You are on page 1of 124

i

ANALISIS KOMPARASI SISTEM HUKUM PAJAK


INDONESIA DENGAN SISTEM HUKUM
PAJAK HIZBUT TAHRIR
SKRIPSI




OLEH:

NAMA : AINUN ZARIYAH
PRODI : KEUANGAN&PERBANKAN SYARIAH
NIM : 03.23.165

JURUSAN EKONOMI ISLAM
STAIN SURAKARTA-SEM INSTITUTE
YOGYAKARTA
2008
ii
ANALISIS KOMPARASI SISTEM HUKUM PAJAK
INDONESIA DENGAN SISTEM HUKUM
PAJAK HIZBUT TAHRIR
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi
Syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Progam Studi Keuangan & Perbankan Syariah
Pada Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute




Oleh:
Ainun Zariyah




Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua


H. Dwi Condro Triono, SP., M. Ag Suprihadi, SE

iii
Telah diujikan dan disyahkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh
gelar Sarjana jenjang Strata-1
Skripsi berjudul

Analisis Komparasi Sistem Hukum Pajak Indonesia
Dengan Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir

NAMA : AINUN ZARIYAH
NIM : 03.23.165
Jogjakarta, 10 Maret 2008
Disyahkan oleh :



Ir. H.M. Ismail Yusanto, MM
Ketua Jurusan Ekonomi Islam

Dosen/ Dewan Penguji
Penguji I
H. Dwi Condro Triono, SP., M. Ag


Penguji II
Suprihadi, SE



Penguji III
Ir. Sugeng Nugroho Hadi



Penguji IV

Awan Kostradiharto, SE. M.Ag



iv
MOTTO

Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila melakukan suatu
pekerjaan ia lakukan dengan baik. (HR. Abu Yala)

O)]OUg-NC O_ OE4^-
_])+O4O^`4
_=O^ --gLg`u^- ;g`
O4O4;--.- p)
gg _ p-47O^-4
O_e"-4 O.4OO+--)
OO^OU4N-;N4 W
]OU4^NC4 4pOU+-^41 *.-
O):c NNeOE^-O-CgO4 _
O)g7+u4C4Og-.-7g^O4
) -+O:4c _ .-;g`
g;_) u}4`4
4^ O1g^-


Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu
mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu,
dan Itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah[9]:111)

v



PERSEMBAHAN

Kupersembahkan sebuah karya sederhana ini untuk yang tercinta dan terkasih Allah
Azza wa Jalla atas seluruh kasih sayang-Nya dan kesempatan yang diberikan-Nya
tiada terputus Seharusnya kusadari sedari dulu bahwa tidak ada yang bisa
mencintaiku,mengasihiku dan melindungiku melebihi Engkau, betapa Engkau
mencintaiku hingga sampai saat ini diriku selalu mengingat-Mu dan memuja-Mu.

Jangan biarkan aku untuk menduakan-Mu wahai Kekasihku
Untuk hamba-hamba Allah yang telah memberi perhatian untukku dengan sepenuh
hati. Terima kasih banyak atas sepenggal kisah yang pernah kita lalui untuk
mengarungi kehidupan ini, sehingga diriku menemukan jatidiri atas kehidupanku.
Perjuangan itu artinya berkorban, berkorban itu artinya terkorban, janganlah gentar
untuk berjuang demi kejayaan Islam kembali.
Allahu Akbar.
Tiada kebahagiaan setelah indahnya keimanan dari Illahi selain mengabdi buat ibu
dan bapak yang telah berjuang untuk sebuah pengorbanan yang tak bisa terbalas.
vi



KATA PENGANTAR
Bismillaahhirrahmaanirrhiim
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuhu
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan karunia-Nya
pemilik seluruh kebaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad Saw beserta keluarga beliau, para sahabat dan seluruh pengemban
dakwah yang terus mengupayakan tegaknya kejayaan Islam.
Alhamdulillaahirabbilalamiin, akhirnya skripsi ini yang berjudul Analisis
Komparasi Sistem Hukum Pajak Indonesia Dengan Sistem Hukum Pajak
Hizbut Tahrir dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun dan diajukan
untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Program Studi Keuangan dan
Perbankan Syariah pada Jurusan Ekonomi Islam, STAIN Surakarta-SEM Institute.
Sebagaimana telah diketahui bahwa APBN Indonesia selalu mengalami defisit
sehingga pajak yang ditetapkan pemerintah sebagai satu-satunya sumber pendapatan
dalam negeri Indonesia untuk membiayai pembangunan dan kegiatan pemerintahan.
Pada kenyataannya pajak ini tidak mampu menutupi masalah defisit APBN dari dulu
hingga kini. Sehingga hal ini mengakibatkan pemerintah Indonesia selalu menjadikan
hutang luar negeri sebagai alternatif terakhir untuk menutupi defisit APBN tersebut
vii
agar pembangunan dan kegiatan pemerintahan dapat terlaksana. Akan tetapi pada
kenyataanya hutang luar negeri pun membuat APBN Indonesia masih tetap defisit.
Kondisi inilah yang menjadikannya bahan bagi penulis untuk melakukan
penelitian pada hukum pajak Indonesia, kenapa hukum pajak yang ditetapkan
pemerintah Indonesia tidak mampu menyelesaikan permasalahan keuangan negara
Indonesia. Penulis menggunakan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir sebagai bahan
untuk malakukan analisis karena penulis melihat Hizbut Tahrir memiliki konsep
pajak dalam kerangka berpikir sistemik. Hal ini diperlukan karena permasalahan
hukum pajak Indonesia adalah permasalahan sistemik maka pemikiran yang sistemik
juga untuk mengkritisi hukum pajak Indonesia dan Hizbut Tahrir memiliki pemikiran
sistemik tersebut yang memang dibutuhkkan dalam penelitian ini.
Atas selesainya skripsi ini disampaikan rasa terimakasih dan penghargaan
kepada berbagai pihak yang telah memberikan dedikasinya sehingga skripsi ini dapat
terwujud, khususnya kepada:
1. Bapak Ir. Muhammad Iamail Yusanto, M.M, selaku ketua Jurusan Ekonomi
Islam STAIN Surakarta-SEM Institute.
2. .Bapak Dwi Condro Triono, SP. M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi
pertama sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik.
3. Bapak Suprihadi, SE selaku dosen pembimbing skripsi kedua.
4. Kedua orangtuaku yang sangat saya hormati dan sayangi serta seluruh
keluarga yang menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
viii
5. Bapak Harjono serta seluruh staf Direktorat Jenderal Pajak I Yogyakarta yang
telah memberikan informasi terkait dengan hukum pajak di Indonesia.
6. Keluarga besar STEI Hamfara, terutama asrama putri Fikrul Mustanir dan
Adzkiya Ul Mursidah yang telah memberikan motivasi.
7. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semua dukungan, jerih payah, waktu, doa restu yang telah dipanjatkan dan
semua pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis hanya bisa kami balas
dengan doa dan harapan semoga semua amalan tersebut dicatat oleh Allah Swt
sebagai amal shaleh yang akan mendapat balasan dari-Nya, amiin.
Kesempurnaan adalah harapan dan keinginan dari tabiat manusia. Tapi hanya
Allah Swt yang memiliki Maha Kesempurnaan atas segala sesuatu. Oleh karena itu
dalam penyelesaian tulisan ini pastilah banyak kekurangan, kelemahan dan
kebodohan karena penulis hanya seorang hamba yang penuh dengan kekhilafan. Jika
tanpa pertolongan Allah Swt penulis hanya merupakan makhluk yang hina, untuk itu
penulis mohon maaf dan berharap dari ketiksempurnaan yang dilakukan, juga penulis
tidak menutup kemungkinan atas kritik dan saran dari berbagai pihak. Tidak ada
pretensi sedikitpun bahwa skripsi ini sudah sempurna dan bersifat final, semuanya
masih terbuka bagi setiap perbaikan dan koreksi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi perkembangan ekonomi Islam pada umumnya.
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

ix
Yogyakarta, Februari 2007
Penulis,

Ainun Zariyah
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN ................................................... iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
DAFTAR ISI........................................................................................... ix
ABSTRAKSI ......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 6
C. Batasan Masalah.......................................................................... 7
x
D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ...................................................................... 8
F. Metode Penelitian ....................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan Skripsi ..................................................... 15
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................ 18
A. Pendahuluan................................................................................ 18
B. Risalah Pajak Dalam Pemerintahan Islam.................................. 18
C. Teoritika Pajak ............................................................................ 23
1. Definisi Pajak........................................................................ 23
2. Teori Pembenaran Pemungutan Pajak .................................. 25
3. Fungsi Pajak.......................................................................... 28
4. Asas-asas Pemungutan Pajak................................................ 29
5. Cara Pemungutan Pajak ........................................................ 30
6. Stelsel Pemungutan Pajak ..................................................... 31
7. Sistem Pemungutan Pajak..................................................... 32
8. Syarat Pemungutan Pajak...................................................... 33
9. Sanksi Perpajakan ................................................................. 34
BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN......................................... 37
A. Sistem Hukum Pajak Indonesia .................................................. 37
1. Sejarah Perkembangan Undang-undang Perpajakan Indonesia.. 37
2. Hukum Pajak Indonesia ........................................................ 43
a. Definisi Pajak Berdasarkan Undang-undang Perpajakan In-
xi
donesia ........................................................................... 43
b. Sistem Undang-undang Perpajakan Indonesia................ 44
1) Sistem Ketentuan Penetapan Pajak di Indonesia ...... 44
2) Objek Pajak dalam Perpajakan Indonesia................. 45
B. Hukum Pajak Perspektif Hizbut Tahrir....................................... 63
1. Hizbut Tahrir......................................................................... 63
a. Definisi Hizbut Tahrir ..................................................... 63
b. Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir ....................... 66
c. Tujuan Hizbut Tahrir....................................................... 72
d. Aktivitas Hizbut Tahrir ................................................... 75
e. Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir ................................. 78
f. Metode Dakwah Hizbut Tahrir ....................................... 79
g. Fikrah Hizbut Tahrir ....................................................... 82
2. Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir ...................................... 85
a. Pemikiran Hizbut Tahrir Tentang Problematika Ekonomi 85
b. Pemikiran Hizbut Tahrir Tentang Pajak ......................... 87
3. Sistem Keadilan Dalam Pemungutan Pajak Hizbut Tahrir... 88

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN.......................................... 92
A. Pendahuluan................................................................................ 92
B. Faktor-faktor Yang Menunjang Konsep Keadilan Dalam Pemu-
ngutan Pajak di Indonesia ........................................................... 92
xii
C. Penyanggahan Hizbut Tahrir....................................................... 96
D. Solusi Alternatif Menurut Hizbut Tahrir..................................... 99


BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 105
A. Kesimpulan ....................................................................... 105
B. Saran................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 107
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... 109













xiii




ABSTRAKSI
Pembangunan nasional merupakan kegiatan terus menerus dan
berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik
materiil maupun spiritual. Maka untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut
diperlukan banyak biaya. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menetapkan
pemungutan pajak untuk menjaga keberlangsungan aktivitas pembangunan tersebut.
Di Indonesia pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara. Oleh
karena itu, agar dalam pemungutan pajak tidak memberatkan masyarakat maka
pemerintah Indonesia membuat aturan-aturan terkait pemungutannya. Dengan adanya
peraturan tersebut diharapkan pemungutan pajak sesuai proporsional sehingga tidak
ada yang dirugikan.
Oleh karena itulah, pemerintah Indonesia berusaha menjaga asas keadilan
dalam pemungutan pajak, yaitu dengan memperbaiki undang-undang perpajakan
apabila ditemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya. Namun, perbaikan demi
perbaikan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia tidak membuahkan hasil,
bahkan nampak ketidakadilannya. Sehingga dari sinilah dibutuhkan sebuah aturan
alternatif yang dapat mewujudkan keadilan pada masyarakat.
Atas dasar itulah Hizbut Tahrir berusaha menawarkan solusi alternatif terkait
permasalahan perpajakan di Indonesia. Sebab, Hizbut Tahrir memandang bahwa
ketidakadilan pada salah satu pihak akan menyebabkan kesengsaraan di pihak lain.
Dari sinilah Hizbut Tahrir menawarkan beberapa solusi, yaitu pajak harus dipungut
atas orang-orang kaya saja dan hanya sesuai dengan kebutuhan negara, tidak boleh
lebih dari itu.








xiv




DAFTAR TABEL

Hal
Tabel 1. Sistem Sanksi dalam Perpajakan Indonesia.............................. 49














xv




DAFTAR GAMBAR

Hal
Gambar 1. Skema Potensi Kekayaan Negara Indonesia........................ 60
Gambar 2. Skema Potensi Kekayaan Negara Islam................................ 88












xvi



1






DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Media Wawancara
Lampiran 2 : Peraturan Perpajakan terbaru tahun 2008

























2







BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus
menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut,
maka pemerintah perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan.
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam
pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam
negeri berupa pajak, kemudian hasil dari pemungutan pajak akan digunakan untuk
membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan dan kesejahteraan
bersama.
1

Penerimaan dari sektor pajak dewasa ini menjadi tulang punggung
penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk
tahun 1996/1997 jumlah penerimaan pajak mendominasi 61,78% dari total
penerimaan APBN atau 71,59% dari penerimaan dalam negeri. Penerimaan minyak
dan gas bumi (migas) yang sempat menjadi primadona pada saat oil boom ternyata
pada tahun yang sama hanya bisa menyumbang 18,06% dari total penerimaan dalam
negeri, sedangkan penerimaan bukan pajak hanya memberikan sumbangan hanya
sebesar 10,35% terhadap penerimaan dalam negeri.
2


1
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Cetakan II, Jakarta, 2000,
hal . 2
2
Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal.9



3






Dirjen Perbendaharaan Indonesia Departemen Keuangan Herry Purnomo
mengungkapkan, hingga akhir Februari 2007 penerimaan negara dari sektor pajak
mencapai sekitar Rp 50 triliun dari target penerimaan 2007 sebesar Rp 452,556
triliun, itu baru PPN dan PPh belum termasuk yang valuta asing. Sedangkan untuk
penerimaan dari sektor cukai, telah dicatat angka lebih dari Rp 10 triliun. Meski
demikian, penyerapan anggaran dari belanja barang hingga saat ini masih sangat
rendah yaitu pada kisaran 5 persen, tidak seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan
belanja pegawai.
Melalui UU nomor 18 tahun 2006 tentang APBN 2007, pemerintah dan DPR
menetapkan besarnya rencana penerimaan pajak sebesar Rp 452,556 triliun atau naik
sekitar 23,51 persen dibandingkan dengan rencana dalam APBN 2006 (tanpa PPh
Migas). Target penerimaan ini terdiri dari pajak penghasilan (PPh) Rp 261,698
triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp l61,044 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) Rp 21,267 triliun, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) Rp
5,389 triliun, dan pajak lainnya Rp 3.157 triliun. Sedangkan Belanja Negara (APBN)
2007 sebesar Rp 763 triliun dengan alokasi untuk pemerintah pusat dan daerah
masing-masing Rp 504 triliun dan Rp 259 triliun.
3

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari
sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa
adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya
kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan

3
Surat kabar warta kota edisi 6 Maret 2007


4






barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam
penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
4

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro
merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa
dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus
berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi
fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
5

Kita tidak bisa memungkiri bahwa anggaran belanja negara yang telah
diestimasikan oleh pemerintah Indonesia setiap tahun selalu mengalami defisit.
Padahal kenyataannya Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya
alam bahkan melimpah ruah, seharusnya Indonesia menjadi negara yang makmur
karena banyak kekayaan alam yang bisa dikelola sebagai pendapatan dalam anggaran
belanja negara, akan tetapi pada kenyataannnya anggaran belanja Indonesia tidak
pernah lebih dari cukup namun selalu defisit. Hal inilah yang menjadi salah satu
faktor pendorong bagi pemerintah dalam mengambil hukum untuk melakukan
pemungutan pajak terhadap masyarakat, dari pemasukan pajak tersebut digunakan
untuk memenuhi pembangunan sektor riil yang telah direncanakan oleh pemerintah.
Dengan harapan bahwa usaha pemerintah untuk mewujudkan kemandirian

4
http://id.wikipedia.org
5
Ibid. log,cit


5






pembiayaan pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan bersama adalah
dengan jalan menggali sumber dana dalam negeri yaitu berupa pajak dapat berjalan
lancar dan rakyat dapat menikmati hasilnya. Akan tetapi realitasnya rakyat tidak bisa
menikmati haknya secara optimal dikarenakan pajak yang dibayar oleh rakyat selama
ini dialokasikan dalam bidang lain, yang tentunya bukan untuk memenuhi prioritas
hak yang lebih dibutuhkan dan wajib diterima oleh rakyat. Artinya pajak yang
dipungut oleh pemerintah yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat
ternyata belum mampu berjalan sesuai dengan fungsi pajak karena pada hakekatnya
kepentingan rakyat selalu pada prioritas kedua, bahkan pajak tidak mampu menutup
kekurangan dalam APBN seperti harapan pemerintah. Padahal pemungutan pajak
yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan mampu mewujudkan kemandirian
pembangunan untuk menyejahterakan seluruh rakyat, akan tetapi pada realitasnya
rakyat menganggap pemungutan pajak tersebut sebagai beban.
Melihat fenomena dengan adanya pemungutan pajak kepada rakyat ternyata
bukan jaminan bahwa rakyat akan sejahtera, walaupun salah satu syarat pemungutan
pajak adalah asas keadilan. Ternyata asas keadilan yang dimaksud dalam sistem
hukum pajak oleh pemerintah menjadi bumerang bagi rakyat. Sebab, dalam
pemungutan pajak masih ada masyarakat yang merasakan ketidakadilan, sehingga
timbullah perlawanan pasif maupun aktif dari wajib pajak. Oleh karena itu, pajak
diberlakukan atas seluruh rakyat yang memenuhi ketentuan sebagai wajib pajak,
apabila pembayaran pajak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pajak yang dibuat
oleh pemerintah maka wajib pajak akan dikenakan tambahan beban pembayaran
dengan sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan dikenakan terhadap wajib pajak yang


6






tidak memenuhi ketentuan peraturan perpajakan atau melakukan pelanggaran
terhadap aturan perpajakan yang berlaku. Sanksi perpajakan yang berlaku di
Indonesia berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana, sanksi tersebut berwujud
pembayaran kerugian kepada negara khususnya berupa denda, bunga dan kenaikan
biaya dari pajak yang kurang dibayar serta pidana penjara/kurungan.
6

Dengan adanya kenyataan itu, akhirnya banyak masyarakat yang
mempertanyakan tentang asas keadilan dalam hukum pajak yang berlaku di
Indonesia. Maka dengan realitas tersebut, masyarakat sebenarnya sedang
menginginkan suatu sistem alternatif yang benar-benar dapat mengatasi problem
perpajakan. Oleh karena itulah dalam skripsi ini penulis ingin mengangkat suatu
sistem perpajakan, yang diharapkan dapat menjadi sebuah sistem perpajakan
alternatif. Sistem perpajakan yang yang ingin penulis teliti adalah sistem pajak Islam
konsep Hizbut Tahrir. Penelitian yang akan dilakukan adalah mengangkat konsep
yang ditawarkan Hizbut Tahrir agar menjadi sebuah konsep yang lebih konkret dan
aplikatif, khususnya dalam fokus sistem hukum pajaknya.
Konsep Hizbut Tahrir yang ditawarkan tersebut masih bersifat normatif. Saat
ini belum ada satupun negara di dunia yang menerapkan konsep pajaknya Hizbut
Tahrir, walaupun Hizbut Tahrir sendiri berpendapat bahwa sesungguhnya konsep
tersebut bukanlah konsep yang baru, melainkan sudah pernah diterapkan selama
kurang lebih 13 abad di zaman kekhalifahan Islam
7
.

