INDONESIA DENGAN SISTEM HUKUM PAJAK HIZBUT TAHRIR SKRIPSI
OLEH:
NAMA : AINUN ZARIYAH PRODI : KEUANGAN&PERBANKAN SYARIAH NIM : 03.23.165
JURUSAN EKONOMI ISLAM STAIN SURAKARTA-SEM INSTITUTE YOGYAKARTA 2008 ii ANALISIS KOMPARASI SISTEM HUKUM PAJAK INDONESIA DENGAN SISTEM HUKUM PAJAK HIZBUT TAHRIR Skripsi Diajukan untuk memenuhi Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Progam Studi Keuangan & Perbankan Syariah Pada Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute
Oleh: Ainun Zariyah
Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua
H. Dwi Condro Triono, SP., M. Ag Suprihadi, SE
iii Telah diujikan dan disyahkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana jenjang Strata-1 Skripsi berjudul
Analisis Komparasi Sistem Hukum Pajak Indonesia Dengan Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir
NAMA : AINUN ZARIYAH NIM : 03.23.165 Jogjakarta, 10 Maret 2008 Disyahkan oleh :
Ir. H.M. Ismail Yusanto, MM Ketua Jurusan Ekonomi Islam
Dosen/ Dewan Penguji Penguji I H. Dwi Condro Triono, SP., M. Ag
Penguji II Suprihadi, SE
Penguji III Ir. Sugeng Nugroho Hadi
Penguji IV
Awan Kostradiharto, SE. M.Ag
iv MOTTO
Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila melakukan suatu pekerjaan ia lakukan dengan baik. (HR. Abu Yala)
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah[9]:111)
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan sebuah karya sederhana ini untuk yang tercinta dan terkasih Allah Azza wa Jalla atas seluruh kasih sayang-Nya dan kesempatan yang diberikan-Nya tiada terputus Seharusnya kusadari sedari dulu bahwa tidak ada yang bisa mencintaiku,mengasihiku dan melindungiku melebihi Engkau, betapa Engkau mencintaiku hingga sampai saat ini diriku selalu mengingat-Mu dan memuja-Mu.
Jangan biarkan aku untuk menduakan-Mu wahai Kekasihku Untuk hamba-hamba Allah yang telah memberi perhatian untukku dengan sepenuh hati. Terima kasih banyak atas sepenggal kisah yang pernah kita lalui untuk mengarungi kehidupan ini, sehingga diriku menemukan jatidiri atas kehidupanku. Perjuangan itu artinya berkorban, berkorban itu artinya terkorban, janganlah gentar untuk berjuang demi kejayaan Islam kembali. Allahu Akbar. Tiada kebahagiaan setelah indahnya keimanan dari Illahi selain mengabdi buat ibu dan bapak yang telah berjuang untuk sebuah pengorbanan yang tak bisa terbalas. vi
KATA PENGANTAR Bismillaahhirrahmaanirrhiim Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuhu Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan karunia-Nya pemilik seluruh kebaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarga beliau, para sahabat dan seluruh pengemban dakwah yang terus mengupayakan tegaknya kejayaan Islam. Alhamdulillaahirabbilalamiin, akhirnya skripsi ini yang berjudul Analisis Komparasi Sistem Hukum Pajak Indonesia Dengan Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Program Studi Keuangan dan Perbankan Syariah pada Jurusan Ekonomi Islam, STAIN Surakarta-SEM Institute. Sebagaimana telah diketahui bahwa APBN Indonesia selalu mengalami defisit sehingga pajak yang ditetapkan pemerintah sebagai satu-satunya sumber pendapatan dalam negeri Indonesia untuk membiayai pembangunan dan kegiatan pemerintahan. Pada kenyataannya pajak ini tidak mampu menutupi masalah defisit APBN dari dulu hingga kini. Sehingga hal ini mengakibatkan pemerintah Indonesia selalu menjadikan hutang luar negeri sebagai alternatif terakhir untuk menutupi defisit APBN tersebut vii agar pembangunan dan kegiatan pemerintahan dapat terlaksana. Akan tetapi pada kenyataanya hutang luar negeri pun membuat APBN Indonesia masih tetap defisit. Kondisi inilah yang menjadikannya bahan bagi penulis untuk melakukan penelitian pada hukum pajak Indonesia, kenapa hukum pajak yang ditetapkan pemerintah Indonesia tidak mampu menyelesaikan permasalahan keuangan negara Indonesia. Penulis menggunakan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir sebagai bahan untuk malakukan analisis karena penulis melihat Hizbut Tahrir memiliki konsep pajak dalam kerangka berpikir sistemik. Hal ini diperlukan karena permasalahan hukum pajak Indonesia adalah permasalahan sistemik maka pemikiran yang sistemik juga untuk mengkritisi hukum pajak Indonesia dan Hizbut Tahrir memiliki pemikiran sistemik tersebut yang memang dibutuhkkan dalam penelitian ini. Atas selesainya skripsi ini disampaikan rasa terimakasih dan penghargaan kepada berbagai pihak yang telah memberikan dedikasinya sehingga skripsi ini dapat terwujud, khususnya kepada: 1. Bapak Ir. Muhammad Iamail Yusanto, M.M, selaku ketua Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute. 2. .Bapak Dwi Condro Triono, SP. M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi pertama sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik. 3. Bapak Suprihadi, SE selaku dosen pembimbing skripsi kedua. 4. Kedua orangtuaku yang sangat saya hormati dan sayangi serta seluruh keluarga yang menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. viii 5. Bapak Harjono serta seluruh staf Direktorat Jenderal Pajak I Yogyakarta yang telah memberikan informasi terkait dengan hukum pajak di Indonesia. 6. Keluarga besar STEI Hamfara, terutama asrama putri Fikrul Mustanir dan Adzkiya Ul Mursidah yang telah memberikan motivasi. 7. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semua dukungan, jerih payah, waktu, doa restu yang telah dipanjatkan dan semua pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis hanya bisa kami balas dengan doa dan harapan semoga semua amalan tersebut dicatat oleh Allah Swt sebagai amal shaleh yang akan mendapat balasan dari-Nya, amiin. Kesempurnaan adalah harapan dan keinginan dari tabiat manusia. Tapi hanya Allah Swt yang memiliki Maha Kesempurnaan atas segala sesuatu. Oleh karena itu dalam penyelesaian tulisan ini pastilah banyak kekurangan, kelemahan dan kebodohan karena penulis hanya seorang hamba yang penuh dengan kekhilafan. Jika tanpa pertolongan Allah Swt penulis hanya merupakan makhluk yang hina, untuk itu penulis mohon maaf dan berharap dari ketiksempurnaan yang dilakukan, juga penulis tidak menutup kemungkinan atas kritik dan saran dari berbagai pihak. Tidak ada pretensi sedikitpun bahwa skripsi ini sudah sempurna dan bersifat final, semuanya masih terbuka bagi setiap perbaikan dan koreksi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi perkembangan ekonomi Islam pada umumnya. Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
ix Yogyakarta, Februari 2007 Penulis,
Ainun Zariyah DAFTAR ISI
Hal HALAMAN JUDUL............................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN UJIAN ................................................... iii HALAMAN MOTTO ............................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................ vi DAFTAR ISI........................................................................................... ix ABSTRAKSI ......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 B. Rumusan Masalah....................................................................... 6 C. Batasan Masalah.......................................................................... 7 x D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7 E. Manfaat Penelitian ...................................................................... 8 F. Metode Penelitian ....................................................................... 9 G. Sistematika Penulisan Skripsi ..................................................... 15 BAB II LANDASAN TEORI ................................................................ 18 A. Pendahuluan................................................................................ 18 B. Risalah Pajak Dalam Pemerintahan Islam.................................. 18 C. Teoritika Pajak ............................................................................ 23 1. Definisi Pajak........................................................................ 23 2. Teori Pembenaran Pemungutan Pajak .................................. 25 3. Fungsi Pajak.......................................................................... 28 4. Asas-asas Pemungutan Pajak................................................ 29 5. Cara Pemungutan Pajak ........................................................ 30 6. Stelsel Pemungutan Pajak ..................................................... 31 7. Sistem Pemungutan Pajak..................................................... 32 8. Syarat Pemungutan Pajak...................................................... 33 9. Sanksi Perpajakan ................................................................. 34 BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN......................................... 37 A. Sistem Hukum Pajak Indonesia .................................................. 37 1. Sejarah Perkembangan Undang-undang Perpajakan Indonesia.. 37 2. Hukum Pajak Indonesia ........................................................ 43 a. Definisi Pajak Berdasarkan Undang-undang Perpajakan In- xi donesia ........................................................................... 43 b. Sistem Undang-undang Perpajakan Indonesia................ 44 1) Sistem Ketentuan Penetapan Pajak di Indonesia ...... 44 2) Objek Pajak dalam Perpajakan Indonesia................. 45 B. Hukum Pajak Perspektif Hizbut Tahrir....................................... 63 1. Hizbut Tahrir......................................................................... 63 a. Definisi Hizbut Tahrir ..................................................... 63 b. Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir ....................... 66 c. Tujuan Hizbut Tahrir....................................................... 72 d. Aktivitas Hizbut Tahrir ................................................... 75 e. Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir ................................. 78 f. Metode Dakwah Hizbut Tahrir ....................................... 79 g. Fikrah Hizbut Tahrir ....................................................... 82 2. Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir ...................................... 85 a. Pemikiran Hizbut Tahrir Tentang Problematika Ekonomi 85 b. Pemikiran Hizbut Tahrir Tentang Pajak ......................... 87 3. Sistem Keadilan Dalam Pemungutan Pajak Hizbut Tahrir... 88
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN.......................................... 92 A. Pendahuluan................................................................................ 92 B. Faktor-faktor Yang Menunjang Konsep Keadilan Dalam Pemu- ngutan Pajak di Indonesia ........................................................... 92 xii C. Penyanggahan Hizbut Tahrir....................................................... 96 D. Solusi Alternatif Menurut Hizbut Tahrir..................................... 99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 105 A. Kesimpulan ....................................................................... 105 B. Saran................................................................................... 106 DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 107 DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... 109
xiii
ABSTRAKSI Pembangunan nasional merupakan kegiatan terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Maka untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut diperlukan banyak biaya. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menetapkan pemungutan pajak untuk menjaga keberlangsungan aktivitas pembangunan tersebut. Di Indonesia pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara. Oleh karena itu, agar dalam pemungutan pajak tidak memberatkan masyarakat maka pemerintah Indonesia membuat aturan-aturan terkait pemungutannya. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan pemungutan pajak sesuai proporsional sehingga tidak ada yang dirugikan. Oleh karena itulah, pemerintah Indonesia berusaha menjaga asas keadilan dalam pemungutan pajak, yaitu dengan memperbaiki undang-undang perpajakan apabila ditemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya. Namun, perbaikan demi perbaikan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia tidak membuahkan hasil, bahkan nampak ketidakadilannya. Sehingga dari sinilah dibutuhkan sebuah aturan alternatif yang dapat mewujudkan keadilan pada masyarakat. Atas dasar itulah Hizbut Tahrir berusaha menawarkan solusi alternatif terkait permasalahan perpajakan di Indonesia. Sebab, Hizbut Tahrir memandang bahwa ketidakadilan pada salah satu pihak akan menyebabkan kesengsaraan di pihak lain. Dari sinilah Hizbut Tahrir menawarkan beberapa solusi, yaitu pajak harus dipungut atas orang-orang kaya saja dan hanya sesuai dengan kebutuhan negara, tidak boleh lebih dari itu.
xiv
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1. Sistem Sanksi dalam Perpajakan Indonesia.............................. 49
xv
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Skema Potensi Kekayaan Negara Indonesia........................ 60 Gambar 2. Skema Potensi Kekayaan Negara Islam................................ 88
xvi
1
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Media Wawancara Lampiran 2 : Peraturan Perpajakan terbaru tahun 2008
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut, maka pemerintah perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak, kemudian hasil dari pemungutan pajak akan digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan dan kesejahteraan bersama. 1
Penerimaan dari sektor pajak dewasa ini menjadi tulang punggung penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tahun 1996/1997 jumlah penerimaan pajak mendominasi 61,78% dari total penerimaan APBN atau 71,59% dari penerimaan dalam negeri. Penerimaan minyak dan gas bumi (migas) yang sempat menjadi primadona pada saat oil boom ternyata pada tahun yang sama hanya bisa menyumbang 18,06% dari total penerimaan dalam negeri, sedangkan penerimaan bukan pajak hanya memberikan sumbangan hanya sebesar 10,35% terhadap penerimaan dalam negeri. 2
1 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Cetakan II, Jakarta, 2000, hal . 2 2 Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal.9
3
Dirjen Perbendaharaan Indonesia Departemen Keuangan Herry Purnomo mengungkapkan, hingga akhir Februari 2007 penerimaan negara dari sektor pajak mencapai sekitar Rp 50 triliun dari target penerimaan 2007 sebesar Rp 452,556 triliun, itu baru PPN dan PPh belum termasuk yang valuta asing. Sedangkan untuk penerimaan dari sektor cukai, telah dicatat angka lebih dari Rp 10 triliun. Meski demikian, penyerapan anggaran dari belanja barang hingga saat ini masih sangat rendah yaitu pada kisaran 5 persen, tidak seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan belanja pegawai. Melalui UU nomor 18 tahun 2006 tentang APBN 2007, pemerintah dan DPR menetapkan besarnya rencana penerimaan pajak sebesar Rp 452,556 triliun atau naik sekitar 23,51 persen dibandingkan dengan rencana dalam APBN 2006 (tanpa PPh Migas). Target penerimaan ini terdiri dari pajak penghasilan (PPh) Rp 261,698 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp l61,044 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 21,267 triliun, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) Rp 5,389 triliun, dan pajak lainnya Rp 3.157 triliun. Sedangkan Belanja Negara (APBN) 2007 sebesar Rp 763 triliun dengan alokasi untuk pemerintah pusat dan daerah masing-masing Rp 504 triliun dan Rp 259 triliun. 3
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan
3 Surat kabar warta kota edisi 6 Maret 2007
4
barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. 4
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. 5
Kita tidak bisa memungkiri bahwa anggaran belanja negara yang telah diestimasikan oleh pemerintah Indonesia setiap tahun selalu mengalami defisit. Padahal kenyataannya Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam bahkan melimpah ruah, seharusnya Indonesia menjadi negara yang makmur karena banyak kekayaan alam yang bisa dikelola sebagai pendapatan dalam anggaran belanja negara, akan tetapi pada kenyataannnya anggaran belanja Indonesia tidak pernah lebih dari cukup namun selalu defisit. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong bagi pemerintah dalam mengambil hukum untuk melakukan pemungutan pajak terhadap masyarakat, dari pemasukan pajak tersebut digunakan untuk memenuhi pembangunan sektor riil yang telah direncanakan oleh pemerintah. Dengan harapan bahwa usaha pemerintah untuk mewujudkan kemandirian
4 http://id.wikipedia.org 5 Ibid. log,cit
5
pembiayaan pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan bersama adalah dengan jalan menggali sumber dana dalam negeri yaitu berupa pajak dapat berjalan lancar dan rakyat dapat menikmati hasilnya. Akan tetapi realitasnya rakyat tidak bisa menikmati haknya secara optimal dikarenakan pajak yang dibayar oleh rakyat selama ini dialokasikan dalam bidang lain, yang tentunya bukan untuk memenuhi prioritas hak yang lebih dibutuhkan dan wajib diterima oleh rakyat. Artinya pajak yang dipungut oleh pemerintah yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat ternyata belum mampu berjalan sesuai dengan fungsi pajak karena pada hakekatnya kepentingan rakyat selalu pada prioritas kedua, bahkan pajak tidak mampu menutup kekurangan dalam APBN seperti harapan pemerintah. Padahal pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan mampu mewujudkan kemandirian pembangunan untuk menyejahterakan seluruh rakyat, akan tetapi pada realitasnya rakyat menganggap pemungutan pajak tersebut sebagai beban. Melihat fenomena dengan adanya pemungutan pajak kepada rakyat ternyata bukan jaminan bahwa rakyat akan sejahtera, walaupun salah satu syarat pemungutan pajak adalah asas keadilan. Ternyata asas keadilan yang dimaksud dalam sistem hukum pajak oleh pemerintah menjadi bumerang bagi rakyat. Sebab, dalam pemungutan pajak masih ada masyarakat yang merasakan ketidakadilan, sehingga timbullah perlawanan pasif maupun aktif dari wajib pajak. Oleh karena itu, pajak diberlakukan atas seluruh rakyat yang memenuhi ketentuan sebagai wajib pajak, apabila pembayaran pajak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pajak yang dibuat oleh pemerintah maka wajib pajak akan dikenakan tambahan beban pembayaran dengan sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan dikenakan terhadap wajib pajak yang
6
tidak memenuhi ketentuan peraturan perpajakan atau melakukan pelanggaran terhadap aturan perpajakan yang berlaku. Sanksi perpajakan yang berlaku di Indonesia berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana, sanksi tersebut berwujud pembayaran kerugian kepada negara khususnya berupa denda, bunga dan kenaikan biaya dari pajak yang kurang dibayar serta pidana penjara/kurungan. 6
Dengan adanya kenyataan itu, akhirnya banyak masyarakat yang mempertanyakan tentang asas keadilan dalam hukum pajak yang berlaku di Indonesia. Maka dengan realitas tersebut, masyarakat sebenarnya sedang menginginkan suatu sistem alternatif yang benar-benar dapat mengatasi problem perpajakan. Oleh karena itulah dalam skripsi ini penulis ingin mengangkat suatu sistem perpajakan, yang diharapkan dapat menjadi sebuah sistem perpajakan alternatif. Sistem perpajakan yang yang ingin penulis teliti adalah sistem pajak Islam konsep Hizbut Tahrir. Penelitian yang akan dilakukan adalah mengangkat konsep yang ditawarkan Hizbut Tahrir agar menjadi sebuah konsep yang lebih konkret dan aplikatif, khususnya dalam fokus sistem hukum pajaknya. Konsep Hizbut Tahrir yang ditawarkan tersebut masih bersifat normatif. Saat ini belum ada satupun negara di dunia yang menerapkan konsep pajaknya Hizbut Tahrir, walaupun Hizbut Tahrir sendiri berpendapat bahwa sesungguhnya konsep tersebut bukanlah konsep yang baru, melainkan sudah pernah diterapkan selama kurang lebih 13 abad di zaman kekhalifahan Islam 7 .
