk mencoba
mencari perusahaan-perusahaan tersebut, belajar dari pengalaman mereka, melihat
kesamaan di antara mereka dan mengkaji aspek-aspek yang membuat mereka berhasil
dalam pengelolaan SDM. Ini adalah suatu perjalanan yang akan melibatkan kita semua,
dan yang hasilnya dapat dinikmati bersama-sama.
Perjalanan ini kami sebut Human Capital Excellence Survey 2006 (HCE 06), suatu inisiatif
yang lahir dari hasil riset Gyann Consultants terhadap global best practices dalam
pengelolaan SDM serta dengan dukungan penuh majalah Human Capital. Melalui HCE 06,
kami ingin mempelajari keberadaan perusahaan-perusahaan Indonesia dalam hal
pengelolaan SDM-nya dibandingkan dengan perusahaan global tersebut.
Melalui HCE 06 kami akan mempelajari lebih dalam kualitas pengelolaan SDM di
Indonesia sekaligus mengenali persepsi para professional dan manajer bisnis Indonesia
terhadap kegiatan SDM yang dijalankan dalam perusahaannya. Survei ini sekaligus
menjadi langkah awal terciptanya suatu�
benchmarking database yang nantinya dapat digunakan oleh setiap perusahaan
Indonesia untuk mengevaluasi kualitas fungsi SDM-nya.
Anda mungkin bertanya apa sesungguhnya yang kami cari? Pertama mari kita definisikan
lebih dahulu global best practice sebagai suatu filosofi inovatif, kebijakan, strategi,
kegiatan, proses, atau praktek yang dapat menanggulangi suatu masalah bisnis atau
menciptakan kesempatan untuk perbaikan. Survei HCE 06 mengukur keefekti fan
pengelolaan SDM ke dalam enam kategori yang digambarkan sbb:
Keenam kategori ini terbukti paling berdampak positif terhadap kinerja bisnis dan
sekaligus meningkatkan daya saing perusahaan secara menyeluruh. Apa yang akan kami
ukur dalam setiap kategori dapat dijelaskan sbb:
A) Rekrutmen & Penempatan
Rekrutmen & penempatan karyawan menjadi proses fundamental yang sangat kritis bagi
perusahaan. Bayangkan kerugian yang diakibatkan dari kesalahan merekrut; seorang
trader yang tidak kompeten, atau seorang purchaser yang tidak jujur, dll.
Untuk mengukur keefektifan suatu perusahaan dalam pengelolaan proses ini kami
mencari apakah perusahaan tersebut memiliki strategi, metodologi, praktek dan sistern
yang menunjang proses tersebut. Kekuatan proses ini antara lain dapat dinilai melalui
keberadaan suatu rencana tenaga kerja yang selaras dengan rencana bisnis, keterlibatan
manajemen dan manajer lini dalam proses ini. Selain itu kami juga menilai apakah
program suksesi menjadi bagian dari rencana rekrutmen, apakah setiap lowongan
dikomunikasikan ke dalam dan diberikan penjelasan mengenai persyaratan dan kriteria
lowongan, apakah setiap pihak yang terlibat dalam proses ini sudah terlatih dengan baik
dan apakah program orientasi menjadi bagian yang penting dari proses ini.
B) Pelatihan�& Pengembangan
Untuk menilai keefektifan organisasi dalam pelatihan & pengembangan karyawannya,
kami menelusuri keberadaan sistern kompetensi dan keterampilan karyawan sebagai
salah satu alat ukur kebutuhan pelatihan & pengembangan, peran atasan dalam
perencanaan pelatihan dan sebagai pembimbing karyawan, dan apakah dampak
pelatihan pada kinerja karyawan dan perusahaan sudah termonitor.
C) Manajemen Kinerja
Dalam kategori ini kami akan menilai program-program, sumber daya, atau praktek-
praktek, yang digunakan perusahaan untuk menyelaraskan sasaran kerja individu /
kelompok dengan sasaran perusahaan. Secara garis besar ini mencakup hubungan
antara kepuasan pelanggan internal dan eksternal dengan sasaran kerja individu dan
kelompok, keselarasan tujuan strategis perusahaan dengan sasaran kerja individu,
kelompok dan departemen, pengukuran keefektifan para manajer dalam menilai,
mengatur, mengembangkan dan menghargai kinerja karyawan serta pemberian umpan
balik dan coaching yang berkesinambungan, menilai kinerja dan mengelola konsekuensi
dari kinerja buruk.
D) Kompensasi & Penghargaan
Di sini kami menilai kemampuan perusahaan dalam menggunakan kompensasi dan
penghargaan untuk mendorong daya saing perusahaan, menyelaraskan sasaran kerja
individu/kelompok dengan sasaran perusahaan, dan untuk memperkuat perilaku positif
terhadap para pelanggan. Kami juga akan menilai keterlibatan karyawan dalam desain
program kompensasi dan penghargaan, penjelasan terhadap cara kerja sistern
kompensasi dan penghargaan yang diberikan perusahaan, penggunaan kombinasi
imbalan finansial dan non-finansial serta komponen kompensasi yang membedakan
antara gaji pokok, insentif dengan gaji variabel.
E) Budaya 8 Lingkungan Kerja
Dalam menilai aspek budaya & lingkungan kerja perusahaan, kami menilai filosofi SDM
organisasi, bagaimana masukan dari para karyawan digunakan secara efektif untuk
memperbaiki budaya maupun lingkungan kerja di dalam perusahaan, serta kemampuan
perusahaan dalam mengelola perubahan.
F) Hubungan Industrial
Dalam kategori ini kami menilai aspek-aspek yang diperlukan suatu perusahaan untuk
menjamin keikutsertaan, keharmonisan dukungan dari serikat-serikat pekerja
perusahaan. Aspek yang kami ukur antara lain keterlibatan manajemen dalam hubungan
industrial, komunikasi dengan serikat-serikat serta keberadaan PKB di dalam organisasi.
Dengan terciptanya database awal melalui HCE 06 ini, kita semua dapat belajar dari best
practices tersebut dan mungkin juga mulai menjelaskan ke masyarakat dunia tentang
best practices versi Indonesia, yaitu yang efektif dalam iklim bisnis Indonesia dengan
segala kekurangan dan kelebihannya. Semoga anda se-mua tertantang untuk
mengetahui hasil dari perjalanan kita ber-sama ini dan berpartisipasi dalam Survei HCE
06!
Sumber: Majalah Human Capital No. 27 | Juni 2006

Portalhr - Strategi HR – halaman 3


Halaman [ |« Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 ... Selanjutnya »| ] dari 17
Program Nasional 3 in 1 Mengatasi Pengangguran
No. 03 Tahun 2004
Kiat Praktis Optimalisasi Kinerja Perusahaan
No. 26 - Mei 2006
Suplai SDM Migas ke Luar Negeri
No. 26 - Mei 2006
Kiat Praktis Optimalisasi Kinerja Perusahaan
No. 25 - April 2006
Ini Investasi Jangka Panjang!
No. 24 - Maret 2006
Mobilisasi Sumber Daya
No. 24 - Maret 2006
Implementasi Kriteria Baldrige di Indonesia
No. 24 - Maret 2006
Bukan Award Biasa
No. 24 - Maret 2006
Merencanakan dan Mengeksekusi Strategi
No. 24 - Maret 2006
Mengupas Tuntas Kriteria Baldrige; Menjadi Organisasi Ekselen
No. 24 - Maret 2006
Program Nasional 3 in 1 Mengatasi Pengangguran
No. 03 Tahun 2004
Sampai akhir 2005 lalu jumlah pengangguran terbuka di Indonesia diperkirakan lebih dari
11 juta orang. Peningkatan jumlah pengangguran disebabkan karena akumulasi dari
pertambahan angkatan kerja baru yang tidak terserap lapangan kerja dan terjadinya
pemutusan hubungan kerja oleh unit usaha yang bangkrut, relokasi san yang melakukan
efisiensi. Seiring dengan pertambahan angkatan kerja baru 1,9 juta orang setiap tahun,
jumlah pengangguran juga diperkirakan akan naik 9,5 persen setiap tahunnya.
Untuk mengatasinya pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen
per tahun. Dengan asumsi setiap satu persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan
300 ribu lapangan kerja baru, maka upaya pemerintah ini kalau berjalan dengan baik
maksimum hanya dapat mengurangi 50 persen dari jumlah pengangguran pada tahun
2009 nanti.
Ini berarti masih akan tetap ada lebih dari 7 juta orang yang menganggur, padahal untuk
mewujudkan pertumbuhan ekonomi 6,6 persen pun bukanlah sesuatu yang mudah
karena membutuhkan investasi besar. Sampai saat ini Indonesia masih mengalami
kesulitan dalam menarik investor khususnya investor asing.
Di lain pihak, tanpa adanya pemecahan yang bersifat terobosan, masalah pengangguran
tidak saja akan memperburuk kondisi kesejahteraan masyarakat, tetapi juga dapat
mengganggu kondisi ekonomi social dan politik. Oleh karena itu, untuk pemecahan
masalah ini diperlukan langkah terobosan, diantaranya melalui implementasi strategi "3
in 1".
Dengan mengolah data BPS tahun 2005 dpat diketahui bahwa profil penganggur dilihat
dari aspek usia, pendidikan, kelamin dan wilayah. Pertama, dilihat dari aspek usia, sekitar
74 persen penganggur berada dalam kelompok usia produktif yakni 15 sampai 29 tahun.
Kedua, dilihat dari aspek pendidikan, tingkat pendidikan mereka sekitar 32 persen SD dan
dibawah SD, 25 persen berpendidikan SLTP, 36 persen berpendidikan SLTA dan 7 persen
berpendidikan Perguruan Tinggi. Ketiga, dilihat dari aspek jenis kelamin, jumlahnya
berimbang yaitu 51 persen laki-laki dan 49 persen perempuan. Sedangkan keempat,
dilihat dari aspek wilayah sebagian besar mereka berada di perkotaan (54 persen) dan 71
persen di propinsi-propinsi di Jawa, terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Untuk di luar Jawa, jumlah penganggur tertinggi berada di Sumatera Utara, Riau,
Sumatera barat, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.
Potensi penganggur dapat didasarkan atas tingkat pendidikannya. Untuk kelompok
pendidikan rendah yang jumlahnya 32 persen dapat diarahkan pada bidang profesi
sebagai tenaga kerja kasar. Mereka dapat dipekerjakan dalam bidang infrastruktur dan
perkebunan. Seperti diketahui, untuk lima tahun ke depan pemerintah mempunyai
program pembangunan jaringan irigasi di daerah penghasil beras di Jawa, Sumatera dan
Sulawesi.
Pada saat ini diperkirakan sekitar 30 persen jaringan irigasi di daerah tersebut dalam
kondisi rusak berat. Demikian juga untuk tenaga kerja di perkebunana, mereka sangat
dibutuhkan untuk pengembangan perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan,
perkebunan coklat di Sulawesi dan tanaman jarak dalam rangka pengembanagn biodiesel
sebagai alternative sumber energi di NTB dan NTT.
Untuk kelompok pendidikan menengah yang jumlahnya 61 persen diarahkan pada bidang
profesi sebagai pekerja operator/teknisi. Mereka dapat dipekerjakan dalam bidang
produksi dan jasa, baik untuk pasar kerja dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan
untuk kelompok pendidikan tinggi yang jumlahnya 7 persen dapat diarahkan pada bidang
profesi sebagai tenaga mandiri dan tenaga professional. Dengan bekal pendidikan yang
relative tinggi, sebagian mereka memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
wirausahawan.
Strategi 3 in 1 adalah strategi pengembangan SDM yang didasarkan pada pendekatan
terpadu atas tiga aspek yang meliputi pelatihan, sertifikasi kompetensi dan penempatan.
Strategi ini diperlukan untuk menjamin kualitas SDM atau tenaga kerja sesuai dengan
kebutuhan pengguna (industri). Di dalam strategi ini diterapkan dua prinsip penting, yaitu
prinsip demand driven dan prinsip competency based training. Berbeda dengan prinsip
supply driven yang menjadi cirri penyiapan SDM kita selama ini, prinsip demand driven
didasarkan atas kebutuhan nyata dari industri/dunia usaha sebagai pengguna dari tenaga
kerja.
Perwujudan dari prinsip demand driven adalah penerapan dari prinsip kedua, yakni
competency based training atau CBT. Di dalam CBT terdapat tiga komponen yang saling
terkait, yaitu adanya standard kompetensi dan adanya uji kompetensi (sertifikasi
kompetensi) untuk menjamin kualitas kelulusan. Implementasi dari kedua prinsip di atas
di dalam strategi 3 in 1 adalah sebagai berikut:
Pelatihan
Agar kegiatan pelatihan berjalan efektif diperlukan penerapan pola pelatihan yang
didasarkan atas kebutuhan para pengguna yang dicerminkan dengan standard
kompetensi dari bidang pekerjaan atau industri. Berdasarkan standard kompetensi,
lembaga pelatihan mengembangkan kurikulum pelatihannya yang berbasis kompetensi.
Standard kompetensi dikembangkan oleh dunia industri melalui asosiasi industri.
Sedangkan kurikulum diklat dikembangkan oleh penyelenggara pelatihan melalui asosiasi
lembaga kursus/pelatihan. Untuk pengembangan standr kompetensi kerja dapat
melibatkan asosiasi industri.
Saat ini ada dua asosiai yang mewadahi lembaga pelatihan, yaitu HIPKI yang mewadahi
penyelenggara kursus dan HILLSI yang mewadahi lembaga pelatihan. HIPKI atau
Himpunan Penyelenggara Kursus Indonesia memiliki sekitar 23 lembaga kursus di seluruh
Indonesia. Mereka memberikan pelayanan pelatihan kepada masyarakat berupa kegiatan
kursus-kursus ketrampilan yang secara keseluruhan berjumlah 133 jenis kursus. Selain
itu, pemerintah juga memiliki lembaga-lembaga pelatihan yang dikelola oleh instansi
teknis terkait seperti Depnakertrans mengelola Balai Latihan Kerja (BLK) yang jumlahnya
sekitar 140 buah tersebar di berbagai propinsi di Indonesia.
Sertifikasi Kompetensi
Untuk menjamin kelulusan program diklat dilakukan uji kompetensi atau sertifikasi
kompetensi. Berbeda dengan paradigma lama, di dalam strategi 3 in 1 ini penjaminan
kualitas tenaga kerja tidak saja dilakukan pada tahap pelatihan melalui penerapan
kurikulum berbasis kompetensi, tetapi juga pada tahap kelulusan melalui penerapan uji
kompetensi.
Mereka yang lulus dengan Undang-undang nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan dan
Peraturan Pemerintah nomor 23/2004 tentang Badan nasional Sertifikasi Profesi (BNSP),
sertifikasi kompetensi dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang terlisensi dari
bidang terkait. BNSP sebagai badan yang memiliki otoritas pelaksana sertifikasi
kompetensi memberikan lisensi kepada LSP untuk melakukan sertifikasi kompetensi pada
bidang terkait.
Pada saat ini terdapat 10 LSP yang sudah mendapat lisensi BNSP, diantaranya adalah LSP
otomotif, LSP logam mulia, LSP garmen, LSP pariwisata, LSP bank, LSP telapi dan LSP
telematika. Selain itu masih terdapat belasan calon LSP yang dalam proses untuk dilisensi
oleh BNSP.
Penempatan
Pada bidang penempatan, ada empat sasaran yang akan dibahas, yakni penempatan
sebagai tenaga pendamping UKM, pemagangan di industri, penempatan luar negeri dan
penciptaan lapangan kerja baru.
Untuk penempatan sebagai tenaga pendamping UKM, para calon operator/teknisi yang
telah lulus pelatihan uji kompetensi pada bidang keuangan, pemasaran dan manajeman
dapat ditempatkan sebagai tenaga pendamping pada unit-unit usaha UKM. Mereka
mempunyai fungsi sebagai penata dan sekaligus penggerak dari UKM tersebut.
Penempatan mereka dapat didasarkan pada kontrak kerja selama setahun, mereka juga
mendapat honor tiap bulan yang dapat dibiayai dari anggaran pemerintah (APBN atau
BUMN). Perpanjangan kontrak didasarkan atas kebutuhan UKM. Pihak UKM juga dapat
merekrut mereka sebagai tenaga permanent dengan biaya UKM sendiri.
Adapun pada pemagangan di industri, mereka memiliki fungsi sebagai tenaga kerja
nonpermanen dengan kontrak magang selama setahun. Mereka mendpat honor tiap
bulan dari perusahaan yang mereka tempati. Perpanjangan kontrak didasarkan atas
kebutuhan perusahaan, dan pihak perusahaan dapat merekrut mereka sebagai tenaga
permanent.
Pada penempatan luar negeri, saat ini TKI informal seperti penata rumah tangga
permintaannya masih sangat tinggi, terutama untuk pasar timur tengah. Tetapi potensi
dan prospek pengiriman TKI teknis industri dan perawat juga sangat baik. Permintaan
tenaga teknis untuk Korea Selatan dan Taiwan semakin meningkat. Demikian pula
prospek permintaan tenaga perawat untuk Eropa, Amerika dan Australia yang sudah
mulai menunjukkan titik cerah.
Mengenai penciptaan lapangan kerja baru bisa dilakukan melalui pengembangan usaha
mandiri dan pengembangan peluang usaha outsourcing. Pengembangan usaha mandiri
difokuskan pada pencari kerja dengan latar belakang pendidikan tinggi. Sedangkan usaha
outsourcing dilakukan dengan mengambil jenis-jenis pekerjaan yang tidak lagi ekonomis
jika dikerjakan di negara-negara maju. Jenis pekerjaan tersebut antara lain jasa call
center, fungsi support perbankan dan asuransi serta bidang-bidang lain.
Sumber: Majalah Human Capital No. 03 | Tahun 2004

Kiat Praktis Optimalisasi Kinerja Perusahaan


No. 26 - Mei 2006
Organisasi inovatif sadar atas terjadinya kesalahan ini dan melatih sekaligus memotivasi
para manajer untuk menyelesaikan penilaian karyawan seakurat mungkin. Organisasi
yang memiliki uraian kompetensi atau performance behaviours, memiliki peluang yang
lebih baik untuk mengurangi terjadinya kesalahan tersebut karena adanya penjelasan
objektif mengenai apa yang dianggap sebagai kinerja tinggi, menengah, dan rendah.
Apakah organisasi Anda sudah mendefinisikan performance behaviours?
Aspek pelatihan yang diperlukan untuk mengurangi kesalahan penilaian adalah pelatihan
Frame of Reference yang dapat membantu para manajer untuk menyatukan
pandangan/kalibrasi terhadap skala penilaian, seperti apa yang dimaksud dengan
melebihi ekspektasi, di bawah ekspektasi, dll. Riset membuktikan bahwa pelatihan Frame
of Reference sangat membantu organisasi meningkatkan akurasi penilaiannya.
Kadang kala, akurasi penilaian adalah masalah motivasi manajer dibanding ketrampilan
menilai manajer itu sendiri. Memberikan penilaian tinggi membuat kinerja si manajer
tampil lebih baik dan membuat diskusi dengan karyawan lebih lancar dan tanpa
argumentasi. Namun ini tidak melambangkan kinerja sesungguhnya. Distribusi hasil
penilaian berdasarkan kurva normal/Bell Curve dapat mengurangi efek bias ini. Review
oleh atasannya manajer, penilai eksternal dan tim SDM dapat juga mengurangi bias
tersebut.
Riset juga menyimpulkan bahwa para manajer menilai lebih akurat bila mereka percaya
dengan sistern penilaiannya, diberikan behaviours dari kinerja yang positif & negative
dan mereka diberi insentif untuk akurasi penilaian.
Ciptakan buy-in dari para karyawan dan cari feedback organisasi dengan sistern penilaian
yang efektif sadar bahwa buy-in karyawan terhadap sistemn tersebut sama pentingnya
dengan desain dari sistemn itu sendiri. Cara efektif untuk meningkatkan buy-in adalah
dengan menjelaskan secara detil & berkala sistemn tersebut, menyediakan dokumentasi
penunjang, help desk, klinik untuk berkonsultasi dan proses naik banding yang jelas.
Karyawan juga harus dilibatkan dalam kegiatan goal setting. Komunikasi mengenai
sistemn penilaian selain penting untuk meningkatkan efektivitas sistemn juga penting
untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan bila terjadi litigasi.
Memberikan karyawan feedback yang membangun dan yang dapat diterapkan adalah
sasaran penting dari proses penilaian sekaligus peningkatan kinerja organisasi secara
menyeluruh. Selain frekuensi, kualitas penilaian juga perlu dipikirkan karena bila kualitas
feed-back tidak baik maka kinerja perusahaan akan statis atau malah menurun.
Berdasarkan riset, hampir 1/3 dari waktu, memberikan feedback malah menurunkan
kinerja, karena reaksi dari apa yang disampaikan maupun cara penyampaiannya. Ada 8
cara efektif yang diidentifikasi untuk meningkatkan buy-in sekaligus penggunaan
feedback.
1. Penilaian harus berbasis standar kinerja yang terdokumentasi dan yang sudah
dikomunikasikan kepada karyawan.
2. Himbau dan gunakan input dari karyawan sebelum penilaian dimulai.
3. Feedback disampaikan oleh orang yang mengetahui dengan baik pekerjaan
karyawan dan memiliki hubungan kerja yang baik dengan karyawan tersebut.
4. Berikan feedback yang seimbang antara kekuatan karyawan dan area yang perlu
dikembangkan.
5. Garisbawahi area yang perlu dikembangkan dalam waktu tertentu bersama
dengan kegiatan spesifik yang akan menunjang perkembangan tersebut.
6. Fokus hanya pada 1 atau 2 area perkembangan setiap kali diskusi.
7. Dorong karyawan untuk menjadi peserta yang aktif dalam diskusi penilaian
8. Beri kesempatan kepada karyawan untuk challenge atau mendebatkan penilaian.
Banyak dari 8 cara tersebut berfokus pada tingkah laku manajemen maka pelatihan
manajerial mengenai cara-cara memberikan feedback yang membangun, meningkatkan
keterlibatan karyawan, meningkatkan akurasi penilaian akan meningkatkan keefektifan
sistem penilaian organisasi secara menyeluruh.
Beberapa dari 8 rekomendasi berkaitan dengan peningkatan keterlibatan karyawan
sebelum, sewaktu dan setelah penilaian. Karyawan harus didorong untuk bersama-sama
menentukan target kinerja (personal & profesional) untuk jangka pendek & panjang. Ini
akan membantu para manajer memberikan feedback yang lebih relevan dan spesifik.
Program ini tetap harus terkait dengan program kompensasi dan penghargaan yang
fleksibel di organisasi anda.
Dengan membangun, mendokumentasikan dan mengkomunikasikan sistem penilaian
yang baik, organisasi yang inovatif membangun pondasi manajemen human capital yang
solid. Sistem ini sekaligus dapat mengintegrasikan proses human capital lainnya seperti,
rekrutmen, pemilihan karyawan, kompensasi, penghargaan, pelatihan, pengembangan,
talent management dan manajemen suksesi.
Organisasi yang memiliki sistem penilaian yang baik memproteksi diri dari tuntutan atau
litigasi. Maka, investasi untuk membangun sistern penilaian ini akan memberikan return
on investment yang sangat tinggi.
Apakah organisasi Anda sudah memiliki sistern penilaian yang baik? Apakah sistem ini
dapat membantu meningkatkan kinerja perusahaan anda? Apakah anda memiliki human
capital yang kompetitif? Ini adalah hal-hal yang akan kami babas dalam kiat kedua
tentang Human Capital Audit di edisi berikutnya. Selamat mencoba kiat ini!�
Penulis adalah Managing Director Gyann Consultants (Australia), suatu perusahaan
konsultan yang banya berfokus pada peningkatan nilai tambah organisasi melalui SDM-
nya. Dapat dihubungi di sam@qyann.com.
Sumber: Majalah Human Capital No. 26 | Mei 2006
Suplai SDM Migas ke Luar Negeri
No. 26 - Mei 2006
Meski menyandang nama besar Pertamina, namun Pertamina Training; Consulting (PTC)
rupanya harus berdarah-darah dulu untuk tetap hidup. Saat ini, Pertamina memiliki 2
institusi yang terkait dengan peningkatan kom kompetensi SDM. Pertama adalah Pusat
Pembelajaran dan pengembangan kepemimpinan (Pusjarbangpim). Ini adalah kawah
candradimuka Pertamina dalam menanamkan aspek-aspek kepemimpinan bagi calon-
calon pemimpin Pertamina.
Yang kedua adalah PTC, anak perusahaan Pertamina yang dibangun dan diorientasikan
kepada bisnis ke luar. Artinya, PTC tidak hanya difokuskan mentraining karyawan
Pertamina saja, tapi juga melayani pemesanan perusahaan lain, baik itu training
karyawan, konsultasi maupun menyediakan SDM migas yang handal. Menurut Syahrial
Mukhtar, Direktur Pertamina Training % Consulting (PTC) konsep dibentuknya PTC sesuai
dengan mottonya "The gate away for knowledge do better solution". "Disini kami menset
up suatu produk, berdasarkan apa yang dibutuhkan bisnis group dan untuk menunjang
pencapaian target atau kinerja mereka," kata Syahrial.
Awal berdiri, PTC berakar pada sejarah dibangunnya Yayasan Patra Cendikia, yayasan
yang dibangun untuk mengelola Pusdiklat (sekarang berubah menjadi Pusjarbangpim)
milik Pertamina tahun 1994 lalu. Seiring dengan waktu, munculnya UU No. 6/2001
tentang yayasan, membuat manaje-men Pertamina terpaksa membubarkan yayasan ini
dan kegiatan training dikelola sepenuhnya oleh Pertamina. Kemudian, pada 2002, jajaran
Direksi Pertamina membentuk PTC yang murni orientasi ke bisnis.
Biayanya? "Tidak terlalu besar," jawab Syahrial singkat. Alasannya, PTC tinggal
menempati lokasi Pusjarbangpim yang ber-lokasi di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta
Selatan. Itupun hanya satu lantai yang diisi karyawan PTC yang totalnya hanya 20 orang,
60% dari para trainer dan konsultan adalah orang Pertamina.
Tantangan yang harus dihadapi PTC diakui Syahrial jelas tidak mudah. Meski secara
hubungan darah PTC masih erat terkait dengan Pertamina, namun perjalanan kehidupan
PTC tidak semulus orangtuanya. Syahrial mengaku, ia dan timnya memulai dari nol untuk
membangun bisnis ini. "Tantangan yang kami hadapi sama seperti perusahaan lain pada
umumnya, yaitu masalah pemasaran. Kendati Pertamina adalah induk perusahaan, tapi
kami belum dikenal, baik di luar maupun di dalam Pertamina sendiri," tegasnnya.
Kreativitas dan inovasi merupakan kunci jawabannya.
Di tahun-tahun pertama, Syahrial mencoba mengambil peluang lewat jalur kualitas.
"Kebetulan latar belakang keahlian saya adalah manajemen mutu sehingga kami bisa
meyakinkan klien agar mereka mau memberikan proyek berkaitan dengan kualitas.," ia
menjelaskan. Syahrial patut bersyukur, karena waktu itu banyak sekali proyek yang bisa
dikerjakan PTC. Demikian pula pada tahun kedua.
Yang membedakan PTC dengan perusahaan konsultan dan training lainnya adalah PTC
menyediakan SDM migas bagi perusahaan migas non Pertamina yang membutuhkan
tenaga-tenaga ahli dan berpengalaman. "Ini yang membedakan pula antara kami dengan
Pusjarbangpim Pertamina." PTC saat ini sudah mensuplai puluhan tenaga-tenaga ahli dan
berpengalaman di bidang migas dalam dan luar negeri, seperti Vietnam, Qatar, dan
Oman. Suplai SDM migas ini berdasarkan kebutuhan SDM migas di pasar global tidak
terlalu banyak.
Disinggung soal biaya untuk mentraining setiap karyawan, ia menjelaskan bahwa khusus
untuk Pertamina, maka PTC memberikan harga khusus dibandingkan perusahaan lain. Tak
heran jika revenue PTC meningkat dengan signifikan. Di awal berdiri, revenue PTC
mengalami lonjakan yang luar biasa, yaitu 200%. Kenaikan ini ditegaskan Syahrial bukan
karena ada embel-embel nama Pertamina.
Kiat Praktis Optimalisasi Kinerja Perusahaan
No. 25 - April 2006
Dalam rangkaian seri optimalisasi kinerja perusahaan, pertama-tama akan dibahas
mengenai kiat-kiat merancang sistem pengukuran kinerja organisasi.
Seperti yang kita pahami bersama-sama, kepiawaian (mastery) suatu organisasi dalam
menjalankan core capability-nya akan sangat menentukan keberhasilan maupun
kegagalan perusahaan tersebut. Skala pengukur kepiawaian dalam core capability dapat
dirancang dan akan membantu perusahaan menentukan keputusan investasi sumber
dayanya.
Skala kepiawaian sekaligus dapat membantu membandingkan taraf maturity dan
kompleksitas dari organisasi tersebut dibanding organisasi lainnya. Rentang mastery
yang dapat dimiliki suatu organisasi terdiri dari taraf kepiawaian dasar yang merupakan
batas minimal agar organisasi tetap dapat menjaga daya saingnya.
Taraf kedua, kepiawaian progresif adalah berdasarkan norma-norma yang berlaku
sekarang dan taraf ketiga, atau kepiawaian inovatif berfokus pada inovasi dan penerapan
best practices yang akan berlaku 3�- 5 tahun ke depan. Apakah anda tahu taraf
kepiawaian organisasi anda?
Kepiawaian organisasi dapat diukur langsung lewat kinerja organisasi. Kami selalu
berpendapat bahwa organisasi yang berkinerja tinggi mendapatkan hasil tersebut dari
karyawannya baik sebagai individual contributor maupun team contributor dan dengan
memahami kompetensi dan kebutuhan pengembangannya melalui alat ukur yang tepat.

Dampak Pengukuran Kinerja


Merancang & memelihara sistem pengukur kinerja yang efektif & efisien sangat kritis
untuk pengembangan SDM & pencapaian kinerja tinggi atau kepiawaian organisasi.
Organisasi yang memiliki sistem pengukur kinerja yang handal, dapat tetap menjaga,
mengembangkan dan mempromosikan karyawannya yang handal. Karyawan yang
berkinerja rendah dapat juga teridentifikasi untuk pengembangan lebih lanjut atau
pemindahan ke pekerjaan-pekerjaan yang lebih sesuai dengan ketrampilan dan bakat
karyawan tersebut.
Sistem pengukur kinerja selain menyediakan informasi yang membantu membandingkan
kinerja setiap karyawan, memberikan feedback mengenai pengembangan & motivasi
karyawan sekaligus memberikan dasar yang kuat untuk pengambilan keputusan
mengenai karyawan tersebut. Kualitas sistem ini memiliki dampak yang sangat tinggi
terhadap pengembangan human capital karena sistem pengukur kinerja adalah pondasi
dari proses SDM yang lainnya. Proses-proses seperti manajemen karir, perencanaan
suksesi, sistem kompensasi, sangat tergantung pada informasi dari sistem ini.
Karena ketergantungan proses SDM pada sistem pengukuran kinerja ini, maka sistem ini
selalu menjadi focus pada setiap litigasi yang terkait dengan kasus promosi (kenaikan
pangkat), demosi (penurunan pangkat) dan kompensasi. Berdasarkan riset terhadap
ratusan jenis sistem pengukur kinerja yang disampaikan sebagai bahan bukti dalam
kasus litigasi tersebut, dapat dilihat sistem yang dapat memberikan proteksi kepada
organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Dasarkan standar kinerja untuk setiap posisi pada hasil analisa pekerjaan.
2. Berikan karyawan salinan dari standar kinerja pekerjaannya.
3. Evaluasi karyawan berdasarkan dimensi pekerjaan, tidak hanya secara umum.
4. Penilaian berdasarkan tuntutan/perilaku kerja yang perlu diperlihatkan tidak
berdasarkan ciri-ciri umum karyawan tersebut.
5. Berikan manajer dan para penilai instruksi tertulis yang rinci mengenai cara
penggunaan sistem penilaian.
6. Pastikan para manajer & penilai menyelesaikan pelatihan mengenai cara penggunaan
sistem penilaian.
7. Gunakan beberapa penilai untuk setiap karyawan.
8. Siapkan proses naik banding bila terjadi dispute atau perselisihan.
9. Siapkan dokumentasi mengenai keputusan ketenagakerjaan yang berkait dengan
setiap karyawan.
Ciri-ciri ini sekaligus melambangkan best practices inovatif yang dapat digunakan
sebagai pedoman untuk merancang suatu sistem pengukur kinerja di organisasi anda!
Sistem penilaian seperti ini yang diterapkan organisasi, memberikan karyawannya
feedback yang berarti secara berkala & berkesinambungan bukan sekedar setahun sekali.
Memang konsep-nya cukup sederhana, namun yang membedakan satu organisasi dari
yang lain adalah cara penerapan� proses tersebut.
Artikel ini selanjutnya menjelaskan apa yang diperlukan untuk menerapkan sistem
penilaian secara efektif.
Hati-hati memilih criteria penilaian
Ada pepatah "Be careful what you wish for, it can come true!". Kinerja optimal adalah
harapan setiap organisasi, maka harus dipilih dengan baik harapan tersebut, karena
dapat terkabulkan melalui karyawan. Secara ideal, kriteria kinerja adalah yang:
Dapat dihandalkan dan valid untuk mengukur kinerja organisasi.
Tidak terkontiminasi dengan kondisi-kondisi di luar kendali karyawan (contoh: daerah
penjualan yang rendah, kondisi makro ekonomi, dll). Sangat jelas mengenai ciri-ciri
(behaviours) kinerja yang bagus dan kinerja yang tidak bagus.
Membangun sistem penilaian berbasis behaviour memang tidak mudah, namun
mengingat nilai tambah yang dihasilkan melalui integrasi dengan proses SDM yang
lainnya seperti seleksi karyawan, kompensasi, dll, maka upayanya cukup bermanfaat.
Proses untuk menentukan performance behaviours yang diperlukan untuk merancang
suatu sistem penilaian adalah melalui analisa pekerjaan. Menganalisa pekerjaan dapat
mengurangi bias dalam sistem penilaian nantinya. Analisa pekerjaan memecahkan setiap
pekerjaan kedalam ciri-ciri dan kompetensi yang diperlukan untuk kinerja yang optimal.
Behaviour & kompetensi dapat ditentukan berdasarkan kepentingan dalam proses kerja
atau frekuensi penggunaannya.
Ada banyak cara untuk melakukan analisa pekerjaan, namun pada dasarnya melibatkan
wawancara dengan pemegang jabatan dan atasan mereka untuk menentukan ciri-ciri
yang memberikan kinerja yang optimal maupun ciri-ciri destrukti yang menghasilkan
kinerja rendah. Dengan cara ini akan terbentuk batas-batas performance dari yang paling
rendah sampai tinggi yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan standar kinerja
yang diharapkan dari para karyawan.
Karena keeratan antara sistem penilaian kinerja dengan pengembangan dan kompensasi
karyawan maka sistem tersebut harus transparan sekaligus fleksibel. Setiap karyawan
harus mengetahui bagaimana kinerjanya akan diukur. Ciri-ciri kinerja untuk setiap
pekerjaan harus terdokumentasi yang akan bermanfaat untuk karyawan sekaligus
memberikan proteksi kepada organisasi dari litigasi. Pengembangan performance
behaviours yang akurat dapat meningkatkan kinerja organisasi secara menyeluruh.
Latih para manajer dan penilai dalam keakuratan menilai
Manajer lini & support adalah kunci keberhasilan sistem ini. Mereka selalu dituntut untuk
mengkomunikasikan standar kinerja, memberikan feedback, coaching & menilai
kinerjanya secara efektif. Karena perbedaan ketrampilan mengukur kinerja organisasi
antara para manajer maka sistem penilaian selalu menjadi area yang sangat problematis.
Menilai karyawan mungkin dianggap mudah & straight forward, namun karena ini
sifatnya adalah judgement atau persepsi, maka sangat rentan terhadap human error atau
subjektifitas.
Organisasi yang memiliki sistem penilaian yang lebih mapan menyadari masalah
potensial tersebut & mengambil langkah-langkah perbaikan seperti pelatihan para
penilai, sistem teknologi dan insentif yang menunjang, dll.
Jenis kesalahan penilaian yang dapat diprediksi pada dasarnya berkaitan dengan ingatan
penilai, khususnya bila penilaian dilakukan hanya setahun sekali. Karena jangka waktu
yang lama, maka penilai tidak dapat mengingat setiap kontribusi yang positif/negatif dari
karyawan secara konsisten. Bisa juga yang teringat hanya situasi yang terkini, kegiatan
yang terisolisir atau terjadi penilaian hanya berdasarkan kesan manajer terhadap
karyawan dan bukan pada kontribusinya yang riil, kesan ini bisa positif maupun negatif.
Kesalahan kedua yang dapat diprediksi adalah distribusi dari hasil penilaian yang
diakibatkan oleh cara penggunaan skala penilaian yang tidak objektif. Bisa saja seorang
menilai semua karyawannya sama "di tengah", "rata kanan" atau "rata kiri". Dengan hasil
yang mengumpul di salah satu titik maka sulit untuk organisasi membandingkan antara
karyawan yang dapat dipromosi atau ditingkatkan kompensasinya. Dengan terjadinya hal
seperti ini akan sulit juga untuk membandingkan hasil penilai ini dengan penilai lainnya.
*Penulis adalah Managing Director Gyann Consultants (Australia), suatu perusahaan
konsultan yang hanya berfokus pada peningkatan nilai tambah organisasi melalui SDM-
nya. Sanjay dapat dihubungi di sam@qyann.com.
Sumber: Majalah Human Capital No. 25 | April 2006
Ini Investasi Jangka Panjang!
No. 24 - Maret 2006
Keunggulan sistem Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence (MBCFPE) tidak
diragukan lagi oleh dunia. Karena itu, menerapkan beberapa kriteria yang ada dalam
MBCFPE sudah merupakan suatu pertanda baik bahwa sebuah organsasi sudah mulai
melakukan perubahan untuk meningkatkan mutu dan kualitas organisasi berdasarkan
kepuasan konsumen.
Dari 130 item yang ada dalam MBCFPE, Junius Tirok, Direktur Eksekutif IPMI (Institut
Pengembangan Manajemen Indonesia) meringkasnya menjadi 10 kriteria yang
berdasarkan core value dan konsep. Sepuluh kriteria tersebut adalah Customer driven
quality (customer focus dan satisfaction), senior executive leadership, continuous
improvement, employee participation dan development (total participation & staff
development), fast response (quality in operational results), design quality and
prevention (problem prevention and resolution), long range outlook (strategic quality
planning), management by fact, partnership development dan company responsibility
(corporate responsibility ).
Dalam penjelasannya, MBCFPE menekankan pada unsur kualitas di sebuah organisasi
atau perusahaan. Pengukuran kualitas berdasarkan kepuasan konsumen. “Konsumen kini
menjadi tolak ukur dalam kualitas. Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang
digerakkan oleh kepuasan konsumen,” papar Junius. Jika ada konsumen yang tidak puas,
perusahaan akan selalu berubah untuk memuaskan konsumennya.
Selanjutnya, sukses organisasi yang sebenarnya hanya bisa diperoleh kalau ada
pemimpin yang efektif. Pemimpin baru bisa efektif kalau dia berada pada kedudukan
yang senior atau atas agar punya pengaruh yang kuat dalam menerapkan sistem ini.
Kemudian, untuk menjadi organisasi yang baik, perbaikan itu terjadi dari waktu ke waktu
secara kontinyu.
"Ini bukan revolusi, tapi evolusi.” Perbaikan ini juga berlaku pada perusahaan yang sudah
terkemuka sekalipun.
Di samping itu, tidak hanya pimpinan yang melakukan perbaikan tapi semua karyawan
ikut serta. Ini mengingat implementasi setiap perusahaan berbeda-beda. Perusahaan
juga harus cepat tanggap jika ada gejala yang tidak sesuai serta melakukan perbaikan.
Kendalanya untuk menerapkan sistem ini di Indonesia menurut Junius bergantung pada
kebutuhan setiap orang. Jika organisasi diibaratkan seorang manusia, maka manusia
pertama lahir adalah dependen, tidak bisa hidup tanpa orangtua. Baru setelah itu,
berusaha untuk independen. Setelah mampu berdiri sendiri, untuk maju dan berguna, dia
harus bisa berkomunikasi dengan orang lain atau interdipendensi. Setelah itu baru
berpikir apa yang harus ia lakukan kepada orang lain atau social responsibility. “Pendapat
saya, karena Indonesia belum berhasil lewati proses itu. Kondisi ini yang membuat sistem
susah untuk diterapkan,” katanya. Tapi, ia memaklumi mengingat seluruh negara di dunia
juga mengalami hal yang sama dengan di Indonesia. ”Saya kira proses dependensi ke
independensi, kemudian ke interdependensi, lalu ke social responsibility, di negeri kita
kurang bergaung baik.”
Padahal di negara lain seperti Thailand, pemerintah gencar mengkampanyekan sistem ini
agar diterapkan di perusahaan-perusahaan. Bagaimana dengan Indonesia?
"Pemimpin Indonesia sekarang usianya hampir sama dengan saya. Cara pandang saya
sama dengan cara pandang orang tua saya. Demikian juga pemimpin di Indonesia,"
akunya.
Karena itu butuh waktu yang sangat lama jika ingin diterapkan di Indonesia. Hal ini juga
tergantung dari kepemimpinan organisasi dan karyawannya. “Berikan training,
couching,� dan semuanya agar ke depan mereka bisa membangun organisasi dengan
lebih baik dan kualitas yang lebih baik pula," tukasnya. Ini adalah investasi jangka
panjang. Jadi, jika organisasi hanya berpikir efisiensi tanpa mengindahkan investasi
jangka panjang, maka sistem ini tidak akan jalan. Organisasi harus punya keyakinan agar
perusahaannya maju dan kualitasnya meningkat.
Sumber: Majalah human Capital No. 24 | Maret 2006
Mobilisasi Sumber Daya
No. 24 - Maret 2006
Dalam banyak pernyataan formal maupun non formal, anda mungkin sudah seringkali
mendengar pidato-pidato pejabat atau pun pimpinan perusahaan bahwa sumber daya
manusia atau human capital adalah asset utama organisasi yang dapat menggantikan
dominasi asset modal seiring dengan pergeseran turbulensi global. Ditinjau dari
kebenaran substansi materialnya, jelas pernyataan tersebut benar terutama di Negara-
negara di mana seluruh aspek kehidupan masyaraatnya memiliki kandungan
pengetahuan tinggi.
Henry Ford atau Walt Disney bahkan sudah sejak lama mengakuinya. Hal ini terungkap
dalam ucapan: "You can dream, create and build the most wonderful place in the world
but it requires people to make the dream a reality." Tapi dalam kenyataannya, apakah
anda sudah merasaan aplikasi pidato tersebut dalam pekerjaan sehari-hari? Atau dengan
kata lain bagaimana relevansi dan validitasnya terhadap situasi konkrit yang anda geluti
setiap hari?
Jika kenyataannya pimpinan anda ternyata lebih gelisah ketika kehilangan mesin fotocopy
ketimbang harus memecat anda, maka teks pidato tersebut tidak valid bagi anda. Lalu
dimana sebetulnya letak kesalahannya? Jangan menyalahkan teks pidato, tetapi mulailah
bertanya kepada diri anda, apakah selama ini anda menerima reward dari perusahaan
atau orang lain karena anda bekerja keras atau karena anda menciptakan solusi dengan
kecerdasan anda.
Jika jawaban anda membuktikan bahwa reward diperoleh dengan cara mengeluarkan
tenaga secara konvensional yang dikomandoi dengan cemeti jam kerja dan pembatasan
tugas dan tanggungjawab atau bekerja berdasarkan instruksi semata, maka human
capital seperti itu bagi organisasi lebih tepat disebut cost, bukan asset. Oleh karena itu
dapatlah dimengerti jika seorang atasan tidak ragu untuk memecat anak buahnya.
Faktor Pembeda
Awalnya semua manusia diciptakan sama dalam hal sama-sama memiliki "The Basic
Principle of Human Capital" - dalam bentuk keunggulan dan keterbatasan hidup.
Kemudian sedikit demi sedikit dibedakan oleh factor-faktor kecil hingga akhirnya terjadi
perbedaan diametral antara "pencipta problem dan pencipta solusi"; antara menjadi
asset dan menjadi cost. Factor pembeda tersebut tidak lain terletak pada bagaimana
anda melakukanberbagai upaya untuk memobilisasi sumber daya yang anda miliki.
Pada saat anda berhasil dalam memobilisasi sumber daya yang anda miliki, maka pada
saat itu pula sumber daya anda akan menjadi asset suatu organisasi ata perusahaan
bahkan bagi diri anda sendiri. Jika anda berdiam diri dan membiarkan sumber daya
tersebut mencari celah kompensasi sendiri di lapangan maka dapat dipastikan bahwa
asset tersebut dapat berubah ke dalam bentuk yang sama sekali tidak memiliki relevansi
apapun dengan cita-cita, tujuan, target dan rencana anda.
Dengan kata lain, selama potensi yang anda miliki tidak dimobilisasi dengan baik dan
hanya menunggu nasib baik menghampiri anda maka potensi tersebut tidak akan pernah
menjadi asset. Oleh karena itu, buanglah jauh-jauh pendapat bahwa pembeda itu berupa
nasib, takdir, atau apapun namanya sebab nasib atau takdir tidak merasa dirinya
pembeda seperti yang anda pahami.
Beberapa Kiat untuk dapat memobilisasi human capital anda, ada baiknya anda ikuti
cara-cara berikut ini.
Menggunakan
Human capital adalah anda dan kehidupan yang anda miliki. Tidak saja sebatas
keunggulan bahkan keterbatasan andapun bisa menjadi keunggulan ketika anda
menemukan jawaban dari why dibalik lipatan what bahwa nothing happens by accident ;
atau ketika anda telah menemukan pemahaman baru dari sesuatu yang biasa dilihat oleh
anda dan orang lain sebagai hal yang biasa-biasa saja. Tetapi terus terang sumber daya
tersebut masih berupa potensi dasar yang menunggu tombol aktivasi untuk di-ON kan
atau ibarat Gold yang menunggu sentuhan Gold Mind supaya memiliki nilai jual yang
fantastis.
Dalam teori Electrical Engineering, potensi dasar masih berupa potential energy dan agar
menjadi actual energy, maka harus diaktifkan terlebih dahulu. Ibarat battery, selamanya
tidak akanmenciptakan setrum yang menghasilkan cahaya kalau tidak diaktifkan.
Sindiran bijak mengatakan: "Pengetahuan yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang
tidak berbuah." Artinya pohon tersebut lebih berupa beban daripada asset.
Sama halnya dengan potensi dasar yang anda miliki. Tanpa sentuhan kreatifitas,
kecerdasan, ketahanan, dan kegigihan mengasahnya, maka keberadaannya adalah
beban. Tidak sedikit contoh yang bisa anda saksikan. Banyak orang yang frustasi bukan
karena perlakuan keadaan tetapi tidak ada yang cocok untuk dilakukan terhadap keadaan
tersebut meski ia memiliki begitu banyak potensi.
Potensi dasar yang dimiliki semua manusia sangat variatif tergantung dengan disiplin
atau pendekatan yang digunakan. Dasar pengembangan diri dimulai darikeyakinan ilmiah
bahwa di dalam diri anda sudah diciptakan kemampuan untuk memiliki job skill dan
mental skill. Manajemen SDM diawali dengan keyakinan ilmiah bahwa anda memiliki
software skill disamping juga hardware skill. Anda punya potensi dasar mulai dari fisik,
mental, emosional, intelektual, spiritual, material, visual, moral, atau akses eksternal.
Anda hanya tinggal menentukan manakah di antara potensi tersebut yang menjadi
keunggulan anda.
Menggunakan human capital identik dengan upaya mencerdaskannya melalui proses
belajar (learning), bukan sekedar sentuhan pendidikan baik formal atau non formal.
Artinya learning adalah proses mengubah ketidakmampuan masa lalu menjadi bentuk
kemampuan baru. Learning bukanlah seperti mengisi keranjang yang kosong supaya
penuh tatapi seperti menyalakan api. Learning juga merupakan penemuan sebab-sebab
atau factor yang membedakan antara sesuatu yang berakhir dengan kesuksesan dan
kegagalan. Atau secara singkat bisa disimpulkan bahwa learning adalah sebuah proses
realisasi gagasan secara bertahap berdasarkan perkembangan kemampuan anda.
Menjadikan
Masalah hidup yang nilainya mungkin sama besar dengan persoalan jodoh adalah
sebutan apakah yang kelak bakal anda sandang. Sebutan dan pasangan hidup, menurut
Dale Carnegie merupakan dua hal yang anda peroleh setelah menempuh proses
pemilihan secara benar. Alasannya sngat jelas karena keduanya akan menjadi tempat
dimana anda mencurahkan energi pengabdian.
Semua bayi dilahirkan ke dunia tanpa sebutan atau embel-embel apapun, sampai ia bisa
menggunakan keunggulan huan capital yang dimiliki dengan menempuh proses hokum
petani kemudian barulah sebutan atau embel-embel tersebut diberikan. Oleh karena
itusebutan tidak dimiliki oleh mereka yang hanya dimotivasi kepentingan jangka pendek
dengan dalil logika perut.
Pakar psikologi, termasuk Dr. Maxwell Maltz mengistilahkannya dengan Identity
(identitas). Ia mengatakan: "One of the things person hold most important is the identity,-
that they will behave in accordance with the definition of themselves or their self image."
Tugas anda adalah menciptakan identitas diri dengan menggunkan "human capital".
Hidup tanpa identitas yang didasarkan pada penggunaan human capital diistilahkan oleh
Mark Twain bagai neraka yaitu ketika Tuhan telah menganugerahkan visi yang jelas
dalam satu paket human capital tetapi dihambur-hamburkan, dan prestasi yang
seharusnya bisa diraih gagal diperoleh karena selama hidup tidak melakukan tindakan
apapun.
Setelah anda menggunakannya dengan cara dan di dalam hal yang tepat berarti proses
terciptanya identitas diri sedang berlangsung. Misalkan anda memiliki potensi postur fisik
bagus. Jika anda melatihnya dengan cara-cara yang ditempuh para atlet sesuai disiplin
yang ada lalu anda menggunakannya di bidang keolah ragaan, maka sebutan atletik
sangat rasional bakal anda sandang.
Sampai ketika anda tidak menjadi seorang atletik pun karena alasan-alasan khusus,
dunia sudah membenarkan langkah anda. Atas dasar sebutan inilah anda akan menerima
reward dari orang lain yang oleh para pakar pengembangan pribadi disebut "to attract
success" bukan "to pursue" yang memiliki implikasi memakan cost lebih tinggi.
Memberikan
Seorang dokter disebut dokter bukan ketika ia menerima sertiikat kedokteran tetapi
ketika ia memberikan benefit medis kepada pihak-pihak yang menjadi pasiennya.
Seorang businessman disebut pebisnis ketika telah memberikan benefit bisnis kepada
customernya. Tokoh bisnis internasional, Peter Drucker pernah menuturkan: "the purpose
of business is to create customer". Artinya benefit bisnis tidak lain adalah berupa solusi
atau sesuatu yang membuat orang lain merasa beda. Besar kecilnya nilai benefit bagi
customer akan menciptakan rate of return setimpal bahkan lebih atas sebutan anda.
Maka berjasalah tetapi jangan minta jasa.
Bagian dari hukum yang mengendalikan dunia ini adalah The Law of Paradox, (John
Heider dalam The Tao of Leadership, London: 1986). Salah satu bentuk paradox tersebut
adalah bahwa jika anda memberi tidak berarti kehilangan melainkan mempunyai. Tetapi
sayangnya paradox tersebut berlaku pada level realitas esensial yang diistilahkan agama
dengan invisible value, atau menurut Reg Regan, penemu Action Learning, disebut
sebagai Reflection yaitu new understanding about something.
Realitas esensial adalah realitas hikmah di mana keberadaannya ditutupi sekian data,
atau fakta. Maka jangan heran, ketika anda tidak bisa beramal dengan harta, jiwa atau
ilmu, bisa jadi beramal dengan senyuman pun sulit. Persoalannya bukan pada apakah
anda memiliki atau tidak tetapi semata karena realitas yang anda huni.
Sumber: Majalah Human Capital No. 24 | Maret 2006
Implementasi Kriteria Baldrige di Indonesia
No. 24 - Maret 2006
Sejumlah organisasi di Indonesia telah menerapkan Kriteria Baldrige untuk menjadi
organisasi ekselen. Bagaimana mereka menerapkannya?
TELKOM INDONESIA, Sang Pelopor
Implementasi Kriteria Baldrige di Telkom harus dirunut jauh ke belakang, yaitu saat
perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu melakukan perubahan total di era
kepemimpinan (alm.) Cacuk Sudarijanto. Perubahan tersebut dilanjutkan oleh
penggantinya Setyanto P. Santosa yang ingin membawa Telkom sebagai operator kelas
dunia. Sebagai perwujudannya, Telkom go public tahun 1996 dan mencatatkan pula
sahamnya di Bursa Saham New York. Salah satu janji Telkom dalam prospektus
perusahaan saat go public adalah janji untuk menjadi perusahaan kelas dunia itu.
Setelah go public, manajemen Telkom berusaha mewujudkan visi tersebut dengan
mencanangkan WCO (World Class Operator), yang kemudian lebih dikenal dengan istilah
T-2001 (Telkom 2001). Targetnya tahun 2001 (paling lambat 5 tahun setelah go public),
Telkom telah menjadi operator kelas dunia. Secara internal, Telkom membuat kumpulan
program dan indikator-indikator untuk mewujudkan Business Operation Excellence, dan
pengukuran pencapaiannya hanya dilakukan secara internal berdasarkan kriteria yang
dibuat oleh Telkom.
Pengukuran oleh internal Telkom ini tentu menimbulkan pertanyaan terhadap
validitasnya. Disadari perlunya sebuah tool untuk menilai pencapaian T-2001 itu. Salah
satu caranya, selain menerapkan ISO, Telkom mengundang gabungan dari Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, universitas, dan pelanggan untuk menguji pencapaian T-
2001 dari sejumlah segi: aspek pelanggan, finansial, SDM, dan proses. Program penilaian
ini berlangsung 1999-2000.
Kendati sudah ada penilaian objektif dari beberapa komponen stakeholder tersebut, tetap
saja ada yang mengganjal. Bagaimana mungkin investor luar negeri percaya dengan
pencapaian T-2001 yang dibuat oleh orang-orang Indonesia, yang notabene belum
dipercaya investor luar negeri? Oleh sebab itu, timbul pemikiran untuk mencari sebuah
sistem yang benar-benar diakui secara internasional.
Berbagai informasi dikumpulkan Telkom, termasuk melalui survei terhadap beberapa
perusahaan di negara-negara Eropa, Singapura, dan Amerika Serikat. Beberapa negara
Eropa dan Singapura sudah menyusun standar kualitas nasional mereka, dan ternyata
semuanya menginduk atau mengacu kepada Malcolm Baldrige National Quality Award
(MBNQA). MBNQA merupakan program penghargaan berdasarkan pencapaian organisasi
terhadap Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCFPE), yang sering
disingkat dengan Kriteria Baldridge (Baldridge Criteria). Inilah sebuah sistem paling
komprehensif untuk mengukur dan menjadikan kinerja sebuah organisasi menjadi
ekselen.
Beberapa perusahaan terkemuka di banyak negara non-Amerika telah membuktikan
keunggulan Kriteria Baldrige. Di antaranya TATA (India), BHP Steel (Selandia Baru), Qian
Hu Corp. Ltd. (Singapura), dan Philips (Eropa). “Mereka adalah perusahaan-perusahaan
yang sukses menerapkan Kriteria Baldrige dan mendapatkan penghargaan di negara
masing-masing,” ungkap Abdul Haris, Direktur Jaringan dan Solusi Telkom, yang saat itu
menjabat Kakandatel Telkom Jakarta Pusat.
Rapat Dewan Direksi memutuskan untuk menerapkan Kriteria Baldrige, dan mulai
mengadopsinya tahun 2000. Target Telkom adalah meraih nilai minimal 650. Training
untuk pemahaman Kriteria Baldrige langsung diberikan oleh Paul Steel, Director & COB of
Total Quality, Inc. USA sekaligus Senior Assessor of Baldrige Criteria. Training ini
diselenggarakan secara nasional, diikuti oleh Dewan Direksi dan seluruh pejabat Telkom
hingga lingkup Divisi Regional (Divre). Untuk mendorong perubahan, Telkom membuat
tim Change Agent di kantor pusat maupun di tingkat Divre. Mereka ini terus dilatih
sehingga menguasai betul Kriteria Baldrige. Uniknya, yang paling cepat memahami dan
mengadopsi Kriteria Baldrige justru di level divisi, bukan di level Direksi.
Dalam mewujudkan Kriteria Baldrige di Telkom, sosok Abdul Haris menjadi orang yang tak
terpisahkan. Ia termasuk orang Telkom yang sangat serius memahami dan mengadopsi
Kriteria Baldrige. Awalnya, ia merasa kesulitan juga memahami Kriteria Baldrige sehingga
mengajak beberapa rekannya lulusan luar negeri untuk membantunya. “Saya pikir soal
bahasa Inggris. Ternyata mereka juga sulit memahaminya. Ini ‘kan ilmu seorang CEO,”
tegasnya sambil tertawa.
Kesulitan untuk memahami, dinilainya, sebagai penyebab di balik lambatnya proses
adopsi Kriteria Baldrige. Namun, Abdul Haris terus berupaya serius. Sewaktu menjabat
Kakandatel, ia mengorbankan waktu Sabtu dan Minggu untuk masuk kerja. “Saya sering
dikomplain isteri soal ini,” katanya terbahak. Hasilnya tidak sia-sia. Ia terpilih sebagai
Kakandatel Terbaik dalam pemahaman terhadap Kriteria Baldrige. Abdul Haris kemudian
dipromosikan menjadi Wakil Kepala Divre V di Surabaya. Kali ini, ia kembali repot karena
semua urusan implementasi Kriteria Baldrige diserahkan oleh Kepala Divre V Sumilan
kepada dirinya. Akibatnya, rencana dirinya untuk berlibur Sabtu-Minggu kembali urung. Ia
pun mengadakan pelatihan terhadap pelatih (train the trainer) di lingkungan Divre V, dan
secara langsung mengawasinya. ”Saya ingin para Senior Leader, sekelas General
Manager, menjadi instruktur,” ujarnya tentang alasan di balik program tersebut.
Abdul Haris mengawasi langsung setiap program pelatihan, bahkan terbiasa hingga
dinihari. Sebagai komandan (Team Leader), ia ingin anak buahnya merasa bahwa
pimpinan juga mau berkorban. Ia juga mendorong setiap instruktur meningkatkan
kemampuannya berdasarkan masukan dari para peserta yang mereka training.
Keseriusan Abdul Haris kembali berbuah. Divre V berhasil menjadi yang terbaik tahun
2001 (nilai 473) dan 2002 (nilai 553). Saat duet kepemimpinan Sumilan-Abdul Haris
dipindah ke Divre II, Jakarta, tahun 2003, dan ia kembali menjadi Team Leader
implementasi Kriteria Baldrige, Divre II justru berhasil menjadi yang terbaik dengan
meraih nilai 650 tahun itu juga, nilai tertinggi dalam sejarah Telkom. Penilaian tersebut
dilakukan oleh Senior Assessor langsung dari Amerika. “Dari hasil tersebut terlihat betapa
Pak Haris adalah motor dari gerakan Baldrige di Telkom,” komentar Bachtiar Simamora,
PhD., konsultan yang juga ikut membantu implementasi Kriteria Baldrige di Telkom.
Implementasi Baldrige di Telkom menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan.
Selain peningkatan kinerja secara finansial, Telkom juga berhasil meningkatkan kinerja
kepuasan pelanggan dan hubungan dengan karyawan. Beberapa kali Telkom berhasil
menjadi BUMN terbaik. Telkom juga berhasil ke luar sebagai BUMN Terbaik dalam
implementasi Kriteria Baldridge tahun 2005 yang diselenggarakan Kementerian Negara
BUMN (IQA for BUMN).
Manfaat lain dari Kriteria Baldridge? ”Dulu data dan informasi di Telkom seperti terbuang
saja. Sekarang orang yang menangani data kewalahan meladeni permintaan, sebab
setiap orang bekerja berdasarkan data dan fakta. Knowledge Management berkembang,”
tutur Bachtiar Simamora, yang meraih doktornya di Amerika.
Walaupun ada kecenderungan stagnansi gerakan Baldridge di Telkom dalam beberapa
waktu terakhir, namun kecenderungan ini harus dihentikan. Determinasi untuk selalu
menjadi ekselen seharusnya tetap menjadi prioritas utama dari setiap pemimpin senior
organisasi apapun.

