You are on page 1of 23

UNDANGUNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. 2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. 3. Bank ... -33. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. 5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 6. Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 7. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 8. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 9. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 10. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang

pembantu syariah dan/atau unit syariah. 11. Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya. 12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 13. Akad ... -413. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. 14. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan Investasinya. 15. Pihak Terafiliasi adalah: a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS; b. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah atau UUS, antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum; dan/atau c. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga direksi. 16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS. 17. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan. 18. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan. 19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan

dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah. 20. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadiah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 21. Tabungan ... -521. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadiah atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. 22. Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS. 23. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadiah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. 24. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 25. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan

pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 26. Agunan . . . -626. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas. 27. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut. 28. Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut. 29. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 30. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 31. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut. 32. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI Pasal 2 Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.

Pasal 3 . . . -7Pasal 3 Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pasal 4 (1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. (2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. (3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). (4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PRAKTIK DAN PROSPEK PENGAWASAN SYARIAH TERKAIT DENGAN RANCANGAN UNDANGUNDANG PERBANKAN SYARIAH
Nasution, Riski Setyadani (2007) PRAKTIK DAN PROSPEK PENGAWASAN SYARIAH TERKAIT DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH. Undergraduate thesis, Perpustakaan F.Hukun Undip. Microsoft Word 21Kb

Official URL: http://fh.undip.ac.id/perpus

Abstract

Perbankan syariah merupakan sistem pengelolaan keuangan secara massal melalui institusi bank yang mempargunakan dasar syariah Islam dalam operasionalnya. Sistem bank syariah sudah mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1980-an dan mulai dipraktikkan secara nyata dalam bentuk operasional perbankan sekitar tahun 1998. Sebagai sebuah sistem baru yang berusaha menggantikan sistem operasional perbankan konvensional, sistem perbankan syariah dalam tahap awal harus dapat menyesuaikan dengan sistem hukum dan ekonomi yang telah terlebih dahulu diterapkan sebelumnya sampai sistem perbankn syariah tersebut menemukan format operasional secara syariah yang pas dalam sistem hukum dan ekonomi di Indonesia. Salah satu bentuk penyusunan format operasional syriah tersebut ialah dengan diajukannya Rancangan Undang-Undang tentang perbankan syariah ke DPRRI. Dalam penulisan hukum ini penulis meneliti konsep dan penerapan sistem pengawasan syariah dan konsep serta kemungkinan diterapkannya sistem pengawasan syariah yang terdapat dalam Rancangan UndangUndang perbankan syariah. dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang bersifat normatif empiris dan mencoba menjelaskan hasil penelitian penulis dengan menggunakan spesifikasi penelitian secara deskriptif analisis. Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan, ditemukan bahwa sistem pengawasan syariah yang diterapkan selama ini masih belum terlaksana dengan baik. Hal yang menjadi penyebab belum terlaksananya sistem pengawasan syariah tersebut antara lain pola kordinasi antar lembaga yang terlibat dalah sistem pengawasan tersebut yang belum terlaksana dengan baik. Rancangan Undang-Undang perbankan syariah akan memunculkan lembaga baru yang memunculkan suatu format pengawasan syariah yang baru antara lain dengan ditempatkannya komisaris perbankan syariah sebagai pengawas pelaksanaan syariah pada bank syariah. Konsep sistem pengawasan tersebut juga dapat diterapkan dan merupakan sebuah evaluasi dari pelaksanaan sistem pengawasan yang telah ada. Kata Kunci: Pengawasan Syriah, Perbankan Syariah, Praktik dan Konsep Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah Undang-Undang Perbankan Syariah Hampir semua fraksi di Senayan setuju dengan UU ini, kecuali Fraksi Partai Damai Sejahtera Jum'at, 12 Desember 2008, 11:15 WIB Asriani BERITA TERKAIT

Amandemen UU Bank Indonesia UU Mahkamah Agung UU Kekuasaan Kehakiman UU Perubahan Atas UU BI UU Penyelesaian Hubungan Industrial

Hampir semua fraksi di Senayan setuju dengan UU ini, kecuali Fraksi Partai Damai Sejahtera. FPDS menolak UU tersebut dengan catatan tidak ikut bertanggung jawab atas dampak di kemudian hari.