6
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Cetakan II, Jakarta, 2000,
hal . 85
7
Taqyuddin an-Nabhani, (terj.), Peraturan Hidup Dalam Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor,
2003, Cetakan ke-3, hal.70-73



7






Keberadaan pajak tidak dijadikan sebagai ketetapan yang bersifat permanen
karena hanya diberlakukan ketika kondisi keuangan negara dalam keadaan darurat.
Jika dilakukan pemungutan, pajak hanya dibebankan kepada orang-orang yang kaya.
Sehingga orang-orang miskin tidak perlu memikul beban pajak. Oleh karena itu
untuk menjaga keadilan dalam pemungutan pajak, maka pemerintah harus memiliki
data terperinci tentang kekayaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat sehingga
tidak ada kesalahan dalam penetapan besar pemungutan pajak.
Wacana ini menjadi sebuah kenyataan yang menggugah penulis untuk
mengkritisi tentang permasalahan perekonomian yang terjadi di Indonesia,
khususnya dalam permasalahan hukum pajak. Penulis mencoba mengkaji hukum
pajak yang diterapkan di Indonesia apakah konsep yang diterapkan selama ini dapat
berjalan sesuai asas keadilan dengan melakukan Analisis Komparasi Sistem
Hukum Pajak Indonesia Dengan Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir. Dengan
meninjau kembali permasalahan tersebut, penulis berharap dapat memberikan solusi
yang tepat dengan melihat realitas yang terjadi secara objektif dan rasional.

B. Rumusan Masalah
Sebagaimana gambaran deskriptif (penjelasan) latar belakang pada
pemaparan tersebut, untuk memperjelas permasalahan pada pembahasan, maka
penulis merumuskan masalah yang akan diberikan terkait pembahasan di atas yaitu
sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan ketentuan, tata cara, dan sistem sanksi dalam hukum
pajak di Indonesia?


8






2. Apakah sistem hukum pajak Indonesia telah sesuai dengan syarat
pemungutannya yang berkeadilan menurut Undang-undang perpajakan?
3. Bagaimana Hizbut Tahrir memandang penerapan sistem hukum pajak yang
diterapkan di Indonesia?
4. Bagaimanakah sistem hukum pajak yang berkeadilan dalam perspektif Hizbut
Tahrir?

C. Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan di atas maka penulis memfokuskan permasalahan yang
akan dibahas yaitu sistem hukum pajak yang diterapkan di Indonesia dengan
membandingkan sistem hukum pajak dalam pandangan Hizbut Tahrir terutama
dalam aspek asas keadilan dalam pemungutannya. Sehingga diharapkan akan
didapatkan sebuah sistem hukum pajak alternatif.

D. Tujuan Penelitian
Dibuatnya penelitian ini adalah guna memenuhi salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta,
pada jenjang pendidikan Strata (S-1) Jurusan Ekonomi Islam.
Sesuai dengan batasan masalah dari penelitian, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penerapan sistem hukum pajak yang berlaku di Indonesia
dari ketentuan, tata cara, maupun sanksi yang harus dipatuhi oleh masyarakat
wajib pajak.


9






2. Untuk mengetahui bahwa sistem hukum pajak Indonesia telah sesuai dengan
syarat pemungutannya yang berkeadilan berdasarkan Undang-undang
perpajakan.
3. Untuk mengetahui pemikiran Hizbut Tahrir dalam memandang penerapan
sistem hukum pajak yang diterapkan di Indonesia. Dengan membandingkan
kedua sistem tersebut sehingga diperoleh sistem yang layak untuk dijadikan
sebagai alternatif.
4. Untuk mengetahui sistem pemungutan pajak dalam asas keadilan menurut
perspektif Hizbut Tahrir.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat atau urgensi dari penelitian ini diharapkan mempunyai implikasi
untuk:
1. Bagi Wajib Pajak/Masyarakat
Membantu mengembangkan pemikiran yang terkait dengan konsep
sistem hukum pajak yang diberlakukan pada masyarakat sehingga dapat
menambah khasanah keilmuan.
2. Bagi Pemerintah/Direktorat Jenderal Pajak
a. Membantu memberikan saran kepada pemerintah terhadap penerapan
sistem hukum pajak dalam menetapkan akar permasalahan dan standar
konsep pajak beserta pemecahannya.
b. Membantu memberikan wacana pemikiran bahwa hukum pajak tidak
berdiri sendiri melainkan dibangun atas sebuah tatanan sistem yaitu


10






sistem keuangan negara yang menyangkut kehidupan rakyat sehingga
tidak ada cara pandang yang parsial ketika memahami suatu konsep dan
menerapkannya dalam tatanan praktis.

F. Metode Penelitian
Berpijak pada tujuan-tujuan penelitian ini, yaitu menggali konsep-konsep
sistem hukum pajak Hizbut Tahrir dalam fokus keadilan yang mampu
mensejahterakan rakyat, yang selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi sistem
hukum pajak Indonesia. Maka untuk menemukan rasionalitas, kebenaran, dan
keberadaannya yang lebih tepat dan akurat, metode yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Tehnik Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk menguji konseptual sistem hukum pajak
Indonesia khususnya pada asas keadilan yang mampu menyejahterakan rakyat
dengan pendekatan konsep sistem hukum pajak Hizbut Tahrir, sekaligus digunakan
untuk mengevaluasinya. Oleh karena itu, pendekatan teori kritis akan digunakan
dalam penelitian, sedangkan tahap-tahap penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu tahap deskriptif, tahap analitik, dan tahap evaluatif.
a. Tahap Deskriptif
Tahap deskriptif yang dilakukan pada penelitian ini adalah tahapan
pengkajian yang dilakukan dengan pendekatan antropologis fenomenologis.
Antropologis fenomenologis adalah suatu pendekatan yang memahami agama
dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang


11






di masyarakat. Pendekatan ini melalui teori kritis berangkat dari fenomena
atau realitas adanya ketidakadilan kemudian dikonstruk suatu konsep keadilan,
dengan membandingkan sistem hukum pajak Indonesia yang menggunakan
pancasila sebagai asas tunggalnya terhadap sistem hukum pajak yang
ditawarkan hizbut tahrir dengan Islam sebagai asasnya.
8

Pada tahapan ini, pendekatan dilakukan untuk menemukan hakikat dari
konsep sistem hukum pajak Indonesia dengan Hizbut Tahrir secara objektif.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami konsep tersebut secara mendalam dan
utuh maka dibutuhkan sejumlah studi literatur (telaah pustaka) yang berkaitan
dengan masalah tersebut. Dengan demikian diperlukan pengkajian terhadap
karya tulis yang berkaitan dengan konsep sistem hukum pajak.

b. Tahap Analitik
Setelah mendiskripsikan maka tahap selanjutnya penulis melakukan
analisis, yaitu menganalisis objek penelitian yang telah dideskripsikan sesuai
dengan pembahasan masalah pada penelitian tersebut. Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu mengamati objek penelitian dalam bentuk
cara pandang suatu pemikiran tertentu terhadap objek tersebut. Kemudian dari
hasil analisis cara pandang suatu pemikiran tersebut akan dapat diambil
menjadi kesimpulan yang selanjutnya kesimpulan tersebut dijadikan sebagai
penilaian dalam penelitian ini.

8
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 36-37



12






Dalam melakukan proses analisis (pengkajian) informasi-informasi
terdahulu (al-malumat as-sabiqah) mengenai fakta harus ada karena
malumat-malumat inilah yang nantinya akan menjadi alat analisis sesuai
dengan realitas yang ada, sedangkan opini atau pendapat terdahulu (al-ara as-
sabiqah) tentang fakta harus ditiadakan karena jika opini terdahulu hadir dalam
proses pengkajian dan mendominasi maka akan menimbulkan kekeliruan
dalam memahami dan menafsirkan fakta yang sedang dikaji. Apabila hal ini
terjadi maka akan mempengaruhi objektifitas dari penelitian serta akan
diperoleh hasil yang tidak valid sesuai fakta yang diamati sebenarnya. Oleh
karena itu, objektifitas kesimpulan akan didapatkan sesuai dengan realitas fakta
tersebut jika dalam pengamatannya melalui metode rasional digunakan secara
benar dan tepat.
9

Pada tahap ini, analisis yang dimaksud adalah untuk menganalis
mengenai fakta sistem hukum pajak Indonesia dengan Hizbut Tahrir dalam
penentuan syarat pemungutan pajak apakah telah sesuai dengan asas keadilan
sehingga rakyat telah merasakan adil dalam pemungutannya. Kemudian,
setelah dianalisis dilanjutkan dengan komparasi, yaitu membandingkan konsep
sistem hukum pajak Indonesia dengan Hizbut Tahrir. Sebab, dengan
mengkomparasikan kedua konsep tersebut akan diperoleh tingkat keunggulan
dari salah satu konsep untuk diterapkan dimasa yang akan datang. Maka dari
hasil komparasi tersebut diharapkan mampu memperoleh konsep mana yang

9
Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Hakekat Berfikir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan I, 2003,
hal. 29-30


13






layak untuk mendorong terjadinya asas keadilan dalam pemungutan pajak dan
akan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.

c. Tahap Evaluatif
Tahap evaluatif pada penelitian ini dilakukan sebagai evaluasi terhadap
realitas penerapan sebelumnya, sekaligus mengevaluasi cara pandang yang
digunakan dalam penerapannya sebagai asas penilaian. Evaluasi ini dilakukan
dari hasil analisis yang didapatkan dengan menunjukkan hasil dari penilaian
cara pandang pemikiran tersebut. Kemudian hasil penilaian akan diberikan
saran atau solusi alternatif apa yang harus dilakukan agar dalam penerapan
sistem hukum pajak yang ditetapkan kepada masyarakat mampu menciptakan
keadilan sehingga tidak ada diskriminasi terhadap rakyat.

2. Objek Penelitian
Sesuatu yang dapat dijadikan sebagai objek penelitian merupakan fakta
yang bersifat materi maupun non materi (maknawi). Kedua fakta tersebut dapat
indera dan dapat dijangkau oleh akal hakekat keberadaannya. Jika fakta yang
bersifat materi wujudnya kadang-kadang dapat dirasakan dan disentuh,
sedangkan fakta yang bersifat bukan materi (maknawi) dapat diindera
pengaruhnya atau dapat dirasakan tapi wujudnya tidak dapat disentuh atau
dipegang. Objek yang dijadikan dalam penelitian ini adalah terkait sistem hukum
pajak negara, dimana sistem hukum pajak merupakan objek yang termasuk
dalam kategori fakta yang bersifat non materi (maknawi), dimana wujudnya tidak


14






dapat disentuh tapi keberadaannya dapat diindera atau dapat dirasakan efeknya
dalam aspek kehidupan.
10
Pada penelitian ini, kedua konsep tersebut
dibandingkan sehingga akan diperoleh suatu konsep alternatif yang layak untuk
diterapkan yang sesuai dengan asas keadilan dan mampu menciptakan
kesejahteraan rakyat.

3. Sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Data primer yaitu merupakan data yang diperoleh melalui sumber langsung
dari objek penelitian. Dalam penelitian ini, data untuk sistem hukum pajak
Indonesia diperoleh dari wawancara langsung dengan Direktorat Jenderal
Pajak, sedangkan untuk sistem hukum pajak Hizbut Tahrir diperoleh dengan
mengumpulkan pokok-pokok pikiran dari konsep pajak Hizbut Tahrir.
b. Data sekunder yaitu merupakan data yang diperoleh dari sumber lain yang
terkait dengan objek penelitian seperti buku, jurnal, internet dan sebagainya
yang berkaitan dengan pokok persoalan.

4. Metode Pengumpulan Data
a. Metode kepustakaan/literatur yaitu tehnik pengumpulan data yang bersumber
dari dokumen atau bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan pembahasan

10
Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor,
Cetakan II, 1993, hal. 16


15






masalah; dapat berupa buku, surat kabar/koran, majalah, atau artikel yang
terkait.
b. Metode wawancara atau interview, metode ini merupakan metode
pengumpulan data dengan jalan melakukan wawancara langsung atau tanya
jawab secara langsung kepada pihak Direktorat Jendral Pajak.

5. Tehnik dan Metode Analisis Pengumpulan Data
Untuk mengetahui apakah data-data yang didapatkan merupakan data-
data yang memenuhi kriteria atau layak dijadikan sebagai objek penelitian maka
ratio analysis sangat berperan. Dimana untuk melakukan analisis berdasarkan
akal (ratio) terhadap data-data tersebut harus memenuhi tiga syarat. Pertama,
adanya informasi-informasi terdahulu (al-malumat as-sabiqah) yang setaraf
dengan pemikiran yang ingin dipahami. Kedua, adanya pemahaman (idrak,
comprehension) terhadap fakta pemikiran hingga dapat dibatasi dan dibedakan
dengan pemikiran yang lain. Ketiga, harus ada gambaran (tashawwur, concept)
terhadap makna pemikiran secara benar yang akan memberikan gambaran yang
hakiki tentang makna pemikiran tersebut.
11

Sedangkan tehnik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini adalah pendekatan ideologi (ideology approach). Pendekatan
ideologi ini dijadikan sebagai standar dalam menilai dan menganalisis data-data,
pendekatan ini digunakan untuk mengetahui:

11
Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Hakekat Berpikir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan I, 2003,
hal. 152-165


16






a. Apakah data-data tersebut mengandung atau dipengaruhi oleh nilai-nilai atau
pemikiran-pemikiran tertentu.
b. Apakah data-data tersebut tidak mengandung atau tidak dipengaruhi oleh
nilai-nilai atau pemikiran-pemikiran tertentu.
Pendekatan ini sangat membantu proses pengklasifikasian atau pengelompokan data
berdasarkan pemikiran yang melandasi dalam penerapan konsep tersebut.

G. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penelitian ini penulis akan memaparkan isi kandungan skripsi agar
mudah dipahami secara utuh, maka penulis menuangkan pokok-pokok pikiran dari
skripsi dalam sistematika penulisan yang terdiri dari 6 (enam) bab, yang tersusun
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan mengandung tentang beberapa hal yaitu latar belakang
masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II STUDI PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Bab II berisis tentang studi kepustakaan terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan pembahasan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Landasan teori dalam penelitian ini membahas tentang pemaparan pengertian,
gambaran pajak, konsep keadilan, serta teori sistem hukum pajak.




17






BAB III DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN
Objek penelitian dalam bab ini berisi tentang studi kasus terkait sejarah
perkembangan undang-undang perpajakan Indonesia, penerapan sistem
hukum pajak Indonesia, penerapan sanksi perpajakan terhadap wajib pajak,
dan konsep keadilan dalam pemungutan pajak. Dan tentang latar belakang
Hizbut Tahrir yang diawali dengan penggambaran tentang latar belakang
sejarah berdiri, devinisi, tujuan, aktivitas, landasan pemikiran dan pemikiran-
pemikiran Hizbut Tahrir terhadap konsep hukum pajak yang diemban, mulai
dari pengertian, pemungutan, penetapan sanksi, sampai dengan penguraian
tentang konsep keadilan dalam sistem hukum pajak Hizbut Tahrir.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini merupakan inti pembahasan dalam skripsi ini, yaitu berisi
tentang evaluasi kritis terhadap Sistem Hukum Pajak Indonesia dengan
menggunakan pandangan HIzbut Tahrir. Dimulai dengan pembahasan
tentang apakah hukum pajak Indonesia telah berhasil menciptakan keadilan.
Selanjutnya evaluasi terhadap hukum pajak Indonesia dengan pandangan
Hizbut Tahrir, dan pada bagian terakhir adalah solusi alternatif yang dapat
dilakukan menurut konsep Hizbut Tahrir
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab V merupakan perumusan terakhir dari keseluruhan isi skripsi ini yang
diwujudkan dalam bentuk kesimpulan dari pembahasan penelitian ini,
kemudian dilanjutkan berupa saran-saran serta harapan penulis atas
terselesaikannya skripsi ini.


18






BAB II
LANDASAN TEORI

A. PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis akan menyajikan beberapa tulisan atau hasil penelitian
yang dapat dikaji dari konsep keadilan menurut beberapa pakar hukum maupun
ulama yang mempunyai kompetensi terhadap konsep keadilan. Sehingga dari sini
dapat digambarkan mata rantai penelitian ini dengan berbagai tulisan dan penelitian
yang sudah dihasilkan. Adapun ulama atau pakar hukum yang disajikan dalam
penelitian ini adalah: Ali bin Abi Thalib (Imam Ali A.S), Busthanul Arifin.
Kemudian dalam bab ini, akan dilanjutkan dengan pembahasan landasan teori
sebagai gambaran latar belakang dari penelitian. Landasan teori ini berisi tentang
penjelasan permasalahan pajak dari literatur atau referensi terkait sistem perpajakan.