Wijaya Karya: Tak Pernah Berhenti Berbenah


Bukan Award Biasa
No. 24 - Maret 2006
Proses mengimplementasikan sistem Malcolm Balridge Criteria for Performance
Excellence (MBCFPE) tidak bisa dilakukan dengan waktu cepat. Jika iya, maka itu hanya
sebatas proyek.
Munculnya MBCFPE di Amerika Serikat banyak mendapat respon positif. Pasalnya, sistem
ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan sistem lain. MBCFPE memfokuskan pada
business result, terutama customer focus result, human resources (HR) result, dan
financial result. Dalam MBCFPE, result menjadi penting. Kedua adalah menekankan
kepada pemimpin. Sedangkan ketiga adalah sharing information, sehingga muncul
knowledge management.
Hal tersebut diungkapkan Djoko Wintoro PhD, Director of Research & Publication dan
Chairman Department Of Finance Prasetiya Mulya kepada Human Capital. Menurutnya
tujuan rancangan yang dibuat dalam sistem ini adalah membantu perusahaan melakukan
pendekatan yang terintegrasi di dalam membuat value yang lebih baik kepada
konsumen. Jika semua bisa terintegrasi, maka perusahaan dengan cepat melakukan
proses pembelajaran. “Jangan lupa, orang mungkin bisa cepat belajar, tapi
perusahaannya belum tentu,” tukasnya. Karena itu, bagi perusahaan yang mcnerapkan
sistem ini, proses belajarnya menjadi cepat.
Keunggulan sistem MBCFPE sudah dikenal mendunia mengingat sistem ini sebagian
besar dipakai perusahaan-perusahaan besar di Amerika untuk self improvement dan juga
terbukti secara empiris bahwa ada hubungan MBCFPE kriteria dengan peningkatan
kinerja bisnis. Djoko sendiri memaparkan beberapa keunggulan MBCFPE berdasarkan
peran kriteria, tujuan kriteria, rancangan kriteria, kerangka kriteria dan scoring system.
Keunggulan MBCFPE dinilai Djoko sangat relevan dengan keadaan kritis di masa depan.
“Padahal sistem ini didesain tahun 1987 lalu,” katanya.
Keunggulan yang sudah diakui dunia telah lebih dulu diterapkan di beberapa negara Asia
seperti Thailand. Ini dikarenakan pemerintah dan perusahaan negara tersebut peduli
pada kepentingan nasional. “Kalau pengusaha tidak peduli kepada kepentingan nasional,
maka akan berjalan sendiri-sendiri,” kata Djoko.
Karena itu, jika Indonesia ingin menerapkan sistem tersebut, pemerintah harus
mencontoh cara Thailand, misalnya, dalam menarik minat perusahaan. Pertama,
pemerintah Thailand membuat award yang diadopsi dari MBCFPE bernama Thailand
Quality award (TQA) yang penghargaannya diberikan langsung oleh perdana menteri.
Kedua, pemerintah memberikan insentif seperti kemudahan-kemudahan kepada
perusahaan misalnya bagi perusahaan yang mendapatkan award dan ingin kredit ke bank
akan mendapat fasilitas dengan bunga murah.
Kemudian, jika ingin diterapkan di perusahaan,� sambung Djoko, harus dicermati
terlebih dahulu, apakah perusahaan tersebut akan ikut dalam persaingan di pasar global
atau tidak. "Kalau perlu, sistem ini bagus dilaksanakan,” tukasnya antusias. Sayangnya,
kondisi perusahaan yang ada di indonesia sekarang masih sebagian besar berbicara
tentang efisiensi, bukan kualitas. Karena itu, implementasi MBCFPE, harus dimulai
dengan komitmen top management.
Ia menambahkan, dalam sebuah kualitas, terdiri dari 4 tingkatan, yaitu quality inspection,
quality control, quality assurance, dan total quality management (TQM). Kalau sudah
sampai tahap TQM, maka tinggal selangkah lagi perusahaan untuk mendapatkan
penghargaan semacam Malcolm Balridge National Quality Awards di Amerika serikat.
Namun, jika perusahaan hanya terfokus mendapatkan keuntungan sebanyaknya, bukan
karena ingin memiliki kualitas sebaik mungkin, maka sistem ini bisa jadi tidak dibutuhkan
oleh perusahaan tersebut. Karena itu, untuk menarik minat perusahaan, harus diubah
cara berpikirnya. Quality improvement harus dilakukan secara terus-menerus kepada
perusahaan. Agar quality improvement berlanjut, produktivitas harus meningkat. Dengan
produktivitas meningkat, dan quality improvement yang terus menerus, maka akan
membuat biaya per unit menurun.
Namun, tantangan menerapkan sistem ini juga besar. Salah satunya, waktu
mengimplementasikannya akan sangat lama, tidak bisa satu atau dua tahun saja. “Ini
bukan proyek, tetapi sebuah proses implementasi yang berkelanjutan,” katanya
mengakhiri perbincangan. •� RTR
Merencanakan dan Mengeksekusi Strategi
No. 24 - Maret 2006
Salah satu peran utama seorang eksekutif dan manajer adalah merencanakan dan
mengeksekusi strategi. Strategi yang hendak disusun dan diterapkan tentu disesuaikan
dengan bidang masing-masing. Bagi bagian HR (Human Resources), pemahaman
terhadap strategi perusahaan menjadi tuntutan utama saat ini sejalan dengan keinginan
menjadikan bagian HR sebagai business partner perusahaan. Kelemahan yang sangat
dirasakan dari bagian HR adalah kurtangnya pemahaman terhadap aspek bisnis
perusahaan dan tidak adanya penyelarasan manajemen HR dengan strategi perusahaan
secara menyeluruh.
Berikut adalah sejumlah acuan untuk mengimplementasikan strategi perusahaan dengan
berhasil, yang dikutip dari buku How to Plan and Execute Strategy karya Wallace
Stettinius, D. Robley Wood, Jr., Jacqueline L. Doyle, dan John L. Colley, Jr:
1.Kelola secara strategis
Setiap aktivitas seyogyanya dimulai dengan sebuah visi, maksud, tujuan, dan sasaran.
Semua impian ini tidak akan terwujud tanpa adanya strategi yang efektif. Begitu penting
peran dari strategi. Strategi adalah konsep jangka panjang, dn terkait denagn perubahan.
Sementara taktik berfokus pada masa kini. Taktik menekankan diambilnya tindakan untuk
melakukan strategi, seperti memenuhi permintaan, memuaskan pelanggan,
meningkatkan eisiensi, dan menontrol kualitas maupun biaya untuk memperoleh laba
dan mewujudkan tujuan jangka pendek lainnya. Sebagian strategi dapat bertahan lama,
namun strategi yang berhasil tidak akan bertahan selamanya.
2.Ikuti logika
Manajemen strategis terdiri dari 4 tugas, yaitu pembelajaran strategis, perencanaan
strategis, dan tindakan strategis. Setiap strategi yang telah disusun harus ditindak lanjuti
dengan strategi fungsional yang mencakup pemasaran, produk/operasi, HR,
dankeuangan. Rencana rinci harus dikembangkan untuk berbagai lapisan organisasi,
konsisten dengan strategi yang dicanangkan. Satu prasyrat mutlak untuk berhasil, Anda
harus memahami betul bisnis yang anda geluti dan lingkungannya.
3.Nilai kesiapan anda
Untuk membuat dan melaksanakan strategi, anda harus menilai terlebih dahulu kesiapan
anda dengan melakukan semacam audit kesiapan dengan menjawab beberapa
pertanyaan berikut: Mengapa anda berpikir tentang strategi sat ini? Apakah dengan
alasan yang benar? Apakah bisnis anda dipimpin oleh orang yang tepat? Apakah anda
mempunyai sekumpulan prinsip penuntun yang relevan? Apakah orang yang tepat
menduduki pekerjaan yang tepat? Apakah ada masalah terkini yang perlu ditangani
segera? Apakah para manajer kunci memahami perlunya berpikir lebih strategis? Apakah
mereka secra pribadi berkomitmen untuk melakukan upaya itu?
4.Rencanakan untuk membuat rencana
Membuat rencana strategis, tidak semua situasi mengharuskan kadar upaya yang sama.
Tingkatan upaya tersebut terdiri dari 3 tingkat, singkat, moderat, dan ekstensif. Pada
proses singkat, CEO dan eksekutif kinci lainnya membuat perencanaan strategis dengan
bantuan beberapa orang yang dipilih secara seksama. Pada proses moderat, upaya itu
diperluas sehingga mencakup beberapa gugus tugas, terutama untuk melakukan riset
dan menganalisis hasil. Pada proses ekstensif, CEO kerap mendelegasikan pekerjaan ini
kepada panitia pengarah, dengan seorang Champion sebagai ketua. Champion haruslah
orang yang dihormati di seluruh organisasi, mengetahui bisnis dengan baik, mampu
berpikir konseptual, memiliki keterampilan mendekati orang, dan bekerja sistematis.
5.Definisikan bisnis anda
Mendefinisikan segmen bisnis merupakan landasan proses manajemen strategis.
Perusahaan harus mengembangkan, memelihara, danmengimplementasikan strategi
dasar untuk setiap bisnis yang digeluti. Jika organisasi anda merupakan perusahaan
induk dengan beragam unit bisnis, jelaslah dia memiliki multibisnis. Suatu unit atau divisi
bisnis biasanya merupakan organisasi yang semi-otonom atau otonom, terdiri dari paling
tidak satu jenis bisnis.
6.Nilai situasi anda
Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa anda mempunyai penegtahuan yang
realistis mengenai bisnis anda sebagaimana operasinya saat ini. Status suatu bisnis
dapat digambarkan dalam pengertian kondisi (kekuatan dan kelemahan), momentum
atau tren (membaik, stabil, atau menurun). Kondisi bisnis yang kuat menunjukkan
strategi bisnis terdahulu berjalan baik. Momentum yang positif menyiratkan bahwa
strategi yang sedang berjalan efektif. Perangkat yang lazim menilai situasi bisnis adalah
analisis SWOT.
7.Pahami model bisnis anda
Pemahaman menyeluruh mengenai model bisnis perusahaan diperlukan untuk
merumuskan dan mengimplementasikan strategi. Model bisnis sebuah organisasi
mencakup seluruh realitas yang menentukan profitabilitas perusahaan: volume penjualan
dan pendapatan, biaya dan profitabilitas, dan nilai kapitalisasi pasar. Untuk mengetahui
model bisnis, diperlukan 3 langkah berikut: lakukan analisis model bisnis, identifikasi
pendorong utama profitabilitas, dan jangan mengabaikan kebutuhan akan dana dan
investasi.
8.Pahami peluang dan ancaman
Tujuan dari kebanyakan upaya implementasi strategi adalah untuk mengeksploitasi
peluang danmengatasi ancaman. Anda harus mengidentifikasi danmengeksploitasi
peluang yang ada dengan tidak mengabaikan ancaman. Lalu, sisihkan waktu untuk
memikirkan apa yang tidak terpikirkan tentang perusahaan anda dan produknya.

9.Tetapkan tujuan yang dapat dicapai


Ukuran terpenting dari kinerja semua bisnis adalah saling keterkaitan tujuan dari return
of investment (ROI); pertumbuhan pendapatan, penghasilan, atau pangsa pasar; dan
kecukupan arus kas untuk mendanai pertumbuhan. Unsur pertama dari perumusan
strategi adalah memilih bisnis tempat anda bersaing. Pada dasarnya ada 3 pilihan
strategi untuk bersaingyang bisa diambil: pertumbuhan, stabilitas/kematangan, dan
pemangkasan biaya. Prosesnya harus dimulai dengan menentukan tujuan yang dapat
dicapai, sadari kerekteristik industeri yang dipilih, dan selslu memasang target tinggi.
Anda harus membuat terobosan untuk mewujudkan ekspektasi tersebut.
10.Susun strategi untuk mewujudkan tujuan
Michael E. Porter dari Harvard Business School mengidentifikasi 3 jalur generic bagi
organisasi untuk meraih keunggulan kompetitif, yakni kepemimpinan biaya total,
diferensiasi, dan focus (capai biaya rendah dan/atau diferensiasi untuk sasaran pasar.
Dalam merancang strategi, setidaknya ada 3 resep yang bisa digunakan: landasi strategi
pada sejumlah sumber keunggulan kompetitif, pertimbangkan hubungan antara
keunggulan kompetitif dengan daur hidup industri, dn jangan abaikan arti penting
kompetensi fungsional dan sumberdaya.
11.Tetapkan prioritas
Agar efektif, anda harus mengidentifikasi persoalan-persoalan strategis,
mengembangkan inisiatif untuk setiap persoalan, dan menentukan prioritas untuk
ditangani berdasarkan urutan-urutan inisiatif itu. Baisnis jarang mempunyai cukup
sumber daya untuk menangani semua persoalan strategis yang berdampak besar pada
waktu tertentu.
12.Dapatkan orang yang tepat
Keahlian dan kemampuan karyawan penting untuk keberhasilan mengimplementasikan
strategi. Tujuannya, dapatkan orang yang tepat dan singkirkan orang-orang yang keliru.
Saat menyeleksi mereka yang akan mengimplementasikan strategi, perlu diingat 3 hal
berikut: tekankan pada keahlian mengeksekusi, selaraskan kmpetensi orang-orang kunci
dengan strategi, dan ekrut karena sikap; didik untuk keterampilan.
Mengupas Tuntas Kriteria Baldrige; Menjadi Organisasi Ekselen
No. 24 - Maret 2006
Berbeda dengan berbagai tool manajemen yang selama ini dikenal macam Balanced
Scorecard, Lean dan Six Sigma, Total Quality, Management, dan ISO, Kriteria Baldrige
bukanlah tool, melainkan panduan penilaian dan kerangka kerja untuk meraih kinerja
ekselen. Ia mencakup 7 kategori dari proses hingga hasil bisnis yang benar-benar
komprehensif.
Dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, berbagai alat (tool) atau metode manajemen
diperkenalkan ke dalam dataran organisasi, utamanya organisasi bisnis. Jepang
merevolusikan dunia bisnis dengan konsep Total Quality Management dengan siklus PDCA
(Plan, Do, Check, Action). Berbagai versi TQM berkembang namun dalam penerapannya
seringkali tidak konsisten dan mengabaikan kaidah TQM itu sendiri.
Dipelopori Motorola Corp. tahun 1991, perusahaan besar Amerika memperkenalkan
konsep Lean dan Six Sigma yang merupakan kombinasi dua alat terkait pada proses-
proses perbaikan yang esensial. Lean berkaitan dengan peningkatan kecepatan proses
dengan mengurangi pemborosan dan menghilangkan langkah yang tidak bernilai
tambah. Sedangkan Six Sigma memperbaiki kinerja dengan fokus kepada aspek-aspek
yang menyimpang di dalam proses-proses tersebut. Alat manajemen ini menggunakan
metodologi DMAIC (Define, Measure, Analyze, Approve, dan Control) untuk mendorong
kegiatan/proyek agar dapat memberikan hasil terukur dan dapat dipertahankan.
Six Sigma mengajukan rangkaian pertanyaan tajam mengenai proses-proses di
perusahaan Anda, lalu memberikan solusi. Six Sigma menyingkirkan segala penyebab
pemborosan, mengubah budaya bisnis, dan menciptakan infrastruktur yang diperlukan
untuk memprakarsai dan mempertahankan produktivitas, profitabilitas, dan tingkat
kepuasan pelanggan yang lebih besar.
Kebanyakan perusahaan beroperasi di sigma 4 mentoleransi 6.210 cacat per satu juta
peluang. Mereka yang beroperasi di sigma 6 menciptakan proses bisnis yang nyaris tanpa
cacat, hanya memungkinkan 3,4 cacat untuk setiap satu juta peluang produk dam jasa
nyaris sempurna (99,9997%). Menghilangkan cacat berarti menghilangkan
ketidakpuasan.
Implementasi Lean dan Six Sigma menjadi masalah mengingat kian kompleksnya
kegiatan dan operasi di dalam perusahaan. Muncul kemudian Balanced Scorecard (BSc)
dan ISO. BSc menyelaraskan strategi perusahaan ke dalam 4 perspektif utama: finansial,
proses internal, pelanggan, dan pembelajaran-pertumbuhan (SDM). Strategi perusahaan
diturunkan menjadi KPI (Key Performance Indicator) ke dalam setiap perspektif, unit
bisnis, dan bahkan individu. Abdul Haris, Direktur Jaringan dan Solusi Telkom menilai BSc
hanya salah satu inisiatif untuk meningkatkan kinerja perusahaan, namun tidak
sekomprehensif kriteria Baldrige. "Pada dasarnya, Balanced Scorecard berbicara tentang
target bisnis dan realisasinya. Ia juga tidak bisa menilai kualitas manajemen
perusahaan," ungkapnya.
BSc bisa saja menghasilkan kinerja yang tinggi, namun tidak bisa membedakan apakah
kinerja yang tinggi disebabkan oleh kualitas manajemen ataukah karena pasarnya masih
baru dan mengalami pertumbuhan yang cepat. Bisa saja perusahaan bertumbuh
berpuluh-puluh persen per tahun karena pasarnya memang bertumbuh sangat cepat.
Repotnya, hasil penilaian BSc sebuah perusahaan tidak bisa dibandingkan dengan
perusahaan lain yang sejenis atau pun tidak.
Lain lagi dengan ISO. ISO mensyaratkan adanya standarisasi proses yang harus dipatuhi
dalam mengontrol kualitas. Sistem ini memberikan arah bagaimana perusahaan secara
konsisten memenuhi persyaratan standar yang ditetapkan berdasarkan kebijakan dan
prosedur-prosedur mutu dan audit mutu secara periodik. Ada beberapa masalah yang
terkait dengan ISO dan belakangan banyak terjadi. Pertama, perusahaan yang
memperoleh sertifikasi ISO tidak berarti selamanya mampu meraih standar ISO. Untuk
mempertahankan status ISO, perusahaan yang mendapatkannya perlu diaudit setiap
tahun. Sering sekali perusahaan tidak konsisten menerapkan audit dan mematuhi
standar yang telah ditetapkan. Kedua, standar atau sistem kualitas yang ditetapkan
untuk satu perusahaan bisa berbeda dengan perusahaan sejenis lainnya. Ketiga, banyak
terjadi sertifikasi ISO yang diperoleh perusahaan hanya untuk bagian/unit bisnis tertentu
saja, bukan untuk seluruh bagian/unit perusahaan. Kalaupun perusahaan berhasil meraih
ISO, tetap saja sulit menyimpulkan, perusahaan yang telah meraih sertifikasi ISO memiliki
kinerja ekselen.
Berbeda Sekali
Kritik terhadap berbagai kelemahan beberapa metode atau alat manajemen di atas
terjawab sepenuhnya melalui Malcolm Baldrige Criteria for Perfomance Excellence
(MBCFPE) atau disingkat Kriteria Baldrige. Bahkan, dibandingkan dengan ISO 9000 pun
Kriteria Baldrige sangat berbeda dan jauh lebih sempurna, baik dari sisi tujuan maupun
dari kandungan isi dan fokusnya. ISO 9000 terdiri dari seri 5 standar yang dipublikasikan
1987 oleh International Organization for Standardization, Genewa, Swiss. Perusahaan bisa
menggunakan standar tersebut untuk menentukan langkah-langkah yang dibutuhkan
untuk mempertahankan sistem kepatuhan terhadap kualitas yang efisien (efficient
quality conformance system).
Sebagai contoh, standar tersebut menjelaskan kebutuhan terhadap sistem mutu yang
efektif, peralatan pengukuran dan pengujian harus dikalibrasi secara reguler. Sistem
pencatatan juga harus memadai. Registrasi ISO 9000 menentukan apakah sebuah
perusahaan memenuhi sistem kualitas yang telah ditetapkan itu. Secara umum, menurut
pejabat NIST, registrasi ISO 9000 hanya mencakup kurang 10% dari Kriteria Baldrige.
Sebaliknya, Kriteria Baldrige semula diciptakan oleh Kongres tahun 1987 untuk
meningkatkan daya saing Amerika Serikat. Program pemberian penghargaan mendorong
tumbuhnya kesadaran akan pentingnya mutu, mengenali pencapaian kualitas oleh
organisasi-organisasi Amerika, dan menyediakan kendaraan untuk saling berbagi
keberhasilan strategi. Kriteria Baldrige fokus pada hasil dan peningkatan berkelanjutan.
Kriteria Baldrige menyediakan kerangka kerja untuk mendesain, mengimplementasikan,
dan menelaah proses untuk mengelola seluruh operasi perusahaan.
Bagi perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan sejumlah metode atau alat
manajemen di atas (ISO, Lean dan Six Sigma, Balanced Scorecard), implementasi Kriteria
Baldrige tidak menjadi masalah. "Kriteria Baldrige membantu menyelaraskan seluruh
sumberdaya dengan berbagai berbagai pendekatan manajemen tersebut plus
meningkatkan komunikasi, produktivitas, dan efektivitas serta mewujudkan tujuan
strategis," ujar Bachtiar Simamora, PhD., CEO PT WEDNet dan satu dari sedikit konsultan
bersetifikat Baldrige di Indonesia. Dosen Sekolah Tinggi MBA Telkom itu menambahkan,
"Kriteria Baldrige membantu mengukur kinerja dan menyusun perencanaan menghadapi
lingkungan yang tidak menentu."
Secara keseluruhan, ada 3 tujuan utama dari Kriteria Baldrige, yaitu memberikan nilai
peningkatan terus menerus terhadap pelanggan dan stakeholder sehingga berkontribusi
terhadap kelanggengan organisasi; meningkatkan efektivitas dan kapabilitas organisasi
secara menyeluruh; dan mendorong pembelajaran pada level organisasi dan individu.
Kriteria Baldrige terdiri dari 7 kategori. Pertama, kepemimpinan (leadership). Kategori ini
mengukur sejauh mana pemimpin senior memandu dan melanggengkan keberadaan
organisasi, tata kelola perusahaan, dan bagaimana organisasi menunaikan segala
tanggung jawabnya terhadap publik serta bertindak sebagai warga negara yang baik.
Kedua, perencanaan strategis (strategic planning). Kategori ini meneliti bagaimana
organisasi menyusun perencanaan strategis dan menetapkan rencana tindakannya. Juga
memilih, melaksanakan, dan mengubah perencanaan strategis dan rencana tindakan jika
perubahan mensyaratkannya, serta bagaimana kemajuannya diukur.