6 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Cetakan II, Jakarta, 2000, hal . 85 7 Taqyuddin an-Nabhani, (terj.), Peraturan Hidup Dalam Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2003, Cetakan ke-3, hal.70-73
7
Keberadaan pajak tidak dijadikan sebagai ketetapan yang bersifat permanen karena hanya diberlakukan ketika kondisi keuangan negara dalam keadaan darurat. Jika dilakukan pemungutan, pajak hanya dibebankan kepada orang-orang yang kaya. Sehingga orang-orang miskin tidak perlu memikul beban pajak. Oleh karena itu untuk menjaga keadilan dalam pemungutan pajak, maka pemerintah harus memiliki data terperinci tentang kekayaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat sehingga tidak ada kesalahan dalam penetapan besar pemungutan pajak. Wacana ini menjadi sebuah kenyataan yang menggugah penulis untuk mengkritisi tentang permasalahan perekonomian yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam permasalahan hukum pajak. Penulis mencoba mengkaji hukum pajak yang diterapkan di Indonesia apakah konsep yang diterapkan selama ini dapat berjalan sesuai asas keadilan dengan melakukan Analisis Komparasi Sistem Hukum Pajak Indonesia Dengan Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir. Dengan meninjau kembali permasalahan tersebut, penulis berharap dapat memberikan solusi yang tepat dengan melihat realitas yang terjadi secara objektif dan rasional.
B. Rumusan Masalah Sebagaimana gambaran deskriptif (penjelasan) latar belakang pada pemaparan tersebut, untuk memperjelas permasalahan pada pembahasan, maka penulis merumuskan masalah yang akan diberikan terkait pembahasan di atas yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan ketentuan, tata cara, dan sistem sanksi dalam hukum pajak di Indonesia?
8
2. Apakah sistem hukum pajak Indonesia telah sesuai dengan syarat pemungutannya yang berkeadilan menurut Undang-undang perpajakan? 3. Bagaimana Hizbut Tahrir memandang penerapan sistem hukum pajak yang diterapkan di Indonesia? 4. Bagaimanakah sistem hukum pajak yang berkeadilan dalam perspektif Hizbut Tahrir?
C. Batasan Masalah Berdasarkan rumusan di atas maka penulis memfokuskan permasalahan yang akan dibahas yaitu sistem hukum pajak yang diterapkan di Indonesia dengan membandingkan sistem hukum pajak dalam pandangan Hizbut Tahrir terutama dalam aspek asas keadilan dalam pemungutannya. Sehingga diharapkan akan didapatkan sebuah sistem hukum pajak alternatif.
D. Tujuan Penelitian Dibuatnya penelitian ini adalah guna memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta, pada jenjang pendidikan Strata (S-1) Jurusan Ekonomi Islam. Sesuai dengan batasan masalah dari penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui penerapan sistem hukum pajak yang berlaku di Indonesia dari ketentuan, tata cara, maupun sanksi yang harus dipatuhi oleh masyarakat wajib pajak.
9
2. Untuk mengetahui bahwa sistem hukum pajak Indonesia telah sesuai dengan syarat pemungutannya yang berkeadilan berdasarkan Undang-undang perpajakan. 3. Untuk mengetahui pemikiran Hizbut Tahrir dalam memandang penerapan sistem hukum pajak yang diterapkan di Indonesia. Dengan membandingkan kedua sistem tersebut sehingga diperoleh sistem yang layak untuk dijadikan sebagai alternatif. 4. Untuk mengetahui sistem pemungutan pajak dalam asas keadilan menurut perspektif Hizbut Tahrir.
E. Manfaat Penelitian Manfaat atau urgensi dari penelitian ini diharapkan mempunyai implikasi untuk: 1. Bagi Wajib Pajak/Masyarakat Membantu mengembangkan pemikiran yang terkait dengan konsep sistem hukum pajak yang diberlakukan pada masyarakat sehingga dapat menambah khasanah keilmuan. 2. Bagi Pemerintah/Direktorat Jenderal Pajak a. Membantu memberikan saran kepada pemerintah terhadap penerapan sistem hukum pajak dalam menetapkan akar permasalahan dan standar konsep pajak beserta pemecahannya. b. Membantu memberikan wacana pemikiran bahwa hukum pajak tidak berdiri sendiri melainkan dibangun atas sebuah tatanan sistem yaitu
10
sistem keuangan negara yang menyangkut kehidupan rakyat sehingga tidak ada cara pandang yang parsial ketika memahami suatu konsep dan menerapkannya dalam tatanan praktis.
F. Metode Penelitian Berpijak pada tujuan-tujuan penelitian ini, yaitu menggali konsep-konsep sistem hukum pajak Hizbut Tahrir dalam fokus keadilan yang mampu mensejahterakan rakyat, yang selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi sistem hukum pajak Indonesia. Maka untuk menemukan rasionalitas, kebenaran, dan keberadaannya yang lebih tepat dan akurat, metode yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Tehnik Analisis Data Penelitian ini bertujuan untuk menguji konseptual sistem hukum pajak Indonesia khususnya pada asas keadilan yang mampu menyejahterakan rakyat dengan pendekatan konsep sistem hukum pajak Hizbut Tahrir, sekaligus digunakan untuk mengevaluasinya. Oleh karena itu, pendekatan teori kritis akan digunakan dalam penelitian, sedangkan tahap-tahap penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tahap deskriptif, tahap analitik, dan tahap evaluatif. a. Tahap Deskriptif Tahap deskriptif yang dilakukan pada penelitian ini adalah tahapan pengkajian yang dilakukan dengan pendekatan antropologis fenomenologis. Antropologis fenomenologis adalah suatu pendekatan yang memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang
11
di masyarakat. Pendekatan ini melalui teori kritis berangkat dari fenomena atau realitas adanya ketidakadilan kemudian dikonstruk suatu konsep keadilan, dengan membandingkan sistem hukum pajak Indonesia yang menggunakan pancasila sebagai asas tunggalnya terhadap sistem hukum pajak yang ditawarkan hizbut tahrir dengan Islam sebagai asasnya. 8
Pada tahapan ini, pendekatan dilakukan untuk menemukan hakikat dari konsep sistem hukum pajak Indonesia dengan Hizbut Tahrir secara objektif. Oleh karena itu, untuk dapat memahami konsep tersebut secara mendalam dan utuh maka dibutuhkan sejumlah studi literatur (telaah pustaka) yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dengan demikian diperlukan pengkajian terhadap karya tulis yang berkaitan dengan konsep sistem hukum pajak.
b. Tahap Analitik Setelah mendiskripsikan maka tahap selanjutnya penulis melakukan analisis, yaitu menganalisis objek penelitian yang telah dideskripsikan sesuai dengan pembahasan masalah pada penelitian tersebut. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mengamati objek penelitian dalam bentuk cara pandang suatu pemikiran tertentu terhadap objek tersebut. Kemudian dari hasil analisis cara pandang suatu pemikiran tersebut akan dapat diambil menjadi kesimpulan yang selanjutnya kesimpulan tersebut dijadikan sebagai penilaian dalam penelitian ini.
8 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 36-37
12
Dalam melakukan proses analisis (pengkajian) informasi-informasi terdahulu (al-malumat as-sabiqah) mengenai fakta harus ada karena malumat-malumat inilah yang nantinya akan menjadi alat analisis sesuai dengan realitas yang ada, sedangkan opini atau pendapat terdahulu (al-ara as- sabiqah) tentang fakta harus ditiadakan karena jika opini terdahulu hadir dalam proses pengkajian dan mendominasi maka akan menimbulkan kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan fakta yang sedang dikaji. Apabila hal ini terjadi maka akan mempengaruhi objektifitas dari penelitian serta akan diperoleh hasil yang tidak valid sesuai fakta yang diamati sebenarnya. Oleh karena itu, objektifitas kesimpulan akan didapatkan sesuai dengan realitas fakta tersebut jika dalam pengamatannya melalui metode rasional digunakan secara benar dan tepat. 9
Pada tahap ini, analisis yang dimaksud adalah untuk menganalis mengenai fakta sistem hukum pajak Indonesia dengan Hizbut Tahrir dalam penentuan syarat pemungutan pajak apakah telah sesuai dengan asas keadilan sehingga rakyat telah merasakan adil dalam pemungutannya. Kemudian, setelah dianalisis dilanjutkan dengan komparasi, yaitu membandingkan konsep sistem hukum pajak Indonesia dengan Hizbut Tahrir. Sebab, dengan mengkomparasikan kedua konsep tersebut akan diperoleh tingkat keunggulan dari salah satu konsep untuk diterapkan dimasa yang akan datang. Maka dari hasil komparasi tersebut diharapkan mampu memperoleh konsep mana yang
9 Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Hakekat Berfikir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan I, 2003, hal. 29-30
13
layak untuk mendorong terjadinya asas keadilan dalam pemungutan pajak dan akan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
c. Tahap Evaluatif Tahap evaluatif pada penelitian ini dilakukan sebagai evaluasi terhadap realitas penerapan sebelumnya, sekaligus mengevaluasi cara pandang yang digunakan dalam penerapannya sebagai asas penilaian. Evaluasi ini dilakukan dari hasil analisis yang didapatkan dengan menunjukkan hasil dari penilaian cara pandang pemikiran tersebut. Kemudian hasil penilaian akan diberikan saran atau solusi alternatif apa yang harus dilakukan agar dalam penerapan sistem hukum pajak yang ditetapkan kepada masyarakat mampu menciptakan keadilan sehingga tidak ada diskriminasi terhadap rakyat.
2. Objek Penelitian Sesuatu yang dapat dijadikan sebagai objek penelitian merupakan fakta yang bersifat materi maupun non materi (maknawi). Kedua fakta tersebut dapat indera dan dapat dijangkau oleh akal hakekat keberadaannya. Jika fakta yang bersifat materi wujudnya kadang-kadang dapat dirasakan dan disentuh, sedangkan fakta yang bersifat bukan materi (maknawi) dapat diindera pengaruhnya atau dapat dirasakan tapi wujudnya tidak dapat disentuh atau dipegang. Objek yang dijadikan dalam penelitian ini adalah terkait sistem hukum pajak negara, dimana sistem hukum pajak merupakan objek yang termasuk dalam kategori fakta yang bersifat non materi (maknawi), dimana wujudnya tidak
14
dapat disentuh tapi keberadaannya dapat diindera atau dapat dirasakan efeknya dalam aspek kehidupan. 10 Pada penelitian ini, kedua konsep tersebut dibandingkan sehingga akan diperoleh suatu konsep alternatif yang layak untuk diterapkan yang sesuai dengan asas keadilan dan mampu menciptakan kesejahteraan rakyat.
3. Sumber Data Adapun jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data primer yaitu merupakan data yang diperoleh melalui sumber langsung dari objek penelitian. Dalam penelitian ini, data untuk sistem hukum pajak Indonesia diperoleh dari wawancara langsung dengan Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan untuk sistem hukum pajak Hizbut Tahrir diperoleh dengan mengumpulkan pokok-pokok pikiran dari konsep pajak Hizbut Tahrir. b. Data sekunder yaitu merupakan data yang diperoleh dari sumber lain yang terkait dengan objek penelitian seperti buku, jurnal, internet dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok persoalan.
4. Metode Pengumpulan Data a. Metode kepustakaan/literatur yaitu tehnik pengumpulan data yang bersumber dari dokumen atau bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan pembahasan
10 Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan II, 1993, hal. 16
15
masalah; dapat berupa buku, surat kabar/koran, majalah, atau artikel yang terkait. b. Metode wawancara atau interview, metode ini merupakan metode pengumpulan data dengan jalan melakukan wawancara langsung atau tanya jawab secara langsung kepada pihak Direktorat Jendral Pajak.
5. Tehnik dan Metode Analisis Pengumpulan Data Untuk mengetahui apakah data-data yang didapatkan merupakan data- data yang memenuhi kriteria atau layak dijadikan sebagai objek penelitian maka ratio analysis sangat berperan. Dimana untuk melakukan analisis berdasarkan akal (ratio) terhadap data-data tersebut harus memenuhi tiga syarat. Pertama, adanya informasi-informasi terdahulu (al-malumat as-sabiqah) yang setaraf dengan pemikiran yang ingin dipahami. Kedua, adanya pemahaman (idrak, comprehension) terhadap fakta pemikiran hingga dapat dibatasi dan dibedakan dengan pemikiran yang lain. Ketiga, harus ada gambaran (tashawwur, concept) terhadap makna pemikiran secara benar yang akan memberikan gambaran yang hakiki tentang makna pemikiran tersebut. 11
Sedangkan tehnik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah pendekatan ideologi (ideology approach). Pendekatan ideologi ini dijadikan sebagai standar dalam menilai dan menganalisis data-data, pendekatan ini digunakan untuk mengetahui:
11 Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Hakekat Berpikir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan I, 2003, hal. 152-165
16
a. Apakah data-data tersebut mengandung atau dipengaruhi oleh nilai-nilai atau pemikiran-pemikiran tertentu. b. Apakah data-data tersebut tidak mengandung atau tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai atau pemikiran-pemikiran tertentu. Pendekatan ini sangat membantu proses pengklasifikasian atau pengelompokan data berdasarkan pemikiran yang melandasi dalam penerapan konsep tersebut.
G. Sistematika Penulisan Skripsi Dalam penelitian ini penulis akan memaparkan isi kandungan skripsi agar mudah dipahami secara utuh, maka penulis menuangkan pokok-pokok pikiran dari skripsi dalam sistematika penulisan yang terdiri dari 6 (enam) bab, yang tersusun sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam pendahuluan mengandung tentang beberapa hal yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II STUDI PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Bab II berisis tentang studi kepustakaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung. Landasan teori dalam penelitian ini membahas tentang pemaparan pengertian, gambaran pajak, konsep keadilan, serta teori sistem hukum pajak.
17
BAB III DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN Objek penelitian dalam bab ini berisi tentang studi kasus terkait sejarah perkembangan undang-undang perpajakan Indonesia, penerapan sistem hukum pajak Indonesia, penerapan sanksi perpajakan terhadap wajib pajak, dan konsep keadilan dalam pemungutan pajak. Dan tentang latar belakang Hizbut Tahrir yang diawali dengan penggambaran tentang latar belakang sejarah berdiri, devinisi, tujuan, aktivitas, landasan pemikiran dan pemikiran- pemikiran Hizbut Tahrir terhadap konsep hukum pajak yang diemban, mulai dari pengertian, pemungutan, penetapan sanksi, sampai dengan penguraian tentang konsep keadilan dalam sistem hukum pajak Hizbut Tahrir. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini merupakan inti pembahasan dalam skripsi ini, yaitu berisi tentang evaluasi kritis terhadap Sistem Hukum Pajak Indonesia dengan menggunakan pandangan HIzbut Tahrir. Dimulai dengan pembahasan tentang apakah hukum pajak Indonesia telah berhasil menciptakan keadilan. Selanjutnya evaluasi terhadap hukum pajak Indonesia dengan pandangan Hizbut Tahrir, dan pada bagian terakhir adalah solusi alternatif yang dapat dilakukan menurut konsep Hizbut Tahrir BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab V merupakan perumusan terakhir dari keseluruhan isi skripsi ini yang diwujudkan dalam bentuk kesimpulan dari pembahasan penelitian ini, kemudian dilanjutkan berupa saran-saran serta harapan penulis atas terselesaikannya skripsi ini.
18
BAB II LANDASAN TEORI
A. PENDAHULUAN Dalam bab ini, penulis akan menyajikan beberapa tulisan atau hasil penelitian yang dapat dikaji dari konsep keadilan menurut beberapa pakar hukum maupun ulama yang mempunyai kompetensi terhadap konsep keadilan. Sehingga dari sini dapat digambarkan mata rantai penelitian ini dengan berbagai tulisan dan penelitian yang sudah dihasilkan. Adapun ulama atau pakar hukum yang disajikan dalam penelitian ini adalah: Ali bin Abi Thalib (Imam Ali A.S), Busthanul Arifin. Kemudian dalam bab ini, akan dilanjutkan dengan pembahasan landasan teori sebagai gambaran latar belakang dari penelitian. Landasan teori ini berisi tentang penjelasan permasalahan pajak dari literatur atau referensi terkait sistem perpajakan.