B. Risalah Pajak Dalam Pemerintahan Islam
1) Ali bin Abi Thalib (Imam Ali A. S)
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pertama dari keluarga Hasyim, beliau
merupakan seorang khalifah yang terkenal dengan sifat kebangsaan, kuat, berani,
cerdas, dan kepahlawanan. Adapun satu sifat yang sering dijadikan sebagai
teladan bagi umat sampai sekarang, yaitu beliau merupakan seorang penguasa
yang sangat berlaku adil terhadap umatnya sekalipun terhadap musuh. Hal
tersebut terbukti pada saat beliu menjabat sebagai khalifah, yaitu pada suatu saat
Ali Ra menemukan baju besi (baju perang) miliknya di tangan seorang Nasrani,


19






tetapi orang tersebut tidak mau mengakuinya. Kemudian, beliau mengadukan hal
itu kepada ketua hakim pengadilan. Akan tetapi, hakim memutuskan bahwa baju
besi tersebut adalah milik orang Nasrani sebab Ali Ra tidak dapat mendatangkan
bukti atau saksi bahwa baju itu miliknya. Dengan hasil sidang tersebut, beliau
menerima dengan ikhlas karena beliau menganggap bahwa keputusan itu
merupakan suatu langkah menuju kedilan.
Sebagai seorang khalifah, beliau sangat memperhatikan konsep keadilan dan
tidak bolehnya berlaku zalim. Begitu pentingnya tentang konsep keadilan maka
beliau menjelaskan terkait hal itu dalam kitab Nahjul Balaghah. Ali Ra
menyatakan dalam kitab tersebut, bahwa keadilan merupakan persoalan yang
harus diutamakan. Maka beliau memperjelas tentang persoalan keadilan tersebut:
Pertama, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, kemudian
memperhatikan hak-hak yang ada secara kongkrit, setelah itu baru memberikan
orang lain sesuai dengan amal dan kapasitasnya. Dengan pendekatan ini, orang
akan bisa mengetahui tempatnya dalam bermasyarakat, dan selanjutnya
masyarakat ini akan menjadi mekanisme yang teratur. Kedua, keadilan adalah
sebuah kendali uang bersifat umum, yakni keadilan bisa dijadikan undang-
undang umum yang mengatur seluruh urusan masyarakat dimana seseorang harus
komitmen kepadanya. Oleh karena itu, beliau tidak membenarkan seseorang
berpangku tangan menyaksikan norma-norma atau hukum-hukum keadilan
ditinggalkan baik oleh penguasa maupun rakyat, sehingga terbentuk pengkotakan
dan kelas-kelas dalam masyarakat.


20






Dalam penegasannya Imam Ali berkata bahwa, pemerintah dan pembela
hak-hak masyarakat haruslah berpegang teguh kepada konsep-konsep keadilan,
jika tidak maka hendaknya tampuk pemerintahan harus diserahkan kepada orang
lain atau dikembalikan kepada rakyat. Logika ini dipetik beliau dari ajaran Al-
Quran yang tersurat dalam beberapa ayat, antara lain dalam surah An-Nisa yaitu:

E-g4+ W-O7^4`
pEEL-u-4+;O-O)
4_)Uu- -O)
e4L4`- W-1E>
p7NON`4C .- p)
^)g-LOO4 OgE-
pE.-p)gO)
7Og4C+gg^
.-p);^)


Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa: 58)

Adapun salah satu penafsiran ayat tersebut, yakni yang dimaksud dengan
orang-orang yang berhak ialah orang-orang yang memutuskan hukum dengan
adil yaitu bahwa penguasa diperintahkan untuk menjadi pengayom dan pelindung
umat. Pemerintahan adalah amanat yang diserahkan kepada seseorang, maka
untuk menjalankan roda pemerintahan memerlukan orang-orang yang


21






berkomitmen kepada amanat dan tidak menzalimi rakyat. Sehingga setiap hukum
yang dambil membawa kemashlahatan (kebaikan) dan tidak membebani rakyat.
12



2) Busthanul Arifin
Busthanul Arifin merupakan mantan Hakim Agung dengan jabatan ketua
Muda Mahkamah Agung. Beliau adalah seorang hakim yang memiliki komitmen
dan obsesi untuk melakukan perombakan rekayasa politik hukum yang diadopsi
oleh Indonesia. Sebab selama meraih kemerdekaan, negara Indonesia dalam
menerapan hukum-hukumnya banyak memakai hukum buatan asing (Belanda)
yang notabene Belanda adalah penjajah negara ini. Beliau melakukan hal tersebut
dengan tujuan ingin membangun suatu hukum yang dapat dikatakan hukum
negeri ini yaitu sebagai identitas diri, sehingga terwujud negeri yang benar-benar
mandiri. Beliau menganggap bahwa dengan adanya rekayasa hukum dari pihak
asing yang telah merasuki mental para ahli-ahli hukum negeri ini, maka sulit
untuk melakukan perombakan dan menegakkan keadilan yang sesuai untuk
kepribadian bengsa ini.
Busthanul Arifin menyatakan bahwa penerapan hukum di Indonesia, di
dalamnya banyak ketentuan yang memperlihatkan sikap hukum yang
diskriminatif terhadap hukum Islam. Jika hal tersebut dibiarkan maka akan
terjadi pengagungan terhadap hukum buatan manusia, padahal hukum buatan
manusi tersebut notabene banyak membawa kerugian bagi rakyat. Oleh karena

12
Konsep Keadilan Perspektif Ulama, www.google. com


22






itu, beliau berkomitmen untuk melakukan perombakan terhadap hukum-hukum
itu agar membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Dalam bukunya Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah,
Hambatan, dan Prospeknya, beliau membahas tentang konsep keadilan.
Menurut dia, konsep keadilan dalam hukum adalah ditentukan oleh tujuannya.
Dengan demikian, konsep keadilan dalam hukum Islam berbeda dengan konsep
keadilan dalam hukum sipil, karena tujuan kedua hukum tersebut berbeda.
Keadilan dalam hukum Islam yaitu digantungkan kepada keadilan yang telah
ditentukan oleh Allah, sebab Allah merupakan Sang Khaliq sehingga Dia tahu
akan kebutuhan manusia untuk mendapatkan keadilan. Dalam Islam, setiap
peristiwa haruslah diatur menurut sumber-sumber pokok hukum Islam yaitu Al-
Quran dan Sunnah, sebab hukum Islam bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Sedangkan, keadilan dalam hukum sipil sepenuhnya tergantung pada
penalaran menusia, karena itu hukum sipil dimasukkan ke dalam bidang filsafat
hukum. Dan sebab itu pula, pengertian keadilan selalu berubah dari masyarakat
ke masyarakat yang lain, tergantung kepada perkembangan aliran filsafat hukum
yang dianut masyarakat tersebut. Hukum sipil diperoleh dari mengamati
perbuatan-perbuatan dan sikap anggota masyarakat itu. Dari hasil pengamatan ini
dibuatlah peraturan-peraturan umum yang mengikat seluruh masyarakat, paling
kurang dua orang. Tujuan dari hukum sipil hanyalah untuk kedamaian dalam
masyarakat dengan mengatur kepentingan-kepentingan antar manusia yang satu
dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari sini dapat


23






disimpulkan bahwa tujuan dari penerapan keadilan adalah untuk menuju
kedamaian atau kebahagian dalam kehidupan bermasyarakat, dengan
memposisikan sesuatu pada tempatnya sehingga tidak merugikan orang lain
(rakyat).
13


C. Teoritika Pajak
1. Definisi Pajak
Undang-undang pajak sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga
negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan
berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di
segala bidang. Untuk itu agar dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak
memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk
mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan
pembangunan ekonomi yaitu dengan cara menggali sumber dana yang berasal
dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan
tersebut, bahkan pajak dalam suatu pemerintahan dianggap sebagai satu-satunya
sumber pendapatan negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak
ada pemasukan dari sisi pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan.
14
Adapun
definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro : pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat

13
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan
Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, Cetakan I, 1996, hal. 45-46
14
Boediono. Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta, Cetakan ke-20, 2001, hal.110


24






ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
15

Sehingga hukum pajak merupakan suatu aturan yang ditetapkan oleh pemerintah
guna mencukupi pengeluaran dalam anggaran belanja negara.
Pernyataan tersebut didukung oleh undang-undang perpajakan No. 6
tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berbunyi:
Bahwa pemungutan pajak pajak merupakan perwujudan pengabdian kewajiban
dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara
dan pembangnan nasional.

Di berbagai negara di dunia seluruhnya menerapkan sistem hukum pajak
sebab pajak merupakan sumber pendapatan anggaran belanja terbesar, sehingga
pemungutan pajak dibenarkan hukum karena adanya hubungan kausalitas dari
pajak itu sendiri. Secara umum dapat dikatakan pajak yang dipungut secara
langsung maupun tidak langsung akan kembali digunakan oleh masyarakat dalam
bentuk infrastruktur dan pelayanan.
a) Falsafah pajak
Pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang
secara langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari rakyat melalui DPR. Hal ini sesuai dengan
bunyi pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yaitu Segala pajak untuk kegunaan kas
negara berdasarkan undang-undang. Bahkan di negara maju seperti Inggris
dan Amerika Serikat terdapat dalil mengenai pajak, yaitu:
16

Inggris : No Taxatian without Representation

15
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi XII, ANDI, Yogyakarta, 2004, hal.1
16
Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 9


25






USA : Taxation without representation is Robbery

b) Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak
Ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai kebanyakan definisi
menyatakan bahwa:
17

1) Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.
2) Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta
pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.
3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh
pemerintah.
4) Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
5) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
bila dari pemasukannya masih terdapat surplus dipergunakan untuk
membiayai public investment.
6) Pajak dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dari
pemerintah.
7) Pajak dipungut secara langsung maupun tidak langsung.

2. Teori Pembenaran Pemungutan Pajak

17
Ibit, hal. 8-9


26






Pemungutan pajak dibenarkan hukum karena adanya hubungan kasualitas
dari pajak itu sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa yang dipungut secara
langsung maupun tidak langsung akan kembali digunakan oleh masyarakat dalam
bentuk infrastruktur dan pelayanan serta dalam pemungutannya bersifat memaksa
bagi setiap orang yang termasuk sebagai wajib pajak. Adapun beberapa landasan
yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak adalah:
18

a. Teori Asuransi
Pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kepada negara dianalogkan
sebagai pembayaran premi asuransi. Pembayaran premi asuransi ini
dilakukan karena negara bertugas melindungi rakyat dan harta bendanya,
sehingga negara mengharapkan atas balasan untuk pelayanannya kepada
rakyat (sebagai imbalan atas jasa yang telah diterima rakyat). Perbedaannya
yang utama dalam asuransi adalah jika terjadi musibah akan menerima ganti
rugi, tetapi dalam pajak negara maka rakyat tidak akan menerima ganti rugi
jika mengalami musibah.
b. Teori Kepentingan
Teori ini dalam ajaran semula hanya memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini
harus didasarkan atas kepentingan masing-masing dalam tugas pemerintah
(yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-
orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan

18
Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husein, Perpajakan, Edisi Pertama,UPP AMP YKPN,
Yogyakarta, 2000, hal. 21-22


27






kepada mereka (rakyat mengganti rugi atas anggaran-anggaran yang telah
dikeluarkan negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat).

c. Teori Gaya Pikul
Bahwa pemungutan pajak didasarkan pada gaya pikul (kekuatan) masing-
masing wajib pajak. Untuk mengukur gaya pikul seseorang dapat
menggunakan antara lain: jumlah atau besar penghasilan, kekayaan, belanja
atau pengeluaran dan jumlah keluarga.
d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti)
Rakyat membayar pajak kepada negara merupakan suatu sikap guna
menunjukkan rasa baktinya kepada negara atas pelindungan dan pelayanan yang
diberikan kepada rakyat sebagai sikap balas jasa.
e. Teori Asas Gaya Beli
Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandangnya sebagai
gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil gaya
beli dari rumah tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga
negara dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat dengan maksud
untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arak tertentu.
Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah
yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan
kepentingan individu dan bukan pula untuk kepentingan negara melainkan untuk
kepentingan rakyat meliputi keduanya. Sehingga dalam teori ini menitikberatkan


28






ajarannya kepada fungsi pajak kedua dari pemungutan pajak yaitu sebagai fungsi
mengatur (regularend).



3. Fungsi Pajak
Pada dasarnya fungsi pajak adalah sebagai sumber keuangan negara, akan
tetapi ada fungsi lainnya yang tak kalah pentingnya yaitu pajak sebagai fungsi
mengatur, adapun penjelasan dari masing-masing fungsi yaitu sebagai berikut.
19

a. Sumber keuangan negara (Budgetair)
Pemerintah memungut pajak sebagai sumber penerimaan negara yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya baik bersifat rutin
maupun pembagunan. Negara seperti halnya rumah tangga yang memerlukan
sumber-sumber keuangan untuk membiayai kelanjutan hidupnya. Sebagai
contoh, dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri
dengan tujuan membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
b. Fungsi pengatur atau fungsi non budgetair (Regularend)
Di samping usaha bahwa pajak sebagai pemasukan dana untuk kegunaan kas
negara, pajak juga harus dimaksudkan sebagai usaha pemerintah yang
merupakan alat untuk mengatur melaksanakan hukum di bidang sosial dan
ekonomi serta sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya
di luar bidang keuangan, bilamana perlu pemerintah turut campur dalam

19
Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, Edisi Revisi II,YKPN, Yogyakarta,
2000, hal.4-6


29






mengatur serta mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor
swasta.


4. Asas-Asas Pemungutan Pajak
Untuk mencapai pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas
pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya, sehingga terdapat
keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi
yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak
sebagaimana dikemukakandalam Adam Smith pada abad ke-18 dalam buku An
Inguiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations yang dikenal
dengan nama The Four Cannons atau The Four Maxims, menyatakan bahwa
pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada:
20

a. Equality
Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang sesuai
dengan kemampuan membayar (ability to pay) yaitu seimbang dengan
penghasilan yang dinikmatinya di bawah perlindungan pemerintah. Dalam
hal equality tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi
antara sesama wajib pajak. Artinya, bahwa wajib pajak menyumbangkan
uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan
manfaat yang diminta.
b. Cer tainty

20
Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 19


30






Pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan
adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan
mengenai pembayarannya.
c. Convenience of payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu
saat sedekat-dekatnya dengan saat diterima penghasilan/keuntungan yang
dikenakan pajak.
d. Economics of collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin,
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak.
Karena tidak ada artinya pemungutan pajak jika biaya yang dikeluarkan
lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.

5. Cara Pemungutan Pajak
Dalam era globalisasi sekarang ini batas negara menjadi tidak jelas bagi
wajib pajak dalam mencari dan memperoleh penghasilan, sehingga penentuan
pemungutan pajak ini penting untuk menentukan negara mana yang berhak
memungut pajak. Dalam pemungutan pajak ada tiga macam cara yang biasa
dilakukan:
21

a) Asas domisili (tempat tinggal)

21
Ibid, hal. 31


31






Dalam asas ini pemungutan pajak didasarkan pada domisili atau tempat
tinggal wajib pajak dalam suatu negara. Negara dimana wajib pajak
bertempat tinggal berhak memungut pajak terhadap wajib pajak tanpa melihat
darimana pendapatan atau penghasilan tersebut diperoleh baik dari dalam
negeri maupun luar negeri dan tanpa melihat kebangsaan/kewarganegaraan
wajib pajak tersebut.
b) Asas sumber
Dalam asas sumber ini pemungutan pajak didasarkan pada sumber
pendapatan/penghasilan dalam suatu negara. Menurut asas ini, negara yang
menjadi sumber pendapatan/penghasilan tersebut berhak memungut pajak
tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak (wajib pajak
harus membayar pajak kepada negara dimana ia bekerja/mendapat
penghasilan).
c) Asas kebangsaan
Pemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan dari
wajib pajak tanpa melihat darimana sumber pendapatan/penghasilan tersebut
maupun di negara mana tempat tinggal (domisili) wajib pajak yang
bersangkutan

6. Stelsel Pemungutan Pajak


32






Untuk memeperlancar proses pembayaran pajak maka diperlukan tatacara
pemungutan pajak, cara pemungutannya dilakukan berdasarkan 3 stelsel yaitu:
22

a. Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak (penghasilan) yang nyata,
sehingga pemungutannya baru dilakukan pada akhir tahun pajak yaitu setelah
penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Pada stelsel ini pajak
yang dikenakan lebih realistis tetapi pajak baru dapat dikenakan pada akhir
periode.
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-
undang. Dalam hal ini pajak dapat dipungut pada saat tahun berjalan akan
tetapi pemungutanp pajaknya tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi dari kedua stelsel di atas, artinya pada awal
tahun besarnya di hitung berdasar suatu anggapan kemudian pada akhir tahun
disesuaikan kondisi sebenarnya.

7. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak yang pernah diberlakukan dibagi menjadi:
23

a. Official Assesment System

22
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Cetakan II, Jakarta, 2000, hal
. 9-10


23
Ibid. log, cit.


33






Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Dalam
hal ini wajib pajak bersifat pasif, apabila pembayaran terlambat maka wajib
pajak mempunyai utang pajak setelah ada surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assesment System
Yaitu suatu sistem pemungutan paajak yang memberikan wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk
menghitung,memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besar
pajak yang harus dibayar.
c. Withholding System
Yaitu suatu sistem pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga
untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak.

8. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
24

a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya

24
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, ANDI, Yogyakarta, 2004, hal. 2


34






yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis
Pertimbangan Pajak.
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
Di Indonesia pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara
dan warganya.
c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

9. Sanksi Perpajakan
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan


35






dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan
alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.
25

Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Dalam pelaksanaannya seorang wajib pajak dapat
dikenai sanksi administrasi saja, sanksi pidana saja atau kedua-duanya.
1. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi dikenakan kepada wajib pajak yang tidak memenuhi
ketentuan peraturan perpajakan atau melakukan pelanggaran terhadap aturan
pajak yang berlaku. Sanksi administrasi berupa pembayaran kerugian kepada
negara khususnya yang berupa bunga dan kenaikan dari pajak yang terutang,
sanksi administrasi ada 3 macam yaitu:
a. Sanksi berupa bunga
Sanksi administrasi dalam pelanggaran berupa pembebanan bunga ditetapkan
sebesar 2%.
b. Sanksi berupa denda administrasi
Denda administrasi yang ditetapkan kepada wajib pajak berupa pembayaran
sejumlah uang, besarnya tergantung atas pelanggaran yang dilakukan (sesuai
kefatalan akan kesalahan yang diperbuat oleh wajib pajak). Biasanya
besarnya telah ditentukan oleh petugas pemungut pajak.
c. Sanksi berupa kenaikan 50% dan 100%
Kenaikan ini dibebankan dengan penambahan pembayaran dari pajak
sebenarnya, penambahannya dalam bentuk prosentase dari pokok pajak yang

25
Ibid. hal 39


36






harus dibayar dan besarnya tergantung pelanggaran yang dilakukan sesuai
dengan aturan yang berlaku.

2. Sanksi Pidana
Menurut undang-undang perpajakan sanksi pidana dibagi menjadi tiga yaitu
denda pidana, pidana kurungan, pidana penjara. Sanksi pidana dapat dikenakan
kepada wajib pajak, pejabat pajak dan pihak ketiga. Adapun rincian dari sanksi
pidana adalah sebagai berikut:
26

a) Denda Pidana
Berbeda dengan sanksi berupa denda administrasi yang hanya
diancam/dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan
perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib pajak
ada juga yang diancamkan kepada pejabat pajak atau kepada pihak ketiga
yang melanggar norma atau peraturan pajak. Denda pidana dikenakan kepada
tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan.
b) Pidana Kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat
pelanggaran. Dapat ditunjukkan kepada wajib pajak dan pihak ketiga, karena
pidana kurungan diancamkankan kepada si pelanggar norma itu ketentuannya
sama dengan yang diancamkan dengan denda pidana maka masalahnya hanya
ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti pidana kurungan selama-
lamanya sekian.