Portalhr - Strategi HR – halaman 4


Halaman [ |« Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 ... Selanjutnya »| ] dari 17
Mengadopsi Kriteria Baldrige
No. 24 - Maret 2006
Team Working-Synergy Meningkatkan Produktivitas
No. 23 - Februari 2006
From Business to Friendship?
No. 23 - Februari 2006
Employee Brand dan Tentang Janji
No. 23 - Februari 2006
Bencana, Utang dan Kualitas SDM
No. 23 - Februari 2006
HR Tidak Populer?
No. 23 - Februari 2006
SA8000, Standar Manajemen Baru
No. 23 - Februari 2006
Menuju Perusahaan Terpercaya
No. 22 - Januari 2006
E-leadership, Bagaimana Implementasinya?
No. 22 - Januari 2006
Inovasi Mengatasi Krisis
No. 22 - Januari 2006
Mengadopsi Kriteria Baldrige
No. 24 - Maret 2006
Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excelence (MBCFPE) merupakan panduan
manajemen terbaik utnuk membuat sebuah perusahaan menjadi unggul, ekselen, atau
kelas dunia. Penghargaan (award) berbasis criteria Baldrige telah membuat daya saing
Negara dalam percaturan global meningkat. Jika mutu menjadi prioritas nasional,
Indonesia harus segera mengadopsinya.
Persaingan bisnis global sangat kejam. Sejarah telah membuktikan, kemenangan dalam
persaingan hanya bisa diperoleh perusahaan-perusahaan ekselen (Excellence Company).
Perusahaan-perusahaan Amerika telah banyak menjadi korban dari persaingan tersebut.
Pada era 70-an hingga awal 80-an, pasar Amerika diserbu oleh produk-produk industri
Jepang, dari elektonika hingga otomotif. Pelan tapi pasti, produk-produk Jepang yang
tadinya dianggap kelas dua, berhasil mencuri pasar Amerika. Lama kelamaan, Jepang
buaknlagi sekedar mencuri, bahkan makin merebut pangsa pasar yang signifikan. Detroit
(pusat produksi 3 besar raksasa otomotif Amerika) panic. Perusahaan-perusahaan
Amerika pun guncang.
Dibalik keberhasilan produk-produk Jepang tesebut, adalah orang Amerika juga
arsiteknya, yakni Edward Deming dn Joseph M. Juran. Mereka berdua memperkenalkan
system pengendalian kualitas menggunakan diagram control, teknik smpling statistic,
dan analisis ekonomi modern kepada para manajer Jepang setelah Perang Dunia II,
sebagai bagian dari program Jendral Mac Arthur untuk membangun kembali Jepang yang
telah hancur akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Perusahaan Jepang kemudian
memperkenalkan konsep QCC (Quality Control Cycle) sebagai inti dari TQM (Total Quality
Management), yang di Indonesia lebih dikenal dengan GKM (Gugus Kendali Mutu). Konsep
TQM disempurnakan dengan memasukkan prinsip Kaizen, yaitu program perbaikan
sepanjang waktu (continuous improvement).
Selama dua decade, perusahaan Jepang terus berjuang meningkatkan kualitas
produk/jasanya, sementara perusahaan Barat nyaris terlena dengan kedigdayaannya.
Sejak tahun 70-an, produk perusahaan Jepang telah memiliki keuggulan daya saing yang
bagus di pasar dunia.
Beberapa kalangan di Amerika tersentak dengan kemajuan cepat yang diraih produk atau
jasa perusahaan Jepang, walaupun banyak manajemen perusahaan Amerika belum
menganggapnya sebagai tren yang serius. Sebagian perusahaan menyadari bahwa
situasi mulai berbahaya, tetapi mereka juga tidak tahu harus berbuat apa. Pada awal 80-
an, media masa Amerika mulai menyoroti kemajuan besar produk perusahaan Jepang itu.
Stasiun televise NBC, misalnya, menayangkan program khusus dengan judul "If Japan
Can, Why Can't We?", dengan menampilkan Edward Deming yang saat itu sudah berusia
80 tahun. Sang arsitek dibalik keberhasilan perusahaan Jepang itu - dan selama ini
kurang dikenal public di negaranya sendiri - dihadirkan ke hadapan eksekutif Amerika.
Pemikiran Deming begitu memperngaruhi para pebisnis dan pelopor manajemen kualitas
modern Amerika, macam Walter Shewart, Harold Dodge, dan banyak lagi.
Di sisi lain, kesadran yang sama muncul pula di kalangan pemerintah Amerika,
khususnya pada Menteri Perdagangan Amerika, Malcolm Baldrige. Ia dinominasikan
menjadi Menteri Perdagangan oleh Presiden Ronald Reagen 11 Desember 1980, dan
mendapatkan persetujuan Senat 22 Januari 1981. Baldrige menjabat hingga Juli 1987,
saat kecelakaan bermain rodeo di California merenggut nyawanya. Ia merupakan Menteri
Perdagangan yang paling lama dan telah memberikan kontribusi besar terhadap
administrasi pemerintahan dan perbaikan ekonomi. Baldrige berhasil menekan biaya
lebih dari 30% dan biaya administrative per pegawai sebesar 25%.
Lulusan Universitas Yale ini adalah tokoh yang sangat sepakat dengan pandangan bahwa
manajemen mutu sebagai kunci bagi kesejahteraan dan kekuatan jangka panjang
Amerika. Secara pribadi ia berkeinginan untuk meluncurkan sebuah Akta peningkatan
Kualitas dan membantu menyusun salah satu konsep dasarnya.
Akta tersebut sedang bergulir di Kongres Amerika ketika Agustus 1986 senator Don Fuqua
mengajukan usulan Undang-Undang (Bill 5321) tentang National Quality Improvement
Award yang bertujuan untuk mendorong perusahaan Amerika meningkatkan control mutu
dan daya saing. Tahun 1987, Kongres menyetujiu dibutnya program penghargaan (award)
untuk menghargai organisasi di Amerika atas pencapaiannya di bidang mutu dan kinerja
sekaligus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mutu dan kinerja ekselen sebagai
kunci daya saing. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Konges dan Pemerintah
Amerika mengabadiakn namanya dalam programpenghargaan tersebut: Malcolm
Baldrige National Quality Award (MBNQA). Tanggal 20 Agustus 1987, Presiden Ronald
Reagen menandatangani MBNQA menjadi Undang-Undang.
Peristiwa ini, seperti ditulis Abdul Haris ( sekarang Direktur Jaringan dan Solusi PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk) dalam bukunya 7 Pilar Perusahaan Unggul, menjadi
tonggak sejarah yang penting bagi bisnis dn industri Amerika. Tahun 1991, majalah
Business Week bahkan menulis: "Peristiwa ini adalah revolusi global yang mempengaruhi
semua bidang bisnis. Mulai tahun 1990-an dan tahun-tahun selanjutnya, kualitas harus
tetap menjadi prioritas utama dalam bisnis".
Hampir semua perusahaan Amerika kemudian mengadopsi prinsip kualitas ini sehingga
daya saing perusahaan Amerika meningkar kembali. Riset oleh George Stephen
menunjukkan adanya peningkatan pangsa pasar perusahaan di Amerika rata-rata 13,7%;
volume penjualan per karyawan naik rata-rata 8,6%; tingkat pengembalian asset naik
sebesar 1,3%.
Dokumen Paling Berpengaruh
MBQNA tidak diberikan kepada produk atau jasa tertentu. Setiap tahunnya, 3
penghargaan diberikan kepada masing-masing kategori: manufaktur, jasa, usaha kecil,
pendidikan, dan layanan kesehatan. Kategori pendidikan dan layanan kesehatan
diperkenalkan tahun 1999. Buln oktober 2004, Presiden Bush menandatangani Undang-
undang yang memberikan hak kepada NIST (National Institute of Standards and
Technology), sebuah badan di bawah Departemen Perdagangan, untuk memperluas
program MBNQA kepada organisasi nirlaba dan pemerintahan. Proyek percontohan untuk
organisasi nbirlaba dan pemerintahan dimulai 2006, dan penghargaan akan mulai
diberikan 2007.
Sejak dimulainya pemberian penghargaan 1988, Baldrige National Quality Program telah
berkembang dengan sangat meyakinkan. Criteria Baldrige telah memainkan peran yang
sangat berharga utnuk meningkatkan kinerja mereka dengan focus pada 2 tujuan:
meningkatkan nilai bagi pelanggan dn meningkatkan kinerja organisasi secara
keseluruhan.
Beberapa juta kopi dari Kriteria Baldrige telah didistribusikan semenjak 1988. itu diluar
dari perbanyakan yang dilakukan berbagai organisasi maupun kemudahan akses secara
elektronis. Gordon Black, Chairman dan CEO Haris/Black International Ltd menegaskan,
publikasi terkait dengan Kriteria Baldrige untuk kinerja ekselen agaknya "menjadi
dokumen yang paling berpengaruh dalam sejarah modern bisnis di Amerika."
Betapa tidak. Program Baldrige benar-benar meluas diterapkan di Amerika sendiri
maupun di negara-negara lain. Di Amerika saja kini ada 44 program kualitas yang
diterapkan di 41 negara bagian dan disusun berdasarkan Program Baldrige. Jumlah ini
melonjak tajam dari kurang dari 10 program kualitas tahun 1991. contoh lain: semenjak
1988, 1063 aplikasi telah dikirimkan kepada MBNQA dari beragam tipe dan ukuran
organisasi untuk mendapatkan penilaian.
MBNQA dan Kriteria Baldrige menjadi centerpiece dari pergerakan kualitas di Amerika
Serikat. Berbagai program mutu nasional telah berkembang di seputar MBNQA dan
Kriteria Baldrige. Sebuah laporan yang dibuat The Private Council on Competitiveness
yang berjudul "Building on Baldrige : American Quality for the 21st Century"
menyebutkan: "Lebih dari berbagai program lainnya, MBNQA bertanggung jawab untuk
menjadikan kualitas sebagai prioritas nasional dan menyebarluaskan praktik terbaik ke
seluruh penjuru Amerika Serikat."
Team Working-Synergy Meningkatkan Produktivitas
No. 23 - Februari 2006
Tahun 2006, perekonomian sudah dimulai dengan dampak kenaikan BBM yang tinggi,
sehingga mengakibatkan peningkatan pada biaya produksi sebagian besar perusahaan
baik produksi barang ataupun jasa. Belum lagi apabila dalam waktu dekat ini, Pemerintah
menaikkan tarif harga listrik lebih dari 50 % sehingga cost of production akan lebih tinggi
lagi di satu sisi, dan daya beli masyarakat akan lebih turun lagi.
Kenaikan biaya tidaklah mudah ditutupi dengan strategi menaikkan harga jual karena
inflasi perekonomian juga tinggi sehingga daya beli masyarakat / pasar, menurun sekitar
20%. Sehingga tekanan biaya meninggi di sisi produsen atau supply justru dihadapkan
pada penurunan daya beli di sisi demand, sehingga secara ekonomi makro, ekuilibrum
harga pasar tanpa kenaikan hargapun, sudah akan menurunkan volume penjualannya.
Apalagi apabila harga jual dinaikkan oleh produser, maka ekuilibrum (keseimbangan
supply dan demand sehingga transaksi terjadi) akan menurun lebih jauh lagi.
Tantangan di atas tentu sangat perlu diantisipasi oleh perusahaan, di mana pada
umumnya perusahaan yang sensitif struktur keuangannya atau profit margin-nya tipis,
biasanya akan segera memilih policy mem-PHK-kan karyawannya, untuk mengurangi
production cost. Secara strategi bisnis tentunya ada beberapa kiat lain yang bisa
dilakukan untuk menghadapi peningkatan biaya produksi ini, yaitu antara lain effisiensi,
mengurangi Profit Margin, meningkatkan Sales, peningkatan produktivitas melalui Team
Working – synergy.
Sinergi merupakan suatu kerjasama manajemen yang menghasilkan suatu daya usaha
yang optimal. Potensi ini seringkali diabaikan oleh top manajemen perusahaan ataupun
pihak HRD, karena memang tingkat dan kekuatan suatu sinergi adalah sesuatu yang
sifatnya intangible. Walaupun dampaknya sebenarnya dapat diukur secara jelas melalui
hasil akhir dari suatu team atau divisi, yang tercatat dalam ukuran profit, atau total sales
atau unit produksi dsb. Yang sifatnya tangible. Namun seringkali performance tersebut
tidak dikaitkan dengan faktor kekuatan kerjasama SDM di team atau divisi tersebut.
Perusahaan umumnya berhenti pada usahanya untuk mempekerjakan staffnya yang
kompeten: berpengetahuan, ahli dan kebisaan (ability). Namun kurang mengoptimalkan
unsur perilaku (behavior).
Contoh: kekuatan Synergy:
Sebuah klub sepak bola telah dibentuk dengan merekrut para bintang sepakbola yang
mempunyai record serta kemampuan bermain bola yang unggul dari beberapa
kesebelasan kelas dunia lainnya. Setiap posisi dari mulai keeper, back, gelandang, hingga
penyerang, adalah para pemain bintang dari klub asalnya. Mereka digabung dalam klub
“All Stars” ini dengan suatu target tentunya untuk memenangkan pertandingan piala
Eropa. Tetapi pada kenyataannya klub All Stars ini kalah dalam putaran semi final dengan
klub lain yang hanya mempunyai satu atau dua star saja, tetapi mempunyai team-
working yang sangat tinggi (high synergy). Negara Jepang juga dulunya terdiri dari
beberapa kerajaan atau keluarga Shogun yang menjadi landlord di suatu area yang
seringkali bermusuhan dengan Shogun lainnya. Dulunya mereka saling bersaing atau
setidaknya tidak saling mendukung.
Namun ketika mereka telah melihat kemajuan bangsa Eropa, seperti Portugis yang sudah
lebih tinggi kemampuannya antara lain dalam membuat kapal dagang & kapal perang
yang lebih besar dari Jepang, maka barulah mereka sadar dan kemudian melakukan
konsolidasi kerjasama semua Shogun dibawah proram Restorasi Meiji. Sejak itu sinergi
yang tercipta dari bangsa Jepang telah berhasil membawa negaranya melesat melampaui
kemajuan rata-rata Negara Eropa sekalipun.
Sinergi memerlukan unsur pendukung untuk mewujudkannya yaitu diantaranya: Anggota
tim mempunyai behavior yang positif dan suportif: tidak egois, pasif, tertutup, atau
bahkan kompetitif dan saling menjatuhkan. Setting Team Work sesuai dan strategis
sehingga memberikan efek bonding, keakraban, kecocokan dan kohesiveness yang
tinggi. Setting yang baik memerlukan plotting key person yang bisa melengkapi
kemampuan, kecenderungan dan sifat dari suatu tim.
Anggota tim dan pemimpinnya mempunyai pengetahuan serta pemahaman mencukupi
tentang bagaimana melakukan Team Working yang efektif. Team leader biasanya mampu
berperan aktif dalam mengendalikan kerja keseluruhan proyek, divisi atau bahkan suatu
perusahaan.
Sarana pendukung yang kondusif: fasilitas, sistem kerja yang baik, reward, punishment,
dsb. Sinergi adalah suatu hidden potential yang umumnya belum digali atau dioptimalkan
oleh banyak perusahaan. SDM mereka sebenarnya cukup pandai, berpengalaman dan
mempunyai kemampuan individu yang baik, namun sayangnya banyak perusahaan yang
level kerjasama dalam team ataupun dalam satu divisi, kurang optimal, sehingga hasil
akhirnya masih di bawah potensi yang seharusnya mereka bisa capai.
Management empowerment yang biasanya diberikan pada para staf (SDM) adalah
umumnya motivasi, agar semangat kerja mereka lebih tinggi lagi (lebih produktif). Ini
memang salah satu motor penggerak kinerja seseorang yang harus terus dibakar. Tetapi
jarang suatu perusahaan melakukan empowerment SDM dalam team working.
Karenanya tidak heran apabila ada beberapa klien perusahaan training kami (QLTC –
Quantum Leap Training Consultant), yang semangat personnel sales-nya meningkat
tinggi, tetapi sering ribut dengan staf divisi produksi, karena kerjasama di antara kedua
divisi tersebut kurang erat. Masing-masing hanya mengejar target divisinya dan tidak
mau mengerti target atau kondisi dari divisi lainnya.
Ada banyak juga perusahaan produksi barang yang seringkali mengalami keributan/
ketegangan antara divisi marketing, produksi, purchasing dan inventory, karena satu
sama lain tidak bisa kerjasama. Padahal aset dari perusahaan ini sangat besar, namun
ROI-nya relatif kecil (sedikit di atas % bunga pinjaman kredit Bank). Sedangkan ada
perusahaan jasa trading produk barang yang sama dengan pabrik tersebut yang jumlah
SDM-nya jauh lebih sedikit, juga asetnya lebih kecil, namun ROI-nya jauh lebih besar,
karena omzetnya dan juga secara organisasi korporasi, perusahaan trading ini
mempunyai level kerjasama yang sinergis.
Apakah perusahaan anda sudah mengoptimalkan sinergi melalui Team Working? Apabila
belum, kemungkinan besar perusahaan anda dapat meningkatkan produktivitas serta
profit perusahaan, tanpa investasi biaya yang besar, dan hanya melalui training untuk
empowering the team working knowledge & skill dari para team leader dan juga key
member dari tim / divisi yang penting di perusahaan Anda.
Ciri-ciri yang dapat menunjukkan adanya weakness dalam team working – sinergi dalam
suatu perusahaan antara lain: Kinerja suatu team yang terdiri dari SDM yang bermutu
tinggi (level pendidikan tinggi/ pengalaman lebih lama, lebih terampil) = tidak jauh
berbeda dengan kinerja team lain yang SDM-nya biasa saja (kualifikasi atau pengalaman
dibawah team pertama).
Banyak terjadi keributan antar tim/sub-divisi/ departemen. Atau banyak permasalahan
yang timbul karena kurang sinkronnya komunikasi atau manajemen. Target produksi/
pekerjaan yang melibatkan beberapa subtask/ team/ divisi sering terlambat, atau
bermasalah. Banyak keluhan dari staf menyangkut komunikasi atau hubungan antara
kolega/atasan-bawahan.
Banyak staf yang demotivasi karena kurang dapat mengkomunikasikan pekerjaan atau
rasa “self belonging” yang semakin menurun. Gairah kerja menurun karena
kecenderungan individualistik yang dominan ataupun bonding dengan rekan kerja yang
tidak tercipta dengan baik. Kondisi kerja cenderung menjadi kaku/ tegang. Antara lain
dengan kecenderungan mencari kesalahan seseorang. Terjadi persaingan yang kurang
sehat, dan ada klik (grouping) yang menang dan pihak-pihak yang tersisih.
Performance suatu tim / divisi menurun, padahal fasilitas lainnya justru ditingkatkan, dan
bukan disebabkan karena faktor teknis – mesin, bahan baku ataupun faktor eksternal
seperti misalnya persaingan (ada produk sejenis yang lebih murah) ataupun daya beli
yang menurun. Apabila ada satu apalagi beberapa kondisi diatas terjadi di perusahaan
anda, maka itu merupakan suatu – ‘signal’ tanda bahwa kemungkinan besar terjadi
kelemahan dalam Team Working – synergy dalam internal manajemen perusahaan.
Untuk itu perlu segera dilakukan pembenahan dan development antara lain melalui
training empowerment on team working – synergy, sebelum permasalahan tersebut
menjadi lebih besar lagi pengaruh negatifnya.
Sumber: Majalah Human Capital No. 23 | Februari 2006
From Business to Friendship?
No. 23 - Februari 2006
Banyak cerita sukses tentang keberhasilan membangun suatu hubungan pertemanan
yang dilandasi dengan hubungan kerja. Ada teman yang baru saja membuka usaha
bersama setelah beberapa tahun pernah bersama menjadi atasan dan bawahan. Menurut
cerita teman tadi, pada waktu mereka masih bekerja di satu perusahaan dia adalah
bawahan dari mitra bisnisnya.
Hal utama yang kemudian menjadikan hubungan mereka menjadi akrab seperti layaknya
teman adalah karena kesamaan cara pandang dan juga profesionalisme. Teman saya
berhasil membangun hubungan profesionalisme yang dilandasi dengan keakraban karena
dia dapat membuktikan bahwa sebagai bawahan dia direkrut untuk meringankan
pekerjaan atasannya, bukan demi tujuan menjilat atau hanya sekedar lip service.
Hal itu dibuktikan secara konsisten selama beberapa tahun mereka bekerja sama. Dia
selalu datang lebih pagi dari atasannya dan pulang lebih lama. Pekerjaan yang
merupakan porsinya dikerjakan dengan benar sehingga sang atasan menjadi sangat
terkesan dan mempercayai itikad baiknya yang tulus yang ditunjukkan melalui
pencapaian prestasi kerjanya yang melebihi apa yang diharapkan.
Begitu dekatnya hubungan mereka baik di dalam maupun di luar pekerjaan sehingga
orang yang baru mengenal mereka tidak mengira hubungan keduanya adalah atasan dan
bawahan. Hubungan baik ini melahirkan sebuah sinergi dan prestasi kerja yang sangat
baik, sehingga ketika teman saya merasa sudah saatnya mengepakkan sayap di luar
perusahaan mereka berpisah dengan berat hati.
Mereka membangun hubungan itu berdasarkan profesionalisme. Pada awalnya tidak ada
sentuhan yang sifatnya pribadi seperti favoritisme, pekewuh, atau tidak enak dalam
melakukan kritik atau memberikan feedback. Hubungan ini murni bisnis yang dilandasi
dengan adanya rambu-rambu yang disebut peraturan perusahaan. Jika pada akhirnya
mereka berhasil mengembangkan hubungan ini ke tingkat yang lebih personal, hal itu
dimaksudkan untuk memperkuat hubungan bisnis yang mereka bangun.
Bisnis yang mereka kembangkan adalah pelatihan khusus untuk sales, dan yang cukup
mengejutkan mereka secara konsisten berupaya mewujudkan impian, yaitu mencetak
salesman tangguh yang bekerja dengan hati. Integritas, keuletan dan bertujuan untuk
menolong agar terjalin hubungan jangka panjang adalah prinsip dasar yang harus dimiliki
salesman. Jauh berbeda dengan pandangan umum yang melihat salesman adalah orang
yang menghalalkan segala cara untuk dapat menjual. Waktu membuat deal untuk
memakai jasa mereka, keduanya kelihatan kompak dan seia sekata. Deal bisnis dilakukan
dengan mudah dan dilandasi dengan semangat what can I do for you.
Berbeda dengan hubungan bisnis yang diawali dengan telah adanya hubungan
pertemanan sebelumnya, banyak yang gagal dalam membangun bisnis. Ada pendapat
umum yang mempercayai bahwa jangan berhubungan bisnis dengan teman sendiri,
karena jika gagal akan kehilangan teman. Teman yang kita kenal lucu menjadi mitra yang
tidak serius dalam menjalankan pekerjaannya. Teman yang baik hati menjadi mitra yang
menyusahkan karena selalu membuat keputusan bisnis yang tidak didasari oleh analisa
yang matang tapi hanya berdasarkan rasa kasihan.
Teman yang bijaksana menjadi mitra bisnis yang tidak bisa memutuskan dengan tegas
mana yang salah dan mana yang benar. Padahal dalam pelaksanaan operasional
perusahaan keputusan harus cepat dibuat apalagi jika sifatnya memaksa. Teman yang
mempunyai banyak ide yang cemerlang ternyata menjadi mitra bisnis yang tidak dapat
mengimplementasikan idenya menjadi sebuah keputusan sehingga kesannya jadi NATO
(No Action Talk Only).
Cerita di atas hanya sebagian saja dari keadaan yang menggambarkan bagaimana
ruwetnya sebuah bisnis yang dibangun diantara teman jika tidak dilandasi dengan
persiapan yang matang. Jika dalam perjalanan bisnis ada yang kurang berkenan dihati,
rasanya sungkan untuk mengemukakan secara terbuka. Banyak pertimbangan untuk
tidak membicarakannya secara terbuka, yang pada akhirnya akan menyimpan bom
waktu.
Bukannya tidak ada bisnis yang berhasil dibangun berdasarkan pertemanan. Kita harus
mengenal betul karakter teman kita, mempunyai persamaan nilai tentang hidup dan
membuat aturan main yang jelas. Jika dalam perjalanan bisnis aturan main itu dilanggar,
maka ada hal yang mengatur bagaimana pembubaran bisnis ini supaya tidak merugikan
kedua belah pihak. Yang terpenting adalah kesamaan pandangan hidup dan tujuan dari
membuat bisnis ini.
Di atas segalanya, teman apalagi sahabat merupakan orang dekat yang sangat berharga.
Mestinya bekerja dengan mereka adalah hal yang menyenangkan dibandingkan jika kita
harus bekerja dengan orang yang tidak kita kenal dengan baik.
Sumber: Majalah Human Capital No. 23 | Februari 2006
Employee Brand dan Tentang Janji
No. 23 - Februari 2006
Baru-baru ini saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti sebuah workshop
mengenai Employee Brand di Hong Kong. Pada saat pertama saya membaca judulnya
saya sudah merasa tertarik untuk mengikuti workshop ini. Berbagai pertanyaan muncul,
apa yang dimaksud dengan employee brand? apa kaitannya antara brand dengan
employee?, apa ada hubungannya dengan dunia marketing? kenapa timbul istilah ini?
dan banyak lagi pertanyaan yang akhirnya mendorong saya mengikuti workshop ini.
Akhirnya saya bertemu dengan Simon Barrow, yang bersama Richard Mosley adalah
salah seorang penggagas dan penulis buku Employee Brand yang baru mereka terbitkan
di tahun 2005. Simon mengungkapkan bahwa istilah Employee Brand ini mulai mereka
pakai pada awal tahun 1990-an dan akhirnya mereka bukukan pertama kali dalam hasil
riset berkolaborasi dengan London Busines School.
Ada fakta yang menurut saya cukup unik, bahwa latar belakang Simon adalah orang
marketing dengan puluhan tahun pengalaman berkecimpung di dunia marketing di
perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever dan Colgate-Palmolive. Saat ini Simon
menjabat sebagai CEO dari sebuah advertising agency di Liam Charles Barker Group.
Sepanjang karirnya di dunia marketing Simon menemukan bahwa brand suatu product
memberikan janji dan image kepada customer yang harus didukung secara konsisten
dengan janji dan image di internal suatu organisasi.
Seringkali customer mampu mendapatkan kepuasan atas suatu brand secara total tanpa
dengan sadar dapat memisahkan antara brand itu sendiri sebagai suatu janji kepada
customer dengan layanan ataupun total image yang dicerminkan oleh organisasi dan
karyawan yang bekerja di dalam perusahaan yang mendukung brand tersebut. Ambilah
contoh Singapore Airlines, dimana anda akan langsung mengharapkan layanan terbaik
penerbangan papan atas, dengan kualitas pelayanan yang sempurna.
Apabila karyawan Singapore Airlines tidak melakukan layanan sesuai janji brand kepada
customer maka jelas hal tersebut akan berdampak langsung kepada brand tersebut.
Keterkaitan ini akhirnya diakui oleh praktisi marketing – termasuk Simon – bahwa ada
perbedaan nyata antara brand yang memiliki ”jiwa” karena didukung secara selaras oleh
berbagai praktek HR yang secara total mendukung brand tersebut dan sebaliknya ada
beberapa brand lain yang akhirnya hanya tampil sebagai nama tanpa ”jiwa” karena
ketidakmampuan organisasi untuk menghidupkan jiwa janji eksternalnya kepada internal
organisasi.
Mungkin ini bukan suatu hal yang baru bagi kita semua karena banyak perusahaan yang
sudah melakukan penyelarasan di dalam berbagai aspek. Namun mengusung suatu
brand menjadi ”top of mind” adalah jelas bukan hal yang sepele dan dapat dengan
mudah diwujudkan tanpa dilandasi suatu arahan strategi.
Memberi ”jiwa” pada brand membutuhkan perjalanan panjang, melelahkan dan
komitmen tinggi dari mulai top management hingga level terbawah dalam organisasi.
Hasilnya dapat dilihat pada beberapa brand seperti Citibank, Singapore Airlines, Coca-
Cola, Mc Donald, Levis, Guess, atau produk lokal Indonesia seperti Aqua.
”Pernikahan” dunia marketing dengan praktek human capital ini akan banyak membantu
perusahaan yang terjebak hanya berorientasi kepada customer saja. Atau ada juga
sebaliknya yang sibuk dengan konsolidasi internal dan melupakan customer. Suatu
perusahaan yang berjanji keluar bahwa ia adalah sosok perusahaan yang menghargai
kepuasan pelanggan sebaiknya mulai memperhatikan kepuasan karyawannya. Suatu
perusahaan konsultan yang menyarankan berjanji kliennya untuk mencitrakan good
governance tentunya tidak boleh mengecewakan karyawannya dengan memberikan
kompensasi di bawah ketentuan upah minimum regional untuk karyawannya.
Akhirnya semua bermuara pada nilai universal yang melandasi perusahaan yaitu tentang
integritas, tentang satunya antara kata dan perbuatan yang mudah diucapkan tetapi sulit
untuk secara konsiten diterapkan. Terlebih jika sudah dihadapkan kepada pilihan, seperti
uang dan kekuasaan. Jika anda pernah menonton film ”Janji Joni” tentang seorang
pengantar film, jelas digambarkan betapa memenuhi janji kepada customer merupakan
komitmen untuk mencerminkan kesamaan antara pikiran, perbuatan dan realita. Selamat
berjanji .. !
Sumber: Majalah Human Capital No. 23 | Februari 2006
Bencana, Utang dan Kualitas SDM
No. 23 - Februari 2006
Bencana kerap datang dalam bentuk dan wajah yang beraneka ragam. Perang,
kelaparan, kemiskinan, kebodohan, penguasa yang korup, sampai pelanggaran HAM
seringkali termasuk dalam kelompok bencana kemanusiaan. Sedangkan umat manusia
juga mengenal bencana klasik sepanjang masa seperti banjir besar, angin topan, hingga
gempa bumi yang dikenal dengan bencana alam.
Bencana dengan beragam bentuk dan wajahnya telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia di seluruh muka bumi. Sejarah telah mencatat
bahwa bangsa Indonesia dalam skala yang paling ekstrim sangat dekat dengan segala
bentuk bencana. Bencana itu dimulai dari penjajahan kolonial Belanda selama ratusan
tahun, kebodohan, perang saudara, kerusuhan Mei, krisis multi-dimensi, gempa bumi,
banjir besar, dan bencana yang terbesar datang di bumi Serambi Mekkah berwujud
bencana gempa bumi dengan skala dahsyat disusul gelombang tsunami yang menyapu
lebih dari 100 ribu nyawa manusia.
Setiap bencana selalu memiliki dimensi, tuntutan dan memerlukan pendekatan
(approach) yang berbeda-beda. Bencana dengan dimensi kemanusiaan tentunya memiliki
tuntutan dan pendekatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Yang menarik
justru pendekatan dan strategi pemerintah Indonesia dalam menanggulangi bencana
kemanusiaan seperti kebodohan dan kemiskinan, yang selalu terjebak dengan meminta
dan terus menambah hutang dari negara-negara donor.
Indonesia telah terdaftar menjadi ‘pasien’ kronis dari lembaga-lembaga pemberi
pinjaman seperti IGGI, IMF, World Bank, dan CGI. Perilaku pemerintah Indonesia dalam
mengatasi bencana alam dan kemanusiaan sangat miskin kreativitas dan hanya mau
mencari jalan keluar yang mudah (quick fix) tanpa pernah berpikir kreatif, strategis dan
berusaha lebih serius untuk dapaf keluar dari jebakan berikutnya. Mirip perilaku keluarga
miskin saat ditimpa bencana yang hanya mengandalkan pinjaman dari sekelompok
rentenir untuk ‘menggali dan menutup lobang’ saja. Sampai begitu besarnya pokok
hutang dan bunga yang ditanggung pemerintah RI, bahkan telah menciptakan ‘bencana’
baru bagi rakyat dan generasi mendatang.
Harus disadari bersama bahwa setiap pemberian hutang atau bantuan dari negara donor
hampir pasti diikuti dengan pengiriman tenaga ahli atau konsultan dari negara tersebut.
Alasan dibalik pengiriman tenaga ahli tersebut umumnya sangat klasik seperti rendahnya
penguasaan keahlian dasar dari SDM Indonesia seperti keahlian komunikasi, teknologi,
negosiasi, tidak proaktif, tidak mampu berinovasi dan berpikir strategis. Semakin besar
hutang yang diberikan oleh negara donor, maka akan semakin banyak pula pengiriman
tenaga-tenaga ahli mereka ke Indonesia.
Dalam mekanisme pengelolaan bencana atau hhutang, hadirnya para tenaga ahli asing
memang diperlukan namun fokusnya untuk menjalankan fungsi sebagai pejabat
pendamping (liaison officer) dan untuk memaksimalkan kerja sama dengan tenaga ahli
nasional yang kompeten dibidangnya. Sayangnya praktek di lapangan justru jauh
berbeda, kehadiran tenaga ahli asing di Indonesia tetap belum mampu meningkatkan
penguasaan keahlian dasar dari SDM kita secara optimal. Bahkan sebaliknya, negara
donor seringkali mengirimkan tenaga ahli mereka justru untuk belajar, menimba ilmu dan
mencari pengalaman dari kasus nyata atau bencana yang ada di Indonesia.
Bencana alam dalam skala yang lebih kompleks juga menuntut pendekatan yang khusus
pula. Jika melihat dari dimensi, dampak dan daya hancurnya, maka bencana gempa bumi
dan gelombang tsunami di NAD dan Sumatra Utara tanggal 26 Desember yang lalu
termasuk ke dalam bencana alam kelas dunia. Dengan analogi ini, bencana alam kelas
dunia tentu memerlukan pertolongan, pendekatan dan koordinasi yang juga berkelas
dunia. Artinya untuk mampu bangkit dan mengatasi dampak bencana gempa dan
tsunami di NAD dan Sumut Pemerintah dan Bangsa Indonesia tidak cukup hanya dengan
melakukan pertolongan dan koordinasi bantuan secara darurat.
Sekedar ilustrasi saja, bahwa terdapat perbedaan sudut pandang yang ekstrim dalam
menanggulangi bencana di kawasan asia selatan ini. Beberapa hari setelah terjadi
bencana, Presiden AS George W. Bush telah meminta secara khusus dua mantan presiden
sebelumnya yaitu Bill Clinton dan George Bush senior untuk menjadi koordinator
pengumpulan dana di AS. Dalam hal ini, sangatlah ironis jika pemerintah AS yang tidak
menjadi korban bencana justru telah melibatkan dua mantan presiden mereka untuk
koordinasi bantuan, namun pemerintahan SBY-JK justru tidak pernah (belum) meminta
keterlibatan dari mantan-mantan presiden RI dalam koordinasi bantuan korban bencana
NAD dan Sumut.
Dalam skala dan konteks yang berbeda dengan mantan presiden AS, namun Bapak
Habibie, Gus Dur dan Mbak Mega sudah pasti memiliki semangat, jaringan (network) dan
keterikatan emosional yang harus dioptimalkan untuk dapat mempercepat pemulihan
korban bencana NAD dan Sumut. Pemerintah SBY perlu secara serius untuk dapat
mempertimbangkan kontribusi serta keahlian dari para mantan Wakil Presiden, Menteri,
Perwira Tinggi TNI, Diplomat dst. Pada dasarnya dengan mengoptimalkan keahlian dan
kompetensi yang dimiliki SDM handal bangsa Indonesia, beban pemerintah dalam
melakukan proses pemulihan korban bencana NAD dan Sumut akan semakin ringan.
Jangan dilupakan bahwa NAD merupakan daerah konflik yang kronis. Daerah ini sangat
khas, berkarakter dan memiliki sejarah panjang terhadap isu-isu politik, sosial, agama
dan kebudayaan. Maka peran dan kontribusi dari SDM-SDM nasional yang handal
tentunya lebih memiliki kedekatan emosional serta pemahaman kebudayaan lokal yang
jauh lebih baik dan bermanfaat dibandingkan tenaga ahli asing.
Bencana gempa bumi dan tsunami kali ini sangat dahsyat, termasuk kelas dunia atau
bahkan disebut semikiamat, maka sekaranglah saatnya bagi pemerintah untuk
meninggalkan strategi usang “menambah hutang”. Dengan terus menggali lubang baru
lewat moratorium hutang baru tanpa pengukuran yang mendalam dan melibatkan secara
menyeluruh SDM atau tenaga ahli nasional yang kompeten banya akan membuat
bencana baru bagi rakyat. SEKARANG BUKAN SAATNYA UNTUK MENGGUNAKAN DERITA
DAN JERITAN RAKYAT ACEH SEBAGAI ALASAN UNTUK MEMBUAT BENCANA HUTANG BARU.
Banyaknya bencana kemanusiaan yang dialami sejak republik ini berdiri, ditambah lagi
dengan rentetan bencana alam yang terjadi secara tradisional selalu mendekatkan
pemerintah untuk terus berhutang. Sayangnya dengan terus berhutang, negara kita
justru tidak pernah menjadi mandiri karena terpaksa harus bergantung kepada bantuan
dan kehadiran tenaga-tenaga ahli asing dalam implementasinya. Hubungan yang tidak
setara antara negara donor versus kreditur secara politik dan ekonomi, pada akhirnya
akan membuat SDM kita tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk kompetisi dan
memberikan kontribusi yang lebih luas.
Dilihat dari sudut pandang tingginya rasa emosional, tingkat aspirasi, minat dan energi
dari seluruh rakyat Indonesia, mungkin bencana tsunami ini telah dapat disejajarkan
dengan gempitanya para pemuda saat didirikannya Budi Utomo, pembacaan Sumpah
Pemuda tahun 1928 bahkan rasa emosional di saat detik-detik Proklamasi di Jl.
Pegangsaan Timur. Kalau dulu para pemimpin bangsa ini selalu memilih untuk melibatkan
seluruh komponen Bangsa Indonesia saat menghadapi bencana dan melalui peristiwa-
peristiwa bersejarah.
Maka sekaranglah saatnya bagi para pemimpin RI untuk juga melibatkan SDM Indonesia
secara menyeluruh untuk menanggulangi bencana NAD dan Sumut. Bencana alam dan
kemanusiaan yang datang tak mengenal belas kasihan telah menghanyutkan Bangsa
Indonesia ke dalam cara hidup berhutang. Dengan terus berhutang, ketergantungan
terhadap tenaga ahli asing akan semakin tinggi yang pada akhirnya membuat
pengembangan, daya saing dan kompetensi SDM nasional menjadi semakin jauh
tertinggal.
Sumber: Majalah Human Capital No. 23 | Februari 2006
HR Tidak Populer?
No. 23 - Februari 2006
What do you do? Apa pekerjaan Anda ? Saya hampir yakin, pembaca pasti pernah
mendapat pertanyaan ini. Biasa, bukan ? Gampang, bukan, cara menjawabnya ? Tinggal
menyebut apa yang Anda lakukan sehari-hari, maka bereslah persoalan. Misalnya, saya
seorang akuntan, saya seorang sales, saya dokter, saya pengacara, saya dosen, saya
wartawan dan sebagainya dan sebagainya.
Begitu Anda menjawab, biasanya terbayang gambaran pekerjaan apa yang Anda lakukan
sehari-hari. Seorang sales, misalnya, setiap hari menjual sesuatu. Seorang dokter, hampir
pasti bekerja di klinik, rumah sakit, menyandang stetoskop dan memeriksa pasien. Tentu
saja ini tidak menafikkan bahwa banyak dokter yang saat ini bekerja di bidang lain).
Seorang dosen atau guru, bisa dibayangkan sedang berdiri di depan kelas, menghadap
murid atau mahasiswa, dan mengajarkan sesuatu. Begitulah kira-kira.
Tapi seringkali - sekali lagi seringkali - menjawab pertanyaan semacam ini bukanlah
persoalan yang mudah bagi saya. Dan hampir setiap kali ditanya, saya pun harus
menyederhanakan persoalan.
Beginilah ceritanya. Setiap kali menjawab bahwa saya adalah Human Resources
Manager, pasti saya mendapat respon semacam ini : jidat ditekuk, alis agak menyatu,
bibir sedikit berbentuk U terbalik. Atau seringkali juga ekspresi begini : alis agak diangkat
sedikit, dan bibir berbentuk O bulat bundar. Lalu dibarengi dengan kata-kata sebagai
berikut : yang suka memecat orang itu tho? Atau ooo...yang merekrut orang itu tho! Terus
ujung-ujungnya mereka menanyakan : Ada lowongan enggak nich, saya punya saudara
nich, anak nich, dsb dsb.
Yang lebih parah lagi, alias yang mempunyai mimik jidat ditekuk, alis agak menyatu, bibir
sedikit membentuk U terbalik. Biasanya mereka akan melanjutkan dengan pertanyaan :
apa itu ? tentu� saja dengan nada yang sedikit agak meninggi.
Untuk menyederhanakan persoalan, saya selalu akan menjelaskan begini : Itu loh,
manajer personalia. Mendengar jawaban saya itu, barulah mereka - lagi-lagi biasanya -
merespon dengan oooo bulat dan bundar, dan sedikit agak panjang.
Tentu saja mereka tidak berdosa, alias sesuci bayi yang baru lahir. Dan mereka pun tidak
sendirian. Dengan sedikit kecewa, saya pun harus mengakui bahwa profesi yang saya
pilih - dan tentu saya cintai ini - ternyata bukanlah profesi yang cukup popular.
Kalau tidak popular di kalangan awam, mungkin saya tidak perlu terlalu keki. Apa sih arti
kepopuleran, meskipun banyak orang yang mati-matian mengincarnya.
Celakanya, profesi saya ini ternyata seringkali juga tidak popular di kalangan konco dewe
alias teman sekantor. Saya berani bertaruh bahwa kurang dari 25% rekan sekantor Anda
yang tahu pasti apa pekerjaan Human resources. Lebih celaka lagi, masih banyak GM
atau CEO atau pemimpin perusahaan yang belum paham benar apa pekerjaan seorang
Human Resources Manager. Cerita berikut bisa dijadikan contoh. Waktu baru bergabung
di sebuah perusahaan ternama, besar, dan multinasional, dalam sesi perkenalan, saya
memperkenalkan diri di depan para manajer. Dengan persiapan yang cukup matang, dan
materi yang sudah dicek puluhan kali, saya pun memperkenalkan peran saya sebagai
Human Resources Manager untuk sebuah organisasi. Bisa Anda bayangkan, tentu saja
saya tidak akan lupa menjabarkan mengenai multiple roles of human resources. Mulai
dari sebagai strategic partner, administrative expert, employee champion hingga agent
of change.
Seperti biasa, sambil membawakan presentasi, saya amati respon dari wajah-wajah
mereka. Saya tidak tahu pasti, apa yang ada di benak masing-masing orang, namun
ketikan saya tawarkan waktu untuk bertanya, tidak ada satu pun orang yang mengajukan
pertanyaan.
Akhirnya saya pun penasaran. Beberapa hari usai meeting, saya dekati salah seorang
direktur - kebetulan Direktur Finance - yang hadir di dalam presentasi tersebut. Sebagai
new comer, saya tanyakan apa yang dia harapkan dari saya sebagai HR Manager.
Jawabannya sungguh membuat saya kecewa bin patah hati. Dia bilang, yang diharapkan
dari saya adalah agar gaji dihitung dengan benar, gaji dibayarkan tepat pada waktunya,
cuti karyawan tidak ada yang keliru dicatat, absensi karyawan diteliti dengan benar, dan
beberapa jawaban sejenis lainnya.
Seketika itu juga saya langsung sadar, betapa berat pekerjaan yang menghampar di
depan saya. Bukan masalah bagaimana menghitung gaji yang benar, atau mencatat cuti
karyawan dengan teliti, namun bagaimana saya harus memerankan peran saya dengan
baik sebagai strategic partner, administrative expert, employee champion bahkan agent
of change bila calon partner saya hanya mengharapkan peran semacam itu.
Bagaimana saya bisa menjadi seorang partner dalam masalah-masalah yang strategis,
kalau orang lain hanya menganggap saya sebagai penghitung gaji dan pencatat
absensi ? Mungkin saya terlalu pesimis. Tapi, hal senada dialami oleh beberapa rekan
sejawat. Bahkan salah seorang teman pernah berkata, tugasnya adalah melakukan
semua pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh perusahaan, tapi tidak ada sebuah
departemen pun yang mau melakukannya. Alias, masih menurut teman seprofesi saya
tadi, sebagai tempat sampah. Itulah asal muasalnya, banyak HR dept yang ganti nama
menjadi Human Resources and General Affairs Departement, supaya bisa menampung
hal-hal yang general, alias apa saja bisa.
Teman saya yang lain punya guyonan lain pula. Yang ini lebih menyedihkan lagi. Dia
bilang, banyak perusahaan yang masih berpikir, bahwa kalau karyawan baik-baik saja,
orang akan bilang, wah gak perlu deh HR. Tapi, giliran karyawan rebut, mereka langsung
menuding, HR-nya sih enggak becus! Serba salah kan ?
Begitulah. Namun, sekali cinta saya tetap cinta. Seperti apa yang pernah saya baca :
sekali layer terkembang, pantang surut langkah. Bagaimana dengan rekan-rekan
sejawat ?
Sumber: Majalah Human Capital No. 23 | Februari 2006
SA8000, Standar Manajemen Baru
No. 23 - Februari 2006
SA8000, sebuah standar manajemen baru, kini mulai popular diterapkan oleh
perusahaan-perusahaan di negara maju. Konsep ini mengedepankan akuntabilitas sosial
(social accountability) dalam mengelola perusahaan. Bagaimana implementasinya?
SA8000, sebuah standar manajemen baru, kini mulai popular diterapkan oleh
perusahaan-perusahaan di negara maju. Konsep ini mengedepankan akuntabilitas sosial
(social accountability) dalam mengelola perusahaan. Bagaimana implementasinya?
Setelah ISO9.001, ISO9.002, ISO14.000, konsep Good Corporate Governance (GCG), dan
Corporate Social Responsibility (CSR), dunia bisnis kembali diperkenalkan kepada standar
manajemen baru yang bernama SA8000. Standar manajemen ini fokus kepada
pengelolaan bisnis yang memenuhi akuntabilitas secara sosial. Setiap organisasi bisnis
harus memiliki standar sosial dalam beroperasi. Standar tersebut dibutuhkan oleh
karyawan, perusahaan, pemerintah, dan konsumen.
Bagi karyawan, standar sosial diperlukan karena mereka mencari tempat bekerja yang
menyenangkan dan pekerjaan yang langgeng untuk mendukung kehidupan keluarga
mereka. Bagi perusahaan, praktik sosial yang lebih baik bermanfaat untuk mendapatkan
keuntungan kompetitif dan manfaat finansial. Bagi pemerintah, standar sosia1 seja1an
dengan upaya pemerintah untuk mempromosikan pengembangan ekonomi yang
bermanfaat bagi seluruh anggota masyarakat. Sedangkan bagi konsumen, manfaat
standar standar sosial adalah membantu mereka untuk mengambil keputusan.
Esensi utama dari SA8000 adalah mewujudkan tempat bekerja yang sesuai dengan
perikemanusiaan. Atas dasar itu, SA8000 disusun berdasarkan norma-norma
internasional, seperti konvensi ILO (International Labor Organization) dan deklarasi Hak
Azazi Manusia serta konvensi hak-hak anak PBB. SA8000 menjadi satu kesatuan dengan
sistem manajemen yang menjamin terciptanya peningkatan secara berkelanjutan
(sustrainable), bukan bersifat jangka pendek.
SA8000 bersifat unik, karena berlaku secara global, bisa diverifikasi, bisa diterapkan di
setiap sektor, dan dikembangkan bersama-sama oleh kalangan bisnis, LSM, dan Serikat
Pekerja. Dengan perkataan lain, di sini bertemu aspirasi ketiga pihak tersebut.
Elemen kunci dari SA8000 terdiri dari: tidak ada pekerja anak, tidak ada pekerja yang
ditekan, mendorong kesehatan dan keselamatan kerja, kebebasan untuk berserikat,
bebas dari diskriminasi, disiplin menegakkan larangan, jam kerja, kompensasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar, dan adanya sistem manajemen untuk peningkatan secara
terus menerus.
Perusahaan yang menerapkan SA8000 berusaha meningkatkan standar pekerja. Hal ini
jelas bermanfaat bagi para pekerja. Keahlian pekerja akan terus ditingkatkan melalui
training, kecelakaan kerja dan masalah kesehatan dalam bekerja lainnya bisa ditekan,
komunikasi dengan perusahaan bisa ditingkatkan untuk memperbaiki kondisi lingkungan
kerja, dan adanya peluang untuk mengorganisasikan serta melakukan negosiasi secara
kolektif.
Penerapan SA8000 sebagai bagian dari sistem manajemen menimbulkan dampak positif
pula kepada mata rantai bisnis perusahaan lainnya, seperti pemasok dan pembeli. Para
pemasok akan terdorong untuk meningkatkan sistem manajemen supaya bisa beroperasi
dengan handal dan berbiaya efektif. Manfaat lain, tebukanya akses terhadap pasar luar
negeri dan berkurangnya tingkat absensi serta keluar-masuk karyawan.
Sementara bagi pembeli, peningkatan standar pekerja tersebut menghasilkan mata
rantai pasok yang lebih efektif dan handal, catatan tanggung jawab sosial perusahaan
yag terukur, peningkatan rekrutmen, retensi, dan kinerja karyawan, serta manajemen
risiko yang lebih baik.�
Walaupun belum terlalu populer di Indonesia, proses sertifikasi SA8000 telah mencakup
234.000 pekerja di 39 negara dan meliputi 39 jenis industri. Negara-negara tersebut
terhampar di seluruh benua. Di Asia, perusahaan-perusahaan yang telah mengadopsi
SA8000 berada di Cina, India, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Thailand, dan banyak
lagi. Salah satu perusahaan Indonesia yang kinj sedang mengadopsi SA8000 adalah PT
TNT Indonesia.
SAI (Social Accountability International) adalah salah satu lembaga di New York yang
telah ditunjuk sebagai badan sertifikasi yang terakreditasi untuk SA8000. Lembaga ini
bertugas melatih auditor dan pelaksana SA8000, mengembangkan kapasitas lokal, dan
bekerjasama secara penuh dengan berbagai pembeli global, Serikat Pekerja lokal, LSM,
asosiasi industri serta lembaga pemerintah. Lembaga ini telah melaksanakan training di
30 negara dari 5 benua. Tahun 2003 saja, SAI telah melatih hampir 2000 orang melalui
kursus-kursus untuk pekerja, manajer dan auditor.
Tujuan dari program sertifikasi SA8000 di setiap negara tidak mesti sama – disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan di setiap negara. Sebagai contoh, tujuan program di Cina,
antara lain, meningkatkan kondisi lingkungan kerja, mempromosikan partisipasi pekerja,
serikat bebas, dan sistem manajemen partisipatif, mengatasi masalah pekerja wanita,
dan membangun kapasitas lokal di antara kelompok pekerja independen.
Di Vietnam, tujuan program sertifikasi, di antaranya, mempromosikan aturan hukum,
mendemonstrasikan manfaat dari penerapan standar, mendorong kapasitas lokal dan
keahlian untuk peningkatan kualitas lingkungan kerja secara berkelanjutan, dan
menjamin integritas sertifikasi SA8000.
Lain lagi di Guatemala. Tujuan program sertifikasi adalah untuk berkontribusi bagi
pengembangan ekonomi secara berkelanjutan dengan mempromosikan budaya CSR dan
taat aturan (compliance) dengan standar pekerja internasional yang terkemuka.
Sayangnya Human Capital tidak memiliki dokumen tentang tujuan program sertifikasi
SA8000 di Indonesia.
Selain per negara, standar akuntabilitas sosial ini juga dikembangkan dalam berbagai
industri untuk terciptanya industri yang berkelanjutan. Umpamanya di bidang pertanian.
Tujuan dari program sertifikasi adalah untuk mengembangkan panduan global untuk
tujuan audit dan penyusunan standar sosial, lingkungan, dan perdagangan yang adil.
Tujuan lain adalah untuk mengeksplorasi peluang sertifikasi bersama, audit terpadu, dan
sistem training yang saling melengkapi.
SA8000 merupakan jawaban terhadap praktik ketenagakerjaan yang menyimpang yang
banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang. Sebagian hal tersebutjustru
dijalankan oleh perusahaan multinasional dengan terlalu menekan hak-hak buruh,
termasuk penghasilan mereka, kendati harga produk mereka dijual berlipat-lipat kali lebih
mahal di atas biaya produksi, seperti yang terjadi di industri sepatu, tekstil, dan apparel.
Desakan perbaikan kondisi kerja ini terus mencuat belakangan ini sehingga memaksa
perusahaan untuk mulai memperhatikan pekerja mereka. Munculnya SA8000
mempercepat proses yang positif itu. Beberapa perusahaan ritel terkemuka telah
menerapkan konsep ini, termasuk Gap, Timberland, Toys R Us, Eileen Fisher, Chi-quita,
dan Dole.
Di balik isu SA8000 ini, tercium pula aroma bisnis di sana. Implementasi berbagai
standar/sistem manajemen baru tersebut mengharuskan perusahaan untuk merogoh
kantong menerapkannya. Kalau tidak, ia tersisihkan di pasar global. Repotnya, setiap
waktu ada saja standar-standar baru yang bermunculan, dan standar sebelumnya
menjadi kurang berarti lagi. •� SYH
Menuju Perusahaan Terpercaya
No. 22 - Januari 2006
Pada 5 Desember 2005 yang lalu, PT. Jamsostek genap berusia 28 tahun. Sebagai
lembaga penyelenggaraan program jaminan sosial para pekerja, Jamsostek sering dinilai
belum banyak berbuat bagi kepentingan pekerja yang nota bene sebagai pemilik dana.
Hingga akhir 2005 lalu, dana jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola Jamsostek mencapai 33
triliun.
Angka yang sekilas terlihat fantastis itu sejatinya belum ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan dana kelolaan lembaga yang sama milik Malaysia yang mencapai
Rp 600 triliun. Dana tersebut berasal dari sekitar 8 juta pekerja dari 10 juta pekerja yang
membayar iuran jaminan sosial. Di Indonesia, pada akhir 2005 jumlah peserta Jamsostek
mencapai 26,81juta, namun yang tercatat sebagai peserta aktif hanya sekitar 7,36 juta.
Ironi ini memang tak bisa sepenuhnya disalahkan kepada para peserta. Sejauh ini masih
ada masyarakat yang menilai Jamsostek belum memberi manfaat optimal bagi para
pekerja. Di sisi lain, selain Jamsostek perusahaan asuransi kini juga berlomba-lomba
menawarkan program employee benefits yang dari sisi manfaat sejatinya tidak kalah
dibandingkan dengan Jamsostek. "Karena itu, kami terus berupaya agar Jamsostek
menjadi perusahaan terpercaya di bidangnya," kata Direktur Utama PT. Jamsostek, Iwan
P. Poncowinoto. Dalam wawancara khusus dengan Human Capital, beberapa waktu lalu,
Iwan memaparkan berbagai strategi yang sudah dan akan dilakukan untuk mewujudkan
visi tersebut. Berikut kutipannya :
Bagaimana Jamsostek menyiapkan diri untuk bisa berkompetensi dengan
perusahaan asuransi yang kini banyak menawarkan produk employee benefits?
Kepada karyawan sering saya katakan bahwa Jamsostek harus bisa menjadi lembaga
keuangan terpercaya. Dengan semangat ini, kita harus mengakui bahwa ada perbedaan
perusahaan lain, tapi kita harus menjadi yang terpercaya. Artinya kita memang harus
siap untuk bersaing, baik dengan asuransi jiwa, asuransi kesehatan, perusahaan
investasi, dan sebagainya. Nah, kunci dari semua itu adalah bagaimana kita
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang didukung oleh teknologi.
Bagaiman mengelola SDM Jamsostek yang sangat banyak dan tersebar di
beberapa daerah?
Ya, saat ini jumlah karyawan Jamsostek mencapai lebih kurang 3.000 orang yang tersebar
di 15 cabang yang terkelompok ke dalam delapan wilayah di seluruh Indonesia. Dari
jumlah tersebut, 10% pegawai berada di kantor pusat. Dari sisi peserta, 60% peserta
berada di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Dengan komposisi tersebut, 60% karyawan
mesti kita tempatkan di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Nah, agar pelayanan terhadap
peserta bisa berjalan optimal, kami melakukan beberapa upaya, antara lain penerapan
Jamsostek Online yang mulai diberlakukan awal tahun 2006 ini.
Apakah SDM-nya sudah siap mengimplementasikan perkembangan teknologi
yang akan dipakai Jamsostek?
Dalam usia Jamsostek yang sudah 28 tahun, saya melihat di jajaran kepala-kepala
wilayah sampai kepala-kepala biro ternyata usianya sudah sekitar 50 tahunan, karena
mereka sudah bergabung dengan Jamsostek sudah sejak awal. Karena itu, kita mesti
berpikir bagaimana agar perkembangan teknologi bisa diikuti dengan baik oleh seluruh
karyawan. Hal ini adalah soal regenerasi, karena Jamsostek harus terus berjalan menuju
arah yang lebih baik lagi.
Jadi, soal regenerasi bagaimana?
Sepuluh tahun lalu saya menjabat salah satu direktur di PT. Danareksa dengan jumlah
karyawan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jamsostek, hanya 300-an orang.
Dari sisi sifat pekerjaan, keterampilan karyawan dan sebagainya juga berbeda. Dirutnya
lebih muda dari saya sedangkan para direktur rata-rata seumuran dengan saya.
Sekarang, sepuluh tahun kemudian, ketika saya di Jamsostek dari enam direktur, tiga
orang direktur usianya sudah 55 tahun. Jadi bisa Anda bayangkan bagaimana situasi kita
saat ini. Padahal, kalau kita berbicara soal peranan Jamsostek tentu jauh lebih strategis
karena mengurusi sekitar 8 juta peserta yang membayar iuran. Sedangkan yang sudah
diterbitkan kartu pesertanya ada sekitar 12 juta kartu. Jika dari 12 juta itu kita asumsikan
masing-masing pekerja menanggung tiga anggota keluarga, maka...?
Sampai sekarang kepesertaan Jamsostek sifatnya masih wajib sehingga
Jamsostek sebenarnya tidak perlu bekerja keras untuk meraih peserta.
Bagaimana tanggapan Anda?
Memang penyelenggaraan Jamsostek itu sifatnya wajib bagi perusahaan. Namun
nuansanya tentu saja sudah berbeda. Sekarang ketika orang disuruh ikut program
Jamsostek mereka tentu akan melihat apa keuntungannya bagi mereka. Oleh karena itu
pradigma kita juga harus berubah. Kalau dulu orang mengatakan bahwa ikut Jamsostek
itu wajib, sekarang kita tekankan bahwa mengikuti Jamsostek itu adalah hak bagi para
peserta. Untuk tujuan tersebut, orang-orang Jamsostek juga harus berubah. Karena
program Jamsostek adalah hak peserta maka kita harus menempatkan diri sebagai
pelayan, bukan lagi sebagai pelaksana. Hal ini tentu akan membuat segala sesuatunya
juga harus berubah. Kalau dulu sebagai pelaksana, gampangnya kita tinggal adakan saja
program ini, toh mau nggak mau peserta tetap akan menerima. Namun karena kita
sebagai pelayan, tentu kita mesti mendengar kebutuhan mereka, maunya seperti apa?
Kan begitu?
Perubahan paradigma ini mestinya harus dibarengi juga perubahan kultur.
Sejauh mana tantangan yang dihadapi dalam melakukan perubahan tersebut?
Itu tadi, dari segi komposisi umur, karyawan kita masih berat ke atas. Kemudian dari segi
pendidikan, ternyata sebagian besar karyawan yang sudah berumur tadi tingkat
pendidikannya juga relatif tertinggal dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain
yang bergerak di bidang industri jasa keuangan. Upaya memperbaiki keadaan ini
bukannya tidak pernah dilakukan. Direksi sebelumnya sebelum saya juga pernah
melakukan, misalnya dengan mengirim sekitar 30 orang untuk mengikuti pendidikan S2
di Amerika Serikat. Memang, jurusan yang diambil sangat beragam, tidak khusus soal
keuangan atau jaminan sosial. Kemudian ada lagi, sekitar 35 orang lulusan MM UGM kita
rekrut.
Seberapa besar sih perbedaan tenaga-tenaga baru lulusan S2 tadi dengan
karyawan yang sudah lama bekerja di Jamsostek?
E-leadership, Bagaimana Implementasinya?
No. 22 - Januari 2006
E-leadership dipandang sebagai salah satu solusi yang efektif dan efisien dalam upaya
meningkatkan produktivitas. Bagaimana caranya?
Seorang pemimpin, entah ia pemimpin organisasi sosial, bisnis maupun pemerintahan
harus bisa bertindak efektif dan efisien. Namun, kenyataan masih banyak pemimpin yang
tidak memiliki jiwa leadership dalam mewujudkan visi dan misinya, karena tidak
gampang menjadi pemimpin yang memiliki wawasan.
Para ahli manajemen menyarankan, seorang pemimpin harus memiliki sikap yang
menjadi bagian dari kepemimpinannya, seperti mampu mengelola aksi, informasi, dan
komunikasi secara efektif. Tetapi belum tentu orang yang memegang tampuk pimpinan
atau posisi paling atas dapat dikatakan sebagai pemimpin.
Banyak kasus yang bisa menjadi contoh bahwa dalam pengelolaan organisasinya,
terutama organisasi bisnis, para pemimpin lebih banyak memusatkan perhatiannya pada
pertumbuhan pendapatan, efisiensi biaya, dan perbaikan produktivitas. Karenanya, jika
berbicara mengenai teknologi informasi (TI), maka fokus perhatiannya lebih pada
peningkatan produktivitas, yaitu meningkatkan efisiensi output (produksi) dan
menurunkan biaya produksi.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir, memang
telah mengubah paradigma kepemimpinan. Untuk bisa bertindak efektif dan efisien,
seorang pemimpin sering disarankan untuk senantiasa mendasarkan kebijakannya pada
teknologi informasi, atau yang sering disebut dengan e-leadership.
Pada prinsipnya, e-leadership adalah segala hal yang menyangkut pengetahuan pimpinan
mengenai peran TI dalam pengembangan sistem pelayanan publik yang lebih efektif,
efisien, dan transparan. Di tataran pemerintahan, e-leadership biasanya dimulai pimpinan
tertinggi negara. Di negara-negara lain pun seperti di Malaysia, Singapura, atau AS, e-
leadership datangnya dari orang nomor satu. Jadi di sini konsep pengembangan e-
government langsung dari presiden, dan harus dijabarkan oleh semua menterinya.
Di Indonesia, Presiden SBY sudah menunjukkan e-leadership-nya. Misalnya, waktu
memeriksa komputerisasi kantor imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta, dia cek langsung
sistemnya. Lalu pidatonya pada Event e-Indonesia mencakup pengembangan e-
government. Jadi cuma tinggal menjabarkannya dalam suatu program riil. Ini yang masih
kurang.
Namun, menurut Jiono, country manager PT. Computer Associates Indonesia, e-leadership
dalam konteks e-government bukan hanya proses sekali jadi. Ia membutuhkan
perencanan, dedikasi, dan political will. Dalam hal ini e-leadership tidak harus dilakukan
oleh Presiden. Lewat perencanaan, pembentukan tim, dan kemauan politis, presiden bisa
membentuk badan untuk melaksanakan peran sebagai e-leader. Satu hal yang perlu
diperhatikan oleh badan tersebut, tujuan e-government adalah untuk efisiensi. Lalu harus
ada pula perencanaan yang mengarah ke IT Governance.
Ditambahkan Jiono, di Indonesia sebenarnya e-leadership sudah dilakukan. Misalnya
website-website pemerintahan sudah ada sejak 4-5 tahun yang lalu. Sebanyak 48%
lembaga pemerintah non departemen sudah memiliki situs, meski baru sampai pada
tahap publikasi. Lalu beberapa BUMN, seperti Pertamina, e-procurement. Melalui e-
procurement, semuanya jadi on line, terbuka, dan transparan.
Di kalangan perusahaan swasta, berbagai inovasi produktivitas memang bisa
mendongkrak output perusahaan pada saat permintaan sedang lesu. Sebaliknya, saat
permintaan tinggi, peningkatan produktivitas saja tidak memadai. Perusahaan akan
membutuhkan tambahan kapasitas alat produksi, kanal baru, dan pegawai tambahan
untuk menghasilkan pertumbuhan. Yang pasti, keunggulan kompetitif dibangun dengan
menekan biaya serendah mungkin (cost leadership) dan menjual dengan nilai tambah
sebanyak mungkin dibanding pesaing (product differentiation).
Sejauh ini perusahaan global mampu menunjukkan keunggulannya pada cost leadership
dengan membangun jalur pasokan yang paling efisien dan menghasilkan produk yang
unggul dan kompetitif. Singkatnya, e-leadership memang diakui bisa mendongkrak
produktivitas dengan mempercepat aktivitas yang tidak perlu, menghemat waktu
perjalanan fisik, dan menekan waktu pelayanan.
Aktivitas produktif tersebut dilakukan dengan penggunaan material sehemat mungkin
dan biaya yang lebih rendah. Indra M. Utoyo, General Manager e-Business, Divisi
Multimedia PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Dalam ulasannya di e-BizzAsia
mengungkapkan, dalam penerapan TI untuk meningkatkan produktivitas dan cost
leadership, ada beberapa prinsip yang perlu dipedomani, yaitu :
1. Inovasi teknologi dan bisnis berkembang berjalan seiring
Konsep bisnis yang kokoh harus menjadi kemudi kereta bisnis, sementara teknologi
menjadi rodanya untuk mempercepat lajunya kereta bisnis. Dengan demikian TI bukan
sekadar alat pendukung, tetapi sudah menjadi senjata strategis untuk kelangsungan
bisnis.
2. Fokus penerapan TI pada aspek reduksi interaksi manusia dan administratif
Pengurangan biaya interaksi dan administratif khususnya yang menghabiskan waktu
karyawan 40-60% harus menjadi prioritas investasi. Dengan demikian kinerja bisnis akan
bisa dijaga bermutu tinggi dan terukur, meminimalkan kesalahan manusia, duplikasi
data, keterlambatan, dan biaya.
3. Pengembangan ditujukan pada aplikasi pemicu produktivitas secara spesifik
Banyak perusahaan menghabiskan biaya besar di teknologi tetapi tidak mendapatkan
keuntungan yang diharapkan karena pengembangan berdasarkan sasaran yang tidak
terukur. Peningkatan produktivitas intinya adalah meningkatkan profit yang dapat
dilakukan dari beberapa pendekatan, yaitu memaksimalkan output terhadap inputnya.
4. Aplikasi dikembangkan dengan urutan yang logis sejalan dengan kesiapan
budaya dan kapabilitas perusahaan.
Tidak ada implementasi yang melompat. Penerapan cara baru dengan aplikasi TI, 90%
persoalan adalah masalah manajemen perubahan budaya. Sedangkan, teknologi hanya
10% dari isu perubahan. Aplikasi TI harus diterapkan dalam fase-fase transformasi
dengan urutan logis, dimulai dari prioritas bad news yang memberi dampak terbesar bagi
perusahaan. Kemudian, secara bertahap diperluas dan diperkaya manfaatnya dengan
tetap menekankan pada simplifikasi, efisiensi, standardisasi, dan penyempurnaan model
bisnis.
5. Proses-proses bisnis terus diperkuat dengan memaksimalkan infrastruktur
yang telah tergelar
Harus ada upaya yang terus menerus untuk menyempurnakan sistem dan proses bisnis
agar mampu memanfaatkan secara maksimal kapabilitas infrastruktur TI yang telah
tergelar. Jebakannya adalah pada konsistensi. Kita sering terpukau pada tawaran baru
teknologi, tetapi lupa memaksimalkan yang sudah kita miliki.
Dengan berpedoman pada lima prinsip di atas, kita dapat memulai efisiensi biaya
sebagai pemicu awal dari produktivitas. Bagi perusahaan skala besar (enterprise),
mengelola biaya belanja untuk operasi perusahaan merupakan salah satu fokus efisiensi
yang paling konkrit. Secara teoritis penghematan biaya produksi 5% akan meningkatkan
keuntungan lebih dari 5%. Belanja perusahaan yang dapat dihemat adalah belanja
operasi dan modal. Belanja operasi misalnya biaya perjalanan, barang peralatan kantor,
jasa-jasa, TI, material, suku cadang, dan lain sebagainya. Belanja modal antara lain
pengadaan alat produksi dan bahan baku produksi.
Inovasi Mengatasi Krisis
No. 22 - Januari 2006
Di masa-masa pemulihan krisis, perusahaan menghadapi kondisi lingkungan internal dan
eksternal yang sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis. Strategi
bisnis yang berhasil diterapkan tahun 90-an kini sudah tidak bisa lagi dipakai. Fakta ini
mendorong Accenture untuk melakukan studi "Innovating for the Upturn" beberapa tahun
lalu, namun hasilnya masih sangat relevan untuk menjadi acuan bagi pemimpin-
pemimpin bisnis masa kini karena pemulihan krisis masih perlu untuk diperjuangkan
terus, khususnya di Indonesia. Studi ini diadakan terhadap 100 perusahaan global di
berbagai wilayah. Berikut adalah kesimpulan umum studi tersebut :
1. Kini bukan waktunya untuk melakukan “wait and see"
Kini bukanlah waktu untuk menunggu dan melihat apa yang terjadi, yakni berharap
bahwa semua akan membaik dengan sendirinya. Hanya perusahaan yang bertindak saat
ini - khususnya bagi perusahaan yang menjadikan inovasi sebagai penekanan utama di
setiap aspek bisnis mereka�- yang akan berhasil di masa depan.
Kesimpulan utama ini diperoleh setelah menganalisis perusahaan-perusahaan yang
menghasilkan kinerja melebihi pesaing bisnis dalam industri yang sama setelah resesi
90-an. Perusahaan-perusahaan itu sukses dengan mengabaikan kebijakan konvensional
yang biasa diambil pada masa resesi dan pemulihan seperti pemotongan biaya, tidak
mengambil keputusan strategis, menunda investasi, mundur dari pasar utama. Bahkan
terkadang mereka melakukan hal yang berlawanan.
Memanfaatkan ekonomi yang menurun atau dalam tahap awal pemulihan, mereka
melakukan eksperimentasi dengan model-model bisnis baru, melakukan akuisisi
strategis, mengembangkan pasar baru atau ceruk pasar baru, dan membangun
hubungan lebih erat dengan seluruh stakeholder perusahaan : karyawan, pemasok,
pelanggan, dan sebagainya.
Contoh :
• Southwest Airlines Awal tahun 90-an, perjalanan udara di Amerika Serikat sangat
terpengaruh akibat Perang Teluk. Jumlah penumpang turun drastis. Saat
perusahaan penerbangan lain melakukan aksi penghematan, Southwest Airlines
melihatnya sebagai kesempatan untuk melakukan investasi baru dengan
mengembangkan rute baru dan operasional perusahaan.
• eBay Berhasil mengidentifikasi nilai tambah dengan menjual inventori berlebih dari
perusahaan lain melalui internet.
• Bradford and Bingley Kelompok keuangan asal Inggris, mengubah diri dari lembaga
pembuat hipotek sendiri menjadi distributor beragam produk keuangan dari
pemasok berbeda.
• Hang Seng Bank Berhasil mencatat pertumbuhan kinerja yang mengesankan
dengan melakukan inovasi dalam hubungannya dengan nasabah. Mereka
memutuskan untuk memperdalam hubungan tersebut melalui pengembangan
beragam solusi keuangan one stop seperti mengintegrasikan rekening,
memperkuat segmentasi dan cross selling, meluncurkan layanan baru macam
prestige banking (untuk pelanggan bernilai tinggi), femina banking
(mengintegrasikan rekening untuk nasabah wanita), dan ezLink financial services
(integrasi rekening untuk mereka yang sering melakukan perjalanan dari Hongkong
ke dataran China).
2. Pemulihan tampaknya tidak akan kembali pada posisi “business as usual"
Para pemimpin yang berharap bahwa perbaikan ekonomi akan membawa kembali kepada
bisnis ke posisi sediakala - yaitu pertumbuhan yang tinggi pada awal 90-an -
kemungkinan akan kecewa. Terlalu banyak yang telah berubah : kecurigaan terhadap
bisnis semakin bertumbuh, munculnya ketidakpastian terutama di bidang politik,
munculnya kegelisahan untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek. Dengan
demikian, kita tidak dapat begitu saja mengadopsi pendekatan masa lalu untuk
kepentingan sekarang. Namun, bukan berarti pengalaman dan pelajaran yang diperoleh
saat periode boom (bullish) tidak lagi relevan. Sebaliknya, kemampuan untuk memahami
nilai-nilai pemicu jangka panjang dan mengaplikasikannya dalam kondisi terbaru menjadi
hal yang menentukan keberhasilan di masa depan.
3. Bisnis harus tetap fokus pada pemicu fundamental dari penciptaan nilai
Situasi politik dan ekonomi saat ini sangat mempengaruhi persepsi kita tentang periode
boom pada 90-an, namun faktor fundamental dalam menciptakan nilai dalam bisnis tetap
berlaku dan semakin penting, yaitu pasar, aset, dan kepemimpinan. Globalisasi bisnis
sangat mungkin mempengaruhi kemampuan bisnis merespon ketidakpastian sehingga
mengabaikan faktor-faktor utama penciptaan nilai dan penentu keberhasilan di masa
datang. Para pemimpin harus mampu mengadaptasikan diri terhadap kondisi bisnis yang
senantiasa berubah itu.
Pasar : mencari pasar baru membutuhkan kemampuan khusus dari perusahaan dan
keseimbangan antara lokal dan global.
Aset : dalam lingkungan yang tidak pasti dan cepat berubah saat pemulihan,
kemampuan untuk menata ulang dan mengelola aset - manusia, infrastruktur, teknologi,
modal intelektual, dan kompetensi khusus�- secara cepat dan tepat akan sangat
menentukan keberhasilan perusahaan. Aliansi dan kerjasama yang tepat akan
menciptakan fleksibilitas lebih tinggi.
Kepemimpinan : tantangan bagi para pemimpin adalah memperbaiki hubungan dengan
stakeholder internal dan eksternal (investor, pegawai, komunitas lokal, dan masyarakat
secara umum). Hal ini bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan bisnis, termasuk
upaya menurunkan tegangan akibat pemotongan biaya agar mampu bertahan hingga
masa pemulihan, dan sekaligus menstimulasi kreativitas serta energi yang dibutuhkan
untuk berhasil.
4. Melakukan lima tindakan untuk pertumbuhan jangka panjang
Para pemimpin saat ini berhadapan dengan beragam permintaan yang bertentangan�-
antara tekanan jangka pendek dan strategi jangka panjang ; antara pengendalian
organisasi dan kebebasan ; antara tekanan internal dengan keinginan dari luar.
Kemampuan mengelola berbagai tuntutan dan tekanan tersebut sangat menentukan
keberhasilan di dalam masa pemulihan.
Penelitian Accenture mengindentifikasi lima kunci imperatif bagi pemimpin untuk berhasil
memulihkan bisnis perusahaan. Pilihan ini harus disesuaikan dengan sejarah dan kondisi
masing-masing perusahaan.
a. Berada di depan yang lain
Perusahaan yang berhasil di saat resesi memiliki keberanian untuk beda. Mereka tidak
takut memotong biaya yang diperlukan untuk memperbaiki efisiensi bisnis, namun tetap
menyadari pentingnya berinvestasi untuk penciptaan nilai jangka panjang. Mereka
melihat masa penurunan ekonomi tepat untuk berinvestasi strategis, mengambil alih aset
saat harganya murah.
Contoh : Southwest Airlines.
Sebagaimana disebutkan di atas, perusahaan ini mengambil rute baru dan
mengembangkan operasionalisasi di awal 90-an. Saat ini kita melihat penerbangan
murah di Eropa dan Asia berkembang dan meraih keuntungan dengan mengikuti strategi
yang sama. Mereka mengambil alih aset untuk berada di depan saat pemulihan terjadi.
b. Membangun kekuatan dengan fleksibilitas
Hubungan antara direksi dengan perseroan adalah hubungan saling ketergantungan.
Satu dengan yang lain saling tergantung, sebagai organ yang dipercayakan untuk
melakukan pengurusan perseroan. Perseroan merupakan sebab adanya direksi. Tanpa
perseroan maka direksi tidak pernah ada. Begitu juga direksi, tanpanya maka perseroan
tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Direksi adalah organ kepercayaan perseroan dan wajib menjalankan tugas pengurusan
tersebut dengan berpegang teguh pada kepercayaan yang diterimanya (Fiduciay Duty).
Dengan konsep tersebut, maka direksi dalam tugas kepengurusan wajib senantiasa
bertindak atas dasar itikad baik, bertindak dengan sungguh-sungguh sesuai keahliannya,
mengutakamakan kepentingan perseroan, bukan kepentingan pemegang saham semata-
mata dan menjaga diri agar terhindar dari tindakan yang dapat menyebabkan benturan
kepentingan antara perseroan dengan direksi.
Setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban direksi akan
menimbulkan pertanggungjawaban direksi sampai kepada harta benda kekayaan pribadi
atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Pelanggaran dan
penyimpangan tersebut dapat digolongkan ke dalam:
1. Tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan keahlian yang dimiliki,
antara lain:
• Secara sengaja atau tidak melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan
(breach of duty).
• Sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan (omission of
duty).
• Sengaja atau tidak, membcrikan pernyataan yang menyesatkan (misleading
statement).
• Sengaja atau tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan
sebagai direksi.
• Sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach of warrantv
or authority commitment).
2. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik, yang dapat
terjadi dalam bentuk pelanggaran (breach of 'trust), kelalaian (negligence of trust), dan
kesalahan (error).
Ultra Vires
Sebagaimana diketahui, setiap perseroan memiliki maksud dan tujuan tertentu dalam
pendiriannya. Hal ini dapat terlihat dalam anggaran dasarnya. Keberadaan perseroan
melekat erat pada maksud dan tujuannya. Menurut Fred G Tambunan, maksud dan tujuan
tersebut memiliki peran ganda, yaitu di satu pihak merupakan sebab keberadaan
perseroan dan di pihak lain menjadi pembatasan bagi kecakapannya untuk bertindak
bagi perseroan. Perbuatan hukum perseroan menjadi tidak cakap manakala perbuatan
tersebut di luar cakupan maksud dan tujuan perseroan yang disebut dengan Ultra Vires.
Perbuatan ultra vires pada prinsipnya merupakan tindakan hukum direksi yang tidak
mengikat perseroan, karena:
a. Tindakan yang dilakukan berada di luar maksud dan tujuan perseroan.
b. Tindakan yang dilakukan berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya
berdasarkan undang-undang yang berlaku dan anggaran dasar perseroan.
Anggota direksi yang melakukan ultra vires bertanggung jawah secara pribadi atas
kerugian yang diderita perseroan.
Piercing the Corporate Veil There is no rule withaout exception. Asas hukum perseroan
menjamin bahwa tanggung jawab pemegang saham atas kerugian perseroan hanyalah
sebatas jumlah saham yang dimiliki. Demikian juga tanggung jawab anggota direksi,
hanyalah sebatas mengurus dan mewakili perseroan agar dapat bertindak di depan
hukum, mengingat perseroan hanyalah badan hukum rekaan (artificial person). Dengan
demikian, anggota direksi pun bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh
perseroan. Akan tetapi. asas pertanggungjawaban terbatas tersebut menjadi tidak
berlaku manakala terjadi pelanggaran atau penyimpangan yang dalam doktrn hukum
dikenal dengan nama Piercing the Corporate Veil.
Secara harfiah, istilah piercing corporate veil berarti membuks tirai perseroan, dimana
kekebalan yang biasa dimiliki oleh pemegang saham, direksi dan komisaris, yaitu
tanggung jawabnya terbatas dibuka dan diterobos menjadi tanggung jawab tidak
terbatas, hingga kekayaan pribadi manakala terjadi pelanggaran, penyimpangan atsu
kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan.
• Terhadap pemegang saham perseroan, piercing the corporate veil berlaku, apabila:
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Misalnya
anggaran dasar perseroan belum disahkan oleh Departemen Hukum dan
Kehakiman.
• Pemegang saham, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
• Pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
perseroan.
• Pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum
menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan
menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
1. Terhadap direksi perseroan, ketentuan piercing the corporate veil berlaku apabila:
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi (antara
lain anggaran dasar belum disahkan atau belum diumumkan dalam berita negara,
atau belum didaftarkan pada pengadilan negeri setempat).
2. Direksi melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran
dasar perseroan.
3. Direksi melanggar prinsip ultra vires.
4. Direksi melanggar prinsip fiducairy duty.
Ketentuan fiducairy duty dalam UU Perseroan Terbatas yang bila dilanggar berakibat pada
keberlakuan piercing the corporate veil terdapat pada pasa 85 ayat 1 dan ayat 2 yang
pada intinya menyatakan: setiap anggota direksi perseroan bertanggung jawab sampai
kekayaan pribadinya, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan usaha
perseroan.
Demikian juga pasa 90 ayat 2 UUPT yang menyatakan, dalam hal terjadi kepailitan
karena kelalaian atau kesalahan direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk
menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut, maka anggota direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Di Amerika Serikat, prinsip piercing the corporate veil diberlakukan apabila:
• Tujuan perseroan dan formalitas-formalitas hukum diabaikan.
• Pemegang saham perseroan memberlakukan aset perseroan sebagai harta mereka
sendiri.
• Officers perseroan gagal memelihara catatan-catatan atau dokumen yang
diperlukan.
• Perseroan tidak cukup modal, tetapi perseroan tetap dijalankan.
• Perseroan dipergunakan untuk tujuan-tujuan curang, misalnya untuk menghindari
pajak.
Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah organ yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan
nasihat kepada direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan. Dalam menjalankan
tugasnya dewan komisaris oleh undang-undang dan anggaran dasar perseroan
memberikan kewenangan tertentu kepadanya, antara lain memasuki kantor perseroan,
mendapatkan laporan direksi dan memeriksa dokumen perseroan, menyetujui atau tidak
menyetujui suatu tindakan tertentu dari direksi sebagaimana diatur dalam anggaran
dasar, serta memberhentikan sementara direksi dan mengurus perseroan dalam hal
perseroan tidak memiliki direksi.
Berbeda dengan anggota direksi, dewan komisaris bertindak sebagai majelis. Sebagai
majelis pada dasarnya anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri
mewakili direksi. Komisaris wajib bertindak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Atas nama perseroan,
pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah dapat melakukan tuntutan kepada komisaris yang karena
kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian perseroan.
Pada prinsipnya, ketentuan fiduciary duty yang disyaratkan kepada direksi perseroan
secara mutatis-mutandis berlaku juga kepada dewan komisaris dan kepada para eksekutif
yang menerima dan mewakili kewenangan tertentu dalam jabatannya.
Karena itu, untuk meminimalkan risiko jabatan yang semakin besar tersebut sebaiknya
para direksi dan eksekutif dapat mengantisipasinya sedini mungkin, dengan melakukan
penutupan asuransi jabatan sehingga dapat bekerja dengan aman dan tenang tanpa
dihantui kekhawatiran yang tidak perlu.
Sumber: Majalah Human Capital No. 21 | Desember 2006
OMBUDS
No. 20 - November 2005