B. Risalah Pajak Dalam Pemerintahan Islam 1) Ali bin Abi Thalib (Imam Ali A. S) Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pertama dari keluarga Hasyim, beliau merupakan seorang khalifah yang terkenal dengan sifat kebangsaan, kuat, berani, cerdas, dan kepahlawanan. Adapun satu sifat yang sering dijadikan sebagai teladan bagi umat sampai sekarang, yaitu beliau merupakan seorang penguasa yang sangat berlaku adil terhadap umatnya sekalipun terhadap musuh. Hal tersebut terbukti pada saat beliu menjabat sebagai khalifah, yaitu pada suatu saat Ali Ra menemukan baju besi (baju perang) miliknya di tangan seorang Nasrani,
19
tetapi orang tersebut tidak mau mengakuinya. Kemudian, beliau mengadukan hal itu kepada ketua hakim pengadilan. Akan tetapi, hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut adalah milik orang Nasrani sebab Ali Ra tidak dapat mendatangkan bukti atau saksi bahwa baju itu miliknya. Dengan hasil sidang tersebut, beliau menerima dengan ikhlas karena beliau menganggap bahwa keputusan itu merupakan suatu langkah menuju kedilan. Sebagai seorang khalifah, beliau sangat memperhatikan konsep keadilan dan tidak bolehnya berlaku zalim. Begitu pentingnya tentang konsep keadilan maka beliau menjelaskan terkait hal itu dalam kitab Nahjul Balaghah. Ali Ra menyatakan dalam kitab tersebut, bahwa keadilan merupakan persoalan yang harus diutamakan. Maka beliau memperjelas tentang persoalan keadilan tersebut: Pertama, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, kemudian memperhatikan hak-hak yang ada secara kongkrit, setelah itu baru memberikan orang lain sesuai dengan amal dan kapasitasnya. Dengan pendekatan ini, orang akan bisa mengetahui tempatnya dalam bermasyarakat, dan selanjutnya masyarakat ini akan menjadi mekanisme yang teratur. Kedua, keadilan adalah sebuah kendali uang bersifat umum, yakni keadilan bisa dijadikan undang- undang umum yang mengatur seluruh urusan masyarakat dimana seseorang harus komitmen kepadanya. Oleh karena itu, beliau tidak membenarkan seseorang berpangku tangan menyaksikan norma-norma atau hukum-hukum keadilan ditinggalkan baik oleh penguasa maupun rakyat, sehingga terbentuk pengkotakan dan kelas-kelas dalam masyarakat.
20
Dalam penegasannya Imam Ali berkata bahwa, pemerintah dan pembela hak-hak masyarakat haruslah berpegang teguh kepada konsep-konsep keadilan, jika tidak maka hendaknya tampuk pemerintahan harus diserahkan kepada orang lain atau dikembalikan kepada rakyat. Logika ini dipetik beliau dari ajaran Al- Quran yang tersurat dalam beberapa ayat, antara lain dalam surah An-Nisa yaitu:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa: 58)
Adapun salah satu penafsiran ayat tersebut, yakni yang dimaksud dengan orang-orang yang berhak ialah orang-orang yang memutuskan hukum dengan adil yaitu bahwa penguasa diperintahkan untuk menjadi pengayom dan pelindung umat. Pemerintahan adalah amanat yang diserahkan kepada seseorang, maka untuk menjalankan roda pemerintahan memerlukan orang-orang yang
21
berkomitmen kepada amanat dan tidak menzalimi rakyat. Sehingga setiap hukum yang dambil membawa kemashlahatan (kebaikan) dan tidak membebani rakyat. 12
2) Busthanul Arifin Busthanul Arifin merupakan mantan Hakim Agung dengan jabatan ketua Muda Mahkamah Agung. Beliau adalah seorang hakim yang memiliki komitmen dan obsesi untuk melakukan perombakan rekayasa politik hukum yang diadopsi oleh Indonesia. Sebab selama meraih kemerdekaan, negara Indonesia dalam menerapan hukum-hukumnya banyak memakai hukum buatan asing (Belanda) yang notabene Belanda adalah penjajah negara ini. Beliau melakukan hal tersebut dengan tujuan ingin membangun suatu hukum yang dapat dikatakan hukum negeri ini yaitu sebagai identitas diri, sehingga terwujud negeri yang benar-benar mandiri. Beliau menganggap bahwa dengan adanya rekayasa hukum dari pihak asing yang telah merasuki mental para ahli-ahli hukum negeri ini, maka sulit untuk melakukan perombakan dan menegakkan keadilan yang sesuai untuk kepribadian bengsa ini. Busthanul Arifin menyatakan bahwa penerapan hukum di Indonesia, di dalamnya banyak ketentuan yang memperlihatkan sikap hukum yang diskriminatif terhadap hukum Islam. Jika hal tersebut dibiarkan maka akan terjadi pengagungan terhadap hukum buatan manusia, padahal hukum buatan manusi tersebut notabene banyak membawa kerugian bagi rakyat. Oleh karena
12 Konsep Keadilan Perspektif Ulama, www.google. com
22
itu, beliau berkomitmen untuk melakukan perombakan terhadap hukum-hukum itu agar membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Dalam bukunya Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, beliau membahas tentang konsep keadilan. Menurut dia, konsep keadilan dalam hukum adalah ditentukan oleh tujuannya. Dengan demikian, konsep keadilan dalam hukum Islam berbeda dengan konsep keadilan dalam hukum sipil, karena tujuan kedua hukum tersebut berbeda. Keadilan dalam hukum Islam yaitu digantungkan kepada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah, sebab Allah merupakan Sang Khaliq sehingga Dia tahu akan kebutuhan manusia untuk mendapatkan keadilan. Dalam Islam, setiap peristiwa haruslah diatur menurut sumber-sumber pokok hukum Islam yaitu Al- Quran dan Sunnah, sebab hukum Islam bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan, keadilan dalam hukum sipil sepenuhnya tergantung pada penalaran menusia, karena itu hukum sipil dimasukkan ke dalam bidang filsafat hukum. Dan sebab itu pula, pengertian keadilan selalu berubah dari masyarakat ke masyarakat yang lain, tergantung kepada perkembangan aliran filsafat hukum yang dianut masyarakat tersebut. Hukum sipil diperoleh dari mengamati perbuatan-perbuatan dan sikap anggota masyarakat itu. Dari hasil pengamatan ini dibuatlah peraturan-peraturan umum yang mengikat seluruh masyarakat, paling kurang dua orang. Tujuan dari hukum sipil hanyalah untuk kedamaian dalam masyarakat dengan mengatur kepentingan-kepentingan antar manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari sini dapat
23
disimpulkan bahwa tujuan dari penerapan keadilan adalah untuk menuju kedamaian atau kebahagian dalam kehidupan bermasyarakat, dengan memposisikan sesuatu pada tempatnya sehingga tidak merugikan orang lain (rakyat). 13
C. Teoritika Pajak 1. Definisi Pajak Undang-undang pajak sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di segala bidang. Untuk itu agar dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan ekonomi yaitu dengan cara menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut, bahkan pajak dalam suatu pemerintahan dianggap sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak ada pemasukan dari sisi pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan. 14 Adapun definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro : pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat
13 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, Cetakan I, 1996, hal. 45-46 14 Boediono. Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta, Cetakan ke-20, 2001, hal.110
24
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 15
Sehingga hukum pajak merupakan suatu aturan yang ditetapkan oleh pemerintah guna mencukupi pengeluaran dalam anggaran belanja negara. Pernyataan tersebut didukung oleh undang-undang perpajakan No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berbunyi: Bahwa pemungutan pajak pajak merupakan perwujudan pengabdian kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangnan nasional.
Di berbagai negara di dunia seluruhnya menerapkan sistem hukum pajak sebab pajak merupakan sumber pendapatan anggaran belanja terbesar, sehingga pemungutan pajak dibenarkan hukum karena adanya hubungan kausalitas dari pajak itu sendiri. Secara umum dapat dikatakan pajak yang dipungut secara langsung maupun tidak langsung akan kembali digunakan oleh masyarakat dalam bentuk infrastruktur dan pelayanan. a) Falsafah pajak Pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari rakyat melalui DPR. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yaitu Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang. Bahkan di negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat terdapat dalil mengenai pajak, yaitu: 16
Inggris : No Taxatian without Representation
15 Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi XII, ANDI, Yogyakarta, 2004, hal.1 16 Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 9
25
USA : Taxation without representation is Robbery
b) Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak Ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai kebanyakan definisi menyatakan bahwa: 17
1) Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah. 2) Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan. 3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah. 4) Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 5) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus dipergunakan untuk membiayai public investment. 6) Pajak dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah. 7) Pajak dipungut secara langsung maupun tidak langsung.
2. Teori Pembenaran Pemungutan Pajak
17 Ibit, hal. 8-9
26
Pemungutan pajak dibenarkan hukum karena adanya hubungan kasualitas dari pajak itu sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa yang dipungut secara langsung maupun tidak langsung akan kembali digunakan oleh masyarakat dalam bentuk infrastruktur dan pelayanan serta dalam pemungutannya bersifat memaksa bagi setiap orang yang termasuk sebagai wajib pajak. Adapun beberapa landasan yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak adalah: 18
a. Teori Asuransi Pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kepada negara dianalogkan sebagai pembayaran premi asuransi. Pembayaran premi asuransi ini dilakukan karena negara bertugas melindungi rakyat dan harta bendanya, sehingga negara mengharapkan atas balasan untuk pelayanannya kepada rakyat (sebagai imbalan atas jasa yang telah diterima rakyat). Perbedaannya yang utama dalam asuransi adalah jika terjadi musibah akan menerima ganti rugi, tetapi dalam pajak negara maka rakyat tidak akan menerima ganti rugi jika mengalami musibah. b. Teori Kepentingan Teori ini dalam ajaran semula hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan masing-masing dalam tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang- orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan
18 Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husein, Perpajakan, Edisi Pertama,UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 2000, hal. 21-22
27
kepada mereka (rakyat mengganti rugi atas anggaran-anggaran yang telah dikeluarkan negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat).
c. Teori Gaya Pikul Bahwa pemungutan pajak didasarkan pada gaya pikul (kekuatan) masing- masing wajib pajak. Untuk mengukur gaya pikul seseorang dapat menggunakan antara lain: jumlah atau besar penghasilan, kekayaan, belanja atau pengeluaran dan jumlah keluarga. d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti) Rakyat membayar pajak kepada negara merupakan suatu sikap guna menunjukkan rasa baktinya kepada negara atas pelindungan dan pelayanan yang diberikan kepada rakyat sebagai sikap balas jasa. e. Teori Asas Gaya Beli Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandangnya sebagai gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arak tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan bukan pula untuk kepentingan negara melainkan untuk kepentingan rakyat meliputi keduanya. Sehingga dalam teori ini menitikberatkan
28
ajarannya kepada fungsi pajak kedua dari pemungutan pajak yaitu sebagai fungsi mengatur (regularend).
3. Fungsi Pajak Pada dasarnya fungsi pajak adalah sebagai sumber keuangan negara, akan tetapi ada fungsi lainnya yang tak kalah pentingnya yaitu pajak sebagai fungsi mengatur, adapun penjelasan dari masing-masing fungsi yaitu sebagai berikut. 19
a. Sumber keuangan negara (Budgetair) Pemerintah memungut pajak sebagai sumber penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya baik bersifat rutin maupun pembagunan. Negara seperti halnya rumah tangga yang memerlukan sumber-sumber keuangan untuk membiayai kelanjutan hidupnya. Sebagai contoh, dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri dengan tujuan membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. b. Fungsi pengatur atau fungsi non budgetair (Regularend) Di samping usaha bahwa pajak sebagai pemasukan dana untuk kegunaan kas negara, pajak juga harus dimaksudkan sebagai usaha pemerintah yang merupakan alat untuk mengatur melaksanakan hukum di bidang sosial dan ekonomi serta sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan, bilamana perlu pemerintah turut campur dalam
19 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, Edisi Revisi II,YKPN, Yogyakarta, 2000, hal.4-6
29
mengatur serta mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor swasta.
4. Asas-Asas Pemungutan Pajak Untuk mencapai pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya, sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakandalam Adam Smith pada abad ke-18 dalam buku An Inguiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations yang dikenal dengan nama The Four Cannons atau The Four Maxims, menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada: 20
a. Equality Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang sesuai dengan kemampuan membayar (ability to pay) yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equality tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi antara sesama wajib pajak. Artinya, bahwa wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta. b. Cer tainty
20 Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 19
30
Pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya. c. Convenience of payment Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterima penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak. d. Economics of collections Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak jika biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
5. Cara Pemungutan Pajak Dalam era globalisasi sekarang ini batas negara menjadi tidak jelas bagi wajib pajak dalam mencari dan memperoleh penghasilan, sehingga penentuan pemungutan pajak ini penting untuk menentukan negara mana yang berhak memungut pajak. Dalam pemungutan pajak ada tiga macam cara yang biasa dilakukan: 21
a) Asas domisili (tempat tinggal)
21 Ibid, hal. 31
31
Dalam asas ini pemungutan pajak didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak dalam suatu negara. Negara dimana wajib pajak bertempat tinggal berhak memungut pajak terhadap wajib pajak tanpa melihat darimana pendapatan atau penghasilan tersebut diperoleh baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan tanpa melihat kebangsaan/kewarganegaraan wajib pajak tersebut. b) Asas sumber Dalam asas sumber ini pemungutan pajak didasarkan pada sumber pendapatan/penghasilan dalam suatu negara. Menurut asas ini, negara yang menjadi sumber pendapatan/penghasilan tersebut berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak (wajib pajak harus membayar pajak kepada negara dimana ia bekerja/mendapat penghasilan). c) Asas kebangsaan Pemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan dari wajib pajak tanpa melihat darimana sumber pendapatan/penghasilan tersebut maupun di negara mana tempat tinggal (domisili) wajib pajak yang bersangkutan
6. Stelsel Pemungutan Pajak
32
Untuk memeperlancar proses pembayaran pajak maka diperlukan tatacara pemungutan pajak, cara pemungutannya dilakukan berdasarkan 3 stelsel yaitu: 22
a. Stelsel nyata (riil stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dilakukan pada akhir tahun pajak yaitu setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Pada stelsel ini pajak yang dikenakan lebih realistis tetapi pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode. b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang- undang. Dalam hal ini pajak dapat dipungut pada saat tahun berjalan akan tetapi pemungutanp pajaknya tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi dari kedua stelsel di atas, artinya pada awal tahun besarnya di hitung berdasar suatu anggapan kemudian pada akhir tahun disesuaikan kondisi sebenarnya.
7. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak yang pernah diberlakukan dibagi menjadi: 23
a. Official Assesment System
22 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Cetakan II, Jakarta, 2000, hal . 9-10
23 Ibid. log, cit.
33
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif, apabila pembayaran terlambat maka wajib pajak mempunyai utang pajak setelah ada surat ketetapan pajak oleh fiskus. b. Self Assesment System Yaitu suatu sistem pemungutan paajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besar pajak yang harus dibayar. c. Withholding System Yaitu suatu sistem pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
8. Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: 24
a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya
24 Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, ANDI, Yogyakarta, 2004, hal. 2
34
yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara dan warganya. c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
9. Sanksi Perpajakan Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan
35
dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. 25
Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Dalam pelaksanaannya seorang wajib pajak dapat dikenai sanksi administrasi saja, sanksi pidana saja atau kedua-duanya. 1. Sanksi Administrasi Sanksi administrasi dikenakan kepada wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perpajakan atau melakukan pelanggaran terhadap aturan pajak yang berlaku. Sanksi administrasi berupa pembayaran kerugian kepada negara khususnya yang berupa bunga dan kenaikan dari pajak yang terutang, sanksi administrasi ada 3 macam yaitu: a. Sanksi berupa bunga Sanksi administrasi dalam pelanggaran berupa pembebanan bunga ditetapkan sebesar 2%. b. Sanksi berupa denda administrasi Denda administrasi yang ditetapkan kepada wajib pajak berupa pembayaran sejumlah uang, besarnya tergantung atas pelanggaran yang dilakukan (sesuai kefatalan akan kesalahan yang diperbuat oleh wajib pajak). Biasanya besarnya telah ditentukan oleh petugas pemungut pajak. c. Sanksi berupa kenaikan 50% dan 100% Kenaikan ini dibebankan dengan penambahan pembayaran dari pajak sebenarnya, penambahannya dalam bentuk prosentase dari pokok pajak yang
25 Ibid. hal 39
36
harus dibayar dan besarnya tergantung pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
2. Sanksi Pidana Menurut undang-undang perpajakan sanksi pidana dibagi menjadi tiga yaitu denda pidana, pidana kurungan, pidana penjara. Sanksi pidana dapat dikenakan kepada wajib pajak, pejabat pajak dan pihak ketiga. Adapun rincian dari sanksi pidana adalah sebagai berikut: 26
a) Denda Pidana Berbeda dengan sanksi berupa denda administrasi yang hanya diancam/dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib pajak ada juga yang diancamkan kepada pejabat pajak atau kepada pihak ketiga yang melanggar norma atau peraturan pajak. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan. b) Pidana Kurungan Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditunjukkan kepada wajib pajak dan pihak ketiga, karena pidana kurungan diancamkankan kepada si pelanggar norma itu ketentuannya sama dengan yang diancamkan dengan denda pidana maka masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti pidana kurungan selama- lamanya sekian.