FPDS menyatakan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan Kegiatan Perbankan Syariah telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, sehingga Fraksi PDS berpendapat tidak perlu lagi dibuatkan undang-undang khusus yang mengatur mengenai Kegiatan Perbankan Syariah. RUU tentang Perbankan Syariah tidak sesuai dengan Hukum Dasar dari Negara Tercinta Republik Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 Pada Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya .

Blog Ekonomi Syariah


home About Kontributor

Di Australia, Empat Lembaga Keuangan Mengadopsi Sistem Keuangan Syariah Bank Syariah Jadi Andalan

Welcome To Undang-Undang Perbankan Syariah Dan Strategi Percepatan Pertumbuhan Bank Syariah
April 5, 2010 | Author: RAHMADINA | Filed under: Berita Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU Perbankan syariah; berarti kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didamba. Begitu juga dengan hadirnya UU SBSN maka diharapkan akan menarik para investor asing, terutama investor Timur Tengah untuk berinvestasi di Indonesia. Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat memacu denyut perekonomian nasional, dan kontribusi dalam mengentaskan kemiskinan, kesejahteraan rakyat, serta membuka lapangan kerja ditambah lagi UU Perbankan Syariah memperkuat fundamen hukum perbankan syariah sehingga bisa setara dengan bank konvensional. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fadjrijah mengungkapkan, dengan disahkannya RUU perbankan syariah menjadi Undang-Undang Perbankan Syariah maka target pangsa pasar perbankan syariah sebesar lima persen pada 2010 dapat tercapai. Hingga saat ini aset perbankan syariah hanya 1,7 persen dari total aset perbankan nasional atau sekitar Rp 40 triliun. UU Surat Sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dinilai berpotensi untuk menggantikan Surat Utang Negara (SUN) konvensional sebagai instrumen defisit anggaran pemerintah. Hal ini terlihat dalam mekanisme underlying asset, perhitungan bagi hasil dan proyek-proyek yang akan dibiayai. Sebaliknya, SUN konvensional cenderung tidak transparan dan cenderung spekulatif. Untuk mencapai target 5 persen pada 2010, Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah menyatakan aset perbankan syariah harus mencapai sekitar Rp 90 triliun. Dengan asumsi inilah dapat menjadi