Membangun reputasi perusahaan membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya, dan


mempertahankan reputasi itu sendiri tidak akan pernah berhenti selama hidup
perusahaan berlangsung. Segala upaya wajib dilakukan untuk mempertahankan reputasi
yang sudah dibangun.
Upaya paling hakiki adalah tekad untuk melakukan praktek bisnis yang baik dan
mengikuti peraturan, termasuk memastikan bahwa proses bisnis berlangsung dengan
integritas yang absolut. Bisnis yang dimulai dengan niat baik menjadi dasar kuat untuk
merebut kepercayaan pelanggan dan pasar.
Reputasi perusahaan dapat ternodai bila terjadi proses yang tidak sesuai dengan
prosedur. Selain merugikan perusahaan, keadaan ini bisa juga menimbulkan kerugian di
pihak klien atau pelanggan. Proses yang tidak sesuai dengan prosedur bisa terjadi secara
disengaja, biasanya dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang untuk
mendapatkan keuntungan pnbadi. Sedangkan penyimpangan yang terjadi secara tidak
disengaja biasanya disebabkan oleh ketidaktahuan karyawan akan prosedur itu sendiri
atau karena proses telah berlangsung rutin setiap hari sehingga tingkat pengawasan
diabaikan.
Untuk mengatasi hal ini, perusahaan pada umumnya menanamkan kesadaran pada
karyawan bahwa setiap karyawan bertanggung-jawab untuk bersuara bila melihat
sesuatu tindakan atau proses yang tidak benar terjadi di lingkungan kerjanya.
Kemana Harus Mengadu ?
Tidak semua karyawan berani secara terbuka menyuarakan pikirannya atau hasil
observasinya. Ancaman terhadap keamanan pekerjaan dan karier menjadi alasan kuat
untuk tidak angkat suara walaupun karyawan telah melihat sesuatu yang menyimpang di
lingkungan kerjanya. Alasan lain yang dikemukakan adalah karyawan tidak yakin
manajemen akan mengambil tindakan terhadap laporan yang masuk, juga karena takut
terhadap pembalasan dari atasan atau dari sesama karyawan yang dilaporkan.
Bila berbicara dengan atasan bukan ide yang baik bagi karyawan (terutama bila atasan
tersebut terlibat dalam masalah itu atau bila atasan dianggap sering kurang bijaksana
dalam mengambil keputusan), karyawan dapat melaporkan masalah yang dilihat atau
diketahuinya pada Human Resources. Namun sebagian karyawan beranggapan Human
Resources adalah bagian dari manajemen, sehingga berbicara dengan departemen ini
sama saja dengan menggali lubang sendiri. Mereka merasa tidak nyaman dan memilih
bungkam saja.
Situasi di atas mendorong beberapa perusahaan membuat bagian yang independen,
yang dapat menampung segala laporan dengan menjamin penuh kerahasiaan sumber
informasi. Bagian ini biasanya disebut dengan "Ombuds". Ombuds menerima keluhan
atau laporan dari karyawan, namun Ombuds tidak bertanggung-jawab mencarikan solusi
atas masalah itu. Bila diminta oleh pihak terkait, Ombuds boleh saja memberikan
rekomendasi untuk perbaikan proses tertentu atau membantu mencari alternatif
penyelesaian masalah. Dalam prakteknya Ombuds hanya akan menyampaikan laporan
atau isu yang masuk tanpa pernah mengungkapkan sumber informasi, kecuali bila
karyawan yang membuat laporan bersedia mengungkapkan namanya dan tidak
berkeberatan bila namanya dicantumkan dalam laporan tersebut.
Apakah Ombuds menggantikan Human Resources ?
Ombuds merupakan saluran altematif yang tersedia bagi karyawan, dalam fungsinya
Ombuds bersifat melengkapi dan tidak menggantikan departemen lain yang seharusnya
menangani dan menyelesaikan permasalahan yang ada, termasuk departemen Human
Resources. Sedapat mungkin masalah karyawan dibicarakan internal dalam departemen
yang bersangkutan. Bila hal ini tidak mungkin dilakukan, karyawan dapat berbicara
dengan manajemen di tingkat yang lebih tinggi. Bila hal ini juga bukan pilihan yang baik,
karyawan dapat menghubungi Human Resources. Secara ideal, karyawann perlu melapor
ke Ombuds bila jalur-jalur di atas dianggap kurang dapat menjamin rasa aman karyawan
yang ingin melaporkan masalah yang diketahuinya.
Ombuds tidak melapor kepada pimpinan tertentu, atau menjadi bagian dari unit bisnis
mana pun. Karena Ombuds bukan bagian dari struktur manajemen perusahaan, Ombuds
tidak membuat kebijakan, tidak mengambil keputusan manajemen, dan tidak melakukan
penyelidikan resmi atas pelaporan yang masuk. Bagian lain yang berwenang akan
melakukan penyelidikan dan tindak lanjut atas laporan yang masuk.
Fungsi Ombuds dalam kehidupan perusahaan
Sifat kerjanya yang independen membuat Ombuds menjadi wadah yang netral, informal
dan rahasia. Apa saja yang dilaporkan karyawan kepada Ombuds? Beragam masalah
dapat dilaporkan. mulai dari penyimpangan praktek bisnis ("fraud"), penunjukan vendor
yang tidak mengikuti prosedur ("conflict of interest"), pemalsuan catatan atau laporan
keuangan, penyuapan atau pemberian hadiah yang tidak pada tempatnya, praktek
penagihan atau "collection" yang tidak sesuai dengan prosedur, penjualan data penting
perusahaan untuk kepentingan kompetitor, masalah keselamatan dan kesehatan kerja,
pemalsuan data absensi, pemberian informasi palsu terhadap pelanggan demi
pencapaian target penjualan, perlakuan yang tidak adil terhadap karyawan, proses
pemutusan hubungan kerja yang tidak transparan, proses seleksi atau penerimaan
pegawai yang mcnguntungkan kerabat atau relasi pejabat yang bersangkutan, hingga
perselingkuhan ("affair") antara atasan dan bawahan yang tidak sepantasnya terjadi
dalam lingkungan kerja.
Karyawan dapat menghubungi Ombuds melalui berbagai cara mulai dari mengirimkan
surat tanpa nama pengirim ("anonymous letter"), menelepon langsung, atau
mengirimkan email. Untuk mempertahankan kerahasiaan, biasanya saluran atau sistem
telepon Ombuds terpisah dari sistem telekomunikasi perusahaan. Beberapa perusahaan
bahkan menjamin sepenuhnya dengan membuat nomor telepon Ombuds tidak dapat
dilacak pada data tagihan telepon. Jaringan komputer Ombuds juga biasanya terpisah
dari jaringan komputer perusahaan. Untuk lebih mendorong karyawan menyuarakan
kepeduliannya terhadap praktek bisnis yang benar, Ombuds dapat saja melakukan
kunjungan ke cabang-cabang perusahaan secara berkala. Dalam kunjungan itu Ombuds
akan memberi kesempatan kepada karyawan untuk menemuinya kapan saja di tempat
yang disepakati bersama, biasanya sengaja dilakukan di luar kantor. Sebagian karyawan
merasa lebih nyaman bersuara bila berhadapan langsung dengan Ombuds, mereka lebih
yakin kerahasiaan informasi betul-betul terjaga dengan cara ini karena tidak akan ada
dokumen tertulis yang keluar dari karyawan tersebut.
Ombuds tidak diharapkan berpihak pada pihak manapun dalam melakukan fungsinya,
baik pada pelapor (karyawan), rekan kerja, manajer maupun pihak lain yang terkait.
Ombuds hanya menerima laporan, memfasilitasi sehingga laporan itu akan sampai pada
manajemen tingkat atas, dan harus senantiasa mengupayakan proses yang adil.
Dalam melaksanakan tugasnya Ombuds hanya mendengarkan atau membaca laporan
tanpa memberikan penilaian. Ombuds juga tidak menyimpan dokumen atau catatan
permanen yang memuat identitas pelapor, biasanya yang disimpan hanya statistik
demografi dan jenis permasalahan yang dikemukakan guna mengidentifikasi tren-tren
atau masalah di suatu unit bisnis atau di suatu cabang tertentu. Ombuds harus
melakukan tindakan yang layak untuk melindungi semua catatan dan arsip yang
berkaitan dengan pembicaraan yang bersifat rahasia, dari pemeriksaan orang lain,
termasuk manajemen. Ombuds tidak boleh menjadi saksi dalam sidang pengadilan resmi
atau sidang administratif mengenai permasalahan yang dikemukakan kepadanya.
Kerja sama Human Resources dengan Ombuds
Karyawan yang melaporkan masalahnya langsung dengan Ombuds membuat Human
Resources baru mengetahui permasalahan itu dari laporan resmi Ombuds. Situasi ini
kadang-kadang membuat Human Resources terperangah, terutama bila masalahnya
menyangkut kasus kepegawaian. Reaksi yang mungkin timbul di benak praktisi Human
Resources adalah bahwa departemennya kurang mampu membangun kepercayaan di
mata karyawan sehingga karyawan lebih memilih berbicara dengan Ombuds.
Praktisi Human Resources tidak perlu berkecil hati menghadapi situasi ini. Justru dengan
menangani langsung laporan yang diterima dari Ombuds dan mengambil tindakan yang
tepat, Human Resources dapat membangun tingkat kepercayaan yang lebih tinggi.
Karyawan akan melihat departemen Human Resources tanggap dan peduli, dan
diharapkan di masa mendatang karyawan "lebih berani" mendekati Human Resources
bila ada masalah yang perlu dikeluhkan. Melalui kerja sama dengan Ombuds, Human
Resources dapat menganalisa pola keluhan atau masalah yang ada dan mendiskusikan
bersama jalan terbaik untuk memperbaiki sumber masalah tersebut.
Sumber: Majalah Human Capital No. 20 | November 2006
Kiat Sukses Merger & Akuisisi
No. 20 - November 2005
Praktik merger dan akusisi (M2A) terus berlangsung di dunia bisnis didorong oleh
keinginan perusahaan untuk meraih skala ekonomi, penetrasi pasar, dan meningkatkan
kapasitas / kompetensi dengan mengakuisisi perusahaan atau aset perusahaan lain.
Gelombang M&A terjadi di Indonesia pasca krisis ekonomi 1997 sehingga melahirkan
sejumlah perusahaan baru, seperti Bank Mandiri, Bank Danamon, bii, Bank Permata, dan
sebagainya.
Di Amerika, negara "mbah"nya M&A, gelombang M&A berlangsung semakin deras dalam
beberapa tahun terakhir. Tahun 1998 saja, nilai M&A di Amerika lebih dari US,6 triliun
dengan 11.400 transaksi. Jumlah ini melampaui total nilai M&A dalam periode 1990-1995.
Nilai M&A global akhir-akhir ini diperkirakan sekitar US,5 triliun per tahun.
Masalahnya, menurut Dennis L. Roberts dalam bukunya� "The Role of Human Resources
in Mergers and Acquisitions", separuh dari M&A itu tidak berhasil mewujudkan tujuan
yang diinginkan. Banyak perusahaan yang melakukan M&A memiliki nilai yang lebih
rendah setelah 6 bulan M&A dilaksanakan. Robert menilai, kegagalan proses M&A berakar
pada keputusan perusahaan yang tidak melibatkan profesional HR dalam aktivitas
perencanaan sebelum kesepakatan dibuat.
Dia mengatakan, dari 5 hambatan utama untuk keberhasilan M&A�- ketidakmampuan
menjaga kinerja keuangan, kehilangan produktivitas, kultur yang tidak cocok, kehilangan
talent kunci, dan benturan gaya manajemen�- tiga faktor di antaranya berada di wilayah
HR.
Dengan demikian, profesional HR dari beberapa perusahaan yang melakukan merger bisa
memainkan peran yang sangat penting untuk menyukseskan kesepakatan M&A. Begitu
pula dalam aktivitas akuisisi kapabilitas HR menjadi esensial baik bagi perusahaan yang
mengakuisisi maupun perusahaan yang diakuisisi.
Berikut adalah strategi umum untuk menjamin keberhasilan M&A di mana profesional HR
bisa berkontribusi:
1. Mengevaluasi perusahaan lain secara cepat.
Bersiaplah untuk menjadi bagian dari proses M&A, termasuk melakukan riset model due-
diligence yang relevan terhadap industri. Kemudian buatlah rencana pelaksanaan dari
tahapan due-diligence. Pahami matriks HR kunci perusahaan dan bagaimana hal itu
berkaitan dengan sukses bisnis. Miliki gambar sedetil mungkin tentang keunggulan
strategik dari perusahaan bentukan baru ini. Yakinkan sumber daya yang tepat tersedia
untuk mendukung due-diligence.
2. Fasilitasi integrasi pengetahuan (know-how).
Pahami dasar dari fungsi keuangan, akunting, dan perbendaharaan perusahaan; ekonomi
bisnis; dan hubungan antar beraneka fungsi. Identifikasi risiko potensial terkait dengan
penggabungan tenaga kerja, struktur organisasi, dan kultur�- dan beritahu tim M&A
tentang risiko tersebut.
3. Berikan nasehat terkait sensitivitas dan sikap karyawan
Telaah kendaraan komunikasi karyawan dalam perusahaan, dan utarakan pandangan
Anda tentang kapan dan bagaimana komunikasi terbaik tentang M&A dilakukan. Tujuan
utamanya adalah untuk mendapatkan dukungan penuh karyawan.
4. Notivasi dan pertabankan karyawan kunci.
Dalam banyak situasi M&A, perusahaan pesaing akan berusaha untuk mendapatkan
karyawan terbaik dari perusahaan yang terlibrt M&A. Mereka tahu bahwa ada beberapa
orang yang ingin pindah kerja karena harus menghadapi ketidakmenentuan yang terkait
dengan M&A. Untuk mencegah hal itu terjadi, Anda harus mengetahui siapa saja
karyawan yang paling berharga bagi perusahaan dari setiap fungsi dan divisi. Bilamana
perusahaan Anda mengakuisisi perusahaan lain, cari tahu siapa saja pemain kunci di
organisasi yang menjadi target. Segeralah berkomunikasi dengan mereka untuk
memotivasi mereka agar betah bertahan.
5, Rencanakan dan pimpin proyek integrasi.
Setelah M&A dilaksanakan, banyak departemen HR harus direstrukturisasi. Di sisi lain,
sistem imbalan (reward) dan teknologi perlu pula diintegrasikan. Siapkan diri Anda untuk
memimpin proyek integrasi sambil terus memberikan dukungan terhadap integrasi fungsi
administrasi dan unit bisnis pasca M&A.
Perbedaan kapabilitas HR bisa menjadi masalah besar. Oleh sebab itu, selama proses
due-diligence, profesional HR harus membantu mengumpulkan dokumen yang diperlukan
dan menginginkan tim M&A terhadap setiap masalah potensial atau kewajiban yang perlu
dinegosiasikan oleh tim M&A untuk menekan harga pembelian perusahaan target atau
sesuatu yang bisa memunculkan masalah besar di kemudian hari.
Area yang perlu diperhatikan dari perusahaan target di antaranya:
• Uang pesangon, rencana pensiun, uang pisah yang mahal, obligasi terhadap
karyawan cacat, dan berbagai benefit lainnya.
• Tingkat pengupahan dan sasaran kinerja
• Apakah perusahaan target telah membukukan pengembalian pajak yang benar,
memasukkan perhitungan kontribusi untuk rencana pensiun, atau terlibat dalam
transaksi terlarang atau melanggar hukum.
• Praktik ketenagakerjaan yang dipertanyakan menurut hukum dan peraturan yang
berlaku.
Untuk mencegah munculnya beban dimaksud, profesional HR harus mampu
mengumpulkan secara bersama-sama dokumen yang diperlukan, memahami implikasi
dari informasi di dalam dokumen tersebut, dan menjamin bagian hukum perusahaan
telah mempelajari seluruh dokumen tersebut secara sungguh-sungguh.
Dean Black, pimpinan perusahaan konsultan HR di Indiana, Amerika Serikat, menawarkan
beberapa panduan tambahan bagi profesional HR untuk keberhasilan proses M&A. Setiap
organisasi, menurutnya, memiliki personalitas yang berbeda. Perusahaan yang
mengakuisisi harus menjamin bahwa staf dari perusahaan yang diakuisisi harus
diperlakukan dengan hormat dan mereka merasa dipahami. Caranya bisa dengan
memberikan penjelasan kepada karyawan perusahaan yang diakuisisi terhadap beberapa
isu sensitif sebelum memberitahu publik tentang M&A tersebut.
Black juga merekomendasikan agar profesional HR terlibat dalam pengembangan dan
implementasi kesepakatan pembelian dalam sebuah M&A. Sebab kesepakatan tersebut
bersifat mengikat secara hukum. HR harus menjamin bahwa setiap orang yang terlibat
dalam implementasinya benar-benar mengerti dengan materi kontrak. Berhati-hati pula
tentang kerahasiaan (confidentiality); dalam banyak kasus, informasi terkait dengan
personil perusahaan yang diakuisisi dilindungi secara hukum sebagai kerahasiaan.
Profesional HR bisa membantu menjaga kerahasiaan dimaksud.
Karena aktivitas M&A sangat memakan waktu, Black menyarankan untuk
mengalihdayakan (outsourcing) beberapa aktivitas tertentu, seperti kaji ulang benefit
karyawan, perencanaan integrasi, dan asesmen tenaga kerja serta training yang
dibutuhkan.
Value Driver Alternatif Pendekatan Kompetensi
No. 20 - November 2005
Buat Anda yang masih ragu terhadap efektivitas investasi SDM yang Anda lakukan, simak
hasil penelitian Watson Wyatt berikut ini: studi Human Capital Index (Indeks Kapital
Manusia) yang dilakukan secara rutin menunjukkan hasil yang konsisten dari tahun ke
tahun – perusahaan-perusahaan yang melakukan perbaikan terhadap praktek-praktek
SDM tertentu berhasil mencapai tingkat pengembalian bisnis hingga sebesar 47%!
Praktek-praktek SDM yang mampu berkontribusi secara signifikan terhadap kinerja bisnis
yang dimaksud antara lain:
•penempatan staf
•manajemen kinerja
•pengembangan kepemimpinan
•perencanaan suksesi.
Untuk memastikan nilai strategisnya, praktek-praktek tersebut idealnya diawali dengan
sebuah model manajemen yang mampu membantu praktisi SDM mengenali perilaku-
perilaku spesifik yang menjadi persyaratan kunci jabatan, sekaligus membantu
’mengukur’ sejauh mana kesesuaian seorang karyawan dengan perilaku yang dimaksud.
Sampai di sini, kebanyakan dari Anda pasti langsung mengasosiasikannya pada”Model
Kompetensi” – kumpulan karakteristik atau sifat kepribadian dasar yang dibutuhkan oleh
suatu jabatan untuk menunjukkan kinerja yang efektif. Banyak organisasi yang berhasil
mengimplementasikan model ini. Masalahnya, tak jarang pula yang mempertanyakan
relevansinya dengan sasaran-sasaran bisnis. Inilah yang kemudian mendasari Watson
Wyatt dalam mengembangkan pendekatan “Pemicu Nilai” (Value Driver) – sebuah
alternatif unik yang mempunyai kaitan lebih langsung terhadap kinerja bisnis, nilai
organisasi.
Pemicu Nilai: Empat Bentuk Kontribusi Karyawan
Pendekatan Pemicu Nilai didasari oleh asumsi bahwa semua karyawan – dari tingkat
Presiden Direktur sampai karyawan garda depan (front line) - sama-sama memberikan
kontribusi terhadap nilai organisasi (shareholder value). Penelitian Watson Wyatt
menyimpulkan bahwa kontribusi karyawan pada dasarnya dapat dibagi dalam empat
bentuk:
•Menetapkan Strategi (Setting the Course) – Mengembangkan dan melaksanakan inisiatif-
inisiatif bisnis yang strategis
•Memobilisasi SDM (Mobilizing Talent) – Memobilisasi SDM untuk mencapai sasaran-
sasaran bisnis utama
•Memperoleh Pendapatan (Generating Revenue) – Merealisasi pertumbuhan pendapatan
dari produk dan/atau layanan
•Menjalankan Bisnis (Running The Business) – Meningkatkan profitabilitas dan tingkat
pengembalian usaha.
Masing-masing Pemicu Nilai di atas dapat diterapkan ke seluruh tingkat organisasi, apa
pun industrinya. Gambar 1, misalnya, menunjukkan perbedaan profil Pemicu Nilai antara
Kepala Divisi, Manajer SDM, dan Staf Penjualan. Bobot terbesar Kepala Divisi ada pada
“Menetapkan Strategi” – kontribusi yang biasanya diharapkan dari pimpinan suatu divisi.
Sedangkan bobot terbesar Manajer SDM ada pada ”Memobilisasi SDM”; dan bobot
terbesar Staf Penjualan ada pada ”Memperoleh Pendapatan”.
-------------------------------------------------gambar 1-------------------------------------------------
Berikut akan diulas secara lebih rinci langkah-langkah menerapkan Pemicu Nilai.
Langkah I: Membuat ”Kamus Perilaku”
Sebagaimana halnya dengan Model Kompetensi, pertama-tama perlu disusun ”Kamus
Perilaku” yang terkait dengan tiap Pemicu Nilai. Namun tidak seperti halnya kompetensi
tradisional yang seringkali ditulis dalam istilah-istilah psikologis yang terlalu teknis (atau
akademis), perilaku-perilaku dalam pendekatan Pemicu Nilai ditulis dalam istilah-istilah
yang lebih berorientasi pada tindakan, yang menjelaskan cara kontribusi karyawan yang
berbeda-beda terhadap nilai organisasi. Hendaknya kamus perilaku ini juga disesuaikan
dengan kebutuhan organisasi (lihat gambar 2)
--------------------------------------------------gambar 2 ----------------------------------------------
Langkah 2: Membuat Profil Pemicu Nilai
Langkah ini biasanya melibatkan sampel kecil karyawan, misalnya si pemegang jabatan
yang terkait, atasan langsung, dibantu seorang ahli internal.
Yang penting pada langkah ini adalah mengidentifikasi kombinasi yang tepat dari Pemicu
Nilai suatu jabatan. Selain itu juga penting untuk mengidentifikasi Pemicu Nilai tersebut
pada konteks bisnis yang lebih luas. Untuk itu, pembuatan profil biasanya dimulai dengan
mendiskusikan perubahan-perubahan dalam peta kompetisi, aspek teknologi, regulasi,
keuangan dan pemicu-pemicu lain yang dapat mengakibatkan berubahnya perilaku kerja
yang diinginkan.
Secara teknis, selama sesi diskusi, partisipan diminta untuk memberi nilai pada suatu
perilaku dari skala “paling kurang penting” hingga “paling penting” untuk
mengidentifikasi sekitar dua puluh perilaku yang dianggap paling penting dalam suatu
jabatan untuk menciptakan nilai organisasi.
Gambar 3 menunjukkan bagaimana perilaku-perilaku yang paling penting dipetakan ke
Pemicu Nilai yang tepat untuk menghasilkan Profil Pemicu Nilai yang ideal untuk suatu
jabatan. Profil tersebut memberikan ‘potret’ mengenai apa yang dibutuhkan untuk bisa
berhasil di jabatan terkait.
----------------------------------------------- gambar 3-----------------------------------------------
Perlu diperhatikan bahwa dengan adanya bobot terbesar pada masing-masing jabatan
tidak berarti bahwa Pemicu Nilai yang lain tidak penting, melainkan tingkat
kepentingannya relatif. Sama halnya, tingkat kepentingan yang relatif di tiap jabatan juga
berlaku untuk perilaku-perilaku di masing-masing Pemicu Nilai. Misalnya, perilaku yang
lebih penting bagi jabatan Manajer SDM untuk ”Memobilisasi SDM” mungkin adalah
”merekrut dan mempertahankan karyawan-karyawan yang berpengaruh terhadap
bisnis”. Sementara perilaku yang lebih penting bagi Presiden Direktur untuk pemicu nilai
yang sama adalah”membuat karyawan-karyawan bekerja bahu-membahu dalam
mencapai tujuan organisasi”.
Proses 2: Assesmen Karyawan
Setelah Profil Pemicu Nilai sudah tersedia untuk semua jabatan, langkah berikutnya
adalah melakukan asesmen terhadap pelamar ataupun karyawan: sejauh mana pelamar /
karyawan telah memenuhi profil ideal?
Gambar 4 menunjukkan contoh ilustrasi hasil asesmen yang kemudian menjadi dasar
keputusan organisasi berkaitan dengan penempatan staf atau perencanaan suksesi.
Garis hijau menunjukkan profil ideal Pemicu Nilai Kepala Divisi (seperti di Gambar 2),
sementara garis-garis yang lain menunjukkan profil dari tiga karyawan yang dicalonkan
menjadi Kepala Divisi.
Perhatikan gambar 4 dengan cermat: adakah kandidat yang sesuai dengan profil ideal
Kepala Divisi? Dari ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kandidat yang paling
mendekati profil ideal adalah Kandidat #1. Dengan kata lain, ada peluang keberhasilan
yang lebih besar dari Kandidat #1 (dibandingkan dua kandidat lainnya) dalam menduduki
jabatan Kepala Divisi. Bagaimanapun, kesesuaian profil Kandidat 01 dengan profil ideal
masih belum sempurna. Untuk dapat efektif menjalankan jabatan yang baru, dibutuhkan
rencana-rencana pengembangan yang tepat bagi Kandidat #1 untuk menutup
kesenjangan yang ada, dalam hal ini misalnya “pendelegasian pekerjaan” (pemicu nilai:
“Memobilisasi SDM”).
-------------------------------------------- gambar 4 -------------------------------------------------
Proses 3: Memperkuat Perilaku yang Diinginkan
Perbandingan profil karyawan dan profil ideal selanjutnya menjadi dasar untuk proses
manajemen kinerja dan rencana pengembangan (atau praktek-praktek SDM lain),
sebagai upaya-upaya untuk memperkuat perilaku yang penting dalam rangka
menciptakan nilai organisasi.
Dalam proses manajemen kinerja, sebaiknya diidentifikasi secara lebih spesifik sejauh
mana seorang karyawan telah sesuai dengan profil ideal dari jabatannya saat ini, dan
kemudian mengambil tindakan untuk meminimalisasi kesenjangan yang ada. Sebagai
contoh, seorang Staf Penjualan mengalami kesulitan dalam mencapai target-target
penjualannya. Gambar 5 menunjukkan kinerja aktual Staf Penjualan tersebut
dibandingkan dengan profil ideal. Selanjutnya akan berserah pada hasil diskusi Staf
Penjualan yang bersangkutan dan manajernya untuk menganalisis hal-hal yang menjadi
penyebab terjadinya kesenjangan pada “Mendatangkan Pendapatan”, dan menetapkan
dukungan dan rencana tindakan apa yang dibutuhkan untuk meminimalisirnya.
Program-program yang terkait dengan kompensasi dan insentif karyawan juga dapat
dikaji-ulang untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada memang secara
efektif mengganjar perilaku-perilaku yang tepat dan membedakan berbagai tingkat
kinerja.
Akan halnya proses pengembangan kepemimpinan, hendaknya fokus lebih pada
bagaimana mempersiapkan karyawan dalam menghadapi tanggung-jawab yang lebih.
Untuk bisa secara langsung terkait dengan peningkatan nilai organisasi, hendaknya
ditargetkan pada suatu jabatan atau peran yang spesifik. Ini terutama penting untuk
organisasi-organisasi yang belum memiliki sistem dan kurikulum pengembangan
kepemimpinan yang memadai.
Asesmen karyawan telah dilakukan. Profil karyawan dan kesesuaiannya dengan profil
ideal dari kontribusi jabatan terkait pun telah ditetapkan. Rencana pengembangan
karyawan kemudian dapat secara efektif direncanakan dan dijalankan, untuk memastikan
efektivitasnya dalam memberikan kontribusi terhadap organisasi. Hasilnya? Investasi
SDM yang terencana, terarah, dan jelas bernilai strategis!
Sumber: Majalah human Capital No. 20 | November 2005
Mengubah Informasi Menjadi Pengetahuan
No. 20 - November 2005
Mengumpulkan informasi, bagi setiap pelaku bisnis tentu menjadi kebutuhan yang tak
bisa dihindarkan. Sadar atau tidak, mereka senantiasa mencari data dan informasi bagi
kebutuhan pengelolaan usahanya. Inilah yang sering disebut pengumpulan inteligen
(intelligence gathering), yakni proses membuat pengetahuan atau rahasia yang
tersembunyi mcnjadi aset dalam rangka meraih tujuan organisasi.
Pengumpulan intelijen adalah pendekatan jangka panjang yang komprehensif dan
berimbang yang mencakup pengembangan keahlian-keahlian baru, pengujian efektivitas
dari teknik komunikasi dan sebagainya. Aktivitas tersebut dapat dipadukan ke dalam
suatu strategi pengumpulan intelijen yang efektif. Para pelaku bisnis harus memiliki sikap
bahwa sctiap potongan informasi, data dan pendapat yang mereka peroleh akan
mempengaruhi basis pengetahuan dari bisnis mereka. Arus intelijen. apakah terbatas
atau publik senantiasa bergerak, namun begitu mudah untuk mengakses dan
memanfaatkannya demi kepentingan strategi perusahaan.
Salah satu masalah paling menyusahkan, dan celakanya paling umum terjadi, adalah
pelaku bisnis kini masih hanya memainkan lip service untuk program pengumpulan
intelijen. Yang menyedihkan adalah hal itu semestinya tidak perlu terjadi. Mengapa
banyak manajer kurang memiliki keinginan untuk tumbuh dan menaikkan pangsa pasar?
Alasan lain yang menyebabkan perusahaan menjadi stagnan adalah sikap sebagian
pelaku bisnis yang cenderung berorientasi teknis dan relatif tidak familiar dengan tujuan
dan metode pengumpulan intelijen. Mereka sering mendefinisikan pengumpulan intelijen
dalam pengertian yang sempit. Mereka berpartisipasi dalam seminar dengan setengah
hati, meluangkan sedikit waktu dan dana seadanya untuk isu-isu pengumpulan intelijen
dan kemudian menyimpulkan bahwa upaya pengumpulan intelijen mereka tidak mampu
menaikkan reputasi perusahaan atau basis konsumen mereka.
Hampir semua perusahaan tidak memiliki informasi yang memadai tentang pelanggan,
dan semakin besar perusahaan semakin buruk masalah ini. Survei pelanggan
menawarkan cara yang sempurna untuk mengatasi kekurangan informasi mengenai
pelanggan. Survei bersifat mendalam, komprehensif dan bisa memiliki fokus sesempit
yang Anda inginkan. Survei juga bersifat umum atau sepenuhnya disesuaikan untuk
memenuhi kebutuhan Anda. Survei-survei tertutup merangsang komentar jujur dari
pelanggan yang cenderung menyimpan ucapan-ucapan tidak menyenangkan di depan
staf dan vendor mereka.
Masalahnya, mengelola informasi tersebut agar menjadi pengetahuan yang bermanfaat
bagi pengembangan korporasi, bagi seorang CEO ternyata bukan langkah yang mudah.
Perusahaan yang menjalankan program pengumpulan intelijen tanpa betul-betul
memahami strategi, perangkat, konsekuensi dan hasil dari tiap aktivitas pengumpulan
intelijen hanya akan mencari masalah. Hampir bisa dipastikan bahwa perusahaan-
perusahaan tersebut akan mendapat hasil yang menqecewakan karena mereka hanya
akan bertindak berbasis pada prasangka. Bukan pada pengetahuan aktual dan
pemahaman tentang alasan utama dari pemililihan tiap aktivitas pengumpulan intelijen
dan pemahaman atas manfaatnya.
Dalam buku Guide to Knowledge Management disebutkan setidaknya ada 10 langkah
terpisah yang mesti dilakukan.agar setiap informasi bisa benar-benar menjadi
pengetahuan yang bermanfaat :
1. Cari
Setiap orang yang pernah melakukan pencarian informasi di internet tahu bahwa
terdapat ratusan, bahkan ribuan sumber informasi untuk suatu tipe informasi tertentu.
Langkah ini merupakan salah satu yang paling sulit dari menciptakan pengetahuan. Dari
mana data Anda berasal?
2. Dapatkan
Terutama dengan metode search yang baku, adalah penting bahwa informasi didapatkan
dari sumber yang orisinil dan penyusunnya harus sumber yang bisa dipercaya.
Kumpulkan, dan periksa semua informasi, jangan hanya memilah-milah saja.
3. Evaluasi
Setiap bit informasi harus dievaluasi dari segi kualitas, konteks dan umur (informasi
memiliki usia manfaat sependek usia manfaat susu) dan dalam hubungannya dengan
informasi-informasi lain yang telah dikumpulkan. Sekali lagi pertimbangkan sumbernya.
4. Susun (Compile).
Salinlah informasi secara benar. Informasi bisa memiliki banyak corak. Ini bukan lelucon.
Akurasi sangat penting. Sebagai contoh, seorang reporter sindikasi nasional menyusun
informasi mengenai penyelamatan dana perwalian jaminan sosial. Dia melaporkan bahwa
2 persen kenaikan dalam withholding tax jaminan sosial sudah cukup uotuk
menyelamatkan dana tersebut. Hanya,ada sedikit masalah karena kesalahan penyusunan
dia kehilangan faktor sebesar 15. Dengan kata lain, withholding tax seharusnya dinaikkan
30 persen untuk menyelamatkan dana yang dimaksud. Kesalahan kecil telah merusak
seluruh artikel.
5. Pahami.
Informasi tidak langung memiliki arah. Informasi memiliki arti berbeda untuk setiap
orang, karena mereka memiliki perspektif tersendiri, setiap orang memiliki tujuan
tersendiri, agenda tersendiri dan latar belakang yang berbeda-beda. Semua hal tersebut
mempengaruhi pemahaman seseorang atas informasi.
6. Analisis.
Untuk mencapai satu tingkat lebih tinggi dari hanya memahami data, Anda harus
mengevaluasi informasi dalam hubungannya dengan semua faktor lain: pengetahuan
umum, standar industri, hubungan, kecenderungan untuk berubah, dan lain sebagainya.
7. Simpulkan.
Informasi harus dikonsolidasikan. Seorang tenaga penjualan mungkin mendapatkan
ratusan halaman informasi dan mesti menguranginya menjadi satu halaman kesimpulan.
Apa kesimpulan yang tepat?
8. Sebarkan / distribusikan.
Informasi harus sampai ke orang-orang yang tepat. Ini merupakan masalah besar dalam
perusahaan dan barangkali merupakan langkah yang paling sulit dari 10 langkah
mengubah informasi menjadi pengetahuan. Isu ini bisa memakan satu buku, sebagian
besar diantaranya berpusat pada hubungan antar pribadi. Informasi, khususnya informasi
terkustominasi, bisa sangat berharga dalam organisasi. Karenanya informasi semacam ini
bisa dilindungi, diperdagangkan, ditahan, disembunyikan, dihias atau diolah dalam
struktur tertentu.
9. Bertindaklah berbasis informasi.
Banyak buku telah ditulis mengenai pentingnya membuat keputusan dan banyak buku
juga telah ditulis mengenai pemanfaatan informasi, data, dan pengetahuan dalam
keputusan-keputusan tersebut. Apa yang membuat sebuah keputusan memiliki basis
yang baik?
10. Gabungkan, pelihara, perbaharui.
Informasi bersifat dinamis dan hidup. Informasi harus disimpan, dikelola, dipelihara dan
diperbaharui secara terus-menerus. Informasi mesti diawetkan bersama data-data dan
pendapat-pendapat lain. Informasi harus disegarkan. Data-data lama harus dibuang
(kecuali analisis tren). Baru kemudian informasi bisa menjadi pengetahuan. Informasi
boleh menjadi usang, tapi pengetahuan harus terus menguat.
Menjadi Direksi Beban Di Balik Kemegahan
No. 19 - Oktober 2005
Menjadi direksi menjadi idaman setiap profesional. Gaji besar, fasilitas banyak, gengsi
tinggi, dan dihormati orang. Tapi, itu dulu. Sekarang, kenikmatan menjadi direksi itu sama
beratnya dengan tanggung jawabnya di bidang hukum dan keuangan. Harta pribadi
mereka bisa disita bila terbukti melakukan kesalahan.
Pernahkah Anda membayangkan seorang direksi jatuh bangkrut akibat kekayaan
pribadinya disita karena perusahaan yang dipimpinnya pailit? Selama ini memang belum
pernah terdengar hal semacam ini terjadi. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya.
Perusahaannya bangkrut, mantan direksinya tetap hidup mewah. Banyak BUMN yang
“kurus”, namun direksinya malah “gemuk-gemuk”. Pokoknya, jadi direksi itu enaklah
(apalagi di BUMN basah atau perusahaan besar).
Tetapi, bayangan seperti di atas di masa depan bukan tidak mungkin terjadi. Bahkan
sangat mungkin terjadi. Pasalnya, Undang-undang No.1 tentang Perseroan Terbatas (PT)
Tahun 1995 sebetulnya telah mengatur ketentuan tentang hal tersebut. Secara doktrin
hukum perseroan, ada 2 macam fungsi direksi dalam perseroan: (1) Sebagai profesional
yang menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan kemajuan perseroan (duty to
exercise and skill); (2) Sebagai wakil pemegang saham yang mengangkatnya sebagai
anggota direksi perseroan (fiduciary duty).
UU mengatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara
pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab
atas kerugian perseroan melebihi jumlah saham yang dimiliki dan tidak meliputi harta
kekayaan pribadinya. Juga anggota direksi hanya bertanggung jawab sebatas mengurus
dan mewakili perseroan agar dapat bertindak di muka umum sehingga direksi tidak
bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami perseroan.��� ���
Namun ketentuan tersebut, menurut Budihardjo, SH, MH, Kasubdit Perdata Depar temen
Hukum dan HAM, memiliki pengecualian. “Dalam keadaan tertentu, tanggung jawab
terbatas tersebut tidak berlaku," tukasnya dalam seminar “Directors & Officers Personal
Liability Insurance” yang diadakan Sigma Research & Conference bulan lalu. Sebab, UU
PT menganut prinsip prinsip “piercing the corporate veil” yang secara harfiah berarti
menyingkap tabir atau cadar perusahaan.
Menurut Andrey Sitanggang, Managing Partner Andrey Sitanggang Law Office, piercing
the corporate veil itu berarti kekebalan yang biasa dimiliki oleh pemegang saham,Direksi,
atau komisaris perseroan, yaitu tanggung jawabnya terbatas dibuka dan diterobos,
sehingga menjadi tidak terbatas hingga kekayaan pribadi manakala terjadi pelanggaran,
penyimpangan, atau kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan.���
Ketentuan piercing the corporate veil untuk direksi perseroan berlaku apabila (a)
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi (di antaranya,
Anggaran Dasar belum disahkan atau belum diumumkan dalam berita negara, atau
belum didaftarkan pada pengadilan negeri setempat); (b) Direksi melanggar prinsip ultra
vires (di luar cakupan maksud dan tujuan perseroan, bukan kepentingan pemegang�
perseroan); (c) Direksi melanggar prinsip fiduciary duty (kepercayaan yang diterimanya
untuk mengurus perseroan).���
Prinsip ultra vires didasarkan pada fakta hukum bahwa setiap perseroan memiliki maksud
dan tujuan tertentu dalam pendiriannya. Perbuatan yang tergolong ultra vires pada
dasarnya merupakan tindakan hukum direksi yang tidak mengikat perseroan (dalam hal
ini menjadi tanggung jawab pribadi direksi atas kerugian yang diderita perseroan) karena
sejumlah sebab: (a) Tindakan yang dilakukan berada di luar maksud dan tujuan
perseroan ; (b) Tindakan yang dilakukan berada di luar kewenangan yang diberikan
kepadanya berdasarkan undang-undang yang berlaku dan Anggaran Dasar perseroan.
Sedangkan prinsip fiduciary duty menegaskan bahwa direksi wajib menjalankan segala
tugas pengurusan perusahaan dengan berpegang teguh kepada kepercayaan yang
diterimanya. Oleh sebab itu, lanjut Andrey, dalam menjalankan tugasnya, direksi wajib
untuk senantiasa bertindak atas dasar itikad saham semata-mata; menjaga diri agar
terhindar dari tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara
perseroan dengan Direksi.
Setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban direksi, maka direksi
harus bertanggung jawab hingga harta pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-
tiap pihak yang berkepentingan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan
tersebut sebagai berikut: (a) Tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai
dengan keahlian yang dimilikinya, dan (b) Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil
pemegang saham dengan baik.
Bentuk-bentuk pelanggaran profesional tersebut, di antaranya: (1) Baik sengaja atau
tidak, melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan (breach of duty); (2) Baik
sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan (omission of duty); (3)
Baik sengaja atau tidak, memberikan pemyataan yang salah (misstatement); (4) Baik
sengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang menyesatkan (misleading statement);
(5) Baik sengaja atau tidak, melakukan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan
sebagai direksi; (6) Baik sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan
(breach of warranty or authorithy commitment).
Sementara bentuk pelanggaran sebagai wakil pemegang saham, antara lain (1)
Pelanggaran kepercayaan (breach of truth) ; (2) Kelalaian (negligence of trust); (3)
Kesalahan (error).
Konsekuensi dari berbagai pelanggaran di atas, UU PT mengatur pada Pasal 85 ayat I dan
ayat 2, yang pada intinya menyatakan: setiap anggota direksi perseroan bertanggung
jawab sampai kekayaan pribadinya, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan
dan usaha perseroan.
Selanjutnya Pasal 90 ayat 2 menyebutkan, dalam hal terjadi kepailitan karena kelalaian
dan kesalahan direksi, dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian
akibat kepailitan tersebut, maka anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.
Merujuk kepada ketentuan hukum yang berlaku, sejatinya tanggung jawab direksi ini.
“Wajar kalau direksi perusahaan, misalnya bank, meminta fasilitas mobil Mercedes
terbaru,” ujar Andrey berseloroh, Hanya karena masih lemahnya penegakan hukum di
Indonesia sehingga jarang sekali eksekutif perusahaan yang dijatuhi pidana dan perdata
atas segala penyimpangan yang mereka lakukan. Akibatnya, jabatan direksi atau pejabat
perusahaan masih menjanjikan kenikmatan luar biasa dan menjadi impian setiap
profesional.
Talent Pool Harus Dipelihara
No. 19 - Oktober 2005
Talent management merupakan hal yang sangat penting bagi organisasi atau perusahaan
agar bisa tetap berkiprah di dunia bisnis. Karena itu, perlu dicermati talent yang seperti
apa yang diharapkan bisa menjadi pemimpin yang baik demi kelangsungan hidup
perusahaan. Perlu diperhatikan pula bagaimana perusahaan selayaknya memperlakukan
talent dengan baik. Berikut tanya jawab antara Ratri Suyani dari Majalah Human Capital
dengan konsultan senior Irham Dilmy, Managing Partner Amrop Hever mengenai talent
management dan plus minus bagi perusahaan menggunakan sistem ini.
Sejauh mana Anda menilai perhatian dan kesadaran perusahaan aspek talent
management sebagai faktor penting bagi keberhasilan usaha?
Saya membagi beberapa jenis industri atau perusahaan, yaitu perusahaan multi nasional,
perusahaan konglomerat dan perusahaan swasta. Untuk perusahaan multi nasional,
terutama perusahaan multi nasional yang sudah cukup lama berada di Indonesia, career
development dan career planning merupakan bagian dari talent management mereka.
Dengan herjalannya waktu, mereka tidak lagi kesulitan dalam hal mengisi posisi yang
sedang kosong, misalnya dalam pengembangan usaha atau karena orang keluar.
Contohnya, Citibank. Perusahaan tersebut punya kebiasaan untuk promotion within,
mempromosikan orang dalam. Hanya saja, jika terjadi situasi yang luar biasa seperti
misalnya Citibank kehilangan 6 orang senior di private banking, maka talent
management yang ada bisa tidak terpenuhi di posisi tersebut. Lain hal kalau dalam
kondisi biasa seperti orang keluar, pindah tempat, atau pensiun.
Kita juga harus melihat perusahaan konglomerat yang besar, seperti kelompok Sinar Mas
Group, mereka juga punya perencanaan yang sifatnya lebih terinci seperti dalam talent
management.
Sementara untuk perusahaan lokal atau perusahaan nasional yang pada dasarnya hanya
mengandalkan kemampuan mereka untuk mencari dari luar, mereka tidak mengandalkan
perencanaan karir dan pengembangan karir bagi karyawan mereka.
Apa saja�plus minus bagi perusahaan jika perusahaan menggunakan talent
management dan bagi perusahaan yang tidak menggunakan sistem tersebut ?
Kedua-duanya ada untung, ada ruginya. Kita bisa terbengkalai suatu saat karena tiba-tiba
orangnya keluar atau pindah kerja dan meninggal dunia. Kalaupun dapat orang yang
tepat, orang tersebut belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, jika
sebelumnya dia menjadi kepala pabrik A, tiba-tiba harus mengepalai pabrik B yang masih
baru dan berbeda dengan pabrik A. Padahal dia mendapat kompensasi yang lebih tinggi
dari sebelumnya, bisa saja dia akan menolak karena dia menganggap kurang cocok
dengan dirinya. Ada semacam kekhawatiran bagi dirinya.
Karena itu, seharusnya setiap perusahaan harus sudah memelihara pool of talent agar
para talent kelak bisa siap menggantikan posisi yang kosong atau mereka yang potensial
bisa siap untuk menduduki posisi pimpinan. Sebenarnya, inti dari sumber daya manusia
adalah meletakkan orang yang tepat pada posisi yang tepat. Selebihnya, masalah
kompensasi, benefit, dan training adalah urusan belakangan.
Sementara bagi perusahaan swasta yang kecil, biayanya terlalu besar jika menggunakan
sistem talent management. Pertama, perusahaan harus membuat perencanaan. Kedua
menjalankan rencana tersebut. Artinya, perusahaan itu harus meningkatkan kualitas dan
itu tidak murah. Di samping on the job training, karyawan harus melengkapi dengan
kemampuan lain. Makanya disebut training and development, karena harus memikirkan
pengembangan karir di masa sekarang dan yang akan datang. Makanya perusahaan kecil
biasanya hanya memikirkan sekarang perusahaan ini bisa jalan dulu. Bagaimana ke
depannya adalah urusan belakangan.
Apa saja komponen dari sistem talent management?
Pertama adalah kemampuan perusahaan untuk merekrut dari awal atau recruitment
selection. Semua harus dilihat, jangan hanya sekedar melihat orang ini bisa tidak
menduduki posisi A, tapi tidak melihat apakah orang tersebut bisa tidak menduduki posisi
itu di tempat atau negara lain, misalnya. Bisa saja dia bisa secara teknis, tapi tidak
secara non teknis. Contohnya, si X tidak bisa ditempatkan di negara A karena tidak cocok
dengan makanan negara tersebut. Saya kagum dengan orang Filipina dan India, mereka
bisa siap ditempatkan di negara mana saja. Beda dengan orang Indonesia. Padahal,
pengembangan karir jangan hanya melihat tempatnya saja.
Kedua, dalam memikirkan potensi seseorang, kita harus membuat perencanaan karir
sehingga ada pengembangan yang membuat orang tersebut siap ditempatkan di mana
saja. Program pengembangan karir dan management development memang
membutuhkan perhatian yang besar. Saya mengamati, perusahaan perbankan dan
industri perminyakan yang paling memperhatikan hal ini.
Ketiga adalah mempertahankan orang yang berbakat dan berpotensi dengan baik untuk
tetap tinggal di perusahaan kita. Seringkali perusahaan berusaha menarik orang baik
untuk masuk ke dalam perusahaan, tapi untuk mengelola orang tersebut agar orang itu
betah dan tetap bertahan malah jarang dilakukan. Mungkin karena dia berpikir, dia kan
sudah di perusahaan saya, suka-suka saya saja, toh dia sudah diberi jabatan. Padahal
manusia itu seperti binatang, perlu dipelihara. Jika kita membeli burung beo yang
bersuara bagus, tapi karena tidak dipelihara dengan baik, bisa saja suaranya jadi jelek.
Sama saja dengan manusia, harus dipupuk, diberi makanan jasmani dan rohani.
Kita harus melihat talent adalah bagian yang integral dari keseluruhan perusahaan.
Sehingga setiap ada keputusan tertentu mengenai kebijakan perusahaan kita harus
pikirkan dampaknya bagi manusia. Kalau terjadi PHK besar-besaran, yang di PHK
biasanya akan mendapat pesangon. Sementara yang tinggal akan mengalami dampak
psikologis yang juga berdampak bagi pekerjaannya. Seharusnya perusahaan memikirkan
bagaimana agar karyawan yang tinggal tetap memiliki motivasi yang tinggi dan tidak
terpengaruh dengan hal lain.
Apa yang harus dilakukan perusahaan agar talent termotivasi untuk tetap
bekerja di perusahaan tersebut?
Talent akan memperhatikan perusahaan-perusahaan yang mau memikirkan masa depan
dirinya dan keluarganya. Talent management itu adalah sesuatu hal yang luas sehingga
orang termotivasi untuk tetap tinggal, tetap berkarya dengan baik untuk perusahaan.
Makanya sayang jika ada perusahaan yang investasinya tinggi tapi turn over-nya juga
tinggi.
Adapula perusahaan yang takut kehilangan karyawannya jika karyawannya dikirim ke
luar negeri, karyawan tersebut malah pindah ke perusahaan lain. Makanya, sering
perusahaan membuat kontrak dengan karyawan yang intinya tidak boleh keluar kerja
sebelum kontraknya habis. Cara itu membuat si talent berpikir ia akan kehilangan
peluang yang baik di perusahaan lain karena tidak bisa keluar kurang dari perusahaannya
sekarang sekian tahun. Memang, hal yang positif dari kontrak itu adalah orang itu tidak
akan di PHK sekian tahun. Tapi hal negatifnya, buat orang yang punya potensi bagus, dia
akan rugi. Dia akan resah dan bisa saja konsentrasi kerjanya tidak penuh.
Seharusnya perusahaan mengikat karyawan atau talent dengan cara yang lain. Karyawan
harus termotivasi sendiri untuk tetap bekerja di perusahaan karena kompensasi dan
benefit yang bagus, pengembangan karir yang bagus, lingkungan yang mendukung, dan
sebagainya. Kesetiaan itu harus dua arah, tidak bisa satu-satu. Kita tahu ikatan dinas
diberlakukan di beberapa perusahaan. Tapi, karyawan yang mendapat peluang bagus di
luar akan bilang, saya akan bayar ganti rugi agar saya bisa ambil peluang bagus di luar.
Saya kira, orang jika tidak akan terpikir untuk keluar jika perusahaan sudah memberikan
yang baik.
Ketersediaan talent sangat membantu kaderisasi kepemimpinan perusahaan.
Tetapi kadangkala perusahaan tetap melakukan prohire. Kenapa? Apa plus
minusnya promotion within dengan prohire?
Hire dari luar, sisi positifnya adalah darah baru menghasilkan pandangan baru. Menurut
saya, kalau perusahaan ingin melakukan perubahan lebih cepat, ambillah orang dari luar.
Kenapa orang dalam tidak bisa, karena orang dalam itu sudah sama-sama kenal, mereka
tentu tidak enak jika misalnya harus mengeluarkan karyawan lain yang bisa saja adalah
temannya sendiri. Perubahan yang cepat itu kan menyangkut kepada manusia. Akhirnya
tunggu dia pensiun saja.
Sementara bagi orang luar, darahnya lebih dingin. Dia hanya mengikuti petunjuk untuk
perubahan sehingga dia tidak akan dipusingkan siapa yang akan dia rubah atau harus
mengeluarkan orang atau tempatkan di posisi lain. Yang penting orang itu harus tetap
diperlakukan dengan baik. Sedangkan orang dalam, kendati dia lebih memahami nuansa-
nuansa hidup yang ada di dalam dan bisa melakukan gerakan untuk memotivasi orang,
namun tidak bisa dalam jangka waktu yang singkat.
Itulah kenapa Bank Mandiri mesti mencari Agus Martowardoyo. Karena dia tidak tending
aling-aling, koruptor langsung diselesaikan, nasabah nakal dipenjarakan. Pergantian
orang di level 1 dan level 2 setidaknya bisa mempercepat perubahan. Tapi bisa saja
pergantian di kedua level itu dilakukan, namun perubahan tidak jalan karena kontrolnya
tidak jalan. Sehingga perlu agen perubahan di setiap tingkat. Masalah lain adalah adanya
resistensi dari orang dalam terhadap orang luar.
Ada dua macam keahlian, hard skill dan soft skill. Keduanya harus dikembangkan oleh
perusahaan. Hard skill atau hal yang teknis contohnya seperti keuangan, operasi
produksi, dan sebagainya, sedangkan soft skill yaitu bagaimana dia memimpin dengan
baik, komunikasi dengan baik, berhubungan dengan baik, melakukan negosiasi dengan
baik dan sebagainya. Semua harus diberikan perusahaan agar karyawannya memiliki
keahlian yang lebih lengkap. Biasanya, semakin tinggi pangkat seseorang, maka yang
dilihat adalah soft skill-nya.
Perusahaan mana yang Anda anggap memiliki sistem talent management yang
cukup baik? Bagaimana indikatornya?
Sampai sekarang orang masih memuji-muji adalah Astra Internasional dan Caltex Pacific
Indonesia, karena kedua perusahaan tersebut punya komponen yang baik dalam sistem
talent management. Indikatornya, jelas mereka punya keempat komponen yang
sebelumnya saya sebutkan. Jadi, dari awal rekrutmen, mereka sudah menyiapkan kader
terutama mereka yang baru lulus kuliah dengan usia sekitar 25 tahun. Mereka bisa
melihat dengan jeli orang mana yang potensinya bagus dan sukses di masa depan.
Bank Niaga, Memburu Target Lima Besar
No. 19 - Oktober 2005
Talent Management (TM) yang diterapkan Bank Niaga merupakan bagian dari leadership
development. TM menjadi prioritas Bank Niaga karena beberapa hal. Pertama,
mewujudkan visi Bank Niaga yaitu masuk dalam lima bank terbesar di Indonesia dari segi
aset tahun 2007 mendatang. Karena itu, Bank Niaga tengah melebarkan sayapnya
dengan memperbanyak jumlah cabang dari 140 cabang menjadi 240 cabang Bank Niaga
pun tersebar di seluruh Indonesia. Kondisi yang demikian membuat Bank Niaga harus
kerja keras mencetak sumber daya manusia (SDM) yang handal untuk menempati posisi
yang ada di cabang baru tersebut dan mampu menjalankan pekerjaannya dengan baik.
Hal lain adalah banyaknya "pembajakan" SDM berkualitas Bank Niaga saat krisis moneter
terjadi sehingga banyak posisi eksekutif di Bank Niaga yang kosong kala itu. "Kami
menyadari bahwa petapa pentingnya leadership atau talent sehingga saat ada posisi
yang kosong bisa segera terisi," kata Awaldi, Vice President Human Resources
Management Group Bank Niaga.
Alasan lain Bank Niaga menggunakan pool of talent adalah trend perusahaan perbankan
di Indonesia kini beralih ke sistem tersebut. "Kami melihat kompetiter Bank Niaga juga
menggunakan sistem ini," tukasnya. Wajar pula karena sistem ini diakui Awaldi sangat
bagus dalam mencetak SDM yang bagus.
Dalam penerapan TM, langkah pertama adalah mendefinisikan core competency yang
menjadi requirement kritikal untuk mengisi posisi-posisi kunci. Langkah kedua melakukan
rekrutmen yang tepat sehingga mendapatkan calon talent yang diharapkan perusahaan.
dalam merekrut calon terbaik, Bank Niaga melakukan talent scouting, yaitu memberikan
beasiswa untuk mahasiswa unggulan tingkat akhir dengan ikatan dinas bekerja di bank
Niaga setelah lulus. Langkah keempat adalah culture initiation, yaitu memberikan
program pendidikan leadership development sekitar 8 bulan�- 1 tahun. Tahap kelima,
program identifikasi potential talent leaders atau dikenal dengan nama�- High Potential
Employee Development Program, dimana calon talent berhasil lulus dan masuk dalam
pool of talent. Program pengembangan yang diberikan perusahaan kepada para talent
lebih khusus dibandingkan karyawan lain. Berbagai pengembangan seperti training,
kursus singkat atau sekolah ke luar negeri dan sebagainya. "Yang jelas, para talent tidak
kami beritahukan bahwa mereka masuk dalam pool of talent. Mereka akan menyadari
setelah mereka mendapat bonus yang lebih besar dari karyawan lain dan mendapat
training yang lebih," tutur Awaldi panjang lebar.
Para talent yang masuk dalam pool of talent level satu dan level dua akan mengisi posisi
yang kosong satu tingkat level di atasnya. Jika ada posisi yang kosong di group head,
misalnya, maka manajemen perusahaan akan mencari talent di level division head. Saat
ini Bank Niaga mempunyai 40 talent di level satu dan 100 talent di level 2 yang tersebar
di 6 wilayah yaitu Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Indonesia Bagian Timur
dan Sumatera.
Untuk menjadi talent, Awaldi menjelaskan bahwa banyak faktor yang harus dimiliki
seorang karyawan. Setiap tahun karyawan akan dinilai kinerjanya dan punya program
kerja yang jelas. Karyawan juga dinilai kapasitas kemampuan, kompetensi, prestasi dan
lain-lain.
Karyawan yang sesuai dengan komponen talent, akan dimasukkan dalam pool of talent.
Pool of talent ini akan di-review per tiga tahun apakah talent tersebut tetap memenuhi
standar kualitas atau malah kualitasnya menurun. Jika menurun, maka ia akan digantikan
dengan karyawan lain yang lebih bagus.
Kesulitan yang dihadapi dalam mengimplementasikan TM di Bank Niaga adalah masih
adanya senioritas dari segi umur. Mereka yang umurnya lebih tua menganggap dirinya
lebih pantas menjadi talent kendati performance mereka kurang bagus. "Sekarang, yang
lebih muda umurnya bisa saja diangkat sebagai talent karena performance-nya bagus,"
tegasnya. Kendala lain adalah tidak semua talent khususnya kaum perempuan mau
ditempatkan di wilayah mana saja.
Bank Niaga boleh berbangga hati mengingat para eksekutif bank tersebut banyak dilirik
dan diminati oleh perusahaan lain. "Bank Niaga sekarang ini dikenal sebagai salah satu
bank penyuplai tenaga kerja yang bagus. Ini menjadi dasar keberhasilan kami," ujar
Awaldi tanpa bermaksud menyombongkan diri. Keberhasilan lain diakui Awaldi adalah
jajaran direktur di Bank Niaga sebagian besar masih dipegang oleh orang Indonesia
kendati bank tersebut sudah dibeli sahamnya oleh salah satu perusahaan dari Malaysia.
Artinya, semua karyawan di Bank Niaga berangkat dari bawah, lolos dalam rekrutmen
awal, berkiprah dan berprestasi di Bank Niaga.
Keberhasilan lain adalah dengan mudahnya manajemen Bank Niaga mengisi kekosongan
posisi jika ada salah seorang keluar karena pensiun atau tiba-tiba mengundurkan diri.
"Memang ada satu atau dua orang yang kami hire dari luar. Tapi biasanya untuk posisi
tertentu."
Talent Pool, Terbukti Unggul
No. 19 - Oktober 2005
Mendobrak sebuah sistem lama dan menggantikan dengan yang baru, bukanlah hal yang
mudah. Namun, sekali perubahan itu terlaksana, hasilnya akan sangat bermanfaat. Inilah
hal yang dilakukan BCA (Bank Central Asia).
Dalam melakukan proses suksesi, pada mulanya BCA menerapkan cara tradisional yaitu
succession tree. Setiap posisi first level manager ke atas memiliki 2-3 calon pengganti.
Saat posisi tersebut kosong karena berbagai sebab, maka salah satu dari 2-3 calon
tersebut akan mengisi posisi tersebut. Hal ini akan terjadi pula dengan posisi calon
pengganti tersebut. Ia akan digantikan oleh calon lain di bawahnya.
Sistem ini dinilai Michael Adryanto, Chief Manager Divisi Training dan Pengembangan
BCA, sangat merepotkan secara administratif.
"Begitu satu orang masuk dalam posisi yang kosong, maka kami harus segera mencari
penggantinya," ujar pengajar Program MM UI dan Prasetya Mulya Business School
tersebut.
Kemudian manajemen BCA sepakat menggantikan dengan sistem yang baru, talent pool,
sebuah sistem yang mengumpulkan para karyawan potensial, (talent). Setiap karyawan
potensial dikembangkan terlebih dahulu tanpa menetapkan dia akan menggantikan posisi
siapa kelak. Di setiap eselon, BCA memiliki talent pool. Sehingga, jika nanti ada posisi
yang kosong, maka akan dicari talent yang memenuhi syarat secara umum maupun
secara khusus. Dengan cara ini, BCA tidak lagi direpotkan oleh urusan administrasi.
Sistem talent pool mulai disusun dan diterapkan BCA sejak tahun 2000. "Kami
mempelajari sejumlah buku dan mengambil sarinya, seperti TheWar for Talent dan Grow
Your Own Leader. Tentu dengan menyesuaikannya dengan kondisi bisnis dan budaya
BCA," tuturnya. Sistem ini mulai berjalan secara penuh tahun 2001.
Pada tahap pertama sistem talent management di Bank BCA, manajemen perusahaan
akan membuat kualifikasi dasar sehingga seseorang termasuk talent: prestasi yang
mendukung, pengalaman, bakat atau potensi dan perilaku calon talent. Keputusan
apakah calon talent itu akan masuk dalam talent pool atau tidak ditentukan oleh panel
manajemen. Di level menengah, seperti cabang, panel manajemen beranggotakan
pemimpin wilayah, pemimpin cabang, divisi HR, dan divisi training & pengembangan.
Semakin tinggi levelnya, maka pemimpin cabang tidak akan diikutsertakan dalam panel
manajemen.
Sistem panel ini lebih obyektif karena melibatkan banyak pihak. Masukan untuk
pengambilan keputusan tidak hanya berasal dari pimpinan yang bersangkutan. Di level
menengah, jumlah anggota panel bisa mencapai 15-20 orang. Para pemimpin cabang di
wilayah tersebut ikut dalam keanggotaan panel manajemen. Pemimpin cabang harus
mempresentasikan anak buahnya yang direkomendasikan masuk ke dalam talent pool di
depan panel manajemen.
Para talent adalah karyawan yang memiliki potensi tinggi dan prestasi tinggi. Orang-
orang yang berpotensi tinggi namun prestasinya sedang-sedang saja (high valued
people) juga bisa dimasukkan ke dalam kategori talent. Fokus dari talentmemang kepada
potensi ketimbang prestasi. Mereka yang potensinya sedang-sedang saja namun
berprestasi tinggi tidak mungkin masuk talent pool. Alasannya, prestasi yang bagus itu
karena sudah lama menangani pekerjaan itu. Kalau orang itu dipindah ke tempat lain,
prestasinya belum tentu bagus.
Sumber utama talent pool adalah para Management Trainee, kendati mereka tidak
otomatis bisa masuk talent pool. Sekitar 1-2 tahun pendidikan dan ditempatkan, biasanya
sudah bisa ditentukan apakah Management Trainee itu sudah layak menjadi talent.
Sementara menentukan rekrutmen baru dengan jalur bukan Management Trainee,
setidaknya butuh waktu 3 tahun. Karyawan yang telah masuk talent pool tidak bisa
berleha-leha atau besar kepala (menurut Michael, mereka bisa tahu apakah termasuk
talent atau tidak). Kalau prestasinya menurun atau melakukan pelanggaran, para
karyawan itu bisa dikeluarkan dari talent pool. Sebaliknya, karyawan potensial lainnya
boleh masuk ke dalam talent pool bila memenuhi syarat. Kisaran usia para talent BCA
mulai dari 27 hingga 45 tahun.
Para talent mendapat perlakuan yang berbeda dalam hal pengembangan karir
dibandingkan dengan karyawan biasa. Jika karyawan biasa mendapatkan training agar
bisa mengerjakan pekerjaannya pada masa sekarang, maka para talent selain mendapat
training yang sama dengan karyawan biasa, mereka juga mendapatkan training atau
program pengembangan karir untuk masa yang datang. "Sampai satu titik mereka
mendapat promosi kenaikan jabatan, mereka akan mendapat lagi program
pengembangan karir yang sesuai dengan posisinya kelak minimal setahun sebelum
dipromosikan," ujar Michael lagi.
Sebagai contoh, seorang di bagian kredit harus pula mendapat training di bidang
pendanaan sebelum menjabat wakil kepala cabang. Mereka harus menguasai banyak
aspek di dalam operasional cabang, termasuk kemampuan soft skill macam
kepemimpinan dan komunikasi. Begitulah seterusnya saat ia menjejak karir yang lebih
tinggi.
"Ini yang membedakan dengan succession tree. Dulu kami mengangkat orang terlebih
dulu baru kemudian di-training. Sekarang di-training dulu baru diangkat," tutur alumni
Psikologi Unpad dan Prasetya Mulya ini.
Sementara dari sisi remunerasi, ia menambahkan bahwa para talent tidak mendapatkan
perlakuan khusus. Penghasilan pokok mereka sama dengan karyawan selevel. Tetapi,
kemungkinan untuk mendapatkan remunerasi yang lebih dari karyawan biasa bisa terjadi
karena mereka lebih cepat dipromosikan.
Ketika mengimplementasikan sistem ini tahun 2000 lalu, Michael mengaku mendapat
rintangan yang dianggapnya tidak mudah. Beruntung, saat ia dan timnya
memperkenalkan sistem ini kepada sebuah wilayah Bank BCA, para manajer dan
pimpinan di wilayah tersebut mau menerima dan menyadari bahwa cara tersebut
dianggap lebih obyektif. Sejauh ini, sistem talent pool jauh lebih unggul dari berbagai
sistem talent management lainnya.Hebatnya, BCA memiliki talentpool secara nasional
kendatipun mereka ditempatkan di 12 wilayah Bank BCA di seluruh Indonesia. Jumlahnya
sekarang sekitar 400 orang, atau sekitar 2% dari total karyawan Bank BCA yang
berjumlah 20.000 orang. "Ini sesuai dengan best practice global," katanya, sambil
menambahkan, "Jumlahnya bisa saja kelak mencapai 2,5% dari karyawan BCA." Artinya,
BCA tidak akan guncang bila para talent mereka dibajak oleh perusahaan lain.
Jurus Ganda Evaluasi Talent HSBC
No. 19 - Oktober 2005
Dalam penerapan sistem talent management ada dua cara penilaian yang dilakukan
HSBC. Pertama adalah penilaian karyawan melalui Balance Scorecard (BSc), untuk
mengetahui sejauh mana kinerja karyawan dari tahun ke tahun.
Proses kedua dalam menilai seorang talent adalah melalui development review (DR).
Proses DR diakui Endy P.R. Abdurrahman, Senior VP Human Resources HSBC, intinya
adalah memahami, mengembangkan dan memberikan dukungan bagi karyawan,
sehingga karyawan dapat memahami seluruh potensi yang ada dalam dirinya. "Untuk
mencapai kesuksesan pada posisi tertentu, HSBC memiliki pengembangan capability
framework (kerangka kemampuan) yang menggambarkan keterampilan dan perilaku
utama yang diharapkan ada pada diri pada asisten manager dan eksekutif," ujar Endy.
Menurut Fitri Dianasari, Performance Development Manager HSBC, perusahaan punya 6
capability cluster yang menjadi dasar bagi keseluruhan proses DR. Keenam cluster itu
adalah driving business vision & brand, commercial judgment, leading performance,
customer drive, working with others, dan drive, commitment & personal development.
Komentar atas capability cluster bertujuan untuk memberikan rangkuman hasil diskusi
antara anggota panel dan menonjolkan perilaku atau kemampuan spesifik dari individu.
"Karyawan akan diidentifikasi, apa kekurangan dan kelebihan karyawan. Lamanya
pengembangan tergantung pada kekurangan karyawan," jelas Fitri.
Proses yang terjadi dalam DR adalah self assessment, line manager assessment,
capability based interview, 360 derajat feedback, occupational personality questionnaire,
past performance data dan panel review. Data kinerja yang terdiri dari nilai DR, nilai
penilaian kinerja dan komentar assessment / development center akan dilihat per tiga
tahun, apakah ada perbaikan atau tidak.
Setiap karyawan akan dipanelkan sehingga dapat dievaluasi oleh perusahaan. Panel DR
terdiri dari minimal empat orang manager termasuk salah satu fasilisator dari HR,
manager lini dan/atau kepala departemen masing-masing divisi, satu orang manager
senior yang memiliki hubungan kerja dengan talent. "HRD sifatnya hanya memfasilitasi
diskusi panel ini untuk memastikan adanya konsistensi dari standar yang digunakan dan
ketepatan pengukuran yang digunakan antar fungsi dan departemen," paparnya.
Kemudian, setiap karyawan akan duduk bersama atasannya dan membahas hasil kinerja.
Setiap karyawan akan dibuatkan development plan-nya, apa saja yang harus dilakukan
karyawan misalnya buku apa saja yang harus dibaca, mengikuti kursus apa saja dan
sebagainya. "Untuk pengembangan karyawan tidak harus training ke luar negeri,"
ujarnya. Setiap tiga bulan sekali, HR akan mereview hasil kerja karyawan.
Hasil kerja karyawan akan dimasukkan dalam scope for growth yang terdiri atas 4
tingkatan. Di tingkat 1 dan 2, dianggap sebagai talent. Pada tingkat 3, karyawan
dianggap mampu bekerja tapi masih perlu dikembangkan lagi. Sedangkan pada tingkat 4,
karyawan sudah tidak punya scope untuk maju ke depan. "Di level ini, kami tinggal
memikirkan bagaimana proses managing out-nya," katanya.
Langkah selanjutnya, sambung Endy, adalah menyiapkan kembali development plan-nya.
Sebagai contoh, untuk posisi head of HR, perusahaan akan merencanakan dan
mengembangkan talent selama 5 tahun agar talent tersebut bisa siap dalam posisi
tersebut. Penempatan talent menjadi bagian dari proses managing talent dan succession
planning. Minimal ada tiga calon pengganti untuk sebuah posisi. Hingga kini, jumlah
talent yang ada di HSBC diperkirakan mencapai 15% dari total karyawan HSBC yang
jumlahnya sekitar 1.500 orang.
Adanya perbedaan dari sisi program pengembangan karyawan biasa dengan talent dan
dari sisi remunerasi diakui oleh Endy jelas ada. "Kalau program pengembangan dan
remunerasi talent dengan karyawan biasa tidak ada perbedaan, untuk apa masuk dalam
talent pool?" kata Endy balik bertanya. Namun, ia enggan membeberkan lebih jauh
seberapa besar perbedaan dari segi remunerasi.
Meski si talent tidak diberitahukan langsung bahwa ia masuk dalam talent pool, biasanya
para talent bisa mengetahui melalui kompensasi dan program pengembangan yang
diberikan pada dirinya.
�€œKualitas talent akan terlihat jelas kendati kami tidak memberitahukan mereka. Kami
tetap perlakukan mereka sama, semua orang mendapat kesempatan untuk
meningkatkan kualitas mereka,�€� tambah Fitri. Namun, untuk mencapai posisi
tertentu, tergantung dari masing-masing karyawan.
Tingkat keberhasilan penerapan sistem yang diterapkan lima tahun lalu ini menurut Endy
tidak bisa diragukan lagi. HSBC dianggapnya telah mencetak bibit-bibit unggul atau
tenaga kerja yang handal. Sebagai contoh, selama 16 tahun bekerja di HSBC, ia
merasakan HSBC selalu memotivasi dirinya untuk tetap bekerja di HSBC. Bahkan, untuk
posisi head of HR, Endy merupakan orang pertama lokal yang berhasil menduduki posisi
tersebut. "Sebelumnya, posisi ini diduduki oleh ekspatriat."
Contoh lain keberhasilan sistem ini adalah pengecilan jumlah ekspatriat di HSBC. Jika dulu
jumlah ekspatriat sekitar 30-40 orang per 600 karyawan HSBC, sekarang jumlah
ekspatriat hanya sekitar 15 orang per 1.500 karyawan. "Ini berarti talent lokal sudah lebih
baik," senyum Endy mengembang.