26 Ibid. hal 40
37
c) Pidana Penjara Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan, ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga, adanya kepada pihak pejabat dan kepada wajib pajak.
BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
A. Sistem Hukum Pajak Indonesia 1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Perpajakan Indonesia Sebelum tahun 1984 peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia sebagian besar merupakan warisan kolonial dari penjajah Belanda yang pada saat itu dibuat hukum pemungutan pajak semata-mata hanya untuk menghimpun dari dana bagi pemerintah penjajah. Pemungutan pajak tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di Indonesia. Oleh karenanya pemungutan pajak pada saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah atau besar pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutannya dilaksanakan di luar rasa keadilan dan tanpa menghiraukan kemampuan para objek pajak. Hukum pajak tersebut semakin menambah beban penderitaan hidup rakyat Indonesia dan jauh dari pertimbangan kemanusiaan serta jauh dari penghargaan terhadap hak asasi manusia. Pajak dilaksanakan
38
hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dipenuhi oleh rakyat secara patuh baik dari besarnya maupun waktu pembayarannya. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan Belanda antara lain adalah Aturan Bea Cukai pada tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944. Meskipun berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan yang ada di Indonesia saat ini merupakan sisa-sisa dari warisan kolonial Belanda tersebut telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, namun karena berbeda falsafah yang melatar belakanginya serta konsep yang melekat pada peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut maka sepanjang perpajakan yang dilandasi pada ketentuan-ketentuan yang sama maka belum bisa mmenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita bangsa dan pembanguna nasional yang sedang dilaksanakan saat ini. Memasuki era proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia pada masa kepemimpinan presiden Soekarno berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap situasi perpolitikan dan tuntutan rakyat dari sebuah negara yang memperoleh kemerdekaannya dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi berbagai perubahan yang dilakukan tersebut berbeda dengan yang dilaksanakan pada masa lampau sebab perubahan pada masa lalu bersifat parsial (perubahan sebagian aspek), sedangkan perubahan yang dilakukan pada saat itu bersifat agak fundamental
39
(mendasar) yaitu diwujudkan dalam pembuatan Undang-undang nomor 8 tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan, yang kemudian pada pelaksanaan undang-undang tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah (Perpu) nomor 11tahun 1967. Peraturan Pemerintah tersebut selanjutnya dikenal dengan sistem MPS dan MPO , sistem tersebut merupakan penyempurnaan sistem pajak yang sesuai dengan tingkat perkembangan sosial dan perekonomian Indonesia. Meskipun demikian upaya yang telah dilakukan untuk merubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut belum mampu membuat perubahan secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan secara mendasar yakni peraturan perpajakan yang harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan. Petunjuk akan perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai amanah rakyat seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang antara lain berbunyi: Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih. Serangkaian perubahan dinamis dunia usaha dan masyarakat secara keseluruhan telah memberikan implikasi akan pentingnya seperangkat aturan perpajakan yang mengikat warga negara untuk mematuhinya. Penyediaan
40
perangkat aturan tersebut mulai diperbaiki secara intensif oleh pemerintah dengan adanya reformasi perpajakanyang dilakukan pada tahun 1983, yaitu dengan adanya Undang-undang No.6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan sebagai suatu undang-undana di bidang perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, undang-undang tersebut berbeda dengan undang-undang perpajakan yang dibuat di zaman kolonial Belanda. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap wajib pajak yang dianggap sebagai obyek, tetapi merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan. Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang ini. Perbedaan falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar pembentukan undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia, sebab kedudukan undang-undang ini yang akan menjadi ketentuan umum bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. Ciri dan corak dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah: a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
41
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini merupakan aparat perpajakan yang sesuai fungsinya berkewajiban untuk melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. c. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Sedangkan ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem lama yang merupakan sistem warisan zaman kolonial Belanda yaitu: a. Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan. b. Pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam berbagai hal sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan,
42
sehingga hal ini mengakibatkan anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan, bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban negara untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. Sehingga jelas perbedaannya bahwa dalam undang-undang perubahan tahun 1983 menetapkan untuk sistem pemungutan pajak yang ditentukan memberikan kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian diharapkan dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat. Begitu pula untuk tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu lampau, karena administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas menyelesaikan dan menetapkan semua surat pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Sedangkan menurut Undang-undang tahun 1983 administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitiaan, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media maupun penerangan secara langsung kepada masyarakat. Perubahan tersebut diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan, perluasan tingkat
43
kesadaran kewajiban perpajakan dan objek kena pajak. Sehingga peningkatan penerimaan negara sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional dan hal ini akan mempercepat terwujudnya cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Setelah Undang-undang pajak 1983 berjalan selama satu dasa warsa maka keadaan perekonomian Indonesia telah banyak perubahan yang disebabkan oleh faktor intern maupun ekstern akibat perubahan ekonomi dunia. Masyarakat yang berubah terutama dalam dunia usaha maka menuntut dilakukannya beberapa penyempurnaan dari pelaksanaan Undang-undang tahun 1983. Penyempurnaan tersebut meliputi ekstensifikasi dan intensifikasi wajib pajak, penyempurnaan kinerja fiskus dan penyederhanaan pelaksanaan undang-undang pajak itu sendiri. Hal terssebut dilakukan untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan nasional, di samping tujuan lainnya berupa peningkatan daya saing eksport, penciptaan iklim ekonomi yang menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong terciptanya lebih banyak lapangan kerja baru dan upaya ini merupakan kerja besar yang seharusnya bukan saja tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
2. Hukum Pajak Indonesia a. Definisi Pajak Berdasarkan Undang-undang Sistem Pajak di Indonesia Pemungutan pajak yang diberlakukan di Indonesia berlandaskan atas peraturan yang terdapat pada UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang. Sebab pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang secara
44
langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari rakyat (melalui DPR). Oleh karena itu, pajak diberlakukan atas seluruh rakyat, apabila pembayaran pajak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pajak yang dibuat oleh pemerintah maka wajib pajak akan dikenakan tambahan beban pembayaran dengan sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perpajakan atau melakukan pelanggaran terhadap aturan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan keterangan diatas maka pajak yang berlaku di Indonesia yaitu iuran rakyat kepada kas negara yang berlandaskan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik atau kontraprestasi baik langsung maupun tidak langsung sebagai wujud dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk membiayai negara dan pembangunan nasional guna pembiayaan program kerja pemerintah.
b. Sistem Undang-undang Perpajakan Indonesia 1) Sistem ketentuan penetapan pajak di Indonesia Sistem undang-undang perpajakan yang di terapkan berdasarkan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berpengaruh terhadap cara pandang dalam perumusan sistem dan yang masih berlaku sampai sekarang, yaitu: 1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Ketentuan umum dan tata cara perpajakan di Indonesia terdiri dari:
45
a. Sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak tidak dianggap sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan. b. Ciri dan corak sistem pemungutan pajak bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk membiayai negara dan pembangunan nasional, tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak itu sendiri, anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyangan nasional untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang 2. Badan Pengadilan Sengketa Pajak Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat Badan Pengadilan Sengketa Pajak dimana badan tersebut mengurusi tentang persoalan atau permasalahan terkait pajak apabila Wajib Pajak mengalami keberatan atas pajak, banding atas keputusan dan peninjauan kembali terhadap peraturan pajak yang terkait apabila wajib pajak memang merasa dirugikan atas pajak yang dikenakan padanya tidak sesuai. 3. Penagihan dengan Surat Paksa
46
Dalam peraturan sistem perundang-undangan tentang penagihan dengan surat paksa akan dilakukan oleh petugas pemungut pajak berkenaan atas Wajib Pajak apabila tidak menaati pembayaran pajak.
2) Objek Pajak dalam Perpajakan Indonesia 1. Pajak Penghasilan Sistem peraturan perundang-undangan tentang pajak penghasilan diatur tentang semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenan dengan pajak penghasilan maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannnya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. 2. Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah Sistem peraturan perundang-undangan tentang pajak pertambahan nilai dan penjualan barang mewah diatur tentang semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas pertambahan nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas barang mewah merupakan dua macam pajak yang diatur dalam satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri (pajak hanya diberlakukan bagi wajib pajak yang mampu untuk mengkonsumsi barang tersebut saja, maka apabila tidak mengkonsumsi maka tidak perlu membayar pajak).
47
Pajak ini diperoleh dari para pengusaha atau perorangan yang menghasilkan dan memperdagangkan barang/jasa yang tergolong besar (mewah) yaitu barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok atau dikonsumsi masyarakat umum yang artinya barang/jasa tersebut hanya dikonsumsi oleh orang-orang berpenghasilan tinggi yang bertujuan untuk menunjukkan status (identitas dirinya). 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dipungut/dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan, peraturan tersebut berlaku bagi setiap masyarakat (seluruh warga) yang mempunyai kepemilikan atas tanah dan atau bangunan sebagai bukti akan kepemilikannya. 4. Bea Materai Sistem peraturan perundang-undangan tentang bea meterai berkenaan atas dokumen atau surat berharga (bernilai materi) yang di dalamnya memuat sejumlah uang atau nominal tertentu sesuai dengan ketentuan. 5. Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) Dalam undang-undang perpajakan tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) mengatur atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah, sebagai contoh pemungutan pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, pajak bahan bakar (BBM) kendaraan bermotor serta pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.
48
3) Sistem Sanksi Perpajakan di Indonesia a. Sistem Pemeriksaan dan Penyidikan terhadap Wajib Pajak Untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap wajib pajak yang bertujuan untuk meningkatkan sadar pajak pada wajib pajak.
a) Pemeriksaan terhadap wajib pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan menguji kepatuhan atau ketaatan wajib pajak dan tujuan lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pemeriksaan ini wajib pajak mempunyai beberapa hak, yaitu: 1. Meminta Surat Perintah Pemeriksaan 2. Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa 3. Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan 4. Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT Dalam pemeriksaan yang dilakukan apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan umum pajak maka wajib pajak akan mendapatka sanksi perpajakan. b) Penyidikan terhadap wajib pajak
49
Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik yaitu Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, untuk mengumpulkan bukti-bukti yang membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan. Tindak pidana di bidang perpajakan dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak. Adapun kriteria kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak adalah sebagai berikut: 1. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan NPWP atau PPKP 2. Tidak menyampaikan SPT dan menolak untuk dilakukan pemeriksaan 3. Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap 4. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan 5. Memperlihatkan pembukuan atau pencatatan, atau dokumen lain yang palsu 6. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya 7. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah wajib pajak alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Kealpaan dapat diartikan tidak sengaja, lalai tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya.
50
4) Sistem Penetapan, Keberatan, Banding & Peninjauan Kembali terhadap Sanksi a) Sistem Penetapan Sanksi Untuk memperlancar sistem perpajakan di Indonesia maka diterapkan sanksi pajak, agar wajib pajak tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan pajak yang telah ditentukan. Sebab apabila wajib pajak menyalahi aturan perpajakan maka akan menghambat pembangunan bangsa. Untuk itu perlu adanya aturan bagi wajib pajak guna menertibkan pembangunan dalam negeri. Adapun jenis sanksi pelanggaran perpajakan yang diterapkan adalah sebagai berikut: 1. Pelanggaran Ketentuan Perpajakan Dan Ancaman Sanksi
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan Wajib Pajak (WP), sepanjang menyangkut pelanggaran ketentuan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut pelanggaran yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dikenakan sanksi pidana. a) Sanksi Administrasi yang Berlaku dalam Perpajakan Indonesia Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak. Jenis-jenis ketetapan yang dikeluarkan adalah: Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Di samping itu juga diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP), adapun surat
51
tersebut diterbitkan terkait dalam penerapan dikenakannya sanksi administrasi baik berupa denda, bunga, maupun keanaikan pembayaran pajak. Tabel 1. Sanksi Administrasi Perpajakan yang masih berlaku di Indonesia No. Pasal Masalah Sanksi Keterangan DENDA 1. 7 (1) SPT terlambat disampaikan a. Masa b. Tahunan
Rp 50.000 Rp 100.000
Per SPT Per SPT 2. 8 (3) Pembetulan sendiri dan belum disidik 200% Dari jumlah pajak yang kurang dibayar 3. 14 (4) a. Pengusaha kena PPN tidak PKP 2% Dari DPP b. Pengusaha tidak PKP buat faktur pajak 2% Dari DPP c. PKP tidak buat faktur atau faktur tidak lengkap 2% Dari DPP BUNGA 1. 8 (2) Pembetulan STP dalam 2 tahun 2% Perbulan dari jumlah pajak yang kurang dibayar 2. 9 (2a) Keterlambatan pembayaran pajak masa dan tahunan 2% Perbulan dari jumlah pajak yang terutang 3. 13 (2) Kekurangan pembayaran pajak dalam SKPKB 2% Perbulan dari jumlah kurang dibayar maksimal 24 bulan 4. 13 (5) SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 10 tahun karena adanya tindak pidana 48% Dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar 5. 14 (3) a. PPh tahun berjalan tidak/kurang bayar 2% Perbulan dari jumlah pajak tidak/kurang dibayar, maksimal 24 bulan b. SPT kurang bayar 2% Perbulan dari jumlah pajak tidak/kurang dibayar maksimal 24 bulan 6. 15 (4) SKPKBT diterbitkan setelah lewat setelah waktu 10 tahun karena adanya tindak pidana 48% Dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
52
7. 19 (1) SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan kurang bayar atau terlambat bayar 2% Perbulan atas jumlah pajak atau kurang dibayar 8. 19 (2) Mengangsur atau menunda 2% Perbulan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan 9. 19 (3) Kekurangan pajak akibat penundaan SPT 2% Atas kekurangan pembayaran pajak KENAIKAN 1. 8 (5) Pengungkapan ketidakbenaran SPT setelah lewat 2 tahun sebelum terbitnya SKP 50% Dari pajak yang kurang dibayar 2. 13 (3) Apabila SPT tidak disampaikan sebagaimana disebut dalam surat teguran, PPN/PPnBM yang tidak seharusnya dikompensasikan atau tidak tarif 0%, tidak terpenuhinya pasal 28 dan 29
a. PPh yang tidak atau kurang dibayar 50% Dari PPh yang tidak/kurang dibayar b. tidak/kurang, dipotong atau dipungut/disetorkan 100% Dari PPh yang tidak/kurang dipotong/dipungut c. PPN/PPnBM tidak atau kurang bayar 100% Dari PPN/PPnBM yang tidak atau kurang dibayar 3. 15 (2) Kekurangan pajak pada SKPKBT 100% Dari jumlah kekurangan pajak tersebut b) Sanksi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan: a. Setiap orang yang karena kealpaannya : 1) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); atau 2) menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
53
benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. b. Setiap orang yang dengan sengaja : 1) tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan, atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP); atau 2) tidak menyampaikan SPT; atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau 3) menolak untuk dilakukan pemeriksaan; atau 4) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau 5) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau 6) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
54
c. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana 2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana yang diatur sebagaimana butir b. d. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sanksi tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, ataupun seluruh pihak yang terkait dalam perkara tersebut. 2. Daluwarsa Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. 3. Delik Aduan Dan Sanksinya
55
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan ataupun pihak yang terkait, dilarang mengungkapkan (memberitahukan/menyebarkan) kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan. 4. Pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan WP tersebut dapat diancam sanksi pidana sebagai berikut: a. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal kerahasiaan Wajib Pajak, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah). b. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 5. Keterlibatan dan Sanksi bagi Pihak ketiga a) Setiap orang yang menurut ketentuan wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti; atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). b) Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana perpajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
56
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ketentuan ini berlaku juga bagi yang menyuruh, melakukan, dan yang menganjurkan atau membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. b) Keberatan wajib pajak terhadap penetapan sanksi Wajib pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan. Atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima. Syarat pengajuan keberatan adalah: 1. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, serta pemotongan dan pemungutan ole pihak ketiga. 2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang menurut perhitungan wajib pajak dengan menyebutkan alasan-alasan yang jelas. 3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak surat ketetapan pajak, kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya. 4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. c) Banding terhadap penetapan sanksi
57
Apabila wajib pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka wajib pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak atas keberatan yang dialami. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri Surat Keputusan Keberatan tersebut. Untuk satu keputusan diajukan satu surat banding, dan wajib pajak yang mengajukan banding harus membayar minimal 50% dari utang pajak yang diajukan banding. Pengadilan pajak harus menetapkan putusan selambat- lambatnya (paling lambat) 12 bulan sejak surat banding diterima. Apabila putusan pengadilan pajak mengabulkan permintaan wajib pajak baik sebagian atau seluruh banding ataupun keberatan yang diajukan, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada wajib pajak dengan ditambah dengan imbalan bunga sebesar 2% dalam jangka sebulan atau untuk paling lama 24 bulan. d) Peninjauan kembali terhadap penetapan sanksi Jika wajib pajak masih belum puas dengan putusan banding, maka wajib pajak masih memiliki hak mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung. Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperolehketetapan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau
58
sejak putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6 bulan sejak permohonan PK diterima.