26
Ibid. hal 40


37






c) Pidana Penjara
Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan,
ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga,
adanya kepada pihak pejabat dan kepada wajib pajak.

BAB III
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

A. Sistem Hukum Pajak Indonesia
1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Perpajakan Indonesia
Sebelum tahun 1984 peraturan perundang-undangan perpajakan yang
merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia sebagian besar
merupakan warisan kolonial dari penjajah Belanda yang pada saat itu dibuat
hukum pemungutan pajak semata-mata hanya untuk menghimpun dari dana bagi
pemerintah penjajah. Pemungutan pajak tersebut dilakukan dalam rangka
mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di Indonesia. Oleh karenanya
pemungutan pajak pada saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat,
sebab baik penetapan jumlah atau besar pajak, jenis pajak maupun tata cara
pemungutannya dilaksanakan di luar rasa keadilan dan tanpa menghiraukan
kemampuan para objek pajak. Hukum pajak tersebut semakin menambah beban
penderitaan hidup rakyat Indonesia dan jauh dari pertimbangan kemanusiaan
serta jauh dari penghargaan terhadap hak asasi manusia. Pajak dilaksanakan


38






hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dipenuhi oleh rakyat
secara patuh baik dari besarnya maupun waktu pembayarannya. Peraturan
perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan Belanda
antara lain adalah Aturan Bea Cukai pada tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan
tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932 dan Ordonansi Pajak
Pendapatan tahun 1944.
Meskipun berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan yang ada di
Indonesia saat ini merupakan sisa-sisa dari warisan kolonial Belanda tersebut
telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, namun karena
berbeda falsafah yang melatar belakanginya serta konsep yang melekat pada
peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut maka sepanjang perpajakan
yang dilandasi pada ketentuan-ketentuan yang sama maka belum bisa mmenuhi
fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita bangsa dan
pembanguna nasional yang sedang dilaksanakan saat ini.
Memasuki era proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
pemerintah Indonesia pada masa kepemimpinan presiden Soekarno berbagai
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan,
tambahan dan penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap situasi
perpolitikan dan tuntutan rakyat dari sebuah negara yang memperoleh
kemerdekaannya dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi berbagai perubahan
yang dilakukan tersebut berbeda dengan yang dilaksanakan pada masa lampau
sebab perubahan pada masa lalu bersifat parsial (perubahan sebagian aspek),
sedangkan perubahan yang dilakukan pada saat itu bersifat agak fundamental


39






(mendasar) yaitu diwujudkan dalam pembuatan Undang-undang nomor 8 tahun
1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan
Pajak Perseroan, yang kemudian pada pelaksanaan undang-undang tersebut
diatur dengan Peraturan Pemerintah (Perpu) nomor 11tahun 1967. Peraturan
Pemerintah tersebut selanjutnya dikenal dengan sistem MPS dan MPO , sistem
tersebut merupakan penyempurnaan sistem pajak yang sesuai dengan tingkat
perkembangan sosial dan perekonomian Indonesia. Meskipun demikian upaya
yang telah dilakukan untuk merubah berbagai peraturan perundang-undangan
perpajakan tersebut belum mampu membuat perubahan secara fundamental
tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan
perundang-undangan perpajakan secara mendasar yakni peraturan perpajakan
yang harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang di
dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan
menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan
merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan. Petunjuk akan
perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai
amanah rakyat seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang antara lain berbunyi: Sistem perpajakan terus
disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus
makin mampu dan bersih.
Serangkaian perubahan dinamis dunia usaha dan masyarakat secara
keseluruhan telah memberikan implikasi akan pentingnya seperangkat aturan
perpajakan yang mengikat warga negara untuk mematuhinya. Penyediaan


40






perangkat aturan tersebut mulai diperbaiki secara intensif oleh pemerintah
dengan adanya reformasi perpajakanyang dilakukan pada tahun 1983, yaitu
dengan adanya Undang-undang No.6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tatacara perpajakan sebagai suatu undang-undana di bidang perpajakan yang
dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, undang-undang
tersebut berbeda dengan undang-undang perpajakan yang dibuat di zaman
kolonial Belanda. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan
mekanisme serta cara pandang terhadap wajib pajak yang dianggap sebagai
obyek, tetapi merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan
memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.
Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang
makin mampu dan bersih dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat
pengawasan dalam undang-undang ini.
Perbedaan falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar
pembentukan undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang
mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme
tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem
perpajakan Indonesia, sebab kedudukan undang-undang ini yang akan menjadi
ketentuan umum bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. Ciri
dan corak dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan
peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama


41






melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan
negara dan pembangunan nasional.
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak sebagai pencerminan
kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak
sendiri. Pemerintah dalam hal ini merupakan aparat perpajakan yang sesuai
fungsinya berkewajiban untuk melakukan pembinaan, penelitian dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.
c. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksakan
kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan
dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assesment), sehingga
melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk
dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Sedangkan ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda
dengan sistem lama yang merupakan sistem warisan zaman kolonial Belanda
yaitu:
a. Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa
pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan yang
keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan.
b. Pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam berbagai hal sangat tergantung dari
pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan,


42






sehingga hal ini mengakibatkan anggota masyarakat Wajib Pajak kurang
mendapat pembinaan, bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan
kurang ikut berperan serta dalam memikul beban negara untuk
mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.
Sehingga jelas perbedaannya bahwa dalam undang-undang perubahan tahun
1983 menetapkan untuk sistem pemungutan pajak yang ditentukan memberikan
kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum
mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan,
dengan demikian diharapkan dapat merangsang peningkatan kesadaran dan
tanggung jawab perpajakan di masyarakat. Begitu pula untuk tugas administrasi
perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu lampau, karena administrasi
perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas menyelesaikan dan menetapkan
semua surat pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan
jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Sedangkan menurut Undang-undang
tahun 1983 administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan
pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas
pembinaan, penelitiaan, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.
Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya
antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media
maupun penerangan secara langsung kepada masyarakat. Perubahan tersebut
diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat
terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan, perluasan tingkat


43






kesadaran kewajiban perpajakan dan objek kena pajak. Sehingga peningkatan
penerimaan negara sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional dan hal
ini akan mempercepat terwujudnya cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
Setelah Undang-undang pajak 1983 berjalan selama satu dasa warsa maka
keadaan perekonomian Indonesia telah banyak perubahan yang disebabkan oleh
faktor intern maupun ekstern akibat perubahan ekonomi dunia. Masyarakat yang
berubah terutama dalam dunia usaha maka menuntut dilakukannya beberapa
penyempurnaan dari pelaksanaan Undang-undang tahun 1983. Penyempurnaan
tersebut meliputi ekstensifikasi dan intensifikasi wajib pajak, penyempurnaan
kinerja fiskus dan penyederhanaan pelaksanaan undang-undang pajak itu sendiri.
Hal terssebut dilakukan untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat dalam pembiayaan pembangunan nasional, di samping tujuan lainnya
berupa peningkatan daya saing eksport, penciptaan iklim ekonomi yang
menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong terciptanya lebih banyak
lapangan kerja baru dan upaya ini merupakan kerja besar yang seharusnya bukan
saja tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

2. Hukum Pajak Indonesia
a. Definisi Pajak Berdasarkan Undang-undang Sistem Pajak di Indonesia
Pemungutan pajak yang diberlakukan di Indonesia berlandaskan atas
peraturan yang terdapat pada UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Segala
pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang. Sebab
pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang secara


44






langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari rakyat (melalui DPR). Oleh karena itu, pajak diberlakukan atas
seluruh rakyat, apabila pembayaran pajak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan
pajak yang dibuat oleh pemerintah maka wajib pajak akan dikenakan tambahan
beban pembayaran dengan sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan dikenakan
terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perpajakan atau
melakukan pelanggaran terhadap aturan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan
keterangan diatas maka pajak yang berlaku di Indonesia yaitu iuran rakyat
kepada kas negara yang berlandaskan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik atau kontraprestasi baik langsung
maupun tidak langsung sebagai wujud dari pengabdian kewajiban dan peran serta
Wajib Pajak untuk membiayai negara dan pembangunan nasional guna
pembiayaan program kerja pemerintah.

b. Sistem Undang-undang Perpajakan Indonesia
1) Sistem ketentuan penetapan pajak di Indonesia
Sistem undang-undang perpajakan yang di terapkan berdasarkan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berpengaruh terhadap cara
pandang dalam perumusan sistem dan yang masih berlaku sampai sekarang,
yaitu:
1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan di Indonesia terdiri dari:


45






a. Sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak
bahwa Wajib Pajak tidak dianggap sebagai obyek tetapi sebagai
subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu
memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban
kenegaraan.
b. Ciri dan corak sistem pemungutan pajak bahwa pemungutan pajak
merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta
Wajib Pajak untuk membiayai negara dan pembangunan nasional,
tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak berada pada
anggota masyarakat Wajib Pajak itu sendiri, anggota masyarakat
Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan
kegotongroyangan nasional untuk menghitung dan membayar sendiri
pajak yang terhutang
2. Badan Pengadilan Sengketa Pajak
Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat Badan
Pengadilan Sengketa Pajak dimana badan tersebut mengurusi tentang
persoalan atau permasalahan terkait pajak apabila Wajib Pajak mengalami
keberatan atas pajak, banding atas keputusan dan peninjauan kembali
terhadap peraturan pajak yang terkait apabila wajib pajak memang merasa
dirugikan atas pajak yang dikenakan padanya tidak sesuai.
3. Penagihan dengan Surat Paksa


46






Dalam peraturan sistem perundang-undangan tentang penagihan
dengan surat paksa akan dilakukan oleh petugas pemungut pajak
berkenaan atas Wajib Pajak apabila tidak menaati pembayaran pajak.

2) Objek Pajak dalam Perpajakan Indonesia
1. Pajak Penghasilan
Sistem peraturan perundang-undangan tentang pajak penghasilan
diatur tentang semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan
pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan
dan badan-badan, ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan
pajak baik berkenan dengan pajak penghasilan maupun berkenaan dengan
pajak-pajak lain yang pengenaannnya dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
2. Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah
Sistem peraturan perundang-undangan tentang pajak pertambahan
nilai dan penjualan barang mewah diatur tentang semua ketentuan yang
berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas pertambahan nilai
barang/jasa dan pajak penjualan atas barang mewah merupakan dua
macam pajak yang diatur dalam satu kesatuan sebagai pajak atas
konsumsi di dalam negeri (pajak hanya diberlakukan bagi wajib pajak
yang mampu untuk mengkonsumsi barang tersebut saja, maka apabila
tidak mengkonsumsi maka tidak perlu membayar pajak).


47






Pajak ini diperoleh dari para pengusaha atau perorangan yang
menghasilkan dan memperdagangkan barang/jasa yang tergolong besar
(mewah) yaitu barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
atau dikonsumsi masyarakat umum yang artinya barang/jasa tersebut
hanya dikonsumsi oleh orang-orang berpenghasilan tinggi yang bertujuan
untuk menunjukkan status (identitas dirinya).
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dipungut/dikenakan
atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan, peraturan
tersebut berlaku bagi setiap masyarakat (seluruh warga) yang mempunyai
kepemilikan atas tanah dan atau bangunan sebagai bukti akan
kepemilikannya.
4. Bea Materai
Sistem peraturan perundang-undangan tentang bea meterai berkenaan
atas dokumen atau surat berharga (bernilai materi) yang di dalamnya
memuat sejumlah uang atau nominal tertentu sesuai dengan ketentuan.
5. Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dalam undang-undang perpajakan tentang Bea Perolehan Hak Tanah
dan Bangunan (BPHTB) mengatur atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah, sebagai
contoh pemungutan pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air bawah
tanah dan air permukaan, pajak bahan bakar (BBM) kendaraan bermotor
serta pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.


48







3) Sistem Sanksi Perpajakan di Indonesia
a. Sistem Pemeriksaan dan Penyidikan terhadap Wajib Pajak
Untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
terhadap wajib pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka
menjalankan fungsi pengawasan terhadap wajib pajak yang bertujuan untuk
meningkatkan sadar pajak pada wajib pajak.


a) Pemeriksaan terhadap wajib pajak
Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan
tujuan menguji kepatuhan atau ketaatan wajib pajak dan tujuan lain yang
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pemeriksaan ini wajib
pajak mempunyai beberapa hak, yaitu:
1. Meminta Surat Perintah Pemeriksaan
2. Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa
3. Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan
4. Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT
Dalam pemeriksaan yang dilakukan apabila ditemukan pelanggaran
terhadap ketentuan umum pajak maka wajib pajak akan mendapatka
sanksi perpajakan.
b) Penyidikan terhadap wajib pajak


49






Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik
yaitu Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak, untuk mengumpulkan bukti-bukti yang membuat terang tindak
pidana di bidang perpajakan. Tindak pidana di bidang perpajakan dapat
berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak.
Adapun kriteria kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak adalah sebagai
berikut:
1. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan NPWP atau PPKP
2. Tidak menyampaikan SPT dan menolak untuk dilakukan pemeriksaan
3. Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap
4. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan
5. Memperlihatkan pembukuan atau pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
6. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan
atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya
7. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah wajib pajak alpa tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Kealpaan dapat diartikan tidak
sengaja, lalai tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya.



50






4) Sistem Penetapan, Keberatan, Banding & Peninjauan Kembali terhadap
Sanksi
a) Sistem Penetapan Sanksi
Untuk memperlancar sistem perpajakan di Indonesia maka diterapkan
sanksi pajak, agar wajib pajak tidak melakukan pelanggaran terhadap
peraturan pajak yang telah ditentukan. Sebab apabila wajib pajak
menyalahi aturan perpajakan maka akan menghambat pembangunan
bangsa. Untuk itu perlu adanya aturan bagi wajib pajak guna menertibkan
pembangunan dalam negeri. Adapun jenis sanksi pelanggaran perpajakan
yang diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Pelanggaran Ketentuan Perpajakan Dan Ancaman Sanksi

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan Wajib
Pajak (WP), sepanjang menyangkut pelanggaran ketentuan
administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan
yang menyangkut pelanggaran yang menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dikenakan sanksi pidana.
a) Sanksi Administrasi yang Berlaku dalam Perpajakan Indonesia
Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak.
Jenis-jenis ketetapan yang dikeluarkan adalah: Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Di samping
itu juga diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP), adapun surat


51






tersebut diterbitkan terkait dalam penerapan dikenakannya sanksi
administrasi baik berupa denda, bunga, maupun keanaikan
pembayaran pajak.
Tabel 1. Sanksi Administrasi Perpajakan yang masih berlaku di Indonesia
No. Pasal Masalah Sanksi Keterangan
DENDA
1. 7 (1) SPT terlambat disampaikan
a. Masa
b. Tahunan

Rp 50.000
Rp 100.000

Per SPT
Per SPT
2. 8 (3) Pembetulan sendiri dan
belum disidik
200%
Dari jumlah pajak
yang kurang dibayar
3. 14 (4) a. Pengusaha kena PPN
tidak PKP
2%
Dari DPP
b. Pengusaha tidak PKP
buat faktur pajak
2%
Dari DPP
c. PKP tidak buat faktur
atau faktur tidak lengkap
2%
Dari DPP
BUNGA
1. 8 (2) Pembetulan STP dalam 2
tahun 2%
Perbulan dari jumlah
pajak yang kurang
dibayar
2. 9 (2a) Keterlambatan pembayaran
pajak masa dan tahunan
2%
Perbulan dari jumlah
pajak yang terutang
3. 13 (2) Kekurangan pembayaran
pajak dalam SKPKB 2%
Perbulan dari jumlah
kurang dibayar
maksimal 24 bulan
4. 13 (5) SKPKB diterbitkan setelah
lewat waktu 10 tahun
karena adanya tindak
pidana
48%
Dari jumlah pajak
yang tidak atau
kurang dibayar
5. 14 (3) a. PPh tahun berjalan
tidak/kurang bayar
2% Perbulan dari jumlah
pajak tidak/kurang
dibayar, maksimal 24
bulan
b. SPT kurang bayar 2% Perbulan dari jumlah
pajak tidak/kurang
dibayar maksimal 24
bulan
6. 15 (4) SKPKBT diterbitkan
setelah lewat setelah waktu
10 tahun karena adanya
tindak pidana
48%
Dari jumlah pajak
yang tidak atau
kurang dibayar


52






7. 19 (1) SKPKB/T, SK
Pembetulan, SK
Keberatan, Putusan
Banding yang
menyebabkan kurang bayar
atau terlambat bayar
2%
Perbulan atas jumlah
pajak atau kurang
dibayar
8. 19 (2) Mengangsur atau menunda
2%
Perbulan bagian dari
bulan dihitung penuh
1 bulan
9. 19 (3) Kekurangan pajak akibat
penundaan SPT
2%
Atas kekurangan
pembayaran pajak
KENAIKAN
1. 8 (5) Pengungkapan
ketidakbenaran SPT
setelah lewat 2 tahun
sebelum terbitnya SKP
50%
Dari pajak yang
kurang dibayar
2. 13 (3) Apabila SPT tidak
disampaikan sebagaimana
disebut dalam surat
teguran, PPN/PPnBM yang
tidak seharusnya
dikompensasikan atau
tidak tarif 0%, tidak
terpenuhinya pasal 28 dan
29


a. PPh yang tidak atau
kurang dibayar
50%
Dari PPh yang
tidak/kurang dibayar
b. tidak/kurang, dipotong
atau dipungut/disetorkan 100%
Dari PPh yang
tidak/kurang
dipotong/dipungut
c. PPN/PPnBM tidak atau
kurang bayar 100%
Dari PPN/PPnBM
yang tidak atau
kurang dibayar
3. 15 (2) Kekurangan pajak pada
SKPKBT 100%
Dari jumlah
kekurangan pajak
tersebut
b) Sanksi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan:
a. Setiap orang yang karena kealpaannya :
1) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); atau
2) menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak


53






benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
b. Setiap orang yang dengan sengaja :
1) tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan, atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP); atau
2) tidak menyampaikan SPT; atau menyampaikan SPT dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
3) menolak untuk dilakukan pemeriksaan; atau
4) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
5) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lainnya; atau
6) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
Negara, di pidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.