Pemetaan Talent Lautan Luas Tbk


No. 19 - Oktober 2005
Penerapan sistem talent management di Lautan Luas Tbk bertujuan mendapatkan tenaga
yang potensial dan handal yang bisa ditempatkan di Lautan Luas dan anak
perusahaannya, serta bekerja untuk jangka panjang atau long term.
Luas Tbk dimulai dari rekrutmen & seleksi, penilaian karya tahunan, coaching dan
konseling, training dan pengembangan karyawan dengan budaya dasar sebagai pondasi
organisasi. Pada tahap rekrutmen, menurut Tatiyana Sarif, Corporate HR Manager Lautan
Luas Tbk, penentuan uraian pekerjaan dan kompetensi yang diperlukan saat rekrutmen
dengan mudah dilakukan mengingat Lautan Luas Tbk menggunakan teknologi sistem
komputerisasi Human Resource Information System (HRIS). "Kami mengharapkan
karyawan yang loyalitasnya tinggi dan mau berkembang bersama," ujarnya.
Selanjutnya, tahap seleksi meliputi seleksi surat lamaran dan proses seleksi kandidat.
Untuk proses seleksi kandidat, menggunakan metode wawancara Targeted Selection -
Predict Future Behavior based on Future Behavior" yang mulai diterapkan tahun 2001 lalu
dan telah dilakukan training untuk seluruh manajer sehingga teknik dan konsepnya
seragam dalam organisasi. Dalam seleksi ini juga dilakukan kegiatan assessment oleh
internal tim HR. Selanjutnya diikuti kegiatan wawancara oleh unit kerja masing-masing
atau atasan langsung. Untuk karyawan yang baru bergabung, dilakukan orientasi singkat
tentang perusahaan, termasuk budaya dasar perusahaan.
Selama bergabung di perusahaan, dilakukan penilaian karya tahunan yang merupakan
bagian dari Performance Management. Setiap karyawan akan dinilai kinerjanya sehingga
karyawan & organisasi mengetahui spesifik program pengembangan individual yang
diperlukan. Hasil penilaian prestasi kerja dibahas dalam Board Of Directors meeting.
Untuk mendapatkan pengertian yang baik mengenai diri sendiri yang berpengaruh
kepada kualitas interaksi antar karyawan, diberikan pelatihan singkat mengenai
penerapan sistem Dominance Influence Steadiness Compliance (DISC). Alat tes yang
berbentuk inventori (kalimat-kalimat) yang bertujuan untuk membantu mengenali profil
atau gambaran kepribadian seseorang. Menurut Tatiyana, hasil laporan tes tersebut
terdiri dari 3 grafik yaitu grafik 1 adalah Mask (topeng), grafik 2 adalah Behavior under
pressure (tingkah laku di bawah tekanan) dan grafik 3 yaitu Self image / Mirror(gambaran
diri yang sesungguhnya). "Pada umumnya, yang menjadi pusat perhatian adalah grafik 3
karena memberikan informasi mengenai gambaran kepribadian yang sesungguhnya,"
ujarnya.
Manfaat lain dari DISC adalah karyawan dapat mengetahui identifikasi diri sendiri, team
building dan pengembangan karyawan. "Pada akhirnya, tujuannya untuk meningkatkan
prestasi kerja, meningkatkan rasa nyaman dalam pekerjaan," tambahnya lagi.
Karyawan juga akan diberikan coaching dan konseling dari atasan masing-masing
berkaitan dengan pekerjaan maupun sikap kerja yang diharapkan perusahaan serta
training.
Kriteria karyawan yang masuk dalam talent management, selain potensinya tinggi, juga
memiliki pengetahuan yang luas, prestasi yang baik, kompetensi yang sesuai dengan
yang diharapkan. Lautan Luas tidak menentukan parameter berapa lama seorang
karyawan bisa masuk dalam talent management. Ia menilai, untuk satu kondisi, jika
orangnya bagus, maka karirnya akan tertunda karena adanya parameter ini. "Bisa saja
satu atau dua tahun karyawan bisa langsung dipromosikan. Kenapa kita harus menutup
kesempatan ini?" katanya balik bertanya.
Bagi para talent, pengembangannya tidak hanya sebatas training saja, tapi juga
mencakup program rotasi karyawan dalam unit kerjanya maupun ke unit kerja lainnya
dan juga ke anak perusahaan. Kegiatan taskforce atau gugus tugas yang lintas unit kerja
atau gabungan beberapa karyawan dari unit kerja yang berbeda untuk projek tertentu
diharapkan bisa memperkaya pengetahuan talent dan bisa menguasai beberapa bidang .
"Apalagi kami ingin siapkan karyawan yang tidak hanya siap di Lautan Luas saja, tapi
juga di anak perusahaan Lautan Luas," tegas Tatiyana.
Untuk satu posisi, ia memperkirakan talent-nya hanya sekitar 2-3 orang. Saat ditanya
berapa jumlah talent yang dimiliki Lautan Luas, ia enggan berkomentar banyak.
"Prosentasinya minimal bisa mengisi kekosongan yang ada," ujarnya sambil tersenyum.
Saat ini, Lautan Luas Tbk memiliki karyawan sebanyak 600 orang dan total Lautan Luas
Group mencapai 2000 karyawan.
Meski menghadapi rintangan yang tidak mudah dalam mengimplementasikan talent
management, tetapi Lautan Luas Tbk sudah memiliki "peta karyawan". Sudah dilakukan
assessment untuk seluruh karyawan dan hasilnya dikomunikasikan pada tahun tersebut
secara one on one oleh konsultan. "Tujuan kami adalah ingin mempunyai peta lebih baik
terhadap seluruh karyawan yang ada dengan fokus untuk pengembangan karyawan,"
jelasnya panjang lebar.
Delapan Langkah Pemimpin Visioner
No. 19 - Oktober 2005
Seorang pemimpin visioner tidak terpaku pada keberhasilan masa kini, melainkan harus
bisa merancang strategi di masa depan. Bagaimana caranya ?
Para pengikut umumnya ingin pemimpin mereka menjadi seseorang yang berorientasi ke
depan, memiliki visi atau arah jangka panjang. Namun, perhatian yang cenderung
didedikasikan manajemen senior untuk membangun perspektif kolektif mengenai masa
depan sangatlah tidak mencukupi. Para pemimpin perlu menjadi proaktif dalam berpikir
mengenai masa depan, dan keharusan ini meningkat seiring dengan peningkatan ruang
lingkup dan besamya tanggung jawab mereka. Secara alamiah, semua peran
membutuhkan perhatian kepada saat ini dan masa depan; hanya perbandingan besar
perhatian antara keduanya saja yang beragam.
Ketika seorang pemimpin memiliki peran strategis seperti peran dimiliki oleh CEO,
presiden atau ilmuwan peneliti, orientasi waktunya akan lebih panjang dan ia akan lebih
berorientasi pada masa depan dibandingkan dengan pemimpin yang memiliki peran yang
lebih taktis. Contohnya adalah pengawas produksi atau manajer
operasional.sebagaimana aturan ibu jari, kita percaya bahwa sebagian besar pemimpin
perlu menetapkan tujuan bagi diri mereka, yaitu mengembangkan kemampuan mereka
melihat masa depan, setidaknya lima hingga tujuh tahun ke depan. Di tingkat yang lebih
senior, setidaknya sepuluh tahun ke depan, dan pemimpin eksekutif yang bertanggung
jawab atas keseluruhan organisasi di lingkup nasional maupun internasional harus
melihat lebih jauh dari dua puluh tahun ke depan.
Visi adalah refleksi dari kepercayaan dan asumsi dasar kita mengenai sifat alamiah
manusia, teknologi, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik, seni dan etika. Dua pemimpin
dalam satu organisasi mungkin memiliki pengalaman dan peluang yang serupa namun
mereka bisa saja memiliki visi mengenai masa depan organisasi yang berbeda. Mengapa?
Karena mereka mungkin bertindak berdasarkan premis atau logika yang berbeda, visi
mengenai cara kerja dunia yang berbeda.
Visi adalah penyataan mengenai tujuan, mengenai akhir dari usaha kita, karenanya visi
berorientasi pada masa depan dan direalisasikan dalam jangka waktu yang berbeda.
Mungkin dibutuhkan waktu tiga tahun dari saat kita memutuskan untuk mendaki gunung
sampai kita benar-benar mencapai puncaknya. Mungkin dibutuhkan waktu satu dekade
untuk membangun sebuah perusahaan, seabad untuk menumbuhkan pohon-pohon di
hutan, dan satu generasi untuk memberi kebebasan pada manusia.
Bagi para pemimpin sebuah komunitas yang memimpikan lingkungan yang sangat aman
dari kriminalitas sehingga anak-anak dapat kembali berjalan sendirian ke toko di pojok
jalan, aspirasinya mungkim membutuhkan waktu seumur hidup untuk dapat tercapai.
Initinya adalah bahwa para pemimpin harus berpikir mengenai masa depan dan mampu
memproyeksikan diri mereka mendahului waktu.
Peran visi yang paling penting dalam kehidupan organisasi adalah untuk memberikan
fokus kepada energi manusia. Untuk memungkinkan setiap orang peduli kepada
perusahaan sehingga dapat melihat dengan lebih jelas apa yang ada di depan mereka,
para pemimpin harus memiliki dan mengutarakan sebuah fokus.
Kebalikannya, bayangkan bagaimana perasaan Anda jika Anda harus melihat slide show
di saat proyektor yang digunakan tidak fokus dan gambar-gambarnya kabur, buram, dan
tidak jelas. Reaksi yang muncul sudah dapat diprediksi dari awal. Orang-orang
mengekspresikan rasa frustasi, tidak sabar, kebingungan, marah bahkan pusing. Mereka
menghindari situasi tersebut dengan menoleh ke arah lain. Ada pula yang berinisiatif
untuk mengatur fokus proyektor sendiri. Mereka tetap merasa terganggu karena orang
yang memegang tombol dan mestinya mengatur fokus tidak menjalankan tugasnya
dengan baik.
Tugas seorang pemimpin adalah menjaga agar proyektor tetap fokus, menjaga agar
keseluruhan gambar, yaitu keseluruhan tujuan atau visi organisasi jelas terlihat. Hal ini
memungkinkan orang untuk memiliki gambaran yang jelas mengenai seperti apa bentuk
masa depan, ketika semua orang telah menambahkan potongan-potongan gambar
mereka sendiri. Dengan pemikiran seperti itu, mereka dapat memberikan kontribusi
kepada keseluruhan gambaran tersebut secara efisien dan dengan rasa percaya diri.
Apakah Anda sedang memimpin departemen kecil yang beranggotakan sepuluh orang,
organisasi besar yang beranggotakan sepuluh ribu orang, atau komunitas beranggotakan
seratus ribu orang, visi bersama berfungsi untuk mengatur agenda serta memberi arah
dan tujuan kepada kelompok Anda. Sebagai seorang pemimpin, Anda harus melihat ke
masa depan dan kemudian menciptakan kondisi bagi yang lainnya untuk bersama-sama
membangun visi bersama – visi yang didasari oleh gambaran-gambaran ideal dan unik
mengenai masa depan bersama. Visi dapat bertahan selama bertahun-tahun dan
membuat kita tetap memfokuskan masa depan. Dan jika visi ingin dibuat menarik bagi
lebih banyak orang daripada hanya ditujukan bagi sebagian kecil orang, maka visi harus
memiliki daya tarik bagi mereka yang memiliki kepentingan di dalamnya.
Pemimpin yang memfokuskan lensa dapat menginspirasikan orang lain untuk terlibat
dalam usaha bersama. Beberapa langkah praktis berikut ini dapat membantu Anda
meningkatkan kapasitas untuk melihat masa depan dan menjadi terbuka terhadap
berbagai kepentingan:
1. Baca biografi seorang pemimpin visioner
Lihatlah daftar pemimpin bersejarah yang dikagumi. Pilih seseorang diantaranya untuk
Anda ketahui lebih jauh. Baca buku tersebut kemudian baca buku lain mengenai orang-
orang berikutnya yang ada dalam daftar Anda. Berikan perhatian khusus pada cerita
yang disampaikan oleh pemimpin yang Anda kagumi. Seorang pemimpin visioner tidak
akan menceritakan hal yang telah ada. Mereka senantiasa menciptakan cerita-cerita baru
yang dapat menjadi pelajaran praktis bagi kita semua.
2. Ingat masa lalu Anda
Para pemimpin yang memiliki batasan waktu terpanjang adalah mereka yang memahami
masa lalu mereka. Sebelum Anda mencoba menulis penyataan mengenai visi Anda,
lihatlah ke masa lalu untuk mendapatkan pesan-pesan kunci mengenai arah yang telah
Anda pilih dan masa depan yang Anda inginkan.
3. Tentukan sesuatu yang ingin Anda lakukan
Apakah Anda bekerja untuk melakukan sesuatu atau untuk sesuatu yang harus Anda
lakukan? Jika jawaban Anda adalah untuk melakukan sesuatu, maka ambil selembar
kertas dan tulis di bagian paling atas tentang apa yang ingin Anda capai. Kemudian buat
sebuah daftar mengenai semua hal yang ingin Anda raih dalam pekerjaan Anda. Untuk
setiap nomor, tanyakan pada diri sendiri mengapa menginginkan hal tersebut. Lakukan
terus menerus sampai Anda kehilangan alasan.
4. Tulis sebuah artikel mengenai bagaimana Anda telah membuat perubahan
The War For Talent
No. 19 - Oktober 2005
Keberhasilan perusahaan secara berkelanjutan sangat ditentukan sejauh mana mereka
mengelola karyawan potensial (talent management). Sayangnya, masih banyak
perusahaan yang memandang enteng masalah ini. Bagaimana rahasia sukses sebuah
talent management?
Judul tulisan ini memang sama persis dengan judul buku yang ditulis oleh trio konsultan
McKinsey & Company Ed Michaels, Helen Handfield-Jones, dan Beth Axelrod The War for
Talent (Harvard Business School Press 2001). Buku ini merupakan salah satu bacaan wajib
di dalam memahami dan menyusun manajemen karyawan potensial atau sering juga
disebut talent management. Kesamaan judul ini semata-mata didasari karena kami
sangat setuju terhadap pandangan ketiga penulis tersebut. Bahwa karyawan potensial
sangat menentukan keberhasilan perusahaan untuk jangka waktu yang panjang. Itu
sebabnya, perusahaan terkemuka berlomba mengelola dan, bahkan, memperebutkan
karyawan potensial. "Perang" pun tak terhindarkan.
Bagi perusahaan macam Citibank, Caltex, Unilever, Astra International, BCA, Bank Niaga,
dan Telkom, yang sering menjadi sumber utama pasokan manajer dan eksekutif di
Indonesia, manajemen karyawan potensial menjadi sangat kritikal untuk
mempertahankan kinerja perusahaan. Betapa tidak. Dalam periode setahun saja, 5-6
karyawan potensial mereka bisa pindah kerja atau dibajak oleh perusahaan lain.
Bayangkan bila hal itu terjadi untuk satu bagian tertentu saja. Alamat operasional
perusahaan menjadi lumpuh. "Hal semacam ini jelas tidak mereka inginkan," tukas Irham
Dilmy, Managing Partner Amrop Hever Indonesia, sebuah perusahaan executive search
global.
Manusia memainkan peran terpenting di dalam membangun, mengelola, dan
mengembangkan perusahaan. Mulai dari pemilihan fokus bisnis hingga menjadikannya
sebagai perusahaan hebat, manusialah yang melakukannya. Punya modal (financial
capita1) atau modal-modal lainnya, tanpa modal manusia (human capita1) sulit bagi
perusahaan untuk meraih sukses. Sebaliknya, faktor modal manusia bisa mempersatukan
modal-modal lain tersebut untuk mewujudkan keberhasilan perusahaan, seperti
ditegaskan oleh Dave Ulrich, Jack Zenger, dan Norm Smallwood dalam buku Result-Based
Leadership (Harvard Business School Press, 1999). Tak hanya itu. Modal manusia
merupakan satu dari sedikit modal organisasi yang bisa dikembangkan, meskipun di sisi
lain juga mudah dibawa pergi.
Peran penting dari modal manusia itu semakin meningkat di saat kita memasuki era
pengetahuan (knowledge era), abad informasi (information age), atau ekonomi kreatif
(creative economy) saat ini. Modal manusia menggeser modal finansial sebagai sumber
terpenting dari pertumbuhan dan kesejahteraan di dalam perekonomian. Sedikit contoh,
keberhasilan Cina yang luar biasa di bidang perekonomian dalam 2 dekade terakhir tidak
bisa dipisahkan oleh modal manusia tadi. Bangsa Cina dikenal ulet dan produktif dalam
bekerja. Kekuatan ini menjadi daya tarik bagi masuknya modal global ke dalam
perekonomian Cina sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat secara cepat.
Riset Watson Wyatt dengan judul Human Capital Index memberikan bukti betapa
perusahaan yang memiliki manajemen manusia berkualitas menghasilkan kinerja jauh
berlipat kali dibandingkan perusahaan dengan manajemen manusia rata-rata. Riset ini
dilakukan terhadap lebih dari 750 perusahaan publik terkemuka di Amerika, Canada, dan
Eropa dengan pendapatan atau nilai perusahaan minimum US0 juta. Riset ini
menunjukkan, perusahaan dengan manajemen modal manusia lebih baik berhasil
mencatatkan pertumbuhan kinerja laba lebih dari 3 kali lipat dalam periode lebih dari 5
tahun berturut-turut dibandingkan perusahaan dengan manajemen modal manusia
standar. Dan, esensi utama dari manajemen modal manusia itu, adalah manajemen
karyawan potensial (talent) yang menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini.
Savangnya, tidak banyak CEO (Chief Executive Officer) perusuhaarn yang menyadari hal
ini. Banyak CEO yang menganggap manajemen karyawan potensial adalah urusan bagian
HR (Human Resources). Banyak pula yang memilih untuk membajak atau merekrut saja
eksekutif dari perusahaan lain bila mereka membutuhkannya. "Ini jelas sebuah kekeliruan
terbesar," tukas Ed Michaels, Helen Handfield, dan Beith Axelrod.
Dari riset bertahun-tahun terhadap perusahaan terkemuka, mereka menyimpulkan faktor
yang membedakan perusahaan berkinerja tinggi dengan perusahaan yang biasa-biasa
saja bukan pada proses HR, melainkan keyakinan dasar perusahaan terhadap pentingnya
karyawan potensial. Mereka mengambil tindakan untuk memperkuat kumpulan karyawan
potensial (talent pool). Ketiga pakar manajemen itu mengingatkan pemimpin bahwa
manajemen karyawan potensial bukanlah sebuah proses HR formal, melainkan tentang
kepercayaan, keyakinan, dan tindakan mereka sebagai seorang pemimpin.
Dalam hal ini, mereka menegaskan, manajemen karyawan potensial adalah pekerjaan
setiap pemimpin: sebagai CEO, kepala divisi, manajer pabrik, kepala bagian, manajer
toko, kepala sekolah, ketua partai, dan sebagainya. Oleh sebab itu, talent harus menjadi
pola pikir (mindset) setiap pemimpin. Mereka harus bertanya seberapa kuat tim
kepemimpinan yang ada, dan apa saja upaya yang bisa dilakukan untuk
memperkuatnya?
Selain memperkuat tim, seorang pemimpin diharuskan untuk menjadikan manajemen
karyawan potensial sebagai sistem dari keseluruhan organisasi. Ia harus merasuk ke
dalam seluruh bagian organisasi. Ed, Helen, dan Beith mengidentifikasi 6 langkah atau
tindakan yang harus dilakukan seorang pemimpin agar pola pikir tentang talent ini
menyatu ke dalam organisasi.
Pertama, pemimpin harus menyusun standar karyawan potensial. Karena calon pemimpin
perusahaan, maka sebaiknya perusahaan menyusun standar tertinggi untuk menjadi
talent (Gold standard). Bisa saja seorang pemimpin meminta masukan dari bagian HR
dan bagian lain untuk menyusun standar ini, akan tetapi pemimpinlah yang akan
menetapkan standar akhir. Bilamana pemimpin senior tidak bisa menetapkan
karakteristik orang berkinerja tinggi, sulit mengharapkan manajer di bawahnya memiliki
standar talent dan kinerja.
Larry Bossidy adalah sedikit CEO yang langsung menetapkan sendiri definisi karyawan
potensial. Saat menjadi CEO AlliedSignal tahun 1991, Bossidy menyadari perlunya
meningkatkan kualitas para pemimpin pabrik. Sebelum memulai peningkatan kualitas
tersebut, ia menjelaskan jenis pemimpin yang dicari : seseorang yang bisa
memberdayakan, bukan pemimpin mikro; memimpin, bukan mengurus administrasi ; dan
mengerti teknologi, namun bukan orang yang bertindak sebagai teknisi.
Selama 2 tahun, AlliedSignal menggunakan profil ini untuk mengevaluasi 400 pimpinan
puncak produksi. Mereka yang lulus diberikan tugas tambahan. Dan, mereka yang belum
lulus, harus meningkatkan upayanya (kendati banyak juga yang tetap gagal). Dalam 2
tahun itu, perusahaan mengganti 200 dari 400 manajer produksi. Keberadaan talent ini
sangat membantu pemulihan bisnis (turnaround) kinerja perusahaan. Harga saham
AlliedSignal naik dari US menjadi US dalam kurun kurang dari 3 tahun.
Standar tinggi talent bisa sangat bervariasi. Ada yang sederhana seperti dilakukan oleh
Larry Bossidy di atas, namun ada juga yang membuatnya lebih kompleks mencakup 6-8
kompetensi (misalnya, kemampuan berpikir strategik dan komunikasi). Masing-masing
kompetensi dijabarkan secara detil deskripsi perilakunya antara orang yang berkinerja
ekselen, rata-rata, dan di bawah standar. Pembedaan atas 3 level kinerja ini sangat
penting.
Kedua, pemimpin haruslah terlibat penuh dalam setiap pengambilan keputusan tentang
manusia di dalam organisasi. Para manajer dan eksekutif merupakan aset utama
perusahaan sehingga mereka harus peduli terhadap manajemen karyawan potensial
tersebut. Kepedulian tersebut ditunjukkan mulai dari proses penyusunan standar,
perekrutan, pengembangan, dan retensi mereka.
Toh, tidak berarti pemimpin membuat seluruh keputusan terhadap orang 2-3 level di
bawahnya. Keterlibatan mereka cukup sebatas menjamin agar standar tinggi yang telah
disusun diterapkan secara konsekuen di setiap level. Mereka melakukan wawancara
kandidat finalis, mendengarkan opininya, dan menyerahkan pengambilan keputusan
kepada atasan masing-masing.
Ketiga, pemimpin melaksanakan sendiri proses peninjauan terhadap talent. Pemimpin
seringkali mengaku terlalu sibuk untuk meninjau ulang (review) kinerja karyawan
potensial. Seharusnya, pemimpin tidak mengabaikan hal yang savgat penting ini. Ia
harus mendorong proses diskusi tentang talent, dan hasil diskusi tersebut mempengaruhi
rencana kerja perusahaan tentang bagaimana memperkuat kumpulan talent di setiap
unit.
Saat menjabat CEO GE, Jack Welch menyediakan waktu 30 hari dalam setahun untuk
melakukan proses evaluasi karyawan potensial GE (terkenal dengan "Session C"), di
mana 20-50 General Manager (GM) berdiskusi dan menyusun rencana kerja. Proses ini
secara tajam melihat bagaimana ketersediaan talent berkaitan dengan prioritas bisnis
terpenting maupun kekuatan talent di retiap bisnis. Saat orang-orang khawatir tentang
keberlanjutan "Session C" pasca kepemimpinannya, Welch menunjuk pada proses
"Session C" sebagai bagian integral dari sistem operasional GE. Ia menegaskan, "Session
C" akan terus berjalan selepas masa jabatannya.
Keempat, pemimpin menanamkan pola pikir talent kepada seluruh manajer di dalam
organisasi. CEO tidak bisa menjalankan pekerjaan besar ini sendirian. Dia harus
menanamkan pola pikir yang sama kepada seluruh pemimpin agar talent management
yang bagus berlangsung di seluruh level. Setiap pemimpin dalam organisasi harus
memiliki pola pikir terhadap talent.
Caranya, CEO harus sering berbicara dengan pemimpin lainnya tentang berbagai isu
karyawan potensial dan dengar; menjadikan manajemen karyawan potensial sebagai
salah satu kompetensi kepemimpinan yang diutamakan perusahaan.
Kecuali itu, pemimpin harus menunjukkan pola pikir itu dalam perilaku. Jack Welch
bahkan memandang hal ini dengan berkata: "Tugas primer saya adalah memperkuat
talent pool. Maka, saya memperhatikan setiap pembicaraan, setiap rapat sebagai
peluang untuk berbicara tentang karyawan potensial GE, untuk mempelajari mereka, dan
untuk membantu mereka sesuai dengan prioritas. Begitulah cara kami menjalankan GE."
Kelima, pemimpin berinvestasi terhadap karyawan potensial. Oleh karena gaji, bonus,
dan benefit menekan laba perusahaan, banyak pemimpin yang enggan berinvestasi
secara agresif untuk membangun talent management. Hal ini terjadi karena perusahaan
tidak melihat semua pengeluaran itu sebagai investasi. Pemimpin dengan pola pikir
talent benar-benar melakukan investasi terhadap rekrutan baru dengan gaji lebih besar,
paket relokasi, bonus, dan berbagai benefit lainnya yang membantu pembangunan talent
pool yang kuat.
Jika hal itu berkaitan dengan upaya mendapatkan dan mempertahankan top talent, para
pakar menyarankan janganlah membatasi diri dengan aturan kompensasi lama. Bila
perlu, rombak atau tulis ulang aturan lama tersebut untuk mendapatkan orang terbaik
dari luar.
Keenam, pemimpin seyogyanya mau bertanggung jawab terhadap talent pool yang
mereka bangun. Talent pool sangat strategik bagi keberhasilan perusahaan sehingga
sudah sewajarnyalah pemimpin siap bertanggung jawab terhadap hal itu. Dari waktu ke
waktu, pemimpin harus mau mengevaluasi apa yang telah dikerjakan terkait talent pool
ini. Memang pengukurannya tidak mudah, tetapi banyak cara yang bisa dilakukan untuk
menemukan parameter pengukuran sesuai dengan visi, misi, objektif, dan strategi bisnis.
Demikianlah, manajemen karyawan potensial haruslah menjadi tugas utama dari seorang
CEO. Kebanyakan CEO sukses di Indonesia pun adalah orang-orang yang sangat peduli
dengan HR, khususnya manajemen karyawan potensial. Robby Djohan, umpamanya. Dia
meminta manajemen HR langsung berada di bawah kewenangannya. Dengan begitu, ia
bisa mempersiapkan kaderisasi kepemimpinan dengan terlibat penuh di dalam
mengevaluasi kinerja para pimpinan yunior. Juga dalam memilih pimpinan dari setiap
unit.
"Saat memimpin Bank Niaga, hal pertama yang saya lakukan saat meninjau kantor
cabang adalah melihat perilaku dan catatan kinerja kepala cabang dan jajarannya. Jadi,
saya tahu persis profil dan rekam jejak mereka," tuturnya kepada Human Capital
beberapa waktu lalu. Pernah suatu kali ia bertemu dengan staf di Cabang Medan yang
memiliki rekam jejak (track record) yang kurang baik. "Saya minta dia untuk mencari
pekerjaan lain di luar perbankan karena bank sangat menuntut kejujuran dan integritas.
Staf tersebut akhirnya keluar."
Karena begitu mengenal perilaku dan rekam jejak para kadernya, tak heran jika Robby
selalu merekomendasikan mantan anak buahnya untuk menduduki posisi eksekutif
perusahaan, termasuk BUMN bila diminta. Agus Martowardojo, kini Dirut Bank Mandiri,
adalah salah satu contohnya.
Telkom, Telkomsel, BCA, Niaga dan Indosat juga termasuk perusahaan yang memiliki
perhatian tinggi terhadap karyawan potensial. Mereka adalah market leader untuk
segmen bisnis tertentu sehingga karyawan mereka sering menjadi sasaran pembajakan.
Berkat talent pool yang kokoh, mereka tak harus guncang saat beberapa pimpinan
hengkang.
Kecenderungan umum, perusahaaan besar di Indonesia mulai menerapkan sistem talent
pool sejak beberapa tahun lalu, khususnya setelah krisis ekonomi. Lihat BCA, Bank Niaga,
atau PT Lautar Luas Tbk. "Sistem talent pool terbukti paling unggul," ujar Michael
Adryanto, Chief Manager Divisi Training & Pengembangan BCA.
Sama seperti BCA, Bank Niaga juga menerapkan sistem talent pool secara nasional,
meskipun para talent tersebut menyebar di seluruh wilayah Bank Niaga. "Dengan sistem
ini, suksesor pimpinan bisa berasal dari seluruh wilayah di Indonesia," kata Awaldi, VP MR
Management Group Bank Niaga. Ia menambahkan, biasanya pusat menentukan pejabat
di kantor cabang, tetapi cabang juga diberikan kebebasan menentukan apakah talent
tersebut sesuai dengan kebutuhan cabang atau tidak. Jumlah talent BCA mencapai 400
orang lebih dari total karyawan 20.000 orang dan Bank Niaga 150 orang dari 5.500 orang
karyawan.
Sistem talent management HSBC Indonesia telah diberlakukan sejak 5 tahun lalu.
Menurut Endy PR Abdurrahman, SVP HR, HSBC memberikan program training dan
kompensasi berbeda dengan karyawan biasa. "Kategori pasar kami P75, Remunerasi
talent di atas angka itu. Ini untuk memotivasi mereka," ujarnya didampingi Fitri Dianasari,
Performance Development Manager HSBC Indonesia. Saat ini, HSBC harus menyiapkan 15
orang kunci untuk menjalankan cabang Kelapa Gading yang segera dibuka.
Di luar sistem perbankan, PT Lautan Luas Tbk. termasuk perusahaan industri yang
memiliki talent management berkualitas. Seperti dikatakan Corporate HR Manager
Tatiyana Sarif, perusahaannya mulai mengelola talent sejak proses rekrutmen dan
pengembangan. "Kami harus siapkan kader pimpinan, tidak hanya siap di Lautan Luas
saja, tetapi juga di anak-anak perusahaan," tuturnya serius.
Beberapa praktik talent management di atas menunjukkan bahwa perusahaan Indonesia
pun mulai berpikir serius tentang faktor strategik ini. Bagaimana dengan perusahaan
Anda?
Mempertahankan Karyawan Terbaik
No. 19 - Oktober 2005
Keberhasilan perusahaan (manajemen) dalam mempertahankan karyawan terbaik yang
dimiliki tidaklah dicapai dengan cara yang mudah. Hal tersebut hanya dapat terjadi
berkat kepiawaian manajemen dalam memahami kebutuhan karyawan dan kemampuan
mereka untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif yang dapat membuat para
karyawannya merasa termotivasi secara internal.
Kebutuhan Karyawan
Salah satu teori motivasi yang banyak mendapat sambutan yang amat positif di bidang
manajemen organisasi adalah teori Hirarki Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham
Maslow. Menurut Maslow setiap individu memiliki kebutuhan – kebutuhan yang tersusun
secara hirarki dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkatan yang paling
tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling rendah telah terpenuhi maka akan
muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi. Pada tingkat yang paling bawah, dicantumkan
berbagai kebutuhan dasar yang bersifat biologis, kemudian pada tingkatan yang lebih
tinggi dicantumkan berbagai kebutuhan yang bersifat sosial. Pada tingkatan yang paling
tinggi, dicantumkan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.
Dalam perusahaan kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas diterjemahkan sebagai berikut:
Kebutuhan fisiologis dasar: gaji, makanan, pakaian, perumahan dan fasilitas-fasilitas
dasar lainnya yang berguna untuk kelangsungan hidup pekerja.
Kebutuhan akan rasa aman: lingkungan kerja yang bebas dari segala bentuk ancaman,
keamanan jabatan/posisi, status kerja yang jelas, keamanan alat yang dipergunakan.
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi: interaksi dengan rekan kerja, kebebasan
melakukan aktivitas sosial. kesempatan yang diberikan untuk menjalin hubungan yang
akrab dengan orang lain.
Kebutuhan untuk dihargai : pemberian penghargaan atau reward, mengakui hasil karya
individu
Kebutuhan aktualisasi diri : kesempatan dan kebebasan untuk merealisasikan cita-cita
atau harapan individu, kebebasan untuk mengembangkan bakat atau talenta yang
dimiliki
Mengingat bahwa setiap individu dalam perusahaan berasal dari berbagai latar belakang
yang berbeda-beda, maka akan sangat penting bagi perusahaan untuk melihat apa
kebutuhan dan harapan karyawannya, apa bakat dan keterampilan yang dimilikinya serta
bagaimana rencana karyawan tersebut pada masa mendatang. Jika perusahaan dapat
mengetahi hal-hal tersebut, maka akan lebih mudah untuk menempatkan si karyawan
pada posisi yang paling tepat, sehingga ia akan semakin termotivasi.
Tentu saja usaha-usaha memahami kebutuhan karyawan tersebut harus disertai dengan
penyusunan kebijakan perusahaan dan prosedur kerja yang efektif. Untuk melakukan hal
ini tentu bukan perkara yang gampang, tetapi memerlukan kerja keras dan komitmen
yang sungguh-sungguh dari manajemen.
Lingkungan Kerja Kondusif
Semua karyawan memiliki kebutuhan untuk mengungkapkan diri, ingin diterima sebagai
bagian dari “anggota keluarga/perusahaan”, ingin dipercaya dan didengar kata-katanya,
dihargai oleh manajemen dan bangga terhadap apa yang dikerjakannya. Melalui
komunikasi dua arah ( termasuk rapat / meeting ) pihak manajemen dapat
mengidentifikasi hal-hal tersebut sekaligus menginformasikan tentang tujuan-tujuan
perusahaan, target market dan rencana masa depan lalu mendorong karyawannya untuk
memberikan feed back.
Pihak manajemen juga harus belajar bagaimana membentuk “budaya perusahaan” dan
lingkungan kerja yang kondusif. Hal ini hanya dapat dicapai melalui praktek kemanusiaan,
keadilan bagi semua, struktur karir yang jelas, program pelatihan dan pengembangan
yang terpadu, dukungan peralatan kerja yang memadai, penilaian kinerja yang objektif,
program “reward” yang tepat, gaji dan tunjangan yang memadai serta kegiatan-kegiatan
lain yang diadakan oleh perusahaan.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah karyawan perlu mengetahui bahwa pihak
manajemen mengakui kehadiran mereka, sadar akan arti penting karyawan bagi
perusahaan, para manajer mampu mengingat nama-nama bawahannya, dan tidak segan
menyapa mereka. Manajer yang gagal mengingat nama bawahannya atau tidak
merespon ketika disapa oleh bawahan akan membuat karyawan kehilangan motivasi
kerja, kurang loyal dan kurang kepercayaan pada manager tersebut. Para manager dapat
memperoleh loyalitas dan kepercayaan dari bawahannya jika ia memperlakukan
bawahannya sebagai “mitra kerja”, menunjukkan kepedulian yang tinggi, mau
mendengarkan saran dan keluhan dan mau saling berbagi pengalaman.
Akhirnya tinggal satu pertanyaan yang harus dijawab para manajer: mungkinkah untuk
melakukan hal-hal tersebut di perusahaan Anda. Dengan perencanaan yang matang dan
niat baik yang didasari kepedulian akan pentingnya kualitas hidup setiap orang dalam
perusahaan, saya yakin para manajer akan dapat melakukannya.
Sumber: Majalah Human Capital No. 19 | Oktober 2005
BUMN dan Pembenahan SDM
No. 19 - Oktober 2005
Jika kita mengikuti perkembangan berita di media beberapa bulan belakangan ini,
tentulah masalah kurs dollar dan masalah BBM yang sangat memberatkan rakyat sangat
mendominasi berita-berita di seluruh media di Indonesia.
Selanjutnya kita dikejutkan dengan adanya penyelundupan minyak di perairan
Kalimantan Timur dan disinyalir diberbagai perairan di tanah air di tengah-tengah situasi
terjadinya antrian panjang rakyat kecil yang akan membeli minyak tanah untuk
menyambung kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Belum lepas keterkejutan kita
mengenai BBM kita dikejutkan lagi dengan berita mengenai kecelakaan pesawat Mandala
di Medan yang mengakibatkan korban ratusan penumpang yang membawa perdebatan
panjang mengenai pengelolaan bandara di Indonesia.
Satu benang merah yang menghubungkan berbagai kejadian strategis di Indonesia
adalah bahwa semua perusahaan-perusahaan strategis ndonesia tersebut dikelola oleh
perusahaan-perusahaan BUMN kita dan jika kita menilik lebih jauh lagi ke belakang maka
semakin banyak hal-hal dan kejadian-kejadian strategis yang mewarnai kehidupan
bangsa Indonesia mulai dari masalah Bulog, Jamsostek, PLN dan banyak lagi.
Mungkin tidak semua. dari pembaca menyadari bahwa BUMN kita yang dikelola oleh
manajemen BUMN di bawah kementrian BUMN menguasai dan meliputi hampir seluruh
hajat hidup rakyat Indonesia yang mencakup sektor-sektor penting bagi kehidupan
bangsa. Coba kita berhenti sebentar dari melakukan aktivitas kita dan mencoba
merenung kekayaan bangsa yang berjumlah lebih kurang 200 triliun rupiah tersebut yang
tersebar dalam 186 BUMN dalam klasifikasi kelompok-kelompok BUMN sebagai berikut:
•��� Bidang usaha keuangan, jasa konstruksi, dan jasa lainnya
•��� Bidang usaha logistik dan pariwisata
•��� Bidang usaha agroindustri, kehutanan, kertas, percetakan dan penerbitan.
•��� Bidang usaha pertambangan, industri strategis, energi, dan telekomunikasi
Dari pengelompokan di atas kita dapat melihat bahwa pengaruh buruk yang dapat timbul
dari pengelolaan BUMN kita dapat berdampak besar terhadap kondisi bangsa kita. dan
sejauh ini kebanyakan pakar-pakar kita hanya membahas masalah-masalah ekonomi, dan
privatisasi BUMN yang lebih diarahkan kepada langkah-langkah privatisasi secara
bertahap dan kemungkinan dapat meninggalkan bom waktu mengenai masalah
pengelolaan SDM. Masalah-masalah yang ada di BUMN adalah seperti gunung es yang
pada salah satu dasar yang tersembunyi bersumber kepada masalah pengelolaan SDM
yang kurang tepat dan membutuhkan penanganan yang cepat.
Kelemahan-kelemahan Manajemen SDM BUMN : Tantangan dan
Penanggulangan Masalahnya
Hal utama yang mudah untuk disadari bahwa untuk ukuran perusahaan besar yang
kelasnya multinasional, BUMN kita memiliki banyak kelemahan seperti diantaranya
adalah : tidak memiliki SDM dengan kompetensi yang memadai, tidak memiliki size atau
besaran SDM yang tepat, tidak memiliki sistem prosedur dan monitoring kinerja yang
tepat, tidak memiliki budaya kerja yang tepat, dan tidak memiliki leadership yang tepat.
Hal itu semua tidak terlepas dari kesadaran pemerintah sebagai shareholder yang meski
berganti Presiden dan Menteri belum mampu untuk mengelola dan bertindak professional
untuk membenahi masalah BUMN. Sejauh apapun usaha yang dilakukan dengan
deregulasi, penataan prosedur, privatisasi atau sistem IT development yang canggih
tidak ada pihak yang akan mampu membenahi BUMN Indonesia jika tidak memulai dari
pembenahan aspek SDM-nya.
Setidaknya ada tiga komponen utama yang diperlukan untuk menunjang suksesnya
suatu perusahaan yaitu SDM-nya harus memiliki mindset (pola pikir serta mental) yang
sesuai, memiliki skill dan kompetensi yang sesuai, serta memiliki perilaku atau behaviour
yang sesuai. Manajemen SDM yang ada pada BUMN-BUMN kita dan juga pemerintahan
kita adalah gaya manajemen warisan penjajahan. Belanda yang secara mudah kita lihat
dari refleksi pola organisasi, pola sistem manajemen SDM, dan pola pengambilan
keputusan yang bercermin kepada manajemen SDM gaya ”personalia” yang berfokus
kepada pengaturan perilaku. Sedangkan yang dihadapi oleh Indonesia sekarang adalah
masalah persaingan global, masalah perubahan-perubahan baik dari sisi IT maupun
world best practices yang membutuhkan adapatasi-adaptasi dan antisipasi yang luar
biasa cepat.
Seberapa BUMN sudah mencoba merubah aplikasi manajemen SDM-nya�
mempergunakan pendekatan-pendekatan baru dengan mencoba mensinergikan dengan
aktivitas perbaikan proses kerja dan meningkatan kualitas layanan, akan tetapi
penerapan manajemen SDM tersebut kebanyakan bersifat sangat partial dan lebih
bersifat aktivitas dan seringkali tidak melihat dari berbagai sudut manajemen SDM yang
menyeluruh.
Maka sudah selayaknya pemerintahan Presiden SBY mendahulukan membangun blue
print SDM Indonesia terutama blue print SDM di BUMN-BUMN Indonesia. Hal ini sudah
tidak dapat ditunda-tunda lagi, mengingat BUMN Indonesia mengatur hampir 1,200
trilyun rupiah aset rakyat Indonesia yang dipercayakan kepada pemerintah. Jika
pemerintah terus menerus hanya menyentuh dari aspek finansial, regulasi dan privatisasi
tanpa diikuti pembenahan manajemen SDM maka hal-hal yang sama yang merugikan
akan terus menerus terjadi. Mengenai bagaimana bentuk pengelolaan organisasi yang
tepat bagi BUMN kita masih dapat dan layak untuk diperdebatkan mulai dari holding
organization hingga sectoral organization yang pada ujungnya akan terbentur lagi kepada
kesiapan SDM kita untuk mengelola BUMN kita menjadi world class organization.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat diterapkan pemerintah dalam
pembenahan SDM BUMN: Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah
mensinergikan bisnis antar BUMN untuk meningkatkan efisiensi. Hal ini mencakup sinergi
antar BUMN hingga melakukan merger, akuisisi atau sinergi antar BUMN, contohnya
merger antar Angkasa Pura, Pelindo, Perkebunan, Penerbangan, Semen dan lain lain.
Sinergi juga memungkinkan untuk saling lebih melengkapi antar kompetensi organisasi
dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah efisiensi. Pembuatan grand strategi BUMN
serta pendalaman aspek-aspek sinergi menjadi hal yang penting untuk didalami, dan di
dalam proses ini pemetaan BUMN strategis dan non strategis serta pola kontribusi
kepada APBN dengan mempertimbangkan banyak aspek menjadi titik yang penting untuk
dilakukan (suatu hal yang mestinya sudah dilakukan pemerintah).
Kedua, BUMN perlu memetakan SDM-nya diseluruh Indonesia dengan melakukan
assesmen secara terpadu dan secara gradual mengurangi jumlah SDM-nya untuk
disesuaikan dengan level produktivitas di setiap BUMN, hal ini akan luar biasa sulit untuk
dilakukan, akan tetapi sepahit apapun hasilnya, ini adalah hal yang harus menjadi
prioritas untuk dilakukan dengan tetap memperhatikan koridor-koridor UU
ketenagakerjaan dan memberikan solusi-solusi penyaluran tenaga kerja dalam
pembinaan usaha terpadu antar BUMN.
Ketiga adalah pembenahan kompetensi SDM BUMN, dengan mendalami kompetensi inti
(core competency) dari masing-masing BUMN dan melakukan sinergi outsourcing, atau
bentuk partnership untuk kegiatan non core competency. Pembangunan dan
pembenahan mental dan spiritual penting untuk ditanamkan untuk membentuk karakter
leadership yang handal bagi pemimpin-pemimpin BUMN Indonesia. Penulis sangat
menyadari bahwa karena aspek strategisnya, BUMN kita banyak sekali diwarnai
kepentingan-kepentingan politik Indonesia namun memasuki era reformasi dan
keterbukaan maka pemilihan pemimpin-pemimpin BUMN dapat dikompetisikan secara
transparan dengan melibatkan pihak-pihak independen melalui beberapa tahapan fit and
proper yang lebih transparan dan profesional.
Akhirnya sudah waktunya kita semua ikut membantu pemerintah untuk ikut memikirkan
pembenahan BUMN kita dan secara lebih kritis mengawasi perkembangan BUMN-BUMN
kita. Semoga bukan hanya sekedar impian jika kita mengharapkan BUMN kita mampu
sehebat BUMN negara-negara tetangga kita yang kekayaan dan potensi negaranya jauh
di bawah negara Indonesia yang kita cintai.
Sumber: Majalah Human Capital No. 19 | Oktober 2005
Implementasinya di Perusahaan
No. 18 - September 2005
Meski belum menjadi mitra bisnis strategic, bagian HR di Bank International Indonesia,
Mulia Group, Accenture, dan Indosat sedang bertransformasi menuju kondisi ideal
tersebut.
HR BII Mewarnai Strategi Bisnis
Dalam mencapai objektif tersebut, bii mempunyai 4 strategi bisnis ; pertama, fokus
kepada bisnis, tahu mana yang paling untung dan mana yang tidak ; kedua, fokus kepada
infrastruktur bisnis dan teknologi, termasuk prosedur dan sistem ; ketiga, fokus kepada
HR dan penyelarasan organisasi untuk mendukung pencapaian bisnis tadi; keempat,
menggunakan sumber daya seefektif dan seefisien mungkin.
Jelas, HR merupakan satu pilar bisnis terpenting bii Sebelum 2002, saat masih dimiliki
keluarga Widjaja, HR bii dipimpin oleh orang bisnis, bukan oleh praktisi HR. Ini
menyebabkan 1999-2000 banyak sekali demo dan ketidakpuasan karyawan yang terjadi
di bii. Cara mengelola orang waktu itu begitu sederhana. Orang direkrut dan dimasukkan
ke dalam MDP (Management Development Program). Disuruh jualan sukses dan langsung
jadi pemimpin. Begitu seterusnya. Tanpa dibekali kemampuan mengelola orang.
Akibatnya, sukses di bisnis tapi gagal menciptakan hygienic factor dalam mengelola SDM.
Oleh sebab itu, ketika pertama kali masuk 2002 dan diberi tugas menangani HR, langkah
pertama Sukatmo adalah merekrut orang-orang murni HR, jumlahnya 4 orang - termasuk
kepala dan wakil kepala divisi. Sukatmo sendiri memiliki latar belakang bidang bisnis
bank sejak 1980, termasuk manajemen risiko, dan hanya mengenai manajemen HR saat
mengambil program MBA. “Kami butuh orang yang mengerti mengelola,
mengembangkan, memberikan imbalan, retensi, dan seterusnya,” tuturnya,
Menurut Sukatmo, orang HR tidak mesti mengerti bisnis secara mendetil, cukup secara
umum saja. Biasanya mereka sudah punya konsep penyelerasan antara manajemen HR
dengan visi, misi dan strategi perusahaan. Itu sebabnya, mereka selalu dilibatkan dalam
perumusan dan implementasi strategi bisnis. Mereka pun diminta memberikan pendapat
dalam setiap proses bisnis strategik, misal menyuarakan sistem penilaian kinerja dan
insentifnya. Dalam merekrut, bagian HR mendefinisikan perilaku kompetensi, sedangkan
aspek kompetensi teknikal ditangani bagian bisnis. Di sini orang HR bisa berkontribusi
besar, termasuk dalam proses job grading dan penyusunan profil kompetensi yang
tengah berjalan. Selain itu, bagian HR juga diserahi mendidik para line manager – sebuah
kewenangan sekaligus kepercayaan besar bagi bagian HR.