3. Sistem Keadilan Dalam Pemungutan Pajak Di Indonesia Pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari rakyat melalui DPR. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yaitu Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang. 27 Oleh karena itu, pajak diberlakukan atas seluruh rakyat yang memenuhi ketentuan sebagai wajib pajak, apabila pembayaran pajak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pajak yang dibuat oleh pemerintah maka wajib pajak akan dikenakan tambahan beban pembayaran dengan sanksi perpajakan. UU No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan pasal (1) menyatakan bahwa, wajib pajak yaitu orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu. Hal ini diterapkan agar tidak terjadi diskriminasi terhadap masyarakat, oleh karena itulah masyarakat harus melaksanakan kewajiban yang sama. Namun dalam penjelasan umum Undang-undang perpajakan nomor 8 tahun 1983, menyatakan bahwa dengan perkembangan sosial ekonomi maupun politik yang pesat dalam sebuah negara sehingga perubahan sistem
27 Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 9
59
perpajakan yang pernah dilakukan belum dapat menampung perkembangan dunia usaha karena masih dijumpai kelemahan-kelemahan dalam Undang- undang perpajakan, yaitu: a. Belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuan b. Kurang memberikan hak-hak Wajib Pajak c. Kurang memberikan kemudahan kemudahan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya d. Kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana Untuk itu dalam rangka menampung perkembangan sosialekonomi dan politik dalam dunia usaha maka dipandang perlu penyempurnaan perundang- undangan perpajakan yang menitikberatkan pada keempat hal diatas sehingga agar tercipta keadilan dalam masyarakat. Sehingga dengan berlandaskan pada kelemahan-kelemahan Undang- undang perpajakan tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa perubahan Undang-undang perpajakan guna mewujudkan keadilan yang diinginkan masyarakat. Adapun beberapa Undang-undang perpajakan yang diresuffle, sebagai contoh Undang-undang perpajakan nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan bahwa dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum keadilan, perpajakan merupakan penunjang usaha untuk meningkatkan keadilan sehingga masyarakat harus berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai kemampuan. Selain itu juga, Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
60
Mewah bahwa untuk memberikan nilai keadilan serta dalam upaya mengendalikan konsumsi masyarakat yang tidak produktif maka tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dinaikkan. Adapun Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan juga mengalami perubahan yaitu bahwa guna berpegang teguh pada asas keadilan, masyarakat agar lebih perpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan. Maka masyarakat wajib membiayai pembangunan tersebut yaitu dengan membayar pajak sesuai dengan kewajibannya, sebab penerimaan dari pajak merupakan sumber utama dalam pembiayaan pembangunan tersebut. Namun dengan adanya beberapa Undang-undang perpajakan yang sudah diresuffle ternyata dalam pelaksanaannya masih belum adil. Hal ini dikarenakan dalam pemungutan pajak pemerintah kurang mengetahui benar kondisi wajib pajak siapa-siapa saja layak dikenakan pajak, sebab banyak yang dianggap oleh negara telah memenuhi syarat wajib pajak namun pada hakikatnya banyak tidak layak bahkan tidak mampu untuk membayar pajak.
61
POTENSI SELURUH HARTA KEKAYAAN NEGARA INDONESIA KEPEMILIKAN INDIVIDU Individu bebas mempunyai, menguasai, mendapatkan, mengembangkan kepemilikan dengan cara apa saja Pengembangan : 1. Pertanian 2. Perdagangan 3. Industri 4. Perseroan kapitalis 5. Bursa saham dan valas 6. Perbankan PAJAK : 1. Pajak Penghasilan (PPh) 2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 4. Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
62
Gambar 2. Skema Pendapatan Negara Indonesia
B. Hukum Pajak Perspektif Hizbut Tahrir 1. Hizbut Tahrir a. Definisi Hizbut Tahrir Sejak awal abad II H, yaitu dimulai pada masa pemerintahan al- Makmun (194-218 H/809-913 M) dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Irak, pemikiran kaum muslimin pada saat itu mulai tersusupi pemikiran-pemikiran filsafat asing seperti filsafat India, Yunani, Persia, theology Nasrani Nasathirah. Pada saat itu kaum Muslimin mengenal mantiq Aristoteles. Diantara mereka ada yang mempelajari sebagian buku-buku filsafat dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab sehingga ada sebagian diantara mereka melakukan kesalahan yaitu berupaya mengkompromikan Islam dengan filsafat tersebut. Ditambah lagi pada abad VII H, pada masa pemerintahan al-Hakim bin Amrillah (661-701 H/1262-1301 M) yaitu adanya
PENDAPATAN NEGARA INDONESIA
63
kelalaian kaum muslimin terhadap penguasa Arab. Hal ini yang menyebabkan semakin mundurnya kaum Muslimin karena tanpa adanya penguasaan yang mampu memahami nash-nash syara dan menggali hukum- hukum syarauntuk menjawab problematika umat. Akhirnya kaum Muslimin menjadi mandul dan jumud dalam berijtihad. Belum lagi munculnya pergolakan budaya (ghazwuts tsaqafi), kristenisasi, serangan budaya dan serangan politik yang datang pada abad XIX M, yaitu organisasi-organisasi misionaris dari Perancis, Inggris dan Amerika semakin memperlemah kekuatan pemikiran Islam. Selain itu pada abad XX M, pengetahuan asing (ats-tsaqafah al-ajnabiyah) telah menyerang negeri-negeri Islam. Dengan tsaqafah itu para penjajah mampu menarik sekelompok kaum Muslimin ke pihak mereka, serta para penjajah mendorong kaum Muslimin untuk memisahkan dan memerdekakan negeri mereka dari Daulah Islamiyah. Penjajah juga mampu menarik orang-orang Arab di Paris untuk membentuk suatu kelompok yang bertugas memerangi Daulah Ustmaniyah. Setelah eksistensi Daulah Islamiyah sirna, penjajah langsung menggantikan posisinya. Mereka memerintah negeri-negeri Arab secara langsung dan memperluas kekuasaannya ke seluruh negeri-negeri Islam dengan cara memasukkan hukum-hukum konstitusi Barat sehingga negeri- negeri muslim mengadopsi undang-undang yang dibuat oleh Barat dan menerapkannya dalam pemerintahan. Yang terpenting dari cara-cara tersebut adalah dengan menyebarkan tsaqafah asing (ats-tsaqafah al-ajnabiyah), uang (al-maal), dan para agennya (al-umala). Keberhasilan orang-orang Barat
64
mempengaruhi pemikiran kaum Muslimin menyebabkan tubuh Daulah tercerai berai dan membuat pemikiran umat semakin terpuruk hingga kaum Muslimin tunduk terhadap ide-ide Barat dan semakin jauh dengan ajaran Islam sampai akhirnya Daulah Khilafah runtuh pada tahun 1924. Atas dasar itulah, Hizbut Tahrir didirikan untuk membangkitkan umat dari keterpurukan berfikir dan melanjutkan kehidupan Islam sehingga hanya Islam yang akan dijadikan tolok ukur dalam memecahkan berbagai problematika yang dihadapi oleh umat. Pendiri Hizbut Tahrir adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Hizb merupakan sebuah partai resmi yang dilegalkan pada hari Sabtu 28 Jumada ats-Tsaniyah 1372 H yang bertepatan tanggal 14 Maret 1953 berdasarkan Undang-Undang Jamiyah Utsmani di al- Quds, Yordania. 28
Adapun perkembangan Hizbut Tahrir di Indonesia diawali pada dekade tahun 1980-an dan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia, Hizbut Tahrir datang di bawa oleh Abdurrahman Al Baghdadi. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat melalui berbagai aktivitas dakwah di perkantoran, pabrik, dan perumahan. Hizbut Tahrir mengamati, menganalisis, dan menawarkan solusi alternatif dalam setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologikan Islam, politik merupakan aktivitasnya dan Islam sebagai ideologinya (mabda-nya). Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat dan bersama-sama umat
28 Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah, Depok, 2000, Cetakan II, hal. 2-3
65
berjuang untuk menjadikan Islam sebagai perkara yang paling utama dalam memecahkan problematika umat, serta membimbing umat untuk mendirikan Sistem Khilafah dan menegakkan hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah dalam realita kehidupan ini. Hizbut tahrir merupakan kelompok politik bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial. Ide-ide Islam (al-fikrah al-islamiyah) merupakan jiwa, inti, sekaligus jati diri dan rahasia kehidupan dalam kelangsungan kelompoknya.
b. Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir 1) Keharusan Berdirinya Partai Politik Menurut Syara Adapun berdirinya Hizbut Tahrir dalam rangka memenuhi seruan Allah SWT: 4^ }4N pO_uL4C4 NOuO^)pNON`4C4 4)OOC^-O) pONN;4C OE`q 74g)`}74^44 ^j ]O)U^^-- lj^q4O4^-
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104)
66
Maka dengan adanya seruan tersebut bahwa Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin agar di antara mereka ada suatu kelompok (jamaah) yang terpadu, yang memiliki dua tugas: 29
1. Mengajak kepada kebaikan, yaitu mengajak kepada Islam dengan menerapkan seluruh hukum-hukum yang telah diperintahkan oleh Allah. 2. Menyeru kepada yang maruf dam mencegah ke-munkar-an, dengan cara menggunakan metode-metode yang diajarkan Rasulullah. Aktivitas amar maruf nahi munkar tidak hanya meliputi seruan terhadap individu saja tetapi juga masyarakat dan penguasa agar mereka melaksanakan (menerapkan) syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan dan melarangnya melakukan sesuatu jika tidak bersumber pada syariat. Dalam aktivitas amar maruf nahi munkar kepada penguasa merupakan aktivis yang terpenting yaitu dengan cara mengawasi para penguasa serta menyampaikan nasihat kepadanya, karena mereka adalah sebagai wakil umat sehingga setiap hukum yang diambil oleh mereka akan menentukan nasib umat yang dipimpinnya. Aktivis seperti ini tergolong aktivis politik, bahkan termasuk aktivitas politik yang amat penting. Maka hal inilah yang menunjukkan adanya kewajiban untuk mendirikan partai politik. Aktivitas amar maruf nahi munkar tidak lain adalah dakwah Islam yang harus disesuaikan dengan hukum Islam, dan hal ini tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh kelompok/partai Islam yang berasaskan aqidah Islam. Partai tersebut tidak boleh berasaskan jamiyah, yang sistem
29 Ibid, loc. Hal 2-3
67
keorganisasiannya menetapkan bahwa ia akan melakukan kegiatan-kegiatan sosial tertentu, dalam bentuk kerja/perkataan, atau hanya dalam bentuk kerja praktis saja. 30 Kelompok yang mampu membawa kebangkitan umat adalah kelompok yang berdiri sebagai sebuah partai yang berideologikan Islam. Pemikiran Islam (al-fikrah al-islam ) merupakan ruh bagi bangunan partainya dan metode Islam (at-thariqah al-islam) sebagai pedoman dalam aktivitas geraknya untuk mewujudkan fikrah-nya. Maka untuk membangkitkan umat perlu adanya sekelompok orang yang akan memperjuangkan kebangkitan umat dengan pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah) yang sesuai Islam dan ajaran Rasulullah. Atas dasar itulah, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mendirikan partai politik Hizbut Tahrir.
2) Keterpurukan Umat Islam Sesungguhnya penyebab kemerosotan yang sangat fatal dan tidak pantas dialami oleh kaum Muslimin adalah akibat dari lemahnya kaum Muslimin dalam memahami dan melaksanakan Islam. Hal ini diakibatkan oleh faktor- faktor yang mengaburkan pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah-nya) yang dialami sejak abad kedua sampai saat ini. Faktor-faktor tersebut muncul karena beberapa hal diantaranya manipulasi ajaran Islam oleh orang-orang yang menbenci Islam mereka tidak menginginkan Islam berjaya kembali, baik dengan cara menyebarkan ide-ide atau hukum-hukum yang sebenarnya
30 Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Pembentukan Partai Politik Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan II, 2002, hal. 27-28
68
tidak bersumber dari Islam dengan tujuan merusak citra Islam maupun menjauhkan kaum Muslimin dari Islam. Hal tersebut diperparah dengan serangan gelombang misionaris dan serangan (orientalis) dalam bidang kebudayaan, menyusul serangan secara politis (yang mendominasi dunia Islam) dari negara-negara kafir Barat sejak abad ke-17 Masehi, dengan tujuan untuk mengalihkan pandangan dan menjauhkan kaum Muslimin dari Islam yang pada akhirnya untuk menghancurkan Islam. Upaya propaganda tersebut terus menerus dilakukan oleh Barat sehingga situasi ini membuat kondisi Daulah menjadi tidak stabil yang akhirnya umat Islam mengalami keterpurukan sampai sekarang. Berbagai macam usaha telah dilakukan untuk membangkitkan keterpurukan yang dialami oleh kaum Muslimin. Sejak abad XIX M, telah berdiri berbagai gerakan yang bertujuan membangkitkan umat Islam. Namun semuanya telah mengalami kagagalan dan belum mampu membangkitkan kaum Muslimin secara hakiki, bahkan tidak mampu membendung kemerosotan umat yang fatal. Adapun sebab-sebab kegagalan seluruh usaha dan gerakan untuk membangkitkan umat kembali adalah: 31
1. Gerakan-gerakan tersebut berdiri di atas dasar pemikiran (fikrah) yang masih umum tanpa batasan yang jelas, sehingga mencul kekaburan atau pembiasan. Dakwah Islam yang mereka lakukan masih bersifat umum, tanpa menentukan ide-ide dan hukum-hukum mana yang ingin digunakan
31 Ibid., hal. 1-2
69
untuk membangkitkan umat, serta pemecahan apa yang dapat mengatasi problema mereka berikut pelaksanaannya. 2. Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui metode (thariqah) bagi penerapan fikrahnya. Bahkan fikrah-nya diterapkan dengan cara-cara yang menunjukkan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh kesimpangsiuran. Mereka manganggap bahwa kembalinya Islam dapat ditempuh dengan cara pendidikan akhlak, pembangunan sekolah/masjid, penerbitan buku, mendirikan organisasi sosial kemasyarakatan, dan pembinaan individu semata, tanpa memperhatikan keterpurukan umat dalam cengkeraman ide-ide kufur berikut hukum dan sistem perundang- undangan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Karena masyarakat adalah sekumpulan individu yang mempunyai satu pemikiran, perasaan yang menentukan sikap individu, dan peraturan yang diakui oleh anggota yang berada di dalamnya. 3. Gerakan-gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Karena aktivis yang berada di dalamnya hanya berbekal keinginan dan semangat belaka, ketika keinginan dan semangat ini luntur maka usaha yang akan dilakukan akan ikut luntur juga, bahkan berhenti. 4. Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut tidak memiliki ikatan yang benar. Ikatan yang ada hanya ikatan struktur organisasi disertai dengan sejumlah deskripsi mengenai tugas-tugas organisasi, dan sejumlah slogan-slogan organisasi.