relevansi prospektus perbankan syariah, dengan asumsi dan langkah-langkah akselerasi maka pertumbuhan asset, DPK dan pembiayaan industri perbankan tahun 2008 diproyeksikan akan mencapai volume asset, DPK dan pembiayaan sesuai program akselerasi yaitu masing-masing sebesar Rp. 91,6 triliun, Rp. 73,3 triliun dan Rp. 68,9 triliun. Percapaian share asset perbankan syariah sebesar 5 % merupakan anchor yang seyogianya menjadi semangat semua pihak, untuk bekerja keras dan berkontribusi secara lebih konkret. Mengenai perkembangan komposisi pembiayaan didominasi oleh pembiayaan berbasis murabahah (57,6%), namun share pembiayaan berbasis bagi hasil terus meningkat. Secara konkret langkah-langkah percepatan pertumbuhan bank syariah tertuang dalam API dan Blueprint perkembangan perbankan syariah serta jangka pendek dalam program akselerasi 2007-2008 dengan selalu berorentasi kepada SDM baik di BI maupun di industri bank syariah, peningkatan efektivitas dan kualitas pengawasan perbankan syariah, penyempurnaan approach sosialisasi perbankan syariah agar sesuai dengan target pasar, peningkatan kualitas service dan jaringan pada bank syariah, ditambah lagi dengan upaya mendorong bank syariah agar lebih inovatif dalam menjual produk dan jasa bank baru dan lebih market friendly. Perkembangan peluang bisnis pasca UU Perbankan syariah adalah orientasinya meningkatkan minat investor dalam maupun luar negeri yang akan masuk dalam industri perbankan syariah, untuk itulah perlu meningkatkan kepastian hukum transaksi perbankan syariah di Indonesia. Dengan munculnya sentra-sentra ekonomi berbasis syariah antara lain perbankan syariah, BMT, asuransi syariah, pengadilan syariah, koperasi syariah, pasar modal syariah, MLM syariah, dan seterusnya; otomotis memerlukan upaya keras untuk memunculkan konsep universal mengenai sistem ekonomi islam secara utuh dan komperhensif yang akan memayungi sentra-sentra ekonomi berbasis syariah. Perbankan syariah di Indonesia akhirnya mendapat payung hukum setelah DPR . menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) perbankan syariah dalam rapat kerja, sembilan fraksi menyatakan setuju agar RUU ini disahkan dalam rapat paripurna. Undang-Undang Perbankan Syariah dengan draft final rancangan undang-undangini berisi 13 bab dan 70 pasal. Jumlah pasal berkurang dari draft awal sebanyak 15 bab dan 75 pasal. Menepis Ketidakpastian Adanya ketidakpastian hukum melahirkan kekhawatiran otoritas moneter kita tentang keengganan investor asing datang ke Indonesia. Kesan inilah yang pada gilirannnya melahirkan nuansa Islamphobia yang tidak semestinya hadir ditengah pengesahaan RUU Perbankan Syariah, dan yang paling penting saat ini adalah bagaimana bangsa Indonesia menyambut dengan positif, notabene harus dapat menepis Adanya kekeliruan interpretasi publik pada pasal tertentu RUU Syariah. Beberapa point penting undang-undang Perbankan Syariah ini salah satunya adalah memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan perbankan syariah kepada Bank Indonesia. Kewenangan pengawasan dan kepatuhan juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk

pada masing-masing bank syariah dan unit usaha syariah bank umum konvensional. Prospek perbankan syariah ke depannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Kekuatan yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, menurut laporan Bank Indonesia adalah tiga bank umum syariah (BUS), 26 UUS (unit usaha syariah), 26 UUS (unit usaha syariah), dan 114 BPRS. Dengan kekuatan ini perbangkan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah, sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp. 36,5 triliun atau sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang Beberapa point penting undang-undang Perbankan Syariah ini salah satunya adalah memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan perbankan syariah kepada Bank Indonesia. Kewenangan pengawasan dan kepatuhan juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk pada masing-masing bank syariah dan unit usa ha syariah bank umum konvensional. Prospek perbankan syariah ke depannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Kekuatan yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, menurut laporan Bank Indonesia adalah tiga bank umum syariah (BUS), 26 UUS (unit usaha syariah), 26 UUS (unit usaha syariah), dan 114 BPRS. Dengan kekuatan ini perbangkan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah, sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp. 36,5 triliun atau sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang cabang syariah secara langsung maupun melaluikonversi cabang konvensionalnya menjadi cabang syariah. Tentu saja, kondisi saat ini membutuhkan adanya dukungan yang kuat dari berbagai pihak agar sistem ekonomi berdasarkan syariah Islamiyah dapat terus tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perkembangan perbankan syariah ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik dan unik, karena fenomena ini terjadi justru di saat kondisi perekonomian nasional berada pada keadaan yang mengkhawatirkan.Di tengah ketidakstabilan ekonomi saat ini dan masih kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi moneter, bank syariah tetap dapat mampu berdiri tegak di tengah berbagai terpaan rintangan dan persaingan yang terjadi. Potensi yang besar tersebut, harus memacu institusi perbankan syariah sendiri untuk lebih kreatif, inovatif, dan teroganisir dengan profesional. Tantangan saat ini adalah sejauhmana pelaku perbankan syariah bisa memformulasikan kegiatankegiatan dalam membangun perekonomian nasioanal setelah mendapat payung hukum. Bank syariah diharapkan mampu menjawab segala harapan dan optimisme akan pentingnya sistem Islam diterapkan dalam dunia perbankan. UU Perbankan Syariah dalam pasal 55 diatur: 1.Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan daalm lingkup peradilan agama. 2.Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.Dalam penjelasan pasal 55 tsb dijelaskan bahwa yg dimaksud dengan penyelesaian sengketa

dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sbb: (a) musyawarah. (b) mediasi perbankan. (c) melalui Basyarnas. (d) melalui pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Perbankan Syariah Dan UU Terkait 1.UU No. 7/1992 & No. 10/ 1998 Tentang Perbankan 2.UU No. 23/ 1999 Tentang Bank Indonesia 3.UU No. 24/ 2004 Tentang Lembaga Penjamin 4.UU No. 3/ 2006 Tentang Perseorangan Terbatas 5.UU No. 40/ 2007 Tentang Perseroan Terbatas 6.UU No. 38/ 1999 Tentang Pengelolaan Zakat 7.UU No. 19/ 2008 Tentang SBSN 8.UU & PP Perpajakan, Pertanahan, Pembiayaan DLL 9.UU Perbankan Syariah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. Bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah; b. Bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat; c. Bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional; d. Bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri; e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan Syariah; Mengingat: 1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420); 5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); Hukum Perbankan Islam Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan: menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah." Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil dan di penjelasannya disebut Bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil yang dalam penjelasannya disebut Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil. Kesimpulan bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank. Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :

1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. 2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syariat, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

SISTEM OPERASI PERBANKAN SYARIAH


By MALA MUHARYA SARI | March 5, 2010 Kita sudah banyak mengetahui perbedaan yang paling mendasa antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional, yakni terletak pada system bunga pada perbankan konvensional dan system bagi hasil pada perbankan syariah. Riba dengan jual beli adalah dua hal yang sangat berbeda dalam perekonomian. Jual beli mengandung arti adanya transaksi ijab qabul dalam menyerahkan barang dari pihak pembeli ke pihak penjual dengan kesepakatan bersama yang sama-sama menguntungkan. Sementara riba adalah suatu transaksi perekonomian dimana pembayarannya dengan melebihkan jumlah dari harga perolehannya dengan memberatkan salah satu pihak yang melakukan transaksi tersebut. Dalam perbankan system bunga yang menjadi cirri khas bank konvensional merupakan riba. Karena bunga yang dipatokan pada suatu bank konvensional dapat membuat pihak si peminjam terasa terbebankan seperti riba. Oleh karena itu, membayar dan menerima bunga pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan DILARANG. Sejak tahun 1970-an umat Islam di berbagai Negara tlah berusaha mendirikan perbankan syariah. Tujuan pada umumnya adalah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi prinsip-prinsip syariah ke dalam transaksi perekonomian. Prinsip-prinsip yang dianut oleh perbankan syariah antara lain : 1. Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi 2. Menjalankan perdagangan dengan berbasis pada syariah 3. Memberikan zakat Dalam rangka menghindari pembayaran dan penerimaan riba atau bunga, maka dalam pelaksanaannya, perbankan syariah menempuhnya dengan jalan system bagi hasil (Profit and Loss Sharing Investments) sebagai pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing) dan investasi berdasarkan imbalan (feebased investments) melalui mekanisme jual beli sebagai pemenuhan kebutuhan pembiayaan. Equity Financing

Ada dua kontrak yang terjadi di dalamnya, yaitu :

Musyarakah ( joint venture profit sharing)

Melalui kontrak ini, kedua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal (memberikan modal) mereka untuk membentuk sebuah perusahaan sebagai legal entity. Dimana setiap pihak mempunyai bagian secara proposional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi perusahaan sesuai dengan proposinya. Jika terjadi keuntungan, maka pembagian keuntungannya dengan cara setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proposional sesuai dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatn bersama sebelumnya. Sementara, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu pun akan dibebankan secara proposional kepada masing-masing pihak. Inilah yang disebut dengan musyarakah al-mutanaqishah.

