You are on page 1of 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dilihat dari perkembangan ilmu pengetahuandimasa sekarang ini (era globalisasi). Hukum dan moral tidak berjalan dengan seimbang, hukum berlaku untuk orang orang yang golongan bawah sedangkan untuk golongan-golongan atas hukum hanya sebagai formalitas aja. Pada pembahasan ini akan membahas tentang nilai moral dan hukum. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam makalah ini penulis akan membahas 1. Pengertian Hukum 2. Pengertian Moral 3. Hukum dan Moral dalam kehidupan masyarakat. 1.3 Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) yang diberikan oleh dosen pembimbing serta sebagai penambah wawasan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya

BAB II MANUSIA DAN HUKUM

Disepakati bahwa manusia adalah makhluk sosiai, adalah makhluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkaa bantuan dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dapat berhubungan secara harmonis dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam rnasyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka; manusia masyaraka dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pemeo "Ubi societas ibi ius" di mana ada masyarakat di sana ada hukum) adalah tepat. Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian hukum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order). Mochtar Kusumaatmadja, (2002, hlm. 3) mengatakan "Ketertiban adalah tujuan pokok dan .pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya". Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalarn masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akar mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya. Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah moral. Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut, bahkan antara kaidah 2

hukum dengan kaidah lain sating berhubungan yang satu memperkuat yang lainnya, meskipun adakalanya kaidah hukum tidak sesuai atau tidak serasi dengan kaidah-kaidah tersebut. Dahlan Thaib (2001, hlm. 3) mengatakan bahwa hukum itu sungguhsungguh merupakan hukum apabila benar-benar dikehendaki diterima oleh kita sebagai anggota masyarakat; apabila kita juga betul-betul berpikir demikian seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, dan terutama juga betulbetul menjadi realitas hidup dalam kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlak pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Selanjutnya Mochta: Kusumaatmadja (2002, him. 10) mengatakan "Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yar. hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nila: yang berlaku dalam masyarakat tersebut"

2.1 HUBUNGAN HUKUM DAN MORAL

Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma yang mengatakan "Quid leges sine moribus?" Apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas? Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundangundangan yang immoral harus diganti. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukumihanya anganangan saja, kalau tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. Meskipun tidak semua harus diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hal itu mustahil. Hukum hanya membatasi diri dengan mengatur hubungan antar-manusia yang relevan. 3

Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya "mungkin" ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dengan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dewasa ini "apalagi dalam konteks pengam6ilan keputusan hukum membutuhkan moral, sebagaimana moral membutuhkan hukum. Apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong clan hampa. (Dahlan Thaib, hlm. 6). Namun demikian perbedaan hukum dengan moral tetap jelas, setidaknya seperti diungkapkan oleh K. Bertens yang menyatakan bahwa sela in itu ada empat perbedaan antara hukum dan moral, rerrama, Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perunciang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiiiki kepastian dan objektif dibandingkan dengan norma moral, sedangkan norma moral bersifat lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak "diganggu" oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan tidak etis. Kedua, Meski hukum dan moral mengatu] tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Ketiga, Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian terbesar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukumannya. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang. Keempat, Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. 4

Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya. Sedangkan Gunawan Setiardja, membedakan hukum dan moral : - pertama, dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsensus, dan hukum alam, sedangkan moral berdasarkan hukum alam, - kedua, dilihat dari otonominya, hukum bersifat heteronom yaitu datang dari luar diri manusia, sedangkan moral bersifat otonom datang dari diri sendiri, - ketiga dilihat dari pelaksanaan, hukum secara lahiriah dapat dipaksakan, sedangkan moral secara lahiriah dan terutama batiniah tidak dapat dipaksakan, - keempat dilihat dari sanksinya, sanksi hukum bersifat yuridis sanksi lahiriah, sedangkan sanksi moral berbentuk sanksi kodrati,batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri. - Kelima dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan menegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia, - keenam dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu. (1990, 119)

2.2 PENGERTIAN MORAL Moral berasal dari bahas Latin mores yang berarti adat kebiasan. Kata mors ini mempunyai sinonim mos, mores, manner more atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (basah arab) atau kesusilaan yang mengandung makna tatatertib batin atau tata tertib Kati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. 5