70
Oleh karena itu wajar jika semua gerakan tersebut mengalami kegagalan, karena gerakan tersebut tidak berdiri di atas dasar fikrah yang benar dengan batasan yang jelas, tidak mengetahui thariqah yang lurus , tidak bertumpu pada orang-orang yang berkesadaran sempurna, serta tidak mempunyai suatu ikatan yang benar. Sebab, jika kelompok-kelompok tersebut bergerak hanya sebatas bekal kesungguhan dan semangat yang dimiliki habis maka aktivitas gerakan tersebut akan terhenti bahkan akhirnya lenyap. Jika menginginkan terwujudnya suatu kebangkitan maka gerakan tersebut harus bertumpu pada falsafah yang hakiki yang bertolak dari adanya suatu ideologi yang menggabungkan fikrah dan thariqah secara terpadu. Karena dengan memahami ideologi tersebut, maka gerakan tersebut akan berpengaruh dan mengerti benar problema yang dihadapinya. Hanya saja, adanya pemahaman ideologi saja tidak akan dapat mengantarkan pada kebangkitan yang benar, kecuali jika para aktivisnya telah cukup layak untuk memasuki gerakan tersebut dan ikatan yang menyatukan mereka dalam kelompok adalah ikatan yang benar dan produktif. Berdasarkan ikatan inilah akan ditentukan kelayakan seseorang untuk memasuki gerakan tersebut. Suatu gerakan yang ideologis akan menjadikan keyakinan terhadap aqidahnya dan kematangan dalam tsaqafah partainya sebagai ikatan dalam kelompoknya. 32
Atas dasar inilah Hizbut Tahrir berdiri dan telah menentukan berdirinya kelompok atas dasar aqidah Islam, mengambil serta menetapkan ide-ide dan
32 Ibid., hal 7-8
71
hukum-hukum Islam dalam perjalanan untuk mencapai tujuannya. Hizb memahami fikrah dan thariqah dakwah secara rasional dan terperinci sesuai dengan Kitabullah, sunah Rasul, ijma Shahabat, dan Qiyas. Hizb menjadikan fakta (masyarakat) sebagai sasaran/obyek pemikirannya untuk diubah sesuai hukum Islam dan hanya mengikuti thariqah dakwah Rasulullah SAW dalam mengemban dakwahnya serta berdasarkan pada mabda (ideologi) Islam. Hizb menjadikan ikatan aqidah, ide-ide Islam serta hukum-hukum Islam sebagai ikatan bagi gerakan, yang juga mengikat para aktivisnya, hal inilah yang akan digunakan dalam memecahkan seluruh masalah kehidupan.
c. Tujuan Hizbut Tahrir Sejak pada masa Rasulullah SAW kaum muslimin mengalami benturan yang besar yaitu pemikiran-pemikiran jahiliyah atau pemikiran-pemikiran kufur, tapi Rasulullah pada saat itu tidak mengasingkan diri. Beliau tetap berada di tengah-tengah orang-orang kafir, juga para sahabat yang saat itu jumlahnya baru sedikit. Namun Rasulullah dan para sahabat sama sekali tidak terpengaruh (ta atstsur) dengan pemikiran-pemikiran kufur mereka serta tidak mengikuti kebiasaan-kebiasaan mereka. Tetapi sebaliknya justru Rasulullah dan para sahabat melakukan tindakan untuk menyerang balik pemikiran-pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan mereka, sehingga orang-orang kafir tidak mampu lagi untuk berhadapan dengan Rasulullah dan para sahabat. Sebagaimana firman Allah dalam Al-quran surat al-Anbiya ayat 98:
72
*C=^_g]1jO4 _ +^ E4__ U=O .- ]1 }g` ]+lu> 4`4:^^)
Artinya:Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya. (Q.S. al- Anbiya:98)
Firman Allah dalam Quran surat al-Muthafifin ayat 1-3: 44-O7E-O)4 ^gpOO4-OEC +EEL-O>4 N-O74-^- -O) g-.- ^ -gg]CUg uC4
^@ p+OO^C7 -O+^eE
Artinya: Kecalakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka kurangi. (QS.al-Muthafifin:1-3)
Ayat di atas menunjukkan sikap Rasulullah dan para sahabat yang sangat bersikap tegas dalam menentang pemikiran-pemikiran dan kebiasaan- kebiasaan mereka, maka sikap yang harus diambil oleh kaum Muslimin hanyalah sikap intifa (pengambilan manfaat) dari pengetahuan terhadap ide- ide kufur mereka sehingga kaum Muslimin bisa mengerti kesalahan- kesalahan ide-ide mereka dan argumen-argumen mereka. Oleh karena itu Hizbut Tahrir bertujuan untuk melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat yang bersikap tegas dalam menentang pemikiran-pemikiran dan kebisaan-kebiasaan kufur untuk tidak menyembah selain Allah. Tujuan ini berarti mengajak kaum Muslimin
73
kembali hidup secara Islami, dimana seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukum Islam. Pandangan hidup yang akan menjadi pusat perhatian adalah halal dan haram, dibawah naungan Daulah Islamiyah yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan di-baiat oleh kaum Muslimin. Karena sejak dihapuskannya Daulah Khilafah dalam Perang Dunia I, kaum Muslimin tidak lagi menerapkan pemerintahan Islam dan hidup dalam penderitaan. Maka pengangkatan khalifah bukan masalah utama, akan tetapi masalah utama yang dihadapi kaum Muslimin pada masa sekarang adalah menegakkan Khilafah (iqamatu al-khilafah). Sebab, realita menegakkan Khilafah berbeda dengan realita pengangkatan khalifah meskipun penegakkannya sistem Khalifah secara pasti mengangkat seorang khalifah. 33
Mendirikan Khilafah dan memberlakukan kembali hukum yang telah diturunkan Allah ke muka bumi hukumnya wajib (fardlu), melalaikan tugas ini termasuk maksiat yang paling besar, sebagaimana sabda Rasulullah: " OO^g-q^=_ O4-^1 R O4-e4^1 p) O4N^=_+ 4`4^ OOU4^1- e 4`4}4`
Artinya:Dan barang siapa yang mati sedang dipundaknya tidak ada baiat (kepada seoarang Khalifah, maka matinya seperti mati jahiliyah (mati dengan memikul dosa besar).
Di samping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benapr melalui pola pikir yang cemerlang (al-mustanir) dalam memaknai hakekat hidup. Hizb berusaha untuk
33 Abdul Qadim Zallum, (terj.), Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Al-Izzah, Jatim, 2001, hal. 206
74
mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan kemuliaannya dulu yang pernah dirasakan kaum Muslimin selama 13 abad, yaitu dengan mengambil alih kendali negara dan bangsa di dunia sekarang ini yamg dalam cengkeraman Barat, agar kembali menjadi negara super power dunia sebagaimana yang telah terjadi di masa silam dan memimpinnya sesuai hukum-hukum Islam. Hizb juga bertujuan untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syariat) bagi umat manusia agar umat manusia tertunjuki pada kehidupan yang hakiki, memimpin umat Islam untuk menentang dan mengganti ide-ide,hukum-hukum dan sistem perundang-undangan kufur dengan aturan Islam sehingga Islam dapat menyelimuti seluruh dunia.
d. Aktivitas Hizbut Tahrir Aktivitas Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah kondisi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam, dengan cara merubah ide-ide kufur dan penerapan hukum-hukum kufur menjadi ide- ide dan hukum-hukum Islam dalam setiap aspek kehidupannya. Hal ini akan menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat dan menjadi persepsi bagi mereka yang akan mendorong untuk merealisasikan dan menerapkan Islam, sehingga setiap hubungan dan interaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat harus sesuai dengan syariat Islam beserta pemecahannya. Seluruh aktivitas yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik, dimana Hizb memperhatikan urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan pemecahan syari. Sebab, politik (siyasah) pada dasarnya adalah aktivitas
75
mengurus kepentingan rakyat (umat) sesuai dengan Islam, dan hal ini dilakukan oleh individu, partai atau kelompok, dan negara. Adapun aktivitas politik yang dilakukan oleh Hizb, juga nampak dalam beberapa aspek, yaitu: 34
1. Pembinaan intensif (tatsqif murakkazah), aktivitas ini dilakukan dengan maksud untuk mencetak kader-kader politik. Secara sistematis dan berkelanjutan kader-kader ini dibina sehingga mereka mampu mewujudkan cita-cita partai. Mereka tidak hanya mampu dari segi ide (fikrah), tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang perubahan yang ingin dicapai dalam membangkitkan umat. 2. Pembinaan umum (tatsqif jamai) dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya penerapan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah) oleh Daulah Khilafah. Aktivitas ini dilaksanakan dengan cara membina masyarakat secara umum melalui tsaqafah Islam sekaligus membebaskan mereka dari aqidah yang rusak dan pemikiran yang kufur. Sebab, tidak akan terjadi perubahan yang mendasar di tengah- tengah umat selama tidak terjadi perubahan kesadaran masyarakat secara umum. 3. Pergolakan pemikiran (ash-shira al-fikri), pergolakan pemikiran ini dilakukan dengan cara menentang ide-ide yang salah, aqidah yang rusak, pemahaman yang keliru, atau pandangan-pandangan kufur di tengah- tengah masyarakat. Upaya ini harus dikaitkan dengan ketentuan hukum
34 Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah, Depok, 2000, Cetakan II, hal. 35-42
76
Islam dalam setiap perkaranya, diharapkan masyarakat memiliki kesadaran tentang kerusakan ide tersebut dan akan mencampakkannya serta menggantinya dengan Islam. 4. Perjuangan politik (al-kifah as-siyasi), perjuangan politik Hizb dapat terlihat dalam upayanya melakukan penentangan terhadap imperialis kafir yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, membebaskan umat dari segala bentuk penjajahan, membongkar berbagai konspirasi negara kafir, membebaskan umat dari belenggu kekuasaannya dan pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer. 5. Memperhatikan kepentingan umat (tabanni mashalih al-ummah), aktivitas ini tampak dalam menentang para penguasa, mengungkap pengkhianatan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol dan koreksi terhadap penguasa serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar dengan melalaikan salah satu urusan umat atau tidak menjalankan kewajibannya kepada umat. Sehingga dengan cara ini, kepercayaaan umat terhadap penguasa yang memang tidak layak untuk memimpin mereka akan hilang. Hal ini akan memperkuat kesadaran umat untuk mengganti sistem rusak yang ada di tengah-tengah mereka dengan sistem Islam. 6. Meraih dukungan (thalab an-nushrah), karena mengingat dalam setiap aktivitas politik pasti terdapat orang-orang yang kuat dan berpengaruh (ahl al-quwwah). Sikap orang-orang yang berpengaruh ini jelas sangat
77
menentukan keberhasilan perjuangan, oleh karena itu Hizb melakukan mobilisasi dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan real di tengah-tengah masyarakat. Sebab, penerimaan mereka terhadap Islam yang disertai dengan kesadaran masyarakat akan mempercepat tegaknya sebuah sistem Islam.
Maka aktivitas Hizbut Tahrir secara keseluruhan bersifat politik, baik yang menyangkut perkara pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Sehingga Hizb berupaya keras agar kaum Muslimin segera bangkit dari keterpurukan dan hal itu perlu adanya suatu perjuangan yang pantang menyerah, sebab tanpa usaha yang gigih kebangkitan umat tidak akan tercapai. Aktivitas politik dilakukan dengan cara mengemukakan fikrah- fikrah Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban serta diwujudkan dalam kenyataan hidup bermasyarakat dan bernegara, sehingga aqidah Islam menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan perundang- undangan. Sebab, aqidah Islam merupakan aqidah aqliyah dan aqidah siyasiyah yang terpancar darinya aturan-aturan yang dapat memecahkan seluruh problematika manusia.
e. Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir Pada abad ke-20, khususnya pasca hancurnya Khilafah tahun 1924, kaum Muslimin di seluruh dunia mengalami kemunduran yaitu terperosok dalam jurang cobaan yang amat dalam dan menyakitkan. Mereka hidup dalam
78
sistem kehidupan asing (kapitalis-sekuler atau sosialis) yang dipaksakan kaum kafir penjajah. Melalui para penguasa agen penjajah, sistem kehidupan yang kufur ini menindas Islam secara sistematis dan destruktif. Islam yang semestinya menjadi sistem kehidupan menyeluruh harus diamputasi secara kejam hingga tersisa sekitar 5% saja yaitu ajaran akhlaq dan ibadah ritual. Sisanya yang 95% ajaran Islam lainnya yang mengatur sektor kehidupan publik dikubur secara terpaksa dalam liang lahat sejarah dan peradapan. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir melakukan kajian, penelitian, dan studi terhadap kondisi umat, sejauh mana kemerosotan yang dialami umat. Kemudian membandingkan dengan kondisi pada masa Rasulullah SAW, masa Khalafaur Rasyidin, dan masa generasi Tabiin sesudahnya. Setelah melakukan aktivitas kajian tersebut secara menyeluruh maka Hizb memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tentang permasalahan yang dihadapi umat sesuai fikrah dan thariqah dengan berdasarkan pada sumber-sumber dari Islam, yaitu Al-Quran, As-Sunah, Ijma Shahabat dan Qiyas. Dan dari sinilah Hizb menggunakan fikrah dan thariqah tersebut untuk memecahkan segala persoalan yang dialami oleh umat.
f. Metode Dakwah Hizbut Tahrir Dalam mengembangkan dakwah Islam, Hizbut Tahrir berpegang pada suatu prinsip yaitu menyebarluaskan dakwah Islam sebagai kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyah) bagi seluruh penjuru dunia. Di atas qiyadah
79
fikriyah ini dibangun seluruh bentuk pemikiran, dimana dari pemikiran- pemikiran tersebut mengalir seluruh bentuk persepsi yang mempengaruhi pandangan hidup manusia. Oleh karena itu, dalam mengemban dakwah mengharuskan adanya metode untuk mengembangkannya. Maka dalam penyebarluasan pemikiran yang diadopsi (tabanni) agar terus eksis di benak masyarakat, Hizbut Tahrir menjadikan metode (thariqah) perjalanan dakwah Rasulullah SAW sebagai suri tauladan, sebab dalam kehidupan masyarakat yang berkembang hanyalah sarana dan bentuk kehidupan, sementara nilai dan makna kehidupan yang dialami masyarakat sama sekali tidak berubah, walaupun zaman terus berputar, dan bangsa-bangsa maupun negeri-negeri berbeda. Sedangkan mengikuti metode Rasulullah hukumnya wajib. .- W-ON_O4C pE}g O4L=OO NE4Ocq .- Oc4O O) 7 pE- ^g -LOOgVE.- OEO4O=- 4O4O^-4
Artinya:Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah). (QS. Al-Ahzab:21)
Dalam menjalankan aktivitasnya, Hizbut Tahrir mengambil metode dakwah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW baik dari segi operasional maupun tahapan-tahapannya. Adapun tahapan-tahapan tersebut yang pertama yaitu tahap tatsqif (pembinaan dan pengkaderan), dilakukan untuk melahirkan orang-orang yang meyakini fikrah (ide) Islam yang diadopsi Hizb
80
dan untuk membentuk kerangka sebuah partai. Pada tahapan ini Hizb melakukan kontak (langsung) dengan anggota masyarakat dengan menyampaikan fikrah dan thariqah dakwahnya lewat perorangan. Orang yang mau menerima fikrah dan thariqah Hizb lalu dibina secara terarah dan intensif dalam halqah-halqah (kelompok) Hizb hingga menyatu dengan ide- ide dan hukum-hukum Islam yang telah dijadikan pedoman kemudian menjadikannya seorang muslimyang memiliki kepribadian Islam (sakhsiyah Islamiyah). Pada tahap awal ini perhatian Hizb dipusatkan pada upaya membangun dan pemantapan kerangka Hizb, memperbanyak pendukung dan pengikut, sekaligus membina para pengikutnya dengan tsaqafah (pemikiran) Islam yang diadopsi Hizb. Hingga akhirnya berhasil membentuk partai bersama-sama para syabab (aktivisnya) yang telah menyatu dengan Islam dan menerima pemikiran-pemikiran Islam kemudian mengembannya kepada masyarakat. 35
Kedua, adalah marhalatu tafaul (interaksi) yaitu melakukan interaksi dengan masyarakat, mendorong untuk mengemban dakwah Islam, serta membentuk kesadaran dan opini umum atas ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah dipilih dan ditetapkan Hizb hingga masyarakat menjadikannya sebagai pemikiran mereka yang akan mendorong mereka untuk mewujudkan dalam realita kehidupan. Sehingga masyarakat mau melakukan aktivitas
35 Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah, Depok, 2000, Cetakan II, hal. 32-34
81
untuk mendirikan kembali Daulah Khilafah, untuk melangsungkan kehidupan Islam dan mengembannya ke seluruh penjuru dunia. 36
Ketiga, yaitu istilam al-hukmi (menerima kekuasaan), dalam tahapan ini yang dilakukan adalah pengambil alihan kekuasaan pemerintahan dari masyarakat untuk menerapkan Islam sebagai idelogis secara praktis dan menyeluruh sekaligus menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia. Inilah yang disebut dengan metode revolusioner, metode ini tidak membolehkan partai bergabung ke dalam pemerintahan yang menerapkan hukum Islam secara parsial, sebab dalam mengambilalih pemerintahan harus secara totalitas dan menjadikannya sebagai metode untuk menerapkan ideologi bukan sebagai tujuan perjuangan sehingga tidak membolehkan penerapan secara bertahap.Dalam mengemban dakwahnya, Hizb tidak menggunakan kekuatan fisik dan melakukan tindakan kekerasan (anarkis) untuk membela diri atau menentang penguasa. 37
g. Fikrah Hizbut Tahrir Hizbut Tahrir memandang bahwa segala permasalahan umat harus diselesaikan berdasar mabda (ideologi). Sebab mabda adalah aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan, yang dimaksud dengan aqidah yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, kehidupan dan tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan, disamping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Sedangkan peraturan yang lahir dari
36 Ibid., log.cit 37 Ibid., log.cit
82
aqidah tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan pemecahannya, memelihara aqidah serta untuk mengemban mabda, inilah yang disebut dengan thariqah. Jadi, mabda mencakup dua bagian yaitu fikrah dan thariqah. 38
Fikrah merupakan konsep-konsep yang menjadi solusi atau pemecah atas permasalahan yang dihadapi manusia. Fikrah mencakup konsep-konsep yang mengatur masalah aqidah dan konsep-konsep yang mengatur masalah hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Untuk itu Hizb menekankan bahwa dalam mengemban fikrah harus berpikir ideologis, sebab dengan berpikir ideologis maka ketika seorang individu, masyarakat, atau negara dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupannya akan menggunakan solusi-solusi yang merupakan jawaban dari aqidah aqliyahnya yang menjadi landasan bagi kehidupannya. Dalam fikrah Hizb selalu mengedepankan berpikir ideologis, sebab kebutuhan hidup yang ada pada diri manusia merupakan realita. Sehingga dengan potensi kemampuan berpikir yang dimiliki akal manusia maka manusia akan selalu berusaha untuk membuat sarana-sarana guna memenuhi kebutuhannya. Karena kecenderungan manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki maka manusia akan selalu berkreativitas untuk terus meningkatkan taraf hidupnya. Jika hal ini dibiarkan tanpa adanya
38 Taqiyuddin an-Nabhani, (terj.), Peraturan Hidup Dalam Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan II, 2001, hal. 36-37
83
batasan maka akan terjadi pertikaian dan pertentangan yang akan menimbulkan penderitaan bagi makhluk yang lain. Untuk itulah perlu adanya aturan kehidupan yang mengatur setiap aktivitas manusia dalam pemenuhan kebutuhannya, agar dalam pemenuhan kebutuhan tersebut dapat diraih dengan ketenangan dan kebahagiaan tanpa merugikan pihak lain. Dengan kemampuan akalnya sebagian manusia berusaha untuk membuat aturan-aturan kehidupannya yang dibangun berdasarkan asas kehidupan yang paling fundamental yaitu aqidah fikriyah yang dihasilkan dari kejeniusan manusia itu sendiri, seperti sekulerisme dan meterialisme. Akan tetapi dalam pemikiran Hizb bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan oleh Al-Khaliq (Pencipta) dimana Al-Khaliq sekaligus sebagai Pengatur (Al-Mudabbir) kehidupan manusia, sehingga jika manusia menginginkan suatu kebangkitan (an-nahdhah) maka harus menggunakan aturan yang dibuat oleh Al-Khaliq. Sebab, agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan yang mendasar dan menyeluruh terhadap pemikirannya tentang kehidupan (al-hayah), alam semesta (al-kaun), dan manusia (al-insan) itu sendiri serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan dan sesudah kehidupan dunia yang dijadikan landasan berpikir (qaidah fikriyah) sekaligus sebagai kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyah) dalam membangun seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan manusia. Dengan demikian, apabila kita menghendaki kebangkitan maka tidak ada jalan kecuali mengubah pemahaman terlebih dahulu, dalam hal ini Allah SWT berfirman:
84
jgO^)4` W-+O)O4NC _/4O O)4`O)O4NC.- ])
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu keadaan suatu kaum, sebelum kaum ittu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS. Ar-Rad: 11)
Akan tetapi kebangkitan tersebut tidak akan nampak jika hanya berupa pemikiran-pemikiran saja tanpa adanya realisasi dalam kehidupan, maka butuh adanya aturan operasional (thariqah) dalam menjalankannya. Oleh karena itu, Hizb menekankan bahwa hanya mabda-lah yang dijadikan tolak ukur untuk menuju suatu kebangkitan, sehingga fikrah yang dijadikan landasan bagi Hizbut Tahrir dan telah merasuk dalam diri pengikutnya, yang selalu diusahakan agar menjadi bagian dari umat serta dijadikan sebagai masalah utama mereka adalah fikrah Islam yang ditopang dengan thariqah Islam yaitu berupa aqidah Islam yang memancar darinya aturan-aturan kehidupan dan seluruh ide, termasuk semua hukum yang dibangun atas aqidah tadi. Hizb telah mengadopsi dari fikrah Islam berupa perkara-perkara yang dibutuhkan dalam sebuah partai politik yang bertujuan ingin mewujudkan Islam di tengah-tengah masyarakat yaitu menerapkan Islam dalam sistem pemerintahan, hubungan (interaksi) antara masyarakat dan dalam semua aspek kehidupan. Hizb telah menjelaskan segala sesuatu yang telah diadopsinya itu secara terperinci dalam buku-buku dan selebaran- selebaran, disertai dengan keterangan dan dalil yang rinci untuk setiap hukum, pendapat, pemikiran atau persepsinya.