Mulia Group : Bersiap Jadi Mitra Bisnis


Menyongsong era human resource (HR) sebagai strategic partner. Muiia Group mulai
berbenah dan melakukan persiapan-persiapan. Tinggal menunggu body language dari
top eksekutif perusahaan hingga divisi HR Mulia Group bisa berdampingan dengan top
eksekutif dalam melakukan formulasi strategi bisnis perusahaan dan
mengimplementasikan.
Praktisi HRyang ada saat ini di Indonesia dinilai Lukman Kristanto, Human Resources
Director Property Group Mulia, masih sibuk dan tenggelam dengan masalah administrasi.
Padahal, meski administrasi HR menyita banyak perhatian, tapi link-nya itu harus
diarahkan ke bisnis. Sebagai contoh, over time. Orang HR tahunya hanya menghitung
biaya lembur. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya itu sangat memberikan kontribusi
terhadap kompetisi sebuah perusahaan. Karena itu, orang HR sebaiknya jangan mulai
dari apa yang HR kerjakan, tapi apa yang HR buat. Ibarat pohon, jika orang HR hanya
mulai dari apa yang dia kerjakan, maka dia hanya tahu menanam pohon saja,tidak tahu
buahnya seperti apa. “Harusnya orang HR berusaha mencari cara bagaimana
menggemukkan buahnya,” kata Lukman antusias.
Seorang HR diakuinya haruslah memiliki misi yang visible, credible, dan value added.
Artinya, HR harus bisa melihat situasi, memberikan kredibilitas yang baik kepada
perusahaan. Orang HR juga harus memberikan nilai tambah terhadap bisnis dengan cara
servis yang lebih baik.
“Jangan membunuh over time karyawan. HR hanya akan tahu karyawan-karyawan yang
butuh uang kalau menekan over time, tapi tidak tahu masalahnya dimana. Bisa jadi
pimpinannya yang kurang bagus,” paparnya panjang lebar.
Sedangkan karakteristiknya adalah harus mempunyai kualitas, tepat waktu, konsisten,
komitmen, akurat, up to date, proaktif dan obyektif. "Karakteristik itu adalah poin-poin
yang harus dikembangkan HR,” lontar Lukman yang menerapkan strategi HR ni di Mulia
Group sejak pertengahan tahun 2004 lalu.
Ada tiga hal utama yang harus dimiliki orang HR yaitu tingkat pengetahuan terhadap
bisnis, keuangan dan mutu atau kualitas. “Bisnis knowledge harus dikuasai 100%, tidak
boleh ditolerir lagi.” Masalah keuangan juga menjadi fokus utama karena orang HR juga
harus mengetahui keuangan yang ada di perusahaan. Apakah perusahaan sedang rugi
atau untung. Sementara kualitas bisa didapat dengan berbagai hal seperti mempelajar i
teknologi yang baru dan sebagainya.
Ia mencontohkan, di Mulia sendiri mencoba membuat absensi karyawan tidak lagi
sekedar ada atau tidak ada karyawan. Namun dibuat dalam bentuk produktivitas rasio.
“Ini bagian dari strategi HR agar bisa menjalankan fungsinya sebagai mitra bisnis bagi
perusahaan,” paparnya.
Contoh lain, tempat parkir di Mulia Group kini dibuat lebih mudah bagi para pekerja atau
para eksekutif yang memiliki kendaraan, Selain tempat parkir yang luas, divisi HR juga
menempatkan orang-orang yang mengetahui titik-titik di mana ada tempat parkir
kosong, kemudian diakses ke komputer. “Ini nilai tambah buat kecepatan. Kan ada
gedung perkantoran yang tempat parkirnya susah atau antri sehingga bisnis mereka jadi
terhambat,” jelas Lukman seraya memaparkan bahwa yang harus memberikan nilai
tambah adalah orangnya, bukan organisasinya.
Untuk masuk dalam era HR menjadi strategic partner, Lukman dan divisinya sedang
menyiapkan formulasinya. Untungnya, divisi HR Mulia didukung penuh oleh manajemen
Mulia Group. "Manajemen Mulia Group menuntut tinggi HR mereka bisa duduk
berdampingan. Orang bilang, tangan kanan perusahaan. Bukan jadi penumpang bis yang
duduk di belakang dan cari yang paling aman,” aku Lukman lagi. Ia pun sudah
menyiapkan beberapa divisi yang sudah siap menyambut era tersebut. Begitu divisinya
melihat body language dari perusahaan muncul, orang-orangnya bisa mulai bekerja.
“Kami harus proaktif, tidak harus menunggu komunikasi dengan top eksekutif. Begitu top
eksekutif siap membuka bisnis baru, kami siap,” jelasnya.

Accenture : Posisi HR Sangat Strategis


Perusahaan yang bergerak di bidang jasa secara umum memiliki ketergantungan dengan
manusia sangat tinggi. Tak heran jika Accenture menjadikan manusia sebagai bisnis inti
perusahaan tersebut. Karena itu, tidak ada pemisahan antara manajemen dan human
resource (HR). HR menyatu dengan manajemen.
Perhatian Accenture terhadap divisi keuangan, divisi penjualan atau HR, sama besar
porsinya. Menurut Julianto Sidarto, Country Managing 0irector Accenture, jika HR tidak
jalan, maka tidak ada jasa yang bisa dijual kepada organisasi lain. "Perusahaan kami
adalah perusahaan jasa. Jadi, yang ‘dijual’ adalah manusianya, bukan barang atau produk
nyata," ungkapnya. Penjualan jasa manusia diakui Jul – sapaan akrabnya – sangat
bergantung terhadap kemampuan atau kualitas dan kultur manusia. Divisi keuangan,
pemasaran atau penjualan, sangat tergantung dari kehandalan manusia. Ia menegaskan,
Accenture akan sama khawatirnya jika penjualan jasa Accenture berkurang dengan
keluarnya salah satu karyawan Accenture.
Fungsi HR akan menjadi pendukung jika HR hanya dilihat sebatas – tools saja. Padahal,
bicara tentang HR, Jul menekankan bahwa HR bukan hanya sebatas orang HR saja, tapi
semua sumber daya manusia (SDM) yang ada di perusahaan tersebut. Sehingga, banyak
praktisi HR mengatakan bahwa fungsi HR lebih ditekankan ke lapangan. Artinya, orang
HR yang tidak terjun ke lapangan harus tetap terhubung dengan orang lapangan agar
bisa mengerti dan memahami kondisi di lapangan.
Selain itu, Accenture tidak melihat HR sebagai departemen. Mindset Accenture SDM
adalah aset penting bagi perusahaan sehingga seorang karyawan akan dilihat
kontribusinya di perusahaan. Kemudian kemampuan manusia yang sudah ada harus
dibangun agar kontribusi orang tersebut meningkat. Untuk meningkatkan kemampuan
seseorang, dibutuhkan kehandalan orang HR, kompetensi tambaha apa yang harus
diberikan kepada manusia agar kemampuannya bertambah sehingga produktivitasnya
meningkat dan perusahaan memperofeh profit. Orang HR juga harus tahu, siapa saja
yang membeli jasa, membeli jasa berdasarkan apa dan sebagainya.
Banyak kalangan berpendapat bahwa untuk perkembangan sebuah perusahaan, justru
manusialah yang harus diubah, bukan merubah yang lain seperti sarana dan prasarana.
Menurutnya, merubah yang lain juga tidak akan membantu. “Perusahaan yang bisa
menghubungkan fungsi HR-nya dengan bisnisnya adalah perusahaan yang akan sukses
menjalankan program-progamnya.”
Fungsi HR adalah menerjemahkan keinginan perusahaan masing-masing. Misalnya,
apakah divisi HR perlu SDM yang bisa menjual produk lebih baik atau produktivitasnya
lebih tinggi. Divisi HRjuga harus membuat program, program HR seperti apa yang
diperlukan, karakteristik orang apa yang dibutuhkan, bagaimana cara mengembangkan
kemampuan orang itu dan lain-lain. Di samping itu, juga dikaitkan dengan sistem
penilaiannya, sistem penggajian dan bonusnya.

Indosat : HR Sebagai Agen Perubahan


Divisi human resource (HR) di Indosat hingga kini sudah berada dalam tahap peningkatan
performance karyawan. Yang bererti, setiap karyawan dituntut untuk meningkatkan
kontribusi mereka kepada perusahaan sehingga perusahaan bisa menjadi market leader.
Namun, bukan berarti peran HR Indosat hanya cukup sampai di sini. Menurut S. Wimbo S.
Hardjito, Indosat sudah mulai memikirkan peran HR sebagai change agent atau agen
perubahan. Sebagai contoh, saat ini Indosat sedang mempersiapkan beberapa kantor
baru yang berlokasi di Jawa dan luar Jawa. Indosat menempatkan agent of development
untuk melakukan survei. “Tapi untuk menyiapkan orang-orang yang siap bekerja di kantor
tersebut, itu yang belum jalan," papar Wimbo saat ditemui HC di kantornya.
Seorang HR, sambung Wimbo, harus mengerti core business perusahaan dan mengetahui
kebutuhan di lapangan seperti apa. Kendati hingga kini divisi HR di Indosat sudah ikut
membantu dalam pengambilan keputusan, tapi belum sampai ke tahap strategic partner,
misalnya mengantisipasi bisnis perusahaan ke depan. Alasannya, bisnis di dunia
pertelekomunikasian itu gampang berubah-ubah dalam waktu singkat. Jika dulu
perusahaan telekomunikasi core business-nya lebih ke arah selular, kini sudah fokus ke
teknologi informasi.
“Begitu kami persiapkan orang-orang handal di selular, eh malah berubah lagi,” ujar
Wimbo sambil tertawa. Secara pribadi, Wimbo menekankan bahwa divisi HR di Indosat
belum perlu menjadi strategic partner. Artinya, bisnis telekomunikasi untuk ke depan
sangat sulit� dipastikan. “Cukup jadi pendamping bisnis saja,” imbuhnya. Divisi HR
cukup mengikuti top eksekutif dalam melakukan formulasi strategi perusahaan, tidak
perlu berdampingan. “Soalnya, kalau salah, maka salah semua. Biaya yang keluar untuk
menyiapkan orang-orangnya akan menjadi sia-sia.”
Ia menambahkan, persaingan dalam bentuk jaringan infrastruktur lebih mudah untuk
mengejarnya. Yang susah adalah menyiapkan orang-orang handal untuk ditempatkan di
perusahaan. “Perbedaan munculnya di orang, bukan di perangkat. Tak heran jika orang
HR menjadi mahal karena divisi HR yang menentukan kesiapan sumber daya manusia di
perusahaan. Bisa saja barang atau produknya sama, tapi pembungkusnya atau orangnya
beda.
Meski hanya sebatas pendukung bisnis, Wimbo tetap optimis dalam memimpin divisinya.
“Orang HR memang tidak terlalu dikenal orang karena berada di belakang layar. Beda
dengan orang marketing,” lontamya. Bagi Wimbo, hanya ada nilai nol dan minus untuk
orang HR. jika prestasi orang HR bagus, maka dia akan mendapat nilai nol. Tapi kalau
prestasinya buruk atau ada kesalahan, maka dia akan mendapat nilai minus. “Beda
dengan marketing yang nilainya plus, minus dan nol,” tuturnya.
Prof. Dave Ulrich : Kembalinya Sang Maestro
No. 18 - September 2005
Dialah guru manajemen terkemuka di dunia saat ini, khususnya di bidang sumber daya
manusia (HR) dan organisasi. Tiga tahun lalu ia meninggalkan dunia bisnis dengan
menjadi pemimpin misi Kristiani Mormon di Quebec. Kini, ia kembali lagi ke dunia bisnis –
dengan gagasan yang lebih segar.
Di jajaran guru manajemen top dunia, Dave Ulrich memiliki magnet tersendiri. Dialah
guru terhebat di bidang HR dan organisasi, melebihi beberapa nama terkenal lainnya
-termasuk Prof. Rosabeth Mos Kanter dari Harvard Business School. Buku-buku karya
Ulrich menjadi bacaan wajib di kalangan praktisi, peneliti, pengamat, dan pemikir
manajemen HR serta organisasi. Beliaulah yang memperkenalkan istilah – human capital
dan organizational capital, yang ditulisnya bersama Jack Zenger dan Norm Smallwood
dalam buku Result-Based Leadership (Harvard Business School Press, 1999).
Satu ciri khas Ulrich, menurut Lucas Conley dari majalah Fast Company, adalah
menyenangi dunia ide dan hal-hal yang bersifat intangible (tak berwujud) ketimbang
angka-angka. Dalam sejumlah bukunya, seperti Why the Bottom Line Isn’t (John Wiley,
2003) dan The HR Value Proposition (Harvard Business School Press, 2005). Ia berusaha
memberdayakan eksekutif HR dengan ide bahwa 50% dari nilai pasar perusahaan mereka
bersumber dari sesuatu yang ada dalam kontrol mereka – sesuatu yang tidak pemah
disebut dan ditampilkan dalam laporan akuntansi/keuangan. Dalam hal ini, Ulrich bicara
tentang sumber daya manusia.
B. Joseph White, Presiden University of Illinois dan mantan Dekan Ulrich saat di University
of Michigan Business School, mengatakan Ulrich bisa memberikan inspirasi kepada orang
lain karena ia paham betul tentang teori HR dan berpengalaman dalam menerapkannya
ke dalam dunia nyata, sebuah subjek yang selama cenderung tenggelam dalam
lingkungan birokrasi. “Menjembatani teori dan konsep ke dalam praktik dan aplikasi, tidak
ada orang yang lebih baik daripada Dave,” ujarnya.
Dari mana semua kelebihan itu diperoleh Ulrich? Di saat ia berusia setahun, ayahnya
yang suka berpetualang direkrut oleh Job Corps untuk mengkoordinir training dan
pendidikan bagi 200 anak anak muda dari beberapa kota yang telah direlokasi dari South
Weber, Utah. Relokasi ini bertujuan untuk mendidik dan melatih mereka agar bisa
memulai hidup baru secara lebih baik.
Kendati masih kecil, Ulrich mulai belajar mengenali anak-anak dari kota Detroit, Chicago,
LA, dan sebagainya itu. Inilah pelajaran pertama yang secara tidak sengaja diperolehnya
tentang teori organisasi. "Kegagalan Job Corps adalah, ketika Anda membawa seseorang
ke sebuah tatanan baru dan memberikannya training, ia akan menerimanya. Tetapi,
ketika ia kembali ke lingkungan awalnya, sifat residivisme terjadi kembali, karena kembali
ke teman-teman dan kebiasaan lamanya,” ungkap Ulrich.
Pelajaran pertama itu cukup membekas dalam pikirannya dan memberi dasar dalam
kiprahnya lebih lanjut di bidang HR. Langkah besar Ulrich sebagai konsultan pertama kali
terjadi tahun 1989, tatkala ia didaulat bersama dengan 50 pemikir bisnis top lainnya
bertukar pikiran dengan Jack Welch tentang perubahan yang perlu dilakukan di GE. Welch
ingin meluncurkan program 2 hari untuk perubanan kultural. Ulrich telah melihat
berbagai program yang pernah dilakukan organisasi dan gagal mempertimbangkan
konteksnya (seperti yang terjadi pada kasus Job Corps tadi). Lantas, ia mengacungkan
tangannya.
“Jika Anda ingin membuang-buang uang jutaan dolar, beli saja pesawat jet perusahaan,”
katanya kepada Welch. “Jangan lakukan program 2 hari, karena itu bukan hanya
membuang-buang uang, tetapi juga menyakitkan hati. Karyawan akan merasa punya
pengharapan, dan mereka tidak akan menerapkannya di dalam pekerjaan. Welch
menelepon Ulrich sehari berikutnya dan memintanya untuk membantu mendesain
sebuah program untuk memotong beban kerja dan birokrasi di GE.
Kenyataannya, tidak ada rencana program 2 hari. Pekerjaan perubahan ini (belakangan
sering disebut workout) berlangsung hampir satu dekade. Untuk menciptakan perubahan
tanpa akhir, Ulrich bersama arsitek workout Steve Kerr menjalankan program dalam satu
tema sentral : lakukan perubahan sebagai sebuah tindakan alamiah di tempat yang juga
alamiah. Dalam sebuah rapat besar di hadapan jajaran pimpinan dan karyawan GE, Ulrich
mengatakan: "Workout membantu menghadirkan suasana keterbukaan yang selama ini
belum pemah dimiliki GE.” Welch pun memuji Ulrich atas bantuannya “Kami butuh orang
cerdas dan independen seperti Ulrich sehingga hirarki perusahaan harus menyesuaikan
diri.”
Kekuatan utama Dave Ulrich adalah selalu berpikir dan melihat dalam konteks sistem.
Bukan hanya dalam lingkungan tipikal yang umum – di kantor, di pemerintahan, atau di
lapangan olahraga – tetapi juga di tempat-tempat lain. Saat di bangku kuliah, misalnya. Ia
kuliah di Brigham Young University (BYU). Untuk tesis akhirnya, ia meneliti keseluruhan
organisasi dari departemen bahasa Inggris dan mengajukan pertanyaan : “Apakah
departemen telah memberikan nilai tambah kepada para mahasiswanya?”
Musim gugur saat mau lulus, ia mempresentasikan temuannya di fakutas. Kesimpulannya
: BYU kurang mengajarkan para mahasiswanya bagaimana cara menulis, dan kebiasaan
universitas untuk merekrut lulusannya memunculkan masalah. Akibat kesimpulannya,
mereka mendepak Ulrich ke luar departemen tersebut. Keesokan harinya, di kantornya,
sang Dekan menegaskan, “Kami tidak berpikir bahwa Anda seyogyanya lulus dengan
gelar bahasa Inggris.”
Profesor di BYU boleh saja tidak memberikan apresiasi terhadap ketajaman mata Ulrich
dalam mendiagnosa permasalahan organisasi mereka. Tetapi, waktu membuktikan lain.
Pengakuan para pemimpin bisnis dunia atas kehebatan Ulrich jauh lebih berharga. Tahun
2000, majalah Forbes menyebut Ulrich sebagai satu dari lima pembimbing bisnis
(business coach) paling top di dunia. Majalah Business Week tidak setuju dengan
penilaian itu. Setahun kemudian, majalah tersebut menempatkan Ulrich sebagai
konsultan manajemen nomor satu di dunia.
Sebagai penasehat dan konsultan perusahaan raksasa macam GE dan GM, Ulrich
membangun karimya dengan banyak mendengarkan (dan akhimya memberikan solusi
terbaik) permasalahan organisasi yang kompleks. Dia telah menulis 8 buku tentang
perilaku organisasi, HR, dan perubahan. Dalam pemikirannya, daripada HR hanya
mengurusi benefit dan piknik perusahaan, ia mendorong perusahaan membuat sistem
strategik untuk menanamkan pemahaman lebih dalam tentang kultur dan komunitas.
Aset tak berwujud (intangible asset) ini diyakininya akan memotivasi pekerja untuk
menghasilkan hasil yang berwujud (tangible) seperti pendapatan dan nilai pasar.
Jenjang Kepemimpinan dan Servant Leadership
No. 18 - September 2005
Menjadi pemimpin ideal memang mudah secara teori. Untuk mewujudkannya dibutuhkan
motivasi dan komitmen yang kuat. Dan negara Indonesia membutuhkan dan merindukan
seorang servant leader yang bisa menjadi panutan.
Telah banyak buku yang mengulas topik kepemimpinan, tapi sebanyak itu pula
perdebatan tentang asal muasal lahirnya seorang pemimpin terus bergulir. Ada dua
pendekatan yang sering digunakan dalam meninjau konsep kepemimpinan, yakni
pendekatan yang memandang kepemimpinan sebagai sebuah ciri kepribadian, gaya kerja
dan dinamika dalam kelompok, ada pula yang memandang kepemimpinan sebagai
sebuah ketrampilan yang bisa diasah dan dikembangkan.
Perbedaan cara pandang tersebut, menurut Dr. Rudolf F. Matindas, psikolog dari
Universitas Indonesia berimplikasi pada asumsi-asumsi dasar dalam memandang
kepemimpinan. Kelompok pertama yang memandang kepemimpinan sebagai kepribadian
cenderung berkesimpulan bahwa pemimpin dilahirkan, bukan dari hasil pendidikan.
Seseorang yang sudah dari sono-nya memiliki sifat-sifat kepemimpinan akan mampu
memimpin di mana saja ia ditempatkan.
Sedangkan kelompok kedua, sering berpendapat sebaliknya. Pemimpin yang sukses pada
kondisi tertentu bisa jadi akan gagal pada kondisi lainnya. Artinya, perlu ada kecocokan
antara gaya kepemimpinan dengan karakteristik tugas yang diembannya: Terlepas dari
masalah tersebut, Matindas menggariskan bahwa seorang pemimpin minimal telah
menguasai ketrampilan dalam beberapa jenjang (lihat Jenjang Kepemimpinan).
-------------------------------------gambar jenjang kepemimpinan--------------------------------
Servant Leadership
Selain dituntut menguasai berbagai aspek manajerial, hal lain yang menjadi tantangan
utama seoarang pemimpin, menurut Johanes Papu, konsultan SDM di Jakarta, adalah
lemahnya emotional intelligence (EI), komitmen pribadi dan integritas. Seringkali terjadi,
kata Johanes, kegagalan dialami karena secara emosional seorang pemimpin tidak mau
atau tidak dapat memahami dirinya sendiri dan orang lain. Pemimpin bertipe seperti ini
sering disebut servant leader, yang tidak menuntut pelayanan, tapi justru bertindak
untuk kepentingan orang lain.
Sehingga keputusan yang diambil bukanlah a heartfelt decision, yang
mempertimbangkan martabat manusia dan menguntungkan perusahaan, melainkan
cenderung egois, self-centered yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan
kelompok/golongannya. Akibatnya adalah seperti yang dialami oleh kebanyakan
perusahaan di Indonesia yang high profile but low profile.
Seringkali terjadi, pemimpin yang lemah dalam hal EI dan tidak berperan sebagai servant
leader memunculkan skandal korporasi yang berdampak amat dahsyat. World.com,
Enron, HIH Insurance adalah sebagian kecil dari rentetan kasus terakhir yang menodai
integritas perusahaan multinasional. Dan setiap kali itu terjadi, hampir dipastikan itu
terkait dengan aksi para pemimpinnya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Banyak pemimpin
instant hasil kolusi dan nepotisme di perusahaan - perusahaan yang sangat minim
kesiapan, namun tetap saja dipakai demi kepentingan politik perusahaan. Praktek seperti
ini kerap terjadi di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Akibatnya, seperti banyak terlihat di negara ini, banyak pemimpin yang malah membawa
perusahaannya ke arah keruntuhan dan kebangkrutan dengan menelan banyak korban
material bahkan jiwa, Meskipun demikian, tetap saja mereka memperkaya diri (tanpa
merasa bersalah) dengan aset-aset perusahaan bahkan pinjaman bank yang seharusnya
dipakai untuk menyehatkan perusahaan.
Kini perusahaan tidak hanya membutuhkan pemimpin yang punya kapasitas intelektual.
Sebab, yang membuat sukses perusahaan atau organisasi adalah pemimpin yang bisa
mendapatkan komitmen dari karyawan, konsumen serta manajemennya. Pemimpin
seperti itu adalah mereka yang memahami karyawannya sepenuh hati dan sanggup
memacu karyawannya memenuhi persaingan global.
Singkatnya, pemimpin yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional. Daniel
Goleman, ahli di bidang EQ, melakukan penelitian tentang tipe-tipe kepemimpinan dan
menemukan ada 6 (enam) tipe kepemimpinan. Penelitian itu membuktikan pengaruh dari
masing-masing tipe terhadap iklim kerja perusahaan, kelompok, divisi serta prestasi
keuangan perusahaan.
Namun hasil penelitian itu juga menunjukkan, hasil kepemimpinan yang terbaik tidak
dihasilkan dari satu macam tipe. Yang paling baik justru jika seorang pemimpin dapat
mengkombinasikan beberapa tipe tersebut secara fleksibel dalam suatu waktu tertentu
dan yang sesuai dengan bisnis yang sedang dijalankan.
Memang, hanya sedikit jumlah pemimpin yang memiliki enam tipe tersebut dalam diri
mereka. Pada umumnya hanya memiliki 2 (dua) atau beberapa saja. Penelitian yang
dilakukan terhadap para pemimpin tersebut juga menghasilkan data, bahwa pemimpin
yang paling berprestasi ternyata menilai diri mereka memiliki kecerdasan emosional yang
lebih rendah dari yang sebenarnya. Pada umumnya, mereka menilai bahwa dirinya hanya
memiliki satu atau dua kemampuan kecerdasan emosional.
Namun yang paling ironi adalah pemimpin yang payah justru menilai diri mereka secara
berlebihan dengan menganggap bahwa mereka memiliki kemampuan kecerdasan
emosional. Oleh karena itu, tak ada salahnya jika para pemimpin tak pernah merasa
segan untuk mempelajari seperti apa tipe kepemimpinannya.
Selain itu, kehendak untuk terus membuka diri untuk mau mempelajari tipe-tipe
kepemimpinan yang lain juga amat dibutuhkan. Namun sebelum itu, harus terlebih
dahulu memahami kelebihan dan kekurangan sehubungan dengan gaya atau tipe
kepemimpinan yang akan diterapkan.
Transformasi SDM : Suatu Pendekatan Kajian Awal
No. 18 - September 2005
Dalam banyak paparan baik yang tertulis maupun dalam seminar-seminar, upaya untuk
meningkatkan peran SDM di berbagai organisasi perusahaan semakin sering kita dengar.
Dimulai dari hal-hal yang bersifat mendasar, penyebutan nama unit organisasi SDM
misalnya, dan penggunaan nama personalia menjadi Sumber Daya Manusia. Akhir-akhir
ini bahkan mulai banyak kita dengar penggunaan nama Human Capital.
Sesuai dengan namanya, peran manajemen SDM pun telah banyak melalui proses
transformasi. Dari peran dan fokus pada kegiatan administrasi personalia semata-mata,
menjadi mitra bisnis dari jajaran manajemen ini. Manifestasi peran strategis ini salah
satunya dapat terlihat dari keterlibatan langsung para pimpinan puncak perusahaan
dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis SDM; keberadaan anggota direksi
yang khusus mengelola aspek perencanaan dan pengembangan SDM.
Sebagaimana dikatakan oleh David Ulrich, seorang pakar dan penulis di bidang SDM : HR
should not be defined by what it does but by what it delivers to the organization's
customers, investors and employees. Peran dan fokus tidak lagi pada aspek standard
staffing dan� penyelesaian isu-isu kompensasi misalnya, tetapi lebih pada aspek-aspek
yang berorientasi pada outcomes.
Dan berbagai survey dan pengamatan, isu-isu strategis SDM belakangan ini semakin
sering kita dengar; semakin banyak menjadi topik bahasan menarik dalam forum-forum
eksekutif. Pengembangan kepemimpinan, transformasi organisasi dan budaya
perusahaan, identifikasi dan pengelolaan talenta, peningkatan produktivitas dan
pembelajaran, perencanaan dan penyelenggaraan program-program pelatihan telah
menjadi fokus perhatian para jajaran pimpinan perusahaan. Fenomena ini merupakan
gambaran yang amat menggembirakan bagi kita para profesional SDM. Isu SDM tidak lagi
semata-mata menjadi isu SDM, tetapi telah menjadi isu strategis para eksekutif pengelola
bisnis dan organisasi.
Sekalipun banyak perusahaan yang telah melalui proses transformasi SDM sebagaimana
disebutkan di atas, masih banyak perusahaan yang masih mencoba mengidentifikasi di
mana sesungguhnya letak permasalahan yang dihadapi, khususnya yang terkait dengan
aspek manajemen SDM. Keluhan-keluhan para jajaran eksekutif yang banyak kita dengar
antara lain, bahwa manajemen SDM perusahaan tidak dapat merespon cepat kebutuhan-
kebutuhan bisnis perusahaan seperti misalnya menurunnya kepuasan pelanggan,
pertumbuhan revenue, dll.
Di sisi lain, data dan informasi SDM yang tersedia seringkali sulit dimanfaatkan untuk
pengambilan keputusan-keputusan strategis SDM perusahaan. Kebijakan dan prosedur
pengelolaan SDM tidak jelas, tidak konsisten penerapannya. Mengapa kita tidak dapat
menarik, mempertahankan tenaga profesional yang handal.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, assessment / kajian terhadap kondisi
current state dari manajemen SDM akan sangat membantu. Sebagian perusahaan
menggunakan istilah HR Audit; ada yang menggunakan istilah HR Diagnostic Review atau
HR Organizational Assessment. Pada intinya semua adalah sama, yaitu mengukur
efektivitas pengelolaan SDM perusahaan dalam memenuhi kebutuhan bisnis dan
organisasi.
Sebagai suatu perangkat diagnostik awal, berikut kami sajikan suatu kerangka
pendekatan yang dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang merasa perlu
melaksanakan assessment sebagaimana dijabarkan di atas. Pertama-tama, analisa dan
tetapkan fokus / alasan utama mengapa assessment perlu dilakukan. Kelompokkan
kemudian informasi / pertanyaan ke dalam sejumlah topik :
•��� �HR mission and vision, objectives and strategy
Adakah keterkaitan antara strategi bisnis dan strategi SDM (misal, di saat fokus bisnis
perusahaan adalah pada aspek-aspek pertumbuhan revenue, kepuasan pelanggan,
perbaikan kualitas, sejauh mana strategi SDM turut mempertimbangkan program-
program seperti pengembangan kepemimpinan, transformasi budaya perusahaan,
organisasi dll). Apa yang penting menjadi sasaran utama keberadaan organisasi SDM?
Peran SDM?
•��� �HR organizational structure
Berdasarkan sasaran dan strategi yang telah ditetapkan, sejauh mana pengelompokan
fungsi-fungsi organisasi SDM menunjang pencapaian sasaran dan strategi? Apakah
pengelolaan SDM akan menjadi lebih efisien bila sebagian kegiatan dilakukan di-shared
service center / outsource? Berapa jumlah staf yang ada? Profil kompetensi? Sejauh mana
profil kompetensi yang ada menunjang pencapaian sasaran dan strategi SDM? Apa yang
diharapkan menjadi ukuran kinerja SDM?
•��� �HR policies and practices
Sejauh mana kebijakan-kebijakan SDM yang ada menunjang sasaran dan strategi SDM?
Sejauh mana keterkaitan terapan kebijakan dan praktek-praktek SDM dengan hasil (HR
outcomes)? Apakah kinerja karyawan meningkat? Absentism menurun? Orientasi
karyawan pada pelanggan meningkat? Pendelegasian wewenang pengambilan keputusan
berjalan efektif?
•��� �HR Information Technology.
Sejauh mana teknologi mendukung efektivitas dan efisiensi pengelolaan SDM?
•��� �HR client / customer focus
Siapa yang menjadi client / customer (pelanggan) dari SDM? Sejauh mana kepuasan
pelanggan SDM diukur? Sejauh mana ukuran kinerja SDM terutama yang terkait dengan
aspek kepuasan pelanggan dirumuskan secara jelas? Sejauh mana isu-isu kepuasan
pelanggan dikelola? Sejauh mana teknologi menunjang kelangsungan proses SDM
dengan HR client ?
Mudah-mudahan pertanyaan-pertanyaan diatas dapat bermanfaat dalam menganalisa
sejauh mana langkah-langkah untuk meningkatkan lebih jauh efektivitas manajemen
SDM perusahaan diperlukan. Sebagaimana disampaikan oleh Ulrich, HR can deliver
excellence in four ways: becoming a Partner in Strategy Execution; becoming an
Administrative Expert; becoming an Employee Champion; and, becoming a Change
Agent.
Kesadaran, kesediaan para eksekutif perusahaan untuk melakukan investasi di SDM
sebagaimana halnya investasi di bidang bisnis, ditunjang dengan apresiasi lebih terhadap
nilai dan kapabilitas profesional SDM, memungkinkan suatu organisasi merealisasikan
potensi dari karyawan yang dimiliki secara lebih optimal.
Sumber: Majalah Human Capital No. 18 | September 2005
Leadership. Inovasi, dan Kualitas SDM
No. 18 - September 2005
Bermula dari perusahaan kecil hanya dengan delapan orang pegawai, pada tahun 1970
Pura mulai berkembangan pesat dan kini menjadi grup perusahaan yang menaungi 23
divisi produksi yang didukung oleh 8.500 karyawan. Kekuatannya ada di bidang
leadership, inovasi penerapan teknologi dan kualitas human resources.
Bermula dari perusahaan kecil hanya dengan delapan orang pegawai, pada tahun 1970
Pura mulai berkembangan pesat dan kini menjadi grup perusahaan yang menaungi 23
divisi produksi yang didukung oleh 8.500 karyawan. Kekuatannya ada di bidang
leadership, inovasi penerapan teknologi dan kualitas human resources.
Meski tumbuh dan berkembang dari lingkungan perusahaan keluarga, dalam banyak hal
Pura agaknya layak menjadi contoh sekaligus benchmark bagi konsep pengembangan
perusahaan di dalam negeri. Perusahaan yang berpusat di Kudus, Jawa Tengah itu, tak
hanya terus berkembang dengan 23 divisi usaha di bawah Pura Group dan menjadi
tempat berkarya bagi ribuan orang pekerja. Lebih dari itu, perusahaan ini juga dikenal
sebagai pelopor dalam bidang implementasi teknolog sekaligus mampu menyelaraskan
antara peran teknologi dengan kompetensi sumber daya manusia.
Kepeloporan Pura Group di bidang teknologi mendapat penghargaan dari pemerintah
ketika pada Agustus 2005 lalu, Jacobus Busono, Presiden Direktur dan pemilik Pura Group
memperoleh Anugerah Riset Industri 2005 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Anugerah yang diberikan di Istana Negara dalam rangka hari Kebangkitan Teknologi
Nasional, merupakan bentuk penghargaan tertinggi untuk kategori pengembang,
perancang, dan rekayasa teknologi.
Sebelumnya, pada tahun 2003 lalu Presiden Megawati Soekarnoputri menganugerahkan
penghargaan Siddhakretya, atas keberhasilan Pura Group mengembangkan teknologi
rekayasa industri. Bagi Pura yang bergerak di bidang printing, packaging, converting
(proses lanjut kertas), rekayasa (engineering), sistem anti pemalsuan terpadu (total
security system) dan kertas berharga, anugerah itu semakin melengkapi penghargaan
yang pernah diterimanya.
Bahkan, pada tahun 2001, Pura menerima sejumlah penghargaan baik nasional maupun
internasional. Dalam bidang mutu perencanaan dan standar teknis hologram, Pura Group
memperoleh Excellent in Holography 2001 dari IHMA (International Hologram
Manufactures Association) untuk aplikasi stratch hologram pada kartu telepon Mentari.
Pada waktu yang sama, kantor Menteri Perindustrian dan Perdagangan
menganugerahkan Primaniyarta 2001 dan Menteri Riset dan Teknologi memberikan
penghargaan Anugerah Teknologi karena Pura berhasil menciptakan mesin pengering
padi dengan bahan baker sekam dengan dilengkapi sistem after burner yang telah
dipatenkan. Berbagai penghargaan tersebut semakin mengukuhkannya sebagai
perusahaan pengembang berbagai teknologi terapan.

Lima Strategi Dasar


Dalam wawancara khusus dengan Human Capital di Kudus, beberapa waktu lalu, Jacobus
Busono mengungkapkan bahwa keberhasilan yang diraih perusahaannya selama ini
merupakan buah dari proses yang sangat panjang dan memakan biaya cukup besar.
“Keberhasilan ini juga berkat ketekunan dan semangat kerja seluruh karyawan," ujarnya.
Setidaknya ada lima strategi dan kebijakan dasar yang diterapkan untuk merangsang
pertumbuhan perusahaan. Pertama adalah external focus, yakni senantiasa menaruh
perhatian terhadap perkembangan kondisi di luar. Kedua, decisiveness dalam arti
ketegasan dalam mengambil keputusan dan tindakan. Ketiga, imagination and courage
(imajinasi dan keberanian). Keempat inclusiveness, selfessness dan servant leadership
yang diimplementasikan dalam bentuk toleransi, tidak membeda-bedakan dalam setiap
kebijakan, tidak mementingkan diri sendiri dan menjalankan prinsip kepemimpinan yang
melayani. Sedangkan kelima adalah re/evant expertise, yang mengutamakan keahlian
pada bidang terkait.
Dengan berpedoman pada strategi dan kebijakan dasar yang bersumber pada
leadership, inovasi dan kualitas SDM itulah Pura Group terus melaju. Di bawah
kepemimpinan Jacobus Busono sebagai Presiden Direktur, perusahaan yang berdiri pada
tahun 1908 itu kini tercatat sebagai salah satu dari beberapa gelintir perusahaan dalam
negeri yang mengembangkan teknologi maju.
Jika menilik ke belakang tentang sejarah perjalanannya, prestasi yang diraih Pura Group
sungguh fenomenal. Perusahaan itu semula hanyalah perusahaan kecil milik keluarga
yang melayani percetakan sederhana seperti formulir dan sejenisnya. Setelah tampuk
pengelolaan perusahaan diserahkan kepada Jacobus Busono sebagai generasi penerus
ke-3, Pura perlahan-lahan menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Hanya
dalam waktu kurang dari 20 tahun sejak kepemimpinannya, Jacobus berhasil mendirikan
pabrik hot stamping foil dan hologram yang pertama di Asia Tenggara, yang pada
perkembangannya ditambah berbagai unsur pengaman terhadap pemalsuan.
Di bidang human resources, menurut Jacobus, dari awal pihaknya telah menempatkan
karyawan sebagai unsur penting yang layak mendapatkan perhatian penuh. Sebab, pada
prinsipnya, sebaik apapun sistem dan organisasinya, jika tidak didukung oleh manusia
yang berkualitas, maka akan sulit bagi sebuah organisasi mencapai tujuan. Kemudian
diciptakan budaya kerja di setiap jajaran dalam perusahaan untuk melakukan terobosan
dan inovasi secara berkelanjutan.
Ada beberapa parameter yang diterapkan Jacobus dalam menilai kualitas karyawannya.
Yakni senang pada pekerjaan, kreatif, bersikap rendah hati dan menerima kritikan dari
orang lain, serta bisa bekerja secara tim dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
besar. Pembinaan SDM dengan parameter tersebut di atas dilakukan secara
berkesinambungan sehingga tercipta terobosan dan inovasi, yang selanjutnya dapat
menopang arah perjalanan perusahaan. "Ini bukan pekerjaan gampang yang bisa
dilakukan dalam waktu singkat,” kata Jacobus Busono.
Dengan demikian Pura dapat menerapkan falsafahnya yaitu Melalui pembinaan SDM
untuk mengembangkan produk-produk baru berkualitas dan berteknologi tinggi sebagai
pengganti produk impor untuk pemasaran dalam dan luar negeri.
Meski memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit, upaya yang dilakukan
Jacobus Busono beserta seluruh jajarannya, kini memang telah membawa hasil. Pura
Group tercatat sebagai perintis berbagai produk yang pertama di dunia. Seperti aplikasi
hologram langsung pada blister aluminium, scratch hologram, penutup dan pengaman
nomor kode pada kartu prabayar, serta modifikasi mesin cetak offset menjadi mesin
cetak intaglio.