54






c. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan
pidana 2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana yang diatur
sebagaimana butir b.
d. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak
pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP
atau Pengukuhan PKP, atau menyampaikan SPT dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam
rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan
kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi
yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib
Pajak.
Sanksi tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari
Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang
menganjurkan, yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan,
ataupun seluruh pihak yang terkait dalam perkara tersebut.
2. Daluwarsa Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu
sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya
Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
3. Delik Aduan Dan Sanksinya


55






Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di
bidang perpajakan ataupun pihak yang terkait, dilarang mengungkapkan
(memberitahukan/menyebarkan) kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut
masalah perpajakan.
4. Pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan WP tersebut dapat
diancam sanksi pidana sebagai berikut:
a. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan
hal kerahasiaan Wajib Pajak, dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta
rupiah).
b. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
5. Keterlibatan dan Sanksi bagi Pihak ketiga
a) Setiap orang yang menurut ketentuan wajib memberikan keterangan atau
bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
bukti; atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
b) Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana perpajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3


56






(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Ketentuan ini berlaku juga bagi yang menyuruh, melakukan, dan yang
menganjurkan atau membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
b) Keberatan wajib pajak terhadap penetapan sanksi
Wajib pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu
ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan. Atas
keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling
lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.
Syarat pengajuan keberatan adalah:
1. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN,
serta pemotongan dan pemungutan ole pihak ketiga.
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak terutang menurut perhitungan wajib pajak dengan menyebutkan
alasan-alasan yang jelas.
3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak surat ketetapan
pajak, kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak
dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya.
4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai
surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
c) Banding terhadap penetapan sanksi


57






Apabila wajib pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan
atas keberatan yang diajukannya, maka wajib pajak masih dapat mengajukan
banding ke Badan Peradilan Pajak atas keberatan yang dialami. Permohonan
banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 bulan
sejak keputusan diterima dengan dilampiri Surat Keputusan Keberatan tersebut.
Untuk satu keputusan diajukan satu surat banding, dan wajib pajak yang
mengajukan banding harus membayar minimal 50% dari utang pajak yang
diajukan banding. Pengadilan pajak harus menetapkan putusan selambat-
lambatnya (paling lambat) 12 bulan sejak surat banding diterima. Apabila
putusan pengadilan pajak mengabulkan permintaan wajib pajak baik sebagian
atau seluruh banding ataupun keberatan yang diajukan, maka kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan kepada wajib pajak dengan ditambah dengan
imbalan bunga sebesar 2% dalam jangka sebulan atau untuk paling lama 24
bulan.
d) Peninjauan kembali terhadap penetapan sanksi
Jika wajib pajak masih belum puas dengan putusan banding, maka wajib
pajak masih memiliki hak mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu
kali kepada Mahkamah Agung. Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan
atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana
memperolehketetapan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau


58






sejak putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam
jangka waktu 6 bulan sejak permohonan PK diterima.

3. Sistem Keadilan Dalam Pemungutan Pajak Di Indonesia
Pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang
secara langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari rakyat melalui DPR. Hal ini sesuai dengan
bunyi pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yaitu Segala pajak untuk kegunaan kas
negara berdasarkan undang-undang.
27
Oleh karena itu, pajak diberlakukan
atas seluruh rakyat yang memenuhi ketentuan sebagai wajib pajak, apabila
pembayaran pajak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pajak yang dibuat
oleh pemerintah maka wajib pajak akan dikenakan tambahan beban
pembayaran dengan sanksi perpajakan. UU No. 6 tahun 1983 tentang
ketentuan umum dan tata cara perpajakan pasal (1) menyatakan bahwa, wajib
pajak yaitu orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu. Hal
ini diterapkan agar tidak terjadi diskriminasi terhadap masyarakat, oleh
karena itulah masyarakat harus melaksanakan kewajiban yang sama.
Namun dalam penjelasan umum Undang-undang perpajakan nomor 8
tahun 1983, menyatakan bahwa dengan perkembangan sosial ekonomi
maupun politik yang pesat dalam sebuah negara sehingga perubahan sistem

27
Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 9


59






perpajakan yang pernah dilakukan belum dapat menampung perkembangan
dunia usaha karena masih dijumpai kelemahan-kelemahan dalam Undang-
undang perpajakan, yaitu:
a. Belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuan
b. Kurang memberikan hak-hak Wajib Pajak
c. Kurang memberikan kemudahan kemudahan kepada wajib pajak dalam
melaksanakan kewajibannya
d. Kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana
Untuk itu dalam rangka menampung perkembangan sosialekonomi dan
politik dalam dunia usaha maka dipandang perlu penyempurnaan perundang-
undangan perpajakan yang menitikberatkan pada keempat hal diatas sehingga
agar tercipta keadilan dalam masyarakat.
Sehingga dengan berlandaskan pada kelemahan-kelemahan Undang-
undang perpajakan tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa
perubahan Undang-undang perpajakan guna mewujudkan keadilan yang
diinginkan masyarakat. Adapun beberapa Undang-undang perpajakan yang
diresuffle, sebagai contoh Undang-undang perpajakan nomor 6 tahun 1983
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan bahwa dengan berpegang
teguh pada prinsip kepastian hukum keadilan, perpajakan merupakan
penunjang usaha untuk meningkatkan keadilan sehingga masyarakat harus
berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai kemampuan.
Selain itu juga, Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang


60






Mewah bahwa untuk memberikan nilai keadilan serta dalam upaya
mengendalikan konsumsi masyarakat yang tidak produktif maka tarif Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dinaikkan. Adapun Undang-undang nomor 21
tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan juga
mengalami perubahan yaitu bahwa guna berpegang teguh pada asas keadilan,
masyarakat agar lebih perpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan. Maka
masyarakat wajib membiayai pembangunan tersebut yaitu dengan membayar
pajak sesuai dengan kewajibannya, sebab penerimaan dari pajak merupakan
sumber utama dalam pembiayaan pembangunan tersebut. Namun dengan
adanya beberapa Undang-undang perpajakan yang sudah diresuffle ternyata
dalam pelaksanaannya masih belum adil. Hal ini dikarenakan dalam
pemungutan pajak pemerintah kurang mengetahui benar kondisi wajib pajak
siapa-siapa saja layak dikenakan pajak, sebab banyak yang dianggap oleh
negara telah memenuhi syarat wajib pajak namun pada hakikatnya banyak
tidak layak bahkan tidak mampu untuk membayar pajak.










61





























POTENSI SELURUH HARTA
KEKAYAAN NEGARA INDONESIA
KEPEMILIKAN
INDIVIDU
Individu bebas mempunyai, menguasai, mendapatkan,
mengembangkan kepemilikan dengan cara apa saja
Pengembangan :
1. Pertanian
2. Perdagangan
3. Industri
4. Perseroan kapitalis
5. Bursa saham dan valas
6. Perbankan
PAJAK :
1. Pajak Penghasilan (PPh)
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Barang Mewah
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
4. Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan
(BPHTB)


62












Gambar 2. Skema Pendapatan Negara Indonesia



B. Hukum Pajak Perspektif Hizbut Tahrir
1. Hizbut Tahrir
a. Definisi Hizbut Tahrir
Sejak awal abad II H, yaitu dimulai pada masa pemerintahan al-
Makmun (194-218 H/809-913 M) dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Irak,
pemikiran kaum muslimin pada saat itu mulai tersusupi pemikiran-pemikiran
filsafat asing seperti filsafat India, Yunani, Persia, theology Nasrani
Nasathirah. Pada saat itu kaum Muslimin mengenal mantiq Aristoteles.
Diantara mereka ada yang mempelajari sebagian buku-buku filsafat dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab sehingga ada sebagian diantara
mereka melakukan kesalahan yaitu berupaya mengkompromikan Islam
dengan filsafat tersebut. Ditambah lagi pada abad VII H, pada masa
pemerintahan al-Hakim bin Amrillah (661-701 H/1262-1301 M) yaitu adanya

PENDAPATAN NEGARA
INDONESIA


63






kelalaian kaum muslimin terhadap penguasa Arab. Hal ini yang
menyebabkan semakin mundurnya kaum Muslimin karena tanpa adanya
penguasaan yang mampu memahami nash-nash syara dan menggali hukum-
hukum syarauntuk menjawab problematika umat. Akhirnya kaum Muslimin
menjadi mandul dan jumud dalam berijtihad. Belum lagi munculnya
pergolakan budaya (ghazwuts tsaqafi), kristenisasi, serangan budaya dan
serangan politik yang datang pada abad XIX M, yaitu organisasi-organisasi
misionaris dari Perancis, Inggris dan Amerika semakin memperlemah
kekuatan pemikiran Islam. Selain itu pada abad XX M, pengetahuan asing
(ats-tsaqafah al-ajnabiyah) telah menyerang negeri-negeri Islam. Dengan
tsaqafah itu para penjajah mampu menarik sekelompok kaum Muslimin ke
pihak mereka, serta para penjajah mendorong kaum Muslimin untuk
memisahkan dan memerdekakan negeri mereka dari Daulah Islamiyah.
Penjajah juga mampu menarik orang-orang Arab di Paris untuk membentuk
suatu kelompok yang bertugas memerangi Daulah Ustmaniyah.
Setelah eksistensi Daulah Islamiyah sirna, penjajah langsung
menggantikan posisinya. Mereka memerintah negeri-negeri Arab secara
langsung dan memperluas kekuasaannya ke seluruh negeri-negeri Islam
dengan cara memasukkan hukum-hukum konstitusi Barat sehingga negeri-
negeri muslim mengadopsi undang-undang yang dibuat oleh Barat dan
menerapkannya dalam pemerintahan. Yang terpenting dari cara-cara tersebut
adalah dengan menyebarkan tsaqafah asing (ats-tsaqafah al-ajnabiyah), uang
(al-maal), dan para agennya (al-umala). Keberhasilan orang-orang Barat


64






mempengaruhi pemikiran kaum Muslimin menyebabkan tubuh Daulah
tercerai berai dan membuat pemikiran umat semakin terpuruk hingga kaum
Muslimin tunduk terhadap ide-ide Barat dan semakin jauh dengan ajaran
Islam sampai akhirnya Daulah Khilafah runtuh pada tahun 1924.
Atas dasar itulah, Hizbut Tahrir didirikan untuk membangkitkan umat
dari keterpurukan berfikir dan melanjutkan kehidupan Islam sehingga hanya
Islam yang akan dijadikan tolok ukur dalam memecahkan berbagai
problematika yang dihadapi oleh umat. Pendiri Hizbut Tahrir adalah Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, Hizb merupakan sebuah partai resmi yang
dilegalkan pada hari Sabtu 28 Jumada ats-Tsaniyah 1372 H yang bertepatan
tanggal 14 Maret 1953 berdasarkan Undang-Undang Jamiyah Utsmani di al-
Quds, Yordania.
28

Adapun perkembangan Hizbut Tahrir di Indonesia diawali pada dekade
tahun 1980-an dan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh
Indonesia, Hizbut Tahrir datang di bawa oleh Abdurrahman Al Baghdadi.
Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat
melalui berbagai aktivitas dakwah di perkantoran, pabrik, dan perumahan.
Hizbut Tahrir mengamati, menganalisis, dan menawarkan solusi alternatif
dalam setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologikan Islam,
politik merupakan aktivitasnya dan Islam sebagai ideologinya (mabda-nya).
Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat dan bersama-sama umat

28
Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah,
Depok, 2000, Cetakan II, hal. 2-3



65






berjuang untuk menjadikan Islam sebagai perkara yang paling utama dalam
memecahkan problematika umat, serta membimbing umat untuk mendirikan
Sistem Khilafah dan menegakkan hukum berdasarkan apa yang telah
diturunkan Allah dalam realita kehidupan ini. Hizbut tahrir merupakan
kelompok politik bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata,
bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula
lembaga sosial. Ide-ide Islam (al-fikrah al-islamiyah) merupakan jiwa, inti,
sekaligus jati diri dan rahasia kehidupan dalam kelangsungan kelompoknya.


b. Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir
1) Keharusan Berdirinya Partai Politik Menurut Syara
Adapun berdirinya Hizbut Tahrir dalam rangka memenuhi seruan Allah
SWT:
4^ }4N pO_uL4C4
NOuO^)pNON`4C4
4)OOC^-O) pONN;4C
OE`q 74g)`}74^44
^j ]O)U^^--
lj^q4O4^-


Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang maruf dan mencegah dari
yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran:
104)



66






Maka dengan adanya seruan tersebut bahwa Allah SWT telah
memerintahkan kaum muslimin agar di antara mereka ada suatu kelompok
(jamaah) yang terpadu, yang memiliki dua tugas:
29

1. Mengajak kepada kebaikan, yaitu mengajak kepada Islam dengan
menerapkan seluruh hukum-hukum yang telah diperintahkan oleh Allah.
2. Menyeru kepada yang maruf dam mencegah ke-munkar-an, dengan cara
menggunakan metode-metode yang diajarkan Rasulullah.
Aktivitas amar maruf nahi munkar tidak hanya meliputi seruan
terhadap individu saja tetapi juga masyarakat dan penguasa agar mereka
melaksanakan (menerapkan) syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan dan
melarangnya melakukan sesuatu jika tidak bersumber pada syariat. Dalam
aktivitas amar maruf nahi munkar kepada penguasa merupakan aktivis yang
terpenting yaitu dengan cara mengawasi para penguasa serta menyampaikan
nasihat kepadanya, karena mereka adalah sebagai wakil umat sehingga setiap
hukum yang diambil oleh mereka akan menentukan nasib umat yang
dipimpinnya. Aktivis seperti ini tergolong aktivis politik, bahkan termasuk
aktivitas politik yang amat penting. Maka hal inilah yang menunjukkan
adanya kewajiban untuk mendirikan partai politik.
Aktivitas amar maruf nahi munkar tidak lain adalah dakwah Islam
yang harus disesuaikan dengan hukum Islam, dan hal ini tidak dapat
dilaksanakan kecuali oleh kelompok/partai Islam yang berasaskan aqidah
Islam. Partai tersebut tidak boleh berasaskan jamiyah, yang sistem

29
Ibid, loc. Hal 2-3


67






keorganisasiannya menetapkan bahwa ia akan melakukan kegiatan-kegiatan
sosial tertentu, dalam bentuk kerja/perkataan, atau hanya dalam bentuk kerja
praktis saja.
30
Kelompok yang mampu membawa kebangkitan umat adalah
kelompok yang berdiri sebagai sebuah partai yang berideologikan Islam.
Pemikiran Islam (al-fikrah al-islam ) merupakan ruh bagi bangunan partainya
dan metode Islam (at-thariqah al-islam) sebagai pedoman dalam aktivitas
geraknya untuk mewujudkan fikrah-nya.
Maka untuk membangkitkan umat perlu adanya sekelompok orang
yang akan memperjuangkan kebangkitan umat dengan pemikiran (fikrah) dan
metode (thariqah) yang sesuai Islam dan ajaran Rasulullah. Atas dasar itulah,
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mendirikan partai politik Hizbut Tahrir.


2) Keterpurukan Umat Islam
Sesungguhnya penyebab kemerosotan yang sangat fatal dan tidak pantas
dialami oleh kaum Muslimin adalah akibat dari lemahnya kaum Muslimin
dalam memahami dan melaksanakan Islam. Hal ini diakibatkan oleh faktor-
faktor yang mengaburkan pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah-nya) yang
dialami sejak abad kedua sampai saat ini. Faktor-faktor tersebut muncul
karena beberapa hal diantaranya manipulasi ajaran Islam oleh orang-orang
yang menbenci Islam mereka tidak menginginkan Islam berjaya kembali,
baik dengan cara menyebarkan ide-ide atau hukum-hukum yang sebenarnya

30
Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Pembentukan Partai Politik Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor,
Cetakan II, 2002, hal. 27-28


68






tidak bersumber dari Islam dengan tujuan merusak citra Islam maupun
menjauhkan kaum Muslimin dari Islam. Hal tersebut diperparah dengan
serangan gelombang misionaris dan serangan (orientalis) dalam bidang
kebudayaan, menyusul serangan secara politis (yang mendominasi dunia
Islam) dari negara-negara kafir Barat sejak abad ke-17 Masehi, dengan tujuan
untuk mengalihkan pandangan dan menjauhkan kaum Muslimin dari Islam
yang pada akhirnya untuk menghancurkan Islam. Upaya propaganda tersebut
terus menerus dilakukan oleh Barat sehingga situasi ini membuat kondisi
Daulah menjadi tidak stabil yang akhirnya umat Islam mengalami
keterpurukan sampai sekarang.
Berbagai macam usaha telah dilakukan untuk membangkitkan
keterpurukan yang dialami oleh kaum Muslimin. Sejak abad XIX M, telah
berdiri berbagai gerakan yang bertujuan membangkitkan umat Islam. Namun
semuanya telah mengalami kagagalan dan belum mampu membangkitkan
kaum Muslimin secara hakiki, bahkan tidak mampu membendung
kemerosotan umat yang fatal. Adapun sebab-sebab kegagalan seluruh usaha
dan gerakan untuk membangkitkan umat kembali adalah:
31

1. Gerakan-gerakan tersebut berdiri di atas dasar pemikiran (fikrah) yang
masih umum tanpa batasan yang jelas, sehingga mencul kekaburan atau
pembiasan. Dakwah Islam yang mereka lakukan masih bersifat umum,
tanpa menentukan ide-ide dan hukum-hukum mana yang ingin digunakan

31
Ibid., hal. 1-2


69






untuk membangkitkan umat, serta pemecahan apa yang dapat mengatasi
problema mereka berikut pelaksanaannya.
2. Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui metode (thariqah) bagi
penerapan fikrahnya. Bahkan fikrah-nya diterapkan dengan cara-cara
yang menunjukkan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh
kesimpangsiuran. Mereka manganggap bahwa kembalinya Islam dapat
ditempuh dengan cara pendidikan akhlak, pembangunan sekolah/masjid,
penerbitan buku, mendirikan organisasi sosial kemasyarakatan, dan
pembinaan individu semata, tanpa memperhatikan keterpurukan umat
dalam cengkeraman ide-ide kufur berikut hukum dan sistem perundang-
undangan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Karena masyarakat
adalah sekumpulan individu yang mempunyai satu pemikiran, perasaan
yang menentukan sikap individu, dan peraturan yang diakui oleh anggota
yang berada di dalamnya.
3. Gerakan-gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum
sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Karena aktivis yang
berada di dalamnya hanya berbekal keinginan dan semangat belaka,
ketika keinginan dan semangat ini luntur maka usaha yang akan
dilakukan akan ikut luntur juga, bahkan berhenti.
4. Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut tidak
memiliki ikatan yang benar. Ikatan yang ada hanya ikatan struktur
organisasi disertai dengan sejumlah deskripsi mengenai tugas-tugas
organisasi, dan sejumlah slogan-slogan organisasi.