85
2. Sistem Hukum Pajak Hizbut Tahrir a. Pemikiran Hizbut Tahrir Tentang Problematika Ekonomi Bangkitnya umat Islam di seluruh dunia telah menjadi fenomena baru di pentas internasional sekaligus menjadi ancaman bagi Kapitalisme Barat maupun Sosialisme Timur. Kebangkitan tersebut yang disertai revisi ideologis dan sistem ekonomi yang selama ini menjadi masalah paling strategis, kelak akan menjadi solusi global dengan konsentrasi yang sangat menonjol bahwa Islam adalah agama yang mengembalikan fitrah ekonomi manusia pada kedudukan yang proporsional. Sorotan terhadap kapitalisme dan sosialisme yang gagal dalam membangun paradigma ekonomi dunia telah menarik perhatian utama pada sistem ekonomi Islam. Sebab ekonomi Islam telah mensyariatkan hukum-hukum perekonomian bagi umat Islam dengan jaminan-jaminan hak secara pribadi serta memberikan kesempatan seseorang untuk mencapai kemakmurannya. Sementara pada saat yang sama Islam membatasi perolehan harta yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier untuk kemudian diimplementasikan dalam fungsi sosial yang interaktif. 39
Problematika ekonomi pada saat ini terletak pada pembagian (distribusi) kekayaan (barang) dan jasa terhadap individu rakyat, maka sebenarnya masalah ekonomi terletak pada distribusi kekayaan bukan pada pertumbuhan produksi. Sehingga di dalam Islam ada ketentuan hak kepemilikan, sebab pada dasarnya kekayaan adalah milik Allah dan hanya
39 Taqyuddin an-Nabhani, (terj.), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2002, Cetakan ke-7, hal. 1-10
86
saja manusia diberikan kekuasaan untuk mengelolanya. Oleh karena itu agar distribusi tersebut dapat tersalur dengan adil, Islam membagi bentuk- bentuk pemilikan menjadi tiga jenis meliputi pemilikan individu, pemilikan umum dan pemilikan negara. 40
Politik ekonomi dalam Islam adalah jaminan bagi tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyatnya. Semua itu bisa terwujud kalau ada usaha dari setiap individu untuk bekerja agar kebutuhan pokoknya terpenuhi, juga bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya seperti anak-anaknya dan ahli warisnya yang tidak mampu untuk bekerja. Namun apabila tidak memiliki wali atau ada tapi tidak mampu memberikan nafkah, maka kewajiban itu dipikul oleh baitul mal (kas negara) dalam memehuni setiap kebutuhan pokok orang tersebut. 41
b. Pemikiran Hizbut Tahrir Tentang Pajak Mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan suatu kewajiban yang berlangsung terus menerus terhadap keberadaan seorang penguasa baik kesejahteraan materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaannya. Suatu negara untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyatnya maka negara tersebut harus mempunyai pendapatan dalam anggaran belanjanya, agar dana yang didistribusikan kepada rakyatnya
40 Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah, Depok, 2000, Cetakan II, hal. 91-92 41 Ibid.log,cit.
87
tidak defisit maka negara harus membuat suatu hukum-hukum supaya rakyat mendapatkan bagian-bagiannya secara adil. Untuk bisa mencukupi seluruh anggaran pengeluaran yang diberikan kepada rakyat maka semua pos pada sisi pengeluaran tersebut memerlukan dana. Di masa sekarang hampir seluruh negara di dunia menetapkan hukum pajak untuk dapat menutupi pengeluaran yang dialokasikan kepada rakyat, bahkan pajak merupakan satu-satunya sumber pendapatan negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak ada pemasukan dari sisi pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan, jadi pajak merupakan sumber utama dalam keberlangsungan pemerintahan di suatu negara. 42
Adapun pemikiran Hizbut Tahrir dalam memandang sumber-sumber pendapatan negara yang telah ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya sebagaimana yang pernah diterapkan pada masa pemerintahan para khalifah di bawah naungan Daulah Khilafah. Hizb memandang bahwa suatu negara tidak perlu lagi mewajibkan adanya pemungutan pajak (dharibah) baik langsung maupun tidak langsung jika sumber-sumber pendapatan yang lain telah mencukupi untuk mengatur rakyat dan melayani kepentingan mereka. Meskipun demikian, hukum- hukum syara telah memperhatikannya sehingga syara mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan umat menjadi dua, antara lain kebutuhan-kebutuhan yang diwajibkan (di-fardhu-kan) kepada baitul mal untuk sumber-sumber pendapatan tetap baitul mal dan kebutuhan-kebutuhan yang difardhukan
42 Boediono. Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta, Cetakan ke-20, 2001, hal.110
88
kepada kaum muslimin, sehingga negara diberi hak untuk mengambil harta dari mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dengan demikian, pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan harta yang difardhukan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Dimana Allah SWT telah menjadikan seorang imam sebagai pemimpin bagi rakyatnya, yang bisa mengambil harta dan menafkahkannya sesuai objek-objek tertentu dengan mengikuti hukumnya. 43
3. Sistem Keadilan Dalam Pemungutan Pajak Hizbut Tahrir Suatu pemerintahan untuk dapat memenuhi kebutuhan masayarakat maka negara harus memeliki pendapatan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut terkadang baitul mal tidak cukup untuk menutupi pembiayaan atau pengeluaran. Pandangan Hizb tentang hal tersebut yaitu, apabila negara maupun sumbangan kaum muslimin tidak cukup untuk menutupi pembiayaan berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran, maka pada saat inilah kewajiban pembiayaan beralih kepada kaum muslimin. Karena Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran tersebut. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum muslimin. Sebab Allah telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum muslim, yaitu jika tidak ada harta sama sekali dan kaum
43 Taqyuddin an-Nabhani, (terj.), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2002, Cetakan ke-7, hal. 262
89
muslim tidak ada yang mendermakan. Rasulullah SAW bersabda, Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan (saling membahayakan). 44
Jika terjadi kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum muslim untuk membayar pajak hanya untuk menutupi (kekurangan biaya terhadap) berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan. Namun dalam pemungutannya negara tidak boleh berlaku dzalim kepada umat, oleh karena itulah negara Islam hanya akan memungut pajak kepada orang-orang yang berlebih harta (orang kaya) saja. Jadi orang miskin atau orang tidak mampu memenuhi kebutuhan dirinya maka tidak akan dipungut pajak, sehingga pajak ini tidak dibebankan kepada seluruh umat. Selain itu pajak tidak diberlakukan secara terus menerus (bersifat permanen), yaitu hanya pada saat kondisi keuangan negara memang darurat saja (bersifat temporal). Pajak juga tidak boleh dipaksakan dalam pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar kemampuan harta orang-orang kaya, atau berusaha untuk menambah pemasukan baitul mal. Sehingga pajak tidak boleh dipungut (diwajibkan) kecuali sekedar untuk memenuhi pembiayaan rutin pos dan tidak boleh lebih dari itu, sebab pengambilan yang lebih berarti dzalim. 45
44 Ibid.log,cit 45 Ibid.log,cit POTENSI SELURUH HARTA KEKAYAAN NEGARA ISLAM
90
Gambar 3. Skema Pendapatan Negara Islam BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN KEPEMILIKAN INDIVIDU Pengembangan : 1. Pertanian KEPEMILIKAN 2. Perdagangan KEPEMILIKAN UMUM 3. Industri NEGARA 4. Syirkah 5. Perdagangan luar negeri 1.Ghanimah 2.Fai 3.1/5 rikaz 4.Kharaj 5.Usyriyah 6.Jizyah 7.Sisa Waris 8.Harta orang murtad 9.Pajak temporer, dll
1.Fasilitas umum 2.Tambang tak terbatas 3.Sumber daya alam umum 1. Hibah 2. Hadiah 3. Shadaqah 4. Nafkah 5. Zakat
BAITUL MAL 1. Sektor kepemilikan individu 2. Sektor kepemilikan umum 3. Sektor kepemilikan negara
91
A. Pendahuluan Pada pembahasan bab ini adalah mengevaluasi terhadap sistem hukum pajak di Indonesia dalam menciptakan keadilan namun gagal, dengan menggunakan pendekatan sistem hukum pajak Hizbut Tahrir. Pembahasan yang pertama akan memahami tentang hukum-hukum pemerintah Indonesia untuk menciptakan keadilan yang telah diterapkan dalam sistem perpajakan. Selanjutnya, akam dibahas tentang sanggahan Hizbut Tahrir terhadap hukum-hukum yang telah diterapkan dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pembahasan sub bab berikutnya adalah penggalian solusi alternatif yang diberikan Hizbut Tahrir terhadap hukum-hukum yang telah diterapkan di Indonesia namun ternyata tidak mampu membawa keadilan sebagaimana dalam asas pemungutan pajak. Dari sini, penulis menemukan bahwa solusi alternatif yang diberikan oleh Hizbut Tahrir tersebut akan mampu menciptakan sebuah keadilan dalam kehidupan masyarakat.
B. Faktor-faktor Yang Menunjang Konsep Keadilan dalam Pemungutan Pajak di Indonesia Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang masalah (Bab I), bahwa pajak merupakan pendapatan utama dalam sebuah negara. Bahkan di Indonesia pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara, ini membuktikan bahwa
92
keberhasilan telah diraih negara Indonesia dalam pemungutan pajak kepada masyarakat. Kunci keberhasilan tersebut tidak terlepas dari sikap tegasnya pemerintah dalam menerapkan pemungutan pajak kepada masyarakat baik menyangkut ketetapan dan tatacara pajak, cara pemungutan, maupun asas pemungutan pajak kepada masyarakat. Berkaitan dengan pemungutan pajak kepada masyarakat, pemerintah menghendaki adanya keadilan dalam penerapannya sehingga seluruh masyarakat tidak ada yang didiskriminasi. Untuk itu, agar tercipta kondisi yang adil tersebut pemerintah Indonesia telah membuat berbagai hukum untuk mendukung kondisi tersebut, yaitu : 1. Asas Keadilan dalam Pemungutan Pajak Dalam era sekarang, perkembangan sosial ekonomi dan politik berlangsung sangat cepat sehingga perubahan sistem perpajakan yang pernah dilakukan belum mampu menampung berbagai kelemahan-kelemahan dalam Undang-undang perpajakan. Keadaan menjadi lebih parah karena penggelembungan penerimaan pajak, pembayar pajak dan kekuasaan aparat pajak dilaksanakan di tengah-tengah himpitan kesulitan ekonomi dan bisnis yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia usaha setelah kenaikan harga BBM. Akal sehat menyimpulkan penerimaan pajak biasanya meningkat sebanding dengan ekonomi yang semakin bergairah, tetapi Indonesia penuh keanehan, penerimaan pajak justru akan digenjot ditengah- tengah ekonomi yang menurun atau melemah, bahkan semakin santer suara Indonesia diancam dengan stagflasi.
93
Agar penerimaan dari pajak sesuai target dan tidak menimbulkan diskriminasi pada wajib pajak maka dalam pemungutannya pemerintah menerapkan asas berkeadilan. Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan maka undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang- undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Jadi untuk terciptanya keadilan yang sesuai dengan perundang-undangan yaitu pajak dibebankan secara merata kepada seluruh masyarakat, sehingga seluruh masayarakat akan mendapat kewajiban membayar pajak sesuai kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud dalam perpajakan di Indonesia adalah siapapun wajib pajak yang mampu mengkonsumsi atau memanfaatkan jasa dan fasilitas negara maka wajib pajak harus membayar kompensasi sebanyak ia memanfaatkan fasilitas tersebut (siapa memakai maka harus bayar). Selain adil dalam perundang-undangan, pemerintah juga telah membuat menjamin keadilan dalam pelaksanaannya. Yang dimaksud disini adalah bahwa wajib pajak akan diberikan hak untuk melakukan keberatan penundaan pembayaran pajak serta mengajukan banding apabila petugas pemungut pajak melalukan kesalahan dalam pemungutan. Sehingga wajib pajak akan menerima kembalian uang pajak yang dibayarkan sejumlah sisa pajak yang berlebih.
94
Adapun upaya lain yang ditempuh pemerintah dalam menjamin keadilan adalah dengan mengeluarkan peraturan yang memberikan keringanan kepada wajib pajak orang pribadi, yaitu keringanan membayar pajak bagi wajib pajak yang penghasilannya sekitar 2 juta rupiah perbulan. Upaya ini diambil berdasarkan pertimbangan perekonomian rakyat Indonesia yang belum stabil. Sehingga dengan adanya peraturan tersebut pemerintah akan menanggung sebagaian pajak masyarakat, hal ini dilakukan agar tidak memberatkan masyarakat sebagai upaya menjamin keadilan di tengah-tengah perekonomian yang kurang baik
2. Wajib Pajak harus mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Bersamaan dengan perkembangan banyaknya dunia bisnis maka hal ini mendorong perekonomian Indonesia. Sebab dengan banyaknya usaha yang maju pesat maka semakin menyumbangkan porsi yang besar bagi pendapatan belanja negara yaitu dengan melakukan pemungutan pajak terhadap para pengusaha yang telah memenuhi sebagai wajib pajak. Seharusnya dalam pemungutan pajak terhadap pengusaha ini berjalan lancar, apabila mereka sadar pajak. Akan tetapi pada kenyataannya tidak sesuai seperti apa yang diharapkan pemerintah, walaupun banyak usaha yang berkembang tetapi negara semakin menanggung banyak kerugian. Sebab, banyak pengusaha yang mengkonsumsi fasilitas umum tapi mereka tidak mau bayar pajak atau tidak jujur dalam pembayarannya. Maka untuk menjaga hal itu agar tidak terjadi maka pemerintah Indonesia membuat aturan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Yaitu, UU No. 28/2007
95
tentang perubahan ketiga atas UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memberikan penegasan penting dalam pelaksanaan perpajakan naisonal, terutama beberapa hal yang selama ini dianggap samar atau grey area. Di antaranya, mengenai kapan seharusnya mulai mendaftar sebagai wajib pajak (WP), khususnya bagi WP orang pribadi. Saat mulai mendaftar ini sangat penting ditetapkan. Maksudnya, untuk menghilangkan kesan-seperti yang terjadi selama ini, dimana masyarakat menganggap seolah-olah kapan pun setiap saat bisa mendaftar sebagai WP, tanpa ada suatu batasan waktu. Dengan adanya peraturan tentang wajibnya memiliki NPWP maka akan mendorong keadilan pada masyarakat. Sebab dengan adanya NPWP, maka petugas pajak akan memungut pajak sesuai proporsional besar pajak yang seharusnya dibayarkan. Sehingga disini baik negara maupun masyarakat tidak ada yang dirugikan, karena telah mendapatkan sesuai dengan hak-haknya.