Secara etimologis, etika adala ajaran tentang baik buruk yang di terima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Contoh nilai adalah keindahan, keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan, kearifam, keagungan, kebersihan, kerapian, keselamatan, dan sebagainya. Dalam kehidupan ini banyak sekali nilai yang melingkupi kita. Nilai beraga dapat diklasifikasikan kedalam macam atau jenis-jenis nilai. Prof. Drs. Notonegoro, S.H. menyatakan nilai terdiri dari: a. Nilai materill, yaitu sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. b. Nilai vital, sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakan kegiatan. Dad beberapa pendapat di atas, istilah moral dapat dipersamakan dengan istilah etika, etik, akhlak, kesusilaan, dan budi pekerti. Dalam hubunganya dengan nilai, moral adalah bagian dari nilai, yaitu nilai moral. Tidak semua nilai adalah nilai moral. Nilai moral berkaitan dengan perilaku manusia (human) tantang hal-baik buruk. Dalam filsfat nilai secara sederhana di bedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a. Nilai logika, yaitu nilai tentang benar salah. b. Nilai etika, yaitu nilai tentang baik-buruk. c. Nilai estetika, yai to nilai tentang indah - jelek.

Nilai etik atau etika adalah nilai tentang baik buruk yang berkaitan dengan perilaku manusia. Jadi, kalau kita mengatakan etika orang itu buruk, bukan berarti wajahnya buruk, tetapi menunjuk perilaku orang itu yang buruk. Nilai etika adalah nilai moral. Jadi, moral yang dimaksud adalah nilai moral sebagai bagian dari nilai. Selain etika, kita mengenal pula estetika. Estetika merupaka nilai yang berkaitan dengan keindahan, penampilan fisik dan keserasian dalam hal penampilan. Sebuah lukisan

memiliki nilai estetika, bukan nilai etik. Nilai estetika berkaitan dengan nilai penampilan, sedangkan nilai etika atau moral berkaitan dengan manusia. Sumber : http://id.shvoong .com/writing-and-speaking/2163658-pengertian-

moral/#ixzz1a07JhH18

2.3 PENGERTIAN HUKUM Hukum menurut Utrecht merutakan himounan netuduk hidun, nerintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masvarakat yang seharusnya ditaati oleh seittruh angc,ota masyarakat lett karena itu pelanggaran petuniuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintalpenguasa itu. Menurut Utrecht, penvebab Hukum ditaati orang vaitu: 1) . Karena orang merasakan bahwa leraturan dirasakan sebagai hukum. Mereka benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut. 2). Karena orang harus menerimanya supaya ada rasa ketentrataman. Penerimaan rasional itu sebagai akibat adanya sanksi-sanksi hukum supaya tidak mendekatkan kesukaran, orang memilih untuk taat saja pada peraturan hukum karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.
3). Karena masyarakat menghendakinya. Dalam kenyataannya banvak orang yang tidak

menanyakan apakah sesuatu menjadi hukum belum. Mereka tidal menghiraukan dan baru merasakan dan memikirkan anabila tekth melano-ar hingaa merasakan akibat velanggaran tersebut. Mereka baru merasakan adanva hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh peraturan hukum yang ada. Karena adanva paksaan (sanksi) sosial, Orang merasakan malt, atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila melanggar suatu kaidah sosial hukurn.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Hukum saat ini tidak berlaku sesuai dengan UU yang ada, hukum hanya sebagai lambang semata, sedangkan moral hanya sedikit sesuai yang dimiliki oleh individu individu walaupun moral itu berasal dari diri sendiri. 3.2 Saran Untuk para manusia hendaklah kita mematuhi hukum yang ada dan jalankanlah sesuai dengan UU yang ada, norma norma yang berlaku. Begitupun dengan moral, kuatkanlah keimanan pada diri kita masing masing agar moral kita senantiasa berdiri kokoh pada kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA

M. Setiadi Elly Dra. M.SI, tahun 2007 , Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Kencana Prenada Media Group 9

You might also like