Mudharabah

Dalam kontrak ini, kegiatan yang dilaksanakan adalah antara penyedia dana dengan enterprenur (mudharib) bukan pemberi modal seperti pada kontark Musyarakah. Seorang mudharib memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan atau perniagaan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Dalam hal objek yang didanai ditentukan oleh penyedia dana yang disebut Mudharabah al-muqayyadah. Jika mengalami untung, maka pembagiannya keuntungannya sesuai dengan kesepakatan sebelumnya beserta modal yang dipinjam dari pihak mudharib pada saat proyek sudah selesai. Jika mengalami kerugian maka ditanggung oleh pihak penyedia dana. Debit Financing Debit financing dilakukan dengan menggunakan teknik jual beli. Pembayaran yang dilakukan dalam jual beli (bai) dapat dilakukan dengan segera (cash) atau ditangguhkan (deferred). Pembayaran yang dilakukan dengan cara ditangguhkan, maka melliputi transaksi-transaksi sebagai berikut :

Murabahah, yaitu kontrak jual-beli di mana barang yang diperjualbelikan diserahkan segera dan harga pokok beserta keuntungan yang disepakati bersama dibayar dikemudian hari secara sekaligus. Bai bitsaman ajil, yaitu kontrak murabahah di mana barang yang diperjualbelikan dibayar dengan cara angsuran. Bai as-salam, yaitu kontrak jual-beli di mana pembayarannya dilakukan dengan segera (secara sekaligus) tetapi penyerahan barang dilakukan di kemudian harinya. Bai al-istishna, yaitu kontrak jual-beli di mana pembayarannya dilakukan dengan angsuran dengan syarat yang telah disepakati bersama sebelumnya dan penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.

Ijarah, yaitu kontrak sewa yang melibatkan barang sebagai harga dengan manfaat dari barang tersebut dengan memberikan options untuk membeli barang yang disewakan.

Berdasrkan prinsip-prinsip di atas, dapat terlihat gambaran hubungan antara nasabah dengan bank syariah itu sendiri. Dimana hubungan tersebut tergambar sebagai mitra investor dan pedagang. Hal ini dapat dilihat dalam kegiatan operasinya, di mana bank syariah memberikan jasa kepada para penyedia dana dengan cara menerima deposit dari mereka melalui beberapa tipe rekening, yakni rekening Koran, rekening tabungan, dan rekening investasi umum.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia


oleh Tabungan Internet pada 05 Juli 2010 jam 8:17 Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 28/DSN-MUI/III/2002, tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf). MENIMBANG : 1. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. 2. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. 3. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman MENGINGAT : * Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba * Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri : Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). * Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum , syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai. * Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad,

dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. * Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. * Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin A rqam : Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). * Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf : Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. MEMPERHATIKAN : 1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002. MEMUTUSKAN Dewan Syariah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama : Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaks atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pem belian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 224 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama

dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah). 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unusru maisir (spekulasi). Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Fatwa Dewan Syari'ah Nasional

Fatwa DSN No: 61/Dsn-Mui/V/2007 tentang Penyelesaian Utang dalam Impor

Fatwa DSN No: 60/Dsn-Mui/V/2007 tentang Penyelesaian Piutang dalam Ekspor

Fatwa DSN No: 59/Dsn-Mui/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi

Fatwa DSN No: 58/Dsn-Mui/V/2007 tentang Hawalah Bil Ujrah

Fatwa DSN No: 57/Dsn-Mui/V/2007 tentang Letter Of Credit (L/C) dengan Akad Kafalah Bil Ujrah

Fatwa DSN No: 56/Dsn-Mui/V/2007 tentang Ketentuan Review Ujrah pada Lembaga Keuangan Syariah