Mengukur Nilai Profesionalisme


No. 18 - September 2005
Anda jenuh dengan pekerjaan sekarang dan bermaksud mencari tantangan baru di
perusahaan atau bidang lain? Jika ya, ada baiknya Anda terlebih dulu mencari tahu nilai
profesionalisme atas bidang pekerjaan yang Anda tangani saat ini. Nilai profesionalisme
adalah nilai yang akan dibayarkan oleh perusahaan untuk jasa Anda dibandingkan
dengan kandidat dari bidang lainnya.
Untuk mengetahui nilai profesionalisme, ada beberapa faktor yang menurut Calvin Bruce
dalam careerjournal.com bisa menjadi pertimbangan, yakni:
1. Dinamika Pasar Tenaga Kerja
Sama seperti industri lainnya, industri tenaga kerja diatur oleh siklus ekonomi, misalnya
fluktuasi permintaan akan keahlian tertentu dan unsur psikologis di mana bidang
pekerjaan tertentu dinilai sedang hot. Contoh nyata yang terjadi di Indonesia pada awal
tahun 1990-an adalah banyak permintaan tenaga kerja di bidang perbankan. Pada saat
itu para bankir dibayar sangat mahal, sehingga para pencari kerja yang memiliki latar
belakang perbankan dengan mudah memperoleh pekerjaan dan tidak jarang dalam
waktu singkat sudah memegang jabatan penting di sebuah bank tertentu. Namun apa
yang terjadi di akhir tahun 1990-an sungguh menyedihkan; beberapa bank terpaksa
dilikuidasi dan banyak bankir yang memegang jabatan puncak terpaksa
menganggur.Contoh lainnya yang masih segar dalam ingatan kita adalah bidang IT. Tahun
1999 – 2000 siapa saja yang berpengalaman singkat dalam bidang IT – di perusahaan
dotcom yang kecil dan tidak dikenal sekalipun – dapat pindah ke perusahaan berbasis
internet lainnya dengan sangat mudah. Mereka yang berbakat melakukan interview
dengan perusahaan kompetitor karena sadar akan bisa mendapatkan gaji dan
kompensasi yang lebih tinggi ditambah dengan bonus lainnya. Pada awal tahun 2001
ternyata masa keemasan perusahaan dotcom mulai pudar dengan ditandai banyaknya
perusahaan tersebut yang bangkrut atau melakukan perampingan.Apakah kedua
bidang/profesi tersebut di atas akan berjaya kembali di tahun 2002 mendatang atau
muncul tren baru yang menciptakan bidang profesi tertentu, kita belum tahu secara
pasti. Semuanya kembali pada situasi ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia.
2. Relativitas Nilai Profesional
Nilai profesional seringkali bersifat relatif sehingga menyebabkan sebuah profesi begitu
bernilai di satu perusahaan namun kurang dihargai di perusahaan lainnya. Hal ini terjadi
karena beberapa faktor sebagai berikut:
• Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang sudah mapan memiliki analis untuk
kompensasi dan tunjangan lainnya dalam rangka menentukan trend nilai profesi
yang terbaru, Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan para profesional yang
sangat qualified. Namun demikian sebenarnya lebih banyak perusahaan yang
menentukan nilai profesional berdasarkan pertimbangan subyektif.
• Penawaran Anda tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Atau Anda kuat
dalam bidang tertentu tetapi sangat lemah dalam bidang lain.
• Jika karir Anda datar saja bahkan mandek selama beberapa tahun terakhir ini,
jangan harap perusahaan akan tertarik memanggil Anda untuk diinterviu.
• Perusahaan bersedia membayar lebih besar jika Anda memiliki catatan kesuksesan
dalam bidang-bidang yang penting. Ini berarti lama bekerja bukanlah indikasi
prestasi.
Perusahaan tentu mengevaluasi semua yang disajikan masing-masing kandidat dalam
proses rekrutmen dan seleksi. Mungkin saja mereka berpendapat bahwa mempekerjakan
orang yang kurang pengalaman tapi dapat dilatih dan dikembangkan akan lebih
menguntungkan. Atau, orang yang berpengalaman tentu dapat mengerjakan lebih
banyak pekerjaan dan memberikan hasil (return on investment) yang jauh lebih baik dan
lebih cepat.
3. Tingkat Persaingan
Salah satu cara untuk mengetahui tingkat persaingan suatu bidang pekerjaan adalah
menjalin kerjasama dengan head hunter atau biro konsultansi yang melakukan rekrutmen
dan seleksi yang tentu saja mempunyai data trend nilai profesional yang obyektif. Jika
head hunter tersebut menilai kualifikasi sangat baik, mereka tidak akan ragu
memberitahu Anda.
Cara lainnya adalah dengan menganalisa iklan lowongan kerja di media cetak dan online
yang terkemuka, Yang harus diperhatikan adalah hal-hal berikut ini: besarnya permintaan
akan bidang keahlian, lamanya lowongan kerja tersebut diiklankan, rentang kompensasi
awal untuk pekerjaan tersebut, serta kualifikasi yang diminta untuk mengukur sejauh
mana Anda akan diperhitungkan sebagai kandidat yang cemerlang.
Mungkinkah HR Menjadi
No. 18 - September 2005
Dalam pandangan banyak CEO dan direktur non-HR, orang-orang HR belum dianggap
sebagai mitra bisnis strategis seperti halnya orang-orang pemasaran, keuangan, operasi,
ataupun teknologi informasi. Seringkali mereka terjebak dalam aspek pengadministrasian
personel belaka. Adakah strategi untuk merubah stigma ini ?
Di era knowledge economy, manusia merupakan modal utama setiap organisasi sehingga
melahirkan istilah human capital (seperti nama majalah kita ini, red). Pada saat kita
berbicara tentang manusia, maka seyogyanya peran bagian HR (human resource) akan
tampak menonjol dan signifikan dalam setiap organisasi. Seharusnya inilah era bagi
Direktur, Manajer atau Kepala Bagian HR untuk tampil ke depan berdiri sejajar – kalau
tidak mendominasi – dengan direktur bidang lainnya.
Kenyataannya tidaklah begitu. Sebagian besar orang-orang HR tertinggal di belakang,
dan dalam beberapa kasus mengalami pengkerdilan dalam arti yang sebenamya.
Penyebabnya sangat beragam, mulai dari CEO yang kurang memahami atau
menganggap penting aspek human capital bagi kesuksesan organisasi hingga kesalahan
orang-orang HR sendiri yang tidak pernah berusaha menjadi mitra bisnis sejajar.
Dalam kasus pertama, CEO atau direksi lain beranggapan bagian HR cukup mengurusi
aspek administrasi personel saja, seperti gaji, lembur, absensi, melakukan PHK, dan
sejenisnya. Sebagian besar aktivitas itu kini bisa dilakukan dengan menggunakan sistem
teknologi informasi (TI) sumber daya manusia yang disediakan oleh berbagai
pengembang piranti lunak berskala kecil hingga berskala besar macam Oracle, People
Soft, SAP, dan sebagainya. Maka, begitu otomatisasi administrasi HR itu dinilai lebih
efisien dan akurat, fungsi pengadministrasian itu diambil-alih oleh TI (dalam hal ini
biasanya dikelola oleh bagian TI).
Pengambilalihan ini semakin membuat orang HR kehilanganp peran dan eksistensinya.
Konsekuensinya, jumlah bagian HR berkurang drastis. Tak jarang, akhirnya, orang-orang
HR kemudian digabungkan ke dalam bagian TI dengan kepemimpinan berada di tangan
orang TI – bukan di tangan orang HR. Mereka pun dipaksa untuk belajar teknologi
ketimbang menjalankan peran HR yang lebih dibutuhkan.
Keputusan manajemen perusahaan “mengkerdilkan” bagian HR -seperti di atas jelas
sebuah kekeliruan besar. Nyawa manajemen HR tidak akan bisa dijalankan oleh mesin
atau oleh orang TI. Teknologi dibuat oleh orang-orang TI dengan memahami proses bisnis
bagian HR, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, seperti ditegaskan Regional Sales Leader
Mercer Consulting Greg Lipper, teknologi hanya buseess enabler dalam bidang HR – alat
bantu dalam menjalankan pekerjaan. “TI tidak bisa menggantikan peran HR secara
menyeluruh,” tegasnya kepada Human Capital. Lagipula, fungsi bagian HR delam era
knowledge economy tidak lagi sebatas proses pengadministrasian tetapi jauh lebih
strategis dari hal itu.
Sejatinya, orang-orang TI pun mengakui bahwa dalam manajemen HR, jauh lebih baik
menyerahkannya kepada orang HR yang mengerti teknologi ketimbang orang TI yang
mengerti mengenai HR. "Manajemen HR jauh lebih rumit daripada manajemen teknologi.
Pengetahuan dasarnya justru berada di tangan orang HR,” tukas Gunawan Lukito,
Direktur Pemasaran Oracle.
Ancaman lain yang berdampak pengkerdilan terhadap bagian HR adalah derasnya praktik
outsourcing HR. Sekitar 2002, misalnya, perusahaan migas Maxus Indonesia membabat
habis orang HR dengan hanya menyisakan 2 orang saja (VP HR dan satu sekretaris
merangkap stafnya). Pembabatan ini dimungkinkan karena sebagian besar proses
manajemen HR dialihdayakan kepada perusahaan lain. Begitu mudahnya bagian HR
dipreteli.
Kasus Maxus di atas merupakan kasus ekstrim, namun gelombang outsourcing (alih
daya) bidang HR dalam skala lebih kecil berlangsung cepat di dunia dalam beberapa
tahun terakhir. Sebuah survei global terhadap perusahaan besar oleh Hewitt Associates
tahun ini mendapatkan fakta 94% telah mengalihdayakan setidaknya 1 (satu) aktivitas di
bidang HR. Sebelum 2008, menurut survei yang sama, perusahaan tersebut telah
menyusun rencana untuk memperluas praktik outsourcing ke berbagai aktivitas HR,
termasuk fungsi pembelajaran dan pengembangan, penggajian, rekrutmen, kesehatan
dan kesejahteraan, dan mobilitas global.
Berbagai tren pengkerdilan di atas benar-benar akan mengkerdilkan bagian HR sehingga
menjadi pukulan mematikan bagi orang-orang yang ingin berkarir di bagian HR bila
mereka membiarkannya terjadi. Transformasi fungsi dan cara berpikir orang HR menjadi
jawaban kuncinya.
“Mereka harus menjalankan peran yang lebih strategik dalam konteks keberhasilan
organisasi,” ujar Dr. AS Ruki, konsultan SDM senior di Indonesia.
Transformasi tersebut enak untuk diucapkan, tetapi tidak mudah dalam pelaksanaannya.
Kebutuhan untuk melakukan transformasi sejalan dengan semakin berkembangnya
bisnis. Menurut pandangan guru manajemen HR terkemuka dari University of Michigan
Dave Ulrich dalam bukunya Human Resources Champion, ada 4 tahapan peran yang
dijalankan bagian HR di dalam setiap perusahaan.
Tahap pertama adalah HR tradisional atau tahap administrasi, di mana bagian HR hanya
menjalankan fungsi administrasi saja, seperti membayar gaji, menghitung absensi,
lembur, dan seterusnya. Perkembangan berikutnya melahirkan tahap kedua, yaitu bagian
HR harus menyesuaikan peraturan perusahaan dengan peraturan pemerintah
(government accountability), misalnya hubungan industrial – di luar pekerjaan
administratif tadi. Kita mengenal pula istilah hubungan karyawan (employee
relationship).
Tahap ketiga, bagian HR berperan dalam aspek yang lebih strategik, yaitu
pengembangan SDM (HR Development) – di luar peran pengadministrasian dan
mengelola HR sesuai aturan pemerintah. Tahap keempat, bagian HR sudah berperan
sebagai mitra bisnis (business partner) perusahaan. HR bukan hanya memainkan peran
dasarnya sebagai bagian dari manajemen, tetapi berperan penting dalam menentukan
kesuksesan bisnis perusahaan. Peran HR pada tahapan terakhir ini merupakan tuntutan
dari era human capital.
Pada tahapan mana bagian HR perusahaan berperan, menurut Dosen & Assistant
Director CBM & EDP Prasetya Mulya Matakhir Derita, sangat ditentukan sejauh mana
perkembangan perusahaan. “Jika masih baru, tentu masih dalam tahap administrasi.
Perusahaan yang sudah matang atau mapan tentu mengharuskan bagian HR sebagai
mitra strategik perusahaan,” ungkapnya.
Dave Ulrich juga menjelaskan 4 fungsi yang bisa dijalankan bagian HR sebagai mitra
bisnis strategik. Pertama, sebagai mitra strategik bagi eksekutif puncak dalam melakukan
formulasi dan implementasi strategi bisnis. Bagian HR bukan hanya berperan dalam
menyusun dan melaksanakan strategi bisnis perusahaan, tetapi seperti dikatakan
Direktur bii Sukatmo Padmosukarso juga mewarnai strategi dan implementasinya. Kedua,
sebagai agen perubahan. Mereka mampu mendesain, mempelopori, dan mengubah sikap
dan perilaku SDM perusahaan sesuai dengan budaya yang dibutuhkan.
Ketiga, berperan dalam meningkatkan kinerja dan kontribusi karyawan terhadap
keberhasilan perusahaan sehingga bisa menjadi champion bagi perusahaan. Fungsi
terakhir, keempat, bagian HR harus ahli dalam menjalankan administrasi bidang SDM:
rekrutmen, training dan pengembangan, peningkatan kinerja, sistem remunemerasi, dan
seterusnya.
“Fungsi keempat ini harus beres dulu, karena itu merupakan fungsi dasar dari bagian HR.
Kalau belum beres, bagaimana bisa bagian HR bicara strategi?” tambah Matakhir dengan
nada bertanya.
Menggunakan pemikiran Dave Ulrich, kebanyakan bagian HR perusahaan di Indonesia
masih berada pada tahap pertama dan tahap kedua. Sebagian kecil sudah masuk ke
tahap ketiga, dan nyaris sedikit sekali organisasi di mana bagian HR-nya bisa disebut
sebagai mitra bisnis strategik perusahaan. Lukman Kristanto, Direktur HR Mulia Group,
setuju dengan kesimpulan tersebut. “Mereka masih sibuk dan tenggelam dengan
masalah administrasi. Cuma dia lupa tidak mengaitkannya dengan aspek bisnis
perusahaan.”
Lucky Suardi, Konsultan dari Mercer HR Consulting, sering mendapatkan keluhan dari
manajemen puncak perusahaan tentang kurangnya pemahaman bagian HR terhadap visi,
misi, dan strategi bisnis perusahaan. “Itu konsisten kami temui di sejumlah perusahaan
khususnya perusahaan yang sedang bertransformasi, ” akunya. Sementara di
perusahaan yang sudah mapan, lanjutnya, secara umum mereka telah menempatkan HR
di posisi yang tepat.
Lukman tidak setuju jika HR sebagai mitra strategik hanya untuk perusahaan yang sudah
mapan ataupun sedang melakukan transformasi fungsi. Seharusnya di setiap
perusahaan, paparnya, bagian HR menjadi mitra strategik, dan hal ini sangat tergantung
kepada orang yang memimpin bagian HR itu sendiri. “Kalau dia old fashion, susah juga,”
katanya.
Unilever Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang memiliki bagian HR dengan
fungsi mitra bisnis strategik. Implementasi sistem Balanced Scorecard di perusahaan
produk konsumen terkemuka ini semakin mengukuhkan peran vital bagian HR terhadap
pencapaian bisnis perusahaan, karena mereka bertanggung jawab dalam perspektif
learning & growth dengan ukuran-ukuran kinerja (Key Performance Indicator/KPI) yang
jelas. Bukan hanya pasif menunggu kebijakan bisnis perusahaan, tetapi juga proaktif
memberikan masukan dalam formulasi dan implementasi strategi bisnis.
Strategi manajemen sangat menentukan lahimya bagian HR yang paham tentang bisnis
dan bagaimana berkontribusi dalam pencapaian target bisnis perusahaan. Menurut Josef
Bataona, Direktur HR Unilever Indonesia, setiap hari seluruh karyawan Unilever
dibiasakan melihat pencapaian bisnis Unilever (realisasi vs target bisnis hingga hari itu
secara kuantitatif) di layar TV yang ada di pojok setiap lantai Graha Unilever. Jika kinerja
setiap kategori bisnis belum memuaskan, karyawan dari setiap bagian akan berpikir apa
yang bisa mereka lakukan untuk meningkatkan kinerja tersebut. “Semuanya kami coba
kuantitatifkan dalam bentuk bottom line. Toh, ujung-ujungnya kita berbicara pencapaian
finansial,” tuturnya mantap.
Dengan cara ini, seluruh bagian perusahaan – termasuk bagian HR- akan terbiasa dan
selalu berpikir dalam konteks bisnis. Bahasa komunikasinya pun jadi sama: bahasa bisnis.
Orang HR otomatis tahu apa makna dari tidak tercapainya sebuah target bisnis dalam
perspektif manajemen HR: pengembangan kompetensi, manajemen talenta, perbaikan
sistem promosi dan insentif, dan seterusnya.
Bagaimana caranya?
Pada dasamya menjadi mitra bisnis strategik mengharuskan orang-orang HR paham
tentang visi, misi, dan strategi bisnis perusahaan. Pemahaman tersebut menjadi dasar
bagi bagian HR menjalankan transformasi bagian HR melalui dua jalur : menyelaraskan
strategi manajemen HR dengan strategi perusahaan, dan memberikan layanan HR secara
efektif dan efisien.
Pertanyaannya, seberapa banyak orang HR yang mengerti visi, misi, dan strategi bisnis
perusahaannya bekerja? Ada banyak cara bagi bagian HR untuk memahami visi, misi,
dan strategi bisnis perusahaannya, antara lain, menghadiri setiap rapat eksekutif,
mendengarkan ceramah/pengarahan eksekutif lainnya, membaca buku laporan tahunan,
bertanya kepada CEO, membaca selebaran informasi internal perusahaan, berita pers,
dan analisis industri.
Sejatinya, strategi bisnis setiap perusahaan sangat beragam: mempertahankan posisi
pemimpin pasar, meningkatkan pangsa pasar, menjadi perusahaan terbesar, menjadi
perusahaan paling menguntungkan, meningkatkan kepuasan pelanggan, paling cepat
meluncurkan produk/layanan baru, fokus pada segmen bisnis yang paling
menguntungkan, dan seterusnya. Setiap strategi bisnis tersebut membutuhkan
manajemen HR yang berbeda-beda: mulai dari profil kompetensi orang yang dibutuhkan
hingga program training dan remunerasinya.
Namun, di sinilah seringkali orang HR kedodoran. Studi di negara Anerika menunjukkan,
manajer HR kurang memiliki minat di bidang hisnis atau diperlengkapi dengan
pengetahuan tentang bisnis. Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap karyawan
potensial (talent) yang akan menentukan masa depan perusahaan, kenyataan ini sangat
memprihatinkan.
Studi lain oleh Society for Human Resource Management (SHRM), sangat sedikit orang HR
yang memiliki gelar di luar S-1 (bachelor degree). Kondisi ini lebih buruk dari kondisi
tahun 1990. Studi yang sama memberikan data menarik: ditanya tentang berbagai
kursus akademik yang paling bernilai untuk kesuksesan karir di bidang HR, mereka
menjawab keahlian berkomunikasi interpersonal dinilai paling penting (83%).
Pengetahuan tentang UU Ketenagakerjaan dan Etika berada di urutan berikutnya,
masing-masing 71% dan 66%. Kemampuan manajemen perubahan hanya 35%, dan
manajemen strategik hanya 32%. Lalu, pengetahuan tentang keuangan? Hanya 2%.
Masalah lain, kalaupun manajer atau eksekutif HR cukup memahami aspek bisnis, Dave
Ulrich menyampaikan kritiknya bahwa mereka lebih mementingkan aktivitas di bidang HR
daripada hasilnya. Dia memberi contoh pemberian training berdasarkan ukuran jam
training setahun tanpa diketahui sampai sejauh mana efektivitas training tersebut.
Idealnya setiap aktivitas training juga mengukur ROI (Return on Investment). “Anda akan
dinilai efektif bila memberikan nilai tambah,” sambil menegaskan, “Anda dinilai bukan
pada apa yang dikerjakan, tetapi pada apa yang dihasilkan.”
Menurut Dave Ulrich dalam buku The HR Value Proposition, HR harus menciptakan nilai
bagi perusahaan. Caranya banyak: mendorong pengembangan kompetensi dan
komitmen bagi seluruh karyawan, mengembangkan kemampuan bagi manajer untuk
menerapkan strategi, membantu membangun hubungan dengan pe-langgan, dan
menciptakan kepercayaan terhadap investor terhadap nilai masa depan dari perusahaan.
Bagi profesional HR, berbagai matriks manajemen HR sudah menjadi makanan sehari-
hari. Sayangnya, sangat sedikit yang menghubungkannya dengan kinerja bisnis. Sebagai
institusi pencipta kekayaan (wealth creation), pada akhirnya seluruh aktivitas yang
dilakukan perusahaan – termasuk manajemen HR – berujung pada imbal-hasil finansial
(financial return). Itu sebabnya, gagasan agar pucuk pimpinan tertinggi HR menjadi CPO
(Chief Performance Officer) kini bergaung keras.
Kalau kritik terhadap peran strategik HR di Amerika masih sebegitu besamya, bisa
dibayangkan betapa kondisi empirisnya di Indonesia jauh lebih buruk dari hal tersebut.
Dewasa ini, menurut Mercer, sekitar 50% bagian HR perusahaan Amerika sedang
mentransformasikan perannya menuju mitra strategik, sementara di Asia angkanya
mencapai 75% ke atas.
Repotnya, strategi bisnis perusahaan bisa berubah setiap tahun. Ini ikut menyulitkan
orang HR untuk memahami strategi bisnis perusahaan dan menyelaraskan manajemen
HR dengan strategi tersebut. Cepatnya dinamika perubahan bisnis diakui Corporate
Services Director Indosat S. Wimbo S. Hardjito seringkali membuat bingung bagian HR.
Setiap perubahan menuntut orang dengan kompetensi berbeda. Ia memberi contoh, dulu
Rumah Sakit (RS) membutuhkan dokter yang bagus, tetapi sekarang selain bagus juga
harus ramah dalam melayani. Selain itu, dulu manajemen RS menganggap orang yang
datang ke RS, namun sekarang RS harus dipromosikan kepada konsumen. “Makanya, RS
pun butuh orang pemasaran,” tuturnya.
Contoh lain adalah IBM. Dulu perusahaan raksasa ini menganggap dirinya sebagai
perusahaan komputer sehingga membutuhkan orang yang pintar. Belakangan IBM
mengklaim dirinya sebagai perusahaan jasa. Yang dibutuhkan jelas orang yang ramah
dalam melayani. Sering terjadi, bagian HR terlambat melakukan antisipasi maupun
penyesuaian terhadap kompetensi orang yang dibutuhkan.
Dalam persepsi Sukatmo Padmosukarso, Direktur bii, orang-orang HR tidak perlu
memahami bisnis terlalu detil karena itu aka menyedot waktu dan konsentrasi sehingga
mengganggu pekerjaannya sebagai orang HR.
“Memahami proses bisnis secara umum pun sudah cukup, namun harus memiliki
kompetensi sebagai orang HR mumi," tegasnya. Untuk menjadikannya sebagai mitra
strategis, bagian HR bii diikutkan dalam proses formulasi strategi bisnis dan berbagai
forum bisnis lainnya. “Selain berpartisipasi, mereka juga mewamai strategi bisnis
tersebut,” katanya. Dalam setahun terakhir, bahkan, bagian HRdi serahkan untuk
mendidik line manager – tidak seperti yang terjadi di banyak perusahaan di mana peran
line manager sedemikian sentralnya sehingga mengkerdilkan peran HR.
Bagi Julianto Sidarto, Country Manager Accenture, tidak semua bagian HR harus menjadi
mitra bisnis strategik, tergantung pada bagaimana manajemen perusahaan
menempatkan posisi HR, strategis apa tidak. Selama bukan bagian dari manajemen,
maka bagian HR hanya menjalankan fungsi administrasi saja. “Hal seperti ini banyak
terjadi di Indonesia,” ujamya. Hal tersebut jelas tidak terjadi di� Accenture. “Karena aset
utama kami adalah manusia.” Di sini. HR merupakan bagian dari manajemen sehingga
mendapat perhatiari sama dengan bagian pemasaran dan keuangan. Kalau bagian HR
tidak jalan, lanjutnya, sebagai perusahaan penjual jasa manusia, maka tidak ada yang
bisa dijual oleh Accenture.
Sulitnya Mencari Orang HR Berkualitas
Persoalannya, pasokan tenaga profesional di bidang HR di Indonesia sangat terbatas.
Sumber pasokan utama profesional HR biasanya adalah lulusan psikologi dan hukum. Di
bangku kuliah, mereka memang tidak diajarkan tentang berbagai aspek bisnis
perusahaan yang sebetulnya terkait dengan tugas mereka sebagai orang HR Akibatnya,
pemahaman orang HR terhadap bisnis perusahaan sangat rendah. Sulit sekali
mendapatkan orang HR yang benar-benar profesional, seperti diakui Richard McHowat,
CEO HSBC Indonesia.
“Saya kira sistem pendidikan HR di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan
kalangan bisnis,” tukasnya. Baginya maupun bagi HSBC, bagian HR memiliki fungsi
strategik untuk pencapaian target bisnis perusahaan. “CEO dan eksekutif HR harus jalan
bersama-sama. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” katanya mengilustrasikan pentingnya
bagian HR. Secara singkat Richard mengatakan, bila manusia menjadi faktor pembeda
bisnis perusahaan dengan pesaing maka berbagai aspek manajemen HR mulai dari
rekrutmen hingga sistem reward harus dibuat secara terpadu.
Konsekuensi dari terbatasnya jumlah profesional HR di Indonesia – yang memiliki
pemahaman tentang bisnis – menyebabkan banyak perusahaan terpaksa mengambil
orang bisnis untuk memimpin bagian HR. Faktanya, sebagian besar eksekutif HR
perusahaan di Irdonesia berasal dari kalangan bisnis, bukan orang-orang HR tulen. Endiy
PR Abdurrahman, Direktur HR HSBC Indonesia, misalnya, berasal dari kalangan bisnis. S.
Wimbo S. Hardjito, sebelum menjadi Direktur HR, adalah orang bisnis (CEO Satelindo).
Juga Sukatmo Padmosukarso (bii), Nimrod Sitorus (Bank Mandiri), Muliadi Raharja (Bank
Danamon), Kemal Ranadireksa (Bank BNI), dan banyak lagi.
Tetapi, pilihan terhadap orang bisnis ini tidak selalu manjur. Sukatmo menceritakan
pengalamannya saat diminta memimpin bagian HR bii ketika bergabung dengan bank itu
2002. Sebagai eksekutif yang berasal dari bisnis jelas pengetahuannya tentang HR
tidaklah lengkap. Ketika ia mengajak Kepala Divisi HR dan jajarannya mendiskusikan
sistem manajemen HR bii dan berbagai teori HR, semuanya malah tidak mengerti.
Rupanya sebagian besar orang HR berasal dari bisnis, yang besar di era kepemimpinan
keluarga Eka Tjipta Widjaja dan tidak dibekali kemampuan mengelola orang yang baik.
Wajar saja jika kemudian seringkali terjadi demonstrasi karyawan yang merasa tidak puas
terhadap manajemen bii pada periode 1999-2001.
Richard McHowat sebetulnya lebih senang bila yang memimpin HR benar-benar praktisi
HR sehingga perusahaan tidak perlu sering mengirimkannya ke berbagai program
training, konferensi, dan seminar HR. “Sebab, untuk bisa bekerja profesional, orang bisnis
harus dibekali dulu ilmu dan teori HR yang memadai,” lanjutnya.
Kelangkaan tenaga profesional HR ini menyebabkan pasar profesional HR mengalami
booming. “Sulit sekali mencari profesional HR berkualitas,” aku beberapa eksekutif
perusahaan executive search / head hunter kepada Human Capital.
Bagaimana seorang CEO menempatkan fungsi HR memang sangat menentukan strategik
atau tidaknya bagian HR. Seperti Richard, CEO Telkomsel Kiskenda Suriamihardja, juga
menempatkan bagian HR pada posisi yang sangat strategis. Itu sebabnya, ia memegang
langsung manajemen HR bersama-sama dengan Direktur HR, VP HR, dan Kepala Divisi
HR. "Soal manajemen HR saya tidak mau main-main. Maju atau tidaknya organisasi
sangat ditentukan keberhasilan dalam mengelola HR,” tegasnya serius.
Sebagai orang Telkom, sikap dan keyakinan Kiskenda itu telah menjadi ciri khas orang
Telkom, warisan nyata dari mantan CEO Telkom Cacuk Sudarijanto (alm.). Lain lagi
dengan Robby Djohan. Di setiap perusahaan yang dia pimpin tidak ada jabatan Direktur
HR karena menurutnya manajemen HR harus langsung dipegangnya sebagai CEO.
“Bagian lain tidak perlu saya urus, tetapi manajemen HR itu harus ditangani langsung
oleh CEO,” begitu ia menjelaskan prinsipnya.
Beruntunglah orang HK bila memiliki CEO dengan pemikiran di atas. Bagi yang tidak
beruntung, untuk menjadi dan dianggap mitra bisnis strategik memang butuh upaya
ekstra. Ia tidak datang dengan sendirinya. Henurut para penulis buku The Essentials of
Negotiation, hasil kerjasama Harvard Business School dengan SHRM, praktisi HR harus
meningkatkan kemampuan dirinya dalam bernegosiasi untuk mendapatkan dukungan
dari bos, kolega, dan para bawahan (baca: “Strategi Menjadi Mitra Bisnis Strategik”).
Sekarang terpulang kepada para praktisi HR: ingin menjadi mitra strategik atau tidak?
INOVATOR YANG RENDAH HATI
No. 18 - September 2005
Pura Group adalah Jacobus Busono. Maka, ketika perusahaan yang berbasis pada bidang
percetakan dan kertas berharga itu memperoleh berbagai anugerah di berbagai bidang,
antara lain ekspor dan penerapan teknologi, nama lelaki kharismatik itu pun semakin
dikenal masyarakat. Padahal, Jacobus Busono yang kini menjadi Presiden Direktur Pura
Group bukanlah orang yang gemar publisitas.
�Pura Group adalah Jacobus Busono. Maka, ketika perusahaan yang berbasis pada
bidang percetakan dan kertas berharga itu memperoleh berbagai anugerah di berbagai
bidang, antara lain ekspor dan penerapan teknologi, nama lelaki kharismatik itu pun
semakin dikenal masyarakat. Padahal, Jacobus Busono yang kini menjadi Presiden
Direktur Pura Group bukanlah orang yang gemar publisitas.
Seperti halnya Hubert Steinberg, tokoh mesin-mesin percetakan dunia asal Jerman yang
dikaguminya, Jacobus Busono ingin menjadikan Pura Group sebagai hidden champion
atau jawara yang tak dikenal. Karena itu, selama belasan tahun ia tak mau bersentuhan,
bahkan cenderung menghindar dari publisitas. Selama itu pula Jacobus Busono terus
berjuang untuk merealisasikan impiannya, yakni menjadikan Pura Group sebagai
perusahaan percetakan terpadu yang tidak hanya menjadi jawara di tingkat nasional,
melainkan bisa merambah pasar global.
Tidak sebagaimana mitos sejarah perusahaan keluarga di negara-negara berkembang
yang menyatakan generasi pertama sebagai pembangun, generasi kedua penikmat dan
generasi ketiga penuai kehancuran, tampaknya mitos itu tak berlaku di Pura Group.
Sebagai pemegang tampuk kepemimpinan Pura generasi ketiga, Jacobus Busono justru
berhasil menanamkan visi sekaligus filosofi perusahaan di benak para karyawan.
Meski bukan generasi pertama yang merintis pendirian perusahaan, Jacobus Busono
memang sangat mewarnai perjalanan Pura Group. Ketertarikannya pada bisnis dimulai
sejak usia muda. Jacobus menimba ilmu di Akademi Grafika di Negeri Belanda dan
diteruskan di FH (Fach Hochschule) di Jerman. Ia mendalami permesinan, pembuatan
kertas, teknik cetak, dan bidang lain yang terkait dengan percetakan.
Selanjutnya Jacobus mulai magang di Pura sambil mempelajari situasi, cara kerja, sistem,
budaya, bahkan pengupahan, sebelum akhirnya benar-benar siap menerima estafet
kepemimpinan dan kepemilikan perusahaan di tahun 1970. Selang beberapa tahun
kemudian, perlahan-lahan ia melakukan pembaharuan. Kini, Pura Group yang didukung
oleh 8.500 karyawan, telah menjadi percetakan terlengkap di Asia Tenggara. Beberapa
produknya bahkan telah menyebar ke berbagai belahan dunia. Sejak saat itulah, Jacobus
Busono merasa tak bisa lagi menyembunyikan diri dari publisitas. Ia tergerak untuk turut
berbagi pengalaman kepada bangsa Indonesia, agar apa yang telah ia perbuat selama ini
bisa menjadi tambahan wawasan. Berikut kutipan wawancara Human Capital dengan
Jacobus di Kudus beberapa waktu lalu :
Pura Group sering mendapat penghargaan dari pemerintah dan pengakuan dari dunia
usaha. Apa rahasianya?
Pengelolaan perusahaan pada hakikatnya adalah pembentukan budaya kerja. Budaya
kerja ini tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan melalui pembinaan sumber daya
manusia secara berkesinambungan. Ini diawali dengan pembinaan karakter moral dan
mental, kemudian dilanjutkan dengan ketrampilan teknis. Melakukan terobosan dan
inovasi secara berkesinambungan di setiap jajaran perusahaan merupakan budaya kerja
yang kami bentuk. Ini sebuah proses yang sangat panjang dan memakan waktu, tenaga,
pikiran dan biaya yang tidak sedikit. Kami bangga dan berterima kasih atas penghargaan
yang diberikan kepada kami, tetapi akan lebih bangga lagi jika produk-produk Pura dapat
dipakai oleh masyarakat secara luas di dalam negeri terutama kalangan pemerintah.
Apakah perusahaan Anda memang fokus pada pengembangan teknalogi dalam setiap
unit bisnis yang digeluti?
Ya. Falsafah perusahaan ini adalah senantiasa berorientasi pada teknologi. Tapi titik
beratnya adalah pada pembinaan manusianya. Dengan membangun SDM yang
berkualitas, maka akan tercipta budaya kerja yang kondusif, yang pada akhirnya mampu
mengembangkan produk-produk baru yang berkualitas dan berteknologi tinggi. Teknologi
itu tidak ada permulaan, tapi tak ada ending-nya (akhimya). Teknologi tidak dapat dibeli,
yang bisa dibeli hanya mesin dan formulanya. Jadi, untuk menguasai teknologi
tergantung pada sumber daya manusia yang jujur, rendah hati, senang pada
pekerjaannya, berkarakter, bermental baik, dan mampu menampung dan
mengembangkannya.
Sebagai contoh, ada yang beranggapan, orang Papua itu bodoh. Menurut saya tidak.
Pemenang Gold Medal 2005 untuk First Step To Noble Prize in Physics adalah Anike Nelce
Bolwaire, orang Papua. Saat kami membuka usaha di sana kelak, saya akan arahkan staf
saya bisa membina dan bekerja sama dengan orang-orang Papua.
Apakah faktor-faktor itu yang membuat perusahaan Anda dapat terus berkembang dan
meraih banyak prestasi?
Tentu itu merupakan beberapa faktor. Ada faktor lain yang menurut saya juga penting,
yaitu keberanian untuk mengambil keputusan. Harus punya karakter yang kuat. Banyak
yang bisa dijadikan contoh bahwa entrepreneur yang berhasil, antara lain lantaran ia
punya karakter yang kuat, dalam arti bagus dan tidak korup.
Bagaimana Anda menilai seorang karyawan itu baik dan pantas dikembangkan, dan
mana yang tidak baik?
Pada dasarnya semua orang itu punya sifat yang baik. Kita lihat dulu karakternya, setelah
itu kami masukkan dia ke dalam lembaga pelatihan, baik intern maupun di luar
perusahaan. Saya sering melakukan pengarahan sendiri kepada para manajer, GM dan
anggota direksi lainnya. Saya ini care about the game not the money. Intinya adalah
jangan ada anggota tim yang merusak permainan. Kalau masalahnya soal duit, segala
sesuatunya tentu bisa dibicarakan. Orang boleh pintar, tapi kalau tidak bekerja di
perusahaan dengan sepenuh hatj, tentu akan menjadi masalah buat perusahaan dan
orang lain. Orang akan bekerja sepenuh hati jika ia senang pada pekerjaannya sehingga
pekerjaan dapat tuntas. Jadi penempatan seseorang harus tepat The right man in the
right place.
Masa kerja karyawan kan ada batasnya, karena ia memasuki masa pensiun. Bagaiman
Anda menghadapi ini?
Secara teori, orang yang berumur 55 tahun sudah memasuki masa pensiun. Tapi saya
katakan, kalau you sudah 55 tahun kemudian tetap bekerja pakai otot ya sudah tidak
kuat lagi. You mesti pakai otak, yang sampai tua pun masih tetap berguna. Karyawan
yang sudah bekerja lama tentu punya banyak pengalaman yang bisa ditularkan kepada
orang lain. Tapi, ini sekali lagi soal karakter. Kalau orangnya memang malas ya susah kita
arahkan.
Bagaimana Anda mengembangkan konsep kepemimpinan di perusahaan?
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
GARUDAFOOD GROUP
LIMA ASPEK PERUBAHAN
Pemikiran untuk melakukan perubahan di Garudafood Group dimulai tahun 1994, saat
Sudhamek AWS, yang kini menjabat sebagai CEO Garudafood Group, mulai bergabung
secara penuh di perusahaan tersebut. Menurut Sudhamek, seperti diungkapkan Harijadi
Widiarta, Division Head Corporate HR Development Garudafood Group, seluruh jajaran
manajemen harus menata perusahaan ini secara profesional dan menjadikan Garudafood
suatu perusahaan modern. " Makanya, secara bertahap, kami melakukan penataan,"
tukas Harijadi saat ditemui HC di kantornya di kawasan Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Aspek pertama yang harus ditata, paparnya lagi, adalah kesadaran, pemahaman dan
kesungguhan dari para pendiri dan pemilik Garudafood. "Mereka harus sepakat dulu
bahwa perlu diadakan perubahan." Sadar lalu paham, diakui Harijadi bukanlah proses
yang sederhana. Dalam memahami itu akan muncul apa saja yang harus diubah,
bagaimana bentuk perubahannya, dan apa akibat dari perubahan ini. Itu menjadi sesuatu
yang belum kelihatan tapi menimbulkan bayangan-bayangan yang bisa menantang
karena menjadi sesuatu yang memberi harapan atau bisa memberi kekhawatiran.
Kemudian, kesadaran, pemahaman dan kesungguhan tesebut perlu diuji karena proses
transformasi ini membutuhkan waktu, kerja, biaya dan masih banyak lagi. "Secara pribadi
saya mengatakan, menyelesaikan masalah aspek keluarga untuk disepakati dan terjadi
konsensus, tidak mudah." Dan seringkali perusahaan keluarga tidak terlalu berhasil
menyelesaikan permasalahan di antara mereka. Ini lebih rumit ketimbang hanya
membangun sebuah sistem. "Kami bersyukur, fase ini berhasil diselesaikan dengan baik
walau butuh waktu lima tahun untuk menyepakati hal ini."
Aspek kedua, menurutnya adalah perubahan budaya. "Budaya perusahaan keluarga
menjadi perusahaan modern adalah dua budaya yang sangat berbeda. Kalau gaya
keluarga, keputusannya dari satu atau dua orang saja, keputusannya on the spot,
penanganan masalah juga case by case. Semuanya serba fleksibel." Tapi saat berubah,
perusahaan tidak bisa bergantung pada satu-dua orang. Justru bergantung pada sesuatu
yang memungkinkan banyak orang bisa bekerja secara bersamaan tapi tidak
menimbulkan kekacauan. "Semuanya berdasarkan sistem, ada acuan dan aturan main,"
jelasnya.
Dalam membangun budaya atau corporate core value, para pendiri dan pemilik sepakat
untuk memegang Semangat Pendiri, yaitu sukses itu lahir dari kejujuran, keuletan dan
ketekunan yang diiringi dengan doa. Ini adalah dasar pertama. Dasar kedua, yaitu
falsafah perusahaan yang damai dan dinamis. Dalam falsafah damai, tercantum nilai-nilai
kemanusiaan, etika bisnis, persatuan melalui keharmonisan. Sedangkan cepat dan
unggul dalam inovasi dan bekerja cerdik dalam budaya pembelajaran, merupakan bagian
dari falsafah Garudafood yang dinamis.
Dasar ketiga adalah misi, yaitu adalah mengapa dan kenapa Garudafood ada. Sedangkan
visi, ungkap Harijadi, berbatasan dengan waktu sasaran lima tahun yaitu 2008. visinya
adalah menjadi salah satu perusahaan terbaik di industri makanan dan minuman di
Indonesia dalam aspek profitabilitas, penjualan dan kepuasan konsumen melalui karya
yang kreatif dan inovatif dari seluruh karyawan yang kompeten. "Ini menjadi akar budaya
yang akan kami bangun dan akan dikembangkan menjadi satu program pembelajaran
dari tingkat tertinggi hingga terendah," imbuh Harijadi yang mengaku Garudafood
menggunakan jasa konsultan untuk melakukan perubahan tersebut.
Aspek ketiga yaitu pembangunan infrastruktur dan sistem itu sendiri. "Tempat kerja, tata
letak, semua menjadi hal yang penting." Berikutnya adalah aspek mensosialisasikan
kepada karyawan atau proses Management System Alignment, satu penyelarasan antara
sistem dengan manusia.. Mengajak seluruh karyawan untuk memahami, mengerti, dan
bisa menggunakan sistem itu juga bukanlah hal yang mudah dan butuh waktu yang
singkat.
Aspek kelima, adalah memberdayakan karyawan Garudafood yang jumlahnya mencapai
17.000 orang dan tersebar di delapan pabrik di lima kota yaitu di Pati, Lampung, Gresik,
Cimahi, dan Tangerang. Garudafood sendiri kini mengembangkan program pembelajaran
atau knowledge management. "Sasaran akhir Garudafood, kami berharap bisa
memberdayakan karyawan Garudafood sebagai knowledge worker," tukasnya.
Dalam konsep TQM, ada pengertian 5R yaitu Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin. la
menegaskan, makna 5R, adalah barang-barang yang ada perusahaan dan pabrik
Garudafood itu harus ringkas dan hanya yang diperlukan saja yang ada di ruangan. Rapi,
semua barang harus pada tempatnya dan tertata rapi. Resik, semua barang harus bersih.
Rawat, setiap karyawan harus terus merawat dan terakhir Rajin karyawan harus terus
menatanya.
Menjadi Perusahaan Adaptif
No. 17 - Agustus 2005
Dalam mencapai objektif tersebut, bii mempunyai 4 strategi bisnis ; pertama, fokus
kepada bisnis, tahu mana yang paling untung dan mana yang tidak ; kedua, fokus kepada
infrastruktur bisnis dan teknologi, termasuk prosedur dan sistem ; ketiga, fokus kepada
HR dan penyelarasan organisasi untuk mendukung pencapaian bisnis tadi; keempat,
menggunakan sumber daya seefektif dan seefisien mungkin.
Jelas, HR merupakan satu pilar bisnis terpenting bii Sebelum 2002, saat masih dimiliki
keluarga Widjaja, HR bii dipimpin oleh orang bisnis, bukan oleh praktisi HR. Ini
menyebabkan 1999-2000 banyak sekali demo dan ketidakpuasan karyawan yang terjadi
di bii. Cara mengelola orang waktu itu begitu sederhana. Orang direkrut dan dimasukkan
ke dalam MDP (Management Development Program). Disuruh jualan sukses dan langsung
jadi pemimpin. Begitu seterusnya. Tanpa dibekali kemampuan mengelola orang.
Akibatnya, sukses di bisnis tapi gagal menciptakan hygienic factor dalam mengelola SDM.
Oleh sebab itu, ketika pertama kali masuk 2002 dan diberi tugas menangani HR, langkah
pertama Sukatmo adalah merekrut orang-orang murni HR, jumlahnya 4 orang - termasuk
kepala dan wakil kepala divisi. Sukatmo sendiri memiliki latar belakang bidang bisnis
bank sejak 1980, termasuk manajemen risiko, dan hanya mengenai manajemen HR saat
mengambil program MBA. “Kami butuh orang yang mengerti mengelola,
mengembangkan, memberikan imbalan, retensi, dan seterusnya,” tuturnya,
Menurut Sukatmo, orang HR tidak mesti mengerti bisnis secara mendetil, cukup secara
umum saja. Biasanya mereka sudah punya konsep penyelerasan antara manajemen HR
dengan visi, misi dan strategi perusahaan. Itu sebabnya, mereka selalu dilibatkan dalam
perumusan dan implementasi strategi bisnis. Mereka pun diminta memberikan pendapat
dalam setiap proses bisnis strategik, misal menyuarakan sistem penilaian kinerja dan
insentifnya. Dalam merekrut, bagian HR mendefinisikan perilaku kompetensi, sedangkan
aspek kompetensi teknikal ditangani bagian bisnis. Di sini orang HR bisa berkontribusi
besar, termasuk dalam proses job grading dan penyusunan profil kompetensi yang
tengah berjalan. Selain itu, bagian HR juga diserahi mendidik para line manager – sebuah
kewenangan sekaligus kepercayaan besar bagi bagian HR.

Mulia Group : Bersiap Jadi Mitra Bisnis


Menyongsong era human resource (HR) sebagai strategic partner. Muiia Group mulai
berbenah dan melakukan persiapan-persiapan. Tinggal menunggu body language dari
top eksekutif perusahaan hingga divisi HR Mulia Group bisa berdampingan dengan top
eksekutif dalam melakukan formulasi strategi bisnis perusahaan dan
mengimplementasikan.
Praktisi HRyang ada saat ini di Indonesia dinilai Lukman Kristanto, Human Resources
Director Property Group Mulia, masih sibuk dan tenggelam dengan masalah administrasi.
Padahal, meski administrasi HR menyita banyak perhatian, tapi link-nya itu harus
diarahkan ke bisnis. Sebagai contoh, over time. Orang HR tahunya hanya menghitung
biaya lembur. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya itu sangat memberikan kontribusi
terhadap kompetisi sebuah perusahaan. Karena itu, orang HR sebaiknya jangan mulai
dari apa yang HR kerjakan, tapi apa yang HR buat. Ibarat pohon, jika orang HR hanya
mulai dari apa yang dia kerjakan, maka dia hanya tahu menanam pohon saja,tidak tahu
buahnya seperti apa. “Harusnya orang HR berusaha mencari cara bagaimana
menggemukkan buahnya,” kata Lukman antusias.
Seorang HR diakuinya haruslah memiliki misi yang visible, credible, dan value added.
Artinya, HR harus bisa melihat situasi, memberikan kredibilitas yang baik kepada
perusahaan. Orang HR juga harus memberikan nilai tambah terhadap bisnis dengan cara
servis yang lebih baik.
“Jangan membunuh over time karyawan. HR hanya akan tahu karyawan-karyawan yang
butuh uang kalau menekan over time, tapi tidak tahu masalahnya dimana. Bisa jadi
pimpinannya yang kurang bagus,” paparnya panjang lebar.
Sedangkan karakteristiknya adalah harus mempunyai kualitas, tepat waktu, konsisten,
komitmen, akurat, up to date, proaktif dan obyektif. "Karakteristik itu adalah poin-poin
yang harus dikembangkan HR,” lontar Lukman yang menerapkan strategi HR ni di Mulia
Group sejak pertengahan tahun 2004 lalu.
Ada tiga hal utama yang harus dimiliki orang HR yaitu tingkat pengetahuan terhadap
bisnis, keuangan dan mutu atau kualitas. “Bisnis knowledge harus dikuasai 100%, tidak
boleh ditolerir lagi.” Masalah keuangan juga menjadi fokus utama karena orang HR juga
harus mengetahui keuangan yang ada di perusahaan. Apakah perusahaan sedang rugi
atau untung. Sementara kualitas bisa didapat dengan berbagai hal seperti mempelajar i
teknologi yang baru dan sebagainya.
Ia mencontohkan, di Mulia sendiri mencoba membuat absensi karyawan tidak lagi
sekedar ada atau tidak ada karyawan. Namun dibuat dalam bentuk produktivitas rasio.
“Ini bagian dari strategi HR agar bisa menjalankan fungsinya sebagai mitra bisnis bagi
perusahaan,” paparnya.
Contoh lain, tempat parkir di Mulia Group kini dibuat lebih mudah bagi para pekerja atau
para eksekutif yang memiliki kendaraan, Selain tempat parkir yang luas, divisi HR juga
menempatkan orang-orang yang mengetahui titik-titik di mana ada tempat parkir
kosong, kemudian diakses ke komputer. “Ini nilai tambah buat kecepatan. Kan ada
gedung perkantoran yang tempat parkirnya susah atau antri sehingga bisnis mereka jadi
terhambat,” jelas Lukman seraya memaparkan bahwa yang harus memberikan nilai
tambah adalah orangnya, bukan organisasinya.
Untuk masuk dalam era HR menjadi strategic partner, Lukman dan divisinya sedang
menyiapkan formulasinya. Untungnya, divisi HR Mulia didukung penuh oleh manajemen
Mulia Group. "Manajemen Mulia Group menuntut tinggi HR mereka bisa duduk
berdampingan. Orang bilang, tangan kanan perusahaan. Bukan jadi penumpang bis yang
duduk di belakang dan cari yang paling aman,” aku Lukman lagi. Ia pun sudah
menyiapkan beberapa divisi yang sudah siap menyambut era tersebut. Begitu divisinya
melihat body language dari perusahaan muncul, orang-orangnya bisa mulai bekerja.
“Kami harus proaktif, tidak harus menunggu komunikasi dengan top eksekutif. Begitu top
eksekutif siap membuka bisnis baru, kami siap,” jelasnya.

Accenture : Posisi HR Sangat Strategis


Perusahaan yang bergerak di bidang jasa secara umum memiliki ketergantungan dengan
manusia sangat tinggi. Tak heran jika Accenture menjadikan manusia sebagai bisnis inti
perusahaan tersebut. Karena itu, tidak ada pemisahan antara manajemen dan human
resource (HR). HR menyatu dengan manajemen.
Perhatian Accenture terhadap divisi keuangan, divisi penjualan atau HR, sama besar
porsinya. Menurut Julianto Sidarto, Country Managing 0irector Accenture, jika HR tidak
jalan, maka tidak ada jasa yang bisa dijual kepada organisasi lain. "Perusahaan kami
adalah perusahaan jasa. Jadi, yang ‘dijual’ adalah manusianya, bukan barang atau produk
nyata," ungkapnya. Penjualan jasa manusia diakui Jul – sapaan akrabnya – sangat
bergantung terhadap kemampuan atau kualitas dan kultur manusia. Divisi keuangan,
pemasaran atau penjualan, sangat tergantung dari kehandalan manusia. Ia menegaskan,
Accenture akan sama khawatirnya jika penjualan jasa Accenture berkurang dengan
keluarnya salah satu karyawan Accenture.
Fungsi HR akan menjadi pendukung jika HR hanya dilihat sebatas – tools saja. Padahal,
bicara tentang HR, Jul menekankan bahwa HR bukan hanya sebatas orang HR saja, tapi
semua sumber daya manusia (SDM) yang ada di perusahaan tersebut. Sehingga, banyak
praktisi HR mengatakan bahwa fungsi HR lebih ditekankan ke lapangan. Artinya, orang
HR yang tidak terjun ke lapangan harus tetap terhubung dengan orang lapangan agar
bisa mengerti dan memahami kondisi di lapangan.
Selain itu, Accenture tidak melihat HR sebagai departemen. Mindset Accenture SDM
adalah aset penting bagi perusahaan sehingga seorang karyawan akan dilihat
kontribusinya di perusahaan. Kemudian kemampuan manusia yang sudah ada harus
dibangun agar kontribusi orang tersebut meningkat. Untuk meningkatkan kemampuan
seseorang, dibutuhkan kehandalan orang HR, kompetensi tambaha apa yang harus
diberikan kepada manusia agar kemampuannya bertambah sehingga produktivitasnya
meningkat dan perusahaan memperofeh profit. Orang HR juga harus tahu, siapa saja
yang membeli jasa, membeli jasa berdasarkan apa dan sebagainya.
Banyak kalangan berpendapat bahwa untuk perkembangan sebuah perusahaan, justru
manusialah yang harus diubah, bukan merubah yang lain seperti sarana dan prasarana.
Menurutnya, merubah yang lain juga tidak akan membantu. “Perusahaan yang bisa
menghubungkan fungsi HR-nya dengan bisnisnya adalah perusahaan yang akan sukses
menjalankan program-progamnya.”
Fungsi HR adalah menerjemahkan keinginan perusahaan masing-masing. Misalnya,
apakah divisi HR perlu SDM yang bisa menjual produk lebih baik atau produktivitasnya
lebih tinggi. Divisi HRjuga harus membuat program, program HR seperti apa yang
diperlukan, karakteristik orang apa yang dibutuhkan, bagaimana cara mengembangkan
kemampuan orang itu dan lain-lain. Di samping itu, juga dikaitkan dengan sistem
penilaiannya, sistem penggajian dan bonusnya.