70






Oleh karena itu wajar jika semua gerakan tersebut mengalami kegagalan,
karena gerakan tersebut tidak berdiri di atas dasar fikrah yang benar dengan
batasan yang jelas, tidak mengetahui thariqah yang lurus , tidak bertumpu
pada orang-orang yang berkesadaran sempurna, serta tidak mempunyai suatu
ikatan yang benar. Sebab, jika kelompok-kelompok tersebut bergerak hanya
sebatas bekal kesungguhan dan semangat yang dimiliki habis maka aktivitas
gerakan tersebut akan terhenti bahkan akhirnya lenyap.
Jika menginginkan terwujudnya suatu kebangkitan maka gerakan
tersebut harus bertumpu pada falsafah yang hakiki yang bertolak dari adanya
suatu ideologi yang menggabungkan fikrah dan thariqah secara terpadu.
Karena dengan memahami ideologi tersebut, maka gerakan tersebut akan
berpengaruh dan mengerti benar problema yang dihadapinya. Hanya saja,
adanya pemahaman ideologi saja tidak akan dapat mengantarkan pada
kebangkitan yang benar, kecuali jika para aktivisnya telah cukup layak untuk
memasuki gerakan tersebut dan ikatan yang menyatukan mereka dalam
kelompok adalah ikatan yang benar dan produktif. Berdasarkan ikatan inilah
akan ditentukan kelayakan seseorang untuk memasuki gerakan tersebut.
Suatu gerakan yang ideologis akan menjadikan keyakinan terhadap
aqidahnya dan kematangan dalam tsaqafah partainya sebagai ikatan dalam
kelompoknya.
32

Atas dasar inilah Hizbut Tahrir berdiri dan telah menentukan berdirinya
kelompok atas dasar aqidah Islam, mengambil serta menetapkan ide-ide dan

32
Ibid., hal 7-8



71






hukum-hukum Islam dalam perjalanan untuk mencapai tujuannya. Hizb
memahami fikrah dan thariqah dakwah secara rasional dan terperinci sesuai
dengan Kitabullah, sunah Rasul, ijma Shahabat, dan Qiyas. Hizb menjadikan
fakta (masyarakat) sebagai sasaran/obyek pemikirannya untuk diubah sesuai
hukum Islam dan hanya mengikuti thariqah dakwah Rasulullah SAW dalam
mengemban dakwahnya serta berdasarkan pada mabda (ideologi) Islam.
Hizb menjadikan ikatan aqidah, ide-ide Islam serta hukum-hukum Islam
sebagai ikatan bagi gerakan, yang juga mengikat para aktivisnya, hal inilah
yang akan digunakan dalam memecahkan seluruh masalah kehidupan.

c. Tujuan Hizbut Tahrir
Sejak pada masa Rasulullah SAW kaum muslimin mengalami benturan
yang besar yaitu pemikiran-pemikiran jahiliyah atau pemikiran-pemikiran
kufur, tapi Rasulullah pada saat itu tidak mengasingkan diri. Beliau tetap
berada di tengah-tengah orang-orang kafir, juga para sahabat yang saat itu
jumlahnya baru sedikit. Namun Rasulullah dan para sahabat sama sekali tidak
terpengaruh (ta atstsur) dengan pemikiran-pemikiran kufur mereka serta
tidak mengikuti kebiasaan-kebiasaan mereka. Tetapi sebaliknya justru
Rasulullah dan para sahabat melakukan tindakan untuk menyerang balik
pemikiran-pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan mereka, sehingga orang-orang
kafir tidak mampu lagi untuk berhadapan dengan Rasulullah dan para
sahabat. Sebagaimana firman Allah dalam Al-quran surat al-Anbiya ayat 98:


72






*C=^_g]1jO4 _ +^
E4__ U=O .- ]1 }g`
]+lu> 4`4:^^)

Artinya:Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah,
adalah umpan jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya. (Q.S. al-
Anbiya:98)

Firman Allah dalam Quran surat al-Muthafifin ayat 1-3:
44-O7E-O)4
^gpOO4-OEC +EEL-O>4
N-O74-^- -O) g-.-
^ -gg]CUg uC4

^@
p+OO^C7 -O+^eE

Artinya: Kecalakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(yaitu) yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain mereka kurangi. (QS.al-Muthafifin:1-3)

Ayat di atas menunjukkan sikap Rasulullah dan para sahabat yang sangat
bersikap tegas dalam menentang pemikiran-pemikiran dan kebiasaan-
kebiasaan mereka, maka sikap yang harus diambil oleh kaum Muslimin
hanyalah sikap intifa (pengambilan manfaat) dari pengetahuan terhadap ide-
ide kufur mereka sehingga kaum Muslimin bisa mengerti kesalahan-
kesalahan ide-ide mereka dan argumen-argumen mereka.
Oleh karena itu Hizbut Tahrir bertujuan untuk melangsungkan kehidupan
Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat yang bersikap tegas dalam
menentang pemikiran-pemikiran dan kebisaan-kebiasaan kufur untuk tidak
menyembah selain Allah. Tujuan ini berarti mengajak kaum Muslimin


73






kembali hidup secara Islami, dimana seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai
dengan hukum Islam. Pandangan hidup yang akan menjadi pusat perhatian
adalah halal dan haram, dibawah naungan Daulah Islamiyah yang dipimpin
oleh seorang Khalifah yang diangkat dan di-baiat oleh kaum Muslimin.
Karena sejak dihapuskannya Daulah Khilafah dalam Perang Dunia I, kaum
Muslimin tidak lagi menerapkan pemerintahan Islam dan hidup dalam
penderitaan.
Maka pengangkatan khalifah bukan masalah utama, akan tetapi masalah
utama yang dihadapi kaum Muslimin pada masa sekarang adalah
menegakkan Khilafah (iqamatu al-khilafah). Sebab, realita menegakkan
Khilafah berbeda dengan realita pengangkatan khalifah meskipun
penegakkannya sistem Khalifah secara pasti mengangkat seorang khalifah.
33

Mendirikan Khilafah dan memberlakukan kembali hukum yang telah
diturunkan Allah ke muka bumi hukumnya wajib (fardlu), melalaikan tugas
ini termasuk maksiat yang paling besar, sebagaimana sabda Rasulullah:
" OO^g-q^=_ O4-^1
R O4-e4^1 p) O4N^=_+
4`4^ OOU4^1- e 4`4}4`

Artinya:Dan barang siapa yang mati sedang dipundaknya tidak ada baiat
(kepada seoarang Khalifah, maka matinya seperti mati jahiliyah (mati
dengan memikul dosa besar).

Di samping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat
Islam dengan kebangkitan yang benapr melalui pola pikir yang cemerlang
(al-mustanir) dalam memaknai hakekat hidup. Hizb berusaha untuk

33
Abdul Qadim Zallum, (terj.), Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Al-Izzah, Jatim,
2001, hal. 206


74






mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan kemuliaannya dulu yang
pernah dirasakan kaum Muslimin selama 13 abad, yaitu dengan mengambil
alih kendali negara dan bangsa di dunia sekarang ini yamg dalam
cengkeraman Barat, agar kembali menjadi negara super power dunia
sebagaimana yang telah terjadi di masa silam dan memimpinnya sesuai
hukum-hukum Islam. Hizb juga bertujuan untuk menyampaikan hidayah
(petunjuk syariat) bagi umat manusia agar umat manusia tertunjuki pada
kehidupan yang hakiki, memimpin umat Islam untuk menentang dan
mengganti ide-ide,hukum-hukum dan sistem perundang-undangan kufur
dengan aturan Islam sehingga Islam dapat menyelimuti seluruh dunia.

d. Aktivitas Hizbut Tahrir
Aktivitas Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk
mengubah kondisi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam, dengan
cara merubah ide-ide kufur dan penerapan hukum-hukum kufur menjadi ide-
ide dan hukum-hukum Islam dalam setiap aspek kehidupannya. Hal ini akan
menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat dan menjadi persepsi bagi
mereka yang akan mendorong untuk merealisasikan dan menerapkan Islam,
sehingga setiap hubungan dan interaksi yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat harus sesuai dengan syariat Islam beserta pemecahannya.
Seluruh aktivitas yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik, dimana
Hizb memperhatikan urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan
pemecahan syari. Sebab, politik (siyasah) pada dasarnya adalah aktivitas


75






mengurus kepentingan rakyat (umat) sesuai dengan Islam, dan hal ini
dilakukan oleh individu, partai atau kelompok, dan negara.
Adapun aktivitas politik yang dilakukan oleh Hizb, juga nampak dalam
beberapa aspek, yaitu:
34

1. Pembinaan intensif (tatsqif murakkazah), aktivitas ini dilakukan dengan
maksud untuk mencetak kader-kader politik. Secara sistematis dan
berkelanjutan kader-kader ini dibina sehingga mereka mampu
mewujudkan cita-cita partai. Mereka tidak hanya mampu dari segi ide
(fikrah), tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang
perubahan yang ingin dicapai dalam membangkitkan umat.
2. Pembinaan umum (tatsqif jamai) dilakukan untuk membangun kesadaran
masyarakat tentang pentingnya penerapan syariat Islam secara
menyeluruh (kaffah) oleh Daulah Khilafah. Aktivitas ini dilaksanakan
dengan cara membina masyarakat secara umum melalui tsaqafah Islam
sekaligus membebaskan mereka dari aqidah yang rusak dan pemikiran
yang kufur. Sebab, tidak akan terjadi perubahan yang mendasar di tengah-
tengah umat selama tidak terjadi perubahan kesadaran masyarakat secara
umum.
3. Pergolakan pemikiran (ash-shira al-fikri), pergolakan pemikiran ini
dilakukan dengan cara menentang ide-ide yang salah, aqidah yang rusak,
pemahaman yang keliru, atau pandangan-pandangan kufur di tengah-
tengah masyarakat. Upaya ini harus dikaitkan dengan ketentuan hukum

34
Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah,
Depok, 2000, Cetakan II, hal. 35-42



76






Islam dalam setiap perkaranya, diharapkan masyarakat memiliki
kesadaran tentang kerusakan ide tersebut dan akan mencampakkannya
serta menggantinya dengan Islam.
4. Perjuangan politik (al-kifah as-siyasi), perjuangan politik Hizb dapat
terlihat dalam upayanya melakukan penentangan terhadap imperialis kafir
yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, membebaskan
umat dari segala bentuk penjajahan, membongkar berbagai konspirasi
negara kafir, membebaskan umat dari belenggu kekuasaannya dan
pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran,
kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer.
5. Memperhatikan kepentingan umat (tabanni mashalih al-ummah),
aktivitas ini tampak dalam menentang para penguasa, mengungkap
pengkhianatan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol dan
koreksi terhadap penguasa serta berusaha menggantinya apabila hak-hak
umat dilanggar dengan melalaikan salah satu urusan umat atau tidak
menjalankan kewajibannya kepada umat. Sehingga dengan cara ini,
kepercayaaan umat terhadap penguasa yang memang tidak layak untuk
memimpin mereka akan hilang. Hal ini akan memperkuat kesadaran umat
untuk mengganti sistem rusak yang ada di tengah-tengah mereka dengan
sistem Islam.
6. Meraih dukungan (thalab an-nushrah), karena mengingat dalam setiap
aktivitas politik pasti terdapat orang-orang yang kuat dan berpengaruh
(ahl al-quwwah). Sikap orang-orang yang berpengaruh ini jelas sangat


77






menentukan keberhasilan perjuangan, oleh karena itu Hizb melakukan
mobilisasi dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan real di tengah-tengah masyarakat. Sebab, penerimaan mereka
terhadap Islam yang disertai dengan kesadaran masyarakat akan
mempercepat tegaknya sebuah sistem Islam.

Maka aktivitas Hizbut Tahrir secara keseluruhan bersifat politik, baik
yang menyangkut perkara pemerintahan maupun di luar pemerintahan.
Sehingga Hizb berupaya keras agar kaum Muslimin segera bangkit dari
keterpurukan dan hal itu perlu adanya suatu perjuangan yang pantang
menyerah, sebab tanpa usaha yang gigih kebangkitan umat tidak akan
tercapai. Aktivitas politik dilakukan dengan cara mengemukakan fikrah-
fikrah Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban serta
diwujudkan dalam kenyataan hidup bermasyarakat dan bernegara, sehingga
aqidah Islam menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan perundang-
undangan. Sebab, aqidah Islam merupakan aqidah aqliyah dan aqidah
siyasiyah yang terpancar darinya aturan-aturan yang dapat memecahkan
seluruh problematika manusia.

e. Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir
Pada abad ke-20, khususnya pasca hancurnya Khilafah tahun 1924, kaum
Muslimin di seluruh dunia mengalami kemunduran yaitu terperosok dalam
jurang cobaan yang amat dalam dan menyakitkan. Mereka hidup dalam


78






sistem kehidupan asing (kapitalis-sekuler atau sosialis) yang dipaksakan
kaum kafir penjajah. Melalui para penguasa agen penjajah, sistem kehidupan
yang kufur ini menindas Islam secara sistematis dan destruktif. Islam yang
semestinya menjadi sistem kehidupan menyeluruh harus diamputasi secara
kejam hingga tersisa sekitar 5% saja yaitu ajaran akhlaq dan ibadah ritual.
Sisanya yang 95% ajaran Islam lainnya yang mengatur sektor kehidupan
publik dikubur secara terpaksa dalam liang lahat sejarah dan peradapan.
Oleh karena itu, Hizbut Tahrir melakukan kajian, penelitian, dan studi
terhadap kondisi umat, sejauh mana kemerosotan yang dialami umat.
Kemudian membandingkan dengan kondisi pada masa Rasulullah SAW,
masa Khalafaur Rasyidin, dan masa generasi Tabiin sesudahnya. Setelah
melakukan aktivitas kajian tersebut secara menyeluruh maka Hizb memilih
dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tentang
permasalahan yang dihadapi umat sesuai fikrah dan thariqah dengan
berdasarkan pada sumber-sumber dari Islam, yaitu Al-Quran, As-Sunah,
Ijma Shahabat dan Qiyas. Dan dari sinilah Hizb menggunakan fikrah dan
thariqah tersebut untuk memecahkan segala persoalan yang dialami oleh
umat.

f. Metode Dakwah Hizbut Tahrir
Dalam mengembangkan dakwah Islam, Hizbut Tahrir berpegang pada
suatu prinsip yaitu menyebarluaskan dakwah Islam sebagai kepemimpinan
berpikir (qiyadah fikriyah) bagi seluruh penjuru dunia. Di atas qiyadah


79






fikriyah ini dibangun seluruh bentuk pemikiran, dimana dari pemikiran-
pemikiran tersebut mengalir seluruh bentuk persepsi yang mempengaruhi
pandangan hidup manusia. Oleh karena itu, dalam mengemban dakwah
mengharuskan adanya metode untuk mengembangkannya. Maka dalam
penyebarluasan pemikiran yang diadopsi (tabanni) agar terus eksis di benak
masyarakat, Hizbut Tahrir menjadikan metode (thariqah) perjalanan dakwah
Rasulullah SAW sebagai suri tauladan, sebab dalam kehidupan masyarakat
yang berkembang hanyalah sarana dan bentuk kehidupan, sementara nilai dan
makna kehidupan yang dialami masyarakat sama sekali tidak berubah,
walaupun zaman terus berputar, dan bangsa-bangsa maupun negeri-negeri
berbeda. Sedangkan mengikuti metode Rasulullah hukumnya wajib.
.- W-ON_O4C
pE}g O4L=OO
NE4Ocq .- Oc4O O)
7 pE-
^g -LOOgVE.-
OEO4O=-
4O4O^-4

Artinya:Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah (dengan
membaca dzikir dan mengingat Allah). (QS. Al-Ahzab:21)

Dalam menjalankan aktivitasnya, Hizbut Tahrir mengambil metode
dakwah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW baik dari segi operasional
maupun tahapan-tahapannya. Adapun tahapan-tahapan tersebut yang pertama
yaitu tahap tatsqif (pembinaan dan pengkaderan), dilakukan untuk
melahirkan orang-orang yang meyakini fikrah (ide) Islam yang diadopsi Hizb


80






dan untuk membentuk kerangka sebuah partai. Pada tahapan ini Hizb
melakukan kontak (langsung) dengan anggota masyarakat dengan
menyampaikan fikrah dan thariqah dakwahnya lewat perorangan. Orang
yang mau menerima fikrah dan thariqah Hizb lalu dibina secara terarah dan
intensif dalam halqah-halqah (kelompok) Hizb hingga menyatu dengan ide-
ide dan hukum-hukum Islam yang telah dijadikan pedoman kemudian
menjadikannya seorang muslimyang memiliki kepribadian Islam (sakhsiyah
Islamiyah). Pada tahap awal ini perhatian Hizb dipusatkan pada upaya
membangun dan pemantapan kerangka Hizb, memperbanyak pendukung dan
pengikut, sekaligus membina para pengikutnya dengan tsaqafah (pemikiran)
Islam yang diadopsi Hizb. Hingga akhirnya berhasil membentuk partai
bersama-sama para syabab (aktivisnya) yang telah menyatu dengan Islam dan
menerima pemikiran-pemikiran Islam kemudian mengembannya kepada
masyarakat.
35

Kedua, adalah marhalatu tafaul (interaksi) yaitu melakukan interaksi
dengan masyarakat, mendorong untuk mengemban dakwah Islam, serta
membentuk kesadaran dan opini umum atas ide-ide dan hukum-hukum Islam
yang telah dipilih dan ditetapkan Hizb hingga masyarakat menjadikannya
sebagai pemikiran mereka yang akan mendorong mereka untuk mewujudkan
dalam realita kehidupan. Sehingga masyarakat mau melakukan aktivitas

35
Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah,
Depok, 2000, Cetakan II, hal. 32-34


81






untuk mendirikan kembali Daulah Khilafah, untuk melangsungkan
kehidupan Islam dan mengembannya ke seluruh penjuru dunia.
36

Ketiga, yaitu istilam al-hukmi (menerima kekuasaan), dalam tahapan ini
yang dilakukan adalah pengambil alihan kekuasaan pemerintahan dari
masyarakat untuk menerapkan Islam sebagai idelogis secara praktis dan
menyeluruh sekaligus menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia. Inilah
yang disebut dengan metode revolusioner, metode ini tidak membolehkan
partai bergabung ke dalam pemerintahan yang menerapkan hukum Islam
secara parsial, sebab dalam mengambilalih pemerintahan harus secara
totalitas dan menjadikannya sebagai metode untuk menerapkan ideologi
bukan sebagai tujuan perjuangan sehingga tidak membolehkan penerapan
secara bertahap.Dalam mengemban dakwahnya, Hizb tidak menggunakan
kekuatan fisik dan melakukan tindakan kekerasan (anarkis) untuk membela
diri atau menentang penguasa.
37


g. Fikrah Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir memandang bahwa segala permasalahan umat harus
diselesaikan berdasar mabda (ideologi). Sebab mabda adalah aqidah aqliyah
yang melahirkan peraturan, yang dimaksud dengan aqidah yaitu pemikiran
menyeluruh tentang alam semesta, manusia, kehidupan dan tentang apa yang
ada sebelum dan sesudah kehidupan, disamping hubungannya dengan
sebelum dan sesudah alam kehidupan. Sedangkan peraturan yang lahir dari