Fatwa DSN No: 55/Dsn-Mui/V/2007 tentang Pembiayaan Rekening Koran Syariah Musyarakah

Fatwa DSN No: 54/Dsn-Mui/X/2006 tentang Syariah Card

Fatwa DSN No: 53/Dsn-Mui/Iii/2006 tentang Akad Tabarru Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah

Fatwa DSN No: 52/Dsn-Mui/Iii/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah

Fatwa DSN No: 51/Dsn-Mui/Iii/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah

Fatwa DSN No: 50/Dsn-Mui/Iii/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah

Fatwa DSN No: 49/Dsn-Mui/Ii/2005 tentang Konversi Akad Murabahah

Fatwa DSN No: 48/Dsn-Mui/Ii/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah

Fatwa DSN No: 47/Dsn-Mui/Ii/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar

Fatwa DSN No: 46/Dsn-Mui/Ii/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah (Khashm Al-Murabahah)

Fatwa DSN No: 45/Dsn-Mui/Ii/2005 tentang Line Facility (At-Tashilat)

Fatwa DSN No: 44/Dsn-Mui/Viii/2004 tentang Pembiayaan Multijasa

Fatwa DSN No: 43/Dsn-Mui/Viii/2004 tentang Ganti Rugi (Tawidh)

Fatwa DSN No: 42/Dsn-Mui/V/2004 tentang Syariah Charge Card

Fatwa DSN No: 41/Dsn-Mui/Iii/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah

Fatwa DSN No: 40/Dsn-Mui/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal

Fatwa DSN No: 39/Dsn-Mui/X/2002 tentang Asuransi Haji

Fatwa DSN No: 38/Dsn-Mui/X/2002 tentang Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA)

Fatwa DSN No: 37/Dsn-Mui/X/2002 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah

Fatwa DSN No: 36/Dsn-Mui/X/2002 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)

Fatwa DSN No: 35/Dsn-Mui/Ix/2002 tentang Letter Of Credit (L/C) Ekspor Syariah

Fatwa DSN No: 34/Dsn-Mui/Ix/2002 tentang Letter Of Credit (L/C) Impor Syariah

Fatwa DSN No: 33/Dsn-Mui/Ix/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah

Fatwa DSN No: 32/Dsn-Mui/Ix/2002 tentang Obligasi Syariah

Fatwa DSN No: 31/Dsn-Mui/Vi/2002 tentang Pengalihan Hutang

Fatwa DSN No: 30/Dsn-Mui/Vi/2002 tentang Pembiayaan Rekening Koran Syariah

Fatwa DSN No: 29/Dsn-Mui/Vi/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah

Fatwa DSN No: 28/Dsn-Mui/Iii/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)

Fatwa DSN No: 27/Dsn-Mui/Iii/2002 tentang Al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik

Fatwa DSN No: 26/Dsn-Mui/Iii/2002 tentang Rahn Emas

Fatwa DSN No: 25/Dsn-Mui/Iii/2002 tentang Rahn

Fatwa DSN No: 24/Dsn-Mui/Iii/2002 tentang Safe Deposit Box

Fatwa DSN No: 23/Dsn-Mui/Iii/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah

Fatwa DSN No: 22/Dsn-Mui/Iii/2002 tentang Jual Beli Istishna Paralel

Fatwa DSN No: 21/Dsn-Mui/X/2001tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah

Fatwa DSN No: 20/Dsn-Mui/Iv/2001tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syari'ah

Fatwa DSN No: 19/Dsn-Mui/Iv/2001tentang Al-Qardh

Fatwa DSN No: 18/Dsn-Mui/Ix/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syari'ah

Fatwa DSN No: 17/Dsn-Mui/Ix/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran

Fatwa DSN No: 16/Dsn-Mui/Ix/2000 tentang Diskon dalam Murabahah

Fatwa DSN No: 15/Dsn-Mui/Ix/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syari'ah

Fatwa DSN No: 14/Dsn-Mui/Ix/2000 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syari'ah