Indosat : HR Sebagai Agen Perubahan


Divisi human resource (HR) di Indosat hingga kini sudah berada dalam tahap peningkatan
performance karyawan. Yang bererti, setiap karyawan dituntut untuk meningkatkan
kontribusi mereka kepada perusahaan sehingga perusahaan bisa menjadi market leader.
Namun, bukan berarti peran HR Indosat hanya cukup sampai di sini. Menurut S. Wimbo S.
Hardjito, Indosat sudah mulai memikirkan peran HR sebagai change agent atau agen
perubahan. Sebagai contoh, saat ini Indosat sedang mempersiapkan beberapa kantor
baru yang berlokasi di Jawa dan luar Jawa. Indosat menempatkan agent of development
untuk melakukan survei. “Tapi untuk menyiapkan orang-orang yang siap bekerja di kantor
tersebut, itu yang belum jalan," papar Wimbo saat ditemui HC di kantornya.
Seorang HR, sambung Wimbo, harus mengerti core business perusahaan dan mengetahui
kebutuhan di lapangan seperti apa. Kendati hingga kini divisi HR di Indosat sudah ikut
membantu dalam pengambilan keputusan, tapi belum sampai ke tahap strategic partner,
misalnya mengantisipasi bisnis perusahaan ke depan. Alasannya, bisnis di dunia
pertelekomunikasian itu gampang berubah-ubah dalam waktu singkat. Jika dulu
perusahaan telekomunikasi core business-nya lebih ke arah selular, kini sudah fokus ke
teknologi informasi.
“Begitu kami persiapkan orang-orang handal di selular, eh malah berubah lagi,” ujar
Wimbo sambil tertawa. Secara pribadi, Wimbo menekankan bahwa divisi HR di Indosat
belum perlu menjadi strategic partner. Artinya, bisnis telekomunikasi untuk ke depan
sangat sulit� dipastikan. “Cukup jadi pendamping bisnis saja,” imbuhnya. Divisi HR
cukup mengikuti top eksekutif dalam melakukan formulasi strategi perusahaan, tidak
perlu berdampingan. “Soalnya, kalau salah, maka salah semua. Biaya yang keluar untuk
menyiapkan orang-orangnya akan menjadi sia-sia.”
Ia menambahkan, persaingan dalam bentuk jaringan infrastruktur lebih mudah untuk
mengejarnya. Yang susah adalah menyiapkan orang-orang handal untuk ditempatkan di
perusahaan. “Perbedaan munculnya di orang, bukan di perangkat. Tak heran jika orang
HR menjadi mahal karena divisi HR yang menentukan kesiapan sumber daya manusia di
perusahaan. Bisa saja barang atau produknya sama, tapi pembungkusnya atau orangnya
beda.
Meski hanya sebatas pendukung bisnis, Wimbo tetap optimis dalam memimpin divisinya.
“Orang HR memang tidak terlalu dikenal orang karena berada di belakang layar. Beda
dengan orang marketing,” lontamya. Bagi Wimbo, hanya ada nilai nol dan minus untuk
orang HR. jika prestasi orang HR bagus, maka dia akan mendapat nilai nol. Tapi kalau
prestasinya buruk atau ada kesalahan, maka dia akan mendapat nilai minus. “Beda
dengan marketing yang nilainya plus, minus dan nol,” tuturnya.
Business Process Outsourcing : Gelombang Globalisasi Kedua
No. 17 - Agustus 2005
Masa depan industri outsourcing global terletak pada Business Process Outsourcing
(BPO). Tahun 20IO, sebanyak l.3I4 juta pekerjaan BPO akan dialihdayakan ke luar Amerika
Serikat, menghasilkan penghematan US,34 miliar. India paling diuntungkan. Bisakah
Indonesia ikut bersaing?
Gelombang pertama globalisasi telah dimulai lebih dari dua dekade silam dengan
berpindahnya usaha pembuatan sepatu, garmen, elektronika berharga murah, dan
peralatan mainan ke negara-negara sedang berkembang. Industri yang sering disebut
dengan sunset industry ini terus bergeser dari negara-negara dengan biaya produksi
lebih tinggi ke negara berbiaya lebih murah. Indonesia sempat kecipratan menjadi pilihan
investasi bagi lokasi industri-industri di atas. Gelombang pertama ini diikuti dengan
perpindahan jasa sederhana, seperti memproses tagihan kartu kredit, penulisan kode
piranti lunak, dan sejenisnya.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, dunia memasuki gelombang globalisasi kedua
dengan berpindahnya pekerjaan-pekerjaan berbasis pengetahuan dari negara maju ke
negara berkembang. India adalah negara yang paling banyak menjadi pilihan outsourcing
berkat tersedianya tenaga-tenaga terampil dan mampu berbahasa Inggris. Ragam
kegiatan bisnis yang dialihdayakan ke India mulai dari dari call center hingga
menerjemahkan hasil pemeriksaan medis, memproses pinjaman rumah dan tagihan
asuransi, serta mendesain chip ponsel. Boleh dikatakan India kini telah menjadi back
office utama dari perusahaan-perusahaan terkemuka Amerika dan Eropa.
Selain India, beberapa negara berkembang lain telah menjadi pilihan untuk menerima
pekerjaan outsourcing global. Me-reka memiliki tenaga terdidik berkualitas dalam jumlah
memadai dan infrastruktur teknologi terkini, Hampir semua pekerjaan berbasis
pengetahuan kini bisa dikerjakan di mana saja. “Anda akan melihat ledakan pekerjaan
yang pergi ke luar negeri,” tulis analisis Forrester Research Inc. Lembaga ini
memperkirakan sedikitnya 3,3 juta pekerjaan kerah putih (white-colar jobs) dan US6
miliar gaji berpindah dari Amerika ke negara-negara berbiaya lebih murah sebelum tahun
2015.
Tren yang sama terjadi di Eropa. Bank terbesar di Inggris HSBC memiliki back office yang
besar di India dan China, perusahaan Perancis memilih Mauritius, perusahaan raksasa
Jerman memiliki pusat dukungan di negara-negara Eropa Timur maupun India. Pusat-
pusat riset raksasa dunia, macam Microsoft, GE, dan Philips, kini berada di India dan
China. GE mempekerjakan lebih dari 6.000 orang ilmuwan dan insinyur di 10 negara
berbeda. Menurut pejabat GE, keuntungan utama dari praktik ini adalah keberhasilan
perusahaan mendapatkan talenta terbaik dari berbagai negara.
Kendati Microsoft terlambat melakukan outsourcing ketimbang para pesaing, William H.
Gates III bergerak dengan cepat. Selama 3 tahun, Microsoft mengumumkan akan
melakukan investasi senilai US0 juta di India. Sementara di China, Microsoft
mengalokasikan dana US0 juta untuk R8 D dan outsourcing di China. Sepertiga dari 180
programer di lab riset Microsoft Beijing adalah PhD lulusan Amerika.
Menurut Santhosh Joseph, CEO Ma Foi Asia Pacific, paling lambat 2010 jumlah pekerjaan
BPO (non-TI) akan berpindah dari Amerika Serikat, menghasilkan penghematan senilai
US,34 miliar. Se-mentara, perusahaan di Inggris akan mengalihkan 201.100 pekerjaan
RPO (non-TI), menghasilkan penghematan US,34 miliar.
Bidang-bidang yang dialihdayakan, di antaranya, layanan pelanggan, keuangan dan
akuntansi, penerjemahan, transkripsi, rekayasa rancang bangun, layanan HR, pencarian,
integrasi, dan manajemen data, pendidikan jarak jauh, layanan hukum, layanan medis,
Jan riset serta pengembangan. Biaya gaji di India atau negara berkembang lainnya hanya
60% dari gaji karyawan yang sama di Amerika. Gaji awal insinyur di India hanya US.000
per tahun. Bagi negara dengan pendapatan per kapita US0 per tahun, gaji sebesar itu
sudah cukup lumayan. Hasil studi McKinsey & Co. dan Asosiasi Piranti Lunak India
Nasscom, sebelum 2008 nilai ekspor pekerjaan TI dan jasa lainnya dari India mencapai
U5 miliar, menyerap 4 juta orang, dan berkontribusi 7% dari GDP.
BPO di bidang HR salah satu yang menarik. Proses bisnis HR yang bisa dialihdayakan
meliputi pengelolaan gaji, layanan informasi SDM, rekrutmen, pelatihan dan
pembelajaran. Nilai BPO HR di Amerika diperkirakan mencapai US miliar lebih tahun ini.
Dari jumlah itu, Newitt berhasil mendapatkan pemasukan sekitar US miliar atau 35%
tahun 2004 (sampai akhir Juni). Hewitt sepenuhnya menggarap BPO HR dengan 800.000
karyawan bekerja dalam BPO HR penuh.
Na Boon Chong, konsultan senior Hewitt Singapura, mengutip data Gartner, mengatakan
ada 3 tahapan utama dalam bernegosiasi dengan vendor outsourcing. Level pertama,
utility deal jasa yang ditawarkan diberikan tepat waktu dan lebih murah dibandingkan
yang lain). Level kedua, enhancement deal (harga hal yang penting, begitu pula
peningkatan proses, kecepatan, dan skalabilitas). Level ketiga, frontier deal (harga tidak
begitu penting, kesepakatan diciptakan secara radikal untuk merestrukturisasi dan
meningkatkan sebuah proses utama atau unit bisnis). Makin tinggi levelnya, maka makin
rumit outsourcingnya.
Salah satu jenis BPO yang ditawarkan oleh Hewitt adalah bidang penggajian
(kompensasi), yang mereka sebut sebagai reward outsourcing (lebih dari sekedar gaji,
outsourcing transaksi manfaat). Dalam reward outsourcing, ada data plus yang bernilai
tambah, analitikal dan tolak ukur. Juga desain dan pertimbangan implementasi serta
konsultansi yang diberikan Hewitt.
Proses implementasi outsourcing pada mulanya bisa saja berlangsung di kantor klien, dan
secara bertahap pindah ke fasilitas milik BPO. Dalam proses transisi ini harus dilakukan
pemetaan dan pemahaman terhadap dimensi kualitas, antara lain, dengan membuat tim
khusus, konsep praproduksi, perencanaan proyek, tolak ukur kualitas, dan dasar penilaian
kinerja perusahaan terhadap vendor BPO,” sambung Santhosh Joseph.
Pertanyaan yang menarik, sejauh mana peluang Indonesia untuk ikut berebut kue BPO
global itu? Peluangnya, menurut Santhosh Joseph, sebetulnya ada. Ia memperkirakan
sebelum 2010, India dan China mungkin akan terlalu mahal untuk menyediakan BPO
untuk layanan dasar. Kue tersebut bisa saja berpindah ke negara-negara lain, macam
Indonesia, Ukraina, Belarus, Vietnam, dan sebagainya.
Tetapi, untuk mewujudkan mimpi tersebut, masih terlalu panjang jalan yang harus
ditempuh Indonesia. Malaysia jauh lebih maju dari kita, dan banyak perusahaan BPO
global yang memilih negara itu sebagai basis operasi mereka di luar India – termasuk Ma
Foi. Melalui proyek Multimedia Super Coridor (MSC), yang dikelola oleh Multimedia
Development Corp., Malaysia menyediakan infrastruktur teknologi, insentif finansial, dan
dukungan regulasi yang kondusif. Hal ini memungkinkan proses bisnis yang efisien.
Ditambah dengan relatif tersedianya tenaga terampil berbahasa Inggris, Malaysia paling
siap menjadi pesaing India.
Kecuali itu, lanjut Joseph, di Malaysia juga tersedia tenaga terampil berbahasa
China/Mandarin sehingga memungkinkan untuk merebut pasar dari negara-negara
berbahasa China. "Di Indonesia talenta seperti itu juga banyak, sehingga bisa saja hal itu
suatu saat dimanfaatkan.”
Semuanya kini terpulang kepada pemerintah, karena langkah mewujudkan mimpi ini
membutuhkan dukungan penuh pemerintah. Beberapa perusahaan Indonesia macam
Jatis/Firium dan Sigma, misalnya, telah membuktikan diri mereka kompeten dan berniat
serius merebut pasar BPO tersebut. Dua putera Indonesia bahkan membuktikan diri
mereka jago mendesain program piranti lunak dengan menjadi juara dalam kompetisi
Google global yang diselenggarakan di India.
Modal awal sebetulnya kita sudah punya.
Outsourcing, Mau Kemana?
No. 17 - Agustus 2005
Seminar “Outsourcing: Regulation, Strategy Trend” yang diadakan majalah Human Capital
di Hotel Ritz Carlton 20 Juli 2005 berhasil menyamakan persepsi para pelaku bisnis
tentang praktik outsourcing. Masalah hukum perundang-undangan masih mengganjal,
tetapi ada keinginan bersama untuk mencarikan jalan keluar terbaik.
Hari telah menunjukkan jam 20.30 ketika Dian, 27 tahun, bersama sejumlah rekannya
meninggalkan kantornya tempat bekerja di kawasan Mampang, Jakarta. Sebagai
karyawan yang bekerja di bagian pengolahan transaksi, ia harus menyelesaikan
pekerjaannya hingga malam hari. Sabtu pun ia masuk kerja. Meski bekerja di sebuah
bank nasional, Dian dan temannya itu bukanlah karyawan bank tersebut. Ia adalah
pegawai sebuah perusahaan outsourcing yang ditempatkan di cabang bank tersebut. Toh
ketika ditanya perasaan hatinya tentang pekerjaan yang ditekuninya, ia tetap
bersemangat: “Saya gembira mendapatkan pekerjaan ini meskipun hanya dikontrak.
Banyak pengetahuan, keahlian, dan pengalaman baru yang saya peroleh selama bekerja
di sini. Semuanya itu bisa menjadi modal untuk menghadapi tantangan karir lebih lanjut,”
ungkapnya tersenyum manis.
Hampir 3 tahun bekerja di perusahaan outsourcing ini, dan selama itu pula ia telah
banyak membantu meringankan beban orang tuanya yang masih harus menyekolahkan
adik-adiknya. Gaji Rp 2,5 juta per bulan sangat membantu dirinya dalam mencukupi
kebutuhannya sebagai wanita. Ke mana-mana ia bisa membawa ponsel merek terkenal
yang tergolong lumayan mahal. “Saya berharap bisa menjadi karyawan permanen di
bank ini atau di perusahaan lain berdasarkan pengalaman bekerja yang saya miliki,”
ungkapnya penuh harap.���������
Sebagai pria, Waskito, 28 tahun, yang bekerja di sebuah perusahaan outsourcing dan
ditempatkan di sebuah perusahaan telekomunikasi, juga bersyukur atas pekerjaan yang
didapatnya meski hanya berstatus kontrak.
“Kesempatan untuk bekerja di perusahaan terkemuka ini sangat sulit didapat melalui
jalur normal. Ini bisa menjadi bekal untuk melamar di perusahaan lain sebagai tenaga
permanen,” katanya. Tidak seperti Dian, Waskito adalah anak bungsu sehingga tidak
harus membantu biaya sekolah adik-adiknya. Ia lebih banyak membantu ekonomi
keluarganya, karena kedua orang tuanya sudah mulai sakit-sakitan.
Kegembiraan tetap terpancar di wajah-wajah mereka yang bekerja di perusahaan
outsourcing tanpa banyak terpengaruh oleh status mereka. Di tengah lapangan kerja
yang sangat sempit dan tingkat pengangguran yang mencapai 44 juta lebih, bekerja
telah menjadi barang mewah pasca krisis ekonomi ini di Indonesia. Sewajarnyalah
mereka bersyukur, karena mereka pun masih punya pengharapan untuk bisa bekerja
sebagai karyawan tetap mengungguli pencari kerja yang belum berpengalaman sama
sekali. Syukur-syukur perusahaan di mana mereka dipekerjakan membutuhkan karyawan
dan memilih mereka karena memiliki kinerja bagus.
Andreas Rudy Diantoro, Managing Director PT Hewlett-Packard (HP) Indonesia, pernah
merekrut tenaga paruh waktu (outsourcing) karena melihat kinerja kerja yang
bersangkutan sangat baik. Bagi perusahaan, katanya, lebih baik merekrut orang yang
sudah jelas kompetensi dan kinerjanya ketimbang mencari lagi orang baru. “Mereka pun
tidak perlu belajar lagi terlalu banyak dan melakukan penyesuaian diri dengan
lingkungan perusahaan,” ujar peraih salah satu President Ciub HP tersebut. Dengan
perkataan lain, yang bersangkutan tinggal tancap gas sehingga menjadi lebih produktif
bagi perusahaan. Contoh lain, masih menurut Andreas, adalah beberapa profesional ahli
HP Indonesia yang lebih suka bekerja berdasarkan kontrak ketimbang menjadi pegawai
tetap. Proyek yang mereka garap tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara
lain di mana HP beroperasi. Alasannya, uang yang diperoleh jauh lebih besar daripada
hanya menjadi pegawai. “Mereka malah tidak mau menjadi karyawan permanen,” ujar
ayah dua anak itu.
Beberapa contoh di atas merupakan sekelumit kisah nyata betapa praktik outsourcing
memberi banyak manfaat bagi sejumlah kelompok masyarakat. Bagi mereka, praktik
outcoursing tidak “seseram” yang digembar-gemborkan para LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) dan segelintir Serikat Pekerja (SP). Selama ini, praktik outsourcing dituduh
aktivis LSM telah mengaburkan bentuk hubungan kerja antara perusahaan dengan
karyawannya, menimbulkan ketidakpastian, dan melahirkan perbudakan modern.
Sofyan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)/Chairman Grup
Gemala yang memiliki 15.000 karyawan lebih, cukup masgul dengan tingkat polah para
LSM tenaga kerja tersebut. “Mereka berteriak-teriak seakan-akan membela kepentingan
tenaga kerja dan membentuk SP padahal anggotanya tidak signifikan. Ini mengganggu
operasional perusahaan, sehingga kalau arus kas perusahaan terganggu akibat hasutan
mereka akibatnya para karyawan itu sendiri juga kena dampaknya. Repotnya, para
aktivis itu mencari makan dengan cara itu agar mendapat dana dari luar negeri. Kok ada
orang seperti ya,” tanyanya.
Reformasi bidang ketenagakerjaan di Indonesia dinilai banyak perusahaan maupun
investor dalam dan luar negeri telah kebablasan. Mulai dari kewajiban memberi PHK
kepada karyawan yang diberhentikan tanpa mau tahu alasan pemberhentian hingga
dibolehkannya pembentukan SP lebih dari satu dalam perusahaan. “Tidak ada negara
yang membuat peraturan ketenagakerjaan seperti itu,” ungkap Sofyan Wanandi.
Sementara dari sisi produktivitas, pekerja Indonesia jauh tertinggal dibandingkan pekerja
negara lain.
Ditambah dengan ketentuan jam kerja yang lebih pendek dibandingkan ketentuan di
negara lain, maka lengkaplah borok ketenagakerjaan Indonesia. Hal ini membuat para
investor asing menunda rencana investasinya di Indonesia. Alasannya, mereka
menunggu Indonesia berubah terlebih dahulu. Penundaan rencana investasi itu tentu
berdampak besar terhadap penciptaan lapangan kerja di Indonesia, satu hal yang kini
sangat didambakan oleh bangsa ini. Sayangnya, mereka yang bergerak dalam bidang
ketenagakerjaan – termasuk Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depna-kertrans)
– tidak tergerak untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini agar tidak lagi menjadi
penghambat kegiatan investasi dan bisnis.
Kebijakan populis pada era pemerintahan sebelum ini mulai menghasilkan “buah” yang
pahit. Bandul pemihakan yang terlalu ditarik untuk melindungi kepentingan tenaga kerja
menyebabkan beban berlebihan dari sisi perusahaan. Ini mirip zero-sum game di mana
hasil akhirnya tetap segitu-gitu aja, bahkan lebih merugikan lagi. Gara-gara ingin
membela tenaga kerja secara tidak proporsional, pembukaan lapangan kerja melalui
kegiatan investasi dan bisnis menjadi sulit terlaksana.
“Seharusnya semua pihak menyadari bahwa Indonesia saat ini sangat membutuhkan
lapangan kerja,” tegas Sofyan. Pernyataan pengusaha senior ini diamini oleh Iftida Yasar,
Presiden Direktur PT Perdana Perkasa Elastindo (Persaels), salah satu perusahaan
outsourcing terbesar saat ini di Tanah Air. “Apa saja kegiatan yang bertujuan menciptakan
lapangan kerja yang halal seharusnya didukung penuh oleh siapa saja, termasuk melalui
kegiatan outsourcing,” tukasnya tak kalah mantap. Iftida dan eksekutif sejumlah
perusahaan outsourcing selama ini merasa bisnis outsourcing dipandang negatif
keberadaannya atau kurang dihargai perannya.

Sebuah Keniscayaan
Dalam kompetisi bisnis yang semakin sengit dan mengglobal, keberlangsungan usaha
perusahaan sangat ditentukan seberapa efisien dan efektif mereka bersaing di pasar.
Kerasnya persaingan itu berdampak pada daya tahan perusahaan. Menurut Andreas
Diantoro, umur bertahan perusahaan kini semakin pendek dibandingkan periode masa
lalu. “Umur perusahaan kini hanya seperlima dari kondisi pada masa lalu,” tuturnya. Oleh
sebab itu, daya saing sangat menentukan. Dalam konteks daya saing itu pula,
outsourcing menjadi pilihan yang tidak terhindarkan.
Pakar manajemen Charles T. Fote, seperti dikutip Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial
Depnakertrans Dr. Muzni Tambusai, mengatakan bahwa kecenderungan perusahaan
untuk melakukan semua aspek bisnis dari hulu ke hilir secara sendirian sudah tidak bisa
lagi. Ada jenis pekerjaan yang tidak efisien dikerjakan sendiri dan secara kualitas lebih
baik bila dikerjakan pihak spesialis. Kalau tidak, rentang kendali perusahaan akan
menjadi sangat panjang dan organisasi menjadi gendut sehingga tidak lincah bergerak di
pasar.
Tengoklah bagaimana perusahaan raksasa Airbus atau Boeing memutuskan hanya fokus
pada rancang bangun, pemasaran, dan purna jual dari pesawat-pesawat mereka. Mereka
membeli mesin dari Rolls Royce atau Pratt & Witney, sistem instrumentasi dari
perusahaan lain, dan menyerahkan berbagai pembuatan komponen pesawat kepada
berbagai vendor, termasuk PT Dirgantara Indonesia (DI).
BUMN Indonesia ini sedang mengerjakan kontrak dari British Aerospace System dalam
pembuatan komponen sayap pesawat raksasa Airbus 380 senilai US juta. Pekerjaan
komponen sayap juga diperoleh untuk Airbus A320, A321, dan A319 senilai US juta. Dari
pola outsourcing ini terlihat bahwa DI tidak berhubungan langsung dengan Airbus,
melainkan menerima pekerjaan dari British Aerospace System yang telah ditunjuk Airbus
sebagai vendor outsourcing komponen pesawat Airbus.
Praktik serupa telah sejak lama dilakukan industri otomotif, permesinan industri, sepatu,
dan banyak lagi. Di markasnya Aichi, Jepang, raksasa Toyota hanya menyatukan seluruh
komponen mobil mereka dari berbagai vendor dan mengerjakan pekerjaan akhir,
termasuk memasang logo Toyota. Kecuali lebih efisien dalam pembuatan komponen,
dengan sistem Just in Time (JiT) efisiensi juga diperoleh di dalam pengelolaan mata rantai
pasok (supply chain).
Makin ke sini, perusahaan manufaktur cenderung mengalihdayakan proses produksi
kepada pihak lain yang telah mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Mereka
cenderung fokus pada proses yang lebih strategik dan bernilai tambah, seperti proses
rancang bangun, pemasaran, pelayanan pelanggan, dan manajemen merek. Praktik ini
juga diterapkan dalam bisnis yang lebih kecil, misalnya menyerahkan pembuatan batik
kepada pengrajin batik sementara merek dan pemasarannya dikelola Danarhadi, Batik
Keris, dan perusahaan batik lainnya.
Dalam industri perminyakan, tutur Vice President HR Medco Energi Billy R. Assa,
oursourcing berlangsung secara meluas, tidak hanya pada aspek-aspek pendukung
macam transportasi atau konsumsi, melainkan juga pada aspek eksplorasi dan eksploitasi
(hal yang selama ini dianggap pihak lain sebagai core business). Paling tidak dari aspek
sumberdaya manusianya. “Nature industri migas global memang begitu,” ucapnya. Maka,
jangan kaget bila berkunjung ke lapangan operasi Medco di berbagai daerah,
menemukan para mekanik/teknisi yang bukan karyawan Medco, melainkan karyawan
perusahaan outsourcing.
Bila kita, sebagai konsumen, beranggapan bahwa semua orang yang bekerja di Telkomsel
adalah karyawan Telkomsel, sudah saatnya pandangan ini dikoreksi. Dewasa ini, menurut
Vice President HR Telkomsel N. Krisbiyanto, di Telkomsel bekerja sekitar 2.300 karyawan
outsourcing. Terbesar di call center dan layanan pelanggan, satpam, dan pengemudi.
Berikutnya adalah pelayan kantor, validasi, administrasi hingga sekretaris. Jumlah
tersebut akan terus bertambah menuju 2009, tahun di mana transformasi dengan model
bisnis baru ditargetkan berjalan secara penuh di Telkomsel.
Outsourcing itu akan menyentuh semua aspek bisnis Telkomsel: pemasaran, operasional,
keuangan, teknologi informasi (Tl), perencanaan bisnis, dan dukungan bisnis.
Umpamanya di bidang operasi, akan dialihdayakan kegiatan instalasi, pengembangan,
dan pemeliharaan jaringan. Pertimbangannya, teknologi jaringan ini dikuasai oleh vendor-
vendor kelas dunia macam Siemens, Ericsson, Alcatel, Nokia, dan sebagainya. Mereka
memberikan solusi terpadu dari penyediaan produk hingga instalasi, perawatan, dan
pengembangan teknologinya. Dengan kondisi seperti itu, kelak Telkomsel tidak perlu
tenaga teknik dalam jumlah besar di bidang jaringan ini.
Praktik outsourcing, lanjut N. Krisbiyanto, akan menyebabkan ratio produktivitas
Telkomsel yang diukur dalam jumlah pelanggan/ karyawan akan tetap terjaga. Saat ini,
Telkomsel memiliki 21 juta pelanggan dan 3.500 karyawan. Tahun 2009, perusahaan
menargetkan pelanggan naik menjadi 37 juta pelanggan dengan jumlah karyawan hanya
bertambah sedikit menjadi 5.000 orang saja. “Pertambahan pelanggan sebesar itu tidak
harus dibarengi dengan kenaikan karyawan secara besar-besaran. Selain penataan ulang
personil dan organisasi, solusinya adalah melalui outsourcing,” tambah pria yang akrab
dipanggil Kris itu.
Di dalam bisnis perbankan, outsourcing juga sesuatu yang bersifat imperatif. Faktor
jumlah karyawan yang berlebihan dan berujung pada inefisiensi telah menjadi masalah
laten. Selama ini, mayoritas bank di Indonesia telah melakukan PHK berulangkali karena
mengalami kelebihan karyawan dan perubahan lingkungan bisnis. Setelah PHIC
dilakukan, organisasi kembali mekar tidak terkendali, yang pada akhirnya berujung pada
PHK baru.
Masalah klasik ini, menurut Pemimpin Divisi SDM Bank BNI Adhianto Sardjono,
mengharuskan bank mencari solusi terbaik. “Unit-unit tidak diperkenankan lagi
melakukan rekrutmen tenaga tidak tetap yang ikatan kerjanya langsung dengan BNI
untuk pekerjaan apapun,” ujarnya. Belajar dari pengalaman buruk beberapa tahun lalu,
BNI kini mengontrol penuh proses rekrutmen karyawan, dan mengutamakan melalui
praktik outsourcing.
BNI menerapkan dua model outsourcing: pertama, dilakukan di BNI sebagai penyedia
pekerjaan; kedua, dilakukan di perusahaan penyedia jasa outsourcing. Mengingat
kerahasiaan data yang sangat penting, BNI lebih mengutamakan pilihan pertama.
Tak hanya personil, beberapa bank bahkan mengalihdayakan peralatan TI mereka,
termasuk PC sekalipun. Sebuah bank terkemuka menyerahkan pengadaan dan
pemiliharaan puluhan ribu PC dan peralatan pendukungnya kepada HP Indonesia. Praktik
ini menekan biaya investasi (Total Cost of Ownership/TCO) maupun perawatannya.
Dengan cara ini, ujar Andreas, perusahaan bisa fokus kepada inovasi ketimbang aspek
perawatan yang selama ini terjadi.

Hukum: Nggak Nyambung


Bila outsourcing telah menjadi pilihan terbaik bagi perusahaan untuk survive, sayangnya
ketentuan hukum mengenai outsourcing tidak nyambung dengan praktik bisnis di
lapangan. Aspek regulasi outsourcing hanya dinaungi oleh UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, namun tidak secara eksplisit menyebut outsourcing tetapi hanya istilah
pemborongan pekerjaan (Pasal 64,65, dan 66). Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dalam
Kepmenakertrans No. 101/ Men/Vl/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No. 220/Nen/X/2004 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Ada beberapa isu besar yang selama ini dikritik kalangan perusahaan tentang ketentuan
hukum tersebut, antara lain, kegiatan yang boleh dialihdayakan hanya tergolong
penunjang (bukan core business), dilakukan terpisah dari kegiatan utama (baik
manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan), dan jangka waktu kontrak
maksimal 3 tahun. Nafas dari ketentuan hukum ini adalah melindungi kepentingan
karyawan, tetapi bunyi ketentuan hukum itu terasa sangat janggal dan tidak bisa
diterapkan di lapangan.
Contohnya, penentuan mana kegiatan bisnis yang dianggap penunjang (non-core) dan
mana yang utama (core). “Penentuan mana kegiatan core dan non-core di era bisnis saat
ini dan ke depan sudah tidak relevan lagi,” tukas Sofyan Wanandi, Dari sisi praktik
perusahaan, N. Krisbiyanto dan Billy Assa pun menilai semakin kaburnya batas antara
kegiatan core dan non-core tersebut. “Pengelolaan jaringan telekomunikasi, misalnya,
bisa saja dianggap core, tetapi perusahaan merasa ada yang lebih spesialis dalam bidang
ini,” kata Kris. Di industri migas, aspek eksplorasi dan eksploitasi migas telah sejak lama
dialihdayakan. Dan, praktik ini tidak hanya terjadi di Indonesia. “Kalau itu dianggap core
business, menurut UU jelas tidak boleh dialihdayakan,” Billy menimpali.
Perdebatan soal kegiatan utama dan penunjang itu juga merasuk ke dunia perbankan.
Beberapa pejabat Depnakertrans menegaskan, teller termasuk kegiatan utama
perbankan dan oleh karenanya tidak bisa dialihdayakan. Alasannya, tanpa fungsi teller,
operasional perusahaan akan terganggu ataupun terhenti. Dalam praktiknya, banyak
bank yang menilai teller bukanlah fungsi utama, melainkan hanya fungsi penunjang.
Bank menilai teller hanyalah satu dari sejumlah delivery channel layanan perbankan,
selain ATM, mobile banking, internet banking, dan sebagainya. Karena biayanya yang
paling mahal, kebanyakan bank di dalam maupun luar negeri mendorong nasabahnya
untuk memanfaatkan layanan berbasis elektronik ketimbang jaringan kantor (teller)
dengan mengenakan biaya transaksi yang lebih murah.
Pada praktiknya, setiap bank memiliki sistem berlapis dalam mengelola para tellemya.
Fungsi teller lebih kepada pengadministrasian umum, sedangkan fungsi strategik
(pendokumentasian, pemrosesan, dan pengawasan) tetap dikontrol karyawan bank. Hal
ini menyebabkan tingkat ketergantungan bank terhadap teller tidak selalu tinggi –
meskipun ini tidak berarti bahwa fungsi teller tidak penting. Saat ini, semakin banyak
bank besar maupun bank di daerah (BPD) mengalihdayakan fungsi teller kepada pihak
lain. Salah satu BPD yang menerapkannya adalah BPD Yogyakarta. Tidak hanya teller,
beberapa fungsi lainnya juga dialihdayakan.– “Sekitar 40% karyawan kami adalah
karyawan outsourcing,” tutur Arif Yulianto, Pejabat Bidang SDM BPD Yogyakarta.
Menilik praktiknya yang sangat berbeda dengan UU, maka pada dasamya ketentuan core
dan non-core tidak bisa ditetapkan oleh pemerintah maupun karyawan, melainkan oleh
perusahaan itu sendiri, “Semuanya harus diserahkan kepada perusahaan, karena
merekalah yang paling tahu,” ujar Sofyan Wanandi. Hal senada disampaikan oleh Bagus
Medi dari PT Citra Marga Nusaphala. Pihak Depnakertrans tidak lagi kukuh soal ketentuan
core dan non-core ini dengan mau mendengarkan aspirasi perusahaan. “Perusahaan
harus menyampaikan usulan kepada pemerintah tentang hal tersebut,” ujar Dr. Muzni
Tambusai. Lagi pula, dalam ketentuan UU, perusahaan tidak perlu minta ijin Dinas Tenaga
Kerja setempat dalam melaksanakan outsourcing, kendatipun tetap harus
memberitahukannya.
Soal jangka waktu kontrak yaitu maksimal 2 kali perpanjangan atau 3 tahun, inipun dinilai
perusahaan menimbulkan ketidakpastian kepada karyawan. Ketentuan mengatakan,
setelah masa kontrak 3 tahun, karyawan outsourcing harus diputus masa kerjanya (di-
break) selama 30 hari sebelum dipekerjakan lagi di perusahaan ain. Eko, manajer dari
sebuah perusahaan outsourcing, menilai ketentuan ini justru merugikan karyawan.
“Banyak karyawan yang masih betah menjalani pekerjaannya karena terlanjur senang
dengan lingkungan maupun sifat pekerjaannya. Mereka itu harus tetap diputus. Itu pun
kalau dia masih beruntung bisa ditempatkan di perusahaan lain setelah istirahat 30 hari,”
ungkapnya serius, sambil menambahkan. “Ini kan menimbulkan masalah yang tidak
perlu.” Ketentuan itu, menurut Anggota Tim Asistensi Menakertrans/ Mantan Ketua P4
Pusat I Wayan Nedeng, bertujuan untuk memastikan bahwa karyawan outsourcing atau
PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) tidak bersifat selamanya, dan jika terus bekerja
harus diubah menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) oleh perusahaan
pemberi pekerjaan outsourcing. Selama nafas UU seperti itu, maka ruang bergerak untuk
melakukan revisi di lapangan menjadi lebih sempit.
Eko mengusulkan, ketentuan seperti itu dihapuskan saja. “Dalam situasi yang serba sulit
saat ini, bekerja menjadi sangat mewah. Pemerintah seharusnya berpikir dalam konteks
penciptaan lapangan kerja. Bukan ingin sekedar melindungi karyawan, malah hasilnya
tidak baik bagi karyawan,” tegasnya. Tidak akan adanya gunanya bila Pemerintah terus
memaksa perusahaan merekrut karyawan permanen, sementara perusahaan sendiri
merasa itu bukan jalan terbaik.
“Toh perusahaan melihat outsourcing sebagai pilihan yang paling efisien jangka pendek
maupun jangka menengah dan panjang,” tambah Gianto R. Y. dari Bogasari Fluor Mills
(Indofood). Ada sejumlah kerugian yang diderita perusahaan jika selalu menambah
karyawan tetap. Kecuali biayanya sudah mahal, Gianto menilai karyawan tetap merasa
keenakan sehingga dorongan untuk bekerja dan berkreasi lebih baik menjadi berkurang.
“Mereka berpikir tidak mungkin dikeluarkan,” katanya.
Kontroversi perundang-undangan di bidang outsourcing ini sudah saatnya diakhiri dengan
melakukan sejumlah perbaikan. “Seringkali pembuat ketentuan hukum di bidang
ketenagakerjaan ini tidak mengerti materi yang mereka buat,” kritik Sofyan disambut
tawa hadirin. Menjawab kritik ini, I Wayan Nedeng membantah bahwa pembuatan materi
ketentuan hukum ketenagakerjaan sepenuhnya dimonopoli oleh pemerintah. “Semuanya
dilakukan secara tripartit, dengan melibatkan pihak perusahaan,” tegasnya. Kalaupun
hasilnya tetap tidak memuaskan pengusaha, boleh jadi partisipasi aktif mereka belum
optimal.
Bahwa outsourcing tidak bisa dihindari, semua pihak makfum adanya. Yang diperlukan
saat ini adalah regulasi ketenagakerjaan yang lebih fleksibel karena sifat alamiah dunia
ketenagakerjaan yang kini sangat menuntut fleksibilitas. Pemerintah perlu
memformulasikan ulang kebijakannya dengan menyusun Flexible Workforce Market Policy
yang jelas dan menjadi acuan bagi semua pihak.
Developing The Leader Within You
No. 17 - Agustus 2005
Beberapa waktu lalu, John C. Maxwell, salah satu top speaker untuk topik-topik
leadership, hadir sebagai pembicara tunggal pada seminar di Jakarta. Ada beberapa
prinsip kepemimpinan yang ia sampaikan, termasuk 6 Preview dari 25 Prinsip Menjalin
Komunikasi dengan People secara efektif.

Berikut adalah beberapa prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Maxwell yang
disarikan oleh Andy Juniarso, CEO Quantum Leap, dosen di beberapa perguruan tinggi di
Jakarta, yang sering tampil sebagai pembicara atau penterjemah berbagai seminar
publik.

Menurut John C. Naxwell, pemimpin sejati idealnya mempunyai tujuan hidup yang jelas
dan terutama mempunyai minat yang besar untuk memimpin umat manusia menuju
tujuan yang jelas tersebut. Walaupun tidak menjelaskan dengan contoh seorang person,
tetapi menurut John, dari hasil interview-nya dengan sekian banyak pemimpin
perusahaan dan institusi di Amerika. mereka yang telah berhasi menjadi pemimpin di
perusahaan besar ataupun pemimpin massa, adalah mereka yang mempunyai suatu visi
(tujuan hidup) yang jelas serta misi yang dipahaminya.

Minat yang besar dalam memimpin suatu perusahaan, institusi atau sekelompok besar
manusia / profesionaI atau umat adalah salah satu sumber motivasi terbesar dan penting
dari dalam diri seseorang pemimpin yang berhasil. John menyarankan bagi para calon
pemimpin agar berhasil yaitu pertama-tama agar mempunyai tujuan hidup yang jelas,
yang dipahaminya benar, yang sangat diinginkan dan diperjuangkannya. Idealnya tujuan
hidup tersebut bernilai baik bagi banyak orang, berkualitas atau dihargai oleh pemilik
perusahaan (shareholder) sehingga banyak orang akan mendukungnya, dengan sukarela
atau termotivasi untuk mengikutinya pula.

John menganalisis bahwa seringkali calon pemimpin yang kurang berhasil, hanya memilih
tujuan hidupnya semata untuk memilikinya, tetapi tidak benar-benar menginginkannya,
bahkan tidak punya gairah (desire) untuk mencapainya. Semua hanya angan-angan, cita-
cita setinggi langit, yang hanya dilihat dan dikagumi, tak pernah berusaha untuk
meraihnya.

Prinsip kedua : Growth

Pertumbuhan adalah proses dan siklus kehidupan yang natural dan bertahap. Barang
siapa yang bisa menjalankannya dengan konsisten dan terus bergerak untuk tumbuh
kembang, maka merekalah yang akan survive, termasuk untuk menjadi seorang
pemimpin sejati. Pemimpin besar tentu telah melewati proses panjang dari awal mulanya
di level bawah, pada starting point yang kecil scope-nya, pada cakupan yang terbatas,
kemudian berkembang terus menjadi semakin besar, semakin dikenal, dipercaya banyak
orang, semakin berpengaruh, diyakini dan pada tahapan akhirnya mencapai posisi
puncak kepemimpinan yang mempengaruhi dan mengkoordinasikan keputusan tertinggi.

Pertumbuhan adalah kata kunci yang penting dalam proses kepemimpinan, karena
memimpin sekelompok manusia bukanlah perkara mekanis, matematis atau ilmu pasti,
melainkan seni manajemen, yang dinamis, fleksibel, berubah-ubah sesuai situasi dan
kondisi. Sesuai dengan interaksi antara manusia yang dipimpin dengan customer,
kompetitor, pemerintah, dan alam. Kesemua ”pemain” tersebut berinteraksi,
berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga mekanismenya
dinamis, tidak ada pola yang baku dan pasti. Walaupun ada kecenderungan dan kiat-kiat
yang jitu, tetap saja strategi kepemimpinan harus terus disesuaikan dengan kondisi
”medan tempur”.

Pemimpin tidak hanya penting untuk berkembang mengikuti tuntutan perkembangan


sekitarnya seperti: ekologi, ekonomi, market, customer, mode, teknologi, policy, dsb.
Tetapi terutama juga haruslah menerapkan prinsip pertumbuhan bagi para “pengikutnya”
atau mereka yang dipimpinnya. Prinsip kedua mengingatkan bahwa pemimpin besar
umumnya akan berhasil apabila dapat mendukung, mendorong, memotivasi dan
membawa pengikutnya berkembang menuju kepada maksimum potensi dari mereka baik
secara individu rnaupun secara kelompok.
Berkali-kali John mengatakan dan mengingatkan bahwa menjadi pemimpin sejati adalah
juga membantu pengikut untuk menjadi pemimpin-pemimpin baru, pemimpin divisi,
pemimpin bagian-bagian yang lebih kecil, setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri.
Menurut John, memimpin akan berhasil dengan lebih cepat dan lebih efektif apabila sang
pemimpin utama juga memberdayakan banyak pemimpin baru, menempatkan pemimpin
baru tersebut sebagai kepala unit, divisi, bagian dsb. Sehingga mereka dapat
memberdayakan unit yang lebih kecil, menjadi rantai penghubung yang memperkuat
perputaran pimpinan utama, sehingga daya gerak dan daya tumbuhnya menjadi
bertambah, berkembang mencapai optimum capacity!

Dengan kata lain John mengatakan bahwa pemimpin sejati tidak justru takut disaingi oleh
calon pemimpin yang baru atau yang lain. Bukan justru menutup dan menekan agar
bawahannya tidak berkembang, tidak membahayakan posisinya di kemudian hari. Karena
apabila hal ini dilakukan maka perusahaan tersebut tidak akan bisa mencapai kapasitas
yang optimal dan juga sudah pasti sulit berkembang.

Apakah perusahaan Anda dipimpin oleh person yang mempunyai kapasitas sebagai
seorang leader yang memberdayakan pemimpin baru, meng-generate new leaders
secara aktif, atau sebaliknya seorang leader yang membentengi dirinya dengan
kekuasaan agar kepemimpinannya aman dan tidak tersaingi? Niccolo Machavelli
mengatakan, ”The first method for estimating the intelligence of a ruler is to look at the
men he has around him.”

John C. Maxwell mengakui: “I’m not certain that the above subject is an issue of I.Q., but I
am sure that it is a test of leadership. Leaders who continue to grow personally and bring
growth to their organizations will influence many and develop a successful team around
them.” (from John C. Maxwell book titled “Developing The Leader Within You”, page 180 ).
Andrew Carnegie said, “It marks a big step in your development when you come to
realize that other people can help you do a better job than you could do alone.”

Pada prinsip kedua John menyarikan bahwasannya seorang leader dapat menjadi besar
apabila dirinya sendiri selalu berkembang, senantiasa belajar, memperbaiki diri dan
membuka diri untuk dibantu dan berbagi serta memberdayakan orang-orang yang
mempunyai kapasitas sebagai leader.
Transformasi Infomedia Menuju Rp 1 Triliun
No. 17 - Agustus 2005
Tadinya dikenal sebagai penerbit Yellow Pages, kini Infomedia memiliki tiga pilar bisnis :
direktori, contact center, dan penyedia konten. Sejak 2003, Infomedia mulai melakukan
transformasi bisnis dengan melakukan banyak perubahan strategic. Targetnya, total
pendapatan perusahaan menjadi Rp 1 triliun tahun 2006.
Tadinya dikenal sebagai penerbit Yellow Pages, kini Infomedia memiliki tiga pilar bisnis :
direktori, contact center, dan penyedia konten. Sejak 2003, Infomedia mulai melakukan
transformasi bisnis dengan melakukan banyak perubahan strategic. Targetnya, total
pendapatan perusahaan menjadi Rp 1 triliun tahun 2006.
Sebutlah nama Yellow Pages, orang akan langsung ingat pada PT Infomedia Nusantara,
perusahaan yang dimiliki 51% sahamnya oleh Telkom dan 49% oleh Elnusa. Kini, nama
Yellow Pages sudah berganti dengan Buku Petunjuk Telepon (BPT). Sebagai satu-satunya
produsen BPT, semestinya Infomedia melenggang mudah di pasar. Tetapi, manajemen
Infomedia sadar bahwa era enak ini tidak akan selalu ada. Kemungkinan masuknya
pesaing langsung dan tidak langsung tetap saja ada.
Pesaing langsung adalah perusahaan penerbit direktori sejenis atau hampir serupa,
Deregulasi UU Telekomunikasi menyebabkan hadirnya operator telepon tetap selain
Telkom. Data telepon akan dimiliki oleh Telkom, Indosat, dan operator baru yang besar
kemungkinannya adalah pemain-pemain asing. Implikasinya, pasar layanan informasi
multimedia terbuka bagi pemodal asing. “Mereka kaya pengalaman dalam
menyelenggarakan bisnis Yellow Pages,” ungkap M. Gatut Awantoro, Presiden Direktur
Infomedia.
Pesaing tidak langsung muncul sebagai akibat konvergensi teknologi antara industri
media, telekomunikasi, dan komputer sehingga memunculkan banyak piranti baru untuk
mengakses informasi, seperti ponsel, PDA, CD-ROM, Internet, dan sebagainya. Ditambah
dengan kian sengitnya persaingan dalam memperebutkan kue iklan dengan berbagai
media konvensional lainnya, maka tantangan bisnis yang dihadapi Infomedia jelas tidak
kecil. Kondisi ini mengharuskan Infomedia untuk terus melakukan inovasi, menghasilkan
produk yang berkualitas dan disukai oleh pelanggan.
Menyadari berbagai faktor intemal dan eksternal di atas, manajemen Infomedia
kemudian mencanangkan program transformari bisnis pada tahun 2002. Dibantu oleh
konsultan bisnis, Infomedia menyusun “Strategic Transformation Plan” (STP) 2002-2006.
STP memuat roadmap yang harus dilalui Infomedia untuk mencapai tujuan transformasi
bisnis, yaitu menjadikan Infomedia sebagai NationaI Leader for Multimedia Directory
Based Information Service.
Ada 4 tahapan yang harus dilalui oleh Infomedia untuk mewujudkan tujuan transformasi
tersebut, mulai dari tahapan persiapan organisasi hingga tahapan ekspansi (lihat boks,
red). Untuk mengawal proses transformasi bisnis tersebut, Infomedia membentuk Tim
Implementasi Strategic Plan (TISTP) dengan fungsi utamanya mengawal dan mengawasi
agar transformasi yang dijalankan perusahaan sesuai dengan perencanaan.
Digerogoti Pesaing
Yellow Pages muncul pertama kali tahun 1976. Sampai tahun 2002, sebelum transformasi
bisnis dicanangkan, Yellow Pages merupakan satu-satunya pilar bisnis Infomedia. Dengan
sendirinya. Infomedia sangat tergantung dari layanan ini. Munculnya pesaing dan
perubahan lingkungan bisnis menyebabkan pasar Yellow Pages yang monopolistis mulai
digerogoti pesaing. Dari sisi pendapatan, perorangan iklan Yellow Pages masih terus
bertumbuh. Namun, sebagai mantan orang keuangan di Telkom, M. Gatut Awantoro yang
mulai bergabung di Infomedia tahun 2003, melihat dari sisi marjin laba (profit margin)
Infomedia terus menurun sejak 2000. “Ini yang tidak disadari rekan-rekan di Infomedia
karena tidak pernah dikomunikasikan, ” ungkapnya.
Repotnya, Infomedia belum memiliki data pendukung bisnis yang memadai. Misalnya,
data tentang pelanggan. Ibarat mau menyetir mobil, lanjut Gatut, manajemen harus
punya indikator-indikator kemudi, Indikator tersebut harus disusun terlebih dahulu lantas
dianalisis. Ia pun melihat bahwa ukuran perusahaan bisa lebih besar dari yang ada. “Saya
mencanangkan tahun 2006, pendapatan perusahaan bisa mencapai Rp 1 triliun,”
tambahnya.
Jalan untuk mewujudkan target tersebut hanyalah satu : melakukan transformasi bisnis
secara total. Beruntung jajaran direksi lama sudah menyusun rencana transformasi bisnis
tersebut. Gatut menilai, isi rencana transformasi bisnis tersebut sangat sesuai dengan
kebutuhan infomedia. Namun, rencana Gatut untuk menerapkan rencana transformasi
bisnis itu malah tidak disambut manajemen Infomedia secara penuh. Ada yang
mengingatkan untuk tidak menerapkan rencana transformasi bisnis itu, karena kalau
gagal akan disalahkan. Gatut bergeming. “Saya malah berpikir sebaliknya. Ini adalah
kesempatan bagi saya untuk meneruskan transformasi bisnis Infomedia.”
Penyebab rendahnya animo karyawan terhadap rencana transformasi bisnis adalah
karena mereka merasa rencana strategik itu dibuat oleh konsultan, bukan oleh mereka.
Di sinilah letak permasalahannya. Seharusnya dilakukan transfer kepemilikan rencana
transformasi itu kepada karyawan sebelum konsultan pergi. Hal ini menyebabkan upaya
memulai perubahan di Infomedia terasa lebih berat. Gatut menggelar training / workshop
tentang rencana transformasi itu yang diikuti seluruh manajemen dan karyawan.
Tujuannya untuk menyamakan persepsi di kalangan internal Infomedia sekaligus
mengetahui siapa yang mendukung dan menolak rencana transformasi bisnis tersebut.
Sebagai direksi, Gatut ikut acara yang berlangsung 3 hari penuh itu. Sebab ia meyakini,
transformasi bisnis adalah tugas direksi.
Bagi Gatut, transformasi bisnis Infomedia tidak bisa ditawar-tawar lagi. Toh ia merasa
tidak bisa menjalankan transformasi sendirian. Selain dukungan dari beberapa jajaran
internal, khususnya anak-anak muda yang menginginkan perubahan, Gatut mengajak
mantan dosen ITB yang menjadi konsultan manajemen perubahan, Haryanto
Mangkusasono. Pak Haryanto dipilihnya bukan hanya hebat dalam mempresentasikan
aspek teori perubahan, tetapi juga mempraktikkan perubahan. Setelah setahun
bekerjasama dengan Haryanto, akhirnya Infomedia berhasil membuat paradigma bisnis
baru. Salah satunya, paradigma perubahan yang wajib hukumnya. Tata nilai perusahaan
pun diperjelas dan dipertajam seperti yang terangkum dalam budaya kerja ANTUSIAS.
Menjadi 3 Pilar Bisnis
Untuk mewujudkan pertumbuhan pendapatan yang signifikan, Infomedia
mengembangkan 2 pilar bisnis baru sehingga seluruhnya menjadi 3 pilar bisnis. Di luar
pilar layanan direktori, kedua pilar bisnis baru itu adalah layanan contact center dan
layanan konten. Layanan contact center merupakan sebuah keahlian baru yang
dikembangkan perusahaan dan masih terkait dengan bisnis telekomunikasi. Menurut
Gatut, manajemen direktori sangat berbeda dengan contact center – yang terakhir lebih
banyak aspek teknologi informasinya. Berkembangnya CRM (Customer Relationship
Management) di Tanah Air membuat layanan contact center ini berkembang sangat
cepat. Dewasa ini, Infomedia menangani contact center di berbagai divisi regional Telkom
dengan jumlah keseluruhan agen (karyawan yang bekerja di contact center) sekitar 2.000
orang. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah karena beberapa kantor Telkom
lainnya sudah berbicara dengan Infomedia untuk outsourcing layanan ini.
Layanan konten merupakan pengembangan lebih lanjut dari layanan direktori melalui
bentuk-bentuk digital. Konsultan sempat meramalkan layanan ini akan menjadi
primadona Infomedia tahun 2010. Perkiraan ini diakui Gatut sulit tercapai karena kondisi
lingkungan tidak mendukung. “Kecuali karena konsumen bisa mendapatkan berbagai
informasi secara gratis, penghargaan konsumen terhadap informasi di sini sangat
kurang,” lanjutnya.
Implementasi Balanced Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Selain menjadi organisasi publik pertama di Indonesia yang menerapkan sistem Balanced
Scorecard (BSc), BI juga menjadi pelopor implementasi BSc di antara sesama bank
sentral di dunia. Apakah masih sebatas tataran konsepsi atau sudah menjawab tuntutan
masyarakat?
Dalam era independensi Bank Indonesia tidak ingin terlihat jumawa dengan status
barunya, tetapi sebagian kalangan justru melihat adanya upaya pembenahan internal
melalui rangkaian Program Transformasi Bank Indonesia. Salah satu pembenahan internal
yang dilakukan dan saat ini telah diakui baik secara nasional maupun internasional
adalah menata Perencanaan Strategis Bank Indonesia dengan mengintegrasikan sistem
perencanaan, anggaran dan manajemen kinerja (SPAMK). Inisiatif ini awalnya dipelopori
oleh Aulia Pohan, Deputi Gubemur Bl yang telah purnabakti Mei 2005.
Integrasi SPAMK menggunakan BSc sebagai management tools, sehingga setelah
digunakannya BSc dalam 3 tahun terakhir banyak pihak mengakui Bl dapat dikatakan
sebagai perintis penggunaannya untuk organisasi publik, Diundangnya Bank Indonesia
sebagai Anggota Strategic Planning Discussion Group oleh BIS (Bank lnternational for
Settlement) bersama dengan bank sentral dari negara maju menjadikan bukti
implementasi SPAMK menjadi perhatian dan dapat disejajarkan dengan implementasi
strategic planning diantara bank sentral dunia.
Belum lagi kalangan nasional yang mendukung upaya Bank Indonesia mengkoordinasikan
forum komunikasi yang terbuka untuk siapapun yang bermitra dan berhasil melibatkan
kalangan akademisi, praktisi strategic planning baik dari perusahaan swasta, instansi
pemerintah maupun lembaga non-profit lain untuk membentuk Strategic Planning Forum
pada bulan Desember 2004 yang lalu.
Integrasi SPAMK bukan merupakan suatu yang mudah mengingat adanya suatu
perubahan paradigma yang sangat mendasar dari sebelumnya Bank Indonesia tidak
dituntut transparan dan akuntabel menjadi suatu lembaga yang siap dinilai dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya. "Sistem pendidikan Bank Indonesia
untungnya sudah mempersiapkan SDM untuk siap menghadapi perubahan karena level
edukasi yang sangat tinggi di sini. Pegawai adalah aset utama kami,” jelas Halim
Alamsyah, Director of Office of the Governor Bank Indonesia yang didampingi oleh Dwi
Pranoto, Ketua Tim Perencanaan Strategis dan Manajemen Kinerja dan Trisno Nugroho,
Analis di Tim yang sama. Ditambahkan oleh Halim bahwa ”pemahaman dan penerimaan
konsep BSc yang relatif cepat di BI tidak lepas dari adanya kesiapan SDM BI (HR
Readiness) dan dukungan Dewan Gubemur yang tinggi”.
“Kami memiliki siklus perencanaan strategis sebagai guidelines dan menggunakan BSc
sebagai alat pantau untuk early warning pencapaian Sasaran Strategis Bank Indonesia,”
lanjut Halim Alamsyah. Ditambahkan juga oleh Dwi Pranoto, apabila secara sistem dan
kesiapan SDM belum memadai untuk pencapaian Sasaran Strategis tertentu, Bank
Indonesia melakukan suatu inisiatif yang dapat menjembatani percepatan pencapaian
Sasaran Strategis Bank Indonesia.
Melalui implementasi SPAMK ini diharapkan BI mampu melaksanakan tugasnya secara
efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia, yang tentunya tidak
lepas dari upaya untuk memenuhi harapan stakeholders baik di dalam maupun luar
negeri. Hal ini mengingat semakin tingginya tuntutan stakeholders akan peningkatan
kredibilitas BI yang banyak ditentukan dengan kemampuan BI untuk meningkatkan
kinerjanya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 23/1999 dan
perubahannya dalam UU No.4/ 2004 tentang BI. Dalam rangka pencapaian tujuan
tersebut, BI harus semakin akuntabel dan transparan kepada publik sehingga mampu
meningkatkan efektivitas pelaksanaan good governance BI. Pada akhirnya diharapkan BI
mampu menjadi organisasi yang fokus pada strategi (strategy-focused organization)
sebagaimana organisasi best practices lainnya yang telah menerapkan BSc.
Setiap Anggota Dewan Gubernur dan Pemimpin Satuan Kerja (Satker) di BI dapat
memonitor pencapaian pelaksanaan tugas dan target yang telah ditetapkan setiap saat
melalui dashboard BSc secara online pada internal website Bank Indonesia.” Saya dapat
langsung berkomunikasi dan berinteraksi kepada penanggungjawab suatu pencapaian
target kalau saya melihat ada indikasi target tersebut tidak tercapai,” jelas Halim
Alamsyah yang sebelumnya menjadi Direktur di Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter. Selain sisi praktisnya, yang terpenting adalah filosofi dari BSc yang berorientasi
bukan hanya kepada hasil tetapi juga kepada proses.
Perubahan ini merupakan evolusi dari pelaksanaan beberapa sistem perencanaan
strategis yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia. Di era ’90an, BI telah menerapkan
sistem MBO (Management by Objective) yang lebih menekankan kepada sistem
manajemen yang berorientasi kepada hasil. Atas dasar itu, para pimpinan Satker bekerja
dengan berorientasi kepada hasil. Lama-lama manajemen Bl sadar bahwa sistem ini
melupakan proses sehingga hasil akhirnya tidak selalu baik. Untuk itulah BSc menjadi
pilihan BI.
Dalam penerapan BSc pun BI melakukan secara bertahap. Awalnya saat diresmikan oleh
Gubernur BI Syahril Sabirin, BI lebih banyak menggunakan “Key Performance Indicator
(KPI) List” baik di level organisasi maupun Satker, atau yang biasa disebut dengan 1st
generation BSC. Dalam perkembangannya, BI menyempurnakan lebih lanjut dengan
memperkenalkan ’Strategy Map’ dalam SPAMIC, yang dianggap sebagai 2nd generation
BSc. Dan, terakhir dengan diperkenalkannya Destination Statement BI 2008 oleh
Gubernur BI sekarang, Burhanuddin Abdullah, maka BI dianggap telah memasuki era
lebih lanjut menuju 2nd generation BSc.
Sebelum melibatkan konsultan, Dwi Pranoto yang sejak awal terlibat dalam Inisiatif
SPAMK mengatakan bahwa BI telah lama mengkaji dan mempelajari BSc, baik melalui
buku/paper mengenai BSc terutama yang ditulis oleh Kaplan dan Norton maupun dengan
mengirimkan pejabat dan stafnya mengikuti seminar dan kursus BSc sejak tahun 2000-
an, serta mempelajari implementasi BSc dari organisasi best practices.
Pada awal tahun tahun 2003, menurut Analis dari Tim yang sama Trisno Nugroho, BI
mencari konsultan lokal yang berpengalaman menerapkan BSc di lembaga publik, yang
didukung dengan praktisi dari Australia yang telah berpengalaman menerapkan BSc di
lebih dari 100 lembaga publik. BI dan konsultan itu menyusun Strategy Map dan IICU
untuk BI dan level Satker dengan melakukan workshop dengan seluruh anggota Dewan
Gubernur, Pimpinan Satker, dan melaksanakan workshop intensif dengan wakil-wakil
Satker.
Agar sukses, Bl melakukan manajemen perubahan yang terencana secara baik. Berbagai
perubahan penting untuk mendukung efektivitas SPAMK berbasis BSc telah dilakukan
antara lain dengan memperkenalkan Forum Strategis (Forstra), membentuk Komite PAMIC
yang diketuai oleh anggota Dewan Gubernur, dan menetapkan Manajer IKU di setiap
Satuan Kerja yang membantu pimpinan Satuan Kerja dalam mencapai kinerja Satuan
Kerja dan kinerja BI, serta melaksanakan edukasi dan komunikasi di seluruh jajaran BI.
Implementasi BSc di BI, menurut Halim, berjalan berkat dukungan penuh Dewan
Gubernur BI meskipun disadari masih belum seluruh aspek BSc bisa diterapkan secara
mulus. BI sejak awal telah menggunakan software dengan ’dashboard
management’-nya’- untuk memantau pencapaian kinerjanya. Melalui dashboard ini –
yang mempunyai indikator hijau, kuning dan merah – setiap anggota Dewan Gubernur
dan Pimpinan Satker dapat memantau pencapaian kinerja BI dan Satker secara online.
Usaha evaluasi dan perbaikan kinerja yang tidak baik (warna merah) maupun yang
mencerminkan suatu early warning system (warna kuning) diserahkan kepada anggota
Dewan Gubernur dan Pimpinan Satker masing-masing. Dalam praktiknya, upaya penilaian
kinerja tersebut dirasakan belum berjalan optimal. Kondisi ini juga muncul karena belum
adanya Job Value di Bl (berapa penting/besar sumbangan suatu bidang terhadap kinerja
Bl), dan mana bidang yang tergolong core, strategic support, maupun process. Meskipun
pencapaian kinerja ini sudah terkait dengan kinerja Pimpinan Satker, namun disadari
belum terhubung sepenuhnya dengan sistem insentif.
Lantas, bagaimana arah implementasi BSC di BI ke depan? Menurut Halim dan Dwi, BI
belum akan menerapkan BSc hingga ke level individu dalam waktu dekat. Tantangan ke
depan juga masih banyak. Sebagai lembaga publik, dalam setiap kegiatannya Bl akan
menghadapi implikasi terutama yang terkait dengan aspek hukum dan reputasi lembaga.

You might also like