36
Ibid., log.cit
37
Ibid., log.cit


82






aqidah tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai
problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan
pemecahannya, memelihara aqidah serta untuk mengemban mabda, inilah
yang disebut dengan thariqah. Jadi, mabda mencakup dua bagian yaitu fikrah
dan thariqah.
38

Fikrah merupakan konsep-konsep yang menjadi solusi atau pemecah atas
permasalahan yang dihadapi manusia. Fikrah mencakup konsep-konsep yang
mengatur masalah aqidah dan konsep-konsep yang mengatur masalah
hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya,
dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Untuk itu Hizb menekankan
bahwa dalam mengemban fikrah harus berpikir ideologis, sebab dengan
berpikir ideologis maka ketika seorang individu, masyarakat, atau negara
dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
kehidupannya akan menggunakan solusi-solusi yang merupakan jawaban dari
aqidah aqliyahnya yang menjadi landasan bagi kehidupannya.
Dalam fikrah Hizb selalu mengedepankan berpikir ideologis, sebab
kebutuhan hidup yang ada pada diri manusia merupakan realita. Sehingga
dengan potensi kemampuan berpikir yang dimiliki akal manusia maka
manusia akan selalu berusaha untuk membuat sarana-sarana guna memenuhi
kebutuhannya. Karena kecenderungan manusia yang tidak pernah merasa
puas dengan apa yang dimiliki maka manusia akan selalu berkreativitas untuk
terus meningkatkan taraf hidupnya. Jika hal ini dibiarkan tanpa adanya

38
Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Peraturan Hidup Dalam Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor,
Cetakan II, 2001, hal. 36-37


83






batasan maka akan terjadi pertikaian dan pertentangan yang akan
menimbulkan penderitaan bagi makhluk yang lain. Untuk itulah perlu adanya
aturan kehidupan yang mengatur setiap aktivitas manusia dalam pemenuhan
kebutuhannya, agar dalam pemenuhan kebutuhan tersebut dapat diraih
dengan ketenangan dan kebahagiaan tanpa merugikan pihak lain.
Dengan kemampuan akalnya sebagian manusia berusaha untuk membuat
aturan-aturan kehidupannya yang dibangun berdasarkan asas kehidupan yang
paling fundamental yaitu aqidah fikriyah yang dihasilkan dari kejeniusan
manusia itu sendiri, seperti sekulerisme dan meterialisme. Akan tetapi dalam
pemikiran Hizb bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan oleh Al-Khaliq
(Pencipta) dimana Al-Khaliq sekaligus sebagai Pengatur (Al-Mudabbir)
kehidupan manusia, sehingga jika manusia menginginkan suatu kebangkitan
(an-nahdhah) maka harus menggunakan aturan yang dibuat oleh Al-Khaliq.
Sebab, agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan yang mendasar dan
menyeluruh terhadap pemikirannya tentang kehidupan (al-hayah), alam
semesta (al-kaun), dan manusia (al-insan) itu sendiri serta hubungan
ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan dan sesudah
kehidupan dunia yang dijadikan landasan berpikir (qaidah fikriyah) sekaligus
sebagai kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyah) dalam membangun seluruh
pemikiran cabang tentang kehidupan manusia. Dengan demikian, apabila kita
menghendaki kebangkitan maka tidak ada jalan kecuali mengubah
pemahaman terlebih dahulu, dalam hal ini Allah SWT berfirman:


84






jgO^)4` W-+O)O4NC
_/4O
O)4`O)O4NC.- ])

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu keadaan suatu
kaum, sebelum kaum ittu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.
(QS. Ar-Rad: 11)


Akan tetapi kebangkitan tersebut tidak akan nampak jika hanya berupa
pemikiran-pemikiran saja tanpa adanya realisasi dalam kehidupan, maka
butuh adanya aturan operasional (thariqah) dalam menjalankannya. Oleh
karena itu, Hizb menekankan bahwa hanya mabda-lah yang dijadikan tolak
ukur untuk menuju suatu kebangkitan, sehingga fikrah yang dijadikan
landasan bagi Hizbut Tahrir dan telah merasuk dalam diri pengikutnya, yang
selalu diusahakan agar menjadi bagian dari umat serta dijadikan sebagai
masalah utama mereka adalah fikrah Islam yang ditopang dengan thariqah
Islam yaitu berupa aqidah Islam yang memancar darinya aturan-aturan
kehidupan dan seluruh ide, termasuk semua hukum yang dibangun atas
aqidah tadi. Hizb telah mengadopsi dari fikrah Islam berupa perkara-perkara
yang dibutuhkan dalam sebuah partai politik yang bertujuan ingin
mewujudkan Islam di tengah-tengah masyarakat yaitu menerapkan Islam
dalam sistem pemerintahan, hubungan (interaksi) antara masyarakat dan
dalam semua aspek kehidupan. Hizb telah menjelaskan segala sesuatu yang
telah diadopsinya itu secara terperinci dalam buku-buku dan selebaran-
selebaran, disertai dengan keterangan dan dalil yang rinci untuk setiap
hukum, pendapat, pemikiran atau persepsinya.



85






2. Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir
a. Pemikiran Hizbut Tahrir Tentang Problematika Ekonomi
Bangkitnya umat Islam di seluruh dunia telah menjadi fenomena baru di
pentas internasional sekaligus menjadi ancaman bagi Kapitalisme Barat
maupun Sosialisme Timur. Kebangkitan tersebut yang disertai revisi
ideologis dan sistem ekonomi yang selama ini menjadi masalah paling
strategis, kelak akan menjadi solusi global dengan konsentrasi yang sangat
menonjol bahwa Islam adalah agama yang mengembalikan fitrah ekonomi
manusia pada kedudukan yang proporsional. Sorotan terhadap kapitalisme
dan sosialisme yang gagal dalam membangun paradigma ekonomi dunia
telah menarik perhatian utama pada sistem ekonomi Islam. Sebab ekonomi
Islam telah mensyariatkan hukum-hukum perekonomian bagi umat Islam
dengan jaminan-jaminan hak secara pribadi serta memberikan kesempatan
seseorang untuk mencapai kemakmurannya. Sementara pada saat yang
sama Islam membatasi perolehan harta yang dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan primer, sekunder dan tersier untuk kemudian diimplementasikan
dalam fungsi sosial yang interaktif.
39

Problematika ekonomi pada saat ini terletak pada pembagian
(distribusi) kekayaan (barang) dan jasa terhadap individu rakyat, maka
sebenarnya masalah ekonomi terletak pada distribusi kekayaan bukan pada
pertumbuhan produksi. Sehingga di dalam Islam ada ketentuan hak
kepemilikan, sebab pada dasarnya kekayaan adalah milik Allah dan hanya

39
Taqyuddin an-Nabhani, (terj.), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah
Gusti, Surabaya, 2002, Cetakan ke-7, hal. 1-10


86






saja manusia diberikan kekuasaan untuk mengelolanya. Oleh karena itu
agar distribusi tersebut dapat tersalur dengan adil, Islam membagi bentuk-
bentuk pemilikan menjadi tiga jenis meliputi pemilikan individu, pemilikan
umum dan pemilikan negara.
40

Politik ekonomi dalam Islam adalah jaminan bagi tercapainya
pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyatnya.
Semua itu bisa terwujud kalau ada usaha dari setiap individu untuk bekerja
agar kebutuhan pokoknya terpenuhi, juga bagi orang-orang yang menjadi
tanggungannya seperti anak-anaknya dan ahli warisnya yang tidak mampu
untuk bekerja. Namun apabila tidak memiliki wali atau ada tapi tidak
mampu memberikan nafkah, maka kewajiban itu dipikul oleh baitul mal
(kas negara) dalam memehuni setiap kebutuhan pokok orang tersebut.
41


b. Pemikiran Hizbut Tahrir Tentang Pajak
Mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan suatu kewajiban yang
berlangsung terus menerus terhadap keberadaan seorang penguasa baik
kesejahteraan materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan
tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaannya. Suatu
negara untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap individu
rakyatnya maka negara tersebut harus mempunyai pendapatan dalam
anggaran belanjanya, agar dana yang didistribusikan kepada rakyatnya

40
Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah,
Depok, 2000, Cetakan II, hal. 91-92
41
Ibid.log,cit.


87






tidak defisit maka negara harus membuat suatu hukum-hukum supaya
rakyat mendapatkan bagian-bagiannya secara adil.
Untuk bisa mencukupi seluruh anggaran pengeluaran yang diberikan
kepada rakyat maka semua pos pada sisi pengeluaran tersebut memerlukan
dana. Di masa sekarang hampir seluruh negara di dunia menetapkan hukum
pajak untuk dapat menutupi pengeluaran yang dialokasikan kepada rakyat,
bahkan pajak merupakan satu-satunya sumber pendapatan negara untuk
pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak ada pemasukan dari sisi
pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan, jadi pajak merupakan sumber
utama dalam keberlangsungan pemerintahan di suatu negara.
42

Adapun pemikiran Hizbut Tahrir dalam memandang sumber-sumber
pendapatan negara yang telah ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok
setiap individu rakyatnya sebagaimana yang pernah diterapkan pada masa
pemerintahan para khalifah di bawah naungan Daulah Khilafah. Hizb
memandang bahwa suatu negara tidak perlu lagi mewajibkan adanya
pemungutan pajak (dharibah) baik langsung maupun tidak langsung jika
sumber-sumber pendapatan yang lain telah mencukupi untuk mengatur
rakyat dan melayani kepentingan mereka. Meskipun demikian, hukum-
hukum syara telah memperhatikannya sehingga syara mengklasifikasikan
kebutuhan-kebutuhan umat menjadi dua, antara lain kebutuhan-kebutuhan
yang diwajibkan (di-fardhu-kan) kepada baitul mal untuk sumber-sumber
pendapatan tetap baitul mal dan kebutuhan-kebutuhan yang difardhukan

42
Boediono. Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta, Cetakan ke-20, 2001, hal.110



88






kepada kaum muslimin, sehingga negara diberi hak untuk mengambil harta
dari mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Dengan demikian, pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan harta yang
difardhukan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi
kebutuhan mereka. Dimana Allah SWT telah menjadikan seorang imam
sebagai pemimpin bagi rakyatnya, yang bisa mengambil harta dan
menafkahkannya sesuai objek-objek tertentu dengan mengikuti
hukumnya.
43


3. Sistem Keadilan Dalam Pemungutan Pajak Hizbut Tahrir
Suatu pemerintahan untuk dapat memenuhi kebutuhan masayarakat maka
negara harus memeliki pendapatan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
tersebut terkadang baitul mal tidak cukup untuk menutupi pembiayaan atau
pengeluaran. Pandangan Hizb tentang hal tersebut yaitu, apabila negara
maupun sumbangan kaum muslimin tidak cukup untuk menutupi pembiayaan
berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran, maka pada saat inilah kewajiban
pembiayaan beralih kepada kaum muslimin. Karena Allah telah mewajibkan
atas mereka untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran
tersebut. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai,
maka akan timbul kemudharatan atas kaum muslimin. Sebab Allah telah
mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang
menimpa kaum muslim, yaitu jika tidak ada harta sama sekali dan kaum

43
Taqyuddin an-Nabhani, (terj.), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah
Gusti, Surabaya, 2002, Cetakan ke-7, hal. 262


89






muslim tidak ada yang mendermakan. Rasulullah SAW bersabda, Tidak boleh
ada bahaya (dharar) dan (saling membahayakan).
44

Jika terjadi kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum muslim untuk
membayar pajak hanya untuk menutupi (kekurangan biaya terhadap) berbagai
kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan. Namun dalam
pemungutannya negara tidak boleh berlaku dzalim kepada umat, oleh karena
itulah negara Islam hanya akan memungut pajak kepada orang-orang yang
berlebih harta (orang kaya) saja. Jadi orang miskin atau orang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dirinya maka tidak akan dipungut pajak, sehingga pajak
ini tidak dibebankan kepada seluruh umat. Selain itu pajak tidak diberlakukan
secara terus menerus (bersifat permanen), yaitu hanya pada saat kondisi
keuangan negara memang darurat saja (bersifat temporal). Pajak juga tidak
boleh dipaksakan dalam pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi
kadar kemampuan harta orang-orang kaya, atau berusaha untuk menambah
pemasukan baitul mal. Sehingga pajak tidak boleh dipungut (diwajibkan)
kecuali sekedar untuk memenuhi pembiayaan rutin pos dan tidak boleh lebih
dari itu, sebab pengambilan yang lebih berarti dzalim.
45







44
Ibid.log,cit
45
Ibid.log,cit
POTENSI SELURUH HARTA
KEKAYAAN NEGARA ISLAM


90


























Gambar 3. Skema Pendapatan Negara Islam
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
KEPEMILIKAN
INDIVIDU
Pengembangan :
1. Pertanian
KEPEMILIKAN 2. Perdagangan KEPEMILIKAN
UMUM 3. Industri NEGARA
4. Syirkah
5. Perdagangan
luar negeri
1.Ghanimah
2.Fai
3.1/5 rikaz
4.Kharaj
5.Usyriyah
6.Jizyah
7.Sisa Waris
8.Harta orang murtad
9.Pajak temporer, dll

1.Fasilitas umum
2.Tambang tak
terbatas
3.Sumber daya alam
umum
1. Hibah
2. Hadiah
3. Shadaqah
4. Nafkah
5. Zakat

BAITUL MAL
1. Sektor kepemilikan individu
2. Sektor kepemilikan umum
3. Sektor kepemilikan negara


91







A. Pendahuluan
Pada pembahasan bab ini adalah mengevaluasi terhadap sistem hukum pajak
di Indonesia dalam menciptakan keadilan namun gagal, dengan menggunakan
pendekatan sistem hukum pajak Hizbut Tahrir.
Pembahasan yang pertama akan memahami tentang hukum-hukum
pemerintah Indonesia untuk menciptakan keadilan yang telah diterapkan dalam
sistem perpajakan. Selanjutnya, akam dibahas tentang sanggahan Hizbut Tahrir
terhadap hukum-hukum yang telah diterapkan dalam sistem perpajakan di
Indonesia.
Pembahasan sub bab berikutnya adalah penggalian solusi alternatif yang
diberikan Hizbut Tahrir terhadap hukum-hukum yang telah diterapkan di
Indonesia namun ternyata tidak mampu membawa keadilan sebagaimana dalam
asas pemungutan pajak. Dari sini, penulis menemukan bahwa solusi alternatif
yang diberikan oleh Hizbut Tahrir tersebut akan mampu menciptakan sebuah
keadilan dalam kehidupan masyarakat.

B. Faktor-faktor Yang Menunjang Konsep Keadilan dalam Pemungutan Pajak
di Indonesia
Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang masalah (Bab I), bahwa
pajak merupakan pendapatan utama dalam sebuah negara. Bahkan di Indonesia
pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara, ini membuktikan bahwa


92






keberhasilan telah diraih negara Indonesia dalam pemungutan pajak kepada
masyarakat.
Kunci keberhasilan tersebut tidak terlepas dari sikap tegasnya pemerintah
dalam menerapkan pemungutan pajak kepada masyarakat baik menyangkut
ketetapan dan tatacara pajak, cara pemungutan, maupun asas pemungutan pajak
kepada masyarakat. Berkaitan dengan pemungutan pajak kepada masyarakat,
pemerintah menghendaki adanya keadilan dalam penerapannya sehingga seluruh
masyarakat tidak ada yang didiskriminasi. Untuk itu, agar tercipta kondisi yang
adil tersebut pemerintah Indonesia telah membuat berbagai hukum untuk
mendukung kondisi tersebut, yaitu :
1. Asas Keadilan dalam Pemungutan Pajak
Dalam era sekarang, perkembangan sosial ekonomi dan politik berlangsung
sangat cepat sehingga perubahan sistem perpajakan yang pernah dilakukan belum
mampu menampung berbagai kelemahan-kelemahan dalam Undang-undang
perpajakan.
Keadaan menjadi lebih parah karena penggelembungan penerimaan pajak,
pembayar pajak dan kekuasaan aparat pajak dilaksanakan di tengah-tengah
himpitan kesulitan ekonomi dan bisnis yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia
usaha setelah kenaikan harga BBM. Akal sehat menyimpulkan penerimaan pajak
biasanya meningkat sebanding dengan ekonomi yang semakin bergairah, tetapi
Indonesia penuh keanehan, penerimaan pajak justru akan digenjot ditengah-
tengah ekonomi yang menurun atau melemah, bahkan semakin santer suara
Indonesia diancam dengan stagflasi.


93






Agar penerimaan dari pajak sesuai target dan tidak menimbulkan diskriminasi
pada wajib pajak maka dalam pemungutannya pemerintah menerapkan asas
berkeadilan. Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan maka
undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-
undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk
mengajukan keberatan penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding
kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
Jadi untuk terciptanya keadilan yang sesuai dengan perundang-undangan
yaitu pajak dibebankan secara merata kepada seluruh masyarakat, sehingga
seluruh masayarakat akan mendapat kewajiban membayar pajak sesuai
kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud dalam perpajakan di Indonesia
adalah siapapun wajib pajak yang mampu mengkonsumsi atau memanfaatkan
jasa dan fasilitas negara maka wajib pajak harus membayar kompensasi sebanyak
ia memanfaatkan fasilitas tersebut (siapa memakai maka harus bayar).
Selain adil dalam perundang-undangan, pemerintah juga telah membuat
menjamin keadilan dalam pelaksanaannya. Yang dimaksud disini adalah bahwa
wajib pajak akan diberikan hak untuk melakukan keberatan penundaan
pembayaran pajak serta mengajukan banding apabila petugas pemungut pajak
melalukan kesalahan dalam pemungutan. Sehingga wajib pajak akan menerima
kembalian uang pajak yang dibayarkan sejumlah sisa pajak yang berlebih.