Fatwa DSN No: 13/Dsn-Mui/Ix/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah

Fatwa DSN No: 12/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Hawalah

Fatwa DSN No: 11/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Kafalah

Fatwa DSN No: 10/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Wakalah

Fatwa DSN No: 09/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Pembiayaan Ijarah

Fatwa DSN No: 08/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah

Fatwa DSN No: 07/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)

Fatwa DSN No: 06/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Jual Beli Istishna'

Fatwa DSN No: 05/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Jual Beli Salam

Fatwa DSN No: 04/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Murabahah

Fatwa DSN No: 03/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Deposito

Fatwa DSN No: 02/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Tabungan

Fatwa DSN No: 01/Dsn-Mui/Iv/2000 tentang Giro

Asing Banyak Meminta Fatwa Dewan Syariah Nasional Selasa, 09 November 2010 14:12

Dunia perbankan nasional benar-benar tengah disorot masyarakat global. Tak hanya para investor asing yang tertarik menanamkan modalnya dalam bisnis perbankan syariah, namun aspek fatwa syariah Indonesia pun makin diminati mancanegara. Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, KH Maruf Amin, mengatakan DSN sudah banyak menerima permohonan untuk memberikan fatwa terhadap produk perbankan asing. Saat ini ada perusahaan dari Amerika Serikat yang meminta approval soal produk pasar komoditasnya, ungkapnya kepada Republika, di Jakarta, Senin (9/11). Dia melanjutkan, sebelumnya DSN juga sudah melayani permohonan fatwa dari perusahaan perbankan syariah dari Inggris, Korea, Australia, dan Malaysia. Para perusahaan asing tersebut tertarik dengan fatwa DSN lantaran prinsip kehati-hatian dan nuansa fatwa yang moderat dibandingkan fatwa dari Malaysia atau Arab Saudi. Masyarakat global, lanjut Maruf, cenderung memposisikan Indonesia sebagai negara yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam dunia perbankan secara moderat. Ibarat dua bandul antara Malaysia yang cenderung liberal dan Arab Saudi yang terlalu rigid, fatwa syariah perbankan Indonesia berada di tengah-tengah. Dikatakan, dalam mengeluarkan fatwa syariah terhadap produk perbankan, Malaysia cenderung mudah memberi label halal terhadap sesuatu yang masih mengandung kadar haram walaupun sedikit. Sebaliknya, Arab Saudi cenderung lebih tegas memvonis haram terhadap sesuatu yang mengandung kadar haram. Sementara di Indonesia, terang Maruf, DSN senantiasa mengedepankan prinsip tafrikul haram anil halal atau memisahkan dan membuang yang haram dari yang halal sebelum mengeluarkan fatwa. Jadi kalau ada yang meminta approval dengan dua konsep yang diajukan halal atau haramnya, kita berikan item ketiga dengan lebih dulu memisahkan yang haram dari yang halal. Prinsip moderat dan penuh kehati-hatian inilah yang membuat fatwa DSN mengglobal, papar Maruf. Maruf berharap, ke depan fatwa-fatwa DSN untuk produk perbankan bisa lebih mendunia seperti sertifikasi halal pada produk makanan. Sertifikasi halal produk makanan yang dikeluarkan MUI sudah lebih dulu digunakan di berbagai negara karena alasan kemoderatan dan kehati-hatiannya. Sudah banyak negara-negara Barat dan Eropa serta Asia yang menggunakan sertifikasi halal MUI untuk menjual produk makanan di negeri mereka. Insya Allah dengan prinsip yang tetap mengedepankan kaidah fikih, fatwa-fatwa DSN untuk produk perbankan juga bisa dipercaya dunia seperti sertifikasi halal MUI, imbuh Maruf. (Sumber: REPUBLIKA.CO.ID, [8/11/2010]. Red: Budi Raharjo. Rep: EH Ismail. Adm web mui: wsk)