C. Penyanggahan Hizbut Tahrir Diterapkannya berbagai hukum oleh pemerintah Indonesia merupakan upaya untuk menciptakan keadilan pada masyarakat dalam pemungutan pajak, sehingga pada diri masyarakat tidak merasakan kesenjangan. Akan tetapi, dengan berbagai hukum yang telah ditetapkan ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan. Bahkan semakin banyak tindakan protes dari masyarakat karena telah banyak merugikan mereka. Adapun sikap Hizbut Tahrir terhadap hukum-hukum pajak yang telah diterapkan di Indonesia adalah :
96
Sebagaimana penjelasan dalam UU perpajakan di Indonesia bahwa untuk menjamin keadilan maka pajak dikenakan kepada masyarakat secara keseluruhan tanpa terkecuali baik berpenghasilan sedikit maupun besar, yaitu bagi siapapun yang mengkonsumsi atau memanfaatkan fasilitas negara maka mereka wajib membayar pajak. Walaupun pada hakikat sebenarnya kondisi yang dialami masyarakat stabil maupun tidak. Maka Hizbut Tahrir memandang bahwa peraturan tersebut tidak dapat memberikan keadilan kepada masyarakat. Upaya pemerintah untuk menjaga keadilan dalam sistem pemungutan pajak pada masyarakat adalah bentuk kepedulian negara pada rakyat. Dan dari pemungutan pajak tersebut masyarakat akan mendapatkan imbalan baik langsung maupun tidak langsung. Namun dalam implementasi dari beberapa peraturan masih terdapat kelemahan, sehingga hal inilah yang mendorong faktor ketidakadilan. Sebagaimana implementasi PP nomor 47 tahun 2003, bahwa pemerintah akan memberikan keringanan bagi wajib pajak yang penghasilannya sekitar 2 juta rupiah, naumun dalam teknis pelaksananaan terdapat ketidakadilan. Sebab bagi pegawai yang mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak memiliki kewajiban pajak yang sama. Adapun 2 jenis ketidakadilan dalam pemungutan pajak. Pertama, ketidakadilan horizontal yaitu perasaan ketidakadilan disebabkan seseorang membayar pajak lebih tinggi jika dibandingkan orang lain, yang jumlah kekayaannya relatif sama dengan kekayaannya. Kedua, ketidakadilan vertikal yaitu seseorang harus membayar pajak dalam proporsi yang lebih besar jika
97
dibandingkan dengan proporsi yang harus dibaya oleh orang lain yang kekayaannya jauh lebih besar jumlahnya. Pajak yang dibebankan kepada masyarakat adalah penopang utama pemerintah untuk menjalankan amanahnya, apabila tidak ada pajak maka pemerintahan terhambat bahkan tidak akan berjalan. Sehingga untuk dapat menjalankan pemerintahan maka harus ada pendapatan negara yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai bentuk balasan atas kinerja pemerintah. Kondisi seperti ini tidak dibenarkan dalam syara sebab kedudukan pemerintah dalam suatu pemerintahan bukan sebagai ajir, dan rakyat sebagai mustajir. Jika kondisinya seperti ini, konsekuensinya bila biayanya defisit maka aktivitas pemerintah untuk mengurusi rakyat tidak akan berjalan. Jadi kinerja pemerintah untuk mengurus rakyatnya sangat tergantung pada penyediaan dana dari rakyat melalui pajak itu sendiri. Akan tetapi disini pemerintah merupakan wakil rakyat yang akan mengurusi urusan rakyat beserta solusi dalam setiap permasalahan, bukan membebani rakyat. Juga dalam pemungutan pajak yang dilakukan setiap periode (permanen) ini akan menzhalimi rakyat, sebab kondisi perekonomian (pendapatan) masyarakat terkadang untuk memenuhi kebutuhan pokok mengalami kendala. Sehingga disini pemerintah harus memperhatikan betul kondisi perekonomian masyarakat apakah dalam masa stabil ataukah paceklik. Sebab apabila dalam kondisi yang tidak stabil masyarakat dibebani pajak maka ini menyebabkan ketidakadilan. Di Indonesia pajak merupakan hal yang vital untuk menjamin keberlangsungan pemerintahan, sebab dengan adanya pajak pemerintah bisa
98
menjalankan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan baik. Untuk itu untuk menjaga agar hal tersebut tidak ada hambatan, maka pemerintah mendorong masyarakat untuk meningkatkan dirinya baik orang pribadi maupun pengusaha agar sadar pajak. Kesadaran pajak ini merupakan bukti loyalitas dan kepedulian terhadap negara, dan hal ini dapat dibuktikan dengan mendaftarkan dirinya sebagai wajib pajak. Sebab dengan mendaftarkan dirinya menjadi wajib pajak maka pemerintah tidak akan keliru menetapkan besar pajak atas wajib pajak karena masyarakat telah mempunyai NPWP. Namun dengan adanya peraturan tersebut ternyata belum menjamin keadilan dalam perpajakan di Indonesia, sebab dari sekitar 220 juta penduduk negara Indonesia yang mempunyai NPWP hanya sekitar 60 juta keluarga. Sehingga hal ini menyebabkan ketidakadilan bagi sebagian anggota masyarakat, sebab yang memikul pembiayaan negara hanya sebagian masyarakat saja.
D. Solusi Alternatif Menurut Hizbut Tahrir Atas dasar sanggahan yang diberikan Hizbut Tahrir terhadap berbagai peraturan yang telah diterapkan dalam sistem perpajakan di Indonesia baik komponen-komponen utama maupun pendukung terhadap kestabilan keadilan dalam perpajakan Indonesia, maka berikut ini akan penulis membahas solusi alternatif yang diberikan Hizbut Tahrir terkait permasalahan tersebut. Hizb memandang bahwa keadilan akan berhasil apabila seluruh elemen masyarakat tidak ada yang merasakan kerugian ataupun dizhalimi. Namun, jika dengan adanya pajak masyarakat terzhalimi maka Hizb menolak pemungutan
99
pajak. Adapun solusi yang diberikan Hizb terkait dengan hukum pajak yang akan menopang faktor keadilan dalam pemungutan pajak adalah : 1) Pajak Dipungut dari Orang Kaya Upaya untuk menjamin kekurangan pada pos pendapatan guna memenuhi kebutuhan masyarakat, maka negara melakukan pemungutan kepada masyarakat. Namun pada kondisi ini tidak semua masyarakat dapat memenuhi pungutan biaya tersebut. Dengan adanya kebolehan negara untuk mengambil pungutan kepada masyarakat guna mencukupi kekurangan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan apabila tidak dipenuhi akan menyebabkan kemudharatan (bahaya). Maka Hizb memandang bahwa dengan mewajibkan seluruh masyarakat membayar pajak, hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan salah satu pihak, sebab tingkat pendapatan masyarakat berbeda. Padahal ditengah-tengah masyarakat banyak yang masih tergolong fakir dan miskin, maka jika pajak dibebankan kepada masyarakat dengan golongan tersebut maka ini akan menzhalimi mereka. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari mereka tidak mampu. Oleh karena itu, Hizb memberikan solusi alternatif bahwa pajak hanya diambil dari kaum muslimin yang kaya. Maksud kaya disini adalah kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna (harta yang merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder) sesuai dengan standard hidup
100
tempat tinggal mereka, namun jika tidak terdapat kelebihan harta maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan. Pajak tidak boleh dipaksakan pengambilannya melebihi kesanggupan atau melebihi kadar harta orang-orang kaya, atau dengan niat berusaha untuk menambah pemasukan baitul mal. Sehingga dalam hal ini negara harus melakukan pendataan tentang siapa saja masyarakat yang tergolong kaya dengan sangat terperinci, sehingga tidak ada kesalahan dalam penetapan pengambilan besar pajak kepada masyarakat. Menurut Hizb, walaupun pajak dibebankan atas orang kaya namun pajak hanya diwajibkan atas kaum muslimin. Pajak ini tidak berlaku atas kaum non muslim meskipun dia kaya, sebab sesungguhnya syara telah mewajibkan jihad atas umat Islam dan tidak diwajibkan atas non muslim begitu pula diwajibkan peradilan dan menuntut ilmu atas umat Islam serta tidak diwajibkan pula atas non muslim, dan diwajibkan menghilangkan bahaya atas umat Islam serta tidak diwajibkan atas non muslim, maka sesungguhnya pemungutan pajak atas non muslim merupakan hal yang tidak diwajibkan Allah SWT atas mereka. Apabila pajak diperlakukan atas kaum non muslim merupakan kedzoliman atau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah adalah perbuatan yang terlarang. Dan syara hanya mewajibkan jizyah atas non muslim, maka tidak boleh memungut harta selain itu. 46 Jizyah adalah hak yang Allah berikan kepada kaum muslim dari orang- orang non muslim sebagai tunduknya mereka kepada negara.
2) Pajak Dipungut Sesuai Kebutuhan Negara Untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, beban yang dipikul negara sekarang ini sangat besar. Sehingga pendapatan tetap negara (baitul mal) bisa tidak cukup untuk menutupi pembiayaan wajib baitul mal, baik untuk berbagai kebutuhan maupun pos-pos pengeluaran yang harus dipenuhi, baik dalam baitul mal ada uang maupun tidak ada uang. Dalam kondisi darurat dimana baitul mal tidak ada uang sama sekali, padahal banyak kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi maka negara boleh melakukan pemungutan pajak kepada kaum muslimin. Sebab, jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran tersebut tidak dibiayai maka akan timbul kemudharatan atau bahaya atas kaum muslimin. Pemungutan pajak atas kaum muslimin sebatas hanya untuk menutupi kekurangan pembiayaan yang diwajibkan saja, tidak boleh lebih dari itu atau bahkan berusaha untuk menambahi pemasukan baitul mal agar berlebih. Maka hasil pemungutan pajak hanya sekedar untuk memenuhi pembiayaan yang diwajibkan oleh syara saja, adapun alokasi hasil pemungutan pajak tersebut digunakan untuk: 47
1. Pembiayaan jihad dan segala hal yang harus dipenuhi yang terkait dengan jihad. 2. Pembiayaan industri militer dan industri serta pabrik-pabrik penunjang yang memungkinkan Negara memiliki industri senjata.
47 Abdul Qadim Zallum, (terj.), Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan I, Bogor, 2002, hal. 139-148
102
3. Pembiayaan fuqara, orang-orang miskin dan ibnu sabil. 4. Pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, hakim, guru dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan (pelayanan masyarakat) untuk kemashlahatan kaum Muslimin. 5. Pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemashlahatan dan kemanfaatan umat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan jika tidak dibiayai maka bahaya (dlarar) akan menimpa umat. Misalnya, jalan umum, rumah sakit, sekolah, universitas, pengadaan saluran air, dan lain-lain. Sebab jika sarana- sarana ini tidak ada akan menyebabkan bahaya bagi masyarakat. 6. Pembiayaan untuk keadaan darurat (bencana) seperti tanah longsor, gempa bumi dan angin topan atau mengusir musuh. Namun jika tidak dijumpai kondisi tersebut dan baitul mal dalam kondisi stabil atau terdapat harta/uang maka negara tidak boleh mengambil pajak atas kaum muslimin. Sehingga negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan mendadak (mendesak) demikian juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya dimuka (dala urusan administrasi) negara. Oleh karena itu negara tidak boleh mewajibkan pembayaran pajak secara permanen (terus menerus dan pada seluruh masyarakat, sebab jika ini terjadi maka negara telah berlaku zhalim pada masyarakat. Dengan demikian tugas negara yang utama terkait dengan sistem hukum pajak Islam adalah bahwa negara harus memperhatikan benar bagaimana dapat mewujudkan jaminan tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan terpenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya termasuk kebutuhan tambahannya sesuai
103
kebiasaan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu, apabila kebutuhan dan pembiayaan atas masyarakat tersebut belum terpenuhi dan negara menambah dengan mewajibkan pungutan atas masyarakat bahkan ada dari masyarakat yang terzhalimi maka hukum yang telah ditetapkan tersebut dinggap gagal dalam pandangan Islam.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
104
A. Kesimpulan Berdasarkan dari permasalahan yang diajukan, pengkajian, analisis serta pembahasan yang telah dilakukan, maka suatu kesimpulan dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Sistem pemungutan pajak di Indonesia belum sesuai dengan prinsip keadilan menurut Undang-undang perpajakan nomor 6 tahun 1983, sebab dalam implementasinya masih ada kelemahan yaitu orang dengan kekayaan/penghasilan berbeda membayar pajaknya sama sebagaimana implementasi PP nomor 47 tahun 2003, dan pembiayaan negara hanya ditanggung sebagian masyarakat dikarenakan tidak memiliki NPWP. 2. Menurut pandangan Hizbut Tahrir sistem pemungutan pajak di Indonesia tidak memenuhi prinsip keadilan sebagaimana yang diinginkan dalam ketetapan Undang-undang perpajakan nomor 6 tahun 1983. Sebab dalam implementasinya masih banyak masyarakat yang dirugikan yaitu dalam penerapannya hanya sebagian masyarakat yang menanggung biaya pembangunan, sehingga hal ini akan mendzalimi sebagian masyarakat dan menguntungkan sebagian yang lainnya. 3. Solusi alternatif dari Sistem Pajak Islam Hizbut Tahrir adalah pajak yang dipungut hanya diwajibkan atas orang-orang (kaum muslim) yang benar- benar mampu yaitu orang-orang memiliki kelebihan harta (orang kaya) dan untuk kaum non muslimin tidak ada pajak bagi mereka sebab kewajiban atas mereka adalah membayar jizyah, pajak dipungut hanya pada saat baitul
105
mal dalam kondisi darurat (tidak ada uang) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan pajak dipungut hanya untuk menutupi kekurangan dalam pembiayaan kebutuhan umat, tidak boleh lebih dari itu.
B. Saran 1. Bagi para pembuat aturan di Indonesia hendaknya harus terus berpikir ulang agar aturan yang dibuat mampu diimplementasikan dalam menciptakan keadilan masyarakat umat. 2. Penulis berharap dengan hasil-hasil yang telah disimpulkan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi umat Islam untuk mau menengok kembali kepada sumber-sumber ajarannya dalam rangka menyelesaikan problem kehidupan termasuk problem perpajakan. 3. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak kekurangan baik terkait kedalaman data-data yang disajikan maupun kedalaman dalam menganalisis. Untuk itu penulis berharap penelitian ini masih terus dilanjutkan dan disempurnakan agar lebih bermanfaat untuk umat Islam khususnya dan umat manusia secara keseluruhan.
107
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, Toha Putra, Semarang, 1989. Anonim,(terj.), Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Pustaka Thariqul Izzah, Depok, Cetakan II, 2000 An-Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah Dustur,1963 An-Nabhani, Taqiyuddin, (terj.), Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan II, 1993 An-Nabhani, Taqiyuddin, (terj.), Peraturan Hidup Dalam Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan II, 2001 An-Nabhani, Taqiyuddin, (terj.), Pembentukan Partai Politik Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan II, 2002 An-Nabhani, Taqyuddin, (terj.), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, Cetakan ke-7, 2002 An-Nabhani, Taqiyuddin, (terj.), Hakekat Berfikir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan I, 2003 An-Nabhani, Taqyuddin, (terj.), Peraturan Hidup Dalam Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Cetakan ke-3, 2003 Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, Cetakan I, 1996 Boediono, Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta, Cetakan ke-2, 2001 Nata, Abuddin, Metodologi StudiIslam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999 Suandy, Erly, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000 Surat kabar warta kota edisi 6 Maret 2007 Tjahjono, Achmad dan Muhammad F. Husein, Perpajakan, Edisi Pertama,UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 2000 Tjahjono, Achmad dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, Edisi Revisi II,YKPN, Yogyakarta, 2000
108
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Cetakan II, Jakarta, 2000 Zallum, Abdul Qadim, (terj.), Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Al-Izzah, Jatim, 2001 Zallum, Abdul Qadim, (terj.), Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan I, Bogor, 2002 http://id.wikipedia.org www.google.com, Konsep Keadilan Perspektif Ulama