94






Adapun upaya lain yang ditempuh pemerintah dalam menjamin keadilan
adalah dengan mengeluarkan peraturan yang memberikan keringanan kepada
wajib pajak orang pribadi, yaitu keringanan membayar pajak bagi wajib pajak
yang penghasilannya sekitar 2 juta rupiah perbulan. Upaya ini diambil
berdasarkan pertimbangan perekonomian rakyat Indonesia yang belum stabil.
Sehingga dengan adanya peraturan tersebut pemerintah akan menanggung
sebagaian pajak masyarakat, hal ini dilakukan agar tidak memberatkan
masyarakat sebagai upaya menjamin keadilan di tengah-tengah perekonomian
yang kurang baik

2. Wajib Pajak harus mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Bersamaan dengan perkembangan banyaknya dunia bisnis maka hal ini
mendorong perekonomian Indonesia. Sebab dengan banyaknya usaha yang maju
pesat maka semakin menyumbangkan porsi yang besar bagi pendapatan belanja
negara yaitu dengan melakukan pemungutan pajak terhadap para pengusaha yang
telah memenuhi sebagai wajib pajak. Seharusnya dalam pemungutan pajak
terhadap pengusaha ini berjalan lancar, apabila mereka sadar pajak. Akan tetapi
pada kenyataannya tidak sesuai seperti apa yang diharapkan pemerintah,
walaupun banyak usaha yang berkembang tetapi negara semakin menanggung
banyak kerugian. Sebab, banyak pengusaha yang mengkonsumsi fasilitas umum
tapi mereka tidak mau bayar pajak atau tidak jujur dalam pembayarannya.
Maka untuk menjaga hal itu agar tidak terjadi maka pemerintah Indonesia
membuat aturan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Yaitu, UU No. 28/2007


95






tentang perubahan ketiga atas UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP) memberikan penegasan penting dalam pelaksanaan
perpajakan naisonal, terutama beberapa hal yang selama ini dianggap samar atau
grey area. Di antaranya, mengenai kapan seharusnya mulai mendaftar sebagai
wajib pajak (WP), khususnya bagi WP orang pribadi. Saat mulai mendaftar ini
sangat penting ditetapkan. Maksudnya, untuk menghilangkan kesan-seperti yang
terjadi selama ini, dimana masyarakat menganggap seolah-olah kapan pun setiap
saat bisa mendaftar sebagai WP, tanpa ada suatu batasan waktu.
Dengan adanya peraturan tentang wajibnya memiliki NPWP maka akan
mendorong keadilan pada masyarakat. Sebab dengan adanya NPWP, maka
petugas pajak akan memungut pajak sesuai proporsional besar pajak yang
seharusnya dibayarkan. Sehingga disini baik negara maupun masyarakat tidak
ada yang dirugikan, karena telah mendapatkan sesuai dengan hak-haknya.

C. Penyanggahan Hizbut Tahrir
Diterapkannya berbagai hukum oleh pemerintah Indonesia merupakan upaya
untuk menciptakan keadilan pada masyarakat dalam pemungutan pajak, sehingga
pada diri masyarakat tidak merasakan kesenjangan. Akan tetapi, dengan berbagai
hukum yang telah ditetapkan ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Bahkan semakin banyak tindakan protes dari masyarakat karena telah banyak
merugikan mereka. Adapun sikap Hizbut Tahrir terhadap hukum-hukum pajak
yang telah diterapkan di Indonesia adalah :


96






Sebagaimana penjelasan dalam UU perpajakan di Indonesia bahwa untuk
menjamin keadilan maka pajak dikenakan kepada masyarakat secara keseluruhan
tanpa terkecuali baik berpenghasilan sedikit maupun besar, yaitu bagi siapapun
yang mengkonsumsi atau memanfaatkan fasilitas negara maka mereka wajib
membayar pajak. Walaupun pada hakikat sebenarnya kondisi yang dialami
masyarakat stabil maupun tidak. Maka Hizbut Tahrir memandang bahwa
peraturan tersebut tidak dapat memberikan keadilan kepada masyarakat.
Upaya pemerintah untuk menjaga keadilan dalam sistem pemungutan pajak
pada masyarakat adalah bentuk kepedulian negara pada rakyat. Dan dari
pemungutan pajak tersebut masyarakat akan mendapatkan imbalan baik langsung
maupun tidak langsung. Namun dalam implementasi dari beberapa peraturan
masih terdapat kelemahan, sehingga hal inilah yang mendorong faktor
ketidakadilan. Sebagaimana implementasi PP nomor 47 tahun 2003, bahwa
pemerintah akan memberikan keringanan bagi wajib pajak yang penghasilannya
sekitar 2 juta rupiah, naumun dalam teknis pelaksananaan terdapat ketidakadilan.
Sebab bagi pegawai yang mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak memiliki
kewajiban pajak yang sama.
Adapun 2 jenis ketidakadilan dalam pemungutan pajak. Pertama,
ketidakadilan horizontal yaitu perasaan ketidakadilan disebabkan seseorang
membayar pajak lebih tinggi jika dibandingkan orang lain, yang jumlah
kekayaannya relatif sama dengan kekayaannya. Kedua, ketidakadilan vertikal
yaitu seseorang harus membayar pajak dalam proporsi yang lebih besar jika


97






dibandingkan dengan proporsi yang harus dibaya oleh orang lain yang
kekayaannya jauh lebih besar jumlahnya.
Pajak yang dibebankan kepada masyarakat adalah penopang utama
pemerintah untuk menjalankan amanahnya, apabila tidak ada pajak maka
pemerintahan terhambat bahkan tidak akan berjalan. Sehingga untuk dapat
menjalankan pemerintahan maka harus ada pendapatan negara yang wajib
dibayar oleh rakyat sebagai bentuk balasan atas kinerja pemerintah. Kondisi
seperti ini tidak dibenarkan dalam syara sebab kedudukan pemerintah dalam
suatu pemerintahan bukan sebagai ajir, dan rakyat sebagai mustajir. Jika
kondisinya seperti ini, konsekuensinya bila biayanya defisit maka aktivitas
pemerintah untuk mengurusi rakyat tidak akan berjalan. Jadi kinerja pemerintah
untuk mengurus rakyatnya sangat tergantung pada penyediaan dana dari rakyat
melalui pajak itu sendiri. Akan tetapi disini pemerintah merupakan wakil rakyat
yang akan mengurusi urusan rakyat beserta solusi dalam setiap permasalahan,
bukan membebani rakyat. Juga dalam pemungutan pajak yang dilakukan setiap
periode (permanen) ini akan menzhalimi rakyat, sebab kondisi perekonomian
(pendapatan) masyarakat terkadang untuk memenuhi kebutuhan pokok
mengalami kendala. Sehingga disini pemerintah harus memperhatikan betul
kondisi perekonomian masyarakat apakah dalam masa stabil ataukah paceklik.
Sebab apabila dalam kondisi yang tidak stabil masyarakat dibebani pajak maka
ini menyebabkan ketidakadilan.
Di Indonesia pajak merupakan hal yang vital untuk menjamin
keberlangsungan pemerintahan, sebab dengan adanya pajak pemerintah bisa


98






menjalankan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan baik.
Untuk itu untuk menjaga agar hal tersebut tidak ada hambatan, maka pemerintah
mendorong masyarakat untuk meningkatkan dirinya baik orang pribadi maupun
pengusaha agar sadar pajak. Kesadaran pajak ini merupakan bukti loyalitas dan
kepedulian terhadap negara, dan hal ini dapat dibuktikan dengan mendaftarkan
dirinya sebagai wajib pajak. Sebab dengan mendaftarkan dirinya menjadi wajib
pajak maka pemerintah tidak akan keliru menetapkan besar pajak atas wajib
pajak karena masyarakat telah mempunyai NPWP.
Namun dengan adanya peraturan tersebut ternyata belum menjamin keadilan
dalam perpajakan di Indonesia, sebab dari sekitar 220 juta penduduk negara
Indonesia yang mempunyai NPWP hanya sekitar 60 juta keluarga. Sehingga hal
ini menyebabkan ketidakadilan bagi sebagian anggota masyarakat, sebab yang
memikul pembiayaan negara hanya sebagian masyarakat saja.

D. Solusi Alternatif Menurut Hizbut Tahrir
Atas dasar sanggahan yang diberikan Hizbut Tahrir terhadap berbagai
peraturan yang telah diterapkan dalam sistem perpajakan di Indonesia baik
komponen-komponen utama maupun pendukung terhadap kestabilan keadilan
dalam perpajakan Indonesia, maka berikut ini akan penulis membahas solusi
alternatif yang diberikan Hizbut Tahrir terkait permasalahan tersebut.
Hizb memandang bahwa keadilan akan berhasil apabila seluruh elemen
masyarakat tidak ada yang merasakan kerugian ataupun dizhalimi. Namun, jika
dengan adanya pajak masyarakat terzhalimi maka Hizb menolak pemungutan


99






pajak. Adapun solusi yang diberikan Hizb terkait dengan hukum pajak yang akan
menopang faktor keadilan dalam pemungutan pajak adalah :
1) Pajak Dipungut dari Orang Kaya
Upaya untuk menjamin kekurangan pada pos pendapatan guna
memenuhi kebutuhan masyarakat, maka negara melakukan pemungutan
kepada masyarakat. Namun pada kondisi ini tidak semua masyarakat dapat
memenuhi pungutan biaya tersebut.
Dengan adanya kebolehan negara untuk mengambil pungutan kepada
masyarakat guna mencukupi kekurangan pendapatan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat dan apabila tidak dipenuhi akan menyebabkan
kemudharatan (bahaya). Maka Hizb memandang bahwa dengan mewajibkan
seluruh masyarakat membayar pajak, hal ini dapat menyebabkan
ketidakadilan salah satu pihak, sebab tingkat pendapatan masyarakat berbeda.
Padahal ditengah-tengah masyarakat banyak yang masih tergolong fakir dan
miskin, maka jika pajak dibebankan kepada masyarakat dengan golongan
tersebut maka ini akan menzhalimi mereka. Sebab, untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari mereka tidak mampu. Oleh karena itu, Hizb
memberikan solusi alternatif bahwa pajak hanya diambil dari kaum muslimin
yang kaya. Maksud kaya disini adalah kaum muslimin yang memiliki
kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan
pelengkapnya secara sempurna (harta yang merupakan sisa dari pemenuhan
kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder) sesuai dengan standard hidup


100






tempat tinggal mereka, namun jika tidak terdapat kelebihan harta maka pajak
tidak diambil dari yang bersangkutan.
Pajak tidak boleh dipaksakan pengambilannya melebihi kesanggupan
atau melebihi kadar harta orang-orang kaya, atau dengan niat berusaha untuk
menambah pemasukan baitul mal. Sehingga dalam hal ini negara harus
melakukan pendataan tentang siapa saja masyarakat yang tergolong kaya
dengan sangat terperinci, sehingga tidak ada kesalahan dalam penetapan
pengambilan besar pajak kepada masyarakat.
Menurut Hizb, walaupun pajak dibebankan atas orang kaya namun
pajak hanya diwajibkan atas kaum muslimin. Pajak ini tidak berlaku atas
kaum non muslim meskipun dia kaya, sebab sesungguhnya syara telah
mewajibkan jihad atas umat Islam dan tidak diwajibkan atas non muslim
begitu pula diwajibkan peradilan dan menuntut ilmu atas umat Islam serta
tidak diwajibkan pula atas non muslim, dan diwajibkan menghilangkan
bahaya atas umat Islam serta tidak diwajibkan atas non muslim, maka
sesungguhnya pemungutan pajak atas non muslim merupakan hal yang tidak
diwajibkan Allah SWT atas mereka. Apabila pajak diperlakukan atas kaum
non muslim merupakan kedzoliman atau mewajibkan sesuatu yang tidak
diwajibkan oleh Allah adalah perbuatan yang terlarang. Dan syara hanya
mewajibkan jizyah atas non muslim, maka tidak boleh memungut harta selain
itu.
46
Jizyah adalah hak yang Allah berikan kepada kaum muslim dari orang-
orang non muslim sebagai tunduknya mereka kepada negara.

46
Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Dustur,1963, hal.


101







2) Pajak Dipungut Sesuai Kebutuhan Negara
Untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, beban yang dipikul
negara sekarang ini sangat besar. Sehingga pendapatan tetap negara (baitul
mal) bisa tidak cukup untuk menutupi pembiayaan wajib baitul mal, baik
untuk berbagai kebutuhan maupun pos-pos pengeluaran yang harus dipenuhi,
baik dalam baitul mal ada uang maupun tidak ada uang.
Dalam kondisi darurat dimana baitul mal tidak ada uang sama sekali,
padahal banyak kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi maka negara
boleh melakukan pemungutan pajak kepada kaum muslimin. Sebab, jika
berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran tersebut tidak dibiayai maka
akan timbul kemudharatan atau bahaya atas kaum muslimin.
Pemungutan pajak atas kaum muslimin sebatas hanya untuk menutupi
kekurangan pembiayaan yang diwajibkan saja, tidak boleh lebih dari itu atau
bahkan berusaha untuk menambahi pemasukan baitul mal agar berlebih.
Maka hasil pemungutan pajak hanya sekedar untuk memenuhi pembiayaan
yang diwajibkan oleh syara saja, adapun alokasi hasil pemungutan pajak
tersebut digunakan untuk:
47

1. Pembiayaan jihad dan segala hal yang harus dipenuhi yang terkait dengan
jihad.
2. Pembiayaan industri militer dan industri serta pabrik-pabrik penunjang
yang memungkinkan Negara memiliki industri senjata.

47
Abdul Qadim Zallum, (terj.), Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah,
Cetakan I, Bogor, 2002, hal. 139-148


102






3. Pembiayaan fuqara, orang-orang miskin dan ibnu sabil.
4. Pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, hakim, guru dan lain-lain
yang melaksanakan pekerjaan (pelayanan masyarakat) untuk kemashlahatan
kaum Muslimin.
5. Pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemashlahatan dan kemanfaatan
umat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan jika tidak dibiayai maka
bahaya (dlarar) akan menimpa umat. Misalnya, jalan umum, rumah sakit,
sekolah, universitas, pengadaan saluran air, dan lain-lain. Sebab jika sarana-
sarana ini tidak ada akan menyebabkan bahaya bagi masyarakat.
6. Pembiayaan untuk keadaan darurat (bencana) seperti tanah longsor, gempa
bumi dan angin topan atau mengusir musuh.
Namun jika tidak dijumpai kondisi tersebut dan baitul mal dalam kondisi
stabil atau terdapat harta/uang maka negara tidak boleh mengambil pajak atas
kaum muslimin. Sehingga negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya
kebutuhan mendadak (mendesak) demikian juga negara tidak boleh mewajibkan
pajak dalam keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya dimuka (dala
urusan administrasi) negara. Oleh karena itu negara tidak boleh mewajibkan
pembayaran pajak secara permanen (terus menerus dan pada seluruh masyarakat,
sebab jika ini terjadi maka negara telah berlaku zhalim pada masyarakat.
Dengan demikian tugas negara yang utama terkait dengan sistem hukum
pajak Islam adalah bahwa negara harus memperhatikan benar bagaimana dapat
mewujudkan jaminan tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan terpenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokoknya termasuk kebutuhan tambahannya sesuai


103






kebiasaan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu, apabila kebutuhan
dan pembiayaan atas masyarakat tersebut belum terpenuhi dan negara menambah
dengan mewajibkan pungutan atas masyarakat bahkan ada dari masyarakat yang
terzhalimi maka hukum yang telah ditetapkan tersebut dinggap gagal dalam
pandangan Islam.
















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


104







A. Kesimpulan
Berdasarkan dari permasalahan yang diajukan, pengkajian, analisis serta
pembahasan yang telah dilakukan, maka suatu kesimpulan dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1. Sistem pemungutan pajak di Indonesia belum sesuai dengan prinsip
keadilan menurut Undang-undang perpajakan nomor 6 tahun 1983, sebab
dalam implementasinya masih ada kelemahan yaitu orang dengan
kekayaan/penghasilan berbeda membayar pajaknya sama sebagaimana
implementasi PP nomor 47 tahun 2003, dan pembiayaan negara hanya
ditanggung sebagian masyarakat dikarenakan tidak memiliki NPWP.
2. Menurut pandangan Hizbut Tahrir sistem pemungutan pajak di Indonesia
tidak memenuhi prinsip keadilan sebagaimana yang diinginkan dalam
ketetapan Undang-undang perpajakan nomor 6 tahun 1983. Sebab dalam
implementasinya masih banyak masyarakat yang dirugikan yaitu dalam
penerapannya hanya sebagian masyarakat yang menanggung biaya
pembangunan, sehingga hal ini akan mendzalimi sebagian masyarakat dan
menguntungkan sebagian yang lainnya.
3. Solusi alternatif dari Sistem Pajak Islam Hizbut Tahrir adalah pajak yang
dipungut hanya diwajibkan atas orang-orang (kaum muslim) yang benar-
benar mampu yaitu orang-orang memiliki kelebihan harta (orang kaya) dan
untuk kaum non muslimin tidak ada pajak bagi mereka sebab kewajiban
atas mereka adalah membayar jizyah, pajak dipungut hanya pada saat baitul


105






mal dalam kondisi darurat (tidak ada uang) untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, dan pajak dipungut hanya untuk menutupi kekurangan dalam
pembiayaan kebutuhan umat, tidak boleh lebih dari itu.

B. Saran
1. Bagi para pembuat aturan di Indonesia hendaknya harus terus berpikir
ulang agar aturan yang dibuat mampu diimplementasikan dalam
menciptakan keadilan masyarakat umat.
2. Penulis berharap dengan hasil-hasil yang telah disimpulkan dalam
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi umat Islam
untuk mau menengok kembali kepada sumber-sumber ajarannya dalam
rangka menyelesaikan problem kehidupan termasuk problem perpajakan.
3. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak kekurangan
baik terkait kedalaman data-data yang disajikan maupun kedalaman dalam
menganalisis. Untuk itu penulis berharap penelitian ini masih terus
dilanjutkan dan disempurnakan agar lebih bermanfaat untuk umat Islam
khususnya dan umat manusia secara keseluruhan.


107






DAFTAR PUSTAKA


Al Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, Toha
Putra, Semarang, 1989.
Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka
Thariqul Izzah, Depok, Cetakan II, 2000
An-Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah Dustur,1963
An-Nabhani, Taqiyuddin, (terj.), Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir, Pustaka
Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan II, 1993
An-Nabhani, Taqiyuddin, (terj.), Peraturan Hidup Dalam Islam, Pustaka Thariqul
Izzah, Bogor, Cetakan II, 2001
An-Nabhani, Taqiyuddin, (terj.), Pembentukan Partai Politik Islam, Pustaka
Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan II, 2002
An-Nabhani, Taqyuddin, (terj.), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, Cetakan ke-7, 2002
An-Nabhani, Taqiyuddin, (terj.), Hakekat Berfikir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor,
Cetakan I, 2003
An-Nabhani, Taqyuddin, (terj.), Peraturan Hidup Dalam Islam, Pustaka Thariqul
Izzah, Bogor, Cetakan ke-3, 2003
Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah,
Hambatan, dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, Cetakan I, 1996
Boediono, Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta, Cetakan ke-2, 2001
Nata, Abuddin, Metodologi StudiIslam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Suandy, Erly, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000
Surat kabar warta kota edisi 6 Maret 2007
Tjahjono, Achmad dan Muhammad F. Husein, Perpajakan, Edisi Pertama,UPP
AMP YKPN, Yogyakarta, 2000
Tjahjono, Achmad dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, Edisi Revisi
II,YKPN, Yogyakarta, 2000


108






Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Cetakan
II, Jakarta, 2000
Zallum, Abdul Qadim, (terj.), Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah,
Al-Izzah, Jatim, 2001
Zallum, Abdul Qadim, (terj.), Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka
Thariqul Izzah, Cetakan I, Bogor, 2002
http://id.wikipedia.org
www.google.com, Konsep Keadilan Perspektif Ulama


1

You might also like