MENU TOPIK Artikel Umum Ekonomi Syariah

Mengenal Prinsip Ekonomi Syariah


Oleh: AnneAhira.com Content Team 1 2 3 4 5 ( 0 ) | Jumlah komentar: 1 SHARE : Facebook Twitter Artikel Terkait

Blogger

Wordpress

Mengenal Konsep Ekonomi Syariah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Artikel Ekonomi Syariah Perbedaan Ekonomi Syariah Dan Ekonomi Konvensional

Pada prinsip ekonomi syariah, perjanjian dibuat setelah nasabah datang pada bank syariah tertentu. Sistem ekonomi syariah didasarkan pada prinsip amanah, saling percaya, dan saling menyetujui dalam perjanjian yang akan dibuat antara pihak bank dan nasabah. Atau dalam kata lain antara pihak bank syariah dan patner kemitraannya. Prinsip ekonomi syariah tidak mengenal adanya perolehan bunga, namun berdasarkan pada kemitraan antara pihak bank dan nasabah dengan menggunakan prinsip bagi hasil. Prinsip ekonomi syariah ini tidak mengenal adanya perjanjian baku sebagaimana layaknya sistem ekonomi konvensional.

Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah Prinsip ekonomi syariah dikenal dengan empat prinsip yaitu:

Prinsip Pertama: Perbankan Non Riba

Prinsip ini menjelaskan bahwa prinsip ekonomi syariah tidak mengenal adanya riba. Karena riba diharamkan dalam agama Islam, berdasarkan ketentuan di dalam Al-Quran dan Al-Hadist serta ijma ketiga dasar tersebut sangat jelas dan qoti. Riba dalam semua agama tidak diperbolehkan, apalagi dalam Agama Islam malah melarangnya.

Prinsip Kedua: Perniagan Halal dan Tidak Haram

Prinsip kedua dalam berbisnis adalah mesti halal dan bukan berbisnis barangbarang yang diharamkan oleh Islam. Islam memerintahkan pemeluknya untuk melaksanakan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang dibenci Allah. Dalam perdagangan tidak dibenarkan memperjualbelikan atau melakukan tindakan haram. Misalnya Islam melarang menjual minuman keras, benda atau hewan yang najis, alat-alat perjudian, dan lain-lain. Investasi yang dilakukan oleh korporat yang mencampurbaurkan barang yang halal dengan yang haram juga tidak dibenarkan oleh Islam. Investasi tidak halal yang dilakukan oleh suatu korporat berarti melakukan tolong-menolong dalam pelanggaran hukum Allah, sedangkan Allah memerintahkan kita untuk melakukan tolong-menolong dalam kebajikan.

Prinsip Ketiga : Keridhaan Pihak-pihak dalam Berkontrak

Prinsip ekonomi syariah menjelaskan bahwa etika berbisnis dalam Islam menginginkan setiap yang berkontrak mendapatkan kepuasan dalam mengadakan transaksi. Sebab itu mesti ada kerelaan pihak-pihak yang berkontrak.

Prinsip Keempat: Pengurusan Dana yang Amanah, Jujur dan Bertanggung Jawab

Dalam melakukan berbisnis ataupun transaksi, nilai kejujuran, dan amanah dalam mengurus dana merupakan ciri yang mesti harus ada, karena ia merupakan sifat para Nabi dan Rasul dalam kehidupan sehari-hari. Nasabah yang akan mengambil kredit di bank syariah akan senang, karena selain mendapatkan pinjaman modal nasabah juga tidak dikenakan bunga.

Untuk itu, jelaslah bahwa prinsip ekonomi syariah adalah merupakan suatu prinsip yang operasionalnya bagi berbentuk hasil, dan tidak mengenal bunga sebagaimana pada operasional bank konvensional. Namun perbankan syariah dalam operasionalnya di bidang-bidang tertentu belum diatur dengan jelas, sehingga perbankan syariah masih mengadopsi beberapa sistem bank konvensional dalam hal-hal tertentu tersebut.

You might also like